BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK, PERJANJIAN KERJASAMA, APOTEKER, DAN KONSUMEN 2.1 Apotek 2.1.1 Pengertian Dan Perizinan Apotek Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 PP No. 51/2009 disebutkan bahwa Pelayanan kefarmasian adalah “suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”. Fasilitas pelayanan kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, antara lain adalah Apotek. Apotek adalah suatu tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. 1 Kata Apotek itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Apotheca, yang secara harfiah berarti “penyimpanan”. Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 13 PP No. 51/2009 juncto Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek (selanjutnya disingkat Permenkes No. 35/2014) dijelaskan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker”. Dari penjelasan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa Apotek merupakan tempat tertentu dalam melakukan pekerjaan kefarmasian yang meliputi penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. 1 H. Syamsuni, 2006, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Cet. 1, Kedokteran EGC, Jakarta, Hal. 7. 26 Dari sisi ekonomi, Apotek merupakan lahan bisnis yang menggiurkan mengingat faktor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat penting, hal tersebut dibuktikan dengan adanya permintaan terhadap obat yang setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.2 Dalam memulai suatu kegiatan usaha khususnya Apotek yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan diperlukan berbagai macam persiapan. Berbagai macam faktor perlu dipertimbangkan salah satunya adalah mengenai izin pendirian usaha. Perizinan merupakan pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untuk mengemudikan tingkah laku para warga.3 Menurut Pasal 4 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek (selanjutnya disingkat Kepmenkes No. 1332/MENKES/SK/X/2002), dijelaskan bahwa : (1) Izin Apotek diberikan Oleh Menteri; (2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin Apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota; (3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin Apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Adapun persyaratan administratif dalam mengajukan permohonan izin Apotek, yaitu sebagai berikut : a. b. c. d. 2 Salinan/foto copy Surat Izin Kerja Apoteker; Salinan/foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP); Salinan/foto copy denah bangunan; Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akta hak milik/sewa/ kontrak; Aryo Bogadenta, 2012, Manajemen Pengelolaan Apotek, Cet. 2, D-medika, Yogyakarta, Hal. 16. 3 Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, Hal. 2. 27 e. Daftar Asisten Apoteker dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus dan nomor surat izin kerja; f. Asli dan salinan/foto copy daftar terperinci alat perlengkapan Apotek; g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek bahwa tidak bekerja tetap pada Perusahaan Farmasi lain dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek di Apotek lain; h. Asli dan salinan/foto copy surat izin atasan (bagi pemohon pegawai negeri, anggota ABRI, dan pegawai instansi Pemerintah lainnya); i. Akta perjanjian kerjasama Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik Sarana Apotek; j. Surat pernyataan pemilik sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat; k. Izin HO (Hinder Ordonatie); l. SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan); m. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).4 Selain persyaratan-persyaratan diatas terdapat pula beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendirian Apotek, yaitu sebagai berikut : a. b. c. Lokasi dan Tempat Jarak antara Apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi Apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan; Bangunan dan Kelengkapan Bangunan Apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi Apotek serta memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan Apotek sekurangkurangnya terdiri dari : ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang kerja Apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan penyerahan obat, tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet. Bangunan Apotek juga harus dilengkapi dengan : sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang baik, alat pemadam kebakaran yang berfungsi baik, ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, papan nama yang memuat nama Apotek, nama APA, nomor SIA, alamat Apotek, nomor telepon Apotek; Perlengkapan Apotek Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain : alat pembuangan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortar, gelas ukur, dll. Perlengkapan dan alat penyimpanan, perbekalan farmasi seperti lemari obat dan lemari pendingin. Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastic pengemas. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun. Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta Farmasi Indonesia, 2016, “Tata Cara Pendirian Apotek”, URL :http://pharmasindo.com. diakses tanggal 1 September 2016. 4 28 kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Apotek. Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan resep dan lain-lain.5 2.1.2 Tugas Dan Fungsi Apotek Tugas dan fungsi secara umum merupakan hal-hal yang harus bahkan wajib dikerjakan oleh seorang pegawai atau pekerja dalam suatu instansi secara rutin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan program kerja yang telah dibuat berdasarkan tujuan, visi dan misi suatu organisasi. Tugas pokok sebagai satu kesatuan pekerjaan atau kegiatan yang paling utama dan rutin dilakukan oleh para pegawai dalam sebuah organisasi yang memberikan gambaran tentang ruang lingkup atau kompleksitas jabatan atau organisasi demi mencapai tujuan tertentu.6 Sedangkan fungsi berkaitan erat dengan wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan hubungan-hubungan hukum.7 Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, tugas serta fungsi Apotek menurut ketentuan Pasal 4 PP No. 51/2009 yaitu : a. b. c. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian; mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundang-undangan; dan memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga Kefarmasian. Selanjutnya menurut Pasal 2 Permenkes No. 35/2014 menjelaskan bahwa, pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk : 5 Anton Yudi Setianto et. al., 2008, Panduan Lengkap Mengurus Perijinan Dan Dokumen Pribadi, Keluarga Dan Bisnis, Cet. 2, Forum Sahabat, Jakarta, Hal. 169-170. 6 Muammar Himawan, 2004, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, Hal. 38. 7 Prajudi Admosudirjo, 2001, Teori Kewenangan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 4. 29 a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian; b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek pelayanan obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. 2.1.3 Pemilik Sarana Apotek Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Dalam melaksanakan praktik pelayanan kefarmasian di Apotek, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri maupun bekerjasama dengan Pemilik Modal Apotek sebagai penyedia sarana dan prasarana maupun perlengkapan guna menunjang kegiatan kefarmasian di Apotek. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 25 ayat 1 PP No. 51/2009 yang menjelaskan bahwa “Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan”. Dalam kerjasama tersebut, Pemilik Modal Apotek/Pemilik Apotek menyediakan sarana kefarmasian yang terdiri dari dana, perlengkapan Apotek, perbekalan kesehatan di bidang farmasi, bangunan yang menjadi milik dan atau berada dalam penguasaan dari 30 Pemilik Apotek (Pemilik Sarana Apotek). 8 Sebagai penyedia perlengkapan maupun sarana prasarana di Apotek, Pemilik Apotek disini dapat disebut juga sebagai pelaku usaha dimana hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 8/1999 yang menjelaskan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. 2.2 Perjanjian Kerjasama 2.2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.9 Perjanjian juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.10 Selain pengertian-pengertian tersebut diatas, terdapat beberapa ahli hukum yang mengemukakan pendapat mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu : 8 Rini Pamungkasih, 2009, 101 Draf Surat Perjanjian (Kontrak), Cet. 1, Gradien Mediatama, Yogyakarta, Hal. 315. 9 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesi, Ed. 3, Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 458. 10 Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, Hal. 9. 31 1. Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yang berbeda, yaitu sebagai “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi.11 2. Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.12 3. Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13 Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut maka dapat diartikan bahwa perjanjian adalah sebagai perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi. Apabila dilihat dari sisi perundang-udangan penjelasan mengenai perjanjian dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dimana perjanjian diartikan sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan demikian perjanjian dapat mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian tersebut. 11 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, Hal. 18. Abdulkadir Muhammad, op. cit, Hal. 198. 13 Subekti, R, 2005, Hukum Perjanjian, PT. Citra Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti I), Hal. 1. 12 32 Suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Dalam KUHPerdata Pasal 1338 menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi 4 (empat) syarat yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak dilarang. Dengan dipenuhinya kata sepakat dan diikuti dengan 3 (tiga) syarat sahnya perjanjian lainnya, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak atau perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak atau perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Selain syarat-syarat tersebut diatas terdapat pula 3 (tiga) unsur penting didalam suatu perjanjian, yaitu : 1. 2. Unsur Esensialia Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. unsur esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima. Unsur Naturalia 33 Unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya. 3. Unsur Aksidentalia Suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur aksidentalia mengikat para pihak.14 Berdasarkan dari pemaparan tersebut diatas, maka hampir seperti perjanjian biasanya, perjanjian kerjasama secara umum diatur dan dasarnya adalah Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Pengertian perjanjian kerjasama tidak dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata, akan tetapi secara umum perjanjian kerjasama dapat diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus, yang mana dalam perjanjian tersebut kedua pihak atau lebih memiliki tujuan yang sama dan tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh UndangUndang. 