TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aves Aves adalah hewan yang tubuhnya tertutup bulu, tidak memiliki gigi, berjalan dengan dua kaki, dan memiliki struktur tulang yang termodifikasi untuk terbang (Stevens, 1996). Welty (1982) menambahkan bahwa Aves memiliki tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan hinggap, jantung memiliki empat ruang, rangka ringan, memiliki kantong udara, berdarah panas, tidak memiliki kandung kemih dan bertelur. Ayam Kampung Indonesia memiliki berbagai jenis ayam lokal, baik yang asli maupun hasil adaptasi yang dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Ayam lokal yang tidak memiliki karakteristik khusus disebut sebagai ayam Kampung. Masyarakat pedesaan umumnya memelihara ayam Kampung untuk mendapatkan daging, telur maupun sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan (Nataamijaya, 2010). Mansjoer (1985) menyatakan bahwa ayam Kampung tidak mempunyai ciriciri tertentu atau dengan kata lain penampilan fenotipenya masih sangat beragam. Keragaman ciri-ciri sifat kualitatif terutama pada corak bulu, warna kulit cakar dan bentuk jengger. Identifikasi jenis kelamin ayam Kampung dapat dilakukan sejak DOC dengan vent method. Metode ini membutuhkan keahlian yang tinggi, sehingga masih sedikit orang yang dapat melakukannya. Piliang (1992) menyatakan bahwa metode ini dilakukan dengan melihat organ kopula rudimenter di dalam kloaka. DOC jantan akan tampak papila yang menonjol, sedangkan pada betina tidak terdapat. Puyuh Puyuh jepang merupakan subspesies yang berasal dari Asia. Jenis ini dimanfaatkan untuk diambil daging dan telurnya (Minvielle, 2004). Puyuh dewasa menunjukkan sexual dimorfism, tetapi pada puyuh anakan (DOQ) sulit untuk ditentukan jenis kelaminnya berdasarkan fenotipe. Puyuh jantan memiliki bulu putih yang berbentuk garis melengkung tebal di bagian kepala sampai ke bagian belakang, bulu leher dan dadanya berwarna cokelat muda (cinamon) tanpa ada bercak kehitaman, bulu punggung berwarna campuran cokelat gelap, abu-abu dengan garis putih, bulu sayap seperti bulu punggung dengan belang kehitaman, panjang sayap kira-kira 89 cm. Puyuh jantan muda mulai bersuara atau berkicau pada umur 5-6 minggu. Selama puncak musim kawin, puyuh jantan akan berkicau setiap malam dengan suara keras. Puyuh betina dewasa memiliki warna tubuh yang mirip dengan puyuh jantan, kecuali warna bulu pada kerongkongan dan dada bagian atas puyuh betina berwarna cokelat muda lebih terang (sawo matang) dengan bercak cokelat tua atau kehitam-hitaman (Kasiyati, 2009). Sebagian puyuh dewasa juga sulit dibedakan jenis kelaminnya karena memiliki pola fenotipe yang sulit didefinisikan (Morinha et al., 2011). Vali dan Doosti (2011) juga mengungkapkan bahwa penentuan jenis kelamin puyuh jepang dewasa dan DOQ sulit dilakukan. Itik Itik merupakan salah satu ternak unggas yang dikenal sebagai penghasil telur dan daging. Itik alabio, itik bali, itik mojosari dan itik pegagan adalah bangsa itik lokal yang dikenal sebagai penghasil telur (Brahmantiyo et al., 2003). Itik mojosari menunjukkan potensi produksi telur yang cukup baik, yang sebanding dengan potensi produksi jenis-jenis itik lokal yang lain, sehingga layak untuk dipakai dalam program persilangan (Prasetyo dan Susanti, 1997). Pola warna bulu itik mojosari sebagian besar didominasi oleh warna lurik-coklat gelap. Variasi warna diantaranya adalah kombinasi warna lurik dengan belang putih pada daerah leher dan bagian dada (Suparyanto, 2003). Karakteristik itik mojosari menurut Prasetyo et al. (1998) memiliki bentuk tubuh seperti botol dan berjalan tegak, warna bulu itik jantan maupun betina tidak berbeda, yaitu berwarna kemerah-merahan dengan variasi coklat, hitam dan putih. Itik jantan dan betina dapat dibedakan dari bulu ekor, yaitu selembar atau dua lembar ekor yang melengkung ke atas pada jantan. Warna paruh dan kaki itik jantan lebih hitam daripada itik betina. Merpati Merpati lokal yang terdapat di Indonesia adalah burung merpati pendatang yang berasal dari burung merpati liar (Columba livia) yang penyebaran aslinya di daerah Eropa (Antawidjaja, 1988). Merpati dapat beradaptasi dengan mudah di darat 4 maupun di udara, lehernya panjang dan fleksibel, kepalanya termasuk besar, karena mempunyai otak yang besar, tubuhnya kompak dan kaku, organ vitalnya terlindungi secara baik terhadap serangan musuhnya (Levi, 1945). Merpati betina biasanya lebih kecil dan tidak terlalu ribut dibandingkan dengan merpati jantan saat kawin. Ukuran tubuh merpati jantan lebih besar dangan tekstur bulu lebih besar dan bulu leher tebal. Merpati jantan pada saat bercumbu membuat gerakan melingkar, memekarkan bulu ekor dan menjatuhkan atau merebahkan sayap (Blakely dan Bade, 1998). Beo Nias Burung beo memiliki kepandaian dalam menirukan suara yang didengarnya, sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Gracula religiosa adalah burung monomorfik, yaitu sulit dibedakan antara jantan dan betina, dan tergolong Appendix II dalam CITES (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Identifikasi jenis kelamin pada beo dapat dilakukan dengan pengamatan tingkah laku. Berdasarkan hasil penelitian Hayati (1999), tingkat keaktifan dan perilaku state (memeriksa sarang, masuk sarang dan membawa bahan sarang) lebih banyak dilakukan oleh individu jantan. Individu betina lebih aktif dalam mendekati pasangannya. Kakatua Kakatua tergolong burung paruh bengkok (Psittacines). Burung-burung tersebut banyak diminati di pasar dalam negeri maupun luar negeri karena berbagai alasan, diantaranya memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, jinak, warna bulu yang cerah, dan mampu meniru berbagai suara (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Identifikasi jenis kelamin burung paruh bengkok di daerah tropis sulit dilakukan karena tidak menunjukkan perbedaan morfologi eksternal (Miyaki et al., 1998). Kakatua Maluku. Kakatua maluku (Cacatua moluccensis) merupakan jenis burung endemik di kepulauan Maluku. C. moluccensis memiliki bulu tubuh dengan warna merah muda dengan panjang tubuh 52 cm (Astuti, 2011). Jenis ini digolongkan Appendix I dalam CITES (Soehartono dan Mardiastuti, 2002) dan tergolong terancam punah (Coates dan Bishop, 2000). 5 Kakatua-kecil Jambul-kuning. Keberadaan kakatua-kecil Jambul-kuning di alam bebas mendekati kepunahan akibat perburuan liar dan deforestasi habitat, serta tergolong Appendix II dalam CITES (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Jenis ini terancam punah akibat penangkapan yang berlebihan untuk perdagangan burung dalam sangkar, dan sekarang langka akibat kegiatan ini (Coates dan Bishop, 2000). A C E B.1 B.2 D F G Gambar 1. Beberapa Jenis Aves (A) Ayam Kampung1, (B.1) Puyuh Jepang Jantan2, (B.2) Puyuh Jepang Betina2, (C) Itik3, (D) Merpati4, (E) Beo Nias5, (F) Kakatua Maluku4, dan (G) Kakatua-kecil Jambul-kuning4 Sumber : 1. Nataamijaya (2010) 2. Kasiyati (2009) 3. www.deptan.go.id 4. Coastes dan Bishop (2000) 5. MacKinnon et al. (2010) 6 Tabel 1. Klasifikasi Taksonomi Beberapa Species dari Kelas Aves No. Ordo Famili Genus Species Nama Lokal Nama Umum Pustaka 1. Galliformes Phasianidae Gallus Gallus gallus domesticus Ayam Kampung Kampung chicken Al-Nasser et al. (2007) 2. Galliformes Phasianidae Coturnix Coturnix coturnix japonica Puyuh jepang Japanese quail Nishibori et al. (2002) 3. Anseriformes Anatidae Anas Anas platyrhynchos Itik Duck Srigandono (1998) 4. Columbiformes Columbidae Columba Columba livia Merpati Pigeon Radioputro (1985) 5. Passeriformes Sturnidae Gracula Gracula religiosa robusta Beo nias Hill myna Monroe dan Sibley (1993) 6. Psittaciformes Psittacidae Cacatua Cacatua moluccensis Kakatua maluku Salmon-crested cockatoo Forshaw (1989) 7. Psittaciformes Psittacidae Cacatua Cacatua sulphurea Kakatua-kecil Jambul-kuning Yellow-crested cockatoo Forshaw (1989) 7 Penentuan Jenis Kelamin pada Aves Determinasi jenis kelamin sangat diperlukan untuk memahami bentuk-bentuk tingkah laku, perubahan ekologi, genetika dan evolusi (Clutton-Brock, 1986). Jenis kelamin dapat diidentifkasi menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya: (a) pengamatan tingkah laku, (b) ada tidaknya brooding patch, (c) perbedaan dalam pola morfometrik, (d) pemeriksaan gonad menggunakan laparoscopy, dan (e) pemeriksaan kromosom jenis kelamin (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Metode pertama dan kedua dapat diterapkan secara umum hanya pada musim kawin, dan analisis morfometrik dapat menimbulkan bias. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pembedaan jenis kelamin berdasarkan pada morfologi sulit dilakukan (Kocijan et al., 2011; Lee et al., 2008). Pemeriksaan gonad menggunakan laparoscopy dan pemeriksaan kromosom jenis kelamin dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada Aves monomorfik (Griffiths, 2000). Namun, pemeriksaan gonad sulit dilakukan di luar musim kawin (ketika gonad mengecil) dan karena ukuran tubuh Aves yang relatif kecil dibandingkan dengan ternak lainnya (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Selain kelima metode tersebut, dapat juga dilakukan autosexing. Metode autosexing dapat dilakukan untuk membedakan jenis kelamin unggas dari pertumbuhan bulu (Mincheva et al., 2012), warna bulu, dan warna kerabang telur (Lalev et al., 2012). Mincheva et al. (2012) menyebutkan bahwa adanya alel pertumbuhan bulu cepat dan lambat pada ayam White Plymouth Rock memungkinkan untuk dilakukan autosexing berdasarkan laju pertumbuhan bulu. Ayam jantan akan memiliki frekuensi alel pertumbuhan bulu lambat yang lebih tinggi daripada ayam betina. Secara umum, determinasi jenis kelamin pada Aves cukup sulit sebelum dewasa. Namun, pada jenis-jenis monomorfik hal ini sulit dilakukan meskipun telah melewati masa pubertas. Beberapa jenis Aves seperti ayam, kalkun, itik, angsa, burung hantu dan burung paruh bengkok sulit untuk diidentifikasi jenis kelaminnya secara morfologis (Griffiths dan Tiwari, 1995; Griffiths et al., 1998). Teknik PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk penentuan jenis kelamin telah diketahui dapat digunakan sebagai penentu jenis kelamin burung monomorfik (Ellegren, 1996). Teknik ini dapat mendeteksi adanya kromosom W dan Z melalui gen yang berada 8 pada kedua kromosom tersebut, yaitu gen Chromodomain Helicase DNA-binding (Ellegren, 2001; Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006; Cerit dan Avanus, 2007). Gen Chromodomain Helicase DNA-binding (CHD) Betina pada Aves membawa masing-masing satu kopi kromosom Z dan W (heterogamet), sedangkan jantan adalah homogamet (membawa sepasang kromosom Z) (Ellegren, 2001). Terdapat dua gen yang diketahui terdapat pada kromosom W, yaitu CHD-W dan ATP synthesis α-sub unit (ATP5AW). Kedua gen tersebut berada pada bagian nonrekombinan kromosom W. Bagian homolog dari kedua gen tersebut (yaitu CHD-Z dan ATP5AZ) terdapat pada kromosom Z (Cerit dan Avanus, 2007). Gen merupakan penanda yang paling akurat untuk identifikasi jenis kelamin karena gen terbuat dari DNA fungsional dan berubah sangat lambat. Gen CHD pada kromosom Z dan W dapat dijadikan penanda yang paling umum digunakan untuk identifikasi jenis kelamin pada Aves (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Perbedaan rekombinasi diantara fragmen Z dan W pada gen ini menunjukkan bahwa keduanya berada di luar pseudoautosomal region. CHD terdiri dari dua intron yang berlokasi diantara fragmen-fragmen yang berubah dengan sangat lambat, dimana intron pada kromosom Z berbeda panjangnya dengan intron pada kromosom W. Pasangan primer digunakan dalam penentuan jenis kelamin yang dirancang untuk membatasi fragmen gen dalam intron. Hal ini menyebabkan dapat dibedakannya produk dari kromosom Z dan W dalam gel. Oleh sebab itu, jantan diidentifikasi dengan satu pita dan betina diidentifikasi dengan dua pita dalam gel (Gambar 2), dengan beberapa pengecualian (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). Gambar 2. Penentuan Jenis Kelamin pada Aves: (1) dan (3) Jantan, (2) dan (4) Betina Sumber : Dawson et al. (2001) 9 Sumber DNA Total Teknik PCR memerlukan suatu DNA cetakan (DNA template) yang akan diperbanyak secara in vitro. DNA terdapat pada semua makhluk hidup mulai dari mikroorganisme sampai organisme tingkat tinggi seperti manusia, hewan dan tanaman. DNA terdapat di