26 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK, PERJANJIAN

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK, PERJANJIAN KERJASAMA,
APOTEKER, DAN KONSUMEN
2.1
Apotek
2.1.1 Pengertian Dan Perizinan Apotek
Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 PP No. 51/2009 disebutkan bahwa
Pelayanan kefarmasian adalah “suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”. Fasilitas pelayanan
kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, antara lain adalah Apotek. Apotek adalah suatu tempat tertentu untuk
melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. 1 Kata
Apotek itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Apotheca, yang secara harfiah
berarti “penyimpanan”.
Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 13 PP No. 51/2009 juncto Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek (selanjutnya disingkat Permenkes No. 35/2014) dijelaskan bahwa “Apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker”. Dari penjelasan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas maka dapat dikatakan
bahwa Apotek merupakan tempat tertentu dalam melakukan pekerjaan kefarmasian
yang meliputi penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat.
1
H. Syamsuni, 2006, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Cet. 1, Kedokteran EGC,
Jakarta, Hal. 7.
26
Dari sisi ekonomi, Apotek merupakan lahan bisnis yang menggiurkan mengingat
faktor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat penting, hal
tersebut dibuktikan dengan adanya permintaan terhadap obat yang setiap tahunnya
mengalami peningkatan seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.2
Dalam memulai suatu kegiatan usaha khususnya Apotek yang bergerak dalam
bidang pelayanan kesehatan diperlukan berbagai macam persiapan. Berbagai macam
faktor perlu dipertimbangkan salah satunya adalah mengenai izin pendirian usaha.
Perizinan merupakan pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan
tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin adalah salah satu
instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untuk
mengemudikan tingkah laku para warga.3
Menurut Pasal 4 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
(selanjutnya disingkat Kepmenkes No. 1332/MENKES/SK/X/2002), dijelaskan bahwa :
(1) Izin Apotek diberikan Oleh Menteri;
(2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin Apotek kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota;
(3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan
pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin Apotek
sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.
Adapun persyaratan administratif dalam mengajukan permohonan izin Apotek,
yaitu sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
2
Salinan/foto copy Surat Izin Kerja Apoteker;
Salinan/foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
Salinan/foto copy denah bangunan;
Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akta hak milik/sewa/
kontrak;
Aryo Bogadenta, 2012, Manajemen Pengelolaan Apotek, Cet. 2, D-medika, Yogyakarta, Hal.
16.
3
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, Hal. 2.
27
e.
Daftar Asisten Apoteker dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus
dan nomor surat izin kerja;
f. Asli dan salinan/foto copy daftar terperinci alat perlengkapan Apotek;
g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek bahwa tidak bekerja tetap
pada Perusahaan Farmasi lain dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek
di Apotek lain;
h. Asli dan salinan/foto copy surat izin atasan (bagi pemohon pegawai negeri,
anggota ABRI, dan pegawai instansi Pemerintah lainnya);
i. Akta perjanjian kerjasama Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik
Sarana Apotek;
j. Surat pernyataan pemilik sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang obat;
k. Izin HO (Hinder Ordonatie);
l. SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan);
m. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).4
Selain persyaratan-persyaratan diatas terdapat pula beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pendirian Apotek, yaitu sebagai berikut :
a.
b.
c.
Lokasi dan Tempat
Jarak antara Apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap
mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan,
jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi
Apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat
dengan kendaraan;
Bangunan dan Kelengkapan
Bangunan Apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan yang
cukup, serta memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi Apotek serta memelihara mutu
perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan Apotek sekurangkurangnya terdiri dari : ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang kerja
Apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan penyerahan obat,
tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet. Bangunan Apotek juga
harus dilengkapi dengan : sumber air yang memenuhi syarat kesehatan,
penerangan yang baik, alat pemadam kebakaran yang berfungsi baik,
ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, papan
nama yang memuat nama Apotek, nama APA, nomor SIA, alamat Apotek,
nomor telepon Apotek;
Perlengkapan Apotek
Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain : alat pembuangan,
pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortar, gelas ukur, dll.
