15,5 x 23 GUs Dur Size.pmd - Repository of Maulana Malik Ibrahim

advertisement
PANCASILA DALAM
PUSARAN GLOBALISASI
Prolog
Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H.
PANCASILA
DALAM PUSARAN
GLOBALISASI
Editor:
Al-Khanif, S.H., LL.M., Ph.D
Mirza Satria Buana, S.H., M.H., Ph.D
Manunggal Kusuma Wardaya, S.H., LL.M
PANCASILA DALAM PUSARAN GLOBALISASI
Dominikus Rato, Dina Tsalist Wildana, Muhammad Bahrul Ulum, dkk.
@CHRM2 UNEJ, LKiS, 2017
xviii + 440 halaman: 15,5 x 23 cm
1. Pancasila 2. Globalisasi
ISBN: 978-602-6610-23-2
Prolog: Prof. Moh. Mahfud MD
Editor: Al Khanif, Mirza Satria Buana, Manunggal Kusuma Wardaya
Penyelaras Bahasa: Muhammad Bahrul Ulum
Perwajahan Sampul/Buku: Dwi Agusatya Wicaksana
Setting/Layout: Tim Redaksi
Penerbit & Distribusi:
LKiS
Salakan Baru No. I Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 387194
Faks.: (0274) 379430
http://www.lkis.co.id
e-mail: [email protected]
Anggota IKAPI
Bekerja sama dengan The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration
(CHRM2) Universitas Jember
Cetakan I: 2017
Percetakan:
LKiS
Salakan Baru No. I Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 417762
e-mail: [email protected]
PENGANT
AR EDITOR
PENGANTAR
S
egala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya buku ketiga Pancasila
yang didukung penuh oleh Universitas Jember dan the Centre for
Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2)
Universitas Jember telah berhasil dirampungkan. Kami dari tim editor,
Universitas Jember dan CHRM2 tentu senang dengan diterbitkannya buku
ini karena kami telah berhasil melewati banyak permasalahan yang mewarnai
perjalanan panjang penulisan buku ini. Beberapa tantangan diantaranya
terkait pemilihan tema dan proses seleksi artikel yang akan diterbitkan.
Hampir setengah tahun tim editor selalu bekerja dan berkoordinasi untuk
bisa menyelesaikan penulisan buku ini tepat waktu. Pada akhirnya kami
dari tim editor menyepakati tema untuk buku ketiga Pancasila ini adalah
“Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi.”
Pemilihan tema besar “globalisasi” yang menjadi kata kunci dalam buku
ini, tidak saja dikarenakan sistem politik, hukum dan budaya global yang
sudah semakin niscaya dan memengaruhi segenap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, namun juga dikarenakan globalisasi dalam konteks
kekinian dihadapkan pada realita bangkitnya kekuatan ultra-nasionalis
(kanan), radikalisme agama dan sentimen populisme di berbagai negara.
Munculnya gerakan ultra-nasionalis di Eropa semacam English Defense
League (EDL) dan United Kingdom Independence Party (UKIP), Front
National Party yang dipimpin Jean-Marin Le Pen di Perancis, dan The
Independent Party pimpinan Geert Wilders di Belanda layak untuk
direnungkan. Apalagi gerakan ultra-nasionalis di Eropa juga menyebar ke
[v]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Hungaria, Yunani, Swedia, Jerman, Austria dan Slovakia dengan satu slogan
yakni anti imigran.1
Anti imigran yang menjadi kampanye utama dari gerakan ultranasionalis menunjukan bahwa “benturan peradaban” seperti yang ditulis
oleh Samuel Huttington beberapa dekade silam layak untuk direnungkan.
Hal ini disebabkan slogan “anti imigran” yang sekarang banyak berkembang
di negara-negara maju sebenarnya juga berkaitan dengan penolakan mereka
terhadap Islam dan bukan karena semata-mata alasan imigran. Tentu saja
gerakan ultra-nasionalis tersebut menjadi anti-tesis globalisasi yang selama
ini didengungkan oleh Barat. Hal ini dikarenakan revivalisme ultranasionalis muncul di negara-negara pendukung utama globalisasi dengan
tingkat kemampuan ekonomi, pengetahuan demokrasi, pemahaman
toleransi, dan pemanfaatan teknologi yang sudah mapan.2 Gerakan ultranasionalisme ini secara evolutif mendapatkan respon yang cukup besar di
negara-negara mayoritas kulit putih. Oleh karena itu, terpilihnya Donald
Trump di Amerika juga menjadi indikasi bahwa kemunculan ultranasionalisme di berbagai negara tidak lah berdiri sendiri melainkan sebuah
fenomena yang saling berkaitan. Beberapa sebabnya antara lain terkait
identitas dan ekonomi nasional, kebijakan pasar, nilai-sosial dan demografi
penduduk terutama imigran yang ada di negara-negara Barat.3
Di lain pihak, semangat nasionalisme juga terus tumbuh di negaranegara berkembang dengan dinamika dan kompleksitas yang beragam.
Konflik antara perdagangan bebas dan proteksi aset negara, sekularisme
vs. fundamentalisme agama, universalisme vs. relativisme hak asasi manusia
telah menempatkan diskursus nasionalisme negara-negara berkembang
dalam kerangka globalisasi yang kompleks.4 Seringkali pertentangan
1
2
3
4
The New York Times, “Europe’s Rising Far Right: A Guide to the Most Prominent Parties”, N Y
Times (13 June 2016), online: <https://www.nytimes.com/interactive/2016/world/europe/ europefar-right-political-parties-listy.html>.
Muhammad Abdul Bari, “Brexit and the spectre of Europe’s ugly nationalism”, (18 June 2016),
online: <http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/06/brexit-spectre-europe-ugly-nationalism-160608110032798.html>.
Patali C Ranawaka, “2017 a year of Transition from Globalization to Economic Nationalism”, (1
February 2017), online: <http://www.dailymirror.lk/article/-a-year-of-Transition-fromGlobalization-to-Economic-Nationalism-121493.html?fbrefresh=refresh>.
Ibid.
[ vi ]
Pengantar Editor
tersebut menyebabkan pertentangan antara nasionalisme vs. globalisasi di
banyak negara berkembang yang mengakibatkan konflik internal negara
dan bahkan mengancam keamanan kawasan dan global.
Dalam paparan sejarah dunia, boleh dikata tak seorangpun pengamat
yang mampu memprediksi secara presisi bahwa ultra-nasionalisme akan
mampu menjungkir balikkan etos integrasi bangsa dan globalisasi. Bahkan
proposisi Fransis Fukuyama yang dianggap sangat hebat di awal tahun
1990an juga tidak mampu menjelaskan mengapa ultra-nasionalisme justru
mendapatkan panggung kembali di era milenium. Padahal globalisasi dalam
sejarahnya telah mampu melakukan rekonsiliasi seperti yang terjadi di
Jerman maupun juga menipiskan jarak antar negara khususnya pasca
selesainya perang dingin. Diawal abad milenia, Hong Kong kembali
berintegrasi dengan Tiongkok daratan. Dunia seolah juga semakin rapat
dan borderless terutama setelah rejim internasional terus menekan seluruh
negara di dunia untuk memasuki era globalisasi dengan membuka diri
khususnya terhadap investasi asing. Sejalan dengan ide tersebut, mereka
juga memberlakukan stigma “axis of evil” terhadap negara-negara yang
anti globalisasi seperti Iran, Korea Utara dan Tiongkok.
Model Integrasi semacam ini mengakibatkan globalisasi dianggap
sebagai sebuah kredo hubungan internasional. Negara-negara yang tidak
inklusif terhadap globalisasi seperti Korea Utara, Iran, Tiongkok dan Kuba
dianggap sebagai negara yang tidak demokratis dan tidak terbuka.
Ketertutupan mereka dianggap berlawanan dengan nilai-nilai global.
Mereka adalah negara-negara menyimpang harus dimusuhi oleh semua
negara.
Sampai pada akhirnya nilai-nilai dasar globalisasi tersebut justru
diruntuhkan oleh para penganjur globalisasi itu sendiri. Salah satu
contohnya adalah keterkejutan publik dengan hasil pilihan mayoritas warga
Inggris dalam referendum yang mengeluarkan Inggris dari sistem Uni Eropa
di awal tahun 2016 lalu. Tentu saja hasil referendum tersebut menjadi
indikasi bahwa warga negara Inggris tidak lagi menganggap Inggris sebagai
bagian dari Eropa dan tidak seharusnya menanggung semua persoalan
ekonomi yang sekarang menghantam kawasan tersebut.
Gejala menguatnya nasionalisme seperti yang terjadi di Eropa maupun
di Amerika merupakan gejala global, yang manakala buku ini disusun,
[ vii ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
begitu kuat menampak dan menyeruak. Gejala ini seolah muncul tibatiba, namun sebenarnyalah telah lama berkecambah dalam relung
masyarakat kelas menengah di negara-negara Barat. Austria dalam pemilu
eksekutif tahun lalu juga nyaris dikuasai partai populis-nasionalis. Pemilu
Presiden Amerika Serikat 2016 bahkan memberi kejutan dengan terpilihnya
sosok Donald Trump yang dikenal anti-keberagaman, anti-imigran dan
anti-globalisasi. Sentimen anti-integrasi dan anti-keberagaman juga terasa
kuat di Belanda, walaupun pada pemilu parlemen tahun 2017 narasi
populisme tersebut dapat dibendung.5 Tentu juga menarik disimak hasil
pemilu Perancis dalam beberapa bulan menjelang pemilu tersebut akan
menentukan arus utama paradigma Eropa mendatang.
Tantangan nasionalisme sempit juga menjangkiti Indonesia, negara
yang disebut-sebut paling demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (HAM) se-ASEAN. Gejala nasionalisme sempit yang antikeberagaman berkembang dan mulai mendapatkan tempat di era
Reformasi, dimana keran aspirasi publik mengalir kencang dan cenderung
tiada batas. Puncak gunung es nya adalah pada perhelatan pemilu presiden
2014 silam, dimana masyarakat Indonesia terbelah dua; kami dan si liyan
(others). Kontestasi pemilu berubah menjadi arena zero sum game. Konsep
“others” yang mulai menggejala di Indonesia pasca Reformasi sebenarnya
merupakan pengulangan sejarah karena sebenarnya benih-benih ultranasionalisme yang membedakan pribumi dan non pribumi telah ada sejak
jaman kolonial hingga di awal kemerdekaan. Salah satu indikasinya adalah
adanya kelompok-kelompok yang memaksakan kehendak mereka untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara Islam seperti yang dilakukan oleh
Mohammad Natsir.6
Pertentangan dengan si liyan bernuasa politis yang sekarang sedang
merebak di Indonesia terejawantahkan dalam beberapa isu-isu sensitif
seperti perbedaan keyakinan, rapuhnya kohesi sosial antar umat beragama
dan tafsir kebenaran sepihak. Isu-isu tersebut jika diabaikan akan dapat
menjadi ancaman potensial bagi keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk
5
6
The New York Times, supra note 1.
Septian Prasetyo & others, “PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR TENTANG IDEOLOGISASI
ISLAM DI INDONESIA TAHUN 1949-1959” (2015) 3:2 J Mhs Teknol Pendidik, online:
<http://ejournal.unesa.ac.id/article/15336/38/article.pdf>.
[ viii ]
Pengantar Editor
dan toleran. Terutama jika intoleransi semacam ini menjadi salah satu slogan
kampanye politik untuk menjaring simpati dari masyarakat. Hal ini
disebabkan benih-benih intoleransi dan radikalisme sebenarnya masih ada
di Indonesia terutama pasca tumbangnya Rejim Orde Baru. Orde
Reformasi hanya berhasil menumbuhkan gerakan masyarakat sipil
melainkan juga memberikan peluang kepada kelompok-kelompok radikal
untuk berkembang di Indonesia.7 Seringkali keduanya terlibat perdebatan
di ruang-ruang publik terkait isu moralitas dan toleransi.
Dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer tersebut, peran
Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa menjadi sangat relevan untuk
membendung paham-paham ekstrim diatas. Namun pertanyaan besar
harus mulai diajukan terkait kemampuan Pancasila untuk menjadi penengah
dalam kuasa tarik menarik antara globalisasi dengan sentimen ultranasionalis yang sedang menguat di Indonesia saat ini. Mungkinkah Pancasila
yang katanya Eka Dharmaputra sebagai periuk kosong8 karena hanya
memuat pilar kebangsaan dalam lima sila yang sangat sederhana mampu
menjawab persoalan besar tersebut? Pertanyaan ini layak untuk diajukan
karena Pancasila telah lama dimanipulasi oleh Orde Lama dan Orde Baru.
Lalu saat ini Pancasila justru terjebak dalam pusaran globalisasi,
ultrasanionalisme dan juga fundamentalisme agama yang kian hari semakin
menguat. Tawaran konsep Pancasila sebagai ideologi terbuka justru
dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk menggaungkan intoleransi,
menyebarkan paham radikalisme bahkan melakukan terorisme. Oleh karena
itu sudah saatnya ada pemikiran untuk menekankan Pancasila sebagai
sebuah ideologi yang mampu memediasi dan bergerak lincah menjawab
persoalan-persoalan tersebut.
Berdasarkan pemikiran diatas, buku ini diharapkan dapat digunakan
oleh para pembaca untuk memahami perubahan sosial politik mutakhir
yang berlangsung di aras global. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat
memberikan perspektif baru bagi bangsa Indonesia dalam menyiasati ekses
7
8
Zachary Abuza, Political Islam and violence in Indonesia, 1st ed, Asian security studies (New York:
Routledge, 2007) hlm. 67.
Al Khanif, Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International
Human Rights Law and Islamic Law (SOAS University of London, 2016) [unpublished] hlm.
192.
[ ix ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
perubahan tersebut dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai ideologi
bangsa yang dikaji dari berbagai sudut oleh para penulisnya dalam buku
ini diyakini akan menjadi benteng bagi bangsa Indonesia dari kuatnya
pusaran globalisasi dan perubahan yang walau tak selalu bermakna negatif,
pula berpotensi mengancam keutuhan dan jatidiri sebagai bangsa yang
bermartabat.
Jember, 30 April 2017
Editor
Manunggal K. Wardaya, Universitas Jenderal Soedirman
Mirza Satria Buana, Universitas Lambung Mangkurat
Al Khanif, Universitas Jember
[x]
DAF TAR K
ONTRIBUTOR
KONTRIBUTOR
Moh. M
ahfud M.D., S.H., (Universitas Islam Indonesia), S.U., (Universitas
Mahfud
Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada), adalah guru besar di
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hakim Mahkamah Konstitusi
periode 2008–2013, dan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman
Wahid.
Murni H
ermawaty SSitanggang
itanggang
Hermawaty
itanggang, S.Th. (Sekolah Tinggi Alkitab Jember),
M.Th. (Seminari Alkitab Asia Tenggara), adalah pengajar di UPT-BSMKU
Universitas Jember.
Anik IIftitah
ftitah
ftitah, S.H., (Universitas Brawijaya Malang) adalah mahasiswa
program pascasarjana Universitas Islam Kediri.
Adam M
uhshi
Muhshi
uhshi, S.H., (Universitas Jember), S.AP., (Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi-Lembaga Administrasi Negara, Bandung), M.H., (Universitas
Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan
peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration
(CHRM2) Universitas Jember.
Made P
ramono
Pramono
ramono, S.S., (Universitas Gadjah Mada), M.Hum., (Universitas
Gadjah Mada), Dr. (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di
Universitas Negeri Surabaya.
Moch. Choir
ul Rizal
Choirul
Rizal, S.HI., (Universitas Islam Negeri Surabaya), M.H.,
(Universitas Trunojoyo Madura) adalah peneliti di Penal Policy of Initiatives
(POINTS).
[ xi ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Al Khanif
Khanif, S.H. (Universitas Jember), M.A. (Universitas Gadjah Mada),
LL.M. (Universitas Lancaster), Ph.D. (School of Oriental and African
Studies/SOAS Universitas London) adalah pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Jember, direktur the Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember dan Ketua Serikat
Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia periode 2017-2019.
Khoir
ul Anam
Khoirul
Anam, S.Thi., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo), M.A.
(Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada)
adalah Editor Media Damai di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT).
Fiska M
aulidian N
ugr
oho
Maulidian
Nugr
ugroho
oho, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas
Airlangga) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan
peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration
(CHRM2) Universitas Jember.
Dominikus Rato
Rato, S.H. (Universitas Jember), M.Si (Universitas Airlangga),
Dr. (Universitas Diponegoro) adalah guru besar dan pengajar di Fakultas
Hukum Universitas Jember. Fokus keahlian dan penelitiannya adalah
hukum adat dan filsafat hukum.
Sukr
on M
ukron
Maa’mun
mun, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo)
M.Hum., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Aktivis muda NU ini pernah mengikuti short course
Religious Pluralism di University of California, Santa Barbara, USA; Muslim
Exchange Program (MEP) di Australia; Short Course Research Methodology
di Western Sydney University, Australia; dan Short Course di English and
Foreign Language University (EFLU) Hyderabad, India.
za SSatria
atria B
Mir
irza
Buana
uana, S.H., (Universitas Lambung Mangkurat), M.H.,
uana
(Universitas Islam Indonesia), Dr. (T.C. Beirne School of Law Universitas
Queensland) adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat.
Irham B
ashori H
asba
Bashori
Hasba
asba, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo),
M.H., (Universitas Islam Indonesia) adalah staf pengajar di Universitas
Islam Negeri Malang.
Dina Tsalist Wildana
ildana, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo
Yogyakarta) LL.M., (Universitas Gadjah Mada) adalah staf pengajar di
[ xii ]
Daftar Kontributor
Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di The Centre for Human
Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember.
Anwar M
asduki
Masduki
asduki, S.HI., (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta), M.A., (Center for Religious and Cross Cultural Studies,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
amaitu
Emanuel Raja D
Damaitu
amaitu, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas
Negeri Sebelas Maret) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Widya Karya Malang.
Ayuningtyas SSaptarini
aptarini
aptarini, S.H., (Universitas Jember) adalah mahasiswa pada
program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember dan
pegiat sosial di Mata Timoer Institute Jember.
Wiwit K
urniawan
Kurniawan
urniawan, S.S. (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), M.A.,
(Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada)
adalah staf pengajar di Universitas Pamulang dan peneliti di Pusat Kajian
Pancasila dan Kepemimpinan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Muhammad B
ahr
ul U
lum
Bahr
ahrul
Ulum
lum, S.H., (Universitas Jember), LL.M. (Universitas
Osmania) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan
peneliti di The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration
(CHRM2) Universitas Jember.
Hayatul IIsmi
smi
smi, S.H., (Universitas Riau), M.H., (Universitas Islam Indonesia),
Dr. (Universitas Padjajaran) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Riau.
Rosita IIndrayati
ndrayati
ndrayati, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas Airlangga)
adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jember dan peneliti di
The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2)
Universitas Jember.
M. IIwan
wan SSatriawan
atriawan
atriawan, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas
Brawijaya) adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Achmadudin Rajab
Rajab, S.H., (Universitas Indonesia), M.H., (Universitas
Indonesia) adalah tenaga fungsional perancang undang-undang di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
[ xiii ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sadhu B
agas SSuratno
uratno
Bagas
uratno, S.H., (Universitas Jember), M.H., (Universitas
Jember) adalah staf di Biro Hukum Pemerintah Daerah Banyuwangi.
Cakra A
bbas
Abbas
bbas, S.HI., (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta),
M.H., (Universitas Sumatera Utara), Dr. (Universitas Sumatera Utara)
adalah staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.
[ xiv ]
DAF
TAR ISI
AFT
Pengantar Editor → v
Daftar Kontributor → xi
Daftar Isi → xv
PROL
OLOG
PR
OL
OG
Pancasila sebagai Pijakan Politik dan Ketatanegaraan → 1
Moh. Mahfud MD
BAB I P
ANCASIL
A, A
GAMA DAN GL
OBALISASI → 15
PANCASIL
ANCASILA,
AGAMA
GLOBALISASI
Pancasila, Agama dan Tantangan Globalisasi → 17
Murni Hermawati Sitanggang
Pancasila versus Globalisasi: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi? → 35
Anik Iftitah
Mengkaji Hak Beragama dalam Sistem Hukum Pancasila → 51
Adam Muhshi
Spiritualitas Pancasila: Dari Korupsi Spiritual ke Pancaran Intensional
Universalitas Nilai-Nilai Pancasila → 73
Made Pramono
Mediasi Penal dan Pembaruan Hukum Berperspektif Pancasila → 91
Moch. Choirul Rizal
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
BAB II P
ANCASIL
A, RADIKALISME DAN IDEOL
OGI
PANCASIL
ANCASILA,
IDEOLOGI
TRANSNASIONAL → 111
Pancasila dalam Pusaran Islam Transnasional → 113
Al Khanif
Quo Vadis Ilusi Khilafah di Negara Pancasila → 129
Khoirul Anam
Pancasila: Refleksi Sadar Ideologi sebagai Anti-virus Radikalisme → 147
Fiska Maulidian Nugroho
BAB III P
ANCASIL
A SEBA
GAI IDEOL
OGI INKL
USIF DI ERA
PANCASIL
ANCASILA
SEBAGAI
IDEOLOGI
INKLUSIF
GLOBALISASI → 173
Pancasila sebagai Ideologi yang Hidup → 175
Dominikus Rato
Pancasila, Ideologi Bangsa yang Terkoyak → 193
Sukron Ma’mun
Pancasila, Multikulturalisme dan Tantangan Inklusi Sosial → 215
Mirza Satria Buana
Patriarkhisme Pancasila: Dialektika Perempuan dalam Perumusan
Pancasila dan Pembangunan Bangsa Indonesia → 237
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
Menguji Negara Paripurna: Pancasila dan Tantangan Dunia Maya → 261
Anwar Masduki
BAB IV P
ANCASIL
A, KEDA
UL
ATAN NEGARA DAN
PANCASIL
ANCASILA,
KEDAUL
ULA
GLOBALISASI → 277
Moralitas Pancasila dalam Kesesatan Globalisasi → 279
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
[ xvi ]
Daftar Isi
Pancasila dan Kedaulatan Bahasa dalam Pusaran Globalisasi → 301
Wiwit Kurniawan
Pancasila dalam Arus Liberalisasi Pangan Pascareformasi → 317
Muhammad Bahrul Ulum
Menguji Keadilan Pancasila dalam Menjaga Kedaulatan Rakyat
atas Tanah → 337
Hayatul Ismi
BAB V KEADIL
AN DAN DEMOKRASI P
ANCASIL
A DI ERA
KEADILAN
PANCASIL
ANCASILA
GLOBALISASI → 355
Pancasila dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia → 357
Rosita Indrayati
Purifikasi Pilkada dan Revitalisasi Demokrasi Pancasila di Indonesia → 371
M. Iwan Satriawan
Solusi Pancasila dalam Pembaharuan Demokrasi Indonesia: Kajian
Penyempurnaan Regulasi Pilkada → 387
Achmadudin Rajab
Menyoal Aktualisasi Pancasila dalam Perspektif Mahkamah Konstitusi → 405
Sadhu Bagas Suratno
Pancasila di Era Globalisasi: Sebuah Perspektif Ketatanegaraan → 423
Cakra Arbas
[ xvii ]
PROLOG
PANC
A SIL
A SEBA
GAI PIJAK AN POLITIK D
AN
PANCA
SILA
SEBAGAI
DAN
KET
ATANEGARAAN
KETA
Moh. Mahfud MD
Pendahuluan: M
asih R
elev
ankah P
ancasila?
Masih
Relev
elevankah
Pancasila?
B
anyak keluhan, sejak era reformasi (1998) Pancasila jarang
dikumandangkan lagi sementara kehidupan berbangsa dan bernegara
menghadapi banyak problem yang adakalanya dinilai sudah keluar
dari nilai-nilai Pancasila. Kenyataan tersebut kemudian menimbulkan
pertanyaan yang nadanya menggugat kita sebagai bangsa untuk menjawab
masih relevan atau tidaknya Pancasila sebagai dasar ideologi bernegara kita.
“Masih relevankah Pancasila sebagai dasar ideologi negara untuk membawa
Indonesia ke masa depan yang dicitakan?”. Itulah pertanyaan dasarnya.
Pertanyaan semacam itu sering juga langsung ditodongkan kepada saya
saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) baik oleh
orang-orang di dalam negeri maupun oleh tokoh-tokoh dari luar negeri.1
Oleh sebab itu saya sering juga sering juga berusaha menjelaskannya melalui
berbagai tulisan dan forum-forum perjamuan ilmiah. Berikut ini tulisan
yang pernah saya presentasikan dan saya tulis kembali dari seminar tentang
Revitalisasi Ideologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 16 November 2016.2
1
2
Di antara tokoh-tokoh luar negeri yang pernah menanyakan itu kepada saya adalah Kanselir Jerman
Barat Angela Merkel dan Utusan Khusus Presiden Obama untuk Negara-negara Organisasi
Konperensi Islam (OKI) Rasyad Husein. Selanjutnya lihat dalam Rita Triana Budiarti, Mahfud
MD Terus Mengalir, Kosntitusi Press, Jakarta, 2013.
Selanjutnya lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Pancasila, Ideologi, Konstitusi, dan Tata Hukum
Kita”, makalah pada Seminar Nasional “Revitalisasi Ideologi dalam Aras Global, Perspektif Negara
Hukum”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 16
November 2016.
[1]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Saya ulangi lagi butir-butir pertanyaan dasarnya: Masih relevankah
Pancasila sebagai dasar ideologi negara kita? Masih ada gunanyakah ideologi
bagi negara? Pertanyaan tentang relevansi ideologi di dalam negara itu
sebenarnya sudah lama kerapkali muncul, bukan hanya dalam konteks
Indonesia tetapi dalam konteks global, karena banyak hal, misalnya,
dominannya individualisme leberal pasca perang dingin antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet setelah bubarnya Uni Soviet. Untuk konteks
Indonesia pertanyaan nakal yang seperti itu kadangkala muncul dikarenakan
ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan negara oleh penguasa yang
kemudian disimpulkan begitu saja bahwa Pancasila gagal membawa
Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Munculnya ketimpangan sosial
dan ekonomi yang, antara lain, ditandai oleh besarnya index gini ratio3,
meluasnya kemiskinan, mencoloknya ketidakadilan, dan merajalelanya
korupsi telah dijadikan senjata oleh sekelompok kecil orang untuk
mempersoalkan relevansi Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Cara
mempersoalkannya pun beragam. Ada yang menawarkan sistem
pemerintahan baru seperti khilafah4 melalui perjuangan terbuka tetapi
tidak dengan kekerasan dan ada yang, meski pun jumlahnya bisa dihitung
dengan jari, merefleksikan melalui gerakan radikal dan teror.5
Saat pertanyaan-pertanyaan dan seluruh latar belakang yang seperti
itu disodorkan kepada saya maka saya pun berpendapat bahwa Pancasila
masih sangat relevan dan justeru diperlukan sebagai ideologi negara bagi
masa depan upaya pencapaian cita-cita Indonesia dengan segala
tantangannya seperti sekarang ini. Pancsila dapat disebut sebagai karunia
luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa kepada bangsa Indonesia untuk
menjadi pemersatu sekaligus untuk menjadi sumber, prinsip, dan sistem
hukum di Indonesia.
3
4
5
Pada akhir Orde Baru index gini ratio kita hanya 0,200 tetapi terus meningkat selama era reformasi
sampai akhir 2014 mendekatai 0,420 dan membaik pada tahun 2015 dan 2016 menjadi sekitar 0,
410.
Hizbut Tahrir Inbdonesia (HTI) misalnya, menyatakan bahwa sistem khilafah lebih cocok dijadikan
alternatif baru bagi masa depan Indonesia.
Radikalisme dan terorisme menjadi isu dan berita yang sering menghentak kita dalam beberapa
tahun terakhir ini.
[2]
Prolog Moh. Mahfud MD
Polemik tentang M
asa D
epan IIdeologi
deologi
Masa
Depan
Berbicara tentang masa depan ideologi, lebih dari 50 tahun yang lalu Daniel
Bell telah menulis buku berjudul The End of Ideology 6 yang kemudian
menjadi obyek polemik yang menarik. Menurut Bell untuk ke depan
ideologi tidak lagi penting karena penyelesaian menyeluruh terhadap
problem kemanusian yang didasarkan pada ideologi tidak valid lagi. Ideologi
terbukti gagal melakukan penyelesaian karena ia menyederhanakan berbagai
persoalan yang menyebabkannya terjerat melalui tema-tema mendasar yang
dieprbincangkan. Pendapat Bell ini diperluas oleh Francis Yoshihiro
Fukuyama yang pada tahu awal 1990-an menulis, the End of History.7
Fukuyama melihat kemenangan liberal-kapitalisme Amerika Serikat atas
Komunisme Uni Soviet yang mengakhiri perang dingin sebagai kemenangan
teori liberal-kapitalisme atas teori komunisme dan sosialisme yang
dianggapnya sudah usang. Fukuyama berasumsi bahwa manusia meyakini
satu saja sistem kehidupan masa depan yakni demokrasi liberal ala Barat,
tepatnya Anglo Saxon dan sejarah ditandai oleh tiga titik nadir, yaitu,
berakhirnya evolusi ideologi manusia, universalisasi demokrasi liberal ala
Barat, dan demokrasi liberal sebagai bentuk final pemerintahan manusia.
Kata Fukuyama pula, demokrasi liberal merupakan bentuk final
pemerintahan manusia dan karenanya demokrasi liberal merupakan titik
akhir dari evolusi ideologi umat manusia.
Tetapi paham endisme dari Bell dan Fukuyama itu dibantah oleh
penulis buku The Clash of Civilization8 Samuel P. Huntington. Menurut
Huntington dalam tulisannya “Tak Ada Jalan Keluar, Kesalahan-kesalahan
Endisme9 yang dipublikasikan pada 2005 berakhirnya perang dingin
bukanlah berarti berakhirnya perang ideologi, diplomasi, ekonomi,
teknologi, bahkan militer antar berbagai negara. Itu bukanlah akhir dari
perebutan kekuasaan dan pengaruh sebab berakhirnya perang dingin telah
6
7
8
9
Daniel Bell, The End of Ideology: on the Exhaustion of Political Ideas in Fifties, Free Press, New
York, 1960.
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, Hamish Hamilton, London, 1992.
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization And The Remaking of World Order, Harvard
University, 1994.
Samuel P. Huntington, Tak Ada Jalan keluar: Kesalahan-kesalahan Endisme, Foreign Affair,
Washington, 2005.
[3]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
memunculkan isu-isu yang mempengaruhi keadaan politik dunia. Politik
dunia pasca perang dingin justeru bergeser ke konflik agama, etnis, dan
terrorisme internasional. Perang masa depan memang bukan perang antar
negara tetapi perang antar budaya dan ekstremisme Islam akan menjadi
ancaman terbesar bagi dominasi Barat.
Tulisan ini tidak bermaksud memasuki area perdebatan tentang
ideologi yang dibingkai oleh sejarah sosial dan politik seperti yang
dikemukakan oleh Bell, Fukuyama, dan Huntington tersebut tetapi akan
lebih membedah tentang revitalisasi dasar ideologi negara kita yakni
Pancasila dalam bingkai hukum konstitusi dan ketatanegaraan untuk
meneguhkannya sebagai pengikat kebersatuan kita. Telaah tentang ini
penting karena kita sekarang berada di era globalisasi yang ciri-cirinya
memang menuntut revitalisasi terhadap ideologi negara kita. Para ahli masa
depan mengatakan bahwa globalisasi yang didorong secara kuat oleh
masifikasi teknologi informasi (information technology) mempunyai empat
ciri yang disebut global conciousness, yakni, tuntutan demokratisasi,
perlindungan hak-hak asasi manusia, pelestarian lingkungan hidup, dan
ekonomi pasar bebas. Hati nurani global inilah yang menuntut kita
melakukan revitalisasi terhadap dasar ideologi negara kita, Pancasila.
Pancasila sebagai IIdeologi
deologi
Jika diartikan secara sederhana ideologi adalah ilmu (logos) tentang ideide, konsep, dan cita-cita (eidot, idea) yakni cita-cita yang bersifat tetap
yang harus dicapai.10 Oleh karena ia merupakan cita-cita yang tetap dan
harus dicapai maka ia sekaligus menjadi dasar, pandangan, atau paham.
Soerjanto Poespowardojo mengatakan bahwa ideologi adalah keseluruhan
sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan serta
pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh
kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama.11
Jika dilihat dari fungsinya, Paul Ricoeur mengemukakan tiga fungsi ideologi
10
Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Penerbit Paradigma, Yogyakarta,
2002, hlm. 49.
11
Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, PT Gramedia, Jakarta,
1989, hlm 8-9.
[4]
Prolog Moh. Mahfud MD
yang salah satu di antaranya adalah sebagai bentuk integrasi sosial.12 Ideologi
dilihat sebagai pandangan makna simbolik yang kuat dan mendalam
sehingga mampu mempersatukan kelompok manusia yang berbeda-beda
dalam satu kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.13
Dalam konteks tulisan ini saya ingin menyederhanakan arti ideologi
sebagai pilihan atas berbagai kebenaran filsafati yang beragam di tengahtengah masyrakat yang disepakati untuk diintegrasikan sebagai pedoman
milik bersama untuk mencapai tujuan bersama dalam kehidupan bernegara.
Seperti diketahui di dalam masyarakat banyak sekali nilai-nilai kebenaran
falsafati yang dianut oleh berbagai kelompok kelompok primordial yang
berbeda-beda, misalnya, ada agama Islam yang menganut filsafat Islam,
ada agama Kristen yang menganut filsafat Kristen, ada yang menganut
Katolik, Budha, Hindu, Kejawen yang sebenarnya mempunyai nilai-nilai
falsafahnya sendiri. Ada juga perbedaan kepentingan suku, ras, daerah,
dan bahkan juga bahasa. Berbagai kebenaran falsafati dan kultur itu
diabstraksikan melalui penyaringan untuk akhirnya mencapai titik temu
yang bisa disepakati sebagai pedoman bersama.
Pedoman bersama dan komitmen yang disatukan oleh berbagai
kebenaran falsafati dan ikatan prmiordial itulah yang kemudian menjadi
ideologi. Jadi ideologi adalah kesepakatan yang disertai komitmen untuk
melaksanakan pedoman hidup bersama yang disaring, diseleksi, dan
dibangun dari berbegai perbedaan anutan falsafati dan ikatan primordial
lainya untuk mencapai tujuan bersama. Untuk konteks Indonesia ideologi
sebagai hasil penyaringan, seleksi, dan pembulatan ide tentang pedoman
hidup bersama itu adalah Pancasila. Hal yang paling mendasar dari dasar
ideologi kita adalah “kebersatuan dalam keberagaman” atau prinsip
Pluralisme yang kita semboyankan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, meski
beragam tetap dalam satu ikatan. Sangat mengagumkan, dengan ideologi
Pancasila Indonesia berhasil menyatukan ribuan pulau, suku, dan bahasa
daerah serta berbagai agama dan budaya lainhya ke dalam satu ikatan
kebangsaan dan negara Indonesia.
12
Dua fungsi lainnya adalah (1) sebagai bentuk distorsi realitas sosial dan (2) alat legitimasi kekuasaan.
Lihat dalam Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan, Pancasila Kekuatan Pembebas,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm 32.
13
Ibid.
[5]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pancasila dengan SSistem
istem D
emokrasi yang Khas
Demokrasi
Penyelenggaraan negara untuk mengelola keberagaman itu adalah demokrasi
sebab perbedaan-perbedaan aspirasi dari keberagaman masyarakat itu harus
dikontestasikan secara fair. Tetapi demokrasi kita tidaklah sama dengan
demokrasi ala Barat. Demokrasi kita mendorong musyawarah (sebagai
budaya bangsa) tetapi juga membuka peluang pada pemungutan suara di
parlemen (sebagai cara modern) jika mekanisme itu tidak tehindarkan.
Harap diingat bahwa di dalam demokrasi kita tidak dilarang voting, adu
dukungan suara, karena hal itu merupakan keniscayaan. Penentuan bentuk
republik bagi negara Indonesia pun dilakukan melalui voting di BPUPKI
karena ada beberapa anggota BPUPKI yang bersikeras menginginkan
Indonesia berbentuk kerajaan. Begitu juga penentuan bentuk negara
kesatuan dilakukan melalui voting karena Bung Hatta dan beberapa anggota
BPUPKI menginginkan Indonesia berbentuk negara Federal. Bung Karno
pun pada Pidato tanggal 1 Juni 1945 yang kini ditetapkan sebagai Hari
Lahirnya Pancasila menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara
agama, tetapi jika orang-orang Islam ingin membuat hukum-hukum yang
sesuai dengan agama Islam berjuanglah untuk merebut kursi-kursi di badan
perwakilan rakyat. Begitu juga, kata Bung Karno, jika orang-orang Kristen
ingin berlakunya hukum-hukum yang berletter Kristen berjuanglah agar
kursi-kursi di lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Keristen.
Kekhasan demokrasi Pancasila yang didasari pada semangat gotong royong,
bukan semata-mata mencari menang dan kalah, dan yang menang tidak
boleh mengabaikan yang kalah pada umumnya disebut sebagai deliberative
democracy.
Pancasila dan U
ndang U
ndang D
asar
Undang
Undang
Dasar
Sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) tentang kebenaran nilai-nilai
falsafati yang akan dijadikan pedoman hidup bersama Pancasila sebagai
ideologi juga mempunyai berbagai fungsi, misalnya, fungsi sebagai dasar
negara, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai pemersatu bangsa, dan
sebagainya. Dalam fungsinya sebagai dasar negara Pancasila harus menjadi
sumber dari segala sumber hukum yang dasar-dasarnya dituangkan di dalam
Undang Undang Dasar (UUD) atau konstitusi dan peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai sumber dari segala sumber hukum Pancasila
mempunyai empat kaidah penuntun hukum yang harus menjadi rambu[6]
Prolog Moh. Mahfud MD
rambu dalam pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan dan
politik hukum pada umumnya, yaitu:
1. Melindungi seluruh bangsa dan tanah air Indonesia dalam arti bahwa
semua hukum yang yang dibentuk dan diberlakukan di Indonesia
haruslah selalu menjaga keutuhan integrasi bangsa baik secara teritori
maupun secara ideologi.
2. Membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan
hukum) secara simultan dalam arti demokrasi harus dibatasi oleh tegaknya
hukum dan hukum harus dibuat secara demokratis. Keputusan
demokratis yang melanggar konstitusi dan HAM bisa dibatalkan oleh
lembaga nomokratis seperti MK atau MA, tergantung levelnya.
3. Membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam arti hukum yang
berlaku atau diberlakukan di Indonesia harus menutup pintu bagi
tumbuhnya sistem eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah dan
harus selalu mendorong untuk mempersempit kesenjangan sosial dan
ekonomi di tengah-tengah masyarakat guna membangun kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat,
4. Membangun toleransi beragama yang berkeadaban dalam arti semua
hukum di Indonesia tidak boleh diskriminatif terhadap pemeluk agama
tertentu semisal berdasarkan jumlah pemeluknya. Negara tidak memberlakukan hukum salah satu agama tetapi negara harus memproteksi
setiap pemeluk agama yang ingin melaksanakan ajaran agamanya.
Pancasila dan P
klektik H
ukum N
asional
Prroduk E
Eklektik
Hukum
Nasional
Di Indonesia, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, artinya,
selain Pancasila masih ada sumber-sumber hukum yang lain yang
bersumber juga pada Pancasila. Sumber hukum belum tentu merupakan
hukum dalam arti peraturan perundang-undangan. Agama adalah sumber
hukum karena Indonesia berdasar ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi hukum
agama bukan merupakan hukum jika belum dijadikan UU. Dalam hal ini
hukum agama menjadi sumber hukum materiil, bukan sumber hukum
formal yang berlaku. Untuk menjadi berlaku norma-norma agama harus
disahkan dulu dalam bentuk tertentu yakni ditetapkan keberlakuannya
oleh lembaga yang diberi wewenang untuk itu oleh UUD. Jadi sumber
[7]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
hukum bisa diartikan dalam dua hal: Pertama, sumber hukum dalam arti
sebagai bahan untuk membuat hukum yang biasa disebut sumber hukum
materiil; Kedua , sumber hukum dalam arti peraturan perundangperundangan yakni hukum yang resmi mengikat karena ditetapkan
keberlakuannya oleh lembaga yang berwenang.
Orang sering dikelirukan oleh pernyataan bahwa hukum Islam wajib
diberlakukan karena agama Islam adalah sumber hukum. Padahal harus
selalu diingat bahwa yang menjadi sumber hukum di Indonesia adalah
semua agama, adat istiadat, budaya, dan sebagainya. Kesemua sumber
hukum itu harus diintegrasikan dan didasarkan pada sumber utamanya
yakni Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
produknya bisa berupa hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Hukum nasional yang bersumber dari Pancasila
merupakan hasil eklektisasi dari berbagai sukmber hukum itu. Oleh sebab
itu hukum nasional Indonesia merupakan produk eklektik antar berbagai
sumber hukum materil yang ada di dalam masayarakat seperti Hukum
Islam, Hukum Adat, Hukum Barat, dan konvensi-konvensi internasional.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum publik kita merupakan
produk eklektisasi dari berbagai sumber hukum materil yang semuanya
bersumber dari Pancasila sehingga keberlakuannya bersifat unifikatif,
berlaku secara sama untuk seluruh wilayah dan warga negara. Sedangkan
hukum-hukum privat yang lebih berkaitan dengan kepentingan pribadi
berlaku secara pluralistik (bermacam-macam) sesuai dengan latar belakang
primordial (seperti agama dan daerah) dan ketundukan masing-masing
warga negara.
Pancasila sebagai SSumber
umber P
eraturan P
er
undang-U
ndangan
Peraturan
Per
erundang-U
undang-Undangan
Dengan demikian hubungan antara Pancasila dan Konstitusi dapat
durumuskan sebagai hubungan antara pilihan kebenaran falsafati dari
berbagai nilai sebagai dasar ideologi negara yang disepakati dengan aturan
main untuk melaksanakan dasar negara itu yaitu Konstitusi yang kemudian
diturunkan ke dalam peraturan perundang-undangan dalam semua bidang
dan tingkatannya. Dengan kata lain Pancasila sebagai dasar ideologi negara
adalah kesepakatan luhur yang kemudian dituangkan di dalam UUD
sebagai dasar-dasar aturan penyelenggaraan negara yang kemudian terus
diturunkan lagi ke dalam peraturan perundang-undangan secara hirarkis.
[8]
Prolog Moh. Mahfud MD
Dalam konteks tata hukum yang berlaku sekarang maka Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum melahirkan peraturan perundangundangan yang, seperti diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011, secara
hirakis terdiri atas tujuh tingkatan yakni (1) UUD NRI 1945, (2)
Ketetapan MPR(S) (yang masih berlaku berdasar Tap MPR No. I/MPR/
2003), (3) UU/Perppu, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden,
(6) Peraturan Daerah Provinsi, (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Penyusunan secara hierarkis, sesuai dengan teori Stupa atau Stuffenbau
theorie dari Hans Kelsen, berarti susunan tersebut bersifat mutlak, tidak
bisa ditukar, karena ia terkait dengan kuatnya daya laku dan daya ikat.
Peraturan perundang-undangan yang disebutkan pada urutan yang lebih
tinggi berarti berkedudukan lebih kuat dan harus menjadi sumber dari
peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, begitulah
seterusnya. Oleh sebab itu tidak boleh ada satu peraturan perundangundangan yang isinya, baik seluruhnya maupun sebagian, bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kalau ada
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maka bisa dinyatakan batal (extunc)
atau dibatalkan (exnunc).
Ada instrumen konstitusi dan hukum untuk menyatakan batal atau
dibatalkannya suatu peraturan perundang-undangan, yakni, pengujian
yudisial (judicial review) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
dan Mahkamah Agung (MA) yang kesemuanya dimaksudkan untuk
memagari atau menjaga konsistensi semua peraturan perundang-undangan
dengan ideologi dan konstitusi. Pengujian UU terhadap UUD (uji
konstitusionalitas) dilakukukan oleh MK sedangkan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap UU (pengujian legalitas)
dilakukan oleh MA. Judicial review yang yang dilakukan oleh MK dan
MA bisa dalam bentuk uji formal (prosedur dan cara pembentukannya)
dan bisa dalam bentuk uji materil (isi peraturan perundang-undangannya).
Jadi pelembagaan judicial review di dalam konstitusi dan tata hukum pada
tingkat terakhir dimaksudkan untuk memagari semua peraturan perundangundangan agar tidak melenceng dari dasar ideologi negara dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Tentu saja pelanggaran atas setiap peraturan perundang-undangan itu
ada sanksinya sebab hukum itu ada jika kaidah sudah ditetapkan sebagai
[9]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
hukum oleh lembaga yang berwenang melalui proses konstitusional. Hanya
saja pelanggaran langsung terhadap ideologi dan konstitusi tidak bisa
dijatuhi hukuman dalam bentuk hukuman pidana penjara atau denda
dan lain-lain. Pelanggaran atas isi Ideologi dan konstotusi negara yang
belum diturunkan ke dalam norma dalam bentuk UU tidak bisa dijatuhi
sanksi hukum karena untuk menghukum atau dihukum haruslah
didasarkan pada peraturan yang sudah berbentuk norma yang mengandung
perintah, larangan, dan ancaman bagi yang melanggarnya. Ideologi dan
konstitusi masih berbentuk falsafah dan asas-asas hukum sehingga
pelanggaran atas keduanya tidak bisa dijatuhi hukuman pidana sebelum
isi-isi ideologi dan konstitusi itu belum dijadikan UU atau peraturan
perundang-undangan lain yang sudah mengandung ancaman sanksi. Lalu,
apakah pelangaran atas ideologi dan konstitusi tidak bisa dihukum? Tentu
saja bisa, tetapi hukumannya bukan penjara atau denda melainkan
hukuman politik dan etik.
Problematika K
etetapan MPR
Ketetapan
Berkenaan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 ada problema yuridis terkait
dengan munculnya kembali “Ketatapan MPR” atau Tap MPR sebagai
peraturan perundang-undangan urutan kedua, yakni, urutan di bawah
UUD 1945 dan di atas UU/Perppu. Problemnya adalah, apakah Tap MPR
bisa diuji terhadap UUD dan apakah UU bisa diuji terhadap Tap MPR?
Pertanyaan ini muncul karena paham konstitusi kita sekarang ini sudah
mengadopsi prinsip pengujian yudisial terhadap peraturan perundangundangan. Kalau Tap MPR bisa diuji terhadap UUD, siapakah yang
melakukan dan dari mana sumber wewenangnya? Begitu juga kalau UU
bisa diuji terhadap Tap MPR apakah dasar dan dari mana sumber
wewenangnya? Pertanyaan ini sangat mendasar karena penerimaan atas
prinsip pengujian yudisial harus juga disertai sumber dan pemegang
kewenangan di dalam konstitusi. MK, misalnya, tidak bisa menguji UU
terhadap Tap MPR karena di dalam UUD disebutkan bahwa MK menguji
konstitusionalitas UU terhadap UUD. Begitu juga MPR tidak bisa menguji
Tap MPR terhadap UUD karena, selain hal itu bukan pengujian yudisial,
sejak perubahan UUD 1945 struktur ketatanegaraan kita tidak lagi memberi
wewenang kepada MPR untuk membentuk Tap MPR dalam bentuk
[ 10 ]
Prolog Moh. Mahfud MD
peraturan perundang-undangan (regelings) yang langsung di bawah UUD.
Lalu bagaimana kedudukan Tap MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 UU No. 12 Tahun 2011 menurut konstitusi dan tata hukum kita? Itulah
problemnya.
Sebenarnya sejak perubahan UUD 1945 (1999-2002) kita sudah
mengubah struktur ketatanegaraan dari “vertikal-struktural” menjadi
“horizontal fungsional” sehingga MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara
yang diberi wewenang membentuk Tap MPR sebagai regelings seperti pada
masa lalu. Sekarang ini MPR berkedudukan sejajar dengan lembaga negara
lain (Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY).14 Meskipun MPR diberi
wewenang untuk menetapkan dan mengubah UUD dan berbagai
kewenangan lain bukan berarti MPR itu lembaga tertinggi negara
melainkan karena kewenangan itulah yang diberikan oleh UUD dalam
struktur ketatanegaraan yang bersifat horizontal.15 Dasar konstitusional
untuk mengatakan bahwa MPR bukan lembaga tertinggi negara yang
melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dari sudut tata hukum,
sekurang-kurangnya bisa dilihat dari tiga hal. Pertama, ketentuan Pasal 1
Ayat (2) UUD yang semula menyebutkan bahwa “kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” sekarang, di dalam
UUD hasil amandemen, diubah menjadi “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Kedua,
Ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen menyatakan
bahwa MK menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD. Seandainya
MPR diberi wewenang mengeluarkan Tap yang lebih tinggi daripada UU
14
Berdasar vonis MK kedudukan KY sebagai lembaga negara disebut sebagai penunjang atau auxiliary
atau supporting institusion, tidak sejajar penuh dengan lembaga negara lain yang disebutkan di atas.
15
Perlu dikemukakan bahwa memang ada juga yang berpendapat bahwa MPR tetap merupakan
lembaga tertinggi negara dengan alaan MPR adalah lembaga yang berwenang menetapkan atau
memberlakukan dan mengubah UUD sebagai hukum tertinggi atau induk dari semua hukum di
dalam negara. Logikanya, hukum yang tertinggi harus ditetapkan oleh lembaga yang tertinggi.
Tetapi pendapat ini tidak terjadi dalam kenyataan karena tidak sesuai dengan sejarah perubahan
UUD 1945 yang sejak awal memang ingin mendegradasi kedudukan MPR yang tadinya disebut
sebagai lembaga tertinggi negara. UUD di negara-negara lain, misalnya di Amerika Serikat, tidak
ditetapkan oleh lembaga tertinggi negara melainkan oleh Kongres yang kedudukannya tidak lebih
tinggi daripada Presiden. Meskpiun MPR mempunyai kewenangan untuk menetapkan UUD tetapi
lembaga tersebut bukanlah lembaga tertinggi negara hanya karena kewenangannya itu; sama juga
dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara yang meskipun disebut “kepala” tetapi bukan
lembaga tertinggi.
[ 11 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
tentunya UUD mengatur juga cara pengujian Tap MPR terhadap UUD
dan pengujian UU terhadap Tap MPR. Tetapi nyatanya hal itu tidak diatur
sama sekali di dalam UUD. Ini berarti bahwa Tap MPR sebagai peraturan
perundang-undangan pada derajat kedua tidak lagi menjadi bagian dari
tata hukum kita. Ketiga , oleh karena Tap MPR sebagai peraturan
perundang-undangan tidak ada lagi di dalam tata hukum kita padahal
pada masa lalu sudah banyak Tap MPR yang berlaku sebagai peraturan
perundang-undangan pada level kedua maka melalui Aturan Tambahan
Pasal II UUD NRI 1945 dibuat perintah agar MPR hasil Pemilu 1999
membuat ketetapan pamungkas yang memosisikan lagi semua Tap MPR/
S yang sudah terlanjur ada agar sesuai dengan Tata Hukum baru yang
diatur oleh UUD 1945 hasil amandemen. Bunyi Pasal II Aturan Tambahan
tersebut adalah, “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk
melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan
Majelis Permusayawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan rakyat untuk diambil putusan pada Sidang majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.
Demikianlah, menjadi sangat jelas bahwa MPR sekarang tidak boleh
lagi mengeluarkan Ketetapan yang berbentuk regelings pada level kedua
dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan kita. Sebenarnya UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sudah secara tepat menuangkan tentang Tata Urutan Peraturan Perundangundangan yang tidak lagi menyebut Tap MPR sebagai peraturan perundangundangan. Tetapi kemudian muncul masalah ketika ternyata Tap No. I/
MPR/2003 16 yang dibuat untuk melaksanakan Aturan Tambahan Pasal II
(memosikan Tap MPR/MPRS yang terlanjur ada) masih menentukan adanya
Tap MPR/S yang tetap berlaku baik permanen maupun sampai ada UU
atau sampai selesainya perintah yang ada di dalam Tap MPR/S itu.
Masalahnya, dimana letak Tap MPR yang masih dinyatakan berlaku itu di
dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang baru? Oleh karena
distorsi tersebut maka pada tahun 2011 dibuatlah UU No. 12 Tahun
16
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 sering disebut sebagai Ketetapan Sapu Jagat karena fungsinya
adalah menyapu atau menyisir semua Tap MPR/S yang sudah terlanjur ada untuk diposisikan
dalam tata hukum yang baru, misalnya, posisnya dinyatakan dihapus atau diberlakukan sebagai
UU.
[ 12 ]
Prolog Moh. Mahfud MD
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang (melalui
Pasal 7) memasukkan kembali Tap MPR/S yang masih berlaku sebagai
peraturan perundang-undangan derajat kedua. Pada titik inilah muncul
problem tentang pengujian yudisial Tap MPR terhadap UUD atau
pengujian yudisial UU terhadap Tap MPR.
Sebenarnya meskipun UU No. 12 Tahun 2011 menyebut Tap MPR
sebagai peraturan perundang-undangan derajat kedua namun MPR tetap
tidak mempunyai wewenang untuk membuat Ketetapan sebagai peraturan
perundang-undangan derajat kedua di bawah UUD. Penyebutan Tap MPR
sebagai peraturan perundang-undangan derajat kedua di dalam UU No.
12 Tahun 2011 tersebut hanya berlaku untuk Tap MPR/S yang lama (dan
sudah ada lebih dulu) serta masih dipertahankan keberlakuan dan
bentuknya oleh Tap MPR No. I/MPR/2003, artinya, MPR tidak bisa
membuat Ketatapan baru dalam bentuk seperti dulu. Hal itu dimuat di
dalam Penjelasan Pasal 7 huruf b UU No. 12 tahun 2011 yang menyatakan
bahwa “Yang dimaksud dengan Tap MPR adalah Tap MPRS dan Tap MPR
yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Tap MPR No. I/MPR/2003”.17 Jadi jelas, tidak bisa dibuat Tap MPR
baru karena adanya Tap MPR baru kosntruksinya jelas akan bertentangan
dengan UUD yang sekarang berlaku.
Dengan demikian penyebutan Tap MPR sebagai peraturan perundangundangan level kedua di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tidak menyebabkan
MPR bisa membuat Tap baru dalam level tersebut tetapi problem mendasar
masih tersisa, yakni, pengujian judisial Tap MPR terhadap UUD dan
pengujian yudisial UU terhadap Tap MPR yang sudah terlanjur ada tersebut.
Inilah yang harus dicari jalah keluar konstitusionalnya.
Aktualisasi P
ancasila
Pancasila
Dari perspektif hukum, dasar ideologi negara kita, Pancasila, masih sangat
relevan dan diperlukan untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang besatu, berdaulat, adil, dan makmur. Nilai-nilai dasar
17
Pasal 2 menyebut tiga Ketetapan MPR yang berlaku terus (permanen) sedangkan pasal 4 menyebut
11 Ketetapan MPR yang berlaku sampai ada UU yang menggantikan atau sampai selesai tugasnya
sesuai dengan isi Tap-Tap itu sendiri.
[ 13 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pancasila sebagai dasar ideologi negara masih terus bisa bertahan dan harus
dipertahankan, sedangkan nilai-nilai instrumentalnya masih bisa
diaktualkan dari waktu ke waktu melalui penyesuaian hukum-hukum
dengan serbuan globalisme yang tak mungkin dihindarkan. Tujuan
membangun kesejahteraan rakyat dengan pemanfaatan segala sumber daya
untuk rakyat sendiri misalnya, bisa diatur dengan hukum-hukum yang
menyesuaikan diri dengan globalisme (misalnya profesionalisme, efisisensi,
dan pasar bebas) tetapi hasil-hasilnya tetap harus digunakan untuk
kepentingan seluruh rakyat.
Referensi
Daniel Bell, 1960. The End of Ideology: On The Exhaustion of Political
Ideas in Fifties, New York: Free Press.
Francis Fukuyama, 1992. The End of History and the Last Man, London:
Hamish Hamilton.
Hans Kelsen, 1973. General Theory of Law, Russel & Russel, New York.
Kaelan, 2002. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Yogyakarta: Paradigma.
Manfred Steger, 2002. Globalism, the New Market Ideology, Lanham:
Rowman & Littlefield.
Moh. Mahfud MD, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Moh. Mahfud MD, 2012. Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press.
Muhammad Hatta, 1989. Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung.
Roland C. Den Otter, 2007. Judicial Review in an Age of Moral Pluralism,
New York: Cambridge University Press.
Samuel P. Huntington, 1994. The Clash of Civilization and the Remaking
of World Order, Massachusetts: Harvard University.
Soerjanto Poespowardojo, 1989. Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan SosioBudaya, Jakarta: PT Gramedia, Jakarta.
[ 14 ]
BAB I
PANC
A SIL
A , AGAMA D
AN
PANCA
SILA
DAN
GLOBALISA
SI
GLOBALISASI
PANC
A SIL
A , AGAMA D
AN TANT
ANGAN
PANCA
SILA
DAN
TANTANGAN
GLOBALISA SI
Murni Hermawati Sitanggang
Pendahuluan
G
lobalisasi telah merasuk ke dalam seluruh aspek kehidupan
manusia, termasuk di dalamnya agama. Bahkan dapat dikatakan
bahwa saat ini agama telah menemukan tanah yang subur dan
jalan yang mulus untuk berkembang secara global berkat kemajuan
teknologi. Era globalisasi menjadikan agama-agama yang ada dapat
memperluas jaringannya melampaui tempat kelahirannya.1 Perkembangan
agama di zaman internet ini cukup pesat karena pengaruh globalisasi. Saat
ini tak terhitung banyaknya website yang menyediakan informasi tentang
agama yang memudahkan penyebaran agama sehingga terjadi pertambahan
anggota atau pengikut yang baru. Internet juga memungkinkan umat
beragama untuk saling berhubungan meski tidak berada dalam wilayah
yang sama. Tak dapat dipungkiri bagaimana globalisasi mendatangkan
banyak manfaat dan kemajuan bagi agama.
Akan tetapi globalisasi juga melahirkan tantangan yang harus dihadapi
dan diatasi dengan hadirnya fundamentalisme. Paham yang dapat
dikategorikan sebagai gerakan ini muncul sebagai upaya untuk kembali
kepada akar atau apa yang diyakini sebagai dasar-dasar ajaran agama
tersebut. Fundamentalisme dapat muncul di semua agama dan merupakan
1
Monaim El Azzouzi, ‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <http:// journal.ispri.ro/
wp-content/uploads/2013/03/150-154-Monaim-El-Azzouzi.pdf.> diakses 19 Januari 2017.
[ 17 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
salah satu reaksi terhadap globalisme. Gerakan ini biasanya bertujuan untuk
melindungi kebenaran awal yang terancam luntur karena pengaruh
globalisasi.
