PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI Prolog Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H. PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI Editor: Al-Khanif, S.H., LL.M., Ph.D Mirza Satria Buana, S.H., M.H., Ph.D Manunggal Kusuma Wardaya, S.H., LL.M PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI Dominikus Rato, Dina Tsalist Wildana, Muhammad Bahrul Ulum, dkk. @CHRM2 UNEJ, LKiS, 2017 xviii + 440 halaman: 15,5 x 23 cm 1. Pancasila 2. Globalisasi ISBN: 978-602-6610-23-2 Prolog: Prof. Moh. Mahfud MD Editor: Al Khanif, Mirza Satria Buana, Manunggal Kusuma Wardaya Penyelaras Bahasa: Muhammad Bahrul Ulum Perwajahan Sampul/Buku: Dwi Agusatya Wicaksana Setting/Layout: Tim Redaksi Penerbit & Distribusi: LKiS Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 387194 Faks.: (0274) 379430 http://www.lkis.co.id e-mail: [email protected] Anggota IKAPI Bekerja sama dengan The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember Cetakan I: 2017 Percetakan: LKiS Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta Telp.: (0274) 417762 e-mail: [email protected] PENGANT AR EDITOR PENGANTAR S egala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku ketiga Pancasila yang didukung penuh oleh Universitas Jember dan the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember telah berhasil dirampungkan. Kami dari tim editor, Universitas Jember dan CHRM2 tentu senang dengan diterbitkannya buku ini karena kami telah berhasil melewati banyak permasalahan yang mewarnai perjalanan panjang penulisan buku ini. Beberapa tantangan diantaranya terkait pemilihan tema dan proses seleksi artikel yang akan diterbitkan. Hampir setengah tahun tim editor selalu bekerja dan berkoordinasi untuk bisa menyelesaikan penulisan buku ini tepat waktu. Pada akhirnya kami dari tim editor menyepakati tema untuk buku ketiga Pancasila ini adalah “Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi.” Pemilihan tema besar “globalisasi” yang menjadi kata kunci dalam buku ini, tidak saja dikarenakan sistem politik, hukum dan budaya global yang sudah semakin niscaya dan memengaruhi segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, namun juga dikarenakan globalisasi dalam konteks kekinian dihadapkan pada realita bangkitnya kekuatan ultra-nasionalis (kanan), radikalisme agama dan sentimen populisme di berbagai negara. Munculnya gerakan ultra-nasionalis di Eropa semacam English Defense League (EDL) dan United Kingdom Independence Party (UKIP), Front National Party yang dipimpin Jean-Marin Le Pen di Perancis, dan The Independent Party pimpinan Geert Wilders di Belanda layak untuk direnungkan. Apalagi gerakan ultra-nasionalis di Eropa juga menyebar ke [v] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Hungaria, Yunani, Swedia, Jerman, Austria dan Slovakia dengan satu slogan yakni anti imigran.1 Anti imigran yang menjadi kampanye utama dari gerakan ultranasionalis menunjukan bahwa “benturan peradaban” seperti yang ditulis oleh Samuel Huttington beberapa dekade silam layak untuk direnungkan. Hal ini disebabkan slogan “anti imigran” yang sekarang banyak berkembang di negara-negara maju sebenarnya juga berkaitan dengan penolakan mereka terhadap Islam dan bukan karena semata-mata alasan imigran. Tentu saja gerakan ultra-nasionalis tersebut menjadi anti-tesis globalisasi yang selama ini didengungkan oleh Barat. Hal ini dikarenakan revivalisme ultranasionalis muncul di negara-negara pendukung utama globalisasi dengan tingkat kemampuan ekonomi, pengetahuan demokrasi, pemahaman toleransi, dan pemanfaatan teknologi yang sudah mapan.2 Gerakan ultranasionalisme ini secara evolutif mendapatkan respon yang cukup besar di negara-negara mayoritas kulit putih. Oleh karena itu, terpilihnya Donald Trump di Amerika juga menjadi indikasi bahwa kemunculan ultranasionalisme di berbagai negara tidak lah berdiri sendiri melainkan sebuah fenomena yang saling berkaitan. Beberapa sebabnya antara lain terkait identitas dan ekonomi nasional, kebijakan pasar, nilai-sosial dan demografi penduduk terutama imigran yang ada di negara-negara Barat.3 Di lain pihak, semangat nasionalisme juga terus tumbuh di negaranegara berkembang dengan dinamika dan kompleksitas yang beragam. Konflik antara perdagangan bebas dan proteksi aset negara, sekularisme vs. fundamentalisme agama, universalisme vs. relativisme hak asasi manusia telah menempatkan diskursus nasionalisme negara-negara berkembang dalam kerangka globalisasi yang kompleks.4 Seringkali pertentangan 1 2 3 4 The New York Times, “Europe’s Rising Far Right: A Guide to the Most Prominent Parties”, N Y Times (13 June 2016), online: <https://www.nytimes.com/interactive/2016/world/europe/ europefar-right-political-parties-listy.html>. Muhammad Abdul Bari, “Brexit and the spectre of Europe’s ugly nationalism”, (18 June 2016), online: <http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/06/brexit-spectre-europe-ugly-nationalism-160608110032798.html>. Patali C Ranawaka, “2017 a year of Transition from Globalization to Economic Nationalism”, (1 February 2017), online: <http://www.dailymirror.lk/article/-a-year-of-Transition-fromGlobalization-to-Economic-Nationalism-121493.html?fbrefresh=refresh>. Ibid. [ vi ] Pengantar Editor tersebut menyebabkan pertentangan antara nasionalisme vs. globalisasi di banyak negara berkembang yang mengakibatkan konflik internal negara dan bahkan mengancam keamanan kawasan dan global. Dalam paparan sejarah dunia, boleh dikata tak seorangpun pengamat yang mampu memprediksi secara presisi bahwa ultra-nasionalisme akan mampu menjungkir balikkan etos integrasi bangsa dan globalisasi. Bahkan proposisi Fransis Fukuyama yang dianggap sangat hebat di awal tahun 1990an juga tidak mampu menjelaskan mengapa ultra-nasionalisme justru mendapatkan panggung kembali di era milenium. Padahal globalisasi dalam sejarahnya telah mampu melakukan rekonsiliasi seperti yang terjadi di Jerman maupun juga menipiskan jarak antar negara khususnya pasca selesainya perang dingin. Diawal abad milenia, Hong Kong kembali berintegrasi dengan Tiongkok daratan. Dunia seolah juga semakin rapat dan borderless terutama setelah rejim internasional terus menekan seluruh negara di dunia untuk memasuki era globalisasi dengan membuka diri khususnya terhadap investasi asing. Sejalan dengan ide tersebut, mereka juga memberlakukan stigma “axis of evil” terhadap negara-negara yang anti globalisasi seperti Iran, Korea Utara dan Tiongkok. Model Integrasi semacam ini mengakibatkan globalisasi dianggap sebagai sebuah kredo hubungan internasional. Negara-negara yang tidak inklusif terhadap globalisasi seperti Korea Utara, Iran, Tiongkok dan Kuba dianggap sebagai negara yang tidak demokratis dan tidak terbuka. Ketertutupan mereka dianggap berlawanan dengan nilai-nilai global. Mereka adalah negara-negara menyimpang harus dimusuhi oleh semua negara. Sampai pada akhirnya nilai-nilai dasar globalisasi tersebut justru diruntuhkan oleh para penganjur globalisasi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah keterkejutan publik dengan hasil pilihan mayoritas warga Inggris dalam referendum yang mengeluarkan Inggris dari sistem Uni Eropa di awal tahun 2016 lalu. Tentu saja hasil referendum tersebut menjadi indikasi bahwa warga negara Inggris tidak lagi menganggap Inggris sebagai bagian dari Eropa dan tidak seharusnya menanggung semua persoalan ekonomi yang sekarang menghantam kawasan tersebut. Gejala menguatnya nasionalisme seperti yang terjadi di Eropa maupun di Amerika merupakan gejala global, yang manakala buku ini disusun, [ vii ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi begitu kuat menampak dan menyeruak. Gejala ini seolah muncul tibatiba, namun sebenarnyalah telah lama berkecambah dalam relung masyarakat kelas menengah di negara-negara Barat. Austria dalam pemilu eksekutif tahun lalu juga nyaris dikuasai partai populis-nasionalis. Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 bahkan memberi kejutan dengan terpilihnya sosok Donald Trump yang dikenal anti-keberagaman, anti-imigran dan anti-globalisasi. Sentimen anti-integrasi dan anti-keberagaman juga terasa kuat di Belanda, walaupun pada pemilu parlemen tahun 2017 narasi populisme tersebut dapat dibendung.5 Tentu juga menarik disimak hasil pemilu Perancis dalam beberapa bulan menjelang pemilu tersebut akan menentukan arus utama paradigma Eropa mendatang. Tantangan nasionalisme sempit juga menjangkiti Indonesia, negara yang disebut-sebut paling demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) se-ASEAN. Gejala nasionalisme sempit yang antikeberagaman berkembang dan mulai mendapatkan tempat di era Reformasi, dimana keran aspirasi publik mengalir kencang dan cenderung tiada batas. Puncak gunung es nya adalah pada perhelatan pemilu presiden 2014 silam, dimana masyarakat Indonesia terbelah dua; kami dan si liyan (others). Kontestasi pemilu berubah menjadi arena zero sum game. Konsep “others” yang mulai menggejala di Indonesia pasca Reformasi sebenarnya merupakan pengulangan sejarah karena sebenarnya benih-benih ultranasionalisme yang membedakan pribumi dan non pribumi telah ada sejak jaman kolonial hingga di awal kemerdekaan. Salah satu indikasinya adalah adanya kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam seperti yang dilakukan oleh Mohammad Natsir.6 Pertentangan dengan si liyan bernuasa politis yang sekarang sedang merebak di Indonesia terejawantahkan dalam beberapa isu-isu sensitif seperti perbedaan keyakinan, rapuhnya kohesi sosial antar umat beragama dan tafsir kebenaran sepihak. Isu-isu tersebut jika diabaikan akan dapat menjadi ancaman potensial bagi keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk 5 6 The New York Times, supra note 1. Septian Prasetyo & others, “PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR TENTANG IDEOLOGISASI ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1949-1959” (2015) 3:2 J Mhs Teknol Pendidik, online: <http://ejournal.unesa.ac.id/article/15336/38/article.pdf>. [ viii ] Pengantar Editor dan toleran. Terutama jika intoleransi semacam ini menjadi salah satu slogan kampanye politik untuk menjaring simpati dari masyarakat. Hal ini disebabkan benih-benih intoleransi dan radikalisme sebenarnya masih ada di Indonesia terutama pasca tumbangnya Rejim Orde Baru. Orde Reformasi hanya berhasil menumbuhkan gerakan masyarakat sipil melainkan juga memberikan peluang kepada kelompok-kelompok radikal untuk berkembang di Indonesia.7 Seringkali keduanya terlibat perdebatan di ruang-ruang publik terkait isu moralitas dan toleransi. Dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer tersebut, peran Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa menjadi sangat relevan untuk membendung paham-paham ekstrim diatas. Namun pertanyaan besar harus mulai diajukan terkait kemampuan Pancasila untuk menjadi penengah dalam kuasa tarik menarik antara globalisasi dengan sentimen ultranasionalis yang sedang menguat di Indonesia saat ini. Mungkinkah Pancasila yang katanya Eka Dharmaputra sebagai periuk kosong8 karena hanya memuat pilar kebangsaan dalam lima sila yang sangat sederhana mampu menjawab persoalan besar tersebut? Pertanyaan ini layak untuk diajukan karena Pancasila telah lama dimanipulasi oleh Orde Lama dan Orde Baru. Lalu saat ini Pancasila justru terjebak dalam pusaran globalisasi, ultrasanionalisme dan juga fundamentalisme agama yang kian hari semakin menguat. Tawaran konsep Pancasila sebagai ideologi terbuka justru dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk menggaungkan intoleransi, menyebarkan paham radikalisme bahkan melakukan terorisme. Oleh karena itu sudah saatnya ada pemikiran untuk menekankan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang mampu memediasi dan bergerak lincah menjawab persoalan-persoalan tersebut. Berdasarkan pemikiran diatas, buku ini diharapkan dapat digunakan oleh para pembaca untuk memahami perubahan sosial politik mutakhir yang berlangsung di aras global. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat memberikan perspektif baru bagi bangsa Indonesia dalam menyiasati ekses 7 8 Zachary Abuza, Political Islam and violence in Indonesia, 1st ed, Asian security studies (New York: Routledge, 2007) hlm. 67. Al Khanif, Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International Human Rights Law and Islamic Law (SOAS University of London, 2016) [unpublished] hlm. 192. [ ix ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi perubahan tersebut dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dikaji dari berbagai sudut oleh para penulisnya dalam buku ini diyakini akan menjadi benteng bagi bangsa Indonesia dari kuatnya pusaran globalisasi dan perubahan yang walau tak selalu bermakna negatif, pula berpotensi mengancam keutuhan dan jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat. Jember, 30 April 2017 Editor Manunggal K. Wardaya, Universitas Jenderal Soedirman Mirza Satria Buana, Universitas Lambung Mangkurat Al Khanif, Universitas Jember [x] DAF TAR K ONTRIBUTOR KONTRIBUTOR Moh. M ahfud M.D., S.H., (Universitas Islam Indonesia), S.U., (Universitas Mahfud Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada), adalah guru besar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hakim Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013, dan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Murni H ermawaty SSitanggang itanggang Hermawaty itanggang, S.Th. (Sekolah Tinggi Alkitab Jember), M.Th. (Seminari Alkitab Asia Tenggara), adalah pengajar di UPT-BSMKU Universitas Jember. Anik IIftitah ftitah ftitah, S.H., (Universitas Brawijaya Malang) adalah mahasiswa program pascasarjana Universitas Islam Kediri. Adam M uhshi Muhshi uhshi, S.H., (Universitas Jember), S.AP., (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara, Bandung), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. Made P ramono Pramono ramono, S.S., (Universitas Gadjah Mada), M.Hum., (Universitas Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Universitas Negeri Surabaya. Moch. Choir ul Rizal Choirul Rizal, S.HI., (Universitas Islam Negeri Surabaya), M.H., (Universitas Trunojoyo Madura) adalah peneliti di Penal Policy of Initiatives (POINTS). [ xi ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Al Khanif Khanif, S.H. (Universitas Jember), M.A. (Universitas Gadjah Mada), LL.M. (Universitas Lancaster), Ph.D. (School of Oriental and African Studies/SOAS Universitas London) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember, direktur the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember dan Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia periode 2017-2019. Khoir ul Anam Khoirul Anam, S.Thi., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), M.A. (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada) adalah Editor Media Damai di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Fiska M aulidian N ugr oho Maulidian Nugr ugroho oho, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. Dominikus Rato Rato, S.H. (Universitas Jember), M.Si (Universitas Airlangga), Dr. (Universitas Diponegoro) adalah guru besar dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember. Fokus keahlian dan penelitiannya adalah hukum adat dan filsafat hukum. Sukr on M ukron Maa’mun mun, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo) M.Hum., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Aktivis muda NU ini pernah mengikuti short course Religious Pluralism di University of California, Santa Barbara, USA; Muslim Exchange Program (MEP) di Australia; Short Course Research Methodology di Western Sydney University, Australia; dan Short Course di English and Foreign Language University (EFLU) Hyderabad, India. za SSatria atria B Mir irza Buana uana, S.H., (Universitas Lambung Mangkurat), M.H., uana (Universitas Islam Indonesia), Dr. (T.C. Beirne School of Law Universitas Queensland) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Irham B ashori H asba Bashori Hasba asba, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), M.H., (Universitas Islam Indonesia) adalah staf pengajar di Universitas Islam Negeri Malang. Dina Tsalist Wildana ildana, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo Yogyakarta) LL.M., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di [ xii ] Daftar Kontributor Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. Anwar M asduki Masduki asduki, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), M.A., (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. amaitu Emanuel Raja D Damaitu amaitu, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Negeri Sebelas Maret) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Widya Karya Malang. Ayuningtyas SSaptarini aptarini aptarini, S.H., (Universitas Jember) adalah mahasiswa pada program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember dan pegiat sosial di Mata Timoer Institute Jember. Wiwit K urniawan Kurniawan urniawan, S.S. (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), M.A., (Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Universitas Pamulang dan peneliti di Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Muhammad B ahr ul U lum Bahr ahrul Ulum lum, S.H., (Universitas Jember), LL.M. (Universitas Osmania) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. Hayatul IIsmi smi smi, S.H., (Universitas Riau), M.H., (Universitas Islam Indonesia), Dr. (Universitas Padjajaran) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Riau. Rosita IIndrayati ndrayati ndrayati, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember. M. IIwan wan SSatriawan atriawan atriawan, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Brawijaya) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Achmadudin Rajab Rajab, S.H., (Universitas Indonesia), M.H., (Universitas Indonesia) adalah tenaga fungsional perancang undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). [ xiii ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sadhu B agas SSuratno uratno Bagas uratno, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Jember) adalah staf di Biro Hukum Pemerintah Daerah Banyuwangi. Cakra A bbas Abbas bbas, S.HI., (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), M.H., (Universitas Sumatera Utara), Dr. (Universitas Sumatera Utara) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. [ xiv ] DAF TAR ISI AFT Pengantar Editor → v Daftar Kontributor → xi Daftar Isi → xv PROL OLOG PR OL OG Pancasila sebagai Pijakan Politik dan Ketatanegaraan → 1 Moh. Mahfud MD BAB I P ANCASIL A, A GAMA DAN GL OBALISASI → 15 PANCASIL ANCASILA, AGAMA GLOBALISASI Pancasila, Agama dan Tantangan Globalisasi → 17 Murni Hermawati Sitanggang Pancasila versus Globalisasi: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi? → 35 Anik Iftitah Mengkaji Hak Beragama dalam Sistem Hukum Pancasila → 51 Adam Muhshi Spiritualitas Pancasila: Dari Korupsi Spiritual ke Pancaran Intensional Universalitas Nilai-Nilai Pancasila → 73 Made Pramono Mediasi Penal dan Pembaruan Hukum Berperspektif Pancasila → 91 Moch. Choirul Rizal Pancasila dalam Pusaran Globalisasi BAB II P ANCASIL A, RADIKALISME DAN IDEOL OGI PANCASIL ANCASILA, IDEOLOGI TRANSNASIONAL → 111 Pancasila dalam Pusaran Islam Transnasional → 113 Al Khanif Quo Vadis Ilusi Khilafah di Negara Pancasila → 129 Khoirul Anam Pancasila: Refleksi Sadar Ideologi sebagai Anti-virus Radikalisme → 147 Fiska Maulidian Nugroho BAB III P ANCASIL A SEBA GAI IDEOL OGI INKL USIF DI ERA PANCASIL ANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI INKLUSIF GLOBALISASI → 173 Pancasila sebagai Ideologi yang Hidup → 175 Dominikus Rato Pancasila, Ideologi Bangsa yang Terkoyak → 193 Sukron Ma’mun Pancasila, Multikulturalisme dan Tantangan Inklusi Sosial → 215 Mirza Satria Buana Patriarkhisme Pancasila: Dialektika Perempuan dalam Perumusan Pancasila dan Pembangunan Bangsa Indonesia → 237 Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana Menguji Negara Paripurna: Pancasila dan Tantangan Dunia Maya → 261 Anwar Masduki BAB IV P ANCASIL A, KEDA UL ATAN NEGARA DAN PANCASIL ANCASILA, KEDAUL ULA GLOBALISASI → 277 Moralitas Pancasila dalam Kesesatan Globalisasi → 279 Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini [ xvi ] Daftar Isi Pancasila dan Kedaulatan Bahasa dalam Pusaran Globalisasi → 301 Wiwit Kurniawan Pancasila dalam Arus Liberalisasi Pangan Pascareformasi → 317 Muhammad Bahrul Ulum Menguji Keadilan Pancasila dalam Menjaga Kedaulatan Rakyat atas Tanah → 337 Hayatul Ismi BAB V KEADIL AN DAN DEMOKRASI P ANCASIL A DI ERA KEADILAN PANCASIL ANCASILA GLOBALISASI → 355 Pancasila dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia → 357 Rosita Indrayati Purifikasi Pilkada dan Revitalisasi Demokrasi Pancasila di Indonesia → 371 M. Iwan Satriawan Solusi Pancasila dalam Pembaharuan Demokrasi Indonesia: Kajian Penyempurnaan Regulasi Pilkada → 387 Achmadudin Rajab Menyoal Aktualisasi Pancasila dalam Perspektif Mahkamah Konstitusi → 405 Sadhu Bagas Suratno Pancasila di Era Globalisasi: Sebuah Perspektif Ketatanegaraan → 423 Cakra Arbas [ xvii ] PROLOG PANC A SIL A SEBA GAI PIJAK AN POLITIK D AN PANCA SILA SEBAGAI DAN KET ATANEGARAAN KETA Moh. Mahfud MD Pendahuluan: M asih R elev ankah P ancasila? Masih Relev elevankah Pancasila? B anyak keluhan, sejak era reformasi (1998) Pancasila jarang dikumandangkan lagi sementara kehidupan berbangsa dan bernegara menghadapi banyak problem yang adakalanya dinilai sudah keluar dari nilai-nilai Pancasila. Kenyataan tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan yang nadanya menggugat kita sebagai bangsa untuk menjawab masih relevan atau tidaknya Pancasila sebagai dasar ideologi bernegara kita. “Masih relevankah Pancasila sebagai dasar ideologi negara untuk membawa Indonesia ke masa depan yang dicitakan?”. Itulah pertanyaan dasarnya. Pertanyaan semacam itu sering juga langsung ditodongkan kepada saya saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) baik oleh orang-orang di dalam negeri maupun oleh tokoh-tokoh dari luar negeri.1 Oleh sebab itu saya sering juga sering juga berusaha menjelaskannya melalui berbagai tulisan dan forum-forum perjamuan ilmiah. Berikut ini tulisan yang pernah saya presentasikan dan saya tulis kembali dari seminar tentang Revitalisasi Ideologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 16 November 2016.2 1 2 Di antara tokoh-tokoh luar negeri yang pernah menanyakan itu kepada saya adalah Kanselir Jerman Barat Angela Merkel dan Utusan Khusus Presiden Obama untuk Negara-negara Organisasi Konperensi Islam (OKI) Rasyad Husein. Selanjutnya lihat dalam Rita Triana Budiarti, Mahfud MD Terus Mengalir, Kosntitusi Press, Jakarta, 2013. Selanjutnya lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Pancasila, Ideologi, Konstitusi, dan Tata Hukum Kita”, makalah pada Seminar Nasional “Revitalisasi Ideologi dalam Aras Global, Perspektif Negara Hukum”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 16 November 2016. [1] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Saya ulangi lagi butir-butir pertanyaan dasarnya: Masih relevankah Pancasila sebagai dasar ideologi negara kita? Masih ada gunanyakah ideologi bagi negara? Pertanyaan tentang relevansi ideologi di dalam negara itu sebenarnya sudah lama kerapkali muncul, bukan hanya dalam konteks Indonesia tetapi dalam konteks global, karena banyak hal, misalnya, dominannya individualisme leberal pasca perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet setelah bubarnya Uni Soviet. Untuk konteks Indonesia pertanyaan nakal yang seperti itu kadangkala muncul dikarenakan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan negara oleh penguasa yang kemudian disimpulkan begitu saja bahwa Pancasila gagal membawa Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Munculnya ketimpangan sosial dan ekonomi yang, antara lain, ditandai oleh besarnya index gini ratio3, meluasnya kemiskinan, mencoloknya ketidakadilan, dan merajalelanya korupsi telah dijadikan senjata oleh sekelompok kecil orang untuk mempersoalkan relevansi Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Cara mempersoalkannya pun beragam. Ada yang menawarkan sistem pemerintahan baru seperti khilafah4 melalui perjuangan terbuka tetapi tidak dengan kekerasan dan ada yang, meski pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari, merefleksikan melalui gerakan radikal dan teror.5 Saat pertanyaan-pertanyaan dan seluruh latar belakang yang seperti itu disodorkan kepada saya maka saya pun berpendapat bahwa Pancasila masih sangat relevan dan justeru diperlukan sebagai ideologi negara bagi masa depan upaya pencapaian cita-cita Indonesia dengan segala tantangannya seperti sekarang ini. Pancsila dapat disebut sebagai karunia luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa kepada bangsa Indonesia untuk menjadi pemersatu sekaligus untuk menjadi sumber, prinsip, dan sistem hukum di Indonesia. 3 4 5 Pada akhir Orde Baru index gini ratio kita hanya 0,200 tetapi terus meningkat selama era reformasi sampai akhir 2014 mendekatai 0,420 dan membaik pada tahun 2015 dan 2016 menjadi sekitar 0, 410. Hizbut Tahrir Inbdonesia (HTI) misalnya, menyatakan bahwa sistem khilafah lebih cocok dijadikan alternatif baru bagi masa depan Indonesia. Radikalisme dan terorisme menjadi isu dan berita yang sering menghentak kita dalam beberapa tahun terakhir ini. [2] Prolog Moh. Mahfud MD Polemik tentang M asa D epan IIdeologi deologi Masa Depan Berbicara tentang masa depan ideologi, lebih dari 50 tahun yang lalu Daniel Bell telah menulis buku berjudul The End of Ideology 6 yang kemudian menjadi obyek polemik yang menarik. Menurut Bell untuk ke depan ideologi tidak lagi penting karena penyelesaian menyeluruh terhadap problem kemanusian yang didasarkan pada ideologi tidak valid lagi. Ideologi terbukti gagal melakukan penyelesaian karena ia menyederhanakan berbagai persoalan yang menyebabkannya terjerat melalui tema-tema mendasar yang dieprbincangkan. Pendapat Bell ini diperluas oleh Francis Yoshihiro Fukuyama yang pada tahu awal 1990-an menulis, the End of History.7 Fukuyama melihat kemenangan liberal-kapitalisme Amerika Serikat atas Komunisme Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin sebagai kemenangan teori liberal-kapitalisme atas teori komunisme dan sosialisme yang dianggapnya sudah usang. Fukuyama berasumsi bahwa manusia meyakini satu saja sistem kehidupan masa depan yakni demokrasi liberal ala Barat, tepatnya Anglo Saxon dan sejarah ditandai oleh tiga titik nadir, yaitu, berakhirnya evolusi ideologi manusia, universalisasi demokrasi liberal ala Barat, dan demokrasi liberal sebagai bentuk final pemerintahan manusia. Kata Fukuyama pula, demokrasi liberal merupakan bentuk final pemerintahan manusia dan karenanya demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia. Tetapi paham endisme dari Bell dan Fukuyama itu dibantah oleh penulis buku The Clash of Civilization8 Samuel P. Huntington. Menurut Huntington dalam tulisannya “Tak Ada Jalan Keluar, Kesalahan-kesalahan Endisme9 yang dipublikasikan pada 2005 berakhirnya perang dingin bukanlah berarti berakhirnya perang ideologi, diplomasi, ekonomi, teknologi, bahkan militer antar berbagai negara. Itu bukanlah akhir dari perebutan kekuasaan dan pengaruh sebab berakhirnya perang dingin telah 6 7 8 9 Daniel Bell, The End of Ideology: on the Exhaustion of Political Ideas in Fifties, Free Press, New York, 1960. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, Hamish Hamilton, London, 1992. Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization And The Remaking of World Order, Harvard University, 1994. Samuel P. Huntington, Tak Ada Jalan keluar: Kesalahan-kesalahan Endisme, Foreign Affair, Washington, 2005. [3] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi memunculkan isu-isu yang mempengaruhi keadaan politik dunia. Politik dunia pasca perang dingin justeru bergeser ke konflik agama, etnis, dan terrorisme internasional. Perang masa depan memang bukan perang antar negara tetapi perang antar budaya dan ekstremisme Islam akan menjadi ancaman terbesar bagi dominasi Barat. Tulisan ini tidak bermaksud memasuki area perdebatan tentang ideologi yang dibingkai oleh sejarah sosial dan politik seperti yang dikemukakan oleh Bell, Fukuyama, dan Huntington tersebut tetapi akan lebih membedah tentang revitalisasi dasar ideologi negara kita yakni Pancasila dalam bingkai hukum konstitusi dan ketatanegaraan untuk meneguhkannya sebagai pengikat kebersatuan kita. Telaah tentang ini penting karena kita sekarang berada di era globalisasi yang ciri-cirinya memang menuntut revitalisasi terhadap ideologi negara kita. Para ahli masa depan mengatakan bahwa globalisasi yang didorong secara kuat oleh masifikasi teknologi informasi (information technology) mempunyai empat ciri yang disebut global conciousness, yakni, tuntutan demokratisasi, perlindungan hak-hak asasi manusia, pelestarian lingkungan hidup, dan ekonomi pasar bebas. Hati nurani global inilah yang menuntut kita melakukan revitalisasi terhadap dasar ideologi negara kita, Pancasila. Pancasila sebagai IIdeologi deologi Jika diartikan secara sederhana ideologi adalah ilmu (logos) tentang ideide, konsep, dan cita-cita (eidot, idea) yakni cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai.10 Oleh karena ia merupakan cita-cita yang tetap dan harus dicapai maka ia sekaligus menjadi dasar, pandangan, atau paham. Soerjanto Poespowardojo mengatakan bahwa ideologi adalah keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama.11 Jika dilihat dari fungsinya, Paul Ricoeur mengemukakan tiga fungsi ideologi 10 Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2002, hlm. 49. 11 Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, PT Gramedia, Jakarta, 1989, hlm 8-9. [4] Prolog Moh. Mahfud MD yang salah satu di antaranya adalah sebagai bentuk integrasi sosial.12 Ideologi dilihat sebagai pandangan makna simbolik yang kuat dan mendalam sehingga mampu mempersatukan kelompok manusia yang berbeda-beda dalam satu kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.13 Dalam konteks tulisan ini saya ingin menyederhanakan arti ideologi sebagai pilihan atas berbagai kebenaran filsafati yang beragam di tengahtengah masyrakat yang disepakati untuk diintegrasikan sebagai pedoman milik bersama untuk mencapai tujuan bersama dalam kehidupan bernegara. Seperti diketahui di dalam masyarakat banyak sekali nilai-nilai kebenaran falsafati yang dianut oleh berbagai kelompok kelompok primordial yang berbeda-beda, misalnya, ada agama Islam yang menganut filsafat Islam, ada agama Kristen yang menganut filsafat Kristen, ada yang menganut Katolik, Budha, Hindu, Kejawen yang sebenarnya mempunyai nilai-nilai falsafahnya sendiri. Ada juga perbedaan kepentingan suku, ras, daerah, dan bahkan juga bahasa. Berbagai kebenaran falsafati dan kultur itu diabstraksikan melalui penyaringan untuk akhirnya mencapai titik temu yang bisa disepakati sebagai pedoman bersama. Pedoman bersama dan komitmen yang disatukan oleh berbagai kebenaran falsafati dan ikatan prmiordial itulah yang kemudian menjadi ideologi. Jadi ideologi adalah kesepakatan yang disertai komitmen untuk melaksanakan pedoman hidup bersama yang disaring, diseleksi, dan dibangun dari berbegai perbedaan anutan falsafati dan ikatan primordial lainya untuk mencapai tujuan bersama. Untuk konteks Indonesia ideologi sebagai hasil penyaringan, seleksi, dan pembulatan ide tentang pedoman hidup bersama itu adalah Pancasila. Hal yang paling mendasar dari dasar ideologi kita adalah “kebersatuan dalam keberagaman” atau prinsip Pluralisme yang kita semboyankan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, meski beragam tetap dalam satu ikatan. Sangat mengagumkan, dengan ideologi Pancasila Indonesia berhasil menyatukan ribuan pulau, suku, dan bahasa daerah serta berbagai agama dan budaya lainhya ke dalam satu ikatan kebangsaan dan negara Indonesia. 12 Dua fungsi lainnya adalah (1) sebagai bentuk distorsi realitas sosial dan (2) alat legitimasi kekuasaan. Lihat dalam Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan, Pancasila Kekuatan Pembebas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm 32. 13 Ibid. [5] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pancasila dengan SSistem istem D emokrasi yang Khas Demokrasi Penyelenggaraan negara untuk mengelola keberagaman itu adalah demokrasi sebab perbedaan-perbedaan aspirasi dari keberagaman masyarakat itu harus dikontestasikan secara fair. Tetapi demokrasi kita tidaklah sama dengan demokrasi ala Barat. Demokrasi kita mendorong musyawarah (sebagai budaya bangsa) tetapi juga membuka peluang pada pemungutan suara di parlemen (sebagai cara modern) jika mekanisme itu tidak tehindarkan. Harap diingat bahwa di dalam demokrasi kita tidak dilarang voting, adu dukungan suara, karena hal itu merupakan keniscayaan. Penentuan bentuk republik bagi negara Indonesia pun dilakukan melalui voting di BPUPKI karena ada beberapa anggota BPUPKI yang bersikeras menginginkan Indonesia berbentuk kerajaan. Begitu juga penentuan bentuk negara kesatuan dilakukan melalui voting karena Bung Hatta dan beberapa anggota BPUPKI menginginkan Indonesia berbentuk negara Federal. Bung Karno pun pada Pidato tanggal 1 Juni 1945 yang kini ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara agama, tetapi jika orang-orang Islam ingin membuat hukum-hukum yang sesuai dengan agama Islam berjuanglah untuk merebut kursi-kursi di badan perwakilan rakyat. Begitu juga, kata Bung Karno, jika orang-orang Kristen ingin berlakunya hukum-hukum yang berletter Kristen berjuanglah agar kursi-kursi di lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Keristen. Kekhasan demokrasi Pancasila yang didasari pada semangat gotong royong, bukan semata-mata mencari menang dan kalah, dan yang menang tidak boleh mengabaikan yang kalah pada umumnya disebut sebagai deliberative democracy. Pancasila dan U ndang U ndang D asar Undang Undang Dasar Sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) tentang kebenaran nilai-nilai falsafati yang akan dijadikan pedoman hidup bersama Pancasila sebagai ideologi juga mempunyai berbagai fungsi, misalnya, fungsi sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai pemersatu bangsa, dan sebagainya. Dalam fungsinya sebagai dasar negara Pancasila harus menjadi sumber dari segala sumber hukum yang dasar-dasarnya dituangkan di dalam Undang Undang Dasar (UUD) atau konstitusi dan peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai sumber dari segala sumber hukum Pancasila mempunyai empat kaidah penuntun hukum yang harus menjadi rambu[6] Prolog Moh. Mahfud MD rambu dalam pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan dan politik hukum pada umumnya, yaitu: 1. Melindungi seluruh bangsa dan tanah air Indonesia dalam arti bahwa semua hukum yang yang dibentuk dan diberlakukan di Indonesia haruslah selalu menjaga keutuhan integrasi bangsa baik secara teritori maupun secara ideologi. 2. Membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) secara simultan dalam arti demokrasi harus dibatasi oleh tegaknya hukum dan hukum harus dibuat secara demokratis. Keputusan demokratis yang melanggar konstitusi dan HAM bisa dibatalkan oleh lembaga nomokratis seperti MK atau MA, tergantung levelnya. 3. Membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam arti hukum yang berlaku atau diberlakukan di Indonesia harus menutup pintu bagi tumbuhnya sistem eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah dan harus selalu mendorong untuk mempersempit kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat guna membangun kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, 4. Membangun toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti semua hukum di Indonesia tidak boleh diskriminatif terhadap pemeluk agama tertentu semisal berdasarkan jumlah pemeluknya. Negara tidak memberlakukan hukum salah satu agama tetapi negara harus memproteksi setiap pemeluk agama yang ingin melaksanakan ajaran agamanya. Pancasila dan P klektik H ukum N asional Prroduk E Eklektik Hukum Nasional Di Indonesia, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, artinya, selain Pancasila masih ada sumber-sumber hukum yang lain yang bersumber juga pada Pancasila. Sumber hukum belum tentu merupakan hukum dalam arti peraturan perundang-undangan. Agama adalah sumber hukum karena Indonesia berdasar ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi hukum agama bukan merupakan hukum jika belum dijadikan UU. Dalam hal ini hukum agama menjadi sumber hukum materiil, bukan sumber hukum formal yang berlaku. Untuk menjadi berlaku norma-norma agama harus disahkan dulu dalam bentuk tertentu yakni ditetapkan keberlakuannya oleh lembaga yang diberi wewenang untuk itu oleh UUD. Jadi sumber [7] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi hukum bisa diartikan dalam dua hal: Pertama, sumber hukum dalam arti sebagai bahan untuk membuat hukum yang biasa disebut sumber hukum materiil; Kedua , sumber hukum dalam arti peraturan perundangperundangan yakni hukum yang resmi mengikat karena ditetapkan keberlakuannya oleh lembaga yang berwenang. Orang sering dikelirukan oleh pernyataan bahwa hukum Islam wajib diberlakukan karena agama Islam adalah sumber hukum. Padahal harus selalu diingat bahwa yang menjadi sumber hukum di Indonesia adalah semua agama, adat istiadat, budaya, dan sebagainya. Kesemua sumber hukum itu harus diintegrasikan dan didasarkan pada sumber utamanya yakni Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang produknya bisa berupa hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum nasional yang bersumber dari Pancasila merupakan hasil eklektisasi dari berbagai sukmber hukum itu. Oleh sebab itu hukum nasional Indonesia merupakan produk eklektik antar berbagai sumber hukum materil yang ada di dalam masayarakat seperti Hukum Islam, Hukum Adat, Hukum Barat, dan konvensi-konvensi internasional. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum publik kita merupakan produk eklektisasi dari berbagai sumber hukum materil yang semuanya bersumber dari Pancasila sehingga keberlakuannya bersifat unifikatif, berlaku secara sama untuk seluruh wilayah dan warga negara. Sedangkan hukum-hukum privat yang lebih berkaitan dengan kepentingan pribadi berlaku secara pluralistik (bermacam-macam) sesuai dengan latar belakang primordial (seperti agama dan daerah) dan ketundukan masing-masing warga negara. Pancasila sebagai SSumber umber P eraturan P er undang-U ndangan Peraturan Per erundang-U undang-Undangan Dengan demikian hubungan antara Pancasila dan Konstitusi dapat durumuskan sebagai hubungan antara pilihan kebenaran falsafati dari berbagai nilai sebagai dasar ideologi negara yang disepakati dengan aturan main untuk melaksanakan dasar negara itu yaitu Konstitusi yang kemudian diturunkan ke dalam peraturan perundang-undangan dalam semua bidang dan tingkatannya. Dengan kata lain Pancasila sebagai dasar ideologi negara adalah kesepakatan luhur yang kemudian dituangkan di dalam UUD sebagai dasar-dasar aturan penyelenggaraan negara yang kemudian terus diturunkan lagi ke dalam peraturan perundang-undangan secara hirarkis. [8] Prolog Moh. Mahfud MD Dalam konteks tata hukum yang berlaku sekarang maka Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum melahirkan peraturan perundangundangan yang, seperti diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011, secara hirakis terdiri atas tujuh tingkatan yakni (1) UUD NRI 1945, (2) Ketetapan MPR(S) (yang masih berlaku berdasar Tap MPR No. I/MPR/ 2003), (3) UU/Perppu, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi, (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Penyusunan secara hierarkis, sesuai dengan teori Stupa atau Stuffenbau theorie dari Hans Kelsen, berarti susunan tersebut bersifat mutlak, tidak bisa ditukar, karena ia terkait dengan kuatnya daya laku dan daya ikat. Peraturan perundang-undangan yang disebutkan pada urutan yang lebih tinggi berarti berkedudukan lebih kuat dan harus menjadi sumber dari peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, begitulah seterusnya. Oleh sebab itu tidak boleh ada satu peraturan perundangundangan yang isinya, baik seluruhnya maupun sebagian, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kalau ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka bisa dinyatakan batal (extunc) atau dibatalkan (exnunc). Ada instrumen konstitusi dan hukum untuk menyatakan batal atau dibatalkannya suatu peraturan perundang-undangan, yakni, pengujian yudisial (judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang kesemuanya dimaksudkan untuk memagari atau menjaga konsistensi semua peraturan perundang-undangan dengan ideologi dan konstitusi. Pengujian UU terhadap UUD (uji konstitusionalitas) dilakukukan oleh MK sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU (pengujian legalitas) dilakukan oleh MA. Judicial review yang yang dilakukan oleh MK dan MA bisa dalam bentuk uji formal (prosedur dan cara pembentukannya) dan bisa dalam bentuk uji materil (isi peraturan perundang-undangannya). Jadi pelembagaan judicial review di dalam konstitusi dan tata hukum pada tingkat terakhir dimaksudkan untuk memagari semua peraturan perundangundangan agar tidak melenceng dari dasar ideologi negara dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentu saja pelanggaran atas setiap peraturan perundang-undangan itu ada sanksinya sebab hukum itu ada jika kaidah sudah ditetapkan sebagai [9] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi hukum oleh lembaga yang berwenang melalui proses konstitusional. Hanya saja pelanggaran langsung terhadap ideologi dan konstitusi tidak bisa dijatuhi hukuman dalam bentuk hukuman pidana penjara atau denda dan lain-lain. Pelanggaran atas isi Ideologi dan konstotusi negara yang belum diturunkan ke dalam norma dalam bentuk UU tidak bisa dijatuhi sanksi hukum karena untuk menghukum atau dihukum haruslah didasarkan pada peraturan yang sudah berbentuk norma yang mengandung perintah, larangan, dan ancaman bagi yang melanggarnya. Ideologi dan konstitusi masih berbentuk falsafah dan asas-asas hukum sehingga pelanggaran atas keduanya tidak bisa dijatuhi hukuman pidana sebelum isi-isi ideologi dan konstitusi itu belum dijadikan UU atau peraturan perundang-undangan lain yang sudah mengandung ancaman sanksi. Lalu, apakah pelangaran atas ideologi dan konstitusi tidak bisa dihukum? Tentu saja bisa, tetapi hukumannya bukan penjara atau denda melainkan hukuman politik dan etik. Problematika K etetapan MPR Ketetapan Berkenaan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 ada problema yuridis terkait dengan munculnya kembali “Ketatapan MPR” atau Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan urutan kedua, yakni, urutan di bawah UUD 1945 dan di atas UU/Perppu. Problemnya adalah, apakah Tap MPR bisa diuji terhadap UUD dan apakah UU bisa diuji terhadap Tap MPR? Pertanyaan ini muncul karena paham konstitusi kita sekarang ini sudah mengadopsi prinsip pengujian yudisial terhadap peraturan perundangundangan. Kalau Tap MPR bisa diuji terhadap UUD, siapakah yang melakukan dan dari mana sumber wewenangnya? Begitu juga kalau UU bisa diuji terhadap Tap MPR apakah dasar dan dari mana sumber wewenangnya? Pertanyaan ini sangat mendasar karena penerimaan atas prinsip pengujian yudisial harus juga disertai sumber dan pemegang kewenangan di dalam konstitusi. MK, misalnya, tidak bisa menguji UU terhadap Tap MPR karena di dalam UUD disebutkan bahwa MK menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD. Begitu juga MPR tidak bisa menguji Tap MPR terhadap UUD karena, selain hal itu bukan pengujian yudisial, sejak perubahan UUD 1945 struktur ketatanegaraan kita tidak lagi memberi wewenang kepada MPR untuk membentuk Tap MPR dalam bentuk [ 10 ] Prolog Moh. Mahfud MD peraturan perundang-undangan (regelings) yang langsung di bawah UUD. Lalu bagaimana kedudukan Tap MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 menurut konstitusi dan tata hukum kita? Itulah problemnya. Sebenarnya sejak perubahan UUD 1945 (1999-2002) kita sudah mengubah struktur ketatanegaraan dari “vertikal-struktural” menjadi “horizontal fungsional” sehingga MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang diberi wewenang membentuk Tap MPR sebagai regelings seperti pada masa lalu. Sekarang ini MPR berkedudukan sejajar dengan lembaga negara lain (Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY).14 Meskipun MPR diberi wewenang untuk menetapkan dan mengubah UUD dan berbagai kewenangan lain bukan berarti MPR itu lembaga tertinggi negara melainkan karena kewenangan itulah yang diberikan oleh UUD dalam struktur ketatanegaraan yang bersifat horizontal.15 Dasar konstitusional untuk mengatakan bahwa MPR bukan lembaga tertinggi negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dari sudut tata hukum, sekurang-kurangnya bisa dilihat dari tiga hal. Pertama, ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD yang semula menyebutkan bahwa “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” sekarang, di dalam UUD hasil amandemen, diubah menjadi “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Kedua, Ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen menyatakan bahwa MK menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD. Seandainya MPR diberi wewenang mengeluarkan Tap yang lebih tinggi daripada UU 14 Berdasar vonis MK kedudukan KY sebagai lembaga negara disebut sebagai penunjang atau auxiliary atau supporting institusion, tidak sejajar penuh dengan lembaga negara lain yang disebutkan di atas. 15 Perlu dikemukakan bahwa memang ada juga yang berpendapat bahwa MPR tetap merupakan lembaga tertinggi negara dengan alaan MPR adalah lembaga yang berwenang menetapkan atau memberlakukan dan mengubah UUD sebagai hukum tertinggi atau induk dari semua hukum di dalam negara. Logikanya, hukum yang tertinggi harus ditetapkan oleh lembaga yang tertinggi. Tetapi pendapat ini tidak terjadi dalam kenyataan karena tidak sesuai dengan sejarah perubahan UUD 1945 yang sejak awal memang ingin mendegradasi kedudukan MPR yang tadinya disebut sebagai lembaga tertinggi negara. UUD di negara-negara lain, misalnya di Amerika Serikat, tidak ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara melainkan oleh Kongres yang kedudukannya tidak lebih tinggi daripada Presiden. Meskpiun MPR mempunyai kewenangan untuk menetapkan UUD tetapi lembaga tersebut bukanlah lembaga tertinggi negara hanya karena kewenangannya itu; sama juga dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara yang meskipun disebut “kepala” tetapi bukan lembaga tertinggi. [ 11 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi tentunya UUD mengatur juga cara pengujian Tap MPR terhadap UUD dan pengujian UU terhadap Tap MPR. Tetapi nyatanya hal itu tidak diatur sama sekali di dalam UUD. Ini berarti bahwa Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan pada derajat kedua tidak lagi menjadi bagian dari tata hukum kita. Ketiga , oleh karena Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan tidak ada lagi di dalam tata hukum kita padahal pada masa lalu sudah banyak Tap MPR yang berlaku sebagai peraturan perundang-undangan pada level kedua maka melalui Aturan Tambahan Pasal II UUD NRI 1945 dibuat perintah agar MPR hasil Pemilu 1999 membuat ketetapan pamungkas yang memosisikan lagi semua Tap MPR/ S yang sudah terlanjur ada agar sesuai dengan Tata Hukum baru yang diatur oleh UUD 1945 hasil amandemen. Bunyi Pasal II Aturan Tambahan tersebut adalah, “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusayawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat untuk diambil putusan pada Sidang majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003. Demikianlah, menjadi sangat jelas bahwa MPR sekarang tidak boleh lagi mengeluarkan Ketetapan yang berbentuk regelings pada level kedua dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan kita. Sebenarnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah secara tepat menuangkan tentang Tata Urutan Peraturan Perundangundangan yang tidak lagi menyebut Tap MPR sebagai peraturan perundangundangan. Tetapi kemudian muncul masalah ketika ternyata Tap No. I/ MPR/2003 16 yang dibuat untuk melaksanakan Aturan Tambahan Pasal II (memosikan Tap MPR/MPRS yang terlanjur ada) masih menentukan adanya Tap MPR/S yang tetap berlaku baik permanen maupun sampai ada UU atau sampai selesainya perintah yang ada di dalam Tap MPR/S itu. Masalahnya, dimana letak Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku itu di dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang baru? Oleh karena distorsi tersebut maka pada tahun 2011 dibuatlah UU No. 12 Tahun 16 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 sering disebut sebagai Ketetapan Sapu Jagat karena fungsinya adalah menyapu atau menyisir semua Tap MPR/S yang sudah terlanjur ada untuk diposisikan dalam tata hukum yang baru, misalnya, posisnya dinyatakan dihapus atau diberlakukan sebagai UU. [ 12 ] Prolog Moh. Mahfud MD 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang (melalui Pasal 7) memasukkan kembali Tap MPR/S yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan derajat kedua. Pada titik inilah muncul problem tentang pengujian yudisial Tap MPR terhadap UUD atau pengujian yudisial UU terhadap Tap MPR. Sebenarnya meskipun UU No. 12 Tahun 2011 menyebut Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan derajat kedua namun MPR tetap tidak mempunyai wewenang untuk membuat Ketetapan sebagai peraturan perundang-undangan derajat kedua di bawah UUD. Penyebutan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan derajat kedua di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut hanya berlaku untuk Tap MPR/S yang lama (dan sudah ada lebih dulu) serta masih dipertahankan keberlakuan dan bentuknya oleh Tap MPR No. I/MPR/2003, artinya, MPR tidak bisa membuat Ketatapan baru dalam bentuk seperti dulu. Hal itu dimuat di dalam Penjelasan Pasal 7 huruf b UU No. 12 tahun 2011 yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan Tap MPR adalah Tap MPRS dan Tap MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Tap MPR No. I/MPR/2003”.17 Jadi jelas, tidak bisa dibuat Tap MPR baru karena adanya Tap MPR baru kosntruksinya jelas akan bertentangan dengan UUD yang sekarang berlaku. Dengan demikian penyebutan Tap MPR sebagai peraturan perundangundangan level kedua di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tidak menyebabkan MPR bisa membuat Tap baru dalam level tersebut tetapi problem mendasar masih tersisa, yakni, pengujian judisial Tap MPR terhadap UUD dan pengujian yudisial UU terhadap Tap MPR yang sudah terlanjur ada tersebut. Inilah yang harus dicari jalah keluar konstitusionalnya. Aktualisasi P ancasila Pancasila Dari perspektif hukum, dasar ideologi negara kita, Pancasila, masih sangat relevan dan diperlukan untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang besatu, berdaulat, adil, dan makmur. Nilai-nilai dasar 17 Pasal 2 menyebut tiga Ketetapan MPR yang berlaku terus (permanen) sedangkan pasal 4 menyebut 11 Ketetapan MPR yang berlaku sampai ada UU yang menggantikan atau sampai selesai tugasnya sesuai dengan isi Tap-Tap itu sendiri. [ 13 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pancasila sebagai dasar ideologi negara masih terus bisa bertahan dan harus dipertahankan, sedangkan nilai-nilai instrumentalnya masih bisa diaktualkan dari waktu ke waktu melalui penyesuaian hukum-hukum dengan serbuan globalisme yang tak mungkin dihindarkan. Tujuan membangun kesejahteraan rakyat dengan pemanfaatan segala sumber daya untuk rakyat sendiri misalnya, bisa diatur dengan hukum-hukum yang menyesuaikan diri dengan globalisme (misalnya profesionalisme, efisisensi, dan pasar bebas) tetapi hasil-hasilnya tetap harus digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat. Referensi Daniel Bell, 1960. The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in Fifties, New York: Free Press. Francis Fukuyama, 1992. The End of History and the Last Man, London: Hamish Hamilton. Hans Kelsen, 1973. General Theory of Law, Russel & Russel, New York. Kaelan, 2002. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Paradigma. Manfred Steger, 2002. Globalism, the New Market Ideology, Lanham: Rowman & Littlefield. Moh. Mahfud MD, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES. Moh. Mahfud MD, 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press. Muhammad Hatta, 1989. Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung. Roland C. Den Otter, 2007. Judicial Review in an Age of Moral Pluralism, New York: Cambridge University Press. Samuel P. Huntington, 1994. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, Massachusetts: Harvard University. Soerjanto Poespowardojo, 1989. Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan SosioBudaya, Jakarta: PT Gramedia, Jakarta. [ 14 ] BAB I PANC A SIL A , AGAMA D AN PANCA SILA DAN GLOBALISA SI GLOBALISASI PANC A SIL A , AGAMA D AN TANT ANGAN PANCA SILA DAN TANTANGAN GLOBALISA SI Murni Hermawati Sitanggang Pendahuluan G lobalisasi telah merasuk ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa saat ini agama telah menemukan tanah yang subur dan jalan yang mulus untuk berkembang secara global berkat kemajuan teknologi. Era globalisasi menjadikan agama-agama yang ada dapat memperluas jaringannya melampaui tempat kelahirannya.1 Perkembangan agama di zaman internet ini cukup pesat karena pengaruh globalisasi. Saat ini tak terhitung banyaknya website yang menyediakan informasi tentang agama yang memudahkan penyebaran agama sehingga terjadi pertambahan anggota atau pengikut yang baru. Internet juga memungkinkan umat beragama untuk saling berhubungan meski tidak berada dalam wilayah yang sama. Tak dapat dipungkiri bagaimana globalisasi mendatangkan banyak manfaat dan kemajuan bagi agama. Akan tetapi globalisasi juga melahirkan tantangan yang harus dihadapi dan diatasi dengan hadirnya fundamentalisme. Paham yang dapat dikategorikan sebagai gerakan ini muncul sebagai upaya untuk kembali kepada akar atau apa yang diyakini sebagai dasar-dasar ajaran agama tersebut. Fundamentalisme dapat muncul di semua agama dan merupakan 1 Monaim El Azzouzi, ‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <http:// journal.ispri.ro/ wp-content/uploads/2013/03/150-154-Monaim-El-Azzouzi.pdf.> diakses 19 Januari 2017. [ 17 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi salah satu reaksi terhadap globalisme. Gerakan ini biasanya bertujuan untuk melindungi kebenaran awal yang terancam luntur karena pengaruh globalisasi. Pada dasarnya tidak ada persoalan dengan semangat gerakan fundamentalisme untuk kembali ke ajaran yang murni. Berdasarkan sila pertama dari Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya setiap warga menjunjung tinggi agama yang dianutnya. Itu menjadi masalah ketika dalam usaha mewujudkan cita-cita tersebut, kaum fundamentalis cenderung menganggap hanya dirinya yang benar dan semua pihak yang berbeda dengan dirinya salah dan kemudian berujung pada sikap menganggap pemeluk agama lain sebagai musuh. Ketika ini terjadi maka persatuan bangsa menjadi terancam. Hal ini membuat seakan pengamalan sila pertama tersebut berbenturan dengan pengamalan sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Padahal sejatinya kelima sila dalam Pancasila adalah satu kesatuan sehingga pengamalan sila-sila yang ada di dalamnya seharusnya berjalan bersamaan. Oleh sebab itu, mengingat peran penting agama saat ini, yang bukan saja merupakan alat atau agen dan muatan globalisasi melainkan juga adalah bagian dari identitas bangsa Indonesia, pendidikan agama menjadi hal yang krusial dalam membentengi bangsa dari tantangan fundamentalisme yang mengancam persatuan. Pendidikan agama diyakini dapat menjadi benteng kepribadian dan pembekalan hidup karena pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk pribadi yang mulia di hadapan Tuhan dan di hadapan manusia. Mulia maksudnya di sini adalah dapat memenuhi tugas dan tanggung jawabnya sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada Penciptanya dan dapat memenuhi fungsinya di dunia, menjadi berkat bagi sesamanya. Tulisan ini akan membahas sejauh apakah manfaat dan tantangan yang dihadirkan globalisasi terhadap agama. Yang hendak didiskusikan dalam tulisan ini adalah pendidikan agama yang seperti apa yang sepatutnya dikembangkan untuk membendung efek negatif dari globalisasi tersebut. Pendidikan agama yang akan dibahas dalam tulisan ini bersifat umum, bukanlah berbicara mengenai pendidikan agama tertentu saja dan juga tidak sebatas pendidikan di lembaga formal seperti sekolah dan universitas saja. Oleh karena pendidikan agama pada dasarnya tidak hanya ditempuh [ 18 ] Murni Hermawati Sitanggang di lembaga formal maka ruang lingkup pembahasan meliputi pendidikan di dalam keluarga dan masyarakat luas. Pengar uh G lobalisasi terhadap Agama engaruh Globalisasi Globalisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan meningkatnya keterhubungan global, integrasi dan saling ketergantungan di bidang ekonomi, sosial, teknologi, budaya, politik, dan ekologi. Globalisasi sebenarnya berdasar pada usaha untuk membawa seluruh dunia di bawah satu sistem pasar dengan pergerakan bebas dari keuntungan dan produk.2 Sayangnya, yang terjadi di lapangan justru tidak lain dari hubungan dominasi dan ketergantungan antara negara kaya dan miskin di dunia. Ini kemudian melahirkan kapitalisasi dan kolonisasi yang dilakukan oleh negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang dan miskin. IMF (International Manotery Fund) dan Bank Dunia merupakan agen dari kapitalisasi dan kolonisasi tersebut. Globalisasi lebih dari sekadar trend atau mode yang hanya muncul sebentar lalu berlalu, bahkan dapat dikatakan bahwa globalisasi pada dasarnya adalah sistem internasional. 3 Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila globalisasi memiliki hukum dan logikanya sendiri yang kemudian mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, politik, lingkungan, geopolitik, dan ekonomi dari negara manapun. Globalisasi juga memiliki teknologinya sendiri, yakni: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, fiber optik dan internet, yang kesemuanya itu memperkuat definisi globalisasi. Begitu suatu negara masuk ke dalam sistem globalisasi, pimpinannya akan mulai menghayati pandangan untuk menyatu dan menempatkan diri dalam konteks global. Globalisasi di bidang agama ditandai dengan berubahnya makna agama. Di masa kini agama bukan lagi seperangkat kepercayaan yang didapat manusia melalui refleksi melainkan sudah berkembang menjadi sistem 2 3 George Husani, ‘Effects of Globalisation, Urbanisation and Post Modernity on Religious Peace: The Way Forward’ <http://www.georgehusani.org/home/ index.php/other-articles/60-effects-ofglobalisation-urbanisation-and-post-modernity-on-religious-peace-the-way-forward> diakses 11 Januari 2017. Florin Stibli, ‘Terrorism in the Context of Globalization’ (2010) AARMS, 9 (1). hlm. 1. [ 19 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi simbolik yang menjadi identitas dan menandai/menegaskan batasan-batasan sosial/etik dan batasan lainnya. Dengan kata lain, berbicara mengenai agama bukan lagi berbicara mengenai keyakinan iman melainkan telah berkembang menjadi suatu identitas atau budaya penganutnya.4 Mengingat agama merupakan salah satu cara menyatakan identitas diri yang secara umum disebut juga identity-signifiers maka akan sulit bagi kita untuk membahas agama terpisah dari isu globalisasi. Berkat globalisasi, agama dan iman berkembang menjadi semacam batu ujian/pijakan identitas yang non-teritorial. Sebagai sumber identitas dan kebanggaan, umat suatu agama kemudian mempromosikan agamanya sampai pada level global agar dapat dipeluk oleh sebanyak mungkin orang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kemudian banyak umat beragama yang terlena dengan globalisasi dan tidak menganggapnya sebagai ancaman sebab mereka menganggap globalisasi merupakan prasarana dalam penyebaran ajaran agama. Globalisasi Agama Globalisasi tidak selamanya berdampak buruk terhadap agama. Ada beberapa manfaat dari pengaruh globalisasi terhadap agama. Pertama, kembalinya agama di dalam lingkup relasi internasional.5 Pada awal era modernisasi dimulai ada anggapan bahwa agama akan surut karena tantangan sekularisasi.6 Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya agama malah berjaya dengan terjadinya pertambahan pengikut, terutama pada agama-agama besar di dunia.7 Kebangkitan agama secara global juga menumbangkan aturan lama yang implisit bahwa agama tidak terlibat dalam urusan politik. Di masa kini kebangkitan agama secara global 4 5 6 7 Husani, ‘Effects of Globalisation.’ Subhrajit Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ (Apr 2014) The Echo Vol. II Issue IV 130-131. Ibid. Menurut Pew Research Center, pada tahun 2010 agama Kristen merupakan agama terbesar di dunia (dengan 2,2 milyar pengikut atau sekitar 31% dari penduduk bumi) diikuti oleh Islam sebagai agama dengan tingkat kenaikan tercepat (dengan 1,6 milyar penganutnya atau kira-kira 23% dari populasi dunia). Pew Research Center memperkirakan kenaikan jumlah penganut yang cukup besar dalam beberapa dekade ke depan untuk agama-agama besar di dunia, kecuali Buddha yang relatif stabil (‘The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010-2050’ <http:// www.pewforum.org/2015/04/02/religious-projections-2010-2050/> diakses 8 Februari 2017). [ 20 ] Murni Hermawati Sitanggang mengubah tatanan sistem internasional dan merupakan ancaman bagi prinsip dan aturan dalam hubungan internasional. Kebangkitan agama dalam bidang politik ini dapat kita lihat dengan munculnya teologi pembebasan di Amerika Latin, politik Islam, memperjuangkan hak beragama di Amerika serikat, terjadinya revolusi Iran, dan peristiwa 11 September yang mengguncangkan bukan hanya Amerika Serikat melainkan seluruh dunia. Di Indonesia kebangkitan agama di bidang politik ini tampak jelas dengan menguatnya dukungan terhadap parpol-parpol berbasis Islam. Memasuki era reformasi, parpol-parpol Islam seperti, PKS, PKB, PAN, PPP, dan PBB muncul menjadi kekuatan politik yang tidak dapat diremehkan. Pada pemilihan legislatif tahun 2004, parpol-parpol tersebut memperoleh sekitar 35% suara gabungan dengan PKS sebagai parpol Islam dengan suara terbanyak. Meski sempat menurun pada pemilihan legislatif di tahun 2009 yang hanya mendapat sekitar 29% suara, pada pileg 2014 jumlah suara gabungan untuk kelima parpol tersebut kembali naik menjadi 31%.8 Kedua, digitalisasi agama.9 Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, globalisasi mendorong agama menembus lintas batas dengan internet sebagai pemicu perpaduan media dengan agama. Di masa kini internet menjelma menjadi “corong”nya Tuhan. Internet yang telah merambah ke seluruh dunia berpadu dengan globalisasi agama kemudian menghasilkan digitalisasi agama yang pada akhirnya menghasilkan mobilisasi agama. Isu-isu yang menyangkut agama menjadi transparan, internasional, dan dipolitisir. Meski agama dan ritualnya masih dipraktikkan di dalam tempat-tempat sucinya masing-masing, pengaruh teknologi terhadap agama tidak terbendung. Kini telah bermunculan saluran-saluran televisi yang bernafaskan keagamaan. Pada tahun-tahun terakhir ini video telah menjadi medium propaganda agama yang didistribusikan selain melalui beragam saluran televisi tersebut, juga lewat internet, toko video komersial, dsb. 8 9 ‘In Indonesia, Moderate Islamic Party Returns to Political Centerstage,’ <http:// www.reuters. com/ article/us-indonesia-election-idUSBREA4A02Q20140511> diakses 8 Februari 2017. Lihat juga Jan Woischnik/Phillip Muller, ‘Islamic Parties and Democracy in Indonesia’ <http://www.kas.de/ wf/doc/kas_35685-544-2-30.pdf?131015120646> diakses 8 Februari 2017. Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ 133-134. [ 21 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kemajuan teknologi juga mengakibatkan menjamurnya website yang menyediakan informasi tentang agama, yang kemudian dapat diakses oleh semua orang di belahan dunia tanpa terganggu oleh batas ruang dan waktu. Lagipula kemajuan internet mengizinkan orang-orang dari berbagai lokasi dapat saling berhubungan tanpa perlu berhadapan secara langsung. Internet juga memungkinkan berlangsungnya forum dan debat yang kemudian mengizinkan ide-ide religius tersebut menyebar dan berkembang pesat.10 Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah umat yang cukup pesat. Fundamentalisme SSebagai ebagai Tantangan G lobalisasi Agama Globalisasi Selain manfaat, globalisasi menghadirkan tantangan terhadap agama, yakni: bangkitnya fundamentalisme agama sebagai respons terhadap ancaman nilai-nilai dan gaya hidup asing yang dibawa oleh globalisasi.11 Gerakan fundamentalis agama hadir dengan misi mereformasi masyarakat dengan mengubah hukum, moralitas, norma-norma sosial dan politik, serta konfigurasi politik sesuai dengan prinsip agamanya yang bertujuan menciptakan masyarakat yang lebih tradisional. Fundamentalisme diekspresikan dalam berbagai cara: pendidikan ulang atau indoktrinasi oleh anggota grup, sikap intoleran atau permusuhan terhadap mereka di luar grup, atau bahkan tindakan kekerasan terhadap mereka yang dianggap ancaman terhadap keberlangsungan grup tersebut.12 Fundamentalisme ini dapat ditemui di dalam agama-agama dunia pada saat ini. Ia tumbuh karena ketidakpastian dalam globalisasi mengakibatkan identitas kolektif keagamaan menyusut menjadi suatu bilangan karakteristik religius budaya, “mereka” dan “kita.” Dengan kata lain, pengikut agama lain menjadi ancaman dan kemudian terjadilah terorisme atas nama agama. Inilah yang kemudian dikenal dengan nama jihad yang identik dengan Islam radikal. 10 ‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <https:// www.moroccoworldnews. com/ 2013/01/75121/religion-and-globalisation-benefits-and-challenges/> diakses 9 Januari 2017. 11 Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ 131-132. 12 Hope S. Antone, ‘The Challenges of Globalization of Religious Education: Some Experiences and Reflections from Asia’ <http://old.religiouseducation.net/ member/01_papers/antone.pdf> diakses 11 Januari 2017. [ 22 ] Murni Hermawati Sitanggang Jihad adalah salah satu konsep Islam yang sering disalahartikan. Pada awalnya jihad sebagaimana yang digambarkan Nabi Muhammad dalam Al-Quran adalah menciptakan masyarakat yang adil makmur, di mana orang kaya dan miskin diperlakukan sama.13 Jadi, jihad dalam konsep penaklukkan Nabi Muhammad saat itu tidak sama dengan konsep sekarang yang dimaknai sebagai “perang suci.” Jihad bahkan dalam pengertian paling radikal sekalipun harus dipahami sebagai aksi tanpa kekerasan untuk membawa perubahan. Kalaupun jihad melibatkan kekerasan, itu seharusnya dipahami dalam konteks perang yang sah dan tidaklah sama dengan konsep terorisme.14 Konsep jihad yang identik dengan terorisme ini menjadi marak ketika Osama bin Laden, aktor intelektual dari tragedi 11 September 2001, mendeklarasikannya sebagai tantangan kepada Amerika Serikat saat itu. Selain karena dianggap acuh terhadap umat Muslim yang mengalami aniaya, bin Laden membenci Amerika karena keberadaan militernya yang secara terus-menerus di tanah Arab. Oleh sebab itu, ia menghimbau semua umat Muslim di dunia untuk mengupayakan segala daya upaya untuk membebaskan dua tempat suci (mesjid Al-Aqsa di Yerusalem dan mesjid Haram di Mekah) serta mengusir pasukan militer Amerika dan sekutunya dari tanah suci Islam sehingga tak dapat mengancam dan mengalahkan umat Muslim manapun.15 Sejak peristiwa 11 September tersebut, Osama bin Laden dan Al-Qaeda telah bertransformasi dari grup fundamentalis menjadi gerakan fundamentalis Islam berskala besar (internasional) yang kemudian mempopulerkan ideologi jihad yang bersifat destruktif secara global. Ideologi ini bahkan menghapus konsep belas kasih dan toleransi 13 Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion’ 131. Haidar Bagir, ‘Religious-Linked Violence and Terrorism’ in Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia (Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014) 240. 15 Kebencian bin Laden terhadap Amerika Serikat ini tertuang jelas dalam dua dokumen: “Declaration of War Against the Americans Occupying the Land of Two Holy Places” dan “The Declaration of the World Islamic Front for Jihad against the Jews and the Christians.” Keacuhan Amerika terhadap apa yang terjadi pada umat Muslim di Bosnia-Herzegovina dan Chechnya membuat bin Laden menyalahkan Amerika Serikat sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kematian umat Muslim di sana meski fokus utama konsep jihad bin Laden adalah mengusir AS dan sekutunya dari tanah Arab (J. M. B. Porter, ‘Osama Bin Laden, Jihad, and the Sources of International Terrorism’ <https://journals.iupui.edu/index.php/iiclr/article/download/17783/ 17966> diakses 8 Februari 2017). 14 [ 23 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi terhadap mereka yang beragama lain. Jihad telah menjelma menjadi alat untuk mencapai kekuasaan di tangan orang-orang yang memproklamirkannya. Gerakan fundamentalis keagamaan pada dasarnya fenomena modern yang menguat karena faktor globalisasi. Globalisasi berkontribusi pada pertumbuhan gerakan tersebut dalam tiga cara:16 Pertama, meluasnya sekularisme dan liberalisme yang berujung pada konsumerisme merupakan momok yang manakutkan bagi kaum religius konservatif. Bagi mereka hal ini dapat mengancam agama mereka sehingga perlu ditangkis. Kedua, menyebarnya teori konspirasi yang dianggap sebagai ancaman bagi agama dan yang terakhir adalah hilangnya kontrol terhadap hidup. Untuk memperoleh kepastian dan kontrol terhadap hidup, orang-orang beralih kepada agama agar mendapat pencerahan dan ketenangan batin. Di Indonesia saat ini, mereka yang menganut paham fundamentalisme ekstrem tidak lagi menyatakan permusuhannya terhadap pemeluk agama lain secara terang-terangan tetapi melakukannya dengan memanfaatkan kemajuan internet. Media sosial dipenuhi dengan akun-akun yang menyebarkan ujaran kebencian atau hasutan atas nama agama. Apalagi dengan adanya momentum pilkada serentak 2017 ini, berita-berita yang standar kebenarannya masih diragukan merajalela menjerat mereka yang kurang cerdas menganalisis dan gampang tersulut emosinya. Agama menjadi topik yang mudah dipakai untuk membakar emosi mengingat agama adalah bagian dari identitas, yang bukan hanya menyangkut pribadi saja melainkan juga komunitas,17 sehingga bila satu orang tersulut maka biasanya ia akan mengajak orang-orang yang di dalam komunitasnya untuk ikut tersulut. Pada 31 Desember 2016 lalu Menkominfo memblokir sembilan situs yang disinyalir menjadi penyebar berita hoax.18 Yang menarik ternyata kesembilan situs tersebut merupakan situs berita yang membawa nama agama. 16 Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion’ 131. Yance Z. Rumahuru, ‘Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah’ (2013) HARMONI, 12 (1) 144. 18 ‘Sembilan Situs Dianggap Penyebar Berita Hoax ini Diblokir’ <https://www.merdeka.com/ teknologi/ sembilan-situs-dianggap-penyebar-berita-hoax-ini-diblokir.html. 31 Desember 2016.> diakses 20 Januari 2017. Penyebab berita hoax gampang menyebar di Indonesia menurut Septiaji Eko Nugroho, pendiri dan ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, adalah karena banyak orang enggan membaca (Lih. ‘Penyebab Berita Hoax Menyebar: Masyarakat Kurang Banyak Baca,’ <https:// m.tempo.co/read/news/2017/01/04/058832705/penyebab-berita-hoax-beredar-masyarakatkurang-banyak-baca> diakses 20 Januari 2017). Akibatnya, ketika membaca berita yang bombatis, 17 [ 24 ] Murni Hermawati Sitanggang Keberadaan berita-berita hoax tersebut tak dapat kita sepelekan karena dapat mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia. Bila dibiarkan maka rakyat Indonesia yang majemuk ini akan terkotak-kotak karena suku dan agama. Padahal negara kita adalah negara Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama) sekaligus ber-Persatuan Indonesia (sila ketiga). Pengamalan sila pertama tidak seharusnya mengancam pengamalan sila ketiga. Kelima sila yang ada di Pancasila sudah sepatutnya diamalkan secara bersamaan dan bukannya dibenturkan demi kepentingan segelintir orang atau demi kekuasaan dan kepuasaan pribadi atau kelompok tertentu. Tetapi realita yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyak orang sibuk membela agamanya karena merasa itu adalah tanggung jawabnya sebagai pemeluk agama yang taat dan lupa bahwa sebagai warga negara Indonesia ia juga punya tanggung jawab untuk menjaga kesatuan bangsanya. Pendidikan Agama di E ra G lobalisasi Era Globalisasi Menafikan Pluralisme Tidak M enafikan P luralisme Membentengi diri dari tantangan globalisasi di Indonesia, bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja melainkan semua pihak. Fundamentalisme harus dihadapi dengan mengobarkan kembali semangat toleransi. Daripada mengembangkan sikap fundamentalis yang cenderung sulit menerima mereka yang keyakinannya berbeda dengannya, akan lebih baik bila masyarakat Indonesia mengembangkan sikap pluralis.19 Pada dasarnya semua agama terkemuka di dunia, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam, mengajarkan beberapa hal yang tak jauh berbeda, seperti: harkat martabat manusia, kesamaan, kebebasan, perdamaian, dan solidaritas. Bila umat Nasrani (pemeluk agama Kristen) daripada mengecek terlebih dahulu kebenarannya, banyak orang cenderung lebih suka menyebarkan ke komunitasnya. Bahkan seringkali ada yang merasa bangga karena menjadi orang pertama yang menyebarkan berita hoax tersebut (lih. ‘Kenapa Orang Indonesia Doyan Sebar “Hoax” di Medsos?’ <http://tekno.kompas.com/read/2017/01/ 08/11083377/kenapa. orang.indonesia.doyan.sebar.hoax.di.medsos.> diakses 20 Januari 2017). 19 Merupakan tanggung jawab semua pihak untuk membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas dan komitmen terhadap agama-agama masing-masing (Muhandis Azzuhri, ‘Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama’ [2012] FORUM TARBIYAH, 12 [1] hlm. 28). [ 25 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi meyakini kedaulatan Tuhan—yang dinyatakan dalam keadilan, belas kasih, rekonsiliasi, hidup berkelimpahan, kedamaian bagi semua orang— Buddhisme mempercayai kebahagiaan sejati ada pada kepuasan dan kesederhanaan serta hubungan antar manusia, kaum Muslim (Islam) memiliki pandangan dunia egalitarianisme (musawah), keadilan sosial (al adalah al ijtimaiyah) dan kedamaian (salam), agama Hindu juga berbicara tentang keterhubungan semua makhluk di dalam satu realitas kosmis.20 Ada suatu aturan emas yang terdapat dalam semua agama, yakni: “apa yang tidak kau harapkan dilakukan orang lain padamu, jangan lakukan juga kepada orang lain.”21 Lagipula, semua agama mengandung suatu nilai pijakan bersama, yakni lahir dari pencarian manusia untuk terhubung dengan pribadi yang lebih besar dari dirinya.22 Akan tetapi, kita mesti berhati-hati dengan pluralisme yang mengarah kepada relativisme. Relativisme muncul ketika para penganut agama tertentu dengan penganut lainnya kemudian berusaha mencari persamaan daripada perbedaan agar tercipta keselarasan. Ini kemudian menghasilkan pandangan bahwa pada dasarnya tidak ada agama yang benar-benar “benar” sebagaimana tidak ada agama yang benar-benar “salah.” Semuanya relatif.23 Banyak yang menganggap daripada fundamentalisme yang bersifat keras, pluralisme dan relativisme cenderung aman dan tidak berbahaya. Akan tetapi, penulis tidak setuju dengan pandangan ini. Paham relativisme yang terkandung dalam pluralisme sama berbahayanya dengan fundamentalisme yang ekstrem. Relativisme menghilangkan keunikan tiaptiap agama karena menganggap semuanya sama dan mendangkalkan iman para pemeluknya. Relativisme dalam agama tak dapat diterima oleh pemeluk yang ingin serius dengan agama dan keyakinannya.24 20 Antone, ‘The Challenges of Globalization.’ Daniel Golebiewski, ‘Religion and Globalization on New Possibilities Furthering Challenges,’ <http://www.e-ir.info/2014/07/16/religion-and-globalization-new-possibilities-furthering-challenges/> diakses 15 Januari 2017. 22 Margaret Placentra Johnston, ‘Globalization vs Traditional Religion,’ <http:// www. huffingtonpost.com/margaret-placentra-johhston/globalization-vs-traditional-religion_b_ 2170609.html.> diakses 15 Januari 2017. 23 Golebiewski, ‘Religion and Globalization on New Possibilities Furthering Challenges.’ 24 Asanga Tilakaratne, ‘Globalization and Religion in Asia: Is Religion an Equal Competitor?’ <http:/ /dharmalib.net/globalization-and-religion-in-asia-isreligion- an-equal-competitor> diakses 24 Januari 2017. 21 [ 26 ] Murni Hermawati Sitanggang Pluralisme dapat diterima sebatas saling menghormati harkat dan martabat manusia, menganggap manusia lain sama kedudukannya dengan dia meski berbeda agama. Dengan demikian, pluralisme yang perlu dikembangkan adalah pluralisme dalam kategori sosial, yang lebih mengedepankan pada semangat toleransi bahwa semua pemeluk agama manapun berhak hidup dan meyakini agama serta kepercayaannya. Untuk mengobarkan kembali semangat toleransi dan pluralisme yang demikian, masyarakat perlu diingatkan kembali lewat pendidikan dan pengajaran. Sebenarnya sejak dahulu kala bangsa Indonesia yang majemuk telah belajar untuk hidup selaras dengan keragaman yang ada. Akan tetapi, perkembangan zaman dan globalisasi memang telah menggerus karakteristik dan kultur tersebut. Oleh sebab itu, rakyat Indonesia perlu kembali belajar untuk hidup selaras bersama meski dengan perbedaan yang ada. Melibatkan Semua Pihak dan Berkesinambungan Pertanyaan yang kemudian timbul adalah dari mana atau di mana pendidikan tersebut seharusnya dimulai? Pendapat Alwi Shihab dapat dijadikan sebagai jawaban ketika ia mengemukakan hal ini harus dimulai dari keluarga.25 Setiap orang tua harus mengajarkan kepada anaknya untuk menghormati orang yang memiliki keyakinan yang beda dengannya. Agar dapat mengajarkan hal itu tentunya orang tua haruslah lebih dahulu menyingkirkan segala stereotip, kecurigaan, ketakutan, bahkan kebencian terhadap mereka yang berbeda dengannya. Perlu adanya kesadaran bahwa di era globalisasi ini kita berdampingan dengan mereka yang bukan hanya keyakinannya saja berbeda dengan kita, melainkan juga suku/rasnya, budaya, dan cara hidupnya. Daripada melihat mereka sebagai sesorang yang kafir dan perlu kita “pertobatkan,” akan lebih baik bila menerima mereka sebagaimana adanya. Bagaimana pun dasar negara Indonesia di mana kita hidup adalah Pancasila yang menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Mendidik anak untuk berakar dalam keyakinannya memang harus tetap diajarkan, namun 25 Alwi Shihab, ‘Building Bridges through Inter-Religious Dialogue,’ in Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia (Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014) 190. [ 27 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi jangan sampai hal itu kemudian menjurus pada fundamentalisme dengan memusuhi mereka yang memeluk keyakinan berbeda. Untuk itu, setiap orang tua perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang hal ini. Itu sebabnya, berbicara tentang pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat dilepaskan dari konteks pendidikan agama di lembaga formal dan di rumah-rumah ibadah sebab dari sanalah para orang tua mendapatkan bekalnya karena untuk dapat mengajarkan yang benar tentu si pengajar harus memiliki pemahaman yang benar terlebih dahulu. Pendidikan agama dalam keluarga juga harus dikuatkan dengan pendidikan kepribadian dan karakter di lembaga formal, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi. Institusi pendidikan dalam hal ini perlu memperkuat Pendidikan Agama dan pendidikan Pancasila serta Kewarganegaraan. Mungkin tak ada yang perlu kita kuatirkan dari pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan karena keduanya berisi pelajaran yang memang memupuk kecintaan pada bangsa dan negara serta bagaimana mengembangkan sila-sila Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Namun tidak demikian halnya dengan pendidikan agama. Menurut Wahyu Pramudya, pendidikan agama yang berlangsung selama ini seringkali masih berkisar masalah ajaran dengan memberikan penekanan yang kurang terhadap masalah praktik agama.26 Senada dengan Pramudya, Abdul Khobir mengkritisi bagaimana persoalan agama yang substansial, seperti: pemaknaan kesalehan dalam konteks sosial, perlunya kerja rintisan yang kreatif dan transformatif serta keharusan kerja sama dengan umat beragama lain sebagai manifestasi keragaman yang benar, tidak pernah atau kurang menjadi perhatian dalam pendidikan agama yang berlangsung selama ini.27 Setiap pendidik agama apapun juga di Indonesia punya tanggung jawab mendidik umat untuk meningkatkan tingkat penghayatan terhadap keyakinannya sendiri. Namun, ia juga perlu mendidik umat untuk menghargai keyakinan agama lain tanpa mengorbankan identitas dirinya sebagai bagian dari kelompok agama tertentu. Ini yang kadangkala kurang diperhatikan para pendidik agama, yang lebih cenderung menekankan sifat 26 Wahyu Pramudya, ‘Pluralitas Agama: Tantangan “Baru” bagi Pendidikan Keagamaan di Indonesia,’ (Oktober 2005) Veritas 6 (2) 284. 27 Abdul Khobir, ‘Pendidikan Agama Islam di Era Globallisasi,’ (Juni 2009) Forum Tarbiyah 7 (1) 5. [ 28 ] Murni Hermawati Sitanggang eksklusif dari agama yang dianutnya. Pendidikan agama di lembaga formal sepatutnya mengembangkan pendidikan yang bersifat dialogis dan mengusahakan perjumpaan antar penganut agama di dalam menghadapi masalah-masalah bersama.28 Pada prinsipnya pendidikan agama berlangsung seumur hidup sehingga kita tak dapat menggantungannya pada institusi pendidikan formal saja. Selain mendapatkan pendidikan agama dari keluarga dan sekolahan, kita juga mendapatkannya di tempat-tempat ibadah. Malah sepertinya pendidikan agama yang didapat dari tempat-tempat ibadah dan dalam lingkungan komunitas masyarakat sifatnya lebih berakar dalam hal pembentukan pemahaman umat karena berlangsung lebih lama dan lebih sering daripada yang ia terima di lembaga formal. Pendidikan agama yang diterima seseorang di lembaga formal hanya sebatas tingkat Sarjana di Perguruan Tinggi, kecuali ia mendalami ilmu agama hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Itupun di tingkat Perguruan Tinggi, Pendidikan Agama hanya mendapat jatah 1 (satu) semester saja. Beda dengan sebelumnya, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di mana peserta didik menjalani Pendidikan Agama dari awal hingga akhir masa pendidikan. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan agama di tempat-tempat ibadah perlu diperhatikan. Para pemuka agama bertanggung jawab untuk mendidik dan mempersiapkan umatnya dalam menghadapi tantangan zaman tanpa mengorbankan nilai agama yang dianutnya. Para pemuka agama tidak boleh lupa untuk mengajarkan kepada umatnya tentang cinta kasih dan bagaimana menghargai pemeluk agama lain secara konkret. Dalam proses ini semua pemuka agama harus terlebih dahulu menghilangkan prasangka dan sikap eksklusivisme ekstrem dari dirinya. Karena bila seorang pemimpin sudah memilih sikap dan pemahaman yang keliru maka secara otomatis itu akan menular kepada umat yang dipimpinnya. Apalagi budaya masyarakat Indonesia cenderung mendudukkan posisi pemimpin agama dan kerohanian di posisi yang terhormat sehingga lebih suka mengiyakan semua perkataan dan ajarannya daripada mengkritisi. Hampir di semua agama di Indonesia ada anggapan seakan mempertanyakan atau mengkritisi apa yang dikatakan dan diajarkan oleh pemuka agamanya adalah dosa. 28 Pramudya, ‘Pluralitas Agama’ 287-288. Lihat juga Kobir, ‘Pendidikan Agama Islam’ 8. [ 29 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Keyakinan yang kokoh akan ajaran agamanya memang sepatutnya ada dalam diri setiap insan beragama, namun kesadaran akan adanya dasar bersama atau aturan emas yang berlaku di semua agama untuk mengasihi setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tak boleh diabaikan. Para pemuka agama seharusnyalah menjadi teladan dalam hal ini karena sejatinya dalam pendidikan agama bukan hanya pengetahuan atas dogma saja yang penting melainkan harus diimbangi dengan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari bahkan lebih efektif dalam mengajari umat daripada sekadar khotbah tanpa dapat menerapkannya. Keteladanan tersebut dapat ditunjukkan dalam sikap yang terbuka untuk berdialog, bekerja sama, dan bijak dalam mengeluarkan pendapat dan komentar terkait agama lain. Apalagi dengan maraknya berita hoax yang acapkali memakai isu agama akhir-akhir ini maka menjadi tugas para pemimpin agama untuk mendidik jemaatnya untuk lebih dahulu kritis dalam menelusuri kebenaran suatu berita, bersikap bijak, dan tidak gampang terpancing dalam menanggapi setiap isu. Memiliki Semangat Nasionalisme Selain mengajarkan tentang dasar-dasar iman kepada Tuhan dan rasa cinta kepada sesama, para pendidik dan pemuka agama juga tidak boleh lupa untuk memupuk rasa nasionalisme di dalam diri anak didik dan umat yang dipimpinnya. Setiap penganut agama apapun di Indonesia ini perlu untuk selalu ingat bahwa terlepas dari agama apapun yang ia anut, ia adalah orang Indonesia, yang wajib menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pancasila tidak perlu dipertentangkan dengan agama karena pada dasarnya Pancasila merupakan wadah yang memungkinkan semua agama di Indonesia tetap eksis. Itu sebabnya, pendidikan agama di era globalisasi ini harus selaras dengan ideologi Pancasila. Memang hakikat dari pendidikan agama adalah mengajarkan nilai-nilai ketuhanan. Akan tetapi, nilai-nilai tersebut haruslah nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan yang demikian adalah nilai ketuhanan yang positif, yang digali dari nilai-nilai proteis agama yang sifatnya inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan.29 Dalam aspek 29 M. Pujo Darmo, ‘Implementasi Pancasila dalam Pembangunan Karakter Bangsa di Era Globalisasi’ (2011) Magistra, 78 (23) 49. [ 30 ] Murni Hermawati Sitanggang penerapannya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, nilai ketuhanan tersebut harus memiliki semangat nasionalisme di dalamnya. Misi pendidikan agama di Indonesia seharusnya bukan saja menghasilkan individu atau komunitas yang mencintai Tuhannya, namun juga individu atau komunitas yang mencintai bangsa dan negaranya, yang dalam mewujudkan kecintaan tersebut berusaha menjaga keutuhan bangsa dengan semangat nasionalisme. Tidaklah sulit mengembangkan pendidikan agama yang bersifat pluralis sebagaimana yang dibahas sebelumnya, bila di dalam diri setiap orang tua, pendidik, dan pemuka agama tertanam semangat nasionalisme. Oleh sebab itu, mereka yang bertanggung jawab memberikan pendidikan agama kepada generasi selanjutnya, tidak saja dituntut harus agamis tetapi juga harus nasionalis/Pancasilais. Kesimpulan Pengaruh globalisasi terhadap agama memang nyata dan sangat terasa. Ada manfaat yang diberikan namun tidak ringan juga tantangan yang dihasilkannya. Manfaat yang diberikan globalisasi terhadap agama adalah kemajuan teknologi yang mendukung berkembangnya ajaran agama. Akan tetapi, globalisasi agama juga melahirkan tantangan fundamentalisme yang dapat mengancam keutuhan dan persatuan bangsa. Rasa nasionalisme yang seharusnya terpupuk dengan baik dalam diri setiap anak bangsa menjadi tergerus bila ia terseret oleh arus fundamentalisme. Cara menghadapi tantangan tersebut adalah dengan membangkitkan kesadaran akan pentingnya toleransi dan saling menghargai sesama makhluk Tuhan. Untuk itu, pendidikan agama—baik yang dilakukan di institusi umum, keagamaan atau bahkan dalam lingkup keluarga—harus menjadi ujung tombak yang diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang mampu menghayati ajaran agamanya dan sekaligus dapat hidup selaras dengan pemeluk agama lain. Ujung tombak itu perlu diasah bersama supaya lebih tajam. Tanggung jawab tersebut terletak di bahu segenap lapisan masyarakat Indonesia, bukan hanya di pundak para pemimpin agama atau guru agama atau pemerintah saja, melainkan semua orang. Memiliki agama dan kepercayaan serta menjalaninya merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin undang-undang sebagai [ 31 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi pengamalan sila ke-1. Akan tetapi, jangan sampai pengamalan kita akan sila pertama tersebut malah mengancam sila ketiga (Persatuan Indonesia). Itu tak dapat dibenarkan karena yang seharusnya adalah setiap warga negara Indonesia menjalani agama dan keyakinannya dengan tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dalam pendidikan agama. Untuk itu pendidikan agama haruslah berwawasan Pancasila. Dalam bentuk sederhana, orang tua dapat melakukannya dengan menanamkan identitas kebangsaan kepada anak-anaknya dan mengajak anak untuk mendoakan keutuhan bangsa dan negara. Di dalam lingkungan komunitas umat beragama, hal ini dapat dilakukan dengan menyisipkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa sebagai bagian dari kewajiban dan tanggung jawab umat beragama terhadap dirinya, sesama, dan Tuhan dalam kotbah dan pengajaran oleh para pemuka agama dan pemimpin umat. Sedangkan di dalam institusi pendidikan, hal ini dapat dikerjakan dengan mensinergikan antara pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan. Karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang melandasi keempat sila lainnya, maka pada dasarnya prinsip ketuhanan merupakan bagian penting dari muatan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Agar lebih sinergi maka sudah seharusnyalah pendidikan agama juga memasukkan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air sebagai bagian dari pengajarannya selain doktrin tentang agama masing-masing serta cinta kasih terhadap sesama manusia. Referensi ‘In Indonesia, Moderate Islamic Party Returns to Political Centerstage,’ <http://www.reuters.com/article/us-indonesia-electionidUSBREA4A02Q20140511> diakses 8 Februari 2017 ‘Kenapa Orang Indonesia Doyan Sebar “Hoax” di Medsos?’ <http:// tekno.kompas.com/read/2017/01/08/11083377/kenapa.orang. indonesia.doyan.sebar.hoax.di.medsos.> diakses 20 Januari 2017 ‘Penyebab Berita Hoax Menyebar: Masyarakat Kurang Banyak Baca,’ <https://m.tempo.co/read/news/2017/01/04/058832705/ penyebab-berita-hoax-beredar-masyarakat-kurang-banyak-baca> diakses 20 Januari 2017 [ 32 ] Murni Hermawati Sitanggang ‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <https:// www.moroccoworldnews.com/2013/01/75121/religion-andglobalisation-benefits-and-challenges/> diakses 9 Januari 2017. ‘Sembilan Situs Dianggap Penyebar Berita Hoax ini Diblokir’ <https:// www.merdeka.com/teknologi/sembilan-situs-dianggap-penyebarberita-hoax-ini-diblokir.html. 31 Desember 2016.> diakses 20 Januari 2017. ‘The Future of World Religions: Population Growth Projections, 20102050’ <http://www.pewforum.org/2015/04/02/religiousprojections-2010-2050/> diakses 8 Februari 2017). Antone, Hope S. ‘The Challenges of Globalization of Religious Education: Some Experiences and Reflections from Asia’ <http://old. religiouseducation.net/ member/01_papers/antone.pdf> diakses 11 Januari 2017. Azzuhri, Muhandis. ‘Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam Pendidikan Agama’ (2012) FORUM TARBIYAH Vol. 12 (1) 13. Bagir, Haidar. ‘Religious-Linked Violence and Terrorism’ in Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia (Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014). Darmo, M. Pujo. ‘Implementasi Pancasila dalam Pembangunan Karakter Bangsa di Era Globalisasi’ (2011) Magistra, 78 (23) 49. Chatterjee, Subhrajit. ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ (Apr 2014) The Echo Vol. II Issue IV 130-131. El Azzouzi, Monaim. ‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <http://journal.ispri.ro/wp-content/uploads/2013/03/150-154Monaim-El-Azzouzi.pdf.> Diakses 19 Januari 2017. Golebiewski, Daniel. ‘Religion and Globalization on New Possibilities Furthering Challenges,’<http://www.e-ir.info/2014/07/16/ religion-and-globalization-new-possibilities-furtheringchallenges/> diakses 15 Januari 2017. Husani, George. ‘Effects of Globalisation, Urbanisation and Post Modernity on Religious Peace: The Way Forward’ <http://www. georgehusani.org/home/ index.php/other-articles/60-effects-ofglobalisation-urbanisation-and-post-modernity-on-religiouspeace-the-way-forward> diakses 11 Januari 2017. [ 33 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Johnston, Margaret Placentra. ‘Globalization vs Traditional Religion,’ <http:// www.huffingtonpost.com/margaret-placentra-johhston/ globalization-vs-traditional-religion_b_2170609.html.> diakses 15 Januari 2017. Khobir, Abdul. ‘Pendidikan Agama Islam di Era Globallisasi,’ (Juni 2009) Forum Tarbiyah Vol. 7 No. 1, 5. Porter, J. M. B. ‘Osama Bin Laden, Jihad, and the Sources of International Terrorism’ <https://journals.iupui.edu/index.php/iiclr/article/ download/17783/17966> diakses 8 Februari 2017 Pramudya, Wahyu. ‘Pluralitas Agama: Tantangan “Baru” bagi Pendidikan Keagamaan di Indonesia,’ (Oktober 2005) Veritas Vol. 6 No. 2, 284. Yance Z. Rumahuru, ‘Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah’ (2013) HARMONI Vol. 12 (1), 144. Shihab, Alwi. ‘Building Bridges through Inter-Religious Dialogue,’ in Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia (Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014). Stibli, Florin. ‘Terrorism in the Context of Globalization’ (2010) AARMS Vol. 9 No. 1, 1. Tilakaratne, Asanga. ‘Globalization and Religion in Asia: Is Religion an Equal Competitor?’ http://dharmalib.net/globalization-andreligion-in-asia-is-religion-an-equal-competitor. Diakses 24 Januari 2017. Woischnik, Jan dan Phillip Muller, ‘Islamic Parties and Democracy in Indonesia’ <http://www.kas.de/wf/doc/kas_35685-544-230.pdf?131015120646> diakses 8 Februari 2017. [ 34 ] PANC A SIL A VERSUS GLOBALISA SI: ANT ARA PANCA SILA GLOBALISASI: ANTARA KONFRONT A SI D AN HARMONISA SI? KONFRONTA DAN Anik Iftitah Pendahuluan C oncepts is the building blocks of theories. Beda konsep, beda pula teorinya. Dasar pembenar pengetahuan serta teori-teori yang dibangun, semuanya berpangkal pada paradigma. Paradigma adalah “suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasainya”. Relasi erat dan tidak terpisahkan dari konsep, teori dan paradigma adalah teori merupakan bangunan konsep yang berpangkal pada paradigma.1 Indonesia sebagai negara hukum, sudah selayaknya dan semestinya hukum dalam substansinya, maupun hukum dalam implementasinya, bersumber pada kebudayaan bangsanya sendiri, tidak bersumber dari/pada kebudayaan bangsa lain, karena hukum merupakan peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis untuk mengatur tingkah laku manusia dan kehidupan masyarakat (for the guidance of human conduct and society), atau lebih lengkapnya seperti pendapat T.F.T Plucknett, revised by Harry W. Jons dari Columbia University yang mengatakan, “hukum meliputi semua prinsip-prinsip (asas-asas), peraturan-peraturan dan penetapan- 1 Kesimpulan penulis setelah membaca dan memahami tulisan Soetandyo Wignjosoebroto, Tentang Teori, Konsep dan Paradigma dalam Kajian Tentang Manusia, Masyarakat dan Hukumnya. [ 35 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi penetapan yang dipergunakan (dijadikan pedoman) oleh pengadilanpengadilan dan dipertahankan (ditegakkan) oleh kekuasaan negara”.2 Indonesia yang selayaknya dan semestinya selalu bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri, paralel seperti kata von Savigny, “masing-masing masyarakat berlain-lainan volkgeist-nya”3, sehingga hukum yang paling baik adalah hukum yang mengakomodasi dan berasal dari kesadaran masyarakat4. Berpangkal pada paradigma (sudut pandang) dan konsep seperti tersebut di atas, maka teori yang penulis gunakan dalam tulisan “Pancasila versus Globalisai: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi?” ini adalah teori sistem hukum Lawrence M. Friedmann. Sistem merupakan tatanan atau kesatuan utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Sistem hukum adalah suatu kumpulan unsurunsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan. Masing-masing bagian atau unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian atau unsur-unsur lain dan dengan keseluruhannya seperti mozaik atau “legpuzzle”. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain tetapi kait-mengait. Arti pentingnya tiap bagian terletak justru dalam ikatan sistem, dalam kesatuan, karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain.5 Menurut Lawrence M. Friedmann,6 untuk kepentingan analisis teoritik, demi kedayagunaannya yang praktikal, hukum nasional sebagai sistem institusional, mesti dikenali dengan tiga unsur pokoknya yaitu substansi perundang-undangan, struktur organisasi pengadaan dan penegakannya, dan yang ketiga adalah kultur yang akan ikut menjadi determinan 2 3 4 5 6 Lihat Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. 48. Ibid., hlm. 49. Ade Saptomo, “Budaya Hukum dalam Masyarakat Plural dan Problem Implementasinya”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012, hlm. 187 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1996, hlm. 1819 Lawrence M. Friedman, The Legal System; A Social Scince Prespective, New York: Russel Sage Foundation, 1975, hlm. 12 – 16. [ 36 ] Anik Iftitah bermakna-tidaknya hukum dalam kehidupan nasional dari hari ke hari.7 Substansi hukum (substance rule of the law) didalamnya melingkupi seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik yang hukum material maupun hukum formal. Substansi yang tercermin dalam peratutan perundang-undangan selalu berasal dari budaya hukum. Dan, struktur hukum (structure of the law) yaitu institusi hukum yang bekerja untuk membuat maupun menerapkan dan menegakan hukum, juga dipengaruhi oleh budaya hukum yang hidup dan mempengaruhi orangorang yang bekerja didalam setiap institusi itu. Budaya hukum (legal culture) merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaankebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat. Karena itu, dari teori tiga sub-sistem stuktur, substansi, dan kultur hukum yang dikemukakan oleh Friedmann tersebut di atas, basis dari semua aspeknya adalah budaya hukum. Budaya hukum itulah yang menjadi komponen utama dalam setiap sistem hukum.8 Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya. Jika stuktur hukum diibaratkan mesin, substansi hukum diibaratkan apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan, maka kultur atau budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin tersebut digunakan.9 Budaya hukum adalah seperangkai nilai, gagasan, norma yang menjadi pedoman berpikir, berucap, berperilaku, bertindak, sesuai dengan yang diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat, telah terinternalisasi ke dalam alam kesadaran (mindset) secara turun temurun dan berfungsi sebagai pedoman yang menghubungkan antara das sollen (konsep hukum) dan das sein (praktek hukum)-nya. Budaya hukum lahir/berasal dari proses 7 8 9 Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja Penegakan Hukum di Negeri Ini?”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012, hlm. 4. Jimly Asshiddiqie, “Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012, hlm. 22-23. Frans Hendra Winarta, “Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012, hlm. 79. [ 37 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi internal selama perkembangan masyarakat berlangsung, membentuk polapola tindakan yang dianggap benar dalam perjalanan interaksinya antar intern warga maupun antar warga dengan warga dari luar, dan akhirnya menjadi pedoman bertindak oleh sebagian besar warga (seperangkat nilai bersama).10 Dalam konteks Indonesia, Pancasila-lah yang dimaksud teori Lawrence M. Friedman sebagai inti legal cultural (budaya hukum Indonesia).11 Pancasila-lah budaya hukum bangsa Indonesia, yaitu seperangkat nilai normatif bersama yang diperoleh dari keseluruhan budaya Bangsa Indonesia.12 Budaya hukum bangsa Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah Pancasila, seperti halnya yang dinyatakan oleh Soekarno, karena Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia. Pancasila JJati ati D iri B angsa IIndonesia ndonesia Diri Bangsa Baharuddin Lopa menyatakan bahwa sistem hukum negara Indonesia adalah sistem hukum yang bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia. Sumber dari segala sumber hukum untuk mengatur penyelenggaraan negara;13 pedoman bagi pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah dalam masyarakat dan negara.14 Pancasila mesti menjadi sesuatu yang kokoh, yang tak dapat digeser-geser, dirongrong atau diumbang-ambingkan. Pancasila merupakan bahasa Sangsekerta yang berarti Lima Dasar: panca=lima; sila=aturan; watak. Perkataan Pancasila, sudah dipakai di tanah Indonesia sejak abad XIV. Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila yang mengakui Ketuhananlah yang menjadi dasar negara. Sehingga jelaslah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan monoteisme (Ketuhanan yang Satu) dan bukan politeisme/kedewaan yang banyak) dan sekali-kali tidaklah berdasarkan Ateisme (tidak bertuhan). 10 Ade Saptomo, supra note 4, hlm. 188. Ibid, hlm. 192. 12 Ibid, hlm. 191. 13 Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 25. 14 Achmad Fauzi, Pancasila (Tinjauan Dari Aspek Filsafat), Malang: Lembaga Penerbitan dan Publikasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, 1991, hlm. 43. 11 [ 38 ] Anik Iftitah Warga Negara Indonesia mempunyai kebebasan dalam memeluk agamanya. Walaupun negara Indonesia berdasarkan kepada pengakuan Ketuhanan, tetapi tidaklah dapat dikatakan, bahwa Republik Indonesia itu suatu susunan theocratie15, karena dalam konstitusi ditegaskan bahwa segala kekuasaan bersumber kepada Kedaulatan Rakyat. Artinya, Indonesia merupakan negara ber-Ketuhanan, namun bukan negara agama. Hal ini mengandung arti, bahwa semua sistem yang diterapkan di Indonesia, seyogianya tidak hanya baik untuk satu agama tertentu saja, tetapi juga harus membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia dari ras, suku dan keberagaman lainnya. Karena keberagaman adalah benih dasar Indonesia.16 Implikasinya dari hal tersebut adalah, bahwa pemahaman ber-agama di Indonesia, mesti dipadu dengan wawasan Pancasila yang mengintegrasi seluruh elemen bangsa yang bhinneka. Ber-agama tanpa wawasan Pancasila dan tidak peka terhadap perubahan, justru akan memperkuat separasi bangsa dan memudarkan integrasi nasional yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.17 Sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan sila yang mengakui bahwa manusia seluruh dunia itu ialah sama-sama makhluk Tuhan. Sikap rohani demikian mengatasi sikap kebangsaan yang sempit dan mengatasi segala perasaan yang terikat kepada perwatakan bangsa dan negara. Dengan demikian segala bangsa itu sama tinggi dan sama rendahnya. Pada pelaksanaannya, kemanusiaan yang adil dan beradab sangat berlawanan dan menentang segala bentuk penjajahan karena didorongkan pendirian dan pegangan tindakan merasa lebih berhak memegang kekuasaan politik dan ekonomi bangsa yang lain. 15 Menyikapi relasi antara agama dan negara, Nurcholish Madjid (Cak Nur) berpandangan bahwa Islam (agama) itu untuk manusia, yang implikasinya adalah bahwa Islam itu untuk kebaikan semua manusia atau rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam raya). Islam sebagai agama kemanusiaan itu, bagi Cak Nur merupakan salah satu pokok (substansi) dari Islam itu sendiri. Dalam konteks Indonesia yang plural, Islam harus menempatkan diri sebagai suatu rahmat. Karena cita-cita keIslaman yang fithri itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya, maka cita-cita keIslaman di Indonesia juga sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. (M. Tahir, “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Pandangan Nurcholish Madjid”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan, X (1) 2012, hlm. 46). 16 Eko A Meianarno, Sri Fatmawati Mashoedi, “Pembuktian Kekuatan Hubungan antara Nilai-Nilai Pancasila dengan Kewarganegaraan”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1 (1) 2016, hlm. 12. 17 Nur Khalik Ridwan, “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, I (2) 2012/1434. [ 39 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia, merupakan sila yang menjelaskan bahwa Nasionalisme Indonesia ialah Nasionalisme Persatuan (Unitarisme) dan bukanlah Nasionalisme Federalisme. Selain itu, dikehendaki kemerdekaan yang penuh bagi seluruh daerah dan rakyat Indonesia, serta menjaganya agar dapat melaksanakan kehidupan bangsa yang bebas dan merdeka. Republik Indonesia ialah suatu etat-national (negara kebangsaaan) yang berdasar kebangsaan dan kerakyatan. Variabel yang mencerminkan perilaku menjalankan sila Persatuan ini adalah perwujudan rasa kebanggaan pada bangsa sendiri dan cinta tanah air. Mencintai berbagai benda yang khas dari Indonesia, merupakan wujud dari kebanggaan pada bangsa sendiri. Menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah wujud dari cinta tanah air. Dengan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, akan terpupuk rasa persatuan bagi masyarakat Indonesia karena adanya kebakuan yang dipahami secara bersama-sama.18 Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional Indonesia, sangat vital sekali peranannya dalam pemersatu bangsa. Tinggi rendahnya, tidak ditentukan oleh banyaknya atau tidak banyaknya jumlah pemakainya, tetapi tinggi rendahnya ditentukan oleh tinggi rendahnya bentuk kesadaran yaitu nilai-nilai dasar hidup yang terkandung didalamnya. Bahasa Indonesia adalah alat bangsa Indonesia untuk menyatakan kesadarannya. Bahasa yang baik dan benar, akan memupuk persatuan (integrasi), bahasa yang tidak baik dan tidak benar, dapat mencerai-beraikan, membuka dan/atau memperbesar peluang disintegrasi bangsa Indonesia yang bhinneka. Sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, merupakan sila yang menjelaskan kerakyatan atau demokrasi merupakan dasar bentukan pemerintah dan masyarakat yang di dalamnya kekuasaan memerintah atau mengatur dipegang secara sah tidak hanya oleh satu atau beberapa golongan saja, melainkan oleh segala anggota masyarakat. Demokrasi itu dilaksanakan dalam negara dengan jaminan, sehingga dapat berjalan menurut aturan peradaban, kebiasaan, dan agama. Permusyawaratan yang mencari kata mufakat ini, dengan perantaraan perwakilan dalam susunan negara yang melibatkan seluruh rakyat. 18 Eko A Meianarno, supra note 17, hlm. 12. [ 40 ] Anik Iftitah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan sila yang menjelaskan untuk melaksanakan kesejahteraan umum bagi segala penduduk dan warga negara.19 Demokrasi ekonomi sebagai tuntutan yang hampir sejajar dengan keadilan sosial menghendaki persamaan kesejahteraan harta benda dengan melemahkan atau menghilangkan perbedaan besar antara kemakmuran warga negara atau golongan-golongan Rakyat.20 Berpandangan berdasarkan Pancasila, berarti pertama, mendasarkan segala sesuatu menurut metode berlandaskan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Mananaka tidak dapat dihasilkan menurut metode berlandaskan sila pertama Pancasila, dapatlah berlandaskan sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan demikian jelaslah bahwa kebudayaan yang normatif ciptaan manusia adalah untergeordenet (dikebawahkan) kepada sila pertama yang lebih tinggi dan lebih utama. Sila Persatuan Indonesia, sila Kesatuan Bangsa hendaklah senantiasa dipelihara dan dipupuk dengan segala kemampuan dan kemauan baik yang ada pada kita Bangsa Indonesia yang beragama sambil menyempurnakan pula urusan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terpeliharanya dengan baik hidup Kesatuan Bangsa/Rakyat Indonesia yang bhinneka tunggal ika adalah syarat mutlak untuk kelancaran berlakunya sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sebaliknya, rusaknya Kesatuan Bangsa yaitu pecahnya Persatuan Indonesia (sila ke-3) akan langsung mempengaruhi sila ke-4 menjadi “kerakyatan yang dipimpin oleh fitnah dan kecurigaan, atau dipimpin oleh komplotan kepentingan golongan”21, seperti yang terepresentasi dalam berbagai konflik agraria di Indonesia.22 19 Achmad Fauzi, supra note 14, hlm. 41-43. Ibid, hlm. 41-43. 21 Ibid, h.35-37. 22 Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang secara resmi dibuka oleh Menteri Pertanian Indonesia pada 11 Agustus 2010 sebagai proyek skala besar yang didesain untuk memproduksi tanaman pangan dan bahan bakar dari tumbuhan, berpotensi mengancam dan memusnahkan kepercayaan, identitas, simbol leluhur, dan sumber pangan suku lokal seperti suku Malind, Muyu, Mappi dan Auyu di Merauke. (Amin Tohari, Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, 2013, hlm. 57-58. 20 [ 41 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sebagaimana Pembukaan UUD 1945, maka sila-sila pertama, kedua, ketiga dan keempat adalah dasar negara. Sedangkan sila kelima adalah tujuan paling pertama, tujuan pokok dari bangsa dan negara Indonesia, yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang harus dicapai dengan mengikuti sungguh-sungguh tuntutan empat prinsip besar yang merupakan dasar negara23 (sila pertama, kedua, ketiga dan keempat Pancasila). Perwujudan keadilan sosial di bidang agraria adalah mewujudkan keadilan agraria, yaitu kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidup rakyat pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidupnya.24 Bagaimana manifestasi budaya hukum bangsa Indonesia bernama Pancasila, ketika dilanda perubahan bertubi bernama globalisasi dalam mewujudkan tujuan keadilan sosialnya di bidang agraria yang bernama keadilan agraria? Hal inilah yang ingin penulis uraikan dalam tulisan berjudul “Pancasila versus Globalisai: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi?” ini. Pancasila vversus ersus G lobalisasi dalam K onteks Agraria Globalisasi Konteks Indonesia dalam milenium ketiga saat ini, mau tidak mau masuk dalam gelombang pasang yang melanda dunia yang bertajuk globalisasi, sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll). Derasnya pusaran globalisasi, mentransformasi agraria dengan konversi besar-besaran lahan pertanian untuk kepentingan komersial, industri perumahan, pariwisata, dan infrastruktur serta tujuan konservasi lingkungan25. Di zaman globalisasi sekarang ini, negara Indonesia secara terus-menerus dibentuk menjadi negara neoliberal dalam rangka 23 Hazairin, supra note 1. Noer Fauzi Rachman, Land Reform dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012, hlm. 139. 25 Ahmad Nashih Luthfi, “Ekslusi dan Inklusi sebagai Dua Sisi Mata Uang”, Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 37 Tahun 12, April 2013, hlm. 197. 24 [ 42 ] Anik Iftitah melancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalis. Neoliberalisme merupakan suatu proyek ideologi dan politik yang menomor satukan prinsip-prinsip kebebasan berusaha, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi modal skala dunia. Akumulasi dan sirkulasi modal skala dunia pada zaman globalisasi saat ini, telah sampai pada strategi pembentukan-pembentukan kawasan-kawasan pasar bebas (free-trade zone).26 Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan atau komoditi, tak terkecuali terhadap tanah. Tanah yang sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan melainkan melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial, direorganisasi dan direkontruksi dengan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas global seperti yang dirancang secara terpusat dengan Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam MP3EI 2011-2025 koridor ekonomi Sumatera, Banten Utara, produksi komoditas global yang diandalkan berupa sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/ CPO, karet, dan batubara; Jawa, produksi komoditas global yang diandalkan berupa pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut; Kalimantan, produksi komoditas global yang diandalkan berupa pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan Batubara; Sulawesi, Maluku Utara produksi komoditas global yang diandalkan berupa pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional degan fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel; Bali, Nusa Tenggara produksi komoditas global yang 26 Beberapa perjanjian yang telah disepakati terkait dengan perdagangan bebas di Indonesia antara lain ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1 Januari 2010, ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1 Januari 2010, ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1 Januari 2010, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1 Januari 2010, dan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economy Community/AEC) yang dimulai pada awal 2015 (Badan Pusat Statistik, Result Framework Sensus Ekonomi 2016, Jakarta : BPS, 2014, hlm. 2-3). [ 43 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi diandalkan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional degan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan; Papua, Maluku produksi komoditas global yang diandalkan berupa pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera degan fokus sektor pada pertambangan serta pertanian dan perkebunan.27 Reorganisasi dan rekonstruksi geografis untuk pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis tersebut, merupakan konsekuensi dari penyebaran paham neoliberalisme yang memuja pasar dan perdagangan bebas (free market and trade) dan berimplikasi terhadap konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam, dan wilayah, menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan atas tanah, dan ketidakterjaminan hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidupnya. Pertama, ketimpangan penguasaan atas tanah. Negara dan korporasi yang mendapat konsesi atas tanah memiliki porsi penguasaan atas tanah yang sangat dominan, dibanding dengan mayoritas masyarakat di pedesaan pada umumnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data Konsorsium Pembaharuan Agraria menyebut sekitar 64,2 juta hektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan gas, mineral, dan Batubara berupa izin konsesi. Di sektor kehutanan, luas hutan yang ditunjuk mencapai 13,94 juta hektar atau 69 persen total luas wilayah Indonesia, sehingga Kementerian Kehutanan merupakan instansi yang memiliki luasan terbesar dibanding instansi lain28. Suatu konsentrasi (ketimpangan) penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang mencitakan adanya keadilan sosial dalam rupa keadilan agraria, sehingga hanya melahirkan berbagai konfrontasi. Kedua, ketidakterjaminan hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah 27 Ifah Latifah, http://www.academia.edu/1990954/MASTERPLAN_ PERCEPATAN_ DAN_PERLUASAN_PEMBANGUNAN_EKONOMI_INDONESIA_2011-2025, diakses pada 3 April 2017. 28 Widiyanto, “Potret Konflik Agraria di Indonesia”, Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, 37 (12) 2013, hlm. 15. [ 44 ] Anik Iftitah hidupnya, seperti adanya perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria. Disatu sisi masyarakat gigih mempertahankan hak penguasaannya secara turun-temurun dan bersifat informal, disisi lain, perusahaan dan pihak lain datang dengan sistem aturan formal yang tidak dikenal dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini terjadi pada kasus perampasan tanah ulayat milik masyarakat Tanjung Medang oleh Pengusaha di Muara Enim, atau pembabatan hutan Kemenyan milik Kemenyan Humbas Hasundutan, Sumatera Utara.29 Pancasila sebagai P engharmoni K eagrariaan di E ra G lobalisasi Pengharmoni Keagrariaan Era Globalisasi Gambaran kondisi keagrariaan seperti tersebut di atas, merupakan perwujudan dari pembuatan kebijakan (MP3EI) atau substansi (menurut teori Friedman) dan pelaksanaan (struktur menurut teori Friedman) yang tidak mengakomodir atau mengabaikan atau tidak mengadaptasi budaya hukum (Pancasila). Akibatnya, sistem tidak bisa berjalan harmoni, tapi penuh konfrontasi. Substansi, struktur dan culture sebagai suatu sistem30, semestinya membentuk satu kesatuan yang bulat (penuh harmoni), dan bukannya konfrontasi. Mengalami konfrontasi karena tidak selaras/ bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai budaya hukum/jati diri bangsa Indonesia, yang menganggap tanah bukan sekali-kali komoditi, karena tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Memperlakukan tanah sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan (berkonfrontasi) dengan hakikat tanah itu sendiri. Pandangan Pancasila akan tanah, selaras dengan hakikat tanah itu sendiri, yaitu tanah dipahami sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat31 . Orientasinya adalah untuk kemakmuran rakyat (keadilan sosial), sehingga tidak membenarkan adanya ketimpangan penguasaan tanah antara negara 29 Widianto, supra note 28, hlm. 25. Ingat system is the arrangement of the body of the problem. 