peran immunomodulator dalam - Universitas Udayana Repository

advertisement
PERAN IMMUNOMODULATOR DALAM
MENGAKTIFKANKAN RESPON IMUN TERHADAP
INFEKSI VIRUS
OLEH :
A.A. Gde Arjana
Ketut Budiasa
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
i
KATA PENGANTAR
Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa
penulis dapat menyelesaiakan penulisan
Peran
Immunomodulator
Dalam
karya ilmiah dengan judul :
Mengaktifkan
Respon
immun
Terhadap Infeksi Virus
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
tentang bagaimana peran immunomodulator dalam mengaktifkan respon
immun terhadap infeksi virus.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Demikianlah penulis dapat sampaikan semoga Ida Sang Hyang
Widhi Wasa melimpahkan segala rahmatNya kepada kita semua.
Denpasar,
Januari 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. i
DAPTAR ISI ……………………………………………………………….. ii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….... iii
RINGKASAN ……………………………………………………………….... iv
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah …………………………………………….. 2
BAB II. PEMBAHASAN …………………………………………………….. 3
2.1. Penyakit Infeksi ………………………………………………… 3
2.2.Immunomodulator ………………………………………………. 4
2.3 Immunitas Terhadap Virus ……………………………………... 6
2.4. Respon imun non Spesifik Terhadap Virus …………………. 7
2.4.1. Makrofag …………………………………………………… 7
2.4.2. Sel Natural Killer (NK) …………………………………….. 10
2.4.3. Interferon
(INF ) ………………………………………. 12
2.4.4. Interleukin 6 (IL-6) …………………………………………. 12
2.5. Respon Imum Spesifik Terhadap Virus ………………………. 14
2.5.1. Limfosit T ………………………………………………….... 14
2.5.2. Limfosit B …………………………………………………… 16
2.5.3. Interleukin 2 (IL-2) …………………………………………. 17
BAB III. KESIMPULAN ……………………………………………………... 18
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 19
iii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1. Mekanisme Stimulasi Imun Non Spesifik …………………. 5
GAMBAR 2. Imunitas Terhadap Infeksi Virus ……………………………. 7
iv
RINGKASAN
Sistem Immun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua
komponen tersebut akan bekerja serentak manakala tubuh mendapat
serangan dari penyakit yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh.
Tubuh dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme
pathogen
terutama
virus
dengan
cara
mengembangkan
sistem
pertahanan tubuh. Sistem pertahanan tubuh dapat diaktifkan dengan
memberikan suatu senyawa yang dapat digunakan untuk meningkatkan
respon immun yang disebut immunomodulator.
Immunomodulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan
mekanisme pertahanan tubuh baih secara spesifik maupun non spesifik.
Immunomodulator dapat mengaktifkan respon immun yang non spesifik
yaitu makrofag, sel NK, Interferon dan Interleukin 6 (IL-6), dan respon
immune yang spesifik yaitu limfosit T, limfosit B dan Interleukin 2 (IL-2).
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem immun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua
komponen tersebut akan bekerja serentak manakala tubuh mendapat
serangan dari penyakit yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh .
Sistem
imun
yang
bertugas
mengatur
keseimbangan,
dengan
menggunakan komponennya yang beredar diseluruh tubuh, sehingga
dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan
fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut dengan
sistem limforetikuler. Sistem limforetikuler merupakan jaringan atau
kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam
sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran
cerna dan beberapa organ lainnya. (Tizard, 2004; Rabson dkk., 2005).
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam
tubuh terpapar suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing.
Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan proses serta
fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau
imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi
respons imun tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun
humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat
1
membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya
sendiri (self), sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti
terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Kejadian ini disebut dengan
Autoimmun (Abbas dkk., 2007; Baratawijaya, 2010).
Tubuh
dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme
pathogen dengan
mengembangkan sistem pertahanan tubuh. Sistem
pertahanan tubuh dapat diaktifkan dengan memberikan suatu senyawa
yang dapat digunakan untuk meningkatkan respon immun yang disebut
immunomodulator. Immunomudulator ini dapat meningkatkan mekanisme
pertahanan tubuh baik secara spesifik (adaptive immune system) maupun
non spesifik ( innate immune system). . Kedua respon imun tersebut
dalam bekerjanya melibatkan berbagai komponen seluler maupun zat
terlarut
seperti
sitokin,
kemokin
dan
komplemen
(Tizard,
2004;
Baratawidjaya, 2010) .