Pada dasarnya tidak ada persoalan dengan semangat gerakan
fundamentalisme untuk kembali ke ajaran yang murni. Berdasarkan sila
pertama dari Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia, yakni
Ketuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya setiap warga
menjunjung tinggi agama yang dianutnya. Itu menjadi masalah ketika
dalam usaha mewujudkan cita-cita tersebut, kaum fundamentalis
cenderung menganggap hanya dirinya yang benar dan semua pihak yang
berbeda dengan dirinya salah dan kemudian berujung pada sikap
menganggap pemeluk agama lain sebagai musuh. Ketika ini terjadi maka
persatuan bangsa menjadi terancam. Hal ini membuat seakan pengamalan
sila pertama tersebut berbenturan dengan pengamalan sila ketiga, yakni
Persatuan Indonesia. Padahal sejatinya kelima sila dalam Pancasila adalah
satu kesatuan sehingga pengamalan sila-sila yang ada di dalamnya
seharusnya berjalan bersamaan.
Oleh sebab itu, mengingat peran penting agama saat ini, yang bukan
saja merupakan alat atau agen dan muatan globalisasi melainkan juga adalah
bagian dari identitas bangsa Indonesia, pendidikan agama menjadi hal
yang krusial dalam membentengi bangsa dari tantangan fundamentalisme
yang mengancam persatuan. Pendidikan agama diyakini dapat menjadi
benteng kepribadian dan pembekalan hidup karena pada hakikatnya
bertujuan untuk membentuk pribadi yang mulia di hadapan Tuhan dan
di hadapan manusia. Mulia maksudnya di sini adalah dapat memenuhi
tugas dan tanggung jawabnya sebagai makhluk yang bertanggung jawab
kepada Penciptanya dan dapat memenuhi fungsinya di dunia, menjadi
berkat bagi sesamanya.
Tulisan ini akan membahas sejauh apakah manfaat dan tantangan yang
dihadirkan globalisasi terhadap agama. Yang hendak didiskusikan dalam
tulisan ini adalah pendidikan agama yang seperti apa yang sepatutnya
dikembangkan untuk membendung efek negatif dari globalisasi tersebut.
Pendidikan agama yang akan dibahas dalam tulisan ini bersifat umum,
bukanlah berbicara mengenai pendidikan agama tertentu saja dan juga
tidak sebatas pendidikan di lembaga formal seperti sekolah dan universitas
saja. Oleh karena pendidikan agama pada dasarnya tidak hanya ditempuh
[ 18 ]
Murni Hermawati Sitanggang
di lembaga formal maka ruang lingkup pembahasan meliputi pendidikan
di dalam keluarga dan masyarakat luas.
Pengar
uh G
lobalisasi terhadap Agama
engaruh
Globalisasi
Globalisasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
meningkatnya keterhubungan global, integrasi dan saling ketergantungan
di bidang ekonomi, sosial, teknologi, budaya, politik, dan ekologi.
Globalisasi sebenarnya berdasar pada usaha untuk membawa seluruh dunia
di bawah satu sistem pasar dengan pergerakan bebas dari keuntungan dan
produk.2 Sayangnya, yang terjadi di lapangan justru tidak lain dari
hubungan dominasi dan ketergantungan antara negara kaya dan miskin di
dunia. Ini kemudian melahirkan kapitalisasi dan kolonisasi yang dilakukan
oleh negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang dan miskin.
IMF (International Manotery Fund) dan Bank Dunia merupakan agen
dari kapitalisasi dan kolonisasi tersebut.
Globalisasi lebih dari sekadar trend atau mode yang hanya muncul
sebentar lalu berlalu, bahkan dapat dikatakan bahwa globalisasi pada
dasarnya adalah sistem internasional. 3 Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan bila globalisasi memiliki hukum dan logikanya sendiri yang
kemudian mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung,
politik, lingkungan, geopolitik, dan ekonomi dari negara manapun.
Globalisasi juga memiliki teknologinya sendiri, yakni: komputerisasi,
miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, fiber optik dan internet, yang
kesemuanya itu memperkuat definisi globalisasi. Begitu suatu negara masuk
ke dalam sistem globalisasi, pimpinannya akan mulai menghayati
pandangan untuk menyatu dan menempatkan diri dalam konteks global.
Globalisasi di bidang agama ditandai dengan berubahnya makna agama.
Di masa kini agama bukan lagi seperangkat kepercayaan yang didapat
manusia melalui refleksi melainkan sudah berkembang menjadi sistem
2
3
George Husani, ‘Effects of Globalisation, Urbanisation and Post Modernity on Religious Peace: The
Way Forward’ <http://www.georgehusani.org/home/ index.php/other-articles/60-effects-ofglobalisation-urbanisation-and-post-modernity-on-religious-peace-the-way-forward> diakses 11
Januari 2017.
Florin Stibli, ‘Terrorism in the Context of Globalization’ (2010) AARMS, 9 (1). hlm. 1.
[ 19 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
simbolik yang menjadi identitas dan menandai/menegaskan batasan-batasan
sosial/etik dan batasan lainnya. Dengan kata lain, berbicara mengenai agama
bukan lagi berbicara mengenai keyakinan iman melainkan telah
berkembang menjadi suatu identitas atau budaya penganutnya.4
Mengingat agama merupakan salah satu cara menyatakan identitas diri
yang secara umum disebut juga identity-signifiers maka akan sulit bagi
kita untuk membahas agama terpisah dari isu globalisasi. Berkat globalisasi,
agama dan iman berkembang menjadi semacam batu ujian/pijakan identitas
yang non-teritorial. Sebagai sumber identitas dan kebanggaan, umat suatu
agama kemudian mempromosikan agamanya sampai pada level global agar
dapat dipeluk oleh sebanyak mungkin orang. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan bila kemudian banyak umat beragama yang terlena dengan
globalisasi dan tidak menganggapnya sebagai ancaman sebab mereka
menganggap globalisasi merupakan prasarana dalam penyebaran ajaran
agama.
Globalisasi Agama
Globalisasi tidak selamanya berdampak buruk terhadap agama. Ada
beberapa manfaat dari pengaruh globalisasi terhadap agama. Pertama,
kembalinya agama di dalam lingkup relasi internasional.5 Pada awal era
modernisasi dimulai ada anggapan bahwa agama akan surut karena
tantangan sekularisasi.6 Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya agama
malah berjaya dengan terjadinya pertambahan pengikut, terutama pada
agama-agama besar di dunia.7 Kebangkitan agama secara global juga
menumbangkan aturan lama yang implisit bahwa agama tidak terlibat
dalam urusan politik. Di masa kini kebangkitan agama secara global
4
5
6
7
Husani, ‘Effects of Globalisation.’
Subhrajit Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ (Apr 2014) The
Echo Vol. II Issue IV 130-131.
Ibid.
Menurut Pew Research Center, pada tahun 2010 agama Kristen merupakan agama terbesar di dunia
(dengan 2,2 milyar pengikut atau sekitar 31% dari penduduk bumi) diikuti oleh Islam sebagai
agama dengan tingkat kenaikan tercepat (dengan 1,6 milyar penganutnya atau kira-kira 23% dari
populasi dunia). Pew Research Center memperkirakan kenaikan jumlah penganut yang cukup besar
dalam beberapa dekade ke depan untuk agama-agama besar di dunia, kecuali Buddha yang relatif
stabil (‘The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010-2050’ <http://
www.pewforum.org/2015/04/02/religious-projections-2010-2050/> diakses 8 Februari 2017).
[ 20 ]
Murni Hermawati Sitanggang
mengubah tatanan sistem internasional dan merupakan ancaman bagi prinsip
dan aturan dalam hubungan internasional. Kebangkitan agama dalam
bidang politik ini dapat kita lihat dengan munculnya teologi pembebasan
di Amerika Latin, politik Islam, memperjuangkan hak beragama di Amerika
serikat, terjadinya revolusi Iran, dan peristiwa 11 September yang mengguncangkan bukan hanya Amerika Serikat melainkan seluruh dunia.
Di Indonesia kebangkitan agama di bidang politik ini tampak jelas
dengan menguatnya dukungan terhadap parpol-parpol berbasis Islam.
Memasuki era reformasi, parpol-parpol Islam seperti, PKS, PKB, PAN,
PPP, dan PBB muncul menjadi kekuatan politik yang tidak dapat
diremehkan. Pada pemilihan legislatif tahun 2004, parpol-parpol tersebut
memperoleh sekitar 35% suara gabungan dengan PKS sebagai parpol Islam
dengan suara terbanyak. Meski sempat menurun pada pemilihan legislatif
di tahun 2009 yang hanya mendapat sekitar 29% suara, pada pileg 2014
jumlah suara gabungan untuk kelima parpol tersebut kembali naik menjadi
31%.8
Kedua, digitalisasi agama.9 Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, globalisasi mendorong agama menembus lintas batas dengan
internet sebagai pemicu perpaduan media dengan agama. Di masa kini
internet menjelma menjadi “corong”nya Tuhan. Internet yang telah
merambah ke seluruh dunia berpadu dengan globalisasi agama kemudian
menghasilkan digitalisasi agama yang pada akhirnya menghasilkan
mobilisasi agama. Isu-isu yang menyangkut agama menjadi transparan,
internasional, dan dipolitisir. Meski agama dan ritualnya masih dipraktikkan
di dalam tempat-tempat sucinya masing-masing, pengaruh teknologi
terhadap agama tidak terbendung. Kini telah bermunculan saluran-saluran
televisi yang bernafaskan keagamaan. Pada tahun-tahun terakhir ini video
telah menjadi medium propaganda agama yang didistribusikan selain
melalui beragam saluran televisi tersebut, juga lewat internet, toko video
komersial, dsb.
8
9
‘In Indonesia, Moderate Islamic Party Returns to Political Centerstage,’ <http:// www.reuters. com/
article/us-indonesia-election-idUSBREA4A02Q20140511> diakses 8 Februari 2017. Lihat juga
Jan Woischnik/Phillip Muller, ‘Islamic Parties and Democracy in Indonesia’ <http://www.kas.de/
wf/doc/kas_35685-544-2-30.pdf?131015120646> diakses 8 Februari 2017.
Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ 133-134.
[ 21 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kemajuan teknologi juga mengakibatkan menjamurnya website yang
menyediakan informasi tentang agama, yang kemudian dapat diakses oleh
semua orang di belahan dunia tanpa terganggu oleh batas ruang dan waktu.
Lagipula kemajuan internet mengizinkan orang-orang dari berbagai lokasi
dapat saling berhubungan tanpa perlu berhadapan secara langsung. Internet
juga memungkinkan berlangsungnya forum dan debat yang kemudian
mengizinkan ide-ide religius tersebut menyebar dan berkembang pesat.10
Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah umat yang cukup pesat.
Fundamentalisme SSebagai
ebagai Tantangan G
lobalisasi Agama
Globalisasi
Selain manfaat, globalisasi menghadirkan tantangan terhadap agama, yakni:
bangkitnya fundamentalisme agama sebagai respons terhadap ancaman
nilai-nilai dan gaya hidup asing yang dibawa oleh globalisasi.11 Gerakan
fundamentalis agama hadir dengan misi mereformasi masyarakat dengan
mengubah hukum, moralitas, norma-norma sosial dan politik, serta
konfigurasi politik sesuai dengan prinsip agamanya yang bertujuan
menciptakan masyarakat yang lebih tradisional.
Fundamentalisme diekspresikan dalam berbagai cara: pendidikan ulang
atau indoktrinasi oleh anggota grup, sikap intoleran atau permusuhan
terhadap mereka di luar grup, atau bahkan tindakan kekerasan terhadap
mereka yang dianggap ancaman terhadap keberlangsungan grup tersebut.12
Fundamentalisme ini dapat ditemui di dalam agama-agama dunia pada
saat ini. Ia tumbuh karena ketidakpastian dalam globalisasi mengakibatkan
identitas kolektif keagamaan menyusut menjadi suatu bilangan karakteristik
religius budaya, “mereka” dan “kita.” Dengan kata lain, pengikut agama
lain menjadi ancaman dan kemudian terjadilah terorisme atas nama agama.
Inilah yang kemudian dikenal dengan nama jihad yang identik dengan
Islam radikal.
10
‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <https:// www.moroccoworldnews. com/
2013/01/75121/religion-and-globalisation-benefits-and-challenges/> diakses 9 Januari 2017.
11
Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion in the Age of Globalization,’ 131-132.
12
Hope S. Antone, ‘The Challenges of Globalization of Religious Education: Some Experiences and
Reflections from Asia’ <http://old.religiouseducation.net/ member/01_papers/antone.pdf> diakses
11 Januari 2017.
[ 22 ]
Murni Hermawati Sitanggang
Jihad adalah salah satu konsep Islam yang sering disalahartikan. Pada
awalnya jihad sebagaimana yang digambarkan Nabi Muhammad dalam
Al-Quran adalah menciptakan masyarakat yang adil makmur, di mana
orang kaya dan miskin diperlakukan sama.13 Jadi, jihad dalam konsep
penaklukkan Nabi Muhammad saat itu tidak sama dengan konsep sekarang
yang dimaknai sebagai “perang suci.” Jihad bahkan dalam pengertian paling
radikal sekalipun harus dipahami sebagai aksi tanpa kekerasan untuk
membawa perubahan. Kalaupun jihad melibatkan kekerasan, itu seharusnya
dipahami dalam konteks perang yang sah dan tidaklah sama dengan konsep
terorisme.14
Konsep jihad yang identik dengan terorisme ini menjadi marak ketika
Osama bin Laden, aktor intelektual dari tragedi 11 September 2001,
mendeklarasikannya sebagai tantangan kepada Amerika Serikat saat itu.
Selain karena dianggap acuh terhadap umat Muslim yang mengalami aniaya,
bin Laden membenci Amerika karena keberadaan militernya yang secara
terus-menerus di tanah Arab. Oleh sebab itu, ia menghimbau semua umat
Muslim di dunia untuk mengupayakan segala daya upaya untuk
membebaskan dua tempat suci (mesjid Al-Aqsa di Yerusalem dan mesjid
Haram di Mekah) serta mengusir pasukan militer Amerika dan sekutunya
dari tanah suci Islam sehingga tak dapat mengancam dan mengalahkan
umat Muslim manapun.15 Sejak peristiwa 11 September tersebut, Osama
bin Laden dan Al-Qaeda telah bertransformasi dari grup fundamentalis
menjadi gerakan fundamentalis Islam berskala besar (internasional) yang
kemudian mempopulerkan ideologi jihad yang bersifat destruktif secara
global. Ideologi ini bahkan menghapus konsep belas kasih dan toleransi
13
Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion’ 131.
Haidar Bagir, ‘Religious-Linked Violence and Terrorism’ in Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing
with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia (Yogyakarta:
Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014) 240.
15
Kebencian bin Laden terhadap Amerika Serikat ini tertuang jelas dalam dua dokumen: “Declaration
of War Against the Americans Occupying the Land of Two Holy Places” dan “The Declaration of the
World Islamic Front for Jihad against the Jews and the Christians.” Keacuhan Amerika terhadap apa
yang terjadi pada umat Muslim di Bosnia-Herzegovina dan Chechnya membuat bin Laden
menyalahkan Amerika Serikat sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kematian umat Muslim
di sana meski fokus utama konsep jihad bin Laden adalah mengusir AS dan sekutunya dari tanah
Arab (J. M. B. Porter, ‘Osama Bin Laden, Jihad, and the Sources of International Terrorism’
<https://journals.iupui.edu/index.php/iiclr/article/download/17783/ 17966> diakses 8 Februari
2017).
14
[ 23 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
terhadap mereka yang beragama lain. Jihad telah menjelma menjadi alat
untuk mencapai kekuasaan di tangan orang-orang yang memproklamirkannya.
Gerakan fundamentalis keagamaan pada dasarnya fenomena modern
yang menguat karena faktor globalisasi. Globalisasi berkontribusi pada
pertumbuhan gerakan tersebut dalam tiga cara:16 Pertama, meluasnya
sekularisme dan liberalisme yang berujung pada konsumerisme merupakan
momok yang manakutkan bagi kaum religius konservatif. Bagi mereka hal
ini dapat mengancam agama mereka sehingga perlu ditangkis. Kedua,
menyebarnya teori konspirasi yang dianggap sebagai ancaman bagi agama
dan yang terakhir adalah hilangnya kontrol terhadap hidup. Untuk
memperoleh kepastian dan kontrol terhadap hidup, orang-orang beralih
kepada agama agar mendapat pencerahan dan ketenangan batin.
Di Indonesia saat ini, mereka yang menganut paham fundamentalisme
ekstrem tidak lagi menyatakan permusuhannya terhadap pemeluk agama
lain secara terang-terangan tetapi melakukannya dengan memanfaatkan
kemajuan internet. Media sosial dipenuhi dengan akun-akun yang
menyebarkan ujaran kebencian atau hasutan atas nama agama. Apalagi
dengan adanya momentum pilkada serentak 2017 ini, berita-berita yang
standar kebenarannya masih diragukan merajalela menjerat mereka yang
kurang cerdas menganalisis dan gampang tersulut emosinya. Agama menjadi
topik yang mudah dipakai untuk membakar emosi mengingat agama adalah
bagian dari identitas, yang bukan hanya menyangkut pribadi saja melainkan
juga komunitas,17 sehingga bila satu orang tersulut maka biasanya ia akan
mengajak orang-orang yang di dalam komunitasnya untuk ikut tersulut.
Pada 31 Desember 2016 lalu Menkominfo memblokir sembilan situs yang
disinyalir menjadi penyebar berita hoax.18 Yang menarik ternyata kesembilan
situs tersebut merupakan situs berita yang membawa nama agama.
16
Chatterjee, ‘The Resurgence of Religion’ 131.
Yance Z. Rumahuru, ‘Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan Sosial: Studi
Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah’ (2013) HARMONI, 12 (1) 144.
18
‘Sembilan Situs Dianggap Penyebar Berita Hoax ini Diblokir’ <https://www.merdeka.com/ teknologi/
sembilan-situs-dianggap-penyebar-berita-hoax-ini-diblokir.html. 31 Desember 2016.> diakses
20 Januari 2017. Penyebab berita hoax gampang menyebar di Indonesia menurut Septiaji Eko
Nugroho, pendiri dan ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, adalah karena banyak orang enggan
membaca (Lih. ‘Penyebab Berita Hoax Menyebar: Masyarakat Kurang Banyak Baca,’ <https://
m.tempo.co/read/news/2017/01/04/058832705/penyebab-berita-hoax-beredar-masyarakatkurang-banyak-baca> diakses 20 Januari 2017). Akibatnya, ketika membaca berita yang bombatis,
17
[ 24 ]
Murni Hermawati Sitanggang
Keberadaan berita-berita hoax tersebut tak dapat kita sepelekan karena
dapat mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia. Bila dibiarkan maka
rakyat Indonesia yang majemuk ini akan terkotak-kotak karena suku dan
agama. Padahal negara kita adalah negara Pancasila yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa (sila pertama) sekaligus ber-Persatuan Indonesia (sila ketiga).
Pengamalan sila pertama tidak seharusnya mengancam pengamalan sila
ketiga. Kelima sila yang ada di Pancasila sudah sepatutnya diamalkan secara
bersamaan dan bukannya dibenturkan demi kepentingan segelintir orang
atau demi kekuasaan dan kepuasaan pribadi atau kelompok tertentu. Tetapi
realita yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyak orang sibuk membela
agamanya karena merasa itu adalah tanggung jawabnya sebagai pemeluk
agama yang taat dan lupa bahwa sebagai warga negara Indonesia ia juga
punya tanggung jawab untuk menjaga kesatuan bangsanya.
Pendidikan Agama di E
ra G
lobalisasi
Era
Globalisasi
Menafikan
Pluralisme
Tidak M
enafikan P
luralisme
Membentengi diri dari tantangan globalisasi di Indonesia, bukan hanya
tanggung jawab pemerintah saja melainkan semua pihak. Fundamentalisme
harus dihadapi dengan mengobarkan kembali semangat toleransi. Daripada
mengembangkan sikap fundamentalis yang cenderung sulit menerima
mereka yang keyakinannya berbeda dengannya, akan lebih baik bila
masyarakat Indonesia mengembangkan sikap pluralis.19
Pada dasarnya semua agama terkemuka di dunia, seperti Hindu, Buddha,
Yahudi, Kristen, dan Islam, mengajarkan beberapa hal yang tak jauh
berbeda, seperti: harkat martabat manusia, kesamaan, kebebasan,
perdamaian, dan solidaritas. Bila umat Nasrani (pemeluk agama Kristen)
daripada mengecek terlebih dahulu kebenarannya, banyak orang cenderung lebih suka menyebarkan
ke komunitasnya. Bahkan seringkali ada yang merasa bangga karena menjadi orang pertama yang
menyebarkan berita hoax tersebut (lih. ‘Kenapa Orang Indonesia Doyan Sebar “Hoax” di Medsos?’
<http://tekno.kompas.com/read/2017/01/
08/11083377/kenapa.
orang.indonesia.doyan.sebar.hoax.di.medsos.> diakses 20 Januari 2017).
19
Merupakan tanggung jawab semua pihak untuk membudayakan sikap keterbukaan, menerima
perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas dan komitmen terhadap
agama-agama masing-masing (Muhandis Azzuhri, ‘Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam
Pendidikan Agama’ [2012] FORUM TARBIYAH, 12 [1] hlm. 28).
[ 25 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
meyakini kedaulatan Tuhan—yang dinyatakan dalam keadilan, belas kasih,
rekonsiliasi, hidup berkelimpahan, kedamaian bagi semua orang—
Buddhisme mempercayai kebahagiaan sejati ada pada kepuasan dan
kesederhanaan serta hubungan antar manusia, kaum Muslim (Islam)
memiliki pandangan dunia egalitarianisme (musawah), keadilan sosial (al
adalah al ijtimaiyah) dan kedamaian (salam), agama Hindu juga berbicara
tentang keterhubungan semua makhluk di dalam satu realitas kosmis.20
Ada suatu aturan emas yang terdapat dalam semua agama, yakni: “apa
yang tidak kau harapkan dilakukan orang lain padamu, jangan lakukan
juga kepada orang lain.”21 Lagipula, semua agama mengandung suatu nilai
pijakan bersama, yakni lahir dari pencarian manusia untuk terhubung
dengan pribadi yang lebih besar dari dirinya.22
Akan tetapi, kita mesti berhati-hati dengan pluralisme yang mengarah
kepada relativisme. Relativisme muncul ketika para penganut agama tertentu
dengan penganut lainnya kemudian berusaha mencari persamaan daripada
perbedaan agar tercipta keselarasan. Ini kemudian menghasilkan pandangan
bahwa pada dasarnya tidak ada agama yang benar-benar “benar”
sebagaimana tidak ada agama yang benar-benar “salah.” Semuanya relatif.23
Banyak yang menganggap daripada fundamentalisme yang bersifat
keras, pluralisme dan relativisme cenderung aman dan tidak berbahaya.
Akan tetapi, penulis tidak setuju dengan pandangan ini. Paham relativisme
yang terkandung dalam pluralisme sama berbahayanya dengan
fundamentalisme yang ekstrem. Relativisme menghilangkan keunikan tiaptiap agama karena menganggap semuanya sama dan mendangkalkan iman
para pemeluknya. Relativisme dalam agama tak dapat diterima oleh
pemeluk yang ingin serius dengan agama dan keyakinannya.24
20
Antone, ‘The Challenges of Globalization.’
Daniel Golebiewski, ‘Religion and Globalization on New Possibilities Furthering Challenges,’
<http://www.e-ir.info/2014/07/16/religion-and-globalization-new-possibilities-furthering-challenges/> diakses 15 Januari 2017.
22
Margaret Placentra Johnston, ‘Globalization vs Traditional Religion,’ <http:// www.
huffingtonpost.com/margaret-placentra-johhston/globalization-vs-traditional-religion_b_
2170609.html.> diakses 15 Januari 2017.
23
Golebiewski, ‘Religion and Globalization on New Possibilities Furthering Challenges.’
24
Asanga Tilakaratne, ‘Globalization and Religion in Asia: Is Religion an Equal Competitor?’ <http:/
/dharmalib.net/globalization-and-religion-in-asia-isreligion- an-equal-competitor> diakses 24 Januari
2017.
21
[ 26 ]
Murni Hermawati Sitanggang
Pluralisme dapat diterima sebatas saling menghormati harkat dan
martabat manusia, menganggap manusia lain sama kedudukannya dengan
dia meski berbeda agama. Dengan demikian, pluralisme yang perlu
dikembangkan adalah pluralisme dalam kategori sosial, yang lebih
mengedepankan pada semangat toleransi bahwa semua pemeluk agama
manapun berhak hidup dan meyakini agama serta kepercayaannya.
Untuk mengobarkan kembali semangat toleransi dan pluralisme yang
demikian, masyarakat perlu diingatkan kembali lewat pendidikan dan
pengajaran. Sebenarnya sejak dahulu kala bangsa Indonesia yang majemuk
telah belajar untuk hidup selaras dengan keragaman yang ada. Akan tetapi,
perkembangan zaman dan globalisasi memang telah menggerus
karakteristik dan kultur tersebut. Oleh sebab itu, rakyat Indonesia perlu
kembali belajar untuk hidup selaras bersama meski dengan perbedaan yang
ada.
Melibatkan Semua Pihak dan Berkesinambungan
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah dari mana atau di mana
pendidikan tersebut seharusnya dimulai? Pendapat Alwi Shihab dapat
dijadikan sebagai jawaban ketika ia mengemukakan hal ini harus dimulai
dari keluarga.25 Setiap orang tua harus mengajarkan kepada anaknya untuk
menghormati orang yang memiliki keyakinan yang beda dengannya. Agar
dapat mengajarkan hal itu tentunya orang tua haruslah lebih dahulu
menyingkirkan segala stereotip, kecurigaan, ketakutan, bahkan kebencian
terhadap mereka yang berbeda dengannya. Perlu adanya kesadaran bahwa
di era globalisasi ini kita berdampingan dengan mereka yang bukan hanya
keyakinannya saja berbeda dengan kita, melainkan juga suku/rasnya,
budaya, dan cara hidupnya. Daripada melihat mereka sebagai sesorang
yang kafir dan perlu kita “pertobatkan,” akan lebih baik bila menerima
mereka sebagaimana adanya. Bagaimana pun dasar negara Indonesia di
mana kita hidup adalah Pancasila yang menjamin kebebasan beragama
dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Mendidik anak
untuk berakar dalam keyakinannya memang harus tetap diajarkan, namun
25
Alwi Shihab, ‘Building Bridges through Inter-Religious Dialogue,’ in Bernard Adeney-Risakotta
(ed.), Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia
(Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014) 190.
[ 27 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
jangan sampai hal itu kemudian menjurus pada fundamentalisme dengan
memusuhi mereka yang memeluk keyakinan berbeda. Untuk itu, setiap
orang tua perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan pemahaman
yang memadai tentang hal ini. Itu sebabnya, berbicara tentang pendidikan
agama dalam keluarga tidak dapat dilepaskan dari konteks pendidikan
agama di lembaga formal dan di rumah-rumah ibadah sebab dari sanalah
para orang tua mendapatkan bekalnya karena untuk dapat mengajarkan
yang benar tentu si pengajar harus memiliki pemahaman yang benar terlebih
dahulu.
Pendidikan agama dalam keluarga juga harus dikuatkan dengan
pendidikan kepribadian dan karakter di lembaga formal, mulai dari tingkat
pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi. Institusi pendidikan dalam
hal ini perlu memperkuat Pendidikan Agama dan pendidikan Pancasila
serta Kewarganegaraan. Mungkin tak ada yang perlu kita kuatirkan dari
pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan karena keduanya berisi pelajaran
yang memang memupuk kecintaan pada bangsa dan negara serta bagaimana
mengembangkan sila-sila Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Namun
tidak demikian halnya dengan pendidikan agama. Menurut Wahyu
Pramudya, pendidikan agama yang berlangsung selama ini seringkali masih
berkisar masalah ajaran dengan memberikan penekanan yang kurang
terhadap masalah praktik agama.26 Senada dengan Pramudya, Abdul Khobir
mengkritisi bagaimana persoalan agama yang substansial, seperti:
pemaknaan kesalehan dalam konteks sosial, perlunya kerja rintisan yang
kreatif dan transformatif serta keharusan kerja sama dengan umat beragama
lain sebagai manifestasi keragaman yang benar, tidak pernah atau kurang
menjadi perhatian dalam pendidikan agama yang berlangsung selama ini.27
Setiap pendidik agama apapun juga di Indonesia punya tanggung jawab
mendidik umat untuk meningkatkan tingkat penghayatan terhadap
keyakinannya sendiri. Namun, ia juga perlu mendidik umat untuk
menghargai keyakinan agama lain tanpa mengorbankan identitas dirinya
sebagai bagian dari kelompok agama tertentu. Ini yang kadangkala kurang
diperhatikan para pendidik agama, yang lebih cenderung menekankan sifat
26
Wahyu Pramudya, ‘Pluralitas Agama: Tantangan “Baru” bagi Pendidikan Keagamaan di Indonesia,’
(Oktober 2005) Veritas 6 (2) 284.
27
Abdul Khobir, ‘Pendidikan Agama Islam di Era Globallisasi,’ (Juni 2009) Forum Tarbiyah 7 (1) 5.
[ 28 ]
Murni Hermawati Sitanggang
eksklusif dari agama yang dianutnya. Pendidikan agama di lembaga formal
sepatutnya mengembangkan pendidikan yang bersifat dialogis dan
mengusahakan perjumpaan antar penganut agama di dalam menghadapi
masalah-masalah bersama.28
Pada prinsipnya pendidikan agama berlangsung seumur hidup sehingga
kita tak dapat menggantungannya pada institusi pendidikan formal saja.
Selain mendapatkan pendidikan agama dari keluarga dan sekolahan, kita
juga mendapatkannya di tempat-tempat ibadah. Malah sepertinya
pendidikan agama yang didapat dari tempat-tempat ibadah dan dalam
lingkungan komunitas masyarakat sifatnya lebih berakar dalam hal
pembentukan pemahaman umat karena berlangsung lebih lama dan lebih
sering daripada yang ia terima di lembaga formal. Pendidikan agama yang
diterima seseorang di lembaga formal hanya sebatas tingkat Sarjana di
Perguruan Tinggi, kecuali ia mendalami ilmu agama hingga ke jenjang
yang lebih tinggi. Itupun di tingkat Perguruan Tinggi, Pendidikan Agama
hanya mendapat jatah 1 (satu) semester saja. Beda dengan sebelumnya,
dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di mana peserta didik
menjalani Pendidikan Agama dari awal hingga akhir masa pendidikan.
Oleh sebab itu, kualitas pendidikan agama di tempat-tempat ibadah perlu
diperhatikan.
Para pemuka agama bertanggung jawab untuk mendidik dan
mempersiapkan umatnya dalam menghadapi tantangan zaman tanpa
mengorbankan nilai agama yang dianutnya. Para pemuka agama tidak boleh
lupa untuk mengajarkan kepada umatnya tentang cinta kasih dan
bagaimana menghargai pemeluk agama lain secara konkret. Dalam proses
ini semua pemuka agama harus terlebih dahulu menghilangkan prasangka
dan sikap eksklusivisme ekstrem dari dirinya. Karena bila seorang pemimpin
sudah memilih sikap dan pemahaman yang keliru maka secara otomatis
itu akan menular kepada umat yang dipimpinnya. Apalagi budaya
masyarakat Indonesia cenderung mendudukkan posisi pemimpin agama
dan kerohanian di posisi yang terhormat sehingga lebih suka mengiyakan
semua perkataan dan ajarannya daripada mengkritisi. Hampir di semua
agama di Indonesia ada anggapan seakan mempertanyakan atau mengkritisi
apa yang dikatakan dan diajarkan oleh pemuka agamanya adalah dosa.
28
Pramudya, ‘Pluralitas Agama’ 287-288. Lihat juga Kobir, ‘Pendidikan Agama Islam’ 8.
[ 29 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Keyakinan yang kokoh akan ajaran agamanya memang sepatutnya ada
dalam diri setiap insan beragama, namun kesadaran akan adanya dasar
bersama atau aturan emas yang berlaku di semua agama untuk mengasihi
setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tak boleh diabaikan. Para
pemuka agama seharusnyalah menjadi teladan dalam hal ini karena sejatinya
dalam pendidikan agama bukan hanya pengetahuan atas dogma saja yang
penting melainkan harus diimbangi dengan bagaimana menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan yang ditunjukkan dalam
kehidupan sehari-hari bahkan lebih efektif dalam mengajari umat daripada
sekadar khotbah tanpa dapat menerapkannya. Keteladanan tersebut dapat
ditunjukkan dalam sikap yang terbuka untuk berdialog, bekerja sama, dan
bijak dalam mengeluarkan pendapat dan komentar terkait agama lain.
Apalagi dengan maraknya berita hoax yang acapkali memakai isu agama
akhir-akhir ini maka menjadi tugas para pemimpin agama untuk mendidik
jemaatnya untuk lebih dahulu kritis dalam menelusuri kebenaran suatu
berita, bersikap bijak, dan tidak gampang terpancing dalam menanggapi
setiap isu.
Memiliki Semangat Nasionalisme
Selain mengajarkan tentang dasar-dasar iman kepada Tuhan dan rasa cinta
kepada sesama, para pendidik dan pemuka agama juga tidak boleh lupa
untuk memupuk rasa nasionalisme di dalam diri anak didik dan umat
yang dipimpinnya. Setiap penganut agama apapun di Indonesia ini perlu
untuk selalu ingat bahwa terlepas dari agama apapun yang ia anut, ia
adalah orang Indonesia, yang wajib menjunjung tinggi Pancasila sebagai
ideologi bangsa. Pancasila tidak perlu dipertentangkan dengan agama karena
pada dasarnya Pancasila merupakan wadah yang memungkinkan semua
agama di Indonesia tetap eksis. Itu sebabnya, pendidikan agama di era
globalisasi ini harus selaras dengan ideologi Pancasila. Memang hakikat
dari pendidikan agama adalah mengajarkan nilai-nilai ketuhanan. Akan
tetapi, nilai-nilai tersebut haruslah nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki
Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan yang demikian adalah nilai ketuhanan yang
positif, yang digali dari nilai-nilai proteis agama yang sifatnya inklusif,
membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan.29 Dalam aspek
29
M. Pujo Darmo, ‘Implementasi Pancasila dalam Pembangunan Karakter Bangsa di Era Globalisasi’
(2011) Magistra, 78 (23) 49.
[ 30 ]
Murni Hermawati Sitanggang
penerapannya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, nilai ketuhanan tersebut harus memiliki semangat nasionalisme
di dalamnya. Misi pendidikan agama di Indonesia seharusnya bukan saja
menghasilkan individu atau komunitas yang mencintai Tuhannya, namun
juga individu atau komunitas yang mencintai bangsa dan negaranya, yang
dalam mewujudkan kecintaan tersebut berusaha menjaga keutuhan bangsa
dengan semangat nasionalisme.
Tidaklah sulit mengembangkan pendidikan agama yang bersifat pluralis
sebagaimana yang dibahas sebelumnya, bila di dalam diri setiap orang
tua, pendidik, dan pemuka agama tertanam semangat nasionalisme. Oleh
sebab itu, mereka yang bertanggung jawab memberikan pendidikan agama
kepada generasi selanjutnya, tidak saja dituntut harus agamis tetapi juga
harus nasionalis/Pancasilais.
Kesimpulan
Pengaruh globalisasi terhadap agama memang nyata dan sangat terasa.
Ada manfaat yang diberikan namun tidak ringan juga tantangan yang
dihasilkannya. Manfaat yang diberikan globalisasi terhadap agama adalah
kemajuan teknologi yang mendukung berkembangnya ajaran agama. Akan
tetapi, globalisasi agama juga melahirkan tantangan fundamentalisme yang
dapat mengancam keutuhan dan persatuan bangsa. Rasa nasionalisme yang
seharusnya terpupuk dengan baik dalam diri setiap anak bangsa menjadi
tergerus bila ia terseret oleh arus fundamentalisme.
Cara menghadapi tantangan tersebut adalah dengan membangkitkan
kesadaran akan pentingnya toleransi dan saling menghargai sesama makhluk
Tuhan. Untuk itu, pendidikan agama—baik yang dilakukan di institusi
umum, keagamaan atau bahkan dalam lingkup keluarga—harus menjadi
ujung tombak yang diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang
mampu menghayati ajaran agamanya dan sekaligus dapat hidup selaras
dengan pemeluk agama lain. Ujung tombak itu perlu diasah bersama supaya
lebih tajam. Tanggung jawab tersebut terletak di bahu segenap lapisan
masyarakat Indonesia, bukan hanya di pundak para pemimpin agama atau
guru agama atau pemerintah saja, melainkan semua orang.
Memiliki agama dan kepercayaan serta menjalaninya merupakan hak
setiap warga negara Indonesia yang dijamin undang-undang sebagai
[ 31 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
pengamalan sila ke-1. Akan tetapi, jangan sampai pengamalan kita akan
sila pertama tersebut malah mengancam sila ketiga (Persatuan Indonesia).
Itu tak dapat dibenarkan karena yang seharusnya adalah setiap warga negara
Indonesia menjalani agama dan keyakinannya dengan tetap menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini perlu mendapat perhatian
khusus dalam pendidikan agama.
Untuk itu pendidikan agama haruslah berwawasan Pancasila. Dalam
bentuk sederhana, orang tua dapat melakukannya dengan menanamkan
identitas kebangsaan kepada anak-anaknya dan mengajak anak untuk
mendoakan keutuhan bangsa dan negara. Di dalam lingkungan komunitas
umat beragama, hal ini dapat dilakukan dengan menyisipkan pentingnya
menjaga keutuhan bangsa sebagai bagian dari kewajiban dan tanggung
jawab umat beragama terhadap dirinya, sesama, dan Tuhan dalam kotbah
dan pengajaran oleh para pemuka agama dan pemimpin umat. Sedangkan
di dalam institusi pendidikan, hal ini dapat dikerjakan dengan
mensinergikan antara pendidikan agama, pendidikan Pancasila, dan
pendidikan kewarganegaraan. Karena sila pertama Pancasila adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa yang melandasi keempat sila lainnya, maka
pada dasarnya prinsip ketuhanan merupakan bagian penting dari muatan
pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan. Agar lebih sinergi maka sudah
seharusnyalah pendidikan agama juga memasukkan wawasan kebangsaan
dan cinta tanah air sebagai bagian dari pengajarannya selain doktrin tentang
agama masing-masing serta cinta kasih terhadap sesama manusia.
Referensi
‘In Indonesia, Moderate Islamic Party Returns to Political Centerstage,’
<http://www.reuters.com/article/us-indonesia-electionidUSBREA4A02Q20140511> diakses 8 Februari 2017
‘Kenapa Orang Indonesia Doyan Sebar “Hoax” di Medsos?’ <http://
tekno.kompas.com/read/2017/01/08/11083377/kenapa.orang.
indonesia.doyan.sebar.hoax.di.medsos.> diakses 20 Januari 2017
‘Penyebab Berita Hoax Menyebar: Masyarakat Kurang Banyak Baca,’
<https://m.tempo.co/read/news/2017/01/04/058832705/
penyebab-berita-hoax-beredar-masyarakat-kurang-banyak-baca>
diakses 20 Januari 2017
[ 32 ]
Murni Hermawati Sitanggang
‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’ <https://
www.moroccoworldnews.com/2013/01/75121/religion-andglobalisation-benefits-and-challenges/> diakses 9 Januari 2017.
‘Sembilan Situs Dianggap Penyebar Berita Hoax ini Diblokir’ <https://
www.merdeka.com/teknologi/sembilan-situs-dianggap-penyebarberita-hoax-ini-diblokir.html. 31 Desember 2016.> diakses 20
Januari 2017.
‘The Future of World Religions: Population Growth Projections, 20102050’ <http://www.pewforum.org/2015/04/02/religiousprojections-2010-2050/> diakses 8 Februari 2017).
Antone, Hope S. ‘The Challenges of Globalization of Religious Education:
Some Experiences and Reflections from Asia’ <http://old.
religiouseducation.net/ member/01_papers/antone.pdf> diakses
11 Januari 2017.
Azzuhri, Muhandis. ‘Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam
Pendidikan Agama’ (2012) FORUM TARBIYAH Vol. 12 (1) 13.
Bagir, Haidar. ‘Religious-Linked Violence and Terrorism’ in Bernard
Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity: Religion,
Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia
(Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014).
Darmo, M. Pujo. ‘Implementasi Pancasila dalam Pembangunan Karakter
Bangsa di Era Globalisasi’ (2011) Magistra, 78 (23) 49.
Chatterjee, Subhrajit. ‘The Resurgence of Religion in the Age of
Globalization,’ (Apr 2014) The Echo Vol. II Issue IV 130-131.
El Azzouzi, Monaim. ‘Religion and Globalisation: Benefits and Challenges’
<http://journal.ispri.ro/wp-content/uploads/2013/03/150-154Monaim-El-Azzouzi.pdf.> Diakses 19 Januari 2017.
Golebiewski, Daniel. ‘Religion and Globalization on New Possibilities
Furthering Challenges,’<http://www.e-ir.info/2014/07/16/
religion-and-globalization-new-possibilities-furtheringchallenges/> diakses 15 Januari 2017.
Husani, George. ‘Effects of Globalisation, Urbanisation and Post Modernity
on Religious Peace: The Way Forward’ <http://www.
georgehusani.org/home/ index.php/other-articles/60-effects-ofglobalisation-urbanisation-and-post-modernity-on-religiouspeace-the-way-forward> diakses 11 Januari 2017.
[ 33 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Johnston, Margaret Placentra. ‘Globalization vs Traditional Religion,’
<http:// www.huffingtonpost.com/margaret-placentra-johhston/
globalization-vs-traditional-religion_b_2170609.html.> diakses
15 Januari 2017.
Khobir, Abdul. ‘Pendidikan Agama Islam di Era Globallisasi,’ (Juni 2009)
Forum Tarbiyah Vol. 7 No. 1, 5.
Porter, J. M. B. ‘Osama Bin Laden, Jihad, and the Sources of International
Terrorism’ <https://journals.iupui.edu/index.php/iiclr/article/
download/17783/17966> diakses 8 Februari 2017
Pramudya, Wahyu. ‘Pluralitas Agama: Tantangan “Baru” bagi Pendidikan
Keagamaan di Indonesia,’ (Oktober 2005) Veritas Vol. 6 No. 2,
284.
Yance Z. Rumahuru, ‘Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat
dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Orang Hatuhaha di Negeri
Pelauw Maluku Tengah’ (2013) HARMONI Vol. 12 (1), 144.
Shihab, Alwi. ‘Building Bridges through Inter-Religious Dialogue,’ in
Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Dealing with Diversity: Religion,
Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia
(Yogyakarta: Indonesia Consortium for Religious Studies, 2014).
Stibli, Florin. ‘Terrorism in the Context of Globalization’ (2010) AARMS
Vol. 9 No. 1, 1.
Tilakaratne, Asanga. ‘Globalization and Religion in Asia: Is Religion an
Equal Competitor?’ http://dharmalib.net/globalization-andreligion-in-asia-is-religion-an-equal-competitor. Diakses 24
Januari 2017.
Woischnik, Jan dan Phillip Muller, ‘Islamic Parties and Democracy in
Indonesia’ <http://www.kas.de/wf/doc/kas_35685-544-230.pdf?131015120646> diakses 8 Februari 2017.
[ 34 ]
PANC
A SIL
A VERSUS GLOBALISA
SI: ANT
ARA
PANCA
SILA
GLOBALISASI:
ANTARA
KONFRONT
A SI D
AN HARMONISA SI?
KONFRONTA
DAN
Anik Iftitah
Pendahuluan
C
oncepts is the building blocks of theories. Beda konsep, beda pula
teorinya. Dasar pembenar pengetahuan serta teori-teori yang
dibangun, semuanya berpangkal pada paradigma. Paradigma
adalah “suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan mensyarati
kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang
secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut teori-teori yang
dikuasainya”. Relasi erat dan tidak terpisahkan dari konsep, teori dan
paradigma adalah teori merupakan bangunan konsep yang berpangkal pada
paradigma.1
Indonesia sebagai negara hukum, sudah selayaknya dan semestinya
hukum dalam substansinya, maupun hukum dalam implementasinya,
bersumber pada kebudayaan bangsanya sendiri, tidak bersumber dari/pada
kebudayaan bangsa lain, karena hukum merupakan peraturan yang tertulis
maupun tidak tertulis untuk mengatur tingkah laku manusia dan
kehidupan masyarakat (for the guidance of human conduct and society),
atau lebih lengkapnya seperti pendapat T.F.T Plucknett, revised by Harry
W. Jons dari Columbia University yang mengatakan, “hukum meliputi
semua prinsip-prinsip (asas-asas), peraturan-peraturan dan penetapan-
1
Kesimpulan penulis setelah membaca dan memahami tulisan Soetandyo Wignjosoebroto, Tentang
Teori, Konsep dan Paradigma dalam Kajian Tentang Manusia, Masyarakat dan Hukumnya.
[ 35 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
penetapan yang dipergunakan (dijadikan pedoman) oleh pengadilanpengadilan dan dipertahankan (ditegakkan) oleh kekuasaan negara”.2
Indonesia yang selayaknya dan semestinya selalu bersumber dari
kebudayaan bangsa Indonesia sendiri, paralel seperti kata von Savigny,
“masing-masing masyarakat berlain-lainan volkgeist-nya”3, sehingga hukum
yang paling baik adalah hukum yang mengakomodasi dan berasal dari
kesadaran masyarakat4.
Berpangkal pada paradigma (sudut pandang) dan konsep seperti
tersebut di atas, maka teori yang penulis gunakan dalam tulisan “Pancasila
versus Globalisai: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi?” ini adalah teori
sistem hukum Lawrence M. Friedmann. Sistem merupakan tatanan atau
kesatuan utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain. Sistem hukum adalah suatu kumpulan unsurunsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan
yang terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan. Masing-masing
bagian atau unsur harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian
atau unsur-unsur lain dan dengan keseluruhannya seperti mozaik atau
“legpuzzle”. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama
lain tetapi kait-mengait. Arti pentingnya tiap bagian terletak justru dalam
ikatan sistem, dalam kesatuan, karena hubungannya yang sistematis dengan
peraturan-peraturan hukum lain.5
Menurut Lawrence M. Friedmann,6 untuk kepentingan analisis teoritik,
demi kedayagunaannya yang praktikal, hukum nasional sebagai sistem
institusional, mesti dikenali dengan tiga unsur pokoknya yaitu substansi
perundang-undangan, struktur organisasi pengadaan dan penegakannya,
dan yang ketiga adalah kultur yang akan ikut menjadi determinan
2
3
4
5
6
Lihat Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta:
Bulan Bintang, 1987, hlm. 48.
Ibid., hlm. 49.
Ade Saptomo, “Budaya Hukum dalam Masyarakat Plural dan Problem Implementasinya”, dalam
Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 2012, hlm. 187
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1996, hlm. 1819
Lawrence M. Friedman, The Legal System; A Social Scince Prespective, New York: Russel Sage
Foundation, 1975, hlm. 12 – 16.
[ 36 ]
Anik Iftitah
bermakna-tidaknya hukum dalam kehidupan nasional dari hari ke hari.7
Substansi hukum (substance rule of the law) didalamnya melingkupi
seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik yang
hukum material maupun hukum formal. Substansi yang tercermin dalam
peratutan perundang-undangan selalu berasal dari budaya hukum. Dan,
struktur hukum (structure of the law) yaitu institusi hukum yang bekerja
untuk membuat maupun menerapkan dan menegakan hukum, juga
dipengaruhi oleh budaya hukum yang hidup dan mempengaruhi orangorang yang bekerja didalam setiap institusi itu. Budaya hukum (legal
culture) merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaankebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan
kekuatan sosial dalam masyarakat.
Karena itu, dari teori tiga sub-sistem stuktur, substansi, dan kultur
hukum yang dikemukakan oleh Friedmann tersebut di atas, basis dari
semua aspeknya adalah budaya hukum. Budaya hukum itulah yang menjadi
komponen utama dalam setiap sistem hukum.8 Tanpa budaya hukum,
maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya. Jika stuktur hukum
diibaratkan mesin, substansi hukum diibaratkan apa yang dikerjakan dan
apa yang dihasilkan, maka kultur atau budaya hukum adalah apa saja atau
siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin
itu serta memutuskan bagaimana mesin tersebut digunakan.9
Budaya hukum adalah seperangkai nilai, gagasan, norma yang menjadi
pedoman berpikir, berucap, berperilaku, bertindak, sesuai dengan yang
diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat, telah terinternalisasi ke
dalam alam kesadaran (mindset) secara turun temurun dan berfungsi
sebagai pedoman yang menghubungkan antara das sollen (konsep hukum)
dan das sein (praktek hukum)-nya. Budaya hukum lahir/berasal dari proses
7
8
9
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja
Penegakan Hukum di Negeri Ini?”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem
Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012, hlm. 4.
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia”, dalam Dinal Fedrian
dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012, hlm. 22-23.
Frans Hendra Winarta, “Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum”, dalam Dinal
Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2012, hlm. 79.
[ 37 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
internal selama perkembangan masyarakat berlangsung, membentuk polapola tindakan yang dianggap benar dalam perjalanan interaksinya antar
intern warga maupun antar warga dengan warga dari luar, dan akhirnya
menjadi pedoman bertindak oleh sebagian besar warga (seperangkat nilai
bersama).10
Dalam konteks Indonesia, Pancasila-lah yang dimaksud teori Lawrence
M. Friedman sebagai inti legal cultural (budaya hukum Indonesia).11
Pancasila-lah budaya hukum bangsa Indonesia, yaitu seperangkat nilai
normatif bersama yang diperoleh dari keseluruhan budaya Bangsa
Indonesia.12 Budaya hukum bangsa Indonesia tidak lain dan tidak bukan
adalah Pancasila, seperti halnya yang dinyatakan oleh Soekarno, karena
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia.
Pancasila JJati
ati D
iri B
angsa IIndonesia
ndonesia
Diri
Bangsa
Baharuddin Lopa menyatakan bahwa sistem hukum negara Indonesia
adalah sistem hukum yang bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia.
Sumber dari segala sumber hukum untuk mengatur penyelenggaraan
negara;13 pedoman bagi pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah dalam
masyarakat dan negara.14 Pancasila mesti menjadi sesuatu yang kokoh, yang
tak dapat digeser-geser, dirongrong atau diumbang-ambingkan.
Pancasila merupakan bahasa Sangsekerta yang berarti Lima Dasar:
panca=lima; sila=aturan; watak. Perkataan Pancasila, sudah dipakai di tanah
Indonesia sejak abad XIV. Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila
yang mengakui Ketuhananlah yang menjadi dasar negara. Sehingga jelaslah
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan monoteisme
(Ketuhanan yang Satu) dan bukan politeisme/kedewaan yang banyak) dan
sekali-kali tidaklah berdasarkan Ateisme (tidak bertuhan).
10
Ade Saptomo, supra note 4, hlm. 188.
Ibid, hlm. 192.
12
Ibid, hlm. 191.
13
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 25.
14
Achmad Fauzi, Pancasila (Tinjauan Dari Aspek Filsafat), Malang: Lembaga Penerbitan dan Publikasi
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, 1991, hlm. 43.
11
[ 38 ]
Anik Iftitah
Warga Negara Indonesia mempunyai kebebasan dalam memeluk
agamanya. Walaupun negara Indonesia berdasarkan kepada pengakuan
Ketuhanan, tetapi tidaklah dapat dikatakan, bahwa Republik Indonesia
itu suatu susunan theocratie15, karena dalam konstitusi ditegaskan bahwa
segala kekuasaan bersumber kepada Kedaulatan Rakyat. Artinya, Indonesia
merupakan negara ber-Ketuhanan, namun bukan negara agama. Hal ini
mengandung arti, bahwa semua sistem yang diterapkan di Indonesia,
seyogianya tidak hanya baik untuk satu agama tertentu saja, tetapi juga
harus membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia dari
ras, suku dan keberagaman lainnya. Karena keberagaman adalah benih
dasar Indonesia.16 Implikasinya dari hal tersebut adalah, bahwa pemahaman
ber-agama di Indonesia, mesti dipadu dengan wawasan Pancasila yang
mengintegrasi seluruh elemen bangsa yang bhinneka. Ber-agama tanpa
wawasan Pancasila dan tidak peka terhadap perubahan, justru akan
memperkuat separasi bangsa dan memudarkan integrasi nasional yang
sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.17
Sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan
sila yang mengakui bahwa manusia seluruh dunia itu ialah sama-sama
makhluk Tuhan. Sikap rohani demikian mengatasi sikap kebangsaan yang
sempit dan mengatasi segala perasaan yang terikat kepada perwatakan
bangsa dan negara. Dengan demikian segala bangsa itu sama tinggi dan
sama rendahnya. Pada pelaksanaannya, kemanusiaan yang adil dan beradab
sangat berlawanan dan menentang segala bentuk penjajahan karena
didorongkan pendirian dan pegangan tindakan merasa lebih berhak
memegang kekuasaan politik dan ekonomi bangsa yang lain.
15
Menyikapi relasi antara agama dan negara, Nurcholish Madjid (Cak Nur) berpandangan bahwa
Islam (agama) itu untuk manusia, yang implikasinya adalah bahwa Islam itu untuk kebaikan semua
manusia atau rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam raya). Islam sebagai agama kemanusiaan itu,
bagi Cak Nur merupakan salah satu pokok (substansi) dari Islam itu sendiri. Dalam konteks
Indonesia yang plural, Islam harus menempatkan diri sebagai suatu rahmat. Karena cita-cita keIslaman
yang fithri itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya, maka cita-cita keIslaman di
Indonesia juga sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. (M. Tahir, “Hubungan
Agama dan Negara di Indonesia dalam Pandangan Nurcholish Madjid”, Jurnal Komunikasi dan
Sosial Keagamaan, X (1) 2012, hlm. 46).
16
Eko A Meianarno, Sri Fatmawati Mashoedi, “Pembuktian Kekuatan Hubungan antara Nilai-Nilai
Pancasila dengan Kewarganegaraan”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1
(1) 2016, hlm. 12.
17
Nur Khalik Ridwan, “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, I (2)
2012/1434.
[ 39 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia, merupakan sila yang
menjelaskan bahwa Nasionalisme Indonesia ialah Nasionalisme Persatuan
(Unitarisme) dan bukanlah Nasionalisme Federalisme. Selain itu,
dikehendaki kemerdekaan yang penuh bagi seluruh daerah dan rakyat
Indonesia, serta menjaganya agar dapat melaksanakan kehidupan bangsa
yang bebas dan merdeka. Republik Indonesia ialah suatu etat-national
(negara kebangsaaan) yang berdasar kebangsaan dan kerakyatan. Variabel
yang mencerminkan perilaku menjalankan sila Persatuan ini adalah
perwujudan rasa kebanggaan pada bangsa sendiri dan cinta tanah air.
Mencintai berbagai benda yang khas dari Indonesia, merupakan wujud
dari kebanggaan pada bangsa sendiri. Menggunakan Bahasa Indonesia
dengan baik dan benar adalah wujud dari cinta tanah air. Dengan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar, akan terpupuk rasa persatuan bagi
masyarakat Indonesia karena adanya kebakuan yang dipahami secara
bersama-sama.18
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional Indonesia, sangat vital
sekali peranannya dalam pemersatu bangsa. Tinggi rendahnya, tidak
ditentukan oleh banyaknya atau tidak banyaknya jumlah pemakainya, tetapi
tinggi rendahnya ditentukan oleh tinggi rendahnya bentuk kesadaran yaitu
nilai-nilai dasar hidup yang terkandung didalamnya. Bahasa Indonesia
adalah alat bangsa Indonesia untuk menyatakan kesadarannya. Bahasa yang
baik dan benar, akan memupuk persatuan (integrasi), bahasa yang tidak
baik dan tidak benar, dapat mencerai-beraikan, membuka dan/atau
memperbesar peluang disintegrasi bangsa Indonesia yang bhinneka.
Sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, merupakan sila yang
menjelaskan kerakyatan atau demokrasi merupakan dasar bentukan
pemerintah dan masyarakat yang di dalamnya kekuasaan memerintah atau
mengatur dipegang secara sah tidak hanya oleh satu atau beberapa golongan
saja, melainkan oleh segala anggota masyarakat. Demokrasi itu dilaksanakan
dalam negara dengan jaminan, sehingga dapat berjalan menurut aturan
peradaban, kebiasaan, dan agama. Permusyawaratan yang mencari kata
mufakat ini, dengan perantaraan perwakilan dalam susunan negara yang
melibatkan seluruh rakyat.
18
Eko A Meianarno, supra note 17, hlm. 12.
[ 40 ]
Anik Iftitah
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan sila yang
menjelaskan untuk melaksanakan kesejahteraan umum bagi segala
penduduk dan warga negara.19 Demokrasi ekonomi sebagai tuntutan yang
hampir sejajar dengan keadilan sosial menghendaki persamaan kesejahteraan
harta benda dengan melemahkan atau menghilangkan perbedaan besar
antara kemakmuran warga negara atau golongan-golongan Rakyat.20
Berpandangan berdasarkan Pancasila, berarti pertama, mendasarkan
segala sesuatu menurut metode berlandaskan sila pertama Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Mananaka tidak dapat dihasilkan menurut
metode berlandaskan sila pertama Pancasila, dapatlah berlandaskan sila
kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan
demikian jelaslah bahwa kebudayaan yang normatif ciptaan manusia adalah
untergeordenet (dikebawahkan) kepada sila pertama yang lebih tinggi dan
lebih utama. Sila Persatuan Indonesia, sila Kesatuan Bangsa hendaklah
senantiasa dipelihara dan dipupuk dengan segala kemampuan dan kemauan
baik yang ada pada kita Bangsa Indonesia yang beragama sambil
menyempurnakan pula urusan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terpeliharanya dengan baik hidup
Kesatuan Bangsa/Rakyat Indonesia yang bhinneka tunggal ika adalah syarat
mutlak untuk kelancaran berlakunya sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sebaliknya,
rusaknya Kesatuan Bangsa yaitu pecahnya Persatuan Indonesia (sila ke-3)
akan langsung mempengaruhi sila ke-4 menjadi “kerakyatan yang dipimpin
oleh fitnah dan kecurigaan, atau dipimpin oleh komplotan kepentingan
golongan”21, seperti yang terepresentasi dalam berbagai konflik agraria di
Indonesia.22
19
Achmad Fauzi, supra note 14, hlm. 41-43.
Ibid, hlm. 41-43.
21
Ibid, h.35-37.
22
Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang secara resmi dibuka oleh
Menteri Pertanian Indonesia pada 11 Agustus 2010 sebagai proyek skala besar yang didesain untuk
memproduksi tanaman pangan dan bahan bakar dari tumbuhan, berpotensi mengancam dan
memusnahkan kepercayaan, identitas, simbol leluhur, dan sumber pangan suku lokal seperti suku
Malind, Muyu, Mappi dan Auyu di Merauke. (Amin Tohari, Land Grabbing dan Potensi Internal
Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua,
2013, hlm. 57-58.
20
[ 41 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sebagaimana Pembukaan UUD 1945, maka sila-sila pertama, kedua,
ketiga dan keempat adalah dasar negara. Sedangkan sila kelima adalah tujuan
paling pertama, tujuan pokok dari bangsa dan negara Indonesia, yaitu
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang
harus dicapai dengan mengikuti sungguh-sungguh tuntutan empat prinsip
besar yang merupakan dasar negara23 (sila pertama, kedua, ketiga dan
keempat Pancasila). Perwujudan keadilan sosial di bidang agraria adalah
mewujudkan keadilan agraria, yaitu kondisi dimana tidak terdapat
konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidup rakyat pedesaan
dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian
lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah
hidupnya.24
Bagaimana manifestasi budaya hukum bangsa Indonesia bernama
Pancasila, ketika dilanda perubahan bertubi bernama globalisasi dalam
mewujudkan tujuan keadilan sosialnya di bidang agraria yang bernama
keadilan agraria? Hal inilah yang ingin penulis uraikan dalam tulisan berjudul
“Pancasila versus Globalisai: Antara Konfrontasi dan Harmonisasi?” ini.