31 Konstitusi Negara Indonesia dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) memberikan tugas kepada negara bagaimana tanah dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (secara adil dan merata). 30 [ 45 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dan/atau korporasi dengan masyarakat. Artinya, memahami tanah selaras dengan hakekatnya, sebagaimana yang diakomodir dalam Pancasila, adalah memanfaatkan tanah dengan mewujudkan keadilan keagrarian. Yaitu, mewujudkan kondisi yaitu kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidup rakyat pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidupnya. Membuat substansi (kebijakan) hukum dan melaksanakan kebijakan hukum (struktur hukum) tanpa mengindahkan budaya hukum/jati diri bangsa, sudah sejak dulu diperingatkan secara keras oleh para ilmuwan. Ingat bagaimana di zaman kolonial Van Vollenhoven dengan lantang berjuang agar pemerintah dan masyarakat Belanda dapat melihat cara rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri.32 Karena sebagaimana kata Von Savigny bahwa masing-masing masyarakat berlain-lainan jiwa rakyat-nya, sehingga substansi (kebijakan/hukum) yang baik adalah yang sesuai dengan budaya/jati diri masyarakatnya, sebagaimana substansi (kebijakan/hukum) agraria yang terterapkan di Desa Karanganyar. Kondisi keagrarian di Desa Karanganyar, memperlihatkan adanya keberhasilan landreform lokal ala Desa Ngandagan yang digagas oleh struktur (Kepala Desa Karanganyar) dan didukung masyarakat, sehingga berimplikasi pada terwujudkan keadilan agraria masyarakat Desa Ngandagan.33 Suatu pembuktian yang menyatakan keberhasilan penerapan suatu substansi hukum karena dibuat sesuai dengan budaya hukum masyarakatnya. Kita semua mesti senantiasa sadar, bahwa sejak awal kemerdekaan Indonesia, para pendiri bangsa dan negara menyepakati bahwa Indonesia haruslah menjadi negara dengan jati dirinya sendiri, yaitu Pancasila.34 Ajaran Pancasila itu benar-benar suatu sistema-filosofi yang meliputi daerah 32 Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya, Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. xii. 33 Peraturan yang diterapkan di Desa Karanganyar ini, mengaplikasikan prinsip-prinsip keadilan agraria, mengatur tentang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah buruhan desa. (Baca Aristiono Nugroho dkk, Resonansi Landreform Lokal Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar, Yogyakarta: STPN Press, 2013). 34 Djon Pakan Lalanlangi, Kembali ke Jati Diri Bangsa, Jakarta: Kompas, 2012, hlm. 316. [ 46 ] Anik Iftitah Indonesia yang menjadi dukungan Bangsa Indonesia yang bersatu.35 Bangsa Indonesia sekali-kali tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya. Sehingga jelas, upaya-upaya saling usir di negeri sendiri untuk memenuhi target globalisasi, adalah bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang menghendaki keadilan sosial di segala lini untuk menciptakan kehidupan yag penuh harmoni. Menerapkan segala sesuatu hal yang bertentangan dengan jati diri, hanya akan melahirkan berbagai konfrontasi. Referensi Buku Abdurrahman, Tebaran Pikiran tentang Studi Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Media Sarana Press, 1986. Badan Pusat Statistik, Result Framework Sensus Ekonomi 2016, Jakarta: BPS, 2014. Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta: Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2015. Fauzi, Achmad, Pancasila (Tinjauan Dari Aspek Filsafat), Malang: Lembaga Penerbitan dan Publikasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, 1991. Friedman, Lawrence M., The Legal System; A Social Scince Prespective, New York: Russel Sage Foundation, 1975. Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Lalanlangi, Djon Pakan, Kembali ke Jati Diri Bangsa, Jakarta: Kompas, 2012. Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1996. Munandar, Agus Ari, Menelusuri Akar Kepemimpinan Nusantara, dalam Riris K. Toha Sarumpet, Krisis Budaya? Oasis Guru Besar Fakultas 35 Muhammad Yamin, Systimatika Falsafah Pantja Sila, dalam Oedijo et.al., Doktrin Revolusi Indonesia, Bahan-Bahan Indoktrinasi Manipol, Surabaya: CV. Narsih, hlm. 126. [ 47 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia, 2016. Nugroho, Aristiono, dkk, Resonansi Landreform Lokal Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar, Yogyakarta: STPN Press, 2013. Toffler, Alvin, Kejutan Masa Depan, Jakarta: Pantja Simpati, 1992. Vollenhoven, Cornelis van, Orang Indonesia dan Tanahnya, Yogyakarta: STPN Press, 2013. Kontributor Buku Asshiddiqie, Jimly, “Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012. Rachman, Noer Fauzi, Land Reform dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012. Saptomo, Ade, “Budaya Hukum dalam Masyarakat Plural dan Problem Implementasinya”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012. Saroengallo, Tino, “Fondasi” itu Kunci Kelanggengan Negara, dalam Djon Pakan Lalanlangi, Kembali ke Jati Diri Bangsa, Jakarta: Kompas, 2012. Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja Penegakan Hukum di Negeri Ini?”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012. Winarta, Frans Hendra, “Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012. Yamin, Muhammad, Systimatika Falsafah Pantja Sila, dalam Oedijo et.al., Doktrin Revolusi Indonesia, Bahan-Bahan Indoktrinasi Manipol, Surabaya: CV. Narsih. [ 48 ] Anik Iftitah Jurnal Luthfi, Ahmad Nashih, “Ekslusi dan Inklusi sebagai Dua Sisi Mata Uang”, Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 37 Tahun 12, April 2013. Meianarno, Eko A; Mashoedi, Sri Fatmawati, “Pembuktian Kekuatan Hubungan antara Nilai-Nilai Pancasila dengan Kewarganegaraan”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, TH. 1, Nomor 1, Juni 2016. Ridwan, Nur Khalik, “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434. Tahir, M., “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Pandangan Nurcholish Madjid”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan, Vol: X, No. 1, Juni 2012. Tohari, Amin, Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Widiyanto, “Potret Konflik Agraria di Indonesia”, Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 37 Tahun 12, April 2013 Internet/media online Ifah Latifah, http://www.academia.edu/1990954/MASTERPLAN_ PERCEPATAN _DAN_PERLUASAN_PEMBANGUNAN_ EKONOMI_INDONESIA_2011-2025. [ 49 ] MENGK AJI HAK BERA GAMA D AL AM SISTEM BERAGAMA DAL ALAM HUK UM PANC A SIL A HUKUM PANCA SILA Adam Muhshi Pendahuluan I ndonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan disertai sebuah penegasan atas pilihannya sebagai negara kebangsaan (nation state) yang demokratis dan ingin terus bersatu.1 Pilihan sebagai negara bangsa ini tentu saja membawa Indonesia pada suatu dilema antara integrasi dan demokrasi seperti yang disampaikan oleh Clifford Geertz dalam tulisannya tentang sentimen primordial.2 Sebagai negara kebangsaan, Indonesia menyatukan berbagai ikatan primordial seperti agama, daerah, bahasa, suku dan sebagainya ke dalam satu ikatan kebangsaan dan negara3 yang ingin dibangun secara demokratis agar semua aspirasi berbagai ikatan primordial tersebut dapat tersalurkan.4 Sebagai bangsa yang ingin tetap bersatu, Indonesia telah memilih dan menetapkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang ditujukan sebagai dasar pengikat dan pemersatu. Selanjutnya, Pancasila melahirkan kaidah-kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum. Prinsip-prinsip dan mekanisme 1 2 3 4 Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hlm. 36. Dikatakan dilema karena nation state membutuhkan integrasi dan demokrasi sekaligus dimana karakter keduanya saling bertentangan. Integrasi berkarakter membelenggu guna tetap menjaga kokohnya persatuan dan kesatuan, sedangkan demokrasi berakarakter membuka keran kebebasan dengan tujuan dapat tersalurnya semua aspirasi. Ibid hlm. 34–35. Satu ikatan kebangsaan yang bernama bangsa Indonesia dalam bingkai organisasi negara bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. MD, supra note 1 hlm. 36–37. [ 51 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia) yang juga memasang rambu-rambu agar bangsa ini tetap utuh.5 Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki posisi dan peran sentral dalam negara hukum Indonesia. Sebagaimana dikatakan Sudjito bin Atmoredjo, Pancasila merupakan dasar konstruksi konsep hukum Indonesia yang terbentuk dari perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan negara sehingga Pancasila menjadi dasar pembentukan hukum nasional dimana hukum nasional ini digunakan sebagai instrumen pencapaian tujuan negara Indonesia.6 Pendapat Sudjito tersebut selaras dengan pendapat Moh Mahfud MD yang mengatakan bahwa dalam konteks politik hukum, hukum merupakan alat yang bekerja dalam sistem hukum tertentu guna mencapai tujuan negara atau tujuan bangsa Indonesia yaitu membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Artinya bahwa tujuan masyarakat Indonesia harus diraih oleh negara yang penyelenggaraannnya didasarkan pada sistem hukum Pancasila.7 Dikatakan demikian karena sistem hukum Pancasila tersebut adalah sebagai sistem hukum nasional yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum yang dibangun untuk mencapai tujuan negara dengan berpijak pada dasar dan cita hukum negara yang terkadung dalam Konstitusi Indonesia.8 Sejalan dengan hal tersebut, teori hukum konstitusi menyatakan bahwa konstitusi atau undang-undang dasar merupakan hukum tertinggi suatu negara (supremasi konstitusi). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa 5 6 7 8 Ibid., hlm. 37. Agus Wahyudi et al, Proceeding Kongres Pancasila; Pancasila dalam berbagai Perspektif (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009) hlm. 190. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3S, 2006) hlm. 17. Konstitusi Indonesia dalam konteks ini meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh di mana keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Baca ibid hlm. 21–22; Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar bernegara (staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan cita-cita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat Pernyataan Kemerdekaan. Pembukaan UUD 1945 yang dirumuskan dan ditetapkan oleh para founding people menjadi sumber dan dasar bagi penyusunan pasal-pasal dan ayat dalam UUD 1945. Baca Miftakhul Huda et al, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, revisi ed (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) hlm. 3. [ 52 ] Adam Muhshi eksistensi Konstitusi Indonesia berdiri atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi yang menjadi hukum tertinggi yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara (the supreme law of the land). Dengan kata lain, Konstitusi Indonesia yang memuat asas dan kaidah-kaidah negara adalah sumber rujukan utama dan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.9 Dalam membangun negara hukum Indonesia, para pendiri negara (founding people) telah mencantumkan jaminan hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak warga negara pada Konstitusi Indonesia.10 Ketentuan HAM dan hak-hak warga negara tersebut kemudian bertambah secara sangat signifikan11 dalam Konstitusi Indonesia pasca amandemen,12 yang salah satunya adalah adanya penambahan jaminan hak memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya (hak beragama) untuk memperkuat perlindungan terhadap hak beragama yang sebelumnya telah ada.13 Adanya ketentuan jaminan hak beragama tersebut menegaskan bahwa Konstitusi Indonesia merupakan konstitusi yang tercipta oleh resultante (kesepakatan) bangsa yang religius. Dengan kata lain, Konstitusi Indonesia dibangun berdasarkan falsafah ketuhanan yang menjiwai bangsa Indonesia.14 Sejalan dengan itu, Philipus M. Hadjon mengatakan adanya pengakuan 9 Adam Muhshi, “Teologi Konstitusi; Hak Warga Negara atas Kebebasan Beragama berdasarkan UUD NRI 1945” (2013) II:1 J Konstitusi Pus Kaji Konstitusi Univ Dr Soetomo Surabaya Kerjasama Dengan Mahkamah Konstitusi Repub Indones 7 hlm. 8. 10 Jaminan perlindungan HAM dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara. Bahkan dalam perkembangannya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy). 11 Dalam UUD NRI 1945 sebelum amandemen atau yang secara resmi oleh MPR disebut perubahan, hanya terdapat tujuh rumusan tentang jaminan konstitusional hak asasi manusia hanya tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34. Sedangkan, UUD NRI 1945 setelah amandemen terdapat 26 rumusan tentang jaminan hak asasi manusia yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, dan ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. 12 Albert Sihabuan mengatakan bahwa dengan bertambahnya penormaan HAM secara signifikan tersebut, akan lebih menjanjikan terhadap penegakan HAM di Indonesia. Baca Muktiono, “Mengkaji Politik Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”, (Mei 2012), online: <http:/ /dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/59/26> hlm. 350. 13 Sebelum amandemen hak beragama telah dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Sedangkan pasca amandemen selain tetap mempertahankan ketentuan Pasal 29 ayat (2) tersebut, hak beragama juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. 14 Falsafah ketuhanan tersebut secara tegas tersurat dalam Alinea Kedua Pembukaan UUD NRI 1945. [ 53 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bangsa Indonesia terhadap kemampuan untuk mendirikan negara yang merdeka adalah atas berkat Tuhan.15 Jaminan terhadap hak beragama dalam konstitusi tersebut menemukan relevansinya dalam frame negara kebangsaan Indonesia yang terdiri dari berbagai ikatan primordial yang sangat plural.16 Indonesia sebagai sebuah negara dibangun melalui kesepakatan untuk menyatukan berbagai ikatan primordial yang sangat plural sebagai negara kebangsaan (nation state). Hal ini senafas dengan pernyataan Moh. Mahfud MD yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa sejak diproklamasikan sebagai sebuah negara, Indonesia menegaskan pilihannya sebagai negara kebangsaan (nation state) yang demokratis dan ingin terus bersatu. Ini menegaskan bahwa sebagai negara kebangsaan, Indonesia terdiri dari berbagai ikatan primordial yang ingin bersatu secara kokoh, namun sekaligus ingin dibangun secara demokratis agar semua aspirasi berbagai ikatan primordial itu mendapatkan saluran.17 Oleh sebab itu, jaminan hak beragama merupakan komponen penting agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan secara harmonis yang dipersatukan di bawah satu kesatuan sistem hukum Pancasila berdasarkan Konstitusi Indonesia.18 Dalam realitasnya, hak beragama di Indonesia ternyata masih banyak menyisakan permasalahan. Sebagaimana dikatakan Sartini bahwa sering terdapat persoalan kemasyarakatan yang berakar pada permasalahan perbedaan atas dasar agama.19 Permasalahan tersebut diklaim sebagai bagian dari masalah sosial yang berakar pada bagaimana memaknai hak beragama.20 Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk mengkaji konsep hak beragama dalam sistem hukum Pancasila. Pengkajian tersebut mencakup permasalahan hukum hak beragama berdasarkan sistem hukum Pancasila guna menjawab dua permaslahan hukum berikut. Pertama, apakah konsep dan dasar 15 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi dan PrinsipPrinsipnya, Penanganannya di Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, edisi khusus ed (Peradaban, 2007) hlm. 60. 16 Adam Muhshi, Teologi Konstitusi; Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015) hlm. 3. 17 MD, supra note 1 hlm. 36–37. 18 Muhshi, supra note 16 hlm. 3. 19 Sartini, “Etika Kebebasan Beragama” (2016) 18:3 J Filsafat 241, online: <https://journal. ugm.ac.id/ wisdom/article/view/3527> hlm.t 241–242. 20 Ibid hlm. 242. [ 54 ] Adam Muhshi konstitusional hak beragama dalam sistem hukum Pancasila. Kedua, apa saja nilai-nilai khas hak beragama yang terkandung dalam sistem hukum Pancasila. Konsep dan Dasar Konstitusional Batasan pengertian atau definisi21 hak beragama tidak diatur secara definitif dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Konstitusi Indonesia hanya menentukan bahwa negara menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.22 Demikian juga dengan peraturan di bawah Konstitusi Indonesia yang di dalamnya mengatur tentang hak beragama, tidak ada satupun yang memberikan batasan pengertian atau definisi terhadap hak beragama.23 Untuk dapat memahami konsep hak beragama, ketentuan-ketentuan tersebut dapat disandingkan dengan konsep hak beragama yang disampaikan oleh para pegiat HAM. Dalam hal ini, Al Khanif mendefinisikan hak beragama sebagai hak untuk memilih atau memiliki suatu agama atau kepercayaan yang meliputi hak untuk meyakini atau tidak meyakini sama sekali suatu agama baik yang bersifat theistik maupun yang non-theistik serta hak untuk memanifestasikan keyakinannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama yang dilakukan di tempat umum atau di tempat yang bersifat privat seperti yang diatur di dalam HAM internasional.24 Asma Jahangir menyebutkan hak beragama terdiri dari “keyakinan” yang disebut dengan forum internum dan “manifestasi dari keyakinan” 21 Istilah “batasan penegertian” atau “definisi” ini dapat kita lihat pada Lampiran II huruf C angka 98 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 22 Baca ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. 23 Baca Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Baca juga Pasal 18 ayat (1) dan (2), serta Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik); serta periksa Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 24 Al Khanif, Hukum & Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2010) hlm. 108. [ 55 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi tersebut yang disebut dengan forum externum.25 Keyakinan atau forum internum merupakan hak beragama yang bersifat abstrak karena tempatnya berada dalam lubuk hati dan pikiran manusia sehingga ia tidak dapat dibatasi, dilarang atau pun didefinisikan ke dalam peraturan perundangundangan. Artinya bahwa hanya manusia yang meyakini suatu agama itu sendiri yang dapat mendefinisikan keyakinannya sebagai bagian dari forum internum. Sedangkan forum externum adalah hak beragama yang bersifat kasat mata karena ia merupakan manifestasi dari keyakinan yang diwujudkan ke dalam berbagai bentuk ritual keagamaan sehingga ia dapat dibatasi dan dilarang apabila pelaksanaannya dapat mengganggu kebebasan dan hak fundamental orang lain.26 Dalam konteks Negara Hukum Pancasila, hak beragama baik yang berdimensi forum internum maupun forum externum telah diatur secara konstitusional dalam Konstitusi Indonesia yang menegaskan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Artinya bahwa konstitusi menjamin kebebasan setiap orang untuk meyakini (forum internum) dan sekaligus untuk memanifesasikan keyakinan (forum exernum) agamanya masing-masing.27 Selain itu, Konstitusi Indonesia juga menegaskan bahwa hak beragama merupakan salah satu hak warga negara yang sangat fundamental. Konsekuensinya hak beragama tersebut tidak dapat dikurangi atau dicabut pemenuhannya baik ketika negara dalam keadaan normal (ordinary condition) maupun ketika negara dalam keadaan darurat (state of emergency).28 Akan tetapi, hak beragama yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun tersebut tentu saja khusus mengenai aspek forum internum. Atau dengan kata lain, forum internum tersebut dijamin secara konstitusional 25 Ibid., hlm. 110. Ibid., hlm. 110–111. 27 Forum internum dapat dipahami dari frase “untuk memeluk agamanya” pada Pasal 29 ayat (2), frase “memeluk agama” pada Pasal 28E ayat (1), dan frase “meyakini kepercayaannya” pada Pasal 28E ayat (2). Sedangkan jaminan terhadap forum externum dapat dipahami dari frase “untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” pada Pasal 29 ayat (2), frase “beribadat menurut agamanya” pada Pasal 28E ayat (1), dan frase “menyatakan pikiran dan sikap” pada Pasal 28E ayat (2). 28 Baca Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. 26 [ 56 ] Adam Muhshi untuk dilindungi pemenuhannya dalam keadaan apa pun. Dengan demikian, tidak ada satu alasan pun yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk membatasi forum internum dalam hak beragama. Sedangkan jaminan konstitusional atas hak untuk memenifestasikan keyakinan atau forum externum tentu saja dapat dibatasi. Dalam melaksanakan hak beragamanya, setiap orang diwajibkan untuk tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.29 Atau dengan kata lain, pembatasan terhadap hak beragama hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Pembatasan melalui undang-undang merupakan konsekuensi logis dari prinsip bahwa setiap pembatasan, pencabutan, atau pengurangan terhadap HAM harus mendapatkan persetujuan dari rakyat. Persetujuan rakyat dalam konteks negara hukum Indonesia adalah undangundang yang merupakan produk legislasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagai wakil rakyat, DPR merupakan personifikasi dari rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh DPR identik sebagai sebuah persetujuan rakyat. Dengan demikian pelaksanaan hak beragama harus dimaknai tidak bebas tanpa batas. Rasionalisasi pembatasan terhadap hak ini adalah dalam rangka menghindari terjadinya chaos yang pada gilirannya akan mengganggu pencapaian tujuan bersama. Terkait dengan pembatasan hak tersebut, harm principle dari John Stuart Mill sangat relevan untuk dikemukakan.30 Prinsip ini menyatakan bahwa seorang individu bebas bertindak sesuka hatinya selama ia tidak mengganggu hak orang lain dengan tindakannya tersebut. Artinya kebebasan itu tidak bebas tanpa batas sehingga secara yuridis negara memiliki kewenangan untuk membatasi kebebasan individu dalam bertindak agar tidak menimbulkan kerugian pada orang lain.31 Berdasarkan harm principle inilah kemudian menjadi relevan bagi negara untuk diberikan kewenangan sebagai penengah dengan tujuan menghindari terjadinya benturan antara pelaksanaan hak individu yang satu dengan hak individu yang lainnya. Artinya bahwa negara berwenang 29 Baca Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Marett Leiboff & Mark Thomas, Legal Theories: Contexts and Practices (Sydney: Thomson Reuters, 2009) hlm. 230. 31 Ibid. Baca juga; Muhshi, supra note 16 hlm. 47. 30 [ 57 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi membatasi kebebasan individu untuk menhingdari terjadinya benturan antara kebebasan individu yang satu dengan individu yang lainnya.32 Kewenangan negara untuk membatasi hak beragama ini dapat dimaknai sebagai bagian dari kewajibannya dalam rangka melakukan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.33 Nilai Khas Hak Beragama di Indoensia Berdasarkan konsep dan dasar konstitusional sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi atau dirumuskan nilai-nilai khas34 hak beragama dalam sistem hukum Pancasila. Setidaknya ada lima nilai khas tama ertama tama, hak beragama hak beragama yang dapat Penulis rumuskan, yaitu:35 Per merupakan hak konstitusional warga negara. Dikatakan demikian karena hak beragama telah dijamin dan dituangkan dalam Konstitusi Indonesia. Hak beragama merupakan salah satu dari HAM sebagaimana telah dijamin baik dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) maupun dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.36 Hak beragama sebagaimana telah dijamin dalam DUHAM dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tersebut berlaku mutlak dalam keadaan apapun.37 Artinya bahwa pemenuhan hak beragama tidak dapat ditunda dan apalagi dicabut baik ketika negara dalam keadaan normal maupun dalam keadaan darurat. 32 Muhshi, supra note 16 hlm. 48. Baca Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945. 34 Penggunaan istilah “nilai-nilai khas” dalam tulisan ini terinspirasi oleh tulisan Moh. Mahfud MD yang telah menggunakan istilah tersebut dalam menjelaskan perbedaan sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya di dunia. Baca MD, supra note 7 hlm. 23. 35 Nilai-nilai Khas hak beragama ini merupakah “penyebutan lain” dari karakter yuridis hak atas kebebasan beragama. Karakter yuridis hak atas kebebasan beragama itu sendiri berasal dari salah satu sub bab buku “Teologi Konstitusi” yang kemudian saya tulis ulang sekaligus saya revisi seperlunya melalui gaya penyampaian yang sedikit berbeda dan dengan mengubah, mengurangi, dan/atau menyisipkan kata-kata tertentu sebagai upaya untuk melakukan penajaman terhadap maksud-maksud substantifnya. Selain itu, karakter yuridis tersebut merupakan analisis lanjutan dari tesis S2 saya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang menjadi ruh tulisan ini secara umum, sehingga tak dapat dihindari pembahasan nilai-nilai khas hak beragama seolah-olah hanya bersifat pengulangan terhadap ulasan-ulasan sebelumnya. Baca Muhshi, supra note 13 hlm. 179–200. 36 Baca Pasal 18 DUHAM dan Pasal 18 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 37 Baca Pasal 4 ayat (1) dan (2) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 33 [ 58 ] Adam Muhshi Sebagai bagian dari HAM, hak beragama tersebut telah dituangkan dan dijamin perlindungannya dalam Kostitusi Indonesia. Pencantuman tersebut perlu dilakukan karena sesuai dengan apa yang dikatakan Jimly Asshiddiqie bahwa dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan HAM dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan HAM itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).38 Sehingga sangat logis jika hak beragama yang termasuk salah satu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun atau non derogable rights diatur dan dituangkan dalam Konstitusi Indonesia.39 Lebih lanjut, teori hukum konstitusi menyatakan bahwa HAM yang berlaku universal dengan sendirinya harus dituangkan dalam konstitusi karena HAM itu sendiri merupakan ciri yang mutlak untuk mengukur konstitusionalisme tidaknya suatu konstitusi negara modern. Berdasarkan teori hukum konstitusi tersebut, maka HAM yang telah dituangkan dalam konstitusi sekaligus telah menjadi hak konstitutusional warga negara.40 Dengan demikian penormaan hak beragama di dalam Konstitusi Indonesia berakibat hukum bahwa status hak beragama tersebut menjadi hak 38 HAM dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi disamping materi ketentuan lainnya seperti mengenai pembagian kekuasaan, format kelembagaan dan mekanisme hubungan antar lembaga negara. Baca Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta: RajaGrafindo, 2009) hlm. 343. 39 Lihat Pasal 28I Ayat (1). 40 HAM (the human rights) berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Akan tetapi apabila HAM telah dicantumkan secara tegas dalam sebuah konstitusi, maka ia juga telah resmi menjadi hak konstitusional setia warga negara atau constitutional rights. Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua constitutional rights identik dengan human rights. Ada hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam pengertian HAM (human rights). Misal, hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah the citizen’s constitutional rights, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena itu, tidak semua the citizen’s rights adalah the human rights, tetapi dapat dikatakan bahwa semua the human rights juga adalah sekaligus merupakan the citizen’s rights. Baca Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008) hlm. 547; Terkait hal ini baca juga pendapat Mohammad Mahfud MD melalui ceramah kuncinya dalam Anonim, “Prosiding Konferensi dan Dialog Nasional; Negara Hukum Indonesia Ke Mana Akan Melangkah?”, (10 Oktober 2012), online: <http://epistema.or.id/ download/ Prosiding_KNH-2012.pdf> hlm. 59. [ 59 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi konstitusional warga negara Indonesia.41 Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu nilai khas hak beragama merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia. Hak beragama sebagai hak konstitusional warga negara bermakna bahwa hak tersebut merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi Indonesia. Artinya bahwa hak beragama menjadi substansi dari hukum tertinggi (basic norm) dalam sistem hukum Pancasila. Dengan demikian diharapkan jaminan konstitusional tersebut dapat mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya. Tercapainya harapan ini tentu saja akan berfungsi sebagai salah satu variabel yang akan berkontribusi untuk menjaga persatuan (integrasi) bangsa.42 Kedua edua, hak beragama ber berdasar dasarkan Ketuhanan Maha dasar kan pada prinsip K etuhanan Yang M aha Esa. Dikatakan demikian karena jaminan hak konstitusional warga negara atas hak beragama di Indonesia tidak berakar pada konsep negara hukum dalam pengertian rechtstaat maupun the rule of law, melainkan berdasar pada prinsip Negara Hukum Pancasila yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Terkait hal ini, Hamdan Zoelva menyatakan bahwa jika konsep negara hukum dalam pengertian rechtstaat dan rule of law berpangkal pada dignity of man yaitu liberalisme, kebebasan dan hakhak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu 41 Hal ini sinergis dengan penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa: “Hak Konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” 42 Pendapat ini sejalan dengan pandangan Maruarar Siahaan yang mengatakan bahwa diadopsinya HAM secara lengkap dalam UUD NRI 1945 sebagai bagian dari hukum tertinggi (basic norm) mengandung beberapa akibat atau konsekuensi tersendiri dalam daya laku atau aplikasi UUD NRI 1945 itu sendiri. Penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM sebagai satu bentuk maupun dasar pengembangan tertib hukum dan sosial yang mampu ditegakkan secara efektif, diharapakn merupakan salah satu variabel yang turut menjamin keamanan, ketertiban dan keadilan dalam masyarakat untuk memperkuat ketahanan nasional. Variabel demikian merupakan hal yang turut menentukan keberlanjutan dan kesejahteraan warga masyarakat dari setiap negara. Baca Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi yang Hidup (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008) hlm. 561. [ 60 ] Adam Muhshi prinsip ketuhanan adalah elemen paling utama dari negara hukum Indonesia.43 Kesadaran kolektif atas kemahakuasaan Tuhan44 tersebut kemudian dimanifestasikan ke dalam Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai salah satu dasar negara Indonesia merdeka. Selanjutnya, Sila Pertama Pancasila tersebut diderivasi ke dalam norma Konstitusi Indonesia45 yang menentukan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Indonesia. Dasar negara, Ketuhanan Yang Maha Esa, tersebut secara sistematis harus dijadikan sebagai rujukan dan pijakan hak beragama yang telah dijamin secara konstitusional dalam Konstitusi Indonesia. Atau dengan kata lain jaminan konstitusional terhadap hak beragama46 secara sistematis merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dari norma Konstitusi Indonesia47 yang menentukan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Indonesia. Dalam konteks ini Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, melainkan negara Pancasila, yaitu sebuah religious nation state atau negara kebangsaan yang dijiwai oleh agama.48 Sehingga dapat dikatakan bahwa Konstitusi Indonesia termasuk dalam hal ini jaminan konstitusional terhadap hak beragama sebagaimana diatur di dalamnya harus merujuk dan berpijak pada prinsip Ketuhanan (teologi konstitusi).49 43 Hamdan Zoelva, “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila”, (Agustus 2009), online: <http:// www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf= 1&id=3915>. 44 Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendirikan Negara Indonesia dengan berdasar pada falsafah ketuhanan (teologis). Baca Alinea Kedua Pembukaan UUD NRI 1945. 45 Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. 46 Pasal 29 ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. 47 Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945. 48 Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm. 6 Baca juga; Laksono Laksono, Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Moh. Mahfud MD; Hukum Tak Kunjung Tegak (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm. 200. Terhadap konsep “religious nation state” tersebut, coba bandingkan dengan konsep “monotheisme sekuler Pancasila” yang ditawarkan oleh Al Kahnif. Baca; Al Khanif, “Pancasila sebagai Realitas; Percik Pemikiran tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia” in (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 176 Baca juga; Al Khanif, “Questioning a Theistic, Secular Pancasila to Protect Religions”, (1 June 2015), online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html>. 49 Teologi konstitusi berarti sebagai sebuah kesepakatan dan hukum tertinggi bangsa yang religius, yaitu bangsa Indonesia. Teologi konstitusi yang dimaksud di sini adalah UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang telah dirumuskan dan dibentuk berdasarkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia atas kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Baca lebih lanjut Muhshi, supra note 16 hlm. viii–ix. [ 61 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Untuk itulah, suatu hal yang logis jika kemudian negara melarang perbuatan dan/atau mengeluarkan perasaan di depan umum dengan maksud agar orang lain tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan disertai ancaman pidana.50 Dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan propaganda anti agama tersebut, disamping akan mengganggu ketenteraman orang beragama, pada prinsipnya dapat diartikan juga sebagai sebuah bentuk pengkhianatan terhadap Sila Pertama Pancasila, sehingga sudah selayaknya perbuatannya itu dipidana.51 Dengan demikian, perbuatan dan/atau mengeluarkan perasaan di depan umum dengan maksud agar orang lain tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dilarang karena bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Ketentuan tentang larangan terhadap adanya propaganda atheis tersebut logis dilakukan di negara hukum Pancasila. Hal ini sesuai dengan pendapat Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia merupakan sumber pengakuan terhadap HAM. Artinya bahwa setiap langkah yang menyangkut HAM harus selalu berpaling kepada Pancasila sebagai sumber pengakuan akan harkat dan martabat manusia.52 Dengan demikian, setiap peraturan dan kebijakan negara yang menyangkut hak beragama hendaknya selalu berpaling kepada Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjiwai konsep hak beragama yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, Oemar Seno Adji menyatakan bahwa jaminan konstitusional tentang kebebasan beragama (freedom of religion) di Indonesia tidak memperkenankan adanya propaganda anti agama atau atheisme.53 Jaminan konstitusional hak beragama yang dijiwai oleh Sila Pertama Pancasila itulah yang kemudian dielaborasi ke dalam Pasal 4 UU Nomor 1/PnPs/1965 yang melarang adanya perbuatan dan/atau mengeluarkan perasaan di depan 50 Baca Pasal 4 huruf b UU Nomor 1/PnPs/1965. Baca Penjelasan Pasal 4 huruf b UU Nomor 1/PnPs/1965. 52 Hadjon, supra note 15 hlm. 57 baca juga; Fatmawati, “Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia”, (Agustus 2011), online: <https:// ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/jk/article/ viewFile/179/176> hlm. 493. 53 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985) hlm. 34. 51 [ 62 ] Adam Muhshi umum dengan maksud agar orang lain tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.54 Secara a contrario, keyakinan untuk tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dilakukan secara privat tidak dilarang. Atau dengan kata lain larangan terhadap paham atheisme hanya berlaku pada ranah forum externum, bukan dalam ranah forum internum. Paham atheisme pada tataran forum internum tidak dapat dilarang karena bersifat abstrak sehingga tidak bersinggungan dengan dan tidak dapat menggangu hak beragama orang lain. Keyakinan untuk tidak beragama yang dilakukan secara privat tersebut tidak bertentangan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dikatakan demikian karena pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung konsep toleransi. Dengan konsep toleransi inilah, maka negara tidak berwenang untuk melarang seseorang untuk tidak menganut suatu agama apapun yang dilakukan secara privat. Ketiga Ketiga, hak beragama berlandaskan pada asas toleransi. Dikatakan demikian karena dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkadung prinsip toleransi. Sedangkan seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa hak beragama di Indonesia dijiwai oleh Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.55 Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya menjadi dasar rohani dan dasar moral kehidupan bangsa, akan tetapi secara implisit juga mengandung ajaran toleransi.56 Dengan 54 Terkait hal ini Ismail Sunny mengatakan bahwa paham atheisme secara tegas membahayakan terhadao sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena paham tersebut bertujuan untuk menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan. Baca Heru Drajat Sulistyo, “Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasab Beragama dan Beribadah di Tengah Pluralisme Masyarakat Indonesia”, (Oktober 2014), online: <http:// www.unsoer.ac.id/jurnal/media-soerjo-2014/oktober/6.Heru.pdf> hlm. 105. 55 Jaminan terhadap perlindungan hak atas kebebasan beragama sebagai hak konstitusional warga negara secara tegas diatur oleh Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Secara logis sistematis, ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 harus diartikan sebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) tersebut merupakan derivasi dari Sila Pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat pada Alinea Keempat Pembukaan Alinea UUD NRI 1945. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak atas kebebasan beragama sebagaimana diatur oleh Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dijiwai oleh Sila Pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 56 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia; Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 98. [ 63 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi demikian, hak beragama di Indonesia harus tunduk dan sesuai dengan ajaran toleransi yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau dengan kata lain, nilai khas hak beragama di Indonesia adalah berdasarkan pada asas toleransi. Artinya bahwa setiap warga negara dan/ atau penduduk di Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Berdasarkan prinsip toleransi yang menjiwai hak beragama tersebut, maka setiap orang tidak diperkenankan untuk melakukan pemaksaan keyakinannya kepada orang lain. Artinya bahwa seseorang bebas untuk meyakini kebenaran suatu agama dan/atau suatu aliran kepercayaan, akan tetapi dengan keyakinan yang dimilikinya tersebut tidak kemudian memberi hak kepadanya untuk memaksakan keyakinannya agar diyakini oleh orang lain. Secara a contrario, seseorang tidak diperkenankan untuk melakukan penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap agama dan/atau kepercayaan yang diyakini oleh orang lain. Larangan-larangan tersebut perlu dilakukan dalam konteks sosiologis negara hukum Indonesia yang religius. Keempat Keempat, hak beragama terdiri dari aspek forum internum dan aspek forum externum. Atau dengan kata lain jaminan hak beragama di Indonesia meliputi perlindungan terhadap aspek forum internum dan aspek forum externum.57 Pemenuhan hak beragama memang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights),58 namun hak beragama yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun tersebut khusus mengenai aspek forum internum saja. Artinya bahwa forum internum tersebut dijamin secara konstitusional untuk dilindungi pemenuhannya dalam keadaan apa pun. Sedangkan jaminan konstitusional atas hak untuk memenifestasikan keyakinan (forum externum) tentu saja dapat dibatasi. Pembatasan atas forum externum tersebut dilakukan hanya untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.59 57 Baca ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Baca Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945. 59 Baca Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. 58 [ 64 ] Adam Muhshi Dalam konteks ini, pembatasan terhadap forum externum sebagaimana diamanahkan oleh ketentuan Konstitusi Indonesia60 telah diderivasikan pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama (UU Nomor 1/PNPS/1965). Secara tegas UU tersebut melarang dan/atau membatasi empat hal yang termasuk dari manifestasi keyakinan (forum externum), yaitu: 1) setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di indonesia di mana penafsiran tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;61 2) setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama yang dianut di Indonesia di mana kegiatan tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;62 3) setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;63 dan 4) setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.64 Kelima Kelima, hak beragama berdimensi perlindungan hukum terhadap agama. Perlindungan hukum yang diberikan Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/ 1965 terhadap agama (larangan terhadap penafsiran dan kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”) yang dianut di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perlidungan terhadap hak beragama. Perlindungan hukum terhadap agama ini tidaklah bertentangan sama sekali dengan hak beragama yang telah dijamin oleh Konstitusi Indonesia, tetapi justeru merupakan bagian dari kewenangan konstitusional negara untuk melindungi hak beragama itu sendiri. 60 Ibid. Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965. 62 Ibid. 63 Pasal 4 UU Nomor 1/PnPs/1965. 64 Ibid. 61 [ 65 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Keyakinan terhadap pokok-pokok ajaran agama (fundamentals of belief) merupakan bagian dari forum internum. Sedangkan forum internum itu sendiri telah dijamin perlindungannya secara konstitusional untuk tidak dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga dengan demikian, keyakinan seseorang terhadap pokok-pokok ajaran agamanya tidak dapat diganggu oleh orang lain. Oleh karena itulah menjadi logis ketika negara kemudian melarang setiap orang untuk melakukan penafsiran dan/atau kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama dari agama yang dianut di Indonesia di depan umum (forum externum). Dengan demikian secara substantif ketentuan Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965 dapat dimaknai sebagai bentuk pembatasan forum internum terhadap forum externum. Artinya bahwa Pasal 1 UU tersebut telah melindungi forum internum setiap orang yang notabene tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dari manifestasi keyakinan atau forum externum orang lain yang dapat mengganggunya. Larangan terhadap penafsiran dan kegiatan yang “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” untuk dilakukan di depan umum adalah sesuai dengan fungsi negara sebagai pengendali sosial guna menjaga ketertiban masyarakat. Larangan tersebut berfungsi sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya tindakan anarkis yang disebabkan oleh adanya penganut agama yang merasa agamanya dinodai dan dihina (blasphemy or defamation of religion). Larangan yang demikian tentu saja relevan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang religius. Dengan demikian perlindungan terhadap agama sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965 bukan merupakan pemberian kewenangan kepada negara untuk membenarkan isi dari sebuah keyakinan, akan tetapi hanya sebagai penengah agar pelaksanaan hak beragama berjalan secara bebas dan damai. Artinya bahwa kewenangan negara yang diberikan oleh Pasal 1 UU tersebut, bukan suatu kewenangan yang ditujukan untuk menyatakan benar atau tidak benarnya isi dari sebuah ajaran agama, namun kewenangan tersebut hanya ditujukan untuk melindungi pokok-pokok ajaran agama yang telah diterima secara umum oleh internal agama tersebut dari penafsiran dan/atau kegiatan keagamaan yang menyimpang. 65 65 Dengan demikian Penulis kurang setuju dengan beberapa pihak yang berpendapat materi UU ini bertentangan dengan hak konstitusional beragama seperti misalnya M. Syafi’ie yang mengatakan [ 66 ] Adam Muhshi Pemberian kewenangan yang demikian logis dilakukan terkait dengan fungsi negara sebagai penengah untuk mencegah adanya benturan atau perpecahan dalam masyarakat yang dapat disebabkan oleh adanya penafsiran dan/atau kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Penutup Sistem hukum nasional yang telah dibangun sejak berdirinya Negara Indonesia didasarkan pada Pancasila.66 Eksistensi Pancasila ini sendiri adalah sebagai konsekuensi logis dari sebuah pengakuan rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan dapat diraih karena berkat rahmat Tuhan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa rakyat Indonesia mendirikan Negara Indonesia dengan berdasar pada falsafah ketuhanan. Prinsip Ketuhanan tersebut kemudian ditegaskan kembali ke dalam norma Konstitusi Indonesia yang menentukan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar dari Negara Indonesia. Hal ini berarti bahwa konsep hak beragama dalam sistem hukum Pancasila dijiwai dan harus didasarkan pada prinsip ketuhanan. Dengan demikian jaminan terhadap hak Beragama di Indonesia baik yang telah diatur dalam Konstitusi Indonesia maupun dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya telah sesuai dengan Pancasila. Termasuk dalam hal ini meskipun UU Nomor 1/PnPs/1965 masih mengandung beberapa kelemahan,67 akan tetapi secara substantif ia tidak bertentangan dengan Pancasila sehingga hanya diperlukan penyerpurnaan terhadap aspek pengaturan, rumusan, dan kaidah-kaidah hukumnya. Pemaknaan terhadap konsep hak beragama berdasarkan sistem hukum Pancasila dengan kekhasan nilai-nilainya penting dilakukan dalam era globalisasi di mana ideologi-ideologi di dunia termasuk dalam hal ini ideologi Pancasila saling berinteraksi satu sama lain seiring “hilangnya” bahwa keberadaan UU ini berdampak agama tidak lagi menjadi hak asasi internal ... Baca lebih lanjut M Syafi’ie, “Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” (2011) 8:5 J Konstitusi, online: <https:// ejournal.mahkamahkonstitusi. go.id/index.php/jk/article/viewFile/186/183> hlm. 688. 66 Baca Irene Istiningsih Hadiprayitno, “Defensive Enforcement: Human Rights in Indonesia” (2010) 11:3 Hum Rights Rev 373 hlm. 377. 67 Muhshi, supra note 16 hlm. 170–178. [ 67 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi sekat-sekat antar negara. Artinya bahwa konsep Hak beragama dalam sistem hukum Pancasila yang prismatik68 perlu ditegaskan nilai-nilai khasnya untuk membedakannya dengan konsep hak beragama yang berkembang di negara-negara sekuler maupun di negara-negara agama. Konsep hak beragama berdasarkan Sistem Hukum Pancasila tersebut menurut Penulis masih sangat relevan sama halnya dengan masih relevannya Pancasila sebagai ideologi yang menjadi pemersatu bangsa serta sekaligus menjadi sumber dan prinsip dalam Sistem Hukum Indonesia.69 Daftar P ustaka Pustaka Buku Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985). Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008). ———. Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta: RajaGrafindo, 2009). Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi dan Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya di Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, edisi khusus ed (Peradaban, 2007). Huda, Miftakhul et al. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku I Latar 68 Istilah Sistem hukum Pancasila yang prismatik atau sistem hukum prismatik ini diperkenalkan oleh Moh. Mahfud MD. Baca MD, supra note 7 hlm. 29–30. 69 “Mahfud MD: Indonesia Bersatu dan Rukun Karena Pancasila”, online: detiknews <https:// news.detik.com/berita/d-3223337/mahfud-md-indonesia-bersatu-dan-rukun-karena-pancasila>; Kompas Cyber Media, “Mahfud MD: Pancasila Luar Biasa, Persatukan 1.340 Suku Bangsa”, online: KOMPAS.com <http://nasional.kompas.com/read/2016/06/02/06060011/ Mahfud.MD.Pancasila.Luar.Biasa.Persatukan.1.340.Suku.Bangsa.>; “Mahfud MD & Sinta Nuriyah Hadiri Peringatan Kesaktian Pancasila di Bogor”, online: detiknews <http:/>; Heldania Ultri Lubis, “Pancasila Dinilai Masih Relevan Payungi Perbedaan di Indonesia”, online: detiknews <http:/>; Rachmad Faisal Harahap, “Pancasila Masih Sangat Relevan di Indonesia”, online: news.okezone.com <http://news.okezone.com/read/2014/10/01/373/1046780/pancasila-masih-sangat-relevan-diindonesia>; Pewarta: Indriani, “Pancasila relevan sampai saat ini”, online: Antara News <http:// www.antaranews.com/berita/456398/pancasila-relevan-sampai-saat-ini>; Terkait masih relevannya Pancasila, coba baca Dian, “Surya Paloh: Pancasila Masihkah Relevan Jadi Dasar Berbangsa?”, online: liputan6.com <http://news. liputan6.com/read/2279503/surya-paloh-pancasila-masihkahrelevan-jadi-dasar-berbangsa>. [ 68 ] Adam Muhshi Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, revisi ed. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010). Khanif, Al. Hukum & Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2010). Khanif, Al. “Pancasila sebagai Realitas; Percik Pemikiran tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia” in (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016). Laksono, Laksono. Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Moh. Mahfud MD; Hukum Tak Kunjung Tegak (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). Leiboff, Marett & Mark Thomas. Legal Theories: Contexts and Practices (Sydney: Thomson Reuters, 2009). Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia; Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). MD, Moh Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3S, 2006). ———. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). ———. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). Muhshi, Adam. Teologi Konstitusi; Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015). Siahaan, Maruarar. Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi yang Hidup (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008). Jurnal dan P Prrosiding Anonim. “Prosiding Konferensi dan Dialog Nasional; Negara Hukum Indonesia Ke Mana Akan Melangkah?”, (10 Oktober 2012), online: <http:/ /epistema.or.id/ download/Prosiding_KNH-2012.pdf>. Fatmawati. “Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia”, (Agustus 2011), online: <https://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/jk/ article/viewFile/179/176>. Hadiprayitno, Irene Istiningsih. “Defensive Enforcement: Human Rights in Indonesia” (2010) 11:3 Hum Rights Rev 373. [ 69 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Muhshi, Adam. “Teologi Konstitusi; Hak Warga Negara atas Kebebasan Beragama berdasarkan UUD NRI 1945” (2013) II:1 J Konstitusi Pus Kaji Konstitusi Univ Dr Soetomo Surabaya Kerjasama Dengan Mahkamah Konstitusi Repub Indones 7. Muktiono. “Mengkaji Politik Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”, (Mei 2012), online: <http:// dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/ index.php/JDH/article/ viewFile/59/26>. Sartini. “Etika Kebebasan Beragama” (2016) 18:3 J Filsafat 241. Sulistyo, Heru Drajat. “Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasab Beragama dan Beribadah di Tengah Pluralisme Masyarakat Indonesia”, (Oktober 2014), online: <http://www.unsoer.ac.id/ jurnal/media-soerjo-2014/oktober/6.Heru. pdf>. Syafi’ie, M. “Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” (2011) 8:5 J Konstitusi, online: <https://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/ index.php/jk/article/viewFile/186/183>. Wahyudi, Agus et al. Proceeding Kongres Pancasila; Pancasila dalam berbagai Perspektif (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009). Website Dian. “Surya Paloh: Pancasila Masihkah Relevan Jadi Dasar Berbangsa?”, online: liputan6.com <http://news.liputan6.com/read/2279503/ surya-paloh-pancasila-masihkah-relevan-jadi-dasar-berbangsa>. Faisal Harahap, Rachmad. “Pancasila Masih Sangat Relevan di Indonesia”, online: news.okezone.com <http://news.okezone.com/read/2014/ 10/01/373/1046780/pancasila-masih-sangat-relevan-diindonesia>. Indriani, Pewarta: “Pancasila relevan sampai saat ini”, online: Antara News <http://www.antaranews.com/berita/456398/pancasila-relevansampai-saat-ini>. Khanif, Al. “Questioning a Theistic, Secular Pancasila to Protect Religions”, (1 June 2015), online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/ news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasilaprotect-religions.html>. Lubis, Heldania Ultri. “Pancasila Dinilai Masih Relevan Payungi Perbedaan di Indonesia”, online: detiknews <http:/>. [ 70 ] Adam Muhshi Media, Kompas Cyber. “Mahfud MD: Pancasila Luar Biasa, Persatukan 1.340 Suku Bangsa”, online: KOMPAS.com <http://nasional. kompas.com/read/2016/ 06/02/06060011/Mahfud.MD. Pancasila.Luar.Biasa.Persatukan.1.340.Suku.Bangsa.>. Zoelva, Hamdan. “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila”, (Agustus 2009), online: <http://www.setneg.go.id/index2.php?option= com_content&do_pdf =1&id=3915>. “Mahfud MD: Indonesia Bersatu dan Rukun Karena Pancasila”, online: detiknews <https://news.detik.com/berita/d-3223337/mahfudmd-indonesia-bersatu-dan-rukun-karena-pancasila>. “Mahfud MD & Sinta Nuriyah Hadiri Peringatan Kesaktian Pancasila di Bogor”, online: detiknews <http:/>. Peraturan P er undang-U ndangan Per erundang-U undang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. [ 71 ] SPIRITU ALIT A S PANC A SIL A: DARI KORUPSI SPIRITUALIT ALITA PANCA SILA: SPIRITU AL KE PANC ARAN INTENSIONAL SPIRITUAL PANCARAN UNIVERSALIT A S NIL AI-NIL AI PANC A SILA UNIVERSALITA NILAI-NIL AI-NILAI PANCA Made Pramono Pendahuluan I de awal topik penulisan sepenuhnya berasal dari refleksi penulis tentang berbagai peristiwa yang mengindikasikan terjadinya suatu fenomena yang bisa diringkas dalam dua kata: korupsi spiritual. Fenomena ini tidak secara harfiah hanya terbatas pada kasus-kasus individual, tetapi secara ekstensif-alegoris berkenaan dengan berbagai patologi sosial. Fenomena yang contohnya merentang tidak sekedar kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru spiritual terhadap muridnya, tetapi juga bagaimana secara sistemik individu-individu di suatu komunitas tertentu menganggap sebagai hal yang lumrah kutipan liar atau penyebaran berita-berita hoax demi kepentingan segelintir orang. Korupsi spiritual dalam konteks tulisan ini merupakan istilah yang mewakili kondisi di mana seseorang yang sebenarnya sudah mengetahui apa-apa yang ideal secara spiritual (terbimbing Yang-Ilahi, kebaikan atau keadilan universal, dan sebagainya) tetapi dengan sengaja memutarbalikkan atau membiaskan yang ideal itu dengan melakukan tindakan-tindakan yang hanya menguntungkan diri atau/atau kelompoknya dan merugikan yang lain (secara massif ) baik secara langsung maupun tidak langsung. Filsafat adalah bidang kajian utama yang digunakan dalam tulisan ini untuk merefleksikan pemikiran mendasar tentang Spiritualitas Pancasilais, suatu kualitas personal transformatif terbimbing Yang-Ilahi yang melekat pada pribadi-pribadi “penganut dan pengamal” nilai-nilai Pancasila. Tulisan ini diawali dengan penjelasan istilah-istilah kunci untuk kemudian [ 73 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dikembangkan sebagai wacana konstruktif-reflektif. Penulis berharap, melalui tulisan ini, pembaca bisa memperoleh gambaran lebih kaya dengan perspektif yang beragam tentang bagaimana Pancasila sebagai nilai dasar bisa dihayati secara lebih intens sekaligus holistik oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tanpa kehilangan kelenturan dan keterbukaannya menghadapi berbagai tantangan dalam pusaran global ke depan. Pada akhirnya, pemaknaan universalitas nilai-nilai Pancasila diharapkan sungguhsungguh bisa diangkat sebagai paradigma peradaban global. Spiritualitas: Cinta dan K earifan U niv ersal Kearifan Univ niversal Spiritualitas1 dalam tulisan ini berarti aspek-aspek kerohanian yang diabstraksi dan diekstrak dari berkelindannya berbagai aspek lain yang melekat pada suatu subjek. Spiritualitas menunjuk pada realitas imaterial atau realitas puncak yang memampukan seseorang menemukan esensi keberadaan mereka, atau ‘nilai-nilai dan makna-makna terdalam kehidupan’. Spiritualitas sering dialami sebagai sumber inspirasi atau orientasi hidup yang dapat mengarahkan keyakinan terhadap realitas atau pengalaman imaterial dari imanensi atau transendensi dunia2. Istilah ini tidak hanya tentang sisi relijius/keagamaan,3 dan juga tidak hanya diarahkan pada pemahaman atau pencerminan sikap dan perbuatan yang memancar dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi meliputi dimensi yang lebih luas dengan kerohanian atau kejiwaan sebagai substansi cakupan pembahasannya.4 1 2 3 4 Berasal dari istilah Latin “Spiritualitas”, kata abstrak yang berasal dari kata benda spiritus dan kata sifat spiritalis atau spiritualis. Lihat Walter Principe, “Toward Defining Spirituality”, (Winnipeg: Fourteenth Congress of The Internasional Association for the History of Religions, 17-22 Agustus 1980) hlm. 130. http://www.huffingtonpost.com/kate-fridkis/spirituality-definition_b_597062.html Penelitian Saucier dan Skrzypinska yang dipublikasikan di Journal of Personality (Gerard Saucier and Skrzypinska Katarzyna, “Spiritual But Not Religious? Evidence for Two Independent Dispositions” (2006) 74:5 Journal of Personality 1257 hlm. 1257) membuktikan kedua istilah ini (spiritualitas dan relijiusitas) sebagai dua hal yang bisa diperbedakan dari satu pribadi yang sama. Keduanya adalah apek dari personalitas yang mencirikan kepribadian yang bersangkutan. Mendekati mistisisme, spiritualtas oleh Saucier dan Skrzypinska lebih ditekankan sisi atraktifnya dalam penggambaran-diri. Beberapa penulis menyatakan bahwa spiritual secara klasik berbeda dengan agama dalam hal bahwa spiritual itu suatu bentuk kepenuhan interior batin manusia, sangat bersifat pribadi dari agama yang terlembagakan dan komunal. Spiritual sekaligus sangat memuat Keterbukaan terhadap Pengalaman. Lihat misalnya Graham Harvey, “If ‘Spiritual But Not Religious’ People Are Not Religious What [ 74 ] Made Pramono Kerohanian atau kejiwaan seperti apa yang menjadikan seseorang disebut sebagai “pribadi spiritual”? Dimensi transenden pengalaman manusia yang mengatasi iman atau kebenaran ekslusif (termasuk kebenaran ateistik), menjadi penciri spiritualitas ini. Manusia secara hakiki cenderung menuju kearah kebenaran-kebenaran dan memuja sesuatu, akan tetapi disisi lain ia juga cenderung untuk memahami alam semesta. Fitrah memahami dan bahkan menuju penyatuan dengan hal adi-kodrati ini bisa ditemui di setiap jaman, sebagai konsekuensi “firah” kebutuhan manusia tingkat lanjut yang melampaui kebutuhan fisiologis, keamanan-keselamatan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagaimana diskemakan Abraham Maslow. Menjelang akhir hayatnya, Maslow menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yang disebut sebagai kebutuhan transcendental.5 Ungkapan tentang pribadi “spiritual” yang sangat kaya dari aspek rujukan, diungkapkan Walter Principe di tahun 1980, bahwa pribadi spiritual (spiritualis) adalah seseorang yang seluruh hidupnya terbimbing oleh “Yang-ilahi”.6 Dalam perjalanannya, istilah spiritualitas dibawa ke level ideologis oleh tulisan Gapanyok, Mareev, dan Karpova di ranah pendidikan: Spiritualitas adalah konsep ideologis pendidikan modern7. Secara individual, spiritualitas sebagai suatu ideologi berfungsi membentuk kesadaran seseorang dan mengatur mereka dengan memengaruhi kesadaran. Ideologi menciptakan dan mengetengahkan stereotip-stereotip kesadaran tertentu ke dalam pikiran seseorang yang direfleksikan dalam ciri-ciri perilaku, menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sarana pencapaian tujuan.8 Bisa dikatakan, dalam konteks ideologi ini, dari filosofis dan psikologis, spiritualitas tercermin ke tataran sosiologis. Relasi diri dan dunia (sesama, 5 6 7 8 Difference Do They Make?” (2016) 6:2 Journal for the Study of Spirituality 128 hlm. 128; Saucier dan Skrzypinska, supra note 4. hlm. 1288. Dede Rahmat Hidayat, Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 165–166. Principe, supra note 2. hlm. 130. Principe secara cermat menelisik secara historis penggunaan istilah spiritualitas untuk diperbedakan dari istilah lain seperti mistisisme, termasuk dengan mengajukan istilah yang berlawanan: corporealitas atau materialitas. Istilah “Yang-Ilahi” penulis adaptasikan dari istilah “Spirit of God” pada tulisan Principe. Gaponyuk P.N., Mareev V.I., Karpova N.K., dan Dyuzhikov S.À., “Spirituality as Ideological Concept of Modern Education” (2013) 1:10 American Journal of Educational Research 436 hlm. 436. Ibid, hlm. 436 dengan mengetengahkan tulisan Zinovyev tentang filsafat sebagai bagian ideologi. [ 75 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi alam, maupun Yang-Ilahi) terbentuk secara intim dan resiprokal, yang juga berarti bahwa spiritualitas secara efektif mengarahkan eksistensi dan peran seseorang dalam memaknai dan menjalani hidup di dunia. Yang-ilahi yang membimbing hidup spiritualis, mendorong seseorang untuk terus menerus meredefinisikan dan merefleksikan nilai-nilai utama seperti kebenaran, keadilan, keindahan, atau kebaikan dalam kehidupannya. Penyingkapan spiritualitas kepribadian inilah yang kemudian ditangkap Gapanyok dkk sebagai ideologi, dengan penekanan pada bidang pendidikan.9 Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa dalam konteks Pancasila, “suasana kebatinan” sebagaimana sering digunakan dalam pembelajaran ke-Pancasila-an, selain bermakna sebagai cita-cita hukum, juga terwakili oleh konsep spiritualitas. Suasana kebatinan atau spiritualitas bangsa Indonesia sebagaimana misalnya dapat ditafsirkan dari pidato Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang membahas khusus tentang dasar negara Indonesia antara 29 Mei hingga 1 Juni 194510, pada akhirnya dikemas sebagai suatu sistem nilai dengan mengandalkan spiritualitas mereka. Suasana kejiwaan/kebatinan apa yang mencakup sekaligus melampaui iman relijius? Penulis menyebut “cinta” sebagai istilah kunci kerohanian dan kejiwaan yang mengatasi iman atau kebenaran ekslusif yang cenderung ke arah penyatuan terhadap Yang-Ilahi. Secara operasional, hal ini termanifestasikan sebagai cinta diri sendiri dan yang lain (alam atau orang lain) yang secara aktif ditunjukkan melalui perilaku kepedulian terhadap sesama manusia atau makhluk lain, kepedulian yang mengarah pada “cinta universal”. Cinta yang bisa dilihat sebagai impetus (daya dorong) penafsiran yang melampui “ketuhananku”, “ketuhananmu”, “ketuhanan yang lain”; melampaui ekslusivitas keberagamaan Islam atau Hindu, melampaui nasionalitas Indonesia atau non-Indonesia. Cinta universal ini secara klasik dibimbing Yang-Ilahi11 dalam “suasana ilahiah12”, suatu “bimbingan” yang 9 Ibid hlm. 436. Dilaksanakan pada masa sidang pertama BPUPKI, lihat Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa, Pendidikan Pancasila (Surabaya: Unesa University Press, 2014) hlm. 95-99. 11 Yang-Ilahi merujuk pada konsep apapun yang dianggap manusia sebagai yang mutlak diikuti, yang menguasai, mendasari, dan/atau melingkupi kediriannya. Contoh istilah yang paling dikenal dan lazim dalam terminologi Bahasa Indonesia adalah “Tuhan”. Penulis meyakini, setiap manusia – 10 [ 76 ] Made Pramono mengarahkan kedirian manusia (energi, emosi, dan sebagainya) untuk bersikap dan bertindak memainkan peran di kehidupannya. Spiritualitas, memang akrab dengan Sila ke-1 Pancasila, tetapi tidak hanya berkutat di situ. Spiritualitas berada di wilayah-wilayah paling individual hingga yang paling publik: memilih bersandar di agama tertentu, atau memilih ateis. Spiritualitas juga berada di wilayah-wilayah riil hingga yang imajiner: diskursus harga cabe di pasar hingga nasionalisme menghadapi neoliberalisme. Spiritualitas terasah di wilayah-wilayah hitamputih hingga yang abu-abu: mana kawan mana lawan serta mana kawan yang sebenarnya lawan. Spiritualitas terasah melalui media sosial, diskusi dan seminar, TV dan koran, hingar bingar konser musik, hingga sujud di sajadah tengah malam. Spiritualitas bisa dikatakan dipicu dari (dan diketemukan dalam) semua fenomena dan ide apapun. Keterhubungan dengan cinta dan Yang-Ilahi dalam suasana ilahiah mengindikasikan bahwa realitas yang dialami secara sangat personal terebut berada di area spiritualitas13. Area spiritualitas, dengan demikian, adalah area “meta-nilai” yang menggerakkan seseorang memihak nilai-nilai tertentu daripada nilai-nilai lainnya. Sebagai contoh, Spiritualitas Pancasilais memihak nilai kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa menutup mata terhadap hak “lebih makmur”-nya segelintir orang daripada yang lain; atau, memilih nilai kebebasan yang bertanggung jawab daripada kebebasan yang lepas tanggung jawab. Kepemihakan ini berbasis argumentasi rasional dan mandiri, meskipun di tahap lanjut, diharapkan juga sampai pada tahap intuitif yang melampaui argumentasi rasional. Hal ini akan dibahas di bagian akhir tulisan. termasuk yang ateis atau agnostik – dalam kehidupannya pasti “mempertuhankan” sesuatu: Allah, Roh Absolut, Kebaikan Murni, dan sejenisnya termasuk mempertuhankan pikirannya sendiri. 12 “Suasana ilahiah” merujuk pada kondisi keterbimbingan manusia oleh Yang-Ilahi. 13 Penulis menyadari kesulitan untuk mengukur spiritualitas seseorang, bukan hanya karena spiritualitas sangat kualitatif dan personal, tetapi karena ketidaksepakatan untuk memahami hakikat spiritualitas, khususnya dalam kaitannya dengan relijiusitas. Tentang dilema pengukuran ini Lihat Afton N. Kapuscinski and Kevin S. Masters, “The Current Status of Measures of Spirituality: A Critical Review of Scale Development” (2010) 2:4 Psychology of Religion and Spirituality Journal 191 hlm. 191–205. [ 77 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pancasilais: “I dealitas WNI” “Idealitas Pancasila adalah ideologi bersama14, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Weltanchauung15, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan. Disinilah peran Pancasila sebagai filsafat dasar (philoshophische grondslag) sangat dibutuhkan menjadi payung bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlu ditegaskan: bagi seluruh Rakyat Indonesia, bukan Rakyat Jawa, Rakyat Kristen, Rakyat Pejabat, dan sebagainya untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi bersama yang memayungi “berbagai rakyat” Indonesia itu. Jelas menyesatkan jika Pancasila dilihat sebagai ideologi perong-rong akidah Islam atau peluntur ke-Ambon-an. Sebaliknya, juga menyesatkan jika Pancasila disebut hanya miliknya Jawa, atau umat Hindu. Pada dasarnya memang sila-sila dalam Pancasila bukan merupakan hasil renungan terhadap universalitas warga dunia, tetapi lebih sebagai hasil pemikiran terhadap pandangan hidup masyarakat Indonesia dengan segenap adat-istiadat, budaya, dan relijiusitasnya. Namun pada tataran fundamental-filosofis, ciri universal juga diemban oleh nilai-nilai Pancasila: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Sebagai ideologi bangsa16, maka setiap manusia Indonesia dalam pergaulan berbangsa-bernegara, dijiwai oleh nilai-nilai pancasila dengan segenap keunikan sekaligus keuniversalannya tersebut. Pribadi yang dijiwai oleh nilai-nilai pancasila tersebut itulah yang oleh penulis disebut dengan Pancasilais (atau secara lengkap pribadi pancasilais). Istilah “Pancasilais” tidak harus sebangun dengan konsep ideolog (ideologist) sebagai individu yang menteorisasikan, mengidealisasikan, 14 Sebagai catatan, ada pendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dilihat sebagai ideologi, seperti terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno, tetapi sebagai dokumen politik ala Magna Carta, kontrak sosial, atau kerangka nilai dan citacita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan (Hermawan Prasojo, Pancasila sebagai Philosophische Grondslag , diunduh dari www.academia.edu/5585016/Pancasila_Sebagai_ Philosophische_Grondslag, 30 Januari 2017, hlm. 2). 15 Dinyatakan dalam pidatonya: “Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?” (Pidato Bung Karno pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945 tentang Dasar Negara Indonesia yang dibukukan oleh Departemen Penerangan RI berjudul “Lahirnya Pancasila” tahun 1947). Dilacak dari http://www.pusakaindonesia.org/pidato-lengkap-bung-karnotentang-pancasila-bagian-1/. 16 Prasojo, supra note14 hlm. 7. Untuk itu, penggunaan kata ideologi tidak disajikan panjang lebar, tetapi sebatas sebagai kerangka weltanschauung. [ 78 ] Made Pramono memiliki kecakapan ilmiah, atau menganjurkan doktrin ideologi17. Istilah “ideologist” ini bahkan di tulisan beberapa tokoh seperti Marx & Engels, Putnam, atau Sartori lebih bernada negatif dengan mengidentifikasikannya sebagai “dogmatik”, “tertutup”, “kaku”18. Menjadi Pancasilais tidak harus “pandai” tentang Pancasila (dengan demikian tidak harus dari golongan terpelajar), tetapi menjiwai apa yang diketahui tentang nilai-nilai Pancasila. Syarat utama disebut Pancasilais, dengan demikian ditunjukkan oleh tiga hal. Pertama, “mengetahui Pancasila” - sebagai filsafat dasar atau ideologi Bangsa Indonesia - dengan kandungan nilai-nilai di dalam sila-silanya. Seseorang disebut Pancasilais berarti dia mengetahui tentang Pancasila (dari yang paling sederhana seperti apa itu pancasila, bunyi ke-5 sila, hingga pengetahuan-pengetahuan lanjutan tentang Pancasila). Kedua, menjiwai apa yang diketahuinya tersebut. Kata “menjiwai” dalam konteks ini tidak sekedar memahami atau menghayati (pasif ), tetapi juga melibatkan tegangan potensi dan aksi dari apa yang diketahui, dalam hal ini nilainilai Pancasila. Dengan pengetahuan tentang Pancasila, Pancasilais setiap saat mampu menyikapi dan mengamalkan dalam berbagai situasi dan kejadian. Ketiga, menganut Pancasila secara baik dan setia.19 Pancasilais secara demonstratif biasa dan bahkan bangga dengan pengetahuan dan penjiwaan ke-Pancasila-annya tersebut. Sebutan Pancasilais di tulisan ini secara sederhana menunjuk ke subjek WNI siapapun, tidak harus mereka yang terlibat langsung dalam dinamika relasi kekuasaan atau rencana-rencana politik. Dikaitkan dengan ketidakkonsistenan pada beberapa kasus yang sangat individual-manusiawi, maka “dominan” perlu dilekatkan untuk mengkategorikan seseorang yang Pancasilais itu. Artinya, Si Pancasilais memang bisa jadi tidak bisa setiap saat “mengetahui-menjiwai-menganut”, tetapi sikap dan perilakunya 17 http://www.websters1913.com/words/Ideologist, diakses 13 Pebruari 2017. John Gerring, “Ideologiy: A Definitional Analysis” (1997) 50:4 Political Research Quarterly 957 hlm. 978. 19 http://kbbi.web.id/Pancasilais, diakses 30 Januari 2017. Frase ini sengaja dipisahkan dari “mengetahui” maupun “menjiwai” untuk mengecualikan individu-individu yang fanatik buta dan/ atau penjiwaan secara negatif (terutama chauvinisme) terhadap Pancasila. Artinya, bisa saja ada penganut Pancasila yang tidak mengetahui apa itu Pancasila (sila-sila dan kandungan nilainya) atau penganut Pancasila yang mungkin mengetahui tetapi bersikap menegasikan ideologi lain, kerangka nilai lain, atau dokumen sejenis lainnya yang bukan/berbeda dengan Pancasila. 18 [ 79 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dominan mencerminkan nilai-nilai dasar yang abstrak ini. Permasalahannya adalah: pancasilais yang dimaksud ini berbasis eksperimentasi, idealisasi, atau imajinatif? Pancasilais pada dasarnya adalah sebutan atau predikat yang disematkan baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Tentu saja jika sebutan itu untuk diri sendiri, membahasnya adalah suatu tindakan tidak konstruktif – meskipun juga tidak destruktif, entah dilatarbelakangi konsistensi diri yang terrekam secara eksperimentatif, atau sekedar idealisasi dan keyakinan diri mampu menjadi Pancasilais, atau bahkan sebenarnya hanya imajinatif, palsu, dan menipu. Pancasilais, dalam konteks ini, berarti lebih diarahkan sebutan untuk orang(-orang) baik dalam arti orang yang ada-riil maupun abstrak-konseptual. Arah tulisan ini adalah pada tataran klasifikasi abstrakkonseptual tersebut. Permasalahan lainnya, tidakkah konsep Pancasilais ini utopis? Jika memang utopis, maka tulisan ini seharusnya tidak konstruktif dan bahkan tidak masuk akal untuk mengkonseptualisasikan lebih jauh spiritualitas dari individu-individu Pancasilais. Hal ini berarti, penulis sudah mengasumsikan sejak awal sebelum mulai menulis bahwa Pancasilais bukanlah utopia, tetapi idealita. Argumentasi konseptualnya analog dengan argumentasi yang lazim dipakai untuk sebutan “Muslim yang baik” atau “manusia unggul”, di mana semuanya merupakan sebutan untuk suatu kualitas persona yang diidealkan. Menjadi Muslim (mengaku dan terdata sebagai muslim), level sebutan “yang baik” adalah ideal, bukan utopis. Maknanya adalah “diyakini bisa dicapai”, bukan “hal yang mustahil dicapai”. Relevan dengan pendekatan terhadap pribadi Pancasilais ini, manusia “unggul” yang dikonsepsikan Notonagaro20 merupakan konsep filosofis yang ideal untuk menggambarkan hakikat manusia yang dikehendaki di bumi Pancasila ini, sekaligus berparadigma universal. Keseimbangan dan optimalnya masing-masing perspektif dalam konsep hakikat manusia tersebut, menuntun manusia menuju keunggulan Pancasilais: manusia adalah makhluk jasmani sekaligus rohani, makhluk individu dan juga makhluk sosial, makhluk berdiri sendiri sekaligus makhluk Tuhan. 20 Notonagoro. 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh. h. 53. [ 80 ] Made Pramono Bisa disimpulkan, Pancasilais adalah predikat/sebutan ideal yang bisa melekat ke seseorang WNI21. Bisa saja seseorang yang bukan warga negara Indonesia disebut atau mengaku Pancasilais, tetapi umumnya dalam penulisannya kata Pancasilais untuk mereka diberi tanda petik untuk menegaskan identitas mereka yang bukan WNI. Hal ini memang tidak lazim ditemukan di berbagai artikel atau buku Pancasila, tetapi penulis ajukan justru sebagai konsep kunci untuk membuka pemahaman lebih komprehensif bahwa nilai-nilai Pancasila adalah sungguh-sungguh berciri universal. Bukankah sudah sering penulisan/penyebutan seseorang WNI bahwa dia itu “Komunis” atau “Kapitalis”, padahal istilah-istilah itu menunjuk pada ideologi, tetapi bukan “ideologi resmi” bangsa Indonesia? Jika dibalik, seorang warga negara Austria “berhak” dicap “Pancasilais” – sekali lagi, dengan tetap memberi tanda petik untuk menuliskannya. Syarat untuk mampu memahami hal ini, Pancasila sudah dibawa ke ranah paradigma peradaban global. Tengara Karakteristik Paradigma peradaban global tersebut diusulkan oleh misalnya Garin Nugroho dan Armahedy Mahzar yang berpendapat bahwa Pancasila harus berkembang tidak (boleh) lagi hanya menjadi sekedar ideologi politik negara.22 Keuniversalan nilai-nilai Pancasila yang diadaptasikan dan dikembangkan menjadi paradigma peradaban global tersebut, tidak kurang universalitasnya dibandingkan dengan misalnya liberalisme atau sosialisme. Karakter universal/global ini mutlak diperlukan untuk memahami Spiritualitas Pancasila dan Spiritualitas Pancasilais. Cinta universal yang terbimbing Yang-Ilahi dalam suasana ilahiah – sebagaimana disebutkan sebelumnya - adalah payung pemahaman spiritualitas ini. Pemaknaan Ketuhanan oleh muslim bisa jadi berbeda dengan pemaknaan oleh umat Kristen atau Budha. Bukan hanya karena Tuhan 21 Istilah yang berkembang di masyarakat Indonesia untuk menunjukkan lawan kata Pancasilais adalah “tidak Pancasilais” dan “anti-Pancasila”. Tetapi penulis ingin menegaskan bahwa pastilah seorang yang anti Pancasila itu tidak Pancasilais, tetapi tidak setiap mereka yang tidak Pancasilais adalah antiPancasila. Bahkan, WNI dengan klasifikasi seperti ini yang diasumsikan paling mendominasi: ProPancasila tetapi tidak bisa disebut pancasilais karena tidak memenuhi kriteria sebagai Pancasilais (sebagaimana diuraikan di atas). 22 Dalam Prasojo, supra note 16 hlm. 2. [ 81 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi “versi” umat Islam tidak bisa diimani secara sama oleh umat agama lain – dan karena itu ada lebih dari satu agama di dunia ini - tetapi berbagai aturan, ritual, “suasana” yang membuat pemaknaan ketuhanan bisa berbedabeda antar agama (bahkan antar inidividu di satu agama yang sama)23. Pemaknaan yang berbeda-beda tersebut tidak hendak (dan mustahil) disamakan, oleh konsep spiritualitas. Spiritualitas berdiri melampaui pemaknaan yang berbeda-beda itu, meskipun bagi penulis spiritualitas juga tidak dimaksudkan sebagai agama universal atau agama liberal modern dalam arti harfiah sebagaimana disebutkan Graham Harvey24. Berangkat dari relijiusitas Kristen atau Hindu, spiritualitas kedua subjek dari umat agama berbeda ini disatukan oleh pandangan dunia yang melihat individu siapapun sebagai potensi “kawan, bukan lawan”. Ateis atau agnostik sejak kecilpun juga disatukan oleh pandangan dunia ini. Tidak peduli apa agama seseorang, hak hidup, hak berpendapat setiap orang tidak bisa begitu saja dihilangkan (bahkan tidak lazim begitu saja seseorang dengan kesadaran penuh menebas pohon atau menginjak siput). Spiritual perlu ditegaskan, bukan agama dan bukan saingan agama. Setiap manusia secara subjektif memiliki pemaknaan sendiri tentang kehadirannya di muka bumi ini, dengannya dia terlibat dan berperan menghadapi setiap momen, peristiwa, atau manusia lain. Manusia adalah makhluk pembaca yang setiap saat membaca ayat-ayat pengalamannya, baik pengalaman yang berasal dari relasinya dengan manusia dan makhluk lain, dari sabda dan ayat yang disampaikan oleh agamanya yang terlembagakan, tulisan dan tanda-tanda apapun, bahkan membaca pikiran dan hatinya sendiri. Manusia mencerap sesuatu sebagai benar-salah, indahburuk, baik-buruk, beradab-tidak beradab tidak semata-mata karena dimotivasi atau diperintah agama atau aturan-aturan, tetapi juga karena keputusan pikiran mandirinya sendiri. Dalam “membaca” dan “mencerap” itu, manusia dibimbing oleh sesuatu (termasuk ketika itu dilakukan karena perintah/aturan pihak lain). Sesuatu itu adalah Yang-Ilahi; bukan hanya 23 Tulisan Fuad berikut menarik disimak: “Masuknya nilai Tauhid dalam ideologi bangsa Indonesia tidak menjadikan umat Islam memerangi umat lainnya. ... sesuai dengan nilai Islam yang turut mewarnai sila kedua Pancasila” (Fuad, F. 2012. Islam dan Ideologi Pancasila: Sebuah Dialektika. Dalam Lex Jurnalica Vol. 9 No. 3. Desember 2012, dalam http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/ Lex/article/viewFile/ 346/313). 24 Ada yang menyebut spiritualitas sebagai “agama liberal modern” atau “agama yang diijinkan sebagai yang tidak bisa dipraktekkan”. Harvey, supra note 4 hlm. 138. [ 82 ] Made Pramono ekslusif ke-Ilahi-an Tuhan agama-agama, tetapi apapun yang secara esensial dianggap oleh manusia sebagai sesuatu yang secara sadar dan iklas dia patuhi, yang membimbing dia dalam menilai, mengambil keputusan, atau bertindak terhadap sesuatu hal atau peristiwa. Yang-Ilahi ini yang mempersatukan Ateis dan Buddhis, Jawa dan Hawai, profesor dan anak SD, bahkan mempersatukan wanita dengan gay dan transeksual, dokter dan dukun atau tabib, penyandang disabilitas dan atlet juara olimpiade; singkatnya, mempersatukan semua manusia. Spiritualitas manusia memampukan persatuan ini bukan hanya karena itu ajaran agama atau piagam PBB, melainkan karena itu “suara jiwa semesta”, cinta universal yang terbimbing oleh suasana Ilahi, oleh Yang-Ilahi. Cinta universal dalam Suasana Ilahiah ini yang kemudian mengkompromikan berbagai vonis adat, agama, atau hukum positif untuk tidak serta merta memutuskan memvonis benar atau salahnya suatu hal lalu menghukum dengan tindakan25. Kompromi ini bisa termanifestasikan dalam proses musyawarah atau aklamasi, demokrasi atau lobi-lobi, yang pada intinya berupa tindakan memperluas perspektif, mengasah kebijaksanaan, memperkaya pertimbangan-pertimbangan. Setidaknya, muara dari semua itu adalah lebih memperhatikan manusia (dan makhluk lain) dengan segala latar belakang, identitas, dan keunikannya. Suatu keadilan sosial akhirnya menjadi nilai aksiologis Pancasilais paling ekstensif, bagaimana manusia sebijaksana mungkin mentransformasikan “suara jiwa semesta” dari visi kemanusiaan yang dibimbing oleh YangIlahi, ke dalam jalinan Cinta Universal. Karakteristik keadilan yang bukan ditimbang hanya berdasarkan untung-rugi, atau sebaliknya, meniadakan untung-rugi, melainkan keseimbangan proporsional dan kearifan: mempersilahkan seseorang untuk lebih kaya dari yang lain, tetapi kekayaan yang tidak berasal dari memiskinkan yang lain, bahkan justru kekayaan yang berpotensi meng-kaya-kan yang lain. Cinta universal adalah jejalin ideal perekat keadilan ini. Tidak bisa dihindari – sekali lagi - spiritualitas dalam kerangka nilainilai Pancasila memang tidak mudah dipahami tanpa memperluas perspektif 25 Sebagai contoh, menarik kiranya menelusuri perdebatan filsafat hukum antara golongan positivistik dan critical legal study. [ 83 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dari warga negara menuju warga global. Pancasila sebagai way of life Bangsa Indonesia 26, pada tataran ini ditransformasikan sebagai paradigma peradaban global. Reartikulasi pemaknaan terhadap Pancasila dan nilainilai di dalamnya dalam beberapa hal mutlak diperlukan. Bukankah Pancasila sudah diikrarkan sebagai ideologi terbuka? Tentu reartikulasi ini bukan permasalahan sepele dan membutuhkan penelitian yang rasanya tulisan ini pada akhirnya hanya menjadi “introduksi”, belum lagi fakta bahwa masih banyak kerancuan pemahaman secara ilmiah terkait definisi spiritualitas dihadapkan pada relijiusitas atau bahkan mistisitas27, serta definisi Pancasilais yang bahkan belum ada bahasan komprehensif-substantif tentangnya sebelum ini28. Dari “membaca” dan “mencerap”, dibimbing oleh serangkaian panduan instruksional verbal dan non-verbal, manusia kemudian “menulis” baik untuk dirinya sendiri maupun untuk yang lain. Tindakan menulis biasanya diawali dengan serangkaian proses di otak yang menganalisis instruksi, bacaan, dan cerapan, untuk disimbolkan dalam bentuk tulisan agar dipahami, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk yang lain. Jika diijinkan diperluas, menulis juga mencakup tindakan konkret seperti mencangkul hingga berdiplomasi, dengannya proses “membaca” dan “mencerap” memperoleh makna transformatif-praktisnya. Spiritualitas Pancasilais adalah spiritualitas transformatif ini: kualitas personal yang selalu potensial mengubah dunia ini lebih positif. Transformasi SSpiritualitas piritualitas Korupsi spiritual, tidak berlebihan jika dianggap sebagai akar penyebab berbagai fenomena negatif Indonesia dan bahkan dunia. Pusaran global yang membawa arus informasi bebas diiriingi perspektif kemakmuran sempit yang semakin menguat, telah meredefinisikan banyak hal substansial tentang arti menjadi manusia di masa kini. Manusia berada di dunia 26 Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa. supra note 10 hlm. 186. Bisa ditemukan di tulisan Kapuscinski dan Masters, 2010; Harvey, 2016; Saucier dan Skrzypinska, 2006; atau Principe, 1980 yang sudah dirujuk di artikel ini. 28 Dua sumber yang penulis temukan sejauh ini tentang Pancasilais: 1) kamus 2) tugas makalah yang semuanya versi daring dengan pengartian yang “sederhana”. Misalnya di http://kbbi.web.id/ Pancasilais, Pancasilais didefinisikan sebagai “penganut Pancasila secara baik dan setia”. 27 [ 84 ] Made Pramono senantiasa membawa serta peradaban yang menciptakan dia dan diciptakannya. Arti menjadi manusia dalam konteks ini mentranformasikan dunia melalui jejak keberadaannya sekaligus transformasi diri terus menerus dalam interrelasinya dengan peradaban tersebut. Pusaran global yang semakin mondial mengharuskan manusia untuk selalu siap menjadi warga global sembari mempertahankan kewargaan lokal-nasionalnya. Tengara John Naisbit29 misalnya, bahwa akan muncul suatu kondisi yang Paradoks - kondisi global diwarnai sikap dan cara berpikir primordial - bahkan akan muncul gerakan tribalisme yaitu suatu gerakan di era global yang berpangkal pada primordial yaitu fanatisme etnis, ras, suku, maupun golongan. Di sisi lain, Jacob30 meniscayakan terjadinya inherent globalisasi: proses transformasi sistem nilai yang tidak akan pernah dapat dibendung dan akan terus berlanjut sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi31. Manusia ada dalam pendefinisian terus menerus peran eksistensialnya dalam pusaran global ini, secara teleologis maupun mengalir begitu saja mengikuti arus kekuatan global. Referensi untuk “membaca” dan “mencerap” berbagai fenomena kehidupan, tidak hanya pada kata orang (diskusi, tulisan), tetapi juga pada kata hati dan kata alam. Demikianlah karena manusia “dikutuk” untuk selalu membaca dan mencerap, dia kemudian “diberkahi” juga untuk menulis. Keunikan manusia melampaui makhluk-makhluk lain salah satunya adalah karena kemampuan preferensialnya: tegangan berbagai pertimbangan untuk memilih suatu pilihan. Spiritualitas memegang kendali besar terhadap kemampuan preferensial ini. Melampaui pemikiran-pemikiran teknis nan sempit, manusia harus mampu mengambil perspektif lebih luas dan substansial juga. Misalnya masalah moral, spiritualitas memampukan manusia tidak hanya disibukkan dengan penutupan pemblokiran situs-situs porno, tetapi melampaui hal-hal teknis sempit itu, permasalahan nilai fundamental seperti ketuhanan atau keindahan menjadi perspektif filosofis (metafisis, epistemologis, atau aksiologis) yang 29 Dalam Wibowo, Yudhi Hari. 5 November 2016. Negara Bangsa dan Globalisasi, disampaikan dalam Seminar Sehari Karakter Bangsa dan Upaya Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa, dalam http://www.achluddin.com/2014/04/negara-bangsa-dan-globalisasi.html 30 Ibid. 31 Ibid. [ 85 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi lebih mendasar dan radikal (mengakar) untuk diperbincangkan dan diproyeksikan. Transformasi spiritualitas yang mengejawantah dalam berbagai aturan dan sikap-tindakan praksis, berangkat dari kemampuan preferensial manusia yang disebabkan berkah rasionalitas ini. Dalam bahasa pendidikan pancasila, nilai dasar terimplementasikan ke dalam nilai instrumental dan nilai praktis32. Spiritualitas Pancasila untuk dapat bermakna implementatif, dengan demikian harus mengejawantah ke dalam kesepakatan-kesepakatan universal untuk menjadi pedoman manusia dalam bersikap dan berperilaku di pusaran global. Dihubungkan dengan kemampuan preferensial manusia, maka Cinta Universal dalam suasana Ilahi menjadi meta-preferensial yang mendasari sekaligus - dalam arti lain - memayungi pilihan-pilihan manusia dalam menghadapi dunianya bersama-sama yang lain. Penulis meyakini berdasarkan berbagai referensi dan refleksi sebagaimana tertuang di argumen tulisan ini, bahwa Spiritualitas Pancasilais memiliki daya transformatif dalam mengubah dunia lebih positif dan bernas. Daya transformatif ini mengikuti klasifikasi nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. Nilai dasar Ketuhanan sebagai nilai universal pertama Pancasila, salah satu manifestasi spiritualitas berupa sikap menghargai agama dan keyakinan yang beragam, yang diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang memperlakukan manusia melampaui apapun keyakinan/imannya. Contoh nilai praktisnya adalah menolong umat agama lain yang kesulitan. Nilai universal kedua Pancasila adalah nilai dasar Kemanusiaan, salah satu manifestasi spiritualitasnya berupa sikap menghormati pilihan setiap manusia (politik, ekonomi), yang diimplementasikan dalam nilai instrumental yang memperlakukan manusia secara adil dalam koridor aturan dan kearifan. Contoh nilai praktisnya adalah menghindari bullying atau perpeloncoan. Salah satu manifestasi spiritualitas nilai dasar Persatuan adalah berupa sikap melampaui diferensiasi, melihat manusia sebagai kesatuan eksistensial, yang diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang memperlakukan manusia sama sebagai subjek eksistensial. Contoh nilai praktisnya adalah menolak perdagangan manusia. Nilai Dasar Kerakyatan, 32 Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa. supra note 26 hlm. 186-188. [ 86 ] Made Pramono salah satu manifestasi spiritualitasnya berupa sikap memperluas dan mengasah perspektif dalam mengkompromikan berbagai kepentingan, yang diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang lebih memperhatikan manusia dengan semua kebutuhan dan keunikannya. Contoh nilai praktisnya adalah mengakomodir kepentingan yang berbeda. Terakhir, untuk nilai dasar Keadilan, salah satu manifestasi spiritualitasnya berupa sikap transformasi kontinyu menuju kemaslahatan manusia, yang diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang merealisasikan keadilan yang memanusiakan manusia. Contoh nilai praktisnya adalah perniagaan yang tidak memisikinkan yang lain. Epilog: P ancaran IIntensional ntensional dan K or upsi SSpiritual piritual Pancaran Kor orupsi Bagaimana Spiritualitas Pancasilais mampu mentransformasikan–atau bahkan dalam bahasa penganut idealisme: mengonstruksi–realitas? Pertamatama, spekulasi epistemologis yang kemudian diangkat sebagai fenomena psikologis perlu dipahami: melalui intuisi. Proses rasional pada tahap frekuensi intensif tertentu (“terlatih”) mampu memunculkan intuisi. Intuisi adalah kemampuan memperoleh pengetahuan tanpa pembuktian atau penalaran sadar, atau tanpa memahami bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh. Istilah “pengetahuan” di sini dalam psikologi modern (dan selaras dengan konteks daya transformatif spiritualitas), menunjuk pada kemampuan untuk mengetahui solusi valid dari suatu permasalahan dan pengambilan keputusan. Intuisi adalah bagaimana orang dapat membuat keputusan relatif cepat tanpa harus membandingkan pilihan. Gary Klein menemukan bahwa di bawah tekanan waktu, tingginya pertaruhan, dan parameter yang berubah, seseorang menggunakan basis pengalaman untuk mengidentifikasi situasi yang sama dan secara intuitif memilih solusi layak33. Semakin sering dan intensifnya pengalaman, semakin intuitif. Dengan pola yang sama, spiritualitas yang “terlatih” dan intensif mampu meningkatkan daya intuitif. Pengambilan keputusan dan validitas solusi permasalahan relatif lebih tepat dan cepat diraih jika semakin sering spiritualitas (sebagai suatu “meta-nilai”) diterapkan terhadap realitas yang “sejenis” (berbeda setting tetapi objek dan polanya sama) dengan realitas 33 Gary Klein, Intuition At Work (NY: Random House, 2003). [ 87 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi yang sudah dialami terdahulu. Semakin seseorang menghadapi realitas yang menuntun dia untuk menghormati identitas dan perilaku beragama atau berkeyakinan yang berbeda-beda, semakin “intuitif ” spiritualitasnya. Intuisi ini penulis bawa ke situasi yang lebih dalam dengan mengajukan fenomenologi filosofis sebagai pisau analisisnya. Situasi yang lebih dalam yang dimaksudkan, adalah bagaimana manusia mula-mula sekali menyadari sesuatu, lalu secara reflektif seketika pikiran mengonstruksi realitas yang dihadapinya. Kesadaran prima ini terbentuk melalui apa yang diistilahkan filsuf Maurice Merleau-Ponty sebagai intentional arc (pancaran intensional), suatu kesadaran yang hidup yang mencakup interkoneksi menubuh dari tindak dan persepsi kecakapan atau kebiasaan.34 Sedikit berbeda dengan intuisi, pancaran intensional ini lebih primordial dan relatif lebih murni karakter kesadaran yang mempergunakannya untuk mengonstruksi realitas. Konsep inti intuisi dan pancaran intensional penting untuk dijabarkan di sini dalam rangka memetakan bagaimana “membiasakan” seseorang bertindak sesuai spiritualitasnya, atau dengan kata-kata lebih provokatif: “meng-aku-kan” (menjiwai) suasana Ilahi - Cinta Universal dalam melandasi spiritualitasnya. Spiritualitas Pancasilais pada hakikatnya tidak bisa diajarkan kecuali (juga) melalui pembiasaan. Semakin terlatih proses pembiasaan tersebut, semakin kuat karakter dan integritas spiritualitas pancasilais. Oposisi paling kuat dan berbahaya bagi Spiritualitas Pancasilais adalah apa yang penulis istilahkan sebagai korupsi spiritual: pengabaian, penyelewengan, atau bahkan penghilangan rujukan-rujukan spiritual dalam menghadapi hidup dan kehidupan, apapun tujuannya. Korupsi ekonomi, perusakan lingkungan, hingga radikalisme atas nama agama adalah contoh hasil korupsi spiritual ini. Lebih berbahaya daripada contoh-contoh itu, adalah sebab musabab eksternal mengapa korupsi spiritual terjadi, yakni suasana jaman yang kemudian menghendaki orang untuk “selalu berduit”, egois, munafik sebagai beberapa sebab internal korupsi spiritual. Di level lebih dalam, suasana jaman sebenarnya hanya merupakan efek dari salah satu inti globalisasi, misalnya yang disebut Samuel Huntington sebagai benturan peradaban35, di mana arus informasi dan kecanggihan teknologi 34 Made Pramono, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif Ontologi dan Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, (Yogyakarta: Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM, 2014) hlm. 201. 35 Wibowo, supra note 7. [ 88 ] Made Pramono hampir-hampir tidak memungkinkan manusia kabur dari kepungan ideologis atau aneka ragam paham tentang kehidupan. Pancaran intensional yang muncul dari kepungan berbagai paham tersebut jika dibiarkan justeru sangat berpotensi menghambat penguatan spiritualitas. Kebiasaan dari keterlatihan yang sudah (maupun akan) terbentuk bisa runtuh ke pusaran globalisasi ini. Gap antara teori dan kenyataan seperti ini tentu mampu memantik disorientasi nilai, alienasi diri, kehampaan diri, dan berbagai patologi sosial akibat iming-iming suasana jaman. Nilai-nilai yang secara substansial menjadi sumber rujukan bagaimana hidup dan berkehidupan, juga terancam rapuh. Jika terus terjadi, bukan tidak mungkin spiritualitas yang menghuni area meta-nilai juga ikut tergerus tak tergantikan. Kesaktian Pancasila juga bisa sungguhsungguh hanya menjadi pajangan atau lips service. Pendidikan yang berorientasi penguatan integritas pribadi dan sungguhsungguh memanusiakan manusia, berpeluang menjadi interiorisasi penguatan spiritualitas pancasilais, berdampingan dengan upaya-upaya eksternal seperti regulasi komprehensif terhadap arus informasi. Sebagaimana adanya baik pasti karena ada yang buruk, demikian juga ada spitualitas pasti juga ada de-spiritualitas. Manusia adalah makhluk yang mampu memilih, dan melalui pendidikan (dalam arti luas – tidak sekedar pendidikan formal) diharapkan manusia bisa memilih peran dan kehadiran yang memperkuat spiritualitas diri dan yang lain. Spiritualitas Pancasilais bisa terus tumbuh mengembang dan kokoh, hanya jika manusianya bersedia terus membuka dan memperluas perspektif. Referensi Afton N. Kapuscinski and Kevin S. Masters, “The Current Status of Measures of Spirituality: A Critical Review of Scale Development” (2010) 2:4 Psychology of Religion and Spirituality Journal 191. Dede Rahmat Hidayat, Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011). Fokky Fuad, “Islam dan Ideologi Pancasila: Sebuah Dialektika” (2012) Lex Jurnalica 9:3. online : http://ejurnal.esaunggul.ac.id/ index.php/Lex/article/viewFile/346/313. [ 89 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Gaponyuk P.N., Mareev V.I., Karpova N.K., dan Dyuzhikov S.À., “Spirituality as Ideological Concept of Modern Education” (2013) 1:10 American Journal of Educational Research 436. Gary Klein, Intuition At Work (NY: Random House, 2003). Gerard Saucier and Skrzypinska Katarzyna, “Spiritual But Not Religious? Evidence for Two Independent Dispositions” (2006) 74:5 Journal of Personality 1257. Graham Harvey, “If ‘Spiritual But Not Religious’ People Are Not Religious What Difference Do They Make?” (2016) 6:2 Journal for the Study of Spirituality 128. Hermawan Prasojo, Pancasila sebagai Philosophische Grondslag, diunduh dari www.academia.edu/5585016/Pancasila_Sebagai_ Philosophische_Grondslag, pada 30 Januari 2017. http://www.websters1913.com/words/Ideologist, diakses 13 Pebruari 2017. h t t p : / / w w w. h u f f i n g t o n p o s t . c o m / k a t e - f r i d k i s / s p i r i t u a l i t y definition_b_597062.html, diakses 29 Januari 2017. http://kbbi.web.id/Pancasilais, diakses 30 Januari 2017. http://www.pusakaindonesia.org/pidato-lengkap-bung-karno-tentangpancasila-bagian-1/, diakses 2 Pebruari 2017. John Gerring, “Ideologiy: A Definitional Analysis” (1997) 50:4 Political Research Quarterly 957. Made Pramono, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif Ontologi dan Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, (Yogyakarta: Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM, 2014). Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975). Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa, Pendidikan Pancasila (Surabaya: Unesa University Press, 2014). Walter Principe, “Toward Defining Spirituality”, (Winnipeg: Fourteenth Congress of The Internasional Association for the History of Religions, 17-22 Agustus 1980). Yudhi Hari Wibowo, Negara Bangsa dan Globalisasi. disampaikan dalam Seminar Sehari Karakter Bangsa dan Upaya Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa. 5 November 2016. dalam http://www. achluddin.com/2014/04/negara-bangsa-dan-globalisasi.html. [ 90 ] MEDIA SI PENAL D AN PEMBARU AN HUK UM MEDIASI DAN PEMBARUAN HUKUM BERPERSPEKTIF PANC A SIL A PANCA SILA Moch. Choirul Rizal Pendahuluan S abtu, 11 Juli 2015, telah beredar selebaran yang mengatasnamakan Jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang pada pokoknya berisi larangan bagi agama dan gereja denominasi lain mendirikan tempattempat ibadah di Kabupaten Tolikara serta melarang berlangsungnya kegiatan ibadah Salat Idul Fitri umat muslim di Kabupaten Tolikara. Selebaran itu ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga dan Pendeta Nayus Wenda.1 Jumat, 17 Juli 2015, pukul 07.00 WIT, saat jamaah muslim akan memulai kegiatan Salat Idul Fitri di lapangan Makoramil 1702-11/ Karubaga, muncul Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo (koordinator lapangan) menggunakan megaphone berorasi agar masyarakat muslim tidak melaksanakan ibadah Salat Idul Fitri di wilayah Kabupaten Tolikara.2 Menurut versi Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikmbo, pada saat itu beberapa pemuda gereja mendatangi kelompok umat muslim yang sedang melangsungkan Salat Idul Fitri dengan maksud menyampaikan aspirasi secara damai dan terbuka, bahwa sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Tolikara, berdasarkan aspirasi gereja dan 1 2 Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”, dalam http:// nasional.harianterbit.com/nasional/2015/07/18/35566/ 25/25/Ini-Kronologi-PeristiwaPembakaran-Tempat-Ibadah-umat-Muslim, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. Ibid. [ 91 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi masyarakat, isinya boleh melaksanakan ibadah, tetapi tidak menggunakan pengeras suara karena dapat menggangu ribuan pemuda yang bersiap untuk melangsungkan seminar, apalagi jarak pengeras suara dengan tempat dilangsungkannya ibadah umat GIDI hanya berjarak sekitar 300 meter.3 Saat memasuki takbir ke-7 Salat Idul Fitri, massa yang dipimpin oleh Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo mulai berdatangan dan melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga dan luar lapangan Makoramil 1702-11/Karubaga. Mereka memaksa agar Salat Idul Fitri dibubarkan. Hal ini mengakibatkan kepanikan jamaah yang sedang melaksanakan Salat Idul Fitri.4 Perintah pembubaran Salat Idul Fitri dilakukan dengan cara berteriak-teriak.5 Massa yang dipimpin Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo itu mulai melakukan aksi pelemparan batu dan perusakan kios-kios yang berada di dekat dengan Masjid Baitul Muttaqin.6 Aparat keamanan berusaha membubarkan massa dengan mengeluarkan tembakan, namun massa semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu kepada aparat keamanan.7 Massa yang merasa terancam dengan tembakan peringatan aparat keamanan melakukan aksi pelemparan terhadap kios yang berada di dekat masjid. Kios itu milik Bapak Sarno. Disinyalir, pembakaran kios itu dimaksudkan untuk membakar Masjid Baitul Muttaqin.8 Sekira pukul 08.30 WIT, api sudah membesar dan merambat ke bagian-bagian kios dan menjalar ke bagian masjid.9 Bangunan kios-kios dan masjid telah rata terbakar.10 Pada 22 hingga 25 Juli 2015, Tim Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Peristiwa Kerusuhan Tolikara melaksanakan 3 Suara Papua, “Kronologi versi Presiden GIDI terkait Insiden di Kabupaten Tolikara”, dalam http:/ /suarapapua.com/read/2015/07/18/2712/kronologi-versi-presiden-gidi-terkait-insiden-dikabupaten-tolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. 4 Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”. 5 Jawa Pos, “Kronologi Rusuh Papua versi Kemenag: Dilempari, Disuruh Bubar, Ada Tembakan”, dalam http://www.jpnn.com/read/2015/07/18/315740/Kronologi-Rusuh-Papua-versi-Kemenag :-Dilempari,-Disuruh-Bubar,-Ada-Tembakan-, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. 6 Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. [ 92 ] Moch. Choirul Rizal pemantauan dan penyelidikan di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Sejumlah pihak telah dimintai keterangan, yaitu Ketua DPRD Papua, Penasihat Majelis Muslim Papua (MMP), MUI Papua, PW Muhammadiyah Papua, PW NU Papua, Presiden GIDI, Bupati Tolikara, Pimpinan DPRD Tolikara, Kapolres Tolikara, Badan Pekerja Wilayah GIDI, Tokoh Adat dan Pemuda Tolikara, Imam atau Pimpinan Muslim Tolikara yang mewakili korban Muslim, serta korban tembak Tolikara.11 Di sisi yang lain, pada Kamis, 23 Juli 2015, sebagaimana disampaikan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Budi Waseso, akan dilakukan pemeriksaan terhadap para saksi di Markas Kepolisian Daerah Papua. Polisi telah menetapkan sebanyak 37 orang saksi. Mereka diduga terlibat dalam kerusuhan, tapi belum ditetapkan sebagai tersangka.12 Tepat pada Rabu, 29 Juli 2015, komunitas muslim di Tolikara dan komunitas nasrani di Papua bersepakat untuk menyelesaikan masalah di Tolikara secara adat. Kesepakatan itu dihasilkan dalam forum pertemuan pihak muslim Tolikara dan pemimpin GIDI bertemu di Sekretariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua, Jayapura. Ada tiga butir kesepakatan yang dihasilkan. Pertama, penyelesaian masalah dilakukan secara adat. Kedua, memberikan kesempatan beribadah kepada umat Islam Tolikara, termasuk proses pembangunan masjidnya. Ketiga, semua pihak siap menjaga kondisi kehidupan yang harmonis, penuh persaudaraan, dan toleransi.13 Sebagaimana dirilis dalam website-nya, Komnas HAM, pada Senin, 10 Agustus 2015, melalui Keputusan Sidang Paripurna 5 Agustus 2015 menyatakan, terdapat empat tindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada Peristiwa Tolikara 17 Juli 2015 dan mendesak kehadiran negara untuk mencegah berulangnya peristiwa serupa di masa mendatang. Hal ini 11 Komnas HAM, “Komnas HAM: Terjadi Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tolikara”, dalam http:// www.komnasham.go.id/kabar-latuharhary/komnas-ham-terjadi-pelanggaran-ham-pada-peristiwatolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. 12 Tempo, “Budi Waseso: Sudah Ada Perdamaian di Tolikara”, dalam http://nasional.tempo.co/ read/ news/2015/07/23/078685864/budi-waseso-sudah-ada-perdamaian-di-tolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. 13 Viva News, “Perdamaian Tolikara dengan Cara Adat”, dalam http:// nasional.news.viva.co.id/ news/ read/654971-perdamaian-tolikara-dengan-cara-adat, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. [ 93 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi disampaikan oleh Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa Tolikara, Manager Nasution. Pertama, kasus intoleransi berupa pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama sebagaimana dijamin dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Kedua, pelanggaran terhadap hak untuk hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM. Ketiga, pelanggaran terhadap hak atas rasa aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, serta Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU HAM. Keempat, pelanggaran terhadap hak atas kepemilikan sebagaimana dijamin dalam Pasal 36 UU HAM.14 Walaupun jelas-jelas peristiwa tersebut berdimensi pelanggaran HAM, namun penyelesaiannya tidak sampai pada penggunaan hukum pidana. Upaya penyelesaian yang telah ditempuh oleh kedua belah pihak, yakni melalui mediasi, setidaknya dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana. Selain itu, peristiwa tersebut rentan sekali untuk disulut kembali, karena memang terkategori sebagai isu yang sangat sensitif, yakni isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Oleh karena itu, kedua belah pihak akhirnya saling rela untuk menjaga kondisi kehidupan yang harmonis, penuh persaudaraan, dan toleransi serta memberikan kesempatan beribadah kepada umat Islam di Kabupaten Tolikara, termasuk proses pembangunan masjidnya. Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan cara musyawarah atau disebut mediasi penal setidak-tidaknya telah ampuh menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM di Kabupaten Tolikara. Mediasi penal mampu menjawab di mana letak keadilan itu sesungguhnya bagi korban dan pelaku. Dengan demikian, mediasi penal pada praktiknya dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah jelas masuk dalam ranah hukum pidana yang seharusnya tunduk kepada sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terintegrasi. Konsep penyelesaian yang mengedepankan win-win solution tersebut masih terakomodir dalam beberapa peraturan perundang-undangan saja, misalnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 14 Komnas HAM, “Komnas HAM: Terjadi Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tolikara”. [ 94 ] Moch. Choirul Rizal 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan kata lain, belum ada kebijakan hukum nasional maupun regional yang mengakomodir secara paripurna perihal penggunaan mediasi penal dalam menyelesaikan perkara pidana. Secara substantif, penggunaan mediasi penal mampu menjadi sebuah alternatif atas efek negatif dari buruknya sistem peradilan pidana di Indonesia. Apalagi kalau kemudian perkara pidana tersebut sangat sensitif, tentu pengedepanan upaya nonpenal adalah suatu keniscayaan, supaya dapat menemukan letak keadilan sesungguhnya bagi korban dan pelaku. Namun demikian, apakah secara ideologis penggunaan mediasi penal juga mampu merefleksikan nilai-nilai Pancasila? Hal ini mengingat Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum bagi bangsa Indonesia. Artinya, penggunaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana juga harus memperhatikan nilai-nilai Pancasila. Konsep M ediasi P enal Mediasi Penal Mediasi penal secara terminologi dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement, strafbemiddeling (Belanda), der aubergerichtliche tatusgleich (Jerman), atau de mediation penale (Prancis).15 Pada dasarnya, mediasi, yang sebelumnya hanya dikenal dalam hukum perdata, telah sering digunakan di beberapa negara untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana. Mediasi penal merupakan bentuk perwujudan dari konsep restorative justice yang hendak memulihkan hak-hak korban. Dalam mediasi penal, penyelesaian perkara pidana dilakukan tanpa melalui proses peradilan pidana formal.16 Menurut Sahuri Lasmadi, munculnya mediasi penal dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, mediasi penal muncul karena dilatarbelakangi oleh pemikiran yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), yaitu ide perlindungan korban, ide restorative justice, ide 15 Ainal Mardiah (et all), “Mediasi Penal sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif dalam Pengadilan Anak”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012, hlm. 6. 16 Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana”, dalam Agustinus Pohan (Ed), Hukum Pidana dalam Perspektif, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 310. [ 95 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi mengatasi kekakuan dalam sistem yang berlaku, serta ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini. Kedua, mediasi penal muncul karena dilatarbelakangi oleh masalah pragmatis, yakni mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara dan untuk menyederhanakan proses peradilan.17 Mediasi penal merupakan suatu konsep yang memandang kejahatan secara lebih luas. Berikut disampaikan oleh Umi Rozah:18 Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang mewakili korban dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara (penuntut umum). Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingankepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku, sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Pada prinsipnya, perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Namun dalam praktik, sering juga perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat atau mekanisme musyawarah atau lembaga pemaafan yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, praktik semacam ini masih belum ada landasan hukum formalnya di Indonesia.19 Walaupun mediasi penal kerap “dimanfaatkan” untuk menyelesaikan perkara pidana, Umi Rozah mengungkapkan, harus ada asas-asas yang harus dipenuhi, sehingga keadilan itu dapat benar-benar dirasakan oleh kedua belah pihak. Pertama, asas bebas dan sukarela, yakni pelaksanaan mediasi penal didasarkan pada kehendak bebas dan sukarela dari korban dan pelaku tindak pidana. Kedua, kebebasan para pihak untuk menarik diri selama proses mediasi. Ketiga, asas kerahasiaan, yakni korban dan pelaku tindak 17 Sahuri Lasmadi, “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jurnal Inovatif, Vol. 4, No. 5, 2011, hlm. 1. 18 Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana”, hlm. 311. 19 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah, Seminar Nasional Pertanggungjawaban Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Jakarta, 27 Maret 2007. [ 96 ] Moch. Choirul Rizal pidana serta mediator harus memegang kerahasiaan yang terjadi selama proses mediasi.20 Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian (PPTIK) pada tahun 1993 dan penelitian yang dilakukan oleh Farouk Muhammad pada tahun 1996 menunjukkan adanya kasus-kasus tindak pidana yang tidak diproses sampai tahap pengadilan, melainkan diselesaikan secara informal, baik oleh lembaga-lembaga sosial maupun oleh individu warga (tetangga), bahkan oleh pejabat pengadilan. Penyelesaian kasus-kasus tindak pidana secara informal ini tidak hanya menyangkut perkara serba ringan saja, tapi juga mencakup perkara seperti penghinaan, penganiayaan, penipuan, penggelapan, kelalaian yang mengakibatkan orang lain terluka, perbuatan tidak menyenangkan, bahkan pencurian, dan perjudian.21 Namun demikian, semakin bertambah tahun, praktik penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi penal kian bersifat limitatif. Sebagaimana hasil penelitian Agus Raharjo, ada dua hal yang dapat membatasi penggunaan mediasi penal. Pertama, penggunaan mediasi penal hanya dapat dilakukan pada perkara yang termasuk dalam kategori tindak pidana formil dan tindak pidana aduan. Kedua, tindak pidana yang terjadi berkaitan erat antara pelaku dengan korban, misalnya perlukaan yang ditimbulkan oleh tindakan pelaku tidak terlalu besar.22 Meskipun dalam penggunaannya masih terdapat pembatasanpembatasan, Umi Rozah mengemukakan, ada tiga keuntungan menggunakan mediasi penal. Pertama, bagi korban, yakni tekanan berkurang dibanding jika berperkara di Pengadilan, tidak perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan mendapat kesempatan untuk mengontrol hasilnya. Kedua, bagi pelaku tindak pidana dapat diuntungkan 20 Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana”, hlm. 321. 21 Farouk Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana: Penyelesaian Perkara Secara Non-Yustisial”, dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono AR (Ed), Demi Keadilan (Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana: Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Kemang Studio Aksara, 2016), hlm. 338. 22 Agus Raharjo, “Mediasi sebagai Basis dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 1, Februari 2008, hlm. 99-100. [ 97 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi karena terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan, atau denda dan biayabiaya perkara yang lebih besar. Ketiga, mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali hubungan antartetangga, teman, dan saudara jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan pelajaran bagi pelaku untuk menghindari konflik di masa mendatang.23 Terpur uknya SSistem istem P eradilan P idana erpuruknya Peradilan Pidana Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan perihal perlunya mengoptimalkan mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana adalah masih terpuruknya sistem peradilan pidana di negeri ini. Fungsi ideal pengadilan sebagai institusi penegak hukum yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, serta menjamin perlindungan hak asasi manusia, pada saat ini mengalami keterpurukan karena adanya rekayasa, diskriminatif, dan ketidakadilan sebagai hasil korupsi pengadilan (judicial corruption), yang populer disebut mafia peradilan.24 Mafia peradilan merupakan bentuk kegagalan peradilan sebagai sarana mencari keadilan.25 Praktik mafia peradilan merupakan perbuatan melawan hukum yang merusak sendi-sendi independensi dan imparsialitas pengadilan, karena rekayasa hukum yang dilakukan sindikat mafia peradilan melanggar prinsipprinsip due process of law dalam proses peradilan pidana. Akibat langsung dari praktik mafia peradilan menimbulkan diskriminasi perlakuan terhadap pencari keadilan berdasarkan pertimbangan rasionalitas-pragmatisme, bertumpu pada kekuatan “uang dan kekuasan”, dan mengabaikan prinsip penegakan hukum pidana yang adil.26 Proses peradilan pidana saat ini menunjukkan kaburnya orientasi para penegak hukum antara usaha menegakkan hukum dan menegakkan 23 Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana”, hlm. 314. 24 Donny Daradono, “Uang, Ideologi, Jabatan dalam Mafia Peradilan, Reduksi terhadap The Political”, Renai: Jurnal Kajian Politik Lokal dan Studi Humaniora, Yayasan Percik Salatiga, Tahun VII, No. 2, 2007, hlm. 5. 25 J. Pajar Widodo, “Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penanggulangan Mafia Peradilan”, Jurnal Dinamika Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 12, No. 1, 2012, hlm. 108. 26 Ibid. [ 98 ] Moch. Choirul Rizal keadilan. Tujuan utama dalam berperkara bukan untuk menegakkan hukum dan keadilan, tetapi untuk memenangkan perkara. Pergeseran orientasi para penegak hukum dalam peradilan pidana yang lebih menekankan pragmatis, mendistorsi nilai etis moral penegakan hukum dan keadilan, kemudian berkaitan juga dengan problem konseptual yuridis.27 Jauh sebelumnya, Roeslan Saleh menyatakan, salah satu sumber dari kesalahan yang ada dalam masyarakat dikaitkan dengan peradilan pidana adalah oleh karena penegak hukum masih menggunakan pendekatan yang bersifat normatif-sistematis semata-mata. Dengan pendekatan yang demikian itu, ahli hukum telah melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan masyarakat. Sementara itu, kenyataan-kenyataan dalam masyarakat tersebut masih saja selalu dalam keadaan bergerak dan berubah-berubah.28 Yesmil Anwar dan Adang menambahkan:29 Dari situasi yang carut-marut yang ada dalam lembaga peradilan (pengadilan) ini, harus diakui bahwa pengadilan sebagai jantung hukum modern telah dihinggapi oleh penyakit hukum bersifat tekonologis, sehingga pengadilan dalam memecahkan perkara lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang sifatnya teknis dan menjauh dari wacana moral. Akibatnya, ia cenderung untuk melahirkan keadilan formal atau keadilan yuridis ketimbang keadilan yang substansial. Ditimbulkannya keresahan itu oleh karena hasilnya dianggap tidak memenuhi tuntutan keinginan masyarakat, dengan mengatakan tidak memenuhi kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Banyak bagian-bagian dari informasi-informasi mengenai kenyataan yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain dengan perbuatannya, dengan dirinya, dan dengan masyarakat sendiri, telah dikesampingkan oleh penegak hukum pidana.30 27 C. Maya Indah S, “Refleksi Sosial atas Kelemahan Hukum Modern; Suatu Diseminasi Hukum Tradisional dalam Citra Hukum Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Vol. 103 No. 37 Tahun 2008, hlm. 164. 