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana peran immunomodulator dalam mengaktifkan respon
imun terhadap infeksi virus ?.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang sering
menggangu kesehatan, baik kesehatan manusia maupun kesehatan
hewan. Penyakit ini, dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus,
jamur dan parasit. Secara umum gangguan yang ditimbulkan dapat
bersifat, akut dan kronis, yang disertai dengan berbagai gejala dari ringan
sampai berat dan bahkan tidak sedikit mengakibatkan kematian. Salah
satu penyakit infeksi yang sering menyebabkan kerugian yang cukup
besar baik pada manusia maupun pada hewan adalah penyakit virus.
Penyakit
penghambat
virus
pada
perkembangan
hewan
merupakan
peternakan.
salah
Penyakit
satu
ini
faktor
banyak
menimbulkan kerugian yang besar pada dunia peternakan terutama
kerugian
materiil
terutama
karena
dapat
menimbulkan
kematian.
Disamping menimbulkan kerugian materiil penyakit virus dapat bersifat
zoonosis yaitu dapat menular dari hewan ke manusia. Beberapa contoh
penyakit virus yang bersifat zoonosis adalah Avian Influenza (AI/Flu
Burung) dan rabies. (Deptan, 2005, Davidson, dkk, 2008).
Untuk menanggulangi penyakit virus usaha pengendalian dilakukan
dengan jalan vaksinasi , akan tetapi wabah penyakit virus pada hewan
masih selalu terjadi. Ini berarti masih terjadi kegagalan vaksinasi.
3
Kegagalan vaksinasi disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : faktor
vaksinnya, pelaksananya (vaksinator), dan faktor hewannya.
Vaksinator dapat melakukan kesalahan dalam pemilihan vaksin,
pengangkutan,
penyimpanan,
pengenceran
dan
pengaplikasiannya.
Gangguan pada hewannya bisa disebabkan oleh adanya infeksi dari
mikroorganisme yang merugikan seperti infeksi parasit atau infeksi oleh
mikroorganisme yang dapat mengakibatkan imunodefisiensi. Aplikasi
vaksin pada hewan dapat dilakukan melalui tetes mata (intra oculer), tetes
hidung (intra nasal), air minum (drinking water), dan melalui suntikan
(injection) (Tizad, 2004; Webster dkk, 2004).
Untuk mengatasi hal tersebut diatas dipandang perlu utnuk
memberikan bahan-bahan yang bersifat sebagai immunomodulator,
sehingga
dapat
meningkatkan
antibodi.
Imumunomodulator
atau
imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan
menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun.
2.2 Immunomodulator
Immunomodulator
adalah
senyawa
tertentu
yang
dapat
meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun
non spesifik . Yang terutama terjadi adalah induksi non spesifik baik
mekanisme pertahanan selluler maupun humoral. Pertahanan non spesifik
terhadap antigen disebut paramunitas. Induktor semacam ini biasanya
tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, malahan sebagaian bekerja
4
sebagai mitogen yaitu menaikkan prolifirasi sel yang berperan pada
immunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit Tdan B, karena
induktor paraimunitas ini terutama menstimulasi mekanisme pertahanan
selluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung maupun tidak langsung
(misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui produksi
interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro
dan makro.
Beberapa bahan yang sering digunakan sebagai immunomodulator
adalah levamisol, isoprinosin, muramil dipeptida (MDP), hidroksiklorokin,
arginin,
antioksidan,
mikroorganisme,
polinukleotida,
limfokin
dan
beberapa agen farmakologik .Bahan nabati atau yang lebih dikenal
5
dengan herbal dapat digunakan sebagai immunomodulator adalah
temuputih, ketepeng cina, lidah buaya, buah merah,mahkota dewa .
(Mathilda., 1987; Janeway dkk., 1999; Tizard, 2004; Abbas dkk., 2007;
Bratawijaya, 2010)
2.3 Imunitas terhadap infeksi virus
Virus, merupakan organisme obligat, umumnya terdiri atas
potongan DNA atau RNA yang diselubungi envelop dari protein atau
lipoprotein. Respon imun terhadap protein virus melibatkan respon imun
secara nonspesifik yaitu makrofag, sel NK, interferon, interleukin (IL)- 1,
dan IL-6, sedangkan peningkatan respon imun secara spesifik melibatkan
limfosit T, limfosit B dan IL-2 (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Imunitas terhadap infeksi virus seperti terlihat pada gambar 2.1
6
Gambar 2.