Pancasila vversus
ersus G
lobalisasi dalam K
onteks Agraria
Globalisasi
Konteks
Indonesia dalam milenium ketiga saat ini, mau tidak mau masuk dalam
gelombang pasang yang melanda dunia yang bertajuk globalisasi, sebagai
proses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya
ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space
compressions) akibat perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi,
komunikasi, dll). Derasnya pusaran globalisasi, mentransformasi agraria
dengan konversi besar-besaran lahan pertanian untuk kepentingan
komersial, industri perumahan, pariwisata, dan infrastruktur serta tujuan
konservasi lingkungan25. Di zaman globalisasi sekarang ini, negara Indonesia
secara terus-menerus dibentuk menjadi negara neoliberal dalam rangka
23
Hazairin, supra note 1.
Noer Fauzi Rachman, Land Reform dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012, hlm.
139.
25
Ahmad Nashih Luthfi, “Ekslusi dan Inklusi sebagai Dua Sisi Mata Uang”, Bhumi, Jurnal Ilmiah
Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 37 Tahun 12, April 2013, hlm. 197.
24
[ 42 ]
Anik Iftitah
melancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalis. Neoliberalisme
merupakan suatu proyek ideologi dan politik yang menomor satukan
prinsip-prinsip kebebasan berusaha, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar
bebas, dan akumulasi modal skala dunia. Akumulasi dan sirkulasi modal
skala dunia pada zaman globalisasi saat ini, telah sampai pada strategi
pembentukan-pembentukan kawasan-kawasan pasar bebas (free-trade
zone).26
Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang
dagangan atau komoditi, tak terkecuali terhadap tanah. Tanah yang
sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan melainkan melekat
sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial, direorganisasi dan direkontruksi
dengan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk
menghasilkan komoditas-komoditas global seperti yang dirancang secara
terpusat dengan Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam MP3EI 2011-2025 koridor
ekonomi Sumatera, Banten Utara, produksi komoditas global yang
diandalkan berupa sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan
lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/
CPO, karet, dan batubara; Jawa, produksi komoditas global yang
diandalkan berupa pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus
sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut; Kalimantan,
produksi komoditas global yang diandalkan berupa pusat produksi dan
pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor
pada migas, minyak kelapa sawit, dan Batubara; Sulawesi, Maluku Utara
produksi komoditas global yang diandalkan berupa pusat produksi dan
pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional degan
fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan
pertambangan nikel; Bali, Nusa Tenggara produksi komoditas global yang
26
Beberapa perjanjian yang telah disepakati terkait dengan perdagangan bebas di Indonesia antara lain
ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal
1 Januari 2010, ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1
Januari 2010, ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1
Januari 2010, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-Korea Free
Trade Area (AKFTA) yang efektif dijalankan pada tanggal 1 Januari 2010, dan penerapan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economy Community/AEC) yang dimulai pada awal 2015 (Badan
Pusat Statistik, Result Framework Sensus Ekonomi 2016, Jakarta : BPS, 2014, hlm. 2-3).
[ 43 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
diandalkan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan
nasional degan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan;
Papua, Maluku produksi komoditas global yang diandalkan berupa
pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera
degan fokus sektor pada pertambangan serta pertanian dan perkebunan.27
Reorganisasi dan rekonstruksi geografis untuk pembukaan ruang-ruang
baru bagi sistem produksi kapitalis tersebut, merupakan konsekuensi dari
penyebaran paham neoliberalisme yang memuja pasar dan perdagangan
bebas (free market and trade) dan berimplikasi terhadap konsentrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan
alam, dan wilayah, menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan atas
tanah, dan ketidakterjaminan hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya
atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah
hidupnya.
Pertama, ketimpangan penguasaan atas tanah. Negara dan korporasi
yang mendapat konsesi atas tanah memiliki porsi penguasaan atas tanah
yang sangat dominan, dibanding dengan mayoritas masyarakat di pedesaan
pada umumnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data Konsorsium
Pembaharuan Agraria menyebut sekitar 64,2 juta hektar tanah atau 33,7
persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan
kehutanan, pertambangan gas, mineral, dan Batubara berupa izin konsesi.
Di sektor kehutanan, luas hutan yang ditunjuk mencapai 13,94 juta hektar
atau 69 persen total luas wilayah Indonesia, sehingga Kementerian
Kehutanan merupakan instansi yang memiliki luasan terbesar dibanding
instansi lain28. Suatu konsentrasi (ketimpangan) penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila yang mencitakan adanya keadilan sosial dalam
rupa keadilan agraria, sehingga hanya melahirkan berbagai konfrontasi.
Kedua, ketidakterjaminan hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya
atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah
27
Ifah Latifah, http://www.academia.edu/1990954/MASTERPLAN_ PERCEPATAN_
DAN_PERLUASAN_PEMBANGUNAN_EKONOMI_INDONESIA_2011-2025, diakses pada
3 April 2017.
28
Widiyanto, “Potret Konflik Agraria di Indonesia”, Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN,
37 (12) 2013, hlm. 15.
[ 44 ]
Anik Iftitah
hidupnya, seperti adanya perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak
dalam konflik agraria. Disatu sisi masyarakat gigih mempertahankan hak
penguasaannya secara turun-temurun dan bersifat informal, disisi lain,
perusahaan dan pihak lain datang dengan sistem aturan formal yang tidak
dikenal dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini terjadi pada kasus perampasan
tanah ulayat milik masyarakat Tanjung Medang oleh Pengusaha di Muara
Enim, atau pembabatan hutan Kemenyan milik Kemenyan Humbas
Hasundutan, Sumatera Utara.29
Pancasila sebagai P
engharmoni K
eagrariaan di E
ra G
lobalisasi
Pengharmoni
Keagrariaan
Era
Globalisasi
Gambaran kondisi keagrariaan seperti tersebut di atas, merupakan
perwujudan dari pembuatan kebijakan (MP3EI) atau substansi (menurut
teori Friedman) dan pelaksanaan (struktur menurut teori Friedman) yang
tidak mengakomodir atau mengabaikan atau tidak mengadaptasi budaya
hukum (Pancasila). Akibatnya, sistem tidak bisa berjalan harmoni, tapi
penuh konfrontasi. Substansi, struktur dan culture sebagai suatu sistem30,
semestinya membentuk satu kesatuan yang bulat (penuh harmoni), dan
bukannya konfrontasi. Mengalami konfrontasi karena tidak selaras/
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai
budaya hukum/jati diri bangsa Indonesia, yang menganggap tanah bukan
sekali-kali komoditi, karena tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi
sosial. Memperlakukan tanah sebagai komoditi, sesungguhnya
bertentangan (berkonfrontasi) dengan hakikat tanah itu sendiri.
Pandangan Pancasila akan tanah, selaras dengan hakikat tanah itu
sendiri, yaitu tanah dipahami sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi
rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan,
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat31 .
Orientasinya adalah untuk kemakmuran rakyat (keadilan sosial), sehingga
tidak membenarkan adanya ketimpangan penguasaan tanah antara negara
29
Widianto, supra note 28, hlm. 25.
Ingat system is the arrangement of the body of the problem.
31
Konstitusi Negara Indonesia dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945) memberikan tugas kepada negara bagaimana tanah dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat (secara adil dan merata).
30
[ 45 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dan/atau korporasi dengan masyarakat. Artinya, memahami tanah selaras
dengan hakekatnya, sebagaimana yang diakomodir dalam Pancasila, adalah
memanfaatkan tanah dengan mewujudkan keadilan keagrarian. Yaitu,
mewujudkan kondisi yaitu kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang
berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah,
kekayaan alam, dan wilayah hidup rakyat pedesaan dan pedalaman, dan
terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan
kontrol terhadap tanah, kekayaan alam, dan wilayah hidupnya.
Membuat substansi (kebijakan) hukum dan melaksanakan kebijakan
hukum (struktur hukum) tanpa mengindahkan budaya hukum/jati diri
bangsa, sudah sejak dulu diperingatkan secara keras oleh para ilmuwan.
Ingat bagaimana di zaman kolonial Van Vollenhoven dengan lantang
berjuang agar pemerintah dan masyarakat Belanda dapat melihat cara rakyat
pribumi hidup dalam hukumnya sendiri.32 Karena sebagaimana kata Von
Savigny bahwa masing-masing masyarakat berlain-lainan jiwa rakyat-nya,
sehingga substansi (kebijakan/hukum) yang baik adalah yang sesuai dengan
budaya/jati diri masyarakatnya, sebagaimana substansi (kebijakan/hukum)
agraria yang terterapkan di Desa Karanganyar.
Kondisi keagrarian di Desa Karanganyar, memperlihatkan adanya
keberhasilan landreform lokal ala Desa Ngandagan yang digagas oleh
struktur (Kepala Desa Karanganyar) dan didukung masyarakat, sehingga
berimplikasi pada terwujudkan keadilan agraria masyarakat Desa
Ngandagan.33 Suatu pembuktian yang menyatakan keberhasilan penerapan
suatu substansi hukum karena dibuat sesuai dengan budaya hukum
masyarakatnya.
Kita semua mesti senantiasa sadar, bahwa sejak awal kemerdekaan
Indonesia, para pendiri bangsa dan negara menyepakati bahwa Indonesia
haruslah menjadi negara dengan jati dirinya sendiri, yaitu Pancasila.34 Ajaran
Pancasila itu benar-benar suatu sistema-filosofi yang meliputi daerah
32
Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya, Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm.
xii.
33
Peraturan yang diterapkan di Desa Karanganyar ini, mengaplikasikan prinsip-prinsip keadilan
agraria, mengatur tentang penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah buruhan
desa. (Baca Aristiono Nugroho dkk, Resonansi Landreform Lokal Dinamika Pengelolaan Tanah di
Desa Karanganyar, Yogyakarta: STPN Press, 2013).
34
Djon Pakan Lalanlangi, Kembali ke Jati Diri Bangsa, Jakarta: Kompas, 2012, hlm. 316.
[ 46 ]
Anik Iftitah
Indonesia yang menjadi dukungan Bangsa Indonesia yang bersatu.35 Bangsa
Indonesia sekali-kali tidak bisa dipisahkan dengan tanahnya. Sehingga jelas,
upaya-upaya saling usir di negeri sendiri untuk memenuhi target globalisasi,
adalah bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang
menghendaki keadilan sosial di segala lini untuk menciptakan kehidupan
yag penuh harmoni. Menerapkan segala sesuatu hal yang bertentangan
dengan jati diri, hanya akan melahirkan berbagai konfrontasi.
Referensi
Buku
Abdurrahman, Tebaran Pikiran tentang Studi Hukum dan Masyarakat,
Jakarta: Media Sarana Press, 1986.
Badan Pusat Statistik, Result Framework Sensus Ekonomi 2016, Jakarta:
BPS, 2014.
Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta: Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia, 2015.
Fauzi, Achmad, Pancasila (Tinjauan Dari Aspek Filsafat), Malang: Lembaga
Penerbitan dan Publikasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya, 1991.
Friedman, Lawrence M., The Legal System; A Social Scince Prespective, New
York: Russel Sage Foundation, 1975.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Lalanlangi, Djon Pakan, Kembali ke Jati Diri Bangsa, Jakarta: Kompas,
2012.
Lopa, Baharuddin, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1996.
Munandar, Agus Ari, Menelusuri Akar Kepemimpinan Nusantara, dalam
Riris K. Toha Sarumpet, Krisis Budaya? Oasis Guru Besar Fakultas
35
Muhammad Yamin, Systimatika Falsafah Pantja Sila, dalam Oedijo et.al., Doktrin Revolusi Indonesia, Bahan-Bahan Indoktrinasi Manipol, Surabaya: CV. Narsih, hlm. 126.
[ 47 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Jakarta: Yayasan Pusataka Obor
Indonesia, 2016.
Nugroho, Aristiono, dkk, Resonansi Landreform Lokal Dinamika Pengelolaan
Tanah di Desa Karanganyar, Yogyakarta: STPN Press, 2013.
Toffler, Alvin, Kejutan Masa Depan, Jakarta: Pantja Simpati, 1992.
Vollenhoven, Cornelis van, Orang Indonesia dan Tanahnya, Yogyakarta:
STPN Press, 2013.
Kontributor Buku
Asshiddiqie, Jimly, “Struktur Hukum dan Hukum Struktural Indonesia”,
dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem
Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2012.
Rachman, Noer Fauzi, Land Reform dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Tanah
Air Beta, 2012.
Saptomo, Ade, “Budaya Hukum dalam Masyarakat Plural dan Problem
Implementasinya”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika
Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 2012.
Saroengallo, Tino, “Fondasi” itu Kunci Kelanggengan Negara, dalam Djon
Pakan Lalanlangi, Kembali ke Jati Diri Bangsa, Jakarta: Kompas,
2012.
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang
Salah dengan Kerja Penegakan Hukum di Negeri Ini?”, dalam
Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012.
Winarta, Frans Hendra, “Membangun Profesionalisme Aparat Penegak
Hukum”, dalam Dinal Fedrian dkk, Dialektika Pembaharuan
Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2012.
Yamin, Muhammad, Systimatika Falsafah Pantja Sila, dalam Oedijo et.al.,
Doktrin Revolusi Indonesia, Bahan-Bahan Indoktrinasi Manipol,
Surabaya: CV. Narsih.
[ 48 ]
Anik Iftitah
Jurnal
Luthfi, Ahmad Nashih, “Ekslusi dan Inklusi sebagai Dua Sisi Mata Uang”,
Bhumi, Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 37 Tahun
12, April 2013.
Meianarno, Eko A; Mashoedi, Sri Fatmawati, “Pembuktian Kekuatan
Hubungan antara Nilai-Nilai Pancasila dengan Kewarganegaraan”,
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, TH.
1, Nomor 1, Juni 2016.
Ridwan, Nur Khalik, “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis Agama”, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434.
Tahir, M., “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia dalam Pandangan
Nurcholish Madjid”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan,
Vol: X, No. 1, Juni 2012.
Tohari, Amin, Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons
(IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) di Papua.
Widiyanto, “Potret Konflik Agraria di Indonesia”, Bhumi, Jurnal Ilmiah
Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 37 Tahun 12, April 2013
Internet/media online
Ifah Latifah, http://www.academia.edu/1990954/MASTERPLAN_
PERCEPATAN _DAN_PERLUASAN_PEMBANGUNAN_
EKONOMI_INDONESIA_2011-2025.
[ 49 ]
MENGK AJI HAK BERA
GAMA D
AL
AM SISTEM
BERAGAMA
DAL
ALAM
HUK
UM PANC
A SIL
A
HUKUM
PANCA
SILA
Adam Muhshi
Pendahuluan
I
ndonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan disertai
sebuah penegasan atas pilihannya sebagai negara kebangsaan (nation
state) yang demokratis dan ingin terus bersatu.1 Pilihan sebagai negara
bangsa ini tentu saja membawa Indonesia pada suatu dilema antara integrasi
dan demokrasi seperti yang disampaikan oleh Clifford Geertz dalam
tulisannya tentang sentimen primordial.2 Sebagai negara kebangsaan,
Indonesia menyatukan berbagai ikatan primordial seperti agama, daerah,
bahasa, suku dan sebagainya ke dalam satu ikatan kebangsaan dan negara3
yang ingin dibangun secara demokratis agar semua aspirasi berbagai ikatan
primordial tersebut dapat tersalurkan.4 Sebagai bangsa yang ingin tetap
bersatu, Indonesia telah memilih dan menetapkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara yang ditujukan sebagai dasar pengikat dan pemersatu.
Selanjutnya, Pancasila melahirkan kaidah-kaidah penuntun dalam
kehidupan sosial, politik, dan hukum. Prinsip-prinsip dan mekanisme
1
2
3
4
Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
hlm. 36.
Dikatakan dilema karena nation state membutuhkan integrasi dan demokrasi sekaligus dimana
karakter keduanya saling bertentangan. Integrasi berkarakter membelenggu guna tetap menjaga
kokohnya persatuan dan kesatuan, sedangkan demokrasi berakarakter membuka keran kebebasan
dengan tujuan dapat tersalurnya semua aspirasi. Ibid hlm. 34–35.
Satu ikatan kebangsaan yang bernama bangsa Indonesia dalam bingkai organisasi negara bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
MD, supra note 1 hlm. 36–37.
[ 51 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ketatanegaraan untuk menjamin demokrasi diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia) yang
juga memasang rambu-rambu agar bangsa ini tetap utuh.5
Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki posisi dan peran sentral dalam
negara hukum Indonesia. Sebagaimana dikatakan Sudjito bin Atmoredjo,
Pancasila merupakan dasar konstruksi konsep hukum Indonesia yang
terbentuk dari perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan
tujuan negara sehingga Pancasila menjadi dasar pembentukan hukum
nasional dimana hukum nasional ini digunakan sebagai instrumen
pencapaian tujuan negara Indonesia.6
Pendapat Sudjito tersebut selaras dengan pendapat Moh Mahfud MD
yang mengatakan bahwa dalam konteks politik hukum, hukum merupakan
alat yang bekerja dalam sistem hukum tertentu guna mencapai tujuan
negara atau tujuan bangsa Indonesia yaitu membentuk masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Artinya bahwa tujuan masyarakat
Indonesia harus diraih oleh negara yang penyelenggaraannnya didasarkan
pada sistem hukum Pancasila.7 Dikatakan demikian karena sistem hukum
Pancasila tersebut adalah sebagai sistem hukum nasional yang berlaku di
seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum yang dibangun untuk
mencapai tujuan negara dengan berpijak pada dasar dan cita hukum negara
yang terkadung dalam Konstitusi Indonesia.8
Sejalan dengan hal tersebut, teori hukum konstitusi menyatakan bahwa
konstitusi atau undang-undang dasar merupakan hukum tertinggi suatu
negara (supremasi konstitusi). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa
5
6
7
8
Ibid., hlm. 37.
Agus Wahyudi et al, Proceeding Kongres Pancasila; Pancasila dalam berbagai Perspektif (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009) hlm. 190.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3S, 2006)
hlm. 17.
Konstitusi Indonesia dalam konteks ini meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh di mana keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Baca ibid hlm. 21–22;
Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar bernegara (staatsfundamentalnorm) yang
menggambarkan cita-cita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat Pernyataan Kemerdekaan.
Pembukaan UUD 1945 yang dirumuskan dan ditetapkan oleh para founding people menjadi
sumber dan dasar bagi penyusunan pasal-pasal dan ayat dalam UUD 1945. Baca Miftakhul Huda
et al, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, revisi ed (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010) hlm. 3.
[ 52 ]
Adam Muhshi
eksistensi Konstitusi Indonesia berdiri atas dasar asumsi adanya supremasi
konstitusi yang menjadi hukum tertinggi yang melandasi kehidupan
berbangsa dan bernegara (the supreme law of the land). Dengan kata lain,
Konstitusi Indonesia yang memuat asas dan kaidah-kaidah negara adalah
sumber rujukan utama dan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan
Indonesia.9
Dalam membangun negara hukum Indonesia, para pendiri negara
(founding people) telah mencantumkan jaminan hak asasi manusia (HAM)
dan hak-hak warga negara pada Konstitusi Indonesia.10 Ketentuan HAM
dan hak-hak warga negara tersebut kemudian bertambah secara sangat
signifikan11 dalam Konstitusi Indonesia pasca amandemen,12 yang salah
satunya adalah adanya penambahan jaminan hak memeluk dan beribadah
menurut agama dan kepercayaannya (hak beragama) untuk memperkuat
perlindungan terhadap hak beragama yang sebelumnya telah ada.13
Adanya ketentuan jaminan hak beragama tersebut menegaskan bahwa
Konstitusi Indonesia merupakan konstitusi yang tercipta oleh resultante
(kesepakatan) bangsa yang religius. Dengan kata lain, Konstitusi Indonesia
dibangun berdasarkan falsafah ketuhanan yang menjiwai bangsa Indonesia.14
Sejalan dengan itu, Philipus M. Hadjon mengatakan adanya pengakuan
9
Adam Muhshi, “Teologi Konstitusi; Hak Warga Negara atas Kebebasan Beragama berdasarkan
UUD NRI 1945” (2013) II:1 J Konstitusi Pus Kaji Konstitusi Univ Dr Soetomo Surabaya
Kerjasama Dengan Mahkamah Konstitusi Repub Indones 7 hlm. 8.
10
Jaminan perlindungan HAM dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara. Bahkan
dalam perkembangannya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan
tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional
(constitutional democracy).
11
Dalam UUD NRI 1945 sebelum amandemen atau yang secara resmi oleh MPR disebut perubahan,
hanya terdapat tujuh rumusan tentang jaminan konstitusional hak asasi manusia hanya tercantum
dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat
(1), dan Pasal 34. Sedangkan, UUD NRI 1945 setelah amandemen terdapat 26 rumusan tentang
jaminan hak asasi manusia yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, dan ditambah
beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal.
12
Albert Sihabuan mengatakan bahwa dengan bertambahnya penormaan HAM secara signifikan
tersebut, akan lebih menjanjikan terhadap penegakan HAM di Indonesia. Baca Muktiono, “Mengkaji
Politik Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia”, (Mei 2012), online: <http:/
/dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/59/26> hlm. 350.
13
Sebelum amandemen hak beragama telah dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.
Sedangkan pasca amandemen selain tetap mempertahankan ketentuan Pasal 29 ayat (2) tersebut, hak
beragama juga diatur dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.
14
Falsafah ketuhanan tersebut secara tegas tersurat dalam Alinea Kedua Pembukaan UUD NRI 1945.
[ 53 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bangsa Indonesia terhadap kemampuan untuk mendirikan negara yang
merdeka adalah atas berkat Tuhan.15
Jaminan terhadap hak beragama dalam konstitusi tersebut menemukan
relevansinya dalam frame negara kebangsaan Indonesia yang terdiri dari
berbagai ikatan primordial yang sangat plural.16 Indonesia sebagai sebuah
negara dibangun melalui kesepakatan untuk menyatukan berbagai ikatan
primordial yang sangat plural sebagai negara kebangsaan (nation state).
Hal ini senafas dengan pernyataan Moh. Mahfud MD yang telah dipaparkan
sebelumnya bahwa sejak diproklamasikan sebagai sebuah negara, Indonesia
menegaskan pilihannya sebagai negara kebangsaan (nation state) yang
demokratis dan ingin terus bersatu. Ini menegaskan bahwa sebagai negara
kebangsaan, Indonesia terdiri dari berbagai ikatan primordial yang ingin
bersatu secara kokoh, namun sekaligus ingin dibangun secara demokratis
agar semua aspirasi berbagai ikatan primordial itu mendapatkan saluran.17
Oleh sebab itu, jaminan hak beragama merupakan komponen penting
agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan secara harmonis
yang dipersatukan di bawah satu kesatuan sistem hukum Pancasila
berdasarkan Konstitusi Indonesia.18
Dalam realitasnya, hak beragama di Indonesia ternyata masih banyak
menyisakan permasalahan. Sebagaimana dikatakan Sartini bahwa sering
terdapat persoalan kemasyarakatan yang berakar pada permasalahan
perbedaan atas dasar agama.19 Permasalahan tersebut diklaim sebagai bagian
dari masalah sosial yang berakar pada bagaimana memaknai hak beragama.20
Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk mengkaji konsep hak beragama
dalam sistem hukum Pancasila. Pengkajian tersebut mencakup permasalahan
hukum hak beragama berdasarkan sistem hukum Pancasila guna menjawab
dua permaslahan hukum berikut. Pertama, apakah konsep dan dasar
15
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi dan PrinsipPrinsipnya, Penanganannya di Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi, edisi khusus ed (Peradaban, 2007) hlm. 60.
16
Adam Muhshi, Teologi Konstitusi; Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015) hlm. 3.
17
MD, supra note 1 hlm. 36–37.
18
Muhshi, supra note 16 hlm. 3.
19
Sartini, “Etika Kebebasan Beragama” (2016) 18:3 J Filsafat 241, online: <https://journal. ugm.ac.id/
wisdom/article/view/3527> hlm.t 241–242.
20
Ibid hlm. 242.
[ 54 ]
Adam Muhshi
konstitusional hak beragama dalam sistem hukum Pancasila. Kedua, apa
saja nilai-nilai khas hak beragama yang terkandung dalam sistem hukum
Pancasila.
Konsep dan Dasar Konstitusional
Batasan pengertian atau definisi21 hak beragama tidak diatur secara definitif
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Konstitusi Indonesia
hanya menentukan bahwa negara menjamin kebebasan setiap orang untuk
memeluk agama dan beribadah berdasarkan agama dan kepercayaannya
masing-masing.22 Demikian juga dengan peraturan di bawah Konstitusi
Indonesia yang di dalamnya mengatur tentang hak beragama, tidak ada
satupun yang memberikan batasan pengertian atau definisi terhadap hak
beragama.23
Untuk dapat memahami konsep hak beragama, ketentuan-ketentuan
tersebut dapat disandingkan dengan konsep hak beragama yang
disampaikan oleh para pegiat HAM. Dalam hal ini, Al Khanif mendefinisikan
hak beragama sebagai hak untuk memilih atau memiliki suatu agama atau
kepercayaan yang meliputi hak untuk meyakini atau tidak meyakini sama
sekali suatu agama baik yang bersifat theistik maupun yang non-theistik
serta hak untuk memanifestasikan keyakinannya baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama yang dilakukan di tempat umum atau di
tempat yang bersifat privat seperti yang diatur di dalam HAM
internasional.24
Asma Jahangir menyebutkan hak beragama terdiri dari “keyakinan”
yang disebut dengan forum internum dan “manifestasi dari keyakinan”
21
Istilah “batasan penegertian” atau “definisi” ini dapat kita lihat pada Lampiran II huruf C angka 98
huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
22
Baca ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.
23
Baca Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia; Baca juga Pasal 18 ayat (1) dan (2), serta Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik); serta periksa Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
24
Al Khanif, Hukum & Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2010)
hlm. 108.
[ 55 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
tersebut yang disebut dengan forum externum.25 Keyakinan atau forum
internum merupakan hak beragama yang bersifat abstrak karena tempatnya
berada dalam lubuk hati dan pikiran manusia sehingga ia tidak dapat
dibatasi, dilarang atau pun didefinisikan ke dalam peraturan perundangundangan. Artinya bahwa hanya manusia yang meyakini suatu agama itu
sendiri yang dapat mendefinisikan keyakinannya sebagai bagian dari forum
internum. Sedangkan forum externum adalah hak beragama yang bersifat
kasat mata karena ia merupakan manifestasi dari keyakinan yang
diwujudkan ke dalam berbagai bentuk ritual keagamaan sehingga ia dapat
dibatasi dan dilarang apabila pelaksanaannya dapat mengganggu kebebasan
dan hak fundamental orang lain.26
Dalam konteks Negara Hukum Pancasila, hak beragama baik yang
berdimensi forum internum maupun forum externum telah diatur secara
konstitusional dalam Konstitusi Indonesia yang menegaskan bahwa setiap
orang bebas untuk memeluk dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya. Artinya bahwa konstitusi menjamin kebebasan setiap orang
untuk meyakini (forum internum) dan sekaligus untuk memanifesasikan
keyakinan (forum exernum) agamanya masing-masing.27
Selain itu, Konstitusi Indonesia juga menegaskan bahwa hak beragama
merupakan salah satu hak warga negara yang sangat fundamental.
Konsekuensinya hak beragama tersebut tidak dapat dikurangi atau dicabut
pemenuhannya baik ketika negara dalam keadaan normal (ordinary
condition) maupun ketika negara dalam keadaan darurat (state of
emergency).28
Akan tetapi, hak beragama yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun tersebut tentu saja khusus mengenai aspek forum internum. Atau
dengan kata lain, forum internum tersebut dijamin secara konstitusional
25
Ibid., hlm. 110.
Ibid., hlm. 110–111.
27
Forum internum dapat dipahami dari frase “untuk memeluk agamanya” pada Pasal 29 ayat (2), frase
“memeluk agama” pada Pasal 28E ayat (1), dan frase “meyakini kepercayaannya” pada Pasal 28E ayat
(2). Sedangkan jaminan terhadap forum externum dapat dipahami dari frase “untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu” pada Pasal 29 ayat (2), frase “beribadat menurut
agamanya” pada Pasal 28E ayat (1), dan frase “menyatakan pikiran dan sikap” pada Pasal 28E ayat
(2).
28
Baca Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.
26
[ 56 ]
Adam Muhshi
untuk dilindungi pemenuhannya dalam keadaan apa pun. Dengan
demikian, tidak ada satu alasan pun yang dapat dijadikan sebagai dasar
untuk membatasi forum internum dalam hak beragama.
Sedangkan jaminan konstitusional atas hak untuk memenifestasikan
keyakinan atau forum externum tentu saja dapat dibatasi. Dalam
melaksanakan hak beragamanya, setiap orang diwajibkan untuk tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.29 Atau dengan
kata lain, pembatasan terhadap hak beragama hanya dapat dilakukan melalui
undang-undang. Pembatasan melalui undang-undang merupakan
konsekuensi logis dari prinsip bahwa setiap pembatasan, pencabutan, atau
pengurangan terhadap HAM harus mendapatkan persetujuan dari rakyat.
Persetujuan rakyat dalam konteks negara hukum Indonesia adalah undangundang yang merupakan produk legislasi dari Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Sebagai wakil rakyat, DPR merupakan personifikasi dari rakyat
sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh DPR identik sebagai sebuah
persetujuan rakyat.
Dengan demikian pelaksanaan hak beragama harus dimaknai tidak
bebas tanpa batas. Rasionalisasi pembatasan terhadap hak ini adalah dalam
rangka menghindari terjadinya chaos yang pada gilirannya akan
mengganggu pencapaian tujuan bersama. Terkait dengan pembatasan hak
tersebut, harm principle dari John Stuart Mill sangat relevan untuk
dikemukakan.30 Prinsip ini menyatakan bahwa seorang individu bebas
bertindak sesuka hatinya selama ia tidak mengganggu hak orang lain dengan
tindakannya tersebut. Artinya kebebasan itu tidak bebas tanpa batas
sehingga secara yuridis negara memiliki kewenangan untuk membatasi
kebebasan individu dalam bertindak agar tidak menimbulkan kerugian
pada orang lain.31
Berdasarkan harm principle inilah kemudian menjadi relevan bagi
negara untuk diberikan kewenangan sebagai penengah dengan tujuan
menghindari terjadinya benturan antara pelaksanaan hak individu yang
satu dengan hak individu yang lainnya. Artinya bahwa negara berwenang
29
Baca Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Marett Leiboff & Mark Thomas, Legal Theories: Contexts and Practices (Sydney: Thomson Reuters,
2009) hlm. 230.
31
Ibid. Baca juga; Muhshi, supra note 16 hlm. 47.
30
[ 57 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
membatasi kebebasan individu untuk menhingdari terjadinya benturan
antara kebebasan individu yang satu dengan individu yang lainnya.32
Kewenangan negara untuk membatasi hak beragama ini dapat dimaknai
sebagai bagian dari kewajibannya dalam rangka melakukan perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.33
Nilai Khas Hak Beragama di Indoensia
Berdasarkan konsep dan dasar konstitusional sebagaimana telah diuraikan
di atas, maka dapat diidentifikasi atau dirumuskan nilai-nilai khas34 hak
beragama dalam sistem hukum Pancasila. Setidaknya ada lima nilai khas
tama
ertama
tama, hak beragama
hak beragama yang dapat Penulis rumuskan, yaitu:35 Per
merupakan hak konstitusional warga negara. Dikatakan demikian karena
hak beragama telah dijamin dan dituangkan dalam Konstitusi Indonesia.
Hak beragama merupakan salah satu dari HAM sebagaimana telah
dijamin baik dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
maupun dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.36
Hak beragama sebagaimana telah dijamin dalam DUHAM dan Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tersebut berlaku mutlak
dalam keadaan apapun.37 Artinya bahwa pemenuhan hak beragama tidak
dapat ditunda dan apalagi dicabut baik ketika negara dalam keadaan normal
maupun dalam keadaan darurat.
32
Muhshi, supra note 16 hlm. 48.
Baca Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945.
34
Penggunaan istilah “nilai-nilai khas” dalam tulisan ini terinspirasi oleh tulisan Moh. Mahfud MD
yang telah menggunakan istilah tersebut dalam menjelaskan perbedaan sistem hukum Indonesia
dengan sistem hukum lainnya di dunia. Baca MD, supra note 7 hlm. 23.
35
Nilai-nilai Khas hak beragama ini merupakah “penyebutan lain” dari karakter yuridis hak atas
kebebasan beragama. Karakter yuridis hak atas kebebasan beragama itu sendiri berasal dari salah satu
sub bab buku “Teologi Konstitusi” yang kemudian saya tulis ulang sekaligus saya revisi seperlunya
melalui gaya penyampaian yang sedikit berbeda dan dengan mengubah, mengurangi, dan/atau
menyisipkan kata-kata tertentu sebagai upaya untuk melakukan penajaman terhadap maksud-maksud
substantifnya. Selain itu, karakter yuridis tersebut merupakan analisis lanjutan dari tesis S2 saya di
Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang menjadi ruh tulisan ini secara umum, sehingga tak
dapat dihindari pembahasan nilai-nilai khas hak beragama seolah-olah hanya bersifat pengulangan
terhadap ulasan-ulasan sebelumnya. Baca Muhshi, supra note 13 hlm. 179–200.
36
Baca Pasal 18 DUHAM dan Pasal 18 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik.
37
Baca Pasal 4 ayat (1) dan (2) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
33
[ 58 ]
Adam Muhshi
Sebagai bagian dari HAM, hak beragama tersebut telah dituangkan
dan dijamin perlindungannya dalam Kostitusi Indonesia. Pencantuman
tersebut perlu dilakukan karena sesuai dengan apa yang dikatakan Jimly
Asshiddiqie bahwa dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan
HAM dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang
dapat disebut rechtsstaat. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya,
jaminan-jaminan HAM itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam
undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi
konstitusional (constitutional democracy).38 Sehingga sangat logis jika hak
beragama yang termasuk salah satu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun atau non derogable rights diatur dan dituangkan dalam
Konstitusi Indonesia.39
Lebih lanjut, teori hukum konstitusi menyatakan bahwa HAM yang
berlaku universal dengan sendirinya harus dituangkan dalam konstitusi
karena HAM itu sendiri merupakan ciri yang mutlak untuk mengukur
konstitusionalisme tidaknya suatu konstitusi negara modern. Berdasarkan
teori hukum konstitusi tersebut, maka HAM yang telah dituangkan dalam
konstitusi sekaligus telah menjadi hak konstitutusional warga negara.40
Dengan demikian penormaan hak beragama di dalam Konstitusi Indonesia
berakibat hukum bahwa status hak beragama tersebut menjadi hak
38
HAM dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi disamping materi
ketentuan lainnya seperti mengenai pembagian kekuasaan, format kelembagaan dan mekanisme
hubungan antar lembaga negara. Baca Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta:
RajaGrafindo, 2009) hlm. 343.
39
Lihat Pasal 28I Ayat (1).
40
HAM (the human rights) berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Akan tetapi
apabila HAM telah dicantumkan secara tegas dalam sebuah konstitusi, maka ia juga telah resmi
menjadi hak konstitusional setia warga negara atau constitutional rights. Namun tetap harus dipahami
bahwa tidak semua constitutional rights identik dengan human rights. Ada hak konstitusional warga
negara (the citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam pengertian HAM
(human rights). Misal, hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan
adalah the citizen’s constitutional rights, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga
negara. Karena itu, tidak semua the citizen’s rights adalah the human rights, tetapi dapat dikatakan
bahwa semua the human rights juga adalah sekaligus merupakan the citizen’s rights. Baca Jimly
Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008) hlm. 547; Terkait hal ini baca juga pendapat Mohammad Mahfud
MD melalui ceramah kuncinya dalam Anonim, “Prosiding Konferensi dan Dialog Nasional; Negara
Hukum Indonesia Ke Mana Akan Melangkah?”, (10 Oktober 2012), online: <http://epistema.or.id/
download/ Prosiding_KNH-2012.pdf> hlm. 59.
[ 59 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
konstitusional warga negara Indonesia.41 Sehingga dapat dikatakan bahwa
salah satu nilai khas hak beragama merupakan hak konstitusional warga
negara Indonesia.
Hak beragama sebagai hak konstitusional warga negara bermakna bahwa
hak tersebut merupakan hak setiap warga negara Indonesia yang dijamin
dan dilindungi oleh Konstitusi Indonesia. Artinya bahwa hak beragama
menjadi substansi dari hukum tertinggi (basic norm) dalam sistem hukum
Pancasila. Dengan demikian diharapkan jaminan konstitusional tersebut
dapat mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak warga negara untuk
memeluk dan beribadah menurut agamanya. Tercapainya harapan ini tentu
saja akan berfungsi sebagai salah satu variabel yang akan berkontribusi
untuk menjaga persatuan (integrasi) bangsa.42
Kedua
edua, hak beragama ber
berdasar
dasarkan
Ketuhanan
Maha
dasar
kan pada prinsip K
etuhanan Yang M
aha
Esa. Dikatakan demikian karena jaminan hak konstitusional warga negara
atas hak beragama di Indonesia tidak berakar pada konsep negara hukum
dalam pengertian rechtstaat maupun the rule of law, melainkan berdasar
pada prinsip Negara Hukum Pancasila yang berlandaskan pada prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa. Terkait hal ini, Hamdan Zoelva menyatakan
bahwa jika konsep negara hukum dalam pengertian rechtstaat dan rule of
law berpangkal pada dignity of man yaitu liberalisme, kebebasan dan hakhak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan
negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila
didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan
cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan
makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu
41
Hal ini sinergis dengan penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa: “Hak Konstitusional adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
42
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Maruarar Siahaan yang mengatakan bahwa diadopsinya
HAM secara lengkap dalam UUD NRI 1945 sebagai bagian dari hukum tertinggi (basic norm)
mengandung beberapa akibat atau konsekuensi tersendiri dalam daya laku atau aplikasi UUD NRI
1945 itu sendiri. Penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM sebagai satu bentuk maupun
dasar pengembangan tertib hukum dan sosial yang mampu ditegakkan secara efektif, diharapakn
merupakan salah satu variabel yang turut menjamin keamanan, ketertiban dan keadilan dalam
masyarakat untuk memperkuat ketahanan nasional. Variabel demikian merupakan hal yang turut
menentukan keberlanjutan dan kesejahteraan warga masyarakat dari setiap negara. Baca Maruarar
Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi yang Hidup (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008) hlm. 561.
[ 60 ]
Adam Muhshi
prinsip ketuhanan adalah elemen paling utama dari negara hukum
Indonesia.43
Kesadaran kolektif atas kemahakuasaan Tuhan44 tersebut kemudian
dimanifestasikan ke dalam Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha
Esa, sebagai salah satu dasar negara Indonesia merdeka. Selanjutnya, Sila
Pertama Pancasila tersebut diderivasi ke dalam norma Konstitusi Indonesia45
yang menentukan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara
Indonesia. Dasar negara, Ketuhanan Yang Maha Esa, tersebut secara
sistematis harus dijadikan sebagai rujukan dan pijakan hak beragama yang
telah dijamin secara konstitusional dalam Konstitusi Indonesia. Atau dengan
kata lain jaminan konstitusional terhadap hak beragama46 secara sistematis
merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dari norma Konstitusi
Indonesia47 yang menentukan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dasar negara Indonesia. Dalam konteks ini Moh. Mahfud MD mengatakan
bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, melainkan
negara Pancasila, yaitu sebuah religious nation state atau negara kebangsaan
yang dijiwai oleh agama.48 Sehingga dapat dikatakan bahwa Konstitusi
Indonesia termasuk dalam hal ini jaminan konstitusional terhadap hak
beragama sebagaimana diatur di dalamnya harus merujuk dan berpijak
pada prinsip Ketuhanan (teologi konstitusi).49
43
Hamdan Zoelva, “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila”, (Agustus 2009), online: <http://
www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf= 1&id=3915>.
44
Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendirikan Negara Indonesia dengan berdasar pada
falsafah ketuhanan (teologis). Baca Alinea Kedua Pembukaan UUD NRI 1945.
45
Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.
46
Pasal 29 ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.
47
Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945.
48
Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013) hlm. 6 Baca juga; Laksono Laksono, Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD; Hukum Tak Kunjung Tegak (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm. 200. Terhadap konsep “religious nation state” tersebut, coba bandingkan dengan konsep “monotheisme sekuler Pancasila” yang
ditawarkan oleh Al Kahnif. Baca; Al Khanif, “Pancasila sebagai Realitas; Percik Pemikiran tentang
Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia” in (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 176
Baca juga; Al Khanif, “Questioning a Theistic, Secular Pancasila to Protect Religions”, (1 June
2015), online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html>.
49
Teologi konstitusi berarti sebagai sebuah kesepakatan dan hukum tertinggi bangsa yang religius,
yaitu bangsa Indonesia. Teologi konstitusi yang dimaksud di sini adalah UUD NRI 1945 sebagai
konstitusi negara Indonesia yang telah dirumuskan dan dibentuk berdasarkan kesadaran kolektif
bangsa Indonesia atas kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Baca lebih lanjut Muhshi, supra note
16 hlm. viii–ix.
[ 61 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Untuk itulah, suatu hal yang logis jika kemudian negara melarang
perbuatan dan/atau mengeluarkan perasaan di depan umum dengan maksud
agar orang lain tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan disertai ancaman pidana.50 Dapat
dikatakan bahwa orang yang melakukan propaganda anti agama tersebut,
disamping akan mengganggu ketenteraman orang beragama, pada
prinsipnya dapat diartikan juga sebagai sebuah bentuk pengkhianatan
terhadap Sila Pertama Pancasila, sehingga sudah selayaknya perbuatannya
itu dipidana.51 Dengan demikian, perbuatan dan/atau mengeluarkan
perasaan di depan umum dengan maksud agar orang lain tidak menganut
agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dilarang
karena bertentangan dengan sila pertama Pancasila.
Ketentuan tentang larangan terhadap adanya propaganda atheis
tersebut logis dilakukan di negara hukum Pancasila. Hal ini sesuai dengan
pendapat Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa Pancasila yang
tercantum dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia merupakan sumber
pengakuan terhadap HAM. Artinya bahwa setiap langkah yang menyangkut
HAM harus selalu berpaling kepada Pancasila sebagai sumber pengakuan
akan harkat dan martabat manusia.52 Dengan demikian, setiap peraturan
dan kebijakan negara yang menyangkut hak beragama hendaknya selalu
berpaling kepada Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjiwai konsep
hak beragama yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Oleh karena itu,
Oemar Seno Adji menyatakan bahwa jaminan konstitusional tentang
kebebasan beragama (freedom of religion) di Indonesia tidak memperkenankan adanya propaganda anti agama atau atheisme.53 Jaminan
konstitusional hak beragama yang dijiwai oleh Sila Pertama Pancasila itulah
yang kemudian dielaborasi ke dalam Pasal 4 UU Nomor 1/PnPs/1965
yang melarang adanya perbuatan dan/atau mengeluarkan perasaan di depan
50
Baca Pasal 4 huruf b UU Nomor 1/PnPs/1965.
Baca Penjelasan Pasal 4 huruf b UU Nomor 1/PnPs/1965.
52
Hadjon, supra note 15 hlm. 57 baca juga; Fatmawati, “Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama
dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia”, (Agustus 2011), online: <https://
ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/jk/article/ viewFile/179/176> hlm. 493.
53
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985) hlm. 34.
51
[ 62 ]
Adam Muhshi
umum dengan maksud agar orang lain tidak menganut agama apapun
juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.54 Secara a contrario,
keyakinan untuk tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dilakukan secara privat tidak dilarang.
Atau dengan kata lain larangan terhadap paham atheisme hanya berlaku
pada ranah forum externum, bukan dalam ranah forum internum.
Paham atheisme pada tataran forum internum tidak dapat dilarang
karena bersifat abstrak sehingga tidak bersinggungan dengan dan tidak
dapat menggangu hak beragama orang lain. Keyakinan untuk tidak
beragama yang dilakukan secara privat tersebut tidak bertentangan dengan
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dikatakan demikian karena pada Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung konsep toleransi. Dengan konsep
toleransi inilah, maka negara tidak berwenang untuk melarang seseorang
untuk tidak menganut suatu agama apapun yang dilakukan secara privat.
Ketiga
Ketiga, hak beragama berlandaskan pada asas toleransi. Dikatakan
demikian karena dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkadung prinsip
toleransi. Sedangkan seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa hak
beragama di Indonesia dijiwai oleh Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang
Maha Esa.55
Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa tidak hanya menjadi dasar rohani dan dasar moral kehidupan bangsa,
akan tetapi secara implisit juga mengandung ajaran toleransi.56 Dengan
54
Terkait hal ini Ismail Sunny mengatakan bahwa paham atheisme secara tegas membahayakan terhadao
sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena paham tersebut bertujuan untuk menghapuskan kepercayaan
kepada Tuhan. Baca Heru Drajat Sulistyo, “Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasab Beragama
dan Beribadah di Tengah Pluralisme Masyarakat Indonesia”, (Oktober 2014), online: <http://
www.unsoer.ac.id/jurnal/media-soerjo-2014/oktober/6.Heru.pdf> hlm. 105.
55
Jaminan terhadap perlindungan hak atas kebebasan beragama sebagai hak konstitusional warga
negara secara tegas diatur oleh Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2)
UUD NRI 1945. Secara logis sistematis, ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1),
dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 harus diartikan sebagai satu kesatuan dan tidak terpisahkan
dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) tersebut merupakan derivasi dari Sila Pertama Pancasila
Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat pada Alinea Keempat Pembukaan Alinea UUD NRI 1945.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak atas kebebasan beragama sebagaimana diatur oleh Pasal
28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dijiwai oleh Sila
Pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
56
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia; Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan
Perwakilan dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 98.
[ 63 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
demikian, hak beragama di Indonesia harus tunduk dan sesuai dengan
ajaran toleransi yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Atau dengan kata lain, nilai khas hak beragama di Indonesia adalah
berdasarkan pada asas toleransi. Artinya bahwa setiap warga negara dan/
atau penduduk di Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati agama
dan kepercayaan orang lain.
Berdasarkan prinsip toleransi yang menjiwai hak beragama tersebut,
maka setiap orang tidak diperkenankan untuk melakukan pemaksaan
keyakinannya kepada orang lain. Artinya bahwa seseorang bebas untuk
meyakini kebenaran suatu agama dan/atau suatu aliran kepercayaan, akan
tetapi dengan keyakinan yang dimilikinya tersebut tidak kemudian memberi
hak kepadanya untuk memaksakan keyakinannya agar diyakini oleh orang
lain. Secara a contrario, seseorang tidak diperkenankan untuk melakukan
penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap agama dan/atau kepercayaan
yang diyakini oleh orang lain. Larangan-larangan tersebut perlu dilakukan
dalam konteks sosiologis negara hukum Indonesia yang religius.
Keempat
Keempat, hak beragama terdiri dari aspek forum internum dan aspek
forum externum. Atau dengan kata lain jaminan hak beragama di Indonesia
meliputi perlindungan terhadap aspek forum internum dan aspek forum
externum.57 Pemenuhan hak beragama memang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun (non derogable rights),58 namun hak beragama
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun tersebut khusus
mengenai aspek forum internum saja. Artinya bahwa forum internum
tersebut dijamin secara konstitusional untuk dilindungi pemenuhannya
dalam keadaan apa pun. Sedangkan jaminan konstitusional atas hak untuk
memenifestasikan keyakinan (forum externum) tentu saja dapat dibatasi.
Pembatasan atas forum externum tersebut dilakukan hanya untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.59
57
Baca ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.
Baca Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.
59
Baca Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
58
[ 64 ]
Adam Muhshi
Dalam konteks ini, pembatasan terhadap forum externum sebagaimana
diamanahkan oleh ketentuan Konstitusi Indonesia60 telah diderivasikan
pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama (UU Nomor 1/PNPS/1965).
Secara tegas UU tersebut melarang dan/atau membatasi empat hal yang
termasuk dari manifestasi keyakinan (forum externum), yaitu: 1) setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di indonesia di mana
penafsiran tersebut menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;61 2)
setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama yang dianut di Indonesia di mana kegiatan tersebut
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;62 3) setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;63 dan 4) setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha
Esa.64
Kelima
Kelima, hak beragama berdimensi perlindungan hukum terhadap
agama. Perlindungan hukum yang diberikan Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/
1965 terhadap agama (larangan terhadap penafsiran dan kegiatan yang
“menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”) yang dianut di Indonesia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perlidungan terhadap hak
beragama. Perlindungan hukum terhadap agama ini tidaklah bertentangan
sama sekali dengan hak beragama yang telah dijamin oleh Konstitusi
Indonesia, tetapi justeru merupakan bagian dari kewenangan konstitusional
negara untuk melindungi hak beragama itu sendiri.
60
Ibid.
Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965.
62
Ibid.
63
Pasal 4 UU Nomor 1/PnPs/1965.
64
Ibid.
61
[ 65 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Keyakinan terhadap pokok-pokok ajaran agama (fundamentals of belief)
merupakan bagian dari forum internum. Sedangkan forum internum itu
sendiri telah dijamin perlindungannya secara konstitusional untuk tidak
dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga dengan demikian, keyakinan
seseorang terhadap pokok-pokok ajaran agamanya tidak dapat diganggu
oleh orang lain. Oleh karena itulah menjadi logis ketika negara kemudian
melarang setiap orang untuk melakukan penafsiran dan/atau kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama dari agama yang dianut di
Indonesia di depan umum (forum externum). Dengan demikian secara
substantif ketentuan Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965 dapat dimaknai
sebagai bentuk pembatasan forum internum terhadap forum externum.
Artinya bahwa Pasal 1 UU tersebut telah melindungi forum internum
setiap orang yang notabene tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dari manifestasi keyakinan atau forum externum orang lain yang dapat
mengganggunya.
Larangan terhadap penafsiran dan kegiatan yang “menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama” untuk dilakukan di depan umum adalah sesuai
dengan fungsi negara sebagai pengendali sosial guna menjaga ketertiban
masyarakat. Larangan tersebut berfungsi sebagai instrumen untuk
mencegah terjadinya tindakan anarkis yang disebabkan oleh adanya
penganut agama yang merasa agamanya dinodai dan dihina (blasphemy
or defamation of religion). Larangan yang demikian tentu saja relevan
dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang religius.
Dengan demikian perlindungan terhadap agama sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 UU Nomor 1/PnPs/1965 bukan merupakan pemberian
kewenangan kepada negara untuk membenarkan isi dari sebuah keyakinan,
akan tetapi hanya sebagai penengah agar pelaksanaan hak beragama berjalan
secara bebas dan damai. Artinya bahwa kewenangan negara yang diberikan
oleh Pasal 1 UU tersebut, bukan suatu kewenangan yang ditujukan untuk
menyatakan benar atau tidak benarnya isi dari sebuah ajaran agama, namun
kewenangan tersebut hanya ditujukan untuk melindungi pokok-pokok
ajaran agama yang telah diterima secara umum oleh internal agama tersebut
dari penafsiran dan/atau kegiatan keagamaan yang menyimpang. 65
65
Dengan demikian Penulis kurang setuju dengan beberapa pihak yang berpendapat materi UU ini
bertentangan dengan hak konstitusional beragama seperti misalnya M. Syafi’ie yang mengatakan
[ 66 ]
Adam Muhshi
Pemberian kewenangan yang demikian logis dilakukan terkait dengan fungsi
negara sebagai penengah untuk mencegah adanya benturan atau perpecahan
dalam masyarakat yang dapat disebabkan oleh adanya penafsiran dan/atau
kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
yang dianut di Indonesia.
Penutup
Sistem hukum nasional yang telah dibangun sejak berdirinya Negara
Indonesia didasarkan pada Pancasila.66 Eksistensi Pancasila ini sendiri adalah
sebagai konsekuensi logis dari sebuah pengakuan rakyat Indonesia bahwa
kemerdekaan dapat diraih karena berkat rahmat Tuhan. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa rakyat Indonesia mendirikan Negara Indonesia
dengan berdasar pada falsafah ketuhanan. Prinsip Ketuhanan tersebut
kemudian ditegaskan kembali ke dalam norma Konstitusi Indonesia yang
menentukan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar dari Negara
Indonesia. Hal ini berarti bahwa konsep hak beragama dalam sistem hukum
Pancasila dijiwai dan harus didasarkan pada prinsip ketuhanan.
Dengan demikian jaminan terhadap hak Beragama di Indonesia baik
yang telah diatur dalam Konstitusi Indonesia maupun dalam peraturan
perundang-undangan di bawahnya telah sesuai dengan Pancasila. Termasuk
dalam hal ini meskipun UU Nomor 1/PnPs/1965 masih mengandung
beberapa kelemahan,67 akan tetapi secara substantif ia tidak bertentangan
dengan Pancasila sehingga hanya diperlukan penyerpurnaan terhadap aspek
pengaturan, rumusan, dan kaidah-kaidah hukumnya.
Pemaknaan terhadap konsep hak beragama berdasarkan sistem hukum
Pancasila dengan kekhasan nilai-nilainya penting dilakukan dalam era
globalisasi di mana ideologi-ideologi di dunia termasuk dalam hal ini
ideologi Pancasila saling berinteraksi satu sama lain seiring “hilangnya”
bahwa keberadaan UU ini berdampak agama tidak lagi menjadi hak asasi internal ... Baca lebih lanjut
M Syafi’ie, “Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi” (2011) 8:5 J Konstitusi, online: <https:// ejournal.mahkamahkonstitusi.
go.id/index.php/jk/article/viewFile/186/183> hlm. 688.
66
Baca Irene Istiningsih Hadiprayitno, “Defensive Enforcement: Human Rights in Indonesia” (2010)
11:3 Hum Rights Rev 373 hlm. 377.
67
Muhshi, supra note 16 hlm. 170–178.
[ 67 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
sekat-sekat antar negara. Artinya bahwa konsep Hak beragama dalam sistem
hukum Pancasila yang prismatik68 perlu ditegaskan nilai-nilai khasnya
untuk membedakannya dengan konsep hak beragama yang berkembang
di negara-negara sekuler maupun di negara-negara agama. Konsep hak
beragama berdasarkan Sistem Hukum Pancasila tersebut menurut Penulis
masih sangat relevan sama halnya dengan masih relevannya Pancasila sebagai
ideologi yang menjadi pemersatu bangsa serta sekaligus menjadi sumber
dan prinsip dalam Sistem Hukum Indonesia.69
Daftar P
ustaka
Pustaka
Buku
Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1985).
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2008).
———. Pengantar Hukum Tata Negara (Jakarta: RajaGrafindo, 2009).
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia;
Sebuah Studi dan Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya di Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi, edisi khusus ed (Peradaban, 2007).
Huda, Miftakhul et al. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku I Latar
68
Istilah Sistem hukum Pancasila yang prismatik atau sistem hukum prismatik ini diperkenalkan oleh
Moh. Mahfud MD. Baca MD, supra note 7 hlm. 29–30.
69
“Mahfud MD: Indonesia Bersatu dan Rukun Karena Pancasila”, online: detiknews <https://
news.detik.com/berita/d-3223337/mahfud-md-indonesia-bersatu-dan-rukun-karena-pancasila>;
Kompas Cyber Media, “Mahfud MD: Pancasila Luar Biasa, Persatukan 1.340 Suku Bangsa”,
online: KOMPAS.com <http://nasional.kompas.com/read/2016/06/02/06060011/
Mahfud.MD.Pancasila.Luar.Biasa.Persatukan.1.340.Suku.Bangsa.>; “Mahfud MD & Sinta Nuriyah
Hadiri Peringatan Kesaktian Pancasila di Bogor”, online: detiknews <http:/>; Heldania Ultri Lubis,
“Pancasila Dinilai Masih Relevan Payungi Perbedaan di Indonesia”, online: detiknews <http:/>;
Rachmad Faisal Harahap, “Pancasila Masih Sangat Relevan di Indonesia”, online: news.okezone.com
<http://news.okezone.com/read/2014/10/01/373/1046780/pancasila-masih-sangat-relevan-diindonesia>; Pewarta: Indriani, “Pancasila relevan sampai saat ini”, online: Antara News <http://
www.antaranews.com/berita/456398/pancasila-relevan-sampai-saat-ini>; Terkait masih relevannya
Pancasila, coba baca Dian, “Surya Paloh: Pancasila Masihkah Relevan Jadi Dasar Berbangsa?”,
online: liputan6.com <http://news. liputan6.com/read/2279503/surya-paloh-pancasila-masihkahrelevan-jadi-dasar-berbangsa>.
[ 68 ]
Adam Muhshi
Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, revisi ed.
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010).
Khanif, Al. Hukum & Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta:
LaksBang Mediatama, 2010).
Khanif, Al. “Pancasila sebagai Realitas; Percik Pemikiran tentang Pancasila
dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia” in (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016).
Laksono, Laksono. Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Moh. Mahfud MD;
Hukum Tak Kunjung Tegak (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
Leiboff, Marett & Mark Thomas. Legal Theories: Contexts and Practices
(Sydney: Thomson Reuters, 2009).
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tatanegara Indonesia; Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
MD, Moh Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi
(Jakarta: LP3S, 2006).
———. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012).
———. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Muhshi, Adam. Teologi Konstitusi; Hukum Hak Asasi Manusia atas
Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2015).
Siahaan, Maruarar. Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi yang Hidup
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2008).
Jurnal dan P
Prrosiding
Anonim. “Prosiding Konferensi dan Dialog Nasional; Negara Hukum Indonesia
Ke Mana Akan Melangkah?”, (10 Oktober 2012), online: <http:/
/epistema.or.id/ download/Prosiding_KNH-2012.pdf>.
Fatmawati. “Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Beribadah
dalam Negara Hukum Indonesia”, (Agustus 2011), online:
<https://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/jk/
article/viewFile/179/176>.
Hadiprayitno, Irene Istiningsih. “Defensive Enforcement: Human Rights
in Indonesia” (2010) 11:3 Hum Rights Rev 373.
[ 69 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Muhshi, Adam. “Teologi Konstitusi; Hak Warga Negara atas Kebebasan
Beragama berdasarkan UUD NRI 1945” (2013) II:1 J Konstitusi
Pus Kaji Konstitusi Univ Dr Soetomo Surabaya Kerjasama Dengan
Mahkamah Konstitusi Repub Indones 7.
Muktiono. “Mengkaji Politik Hukum Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia”, (Mei 2012), online: <http://
dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/ index.php/JDH/article/
viewFile/59/26>.
Sartini. “Etika Kebebasan Beragama” (2016) 18:3 J Filsafat 241.
Sulistyo, Heru Drajat. “Keterlibatan Negara Mengawal Hak Kebebasab
Beragama dan Beribadah di Tengah Pluralisme Masyarakat
Indonesia”, (Oktober 2014), online: <http://www.unsoer.ac.id/
jurnal/media-soerjo-2014/oktober/6.Heru. pdf>.