dalam sel dan di dalam inti sel. DNA yang terdapat di dalam sel dapat berupa DNA mitokondria, DNA kloroplas (pada tumbuhan) atau DNA penyusun kromosom (pada mikroorganisme), sedangkan DNA yang terdapat di dalam inti sel disebut juga sebagai DNA inti. Keseluruhan DNA yang menyusun masing-masing komponen tersebut disebut sebagai DNA genom (Muladno, 2002). Sel terdapat di semua bagian tubuh makhluk hidup, sehingga DNA dapat diekstrak dari segala macam organ tubuh (Muladno, 2002). Sumber DNA pada Aves secara umum dapat diperoleh dari darah. Darah dalam jumlah sedikit dapat dikumpulkan dengan mengambil darah pada bagian vena lengan atau sayap (tergantung spesies dan umur Aves) (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006). DNA juga dapat diperoleh melalui isolasi dari bulu burung, karena koleksi sampel bulu menimbulkan rasa sakit yang lebih sedikit daripada pengambilan darah. Selain itu, biaya yang dibutuhkan lebih murah dan dapat mengurangi risiko kontaminasi (Cerit dan Avanus, 2007). Ekstraksi DNA dari fosil, spesimen museum, sampel forensik, rambut atau bulu dan feses biasanya lebih sulit dilakukan (Taberlet et al., 1996). Ekstraksi dan purifikasi DNA pada prinsipnya adalah suatu cara atau metode untuk memisahkan DNA total dari komponen sel lainnya (Sulandari dan Zein, 2003). Isolasi DNA dari organisme eukariote (seperti hewan, manusia dan tanaman) biasanya dilakukan melalui proses penghancuran sel, pemusnahan protein dan RNA, dan pemurnian DNA. Secara kimiawi penghancuran sel dilakukan dengan memanfaatkan senyawa kimia seperti lisozim, EDTA (etilendiamin tetraasetat) dan SDS (sodium dodesil sulfat). Protein dan RNA dihilangkan menggunakan phenol, chloroform dan enzim proteinase. Pemberian etanol dan NaCl dilakukan untuk memurnikan DNA (Muladno, 2002). Kualitas dan jumlah DNA yang diperoleh dapat bervariasi tergantung asal jaringan, metode penyimpanan, dan cara ekstraksi. Pengukuran kualitas dan jumlah DNA dapat dilakukan dengan alat spektrofotometer atau dengan melihat intensitas molekul DNA dalam gel. Tingkat kemurnian berkorelasi dengan kualitas DNA. 10 Kemurnian DNA ditentukan dengan menghitung rasio antara nilai A260 dan A280 pada sampel DNA yang diukur menggunakan spektrofotometer (Muladno, 2002). Molekul DNA dikatakan murni apabila rasio kedua nilai tersebut lebih dari 1,8 (Marerro et al., 2009). Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan enzim polimerase dan primer. Primer merupakan oligonukleotida spesifik pada DNA template yang berukuran pendek, yaitu sekitar 18-24 pasang basa. Primer akan menempel pada DNA cetakan di tempat spesifik. Enzim polimerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil PCR dapat langsung divisualisasikan dengan elektroforesis atau dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Williams, 2005). PCR diaplikasikan dalam diagnosis dan dalam deteksi gen tertentu (baik yang menguntungkan maupun yang membahayakan) pada ternak domestik (Nicholas, 2004). Prinsip perbanyakan molekul DNA pada target yang diinginkan melalui teknik PCR terdiri dari denaturasi, annealing, dan ekstensi. Denaturasi awal dilakukan sebelum enzim Taq polymerase ditambahkan. Proses ini berlangsung selama tiga menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA yang ditargetkan ingin dilipatgandakan jumlahnya benar-benar telah terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal. Denaturasi berikutnya membutuhkan waktu 30 detik pada suhu 95 oC. Pada suhu 95 oC molekul DNA mengalami denaturasi sehingga strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Suhu kemudian diturunkan menjadi 50 oC sampai 60 oC. Pada kisaran suhu ini akan terjadi annealing atau penempelan primer. Primer forward dan primer reverse akan berkomplemen dengan posisi komplemen masingmasing. Setelah kedua primer tersebut menempel di posisi masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru dari ujung 3’ masing-masing primer ke ujung 5’. Sintesa molekul DNA baru ini terjadi pada suhu 72 oC. Proses ini disebut dengan ekstensi. Siklus PCR biasanya berlangsung sebanyak 30 - 35 kali (Muladno, 2002). 11