2.2.2 Asas-Asas Dalam Perjanjian Kerjasama Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang merupakan dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Adanya asas-asas dalam perjanjian bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan membatasi dominasi salah satu pihak dalam perjanjian. KUHPerdata memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, sehingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. Berikut asas-asas umum dalam hukum perjanjian yang diatur didalam KUHPerdata : 14 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, Hal. 35-36. 34 1. Asas Personalitas Asas kepribadian atau personalitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Didalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata yang dijelaskan bahwa “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh subyek hukum pribadi hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.15 2. Asas Konsensualitas Asas konsensual ini mengadung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Ketentuan tentang asas konsensualitas dapat ditemui juga dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang salah satunya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.16 Asas konsensualitas dibatasi oleh ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Maksud dari ketentuan tersebut adalah adanya kata sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tanpa adanya kekhilafan, paksaaan ataupun penipuan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1449 KUHPerdata, apabila suatu perjanjian dibuat didasarkan atas kekhilafan, paksaan ataupun penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (pembatalan). 15 Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Perdasa, Jakarta, Hal.14. 16 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, Hal. 48. 35 3. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom Of Contract) Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : a. Membuat atau tidak membuat perjanjian; b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun; c. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.17 Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang. 4. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servada) Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.18 Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan 17 18 Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit. Hal. 2. Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit. Hal. 14. 36 perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. 5. Asas Itikad Baik Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.19 Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan dengan berbagai segi hukum yang ada. Fungsi asas-asas hukum ialah untuk sejauh mungkin menjadi dan mewujudnyatakan standar nilai atau tolak ukur yang tersembunyi didalam atau melandasai norma-norma, baik yang tercakup didalam hukum positif maupun praktik hukum. Asas hukum bisa saja menjadi dasar dari beberapa ketentuan hukum, sekumpulan peraturan bahkan melandasi stelsel atau sistem hukum. Dengan hukum positif, asas-asas hukum hukum memiliki perkaitan dalam artian bahwa aturan-aturan hukum harus dimengerti beranjak dari latar berlakang asas-asas hukum yang selaras dengan atau terkait pada hukum positif. 19 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Agus Yudha Hernoko II), Hal. 139. 37 2.2.3 Jenis-Jenis Perjanjian Kerjasama Para ahli di bidang perjanjian tidak memiliki kesatuan pandang tentang pembagian jenis perjanjian. Beberapa ahli hukum mengkajinya perjanjian dari sumber hukum, nama, bentuk, aspek kewajiban, maupun aspek larangannya. Adapun jenis perjanjian yang didasarkan pada hal tersebut diatas yaitu : 1. Perjanjian Menurut Sumbernya Sudikno Mertokusumo menggolongkan kontrak dari sumber hukumnya menjadi lima macam yaitu : a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga seperti halnya perkawinan; b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda misalnya peralihan hak milik; 2. c. Perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara; e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.20 Perjanjian Menurut Namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1319 KUHPerdata dimana hanya disebutkan dua macam perjanjian yaitu perjanjian nominaat (bernama) perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata dimana yang termasuk didalamnya adalah jual beli, tukarmenukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan lain-lain. Selain itu terdapat perjanjian innominaat (tidak 20 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal. 11. 38 bernama) yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUHPerdata seperti leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan dan lain-lain. Namun disamping itu menurut Vollmar, terdapat perjanjian jenis ketiga diantara perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian campuran. 