Syafi’ie, M. “Ambiguitas Hak Kebebasan Beragama di Indonesia dan
Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” (2011) 8:5 J
Konstitusi, online: <https://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/
index.php/jk/article/viewFile/186/183>.
Wahyudi, Agus et al. Proceeding Kongres Pancasila; Pancasila dalam berbagai
Perspektif (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2009).
Website
Dian. “Surya Paloh: Pancasila Masihkah Relevan Jadi Dasar Berbangsa?”,
online: liputan6.com <http://news.liputan6.com/read/2279503/
surya-paloh-pancasila-masihkah-relevan-jadi-dasar-berbangsa>.
Faisal Harahap, Rachmad. “Pancasila Masih Sangat Relevan di Indonesia”,
online: news.okezone.com <http://news.okezone.com/read/2014/
10/01/373/1046780/pancasila-masih-sangat-relevan-diindonesia>.
Indriani, Pewarta: “Pancasila relevan sampai saat ini”, online: Antara News
<http://www.antaranews.com/berita/456398/pancasila-relevansampai-saat-ini>.
Khanif, Al. “Questioning a Theistic, Secular Pancasila to Protect Religions”,
(1 June 2015), online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/
news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasilaprotect-religions.html>.
Lubis, Heldania Ultri. “Pancasila Dinilai Masih Relevan Payungi Perbedaan
di Indonesia”, online: detiknews <http:/>.
[ 70 ]
Adam Muhshi
Media, Kompas Cyber. “Mahfud MD: Pancasila Luar Biasa, Persatukan
1.340 Suku Bangsa”, online: KOMPAS.com <http://nasional.
kompas.com/read/2016/ 06/02/06060011/Mahfud.MD.
Pancasila.Luar.Biasa.Persatukan.1.340.Suku.Bangsa.>.
Zoelva, Hamdan. “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila”, (Agustus
2009), online: <http://www.setneg.go.id/index2.php?option=
com_content&do_pdf =1&id=3915>.
“Mahfud MD: Indonesia Bersatu dan Rukun Karena Pancasila”, online:
detiknews <https://news.detik.com/berita/d-3223337/mahfudmd-indonesia-bersatu-dan-rukun-karena-pancasila>.
“Mahfud MD & Sinta Nuriyah Hadiri Peringatan Kesaktian Pancasila di
Bogor”, online: detiknews <http:/>.
Peraturan P
er
undang-U
ndangan
Per
erundang-U
undang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/PnPs/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
[ 71 ]
SPIRITU
ALIT
A S PANC
A SIL
A: DARI KORUPSI
SPIRITUALIT
ALITA
PANCA
SILA:
SPIRITU
AL KE PANC
ARAN INTENSIONAL
SPIRITUAL
PANCARAN
UNIVERSALIT
A S NIL
AI-NIL
AI PANC
A SILA
UNIVERSALITA
NILAI-NIL
AI-NILAI
PANCA
Made Pramono
Pendahuluan
I
de awal topik penulisan sepenuhnya berasal dari refleksi penulis tentang
berbagai peristiwa yang mengindikasikan terjadinya suatu fenomena
yang bisa diringkas dalam dua kata: korupsi spiritual. Fenomena ini
tidak secara harfiah hanya terbatas pada kasus-kasus individual, tetapi secara
ekstensif-alegoris berkenaan dengan berbagai patologi sosial. Fenomena
yang contohnya merentang tidak sekedar kasus pelecehan seksual yang
dilakukan seorang guru spiritual terhadap muridnya, tetapi juga bagaimana
secara sistemik individu-individu di suatu komunitas tertentu menganggap
sebagai hal yang lumrah kutipan liar atau penyebaran berita-berita hoax
demi kepentingan segelintir orang. Korupsi spiritual dalam konteks tulisan
ini merupakan istilah yang mewakili kondisi di mana seseorang yang
sebenarnya sudah mengetahui apa-apa yang ideal secara spiritual
(terbimbing Yang-Ilahi, kebaikan atau keadilan universal, dan sebagainya)
tetapi dengan sengaja memutarbalikkan atau membiaskan yang ideal itu
dengan melakukan tindakan-tindakan yang hanya menguntungkan diri
atau/atau kelompoknya dan merugikan yang lain (secara massif ) baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Filsafat adalah bidang kajian utama yang digunakan dalam tulisan ini
untuk merefleksikan pemikiran mendasar tentang Spiritualitas Pancasilais,
suatu kualitas personal transformatif terbimbing Yang-Ilahi yang melekat
pada pribadi-pribadi “penganut dan pengamal” nilai-nilai Pancasila. Tulisan
ini diawali dengan penjelasan istilah-istilah kunci untuk kemudian
[ 73 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dikembangkan sebagai wacana konstruktif-reflektif. Penulis berharap,
melalui tulisan ini, pembaca bisa memperoleh gambaran lebih kaya dengan
perspektif yang beragam tentang bagaimana Pancasila sebagai nilai dasar
bisa dihayati secara lebih intens sekaligus holistik oleh Warga Negara
Indonesia (WNI) tanpa kehilangan kelenturan dan keterbukaannya
menghadapi berbagai tantangan dalam pusaran global ke depan. Pada
akhirnya, pemaknaan universalitas nilai-nilai Pancasila diharapkan sungguhsungguh bisa diangkat sebagai paradigma peradaban global.
Spiritualitas: Cinta dan K
earifan U
niv
ersal
Kearifan
Univ
niversal
Spiritualitas1 dalam tulisan ini berarti aspek-aspek kerohanian yang
diabstraksi dan diekstrak dari berkelindannya berbagai aspek lain yang
melekat pada suatu subjek. Spiritualitas menunjuk pada realitas imaterial
atau realitas puncak yang memampukan seseorang menemukan esensi
keberadaan mereka, atau ‘nilai-nilai dan makna-makna terdalam kehidupan’.
Spiritualitas sering dialami sebagai sumber inspirasi atau orientasi hidup
yang dapat mengarahkan keyakinan terhadap realitas atau pengalaman
imaterial dari imanensi atau transendensi dunia2. Istilah ini tidak hanya
tentang sisi relijius/keagamaan,3 dan juga tidak hanya diarahkan pada
pemahaman atau pencerminan sikap dan perbuatan yang memancar dari
sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi meliputi dimensi
yang lebih luas dengan kerohanian atau kejiwaan sebagai substansi cakupan
pembahasannya.4
1
2
3
4
Berasal dari istilah Latin “Spiritualitas”, kata abstrak yang berasal dari kata benda spiritus dan kata
sifat spiritalis atau spiritualis. Lihat Walter Principe, “Toward Defining Spirituality”, (Winnipeg:
Fourteenth Congress of The Internasional Association for the History of Religions, 17-22 Agustus
1980) hlm. 130.
http://www.huffingtonpost.com/kate-fridkis/spirituality-definition_b_597062.html
Penelitian Saucier dan Skrzypinska yang dipublikasikan di Journal of Personality (Gerard Saucier
and Skrzypinska Katarzyna, “Spiritual But Not Religious? Evidence for Two Independent Dispositions” (2006) 74:5 Journal of Personality 1257 hlm. 1257) membuktikan kedua istilah ini
(spiritualitas dan relijiusitas) sebagai dua hal yang bisa diperbedakan dari satu pribadi yang sama.
Keduanya adalah apek dari personalitas yang mencirikan kepribadian yang bersangkutan. Mendekati
mistisisme, spiritualtas oleh Saucier dan Skrzypinska lebih ditekankan sisi atraktifnya dalam
penggambaran-diri.
Beberapa penulis menyatakan bahwa spiritual secara klasik berbeda dengan agama dalam hal bahwa
spiritual itu suatu bentuk kepenuhan interior batin manusia, sangat bersifat pribadi dari agama yang
terlembagakan dan komunal. Spiritual sekaligus sangat memuat Keterbukaan terhadap Pengalaman.
Lihat misalnya Graham Harvey, “If ‘Spiritual But Not Religious’ People Are Not Religious What
[ 74 ]
Made Pramono
Kerohanian atau kejiwaan seperti apa yang menjadikan seseorang
disebut sebagai “pribadi spiritual”? Dimensi transenden pengalaman
manusia yang mengatasi iman atau kebenaran ekslusif (termasuk kebenaran
ateistik), menjadi penciri spiritualitas ini. Manusia secara hakiki cenderung
menuju kearah kebenaran-kebenaran dan memuja sesuatu, akan tetapi disisi
lain ia juga cenderung untuk memahami alam semesta. Fitrah memahami
dan bahkan menuju penyatuan dengan hal adi-kodrati ini bisa ditemui di
setiap jaman, sebagai konsekuensi “firah” kebutuhan manusia tingkat lanjut
yang melampaui kebutuhan fisiologis, keamanan-keselamatan, sosial,
penghargaan, dan aktualisasi diri sebagaimana diskemakan Abraham
Maslow. Menjelang akhir hayatnya, Maslow menyadari dan menemukan
adanya kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu,
yang disebut sebagai kebutuhan transcendental.5
Ungkapan tentang pribadi “spiritual” yang sangat kaya dari aspek
rujukan, diungkapkan Walter Principe di tahun 1980, bahwa pribadi spiritual (spiritualis) adalah seseorang yang seluruh hidupnya terbimbing oleh
“Yang-ilahi”.6 Dalam perjalanannya, istilah spiritualitas dibawa ke level
ideologis oleh tulisan Gapanyok, Mareev, dan Karpova di ranah pendidikan:
Spiritualitas adalah konsep ideologis pendidikan modern7. Secara individual,
spiritualitas sebagai suatu ideologi berfungsi membentuk kesadaran
seseorang dan mengatur mereka dengan memengaruhi kesadaran. Ideologi
menciptakan dan mengetengahkan stereotip-stereotip kesadaran tertentu
ke dalam pikiran seseorang yang direfleksikan dalam ciri-ciri perilaku,
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sarana pencapaian tujuan.8 Bisa
dikatakan, dalam konteks ideologi ini, dari filosofis dan psikologis,
spiritualitas tercermin ke tataran sosiologis. Relasi diri dan dunia (sesama,
5
6
7
8
Difference Do They Make?” (2016) 6:2 Journal for the Study of Spirituality 128 hlm. 128; Saucier
dan Skrzypinska, supra note 4. hlm. 1288.
Dede Rahmat Hidayat, Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011) hlm. 165–166.
Principe, supra note 2. hlm. 130. Principe secara cermat menelisik secara historis penggunaan
istilah spiritualitas untuk diperbedakan dari istilah lain seperti mistisisme, termasuk dengan
mengajukan istilah yang berlawanan: corporealitas atau materialitas. Istilah “Yang-Ilahi” penulis
adaptasikan dari istilah “Spirit of God” pada tulisan Principe.
Gaponyuk P.N., Mareev V.I., Karpova N.K., dan Dyuzhikov S.À., “Spirituality as Ideological
Concept of Modern Education” (2013) 1:10 American Journal of Educational Research 436 hlm.
436.
Ibid, hlm. 436 dengan mengetengahkan tulisan Zinovyev tentang filsafat sebagai bagian ideologi.
[ 75 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
alam, maupun Yang-Ilahi) terbentuk secara intim dan resiprokal, yang
juga berarti bahwa spiritualitas secara efektif mengarahkan eksistensi dan
peran seseorang dalam memaknai dan menjalani hidup di dunia.
Yang-ilahi yang membimbing hidup spiritualis, mendorong seseorang
untuk terus menerus meredefinisikan dan merefleksikan nilai-nilai utama
seperti kebenaran, keadilan, keindahan, atau kebaikan dalam kehidupannya.
Penyingkapan spiritualitas kepribadian inilah yang kemudian ditangkap
Gapanyok dkk sebagai ideologi, dengan penekanan pada bidang
pendidikan.9 Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa dalam konteks
Pancasila, “suasana kebatinan” sebagaimana sering digunakan dalam
pembelajaran ke-Pancasila-an, selain bermakna sebagai cita-cita hukum,
juga terwakili oleh konsep spiritualitas. Suasana kebatinan atau spiritualitas
bangsa Indonesia sebagaimana misalnya dapat ditafsirkan dari pidato
Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang membahas khusus
tentang dasar negara Indonesia antara 29 Mei hingga 1 Juni 194510, pada
akhirnya dikemas sebagai suatu sistem nilai dengan mengandalkan
spiritualitas mereka.
Suasana kejiwaan/kebatinan apa yang mencakup sekaligus melampaui
iman relijius? Penulis menyebut “cinta” sebagai istilah kunci kerohanian
dan kejiwaan yang mengatasi iman atau kebenaran ekslusif yang cenderung
ke arah penyatuan terhadap Yang-Ilahi. Secara operasional, hal ini
termanifestasikan sebagai cinta diri sendiri dan yang lain (alam atau orang
lain) yang secara aktif ditunjukkan melalui perilaku kepedulian terhadap
sesama manusia atau makhluk lain, kepedulian yang mengarah pada “cinta
universal”. Cinta yang bisa dilihat sebagai impetus (daya dorong) penafsiran
yang melampui “ketuhananku”, “ketuhananmu”, “ketuhanan yang lain”;
melampaui ekslusivitas keberagamaan Islam atau Hindu, melampaui
nasionalitas Indonesia atau non-Indonesia. Cinta universal ini secara klasik
dibimbing Yang-Ilahi11 dalam “suasana ilahiah12”, suatu “bimbingan” yang
9
Ibid hlm. 436.
Dilaksanakan pada masa sidang pertama BPUPKI, lihat Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa,
Pendidikan Pancasila (Surabaya: Unesa University Press, 2014) hlm. 95-99.
11
Yang-Ilahi merujuk pada konsep apapun yang dianggap manusia sebagai yang mutlak diikuti, yang
menguasai, mendasari, dan/atau melingkupi kediriannya. Contoh istilah yang paling dikenal dan
lazim dalam terminologi Bahasa Indonesia adalah “Tuhan”. Penulis meyakini, setiap manusia –
10
[ 76 ]
Made Pramono
mengarahkan kedirian manusia (energi, emosi, dan sebagainya) untuk
bersikap dan bertindak memainkan peran di kehidupannya.
Spiritualitas, memang akrab dengan Sila ke-1 Pancasila, tetapi tidak
hanya berkutat di situ. Spiritualitas berada di wilayah-wilayah paling
individual hingga yang paling publik: memilih bersandar di agama tertentu,
atau memilih ateis. Spiritualitas juga berada di wilayah-wilayah riil hingga
yang imajiner: diskursus harga cabe di pasar hingga nasionalisme
menghadapi neoliberalisme. Spiritualitas terasah di wilayah-wilayah hitamputih hingga yang abu-abu: mana kawan mana lawan serta mana kawan
yang sebenarnya lawan. Spiritualitas terasah melalui media sosial, diskusi
dan seminar, TV dan koran, hingar bingar konser musik, hingga sujud di
sajadah tengah malam. Spiritualitas bisa dikatakan dipicu dari (dan
diketemukan dalam) semua fenomena dan ide apapun. Keterhubungan
dengan cinta dan Yang-Ilahi dalam suasana ilahiah mengindikasikan bahwa
realitas yang dialami secara sangat personal terebut berada di area spiritualitas13.
Area spiritualitas, dengan demikian, adalah area “meta-nilai” yang
menggerakkan seseorang memihak nilai-nilai tertentu daripada nilai-nilai
lainnya. Sebagai contoh, Spiritualitas Pancasilais memihak nilai kemakmuran
untuk sebanyak mungkin orang tanpa menutup mata terhadap hak “lebih
makmur”-nya segelintir orang daripada yang lain; atau, memilih nilai
kebebasan yang bertanggung jawab daripada kebebasan yang lepas
tanggung jawab. Kepemihakan ini berbasis argumentasi rasional dan
mandiri, meskipun di tahap lanjut, diharapkan juga sampai pada tahap
intuitif yang melampaui argumentasi rasional. Hal ini akan dibahas di
bagian akhir tulisan.
termasuk yang ateis atau agnostik – dalam kehidupannya pasti “mempertuhankan” sesuatu: Allah,
Roh Absolut, Kebaikan Murni, dan sejenisnya termasuk mempertuhankan pikirannya sendiri.
12
“Suasana ilahiah” merujuk pada kondisi keterbimbingan manusia oleh Yang-Ilahi.
13
Penulis menyadari kesulitan untuk mengukur spiritualitas seseorang, bukan hanya karena spiritualitas
sangat kualitatif dan personal, tetapi karena ketidaksepakatan untuk memahami hakikat spiritualitas,
khususnya dalam kaitannya dengan relijiusitas. Tentang dilema pengukuran ini Lihat Afton N.
Kapuscinski and Kevin S. Masters, “The Current Status of Measures of Spirituality: A Critical
Review of Scale Development” (2010) 2:4 Psychology of Religion and Spirituality Journal 191
hlm. 191–205.
[ 77 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pancasilais: “I
dealitas WNI”
“Idealitas
Pancasila adalah ideologi bersama14, atau yang oleh Bung Karno disebut
sebagai Weltanchauung15, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan.
Disinilah peran Pancasila sebagai filsafat dasar (philoshophische grondslag)
sangat dibutuhkan menjadi payung bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlu
ditegaskan: bagi seluruh Rakyat Indonesia, bukan Rakyat Jawa, Rakyat
Kristen, Rakyat Pejabat, dan sebagainya untuk meneguhkan Pancasila
sebagai ideologi bersama yang memayungi “berbagai rakyat” Indonesia
itu. Jelas menyesatkan jika Pancasila dilihat sebagai ideologi perong-rong
akidah Islam atau peluntur ke-Ambon-an. Sebaliknya, juga menyesatkan
jika Pancasila disebut hanya miliknya Jawa, atau umat Hindu.
Pada dasarnya memang sila-sila dalam Pancasila bukan merupakan hasil
renungan terhadap universalitas warga dunia, tetapi lebih sebagai hasil
pemikiran terhadap pandangan hidup masyarakat Indonesia dengan segenap
adat-istiadat, budaya, dan relijiusitasnya. Namun pada tataran fundamental-filosofis, ciri universal juga diemban oleh nilai-nilai Pancasila:
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Sebagai
ideologi bangsa16, maka setiap manusia Indonesia dalam pergaulan
berbangsa-bernegara, dijiwai oleh nilai-nilai pancasila dengan segenap
keunikan sekaligus keuniversalannya tersebut.
Pribadi yang dijiwai oleh nilai-nilai pancasila tersebut itulah yang oleh
penulis disebut dengan Pancasilais (atau secara lengkap pribadi pancasilais).
Istilah “Pancasilais” tidak harus sebangun dengan konsep ideolog
(ideologist) sebagai individu yang menteorisasikan, mengidealisasikan,
14
Sebagai catatan, ada pendapat bahwa Pancasila tidak seharusnya dilihat sebagai ideologi, seperti
terlihat pada pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis
Suseno, tetapi sebagai dokumen politik ala Magna Carta, kontrak sosial, atau kerangka nilai dan citacita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan (Hermawan Prasojo, Pancasila sebagai Philosophische
Grondslag ,
diunduh
dari
www.academia.edu/5585016/Pancasila_Sebagai_
Philosophische_Grondslag, 30 Januari 2017, hlm. 2).
15
Dinyatakan dalam pidatonya: “Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?” (Pidato Bung Karno pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945 tentang
Dasar Negara Indonesia yang dibukukan oleh Departemen Penerangan RI berjudul “Lahirnya
Pancasila” tahun 1947). Dilacak dari http://www.pusakaindonesia.org/pidato-lengkap-bung-karnotentang-pancasila-bagian-1/.
16
Prasojo, supra note14 hlm. 7. Untuk itu, penggunaan kata ideologi tidak disajikan panjang lebar,
tetapi sebatas sebagai kerangka weltanschauung.
[ 78 ]
Made Pramono
memiliki kecakapan ilmiah, atau menganjurkan doktrin ideologi17. Istilah
“ideologist” ini bahkan di tulisan beberapa tokoh seperti Marx & Engels,
Putnam, atau Sartori lebih bernada negatif dengan mengidentifikasikannya
sebagai “dogmatik”, “tertutup”, “kaku”18. Menjadi Pancasilais tidak harus
“pandai” tentang Pancasila (dengan demikian tidak harus dari golongan
terpelajar), tetapi menjiwai apa yang diketahui tentang nilai-nilai Pancasila.
Syarat utama disebut Pancasilais, dengan demikian ditunjukkan oleh
tiga hal. Pertama, “mengetahui Pancasila” - sebagai filsafat dasar atau ideologi
Bangsa Indonesia - dengan kandungan nilai-nilai di dalam sila-silanya.
Seseorang disebut Pancasilais berarti dia mengetahui tentang Pancasila (dari
yang paling sederhana seperti apa itu pancasila, bunyi ke-5 sila, hingga
pengetahuan-pengetahuan lanjutan tentang Pancasila). Kedua, menjiwai
apa yang diketahuinya tersebut. Kata “menjiwai” dalam konteks ini tidak
sekedar memahami atau menghayati (pasif ), tetapi juga melibatkan
tegangan potensi dan aksi dari apa yang diketahui, dalam hal ini nilainilai Pancasila. Dengan pengetahuan tentang Pancasila, Pancasilais setiap
saat mampu menyikapi dan mengamalkan dalam berbagai situasi dan
kejadian. Ketiga, menganut Pancasila secara baik dan setia.19 Pancasilais
secara demonstratif biasa dan bahkan bangga dengan pengetahuan dan
penjiwaan ke-Pancasila-annya tersebut.
Sebutan Pancasilais di tulisan ini secara sederhana menunjuk ke subjek
WNI siapapun, tidak harus mereka yang terlibat langsung dalam dinamika
relasi kekuasaan atau rencana-rencana politik. Dikaitkan dengan
ketidakkonsistenan pada beberapa kasus yang sangat individual-manusiawi,
maka “dominan” perlu dilekatkan untuk mengkategorikan seseorang yang
Pancasilais itu. Artinya, Si Pancasilais memang bisa jadi tidak bisa setiap
saat “mengetahui-menjiwai-menganut”, tetapi sikap dan perilakunya
17
http://www.websters1913.com/words/Ideologist, diakses 13 Pebruari 2017.
John Gerring, “Ideologiy: A Definitional Analysis” (1997) 50:4 Political Research Quarterly 957
hlm. 978.
19
http://kbbi.web.id/Pancasilais, diakses 30 Januari 2017. Frase ini sengaja dipisahkan dari
“mengetahui” maupun “menjiwai” untuk mengecualikan individu-individu yang fanatik buta dan/
atau penjiwaan secara negatif (terutama chauvinisme) terhadap Pancasila. Artinya, bisa saja ada
penganut Pancasila yang tidak mengetahui apa itu Pancasila (sila-sila dan kandungan nilainya) atau
penganut Pancasila yang mungkin mengetahui tetapi bersikap menegasikan ideologi lain, kerangka
nilai lain, atau dokumen sejenis lainnya yang bukan/berbeda dengan Pancasila.
18
[ 79 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dominan mencerminkan nilai-nilai dasar yang abstrak ini. Permasalahannya
adalah: pancasilais yang dimaksud ini berbasis eksperimentasi, idealisasi,
atau imajinatif?
Pancasilais pada dasarnya adalah sebutan atau predikat yang disematkan
baik untuk orang lain maupun diri sendiri. Tentu saja jika sebutan itu
untuk diri sendiri, membahasnya adalah suatu tindakan tidak konstruktif
– meskipun juga tidak destruktif, entah dilatarbelakangi konsistensi diri
yang terrekam secara eksperimentatif, atau sekedar idealisasi dan keyakinan
diri mampu menjadi Pancasilais, atau bahkan sebenarnya hanya imajinatif,
palsu, dan menipu. Pancasilais, dalam konteks ini, berarti lebih diarahkan
sebutan untuk orang(-orang) baik dalam arti orang yang ada-riil maupun
abstrak-konseptual. Arah tulisan ini adalah pada tataran klasifikasi abstrakkonseptual tersebut.
Permasalahan lainnya, tidakkah konsep Pancasilais ini utopis? Jika
memang utopis, maka tulisan ini seharusnya tidak konstruktif dan bahkan
tidak masuk akal untuk mengkonseptualisasikan lebih jauh spiritualitas
dari individu-individu Pancasilais. Hal ini berarti, penulis sudah
mengasumsikan sejak awal sebelum mulai menulis bahwa Pancasilais
bukanlah utopia, tetapi idealita. Argumentasi konseptualnya analog dengan
argumentasi yang lazim dipakai untuk sebutan “Muslim yang baik” atau
“manusia unggul”, di mana semuanya merupakan sebutan untuk suatu
kualitas persona yang diidealkan. Menjadi Muslim (mengaku dan terdata
sebagai muslim), level sebutan “yang baik” adalah ideal, bukan utopis.
Maknanya adalah “diyakini bisa dicapai”, bukan “hal yang mustahil
dicapai”.
Relevan dengan pendekatan terhadap pribadi Pancasilais ini, manusia
“unggul” yang dikonsepsikan Notonagaro20 merupakan konsep filosofis
yang ideal untuk menggambarkan hakikat manusia yang dikehendaki di
bumi Pancasila ini, sekaligus berparadigma universal. Keseimbangan dan
optimalnya masing-masing perspektif dalam konsep hakikat manusia
tersebut, menuntun manusia menuju keunggulan Pancasilais: manusia
adalah makhluk jasmani sekaligus rohani, makhluk individu dan juga
makhluk sosial, makhluk berdiri sendiri sekaligus makhluk Tuhan.
20
Notonagoro. 1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh. h. 53.
[ 80 ]
Made Pramono
Bisa disimpulkan, Pancasilais adalah predikat/sebutan ideal yang bisa
melekat ke seseorang WNI21. Bisa saja seseorang yang bukan warga negara
Indonesia disebut atau mengaku Pancasilais, tetapi umumnya dalam
penulisannya kata Pancasilais untuk mereka diberi tanda petik untuk
menegaskan identitas mereka yang bukan WNI. Hal ini memang tidak
lazim ditemukan di berbagai artikel atau buku Pancasila, tetapi penulis
ajukan justru sebagai konsep kunci untuk membuka pemahaman lebih
komprehensif bahwa nilai-nilai Pancasila adalah sungguh-sungguh berciri
universal. Bukankah sudah sering penulisan/penyebutan seseorang WNI
bahwa dia itu “Komunis” atau “Kapitalis”, padahal istilah-istilah itu
menunjuk pada ideologi, tetapi bukan “ideologi resmi” bangsa Indonesia?
Jika dibalik, seorang warga negara Austria “berhak” dicap “Pancasilais” –
sekali lagi, dengan tetap memberi tanda petik untuk menuliskannya. Syarat
untuk mampu memahami hal ini, Pancasila sudah dibawa ke ranah
paradigma peradaban global.
Tengara Karakteristik
Paradigma peradaban global tersebut diusulkan oleh misalnya Garin
Nugroho dan Armahedy Mahzar yang berpendapat bahwa Pancasila harus
berkembang tidak (boleh) lagi hanya menjadi sekedar ideologi politik
negara.22 Keuniversalan nilai-nilai Pancasila yang diadaptasikan dan
dikembangkan menjadi paradigma peradaban global tersebut, tidak kurang
universalitasnya dibandingkan dengan misalnya liberalisme atau sosialisme.
Karakter universal/global ini mutlak diperlukan untuk memahami
Spiritualitas Pancasila dan Spiritualitas Pancasilais. Cinta universal yang
terbimbing Yang-Ilahi dalam suasana ilahiah – sebagaimana disebutkan
sebelumnya - adalah payung pemahaman spiritualitas ini.
Pemaknaan Ketuhanan oleh muslim bisa jadi berbeda dengan
pemaknaan oleh umat Kristen atau Budha. Bukan hanya karena Tuhan
21
Istilah yang berkembang di masyarakat Indonesia untuk menunjukkan lawan kata Pancasilais adalah
“tidak Pancasilais” dan “anti-Pancasila”. Tetapi penulis ingin menegaskan bahwa pastilah seorang
yang anti Pancasila itu tidak Pancasilais, tetapi tidak setiap mereka yang tidak Pancasilais adalah antiPancasila. Bahkan, WNI dengan klasifikasi seperti ini yang diasumsikan paling mendominasi: ProPancasila tetapi tidak bisa disebut pancasilais karena tidak memenuhi kriteria sebagai Pancasilais
(sebagaimana diuraikan di atas).
22
Dalam Prasojo, supra note 16 hlm. 2.
[ 81 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
“versi” umat Islam tidak bisa diimani secara sama oleh umat agama lain –
dan karena itu ada lebih dari satu agama di dunia ini - tetapi berbagai
aturan, ritual, “suasana” yang membuat pemaknaan ketuhanan bisa berbedabeda antar agama (bahkan antar inidividu di satu agama yang sama)23.
Pemaknaan yang berbeda-beda tersebut tidak hendak (dan mustahil)
disamakan, oleh konsep spiritualitas. Spiritualitas berdiri melampaui
pemaknaan yang berbeda-beda itu, meskipun bagi penulis spiritualitas
juga tidak dimaksudkan sebagai agama universal atau agama liberal modern
dalam arti harfiah sebagaimana disebutkan Graham Harvey24. Berangkat
dari relijiusitas Kristen atau Hindu, spiritualitas kedua subjek dari umat
agama berbeda ini disatukan oleh pandangan dunia yang melihat individu
siapapun sebagai potensi “kawan, bukan lawan”. Ateis atau agnostik sejak
kecilpun juga disatukan oleh pandangan dunia ini. Tidak peduli apa agama
seseorang, hak hidup, hak berpendapat setiap orang tidak bisa begitu saja
dihilangkan (bahkan tidak lazim begitu saja seseorang dengan kesadaran
penuh menebas pohon atau menginjak siput).
Spiritual perlu ditegaskan, bukan agama dan bukan saingan agama.
Setiap manusia secara subjektif memiliki pemaknaan sendiri tentang
kehadirannya di muka bumi ini, dengannya dia terlibat dan berperan
menghadapi setiap momen, peristiwa, atau manusia lain. Manusia adalah
makhluk pembaca yang setiap saat membaca ayat-ayat pengalamannya,
baik pengalaman yang berasal dari relasinya dengan manusia dan makhluk
lain, dari sabda dan ayat yang disampaikan oleh agamanya yang
terlembagakan, tulisan dan tanda-tanda apapun, bahkan membaca pikiran
dan hatinya sendiri. Manusia mencerap sesuatu sebagai benar-salah, indahburuk, baik-buruk, beradab-tidak beradab tidak semata-mata karena
dimotivasi atau diperintah agama atau aturan-aturan, tetapi juga karena
keputusan pikiran mandirinya sendiri. Dalam “membaca” dan “mencerap”
itu, manusia dibimbing oleh sesuatu (termasuk ketika itu dilakukan karena
perintah/aturan pihak lain). Sesuatu itu adalah Yang-Ilahi; bukan hanya
23
Tulisan Fuad berikut menarik disimak: “Masuknya nilai Tauhid dalam ideologi bangsa Indonesia
tidak menjadikan umat Islam memerangi umat lainnya. ... sesuai dengan nilai Islam yang turut
mewarnai sila kedua Pancasila” (Fuad, F. 2012. Islam dan Ideologi Pancasila: Sebuah Dialektika.
Dalam Lex Jurnalica Vol. 9 No. 3. Desember 2012, dalam http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/
Lex/article/viewFile/ 346/313).
24
Ada yang menyebut spiritualitas sebagai “agama liberal modern” atau “agama yang diijinkan sebagai
yang tidak bisa dipraktekkan”. Harvey, supra note 4 hlm. 138.
[ 82 ]
Made Pramono
ekslusif ke-Ilahi-an Tuhan agama-agama, tetapi apapun yang secara esensial
dianggap oleh manusia sebagai sesuatu yang secara sadar dan iklas dia
patuhi, yang membimbing dia dalam menilai, mengambil keputusan, atau
bertindak terhadap sesuatu hal atau peristiwa.
Yang-Ilahi ini yang mempersatukan Ateis dan Buddhis, Jawa dan Hawai,
profesor dan anak SD, bahkan mempersatukan wanita dengan gay dan
transeksual, dokter dan dukun atau tabib, penyandang disabilitas dan atlet
juara olimpiade; singkatnya, mempersatukan semua manusia. Spiritualitas
manusia memampukan persatuan ini bukan hanya karena itu ajaran agama
atau piagam PBB, melainkan karena itu “suara jiwa semesta”, cinta universal
yang terbimbing oleh suasana Ilahi, oleh Yang-Ilahi.
Cinta universal dalam Suasana Ilahiah ini yang kemudian
mengkompromikan berbagai vonis adat, agama, atau hukum positif untuk
tidak serta merta memutuskan memvonis benar atau salahnya suatu hal
lalu menghukum dengan tindakan25. Kompromi ini bisa termanifestasikan
dalam proses musyawarah atau aklamasi, demokrasi atau lobi-lobi, yang
pada intinya berupa tindakan memperluas perspektif, mengasah
kebijaksanaan, memperkaya pertimbangan-pertimbangan. Setidaknya,
muara dari semua itu adalah lebih memperhatikan manusia (dan makhluk
lain) dengan segala latar belakang, identitas, dan keunikannya.
Suatu keadilan sosial akhirnya menjadi nilai aksiologis Pancasilais paling
ekstensif, bagaimana manusia sebijaksana mungkin mentransformasikan
“suara jiwa semesta” dari visi kemanusiaan yang dibimbing oleh YangIlahi, ke dalam jalinan Cinta Universal. Karakteristik keadilan yang bukan
ditimbang hanya berdasarkan untung-rugi, atau sebaliknya, meniadakan
untung-rugi, melainkan keseimbangan proporsional dan kearifan:
mempersilahkan seseorang untuk lebih kaya dari yang lain, tetapi kekayaan
yang tidak berasal dari memiskinkan yang lain, bahkan justru kekayaan
yang berpotensi meng-kaya-kan yang lain. Cinta universal adalah jejalin
ideal perekat keadilan ini.
Tidak bisa dihindari – sekali lagi - spiritualitas dalam kerangka nilainilai Pancasila memang tidak mudah dipahami tanpa memperluas perspektif
25
Sebagai contoh, menarik kiranya menelusuri perdebatan filsafat hukum antara golongan positivistik
dan critical legal study.
[ 83 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dari warga negara menuju warga global. Pancasila sebagai way of life Bangsa
Indonesia 26, pada tataran ini ditransformasikan sebagai paradigma
peradaban global. Reartikulasi pemaknaan terhadap Pancasila dan nilainilai di dalamnya dalam beberapa hal mutlak diperlukan. Bukankah
Pancasila sudah diikrarkan sebagai ideologi terbuka? Tentu reartikulasi ini
bukan permasalahan sepele dan membutuhkan penelitian yang rasanya
tulisan ini pada akhirnya hanya menjadi “introduksi”, belum lagi fakta
bahwa masih banyak kerancuan pemahaman secara ilmiah terkait definisi
spiritualitas dihadapkan pada relijiusitas atau bahkan mistisitas27, serta
definisi Pancasilais yang bahkan belum ada bahasan komprehensif-substantif
tentangnya sebelum ini28.
Dari “membaca” dan “mencerap”, dibimbing oleh serangkaian panduan
instruksional verbal dan non-verbal, manusia kemudian “menulis” baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk yang lain. Tindakan menulis biasanya
diawali dengan serangkaian proses di otak yang menganalisis instruksi,
bacaan, dan cerapan, untuk disimbolkan dalam bentuk tulisan agar
dipahami, baik bagi dirinya sendiri maupun untuk yang lain. Jika diijinkan
diperluas, menulis juga mencakup tindakan konkret seperti mencangkul
hingga berdiplomasi, dengannya proses “membaca” dan “mencerap”
memperoleh makna transformatif-praktisnya. Spiritualitas Pancasilais adalah
spiritualitas transformatif ini: kualitas personal yang selalu potensial
mengubah dunia ini lebih positif.
Transformasi SSpiritualitas
piritualitas
Korupsi spiritual, tidak berlebihan jika dianggap sebagai akar penyebab
berbagai fenomena negatif Indonesia dan bahkan dunia. Pusaran global
yang membawa arus informasi bebas diiriingi perspektif kemakmuran
sempit yang semakin menguat, telah meredefinisikan banyak hal substansial
tentang arti menjadi manusia di masa kini. Manusia berada di dunia
26
Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa. supra note 10 hlm. 186.
Bisa ditemukan di tulisan Kapuscinski dan Masters, 2010; Harvey, 2016; Saucier dan Skrzypinska,
2006; atau Principe, 1980 yang sudah dirujuk di artikel ini.
28
Dua sumber yang penulis temukan sejauh ini tentang Pancasilais: 1) kamus 2) tugas makalah yang
semuanya versi daring dengan pengartian yang “sederhana”. Misalnya di http://kbbi.web.id/
Pancasilais, Pancasilais didefinisikan sebagai “penganut Pancasila secara baik dan setia”.
27
[ 84 ]
Made Pramono
senantiasa membawa serta peradaban yang menciptakan dia dan
diciptakannya. Arti menjadi manusia dalam konteks ini mentranformasikan
dunia melalui jejak keberadaannya sekaligus transformasi diri terus menerus
dalam interrelasinya dengan peradaban tersebut. Pusaran global yang
semakin mondial mengharuskan manusia untuk selalu siap menjadi warga
global sembari mempertahankan kewargaan lokal-nasionalnya.
Tengara John Naisbit29 misalnya, bahwa akan muncul suatu kondisi
yang Paradoks - kondisi global diwarnai sikap dan cara berpikir primordial
- bahkan akan muncul gerakan tribalisme yaitu suatu gerakan di era global
yang berpangkal pada primordial yaitu fanatisme etnis, ras, suku, maupun
golongan. Di sisi lain, Jacob30 meniscayakan terjadinya inherent globalisasi:
proses transformasi sistem nilai yang tidak akan pernah dapat dibendung
dan akan terus berlanjut sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi31. Manusia ada dalam pendefinisian terus menerus peran
eksistensialnya dalam pusaran global ini, secara teleologis maupun mengalir
begitu saja mengikuti arus kekuatan global. Referensi untuk “membaca”
dan “mencerap” berbagai fenomena kehidupan, tidak hanya pada kata orang
(diskusi, tulisan), tetapi juga pada kata hati dan kata alam. Demikianlah
karena manusia “dikutuk” untuk selalu membaca dan mencerap, dia
kemudian “diberkahi” juga untuk menulis.
Keunikan manusia melampaui makhluk-makhluk lain salah satunya
adalah karena kemampuan preferensialnya: tegangan berbagai pertimbangan
untuk memilih suatu pilihan. Spiritualitas memegang kendali besar
terhadap kemampuan preferensial ini. Melampaui pemikiran-pemikiran
teknis nan sempit, manusia harus mampu mengambil perspektif lebih
luas dan substansial juga. Misalnya masalah moral, spiritualitas
memampukan manusia tidak hanya disibukkan dengan penutupan
pemblokiran situs-situs porno, tetapi melampaui hal-hal teknis sempit
itu, permasalahan nilai fundamental seperti ketuhanan atau keindahan
menjadi perspektif filosofis (metafisis, epistemologis, atau aksiologis) yang
29
Dalam Wibowo, Yudhi Hari. 5 November 2016. Negara Bangsa dan Globalisasi, disampaikan
dalam Seminar Sehari Karakter Bangsa dan Upaya Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa,
dalam http://www.achluddin.com/2014/04/negara-bangsa-dan-globalisasi.html
30
Ibid.
31
Ibid.
[ 85 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
lebih mendasar dan radikal (mengakar) untuk diperbincangkan dan
diproyeksikan.
Transformasi spiritualitas yang mengejawantah dalam berbagai aturan
dan sikap-tindakan praksis, berangkat dari kemampuan preferensial
manusia yang disebabkan berkah rasionalitas ini. Dalam bahasa pendidikan
pancasila, nilai dasar terimplementasikan ke dalam nilai instrumental dan
nilai praktis32. Spiritualitas Pancasila untuk dapat bermakna implementatif,
dengan demikian harus mengejawantah ke dalam kesepakatan-kesepakatan
universal untuk menjadi pedoman manusia dalam bersikap dan berperilaku
di pusaran global. Dihubungkan dengan kemampuan preferensial manusia,
maka Cinta Universal dalam suasana Ilahi menjadi meta-preferensial yang
mendasari sekaligus - dalam arti lain - memayungi pilihan-pilihan manusia
dalam menghadapi dunianya bersama-sama yang lain. Penulis meyakini
berdasarkan berbagai referensi dan refleksi sebagaimana tertuang di argumen
tulisan ini, bahwa Spiritualitas Pancasilais memiliki daya transformatif
dalam mengubah dunia lebih positif dan bernas.
Daya transformatif ini mengikuti klasifikasi nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis. Nilai dasar Ketuhanan sebagai nilai universal pertama Pancasila, salah satu manifestasi spiritualitas berupa sikap
menghargai agama dan keyakinan yang beragam, yang diimplementasikan
dalam nilai instrumental berupa aturan yang memperlakukan manusia
melampaui apapun keyakinan/imannya. Contoh nilai praktisnya adalah
menolong umat agama lain yang kesulitan. Nilai universal kedua Pancasila
adalah nilai dasar Kemanusiaan, salah satu manifestasi spiritualitasnya
berupa sikap menghormati pilihan setiap manusia (politik, ekonomi), yang
diimplementasikan dalam nilai instrumental yang memperlakukan manusia
secara adil dalam koridor aturan dan kearifan. Contoh nilai praktisnya
adalah menghindari bullying atau perpeloncoan. Salah satu manifestasi
spiritualitas nilai dasar Persatuan adalah berupa sikap melampaui
diferensiasi, melihat manusia sebagai kesatuan eksistensial, yang
diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang
memperlakukan manusia sama sebagai subjek eksistensial. Contoh nilai
praktisnya adalah menolak perdagangan manusia. Nilai Dasar Kerakyatan,
32
Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa. supra note 26 hlm. 186-188.
[ 86 ]
Made Pramono
salah satu manifestasi spiritualitasnya berupa sikap memperluas dan
mengasah perspektif dalam mengkompromikan berbagai kepentingan, yang
diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang lebih
memperhatikan manusia dengan semua kebutuhan dan keunikannya.
Contoh nilai praktisnya adalah mengakomodir kepentingan yang berbeda.
Terakhir, untuk nilai dasar Keadilan, salah satu manifestasi spiritualitasnya
berupa sikap transformasi kontinyu menuju kemaslahatan manusia, yang
diimplementasikan dalam nilai instrumental berupa aturan yang
merealisasikan keadilan yang memanusiakan manusia. Contoh nilai
praktisnya adalah perniagaan yang tidak memisikinkan yang lain.
Epilog: P
ancaran IIntensional
ntensional dan K
or
upsi SSpiritual
piritual
Pancaran
Kor
orupsi
Bagaimana Spiritualitas Pancasilais mampu mentransformasikan–atau
bahkan dalam bahasa penganut idealisme: mengonstruksi–realitas? Pertamatama, spekulasi epistemologis yang kemudian diangkat sebagai fenomena
psikologis perlu dipahami: melalui intuisi. Proses rasional pada tahap
frekuensi intensif tertentu (“terlatih”) mampu memunculkan intuisi. Intuisi
adalah kemampuan memperoleh pengetahuan tanpa pembuktian atau
penalaran sadar, atau tanpa memahami bagaimana pengetahuan tersebut
diperoleh. Istilah “pengetahuan” di sini dalam psikologi modern (dan selaras
dengan konteks daya transformatif spiritualitas), menunjuk pada
kemampuan untuk mengetahui solusi valid dari suatu permasalahan dan
pengambilan keputusan. Intuisi adalah bagaimana orang dapat membuat
keputusan relatif cepat tanpa harus membandingkan pilihan. Gary Klein
menemukan bahwa di bawah tekanan waktu, tingginya pertaruhan, dan
parameter yang berubah, seseorang menggunakan basis pengalaman untuk
mengidentifikasi situasi yang sama dan secara intuitif memilih solusi layak33.
Semakin sering dan intensifnya pengalaman, semakin intuitif.
Dengan pola yang sama, spiritualitas yang “terlatih” dan intensif
mampu meningkatkan daya intuitif. Pengambilan keputusan dan validitas
solusi permasalahan relatif lebih tepat dan cepat diraih jika semakin sering
spiritualitas (sebagai suatu “meta-nilai”) diterapkan terhadap realitas yang
“sejenis” (berbeda setting tetapi objek dan polanya sama) dengan realitas
33
Gary Klein, Intuition At Work (NY: Random House, 2003).
[ 87 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
yang sudah dialami terdahulu. Semakin seseorang menghadapi realitas yang
menuntun dia untuk menghormati identitas dan perilaku beragama atau
berkeyakinan yang berbeda-beda, semakin “intuitif ” spiritualitasnya.
Intuisi ini penulis bawa ke situasi yang lebih dalam dengan mengajukan
fenomenologi filosofis sebagai pisau analisisnya. Situasi yang lebih dalam
yang dimaksudkan, adalah bagaimana manusia mula-mula sekali menyadari
sesuatu, lalu secara reflektif seketika pikiran mengonstruksi realitas yang
dihadapinya. Kesadaran prima ini terbentuk melalui apa yang diistilahkan
filsuf Maurice Merleau-Ponty sebagai intentional arc (pancaran intensional),
suatu kesadaran yang hidup yang mencakup interkoneksi menubuh dari
tindak dan persepsi kecakapan atau kebiasaan.34 Sedikit berbeda dengan
intuisi, pancaran intensional ini lebih primordial dan relatif lebih murni
karakter kesadaran yang mempergunakannya untuk mengonstruksi realitas.
Konsep inti intuisi dan pancaran intensional penting untuk dijabarkan
di sini dalam rangka memetakan bagaimana “membiasakan” seseorang
bertindak sesuai spiritualitasnya, atau dengan kata-kata lebih provokatif:
“meng-aku-kan” (menjiwai) suasana Ilahi - Cinta Universal dalam melandasi
spiritualitasnya. Spiritualitas Pancasilais pada hakikatnya tidak bisa diajarkan
kecuali (juga) melalui pembiasaan. Semakin terlatih proses pembiasaan
tersebut, semakin kuat karakter dan integritas spiritualitas pancasilais.
Oposisi paling kuat dan berbahaya bagi Spiritualitas Pancasilais adalah
apa yang penulis istilahkan sebagai korupsi spiritual: pengabaian,
penyelewengan, atau bahkan penghilangan rujukan-rujukan spiritual dalam
menghadapi hidup dan kehidupan, apapun tujuannya. Korupsi ekonomi,
perusakan lingkungan, hingga radikalisme atas nama agama adalah contoh
hasil korupsi spiritual ini. Lebih berbahaya daripada contoh-contoh itu,
adalah sebab musabab eksternal mengapa korupsi spiritual terjadi, yakni
suasana jaman yang kemudian menghendaki orang untuk “selalu berduit”,
egois, munafik sebagai beberapa sebab internal korupsi spiritual. Di level
lebih dalam, suasana jaman sebenarnya hanya merupakan efek dari salah
satu inti globalisasi, misalnya yang disebut Samuel Huntington sebagai
benturan peradaban35, di mana arus informasi dan kecanggihan teknologi
34
Made Pramono, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif Ontologi dan
Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, (Yogyakarta: Pasca Sarjana
Ilmu Filsafat UGM, 2014) hlm. 201.
35
Wibowo, supra note 7.
[ 88 ]
Made Pramono
hampir-hampir tidak memungkinkan manusia kabur dari kepungan
ideologis atau aneka ragam paham tentang kehidupan.
Pancaran intensional yang muncul dari kepungan berbagai paham
tersebut jika dibiarkan justeru sangat berpotensi menghambat penguatan
spiritualitas. Kebiasaan dari keterlatihan yang sudah (maupun akan)
terbentuk bisa runtuh ke pusaran globalisasi ini. Gap antara teori dan
kenyataan seperti ini tentu mampu memantik disorientasi nilai, alienasi
diri, kehampaan diri, dan berbagai patologi sosial akibat iming-iming
suasana jaman. Nilai-nilai yang secara substansial menjadi sumber rujukan
bagaimana hidup dan berkehidupan, juga terancam rapuh. Jika terus terjadi,
bukan tidak mungkin spiritualitas yang menghuni area meta-nilai juga
ikut tergerus tak tergantikan. Kesaktian Pancasila juga bisa sungguhsungguh hanya menjadi pajangan atau lips service.
Pendidikan yang berorientasi penguatan integritas pribadi dan sungguhsungguh memanusiakan manusia, berpeluang menjadi interiorisasi
penguatan spiritualitas pancasilais, berdampingan dengan upaya-upaya
eksternal seperti regulasi komprehensif terhadap arus informasi.
Sebagaimana adanya baik pasti karena ada yang buruk, demikian juga ada
spitualitas pasti juga ada de-spiritualitas. Manusia adalah makhluk yang
mampu memilih, dan melalui pendidikan (dalam arti luas – tidak sekedar
pendidikan formal) diharapkan manusia bisa memilih peran dan kehadiran
yang memperkuat spiritualitas diri dan yang lain. Spiritualitas Pancasilais
bisa terus tumbuh mengembang dan kokoh, hanya jika manusianya
bersedia terus membuka dan memperluas perspektif.
Referensi
Afton N. Kapuscinski and Kevin S. Masters, “The Current Status of
Measures of Spirituality: A Critical Review of Scale Development”
(2010) 2:4 Psychology of Religion and Spirituality Journal 191.
Dede Rahmat Hidayat, Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam
Konseling (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011).
Fokky Fuad, “Islam dan Ideologi Pancasila: Sebuah Dialektika” (2012)
Lex Jurnalica 9:3. online : http://ejurnal.esaunggul.ac.id/
index.php/Lex/article/viewFile/346/313.
[ 89 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Gaponyuk P.N., Mareev V.I., Karpova N.K., dan Dyuzhikov S.À.,
“Spirituality as Ideological Concept of Modern Education” (2013)
1:10 American Journal of Educational Research 436.
Gary Klein, Intuition At Work (NY: Random House, 2003).
Gerard Saucier and Skrzypinska Katarzyna, “Spiritual But Not Religious?
Evidence for Two Independent Dispositions” (2006) 74:5 Journal
of Personality 1257.
Graham Harvey, “If ‘Spiritual But Not Religious’ People Are Not Religious
What Difference Do They Make?” (2016) 6:2 Journal for the
Study of Spirituality 128.
Hermawan Prasojo, Pancasila sebagai Philosophische Grondslag, diunduh
dari www.academia.edu/5585016/Pancasila_Sebagai_
Philosophische_Grondslag, pada 30 Januari 2017.
http://www.websters1913.com/words/Ideologist, diakses 13 Pebruari 2017.
h t t p : / / w w w. h u f f i n g t o n p o s t . c o m / k a t e - f r i d k i s / s p i r i t u a l i t y definition_b_597062.html, diakses 29 Januari 2017.
http://kbbi.web.id/Pancasilais, diakses 30 Januari 2017.
http://www.pusakaindonesia.org/pidato-lengkap-bung-karno-tentangpancasila-bagian-1/, diakses 2 Pebruari 2017.
John Gerring, “Ideologiy: A Definitional Analysis” (1997) 50:4 Political
Research Quarterly 957.
Made Pramono, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam
Perspektif Ontologi dan Sumbangannya bagi Rekonstruksi Filsafat
Ilmu Keolahragaan, Disertasi, (Yogyakarta: Pasca Sarjana Ilmu
Filsafat UGM, 2014).
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
1975).
Tim MKU Pendidikan Pancasila Unesa, Pendidikan Pancasila (Surabaya:
Unesa University Press, 2014).
Walter Principe, “Toward Defining Spirituality”, (Winnipeg: Fourteenth
Congress of The Internasional Association for the History of
Religions, 17-22 Agustus 1980).
Yudhi Hari Wibowo, Negara Bangsa dan Globalisasi. disampaikan dalam
Seminar Sehari Karakter Bangsa dan Upaya Memperkokoh Persatuan
dan Kesatuan Bangsa. 5 November 2016. dalam http://www.
achluddin.com/2014/04/negara-bangsa-dan-globalisasi.html.
[ 90 ]
MEDIA
SI PENAL D
AN PEMBARU
AN HUK
UM
MEDIASI
DAN
PEMBARUAN
HUKUM
BERPERSPEKTIF PANC
A SIL
A
PANCA
SILA
Moch. Choirul Rizal
Pendahuluan
S
abtu, 11 Juli 2015, telah beredar selebaran yang mengatasnamakan
Jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang pada pokoknya berisi
larangan bagi agama dan gereja denominasi lain mendirikan tempattempat ibadah di Kabupaten Tolikara serta melarang berlangsungnya
kegiatan ibadah Salat Idul Fitri umat muslim di Kabupaten Tolikara.
Selebaran itu ditandatangani oleh Pendeta Mathen Jingga dan Pendeta
Nayus Wenda.1
Jumat, 17 Juli 2015, pukul 07.00 WIT, saat jamaah muslim akan
memulai kegiatan Salat Idul Fitri di lapangan Makoramil 1702-11/
Karubaga, muncul Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo
(koordinator lapangan) menggunakan megaphone berorasi agar masyarakat
muslim tidak melaksanakan ibadah Salat Idul Fitri di wilayah Kabupaten
Tolikara.2 Menurut versi Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta
Dorman Wandikmbo, pada saat itu beberapa pemuda gereja mendatangi
kelompok umat muslim yang sedang melangsungkan Salat Idul Fitri dengan
maksud menyampaikan aspirasi secara damai dan terbuka, bahwa sesuai
Peraturan Daerah Kabupaten Tolikara, berdasarkan aspirasi gereja dan
1
2
Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”, dalam http://
nasional.harianterbit.com/nasional/2015/07/18/35566/ 25/25/Ini-Kronologi-PeristiwaPembakaran-Tempat-Ibadah-umat-Muslim, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
Ibid.
[ 91 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
masyarakat, isinya boleh melaksanakan ibadah, tetapi tidak menggunakan
pengeras suara karena dapat menggangu ribuan pemuda yang bersiap untuk
melangsungkan seminar, apalagi jarak pengeras suara dengan tempat
dilangsungkannya ibadah umat GIDI hanya berjarak sekitar 300 meter.3
Saat memasuki takbir ke-7 Salat Idul Fitri, massa yang dipimpin oleh
Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo mulai berdatangan dan
melakukan aksi pelemparan batu dari bandara Karubaga dan luar lapangan
Makoramil 1702-11/Karubaga. Mereka memaksa agar Salat Idul Fitri
dibubarkan. Hal ini mengakibatkan kepanikan jamaah yang sedang
melaksanakan Salat Idul Fitri.4 Perintah pembubaran Salat Idul Fitri
dilakukan dengan cara berteriak-teriak.5
Massa yang dipimpin Pendeta Marthen Jingga dan Harianto Wanimbo
itu mulai melakukan aksi pelemparan batu dan perusakan kios-kios yang
berada di dekat dengan Masjid Baitul Muttaqin.6 Aparat keamanan
berusaha membubarkan massa dengan mengeluarkan tembakan, namun
massa semakin bertambah dan melakukan pelemparan batu kepada aparat
keamanan.7 Massa yang merasa terancam dengan tembakan peringatan
aparat keamanan melakukan aksi pelemparan terhadap kios yang berada
di dekat masjid. Kios itu milik Bapak Sarno. Disinyalir, pembakaran kios
itu dimaksudkan untuk membakar Masjid Baitul Muttaqin.8 Sekira pukul
08.30 WIT, api sudah membesar dan merambat ke bagian-bagian kios
dan menjalar ke bagian masjid.9 Bangunan kios-kios dan masjid telah rata
terbakar.10
Pada 22 hingga 25 Juli 2015, Tim Penyelidikan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) Peristiwa Kerusuhan Tolikara melaksanakan
3
Suara Papua, “Kronologi versi Presiden GIDI terkait Insiden di Kabupaten Tolikara”, dalam http:/
/suarapapua.com/read/2015/07/18/2712/kronologi-versi-presiden-gidi-terkait-insiden-dikabupaten-tolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
4
Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”.
5
Jawa Pos, “Kronologi Rusuh Papua versi Kemenag: Dilempari, Disuruh Bubar, Ada Tembakan”,
dalam http://www.jpnn.com/read/2015/07/18/315740/Kronologi-Rusuh-Papua-versi-Kemenag
:-Dilempari,-Disuruh-Bubar,-Ada-Tembakan-, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
6
Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat Muslim”.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.
10
Ibid.
[ 92 ]
Moch. Choirul Rizal
pemantauan dan penyelidikan di Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara,
Papua. Sejumlah pihak telah dimintai keterangan, yaitu Ketua DPRD
Papua, Penasihat Majelis Muslim Papua (MMP), MUI Papua, PW
Muhammadiyah Papua, PW NU Papua, Presiden GIDI, Bupati Tolikara,
Pimpinan DPRD Tolikara, Kapolres Tolikara, Badan Pekerja Wilayah GIDI,
Tokoh Adat dan Pemuda Tolikara, Imam atau Pimpinan Muslim Tolikara
yang mewakili korban Muslim, serta korban tembak Tolikara.11
Di sisi yang lain, pada Kamis, 23 Juli 2015, sebagaimana disampaikan
Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia, Komisaris Jenderal Budi Waseso, akan dilakukan pemeriksaan
terhadap para saksi di Markas Kepolisian Daerah Papua. Polisi telah
menetapkan sebanyak 37 orang saksi. Mereka diduga terlibat dalam
kerusuhan, tapi belum ditetapkan sebagai tersangka.12
Tepat pada Rabu, 29 Juli 2015, komunitas muslim di Tolikara dan
komunitas nasrani di Papua bersepakat untuk menyelesaikan masalah di
Tolikara secara adat. Kesepakatan itu dihasilkan dalam forum pertemuan
pihak muslim Tolikara dan pemimpin GIDI bertemu di Sekretariat Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua, Jayapura. Ada tiga butir
kesepakatan yang dihasilkan. Pertama, penyelesaian masalah dilakukan secara
adat. Kedua, memberikan kesempatan beribadah kepada umat Islam
Tolikara, termasuk proses pembangunan masjidnya. Ketiga, semua pihak
siap menjaga kondisi kehidupan yang harmonis, penuh persaudaraan, dan
toleransi.13
Sebagaimana dirilis dalam website-nya, Komnas HAM, pada Senin,
10 Agustus 2015, melalui Keputusan Sidang Paripurna 5 Agustus 2015
menyatakan, terdapat empat tindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
pada Peristiwa Tolikara 17 Juli 2015 dan mendesak kehadiran negara untuk
mencegah berulangnya peristiwa serupa di masa mendatang. Hal ini
11
Komnas HAM, “Komnas HAM: Terjadi Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tolikara”, dalam http://
www.komnasham.go.id/kabar-latuharhary/komnas-ham-terjadi-pelanggaran-ham-pada-peristiwatolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
12
Tempo, “Budi Waseso: Sudah Ada Perdamaian di Tolikara”, dalam http://nasional.tempo.co/ read/
news/2015/07/23/078685864/budi-waseso-sudah-ada-perdamaian-di-tolikara, diakses pada Rabu,
14 Desember 2016.
13
Viva News, “Perdamaian Tolikara dengan Cara Adat”, dalam http:// nasional.news.viva.co.id/ news/
read/654971-perdamaian-tolikara-dengan-cara-adat, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
[ 93 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
disampaikan oleh Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa Tolikara, Manager
Nasution. Pertama, kasus intoleransi berupa pelanggaran terhadap hak atas
kebebasan beragama sebagaimana dijamin dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (UU HAM). Kedua, pelanggaran terhadap hak untuk hidup
sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM. Ketiga, pelanggaran
terhadap hak atas rasa aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 9 ayat (2),
Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, serta Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU HAM.