Imunitas terhadap Infeksi Virus
2.4 Respon Imun non Spesifik terhadap Infeksi Virus
2.4.1 Makrofag
Adanya
agen
infeksi
yang
masuk ke
dalam
tubuh
akan
menyebabkan makrofag mengalami aktivasi. Aktivasi makrofag ini diikuti
dengan
meningkatnya
kemampuan
morfologis,
metabolisme,
dan
fungsional. Secara morfologis, makrofag tampak lebih besar dengan
pseudopodi bertambah panjang. Metabolisme di dalam sel akan
meningkat sehingga produksi enzym yang dihasilkan seperti katepsin G,
7
asam fosfatase, lisozim, beta glukoronidase, esteroprotease, hidrolise,
myeloperoksidase, dan arilsulfatase akan meningkat.
Meningkatnya
kemampuan fungsional makrofag ditandai dengan meningkatnya aktivitas
makrofag, kapasitas fagosit makrofag, dan produksi interleukin (Janeway
dkk., 1999; Fernandes, dkk, 2000; Kusmardi dkk., 2007).
Fungsi utama makrofag dalam imunitas nonspesifik adalah
memfagosit partikel asing yang masuk tubuh seperti kuman, virus, parasit,
dan sel tumor. Fagositosis juga dilakukan terhadap sel atau jaringan
sendiri yang mengalami kerusakan atau mati. Antigen yang berada di
dalam fagolisosom tersebut akan didenaturasi atau didegradasi menjadi
partikel peptida. Selanjutnya peptida ini diikat oleh MHC dan dibawa ke
permukaan sel untuk disajikan ke sel T. Selama proses fagositosis dan
penyajian antigen, makrofag mengeluarkan bahan biologik yang dikenal
dengan interleukin. Interleukin ini merupakan alat komunikasi antar sel.
Ada beberapa interleukin (IL) yang dikeluarkan oleh makrofag yaitu IL-1,
IL2, IL-4, IL-6, dan TNF. Pada dasarnya interleukin ini berperan penting
dalam proses peradangan dan pengaturan sistem imun. Aktivitas
interleukin
ini
sangat
beragam
mulai
dari
meningkatkan
atau
menghentikan pertumbuhan sel dan meningkatkan kemotaksis sel (Flynn
dkk., 1996; Abbas dkk., 2007; Muthmainah, 2004).
Aktivasi makrofag akan menyebabkan peningkatan aktivitas
makrofag dan lebih sensitif terhadap rangsangan. Peningkatan jumlah
8
enzim di dalam makrofag berhubungan dengan digesti intraseluler
material yang difagosit, perkembangan dan mempertahankan reaksi
radang dan pembunuhan mikrobia (Rabson, 2005; Tizard, 2004). Lebih
lanjut dikatakan bahwa aktivasi makrofag akan memacu aktivitas
mikrobisidal,
meningkatkan
kapasitas
tumorisidal,
mempercepat
pergerakannya, meningkatkan kemampuan produksi sejumlah bahanbahan
yang
penting,
dan
memacu
sel
imunokompeten
untuk
menghasilkan antibodi.
Antigen yang disajikan oleh makropag sebagai antigen precenting
cell (APC) ke limfosit T merupakan tahap awal terjadinya respon imun. Di
dalam makrofag, antigen diproses dengan cara
denaturasi atau
proteolisis. Sementara itu molekul Major Histocompatibility Complex
(MHC) yang terdapat dalam lisosom mengenali segmen antigen lalu
dibawa ke permukaan sel dan disajikan kepada sel T. Makrofag yang
memiliki CD38 merupakan penghubung antara makrofag dengan sel.
Molekul MHC pada APC bertindak sebagai reseptor primer antigen
(Tizard, 2004; Bryniarski dkk., 2005).
Pada infeksi virus maka MHC I menangkap peptida yang dihasilkan
oleh virus di dalam retikulum endoplasma, lalu dibawa ke permukaan sel
dan disajikan ke sel T. MHC yang ada di dalam retikulum endoplasma
tidak bisa leluasa bergerak ke organel lainnya, jika rantai pendeknya tidak
berikatan dengan peptida. Setelah MHC menangkap peptida maka dibawa
9
ke permukaan sel dan disajikan ke sel T sitotoksik melalui reseptor (TCR).