21 Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya. 3. Perjanjian Menurut Hak dan Kewajiban Para Pihak Disebut dengan perjanjian timbal balik dimana merupakan perjanjianperjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok pada kedua belah pihak seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam yaitu timbal balik tidak sempurna dan Perjanjian sepihak. a. Perjanjian timbal balik tidak sempurna Perjanjian ini senantiasa menimbulkan suatu kewajiban-kewajiban pokok satu pihak sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu. Disini tampak adanya prestasi-prestasi yang satu sama lainnya saling seimbang. b. Perjanjian sepihak Perjanjian ini merupakan perjanjian yang selalu timbul kewajibankewajiban hanya bagi satu pihak saja.22 21 22 Vollmar, 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, Rajawali Pers, Jakarta, Hal.144-146. Ibid. 39 4. Perjanjian Menurut Larangannya Penggolongan semacam ini merupakan penggolongan perjanjian dimana para pihak tidak diperkenankan untuk membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang dilarang ini menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat UU No. 5/1999) dibagi menjadi 13 (tiga belas) jenis yaitu perjanjian monopoli, perjanjian penetapan harga, perjanjian dengan harga yang berbeda, perjanjian dengan harga dibawah harga pasar, perjanjian yang memuat persyaratan, perjanjian pembagian wilayah, perjanjian pemboikotan, perjanjian kartel, perjanjian trust, perjanjian oligopsoni, perjanjian integrasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak luar negeri. Apabila dilihat dari aspek perjanjian kerjasama, maka pada prinsipnya terdapat 3 (tiga) pola perjanjian kerjasama, yaitu : a. b. c. Joint Venture, adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masing-masing menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha bersama; Joint Oprational, adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha yang dilakukan merupakan bidang usaha yang merupakan hak/kewenangan salah satu pihak, bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan/mengembangkan usaha yang semula merupakan hak/wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan usaha. Single Operational, merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa bangunan komersial. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial diatas tanah milik 40 yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik yang menguasai tanah.23 2.3 Konsumen 2.3.1 Pengertian Konsumen/Pasien Konsumen merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam kehidupan seharihari. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. 24 Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.25 Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis, maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. dalam naskah-naskah akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. 26 Dari naskah-naskah akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain : a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Depertemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir barang, 23 Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Reika Aditama, Bandung, Hal. 42. 24 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 22. 25 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, Hal. 3. 26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 23. 41 b. digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia : Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) bekerjasama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi : Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.27 c. Apabila berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis, maka disini terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien sebagai konsumen jasa yang meliputi hubungan medik, hubungan hukum, hubungan non hukum, hubungan ekonomi dan hubungan sosial. Dari hubunganhubungan tersebutlah mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dalam mengartikan pasien dan konsumen, namun sebagian orang berpendapat bahwa pasien dapat digolongkan sebagai konsumen. Bila dilihat dari sisi perundang-undangan, didalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 8/1999 dijelaskan bahwa “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sedangkan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis (selanjutnya disingkat Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008) pada ketentuan Pasal 1 angka 5 dijelaskan bahwa “pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. 27 Az. Nasution, op.cit, Hal. 9-10. 42 Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien sebagai konsumen adalah individu (orang) yang menggunakan jasa dalam hal ini layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan dalam kaitannya dengan kesehatan. Dengan demikian, pasien dikategorikan sebagai konsumen atau pengguna jasa medis. Orang yang menggunakan jasa tersebut adalah orang yang menginginkan akan adanya pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. 28 Hal tersebut dikarenakan ada hubungan timbal balik antara pasien dan konsumen yaitu pelaku usaha memberikan jasa dan konsumen memperoleh jasa dan membayar imbalan atas jasa tersebut. 2.3.2 Hak Dan Kewajiban Konsumen Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut sebagai subyek hukum.29 Hak merupakan sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum agar masing-masing subyek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang 28 Sidharta, op.cit, Hal. 1. Ida Ayu Sri Kusuma Wardhani, 2014, “Implementasi Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Dalam Perjanjian Terapeutik Oleh Tenaga Kesehatan Terhadap Pasien Rumah Sakit Di provinsi Bali”, Jurnal Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Hal. 9. 29 43 diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sedangkan kewajiban adalah pembatasan dan beban.30 Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu : 1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. hak untuk memilih (the right to choose) 4. hak untuk didengar (the right to be heard).31 Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain keempat Hak diatas, hak-hak konsumen juga diatur dalam Pasal 4 UU No. 8/1999 yaitu sebagai berikut : a. b. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannyaa atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; c. d. e. f. g. h. 30 31 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, Hal. 39. Sidharta, op.cit, Hal. 16-27. 44 i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Setelah berbicara mengenai hak tentunya harus berbicara mengenai kewajiban, ketentuan mengenai kewajiban konsumen dapat dilihat dalam Pasal 5 UU No. 8/1999, yaitu : a. b. c. d. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa; membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Penjabaran Pasal tersebut di atas, dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau jasa kepastian hukum bagi dirinya. 32 Selain itu, kewajiban tersebut berguna juga untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2.3.3 Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat selaku konsumen. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.33 Hal ini dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya terdapat 32 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, Hal. 184. 33 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal.13. 45 kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.34 Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.35 Di Indonesia, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 8/1999 jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (selanjutnya disingkat PP No. 57/2001), dijelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha 34 35 Sidharta, op.cit, Hal. 12. Sidharta, op.cit, Hal. 11. 46 dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. 36 Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan : a. b. c. d. e. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya; Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.37 Perlindungan hukum diberikan kepada konsumen untuk mempertahankan hakhak konsumen dari gangguan pihak lain. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih rendah sehingga tidak menutup kemungkinan konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.38 2.4 Apoteker 2.4.1 Pengertian Apoteker Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 PP No. 51/2009 juncto Pasal 1 angka 9 Permenkes No. 35/2014 menjelaskan bahwa “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan 36 Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen – Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, Hal. 18. 37 Ibid. 38 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 30. 47 apoteker”. Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam menjalankan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. 39 Selain itu seorang Apoteker juga dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan konsumen/pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat agar mengetahui tujuan akhirnya sudah sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik.40 2.4.2 Hak Dan Kewajiban Apoteker Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu 39 Nur Alam Abdullah, 2010, “Pengetahuan, Sikap Dan Kebutuhan Pengunjung Apotek Terhadap Informasi Obat Di Kota Depok”, Jurnal Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, Hal. 345. 40 Aryo Bogadenta, op.cit, Hal. 70. 48 perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian.41 Adapun hak-hak Apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam pelayanan kefarmasian di Apotek diatur di dalam ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disingkat UU No. 36/2014), yaitu : a. b. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional; memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerimaan Pelayanan Kesehatan atau keluarganya; menerima imbalan jasa; memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama; mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya; menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan. c. d. e. f. g. Selanjutnya mengenai kewajiban dari Apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam pelayanan kefarmasian di Apotek diatur didalam ketentuan Pasal 58 UU No. 36/2014, yaitu : a. b. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan; menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai. c. d. e. 41 Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen Dan Tindak Korporasi, Ghalia, Jakarta, Hal. 37. 49 2.4.3 Tanggung Jawab Apoteker Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 42 Menurut hukum, tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.43 Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP No. 51/2009 dijelaskan mengenai tanggung jawab Apoteker, yaitu : a. b. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian; mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundang-undangan; dan memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. c. Selain itu, pada ketentuan Pasal 60 UU No. 36/2014 juga menjelaskan bahwa tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk : a. b. c. d. e. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki; meningkatkan Kompetensi; bersikap dan berprilaku sesuai dengan etika profesi; mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya kesehatan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, Apoteker dalam hal ini harus selalu memperhatikan kepentingan pasien demi menjaga dan melindungi hak-hak pasien. Begitu juga Apoteker harus mempertahankan dan meningkatkan mutu mengenai pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi 42 43 Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 26. Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 56. 50 serta memberikan kepastian hukum terhadap pasien dan masyarakat serta terhadap tenaga kefarmasian itu sendiri. 51