Perlengkapan dan alat penyimpanan, perbekalan farmasi seperti lemari obat
dan lemari pendingin. Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastic
pengemas. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan
beracun. Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta
Farmasi Indonesia, 2016, “Tata Cara Pendirian Apotek”, URL :http://pharmasindo.com.
diakses tanggal 1 September 2016.
4
28
kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Apotek.
Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan
resep dan lain-lain.5
2.1.2 Tugas Dan Fungsi Apotek
Tugas dan fungsi secara umum merupakan hal-hal yang harus bahkan wajib
dikerjakan oleh seorang pegawai atau pekerja dalam suatu instansi secara rutin sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan program kerja yang telah
dibuat berdasarkan tujuan, visi dan misi suatu organisasi. Tugas pokok sebagai satu
kesatuan pekerjaan atau kegiatan yang paling utama dan rutin dilakukan oleh para
pegawai dalam sebuah organisasi yang memberikan gambaran tentang ruang lingkup
atau kompleksitas jabatan atau organisasi demi mencapai tujuan tertentu.6 Sedangkan
fungsi berkaitan erat dengan wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik, atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan
hubungan-hubungan hukum.7
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, tugas serta fungsi Apotek menurut
ketentuan Pasal 4 PP No. 51/2009 yaitu :
a.
b.
c.
memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundang-undangan; dan
memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian.
Selanjutnya menurut Pasal 2 Permenkes No. 35/2014 menjelaskan bahwa,
pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk :
5
Anton Yudi Setianto et. al., 2008, Panduan Lengkap Mengurus Perijinan Dan Dokumen
Pribadi, Keluarga Dan Bisnis, Cet. 2, Forum Sahabat, Jakarta, Hal. 169-170.
6
Muammar Himawan, 2004, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, Hal. 38.
7
Prajudi Admosudirjo, 2001, Teori Kewenangan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 4.
29
a.
meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b.
menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c.
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek
perlu terus melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi
dan mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek
pelayanan obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
2.1.3 Pemilik Sarana Apotek
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker. Dalam melaksanakan praktik pelayanan kefarmasian di
Apotek, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri maupun bekerjasama
dengan Pemilik Modal Apotek sebagai penyedia sarana dan prasarana maupun
perlengkapan guna menunjang kegiatan kefarmasian di Apotek. Hal tersebut dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 25 ayat 1 PP No. 51/2009 yang menjelaskan bahwa
“Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik
modal baik perorangan maupun perusahaan”.
Dalam kerjasama tersebut, Pemilik Modal Apotek/Pemilik Apotek menyediakan
sarana kefarmasian yang terdiri dari dana, perlengkapan Apotek, perbekalan kesehatan
di bidang farmasi, bangunan yang menjadi milik dan atau berada dalam penguasaan dari
30
Pemilik Apotek (Pemilik Sarana Apotek). 8 Sebagai penyedia perlengkapan maupun
sarana prasarana di Apotek, Pemilik Apotek disini dapat disebut juga sebagai pelaku
usaha dimana hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 8/1999 yang
menjelaskan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
2.2
Perjanjian Kerjasama
2.2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau
contract (Inggris). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masingmasing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.9 Perjanjian
juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban
untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.10
Selain pengertian-pengertian tersebut diatas, terdapat beberapa ahli hukum yang
mengemukakan pendapat mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu :
8
Rini Pamungkasih, 2009, 101 Draf Surat Perjanjian (Kontrak), Cet. 1, Gradien Mediatama,
Yogyakarta, Hal. 315.
9
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesi, Ed. 3, Balai Pustaka,
Jakarta, Hal. 458.
10
Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, Hal. 9.
31
1.
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau Verbintenis mengandung
pengertian yang berbeda, yaitu sebagai “suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pihak lain untuk menunaikan prestasi.11
2.
Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.12
3.
Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut maka dapat diartikan bahwa
perjanjian adalah sebagai perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu
hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam
lapangan kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi.
Apabila dilihat dari sisi perundang-udangan penjelasan mengenai perjanjian
dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dimana perjanjian diartikan
sebagai “suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih”. Dengan demikian perjanjian dapat mengikat para pihak secara
hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam
perjanjian tersebut.
11
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, Hal. 18.
Abdulkadir Muhammad, op. cit, Hal. 198.
13
Subekti, R, 2005, Hukum Perjanjian, PT. Citra Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Subekti I), Hal. 1.