Keempat, pelanggaran terhadap hak atas kepemilikan sebagaimana dijamin
dalam Pasal 36 UU HAM.14
Walaupun jelas-jelas peristiwa tersebut berdimensi pelanggaran HAM,
namun penyelesaiannya tidak sampai pada penggunaan hukum pidana.
Upaya penyelesaian yang telah ditempuh oleh kedua belah pihak, yakni
melalui mediasi, setidaknya dimaksudkan untuk menghindari efek negatif
dari sistem peradilan pidana. Selain itu, peristiwa tersebut rentan sekali
untuk disulut kembali, karena memang terkategori sebagai isu yang sangat
sensitif, yakni isu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Oleh karena itu,
kedua belah pihak akhirnya saling rela untuk menjaga kondisi kehidupan
yang harmonis, penuh persaudaraan, dan toleransi serta memberikan
kesempatan beribadah kepada umat Islam di Kabupaten Tolikara, termasuk
proses pembangunan masjidnya.
Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan cara musyawarah
atau disebut mediasi penal setidak-tidaknya telah ampuh menyelesaikan
permasalahan pelanggaran HAM di Kabupaten Tolikara. Mediasi penal
mampu menjawab di mana letak keadilan itu sesungguhnya bagi korban
dan pelaku. Dengan demikian, mediasi penal pada praktiknya dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan
yang sudah jelas masuk dalam ranah hukum pidana yang seharusnya
tunduk kepada sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang
terintegrasi.
Konsep penyelesaian yang mengedepankan win-win solution tersebut
masih terakomodir dalam beberapa peraturan perundang-undangan saja,
misalnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
14
Komnas HAM, “Komnas HAM: Terjadi Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tolikara”.
[ 94 ]
Moch. Choirul Rizal
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan kata lain, belum ada
kebijakan hukum nasional maupun regional yang mengakomodir secara
paripurna perihal penggunaan mediasi penal dalam menyelesaikan perkara
pidana.
Secara substantif, penggunaan mediasi penal mampu menjadi sebuah
alternatif atas efek negatif dari buruknya sistem peradilan pidana di
Indonesia. Apalagi kalau kemudian perkara pidana tersebut sangat sensitif,
tentu pengedepanan upaya nonpenal adalah suatu keniscayaan, supaya
dapat menemukan letak keadilan sesungguhnya bagi korban dan pelaku.
Namun demikian, apakah secara ideologis penggunaan mediasi penal juga
mampu merefleksikan nilai-nilai Pancasila? Hal ini mengingat Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum bagi bangsa Indonesia.
Artinya, penggunaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara
pidana juga harus memperhatikan nilai-nilai Pancasila.
Konsep M
ediasi P
enal
Mediasi
Penal
Mediasi penal secara terminologi dikenal dengan istilah mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offender
victim arrangement, strafbemiddeling (Belanda), der aubergerichtliche
tatusgleich (Jerman), atau de mediation penale (Prancis).15 Pada dasarnya,
mediasi, yang sebelumnya hanya dikenal dalam hukum perdata, telah sering
digunakan di beberapa negara untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana.
Mediasi penal merupakan bentuk perwujudan dari konsep restorative justice yang hendak memulihkan hak-hak korban. Dalam mediasi penal,
penyelesaian perkara pidana dilakukan tanpa melalui proses peradilan
pidana formal.16
Menurut Sahuri Lasmadi, munculnya mediasi penal dilatarbelakangi
oleh dua hal. Pertama, mediasi penal muncul karena dilatarbelakangi oleh
pemikiran yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana
(penal reform), yaitu ide perlindungan korban, ide restorative justice, ide
15
Ainal Mardiah (et all), “Mediasi Penal sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif dalam Pengadilan
Anak”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, Tahun I, No. 1, Agustus 2012, hlm. 6.
16
Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana”, dalam Agustinus Pohan (Ed), Hukum Pidana dalam Perspektif, (Denpasar: Pustaka Larasan,
2012), hlm. 310.
[ 95 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
mengatasi kekakuan dalam sistem yang berlaku, serta ide menghindari
efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada
saat ini. Kedua, mediasi penal muncul karena dilatarbelakangi oleh masalah
pragmatis, yakni mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara dan untuk
menyederhanakan proses peradilan.17
Mediasi penal merupakan suatu konsep yang memandang kejahatan
secara lebih luas. Berikut disampaikan oleh Umi Rozah:18
Konsep ini memandang bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah
hanya sekedar urusan pelaku tindak pidana dengan negara yang mewakili
korban dan meninggalkan proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku
dan negara (penuntut umum). Restorative justice menuntut proses
peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingankepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku,
sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk
menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Pada prinsipnya, perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar
pengadilan. Namun dalam praktik, sering juga perkara pidana diselesaikan
di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat atau mekanisme
musyawarah atau lembaga pemaafan yang ada di dalam masyarakat. Dengan
demikian, praktik semacam ini masih belum ada landasan hukum formalnya
di Indonesia.19
Walaupun mediasi penal kerap “dimanfaatkan” untuk menyelesaikan
perkara pidana, Umi Rozah mengungkapkan, harus ada asas-asas yang harus
dipenuhi, sehingga keadilan itu dapat benar-benar dirasakan oleh kedua
belah pihak. Pertama, asas bebas dan sukarela, yakni pelaksanaan mediasi
penal didasarkan pada kehendak bebas dan sukarela dari korban dan pelaku
tindak pidana. Kedua, kebebasan para pihak untuk menarik diri selama
proses mediasi. Ketiga, asas kerahasiaan, yakni korban dan pelaku tindak
17
Sahuri Lasmadi, “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jurnal Inovatif, Vol. 4,
No. 5, 2011, hlm. 1.
18
Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana”, hlm. 311.
19
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah,
Seminar Nasional Pertanggungjawaban Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance,
Jakarta, 27 Maret 2007.
[ 96 ]
Moch. Choirul Rizal
pidana serta mediator harus memegang kerahasiaan yang terjadi selama
proses mediasi.20
Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Pengembangan Ilmu dan
Teknologi Kepolisian (PPTIK) pada tahun 1993 dan penelitian yang
dilakukan oleh Farouk Muhammad pada tahun 1996 menunjukkan adanya
kasus-kasus tindak pidana yang tidak diproses sampai tahap pengadilan,
melainkan diselesaikan secara informal, baik oleh lembaga-lembaga sosial
maupun oleh individu warga (tetangga), bahkan oleh pejabat pengadilan.
Penyelesaian kasus-kasus tindak pidana secara informal ini tidak hanya
menyangkut perkara serba ringan saja, tapi juga mencakup perkara seperti
penghinaan, penganiayaan, penipuan, penggelapan, kelalaian yang
mengakibatkan orang lain terluka, perbuatan tidak menyenangkan, bahkan
pencurian, dan perjudian.21
Namun demikian, semakin bertambah tahun, praktik penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan melalui mediasi penal kian bersifat
limitatif. Sebagaimana hasil penelitian Agus Raharjo, ada dua hal yang
dapat membatasi penggunaan mediasi penal. Pertama, penggunaan mediasi
penal hanya dapat dilakukan pada perkara yang termasuk dalam kategori
tindak pidana formil dan tindak pidana aduan. Kedua, tindak pidana yang
terjadi berkaitan erat antara pelaku dengan korban, misalnya perlukaan
yang ditimbulkan oleh tindakan pelaku tidak terlalu besar.22
Meskipun dalam penggunaannya masih terdapat pembatasanpembatasan, Umi Rozah mengemukakan, ada tiga keuntungan
menggunakan mediasi penal. Pertama, bagi korban, yakni tekanan
berkurang dibanding jika berperkara di Pengadilan, tidak perlu membawa
saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan mendapat kesempatan untuk
mengontrol hasilnya. Kedua, bagi pelaku tindak pidana dapat diuntungkan
20
Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana”, hlm. 321.
21
Farouk Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana: Penyelesaian Perkara Secara Non-Yustisial”, dalam
Jufrina Rizal dan Suhariyono AR (Ed), Demi Keadilan (Antologi Hukum Pidana dan Sistem
Peradilan Pidana: Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Kemang Studio Aksara,
2016), hlm. 338.
22
Agus Raharjo, “Mediasi sebagai Basis dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum,
Vol. 20, No. 1, Februari 2008, hlm. 99-100.
[ 97 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
karena terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan, atau denda dan biayabiaya perkara yang lebih besar. Ketiga, mediasi juga dapat mempererat
atau mempersatukan kembali hubungan antartetangga, teman, dan saudara
jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan kesepakatan
damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan pelajaran bagi
pelaku untuk menghindari konflik di masa mendatang.23
Terpur
uknya SSistem
istem P
eradilan P
idana
erpuruknya
Peradilan
Pidana
Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan perihal perlunya
mengoptimalkan mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana adalah
masih terpuruknya sistem peradilan pidana di negeri ini. Fungsi ideal
pengadilan sebagai institusi penegak hukum yang bertugas menegakkan
hukum dan keadilan, serta menjamin perlindungan hak asasi manusia,
pada saat ini mengalami keterpurukan karena adanya rekayasa, diskriminatif,
dan ketidakadilan sebagai hasil korupsi pengadilan (judicial corruption),
yang populer disebut mafia peradilan.24 Mafia peradilan merupakan bentuk
kegagalan peradilan sebagai sarana mencari keadilan.25
Praktik mafia peradilan merupakan perbuatan melawan hukum yang
merusak sendi-sendi independensi dan imparsialitas pengadilan, karena
rekayasa hukum yang dilakukan sindikat mafia peradilan melanggar prinsipprinsip due process of law dalam proses peradilan pidana. Akibat langsung
dari praktik mafia peradilan menimbulkan diskriminasi perlakuan terhadap
pencari keadilan berdasarkan pertimbangan rasionalitas-pragmatisme,
bertumpu pada kekuatan “uang dan kekuasan”, dan mengabaikan prinsip
penegakan hukum pidana yang adil.26
Proses peradilan pidana saat ini menunjukkan kaburnya orientasi para
penegak hukum antara usaha menegakkan hukum dan menegakkan
23
Umi Rozah, “Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana”, hlm. 314.
24
Donny Daradono, “Uang, Ideologi, Jabatan dalam Mafia Peradilan, Reduksi terhadap The Political”,
Renai: Jurnal Kajian Politik Lokal dan Studi Humaniora, Yayasan Percik Salatiga, Tahun VII, No. 2,
2007, hlm. 5.
25
J. Pajar Widodo, “Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penanggulangan Mafia Peradilan”,
Jurnal Dinamika Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 12, No. 1, 2012, hlm. 108.
26
Ibid.
[ 98 ]
Moch. Choirul Rizal
keadilan. Tujuan utama dalam berperkara bukan untuk menegakkan hukum
dan keadilan, tetapi untuk memenangkan perkara. Pergeseran orientasi
para penegak hukum dalam peradilan pidana yang lebih menekankan
pragmatis, mendistorsi nilai etis moral penegakan hukum dan keadilan,
kemudian berkaitan juga dengan problem konseptual yuridis.27
Jauh sebelumnya, Roeslan Saleh menyatakan, salah satu sumber dari
kesalahan yang ada dalam masyarakat dikaitkan dengan peradilan pidana
adalah oleh karena penegak hukum masih menggunakan pendekatan yang
bersifat normatif-sistematis semata-mata. Dengan pendekatan yang
demikian itu, ahli hukum telah melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan
masyarakat. Sementara itu, kenyataan-kenyataan dalam masyarakat tersebut
masih saja selalu dalam keadaan bergerak dan berubah-berubah.28
Yesmil Anwar dan Adang menambahkan:29
Dari situasi yang carut-marut yang ada dalam lembaga peradilan
(pengadilan) ini, harus diakui bahwa pengadilan sebagai jantung hukum
modern telah dihinggapi oleh penyakit hukum bersifat tekonologis,
sehingga pengadilan dalam memecahkan perkara lebih berkonsentrasi
pada hal-hal yang sifatnya teknis dan menjauh dari wacana moral.
Akibatnya, ia cenderung untuk melahirkan keadilan formal atau keadilan
yuridis ketimbang keadilan yang substansial.
Ditimbulkannya keresahan itu oleh karena hasilnya dianggap tidak
memenuhi tuntutan keinginan masyarakat, dengan mengatakan tidak
memenuhi kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Banyak
bagian-bagian dari informasi-informasi mengenai kenyataan yang berkaitan
dan berhubungan satu sama lain dengan perbuatannya, dengan dirinya, dan
dengan masyarakat sendiri, telah dikesampingkan oleh penegak hukum
pidana.30
27
C. Maya Indah S, “Refleksi Sosial atas Kelemahan Hukum Modern; Suatu Diseminasi Hukum
Tradisional dalam Citra Hukum Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, Vol. 103 No. 37 Tahun 2008, hlm. 164.
28
Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 13.
29
Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, (Jakarta: Grasindo,
2008), hlm. 193.
30
Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, hlm. 17.
[ 99 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Mediasi P
enal dan P
embar
uan H
ukum B
erperspektif
Penal
Pembar
embaruan
Hukum
Berperspektif
Pancasila
Pembaruan hukum, khususnya terkait alternatif penyelesaian perkara
pidana, adalah suatu keniscayaan. Penyelesaian perkara pidana harus seiringseirama dengan gerak perubahan yang terjadi di masyarakat dengan tetap
berpegang teguh kepada Pancasila yang memancarkan nilai-nilai keadilan
substansial, bukan prosedural. Pasalnya, menurut Kaelan, Pancasila memiliki
aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika
aspirasi rakyat dalam mengantisipasi perkembangan zaman, yaitu dengan
jalan menata kembali kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan
aspirasi rakyat, akan tetapi nilai-nilai esensialnya bersifat tetap, yakni
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.31
Menurut Satjipto Rahardjo, Pancasila menjadi semacam alternatif,
karena ia bicara mengenai substansi, bukan format.32 Terkait hal ini, Roeslan
Saleh menyatakan:33
Di satu pihak haruslah diemban tanggapan-tanggapan sistematis dan
normatif, sedangkan di lain pihak harus diikuti kenyataan-kenyataan
kehidupan yang bergerak semakin jauh dari penentuan-penentuan
normatif-sistematis yang bersifat memola itu. Pengemban-pengemban ilmu
hukum pidana justru akan berusaha mempertautkan keduanya itu dengan
jalan mengadakan modifikasi-modifikasi yang bersifat penyempurnaan
dan jika perlu pemikiran-pemikiran baru atas teori-teori hukum pidananya,
sehingga dapat disesuaikan dengan pertumbuhan dan pengembangan
masyarakat.
Lebih lanjut, Roeslan Saleh juga menyebutkan:34
Ahli hukum Indonesia tidak dapat melepaskan diri, bahkan selalu harus
diawasi di samping mempedomani Pancasila, terutama seperti terkandung
dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Hanya dengan berpegang
teguh, berpedoman, serta berorientasi kepada cita-cita yang dikandung
dalam Pembukaan tersebutlah akan memungkinkan seorang ahli hukum
31
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2003), hlm. 243.
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2003), hlm. 16.
33
Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, hlm. 18-19.
34
Ibid, hlm. 20.
32
[ 100 ]
Moch. Choirul Rizal
melakukan tindakan-tindakan yang kreatif dalam kehidupannya bergulat
dengan masalah-masalah hukum dan kemasyarakatan yang dihadapinya
terus-menerus itu.
Dengan demikian, Kaelan menguatkan, Pancasila merupakan cita-cita
hukum, kerangka berpikir, sumber nilai, dan sumber arah penyusunan
dan perubahan hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, agar hukum
berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka hukum harus
senantiasa diperbarui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta
kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dengan pembaruan yang terusmenerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber
norma, dan sumber nilai-nilainya.35
Aktualisasi mediasi penal sebagai bagian dari pembaruan hukum yang
tetap berpegang teguh kepada Pancasila adalah pilihan yang tepat untuk
mengiringi dan/atau mengimbangi gerak perubahan yang terjadi di
masyarakat. Kaelan menambahkan, selain pada nilai yang terkandung dalam
Pancasila, pembaruan hukum juga harus bersumber pada kenyataan
empiris yang ada dalam masyarakat, terutama dalam wujud aspirasi-aspirasi
yang dikehendakinya.36
Roeslan Saleh telah menyinggung tantangan empiris dan solusinya
terkait penyelesaian perkara pidana, yakni sebagai berikut:37
Banyak hal lalu diselesaikan saja dengan menggunakan perantaraan polisi.
Dalam beberapa hal, terutama pada tingkat pengetahuan petugas-petugas
tersebut mengenai masalah-masalah kemasyarakatan adalah cukup baik,
maka banyak pula faedahnya bersikap demikian ini. Dengan demikian,
maka sesuatu yang tidak begitu perlu untuk diperkarakan akan dapat
diatasi dan konflik-konflik akan dapat dilenyapkan dengan sempurna.
Konsep dan praktik mediasi penal dewasa ini juga diharapkan mampu
menjawab tantangan empiris terkait terpuruknya sistem peradilan pidana
di Indonesia. Satu dari sekian banyaknya tantangan itu adalah pemulihan
terhadap korban tindak pidana masih begitu setengah-setengah
dibandingkan dengan upaya mempidanakan pelakunya. Sekiranya dapat
35
Kaelan, Pendidikan Pancasila, hlm. 244.
Ibid, hlm. 245.
37
Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, hlm. 34.
36
[ 101 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dinyatakan, mediasi penal merupakan salah satu jawaban dari tantangan
empiris yang dimaksud, yakni keadilan bagi korban adalah yang utama
dengan tetap mempertimbangkan efek jera bagi pelaku agar tetap
bertanggung jawab dan diharapkan tidak mengulangi tindak pidana.
Bagi Satjipto Rahardjo, dengan hanya menggunakan teori yang formalpositivis, akan sulit untuk memberikan penjelasan yang memuaskan
terhadap kemelut yang terjadi di negeri ini. Teori positivis hanya mampu
untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi
oleh hukum positif.38 Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyatakan, keadilan
itu harus diwujudkan lebih daripada sekadar menerapkan undang-undang
belaka. Artinya, filsafat yang tidak bersifat liberal, tetapi lebih cenderung
ke arah visi komunal. Kepentingan dan kebutuhan bangsa lebih
diperhatikan daripada bermain-bermain dengan pasal, doktrin, dan
prosedur.39
Oleh karena mediasi penal belum terakomodir secara paripurna dalam
peraturan perundangan-undangan di Indonesia, memanfaatkannya sebagai
alternatif dalam menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan adalah
pilihan yang bijak. Dengan kata lain, perlu ada suatu langkah progresif
dan konkrit untuk menghadirkannya di tengah-tengah masyarakat yang
tengah terbelenggu dalam formalitas penyelesaian perkara pidana yang
mengagungkan keadilan prosedural daripada substansial.
Diungkapkan oleh Farouk Muhammad:40
Cara kerja sistem peradilan pidana di Indonesia ditopang oleh doktrin
efek jera (deterence). Artinya, hukum pidana dijatuhkan sebagai sarana
untuk mengintimidasi si terpidana agar tidak lagi melakukan perbuatan
yang bisa membuatnya dikenakan hukuman lagi. Kunci sukses penegak
hukum seolah-olah ditentukan oleh seberapa banyak orang yang dianggap
bersalah bisa dia bawa ke pengadilan, dibuktikan kesalahannya, dan
kemudian dijatuhi hukuman.
38
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah, (Surakarta:
Muhamadiyah Press, 2002), hlm. 68.
39
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, hlm. 18.
40
Farouk Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana: Penyelesaian Perkara Secara Non-Yustisial”, hlm.
336.
[ 102 ]
Moch. Choirul Rizal
Pendapat Farouk Muhammad di atas semakin menegaskan bahwa
orientasi dalam sistem peradilan pidana saat ini adalah bagaimana kemudian
pelaku merasakan efek jera sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang telah dilakukan. Di sisi yang lain, keadilan bagi
korban, tentunya, masih terabaikan dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan legislatif mengenai
perlindungan bagi korban tindak pidana dapat diidentifikasikan pada 3
(tiga) kondisi. Pertama, hukum pidana positif saat ini lebih menekankan
pada perlindungan korban “in abstracto” dan secara tidak langsung.41
Kedua, perlindungan korban secara langsung masih terbatas dalam
bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana. Belum ada
ketentuan ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban tindak
pidana. Ganti rugi oleh negara hanya terbatas pada korban sebagai tersangka,
terdakwa, atau terpidana.42
Ketiga, ada 4 (empat) kemungkinan pemberian ganti rugi kepada korban
dalam perkara pidana, yaitu: (1) pemberian ganti rugi sebagai “syarat
khusus” dalam pidana bersyarat; (2) memperbaiki akibat-akibat dalam
tindak pidana ekonomi sebagai “tindakan tata tertib”; (3) pembayaran uang
pengganti dalam perkara korupsi sebagai pidana tambahan; atau (4)
penggantian biaya yang telah dikeluarkan dalam proses penggabungan
gugatan ganti rugi (perdata) dalam perkara pidana.43
Mengingat 3 (tiga) kondisi sebagaimana disebutkan oleh Barda Nawawi
Arief di atas, perlu kiranya ada terobosan dalam penyelesaian perkara pidana
dengan pendekatan restorative justice, yakni memulihkan keadilan bagi
korban yang terlanggar haknya. Salah satu tawarannya adalah melalui
mediasi penal. Pasalnya, praktik mediasi penal memang hadir untuk
mewujudkan keadilan restoratif. Terlebih kemudian dilihat dari tujuan
dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial
dan kesejahteraan umum.
Selain cenderung mengabaikan keadilan substansial, baik bagi pelaku
maupun korban, sistem peradilan pidana dapat juga menambah beban
41
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 86.
42
Ibid.
43
Ibid, hlm. 86-87.
[ 103 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
kerja aparat penegak hukum pidana, misalnya pihak kepolisian. Dalam
sistem tersebut, kepolisian berpretensi menangani semua perkara, baik
ringan maupun berat. Padahal, secara kuantitas dan kualitas, sumber daya
manusia yang tersedia dalam tubuh kepolisian dipandang kurang optimal
untuk menangani seluruh gangguan keamanan dan ketertiban.
Kelebihan beban kerja yang menimpa aparat penegak hukum sangat
dihindarkan dalam merumuskan suatu kebijakan hukum pidana. Sudarto
pernah mengungkapkan, bertolak dari pendekatan kebijakan, suatu
kebijakan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).44 Dalam Laporan
Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional 1980 di Semarang,
persoalan overbelasting juga menjadi catatan penting, yakni kebijakan
hukum pidana harus memperhatikan beban aparat penegak hukum yang
tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan
yang dimilikinya.45
Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan overbelasting tersebut,
perlu dioptimalkan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan
informal di luar sistem peradilan pidana yang sangat formalistik. Sebenarnya,
penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan informal telah nyata
dirumuskan oleh pihak kepolisian melalui konsep Perpolisian Masyarakat
(Polmas). Namun demikian, gaungnya masih kalah nyaring dengan proses
penyelesaian perkara pidana yang berorientasi untuk mempidanakan pelaku
tindak pidana.
“… pendekatan informal (non-yustisial) sejalan dengan konsep Perpolisian
Masyarakat (Polmas) atau comunity policing (CP) yang dikembangkan
Polri dewasa ini. Polmas mengandung 2 (dua) unsur utama: (1) kemitraan
yang setara antara kepolisian dan masyarakat; (2) pemecahan
permasalahan. Pemecahan permasalahan dalam konsep Polmas
memang lebih difokuskan pada upaya penanganan akan masalah sosial
dalam rangka pencegahan kejahatan atau gangguan keamanan dan
ketertiban lainnya. Sejalan dengan tradisi yang sudah melembaga dalam
44
45
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 44-48.
Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional 1980 di Semarang, dalam Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 32.
[ 104 ]
Moch. Choirul Rizal
sistem sosio-kultural bangsa kita, konsep Polmas juga memberi perhatian
pada upaya penyelesaian perkara-perkara ringan dan pertikaian antarwarga
dalam suatu komunitas (terbatas dalam lingkungan desa/kelurahan).
Distribusi “kewenangan” demikian tidak lepas dari peran anggota Polri
yang berperan sebagai petugas Polmas.46
Selain berpretensi menyebabkan overbelasting terhadap aparat penegak
hukum, sistem peradilan pidana juga “memakan” biaya (cost) yang tidak
murah. Untuk itu, alternatif penyelesaian perkara pidana dengan
pendekatan informal, misalnya mediasi penal, benar-benar perlu
diaktualisasikan dan dioptimalkan. Pasalnya, proses penyelesaian perkara
pidana hanya sampai tahap penyidikan, sehingga tidak melibatkan aparat
penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana. Mengenai hal ini,
Farouk Muhammad menyatakan: 47
Prosedur demikian tidak bertentangan dengan rasa keadilan, karena
tersangka secara sosiologis (dalam hal penyelesaian pada level komunitas)
telah mendapatkan perlakuan sebagai orang yang bersalah. Dalam hal ini,
“punishment” tidak hanya berarti hukuman yang diputuskan oleh hakim
(substancial punishment), tetapi juga “hukuman” yang telah dirasakan
oleh tersangka setelah penanganan kasusnya (procedural punishment).
Mengaktualisasikan dan mengoptimalkan mediasi penal juga
merupakan bagian dari upaya untuk merevitalisasi penyelesaian
permasalahan di dalam masyarakat dengan pendekatan kearifan lokal. Secara
tradisional, masyarakat di negeri ini sebenarnya memiliki mekanisme
tersendiri dalam penyelesaian perkara di antara mereka. Namun sayangnya,
ungkap Farouk Muhammad, mekanisme demikian memang sempat tergerus
akibat rantai birokratisasi yang terentang sampai ke desa-desa pada masa
orde baru yang memandulkan kearifan lokal.48
Eva Achjani Zulfa menambahkan:49
46
Farouk Muhammad, “Sistem Peradilan Pidana: Penyelesaian Perkara Secara Non-Yustisial”, hlm.
340.
47
Ibid, hlm. 341.
48
Ibid, hlm. 338-339.
49
Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice dan Reorientasi Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana”, dalam
Jufrina Rizal dan Suhariyono AR (Ed), Demi Keadilan (Antologi Hukum Pidana dan Sistem
Peradilan Pidana: Enam Dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo, (Jakarta: Kemang Studio Aksara,
2016), hlm. 349.
[ 105 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Praktik penyelesaian sengketa nonadversary atau di luar proses peradilan
pidana, dalam kenyataannya sudah diterapkan masyarakat sebagai
cerminan dari lembaga musyawarah mufakat yang menjadi bagian dari
filosofis bangsa Indonesia. Realita menunjukkan bahwa penyelesaian
suatu konflik di dalam masyarakat Indonesia, meskipun merupakan suatu
pelanggaran perundang-undangan pidana, tidak selalu berakhir di
pengadilan.
Pada akhirnya, mediasi penal dapat diposisikan sebagai alternatif dalam
penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restorative
justice. Posisi yang disematkan kepada mediasi penal ini mengingat dan
untuk menjawab persoalan-persoalan yang menyelimuti sistem peradilan
pidana di Indonesia, yakni mulai dari praktik mafia peradilan, orientasinya
untuk memenjarakan orang, abainya keadilan terhadap korban,
mengakibatkan beban yang berlebihan terhadap aparat penegak hukum,
“memakan” biaya yang tidak murah, hingga sampai menjauhkan masyarakat
dari kearifan lokal.
Ke depan, aktualisasi dan optimalisasi mediasi penal idealnya mampu
memancarkan 6 (enam) prinsip dalam keadilan restoratif sebagaimana
dikemukakan oleh Eva Achjani Zulfa, yakni: (1) korban menjadi pihak
yang berada di posisi sentral dalam proses; (2) fokus dari proses adalah
untuk memulihkan dampak negatif dari tindak pidana yang timbul dan
dialami korban dan pelaku, atau kalau memungkinkan juga terhadap
masyarakat secara luas; (3) anggota masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan dapat mengambil bagian dalam proses secara aktif; (4)
karakteristik dari proses yang berlangsung merupakan suatu dialog dan
negosiasi antara para pihak; (5) keadilan dalam hal ini lebih dititikberatkan
hasil, yaitu hasil yang dapat diterima oleh pelaku, korban, dan masyarakat
serta bukan kepada prosesnya; dan (6) pendekatan bottom-up menjadi
hal yang diutamakan untuk mencari kebutuhan dari si pelaku, korban,
dan masyarakat dalam upaya pencapaian pemulihan pasca tindak pidana,
sementara posisi negara hanya sebagai fasilitator mediator saja.50
Tak lain dan bukan, aktualisasi atau optimalisasi mediasi penal sebagai
wujud konkrit pembaruan hukum di Indonesia yang tetap berpegang teguh
pada Pancasila ini diharapkan mampu mewujudkan keadilan yang
50
Ibid, hlm. 354.
[ 106 ]
Moch. Choirul Rizal
substansial bagi korban. Di sisi yang lain, mediasi penal juga dapat
memberikan efek jera bagi pelaku agar tetap bertanggung jawab serta
diharapkan tidak mengulangi tindak pidana. Dengan demikian, mediasi
penal bukan hanya hadir untuk mewujudkan keadilan hukum, tetapi juga
keadilan sosial yang secara filosofis telah digariskan oleh Pancasila.
Kesimpulan
Merujuk pada uraian di atas, sebenarnya, konsep dan praktik mediasi penal di Indonesia telah terakomodir dalam Pancasila. Hal ini mengingat
konsep musyawarah dan keadilan yang substansial telah nyata terpancar
dalam Pancasila. Untuk itu, tidak ada keraguan dalam menyebut, secara
ideologis, konsep dan praktik mediasi penal di Indonesia mencerminkan
nilai-nilai yang telah digariskan di dalam Pancasila. Oleh karena konsep
dan praktik mediasi penal telah mencerminkan nilai-nilai Pancasila, secara
mutatis mutandis upaya alternatif dalam menyelesaikan perkara pidana
itu merupakan suatu pembaruan hukum yang bersifat reformatif yang
mampu menyesuaikan gerak masyarakat dalam pusaran globalisasi.
Daftar P
ustaka
Pustaka
Anwar, Yesmil dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum,
Jakarta: Grasindo, 2008.
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.
______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2011.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2003.
Pohan, Agustinus (ed.), Hukum Pidana dalam Perspektif, Denpasar: Pustaka
Larasan, 2012.
Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003.
Rahardjo, Satjipto, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan
Masalah, Surakarta: Muhamadiyah Press, 2002.
Rizal, Jufrina dan AR, Suhariyono (ed.), Demi Keadilan (Antologi Hukum
Pidana dan Sistem Peradilan Pidana: Enam Dasawarsa Harkristuti
Harkrisnowo, Jakarta: Kemang Studio Aksara, 2016.
[ 107 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Saleh, Roeslan, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara
Baru, 1983.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
Daradono, Donny, “Uang, Ideologi, Jabatan dalam Mafia Peradilan, Reduksi
terhadap The Political”, Renai: Jurnal Kajian Politik Lokal dan
Studi Humaniora, Yayasan Percik Salatiga, Tahun VII, No. 2, 2007.
Lasmadi, Sahuri, “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”,
Jurnal Inovatif, Vol. 4, No. 5, 2011.
Mardiah, Ainal (et all), “Mediasi Penal sebagai Alternatif Model Keadilan
Restoratif dalam Pengadilan Anak”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1,
Tahun I, No. 1, Agustus 2012.
Raharjo, Agus, “Mediasi sebagai Basis dalam Penyelesaian Perkara Pidana”,
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 20, No. 1, Februari 2008.
S, C. Maya Indah, “Refleksi Sosial atas Kelemahan Hukum Modern; Suatu
Diseminasi Hukum Tradisional dalam Citra Hukum Indonesia”,
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, Vol. 103 No. 37 Tahun 2008.
Widodo, J. Pajar, “Reformasi Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka
Penanggulangan Mafia Peradilan”, Jurnal Dinamika Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Vol. 12, No. 1, 2012.
Arief, Barda Nawawi, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Makalah, Seminar Nasional Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Jakarta,
27 Maret 2007.
Harian Terbit, “Ini Kronologi Peristiwa Pembakaran Tempat Ibadah Umat
Muslim”, dalam http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/
07/18/35566/25/25/Ini-Kronologi-Peristiwa-PembakaranTempat-Ibadah-umat-Muslim, diakses pada Rabu, 14 Desember
2016.
Jawa Pos, “Kronologi Rusuh Papua versi Kemenag: Dilempari, Disuruh
Bubar, Ada Tembakan”, dalam http://www.jpnn.com/read/2015/
07/18/315740/ Kronologi-Rusuh-Papua-versi-Kemenag:Dilempari-Disuruh-Bubar,-Ada-Tembakan-, diakses pada Rabu,
14 Desember 2016.
Komnas HAM, “Komnas HAM: Terjadi Pelanggaran HAM pada Peristiwa
Tolikara”, dalam http://www.komnasham.go.id/kabar-
[ 108 ]
Moch. Choirul Rizal
latuharhary/komnas-ham-terjadi-pelanggaran-ham-padaperistiwa-tolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
Suara Papua, “Kronologi versi Presiden GIDI terkait Insiden di Kabupaten
Tolikara”, dalam http://suarapapua.com/read/2015/07/18/2712/
kronologi-versi-presiden-gidi-terkait-insiden-di-kabupatentolikara, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
Tempo, “Budi Waseso: Sudah Ada Perdamaian di Tolikara”, dalam http://
nasional.tempo.co/read/news/2015/07/23/078685864/budiwaseso-sudah-ada-perdamaian-di-tolikara, diakses pada Rabu, 14
Desember 2016.
Viva News, “Perdamaian Tolikara dengan Cara Adat”, dalam http:// nasional.
news.viva.co.id/ news/read/654971-perdamaian-tolikara-dengancara-adat, diakses pada Rabu, 14 Desember 2016.
[ 109 ]
BAB II
PANC
A SIL
A , RADIK ALISME
PANCA
SILA
DAN IDEOLOGI
TRANSNA
SIONAL
TRANSNASIONAL
PANC
A SIL
A D
AL
AM PUSARAN ISL
AM
PANCA
SILA
DAL
ALAM
ISLAM
TRANSNA SIONAL
Al Khanif
Pendahuluan
T
ulisan mengenai Pancasila dalam pusaran ideologi transnasional
(Islam) ini ditujukan untuk mereposisi Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia dalam tatanan dunia yang semakin kompleks.
Penulis merasa perlu mengangkat tema ini mengingat kompleksitas
globalisasi dengan semua atributnya pasti berpengaruh terhadap Indonesia
sebagai negara Muslim terbesar dan juga sebagai negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia. Kedua predikat tersebut tentu menyimpan permasalahan
kebangsaan yang kompleks karena Indonesia tidak dapat disamakan dengan
negara-negara demokratis di Eropa Barat dan di Amerika Utara dengan
realitas sosial yang “cenderung” homogen. Indonesia adalah negara kesatuan
dengan beragam identitas sosial yang tersebar di berbagai daerah. Bahkan
beberapa identitas sosial tersebut juga mempunyai sistem hukum yang
berbeda-beda dan cenderung dinamis dari masa ke masa. Oleh karena itu,
tulisan tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa di tengah arus globalisasi
ideologi ini penulis rasa semakin penting agar memberikan pemahaman
yang komprehensif di masyarakat.
Tantangan yang dihadapi Pancasila untuk tetap menyatukan Indonesia
jelas akan semakin besar dan kompleks terutama semangat demokrasi yang
mulai terbuka pasca Reformasi telah memberikan ruang yang luas dan
bahkan “hampir tanpa batas” bagi munculnya ideologi-ideologi yang
cenderung berseberangan dengan Pancasila. Mereka menebar dan
menyebarkan semangat anti keragaman dengan mengedepankan
[ 113 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
homogenitas yang tentu saja sangat membahayakan nilai-nilai pluralisme
dan keragaman yang sudah dijadikan pilar penting berdirinya Indonesia.1
Ideologi yang beraliran radikal secara politik sampai paham yang berhaluan
moderat terus bermunculan di tengah masa transisi demokrasi yang masih
rentan di Indonesia. Eksistensi mereka di Indonesia tidak dapat dipandang
sebelah mata karena semakin berkembang dan belum menunjukan
kemunduran.
Berdasarkan realitas tersebut, tulisan ini akan menyajikan analisis terkait
hubungan antara realitas ideologi di dunia global dengan Pancasila. Bagian
pertama akan mengulas pertarungan Komunisme versus Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal di era Perang Dingin dan bagaimana negara-negara
berkembang seperti negara-negara Islam dan Muslim mayoritas serta
Indonesia mengambil peran dalam konteks perang dingin tersebut. Setelah
itu penulis menyajikan realitas ideologi Islam transnasional serta bagaimana
penyebaran ideologi tersebut berdampak pada Pancasila dan Indonesia.
Analisis-analisis tersebut kemudian penulis simpulkan untuk memberikan
rekomendasi dalam sub bagian akhir dari tulisan ini.
Sosialisme dan Islam dalam Arus Global
Pasca perang dingin yang mengakhiri persaingan dua ideologi besar,
Komunisme Uni Soviet versus Kapitalisme dan Demokrasi Liberal versi
Barat (selanjutnya disebut dengan Kapitalisme), legitimasi Kapitalisme
sebagai pemenang persaingan di dunia global nyaris tak terbantahkah lagi.2
Hingga di akhir era 90an tidak ada lagi ideologi besar yang mampu
menandingi dominasi Kapitalisme. Fenomena meluasnya pengaruh
Kapitalisme secara global ini seakan membenarkan proposisi Fransis
Fukuyama yang mengatakan hegemoni Kapitalisme dengan segala
atributnya selain mengakhiri perang dingin juga akan mendominasi dunia
global dimana banyak negara akan mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan
1
2
Lihat misalnya analisis Al Makhzoomi terkait munculnya ideologi radikal di Indonesia di Khairuldeen
Al Makhzoomi, “Terrorism in Southeast Asia and the Role of Ideology”, Huffington Post (10 March
2016), online: <http://www.huffingtonpost.com/khairuldeen-al-makhzoomi/ terrorism-in-southeast-as_b_9396942.html>.
Moh Khuzaifi, “Mengintip Kapitalisme Global”, korankabar.com (6 October 2015), online: <http:/
/korankabar.com/mengintip-kapitalisme-global/>.
[ 114 ]
Al Khanif
Barat.3 Tulisan Fukuyama tersebut begitu yakin memprediksi bahwa tidak
akan ada lagi ideologi yang mampu menandingi Kapitalisme.
Diawal prediksinya, Fukuyama mendapatkan banyak dukungan karena
hampir selama dua dekade, Kapitalisme tidak mendapatkan perlawanan
yang berarti dari para pesaingnya. Bahkan Kapitalisme cenderung bisa
mengisolasi sisa-sisa Komunisme dan meredam berkembangnya ideologiideologi baru sebagai kompetitornya. Berakhirnya persaingan Komunisme
dan Kapitalisme menghadirkan monopoli ideologi di dunia global dengan
kapitalisme sebagai pemain tunggal. Artinya berakhirnya perang dingin
tersebut tidak serta merta memunculkan polaritas ideologi dimana negaranegara yang sebelumnya menjadi penonton berhasil memainkan peran
(ideologi) mereka yang lebih besar di peta global. Atau bisa juga negaranegara ketiga memang tidak mampu untuk mengambil peran yang lebih
besar dalam konteks politik global pasca berakhirnya Perang Dingin.
Hegemoni Kapitalisme tersebut sebenarnya mendapatkan perlawanan
dari beberapa negara khususnya negara-negara pecahan Uni Soviet, negaranegara penganut paham Sosialisme di Amerika Latin4 dan juga negaranegara Islam atau negara-negara dengan populasi Muslim mayoritas.5
Polarisasi pertarungan antar ideologi pasca Perang Dingin justru meluas
ke berbagai negara. Arena pertarungan tidak lagi terpusat di dua tempat
melainkan menyebar ke berbagai negara. Kawasan Timur Tengah dan Afrika
menjadi kawasan yang sangat rentan karena masih banyak rejim diktator
3
4
5
Eliane Glaser, “Bring back ideology: Fukuyama’s ‘end of history’ 25 years on”, The Guardian (21
March 2014), online: <https://www.theguardian.com/books/2014/mar/21/bring-back-ideologyfukuyama-end-history-25-years-on>.
Patrick Iber membedakan negara-negara Sosialis di Amerika Latin kedalam dua kelompok. Yang
pertama adalah kelompok Negara Sosialis Demokrat seperti Bolivia, Ekuador, Venezuela dan Argentina sedangkan kelompok yang kedua adalah Negara Demokrat Sosialis seperti Brasil, Uruguay, dan
Chili. Lihat selengkapnya ulasan mengenai dua kelompok tersebut di Patrict Iber, “The Path to
Democratic Socialism: Lessons from Latin America”, Dissent Mag (Spring 2016), online: <https:/
/www.dissentmagazine.org/article/path-democratic-socialism-lessons-latin-america>.
Tulisan ini membedakan Negara Islam dan negara dengan Muslim mayoritas. Yang masuk dalam
kategori negara Islam adalah negara-negara yang secara jelas menggunakan Islam sebagai sumber
hukum seperti Iran, Afghanistan dan Saudi Arabia sedangkan negara-negara dengan Muslim mayoritas
adalah negara-negara yang “mengakui” adanya pengaruh Islam namun tidak menggunakan Hukum
Islam sebagai sumber hukum nasional atau yang saya sebut dalam tulisan ini sebagai negara sekuler
religius seperti Indonesia. Tentang konsep sekuler religius, lihat Al Khanif, “Questioning a theistic,
secular Pancasila to protect religions”, online: <http:// www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/
questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html>.
[ 115 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dan sistem ketatanegaraan yang memungkinkan Barat dan Kapitalisme
memainkan peranan mereka.
Polarisasi pertarungan ideologi tersebut memaksa negara-negara Sosialis,
Islam dan Muslim mayoritas terus melakukan perlawanan. Namun
perlawanan mereka terhadap hegemoni Kapitalisme tidak berjalan baik
karena tidak didukung oleh stabilitas ekonomi dan politik di internal negara
maupun organisasi-organisasi antar negara yang menganut kesamaan
ideologi tersebut. Negara-negara di Amerika Latin yang selama bertahuntahun dikenal sebagai negara Sosialis justru tidak mampu melakukan
perlawanan terhadap Kapitalisme dan bahkan terjebak dalam krisis ekonomi
dan politik.6 Oleh karena itu perlawanan negara-negara Sosialis, negaranegara Islam dan Muslim mayoritas tidak pernah berhasil hingga sekarang
dan bahkan justru tidak mampu menghadang laju Kapitalisme di negara
mereka.
Sebenarnya negara-negara Islam dan Muslim mayoritas bersama dengan
negara-negara Sosialis telah berusaha untuk membentuk organisasi semacam
Gerakan Non-Blok (GNB) yang diisiniasi oleh Presiden Josip Broz Tito
Yugoslavia, Presiden Gamal Abdel Nasser Mesir dan juga Presiden Sukarno
Indonesia di tahun 1955.7 GNB pernah menjadi organisasi paling penting
bagi negara-negara berkembang di era Perang Dingin namun justru
kehilangan momentum untuk memainkan peran yang lebih besar pasca
Perang Dingin. Beberapa sebab diantaranya adalah semangat utama dari
pembentukan GNB adalah untuk membebaskan negara-negara anggota
dan negara ketiga dari belenggu penjajahan. 8 Sehingga ketika era
kolonialisme telah berakhir GNB tidak mampu menunjukan peran yang
signifikan di dunia global.
Setelah kegagalan NGB, negara-negara Islam dan Muslim mayoritas
juga menginisiasi berdirinya Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Peran OKI
yang mayoritas anggotanya berideologi Islam pernah mencuat di era 70an.
6
7
8
Terkait ulasan tentang krisis ekonomi dan politik di Brasil, Ekuador dan Chili di “The Jury Is In:
Latin America’s 21st Century Socialism Has Failed”, (19 May 2016), online: PanAm Post <https:/
/panampost.com/rafael-ruiz-velasco/2016/05/19/21st-century-socialism-has-failed/>.
Andre Munro, “Non-Aligned Movement (NAM) | international organization”, Encycl Br (Agustus
2013), online: <https://www.britannica.com/topic/Non-Aligned-Movement>.
Lihat ulasan terkait permasalahan GNB pasca Perang Dingin di S I Keethaponcalan, “Reshaping the
Non-Aligned Movement: challenges and vision” (2016) 3:1 Bdg J Glob South 4.
[ 116 ]
Al Khanif
Namun peran mereka dalam politik global cenderung terus menurun dan
belum bisa menandingi Kapitalisme. Padahal OKI dan GNB sudah sering
berkolaborasi untuk terus memaksimalkan peran mereka di dunia global.
Namun sayangnya kolaborasi tersebut lebih sering dilakukan untuk
mengatasi konflik internal yang melibatkan anggota-anggota kedua
organisasi tersebut.9 Sehingga dalam perjalannya kemudian kerjasama OKI
dan GNB sering mengalami kesulitan untuk mengimbangi pengaruh
Kapitalisme di wilayah mereka sendiri. Globalisasi yang tidak hanya
menipiskan sekat antar negara dan juga memudahkan penyebaran ideologi
besar semacam Kapitalisme dari satu negara ke negara lain,10 sangat
mungkin mengisolasi ideologi lain yang berskala lokal seperti Pancasila di
Indonesia.
Reviv
alisme IIslam
slam Transnasional
evivalisme
Berbagai versi sejarah mencatat bahwa tidak ada lawan berarti yang bisa
menandingi Kapitalisme sampai pada akhirnya di era 90an hingga sekarang
Islam dengan semua atributnya muncul berhadap-hadapan dengan
Kapitalisme. Padahal hingga berakhirnya Perang Dingin tidak pernah
terlihat indikasi bahwa Islam akan muncul sebagai kekuatan “penyeimbang”
dari dominasi Kapitalisme karena Islam dilihat oleh Barat sebagai kelompok
lain dalam diskursus pertarungan ideologi global.11 Kemunculan Islam
tersebut bisa disebut sebagai gelombang perlawanan ketiga terhadap dunia
Barat setelah kegagalan Nazi dan Komunisme meruntuhkan monopoli
Dunia Barat dengan cara mereka masing-masing. Oleh karena itu banyak
pengamat mulai mengasosiasikan Islam sebagai ancaman ketiga terhadap
Barat pasca Nazi dan Komunisme karena Islam dianggap menyerang
legitimasi Barat terutama demokrasi, liberalisasi dan hak asasi manusia
sebagai nilai-nilai yang digunakan Barat untuk memengaruhi persepsi dunia
global.
9
Salah satu persoalan mendasar yang menyita energi OKI misalnya kasus Palestina dan ketegangan
antar negara di Kawasan Teluk. Lihat misalnya Tama Salim, “Palestine seeks Indonesia’s support
ahead of OIC meeting”, Jkt Post (2017), online: <http://www.thejakartapost.com/news/2017/ 01/
17/palestine-seeks-indonesias-support-ahead-of-oic-meeting.html>.
10
Khuzaifi, supra note 2.
11
Chandra Chari, ed, Superpower rivalry and conflict: the long shadow of the Cold War on the
twenty-first century, Routledge advances in international relations and global politics 81 (London;
New York: Routledge, 2010) hlm. 9.
[ 117 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Di awal kemunculan Islam, banyak pengamat menyebutnya sebagai
fundamentalisme agama dan bahkan ekstrimisme agama yang
membahayakan demokrasi dan liberalisasi nilai-nilai Barat. Namun lambat
laun terminologi tersebut terderivasi mulai yang tergolong moderat seperti
yang diajukan oleh John L. Esposito dimana dia menggunakan kata
revivalisme Islam sampai dengan terminologi radikal yang menyebut Islam
sebagai sel teroris.12 Beragamnya anggapan tersebut disebabkan karena Barat
mulai menyadari bahwa Islam politik maupun interpretasi terhadap nilainilai Islam yang berkembang di negara-negara Muslim sangat heterogen.13
Bahkan seringkali heterogenitas politik dan teologi tersebut berdampak
pada instabilitas politik di negara-negara dan juga berpengaruh terhadap
keamanan kawasan. Terlebih jika konflik tersebut bercampur dengan
inflitrasi dari Kapitalisme di negara tersebut.
Revivalisme Islam transnasional muncul di era 90an karena hegemoni
kapitalisme dan kegagalan OKI dan NGB tersebut pada akhirnya justru
memunculkan monopoli ideologi - Kapitalisme. Perkembangan Kapitalisme
juga diikuti dengan masuknya semua atributnya ke berbagai penjuru dunia
termasuk ke negara-negara ketiga seperti Indonesia dan negara-negara
Muslim mayoritas. Penyebaran Kapitalisme dengan berbagai atributnya
inilah yang kemudian memunculkan perlawanan kelompok-kelompok berideologi Islam di berbagai negara, khususnya negara Islam dan negara
Muslim mayoritas. Model perlawanan yang dilakukan oleh kelompokkelompok Islam terhadap hegemoni Kapitalisme sangat beragam mulai
dari perlawanan model teror seperti yang dilakukan oleh Al Qaida sampai
pada model perlawanan politik seperti yang ditunjukan oleh Hizbut Tahrir
atau perpaduan keduanya seperti yang dilakukan oleh Fraksi Hizbullah di
Lebanon.
Namun dapat disimpulkan bahwa model perlawanan yang menekankan
teror lebih sering ditunjukan oleh organisasi-organisasi Islam seperti Al
Qaeda, ISIS, dan Majelis Mujahidin. Sedangkan gerakan perlawanan
12
Lihat diskusi tentang terminologi fundamentalisme, ekstrimisme dan radikalisme di Anzar Abdullah,
“GERAKAN RADIKALISME DALAM ISLAM: PERSPEKTIF HISTORIS” (2016) 10:1 ADDIN
1 hlm. 4.
13
Nasser Momayezi, “Islamic Revivalism and the Quest for Political Power” (1997) 17:2 J Confl
Stud, online: <https://journals.lib.unb.ca/index.php/JCS/article/view/11753> hlm. 10.
[ 118 ]
Al Khanif
terhadap Kapitalisme dengan pendekatan politik lebih sering diajukan oleh
negara atau organisasi Islam yang berafilisasi dengan negara seperti yang
ditunjukan oleh gerakan revolusi Islam Iran tahun 1979 dibawah pimpinan
Ali Khomaini.
Sebenarnya Era 70 sampai 80an menjadi salah satu awal kebangkitan
politik Islam di berbagai negara Muslim yang mana kebangkitan politik
Islam tersebut menunjukan kekuatan-kekuatan politik dan diskursus
berbasis agama Islam untuk melawan hegemoni Kapitalisme.14 Mereka
berusaha melawan Kapitalisme yang dianggap merusak tatanan nilai-nilai
Islam yang selama ini diterapkan oleh semua umat Muslim di seluruh
dunia termasuk di Indonesia. Misalnya Revolusi Islam Iran tahun 1979
muncul karena kegelisahan Ali Khomaini dan kelompok Islam Iran untuk
menentang imperialisme Amerika dalam politik dalam negeri Iran.15 Sejak
saat itu hingga sekarang politik Islam Iran telah memainkan peran yang
signifikan di kawasan regional untuk melawan hegemoni Kapitalisme Barat.
Pengaruh Iran di kawasan dapat dilihat misalnya dari keberhasilan mereka
bekerjasama dengan Fraksi Hizbullah di Lebanon dan juga hubungan
eratnya dengan pemerintahan Bashar al Assad di Syiria dalam Perang Syiria
akhir-akhir ini.16
Sedangkan model perlawanan teror yang dilakukan oleh Al Qaeda,
ISIS, ataupun kelompok-kelompok Islam radikal lainnya terhadap simbolsimbol kapitalisme tidak hanya menyasar negara-negara sekuler melainkan
juga di negara-negara Islam. Teror tersebut muncul karena ideologi-ideologi
berbasis Islam yang selama ini diterapkan oleh beberapa negara Muslim
semakin terdesak oleh nilai-nilai Kapitalisme global yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya konflik “nilai-nilai” antara Islam dan Kapitalisme
di berbagai negara Islam dan Muslim mayoritas. Di kawasan Asia Selatan,
14
Robert W Hefner, ed, Remaking Muslim politics: pluralism, contestation, democratization, Princeton
studies in Muslim politics (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2005) hlm. 7.
15
D Parvaz, “Iran 1979: the Islamic revolution that shook the world”, online: <http://
www.aljazeera.com/indepth/features/2014/01/iran-1979-revolution-shook-world2014121134227652609.html>.
16
Lihat analisis keterkaitan Iran dalam Perang Syiria di Martin Chulov, Saeed Kamali Dehghan &
Patrick Wintour, “Iran hails victory in Aleppo as Shia militias boost Syria’s Bashar al-Assad”, The
Guardian (14 December 2016), online: <https://www.theguardian.com/world/2016/dec/ 14/
iran-aleppo-syria-shia-militia>.
[ 119 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
seperti Afghanistan dan Pakistan, atau di kawasan Teluk seperti Syiria,
Lebanon dan Irak, Islam terlibat dalam konflik ideologi transnasional yang
kompleks sehingga menyebabkan instabilitas politik dan keamanan di
kawasan-kawasan tersebut. Keadaan yang sama juga terjadi di beberapa
negara di Afrika Utara seperti Libya, Tunisia dan Mesir.
Asumsi dasar dari revivalisme Islam di beberapa kawasan tersebut
disebabkan karena keterlibatan dunia Barat di politik internal negara-negara
tersebut.17 Kapitalisme tidak hanya menguasai sektor ekonomi melainkan
juga menjadi penguasa kawasan. Kebijakan pemerintah setempat terhadap
politik Islam juga berdampak pada resistensi beberapa kelompok Islam.
Kondisi inilah yang seringkali memunculkan ekstrimisme kelompok Islam
untuk melawan pengaruh Barat di beberapa negara dan kawasan.18 Hal ini
disebabkan karena Islam bagi mayoritas Muslim dianggap sebagai solusi
terbaik dengan menawarkan ketertiban sosial bagi umat Islam untuk
memecahkan persoalan-persoalan kontemporer. Di Indonesia misalnya,
kelompok-kelompok Islam yang melakukan perlawanan terhadap simbolsimbol Kapitalisme tidak hanya terepresentasikan oleh kelompok Islam
radikal semacam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela
Islam (FPI) melainkan juga diwujudkan dalam bentuk perjuangan politik
di parlemen.19
Di kawasan Asia Tenggara, perlawanan ideologi Islam terhadap
Kapitalisme cenderung terlokalisir di Indonesia meskipun ada sebagian
kecil yang berkembang di Malaysia, Thailand an Philipina. Kelompok Islam
radikal di Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan ideologi Islam
radikal yang berkembang di banyak negara seperti Kawasan Teluk dan
Asia Selatan. Hubungan inilah yang menyebabkan kelompok Islam di
Indonesia dapat disebut sebagai representasi ideologi Islam transnasional
karena pola hubungan mereka dapat terlacak dari adanya hubungan gerakan
Islam transnasional yang berkembang dari kawasan Teluk dan Afrika Utara.
Bahkan jaringan dan pola gerakan Islam radikal di Indonesia juga berkaitan
dengan gerakan perlawanan kelompok Islam di Filipina, Malaysia dan
Thailand.
17
Abdullah, supra note 11 hlm. 8.
Chandra Chari, supra note 10 hlm. 58–9.
19
Nadirsyah Hosen, “Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate” (2005) 36:03 J
Southeast Asian Stud 419 hlm. 426.
18
[ 120 ]
Al Khanif
Hubungan antara ideologi Islam radikal Indonesia dengan Islam radikal
di Timur Tengah dapat dilihat dari Perang Padri di era kolonialisme yang
mana kelompok Imam Bonjol dan kelompoknya menggunakan Wahabisme
untuk melawan imperialisme Belanda yang anti Islam.20 sedangkan
keterkaitan antara Islam radikal di Indonesia dengan di Asia Selatan dapat
dilihat dari sejarah keterlibatan Majelis Mujahidin Afghanistan dalam
perang melawan Uni Soviety yang menyebabkan beberapa umat Islam di
Indonesia melakukan jihad ke Afghanistan.21 Ketika perang sudah selesai,
mereka kembali ke Indonesia dengan membawa paham radikal dan melihat
konsep Pancasila sama halnya dengan Komunisme dan Kapitalisme yang
harus mereka lawan.
Di Indonesia, usaha untuk mereposisi Islam dalam konteks kenegaraan
telah beberapa kali dilakukan baik secara politik maupun perlawanan
perang. Di era Orde Lama, perlawanan kelompok Islam dilakukan oleh
Kartosuwirjo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakkar di
Sulawesi Selatan dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Alasan utama
dari gerakan perlawanan ini adalah karena mereka tidak puas dengan konsep
Ideologi Pancasila yang menurut mereka tidak merepresentasikan
kepentingan umat Islam di Indonesia.22 Model perlawanan melalui
kekerasan oleh kelompok Islam memang meredup di era Orde Baru karena
pola kepemimpinan Suharto yang otoriter. Bahkan Suharto dianggap
berhasil meredam perlawanan mereka meskipun Suharto lah orang yang
pertama kali membuka ruang masuknya Kapitalisme di Indonesia hingga
saat ini.
Pancasila vversus
ersus IIslam
slam Transnasional
Pascareformasi, beberapa fraksi politik di parlemen terang-terangan ingin
memasukan lagi Piagam Jakarta dalam konstitusi sebagai bagian dari upaya
untuk keluar dari cengkeraman Kapitalisme. Gerakan politik Islam di
parlemen tersebut muncul karena adanya desakan dari MMI dan FPI kepada
20
Al Khanif, Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A Challenge for International
Human Rights Law and Islamic Law SOAS University of London, 2015) [unpublished] hlm. 129.
21
Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto” hlm. 34–5.
22
Lihat ulasan terkait perlawanan kelompok Islam di era Orde Lama di Al Khanif, “Diskursus
Minoritas Agama dalam Konsep Sekuler-Theistik Pancasila” in Reaktualisasi Pancasila Menyoal
Identitas Glob Dan Diskurs Negara-Bangsa (Ombak Press, 2015).
[ 121 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
partai-partai Islam untuk memasukan lagi Piagama Jakarta yang mewajibkan
umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariah Islam seperti yang
pertama kali digagas pada tahun 1945.23 Meskipun pada akhirnya usaha
memasukan nilai-nilai Islam melalui jalur politik gagal, namun gerakan
politik Islam di Indonesia tidak pernah padam dan bahkan semakin
menyebar di Indonesia. Hal ini disebabkan agama masih menjadi pilar
penting di masyarakat meskipun Indonesia telah menetapkan Pancasila
sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Reaksi dari kelompok Islam dan partai politik berasaskan Islam seperti
yang ada di Indonesia tersebut merupakan dampak dari kontestasi antara
Islam dan Kapitalisme yang banyak terjadi di negara lain. Gerakan
perlawanan politik Islam dengan beragam bentuknya menawarkan ide-ide
baru di bidang pendidikan, hukum, politik dan ekonomi kepada masyarakat
luas untuk mengimbangi hegemoni Kapitalisme yang sudah tumbuh subur
di berbagai negara termasuk Indonesia. Kelompok seperti Hizbut Tahrir
misalnya melakukan perlawanan terhadap Kapitalisme dengan mengatakan
bahwa Kapitalisme dengan semua atributnya berusaha memisahkan agama
dari kehidupan manusia.24 Model perlawanan terhadap Kapitalisme seperti
yang dilakukan oleh HTI ini ternyata mendapatkan simpati dari sebagian
umat Muslim di Indonesia.