Proses selanjutnya sel T sitotoksik mengeluarkan bahan toksik sehingga
sel penyajinya akan terbunuh (Tobian dkk., 2003).
Pada fagolisosom terjadi pemrosesan antigen yang meliputi proses
oksidasi, non oksidasi, dan degranulasi. Fragmen-fragmen antigen yang
terbentuk, akan diikat oleh molekul MHC II selanjutnya
dibawa
ke
permukaan sel untuk disajikan ke sel T. Sel T helper melalui reseptornya
(TCR) akan mengenal antigen yang disajikan oleh makrofag. Ligan antara
kompleks antigen-MHC pada sel penyaji dengan kompleks CD3-TCR
pada sel T helper membangkitkan aktivitas inositol pada membran sel T
menjadi inositol trifosfat dan senyawa gliserol dalam sitoplasma. Inositol
trifosfat akan meningkatkan ion Ca++ dalam sitoplasma, sedangkan
diasilgliserol akan mengaktifkan enzim proteinkinase C. Keduanya
merupakan sinyal untuk mengaktifkan sel T. Namun kedua sinyal itu
belum cukup untuk mengaktifkan sel T, karena itu masih memerlukan
sinyal ketiga yang diawali oleh IL-1 yang dilepaskan oleh makrofag.
Aktivasi sel T helper dapat diamati dengan disekresikannya IL-2 yang
berguna
dalam
proses
diferensiasi
dan
proliferasi
sel
B
untuk
menghasilkan antibodi (Noss dkk., 2001; Abbas dkk., 2007).
2.4.2 Sel Natural Killer (NK)
Istilah NK berasal dari kemampuan sel tersebut membunuh
berbagai sel tanpa bantuan tambahan untuk aktivasinya. Sel NK tidak
10
memiliki petanda sel B atau sel T atau imunoglobulin permukaan. Sel NK
memiliki banyak sitoplasma, granul sitoplasma azurofilik, pseudopodia dan
nukleus eksentris. Sel NK merupakan sumber interferon γ (INF-γ) yang
mengaktifkan makrofag dan berfungsi dalam imunitas nonspesifik
terhadap virus dan sel tumor. Sel NK mengenal dan membunuh sel
terinfeksi atau sel yang menunjukkaan transformasi ganas, tetapi tidak
membunuh sel sendiri yang normal oleh karena dapat membedakan sel
sendiri dari sel yang potensial berbahaya, akibat adanya reseptor inhibitori
dan reseptor aktivasi (Bottino dkk., 2005; Baratawidjaya, 2010)
Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel sehat dan
tidak oleh sel terinfeksi virus dan kanker. Pengaruh reseptor inhibitori akan
dominan dan mengikat MHC-I yang normal diekspresikan pada sel sehat.
Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan
merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi virus secara dini,
sebelum respon imun spesifik bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi
walaupun tidak mengekspresikan MHC-I. Untuk membunuh virus sel NK
tidak memerlukan bantuan molekul MHC- I. Sel NK
memiliki reseptor
aktivasi dapat merupakan pembunuh poten sel terinfeksi virus, jamur dan
tumor dengan langsung, tanpa bantuan komplemen.
Fenomena ini
disebut Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) (Bottino dkk., 2005;
Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
11
2.4.3 Interferon γ (INF-γ)
Interferon γ diproduksi oleh berbagai sel imun, merupakan sitokin
utama Makrofag Activating Cytokain (MAC) dan berperan terutama dalam
imunitas non spesifik. Interferon γ adalah sitokin yang mengaktifkan
makrofag untuk membunuh virus. INF-γ merangsang ekspresi Major
Histocompatibility Complex (MHC-I) , MHC-II dan konstimulator APC. INFγ meningkatkan
diferensiasi sel CD4+ naif kesubset sel Th1 dan
mencegah proliferasi sel Th2. INF-γ bekerja terhadap sel B dalam
pengalihan
subkelas IgG yang mengikat Fcγ-R pada fagosit dan
mengaktifkan komplemen.