28 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 13. 29 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 193. 30 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, hlm. 17. [ 99 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Mediasi P enal dan P embar uan H ukum B erperspektif Penal Pembar embaruan Hukum Berperspektif Pancasila Pembaruan hukum, khususnya terkait alternatif penyelesaian perkara pidana, adalah suatu keniscayaan. Penyelesaian perkara pidana harus seiringseirama dengan gerak perubahan yang terjadi di masyarakat dengan tetap berpegang teguh kepada Pancasila yang memancarkan nilai-nilai keadilan substansial, bukan prosedural. Pasalnya, menurut Kaelan, Pancasila memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai esensialnya bersifat tetap, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.31 Menurut Satjipto Rahardjo, Pancasila menjadi semacam alternatif, karena ia bicara mengenai substansi, bukan format.32 Terkait hal ini, Roeslan Saleh menyatakan:33 Di satu pihak haruslah diemban tanggapan-tanggapan sistematis dan normatif, sedangkan di lain pihak harus diikuti kenyataan-kenyataan kehidupan yang bergerak semakin jauh dari penentuan-penentuan normatif-sistematis yang bersifat memola itu. Pengemban-pengemban ilmu hukum pidana justru akan berusaha mempertautkan keduanya itu dengan jalan mengadakan modifikasi-modifikasi yang bersifat penyempurnaan dan jika perlu pemikiran-pemikiran baru atas teori-teori hukum pidananya, sehingga dapat disesuaikan dengan pertumbuhan dan pengembangan masyarakat. Lebih lanjut, Roeslan Saleh juga menyebutkan:34 Ahli hukum Indonesia tidak dapat melepaskan diri, bahkan selalu harus diawasi di samping mempedomani Pancasila, terutama seperti terkandung dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Hanya dengan berpegang teguh, berpedoman, serta berorientasi kepada cita-cita yang dikandung dalam Pembukaan tersebutlah akan memungkinkan seorang ahli hukum 31 Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2003), hlm. 243. Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm. 16. 33 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, hlm. 18-19. 34 Ibid, hlm. 20. 32 [ 100 ] Moch. Choirul Rizal melakukan tindakan-tindakan yang kreatif dalam kehidupannya bergulat dengan masalah-masalah hukum dan kemasyarakatan yang dihadapinya terus-menerus itu. Dengan demikian, Kaelan menguatkan, Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai, dan sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka hukum harus senantiasa diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dengan pembaruan yang terusmenerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma, dan sumber nilai-nilainya.35 Aktualisasi mediasi penal sebagai bagian dari pembaruan hukum yang tetap berpegang teguh kepada Pancasila adalah pilihan yang tepat untuk mengiringi dan/atau mengimbangi gerak perubahan yang terjadi di masyarakat. Kaelan menambahkan, selain pada nilai yang terkandung dalam Pancasila, pembaruan hukum juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat, terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya.36 Roeslan Saleh telah menyinggung tantangan empiris dan solusinya terkait penyelesaian perkara pidana, yakni sebagai berikut:37 Banyak hal lalu diselesaikan saja dengan menggunakan perantaraan polisi. Dalam beberapa hal, terutama pada tingkat pengetahuan petugas-petugas tersebut mengenai masalah-masalah kemasyarakatan adalah cukup baik, maka banyak pula faedahnya bersikap demikian ini. Dengan demikian, maka sesuatu yang tidak begitu perlu untuk diperkarakan akan dapat diatasi dan konflik-konflik akan dapat dilenyapkan dengan sempurna. Konsep dan praktik mediasi penal dewasa ini juga diharapkan mampu menjawab tantangan empiris terkait terpuruknya sistem peradilan pidana di Indonesia. Satu dari sekian banyaknya tantangan itu adalah pemulihan terhadap korban tindak pidana masih begitu setengah-setengah dibandingkan dengan upaya mempidanakan pelakunya. Sekiranya dapat 35 Kaelan, Pendidikan Pancasila, hlm. 244. Ibid, hlm. 245. 37 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, hlm. 34. 36 [ 101 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dinyatakan, mediasi penal merupakan salah satu jawaban dari tantangan empiris yang dimaksud, yakni keadilan bagi korban adalah yang utama dengan tetap mempertimbangkan efek jera bagi pelaku agar tetap bertanggung jawab dan diharapkan tidak mengulangi tindak pidana. Bagi Satjipto Rahardjo, dengan hanya menggunakan teori yang formalpositivis, akan sulit untuk memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap kemelut yang terjadi di negeri ini. Teori positivis hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif.38 Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyatakan, keadilan itu harus diwujudkan lebih daripada sekadar menerapkan undang-undang belaka. Artinya, filsafat yang tidak bersifat liberal, tetapi lebih cenderung ke arah visi komunal. Kepentingan dan kebutuhan bangsa lebih diperhatikan daripada bermain-bermain dengan pasal, doktrin, dan prosedur.39 Oleh karena mediasi penal belum terakomodir secara paripurna dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, memanfaatkannya sebagai alternatif dalam menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan adalah pilihan yang bijak. Dengan kata lain, perlu ada suatu langkah progresif dan konkrit untuk menghadirkannya di tengah-tengah masyarakat yang tengah terbelenggu dalam formalitas penyelesaian perkara pidana yang mengagungkan keadilan prosedural daripada substansial. Diungkapkan oleh Farouk Muhammad:40 Cara kerja sistem peradilan pidana di Indonesia ditopang oleh doktrin efek jera (deterence). Artinya, hukum pidana dijatuhkan sebagai sarana untuk mengintimidasi si terpidana agar tidak lagi melakukan perbuatan yang bisa membuatnya dikenakan hukuman lagi. Kunci sukses penegak hukum seolah-olah ditentukan oleh seberapa banyak orang yang dianggap bersalah bisa dia bawa ke pengadilan, dibuktikan kesalahannya, dan kemudian dijatuhi hukuman. 38 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhamadiyah Press, 2002), hlm. 68. 39 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, hlm. 18. 40 Farouk Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana: Penyelesaian Perkara Secara Non-Yustisial”, hlm. 336. [ 102 ] Moch. Choirul Rizal Pendapat Farouk Muhammad di atas semakin menegaskan bahwa orientasi dalam sistem peradilan pidana saat ini adalah bagaimana kemudian pelaku merasakan efek jera sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban atas tindak pidana yang telah dilakukan. Di sisi yang lain, keadilan bagi korban, tentunya, masih terabaikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan legislatif mengenai perlindungan bagi korban tindak pidana dapat diidentifikasikan pada 3 (tiga) kondisi. Pertama, hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan korban “in abstracto” dan secara tidak langsung.41 Kedua, perlindungan korban secara langsung masih terbatas dalam bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana. Belum ada ketentuan ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban tindak pidana. Ganti rugi oleh negara hanya terbatas pada korban sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana.42 Ketiga, ada 4 (empat) kemungkinan pemberian ganti rugi kepada korban dalam perkara pidana, yaitu: (1) pemberian ganti rugi sebagai “syarat khusus” dalam pidana bersyarat; (2) memperbaiki akibat-akibat dalam tindak pidana ekonomi sebagai “tindakan tata tertib”; (3) pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi sebagai pidana tambahan; atau (4) penggantian biaya yang telah dikeluarkan dalam proses penggabungan gugatan ganti rugi (perdata) dalam perkara pidana.43 Mengingat 3 (tiga) kondisi sebagaimana disebutkan oleh Barda Nawawi Arief di atas, perlu kiranya ada terobosan dalam penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice, yakni memulihkan keadilan bagi korban yang terlanggar haknya. Salah satu tawarannya adalah melalui mediasi penal. Pasalnya, praktik mediasi penal memang hadir untuk mewujudkan keadilan restoratif. Terlebih kemudian dilihat dari tujuan dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Selain cenderung mengabaikan keadilan substansial, baik bagi pelaku maupun korban, sistem peradilan pidana dapat juga menambah beban 41 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 86. 42 Ibid. 43 Ibid, hlm. 86-87. [ 103 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi kerja aparat penegak hukum pidana, misalnya pihak kepolisian. Dalam sistem tersebut, kepolisian berpretensi menangani semua perkara, baik ringan maupun berat. Padahal, secara kuantitas dan kualitas, sumber daya manusia yang tersedia dalam tubuh kepolisian dipandang kurang optimal untuk menangani seluruh gangguan keamanan dan ketertiban. Kelebihan beban kerja yang menimpa aparat penegak hukum sangat dihindarkan dalam merumuskan suatu kebijakan hukum pidana. Sudarto pernah mengungkapkan, bertolak dari pendekatan kebijakan, suatu kebijakan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).44 Dalam Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional 1980 di Semarang, persoalan overbelasting juga menjadi catatan penting, yakni kebijakan hukum pidana harus memperhatikan beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.45 Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan overbelasting tersebut, perlu dioptimalkan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan informal di luar sistem peradilan pidana yang sangat formalistik. Sebenarnya, penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan informal telah nyata dirumuskan oleh pihak kepolisian melalui konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas). Namun demikian, gaungnya masih kalah nyaring dengan proses penyelesaian perkara pidana yang berorientasi untuk mempidanakan pelaku tindak pidana. “… pendekatan informal (non-yustisial) sejalan dengan konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas) atau comunity policing (CP) yang dikembangkan Polri dewasa ini. Polmas mengandung 2 (dua) unsur utama: (1) kemitraan yang setara antara kepolisian dan masyarakat; (2) pemecahan permasalahan. Pemecahan permasalahan dalam konsep Polmas memang lebih difokuskan pada upaya penanganan akan masalah sosial dalam rangka pencegahan kejahatan atau gangguan keamanan dan ketertiban lainnya. Sejalan dengan tradisi yang sudah melembaga dalam 44 45 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 44-48. Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional 1980 di Semarang, dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 32. [ 104 ] Moch. Choirul Rizal sistem sosio-kultural bangsa kita, konsep Polmas juga memberi perhatian pada upaya penyelesaian perkara-perkara ringan dan pertikaian antarwarga dalam suatu komunitas (terbatas dalam lingkungan desa/kelurahan). Distribusi “kewenangan” demikian tidak lepas dari peran anggota Polri yang berperan sebagai petugas Polmas.46 Selain berpretensi menyebabkan overbelasting terhadap aparat penegak hukum, sistem peradilan pidana juga “memakan” biaya (cost) yang tidak murah. Untuk itu, alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan informal, misalnya mediasi penal, benar-benar perlu diaktualisasikan dan dioptimalkan. Pasalnya, proses penyelesaian perkara pidana hanya sampai tahap penyidikan, sehingga tidak melibatkan aparat penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana. Mengenai hal ini, Farouk Muhammad menyatakan: 47 Prosedur demikian tidak bertentangan dengan rasa keadilan, karena tersangka secara sosiologis (dalam hal penyelesaian pada level komunitas) telah mendapatkan perlakuan sebagai orang yang bersalah. Dalam hal ini, “punishment” tidak hanya berarti hukuman yang diputuskan oleh hakim (substancial punishment), tetapi juga “hukuman” yang telah dirasakan oleh tersangka setelah penanganan kasusnya (procedural punishment). Mengaktualisasikan dan mengoptimalkan mediasi penal juga merupakan bagian dari upaya untuk merevitalisasi penyelesaian permasalahan di dalam masyarakat dengan pendekatan kearifan lokal. Secara tradisional, masyarakat di negeri ini sebenarnya memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian perkara di antara mereka. Namun sayangnya, ungkap Farouk Muhammad, mekanisme demikian memang sempat tergerus akibat rantai birokratisasi yang terentang sampai ke desa-desa pada masa orde baru yang memandulkan kearifan lokal.48 Eva Achjani Zulfa menambahkan:49 46 Farouk Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana: Penyelesaian Perkara Secara Non-Yustisial”, hlm. 340. 47 Ibid, hlm. 341. 48 Ibid, hlm. 338-339. 49 Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice dan Reorientasi Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana”, dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono AR (Ed), Demi Keadilan (Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana: Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Kemang Studio Aksara, 2016), hlm. 349. [ 105 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Praktik penyelesaian sengketa nonadversary atau di luar proses peradilan pidana, dalam kenyataannya sudah diterapkan masyarakat sebagai cerminan dari lembaga musyawarah mufakat yang menjadi bagian dari filosofis bangsa Indonesia. Realita menunjukkan bahwa penyelesaian suatu konflik di dalam masyarakat Indonesia, meskipun merupakan suatu pelanggaran perundang-undangan pidana, tidak selalu berakhir di pengadilan. Pada akhirnya, mediasi penal dapat diposisikan sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Posisi yang disematkan kepada mediasi penal ini mengingat dan untuk menjawab persoalan-persoalan yang menyelimuti sistem peradilan pidana di Indonesia, yakni mulai dari praktik mafia peradilan, orientasinya untuk memenjarakan orang, abainya keadilan terhadap korban, mengakibatkan beban yang berlebihan terhadap aparat penegak hukum, “memakan” biaya yang tidak murah, hingga sampai menjauhkan masyarakat dari kearifan lokal. Ke depan, aktualisasi dan optimalisasi mediasi penal idealnya mampu memancarkan 6 (enam) prinsip dalam keadilan restoratif sebagaimana dikemukakan oleh Eva Achjani Zulfa, yakni: (1) korban menjadi pihak yang berada di posisi sentral dalam proses; (2) fokus dari proses adalah untuk memulihkan dampak negatif dari tindak pidana yang timbul dan dialami korban dan pelaku, atau kalau memungkinkan juga terhadap masyarakat secara luas; (3) anggota masyarakat atau organisasi kemasyarakatan dapat mengambil bagian dalam proses secara aktif; (4) karakteristik dari proses yang berlangsung merupakan suatu dialog dan negosiasi antara para pihak; (5) keadilan dalam hal ini lebih dititikberatkan hasil, yaitu hasil yang dapat diterima oleh pelaku, korban, dan masyarakat serta bukan kepada prosesnya; dan (6) pendekatan bottom-up menjadi hal yang diutamakan untuk mencari kebutuhan dari si pelaku, korban, dan masyarakat dalam upaya pencapaian pemulihan pasca tindak pidana, sementara posisi negara hanya sebagai fasilitator mediator saja.50 Tak lain dan bukan, aktualisasi atau optimalisasi mediasi penal sebagai wujud konkrit pembaruan hukum di Indonesia yang tetap berpegang teguh pada Pancasila ini diharapkan mampu mewujudkan keadilan yang 50 Ibid, hlm. 354. [ 106 ] Moch. Choirul Rizal substansial bagi korban. Di sisi yang lain, mediasi penal juga dapat memberikan efek jera bagi pelaku agar tetap bertanggung jawab serta diharapkan tidak mengulangi tindak pidana. Dengan demikian, mediasi penal bukan hanya hadir untuk mewujudkan keadilan hukum, tetapi juga keadilan sosial yang secara filosofis telah digariskan oleh Pancasila. Kesimpulan Merujuk pada uraian di atas, sebenarnya, konsep dan praktik mediasi penal di Indonesia telah terakomodir dalam Pancasila. Hal ini mengingat konsep musyawarah dan keadilan yang substansial telah nyata terpancar dalam Pancasila. Untuk itu, tidak ada keraguan dalam menyebut, secara ideologis, konsep dan praktik mediasi penal di Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang telah digariskan di dalam Pancasila. Oleh karena konsep dan praktik mediasi penal telah mencerminkan nilai-nilai Pancasila, secara mutatis mutandis upaya alternatif dalam menyelesaikan perkara pidana itu merupakan suatu pembaruan hukum yang bersifat reformatif yang mampu menyesuaikan gerak masyarakat dalam pusaran globalisasi. Daftar P ustaka Pustaka Anwar, Yesmil dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2008. Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. ______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2011. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2003. Pohan, Agustinus (ed.), Hukum Pidana dalam Perspektif, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012. Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhamadiyah Press, 2002. Rizal, Jufrina dan AR, Suhariyono (ed.), Demi Keadilan (Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana: Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, Jakarta: Kemang Studio Aksara, 2016. [ 107 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Saleh, Roeslan, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981. Daradono, Donny, “Uang, Ideologi, Jabatan dalam Mafia Peradilan, Reduksi terhadap The Political”, Renai: Jurnal Kajian Politik Lokal dan Studi Humaniora, Yayasan Percik Salatiga, Tahun VII, No. 2, 2007. Lasmadi, Sahuri, “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jurnal Inovatif, Vol. 4, No. 5, 2011. Mardiah, Ainal (et all), “Mediasi Penal sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif dalam Pengadilan Anak”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012. Raharjo, Agus, “Mediasi sebagai Basis dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 1, Februari 2008. S, C. Maya Indah, “Refleksi Sosial atas Kelemahan Hukum Modern; Suatu Diseminasi Hukum Tradisional dalam Citra Hukum Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Vol. 103 No. 37 Tahun 2008. Widodo, J. Pajar, “Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penanggulangan Mafia Peradilan”, Jurnal Dinamika Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 12, No. 1, 2012. Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah, Seminar Nasional Pertanggungjawaban Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Jakarta, 27 Maret 2007. Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”, dalam http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/ 07/18/35566/25/25/Ini-Kronologi-Peristiwa-PembakaranTempat-Ibadah-umat-Muslim, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. Jawa Pos, “Kronologi Rusuh Papua versi Kemenag: Dilempari, Disuruh Bubar, Ada Tembakan”, dalam http://www.jpnn.com/read/2015/ 07/18/315740/ Kronologi-Rusuh-Papua-versi-Kemenag:Dilempari-Disuruh-Bubar,-Ada-Tembakan-, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. Komnas HAM, “Komnas HAM: Terjadi Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tolikara”, dalam http://www.komnasham.go.id/kabar- [ 108 ] Moch. Choirul Rizal latuharhary/komnas-ham-terjadi-pelanggaran-ham-padaperistiwa-tolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. Suara Papua, “Kronologi versi Presiden GIDI terkait Insiden di Kabupaten Tolikara”, dalam http://suarapapua.com/read/2015/07/18/2712/ kronologi-versi-presiden-gidi-terkait-insiden-di-kabupatentolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. Tempo, “Budi Waseso: Sudah Ada Perdamaian di Tolikara”, dalam http:// nasional.tempo.co/read/news/2015/07/23/078685864/budiwaseso-sudah-ada-perdamaian-di-tolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. Viva News, “Perdamaian Tolikara dengan Cara Adat”, dalam http:// nasional. news.viva.co.id/ news/read/654971-perdamaian-tolikara-dengancara-adat, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016. [ 109 ] BAB II PANC A SIL A , RADIK ALISME PANCA SILA DAN IDEOLOGI TRANSNA SIONAL TRANSNASIONAL PANC A SIL A D AL AM PUSARAN ISL AM PANCA SILA DAL ALAM ISLAM TRANSNA SIONAL Al Khanif Pendahuluan T ulisan mengenai Pancasila dalam pusaran ideologi transnasional (Islam) ini ditujukan untuk mereposisi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dalam tatanan dunia yang semakin kompleks. Penulis merasa perlu mengangkat tema ini mengingat kompleksitas globalisasi dengan semua atributnya pasti berpengaruh terhadap Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dan juga sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kedua predikat tersebut tentu menyimpan permasalahan kebangsaan yang kompleks karena Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara-negara demokratis di Eropa Barat dan di Amerika Utara dengan realitas sosial yang “cenderung” homogen. Indonesia adalah negara kesatuan dengan beragam identitas sosial yang tersebar di berbagai daerah. Bahkan beberapa identitas sosial tersebut juga mempunyai sistem hukum yang berbeda-beda dan cenderung dinamis dari masa ke masa. Oleh karena itu, tulisan tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa di tengah arus globalisasi ideologi ini penulis rasa semakin penting agar memberikan pemahaman yang komprehensif di masyarakat. Tantangan yang dihadapi Pancasila untuk tetap menyatukan Indonesia jelas akan semakin besar dan kompleks terutama semangat demokrasi yang mulai terbuka pasca Reformasi telah memberikan ruang yang luas dan bahkan “hampir tanpa batas” bagi munculnya ideologi-ideologi yang cenderung berseberangan dengan Pancasila. Mereka menebar dan menyebarkan semangat anti keragaman dengan mengedepankan [ 113 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi homogenitas yang tentu saja sangat membahayakan nilai-nilai pluralisme dan keragaman yang sudah dijadikan pilar penting berdirinya Indonesia.1 Ideologi yang beraliran radikal secara politik sampai paham yang berhaluan moderat terus bermunculan di tengah masa transisi demokrasi yang masih rentan di Indonesia. Eksistensi mereka di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata karena semakin berkembang dan belum menunjukan kemunduran. Berdasarkan realitas tersebut, tulisan ini akan menyajikan analisis terkait hubungan antara realitas ideologi di dunia global dengan Pancasila. Bagian pertama akan mengulas pertarungan Komunisme versus Kapitalisme dan Demokrasi Liberal di era Perang Dingin dan bagaimana negara-negara berkembang seperti negara-negara Islam dan Muslim mayoritas serta Indonesia mengambil peran dalam konteks perang dingin tersebut. Setelah itu penulis menyajikan realitas ideologi Islam transnasional serta bagaimana penyebaran ideologi tersebut berdampak pada Pancasila dan Indonesia. Analisis-analisis tersebut kemudian penulis simpulkan untuk memberikan rekomendasi dalam sub bagian akhir dari tulisan ini. Sosialisme dan Islam dalam Arus Global Pasca perang dingin yang mengakhiri persaingan dua ideologi besar, Komunisme Uni Soviet versus Kapitalisme dan Demokrasi Liberal versi Barat (selanjutnya disebut dengan Kapitalisme), legitimasi Kapitalisme sebagai pemenang persaingan di dunia global nyaris tak terbantahkah lagi.2 Hingga di akhir era 90an tidak ada lagi ideologi besar yang mampu menandingi dominasi Kapitalisme. Fenomena meluasnya pengaruh Kapitalisme secara global ini seakan membenarkan proposisi Fransis Fukuyama yang mengatakan hegemoni Kapitalisme dengan segala atributnya selain mengakhiri perang dingin juga akan mendominasi dunia global dimana banyak negara akan mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan 1 2 Lihat misalnya analisis Al Makhzoomi terkait munculnya ideologi radikal di Indonesia di Khairuldeen Al Makhzoomi, “Terrorism in Southeast Asia and the Role of Ideology”, Huffington Post (10 March 2016), online: <http://www.huffingtonpost.com/khairuldeen-al-makhzoomi/ terrorism-in-southeast-as_b_9396942.html>. Moh Khuzaifi, “Mengintip Kapitalisme Global”, korankabar.com (6 October 2015), online: <http:/ /korankabar.com/mengintip-kapitalisme-global/>. [ 114 ] Al Khanif Barat.3 Tulisan Fukuyama tersebut begitu yakin memprediksi bahwa tidak akan ada lagi ideologi yang mampu menandingi Kapitalisme. Diawal prediksinya, Fukuyama mendapatkan banyak dukungan karena hampir selama dua dekade, Kapitalisme tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dari para pesaingnya. Bahkan Kapitalisme cenderung bisa mengisolasi sisa-sisa Komunisme dan meredam berkembangnya ideologiideologi baru sebagai kompetitornya. Berakhirnya persaingan Komunisme dan Kapitalisme menghadirkan monopoli ideologi di dunia global dengan kapitalisme sebagai pemain tunggal. Artinya berakhirnya perang dingin tersebut tidak serta merta memunculkan polaritas ideologi dimana negaranegara yang sebelumnya menjadi penonton berhasil memainkan peran (ideologi) mereka yang lebih besar di peta global. Atau bisa juga negaranegara ketiga memang tidak mampu untuk mengambil peran yang lebih besar dalam konteks politik global pasca berakhirnya Perang Dingin. Hegemoni Kapitalisme tersebut sebenarnya mendapatkan perlawanan dari beberapa negara khususnya negara-negara pecahan Uni Soviet, negaranegara penganut paham Sosialisme di Amerika Latin4 dan juga negaranegara Islam atau negara-negara dengan populasi Muslim mayoritas.5 Polarisasi pertarungan antar ideologi pasca Perang Dingin justru meluas ke berbagai negara. Arena pertarungan tidak lagi terpusat di dua tempat melainkan menyebar ke berbagai negara. Kawasan Timur Tengah dan Afrika menjadi kawasan yang sangat rentan karena masih banyak rejim diktator 3 4 5 Eliane Glaser, “Bring back ideology: Fukuyama’s ‘end of history’ 25 years on”, The Guardian (21 March 2014), online: <https://www.theguardian.com/books/2014/mar/21/bring-back-ideologyfukuyama-end-history-25-years-on>. Patrick Iber membedakan negara-negara Sosialis di Amerika Latin kedalam dua kelompok. Yang pertama adalah kelompok Negara Sosialis Demokrat seperti Bolivia, Ekuador, Venezuela dan Argentina sedangkan kelompok yang kedua adalah Negara Demokrat Sosialis seperti Brasil, Uruguay, dan Chili. Lihat selengkapnya ulasan mengenai dua kelompok tersebut di Patrict Iber, “The Path to Democratic Socialism: Lessons from Latin America”, Dissent Mag (Spring 2016), online: <https:/ /www.dissentmagazine.org/article/path-democratic-socialism-lessons-latin-america>. Tulisan ini membedakan Negara Islam dan negara dengan Muslim mayoritas. Yang masuk dalam kategori negara Islam adalah negara-negara yang secara jelas menggunakan Islam sebagai sumber hukum seperti Iran, Afghanistan dan Saudi Arabia sedangkan negara-negara dengan Muslim mayoritas adalah negara-negara yang “mengakui” adanya pengaruh Islam namun tidak menggunakan Hukum Islam sebagai sumber hukum nasional atau yang saya sebut dalam tulisan ini sebagai negara sekuler religius seperti Indonesia. Tentang konsep sekuler religius, lihat Al Khanif, “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect religions”, online: <http:// www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/ questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html>. [ 115 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dan sistem ketatanegaraan yang memungkinkan Barat dan Kapitalisme memainkan peranan mereka. Polarisasi pertarungan ideologi tersebut memaksa negara-negara Sosialis, Islam dan Muslim mayoritas terus melakukan perlawanan. Namun perlawanan mereka terhadap hegemoni Kapitalisme tidak berjalan baik karena tidak didukung oleh stabilitas ekonomi dan politik di internal negara maupun organisasi-organisasi antar negara yang menganut kesamaan ideologi tersebut. Negara-negara di Amerika Latin yang selama bertahuntahun dikenal sebagai negara Sosialis justru tidak mampu melakukan perlawanan terhadap Kapitalisme dan bahkan terjebak dalam krisis ekonomi dan politik.6 Oleh karena itu perlawanan negara-negara Sosialis, negaranegara Islam dan Muslim mayoritas tidak pernah berhasil hingga sekarang dan bahkan justru tidak mampu menghadang laju Kapitalisme di negara mereka. Sebenarnya negara-negara Islam dan Muslim mayoritas bersama dengan negara-negara Sosialis telah berusaha untuk membentuk organisasi semacam Gerakan Non-Blok (GNB) yang diisiniasi oleh Presiden Josip Broz Tito Yugoslavia, Presiden Gamal Abdel Nasser Mesir dan juga Presiden Sukarno Indonesia di tahun 1955.7 GNB pernah menjadi organisasi paling penting bagi negara-negara berkembang di era Perang Dingin namun justru kehilangan momentum untuk memainkan peran yang lebih besar pasca Perang Dingin. Beberapa sebab diantaranya adalah semangat utama dari pembentukan GNB adalah untuk membebaskan negara-negara anggota dan negara ketiga dari belenggu penjajahan. 8 Sehingga ketika era kolonialisme telah berakhir GNB tidak mampu menunjukan peran yang signifikan di dunia global. Setelah kegagalan NGB, negara-negara Islam dan Muslim mayoritas juga menginisiasi berdirinya Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Peran OKI yang mayoritas anggotanya berideologi Islam pernah mencuat di era 70an. 6 7 8 Terkait ulasan tentang krisis ekonomi dan politik di Brasil, Ekuador dan Chili di “The Jury Is In: Latin America’s 21st Century Socialism Has Failed”, (19 May 2016), online: PanAm Post <https:/ /panampost.com/rafael-ruiz-velasco/2016/05/19/21st-century-socialism-has-failed/>. Andre Munro, “Non-Aligned Movement (NAM) | international organization”, Encycl Br (Agustus 2013), online: <https://www.britannica.com/topic/Non-Aligned-Movement>. Lihat ulasan terkait permasalahan GNB pasca Perang Dingin di S I Keethaponcalan, “Reshaping the Non-Aligned Movement: challenges and vision” (2016) 3:1 Bdg J Glob South 4. [ 116 ] Al Khanif Namun peran mereka dalam politik global cenderung terus menurun dan belum bisa menandingi Kapitalisme. Padahal OKI dan GNB sudah sering berkolaborasi untuk terus memaksimalkan peran mereka di dunia global. Namun sayangnya kolaborasi tersebut lebih sering dilakukan untuk mengatasi konflik internal yang melibatkan anggota-anggota kedua organisasi tersebut.9 Sehingga dalam perjalannya kemudian kerjasama OKI dan GNB sering mengalami kesulitan untuk mengimbangi pengaruh Kapitalisme di wilayah mereka sendiri. Globalisasi yang tidak hanya menipiskan sekat antar negara dan juga memudahkan penyebaran ideologi besar semacam Kapitalisme dari satu negara ke negara lain,10 sangat mungkin mengisolasi ideologi lain yang berskala lokal seperti Pancasila di Indonesia. Reviv alisme IIslam slam Transnasional evivalisme Berbagai versi sejarah mencatat bahwa tidak ada lawan berarti yang bisa menandingi Kapitalisme sampai pada akhirnya di era 90an hingga sekarang Islam dengan semua atributnya muncul berhadap-hadapan dengan Kapitalisme. Padahal hingga berakhirnya Perang Dingin tidak pernah terlihat indikasi bahwa Islam akan muncul sebagai kekuatan “penyeimbang” dari dominasi Kapitalisme karena Islam dilihat oleh Barat sebagai kelompok lain dalam diskursus pertarungan ideologi global.11 Kemunculan Islam tersebut bisa disebut sebagai gelombang perlawanan ketiga terhadap dunia Barat setelah kegagalan Nazi dan Komunisme meruntuhkan monopoli Dunia Barat dengan cara mereka masing-masing. Oleh karena itu banyak pengamat mulai mengasosiasikan Islam sebagai ancaman ketiga terhadap Barat pasca Nazi dan Komunisme karena Islam dianggap menyerang legitimasi Barat terutama demokrasi, liberalisasi dan hak asasi manusia sebagai nilai-nilai yang digunakan Barat untuk memengaruhi persepsi dunia global. 9 Salah satu persoalan mendasar yang menyita energi OKI misalnya kasus Palestina dan ketegangan antar negara di Kawasan Teluk. Lihat misalnya Tama Salim, “Palestine seeks Indonesia’s support ahead of OIC meeting”, Jkt Post (2017), online: <http://www.thejakartapost.com/news/2017/ 01/ 17/palestine-seeks-indonesias-support-ahead-of-oic-meeting.html>. 10 Khuzaifi, supra note 2. 11 Chandra Chari, ed, Superpower rivalry and conflict: the long shadow of the Cold War on the twenty-first century, Routledge advances in international relations and global politics 81 (London; New York: Routledge, 2010) hlm. 9. [ 117 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Di awal kemunculan Islam, banyak pengamat menyebutnya sebagai fundamentalisme agama dan bahkan ekstrimisme agama yang membahayakan demokrasi dan liberalisasi nilai-nilai Barat. Namun lambat laun terminologi tersebut terderivasi mulai yang tergolong moderat seperti yang diajukan oleh John L. Esposito dimana dia menggunakan kata revivalisme Islam sampai dengan terminologi radikal yang menyebut Islam sebagai sel teroris.12 Beragamnya anggapan tersebut disebabkan karena Barat mulai menyadari bahwa Islam politik maupun interpretasi terhadap nilainilai Islam yang berkembang di negara-negara Muslim sangat heterogen.13 Bahkan seringkali heterogenitas politik dan teologi tersebut berdampak pada instabilitas politik di negara-negara dan juga berpengaruh terhadap keamanan kawasan. Terlebih jika konflik tersebut bercampur dengan inflitrasi dari Kapitalisme di negara tersebut. Revivalisme Islam transnasional muncul di era 90an karena hegemoni kapitalisme dan kegagalan OKI dan NGB tersebut pada akhirnya justru memunculkan monopoli ideologi - Kapitalisme. Perkembangan Kapitalisme juga diikuti dengan masuknya semua atributnya ke berbagai penjuru dunia termasuk ke negara-negara ketiga seperti Indonesia dan negara-negara Muslim mayoritas. Penyebaran Kapitalisme dengan berbagai atributnya inilah yang kemudian memunculkan perlawanan kelompok-kelompok berideologi Islam di berbagai negara, khususnya negara Islam dan negara Muslim mayoritas. Model perlawanan yang dilakukan oleh kelompokkelompok Islam terhadap hegemoni Kapitalisme sangat beragam mulai dari perlawanan model teror seperti yang dilakukan oleh Al Qaida sampai pada model perlawanan politik seperti yang ditunjukan oleh Hizbut Tahrir atau perpaduan keduanya seperti yang dilakukan oleh Fraksi Hizbullah di Lebanon. Namun dapat disimpulkan bahwa model perlawanan yang menekankan teror lebih sering ditunjukan oleh organisasi-organisasi Islam seperti Al Qaeda, ISIS, dan Majelis Mujahidin. Sedangkan gerakan perlawanan 12 Lihat diskusi tentang terminologi fundamentalisme, ekstrimisme dan radikalisme di Anzar Abdullah, “GERAKAN RADIKALISME DALAM ISLAM: PERSPEKTIF HISTORIS” (2016) 10:1 ADDIN 1 hlm. 4. 13 Nasser Momayezi, “Islamic Revivalism and the Quest for Political Power” (1997) 17:2 J Confl Stud, online: <https://journals.lib.unb.ca/index.php/JCS/article/view/11753> hlm. 10. [ 118 ] Al Khanif terhadap Kapitalisme dengan pendekatan politik lebih sering diajukan oleh negara atau organisasi Islam yang berafilisasi dengan negara seperti yang ditunjukan oleh gerakan revolusi Islam Iran tahun 1979 dibawah pimpinan Ali Khomaini. Sebenarnya Era 70 sampai 80an menjadi salah satu awal kebangkitan politik Islam di berbagai negara Muslim yang mana kebangkitan politik Islam tersebut menunjukan kekuatan-kekuatan politik dan diskursus berbasis agama Islam untuk melawan hegemoni Kapitalisme.14 Mereka berusaha melawan Kapitalisme yang dianggap merusak tatanan nilai-nilai Islam yang selama ini diterapkan oleh semua umat Muslim di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Misalnya Revolusi Islam Iran tahun 1979 muncul karena kegelisahan Ali Khomaini dan kelompok Islam Iran untuk menentang imperialisme Amerika dalam politik dalam negeri Iran.15 Sejak saat itu hingga sekarang politik Islam Iran telah memainkan peran yang signifikan di kawasan regional untuk melawan hegemoni Kapitalisme Barat. Pengaruh Iran di kawasan dapat dilihat misalnya dari keberhasilan mereka bekerjasama dengan Fraksi Hizbullah di Lebanon dan juga hubungan eratnya dengan pemerintahan Bashar al Assad di Syiria dalam Perang Syiria akhir-akhir ini.16 Sedangkan model perlawanan teror yang dilakukan oleh Al Qaeda, ISIS, ataupun kelompok-kelompok Islam radikal lainnya terhadap simbolsimbol kapitalisme tidak hanya menyasar negara-negara sekuler melainkan juga di negara-negara Islam. Teror tersebut muncul karena ideologi-ideologi berbasis Islam yang selama ini diterapkan oleh beberapa negara Muslim semakin terdesak oleh nilai-nilai Kapitalisme global yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya konflik “nilai-nilai” antara Islam dan Kapitalisme di berbagai negara Islam dan Muslim mayoritas. Di kawasan Asia Selatan, 14 Robert W Hefner, ed, Remaking Muslim politics: pluralism, contestation, democratization, Princeton studies in Muslim politics (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2005) hlm. 7. 15 D Parvaz, “Iran 1979: the Islamic revolution that shook the world”, online: <http:// www.aljazeera.com/indepth/features/2014/01/iran-1979-revolution-shook-world2014121134227652609.html>. 16 Lihat analisis keterkaitan Iran dalam Perang Syiria di Martin Chulov, Saeed Kamali Dehghan & Patrick Wintour, “Iran hails victory in Aleppo as Shia militias boost Syria’s Bashar al-Assad”, The Guardian (14 December 2016), online: <https://www.theguardian.com/world/2016/dec/ 14/ iran-aleppo-syria-shia-militia>. [ 119 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi seperti Afghanistan dan Pakistan, atau di kawasan Teluk seperti Syiria, Lebanon dan Irak, Islam terlibat dalam konflik ideologi transnasional yang kompleks sehingga menyebabkan instabilitas politik dan keamanan di kawasan-kawasan tersebut. Keadaan yang sama juga terjadi di beberapa negara di Afrika Utara seperti Libya, Tunisia dan Mesir. Asumsi dasar dari revivalisme Islam di beberapa kawasan tersebut disebabkan karena keterlibatan dunia Barat di politik internal negara-negara tersebut.17 Kapitalisme tidak hanya menguasai sektor ekonomi melainkan juga menjadi penguasa kawasan. Kebijakan pemerintah setempat terhadap politik Islam juga berdampak pada resistensi beberapa kelompok Islam. Kondisi inilah yang seringkali memunculkan ekstrimisme kelompok Islam untuk melawan pengaruh Barat di beberapa negara dan kawasan.18 Hal ini disebabkan karena Islam bagi mayoritas Muslim dianggap sebagai solusi terbaik dengan menawarkan ketertiban sosial bagi umat Islam untuk memecahkan persoalan-persoalan kontemporer. Di Indonesia misalnya, kelompok-kelompok Islam yang melakukan perlawanan terhadap simbolsimbol Kapitalisme tidak hanya terepresentasikan oleh kelompok Islam radikal semacam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI) melainkan juga diwujudkan dalam bentuk perjuangan politik di parlemen.19 Di kawasan Asia Tenggara, perlawanan ideologi Islam terhadap Kapitalisme cenderung terlokalisir di Indonesia meskipun ada sebagian kecil yang berkembang di Malaysia, Thailand an Philipina. Kelompok Islam radikal di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan ideologi Islam radikal yang berkembang di banyak negara seperti Kawasan Teluk dan Asia Selatan. Hubungan inilah yang menyebabkan kelompok Islam di Indonesia dapat disebut sebagai representasi ideologi Islam transnasional karena pola hubungan mereka dapat terlacak dari adanya hubungan gerakan Islam transnasional yang berkembang dari kawasan Teluk dan Afrika Utara. Bahkan jaringan dan pola gerakan Islam radikal di Indonesia juga berkaitan dengan gerakan perlawanan kelompok Islam di Filipina, Malaysia dan Thailand. 17 Abdullah, supra note 11 hlm. 8. Chandra Chari, supra note 10 hlm. 58–9. 19 Nadirsyah Hosen, “Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate” (2005) 36:03 J Southeast Asian Stud 419 hlm. 426. 18 [ 120 ] Al Khanif Hubungan antara ideologi Islam radikal Indonesia dengan Islam radikal di Timur Tengah dapat dilihat dari Perang Padri di era kolonialisme yang mana kelompok Imam Bonjol dan kelompoknya menggunakan Wahabisme untuk melawan imperialisme Belanda yang anti Islam.20 sedangkan keterkaitan antara Islam radikal di Indonesia dengan di Asia Selatan dapat dilihat dari sejarah keterlibatan Majelis Mujahidin Afghanistan dalam perang melawan Uni Soviety yang menyebabkan beberapa umat Islam di Indonesia melakukan jihad ke Afghanistan.21 Ketika perang sudah selesai, mereka kembali ke Indonesia dengan membawa paham radikal dan melihat konsep Pancasila sama halnya dengan Komunisme dan Kapitalisme yang harus mereka lawan. Di Indonesia, usaha untuk mereposisi Islam dalam konteks kenegaraan telah beberapa kali dilakukan baik secara politik maupun perlawanan perang. Di era Orde Lama, perlawanan kelompok Islam dilakukan oleh Kartosuwirjo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Alasan utama dari gerakan perlawanan ini adalah karena mereka tidak puas dengan konsep Ideologi Pancasila yang menurut mereka tidak merepresentasikan kepentingan umat Islam di Indonesia.22 Model perlawanan melalui kekerasan oleh kelompok Islam memang meredup di era Orde Baru karena pola kepemimpinan Suharto yang otoriter. Bahkan Suharto dianggap berhasil meredam perlawanan mereka meskipun Suharto lah orang yang pertama kali membuka ruang masuknya Kapitalisme di Indonesia hingga saat ini. Pancasila vversus ersus IIslam slam Transnasional Pascareformasi, beberapa fraksi politik di parlemen terang-terangan ingin memasukan lagi Piagam Jakarta dalam konstitusi sebagai bagian dari upaya untuk keluar dari cengkeraman Kapitalisme. Gerakan politik Islam di parlemen tersebut muncul karena adanya desakan dari MMI dan FPI kepada 20 Al Khanif, Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International Human Rights Law and Islamic Law SOAS University of London, 2015) [unpublished] hlm. 129. 21 Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto” hlm. 34–5. 22 Lihat ulasan terkait perlawanan kelompok Islam di era Orde Lama di Al Khanif, “Diskursus Minoritas Agama dalam Konsep Sekuler-Theistik Pancasila” in Reaktualisasi Pancasila Menyoal Identitas Glob Dan Diskurs Negara-Bangsa (Ombak Press, 2015). [ 121 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi partai-partai Islam untuk memasukan lagi Piagama Jakarta yang mewajibkan umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariah Islam seperti yang pertama kali digagas pada tahun 1945.23 Meskipun pada akhirnya usaha memasukan nilai-nilai Islam melalui jalur politik gagal, namun gerakan politik Islam di Indonesia tidak pernah padam dan bahkan semakin menyebar di Indonesia. Hal ini disebabkan agama masih menjadi pilar penting di masyarakat meskipun Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Reaksi dari kelompok Islam dan partai politik berasaskan Islam seperti yang ada di Indonesia tersebut merupakan dampak dari kontestasi antara Islam dan Kapitalisme yang banyak terjadi di negara lain. Gerakan perlawanan politik Islam dengan beragam bentuknya menawarkan ide-ide baru di bidang pendidikan, hukum, politik dan ekonomi kepada masyarakat luas untuk mengimbangi hegemoni Kapitalisme yang sudah tumbuh subur di berbagai negara termasuk Indonesia. Kelompok seperti Hizbut Tahrir misalnya melakukan perlawanan terhadap Kapitalisme dengan mengatakan bahwa Kapitalisme dengan semua atributnya berusaha memisahkan agama dari kehidupan manusia.24 Model perlawanan terhadap Kapitalisme seperti yang dilakukan oleh HTI ini ternyata mendapatkan simpati dari sebagian umat Muslim di Indonesia. Konteks revivalisme Islam transnasional di Indonesia tersebut mungkin dapat dijadikan proposisi dari tesisnya Fukuyama yang memprediksikan bahwa selesainya perang dingin bukan berarti menyelesaikan konflik ideologi melainkan dunia akan mempunyai fenomena konflik baru yang lebih kompleks dan dinamis.25 Sejak peristiwa 9/11 dan ekspansi militer pimpinan Amerika ke Irak dan Afghanistan, Kapitalisme tidak benar-benar mendominasi dunia global karena gerakan revivalisme Islam mendapatkan tempat di sebagian negara Islam dan Muslim mayoritas seperti di Iran. Peristiwa Arab Spring yang melanda kawasan Afrika Utara dan Kawasan Teluk yang pada dasarnya memperlihatkan nilai-nilai demokrasi versi Barat 23 Terkait perdebatan di parlemen tentang Piagam Jakarta, lihat Hosen, supra note 18 hlm. 425. Robert W Hefner, ed, Remaking Muslim politics: pluralism, contestation, democratization, Princeton studies in Muslim politics (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2005) hlm. 310. 25 Francis Fukuyama, The end of history and the last man (New York: Toronto: New York: Free Press/ ; Maxwell Macmillan Canada/ ; Maxwell Macmillan International, 1992) hlm. 45. 24 [ 122 ] Al Khanif justru berakhir dengan terpilihnya tokoh-tokoh politik Islam. Pasca runtuhnya Rejim Hosni Mubarak, masyarakat Mesir justru memilih Mohammad Morsi yang menganut paham Islamnya Hasan al Bana sedangkan rakyat Tunisia lebih suka memilih Partai Islam Ennahda.26 Selain itu, faksi-faksi Islam radikal di beberapa kawasan juga terus melakukan perlawanan meskipun pola perlawanan mereka bersifat sporadis. Di kawasan Asia Tenggara, kelompok-kelompok Islam radikal terus berusaha mempertahankan eksistensi mereka ditengah tekanan politik dan militer di negara-negara kawasan tersebut. Mereka melakukan perlawanan terhadap simbol-simbol Kapitalisme, tidak hanya semata untuk menggantikan sistem demokrasi yang selama ini sudah dipraktikan oleh negara-negara di Asia Tenggara melainkan juga untuk mengembalikan lagi kejayaan mereka di masa lalu. Di Indonesia, Islam mengalami masa kejayaan di awal-awal kedatangannya di Indonesia sampai akhirnya kedatangan kolonialisme Barat di Indonesia merubah posisi Islam sebagai ekspatriat. Posisi Muslim sebagai “ekspatriat” bisa dilihat dari kebijakan Belanda yang membagi hukum kedalam tiga golongan, yakni hukum sipil Belanda yang berlaku untuk orang Eropa, hukum Adat untuk orang pribumi dan hukum Islam bagi keturuan Arab yang beragam Islam.27 Bahkan Belanda memasukan etnis Arab kedalam klasifikasi “oriental” bersama dengan orang China dan India dimana dua kelompok yang terakhir kemudian mengikuti sistem hukum Belanda. Posisi Muslim sebagai ekspatriat ini tentu berdampak pada upaya mereka untuk melawan dominasi imperialisme sejak era kolonialisme sampai pasca kemerdekaan. Hingga sekarang pun beberapa kelompok Islam cenderung lebih suka menjelaskan bahwa kemerosotan Islam terutama di bidang ekonomi dan politik karena disebabkan hegemoni Kapitalisme. Gerakan politik Islam di Indonesia untuk mengganti Pancasila juga dapat bermakna ganda. Yang pertama adalah perlawanan mereka terhadap 26 Joseph V Micallef, “The Arab Spring: Six Years Later”, Huffington Post (29 January 2017), online: <http://www.huffingtonpost.com/joseph-v-micallef/the-arab-spring-six-years_b_14461896.html>. 27 Kelompok Islam termasuk dalam “oriental” bersama kelompok Asia sedangkan klasifikasi “Eropa” tidak hanya didasarkan pada persamaan etnis melainkan juga berbasis hukum dimana orang-orang dari negara yang menerapkan sistem hukum yang mirip dengan Belanda masuk dalam kategori Eropa. Lihat selengkapnya terkait klasifikasi tersebut di J Leyser, “Legal Developments in Indonesia” (1954) 3:3 Am J Comp Law 399 hlm. 403. [ 123 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi prinsip-prinsip Kapitalisme dan Demokrasi Liberal yang cenderung mengisolasi agama dari negara. Oleh karena itu, kesuksesan Barat melakukan sekularisasi dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, karena dapat mengancam Islam yang tidak hanya dipandang sebagai agama melainkan juga sebagai pegangan hidup bagi penganutnya. Pendapat mereka ini lebih banyak didasarkan pada realitas bahwa banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah sesuai dengan al-Qur’an dan syariah Islam sebagai aturan bernegara.28 Prinsip-prinsip Pancasila yang kurang “tegas” mengatur posisi agama dan negara dianggap merepresentasikan nilai-nilai Barat. Di kalangan Islam radikal dan fundamental, Pancasila dianggap telah melakukan subordinasi terhadap Islam secara ideologis karena dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia Islam berada dibawah naungan Pancasila sebagai payung suci tertinggi di Indonesia. Padahal Islam selama ini dianggap oleh mayoritas penganutnya bukan hanya dipandang sebagai alternatif ideologis melainkan juga keharusan teologis dan praktik yang harus dilakukan secara bersamaan.29 Artinya, Pancasila selama ini menghadapi permasalahan mendasar terkait dengan nilai-nilai yang dianggap bersinggungan dengan prinsip dasar ideologi lain. Pancasila dianggap merepresentasikan nilainilai Barat karena tidak mengakui hukum berbasis Islam dan tidak mengenal sistem ketatanegaraan berbasis agama. Pancasila dan IIslam: slam: K onv ergensi ataukah D iv ergensi? Konv onvergensi Div ivergensi? Telah banyak pendapat yang mengulas hubungan antara Pancasila dan Islam dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia dari para pemikir Muslim seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, dan Abdurrahman Wahid. Ketiganya merupakan penganjur konvergensi antara Pancasila dan Islam karena menurut ketiganya Pancasila dan Islam tidak harus dibenturkan karena keduanya saling melengkapi.30 Bahkan mayoritas umat Islam di Indonesia juga masih percaya terhadap Pancasila sebagai ideologi dan 28 Lihat Abdullah, supra note 11 hlm. 9. Ibid hlm. 18. 30 Lihat ulasan mengenai pendapatnya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid di Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory” (2004) 44:5 Asian Surv 669 hlm. 675. 29 [ 124 ] Al Khanif payung suci dalam bernegara. Buktinya di setiap gelaran pemilu di era Reformasi, partai-partai berbasis agama tidak pernah mendominasi perolehan suara.31 Bahkan usaha mereka untuk memasukan lagi semangat Piagam Jakarta pada waktu pembahasan amandemen konstitusi tahun 1999 telah gagal. Lalu kenapa hingga saat ini masih ada pemikir dan tokoh politik Muslim yang tetap ingin mengganti Pancasila dengan ideologi berbasis Islam? salah satu sebabnya adalah karena pengaruh Islam transnasional yang semakin kuat di negara-negara Islam dan Muslim mayoritas. Seringkali pola gerakan Islam transnasional menggunakan cara-cara Demokrasi Liberal versi Barat untuk merebut kekuasaan seperti yang terjadi di Mesir pasca Mubarak maupun kemenangan Partai Islam Ennahda di Tunisia pasca Zine El Abidine bin Ali. Kondisi politik di internal negara-negara tersebut seperti rejim yang otoriter dan korup dan juga jaringan Islam transnasional yang kuat menjadi pemicu munculnya ideologi Islam. Di Indonesia, upaya untuk memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi memang telah gagal dilakukan. Namun gerakan Islam transnasional terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Mereka “cenderung” mendapatkan simpatisan dari kalangan muda dan terpelajar. Dalih mereka adalah menjadi negara Islam tidak berarti anti modernisasi. Namun jika dilihat lebih jauh modernitas “cenderung” identik dengan Barat. Padahal salah satu tujuan utama politik Islam adalah mengganti sistem kenegaraan yang ada dengan versi penafsiran Islam mereka. Referensi Chandra Chari, ed. Superpower Rivalry and Conflict: the Long Shadow of the Cold War on the Twenty-First Century, Routledge Advances in International Relations and Global Politics 81 (London; New York: Routledge, 2010). 31 Reslawati Reslawati, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta” (2016) 9:34 Harmoni 122. [ 125 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Fukuyama, Francis. The end of history and the last man (New York: Toronto: New York: Free Press/Maxwell Macmillan Canada/Maxwell Macmillan International, 1992). Hefner, Robert W, ed. Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization, Princeton Studies in Muslim Politics (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2005). Khanif, Al. Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International Human Rights Law and Islamic Law SOAS University of London, 2015) [unpublished]. Abdullah, Anzar. “GERAKAN RADIKALISME DALAM ISLAM: PERSPEKTIF HISTORIS” (2016) 10:1 ADDIN 1. Baswedan, Anies Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory” (2004) 44:5 Asian Surv 669. Bruinessen, Martin van. “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto”. Chulov, Martin, Saeed Kamali Dehghan & Patrick Wintour. “Iran hails victory in Aleppo as Shia militias boost Syria’s Bashar al-Assad”, The Guardian (14 December 2016), online: <https://www. theguardian.com/world/2016/dec/14/iran-aleppo-syria-shiamilitia>. Glaser, Eliane. “Bring back ideology: Fukuyama’s ‘end of history’ 25 years on”, The Guardian (21 March 2014), online: <https:// www.theguardian.com/books/ 2014/mar/21/bring-backideology-fukuyama-end-history-25-years-on>. Hosen, Nadirsyah. “Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate” (2005) 36:03 J Southeast Asian Stud 419. Iber, Patrict. “The Path to Democratic Socialism: Lessons from Latin America”, Dissent Mag (Spring 2016), online: <https://www. dissentmagazine.org/article/ path-democratic-socialism-lessonslatin-america>. Keethaponcalan, S I. “Reshaping the Non-Aligned Movement: Challenges and Vision” (2016) 3:1 Bdg J Glob South 4. Khanif, Al. “Diskursus Minoritas Agama dalam Konsep Sekuler-Theistik Pancasila” in Reaktualisasi Pancasila Menyoal Identitas Glob dan Diskurs Negara-Bangsa (Ombak Press, 2015). ———. “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect religions”, online: <http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/ questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html>. [ 126 ] Al Khanif Khuzaifi, Moh. “Mengintip Kapitalisme Global”, korankabar.com (6 October 2015), online: <http://korankabar.com/mengintipkapitalisme-global/>. Leyser, J. “Legal Developments in Indonesia” (1954) 3:3 Am J Comp Law 399. Makhzoomi, Khairuldeen Al. “Terrorism in Southeast Asia and the Role of Ideology”, Huffington Post (10 March 2016), online: <http:// www.huffingtonpost.com/khairuldeen-al-makhzoomi/terrorismin-southeast-as_b_9396942.html>. Micallef, Joseph V. “The Arab Spring: Six Years Later”, Huffington Post (29 January 2017), online: <http://www.huffingtonpost.com/ joseph-v-micallef/the-arab-spring-six-years_b_14461896.html>. Momayezi, Nasser. “Islamic Revivalism and the Quest for Political Power” (1997) 17:2 J Confl Stud, online: <https://journals.lib.unb.ca/ index.php/JCS/article/ view/11753>. Munro, Andre. “Non-Aligned Movement (NAM) | international organization”, Encycl Br (Agustus 2013), online: <https://www. britannica.com/topic/Non-Aligned-Movement>. Parvaz, D. “Iran 1979: the Islamic revolution that shook the world”, online: <http://www.aljazeera.com/indepth/features/2014/01/iran1979-revolution-shook-world-2014121134227652609.html>. Reslawati, Reslawati. “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta” (2016) 9:34 Harmoni 122. Salim, Tama. “Palestine seeks Indonesia’s support ahead of OIC meeting”, Jkt Post (2017), online: <http://www.thejakartapost.com/news/ 2017/01/17/palestine-seeks-indonesias-support-ahead-of-oicmeeting.html>. “The Jury Is In: Latin America’s 21st Century Socialism Has Failed”, (19 May 2016), online: PanAm Post <https://panampost.com/rafaelruiz-velasco/2016/05/19/ 21st-century-socialism-has-failed/>. [ 127 ] QUO VADIS IL USI KHIL AF AH DI NEGARA ILUSI KHILAF AFAH PANC A SIL A PANCA SILA Khoirul Anam Pendahuluan W acana pendirian Negara Islam dalam bungkus khilafah mulai kembali mencuat ke permukaan belakangan ini. Sentimen keagamaan kembali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membangkitkan impian lama tentang berdirinya sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan ajaran agama. Di waktu yang bersamaan, publik masih juga belum mendapati kejelasan mengenai konsep dan contoh nyata, utamanya terkait dengan keunggulan, negara agama. Contoh terdekat untuk negara khilafah yang ada saat ini justru mengarah ke kelompok teroris internasional sekelas ISIS, di mana laku hidup dan pemahaman orang-orangnya justru kontra-produktif terhadap cita-cita masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Meski begitu, gerakan dan ideologi khilafah di tanah air tampak masih mendapat panggung. Hal ini tampak dari masih kuatnya kelompokkelompok Islam konservatif dalam menjajakan ilusi lama tentang pendirian negara agama. Musuh utama gerakan dan kelompok Islam konserfatif adalah Pancasila yang dipadang sebagai momok untuk berbagai kegagalan Indonesia di banyak bidang. Namun, alih-alih menawarkan solusi yang lebih baik –jika benar bahwa Pancasila momok untuk kegagalan— kelompok konservatif justru mengajak masyarakat untuk kembali keabad pertengahan, yakni dengan kembali pasrah pada konsep khilafah. Tulisan ini akan membahas ‘perseteruan’ khilafah vis a vis Pancasila yang telah bergeliat sejak lama. Sebagai konsep yang diklaim bagian dari [ 129 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi agama, pendirian khilafah bukanlah sesuatu yang agamis, melainkan hanya bagian dari upaya politik praktis. Namun begitu, virus khilafah sudah terlanjur menyebar, pemahaman dan penerapan Pancasila perlu kembali dikuatkan. Membuka IImpian mpian Lama N egara Agama Negara Upaya penggerogotan sendi-sendi utama negera, khususnya Pancasila, mulai kembali dilakukan secara massif; baik dengan cara terang-terangan melalui serangkaian aksi massa, maupun secara sembunyi-sembunyi dalam kelompok-kelompok kecil yang secara intensif melakukan pertemuan dan diskusi. Pelakunya adalah kelompok Islam konservatif yang melakukan berbagai cara demi mencapai target utama; pendongkelan Pancasila sebagai dasar negara. Bagi kelompok ini, Indonesia dipandang gagal dalam banyak bidang lantaran tidak menerapkan hukum agama, karenanya perjuangan untuk mendirikan negara agama dengan syariat Islam sebagai dasar hukumnya dirasa perlu untuk segera dilakukan. Hasrat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama memang telah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum negeri ini merdeka. Hanya saja, hasrat itu tidak pernah mendapat tanggapan positif dari elemen bangsa, negara agama juga dipandang kontra produktif terhadap kondisi dan citacita bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika. Akibatnya, sejak orde lama hingga orde baru, segala hal terkait upaya pendirian negara agama dibungkam total oleh pemerintah. Meski banyak tokoh gerakan ini yang telah meninggal dunia selama dua periode pemerintahan di atas, nyatanya pemikiran dan semangat untuk mendirikan negara agama masih terus ada. Kini di era kebebasan, orang-orang yang selama ini telungkup di barakbarak persembunyian mulai unjuk muka dan mencoba menggulingkan Pancasila dengan ilusi negara agama. Narasi yang dikembangkan adalah kegagalan Indonesia sebagai bangsa Pancasila, sebagai gantinya, mereka meyakinkan masyarakat bahwa khilafah adalah solusinya (the only solution). Mereka pun mengajak masyarakat untuk bersama-sama melihat demokrasi sebagai sistem thagut (tiran) yang bertentangan dengan Islam. Bagi mereka, Islam –dalam segala variannya—adalah jawaban untuk semua persoalan. Jargon-jargon seperti al-Islamu huwa al halu (Islam adalah solusi) atau al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus [ 130 ] Khoirul Anam negara) semakin sering digaungkan. Padahal sejarah menunjukkan bahwa konsep Islam sebagai negara tidak pernah dibutuhkan di negeri ini. Bahkan Soekarno sejak awal menegaskan bahwa Islam sebagai negara tidak relevan dengan dasar dan kebutuhan bangsa ini, karena rasa persatuan yang mengikat dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928), bukan keagamaan).1 Memaksakan Islam sebagai dasar negara juga dirasa justru berpotensi besar memancing ketidakadilan kepada masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam; mereka akan menjadi masyarakat kelas dua; tidak lagi setara sebagai anak bangsa. Alasan ini tentu tidak bisa diterima oleh kelompok Islam konservatif yang merasa bahwa penerapan syariah Islam merupakan sebuah keniscayaan untuk bangsa Indonesia yang mayoritasnya memang beragama Islam. Perdebatan terkait dasar negara pun bergulir panjang dan membuat para founding fathers terperosok ke masa-masa sulit. Bahkan sidang pertama yang berlangsung pada 29 Mei – 1 Juni 1945 tidak menghasilkan apa-apa. Tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Supomo, Muhamad Yamin, hingga Muhamad Hatta berpendirian bahwa negara Indonesia harus didirikan di atas dasar yang lebih luas dari sekedar agama. Dasar-dasar tersebut meliputi dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, periketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Negara yang besar dan majemuk juga tidak boleh terpaku hanya pada tafsiran agama tertentu. Seperti diungkap oleh Supomo yang banyak mendalami filsafat Hegel dan Spinoza, negara adalah susunan masyarakat yang sifatnya integral, mencakup segala golongan, di mana anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Baginya, negara harus bisa mewujudka pengayoman yang menyeluruh (manunggal).2 Baru pada sidang kedua, 22 Juni 1945, lahirlah sebuah modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta yang menyepakati bahwa dasar untuk negara ini adalah Pancasila. Bagi banyak pihak, kesepakatan ini dipandang ebagai jalan tengah untuk pertentangan antara negara agama dan negara sekuler. 1 2 Lihat: Suratno, 2008, “Rekonfirmasi Posisi Pancasila vis-a-vis Islam”, dalam jurnal Melintas, 24-32008, hlm. 432. Nurainun Mangunsong, 2006, “Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian NEGARA”, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat www.kedaulatanrakyat.com. [ 131 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Satu bulan kemudian, dalam sidang BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, tujuh kata yang berbunyi “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” mendapat protes keras, terutama dari Latuharhay, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat yang memandang penerapan tujuh kata tersebut berpotensi menciptakan tirani mayoritas dan fanatisme. Singkatnya, anggota sidang sepakat untuk kembali pada kesepakatan sesuai dengan hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945. Dan setelah melalui diskusi panjang, tujuh kata pada sila pertama Pancasila pun dihapus.3 Bagi presiden pertama RI, Soekarno, tanpa menjadikan Islam sebagai dasar negara pun, aspirasi umat Islam dapat diwadahi dengan baik dalam sistim demokrasi, di mana di dalamnya terdapat azas musyawarah untuk mufakat.4 Artinya, meskipun negara Indonesia tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, namun sistem yang berlaku di negeri ini tetap akomodatif dan supportif terhadap Islam. Pelemahan P ancasila dengan SSentimen entimen Agama Pancasila Dalam perkembangannya, posisi Pancasila semakin diperkuat. Pada tahun 2000, melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor III/MPR/ 2000, Pancasila ditetapkan sebagai sumber hukum tertinggi dalam sistem hukum di Indonesia.5 Ini pun masih dilanjutkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2009 yang menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang harus diterima oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Karenanya, segala setiap upaya yang dianggap menjauhkan masyarakat dari Pancasila tidak dapat dibenarkan.6 Dua putusan di atas menunjukkan bahwa Pancasila tidak boleh diutakatik apalagi digulingkan secara semena-semena, meski alasan yang digunakan adalah perintah agama. Hal ini bukan berarti bahwa Pancasila lebih tinggi posisinya dibandingkan agama, melainkan fakta bahwa Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Karenanya dua 3 4 5 6 Suratno, supra note 1, hlm. 433-434. Tentang ini, Suratno memberikan penjelasan yang apik dan lengkap, termasuk tentang dua azas lain, yakni; kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Lihat: Suratno, supra note 1, hlm. 429-442. Untuk pembahasana yang lebih lengkap, lihat: Kusnisar, 2012, “Pancasila Sumber Dari Segala Hukum di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 11 (3). Putusan MK no. 140/PUU-VII/2009, hlm. 271-273. [ 132 ] Khoirul Anam Khoirul Anam hal ini tidak perlu saling dipertentangkan, sebab keduanya mempunyai fungsi yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Meski begitu, suara bising tentang kewajiban untuk mendirikan negara agama tidak juga mereda. Kelompok-kelompok Islam konservatif tetap bersikukuh pada keyakinan bahwa sistem khilafah adalah solusi untuk semua persoalan bangsa ini. Tentang kewajiban untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara, kelompok konservatif menganggapnya sebagai sesuatu yang terlalu mengada-ngada. Pancasila, bagi mereka, bukanlah agama yang wajib diikuti dan tidak boleh diganti.7 Pancasila dipandangnya sebagai produk buatan manusia yang tentu saja bisa diganti atau dilupakan sama sekali. Bahkan sejak semula, kelompok Islam konservatif tidak pernah sekalipun menaruh hormat dan patuh pada Pancasila. Muhammad Natsir misalnya, salah seorang pentolan gerakan politik Islam di Indonesia, menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler dan tidak berdasar pada wahyu tuhan. Ia hanyalah hasil dari penggalian di masyarakat.8 Pernyataan lebih ekstrim bahkan pernah disampaikan oleh pimpinan kelompok FPI (Front Pembela Islam), Rizieq Shihab yang memelintir “Pancasila” menjadi “pantat cina”. Ia juga pernah sesumbar mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi liberal ala Barat, dan hukum mengikuti sistem ini menurutnya haram, bahkan lebih haram dari memakan daging babi.9 Tentang ini, Justus M van der Kroef memiliki penjelasan yang menarik. Fenomena meremehkan –atau bahkan ‘kurang ajar’ terhadap— Pancasila disebabkan oleh kondisi Pancasila yang kini bisa ditafsirkan oleh siapapun. Seperti diketahui, pemaknaan dan tafsiran terkait Pancasila sebelumnya dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah; hanya pemerintah saja yang boleh menafsirkan Pancasila. Kini, ketika kran kebebasan telah terbuka, banyak 7 8 9 Lihat: Al Khanif, “Pancasila dan Agama: Teman atau Lawan?”, dalam, al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas: Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 172. Septian Prasetyo, dkk, 2015, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Ideologisasi Islam di Indonesia Tahun 1949-1959”, dalam. Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan, vol. 3, No. 3, hlm. 203. Untuk uraian lebih lengkap tentang ini lihat: Ulla Fionna, 2015, ISEAS Perspective: Watching the Indonesia Elections 2014, Institute of Southeast Asian Studies, 2015. [ 133 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi orang yang tiba-tiba merasa berhak untuk menafsirkan Pancasila. Akibatnya, perdebatan terkait makna Pancasila yang ‘sesungguhnya’ kerap menjadi arena perselisihan di kalangan intelektual dan menjadi pembenaran di kalangan demagog.10 Dalam konteks ini, Pancasila tidak pernah benar-benar dipahami dan diperlakukan secara layak. Ia hanya digunakan sebagai pembenaran untuk berbagai macam kepentingan. Bahkan, meminjam istilah Eka Darmaputra, Pancasila saat ini lebih sering diperlakukan laiknya “Periuk Kosong” yang hanya berbentuk namun tidak berisi. Menurutnya, upaya memahami Pancasila tidak bisa dilepas dari konteks sejarah dan pengaruh kehidupan sosial yang membidani kelahirannya.11 Karenanya, Pancasila tidak bisa secara tiba-tiba diubah maknanya, apalagi direndahkan sedemikian rupa dengan misalnya, menuduhnya sebagai biang keladi untuk menumpuknya berbagai persoalan yang timbul di negeri ini. Namun begitu, hal ini tidak lantas bermakna bahwa Pancasila tidak boleh dimaknai oleh masyatakat, seperti dijelaskan oleh Ahmad Taufik, penafsiran dari berbagai perspektif boleh dilakukan selama pemahaman tersebut bersifat konstruktif untuk kemajuan bangsa Indonesia.12 Memahami (atau lebih tepatnya memaksakan pemahaman bahwa) Pancasila sebagai sumber masalah lantaran dianggap bertentangan dengan agama jelas tidak termasuk dalam perspektif yang bersifat konstruktif untuk kemajuan bangsa sebagaimana dimaksud oleh Ahmad Taufik di atas. Namun begitu, pelecehan dan penyalahgunaan Pancasila seharusnya disikapi secara serius oleh pemerintah. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada lagi suara-suara marah yang penuh sesak dengan ilusi khilafah. Terutama dengan berkaca kepada fakta yang secara gamblang menunjukkan betapa kelompok-kelompok konsevatif begitu memaksakan untuk merawat dan memimpikan berdirinya negara agama di Indonesia. 10 Bonifasius Hendar, dkk, 2014, Berjiwa Integratif, UMN Press, hlm. 21 Gumilar Rusliwa Soemantri, 1988, Pancasila and The Search for Identity and Modernity in Indonesian Society, E.J. Brill, Leiden, hlm. 20. 12 Ahmad Taufik, dkk, 2015. Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas, Globalisasi dan Diskursus NEGARA-Bangsa, Yogyakarta: Ombak, hlm. 104. 11 [ 134 ] Khoirul Anam Kelompok ini melakukan berbagai cara untuk memastikan bahwa impian negara Islam tidak terkubur begitu saja. Setelah kalah dalam perjuangan menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara di masa-masa awal kemerdekaan,13 kelompok Islam konservatif nyatanya tidak lantas bubar dan mati. Mereka justru berhibernasi. Hal ini tampak dari apa yang mereka lakukan selama era orde lama. Kelompok konservatif menggunakan jalur politik untuk memperjuangkan aspirasinya menerapkan hukum-hukum agama dalam hukum negara. Bahkan pada saat itu, angin segar sempat berhembus ke kelompok Islamis dari jalur politik. Hal ini ditunjukkan dengan ramainya parta berbasis Islam yang turut ambil bagian dalam pemilu pertama pada 1955. Terdapat setidaknya 6 partai Islam yang ikut dalam pemilu saat itu, yakni; Masyumi, NU, PSII, Perti, Aksi Kemenangan Umat Islam dan Partai Politik Tharikat Islam.14 Perolehan suara partai berbasis agama pun cukup signifikan. Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) misalnya, mendapatkan sekitar 20% suara. Harap diingat, Masyumi adalah kelompok utama yang memperjuangkan pendirian negara Islam. Sementara itu, Partai Nahdlatul Ulama yang pada saat itu juga turut memperjuangkan konsep negara Islam15 memperoleh suara yang tidak kalah mentereng. Partai baru ini mampu menarik hingga 7 juta pemilih atau 18,4%.16 Tidak cukup dengan jalur politik, para pentolan kelompok konservatif Islam bahkan melancarkan gerakan militer untuk menumbangkan Pancasila dan menggantinya dengan syariah Islam. Sebut saja Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Daud Bereuh di Aceh dan Kahar 13 Penghapusan ‘tujuh kata sakti’ dari sila pertama Pancasila dipandang sebagian kecil umat Islam sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia. lihat: Suratno, supra note, 1, hlm. 434. 14 Reslawati, 2010, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta” Jurnal Multikultural & Multireligius Harmoni, IX (34) April-Juni 2010, hlm. 123. 15 Banyak pihak memandang sikap NU yang turut memperjuangkan konsep NEGARA Islam ini sebagai akibat dari pengaruh pemikiran Masyumi. NU sendiri baru keluar dari Masyumi tiga tahun sebelum pemilu pertama berlangsung (1952). Lebih lengkap tentang ini, lihat: Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah KeNEGARAan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituente. Jakarata: LP3ES, hlm. 123. 16 Moh Amirul Mukminin, 2015, “Hubungan Nu dan Masyumi (1945-1960) Konflik dan Keluarnya NU Dari Masyumi”, dalam, AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, (3), hlm. 492. [ 135 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Muzakar di Sulawesi Selatan. Bertahun-tahun kemudian, bara perjuangan pendirian negara Islam tetap menyala kuat di sebagian warga Indonesia meski para penggagasnya telah tiada. Bahkan ada banyak kelompokkelompok kecil yang di kemudian hari terlibat dalam banyak aksi teror seperti Jamaah Islamiah dan JAT di mana inspirasi pendirian dan gerakannya adalah untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Era orde baru menjadi malapetaka besar bagi kelompok Islam konservatif. Tangan besi Soeharto berhasil menenggelamkan suara-suara bising kelompok ini. Senjata utama yang digunakan Soeharto adalah nasionalisme total di mana Pancasila menjadi simbol utamanya. Dalam pandangan Soeharto, siapapun yang tidak tunduk kepada Pancasila akan otomatis dicap menjadi orang yang anti budaya dan anti terhadap Indonesia. Karenanya, orang-orang yang ‘tidak nasionalis’ ini dilarang ada.17 Pancasila tampaknya memang lebih banyak berfungsi laiknya palu gada yang digunakan untuk memukul mundur kelompok-kelompok yang dianggap tidak sehaluan dengan arah gerak bangsa. Seperti dijelaskan oleh Al Khanif bahwa “Pancasila digunakan oleh rezim Soeharto sebagai ideologi untuk memberangus lawan-lawan politiknya. Karenanya, bukan hanya kelompok pendukung konsep negara Islam yang diberangus melainkan pula komunisme.”18 Kondisi ini bahkan diteruskan –dengan pendekatan yang lebih keras— di era orde baru. Di bawah pimpinan presiden Soeharto, masyarakat dituntut untuk memberikan kepatuhan mutlak (monoloyalitas) terhadap pemerintah. Melalui berbagai kebijakan dan propagandanya, pemerintahan Soeharto merasa perlu untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara agar menjadi lebih baik. Caranya adalah dengan melakukan pemurnian terhadap pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Cara ini, seperti dijelaskan oleh Dwi Wahyono Hadi dan Gayung Kasuma, tidak lebih dari propaganda pemerintah untuk melakukan sentralisasi kontrol yang sangat kuat dan dominan.19 17 Chua Beng Huat, 1993. “Looking for democratization in Post-Soeharto Indonesia”, dalam Contemporary South East Asia, 15, 2, hlm. 152. 18 Al Khanif, supra note 6, hlm. 180. 19 Lihat: Dwi Wahyono Hadi & Gayung Kasuma, tt, “Propaganda Orde Baru 1966-1980”, journal.unair.ac.id, hlm. 39-40. [ 136 ] Khoirul Anam Pada masa-masa ini, kelompok-kolompok Islam konserfatif tentu tidak bisa bergerak bebas, meski mereka juga tidak mati atau bubar sepenuhnya. Para perawat ilusi negara khilafah ini berhibernasi; tidak melakukan kegiatan massa, namun tetap ada dan bergerilia, sehingga ide-ide pendirian negara agama tetap terjaga. Bahkan orang-orang sekelas Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar sampai harus kabur ke Malaysia demi menjaga semangat mendirikan negara Islam di Indonesia. Hingga akhirnya eksistensi kelompok konservatif mulai bermunculkan ketika era reformasi membuka kran kebebasan. Para simpatisan dan aktifis Muslim yang sebelumnya dipenjara bersatu dengan kebencian yang semakin menjadi-jadi pada pemerintah yang mereka anggap murtad karena menolak memberlakukan syariat Islam. Mereka pun semakin mantab untuk menggulingkan sistem pemerintahan yang sah dan menggantinya dengan syariat Islam.20 Obral Ilusi di Era Reformasi Kelompok konservatif utamanya garis keras bahkan telah siap untuk melakukan apa saja termasuk tindak-tindak kekerasan. Secara khusus tentang ini, direktur pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menulis dalam Country Report-nya., “They reunited with stronger hate to government and state, they renamed the day as a day of revenge, where they would do anything, including extreme acts, only to make a difference.” 21. dan benar saja, serangkaian aksi teror yang mengatasnamakan kepentingan agama banyak terjadi di masa-masa ini mulai dari peristiwa Bom Natal 2000, Bom Bali 2002, Bom Bali 2005 dan Bom JW Marriott 2003.22 Salah satu kelompok yang paling menyita perhatian adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), meski kelompok ini mengaku menolak segala bentuk 20 Khoirul Anam, 2016, “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan Penanggulangannya,” dalam. al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas: Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan IsuIsu Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 425. 21 Brigjen. Pol. Hamidin, 2015, “Toward a New Approach of Dealing with Counter-Terrorism: A Study and Shared Experience from Indonesia,” dalam NCTA Country Report. (Agustus). Hlm. 3. (Naskah tidak diterbitkan, internal BNPT). 22 Untuk informasi lebih lengkap terkait peristiwa-peristiwa tersebut, lihat: Setya Eko Sumargo, 2009, Noordin M. Top & co.: The Untold Stories, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 202-210. [ 137 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi kekerasan, namun ide dasar dan cita-cita besar mereka tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia jelas sangat berbahaya. Kelompok HTI, yang masuk ke Indonesia sejak 1980 dengan tokoh utamanya bernama Abd. Rahman al Baghdadi, memang tidak pernah melakukan aksi-aksi kekerasan secara langsung. Kegiatan mereka lebih banyak difokuskan pada demonstrasi, menyelenggarakan seminar dan diskusi publik, publikasi melalui media, serta melakukan kunjungan ke ormas-ormas Islam dan para pemangku jabatan (kekuasaan).23 Suara kelompok ini semakin nyaring lantaran tumbangnya rezim Orde Baru dibarengi dengan pecahnya krisis multi dimensi, baik dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, sentimen SARA, dsb. Hal ini jelas menjadi bahan bakar yang sangat baik bagi kelompok Islam konsevatif untuk meyakinkan masyarakat bahwa Pancasila telah gagal membawa kesejahteraan bagi bangsa, karenanya mereka harus pindah ke sistem baru; khilafah. Bagi HTI, ketiadaan khilafah akan berimplikasi pada tiga masalah utama yang harus dihadapi umat Islam, yakni: pertama, kehilangan kepemimpinan umum di tengah-tengah umat Islam, sehingga umat mudah terpecah belah, kedua. Umat juga dipandang akan sulit menjalankan penegakan hukum agama secara menyeluruh (kaffah) karena tidak adanya institusi legal sebagai eksekutornya (khilafah), dan ketiga. Tanpa khilafah umat Islam akan lalai untuk menjalankan perintah utamanya, yakni berdakwah ke seluruh dunia.24 Bagi HTI dan kelompok-kelompok sejenisnya, khilafah adalah jawaban untuk segala persoalan. Kelompok seperti HTI ini mengerti benar bahwa menumbangkan Pancasila bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan strategi yang tepat agar ideologi dasar tersebut tidak lagi dipandang keramat. Karenanya mereka melakukan strategi jitu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yakni melalui jalur pendidikan. Mereka sepertinya telah mempelejari dengan baik kegagalan para pendahulunya yang kandas menggulingkan Pancasila lewat jalur politik dan militer, karenanya mereka memilih fokus untuk menggerogoti sisi pendidikan. 23 Penjelasan lebih lanjut tentang ideology dan gerakan HTI lihat: Mohammad Rafiuddin, 2015, “Mengenal Hisbut Tahrir: Studi Analisi Ideologi Hizbut Tahrir vis a vis NU,”. Islamuna volume 2, nomor 1, Juni, hlm. 29-54. 24 Media Umat, Tragedi 3 Maret 1924 (6-19 Maret 2015), 3. [ 138 ] Khoirul Anam Hal ini dilakukan dengan bergerilya di kampus-kampus, mendirikan organisasi kemahasiswaan, dan mulai mendoktrin mahasiswa (utamanya mahasiswa baru) dengan ide-ide khilafah sambil tidak lupa men-thagutkan sistem demokrasi dan Pancasila. Suratno bahkan menyebut anggota kelompok macam HTI sangat sabar membangun agenda politik melalui kampanye dan penggalangan massa di kampus-kampus dan masjid-masjid. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam, pendirian negara Islam dianggapnya sebagai sebuah keniscayaan.25 Jika ditilik lebih dalam, kelompok sejenis HTI ini memiliki sikap yang ambigu. Mereka mengaku anti kekerasan namun di waktu yang bersamaan mereka mengelu-elukan Khilafah yang merongrong persatuan bangsa ini. Menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama namun keukeuh mendukung khilafah sama halnya dengan menolak kenaikan harga-harga barang namun tetap berbelanja gila-gilaan. Sejarah mencatat bahwa justru khilafah menyimpan seabrek catatan kekerasan yang melibatkan berbagai adegan pembantaian. Lihat saja proses alih kuasa yang terjadi pada khalifah Salim I, Sultan Bayezid II, Khalifah Sulaiman I, Khalifah Sulaiman II, hingga Sultan Muhammad Al-Fatih yang hampir kesemuanya menduduki posisi khalifah dengan tangan berlumuran darah.26 Di luar kelompok-kelompok di atas, temuan Suratno menunjukkan bahwa ada pula kelompok-kelompok lain –yang meskipun nyaris tidak pernah terlihat di permukaan—yang sangat berbahaya. Kelompok ini bergerak secara sembunyi-sembunyi namun sangat intens. Kelompok ini juga tidak pernah mengeluarkan suara lantang untuk menggulingkan Pancasila, meskipun itu adalah tujuan utamanya. Hal pertama yang mereka targetkan adalah menjadi mayoritas. Untuk sampai pada tujuan ini, mereka bersedia untuk ‘pura-pura’ ikut sistem demokrasi, yakni dengan membentuk partai politik, melakukan penggalangan massa melalui pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuan (liqo’). Bagi kelompok ini, mereka akan terus menyembunyikan cita-cita dan rupa asli kelompoknya hingga hasrat menjadi mayoritas tercapai. Dibandingkan dengan kelompok lain, 25 26 Suratno, supra note 1, hlm. 430. Khoirul Anam, 2015, Khilafah Tidak Sebanding Dengan Demokrasi Pancasila, http:// jalandamai.org/ khilafah-tidak-sebanding-dengan-demokrasi-pancasila.html [ 139 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi kelompok ini lebih realistis; pendirian negara Islam hanya bisa dilakukan jika mereka telah menjadi mayoritas. Umat IIslam slam Anak E mas P ancasila? Emas Pancasila? Pertanyaan mendasar yang perlu untuk selalu diulang adalah jika benar Pancasila harus diubah lantaran dianggap bertentangan dengan agama, maka poin mana yang menunjukkan hal itu? Meski tidak mengusung merek agama tertentu, Pancasila secara nyata mewadahi kepentingan Islam. Tentang ini, bahkan muncul kritik yang menyatakan bahwa Pancasila yang sekarang –utamanya sila pertama—terlalu mengistimewakan Islam. Sila yang berbunyi “ketuhanan yang maha esa” dianggap terlalu memihak kepada Islam, karena nyatanya hanya agama ini saja yang rajin melakukan klaim sebagai agama yang memiliki tuhan tunggal, tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Kritik ini meminta agar sila pertama pada Pancasila dikembalikan ke bentuk sebelumnya, di mana frase “Ketuhanan yang Maha Esa” dihapus dan dikembalikan ke frase versi sebelumnya, “Ketuhanan yang Berkebudayaan”. Frase ini berarti bahwa nilai-nilai ketuhana yang dipegang oleh masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral, yakni penghargaan terhadap tuhan masing-masing yang dianggap benar dan sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap individu.27 Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang sangat menyetujui penghapusan tujuh kata ‘Islami’ pada sila pertama Pancasila juga menyatakan bahwa ‘atribut’ “yang Maha Esa” setelah kata “ketuhanan” pada sila pertama bukanlah semata fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran tauhid.28 Diksi di atas tentu ‘mengenakkan’ umat Islam, namun menyiksa umat agama lain, seperti hindu, Buddha, dan terutama sekali, agama-agama minoritas yang tidak kunjung diakui keberadaannya hingga saat ini. Temuan Atkinson bahkan menunjukkan bahwa keputusan negeri ini untuk hanya bertuhan pada yang “Esa” sempat membuat Hindu dan 27 Lebih jauh tentang kritik ini, lihat: Robbi Irfan Maqoma, Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi, tempo-institute.org, diakses pada Februari, 2017. 28 Ahmad Syafii Maarif, 2006. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar NEGARA: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, hlm. 111 [ 140 ] Khoirul Anam Buddha mengalami nasib getir; tidak diakui sebagai agama lantaran tidak memiliki konsep ketuhanan yang sama seperti agama-agama monotheis29. Umat agama Hindu dan Buddha lantas ‘mengalah’ dan memilih untuk melakukan modifikasi dan penyesuaian agar konsep ketuhanan mereka mirip dengan agama-agama monotheis. Umat Hindu lantas menetapkan “Sang Hyang Widi” –yang tidak terlalu sentral sebelumnya— sebagai perwujudan untuk tuhan yang maha Esa. Hal yang sama juga dilakukan umat Buddha, mereka mengangkat “Adi Buddha” sebagai tuhan yang maha Esa. Nama Adi Buddha sendiri diambil dari sebuah teks kuno berbahasa Jawa.30 Agama Hindu pun baru diakui dan akhirnya mendapat tempat di departemen agama 13 tahun setelah Indonesia menyatakan merdeka, yakni pada tahun 1958. Umat Hindu berjuang untuk mendapatkan pengakuan ini sejak 1952.31 Sungguh ironis. Protes terhadap frase “yang maha esa” juga pernah dilakukan oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Alih-alih menterjemahkan frase “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan “belief in a singular God” seperti yang dilakukan oleh Robert W. Hefner32, Gus Dur memilih menggunakan frase berikut, “belief in the Almighty God”33 yang berarti “kepercayaan kepada tuhan yang maha kuasa”. Beberapa kritik terhadap kecenderungan Pancasila yang menganakemaskan umat Islam seperti ditunjukkan di atas seharusnya sudah cukup untuk menghentikan ilusi kelompok Islam konservatif tentang penggulingan Pancasila, toh nyatanya Pancasila tidak pernah menyulitkan umat Islam di Indonesia. Jika data ini belum cukup, maka cobalah membaca rasionalisasi ala Nurcholis Madjid yang menyebut bahwa fungsi Pancasila dan UUD 1945 29 Lihat: Jane Monnig Atkinson,1987, “Religions in dialogue: the construction of an Indonesian minority religion.” dalam Indonesian religions in transition, (ed). Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, 171-86. Tucson: Arizona State University, hlm, 177. dan Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos. 2011, Mengatur kehidupan beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, hlm. 12 30 Julia Howell, 2005, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia: Changing Meanings of Religious Pluralism”. Dalam Social Compass. 52.4, hlm. 478 31 Michel Picard and Rémy Madinier, 2011, The politics of religion in Indonesia: syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali. Abingdon, Oxon: Routledge, hlm. 13-14 32 Robert W. Hefner, 2000, Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press, hlm. 24. 33 Abdurrahman Wahid. “Indonesia’s Mild Secularism”. Dalam, SAIS Review. 21.2 (2001): 25-28., 1 [ 141 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bagi umat Islam –sekalipun tidak dapat disamakan—dapat dianalogikan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah (mitsaq al- madinah) pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Perjanjian ini sendiri dibuat oleh Nabi SAW segera setelah ia tiba di Yastrib (sekarang Madinah) pada 622. Perjanjian tersebut berlaku untuk orang-orang Muhajirin (sebutan untuk orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi.34 Perjanjian ini pun kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Poin penting dari Pancasila adalah Bhinekka Tunggal Ika, yakni kesepakatan untuk bersatu di tengah berbagai perbedaan yang ada. Masyarakat Indonesia yang plural baik dalam hal agama, ras, suku, dan golongan, bersepakat untuk mengutamakan persatuan di atas seluruh perbedaan tersebut. Demikian pula dengan Piagam Madinah yang berisi rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok nonMuslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama. Piagam Madinah juga memuat poin tentang hak kewarganegaraan dan dan partisipiasi kaum non-Muslim yang dipimpin oleh Nabi SAW. Melalui piagam ini pula, nabi mengangkat derajat orang-orang Yahudi yang sebelumnya terpecah dalam suku-suku menjadi warga negara yang sah. Melalui piagam itu, seperti dijelaskan oleh Cak Nur, Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun nonMuslim, adalah satu bangsa atau umma wahida, dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama.35 Sebagaimana halnya umat Islam Indonesia yang menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam bernegara, umat muslim di era Nabi juga menerima Piagam Madinah atas pertimbangan nilai-nilai yang dibenarkan pula dalam Islam. Terutama karena fungsinya yang memuat kesepakatan antar golongan untuk membangun tatanan kehidupan sosialpolitik bersama. 34 Lihat Nurcholish Madjid, 2003, Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia 35 Suratno, 2006, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam Neo-Modernisme Nurcholish Madjid”, dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol 4 (3), (Agustus), hlm. 332 [ 142 ] Khoirul Anam Dalam konteks ini, Cak Nur sepertinya ingin mengatakan bahwa Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, melainkan justru seturut dengan kehendak Islam. Karenanya upaya untuk menggulingkan Pancasila dengan alasan berlawanan dengan agama tidak memiliki dasar yang kuat, bahkan terlalu mengada-ada. Atau bisa jadi, upaya pendirian negara agama justru tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama, ini hanya murni urusan politik praktis untuk merebut kekuasaan, bukan ridho tuhan. Jikapun dipaksakan meyakini bahwa pendirian khilafah merupakan bagian dari pelaksanaan perintah tuhan, maka tetap saja sikap ini tidak masuk dalam kategori merayakan iman. Seperti dijelaskan oleh Heru Prakosa, perayaan iman setidaknya harus dilakukan berdasarkan tiga tantangan berikut, pertama; memelihara dan menjaga agar iman tetap aktual dengan zaman kini beserta latar belakang sosial dan kulturalnya yang khas. Kedua, mewujudkan iman dan praksis-praksis sosial, dan ketiga, mengaitkan iman dengan konteks cultural dalam semangat bela rasa atau solidaritas yang dibarengi panggilan membangun tanggung jawab bersama.36 Penutup Menghidupkan kembali ilusi khilafah sama halnya dengan mengubur hidup-hidup seluruh capaian positif yang telah ditorehkan bangsa ini, karena alih-alih berorientasi pada kemajuan dan perbaikan, khilafah justru berpotensi menyeret bangsa ini kembali ke abad pertengahan. Dan meskipun kerap diklaim sebagai hal yang agamis, pendirian khilafah nyatanya tidak lebih dari upaya politis praktis yang hanya akan sibuk pada perebutan kekuasaan. Fakta juga menunjukkan bahwa Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama, karenanya desakan untuk menggulingkan Pancasila kehilangan konteksnya. Meski begitu, penguatan terhadap pemahaman dan implementasi nilainilai Pancasila perlu terus dilakukan, terlebih dengan kondisi terkini di mana ancaman bahaya radikalisme dan terorisme yang telah berada di depan mata. Pancasila harus dapat digunakan untuk menjaga Indonesia. 36 Heru Prakosa, 2015, “Agama dan Kearifan Lokal: Menuju Keterbukaan dan Penghargaan,” dalam. Basis, No. 09-10, tahun ke-64, hlm. 24. [ 143 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Hal ini bisa dilakukan dengan pertama-tama menegaskan sikap untuk tidak toleran terhadap segala bentuk intoleransi, karena toleran terhadap intoleransi adalah intoleran. Masyarakat harus proaktif menguatkan ikatan sosial; jika ada kelompok pengusung ide intoleransi (kelompok radikal), masyarakat harus aktif untuk melapor ke pihak yang berwajib. Tidak hanya dengan sikap tegas, Pancasila pun harus terus dihidupi melalui sikap cerdas, salah satunya dalam hal mengolah informasi; saring dulu sebelum sharing. Indonesia sudah menjadi bangsa yang besar lantaran demokrasi yang mengakomodir berbagai perbedaan, sementara khilafah penuh dengan lumuran darah. Lihat saja proses alih kuasa yang terjadi pada khalifah Salim I, Sultan Bayezid II, Khalifah Sulaiman I, Khalifah Sulaiman II, hingga Sultan Muhammad Al-Fatih yang hampir kesemuanya merebut kekuasaan dengan kekerasan. Karenanya jangan sampai salah pilih, Indonesia tidak butuh khilafah. Referensi: Buku Abdurrahman Wahid, 2001, “Indonesia’s Mild Secularism”. Dalam SAIS Review. 21.2 Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituente. Jakarata: LP3ES, hlm, 123. Ahmad Syafii Maarif, 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. Ahmad Taufik, dkk, 2015. Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas, Globalisasi dan Diskursus Negara-Bangsa, Yogyakarta: Ombak. Al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas: Percik Pemikiran tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm, 172. Bonifasius Hendar, dkk, 2014, Berjiwa Integratif, UMN Press. Gumilar Rusliwa Soemantri, 1988, Pancasila and The Search for Identity and Modernity in Indonesian Society, E.J. Brill, Leiden. Heru Prakosa, 2015, “Agama dan Kearifan Lokal: Menuju Keterbukaan dan Penghargaan,” Basis, (09-10) hlm. 24. [ 144 ] Khoirul Anam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos. 2011, Mengatur Kehidupan Beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Michel Picard and Rémy Madinier, 2011, The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. Abingdon, Oxon: Routledge. Rita Smith Kipp and Susan Rodgers (ed.), 1987, Indonesian Religions in Transition, Tucson: Arizona State University. Robert W. Hefner, 2000, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press. Setya Eko Sumargo, 2009, Noordin M. Top & co.: The Untold Stories, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jurnal: Chua Beng Huat, 1993. “Looking for democratization in Post-Soeharto Indonesia”, Contemporary South East Asia, 15, 2. Julia Howell, 2005, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia: Changing Meanings of Religious Pluralism”, Social Compass. 52, 4. Kusnisar, 2012, “Pancasila Sumber Dari Segala Hukum di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 11, 3. Moh Amirul Mukminin, 2015, “Hubungan Nu dan Masyumi (19451960) Konflik dan Keluarnya NU Dari Masyumi”, AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 3, 3. Reslawati, 2010, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta” Jurnal Multikultural & Multireligius Harmoni , IX, 34, April-Juni 2010. Septian Prasetyo, dkk, 2015, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Ideologisasi Islam di Indonesia Tahun 1949-1959”, Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan, 3, 3. Suratno, 2006, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam NeoModernisme Nurcholish Madjid”, Jurnal Universitas Paramadina, 4, 3, (Agustus). [ 145 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Suratno, 2008, “Rekonfirmasi Posisi Pancasila vis-a-vis Islam”, Melintas, 24-3-2008. Ulla Fionna, 2015, ISEAS Perspective: Watching the Indonesia Elections 2014, Institute of Southeast Asian Studies, 2015. Website: Khoirul Anam, 2015, Khilafah Tidak Sebanding dengan Demokrasi Pancasila, www.jalandamai.org Nurainun Mangunsong, 2006, “Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian NEGARA”, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat www.kedaulatanrakyat.com Robbi irfan Maqoma, Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi, tempo-institute.org, diakses pada Februari, 2017. Dokumen: Brigjen. Pol. Hamidin, 2015, “Toward a New Approach of Dealing with Counter-Terrorism: A Study and Shared Experience from Indonesia,” dalam NCTA Country Report. (Agustus), hlm. 3. (Naskah tidak diterbitkan, internal BNPT). Putusan P engadilan: Pengadilan: Putusan MK no. 140/PUU-VII/2009. [ 146 ] PANC A SIL A: REFLEKSI SAD AR IDEOLOGI PANCA SILA: SADAR SEBA GAI ANTIVIRUS RADIK ALISME SEBAGAI ANTI-VIRUS Fiska Maulidian Nugroho Pendahuluan P ancasila sebagai dasar filsafat negara (filosofische grandslag), ideologi negara dan pandangan hidup (way of life) yang merupakan sumber nilai, inspirasi serta dasar interpretasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, wajib diaktualisasikan ke dalam proses dan seluruh produk per-undang-undangan serta berbagai kebijakan penyelenggaraan negara.1 Dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itu biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau citacita ideal bernegara. Dimana bangsa Indonesia rela dan bertanggung jawab untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta ikut dalam perdamaian internasional.2 Bangsa Indonesia menyatakan dirinya berideologi Pancasila agar menjadi suatu keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin diwujudkan dalam kenyataan hidup yang konkrit.3 Selain itu Pancasila dapat disebut sebagai ideologi 1 2 3 Prosiding Kongres Pancasila IV (PSP UGM, 2012) hlm. 9. Selanjutnya lihat Jimly Asshiddiqie, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” (2008) 1 1 hlm. 6. yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Cholisin, PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SAAT INI (Kulon Progo) hlm. 1 Soerjanto Poespowardojo.1991. Pancasila Sebagai Ideology Ditinjau Dari Segi PandanganHisup Bersama, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds. 1991. Pancasila SebagaiIdeologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa danBernegara, Jakarta: BP-7 Pusat. [ 147 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dalam arti netral, yaitu ideologi dengan sistem berpikir serta tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut dapat diketemukan wujudnya pada tataran ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.4 Selain dalam arti yang netral tersebut, ideologi bangsa Indonesia pada hakikatnya juga merupakan ideologi terbuka. Ideologi terbuka tersebut hanya hidup di negara yang bersistem demokratis. Terbuka dalam artian dirinya dapat membuka ruang kesepakatan untuk mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar. Adapun kesepakatan tersebut adalah tentang rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara dan juga mengenai bentuk institusi- institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi. Pancasila juga memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun Sosialisme-Komunis karena Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Namun, untuk saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami beban Ideologis, diantaranya permasalahan yang dihadapi bangsa ialah radikalisme berbasis agama yang sangat mungkin mengancam demokrasi dan negara kesatuan di masa kini dan mendatang.5 Radikalisme yang dimaksud disini adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Setiap orang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal (radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak. Sedangkan radikalisasi tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh dengan signifikan karena berkaitan dengan ketikadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan seterusnya.6 Radikalisme agama adalah istilah yang tendensinya terlihat ketika suatu tindakan-tindakan ekstrim dengan mengatasnamakan agama (Islam). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan dengan cara-cara anarkis, yaitu merusak, melakukan kekerasan, demonstrasi disertai perusakan kantor atau lembaga-lembaga, mengerahkan animo massa disertai simbol4 5 6 Asshiddiqie, supra note 2 hlm. 1. Lihat M. Fuad Nasar di Kementerian Agama RI, “Masa Depan Islam Moderat”, Maj Islam Kementeri Agama Islam RI (2015) hlm. 14. Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal” (2012) 20:1 hlm. 83. [ 148 ] Fiska Maulidian Nugroho simbol atau atribut keagamaan tertentu. Dan hampir seluruh orasinya ketika demonstrasi adalah bersubstansikan pengobaran kekerasan.7 Virus radikalisme sudah menjalar dan terkait kasus yang berhubungan dengan radikalisme, terorisme, sangat diperlukan tokoh-tokoh agama serta tokoh masyarakat. Salah satunya adalah dengan penguatan terhadap imandiri atas umat agama itu masing-masing.8 Karena selama ini di Indonesia telah berdiri Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan telah dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga profil tokoh agama di dalam Forum tersebut diharapkan mampu merumuskan perannya secara persuasif guna mencegah bahayanya terorime dan radikalisme. Nampaknya, radikalisme adalah salah satu dari instrumen ‘racun’ akibat adanya virus-virus radikal.9 Sangat tepat apabila radikalisme disebut pula sebagai suatu ‘virus’. Karena diluar konteks definitif 7 8 9 Ninin Prima Damayanti et al, “Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam” (2012) 3:1 J Kriminologi Indonesia, online: <http:// journal.ui.ac.id/jki/article/view/1119> hlm. 3 Lihat pula. Afif, Muhammad. “Akar-akar Gerakan Islam Radikal”, available hlm. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/24/0801.htm. Dalam tulisan ini Penulis mencoba merespon kalimat yang dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo Era Jokowi dalam acara Harmonisasi Kerukunan Umat Beragama di Hotel Sahid, Jakarta Selatan, 15 Desember 2016. Dirinya mencantumkan kalimat “virus radikalisme”. Sekilas latar belakang dalam tulisan ini adalah adanya virus radikal. Dan ketika ada virus maka harus timbul suatu upaya pencegahan maupun pemusnahan atau penanganan terhadap virus tersebut. Virus radikal perlu adanya pencegahan yakni vaksinasi. Sehingga upaya vaksinasi bertujuan agar virus radikalisme tidak terlalu jauh menggerogoti Bangsa Indonesia. Selain itu upaya vaksinasi tentu memerlukan sarana yang efektif untuk menyebarkan vaksin ke dalam jiwa dan ideologi masyarakat Indonesia. Sarana itu berupa injeksi atau kita kenal dengan menyuntikkan vaksin ke dalam jiwa (ideologi) manusia melalui beberapa jalan injeksi. Mendagri menggunakan Virus Radikal dalam pernyataanya, lihat di “Mendagri: Virus Radikalisme Sudah Menjalar”, online: <https:// news.detik.com/berita/3101206/mendagri-virus-radikalisme-sudah-menjalar>. Virus secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yakni venom yang berarti racun. Virus menjadi agen penyebab penyakit menular, maupun sesuatu hal yang dapat meracuni pikiran atau jiwa. Virus itu sendiri adalah organisme subsekuler yang karena ukurannya sangat kecil, hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektro. Ukurannya lebih kecil daripada bakteri sehingga virus tidak dapat disaring dengan penyaring bakteri. Virus terkecil berdiameter hanya 20 mm (lebih kecil daripada ribosom), sedangkan virus terbesar sekalipun sukar dilihat dengan miskropkop cahaya. Virus juga merupakan organisme yang sangat kecil yang tidak dapat hidup secara bebas jika dirinya tidak berada dalam sel inangnya. Lihat “Online Etymology Dictionary”, online: <http:// www.etymonline.com/ index.php?term=virus>. definisi atau pengertian virus itu sendiri pertama kali diketahui tahun 1955, dari bahasa Latin yaitu venom, virus tersebut berbeda-beda konteks pendefinisiannya, berupa medical definition of virus maupun definisi software “malware” pada komputer (perangkat lunak) “Virus | Definition of Virus by Merriam-Webster”, online: <http:// www.merriam-webster.com/ dictionary/virus>. Lihat pula Artem Cheprasov, “What Are Viruses? Definition, Structure & Function”, online: <http://study.com/academy/ lesson/ what-are-virusesdefinition-structure-function.html>. [ 149 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi organisme ‘virus’ tersebut, virus yang dimaksud di sini adalah virus yang dapat meracuni pikiran dan jiwa manusia itu sendiri. Radikal dalam paham dan ismenya, biasanya mereka akan menjadi radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force (kekuatan) masyarakat dan teror.10 Terlebih lagi dalam dekade terakhir, dunia telah menyaksikan kebangkitan yang luar biasa dari apa yang disebut dengan ekstremisme dan radikalisme.11 Teorisme menggunakan ancaman serta penggunaan kekuatan dengan tujuan membuat perubahan politik (Brian Jenkins, Rand Corporation).12 Begitu pula oleh Federation Bureau of Investigation (FBI) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekuatan yang melanggar hukum atau kekerasan terhadap orang-orang atau properti untuk mengintimidasi dan memaksa sebuah pemerintahan, populasi sipil, atau segmen lain-lainnya, dengan tujuan politik tertentu. 13 Tore Bjorge menjelaskan bahwa terorisme merupakan masalah yang kompleks. 14 Kompleksitas tersebut dapat dilihat dari upaya para ahli untuk menguraikan terorisme melalui berbagai macam definisi untuk mengidentifikasikannya. Terorisme juga dapat ditinjau dari bentuk tindakan, karakteristik maupun akar permasalahannya. Karena keberagaman definisi terorisme tersebut, maka tidak ada satu definisi tunggal yang dapat mewakili fenomena terorisme di seluruh dunia. Kompleksitas juga muncul karena faktanya label ‘terorisme’ digunakan untuk mengidentifikasi berbagai macam fenomena dengan lingkungan yang luas.15 Kejadian-kejadian terorisme yang pernah terjadi di Indonesia sejak Bom Bali I 2005 tidak hanya menyasar simbol-simbol Amerika melainkan sudah menyasar simbol-simbol yang dianggap bertentangan dengan nilai Islam. Semua ini dapat dikatakan oleh penulis bahwa seluruh kejadian tersebut 10 Rokhmad, supra note 6 hlm. 83. Paul Cliteur, “State and religion against the backdrop of religious radicalism” (2012) 10:1 Int J Const Law 127 hlm. 127. 12 Lihat Graeme R. Newman dan Ronald Y. Clarke Mangai Natarajan, “Kejahatan dan Pengadilan Internasional” in Mangai Natarajan, ed, Int Crime Justice, i ed (New York: Cambridge University Press, 2015) 1 hlm. 292. 13 Ibid. 14 Ni Putu Elvina Suryani, Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia (Mata Kuliah Terorisme di Indonesia) (2012) hlm. 2 Lihat di Tore Bjorge (ed), Root Causes of Terorism: Myths, Reality, and Ways Rorward (London and New York, Routledge, 2005), hlm 1. 15 Ibid. 11 [ 150 ] Fiska Maulidian Nugroho merupakan bagian dari fenomena radikalisme di Indonesia. Dari kejadian dan fakta-fakta tersebut diatas, dapat diasumsikan bahwa memang ada orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi teroris, menggembleng para calon teroris, mengajarkan ilmu teror, dan meyakinkan orang-orang untuk mengikuti pemahaman (Islam) ala teroris. Selain itu, ketika membahas tentang radikalisme dan terorisme. Ternyata keduanya bukan murni ciptaan Barat. Melainkan memang fakta nyata ada yang meyakini, memeluk, dan mengembangkannya dari kalangan umat Islam sendiri.16 Selama ini radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara pengungkapan keberagaman seseorang. Sedangkan terorisme secara jelas mencakup tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik. Radikalisme lebih terkait dengan problem intern keagamaan, sedangkan terorisme adalah fenomena global yang memerlukan tindakan global juga. Namun radikalisme kadangkala bisa berubah menjadi terorisme, meskipun tidak semuanya dan selamanya begitu.17 Dari uraian singkat diatas, nantinya akan diuraikan melalui konteks pencegahan dan pemberantasan radikalisme. Penulis sengaja meminjam istilah “Islam moderat” sebagai pengantar analisisnya. Istilah tersebut penulis pinjam bukan untuk mengenyampingkan unsur kepercayaan dan agama yang selama ini tertuang dalam ke-Bhinekaan Indonesia. Dimana pembahasan ini nantinya berusaha menyempitkan bingkai tulisan antara Islam yang moderat denga Islam yang radikal. Konsekuensi Globalisasi Mau tidak mau konsekuensi globalisasi mempengaruhi atmosfir budaya akan sadar Pancasila. Terutama kaum-kaum ekstrimis yang menginginkan sebuah gerakan revolusi (Islam) yang disinyalir selama ini memang bertujuan untuk mendirikan Negara sendiri di atas Negara Kesatuan Republik Indonesia?. Patut diduga, sebaran pendidikan untuk memahamkan guna mengamalkan ideologi Pancasila masih belum 16 Ahmad Fuad Fanani, “Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda” (2013) 8: Menghalau Radikalisme Kaum Muda: Gagasan dan Aksi MAARIF Inst Cult Humanity 1 hlm. 4. 17 Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa radikalisme memang tidak persis sama dan tidak bisa disamakan dengan terorisme. Ibid. [ 151 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi teroptimalisasikan dengan baik. Maka sudah waktunya bagi masyarakat Indonesia bersatu padu meredam, menyadarkan, bahkan bila perlu wajiblah membumi hanguskan kelompok-kelompok radikal yang mungkin tidak bisa disadarkan. Kita dapat melihat kaum jihad yang bersikeras menghilangkan pengaruh Barat terutama Amerika Serikat. Teror atau jihad qital (jihad dalam pengertian membunuh) menjadi simbol dan metode perlawanan dalam memperjuangkan Islam yang Kaffah (totalistik). Bertujuan untuk menegakkan Syariah Islam sebagai hukum Negara dan Islam sebagai dasar Negara. Sehingga cita-citanya adalah membangun Negara Islam dan Khalifah Islamiyah. Kaum jihad juga terus melakukan tekanan-tekanan sosial politik yang tidak jarang dengan cara stabilitas politik dan keamanan. Bentuk-bentuk teror mereka arahkan sebagai hantaman bagi kekuatan demokrasi, menolak sikap-sikap liberal dalam bidang moralitas, gaya hidup, serta dana politik.18 Jangan sampai suatu arus globalisasi maupun gelombang reformasi mengakibatkan beberapa benturan-benturan di masyarakat. Sebagaimana yang telah dicontohkan selama ini, berupa keninabobo’an kaum-kaum pancasilais. Yakni, berleha-leha diatas proses demokratisasi. Entah itu sengaja atau memang merasakan ketaiadaan hambatan dalam proses demokrasi. Ketika kita merasa acuh tak acuh maka yakinlah suatu saat peta pertarungan ideologi dunia hanya akan sedikit yang dapat kita ikuti. Lihat, ekslusifitas suatu kelompok massa yang memiliki kekuatan massa dan mereka membentuk kelompok-kelompok Islam yang militan atau ekstrim. Keekstriman tersebut memolitisir “Islam” sebagai ideologi-nya. Sehingga, memungkinkan kaum jihadi tersebut melakukan interaksi dan jaringan dengan kelompok-kelompok masyarakat Islam Timur Tengah yang memiliki kesamaan dalam misi dan garis perjuangannya. Terutama, sebelum adanya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yaitu kelompok Al Qaeda yang pernah dipimpin oleh Osama bin Laden.19 Kelompok-kelompok radikal Islam tertedeksi secara aktif melakukan perekrutan dan secara terbuka menerima anggota baru. Bahkan, semakin terlihat transparan dalam gerakan dan gerilyanya. Seperti ungkapan Aman 18 As’ad Said Ali, “Pancasila di Tengah Pertarungan Ideologi Dunia” (2014) 1 Cendekia Waskita 1 hlm. 3. 19 Ali, supra note 18. [ 152 ] Fiska Maulidian Nugroho Abdurrahman dan Abu Bakar Baasyir secara terbuka menyatakan dukungan terhadap kekhalifahan ISIS di balik jeruji penjaranya. Diperkirakan karena dukungan kedua tokoh ini akan mengakibatkan sebuah dorongan kepada pengikut-pengikutnya yang sukarela melakukan hal yaitu mengakui kekhalifahan yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi.20 Dari situasi sedemikian rupa ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan paham radikalisme di Indonesia di awali dari sempitnya pemahaman dari sekelompok umat beragama. Aksi-aksi terorisme ditegarai timbul karena hegemoni dunia barat terhadap dunia ketiga, khususnya negara-negara Islam yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam konteks perang ideologi di tingkat global.21 Terlihat secara nyata bahwa beberapa unsur syariat atas hukum nasional di Indonesia, ditolak secara mentah-mentah oleh para kaum jihadi ini. Suatu ketika, penolakan ini ditegaskan oleh Abu Bakar Ba’asyir pada suatu risalah yang dibuat di LP Nusakambangan. Dirinya menyatakan bahwa para pejabat pemerintah yang mengelola tidak berdasarkan Islam kaffah maka tauhidnya dinyatakan batal dan menjadi kafir.22 Gagasan yang mucul sedemikian ini bagi Ba’asyir dapat dimaknai, bahwa meskipun selama ini pemerintah di Indonesia melaksanakan sebagian hukum Islam, namun apabila pemerintah itu tidak menjadikan Qur’an dan sunnah (Hadits) sebagai satu-satunya sumber hukum maka dapat dikatakan kafir. Transisi mengerikan yang terjadi akhir-akhir bukan hanya kelompok radikal Al Qaeda saja. Namun, ada momok yang lebih dianggap menakutkan lagi, yaitu adanya tendensi ISIS yang lebih hebat dalam soal merkrut pengantin atau anggota baru. Konkretnya ketika, beredarnya video ISIS di Youtube oleh seseorang Warga Negara Indonesia bernama Abu Muhammad alIndonesia yang secara langsung mengajak dan memprovokasi umat muslim di Indonesia untuk menyertai jihad ISIS di Levant (Iraq dan Syria).23 Sehingga, perlu disadari bahwa, masyarakat Indonesia perlu di injeksi dan 20 Harry Budiman, “Fenomena ISIS dan Khilafah Islamiyah Nusantara” (2014) 1 Cendekia Waskita 83 hlm. 83. 21 Ibid hlm. 85. 22 Lihat Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkirah: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para Penguasa Negara Karunia Alloh Indonesia yang Berpenduduk Mayoritas Kaum Muslimin (Jakarta: JAT, 2013) hlm. 15. 23 Azyumardi Azra, “ISIS, Khilafah dan Indonesia: Respon Komprehensif” (2014) 1 Cendekia Waskita 97 hlm. 97. [ 153 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi di vaksinasi guna sebagai benteng dimana itu lebih diharapkan berfungsi efektif dan responsif serta dapat mecegah bahaya radikalisme yang berujung tindakan teror. Injeksi Ideologi Teroris berbeda dari penjahat karena teroris dimotivasi oleh ideologi mereka. Sementara, para penjahat dimotivasi oleh kerakusan atau perilaku manusiawi lainnya. Lihat dalam status ideologi yang mereka anut, yaitu ekstrimis Islam milisi kanan jauh melakukan serangan bom bunuh diri yang rutin di Palestina. Mereka tidak hanya menargetkan tempat-tempat ibadah, melainkan restoran dan tempat-tempat dimana banyak orang berkumpul. Ketika suatu tempat ibadah diserang, biasanya hal itu dilakukan karena alasan strategis atau taktis bukan sebagai latar ideologis. Dikemukakan oleh Graeme bahwa, justifikasi ideologi hanya sebagai penutup kekurangan senjata yang dimiliki pihak teroris. Sehingga, publisitas yang besar di dunia itulah dirinya semakin terlihat kekurangannya. Terutama masalah tentang perlengkapan senjatanya, untuk memperluas kekuasaan. Bagi mereka, justifikasi ideologi menjadikan dirinya membabi buta. Bahkan, justifikasi ideologi tersebut adalah sebagai kartu As untuk menganggap benar setiap serangan-serangan yang mereka lakukan.24 Sikap teroris seperti ini antara lain berupaya meminggirkan Undangundang yang berlaku. Dapat dikatakan, bahwa dengan sikapnya yang radikal, maka mereka dapat dipastikan terlalu menginginkan perubahan secara mendadak. Keinginan mereka untuk menginginkan perubahan situasi yang mendadak tersebut seringkali menyebabkan kelompok manusia dengan sikap ‘radikal’-nya lebih cenderung menciptakan pendirian mereka sendiri. Pendirian yang diciptakan itu kesemuanya hanya untuk melaksanakan suatu misi dan usaha. Yaitu menolak undang-undang. Terutama terhadap undang-undang yang telah di-iktiraf-kan dalam suatu negara.25 Pada tataran tertentu, kelompok-kelompok radikal bahkan secara terang-terangan menyatakan negeri ini masih menderita lantaran statusnya 24 Lihat Graeme R Newman & Ronald V Clarke, “Terorisme” in Mangai Natarajan, ed, Int Crime Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2011) hlm. 294. 25 Z U L Azmi Yaakob & Ahmad Sunawari Long, “Terorisme sebagai Cabaran Ideologi Muslim Masa Kini: Satu Analisis dari Perspektif Falsafah” (2015) 7 58. [ 154 ] Fiska Maulidian Nugroho yang masih darul kuffar atau negeri kafir. Para pemimpin dan seluruh aparatur negara yang mendukung Pancasila pun di cap sebagai thogut atau para pembantu iblis. Karenanya, ‘jihad’ untuk menghancurkan tatanan negeri ini beserta seluruh aparatur negaranya, merupakan sebuah keharusan yang tidak boleh ditunda lagi. Sungguh tidak mengherankan, ketika Pancasila begitu dimusuhi oleh sekelompok radikal-terorisme. Bukan saja lantaran Pancasila dianggap tidak akomodatif terhadap cita-cita pendirian negara Islam, tetapi juga karena Pancasila dianggap menghalang-halangi upaya penegakan syariat Islam di bumi Indonesia.26 Kembali menyoal tentang ketegasan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa Islam. Namun, bangsa yang memang mayoritas umat muslim sebagai penganut terbanyak. Selama ini bangsa Indonesia memang memiliki kekayaan budaya, tradisi dan bahasa yang sangat banyak dan beragam. Dari kemajemukan itulah terdapat pembanding yang potensif antara sifat pluralitas dengan watak umat muslim yang ditinjau dari penduduk mayoritas. Dimana sifat pluralitas masyarakat Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan secara baik oleh pemerintah. Antara pluralistik dan watak umat muslim kesemuanya berpengaruh pada suatu kelompok politik dan ideologi yang ada di Indonesia ini seperti upaya menentang ideologi Pancasila. Kedua faktor tersebut sering menjadi persoalan utama pemicu suatu kebencian maupun konflik. Mayoritas umat muslim Indonesia yang bercirikan dua unsur yaitu unsur kultur dan unsur agama serta kesemuanya itu dapat dikatakan memiliki ketersinggungan langsung terhadap radikalisme. Diakui dari perjalanan yang terjadi selama ini terdapat pengaruh gerakan di luar garis mainstream Islam Indonesia atau gerakan transnasional terdapat kelompok keagamaan yang memiliki jaringan internasional. Kesemuanya datang ke suatu negara (Indonesia) dengan membawa paham keagamaan (ideologi) baru dari negeri seberang (Timur Tengah). Paham tersebut dinilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dahulu eksis. Kelompok itu antara lain al-Ikhwan al-Muslimin (Gerakan Tarbiyah) dari Mesir, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari Lebanon (Timur Tengah), 26 Lihat Khoirul Anam, “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan Penanggulangannya” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Isu-Isu Kontemporer Indones, cetakan pe ed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) 239. [ 155 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Salafi dari Saudi Arabia, Shi’ah dari Iran dan Jamaah Tabligh dari India/ Bangladesh.27 Keenam gerakan atau kelompok tersebut seakan-akan membawa angin yang berbeda bagi para umat muslim Indonesia. Entah sadar atau tidak sadar paham tersebut merongrong masuk bersaing dengan Ideologi dakwah Islam Indonesia, seakan-akan bersaing dengan dakwah Islam Moderat. Hal ini bertentangan dengan “negerinya kaum Muslim Moderat”. Kalimat yang pernah dilontarkan Abdurahman Wahid yang meyakinkan bahwa Indonesia adalah negeri bagi kaum Islam Moderat. Senada dengan Suryadharma Ali yang menyebut Islam Indonesia adalah Islam Moderat. Islam yang mengutamakan toleransi dan kebhinekaan.28 Islam moderat sangat linier dengan suasana hati mayoritas umat muslim di Indonesia yakni merasa lebih nyaman, terlebih jika dakwahnya adalah melalui cara atau ajaran-ajaran jalan damai terutama dari para sufi Jawa. Lihat sejarah peradaban Islam moderat yang disebarkan secara damai, tidak memaksa atas pemeluk lain untuk memeluk agama Islam, penghargaan terhadap budaya yang tengah berjalan, dan memberikan akomodasi terhadap budaya lokal tanpa menghilangkan indentitasnya. Sikap ini dilakukan oleh para Walisongo dalam menyiarkan Islam secara unik diantaranya menyerap elemen budaya-budaya lokal dan asing tanpa menghilangkan prinsip-prinsip Islam.29 Penerjemahan dakwah dengan jalan damai dapat dibandingkan dengan jalan dakwah cabang-cabang disiplin Islam yang lainnya, disebabkan karena tasawuf sebagai jalan dakwah pada umumnya diyakini dan diakui sebagai jalan tempuh yang paling besar peranannya di wilayah penyebaran agama Islam.30 Jalan diluar tasawuf yang dimaksud disini adalah penulis batasi pada wilayah jihad secara proporsional, proporsional itu bukan seperti 27 Lihat pendapat Ahmad Syafi’i Mufid di Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia” (2014) 9 Islam J Studi Keislam. 