Konteks revivalisme Islam transnasional di Indonesia tersebut mungkin
dapat dijadikan proposisi dari tesisnya Fukuyama yang memprediksikan
bahwa selesainya perang dingin bukan berarti menyelesaikan konflik ideologi
melainkan dunia akan mempunyai fenomena konflik baru yang lebih
kompleks dan dinamis.25 Sejak peristiwa 9/11 dan ekspansi militer
pimpinan Amerika ke Irak dan Afghanistan, Kapitalisme tidak benar-benar
mendominasi dunia global karena gerakan revivalisme Islam mendapatkan
tempat di sebagian negara Islam dan Muslim mayoritas seperti di Iran.
Peristiwa Arab Spring yang melanda kawasan Afrika Utara dan Kawasan
Teluk yang pada dasarnya memperlihatkan nilai-nilai demokrasi versi Barat
23
Terkait perdebatan di parlemen tentang Piagam Jakarta, lihat Hosen, supra note 18 hlm. 425.
Robert W Hefner, ed, Remaking Muslim politics: pluralism, contestation, democratization, Princeton
studies in Muslim politics (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2005) hlm. 310.
25
Francis Fukuyama, The end of history and the last man (New York: Toronto: New York: Free Press/
; Maxwell Macmillan Canada/ ; Maxwell Macmillan International, 1992) hlm. 45.
24
[ 122 ]
Al Khanif
justru berakhir dengan terpilihnya tokoh-tokoh politik Islam. Pasca
runtuhnya Rejim Hosni Mubarak, masyarakat Mesir justru memilih
Mohammad Morsi yang menganut paham Islamnya Hasan al Bana
sedangkan rakyat Tunisia lebih suka memilih Partai Islam Ennahda.26
Selain itu, faksi-faksi Islam radikal di beberapa kawasan juga terus
melakukan perlawanan meskipun pola perlawanan mereka bersifat sporadis.
Di kawasan Asia Tenggara, kelompok-kelompok Islam radikal terus berusaha
mempertahankan eksistensi mereka ditengah tekanan politik dan militer
di negara-negara kawasan tersebut. Mereka melakukan perlawanan terhadap
simbol-simbol Kapitalisme, tidak hanya semata untuk menggantikan sistem
demokrasi yang selama ini sudah dipraktikan oleh negara-negara di Asia
Tenggara melainkan juga untuk mengembalikan lagi kejayaan mereka di
masa lalu.
Di Indonesia, Islam mengalami masa kejayaan di awal-awal
kedatangannya di Indonesia sampai akhirnya kedatangan kolonialisme Barat
di Indonesia merubah posisi Islam sebagai ekspatriat. Posisi Muslim sebagai
“ekspatriat” bisa dilihat dari kebijakan Belanda yang membagi hukum
kedalam tiga golongan, yakni hukum sipil Belanda yang berlaku untuk
orang Eropa, hukum Adat untuk orang pribumi dan hukum Islam bagi
keturuan Arab yang beragam Islam.27 Bahkan Belanda memasukan etnis
Arab kedalam klasifikasi “oriental” bersama dengan orang China dan India
dimana dua kelompok yang terakhir kemudian mengikuti sistem hukum
Belanda. Posisi Muslim sebagai ekspatriat ini tentu berdampak pada upaya
mereka untuk melawan dominasi imperialisme sejak era kolonialisme
sampai pasca kemerdekaan. Hingga sekarang pun beberapa kelompok Islam
cenderung lebih suka menjelaskan bahwa kemerosotan Islam terutama di
bidang ekonomi dan politik karena disebabkan hegemoni Kapitalisme.
Gerakan politik Islam di Indonesia untuk mengganti Pancasila juga
dapat bermakna ganda. Yang pertama adalah perlawanan mereka terhadap
26
Joseph V Micallef, “The Arab Spring: Six Years Later”, Huffington Post (29 January 2017), online:
<http://www.huffingtonpost.com/joseph-v-micallef/the-arab-spring-six-years_b_14461896.html>.
27
Kelompok Islam termasuk dalam “oriental” bersama kelompok Asia sedangkan klasifikasi “Eropa”
tidak hanya didasarkan pada persamaan etnis melainkan juga berbasis hukum dimana orang-orang
dari negara yang menerapkan sistem hukum yang mirip dengan Belanda masuk dalam kategori
Eropa. Lihat selengkapnya terkait klasifikasi tersebut di J Leyser, “Legal Developments in Indonesia”
(1954) 3:3 Am J Comp Law 399 hlm. 403.
[ 123 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
prinsip-prinsip Kapitalisme dan Demokrasi Liberal yang cenderung
mengisolasi agama dari negara. Oleh karena itu, kesuksesan Barat
melakukan sekularisasi dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, karena
dapat mengancam Islam yang tidak hanya dipandang sebagai agama
melainkan juga sebagai pegangan hidup bagi penganutnya. Pendapat
mereka ini lebih banyak didasarkan pada realitas bahwa banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah sesuai dengan
al-Qur’an dan syariah Islam sebagai aturan bernegara.28
Prinsip-prinsip Pancasila yang kurang “tegas” mengatur posisi agama
dan negara dianggap merepresentasikan nilai-nilai Barat. Di kalangan Islam
radikal dan fundamental, Pancasila dianggap telah melakukan subordinasi
terhadap Islam secara ideologis karena dalam konteks ketatanegaraan di
Indonesia Islam berada dibawah naungan Pancasila sebagai payung suci
tertinggi di Indonesia. Padahal Islam selama ini dianggap oleh mayoritas
penganutnya bukan hanya dipandang sebagai alternatif ideologis melainkan
juga keharusan teologis dan praktik yang harus dilakukan secara
bersamaan.29 Artinya, Pancasila selama ini menghadapi permasalahan
mendasar terkait dengan nilai-nilai yang dianggap bersinggungan dengan
prinsip dasar ideologi lain. Pancasila dianggap merepresentasikan nilainilai Barat karena tidak mengakui hukum berbasis Islam dan tidak mengenal
sistem ketatanegaraan berbasis agama.
Pancasila dan IIslam:
slam: K
onv
ergensi ataukah D
iv
ergensi?
Konv
onvergensi
Div
ivergensi?
Telah banyak pendapat yang mengulas hubungan antara Pancasila dan
Islam dalam konteks ketatanegaraan di Indonesia dari para pemikir Muslim
seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, dan Abdurrahman Wahid.
Ketiganya merupakan penganjur konvergensi antara Pancasila dan Islam
karena menurut ketiganya Pancasila dan Islam tidak harus dibenturkan
karena keduanya saling melengkapi.30 Bahkan mayoritas umat Islam di
Indonesia juga masih percaya terhadap Pancasila sebagai ideologi dan
28
Lihat Abdullah, supra note 11 hlm. 9.
Ibid hlm. 18.
30
Lihat ulasan mengenai pendapatnya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid di Anies Rasyid
Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory” (2004) 44:5 Asian Surv
669 hlm. 675.
29
[ 124 ]
Al Khanif
payung suci dalam bernegara. Buktinya di setiap gelaran pemilu di era
Reformasi, partai-partai berbasis agama tidak pernah mendominasi
perolehan suara.31 Bahkan usaha mereka untuk memasukan lagi semangat
Piagam Jakarta pada waktu pembahasan amandemen konstitusi tahun 1999
telah gagal.
Lalu kenapa hingga saat ini masih ada pemikir dan tokoh politik Muslim yang tetap ingin mengganti Pancasila dengan ideologi berbasis Islam?
salah satu sebabnya adalah karena pengaruh Islam transnasional yang
semakin kuat di negara-negara Islam dan Muslim mayoritas. Seringkali
pola gerakan Islam transnasional menggunakan cara-cara Demokrasi Liberal
versi Barat untuk merebut kekuasaan seperti yang terjadi di Mesir pasca
Mubarak maupun kemenangan Partai Islam Ennahda di Tunisia pasca Zine
El Abidine bin Ali. Kondisi politik di internal negara-negara tersebut seperti
rejim yang otoriter dan korup dan juga jaringan Islam transnasional yang
kuat menjadi pemicu munculnya ideologi Islam.
Di Indonesia, upaya untuk memasukan nilai-nilai Islam dalam
konstitusi memang telah gagal dilakukan. Namun gerakan Islam
transnasional terus tumbuh dan berkembang di Indonesia. Mereka
“cenderung” mendapatkan simpatisan dari kalangan muda dan terpelajar.
Dalih mereka adalah menjadi negara Islam tidak berarti anti modernisasi.
Namun jika dilihat lebih jauh modernitas “cenderung” identik dengan
Barat. Padahal salah satu tujuan utama politik Islam adalah mengganti
sistem kenegaraan yang ada dengan versi penafsiran Islam mereka.
Referensi
Chandra Chari, ed. Superpower Rivalry and Conflict: the Long Shadow of
the Cold War on the Twenty-First Century, Routledge Advances
in International Relations and Global Politics 81 (London; New
York: Routledge, 2010).
31
Reslawati Reslawati, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik
Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta” (2016) 9:34 Harmoni 122.
[ 125 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Fukuyama, Francis. The end of history and the last man (New York: Toronto:
New York: Free Press/Maxwell Macmillan Canada/Maxwell
Macmillan International, 1992).
Hefner, Robert W, ed. Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation,
Democratization, Princeton Studies in Muslim Politics (Princeton,
N.J: Princeton University Press, 2005).
Khanif, Al. Protecting Religious Minorities within Islam in Indonesia: A
Challenge for International Human Rights Law and Islamic Law
SOAS University of London, 2015) [unpublished].
Abdullah, Anzar. “GERAKAN RADIKALISME DALAM ISLAM:
PERSPEKTIF HISTORIS” (2016) 10:1 ADDIN 1.
Baswedan, Anies Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future
Trajectory” (2004) 44:5 Asian Surv 669.
Bruinessen, Martin van. “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto”.
Chulov, Martin, Saeed Kamali Dehghan & Patrick Wintour. “Iran hails
victory in Aleppo as Shia militias boost Syria’s Bashar al-Assad”,
The Guardian (14 December 2016), online: <https://www.
theguardian.com/world/2016/dec/14/iran-aleppo-syria-shiamilitia>.
Glaser, Eliane. “Bring back ideology: Fukuyama’s ‘end of history’ 25 years
on”, The Guardian (21 March 2014), online: <https://
www.theguardian.com/books/ 2014/mar/21/bring-backideology-fukuyama-end-history-25-years-on>.
Hosen, Nadirsyah. “Religion and the Indonesian Constitution: A Recent
Debate” (2005) 36:03 J Southeast Asian Stud 419.
Iber, Patrict. “The Path to Democratic Socialism: Lessons from Latin
America”, Dissent Mag (Spring 2016), online: <https://www.
dissentmagazine.org/article/ path-democratic-socialism-lessonslatin-america>.
Keethaponcalan, S I. “Reshaping the Non-Aligned Movement: Challenges
and Vision” (2016) 3:1 Bdg J Glob South 4.
Khanif, Al. “Diskursus Minoritas Agama dalam Konsep Sekuler-Theistik
Pancasila” in Reaktualisasi Pancasila Menyoal Identitas Glob dan
Diskurs Negara-Bangsa (Ombak Press, 2015).
———. “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect religions”,
online: <http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/
questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html>.
[ 126 ]
Al Khanif
Khuzaifi, Moh. “Mengintip Kapitalisme Global”, korankabar.com (6
October 2015), online: <http://korankabar.com/mengintipkapitalisme-global/>.
Leyser, J. “Legal Developments in Indonesia” (1954) 3:3 Am J Comp Law
399.
Makhzoomi, Khairuldeen Al. “Terrorism in Southeast Asia and the Role of
Ideology”, Huffington Post (10 March 2016), online: <http://
www.huffingtonpost.com/khairuldeen-al-makhzoomi/terrorismin-southeast-as_b_9396942.html>.
Micallef, Joseph V. “The Arab Spring: Six Years Later”, Huffington Post
(29 January 2017), online: <http://www.huffingtonpost.com/
joseph-v-micallef/the-arab-spring-six-years_b_14461896.html>.
Momayezi, Nasser. “Islamic Revivalism and the Quest for Political Power”
(1997) 17:2 J Confl Stud, online: <https://journals.lib.unb.ca/
index.php/JCS/article/ view/11753>.
Munro, Andre. “Non-Aligned Movement (NAM) | international organization”, Encycl Br (Agustus 2013), online: <https://www.
britannica.com/topic/Non-Aligned-Movement>.
Parvaz, D. “Iran 1979: the Islamic revolution that shook the world”, online:
<http://www.aljazeera.com/indepth/features/2014/01/iran1979-revolution-shook-world-2014121134227652609.html>.
Reslawati, Reslawati. “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap
Perolehan Suara Partai Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009
di DKI Jakarta” (2016) 9:34 Harmoni 122.
Salim, Tama. “Palestine seeks Indonesia’s support ahead of OIC meeting”,
Jkt Post (2017), online: <http://www.thejakartapost.com/news/
2017/01/17/palestine-seeks-indonesias-support-ahead-of-oicmeeting.html>.
“The Jury Is In: Latin America’s 21st Century Socialism Has Failed”, (19
May 2016), online: PanAm Post <https://panampost.com/rafaelruiz-velasco/2016/05/19/ 21st-century-socialism-has-failed/>.
[ 127 ]
QUO VADIS IL
USI KHIL
AF
AH DI NEGARA
ILUSI
KHILAF
AFAH
PANC
A SIL
A
PANCA
SILA
Khoirul Anam
Pendahuluan
W
acana pendirian Negara Islam dalam bungkus khilafah mulai
kembali mencuat ke permukaan belakangan ini. Sentimen
keagamaan kembali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
tertentu untuk membangkitkan impian lama tentang berdirinya sebuah
sistem pemerintahan yang berlandaskan ajaran agama. Di waktu yang
bersamaan, publik masih juga belum mendapati kejelasan mengenai konsep
dan contoh nyata, utamanya terkait dengan keunggulan, negara agama.
Contoh terdekat untuk negara khilafah yang ada saat ini justru mengarah
ke kelompok teroris internasional sekelas ISIS, di mana laku hidup dan
pemahaman orang-orangnya justru kontra-produktif terhadap cita-cita
masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Meski begitu, gerakan dan ideologi khilafah di tanah air tampak masih
mendapat panggung. Hal ini tampak dari masih kuatnya kelompokkelompok Islam konservatif dalam menjajakan ilusi lama tentang pendirian
negara agama. Musuh utama gerakan dan kelompok Islam konserfatif adalah
Pancasila yang dipadang sebagai momok untuk berbagai kegagalan Indonesia di banyak bidang. Namun, alih-alih menawarkan solusi yang lebih
baik –jika benar bahwa Pancasila momok untuk kegagalan— kelompok
konservatif justru mengajak masyarakat untuk kembali keabad pertengahan,
yakni dengan kembali pasrah pada konsep khilafah.
Tulisan ini akan membahas ‘perseteruan’ khilafah vis a vis Pancasila
yang telah bergeliat sejak lama. Sebagai konsep yang diklaim bagian dari
[ 129 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
agama, pendirian khilafah bukanlah sesuatu yang agamis, melainkan hanya
bagian dari upaya politik praktis. Namun begitu, virus khilafah sudah
terlanjur menyebar, pemahaman dan penerapan Pancasila perlu kembali
dikuatkan.
Membuka IImpian
mpian Lama N
egara Agama
Negara
Upaya penggerogotan sendi-sendi utama negera, khususnya Pancasila,
mulai kembali dilakukan secara massif; baik dengan cara terang-terangan
melalui serangkaian aksi massa, maupun secara sembunyi-sembunyi dalam
kelompok-kelompok kecil yang secara intensif melakukan pertemuan dan
diskusi. Pelakunya adalah kelompok Islam konservatif yang melakukan
berbagai cara demi mencapai target utama; pendongkelan Pancasila sebagai
dasar negara. Bagi kelompok ini, Indonesia dipandang gagal dalam banyak
bidang lantaran tidak menerapkan hukum agama, karenanya perjuangan
untuk mendirikan negara agama dengan syariat Islam sebagai dasar
hukumnya dirasa perlu untuk segera dilakukan.
Hasrat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama memang
telah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum negeri ini merdeka. Hanya
saja, hasrat itu tidak pernah mendapat tanggapan positif dari elemen bangsa,
negara agama juga dipandang kontra produktif terhadap kondisi dan citacita bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika. Akibatnya, sejak orde
lama hingga orde baru, segala hal terkait upaya pendirian negara agama
dibungkam total oleh pemerintah. Meski banyak tokoh gerakan ini yang
telah meninggal dunia selama dua periode pemerintahan di atas, nyatanya
pemikiran dan semangat untuk mendirikan negara agama masih terus ada.
Kini di era kebebasan, orang-orang yang selama ini telungkup di barakbarak persembunyian mulai unjuk muka dan mencoba menggulingkan
Pancasila dengan ilusi negara agama. Narasi yang dikembangkan adalah
kegagalan Indonesia sebagai bangsa Pancasila, sebagai gantinya, mereka
meyakinkan masyarakat bahwa khilafah adalah solusinya (the only solution).
Mereka pun mengajak masyarakat untuk bersama-sama melihat demokrasi
sebagai sistem thagut (tiran) yang bertentangan dengan Islam. Bagi mereka,
Islam –dalam segala variannya—adalah jawaban untuk semua persoalan.
Jargon-jargon seperti al-Islamu huwa al halu (Islam adalah solusi) atau
al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus
[ 130 ]
Khoirul Anam
negara) semakin sering digaungkan. Padahal sejarah menunjukkan bahwa
konsep Islam sebagai negara tidak pernah dibutuhkan di negeri ini. Bahkan
Soekarno sejak awal menegaskan bahwa Islam sebagai negara tidak relevan
dengan dasar dan kebutuhan bangsa ini, karena rasa persatuan yang
mengikat dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus
pada 1928), bukan keagamaan).1 Memaksakan Islam sebagai dasar negara
juga dirasa justru berpotensi besar memancing ketidakadilan kepada
masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam; mereka akan menjadi
masyarakat kelas dua; tidak lagi setara sebagai anak bangsa. Alasan ini tentu
tidak bisa diterima oleh kelompok Islam konservatif yang merasa bahwa
penerapan syariah Islam merupakan sebuah keniscayaan untuk bangsa
Indonesia yang mayoritasnya memang beragama Islam. Perdebatan terkait
dasar negara pun bergulir panjang dan membuat para founding fathers
terperosok ke masa-masa sulit. Bahkan sidang pertama yang berlangsung
pada 29 Mei – 1 Juni 1945 tidak menghasilkan apa-apa.
Tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Supomo, Muhamad Yamin, hingga
Muhamad Hatta berpendirian bahwa negara Indonesia harus didirikan di
atas dasar yang lebih luas dari sekedar agama. Dasar-dasar tersebut meliputi
dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, periketuhanan,
perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Negara yang besar dan majemuk
juga tidak boleh terpaku hanya pada tafsiran agama tertentu. Seperti
diungkap oleh Supomo yang banyak mendalami filsafat Hegel dan Spinoza,
negara adalah susunan masyarakat yang sifatnya integral, mencakup segala
golongan, di mana anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan
merupakan persatuan masyarakat yang organis. Baginya, negara harus bisa
mewujudka pengayoman yang menyeluruh (manunggal).2
Baru pada sidang kedua, 22 Juni 1945, lahirlah sebuah modus vivendi
(kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta yang menyepakati bahwa
dasar untuk negara ini adalah Pancasila. Bagi banyak pihak, kesepakatan
ini dipandang ebagai jalan tengah untuk pertentangan antara negara agama
dan negara sekuler.
1
2
Lihat: Suratno, 2008, “Rekonfirmasi Posisi Pancasila vis-a-vis Islam”, dalam jurnal Melintas, 24-32008, hlm. 432.
Nurainun Mangunsong, 2006, “Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian NEGARA”, dalam
Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat www.kedaulatanrakyat.com.
[ 131 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Satu bulan kemudian, dalam sidang BPUPKI pada 10-16 Juli 1945,
tujuh kata yang berbunyi “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya” mendapat protes keras, terutama dari Latuharhay,
Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat yang memandang penerapan
tujuh kata tersebut berpotensi menciptakan tirani mayoritas dan fanatisme.
Singkatnya, anggota sidang sepakat untuk kembali pada kesepakatan sesuai
dengan hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945. Dan setelah melalui
diskusi panjang, tujuh kata pada sila pertama Pancasila pun dihapus.3
Bagi presiden pertama RI, Soekarno, tanpa menjadikan Islam sebagai
dasar negara pun, aspirasi umat Islam dapat diwadahi dengan baik dalam
sistim demokrasi, di mana di dalamnya terdapat azas musyawarah untuk
mufakat.4 Artinya, meskipun negara Indonesia tidak menggunakan Islam
sebagai dasarnya, namun sistem yang berlaku di negeri ini tetap akomodatif
dan supportif terhadap Islam.
Pelemahan P
ancasila dengan SSentimen
entimen Agama
Pancasila
Dalam perkembangannya, posisi Pancasila semakin diperkuat. Pada tahun
2000, melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat nomor III/MPR/
2000, Pancasila ditetapkan sebagai sumber hukum tertinggi dalam sistem
hukum di Indonesia.5 Ini pun masih dilanjutkan dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi pada 2009 yang menegaskan bahwa Pancasila adalah
dasar negara yang harus diterima oleh seluruh elemen bangsa Indonesia.
Karenanya, segala setiap upaya yang dianggap menjauhkan masyarakat
dari Pancasila tidak dapat dibenarkan.6
Dua putusan di atas menunjukkan bahwa Pancasila tidak boleh diutakatik apalagi digulingkan secara semena-semena, meski alasan yang
digunakan adalah perintah agama. Hal ini bukan berarti bahwa Pancasila
lebih tinggi posisinya dibandingkan agama, melainkan fakta bahwa
Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Karenanya dua
3
4
5
6
Suratno, supra note 1, hlm. 433-434.
Tentang ini, Suratno memberikan penjelasan yang apik dan lengkap, termasuk tentang dua azas lain,
yakni; kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Lihat: Suratno, supra note 1, hlm. 429-442.
Untuk pembahasana yang lebih lengkap, lihat: Kusnisar, 2012, “Pancasila Sumber Dari Segala
Hukum di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 11 (3).
Putusan MK no. 140/PUU-VII/2009, hlm. 271-273.
[ 132 ]
Khoirul Anam
Khoirul Anam
hal ini tidak perlu saling dipertentangkan, sebab keduanya mempunyai
fungsi yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Meski begitu, suara
bising tentang kewajiban untuk mendirikan negara agama tidak juga
mereda. Kelompok-kelompok Islam konservatif tetap bersikukuh pada
keyakinan bahwa sistem khilafah adalah solusi untuk semua persoalan
bangsa ini.
Tentang kewajiban untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara,
kelompok konservatif menganggapnya sebagai sesuatu yang terlalu
mengada-ngada. Pancasila, bagi mereka, bukanlah agama yang wajib diikuti
dan tidak boleh diganti.7 Pancasila dipandangnya sebagai produk buatan
manusia yang tentu saja bisa diganti atau dilupakan sama sekali. Bahkan
sejak semula, kelompok Islam konservatif tidak pernah sekalipun menaruh
hormat dan patuh pada Pancasila.
Muhammad Natsir misalnya, salah seorang pentolan gerakan politik
Islam di Indonesia, menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi sekuler
dan tidak berdasar pada wahyu tuhan. Ia hanyalah hasil dari penggalian di
masyarakat.8 Pernyataan lebih ekstrim bahkan pernah disampaikan oleh
pimpinan kelompok FPI (Front Pembela Islam), Rizieq Shihab yang
memelintir “Pancasila” menjadi “pantat cina”. Ia juga pernah sesumbar
mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi liberal ala Barat,
dan hukum mengikuti sistem ini menurutnya haram, bahkan lebih haram
dari memakan daging babi.9
Tentang ini, Justus M van der Kroef memiliki penjelasan yang menarik.
Fenomena meremehkan –atau bahkan ‘kurang ajar’ terhadap— Pancasila
disebabkan oleh kondisi Pancasila yang kini bisa ditafsirkan oleh siapapun.
Seperti diketahui, pemaknaan dan tafsiran terkait Pancasila sebelumnya
dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah; hanya pemerintah saja yang boleh
menafsirkan Pancasila. Kini, ketika kran kebebasan telah terbuka, banyak
7
8
9
Lihat: Al Khanif, “Pancasila dan Agama: Teman atau Lawan?”, dalam, al Khanif (ed), 2016, Pancasila
Sebagai Realitas: Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm. 172.
Septian Prasetyo, dkk, 2015, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Ideologisasi Islam di Indonesia Tahun 1949-1959”, dalam. Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan, vol. 3, No. 3, hlm. 203.
Untuk uraian lebih lengkap tentang ini lihat: Ulla Fionna, 2015, ISEAS Perspective: Watching the
Indonesia Elections 2014, Institute of Southeast Asian Studies, 2015.
[ 133 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
orang yang tiba-tiba merasa berhak untuk menafsirkan Pancasila. Akibatnya,
perdebatan terkait makna Pancasila yang ‘sesungguhnya’ kerap menjadi
arena perselisihan di kalangan intelektual dan menjadi pembenaran di
kalangan demagog.10
Dalam konteks ini, Pancasila tidak pernah benar-benar dipahami dan
diperlakukan secara layak. Ia hanya digunakan sebagai pembenaran untuk
berbagai macam kepentingan. Bahkan, meminjam istilah Eka Darmaputra,
Pancasila saat ini lebih sering diperlakukan laiknya “Periuk Kosong” yang
hanya berbentuk namun tidak berisi. Menurutnya, upaya memahami
Pancasila tidak bisa dilepas dari konteks sejarah dan pengaruh kehidupan
sosial yang membidani kelahirannya.11
Karenanya, Pancasila tidak bisa secara tiba-tiba diubah maknanya,
apalagi direndahkan sedemikian rupa dengan misalnya, menuduhnya
sebagai biang keladi untuk menumpuknya berbagai persoalan yang timbul
di negeri ini. Namun begitu, hal ini tidak lantas bermakna bahwa Pancasila
tidak boleh dimaknai oleh masyatakat, seperti dijelaskan oleh Ahmad
Taufik, penafsiran dari berbagai perspektif boleh dilakukan selama
pemahaman tersebut bersifat konstruktif untuk kemajuan bangsa
Indonesia.12
Memahami (atau lebih tepatnya memaksakan pemahaman bahwa)
Pancasila sebagai sumber masalah lantaran dianggap bertentangan dengan
agama jelas tidak termasuk dalam perspektif yang bersifat konstruktif untuk
kemajuan bangsa sebagaimana dimaksud oleh Ahmad Taufik di atas.
Namun begitu, pelecehan dan penyalahgunaan Pancasila seharusnya
disikapi secara serius oleh pemerintah. Hal ini perlu dilakukan agar tidak
ada lagi suara-suara marah yang penuh sesak dengan ilusi khilafah.
Terutama dengan berkaca kepada fakta yang secara gamblang
menunjukkan betapa kelompok-kelompok konsevatif begitu memaksakan
untuk merawat dan memimpikan berdirinya negara agama di Indonesia.
10
Bonifasius Hendar, dkk, 2014, Berjiwa Integratif, UMN Press, hlm. 21
Gumilar Rusliwa Soemantri, 1988, Pancasila and The Search for Identity and Modernity in Indonesian Society, E.J. Brill, Leiden, hlm. 20.
12
Ahmad Taufik, dkk, 2015. Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas, Globalisasi dan Diskursus
NEGARA-Bangsa, Yogyakarta: Ombak, hlm. 104.
11
[ 134 ]
Khoirul Anam
Kelompok ini melakukan berbagai cara untuk memastikan bahwa impian
negara Islam tidak terkubur begitu saja. Setelah kalah dalam perjuangan
menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara di masa-masa awal
kemerdekaan,13 kelompok Islam konservatif nyatanya tidak lantas bubar
dan mati. Mereka justru berhibernasi. Hal ini tampak dari apa yang mereka
lakukan selama era orde lama. Kelompok konservatif menggunakan jalur
politik untuk memperjuangkan aspirasinya menerapkan hukum-hukum
agama dalam hukum negara.
Bahkan pada saat itu, angin segar sempat berhembus ke kelompok
Islamis dari jalur politik. Hal ini ditunjukkan dengan ramainya parta
berbasis Islam yang turut ambil bagian dalam pemilu pertama pada 1955.
Terdapat setidaknya 6 partai Islam yang ikut dalam pemilu saat itu, yakni;
Masyumi, NU, PSII, Perti, Aksi Kemenangan Umat Islam dan Partai Politik
Tharikat Islam.14 Perolehan suara partai berbasis agama pun cukup
signifikan. Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) misalnya,
mendapatkan sekitar 20% suara. Harap diingat, Masyumi adalah kelompok
utama yang memperjuangkan pendirian negara Islam. Sementara itu, Partai
Nahdlatul Ulama yang pada saat itu juga turut memperjuangkan konsep
negara Islam15 memperoleh suara yang tidak kalah mentereng. Partai baru
ini mampu menarik hingga 7 juta pemilih atau 18,4%.16
Tidak cukup dengan jalur politik, para pentolan kelompok konservatif
Islam bahkan melancarkan gerakan militer untuk menumbangkan Pancasila
dan menggantinya dengan syariah Islam. Sebut saja Kartosuwiryo di Jawa
Barat, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Daud Bereuh di Aceh dan Kahar
13
Penghapusan ‘tujuh kata sakti’ dari sila pertama Pancasila dipandang sebagian kecil umat Islam
sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan
kaum Muslim di Indonesia. lihat: Suratno, supra note, 1, hlm. 434.
14
Reslawati, 2010, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik Islam
pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta” Jurnal Multikultural & Multireligius Harmoni, IX
(34) April-Juni 2010, hlm. 123.
15
Banyak pihak memandang sikap NU yang turut memperjuangkan konsep NEGARA Islam ini
sebagai akibat dari pengaruh pemikiran Masyumi. NU sendiri baru keluar dari Masyumi tiga tahun
sebelum pemilu pertama berlangsung (1952). Lebih lengkap tentang ini, lihat: Ahmad Syafi’i
Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah KeNEGARAan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituente.
Jakarata: LP3ES, hlm. 123.
16
Moh Amirul Mukminin, 2015, “Hubungan Nu dan Masyumi (1945-1960) Konflik dan Keluarnya
NU Dari Masyumi”, dalam, AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, (3), hlm. 492.
[ 135 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Muzakar di Sulawesi Selatan. Bertahun-tahun kemudian, bara perjuangan
pendirian negara Islam tetap menyala kuat di sebagian warga Indonesia
meski para penggagasnya telah tiada. Bahkan ada banyak kelompokkelompok kecil yang di kemudian hari terlibat dalam banyak aksi teror
seperti Jamaah Islamiah dan JAT di mana inspirasi pendirian dan gerakannya
adalah untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.
Era orde baru menjadi malapetaka besar bagi kelompok Islam konservatif.
Tangan besi Soeharto berhasil menenggelamkan suara-suara bising
kelompok ini. Senjata utama yang digunakan Soeharto adalah nasionalisme
total di mana Pancasila menjadi simbol utamanya. Dalam pandangan
Soeharto, siapapun yang tidak tunduk kepada Pancasila akan otomatis dicap
menjadi orang yang anti budaya dan anti terhadap Indonesia. Karenanya,
orang-orang yang ‘tidak nasionalis’ ini dilarang ada.17
Pancasila tampaknya memang lebih banyak berfungsi laiknya palu gada
yang digunakan untuk memukul mundur kelompok-kelompok yang
dianggap tidak sehaluan dengan arah gerak bangsa. Seperti dijelaskan oleh
Al Khanif bahwa “Pancasila digunakan oleh rezim Soeharto sebagai ideologi
untuk memberangus lawan-lawan politiknya. Karenanya, bukan hanya
kelompok pendukung konsep negara Islam yang diberangus melainkan
pula komunisme.”18
Kondisi ini bahkan diteruskan –dengan pendekatan yang lebih keras—
di era orde baru. Di bawah pimpinan presiden Soeharto, masyarakat
dituntut untuk memberikan kepatuhan mutlak (monoloyalitas) terhadap
pemerintah. Melalui berbagai kebijakan dan propagandanya, pemerintahan
Soeharto merasa perlu untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara agar menjadi lebih baik. Caranya adalah dengan melakukan
pemurnian terhadap pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Cara ini, seperti dijelaskan oleh Dwi Wahyono Hadi dan Gayung
Kasuma, tidak lebih dari propaganda pemerintah untuk melakukan
sentralisasi kontrol yang sangat kuat dan dominan.19
17
Chua Beng Huat, 1993. “Looking for democratization in Post-Soeharto Indonesia”, dalam Contemporary South East Asia, 15, 2, hlm. 152.
18
Al Khanif, supra note 6, hlm. 180.
19
Lihat: Dwi Wahyono Hadi & Gayung Kasuma, tt, “Propaganda Orde Baru 1966-1980”,
journal.unair.ac.id, hlm. 39-40.
[ 136 ]
Khoirul Anam
Pada masa-masa ini, kelompok-kolompok Islam konserfatif tentu tidak
bisa bergerak bebas, meski mereka juga tidak mati atau bubar sepenuhnya.
Para perawat ilusi negara khilafah ini berhibernasi; tidak melakukan kegiatan
massa, namun tetap ada dan bergerilia, sehingga ide-ide pendirian negara
agama tetap terjaga. Bahkan orang-orang sekelas Abu Bakar Ba’asyir dan
Abdullah Sungkar sampai harus kabur ke Malaysia demi menjaga semangat
mendirikan negara Islam di Indonesia.
Hingga akhirnya eksistensi kelompok konservatif mulai bermunculkan
ketika era reformasi membuka kran kebebasan. Para simpatisan dan aktifis
Muslim yang sebelumnya dipenjara bersatu dengan kebencian yang
semakin menjadi-jadi pada pemerintah yang mereka anggap murtad karena
menolak memberlakukan syariat Islam. Mereka pun semakin mantab untuk
menggulingkan sistem pemerintahan yang sah dan menggantinya dengan
syariat Islam.20
Obral Ilusi di Era Reformasi
Kelompok konservatif utamanya garis keras bahkan telah siap untuk
melakukan apa saja termasuk tindak-tindak kekerasan. Secara khusus
tentang ini, direktur pencegahan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme menulis dalam Country Report-nya., “They reunited with
stronger hate to government and state, they renamed the day as a day of
revenge, where they would do anything, including extreme acts, only to
make a difference.” 21. dan benar saja, serangkaian aksi teror yang
mengatasnamakan kepentingan agama banyak terjadi di masa-masa ini
mulai dari peristiwa Bom Natal 2000, Bom Bali 2002, Bom Bali 2005
dan Bom JW Marriott 2003.22
Salah satu kelompok yang paling menyita perhatian adalah HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), meski kelompok ini mengaku menolak segala bentuk
20
Khoirul Anam, 2016, “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan Penanggulangannya,”
dalam. al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas: Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan IsuIsu Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 425.
21
Brigjen. Pol. Hamidin, 2015, “Toward a New Approach of Dealing with Counter-Terrorism: A
Study and Shared Experience from Indonesia,” dalam NCTA Country Report. (Agustus). Hlm. 3.
(Naskah tidak diterbitkan, internal BNPT).
22
Untuk informasi lebih lengkap terkait peristiwa-peristiwa tersebut, lihat: Setya Eko Sumargo, 2009,
Noordin M. Top & co.: The Untold Stories, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 202-210.
[ 137 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
kekerasan, namun ide dasar dan cita-cita besar mereka tentang berlakunya
hukum Islam di Indonesia jelas sangat berbahaya. Kelompok HTI, yang
masuk ke Indonesia sejak 1980 dengan tokoh utamanya bernama Abd.
Rahman al Baghdadi, memang tidak pernah melakukan aksi-aksi kekerasan
secara langsung. Kegiatan mereka lebih banyak difokuskan pada
demonstrasi, menyelenggarakan seminar dan diskusi publik, publikasi
melalui media, serta melakukan kunjungan ke ormas-ormas Islam dan para
pemangku jabatan (kekuasaan).23
Suara kelompok ini semakin nyaring lantaran tumbangnya rezim Orde
Baru dibarengi dengan pecahnya krisis multi dimensi, baik dalam dimensi
sosial, ekonomi, politik, sentimen SARA, dsb. Hal ini jelas menjadi bahan
bakar yang sangat baik bagi kelompok Islam konsevatif untuk meyakinkan
masyarakat bahwa Pancasila telah gagal membawa kesejahteraan bagi bangsa,
karenanya mereka harus pindah ke sistem baru; khilafah. Bagi HTI,
ketiadaan khilafah akan berimplikasi pada tiga masalah utama yang harus
dihadapi umat Islam, yakni: pertama, kehilangan kepemimpinan umum
di tengah-tengah umat Islam, sehingga umat mudah terpecah belah, kedua.
Umat juga dipandang akan sulit menjalankan penegakan hukum agama
secara menyeluruh (kaffah) karena tidak adanya institusi legal sebagai
eksekutornya (khilafah), dan ketiga. Tanpa khilafah umat Islam akan lalai
untuk menjalankan perintah utamanya, yakni berdakwah ke seluruh
dunia.24
Bagi HTI dan kelompok-kelompok sejenisnya, khilafah adalah jawaban
untuk segala persoalan. Kelompok seperti HTI ini mengerti benar bahwa
menumbangkan Pancasila bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan strategi
yang tepat agar ideologi dasar tersebut tidak lagi dipandang keramat.
Karenanya mereka melakukan strategi jitu yang belum pernah dilakukan
sebelumnya, yakni melalui jalur pendidikan. Mereka sepertinya telah
mempelejari dengan baik kegagalan para pendahulunya yang kandas
menggulingkan Pancasila lewat jalur politik dan militer, karenanya mereka
memilih fokus untuk menggerogoti sisi pendidikan.
23
Penjelasan lebih lanjut tentang ideology dan gerakan HTI lihat: Mohammad Rafiuddin, 2015,
“Mengenal Hisbut Tahrir: Studi Analisi Ideologi Hizbut Tahrir vis a vis NU,”. Islamuna volume 2,
nomor 1, Juni, hlm. 29-54.
24
Media Umat, Tragedi 3 Maret 1924 (6-19 Maret 2015), 3.
[ 138 ]
Khoirul Anam
Hal ini dilakukan dengan bergerilya di kampus-kampus, mendirikan
organisasi kemahasiswaan, dan mulai mendoktrin mahasiswa (utamanya
mahasiswa baru) dengan ide-ide khilafah sambil tidak lupa men-thagutkan sistem demokrasi dan Pancasila. Suratno bahkan menyebut anggota
kelompok macam HTI sangat sabar membangun agenda politik melalui
kampanye dan penggalangan massa di kampus-kampus dan masjid-masjid.
Dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam, pendirian
negara Islam dianggapnya sebagai sebuah keniscayaan.25
Jika ditilik lebih dalam, kelompok sejenis HTI ini memiliki sikap yang
ambigu. Mereka mengaku anti kekerasan namun di waktu yang bersamaan
mereka mengelu-elukan Khilafah yang merongrong persatuan bangsa ini.
Menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama namun keukeuh
mendukung khilafah sama halnya dengan menolak kenaikan harga-harga
barang namun tetap berbelanja gila-gilaan. Sejarah mencatat bahwa justru
khilafah menyimpan seabrek catatan kekerasan yang melibatkan berbagai
adegan pembantaian. Lihat saja proses alih kuasa yang terjadi pada khalifah
Salim I, Sultan Bayezid II, Khalifah Sulaiman I, Khalifah Sulaiman II,
hingga Sultan Muhammad Al-Fatih yang hampir kesemuanya menduduki
posisi khalifah dengan tangan berlumuran darah.26
Di luar kelompok-kelompok di atas, temuan Suratno menunjukkan
bahwa ada pula kelompok-kelompok lain –yang meskipun nyaris tidak
pernah terlihat di permukaan—yang sangat berbahaya. Kelompok ini
bergerak secara sembunyi-sembunyi namun sangat intens. Kelompok ini
juga tidak pernah mengeluarkan suara lantang untuk menggulingkan
Pancasila, meskipun itu adalah tujuan utamanya. Hal pertama yang mereka
targetkan adalah menjadi mayoritas. Untuk sampai pada tujuan ini, mereka
bersedia untuk ‘pura-pura’ ikut sistem demokrasi, yakni dengan membentuk
partai politik, melakukan penggalangan massa melalui pengajian-pengajian
dan pertemuan-pertemuan (liqo’). Bagi kelompok ini, mereka akan terus
menyembunyikan cita-cita dan rupa asli kelompoknya hingga hasrat
menjadi mayoritas tercapai. Dibandingkan dengan kelompok lain,
25
26
Suratno, supra note 1, hlm. 430.
Khoirul Anam, 2015, Khilafah Tidak Sebanding Dengan Demokrasi Pancasila, http:// jalandamai.org/
khilafah-tidak-sebanding-dengan-demokrasi-pancasila.html
[ 139 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
kelompok ini lebih realistis; pendirian negara Islam hanya bisa dilakukan
jika mereka telah menjadi mayoritas.
Umat IIslam
slam Anak E
mas P
ancasila?
Emas
Pancasila?
Pertanyaan mendasar yang perlu untuk selalu diulang adalah jika benar
Pancasila harus diubah lantaran dianggap bertentangan dengan agama,
maka poin mana yang menunjukkan hal itu? Meski tidak mengusung merek
agama tertentu, Pancasila secara nyata mewadahi kepentingan Islam.
Tentang ini, bahkan muncul kritik yang menyatakan bahwa Pancasila yang
sekarang –utamanya sila pertama—terlalu mengistimewakan Islam. Sila
yang berbunyi “ketuhanan yang maha esa” dianggap terlalu memihak
kepada Islam, karena nyatanya hanya agama ini saja yang rajin melakukan
klaim sebagai agama yang memiliki tuhan tunggal, tidak beranak, dan
tidak pula diperanakkan.
Kritik ini meminta agar sila pertama pada Pancasila dikembalikan ke
bentuk sebelumnya, di mana frase “Ketuhanan yang Maha Esa” dihapus
dan dikembalikan ke frase versi sebelumnya, “Ketuhanan yang
Berkebudayaan”. Frase ini berarti bahwa nilai-nilai ketuhana yang dipegang
oleh masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral,
yakni penghargaan terhadap tuhan masing-masing yang dianggap benar
dan sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap individu.27 Ahmad Syafi’i Ma’arif,
yang sangat menyetujui penghapusan tujuh kata ‘Islami’ pada sila pertama
Pancasila juga menyatakan bahwa ‘atribut’ “yang Maha Esa” setelah kata
“ketuhanan” pada sila pertama bukanlah semata fenomena sosiologis,
melainkan refleksi dari ajaran tauhid.28 Diksi di atas tentu ‘mengenakkan’
umat Islam, namun menyiksa umat agama lain, seperti hindu, Buddha,
dan terutama sekali, agama-agama minoritas yang tidak kunjung diakui
keberadaannya hingga saat ini.
Temuan Atkinson bahkan menunjukkan bahwa keputusan negeri ini
untuk hanya bertuhan pada yang “Esa” sempat membuat Hindu dan
27
Lebih jauh tentang kritik ini, lihat: Robbi Irfan Maqoma, Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama
Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi, tempo-institute.org, diakses pada Februari,
2017.
28
Ahmad Syafii Maarif, 2006. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar NEGARA: Studi Tentang Perdebatan
Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, hlm. 111
[ 140 ]
Khoirul Anam
Buddha mengalami nasib getir; tidak diakui sebagai agama lantaran tidak
memiliki konsep ketuhanan yang sama seperti agama-agama monotheis29.
Umat agama Hindu dan Buddha lantas ‘mengalah’ dan memilih untuk
melakukan modifikasi dan penyesuaian agar konsep ketuhanan mereka mirip
dengan agama-agama monotheis. Umat Hindu lantas menetapkan “Sang
Hyang Widi” –yang tidak terlalu sentral sebelumnya— sebagai perwujudan
untuk tuhan yang maha Esa. Hal yang sama juga dilakukan umat Buddha,
mereka mengangkat “Adi Buddha” sebagai tuhan yang maha Esa. Nama
Adi Buddha sendiri diambil dari sebuah teks kuno berbahasa Jawa.30
Agama Hindu pun baru diakui dan akhirnya mendapat tempat di
departemen agama 13 tahun setelah Indonesia menyatakan merdeka, yakni
pada tahun 1958. Umat Hindu berjuang untuk mendapatkan pengakuan
ini sejak 1952.31 Sungguh ironis. Protes terhadap frase “yang maha esa”
juga pernah dilakukan oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid
atau Gus Dur. Alih-alih menterjemahkan frase “Ketuhanan yang Maha
Esa” dengan “belief in a singular God” seperti yang dilakukan oleh Robert
W. Hefner32, Gus Dur memilih menggunakan frase berikut, “belief in the
Almighty God”33 yang berarti “kepercayaan kepada tuhan yang maha kuasa”.
Beberapa kritik terhadap kecenderungan Pancasila yang menganakemaskan umat Islam seperti ditunjukkan di atas seharusnya sudah cukup
untuk menghentikan ilusi kelompok Islam konservatif tentang penggulingan
Pancasila, toh nyatanya Pancasila tidak pernah menyulitkan umat Islam di
Indonesia.
Jika data ini belum cukup, maka cobalah membaca rasionalisasi ala
Nurcholis Madjid yang menyebut bahwa fungsi Pancasila dan UUD 1945
29
Lihat: Jane Monnig Atkinson,1987, “Religions in dialogue: the construction of an Indonesian
minority religion.” dalam Indonesian religions in transition, (ed). Rita Smith Kipp and Susan
Rodgers, 171-86. Tucson: Arizona State University, hlm, 177. dan Ismail Hasani dan Bonar Tigor
Naipospos. 2011, Mengatur kehidupan beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU
Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, hlm. 12
30
Julia Howell, 2005, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in Indonesia: Changing
Meanings of Religious Pluralism”. Dalam Social Compass. 52.4, hlm. 478
31
Michel Picard and Rémy Madinier, 2011, The politics of religion in Indonesia: syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali. Abingdon, Oxon: Routledge, hlm. 13-14
32
Robert W. Hefner, 2000, Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton, NJ:
Princeton University Press, hlm. 24.
33
Abdurrahman Wahid. “Indonesia’s Mild Secularism”. Dalam, SAIS Review. 21.2 (2001): 25-28.,
1
[ 141 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bagi umat Islam –sekalipun tidak dapat disamakan—dapat dianalogikan
dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah
Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah (mitsaq al- madinah)
pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Perjanjian ini
sendiri dibuat oleh Nabi SAW segera setelah ia tiba di Yastrib (sekarang
Madinah) pada 622. Perjanjian tersebut berlaku untuk orang-orang
Muhajirin (sebutan untuk orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama
Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi.34
Perjanjian ini pun kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Poin penting dari Pancasila adalah Bhinekka Tunggal Ika, yakni
kesepakatan untuk bersatu di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Masyarakat Indonesia yang plural baik dalam hal agama, ras, suku, dan
golongan, bersepakat untuk mengutamakan persatuan di atas seluruh
perbedaan tersebut. Demikian pula dengan Piagam Madinah yang berisi
rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim
Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok nonMuslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.
Piagam Madinah juga memuat poin tentang hak kewarganegaraan dan
dan partisipiasi kaum non-Muslim yang dipimpin oleh Nabi SAW. Melalui
piagam ini pula, nabi mengangkat derajat orang-orang Yahudi yang
sebelumnya terpecah dalam suku-suku menjadi warga negara yang sah.
Melalui piagam itu, seperti dijelaskan oleh Cak Nur, Nabi ingin
memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun nonMuslim, adalah satu bangsa atau umma wahida, dan bahwa mereka semua
memiliki hak dan kewajiban yang sama.35 Sebagaimana halnya umat Islam
Indonesia yang menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam
bernegara, umat muslim di era Nabi juga menerima Piagam Madinah atas
pertimbangan nilai-nilai yang dibenarkan pula dalam Islam. Terutama
karena fungsinya yang memuat kesepakatan antar golongan untuk
membangun tatanan kehidupan sosialpolitik bersama.
34
Lihat Nurcholish Madjid, 2003, Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed),
2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia
35
Suratno, 2006, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam Neo-Modernisme Nurcholish Madjid”,
dalam Jurnal Universitas Paramadina, Vol 4 (3), (Agustus), hlm. 332
[ 142 ]
Khoirul Anam
Dalam konteks ini, Cak Nur sepertinya ingin mengatakan bahwa
Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, melainkan justru
seturut dengan kehendak Islam. Karenanya upaya untuk menggulingkan
Pancasila dengan alasan berlawanan dengan agama tidak memiliki dasar
yang kuat, bahkan terlalu mengada-ada. Atau bisa jadi, upaya pendirian
negara agama justru tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama,
ini hanya murni urusan politik praktis untuk merebut kekuasaan, bukan
ridho tuhan.
Jikapun dipaksakan meyakini bahwa pendirian khilafah merupakan
bagian dari pelaksanaan perintah tuhan, maka tetap saja sikap ini tidak
masuk dalam kategori merayakan iman. Seperti dijelaskan oleh Heru
Prakosa, perayaan iman setidaknya harus dilakukan berdasarkan tiga
tantangan berikut, pertama; memelihara dan menjaga agar iman tetap
aktual dengan zaman kini beserta latar belakang sosial dan kulturalnya
yang khas. Kedua, mewujudkan iman dan praksis-praksis sosial, dan ketiga,
mengaitkan iman dengan konteks cultural dalam semangat bela rasa atau
solidaritas yang dibarengi panggilan membangun tanggung jawab bersama.36
Penutup
Menghidupkan kembali ilusi khilafah sama halnya dengan mengubur
hidup-hidup seluruh capaian positif yang telah ditorehkan bangsa ini,
karena alih-alih berorientasi pada kemajuan dan perbaikan, khilafah justru
berpotensi menyeret bangsa ini kembali ke abad pertengahan. Dan
meskipun kerap diklaim sebagai hal yang agamis, pendirian khilafah
nyatanya tidak lebih dari upaya politis praktis yang hanya akan sibuk pada
perebutan kekuasaan. Fakta juga menunjukkan bahwa Pancasila sama sekali
tidak bertentangan dengan ajaran agama, karenanya desakan untuk
menggulingkan Pancasila kehilangan konteksnya.
Meski begitu, penguatan terhadap pemahaman dan implementasi nilainilai Pancasila perlu terus dilakukan, terlebih dengan kondisi terkini di
mana ancaman bahaya radikalisme dan terorisme yang telah berada di
depan mata. Pancasila harus dapat digunakan untuk menjaga Indonesia.
36
Heru Prakosa, 2015, “Agama dan Kearifan Lokal: Menuju Keterbukaan dan Penghargaan,” dalam.
Basis, No. 09-10, tahun ke-64, hlm. 24.
[ 143 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Hal ini bisa dilakukan dengan pertama-tama menegaskan sikap untuk
tidak toleran terhadap segala bentuk intoleransi, karena toleran terhadap
intoleransi adalah intoleran. Masyarakat harus proaktif menguatkan ikatan
sosial; jika ada kelompok pengusung ide intoleransi (kelompok radikal),
masyarakat harus aktif untuk melapor ke pihak yang berwajib. Tidak hanya
dengan sikap tegas, Pancasila pun harus terus dihidupi melalui sikap cerdas,
salah satunya dalam hal mengolah informasi; saring dulu sebelum sharing.
Indonesia sudah menjadi bangsa yang besar lantaran demokrasi yang
mengakomodir berbagai perbedaan, sementara khilafah penuh dengan
lumuran darah. Lihat saja proses alih kuasa yang terjadi pada khalifah
Salim I, Sultan Bayezid II, Khalifah Sulaiman I, Khalifah Sulaiman II,
hingga Sultan Muhammad Al-Fatih yang hampir kesemuanya merebut
kekuasaan dengan kekerasan. Karenanya jangan sampai salah pilih,
Indonesia tidak butuh khilafah.
Referensi:
Buku
Abdurrahman Wahid, 2001, “Indonesia’s Mild Secularism”. Dalam SAIS
Review. 21.2
Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang
Percaturan dalam Konstituente. Jakarata: LP3ES, hlm, 123.
Ahmad Syafii Maarif, 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara:
Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Ahmad Taufik, dkk, 2015. Reaktualisasi Pancasila: Menyoal Identitas,
Globalisasi dan Diskursus Negara-Bangsa, Yogyakarta: Ombak.
Al Khanif (ed), 2016, Pancasila Sebagai Realitas: Percik Pemikiran tentang
Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm, 172.
Bonifasius Hendar, dkk, 2014, Berjiwa Integratif, UMN Press.
Gumilar Rusliwa Soemantri, 1988, Pancasila and The Search for Identity
and Modernity in Indonesian Society, E.J. Brill, Leiden.
Heru Prakosa, 2015, “Agama dan Kearifan Lokal: Menuju Keterbukaan
dan Penghargaan,” Basis, (09-10) hlm. 24.
[ 144 ]
Khoirul Anam
Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice
Center Indonesia
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos. 2011, Mengatur Kehidupan
Beragama; Menjamin kebebasan? Urgensi kebutuhan RUU
Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara.
Michel Picard and Rémy Madinier, 2011, The Politics of Religion in
Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in
Java and Bali. Abingdon, Oxon: Routledge.
Rita Smith Kipp and Susan Rodgers (ed.), 1987, Indonesian Religions in
Transition, Tucson: Arizona State University.
Robert W. Hefner, 2000, Civil Islam: Muslims and Democratization in
Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Setya Eko Sumargo, 2009, Noordin M. Top & co.: The Untold Stories,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal:
Chua Beng Huat, 1993. “Looking for democratization in Post-Soeharto
Indonesia”, Contemporary South East Asia, 15, 2.
Julia Howell, 2005, “Muslims, the New Age and Marginal Religions in
Indonesia: Changing Meanings of Religious Pluralism”, Social
Compass. 52, 4.
Kusnisar, 2012, “Pancasila Sumber Dari Segala Hukum di Indonesia”, Jurnal
Ilmiah Ilmu Sosial, 11, 3.
Moh Amirul Mukminin, 2015, “Hubungan Nu dan Masyumi (19451960) Konflik dan Keluarnya NU Dari Masyumi”, AVATARA,
e-Journal Pendidikan Sejarah, Volume 3, 3.
Reslawati, 2010, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan
Suara Partai Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI
Jakarta” Jurnal Multikultural & Multireligius Harmoni , IX, 34,
April-Juni 2010.
Septian Prasetyo, dkk, 2015, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang
Ideologisasi Islam di Indonesia Tahun 1949-1959”, Jurnal
Mahasiswa Teknologi Pendidikan, 3, 3.
Suratno, 2006, “Kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam NeoModernisme Nurcholish Madjid”, Jurnal Universitas Paramadina,
4, 3, (Agustus).
[ 145 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Suratno, 2008, “Rekonfirmasi Posisi Pancasila vis-a-vis Islam”, Melintas,
24-3-2008.
Ulla Fionna, 2015, ISEAS Perspective: Watching the Indonesia Elections
2014, Institute of Southeast Asian Studies, 2015.
Website:
Khoirul Anam, 2015, Khilafah Tidak Sebanding dengan Demokrasi
Pancasila, www.jalandamai.org
Nurainun Mangunsong, 2006, “Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian
NEGARA”, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret
2006. Lihat www.kedaulatanrakyat.com
Robbi irfan Maqoma, Kritik Frasa ‘Yang Maha Esa’ Sila Pertama Pancasila
untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi, tempo-institute.org,
diakses pada Februari, 2017.
Dokumen:
Brigjen. Pol. Hamidin, 2015, “Toward a New Approach of Dealing with
Counter-Terrorism: A Study and Shared Experience from
Indonesia,” dalam NCTA Country Report. (Agustus), hlm. 3.
(Naskah tidak diterbitkan, internal BNPT).
Putusan P
engadilan:
Pengadilan:
Putusan MK no. 140/PUU-VII/2009.
[ 146 ]
PANC
A SIL
A: REFLEKSI SAD
AR IDEOLOGI
PANCA
SILA:
SADAR
SEBA
GAI ANTIVIRUS RADIK ALISME
SEBAGAI
ANTI-VIRUS
Fiska Maulidian Nugroho
Pendahuluan
P
ancasila sebagai dasar filsafat negara (filosofische grandslag), ideologi
negara dan pandangan hidup (way of life) yang merupakan sumber
nilai, inspirasi serta dasar interpretasi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, wajib diaktualisasikan ke dalam proses dan seluruh
produk per-undang-undangan serta berbagai kebijakan penyelenggaraan
negara.1 Dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itu biasa disebut sebagai
Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai
atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Kelima sila tersebut dipakai
sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau citacita ideal bernegara. Dimana bangsa Indonesia rela dan bertanggung jawab
untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya serta
ikut dalam perdamaian internasional.2 Bangsa Indonesia menyatakan
dirinya berideologi Pancasila agar menjadi suatu keseluruhan pandangan
cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin diwujudkan dalam kenyataan
hidup yang konkrit.3 Selain itu Pancasila dapat disebut sebagai ideologi
1
2
3
Prosiding Kongres Pancasila IV (PSP UGM, 2012) hlm. 9.
Selanjutnya lihat Jimly Asshiddiqie, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” (2008) 1 1 hlm. 6. yaitu: (i)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Cholisin, PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN RELEVANSINYA DENGAN
KONDISI SAAT INI (Kulon Progo) hlm. 1 Soerjanto Poespowardojo.1991. Pancasila Sebagai
Ideology Ditinjau Dari Segi PandanganHisup Bersama, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds.
1991. Pancasila SebagaiIdeologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa
danBernegara, Jakarta: BP-7 Pusat.
[ 147 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dalam arti netral, yaitu ideologi dengan sistem berpikir serta tata nilai dari
suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut dapat diketemukan
wujudnya pada tataran ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai
dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.4
Selain dalam arti yang netral tersebut, ideologi bangsa Indonesia pada
hakikatnya juga merupakan ideologi terbuka. Ideologi terbuka tersebut
hanya hidup di negara yang bersistem demokratis. Terbuka dalam artian
dirinya dapat membuka ruang kesepakatan untuk mencapai cita-cita dan
nilai-nilai dasar. Adapun kesepakatan tersebut adalah tentang rule of law
sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara dan juga
mengenai bentuk institusi- institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang
dikembangkan adalah sistem demokrasi. Pancasila juga memiliki perbedaan
dengan sistem kapitalisme-liberal maupun Sosialisme-Komunis karena
Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak
masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik.
Namun, untuk saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami beban
Ideologis, diantaranya permasalahan yang dihadapi bangsa ialah radikalisme
berbasis agama yang sangat mungkin mengancam demokrasi dan negara
kesatuan di masa kini dan mendatang.5 Radikalisme yang dimaksud disini
adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Setiap
orang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal
(radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya
atau tidak. Sedangkan radikalisasi tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi
ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh dengan signifikan
karena berkaitan dengan ketikadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan
hukum dan seterusnya.6 Radikalisme agama adalah istilah yang tendensinya
terlihat ketika suatu tindakan-tindakan ekstrim dengan mengatasnamakan
agama (Islam). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan dengan cara-cara
anarkis, yaitu merusak, melakukan kekerasan, demonstrasi disertai perusakan
kantor atau lembaga-lembaga, mengerahkan animo massa disertai simbol4
5
6
Asshiddiqie, supra note 2 hlm. 1.