12
32
Suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum apabila perjanjian tersebut dibuat
sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Dalam KUHPerdata Pasal 1338
menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi 4 (empat) syarat yang
tercantum dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
1.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu pokok persoalan tertentu;
4.
suatu sebab yang tidak dilarang.
Dengan dipenuhinya kata sepakat dan diikuti dengan 3 (tiga) syarat sahnya
perjanjian lainnya, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi
para pihak yang membuatnya. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama
(kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak atau perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan
unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak atau perjanjian tersebut adalah
batal demi hukum.
Selain syarat-syarat tersebut diatas terdapat pula 3 (tiga) unsur penting didalam
suatu perjanjian, yaitu :
1.
2.
Unsur Esensialia
Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur
pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap
tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. unsur esensialia dari
suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu
tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat
diterima.
Unsur Naturalia
33
Unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan berlaku untuk setiap
perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.
3. Unsur Aksidentalia
Suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang nanti ada atau
tidak ada peristiwa mana menjadi unsur aksidentalia mengikat para pihak.14
Berdasarkan dari pemaparan tersebut diatas, maka hampir seperti perjanjian
biasanya, perjanjian kerjasama secara umum diatur dan dasarnya adalah Buku III
KUHPerdata tentang Perikatan. Pengertian perjanjian kerjasama tidak dijelaskan dalam
Buku III KUHPerdata, akan tetapi secara umum perjanjian kerjasama dapat diartikan
sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus, yang mana dalam perjanjian tersebut
kedua pihak atau lebih memiliki tujuan yang sama dan tujuan itu sifatnya tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh UndangUndang.
2.2.2 Asas-Asas Dalam Perjanjian Kerjasama
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas yang merupakan dasar dalam
pelaksanaan perjanjian. Adanya asas-asas dalam perjanjian bertujuan untuk menjamin
kepastian hukum dan membatasi dominasi salah satu pihak dalam perjanjian.
KUHPerdata memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan
serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan
dibuat, sehingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak yang
dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. Berikut asas-asas umum dalam
hukum perjanjian yang diatur didalam KUHPerdata :
14
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, Hal. 35-36.
34
1.
Asas Personalitas
Asas kepribadian atau personalitas adalah asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Didalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata yang dijelaskan
bahwa “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan tersebut pada dasarnya
suatu perjanjian yang dibuat oleh subyek hukum pribadi hanya berlaku dan
mengikat untuk dirinya sendiri.15
2.
Asas Konsensualitas
Asas konsensual ini mengadung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat
tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai pokok
perjanjian. Ketentuan tentang asas konsensualitas dapat ditemui juga dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang salah satunya
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.16
Asas konsensualitas dibatasi oleh ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa “tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Maksud dari ketentuan tersebut adalah adanya kata sepakat berarti telah terjadi
konsensus secara tulus tanpa adanya kekhilafan, paksaaan ataupun penipuan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1449 KUHPerdata, apabila suatu perjanjian
dibuat didasarkan atas kekhilafan, paksaan ataupun penipuan, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan (pembatalan).
15
Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja
Grafindo Perdasa, Jakarta, Hal.14.
16
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, Hal. 48.
35
3.
Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom Of Contract)
Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan
d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.17
Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan
perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakan atau
perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi
yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang.
4.
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servada)
Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas
ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servada dapat
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.18
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja
itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar
pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
17
18
Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit. Hal. 2.
Salim HS, Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit. Hal. 14.
36
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya.
5.
Asas Itikad Baik
Asas ini termuat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan
bahwa : “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) tidak harus
diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas
pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan
proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak
pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual. Dengan
demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata mempunyai sifat
dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.19
Asas-asas hukum perjanjian sebagaimana diuraikan diatas juga berkaitan dengan
berbagai segi hukum yang ada. Fungsi asas-asas hukum ialah untuk sejauh mungkin
menjadi dan mewujudnyatakan standar nilai atau tolak ukur yang tersembunyi didalam
atau melandasai norma-norma, baik yang tercakup didalam hukum positif maupun
praktik hukum. Asas hukum bisa saja menjadi dasar dari beberapa ketentuan hukum,
sekumpulan peraturan bahkan melandasi stelsel atau sistem hukum. Dengan hukum
positif, asas-asas hukum hukum memiliki perkaitan dalam artian bahwa aturan-aturan
hukum harus dimengerti beranjak dari latar berlakang asas-asas hukum yang selaras
dengan atau terkait pada hukum positif.