28 Ibid; Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006); “Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset”, Koran Sindo Versi Online (1 June 2014). 29 Miftahuddin, “Akar Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif Historis”, online: <http:/ / s t a f f . u n y. a c . i d / s y s t e m / f i l e s / p e n e l i t i a n / M i f t a h u d d i n , % 2 0 M . H u m . / Akar%20Islam%20Moderat.pdf.> hlm. 5–6. 30 Alwi Shihab, The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian Mission in Indonesia Temple University, 1995) [unpublished] hlm. 18–19. [ 156 ] Fiska Maulidian Nugroho gerakan-gerakan radikal seperti peristiwa 9 September 2001 di New York, Pengeboman di Bali, Madrid, dan London dan terakhir di Paris di tahun 2015. Namun, Jihad di wilayah ini adalah pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama.31 Pemaknaan jihad yang tidak proporsional dan keliru adalah dimana pengertian jihad itu hanya dibatasi dengan perjuangan fisik atau perlawanan senjata. Terlebih dipaksakan untuk menggunakan senjata dalam berjihad. Muhammad Quraish Shihab berusaha meluruskan atas pemahaman jihad itu sendiri diungkapkan bahwa, selama ini kesalahpahaman jihad yang lebih dimaknai sebagai perjuangan fisik, antara lain diakibatkan oleh terjemahan yang kurang tepat atas ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara jihad dengan anfus, dimana kata anfus sering diterjemahkan sebagai jiwa (nyawa)yang kemudian dikesankan sebagai pengorbanan nyawa (fisik) saja.32 Injeksi untuk menolak radikalisme adalah jalan dakwah yang damai dan tanpa membedakan agama manapun untuk mendapatkan pengakuan eksistensi mereka. Hal ini bisa dicapai ketika umat Islam memahami ideologi Pancasila secara menyeluruh. Tulisan ini sengaja hanya membatasi pada sudut pandang wilayah keeksistensian umat Muslim saja dan tidak bermaksud mengerdilkan agama maupun kepercayaan yang lain. Minimal umat Islam Indonesia sebagai umat mayoritas bisa turut andil mencegah penyebaran virus teroris-radikalisme tersebut. Beberapa hal yang harus dipunyai oleh umat Islam adalah harus mengimplementasikan paham moderat yang disebut dengan jalan tengah. Sebagaimana salah satu aktualisasinya adalah pada saat proklamasi pada 17 Agustus 1945 yang bersepakat dintaranya Indonesia ditempatkan bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama, yaitu negara islam.33 Selain itu, umat Muslim Indonesia harus memiliki toleransi yang tinggi sebagai hasil dari dialektika antara agama dan keragaman budaya. Umat Muslim 31 Dede Rodin, “ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam al-Qur’an” (2016) 10:1 29; Selanjutnya lihat Yusuf Al-Qaradhawi, as-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa at-Tatarruf (Kairo: Dar Ary-Syuruq, 2001). 32 Rodin, supra note 31; Selanjutnya baca M Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudl’ui atas Pelbagai Persoalan Umat, cet-2 ed (Bandung: Mizan, 1996). 33 Lihat Azyumardi Azra, Islam Indonesia: Kontribusi Pada Peradaban Global hlm. 5. [ 157 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Indonesia harus lebih demokratis dengan menjadikan Indonesia sebagai prototype demokrasi di dunia Islam. Konsepsi pemikiran Islam Jalan tengah memiliki sifat yang tasawut (moderat), jalan tenah, non-ekstrimis yang berukuran kanan maupun kiri, dan yang selalu seimbang, inklusif, serta toleransi antar agama lain.34 Hal penting yang harus dipahami oleh umat Islam di Indonesia adalah pentingnya melanggengkan dakwah dengan pendekatan kultural sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Walisongo secara sederhana.35 Sedangkan secara teologis, mayoritas muslim Indonesia menganut persepsi Ahlussunnah wal Jamaah.36 Sebuah persepsi Islam yang lentur terhadap budaya.37 Paham ini menyimpan semangat menghargai tradisi, keragaman budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki budaya.38 Ini menarik, karena bila diperbandingkan dengan pemikiran Islam radikal, konon Islam harus menjadi dasar negara, syariah harus diterima sebagai konstitusi negara, kedaulatan politik di tangan Tuhan.39 Gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep umat yang tidak mengenai batas-batas politik atau kedaerahan, prinsip syura (musyawarah) berbeda dengan gagasan demokrasi.40 Sehingga dasar 34 Lihat komentar Azyumardi Azra tentang model Islam Nusantara bbc_Polemik-di-balik-istiIahIslam-Nusantara_06-15-15.pdf. 35 Lihat Suparjo Suparjo, “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia” (2008) 2:2 KOMUNIKA 178. 36 Lihat Ahmad Syafi’i Mufid, “Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer Dalam Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia” (2016) 12:3 Harmoni 8 hlm. 1. 37 Islam Nusantara yang dipengaruhi tentang ajaran-ajaran Islam sangat bervariasi dan ini dipengaruhi oleh budaya pra Islam, sehingga Islam tidak menegaskan dirinya tidak menghancurkan budaya yang sudah lama ada, bahkan memadukannya. Selanjutnya lihat di Muhammad Arifin & Khadijah Binti Mohd Khambali, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei di Kuburan dalam Masyarakat Pidie Aceh)” (2016) 15 Jurnal Ilmiah Islam Futura 251-284 hlm. 3. 38 Lihat Majalah “Bimas Islam”, (2015). 39 Gerakan radikalisme yang terbentuk saat ini memiliki beberapa alasan, salah satunya adalah ketidaksesuaian bentuk pemerintahan dengan ketentuan syariat Islam karena tidak dibentuk atas prinsip khilafah Islamiyyah, dan perundang-undanganpun tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadist. Selanjutnya Lihat pendapat Din Syamsudin, bahwa semestinya penegakan khilafah saat ini haruslah dalam kerangka NKRI, ke khilafahan yang menolak separatisme dan mengurangi inklusifisme serta pluralisme bangsa. Radikalisme Agama & Tantangan Kebebasan, cetakan pertama ed (Direktorat Jenderal Bimas Islam Kemenag RI, 2014) hlm. 19. 40 Keidentikan menimbulkan perbedaan, lihat ketika syura diartikan sebagai proses pengambilan pendapat, berdasarkan suara mayoritas. Sedangkan demokrasi berawal ketika terdapat tipe pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Selanjutnya lihat di Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” (2010) 25:3 Media Akad, online: <http://e-journal.iainjambi.ac.id/ index.php/mediaakademika/article/view/228>. [ 158 ] Fiska Maulidian Nugroho ideologi adalah sebuah kepatutan dan syarat mutlak yang harus diterapkan pada lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia merupakan negeri yang multi-agama sekaligus multikultur.41 Bangsa Indonesia diplokamirkan menjadi negara bukan agama. Sekaligus bukan negara tanpa agama (alias sebagai negara sekuler)42. Inilah negeri dimana agama-agama diakui dan sekaligus mempengaruhi kebijakan politiknya. Antara agama dan negara dapat dikatakan sebagai entitas yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa Islam adalah agama yang secara mayoritas telah dianut oleh penduduk Indonesia43. Dan itu merupakan jumlah yang sangat besar dari keseluruhan penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta.44 Ketika negara yang berideologi Pancasila diliputi oleh keragaman agama dan kultur, maka perlu kebijakan nasional guna membangun karakter bangsa untuk menghadapi dua faktor tersebut. Beberapa diantaranya adalah perlunya orientasi dan penghayatan nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa, mengoptimalkan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, meluruskan kembali nilai-nilai etika dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, memunculkan kembali kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, menghadapi secara integratif atas ancaman terhadap bangsa Indonesia dan menguatkan kemandirian bangsa.45 41 Rizal Mubit, “Peran Agama dalam Multikulturalisme Indonesia” (2016) 11:1 Epistemé J Pengemb Ilmu Keislam, online: <http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/view/ 104> hlm. 180. 42 Lihat Wildan Sena Utama, “Negara (dan) Islam: Sekitar Polemik Soekarno dan Natsir” (2013) Prisma Resour Cent, online: <http://www.prismajurnal.com/issues.php?id=%7B1A0F06D5DBC3-8F35-B5AE-E715E50BBFB0%7D&bid=%7B0327B60F-DE6E-539B-997918978AD362 C0%7D>. 43 Meskipun telah terdapati riset yang menyatakan turunnya pemeluk atau penganut agama Islam di Indonesia. Lihat di “Data Riset: Di Indonesia Muslim Yang Murtad Makin Meningkat”, online: Elnury News <http://radioelnury.com/news/nusantara/data-riset-indonesia-muslim-yang-murtad -makin-meningkat.html>; Pengelola Bersama, “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai Daerah di Indonesia”, online: Dok Pemuda TQN Suryalaya News <http://www.dokumenpemudatqn.com/ 2013/07/persentase-jumlah-umat-islam-berbagai.html>. 44 Zuly Qodir, “Perpektif Sosiologis tentang Radikalisasi Agama Kaum Muda” (2013) VIII MAARIF Inst Cult Humanity hlm. 46. 45 Selanjutnya lihat di Cholisin, supra note 3. [ 159 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pilar-pilar Ideologi Sampai saat ini ideologi Indonesia memiliki pilar-pilar civil society nan handal, yaitu antara lain Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi kemasyarakatan ini telah memberikan kontribusi besar sehingga terwujud masyarakat Islam Nusantara yang moderat.46 Kedua ormas ini menginjeksi pikiran alam bawah sadar kaum muslimin, salah satunya dengan menggunakan media pembelajaran di sekolah untuk menjinakkan virus radikal dalam diri siswanya. Sangat sederhana, ormas Islam seperti NU misalnya, menggunakan kegiatan kegiatan keagamaan yang diperuntukkan kepada siswa-siswinya dengan sebutan pesantren kilat. Dilaksanakan saat masa liburan. Begitupun Muhammadiyah, juga sangat khas dengan istilah “Darul Arqam Dasar” (DAD). Meskipun seluruh kegiatan keagamaan dilaksanakan dengan disiplin, tidak ada baiat (sumpah setia). Bahkan para pengajar (ustadz) tidak mengajari akan ketidak tundukan pada simbol-simbol negara. Sebagaimana elemen radikalisme yang mempertentangkan Islam dengan Indonesia dengan tidak tunduk atau hormat pada simbol-simbol Negara Indonesia.47 Selain itu kita patut berkoreksi diri, bahwa selama ini sistem pendidikan dan pembelajaran memang banyak mendapatkan kritik. Pendidikan Indonesia dinilai terlalu menonjolkan sisi kognisi tetapi kurang dalam hal emosi dan moral. Terutama karakter dan budaya suatu bangsa harus dipertahankan agar identitas bangsa tesebut berbeda dengan yang lain. Padahal perwujudan atas Pancasila harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). Sehingga, terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Sebagaimana Konsep pendidikan yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantoro bahwa konsep pendidikan kita patutlah menjadi suatu sistem among yang meliputi ing ngarsa sung tuladha (jika di depan memberi teladan, mengandung nilai keteladanan, pembimbingan dan pemanduan). Ing madya mangun karsa 46 Azyumardi Azra, “Islam dan Negara-Bangsa: Pergulatan Politik Indonesia Masa Pasca Soeharto,” makalah tidak diterbitkan dalam Halaqah Fikih Kebhinnekaan yang diselenggarakan Maarif Institute di Jakarta (24-26 Februari 2015), 1. Lihat pula di Biyanto, “Berdamai dengan Pluralitas Paham Keberagaman” (2015) 5 Tasawuf Dan Pemikir Islam. 47 Selanjutnya lihat Rokhmad, supra note 6. [ 160 ] Fiska Maulidian Nugroho (jika di tengah-tengah atau sedang bersama-sama menyumbangkan gagasan, yang bermakna peserta didik didorong untuk mengembangkan karsa atau gagasannya-mengandung nilai kreativitas dan pengembangan gagasan serta dinamisasi pendidikan). Terakhir, tut wuri handayani (jika dibelakang menjaga agar tujuan pendidikan tercapai dan peserta didik diberi motivasi serta diberi dukungan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan, mengandung nilai memantau, melindungi, merawat, menjaga, memberikan penilaian dan saran-saran perbaikan, sambil memberikan kebebasan untuk bernalar dan mengembangkan karakter peserta didik) sebenarnya sarat akan nilai-nilai karakter.48 Bahkan ditingkat mahasiswa tingkat perguruan tinggi, juga perlu diberikan titik kulminasi toleran yang sepadan dengan kerangka nasionalisme bangsa. Sebagaimana kerentanan yang pernah di ungkapkan Azyumardi Azra, bahwa radikalisme menjadi fenomena yang nyata. Ini terkuak setelah terdapat beberapa penelitian terhadap mahasiswa “eksrekrutmen” telah berhasil keluar dari jaringan keagamaan yang radikal. Diterangkan pula bahwa gerakan radikal masih tetap massif terhadap Perguruan Tinggi Agama maupun Perguruan Tinggi Negeri.49 Bahkan, di tahun 2010 terdapat temuan yang sangat mengkhawatirkan, yaitu lembaga-lembaga pendidikan di Jabodetabek terdapati menyelenggarakan soal materi ajar dalam buku mata pelajaran agama yang bermuatan paham intoleransi dan radikalisme.50 Hal ini sangat diperlukan kerjasama yang erat dari berbagai macam elemen pendidikan, mulai dari kepala pendidik, dosen, guru, orang tua siswa/mahasiswa dan masyarakat sekitar. Fungsinya adalah untuk mencegah radikalisme agar tidak tumbuh subur dikalangan pendidikan pada khususnya. 48 Huriah Rachmah, “Nilai-Nilai Dalam Pendidikan Karakter Bangsa Yang” (2013) 1 E-J Widya Non-Eksakta hlm. 10–13. 49 Lihat di Nurudin, “Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalisme Agama di Kalangan Mahasiswa” (2013) Harmoni, online: <http://jurnal.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php/ harmoni/article/viewFile/158/pdf> hlm. 66. 50 Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian menemukan bahwa terdapat 48,9% siswa se wilayah Jabodetabek menyatakan persetujuannya atas aksi radikal Muhammad Thohir, “Radikalisme versus Pendidikan Agama Menggali Akar Radikalisme Dari Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama Pendidikan Agama” (2015) 9 Nadwa J Pendidik Islam hlm. 70 Lihat juga Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Agama Di Sekolah”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, (Vol. I, No. 2, Desember 2012), hlm. 160. [ 161 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat titik tekan pembudayaan sadar ideologi Pancasila guna mencegah radikalisme tersebut. Diantaranya adalah melalui injeksi “proses pendidikan”. Diharapkan pada tataran ini, penerapan aplikasinya dapat berupa pedagogik (pedagogy). Dari pedagogik tersebut harus menerapkan ideologi Pancasila yang nantinya juga diharapkan dapat dilaksanakan sebagai suatu rujukan analisis sebagaimana sebuah pengetahuan, nilai, keinginan, dan relasi sosial itu dibentuk. Pedagogik ini disebut sebagai Critical Pedagogy51, yaitu sebuah penerapan yang dapat ditinjau dari aspek kajian critical pedagogy itu sendiri. Aspek kajian itu juga merupakan bagian dari ideologi kritis di dunia pendidikan. Pada Ideologi kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology yaitu ke arah transformasi sosial. Transformasi sosial yang dalam praksisnya menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya.52 Sementara tugas utama pendidikan itu sendiri adalah menciptakan ruang sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Dan pada akhirnya ketika mereka menyentuh dan mempelajari Pancasila, orang tersebut dapat sadar, bahwa apapun bentuk relasi sosial yang didasarkan pada nilai, budaya, dan tradisi selalu memiliki implikasi politik di antara pemegang kekuasaan.53 Oleh karena itu, antara implikasi politik dan proses pendidikan, mengharuskan dirinya untuk menggunakan basis kemajemukan. Sebagai cara mengomunikasikan perbedaan secara benar dan cerdas dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena, secara tidak langsung konstelasi politik memiliki andil dalam pengaruh atas kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga, melalui penerapan critical pedagogy ini diharapkan mampu meletakkan Pancasila menjadi ideologi perekat etnis, budaya, dan agama. Meskipun pluralitas masih menjadi ancaman, setidaknya sekolah merupakan salah satunya lembaga 51 Lihat di Getahun Yacob Abraham, “Critical Pedagogy: Origin, Vision, Action & Consequences” (2014) 10:1 KAPET 90. 52 Tzabit Azinar Ahmad, Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang Universitas Sebelas Maret, 2010) [unpublished]. 53 Achmad Baedawi, “Paradok Kebangsaan Siswa Kita” (2013) VIII MAARIF Inst Cult Humanity hlm. 70. [ 162 ] Fiska Maulidian Nugroho yang harus bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter karena pendidikan adalah bagian dari perjalanan injeksi anti-virus terorisme. Menggagas Vaksinasi P ancasila Pancasila Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap dan tidak berubah, dalam artian bahwa dengan jalan hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. 54 Apabila terjadi perubahan, berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pengertian seperti itulah maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan fundamental bagi negara Indonesia, terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.55 Sudah menjadi harga mati dan tidak dapat ditawar lagi bahwa Pancasila merupakan asas tunggal yang berlaku di negara Indonesia ini. Jangan sampai terdapat ideologi ‘tandingan’ Pancasila.56 Ideologi ‘tandingan’ memang secara terbuka akan sangat tidak mungkin ada, namun sedikit lambat laun dengan adanya masa keterbukaan sekarang ini, patut diwaspadai, karena perilaku sangat mungkin dapat terpengaruh ideologi-ideologi baru, dan nantinya akan mudah tertanam di masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila harus menjadi landasan etika dan moral, salah satunya dengan menggalakan ‘Vaksinasi Pancasila’ dengan harapan masyarakat Indonesia menjadi orang-orang berkarakter kuat, baik secara individual maupun secara sosial. Vaksinasi Pancasila bertujuan untuk membentuk pribadi mereka yang ber-akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Untuk bisa menanamkan ideologi Pancasila maka setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, meginjeksi aparatur negara dan elit politik dengan budaya serta nilai-nilai Pancasila. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir perilaku ‘klaim’ atas dirinya ‘parpol’ lebih baik 54 Lihat pendapatnya Prof. Notonagoro Isti Maryatun, Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan Pancasila hlm. 34. 55 Lihat di Choirul Anam, “Pancasila sebagai Sistem Etika”, online: <http:// choirul_umam. staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/46988/bab3-pancasila_sebagai_sistem_etika.pdf.> hlm. 30– 31. 56 4-5 Cholisin, supra note 3. [ 163 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi daripada ‘parpol’ yang lain. Pada kenyataannya, banyak elite parpol yang di tangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dan berujung pada pemidanaan pelakunya. Begitu pula di lembaga yudisial, seperti hakim dan jaksanya yang juga ditangkap tangan oleh KPK karena dideteksi melakukan hubungan tidak wajar dengan pihak-pihak yang sedang di tangani kasusnya. Tidak kalah hebatnya lagi adalah area lembaga eksekutif seakan-akan lupa akan nasib pemilih atau konstituennya. Mereka lupa akan janji-janji manis ketika mencalonkan diri sebagai eksekutif.57 Sehingga pengamalan Pancasila harus segera dimulai dari lembaga-lembaga pemerintahan maupun elite parpol sebagai wujud komitmen perwujudan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan di setiap lini kehidupan mereka masing-masing. Kedua, menanamkan nilai-nilai Pancasila di kalangan remaja penerus bangsa melalui doktrinasi Pancasila. Hal ini bisa dilakukan dengan doktrinasi bahwa ‘Negara Indonesia’ adalah Negara Pancasila dan Negara Pancasila adalah ‘Negara Indonesia’. Negara yang memang sejak awal didirikan untuk masyarakat Indonesia yang harus dipertahankan serta dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi, mengembangkan seluruh martabat dan hak asasi semua warga bangsa Indonesia yang tercermin dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara yang menginginkan agar masing-masing warga negaranya dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin. Kemudian, negara yang berkomitmen memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).58 Upaya ini diharapkan mampu menumbuhkembangkan sikap Pancasilais. Doktrinasi tersebut sangatlah penting, karena apabila ditinjau dari sisi psikologisnya, remaja yang dimaksud pasti sedang memulai mencari jati diri. Terutama ketika mereka dapat membedakan hal-hal yang baik-benar dan buruk, menganalisis norma-norma yang membimbing tingkah lakunya, dan mensintesiskan 57 Saparuddin, “Mengkontruksi Kembali Budaya Politik Bangsa dengan Semangat dan Nilai-Nilai Pancasila”, E-Bul LPMP Sulawesi (2014) 1. 58 Mutiani, “Reaktualisasi Pengamalan Nilai Pancasila Untuk Demokrasi Indonesia” (2015) 2:2 SOSIO Didakt Soc Sci Educ J 176 hlm. 181; Lihat pula Edward S Greenberg, Political Socialization (United State of America: Aldine Transaction, 2009) hlm. 77. [ 164 ] Fiska Maulidian Nugroho nilai-nilai yang mereka peroleh saat memilih nilai-nilai tersebut dan nilainilai tersebut nantinya akan melekat kuat di dalam sanubarinya.59 Ketiga, revitalisasi Pancasila lewat kontrol media baik cetak maupun elektronik. Asumsi yang perlu ditegaskan dari pemakaian media ini adalah sebagai alat revitalisasi. Ini disebabkan karena media massa di era global bukan hanya alat atau media penyebar informasi, pembentuk opini publik, penghibur masyarakat, namun dapat dijadikan media pengawasan terhadap kekuasaan yang berjalan di wilayah pemerintahan. Sebegitu pentingnya media massa dikarenakan medi a massa masih terdapat beberapa tugas yang mestinya harus dilakukan setiap waktu. Terlebih ketika pusaran Pancasila di era-demokrasi ini membutuhkan komitmennya. Komitmen itu antara lain yaitu, media massa harus menginformasikan dalam pengertian “surveilance” atau “monitoring” mengenai apa yang terjadi di sekitar masyarakatnya. Media massa harus mendidik mengenai makna dan manfaat dari fakta-fakta dengan tetap mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta itu. Media massa juga harus menyediakan satu platform untuk publik mengenai wacana politik, memfasilitasi pembentukan opini publik, dan menyiapkan opini balikan dari mana saja datangnya, media massa juga memberikan publisitas kepada pemerintah dan institusi lainnya. Di sini media massa berperan sebagai “watchdog”, terakhir media massa dalam masyarakat demokratis melayani sebagai suatu saluran untuk kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai berbagai titik pandang politik.60 Bahkan media massa itu sendiri telah dilindungi oleh UndangUndang No. 40 tahun 2009 tentang Pers dan Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang harus menjaga moralitas, nilai agama, jati diri bangsa dilingkungan masyarakat majemuk yang memiliki sejumlah perbedaan. Ini berkaitan dengan komunikasi antar budaya, dan meng- 59 Muhammad Na’im, Kontribusi Apresiasi Pembelajaran Sejarah, Penghayatan Ideologi Pancasila dan Nilai-Nilai Agama Terhadap Sikap Nasionalisme (Universitas Pendidikan Indonesia, 2014). 60 Ibnu Hamad, “KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DALAM MEDIA MASSA (Studi Pesan Politik Dalam Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999)” (2004) 8 Makara Sos Hum, online: <http:/ /www.academia.edu/download/38997453/73.pdf> hlm. 29. Lihat pula Brian McNair, An Introduction ti Political Communication (London: Routledge). Dan lihat pula Judith Lichtenberg, Democracy and The Mass Media (Cambridge: Cambridge University Press). [ 165 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi hindarkan selisih paham antar perbedaan-perbedaan guna menyesuaikan diri untuk menghadirkan media massa yang bermakna bagi nusa bangsa.61 Dapat dimaknai bahwa media massa selain diberikan tanggung jawab komitmen akan publisitas yang dapat dipertanggung jawabkan, juga diharapkan mampu memberikan kontrol sosial terhadap dirinya sendiri sebagai bentuk tanggung jawab atas hadiah perlindungan kebebasan pers oleh undang-undang. Selain itu posisi ini patut untuk difungsikan tersendiri ketika menyampaikan pesan, kritikan, dan pandangan yang berbeda terkait realitas-realitas majemuk di masyarakat terkait radikalisme. Posisi kontrol sosial tentunya disadari, pasti akan ada efek terhadap kredibilitas mereka masing-masing. Kredibilitas mereka diuji ketika media massa digunakan sebagai ajang propaganda diri maupun ideologi. Karena yang selama ini kita tahu bahwa nyawa dari media massa salah satunya adalah iklan. Sehingga, kecenderungan berbasis bisnis sepatutnya diimbangi pula akan presisinya terhadap Pancasila sebagai wacana tersendiri yang ditempatkan tersendiri oleh media massa sebagai wujud kredibilitasnya masing-masing. Penutup Sekalipun Bangsa Indonesia telah memiliki Ideologi Pancasila sebagai ruh yang hidup di jiwa masyarakatnya, namun setidaknya di era-globalisasi yang terbuka ini, memberi kesempatan terhadap ideologi-ideologi baru ingin masuk dan mempengaruhi sikap dan pandangan terhadap bangsa Indonesia itu sendiri. Radikalisme yang dapat dilihat dengan mata telanjang merupakan virus yang mau tidak mau harus dihempaskan di muka bumi ini terutama atas nama bangsa Indonesia yang majemuk berbhineka tunggal ika. Penanaman ideologi moderat merupakan hal penting karena pengaruhpengaruh paham radikal sudah bertebaran bebas dalam pengaruhnya. Bahkan dunia pendidikan harus ikut berpartisipasi dalam mencegah paham radikal. Pemahaman yang kuat terhadap radikalisme setidak-tidaknya harus segera di injeksikan terhadap tiga unsur vital yang nantinya dapat berpengaruh terhadap perjuangan ideologi Pancasila. Ketiga unsur tersebut 61 Eko Harry Susanto, “Dinamika Media Massa Lokal dalam Membangun Demokratisasi di Daerah” (2011) 9:2 J Ilmu Komun 117 hlm. 121. [ 166 ] Fiska Maulidian Nugroho adalah, pertama, para pejabat pemerintah dan elite parpol, kedua para generasi muda penerus bangsa, ketiga adalah media massa guna alat revitalisasi informasi. Injeksi ideologi dan upaya pencegahan tersebut akan menjadi sebuah teori belaka ketika rakyat Indonesia tidak berkolaborasi secara baik. Kolaborasi itu setidaknya mengabaikan urusan kepentingan kaum mayoritas maupun kaum minoritas mereka masing-masing untuk sesaat. Kolaborasi itu telah ditunggu oleh Pancasila sebagai Ideologi terbuka namun juga tidak berarti keterbukaan tersebut bisa diterjemahkan terbuka terhadap ideologi radikal. Injeksi memerlukan kesolidan antara umat Muslim sebagai mayoritas dengan umat lain (agama/kepercayaan) sebagai minoritas. Kesolidan itu berupa saling berintegrasi mencegah radikalisme serta berkomitmen bahu membahu meluluhlantahkan radikalisme. Indonesia negara yang sejuk, damai, dan ber-Bhineka Tunggal Ika, berbedabeda namun satu jua. Sedangkan “doktrinasi” dalam arti yang positif bukanlah hal yang mustahil dapat diterapkan, karena ketiga unsur yang harus didoktrin tersebut setidaknya memiliki kandungan ‘pelaku-pelaku’ yang masih baik dan berkomitmen. Komitmen tersebut perlu setiap saat ditagih oleh diri kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi ideologi Pancasila. Refzerensi Ahmad, Tzabit Azinar. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang Universitas Sebelas Maret, 2010) [unpublished]. Al-Qaradhawi, Yusuf. as-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa atTatarruf (Kairo: Dar Ary-Syuruq, 2001). Ba’asyir, Abu Bakar. Tadzkirah: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para Penguasa Negara Karunia Alloh Indonesia yang Berpenduduk Mayoritas Kaum Muslimin (Jakarta: JAT, 2013). Greenberg, Edward S. Political Socialization (United State Of America: Aldine Transaction, 2009). Lichtenberg, Judith. Democracy and The Mass Media (Cambridge: Cambridge University Press). [ 167 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi McNair, Brian. An Introduction ti Political Communication (London: Routledge). Shihab, Alwi. The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian Mission in Indonesia Temple University, 1995) [unpublished]. Shihab, M Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudl’ui atas Pelbagai Persoalan Umat, cet-2 ed (Bandung: Mizan, 1996). Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006). Radikalisme Agama & Tantangan Kebebasan , cetakan pertama ed (Direktorat Jenderal Bimas Islam Kemenag RI, 2014). Abraham, Getahun Yacob. “Critical Pedagogy: Origin, Vision, Action & Consequences” (2014) 10:1 KAPET 90. Ali, As’ad Said. “Pancasila di Tengah Pertarungan Ideologi Dunia” (2014) 1 Cendekia Waskita 1. Anam, Khoirul. “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan Penanggulangannya” in Al Khanif, ed, Pancasila sebagai Realitas Percik Pemikir tentang Pancasila Isu-Isu Kontemporer Indonesia, cetakan pe ed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) 239. Arifin, Muhammad & Khadijah Binti Mohd Khambali. “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei di Kuburan dalam Masyarakat Pidie Aceh)” (2016) 15 J Ilm Islam Futura 251. Asshiddiqie, Jimly. “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” (2008) 1 1. Azra, Azyumardi. “ISIS, Khilafah dan Indonesia: Respon Komprehensif ” (2014) 1 Cendekia Waskita 97. Baedawi, Achmad. “Paradok Kebangsaan Siswa Kita” (2013) VIII MAARIF Inst Cult Humanity. Biyanto. “Berdamai dengan Pluralitas Paham Keberagaman” (2015) 5 Tasawuf Dan Pemikir Islam. Budiman, Harry. “Fenomena ISIS dan Khilafah Islamiyah Nusantara” (2014) 1 Cendekia Waskita 83. Cliteur, Paul. “State and religion against the backdrop of religious radicalism” (2012) 10:1 Int J Const Law 127. Damayanti, Ninin Prima et al. “Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam” [ 168 ] Fiska Maulidian Nugroho (2012) 3:1 J Kriminol Indonesia, online: <http://journal.ui.ac.id/ jki/article/view/1119>. Fanani, Ahmad Fuad. “Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda” (2013) 8: Menghalau Radikalisme Kaum Muda: Gagasan dan Aksi MAARIF Inst Cult Humanity 1. Hamad, Ibnu. “KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DALAM MEDIA MASSA (Studi Pesan Politik dalam Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999)” (2004) 8 Makara Sos Hum, online: <http://www. academia.edu/download/38997453/ 73.pdf>. Harry Susanto, Eko. “Dinamika Media Massa Lokal dalam Membangun Demokratisasi di Daerah” (2011) 9:2 J Ilmu Komun 117. Kementerian Agama RI. “Masa Depan Islam Moderat”, Maj Islam Kementeri Agama Islam RI (2015). Miftahuddin. “Akar Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif Historis”, online: <http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/ Miftahuddin,%20 M.Hum./Akar%20Islam%20Moderat.pdf.>. Mubit, Rizal. “Peran Agama dalam Multikulturalisme Indonesia” (2016) 11:1 Epistemé J Pengemb Ilmu Keislam, online: <http:// ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/view/ 104>. Mufid, Ahmad Syafi’i. “Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer Dalam Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia” (2016) 12:3 Harmoni 8. Mutiani. “Reaktualisasi Pengamalan Nilai Pancasila Untuk Demokrasi Indonesia” (2015) 2:2 SOSIO Didakt Soc Sci Educ J 176. Natarajan, Mangai. “Kejahatan dan Pengadilan Internasional” in Mangai Natarajan, ed, Int Crime Justice, i ed (New York: Cambridge University Press, 2015) 1. Newman, Graeme R & Ronald V Clarke. “Terorisme” in Mangai Natarajan, ed, Int Crime Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2011). Nurudin. “Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalisme Agama di Kalangan Mahasiswa” (2013) Harmoni, online: <http:/ /jurnal.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/viewFile/158/pdf>. Qodir, Zuly. “Perpektif Sosiologis tentang Radikalisasi Agama Kaum Muda” (2013) VIII MAARIF Inst Cult Humanity. [ 169 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Rachmah, Huriah. “Nilai-Nilai Dalam Pendidikan Karakter Bangsa Yang” (2013) 1 E-J Widya Non-Eksakta. Razak, Abdul. “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” (2010) 25:3 Media Akad, online: <http://e-journal.iainjambi.ac.id/ index.php/ mediaakademika/article/view/228>. Rodin, Dede. “ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas Ayat-ayat ‘ Kekerasan ’ dalam al-Qur’an” (2016) 10:1 29. Rokhmad, Abu. “RADIKALISME ISLAM DAN UPAYA DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL” (2012) 20:1. Saparuddin. “Mengkontruksi Kembali Budaya Politik Bangsa dengan Semangat dan Nilai-Nilai Pancasila”, E-Bul LPMP Sulawesi (2014) 1. Sena Utama, Wildan. “Negara (dan) Islam: Sekitar Polemik Soekarno dan Natsir” (2013) Prisma Resour Cent, online: <http://www. prismajurnal.com/ issues.php?id=%7B1A0F06D5-DBC3-8F35B5AE-E715E50BBFB0%7D&bid =%7B0327B60F-DE6E539B-9979-18978AD362C0%7D>. Suharto, Toto. “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia” (2014) 9 Islam J Studi Keislam. Suparjo, Suparjo. “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia” (2008) 2:2 KOMUNIKA 178. Thohir, Muhammad. “Radikalisme versus Pendidikan Agama Menggali Akar Radikalisme Dari Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama Pendidikan Agama” (2015) 9 Nadwa J Pendidik Islam. Yaakob, Z U L Azmi & Ahmad Sunawari Long. “Terorisme sebagai Cabaran Ideologi Muslim Masa Kini: Satu Analisis dari Perspektif Falsafah” (2015) 7 58. “Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset”, Koran Sindo Versi Online (1 June 2014). “Bimas Islam”, (2015). Anam, Choirul. “Pancasila sebagai Sistem Etika”, online: <http:// choirul_umam.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/46988/ bab3-pancasila _sebagai_sistem_etika.pdf.>. Azra, Azyumardi. Islam Indonesia: Kontribusi Pada Peradaban Global. [ 170 ] Fiska Maulidian Nugroho Bersama, Pengelola. “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai Daerah di Indonesia”, online: Dok Pemuda TQN Suryalaya News <http:// www.dokumenpemudatqn.com/2013/07/persentase-jumlahumat-islam-berbagai.html>. Cheprasov, Artem. “What Are Viruses? - Definition, Structure & Function”, online: <http://study.com/academy/lesson/what-are-virusesdefinition-structure-function.html>. Cholisin. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SAAT INI (Kulon Progo). Maryatun, Isti. Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan Pancasila. Na’im, Muhammad. Kontribusi Apresiasi Pembelajaran Sejarah, Penghayatan Ideologi Pancasila dan Nilai-Nilai Agama Terhadap Sikap Nasionalisme (Universitas Pendidikan Indonesia, 2014). Suryani, Ni Putu Elvina. Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia (Mata Kuliah Terorisme di Indonesia) (2012). “Mendagri: Virus Radikalisme Sudah Menjalar”, online: <https:// news.detik.com/ berita/3101206/mendagri-virus-radikalismesudah-menjalar>. “Online Etymology Dictionary”, online: <http://www.etymonline.com/ index.php?term=virus>. “Virus | Definition of Virus by Merriam-Webster”, online: <http://www. merriam-webster.com/dictionary/virus>. Prosiding Kongres Pancasila IV (PSP UGM, 2012). bbc_Polemik-di-balik-istiIah-Islam-Nusantara_06-15-15.pdf. “Data Riset: Di Indonesia Muslim Yang Murtad Makin Meningkat”, online: Elnury News <http://radioelnury.com/news/nusantara/ data-riset-indonesia-muslim-yang-murtad-makin-meningkat. html>. [ 171 ] BAB III PANC A SIL A SEBA GAI PANCA SILA SEBAGAI IDEOLOGI INKL USIF DI ERA INKLUSIF GLOBALISA SI GLOBALISASI PANC A SIL A SEBA GAI IDEOLOGI Y ANG HIDUP PANCA SILA SEBAGAI YANG Dominikus Rato P ancasila sebagai ideologi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara telah memperoleh beberapa julukan, seperti Ideologi Terbuka, Ideologi Pembangunan, Ideologi Persatuan,1 dan sebagainya. Salah satu julukannya ialah Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. Julukan Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka telah mulai digunakan sejak Seminar Nasional dengan tema: “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” yang dilaksanakan sejak tanggal 24 – 26 Oktober 1989 di Jakarta oleh BP-7 Pusat yang saat itu dijabat oleh Oetojo Oesman. Tulisan ini diinspirasi dari hasil seminar tersebut, namun dengan sudut pandang yang lain, yaitu melihat Pancasila Sebagai Ideologi Yang Hidup. Sebagaimana telah dianalisis dalam Seminar Nasional yang dilaksanakan tanggal 24 – 26 Oktober 1989 diatas, ada banyak peran yang mampu dimainkan oleh Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila mampu menjiwai dan menyemangati hampir semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Ada banyak fungsi yang melekat pada Pancasila baik sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dan Dasar Negara NKRI,2 maupun Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia3 Ideologi dalam 1 2 3 Soerjanto Poespowardojo, 1990, Pancasila Sebagai Ideologi Ditinjau Dari Segi Pandangan Hidup Bersama. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 40-43. Soekarno, 1964, Tjamkan Pantja Sila: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pantjasila, 1 Djuni 1945 – 1 Djuni 1964. A. Hamid S. Attamimi, 1990, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 44-61. [ 175 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kehidupan Ketatanegaraan,4 Ideologi dalam Kehidupan Budaya5 Ideologi dalam Kehidupan Bergama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,6 Ideologi dalam Kehidupan Sosial,7 Ideologi dalam Kehidupan Politik,8 Ideologi dalam Pergaulan Internasional,9 Ideologi dalam Kehidupan Ekonomi 10 Ideologi yang mendasari Demokrasi Ekonomi yang menyelaraskan Partisipatif v Konsentrasi,11 Ideologi dalam Kehidupan Birokrasi/Aparatur Pemerintah, 12 dan Ideologi dalam Kehidupan HANKAM.13 Dengan memperhatikan tulisan para pakar di masing-masing bidang itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila mampu mendasari, memandu, menjiwai dan menyemangati hampir semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa Pancasila 4 Padmo Wahjono, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 62-87. 5 M. Sastrapratedja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 88-140. 6 Abdurrachman Wahid, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Bergama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 141-162. 7 Selo Soemardjan, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Sosial. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, hlm. 163-168. 8 Alfian, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 169-189. 9 Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Pergaulan Indonesia dengan Dunia Internasional. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm.191-233. 10 Mubyarto, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kkehidupan Ekonomi. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, hlm. 234-239. 11 Sri Edi Swasono, 1990, Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipatif vs Konsentrasi Ekonomi. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 240-248. 12 Bintoro Tjokroamidjojo, 1990, Pancasila sebagai Ideologi Birokrasi/Aparatur Pemerintah. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 249-283. 13 Saafroedin Bahar, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Pertahanan Keamanan. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 284-334. [ 176 ] Dominikus Rato mampu mendasari, memandu, menjiwai dan menyemangati hampir semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia itu. Untuk menjawab pertanyaan ini, tulisan ini meletakan preposisinya dengan mengatakan bahwa kemampuan yang dipunyai oleh Pancasila yang demikian itu sebab Pancasila adalah Ideologi Yang Hidup. Apa makna Pancasila sebagai Ideologi Yang Hidup? Penger tian P ancasila sebagai IIdeologi deologi yang H idup engertian Pancasila Hidup Menurut Heraclitos realitas ini selalu bergerak, berubah pantharei. Demikian pula dengan Pancasila sebagai realitas juga selalu bergerak, berubah. Sesuatu yang selalu bergerak dan berubah itu merupakan sifat utama dari hidup. Jika Pancasila sebagai realitas itu hidup dan selalu bergerak, maka Pancasila sebagai Ideologipun adalah hidup. Apa artinya Pancasila sebagai Ideologi Yang Hidup (The Living Ideologi)? Orang Osing di ujung timur Jawa Timur mendefenisikan hidup adalah perubahan (uraip gedigau obiah = hidup itu berubah, uraip nikai uliah = hidup ini ulah/gerak). Jadi, hidup itu berubah, bergerak, atau dinamis. Jika sesuatu itu tidak bergerak, tidak berubah, atau tidak dinamis, maka sesuatu itu mati. Jadi, dengan mengacu pada pengertian yang diperoleh dari kearifan lokal orang Osing (Using) di Banyuwangi itu, maka hidup itu selalu berubah, bergerak, atau dinamis. Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa berubah, bergerak, atau dinamis itu dapat maju atau progress, tapi bisa juga mundur atau regress. Dalam pandangan kearifan lokal seperti pandangan orang Osing, mundur tidak selalu dalam arti salah, buruk, atau jelek. Mundur dalam arti retreat juga mengandung arti baik, sebab dengan retreat kita dapat melakukan evaluasi diri, introspeksi kesalahan, kekhilafan, acuh tak acuh di masa lalu untuk memandang dan memperbaiki masa depan. Bergerak ‘mundur’ dalam berpikir merefleksikan suatu kebijakan atau suatu kearifan untuk melihat kembali perilaku dan perbuatan kita pada masa lalu dan memperbaikinya saat ini untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Pancasila sebagai ideologi adalah bahwa Sila-Sila Pancasila sebagai abstraksi dari pola pikir subjeknya, Bangsa Indonesia. Pola pikir atau world view atau falsafah yang menjadi ‘pedoman’ bagi subjeknya yaitu Bangsa [ 177 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.14 Pedoman berasal dari kosa kata Jawa ‘dom’ atau jarum. Pedoman artinya bahwa nilai-nilai dalam Sila-Sila Pancasila berfungsi ibarat ‘jarum.’ Nilainilai Pancasila ini kemudian diderivasikan ke dalam azas; dan dari azas diderivasikan ke dalam norma hukum, dan norma hukum berfungsi sebagai pedoman setiap orang baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dan warga negara dalam berperilaku/berbuat. Sehingga norma hukum sebagai refleksi dari nilai Pancasila itu menjalankan 12 fungsinya sebagai pedoman berperilaku/berbuat. Ada 12 fungsi norma hukum yang diibaratkan dengan fungsi jarum sebagai ‘pedoman’ berperilaku meliputi fungsi pemersatu, pemandu, penyelamat, pelindung, pencegah, penyeimbang, pendisiplinan, penjamin, pembebas, pembaharu, pengatur, dan pencerah.15 Kita kembali ke Pancasila Sebagai Ideologi Yang Hidup bermakna bahwa Pancasila, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila mampu bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat yaitu kebutuhan-kebutuhan masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila mampu bergerak maju untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dunia yang sedang mengglobal saat ini. Dengan sifatnya yang dinamis itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan dunia baik kemajuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dari sudut pandang ini, ada dua unsur dalam Sila-Sila Pancasila, yaitu adaptasi dan adopsi. Nilai-nilai Pancasila itu mampu beradaptasi karena kemampuannya memandu anggota masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan modern bahkan pasca modern seperti sekarang ini. Pancasila mampu hidup sejajar atau setara (equel) dengan ideologi-ideologi dunia lainnya seperti Deisme di negara-negara Timur Tengah, Humanisme di negara-negara Eropa Barat, Nasionalisme di Inggeris, Demokrasi di 14 15 Soekarno, supra note 2. Terkait penjelasan kedua belas fungsi tersebut, lihat Dominikus Rato, 2016, Hukum Adat Kontemporer. Jogyakarta: LaksBang Group. [ 178 ] Dominikus Rato Amerika, dan Sosialisme di Eropa Timur. Mengapa? Karena Pancasila yang merupakan sejatinya nilai budaya bangsa Indonesia itu sekaligus merupakan harmonisasi atau resultante dari ideologi-ideologi dunia itu. Dalam kaitannya dengan itu, maka nilai-nilai Pancasila juga mampu menerima (adopsi) nilai-nilai yang berasal dari ideology asing untuk memperkaya nilai sendiri. Misalnya gender, HAM, dan HKI dalam Peraturan Perundang-undangan serta nilai-nilai yang berasal dari Hukum Islam sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, asas-asas hukum dari Hukum Kanonika seperti asas monogami, adopsi anak, hak milik, dan perjanjian kredit. Tentu ada yang bertanya, bahwa Pancasila itu adalah benda mati, bagaimana mungkin sesuatu yang mati itu dapat hidup dan bergerak. Pengertian ‘hidup’ dalam Pancasila merupakan ungkapan untuk mengatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu hidup. Oleh karena hidup, maka Pancasila mampu bergerak dan berubah. Pengertian ‘bergerak’ atau ‘berubah’ juga merupakan ungkapan bahwa nilainilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu bergerak dinamis mengikuti perkembangan pola pikir masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, Pancasila sebagai refleksi cara berpikir masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia selalu bergerak dan berubah. Apa artinya Pancasila itu mampu bergerak dan berubah, apa yang berubah dan yang manakah yang bergerak? Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum akan diderivasi ke beberapa asas-asas hukum, dan dari asas-asas hukum diderivasikan lagi kedalam norma-norma hukum sebagai pedoman untuk berbuat dan berperilaku. Nilai-nilai Pancasila akan selalu dan senantiasa memandu, menjiwai, dan memberi dasar kepada para pembentuk, pelaksana, penegak, dan pengevaluasi hukum dalam gerak maju asas-asas dan norma-norma hukum itu. Nilai-nilai akan selalu statis, jika akan berubah, maka perubahan itu sangat lamban dan dalam waktu yang sangat lama. Jika nilai berubah, maka perubahan itu terjadi dalam jangka waktu ratusan atau mungkin ribuan tahun, kecuali karena revolusi. Perubahan yang lamban setelah nilai adalah asas, sebab perubahan asas terjadi dalam jangka waktu puluhan atau ratusan tahun. Yang selalu bergerak dan berubah [ 179 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dalam jangka waktu singkat yaitu dalam hitungan tahun saja adalah normanorma hukum. Hal itu dapat dilihat dalam skema berikut ini. Skema 1. Hubungan antara nilai, azas, norma, dan perilaku.16 +8%81*$11,/$,$=$6'$11250$ 1,/$, 3(5,/$.8 ǡ Ǥ 0DQXVLD $=$6 ȋ ȌǤ ǡ 1250$ &$5$.(5-$1,/$,± $=$6± 1250$'$13(5,/$.8 Dominikus Rato Dari skema diatas, nilai adalah falsafah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yaitu Pancasila, asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diderivasi dari Pancasila, dan norma terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang diderivasi dari UUD NRI Tahun 1945. Nilai merupakan realitas yang sangat sulit berubah. Perubahan nilai selalu melalui revolusi. Perubahan nilai dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama, yaitu dalam jangka waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Asas merupakan realitas yang lamban sekali berubah, kecuali melalui mekanisme dan konsensus sosial. Perubahan asas terjadi dalam jangka waktu puluhan 16 Dominikus Rato, 2014, Hukum Adat di Indonesia: Suatu Pengantar. Surabaya: LaksBang Justisia Surabaya. [ 180 ] Dominikus Rato bahkan ratusan tahun. Sedangkan norma merupakan realitas yang cepat sekali berubah. Perubahan norma dapat terjadi puluhan, bahkan bulanan. Sedangkan perilaku merupakan realitas dapat berubah sewaktu-waktu dalam hitungan hari, jam, bahkan detik. Perubahan perilaku dipandu oleh norma, dan norma dipandu oleh azas, dan perubahan azas dipandu oleh nilai. Dengan demikian, nilai menjadi pemandu utama terhadap perubahan. Jika perilaku bertentangan dengan norma, maka perilaku itu disebut salah. Dan jika norma yang dilanggar itu adalah norma hukum, maka perilaku itu disebut melanggar hukum. Begitu pula dengan perubahan norma yang bertentangan dengan azas, maka norma tersebut tidak mempunyai kekuatan berlaku, mengikat atau memaksa. Dalam bahasa Jerman disebut geltung dan dalam Bahasa Belanda disebut gelding. Apalagi azas hukum yang bertentangan dengan nilai, maka azas hukum yang demikian azas hukum yang mati. Jika azas hukum tersebut mati, maka ia tidak mempunyai kekuatan berlaku, mengikat atau memaksa. Perubahan norma dan asas selalu dipandu oleh nilai-nilai Pancasila itu. Sedangkan perubahan perilaku disebabkan oleh kepentingan, kebutuhan, bahkan oleh kesenangan semata. Secara ideal perubahan perilaku seharusnya dipandu oleh nilai dan azas, setidak-tidaknya oleh norma.17 Jika perilaku seseorang bertentangan dengan norma, maka orang itu diancam dengan sanksi, misalnya perubahan perilaku di bidang sosial diancam dengan sanksi secara sosial; misalnya bertentangan dengan kepatutan, jika perilaku bertentangan dengan norma kesusilaan, maka akan diancam dengan sanksi moral; jika perilaku bertentangan dengan norma agama, maka akan diancam dengan sanksi agama; dan jika perilaku bertentangan dengan norma hukum, maka akan diancam dengan sanksi agama; serta jika perilaku bertentangan dengan norma hukum, maka akan diancam dengan sanksi hukum. Perilaku baik sosial, kesusilaan, agama, dan hukum tetap berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Perubahan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam Sila-Sila Pancasila, tidak berarti bahwa orang itu anti Pancasila atau tidak Pancasilais. Karena perubahan perilaku, dapat terjadi karena situasi dan kondisi suka-duka, 17 Bendingkan, Andreas Doweng Bolo, dkk., 2012, Pancasila Kekuatan Pembebas. Bandung: Universitas Parahyangan. [ 181 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi susah-senang, atau sedih-gembira, suasana pshikologis. Akan tetapi, hal ini tidaklah menjadi pembenar bahwa setiap perilaku boleh dan dibolehkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam Sila-Sila Pancasila.18 Unsur-U nsur P ancasila sebagai IIdeologi deologi yang H idup nsur-Unsur Pancasila Hidup Untuk dapat dikatakan sebagai ideologi yang hidup, Pancasila dalam kandungan nilai-nilainya yang terdapat dalam Sila-Sila Pancasila mempunyai 3 indikator, yaitu adaptif-aktif, responsive, dan aplikatif (dapat diterapkan). Adaptif-aktif mengandung karakter yang pasif. Oleh karena itu supaya lebih hidup dalam konteks yang sedang dibahas ini, unsur adaptasi diartikan sebagai adaptif-aktif, yaitu adaptasi secara aktif ketika masyarakat dan bangsa Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan zaman terutama dalam interaksinya dengan masyarakat, bansa, dan negara lain di dunia. Adaptif-aktif bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam SilaSila Pancasila mampu memberi landasan mentalitas dan moralitas dalam pembentukan azas dan norma hukum yang menjadi pedoman dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi ketika masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia memasuki era globalisasi. Dalam arti yang demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila merefleksikan kesadaran baru yang terus-menerus untuk berubah. Berubah tidak berarti harus menggantikan yang lama dengan yang baru, tetapi menyesuaikan diri dengan yang baru itu; bergerak tidak harus merusak, apalagi membuang yang lama; jadi membangun berarti mengubah tanpa merusak, mengganti tanpa membuang. Maksudnya adalah nilai-nilai lama yang telah berurat berakar dalam hati dan sanubari manusiamanusia Indonesia menjadi dasar, fondasi yang kokoh kuat, tidak harus dirusak dan diganti, tetapi diperkaya. Adaptif-aktif mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila memberi landasan mentalitas dan moralitas bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia untuk selalu berorientasi ke masa yang akan datang serta untuk senantiasa menyadari siatuasi kehidupan 18 Bandingkan pula dengan Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila. Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya. Jogyakarta: Penerbit Paradigma. [ 182 ] Dominikus Rato bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sedang dan akan dihadapi. Kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan teknologi yang semakin canggih, membawa dunia ini seolah semakin sempit serta membawa penghuninya ke situasi yang saling interdependensi dengan masyarakat, bangsa, dan negara lainnya di dunia ini. Dengan demikian kita berasumsikan bahwa pembangunan nasional Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh factor-faktor internal tetapi juga factor-faktor eksternal. Kedua factor ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain secara fungsional, kooperatif, dan simbiosis. Oleh karena itu, Indonesia tidak mungkin menampik dan menafikan gesekan ekonomi global melalui korporasi multinasional (MNC), politik dunia, dan factor sosial budaya global. Dampaknya adalah ancaman ketergantungan yang mempersulit usaha bangsa untuk mandiri, pemupukan modal dibawah kekuasaan korporasi atau kartel dunia, maka nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila meletakan mentalitas dan moralitas masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia untuk menyesuaikan diri. Tantangan ini harus mampu dijawab dan disadari untuk tidak saling menyalahkan dan mengalahkan, melainkan untuk saling memberi dan menerima tanpa harus meninggalkan sikap kritik. Itulah sikap dan sifat khas masyarakat dan bangsa Indonesia. Sikap dan sifat ini menunjukkan bahwa Indonesia wajib tetap mempertahankan identitas, eksistensi atau jati dirinya, Pancasila. Sikap dan sifat yang demikian merupakan ciri khas Masyarakat dan Bangsa Indonesia yang dinamis. Indikator yang kedua kedua yaitu responsive yang mempunyai arti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu menerima azasazas hukum dan norma-norma hukum yang berasal dari luar untuk memperkaya azas dan norma hukum Positif Indonesia, misalnya azas dan norma yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, KUHAP, Hukum Ekonomi, Hukum Pidana, Hukum Lingkungan, dan sebagainya. Azas dan norma hukum asing yang telah tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila sedikit demi sedikit dikikis oleh waktu dan kesadaran manusia Indonesia untuk kembali ke azas dan norma hukum pribumi. Responsibitas nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu disebabkan karena asas dan norma hukum positif Indonesia telah tidak [ 183 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi mampu menjawab kebutuhan subjeknya. Kebutuhan masyarakat di berbagai aspek kehidupan harus didasari dan dilindungi oleh asas dan norma hukum. Jika ada asas dan norma hukum asing yang lebih mampu memberi dasar dan perlindungan kepada subjeknya, maka asas dan norma hukum asing itu akan direspons dan diakomodasi. Misalnya asas dan norma hukum dalam aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya global. Sedangkan indikator yang ketiga yaitu aplikatif. Sifat aplikatif mencerminkan Pancasila dapat diaplikasikan atau diterapkan di masyarakat. Pengertian dapat diaplikasikan adalah bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam Sila-Sila Pancasila itu diterapkan, digunakan, dan dipakai dalam pembentukan, pelaksanaan, penegakan, dan evaluasi atau pembaharuan hukum. Indikator ketiga ini juga mengandung arti nilai-nilai Pancasila dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan dibahas secara khusus. Artinya, Pancasila dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam perilaku, maupun dalam norma hukum. Indikator dari konsep Pancasila sebagai Ideologi yang hidup itu, termaktub pengertian bahwa bangsa Indonesia mampu mengekspresikan dirinya dalam pergaulan dunia melalui hukum-hukum yang dibentuknya baik melalui proses hukum (due proccess of law), yudikatif (judge-made law), maupun melalui pembentukan undang-undang ( law making proccess), juga melalui konstruksi sosial (konsesnsus) seperti hukum adat dan hukum kebiasaan selalu dan senantiasa dipandu dan dijiwai atau disemangati oleh nilai-nilai Pancasila. Kemampuannya untuk memandu dan menjiwai atau menyemangati itulah membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai yang hidup, dengan kata lain secara holistic bahwa Pancasila merupakan ideologi yang hidup. Pancasila sebagai IIdeologi deologi yang A plikatif Aplikatif Sebagai ideologi yang hidup, Pancasila sekaligus merupakan ideologi yang terbuka. Sifat keterbukaannya disebabkan oleh karena Pancasila merupakan ideologi yang hidup itu. Keterbukaan tidak diartikan dengan liberal. Keterbukaan berarti keterbatasan, yaitu terbuka menerima azas dan norma hukum asing yang mampu memperkaya azas dan norma hukum Indonesia. Keterbatasan berarti bahwa asas dan norma asing yang diterima adalah [ 184 ] Dominikus Rato asas dan norma yang bermanfaat dan yang memperkaya serta diterima oleh pendukung atau subjek yaitu bangsa Indonesia. Azas dan norma yang merugikan atau merusak akan dengan sendirinya tersingkir oleh masa/ waktu. Ujiannya terletak dalam interaksi sosial, bahwa azas dan norma hukum asing itu mampu memandu dan menyemangati setiap interaksi sosial itu atau sebaliknya justru merusak dan mematikan interaksi sosial itu baik dalam hubungannya sebagai pribadi, sosial, maupun bernegara. Telah banyak pengalaman sejarah yang menunjukkan bahwa jika suatu ideologi asing merusak interaksi sosial yaitu merusak integrasi bangsa, pasti ditolak. Pada Tahun 1949 – 1950 Indonesia pernah menganut ideologi liberal melalui Konstitusi RIS dan bentuk negara Indonesia saat ini ialah federal, namun hanya bertahan 9 bulan saja. Pada Tahun 1960 – 1966, Indonesia pernah menganut ideologi sosialis, namun hanya bertahan 5,5 tahun dan berakhir dengan revolusi. Pengalaman ini mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah mempunyai ideologi sendiri sebagai perwujudan kepribadian bangsa yang berperadaban. Wujud peradaban itu adalah ideologi yang kita sebut Pancasila. Dengan Pancasila mau dikatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius (bukan hanya beragama) yaitu bangsa yang mempunyai keyakinan dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (dengan sebutan yang beraneka ragam). Selain itu, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkemanusiaan (humanism), mengutamakan keadilan (justice), dan berkeadaban. Bukan hanya berkemanusiaan (humanism) saja atau mengutamakan keadilan saja, atau berkemanusiaan yang adil saja, melainkan juga berkeadaban. Artinya ketika bangsa Indonesia membela rasa kemanusiaan dan menegakkan keadilan adalah dengan cara-cara yang beradab. Yang tidak kalah penting adalah dimensi persatuan karena dengan sila ketiga dari Pancasila, Bangsa Indonesia selalu mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Indonesia. Karena secara objektif Indonesia terdiri dari beranekaragam agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, suku bangsa, etnis, bahasa, dan adat-istiadat/budaya, namun dengan tetap mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kekerabatan yaitu Bangsa Indonesia. Realitas-objektif ini disimbolkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu beranekaragam agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, suku bangsa, etnis, bahasa, dan adat-istiadat/budaya, tetapi [ 185 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi persatuan dan kesatuan/kemanunggalan bangsa tetap yang utama dan diutamakan. Persatuan Indonesia tentu tidak bisa dilaksanakan dengan seenaknya melainkan harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi yang juga dianut Pancasila. Bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan Persatuan Indonesia yang beranekaragam, ketika membuat kebijakan selalu mendahulukan ‘Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilian. Dalam arti bahwa ketika para Pemimpin Bangsa membuat, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakankebijakan public untuk kemakmuran rakyat selalu dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan secara musyawarah untuk mencapai permufakatan. Hikmat berasal dari kosa kata Bahasa Arab yang berarti kebijaksanaan, dan jika digabungkan dengan kata kebijaksanaan yang berasal dari kosa kata asli Indonesia, maka hal ini mau menyatakan bahwa hikmat-kebijaksanaan itu merupakan hal yang pokok dalam setiap pembuatan, pelaksanaan, dan pengevaluasian kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa. Aktualisasi dari hikmat-kebijaksanaan itu adalah adanya musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam permusyawaratan ini mengakui adanya perbedaan cara pandang, pendapat, kritik, dan saran. Akan tetapi perbedaan itu merupakan anugrah yang memperkaya wawasan, dan pada akhir dari semua itu, pada titik tertentu dari perbedaan itu, akan mengarah pada permufakatan, kesamaan pandangan dan pendapat bahwa kepentingan bersama seluruh rakyat Indonesia adalah pertama dan utama. Hal ini merupakan epistemology dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia untuk mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia. Jika metode sebagaimana dikemukakan pada angka (4) diatas terlaksana, maka sampailah kita tujuan bersama yaitu: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan muara dari keseluruhan kebijakan yang dilaksanakan dengan methode ‘musyawarah untuk mencapai mufakat’ dan dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia. [ 186 ] Dominikus Rato Skema 2. Pancasila Dalam Kehidupan Bermasyarakat WE^/>>D<,/hWEZD^zZ<d KETUHANAN YANG MAHAESA KEMANUSIAN YANGADIL DAN BERADAB KERAKYATAN YANGDIPIMPIN OLEHHIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARAT AN/PERWAKILAN KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA PERSATUAN INDONESIA DASAR BERMASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN CARA BERMASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN TUJUAN BERMASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN %\'RPLQLNXV 5DWR Jika Pancasila digunakan sebagai cara pandang dan dipahami secara secara filsafatis, maka akan ditemukan sebuah konsep yang terintegrasi secara ilmiah. Dari nilai Pancasila sebagai Dasar Negara atau Sumber Dari Segala Sumber Hukum, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu dapat diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim.19 Dengan demikian, jika digambarkan, maka akan ditemukan sebuah skema, sebagai berikut: 19 Teuku Jacob, 2006, Menengok Kembali Pancasila: Sesudah 60 Tahun. Simposium dan Sarasehan Peringatan Hari Lahir Pancasila. Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa. UGM 14 – 15 Agustus. [ 187 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Skema 3. Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara WE^/>^ZE'Z dKZ/^dh&&Eh Z/,E^<>^E WE^/> 'ZhEKZDсEKZD^Z hhEZ/d,hEϭϵϰϱ ^,h<hD͗ >y^hWZ/KZ/ ZK'd>y /E&Z/KZ/с ,h<hDzE' >/,d/E''/ DE''^Zͬ DE'/<E <KE^d/dh^/с,h<hD ^Z dWDWZ hhͬWZWh ,h<hD WW WK^/d/& WZWZ^ E'Z WZWZKs/E^/ <^dhE ,h<hDzE' >/,ZE, 'Z/^Ͳ'Z/^^Z ,>hEE'Z WZ<hWdEͬ<Kd ZWh>/< /EKE^/ WZ^;hhEK͘ϲd,hEϮϬϭϰͿ LJŽŵŝŶŝŬƵƐ ZĂƚŽ Dari skema diatas ditemukan konsep bahwa Pancasila sebagai ideologi yang hidup mempunyai indikator dapat diterapkan/aplikatif. Indikator ketiga dari Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan terbuka, maka Pancasila dapat diterapkan khususnya baik dalam bidang hukum dan peraturan perundang-undangan maupun dalam kehidupan sosial-budaya. Skema di atas adalah Pancasila sebagai ideologi yang hidup dalam kehidupan bernegara. Kesimpulan Ada banyak pandangan tentang fungsi Pancasila, baik oleh Penggalinya sendiri, Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur (KH. Abdurachman Wahid), Prof. Kaelan, Pranarka, dan lain-lain. Menurut mererka fungsi utama Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, namun dalam perkembangannya ada pula yang memberi gambaran tentang fungsi lain Pancasila, misalnya Pancasila sebagai Ideologi [ 188 ] Dominikus Rato Terbuka, Pancasila sebagai Kekuatan Pembebasan, maka tulisan ini memberi tambahan sifat Pancasila sebagai Ideologi Yang Hidup. Fungsi-fungsi ini memberi gambaran yang makin utuh terhadap Pancasila sebagai Falsafah Bangsa dan sebagai Dasar Negara. Sebagai Ideologi Yang Hidup, Pancasila memiliki 3 (tiga) indicator, yaitu adaptif-aktif, responsive, dan aplikatif. Adaptif-aktif bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Responsive bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu menerima atau mengakomodasi perubahan dengan menerima elemen-elemen sosial-budaya asing dengan maksud untuk memperkaya elemen-elemen sosial-budaya sendiri, dan aplikatif bermakna bahwa nilai-nilai Pancasila dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu diterapkan baik dalam bentuk perilaku, norma, maupun azas-azas hukum. Dengan melihat fungsi-fungsi Pancasila, yaitu nilai-nilai yang terkandung di dalamnya itu mampu menjiwai, menyemangati, memandu, mencerahkan, dan sebagainya itu, maka tidak ada tempat lain bagi ideologi selain Pancasila untuk menggantikannya. Pancasila layak untuk dibela dan dipertahankan. Oleh karena itu, kewajiban semua anak bangsa untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam perilaku, maupun dalam norma dan azas hukum. Sebagai ideologi yang hidup, negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia ‘Yang Empunya’ Pancasila, roh dan semangat Pancasila akan selalu menjadi ‘pedoman’ dalam berpikir, berkata, dan berperilaku. Baik secara mental maupun moral akan selalu hidup dan dipertahankan dari tekanan-tekanan ideologi asing, diterapkan dalam bentuk perilaku-perilaku pribadi maupun sosial, dijaga kelestariannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan public, putusan-putusan hakim, maupun dalam konsensus-konsensus sosial. Hal ini akan selalu diingat dan dilaksanakan jika manusia Indonesia memiliki mentalitas dan moralitas yang baik dan benar. [ 189 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Referensi Abdurrachman Wahid, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Bergama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 141-162. Alfian, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 169-189. A. Hamid S. Attamimi, 1990, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia. Dalam Pancasila sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 44-61. Bintoro Tjokroamidjojo, 1990, Pancasila sebagai Ideologi Birokrasi/ Aparatur Pemerintah. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 249-283. Doweng Bolo, Andreas, dkk., 2012, Pancasila Kekuatan Pembebas. Bandung: Universitas Parahyangan. Jacob, Teuku, 2006, Menengok Kembali Pancasila: Sesudah 60 Tahun. Simposium dan Sarasehan Peringatan Hari Lahir Pancasila. Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa. UGM 14 – 15 Agustus. Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila. Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya. Jogyakarta: Penerbit Paradigma. Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Pergaulan Indonesia dengan Dunia Internasional. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 191-233. Mubyarto, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kkehidupan Ekonomi. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 234-239. M. Sastrapratedja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang [ 190 ] Dominikus Rato Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 88-140. Padmo Wahjono, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 62-87. Rato, Dominikus, 2014, Hukum Adat di Indonesia. Suatu Pengantar. Surabaya: LaksBang Justisia Surabaya. ——————————, 2016, Hukum Adat Kontemporer. Jogyakarta: LaksBang Group. Saafroedin Bahar, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Pertahanan Keamanan. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 284-334. Selo Soemardjan, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Sosial. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 163-168. Soekarno, 1964, Tjamkan Pantja Sila: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pantjasila, 1 Djuni 1945 – 1 Djuni 1964. Soerjanto Poespowardojo, 1990, Pancasila Sebagai Ideologi Ditinjau Dari Segi Pandangan Hidup Bersama. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7. Sri Edi Swasono, 1990, Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipatif vs Konsentrasi Ekonomi. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 240-248. [ 191 ] PANC A SIL A , IDEOLOGI BANGSA Y ANG PANCA SILA YANG TERK OYAK TERKO Sukron Ma’mun A rus global tidak hanya menyangkut ranah sosial, politik, dan budaya, namun juga melibatkan sisi agama sebagai “penyedap” dalam pertempuran ideologi sebagai bungkus kepentingan, baik politik ataupun ekonomi. Kenyataannya agama menjadi sumbu peledak yang paling ampuh untuk memporak-porandakan tatanan politik yang berkeadaban dan menjunjung tinggi moralitas kemanuasiaan. Persoalan inilah yang nampaknya terjadi dalam dua tahun terakhir belakangan dan memiliki kecenderungan untuk terus menguat. Indikasi yang mampu memberikan gambaran akan terjadinya penguatan adalah adanya kekuatan-kekuataan politik yang mampu memahami karakter masyarakat bangsa, sebagai komunitas yang relijius dan kompromistis terhadap berbagai persoalan. Gerakan keagamaan transnasional1 juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sisitem sosial dan politik bangsa Indonesia, semenjak reformasi tahun 1998 lalu.2 Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat kran kekebasan dalam sistem demokrasi memungkinkan masyarakat untuk bebas berserikat, berkumpul, berpendapat, dan memilih keyakinannya. Sistem 1 Gerakan keagamaan transnasional juga merupakan efek dari globalisasi dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya. Kendurnya sekat-sekat (boundaries) ikatan sosial, budaya, dan politik sebuah masyarakat mengakibatkan mudah diterimanya berbagai aliran, ideologi, dan pemahaman kelompok lain. Derasnya arus informasi sebagai bagian tak terpisahkan dari modernisasi dan globalisasi menjadi faktor pendorong cepatnya merambah gerakan keagamaan transnasional. [ 193 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi rezim politik represif terhadap Islam yang dimainkan Orde Baru telah meledakkan gerakan Islam baik politik maupun keagamaan murni. Kelompok-kelompok keagamaan yang selama ini “terindimitasi” oleh pemerintahan Orde Baru menyeruak dan mencari eksistensi diri dalam ruang publik yang terbuka. Ekspresi kebebasan ditunjukkan dengan penguatan ideologi, gerakan keagamaan, dan sakralitas ritual. Ideologiideologi yang selama ini belum dikenal oleh masyarakat tiba-tiba muncul menjadi idola baru bagi masyarakat yang dimabuk kebebasan. Ekspresi keagamaan pada masa-masa awal reformasi menunjukkan hal yang bersifat positif, karena mengarah pada bentuk keterbukaan alam demokrasi, dalam berserikat, berpedapat, dan tentunya berkeyakinan. Namun belakangan nampaknya gerakan keagamaan tersebut lambat laun mulai mengkristal untuk menemukan titik kejelasan atau orientasi yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Ali3 menyatakan bahwa gerakan keagamaan di Indonesia dapat dipilah dalam dua bkelompok besar, yakni kelompok mainstream dan non-mainstream. Kelompok gerakan Islam mainstream merujukan pada model gerakan keagamaan yang memiliki akar kuat dalam perjalanan masyarakat Muslim di Indonesia. Gerakan keagamaan ini seperti Miuhammadiyyah, NU, Persatuan Islam Indonesia (Persis) dan Mathlaul Anwar. Sementara gerakan non-mainstream adalah gerakan keagamaan yang tidak memiliki basis kuat dalam perjalanan gerakan di Indonesia, karena berangkat dari gerakan keagamaan transnasional. Masing-masing kelompok ini masih dapat dipilah-pilah jenis dan modelnya, mengingat beragamannya orientasi yang ingin dicapai dalam pembentukan gerakan tersebut. Gerakan Islam mainstream dengan berbagai anak gerakan sendiri dapat dipilah dalam tiga model, yakni Islam modernis, Islam tradisonalis-konservatif, transformasi Islam, dan Islam fundamentalis.4 2 3 4 Lihat M Imdadun Rahmad, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005) hlm. X. Lihat pula As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan PascaReformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Sosialogis (Jakarta: LP3ES, 2013), hlm. vii-xi. As’ad Said Ali, Ibid., 63-144. Baca pula As’as Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009), hlm. 286-307. As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 63-64. [ 194 ] Sukron Ma’mun Sementara kelompok non-mainstream dalam dipilah menjadi dua, yakni kelompok salafi dan non-salafi. kelompok salafi merujuk pada model Islam literal dan kaffah. Sementara non-salafi berusaha mewujudkan cita-cita politik Islam.5 Dalam konteks demokrasi dan kemajemukan Indonesia tentu hal ini sangat wajar terjadi. Adanya pluralitas dalam keyakinan beragama merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, namun bagaiamana jika pluralitas tersebut mengancam bangunan fundamental dari ideologi besar bangsa yang menjadi penyangga berdirinya bangsa? Pancasila merupakan ideologi bangsa yang menjadi pondasi berdirinya bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil perasan dari berbagai ideologi yang tumbuh di Nusantara. jika demikian adanya, pertanyaan selanjutnya adalah akankah sebuah bangsa mampu bertahan dalam ancaman rongrongan yang menggerus kerangka besar bangunannya? Jika ia berpotensi merobohkan imaginasi bersama, bagiamanakah seharusnya diselamatkan? Konteks Historis Keragaman Ideologi Secara ideologis Pancasila merupakan hasil dari proses resapan budaya, ajaran, dan nilai-nlai bangsa Indonesia yang sangat plural. Keberagaman budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia adalah hasil warisan dan silang budaya yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia semenjak berkembangnya peradaban Nusantara. Posisi silang nan strategis inilah yang menjadikan bangsa Indonesia tumbuh dalam keragaman budaya dan ideologi. Sartono Kartodirdjo, dalam pengantar buku Denys Lombard, 6 menyatakan periodisasi kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara mengalami tiga periode, yakni Hindu-Budha, Islamisasi, dan Westernisasi. Pengaruh ideologi dan budaya Hindu-Budha mungkin dapat dikatakan sebagai periode cukup lama memberikan pengaruh terhadap cara berfikir masyarakat Nusantara, yakni berlangsung sekirat 14 abad. Pengaruh 5 6 Kategori salafi dan non-salafi ini ditunjukkan oleh As’ad Said Ali untuk membedakan gerakan keagamaan non-mainstream yang memiliki orentasi politik dan murni gerakan agama. Meskipun pada gerakan mainstream juga terdapat kelompok non-salafi. lihat Ibid, 73-74. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejara Terpadu, Bagian 1: Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. xv. [ 195 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ideologi Islam berlangsung sekitar 7 dan pengaruh ideologi barat dengan varian agamanya berlangsung selama 4 abad.7 Hindu dan Budha yang berasal dari India memberikan warna dalam ideologi Nusantara mulai dari abad ketiga dan keeampat Masehi. Agama yang berasal dari Asia Selatan ini bukan hanya memberikan nuansa religi, tetapi juga memberikan cetak budaya pada masyarakat Nusantara hingga Indonesia modern. “Kontak” Islam dengan penduduk Nusantara disinyalir mulai abad ketujuh Masehi belum mampu memberikan warna ideologi dan budaya masyarakat Nusantara hingga abad ketiga belas Masehi. Artinya tujah abad Islam memasuki wilayah Nusantara namun tidak banyak memberikan pengaruh terhadap keyakinan dan kebudayaan Nusantara kala itu. Sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dimulai abad ke-7 hanya menyentuh wilayah kontak ekonomi, belum merambah pada ranah ideologis dan kebudayaan. Islam baru secara massif menjadi bagian dari keyakinan masyarakat Nusantara dan mampu meberikan warna kebudayaan baru sekitar abad ketiga belas hingga empat belas Masehi. Hal ini ditandai oleh konversi masyarakat Nusantara untuk mengikuti ajaran Islam, serta massifnya intensitas masyarakat Timur Tengah dan India Muslim masuk wilayah Nusantara. Hingga pada titik itu, Islam secara ideologis dan kebudayaan pada dasarnya belum diikuti secara “kaffah” (totalitas) oleh pemeluk barunya. Bahkan yang terjadi adalah adalah akulturasi kebudayaan antara Islam dan Jawa, yang tentu saja kental dengan budaya Hindu-Budha dan keyakinan animis-dinamis yang sudah ada. Pada proses selanjutnya terjadi sinkretisme ajaran, sehingga menyebabkan model dan praktik keagamaan Islam masyarakat Nusantara menjadi unik.8 Tidak mengherankan banyak model keislaman yang tumbuh dalam masyarakat muslim Nusantara sebagai artikulasi sinkretisme ajaran Islam dengan keyakinan lokal. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan terhadap ajaran baru, namun masih kuatnya pengaruh ajaran lama yang telah ada.9 7 8 9 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2015), hlm. 57. Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast Asian Studies, Kyoto: vol 37, No 2, 1999, hlm. 46-63. Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), hlm. 170. Lihat pula Andik Wahyu Muqoyyidin, Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang Sosial Sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa, el Harakah, Vol. 14. No. 1, 2012, hlm. 21-22. [ 196 ] Sukron Ma’mun Selain diterima Islam sebagai bagian dari ideologi dan kebudayaan baru di Nusantara, masyarakat Nusantara juga memperoleh pengaruh Konghucu yang berasal dari China. Orang-orang China memberikan pengaruh cukup dalam kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara.10 Lebih dari itu pada perkembangannya etnik China juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem sosial masyarakat Nusantara. Komunitas China dan tentu dengan ideologi dan kebudayaannya menjadi warna tersendiri dalam perkembangan masyarakat Nusantara, yang tersebar di berbagai wilayah. Kedatangan kaum kolonial Eropa mulai abad 16, beberapa diantaranya adalah Portugis, Inggris, dan Belanda, memberikan pengaruh ideologi dan budaya modern bagi masyarakat Nusantara. Agama Kristen yang awalnya tidak dikenal oleh penduduk Nusantara mulai dikenal dan dikuti. Meskipun datang lebih akhir dibanding dengan ketiga agama sebelumnya, Kristen memberikan warna yang cukup mengingat kolonial Belanda yang memerintah Indonesia mayoritas pemeluk agama Kristen. Meskipun tidak ada pemaksaan agama oleh pemerintahan Hinda Belanda, namun kontak pemerintah dengan penduduk lokal memberikan imbas yang signifikan terhadap keberagaman masyarakat Indonesia pada nantinya. Kenyataan di atas tentu bukan hal kebetulan belaka, namun sebuah proses sejarah yang berlangsung dalam cukup lama. Keragaman bangsa Indonesia tentu bukan kebetulan semata, namun dialektika dan negosiasi berbagai keyakinan dan budaya terjadi secara intensif. Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah proses tersebut berjalan sangat harmonis dan nyaris tanpa perselisihan berarti. Mengapa hal ini dapat terjadi? Menurut Suyanto11 hal ini lebih karena disebabkan oleh karakteristik budaya Jawa yang cenderung religious, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan 10 11 Yudi Latif, Negara, hlm. 58. Lebih jauh Suyanto menyebutkan karakter di atas melahirkan corak, sifat, dan kencenderung masyarakat Jawa dalam 10 sifat; 1) Percaya pada Tuhan Yang Mahaa Esa sebagai sangkan paraning dumani (tempat manusia berasal). 2) Bercorak idealitis, percaya pada hal-hal yang bersifat adikodrati (supranatural), dan cenderung mistik. 3) Lebih mebnutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual. 4) Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. 5) Percaya pada takdir dan cenderung bersikap pasrah. 6) Bersifat konvergen dan universal. 7) Momot dan non-sekterian. 8) Cenderung pada simbolisme. 9) Cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai. 10) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi. Lihat Suyanto, Pandangan Hidup Jawa (Semarang: Dahana Prize, 1990), hlm. 144. [ 197 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi optimistik. Karakter yang demikian menjadikan masyarakat Nusantara, dengan komunitas etnik Jawa paling dominan, memiliki tingkat keragaman ideologi, budaya, sosial, dan politik. Dengan demikian, keragaman menjadi menjadi hal yang sangat wajar terjadi. Pancasila sebagai IIdeologi deologi B angsa Bangsa Pancasila lahir dalam konteks keragaman budaya dan ideologi masyarakat Nusantara. Ia merupakan konsesus dari berbagai keyakinan dan faham yang telah tumbuh di bumi Nusantara. Bahkan lebih dari itu Pancasila lahir dalam situasi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia yang ada kala itu, yakni Liberalisme, Sosialis-Komunisme, Chauvinisme, dan Kosmopolitisme. Pancasila lahir setelah melalui pemikiran matang para pendiri bangsa yang tidak serta merta memunculkan poin-poin dasar (sila) yang lima tersebut. Pancasila adalah dasar yang menjadi pijakan dalam setiap langka masyarakat bangsa dan tentu sistem pemerintahan dengan berbagai aturannya. Karenanya dalam sejarah penyusunannya ia digodog secara matang, melalui kejernihan fikir dan ketulusan hati. Ia merupakan resapan nilai-nilai fundamental dari kebudayaan, keyakinan atau kepercayaan, dan fasalah (cara pandang) bangsa Indonesia. Hal yang perlu ditetakkan disini adalah Pancasila bukan sebuah kebetulan belaka, meskipun proses perumusannya terjadi setelah adanya janji kemerdekaan pemerintahan Jepang yang menguasai Indonesia kala itu, tahun 1945. Jepang yang menjanjian kemerdekaan Indonesia sejak September 1944, membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 April 1945. BPUPK sendiri mulai melakukan persidangan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Hal yang mendasar dalam pertemuan tersebut adalah pembicaraan mengenai dasar negara.12 Masing-masing anggota memberikan pandangan mengenai hal-hal dasar yang menjadi landasan bernegara. Beberapa hal mendasar yang dibicara dalam persidangan tersebut adalah pentingnya ketuhanan (agama) 12 A.M.W Pranaka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1985), hlm. 31. [ 198 ] Sukron Ma’mun dalam bernegara, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, demokrasi permusyawaratan, dan nilai-nilai keadilan atau kesejahteraan sosial.13 Masing-masing tokoh memberikan pandangan mengenai dasar negara Republik Indonesia, beberapa diantaranya yang diminta memberi pendangan oleh ketua BPUPK, Radjiman Wediodiningrat adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.14 Dalam pandangan Muhammad Yamin, ketika berpidato di sidang BPUPK tanggal 29 Mei 1945, lima mendasar dari kehidupan bernegara adalah peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sementara Soepomo yang berkesempatan memberikan pandangan pada 31 Mei 1945 menyatakan lebih abstrak dari gagasan Muhammad Yamin. Soepomo hampir senada dengan Yamin, ia melihat pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusaian, persatuan, permusyawaratan dam keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan.15 Meskipun Soepomo lebih melihat pentingnya sebuah negara memiliki falsafah yang mendasar sebagai pondasi kehidupan. Ia juga mengusulkan aliran bagi Indonesia merdeka adalah alirah atau faham integralistik.16 Sementara Soekarno yang mendapatkan kesempatan mengemukakan gagasannya pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan gagasan yang hampir sama dengan Yamin dan Soepomo. Hanya saja urutannya berbeda, kelima dasar tersebut adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisasi atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno memberikan pandangan yang runut, solidm dan koheren sehingga mampu menyakinkan anggota BPUPK yang berjumlah 69 plus 7 anggota istimewa (Tokubetu Iin) perwakilan pemerintahan Jepang.17 13 Yudi Latif, Negara, hlm. 10-11. Ibid. Lihat pula Muhammad Choirul Huda, Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara: Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan Hukum, dalam Absori, dkk (ed), Transendensi Hukum: Prospek dan Implementasi (Yogyakarta: Genta Publishing 2016), hlm. 494. 15 Yudi Latif, Negara, hlm. 10. 16 A.M.W Pranaka, Sejarah, hlm. 31. 17 Yudi Latif, Negara, hlm. 669-671. 14 [ 199 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pada dasarnya Soekarno sendiri tidak mempersoalkan urutan lima dasar tersebut harus sebagaimana yang ia sampaikan. Ia mempersilahkan urutan tersebut dibuat sesuai dengan kesepakatan. Namun yang lebih penting dari Soekarno adalah dasar-dasar tersebut hendaknya menjadi “dasar falsafah” (philosofische grondslog) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) bagi bangsa dan negara Indonesia.18 Soekarno memberikan nama Pancasila yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Panca berarti lima dan Sila berarti dasar. Angka lima menurut Soekarno merupakan “angka keramat” yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Dalam ajaran Jawa terdapat ajaran etika mengenai larangan “Mo-Limo”. Taman Siswa dan Chuo Sangi memiliki ajaran “Panca Dharma”. HinduJawa memiliki keyakinan kesatria Pandawa Lima. Islam memiliki rukun Islam yang berjumlah lima. Soekarno menyebut lima dasar tersebut dengan asosiasi penggunaan istilah Leitstar atau bintang pemimpin.19 Lima dasar dalam rumusan Pancasila adalah sari pati nilai-nilai kehidupan bangsa yang telah mengakar dalam alam pikir, sikap hidup, cara pandang hidup, dan tindakan masyarakat Indonesia. Sehingga wajar banyak ilmuwan, tokoh, dan pemerhati dunia yang menyatakan bahwa rumusan dalam Pancasila adalah karya agung bangsa Indonesia. Pancasila merupakan sitensa dan juga antitesa dari berbagai ideologi. Rumusan yang terkadung dalam Pancasila merepresentasikan sebuah imaji besar dari bangsa Indonesia, bahwa Indonesia bukan negara agama, sekuler, ataupun sosialis. Tetapi juga mencerminkan bagaimana rumusan sila-sila di dalamnya merupakan resapan dari nilai-nilai agama, pandangan sosialis dan liberalis. Namun demikian Pancasila bukan ideologi agama, apalagi nilai ideologi sosialis, komunis, dan liberalis. Latif20 menyatakan sintesa Soekarno akan nilai-nilai ideologi ini dalam rumusan yang sangat tepat. Sehingga Soekarno menyebut sebagai dasar falsafah (philosofische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Sustesa tersebut adalah nasionalisme-islamisme, socio-democratic, dan konseptualisasinya tentang socio-nationalisme dan socio-democratic sebagai asas Marhaenisme. 18 As’ad Said Ali, Negara, hlm. 17-18. Ibid. 20 Yudi Latif, Negara, hlm. 46. 19 [ 200 ] Sukron Ma’mun Sila pertama ketuhanan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menyadari bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Sila kemanusiaan merepresentasikan humanitas dan rasa kesamaan terhadap segala entitas ciptaan tuhan. Artinya adalah pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Sila persatuan menunjukkan rasa cinta akan kebangsaan. Bangsa sebagai entitas yang satu dalam bingkai keindonesiaan. Sila kerakyatan dan permusyawaratan menujukkan Indonesia merupakan negara demokrasi, bukan monokrasi ataupun teokrasi. Sila keadilan dan kesejahteraan sosial memberikan satu arahan bahwa Indonesia bukan negara kapitalis liberal, namun memperhatikan aspek social dalam membangun masyarakat. Namun persoalan “ideologi bangsa” ini berhenti atau cukup sampai pada perumusan, nampaknya masih terjadi pertentangan hingga pengesahan Pancasila dengan sila-sila yang kita kenal sekarang. Hingga menjelang kemerdekaan Indonesia masih terdapat tarik ulur yang sengit antara banyak pihak terkait dengan adanya rumusan Pancasila pada sila pertama. Kelompok Islam masih sengit mempertahankan tujuh kata sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan tujuh kata ini yang menjadikan pembahasan Pancasila sila pertama mengalami deadlock. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan pihak Islam menerima penghilangan tujuh kata tersebut demi kesatuan bangsa Indonesia. Kemauan pihak Islam ini merupakan indikasi langkah yang sangat luar biasa dalam perkembangan kehidupan beragama di Indonesia. kalangan Nasionalis, yang direpresentasikan oleh Soekarno, mampu menyakinkan kelompok Islam, Muhammadiyyah yang diwaliki oleh Ki Bagoes Hadikoesmo dan NU yang diwakili Wachid Hasjim. Keduanya menerima penghilangan tujuh kata dengan alasan menjaga persatuan bangsa.21 Hingga detik itu Pancasila merupakan dianggap sebagai dasar negara dan kesepakatan bersama, bukan falsafah ataupun ideologi sebagaimana Soekarno inginkan. Meskipun pada dasarnya Soekarno juga tidak terlalu berambisi untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa untuk 21 Ibid., hlm. 36. Lihat pula Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 110-111. [ 201 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi menggantikan ideologi atau keyakinan-keyakinan yang telah ada. Welstanchauung sebagaimana yang dimaksud Soekarno menurut Ali tidaklah sama dengan ideologi, karena secara prinsipal keduanya memiliki perbedaan. Welstanchauung lebih diartikan sebagai pandangan dunia (world view) suatu masyarakat yang terbentuk dan pengalaman bersama dalam batas dan kondisi lingkungan tertentu yang menghasilkan sistem sosiokultural, khususnya nilai-nilai spesifik.22 Sementara ideologi lebih cenderung pada sistem nilai yang bersifat mengikat dan berasal dari ide besar, baik yang bersumber dari alam pikir ataupun wahyu. Pancasila pada akhirnya menjadi “ideologi bangsa” setelah pada kurun 1945 hingga 1950 mengalami berbagai cobaan dalam sistem politik dan kenegaraan negara muda Indonesia. Adanya kemungkinan tafsir yang disesuaikan dengan kepentingan adalah hal yang tidak terelakan mengenai sila pertama. Misalnya kelomopok nasionalis sekuler melihat makna ketuhanan dalam pengertian sosiologis.23 Ketuhahan tidak terikat pada agama atau netral, sehingga terlihat seolah Islam bukanlah inspirasi perumusan Pancasila. Sementara kalangan komunis berkeinginan lebih jauh, menggati sila pertama dengan kebebasan beragama dan kepercayaan.24 Perdebatan panjang mengenai tafsiran sila pertama ini cukup melegekan setelah beberapa tokoh sepakat untuk melakukan reinterpretasi. Pertama, Pancasila merupakan kompromi politik. Perdebatan di siding BPUPK dan PPKI merupakan bentuk kompromi tersebut. Kedua, lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial, Pancasila merupakan falsafah bangsa atau welstanchauung bangsa Indonesia.25 Bagaimana lantar respon umat Islam? Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama pada awalnya nampak masih ragu menerima Pancasila sebagai faslafah bangsa. Hal ini terambar dari pidato Mohammad Nasir yang mempertanyakan sumber sila-sila dalam Pancasila. Demikian pula dengan KH Ahmad Zaini yang berasal dari NU.26 22 As’ad Said Ali, Negara, hlm. 18-19. Ahmad Syafii Maarif, Islam, hlm. 147. 24 As’ad Said Ali, Negara, hlm. 26. 25 Ibid., hlm. 23-24. 26 Ahmad Syafii Amarif, Islam, hlm. 147. 23 [ 202 ] Sukron Ma’mun Muhammadiyah dan NU menggagap Pancasila merupakan kompromi politik yang dimaksudkan untuk mendudukan hal yang paling esensial dari proses kehidupan berbangsa yang plural atau multikultur. Kenyataan kehidupan berbangsa yang plural saat itu harus diselamatkan dalam situasi yang kritis dalam masa-masa awal menjelang kemerdekaan.27 Menurut KH Mustafa Bisri NU sendiri misalnya menerima totalitas Pancasila sebagai asal tunggal setelah melakukan perdebatan panjang, bahkan kemudian menjadi pembela utama Pancasila.28 Terlepas dari perdebatan panjang mengenai Pancasila sebagai falsafah bangsa, Pancasila layak menjadi “ideologi bangsa” untuk menyatukan pikiran, gagasan, dan tindakan semua komponen bangsa. Sebagaimana dikemukakan KH Abdurrahman Wahid,29 Pancasila harus diterima sebagai ideologi bangsa yang mengikat seluruh kompenen bangsa dalam sila yang lima. Pancasila merupakan bukan sebatas hasil perenungan, lebih dari itu nilai-nilai yang diangkat adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai relegius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Potr et R etak N usantara otret Retak Nusantara Tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila mengalami distorsi yang luar biasa selama rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. 27 Ibid., hlm. 149. Pembelaan ini menurut KH Mustofa Bisri dituangkan dalam Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam yang berjumlah lima poin hasil Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama tanggal 21 Desember 1983. Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Kedua, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencermkinkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. Lihat As’ad Said Ali, Negara, hlm. xxix-xxx. Lihat pula Andree Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 242-245. 29 Abdurahman Wahid, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kaitannya Dengan Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan YME, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds. Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: BP7 Pusat, 1991), hlm. 161. 28 [ 203 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pemberlakuan asas tunggal memang bukan sesuatu yang buruk, namun cara mensikapi dan menjadikan Pancasila sebagai bagian dari jiwa bangsa Indonesia yang kurang tepat. Program pemasyarakatan Pancasila melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dinilai hanya sebuah program tanpa “penghayatan dan pengamalan” sama sekali terhadap Pancasila itu sendiri. Pancasila hanya menjadi jargon, namun tidak menjadi bagian dari hidup terutama bagi kaum elit politik (penguasa). Memang setiap warga negara wajib mengikuti program tersebut untuk mengenalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bernegara. Namun program Penataran P4 seolah hanya rutinitas dan bagian dari cara “pembelengguan” warga masyarakat. Peserta penetaran hanya akan meniru kata-kata sang penatar, tanpa perlu mempertanyakan atau bahkan mengkiritisi. Bertanya, mendebat, atau mengkritisi justru akan menjadi boomerang bagi yang bersangkutan.30 Akibat dari kekurangtepatan memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan Pancasila, justru Pancasila menjadi senjata bagi masyarakat untuk melawan negara. Tidak sedikti masyarakat yang secara diam-diam antipasti terhadap Pancasila. Banyak ormas-ormas Islam yang menentang Pancasila sebagai asas tunggal organisasi, bahkan menolaknya. Pemberlakuan asas tunggal bagi organisasi selama Orde Baru mendapatkan tantangan keras dari berbagai ormas Islam.31 Bagi yang cukup moderat mereka menganggap bahwa Pancasila tidak bisa dijadikan asas untuk kepentingan organisasi, namun bisa menjadi asas bagi negara. Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama (NU) berada dalam posisi ini. Meskipun keduanya pada akhirnya menerima secara total. Sebaliknya bagi yang secara frontal menolak, mereka tidak bisa mengkompromikannya karena berbagai alasan. Misalnya Pancasila ciptaan manusia, kesepakatan politik, dan penuh kontroversial pada proses pembentukannya. Menerima asas tunggal dikhawatirkan menganggap Pancasila telah menggantikan agama. Potret paling nyata penolakan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara adalah kasus pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia 30 31 As’ad Said Ali, Negara, hlm. xvi, xxv-xxviii Ibid., hlm. xxvi. [ 204 ] Sukron Ma’mun (TII) oleh SM Kartosuwiryo. Kartosuwiryo memprokalmirkan diri sebagai imam dari gerakan pemberontakan tersebut dan mendapatkan simpati dan dukungan dari banyak pihak. Kahar Muzakar dan pasukannya menyatakan dukungannya pada tanggal 20 Januari 1952 dan menyatakan diri sebagai bagian dari NII (Negara Islam Indonesia, istilah lain dari Darul Islam/ DI). Kemudian pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh di Aceh juga menyatakan bagian dari NII Kartosuwiryo. Tahun 1954, Ibnu Hajar dan pasukannya yang bermarkas di Kalimantan Selatan juga menggabungkan diri. Pada akhirnya, gerakan ini berhasil ditumpas oleh militer pro pemerintah dan tidak pernah lagi muncul kecuali melalui gerakan bawah tanah.32 Setelah adanya gerakan makar itu, disusul oleh gerakan perlawanan terhadap kekuasaan yang dikomandani oleh Partai Komunis Indonesi (PKI) tahun 1965.33 Sebagai partai komunis PKI boleh dibilang sebagai penolak keras Pancasila, karena pertentangan dengan asas ideologi dan gerakan dasar dari ideologi komunis. Bukan haya itu, secara deametral PKI bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam Pancasila. Pada puncak gerakan makar yang dilakukan oleh PKI tanggal 30 Spetember 1965, akhirnya gerakan partai komunis ini berhasil dilumpuhkan sebelum akhirnya beralihnya kekauasaan Orde Baru. Semasa pemerintah orde baru, rezim penguasa juga secara frontal “menyerang” kelompok-kelompok yang menolak asas tunggal sebagai kelompok yang berorientasi pada ideologi Marxist, Lenin, dan Komunis. Meskipun penyerangan ini juga ditujukkan pada ormas dan partai Islam, yang kala itu ditunjukkan pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (Ismail, 1999:197-199). Menurut Gus Mus34 penolakan bisa dianggap sebagai subversi oleh Rezim Orde Baru yang sangat membahayakan bagi yang bersangkutan. Mereka akan disebut “PKI”, “ekstrem kanan”, “ekstrim kiri” dan tidak Pancasilais”. 32 Saifuddin, Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa; Sebuah Metamorfosa Baru, Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 22. 33 Baca Eep Syaifullah Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru; Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 19. 34 Baca kata pengantar KH Mustofa Bisri dalam buku As’ad Said Ali, Negara, xxvi. [ 205 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Akibat dari penolakan ini tentu saja sikap represif pemerintah terhadap kalangan penolak, tidak mengecualikan Islam. Partai politik Islam mengalami masa kemunduran dan organisasi-organisasi Islam ada dalam pengawasan ketat pemerintah. Sikap represif ini mengakibatkan gerakan Islam justru mulai melakukan konsolidasi dan penguatan ideologi yang cukup diriskan pada masa-masa selanjutnya. Ali35 melihat masyarakat Indonesia letih dengan ideologisasi Pancasila selama Orde Baru yang hanya terkesan formalis tanpa makna. Tidak mengeherankan jika gerakan Islamist yang melakukan konsolodasi dan penguatan ideologi tiba-tiba meledak pasca reformasi tahun 1998. Penolakan Pancasila sebagai ideologi tunggal menjadi tidak terbendung lagi, bahkan yang lebih parah adalah adanya upaya menggantikan ideologi Indonesia. Model gerakan, cara pandang, dan sistem yang seragam muncul kepermukaan sebagai bukti konsolidasi penguatan gerakan Islamist di bawah tekanan Orde Baru. Ali36 memberikan contoh bagaimana alumnialumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab, perguruan tinggi Islam di Indonesia yang merupakan cabang Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad) yang mengenalkan ideologi salafi ala Arab Saudi kepada mahasiswa-mahasiswanya. Berdirinya LIPIA ini tidak lepas dari peran Nastir dan DDII-nya yang memiliki jaringan dengan Ikhwanul Muslimin Mesir.37 Ali38 menambahkan tidak mengherankan pecahnya reformasi tahun 1998 kemudian bermunculan gerakan Islam yang memiliki karakter mirip gerakan Ikhwan di Timur Tengah. Gerakan-gerakan salafi ini kemudian merembes di kota-kota besar terutama di kalangan kaum muda intelektual yang merasa haus akan pengetahuan agama dan spiritual. Kampus-kampus “sekuler” menjadi basis persemaian massifnya gerakan Islamist modern, seperti Institut Teknologi 35 Ibid., 264. Ibid., 301-303. 37 Abd A’la, Sikap Muslim Fundamentalis Indonesia terhadap NKRI Antara Penolakan dan Penerimaan Setengah Hati, UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010, hlm. 59. Lihat juga M. Imdadun Rahmad, Arus, bagian yang membahas permulaan persinggungan kelompok Islam dengan Ikhwanul Muslim Mesir. 38 As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 31. 36 [ 206 ] Sukron Ma’mun Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Sebels Maret (UNS) Solo, dan kota-kota besar lainnya. Di kalangan masyarakat luas gerakan Islamist juga mengalami penguatan yang tak kalah kerasnya, kelompok-kelompok radikal yang boleh jadi anti Pancasila melakukan penguatan. Beberapa kelompok gerakan dapat disebutkan adalah MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wa al-jama’ah), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta), Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Jundullah, dan lain sebagainya.39 Indikasi anti Pancasila adalah upaya yang massif untuk merongrong kekuasaan dengan dalih pemerintahan thaghut dan kafir. Hal yang paling sederhana juga misalnya terdapat sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan gerakan tersebut melarang adanya penghormatan terhadap bendera Merah Putih. Gerakan ideologi Islamist dengan berbagai variannya muncul baik di lembaga-lembaga pendidikan resmi milik pemerintah, seperti SekolahSekolah Negeri Unggulan, universitas-universitas negeri terbaik di Indonesia. kelompok-kelompok siswa dan mahasiswa mendirikan atau berafiliasi dengan gerakan-gerakan radikal yang anti Pancasila dan bahkan NKRI. Kasinyo Harto40 yang melakukan penelitian di Universitas Sriwijaya menemukan berbagai gerakan Islamist telah menjadi bagian dari gerakan Mahasiswa di kampus tersebut, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Gerakan Tarbiyah, gerakan Salafi, dan Jamaah Tabligh. Gerakan-gerakan Islamist ini sebenarnya telah lama menjamur di berbagai kampus besar, sebagaimana disebutkan di atas. Gerakan-gerakan ini memang tumbuh dalam beberapa varian, jika merujuk pada model taksonomi gerakan yang dibuat oleh As’ad Said Ali41 gerakan Islam dapat 39 Saifuddin, Radikalisme, hlm. 27. Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang, Jakarta: Balitbag Kemenag RI, 2008. 41 Secara lebih rinci As’ad Said Ali membagi kelompok mainstream dan non-mainstream dalam berbagai varian. Varian-variab dalam kelompok mainstream dapat dibedakan menjadi empat, Islam Modernis, Islam Tradisional-Konservatif, Transformasi Islam, Islam Fundamentalis. Sementara varian dalam kelompok non-mainstream dapat dipilah dalam dua kategori, yakni salafi dan nonsalafi. gerakan-gerakan kelompok non-salafi seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Gerakan Syiah, dan Jamaah Tabligh. sementara karakteri dalam kelompok salafi adalah salafi wahabi, salafi 40 [ 207 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dibedakan menjadi dua, mainstream dan non-mainstream, maka seluruh gerakan tersebut ada di kampus-kampus. Gerakan Islam salafi, non-salafi, Islam konservatif, dan fundamentalis telah tumbuh di lingkungan pendidikan tinggi. Gerakan-gerakan Islam transnasional ini memang memberikan warna yang cukup signifikan dalam kancah akademik di Perguruan Tinggi. Pluralias atau multiideologi menjadi warna baru yang tidak dapat dipungkiri. Namun sayangnya dari sekian gerakan ada upaya-upaya melemahkan NKRI dan menggerus nilai-nilai Pancasila. Hal ini wajar adanya mengingat gerakan keagamaan ini juga tidak sedikit yang antipasti terhadap Pancasila. Kasus paling menyolok mata adalah video yang menjadi viral di media massa terkait dengan deklarasi khilafah Islamiyyah di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) (Januari 2017).42 Kebenaran kasus ini sendiri masih dalam proses penyelidikan pihak berwenang, polisi. Khilafah adalah sistem negara Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hukum tertinggi dan syariah merupakan sistem terbaiknya. Jika kabar tersebut benar adanya, Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara sedang dikoyakkoyak oleh anak bangsa sendiri. Belum lagi “skandal” politik yang menguras energi bangsa dalam kasus menjelang pilkada DKI. Isu penistaan agama dan kemudian dibumbui oleh sikap-sikap rasial merupakan kasus “ponodaan” terhadap kesepakatan bersama, yang sangat jauh dari nilainilai Pancasila. Terlepas dari hal itu, pasca reformasi “performa” Pancasila sedang mengalami penurunan di mata masyarakat. Menguatnya gerakan syariat dan khilafah di beberapa forum yang diprakarsai oleh gerakan-gerakan Islamist menjadi potret buram perjalanan bangsa Indonesia. Seperti ada upaya yang massif menggerus kebhenikaan Indonesia yang mengarah pada satu tujuan politik tertentu. jihadi, dan salafi puritan. Dalam taksonomi gerakan keagamaan yang dibuat oleh As’ad Said Ali ini, kelompok salafi merujuk pada kelompok yang cendenrung radikal dalam gerakannya, termasuk terbentuknya Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal Jamaah (LJASW) pimpinan Ja’far Umar Thalib. Lihat As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 63-144. 42 Lihat Berita Satu, Polri Dalami Video Deklarasi Konsep Khilafah di Kampus IPB, sumber: https:/ /www.youtube.com/watch?v=BqppeNoZluc. Diakses 2 Mei 2017. [ 208 ] Sukron Ma’mun Mengembalikan P ancasila Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI) dan Pancasila adalah harga mati. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah pelanggaran kesepakatan bersama atas nilai-nilai besar yang dibangun oleh para pendahulu. Pancasila bukan hanya sekedar sila-sila yang perlu dihafal, namun juga perlu dihayati, dipahami, serta dipraktikkan dalam keseharian masyarakat bangsa dan negara. Pobia terhadap Pancasila pasca reformasi merupakan imbas terhadap sikap represif Orde Baru terhadap ormas anti Pancasila dan sikap eksesif terhadap Pancasila. Sikap pobia ini muncul kembali tatkala tahun 2003 dirancang UU keormasan yang di dalamnya terdapat pasal pemberlakuan Pancasila sebagai asas utama organisasi langsung mendapat penentangan kuat. Beberapa ormas yang menolak pemberlakuan “asas tunggal” pun menolak disebut sebagai anti Pancasila. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Majelis Az Zikra, dan ormas Islam Persatuan Islam (PERSIS) menolak asas Pancasila wajib ada dalam ormas. HTI menjadi kelompok yang paling keras menolak Pancasila sebagai asas organisasi, bahkan HTI sendiri menolak Indonesia sebagai negara yang sah mengigat cita-cita politiknya khilafah Islamiyyah (Republika, 22/03/ 2013). Alasan penolakan ini didasarkan pada tiga pandangan, sebagaimana ditulisa dalam buku karya Drs. Muhammad Thalib dan Irfan S. Awwas dalam buku “Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Father RI”.43 Pertama teori yang menyatakan Pancasila berasal dari bumi Indonesia, lahir akibat proses kebudayaan bangsa Indonesia yang beragam, kemudian dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini sejak zaman penjajah Jepang bercokol di Indonesia. Menurut teori ini, dalam merumuskan Pancasila, Soekarno telah berhasil memadukan aspirasi para pemimpin Islam ketika itu, yang berhasrat menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara, dengan cara memasukkan ke-Tuhan-an sebagai salah satu silanya. Dalam ide pokok konsepsi ini, agaknya Pancasila ingin berdiri sebagai wakil kepercayaan 43 Buku ini dapat diakses secara online di https://taimullah.files.wordpress.com/2012/09/ 5sila__zionisme.pdf. Diakses 1 Mei 2017. [ 209 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi seluruh umat beragama di negeri ini. Dalam perkembangan berikutnya, penguasa ingin mencari kepastian hukum atas keinginan tersebut, yang pada gilirannya melahirkan doktrin azas tunggal, dengan tujuan pokoknya “Mempancasilakan Umat Beragama”. Kedua, teori yang menyatakan bahwa Pancasila yang dikemukakan oleh beberapa orang pemimpin pergerakan Indonesia di dalam rapat BPUPKI dalam sidangnya pada bulan Juni 1945, adalah pengaruh dari kode moral ajaran Budha yang telah menjadi tuntunan dan tatanan hidup sehari-hari di dalam masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Sayangnya pendapat ini sangat lemah, mengingat angka lima dalam Pancasila, sebagaimana dikemukakan Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 merupakan angka penting yang ada dalam ajaran Jawa, Hindu, dan Islam.44 K etiga, teori yang menyatakan baha Pancasila yang digagas oleh Mohamad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno adalah terpengaruh akan doktrin zionis yang telah dipropagandakan oleh tokoh-tokoh Freemasonry di Asia pada umumnya, dan Asia Tenggara pada khususnya. Adanya persamaan antara sila-sila Pancasila dengan Khams Qanun Zionis, dan azas-azas ideologi negara yang dikemukakan oleh Nehru di India, Dr. Sun Yat Sen di Cina, Pridi Banoyong di Thailand, dan Andres Bonivasio di Filipina adalah bukti bahwa Pancasila tidak sesuai dengan Islam. Pancasila nampaknya sulit keluar dari jarum penolakan elemen-elemen bangsa ini yang terlanjur memiliki cara pandang berbeda, namun pengembalian makna dan upaya penyegaran harus terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar bangsa ini tidak kehilangan arah dalam melangkah, dan terjebak pada sekterian kelompok-kelompok. Memang harus diakui bahwa kenyataan keragaman dan pemahaman yang kurang tepat terhadap Pancasila menimbulkan berbagai persoalan, polemik, dan debat. Terlebih secara lebih dalam memaknai Pancasila dimaksudkan untuk menggantikan ideologi atau keyakinan umat beragama akan menambah alasan untuk anti Pancasila. Untungnya beberapa akademisi dan praktisi melakukan diskusi positif terkait dengan wacana Pancasila. Ali45 menjelaskan polemik dan debat 44 45 Yudi Latif, Negara, hlm. 17. As’ad Said Ali, Negara, hlm. 52-53. [ 210 ] Sukron Ma’mun tersebut berujung pada empat wacana. Pertama, wacana Pancasila yang dianggap sebagai kontrak sosial dan bukan ideologi. Sebagai kontrak sosial posisinya sama dengan Magna Charta Inggris atau Bill of Right Amerika Serikat. Pancasila tidak mungkin diubah, karena mengubah Pancasila sama dengan mengubah negara. Kedua, wacana Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Pancasila dalam konteks ini diletakkan sebagai identitas kebangsaan dan keindonesiaan, atau ciri kultural masyarakat Indonesia. nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dianggap sebagai nilai yang mampu merekatkan entitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi bangsa Indonesia. sebagai ideologi bangsa Pancasila dimiliki oleh semua entitas bangsa yang ada di Indonesia. Ketiga, wacana mengenai Pancasila sebagai visi bangsa dan negara. Hal yang penting untuk dipahami adalah Pancasila adalah cita-cita bangsa yang hendak diraih, bukan kondisi faktual yang ada. Jika pemahaman diletakkan pada kondisi saat ini maka terlalu banyak nilai-nilai yang dianggap melenceng jauh dari Pancasila. Sehingga kegetiran terhadap kendosi negara yang “kacau” harus dipahami bukan karena Pancasila, namun lebih pada sikap dan perilaku oknum. Keempat, wacana yang meletakkan Pancasila sebagai konsepsi politis dan ideologi negara. Dalam konteks ini Pancasila hanya berlaku pada ruang publik dan domain politik. Ideologi-ideologi yang menjadi doktrin keagamaan menjadi wilayah privat, golongan, atau asosiasi harus dihormati dan diakui oleh negara. Jika perdebatan atau perbincangan wacana demikian berkembang dengan baik, dengan melepaskan segala prasangka politik dan golongan maka upaya “mengembalikan” atau mendudukan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara akan memperoleh hasil yang maksimal. Ali 46 mengungkapkan banyak ilmuwan yang melihat di manakah Pancasila didudukan atau dikembalikan sehingga mampu memberikan resapan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan luhur bangsa Indonesia. Pertama, posisi Pancasila bisa menjadi “kontrak sosial”, “ideologi bangsa”, “konsepsi politik”, atau “common platform”. Masing-masing akan sangat tergantung pad acara pandangnya. Namun hal yang membanggakan adalah adanya kejernihan dan ketulusan cara pandang terhadap Pancasila. 46 Ibid., hlm. 57-82. [ 211 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kedua, Pancasila sebagai dasar negara, yang artinya sumber segala hukum. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No XX tahun 1966. Namun posisinya ini harus dipahami hukum kenegaraan, bukan hukum agama. Meskpiun masih terdapat hal-hal yang bersifat abstrak dalam Pancasila, sehingga yang menjadi tugas bersama adalah cara Pandang terhadap Pancasila sebagai grundnorm yang tidak kaku. Ketiga, Pancasila sebagai konsesus dasar negara. Pancasila sebagaimana dibahas di atas merupakan produk yang telah diperdebatkan, dinegosiasikan dan akhirnya menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan inilah yang hendaknya menjadikan pijakan bagi elemen-elemen bangsa untuk secara arif melihat kepentingan bersama, bukan ego sektoral etnisitas ataupun agama. Hal yang menimbulkan polemik dalam konteks pendudukan dan fungsi Pancasila adalah ketika mendudukan Pancasila sebagai ideologi negara yang justru tidak diilhami secara tulus dan tepat oleh penguasa. Sehingga istilah Pancasila hanya “diwiridkan” betul adanya, karena Pancasila hanya didoktrinkan bukan diamalkan. Gambaran sederhana ajaran baik hanya disampaikan, tetapi tidak dilakukan apalagi dcontohkan. Penting untuk dipikirkan ulang, meskipun sudah menjadi perdebatan lama, bahwa Pancasila harus menjadi ideologi bangsa yang mampu memberikan warna, identitas atau karakter bagi masyarakat bangsa. Nilainilai agung (high value) yang diserap dari kebudayaan, tradisi, keyakinan, dan agama-agama yang ada di Nusantara harus ditumbuhkan dan dimaknai secara berkelanjutan. Pemahaman dan kesadaran yang perlu terus dibangun adalah Pancasila tidak menggantikan ideologi atau keyakinan agama, namun ia merupakan warna lain yang memberikan bumbu. Dalam konteks sosiocultul dan politik Pancasila ada dalam ranah publik, bukan pada area privat. Akhirnya, kembali pada para elit dan seluruh elemen bangsa untuk kembali melihat, mendudukan, dan menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang mendasar bagi kehidupan bangsa dan negara dalam arti publik, bukan ranah privat. Sehingga ideologi bangsa ini bisa menyelamatkan kehidupan bersama, bukan dikoyak karena sempitnya cara pandang dan pikir. [ 212 ] Sukron Ma’mun Daf tar P ustaka aftar Pustaka A.M.W. Pranaka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985. Abd A’la, “Sikap Muslim Fundamentalis Indonesia terhadap NKRI Antara Penolakan dan Penerimaan Setengah Hati,” UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010. Abdurahman Wahid, “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan terhadap Tuhan YME, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds., Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dan Konstitante, Jakarta: LP3ES, 2006. Andik Wahyu Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang Sosial Sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa”, el Harakah, Vol. 14. No. 1, 2012. Andree Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999. As’ad Ali Said, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi: Gerakan-Gerakan SosialPolitik dalam Tinjauan Ideologis, Jakarta: LP3ES, 2013. ______, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbagangsa, Jakarta: LP3ES, 2009. Berita Satu, Polri Dalami Video Deklarasi Konsep Khilafah di Kampus IPB, sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BqppeNoZluc. Diakses 2 Mei 2017. Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 1996. Eep Syaifullah Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru; Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000. Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang, Jakarta: Balitbag Kemenag RI, 2008. M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005. [ 213 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast Asian Studies, Kyoto: vol 37, No 2, 1999. Muhammad Choirul Huda, “Meneguhkan Pancasila sebagai Ideologi Bernegara: Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan Hukum”, dalam Absori, dkk (eds.), Transendensi Hukum: Prospek dan Implementasi, Yogyakarta: Genta Publishing 2016. Saifuddin, “Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa; Sebuah Metamorfosa Baru”, Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila, Cetakan Kelima, Jakarta: Gramedia, 2015. [ 214 ] PANC A SIL A , MUL TIK UL TURALISME D AN PANCA SILA MULTIK TIKUL ULTURALISME DAN TANT ANGAN INKL TANTANGAN INKLUSI USI SOSIAL Mirza Satria Buana Pendahuluan P ancasila sebagai alas nilai filosofis bangsa terus diuji dalam zamannya. Pada masa awal kemerdekaan, Pancasila juga diuji oleh diskursus dan pergerakan akar rumput yang menolak dan yang bertujuan untuk melencengkan nilai-nilai luhurnya. Ideologi komunis (kiri) mencoba membawa diskursus kenegaraan dalam tataran pertentangan kelas antara kubu kapitalis vis-à-vis proletarian, yang merupakan pemikiran khas Marxis.1 Sedangkan golongan ‘Islam politik’ (kanan) mengarahkan visi mereka untuk menjadikan Islam sebagai ideologi tunggal negara.2 Masih berbekas kuat dalam ingatan kolektif bangsa, bagaimana para pemimpin negara (eksekutif) melencengkan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan tamsil kepentingan mereka sendiri: Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy),3 dan Soeharto dengan Ekonomi Pancasila dan banyak lagi program kerja Orde Baru yang semata ditambah kata ‘Pancasila’ setelahnya, namun sayangnya abai akan esensi demokrasi.4 Fenomena sosial dan politik diatas menjadi bukti bahwa Pancasila sangat lah rawan terhadap re-interpretasi penguasa. 1 2 3 4 Herbert Feith, ‘President Soekarno, the Army and the Communists: The Triangle Changes Shape’, Asian Survey Vol 4 (1964), hlm. 969-980, 979. Sunny Tanuwidjaja,’Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidance of Islam’s Political Decline’, Contemporary South-east Asia: A Journal of International and Strategic Affairs 32, No 1 (2010), hlm. 32. Feith, supra 1, hlm. 970. Adnan Buyung Nasution, ‘Southeast Asian Constitutionalism: Toward Constitutional Democracy in Indonesia’, (Inaugural Professorial Lecture, Melbourne Law School, 20 Okotober 2010) hlm. 7. [ 215 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sejatinya, Pancasila sebagai sebuah nilai filosofis-normatif bangsa memiliki karakteristik sosio-kultural yang kuat, karakteristik inilah yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka; ideologi yang memiliki fleksibilitas dan daya lenting dalam ikhtiar menjemput perubahan zaman, yang mana nilai-nilainya digali dari bumi Indonesia yang multikultural. Filsuf Yunani, Heraclitus pernah berkata ‘Panta Rei’ yang berarti; semua akan mengalir (semua akan berubah pada zamannya). Dalam ikhtiar menjemput perubahan itulah, Pancasila dituntut untuk tetap relevan sebagai ideologi terbuka.5 Konteks kontemporer Indonesia adalah zaman pasca-otoritarian dimana sebagian masyarakat masih terlena dengan euphoria kebebasan terutama dalam ranah sosial dan politik. Zaman ini juga bisa disebut sebagai jalan terjal transisi demokrasi yang merupakan fase rawan suatu negara. Salah mengambil jalan kebijakan, alih-alih mencapai konsolidasi dan kemapanan dalam berdemokrasi, tidak mustahil bangsa ini akan kembali terjatuh dalam dekapan kuasa semi-otoritarianisme dan oligarki. Sebagai konsekuensi dari ‘kebebasan’, era pasca-otoritarian juga menjadi lahan subur bersemainya paham-paham intoleran-rasis baik yang berbasis primordial (kesukuan) maupun keagamaan. Kehadiran pergerakan ini berdampak signifikan terhadap turunnya penghayatan nilai-nilai Pancasila, Hak Asasi Manusia (HAM) dan hakikat empiris masyarakat Indonesia yang multikultural. Berdasarkan laporan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), pada tahun 2016 silam jumlah pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan semakin meningkat dan ironisnya pemerintah daerah adalah pihak yang paling banyak diadukan, yang berarti pemerintah daerah telah melakukan pembiaran (omission ) terhadap praktek-praktek intoleran dan antikeberagaman di masyarakat. Rinciannya adalah sebagai berikut: 44 pengaduan terhadap pembatasan/pelarangan dan perusakan tempat ibadah, 19 pengaduan untuk pembatasan dan pelarangan ibadah atau kegiatan keagamaan, serta 12 pengaduan untuk ancaman dan intimidasi terhadap kelompok keagamaan tertentu.6 Hal ini belum termasuk maraknya ujaran 5 6 Kompas, “Keberagaman Jadi Kekuatan: Pancasila Relevan Hadapi Setiap Tantangan”, Kompas, 11 Januari, 2017, 15. Kompas, “Pemda Paling Banyak Diadukan: Kebebasan Beragama Terus Terancam”, Kompas, 11 Januari, 2017, 5. [ 216 ] Mirza Satria Buana kebencian (hate speech), berita bohong (hoax) dan disinformasi yang bermuatan Suku, Agama, Ras dan Aliran (SARA) di media sosial. Fenomena ini terkuak dan tersebar luas semenjak kontestasi pemilihan presiden 2014 silam sampai saat ini. Permasalahan diatas tentu menjadi polemik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menginsyafi adanya kemajemukan bangsa. Ajaran-ajaran intoleran-rasis yang bermuara pada rusaknya inklusi sosial diatas, sejauh ini telah berhasil mempenetrasi alam pemikiran masyarakat kelas menengah dan kaula muda (termasuk mahasiswa/i), lewat jargonjargon yang simplistik dan pergerakan yang militan. Pancasila dan kenyataan empiris bangsa Indonesia yang majemuk cenderung dinafikan. Diganti dengan eskalasi candu kebencian terhadap suatu golongan dan kepercayaan tertentu di masyarakat pada umumnya, dan di media sosial pada khususnya. Inilah tantangan kontemporer Pancasila yang nyata, bagaimana memperkuat kembali inklusi sosial lewat tatanan nilai-nilai Pancasila dan kebijakan multikulturalisme? Tulisan ini mencoba untuk mencari titik temu antara Pancasila dengan multikulturalisme, dan sembari mencari format realistis untuk inklusi sosial dengan melakukan studi perbandingan dengan negara-negara multikultural lainnya. Untuk menjawab permasalahan diatas, tulisan ini disusun dalam beberapa subbahasan: (1) perkembangan dari konsep multikulturalisme, pergeseran definisinya dan tantangan-tantangan kontemporer yang dihadapi, baik dalam ranah internasional maupun nasional; (2) pengalaman dari dua negara tetangga: Malaysia dan Singapura, dalam mengelola dan merawat keberagamanan; dan (3) analisa terkait hubungan Pancasila dengan Multikulturalisme. Multikulturalisme: M asalah atau SSolusi? olusi? Masalah Tantangan inklusi sosial, sejatinya bukanlah isu partikular Indonesia semata, namun lebih merupakan tantangan global. Eropa, Amerika Serikat dan Australia yang dikenal sebagai negara modern dan egalitarian pun menghadapi tantangan serupa walaupun memiliki konteks penekanan yang berbeda-beda.7 Menguatnya aliran ultra-nasionalis (ekstrim kanan) dan 7 Alexandra Xanthaxi, ‘Multiculturalism and International Law: Discussing Universal Standard’ Human Rights Quarterly 32 (2010), hlm. 21-48. [ 217 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi proteksionisme menjadi sebab utamanya. Alih-alih dianggap sebagai simbol persatuan dan toleransi suatu bangsa, multikulturalisme malah kerap dianggap sebagai embrio ekstrimisme, segresasi kultural dan perpecahan internal suatu negara. Martin Wolf menulis: “multiculturalism is dangerous as it may destroy political community … [and] demeaning because it devalues citizenship” (“multikulturalisme sangat berbahaya karena dapat menggerogoti konsep ‘komunitas politik’ dan dapat mendeskreditkan konsep kewarganegaraan.”).8 Berkaca pada pengalaman Britania Raya, Trevor Phillips juga berkata: “multiculturalism has lead to segregation because ethnic groups live in separate entities with no interaction with each other” (multikulturalisme telah menuju kepada segregasi karena kelompok etnis tertentu tinggal ditempat yang terpisah dan tidak ingin berinteraksi dengan orang lain).9 Dalam praktiknya, Perancis adalah salah satu negara liberal Barat yang paling sering memandang sinis politik dan kebijakan multikulturalisme.10 Selain tendensi ultra-nasionalis, politik proteksionisme juga berdampak destruktif pada inklusi sosial masyarakat internasional lain, semisal: Britanian Raya lewat referendum menyetujui opsi Brexit (keluar dari Uni Eropa) pada 2016 silam. Isu-isu anti-imigran juga kerap dapat ditemui di Amerika Serikat, terutama dalam masa kampanye Pilpres 2016, yang berujung pada terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat di akhir 2016 silam. Dengan menguatnya proteksionisme dibeberapa negara-negara, masyarakat internasional diprediksi akan memasuki masamasa penuh ketidakpastian, terutama dalam bidang ekonomi-perdagangan dan geo-politik kawasan.11 Paham ultra-nasionalis bahwa kembali menguat di negara yang jaraknya ‘selemparan batu’ dari Indonesia, Australia. Hal 8 Martin Wolf. 2005. ‘When Multiculturalism is a nonsense’, Financial Times https://www.ft.com/ content/ff41a586-197f-11da-804e-00000e2511c8 [Diakses 11 Januari 2017]. 9 Michael White, ‘Trevor Phillips says the unsayable about race and multiculturalism, The Guardian, 16 Maret 2015 https://www.theguardian.com/uk-news/2015/mar/16/trevor-phillips-racemulticulturalism-blog [Diakses 13 Januari 2017] 10 Dominick MacGoldrick, Human Right and Religion: The Islamic Headscraft in Europe (Hart Publishing, 2006), hlm 2. 11 Teuku Faizasyah, ‘Post-US presidential election: Years of living in uncertainty, The Jakarta Post, 20 December 2016 http://www.thejakartapost.com/academia/2016/12/30/post-us-presidential-election-years-of-living-in-uncertainty.html [Diakses 13 Januari 2017]. Lihat juga, Makmur Keliat, ‘Tantangan Diplomasi Ekonomi’, Kompas, 17 Januari 2017. [ 218 ] Mirza Satria Buana tersebut tentu dapat mempengaruhi geo-politik negara-negara Asean-Pasifik pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Kecenderungan ultra-nasional (nasionalisme sempit) dan proteksionalisme, bisa dianalisa sebagai sebuah perwujudan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan (politik, kultural maupun ekonomi) dan kritis identitas dari kelompok mayoritas, sehingga memandang keberagaman dan perbedaan dalam suasana kompetitif bukan dipahami sebagai pelengkap kehidupan. Padahal secara normatif, multikulturalisme sudah dipandang sebagai nilai universal dalam hukum dan hak asasi manusia internasional, lewat beberapa instrumen hukum Internasional, semisal: Pasal 27 (1) the Universal Declaration on Human Rights (UDHR),12 Pasal 13 dan 15 the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR),13 Pasal 31 the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD),14 Pasal 7 the Declaration of Minorities15 dan the UNESCO Declaration of the Principles of International Cultural Co-operation.16 Dalam rumusan beberapa instrumen hukum internasional diatas, aspek keberagaman yang ditafsirkan sebagai hak atas berbudaya (right to culture) sangat ditekankan. Budaya dianggap sebagai genus dari segala ragam cipta, rasa dan karsa manusia; dari bahasa, filosofi, agama/ kepercayaan, ilmu pengetahuan sampai pada sistem ideologi.17 Namun terlepas dari adanya pengakuan terhadap keberagamanan dan peran signifikan dari budaya di beberapa instrumen-instrumen hukum internasional diatas, the Universal Declaration on Cultural Diversity masih menempatkan aspek keberagaman budaya dibawah subordinasi hak-hak individual. Dengan kata lain, keberagaman budaya tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan dan membatasi hak-hak individual (no one may invoke cultural diversity to infringe upon human rights guaranteed 12 The Universal Declaration on Human Rights (UDHR), Pasal 27 (1). The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Pasal 13 dan 15. 14 The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD), Pasal 31. 15 The Declaration of Minorities, Pasal 7. 16 The UNESCO Declaration of the Principles of International Cultural Co-operation. 17 Patrick Thornberry, International Law and the Rights of Minorities (Clarendon Publisher, 1993), hlm 67. 13 [ 219 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi by international law, nor to limit their scope).18 Hal ini bermakna adanya hierarki antara norma hukum dan HAM Internasional, di mana hak-hak individual dipersepsikan lebih superior ketimbang hak-hak masyarakat atau komunal. Menanggapi hal ini, Alexandra Xanthaxi memberi komentar: Hierarki yang di buat Deklarasi tersebut jelas terlalu simplistik, dan dapat menjadi penyebab masalah di masa depan. Dalam hierakhi tersebut tergambar alur ideologi liberal yang mensyaratkan harus adanya konsistensi dan keberagaman keberagaman budaya yang dimiliki minoritas dengan budaya dominan di masyarakat mayoritas. Memaksakan logika liberal ini akan mencederai nilai-nilai keadilan restoratif dan memperburuk inklusi sosial di masyarakat multikultural. Sejatinya, hukum menjanjikan kebebasan, bukan pengekangan.19 Xanthaxi mengajukan gagasan tentang keadilan kontekstual (contextual justice), dimana pemerintah dapat melakukan penyesuaian atau rekayasa hukum untuk mengakomodasi adanya fakta-fakta keberagaman di masyarakat. Penyesuaian atau rekayasa hukum tersebut dapat dilakukan berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan dan konteks sosial suatu masyarakat.20 Menutup argumennya, Xanthaxi mengatakan bahwa: “tidak ada hierarki dalam norma-norma HAM Internasional (hak individu vis-àvis hak komunal), kedua-duanya berimbang dan setara, namun benar ada hak-hak yang harus diutamakan, yaitu: non-derogable rights.”21 Penjelasan Xanthaxi di atas, memberi ‘angin segar’ bagi kalangan aktivis multikulturalisme untuk melawan gejala ultra-nasionalis di beberapa negara, salah satunya lewat mekanisme rapporteur di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). The UN Special Rapporteur on Contemporary Forms of Racism mengeluarkan laporan, sebagai berikut: “[P]olitical agenda are increasingly focused on protecting the ‘national identity’ ‘defending the national interest’ safeguarding the ‘national heritage’, and combating ‘illegal foreign immigrants’ … the rhetoric becomes the new political expression of 18 The Universal Declaration on Cultural Diversity, Pasal 31. Xanthaxi, supra note 7, hlm. 23. 20 Ibid 33. 21 Ibid 34. 19 [ 220 ] Mirza Satria Buana discrimination and xenophobia (fear to other group)” (Agenda politik saat ini cenderung hanya fokus pada mempertahankan ‘identitas nasional’, ‘mempertahankan kepentingan nasional’, menjaga ‘keluhuran dan warisan nasional’ dan melawan ‘imigran asing illegal’ … retorika ini menjadi ekpresi politis yang diskriminatif dan dapat berujung pada xenophobia (ketakutan berlebihan pada orang asing).22 Masih kuatnya anasir liberal lewat superioritas hak individual terhadap hak-hak komunal masyarakat, mungkin disebabkan oleh masih kentalnya definisi awal tentang multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme memang awalnya mengambil konteks negara barat. Definisi awal tentang multikulturalisme diberikan oleh the Canadian Royal Commission pada tahun 1965, untuk menunjukkan politik inklusif terhadap imigran-imigran asing yang datang dari latar belakang etnik, budaya, agama/kepercayaan dan bahasa.23 Definisi multikulturalisme diatas memang harus di redefinisi, karena dalam konteks negara berkembang terutama di wilayah Asia, keberagaman merupakan suatu hal yang otentik dan alamiah. Selain itu perspektif Barat kerap menyederhanakan multikulturalisme dengan memakai ‘kesamaan’ sebagai titik temu perbedaan-perbedaan.24 Pendekatan tersebut jelas terlalu simplistik. Sejatinya, multikulturalisme harus dipahami secara umum sebagai suatu sikap diri yang menerima perbedaan dan keberagaman dalam lingkup masyarakat yang poli-etnik (poly-ethnic).25 Titik awal dan tekan dalam multikulturalisme, bukan berpangkal pada penyamarataan (uniformitas) suatu entitas, namun berpangkal pada keinsyafan diri mengakui ada perbedaan-perbedaan yang nyata dalam masyarakat. Perbedaan (yang kerap berujung pada praduga a priori dan stigma) itulah yang coba untuk dijembatani oleh diskursus dan kebijakan multikulturalisme. Jelaslah terlihat bahwa, sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah pranata sosialpolitik yang dapat digunakan sebagai solusi untuk menghilangkan segregasi sosial-kultural dan memperkuat inklusi sosial suatu bangsa. 22 The UN Special Rapporteur on Contemporary Forms of Racism, Political Platforms Which Promote or Incite Racial Discrimination, hlm. 8-10. 23 Ien Ang, Multiculturalism, 2005 http://media.wiley.com/product_ancillary/92/06312256/ DOWNLOAD/Multiculturalism.pdf [Diakses 10 Januari 2017] 24 Ibid. 25 Xanthaxi, supra note 7, hlm. 31. [ 221 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Lebih lanjut, dalam perkembangan diskursusnya, multikulturalisme ditafsirkan sebagai: “prinsip yang bertujuan untuk menghilangkan ‘kerusakan struktural’ dan menjamin terciptanya kesetaraan substantif dan memberi akses kepada masyarakat yang belum berkembang, lewat pembentukan institusi khusus dan menjalankan program affirmative action.”26 Tafsir diatas merupakan perkembangan pemikiran dari aktivis komunalistik dan akademisi HAM partikular (cultural relativists) yang memandang affirmative action sebagai rekayasa sosial untuk mendistribusikan keadilan bagi kaum marginal. Tesis ini menolak paham liberal-sekularisme yang berpandangan bahwa negara harus berada dalam posisi netral, dimana setiap orang harus diperlakukan setara (the principle of formal equality), padahal dalam kenyataannya, disaat negara berada dalam posisi netral atau tidak berpihak itulah terjadi ketidakadilan dan diskriminasi bagi kalangan termarginal, maka negara harus melakukan tindakan afirmatif (affirmative action). Tesis ini disebut sebagai the principle of substantial equality atau the principle of difference.27 Selain dalam teori, prinsip affirmative action juga sudah diperkuat oleh yurisprudensi peradilan International, dimana hakim Tanaka di International Court of Justice (ICJ) memberi dissenting opinion dalam kasus Afrika Selatan, sebagai berikut: “a different treatment is permitted when it can be justified by the criterion of justice … [or] reasonable [as] generally referred to by the Anglo-American school of law” (penanganan yang berbeda pada suatu kasus dapat diijinkan apabila memenuhi kriteria keadilan … yang dikenal dalam dalil-dalil hukum Anglo-Amerika).28 Pertentangan kedua tesis ini sampai pada ranah aplikatif-kebijakan, dalam regional Asian Tenggara (ASEAN), pengalaman Malaysia dan Singapura dapat memberi pelajaran berharga bagi Indonesia tentang cara merawat ‘tanam bunga’ bernama masyarakat multikultural. 26 Ibid. Adeno Addis, ‘Individualism, Communitarianism, and the Right of Ethnic Minorities’, Notre Dame Law Review 67 3 (1992) hlm. 644-45. 28 Dissenting Opinion of Judge Tanaka, http://www.icj-cij.org/docket/files/47/4969.pdf hlm. 251 27 [ 222 ] Mirza Satria Buana Merawat M ultikulturalisme: P engalaman M alaysia dan Multikulturalisme: Pengalaman Malaysia Singapura Negara-negara tetangga yang hanya berjarak ‘selemparan batu’ dari Indonesia, Malaysia dan Singapura dipakai sebagai ilustrasi dalam hal kebijakan manajerial multikulturalisme. Keduanya dipilih karena derajat keberagaman mereka hampir serupa dengan Indonesia, terutama Malaysia yang tidak hanya memiliki kedekatan etnis (Melayu), namun juga kedekatan agama/kepercayaan (Mayoritas Muslim) dengan Indonesia. Malaysia dan Singapura memiliki kedekatan historis yang kental karena keduanya adalah bekas jajahan Inggris dan menganut sistem hukum Common Law dengan Westminister parliamentary system, walau tentu dengan beberapa variasi dan modifikasi. Singapura malah dulunya merupakan bagian dari negara bagian Federasi Malaya, bersama dengan Sabah dan Sarawak. Hanya pada tahun 1965, Singapura resmi berpisah dari Federasi Malaya menjadi negara kota berdaulat penuh.29 Walau keduanya sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, warisan kolonial Inggris masih berbekas dalam politik multikultural kedua negara. Inggris, sama halnya dengan apa yang dilakukan Belanda kepada Indonesia, menciptakan sistem kemasyarakatan yang bertumpu pada sistem liberal-kapitalis yang menekankan pada pembagian etnisitas (ethnic pluralism). Masyarakat dibagi kedalam dua kelompok kerja besar: (1) kelompok yang bergerak di bidang perdagangan, jasa dan industri, yakni etnik Tionghoa dan India; (2) kelompok yang bergerak di bidang pemerintahan dan pengambil kebijakan publik, yaitu etnik Melayu.30 Segregasi berbasis kerja ini kemudian akan menjadi beban kultural bagi kedua negara. Terlepas dari eratnya hubungan historis-emosional diantara dua negara, Malaysia dan Singapura, pasca disintegrasi, memiliki konfigurasi etnik yang berkebalikan. Di Malaysia, 50,4 % dikuasai oleh etnik Melayu-Muslim, 23,7 % etnik Tionghoa, 11 % masyarakat adat atau ‘orang asli’ (indigenous peoples), 7,1 % etnik India/Tamil/Bangla dan 7,8 % etnik lain. Sedangkan 29 Noraini M Noor dan Chan-Hoong Leong, ‘Multiculturalism in Malaysia and Singapore: Contesting Models’, International Journal of Intercultural Relations 37 (2013) hlm. 714-726. 30 Ibid hlm. 714. [ 223 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi di Singapura, 74,1% dikuasai oleh mayoritas etnik Tionghoa, 13, 4% etnik Melayu-Muslim, 9,2% etnik India/Tamil/Bangla dan 3,3% etnik lain.31 Dalam hal kebijakan manajerial multikultural, kedua negara mengambil jalan kebijakan yang berbeda. Malaysia mengambil jalan affirmative action.32 Sedangkan Singapura tidak percaya dengan affirmative action, dan memilih untuk mengambil jalan pragmatic semi-authoritarian dimana negara digerakkan oleh ideologi berbasis pasar (market-driven ideology), pro bisnis dan memberi kesempatan, tindakan dan pelayanan yang sama kepada seluruh warga negara, tanpa memandang ras, suku dan agama/ kepercayaannya (formal equality).33 Kedua negara memakai paradigmaparadigma yang jauh berseberangan: komunalisme berbasis ras mayoritas versus liberal-kapitalis; affirmative action versus formal equality dan ‘keadilan’ versus ‘persatuan’. Malaysia Pasca keluarnya Singapura dari Federasi Malaya, kohesi sosial Malaysia mengalami keguncangan besar. Dampaknya adalah kerusuhan rasial berdarah pada 13 Mei 1969 yang dipicu oleh ketimpangan sosial antara mayoritas Melayu dengan non-Melayu (terutama etnis Tionghoa).34 Pemerintah Malaysia kemudian mengeluarkan kebijakan populis, yang bernama Kebijakan Ekonomi Baru (The New Economic Policy/NEC) yang menjadi dasar kebijakan rekayasa affirmative action dengan memberikan perlakuan istimewa terhadap kelompok mayoritas yang termarginal secara ekonomi yaitu etnis Melayu. Keistimewaan bagi mayoritas Melayu hampir dalam semua aspek publik dan privat, semisal hak politik, pelayanan publik, pendidikan, bahasa, sampai pada aspek kebudayaan dan agama/kepercayaan. Bahkan identitas Melayu sudah dibaurkan dengan agama Islam; Islam adalah Melayu, Melayu adalah Islam. Dengan affirmative action diharapkan 31 Ibid hlm. 715. Hans-Dieter Evers, ‘Changing Ethnic Diversity in Peninsula Malaysia’, Kajian Malaysia 32 (1) (2014), hlm. 37-53. 33 Chua Beng Huat, Taking Groups Rights Seriously: Multiracialism in Singapore, Working Paper No 124, Oktober 2005, (Murdoch University, Asia Research Centre), hlm 5. 34 Yudi Latif, Merenda Persatuan dan Keadilan, Kompas, 11 Januari 2017, hlm. 15. 32 [ 224 ] Mirza Satria Buana kesenjangan struktur sosial dan ekomoni yang dulu timpang dapat diseimbangkan.35 Program affirmative action memang memberi dampak signifikan kepada etnis Melayu sebagai mayoritas yang dulu termarginal, namun kebijakan tersebut tidak serta merta berhasil memperbaiki inklusi sosial di masyarakat. Dalam struktur negara Malaysia, ada semacam pembagian kekuasaan (power-sharing) antara etnis Melayu dengan etnis non-Melayu (Tionghoa), dimana ada etnis Melayu menguasai sektor politik dan pemerintahan, sedangkan etnis non-Melayu menguasai sektor bisnis, perdagangan dan jasa. Walau terkadang, mereka pun bisa saling ‘selingkuh’, apabila kepentingan mereka saling bertaut.36 Karena dibangun dengan pondasi pragmatisme, kesepakatan tidak tertulis tersebut cuman efektif dalam ranah luaran, namun terkesan artifisial, palsu, tidak tulus dan bersifat temporer. Hal ini dikarenakan kedua kelompok masih memendam rasa ketidaksukaan (cultural griviences) dan cenderung suka berkompetisi satu sama lain. Hubungan yang dicitrakan harmonis antara mereka hanya dilekatkan oleh kepentingan power-sharing, tidak lebih dari itu.37 Penekanan pada aspek ‘keadilan’ oleh pemerintah Malaysia, terbukti berdampak buruk terhadap inklusi sosial. Dalam hal ini, ‘keadilan’ yang diskriminatif (dengan affirmative action) telah mencederai nilai ‘persatuan’ Malaysia’. Kedua belah pihak, baik Melayu maupun non-Melayu (Tionghoa dan India) masih merasa terancam satu sama lain. Ancaman tidak hanya lewat ancaman nyata (realistic threats) namun juga lewat ancaman-ancaman sosio-kultural. Ancaman nyata dapat dilihat dari merasa terancamnya etnis Melayu dengan kekuatan kapital ekonomi non-Melayu. Disisi lain etnis non-Melayu juga merasa terancam dengan kebijakan-kebijakan populispolitis dari kelompok Melayu, terutama yang berkaitan dengan penetrasi Islamisasi dan larangan kawin inter-etnis dan beda agama.38 35 Noor, supra note 28, hlm. 717. Ibid. 37 Ibid hlm. 718. 38 Ibid hlm. 719. 36 [ 225 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sedangkan ancaman-ancaman sosio-kultural, dapat dilihat dari terancamnya etnis non-Melayu dari kewajiban menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pendidikan di semua tingkat pendidikan di Malaysia, dan etnis Melayu sendiri merasa terancam dengan budaya-budaya non-Melayu yang coba diintrodusir ke ranah publik.39 Secara psikologis, etnis Melayu masih menganggap negara Malaysia sebagai tanah Melayu. Dengan kata lain, hanya merekalah yang layak menjadi penguasa di negara tersebut. Etnis non-Melayu harus memiliki sikap tahu diri ketika berusaha mencari nafkah dan tinggal ditanah leluhur mereka.40 Sadar akan ‘bom waktu multikultural’ dinegaranya dan setelah kehilangan hampir 2/3 suara di pemilu legislatif tahun 2008, pemerintah Malaysia yang dikuasai partai penguasa United Malays National Organisation (UMNO) mencoba berbenah dengan mengeluarkan program kebijakan multikulturalisme yang diklaim lebih inklusif dan demokratis bernama 1Malaysia, dengan tajuk “unity in diversity and inclusiveness”. Namun sayangnya, program tersebut masih dipandang sinis oleh kedua kelompok. Etnis Melayu, terutama yang beraliran nasionalis beranggapan program tersebut akan mendeskreditkan marwah etnis Melayu di hadapan etnis-etnis non-Melayu, sedangkan non-Melayu menganggap program ini semata sebagai lip-service, guna menarik suara etnis non-Melayu pada pemilu legislatif.41 Lewat deskripsi diatas, jelas tergambar bahwa affirmative action juga memiliki banyak kekurangan-kekurangan substantif maupun praktikal. Keistimewaan yang diberikan kepada kelompok mayoritas terkesan salah sasaran, karena seharusnya kelompok minoritas lah yang lebih diutamakan. Kebijakan tersebut malah mengentalkan rasa kebanggaan berlebih (excessive proudness) etnis Melayu dan ‘menina-bobokan’ mereka dalam zona nyaman. Affirmative action, secara konseptual bukanlah konsep yang buruk malah sangat berguna untuk memberi akses keadilan kepada masyarakat marginal, namun ‘dosis’ affirmative action hanya efektif untuk jangka pendek 39 Steve Fenton, ‘Malaysia and Capitalist Modernisation: Plural and Multicultural Models’, dalam Matthias Koenig (ed), Pluralism and Multiculturalism in Colonial and Post-Colonial Societies, International Journal on Multicultural Societies, 5 2 (2003) hlm.135-161. 40 Ibid hlm. 138. 41 Evers, supra, 31, 50. Lihat juga, Noor, supra, 28, hlm. 717. [ 226 ] Mirza Satria Buana dan menengah, bukan untuk jangka panjang. Kekurangan-kekurangan inilah yang dihindari oleh negara Singapura. Singapura Sebagaimana diterangkan dalam bab sebelumnya, motif utama Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaya adalah ketidaksetujuan pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew yang kelak menjadi Perdana Menteri (PM) Singapura paling berpengaruh, terhadap kebijakan affirmative action. Lee Kuan Yew adalah seorang liberal-pragmatis yang percaya bahwa setiap warga negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintah, tanpa memandang suku, ras dan agama/kepercayaan orang tersebut.42 Untuk dapat survive dalam kancah persaingan global, Singapura, negara yang tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) dan memiliki wilayah daratan yang sempit ini harus total dan gigih dalam mengkapitalisasi sektor jasa, perdagangan dan perbankan. Guna menunjang sektor ekonomi, Singapura memakai konsep sekularisme dan meritokrasi, namun cenderung mengorbankan aspek demokrasi prosedural.43 Pemerintahan Singapura bisa dianggap sebagai pemerintahan soft-authoritarian. Untuk menjaga inklusi sosial masyarakat, pemerintah Singapura menjalankan kebijakan integrasi (integration policy ), dimana ada pembauran atau penyatuan antara identitas kesukuan (etnis) dengan identitas nasional.44 Itu sebabnya kebanyakan warga negara Singapura kerap ingin disebut sebagai; Chinese-Singaporean, jika mereka dari etnis Tionghoa; Malay-Singaporean, jika mereka seorang Melayu dan Indian-Singaporean, jika mereka berdarah India. Menjadi warga negara Singapura tidak serta merta membuang identitas dan latar belakang etnis mereka.45 Dalam hal penggunaan bahasa pun pemerintah Singapura sangat tegas sekaligus responsif, dimana bahasa utama untuk pendidikan adalah bahasa Inggris yang netral, sedangkan bahasa ibu (mother tongue) juga dapat dipilih untuk diajarkan sesuai dengan latar belakang etnis masing-masing.46 42 Eivind Furlund, Singapore, from third to first would country: The effect of development in Little India and Chinatown (Tesis Master, Norwegian University of Technology and Science, 2008), hlm. 111. 43 Ibid, hlm. 113. 44 John W Berry, ‘Acculturation: Living Successfully in Two Cultures’, International Journal of Intercultural Relations 29 6 (2005), hlm. 697-712, 699. 45 Noor, supra note 28, hlm. 45. 46 Ibid. [ 227 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pemerintah Singapura sangat serius dalam mengelola keberagaman dan menjaga inklusi sosial, salah satu strateginya adalah dengan membentuk organisasi nir-laba yang bersifat self-help bagi masing-masing komunitas etnis. Semisal komunitas Melayu memiliki organisasi yang bernama Mendaki,47 komunitas entis India juga memiliki organisasi yang bernama Singaporean Indian Development Association (SINDA).48 Organisasiorganisasi ini bertujuan sebagai wadah konsultasi dan sebagai instrumen preventif untuk merespon gejala-gejala pergesekan rasial di masyarakat. Untuk mencegah segresasi sosial (residential enclaves) dan menciptakan interaksi antar rasial yang sehat, pemerintah Singapura sangat tegas dalam aspek pengaturan perumahan dan zonasi tata ruang. Dalam setiap kawasan yang dihuni oleh mayoritas etnis tertentu, harus ada perimbangan dengan hadirnya representasi etnis minoritas di wilayah tersebut.49 Semisal di kawasan Little India yang banyak dihuni oleh masyarakat etnis India, kelompok minoritas Tionghoa dan Melayu-Muslim juga harus memiliki representasi di wilayah tersebut. Selain itu dalam hal hak dan partisipasi politik pada pemilihan umum nasional, Konstitusi Singapura mewajibkan konstituen kelompok (a group constituen) yang terdiri dari empat sampai enam kandidat, setidaknya satu dari mereka harus berasal dari etnis minoritas.50 Kebijakan formal equality yang diterapkan oleh pemerintah Singapura mensyaratkan pengendalian politik yang baik, salah satu caranya adalah dengan cara melebur sistem partai politik menjadi satu yang berkolerasi positif dengan sistem parlemen yang efektif dan berintegritas. Rumus liberal pemerintah Singapura adalah dengan mengendalikan politik, maka laju investasi akan lancar yang mana akan berdampak positif pada neraca keuangan negara dan distribusi kemakmuran bangsa. Tentu diperlukan penegakan hukum yang tegas untuk menghalau hasrat praktek korupsi yang dapat melencengkan kemakmuran. Dengan kemakmuran yang merata, masyarakat yang walaupun secara alamiah berbeda etnis dan keyakinan tidak akan ambil pusing dengan ‘perbedaan’ mereka, dikarenakan 47 Yayasan Mendaki, http://www.mendaki.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017]. SINDA, http://www.sinda.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017]. 49 Furlund, supra note 40, hlm. 12. 50 Ibid hlm. 13. 48 [ 228 ] Mirza Satria Buana kebutuhan hidup (basic needs ) mereka sudah tercapai. Pengalaman Singapura ini seakan mengkonfirmasi adagium ‘hanya orang yang lapar (miskin) yang pemarah, orang yang kenyang perutnya mudah dikendalikan’. Pengalaman Singapura diatas tentu dapat sangat berguna bagi Indonesia, walaupun tidak bisa juga diadopsi secara mutlak, dikarenakan konteks yang berbeda antara keduanya. Semisal dari segi kuantitas jumlah penduduk dan luas wilayah negara, Indonesia berkali-kali lipat lebih besar dan banyak jumlah penduduknya ketimbang Singapura. Indonesia sebagai nation-state tentu memiliki tantangan-tantangan yang berbeda dan lebih komplek. Multikulturalisme dan P ancasila: Teman atau Lawan? Pancasila: Dalam konteks Indonesia, inklusi sosial sebenarnya lebih mudah dicapai, dibanding semisal dengan Perancis yang pemerintahan dan kebijakan nasionalnya sudah a priori memandang isu multikulturalisme,51 atau dengan Malaysia yang pemerintahannya sudah terlalu lama memanjakan kelompok mayoritas dengan affirmative action. Pemerintah Indonesia (eksekutif ) relatif aman dari anasir proteksionalisme di lembaga-lembaga pemerintahan, hal tersebut dapat dilihat dari konstelasi koalisi partai politik di tubuh eksekutif yang mayoritas dikuasai oleh kelompok nasionalis dan Islam moderat. Selain itu, Indonesia memiliki kapital filosofis yaitu Pancasila, yang sila-silanya bernafaskan semangat persatuan bangsa, keberagaman dan keadilan sosial. Konteks masalah tentang multikulturalisme dan inklusi sosial di Indonesia lebih pada kekuatan ‘akar rumput’ kelompok intoleran dan anti-keberagaman yang secara militan-informal mampu memobilisasi isu-isu keagamaan, ras dan suku baik di dalam spektrum politik nasional maupun lokal. Multikulturalisme sebagai sebuah keniscayaan alamiah tentu perlu dipandang sebagai sebuah anugerah dan kapital sosial, dan bukan sebagai sumber masalah. Menggunakan pendekatan mono-perspektif dalam bernegara terang benderang mengkhianati hakikat dari tujuan bernegara dan berbangsa itu sendiri: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan, 51 MacGoldrick, supra note 10, hlm. 23. [ 229 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dari rumusan tujuan berbangsa dan bernegara yang terpatri dalam Pembukaan Konstitusi Proklamasi jelas terlihat bahwa negara wajib melindungi seluruh warga negara, tidak terbatas hanya pada suku dan agama mayoritas saja. Menurut Yudi Latif, narasi Proklamasi diatas dapat dicandra dalam dua perspektif, yaitu: ‘persatuan’ dan ‘keadilan’. Kedua nilai tersebut kemudian disarikan dalam rumusan sila-sila Pancasila, terutama Sila ke-3 tentang “Persatuan Indonesia” dan Sila ke-5 tentang “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Secara filosofis, ‘keadilan’ tidak bisa dipertukarkan dengan ‘persatuan’, demikian juga tidak bisa ‘persatuan’ dicapai dengan mengorbankan ‘keadilan’. Kedua nilai tersebut harus dapat berjalan beriringan, saling mengimbangi dan melengkapi.52 Inklusi sosial yang Pancasilais dapat terwujud dengan membuka ruangruang diskursus dengan proses-proses interaktif, pertukaran gagasan dan ide, dan penyerbukan silang budaya yang cair dan informal. Kondisi ini disebut sebagai plural-multikulturalisme. Sedangkan segresasi sosial berdasar etnik dan kepercayaan yang dapat berevolusi sebagai cultural cleavages, dimana masyarakat hidup dan berkembang hanya dalam kekompong budayanya saya, tanpa ada ikhtiar untuk merapatkan interaksi dengan entitas lain, harus ditolak.53 Adeno Addis menekankan perlunya implementasi konsep critical pluralism yang memandang kondisi keberagaman dan kelompok minoritas sebagai rekan dialogis dalam menjalani evolusi kemasyarakatan, bukan sebagai entitas yang harus dilindungi dari mayoritas. Pemerintah dituntut untuk berperan aktif memfasilitasi dialog-dialog berkelanjutan guna menemukan jalan terbaik dan kompromi agar nilai-nilai keberagaman bisa terus hidup dan menjadi inspirasi bagi masyarakat. 54 Diharapkan dengan melaksanakan konsep ini, kelompok mayoritas dan kelompok minoritas tidak hanya mampu berdialog dan berinteraksi nirpraduga, namun juga dapat meningkatkan derajat partisipasi minoritas dalam program pembangunan berkelanjutan. Konsep critical pluralism 52 Latif, supra note 33, hlm. 15. Ibid. 54 Addis, supra note 26, hlm. 644. 53 [ 230 ] Mirza Satria Buana yang berdimensi dialogis-restoratif ini senafas dengan Sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan.” Dalam ranah teknis-implementatif, pemerintah dapat memerankan dua fungsi yang dapat dieksekusi dalam dua skenario yang berbeda. Pertama, apabila negara dihadapkan pada keadaan dimana kedaulatan negara, persatuan negara dan nilai multikulturalisme ditantang oleh kelompokkelompok intoleran-rasis yang anti-kemajemukan, maka sikap pemerintah adalah netral-represif. Dalam strategi ini negara tidak memihak suatu golongan dan kepercayaan manapun, hanya berpihak pada nilai Pancasila; “Persatuan Indonesia”. Strategi ini memiliki kedekatan konseptual dengan prinsip liberal-sekularisme negara dimana negara harus bersikap netral dan mengayomi semua pihak dan golongan kepentingan dalam negara. Dalam konteks ini pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk mempertahankan status quo. Kedua, apabila negara dihadapkan pada suatu fakta adanya diskriminasi yang sistematis terhadap kelompok minoritas yang termarginal baik oleh sistem negara maupun swasta, maka sikap pemerintah adalah partial (memihak)-responsif. Strategi ini bercirikan paham komunalisme.55 Dalam skenario ini, keberpihakan penting untuk mencapai keadilan (equity) bagi masyarakat marginal, tentunya keberpihakan harus diawali dengan peran aktif pemerintah menfasilitasi dialog antara kelompok-kelompok kepentingan. Strategi ini senafas dengan Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Lewat prinsip-prinsip Pancasila tersebut, masalah inklusi sosial dapat diselesaikan lewat kebijakan politik inklusif yang bersumber pada nilainilai luhur Pancasila. Kebijakan politik inklusif tersebut bertujuan untuk mengurangi gesekan pertarungan ideologi (the war of credo) dalam spektrum negara, dimana peran dan kewajiban negara (the state’s obligation) sebagai penjaga hak-hak asasi warga negaranya menjadi sangat relevan. Dari penjelasan ini, jelaslah terlihat relasi antara prinsip-prinsip Pancasila yang dapat saling melengkapi dalam konteks sosial-politik yang berbeda. Pancasila juga bertali-temali dengan multikulturalisme lewat perumusan kedua sila: ‘persatuan’ dan ‘keadilan’. 55 Ibid, hlm. 645. [ 231 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Penutup Pengalaman negara tetangga; Malaysia dan Singapura penting sebagai pengingat bahwa merawat keberagaman memerlukan ikhtiar yang nyata dan menyeluruh; tidak hanya sekedar terlihat elok dalam tataran teoritiskonseptual, namun juga harus mampu menjawab tantangan-tantangan teknis di lapangan. Malaysia telah mengajarkan kepada kita akan pentingnya pemerintahan yang aktif dan berani turun tangan dalam mengelola ketimpangan sosial di masyarakat dengan program affirmative action. Singapura mengajarkan kepada kita tentang tata kelola dan administrasi kewarganegaraan yang efektif dan berintegritas. Contoh-contoh positif dari kedua negara tersebut, sejatinya telah terparti dalam sila-sila Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki sebuah daya ketahanan dan adaptasi dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer. Tantangan inklusi sosial tersebut dapat dicari jawabannya dengan menelaah sila-sila penting dalam Pancasila; terutama sila ke-3 ‘persatuan’ dan sila ke-5 ‘keadilan’. Untuk menyeimbangkan antara nilai ‘persatuan’ dengan nilai ‘keadilan’ tersebut diperlukan ikhtiar negara untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai ruang interaksi bersama yang berkeadilan. Akar masalah dari eskalasi anti-keberagaman di Indonesia adalah kesenjangan sosial dan ekonomi pada masyarakat, terutama pada lapis terbawah. Kesenjangan dapat dikurangi dengan memberikan affirmative action kepada komunitas yang benar-benar membutuhkan, namun hanya sebagai kebijakan jangka pendek dan menengah. Selain itu pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menertibkan pergerakan organisasiorganisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis suku dan agama. Berkaca pada pengalaman Singapura, ormas malah dapat menjadi kekuatan negara madani (civil society), bukan sebagai beban negara. Ormas-ormas di Indonesia seharusnya dapat ditransformasi dengan setidaknya memiliki 3 (tiga) peran penting: (1) peran dialogis, sebagai jembatan penghubung antara komunitas yang satu dengan yang lain (mayoritas dan minoritas); (2) peran pemberdayaan, dimana ormas tersebut dapat melakukan pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar yang dapat meningkatkan kapasitas personal maupun kelompok tertentu; dan terakhir (3) peran [ 232 ] Mirza Satria Buana penyelesaian sengketa informal, dalam konteks suasana kebathinan yang tegang dan penuh kecurigaan, ormas dapat berperan sebagai mediator dan fasilitator konflik dalam sengketa sosial. Selain itu secara fundamentalmakro, pengendalian politik diperlukan guna merawat nilai keberagaman dan suasana kebathinan masyarakat. Stabilitas politik perlu dijaga dengan mengedepankan supremasi hukum yang berintegritas dan penegakan hukum yang berkeadilan. Dengan politik yang stabil dan demokratis, negara dapat dengan leluasa merawat ‘tanah bunga’ yang beragam dan wangi bernama Indonesia. Pada akhirnya, jelas terlihat bahwa Pancasila tidak bertujuan untuk membentuk keseragaman (uniformitas), dan sikap mengisolasi diri dari pergaulan dan interaksi konstruktif global (proteksionisme). Malahan Pancasila mencoba untuk mengayomi perbedaan, keragamanan dan memberi nuansa inklusif dan toleransi pada pergaulan global yang konstruktif. Sikap proteksionisme dan nasionalisme sempit ibarat seperti tinggal sendiri dalam ruang yang gelap pekat. Angin dan badai mungkin menunggu di luar ruangan, namun ada juga pengharapan cahaya matahari dan udara segara. Indonesia diharapkan dapat berani keluar dari ruang gelap tersebut dan berani menantang silau mentari, dengan berpedoman pada Pancasila. Selain itu, Pancasila juga memerlukan nyala api solidaritas dari seluruh anak bangsanya. Solidaritas harus dibangun dengan dialog, interaksi yang intens dan mendalam dalam masyarakat. Sehingga seluruh warga negara Indonesia akan bersatu secara tulus dan ikhlas menerima keberagaman sebagai hadiah terindah Tuhan kepada Indonesia. Semoga. Referensi Buku dan JJurnal urnal Addis, Adeno, ‘Individualism, Communitarianism, and the Right of Ethnic Minorities’, Notre Dame Law Review 67 3 (1992). Berry, John W, ‘Acculturation: Living Successfully in Two Cultures’, International Journal of Intercultural Relations 29 6 (2005). Evers, Hans-Dieter, ‘Changing Ethnic Diversity in Peninsula Malaysia’, Kajian Malaysia 32 No 1 (2014). [ 233 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Feith, Herbert, ‘President Soekarno, the Army and the Communists: The Triangle Changes Shape’, Asian Survey Vol 4 (1964). Matthias Koenig (ed), Pluralism and Multiculturalism in Colonial and Post-Colonial Societies, International Journal on Multicultural Societies, 5 2 (2003). Huat, Chua Beng, Taking Groups Rights Seriously: Multiracialism in Singapore, Working Paper No 124, Oktober 2005, (Murdoch University, Asia Research Centre). MacGoldrick, Dominick, Human Right and Religion: The Islamic Headscraft in Europe (Hart Publishing, 2006). Nasution, Adnan Buyung, ‘Southeast Asian Constitutionalism: Toward Constitutional Democracy in Indonesia’, (Inaugural Professorial Lecture, Melbourne Law School, 20 Okotober 2010). Noor, Noraini M, dan Chan-Hoong Leong, ‘Multiculturalism in Malaysia and Singapore: Contesting Models’, International Journal of Intercultural Relations 37 (2013). Tanuwidjaja, Sunny,’Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidance of Islam’s Political Decline’, Contemporary South-east Asia: A Journal of International and Strategic Affairs 32, No 1 (2010). Thornberry, Patrick, International Law and the Rights of Minorities (Clarendon Publisher, 1993). Xanthaxi, Alexandra, ‘Multiculturalism and International Law: Discussing Universal Standard’ Human Rights Quarterly 32 (2010). Tesis Furlund, Eivind, Singapore, from third to first would country: The effect of development in Little India and Chinatown (Tesis Master, Norwegian University of Technology and Science, 2008). Konvensi Internasional The Universal Declaration on Human Rights (UDHR). The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) The Declaration of Minorities. [ 234 ] Mirza Satria Buana The UNESCO Declaration of the Principles of International Cultural Cooperation. The Universal Declaration on Cultural Diversity. The UN Special Rapporteur on Contemporary Forms of Racism, Political Platforms Which Promote or Incite Racial Discrimination. Surat Kabar Kompas, “Keberagaman Jadi Kekuatan: Pancasila Relevan Hadapi Setiap Tantangan”, Kompas, 11 Januari, 2017. Kompas, “Pemda Paling Banyak Diadukan: Kebebasan Beragama Terus Terancam”, Kompas, 11 Januari, 2017. Keliat, Makmur, ‘Tantangan Diplomasi Ekonomi’, Kompas, 17 Januari 2017. Latif, Yudi, Merenda Persatuan dan Keadilan, Kompas, 11 Januari 2017. Website Ang, Ien, Multiculturalism, 2005 http://media.wiley.com/product_ ancillary/92/ 06312256/DOWNLOAD/Multiculturalism.pdf [Diakses 10 Januari 2017]. Dissenting Opinion of Judge Tanaka, http://www.icj-cij.org/docket/files/ 47/4969.pdf. Faizasyah, Teuku, ‘Post-US presidential election: Years of living in uncertainty, The Jakarta Post, 20 December 2016 http://www.thejakartapost. com/academia/2016/12/30/post-us-presidential-election-yearsof-living-in-uncertainty.html [Diakses 13 Januari 2017]. SINDA, http://www.sinda.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017]. Yayasan Mendaki, http://www.mendaki.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017]. Wolf, Martin. 2005. ‘When Multiculturalism is a nonsense’, Financial Times https://www.ft.com/content/ff41a586-197f-11da-804e00000e2511c8 [Diakses 11 Januari 2017]. White, Michael, ‘Trevor Phillips says the unsayable about race and multiculturalism, The Guardian , 16 Maret 2015 https:// www.theguardian.com/uk-news/2015/ mar/16/trevor-phillipsrace-multiculturalism-blog [Diakses 13 Januari 2017]. [ 235 ] PA TRIARKHISME PANC A SIL A: DIALEKTIK A PATRIARKHISME PANCA SILA: PEREMPU AN D AL AM PERUMUSAN PEREMPUAN DAL ALAM PANC A SIL A D AN PEMBANGUNAN BANGSA PANCA SILA DAN INDONESIA Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana P atriarkhi dalam tulisan ini dimaksudkan untuk melihat kebijakan negara terhadap peran perempuan. Pancasila sebagai dasar negara merupakan seperangkat nilai yang menjadi pedoman terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara. Tulisan ini akan mengkaji tentang peran perempuan dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia dan partisipasinya dalam membangun bangsa dan negara pasca kemerdekaan. Kendati peran perempuan minim dalam momentum lahirnya dasar negara, namun tidak menjadikan perempuan berpangku tangan. Berbagai upaya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dilakukan. Hanya saja, semua tergantung pada besar atau kecilnya peluang dan kesempatan yang dapat dimainkan oleh kaum perempuan dalam mengawal setiap kebijakan politik hukum yang dibuat negara. Tulisan ini akan mencoba mengkaji tentang pasang surut peluang dan kesempatan yang dilakukan dan diraih perempuan sebagai batu pijakan untuk optimalisasi peran perempuan pada masa yang akan datang dalam setiap proses sosial, politik dan hukum dalam rangka membangun bangsa dan negara. [ 237 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Perjuangan M elawan P enjajah di Tengah B udaya P atriar kisme Melawan Penjajah Budaya Patriar atriarkisme Konseptualiasi patriarki1 sebenarnya telah ada sejak manusia ada, khususnya dalam konteks peranan mereka dalam ranah kehidupan keluarga dan sosial masyarakat. Sejarah perjalanan kehidupan manusia menunjukkan bahwa peran manusia dalam kehidupan sosial terbentuk berdasar fungsi sosialnya, dimana terdapat pembagian peran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Jika menelusuri asumsi tersebut diatas, patriarkhi memunculkan keyakinan bahwa perempuan memiliki tugas sebagai penyambung garis keturunan. 2 Bahkan menurut Weber, budaya mengkonstruksi peran laki-laki sebagai pemegang kendali kehidupan perempuan dalam ranah hubungan rumah tangga.3 Tidak hanya itu, mitologi Yunani mengibaratkan perempuan sebagai simbol Pandora4 yang konotasinya berisi tentang kesulitan, kejahatan dan penderitaan.5 Kemudian Aristoteles dengan oposisi biner-nya6 memposisikan perempuan secara berlawanan dengan laki-laki, sementara Thomas Aquinas dan Immanuel Kant mendefinisikan perempuan adalah laki-laki yang tidak tidak sempurna dibandingkan laki-laki bahkan anak-anak sekalipun.7 Sederet konsepsi diatas menunjukkan bahwa peran perempuan hanyalah sebagai penyambung keturunan dan bahkan masa menstruasi dianggap kelemahan, 1 2 3 4 5 6 7 Konsep ini disebut-sebut berawal dari adanya konsep kepemilikan pribadi (Privat Ownership) yang melahirkan pembagian peran antara laki-laki disektor publik dan perempuan di ranah reproduksi. Harta yang terkumpul akan diwariskan kepada anak sehingga konsep kejelasan nasab mewajibkan perempuan mempertahankan keperawanannya hingga menikah. Lihat “Asal-usul Budaya Patriarki”, (14 July 2015), online: PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta <http://pkbi-diy.info/?p=3940>. Edi Riyadi Terre, Manusia, Perempuan, Laki-laki: Pengantar ke Pemikiran, Cetakan Pertama, ed (Jakarta: Komunitas Salihara, 2013) hlm. 65 Lihat Ikhwan Setiawan, Membaca_Lagi_Struktur_Patriarki_dalam_Ma (1).pdf hlm. 2. Secara historis sistem matriarkhi lebih dahulu berkembang dalam sejarah peradaban manusia. Namun tradisi perang memposisikan laki-laki dengan kekuatan fisiknya lebih dominan daripada perempuan. Dengan demikian Claudia von Werlhof berpendapat bahwa logika patrairkhi adalah logika perang Pandora adalah perempuan pertama dalam mitologi Yunani yang diberi keistimewaan berupa kemampuan yang unik. Akan tetapi Pandora digambarkan sebagai penyebab terjadinya keburukan. Lihat “Apa Itu Pandora?”, (9 December 2015), online: Natl Geogr Indones <http:// nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/apa-itu-pandora>. Ikhwan Setiawan, Membaca_Lagi_Struktur_Patriarki_dalam_Ma (1).pdf hlm. 12 Muhadjir Darwin, “Maskulinitas: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis” (1999) Cent Popul Policy Stud Gadjah Mada Univ 281 hlm. 12 Muhammad Adji, Lina Meilinawati & Baban Banita, Perempuan dalam Kuasa Patriarkhi (Bandung: Universitas Pajajaran, 2009) hlm. 17 [ 238 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana sehingga tergantung pada sperma laki-laki dalam membentuk janin dan kehidupan baru.8 Patriarkhi disebut sebagai the magic system9 karena memunculkan gender yaitu konstruksi masyarakat dalam menjelaskan jenis kelamin. Bahwa laki-laki harus kuat, tegas gagah, berani dan berbagai karakter lain yang bersifat pemimpin. Sedangkan perempuan harus memiliki kepribadian, lembut, telaten, harus tunduk, menghormati dan melayani suami, harus mengasuh, menjaga dan mendidik anak, sementara terhadap masyarakat perempuan harus bisa bertindak untuk menjaga diri dan nama baik keluarga. Konsepsi gender seringkali salah kaprah di masyarakat karena sulit membedakannya dengan kodrat yaitu pemberian Tuhan yang tidak dapat diingikari sehingga menganggap keduanya sama. Konstruksi Patriarkhi di Indonesia tumbuh subur di berbagai wilayah, bahkan menempatkan peran perempuan sebagai istri dan ibu yang harus berdiam diri di rumah.10 Dalam masyarakat Jawa, seorang perempuan bermakna wanito yang berarti wani ditoto, harus siap untuk diatur oleh laki-laki. Peran perempuan dijelaskan dalam istilah 3M (masak, macak, manak) yang berarti perempuan harus memasak, berias dan melahirkan. Posisi fungsional perempuan juga sering disebut dengan adagium suwargo nunut neroko katut yang menunjukkan perempuan selalu sebagai pihak kedua yang tergantung kepada laki-laki, atau melalui adagium konco wingking, dapur sumur kasur. Hal tersebut terlihat jelas bahwa deskripsi peran perempuan tergantung pada laki-laki,11 bahkan tidak jarang peran perempuan dibeberapa daerah di Indonesia terdistorsi berada dibawah pengaruh laki-laki. Patriarkhi disebut sebagai sistem sosial yang menempatkan laki-laki superior atas perempuan.12 Setidaknya norma sosial, norma hukum dan 8 Wahyuni Retnowulandari, “Budaya Hukum Patriarkhi versus Feminisme dalam Penegakan Hukum Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan” (2010) 8:3 J Huk 16 hlm. 135. 9 Siti Rokhimah, “Patriarkhisme dan Ketidakadilan Gender” (2015) 6:1 MUWAZAH, online: <http:/ /e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/view/440> hlm. 135. 10 Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender” (2012) 3:1 MUWAZAH, online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/download/6/6> hlm. 1 11 Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender” (2012) 3:1 MUWAZAH, online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/download/6/6> hlm. 1 12 Rokhimah, supra note 9 hlm. 133. [ 239 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi norma agama masih sangat kuat mengatur relasi antara perempuan dan laki-laki. Norma sosial disebut-sebut masih tertancap kuat oleh budaya patriarkhi, hal tersebut terlihat dengan masih adanya budaya dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kaum yang rentan terhadap kekerasan.13 Sementara norma hukum tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah budaya yang masih sedemikian kuat dalam keyakinan masyarakat.14 Norma agama juga tidak mampu secara optimal mengubah pandangan masyarakat.15 Terlepas dari konstruksi budaya sebagaimana disebut di atas, budaya patriarkhi di Indonesia tidak secara membabi buta meniadakan peran perempuan. Tidak sedikit perempuan yang berperan dalam perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah dan merebut keberdekaan bangsa. Tampilnya pejuang perempuan seperti Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah, Marta Christina Tiahahu dari Ambon, Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh16 menjadi bukti bahwa peran perempuan dalam merebut kemerdekaan dari penjajah melampaui budaya patriarkal yang ada. Selain itu, perempuan juga mampu tampil berkiprah dalam dunia pendidikan. Bergulirnya politik etis17 ketika itu menempatkan masyarakat Indonesia 13 Dina Tsalist Wildana, “Sakralisasi Abhekalan dan Desakralisasi Nikah dalam Perspektif Gender bagi Masyarakat Muslim Madura di Jember” (2017), online: <http://repository.unej.ac.id/ handle/ 123456789/80075> hlm. 221. 14 Undang-Undang perkawinan masih mengizinkan mengizinkan perempan yang masih berusia anak, ditengah budaya yang memposisikan perempuan (istri) sebagai pelayan suami. Hal ini memangkas berbagai kesematan seperti pendidikan, kesehatan dan perekonomian bagi perempuan. hal ini berakibat pada minimnya lapangan kerja yang berbanding lurus dengan minimnya perlindungan hak di dalam pekerjaan bagi perempuan.Lihat Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana, “Perempuan dan Tembakau di Mayang Kabupaten Jember: Perspektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” (2017) 6:2 JURISDICTIE 118 hlm. 126. 15 Ajaran agama masih memandang perempuan terikat dalam kodratnya yaitu melayani suami, melahirkan dan mendidik anak. Tidak sedikit tokoh agama yang mendukung adanya perkawinan dini mengingat persiapan kodrat tersebut ditidakan perlu menunggu waktu yang lama. Itulah sebabnya mengapa upaya menaikkan batas minimal perkawinan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Lihay Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 18 June 2015 [Pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan] hlm. 8. 16 Pujiati Pujiati, Kelestarian Perjuangan Kongres Wanita Indonesia (Kowani): Analisis Pada Masa Kolonial Dan Pascakolonial Universiti Sains Malaysia, 2007) [unpublished] hlm. 5 17 Politik Etis adalah kebijakan pemerintah Belanda akibat diberlakukannya sistem Tanam paksa dan Politik Liberal yang mengakibatkan kemakmuran diperoleh bagi negara penjaajah sementara disisi lain kesengsaraan bagi masyarakat terjajah. Oleh sebab itu Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 memerintahkan Belanda untuk menanggulaangi kesengsaraan pribumi dengan melaksanakan tiga kebijakan yaitu edukasi, irigasi dan transmigrasi. Lihat Gusti Muhammad Prayudi & Dewi Salindri, “Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901-1942” (2015) 3:1 Publika Budaya 20 hlm. 22. [ 240 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana turut mengenyam pendidikan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat sehingga muncul pula tokoh perempuan dibidang pendidikan seperti R.A. Kartini (Jawa Tengah), Rahmah el Yunusiyyah (Padang Panjang), Dewi Sartika (Jawa Barat), Rohana Kudus (Minangkabau), Maria Walanda Maramis (Sulawesi Utara), Ny. Hj Ahmad Dahlan (Yogyakarta), Ny. Hj Rasuna Said (Sumatera Barat) dan tokoh lainnya yang ikut andil dalam memperjuangkan adanya akses pendidikan kepada masyarakat, khususnya kaum perempuan. 18 Dalam gerakan sosial kemasyarakatan, peran perempuan terlihat dari munculnya organisasi perempuan seperti Poetri Mahardika 1912, Poetri Sedjati, Wanita Oetama, Jong Java, Pawijatan Wanito tahun 1915 di Magelang, Organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun (PIKAT) tahun 1917 di Manado, Poetri Boedi tahun 1919 di Surabaya, Wanita Taman Siswa (1922).19 Selain itu, organisai perempuan berbasis agama juga muncul seperti Aisiyyah 1917, Muslimat NU, dan Poesara Wanita Katolik. Pada tahun 1928 Kongres Perempuan Indonesia20 pertama dilakukan untuk membahas berbagai permasalahan seperti pendidikan, perkawinan, poligami, dan lainnya yang bertujuan untuk menjadi pemersatu gerakan perempuan Indonesia. Munculnya gerakan-gerakan sosial yang dimotori oleh perempuan pada masa pra kemerdekaan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada problem yang membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan Indonesia. Tidak munculnya problem keberadaan perempuan diluar “kodrat”nya menunjukkan bahwa sistem patriarkhi hilang dan larut dalam kepentingan yang lebih besar yakni gerakan saling mendukung demi terciptanya kemerdekaan Indonesia. Peran perempuan yang saling bahu membahu dengan laki-laki dalam merebut kemerdekaan telah banyak dikaji oleh para peneliti. Hampir semua sepakat bahwa peran perempuan sama besarnya dengan peran laki-laki dalam peperangan mengusir penjajah, pendidikan dan dalam berorganisasi sehingga mencapai 18 Beberapa lembaga pendidikan yang d dirikan antara lain STOVIA yaitu sekolah yang mendidikan calon dokter bagi pribumi, OSVIA yang mendidik pegawai atau priyayi. Sekolah ini hanya dapat dinikmati oleh para kalangan pribumi bangsawan. Lihat budi Utomo, hlm.11-12 19 Lucky Sandra Amalia, Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke Masa - Politik Lipi (LIPI, Pusat Penelitian Politik (The Center for Political Studies), 2010). 20 Dari Kongres ini melahirkan beberapa putusan salah satunya adalah dibentuknya Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang selanjutnya berubah nama menjadi KOWANI. [ 241 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Peran perempuan sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan bahwa perempuan telah membuat batu pijakan yang sangat kuat dalam rangka turun serta dalam merebut kemerdekaan dan membangun bangsa. Patriar khi dalam SSejarah ejarah P embentukan P ancasila atriarkhi Pembentukan Pancasila Lahirnya Pancasila tidak lepas dari upaya Jepang demi menjaga stabilitas daerah jajahannya (Indonesia) disaat Jepang mengalami kekalahan Pasca Perang ke II. Pada sidang Parlemen tahun 1944, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.21 Agar janji tersebut terlihat nyata, Jepang membentuk organisasi yang bernama Dokuritsu Junbii Chosakai atau dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdeaan Indonesia (BPUPKI).22 Salah satu tugas badan ini adalah mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dalam membentuk negara yangmerdeka dan mempersiapkan dasar negara.23 Dari sejumlah anggota BPUPKI24 terdapat 2 orang diantaranya yang berjenis kelamin perempuan yaitu Maria Ulfa dan Soenarjo Mangoenpoespito.25 Meski demikian sejarah kurang begitu mencatat kiprah kedua perempuan dalam perumusan dasar negara dan undang-undang dasar. BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali26 yaitu sidang pertama membahas tentang dasar negara yang dimotori oleh kaum agamis dan kaum nasionalis.27 Sidang pertama menghasilkan dasar negara yang terdiri dari 21 Widya Rossani Rahayu, Perdebatan tentang Dasar Negara pada Sidang Badan Penyelidikan UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) 29-17 Juli 1945 Universitas Indonesia, 2008) [unpublished] hlm. 89. 22 Badan ini didirikan pada tanggal 1 Maret 1945, namun peresmiannya baru dilakukan pada tanggal 29 April 1945 oleh Letjen Yuichiro Nagano dan menetapkan K.R.T Radjiman Wediodiningrat sebagai ketuanya. Lihat Ibid hlm. 90. 23 Tugas BPUPKI tertuang di dalam Maklumat Gunseikan No. 23 Ibid hlm. 91. 24 Jumlah Anggota BPUPKI disebut ada 67 orang yang 8 diantaranya merupakan orang Jepang yang tidak memiliki hak suara. Ibid. 25 “Fokus Edisi 19: Membebaskan Perempuan Merayakan Kemerdekaan”, online: RAHIMA Pus Pendidik Dan Inf Islam Dan Hak-Hak Peremp <http:// www.rahima.or.id/index.php/categorytable/157-fokus-edisi-19-membebaskan-perempuan-merayakan-kemerdekaan>. 26 Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan sidang ke dua pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945. Lihat Rahayu, supra note 22 hlm. 91. 27 Kaum nasionalis dimotori oleh Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Soepomo sedangkan kaum agamis direpresentasikan oleh Wachid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Muzakkir. Lihat Ibid hlm. 95. [ 242 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana lima dasar yaitu Pancasila, sedangkan sidang kedua membahas tentang undang-undang dasar sehingga tersusun preambule dan batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.28 Karena dianggap telah selesai, BPUPKI dibubarkan dan dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdeaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus 1945 dimana tidak ada keterwakilan perempuan didalamnya. Termasuk penentuan tanggal kemerdekaan dimana anggota PPKI terpecah menjadi dua golongan yaitu golongan tua dan golongan muda. S.K Trimurti29 menyaksikan peristiwa perbedaan pendapat tersebut dan pasca pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dia memainkan perananannya dalam penyebarluasan kabar kemerdekaan Indonesia melalui kegiatan jurnalistik.30 Melalui keahliannya, berita kemerdekaan dapat tersosialisasikan ke seluruh pelosok negeri. Gautama Budi berpendapat bahwa Pancasila memiliki tiga fungsi bagi bangsa Indonesia yaitu sebagai tata nilai, ideologi dan dasar negara.31 Pancasila sebagai tata nilai merupakan sari pati bangsa bangsa yang tidak dengan sengaja dibentuk oleh siapapun. Sedangkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara merupakan proses kelanjutan dari kerja Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidang pertama dan keduanya, dan hasil dari kinerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Keterlibatan perempuan dalam penyusunan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sangat minim. Setidaknya keterwakilan perempuan telah 28 1 Juni 1945 merupakan hari ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karenanya 1 Juni di sebut sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Meskipun di tahun tersebut susunan Pancasila yaitu 1. Kebangsaan Indonesia, 2). Internasionalisme atau Perikemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, 5). Ketuhanan. Lihat Ibid hlm. 100–101. 29 Surastri Karma Trimurti atau sering di singkat S.K. Trimurti adalah Istri dari Sayuti Melik. Selain Istri seorang Tokoh Kemerdekaan ia memiliki kompetensi untuk turun berjuang mempertahankan Kemerdekaan. Lihat Ipong Jazimah, “SK Trimurti: pejuang perempuan Indonesia” (2016) 10:1 J Sej Dan Budaya 47 hlm. 50 30 Dadan Wildan, M Hum & Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara RI, “Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945” (2014) 17 Minist State Secr Repub Indones Jkt, online: <http://server2.docfoc.com/uploads/Z2015/ 11/29/OKdbnIgKUY/de9fc69deb93ee 287d1f04fa401fd52b.doc> hlm. 4 31 Gautama Budi Arundhati, “Relasi Norma Proklamasi dan Pancasila” in (2016) 3 hlm. 5–7 [ 243 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ada di badan penyusun Pancasila. Meskipun track recordnya kurang terekam oleh sejarah. Namun sedikit banyak ide dan kepentingan perempuan telah diakui dan setara dengan laki-laki. Hal ini tampak pada makna substantif Alenia Pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa dalam bentuk penghapusan penjajahan di muka bumi sebab mengutamakan kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia . Kemerdekaan dalam pembukaan konstitusi tersebut memiliki makna tersirat bahwa baik lakilaki ataupun perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh dan menikmati kemerdekaannya secara utuh. Sedangkan penghapusan penjajahan dapat dimaknai tidak adanya sikap menguasai dan diskriminatif oleh siapa pun terhadap siapapun, termasuk sikap dan tindakan diskriminatif yang didasarkan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Orde Lama: Ter kikisnya P atriar khi oleh SSemangat emangat R ev olusi erkikisnya Patriar atriarkhi Rev evolusi Patriarkhisme pada masa Orde Lama dimaksudkan untuk melihat kepemimpinan presiden Ir. Soekarno terkait peran dan posisi perempuan dalam ranah pemerintahan, sosial dan masyarakat. Hal ini akan ditelusuri melalui keterwakilannya dalam lembaga pemerintahan, kebijakan-kebijakan negara yang dihasilkan, serta perkembangan perempuan dalam masyarakat. Pola kepemimpinan Presiden Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia terbagi dalam beberapa periode yaitu periode revolusi, periode demokrasi liberal dan periode demokrasi terpimpin. Masa revolusi dibawah kepemimpinan presiden Ir. Soekarno, Indonesia sedang berusaha memperoleh pengakuan atas kemerdekaannya ditengah upaya Belanda untuk kembali ingin menjajah Indonesia. Ditengah kondisi ini, organisasi perempuan KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) sebagai salah satu organisasi perempuan yang ada saat itu memberi dukungan penuh atas kemerdekaan Indonesia.32 KOWANI juga berperan serta menjadi anggota organisasi internasional WIDF ( Women’s International Democratic Federation) pada tahun 1946. Bergabungnya KOWANI dalam organisasi WIDF bertujuan agar WIDF dan dunia internasional membantu menyampaikan protes terhadap agresi Belanda ke Indonesua di PBB.33 32 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia pascakejatuhan PKI (Yogyakarta: Penerbit Galangpress, 2010) hlm. 151 33 Ibid hlm. 152 [ 244 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana Organisasi perempuan pada masa pemerintahan Orde Lama tidak hanya bergerak pada bidang yang terkait dengan kepentingan perempuan. Mereka juga membahas persoalan sosial kemasyarakatan, politik, dan pemerintahan.34 Ruang lingkup organisasi perempuan juga tidak bersifat lokalitas saja, namun juga aktif dalam skala nasional dan internasional. Selain KOWANI, organisasi perempuan lainnya yang sejak awal juga eksis sebelum kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, seperti organisasi BBW (Barisan Buruh Wanita) yang dipimpin oleh S.K Trimurti yang merupakan istri dari Sayuti Melik.35 S.K. Trimurti memperjuangkan hak kaum buruh sehingga pada masa pemerintahan Orde Lama, beliau terpilih menjadi Menteri Perburuhan dan prestasi yang dicapainya adalah lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perburuhan, peraturan perundang-undangan tentang kerja yang didalamnya berisi tentang perlindungan negara terhadap pekerja perempuan. S.K Trimurti juga dipercaya menjadi Dewan Perancangan Nasional dan sekaligus menjadi anggota MPRS pada tahun 1959.36 Selain itu, bermunculan juga tokoh perempuan ketika Orde Lama berkuasa yang memainkan peranannya di dunia politik seperti Kartini Kartaradjasa dan Supeni (dari Partai Nasional Indonesia), Walandau (dari Partai Kristen Indonesia), Mahmuda Mawardi dan H.A.S Wachid Hasyim (dari Partai Nahdatul Ulama), Salawati Daud (dari partai Komunis Indonesia).37 Arah gerakan perempuan pada masa Orde Lama terlihat jelas dari peran aktifnya di bidang politik sebagai reaksi dari kebijakan demokrasi liberal Ir. Soekarno. Salah satunya adalah lahirnya organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) pada tahun 1950an yang merupakan cikal bakal organisasi perempuan Gerwani yang berada dibawah struktuk organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Upaya signifikan yang dilakukan Gerwis di bidang politik, feminisme, sosial dan ekonomi, hak anak dan hak wanita, 34 Risdha nugroho Budiyanto, Aktivitas Gerwani di Kota Semarang Tahun 1950-1965 Universitas Diponegoro, 2009) [unpublished] hlm. 80 35 Jazimah, supra note 17 36 Ibid. 37 Lucky Sandra Amalia, “Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke Masa - Politik Lipi”, (2010), online: <http://politik.lipi.go.id/kolom/296-kiprah-perempuan-di-ranah-politik-darimasa-ke-masa> [ 245 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi serta anti imperialisme terwujud salah satunya melalui terdorongnya upaya pembentukan undang-undang perkawinan yang demokratis. Mendekati dekade 1955, Gerwis berubah menjadi Gerwani dengan fokus gerakannya dibidang politik yaitu pendidikan politik bagi kaum perempuan untuk menyikapi pemilu dan tetap mengkritisi masalah-masalah feminisme seperti perkosaan, penghapusan perkawinan paksa, reformasi undang-undang perkawinan. Gerwani juga turut serta menuntut penurunan harga dalam sektor ekonomi. Pada masa Orde Lama, Ir. Soekarno memiliki kekuasaan penuh, namun masih memberikan ruang bagi aktualisasi diri organisasi perempuan. Arah gerakan organisasi perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, hak perempuan dan anak, serta demokrasi. Margaretha menyebut bahwa partisipasi perempuan pada masa Orde Lama telah sesuai dengan kemampuan yang dilakukan secara demokratis terhadap setiap peran sosial politiknya.38 Akrabnya presiden Ir. Soekarno dengan gerakan perempuan berdampak pada semakin berkembangnya gerakan perempuan pada masa itu dan ditambah dengan penetapan tanggal 22 Desember 1928 yang dilakukan presiden Ir. Soekarno sebagai terhadap Hari Ibu, sedangkan perlu diketahui bahwa tanggal 22 Desember 1928 merupakan hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama.39 Orde B ar u: K ebangkitan P atriar khi dalam SSemangat emangat Bar aru: Kebangkitan Patriar atriarkhi ancasila Pemurnian P Pancasila Pemerintahan Orde Baru secara terminologis berbeda dan berseberangan dengan pola yang dibangun oleh Orde Lama dibidang peranan perempuan. Pemerintahan Orde Baru dimulai ketika Presiden Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) dari Presiden Ir. Soekarno.40 Orde 38 Hanita Margaretha, Lembaga Akademi dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender (Universitas Indonesia, Jakarta: Program Studi Kajian Gender, Program Pascasarjana (Multidisiplin), 2015) hlm. 15 39 Saat ini terjadi sering dijumpai persepsi yang kurang tepat mengenai hari ibu, yang sering dimaknai pengorbanan perempuan sebagai ibu. Padahal Dekrit Presiden No 361 Tahun 1959 dimaksudkan sebagai penghargaan bagi perempuan yang meskipun akif di dalam rumah tangga, akan tetapi tidak meniadakan perannya di dalam masyarakat, pemerintahan dan negara “Sejarah Singkat Hari Ibu”, online: <http://bkddki.jakarta.go.id/unduh/2013/20131217_HARI_IBU_2013/ 20131217_HARI_IBU_2013_SEJARAH_SINGKAT.pdf>. 40 Sunarso, supra note 19 hlm. 10 [ 246 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana Baru berupaya menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagaimana tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun seperti yang tertera dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang juga mengatur tentang relasi antara pemerintah dengan kelompok organisasi perempuan. Gerakan perempuan di Indonesia berada pada titik nadirnya pada tahun 1965, berawal dari dihancurkannya Gerwani karena terindikasi Gerakan 30 September 1965 PKI. Gerwani dilabeli dengan stigma gerakan perempuan liar, tidak bermoral dan sudah tentu menjadi organisasi terlarang.41 Akibatnya peristiwa tersebut, gerakan perempuan yang kritis menjadi diam dan hanya organisasi perempuan yang memiliki ide sejalan dengan pemerintahan Orde Baru saja yang dapat bertahan. Orde Baru merombak kembali identitas perempuan melalui istilah-itilah yang mudah diingat dan diserap oleh masyarakat. Seperti istilah macak, masak manak (3M) 42 dan 3I yaitu Istri, Ibu dan Ibu Rumah tangga (“ibuisme”) untuk menyebutkan tugas perempuan.43 Darwin menyebutkan bahwa masa Orde Baru meruppakan masa domestikasi gerakan perempuan melalui reproduksi tugas peran dan posisi perempuan yang subordinasi atas laki-laki serta terkooptasinya gerakan perempuan.44 Pada tahun 1974, pemerintahan Orde Baru membuat kebijakan Keluarga Berencana (KB)45 yang memposisikan perempuan sebagai sasaran. Pada Tahun itu juga pemerintah membentuk Pembinaan Keluarga Sejahtera (PKK) dan Dharma Wanita yang bertujuan sebagai alat untuk mengontrol perempuan. Salah satu posisi penguatan kontrol perempuan dalam ranah rumah tangga adalah dengan diberlakukannya undang-undang yang 41 Tyas Retno Wulan, “Pemetaan gerakan Perempuan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Penguatan Publik Spere di Pedesaan” (2008) 3:1 Yin Yang 120. Revolusi tahun 1965 diberitakan berbagai media disebabkan oleh PKI dan Gerwani yang memiliki kedekatan dengan PKI dituduh melakukan perbuatan tidak manusiawi terhadap para tentara dan TNI di Lubang Buaya. Berita ini menyebabkan stigma geraakan perempuan yang cenderung liar dan tidak bermoral 42 Vitriya Kusuma Dewi & Gayung Kasuma, “Perempuan Masa Orde Baru (Studi Kebijakan PKK dan KB Tahun 1968-1983)” (2014) 4:2 Verleden J Kesehat 157. 43 Wulan, supra note 44. 44 Ibid. 45 Dewi & Kasuma, supra note 45. Kebijakan mengontrol jumlah penduduk melalui KB tertera di dalam GBHN tahun 1973-1978 yang mana isu ini tidak pernah dibahas pada masa orde lama maupun oleh organisasi perempuan sebelumnya [ 247 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi mengatur tentang perkawinan dan mengokohkan posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga. Pemerintahan Orde Baru melarang keras Gerwani disatu sisi dan disisi lain membiarkan tetap hidup organisasi perempuan yang telah ada sejak Orde Lama dengan catatan tidak bertentangan dengan arah kebijakan pemerintahan Orde Baru. Sebagai kontrol, pemerintah membentuk PKK dan Dharma Wanita pada tahun 1974 dengan meletakkan Panca Dharma Perempuan sebagai tugas perempuan yaitu mendukung suami, mendidik dan membina generasi muda, mengatur rumah tangga dan bekerja untuk menambah penghasilan rumah tangga, serta menjadi anggota masyarakat.46 Pada tahun 1978, melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pemerintah Orde Baru memasukkan perempuan dalam lembaga pemerintahan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Kendati demikian, pemerintahan Orde Baru menetapkan tugas perempuan dalam Panca Dharma Perempuan.47 Pada Tahun 1983, Pemerintahan Orde Baru kembali menguatkan peranan PKK dan Dharma Wanita melalui Baru Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983 dan meningkatkan status dari Menteri Muda menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Langkah tersebut memberikan penekanan bahwa peranan wanita dalam pembangunan lebih signifikan.48 Pada tahun 1988, melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988, terjadi pergeseran konsep terkait peranan wanita yaitu awalnya menempatkan perempuan dalam pembangunan menjadi perempuan dan pembangunan.49 Pada tahun 1993, melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993, pemerintah membuat konsep yang menegaskan bahwa perempuan merupakan “mitra sejajar pria”, namun tetap pada koridor mempertahankan konsep “kodrat” perempuan sebagai batasan geraknya.50 46 Dini Anitasari S, Melly Setyawati & Sri Wiyanti, Kebijakan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia Paska Orde Baru (Studi Kasus di Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat) (Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat: Woman’s Empowerment in Muslim Contexts gender, poverty and demicratisation form the inside out, 2010) hlm. 9 47 Ibid. hlm. 10 48 Ibid. 49 Ibid. 50 Ibid. [ 248 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana Menurut Hafidz, kebijakan pemerintahan Orde Baru yang semula menempatkan perempuan dalam keluarga, kemudian dilibatkan dan terlibat dalam pembangunan dilakukan pemerintah bukan semata-mata untuk peningkatan kualitas perempuan, akan tetapi untuk menarik investor asing dengan upah buruh perempuan yang murah sebagai daya tariknya.51 Kebijakan dibidang pangan, berupa revolusi hijau juga tidak memberikan banyak manfaat bagi kondisi perempuan.52 Pemerintahan Orde Baru memberikan dua pilihan terhadap organisasi gerakan perempuan yaitu bertahan dengan mengubah arah gerakannya atau tetap menggunakan arah gerakannya yang semula namun harus menanggung konsekuensi akan dianggap sebagai bagian dari organisasi terlarang Gerwani. Organisasi Perwari, Wanita Demokrat, yang ketika masa pemerintahan Orde Lama banyak melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintahan Ir. Soekarno, pada saat pemerintahan Orde Baru mengubah arah gerakannya dan berganti menjadi Organisasi Istri Pegawai yang gerakannya berfokus pada kesejahteraan keluarga menengah keatas.53 Menurut Tyas, pemerintahan Orde Baru merupakan era pemerintahan yang melakukan upaya domestikasi terhadap gerakan perempuan.54 Sementara Ariel Haryanto menyebut gerakan perempuan pada masa pemerintahan Orde Baru telah dijinakkan dan dimanfaatkan.55 Istilah ini tidak berlebihan jika mengingat gerakan perempuan yang semula kritis menaggapi situasi sosial, politik dan kenegaraan, namun pada era Orde Baru ditekan sedemikian rupa sehingga gerakan perempuan hanya memiliki ruang lingkup domestik saja dengan Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi sebagai pengawasnya. Melihat lika-liku pergerakan organisasi perempuan pada masa pemerintahan Orde Baru, agak tepat kiranya jika mengutip pendapat Charles Fourier yang menyatakan bahwa suatu perubahan dapat diukur 51 Lihat Dini Anitasari S, Melly Setyawati & Sri Wiyanti, Kebijakan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia Paska Orde Baru (Studi Kasus di Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat) (Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat: Woman’s Empowerment in Muslim Contexts gender, poverty and demicratisation form the inside out, 2010) hlm. 8. 52 Tim LPTP Solo, “Agenda Perempuan dalam Gerakan Petani” (2012) 2:1 MUWAZAH, online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/view/18> hlm. 206 53 Wulan, supra note 29 54 Ibid. Domestikasi adalah menempatkan peranan perempuan sebagai unsur pendukung suami yang mengurus urusan rumah tangga dan tidak terlibat pada urusan politik dan pemerintahan. [ 249 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dari sejauhmana kemajuan dicapai oleh perempuan.56 Setelah sekian lama berkuasa, pada akhirnya era Orde Baru mencapai titik klimaksnya dengan lengsernya rezim tersebut pada Mei 1998. Namun jika menilik peristiwa yang terjadi, runtuhnya kekuasaan Orde Baru baru dimulai pada 23 Februari 1998, tepatnya ketika terjadi gerakan masif yang dipelopori oleh sekelompok perempuan yang melakukan demonstrasi gerakan “politik susu” dengan nama gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) yang menuntut penurunan harga susu. Akibat demontrasi inilah dunia pada akhirnya mengetahui kebobrokan politik dan ketidakadilan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa runtuhnya Orde Baru memberikan angin segar bagi organisasi gerakan perempuan untuk kembali bangkit setelah sekian lama dijinakkan dan dimanfaatkan oleh kekuasaan Pemerintahan Orde Baru.57 Era R eformasi: K ebangkitan K embali G erakan P er empuan Reformasi: Kebangkitan Kembali Gerakan Per erempuan Krisis ekonomi yang terjadi pada rentang 1996 – 1998 menjadi titik pijak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut muncul ditengarai akibat kebijakan hutang luar negeri presiden Soeharto kepada World Bank. Efek krisis ekonomi berdampak pada munculnya chaos disetiap lini kehidupan masyarakat. Melambungnya harga kebutuhan pokok hingga mencapa 400% ditanggapi dengan sangat cepat oleh gerakan perempuan dengan melakukan aksi demonstrasi di jalan dan menuntut pengusutan kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.58 Hasil dari tuntutan tersebut adalah didirikannya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang memiliki tujuan untuk menciptakan situasi kondusif untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, memberikan saran dan masukan kepada pemerintah dan memastikan tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap perempuan. Oleh karenanya berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang bertujuan menciptakan situasi 55 Lihat Wulan, supra note 44. Maria A. Sardjono, Tiga Orang Perempuan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 36 57 Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara, Bogor: Penernit Komunitas Bambu, 2011, h. 56 58 Neng Dara Afifah, “Gerakan Perempuan di Era Reformasi Capaian dan Tantangan”, online: <http:/ /www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2014/04/GERAKAN-PEREMPUAN-DIERA-REFORMASI_Neng-Dara-Affiah-21-April-2014.pdf> hlm. 1 56 [ 250 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana kondusif untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan dan memastikan tidak ada kebijakan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan.59 Hasil dari reformasi selain berdirinya KOMNAS Perempuan, juga ditandai dengan kebangkitan beberapa organisasi perempuan yang sempat terpinggirkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Selain itu juga, reformasi mendorong berkembangnya organisasi perempuan dengan munculnya organisasi perempuan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga),60 Yayasan Pulih,61 Migran Care,62 Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan (KAPAL).63 Organisasi perempuan berbasis keagamaan pun tumbuh seperti Rahima,64 Fahmina,65 organisasi perempuan Kajian Islam dan Sosial (LKIS).66 Kebangkitan kembali gerakan perempuan telah memiliki kekuatan untuk mendorong pemerintah membuat kebijakan yang sensitif gender. Seperti dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pemberdayaan Perempuan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kebijakan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan 59 Ibid hlm. 2 Organisasi ini berdiri tahun 2000, semula bernama “windows project” yang bertugas mendokumentasikan kehidupan perempuan sebagai kepala rumah tangga (janda) di wilayah konflik (Aceh). Lihat Afifah, supra note 42. 61 Organisasi ini berdiri tahun 2002 yang fokus paada pencegakan kekeraasan terhadap perempuan baik didalam rumah tangga, konflik ataupun bencana dengan memberikan pelayanan psikologis, dan trauma healing Ibid. 62 Fokus pada pendamplingan perempuan buruh migrant Ibid. 63 Berdiri tanggal 8 Maret 2000 yang memberikan pendidikan alternative berupa wacana pluralism dan penguatan komunitas belajar di Indoesia.Ibid. 64 Berdiri tahun 2000 yang fokus pada pendidikan dan informasi tentang hak perempuan dalam islam. Ibid. 65 Berdiri di Cirebon tahun 2000 yang bertujuan untuk memberikan penyadaran public pada tiga isu utama yaitu Islam dan Demokrasi, Islam dan Gender, serta Islam dan Otonomi Komunitas. Ibid. 66 Terbentuk tahun 2006 yang bergerak dibidang kajian dan pelatihan hak-hak perempuan, penerbitan buku, pendampingan perempuan korban kekerasan di komunitas pesantren dan majelis taklim.Lihat Ibid. 60 [ 251 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan hasil revisinya. Terbitnya berbagai kebijakan tersebut secara regulatif telah melindungi perempuan dari berbagai tindakan yang diskriminatif. Munculnya peraturan perundang-undangan yang memihak perempuan menunjukkan bahwa pemerintah pasca reformasi cukup serius melindungi perempuan sebagai bagian dari warga negara. Jaminan perempuan untuk berkiprah di dunia politik pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012. Era reformasi disebut oleh Tyas Retno sebagai masa redefinisi perempuan yang sempat didefinisikan secara luas oleh masa pra kemerdekaan sampai masa kemerdekaan khususnya Orde Lama.67 Definisi yang dibangun ketika masa kemerdekaan sampai masa Orde Lama menempatkan setiap manusia memiliki kewajiban dan hak untuk membangun bangsa dan negara berupa merebut kemerdekaan dan mengisinya demi kemakmuran bersama. Oleh karenanya, tidak aneh apabila terdapat organisasi perempuan yang memperjuangkan nasib buruh, tani, anak, perempuan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya. Definisi ini mengalami penyempitan pada masa Orde Baru dengan menghilangkan peran perempuan dalam peran negara dan pemerintahan ke dalam peran rumah tangga. Kemudian definisi awal tentang perempuan dihadirkan kembali pada masa reformasi yang ditandai dengan munculnya organisasi perempuan. Prinsip F ilosifis P ancasila dan SSistem istem P atriar khi Filosifis Pancasila Patriar atriarkhi Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sejatinya tidak untuk dipertentangkan dan diadu siapa yang lebih hebat dari siapa. Pancasila telah mengatur hubungan antara sesama manusia dalam rumusan silanya. Sila pertama menyebutkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi fondasi mendasar bagi setiap tindakan manusia, termasuk hubungan sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan. Sila Ketuhanan ini sekalipun disebut terakhir dalam sidang I Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), namun menjadi dasar utama yang tidak 67 Wulan, supra note 29 hlm. 5. [ 252 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana hanya menyatakan bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan, akan tetapi juga menjadikan masyarakat berkeyakinan tanpa ada egoisme agama.68 Sila Kedua merupakan konsep peri kemanusiaan atau internasionalisme yang berarti bangsa Indonesia menghargai hak asasi semua bangsa demi penguatan nasionalisme itu sendiri.69 Pengakuan hak asasi setiap bangsa diakui, termasuk juga hak asasi laki-laki maupun perempuan. Keduanya diakui untuk pembangunan nasional bangsa yang lebih baik. Sila Ketiga merupakan konsepsi dari persatuan Indonesia yang semula menempati urutan pertama dengan kebangsaan Indonesia, yang kemudian menjadi Sila Ketiga Pancasila. Kebangsaan atau bangsa tidak memiliki pengertian yang sempit seperti bangsa Jawa, bangsa Madura, bangsa Minang, bangsa Bugis. Akan tetapi bangsa diartikan sesuai geo politik yang tinggal disemua pulau di Indonesia (nasionale staat).70 Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Prinsip ketiga adalah mufakat atau demokrasi. Menurut Ir. Soekarno, syarat mutlak kuatnya suatu negara adalah karena adanya permusyawaratan, perwakilan. 71 Musyawarah merupakan jati diri bangsa yang oleh filsafat barat disebut dengan istilah demokrasi. Tanpa menyebutkan demokrasi, Ir. Soekarno tetap mengindahkan berbagaia kepentingan, aspirasi dan pendapat masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semula menduduki prinsip ke empat yaitu kesejahteraan sosial. Menurut Ir. Soekarno, prinsip ini berkaitan erat dengan sila sebelumnya yaitu demokrasi. Bahwa tugas demokrasi adalah untuk mendatangkan kesejahteraan sosial, bukan individu, kelompok, ataupun jenis kelamin tertentu. 68 Dwi Siswoyo, “Pandangan Bung Karno Tentang Pancasila dan Pendidikan” (2013) 32:1 Cakrawala Pendidik hlm. 108. 69 Lihat Ibid hlm. 107. 70 Lihat Ibid hlm. 106. 71 Ibid hlm. 107. [ 253 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pancasila, N egara dan P atriar khi Negara Patriar atriarkhi Pasang surut sistem kekuasaan patriarkhi di Indonesia tampak fluktuatif. Masa pra kemerdekaan sistem partiarkhi tidak mengurung perempuan untuk aktif dalam kegiatan sosial, organisasi bahkan perjuangan di medan peperangan. Kolonialisme sebagai musuh bersama menjadikan hegemoni patriarkhi dikesampingkan untuk tujuan bersama yaitu kemerdekaan. Peremuan bergerak di berbagai bidang meliputi perjuangan fisik, intelektual dan organisasai. Laki-laki dan perempuan secara kolektif berjuang bersama tanpa mempersoalkan identitas peran masing-masing. Pada masa Orde Lama, sistem patriarkhi dalam kekuasaan negara masih memberikan kebebasan gerak bagi gerakan organisasi perempuan untuk mengaktualisasikan aktivitasnya. Bahkan gerakan perempuan dibiarkan membentuk dirinya sendiri melalui definisi, ruang gerak dan kebijakan yang mendukung maupun oposisi dengan pemerintahan. Pada Masa Orde Baru, sistem negara yang dibangun berbeda dengan apa yang ada ketika masa Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Presiden Soeharto justru memperlihatkan sikap bahwa pemerintahan dapat mengendalikan gerakan organisasi perempuan dalam bentuk penyeragaman gerakan, melakukan kontrol aktif dan selalu mengendalikan organisasi perempuan yang ada, bahkan cenderung menidurkan dan membunuh perlahan gerakan organisasi perempuan yang tidak dapat dikendalikan, dengan memberikan stigma berupa sempalan organisasi terlarang Gerwani. Pada masa pemerintahan reformasi, patriarkhi dalam sistem negara berubah menjadi sosok yang ingin memberdayakan dengan cara memberikan kekuatan kepada perempuan. Pola ini hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Lama. Perbedaanya hanya terletak pada munculnya tokoh perempuan lebih merata dari setiap golongan. Gerakan organisasi perempuan di Indonesia dengan segala lika-likunya sejatinya belum sepenuhya membawa hasil yang diinginkan. Berbagai survey menunjukkan bahwa tugas gerakan perempuan masih sangat panjang. Selama negara masih melihat pola patriarkal dengan timpang, maka keadilaan sosial tidak akan terwujud, khususnya bagi gerakan perempuan. [ 254 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana Politik H ukum Anti D iskriminasi terhadap P er empuan di Hukum Diskriminasi Per erempuan Indonesia Perilaku diskriminatif kepada perempuan diruang publik maupun dalam rumah tangga selalu menjadi fenomena yang tidak kunjung usai. Peristiwa tindakan kekerasan fisik, seksual ataupun psikis terhadap kaum perempuan di Indonesia sering dijumpai dalam setiap berita informasi yang disuguhkan media massa, bahkan tak jarang negara melakukan pembenaran terhadap tindakan tersebut. Tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam ranah politik masih dapat dilihat dari kedudukannya sebagai pihak pelengkap sehingga hak mereka jauh dari situasi yang seharusnya diberikan. Jika mengacu pada konstitusi yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di muka hukum, cukup jelas tindakan diskriminatif yang menimpa banyak perempuan dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran atas hak asasi manusia. Menurut Kollman, kesenjangan dan diskriminasi yang dialami perempuan dikarenakan tiga faktor; Pertama, terpeliharanya budaya patriarki yang mempengaruhi sistem sosial dan budaya masyarakat sehingga berdampak pada tidak adanya akses yang proporsional kepada perempuan dalam masyarakat. Kedua, peraturan dan produk hukum yang dihasilkan lembaga negara masih belum berperspektif gender. Ketiga, doktrin agama yang lebih sering menempatkan perempuan sebagai pihak kedua dalam setiap lini kehidupan sosial kemasyarakatan.72 Persoalan diskriminasi terhadap perempuan yang selalu mewarnai setiap sisi kehidupan mereka dapat teratasi selain melalui semangat pemerintah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan, juga harus diiringi dengan adanya kemandirian ekonomi melalui adanya akses kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki, peningkatan pendidikan dan kesadaran kesehatan yang harus dimiliki oleh setiap perempuan sehingga tidak akan terjadi tindakan kekerasan, trafficking dan aktivitas lainnya yang dapat merusak peranan dan fungsi perempuan. Dalam sebuah catatannya, Mutia Hatta mencatat bahwa tantangan nyata bagi perempuan adalah tingkat kematian ibu yang masih tinggi, pemerkosaan dan tindakan kekerasan, perdagangan perempuan dan anak (trafficking), hak politik, 72 Nathalie Kollman, Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: YLKI dan Ford Foundation, 1998 [ 255 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ekonomi dan sosial yang masih belum maksimal dinikmati oleh kaum perempuan.73 Salah satu instrument penting untuk memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan adalah adanya regulasi yang dapat menguntungkan kaum perempuan. Dalam kajian normatif, sebenarnya terdapat dua instrument yang dapat dijadikan payung hukum untuk melindungi kaum perempuan dan menghapuskan budaya patriarkhal. Pertama, instrument internasional yang berbicara tentang perlindungan perempuan melalui Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan.74 Kedua adanya instrument perundang-undangan yang mendukung kaum perempuan untuk menghapus tradisi patriarkhi dan menyeimbangkan peranan sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Instrument perlindungan terhadap perempuan melalui kebijakan internasional melalui konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan akan efektif dan optimal jika kehendak politik pemerintah nasional mendukungnya melalui proses politik hukum Indonesia dalam rangka meratifikasinya menjadi hukum nasional Indonesia sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945.75 Melalui proses politik hukum dengan cara melakukan ratifikasi tersebut akan menempatkan posisi perempuan sederajat dalam ranah publik dan bahkan domestik dalam sistem tata hukum Indonesia. Dukungan khusus terhadap perempuan melalui paket kebijakan pemerintah melalui kebijakan politik hukum secara sederhana memberikan dampak positif berupa terbukanya ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam setiap kegiatan sosial, politik, ekonomi dan sektor lainnya secara seimbang dengan laki-laki. Namun dalam prakteknya, politik hukum Indonesia yang bersifat pada pengarus utamaan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang masih jauh dari harapan karena dua hal; Pertama, belum adanya kehendak politik yang besar dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan yang memihak secara utuh terhadap peran perempuan sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan masih sangat jauh dari harapan. Kedua, 73 Kompas, edisi 17 Juli 2007 Konvensi yang ada terkait perlindungan terhadap kekerasan kaum perempuan termaktub dalam CEDAW (Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Woman) 75 Pasal 11 UUD 1945 74 [ 256 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana bangunan hukum yang dihasilkan terkait pemberian peran terhadap perempuan masih sangat lemah dan rapuh karena implementasi terhadap peraturan yang dihasilkan seringkali tidak terlaksana dengan baik terlebih berbenturan dengan kepentingan budaya dan agama.76 Lemahnya bangunan hukum Indonesia terkait peranan perempuan terlihat dari tiga aspek;77 Pertama, aspek lemahnya materi hukum yang dihasilkan. Konstruksi pembangunan regulasi terkait peranan perempuan yang dibangun di Indonesia tidak sepenuhnya utuh dan terkesan hanya sebagai pelengkap saja sehingga pembelaan atas kepentingan dan kesetaraan perempuan dalam ranah politik, ekonomi, sosial dan lainnya cenderung terlihat tidak ada keseriusannya. Seperti regulasi penentuan kuota perempuan dalam partisipasi politik sebanyak 30% dalam undang-undang partai politik. Meskipun telah ditentukan kuota keterwakilan perempuan, tidak sedikit partai politik yang enggan menetapkan perempuan sebagai pemain utama dalam setiap kontestasi politik layaknya lak-laki. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada tidak maksimalnya keterwakilan perempuan dalam lembaga pemerintahan. Selain itu, dalam undang-undang partai politik masih banyak ditemukan penggunaan istilah-istilah yang menempatkan posisi perempuan tidak sejajar dalam partisipasi keterwakilannya dengan laki-laki, semisal penggunaan istilah “memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari jumlah kursi keterwakilan yang ada”.78 Kedua, tidak adanya kejelasan terkait lembaga yang akan menegakkan hukum yang mengatur terkait pelanggaran terhadap tidak dilaksanakannya hak perempuan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan dan kesetaraan perempuan tidak memberikan kewenangan yang jelas dan nyata kepada lembaga tertentu untuk melakukan penindakan. 76 Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, h. 43 Donny Danardono, Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference dan AntiEssensialisme” dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008. 134 78 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Statistik Anggota DPR 2009-2014 Hasil Pemilu Legislatif Perbandingan Perempuan Dan Laki-Laki. Diambil dari http://mediacenter.kpu.go.id 77 [ 257 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Ketiga, peraturan perundang-undangan yang dibuat terkait keterwakilan perempuan dalam partisipasi politik tidak memberikan sanksi yang jelas jika terjadi pelaggaran. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penentuan kuota 30% atas partisipasi politik perempuan tidak memberikan kejelasan sanksi apa kepada partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika aturan tersebut tidak terpenuhi sesuai aturan dalam undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa partai politik sebagai representasi kendaraan politik menuju parlemen dan lembaga pemerintahan lainnya gagal melaksanakan amanat yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang mengharuskan ada pemenuhan kuota bagi perempuan. Jika mengamati tiga aspek kelemahan struktur hukum diatas terlihat jelas bahwa konstruksi struktur hukum di Indonesia terkait dengan peranan perempuan dalam politik, ekonomi, sosial dan lainnya cenderung hanya menjadi bahan pelengkap saja dan menunjukkan bahwa budaya patriarkalisme dalam proses politik hukum dan sistem perundangundangan di Indonesia masih cukup kuat sehingga jaminan terhadap partisipasi dan peranan perempuan dalam ranah publik tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan baik. Daftar P ustaka Pustaka Afifah, Neng Dara. “Gerakan Perempuan di Era Reformasi Capaian dan Tantangan”, online: <http://www.komnasperempuan.go.id/wpcontent/uploads/2014/04/ GERAKAN-PEREMPUAN-DIERA-REFORMASI_Neng-Dara-Affiah-21-April-2014.pdf>. Dewi, Vitriya Kusuma & Gayung Kasuma. “Perempuan Masa Orde Baru (Studi Kebijakan PKK dan KB Tahun 1968-1983)” (2014) 4:2 Verleden J Kesehat 157. Hasba, Irham Bashori & Dina Tsalist Wildana. “Perempuan dan Tembakau di Mayang Kabupaten Jember: Perspektif Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” (2017) 6:2 JURISDICTIE 118. Retnowulandari, Wahyuni. “Budaya Hukum Patriarkhi versus Feminisme dalam Penegakan Hukum di Persidangan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan” (2010) 8:3 J Huk 16. [ 258 ] Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana Rokhimah, Siti. “Patriarkhisme dan Ketidakadilan Gender” (2015) 6:1 MUWAZAH, online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/ index.php/Muwazah/article /view/440>. Siswoyo, Dwi. “Pandangan Bung Karno Tentang Pancasila dan Pendidikan” (2013) 32:1 Cakrawala Pendidik. Wildana, Dina Tsalist. “Sakralisasi Abhekalan dan Desakralisasi Nikah dalam Perspektif Gender bagi Masyarakat Muslim Madura di Jember” (2017), online: <http://repository.unej.ac.id/handle/ 123456789/80075>. Wulan, Tyas Retno. “Pemetaan gerakan Perempuan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Penguatan Publik Spere di Pedesaan” (2008) 3:1 Yin Yang 120. Amalia, Lucky Sandra. Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke Masa - Politik Lipi (LIPI, Pusat Penelitian Politik (The Center for Political Studies), 2010). Anitasari S, Dini, Melly Setyawati & Sri Wiyanti. Kebijakan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia Paska Orde Baru (Studi Kasus di Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat) (Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat: Woman’s Empowerment in Muslim Contexts gender, poverty and demicratisation form the inside out, 2010). Rahayu, Widya Rossani. Perdebatan tentang Dasar Negara pada Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) 29-17 Juli 1945 Universitas Indonesia, 2008) [unpublished]. Setiawan, Ikhwan. Membaca_Lagi_Struktur_Patriarki_dalam_Ma (1).pdf. “Asal-usul Budaya Patriarki”, (14 July 2015), online: PKBI Drh Istimewa Yogyak <http://pkbi-diy.info/?p=3940>. “Apa Itu Pandora?”, (9 December 2015), online: Natl Geogr Indones <// nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/apa-itu-pandora>. “Fokus Edisi 19: Membebaskan Perempuan Merayakan Kemerdekaan”, online: RAHIMA Pus Pendidik Dan Inf Islam Dan Hak-Hak Peremp <http://www.rahima.or.id/index.php/category-table/ 157-fokus-edisi-19-membebaskan-perempuan-merayakankemerdekaan>. “Sejarah Singkat Hari Ibu”, online: <http://bkddki.jakarta.go.id/unduh/ 2013/ 20131217_HARI_IBU_2013/20131217_HARI_IBU_ 2013_SEJARAH_SINGKAT.pdf>. [ 259 ] MENGUJI NEGARA PARIPURNA: PANC A SIL A PANCA SILA DAN TANT ANGAN DUNIA MA YA TANTANGAN MAY Anwar Masduki Pendahuluan P ada tahun 2011, Yudi Latif menerbitkan buku yang berjudul “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.”1 Buku setebal lebih dari 600 halaman ini memaparkan secara komprehensif tentang sejarah, teori yang melatari dan komparasinya, dan tentu saja strategi bagaimana nilai-nilai pancasila bisa diterapkan (dibumikan) di Indonesia. Dengan bahasa perlunya “visi baru,” Latif2 memberi fakta bahwa kondisi kontemporer Indonesia masihlah sangat memprihatinkan, penuh dengan masalah kebangsaan yang menjadi kanker ganas kebangsaan Indonesia yang seharusnya semakin lama semakin berjalan menuju kearah yang lebih baik, bukan sebaliknya. Sementara itu, Pancasila sekarang ini sedang menjadi sorotan yang lumayan panas. Salah satunya karena adanya pelaporan kasus penghinaan Pancasila oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) yang menyatakan dalam salah satu ceramahnya bahwa dalam Pancasila ala Sukarno, Ketuhanan ada di pantat, dan Ketuhanan ala Piagam Jakarta ada di kepala.3 Pernyataan HRS yang terekam dalam video dan diunggah di Youtube membuat berang 1 2 3 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, 2011, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ibid, hlm. 49. Bunyi lengkap dari ucapan HRS, sebagaimana dikutip Majalah Tempo, adalah sebagai berikut: “Pada Pancasila Sukarno, Ketuhanan ada di pantat. Sedangkan pada Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala.” Tempo, Musim Laporan Imam Petamburan, Edisi 23-29 Januari 2017, hlm. 70. [ 261 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sukmawati, salah seorang putri Sukarno, yang kemudian melaporkan HRS ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat tentang dugaan penghinaan terhadap Bapak Proklamator dan Pancasila. Sampai artikel ini ditulis, HRS sudah ditetapkan sebagai tersangka dan berkasnya akan dilimpahkan ke Kejaksaan dan tinggal menunggu waktu untuk disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung.4 Kasus HRS ini memberi sinyal bahwa Pancasila, separah apapun dengan krisis aplikasi nilai-nilai Pancasila, masih menjadi bahasan umum yang selalu penting dan menegaskan eksistensi Pancasila yang masih dianggap sebagai salah satu simbol dan ajaran penting negara. Meskipun pemrosesan kasus HRS terlihat berbau politis, terkait dengan usaha polisi untuk menjinakkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), dimana HRS adalah salah satu pemimpin dan motor penggerak utama, adalah sudah tugas kepolisian untuk menganggap serius semua pelecehan terhadap Pancasila agar tidak diremehkan.5 Selain itu, kasus HRS juga memberi pemahaman adanya dimensi yang potensial menjadi medan masalah dan konsen Pancasila, yakni persebaran konten dalam dunia maya. Harus diakui, bahwa ketika para pendiri bangsa merumuskan Pancasila, internet dan segala pernik kehidupannya belum ada. Hal ini seperti menjadi akumulasi nilai baru yang semestinya menjadi konsen para pemerhati Pancasila, dimana dunia kontemporer sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi di dunia maya. Berdasarkan perenungan-perenungan diatas, tulisan ini akan berfokus pada konsep pembumian Pancasila menurut Yudi Latif dan menggunakannya sebagai alat analisis secara filosofis dan idealistik untuk mengkaji fenomena dunia maya yang terjadi di Indonesia. Mengingat kejadian dunia maya yang begitu luas, cepat serta banyak sekali kejadiannya, 4 5 Majalah Tempo edisi 23-29 Januari 2017 mengulas masalah HRS ini dengan mendetail, menjadikannya sebagai Laporan Utama dengan judul “Meringkus Rizieq”, hlm. 68-80. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa Pancasila adala spirit dari UUD 1945, yang seharusnya tercermin dalam semua aturan dan kebijakan nasional Negara Indonesia. Lihat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila dan Kaedah-Kaedah Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, makalah yang disampaikan dalam Kongres Pancasila III, diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Universitas Airlangga, di Surabaya, 1 Juni, 2011. Link: http://www.jimly.com/makalah/namafile/85/ MEMBUDAYAKAN_PANCASILA. pdf, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. [ 262 ] Anwar Masduki tulisan ini akan fokus pada isu-isu sosial yang sedang atau telah terjadi disana, dengan mengambil pendapat dari Yasraf Amir Piliang dalam artikelnya yang berjudul: Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial.6 Penulis hanya akan mengambil satu atau beberapa isu yang sempat menjadi buah bibir nasional, mengingat keterbatasan ruang dalam penulisan makalah ini. Tulisan ini akan dimulai dengan rangkuman ide-ide Yudi Latif untuk membumikan Pancasila dari masing-masing sila, kemudian menginventarisir secara general apa atau masalah-masalah kebudayaan dunia maya mana yang sudah atau sedang terjadi. Selanjutnya, isu-isu kontemporer tersebut akan dianalisis untuk melihat sejauh mana ide Pancasila sebagai Negara Paripurna bisa efektif dalam menjamin hak warga Negara dan memberikan landasan moral dan konstitusional bagi perilaku bangsa Indonesia di dunia maya. Membumikan P ancasila: P rinsip-P rinsip N egara P aripurna Pancasila: Prinsip-P rinsip-Prinsip Negara Paripurna Yudi Latif dengan tegas menyatakan, bahwa dia menerbitkan buku itu dengan kesadaran penuh tentang perlunya visi baru7 yang perlu digali dari sejarah, nilai dan praktik Pancasila yang sudah dilakukan di negeri ini. Visi baru itu diperuntukkan sebagai arah baru dan atau solusi dari kebobrokan moral dan politik yang sekarang melanda bangsa Indonesia. Latif dengan cergas menyatakan bahwa semua elemen kebangsaan harus menengok ulang dan mengkaji Pancasila, bukan sebagai ideologi yang bersifat sakral ataupun menjadi agama baru.8 Sehingga, posisi Pancasila adalah jangkar nilai yang menjadi rujukan moral dari segala perilaku di negeri ini, dari politik sampai aturan konstitutifnya. Ketuhanan: P rinsip D ifer ensiasi dan E tika SSosial osial9 Prinsip Difer iferensiasi Etika Secara historis, perdebatan dan bahkan konflik fisik sudah sering terjadi untuk menentukan susunan dan tafsir yang paling tepat terkait sila pertama 6 7 8 9 Yasraf Amir Piliang, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial, Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012 hlm. 143-156. Latif, Op.cit. hlm. 49. Ibid, hlm. 110. Ibid, hlm. 110-117. [ 263 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ini. Perdebatan yang panas antar sesama anak negeri ini memang bermula dari penghapusan 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.10” Penghapusan ini merupakan hasil lobi dan kerelaan terakhir dari wakil Muhammadiyah11 agar mengganti sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa.” Meskipun begitu, sebagai sebuah jalan tengah, Ketuhanan yang Maha Esa adalah solusi terbaik agar Indonesia yang multikultural ini bisa terus bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)12. Solusi ini, menurut Yudi Latif, termaktub dalam pemaknaan Ketuhanan dalam bingkai NKRI yang bisa merangkul semua elemen; yakni prinsip diferensiasi dan penempatan Ketuhanan sebagai Etika Sosial.13 Secara singkat, prinsip diferensiasi menjadikan seluruh agama di Indonesia dalam posisi yang setara, terlepas apakah agama tersebut dianut oleh mayoritas atau minoritas. Tidak ada pengistimewaan tertentu sehingga asas keadilan menjadi lebih mudah untuk diterapkan bagi semua agama dan penganutnya. Latif menegaskan bahwa prinsip diferensiasi berbeda jauh dengan prinsip separasi yang sekuler, atau prinsip fusi yang menyatukan agama dengan Negara.14 Hal ini mengindikasikan bahwa Negara menghargai dan menjaga keberlangsungan hidup agama dan penganutnya, namun tidak ikut campur atau dicampuri dengan dan oleh ajaran agama tersebut. Untuk memperjelas peran penting agama, Ketuhanan sebagai sebuah etika sosial merupakan proses pembumian Pancasila yang begitu penting. Prinsip etika sosial menekankan bahwa seluruh ajaran agama tentang 10 Ibid, hlm. 83 Mengutip ceritera dari Bung Hatta, Latif menyatakan bahwa wakil Islam terakhir yang menyatakan persetujuan dihapuskannya 7 kata adalah Ki Bagus Hadikusumo, wakil Islam dari Muhammadiyan. Ibid, hlm. 83-84. Lihat sumber aslinya dalam Moh. Hatta, Memoir, 2002, Jakarta: Yayasan Hatta. 12 Menganalisis perdebatan tentang amandemen Undang-Undang Dasar yang berlangsung sejak tahun 1999-2002, termasuk posisi Islam (syariah) dan negara, Hosen menegaskan bahwa kegagalan untuk mengembalikan Piagam Jakarta karena disebabkan oleh pilihan bangsa Indonesia untuk mengedepankan substansi Islam daripada formalitasnya sendiri. Lihat Nadirsyah Hosen, Religion and the Indonesian Constitution: a Recent Debate, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 36, no. 3, 2005, hlm. 419–440. 13 Latif, supra note 1. hlm. 110-117 14 Ibid.. 11 [ 264 ] Anwar Masduki kebaikan merupakan mata air nilai yang tidak akan pernah kering dan seyogianya menjadi acuan dan kesepakatan dari seluruh agama dan penganutnya. Selain itu, etika sosial juga menjamin adanya interaksi antar sesama warga Indonesia yang setara dan saling menghormati satu dengan yang lain. Kemanusiaan: SSebuah ebuah P rinsip U niv ersal15 Prinsip Univ niversal Yang menjadi konsen dari sila kemanusiaan adalah adanya persamaan posisi manusia yang setara. Sebagai manusia Indonesia yang mengakui nilai ketuhanan, semua manusia adalah sesama hamba yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mengabdi kepada sang pencipta. Tidak ada hak bagi sesiapapun untuk berlaku zalim kepada yang lain, karena perbuatan itu akan menghina eksistensi sang Pencipta sebagai satu-satunya entitas yang berhak untuk memperlakukan hamba-Nya sesuka hati. Akan tetapi, persamaan itu hanya akan tercipta ketika masing-masing manusia itu mempunyai adab yang luhur, sehingga keadaban menjadi pintu masuk utama untuk menilai apakah manusia telah berlaku zalim atau tidak kepada yang lain. Dari sini bisa terlihat, jika bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak setuju dengan aneka bentuk penjajahan, karena penjajahan itu sendiri adalah perbuatan zalim yang tidak beradab, karena ia merampas, menguasai dan menindas orang lain, membuat posisi orang lain tersebut tidak setara dan tertindas. Persatuan: SSebuah ebuah P engakuan K eberagaman16 Pengakuan Keberagaman Hal yang unik dari Indonesia adalah fakta bahwa bangsa ini terdiri dari beragam suku, posisi topografi yang berlainan, serta berupa kepulauan yang dikelilingi oleh samudera. Oleh karena itu, perbedaan adalah hal yang wajar dan menjadi kenyataan yang diterima bersama. Keuntungan dari realitas ini adalah tidak adanya wajah dominan dari bangsa ini, karena masing-masing mempunyai ciri khas. Yang kemudian dilakukan adalah penyematan prinsip untuk ber-bhinneka tunggal ika, dimana satu sama 15 16 Ibid, hlm. 237-244. Ibid, hlm. 369-377. [ 265 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi lain saling mengakui perbedaan masing-masing, namun bersepakat untuk bersatu padu bersama dalam naungan NKRI. Prinsip perbedaan sebagai basis persatuan menjadi pengakuan sekaligus basis interaksi sosial yang efektif, dikarenakan masing-masing elemen mengakui adanya sang liyan dan hormat-menghormati dengan keunikan masing-masing. Alih-alih menjadi faktor peretak, perbedaan adalah modal perekat dasar bagi interaksi sosial yang intens, luas dan memberi nilai lebih dibandingkan hanya berinteraksi dengan kelompok yang monokultural. Interaksi sosial ini diperlukan karena disitulah masyarakat yang beragam akan mampu bekerjasama dengan baik. Pada titik ini, efektifitas kerja sama antar elemen sosial ini yang akan menjamin terciptanya demokrasi yang efektif, dimana kekuasaan benarbenar muncul dari kebutuhan dan keinginan dasar masing-masing orang yang berbeda-beda tersebut. Selain itu, efektifitas demokrasi ini akan menjadi penjamin yang kontinyu terkait adanya keberagaman, sehingga persatuan yang berbasiskan perbedaan akan selalu solid dan terbuhul dengan kuat.17 Permusyawaratan: SSebuah ebuah P rinsip K edaulatan Rakyat18 Prinsip Kedaulatan Pengalaman dijajah bertahun-tahun menjadikan para pendiri bangsa sadar bahwa penindasan adalah bentuk kejahatan yang bisa dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, atau satu bangsa kepada bangsa yang lain. Untuk mencegah itu, kekuasaan haruslah mencerminkan keseluruhan suara rakyat sehingga tidak memberikan ruang sesempit apapun kepada sebuah kelompok untuk menindas kelompok yang lain. Dalam kerangka ini, permusyawaratan menajdi prinsip yang seyogianya bisa menyatukan seluruh aspirasi dan elemen kerakyatan yang eksis di negeri ini. Oleh karena itu, Negara hadir untuk memberikan jaminan adanya kesetaraan posisi dan distribusi peran yang bisa diakses dan dilakukan oleh seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali.19 17 Lihat Gina Lestari, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan SARA, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015, hlm. 31-37. 18 Latief, supra note 1, hlm. 475-486. 19 Negara hadir melalui dengan system demokrasi keterwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), dimana rakyat memilih para wakilnya untuk duduk di kursi [ 266 ] Anwar Masduki Akan tetapi, permusyaratan yang bersendikan kedaulatan rakyat juga perlu mempertimbangkan faktor hikmat/kebijaksanaan, dimana tidak semua produk hukum demokrasi dan atau kenegaraan akan pas dan sesuai dengan tuntutan rakyat dan zaman. Hikmat/kebijaksanaan disini kemudian berusaha menyatukan semangat antroposentrisme dan teosentrisme yang menjadi tulang punggung dari identitas dan moralitas bangsa Indonesia. Dengan begitu, demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat adalaha kekuasaan yang selalu mematuhi dan atau menyelaraskan dengan semangat moral yang menjadi landasan dan tujuan ideal setiap manusia yang beragama. Nilai-nilai transendental, oleh karena itu, tidak bisa ditinggalkan dari langgam demokrasi kerakyatan, justru menjadi pelengkap yang selalu menyinari jalan kekuasaan itu sendiri. Keadilan SSosial: osial: SSebuah ebuah IIdealitas dealitas N egara P aripurna20 Negara Paripurna Tujuan akhir dari nilai-nilai Pancasila adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Latif menyatakan bahwa prinsip Negara kesejahteraan dengan bertumpu pada koperasi adalah bentuk ideal dari prinsip keadilan itu sendiri. Negara kesejahteraan merupakan Negara yang menghimpun segenap kekayaan Negara, mengelolanya dan mendistribusikannya demi kemakmuran rakyat.21 Selain itu, prinsip keadilan sosial merupakan nilai paripurna yang menjadi muara dari semua sila dalam Pancasila. Dalam hal ini, ketuhanan yang dianut oleh bangsa Indonesia merupakan etika sosial yang menjadi jiwa dari segala proses-proses yang dilakukan untuk mencapai keadilan bersama. Kemanusiaan merupakan landasan pokok yang menganggap bahwa semua manusia adalah setara sehingga keadilan bukan menjadi utopia, mengingat semua manusia setara, diakui eksistensinya dan berhak untuk pemerintahan untuk menjalankan mandate mereka. Lihat Nur Rohim Yunus, Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sosio Didaktika: Social Science Education Journal, 2(2), 2015, hlm. 162. 