Lihat M. Fuad Nasar di Kementerian Agama RI, “Masa Depan Islam Moderat”, Maj Islam Kementeri
Agama Islam RI (2015) hlm. 14.
Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal” (2012) 20:1 hlm.
83.
[ 148 ]
Fiska Maulidian Nugroho
simbol atau atribut keagamaan tertentu. Dan hampir seluruh orasinya
ketika demonstrasi adalah bersubstansikan pengobaran kekerasan.7
Virus radikalisme sudah menjalar dan terkait kasus yang berhubungan
dengan radikalisme, terorisme, sangat diperlukan tokoh-tokoh agama serta
tokoh masyarakat. Salah satunya adalah dengan penguatan terhadap imandiri atas umat agama itu masing-masing.8 Karena selama ini di Indonesia
telah berdiri Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai fasilitas
yang disediakan oleh pemerintah dan telah dibentuk oleh masyarakat itu
sendiri. Sehingga profil tokoh agama di dalam Forum tersebut diharapkan
mampu merumuskan perannya secara persuasif guna mencegah bahayanya
terorime dan radikalisme. Nampaknya, radikalisme adalah salah satu dari
instrumen ‘racun’ akibat adanya virus-virus radikal.9 Sangat tepat apabila
radikalisme disebut pula sebagai suatu ‘virus’. Karena diluar konteks definitif
7
8
9
Ninin Prima Damayanti et al, “Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku Menyimpang:
Studi Kasus Front Pembela Islam” (2012) 3:1 J Kriminologi Indonesia, online: <http://
journal.ui.ac.id/jki/article/view/1119> hlm. 3 Lihat pula. Afif, Muhammad. “Akar-akar Gerakan
Islam Radikal”, available hlm. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/24/0801.htm.
Dalam tulisan ini Penulis mencoba merespon kalimat yang dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo Era Jokowi dalam acara Harmonisasi Kerukunan Umat Beragama di Hotel Sahid,
Jakarta Selatan, 15 Desember 2016. Dirinya mencantumkan kalimat “virus radikalisme”. Sekilas
latar belakang dalam tulisan ini adalah adanya virus radikal. Dan ketika ada virus maka harus timbul
suatu upaya pencegahan maupun pemusnahan atau penanganan terhadap virus tersebut. Virus
radikal perlu adanya pencegahan yakni vaksinasi. Sehingga upaya vaksinasi bertujuan agar virus
radikalisme tidak terlalu jauh menggerogoti Bangsa Indonesia. Selain itu upaya vaksinasi tentu
memerlukan sarana yang efektif untuk menyebarkan vaksin ke dalam jiwa dan ideologi masyarakat
Indonesia. Sarana itu berupa injeksi atau kita kenal dengan menyuntikkan vaksin ke dalam jiwa
(ideologi) manusia melalui beberapa jalan injeksi. Mendagri menggunakan Virus Radikal dalam
pernyataanya, lihat di “Mendagri: Virus Radikalisme Sudah Menjalar”, online: <https://
news.detik.com/berita/3101206/mendagri-virus-radikalisme-sudah-menjalar>.
Virus secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yakni venom yang berarti racun. Virus menjadi
agen penyebab penyakit menular, maupun sesuatu hal yang dapat meracuni pikiran atau jiwa. Virus
itu sendiri adalah organisme subsekuler yang karena ukurannya sangat kecil, hanya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop elektro. Ukurannya lebih kecil daripada bakteri sehingga virus
tidak dapat disaring dengan penyaring bakteri. Virus terkecil berdiameter hanya 20 mm (lebih kecil
daripada ribosom), sedangkan virus terbesar sekalipun sukar dilihat dengan miskropkop cahaya.
Virus juga merupakan organisme yang sangat kecil yang tidak dapat hidup secara bebas jika dirinya
tidak berada dalam sel inangnya. Lihat “Online Etymology Dictionary”, online: <http://
www.etymonline.com/ index.php?term=virus>. definisi atau pengertian virus itu sendiri pertama
kali diketahui tahun 1955, dari bahasa Latin yaitu venom, virus tersebut berbeda-beda konteks
pendefinisiannya, berupa medical definition of virus maupun definisi software “malware” pada
komputer (perangkat lunak) “Virus | Definition of Virus by Merriam-Webster”, online: <http://
www.merriam-webster.com/ dictionary/virus>. Lihat pula Artem Cheprasov, “What Are Viruses? Definition, Structure & Function”, online: <http://study.com/academy/ lesson/ what-are-virusesdefinition-structure-function.html>.
[ 149 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
organisme ‘virus’ tersebut, virus yang dimaksud di sini adalah virus yang
dapat meracuni pikiran dan jiwa manusia itu sendiri. Radikal dalam paham
dan ismenya, biasanya mereka akan menjadi radikal secara permanen.
Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force (kekuatan)
masyarakat dan teror.10 Terlebih lagi dalam dekade terakhir, dunia telah
menyaksikan kebangkitan yang luar biasa dari apa yang disebut dengan
ekstremisme dan radikalisme.11 Teorisme menggunakan ancaman serta
penggunaan kekuatan dengan tujuan membuat perubahan politik (Brian
Jenkins, Rand Corporation).12
Begitu pula oleh Federation Bureau of Investigation (FBI)
mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekuatan yang melanggar
hukum atau kekerasan terhadap orang-orang atau properti untuk
mengintimidasi dan memaksa sebuah pemerintahan, populasi sipil, atau
segmen lain-lainnya, dengan tujuan politik tertentu. 13 Tore Bjorge
menjelaskan bahwa terorisme merupakan masalah yang kompleks. 14
Kompleksitas tersebut dapat dilihat dari upaya para ahli untuk
menguraikan terorisme melalui berbagai macam definisi untuk
mengidentifikasikannya. Terorisme juga dapat ditinjau dari bentuk tindakan,
karakteristik maupun akar permasalahannya. Karena keberagaman definisi
terorisme tersebut, maka tidak ada satu definisi tunggal yang dapat mewakili
fenomena terorisme di seluruh dunia. Kompleksitas juga muncul karena
faktanya label ‘terorisme’ digunakan untuk mengidentifikasi berbagai
macam fenomena dengan lingkungan yang luas.15
Kejadian-kejadian terorisme yang pernah terjadi di Indonesia sejak Bom
Bali I 2005 tidak hanya menyasar simbol-simbol Amerika melainkan sudah
menyasar simbol-simbol yang dianggap bertentangan dengan nilai Islam.
Semua ini dapat dikatakan oleh penulis bahwa seluruh kejadian tersebut
10
Rokhmad, supra note 6 hlm. 83.
Paul Cliteur, “State and religion against the backdrop of religious radicalism” (2012) 10:1 Int J
Const Law 127 hlm. 127.
12
Lihat Graeme R. Newman dan Ronald Y. Clarke Mangai Natarajan, “Kejahatan dan Pengadilan
Internasional” in Mangai Natarajan, ed, Int Crime Justice, i ed (New York: Cambridge University
Press, 2015) 1 hlm. 292.
13
Ibid.
14
Ni Putu Elvina Suryani, Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia (Mata Kuliah Terorisme di
Indonesia) (2012) hlm. 2 Lihat di Tore Bjorge (ed), Root Causes of Terorism: Myths, Reality, and
Ways Rorward (London and New York, Routledge, 2005), hlm 1.
15
Ibid.
11
[ 150 ]
Fiska Maulidian Nugroho
merupakan bagian dari fenomena radikalisme di Indonesia. Dari kejadian
dan fakta-fakta tersebut diatas, dapat diasumsikan bahwa memang ada
orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi teroris,
menggembleng para calon teroris, mengajarkan ilmu teror, dan meyakinkan
orang-orang untuk mengikuti pemahaman (Islam) ala teroris. Selain itu,
ketika membahas tentang radikalisme dan terorisme. Ternyata keduanya
bukan murni ciptaan Barat. Melainkan memang fakta nyata ada yang
meyakini, memeluk, dan mengembangkannya dari kalangan umat Islam
sendiri.16
Selama ini radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara
pengungkapan keberagaman seseorang. Sedangkan terorisme secara jelas
mencakup tindakan kriminal untuk tujuan-tujuan politik. Radikalisme
lebih terkait dengan problem intern keagamaan, sedangkan terorisme adalah
fenomena global yang memerlukan tindakan global juga. Namun
radikalisme kadangkala bisa berubah menjadi terorisme, meskipun tidak
semuanya dan selamanya begitu.17 Dari uraian singkat diatas, nantinya
akan diuraikan melalui konteks pencegahan dan pemberantasan
radikalisme. Penulis sengaja meminjam istilah “Islam moderat” sebagai
pengantar analisisnya. Istilah tersebut penulis pinjam bukan untuk
mengenyampingkan unsur kepercayaan dan agama yang selama ini tertuang
dalam ke-Bhinekaan Indonesia. Dimana pembahasan ini nantinya berusaha
menyempitkan bingkai tulisan antara Islam yang moderat denga Islam
yang radikal.
Konsekuensi Globalisasi
Mau tidak mau konsekuensi globalisasi mempengaruhi atmosfir budaya
akan sadar Pancasila. Terutama kaum-kaum ekstrimis yang menginginkan
sebuah gerakan revolusi (Islam) yang disinyalir selama ini memang
bertujuan untuk mendirikan Negara sendiri di atas Negara Kesatuan
Republik Indonesia?. Patut diduga, sebaran pendidikan untuk
memahamkan guna mengamalkan ideologi Pancasila masih belum
16
Ahmad Fuad Fanani, “Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda” (2013) 8: Menghalau
Radikalisme Kaum Muda: Gagasan dan Aksi MAARIF Inst Cult Humanity 1 hlm. 4.
17
Ahmad Syafii Maarif menyatakan bahwa radikalisme memang tidak persis sama dan tidak bisa
disamakan dengan terorisme. Ibid.
[ 151 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
teroptimalisasikan dengan baik. Maka sudah waktunya bagi masyarakat
Indonesia bersatu padu meredam, menyadarkan, bahkan bila perlu
wajiblah membumi hanguskan kelompok-kelompok radikal yang mungkin
tidak bisa disadarkan. Kita dapat melihat kaum jihad yang bersikeras
menghilangkan pengaruh Barat terutama Amerika Serikat. Teror atau jihad
qital (jihad dalam pengertian membunuh) menjadi simbol dan metode
perlawanan dalam memperjuangkan Islam yang Kaffah (totalistik).
Bertujuan untuk menegakkan Syariah Islam sebagai hukum Negara dan
Islam sebagai dasar Negara. Sehingga cita-citanya adalah membangun
Negara Islam dan Khalifah Islamiyah. Kaum jihad juga terus melakukan
tekanan-tekanan sosial politik yang tidak jarang dengan cara stabilitas politik
dan keamanan. Bentuk-bentuk teror mereka arahkan sebagai hantaman
bagi kekuatan demokrasi, menolak sikap-sikap liberal dalam bidang
moralitas, gaya hidup, serta dana politik.18
Jangan sampai suatu arus globalisasi maupun gelombang reformasi
mengakibatkan beberapa benturan-benturan di masyarakat. Sebagaimana
yang telah dicontohkan selama ini, berupa keninabobo’an kaum-kaum
pancasilais. Yakni, berleha-leha diatas proses demokratisasi. Entah itu
sengaja atau memang merasakan ketaiadaan hambatan dalam proses
demokrasi. Ketika kita merasa acuh tak acuh maka yakinlah suatu saat
peta pertarungan ideologi dunia hanya akan sedikit yang dapat kita ikuti.
Lihat, ekslusifitas suatu kelompok massa yang memiliki kekuatan massa
dan mereka membentuk kelompok-kelompok Islam yang militan atau
ekstrim. Keekstriman tersebut memolitisir “Islam” sebagai ideologi-nya.
Sehingga, memungkinkan kaum jihadi tersebut melakukan interaksi dan
jaringan dengan kelompok-kelompok masyarakat Islam Timur Tengah yang
memiliki kesamaan dalam misi dan garis perjuangannya. Terutama, sebelum
adanya Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yaitu kelompok Al Qaeda
yang pernah dipimpin oleh Osama bin Laden.19
Kelompok-kelompok radikal Islam tertedeksi secara aktif melakukan
perekrutan dan secara terbuka menerima anggota baru. Bahkan, semakin
terlihat transparan dalam gerakan dan gerilyanya. Seperti ungkapan Aman
18
As’ad Said Ali, “Pancasila di Tengah Pertarungan Ideologi Dunia” (2014) 1 Cendekia Waskita 1
hlm. 3.
19
Ali, supra note 18.
[ 152 ]
Fiska Maulidian Nugroho
Abdurrahman dan Abu Bakar Baasyir secara terbuka menyatakan dukungan
terhadap kekhalifahan ISIS di balik jeruji penjaranya. Diperkirakan karena
dukungan kedua tokoh ini akan mengakibatkan sebuah dorongan kepada
pengikut-pengikutnya yang sukarela melakukan hal yaitu mengakui
kekhalifahan yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi.20 Dari situasi
sedemikian rupa ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan paham
radikalisme di Indonesia di awali dari sempitnya pemahaman dari
sekelompok umat beragama. Aksi-aksi terorisme ditegarai timbul karena
hegemoni dunia barat terhadap dunia ketiga, khususnya negara-negara
Islam yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam konteks perang
ideologi di tingkat global.21
Terlihat secara nyata bahwa beberapa unsur syariat atas hukum nasional
di Indonesia, ditolak secara mentah-mentah oleh para kaum jihadi ini.
Suatu ketika, penolakan ini ditegaskan oleh Abu Bakar Ba’asyir pada suatu
risalah yang dibuat di LP Nusakambangan. Dirinya menyatakan bahwa
para pejabat pemerintah yang mengelola tidak berdasarkan Islam kaffah
maka tauhidnya dinyatakan batal dan menjadi kafir.22 Gagasan yang mucul
sedemikian ini bagi Ba’asyir dapat dimaknai, bahwa meskipun selama ini
pemerintah di Indonesia melaksanakan sebagian hukum Islam, namun
apabila pemerintah itu tidak menjadikan Qur’an dan sunnah (Hadits)
sebagai satu-satunya sumber hukum maka dapat dikatakan kafir. Transisi
mengerikan yang terjadi akhir-akhir bukan hanya kelompok radikal Al
Qaeda saja. Namun, ada momok yang lebih dianggap menakutkan lagi,
yaitu adanya tendensi ISIS yang lebih hebat dalam soal merkrut pengantin
atau anggota baru. Konkretnya ketika, beredarnya video ISIS di Youtube
oleh seseorang Warga Negara Indonesia bernama Abu Muhammad alIndonesia yang secara langsung mengajak dan memprovokasi umat muslim
di Indonesia untuk menyertai jihad ISIS di Levant (Iraq dan Syria).23
Sehingga, perlu disadari bahwa, masyarakat Indonesia perlu di injeksi dan
20
Harry Budiman, “Fenomena ISIS dan Khilafah Islamiyah Nusantara” (2014) 1 Cendekia Waskita
83 hlm. 83.
21
Ibid hlm. 85.
22
Lihat Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkirah: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para Penguasa
Negara Karunia Alloh Indonesia yang Berpenduduk Mayoritas Kaum Muslimin (Jakarta: JAT,
2013) hlm. 15.
23
Azyumardi Azra, “ISIS, Khilafah dan Indonesia: Respon Komprehensif” (2014) 1 Cendekia Waskita
97 hlm. 97.
[ 153 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
di vaksinasi guna sebagai benteng dimana itu lebih diharapkan berfungsi
efektif dan responsif serta dapat mecegah bahaya radikalisme yang berujung
tindakan teror.
Injeksi Ideologi
Teroris berbeda dari penjahat karena teroris dimotivasi oleh ideologi mereka.
Sementara, para penjahat dimotivasi oleh kerakusan atau perilaku manusiawi
lainnya. Lihat dalam status ideologi yang mereka anut, yaitu ekstrimis
Islam milisi kanan jauh melakukan serangan bom bunuh diri yang rutin
di Palestina. Mereka tidak hanya menargetkan tempat-tempat ibadah,
melainkan restoran dan tempat-tempat dimana banyak orang berkumpul.
Ketika suatu tempat ibadah diserang, biasanya hal itu dilakukan karena
alasan strategis atau taktis bukan sebagai latar ideologis. Dikemukakan
oleh Graeme bahwa, justifikasi ideologi hanya sebagai penutup kekurangan
senjata yang dimiliki pihak teroris. Sehingga, publisitas yang besar di dunia
itulah dirinya semakin terlihat kekurangannya. Terutama masalah tentang
perlengkapan senjatanya, untuk memperluas kekuasaan. Bagi mereka,
justifikasi ideologi menjadikan dirinya membabi buta. Bahkan, justifikasi
ideologi tersebut adalah sebagai kartu As untuk menganggap benar setiap
serangan-serangan yang mereka lakukan.24
Sikap teroris seperti ini antara lain berupaya meminggirkan Undangundang yang berlaku. Dapat dikatakan, bahwa dengan sikapnya yang
radikal, maka mereka dapat dipastikan terlalu menginginkan perubahan
secara mendadak. Keinginan mereka untuk menginginkan perubahan
situasi yang mendadak tersebut seringkali menyebabkan kelompok manusia
dengan sikap ‘radikal’-nya lebih cenderung menciptakan pendirian mereka
sendiri. Pendirian yang diciptakan itu kesemuanya hanya untuk melaksanakan
suatu misi dan usaha. Yaitu menolak undang-undang. Terutama terhadap
undang-undang yang telah di-iktiraf-kan dalam suatu negara.25
Pada tataran tertentu, kelompok-kelompok radikal bahkan secara
terang-terangan menyatakan negeri ini masih menderita lantaran statusnya
24
Lihat Graeme R Newman & Ronald V Clarke, “Terorisme” in Mangai Natarajan, ed, Int Crime
Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 2011) hlm. 294.
25
Z U L Azmi Yaakob & Ahmad Sunawari Long, “Terorisme sebagai Cabaran Ideologi Muslim Masa
Kini: Satu Analisis dari Perspektif Falsafah” (2015) 7 58.
[ 154 ]
Fiska Maulidian Nugroho
yang masih darul kuffar atau negeri kafir. Para pemimpin dan seluruh
aparatur negara yang mendukung Pancasila pun di cap sebagai thogut
atau para pembantu iblis. Karenanya, ‘jihad’ untuk menghancurkan tatanan
negeri ini beserta seluruh aparatur negaranya, merupakan sebuah keharusan
yang tidak boleh ditunda lagi. Sungguh tidak mengherankan, ketika
Pancasila begitu dimusuhi oleh sekelompok radikal-terorisme. Bukan saja
lantaran Pancasila dianggap tidak akomodatif terhadap cita-cita pendirian
negara Islam, tetapi juga karena Pancasila dianggap menghalang-halangi
upaya penegakan syariat Islam di bumi Indonesia.26 Kembali menyoal
tentang ketegasan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa Islam. Namun,
bangsa yang memang mayoritas umat muslim sebagai penganut terbanyak.
Selama ini bangsa Indonesia memang memiliki kekayaan budaya, tradisi
dan bahasa yang sangat banyak dan beragam. Dari kemajemukan itulah
terdapat pembanding yang potensif antara sifat pluralitas dengan watak
umat muslim yang ditinjau dari penduduk mayoritas. Dimana sifat
pluralitas masyarakat Indonesia mau tidak mau harus diperhatikan secara
baik oleh pemerintah. Antara pluralistik dan watak umat muslim
kesemuanya berpengaruh pada suatu kelompok politik dan ideologi yang
ada di Indonesia ini seperti upaya menentang ideologi Pancasila. Kedua
faktor tersebut sering menjadi persoalan utama pemicu suatu kebencian
maupun konflik. Mayoritas umat muslim Indonesia yang bercirikan dua
unsur yaitu unsur kultur dan unsur agama serta kesemuanya itu dapat
dikatakan memiliki ketersinggungan langsung terhadap radikalisme.
Diakui dari perjalanan yang terjadi selama ini terdapat pengaruh
gerakan di luar garis mainstream Islam Indonesia atau gerakan transnasional
terdapat kelompok keagamaan yang memiliki jaringan internasional.
Kesemuanya datang ke suatu negara (Indonesia) dengan membawa paham
keagamaan (ideologi) baru dari negeri seberang (Timur Tengah). Paham
tersebut dinilai berbeda dari paham keagamaan lokal yang lebih dahulu
eksis. Kelompok itu antara lain al-Ikhwan al-Muslimin (Gerakan Tarbiyah)
dari Mesir, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dari Lebanon (Timur Tengah),
26
Lihat Khoirul Anam, “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan Penanggulangannya”
in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Isu-Isu Kontemporer
Indones, cetakan pe ed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) 239.
[ 155 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Salafi dari Saudi Arabia, Shi’ah dari Iran dan Jamaah Tabligh dari India/
Bangladesh.27
Keenam gerakan atau kelompok tersebut seakan-akan membawa angin
yang berbeda bagi para umat muslim Indonesia. Entah sadar atau tidak
sadar paham tersebut merongrong masuk bersaing dengan Ideologi dakwah
Islam Indonesia, seakan-akan bersaing dengan dakwah Islam Moderat. Hal
ini bertentangan dengan “negerinya kaum Muslim Moderat”. Kalimat yang
pernah dilontarkan Abdurahman Wahid yang meyakinkan bahwa Indonesia
adalah negeri bagi kaum Islam Moderat. Senada dengan Suryadharma Ali
yang menyebut Islam Indonesia adalah Islam Moderat. Islam yang
mengutamakan toleransi dan kebhinekaan.28
Islam moderat sangat linier dengan suasana hati mayoritas umat
muslim di Indonesia yakni merasa lebih nyaman, terlebih jika dakwahnya
adalah melalui cara atau ajaran-ajaran jalan damai terutama dari para sufi
Jawa. Lihat sejarah peradaban Islam moderat yang disebarkan secara damai,
tidak memaksa atas pemeluk lain untuk memeluk agama Islam, penghargaan
terhadap budaya yang tengah berjalan, dan memberikan akomodasi
terhadap budaya lokal tanpa menghilangkan indentitasnya. Sikap ini
dilakukan oleh para Walisongo dalam menyiarkan Islam secara unik
diantaranya menyerap elemen budaya-budaya lokal dan asing tanpa
menghilangkan prinsip-prinsip Islam.29
Penerjemahan dakwah dengan jalan damai dapat dibandingkan dengan
jalan dakwah cabang-cabang disiplin Islam yang lainnya, disebabkan karena
tasawuf sebagai jalan dakwah pada umumnya diyakini dan diakui sebagai
jalan tempuh yang paling besar peranannya di wilayah penyebaran agama
Islam.30 Jalan diluar tasawuf yang dimaksud disini adalah penulis batasi
pada wilayah jihad secara proporsional, proporsional itu bukan seperti
27
Lihat pendapat Ahmad Syafi’i Mufid di Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan
NU sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia” (2014) 9 Islam J Studi Keislam.
28
Ibid; Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006); “Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset”, Koran Sindo
Versi Online (1 June 2014).
29
Miftahuddin, “Akar Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif Historis”, online: <http:/
/ s t a f f . u n y. a c . i d / s y s t e m / f i l e s / p e n e l i t i a n / M i f t a h u d d i n , % 2 0 M . H u m . /
Akar%20Islam%20Moderat.pdf.> hlm. 5–6.
30
Alwi Shihab, The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian Mission in
Indonesia Temple University, 1995) [unpublished] hlm. 18–19.
[ 156 ]
Fiska Maulidian Nugroho
gerakan-gerakan radikal seperti peristiwa 9 September 2001 di New York,
Pengeboman di Bali, Madrid, dan London dan terakhir di Paris di tahun
2015. Namun, Jihad di wilayah ini adalah pemahaman yang benar dan
mendalam atas esensi ajaran agama Islam itu sendiri dan pemahaman
literalistik atas teks-teks agama.31
Pemaknaan jihad yang tidak proporsional dan keliru adalah dimana
pengertian jihad itu hanya dibatasi dengan perjuangan fisik atau perlawanan
senjata. Terlebih dipaksakan untuk menggunakan senjata dalam berjihad.
Muhammad Quraish Shihab berusaha meluruskan atas pemahaman jihad
itu sendiri diungkapkan bahwa, selama ini kesalahpahaman jihad yang
lebih dimaknai sebagai perjuangan fisik, antara lain diakibatkan oleh
terjemahan yang kurang tepat atas ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara jihad
dengan anfus, dimana kata anfus sering diterjemahkan sebagai jiwa
(nyawa)yang kemudian dikesankan sebagai pengorbanan nyawa (fisik) saja.32
Injeksi untuk menolak radikalisme adalah jalan dakwah yang damai
dan tanpa membedakan agama manapun untuk mendapatkan pengakuan
eksistensi mereka. Hal ini bisa dicapai ketika umat Islam memahami
ideologi Pancasila secara menyeluruh. Tulisan ini sengaja hanya membatasi
pada sudut pandang wilayah keeksistensian umat Muslim saja dan tidak
bermaksud mengerdilkan agama maupun kepercayaan yang lain. Minimal
umat Islam Indonesia sebagai umat mayoritas bisa turut andil mencegah
penyebaran virus teroris-radikalisme tersebut.
Beberapa hal yang harus dipunyai oleh umat Islam adalah harus
mengimplementasikan paham moderat yang disebut dengan jalan tengah.
Sebagaimana salah satu aktualisasinya adalah pada saat proklamasi pada
17 Agustus 1945 yang bersepakat dintaranya Indonesia ditempatkan bukan
negara sekuler dan juga bukan negara agama, yaitu negara islam.33 Selain
itu, umat Muslim Indonesia harus memiliki toleransi yang tinggi sebagai
hasil dari dialektika antara agama dan keragaman budaya. Umat Muslim
31
Dede Rodin, “ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas Ayat-ayat ‘Kekerasan’ dalam al-Qur’an”
(2016) 10:1 29; Selanjutnya lihat Yusuf Al-Qaradhawi, as-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud
wa at-Tatarruf (Kairo: Dar Ary-Syuruq, 2001).
32
Rodin, supra note 31; Selanjutnya baca M Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudl’ui
atas Pelbagai Persoalan Umat, cet-2 ed (Bandung: Mizan, 1996).
33
Lihat Azyumardi Azra, Islam Indonesia: Kontribusi Pada Peradaban Global hlm. 5.
[ 157 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Indonesia harus lebih demokratis dengan menjadikan Indonesia sebagai
prototype demokrasi di dunia Islam. Konsepsi pemikiran Islam Jalan tengah
memiliki sifat yang tasawut (moderat), jalan tenah, non-ekstrimis yang
berukuran kanan maupun kiri, dan yang selalu seimbang, inklusif, serta
toleransi antar agama lain.34 Hal penting yang harus dipahami oleh umat
Islam di Indonesia adalah pentingnya melanggengkan dakwah dengan
pendekatan kultural sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Walisongo
secara sederhana.35
Sedangkan secara teologis, mayoritas muslim Indonesia menganut
persepsi Ahlussunnah wal Jamaah.36 Sebuah persepsi Islam yang lentur
terhadap budaya.37 Paham ini menyimpan semangat menghargai tradisi,
keragaman budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki
budaya.38 Ini menarik, karena bila diperbandingkan dengan pemikiran
Islam radikal, konon Islam harus menjadi dasar negara, syariah harus
diterima sebagai konstitusi negara, kedaulatan politik di tangan Tuhan.39
Gagasan tentang negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep
umat yang tidak mengenai batas-batas politik atau kedaerahan, prinsip
syura (musyawarah) berbeda dengan gagasan demokrasi.40 Sehingga dasar
34
Lihat komentar Azyumardi Azra tentang model Islam Nusantara bbc_Polemik-di-balik-istiIahIslam-Nusantara_06-15-15.pdf.
35
Lihat Suparjo Suparjo, “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun
Masyarakat Muslim Indonesia” (2008) 2:2 KOMUNIKA 178.
36
Lihat Ahmad Syafi’i Mufid, “Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer Dalam
Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia” (2016) 12:3 Harmoni 8 hlm. 1.
37
Islam Nusantara yang dipengaruhi tentang ajaran-ajaran Islam sangat bervariasi dan ini dipengaruhi
oleh budaya pra Islam, sehingga Islam tidak menegaskan dirinya tidak menghancurkan budaya yang
sudah lama ada, bahkan memadukannya. Selanjutnya lihat di Muhammad Arifin & Khadijah Binti
Mohd Khambali, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei di
Kuburan dalam Masyarakat Pidie Aceh)” (2016) 15 Jurnal Ilmiah Islam Futura 251-284 hlm. 3.
38
Lihat Majalah “Bimas Islam”, (2015).
39
Gerakan radikalisme yang terbentuk saat ini memiliki beberapa alasan, salah satunya adalah
ketidaksesuaian bentuk pemerintahan dengan ketentuan syariat Islam karena tidak dibentuk atas
prinsip khilafah Islamiyyah, dan perundang-undanganpun tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadist.
Selanjutnya Lihat pendapat Din Syamsudin, bahwa semestinya penegakan khilafah saat ini haruslah
dalam kerangka NKRI, ke khilafahan yang menolak separatisme dan mengurangi inklusifisme serta
pluralisme bangsa. Radikalisme Agama & Tantangan Kebebasan, cetakan pertama ed (Direktorat
Jenderal Bimas Islam Kemenag RI, 2014) hlm. 19.
40
Keidentikan menimbulkan perbedaan, lihat ketika syura diartikan sebagai proses pengambilan
pendapat, berdasarkan suara mayoritas. Sedangkan demokrasi berawal ketika terdapat tipe pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Selanjutnya lihat di Abdul Razak, “Syura dan Demokrasi:
Persamaan dan Perbedaannya” (2010) 25:3 Media Akad, online: <http://e-journal.iainjambi.ac.id/
index.php/mediaakademika/article/view/228>.
[ 158 ]
Fiska Maulidian Nugroho
ideologi adalah sebuah kepatutan dan syarat mutlak yang harus diterapkan
pada lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia merupakan negeri yang multi-agama sekaligus multikultur.41 Bangsa Indonesia diplokamirkan menjadi negara bukan agama.
Sekaligus bukan negara tanpa agama (alias sebagai negara sekuler)42. Inilah
negeri dimana agama-agama diakui dan sekaligus mempengaruhi kebijakan
politiknya. Antara agama dan negara dapat dikatakan sebagai entitas yang
tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa Islam adalah
agama yang secara mayoritas telah dianut oleh penduduk Indonesia43. Dan
itu merupakan jumlah yang sangat besar dari keseluruhan penduduk
Indonesia yang mencapai 240 juta.44 Ketika negara yang berideologi
Pancasila diliputi oleh keragaman agama dan kultur, maka perlu kebijakan
nasional guna membangun karakter bangsa untuk menghadapi dua faktor
tersebut. Beberapa diantaranya adalah perlunya orientasi dan penghayatan
nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa, mengoptimalkan
perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila,
meluruskan kembali nilai-nilai etika dalam berkehidupan berbangsa dan
bernegara, memunculkan kembali kesadaran terhadap nilai-nilai budaya
bangsa, menghadapi secara integratif atas ancaman terhadap bangsa
Indonesia dan menguatkan kemandirian bangsa.45
41
Rizal Mubit, “Peran Agama dalam Multikulturalisme Indonesia” (2016) 11:1 Epistemé J Pengemb
Ilmu Keislam, online: <http://ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/view/ 104>
hlm. 180.
42
Lihat Wildan Sena Utama, “Negara (dan) Islam: Sekitar Polemik Soekarno dan Natsir” (2013)
Prisma Resour Cent, online: <http://www.prismajurnal.com/issues.php?id=%7B1A0F06D5DBC3-8F35-B5AE-E715E50BBFB0%7D&bid=%7B0327B60F-DE6E-539B-997918978AD362 C0%7D>.
43
Meskipun telah terdapati riset yang menyatakan turunnya pemeluk atau penganut agama Islam di
Indonesia. Lihat di “Data Riset: Di Indonesia Muslim Yang Murtad Makin Meningkat”, online:
Elnury News <http://radioelnury.com/news/nusantara/data-riset-indonesia-muslim-yang-murtad
-makin-meningkat.html>; Pengelola Bersama, “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai Daerah di
Indonesia”, online: Dok Pemuda TQN Suryalaya News <http://www.dokumenpemudatqn.com/
2013/07/persentase-jumlah-umat-islam-berbagai.html>.
44
Zuly Qodir, “Perpektif Sosiologis tentang Radikalisasi Agama Kaum Muda” (2013) VIII MAARIF
Inst Cult Humanity hlm. 46.
45
Selanjutnya lihat di Cholisin, supra note 3.
[ 159 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pilar-pilar Ideologi
Sampai saat ini ideologi Indonesia memiliki pilar-pilar civil society nan
handal, yaitu antara lain Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Kedua organisasi kemasyarakatan ini telah memberikan kontribusi besar
sehingga terwujud masyarakat Islam Nusantara yang moderat.46 Kedua
ormas ini menginjeksi pikiran alam bawah sadar kaum muslimin, salah
satunya dengan menggunakan media pembelajaran di sekolah untuk
menjinakkan virus radikal dalam diri siswanya. Sangat sederhana, ormas
Islam seperti NU misalnya, menggunakan kegiatan kegiatan keagamaan
yang diperuntukkan kepada siswa-siswinya dengan sebutan pesantren kilat.
Dilaksanakan saat masa liburan. Begitupun Muhammadiyah, juga sangat
khas dengan istilah “Darul Arqam Dasar” (DAD). Meskipun seluruh
kegiatan keagamaan dilaksanakan dengan disiplin, tidak ada baiat (sumpah
setia). Bahkan para pengajar (ustadz) tidak mengajari akan ketidak tundukan
pada simbol-simbol negara. Sebagaimana elemen radikalisme yang
mempertentangkan Islam dengan Indonesia dengan tidak tunduk atau
hormat pada simbol-simbol Negara Indonesia.47
Selain itu kita patut berkoreksi diri, bahwa selama ini sistem pendidikan
dan pembelajaran memang banyak mendapatkan kritik. Pendidikan
Indonesia dinilai terlalu menonjolkan sisi kognisi tetapi kurang dalam hal
emosi dan moral. Terutama karakter dan budaya suatu bangsa harus
dipertahankan agar identitas bangsa tesebut berbeda dengan yang lain.
Padahal perwujudan atas Pancasila harus melibatkan pengetahuan yang
baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling)
dan perilaku yang baik (moral action). Sehingga, terbentuk perwujudan
kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Sebagaimana Konsep
pendidikan yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantoro bahwa konsep
pendidikan kita patutlah menjadi suatu sistem among yang meliputi ing
ngarsa sung tuladha (jika di depan memberi teladan, mengandung nilai
keteladanan, pembimbingan dan pemanduan). Ing madya mangun karsa
46
Azyumardi Azra, “Islam dan Negara-Bangsa: Pergulatan Politik Indonesia Masa Pasca Soeharto,”
makalah tidak diterbitkan dalam Halaqah Fikih Kebhinnekaan yang diselenggarakan Maarif Institute
di Jakarta (24-26 Februari 2015), 1. Lihat pula di Biyanto, “Berdamai dengan Pluralitas Paham
Keberagaman” (2015) 5 Tasawuf Dan Pemikir Islam.
47
Selanjutnya lihat Rokhmad, supra note 6.
[ 160 ]
Fiska Maulidian Nugroho
(jika di tengah-tengah atau sedang bersama-sama menyumbangkan
gagasan, yang bermakna peserta didik didorong untuk mengembangkan
karsa atau gagasannya-mengandung nilai kreativitas dan pengembangan
gagasan serta dinamisasi pendidikan). Terakhir, tut wuri handayani (jika
dibelakang menjaga agar tujuan pendidikan tercapai dan peserta didik
diberi motivasi serta diberi dukungan psikologis untuk mencapai tujuan
pendidikan, mengandung nilai memantau, melindungi, merawat, menjaga,
memberikan penilaian dan saran-saran perbaikan, sambil memberikan
kebebasan untuk bernalar dan mengembangkan karakter peserta didik)
sebenarnya sarat akan nilai-nilai karakter.48
Bahkan ditingkat mahasiswa tingkat perguruan tinggi, juga perlu
diberikan titik kulminasi toleran yang sepadan dengan kerangka
nasionalisme bangsa. Sebagaimana kerentanan yang pernah di ungkapkan
Azyumardi Azra, bahwa radikalisme menjadi fenomena yang nyata. Ini
terkuak setelah terdapat beberapa penelitian terhadap mahasiswa “eksrekrutmen” telah berhasil keluar dari jaringan keagamaan yang radikal.
Diterangkan pula bahwa gerakan radikal masih tetap massif terhadap
Perguruan Tinggi Agama maupun Perguruan Tinggi Negeri.49 Bahkan, di
tahun 2010 terdapat temuan yang sangat mengkhawatirkan, yaitu
lembaga-lembaga pendidikan di Jabodetabek terdapati menyelenggarakan
soal materi ajar dalam buku mata pelajaran agama yang bermuatan paham
intoleransi dan radikalisme.50 Hal ini sangat diperlukan kerjasama yang
erat dari berbagai macam elemen pendidikan, mulai dari kepala pendidik,
dosen, guru, orang tua siswa/mahasiswa dan masyarakat sekitar. Fungsinya
adalah untuk mencegah radikalisme agar tidak tumbuh subur dikalangan
pendidikan pada khususnya.
48
Huriah Rachmah, “Nilai-Nilai Dalam Pendidikan Karakter Bangsa Yang” (2013) 1 E-J Widya
Non-Eksakta hlm. 10–13.
49
Lihat di Nurudin, “Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalisme Agama di Kalangan
Mahasiswa” (2013) Harmoni, online: <http://jurnal.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php/
harmoni/article/viewFile/158/pdf> hlm. 66.
50
Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian menemukan bahwa terdapat 48,9% siswa se wilayah
Jabodetabek menyatakan persetujuannya atas aksi radikal Muhammad Thohir, “Radikalisme versus
Pendidikan Agama Menggali Akar Radikalisme Dari Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama Pendidikan
Agama” (2015) 9 Nadwa J Pendidik Islam hlm. 70 Lihat juga Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme
Agama Di Sekolah”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, (Vol. I, No. 2, Desember 2012), hlm. 160.
[ 161 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat titik tekan pembudayaan sadar
ideologi Pancasila guna mencegah radikalisme tersebut. Diantaranya adalah
melalui injeksi “proses pendidikan”. Diharapkan pada tataran ini, penerapan
aplikasinya dapat berupa pedagogik (pedagogy). Dari pedagogik tersebut
harus menerapkan ideologi Pancasila yang nantinya juga diharapkan dapat
dilaksanakan sebagai suatu rujukan analisis sebagaimana sebuah
pengetahuan, nilai, keinginan, dan relasi sosial itu dibentuk. Pedagogik
ini disebut sebagai Critical Pedagogy51, yaitu sebuah penerapan yang dapat
ditinjau dari aspek kajian critical pedagogy itu sendiri. Aspek kajian itu
juga merupakan bagian dari ideologi kritis di dunia pendidikan. Pada
Ideologi kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap
the dominant ideology yaitu ke arah transformasi sosial. Transformasi sosial
yang dalam praksisnya menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana
memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya.52
Sementara tugas utama pendidikan itu sendiri adalah menciptakan
ruang sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta
melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Dan pada akhirnya ketika mereka menyentuh dan mempelajari Pancasila,
orang tersebut dapat sadar, bahwa apapun bentuk relasi sosial yang
didasarkan pada nilai, budaya, dan tradisi selalu memiliki implikasi politik
di antara pemegang kekuasaan.53 Oleh karena itu, antara implikasi politik
dan proses pendidikan, mengharuskan dirinya untuk menggunakan basis
kemajemukan. Sebagai cara mengomunikasikan perbedaan secara benar
dan cerdas dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena,
secara tidak langsung konstelasi politik memiliki andil dalam pengaruh
atas kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga, melalui penerapan
critical pedagogy ini diharapkan mampu meletakkan Pancasila menjadi
ideologi perekat etnis, budaya, dan agama. Meskipun pluralitas masih
menjadi ancaman, setidaknya sekolah merupakan salah satunya lembaga
51
Lihat di Getahun Yacob Abraham, “Critical Pedagogy: Origin, Vision, Action & Consequences”
(2014) 10:1 KAPET 90.
52
Tzabit Azinar Ahmad, Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di
SMA Negeri Kota Semarang Universitas Sebelas Maret, 2010) [unpublished].
53
Achmad Baedawi, “Paradok Kebangsaan Siswa Kita” (2013) VIII MAARIF Inst Cult Humanity
hlm. 70.
[ 162 ]
Fiska Maulidian Nugroho
yang harus bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter karena
pendidikan adalah bagian dari perjalanan injeksi anti-virus terorisme.
Menggagas Vaksinasi P
ancasila
Pancasila
Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan
kedudukan yang tetap dan tidak berubah, dalam artian bahwa dengan
jalan hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk diubah. Pembukaan UUD
1945 memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan UUD
1945 yang didalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara
hukum. 54 Apabila terjadi perubahan, berarti pembubaran Negara
Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pengertian seperti itulah maka dapat
disimpulkan bahwa Pancasila merupakan fundamental bagi negara
Indonesia, terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.55
Sudah menjadi harga mati dan tidak dapat ditawar lagi bahwa Pancasila
merupakan asas tunggal yang berlaku di negara Indonesia ini. Jangan sampai
terdapat ideologi ‘tandingan’ Pancasila.56 Ideologi ‘tandingan’ memang
secara terbuka akan sangat tidak mungkin ada, namun sedikit lambat laun
dengan adanya masa keterbukaan sekarang ini, patut diwaspadai, karena
perilaku sangat mungkin dapat terpengaruh ideologi-ideologi baru, dan
nantinya akan mudah tertanam di masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu
Pancasila harus menjadi landasan etika dan moral, salah satunya dengan
menggalakan ‘Vaksinasi Pancasila’ dengan harapan masyarakat Indonesia
menjadi orang-orang berkarakter kuat, baik secara individual maupun
secara sosial. Vaksinasi Pancasila bertujuan untuk membentuk pribadi
mereka yang ber-akhlak, moral dan budi pekerti yang baik.
Untuk bisa menanamkan ideologi Pancasila maka setidaknya ada
beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, meginjeksi aparatur negara
dan elit politik dengan budaya serta nilai-nilai Pancasila. Hal ini dilakukan
untuk meminimalisir perilaku ‘klaim’ atas dirinya ‘parpol’ lebih baik
54
Lihat pendapatnya Prof. Notonagoro Isti Maryatun, Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan
Pancasila hlm. 34.
55
Lihat di Choirul Anam, “Pancasila sebagai Sistem Etika”, online: <http:// choirul_umam.
staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/46988/bab3-pancasila_sebagai_sistem_etika.pdf.> hlm. 30–
31.
56
4-5 Cholisin, supra note 3.
[ 163 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
daripada ‘parpol’ yang lain. Pada kenyataannya, banyak elite parpol yang
di tangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga
melakukan tindak pidana korupsi dan berujung pada pemidanaan
pelakunya. Begitu pula di lembaga yudisial, seperti hakim dan jaksanya
yang juga ditangkap tangan oleh KPK karena dideteksi melakukan
hubungan tidak wajar dengan pihak-pihak yang sedang di tangani kasusnya.
Tidak kalah hebatnya lagi adalah area lembaga eksekutif seakan-akan lupa
akan nasib pemilih atau konstituennya. Mereka lupa akan janji-janji manis
ketika mencalonkan diri sebagai eksekutif.57 Sehingga pengamalan Pancasila
harus segera dimulai dari lembaga-lembaga pemerintahan maupun elite
parpol sebagai wujud komitmen perwujudan nilai-nilai Pancasila dapat
dilakukan di setiap lini kehidupan mereka masing-masing.
Kedua, menanamkan nilai-nilai Pancasila di kalangan remaja penerus
bangsa melalui doktrinasi Pancasila. Hal ini bisa dilakukan dengan
doktrinasi bahwa ‘Negara Indonesia’ adalah Negara Pancasila dan Negara
Pancasila adalah ‘Negara Indonesia’. Negara yang memang sejak awal
didirikan untuk masyarakat Indonesia yang harus dipertahankan serta
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi, mengembangkan seluruh
martabat dan hak asasi semua warga bangsa Indonesia yang tercermin dalam
sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara yang menginginkan agar
masing-masing warga negaranya dapat hidup layak sebagai manusia,
mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin.
Kemudian, negara yang berkomitmen memajukan kesejahteraan umum,
yaitu kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa (keadilan sosial).58 Upaya ini diharapkan mampu
menumbuhkembangkan sikap Pancasilais. Doktrinasi tersebut sangatlah
penting, karena apabila ditinjau dari sisi psikologisnya, remaja yang
dimaksud pasti sedang memulai mencari jati diri. Terutama ketika mereka
dapat membedakan hal-hal yang baik-benar dan buruk, menganalisis
norma-norma yang membimbing tingkah lakunya, dan mensintesiskan
57
Saparuddin, “Mengkontruksi Kembali Budaya Politik Bangsa dengan Semangat dan Nilai-Nilai
Pancasila”, E-Bul LPMP Sulawesi (2014) 1.
58
Mutiani, “Reaktualisasi Pengamalan Nilai Pancasila Untuk Demokrasi Indonesia” (2015) 2:2 SOSIO
Didakt Soc Sci Educ J 176 hlm. 181; Lihat pula Edward S Greenberg, Political Socialization (United
State of America: Aldine Transaction, 2009) hlm. 77.
[ 164 ]
Fiska Maulidian Nugroho
nilai-nilai yang mereka peroleh saat memilih nilai-nilai tersebut dan nilainilai tersebut nantinya akan melekat kuat di dalam sanubarinya.59
Ketiga, revitalisasi Pancasila lewat kontrol media baik cetak maupun
elektronik. Asumsi yang perlu ditegaskan dari pemakaian media ini adalah
sebagai alat revitalisasi. Ini disebabkan karena media massa di era global
bukan hanya alat atau media penyebar informasi, pembentuk opini publik,
penghibur masyarakat, namun dapat dijadikan media pengawasan terhadap
kekuasaan yang berjalan di wilayah pemerintahan.
Sebegitu pentingnya media massa dikarenakan medi a massa masih
terdapat beberapa tugas yang mestinya harus dilakukan setiap waktu.
Terlebih ketika pusaran Pancasila di era-demokrasi ini membutuhkan
komitmennya. Komitmen itu antara lain yaitu, media massa harus
menginformasikan dalam pengertian “surveilance” atau “monitoring”
mengenai apa yang terjadi di sekitar masyarakatnya. Media massa harus
mendidik mengenai makna dan manfaat dari fakta-fakta dengan tetap
mempertahankan obyektivitasnya dalam menganalisis fakta itu. Media
massa juga harus menyediakan satu platform untuk publik mengenai wacana
politik, memfasilitasi pembentukan opini publik, dan menyiapkan opini
balikan dari mana saja datangnya, media massa juga memberikan publisitas
kepada pemerintah dan institusi lainnya.
Di sini media massa berperan sebagai “watchdog”, terakhir media massa
dalam masyarakat demokratis melayani sebagai suatu saluran untuk
kepentingan pemberdayaan (advocacy) mengenai berbagai titik pandang
politik.60 Bahkan media massa itu sendiri telah dilindungi oleh UndangUndang No. 40 tahun 2009 tentang Pers dan Undang-Undang No. 32
tahun 2002 tentang Penyiaran yang harus menjaga moralitas, nilai agama,
jati diri bangsa dilingkungan masyarakat majemuk yang memiliki sejumlah
perbedaan. Ini berkaitan dengan komunikasi antar budaya, dan meng-
59
Muhammad Na’im, Kontribusi Apresiasi Pembelajaran Sejarah, Penghayatan Ideologi Pancasila dan
Nilai-Nilai Agama Terhadap Sikap Nasionalisme (Universitas Pendidikan Indonesia, 2014).
60
Ibnu Hamad, “KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DALAM MEDIA MASSA (Studi Pesan
Politik Dalam Media Cetak Pada Masa Pemilu 1999)” (2004) 8 Makara Sos Hum, online: <http:/
/www.academia.edu/download/38997453/73.pdf> hlm. 29. Lihat pula Brian McNair, An Introduction ti Political Communication (London: Routledge). Dan lihat pula Judith Lichtenberg,
Democracy and The Mass Media (Cambridge: Cambridge University Press).
[ 165 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
hindarkan selisih paham antar perbedaan-perbedaan guna menyesuaikan
diri untuk menghadirkan media massa yang bermakna bagi nusa bangsa.61
Dapat dimaknai bahwa media massa selain diberikan tanggung jawab
komitmen akan publisitas yang dapat dipertanggung jawabkan, juga
diharapkan mampu memberikan kontrol sosial terhadap dirinya sendiri
sebagai bentuk tanggung jawab atas hadiah perlindungan kebebasan pers
oleh undang-undang. Selain itu posisi ini patut untuk difungsikan
tersendiri ketika menyampaikan pesan, kritikan, dan pandangan yang
berbeda terkait realitas-realitas majemuk di masyarakat terkait radikalisme.
Posisi kontrol sosial tentunya disadari, pasti akan ada efek terhadap
kredibilitas mereka masing-masing. Kredibilitas mereka diuji ketika media
massa digunakan sebagai ajang propaganda diri maupun ideologi. Karena
yang selama ini kita tahu bahwa nyawa dari media massa salah satunya
adalah iklan. Sehingga, kecenderungan berbasis bisnis sepatutnya diimbangi
pula akan presisinya terhadap Pancasila sebagai wacana tersendiri yang
ditempatkan tersendiri oleh media massa sebagai wujud kredibilitasnya
masing-masing.
Penutup
Sekalipun Bangsa Indonesia telah memiliki Ideologi Pancasila sebagai ruh
yang hidup di jiwa masyarakatnya, namun setidaknya di era-globalisasi
yang terbuka ini, memberi kesempatan terhadap ideologi-ideologi baru
ingin masuk dan mempengaruhi sikap dan pandangan terhadap bangsa
Indonesia itu sendiri. Radikalisme yang dapat dilihat dengan mata telanjang
merupakan virus yang mau tidak mau harus dihempaskan di muka bumi
ini terutama atas nama bangsa Indonesia yang majemuk berbhineka tunggal
ika. Penanaman ideologi moderat merupakan hal penting karena pengaruhpengaruh paham radikal sudah bertebaran bebas dalam pengaruhnya.
Bahkan dunia pendidikan harus ikut berpartisipasi dalam mencegah paham
radikal. Pemahaman yang kuat terhadap radikalisme setidak-tidaknya harus
segera di injeksikan terhadap tiga unsur vital yang nantinya dapat
berpengaruh terhadap perjuangan ideologi Pancasila. Ketiga unsur tersebut
61
Eko Harry Susanto, “Dinamika Media Massa Lokal dalam Membangun Demokratisasi di Daerah”
(2011) 9:2 J Ilmu Komun 117 hlm. 121.
[ 166 ]
Fiska Maulidian Nugroho
adalah, pertama, para pejabat pemerintah dan elite parpol, kedua para
generasi muda penerus bangsa, ketiga adalah media massa guna alat
revitalisasi informasi. Injeksi ideologi dan upaya pencegahan tersebut akan
menjadi sebuah teori belaka ketika rakyat Indonesia tidak berkolaborasi
secara baik. Kolaborasi itu setidaknya mengabaikan urusan kepentingan
kaum mayoritas maupun kaum minoritas mereka masing-masing untuk
sesaat.
Kolaborasi itu telah ditunggu oleh Pancasila sebagai Ideologi terbuka
namun juga tidak berarti keterbukaan tersebut bisa diterjemahkan terbuka
terhadap ideologi radikal. Injeksi memerlukan kesolidan antara umat
Muslim sebagai mayoritas dengan umat lain (agama/kepercayaan) sebagai
minoritas. Kesolidan itu berupa saling berintegrasi mencegah radikalisme
serta berkomitmen bahu membahu meluluhlantahkan radikalisme.
Indonesia negara yang sejuk, damai, dan ber-Bhineka Tunggal Ika, berbedabeda namun satu jua. Sedangkan “doktrinasi” dalam arti yang positif
bukanlah hal yang mustahil dapat diterapkan, karena ketiga unsur yang
harus didoktrin tersebut setidaknya memiliki kandungan ‘pelaku-pelaku’
yang masih baik dan berkomitmen. Komitmen tersebut perlu setiap saat
ditagih oleh diri kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi ideologi Pancasila.
Refzerensi
Ahmad, Tzabit Azinar. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran
Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang Universitas
Sebelas Maret, 2010) [unpublished].
Al-Qaradhawi, Yusuf. as-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa atTatarruf (Kairo: Dar Ary-Syuruq, 2001).
Ba’asyir, Abu Bakar. Tadzkirah: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk
Para Penguasa Negara Karunia Alloh Indonesia yang Berpenduduk
Mayoritas Kaum Muslimin (Jakarta: JAT, 2013).
Greenberg, Edward S. Political Socialization (United State Of America:
Aldine Transaction, 2009).
Lichtenberg, Judith. Democracy and The Mass Media (Cambridge:
Cambridge University Press).
[ 167 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
McNair, Brian. An Introduction ti Political Communication (London:
Routledge).
Shihab, Alwi. The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with
Christian Mission in Indonesia Temple University, 1995)
[unpublished].
Shihab, M Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudl’ui atas Pelbagai
Persoalan Umat, cet-2 ed (Bandung: Mizan, 1996).
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006).
Radikalisme Agama & Tantangan Kebebasan , cetakan pertama ed
(Direktorat Jenderal Bimas Islam Kemenag RI, 2014).
Abraham, Getahun Yacob. “Critical Pedagogy: Origin, Vision, Action &
Consequences” (2014) 10:1 KAPET 90.
Ali, As’ad Said. “Pancasila di Tengah Pertarungan Ideologi Dunia” (2014)
1 Cendekia Waskita 1.
Anam, Khoirul. “Pancasila dan Terorisme: Sejarah Kelam dan Tantangan
Penanggulangannya” in Al Khanif, ed, Pancasila sebagai Realitas
Percik Pemikir tentang Pancasila Isu-Isu Kontemporer Indonesia,
cetakan pe ed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) 239.
Arifin, Muhammad & Khadijah Binti Mohd Khambali. “Islam dan
Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah
Ulei di Kuburan dalam Masyarakat Pidie Aceh)” (2016) 15 J
Ilm Islam Futura 251.
Asshiddiqie, Jimly. “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi” (2008) 1 1.
Azra, Azyumardi. “ISIS, Khilafah dan Indonesia: Respon Komprehensif ”
(2014) 1 Cendekia Waskita 97.
Baedawi, Achmad. “Paradok Kebangsaan Siswa Kita” (2013) VIII MAARIF
Inst Cult Humanity.
Biyanto. “Berdamai dengan Pluralitas Paham Keberagaman” (2015) 5
Tasawuf Dan Pemikir Islam.
Budiman, Harry. “Fenomena ISIS dan Khilafah Islamiyah Nusantara”
(2014) 1 Cendekia Waskita 83.
Cliteur, Paul. “State and religion against the backdrop of religious radicalism”
(2012) 10:1 Int J Const Law 127.
Damayanti, Ninin Prima et al. “Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu
Bentuk Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam”
[ 168 ]
Fiska Maulidian Nugroho
(2012) 3:1 J Kriminol Indonesia, online: <http://journal.ui.ac.id/
jki/article/view/1119>.
Fanani, Ahmad Fuad. “Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda”
(2013) 8: Menghalau Radikalisme Kaum Muda: Gagasan dan
Aksi MAARIF Inst Cult Humanity 1.
Hamad, Ibnu. “KONSTRUKSI REALITAS POLITIK DALAM MEDIA
MASSA (Studi Pesan Politik dalam Media Cetak Pada Masa
Pemilu 1999)” (2004) 8 Makara Sos Hum, online: <http://www.
academia.edu/download/38997453/ 73.pdf>.
Harry Susanto, Eko. “Dinamika Media Massa Lokal dalam Membangun
Demokratisasi di Daerah” (2011) 9:2 J Ilmu Komun 117.
Kementerian Agama RI. “Masa Depan Islam Moderat”, Maj Islam
Kementeri Agama Islam RI (2015).
Miftahuddin. “Akar Islam Moderat Konteks Indonesia Dalam Perspektif
Historis”, online: <http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/
Miftahuddin,%20 M.Hum./Akar%20Islam%20Moderat.pdf.>.
Mubit, Rizal. “Peran Agama dalam Multikulturalisme Indonesia” (2016)
11:1 Epistemé J Pengemb Ilmu Keislam, online: <http://
ejournal.iain-tulungagung.ac.id/index.php/epis/article/view/
104>.
Mufid, Ahmad Syafi’i. “Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan
Kontemporer Dalam Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia”
(2016) 12:3 Harmoni 8.
Mutiani. “Reaktualisasi Pengamalan Nilai Pancasila Untuk Demokrasi
Indonesia” (2015) 2:2 SOSIO Didakt Soc Sci Educ J 176.
Natarajan, Mangai. “Kejahatan dan Pengadilan Internasional” in Mangai
Natarajan, ed, Int Crime Justice, i ed (New York: Cambridge
University Press, 2015) 1.
Newman, Graeme R & Ronald V Clarke. “Terorisme” in Mangai Natarajan,
ed, Int Crime Justice (Cambridge: Cambridge University Press,
2011).
Nurudin. “Basis Nilai-Nilai Perdamaian: Sebuah Antitesis Radikalisme
Agama di Kalangan Mahasiswa” (2013) Harmoni, online: <http:/
/jurnal.balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/viewFile/158/pdf>.
Qodir, Zuly. “Perpektif Sosiologis tentang Radikalisasi Agama Kaum Muda”
(2013) VIII MAARIF Inst Cult Humanity.
[ 169 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Rachmah, Huriah. “Nilai-Nilai Dalam Pendidikan Karakter Bangsa Yang”
(2013) 1 E-J Widya Non-Eksakta.
Razak, Abdul. “Syura dan Demokrasi: Persamaan dan Perbedaannya” (2010)
25:3 Media Akad, online: <http://e-journal.iainjambi.ac.id/
index.php/ mediaakademika/article/view/228>.
Rodin, Dede. “ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas Ayat-ayat ‘
Kekerasan ’ dalam al-Qur’an” (2016) 10:1 29.
Rokhmad, Abu. “RADIKALISME ISLAM DAN UPAYA
DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL” (2012) 20:1.
Saparuddin. “Mengkontruksi Kembali Budaya Politik Bangsa dengan
Semangat dan Nilai-Nilai Pancasila”, E-Bul LPMP Sulawesi
(2014) 1.
Sena Utama, Wildan. “Negara (dan) Islam: Sekitar Polemik Soekarno dan
Natsir” (2013) Prisma Resour Cent, online: <http://www.
prismajurnal.com/ issues.php?id=%7B1A0F06D5-DBC3-8F35B5AE-E715E50BBFB0%7D&bid =%7B0327B60F-DE6E539B-9979-18978AD362C0%7D>.
Suharto, Toto. “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU sebagai
Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia” (2014) 9 Islam J
Studi Keislam.
Suparjo, Suparjo. “Islam dan Budaya: Strategi Kultural Walisongo dalam
Membangun Masyarakat Muslim Indonesia” (2008) 2:2
KOMUNIKA 178.