Efek protektif INF-γ terjadi melalui reseptor di membran sel dan
mengaktifkan gen yang menginduksi sel untuk memproduksi protein anti
virus yang mencegah translasi mRNA virus. INF-γ dapat mengaktifkan
fagosit, APC dan induksi pengalihan sel B, menginduksi tidak langsung
efek Th1 atas peran peningkatan produksi Il-12 dan ekspresi reseptor
(Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
2.4.4 Interleukin 6
IL-6 merupakan polipeptida yang dihasilkan oleh sel imun dan sel
non imun, berperan dalam mengendalikan respon imun dan respon
inflamasi. IL–6 diproduksi oleh sejumlah sel seperti : monosit, makrofag,
sel T dan sel B, leukosit polimorfonuklear dan sel Mast. Selain itu, banyak
sel nonimun mampu memproduksi IL–6 seperti sel endotel dan epitel,
12
keratinosit, fibroblas, adiposit, sel otot polos vaskuler, osteoblas, sel
stroma sumsum tulang, sinoviosit, kondrosit, sel Leydig testis, sel stroma
endometrium, dan trofoblas. Pada sistem saraf pusat, IL–6 diekspresikan
oleh astrosit, sel mikroglia, dan sel folikulostelata hipotalamus (Dostatni
dkk., 1996; Klipinen, 2003; Baratawidjaja, 2006).
Pada percobaan in vivo dan in vitro keikutsertaan IL–6 dalam
aktivasi sel T dan differensiasi sel B dapat diperlihatkan. IL–6 bersama IL–
2 dapat mengendalikan differensiasi sel T menjadi sel T sitotoksik.
Aktivasi sel T sitotoksik ini menghasilkan IL-4. IL-4 bersama dengan IL-6
merangsang diferensiasi sel B menjadi sel plasma untuk menghasilkan
imunoglobulin.. Disamping IL-6 berperan dalam diferensiasi sel B, IL-6
juga berperan sebagai faktor hemopoetik yaitu merangsang proliferasi dan
diferensiasi sel megakariosit dan meningkatkan jumlah platelet (Dostatni
dkk., 1996; Klipinen, 2003 ; Baratawidjaja, 2010). IL–6 bekerja sebagai
faktor diferensiasi sel B yang bertanggung jawab dalam pematangan akhir
sel B menjadi sel plasma dan meningkatkan produksi IgM, Ig G dan Ig A.
IL–6 merangsang proliferasi Thymosit dan sel T perifer, serta mendukung
aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel NK. (Dostatni dkk., 1996;
Beckerman 2001, Baratawidjaja ,2010).
13
2.5 Respon Imun Spesifik terhadap Infeksi Virus
Respon imun spesifik terhadap infeksi virus diperankan oleh :
2.5.1 Limfosit T
Progenitor limfosit T berasal dari sumsum tulang yang bermigrasi
ke timus, berdiferensiasi menjadi sel T. Sel T yang non aktif disirkulasikan
melalui kelenjar getah bening (KGB) dan limfa yang dikonsentrasikan
dalam folikel dan zona marginal sekitar folikel. Sel T imatur dipersiapkan
dalam timus untuk memperoleh reseptor. Timosit imature hanya dapat
menjadi matang bila reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel
tubuh sendiri (self antigen) yang diikat MHC dan dipresentasikan oleh
APC. Sawar darah timus melindungi timosit dari kontak dengan antigen
sendiri. Sel T yang self reaktip akan mengalami apoptosis. Proses ini
disebut seleksi positip timosit yang menghasilkan sel T cytotoxic (Tc) atau
sel T helper (Th) (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Kemampuan
limfosit T matang untuk mengenal benda asing, karena adanya T Cell
Receptor (TCR). TCR memiliki sifat diversitas, spesifisitas dan memori.
Satu sel limfosit hanya mengekspresikan reseptor untuk satu jenis antigen
sehingga sel tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja. TCR
ditemukan pada semua sel T matang, dapat mengenal peptida antigen
yang diikat Major Histocompatibility Complek (MHC) dan dipresentasikan
oleh Antigen Presenting Cell (APC) (Hewitt,2003; Baratawidjaya, 2010).
14
Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi fagositosis
makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi. Sel T juga
berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus.
Sel T terdiri atas sel T helper (Th) yang mengaktifkan makrofag untuk
membunuh mikroba dan sel T cytotoxic (Tc) yang membunuh sel terinfeksi
mikroba atau virus dan menyingkirkan sumber infeksi. Sel T terdiri atas sel
CD4+, CD8+, sel T naif dan sel Natural Killer T (NKT) (Germain, 2002;
Baratawidjaya, 2010).
