1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat
ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang
cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan
aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan
kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah
satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari.
Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah
yang cukup, harga terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu
sehat, aman, dan halal.
Setiap orang berhak atas makanan dan bahan makanan yang sehat dan
halal. Hal tersebut harus dilindungi oleh pemerintah dan wajib dipenuhi oleh
semua produsen dengan tidak menjual makanan atau minuman yang tidak
layak dikonsumsi. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996,
selanjutnya disebut Undang-Undang Pangan, setiap makanan atau bahan
makanan harus terjamin keamanannya sebelum disantap oleh konsumen. Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Pangan tersebut menyebutkan: “Setiap orang
yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa
pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau
melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”.
1
2
Oleh karena itu, sesungguhnya setiap warga Negara berhak atas
perlindungan hukum yang wajib diberikan oleh Negara. Salah satu
perlindungan yang wajib diberikan oleh Negara adalah perlindungan
konsumen, agar masyarakat tidak mengkonsumsi atau menggunakan produk
barang dan/atau jasa (pangan) yang dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan. Az. Nasution berpendapat bahwa perlindungan konsumen
merupakan masalah manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua
bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan
konsumen adalah merealisasikan hubungan berbagai dimensi yang satu sama
lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen,
pengusaha dan pemerintah (hubungan tripartit).1
Perlindungan konsumen merupakan hal yang masih dianggap baru di
Indonesia. Hal ini telah menjadikan kedudukan konsumen berada pada posisi
yang sangat lemah karena banyak di antara konsumen yang belum mengetahui
tentang hak-hak yang seharusnya didapatkan, akibatnya banyak dari para
konsumen di Indonesia mudah percaya akan informasi yang dikeluarkan oleh
pelaku usaha
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 42 Tahun
1999), selanjutnya disebut UUPK, maka diharapkan dapat mendidik
masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya sebagai konsumen dan mengerti tentang hak dan
1
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1995, hlm. 19.
3
kewajiban serta tanggung jawab pelaku usaha. Selain itu, Undang-Undang ini
juga turut memberikan andil untuk memberikan pengetahuan, kesadaran,
kepedulian, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta
menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Persoalan perlindungan konsumen bukan hanya pada pencarian siapa yang
bersalah dan apa hukumannya, melainkan juga mengenai pendidikan terhadap
konsumen dan penyadaran kepada semua pihak tentang perlunya keselamatan
dan keamanan di dalam berkonsumsi. Dengan demikian, orang akan terhindar
dari kemungkinan kerugian, seperti cacat, terkena penyakit, bahkan meninggal
atau dari kerugian yang menimpa harta bendanya.
Selama ini banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku usaha bertentangan dengan UUPK, namun pihak penegak hukum
masih ragu melakukan tindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan
kegiatannya bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUPK,
sehingga Undang-Undang ini dirasakan tidak efektif dimana masyarakat atau
konsumen seolah-olah tidak terlindungi atas hak-haknya sebagai konsumen
seperti yang telah diamanatkan dalam UUPK tersebut.2
Teknologi pengolahan pangan dewasa ini berkembang cukup pesat,
termasuk di Indonesia. Untuk memperoleh produk pangan olahan yang bercita
rasa lezat, berpenampilan menarik, tahan lama, mudah dalam pengangkutan
dan pendistribusiannya digunakan berbagai bahan pendukung yang lazim
disebut bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan
2
Fachry Agusta, Diskriminasi Implementasi Perlindungan Konsumen Produk Makanan
dan Minuman terdapat dalam http \\www.ylk batam.com, 5 Juni 2008.
4
atau “campuran bahan” yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan
baku pangan, tetapi lebih kepada sesuatu yang ditambahkan ke dalam pangan
untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna,
pengawet, pemanis buatan, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan
pengental. 3 Penggunaan BTP di dalam produksi pangan antara lain ditujukan
untuk: (1) mengawetkan makanan; (2) membentuk makanan menjadi lebih
baik, renyah dan lebih enak di mulut; (3) memberikan warna dan aroma yang
lebih menarik, sehingga menambah selera; (4) meningkatkan kualitas pangan;
dan (5) menghemat biaya.
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produksi pangan yang tidak
mempunyai risiko terhadap kesehatan manusia diijinkan untuk digunakan dan
mutunya harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Di samping tentunya
memperhatikan penggunaan bahan tambahan pangan itu secukupnya sesuai
dengan cara produksi yang baik atau sesuai dengan maksud penggunaannya,
penggunaan bahan tambahan pangan dilakukan hanya bila benar-benar
diperlukan pada pengelolaan makanan yang bersangkutan. Misalnya, untuk
memperoleh bentuk, konsistensi, rasa, rupa yang menarik dan tidak bertujuan
menutupi mutu yang rendah, menyembunyikan cara pengelolaan dan bahan
baku yang salah atau untuk mengelabui konsumen.