19
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjan Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Agus Yudha Hernoko II), Hal. 139.
37
2.2.3 Jenis-Jenis Perjanjian Kerjasama
Para ahli di bidang perjanjian tidak memiliki kesatuan pandang tentang
pembagian jenis perjanjian. Beberapa ahli hukum mengkajinya perjanjian dari sumber
hukum, nama, bentuk, aspek kewajiban, maupun aspek larangannya. Adapun jenis
perjanjian yang didasarkan pada hal tersebut diatas yaitu :
1.
Perjanjian Menurut Sumbernya
Sudikno Mertokusumo menggolongkan kontrak dari sumber hukumnya
menjadi lima macam yaitu :
a.
Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga seperti halnya
perkawinan;
b.
Perjanjian yang bersumber dari kebendaan yaitu yang berhubungan
dengan peralihan hukum benda misalnya peralihan hak milik;
2.
c.
Perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d.
Perjanjian yang bersumber dari hukum acara;
e.
Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.20
Perjanjian Menurut Namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum dalam
Pasal 1319 KUHPerdata dimana hanya disebutkan dua macam perjanjian
yaitu perjanjian nominaat (bernama) perjanjian yang dikenal dalam
KUHPerdata dimana yang termasuk didalamnya adalah jual beli, tukarmenukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang,
pinjam pakai, pinjam-meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perdamaian dan lain-lain. Selain itu terdapat perjanjian innominaat (tidak
20
Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Program Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hal. 11.
38
bernama) yaitu perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUHPerdata seperti
leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya,
keagenan dan lain-lain. Namun disamping itu menurut Vollmar, terdapat
perjanjian jenis ketiga diantara perjanjian bernama dan perjanjian tidak
bernama yaitu perjanjian campuran. 21 Perjanjian campuran adalah suatu
perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya.
3.
Perjanjian Menurut Hak dan Kewajiban Para Pihak
Disebut dengan perjanjian timbal balik dimana merupakan perjanjianperjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok pada
kedua belah pihak seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian
timbal balik ini dibagi menjadi dua macam yaitu timbal balik tidak
sempurna dan Perjanjian sepihak.
a.
Perjanjian timbal balik tidak sempurna
Perjanjian ini senantiasa menimbulkan suatu kewajiban-kewajiban
pokok satu pihak sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu.
Disini tampak adanya prestasi-prestasi yang satu sama lainnya saling
seimbang.
b.
Perjanjian sepihak
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang selalu timbul kewajibankewajiban hanya bagi satu pihak saja.22
21
22
Vollmar, 1984, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, Rajawali Pers, Jakarta, Hal.144-146.
Ibid.
39
4.
Perjanjian Menurut Larangannya
Penggolongan semacam ini merupakan penggolongan perjanjian dimana
para pihak tidak diperkenankan untuk membuat perjanjian
yang
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal
ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat. Perjanjian yang dilarang ini menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat UU No. 5/1999) dibagi menjadi
13 (tiga belas) jenis yaitu perjanjian monopoli, perjanjian penetapan harga,
perjanjian dengan harga yang berbeda, perjanjian dengan harga dibawah
harga pasar, perjanjian yang memuat persyaratan, perjanjian pembagian
wilayah, perjanjian pemboikotan, perjanjian kartel, perjanjian trust,
perjanjian oligopsoni, perjanjian integrasi vertikal, perjanjian tertutup,
perjanjian dengan pihak luar negeri.
Apabila dilihat dari aspek perjanjian kerjasama, maka pada prinsipnya terdapat 3
(tiga) pola perjanjian kerjasama, yaitu :
a.
b.
c.
Joint Venture, adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan
pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masing-masing
menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha
bersama;
Joint Oprational, adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha
yang dilakukan merupakan bidang usaha yang merupakan hak/kewenangan
salah satu pihak, bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah
beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk
melanjutkan/mengembangkan
usaha
yang
semula
merupakan
hak/wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai
pelaksana kegiatan usaha.