Sel limfosit naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan
timus dan belum berdiferensiasi, belum pernah terpapar antigen dan
menunjukkan molekul permukaan CD45RA. Sel T helper disebut juga sel
T inducer merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon
imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap, diproses dan
dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke sel CD4+. Selanjutnya
sel CD4+ diaktifkan dan memproduksi IL-2 autokrin yang merangsang sel
CD4+ untuk berproliferasi menjadi subset sel Th1 dan Th2, mensintesis
sitokin yang mengaktifkan sel imun lain seperti CD8+, sel B makrofag dan
sel NK (Germain, 2002; Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga Cytolitic T
(CTL) atau Citotoxic T (Tc). CD8+ mengenal kompleks antigen MHC-I
yang dipresentasikan APC. Molekul MHC I ditemukan pada semua sel
tubuh yang bernukleus. Fungsi utama sel CD8+ adalah menyingkirkan sel
15
terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel yang
menimbulkan penolakan pada transplantasi. Sel Tc menimbulkan sitolisis
melalui perforin/granzim (apoptosis), TNF-α dan memacu produksi sitokin
Th1 dan Th2 (Hewitt, 2003; Baratawidjaya, 2010).
2.5.2 Limfosit B
Sel B diproduksi pertama selama fase embrionik dan berlangsung
terus selama hidup. Sebelum lahir yolk sac, hati dan sumsum tulang janin
merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah lahir
pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi
dalam berbagai tahap. Pada unggas, sel B berkembang dalam bursa
fabricius yang terbentuk dari epitel kloaka. Pada manusia belum
didapatkan hal yang analog dengan bursa tersebut dan pematangan sel B
terjadi di sumsum tulang atau ditempat yang belum diketahui. Setelah
matang sel B bergerak ke organ limpa, kelenjar getah bening dan tonsil
(Busslinger, 2004; Baratawidjaya, 2010).
Reseptor sel B yang mengikat antigen multivalen asing akan
memacu proses proliferasi, diferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi, membentuk sel memori dan mempresentasikan
antigen ke sel T. Proliferasi sel B merupakan senter germinal kelenjar
getah bening. Reseptor sel B mengawali sinyal transduksi yang efeknya
ditingkatkan oleh molekul konstimulator yang kompleks. Perkembangan
sel B dalam sumsum tulang adalah antigen independen, tetapi
16
perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan antigen. Sel B yang
diaktifkan berkembang menjadi limfoblas, selanjutnya menjadi sel plasma
yang memproduksi antibodi dan sel memori (Busslinger, 2004; Abbas
dkk., 2007).
2.5.3 Interleukin 2 (IL-2)
Interleukin 2 adalah faktor pertumbuhan sel T yang dirangsang
antigen dan berperan pada ekspansi klon sel T setelah antigen dikenal.
Ekspresi reseptor IL-2 ditingkatkan oleh rangsangan antigen, oleh karena
itu sel T yang mengenal antigen merupakan sel utama yang berproliferasi
pada respons imun spesifik.
IL-2 meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi sel T, sel B dan NK. IL-2 juga mencegah respons imun
terhadap
antigen
sendiri
melalui
peningkatan
apoptosis
sel
T
(Baratawijaya, 2010).
Peningkatan IL-2 dalam tubuh akan meningkatkan produksi CD4+ ,
dengan demikian IL-2 juga berfungsi sebagai imunomodulator yaitu
pengaturan menyeluruh sistem imun di dalam tubuh, baik dalam keadaan
normal maupun abnormal. Pemberian IL-2 telah terbukti dapat menekan
pertumbuhan beberapa tipe kanker. Treatmen penyakit HIV dengan
menggunakan IL-2 jugasudah pernah dilakukan walaupun hasilnya belum
signifikan (Waldmann, 2006) .
17
BAB III
KESIMPULAN
Sistem immun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua
komponen tersebut akan bekerja serentak manakala tubuh mendapat
serangan dari penyakit yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh.
Tubuh dalam
melindungi diri dari serangan mikroorganisme
patogen terutama virus dengan cara mengembangkan sistem pertahanan
tubuh. Sistem pertahanan tubuh dapat diaktifkan dengan memberikan
suatu senyawa yang dapat digunakan untuk meningkatkan respon immun
yang disebut immunomodulator.
Immunomodulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan
mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik.
Immunomudulator dapat mengaktifkan respon immun yang non spesifik
yaitu makrofag, sel NK, interferon, interleukin (IL)1 dan IL6, dan respon
immun yang spesifik yaitu limfosit T, limfosit B dan IL2.