Bahan tambahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan
dinyatakan sebagai bahan berbahaya bila digunakan dalam pangan. Tetapi
pada kenyataannya, masih banyak produsen pangan (khususnya industri
3
Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
5
rumah tangga) menggunakan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan
tambahan pangan, salah satunya penggunaan zat pewarna tekstil (Rhodamin
B) pada makanan. Hal ini mengacu pada data Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta berdasarkan uji keamanan pangan tahun 2008, diketahui ada
beberapa makanan yang positif mengandung rhodamin B, yaitu pada camilan
manis laris (SP.709/12.01/02), lanting Ny.Wanti (SP.371/11.11/99), krupuk
slondok, jenang tape, alen-alen warna, kue bengawan solo, bolu emprit,
kolang kaling, arum manis, mi lidi (snack ringan), dan makanan tersebut
banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional, salah satunya yang banyak
terdapat di Pasar Beringharjo Yogyakarta.4
Berkembangnya industri tekstil di Indonesia menyebabkan zat pewarna
tekstil menjadi murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan
produsen makanan. Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang
terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang
dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai
makanan dan sulit untuk menghindari risiko dari produk-produk makanan
yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya, konsumen
dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-produk makanan
tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Hal
ini juga menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan
konsumen
dengan
memanfaatkan
kelemahan
pihak
konsumen
memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
4
Data dari Uji Keamanan Pangan Tahun 2008 Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
demi
6
Apabila makanan positif mengandung zat pewarna dilarang, seperti
rhodamin B tetap beredar di pasaran akan sangat merugikan konsumen, karena
dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang
menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh
manusia. Di sinilah terlihat bahwa hak-hak konsumen, yaitu hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan
jasa, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UUPK (dalam hal ini hak
konsumen untuk mendapatkan pangan yang aman bagi kesehatan, keamanan
dan keselamatannya), tidak dipenuhi oleh pelaku usaha (produsen pangan),
dengan kata lain produsen pangan telah melanggar hak orang lain. Di samping
itu, produsen telah bertindak yang bertentangan dengan hukum, yaitu tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan perihal memproduksi dan mengedarkan pangan yang
baik bagi kesehatan. Kewajiban produsen, antara lain adalah kewajiban
berhati-hati (duty of care) dalam berproduksi dan mengedarkan makanan.
Pada kasus-kasus yang merugikan konsumen, ketidakpahaman konsumen
dalam menempuh upaya hukum menambah semakin lemahnya posisi
konsumen dalam mempertahankan hak-haknya. Konsumen cenderung pasif
dalam melakukan upaya hukum, bahkan cenderung tidak mengerti bagaimana
mereka melakukan upaya hukum untuk mendapatkan hak-haknya.
Melihat betapa pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
berbagai
permasalahan
yang
terjadi
dan
bagaimanakah
mencari
penyelesaiannya, maka penulis berminat untuk meneliti dan menuangkannya
7
dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul “Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Yang
Berbahaya (Studi Kasus Zat Pewarna di Pasar Beringharjo)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penggunaan
zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan yang
berbahaya di Pasar Beringharjo?
2. Bagaimanakah upaya hukum dari konsumen yang dirugikan akibat
penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan
yang berbahaya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan
yang berbahaya di Pasar Beringharjo.
2. Untuk mengetahui upaya hukum dari konsumen yang dirugikan akibat
penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan
yang berbahaya.
8
D. Tinjauan Pustaka
Hukum senantiasa berkembang dinamis, hukum yang baik adalah hukum
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) di masyarakat atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dan bertujuan untuk
menjadi dasar memelihara ketertiban, keadilan, dan kesejahteran dalam
masyarakat. Hukum juga berfungsi mengabdi kepada masyarakat, dalam hal
ini mengatur tata tertib, menjaga agar perilaku masyarakat sesuai dengan
peraturan hukum, sehingga kepentingan-kepentingannya dilindungi hukum.
Jika perkembangan kepentingan masyarakat bertambah, maka harus diikuti
pula dengan perkembangan hukum, sehingga kebutuhan akan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara sejalan dengan perkembangan
pembangunan.5
Terlebih lagi dalam era globalisasi, maka hukum harus dapat mendukung
tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam
barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa
mengakibatkan kerugian pada konsumen. Kerugian-kerugian yang diderita
konsumen merupakan akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha
terhadap konsumen.