Single Operational, merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang
usahanya berupa bangunan komersial. Salah satu pihak dalam kerjasama ini
adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain investor,
diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial diatas tanah milik
40
yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan
bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian
fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu
operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan
komersial diatasnya kepada pihak pemilik yang menguasai tanah.23
2.3
Konsumen
2.3.1 Pengertian Konsumen/Pasien
Konsumen merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam kehidupan seharihari. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu
tergantung dalam posisi mana ia berada. 24 Secara harfiah arti kata consumer adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen.25
Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis,
maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. dalam naskah-naskah akademik
dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup
banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam
lingkup perlindungan konsumen. 26 Dari naskah-naskah akademik itu yang patut
mendapat perhatian, antara lain :
a.
Badan Pembinaan Hukum Nasional-Depertemen Kehakiman (BPHN),
menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir barang,
23
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern,
Reika Aditama, Bandung, Hal. 42.
24
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 22.
25
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
Hal. 3.
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 23.
41
b.
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk
diperjualbelikan.
Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia :
Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (FH-UI) bekerjasama dengan Departemen
Perdagangan RI, berbunyi :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang
untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.27
c.
Apabila berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan
medis, maka disini terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan)
dengan pasien sebagai konsumen jasa yang meliputi hubungan medik, hubungan hukum,
hubungan non hukum, hubungan ekonomi dan hubungan sosial. Dari hubunganhubungan tersebutlah mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dalam mengartikan
pasien dan konsumen, namun sebagian orang berpendapat bahwa pasien dapat
digolongkan sebagai konsumen.
Bila dilihat dari sisi perundang-undangan, didalam ketentuan Pasal 1 angka 2
UU No. 8/1999 dijelaskan bahwa “konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Sedangkan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis (selanjutnya disingkat Permenkes
No. 269/MENKES/PER/III/2008) pada ketentuan Pasal 1 angka 5 dijelaskan bahwa
“pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi”.
27
Az. Nasution, op.cit, Hal. 9-10.
42
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien sebagai konsumen
adalah individu (orang) yang menggunakan jasa dalam hal ini layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan dalam
kaitannya dengan kesehatan. Dengan demikian, pasien dikategorikan sebagai konsumen
atau pengguna jasa medis. Orang yang menggunakan jasa tersebut adalah orang yang
menginginkan akan adanya pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. 28 Hal
tersebut dikarenakan ada hubungan timbal balik antara pasien dan konsumen yaitu
pelaku usaha memberikan jasa dan konsumen memperoleh jasa dan membayar imbalan
atas jasa tersebut.
2.3.2 Hak Dan Kewajiban Konsumen
Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut sebagai subyek
hukum.29 Hak merupakan sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya
tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus
dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana
atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum agar
masing-masing subyek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan
mendapatkan haknya secara wajar. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu
bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. dengan
kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
28
Sidharta, op.cit, Hal. 1.
Ida Ayu Sri Kusuma Wardhani, 2014, “Implementasi Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent) Dalam Perjanjian Terapeutik Oleh Tenaga Kesehatan Terhadap Pasien Rumah Sakit
Di provinsi Bali”, Jurnal Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Hal. 9.
29
43
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sedangkan kewajiban adalah pembatasan
dan beban.30
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :
1.
hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2.
hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3.
hak untuk memilih (the right to choose)
4.
hak untuk didengar (the right to be heard).31
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization
of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan
pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain keempat Hak diatas, hak-hak konsumen juga diatur dalam Pasal 4 UU
No. 8/1999 yaitu sebagai berikut :
a.
b.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannyaa atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
c.
d.
e.
f.
g.
h.
30
31
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, Hal. 39.
Sidharta, op.cit, Hal. 16-27.
44
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Setelah berbicara mengenai hak tentunya harus berbicara mengenai kewajiban,
ketentuan mengenai kewajiban konsumen dapat dilihat dalam Pasal 5 UU No. 8/1999,
yaitu :
a.
b.
c.
d.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa;
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Penjabaran Pasal tersebut di atas, dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat
memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau jasa kepastian hukum bagi
dirinya.
