Revitalisasi Industri Manufaktur Jumat, 3 Juli 2009 | 05:27 WIB

advertisement
Revitalisasi Industri Manufaktur
Jumat, 3 Juli 2009 | 05:27 WIB
Faisal Basri
Industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar dalam produk domestik bruto Indonesia, yaitu
27,9 persen pada tahun 2008, jauh meninggalkan peranan sektor-sektor urutan berikutnya, berturutturut: pertanian sebesar 14,4 persen; perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 14,0 persen; serta
pertambangan dan penggalian sebesar 11,0 persen.
Berdasarkan Sensus Ekonomi 2006, industri manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja terbesar
kedua setelah sektor perdagangan, masing-masing sebesar 24 dan 34 persen dari keseluruhan
penyerapan tenaga kerja. Namun, hampir bisa dipastikan, industri manufaktur menjadi tumpuan
utama dalam hal penyerapan tenaga kerja formal, mengingat aktivitas perdagangan lebih didominasi
oleh sektor informal. Perlu dicatat bahwa Sensus Ekonomi tidak meliput sektor pertanian, mengingat
ada sensus tersendiri untuk sektor ini.
Sejak krisis ekonomi tahun 1998, industri manufaktur tumbuh tergopoh-gopoh, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Lebih memprihatinkan lagi, dalam empat tahun
terakhir pertumbuhan sektor ini selalu lebih rendah daripada pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB), bahkan perbedaannya kian melebar. Akibatnya, sumbangan industri manufaktur terhadap
PDB terus melorot dari 28,4 persen pada tahun 2004 ke tingkat terendah tahun 2007, yaitu 27,1
persen.
Walaupun laju pertumbuhan industri manufaktur terus mengalami pelambatan pada tahun 2008,
porsinya di dalam PDB naik 27,9 persen. Hal ini terjadi bukan disebabkan oleh peningkatan volume
produksi, melainkan karena peningkatan harga produk-produk manufaktur lebih tinggi ketimbang
kenaikan harga- harga umum.
Penurunan porsi industri manufaktur bisa dikatakan bersifat prematur karena tahapan industrializing
pada umumnya mencapai puncak tatkala peranan industri manufaktur di dalam PDB sekitar 35
persen. Mengingat penurunan peranan industri manufaktur sudah berlangsung jauh sebelum
mencapai titik puncaknya, kita patut mewaspadai telah terjadi gejala deindustrialisasi dini.
Ancaman kian menghadang di tengah krisis global dewasa ini. Pemerintah tampaknya ikut terseret
sentimen negatif. Berdasarkan proyeksi terkini yang dikeluarkan pemerintah pada awal Januari
2009, pertumbuhan industri manufaktur nonmigas hanya 2,5 persen.
Membiarkan industri manufaktur semakin lunglai akan berdampak sangat luas terhadap
perekonomian. Struktur perekonomian akan melemah karena sektor primer kembali akan relatif
menguat sehingga peningkatan proses nilai tambah melambat, yang pada gilirannya menekan laju
peningkatan produktivitas dan tingkat upah riil.
Manufaktur
Kemerosotan relatif industri manufaktur akan membuat sektor ini kehilangan daya untuk menyerap
tambahan angkatan kerja. Selama tiga tahun terakhir sudah terjadi penurunan persentase pekerja di
sektor manufaktur, dari 18,8 persen pada tahun 2005 menjadi 17 persen pada tahun 2008.
Akibatnya, sektor informal kian menjadi andalan penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2008 pekerja
di sektor informal sudah hampir mencapai 70 persen. Betapa rentan mayoritas pekerja kita: tanpa
jam kerja, uang lembur, jaminan kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua.
Lebih jauh, stagnasi relatif sektor industri manufaktur memperlambat basis obyek pajak dan
peningkatan nisbah pajak (tax ratio) yang berkelanjutan. Keterbatasan sumber penerimaan
pemerintah pada gilirannya akan membuat fondasi makroekonomi lebih rapuh dan fungsi
pemerintah tidak optimal.
Selain itu, perkembangan sektor tersier juga makin lepas kaitan dengan resource endowment yang
kita miliki sehingga kurang menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Akibat selanjutnya, sektor
pertanian dan sektor jasa cenderung lebih bergantung pada pasokan impor sehingga menambah
tekanan pada keseimbangan sektor eksternal.
Krisis global dewasa ini bisa kita jadikan momentum untuk membenahi industri manufaktur. Ruang
gerak untuk melakukan revitalisasi industri cukup leluasa. Sekalipun tergopoh-gopoh, industri
manufaktur kita masih tumbuh positif. Padahal, menurut publikasi terakhir IMF produksi industri
(industrial production) dunia tahun ini diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 6 persen. Bahkan,
di sejumlah negara, produksi industri bakal melorot puluhan persen.
Salah satu faktor yang membuat industri manufaktur kita tak mengalami hantaman berat adalah
karena relatif kecilnya peranan industri yang berorientasi ekspor dan ketergantungan pada bahan
baku impor rendah. Sumbangan kelompok ini hanya 16 persen dari nilai tambah total industri
manufaktur.
Sebaliknya, sumbangan kelompok industri yang berorientasi pasar dalam negeri dan lebih banyak
menggunakan bahan baku lokal ternyata paling besar, yakni 37 persen. Sementara itu, kelompok
industri yang berorientasi pasar dalam negeri tetapi kandungan impor bahan baku juga tinggi
merupakan penyumbang terbesar kedua, yaitu 32 persen.
Satu kelompok industri lagi yang berorientasi ekspor dan sarat kandungan lokal, walau
sumbangannya terhadap nilai tambah total paling rendah, yaitu 14 persen, memiliki peranan paling
besar dalam hal penyerapan tenaga kerja. Sepertiga pekerja di sektor industri manufaktur diserap
oleh kelompok ini. Sekitar seperempat pekerja diserap oleh kelompok yang berorientasi ekspor dan
yang kandungan impor bahan bakunya tinggi.
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa kelompok industri yang berorientasi pasar dalam
negeri sangat dominan dalam hal sumbangsihnya terhadap pembentukan nilai tambah. Sedangkan
kelompok industri berorientasi ekspor sangat besar sumbangannya dalam penyerapan tenaga kerja.
Bertolak dari kenyataan ini, tantangan terbesar yang kita hadapi untuk memperkuat industri
manufaktur adalah dengan mengintegrasikan pasar domestik serta meningkatkan nilai tambah
industri yang berbasis bahan baku lokal. Upaya ini sekaligus bisa lebih banyak menyerap tenaga
kerja.
Penguatan integrasi perekonomian nasional memungkinkan segala sumber daya yang kita miliki
bisa bersinergi. Selanjutnya, kita bisa mewujudkan pembangunan yang lebih merata lewat
pembangunan daerah, bukan sekadar pembangunan di daerah. Untuk itu, pembangunan
infrastruktur menjadi salah satu kunci utama. Selain, tentu saja, penguatan riset dan pengembangan
(R&D) agar peningkatan daya saing nasional bisa berkelanjutan.
Download