5
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk.
Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 31.
9
Menghindari agar konsumen tidak tertipu dan menyebabkan kerugian pada
konsumen akibat tindakan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha
(produsen), maka diperlukan suatu perlindungan hukum. Oleh karena itu,
dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang ada, permasalahan
yang berkaitan dengan konsumen dan pelaku usaha telah diatur dalam UUPK.
Peraturan
perundang-undangan
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen. UUPK memberikan pengertian
perlindungan konsumen pada Pasal 1 angka 1 yaitu: “Segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”.
Pentingnya hukum perlindungan konsumen juga disadari, karena setiap
konsumen selalu memerlukan produk barang dan/atau jasa (pangan) yang
aman bagi keselamatan dan kesehatan serta jiwa manusia. Untuk menjamin
hal-hal tersebut, maka diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang
menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia
yang
harus
dilengkapi
dengan
informasi
yang
benar,
jujur
dan
bertanggungjawab. 6
Perlindungan hukum bagi konsumen berdimensi banyak, salah satunya
adalah perlindungan hukum bila dikaitkan dengan keseluruhan individu dalam
masyarakat yang secara sendiri sebagai konsumen. Dengan demikian,
merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dihindarkan bagi Negara untuk
6
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Ctk. Pertama, Diadit
Media, Jakarta, 2001, hlm. 16.
10
selalu berupaya memberikan perlindungan kepada konsumen.7
Hukum perlindungan konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen
yang sangat lemah, kelemahan konsumen itu adalah lemah dari segi
pendidikan, kemampuan ekonomis atau daya tawar (bargaining position), dan
juga dari segi organisasi.8 Konsumen sering berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan dalam hubungannya dengan para penyedia barang atau jasa
konsumen akibat kelemahan konsumen tersebut. Dilihat dari aspek hukum,
lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya dari aspek materi (substansi)
hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.9
Miskinnya
hukum
Indonesia
kepentingan konsumen
berkenaan
dengan
perlindungan
pada
ini, tidak jarang konsumen yang dirugikan tanpa
kesalahan pada pihaknya dalam berhubungan dengan penyedia barang atau
jasa, hampir dapat dikatakan “tidak mampu” menuntut ganti rugi dan atau
menegakkan hak-haknya.
Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah:
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya;
2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat
belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan
kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang sewajarnya;
7
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniati, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 68.
8
Az. Nasution, Konsumen … Op.Cit., hlm. 83.
9
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Ctk. Kedua, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hlm. 85.
11
3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang
mempunyai kemauan menuntut hak-haknya;
4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan;
5. Posisi konsumen yang lemah.10
Pengaturan terhadap perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen
melalui
pembinaan
dan
pendidikan
konsumen.
Upaya
pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran dari
pelaku usaha yang pada dasarnya mereka berprinsip untuk mendapatkan
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal yang seminim mungkin.
Prinsip ini sangat potensial untuk merugikan kepentingan konsumen baik
secara langsung maupun tidak langsung. Adapun pengaturan perlindungan
konsumen dilakukan dengan:
1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha pada umumnya;
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang
menipu dan menyesatkan; dan
10
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Laporan Akhir Penelitian Perlindungan
Konsumen Atas Kelalaian Produsen, sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan dalam: Hukum
Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, hlm. 15.
12
5. Memadukan penyelengaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain. 11
Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia
tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan haknya, tetapi juga
adanya persepsi yang salah di kalangan sebagian besar produsen bahwa
perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap
produsen. Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah
diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini:
1. Bahwa
konsumen
dan
produsen
adalah
pasangan
yang
saling
membutuhkan, usaha produsen tidak akan dapat berkembang dengan baik
bila konsumen berada pada posisi yang tidak sehat akibat banyaknya
produk yang cacat;
2. Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan
kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja,
tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggungjawab;
3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi
produsen yang bertanggungjawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan
merugikan
kepentingan
konsumen,
tetapi
dapat
dicapai
melalui
penindakan terhadap produsen yang melakukuan kecurangan dalam
melakukan kegiatan usahanya;
4. Bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian
produk cacat telah diperhitungkan sebagai kompensasi produksi, tetapi
11
Sofyan Lubis, Quo Vadis Perlindungan
http:\\www.articlewisdom.com, 06 Juli 2008, 17.42.