20 Latief, supra note 1, hlm. 582-606. 21 Mengutip Sujatmiko, Siregar menyatakan bahwa pengurangan kesenjangan adalah tugas mendasar dari nilai keadilan sosial-nya Pancasila. Dalam hal ini, makna lain dari kesejahteraan sosial adalah semakin hilangnya kesenjangan apapun dari kehidupan bangsa Indonesia. Lihat Christian Siregar, Pancasila, Keadilan Sosial dan Persatuan Indonesia, Jurnal HUMANIORA Vol.5 No.1 April 2014, hlm. 107-112. [ 267 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dihormati dan menjungjung tinggi kebersamaa. Persatuan merupakan simpul kebangsaan yang mengikat seluruh elemen bangsa sehingga bersedia untuk mengaku dan mencintai diri sebagai satu bangsa Indonesia dan mau bekerjasama demi tercapainya keadilan sosial. Tanpa persatuan tersebut, akan mustahil bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan paripurnanya. Yang terakhir, kedaulatan rakyat berprinsip musyawarah mufakatlah yang menjadi cara untuk mengambil keputusan secara adil bagi semua golongan sehingga tidak akan ditemukan penindasan minoritas maupun tirani mayoritas. Mekanisme kedaulatan yang bermoral ketuhanan, berdasar pada kemanusiaan dan bersimpul persatuan-lah yang diperlukan bersama agar tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dunia M aya: Tren K ontempor er B angsa IIndonesia ndonesia Maya: Kontempor ontemporer Bangsa Dewasa ini, perkembangan yang paling siginifikan dan sangat mempengaruhi level kebangsaan adalah proses yang terjadi dalam dunia maya. Sebagai sebuah tren global, perkembangan dan kejadian di dunia maya adalah situasi dan kondisi yang tidak hanya menyatukan warga dunia dalam satu aliran atau metode berinteraksi, akan tetapi juga menyertakan fakta dan realitas yang terjadi di dunia nyata. Bisa dikatakan bahwa fenomena yang terjadi di dunia maya tidak akan bisa terlepas dari apa yang terjadi di dunia nyata. Namun, proses mempengaruhi itu ternyata tidak searah, dimana dunia nyata juga nyatanya terkadang dipengaruhi oleh dunia maya. Contoh adanya petisi online yang sanggup memaksa para pengambil kebijakan di sebuah Negara adalah contoh konkritnya. Dari situ, hubungan antara dunia maya dan dunia nyata adalah hubungan yang dialektis, dimana masingmasing sebagai tesis dan antitesis yang saling mempengaruhi dan menciptakan perkembangan baru (sintesis) yang berkesinambungan. Yasraf Amir Piliang menyatakan bahwa dunia maya setidaknya memberi pengaruh dan kemudian terpengaruh oleh 3 hal, yakni individu, antar individu dan komunitas.22 Ketiga level ini saling pengaruh mempengaruhi, berjalin kelindan erat dengan realitas baik dunia maya dan nyata yang 22 Yasraf Amir Piliang, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial, Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012 hlm. 143-156. [ 268 ] Anwar Masduki terus menerus memproduksi aneka macam realitas yang pada akhirnya harus disikapi secara bijak oleh setiap orang, setiap kelompok dan setiap Negara bangsa. Berikut adalah penjelasan singkatnya: Tren IIndividu: ndividu: SSebuah ebuah P dentitas23 Prroblem IIdentitas Piliang dengan jelas menyatakan bahwa perubahan pertama yang terjadi dari adanya dunia maya adalah perubahan identitas. Jika dalam dunia nyata, identitas dibangun berdasarkan penginderaan yang fisikal, dalam dunia maya, identitas menjadi kabur dan tidak mempunyai patokan yang jelas. Hal ini mengakibatkan adanya identitas semu, dimana setiap anggota dunia maya (user) bisa mempunyai beragam identitas yang ganda. Kepalsuan ini menjadi titik tekan dari Piliang, mengingat tiadanya alat ukur yang pasti untuk memverifikasi kebenaran identitas tersebut. Identitas yang ganda dalam dunia maya kemudian menciptakan sebuah kekacauan identitas, dimana setiap individu tidak mempunyai batasan apapun untuk berpindah dari satu identitas ke identitas yang lain, entah itu identitas yang palsu maupun benar-benar berasal dari dunia nyata. Kekacauan ini yang disebut oleh Piliang, dengan mengutip pendapat Rheingold, sebagai sebuah identitas yang terbelah (divided self ) atau skizofrenia, jika mengikuti istilahnya Lacan.24 Tren Antarindividu: SSebuah ebuah R elasi Vir tual25 Relasi irtual Pada tingkatan interaksi antar individu, antara satu user dengan user yang lain, muncul adanya ‘deteriolisasi’, dimana orang yang berinteraksi satu sama lain di dunia nyata membutuhkan adanya dimensi ruang yang mempertemukan mereka. Dalam dunia nyata, dimensi ruang ini menjadi tiada, tergantikan oleh mediasi teknologi yang mendasarkan diri pada eksistensi bit computer (computer bytes). Ketiadaan mediasi ruang ini kemudian menjadikan ‘halusinasi teritorial’, dimana user bisa merasa begitu dekat dengan orang yang secara geogerafis jauh dari tempatnya berselancar di dunia maya. 23 Ibid, hlm. 147 dan 152. Ibid, hlm. 152. 25 Ibid, hlm. 147-148, 152. 24 [ 269 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Tren antar individu memberi peluang adanya tingkat interaksi yang mampu melipat jarak dan menyingkat waktu. Seseorang di Indonesia, contohnya, bisa saja berbicara bebas dengan seseorang di Skotlandia, meski keduanya terpisah jarak yang jauh dan waktu yang berbeda. Tidak hanya dua orang individu, dunia maya juga bisa menghubungkan banyak orang pada waktu yang sama meski berada di tempat yang berbeda-beda. Tren SSosial: osial: SSebuah ebuah K omunitas IImajiner majiner26 Komunitas Perubahan yang kemudian adalah adanya ruang publik imajiner yang demokratis dan terbuka. Akan tetapi, pemaknaan demokratis dan terbuka ini jelas berbeda dengan realitas dunia nyata, dimana berbagai nilai, norma dan aturan hukum menjadi pembatas dan atau aturan main yang disepakati bersama. Aturan itu dilakukan agar tercipta sebuah ruang publik yang sehat dan mampu dipertanggung-jawabkan serta mempunyai ekses positif bagi kehidupan dunia bersama. Dalam konteks dunia maya, Piliang menyatakan bahwa demokrasi dalam dunia maya adalah demokrasi yang radikal atau sebuah keadaan yang disebut hyper-democracy.27 Keadaan ini meniadakan tata aturan bersama dalam dunia dunia konvensional, sehingga dalam dunia maya, setiap individu begitu bebas mengekspresikan dirinya sendiri tanpa ada pembatas sedikitpun. Kondisi yang bebas tanpa hambatan ini menciptakan sebuah ruang yang begitu terbuka namun sangat ekstrim. Piliang menyebutnya sebagai sebuah hyper space, di mana setiap orang bebas untuk berpartisipasi, berpendapat dan terbuka pada titik yang sangat ekstrem, di mana: Opini publik dibentuk seakan-akan tanpa norma, realitas dapat dikonstruksi atau dimanipulasi, kejahatan dapat dilakukan secara tersembunyi, sehingga meskipun tampaknya tidak ada pemaksaan (coersion) dan kekerasan (violence) di dalamnya, sesungguhnya terdapat berbagai bentuk kekerasan (pencurian, perusakan, pemalsuan, pembajakan situs) dan pemaksaan dalam bentuknya yang virtual.28 26 Ibid, hlm. 148-149, 153-154. Ibid, hlm. 153. 28 Yasraf Amir Piliang, hlm. 153-154. 27 [ 270 ] Anwar Masduki Ujian D unia M aya: UU ITE dan P rinsip N egara P aripurna Dunia Maya: Prinsip Negara Paripurna Dengan memahami konsep Negara Paripurna ala Pancasila, kita mafhum bahwa lima sila yang ada merupakan sebuah satu kesatuan yang bermuara pada satu tujuan, yakni keadilan sosial. Secara singkat, keadilan sosial yang ingin diraih oleh bangsa Indonesia adalah sebuah kondisi adil bagi masyarakat Indonesia yang dijiwai oleh etika ketuhanan, pengakuan terhadap universalitas kemanusiaan, serta nasionalisme yang berbasis pada demokrasi kerakyatan. Mengingat kelima nilai itu bermuara pada satu tujuan yang sama, maka akan lebih menarik dan tidak bertele-tele jika kita ingin mengujinya dalam sebuah realitas, dengan cara melihat seberapa jauh muara bersama itu diterapkan dalam sebuah persoalan. Artinya, jika kita ingin menguji Negara paripurna dengan apa yang terjadi di dunia maya, maka kita perlu melihat bagaimana Negara merespon apa yang terjadi di dunia maya itu, apakah respon itu sesuai dengan prinsip paripurna dari Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengujinya, kita bisa melihatnya dengan mengkaji bagaimana prinsip-prinsip Keadilan Sosial dan 4 sila pendukungnya beroperasi dalam penyikapan sebuah konten atau perilaku yang terjadi di dunia maya. Penyikapan itu, mengikuti Piliang, minimal bisa terjadi dalam tiga wilayah, yakni individual, interaksi antar individu dan komunitas. Pada sisi lain, respon yang dilakukan oleh Negara Indonesia untuk menyikapi perkembangan di dunia maya bisa terlihat dari adanya UndangUndang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau yang biasa disebut dengan UU ITE yang kemudian direvisi pada tanggal 27 Oktober 2017. Revisi ini melingkupi 7 hal,29 yakni: 1) penghindaran multitafsir terkait pencemaran nama baik, 2) penurunan ancaman penjara dan denda, 3) pelaksanaan putusan MK terkait intersepsi undang-undang, 4) penyesuaian dengan Kitab Undang-Undang Hukum 29 Siaran Pers Kementrian Komunikasi dan Informatika, No. 87/HM/KOMINFO/12/2016 tentang UU Revisi ITE Ditandatangani Presiden dan Berlaku mulai 25 November 2016. Link: https:// www.kominfo.go.id/ content/detail/8463/siaran-pers-no-87hmkominfo122016-tentang-uu-revisiite-ditandatangani-presiden-dan-berlaku-mulai-25-november-2016/0/siaran_pers, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. [ 271 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Acara Pidana (KUHAP), 5) Penguatan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), 6) penambahan ketentuan hak dihapus (right to be forgotten), yakni kewajiban menghapus muatan yang tidak relevan, dan 7) penguatan peran pemerintah dalam mencegah penyebaran muatan negatif. Revisi ini dilakukan diantaranya karena sejak diundangkan tahun 2008 sampai November 2016, laporan terbanyak terkait pidana yang mendalilkan diri berdasarkan UU ITE adalah pencemaran nama baik (berjumlah 90 % dari total 215 kasus).30 Selain itu, alasan utama dan normative yang diajukan oleh Negara adalah untuk melindungi hak dan nama baik masyarakat tanpa harus membatasi pola, cara dan ruang komunikasinya.31 Hal ini mengingat adanya potensi kriminalisasi yang keterlaluan (over-criminalization) terhadap setiap user dunia maya yang justru dengan mendasarkan diri pada UU ITE, menjadikannya absurd dalam perspektif dunia nyata.32 Penerapan dari UU ITE ini memang tidak bisa diremehkan. Sepanjang tahun 2016 saja, Kepolisian telah menerima 2.700 laporan, dengan aduan yang meliputi ujaran kebencian, ancaman dan informasi sesat (hoax).33 Hal ini menandakan adanya kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk secara aktif melaporkan adanya indikasi pelanggaran yang mereka temui atau alami di dunia maya. Dalam kondisi yang sedemikian riuh, peran dari prinsip keadilan sosial menjadi penting untuk didiskusikan disini. 30 Data ini diambil dari paparan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dalam diskusi yang diadakan oleh Kelas Kebijakan dan Regulasi Media, Program Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI, Selasa, 6 Desember 2016 di Universitas Indonesia, Jakarta. Lihat berita yang ditulis oleh Dara Adinda Kesuma Nasution, Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelenggu?, Kamis, 8 Desember 2016. Link: http://www.ui.ac.id/berita/revisi-uu-ite-memerdekakan-atau-membelenggu. html, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. 31 Lihat Arif Mujayanto, Melindungi Masyarakat melalui UU ITE, rubrik Jeda, Selasa, 8 November 2016, LKBN Antara. Link: http://www.antaranews.com/berita/ 594820/melindungi-masyarakatmelalui-uu-ite, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. 32 Kasus awal yang menyita publik adalah adanya kriminalisasi terhadap Prita Mulyasari, yang diputus bersalah dengan berdasarkan UU ITE Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 (1), yakni tentang pencemaran nama baik. Lebih lengkapnya lihat Rini Retno Winarni, Efektivitas Penerapan Undang – Undang ITE Dalam Tindak Pidana Cyber Crime, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol.14 No.1 Oktober 2016, hlm. 23-24. Kasus Prita ini menjadi isu nasional dan membentuk gerakan massif yang bernama Koin untuk Prita, untuk membayar denda yang harus dibayar oleh Prita, serta mengilhami berbagai gerakan serupa di kemudian hari. 33 Dedy Priatmojo dan Syaifullah, Setahun, Polisi Terima Laporan 2.700 Pelanggaran UU ITE, Jum’at, 6 Januari 2017, www.viva.co.id. Link: http:// nasional.news.viva.co.id/news/read/867510setahun-polisi-terima-laporan-2-700-pelanggaran-uu-ite, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. [ 272 ] Anwar Masduki Keadilan sosial sebagai sebuah tujuan paripurna, mengandaikan adanya moralitas yang bertumpu pada ketuhanan, berpijak pada nilai kemanusiaan, berpegang pada persatuan bersama, serta menggunakan kedaulatan rakyat yang berbasis pada musyawarah mufakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin tidak ada lagi jeritan penderitaan rakyat dengan menjadikan Negara sebagai pelaku utama pencapaian jaminan kemerdekaan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni: 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Nyatanya, penerapan dan respon Negara terhadap tantangan dunia maya masih sangat memprihatinkan. Revisi UU ITE pada tahun 2016 masih belum bisa menjamin rasa keadilan sosial yang berlangsung pada tiga isu penting dunia maya, yakni individu, interaksi antar individu dan komunitas, masih belum menyentuh hak dan rasa keadilan sosial itu sendiri. Negara, dalam hal ini para penegak hukum, masih terlalu gagap, diindikasikan dari hasil penerapan dan keputusan pengadilan terkait UU ITE yang masih sering menjadi pro dan kontra. Penahanan terhadap Yusniar di Makassar, karena dia membuat status keluhan di laman media sosialnya menjadi salah satu persoalan terbaru yang membuat penerapan UU ITE oleh para penegak hukum menjadi aneh sekali.34 Keanehan ini terjadi karena Yusniar sendiri tidak pernah menyebut dengan jelas siapa orang yang dia keluhkan, hanya dengan menulis frase “anggota DPR.” Penyebutan itu karena dia hanya mendengar seseorang yang memimpin pembongkaran paksa rumah orang tuanya dengan menyebut diri sebagai anggota DPR. Mengingat tidak adanya nama yang disebut, maka menjerat Yusniar dengan UU ITE tentang pencemaran nama baik menjadi terasa sangat menggelikan.35 34 Fatimah Kartini Bohang, Yusniar Ditahan gara-gara Status “No Mention” di Facebook, Selasa, 8 November 2016, Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2016/11/08/ 19350047/ yusniar.ditahan.gara-gara.status.no.mention.di. facebook, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. 35 Yoga Hastadi Widiartanto, Pengamat: Status Facebook ‘No Mention’ Yusniar Bukan Pencemaran Nama Baik, Rabu, 9 November 2016, Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2016/ 11/09/11080057/pengamat.status.facebook.no.mention.yusniar.bukan.pencemaran. nama.baik, diakses pada tanggal 16 Februari 2017. [ 273 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pengenaan UU ITE terhadap user dunia maya tentu saja diperlukan, sepanjang ia tidak mencederai semangat dari prinsip keadilan sosial yang diagungkan oleh Pancasila. Dalam kondisi yang seperti ini, diperlukan setidaknya kecermatan dari aparat penegak hukum untuk menggunakan UU ITE dengan penuh kehati-hatian, serta tidak mencederai rasa keadilan sosial yang dipunyai oleh publik. Penutup Pancasila adalah sebuah konsep Negara Paripurna yang memimpikan adanya Keadilan Sosial dengan bersendikan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan dan Permusyawaratan Perwakilan. Soekarno, meringkas semua itu dalam sebuah semangat yang dia sebut sangat Indonesia, yakni semangaat gotong royong. Keadilan sosial adalah sebuah usaha gotong royong yang seharusnya melibatkan semua elemen dan bertahta pada berbagai nilai luhur yang mendasari dan memberi aura positif bagi tercapainya tujuan luhur tersebut. Akan tetapi, sebuah cita-cita ideal harus menghadapi tantangan yang setara agar terlihat seberapa jauh idealitas itu teruji dengan baik. Mengingat Pancasila yang sudah sedemikian lama, sementara dunia terus menerus bergerak maju ke depan, tantangan kontemporer adalah sebuah keniscayaan.36 Dalam kerangka ini, tantangan dunia maya adalah sebuah kompleksitas yang begitu mengusik dan membutuhkan konsen dan konsentrasi yang begitu tinggi untuk menghadapinya. UU ITE sebagai salah satu alat Negara untuk menjamin adanya cita-cita paripurna bernama Keadilan Sosial masih jauh dari sempurna. Masih ditemukan banyak ketidak-adilan terhadap warga Negara yang ironisnya itu dilakukan oleh aparat Negara, khususnya para penegak hukum. Oleh karena itu, mengikuti Sunaryo37, dalam menghadapi dunia maya dan lebih umum lagi adalah gelombang globalisasi yang semakin kuat, Pancasila harus menjadi penyaring dan sekaligus penyelaras antara nilainilai luar dengan nilai-nilai keindonesiaan, serta responsif dengan 36 Lihat Otong Rosadi, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vo. 10, no. 3, September 2010, hlm. 282-290 37 Sunaryo, Globalisasi dan Pluralisme Hukum Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, jilid 42, no. 4, Tahun 2013, hlm. 535-541 [ 274 ] Anwar Masduki permasalahan lokal yang timbul terkait harmonisasi nilai global dengan lokal Indonesia. Responsifitas itu juga penting sekali, bukan sebagai nilai filosofis belaka, namun juga menjadi nilai aksi utama untuk menghadapi tantangan terbaru yang senantiasa akan muncul. Dengan begitu, Pancasila bisa kita harapkan menjadi sebuah nilai paripurna yang layak untuk diraih oleh segenap bangsa Indonesia. Daftar P ustaka Pustaka Asshiddiqie, Jimly, 2011, Prof. Dr. SH., Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila dan Kaedah-Kaedah Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, makalah, 1 Juni, 2011. Hatta, Moh, Memoir, 2002, Jakarta: Yayasan Hatta. Hosen, Nadirsyah, Religion and the Indonesian Constitution: a Recent Debate. Journal of Southeast Asian Studies, vol. 36, no. 3, 2005, Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lestari, Gina, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan SARA, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015 Piliang, Yasraf Amir, 2012, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial, Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012 Rosadi, Otong, 2010, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vo. 10, no. 3, September 2010 Siregar, Christian, 2014, Pancasila, Keadilan Sosial dan Persatuan Indonesia, Jurnal HUMANIORA Vol.5 No.1 April 2014 Sunaryo, 2013, Globalisasi dan Pluralisme Hukum Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, jilid 42, no. 4, Tahun 2013 Tempo, Majalah, 2017, “Meringkus Rizieq”, edisi 23-29 Januari 2017 Winarni, Rini Retno, 2016, Efektivitas Penerapan Undang – Undang ITE Dalam Tindak Pidana Cyber Crime , Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol.14 No.1 Oktober 2016 [ 275 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Yunus, Nur Rohim, Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sosio Didaktika: Social Science Education Journal, 2(2), 2015, hlm. 162. Bohang, Fatimah Kartini, Yusniar Ditahan gara-gara Status “No Mention” di Facebook, Selasa, 8 November 2016, Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/ read/2016/11/08/19350047/ yusniar.ditahan.gara-gara.status.no.mention.di.facebook Mujayanto, Arif, Melindungi Masyarakat melalui UU ITE, rubrik Jeda, Selasa, 8 November 2016, LKBN Antara. Link: http://www. antaranews.com/berita/ 594820/melindungi-masyarakatmelalui-uu-ite Nasution, Dara Adinda Kesuma, Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelenggu? , Kamis, 8 Desember 2016. Link: http:// www.ui.ac.id/berita/revisi-uu-ite-memerdekakan-ataumembelenggu.html Priatmojo, Dedy dan Syaifullah, Setahun, Polisi Terima Laporan 2.700 Pelanggaran UU ITE, Jum’at, 6 Januari 2017, www.viva.co.id. Link: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/867510-setahunpolisi-terima-laporan-2-700-pelanggaran-uu-ite, Widiartanto, Yoga Hastadi, Pengamat: Status Facebook ‘No Mention’ Yusniar Bukan Pencemaran Nama Baik, Rabu, 9 November 2016, Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2016/11/09/ 11080057/pengamat.status.facebook.no.mention.yusniar. bukan.pencemaran.nama.baik Siaran Pers Kementrian Komunikasi dan Informatika, No. 87/HM/ KOMINFO/12/2016 tentang UU Revisi ITE Ditandatangani Presiden dan Berlaku mulai 25 November 2016. Link: https:// www.kominfo.go.id/ content/detail/8463/siaran-pers-no87hmkominfo122016-tentang-uu-revisi-ite-ditandatanganipresiden-dan-berlaku-mulai-25-november-2016/0/siaran_pers. [ 276 ] BAB IV PANC A SIL A , KED AUL ATAN ULA PANCA SILA KEDA NEGARA D AN GLOBALISA SI DAN GLOBALISASI MORALIT A S PANC A SIL A D AL AM KESESA TAN MORALITA PANCA SILA DAL ALAM KESESAT GLOBALISA SI GLOBALISASI Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Pendahuluan G lobalisasi adalah sebuah proses perubahan pola interaksi manusia, dan sebagian lagi cenderung dirugikan oleh gerusan yang cepat dari aktor-aktor globalisasi.1 Proses ini adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang dari negara yang memberikan akses penuh pada keterbukaan pasar yang menyebabkan arus ekonomi menjadi tidak terbendung. Globalisasi mulai terasa pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke 20, yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi internet. Internet berimbas kepada kehidupan masyarakat yang terkonsentrasi kepada teknologi digital yang secara tidak langsung meniadakan kepekaan terhadap individu lain dalam lingkungan sosialnya. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat globalisasi juga akan mengubah kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri. Kebudayaan akan melahirkan kemajemukan yang muncul dalam tiap entitas-entitas individu didalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Levi-Strauss bahwa kemajemukan budaya terwujud bukan karena kelompok-kelompok sosial tersebut terisolasi, melainkan karena adanya kontak secara terus-menerus antara kelompok-kelompok tersebut.2 Perubahan budaya mau tidak mau terjadi 1 2 Winner Agung Pribadi, “Sumbangan Perspektif Gramscian Dalam Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ” (2008) II 23 hlm. 35. Bachtiar Alam, “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan” (1998) 54 J Antropol Indones 1 hlm. 3. [ 279 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi akibat semakin masifnya proses penggunaan teknologi digital dalam lingkaran kehidupan masyarakat. Globalisasi itu sendiri tidak harus disikapi dengan penolakan yang keras atas perubahan karena dengan mempelajari dan memahami kebudayaan dalam konteks wacana dan praksis akan memperkaya kemajemukan kebudayaan kita.3 Proses globalisasi bukanlah sebuah proses yang baru mulai akhir-akhir ini, yang disebabkan oleh lonjakan perkembangan sistem komunikasi, tetapi sejak masa lalu setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan suatu “masyarakat global”.4 Adam Smith berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran global akan dapat terwujud apabila perdagangan internasional berjalan menurut logika prinsip-prinsip pasar bebas yang menekankan ketiadaan hambatan perdagangan, sehingga faktor-faktor produksi, distribusi, dan konsumsi dapat bergerak bebas.5 Prinsip pasar bebas akan semakin mengoptimalkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi seluruh masyarakat. Arus perdagangan internasional bebas tersebut memberikan kemudahan dalam distribusi terhadap barang yang telah diproduksi oleh suatu negara lain dapat dikonsumsi oleh masyarakat di belahan benua lainnya. Perdagangan bebas tersebut juga berakibat terhadap arus permodalan internasional dan berimplikasi pula pada pemindahan industri dari negaranegara maju ke negara-negara berkembang.6 Penemuan-penemuan alat komunikasi dan transportasi semakin mempercepat perkembangan dan proses globalisasi itu sendiri, sehingga terjadi perubahan sosial di masyarakat sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang memfasilitasi terjadinya pertukaran budaya dan transaksi ekonomi internasional. Perkembangan tersebut dijadikan sebuah dasar atau rujukan untuk perluasan dan pendalaman arus perdagangan, modal, teknologi, dan informasi internasional, dalam sebuah pasar global yang cenderung terintegrasi. James Petras dan Henry Veltmer pun sependapat dengan menyatakan bahwa globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses liberalisasi pasar nasional 3 4 5 6 Ibid. R Borofsky, Assessing Cultural Anthropology (New York: McGraw-Hill, Inc) hlm. 377–395. Agung Pribadi, supra note 1 hlm. 25. Paulus Rudolf Yuniarto, “Masalah Globalisasi di Indonesia: Antara Kepentingan, Kebijakan, dan Tantangan” (2016) 5:1 J Kaji Wil 67 hlm. 67. [ 280 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini dan global yang mengarah pada kebebasan arus perdagangan, modal, maupun informasi dengan sebuah kepercayaan bahwa situasi ini akan menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia.7 Globalisasi sebagai sebuah konsep ekonomi global, melahirkan universalitas bagi kehidupan masyarakat mulai dari lingkup paling kecil. Mitos globalisasi yang menyatakan bahwa dunia pada akhirnya terbuka lebar tentunya akan ada perubahan terhadap kebudayaan lokal dan hilangnya identitas serta jati diri bangsa. Globalisasi pada konteks kekinian dipandang berbeda oleh banyak kalangan. Pemahaman globalisasi sangat dekat dengan modernisasi. Pada masyarakat modern, arus globalisasi tidak terbendung dan tidak mampu ditolak. Pengasingan atau alienasi budaya tampak dalam peradaban yang semakin mengikuti perkembangan dunia yang global. Simbol-simbol yang tampak dalam cara berpakaian, cara komunikasi, bahasa dan cara berpikir instan adalah pergeseran nilai budaya yang mau tidak mau terjadi seiring majunya pemikiran masyarakat modern. Mansour Fakih menyebut modernitas sebagai gagasan tentang perubahan sosial, dan seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi sebuah ideologi. 8 Kepercayaan masyarakat bahwa modernitas akan membawa kemajuan peradaban tampaknya berakibat pada perubahan budaya. Budaya masyarakat yang dahulunya masih menghargai budaya lokal, dengan arus globalisasi ini budaya tersebut telah bercampur dengan budaya barat yang menyuguhkan suatu bentuk keseragaman dengan munculnya gaya hidup global seperti: makanan, pakaian, dan musik.9 Masyarakat yang pada awalnya menjadikan kesederhanaan sebagai nilai dalam berkehidupan, berubah menjadi masyarakat yang asosial dan individualis. Globalisasi sebagai jalan cepat dalam pemikiran ekonomi makro menjanjikan kesejahteraan dengan segala bentuknya. Kemajuan teknologi, persaingan terbuka dan permodalan yang besar dari para investor adalah segala hal yang di atur dalam sebuah sistem 7 8 9 Ibid hlm. 68. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Jakarta: Insist Press, 2009) hlm. 21. Novita Rahmania & Martinus Legowo, “Konstruksi Remaja Tentang Media Online Perubahan Gaya Hidup Pada Era Globalisasi Di Ketintang Timur Surabaya” (2016) 4:1 Paradigma, online: <http:/ /ejournal.unesa.ac.id/article/ 18061/39/article.pdf> hlm. 2. [ 281 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ekonomi negara. Kesejahteraan yang dijanjikan secara sadar atau tidak menjadi hegemoni individu untuk turut serta dalam pertarungan besar. Individu semakin dimunculkan dan kepentingan bersama semakin terpinggirkan. Kesejahteraan sosial yang dicita-citakan dalam falsafah bangsa Indonesia ini hanya menjadi utopia karena sumber daya ekonomi dan produksi semakin menipis dan dikuasai sebesar-besarnya untuk kepentingan modal. Pada akhirnya alat produksi menjadi tidak terbatas dan digunakan untuk kepentingan produksi massal. Manusia terpinggirkan, lalu tergantikan oleh alat-alat yang semakin canggih dan minim membutuhkan tenaga manusia. Mereka tidak mempunyai alat produksi yang dibutuhkan dalam sektor industri yang proses produksinya membutuhkan mesin-mesin canggih. Tarikan-T arikan G lobalisasi vs K ebutuhan arikan-Tarikan Globalisasi Kebutuhan Gerakan anti Globalisasi telah mendunia sebagai bentuk perlawanan atas organisasi perdagangan punia. Kelompok yang melakukan perlawanan itu adalah yang termaginalkan secara sistemik dan struktural oleh proses globalisasi ekonomi, antara lain adalah sebagian besar negara berkembang, aktivis lingkungan dan feminis, serta gerakan akar rumput (grassroots) yang menyebar di seluruh dunia.10 Gerakan anti globalisasi adalah sebuah gerakan yang memperjuangkan reformasi sosial dan politik untuk mengubah wajah globalisasi dari model top-down globalisasinya neoliberal ke arah kemungkinan terciptanya globalisasi akar rumput ( grass-roots globalization).11 Gerakan tersebut tidak menentang globalisasi seluruhnya namun hanya mempermasalahkan mengenai bentuk-bentuk globalisasi yang tidak adil. Perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional serta lembaga keuangan negara sebagai pemodal bagi negara-negara kecil dan berkembang yang ada saat ini, menguasai kebijakan ekonomi negara agar sesuai dengan kepentingan pemilik modal dan investor asing. Adanya globalisasi yang membuka ruang begitu lebar terhadap masuknya investasi asing menyebabkan globalisasi “melemahkan” peran negara. Dalam tataran ekonomi yang tanpa batas (economic borderless), 10 11 Agung Pribadi, supra note 1 hlm. 23. Ibid hlm. 25. [ 282 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini pemerintahan nasional hanya sebagai institusi perantara (transmission belts) yang menyusup diantara kekuatan lokal dan nasional yang sedang bertumbuh serta mekanisme pengaturan kapital global.12 Terkait dengan pengaruh globalisasi terhadap negara, Ohmae menyatakan empat alasan mengapa di era global sekarang ini peran negara semakin menipis.13 Pertama, negara-bangsa semakin kurang memberi kontribusi dan semakin berkurangnya kebebasan untuk memberi berbagai kontribusi. Hal tersebut disebabkan karena pasar bebas telah semakin berdaulat dan biasa menghukum negara-negara yang tidak mampu bekerja secara efisien. Kedua, dalam ekonomi global yang terintegrasi, negara bangsa telah menjadi fisik nostalgik. Model Nostalgik menurut Muller adalah masyarakat abad pertengahan, dimana dibawah raja, masing-masing golongan hidup bersama sesuai fungsi mereka.14 Pasar global menciptakan mereka ke dalam etnitas yang saling terkait satu sama lain misalnya adalah Uni Eropa, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ketiga, semakin mengglobalnya perusahaan-perusahaan Transnasional yang mana rangkaian produksinya pun mengglobal. Sehingga akan sangat sulit sekali untuk melakukan identifikasi atau mengenali suatu barang yang diproduksi dan diperdagangkan dengan merujuk pada identitas nasional. Pada sistem produksi yang demikian, besar kemungkinannya masing-masing negara bangsa menyumbang komponen untuk produksi suatu barang. Keempat, semakin mengglobalnya ekonomi dunia menyebabkan konsumenkonsumen yang berdiam dalam batas suatu teritorial negara-bangsa tertentu akan mempunyai peluang untuk menikmati barang-barang dengan harga murah dan kualitas tinggi yang seringkali tidak diproduksi oleh industri nasional mereka. Globalisasi sebagai sebuah sistem, tidak mampu dibendung oleh manusia. Faktor utama yang mendukung adalah adanya kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang semakin besar dan tak mampu disediakan sendiri oleh masing-masing negara.15 12 Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi” (2015) 1:1 J Hub Int 1 hlm. 3. Ibid. 14 Franz Magnis-Suseno, Pijar-pijar filsafat: dari Gatholoco ke filsafat perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme (Kanisius, 2005) hlm. 67. 15 Soetatwo Hadiwigeno, “Globalisasi, Liberalisasi Dan Daya Saing Sektor Pertanian” (1999) 4 JEP hlm. 127. 13 [ 283 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan informasi yang makin terbuka, menjadikan masyarakat tidak mampu memilih apa yang sangat dibutuhkan tetapi yang apa harus diwajibkan ada agar tidak tergerus arus modernisasi masyarakat. Globalisasi bukan hanya sebagai sistem ekonomi yang terbentuk secara terstruktur dan global, tapi juga memaksa negara mengambil arah kebijakan yang bernafaskan kapitalisme dan liberalisme. Privatisasi aset negara menjadi salah satu bentuk konkritnya. Kapitalisme melahirkan budaya hidup yang individual dan bahkan mendorong manusia pada pilihan-pilihan yang sulit untuk menolak arus perkembangan teknologi yang semakin mengasingkan mereka pada kehidupan sosialnya. Kisaran akhir tahun 80-an muncul strategi pembangunan “baru” yang tercermin dalam program kebijakan pembangunan dari IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia, dimana strategi tersebut menunjukkan Renaissance (kebangkitan kembali) pola pikir dari kaum liberal dalam teori ekonomi pembangunan.16 Keuntungan dari pertumbuhan ekonomi nasional, dikatakan akan diturunkan (tricle-down-efect) pada semua lapisan masyarakat, dan efesiensi ekonomi dikatakan akan meningkat dengan adanya kompetisi di pasar bebas tersebut dimana barang dapat dikenakan harga yang berlebihan atau memperbesar keuntungan ketika pesaing di dalam pasar bisa menawarkan produk yang sama pada harga lebih rendah.17 Sejarah tersebut mencatat bahwa manusia tidak mampu membuat tolakan terhadap kekuatan yang dibuat oleh kepentingan besar dalam hal ini pemilik modal. Tarikan kebutuhan menuju modernisasi yang di-impikan masyarakat sebagai bentuk kemajuan peradaban, mau tidak mau menjadikan globalisasi sebagai sebuah pintu gerbang liberalisasi. Terhadap hal ini, mau tidak mau globalisasi harus dilihat secara komprehensif. Berbicara anti globalisasi maka harus melihatnya tidak melulu sebagai suatu sistem yang menjajah kepentingan sebagian kecil individu. Bagaimanapun, penolakan terjadi pada akhirnya juga tidak mampu membuat mereka tidak menggunakan hasil dari kemajuan teknologi. Gesekan antara keinginan untuk menolak globaliasasi secara nyata, sangat berbanding terbalik dengan sikap dalam memilih kebutuhan mereka yang berasal dari kemajuan teknologi. 16 B Kuspradono, “Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Ekonomi ‘Neoliberal’” (2016) 7:2 Kinerja 165 hlm. 165. 17 Ibid hlm. 166. [ 284 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Fungsionalisasi Globalisasi untuk mencapai misi kesejahteraan, harus dilihat dari sisi yang fair. Berbicara anti globalisasi namun tidak mampu membuat benteng atas masuknya arus global, ini sama saja dengan kita menerima sebagian subsistem dari globalisasi. Terdapat tiga pilar utama dalam globalisasi yang saling terkait satu dengan lainnya yaitu modal, teknologi, dan manajemen.18 Modal dapat diartikan sebagai harta benda (misal: uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk meghasilkan kekayaan.19 Dalam globalisasi, modal yang mengalir secara bebas tersebut akan sangat mudah didapatkan oleh perusahaan yang berada di tempat yang jauh sekalipun. Kebanyakan modal besar berada di negara-negara Barat yang menjadi investor bagi negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Paul Krugman menyatakan kontrol modal menjadi solusi sementara untuk negara yang mengalami krisis nilai tukar uang.20 Pilar berikutnya adalah teknologi yang akan memudahkan pergerakan modal ke suatu daerah yang tidak dikenal sekalipun. Teknologi membawa era komunikasi universal yang tanpa jarak. Masyarakat tidak mampu menolak teknologi yang bisa mendekatkan jarak dan mempersingkat waktu. Keterbukaan informasi juga menjadikan teknologi sebagai basis kepentingan yang besar terhadap penerimaan globalisasi. Pilar terakhir adalah manajemen yaitu penggunaan sumberdaya yang efektif untuk mencapai suatu sasaran; yang dapat pula diartikan sebagai seorang pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannya suatu perusahaan atau organisasi.21 Fenomena Globalisasi dilihat bukan pada tataran besarnya efek kerugian negara yang ditimbulkan serta pengasingan diri individu terhadap individu lainnya. Globalisasi merupakan fenomena ekonomi, politik, budaya yang bukan hanya sebagai sistem bisnis baru, tapi juga merombak tatanan hidup manusia, menciptakan kelas sosial baru dan menyebabkan dunia menjadi mengecil, mengglobal dan tanpa batas.22 Bagi sebagian kalangan globalisasi 18 Sigid Sriwanto, “Tiga Pilar Globalisasi Dan Global Ekonomi” (2009) 1:2 Geo Edukasi, online: <http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/GeoEdukasi/ article/view/716>. 19 “Arti kata modal - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online: <http://kbbi.web.id/ modal>. 20 Sriwanto, supra note 18. 21 “Arti kata manajemen - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online: <http://kbbi.web.id/ manajemen>. 22 Sriwanto, supra note 18. [ 285 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dapat dinilai sebagai integrasi manusia, yang juga dapat melahirkan disintegrasi dalam hubungan dengan manusia lain. Perkembangan ke arah modern yang ditimbulkan oleh dampak globalisasi bisa menjadi sebuah perubahan kontruksi sosial masyarakat dan juga bisa diterima sebagai kesadaran kemanusiaan secara universal. Globalisasi dalam P andangan P ancasila SSebagai ebagai F alsafah Pandangan Pancasila Falsafah Bangsa Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki fungsi yang sangat fundamental.23 Pancasila selain bersifat yuridis formal juga bersifat filosofis. Sifat yuridis formal yang mengharuskan setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan pada Pancasila sebagai sumber hukum materiil. Sedangkan sifat filosofis, menjadikan Pancasila adalah sebagai falsafah negara juga sebagai pedoman perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Driyarkarsa berpendapat bahwa Pancasila sebagai weltanschauung, yaitu sebuah falsafah atau pandangan hidup yang mampu merealitaskan nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat, dapat menjadi ideologi terbuka yang bersifat aktual, dinamis, antisipatif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman.24 Citacita dan nilai-nilai mendasar dalam Pancasila bersifat tetap dan tidak berubah. Pada sila pertama yang berbunyi ‘KeTuhanan Yang Maha Esa’sebagai basis nilai filosofis hubungan negara dan agama di Indonesia sebagai sebuah ‘local genius’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara.25 Makna tersebut tidak dapat dipisahkan dengan makna agama yang di Indonesia, karena nilai-nilai agama di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Sila ini pun tidak dimaksudkan bahwa negara Indonesia didasarkan pada suatu paham tertentu, atau bahkan negara tidak berhak mencampuri ruang aqidah. Hal ini juga berarti negara harus menjamin hak yang paling asasi pada setiap 23 Purwito Adi, “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Bagi Masyarakat Sebagai Modal Dasar Pertahanan Nasional NKRI” (2016) 1:1 J Moral Kemasyarakatan, online: <http://ejournal.unikama.ac.id/ index.php/JMK/article/view/1185> hlm. 39. 24 Kaelan Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, Dan Aktualisasinya, pertama ed (Yogyakarta: Paradigma, 2013) hlm. 67. 25 Ibid hlm. 167. [ 286 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Menurut Soekarno, bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang mempunyai kepercayaan akan suatu ‘zat’ yang baik yaitu Tuhan.26 Sehingga sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk mempunyai suatu kepercayaan yang di rumuskan dalam sila Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dengan alasan bahwa nilai atau prinsip ke-Tuhan-an dapat menjadi pengikat keseluruhan manusia dan masyarakat Indonesia. Sila ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan dalam setiap agama yang diakui di Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun Globalisasi membawa sebuah liberalisasi ke Indonesia, bangsa Indonesia menolak yang disebut dengan atheisme dan juga propaganda anti agama. Manusia dalam pusaran Globalisasi cenderung menggunakan sesuatu dengan berlebihan dan tanpa arah. Hal ini akan mengakibatkan perilaku konsumtif dan pada akhirnya melahirkan hedonisme yang diartikan mendasarkan baik atau buruknya tindakan atas dasar tujuan yang akan diusahkan yaitu kenikmatan.27 Prinsip hedonisme menganggap bahwa kesenangan merupakan sesuatu yang baik dan hal tersebut menjadi tujuan hidupnya. Sedangkan hal yang membuat kesusahan, penderitaan, atau tidak menyenangkan adalah hal yang tidak baik dan harus dihindari. Sikap yang hanya menekankan tujuan kenikmatan akan meng-alienasi manusia terhadap lingkungan sosialnya. Fredric Jameson menggunakan kerangka berikir Neo-Marxis yang melihat bahwa realitas post-modernisme menunjukkan bahwa kita telah memasuki fase kapitalisme lanjut yang bercirikan; sirkulasi tanda dan simbol yang tiada hentinya, arus informasi yang berskala global serta konsumsi imaji yang hedonistik.28 Manusia dengan keyakinan akan kebenaran tertentu dalam hal ini yang menganut budaya konsumtif dan hedonis, akan mengasingkan diri dengan masyarakat yang tidak sejalan yaitu masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai- 26 Soekarno Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Presindo, 2006) hlm. 140. 27 Paulus Wahana, “Menerapkan Etika Nilai Max Scheler Dalam Perkuliahan Pendidikan Pancasila Untuk Membangun Kesadaran Moral Mahasiswa” (2016) 26:2 J Filsafat 189 hlm. 189. 28 Hamzah Fansuri, “Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia” (2012) 2:1 J Sosiol Islam, online: <http://jsi.uinsby.ac.id/ index.php/jsi/article/view/17> hlm. 33. [ 287 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi nilai moral dan agama. Setiap agama yang ada di Indonesia, mengajarkan nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun dalam tatanan masyarakat global, masing-masing individu menganggap kelompoknya yang paling benar. Sila kedua Pancasila pada prinsipnya adalah bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sebuah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk Individu dan juga makhluk sosial. Soekarno melalui bukunya yang berjudul “Tjamkan Pantjasila” membahas tentang kemanusiaan dalam konteks yang konkret yaitu mengenai identitas diri.29 Rasa peri-kemanusiaan merupakan sebuah resultan dari pertumbuhan rohani, kebudayaan. Pertumbuhan tersebut bermula dari tingkat yang paling rendah hingga yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa peri-kemanusiaan merupakan evolusi dalam perasaan batin manusia. Wujud dari nilai ini antara lain melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; ikut menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan ide keselarasan antara individu dan masyarakat (monodualis).30 Dalam hal ini pula ada sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa, dan tidak semena-mena terhadap orang lain; menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, melakukan kegiatan kemanusiaan/sosial; terakhir yang tidak kalah penting adalah turut serta dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sebagai bentuk penghormatan tertinggi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan. Setiap manusia yang dibekali cipta, rasa, dan karsa oleh Tuhan sang pencipta, akan terus berdinamika dengan kehidupannya.31 Penghormatan atas kesetaraan dan kebebasan setiap orang menjadi wujud yang yang nyata dalam perumusan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara Indonesia harus merealisasikan dan mengembangkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab ini pada pergaulan masyarakat internasional.32 29 Soekarno, Soekarno, Tjamkan Pantja Sila; Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta, 1964)., in 1964. 30 Kaelan, supra note 24 hlm. 238. 31 Andreas D Bolo et al, Pancasila Kekuatan Pembebas, Buku Humaniora Universitas Parahyangan (Sleman: PT. Kanisius Yogyakarta, 2012) hlm. 152. 32 Driyakarya Driyakarya, Tentang Negara dan Bangsa, Kumpulan Karangan (Yogyakarta: Kanisius, 1980) hlm. 71. [ 288 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Sila ketiga, persatuan Indonesia menggambarkan bahwa negara ini tidak dibentuk berdasarkan pada prinsip individualisme yang berkembang sejak masa renaissance dengan menyebutkan man are created free and equal.33 Negara Indonesia tidak dibentuk berdasarkan kontrak sosial dari tiap-tiap individu, melainkan sebuah manifestasi nilai-nilai individu di dalam masyarakat. Globalisasi mengarahkan pikiran manusia ke arah kebutuhan yang harus dipilih. Globalisasi akan memecah rasa nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia. Hal ini tidak sejalan dengan cita sila ketiga dari Pancasila. Masyarakat Suburban adalah salah satu efek dari arus globalisasi. Sebuah penduduk yang hidup di pinggiran kota kemudian mencari nafkah di kota-kota besar. Mereka memiliki karakteristik yang ada diantara masyarakat kota dan masyarakat desa, sehingga bisa dikatakan penduduk yang berpindah dari desa ke kota yang berada tinggal di pinggiran kota.34 Salah satu karakteristik pola hidup msyarakat suburban adalah secara fisik berdekatan namun secara sosial berjauhan.35 Hal tersebut menjadi contoh paling nyata dari bentuk perubahan budaya masyarakat dengan sikap-sikap sederhana, menjadi masyarakat yang tanpa arah dan tanpa pilihan. Sikap anti sosial dan cenderung memikirkan kelompoknya dibanding entitas lain diluar kelompoknya, adalah akibat dari keadaan tersebut. Sila keempat yang menggambarkan nilai kerakyatan dan demokrasi. Nilai kerakyatan pada sila keempat ini mengacu kepada gagasan Mohammad Hatta yang mengatakan bahwa demokrasi tidak ditandai dengan sistem parlementer, pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu tertentu, dan membangun sistem demokratis dengan megahnya gedung-gedung pemerintahan.36 Dalam menjalankan sistem politik yang demokrasi, harus dipersiapkan pula masyarakat yang demokratis. Lebih lanjut Hatta menjabarkan tentang prinsip-prinsip masyarakat yang demokratis adalah kemandirian dan tanggung jawab individu, keterlibatan atau partisipasi dalam masyarakat, dan hubungan kooperatif antarindividu yang mandiri 33 Kartohadiprojo Soediman, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa (Bandung: Gatra Pustaka, 2010) hlm. 25. 34 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015) hlm. 87. 35 Ibid. 36 Bolo et al, supra note 31 hlm. 191. [ 289 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dalam masyarakat.37 Ketiga prinsip tersebut saling berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam relasi sosial, mengembangkan jaringan hubungan kooperatif dengan individu lain dalam kelompoknya dan menegaskan diri untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab.. Nilai kerakyatan erat dengan konsep civil society atau masyarakat sipil yang diturunkan dari gagasan Aristoteles, Koinonia Politike yang berarti sebuah komunitas warga negara yang dipersatukan dalam sebuah pemerintahan atau negara yang sah.38 Masyarakat sipil harus dibentuk terlebih dahulu sebagai syarat untuk membentuk suatu tatanan negara Indonesia yang demokratis. Beberapa konsep masyarakat diberikan oleh para pendiri bangsa yaitu masyarakat yang kooperatif oleh Hatta; sistem kekeluargaan dalam membentuk masyarakat sipil sebagaimana yang digagas oleh Soekarno; dan sistem masyarakat integratif yang digagas oleh Soepomo.39 Sehingga dalam pusaran globalisasi ini, pembentukan masyarakat sipil yang bergotong royong akan mengarahkan dan mewujudkan nilai kerakyatan sebagaimana dalam sila keempat Pancasila. Sekalipun Globalisasi dapat membentuk masyarakat yang individualistik, tetapi jika ketiga prinsip ini menjadi satu kesatuan utuh yang menjadi jiwa dan spirit masyarakat Indonesia, maka tidak akan sulit untuk mewujudkan nilai kerakyatan. Pada sila terakhir yaitu sila kelima. Keadilan sosial atas bangsa Indonesia, semestinya lahir dari meratanya kepentingan rakyat. Bagaimana Globalisasi telah memisahkan secara tegas dan menciptakan kelas dalam masyarakat, maka nilai keadilan sosial menjadi hal yang tidak akan pernah bisa di capai dalam tataran kehidupan yang global. Kehidupan yang tidak mengingingkan adanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, namun hanya kepentingan pasar yang akan memperkaya segelintir kelompok dan semakin memiskinkan sebagian besar rakyat Indonesia. 37 Mohammad Hatta, Islam, Society, Democarcy & Peace (New Delhi: Information Service Indonesia, the Embassy of the Republic of Indonesia in India, 1955) hlm. 44–47. 38 Sunil Khilnani & S Kaviraj, eds, “The Development of Civil Society” in Civ Soc Hist Possibilities, 5th ed (Cambridge: University Press, 2001) hlm. 17. 39 Bolo et al, supra note 31 hlm. 228–229. [ 290 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Nilai L uhur P ancasila dalam K esesatan G lobalisasi Luhur Pancasila Kesesatan Globalisasi Nilai luhur merupakan sebuah parameter atau tolak ukur dalam hal kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang mendasar dan abadi dalam hidup manusia seperti halnya sebuah cita-cita yang hendak dicapai dalam kehidupan manusia.40 Sebagai sebuah bangsa, Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) mempunyai sebuah cita-cita bangsa yang tertuang di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.41 Pancasila mempunyai dua fungsi pokok yaitu sebagai dasar negara dan sebagai falsafah atau pandangan hidup. Sebagai dasar negara artinya nilai-nilai di dalam Pancasila berfungsi mengatur dan memandu hubungan antara negara dengan warga negara dan antara negara dengan negara lain. sebagai falsafah atau pandangan hidup artinya berfungsi untuk mengatur dan memandu hubungan antar anggota masyarakat, antara anggota masyarakat satu dengan anggota masyarakat lainnya, dan antara masyarakat dengan masyarakat.42 Nilainilai Pancasila yang digunakan untuk memandu dan mengatur tersebut digali lagi oleh Soekarno untuk berkembang bersama bangsa Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi. Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Pancasila adalah, Nilai Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan dan kesatuan, nilai kedaulatan rakyat, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan maknanya dan menjadi ruh, spirit, yang membangun jati diri bangsa Indonesia. Nilai Ketuhanan memiliki makna bahwa bangsa Indonesia menjamin penduduknya untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Menjamin adanya sebuah toleransi atas kehidupan beragama. Pada saat ini di Indonesia sendiri masih mengakui enam agama. Keenam agama tersebut diharapkan memberikan panutan dan ajaran untuk berperilaku baik dan luhur terhadap sesama manusia. Namun yang perlu kita perhatikan bahwa keyakinan berbeda dengan agama. 40 Kaelan, supra note 24 hlm. 41. Adi, supra note 23 hlm. 38. 42 Dominukus Rato, “Korelasi Pancasila, Proklamasi, dan Pembukaan Konstitusi” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 36. 41 [ 291 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Durkheim menyatakan bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal dan pikiran manusia sendiri, singkat kata agama merupakan bagian dari pengetahuan yang tidak dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan biasa dengan pemikiran akal pikiran saja.43 Agama berbicara tentang tatanan perilaku seseorang yang menganut keyakinan tertentu. Sedangkan keyakinan berarti sikap bathin yang ditujukan atas Ketuhanan yang mereka percayai benar dan baik adanya. Al-Khanif mengutip dari Ahmad Syafi’ie Maarif menyatakan bahwa Monotheisme sila pertama Pancasila dilihat sebagai norma yang sekuler karena prinsip ke-Tuhan-an Pancasila dapat dipahami secara terbuka oleh siapa saja.44 Dalam hal ini konsep Ketuhanan dalam Pancasila dilarang untuk di monopoli oleh suatu kelompok tertentu. Bahwa jaminan kehidupan beragama haruslah bernafaskan keyakinan dan kepercayaan seseorang dalam konsep ke-Tuhan-an mereka. Dalam hal ini bukan hanya 6 agama saja di diakui, namun juga mengakui semua aliran kepercayaan yang tumbuh berkembang di Indonesia. Keberagaman yang ada menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang plural. Plularisme, menyebabkan Indonesia menghadapi krisis di berbagai bidang, dimana agama menjadi salah satu penyebab konflik atau kekerasan yang marak terjadi.45 Dengan kata lain kemajemukan agama harus dilandasi spirit pluralisme yaitu semangat kebangsaan yang memberikan penghargaan atas keberagaman dan perbedaan. Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan terjadi perluasan pengaruh wacana tentang ancaman aliran sesat, dan meluasnya pengaruh wacana ancaman aliran sesat tidak hanya menyangkut jumlah, tetapi melebarnya spektrum sasaran dan aktor.46 Hal ini menunjukkan 43 Muhammaddin Muhammaddin, “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama” (2016) 14:1 J Ilmu Agama 99 hlm. 102. 44 Al Khanif, ed, “Pancasila dan Agama: Teman atau Lawan?” in Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 182. 45 Murni Hermawati Sitanggang, “Pancasila dalam Dinamika Pluralisme Indonesia” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 217. 46 “Kasus penodaan agama masih mewarnai di 2013”, (26 April 2013), online: SINDOnews.com <https://nasional.sindonews.com/read/742167/15/kasus-penodaan-agama-masih-mewarnai-di2013-1366915825>. [ 292 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini bahwa pluralisme menjadi isu yang harus dijawab oleh negara atas nama keyakinan beragama. Fundamentalisme dan radikalisme agama kerapkali melihat keyakinannya sebagai keyakinan yang paling benar. Menurut Armstrong, Fundamentalisme dapat dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap modernitas atau pascamodernitas.47 Al Khanif menyatakan “This principle shows a plurality-sensitive religious state philosophy, which is that the ideals of every religious denomination can be realized, in the sense that the state allows and assists its citizens to enjoy their respective religious freedom”.48 Bahwa negara harus menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan dari penduduknya, serta mampu memberikan rasa aman dan ketenangan dalam melaksanakan ibadah atas agama dan kepercayaannya itu. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki makna untuk bisa menjadi sebuah pribadi manusia yang bersikap adil dengan sebuah tindakan yang beradab. Keadilan belum tentu didapatkan dengan cara-cara yang beradab. Masyarakat Indonesia hendaknya. tidak hanya menjadi pribadi yang ego untuk bisa memikirkan kepentingan pribadinya. Menganggap dirinya adalah yang patut untuk diperhatikan dan dihormati. Menjadi manusia yang adil dan beradab tentunya berkaitan dengan nilai dari KeTuhan-an pasa sila pertama, bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan hendaknya saling menghormati hak dan kemerdekaan manusia lainnya. Hak asasi manusia termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan pasal 28A-28J. Secara implisit, dasar bagi sikap hormat kita terhadap kemanusiaan adalah mengakui kemampuan manusiawi yang mendasar dan mengusahakan agar fungsi alamiahnya dapat diwujudkan setiap pribadi di dalam masyarakat, sedangkan gagasan adil dan beradab adalah bentuk pengakuan kepada setiap orang tanpa kecuali, tanpa dibatasi oleh latarbelakang masing-masing, mengandung penghormatan terhadap kemampuan manusiawi mendasar dalam menjalankan fungsi alamiahnya.49 Kemanusiaan yang adil dan beradab bisa kita lihat sebagai penghormatan tertinggi terhadap martabat manusia. Memahami keadilan 47 Bolo et al, supra note 31 hlm. 111. The Jakarta Post, “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect religions”, online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasila-protectreligions.html>. 49 Bolo et al, supra note 31 hlm. 132. 48 [ 293 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi yang beradab sebagai bentuk dari sebuah kebebasan individu yang berkaitan dengan adab atau budayanya. Intisari dari pemikiran kemanusiaan dan keadilan yang beradab adalah kebebasan individu dengan melihat kepentingan individu lainnya, dengan kata lain penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi sebuah keharusan agar tercipta keadilan yang beradab. Penghakiman tanpa pengadilan adalah wajah buram dari lemahnya jaminan terhadap hak hidup dan rasa aman untuk tinggal dan bernaung di negara ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan terjadinya pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan Salim Kancil. “Dugaannya ada peristiwa yang kejam dan merendahkan martabat manusia, dalam hal ini latar belakangnya yang penting untuk diamati, yaitu “Ada bisnis pasir,”.50 Kasus penyiksaan dan pembunuhan aktivis anti tambang pasir di Lumajang Jawa Timur yang terjadi kepada Salim Kancil dan Tosan adalah bentuk kekuatan dari kepentingan pasar yang berakibat pada hilangnya hak hidup dan rasa aman bagi individu yang membela kepentingan rakyat. Nilai persatuan memiliki makna untuk menumbuhkan rasa nasionalisme cinta tanah air. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan budaya. Kemerdekaan Indonesia didapatkan dan diperjuangkan oleh seluruh warga negara Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa dan budaya dalam sebuah semboyan bhineka tunggal ika. Perenungan terhadap sila ketiga adalah hakikat bahwa persatuan merupakan tema penting untuk mencapai kemerdekaan, kesadaran akan persatuan memperkuat rasa nasionalisme demikian juga sebaliknya.51 Nasionalisme bisa diartikan mencintai produk hasil negeri sendiri dan menghargai tiap karya anak bangsa. Dengan masuknya modal dan produk-produk asing membuat produk lokal tersingkirkan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi menerapkan pengurangan tarif dan subsidi sebesar 30 persen yang memberikan kerugian kepada Indonesia sebesar kurang lebih 18 Triliun Rupiah per tahunnya.52 50 TempoCo, “Salim Kancil Dibunuh, Komnas: Pelanggaran HAM Jelas Terjadi”, online: Tempo News <https://m.tempo.co/read/news/2015/10/05/063706547/salim-kancil-dibunuh-komnaspelanggaran-ham-jelas-terjadi>. 51 Bolo et al, supra note 31 hlm. 132. 52 “Koran TEMPO | Situs Berita Online Indonesia”, online: <https://koran.tempo.co/konten/ 2006/ 09/21/82626/Globalisasi-Rugikan-Indonesia-Rp-18-Triliun-Setiap-Tahun>. [ 294 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Hal ini berarti persatuan yang diharapkan menjadi dasar nilai luhur sila ketiga menjadi tidak tercapai. Nilai kedaulatan rakyat dalam sebuah permusyawaratan perwakilan. Kedaulatan rakyat artinya bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Indonesia mengakuinya dan mengaturnya di dalam Konstitusi UUD NRI 1945. Kepentingan dan keinginan rakyat merupakan tujuan utama berjalannya pemerintahan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus berdasarkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, bukan hanya kepentingan kelompok atau golongan. Cara perumusan dan penyusunan kebijakan tersebut melalui sebuah lembaga perwakilan legislatif. Permusyawaratan bukanlah sebuah proses pengambilan keputusan dengan metode menang-kalah melainkan pemahaman bersama untuk mencapai sebuah tujuan. Keterwakilan erat kaitannya dengan demokrasi. Karena Indonesia memilih sistem keterwakilan dalam menjalankan roda kehidupan bernegaranya. Kapitalisme global mendorong demokrasi ke arah kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat. “Globalisasi ekonomi atau kapitalisme global telah memunculkan aktor utama yang sangat penting dalam ekonomi politik, yakni lembaga-lembaga pengaturan global internasional (transworld governance) , korporasi-korporasi internasional (multinational and transnasional corporation), dan lembaga-lembaga swasta (NGO), dimana Scholte menyebutnya sebagai suprastate”.53 Wakil rakyat di lembaga legislatif sebagai representasi kepentingan hajat hidup orang banyak, harus mampu mengusung kepentingan rakyat diatas segala kepentingan pribadi dan golongan. Penyidik KPK menahan anggota DPR fraksi partai Golkar Charles Jones yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pada pengembangan kasus korupsi mantan Dirjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Dirjen P2KTrans) Kemenakertrans Jamaluddien Malik.54 Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri yang dilakukan oleh wakil rakyat jelas mencederai wajah demokrasi. Dimana seharusnya demokrasi dalam sistem keterwakilan bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat. 53 54 Winarno, supra note 12 hlm. 6. Kartika S Tarigan, “Kasus Korupsi P2KTrans, Anggota DPR Charles Mesang Ditahan KPK”, online: detiknews <http:/>. [ 295 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Nilai terakhir adalah nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial menggambarkan sebuah pemerataan terhadap kepentingan masyarakat. Keadilan demikian tidak akan didapatkan jika tidak melihat nilai-nilai yang sudah tertuang sebelumnya. Keadilan dibutuhkan sebuah persamaan rasa untuk saling menjaga hak asasi masyarakat Indonesia. Persamaan yang membangkitkan rasa persatuan dan duduk bersama untuk menetapkan tujuan bangsa yaitu kesejahteraan sosial. Soekarno menyatakan di dalam prinsip kesejahteraan tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.55 Pasal 33 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa cabangcabang produksi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan disisi lain harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penjualan aset kepada investor asing adalah salah satu bentuk keberpihakan bagi kepentingan segelintir orang. John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hitman mengungkap perselingkuhan korporasi, pemerintah dan intelektual untuk menguasai sebuah negara.56 Proses produksi oleh investor asing hanya melibatkan sekelompok orang sebagai tenaga kerja. Masyarakat lokal tidak benar-benar menikmati hasil dari eksplorasi dari kekayaan alam dimana mereka tinggal. Seharusnya merekalah yang paling berhak atas kemakmuran dari hasil produksi tersebut. Pemerintah melalui Menteri BUMN akan segera membahas detail struktur perusahaaan patungan (joint venture) yang akan dibentuk bersama dengan perusahaan dari Mexico yaitu Cemex Asia Holding Ltd, dalam hal ini pemerintah menawarkan kepada Cemex untuk bersama membentuk sebuah perusahaan semen baru yang akan mengelola tiga aset Semen Gresik yaitu Pabrik Tuban 1 (satu), Pabrik Tuban 2 (dua) dan Pabrik Tuban 3 (tiga).57 Negara berhak mengambil kebijakan untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang, baik dari sisi konservasi alam dan juga kemakmuran rakyatnya. Kekayaan alam tidaklah patut dijadikan komoditi, lebih-lebih dijual-belikan kepada investor asing. 55 Shidarta Shidarta, “Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial Dalam Gagasan Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo” (2015) 1:1 Veritas Justitia, online: <http://journal.unpar.ac.id/ index.php/veritas/article/view/1415> hlm. 24. 56 Yuniarto, supra note 6 hlm. 76. 57 “Pemerintah Bahas Perusahaan Patungan Dengan Cemex”, online: Tempo Bisnis <https:// bisnis.tempo.co/read/news/2005/01/14/05654955/pemerintah-bahas-perusahaan-patungandengan-cemex>. [ 296 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Kebijakan N egara B erlandaskan N ilai-nilai P ancasila Negara Berlandaskan Nilai-nilai Pancasila Pemerintah Indonesia saat ini telah menyusun sembilan program pokok dalam pemerintahannya yang disebut dengan program Nawa Cita. Program Nawa Cita merupakan sebuah program yang memprioritaskan jalan menuju perubahan Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kesembilan program pemerintah dalam Nawa Cita ini mencerminkan apa yang terdapat di dalam nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Budiman Sudjatmiko bahwa masyarakat yakin Nawa Cita dan Pancasila akan mendapatkan mafaat dari pembangunan, dari demokrasi, karena mereka tidak mau berada di bawah konstitusi yang lain, di bawah ideologi yang lain, di bawah aturan negara yang lain kecuali NKRI, Pancasila, dan masyarakat Bhineka Tunggal Ika yang sudah bertahan di wilayah nusantara ini.58 Nilai-nilai Pancasila menjadi spirit pemerintah untuk menyusun program pemerintah yang akan dijalankan. Pemerintah yang merupakan wakil dari masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat internasional harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat Indonesia, menjadikan Indonesia untuk bisa mandiri dan berdaya saing dalam era globalisasi. Khofifah Indar Parawangsa menyatakan, hal yang termaktub dalam agenda prioritas pemerintahan atau Nawa Cita poin kedelapan tentang revolusi karakter bangsa dan poin kesembilan tentang restorasi sosial, dimana Kementerian Sosial memprakarsai perwujudan agenda tersebut dengan mengadakan sosialisasi pembangunan kepedulian sosial.59 Kepedulian sosial adalah sebuah bentuk sikap yang bisa membangun kepekaan mental individu yang pada akhirnya akan memperkuat ikatan kebangsaan menuju persatuan dan kesatuan. Hal ini nantinya akan menjaga keutuhan NKRI yang terancam dengan adanya globalisasi. Pancasila sebagai ruh bangsa Indonesia akan membawa kemajemukan masyarakatnya menjadi arif untuk menghadapi globalisasi. Sehingga nilai-nilai luhur Pancasila bukan hanya menjadi ideologi semu. Ideologi yang hanya mempunyai cita-cita ideal yang sulit diterjemahkan dalam sebuah sikap, bahkan dalam sebuah pilihan berkehidupan. 58 Kompas Cyber Media, “Pancasila Tidak Sempurna, tetapi Ideologi Lainnya Jauh Lebih Buruk”, online: KOMPAS.com <http://nasional.kompas.com/read/2016/ 11/19/13395571/.pancasila. tidak.sempurna.tetapi.ideologi.lainnya.jauh.lebih.buruk.>. 59 Ibid. [ 297 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Referensi Bolo, Andreas D et al. Pancasila Kekuatan Pembebas, Buku Humaniora Universitas Parahyangan (Sleman: PT. Kanisius Yogyakarta, 2012). Borofsky, R. Assessing Cultural Anthropology (New York: McGraw-Hill, Inc). Driyakarya, Driyakarya. Tentang Negara dan Bangsa, Kumpulan Karangan (Yogyakarta: Kanisius, 1980). Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Jakarta: Insist Press, 2009). Hatta, Mohammad. Islam, Society, Democarcy & Peace (New Delhi: Information Service Indonesia, the Embassy of the Republic of Indonesia in India, 1955). Jamaludin, Adon Nasrullah. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015). Kaelan, Kaelan. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, pertama ed (Yogyakarta: Paradigma, 2013). Magnis-Suseno, Franz. Pijar-pijar filsafat: dari Gatholoco ke filsafat perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme (Kanisius, 2005). Soediman, Kartohadiprojo. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa (Bandung: Gatra Pustaka, 2010). Soekarno, Soekarno. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Presindo, 2006). Adi, Purwito. “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Bagi Masyarakat Sebagai Modal Dasar Pertahanan Nasional NKRI” (2016) 1:1 J Moral Kemasyarakatan, online: <http://ejournal.unikama.ac.id/index. php/JMK/article/view/1185>. Agung Pribadi, Winner. “Sumbangan Perspektif Gramscian dalam Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ” (2008) II 23. Alam, Bachtiar. “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan” (1998) 54 J Antropol Indones 1. Fansuri, Hamzah. “Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia” (2012) 2:1 J Sosiol Islam, online: <http:// jsi.uinsby.ac.id/index.php/ jsi/article/view/17>. Hadiwigeno, Soetatwo. “Globalisasi, Liberalisasi dan Daya Saing Sektor Pertanian” (1999) 4 JEP. [ 298 ] Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini Khanif, Al, ed. “Pancasila dan Agama: Teman atau Lawan?” in Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016). Khilnani, Sunil & S Kaviraj, eds. “The Development of Civil Society” in Civ Soc Hist Possibilities, 5th ed (Cambridge: University Press, 2001). Kuspradono, B. “Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Ekonomi ‘Neoliberal’” (2016) 7:2 Kinerja 165. Muhammaddin, Muhammaddin. “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama” (2016) 14:1 J Ilmu Agama 99. Rahmania, Novita & Martinus Legowo. “Konstruksi Remaja Tentang Media Online Perubahan Gaya Hidup Pada Era Globalisasi Di Ketintang Timur Surabaya” (2016) 4:1 Paradigma, online: <http://ejournal.unesa.ac.id/article/18061/39/ article.pdf>. Rato, Dominukus. “Korelasi Pancasila, Proklamasi, dan Pembukaan Konstitusi” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikir Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016). Shidarta, Shidarta. “Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dalam Gagasan Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo” (2015) 1:1 Veritas Justitia, online: <http://journal.unpar.ac.id/index.php/ veritas/article/view/1415>. Sitanggang, Murni Hermawati. “Pancasila dalam Dinamika Pluralisme Indonesia” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016). Sriwanto, Sigid. “Tiga Pilar Globalisasi Dan Global Ekonomi” (2009) 1:2 Geo Edukasi, online: <http://jurnalnasional.ump.ac.id/index. php/GeoEdukasi/ article/view/716>. Wahana, Paulus. “Menerapkan Etika Nilai Max Scheler dalam Perkuliahan Pendidikan Pancasila Untuk Membangun Kesadaran Moral Mahasiswa” (2016) 26:2 J Filsafat 189. Winarno, Budi. “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi” (2015) 1:1 J Hub Int 1. Yuniarto, Paulus Rudolf. “Masalah Globalisasi di Indonesia: Antara Kepentingan, Kebijakan, dan Tantangan” (2016) 5:1 J Kaji Wil 67. Media, Kompas Cyber. “Pancasila Tidak Sempurna, tetapi Ideologi Lainnya Jauh Lebih Buruk”, online: KOMPAS.com <http://nasional. [ 299 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi kompas.com/read/2016/ 11/19/13395571/.pancasila.tidak. sempurna.tetapi.ideologi.lainnya.jauh.lebih.buruk.>. Post, The Jakarta. “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect religions”, online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/news/ 2015/06/01/ questioning-a-theistic-secular-pancasila-protectreligions.html>. Soekarno. Tjamkan Pantja Sila; Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta, 1964). Tarigan, Kartika S. “Kasus Korupsi P2KTrans, Anggota DPR Charles Mesang Ditahan KPK”, online: detiknews <http:/>. TempoCo. “Salim Kancil Dibunuh, Komnas: Pelanggaran HAM Jelas Terjadi”, online: Tempo News <https://m.tempo.co/read/news/ 2015/10/05/063706547/salim-kancil-dibunuh-komnaspelanggaran-ham-jelas-terjadi>. “Kasus penodaan agama masih mewarnai di 2013”, (26 April 2013), online: SINDOnews.com <https://nasional.sindonews.com/read/ 742167/15/kasus-penodaan-agama-masih-mewarnai-di-20131366915825>. “Arti kata modal - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online: <http://kbbi.web.id/modal>. “Arti kata manajemen-Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online: <http://kbbi.web.id/manajemen>. “Koran TEMPO | Situs Berita Online Indonesia”, online: <https:// koran.tempo.co/konten/2006/09/21/82626/GlobalisasiRugikan-Indonesia-Rp-18-Triliun-Setiap-Tahun>. “Pemerintah Bahas Perusahaan Patungan Dengan Cemex”, online: Tempo Bisnis <https://bisnis.tempo.co/read/news/2005/01/14/05654955/ pemerintah-bahas-perusahaan-patungan-dengan-cemex>. [ 300 ] PANC A SIL A D AN KED AUL ATAN BAHA SA PANCA SILA DAN KEDA ULA BAHASA DAL AM PUSARAN GLOBALISA SI ALAM GLOBALISASI Wiwit Kurniawan Latar B elakang: G lobalisasi dan P olitik B ahasa Belakang: Globalisasi Politik Bahasa K ita sekarang hidup di era di mana setiap orang di berbagai belahan dunia saling terhubung dan bisa berkomunikasi dengan mudah. Fenomena globalisasi telah merubah sendi-sendi kehidupan dalam berbagai masyarakat yang memiliki budaya yang beragam. Dengan adanya konektivitas yang masif, setiap budaya dan masyarakat tidak bisa hidup terisolasi, namun akan menjadi bagian dari jejaring masyarakat dunia. Adanya globalisasi tentu bisa memberikan dampak positif, seperti peningkatan perdagangan internasional dan silang budaya. Namun di sisi lain, interaksi budaya dalam masyarakat global bisa membawa pada subordinasi, imperialisme dan kolonialisme bentuk baru. Globalisasi membawa kita pada dunia yang tanpa batas dan model komunitas plural, namun bagaimana pengetahuan disebarkan menunjukkan adanya diskurus tunggal dan tradisi intelektual dari komunitas yang lebih dominan.1 Bentuk infiltrasi negatif dan dominasi tersebut terjadi di berbagai dimensi, termasuk ranah bahasa. Munculnya salah satu bahasa internasional yang dominan menurut Phillipson disebut Imperialisme bahasa. Imperialisme bahasa adalah dominasi suatu bahasa yang ditegaskan oleh konstruksi terus-menerus atas ketidakadilan (inequality)secara struktural maupun kultural antara bahasa yang dominan dengan bahasa lain.2 Pancasila sebagai falsafah hidup 1 2 Suresh A Canagarajah, ed., 2005. Reclaiming the Local in Language Policy and Practice, New York: Routledge, hal xiv. Robert Phillipson, 1992. Linguistic Imperialism, Oxford: Oxford University Press, hlm. 47. [ 301 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bangsa Indonesia memiliki fungsi sebagai panduan dalam membendung hegemoni asing dalam arus globalisasi. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul atas dampak globalisasi di ranah bahasa, diperlukan nilainilai praktis sebagai panduan yang bersumber dari Pancasila dan kebudayaan bangsa. Indonesia, sebagai negara di persimpangan benua, telah mengalami globalisasi sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam konteks perdagangan global, di Nusantara sejak lama telah ada jalur perdagangan antara Barat dan Timur3. Pada era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kapal-kapal nusantara telah berlayar mengarungi samudera untuk berdagang dan berdiplomasi ke negara-negara ‘atas angin’. Pada sekarang ini, intensitas interaksi budaya tentu akan lebih intens. Oleh karana itu, dampak negatif dari globalisasi juga muncul di Indonesia. Atas dampak globalisasi tersebut kebudayaan Indonesia senantiasa berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan lain di dunia. Berbagai keunggulan budaya luar bisa memperkaya khasanah kebudayaan Nusantara. Di sisi lain globalisasi merupakan sebuah virus mematikan yang bisa berpengaruh buruk pada pudarnya eksistensi budaya-budaya lokal4. Sebagai contoh, masuknya budaya Barat melalui media membuat masyarakat mengikuti tren populer namun tanpa filter kritis dan diduplikasi secara serampangan. Alih-alih melakukan modernisasi dalam masyarakat, malah hanya melakukan pembaratan (westernization) saja. Meniru budaya Barat namun hanya permukaannya saja dan terkadang bertentangan dengan nilai budaya bangsa. Di samping membawa heterogenitas budaya, globalisasi juga menyebabkan penyeragaman dalam segi bahasa. Globalisasi memungkinkan munculnya keberagaman budaya dalam sebuah komunitas tertentu. Setiap orang dari latar budaya dan bahasa yang berbeda bisa berinteraksi dengan masyarakat dari budaya yang berbeda. Heterogenitas tersebut memerlukan adanya syarat, yakni kesatuan bahasa. Walaupun menyajikan pertemuan berbagai budaya, globalisasi mendorong masyarakat dunia untuk 3 4 Syahruddin Mansyur, 2016. “Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah dalam Jaringan Perdagangan Masa Kolonial di Maluku,” Kapata Arkeologi, 7, 13, hlm. 20. A. Safril Mubah, 2011. “Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam Menghadapi Arus Globalisasi,” Jurnal Unair, 24, 4, hlm. 302. [ 302 ] Wiwit Kurniawan menggunakan bahasa yang sama, dalam hal ini adalah bahasa Inggris. Dalam interaksi global ini bahasa Inggris menjadi penghubung. Oleh karena itu, banyak negara di dunia sangat menekankan penguasaan bahasa Inggris bagi warganya. Di Indonesia, posisi bahasa Inggris baik dalam pendidikan maupun dalam masyarakat sangat penting. Dalam pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Mata pelajaran bahasa Inggris juga dijadikan mata kuliah yang diujikan secara nasional di sekolah. Dalam masyarakat Indonesia, bahasa Inggris juga dianggap sebagai bahasa yang memiliki prestis tinggi. Di Indonesia, bahasa Inggris digunakan sebagai media bahasa perdagangan internasional dan bahasa akademik. Oleh karena itu, ada kesan orang yang menguasai bahasa Inggris adalah orang dari golongan yang terpelajar, modern dan pintar.5 Bahasa Inggris di Indonesia tidak sekedar menjadi bahasa asing (foreign language), namun merupakan suatu instrumen kolonialisme. Phillipson memandang globalisasi sebagai sebuah kesatuan rajutan antara Americanization dan Englishization6, usaha untuk menyebarkan dominasi bahasa Inggris. Sugiharto melihat bahwa ada efek dari globalisasi di mana negara yang kuat dianggap sebagai ’center’ dan yang lemah sebagai ‘periphery’, negara yang dominan memaksakan kuasanya atas yang didominasi7. Dalam hal ini, yang dipermasalahkan adalah bukan penyebarannya yang masif, namun adanya wacana yang menggiring pemikiran untuk mengagung-agungkan (fetisme) bahasa Inggris. Konsekuensi tersebut berakibat munculnya ‘keminderan’ berbahasa. Ada rasa tidak percaya diri dengan bahasa sendiri dan cenderung memuja bahasa Inggris. Bahasa Inggris sangat jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari di Indonesia, masyarakat lebih banyak menggunakan bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Walaupun demikian, hal ini tidak membuat bahasa Inggris absen dari pergaulan di Indonesia. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah terjadinya campur kode (mix code) antara bahasa Indonesia 5 6 7 Allan Lauder, 2010. “The status and function of English in Indonesia: A review of key factors,” Makara Hubs-Asia, 8, 3, hlm. 6. Setiono Sugiharto, 2013. “Rethinking Globalization, Reclaiming the Local: A Post-Colonial Perspective of English Language Education in Indonesia,” The Indonesian Quarterly, 41, 3, hlm. 151. Ibid. [ 303 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dan bahasa Inggris. Jika digunakan sebagaimana mestinya, campur kode bisa menambah khasanah perbendaharaan kata, namun jika dilakukan serampangan akan menyebabkan kekacauan bahasa. Ariel Heryanto menyampaikan bahwa penggunaan istilah bahasa Inggris secara obral dan serampangan banyak muncul dalam pergaulan remaja di Indonesia dan film-film remaja, bahkan gejala ini dianggap normal.8 Penutur Indonesia menyerap istilah dalam kalimat asing namun tanpa mengindahkan makna dan gramatika. Akhirnya yang muncul adalah bahasa campur aduk, tidak bisa dikatakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris pun tidak. Dalam perspektif bangsa Indonesia, bahasa merupakan entitas sentral dalam sebuah identitas budaya. Sumarsono menyebutnya sebuah identitas diri yang konstruktif9. Hal ini terlihat dalam Sumpah Pemuda, ditegaskan bahwa yang satu tidak hanya bangsa dan tanah air, namun juga bahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun memiliki fungsi kohesif sebagai pemersatu10, pembentuk suatu identitas bangsa. Bahasa merupakan sebuah entitas pembeda dan ‘ruang’ di mana budaya dan bangsa ada dan berkembang. Oleh karena itu, permasalahan fetisme bahasa asing dan campur-aduk bahasa menjadi hal yang penting. Persoalan ini tidak hanya tentang bahasa saja, namun merupakan persoalan identitas kebangsaan dan nasionalisme. Dalam berbangsa dan bernegara, masyarakat Indonesia berpedoman pada Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa.11 Oleh karena itu, berbagai persoalan kebangsaan dan nasionalisme harus merujuk pada nilai-nilai luhur Pancasila. Sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan pedoman dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tidak terkecuali pada permasalahan politik bahasa yang ada sekarang ini. Dalam menyelenggarakan masyarakat, aturan berbahasa juga harus merefleksikan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai bintang pembimbing (leading star) harus digali dan dihayati agar bisa 8 Ariel Heryanto, Rubrik Asal-Usul, Kompas Cyber Media, 11 Maret 2007 Sumarsono, 2002, Sosiolinguistik, Yogyakarta: Sabda bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, hlm. 162. 10 Jujun S Suriasumantri, 1984, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 200. 11 Rozali Abdullah, 1993, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 8. 9 [ 304 ] Wiwit Kurniawan merumuskan panduan nilai-nilai dalam menyusun kebijakan dan tindakan bahasa di Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup untuk setiap persoalan bangsa, termasuk persoalan bahasa. Oleh karena itu, perlu adanya kajian bagaimana nilai-nilai pancasila berbicara soal kebahasaan dan rumusan apa yang bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan imperialisme bentuk baru berupa hegemoni bahasa asing di Indonesia. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji bagaimana proses globalisasi dan dampaknya pada Indonesia, terutama dalam ranah bahasa. Dalam perspektif pemikiran Robert Phillipson, fenomena fetisme bahasa Inggris dan posisinya yang dominan dipandang sebagai suatu imperialisme bahasa. Penjabaran atas bagaimana fenomena globalisasi memperkuat imperialisme bahasa akan disajikan untuk memperjelas konteks yang tengah terjadi. Untuk memecahkan permasalahan terkait Imperialisme bahasa dalam pusaran globalisasi ini, penulis akan menggali nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Pancasila digunakan sebagai problem solver dalam persoalan kebahasaan. Globalisasi dan Dampaknya dalam Kebahasaan di Indonesia Dalam bagian ini penulis akan menjabarkan hakikat globalisasi, baik segi sejarah maupun konsep. Bagian ini akan mengkaji bagaimana fenomena globalisasi tersebut berdampak pada kebutuhan untuk berbahasa Inggris dan bagaimana bahasa tersebut menjadi bahasa yang dominan dalam kancah global. Istilah ‘global’ menurut Oxford English Dictionary telah muncul sejak 400 tahun yang lalu, namun penggunaannya secara umum mulai tahun 196012. Globalisasi menjadi wacana yang banyak dibahas oleh pemikir di berbagai disiplin keilmuan. Oleh karena itu, pendefinisian atas istilah globalisasi menjadi sulit. Di samping masalah etimologi, kapan fenomena globalisasi dimulai juga merupakan permasalahan yang pelik. Untuk lebih memahami fenomena tersebut, berikut ini akan dibahas sejarah globalisasi dan pengertiannya secara konseptual. 12 Malcolm. Waters, 2001, Globalization (2nd edn), London and New York: Routledge, hlm. 2. [ 305 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Interaksi antar bangsa dalam catatan sejarah dimulai sejak awal munculnya peradaban besar. Walaupun sudah berlangsung sejak lama, interaksi yang cukup kuat dan terjalin lama dimulai saat ramainya jalur sutra, sebuh jalur perdagangan yang menghubungkan Eropa dan Cina. Janet Abu-Lughod menjelaskan bahwa “Perekonomian perdagangan internasional yang terbentang dari tenggara Eropa sampai Cina pada masa 1250 sampai 1350, telah mengubah Asia tengah menjadi ‘media tanpa friksi’ melalui perdagangan dan pertukaran yang lancar dan bebas.”13 Pada era inilah berbagai suku bangsa dan kebudayaan saling berinteraksi secara masif dan teratur dalam rangka perdagangan. Revolusi industri dan kemajuan teknologi yang terjadi di Eropa juga merupakan faktor penting dalam mendorong globalisasi di era modern. Penemuan kapal uap dan penjelajahan atas benua baru merupakan jalan dimulainya interaksi global secara masif. Pada abad ke-15 dan 16, bangsa Eropa membuat rintisan terpenting dalam penjelajahan samudera, salah satunya adalah pelayaran ke “Dunia Baru” oleh Columbus untuk mencari rempah-rempah14. Berbagai perkembangan teknologi, kebutuhan akan bahan baku dan surplus produksi memaksa bangsa Eropa untuk mencari daerah-daerah koloni sebagai sumber bahan baku dan daerah pemasaran mereka. Berbagai faktor tersebut memungkinkan terjadinya suatu interaksi global dengan sangat cepat. Globalisasi pada awal zaman modern berbeda dengan globalisasi masa lalu lewat jalur sutra. Globalisasi modern didongkrak oleh kapitalisme dan kebutuhan akan sumber daya alam. Oleh karena itu, globalisasi saling berkelindan dengan invasi bangsa-bangsa Eropa. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Malcom Waters bahwa Globalisasi adalah konsekuensi langsung dari ekspansi kebudayaan Eropa yang membentang di seluruh planet melalui pemukiman, kolonialisasi, dan replika budaya. Globalisasi saling terikat dengan pola perkembangan kapitalisme sebagaimana hal tersebut menyebar melalui ranah politik dan budaya.15 Globalisasi dalam pengertian Waters tidak hanya suatu perdagangan yang fair, namun suatu 13 Kevin H. O’Rourke, dan Jeffrey G. Williamson, 2002, “When did globalisation begin?” European Review of Economic History, 6, 1, hlm. 2. 14 Ibid. Hlm. 1 15 Malcolm Waters, supra note 12, hlm. 6. [ 306 ] Wiwit Kurniawan arena penundukan dan penjajahan. Melalui jalan globalisasilah imperialisme beroperasi dan penundukan wilayah dan budaya lain dimulai. Konsep Globalisasi Karena istilah globalisasi digunakan oleh banyak pemikir dari berbagai latar belakang disiplin ilmu, penyeragaman istilah globalisasi akan sangat sulit. Walaupun sulit membuat definisi yang bulat, dengan analisis sejarah di atas, akan didapat pengertian khusus akan globalisasi. Secara umum globalisasi dipandang sebagai fenomena yang memberi kesadaran bahwa kita semua adalah bagian dari masyarakat global. Seperti yang diutarakan oleh Waters bahwa “Komponen penting definisi adalah gagasan atas intensifikasi kesadaran global dimana ini adalah sebuah fenomena baru.” Namun jika dilihat dari analisis sejarah yang disajikan di atas, globalisasi tidak sekedar interaksi dan komunikasi. Dalam globalisasi ini muncul pada kesadaran global, kesadaran yang menyokong adanya saling ketergantungan material yang sangat tinggi, kesadaran yang meningkatkan kemungkinan dunia akan diubah menjadi suatu sistem tunggal.”16 Sehingga globalisasi bukan hanya tumbuhnya kesadaran akan kesatuan global, namun munculnya suatu sistem tunggal. Sistem inilah yang akan mengontrol lokalitas agar tunduk atas kuasa global. Dalam makalah ini, globalisasi dipandang sebagai suatu fenomena di mana berbagai bangsa dan budaya saling berinteraksi, namun interaksi tersebut tidaklah dalam kedudukan yang setara. Globalisasi merupakan jalan untuk melakukan infiltrasi dan hegemoni oleh budaya yang dominan kepada budaya subordinat. Globalisasi adalah arena pertarungan antar budaya, budaya kuat melakukan hegemoni, budaya lokal melakukan resistensi. Karena globalisasi merupakan arena pertarungan, hal ini akan berdampak pada lokalitas dan nasionalisme suatu bangsa. Dengan adanya globalisasi, nasionalisme dan kedaulatan suatu bangsa diuji dan ditantang. Dalam konteks Indonesia, di era globalisasi, ketahanan nasional merupakan perisai untuk membendung pengaruh buruk dari berbagai ideologi dan budaya asing. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa akan berinteraksi dengan budaya dan ideologi asing. Di sinilah urgensi 16 Ibid. hlm. 205. [ 307 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi penghayatan nilai-nilai pancasila dalam berbagai ranah di mana arus global menggempur sendi kehidupan bangsa. Nasionalisme D iserang P enjajahan B ar u Diserang Penjajahan Bar aru Bahasa adalah instrumen penting dalam identitas nasional dan kebangsaan. Seperti kata pepatah bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Oleh karena itu, kebahasaan yang terbebas dari belenggu kolonial merupakan syarat mutlak untuk membentuk suatu negara yang berdaulat. Dalam fenomena kebahasaan di Indonesia, di mana imperialisme baru yang menumpang globalisasi mengikis kedaulatan bahasa, perlu adanya kajian untuk mempertahankannya. Dalam ketatanegaraan Indonesia, Pancasila adalah landasan dan pandangan hidup bangsa. Pancasila merupakan antitesis dari imperialisme dan kolonialisme yang terjadi selama 350 tahun di bumi nusantara. Karena posisi Pancasila sebagai filter ideologi luar dan penangkal kolonialisme, maka nilai-nilai luhur Pancasila perlu digali untuk menanggulangi fenomena penjajahan bahasa yang terjadi di Indonesia. Kedudukan P ancasila dalam M asyarakat IIndonesia ndonesia Pancasila Masyarakat Tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kali Bung Karno menyampaikan pidato yang monumental tentang Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang BPUPKI, pada hari itulah lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan nama Pancasila17. Pancasila lahir dari sebuah proses yang panjang dan melibatkan berbagai unsur dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Munculnya Pancasila merupakan suatu titik tolak dalam sejarah perjuangan bangsa. Pancasila dirumuskan untuk menjadi sebuah dasar negara, sebuah landasan bagi kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan. Pancasila merupakan sebuah penolakan atas imperialisme dan kolonialisme. Seperti yang diutarakan Hartati Soemasdi bahwa munculnya Pancasila dan negara adalah suatu sintesis dari pergulatan thesis-anthitesis yang ada pada zamannya18. Pancasila merupakan sebuah rumusan untuk melawan segala bentuk kolonialisme. 17 Pimpinan MPR, 2012, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR RI, hlm. 41. 18 Hartati Soemasdi, 1985, Pemikiran Tentang Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 35. [ 308 ] Wiwit Kurniawan Memang benar bahwa Soekarno adalah perumus Pancasila, namun beliau menolak untuk disebut sebagai pencipta Pancasila. Pancasila sudah ada sejak dahulu dalam jiwa bangsa Indonesia. Seperti yang diutarakan Soekarno dalam pidatonya “Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekedar memformuleerkan perasaan-perasaan yang ada dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan Pancasila19.” Sehingga, Pancasila adalah produk zaman, sebuah perjalanan panjang dan pengalaman yang dilalui bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap silanya merupakan kristalisasi berbagai kepribadian luhur bangsa Indonesia di berbagai wilayah dan zamannya. Kalau kita menggali jiwa bangsa Indonesia dari dahulu hingga sekarang, kita akan menemukan kelima unsur tersebut dalam jiwa bangsa Indonesia20. Pancasila bukan merupakan barang baru, namun sebuah ikhtisar kepribadian semua kebudayaan nusantara. Nilai-nilai luhur pancasila telah dan tengah ada dalam tiap-tiap kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang menjelma dalam berbagai nilai, aturan, adat-istiadat, hikayat dan nasehat. Implementasi P ancasila, M asih R elev ankah? Pancasila, Masih Relev elevankah? Walaupun Pancasila merupakan sebuah manifesto luhur bangsa, namun dalam masa Orde Baru Pancasila diselewengkan. Pancasila ditafsirkan oleh penguasa sesuai dengan kebutuhannya dan dipaksakan ke dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pasca runtuhnya rezim Soeharto, Pancasila seakan menjadi trauma tersendiri dalam masyarakat. Atas pengalaman tersebut, bukan berarti Pancasila harus terkubur bersama kelamnya masa lalu. Namun harus dihidupkan kembali sebagai jatidiri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Tafsir dan makna Pancasila tidak boleh dimonolopi oleh segelintir elit penguasa. Pancasila adalah milik sejarah dan rakyat Indonesia sepenuhnya. Di sanalah, di jiwa merekalah Pancasila bersemanyam. Bukan pada politikus, dewan perumus, atau akademikus. 19 20 Pimpinan MPR, supra note 17, hlm. 42. Rozali Abdullah, supra note 11, hlm. 5. [ 309 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Untuk menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai dasar dan penuntun kepribadian bangsa, Pancasila perlu di-dekonstruksi. Revitalisasi Pancasila adalah dengan melepaskannya dari segala belenggu penafsiran tunggal, menyerahkannya pada asalnya, dalam jiwa rakyat Indonesia. Seperti yang diutarakan oleh Soekarno bahwa “Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada lima perasaan21.” Maka untuk melakukan penghayatan akan Pancasila bukan dengan meletakannya sebagai postulat dan melakukan deduksi yang menghasilkan nilai praktis dari postulat tersebut, namun dengan menggali, mencari dan menghayati dalam kebudayaan, jiwa masyarakat dan konteks bangsa Indonesia nilai-nilai luhurnya, lalu merefleksikannya ke dalam setiap sila di Pancasila. Penghayatan Pancasila juga perlu mempertimbangkan setiap sila yang ada. Hal ini karena Pancasila merupakan sebuah keutuhan, setiap silanya saling mengunci. Seperti yang dikatakan Soemasdi bahwa ajaran Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat22. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa tidak berdiri sendiri, namun Ke-Tuhanan yang dimaksud terlingkupi oleh Kemanusiaan. Pemahaman menyeluruh atas setiap sila dan penghayatan dari bawah/ konteks masyarakat adalah kunci dalam menghidupkan kembali Pancasila sebagai jiwa bangsa. Dalam pengamalannya, Pancasila perlu ditransformasi menjadi tujuan hidup, tinjauan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup, dasar sikap hidup23. Pancasila sebagai pegangan hidup merupakan solusi atas berbagai persoalan bangsa. Di samping itu, pancasila merupakan sintesis dari dialektika perjuangan dan penjajahan. Oleh karena itu, dalam permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini yakni terkait imperialisme dan kolonialisme bahasa, Pancasila merupakan solusi yang tepat. Sebagai sebuah solusi, Pancasila perlu ditransformasi ke dalam nilai praktis sebagai panduan dalam menyelesaikan persoalan kedaulatan bahasa yang tengah kita hadapi. Dalam pengamalan Pancasila, perlu tekad yang bulat atau Ekaprasetya Pancakarsa. Ekaprasetya Pancakarsa berarti tekad yang bulat untuk 21 Pimpinan MPR, supra note 17, hlm. 42. Hartati Soemasdi, supra note 18, hlm. 35. 23 Ibid. hlm. 44. 22 [ 310 ] Wiwit Kurniawan melaksanakan lima kehendak.24 Tekad diperlukan untuk selalu berpegang pada jiwa dan kepribadian bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan. Penghayatan SSila-sila ila-sila P ancasila dalam Ranah K edaulatan Pancasila Kedaulatan Bahasa Pancasila harus dikemukakan isi dan artinya yang kontekstual sehingga nilainya bisa ditemukan dalam semua kebudayaan bangsa Indonesia. Pancasila yang terdiri dari lima sila masing-masing silanya adalah KeTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Dalam bagian ini penulis akan mencoba menggali dan menghayati berbagai nilainilai dalam kebudayaan bangsa dan mengawalinya dari persoalan secara kontekstual di masyarakat, setelah itu akan direfleksikan ke dalam nilainilai Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam real kondisi masyarakat akan digali sebagai suatu problem solving dalam menghadapi tantangan globalisasi dan imperialisme bahasa yang tengah dialami. Untuk menghadapi fenomena imperialisme bahasa, penulis akan menganalisa setiap sila dalam pancasila yang nanti akan dijadikan nilai rujukan dalam permasalahan kebahasaan kita. Sila yang paling utama sebagai rujukan adalah sila ke-3 dan ke-5, yakni Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ke-3 merupakan landasan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, hal ini relevan untuk acuan dalam kebahasaan di mana salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat pemersatu bangsa. Sila Keadilan sosial mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat adil dalam segala hal. Prinsip keadilan bisa digunakan sebagai landasan untuk bisa menempatkan segala sesuatu sebagaimana fungsi dan tempatnya. Seperti dalam hal kebahasaan, di mana perlu meletakkan dan menggunakan bahasa asing dan bahasa nasional sesuai fungsi dan kedudukannya. Dari analisa Pancasila ini lah akan diperoleh landasan etika dalam menghadapi persoalan imperialisme bahasa. Karena Pancasila merupakan sistem filsafat yang integral, maka setiap sila akan terpaut dengan sila yang lain. Dalam pembahasan ini penulis 24 Ibid. hlm. 64. [ 311 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi lebih menekankan sila ke-3 dan sila ke-5, namun akan tetap mengkorelasikan dengan sila-sila yang lain. Dengan pendekatan holistik ini, diharapkan Pancasila bisa menjadi sumber nilai bagi tantangan imperialisme bahasa dalam era globalisasi. Bahasa SSebagai ebagai P emersatu B angsa Pemersatu Bangsa Benedict Anderson mengatakan bahwa human language created possibility of a new form of immaged community.25 Hal ini menyimpulkan bahwa bahasa adalah unsur pemersatu dan pembentuk suatu bangsa. Oleh karena itu, kedaulatan bahasa adalah faktor penting dalam usaha menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Persatuan yang dimaksud adalah persatuan yang melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Seperti dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia sepakat untuk bersatu dengan tujuan melindung hak setiap rakyatnya dari segala bentuk penindasan. Seperti kata pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”. Sila Persatuan Indonesia mengajarkan bahwa bangsa Indonesia harus bangga dengan bahasa nasionalnya, karena bahasa Indonesia telah mempersatukan ribuan pulau yang ada di nusantara. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan bahasa nasional merupakan ancaman bagi persatuan. Kebanggaan berbahasa Indonesia bukan berarti pemaksaan penggunaannya dalam setiap percakapan dan kehidupan sehari-hari. Namun lebih pada saat penggunaan sesuai fungsinya dan dengan diiringi rasa bangga. Memposisikan secara biner bahasa nasional dan bahasa Inggris dan meletakkan bahasa Inggris di posisi yang lebih prestisius merupakan tanda kurangnya penghayatan akan nilai persatuan bangsa. Hal ini bukan berarti anti atau melarang apa yang serba asing, namun penghapusan mental terjajah atau mental inlander. Mental yang merasa rendah diri akan identitasnya, mental yang selalu silau dan takluk dengan tuan dan nyonya kompeni. Sebagai alat pemersatu bangsa, kedudukan bahasa Indonesia tidak bisa digantikan oleh bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Pancasila dalam 25 Benedict Anderson, 2006, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso Books, hlm. 59. [ 312 ] Wiwit Kurniawan sila ke-3 menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa persatuan tersebut, kedaulatan dan kestabilan negara akan sulit diraih. Karena bahasa nasional sebagai bahasa pemersatu sangat penting, maka tindakan fetisme bahasa Inggris dan memposisikan bahasa tersebut sebagai bahasa yang utama merupakan hal yang keliru. Keadilan dalam Berbahasa Pada Sila ke lima berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Secara umum, sila ini berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial dan budaya26. Keadilan adalah bersedia memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya27. Keadilan ini juga perlu diimplementasikan pada penutur bahasa dan ranah kebahasaan. Dalam masyarakat modern, meminjam istilah dari Phillipson, right of language atau hak berbahasa merupakan hak yang harus diakui dalam masyarakat demokrasi. Setiap orang berhak menggunakan bahasa aslinya tanpa intimidasi dan stereo typing. Bahasa adalah setara, konstitusi dan Pancasila tidak mengizinkan suatu bentuk bahasa digunakan untuk merendahkan atau mempertinggi kedudukan seseorang. Dalam masa kolonial, hak-hak kemanusiaan dan kesetaraan hanya diberikan kepada golongan orang Belanda dan kalangan ningrat. Setiap bangsa juga dikotakkan dengan hanya boleh menggunakan bahasanya sendiri. Bahasa Belanda diposisikan sebagai bahasa Tinggi yang boleh digunakan oleh kalangan atas. Pancasila yang mengandung nilai keadilan merupakan antithesis dari ketimpangan ini. Keadilan sosial masyarakat akan hak kesetaraan dan kemanusiaan harus dimiliki oleh setiap warga Indonesia. Tidak ada bahasa yang lebih tinggi derajatnya dari bahasa lain. Yang menentukan tinggi rendahnya seseorang bukan jenis bahasanya namun apa yang dibahasakan. Keadilan sosial dalam hal bahasa adalah menjunjung tinggi kedaulatan bahasa persatuan, memberikan hak yang sama bagi setiap warga untuk berbahasa. 26 27 Pimpinan MPR, supra note 17, hlm. 80. Hartati Soemasdi, supra note 18, hlm. 47. [ 313 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sila Keadilan sosial juga terpaut dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena keadilan akan saling beriringan dengan kemanusiaan dan keberadaban. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengantarkan kita akan sejarah kebudayaan nusantara yang beradab dan berkeadilan. Dalam konteks penjajahan bahasa, kita bisa mengambil hikmah bahwa tiap-tiap kebudayaan nusantara tidak pernah memaksakan suatu suku atau bangsa untuk menggunakan bahasa tertentu. Bahasa adalah ciri dan identitas kebangsaan. Oleh karena itu, kita harus menghargai seseorang atas pilihan bahasanya. Kita harus meletakkan bahasa asing/ Inggris sebagai mana mestinya. Bahasa asing sebagai sarana untuk berkomunikasi pada yang asing. Bukan untuk dipaksakan dalam kehidupan internal negara yang berdaulat. Hal ini juga tidak berarti melarang penggunaan bahasa Inggris, namun penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi dan kedudukannya. Penutup Sebagai pemersatu bangsa, bahasa Indonesia memiliki kedudukan penting. Dalam arus globalisasi yang membawa imperialisme dan kolonialisme bentuk baru dalam ranah bahasa, membuat kedaulatan bahasa di Indonesia menjadi goyah. Untuk meneguhkan kembali kedudukan bahasa Indonesia sebagai suatu kebanggaan dan identitas nasional, perlu adanya revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan perisai bangsa dalam menghadapi penetrasi negatif dari globalisasi. Dalam penghayatannya, Pancasila menyuguhkan suatu kesadaran bahwa dalam berbahasa hendaknya menjunjung tinggi prinsip keadilan, kemanusiaan, persamaan hak dan kesetaraan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan sebuah antitesis atas bentuk penjajahan bahasa yang membentuk hirarki yang timpang antara bahasa nasional dan bahasa asing. Prinsip yang bersumber dari Pancasila tersebut merupakan penawar atas problematika kebahasaan. Dengan kesetaraan dalam memandang bahasa asing dan kebanggaan atas bahasa nasional, bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang berdaulat sekaligus memiliki daya saing global. [ 314 ] Wiwit Kurniawan Referensi Abdullah, Rozali, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Jakarta: Rajawali Pers, 1993. Anderson, Benedict, Imagined communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso Books, 2006. Ariel Heryanto, Rubrik Asal-Usul, Kompas Cyber Media, 11 Maret 2007. Canagarajah, A. Suresh, ed., Reclaiming the Local in Language Policy and Practice, New York: Routledge, 2005. Lauder, Allan, “The status and function of English in Indonesia: A review of key factors”, Makara Hubs-Asia, volume 8, nomer 3, 2010. Mansyur, Syahruddin, “Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah dalam Jaringan Perdagangan Masa Kolonial di Maluku”, Kapita Arkeologi, volume 7, nomer 13, 2016. Mubah, A. Safril, “Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam Menghadapi Arus Globalisasi”, Jurnal Unair, volume 24, nomer 4, 2011. O’Rourke, Kevin H., Jeffrey G., Williamson, “When Did Globalisation Begin?”, European Review of Economic History, volume 6, nomer 1, 2002. Phillipson, Robert, Linguistic Imperialism, Oxford: Oxford University Press, 1992. Pimpinan MPR, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR RI, 2012. Said, Edward, Orientalism, New York: Penguin Books, 1978. Soemasdi, Hartati, Pemikiran tentang filsafat Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset, 1992. Sugiharto, Setiono, “Rethinking Globalization, Reclaiming the Local: A Post-Colonial Perspective of English Language Education in Indonesia”, The Indonesian Quarterly, volume 41, nomer 3, 2013. Sumarsono, Sosiolinguistik, Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2002. Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Waters, Malcolm, Globalization (2nd ed), New York: Routledge, 2001. [ 315 ] PANC A SIL A D AL AM ARUS LIBERALISA SI PANCA SILA DAL ALAM LIBERALISASI PANGAN PA SC AREFORMA SI PASC SCAREFORMA AREFORMASI Muhammad Bahrul Ulum P ancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum memiliki peran sentral di Indonesia, baik berkaitan dengan pembangunan sistem hukum maupun penataan kebijakan ekonomi nasional yang berlandaskan pada keadilan sosial. Amanat keadilan sosial tersebut tertuang di dalam prinsip kelima Pancasila dan diturunkan pada Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Keduanya memiliki esensi pengakuan hak dan kewajiban dalam distribusi kekayaan yang adil1 disertai peran negara sebagai pemilik kontrol kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan.2 Dengan peran kontrol dalam bidang ekonomi, negara bertanggung jawab melindungi hak asasi manusia, termasuk hak atas kesejahteraan bagi warga negaranya. Artinya, terdapat ikatan hak dan kewajiban, di mana hak yang diberikan kepada warga negara menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk melindungi dan memenuhinya. 1 2 Hingga kini masih belum terdapat kesepakatan makna keadilan sosial baik dalam lingkup Pancasila maupun secara umum. Ketidakadaan definisi baku menurut Michael Reisch disebabkan karena keadilan sosial tidak bersifat universal yang penerapannya cenderung menitikberatkan pada redistribusi ekonomi antarindividu. Michael Reisch, “Defining Social Justice in a Socially Unjust World” (2002) 83:4 Fam Soc J Contemp Soc Serv 343 hlm. 343. Meskipun demikian, pendapat John Rawls dapat menjadi rujukan makna keadilan sosial: “These principles are the principles of social justice: they provide a way of assigning rights and duties in the basic institutions of society and they define the appropriate distribution of the benefits and burdens of social cooperation.” John Rawls, A Theory of Justice, Rev. ed (Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 1999) hlm. 4. Dalam konteksnya, keadilan sosial memiliki hubungan erat dengan negara kesejahteraan dengan tujuan dasar guna mencapai persamaan ekonomi, sosial dan politik. S C Srivastava, Industrial Relations and Labour Laws, 6th Edition (Vikas Publishing House, 1990) hlm. 6. [ 317 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Hak dan kewajiban tersebut juga mengikat terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer warga negara, khususnya dalam bidang pangan. Selaras dengan itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menegaskan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan kebutuhan pangan sebagai kewajiban negara.3 Ketentuan ini menegaskan bahwa warga negara memiliki hak atas pangan dengan kewajiban negara untuk memenuhinyadalam serangkaian kebijakan pangan, mencakup kedaulatan pangan, kemandirian pangan maupun ketahanan pangan.4 Dalam sejarah Indonesia, pangan terus menjadi masalah pelik, khususnya sejak awal tahun 1990an. Permasalahan tersebut ditandai dengan semakin melambatnya perkembangan reformasi perdagangan dan diikuti dengan ekonomi Indonesia yang relatif terbuka sebagai akibat liberalisasi ekonomi.5 Liberalisasi ini menekankan efisiensi ekonomi yang membawa pengaruh terhadap sendi-sendi kebijakan pangan di Indonesia. Badan Usaha Logistik (Bulog) adalah salah satu objek eskperimen liberalisasi Indonesia dengan kritik institusional dan manajerial terkait dengan efektivitas dan efisiensinya sebagai lembaga stabilisasi harga pangan nasional.6 Akibat liberalisasi, negara harus menanggung biaya mahal dalam kebijakan pangan sebagai akibat pemberlakuan subsidi ekspor7 dalam 3 4 5 6 7 Pada awalnya, ketahanan pangan didefinisikan dengan ketersediaan pangan dalam skala nasional dan internasional. Pada 1980–1990, Indonesia mengadopsi kebijakan stabilisasi ketahanan pangan dalam tingkat nasional, namun setelah itu disadari bahwa ketersediaan pangan dalam skala nasional tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat individu dan rumah tangga. Karenanya, ketahanan pangan era formasi meliputi ketersediaan dan aksesbilitas pangan. I Wayan Rusastra, United Nations & Indonesia, eds, Food Security and Poverty in the Era of Decentralization in Indonesia, CAPSA working paper no. 102 (Bogor, Indonesia: [Jakarta]: United Nations ESCAP; Bureau of Planning, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, 2008) hlm. 1. Penyebutan ketiga istilah ini dikenal di dalam UU Pangan. Kedaulatan pangan dapat dimaknai sebagai hak negara dan bangsa untuk menentukan kebijakan pangannya secara mandiri, termasuk penentuan sistem pangan berdasarkan potensi sumber daya lokal oleh masyarakat. Kemandirian pangan terkait dengan produksi aneka pangan dalam negeri yang dilakukan oleh negara atau bangsa guna memastikan kecukupan kebutuhan pangan sampai tingkat perseorangan. Ketahanan pangan dapat dimaknai dengan keadaan terpenuhnya pangan sampai tingkat perseorangan dengan indikator ketersediaan pangan yang cukup dari sisi jumlah ataupun mutu, gizi, aman, merata dan terjangkau. M Chatib Basri & Arianto A Patunru, “Why Government Hurts the Poor? The Case of Indonesia’s Rice Protection” (2009) Universitas Indonesia, online: <http:// www.nottinghamenterprise. com/ gep/documents/conferences/2009/janconfmalaysia2009/basri-patunru-notingham.pdf> hlm. 1. Shahidur Rashid, Ashok Gulati & Ralph Waldo Cummings Jr, From Parastatals to Private Trade: Lessons from Asian Agriculture (Intl Food Policy Res Inst, 2008) hlm. 138. Asian Development Bank, Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and Rural Development (Asian Development Bank, 2006) hlm. 111. [ 318 ] Muhammad Bahrul Ulum perdagangan internasional. Dengan subsidi ekspor, komoditas pangan impor memiliki harga yang relatif murah sehingga merangsang importir untuk menikmati fasilitas itu.8 Konsekuensinya, kebijakan pangan nasional jatuh pada keadaan yang memprihatinkan dengan indikator tingginya Indonesia terhadap komoditas pangan impor.9 Ketergantungan terhadap impor terlihat pada sepanjang 1998–2001 yang menunjukkan impor beras mencapai 9% dari total konsumsi atau 18% dari total impor dunia.10 Kenyataan ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia.11 Dalam kurun JanuariNovember 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat impor Indonesia atas beras mencapai 1.2 ton dengan peningkatan impor sebesar 110.66% dari jumlah impor tahun sebelumnya. 12 Indonesia juga menggantungkan pasokan kedelai impor dari Amerika Serikat yang pada 2016 tercatat sebanyak 68% atau sekitar 1.8 juta ton.13 Naiknya Impor juga sempat diyakini dapat menjadi alternatif dalam stabilisasi harga cabai yang pada akhir 2016 mengalami kenaikan sangat tinggi.14 Kenyataankenyataan ini menegaskan bahwa impor cenderung dianggap sebagai alternatif penyelesaian daripada sebagai tantangan dan permasalahan pangan domestik guna terwujudnya kemandirian pangan. Ketergantungan Indonesia terhadap impor menjadi justifikasi buruknya potret ekonomi di tengah tatanan sistem hukum yang mengidealkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dalam konteks terbukanya Indonesia pada sistem ekonomi pasar, sistem ekonomi Pancasila 8 A Husni Malian, “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia” (2004) 2:2 J Analisis Kebijakan Pertanian, online: <http://pse.litbang.pertanian.go.id/ ind/pdffiles/ ART022a.pdf> hlm. 141. 9 George Fane & Peter Warr, “Agricultural Protection in Indonesia” (2008) 44:1 Bull Indones Econ Stud 133 hlm. 136. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Kompas Cyber Media, “Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta Ton”, online: KOMPAS.com <http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/29/202642826/impor.beras.ri.pada.2016. mencapai.1.2.juta.ton>. 13 Muhammad Idris, “Indonesia Negeri Tempe Tapi Impor Kedelai”, online: detikfinance <https:// finance.detik.com//d-3372130/indonesia-negeri-tempe-tapi -impor-kedelai>. 14 Liputan6com, “BPS: Pemerintah Bisa Buka Keran Impor untuk Turunkan Harga Cabai”, online: liputan6.com <http://bisnis.liputan6.com/read/2640655/bps-pemerintah-bisa-buka-keran-imporuntuk-turunkan-harga-cabai>. [ 319 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi mensyaratkan peran pemerintah sebagai pengendali kebijakan (ekonomi pasar terkendali).15 Dengan kata lain, di tengah arus globalisasi, fokus sistem ekonomi Pancasila bukan pada orientasi pasar, melainkan target produksi nasional guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya. 16 Ini sebagai konsekuensi bahwa Pancasila mengidealkan tatanan ekonomi yang dibangun atas kemandirian bangsa Indonesia sendiri. Artikel ini mendiskusikan kebijakan pangan di Indonesia pascareformasi yang memperhadapkan Pancasila dengan liberalisasi. Dalam konteks Pancasila, terdapat peran negara dalam sektor ekonomi guna memastikan terwujudnya kesejahteraan sosial sebagai amanat dari Prinsip kelima Pancasila. Bagian pertama mendiskusikan keberhasilan Soeharto berikut kegagalannya dalam menata kebijakan pangan menjelang era reformasi. Artikel ini juga menyikapi beberapa langkah liberalisasi sektor pertanian melalui Agreement on Agriculture (AoA) dalam kerangka World Trade Organization (WTO). Reformasi Bulog sebagai akibat dari krisis ekonomi 1997 akan menjadi fokus tantangan kebijakan pangan Indonesia pascareformasi. Pada bagian akhir, artikel ini menjelaskan urgensi revitalisasi parastatal di bidang pangan di tengah arus liberalisasi ekonomi, dengan fokus pada peran negara dalam bidang ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan sosial. Belajar dari Soeharto Sejak awal Pemerintahan, Soeharto menyadari peran penting kebijakan pangan guna mewujudkan kesejahteraan warga negaranya.17 Soeharto mencapai keberhasilan dalam mewujudkan Indonesia sebagai swasembada pangan18 di sektor beras pada tahun 1984.19 Namun, keberhasilan tersebut 15 Zainal Arifin Hosein, “Peran Negara Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan Menurut UUD 1945” (2017) 23:3 J Huk IUS QUIA IUSTUM 503 hlm. 519. 16 R William Liddle, “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections on a Recent Debate” (1982) 18:1 Bull Indones Econ Stud 96 hlm. 98. 17 Pada awal pemerintahan, Soeharto menyusun program prioritas stabilisasi ekonomi untuk mengatasi inflasi mencapai 600% pada 1965-1966. Pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi prioritas pembangunan, dengan tujuan menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga stabil dan kepentingan pemerintah dalam mengendalikan politik di pedesaan. Jullisar An-naf, “Tinjauan Analitis terhadap Model Pembangunan Indonesia” (2012) 2:01 J FISIP Kybernan, online: <http:/ /www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/kybernan/article/view/309> hlm. 67. 18 Pantjar Simatupang, Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional (2016) hlm. 7. Dalam World Food Summit, Presiden Soeharto menerima [ 320 ] Muhammad Bahrul Ulum tidak mampu bertahan secara berkelanjutan yang pada awal tahun 1990an terdapat penurunan produksi pangan yang menjadi indikator awal runtuhnya kebijakan pangan nasional.20 Karena, pengambil kebijakan saat ini perlu memperhatikan sejarah jatuh dan bangunnya kebijakan pangan era Soeharto dan menjadikannya sebagai pelajaran penting dalam menata kebijakan pangan ke depan. Dalam sejarahnya, keberhasilan Soeharto dalam menata kebijakan pangan dapat dilihat dari langkah reformis penataan kebijakan pangan domestik dengan pendirian lembaga quasi-pemerintah bernama Badan Urusan Logistik (Bulog). Dalam menjalankan tugasnya, Bulog diberikan kewenangan mengintervensi pasar dengan justifikasi kebijakan pangan satu pintu guna memastikan terwujudnya swasembada dan ketahanan pangan nasional.21 Dalam kerangka ini, Bulog bertanggung jawab dalam bentuk pengadaan dan pendistribusian komoditas tertentu dengan menerapkan harga dasar bagi produsen sehingga memberikan keuntungan bagi konsumen.22 Bulog juga melakukan distribusi pangan subsidi, khususnya beras, bagi warga negara miskin dan rentan secara ekonomi, serta menjaga dan mengatur persediaan beras nasional.23 Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan strategi Bulog dalam mewujudkan swasembada pangan di mana jaminan harga minimum diberikan kepada petani guna mengantisipasi pasar menentukan harga di bawah harga yang telah dijaminkan kepada petani.24 Karenanya, Bulog sebagailembaga tunggal di bidang pangan berperan strategis mencakup perlindungan para petani penghargaan atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada dari yang sebelumnya berstatus sebagai net importer. Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 138. 19 Disebutkan bahwa Indonesia dalam kurun 1981-1984 dapat meningkatkan produksi beras sebesar 16% yang menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras. David Dawe, “The Changing Structure of the World Rice Market, 1950–2000” (2002) 27:4 Food Policy 355 hlm. 358. 20 Faisal Kasryno et al, Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional (2016) Forum Penelitian Agro Ekonomi, hlm. 1. 21 Kelahiran Bulog diproyeksikan guna menjaga ketahanan pangan dan stabilisasi harga beras dan ketersediaan pangan bulanan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Militer. Jonatan Lassa, “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005” (2005) Jkt ZEF, online: <http://www.zef.de/uploads/tx_zefportal/ Publications/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20 Indonesia%201950-2005. pdf> hlm. 5. 