18
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai S. 2007. Cellular and Molecular
Immunology. 6th ed. WB Saunders Company Saunders,
Philadelphia.Pp : 19-351.
Busslinger M. 2004. Transcriptional control of early B cell Development.
Annual Review of immunology 22:55-79.
Baratawidjaja, K.G., Rengganis I.
BP.FKUI. 2010. hal: 27-217.
Imunologi Dasar ed. 9. Jakarta.
Beckerman, K.P. and Dudley, D.J. 2001. Reproduction & the Immun
System. In Medical Immunology a Lange medical Book 10 th ed.
Philadhelpia, Mc Graw Hill. p:563-67.
Bryniarski ,K., Szczepanik, M., Ptak, M., Ptak, W. 2005. Modulation of
testicular macrophage activity by collagenase. Folia histochemica
et cytobiologica Vol. 43, No. 1. p : 37-41.
Bottino C,R Castriconi, L Moretta, and A Moretta. 2005. Cellular Ligands
of Activating NK Receptors. Trends in Immunology 26:221-226.
Davison, F., Kaspers, B.,Karel A. Schat. 2008. Avian Immunology. An
Introduction First edition. Elsevier. USA Pp : 51-101.
Departemen Pertanian (2005). Buku pedoman dan Pencegahan Flu
Burung (Avian Influenza) pada Peternakan Unggas skala kecil.
Buku Petunjuk Mengenai Avian Influenza. Direktorat Jendral
Peternakan Departenen Pertanian. Jakarta.
Dostatni, R., Berthold, S., Biermann. 1996. Interleukin-6 in Intensive care
Medicine. Diagnostic Products Corporation. p: 1-15.
Fernandez, M.E.H. and Lopez, D.M. 2000. Isolation of macrophages from
tissues, fluids, and immune response sites. Macrophages.
Apractical Approach. Edited By Paulnock DM. Oxford University
Press. Pp 1-4.
Germain RN. 2002. T cell development and the CD4-CD8 liniage decision.
Nature Reviews Immunology 2:309-322.
Hewitt EW. 2003. The MHC class I. antigen presentation pathway:
strategies for viral imumune evasion. Immunology 110: 163-169.
19
Janeway, C.A. Jr, Travers, P., Walport, M., Capra, J.D. 1999.
Immunobiology. The Immune System in Health and Disease. 4 th
ed. USA. Garland Publishing. Pp. 79-263.
Klipinen, S. Inflammatory cytokines and their promoter polymorphisms.
Academic dessertation University of tampere, Tampere, 2003.
p:19-27
Kusmardi, Kumala, S., Triana, E.E. 2007. Efek immunomodulator ekstrak
daun ketepeng cina (Cassia alata L.) terhadap aktivitas fagositosis
makrofag. Makara, Kesehatan, Vol. 11, NO. 2. Pp 50-53.
Mathilda, B.W. (1987). Immunomodulator. Cermin Dunia Kedokteran.
No.44. 43-45
Muthmainah. 2004. Studi tentang aktivitas sekresi reactive oxygen
intermediates (ROIs) makrofag mencit yang distimuli dengan
stimulant spesifik dan non spesifik selama infeksi Toxoplasma
gondii. Laboratorium Histologi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta. Jurnal BioSMART Vol 6, No. 2. 2004 :
1-2.
Noss, E.H., Pai, R.K., Sellati, T.J., Radolf, J.D., Belisle, J., Golenbock,
D.T., Boom, W.H., Harding, C.V. 2001. Toll-like Receptor 2dependent inhibition of macrophage class II MHC expression and
antigen processing by 19-kDa lipoprotein of M. tuberculosis. J
Immunol. Jul 15;167(2):910-8.
Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. Really. 2005. Essential Immunology
Second Edition. Oxford. Blackwell Publishing Pp : 27-98.
Tizard. 2004. Veterinary Immunology. An Introduction. 7th ed. WB
Saundres Company. Philadelpia. Pp. : 26-84.
Waldmann TA, Tagaya Y (2006). The biology of interleukin-2 and
interleukin-15: implications for cancer therapy and vaccine design.
Nature Rev. Immun. (8) 595-601.
Websdter, R. G. dan Husle, D. J. (2004). Microbial Adaptation and
Change : Avian Influenza. Rev sci. tech. Off. Int. Epiz. 435-465.
20
21
Download