Konsumen,
terdapat
dalam
13
ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang memakai produk yang
tidak cacat. 12
Bertolak dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak
konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh
sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang
simultan dan komprehensif, sehingga terjadi persaingan yang jujur yang
secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.
Antara konsumen dan pelaku usaha memungkinkan terjadinya hubungan
hukum, misalnya saja hubungan hukum dalam perjanjian jual-beli. Hubungan
hukum antara pelaku usaha dan konsumen sering terjadi hanya sebatas
kesepakatan lisan mengenai “harga” dan “barang/jasa” tanpa diikuti atau
ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak yang bersangkutan. Padahal, jika ada salah satu pihak
melakukan wanprestasi ataupun melakukan perbuatan melawan hukum, maka
dengan adanya bentuk perjanjian tertulis tersebut dapat digunakan sebagai alat
bukti yang kuat (bukti otentik) untuk melakukan penuntutan ganti rugi, yang
semuanya itu merupakan tujuan untuk melindungi para pihak
Ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata,
suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis, kecuali
untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya
formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Di dalam ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata secara tegas dikatakan bahwa perjanjian adalah sah jika :
12
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Sinar
Garafika, Jakarta, 2008, hlm. 12.
14
1. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari para pihak: tanpa adanya paksaan,
kekhilafan, maupun penipuan;
2. Dibuat oleh mereka yang cakap untuk bertindak dalam hukum;
3. Memiliki objek perjanjian yang jelas;
4. Didasarkan pada suatu klausula yang halal.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditegaskan lagi bahwa setiap
perjanjian yang telah dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang
membuatnya sebagai undang-undang diantara mereka. Persetujuan tersebut
tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam
perjanjian, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki secara bersama oleh
kedua belah pihak atau berdasarkan alasan yang dianggap cukup oleh UndangUndang. Artinya, selama terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai
“harga” yang harus dibayar oleh konsumen dan “barang dan/atau jasa” yang
wajib disediakan oleh pelaku usaha, maka perjanjian telah mengikat, baik
untuk konsumen maupun untuk pelaku usaha, kecuali terdapat suatu paksaan,
kekhilafan maupun penipuan atas diri konsumen.
Ditinjau dari segi hukum perdata hubungan antara konsumen dan pelaku
usaha dalam arti luas yaitu sebagai penghasil maupun penjual barang adalah
merupakan suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tentang perikatan, Pasal
1233 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”, sedangkan Pasal 1234
KUH Perdata menyebutkan “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”, apabila
15
penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melaksanakan prestasinya
maka dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Menurut Subekti, yang
dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang
atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.13
Sehubungan dengan perjanjian jual beli, maka menurut pasal 1457 KUH
perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Di dalam hubungan jual
beli, kepada kedua belah pihak dibebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban,
sebagaiman diatur dalam Pasal 1513 - Pasal 1518 KUH Perdata untuk pembeli
dan Pasal 1474 - Pasal 1512 KUH Perdata untuk penjual.
Kewajiban utama penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474 KUH
Perdata terdiri atas:
1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli. Menyerahkan barang artinya memindahkan penguasaan atas
barang yang dijual dari tangan penjual kepada pembeli. Penyerahan dapat
dilakukan bersamaan dengan pembayaran dari pembeli, atau dalam waktu
yang hampir sama, tetapi selalu terbuka kemungkinan untuk melakukan
penyerahan
pada
waktu
yang berbeda dengan
saat
tercapainya
kesepakatan;
13
122.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata ,Ctk. Pertama, PT Intermasa, Jakarta, 2001, hlm
16
2. Kewajiban penjual untuk memberi pertanggungan atau jaminan.
Menanggung di sini adalah kewajiban penjual untuk memberi jaminan atas
kenikmatan tenteram dan jaminan dari cacat tersembunyi (hidden defects).
Konsumen dapat melakukan upaya perlindungan apabila mengalami
kerugian akibat tidak dipenuhinya apa yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha,
maka konsumen yang menjadi korban dapat melakukan upaya hukum untuk
menuntut hak-haknya. Tuntutan konsumen atas kerugian yang dideritanya
diatur dalam Pasal 7 UUPK mengenai kewajiban pelaku usaha untuk
memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum
perdata dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni: 14
1. Kerugian transaksi, yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang yang
tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi;
2. Kerugian produk, ialah kerugian yang langsung atau tidak langsung
diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko
produksi akibat dari perbuatan melawan hukum
Selanjutnya setiap pengaduan konsumen terhadap kerugian yang
dideritanya dari pelaku usaha/produsen dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara
yang disebutkan pada Pasal 45 ayat (1) UUPK:
14
Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam
Perwujudan Perlindungan Konsumen, Ctk. Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 19.