22 Sachin Kumar Sharma, “Indonesia: Product Specific Support to Rice Under WTO” in WTO Food Security (Springer Singapore, 2016) 81 hlm. 83. 23 Ibid. 24 Ibid hlm. 84. [ 321 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dalam usaha produksi bahan pokok beras sekaligus penyediaan pangan domestik dengan harga nasional yang relatif stabil. Kesuksesan kebijakan politik ekonomi Soeharto dalam bidang pangan tidak terlepas dari implementasi kebijakan yang berdasarkan pada nilainilai Pancasila.25 Sesuai dengan prinsip keadilan sosial, Pancasila meyakini negara memiliki peran untuk mengurangi tingkat kesenjangan yang salah satunya diakibatkan oleh meluasnya liberalisasi dan berkembangnya perusahaan swasta.26 Di samping itu, keberhasilan juga disebabkan oleh sistem administrasi publik yang dapat berjalan cukup baik saat itu. Saat itu, Bulog memaksimalkan Koperasi Unit Desa (KUD) yang berperan mengumpulkan beras dari para petani kecil, khususnya pada masa panen.27 Terkait hal itu, terdapat sinergi antara dan Bulog hingga tingkat daerah. KUD turut bertugas mendistribusikan beras, Bulog baru melakukan impor dalam keadaan yang membutuhkan, khususnya pada masa tanam.28 Kebijakan ini berdampak positif dalam distribusi pangan sehingga dapat meningkatkan efisiensi yang berpengaruh pada harga pangan yang relatif lebih murah. Permasalahan muncul pada awal 1990an yang menjadi babak akhir kejayaan kedaulatan pangan nasional.29 Misalnya, untuk komoditas beras, produksi rata-rata adalah 1.3% yang tidak berbanding lurus dengan permintaan yang mencapai 2.3% per tahun.30 Sejak saat itu, Indonesia tidak lagi dapat memenuhi persediaan pangan hanya dengan mengandalkan pasokan domestik sehingga harus melakukan impor. Dalam perkembangannya, impor justru menjadi permasalahan serius bagi keberlangsungan Bulog. Ketergantungan impor memperhadapkan Bulog pada inefisiensi dalam manajemen internal dan stabilitas harga pangan. Inefisiensi muncul karena subsidi ekspor, berakibat pada murahnya harga barang impor dibandingkan dengan harga barang lokal, sehingga terdapat kenaikan biaya yang harus dikeluarkan oleh Bulog dalam stabilisasi 25 Armin Taubert, “Liberalism under Pressure in Indonesia” (1991) Southeast Asian Aff 122 hlm. 131. 26 Ibid. 27 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 140. 28 Ibid. 29 Kasryno et al, supra note 19 hlm. 1. 30 Ibid. [ 322 ] Muhammad Bahrul Ulum harga pangan.31 Inefisiensi juga dipengaruhi oleh praktik kepentingan antara elit politik dan aktor swasta yang membuat proses impor beras berjalan tidak transparan.32 Salim Group dan kroni-kroni Soeharto tercatat sebagai aktor yang mendominasi kegiatan impor beras dengan meraup keuntungan antara USD 10–15 untuk setiap ton.33 Buruknya manajemen dapat disimpulkan oleh laporan audit yang mencatat bahwa dalam kurun 1993-1998 Bulog mencatatkan inefisiensi sekitar Rp 6.7 triliun atau USD 400 miliar per tahun.34 Keadaan ini menjadi titik tolak perubahan kebijakan Pemerintah atas kebijakan yang sebelumnya telah diambil dan diyakini berjalan efektif. Selanjutnya, muncul gagasan tentang evaluasi pentingnya kelembagaan dan efektivitas Bulog dengan alasan keadaan fiskal yg berat yang dihadapi oleh Pemerintah.35 Sejak itu, peran kontrol negara atas sektor pertanian secara mulai dilepaskan secara berangsur-angsur melalui liberalisasi dan deregulasi. Liberalisasi SSektor ektor P er tanian Per ertanian Dengan memperhatikan kendala Indonesia dalam mewujudkan swasembada beras pada awal 1990an,36 situasi ekonomi internasional juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada akhir abad ke-20. Khususnya, saat dimulainya liberalisasi perdagangan di bawah payung World Trade Organization (WTO) yang secara efektif beroperasi awal 1995. WTO sebagai organisasi perdagangan internasional hadir dengan sistem perdagangan baru yang berpengaruh pada pola hubungan ekonomi antarnegara.37 31 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 141. Ibid hlm. 144. 33 Pengadaan impor melibatkan kerja sama 12 konglomerat yang telah mendapatkan persetujuan khusus dari Bulog dalam melakukan impor beras yang mana setengah dari perusahaan tersebut memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kroni Soeharto. Ibid. 34 Inefisiensi Bulog terkait pengaruh kegiatannya yang mencakup sektor swasta, akibat dari perdagangan tidak fair sehingga menghasilkan kerugian mencapai sekitar Rp 2.6 triliun. Ibid hlm. 145. 35 Hitoshi Yonekura, “Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector: The Transformation of Bulog into a Public Corporation” (2005) 43:1 Dev Econ 121 hlm. 123. 36 Disebutkan juga bahwa periode 1989-1991, Indonesia justru masih tercatat sebagai net exporter. Budi Winarno, Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses dan Studi Kasus Komparatif (Center for Academic Publishing Service, 2016) hlm. 236. 37 Matthias Herdegen, Principles of International Economic Law (OUP Oxford, 2013) hlm. 178. 32 [ 323 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Indonesia bergabung pada WTO dengan mengesahkan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (UU WTO). Pengesahan UU WTO memiliki implikasi pada persetujuan Indonesia untuk mengadopsi sistem perdagangan yang disusun oleh WTO di mana Pemerintah wajib memastikan kesesuaian hukum, peraturan dan prosedur administrasi dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian WTO.38 Dengan kata lain, Indonesia telah menyepakati setiap hukum yang dikeluarkan oleh WTO dan diadopsi sistem dalam hukum nasionalnya. Salah satu hukum WTO tersebut adalah Agreement on Agriculture (AoA) yang saat ini menjadi landasan utama Pemerintah Indonesia dalam melangsungkan liberalisasi sektor pertanian melalui perdagangan internasional di bidang pangan.39 Adapun kewajiban Indonesia atas AoA adalah menyelaraskan kebijakan domestiknya dengan aturan internasional dengan alasan guna mendorong pertumbuhan sektor pertanian dalam bentuk liberalisasi. Selanjutnya, liberalisasi menggeser kebijakan ekonomi nasional menuju aturan global yang mendukung mekanisme pasar dan menghapus hambatan perdagangan. 40 Ini berarti bahwa Pemerintah harus membuka pasar domestiknya dan Indonesia menjadi bagian dari persaingan usaha internasional.41 Terbukanya pasar membawa akibat pada beragamnya barang impor yang dapat dengan mudah masuk pada pasar domestik dengan harga yang relatif murah,42 namun tidak stabil.43 Dalam batas tertentu, perdagangan internasional dapat meningkatkan kesejahteraan dan dapat merusak pasar domestik yang berujung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat suatu negara. 38 Gregory Messenger, The Development of World Trade Organization Law: Examining Change in International Law (Oxford University Press, 2016) hlm. 75. 39 Dewa Swastika & Sri Nuryanti, “The Implementation of Trade Liberalization in Indonesia” (2006) 4:4 Anal Kebijak Pertan 257 hlm. 257. 40 Peter Rosset, Food Is Different: Why We Must Get the WTO out of Agriculture, Global issues (Black Point, N.S: Fernwood Pub, 2006) hlm. 4. 41 Ibid hlm. 17. 42 Ibid. 43 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 152. [ 324 ] Muhammad Bahrul Ulum Salah satu alasan perdebatan dalam perdagangan internasional dalam bidang pertanian44 adalah diberikannya kesempatan bagi pengekspor untuk menerapkan subsidi ekspor.45 Subsidi ekspor memungkinkan negara eksportir memberikan subsidi perdagangannya yang menjadikan harga barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan harga normal atau harga domestik.46 Harga pangan impor yang lebih murah ini selanjutnya memiliki dampak negatif pada harga pangan lokal yang menjadi relatif mahal dalam pasar domestik. Karenanya, penting untuk mengantisipasi ketergantungan Indonesia terhadap impor dalam mewujudkan ketahananan pangan dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Fenomena ini juga menjadi alasan yang mendasar untuk menguatkan kembali peran negara dalam mengontrol kebijakan sektor pangan. Jika tidak, Indonesia akan tetap memiliki kecenderungan yang tinggi bergantung pada impor. Keadaan ini akan mendistorsi pasar dan dengan mudah mematikan persaingan usaha dan harga domestik. Kondisi ini juga menyebabkan kerugian bagi para pelaku produksi pertanian dalam negeri, khususnya petani kecil. Hal ini mengingat bahwa subsidi ekspor mempengaruhi penurunan harga pangan tingkat domestik sehingga produk pertanian petani lokal tidak dapat bersaing dalam pasar. Misalnya, petani Indonesia harus menanggung rugi karena pasokan kedelai dari Amerika Serikat yang menerapkan subsidi ekspor yang berpengaruh pada matinya petani kedelai lokal dan semakin meningkatnya ketergantungan Indonesia pada pasar kedelai dari Amerika Serikat.47 Pada periode Abdurrahman Wahid, Pemerintah telah mencoba mengeluarkan kebijakan tarif impor sebesar 30% dari harga dunia guna memberikan perlindungan terhadap petani kecil akibat murahnya pangan 44 Berdasarkan AoA, setiap negara diharuskan menurunkan secara bertahap mencakup segala jenis proteksi perdagangan, subsidi maupun hambatan non-tarif. Namun demikian, banyak negara maju masih melakukan perlindungan terhadap petani melalui subsidi petani dan dukungan pasar yang berakibat pada ketimpangan terhadap negara berkembang dalam sektor pertanian mikronya. Swastika & Nuryanti, supra note 38 hlm. 257. 45 Kym Anderson & Will Martin, eds, Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda (Washington, DC: Palgrave Macmillan/World Bank, 2006) hlm. 197. 46 Asian Development Bank, supra note 7 hlm. 112. 47 Michael Agustinus, “WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak Bagi RI”, online: detikfinance <https://finance.detik.com//d-3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-produk-pertanianini-dampak-bagi-ri>. [ 325 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi impor.48 Namun, sekali lagi, perdagangan bebas menyediakan ragam harga pangan dunia sebagai pengaruh dari ketidakstabilan harga dunia49 diikuti dengan hapusnya monopoli negara dalam kegiatan ekspor-impor. Ketidakstabilan ini turut membawa dampak langsung terhadap pasar lokal dan meyebabkan ketidakstabilan harga pangan di Indonesia.50 Terhadap ketidakstabilan harga pangan tersebut, juga telah melahirkan perbedaan pandangan. Pada satu sisi, dikatakan bahwa ketidakstabilan harga disebabkan oleh liberalisasi pangan dan pada sisi lain disebutkan hal itu disebabkan oleh kebijakan harga pangan dan kebijakan pertanian nasional yang sering berubah-ubah.51 Terlepas dari perdebatan, kedua sudut pandang tersebut sekiranya perlu menjadi fokus pemerintah guna mendeteksi permasalahan mendasar dalam sektor pangan. Pengalaman ini penting menjadi refleksi bersama guna mempertahankan sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila guna memastikan keseimbangan harga pangan domestik yang relatif murah dan stabil, bukan bergantung pada impor. Dalam upaya mewujudkannya, Pemerintah perlu lebih serius dalam meningkatkan dukungan terhadap sektor pertanian lokal dan distribusi hasil pertanian. Peningkatan dukungan dilakukan karena perubahan ekonomi global yang perlu pula disikapi Pemerintah dengan perubahan kebijakan tingkat domestik. Kebijakan tersebut harus mampu beradaptasi dengan realitas global namun tetap berorientasi pada peran negara sehingga terwujud kemandirian pangan. Misalnya, Pemerintah melakukan kebijakan keunggulan komparatif atas salah satu komoditas pangan guna mengatasi keterbatasan pangan yang berujung pada impor. Diversifikasi pangan juga perlu dilakukan guna menekan tingginya konsumsi warga negara terhadap beberapa komoditas pangan tertentu, seperti beras dan kedelai. Sekiranya Pemerintah perlu menjadikan pengalaman awal 1990an sebagai referensi penting dalam penataan kebijakan dan kelembagaan pangan nasional. Indonesia perlu kembali mendasarkan kebijakan pangannya berlandaskan Pancasila, bukan sebaliknya menyimpangi 48 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 151. Ibid hlm. 152. 50 Ibid. 51 Ibid. 49 [ 326 ] Muhammad Bahrul Ulum Pancasila dan menjunjung liberalisasi. Dengan melihat perubahan konfigurasi ekonomi global, Indonesia perlu mengadaptasikan pola liberalisasi dengan sistem ekonomi Pancasila Pancasila dengan meminimalkan gesekan dan pertentangan antara keduanya. Hal demikian karena sistem ekonomi Pancasila memungkinkan terbuka dengan perubahan konfigurasi pasar dan negara memiliki hak untuk mengatur urusan domestiknya sebagai bagian dari tanggung jawab hak asasi manusia. Dengan kata lain, ini memungkinkan Pemerintah menekan dampak negatif liberalisasi dengan memaksimalkan peran kendali pemerintah dalam urusan pangan sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Bentuk perlindungan Pemerintah dapat dilakukan dengan dukungan petani domestik. Dukungan ini memungkinkan pemajuan produksi pangan lokal dan meningkatkan daya saing dalam taraf internasional. Karenanya, diskusi mengenai Pancasila dengan tujuan menyeimbangkan antara peran negara dan peran pasar tidak perlu terlalu dipertentangkan dengan liberalisasi yang mengendaki kebebasan pasar dengan peran negara yang sangat minimal.52 Selain itu, guna perlindungan hak atas warga negara, diperlukan peran lembaga quasi-pemerintah yang kuat seperti kinerja Bulog pada masa swasembada pangan. Peran Bulog saat itu lazim dikenal dengan parastatal. Parastatal pangan selanjutnya memainkan peran strategis kebijakan pangan, termasuk memastikan impor pangan yang dapat berjalan dalam satu pintu di bawahnya. Parastatal sebagai lembaga quasi-pemerintah yang bertanggung jawab menjalankan aktivitas perdagangan publik di bidang pangan memiliki peran dalam stabilisasi harga komoditas pertanian.53 Dengan peran ini, parastatal dapat memastikan harga dasar bagi petani dan harga maksimum bagi konsumen.54 Lembaga ini juga bertugas mengendalikan kegiatan ekspor dan impor dalam sektor pangan.55 Ini menegaskan bahwa kehadiran parastatal memungkinkan peran sentral negara dalam perdagangan pangan guna memastikan stabilitas dan distribusi pangan dalam tingkat domestik berjalan dengan baik. 52 Murray N Rothbard, Man, Economy, and State with Power and Market, Scholar’s Edition (Ludwig von Mises Institute, 2004) hlm. 1238. 53 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 3. 54 Ibid. 55 Ibid. [ 327 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kehadirannya juga sebagai implementasi dari sistem ekonomi Pancasila yang memungkinkan stabilnya ekonomi pasar dengan melibatkan peran negara dalam kegiatan ekonomi. Melalui parastatal, impor dapat dilakukan sebagai upaya stabilisasi harga, bukan karena atas dasar harga pangan impor yang jauh lebih murah daripada harga domestik. Peran sentral parastatal seperti ini dapat dimaknai sebagai implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan kontrol negara atas kegiatan ekonomi guna melindungi masyarakat secara kolektif. Dengan kata lain, bumi dan kekayaan yang terdapat di dalamnya harus berada dalam kontrol negara, mencakup bidang pangan. Melalui peran negara, ini memungkinkan distribusi pangan dapat berjalan dalam kendali Pemerintah sehingga dapat melindungi kepentingan dan kesejahteraan petani yang rentan akan dampak liberalisasi perdagangan. Ini juga memiliki dampak positif pada peningkatan produksi pertanian oleh petani lokal karena harga jual hasil pertaniannya relatif stabil. Peran negara melalui parastatal ini menjadi justifikasi wujud dari keadilan sosial dan cerminan Prinsip kelima Pancasila. Hal demikian disebabkan oleh peran parastatal yang memungkinkan distribusi pangan dilaksanakan secara terpadu sehingga masyarakat dapat mengaksesnya dengan baik. Aspek ini menjadi titik penting di mana distribusi yang baik dapat mendukung akses hak atas pangan yang lebih baik. Senada dengan Amartya Sen, disebutkan bahwa permasalahan pangan tidak hanya terkait dengan produksi atau ketersediaan pangan, tetapi juga faktor distribusi atas kepemilikan pangan; kendala akses pangan terkait dengan lemahnya kepemilikan pangan dalam tingkat rumah tangga atau individu dan kelompok yang lebih kaya dapat membeli pangan lebih banyak.56 Ini menyebabkan kenaikan harga pangan dan memperburuk pertukaran hak, berakibat pada menurunnya akses pangan oleh masyarakat.57 Sayangnya, memasuki era reformasi, Bulog sebagai parastatal telah dilumpuhkan secara sistematis baik secara fungsional maupun institusional. Secara fungsional, saat ini Bulog tidak lagi berwenang dalam mengontrol 56 Amartya Sen, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (Oxford: New York: Clarendon Press; Oxford University Press, 1981) hlm. 4. 57 Ibid. [ 328 ] Muhammad Bahrul Ulum harga pangan. Secara institusional, sejak 2003, Bulog telah berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan kata lain, Bulog yang seharusnya diperkuat sebagai parastatal yang siap menghadapi liberalisasi, justru ditundukkan terhadap liberalisasi yang berujung pada perubahan status Bulog sebagai BUMN. Bulog dalam P usaran Liberalisasi Pusaran Selain alasan sistem ekonomi nasional yang relatif terbuka pada awal 1990an, Bulog juga dihadapkan dengan tantangan transparansi dan efisiensi pengelolaan pangan.58 Kenaikan permintaan beras terhadap produksi yang hanya mampu mencapai setengah dari rata-rata permintaan,59 juga menjadi permasalahan serius kebijakan pangan nasional yang menjadikan Indonesia sebagai net importer sejak 1994.60 Indonesia juga dihadapkan dengan krisis ekonomi 1998 yang selanjutnya mendorong Pemerintah berinisiatif mendapatkan fasilitas pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).61 Dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) oleh Pemerintah, keberlangsungan peran sentral Bulog harus terhenti. LoI tersebut mensyaratkan penghapusan monopoli impor beras oleh Bulog.62 IMF menganggap bahwa upaya untuk mengatasi krisis perlu dilakukan dengan deregulasi, termasuk penghapusan monopoli sektor pangan oleh Bulog.63 Dengan kata lain, stabilitas dan efisiensi ekonomi pasar akan tercapai apabila dihapuskannya kewenangan monopoli pangan di Indonesia.64 Persetujuan permohonan bantuan yang dituangkan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP)65 menyebabkan intervensi pasar atas beberapa 58 Basri & Patunru, supra note 5 hlm. 1. Kasryno et al, supra note 19 hlm. 1. 60 Budi Winarno, supra note 35 hlm. 236. 61 Dalam kurun 1997–2001, terdapat tujuh LoI yang telah disetujui antara IMF dan Indonesia. Tiga LoI pada periode Soeharto, delapan pada periode B.J. Habibie, empat pada periode Abdurrahman Wahid dan satu pada periode Megawati. Daljit Singh & Chin Kin Wah, Southeast Asian Affairs 2004 (Institute of Southeast Asian Studies, 2004) hlm. 197. 62 Dalam kurun 1997–2001, terdapat tujuh LoI yang telah disetujui antara IMF dan Indonesia. Tiga LoI pada periode Soeharto, delapan pada periode B.J. Habibie, empat pada periode Abdurrahman Wahid dan satu pada periode Megawati. Ibid. 63 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 148. 64 Yonekura, supra note 34 hlm. 124. 65 Budi Winarno, supra note 35 hlm. 341. 59 [ 329 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi komoditas pangan oleh Pemerintah dihentikan dan sebagai gantinya adalah liberalisasi impor.66 Konsekuensinya, Bulog tidak lagi sebagai agen tunggal yang dapat memonopoli pangan termasuk dalam hal kebijakan impor. Dengan kata lain, perjanjian tersebut telah membawa tekanan kebijakan terhadap Bulog sebagai state trading enterprise67 yang seharusnya berperan mengontrol stabilitas harga pangan.68 Sejak itu, status state trading enterprise tidak lagi melekat pada Bulog dan Indonesia tidak lagi memiliki lembaga parastatal. Sebagai akibat dari MEFP, Bulog mengalami proses transisi dengan tuntutan transformasi Bulog menjadi lebih transparan dan akuntabel.69 Dalam menyikapi hal tersebut, kewenangan Bulog secara bertahap dipangkas. Melalui Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1997, ditentukan bahwa Bulog terbatas hanya mengelola komoditas beras dan gula pasir. Selanjutnya, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 yang berisi pemangkasan kewenangan Bulog menjadi hanya mengelola komoditas beras, sedangkan komoditas lain diserahkan pada mekanisme pasar. Tindakan ini dibuat dengan alasan mengefektifkan Bulog dalam mengelola persediaan bahan pangan pokok serta memperlancar sirkulasi barang, meskipun dengan mereduksi pengelolaan komoditas lain oleh Bulog.70 Melalui Keputusan Presiden 29 Tahun 2000, Bulog didorong menjadi lembaga yang lebih mandiri. Setelah itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 yang mengubah status Bulog dari Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum). Status ini menegaskan bahwa Bulog telah bertransformasi sepenuhnya menjadi BUMN, dengan implikasi bahwa Bulog tidak lagi bertindak sebagai lembaga negara, melainkan sebagai pelaku pasar. Dengan 66 M Chatib Basri & Hal Hill, “Indonesia - Trade Policy Review 2007” (2008) 31:11 World Econ 1393 hlm. 1405. 67 Ian Gillson & Amir Fouad, eds, Trade Policy and Food Security: Improving Access to Food in Developing Countries in the Wake of High World Prices (The World Bank, 2014) hlm. 19. 68 Daan Marks, “Unity or Diversity? Market Integration and Long-run Economic Growth in Indonesia” (2008), online: <https://pdfs.semanticscholar.org/2253/d2b8d140eabcf5418c7 f9181a58e28fd210f.pdf> hlm. 12. 69 Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 138. 70 Alasan ini termuat dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1995 tentang Bulog sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997. [ 330 ] Muhammad Bahrul Ulum kata lain, di samping bertugas menyediakan barang dan jasa publik guna melayani masyarakat, Bulog juga bertindak pelaku pasar bersama dengan pelaku swasta lain yang menikmati liberalisasi pangan. Transformasi Bulog dari lembaga pemerintah menjadi BUMN adalah potret liberalisasi telah memasuki aspek kelembagaan, tidak hanya aspek kebijakan impor sebagaimana implikasi bergabungnya Indonesia ke dalam WTO. Dalam aspek kelembagaan, peran strategis Bulog sebagai parastatal di bidang pangan dipangkas sehingga tidak lagi memiliki kedudukan penting dalam kebijakan pangan. Ini juga menegaskan bahwa negara telah kehilangan peran kontrol strategis atas kebijakan pangan, seperti pelaksanaan kegiatan impor pangan yang diserahkan pada mekanisme pasar. Minimnya peran negara dalam mengontrol kebijakan pangan mengakibatkan mengikuti mekanisme liberalisasi, daripada mempertahankan sistem ekonomi Pancasila. Mungkinkah P arastatal H idup K embali? Parastatal Hidup Kembali? Dengan menyandang status Perum, dapat dikatakan bahwa keberadaan Bulog seperti ketidakberadaannya. Dalam batas tertentu, Bulog hanya berwenang melakukan menyediakan komoditas pangan dan melaksanakan usaha sebagai konsekuensi dari status BUMN, tanpa kewenangan mengontrol stabilisasi harga pangan dalam tingkat regulasi. Misalnya, untuk mengatasi lonjakan harga beras, stabilisasi yang dapat dilakukan Bulog adalah mengadakan operasi pasar seperti membagikan beras miskin (Raskin)71 kepada pihak-pihak yang terdampak langsung dari kenaikan harga.72 Kenyataan demikian menegaskan bahwa Bulog tidak lagi memiliki peran penting dalam kebijakan pangan, karena kewenangan kebijakan pangan tersebar di beberapa kementerian seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Tersebarnya kewenangan di berbagai instansi tersebut mengakibatkan ketidakpaduan kebijakan pagan, seperti data pangan nasional yang memengaruhi buruknya manajemen impor pangan 71 72 Perum BULOG, “Sekilas RASKIN”, online: <http://www.bulog.co.id/sekilas_raskin.php>. Tribun Jogja “Bulog DIY Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Beras”, online: Trib Jogja <http://jogja.tribunnews.com/2015/01/06/bulog-diy-gelar-operasi-pasar-untuk-stabilkan-hargaberas>. [ 331 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Indonesia.73 Karenanya, Indonesia membutuhkan alternatif dari sisi kelembagaan guna memastikan kebijakan pangan dapat berjalan secara terpadu. Dengan mengingat Indonesia telah terlepas dari LoI dengan IMF,74 reformasi Bulog sebagai lembaga parastatal dengan peran state trading enterprise sangat mungkin dilakukan75 atau dengan mendirikan parastatal baru yang dapat bersinergi dengan Bulog sebagai BUMN. Selaras dengan itu, Undang-Undang 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) memandang penting untuk mengangkat kembali peran sentral lembaga parastatal di bidang pangan. Disebutkan bahwa parastatal tersebut memiliki tugas untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan dalam skala nasional. Bab XII tentang kelembagaan pangan menyebutkan pentingnya pembentukan lembaga Pemerintah di bidang pangan dengan kedudukan di bawah Presiden dan pertanggungjawaban kepada Presiden. Lembaga ini juga dapat mengusulkan kepada Presiden dalam penugasan khusus kepada BUMN di bidang pangan guna melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan maupun distribusi pangan pokok dan pangan lainnya. Dalam reformasi institusional pangan, pembentukan parastatal baru juga perlu memperhatikan runtuhnya Bulog dalam mewujudkan swasembada pangan pada awal 1990an.76 Disebutkan bahwa jatuhnya fungsi parastatal Bulog tidak lepas dari aktor swasta terhadap Bulog dalam kegiatan impor yang memiliki keterkaitan dengan Soeharto dan kronikroninya. Mempertimbangkan permasalahan utama yang dihadapi oleh Bulog adalah transparasi dan efisiensi, penyelesaian yang harus ditempuh ke depan dalam lembaga pangan adalah perbaikan tata kelola dan prosedur administrasi yang baik (good governance). 73 Pewarta: Ade Junida, “APINDO Persoalkan Ketidaksamaan Data Pangan Nasional”, online: Antara News <http://www.antaranews.com/berita/565581/apindo-persoalkan-ketidaksamaan-data-pangannasional>. 74 Detikcom, “Akhirnya! RI Lepas dari Utang IMF”, online: detikfinance <https://finance.detik.com/ / d-2716821/akhirnya-ri-lepas-dari-utang-imf>. 75 Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1969 tentang Struktur Organisasi serta Tugas Pokok dan Fungsi Badan Urusan Logistik. 76 Budi Winarno, supra note 35 hlm. 326. [ 332 ] Muhammad Bahrul Ulum Penutup Dalam era liberalisasi saat ini, kebijakan pangan Indonesia perlu kembali bertumpu pada Pancasila. Upaya perlindungan dan pemenuhan warga negara atas hak pangan perlu diwujudkan Pemerintah dengan memperkuat peran negara sebagai implementasi dari sistem ekonomi Pancasila. Sistem ini menginginkan peran negara sebagai pengendali kebijakan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial. Peran ini menjadi penting saat Indonesia mengintegrasikan diri dengan sistem ekonomi global; Indonesia harus memperkuat sistem pangan nasional dan beradaptasi dengan ekonomi pasar guna meningkatkan produktivitas dan daya saing lokal dalam mewujudkan swasembada pangan. Melalui cara ini, Pemerintah berperan dalam mengurangi tingkat kesenjangan kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan sekaligus bentuk dari keadilan sosial. Sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial, Indonesia pada era pascareformasi ini perlu merevitalisasi kebijakan pangan. Revitalisasi dapat dilakukan dengan menghidupkan kembali lembaga pangan dalam satu pintu dalam rangka mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan. Hal demikian mengingat bahwa Indonesia sebagai negara agraris yang kenyataannya justru menggantungkan kebutuhan pangan dari impor. Setelah lunasnya hutang Indonesia kepada IMF, terdapat urgensi tentang pentingnya membangun kembali kedaulatan dan kemandirian pangan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi parastatal atau membangun parastatal baru. Komitmen tersebut tertuang dalam Pasal 126 UU Pangan yang mengamanatkan tentang pendirian kelembagaan pangan dengan karakter parastatal. Sayangnya, komitmen pendirian kelembagaan tersebut hingga kini belum dilakukan hingga dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres). Kelak, Perpres yang mengatur organisasi dan tata kelola lembaga pangan tersebut perlu memperhatikan aspek efisiensi, transparasi dan transparansi publik yang merupakan implementasi dari good governance. Aspek ini menjadi penting agar pengalaman jatuhnya fungsi Bulog tidak terjadi kembali pada kelembagaan pangan yang baru nanti. [ 333 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Daftar P ustaka Pustaka Anderson, Kym & Will Martin, eds. Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda (Washington, DC: Palgrave Macmillan/World Bank, 2006). Asian Development Bank. Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and Rural Development (Asian Development Bank, 2006). Budi Winarno. Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses dan Studi Kasus Komparatif (Center for Academic Publishing Service, 2016). Gillson, Ian & Amir Fouad, eds. Trade Policy and Food Security: Improving Access to Food in Developing Countries in the Wake of High World Prices (The World Bank, 2014). Herdegen, Matthias. Principles of International Economic Law (OUP Oxford, 2013). Messenger, Gregory. The Development of World Trade Organization Law: Examining Change in International Law (Oxford University Press, 2016). Rashid, Shahidur, Ashok Gulati & Ralph Waldo Cummings Jr. From Parastatals to Private Trade: Lessons from Asian Agriculture (Intl Food Policy Res Inst, 2008). Rawls, John. A Theory of Justice, Rev. ed (Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 1999). Rosset, Peter. Food Is Different: Why We Must Get the WTO out of Agriculture, Global issues (Black Point, N.S: Fernwood Pub, 2006). Rothbard, Murray N. Man, Economy, and State with Power and Market, Scholar’s Edition (Ludwig von Mises Institute, 2004). Rusastra, I Wayan, United Nations & Indonesia, eds. Food Security and Poverty in the Era of Decentralization in Indonesia, CAPSA working paper no. 102 (Bogor, Indonesia: [Jakarta]: United Nations ESCAP; Bureau of Planning, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, 2008). Sen, Amartya. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (Oxford: New York: Clarendon Press; Oxford University Press, 1981). Singh, Daljit & Chin Kin Wah. Southeast Asian Affairs 2004 (Institute of Southeast Asian Studies, 2004). [ 334 ] Muhammad Bahrul Ulum Srivastava, S C. Industrial Relations and Labour Laws, 6th Edition (Vikas Publishing House, 1990). A Husni Malian. “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia” (2004) 2:2 J Anal Kebijak Pertan, online: <http:// pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-2a.pdf>. An-naf, Jullisar. “Tinjauan Analitis terhadap Model Pembangunan Indonesia” (2012) 2:01 J FISIP Kybernan, online: <http://www. ejournal-unisma.net/ojs/ index.php/kybernan/article/view/309>. Basri, M Chatib & Hal Hill. “Indonesia-Trade Policy Review 2007” (2008) 31:11 World Econ 1393. Basri, M Chatib & Arianto A Patunru. “Why Government Hurts the Poor? The Case of Indonesia’s Rice Protection” (2009) Univ Indones, online: <http://www.nottinghamenterprise.com/gep/documents/ conferences/2009/janconfmalaysia2009/basri-patunrunotingham.pdf>. Dawe, David. “The Changing Structure of the World Rice Market, 1950– 2000” (2002) 27:4 Food Policy 355. Fane, George & Peter Warr. “Agricultural Protection in Indonesia” (2008) 44:1 Bull Indones Econ Stud 133. Hosein, Zainal Arifin. “Peran Negara dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan Menurut UUD 1945” (2017) 23:3 J Huk IUS QUIA IUSTUM 503. Lassa, Jonatan. “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005” (2005) Jkt ZEF, online: <http://www.zef.de/uploads/tx_zefportal/Publications/3ddf_Politik %20Ketahanan%20Pangan%20 Indonesia%201950-2005.pdf>. Liddle, R William. “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections on a Recent Debate” (1982) 18:1 Bull Indones Econ Stud 96. Marks, Daan. “Unity or Diversity? Market Integration and Long-run Economic Growth in Indonesia” (2008), online: <https:// pdfs.semanticscholar.org/ 2253/d2b8d140eabcf5418c7f9181a 58e28fd210f.pdf>. Sharma, Sachin Kumar. “Indonesia: Product Specific Support to Rice Under WTO” in WTO Food Security (Springer Singapore, 2016) 81. Swastika, Dewa & Sri Nuryanti. “The Implementation of Trade Liberalization in Indonesia” (2006) 4:4 Anal Kebijak Pertan 257. Taubert, Armin. “Liberalism under Pressure in Indonesia” (1991) Southeast Asian Aff 122. [ 335 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Yonekura, Hitoshi. “Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector: The Transformation of Bulog into a Public Corporation” (2005) 43:1 Dev Econ 121. Agustinus, Michael. “WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak Bagi RI”, online: detikfinance <https://finance.detik. com//d-3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-produk-pertanianini-dampak-bagi-ri>. Detikcom. “Akhirnya! RI Lepas dari Utang IMF”, online: detikfinance <https://finance.detik.com//d-2716821/akhirnya-ri-lepas-dariutang-imf>. Idris, Muhammad. “Indonesia Negeri Tempe Tapi Impor Kedelai”, online: detikfinance <https://finance.detik.com//d-3372130/indonesianegeri-tempe-tapi-impor-kedelai>. Junida, Pewarta: Ade. “APINDO Persoalkan Ketidaksamaan Data Pangan Nasional”, online: Antara News <http://www.antaranews.com/ berita/ 565581/apindo-persoalkan-ketidaksamaan-data-pangannasional>. Kasryno, Faisal et al. Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional (2016) Forum Penelitian Agro Ekonomi. Liputan6com. “BPS: Pemerintah Bisa Buka Keran Impor untuk Turunkan Harga Cabai”, online: liputan6.com <http://bisnis.liputan6.com/ read/2640655/bps-pemerintah-bisa-buka-keran-impor-untukturunkan-harga-cabai>. Media, Kompas Cyber. “Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta Ton”, online: KOMPAS.com <http://bisniskeuangan.kompas. com/read/2016/12/29/202642 826/impor.beras.ri.pada.2016. mencapai.1.2.juta.ton>. Simatupang, Pantjar. Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional (2016). “Perum BULOG-Sekilas RASKIN”, online: <http://www.bulog.co.id/ sekilas_ raskin.php>. “Bulog DIY Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Beras”, online: Trib Jogja <http://jogja.tribunnews.com/2015/01/06/bulog-diygelar-operasi-pasar-untuk-stabilkan-harga-beras>. [ 336 ] MENGUJI KEADIL AN PANC A SIL A D AL AM KEADILAN PANCA SILA DAL ALAM YAT A TA S TANAH MENJA GA KED AUL ATAN RAK MENJAGA KEDA ULA RAKY AT Hayatul Ismi Pendahuluan P ancasila mengandung lima nilai yaitu: nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan nilai keadilan. Pancasila menjadi ruh dari hukum yang akan dibentuk, sehingga hukum yang berlaku memuat kesadaran akan bertuhan, memuliakan manusia, mempersatukan beragam golongan, mengutamakan musyawarah dan adil.1 Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana merupakan prinsip keadilan pancasila memberikan acuan bagi olah fikir, olah sikap dan olah tindak harus mengarah pada terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, kesejahteraan harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyaraka.2Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia maka tentu harus mengarah kepada prinsip keadilan pancasila, kita ketahui bahwa keberadaan mineral dan batubara sebagai sumber daya alam Indonesia, bukan disebabkan karena perbuatan manusia, tetapi semata-mata merupakan pemberian dari Tuhan Sebagai anugerah dari Tuhan, manusia harus mengelola dan memanfaatkannya untuk kepentingan umat manusia.3Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 3 UUPA 1 2 3 Fokky Fuad, Filsafat Hukum Pancasila Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praktis, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2013, hlm. 2-3. J. Tjiptabudy, Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Era Reformasi, Jurnal Sai Volume 16 Nomor 3 Juli-September 2010, hlm.4. Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia, Bandung: Pustaka Reka Cipta 2013, hlm.2. [ 337 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Nomor 5 tahun 1960, Hak menguasai dari negara dalam mengelola pertambangan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara. Thomas Aquinas merumuskan bahwa tujuan hukum hendaklah menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat secara umum. Rakyat dalam suatu Negara haruslah menikmati kesejahteraan umum itu.4 Keberadaan tambang pada umumnya berada dipedalaman yang biasanya disitu masih hidup dan berkembang masyarakat adatnya dan masih terdapat hak ulayat masyarakat adat tersebut, sehingga seringkali penambangan terjadi diatas tanah hak ulayat masyarakat adat dan hal ini sering pula mengakibatkan konflik, karena penambangan dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat adat dan tanpa izin masyarakat adat setempat. Fakta menunjukkan pengelolaan pertambangan selama ini lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi, dilain pihak kurang memperhatikan aspek sosial dan lingkungan hidup. Terjadinya tumpang tindih pemberian hak atas tanah yang diberikan kepada perusahaan pertambangan, di mana dalam memberikan hak guna usaha (HGU) sering terdapat hak ulayat di dalamnya bahkan wilayah pertambangan berdiri di atas hak ulayat. Dalam pengelolaan pertambangan batubara dimana terkait hak ulayat pengelola sering tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang masih eksis terhadap penggunaan hak ulayat, masyarakat adat pemegang hak ulayat sering dirugikan dengan penggunaan tanah hak ulayat dalam pertambangan batubara, karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan.Pencaplokan tanah ulayat masyarakat adat, pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat setempat, penghancuran tatanan adat, perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi masyarakat asli, adalah fakta yang dirasakan. Akibat segala bentuk ketidakadilan, kemudian muncul letupan-letupan kekerasan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan. Undang-undang pertambangan UU No.4 tahun tahun 2009 saat ini juga tidak mengatur perlindungan 4 Otong Rosadi, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10, Nomor 2, September 2010, hlm.283. [ 338 ] Hayatul Ismi terhadap hak ulayat yang lahannya digunakan untuk pertambangan, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih hak atas tanah. Hal ini menunjukkan bahwa akar permasalahan terhadap konflik dibidang pertanahan dan sumber daya alam belum dapat dituntaskan, meskipun telah lahir Ketetapan MPR No. IX/MPR 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, untuk mengatasi kerusakan lingkungan, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta timbulnya sengketa dan/atau konflik pertanahan dan sumber daya alam. Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 4 huruf J TAP MPR No. IX/ MPR/2001dan juga prinsip keadilan pancasila yang merupakan dasar negara dalam melakukan kegiatan pertambangan. Namun pada kenyataannya mandat TAP MPR No. IX/MPR/2001 ini belum dilaksanakan. Dan arti keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila belum dapat diterapkan. Pancasila harusnya diletakkan sebagai sumber dari segala sumber hukum maka setiap aturan hukum yang memiliki posisi di bawah Pancasila sebagai grundnorm harus mendasarkan rasio logisnya pada pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya.5 Maka berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan menguji keadilan Pancasila dalam menjaga kedaulatan rakyat atas tanah. Pengakuan terhadap H ak U layat M asyarakat H ukum A dat Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat ditegaskan di dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-2 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 5 Fuad, supra note 1, hlm. 2. [ 339 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Pancasila, berintikan pada kekeluargaan, maknanya mengakui adanya perbedaan kepribadian individu, tetapi tidak kepribadian yang bebas, yang tidak menghiraukan adanya yang lain, melainkan yang terikat dalam satu kesatuan, “kesatuan dalam perbedaan; perbedaan dalam kesatuan”, maka diakuilah adanya perbedaan antara kelompok-kelompok pergaulan hidup manusia yang satu dan lainnya. Bung Karno juga menganjurkan, ‘janganlah kita membedakan antara ‘orang Indonesia asli’ dan ‘orang Indonesia tidak asli’, melainkan seperti halnya kita mengakui dan mengenal suku Batak, Minangkabau dan sebagainya kita sebut juga yang tadinya kita namakan orang Indonesia tidak asli sebagai suku Tiong Hoa, suku Arab, suku India dan sebagainya. Hal ini memperlihatkan keinginan untuk menghadirkan suatu tata hukum Indonesia yang memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak lagi mempersoalkan asal usul dan latar belakang golongannya. Semua komponen bangsa Indonesia diikat dengan semangat kekeluargaan dan tata hukum Indonesia wajib untuk mengayomi seluruh bangsa Indonesia itu tanpa terkecuali.6Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah atau tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment).7 Hak ulayat menjamin kehidupan daripada anggota-anggotanya yang ada dalam lingkungan ulayat tersebut. Karena itu tiap-tiap anggotanya berhak untuk mengambil hasil dari tanah, dan binatang serta tumbuhan yang ada di atas ulayat tersebut. Hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan mempunyai daya kekuatan yang sama, artinya hak perseorangan mempertahankan diri terhadap hak persekutuan adalah sama kuatnya dengan persekutuan mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Hak ulayat masih selalu diakui, akan tetapi tidak boleh dipergunakan bertentangan dengan Undang-undang serta kepentingan umum bangsa. 6 7 Shidarta, Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial Dalam Gagasan Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo, http//Journal.unpar.ac.id, hlm. 4. Agus Budi Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Perspektif, Volume XVI Nomor 4 Tahun 2011 Edisi September, hlm. 218. [ 340 ] Hayatul Ismi Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, menyatakan bahwa bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Meskipun negara merupakan organisasi yang diberikan kewenangan untuk menguasai seluruh bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya sebagaimana yang dinyatakan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Namun penguasaan ini dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semua kebijakan pemerintah di bidang agraria yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus dapat meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya. Kebijakan pemerintah di bidang agraria yang hanya menguntungkan segelintir orang (investor) tidak dapat dibenarkan. Keadilan P ancasila dalam P engelolaan SSumber umber D aya Alam Pancasila Pengelolaan Daya Keadilan pancasila perlu diberi penekanan makna sebagai cita hukum (rechtsidée) bangsa Indonesia. Keadilan pancasila sebagaimana yang tertuang dalam sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah suatu prinsip bahwa didalam lapangan sosial dan ekonomi ada kesamaan, disamping kesamaan politik. Didalam lapangan sosial dan ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan dalam keseimbangan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial untuk mengusahakan dan memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat mutlak daripada manusia sebagai individu. Karena bebas hidup berarti berhak untuk hidup dan berhak untuk hidup berarti menerima apa yang menjadi hak kebutuhannya, bukan karena hasil usahanya, akan tetapi hak kebutuhan didalam arti yang mutlak daripada manusia hak untuk hidup yang harus dilaksanakan, hanya tentu dapat dilaksanakan kalau dipenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk melangsungkan hidupnya, dan kebutuhan ini merupakan hak. Sebagaimana yang kita ketahui Pancasila sebagai dasar filsafat negara kita ialah terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 didalam kalimatnya yang keempat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu [ 341 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi sebagai penjelmaan naskah proklamasi kemerdekaan kita memuat segala cita-cita kebangsaan. Didalam kalimat yang kedua disebutkan bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dari kata-kata yang terakhir “adil dan makmur” terlihatlah dengan lebih tegas lagi tujuan bangsa kita dengan proklamasi kemerdekaan untuk bernegara.8 Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kalimat yang ke-empat dinyatakan juga bahwa pembentukan Pemerintah Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, dengan adanya keadilan sosial sebagai dasar filsafat Negara kita, maka berarti bahwa didalam Negara adil dan makmur dan kesejahteraan umum itu harus terjelma keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.9 Di dalam Pancasila, keadilan tertuang dalam sila kelima, dengan kata-kata “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Soediman menggambarkan kata sosial sebagai hubungan antarmanusia dalam kelompoknya. Dikatakan bahwa Tiap-tiap individu memiliki empat unsur atau alat perlengkapan hidupnya, yakni raga, rasa, rasio, dan hidup dengan rukun. Agar ada ketenteraman, keseimbangan, dan harmoni keempat hal ini harus diseimbangkan. hal ini disebut sebagai “bahagia”. Jadi, menurut Soediman Kartohadiprodjo, “keadilan sosial” adalah kebahagiaan yang diharapkan. Soekarno merangkaikan prinsip kesejahteraan ini dengan prinsip demokrasi. Menurut Soekarno di dalam prinsip kesejahteraan tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Pemikiran Soekarno tentang demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ini adalah hasil endapan lama Soekarno sebagaimana terlihat dalam paparannya tentang marhaenisme. Bagi Soekarno, marhaneisme adalah asas dan cara perjuangan sosialisme ala Indonesia berlandasarkan prinsip sosionasionalisme dan sosio-demokrasi yang menghendaki hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Indonesia tidak saja harus mencapai kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi. Mohammad Hatta juga memberi warna sangat kuat pada penjabaran prinsip sosio-demokrasi ala Indonesia. Pada masa sidang kedua BPUPK tanggal 8 9 Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pantjuran Tudjuh, 1974. hlm. 37-38 Ibid. [ 342 ] Hayatul Ismi 11 Juli 1945, badan ini membentuk tiga panitia, yaitu panitia perancang hukum dasar, panitia perancang keuangan dan ekonomi, dan panitia perancang pembelaan tanah air, yang masing-masing dipimpin oleh Soekarno, Hatta, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Soekarno lalu membentuk lagi panitia kecil yang bertugas merumuskan undang-undang dasar di bawah pimpinan Soepomo. Mereka semua bekerja cepat. Dalam rapat besar BPUPK tanggal 13 Juli 1945 inilah Hatta memberi masukan terkait dengan keadilan dan kesejahteraan sosial secara lengkap sebagai berikut: (1) Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong; (2) Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan mendapat penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang; (3) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif; (4) Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah; (5) Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orangseorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga; (6) Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain; dan (7) Fakir dan miskin dipelihara oleh pemerintah. 10 Didalam penjelasan resmi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa didalam pembukaan terkandung pokok-pokok pikiran negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial menurut Pembukaan Undnag-Undang dasar 1945 ini dimaksudkan tidak hanya bagi rakyat Indonesia sendiri tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Artinya negara menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya, inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan, Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Didalam keadilan sosial tercakup pemeliharaan kepentingan umum negara sebagai negara, kepentingan umum para warga negara bersama, kepentingan bersama dan kepentingan khusus dari para warga negara perseorangan, keluarga, suku bangsa dan setiap golongan warga Negara.11 Kebijakan nasional di bidang pertanahan tentang penguasaan dan penataan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan 10 11 Shidarta, supra note 1, hlm.25. Notonogoro, supra note 1, hlm.137-140. [ 343 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya penguasaan tanah oleh negara harus sesuai dengan tujuan pemanfaatannya dan perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas serta tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian, termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran tanah. Penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam skala besar untuk mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah harus tetap mempertimbangkan aspek sosial, politik ketahanan keamanan dan pelestarian lingkungan hidup. 12 Pemerataan kesejahteraan yang dilahirkan melalui pembangunan di segala bidang diselenggarakan melalui penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah melalui kegiatan redistribusi atau konsolidasi tanah yang dilakukan dengan pemberian sertifikat hak atas tanah guna memberi kepastian hak. Selain untuk menunjang dan mempercepat pengembangan wilayah, pemerataan peruntukan tanah juga dimaksud untuk menanggulangi kemiskinan serta untuk mencegah kesenjangan sosial yang timbul akibat penguasaan tanah yang tidak merata. Untuk itu pembanguan bidang pertanahan perlu dilakukan dan didukung oleh penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial politik dan hukum di masyarakat. Pembentukan landasan hukum baru guna mengoptimalkan penerapan aturan-aturan pokok yang terkandung dalam UUPA perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan hukum masyarakat saat itu, termasuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Selain itu, perlu juga dibentuk langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi berbagai perubahan yang dapat mengakibatkan pergeseran kerangka dan atau penerapan hukum adat yang mendasari perlakuan hukum agraria setempat. Semua kegiatan pembentukan dan penerapan kaedah hukum baru sebagai pelaksana ketentuan-ketentuan pokok UUPA seyogyanya mempunyai satu tujuan akhir yang sama yaitu 12 Elza Syarif, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: KPG, hlm.158, 2012. [ 344 ] Hayatul Ismi untuk dipergunakan bagi pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, Negara mempunyai andil yang sangat besar untuk mengusahakan agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 13 Tidak mudah memang untuk mewujudkan keadilan sosial di bidang pertanahan dan sumber daya alam. Di tengah iklim globalisasi ekonomi seperti saat ini. Konstitusi dan Pasal 2 ayat 3 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa keadilan yang hendak dicapai sebagai tujuan akhir di bidang agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, adalah keadilan sosial. Keadilan sosial pada hakikatnya terkait dengan sistem distribusi semua produksi yang dihasilkan oleh masyarakat dari pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam. Hal ini tidak terlepas dari masalah kekuasaan, khususnya kekuasaan untuk menentukan pembagian. Oleh karena itu, pelaksanaan keadilan sosial akan tergantung pada struktur ekonomi, politik, sosial budaya dan ideologi dalam masyarakat. Selama struktur tidak mendukung kearah upaya mencari keseimbangan posisi tawar yang relative sama antar berbagai kelompok masyarakat, maka keadilan sosial akan sulit tercapai. Pada kenyataannya, posisi tawar masyarakat memang berbeda-beda. Posisi tawar pengusaha yang menggunakan sumber daya alam sebagai bahan produksinya mempunyai posisi tawar yang tinggi dan akses yang besar terhadap sumber daya alam, sedangkan masyarakat hukum adat, nelayan, petani, buruh dan kelompok minoritas lainnya mempunyai posisi tawar yang rendah. Untuk mencapai keadilan sosial sebagai wujud dari keadilan agraria, maka dipelukan konsep keadilan lain sebagai sasaran antara dalam mewujudkan keadilan sosial tersebut. Dalam hal pelaksanaan reforma agraria yang bertujuan mengoreksi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, maka perlu diterapkan keadilan korektif (positif discrimination), yaitu keadilan yang memberi perhatian lebih kepada kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan karena perbedaan posisi tawar, agar keseimbangan dapat tercapai. 13 Bagir Manan, Beberapa catatan atas Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, FHUNPAD, Bandung,1999, hlm.2. [ 345 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Keadilan sosial berhubungan dengan kegiatan sosial dari masyarakat, di mana individu bagian dari anggota masyarakat atau subsocieties. Pendapat ini juga dipertegas oleh pernyataan presiden Soekarno menyatakan keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan.14 Keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi kepada seseorang/ sekelompok orang yang dirugikan akibat diberlakukannya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah. Keadilan korektif ditujukan untuk mendatangkan dampak positif bagi kelompok masyarakat yang secara sosial ekonomi lemah atau kurang diuntungkan. Prinsip yang digunakan sebagai landasannya adalah ketidaksamaan di antara kelompok dalam masyarakat dengan menekankan pada kelompok masyarakat yang kurang diuntungkan secara sosial ekonomi untuk memperoleh akses kehidupannya. Selain pada keadilan korektif, keadilan agraria yang menjadi tujuan reforma agraria harus mengandung unsur dan paradigma keadialan protektif pula. Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan pengayoman (perlindungan) Dalam kehidupannya, manusia tidak saja perlu dilindungi kebebasannya untuk berkreasi tetapi juga keamanan hidupnya, sehingga manusia yang satu tidak boleh menjadi korban kesewenangwenangan manusia yang lain. Semangat yang terkandung dalam keadilan protektif adalah bahwa meskipun semua manusia diperlakukan sama dihadapan hukum, namun menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan/proteksi terhadap kaum minoritas yang mengalami hambatan untuk mengekspresikan atau mewujudkan hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemilikannya atas tanah dan sumber daya alam. Hal ini merupakan perwujudan dari negara hukum kesejahteraan yang dianut Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara mempunyai andil yang sangat besar untuk mengusahakan agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya 14 Widhayani Dian Pawesti, Keadilan Sosial Dalam Perlindungan Kepentingan Nasional Pada Penanaman Modal Asing di Bidang Sumber Daya Alam, Jurnal Yuridika, Volume 30, Nomor 1, Januari-April 2015, hlm. 65. [ 346 ] Hayatul Ismi pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat Hukum adat adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang pengakuan dan perlindungannya ditegaskan didalam konstitusi negara kita yaitu pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionlanya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesi. Oleh sebab itu apabila tanah dan kekayaan alam mereka digunakan oleh perusahaan maka harus tetap menghargai hak-hak masyarakat adat, penggunaan tanah dan kekeyaan alam mereka harus mengarah kepada kesejahteraan masyarakat adat tersebut, demi tercapainya tujuan negara kesejahteraan. Menghargai, mengakui, memberikan konpensasi yang mensejahterakan dan memajukan mereka secara nyata, bahkan melibatkan mereka dalam mengambil kebijakan terkait penggunaan tanah dan kekayaan alam mereka adalah salah satu bentuk tercapainya nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan masyarakat adil dan makmur. Jika kita mengacu kepada konsep negara kesejahteraan, tujuan pokok negara tidak terletak pada mempertahankan hukum (positif ), tetapi pada tujuan mencapai keadilan sosial (sosiale gerechtigheid) bagi semua warga negara. Oleh karena itu jika perlu, negara dapat bertindak di luar hukum untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Alat administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya (bestuurszorg) diberi kebebasan untuk bertindak (fries ermessen) tanpa harus melanggar asas legalitas dan tidak bertindak sewenang-wenang.15 Ketika terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat atas atas kekayaan alam yang mereka miliki maka sudah seharusnyalah negara bertindak dalam membela rakyatnya. Pemerintah yang tidak menjamin rakyatnya menikmati kesejahteraan umum adalah pemerintah yang menghianati mandat yang diembannya. Pemerintah haruslah melaksanakan suatu negara demi kesejahteraan antara lain melalui hukumnya yang adil. Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain keadilan, 15 Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm.14. [ 347 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi perdamaian, ketentraman hidup, keamanan dan jaminan bagi warganya, hukum yang tidak adil bertentangan dengan hakikat hukum dan haruslah diubah agar mencapai sasaran yakni kesejahteraan umum.16 Begitu juga halnya dengan konsep yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum tidak cukup kalau hanya berperan sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyrakat, hukum perlu berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan perubahanperubahan dibidangsosial. pendapat Mochtar tersebut dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang (mutlak) perlu. Hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Mochtar Kusumaatmadja mengingatkan, sebelum hukum nasional dikembangkan hendaklah dilakukan penelitian guna mengetahui bidang bidang hukum yang harus diperbarui dan bidang-bidang hukum yang perlu dibiarkan supaya berkembang dengan sendirinya.17 Tujuan hukum baru dapat tercapai apabila didukung oleh tugas hukum yaitu menyerasikan kepastian hukum dengan kesebandingan hukum sehingga keadilan terwujud. Untuk mencapai tujuan dan tugas hukum tersebut maka setiap masyarakat hukum menjalankan tiga peranan utama yang saling berkaitan yaitu: 1. Sebagai sarana pengendalian sosial 2. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi social 3. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu18 Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional terhadap bangsa dan negara, terdapat dalam sila keadilan sosial, konsep hubungan antara manusia dengan tanah sebagai 16 Rosadi, supra note 1. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm. v. 18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1984. hlm. 87. 17 [ 348 ] Hayatul Ismi tempat kehidupan manusia sangat jelas terlihat dan tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 3 UUPA menempatkan individu serta masyarakat sebagai kesatuan yang tak dapat terpisahkan.19 Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia mempunyai arti bahwa Pancasila oleh bangsa Indonesia diyakini benar-benar memiliki kebenaran yang mutlak bagi bangsa Indonesia. falsafah Pancasila berarti pandangan hidup, sikap hidup atau tuntunan hidup bahwa pemenuhan kebutuhan terhadap tanah diletakkan pada kerangka kebutuhan masyarakat Indonesia termasuk masyarakat adat, sehingga hubungan tidak bersifat individualistik semata tetapi bersifat kolektif dan/atau kebersamaan ( communal ) memberikan suatu keseimbangan dalam perlakuan dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perorangan di dalam kelompok masyarakat adat dan/atau lokal yang mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat dan/atau daerah terhadap pembangunan pertambangan batubara.20 Hak-hak perorangan atas tanah tidak bersifat mutlak tetapi ada batasannya terutama atas hak individu masyarakat adat. Penguasaan dan penggunaan tanah secara wajar dan bertanggungjawab, hak atas tanah dipunyai seseorang diletakkan kewajiban tertentu. Konsep hubungan yang diterjemahkan dalam Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria yang menyebutkan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. 21 Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat hukum adat.Pada umumnya secara de facto22 rakyat telah mengerjakan tanah secara turun temurun dan terjadi sepengetahuan atau ijin pemegang hak atau kuasanya, secara de jure tidak ditindaklanjuti, karena rakyat tidak menyadari pentingnya alat bukti hak.Negara berperan sebagai aktor dan berkedudukan sejajar dengan pemegang hak harus tunduk pada peraturan dan/ atau ketentuan yang dibuat sendiri dan berperan sebagai pengatur berbagai kepentingan menjadi wasit yang adil. 19 Ibid. Ibid. 21 Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 299. 22 Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jala Permata, Jakarta, 2007, hlm. 92. 20 [ 349 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kebijakan pertanahan yang adil dan populis, sejatinya telah digariskan dalam UUPA. Secara normatif, nilai-nilai Pancasila diterjemahkan dalam berbagai ketentuan UUPA. Namun dalam tataran empiris, ketentuanketentuan UUPA tersebut tidak diimplementasikan sesuai cita-cita perumusnya, karena pilihan politik hukum yang diambil tidak mendukung nilai-nilai keadilan dan populis tersebut. Akibatnya yang terjadi adalah ketidak-adilan agraria, dan timbulnya peraturan-peraturan tentang sumber daya alam dan peraturan pelaksanaan UUPA yang pro-kapitalis Oleh karena itu, struktur hukum yang dibangun untuk merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, melalui program-program reforma agraria, adalah struktur hukum reforma agraria yang mampu menciptakan keadilan.23 Keadilan agrarian adalah suatu keadaan di mana tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak. Selain itu, terjamin pula kepastian hak masyarakat setempat (termasuk masyarakat hukum adat) atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaa alam lainnya. Kalimat “konsentrasi yang berarti” harus dimaknai bahwa pemilikan seseorang atas tanah, atau penguasaan suatu korporasi untuk memanfaatkan sumber daya alam tetap diperkenankan sepanjang hal tersebut tetap membuka akses bagi masyarakat terhadap aset yang berupa tanah dan sumber daya alam serta terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi masyarakat setempat (termasuk masyarakat hukum adat) yang menjadi sumber penghidupannya. Dengan demikian, program-program reforma agraria harus berisi access reform dan asset reform. Asetnya (tanah dan sumber daya alam) harus ditata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannyanya; serta ditambah dengan pembukaan aksesnya berupa sumber-sumber ekonomi (keuangan, manajemen, pasar) dan sumber-sumber politik (partisipasi politik).24 23 Ida Nurlinda, Membangun Struktur Hukum Reforma Agraria untuk Mewujudkan Keadilan Agraria, Orasi Ilmiah Berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 9 Januari 2015, hlm.16-18. 24 Ibid. [ 350 ] Hayatul Ismi Dalam kaitannya pembukaan akses dimaksud, maka prinsip keadilan difahami dalam dimensi baik keadilan inter generasi maupun keadilan antar generasi dalam upaya mengakses sumber daya alam. Keadilan adalah salah satu tujuan hukum. Antara hukum dan keadilan sulit dipisahkan karena pada keadilanlah hukum bermuara. Melalui keadilan korektif, yang memberikan perhatian lebih kepada kelompok yang paling tidak diuntungkan oleh pilihan politik hukum yang telah diambil oleh pemerintah. Sebagai victim of development, masyarakat marjinal perlu mendapat pemulihan hak-hak dasar kehidupannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28A UUD 1945. Perwujudan keadilan agraria seyogianya memperhatikan pula hal-hal lain di luar dari apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Mungkin saja hasil dari penerapan hukum tersebut tidak memenuhi unsur kepastian hukum, namun jika itu dilakukan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat yang selama ini terhalang aksesnya terhadap tanah dan sumber daya alam, maka demi mewujudkan keadilan agraria yang berorientasi pada keadilan korektif, hal tersebut akan jauh lebih baik. 25 Kesimpulan Masyarakat hukum adat masih hidup dan dilindungi oleh konstitusi Republik Indonesia, lahan hak ulayat sering dijadikan lahan dalam pengelolaan pertambangan, hukum agraria tidak mengatur hak untuk lahan pertambangan secara khusus begitu juga pada hukum pertambangan Indonesia yang diatur melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 juga tidak mengatur perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat jika lahan mereka digunakan dalam pengelolaan pertambangan. Dengan ketidaktegasan aturan dalam pengelolaan pertambangan ini seringkali terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat terhadap hak ulayat mereka, sehingga memicu konflik bekepanjangan, hal ini diakibatkan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat hukum adat terhadap hak mereka atas tanah ulayat mereka.Pada hakikatnya bahwa apapun yang dilakukan oleh seluruh komponen bangsa, baik pemeritah, ataupun swasta, harus sesuatu yang dapat menciptakan keadilan sosial, keadilan sosial yang 25 Ibid. [ 351 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi hendak diwujudkan harus benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali bagi masyarakat hukum adat. Maka menurut penulis agar dalam pengeloaan pertambangan diatas tanah hak ulayat ini dapat dilakukan secara berkeadilan sebagaimana dasar negara pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka pengaturan tentang perlindungan terhadap hak ulayat ini harus diatur di dalam Undang-undang pertambangan secara lebih khusus. Dan tentunya yang menjadi prinsip dalam pembentukan undang-undang ini adalah pancasila sebagai norma dasar. Referensi Buku Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah bagi Bangsa Indonesia, Ditinjau dari ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006. Elza Syarif, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: KPG, hlm.158,2012. Ida Nurlinda, “Membangun Struktur Hukum Reforma Agraria untuk Mewujudkan Keadilan Agraria,” Orasi Ilmiah Berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 9 Januari 2015 Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2009. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002. Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum, Jala Permata, Jakarta, 2007. Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pantjuran Tudjuh, 1974. Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia, Bandung: Pustaka Reka Cipta 2013 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia. Jurnal Agus Budi Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi terhadap [ 352 ] Hayatul Ismi Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Perspektif, Volume XVI Nomor 4 Tahun 2011. Bagir Manan, Beberapa Catatan atas Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, FH-UNPAD, Bandung, 1999, hlm. 2. Widhayani Dian Pawesti, Keadilan Sosial Dalam Perlindungan Kepentingan Nasional Pada Penanaman Modal Asing di Bidang Sumber Daya Alam, Jurnal Yuridika, volume 30, Nomor 1, Januari-April 2015. Fokky Fuad, Filsafat Hukum Pancasila Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praktis, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2013. J. Tjiptabudy, Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya Melestarikan NilaiNilai Pancasila di Era Reformasi, Jurnal Sai Volume 16 Nomor 3 Juli-September 2010. Otong Rosadi, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10, Nomor 2, September 2010. Shidarta, Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dalam Gagasan Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo, http// Journal.unpar.ac.id. Peraturan P er undangan Per erundangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara [ 353 ] BAB V KEADIL AN D AN DEMOKRA SI KEADILAN DAN DEMOKRASI PANC A SIL A DI ERA PANCA SILA GLOBALISA SI GLOBALISASI PANC A SIL A D AL AM DINAMIK A PANCA SILA DAL ALAM KET ATANEGARAAN INDONESIA KETA Rosita Indrayati Pendahuluan I ndonesia sebagai sebuah entitas yang mengadopsi konsep negara hukum melembagakan peran besar negara di dalam rumusan staatsidee yang tercantum di dalam sebuah Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut Konstitusi Indonesia). Pembukaan tersebut berisi tentang Pemerintah Republik Indonesia yang didirikan untuk memajukan kesejahteraan umum.1 Pembebanan tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum tersebut, secara otomatis di bidang politik hukum, akan berimplikasi terhadap pembangunan dalam bidang hukum, yang tidak hanya membangun lembaga-lembaga hukum, tetapi juga harus mencakup pembangunan substansi produk-produk hukum dan sebuah kultur yang merupakan hasil dari suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang bersifat kultural yakni sikap dan nilainilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum tersebut.2 Ideologi Pancasila yang berperan sebagai sistem nilai telah mengakar dan berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam nilai-nilai Pancasila tersebut telah tumbuh dalam masyarakat berupa tradisi, sikap, perilaku, adat-istiadat serta budaya bangsa. Penempatan Pancasila 1 2 Erfandi Erfandi, “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana di Indonesia” (2016) 1 J Lmiah Pendidik Pancasila Dan Kewarganearaan 23 hlm. 23. Terkait dengan konsep negara kesejahteraan, lihat alinea keempat UUD 1945. Lihat, Ibid., hlm. 84-6. [ 357 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan Konstitusi Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.3 Hal itu dapat terlihat pada susunan sila-sila dalam Pancasila secara sistematis dan hierarkis, dimulai dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sampai dengan sila ke lima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut lahir sebagai pandangan hidup dan metode refleksi yang sudah seharusnya diwujudkan oleh aparat penegak hukum. Artinya, sila-sila dalam Pancasila sebenarnya merepresentasikan unsur-unsur dari prinsip-prinsip hukum positif karena telah mencakup falsafah kebangsaan. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi pembentukan hukum terutama (pembentukan peraturan perundang-undangan) tidak hanya masih relevan tetapi merupakan keharusan untuk masa depan Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.4 Hal ini dapat dilihat apabila Pancasila terlepas dari suatu makna hukum nasional, maka suatu hukum nasional tersebut akan mati. Meskipun hukum nasional tersebut tetap ada, hukum nasional tersebut hanya merupakan mayat hidup yang menakutkan dan merusak serta dapat mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan semua manusia di dunia ini.5 Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, sudah seharusnya dijadikan langkah awal dan refleksi kritis sebagai upaya dalam memecahkan persoalan kebangsaan. Namun sayangnya hingga saat ini seolah-olah nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia tidak mampu diimplementasikan oleh elite politik dan masyarakat, sehingga tak salah kiranya jika banyak terjadi permasalahan peradaban bangsa Indonesia. Pembukaan Konstitusi Indonesia dalam alinea keempat mengisyaratkan sebuah rumusan Ideologi Pancasila sebagai dasar Negara Republik 3 4 5 Kurniasar Kurniasar, “PANCASILA SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM DI INDONESIA” 243 hlm. 247. Otong Rosadi, “HUKUM, KODRAT, PANCASILA DAN ASAS HUKUM” (2010) 10 J Din Huk 282 hlm. 289–290. Syahrul Kirom, “Mempraksiskan Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia” (2015) 5 No. 1 J Ilm Civ 1 hlm. 2. [ 358 ] Rosita Indrayati Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut di dalam hukum positif di Indonesia secara yuridis normatif sesuai dengan konstitusional yang sah, berlaku, dan akan mengikat seluruh elemen bangsa tanpa perkecualian. Rumusan Ideologi Pancasila dalam arti secara imperatif harus dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, dan saling mengandaikan serta saling mengunci. Ketuhanan sebagai ruh dari empat pilar lainnya harus diletakan dalam prinsip bernegara yang berdasar pada prinsip kekeluargaan yang egaliter, untuk meneguhkan konsep negara yang beradab, berkesatuan, berdemokrasi dan menjunjung nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.6 Interpretasi norma hukum dalam Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi akan didasarkan pada jiwa bangsa dalam Pancasila yang berfungsi sebagai cita hukum yang akan menjadi dasar dan sumber pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang menjadi pedoman dalam pembentukan undang-undang dan peraturan lain yang lebih rendah.7 Orang-orang atau masyarakat penganut ideologi berbeda pun mengakui peran Pancasila dalam menjaga pluralisme Indonesia sangat besar karena dapat menyatukan masyarakat Indonesia yang heterogen karena hidup dengan adat istiadat dan bahasa yang berbeda serta mempunyai kepercayaan yang berbeda. Selain itu juga Pancasila juga mampu memberikan pedoman berupa nilainilai yang menjamin terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan bangsa.8 Pancasila sebagai dasar filosofis juga terdapat dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia yang merupakan kesepakatan pertama penyangga dan penopang paham konstitusi atau yang biasa disebut dengan konstitu-sionalisme. Pembukaan Konstitusi Indonesia belum pernah mengalami perubahan meskipun batang tubuhnya telah beberapa kali mengalami perubahan. Maka kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia juga tidak pernah mengalami perubahan. Perubahan tersebut hanya pada sistem dan institusi sebagai tujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan nilai- 6 7 8 Rosita Indrayati, PANCASILA SEBAGAI REALITAS (Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan IsuIsu Kontemporer di Indonesia), 1st ed (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 339. Kurniasar, supra note 3 hlm. 249. Margaritno Kamis, Pembatasan Kekuasaan Presiden, 1st ed (Malang: Setara Press, 2014) hlm. 247. [ 359 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi nilai Ideologi Pancasila. Hal ini akan disesuaikan makna Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dan hanya dapat dijalankan atau dilakukan dalam sistem negara yang demokratis dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat. 9 Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa juga telah dijadikan sebagai dasar dalam pembatasan kekuasaan untuk menciptakan iklim demokrasi yang berciri khas Pancasila. Pembatasan kekuasaan dalam bernegara merupakan pilar penting dari sebuah negara hukum (rule of law) yang demokratis. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rakyat menyaksikan betapa Orde Lama dan Orde Baru memanipulasi prinsip “demokrasi” Pancasila karena mereka memberlakukan kekuasaan yang begitu sentralistik. Pola kepemimpinan di bawah rejim Sukarno dan Suharto menjadi hambatan terbesar bagi tumbuh dan berkembangnya negara hukum yang demokratis. Suatu sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistik dengan sendirinya mematikan negara hukum yang demokratis. Lahirnya Amandemen Konstitusi Indonesia merupakan wujud dari Reformasi Politik dan Reformasi Konstitusi yang berjalan secara demokratis. Era Reformasi dimulai dan ditandai dengan dilakukannya reformasi Politik dan Reformasi Konstitusi untuk menyempurnakan landasan hukum dalam bernegara. Reformasi konstitusi dilakukan karena terdapat beberapa aspek kelemahan yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah Pertama, Konstitusi Indonesia akan membangun suatu sistem politik yang executive heavy dengan cara memberikan porsi atau bagian yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme checks and balance dan tanpa adanya pembatasan kekuasaan Presiden. Kedua, Konstitusi Indonesia terlalu banyak memberi kewenangan secara atribusi dan delegasi kepada Presiden untuk dapat mengatur lagi hal-hal penting dalam bentuk peraturan perundang-undangan mauun aturan pelaksananya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Selain itu, batang tubuh konstitusi Indonesia banyak memuat beberapa pasal yang ambigu atau multitafsir sehingga dapat ditafsirkan maupun diartikan dengan bermacam-macam tafsir akan tetapi tafsir yang harus diterima oleh warga negara atau masyarakat adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden. Aspek yang 9 Indrayati, supra note 6 hlm. 338–339. [ 360 ] Rosita Indrayati terakhir adalah Konstitusi Indonesia lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan negara dari pada sistem penyelenggaraannya.10 Konsep P emisahan K ekuasaan di IIndonesia ndonesia Pemisahan Kekuasaan Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia menganut paham demokrasi yang artinya kedaulatan serta kekuasaan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut peraturan perundang-undangan.11 Penegasan lain menyatakan bahwa Konstitusi kita juga menentukan secara tegas Negara Indonesia adalah Negara Hukum Indonesia yang heterogen.12 Sebagai ruh dari berdirinya negara Indonesia dan mengandung nilai-nilai dasar dalam bernegara, Pembukaan Konstitusi Indonesia tersebut sampai sekarang belum mengalami perubahan. Konsep Negara Hukum mengakui prinsip-prinsip supremasi hukum dan konstitusi, pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam konstitusi, terdapatnya jaminan-jaminan tentang hak asasi manusia, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak serta memberikan jaminan persamaan setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa. Pada hakikatnya hukumlah yang menentukan atau menjadi penentu setiap kebijakan sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocrasy). Dalam konsep ‘the rule of Law’ menjadikan sebuah keyakinan adanya pengakuan bahwa hukum mempunyai kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lain (supremacy of law), terdapatnya persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala proses kehidupan berbangsa dan bernegara (due process of law). Ide dasar dari negara hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan dengan dasar hukum yang baik, adil dan merata. Oleh karena itu, dalam negara hukum terdapat 4 (empat) tuntutan dasar: Pertama tuntutan kepastian hukum yang menjadi suatu kebutuhan langsung masyarakat; 10 Martha Pigome, “IMPLEMENTASI PRINSIP DEMOKRASI DAN NOMOKRASI DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945” (2011) 11 J Din Huk 335 hlm. 335–336. 11 Lihat Pasal 1 (2) UUD NRI 1945 12 Lihat Pembukaan UUD N 1945 alinea keempat. [ 361 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi kedua tuntutan bahwasannya hukum berlaku sama bagi semua penduduk dan warga negara; ketiga democratic legitimate atau legitimasi demokratis yang mana dalam proses pembentukan hukumnya harus mengikutsertakan serta mendapat persetujuan rakyat; dan keempat adanya tuntutan budi pekerti yakni dalam menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat di dunia ini.13 Pembatasan kekuasaan menjadi hal yang sangat penting dalam kekuasaan negara atau pemerintah yang menjadikan dasar falsafah Lord Acton menyatakan bahwasanya Manusia sebagai pribadi individu yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan dalam pemerintahan akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan tersebut meskipun kekuasaan tersebut telah diatur dalam undang-undang, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas dapat dipastikan akan menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Demokrasi konstitusional adalah merupakan gagasan atau konsep dasar untuk membatasi kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara.14 Untuk dapat memberikan penilaian apakah konsep dasar dalam Konstitusi Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan ataukah pembagian kekuasaan pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat dilihat dari sudut materiil dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil memberikan arti bahwasanya pembagian kekuasaan tersebut dipertahankan secara tegas dalam berbagai tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan menjadi tiga bagian yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Begitu juga sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dapat dipertahankan secara tegas, maka sistem pemerintahan seperti itu disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil diartikan pemisahan kekuasaan. Sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal dikenal dengan pembagian kekuasaan. 15 Jimly Assidiqqie 16 berpendapat 13 Franz Mgnis Suseno, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993) hlm. 295. 14 Ibid hlm. 297. 15 Moh Kusnardi & Harmally Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, 1st ed (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, 1988) hlm. 143. 16 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 (yogyakarta: FH UII PRESS, 2005) hlm. 35. [ 362 ] Rosita Indrayati bahwasanya pemisahan kekuasaan dapat bersifat horizontal dan vertikal. Pemisahan kekuasaan ke atas atau horizontal diartikan bahwa kekuasaan tersebut terpisah-pisah ke dalam masing-masing fungsi yang tercermin pada lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pemisahan kekuasaan bersifat ke bawah atau vertikal berarti perwujudan suatu kekuasaan itu diberikan dan dibagi secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang berada di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Konstitusi Indonesia sebagai konstitusi dasar negara Indonesia tidak mengenal sistem pemisahan kekuasaan (Separation of power) pada trias politica yang dianut Montesquieu akan tetapi sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem pembagian kekuasaan sebagai unsur penting negara hukum. Ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) menampakkan corak beragam di beberapa negara di dunia yang bergantung pada praktik politik yang berlaku, kebiasaan serta prinsip-prinsip hukum yang dianut negara tersebut. Di Indonesia, kekuasaan dan kewenangan Presiden sebagai kepala negara hanya merupakan kekuasaan yang bersifat administratif (eksekutif ) sebagaimana diatur dalam Konstitusi Indonesia.17 Kekuasaan eksekutif dalam hal pemerintahan diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dasar P embatasan K ekuasaan P Pembatasan Kekuasaan Prresiden Hak prerogatif presiden adalah kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Hak prerogatif secara teoretis diartikan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dan tidak dapat digugat lembaga negara lain. Sistem pemerintahan negara-negara modern juga memiliki hak tersebut dalam 17 Lihat pasal 10 – 15 Konstitusi Indonesia. [ 363 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bidang-bidang tertentu yang terdapat dalam konstitusi mereka. Hak prerogatif disamakan juga dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif kekuasaan pemerintahannya (seperti Amerika Serikat dan negara-negara lain yang mengaut sistem separation of power atau sistem pemisahan kekuasaan), dalam pembuatan kebijakankebijakan politik maupun ekonomi. Sistem pemerintahan negara-negara modern menempatkan semua model kekuasaan dalam lingkup pertanggungjawaban publik. Kekuasaan tersebut tidak dapat dikontrol, digugat maupun dimintai suatu pertanggungjawaban, sehingga dalam praktik pelaksanaannya sulit memperoleh tempat. Hak prerogatif dalam praktik ketatanegaraan negara-negara modern tidak dapat bersifat mutlak dan mandiri, terkecuali dalam ruang lingkup pengambilan kebijakan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disebut PPKI) menetapkan UUD 1945 menjadi Konstitusi Indonesia.18 Konstitusi yang pertama ini dimaksudkan untuk menjadi undang-undang sementara waktu sifatnya.19 Konstitusi tersebut ditetapkan dalam situasi revolusi serta adanya keinginan untuk segera memerdekakan Negara Indonesia. Konstitusi ini dinilai sah dari sudut pandangan hukum yang menunjuk kepada berhasilnya revolusi Indonesia.20 Dengan demikian, lahirnya konstitusi pertama itu merupakan awal Indonesia sebagai negara modern yang terlepas dari penjajahan.21 Kekuasaan Presiden pada masa konstitusi pertama ini mempunyai kekuasaan yang besar, yaitu menjalankan kekuasaan eksekutif dan legislatif sekaligus. Presiden mendapat bantuan dari komite nasional Indonesia untuk mejalankan kekuasaan yang diperolehnya. Sebagaimana dituangkan dalam Aturan Peralihan yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia. Menurut A.K. 18 Konstitusi yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar yang terdiri dari 16 BAB, 37 Pasal, 46 Ayat, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan. Lihat Chrisdianto Eko Purnomo, ‘Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia’ (2010) 7 Nomor 2 Jurnal Konstitusi 159, 162. 19 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hlm. 42–43. 20 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, 2d ed (Jakarta: CV. Caliandra, 1965) hlm. 3. Dalam Chrisdianto Eko Purnomo, ‘Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia’ (2010) 7 Nomor 2 Jurnal Konstitusi 159, 162. 21 Deny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran (Bandung: Mizan Pustaka, 2007) hlm. 48. [ 364 ] Rosita Indrayati Pringgodigdo, Presiden memiliki kekuasaan yang besar, meskipun dibantu oleh sebuah Komite Nasional sehingga dapat dipandang presiden bertindak secara diktator dan dapat diartikan pengekangan atas sebuah kekuasaan.22 Dengan kata lain, atas dasar ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan ini dapat menciptakan absolutisme karena tiadanya pembatasan kekuasaan Presiden. Menurut Bagir Manan kuatnya kekuasaan Presiden dalam penyelenggaraan negara bukan sekedar kenyataan yang ada akan tetapi merupakan sesuatu yang korelatif dengan sistem pemerintahan yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia.23 Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa presiden bisa sebagai kepala pemerintahan dan juga dapat menjadi kepala negara sekaligus. Namun demikian, Konstitusi Indonesia mengatur bahwa dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, presiden harus mendapatkan persetujuan parlemen. Model kerjasama antara presiden dan parlemen juga dapat dilihat dari penyusunan anggaran negara dan belanja negara (staatsbegrooting). Selain itu, hubungan Presiden dengan parlemen dapat dilihat dari fungsi parlemen; yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang terkait erat dengan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Berdasarkan ulasan tersebut, Konstitusi Indonesia tidak saja berfungsi untuk membatasi kekuasaan presiden, akan tetapi bagaimana seharusnya kekuasaan presiden diatur secara tepat, tegas, dan jelas sehingga kewenangan yang dimiliki oleh Presiden adalah kewenangan yang sifatnya terbatas dan proporsional. Pembatasan kekuasaan presiden secara perspektif sebenarnya adalah merupakan korelasi antara kekuasaan presiden dengan masa jabatanya. Apabila masa jabatan presiden tidak dibatasi secara tegas dan jelas, presiden dan golongannya akan memperluas dan memperkuat, sehingga disinilah peran nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan. Pancasila sebagai F ilosofi K epemimpinan di IIndonesia ndonesia Filosofi Kepemimpinan Pancasila dijadikan sebagai realitas di Indonesia dengan cara mewujudkan satu realitas baru di negara kita. Realitas Pancasila sekarang menunjukkan 22 AK Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang Dasar Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Pembangunan, 1956) hlm. 11. 23 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (yogyakarta: FH UII PRESS, 2004) hlm. 120. [ 365 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi gejala sudah mulai memudar dan bahkan banyak nilai-nilai yang berkembang di masyarakat telah bertentangan dengan Pancasila. Realitas baru tersebut hanya dapat tercipta melalui usaha yang akan didominasi melalui suatu bentuk perbuatan,24 sehingga wacana baru terkait dengan realitas Pancasila tersebut sangat diperlukan. Kepemimpinan nasional yang tercipta dalam kekuasaan presiden mampu mengajak seluruh bangsa membuat perubahan yang diinginkan bersama. Keberhasilan kepemimpinan nasional dalam mengajak seluruh bangsa yang perlu dilandasi kemampuannya dalam mengajak dan memotivasi semua orang atau pihak yang menjalankan kepemimpinan di daerah serta di berbagai organisasi untuk bersama-sama mewujudkan perubahan dan menjadikan Pancasila realitas di Indonesia. Kondisi kepemimpinan nasional di negara Indonesia sekarang ini, seharusnya mampu dan akan menyadarkan kita bahwa proses degradasi telah terjadi terhadap kepemimpinan yang ada di negara Indonesia. Kepemimpinan nasional di negara Indonesia kita dapat dikatakan sangat lemah dan tidak amanah akibat memperhatikan kepentingan golongannya masing-masing. Adanya korupsi juga membuktikan bahwa pemerintahan yang dipegang oleh presiden tidak mampu memberikan upaya penegakan hukumnya. Pelanggaran hukum dan HAM terdapat dimana-mana, gejala disintegrasi bangsa semakin nampak dengan adanya perbedaan-perbedaan dikarenakan budaya, agama dan keyakinan masing-masing masyarakat, banyaknya kebijakan-kebijakan ekonomi yang kurang berpihak kepada rakyat. Hal ini diakibatkan karena krisis kepemimpinan dan tak adanya teladan dari pemimpin yang tak menjiwai dan tidak berbasis pada Pancasila. Pemimpin nasional (Presiden) seharusnya dilihat dan dirasakan masyarakat bahwa pemimpin tersebut adalah orang-orang yang kuat keyakinannya kepada Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa, pandangan hidup bangsa, dan jati diri bangsa Indonesia. Keyakinan itu dapat diekspresikan melalui berbagai pikiran dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Didukung oleh karakter atau kepribadian yang kuat niat serta tekad yang bulat sehingga mewujudkan 24 Sayidiman Suryohadiprojo, Mengobarkan Kembali API PANCASILA (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014) hlm. 250. [ 366 ] Rosita Indrayati keberanian moral dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Di beberapa negara modern seperti Amerika, Inggris, Perancis, dan Tiongkok adalah merupakan negara yang kepemimpinannya sudah sangat kuat. Sistem pemerintahan telah terbangun dengan demikian siapa pun yang akan menjadi presiden akan tetap membuat pemerintahan tersebut kuat dan tidak goyah. Kondisi politik yang dinamis tetap akan membuat baik dan kokoh suatu birokrasi dan administrasi yang profesional dan terstruktur. Sementara di Negara Indonesia setiap terjadinya perubahan kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap semua sektor baik sektor ekonomi maupun sektor politik. Indonesia seharusnya memilih pemimpin nasional atau presiden dengan berdasarkan atas ideologi yang telah diyakini yakni ideologi Pancasila karena kelima sila dalam Pancasila tersebut telah menjelaskan setiap proses berkehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa pun presidennya diharapkan akan mampu membawa negara Indonesia kepada tujuan yang dicita-citakan dalam pembukaan Konstitusi Indonesia dalam alinea ke-4.25 Sebagai pemimpin nasional presiden harus tetap berpegang teguh pada semua konsep kelima sila dalam Pancasila. Sila pertama tentang Ketuhanan ditempatkan dan diposisikan menjadi dasar yang paling utama dalam kaitannya dengan moralitas bangsa. Sila Ketuhanan sebagai sila yang mempunyai sifat causa prima yang artinya sebagai sumber dari sila-sila yang lain sehingga pemimpin harus ber-Tuhan, mempunyai moral dan selalu menjalankan eksistensinya sebagai pemimpin dengan benar dan mempunyai tujuan menyejahterakan rakyat dan warga negaranya. Seorang pemimpin yang ber-Tuhan sangat mungkin menjadi seorang pemimpin yang religius dan selalu melaksanakan setiap kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahannya seperti yang diperintahkan oleh Tuhannya serta menjauhkan dari setiap larangan Tuhan dan agamanya. Sifat pemimpin yang sesuai dengan sila pertama tersebut merupakan tipe pemimpin yang taat pada aturan agamanya dan tunduk pada semua yang diatur dalam agamnya karena agama yang selalu dijadikan tolak ukur setiap tindakan yang dijalankan oleh pimpinan tersebut. Sila kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Ciri dan sifat pemimpin yang dapat ditonjolkan dari sila ini adalah 25 Ibid. [ 367 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bahwasanya seorang pemimpin harus selalu mencari cara dalam setiap tindakannya untuk mencapai tujuan kepemimpinannya berbangsa dan bernegara. Sila ini juga menonjolkan sifat humanisme yang universal melalui pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) artinya bahwa kepemimpinan yang harus dijalankan berdasarkan sila ini adalah seorang pemimpin yang dalam setiap kebijakan yang diambil berdasarkan HAM. Sila ketiga Pancasila adalah sila persatuan. Dalam sila ini terkandung makna bahwasanya pemimpin harus goal oriented dan process oriented. Artinya pemimpin harus mempunyai tujuan atau berorientasi untuk pencapaian suatu tujuan dan proses yang berlangsung, sehingga pemimpin yang berbasis pada Pancasila harus mempunyai tujuan menekankan semangat persatuan dan kesatuan untuk terus berproses. Kepemimpinan yang berbasis persatuan dipandang sebagai pemimpin yang solidarity maker. Artinya pemimpin tersebut mampu menempatkan diri sebagai pemersatu bangsa, yang bisa menjejakkan kaki dan menempatkan diri dimana-mana akan tetapi tetap satu kendali, yang akan menjadi simbol kebersamaan dan persatuan serta kesatuan bangsa.26 Sila keempat Pancasila mempunyai makna kerakyatan atau demokrasi yang ada di negara Indonesia. Kepemimpinan nasional dan kekuasaan yang berdasarkan konsep sila adalah pemimpin yang dapat mengimplementasikan kedemokratisan dalam setiap pengambilan kebiajakan serta aspek penyelenggaraan pemerintahan, aspek tersebut adalah aspek politik, aspek ekonomi, aspek budaya, dan aspek pendidikan, hal ini dapat mencapai tujuan nasional bangsa dan negara secara demokratis dan bermartabat. Sedangkan sila terakhir dalam Pancasila adalah sila kelima yang berisi tentang keadilan sosial yang akan menjadi tujuan akhir dalam berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia. Kepemimpinan yang dibangun dengan dasar sila ini tidak hanya suatu kepemimpinan yang hanya berbicara tentang hukum dan keadilan dalam bidang ekonomi, keadilan dalam aspek politik, serta keadilan dalam bidang pendidikan akan tetapi kepemimpinan yang berkeadilan tinggi dalam pencapaian suatu tujuan akhir yakni berkeadilan sosial. Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang berdimensi sosial artinya sebuah keadilan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial 26 Alif Lukmanul Hakim, supra note 25. [ 368 ] Rosita Indrayati masyarakat. Keadilan di sini juga adalah keadilan yang akan selalu berpihak kepada masyarakat yang terpinggirkan dan termarginalkan oleh suatu lingkungan. Sehingga harapan ke depan seorang presiden sebagai pemimpin nasional yang mempunyai kekuasaan seharusnya berdasar atas kelima sila dalam Pancasila sebagai pedoman dalam melaksanakan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang tertuang dalam peraturan perundangundangan sebagai konsep negara hukum. Pancasila adalah falsafah atau pegangan hidup masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, sehingga kehidupan masyarakatnya harus berdasarkan konsep nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut.27 Penutup Pembatasan kekuasaan Presiden dimulai pada saat pertama kali Anggota MPR merubah Konstitusi Indonesia yang di dalam gagasan negara hukum demokratis diperdebatkan, hal itu dikarenakan kekuasaan Presiden yang begitu besar. Nilai-nilai Pancasila tercermin dalam Konstitusi Indonesia sehingga implementasi pembatasan kekuasaan presiden akan tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan serta dalam setiap pengambilan kebijakan dan menentukan keputusan yang akan diambil. Pemimpin nasional seharusnya dapat dilihat dan dirasakan masyarakat sebagai orang-orang yang kuat keyakinannya kepada Pancasila yang merupakan dasar negara, ideologi bangsa, pandangan hidup bangsa, dan jati diri bangsa Indonesia. Keyakinan itu dapat diekspresikan melalui berbagai pikiran dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Didukung oleh karakter atau kepribadian yang kuat niat serta tekad yang bulat sehingga mewujudkan keberanian moral dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Referensi Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 (yogyakarta: FH UII PRESS, 2005). 27 Pancasila, supra note 28. [ 369 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ———. Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006). Indrayana, Deny. Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran (Bandung: Mizan Pustaka, 2007). Indrayati, Rosita. PANCASILA SEBAGAI REALITAS (Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia), 1st ed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016). Kamis, Margaritno. Pembatasan Kekuasaan Presiden, 1st ed (Malang: Setara Press, 2014). Kusnardi, Moh & Harmally Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia, 1st ed (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, 1988). Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi (yogyakarta: FH UII PRESS, 2004). Pringgodigdo, AK. Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang Dasar Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Pembangunan, 1956). Sunny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, 2d ed (Jakarta: CV. Caliandra, 1965). Suryohadiprojo, Sayidiman. Mengobarkan Kembali API PANCASILA (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014). Suseno, Franz Mgnis. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). Eko Purnomo, Chrisdianto. “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia” (2010) 7 Nomor 2 J Konstitusi 159. Erfandi, Erfandi. “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana di Indonesia” (2016) 1 J Lmiah Pendidik Pancasila Dan Kewarganearaan 23. Kirom, Syahrul. “Mempraksiskan Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia” (2015) 5 No. 1 J Ilm Civ 1. Kurniasar, Kurniasar. “PANCASILA SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM DI INDONESIA” 243. Pigome, Martha. “IMPLEMENTASI PRINSIP DEMOKRASI DAN NOMOKRASI DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945” (2011) 11 J Din Huk 335. Rosadi, Otong. “HUKUM, KODRAT, PANCASILA DAN ASAS HUKUM” (2010) 10 J Din Huk 282. [ 370 ] PURIFIK A SI PILK AD A D AN REVIT ALISA SI ADA DAN REVITALISA ALISASI DEMOKRA SI PANC A SIL A DI INDONESIA DEMOKRASI PANCA SILA M. Iwan Satriawan Pendahuluan B agi negara-negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara dengan demokrasi modern, pemilihan umum (pemilu) merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan pemilu dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu sistem dan penyelenggaraan pemilu menjadi perhatian utama.1 Sejak Indonesia diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada 17 Agustus 1945,2 para pendiri bangsa Indonesia (the founding people) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) menganut paham atau ajaran demokrasi. Dalam demokrasi Indonesia, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ini berarti 1 2 Gaffar, J. M, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, 2013, hlm. 36. Untuk mendapatkan pengakuan bahwa telah berdiri negara merdeka bernama Indonesia di kawasan Asia Tenggara pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pemerintahan baru Indonesia dibawah pimpinan Soekarno dan Hatta berusaha mendapatkan dukungan dari negara-negara di dunia. Sebagai awal dukungan sudah muncul pengakuan dari negara Mesir, Palestina dan India mengenai keberadaan negara Indonesia sebagai negara yang merdeka. Uraian lebih lanjut baca dalam Hatta, M. Untuk Negeriku (Menuju Gerbang Kemerdekaan), Jakarta, Gramedia Kompas, 2015. [ 371 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham demokrasi perwakilan (representative democracy).3 Setelah kurang lebih tiga puluh sembilan tahun negara Indonesia ada dibawah rezim pemerintahan otoriter (orde lama dan orde baru), melalui gerakan reformasi oleh rakyat bekerja sama dengan mahasiswa pada 21 Mei tahun 1998 Indonesia telah mengawali babak baru dalam penerapan sistem demokrasinya.4 Dalam konteks reformasi, pemilu adalah karya politik gerakan reformasi. Oleh karena melibatkan pula massa akar rumput, pemilu yang terjadi di era reformasi merupakan pemilu non-mobilisasi, sekaligus pemilu dengan tujuan untuk menegakkan hak-hak politik masyarakat sipil, yang selama kurun tiga dekade sebelumnya kurang terakomodasi secara lebih memadai. Betapa pun demokrasi lewat pemilu pada waktu itu masih sekedar “demokrasi prosedural”.5 Dalam konteks perkembangan penerapan demokrasi perspektif pemilihan kepala daerah merupakan drama yang memiliki episode-episode kontekstual dengan dinamika politik dalam transisi demokrasi di Indonesia. Semua pihak harus bijaksana dalam menilai setiap episode tersebut, karena dalam suatu transisi demokrasi pilihan-pilihan penerapan demokrasi sebagai bagian dari dinamika politik berbanding lurus dengan kondisi dinamis baik di dalam negeri maupun kondisi dinamis global. Masa transisi ini ditandai dengan terjadinya liberalisasi dan demokrasi.6 Liberalisasi tidak hanya dalam konteks ekonomi saja namun juga telah masuk pada tataran pemilu, baik pemilu legislatif dan eksekutif lebihlebih pada pilkada. Liberalisasi identik dengan makna kebebasan, baik kebebasan dalam berpendapat maupun mengambil keputusan. Demikian halnya yang terjadi dengan dinamika pilkada di Indonesia. 3 4 5 6 Rambe, K. Z Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Expose, 2016, hlm. 7. Orde lama dimulai penerapan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang menghasilkan konsepsi demokrasi terpimpin yang berakhir pada 1966, sedangkan Orde baru dimulai dari tahun 1967-1998. Sardini, N, H., Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta, Fajar Media, 2011, hlm. 3. Hoesein, Z, A., & Yasin, R., 2015. Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Penguatan Konsep dan Penerapannya), Jakarta Timur, LP2AB, hlm. 2. [ 372 ] M. Iwan Satriawan Salah satu bentuk dari liberalisasi pemilu adalah diberikannya kebebasan bagi rakyat dalam menentukan pemimpinnya baik di tingkat nasional maupun daerah. Diawali dengan pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung (one man one vote) pada tahun 2004 menjadi pemicu bagi dilaksanakannya pula pemilihan kepala daerah secara langsung atau selanjutnya disebut dengan pilkada pada tahun 2005.7 Dalam sistem demokrasi modern kegiatan pemilu maupun pilkada secara berkala juga merupakan sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil dan fundamental. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara penyelenggaraan pilkada mengalami dinamisasi, mengingat pilkada merupakan fondasi awal bagi terwujudnya demokrasi di tingkat lokal.8 Salah satu bentuk dinamika demokrasi tersebut adalah tetap berperan pentingnya partai politik dalam suksesi kepala daerah, meskipun sejak 2008 berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah diatur tentang mekanisme pencalonan kepala daerah lewat jalur independen (non parpol). Colin Rallings dan Michael Thrasher dalam bukunya Local Election in Britain mengutarakan sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah memiliki dampak baik lokal maupun nasional. Seberapa baik atau buruk partai dalam tampilannya akan berdampak pada panggung politik baik lokal maupun nasional.9 Berdasarkan pendapat tersebut telah menunjukkan pentingnya pilkada terhadap eksistensi partai politik di tingkat pusat dan juga daerah. Sedangkan disisi lain asumsi umum mengatakan bahwa demokrasi di tingkat lokal akan mendapatkan kekuatan apabila terjadi penyerahan mandat (politik) langsung dari warga kepada para kepala daerah. Oleh sebab itu terdapat beberapa keuntungan ketika pilkada langsung dilaksanakan yaitu pertama, terwujudnya legitimasi politik, kedua pilkada 7 8 9 Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pilkada pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan jumlah pemilihan gubernur sebanyak 7, Walikota sebanyak 174 dan bupati sebanyak 32 (sumber direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri). Hamidi, J., & Mustofa, L., 2010. Rethinking Penyelenggaraan Pilkada yang Demokratis dan Partisipatif sebuah kumpulan tulisan dalam Konstitusionalisme Demokrasi, Malang, In-Trans Publishing, hlm. 211. Rallings, C., & Thrasher, M., 2003, Local Elections in Britain, London, Routledge. hlm. 14 (terjemahan penulis) [ 373 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi langsung mampu optimalisasi ekuilibrium checks and balances antara lembaga-lembaga negara dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level lokal. Keempat pilkada langsung akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat terutama berkaitan dengan kualitas partisipasi publik.10 Namun seiring dengan berjalannya waktu telah terjadi pergeseran makna pilkada, yang seharusnya dapat menghasilkan pemimpin yang amanah justru telah bergeser menghasilkan pemimpin yang despotis, korup dan tirani.11 Tidak hanya itu, munculnya dinasti politik tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu efek samping dari pelaksanaan pilkada selain daripada gagalnya peran partai politik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana amanat UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai politik. Disisi lain sebagaimana diungkapkan oleh M. Andi Susilawan dkk, bahwa pemilihan kepala daerah (baik gubernur, bupati dan walikota) yang dipilih langsung oleh rakyat banyak sekali menimbulkan kerugian-kerugian yang signifikan. Kerugian-kerugian tersebut diantaranya banyak masyarakat cenderung bersifat euforia dan fanatisme terhadap calon yang mereka usung sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar aturan demi memenangkan pasangan calon pemimpin yang mereka usung. Bahkan, apabila calon yang mereka usung gagal memenangkan perhelatan pilkada, maka bukan tidak mungkin massa pendukung masingmasing akan melakukan tindakan kriminal dengan cara bentrok antara massa pendukung yang mengakibatkan rusaknya fasilitas umum.12 Fenomena ini tidak lepas dari mulai hilangnya atau memudarnya penerapan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila di Indonesia. Kejatuhan 10 Agustino, Leo, 2014. Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Bandung: Alfabeta. hlm. 103. Beberapa contoh kepala daerah yang tertangkap KPK yaitu: Bupati Klaten, Bupati Tanggamus, Bupati Lampung Selatan, Gubernur Banten, Gubernur Sumut. Sedangkan menurut Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK, Ranu Wiharja mengungkapkan, sejauh ini terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi. Lihat http://nasional.kompas.com/ read/ 2016/08/03/12090731/kpk.18.gubernur.dan.343.bupati.wali.kota.terjerat.korupsi, diakses pada 20 Januari 2017. 12 Andi Silawan, M., dkk. Tinjauan Yuridis Terhadap Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jurnal Fiat Justisia, Vol. 8 Nomor 2 edisi AprilJuni 2014, hlm. 368. Beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan massa pendukung adalah kasus pilkada Kuantan Singingi, Pilgub Papua Barat. 11 [ 374 ] M. Iwan Satriawan Soeharto membawa dampak yang sangat luas bagi penerimaan dan penerapan Pancasila di masyarakat. Fenomena ini tidak terlepas dari penerapan Pancasila di era Soeharto yang berupa doktrinasi mulai dari pelaksanaan penataran P4, penerapan Pancasila sebagai asas tunggal baik bagi parpol dan ormas hingga kepada tidak diterapkannya nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen oleh pejabat negara dalam mengelola negara. Hal ini berdampak pada apatisnya masyarakat terhadap sloganslogan penerapan Pancasila pasca reformasi. Pancasila bahkan diidentikkan dengan warisan orde baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga jika ada upaya kembali menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai upaya mengembalikan kejayaan orde baru yang terkenal dengan penerapan psudeo demokrasinya. Berkembangnya paham tentang seruan untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist oleh kelompok-kelompok Islam puritan13 juga diakibatkan karena Pancasila dianggap telah gagal dalam membawa negara Indonesia menuju kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Pancasila sebagai D asar N egara Dasar Negara Pancasila merupakan dasar ideologi atau lebih kita kenal sebagai landasan ideologi bangsa. Kata ideologi berasal kata idea dan logos. Idea berasal dari bahasa Yunani “ideos” yang berarti bentuk gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau cita-cita. Cita-cita yang dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan harus dapat dicapai sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan dasar, pandangan dan paham.14 Pancasila bukanlah wahyu yang turun dari langit. Pancasila merupakan hasil pemikiran, perenungan anak-anak pergerakan dan pendiri bangsa yang melalui konsensus nasional dijadikan dasar rumah bersama warga nusantara. Baik sebagai dasar negara, pandangan hidup maupun sebagai ideologi, Pancasila memiliki ciri transformatif. Maksudnya, sebagai sebuah 13 Kelompok-kelompok Islam puritan menurut penulis adalah mereka yang menyuarakan penerapan Islam secara formal seperti HTI, Khilafatul Muslimin, LDII. 14 Jumanta Hamdayani sebagaimana dikutip oleh Krisnayuda, B. 2016. Pancasila dan UndangUndang: Relasi dan Transformasi Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta. Prenada Media Group. hlm. 50. [ 375 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dasar negara sejak awal pembahasannya dalam sidang BPUPKI, Pancasila sudah dikaitkan dengan usaha mengubah suatu negara dan masyarakat Indonesia yang mandiri, Pancasila menawarkan suatu cita ideal yang menjadi sinar penerang menggapai masa depan bangsa yang gemilang. Dan sebagai ideologi, Pancasila memberikan landasan sekaligus orientasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh dan menyeluruh.15 Dalam sidang BUPKI, Soekarno sebagai pencetus Pancasila telah mengemukakan bahwa ada 5 (lima) sila sebagai philosofische grondslag, suatu weltanchauung diatas mana negara Indonesia didirikan. Secara ringkas Pancasila tersebut terdiri dari (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan; (3) Demokrasi; (4) Keadilan Sosial; dan (5) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.16 Kemudian usulan dari Bung Karno ini disempurnakan redaksionalnya oleh panitia sembilan dan dimasukkan dalam pembukaan UUD 1945.17 Konsekuensi dari kedudukan Pancasila sebagai dasar negara memiliki sifat imperatif atau memaksa bagi semua warga negara Indonesia. Setiap warga negara, baik pejabat maupun rakyat biasa wajib tunduk pada Pancasila. Kondisi tersebut untuk merealisasikan suatu kehidupan yang menghargai martabat dan hak asasi semua warga negara.18 Pada dasarnya Pancasila merupakan konsensus nasional yang memuat nilai-nilai kebaikan bersama sebagai dasar pemersatu suatu negara. Sebagai konsensus, apakah Pancasila merupakan falsafah negara atau sekedar persetujuan politik hal demikian masih debatable. Tetapi setiap perjanjian adalah suci bagi pihak-pihak yang terikat. Kesucian itu setidaknya menuntut dua hal pertama, keharusan untuk melaksanakan isi perjanjian. Kedua, larangan untuk mengkhianati isi perjanjian.19 15 Hariyono, 2014. Ideologi Pancasila (Roh Progresif Nasionalisme Indonesia), Malang. Intrans Publishing. Hlm. 127-128. 16 Hatta, M. 2015. Menuju Gerbang Kemerdekaan, Jakarta. Kompas 17 Adapun penyempurnaan redaksionalnya menjadi sebagai berikut :(1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. 18 Hariyono. 2014. Ideologi Pancasila Roh Progresif Nasionalisme Indonesia, Malang. Intrans Publishing, hlm. 154. 19 Abu Rokhmad, Dasar Negara Dan Taqiyyah Politik PKS, Walisongo, Volume 22, Nomor 1 Mei 2014, hlm. 15-16. [ 376 ] M. Iwan Satriawan Berdasarkan sila ke-4 (empat) Pancasila tersebut, pemilihan tidak hanya presiden namun juga kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/atau Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dinamika Pilkada di Indonesia Pemilihan Umum merupakan salah satu cara pergantian kekuasaan baik secara nasional maupun lokal dengan damai. Pemilihan umum juga merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara berkala.20 Dalam konteks nasional Pemilu sering disebut dengan istilah pemilihan umum sedangkan dalam konteks lokal disebut dengan istilah pilkada (pilihan kepala daerah), kedua istilah ini mengandung arti yang sama. Pelaksanaan Pemilu secara reguler merupakan salah satu syarat dikatakan suatu negara menganut paham negara demokrasi, karena dengan adanya pemilu akan dapat mewujudkan kedaulatan rakyat, pemerintah yang kredibilitas, memahami aspirasi rakyat dan terwujudnya suksesi kepemimpinan di kalangan elit politik. Menurut Kapur,21 pemilu secara langsung mempunyai beberapa keistimewaan: pertama, merupakan proses yang lebih partisipatif dan kedua adalah berupa partisipasi rakyat yang lebih luas, bukan saja melibatkan sekelompok orang (oligarki) dalam parlemen. Philip Mawhood dan J.A. Chandler sebagaimana dikutip oleh Suharizal menyatakan bahwa pemerintah lokal memiliki potensi dalam mewujudkan demokratisasi karena proses desentralisasi mensyaratkan adanya tingkat responsivitas, keterwakilan dan akuntabilitas yang lebih besar.22 Dalam kaitannya dengan pemilu di tingkat lokal, Alan R. Ball mengemukakan 20 Baca Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Kapur sebagaimana dikutip oleh Hasyim, S. & AW, Zainal. A. 2013. Pilkada dan Demokrasi di Aceh dalam Belajar dari Politik Lokal, Jakarta. UI-Press, hlm. 102. 22 Suharizal, 2012. Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang), Jakarta. Rajawali Press, hlm. 175. 21 [ 377 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bahwa pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam substansi maupun fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktik bernegara masa kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan.23 Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Larry Diamond. Dalam kerangka pikiran Diamond, pemerintah daerah termasuk DPRD memiliki peran yang cukup penting untuk mempercepat vitalitas demokrasi berdasarkan sejumlah alasan.24 Alasan-alasan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: pertama, pemerintah daerah dan DPRD dapat membantu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi di kalangan warganya. Baik melalui pendidikan politik hingga pada pelaksanaan pemilu. Kedua, pemerintah daerah dan DPRD dapat meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan yang ada di daerah. Ketiga, pemerintah daerah dan DPRD dapat menyediakan saluran dan akses tambahan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis termarginalisasi baik karena perbedaan suku, agama maupun sosial ekonomi. Keempat, pemerintah daerah dan DPRD dapat mendorong untuk terwujudnya mekanisme checks and balance di dalam kekuasaan yaitu antara eksekutif dan legislatif. Dan yang kelima, pemerintah daerah dan DPRD dapat memberikan kesempatan kepada partai-partai atau faksi-faksi yang ada di legislatif untuk melakukan oposisi di dalam kekuasaan politik. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh dewan. Sementara menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD. DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah pusat. Namun sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1957 hingga UU Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pemilihan kepala daerah tidak mengalami perubahan dengan ketentuan sebagai berikut25 (a) Kepala daerah dipilih oleh DPRD; (b) Kepala daerah tingkat I diangkat 23 Alan. R.B, 1981, Modern Politics and Government, London and Basingstoke, The Macmillan Press Ltd 24 Diamond. L, sebagaimana dikutip oleh Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia (konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru), Jakarta. Kencana Prenada Media, hlm. 171. 