32
Selain itu, kewajiban tersebut berguna juga untuk mengimbangi hak
konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
2.3.3 Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena
menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat selaku konsumen. Salah
satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan dan
pengayoman kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik
batasnya.33 Hal ini dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih
luas karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya terdapat
32
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Yogyakarta, Hal. 184.
33
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal.13.
45
kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah
aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen
terhadap gangguan pihak lain.34
Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian
dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan
hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai
pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan
hidup.35
Di Indonesia, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar hukum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan
terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UU No. 8/1999 jo Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57
Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (selanjutnya disingkat
PP No. 57/2001), dijelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen berupa
perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang
khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang
selalu merugikan hak-hak konsumen. Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan
dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan
martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha
34
35
Sidharta, op.cit, Hal. 12.
Sidharta, op.cit, Hal. 11.
46
dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. 36
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :
a.
b.
c.
d.
e.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan
informasi, serta menjamin kepastian hukum;
Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha pada umumnya;
Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang
menipu dan menyesatkan;
Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang
lainnya.37
Perlindungan hukum diberikan kepada konsumen untuk mempertahankan hakhak konsumen dari gangguan pihak lain. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas
bahwa tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya masih rendah sehingga tidak
menutup kemungkinan konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha
untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Dengan kata lain, perlindungan
konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap
hak-hak konsumen.38
2.4
Apoteker
2.4.1 Pengertian Apoteker
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 PP No. 51/2009 juncto
Pasal 1 angka 9 Permenkes No. 35/2014 menjelaskan bahwa “Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
36
Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen – Kajian Teoretis dan
Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, Hal. 18.
37
Ibid.
38
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 30.
47
apoteker”. Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi
multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang
karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan.
Sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku Apotek harus dikelola
oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam menjalankan praktik kefarmasian pada
fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan
kefarmasian.
39
Selain itu seorang Apoteker juga dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung
dengan konsumen/pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian
informasi, monitoring penggunaan obat agar mengetahui tujuan akhirnya sudah sesuai
harapan dan terdokumentasi dengan baik.40
2.4.2 Hak Dan Kewajiban Apoteker
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para
pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi
dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu
39
Nur Alam Abdullah, 2010, “Pengetahuan, Sikap Dan Kebutuhan Pengunjung Apotek
Terhadap Informasi Obat Di Kota Depok”, Jurnal Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia, Depok, Hal. 345.
40
Aryo Bogadenta, op.cit, Hal. 70.
48
perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan
isi dari perjanjian.41
Adapun hak-hak Apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam pelayanan
kefarmasian di Apotek diatur di dalam ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disingkat UU No. 36/2014), yaitu :
a.
b.
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional;
memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerimaan Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya;
menerima imbalan jasa;
memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta
nilai-nilai agama;
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar
Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
c.
d.
e.
f.
g.
Selanjutnya mengenai kewajiban dari Apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam
pelayanan kefarmasian di Apotek diatur didalam ketentuan Pasal 58 UU No. 36/2014,
yaitu :
a.
b.
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
c.
d.
e.
41
Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen Dan Tindak Korporasi, Ghalia, Jakarta, Hal. 37.
49
2.4.3 Tanggung Jawab Apoteker
Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang
untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 42
Menurut hukum,
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.43
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP No. 51/2009 dijelaskan mengenai tanggung
jawab Apoteker, yaitu :
a.
b.
memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi serta
peraturan perundang-undangan; dan
memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga
kefarmasian.
c.
Selain itu, pada ketentuan Pasal 60 UU No. 36/2014 juga menjelaskan bahwa
tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk :
a.
b.
c.
d.
e.
mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
meningkatkan Kompetensi;
bersikap dan berprilaku sesuai dengan etika profesi;
mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau
kelompok; dan
melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, Apoteker dalam hal ini harus
selalu memperhatikan kepentingan pasien demi menjaga dan melindungi hak-hak
pasien. Begitu juga Apoteker harus mempertahankan dan meningkatkan mutu mengenai
pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
42
43
Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 26.
Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 56.
50
serta memberikan kepastian hukum terhadap pasien dan masyarakat serta terhadap
tenaga kefarmasian itu sendiri.
51
Download