17
1. Gugatan
kepada
pelaku
usaha
melalui
lembaga
yang
bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar
pengadilan, dalam hal ini melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK);
2. Gugatan kepada pelaku usaha melalui pengadilan umum.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa (Pasal 45 ayat (4) UUPK).
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara
konsiliasi, mediasi atau arbitrase, yang dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak yang bersangkutan. Setiap konsumen yang dirugikan
dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha baik secara individual
maupun secara kelompok. Berdasarkan Pasal 46 UUPK, gugatan konsumen
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama,
oleh seorang konsumen atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok konsumen
yang mempunyai kepentingan yang sama (class action). Ketiga, oleh lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) atau pemerintah
dan/atau instansi terkait (legal standing). Pemerintah dalam kapasitasnya
sebagai penggugat, dalam pasal ini sifatnya sangat limitatif, artinya gugatan
baru bisa diajukan pemerintah bila mengakibatkan kerugian yang besar dan
korban yang tidak sedikit. Adapun penyelesaian melalui pengadilan ditempuh
18
dengan menggunakan
ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana
penyelesaian kasus-kasus perdata pada umumnya.
Memperhatikan berbagai cara yang dapat ditempuh dalam penyelesaian
gugatan konsumen terhadap kerugian produk, maka konsumen dapat memilih
berbagai pilihan hukum dalam membela haknya dengan mempergunakan cara
mana yang akan dipakai. Dengan demikian, maka konsumen yang selama ini
selalu dalam posisi lemah, baik secara ekonomi, maupun pengetahuannya,
akan dapat lebih mantap dalam membela haknya.
E. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Obyek dari penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen
tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan
pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari
konsumen yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang
sebagai bahan tambahan pangan yang berbahaya.
2. Subjek Penelitian
a. Konsumen
b. Pelaku Usaha (Penjual)
c. Kepala Balai Besar POM Yogyakarta
d. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
19
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari
subjek penelitian.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
(library research) yang terdiri atas:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat
yang terdiri dari :
a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
b) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
d) Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 722/Menkes/Per/IX/88
tentang Bahan Tambahan Makanan
e) Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 239/Menkes/Per/V/85
tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan
Berbahaya
f) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-
20
buku literatur, makalah, hasil penelitian terdahulu, artikel dan
karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan cara:
a. Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan
tanya jawab secara langsung dengan subyek penelitian guna
memperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
b. Studi Kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dengan cara menelusuri
dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
5. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dalam
penelitian ini dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundangundangan yang berlaku.
6. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara deskriptif
kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan
dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Data
penelitian
penelitian.
diklasifikasikan
sesuai
dengan
permasalahan
21
b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan.
c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan
dasar dalam mengambil kesimpulan.
F. Sistematika Pembahasan
Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan
sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam 4 (empat) bab dan
masing-masing bab terbagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masingmasing bab dan sub bab tersebut adalah:
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan
bekal awal bagi penulis dalam melakukan penelitian. Selanjutnya pada bab ini
juga diuraikan tentang metode penelitian yang merupakan panduan bagi
penulis dalam melakukan penelitian guna penyusunan skripsi dan sistematika
pembahasan.
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pada bab ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan hukum
perlindungan konsumen. Adapun uraian pada bab ini meliputi pengertian
perlindungan konsumen, asas, tujuan, dan norma perlindungan konsumen,
prinsip-prinsip perlindungan konsumen, landasan hukum perlindungan
konsumen, pengertian konsumen, hak dan kewajiban konsumen, pengertian
22
pelaku usaha (produsen), hak dan kewajiban pelaku usaha (produsen),
tanggung jawab pelaku usaha (produsen), serta penyelesaian sengketa
konsumen.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP
PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN YANG
BERBAHAYA
Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan sekaligus dilakukan
pembahasan terhadap perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya. Adapun uraian dan
pembahasan pada bab ini meliputi perlindungan hukum bagi konsumen
tehadap penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan tambahan
pangan yang berbahaya di Pasar Beringharjo dan upaya hukum dari konsumen
yang dirugikan akibat penggunaan zat pewarna yang dilarang sebagai bahan
tambahan pangan yang berbahaya.
BAB IV
PENUTUP
Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan dalam penelitian ini dan sekaligus disampaikan saran yang
merupakan rekomendasi dan sumbangan pemikiran dari penulis untuk
mengatasi permasalahan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya.
Download