25 Suharizal, Pemilukada (Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang), (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm 16. [ 378 ] M. Iwan Satriawan dan diberhentikan oleh Presiden; (c) Kepala daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. Ketentuan ini menunjukkan politik hukum pemerintahan daerah yang diterapkan oleh pemerintahan era orde baru masih bersifat sentralistik. Hal ini dibuktikan meskipun kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun DPRD hanya berhak mengajukan dua orang calon terpilih untuk diajukan kepada pemerintah pusat yang kemudian salah satunya ditetapkan menjadi kepala daerah oleh presiden melalui mendagri. Maka pelaksanaan pilkada yang dalam praktiknya selalu dilakukan oleh DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/Kota berubah hingga munculnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008, selain dilaksanakannya pilkada langsung juga dibukanya peluang bagi calon perseorangan sebagai calon kepala daerah. Munculnya perubahan sistem pemilihan kepala daerah karena berkaca pada kesuksesan pilpres pada tahun 2004, maka DPR RI bersepakat untuk menerjamahkan frasa dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan dipilihnya kepala daerah secara langsung. Ketentuan ini kemudian dituangkan dalam Pasal 24 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana kemudian dirubah dengan UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini kemudian diperkuat dengan Putusan MK No. 072-073/PUUII/2004 yang salah satu bahasannya adalah pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Berdasarkan putusan ini, maka pilkada masuk pada rezim pemilu yang mana sengketa perselisihan hasil pilkada masuk ranah wilayah Mahkamah Konstitusi hingga terbentuknya peradilan tersendiri tentang sengketa pilkada. Purifikasi D esain P ilkada dalam D esain D emokrasi P ancasila Desain Pilkada Desain Demokrasi Pancasila Reformasi 1998 telah membawa implikasi pada perubahan UUD 1945. Dan sesuai kesepakatan aktor-kator politik waktu itu, ada 2 (dua) hal yang [ 379 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi tidak boleh dilakukan perubahan yaitu (1) Sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensiil; dan (2) pembukaan UUD 1945 yang disitu juga mencantumkan Pancasila sebagai dasar filosofi kebangsaan dan kenegaraan. Salah satu point krusial dalam amanademen UUD 1945 adalah pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Hal ini berdampak pula pada perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah. Amandemen UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Secara terminologis, demokrasi dalam masyarakat nusantara dipersamakan dengan urun rembuk (jawa), mufakait (minang) ataupun istilah lain yang mempunyai persamaan makna sebagai perundingan atau pembicaraan terhadap sesuatu untuk mencari jalan atau cara penyelesaian dari persoalan.26 Namun disatu sisi menurut Haga sebagaimana dikutip oleh Koentjoro Poerbopranoto, dalam demokrasi ketimuran terdapat perbedaan substansial dengan demokrasi barat, yakni adanya pengambilan keputusan dengan mekanisme mufakat.27 Mekanisme mufakat atau musyawarah mufakat dalam adat Indonesia adalah dilakukan oleh para tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka berkumpul dalam suatu majelis untuk memusyawarahkan suatu permasalahan yang muncul di masyarakat hingga memunculkan pandangan yang sama mengenai pemecahan suatu permasalahan tersebut. Hal inilah yang nampak pada masyarakat suku Sasak (Lombok) yang menggunakan Begundem sebagai lembaga pengambilan keputusan atau model mufakait dalam tradisi Minangkabau. Pelaksanaan musyawarah mufakat sangat identik dengan demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi didasarkan pada asas kekeluargaan dan kegotong-royongan yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.28 26 Budiardjo, M. 1982, Masalah Kenegaraan, Jakarta, Gramedia, hlm. 57. Poerbopranoto, K, 1978, Sekilas tentang Sistem Pemerintahan Demokratis, Bandung. Eresco, hlm. 84. 28 Yunus, N. R, Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, SOSIO DIDAKTIKA, vol. 2 edisi ke-2, tahun 2015, hlm. 160-161. 27 [ 380 ] M. Iwan Satriawan Demokrasi perwakilan sebagaimana sudah dipraktikkan di desa-desa berabad-abad yang lampau dan menjadi jiwa Pancasila telah berubah ketika semangat mengembalikan kedaulatan rakyat yang diwujudkan berupa pemilihan langsung muncul seiring dengan banyaknya pemimpin di negara ini yang terpilih bukan karena kehendak rakyat melainkan kehendak partai atau dewan. Hal ini berakibat pada kekecewaan rakyat terhadap pemilihan perwakilan. Pelaksanaan pilkada secara langsung tidak hanya membawa dampak perubahan demokrasi di tingkat lokal dan mahalnya biaya pelaksanaan pilkada namun juga membawa dampak banyaknya sengketa yang muncul diakibatkan ketidakpuasaan pendukung dan calon akan hasil akhir pilkada. Berdasarkan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan sengketa pilkada bukan lagi kewenangan MK. Namun demikian sebelum ada regulasi baru yang mengaturnya, MK tetap berwenang menangani sengketa pilkada. Maka putusan ini menimbulkan pro dan kontra atas pelaksanaan pilkada secara langsung. Bahkan perubahan Undang-Undang tentang pilkada kerap kali terjadi. Mulai dari munculnya Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, kemudian diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2015 hingga terakhir dilakukan perubahan lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Inti dari berbagai perubahan tersebut adalah tarik ulur pelaksanaan pilkada secara langsung atau tidak langsung. Padahal secara teoritis dalam praktiknya, pemilu secara demokrasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu dapat dipilih secara langsung atau juga dapat melalui lembaga perwakilan. Demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dibuat untuk dapat dipraktikkan dalam jangka waktu yang lama dan mencakup wilayah yang cukup luas.29 Pro dan kontra apakah pilkada masuk rezim pemilu atau tidak sempat mencuat, hal ini kemudian diperkuat dengan Putusan MK No. 97/PUUXI/2013 dalam pengujian UU No. 32 Tahun 2004 (dan perubahannya), telah nyata bahwa sesungguhnya kebijakan untuk menerapkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, khususnya frasa “dipilih secara demokratis” bagi kepala 29 Dahl sebagaimana dikutip oleh Gaffar, J ,M. 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 2-3. [ 381 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) adalah mer merupakan upakan opened legal policy bagi pembentuk undang-undang. undang-undang.” (Vide putusan MK No. 1-2/ PUU-XII/2014 dan UU MK yang tidak memberikan kewenangan PH Pilkada). Maka sejatinya tidak harus pilkada dilakukan secara langsung di semua daerah di Indonesia, namun harus juga melihat dan mempertimbangkan kondisi DPRD dan kualitas demokrasi di daerah. Maka penulis mengusulkan perlu dilakukannya “the models of mixed local election” (model pemilihan kepala daerah campuran).30 Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jawahir Thontowi bahwa praktik pilpres dan pilkada langsung telah meniadakan implementasi sila keempat Pancasila. Istilah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan telah tiada dalam praktekknya. Sebab sebelumnya lembaga DPRD provinsi, kabupaten dan kota berfungsi melakukan filter (penyaringan) calon-calon gubernur, bupati dan walikota yang berkualitas. Untuk dapat terseleksi dengan baik dan berintegritas, maka institusi legislatif di tingkat provinsi, kabupaten dan kota berfungsi sebagia tempat bermusyawarah wakil-wakil rakyat. Hilangnya implementasi sila keempat tersebut telah menjadi keprihatinan akan hilangnya pemahaman Pancasila dari generasi mendatang.31 Berdasarkan hal tersebut dan disesuaikan dengan semangat sila keempat Pancasila,32 maka tidak semua daerah dapat dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung namun disesuaikan dengan indeks demokrasi di daerah, jika indeks demokrasi di suatu daerah cukup baik maka dapat dilakukan pilkada langsung namun demikian juga sebaliknya jika indeks demokrasi dalam suatu daerah menurun maka pemilihan kepala daerah cukup dilakukan oleh DPRD. 30 Contoh beberapa daerah yang tidak menerapkan pilkada secara langsung yaitu: DKI, untuk pemilihan wali kota di tunjuk oleh gubernur terpilih, DIY, Gubernur dan wakil gubernur disandang turun menurun oleh Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam, sedangkan untuk bupati dan wali kota di pilih secara langsung oleh rakyat. 31 Thontowi, Jawahir, 2016, Pancasila dalam Prespektif Hukum (Pandangan Terhadap Ancaman “The Lost Generation”), Yogyakarta, UII Press, hlm. 87-88. 32 Lihat TAP MPRS NO. VIII/MPRS/1965, TAP MPRS ini masih berlaku karena hingga saat ini belum ada yang mencabutnya. [ 382 ] M. Iwan Satriawan Untuk merealisasikan model pilkada campuran ini, maka selain diperlukan undang-undang pilkada secara umum, diperlukan juga undangundang pilkada secara khusus sebagaimana yang sudah dipraktikkan di Aceh, DKI, Yogya dan Papua. Parameter daerah harus melakukan pilkada melalui lembaga perwakilan dapat dimulai dari pelaksanaan pilkada tahun sebelumnya yang mengalami kekacauan atau rusuh. Sehingga setiap daerah yang pada periode sebelumnya pilkadanya rusuh, maka di periode berikutnya pilkada dilaksanakan melalui DPRD. Konteksualitas pemilihan kepala daerah dengan cara tidak langsung, melalui DPRD secara faktual senyatanya dapat dilaksanakan yaitu dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah bersangkutan. Artinya, pada daerah-daerah yang secara ekonomis justru menimbulkan biaya tinggi yang dapat berpengaruh negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian setempat maka pemilihan melalui DPRD dapat menjadi alternatif, tinggal bagaimana mekanisme pemilihan tersebut agar tidak sesuai dengan orde lama dan orde baru ataupun mengikuti UU No.22 Tahun 1999.33 Penutup Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat di satu sisi merupakan upaya mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dalam hal memilih kepala daerahnya. Namun disisi lain, pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat bertentangan dengan semangat pengamalan Pancasila khususnya pasal 4 (empat) yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Karena sejatinya demokrasi yang diusung di Indonesia adalah demokrasi perwakilan sebagaimana yang sudah dipraktikkan di desa-desa. Munculnya evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada secara langsung disebabkan masih banyaknya pelanggaran pilkada yang dilakukan baik oleh penyelenggara maupun peserta. Selain itu pilkada langsung juga membawa implikasi tumbuh sumburnya korupsi di daerah dan munculnya dinasti politik. Oleh Karena itu, model campuran lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia 33 Muhtadi, Makna dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Jurnal Konstitusi, [ 383 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi saat ini, di mana tidak semua daerah dapat melaksanakan pilkada secara langsung, namun ada juga beberapa daerah yang dapat melaksanakan pilkada melalui lembaga perwakilan atau DPRD. Demokrasi pada dasarnya tidak harus identik dengan pemilihan secara langsung melainkan dapat dilakukan secara tidak langsung. Karena sejatinya kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari segi partisipasi warga saja dalam pemilu, melainkan juga tingkat kompetisi, legitimasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin terpilih. Sedangkan tingkat pertumbuhan pembangunan khususnya pada sumber daya manusia di Indonesia belum merata baik antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan pembangunan masih dirasakan setiap warga negara. Sehingga berdampak pada penerapan money politik dalam setiap pilkada tetap meraja lela dan bahkan semakin masif. Maka pelaksanaan demokrasi secara perwakilan saat ini menjadi pilihan terbaik bagi daerah yang masih terbelakang mengenai pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan infrastrukturnya. Daftar P ustaka Pustaka Alan R. Ball, 1981, Modern Politics and Government, London: Macmillan Press. Abu Rokhmad, 2014. Dasar Negara Dan Taqiyyah Politik PKS, Walisongo, Volume 22, Nomor 1 Mei. Backy Krisnayuda, 2016. Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group Colin Rallings & Thrasher, Michael, 2003, Local Elections in Britain, London: Routledge. Hasyim Syarifuddin & AW, Zainal Abidin. 2013. Pilkada dan Demokrasi di Aceh dalam Belajar dari Politik Lokal, Jakarta: UI-Press. Hariyono, 2014. Ideologi Pancasila (Roh Progresif Nasionalisme Indonesia), Malang: IntransPublishing. Janedri Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press. _______, 2013, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Press. [ 384 ] M. Iwan Satriawan Jazim Hamidi & Lutfi, Mustofa.2010. Rethinking Penyelenggaraan Pilkada yang Demokratis dan Partisipatif sebuah kumpulan tulisan dalam Konstitusionalisme Demokrasi, Malang: In-Trans Publishing. Jawahir Thontowi, 2016, Pancasila dalam Perspektif Hukum (Pandangan Terhadap Ancaman The Lost Generation), Yogyakarta: UII Press Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media. Leo Agustino, 2014. Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Bandung: Alfabeta. M. Hatta, 2015. Untuk Negeriku, Jakarta: Gramedia Kompas. Muhtadi, 2011. Makna dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Jurnal Konstitusi, FH UNILA, Vol. III No. 1. Nur Hidayat, Sardini, 2011, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta: Fajar Media. Rambe Kamarul Zaman, 2016, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Jakarta: Expose. Rallings, C., & Thrasher, M., 2003, Local Elections in Britain, London: Routledge. Suharizal, 2012. Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang), Jakarta: Rajawali Press. Yunus, N.R, 2015. Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, SOSIO DIDAKTIKA, vol. 2 edisi ke-2. Zainal Arifin Hoesein & Yasin, Rahman. 2015. Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Penguatan Konsep dan Penerapannya), Jakarta Timur: LP2AB. [ 385 ] SOL USI PANC A SIL A D AL AM PEMBAHARU AN SOLUSI PANCA SILA DAL ALAM PEMBAHARUAN DEMOKRA SI INDONESIA: KAJIAN DEMOKRASI PENYEMPURNAAN REGUL A SI PILK AD A REGULA ADA Achmadudin Rajab Pendahuluan S istem demokrasi Pancasila seperti yang terdapat dalam sila ke-4 bermakna bahwa negara Indonesia dipimpin secara demokratis melalui mekanisme perwakilan. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang didasarkan pada asas kekeluargaan dan kegotongroyongan yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-insur berkesadaran religius, kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.1 Sesuai dengan sila ke4 tersebut, maka dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat. Kebebasan individu dalam demokrasi pancasila tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.2 Demokrasi Pancasila pada hakikatnya merupakan norma yang mengatur penyelenggaraan kedaulatan rakyat dan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, bagi setiap warga negara Republik Indonesia, organisasi kekuatan sosial politik, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainya serta lembaga-lembaga negara baik di pusat maupun di daerah.3 1 2 3 Nur Rohim Yunus, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Jurnal UIN JKT, No. 2 (November, 2015), hlm. 160-161. Ibid. Ibid. [ 387 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Mekanisme perwakilan dalam menjalankan pemerintahan ini dilaksanakan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta DPRD termasuk bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila sesuai sila ke-4 Pancasila ini, dan kesemuanya adalah bentuk mesin pemerintahan di tingkat daerah. Adapun untuk mengisi pemerintahan di daerah ini dilaksanakanlah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pilkada merupakan pemilihan pemimpin suatu daerah yang melibatkan publik atau rakyat secara berkedaulatan. Pilkada juga merupakan suatu aktivitas dari proses demokrasi yang memiliki output yakni pejabat politik (elected official) bukan memilih pejabat administratif (appointed official ).4 Pilkada merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat maka penyelenggaraan Pilkada yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah daerah. Pilkada memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Mekanisme penyelenggaraan Pilkada telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan,5 namun implementasi dari sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut tidaklah mudah karena dinamika politik dan hukum pasca reformasi telah membuka dan memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan judicial review terhadap beberapa peraturan terkait Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Adapun masyarakat yang melakukan judicial review disebut dengan pemohon, walaupun memang pemohon haruslah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan perkara konstitusi terkait kerugian konstitusionalnya atas keberlakukan peraturan perundang-undangan tersebut.6 Para pemohon yang mengajukan gugatan terkait dengan pengaturan Pilkada dalam UU Pilkada tersebut adalah bagian dari wujud demokrasi 4 5 6 Ari Padhanawati, Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005), hlm. 144. Lihat UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang; UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015; dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 68. [ 388 ] Achmaduddin Rajab pancasila itu sendiri. Hal ini bagian dari pelaksanaan dan pengamalan sila ke-4 yang menjafi dasar kehidupan pemerintahan bernegara dan bersamyarakat yang demokratis. Walaupun praktik demokrasi juga diterapkan di negara-negara lain, demokrasi di Indonesia ini memiliki ciri yang khusus, yakni ada keseimbangan antara hak dan kewakiban warga negara dalam membentuk dan menjunjung tinggi pemerintahannya. Berbeda dengan demokrasi di negara-negara lain, dimana ada demokrasi yang mengutamakan hak dan mengesampingkan kewajiban. Seperti yang diatur oleh negara yang berpaham liberal ataupun demokrasi yang mengutamakan kewajiban dan mengabaikan hak-hak warga negaranya seperti yang diterapkan di negara-negara sosialis. Di Indonesia penerapan demokrasi seperti halnya yang menjadi landasan pelaksanaan Pilkada ini adalah demokrasi yang didalamnya ada keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara yakni demokrasi Pancasila. Dalam demokrasi Pancasila ini partisipasi masyarakat atau warga negara dapat ditampung dan diakomodir dalam menentukan kebijakan publik sehingga kebijakan dan ketentuan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang mendapat dukungan serta pengawasan dari masyarakat . Adapaun karakteristik semacam ini dalam sila ke-empat meliputi: 1. Penyelenggaraan Negara secara demokratis; 2. Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila; dan 4. Bercirikan musyarawah untuk mufakat.7 Hal ini pulalah yang pada akhirnya menjadi alasan mengapa menjelang Pilkada serentak pertama kali di tahun 2015 banyak pemohon dari masyarakat menguji beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan dmeokrasi pancasila itu sendiri. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kiranya penulis ingin mengkaji mengnai “Urgensi Memasukkan Pancasila Sebagai Solusi Atas Kekurangsempurnaan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.” Kiranya tulisan ini dapat menjadi masukan yang berarti guna perbaikan akan kekurangsempurnaan UU Pilkada kedepannya pada khususnya dan bagi Pengembangan Hukum Tata Negara ke depannya. 7 Hadi Wiyono. Kewarganegaraan. Jakarta, Widya Pustaka, 2007, hlm. 12. [ 389 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Peran P enting P ancasila Penting Pancasila Pancasila sebagai ideologi negara merupakan maha karya asli Indonesia yang bersumber dari kekayaan rohani, moral, dan budaya bangsa. Ketika kita menyadari bahwa dalam alinea ke-4 dari pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mengandung Pancasila didalamnya, maka dapat kita ketahui bahwa Pancasila merupakan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara di tanah air kita Indonesia. Dalam kehidupan politik dan pemerintahan seharusnya tertanam jiwa Pancasila. Pengambilan keputuan suatu kebijakan politik maupun kebijakan-kebijakan lainnya haruslah diawali oleh nilainilai Pancasila. Oleh karena itu pula maka adalah telah tepat bilamana setiap warga negara harus mempelajari, mendalami, mengahyati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita tarik dalam konsep sosial budaya, maka budaya dan ideologi dapat masuk ke Indonesia dengan syarat dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat dan sangat mungkin untuk berkembang secara berkesinambungan.8 Sehingga dengan demikian, kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara tersebut bukanlah tanpa maksud bahwa sejatinya Pancasila merupakan sistem nilai yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, Pancasila perlu diimplementasikan ke dalam sistem pemerintahan yang diterapkan dalam mengatur aspek kehidupan individu, berbangasa, dan bernegara. Untuk memahami peranan Pancasila, perlu kita kaji kedudukan dari Pancasila di Indonesia. Kedudukan Pancasila di Indonesia adalah sebagai staatsfunfamentalnorm dalam struktur hierarki tata hukum Indonesia. Jika dilihat dari struktur hierarki tata hukum Indonesia tersebut, maka kedudukan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm. Pancasila sebagai dasar falsafah negara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut menurut Notonagoro merupakan pula seuatu cita hukum (rechtsidee) atau yang merupakan bintang pemandu9. Kedudukan Pancasila yang semacam ini pula menjadikan Pancasila memiliki peran yang 8 9 Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm 3. Notonagoro, “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalamPancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun). [ 390 ] Achmaduddin Rajab penting yakni dalam setiap pembentukan hukum positif di Indonesia perlu kiranya selalu mencapai ide-ide dalam Pancasila. Hal ini pula lah yang pada akhirnya berkembang dalam setiap pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi atau judical review selain menggunakan konstitusi sebagai batu uji dapat pula menggunakan Pancasila untuk menguji hukum positif yang saat ini berlaku. Hal ini semata-mata dikarenakan kedudukan Pancasila yakni sebagai Staatsfundamentalnorm dalam struktur hierarki tata hukum Indonesia, maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah) dalam pembentukan undang-undang perlu kiranya mengaktualisasikan Pancasila sebagai landasan politik hukum pembentukan undang-undang di Indonesia. Peran penting Pancasila dengan kedudukannya sebagai Staatsfundamentalnorm disini berarti Pancasila perlu dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan hukum dalam perundang-undangan baik dalam membentuk undang-undang yang baru ataupun undang-undang perubahan, hal ini agar hukum yang dibentuk nantinya dapat mencapai keadilan yang merupakan tujuan hakiki huku tersebut.10 Pentingnya peran Pancasila untuk selalu masuk dalam politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan disebabkan pula bahwa Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang telah lahir sejak sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila juga merupakan sebuah sistem filsafat yang juga rumusan ideal dalam membangun keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa, sehingga berbagai komponen bangsa seharusnya menggunakan dan mengembangkan sistem filsafat Pancasila dalam berbagai bidang. Namun demikian secara realitas, Pancasila yang sering diagung-agungkan sebagai falsafah bangsa, pedoman bertindak, identitas nasional, sumber hukum, dan cita-cita nasional, seringkali lebih dipandang hanya sebagai simbol saja. 11 Peran dan kedudukan penting dari Pancasila ini seringkali terlupa bahkan tidak 10 Derita Prapti Rahayu, “Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Indonesia”, Jurnal Yustisia, Edisi 91 (Januari-April,2015), hlm 114-115. 11 Ibid. [ 391 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi disadari oleh banyak pihak, dalam hal ini terkait dengan pembentukan suatu undang-undang yang khusus untuk mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yakni dalam membentuk UU Pilkada. Menguji P ancasila dalam D inamika P ilkada Pancasila Dinamika Pilkada Pilkada selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa terdapat perubahan metode pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dapat dilaksanakan baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Adapun semenjak era reformasi, masyarakat secara luas lebih memiliki kepedulian mengenai jalannya politik dan pemerintahan sebagai fungsi wujud kontrol langsung masyarakat terhadap wakilnya di dalam pemerintahan. Oleh karena itu pula demokrasi yang lebih diinginkan dan ada dalam benak ataupun mindset mayoritas orang adalah demokrasi yang melibatkan aspirasi masyarakat dalam menajalankan perannya seca aktif dan menentukan dalam proses politik. Partisipasi merupakan elemen penting dalam pemberdayaan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, pemilihan yang dilakukan secara langsung dalam pelaksanaan Pilkada lebih dirasakan demokratis untuk saat ini dibandingkan pemilihan tidak langsung dalam rangka pelaksanaan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Dinamika Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ini diwarnai dengan terdapat 2 (dua) istilah yang berbeda yakni Pilkada dan Pemilukada dalam kurang lebih 15 belas tahun untuk menggambarkan politik Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedua istilah itupun pada dasarnya memiliki pemaknaan yang berbeda. Pilkada secara umum adalah proses pemilihan kepala daerah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Pemilukada12 merupakan istilah ketika pemilihan kepala daerah masuk dalam rezim Pemilu.13 Selanjutnya kembali ditegaskan 12 Pengertian Pemilukada diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 13 Istilah ini muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 22 Tahun 2007). [ 392 ] Achmaduddin Rajab sebagai bagian dari rezim Pemilu dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011.14 Penggunaan istilah “kepala daerah” dalam UU 15/2011 telah diubah menjadi “Gubernur, Bupati, dan Walikota” yang selaras dengan bunyi asli Pasal 18 ayat (4). MK kemudian menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilu dimana MK dalam putusan tersebut menyatakan bahwa pemilihan umum diartikan hanyalah limitatif sesuai dengan original intent menurut Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, yaitu Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.15 Sehingga perluasan makna Pemilu yang mencakup Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) adalah inkonstitusional menurut Mahakamah Konstitusi.16 Karena pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilu melainkan rezim Pemerintahan Daerah (Pemda) maka istilah yang paling mungkin adalah digunakan adalah “Pemilihan” atau setidak-tidaknya menggunakan istilah Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) bukan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah. Adapun penggunaan istilah ini sesuai dengan bunyi Pasal I angka 1 tentang perubahan Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2015. Sejak diundangkan tahun 2015 hingga menjelang pelaksanaan Pilkada serentak untuk pertama kalinya di tahun yang sama, banyak pihak yang telah melakukan uji materi terhadap UU No. 8/2015.17 Walaupun sebagian besar perkara yang diujikan ke MK tersebut tidak mengabulkan permohonan pemohon/para pemohon, namun ada beberapa perkara yang 14 Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 15 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013. Pertimbangan putusan poin [3.12.5] hlm. 59. 16 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, 19 Mei 2014, hlm .60. 17 Pada tahun 2015, MK telah melakukan uji materi terhadap UU No. 8/2015 yakni sebanyak 25 kali pengujian sejak UU No. 8/2015 ini diundangkan sampai menjelang pelaksanaan Pilkada di tanggal 9 Desember 2015. [ 393 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dikabulkan oleh MK karena dianggap telah merugikan hak konsitutsional yang dimiliki oleh warga negara yang dijamin oleh Konstitusi selaku Staatsgrundgesetz dan Pancasila selaku Staatsfundamentalnorm. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 (dimana terkandung Pancasila dalam paragraf keempatnya) merupakan Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi bersifat “presupposed” dan merupakan landasan dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekari oleh norma hukum yang berisi sanksi18. Sedangkan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, merupakan Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang merupkan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijkasanaan negara untuk menggariskan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan uang mengikat umum19. Yang pertama, adalah mengenai pembatasan terhadap dinasti politik yang selama ini marak terjadi.20 Dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga.21 Salah satu perkara yang ditangani MK terkait dinasti politik adalah permohonan Adnan Purichta Ichsan, anak kandung dari Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo yang telah menjabat selama 2 periode masa jabatan. Hubungan Pemohon sebagai anak kandung adalah tidak memenuhi persyaratan calon sebagaimana diatur dalam Pasal I angka 6 tentang perubahan Pasal 7 huruf r UU 8/2015. Namun sebenarnya, pasal ini sejatinya tidaklah menghilangkan hak konstitusi maupun bersifat diskriminatif terhadap Pemohon karena jika dicermarti terdapat jawaban dalam penggalan akhir dari Pasal I angka 6 tentang perubahan Pasal 7 huruf r UU 8/2015yang berbunyi “…kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”. Maksud dari penggalan kalimat tersebut adalah tidak 18 Kurnisar, Pancasila Sumber Dari Segala Sumber Hukum di Indonesia, (Universitas Sriwijaya Palembang), hlm. 250-251. 19 Ibid. 20 Lihat Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 21 Wasisto Raharjo Djati, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal (LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Juli 2013), hlm. 204. [ 394 ] Achmaduddin Rajab menutup hak secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan jeda 1 (satu) periode pemerintahan saja, sehingga pada periode berikutnya kerabat petahana tersebut boleh ikut dalam mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Jeda satu periode juga dimaksudkan agar kerabat petahana yang mencalonkan tidak mendapatkan keuntungan baik langsung maupun tidak langsung dari petahana yang masih menjabat pada periode masa jabatan tersebut. Selain itu, pasal 7 huruf r ini juga memiliki arti bahwa kerabat petahana boleh saja maju di daerah lain dimana petahana di daerah tersebut bukanlah merupakan keluarga mereka.22 Pilkada merupakan suatu aktivitas dari proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilu karena Pilkada, sehingga kedua hal ini tidak bisa dipersamakan pemilihannya. Adapun pada akhirnya, membatalkan ketentuan Pasal 7 huruf r, sehingga tidak ada pembatasan bagi keluarga Petahana untuk maju dalam Pilkada. Kedua adalah perkara yang gugatannya dikabulkan oleh MK seperti perkara yang diajukan oleh para Pemohon atas nama Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah. MK pada putusannya mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yakni perubahan pada Pasal 22B huruf d dimana terdapat frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota” yang kemudian oleh MK disempurnakan menjadi “Panwaslu Kabupaten/Kota”. MK dalam putusan ini juga menghapus Pasal I angka 122 tentang perubahan Pasal 196 yang mengatur mengenai sanksi bagi ketua dan anggota KPPS yang denga sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara. Selanjutnya, perkara ketiga yang gugatannya dikabulkan oleh MK adalah perkara yang diajukan oleh Afdoli. Dalam perkara ini MK menyatakan bahwa Pasal 7 huruf t serta Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 telah merugikan hak konstitusional dari Pemohon23. Pemohon juga 22 Terdapat pada risalah rapat pembahasan RUU Perubahan Atas UU 1/2015di Hotel Aryaduta Tugu Tani tanggal 12-13 Februari 2015, yang juga dialami langsung oleh Penulis sebagai Perancang Undang-Undang dari DPR RI dalam RUU Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015. 23 Lihat Putusan MK Nomor 46/PUU-XIII/2015 hlm 34 poin angka 3. Adapun pasal-pasal yang dimaksud berbunyi sebangai berikut: Pasal 7 huruf t: “mengundurkan diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon” dan Pasal 41 ayat (2): “Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% [ 395 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi menyatakan bahwa aturan pada UU 8/2015 telah telah melahirkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk dicalonkan sebagai Bupati Simalungun karena Pemohon telah bersosialisasi semenjak November 2014.24 Afdoli berpendapat bahwa dalam UU 8/2015 telah merugikan hak konstitusionalnya karena ketentuan tersebut mewajibkan PNS untuk mengundurkan diri sejak mendaftarkan sebagai calon. Dia lebih lanjut juga mengatakan bahwa syarat dukungan calon perseorangan adalah ketentuan yang tidak objektif karena jumlah dukungan masyarakat untuk maju melalui jalur perseorangan dihitung berdasarkan jumlah penduduk sebagai persyaratan pencalonan.25 Perkara yang gugatannya dikabulkan oleh MK selanjutnya adalah terkait permohonan Fathor Rasyid dan Jumanto yang menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 1/2015 telah merugikan hak konstitusionalnya untuk ikut serta berpartisipasi sebagai calon dalam Pilkada.26 Dalam permohonannya para Pemohon mengakui pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai (sepuluh persen); b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen); d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan e. Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.” 24 Ibid. 25 Lihat UU 8/2015 yakni Pasal 7 huruf t untuk syarat bagi PNS yang mendaftarkan diri dalam Pilkada dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) mengenai syaray dukungan bagi calon dalam Pilkada yang maju lewat jalur perseorangan. 26 Lihat Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 hlm 8 poin angka 14. Adapun pasal-pasal yang dimaksud berbunyi sebangai berikut: Pasal 7 huruf g: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, dan penjelasannya “ Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini”. Serta Pasal 45 ayat (2) huruf k yang berbunyi: “surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g”. [ 396 ] Achmaduddin Rajab kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. MK dalam putusan ini menghapus penjelasan dalam Pasal 7 huruf g, sedangkan norma Pasal 7 huruf g di batang tubuh dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Jadi, dalam hal ini Mahakmah Konstitusi melihat syarat keterbukaan sebagaimana pendapat mereka sendiri dalam Putusan No. 4/PUU-VII/2009 secara berbeda. Padahal syarat tersebut semula oleh pembuat undang-undang diatur dalam UU Pilkada agar calon pemilih mengetahui latar belakang yang akan dipilihnya. Selain itu juga hal ini bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Dengan demikian penambahan klausula tersebut dalam bagian penjelasan yang merupakan satu kesatuan dengan Pasal 7 huruf g, adalah suatu bentuk perwujudan norma hukum yang tidak lepas dari sisi moralitas yang mendasarinya yakni keadilan, karena “kehadiran moral dalam hukum dilambangkan oleh keadilan”27. UU 1/2015 yang menggantikan 22/2014 sejatinya adalah undangundang yang mengembalikan Pilkada dari yang tadinya dilaksanakan secara tidak langsung (pemilihan melalui internal DPRD) menjadi dipilih langsung oleh rakyat. UU 1/2015 sejak awal menginginkan adanya kandidat yang lebih dari 1 dalam pelaksanaan pemilihan. Sehingga sejak awal yang namanya pemilihan secara langsung memang mengharuskan adanya kompetisi dalam Pemilihan yang hanya terwujud hanya dan jika terdapat kandidat yang lebih dari 1 dalam pelaksanaan Pilkada. Tidak adanya kandidat lawan dalam Pilkada sehingga hanya terdapat 1 pasang calon sebenarnya merupakan tanggung jawab dari partai politik maupun masyarakat setempat. Sebagai contoh, UU 8/2015 mensyaratkan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon adalah yang telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Tahun 2014 yang lalu. Oleh karena itu partai politik disebut juga sebagai pilar demokrasi, yakni 27 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm. 55. [ 397 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis.28 Bahkan jika tidak maju lewat partai atau gabungan partai bisa juga maju lewat jalur perseorangan, sehingga sebenarnya tidak ada alasan sebenarnya di suatu daerah hanya memiliki 1 pasangan calon saja kecuali memang situasi semacam ini memang diciptakan. Kompetisi adalah mutlak terlaksana dalam hal pelaksanaan Pemilihan guna mewujudkan demokrasi yang sehat. Kandidat lawan dalam kompetisi bukanlah musuh yang mesti ditiadakan, akan tetapi adalah lawan yang bersahaja guna pelaksanaan pemilihan secara damai, jujur, dan transparan. Kontestasi dalam demokrasi mensyaratkan secara mutlak (conditio sine qua non) terdapatnya kubu “kita” dan kubu “mereka”. Lebih jelasnya, demokrasi tidak akan ada tanpa kontradiksi, konfrontasi, dan pluralisme kepentingan ataupun gagasan.29 Peran P ancasila sebagai SSolusi olusi K ekurangsempurnaan UU Pancasila Kekurangsempurnaan Pilkada Fenomena banyaknya gugatan yang masuk dan telah diputuskan dalam UU Pilkada tersebut dan beberapa diantaranya dikabulkan tersebut merupakan sebuah rekor yang belum pernah terjadi sbelumnya dalam UU manapun. Evaluasi yang dapat dipetik dari kenyataan ini bahwa UU 8/ 2015 adalah jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan UU ini hadir dari hasil Perppu yang tentu saja tidak dibentuk dalam waktu singkat oleh pihak Pemerintah. Hal lainnya adalah tidak diterapkannya falsafah Pancasila dalam pembentukan UU Pilkada ini. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 2 UU 12/2011 menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”, sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dari 2 norma itu saja dapat kita ketahui bahwa posisi Pancasila itu adalah sangat penting dalam pembentukan hukum. Lebih lanjut lagi, karena negara kita menggunakan civil law sebagai sistem hukum, penggunaan aturan-aturan 28 Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, dimuat dalam http://www.jimly.com/ Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, diunduh pada 06 September 2015, Pukul 20.14 WIB. 29 Boni Hargens, Mengapa Politik Tidak Etis?, dimuat dalam http://www.unisosdem.org/article_ detail.php?aid=7705&coid=3&caid=31&gid=2, diunduh pada 07 Desember 2015, Pukul 20.14 WIB. [ 398 ] Achmaduddin Rajab hukum yang sifatnya tertulis seperti misalnya membentuk undang-undang tersendiri guna pelaksanaan Pilkada adalah cara-cara yang kosnitutisional. Oleh karena itu memasukkan Pancasila sebagai nafas dari setiap undangunang apalagi undang-unang yang mengandung hajat hidup orang banyak seperti Pilkada ini adalah sangat penting. Itulah sebabnya MK pula membatalkan sejumlah pasal-pasal dalam UU Pilkada yang dibentuk secara instan dan tanpa perencanaan yang matang ini. MK adalah lembaga yang diberikan mandat untuk melembagakan nilai-nilai pancasila melalui putusan-putusannya. Hamdan Zoelfa yang juga merupakan mantan ketua MK mengaskan “Bahwa upaya revitalisasi, internalisasi, dan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan tanggung jawab masing-masing lembaga negara di semua cabang-cabang kekuasaan sesuai peran dan posisinya dan tanggung jawab bersama masyarakat sipil termasuk setiap warga negara. Dalam hal ini, MK memiliki peran strategis untuk melembagakan nilai-nilai Pancasila, terutama melalui kewenangannya untuk memutus permohonan pengujian undang-undang yang diajukan kepadanya. Hal ini dapat dimengerti karena, Pancasila alam tataran nilai, bukanlah norma hukum yang bersifat implementatif, tetapi hanya mengandung nilai-nilai filosofis yang harus dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan-peraturan perundang-undangan di bawahnya dan kebijakan setiap organ negara. Penempatan niali-nilai Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 bermakna bahwa Pancasila merupakan norma dasar filosofis yang harus dijadikan sebagai acuan dalam menentukan konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Pada tataran inilah MK berperan melembagakan nilai-nilai Pancasila. Putusan MK adalah salah satu bentuk konkret dari pelembagaan nilai-nilai Pancasila karena de facto putusan tersebut mengikat bagi sleuruh masyarakat Indonesia”.30 Oleh karena itu pula lah, ketika pada akhirnya 8 putusan MK yang dikabulkan dari 38 gugatan, hal tersebut merupakan wujud kurangnya falsafah Pancasila dalam pembentukan UU Pilkada ini. 30 Hamdan Zoelva, Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif Kehidupan Beragama, Sosial, Dan Budaya Melalui Putusan MK, (Materi disampaikan pada Kongres Pancasila IV Tahun 2012, diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada didukung oleh Mahkamah Konsitutsi RI dan Majelis Perwakilan Rakyar RI, Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni, 2012), hlm 10. [ 399 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Peran Pancasila sebagai solusi kekurangsempurnaan UU Pilkada ini adalah sangat penting, hal ini sejalan dengan pendapat Kaelan dalam bukunya yang menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar filsafat Negara Indonesia. Kaelan dalam bukunya menyatakan bahwa: Pancasila adalah dasar filsafat Negara Indonesia, maka di antara Negara dan warganya adalah terdapat hubungan hak dan kewajiban. Warga Negara adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban,dan sebagaimana diketahui untuk masa sekarang ini yang lebih diutamakan adalah masalah wajib. Dalam merwalisasikan kewajiban distributif, yaitu tentang segala sesuatu yang termasuk kewajiban, kekuasaan, dan lingkungan Negara. Sebaliknya sebagai perimbangannya setiap wajib taat, tentang segala sesuatu yang disepakati dalam hidup bersama, yang dalam masalah ini yaitu ketaatan untuk melaksanakan Pancasila.31 Secara aplikatif perlunya memasukkan Pancasila terlebih dahulu dalam pembentukan undang-undang bisa diwujudkan dengan membentuk naskah akademik terlebih dahulu sebelum membentuk suatu rancangan undangundang. UU yang baik seharusnya didahului oleh pembuatan naskah akademik terlebih dahulu, sehingga kedepannya tidak akan ada persoalan konsitutsi yang dipersoalkan kembali seperti saat ini muncul pengujianpengujian di MK. Kesimpulan Pembentuk undang-undang telah berupaya untuk membentuk suatu undang-undang yang khusus untuk mengatur segala sesuatunya mengenai Pilkada. Perlunya adanya aturan yang jelas mengenai Pilkada adalah merupakan amanat dari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dimana Pilkada itu sendiri wajib dilaksanakan secara demokratis. Pilkada merupakan cara untuk memilih pemimpin suatu daerah yang melibatkan publik atau rakyat secara berkedaulatan. Oleh karena itu pula dalam rangka mendukung proses demokrasi di Indonesia, lahirlah sejumlah pengaturan mengenai Pilkada sebagai landasan pelaksanannya. Namun demikian, dalam kenyatannya, UU Pilkada ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya gugatan yang diajukan ke Mahakamah Konstitusi 31 Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), hlm. 681. [ 400 ] Achmaduddin Rajab dimana hampir 1/3 dikabulkan oleh satu-satunya lembaga penafsir konsitusi tersebut. Banyaknya gugatan ke Mahkamah Konstitusi ini tentunya perlu menjadi perhatian serius dari pembentuk undang-undang karena dari kenyataan ini jelas ada kekurang sempurnaan dalam pembentukan peraturan tersebut. Kekurang sempurnaan yang ada dalam politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan cenderung dikarenakan kurangnya falsafah kebagsaaan kita yakni falsafah demokrasi berbasis Pancasila selaku falsafah tertinggi di Indonesia. Pancasila merupakan ideologi negara yang bersumber dari kekayaan rohani, moral, dan budaya bangsa. Pancasila merupakan sistem nilai yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Oleh karena itulah, Pancasila perlu diimplementasikan ke dalam dunia pemerintahan yang diterapkan dalam mengatur aspek kehidupan individu, berbangasa, dan bernegara, termasuk dimasukkan dalam politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengamatan penulis, perlu kiranya memasukkan Pancasila sebagai solusi atas kekurangsempurnaan UU Pilkada tersebut. Kedudukan Pancasila selaku staatsfundamentalnorm yang merupakan falsafah hidup bangsa janganlah ditinggalkan. Dengan selalu mendasari pembentukan undang-undang kepada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia kiranya kekurangsempurnaan semacam ini kedepannya tidak akan terjadi dan hal ini sejalan dengan prinsip demokratis dari Pancasila itu sendiri. Mudah-mudahan masukan ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi pembentuk undang-undang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tuk menciptakan undang-undang yang baik bagi bangsa dan negara Indonesia. Referensi Buku Asshiddiqie,Jimly,Perkembangan dan Konslidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. _______,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,, 2006. [ 401 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi _______,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Konstitusi press, 2006. _______,Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta:PT.Bhuana Ilmu Populer, 2009. Bari Azed, Abdul ,Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2000. Budiardjo, Miriam ,Dasar-dasar Ilmu Politik. Cet.2, Jakarta: Gramedia, 1990. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, danAktualisasinya, Yogyakarta: Paradigma, 2013. Kurnisar, Pancasila Sumber Dari Segala Sumber Hukum di Indonesia, (Universitas Sriwijaya Palembang). Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. M. Friedman, Lawrence, The Legal Sistem: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006. Raharjo Djati, Wasisto, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Juli 2013. Rohim Yunus, Nur, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Jurnal UIN JKT, No. 2 (November, 2015). Pradhanawati, Ari,Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005. Prapti Rahayu, Derita, ”Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Indonesia”, Jurnal Yustisia, Edisi 91 (Januari-April, 2015). Peraturan P er undang-undangan Per erundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _______, Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22 Thn.1999, LN No. 60 Tahun 1999, TLN No. 383. _______,Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437. _______,Undang-undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU 12 tahun 2008, LN No. 59 Tahun 2008, TLN No. 4844 [ 402 ] Achmaduddin Rajab _______,Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. _______,Undang-undang Tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 15 Tahun 2011, LN No. 101 Tahun 2011, TLN No. 5246. Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005. Komisi Pemilihan Umum, Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015. _______,Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015. _______,Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Dengan Satu Pasangan Calon, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/ PUU-II/2004, Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _______, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4PUU-VII/2009, Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _______, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 [ 403 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Internet Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, dimuat dalam http://www.jimly.com/Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, diunduh pada 27 Januari 2017, Pukul 20.12 WIB. Boni Hargens, Mengapa Politik Tidak Etis?, dimuat dalam http:// w w w. u n i s o s d e m . o r g / a r t i c l e _ d e t a i l . p h p ? a i d = 7705&coid=3&caid=31&gid=2, diunduh pada 27 Januari 2017, Pukul 21.14 WIB. Bahan yang tidak diterbitkan Risalah pada rapat pembahasan RUU Perubahan UU 1/2015di Hotel Aryaduta Tugu Tani tanggal 12 Februari 2015. Zoelva, Hamdan, Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif Kehidupan Beragama, Sosial, Dan Budaya Melalui Putusan MK, (Materi disampaikan pada Kongres Pancasila IV Tahun 2012, diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada didukung oleh Mahkamah Konsitutsi RI dan Majelis Perwakilan Rakyar RI, Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni, 2012). [ 404 ] MENY OAL AKTU ALISA SI PANC A SIL A D AL AM MENYO AKTUALISA ALISASI PANCA SILA DAL ALAM PERSPEKTIF MAHK AMAH KONSTITUSI Sadhu Bagas Suratno Mahkamah Konstitusi Sebagai the Guardian of the Constitution K etentuan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).1 Keberadaan MK dalam negara hukum seperti Indonesia,2 merupakan suatu keharusan mengingat prinsip dasar dari negara hukum ialah adanya pembatasan kekuasaan dimana pada lazimnya hal tersebut dimuat dalam konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.3 Sehingga perlu adanya badan peradilan yang bertugas menjamin konstitusi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.4 Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, MK dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat kewenangan 1 2 3 4 Lihat Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2005) 123. Terkait hal tersebut, Abdul Mukhtie Fajar pernah berujar bahwa kelahiran MK semata-mata demi tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat, serta misi, mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya, dan membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Abdul Mukhtie Fajar, ‘Mahkamah Konstitusi dan Perkembangan Hukum di Indonesia’ [2010] 1. [ 405 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi ditambah satu kewajiban, yaitu (i) menguji konstitusionalitas undangundang; (ii) memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara; (iii) memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum; (iv) memutus pembubaran partai politik; dan (v) memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, sebelum hal itu dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh MPR (mengingat keterbatasan jumlah halaman, karya tulis ilmiah ini difokuskan pada kewenangan MK dalam hal menguji konstitusionalitas suatu undang-undang) .5 Dalam konteks pengujian konstitusional undang-undang, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.6 Secara konseptual maupun normatif, pengujian konstitusionalitas undangundang meliputi pengujian formil yakni apakah pembentukan undangundang memenuhi atau tidak ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/ atau pengujian materil yakni apakah muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.7 Meskipun terdapat perbedaan pada objek pengujiannya, namun dalam hal putusan terdapat kesamaan diantara keduanya, yakni putusan MK terbatas pada dikabulkannya pengujian undang-undang, dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan beralasan,8 ditolaknya pengujian undangundang dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian 5 6 7 8 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2006) 152. Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Terkait pengujian formil dan materil, Sri Soemantri pernah berujar bahwa Hak uji materil (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan hak uji formil (formele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undangundang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Lihat Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia (Alumni Bandung 1986) 6, lihat pula Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lihat Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. [ 406 ] Sadhu Bagas Suratno atau keseluruhan, menyatakan permohonan ditolak,9 dan tidak dapat diterimanya pengujian undang-undang dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat.10 Namun dalam perkembangannya, terdapat beberapa putusan MK yang tidak sesuai atau tidak diatur dalam undang-undang MK. Diantaranya ialah putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan ultra petita, mengesampingkan undang-undang dan putusan sela.11 Cara berhukum yang tidak hanya terikat pada teks undang-undang tersebut dapat digolongkan sebagai putusan yang berdimensi penemuan hukum (rechtsvinding).12 Dalam konteks pengujian konstitusionalitas undang-undang, cara berhukum yang tidak hanya terpaku pada teks undang-undang dan kontekstual merupakan syarat utama dalam menghadirkan keadilan yang substantif. Hal ini dikarenakan batu uji dari pengujian konstitusionalitas undang-undang ialah UUD 1945 yang di dalamnya terkandung nilai- 9 Lihat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lihat Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 11 Putusan konstitusional bersyarat dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 14-17/PUU-V/ 2007 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Putusan ultra petita dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Putusan sela dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 133/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Putusan yang mengesampingkan undang-undang dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Selengkapnya lihat Saldi Isra dkk, ‘Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif)’ [2010] 2. 12 Penggunaan istilah rechtsvinding dijumpai dalam sistem peradilan di negara-negara Eropa Continental, sedangkan Judge Made Law lazim digunakan dalam sistem peradilan di negara-negara Common Law. Perbedaan paling mendasar dari penemuan hukum pada kedua sistem tersebut ialah, dalam sistem Common Law hakim memiliki peranan dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sedangkan dalam sistem Eropa Continental, hakim dalam melakukan penemuan hukum harus melihat ketentuan normatifnya terlebih dahulu baru ketika dirasa ketentuan tersebut tidak lengkap, tidak sesuai dengan kasus yang dihadapi atau tidak ditemukan hukumnya baru hakim melakukan penemuan hukum. Lihat Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Sinar Grafika 2011) 20. 10 [ 407 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa,13 sehingga diperlukan cara berhukum yang tidak hanya sebatas pada memahami teks hitam diatas putih, melainkan lebih dalam lagi yakni memahaminya hingga tatanan filosofis.14 Aktualisasi P ancasila oleh M ahkamah K onstitusi Pancasila Mahkamah Konstitusi Secara normatif, salah satu asas dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah asas peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.15 Keberadaan asas tersebut,16 menegaskan bahwa penyelenggaraan peradilan tidak sematamata untuk menegakkan hukum tetapi juga keadilan.17 Sehingga dalam konteks cita hukum (rechtsidee), tidak hanya kepastian hukum saja yang harus dipenuhi oleh hakim MA/MK dalam memutus perkara tetapi juga keadilan yang berdasarkan Pancasila, inilah yang disebut dengan rechtsidee pancasila.18 Dalam konsep Rechtsidee Pancasila, kepastian hukum dan keadilan tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat alternatif atau kompilatif yang penerapannya bisa dipilih berdasar selera sepihak melainkan sebagai 13 Pancasila sebagai falsafah negara diperoleh dari sumber nilai dalam konteks perjalanan dinamis sejarah kebudayaan bangsa. Selengkapnya lihat Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila (Nusa Media 2014) 21-22. 14 Cara berhukum yang kontekstual muncul sebagai solusi atas kegagalan cara berhukum yang tekstual dalam mengakomodir rasa keadilan masnyarakat. Di Indonesia, cara berhukum yang tekstual pernah mengusik rasa keadilan masyarakat sebagaimana terdapat dalam putusan No. 247/PID.B/2009/ PN.PWT (Kasus pencurian 3 (tiga) kakao), Putusan /PID.B/2009/PN.Btg).105 (Kasus pencurian sisa panen randu), Putusan No. 857/Pid.b/2001/PN.TNG ; PT No. 84/PID/2002PT. Bandung; MA No. 1668 K/Pid/2002) (Kasus pencurian sandal bolong), Putusan No. 232/Pid.B/2008/ PN.Pra (kasus kawin lari). Lihat selengkapnya di Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum (Genta Publishing 2011) 181-222. 15 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 16 Asas hukum ini merupakan “jantungnya” peraturan hukum karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Tentang teori ini lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Cetakan Ketujuh (Citra Aditya Bakti 2012) 45. 17 Secara teoritis, menurut Teguh Prasetyo keadilan yang berdasarkan Pancasila ialah keadilan yang bermartabat, yakni keadilan yang memanusiakan manusia. Lihat selengkapnya di Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila (Media Perkasa 2013) 93. 18 Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sekalipun ketiganya merupakan cita hukum, namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan substansi yang berbeda satu dengan yang lainya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan. Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum (Genta Publishing 2011) 247. [ 408 ] Sadhu Bagas Suratno konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan.19 Oleh karena itu, konsep kepastian hukum dan keadilan dalam Pancasila harus mempertimbangkan beberapa aspek seperti (1) aspek keadilan dan kepastian hukum berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa; (2) Penghormatan atas martabat manusia; (3) Wawasan kebangsaaan dan wawasan nusantara; (4) Persamaan dan kelayakan; (5) Keadilan sosial; (6) Moral dan budi pekerti yang luhur, dan (7) Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.20 Konsekuensi dari disepakatinya Pancasila sebagai rechtsidee oleh segenap bangsa Indonesia tersebut telah menempatkan Pancasila sebagai cita hukum, cita moral dan cita keadilan yang meliputi suasana kejiwaaan bangsa Indonesia.21 Sehingga dalam konteks pengujian konstitusional undang-undang oleh MK, mengingat yang menjadi batu ujinya ialah konstitusi yang di dalamnya memuat nilai dan cita Pancasila maka hakim MK dalam memutus perkara tersebut haruslah mampu mengakomodir nilai dan cita Pancasila dalam putusannya. Guna mewujudkan hal tersebut, secara normatif hakim konstitusi wajib untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.22 Hal tersebut dimaksudkan agar putusan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.23 Ketika proses implementasi hukum berjalan, hakim konstitusi wajib menegakkan hukum dan keadilan, tidak hanya fokus pada hukum yang tersurat dalam undang-undang secara sempit. Dengan kata lain, dalam memutus suatu perkara hakim harus mau dan mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat, seorang hakim harus mampu bertindak sebagai living 19 Moh. Mahfud MD, Hukum, Moral dan Politik, Materi Studium Generale Matrikulasi Program Doktor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang 23 Agustus 2008. 20 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. Kedua (CV. Mandar Maju 2000) 196-197, lihat juga Derita Prapti Rahayu, ‘Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Indonesia’ dalam Yustisia Edisi 91 [Januari- April 2015] 114-115. 21 Lihat Otong Rosadi, ‘Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia’ 287-288. 22 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 23 Lihat penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. [ 409 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan prosedural positivistik yang ada dalam peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan sekedar mulut undang-undang.24 Dalam melaksanakan penggalian terhadap rasa keadilan masyarakat, tidak jarang hakim MK mengesampingkan undang-undang yang ada. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya tidak ada undang-undang yang sempurna, pasti di dalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada undangundang yang lengkap, selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia.25 Menurut Bambang Sutiyoso undang-undang bersifat statis dan rigid (kaku), sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu meningkat dari waktu ke waktu baik jenis maupun jumlahnya. Sehingga dapat dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.26 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Widodo Dwi Putro, yakni pada dasarnya undang-undang yang telah ditetapkan cenderung bersifat kaku dan sulit sekali berubah sementara basis sosial tempat berpijaknya selalu berkembang dan perkembangan tersebut membawa persoalan-persoalan hukum yang baru. Ketika undang-undang itu dibuat mungkin dirasakan adil, namun setelah sekian lama undangundang itu diterapkan bisa saja menjadi terasa tidak adil, karena masyarakatnya berubah.27 Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, tidak jarang hakim MK memutus perkara (khususnya pengujian konstitusionalitas undang-undang) dengan melakukan penemuan hukum. Menurut Utrecht penemuan hukum dapat dilakukan apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar insiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini 24 Ganda Surya Satya J.A.P, Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila (Core Values) Sebagai Langkah Awal Reformasi Hukum Indonesia Berdasarkan Hukum Progresif dalam Moh Mahfud MD, Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya dan Anto F. Susanto, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Thafa Media 2013) 258. 25 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Cetakan Kelima (Liberty 2007) 37. 26 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum (UII Press 2006) 104. 27 Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum (Genta Publishing 2011) 9. [ 410 ] Sadhu Bagas Suratno hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya.28 Sedangkan Paul Scholten menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).29 Adapun putusan MK yang bernuansa penemuan hukum diantaranya ialah, putusan MK nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa ketentuan a quo yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam mengikuti pemilihan kepala daerah bertentangan dengan konstitusi. Padahal merupakan hak setiap orang untuk berpartisipasi dan diperlakukan sama dalam pemerintahan, implikasi dari putusan tersebut ialah calon independen diperbolehkan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Tentunya putusan ini membuka peluang baru bagi calon non partai untuk dipilih dan meningkatkan kualitas pelaksanaan demokrasi di daerah. Kemudian, Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dimana dalam putusannya, MK membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam pemilu presiden 2009. Meskipun putusan MK ini bersifat ultra petita,30 namun keberadaannya mendapat sambutan positif dari masyarakat luas. 28 Lihat pendapatnya Utrecht tersebut di Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Sinar Grafika 2011) 22. 29 Lihat pendapatnya Scholten tersebut di Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) (Chandra Pratama 1993) 146. 30 Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas suatu perkara yang tidak dituntut atau memutus suatu perkara melebihi apa yang diminta pemohon. Secara normatif, ketentuan ultra petita pada mulanya diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) oleh pemohon. [ 411 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Hal ini dikarenakan dalam memutus perkara tersebut hakim MK mencoba untuk merasakan dan menyelami kegelisahan masyarakat Indonesia yang khawatir tidak dapat menyalurkan hak konstitusionalnya untuk memilih dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014 karena tidak terdaftar dalam DPT. Putusan ini sekaligus menegaskan bahwa MK dalam memutus perkara konstitusionalitas undangundang, tidak hanya menghadirkan kepastian hukum namun juga mengakomodir keadilan dalam putusannya. Hal tersebut tampak pada salah satu pertimbangan hukumnya yang berbunyi “Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, Mahkamah memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya”. Putusan MK lainnya yang bernuansa penemuan hukum ialah Putusan MK nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusannya, meskipun MK menolak permohonan pemohon namun dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan berwenang melakukan judicial review terhadap Perppu. Padahal secara normatif, kewenangan pengujian konstitusionalitas oleh MK terbatas hanya pada undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam putusan tersebut MK berpendapat bahwa materi muatan Perppu pada hakikatnya sama dengan undang–undang, hanya segi formilnya yang menjadi pembeda fundamental antara keduanya. Karena materi Perppu sama dengan undang–undang, maka tidak menutup kemungkinan ketentuan yang terdapat dalam Perppu tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara, sehingga perlu ada lembaga yang berwenang untuk menguji konstitusionalitasnya. Keberanian MK dalam mendobrak status quo dan mengesampingkan undang-undang dalam memutus perkara di dasarkan pada kekhawatiran akan terlanggarnya hak konstitusional warga negara oleh suatu undangundang. Sementara di satu sisi, secara filosofis hak konstitusional merupakan [ 412 ] Sadhu Bagas Suratno perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber filsafat bangsa Indonesia khususnya sila kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga eksistensinya perlu ditegakkan semaksimal mungkin. Terkait hal tersebut, Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah berpendapat bahwa Pancasila telah memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas potensi dan martabat manusia. Karenanya, ajaran HAM berdasarkan Pancasila dijiwai dan dilandasi asas normatif theisme-religious.31 Artinya HAM merupakan karunia dan anugerah maha pencipta, mengandung asas keseimbangan dimana selain berhak untuk mendapatkan hak-hak dasar manusia juga berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain. Sehingga tidak berlebihan apabila Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa begitu pentingnya perlindungan/jaminan HAM dalam suatu negara hukum khususnya dalam negara hukum Pancasila, ketentuan tersebut dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara.32 Sedangkan menurut I Dewa Gede Palguna, HAM yang diakui dan dijamin oleh konstitusi, baik pengakuan dan jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat, disebut dengan hak konstitusional. Karena dicantumkan dalam konstitusi maka seluruh cabang kekuasaan negara wajib untuk menghormatinya. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan terhadap hak konstitusional sebagai bagian dari konstitusi juga berarti pembatasan terhadap kekuasaan negara. Selanjutnya, sebagai bagian dari konstitusi maka hak-hak konstitusional itu harus dilindungi semaksimal mungkin. Dalam konteks penegakan konstitusi, tentu saja hal tersebut sulit untuk diwujudkan apabila dalam menafsirkan konstitusi hakim MK 31 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman) Cet. Ketiga (Pustaka Belajar 2009) 392-393, lihat juga Al-Khanif, ‘Questioning a theistic, seculer Pancasila to protect religions’ (2015) http://www.thejakartapost.com/ news/2015/06/01/ questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html diakses 03 Maret 2017. 32 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid II (Sekretariat Jenderal MK RI 2006) 85. [ 413 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi hanya berpaku pada bunyi teks konstitusi atau undang -undang yang materinya diujikan terhadap konstitusi, melainkan harus melakukan penelaahan lebih dalam lagi sampai ke tatanan filosofis.33 Senada dengan Palguna, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa meskipun konstitusi sudah memuat prinsip-prinsip kekeluargaan, tetap tak ada artinya dalam praktik jika semangat penyelenggara negaranya bersifat perseorangan. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara. pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak merintangi jalannya negara, jadi yang penting itu adalah semangat.34 Oleh karena itu hakim MK sebagai salah satu pelaku penyelenggara negara, dituntut untuk menafsirkan konstitusi dengan mengedepankan nilai-nilai dasar yang dianut serta senafas dengan spirit konstitusionalisme yang menjadi sukma dari dokumen konstitusi.35 Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Satjipto pernah berujar bahwa sebagai satu-satunya institusi di Indonesia yang berhak menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, Hakim MK diharapkan tidak terbelenggu pada teks undang-undang semata, terlebih batu uji dari undang-undang tersebut ialah konstitusi yang bersifatnya abstrak. Dengan demikian. MK diharapkan menjadi sebuah badan yang dapat menerapkan konsep yang abstrak dari hukum”36 Sehingga untuk mengimplementasikan konsep yang abstrak dari hukum tersebut, hakim MK dalam memutus perkara pengujian konstitusional undang-undang tidak boleh sekedar memahami UUD 1945 maupun undang-undang secara tekstual semata, melainkan lebih dalam lagi, yakni memahami dan mengerti suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis dan historis perumusan juridis pasal dalam konstitusi yang dijadikan batu uji, kemudian dikorelasikan dengan kondisi sosiologis dan rasa keadilan bangsa dan negara saat ini. 33 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complain) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Hak konstitusional Warga Negara (Sinar Grafika 2013) 113. 34 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Genta Publishing 2009) 10. 35 Janedjri M Gaffar, ‘MK dan Hukum Progresif ’ SINDO (Jakarta, 5 Mei 2012). 36 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Asai-Esai Terpilih (Genta Publishing 2010) 3 [ 414 ] Sadhu Bagas Suratno Hal ini dikarenakan, ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara.37 Aktualisasi P ancasila oleh M ahkamah K onstitusi: IIlusi lusi Pancasila Mahkamah Konstitusi: ataukah Realitas? Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang sudah lahir terlebih dahulu pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila adalah sebuah sistem filsafat yang merupakan rumusan ideal dalam bangun keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa.38 Menurut Soesanto Darmosoegondo, Pancasila telah memenuhi syarat sebagai falsafah negara, karena (a) dapat mempersatukan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia yang susunan masyarakatnya majemuk; (b) bahwa dasar falsafah negara itu diterima dan disetujui oleh seluruh bangsa dan rakyat Indonesia; (c) bahwa dasar falsafah negara itu telah berakar dalam hati bangsa dan rakyat Indonesia; dan (d) bahwa dasar falsafah negara itu mampu memberikan pengarahan tujuan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi perjalanan hidup bangsa kita dikemudian hari. Sedangkan menurut Winarno, Pancasila dijadikan falsafah negara dikarenakan: a. Pancasila merupakan hasil perenungan (contemplative) secara individual maupun kelompok yang dilakukan secara radikal, sistematis dan universal dengan mendasarkan diri kepada kenyataan/realitas yang ada pada bangsa Indonesia. Perenungan individual dilakukan oleh Muhammad Yamin, Soekarno, dan Soepomo. Sedangkan secara kelompok dilakukan oleh panitia sembilan, anggota BPUPKI dan PPKI; 37 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 2010) 10. 38 Soesanto Darmosoegondo, Falsafah Pancasila (Alumni 1975) 60 [ 415 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi b. Rumusan sila-sila Pancasila merupakan rumusan abstrak disusun secara sistematis yang dipakai sebagai filsafat negara, ideologi negara; c. Rumusan hakekat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial merupakan konsep universal yang dapat berlaku pada setiap bangsa di dunia; d. Rumusan Pancasila dipergunakan bagi kepentingan manusia (khususnya manusia Indonesia) dan secara mendalam/radikal menempat dan mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa dan manusia; e. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila hakekatnya dapat diterima secara benar, baik dan universal, walaupun ada juga nilai-nilai yang bersifat spesifik/singulir berlaku bagi bangsa Indonesia dan tidak bertentangan dengan dengan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan.39 Konsekuensi dari dijadikannya Pancasila sebagai falsafah negara ialah nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila harus diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali dalam aspek penegakan hukum dan kontitusi. Salah satu cara dalam mewujudkan hal tersebut ialah, peradilan negara harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.40 MK sebagai satu-satunya lembaga yang diberi tugas menjaga tetap tegaknya konstitusi seringkali mendobrak status quo dan mengesampingkan teks undang-undang jika dirasa undang-undang tersebut tidak sesuai/bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh MK, cara berhukum yang tidak hanya terjebak pada kepastian hukum sebagaimana tercermin dalam tiga putusan yang telah penulis uraikan pada bahasan sebelumnya, mengharuskan MK untuk secara terus menerus mengikuti perkembangan rasa keadilan masyarakat yang menjadi dasar agar Mahkamah tidak berdiam diri atau membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara oleh adanya undang-undang tertentu. 39 Winarno, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Panduan Praktis Pembelajaran) (Yuma Pustaka 2012) 49 40 Lihat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. [ 416 ] Sadhu Bagas Suratno Memang dalam proses penegakan hukum prosedur dan pasal-pasal undang-undang itu tidak boleh diabaikan, karena itu merupakan sarana/ perlengkapan pokoknya. Akan tetapi harus diingat bahwa sarana dan perlengkapan itu bukanlah tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai oleh hukum. Prosedur dan pasal-pasal itu hanyalah sarana dan perlengkapan yang diharapkan dapat mengantarkan para penegak hukum untuk sampai pada tujuan hukum yang sesungguhnya.41 Dengan kata lain, hakim dalam membuat putusan tidaklah sekedar menjalankan prosedur dan kemudian menerapkan pasal-pasal undang-undang yang cocok atas kejadian atau peristiwa yang akan diputuskannya, melainkan melakukan pemaknaan lebih dalam lagi yakni memahaminya hingga tatanan filosofis. Disatu sisi, menurut Mahfud putusan-putusan MK yang diputus berdasarkan cara berhukum yang demikian juga tak lepas dari kritik. Biasanya, kritik itu dilontarkan oleh pihak yang kalah berperkara. Misalnya, ada yang mengatakan MK itu sering memutus keluar dari undang-undang, tetapi mengapa MK sering pula terbelenggu oleh undang-undang dalam memutus? Terkait hal ini, bagi MK dalam memutus suatu perkara tidak selamanya harus keluar dari undang-undang. Kalau undang-undangnya benar, MK akan mengikuti undang-undang itu. Sebaliknya kalau undangundangnya tidak memberi rasa keadilan, MK membuat keadilan berdasarkan kreasinya sendiri berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan keyakinan hakim melalui permusyawaratan. Kemudian dituangkan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang lengkap dan memenuhi public common sense. Konstruksi hukum disusun sedemikian rupa dengan merinci penilaian atas bukti-bukti berdasar logika yang diterima oleh rasa keadilan masyarakat.42 Pendapat Mahfud tersebut menegaskan bahwa peran hakim MK sangatlah penting dalam mewujudkan putusan yang berkeadilan. Terkait hal ini Satjipto berpendapat bahwa cara berhukum yang semakin bergeser dari sistem formal ke sistem manusia, akan mampu merasakan dan 41 M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif (Kencana Prenada Media Group 2012) 246 42 Moh. Mahfud MD, Inilah Hukum Progresif Indonesia dalam dalam Moh Mahfud MD, Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya dan Anto F. Susanto, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif (Thafa Media 2013) 7 [ 417 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi mengakomodir rasa keadilan dan kebutuhan hukum masyarakatnya.43 Bahkan begitu pentingnya faktor manusia dalam penegakan hukum Taverne pernah berujar “berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.”44 Adapun dalam kapasitasnya sebagai manusia Indonesia, dalam diri hakim MK sesungguhnya sudah tertanam sifat Pancasila. Hal ini dapat dilihat dengan refleksinya yang menyatakan: (1) sila I, berdasarkan intuisinya tumbuh kesadaran bahwa ia adalah makhluk Tuhan, (2) sila II, tumbuh kesadaran bahwa ia adalah manusia beradab dan memiliki rasa keadailan, (3) sila III, tumbuh kesadaran sebagai makhluk sosial suatu rasa solider dengan masyarakat lainnya, untuk bersatu dalam berbangsa dan bernegara, (4) sila IV, berdasarkan kemampuan mengobjektivikasi tumbuh kesadaran untuk bermusyawarah, komunikasi yang ditunjang oleh kemampuan berbahasa, (5) berdasarkan kesadaran dari sila I sampai dengan IV tumbuhlah hasrat untuk berlaku adil kepada sesama manusia.45 Sehingga dalam konteks aktualisasi Pancasila oleh MK dalam bingkai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, kombinasi antara ketentuan normatif yang berisi kewajiban hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, serta ditunjang oleh faktor hakim MK dalam kapasitasnya sebagai manusia Indonesia yang di dalamnya tertanam nilai-nilai Pancasila, akan mampu mendorong hakim MK untuk menciptakan putusan-putusan yang berkualitas, yang mampu mengaktualisasikan dan mengakomodir nilai Pancasila di dalamnya. Penutup Keberhasilan MK dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kehakim di Indonesia tercermin dalam beberapa putusan MK, diantaranya ialah putusan MK nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 43 Saldi Isra dkk, ‘Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif )’ [2010] 47 44 Lihat selengkapnya di Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Genta Publishing 2009) 10 45 Umar Kayam, ‘Pokok- Pokok Pikiran Tentang Hak Asasi Manusia, Pancasila, Masyarakat Kita’ 58 [ 418 ] Sadhu Bagas Suratno Pemerintahan Daerah, Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Putusan MK nomor 138/PUUVII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan MK tersebut dihasilkan dari cara berhukum yang tidak sekedar terpaku pada teks undang-undang semata, melainkan lebih dalam hingga tatanan filosofis. Ke depannya, cara berhukum yang demikian hendaknya diterapkan dalam setiap perkara yang sedang dihadapi oleh hakim MK, tidak terbatas pada pengujian konstitusional undang-undang semata. Referensi Buku Achmad Ali. 1993. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama. Achmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Bambang Sutiyoso. 2006. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press. Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Cet. Kedua. Bandung: CV. Mandar Maju. I Dewa Gede Palguna. 2013. Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complain) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Hak konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI. _______. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. _______. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Marwan Mas. 2011. Pengantar Ilmu Hukum: Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. [ 419 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Moh Mahfud MD. Sunaryati Hartono. Sidharta. Bernard L. Tanya dan Anto F. Susanto. 2013. Dekonstruksi Dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media. M. Syamsuddin. 2012. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. _______. 2012. Ilmu Hukum Cetakan Ketujuh. Bandung: Citra Aditya Bakti. _______. 2010. Sosiologi Hukum Asai-Esai Terpilih. Yogyakarta: Genta Publishing. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri. 1986. Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni Bandung. Soesanto Darmosoegondo. 1975. Falsafah Pancasila. Bandung: Alumni. Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Cetakan Kelima. Yogyakarta: Liberty. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2009. Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman) Cet. Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Teguh Prasetyo. 2013. Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Media Perkasa. Widodo Dwi Putro. 2011. Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum. Jakarta: Genta Publishing. Winarno. 2012. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Panduan Praktis Pembelajaran). Surakarta: Yuma Pustaka. Makalah dan Majalah Abdul Mukhtie Fajar. 20 Februari 2010. Mahkamah Konstitusi dan Perkembangan Hukum di Indonesia. Malang: Orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya ke-47. Derita Prapti Rahayu. Januari-April 2015. Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Indonesia dalam Yustisia Edisi 91. [ 420 ] Sadhu Bagas Suratno Moh. Mahfud MD. 23 Agustus 2008. Hukum, Moral dan Politik. Materi Studium Generale Matrikulasi Program Doktor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro. Semarang. Otong Rosadi. Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia. Saldi Isra dkk. 2010. Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif). Padang: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Umar Kayam. Pokok- Pokok Pikiran Tentang Hak Asasi Manusia, Pancasila, Masyarakat Kita dalam Jurnal UGM. Janedjri M Gaffar. 15 Mei 2012. SINDO. MK dan Hukum Progresif. Peraturan P er undang-U ndangan dan P utusan P engadilan Per erundang-U undang-Undangan Putusan Pengadilan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076). Putusan MK nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan MK nomor 14-17/PUU-V/2007 mengenai pengujian UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. [ 421 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Putusan MK nomor 133/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan MK nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Internet Al-Khanif, ‘Questioning a theistic, seculer Pancasila to protect religions’ (2015) http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religion. [ 422 ] PANC A SIL A DI ERA GLOBALISA SI: SEBU AH PANCA SILA GLOBALISASI: SEBUAH PERSPEKTIF KET ATANEGARAAN KETA Cakra Arbas Pendahuluan H akikatnya anasir negara hukum bukanlah sesuatu yang baru dalam kajian ketatanegaraan,1 sebagaimana yang diriwayatkan oleh para sejarawan terdahulu, berwacana tentang negara hukum telah ada jauh sebelum munculnya negara-negara modern pada tataran global dewasa ini, artinya kesadaran masyarakat untuk bernaung dibawah konstruksi hukum merupakan kesadaran dari masyarakat yang terdahulu. Bahwa konsep negara hukum telah dimulai pada masa kehidupan filsuf Plato, yang mana pada masa itu mencetuskan mengenai penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik, dan populer dengan istilah “nomoi/nomae”. Ide tentang negara hukum, selanjutnya mulai dikembangkan abad ke-17 sebagai dampak dari situasi dan kondisi politik di Eropa yang dimasa itu didominasi oleh absolutisme.2 1 2 Ketatanegaraan berasal dari istilah Hindu-Jawa yakni tata dan negara, tata (susun) negara (lingkungan kekuasaan Pemerintahan). Tata negara berarti susunan negara atau susunan Pemerintahan. Ketatanegaraan berarti segala sesuatu mengenai susunan negara. Hukum ketatanegaraan adalah aturanaturan tentang Pemerintahan negara. Hukum ketatanegaraan dalam arti sempit hanya menguraikan tentang aturan sesuatu negara tertentu yang dalam bahasa Belanda disebut staatsrecht (hukum negara) dan dapat dilihat dari konstitusi. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Alumni, Bandung, 2010), hlm. 44. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bulan Bintang, Jakarta, 1993), hlm. 66. [ 423 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Dalam hal ini Immanuel Kant3 melalui teori negara hukumnya menggagas mengenai tujuan dari negara, yaitu negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum, serta menegakkan hak-hak dan kebebasan masyarakatnya, sekaligus rakyat dan Pemerintah secara bersama-sama merupakan subyek hukum. Hal ini dapat dimaknai bahwa negara harus menjamin setiap warga negara di dalam lingkungan hukum, sebagaimana ditentukan dalam produk hukum, yang salah satunya diwujudkan melalui peraturan perundangundangan. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia) khususnya amanat Pasal 1 (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsep negara hukum dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana yang diutarakan oleh Oemar Seno Adji4 adalah negara hukum Pancasila, karena Pancasila sebagai dasar pokok dan sumber hukum, negara hukum Indonesia dapat disematkan sebagai negara hukum Pancasila. Paradigma P ancasila Pancasila Menurut pandangan M. Solly Lubis,5 paradigma adalah suatu parameter, rujukan, acuan yang dipergunakan sebagai dasar untuk berpikir atau bertindak lebih lanjut. Ada 3 (tiga) bentuk paradigma dalam konsep bernegara, yaitu: Pertama, paradigma filosofis, yakni berupa nilai-nilai filosofis yang terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers 3 4 5 Immanuel Kant dalam M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Mandar Maju, Bandung, 2007), hlm. 49. Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Airlangga, Jakarta, 1980) h.16. lihat juga dalam Cakra Arbas, Aceh dan MoU Helsinki di Negara Kesatuan Republik Indonesia, (PT: Sofmedia, Medan, 2015) hlm. 31. M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009) h. 15. Lihat juga dalam M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, (PT. Sofmedia, Medan, 2011) hlm. 81. Istilah paradigma dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn, dalam hal ini mendefinisikan paradigma sebagai “… universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners”. Paradigma disini menunjuk pada cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami, atau kerangka umum yang mempedomani kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin. Paradigma berperan sebagai “research guidance” lewat “model problems and solutions” yang menujukkan bagaimana ilmuwan harus menjalankan penelitian dan telaah ilmiah, dan dengan itu berfungsi normatif. Dengan demikian, paradigma itu berfungsi sebagai “the central cognitive resource” untuk kegiatan ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang bersangkutan. Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, (Genta Publishing, Yogyakarta, 2013) hlm. 71-72. [ 424 ] Cakra Arbas dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk semua subsistem kehidupan nasional tersebut. Kedua , paradigma yuridis, yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi. Konstitusi Indonesia merupakan acuan hukum tertinggi dan membawahi aturan hukum lainnya, baik peraturan berupa produk pusat maupun daerah. Konstitusi Indonesia juga memiliki political messages yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya. Ketiga, paradigma politis yakni berupa derivat dari Pancasila dan Konstitusi Indonesia, berupa rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintahan dan pembangunan nasional. Indonesia sebagai negara yang berdaulat, memiliki falsafah bangsa yang termaktub di dalam Pancasila. Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang dipandang secara sosiologis dan antropologis dapat diterima sebagai pencerminan pandangan hidup bangsa Indonesia, silasila yang terdapat di dalam Pancasila merupakan kristalisasi tata nilai yang hidup dan telah mentradisi dalam setiap sistem sosial yang ada di dalam berbagai etnis suku bangsa yang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu sampai saat ini.6 Dalam hal ini Tan Kamelo7 menyatakan bahwa: … Pancasila harus diletakkan sebagai basic norm (grundsnorm) dalam arti sesungguhnya bukan hanya (solifsistik) belaka, proses pembentukan sistem hukum dengan kronologis demikian memperlihatkan adanya karakter abstraksi dan derivasi hukum sehingga memiliki suatu kekuatan yang tangguh dari ancaman sistem hukum asing. Dalam hal ini nilai hukum 6 7 Faisal Akbar Nasution, “Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum”, Makalah, dilaksanakan dalam Seminar Kajian Sistem Ketatanegaraan, (6 Mei 2013), yang diselenggarakan oleh MPR dan USU, hlm. 4. Tan Kamelo, Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara Dalam pembangunan Nasional, (Dewan Guru Besar USU, Medan, 2012) h. 98. Posisi Pancasila turut ditegaskan oleh Moh. Hatta, bahwa jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas 2 (dua) fundamen, yaitu (1) Fundamen moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan meletakkan dasar moral diharapkan oleh mereka yang membuat pedoman negara ini supaya negara dan Pemerintahannya memeperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan keluar dan kedalam dan (2) Fundamen Politik, yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan keadilan sosial. Dengan politik Pemerintahan yang berdasarkan pada moral yang tinggi diharapkan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lihat Moh. Hatta, Demokrasi KitaBebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, (UI Press, Jakarta, 2002) hlm. 125. [ 425 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi bangsa Indonesia sudah terformulasi dengan sangat indah dalam filosofi bangsa (Pancasila), bersifat abstrak dan universal, mengandung keluhuran, dan telah diuji beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Nilai hukum yang dibentuk bukan berasal dari nilai liberalisme, kapitalisme, individualisme, melainkan dibentuk dari nilai yang bersifat teokratis, humanistik yang beradab, mendahulukan musyawarah, serta berkeadilan sosial …. Berikut ini melalui skema akan digambarkan mengenai proses abstraksi nilai dan derivasi nilai dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat: Skema8 Berdasarkan skema tersebut dapat ditelaah bahwa Pancasila lahir melalui proses abstraksi nilai yang ada dimasyarakat. Dalam proses abstraksi nilai, dimulai dari menginventarisir nilai, asas, tradisi, dan kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya nilai yang sudah diabstraksikan tersebut diderivasi kembali kedalam masyarakat melalui berbagai bentuk kebijakan Pemerintahan, baik dalam sektor perkembangan politik hukum, maupun pembangunan. Dengan demikian, dapat ditelaah bahwa segala bentuk kebijakan Pemerintahan, merupakan 8 Skema disadur dan direvisi seperlunya dari M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Mandar Maju, Bandung, 2007) hlm. 16. [ 426 ] Cakra Arbas segala sesuatu yang sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Untuk mengaktualisasikan nilai yang terkandung di dalam Pancasila, juga dijabarkan melalui kelima silanya, yaitu:9 Pertama, ketuhanan yang maha esa.10 Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.11 Ketiga, persatuan Indonesia. 12 Keempat , kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.13 Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.14 Kelima sila yang tertuang dalam Pancasila telah menjadi dasar dan berisi nilai-nilai dasar tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut pandangan M. Dimyati Hartono,15 kelima sila tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, dan pada dasarnya berisi falsafah hidup kekeluargaan berbangsa dan bernegara atau jiwa kegotong royongan. 9 Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, (Paradigma, Yogyakarta, 2013) hlm. 166-435. Bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan setiap warga negara harus mengakui adanya Tuhan. Selanjutnya segenap rakyat Indonesia akan mengamalkan dan menjalankan agamanya dengan cara yang berkeadaban yaitu hormat menghormati satu sama lain. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2012), hlm. 45-78. 11 Bahwa sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” pada prinsipnya menegaskan bahwa kita memiliki Indonesia merdeka yang berada juga di lingkungan kekeluargaan bangsa-bangsa. Prinsip internasionalisme dan kebangsaan Indonesia adalah internasionalisme yang berakar di dalam buminya nasionalisme, dan nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Bahwa, akan dihargai dan dijunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Sekaligus menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10. 12 Bahwa sila “Persatuan Indonesia” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia merupakan negara kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu, memiliki persatuan perangai karena persatuan nasib, bangsa yang terikat pada tanah airnya. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, yang bersatu karena didiorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10. 13 Bahwa sila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Bangsa Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi. Bangsa Indonesia juga akan memelihara serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10. 14 Bahwa sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia bukan hanya memiliki demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi. Indonesia harus memiliki kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10. 15 M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen UUDNRI Tahun 1945, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009) h. 25. 10 [ 427 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Kaelan16 berpandangan bahwa Pancasila sebagai landasan filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat ditelaah sesuai dengan konteksnya, yaitu: Pertama, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Perihal tersebut terkandung di dalamnya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicitakan, terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Kedua, Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia. Dalam proses pendirian negara, dengan diilhami pandangan-pandangan dunia tentang kenegaraan disintesiskan secara eklektis, sehingga merupakan suatu local genius dan sekaligus sebagai suatu local wisdom bangsa Indonesia. Ketiga, Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia. Keempat, Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Proses terjadinya Pancasila tidak seperti ideologi-ideologi lainnya yang hanya merupakan hasil pemikiran seseorang saja, namun melalui suatu proses kausalitas yaitu sebelum disahkan menjadi dasar negara nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup bangsa, dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Kelima, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Berdasarkan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, merujuk pandangan Kaelan17 dapat ditelaah, bahwa: … bangsa Indonesia dalam hidup bernegara telah memiliki suatu pandangan hidup bersama yang bersumber pada akar budayanya dan nilai-nilai religiusnya. Adanya pandangan hidup yang mantap maka bangsa Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya. 16 17 Kaelan, supra note 9.hlm. 43 – 67. Ibid., Pada kesempatan yang sama Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup negara. Keberadaannya bermula dari pandangan hidup masyarakat Indonesia juga. Hanya saja, pandangan hidup masyarakat ini belum disistematisasi dan belum disusun secara logis. Selain itu, ia hanya menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku bagi tiap pribadi anggota masyarakat yang bersangkutan, tanpa ada keinginan untuk disebarluaskan. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, PokokPokok Filsafat Hukum, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008) hlm. 243-244. [ 428 ] Cakra Arbas Suatu pandangan hidup yang diyakini bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat sehingga tidak terombang-ambing dalam menghadapi persoalan tersebut dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenal dan memecahkan berbagai masalah politik, sosial budaya, ekonomi, hukum, hankam, dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju. Tantangan G lobalisasi dalam K ebijakan P emerintahan Globalisasi Kebijakan Pemerintahan Percaturan dunia global dewasa ini, seyogyanya tetap memberlakukan adagium yang berlaku secara umum, yaitu “think globally and act locally” yang mana dapat dimaknai bahwa silahkan berpikir secara global-universal, namun demikian berbuatlah sesuai dengan kearifan lokal masyarakat yang telah berakar sebagai suatu budaya dalam hidup berbangsa dan bernegara, tanpa terkecuali hal ini sepantasnya menjadi paradigma dalam menyelenggarakan pemerintahan di NKRI. Pentingnya berbuat sesuai dengan kearifan lokal, tidak lain hal ini dikarenakan dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia, berbagai riwayat mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia meskipun terdapat beberapa daerah yang tidak mampu dikuasai oleh bangsa asing, namun secara umum hampir keseluruhan daerah nusantara merupakan peninggalan dari praktikpraktik kolonialisme dan imperialisme. Bahwa bangsa asing dalam praktiknya seringkali menerapkan beberapa target kapitalis, yaitu:18 Pertama, berusaha mendapatkan bahan mentah dengan harga semurah-murahnya. Kedua, berusaha mendapatkan sekaligus memanfaatkan tenaga kerja (buruh) dengan upah yang serendah-rendahnya. Ketiga, berusaha merebut dan mempertahankan monopoli pasar, baik pasar beli bahan mentah maupun pasar jual barang siap pakai. Menariknya tidak hanya cukup sampai menerapkan target kapitalis, akan tetapi faktanya juga turut mempraktikan berbagai target kolonialisimperialis, yang diantaranya:19 Pertama, dominasi politik. Kedua, eksploitasi di bidang ekonomi. Ketiga, penetrasi dibidang budaya. Realitanya tidak 18 M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, (Mandar Maju, Bandung, 2011) hlm. 73. 19 Ibid. [ 429 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dapat dipungkiri bahwa berbagai target dimaksud pada hakikatnya terus berlangsung di era globalisasi sekarang ini, meskipun dengan cara yang berbeda atau modus yang terselubung. Pada prinsipnya, sebagai negara yang berdaulat Indonesia pada suatu masa melalui produk politik hukum yang tertinggi, yaitu melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN), telah berupaya untuk menangkal sekaligus mengantisipasi upaya bangsa asing dalam mempraktikkan berbagai upaya kapitalisasi. Sebagaimana yang berbunyi:20 … perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu globalisasi yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional dimasa yang akan datang. Globalisasi yang didorong kemajuan pesat dibidang teknologi, terutama teknologi telekomunikasi, menyebabkan semakin derasnya arus informasi dengan segala dampaknya baik positif maupun negatif. Peluang yang timbul dari globalisasi adalah makin terbukanya pasar internasional bagi hasil produksi dalam negeri, terutama yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Tantangan dibidang ekonomi, disamping makin kuatnya persaingan di pasaran internasional, adalah munculnya pengelompokan antar negara yang cenderung meningkatkan proteksionalisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang kurang sehat. Ancaman dibidang politik dan pertahanan keamanan adalah kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi pancasila. Wawasan nusantara dan ketahanan nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan nasional. Ancaman dibidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Pada satu sisi dapat dipahami bahwa besarnya ketergantungan pemerintah kepada negara-negara asing, maka tidak akan mungkin strategi politik dapat dilakukan secara mendasar, yang sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sehingga untuk beberapa perihal dengan catatan terpaksa memilih jalan pragmatis, demi memenuhi kepentingan yang bersifat mendesak. 20 Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia Tahun 1973 (Ketetapan MPR Republik Indonesia No. II Tahun 1973). [ 430 ] Cakra Arbas Oleh karena itu, reaktualisasi Pancasila dalam konteks globalisasi mutlak diperlukan. Sekaligus seluruh komponen bangsa pada sisi yang lain hendaknya mampu memperkuat unsur-unsur kemandirian melalui beberapa cara, diantaranya:21 Pertama, memperkuat faktor kapital, baik yang berupa pemilihan dana, maupun peralatan. Kedua, memperkuat kemampuan dan penguasaan IPTEK, sehingga tidak hanya berposisi sebagai konsumen, tetapi mampu berdaya saing sebagai produsen. Ketiga , merevitalisasi sistem manajemen, memberantas praktik korupsi-kolusi nepotisme, termasuk mafia peradilan. Globalisasi seyogyanya turut mengembangkan kolektif kebangsaan, bahwa Pancasila sebagai ideologi yang mencerminkan proses abstraksi dan derivasi nilai, kiranya mampu diimplementasikan oleh berbagai pemangku kebijakan, sebagai norma dari segala norma. Artinya sudah sepantasnya dalam merumuskan seluruh kebijakan pemerintahan, baik yang diklasifikasi sebagai peraturan perundang-undangan mapun aspek pembangunan, kiranya dapat berpegang teguh serta mengakomodir kepentingan kearifan lokal masyarakat, yang sejalan dengan nilai luhur Pancasila. Cita H ukum (Rechtsidee) sebagai P aradigma F ilosofis Hukum Paradigma Filosofis Rechtsidee dapat diartikan sebagai keinginan, kehendak, atau suatu harapan.22 Rechtsidee juga diartikan sebagai gagasan, rasa, cipta, pikiran tentang hukum.23 Akan tetapi, A. Hamid S. Attamimi24 menyebutkan bahwa makna rechtsidee lebih tepat diartikan sebagai cita hukum, dengan argumentasi bahwa “cita” ialah gagasan, rasa, cipta, dan pikiran, sedangkan “cita-cita” ialah keinginan, kehendak, harapan yang selalu ada di pikiran atau di hati. 21 Lubis, supra note 18, hlm.75. Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1, (Kanisius, Yogyakarta, 2007), hlm. 59. 23 Rechtsidee, berasal dari 2 (dua) suku kata, yakni rechts (diartikan sebagai hukum) dan idee (diartikan sebagai cita, gagasan, rasa cipta). Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1982) h. 96. Lihat juga dalam Yan Pradnya Puspa, Kamus Hukum, (Aneka Ilmu, Semarang, 2008) h. 470. Lihat juga dalam S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Ichtiar Baru, Jakarta, 1978) hlm. 531. 24 Lihat Maria Farida Indrati, supra note 22. 22 [ 431 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Mengenai rechtsidee dalam konteks NKRI, disebutkan dalam penjelasan25 tentang Konstitusi Indonesia pada angka III, yang berbunyi: …Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebathinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis … Dapat ditelaah bahwa kedudukan dari pembukaan Konstitusi Indonesia adalah lebih utama dari pada batang tubuh Konstitusi Indonesia, oleh karena pembukaan Konstitusi Indonesia itu mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila. Apabila pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan Konstitusi Indonesia tersebut mencerminkan Pancasila sehingga menciptakan pasal-pasal dalam batang tubuh Konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila merupakan norma fundamental negara yang menjadi dasar dan sumber bagi aturan dasar negara yaitu batang tubuh Konstitusi Indonesia.26 Pancasila juga menegaskan melalui kelima silanya, adalah sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang secara positif merupakan “bintang pemandu” untuk memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan, memberi isi kepada setiap bentuk peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundangundangan tersebut. Pancasila sebagai norma fundamental negara dan sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi batang tubuh Konstitusi Indonesia sebagai aturan dasar negara serta peraturan perundang-undangan lainnya.27 25 Konstitusi Indonesia pasca amandemen tidak mengenal lagi istilah “penjelasan”. Hal ini sesuai dengan amanat dari Konstitusi Indonesia yang mana ditegaskan pada Aturan Tambahan, khususnya Pasal II, yang berbunyi “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, UUDNRI Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. 26 Indrati, supra note 22, hlm. 59. 27 Ibid. Telaah juga pandangan Mahfud MD, bahwa Pancasila sebagai cita hukum dapat memiliki 2 (dua) fungsi, diantaranya (a) Fungsi Konstitutif, Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila itu hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum dan (b) Fungsi Regulatif, [ 432 ] Cakra Arbas Konstitusi Indonesia yang juga berposisi sebagai konstitusi tertulis, pada pembukaan memuat filsafat negara, yakni Pancasila sebagai hukum fundamental (basicnorm). Dalam hal ini pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita hukum (rechtsidee) yang dilaksanakan bangsa Indonesia dinyatakan dalam pembukaan Konstitusi Indonesia. Menurut Notonegoro,28 dalam pembukaan Konstitusi Indonesia terdapat 4 (empat) alinea, dalam hal ini alinea pertama, kedua, dan ketiga mengandung angan-angan yang dalam (hak kodrat dan hak moral atas kemerdekaan) cita yang mulia serta kesusilaan yang tinggi (kemanusiaan dan keadilan) dan religius, sedangkan pada alinea keempat adalah tercantum tujuan negara Republik Indonesia, hukum dasar, bentuk negara dan filsafat negara yang berisi dari 5 (lima) sila Pancasila. Kedudukan Konstitusi Indonesia sebagai sumber hukum merupakan fungsi sebagai pengontrol terhadap sumber-sumber hukum yang ada di bawahnya. Dalam tata hukum di Indonesia adanya hierarki dalam peraturan perundang-undangan, hal ini ditujukan untuk mengatasi konflik antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, sehingga akan berlaku asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah). Untuk mengatasi konflik antara peraturan yang bersifat khusus dan umum, sehingga akan berlaku asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis (peraturan khusus mengalahkan peraturan yang umum), serta untuk mengatasi konflik antara peraturan yang baru dan yang lama, akan berlaku asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori (peraturan yang baru akan mengalahkan peraturan yang lama).29 Dengan demikian, ketika segala sesuatunya diimplementasikan berdasarkan falsafah bangsa, dalam proses implementasinya akan terhindar dari berbagai pro dan kontra. Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif sebagai produk itu adil ataukah tidak adil. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Rajawali Press, Jakarta, 2011) hlm. 54. 28 Abdussalam, Politik Hukum, (PTIK, Jakarta, 2011), h. 38. Lihat juga dalam Abdussalam, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (PTIK, Jakarta, 2011) hlm. 183. 29 Abdussalam, supra note 28, hlm. 40-41. [ 433 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Sistem H ukum N asional sebagai P aradigma Yuridis Hukum Nasional Paradigma Menurut pandangan Ismail Saleh30 bahwa sistem adalah suatu totalitas yang terdiri dari komponen-komponen atau unsur-unsur yang satu sama lain berbeda, tetapi saling berkaitan, sekaligus merupakan suatu pola atau model yang mantap, sehingga dapat diterapkan secara konsisten. Sistem hukum memiliki 2 (dua) makna, yaitu:31 Pertama, sistem hukum dalam arti sempit (in enge zin). Sistem hukum dalam arti sempit adalah perangkat hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik produk Pemerintah Republik Indonesia maupun produk Pemerintah Daerah. Kedua, sistem hukum dalam arti luas (in ruime zin). Sistem hukum dalam arti luas32 meliputi filosofi hukum, politik hukum, kegiatan legislasi, perangkat peraturan hukum, penerapan hukum, monitoring evaluasi terhadap penerapan hukum serta feed back/input yang diperoleh dari sistem moneva itu untuk menjadi bahan masukan bagi politik hukum berikutnya, seperti penelitian hukum, pendidikan hukum, studi perbandingan dan kebijakan harmonisasi hukum antarnegara. Adanya suatu sistem hukum nasional yang lahir dari cita hukum (rechtsidee) dan norma dasar negara, serta pembangunan nasional, termasuk 30 Ismail Saleh sebagaimana yang dimuat dalam M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundangundangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009), hlm. 4-5. Pada dasarnya suatu sistem memiliki ciriciri sebagai berikut: Pertama, saling keterkaitan, antara satu komponen dengan komponen yang lain, saling membatasi tetapi juga saling memperkuat. Kedua, dinamis, tetapi tetap terjaga keserasian dan keseimbangannya. Ketiga, terbuka, tetapi tidak kehilangan eksistensi dan identitasnya. Keempat, galir, dalam arti tidak kaku, sehingga dapat menampung. Mengenai sistem hukum John Rawls berpandangan bahwa sistem hukum adalah sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang rasional dengan tujuan mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja bagi kerja sama sosial. John Rawls, Teori Keadilan, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011) hlm. 298. 31 M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009), hlm. 3. 32 Menurut pandangan Sunaryati Hartono, bahwa sistem hukum dalam arti luas meliputi: filsafat Hukum, termasuk asas-asas, substansi atau materi hukum, keseluruhan lembaga-lembaga hukum, proses dan prosedur hukum, sumber daya manusia (brainware), sistem pendidikan hukum, susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antar lembaga hukum, peralatan perkantoran lembaga-lembaga hukum (hardware), perangkat lunak (software) seperti petunjuk pelaksanaan yang tepat, data base, dan lain-lain, informasi hukum, perpustakaan dan penerbitan dokumen-dokumen resmi serta buku atau informasi melalui internet, dan sebagainya, kesadaran hukum dan perilaku hukum masyarakat (Budaya Hukum), anggaran belanja negara yang disediakan bagi pelaksanaan tugas lembaga-lembaga hukum dan penyelenggaraan pembangunan hukum yang profesional. Sunaryati Hartono dalam M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009), hlm. 3. [ 434 ] Cakra Arbas pembangunan hukum dapat lebih terarah, terpadu, dan berkesinambungan, karena ditopang oleh suatu sistem peraturan yang terpadu. Hakikat dari sistem hukum yang dianut adalah keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara kepentingan orang perorangan, masyarakat dan negara, yang terpancar melalui sila-sila Pancasila yang dalam pelaksanaannya memerlukan sikap pengendalian diri secara utuh. Menurut J.J.H. Bruggink,33 sistem hukum memiliki sub sistem berupa peraturan-peraturan dan putusan-putusan hukum, artinya peraturanperaturan perundangan merupakan suatu kebulatan dalam sistem hukum nasional, dalam hal ini J.J.H Bruggink mengartikan sistem hukum sebagai: Pertama, produk kesadaran hukum. Kedua, bersifat terbuka atau dinamis. Ketiga, mengenai aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Pentingnya sistem hukum juga turut ditegaskan oleh Sudikno Mertokusumo,34 bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut, kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum. Sehingga peraturan, asas, dan pengertian hukum adalah bagian dari sistem hukum. Sistem hukum memiliki komponen-komponen yang menjadi suatu kebulatan, Menurut pandangan Mochtar Kusumaatmaja35 bahwa ada 3 (tiga) sistem hukum, yaitu: Pertama, adanya asas-asas dan kaidah-kaidah. Kedua , adanya kelembagaan-kelembagan hukum. Ketiga , proses perwujudan kaidah-kaidah dalam kenyataan. Berdasarkan pandangan-pandangan dari para ahli hukum tersebut, dapat disimpulkan memiliki satu persamaan, baik mengenai sistem hukum dalam arti sempit, maupun sistem hukum pada arti luas, yakni memposisikan perangkat peraturan hukum (peraturan perundang-undangan) sebagai salah satu bagian atau subsistem di dalam sistem hukum.36 33 J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), hlm. 137-140. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010), hlm. 59-60. 35 Mochtar Kusumaatmaja sebagaimana yang dimuat dalam B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Mandar Maju, Bandung, 2000) hlm. 76. 36 M. Solly Lubis, supra note 31, hlm. 5. 34 [ 435 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Untuk konteks NKRI, menurut pandangan Ismail Saleh37 bahwa pada dasarnya ada 4 (empat) komponen pokok dalam sistem hukum Pancasila yaitu: Pertama, perangkat hukum yang tertuang dalam berbagai bentuk perundang-undangan menurut tata urutan yang telah ditetapkan dan memuat materi hukum yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemerintahan. Kedua, kelembagaan hukum sebagai wadah sekaligus wahana untuk melaksanakan berbagai perangkat hukum yang telah ditetapkan. Di dalamnya diatur juga proses dan prosedur dalam suatu jalinan dan jaringan koordinasi kelembagaan hukumnya, serta kerja sama yang serasi dalam Pemerintahan. Ketiga, aparatur hukum sebagai pelaksana, penegak dan pengendali berbagai perangkat hukum yang telah ditetapkan. Keempat, budaya hukum sebagai suatu etos kerja dan sikap moral yang harus diperagakan oleh aparatur hukum. Sebagaimana pandangan Notonagoro38 bahwa suatu sistem hukum mesti berdasarkan pada filsafat hukum yang berfungsi menyelesaikan masalah-masalah kenegaraan dan hukum. Oleh karena itu, filsafat hukum menjadi pedoman dan pegangan fundamental bagi hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia. Mengenai tertib hukum, disebutkan bahwa tertib hukum adalah keseluruhan daripada peraturan-peraturan hukum yang memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: Pertama, ada kesatuan-kesatuan subjek yang mengadakan peraturan-peraturan hukum. Kedua, ada kesatuan asas kerohanian39 yang meliputi keseluruhan peraturan-peraturan itu. Ketiga, ada kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum itu berlaku. Keempat, ada kesatuan daerah dimana peraturan-peraturan hukum itu berlaku. Menurut pandangan Notonagoro40 bahwa berbicara tentang sistem hukum, tidak dapat dipisahkan dengan sub sistemnya yakni peraturan perundang-undangan secara keseluruhan, sekaligus juga terkait subjek pembuat peraturan perundang-undangan yakni kekuasaan atau dalam arti 37 Ibid., hlm. 5. Notonagoro sebagaimana yang dimuat dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011), hlm. 386. 39 Adapun yang dimaksud dengan asas kerohanian itu tidak lain adalah Pancasila sebagai sumber tertib hukum yang (idealnya) melingkupi semua peraturan perundang-undangan (hukum positif ) yang ada. Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011), hlm. 387. 40 Notonagoro, supra note 38. 38 [ 436 ] Cakra Arbas luas adalah politik. Politik turut mengambil bagian dalam norma hukum sebagai sebuah komponen atau sub sistem pencipta norma hukum. Artinya bahwa jika merujuk sistem hukum dalam arti sempit, hanya didasari melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan, baik di pusat secara nasional maupun di daerah sejalan dengan asas otonominya. Akan tetapi dalam makna yang lebih luas, sistem hukum jauh lebih kompleks dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi diberlakukannya suatu aturan hukum melalui peraturan perundang-undangan. Penutup Perkembangan zaman yang bermuara dengan munculnya globalisasi, sebagaimana dipraktikan oleh negara-negara modern saat ini, dengan berbagai kemudahan khususnya dibidang teknologi dan komunikasi, pada satu sisi merupakan suatu pencapaian ilmu pengetahuan. Akan tetapi, penting untuk disadari bahwa tidak jarang globalisasi dengan segala kelebihannya, jika tidak mampu dikelola oleh bangsa Indonesia, tidak menutup kemungkinan turut memporak-porandakan berbagai kearifan lokal, sekaligus nilai luhur yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Setali tiga uang, tantangan globalisasi akan berdampak pada ancaman dibidang politik dan pertahanan keamanan, yaitu kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi Pancasila. Oleh karena itu, seyogyanya paradigma Pancasila hendaknya menjadi tutur pemangkal dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, terlebih lagi bagi penyelenggara pemerintahan ketika merumuskan berbagai kebijakan yang diaktualisasikan melalui sektor pembangunan, maupun peraturan perundang-undangan. Mengingat bahwa dari perspektif ketatanegaraan, peraturan perundang-undangan merupakan suatu entitas dalam sistem hukum nasional. Tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami sistem hukum nasional, seyogyanya seluruh norma hukum didasari pada filsafat hukum, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber norma hukum. Dalam hal ini Pancasila telah melalui proses abstraksi nilai oleh segenap komponen masyarakat yang hidup dan berkembang di Indonesia. [ 437 ] Pancasila dalam Pusaran Globalisasi Referensi Abdussalam, Politik Hukum, PTIK, Jakarta, 2011. _______, Filsafat Hukum Perspektif Historis, PTIK, Jakarta, 2011. Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Airlangga, Jakarta, 1980, Amirin, Tatang M, Pokok-Pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996. Arbas, Cakra, Aceh dan MoU Helsinki di Negara Kesatuan Republik Indonesia, PT: Sofmedia, Medan, 2015. Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1993. Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia Tahun 1973, Ketetapan MPR Republik Indonesia No. II Tahun 1973. Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2010. Hartono, M. Dimyati, Problematik dan Solusi Amandemen UndangUndang Dasar 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009. Hatta, Moh, Demokrasi Kita-Bebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, UI Press, Jakarta, 2002. Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2013. Kamelo, Tan, Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara Dalam pembangunan Nasional, Dewan Guru Besar USU, Medan, 2012. Lubis, M. Solly, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2011. _______, Serba-serbi Politik dan Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2011. _______, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 2009. _______, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007. _______, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 2007. [ 438 ] Cakra Arbas Mahfud M.D, Moh, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2011. Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2012. Puspa, Yan Pradnya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2008. Rawls, John, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011. Rhiti, Hyronimus, Filsafat Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011. Sidharta, Bernard Arief, Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013. _______, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum , Mandar Maju, Bandung, 2000. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982. Wojowasito, S, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1978. [ 439 ]