Thohir, Muhammad. “Radikalisme versus Pendidikan Agama Menggali
Akar Radikalisme Dari Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama
Pendidikan Agama” (2015) 9 Nadwa J Pendidik Islam.
Yaakob, Z U L Azmi & Ahmad Sunawari Long. “Terorisme sebagai Cabaran
Ideologi Muslim Masa Kini: Satu Analisis dari Perspektif Falsafah”
(2015) 7 58.
“Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset”, Koran Sindo Versi Online (1
June 2014).
“Bimas Islam”, (2015).
Anam, Choirul. “Pancasila sebagai Sistem Etika”, online: <http://
choirul_umam.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/46988/
bab3-pancasila _sebagai_sistem_etika.pdf.>.
Azra, Azyumardi. Islam Indonesia: Kontribusi Pada Peradaban Global.
[ 170 ]
Fiska Maulidian Nugroho
Bersama, Pengelola. “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai Daerah di
Indonesia”, online: Dok Pemuda TQN Suryalaya News <http://
www.dokumenpemudatqn.com/2013/07/persentase-jumlahumat-islam-berbagai.html>.
Cheprasov, Artem. “What Are Viruses? - Definition, Structure & Function”,
online: <http://study.com/academy/lesson/what-are-virusesdefinition-structure-function.html>.
Cholisin. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN
RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SAAT INI (Kulon
Progo).
Maryatun, Isti. Peran Prof. Notonagoro dalam Pengembangan Pancasila.
Na’im, Muhammad. Kontribusi Apresiasi Pembelajaran Sejarah,
Penghayatan Ideologi Pancasila dan Nilai-Nilai Agama Terhadap
Sikap Nasionalisme (Universitas Pendidikan Indonesia, 2014).
Suryani, Ni Putu Elvina. Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia (Mata
Kuliah Terorisme di Indonesia) (2012).
“Mendagri: Virus Radikalisme Sudah Menjalar”, online: <https://
news.detik.com/ berita/3101206/mendagri-virus-radikalismesudah-menjalar>.
“Online Etymology Dictionary”, online: <http://www.etymonline.com/
index.php?term=virus>.
“Virus | Definition of Virus by Merriam-Webster”, online: <http://www.
merriam-webster.com/dictionary/virus>.
Prosiding Kongres Pancasila IV (PSP UGM, 2012).
bbc_Polemik-di-balik-istiIah-Islam-Nusantara_06-15-15.pdf.
“Data Riset: Di Indonesia Muslim Yang Murtad Makin Meningkat”,
online: Elnury News <http://radioelnury.com/news/nusantara/
data-riset-indonesia-muslim-yang-murtad-makin-meningkat.
html>.
[ 171 ]
BAB III
PANC
A SIL
A SEBA
GAI
PANCA
SILA
SEBAGAI
IDEOLOGI INKL
USIF DI ERA
INKLUSIF
GLOBALISA
SI
GLOBALISASI
PANC
A SIL
A SEBA
GAI IDEOLOGI Y
ANG HIDUP
PANCA
SILA
SEBAGAI
YANG
Dominikus Rato
P
ancasila sebagai ideologi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
telah memperoleh beberapa julukan, seperti Ideologi Terbuka,
Ideologi Pembangunan, Ideologi Persatuan,1 dan sebagainya. Salah
satu julukannya ialah Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. Julukan Pancasila
Sebagai Ideologi Terbuka telah mulai digunakan sejak Seminar Nasional
dengan tema: “Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” yang dilaksanakan
sejak tanggal 24 – 26 Oktober 1989 di Jakarta oleh BP-7 Pusat yang saat
itu dijabat oleh Oetojo Oesman. Tulisan ini diinspirasi dari hasil seminar
tersebut, namun dengan sudut pandang yang lain, yaitu melihat Pancasila
Sebagai Ideologi Yang Hidup.
Sebagaimana telah dianalisis dalam Seminar Nasional yang dilaksanakan
tanggal 24 – 26 Oktober 1989 diatas, ada banyak peran yang mampu
dimainkan oleh Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila mampu menjiwai
dan menyemangati hampir semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara Indonesia. Ada banyak fungsi yang melekat pada Pancasila
baik sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dan Dasar Negara NKRI,2 maupun
Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia3 Ideologi dalam
1
2
3
Soerjanto Poespowardojo, 1990, Pancasila Sebagai Ideologi Ditinjau Dari Segi Pandangan Hidup
Bersama. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 40-43.
Soekarno, 1964, Tjamkan Pantja Sila: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara. Panitia Nasional Peringatan
Lahirnya Pantjasila, 1 Djuni 1945 – 1 Djuni 1964.
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia.
Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa
dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 44-61.
[ 175 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kehidupan Ketatanegaraan,4 Ideologi dalam Kehidupan Budaya5 Ideologi
dalam Kehidupan Bergama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa,6 Ideologi dalam Kehidupan Sosial,7 Ideologi dalam Kehidupan
Politik,8 Ideologi dalam Pergaulan Internasional,9 Ideologi dalam Kehidupan
Ekonomi 10 Ideologi yang mendasari Demokrasi Ekonomi yang
menyelaraskan Partisipatif v Konsentrasi,11 Ideologi dalam Kehidupan
Birokrasi/Aparatur Pemerintah, 12 dan Ideologi dalam Kehidupan
HANKAM.13
Dengan memperhatikan tulisan para pakar di masing-masing bidang
itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila mampu mendasari, memandu,
menjiwai dan menyemangati hampir semua kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa Pancasila
4
Padmo Wahjono, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan. Dalam Pancasila
Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Jakarta: BP-7, hlm. 62-87.
5
M. Sastrapratedja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Budaya. Dalam Pancasila
Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Jakarta: BP-7, hlm. 88-140.
6
Abdurrachman Wahid, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Bergama dan
Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 141-162.
7
Selo Soemardjan, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Sosial. Dalam Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, hlm. 163-168.
8
Alfian, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi
Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm.
169-189.
9
Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Pergaulan Indonesia dengan
Dunia Internasional. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm.191-233.
10
Mubyarto, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kkehidupan Ekonomi. Dalam Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, hlm. 234-239.
11
Sri Edi Swasono, 1990, Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipatif vs Konsentrasi Ekonomi.
Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa
dan Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 240-248.
12
Bintoro Tjokroamidjojo, 1990, Pancasila sebagai Ideologi Birokrasi/Aparatur Pemerintah. Dalam
Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 249-283.
13
Saafroedin Bahar, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Pertahanan Keamanan. Dalam
Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7, hlm. 284-334.
[ 176 ]
Dominikus Rato
mampu mendasari, memandu, menjiwai dan menyemangati hampir semua
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia itu. Untuk
menjawab pertanyaan ini, tulisan ini meletakan preposisinya dengan
mengatakan bahwa kemampuan yang dipunyai oleh Pancasila yang
demikian itu sebab Pancasila adalah Ideologi Yang Hidup. Apa makna
Pancasila sebagai Ideologi Yang Hidup?
Penger
tian P
ancasila sebagai IIdeologi
deologi yang H
idup
engertian
Pancasila
Hidup
Menurut Heraclitos realitas ini selalu bergerak, berubah pantharei.
Demikian pula dengan Pancasila sebagai realitas juga selalu bergerak,
berubah. Sesuatu yang selalu bergerak dan berubah itu merupakan sifat
utama dari hidup. Jika Pancasila sebagai realitas itu hidup dan selalu
bergerak, maka Pancasila sebagai Ideologipun adalah hidup.
Apa artinya Pancasila sebagai Ideologi Yang Hidup (The Living Ideologi)?
Orang Osing di ujung timur Jawa Timur mendefenisikan hidup adalah
perubahan (uraip gedigau obiah = hidup itu berubah, uraip nikai uliah =
hidup ini ulah/gerak). Jadi, hidup itu berubah, bergerak, atau dinamis.
Jika sesuatu itu tidak bergerak, tidak berubah, atau tidak dinamis, maka
sesuatu itu mati. Jadi, dengan mengacu pada pengertian yang diperoleh
dari kearifan lokal orang Osing (Using) di Banyuwangi itu, maka hidup
itu selalu berubah, bergerak, atau dinamis. Mungkin diantara kita ada
yang mengatakan bahwa berubah, bergerak, atau dinamis itu dapat maju
atau progress, tapi bisa juga mundur atau regress. Dalam pandangan
kearifan lokal seperti pandangan orang Osing, mundur tidak selalu dalam
arti salah, buruk, atau jelek. Mundur dalam arti retreat juga mengandung
arti baik, sebab dengan retreat kita dapat melakukan evaluasi diri, introspeksi
kesalahan, kekhilafan, acuh tak acuh di masa lalu untuk memandang dan
memperbaiki masa depan. Bergerak ‘mundur’ dalam berpikir merefleksikan
suatu kebijakan atau suatu kearifan untuk melihat kembali perilaku dan
perbuatan kita pada masa lalu dan memperbaikinya saat ini untuk
menjemput masa depan yang lebih baik.
Pancasila sebagai ideologi adalah bahwa Sila-Sila Pancasila sebagai
abstraksi dari pola pikir subjeknya, Bangsa Indonesia. Pola pikir atau world
view atau falsafah yang menjadi ‘pedoman’ bagi subjeknya yaitu Bangsa
[ 177 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.14
Pedoman berasal dari kosa kata Jawa ‘dom’ atau jarum. Pedoman artinya
bahwa nilai-nilai dalam Sila-Sila Pancasila berfungsi ibarat ‘jarum.’ Nilainilai Pancasila ini kemudian diderivasikan ke dalam azas; dan dari azas
diderivasikan ke dalam norma hukum, dan norma hukum berfungsi sebagai
pedoman setiap orang baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
dan warga negara dalam berperilaku/berbuat. Sehingga norma hukum
sebagai refleksi dari nilai Pancasila itu menjalankan 12 fungsinya sebagai
pedoman berperilaku/berbuat.
Ada 12 fungsi norma hukum yang diibaratkan dengan fungsi jarum
sebagai ‘pedoman’ berperilaku meliputi fungsi pemersatu, pemandu,
penyelamat, pelindung, pencegah, penyeimbang, pendisiplinan, penjamin,
pembebas, pembaharu, pengatur, dan pencerah.15
Kita kembali ke Pancasila Sebagai Ideologi Yang Hidup bermakna
bahwa Pancasila, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila
mampu bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat yaitu
kebutuhan-kebutuhan masyarakat pendukungnya yaitu masyarakat, bangsa,
dan negara Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai yang terkandung dalam
Sila-Sila Pancasila mampu bergerak maju untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan dunia yang sedang mengglobal saat ini. Dengan sifatnya yang
dinamis itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila mampu
menyesuaikan diri dengan kemajuan-kemajuan dunia baik kemajuan
politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Dari
sudut pandang ini, ada dua unsur dalam Sila-Sila Pancasila, yaitu adaptasi
dan adopsi.
Nilai-nilai Pancasila itu mampu beradaptasi karena kemampuannya
memandu anggota masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan
kehidupan modern bahkan pasca modern seperti sekarang ini. Pancasila
mampu hidup sejajar atau setara (equel) dengan ideologi-ideologi dunia
lainnya seperti Deisme di negara-negara Timur Tengah, Humanisme di
negara-negara Eropa Barat, Nasionalisme di Inggeris, Demokrasi di
14
15
Soekarno, supra note 2.
Terkait penjelasan kedua belas fungsi tersebut, lihat Dominikus Rato, 2016, Hukum Adat
Kontemporer. Jogyakarta: LaksBang Group.
[ 178 ]
Dominikus Rato
Amerika, dan Sosialisme di Eropa Timur. Mengapa? Karena Pancasila yang
merupakan sejatinya nilai budaya bangsa Indonesia itu sekaligus merupakan
harmonisasi atau resultante dari ideologi-ideologi dunia itu.
Dalam kaitannya dengan itu, maka nilai-nilai Pancasila juga mampu
menerima (adopsi) nilai-nilai yang berasal dari ideology asing untuk
memperkaya nilai sendiri. Misalnya gender, HAM, dan HKI dalam
Peraturan Perundang-undangan serta nilai-nilai yang berasal dari Hukum
Islam sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, asas-asas
hukum dari Hukum Kanonika seperti asas monogami, adopsi anak, hak
milik, dan perjanjian kredit.
Tentu ada yang bertanya, bahwa Pancasila itu adalah benda mati,
bagaimana mungkin sesuatu yang mati itu dapat hidup dan bergerak.
Pengertian ‘hidup’ dalam Pancasila merupakan ungkapan untuk mengatakan
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu hidup.
Oleh karena hidup, maka Pancasila mampu bergerak dan berubah.
Pengertian ‘bergerak’ atau ‘berubah’ juga merupakan ungkapan bahwa nilainilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu bergerak
dinamis mengikuti perkembangan pola pikir masyarakat pendukungnya,
yaitu masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dengan demikian, Pancasila sebagai refleksi cara berpikir
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia selalu bergerak dan berubah.
Apa artinya Pancasila itu mampu bergerak dan berubah, apa yang berubah
dan yang manakah yang bergerak?
Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber dari segala Sumber Hukum akan
diderivasi ke beberapa asas-asas hukum, dan dari asas-asas hukum
diderivasikan lagi kedalam norma-norma hukum sebagai pedoman untuk
berbuat dan berperilaku. Nilai-nilai Pancasila akan selalu dan senantiasa
memandu, menjiwai, dan memberi dasar kepada para pembentuk,
pelaksana, penegak, dan pengevaluasi hukum dalam gerak maju asas-asas
dan norma-norma hukum itu. Nilai-nilai akan selalu statis, jika akan
berubah, maka perubahan itu sangat lamban dan dalam waktu yang sangat
lama. Jika nilai berubah, maka perubahan itu terjadi dalam jangka waktu
ratusan atau mungkin ribuan tahun, kecuali karena revolusi. Perubahan
yang lamban setelah nilai adalah asas, sebab perubahan asas terjadi dalam
jangka waktu puluhan atau ratusan tahun. Yang selalu bergerak dan berubah
[ 179 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dalam jangka waktu singkat yaitu dalam hitungan tahun saja adalah normanorma hukum. Hal itu dapat dilihat dalam skema berikut ini.
Skema 1. Hubungan antara nilai, azas, norma, dan perilaku.16
+8%81*$11,/$,$=$6'$11250$
1,/$,
3(5,/$.8
‹Žƒ›ƒŠ
›ƒ‰
•ƒ‰ƒ–
—†ƒŠ
„‡”—„ƒŠǡ
ƒ’ƒŽƒ‰‹
’‡”‹Žƒ—Ǥ
0DQXVLD
$=$6
‹Žƒ›ƒŠ
›ƒ‰•—Ž‹–
„‡”—„ƒŠ
ȋ„—ƒ
–‹†ƒ
’‡”ƒŠ
„‡”—„ƒŠȌǤ
‹ƒƒ†ƒ
’‡”—„ƒŠƒǡ
ƒƒŠƒŽ
‹–—–‡”Œƒ†‹
†ƒŽƒ
Œƒ‰ƒ
1250$
&$5$.(5-$1,/$,± $=$6± 1250$'$13(5,/$.8
Dominikus Rato
Dari skema diatas, nilai adalah falsafah masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yaitu Pancasila, asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara Indonesia adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang diderivasi dari Pancasila, dan norma terkandung dalam peraturan
perundang-undangan yang diderivasi dari UUD NRI Tahun 1945. Nilai
merupakan realitas yang sangat sulit berubah. Perubahan nilai selalu melalui
revolusi. Perubahan nilai dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat
lama, yaitu dalam jangka waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Asas
merupakan realitas yang lamban sekali berubah, kecuali melalui mekanisme
dan konsensus sosial. Perubahan asas terjadi dalam jangka waktu puluhan
16
Dominikus Rato, 2014, Hukum Adat di Indonesia: Suatu Pengantar. Surabaya: LaksBang Justisia
Surabaya.
[ 180 ]
Dominikus Rato
bahkan ratusan tahun. Sedangkan norma merupakan realitas yang cepat
sekali berubah. Perubahan norma dapat terjadi puluhan, bahkan bulanan.
Sedangkan perilaku merupakan realitas dapat berubah sewaktu-waktu dalam
hitungan hari, jam, bahkan detik.
Perubahan perilaku dipandu oleh norma, dan norma dipandu oleh
azas, dan perubahan azas dipandu oleh nilai. Dengan demikian, nilai
menjadi pemandu utama terhadap perubahan. Jika perilaku bertentangan
dengan norma, maka perilaku itu disebut salah. Dan jika norma yang
dilanggar itu adalah norma hukum, maka perilaku itu disebut melanggar
hukum. Begitu pula dengan perubahan norma yang bertentangan dengan
azas, maka norma tersebut tidak mempunyai kekuatan berlaku, mengikat
atau memaksa. Dalam bahasa Jerman disebut geltung dan dalam Bahasa
Belanda disebut gelding. Apalagi azas hukum yang bertentangan dengan
nilai, maka azas hukum yang demikian azas hukum yang mati. Jika azas
hukum tersebut mati, maka ia tidak mempunyai kekuatan berlaku,
mengikat atau memaksa.
Perubahan norma dan asas selalu dipandu oleh nilai-nilai Pancasila
itu. Sedangkan perubahan perilaku disebabkan oleh kepentingan,
kebutuhan, bahkan oleh kesenangan semata. Secara ideal perubahan
perilaku seharusnya dipandu oleh nilai dan azas, setidak-tidaknya oleh
norma.17 Jika perilaku seseorang bertentangan dengan norma, maka orang
itu diancam dengan sanksi, misalnya perubahan perilaku di bidang sosial
diancam dengan sanksi secara sosial; misalnya bertentangan dengan
kepatutan, jika perilaku bertentangan dengan norma kesusilaan, maka akan
diancam dengan sanksi moral; jika perilaku bertentangan dengan norma
agama, maka akan diancam dengan sanksi agama; dan jika perilaku
bertentangan dengan norma hukum, maka akan diancam dengan sanksi
agama; serta jika perilaku bertentangan dengan norma hukum, maka akan
diancam dengan sanksi hukum. Perilaku baik sosial, kesusilaan, agama,
dan hukum tetap berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Perubahan perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam Sila-Sila Pancasila,
tidak berarti bahwa orang itu anti Pancasila atau tidak Pancasilais. Karena
perubahan perilaku, dapat terjadi karena situasi dan kondisi suka-duka,
17
Bendingkan, Andreas Doweng Bolo, dkk., 2012, Pancasila Kekuatan Pembebas. Bandung: Universitas Parahyangan.
[ 181 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
susah-senang, atau sedih-gembira, suasana pshikologis. Akan tetapi, hal
ini tidaklah menjadi pembenar bahwa setiap perilaku boleh dan dibolehkan
bertentangan dengan nilai-nilai dalam Sila-Sila Pancasila.18
Unsur-U
nsur P
ancasila sebagai IIdeologi
deologi yang H
idup
nsur-Unsur
Pancasila
Hidup
Untuk dapat dikatakan sebagai ideologi yang hidup, Pancasila dalam
kandungan nilai-nilainya yang terdapat dalam Sila-Sila Pancasila
mempunyai 3 indikator, yaitu adaptif-aktif, responsive, dan aplikatif (dapat
diterapkan). Adaptif-aktif mengandung karakter yang pasif. Oleh karena
itu supaya lebih hidup dalam konteks yang sedang dibahas ini, unsur
adaptasi diartikan sebagai adaptif-aktif, yaitu adaptasi secara aktif ketika
masyarakat dan bangsa Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan
dan perkembangan zaman terutama dalam interaksinya dengan masyarakat,
bansa, dan negara lain di dunia.
Adaptif-aktif bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam SilaSila Pancasila mampu memberi landasan mentalitas dan moralitas dalam
pembentukan azas dan norma hukum yang menjadi pedoman dalam
kehidupan berpolitik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan
teknologi ketika masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia memasuki era
globalisasi. Dalam arti yang demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam
Sila-Sila Pancasila merefleksikan kesadaran baru yang terus-menerus untuk
berubah. Berubah tidak berarti harus menggantikan yang lama dengan
yang baru, tetapi menyesuaikan diri dengan yang baru itu; bergerak tidak
harus merusak, apalagi membuang yang lama; jadi membangun berarti
mengubah tanpa merusak, mengganti tanpa membuang. Maksudnya adalah
nilai-nilai lama yang telah berurat berakar dalam hati dan sanubari manusiamanusia Indonesia menjadi dasar, fondasi yang kokoh kuat, tidak harus
dirusak dan diganti, tetapi diperkaya.
Adaptif-aktif mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam Sila-Sila Pancasila memberi landasan mentalitas dan moralitas bagi
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia untuk selalu berorientasi ke masa
yang akan datang serta untuk senantiasa menyadari siatuasi kehidupan
18
Bandingkan pula dengan Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila. Kultural, Historis, Filosofis,
Yuridis, dan Aktualisasinya. Jogyakarta: Penerbit Paradigma.
[ 182 ]
Dominikus Rato
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sedang dan akan dihadapi.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan teknologi yang semakin
canggih, membawa dunia ini seolah semakin sempit serta membawa
penghuninya ke situasi yang saling interdependensi dengan masyarakat,
bangsa, dan negara lainnya di dunia ini.
Dengan demikian kita berasumsikan bahwa pembangunan nasional
Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh factor-faktor internal tetapi juga
factor-faktor eksternal. Kedua factor ini saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi satu sama lain secara fungsional, kooperatif, dan simbiosis.
Oleh karena itu, Indonesia tidak mungkin menampik dan menafikan
gesekan ekonomi global melalui korporasi multinasional (MNC), politik
dunia, dan factor sosial budaya global. Dampaknya adalah ancaman
ketergantungan yang mempersulit usaha bangsa untuk mandiri,
pemupukan modal dibawah kekuasaan korporasi atau kartel dunia, maka
nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila meletakan mentalitas
dan moralitas masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia untuk
menyesuaikan diri.
Tantangan ini harus mampu dijawab dan disadari untuk tidak saling
menyalahkan dan mengalahkan, melainkan untuk saling memberi dan
menerima tanpa harus meninggalkan sikap kritik. Itulah sikap dan sifat
khas masyarakat dan bangsa Indonesia. Sikap dan sifat ini menunjukkan
bahwa Indonesia wajib tetap mempertahankan identitas, eksistensi atau
jati dirinya, Pancasila. Sikap dan sifat yang demikian merupakan ciri khas
Masyarakat dan Bangsa Indonesia yang dinamis.
Indikator yang kedua kedua yaitu responsive yang mempunyai arti
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu menerima azasazas hukum dan norma-norma hukum yang berasal dari luar untuk
memperkaya azas dan norma hukum Positif Indonesia, misalnya azas dan
norma yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, KUHAP, Hukum
Ekonomi, Hukum Pidana, Hukum Lingkungan, dan sebagainya. Azas dan
norma hukum asing yang telah tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam
Pancasila sedikit demi sedikit dikikis oleh waktu dan kesadaran manusia
Indonesia untuk kembali ke azas dan norma hukum pribumi.
Responsibitas nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu
disebabkan karena asas dan norma hukum positif Indonesia telah tidak
[ 183 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
mampu menjawab kebutuhan subjeknya. Kebutuhan masyarakat di
berbagai aspek kehidupan harus didasari dan dilindungi oleh asas dan
norma hukum. Jika ada asas dan norma hukum asing yang lebih mampu
memberi dasar dan perlindungan kepada subjeknya, maka asas dan norma
hukum asing itu akan direspons dan diakomodasi. Misalnya asas dan norma
hukum dalam aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya global.
Sedangkan indikator yang ketiga yaitu aplikatif. Sifat aplikatif
mencerminkan Pancasila dapat diaplikasikan atau diterapkan di masyarakat.
Pengertian dapat diaplikasikan adalah bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam
Sila-Sila Pancasila itu diterapkan, digunakan, dan dipakai dalam
pembentukan, pelaksanaan, penegakan, dan evaluasi atau pembaharuan
hukum. Indikator ketiga ini juga mengandung arti nilai-nilai Pancasila
dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara akan dibahas secara khusus. Artinya, Pancasila dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam perilaku, maupun dalam norma
hukum.
Indikator dari konsep Pancasila sebagai Ideologi yang hidup itu,
termaktub pengertian bahwa bangsa Indonesia mampu mengekspresikan
dirinya dalam pergaulan dunia melalui hukum-hukum yang dibentuknya
baik melalui proses hukum (due proccess of law), yudikatif (judge-made
law), maupun melalui pembentukan undang-undang ( law making
proccess), juga melalui konstruksi sosial (konsesnsus) seperti hukum adat
dan hukum kebiasaan selalu dan senantiasa dipandu dan dijiwai atau
disemangati oleh nilai-nilai Pancasila. Kemampuannya untuk memandu
dan menjiwai atau menyemangati itulah membuktikan bahwa nilai-nilai
Pancasila merupakan nilai-nilai yang hidup, dengan kata lain secara holistic
bahwa Pancasila merupakan ideologi yang hidup.
Pancasila sebagai IIdeologi
deologi yang A
plikatif
Aplikatif
Sebagai ideologi yang hidup, Pancasila sekaligus merupakan ideologi yang
terbuka. Sifat keterbukaannya disebabkan oleh karena Pancasila merupakan
ideologi yang hidup itu. Keterbukaan tidak diartikan dengan liberal.
Keterbukaan berarti keterbatasan, yaitu terbuka menerima azas dan norma
hukum asing yang mampu memperkaya azas dan norma hukum Indonesia. Keterbatasan berarti bahwa asas dan norma asing yang diterima adalah
[ 184 ]
Dominikus Rato
asas dan norma yang bermanfaat dan yang memperkaya serta diterima
oleh pendukung atau subjek yaitu bangsa Indonesia. Azas dan norma yang
merugikan atau merusak akan dengan sendirinya tersingkir oleh masa/
waktu. Ujiannya terletak dalam interaksi sosial, bahwa azas dan norma
hukum asing itu mampu memandu dan menyemangati setiap interaksi
sosial itu atau sebaliknya justru merusak dan mematikan interaksi sosial
itu baik dalam hubungannya sebagai pribadi, sosial, maupun bernegara.
Telah banyak pengalaman sejarah yang menunjukkan bahwa jika suatu
ideologi asing merusak interaksi sosial yaitu merusak integrasi bangsa, pasti
ditolak. Pada Tahun 1949 – 1950 Indonesia pernah menganut ideologi
liberal melalui Konstitusi RIS dan bentuk negara Indonesia saat ini ialah
federal, namun hanya bertahan 9 bulan saja. Pada Tahun 1960 – 1966,
Indonesia pernah menganut ideologi sosialis, namun hanya bertahan 5,5
tahun dan berakhir dengan revolusi.
Pengalaman ini mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah mempunyai
ideologi sendiri sebagai perwujudan kepribadian bangsa yang berperadaban.
Wujud peradaban itu adalah ideologi yang kita sebut Pancasila. Dengan
Pancasila mau dikatakan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius
(bukan hanya beragama) yaitu bangsa yang mempunyai keyakinan dan
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (dengan sebutan yang beraneka
ragam). Selain itu, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkemanusiaan
(humanism), mengutamakan keadilan (justice), dan berkeadaban. Bukan
hanya berkemanusiaan (humanism) saja atau mengutamakan keadilan saja,
atau berkemanusiaan yang adil saja, melainkan juga berkeadaban. Artinya
ketika bangsa Indonesia membela rasa kemanusiaan dan menegakkan
keadilan adalah dengan cara-cara yang beradab.
Yang tidak kalah penting adalah dimensi persatuan karena dengan sila
ketiga dari Pancasila, Bangsa Indonesia selalu mengedepankan Persatuan
dan Kesatuan Indonesia. Karena secara objektif Indonesia terdiri dari
beranekaragam agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
suku bangsa, etnis, bahasa, dan adat-istiadat/budaya, namun dengan tetap
mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kekerabatan yaitu Bangsa
Indonesia. Realitas-objektif ini disimbolkan dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yaitu beranekaragam agama dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, suku bangsa, etnis, bahasa, dan adat-istiadat/budaya, tetapi
[ 185 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
persatuan dan kesatuan/kemanunggalan bangsa tetap yang utama dan
diutamakan.
Persatuan Indonesia tentu tidak bisa dilaksanakan dengan seenaknya
melainkan harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi yang juga dianut
Pancasila. Bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan Persatuan
Indonesia yang beranekaragam, ketika membuat kebijakan selalu
mendahulukan ‘Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilian. Dalam arti bahwa ketika para
Pemimpin Bangsa membuat, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakankebijakan public untuk kemakmuran rakyat selalu dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan secara musyawarah untuk mencapai permufakatan. Hikmat
berasal dari kosa kata Bahasa Arab yang berarti kebijaksanaan, dan jika
digabungkan dengan kata kebijaksanaan yang berasal dari kosa kata asli
Indonesia, maka hal ini mau menyatakan bahwa hikmat-kebijaksanaan itu
merupakan hal yang pokok dalam setiap pembuatan, pelaksanaan, dan
pengevaluasian kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin
bangsa. Aktualisasi dari hikmat-kebijaksanaan itu adalah adanya
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam permusyawaratan ini
mengakui adanya perbedaan cara pandang, pendapat, kritik, dan saran.
Akan tetapi perbedaan itu merupakan anugrah yang memperkaya wawasan,
dan pada akhir dari semua itu, pada titik tertentu dari perbedaan itu, akan
mengarah pada permufakatan, kesamaan pandangan dan pendapat bahwa
kepentingan bersama seluruh rakyat Indonesia adalah pertama dan utama.
Hal ini merupakan epistemology dari Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia untuk
mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia.
Jika metode sebagaimana dikemukakan pada angka (4) diatas terlaksana,
maka sampailah kita tujuan bersama yaitu: Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Jadi, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
merupakan muara dari keseluruhan kebijakan yang dilaksanakan dengan
methode ‘musyawarah untuk mencapai mufakat’ dan dilandasi oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan
Persatuan Indonesia.
[ 186 ]
Dominikus Rato
Skema 2. Pancasila Dalam Kehidupan Bermasyarakat
WE^/>>D<,/hWEZD^zZ<d
KETUHANAN
YANG
MAHAESA
KEMANUSIAN
YANGADIL
DAN
BERADAB
KERAKYATAN
YANGDIPIMPIN
OLEHHIKMAT
KEBIJAKSANAAN
DALAM
PERMUSYAWARAT
AN/PERWAKILAN
KEADILAN
SOSIAL
BAGI
SELURUH
RAKYAT
INDONESIA
PERSATUAN
INDONESIA
DASAR
BERMASYARAKAT
DALAM
KEHIDUPAN
CARA
BERMASYARAKAT
DALAM
KEHIDUPAN
TUJUAN
BERMASYARAKAT
DALAM
KEHIDUPAN
%\'RPLQLNXV 5DWR
Jika Pancasila digunakan sebagai cara pandang dan dipahami secara
secara filsafatis, maka akan ditemukan sebuah konsep yang terintegrasi
secara ilmiah. Dari nilai Pancasila sebagai Dasar Negara atau Sumber Dari
Segala Sumber Hukum, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila itu dapat diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan
atau putusan-putusan hakim.19 Dengan demikian, jika digambarkan, maka
akan ditemukan sebuah skema, sebagai berikut:
19
Teuku Jacob, 2006, Menengok Kembali Pancasila: Sesudah 60 Tahun. Simposium dan Sarasehan
Peringatan Hari Lahir Pancasila. Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan
Bangsa. UGM 14 – 15 Agustus.
[ 187 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Skema 3. Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara
WE^/>^ZE'Z
dKZ/^dh&&Eh
Z/,E^<>^E
WE^/>
'ZhEKZDсEKZD^Z
hhEZ/d,hEϭϵϰϱ
^,h<hD͗
>y^hWZ/KZ/
ZK'd>y
/E&Z/KZ/с
,h<hDzE'
>/,d/E''/
DE''^Zͬ
DE'/<E
<KE^d/dh^/с,h<hD
^Z
dWDWZ
hhͬWZWh
,h<hD
WW
WK^/d/&
WZWZ^
E'Z
WZWZKs/E^/
<^dhE
,h<hDzE'
>/,ZE,
'Z/^Ͳ'Z/^^Z
,>hEE'Z
WZ<hWdEͬ<Kd
ZWh>/<
/EKE^/
WZ^;hhEK͘ϲd,hEϮϬϭϰͿ
LJŽŵŝŶŝŬƵƐ ZĂƚŽ
Dari skema diatas ditemukan konsep bahwa Pancasila sebagai ideologi
yang hidup mempunyai indikator dapat diterapkan/aplikatif. Indikator
ketiga dari Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan terbuka, maka Pancasila
dapat diterapkan khususnya baik dalam bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan maupun dalam kehidupan sosial-budaya. Skema di
atas adalah Pancasila sebagai ideologi yang hidup dalam kehidupan
bernegara.
Kesimpulan
Ada banyak pandangan tentang fungsi Pancasila, baik oleh Penggalinya
sendiri, Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur (KH. Abdurachman Wahid),
Prof. Kaelan, Pranarka, dan lain-lain. Menurut mererka fungsi utama
Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia, namun dalam perkembangannya ada pula yang memberi
gambaran tentang fungsi lain Pancasila, misalnya Pancasila sebagai Ideologi
[ 188 ]
Dominikus Rato
Terbuka, Pancasila sebagai Kekuatan Pembebasan, maka tulisan ini memberi
tambahan sifat Pancasila sebagai Ideologi Yang Hidup. Fungsi-fungsi ini
memberi gambaran yang makin utuh terhadap Pancasila sebagai Falsafah
Bangsa dan sebagai Dasar Negara.
Sebagai Ideologi Yang Hidup, Pancasila memiliki 3 (tiga) indicator,
yaitu adaptif-aktif, responsive, dan aplikatif. Adaptif-aktif bermakna bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-Sila Pancasila itu mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Responsive bermakna bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu menerima atau
mengakomodasi perubahan dengan menerima elemen-elemen sosial-budaya
asing dengan maksud untuk memperkaya elemen-elemen sosial-budaya
sendiri, dan aplikatif bermakna bahwa nilai-nilai Pancasila dalam Sila-Sila
Pancasila itu mampu diterapkan baik dalam bentuk perilaku, norma,
maupun azas-azas hukum.
Dengan melihat fungsi-fungsi Pancasila, yaitu nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya itu mampu menjiwai, menyemangati, memandu,
mencerahkan, dan sebagainya itu, maka tidak ada tempat lain bagi ideologi
selain Pancasila untuk menggantikannya. Pancasila layak untuk dibela dan
dipertahankan. Oleh karena itu, kewajiban semua anak bangsa untuk
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam perilaku,
maupun dalam norma dan azas hukum.
Sebagai ideologi yang hidup, negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia
‘Yang Empunya’ Pancasila, roh dan semangat Pancasila akan selalu menjadi
‘pedoman’ dalam berpikir, berkata, dan berperilaku. Baik secara mental
maupun moral akan selalu hidup dan dipertahankan dari tekanan-tekanan
ideologi asing, diterapkan dalam bentuk perilaku-perilaku pribadi maupun
sosial, dijaga kelestariannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan public,
putusan-putusan hakim, maupun dalam konsensus-konsensus sosial. Hal
ini akan selalu diingat dan dilaksanakan jika manusia Indonesia memiliki
mentalitas dan moralitas yang baik dan benar.
[ 189 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Referensi
Abdurrachman Wahid, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Bergama dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 141-162.
Alfian, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Politik. Dalam
Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman
169-189.
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan
Hukum Bangsa Indonesia. Dalam Pancasila sebagai Ideologi
Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa
dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 44-61.
Bintoro Tjokroamidjojo, 1990, Pancasila sebagai Ideologi Birokrasi/
Aparatur Pemerintah. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 249-283.
Doweng Bolo, Andreas, dkk., 2012, Pancasila Kekuatan Pembebas.
Bandung: Universitas Parahyangan.
Jacob, Teuku, 2006, Menengok Kembali Pancasila: Sesudah 60 Tahun.
Simposium dan Sarasehan Peringatan Hari Lahir Pancasila.
Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan
Bangsa. UGM 14 – 15 Agustus.
Kaelan, 2013, Negara Kebangsaan Pancasila. Kultural, Historis, Filosofis,
Yuridis, dan Aktualisasinya. Jogyakarta: Penerbit Paradigma.
Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Pergaulan
Indonesia dengan Dunia Internasional. Dalam Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 191-233.
Mubyarto, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kkehidupan Ekonomi.
Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 234-239.
M. Sastrapratedja, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Budaya. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
[ 190 ]
Dominikus Rato
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 88-140.
Padmo Wahjono, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Ketatanegaraan. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.
Jakarta: BP-7, halaman 62-87.
Rato, Dominikus, 2014, Hukum Adat di Indonesia. Suatu Pengantar.
Surabaya: LaksBang Justisia Surabaya.
——————————, 2016, Hukum Adat Kontemporer. Jogyakarta:
LaksBang Group.
Saafroedin Bahar, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Pertahanan Keamanan. Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 284-334.
Selo Soemardjan, 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Sosial.
Dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP7, halaman 163-168.
Soekarno, 1964, Tjamkan Pantja Sila: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara.
Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pantjasila, 1 Djuni 1945 –
1 Djuni 1964.
Soerjanto Poespowardojo, 1990, Pancasila Sebagai Ideologi Ditinjau Dari
Segi Pandangan Hidup Bersama. Dalam Pancasila sebagai Ideologi
dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7.
Sri Edi Swasono, 1990, Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipatif
vs Konsentrasi Ekonomi. Dalam Pancasila sebagai Ideologi dalam
Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: BP-7, halaman 240-248.
[ 191 ]
PANC
A SIL
A , IDEOLOGI BANGSA Y
ANG
PANCA
SILA
YANG
TERK
OYAK
TERKO
Sukron Ma’mun
A
rus global tidak hanya menyangkut ranah sosial, politik, dan budaya,
namun juga melibatkan sisi agama sebagai “penyedap” dalam
pertempuran ideologi sebagai bungkus kepentingan, baik politik
ataupun ekonomi. Kenyataannya agama menjadi sumbu peledak yang
paling ampuh untuk memporak-porandakan tatanan politik yang
berkeadaban dan menjunjung tinggi moralitas kemanuasiaan.
Persoalan inilah yang nampaknya terjadi dalam dua tahun terakhir
belakangan dan memiliki kecenderungan untuk terus menguat. Indikasi
yang mampu memberikan gambaran akan terjadinya penguatan adalah
adanya kekuatan-kekuataan politik yang mampu memahami karakter
masyarakat bangsa, sebagai komunitas yang relijius dan kompromistis
terhadap berbagai persoalan.
Gerakan keagamaan transnasional1 juga telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam sisitem sosial dan politik bangsa Indonesia, semenjak
reformasi tahun 1998 lalu.2 Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat kran
kekebasan dalam sistem demokrasi memungkinkan masyarakat untuk bebas
berserikat, berkumpul, berpendapat, dan memilih keyakinannya. Sistem
1
Gerakan keagamaan transnasional juga merupakan efek dari globalisasi dalam ranah politik, ekonomi,
dan budaya. Kendurnya sekat-sekat (boundaries) ikatan sosial, budaya, dan politik sebuah masyarakat
mengakibatkan mudah diterimanya berbagai aliran, ideologi, dan pemahaman kelompok lain.
Derasnya arus informasi sebagai bagian tak terpisahkan dari modernisasi dan globalisasi menjadi
faktor pendorong cepatnya merambah gerakan keagamaan transnasional.
[ 193 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
rezim politik represif terhadap Islam yang dimainkan Orde Baru telah
meledakkan gerakan Islam baik politik maupun keagamaan murni.
Kelompok-kelompok keagamaan yang selama ini “terindimitasi” oleh
pemerintahan Orde Baru menyeruak dan mencari eksistensi diri dalam
ruang publik yang terbuka. Ekspresi kebebasan ditunjukkan dengan
penguatan ideologi, gerakan keagamaan, dan sakralitas ritual. Ideologiideologi yang selama ini belum dikenal oleh masyarakat tiba-tiba muncul
menjadi idola baru bagi masyarakat yang dimabuk kebebasan.
Ekspresi keagamaan pada masa-masa awal reformasi menunjukkan hal
yang bersifat positif, karena mengarah pada bentuk keterbukaan alam
demokrasi, dalam berserikat, berpedapat, dan tentunya berkeyakinan.
Namun belakangan nampaknya gerakan keagamaan tersebut lambat laun
mulai mengkristal untuk menemukan titik kejelasan atau orientasi yang
ingin dicapai oleh masing-masing pihak.
Ali3 menyatakan bahwa gerakan keagamaan di Indonesia dapat dipilah
dalam dua bkelompok besar, yakni kelompok mainstream dan non-mainstream. Kelompok gerakan Islam mainstream merujukan pada model
gerakan keagamaan yang memiliki akar kuat dalam perjalanan masyarakat
Muslim di Indonesia. Gerakan keagamaan ini seperti Miuhammadiyyah,
NU, Persatuan Islam Indonesia (Persis) dan Mathlaul Anwar. Sementara
gerakan non-mainstream adalah gerakan keagamaan yang tidak memiliki
basis kuat dalam perjalanan gerakan di Indonesia, karena berangkat dari
gerakan keagamaan transnasional.
Masing-masing kelompok ini masih dapat dipilah-pilah jenis dan
modelnya, mengingat beragamannya orientasi yang ingin dicapai dalam
pembentukan gerakan tersebut. Gerakan Islam mainstream dengan berbagai
anak gerakan sendiri dapat dipilah dalam tiga model, yakni Islam modernis,
Islam tradisonalis-konservatif, transformasi Islam, dan Islam fundamentalis.4
2
3
4
Lihat M Imdadun Rahmad, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah
Ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005) hlm. X. Lihat pula As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan PascaReformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Sosialogis (Jakarta: LP3ES, 2013), hlm.
vii-xi.
As’ad Said Ali, Ibid., 63-144. Baca pula As’as Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan
Berbangsa (Jakarta: LP3ES, 2009), hlm. 286-307.
As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 63-64.
[ 194 ]
Sukron Ma’mun
Sementara kelompok non-mainstream dalam dipilah menjadi dua, yakni
kelompok salafi dan non-salafi. kelompok salafi merujuk pada model Islam
literal dan kaffah. Sementara non-salafi berusaha mewujudkan cita-cita
politik Islam.5
Dalam konteks demokrasi dan kemajemukan Indonesia tentu hal ini
sangat wajar terjadi. Adanya pluralitas dalam keyakinan beragama
merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, namun
bagaiamana jika pluralitas tersebut mengancam bangunan fundamental
dari ideologi besar bangsa yang menjadi penyangga berdirinya bangsa?
Pancasila merupakan ideologi bangsa yang menjadi pondasi berdirinya
bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil perasan dari berbagai ideologi yang
tumbuh di Nusantara. jika demikian adanya, pertanyaan selanjutnya adalah
akankah sebuah bangsa mampu bertahan dalam ancaman rongrongan yang
menggerus kerangka besar bangunannya? Jika ia berpotensi merobohkan
imaginasi bersama, bagiamanakah seharusnya diselamatkan?
Konteks Historis Keragaman Ideologi
Secara ideologis Pancasila merupakan hasil dari proses resapan budaya,
ajaran, dan nilai-nlai bangsa Indonesia yang sangat plural. Keberagaman
budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia adalah hasil warisan dan silang
budaya yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia semenjak berkembangnya peradaban Nusantara. Posisi silang nan strategis inilah yang menjadikan
bangsa Indonesia tumbuh dalam keragaman budaya dan ideologi.
Sartono Kartodirdjo, dalam pengantar buku Denys Lombard, 6
menyatakan periodisasi kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara
mengalami tiga periode, yakni Hindu-Budha, Islamisasi, dan Westernisasi.
Pengaruh ideologi dan budaya Hindu-Budha mungkin dapat dikatakan
sebagai periode cukup lama memberikan pengaruh terhadap cara berfikir
masyarakat Nusantara, yakni berlangsung sekirat 14 abad. Pengaruh
5
6
Kategori salafi dan non-salafi ini ditunjukkan oleh As’ad Said Ali untuk membedakan gerakan
keagamaan non-mainstream yang memiliki orentasi politik dan murni gerakan agama. Meskipun
pada gerakan mainstream juga terdapat kelompok non-salafi. lihat Ibid, 73-74.
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejara Terpadu, Bagian 1: Batas-Batas Pembaratan
(Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. xv.
[ 195 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ideologi Islam berlangsung sekitar 7 dan pengaruh ideologi barat dengan
varian agamanya berlangsung selama 4 abad.7
Hindu dan Budha yang berasal dari India memberikan warna dalam
ideologi Nusantara mulai dari abad ketiga dan keeampat Masehi. Agama
yang berasal dari Asia Selatan ini bukan hanya memberikan nuansa religi,
tetapi juga memberikan cetak budaya pada masyarakat Nusantara hingga
Indonesia modern. “Kontak” Islam dengan penduduk Nusantara disinyalir
mulai abad ketujuh Masehi belum mampu memberikan warna ideologi
dan budaya masyarakat Nusantara hingga abad ketiga belas Masehi. Artinya
tujah abad Islam memasuki wilayah Nusantara namun tidak banyak memberikan pengaruh terhadap keyakinan dan kebudayaan Nusantara kala itu.
Sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dimulai abad ke-7 hanya
menyentuh wilayah kontak ekonomi, belum merambah pada ranah ideologis
dan kebudayaan. Islam baru secara massif menjadi bagian dari keyakinan
masyarakat Nusantara dan mampu meberikan warna kebudayaan baru
sekitar abad ketiga belas hingga empat belas Masehi. Hal ini ditandai oleh
konversi masyarakat Nusantara untuk mengikuti ajaran Islam, serta
massifnya intensitas masyarakat Timur Tengah dan India Muslim masuk
wilayah Nusantara.
Hingga pada titik itu, Islam secara ideologis dan kebudayaan pada
dasarnya belum diikuti secara “kaffah” (totalitas) oleh pemeluk barunya.
Bahkan yang terjadi adalah adalah akulturasi kebudayaan antara Islam dan
Jawa, yang tentu saja kental dengan budaya Hindu-Budha dan keyakinan
animis-dinamis yang sudah ada. Pada proses selanjutnya terjadi sinkretisme
ajaran, sehingga menyebabkan model dan praktik keagamaan Islam
masyarakat Nusantara menjadi unik.8 Tidak mengherankan banyak model
keislaman yang tumbuh dalam masyarakat muslim Nusantara sebagai
artikulasi sinkretisme ajaran Islam dengan keyakinan lokal. Hal ini
menunjukkan adanya penerimaan terhadap ajaran baru, namun masih
kuatnya pengaruh ajaran lama yang telah ada.9
7
8
9
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia,
2015), hlm. 57.
Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast Asian Studies,
Kyoto: vol 37, No 2, 1999, hlm. 46-63.
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), hlm. 170. Lihat pula
Andik Wahyu Muqoyyidin, Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam Bidang Sosial Sebagai Salah
Satu Wajah Islam Jawa, el Harakah, Vol. 14. No. 1, 2012, hlm. 21-22.
[ 196 ]
Sukron Ma’mun
Selain diterima Islam sebagai bagian dari ideologi dan kebudayaan baru
di Nusantara, masyarakat Nusantara juga memperoleh pengaruh Konghucu
yang berasal dari China. Orang-orang China memberikan pengaruh cukup
dalam kebudayaan dan ideologi masyarakat Nusantara.10 Lebih dari itu
pada perkembangannya etnik China juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam sistem sosial masyarakat Nusantara. Komunitas China
dan tentu dengan ideologi dan kebudayaannya menjadi warna tersendiri
dalam perkembangan masyarakat Nusantara, yang tersebar di berbagai
wilayah.
Kedatangan kaum kolonial Eropa mulai abad 16, beberapa diantaranya
adalah Portugis, Inggris, dan Belanda, memberikan pengaruh ideologi dan
budaya modern bagi masyarakat Nusantara. Agama Kristen yang awalnya
tidak dikenal oleh penduduk Nusantara mulai dikenal dan dikuti. Meskipun
datang lebih akhir dibanding dengan ketiga agama sebelumnya, Kristen
memberikan warna yang cukup mengingat kolonial Belanda yang
memerintah Indonesia mayoritas pemeluk agama Kristen. Meskipun tidak
ada pemaksaan agama oleh pemerintahan Hinda Belanda, namun kontak
pemerintah dengan penduduk lokal memberikan imbas yang signifikan
terhadap keberagaman masyarakat Indonesia pada nantinya.
Kenyataan di atas tentu bukan hal kebetulan belaka, namun sebuah
proses sejarah yang berlangsung dalam cukup lama. Keragaman bangsa
Indonesia tentu bukan kebetulan semata, namun dialektika dan negosiasi
berbagai keyakinan dan budaya terjadi secara intensif. Hal yang perlu
digarisbawahi di sini adalah proses tersebut berjalan sangat harmonis dan
nyaris tanpa perselisihan berarti. Mengapa hal ini dapat terjadi? Menurut
Suyanto11 hal ini lebih karena disebabkan oleh karakteristik budaya Jawa
yang cenderung religious, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan
10
11
Yudi Latif, Negara, hlm. 58.
Lebih jauh Suyanto menyebutkan karakter di atas melahirkan corak, sifat, dan kencenderung masyarakat
Jawa dalam 10 sifat; 1) Percaya pada Tuhan Yang Mahaa Esa sebagai sangkan paraning dumani
(tempat manusia berasal). 2) Bercorak idealitis, percaya pada hal-hal yang bersifat adikodrati
(supranatural), dan cenderung mistik. 3) Lebih mebnutamakan hakikat daripada segi-segi formal
dan ritual. 4) Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. 5)
Percaya pada takdir dan cenderung bersikap pasrah. 6) Bersifat konvergen dan universal. 7) Momot
dan non-sekterian. 8) Cenderung pada simbolisme. 9) Cenderung pada gotong royong, guyub,
rukun, dan damai. 10) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi. Lihat Suyanto,
Pandangan Hidup Jawa (Semarang: Dahana Prize, 1990), hlm. 144.
[ 197 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
optimistik. Karakter yang demikian menjadikan masyarakat Nusantara,
dengan komunitas etnik Jawa paling dominan, memiliki tingkat keragaman
ideologi, budaya, sosial, dan politik. Dengan demikian, keragaman menjadi
menjadi hal yang sangat wajar terjadi.
Pancasila sebagai IIdeologi
deologi B
angsa
Bangsa
Pancasila lahir dalam konteks keragaman budaya dan ideologi masyarakat
Nusantara. Ia merupakan konsesus dari berbagai keyakinan dan faham
yang telah tumbuh di bumi Nusantara. Bahkan lebih dari itu Pancasila
lahir dalam situasi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia yang ada
kala itu, yakni Liberalisme, Sosialis-Komunisme, Chauvinisme, dan
Kosmopolitisme. Pancasila lahir setelah melalui pemikiran matang para
pendiri bangsa yang tidak serta merta memunculkan poin-poin dasar (sila)
yang lima tersebut.
Pancasila adalah dasar yang menjadi pijakan dalam setiap langka
masyarakat bangsa dan tentu sistem pemerintahan dengan berbagai
aturannya. Karenanya dalam sejarah penyusunannya ia digodog secara
matang, melalui kejernihan fikir dan ketulusan hati. Ia merupakan resapan
nilai-nilai fundamental dari kebudayaan, keyakinan atau kepercayaan, dan
fasalah (cara pandang) bangsa Indonesia.
Hal yang perlu ditetakkan disini adalah Pancasila bukan sebuah
kebetulan belaka, meskipun proses perumusannya terjadi setelah adanya
janji kemerdekaan pemerintahan Jepang yang menguasai Indonesia kala
itu, tahun 1945. Jepang yang menjanjian kemerdekaan Indonesia sejak
September 1944, membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 April 1945. BPUPK sendiri mulai
melakukan persidangan pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Hal yang
mendasar dalam pertemuan tersebut adalah pembicaraan mengenai dasar
negara.12
Masing-masing anggota memberikan pandangan mengenai hal-hal
dasar yang menjadi landasan bernegara. Beberapa hal mendasar yang
dibicara dalam persidangan tersebut adalah pentingnya ketuhanan (agama)
12
A.M.W Pranaka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1985), hlm. 31.
[ 198 ]
Sukron Ma’mun
dalam bernegara, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, demokrasi
permusyawaratan, dan nilai-nilai keadilan atau kesejahteraan sosial.13
Masing-masing tokoh memberikan pandangan mengenai dasar negara
Republik Indonesia, beberapa diantaranya yang diminta memberi
pendangan oleh ketua BPUPK, Radjiman Wediodiningrat adalah
Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.14
Dalam pandangan Muhammad Yamin, ketika berpidato di sidang
BPUPK tanggal 29 Mei 1945, lima mendasar dari kehidupan bernegara
adalah peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan,
dan kesejahteraan rakyat. Sementara Soepomo yang berkesempatan
memberikan pandangan pada 31 Mei 1945 menyatakan lebih abstrak dari
gagasan Muhammad Yamin. Soepomo hampir senada dengan Yamin, ia
melihat pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusaian, persatuan,
permusyawaratan dam keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen
kenegaraan.15 Meskipun Soepomo lebih melihat pentingnya sebuah negara
memiliki falsafah yang mendasar sebagai pondasi kehidupan. Ia juga
mengusulkan aliran bagi Indonesia merdeka adalah alirah atau faham
integralistik.16
Sementara Soekarno yang mendapatkan kesempatan mengemukakan
gagasannya pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan gagasan yang hampir
sama dengan Yamin dan Soepomo. Hanya saja urutannya berbeda, kelima
dasar tersebut adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisasi atau
perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan
ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno memberikan pandangan yang
runut, solidm dan koheren sehingga mampu menyakinkan anggota BPUPK
yang berjumlah 69 plus 7 anggota istimewa (Tokubetu Iin) perwakilan
pemerintahan Jepang.17
13
Yudi Latif, Negara, hlm. 10-11.
Ibid. Lihat pula Muhammad Choirul Huda, Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara:
Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan Hukum, dalam Absori, dkk (ed),
Transendensi Hukum: Prospek dan Implementasi (Yogyakarta: Genta Publishing 2016), hlm.
494.
15
Yudi Latif, Negara, hlm. 10.
16
A.M.W Pranaka, Sejarah, hlm. 31.
17
Yudi Latif, Negara, hlm. 669-671.
14
[ 199 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pada dasarnya Soekarno sendiri tidak mempersoalkan urutan lima dasar
tersebut harus sebagaimana yang ia sampaikan. Ia mempersilahkan urutan
tersebut dibuat sesuai dengan kesepakatan. Namun yang lebih penting
dari Soekarno adalah dasar-dasar tersebut hendaknya menjadi “dasar falsafah”
(philosofische grondslog) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) bagi
bangsa dan negara Indonesia.18
Soekarno memberikan nama Pancasila yang berasal dari Bahasa
Sansekerta. Panca berarti lima dan Sila berarti dasar. Angka lima menurut
Soekarno merupakan “angka keramat” yang diyakini oleh bangsa Indonesia.
Dalam ajaran Jawa terdapat ajaran etika mengenai larangan “Mo-Limo”.
Taman Siswa dan Chuo Sangi memiliki ajaran “Panca Dharma”. HinduJawa memiliki keyakinan kesatria Pandawa Lima. Islam memiliki rukun
Islam yang berjumlah lima. Soekarno menyebut lima dasar tersebut dengan
asosiasi penggunaan istilah Leitstar atau bintang pemimpin.19
Lima dasar dalam rumusan Pancasila adalah sari pati nilai-nilai
kehidupan bangsa yang telah mengakar dalam alam pikir, sikap hidup,
cara pandang hidup, dan tindakan masyarakat Indonesia. Sehingga wajar
banyak ilmuwan, tokoh, dan pemerhati dunia yang menyatakan bahwa
rumusan dalam Pancasila adalah karya agung bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan sitensa dan juga antitesa dari berbagai ideologi.
Rumusan yang terkadung dalam Pancasila merepresentasikan sebuah imaji
besar dari bangsa Indonesia, bahwa Indonesia bukan negara agama, sekuler,
ataupun sosialis. Tetapi juga mencerminkan bagaimana rumusan sila-sila
di dalamnya merupakan resapan dari nilai-nilai agama, pandangan sosialis
dan liberalis. Namun demikian Pancasila bukan ideologi agama, apalagi
nilai ideologi sosialis, komunis, dan liberalis.
Latif20 menyatakan sintesa Soekarno akan nilai-nilai ideologi ini dalam
rumusan yang sangat tepat. Sehingga Soekarno menyebut sebagai dasar
falsafah (philosofische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung).
Sustesa tersebut adalah nasionalisme-islamisme, socio-democratic, dan
konseptualisasinya tentang socio-nationalisme dan socio-democratic sebagai
asas Marhaenisme.
18
As’ad Said Ali, Negara, hlm. 17-18.
Ibid.
20
Yudi Latif, Negara, hlm. 46.
19
[ 200 ]
Sukron Ma’mun
Sila pertama ketuhanan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
menyadari bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bangsa
Indonesia. Sila kemanusiaan merepresentasikan humanitas dan rasa
kesamaan terhadap segala entitas ciptaan tuhan. Artinya adalah pembelaan
terhadap hak-hak asasi manusia. Sila persatuan menunjukkan rasa cinta
akan kebangsaan. Bangsa sebagai entitas yang satu dalam bingkai
keindonesiaan. Sila kerakyatan dan permusyawaratan menujukkan
Indonesia merupakan negara demokrasi, bukan monokrasi ataupun teokrasi.
Sila keadilan dan kesejahteraan sosial memberikan satu arahan bahwa
Indonesia bukan negara kapitalis liberal, namun memperhatikan aspek
social dalam membangun masyarakat.
Namun persoalan “ideologi bangsa” ini berhenti atau cukup sampai
pada perumusan, nampaknya masih terjadi pertentangan hingga
pengesahan Pancasila dengan sila-sila yang kita kenal sekarang. Hingga
menjelang kemerdekaan Indonesia masih terdapat tarik ulur yang sengit
antara banyak pihak terkait dengan adanya rumusan Pancasila pada sila
pertama. Kelompok Islam masih sengit mempertahankan tujuh kata
sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan tujuh
kata ini yang menjadikan pembahasan Pancasila sila pertama mengalami
deadlock. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan pihak Islam menerima
penghilangan tujuh kata tersebut demi kesatuan bangsa Indonesia.
Kemauan pihak Islam ini merupakan indikasi langkah yang sangat luar
biasa dalam perkembangan kehidupan beragama di Indonesia. kalangan
Nasionalis, yang direpresentasikan oleh Soekarno, mampu menyakinkan
kelompok Islam, Muhammadiyyah yang diwaliki oleh Ki Bagoes
Hadikoesmo dan NU yang diwakili Wachid Hasjim. Keduanya menerima
penghilangan tujuh kata dengan alasan menjaga persatuan bangsa.21
Hingga detik itu Pancasila merupakan dianggap sebagai dasar negara
dan kesepakatan bersama, bukan falsafah ataupun ideologi sebagaimana
Soekarno inginkan. Meskipun pada dasarnya Soekarno juga tidak terlalu
berambisi untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa untuk
21
Ibid., hlm. 36. Lihat pula Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi
tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 110-111.
[ 201 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
menggantikan ideologi atau keyakinan-keyakinan yang telah ada.
Welstanchauung sebagaimana yang dimaksud Soekarno menurut Ali
tidaklah sama dengan ideologi, karena secara prinsipal keduanya memiliki
perbedaan. Welstanchauung lebih diartikan sebagai pandangan dunia
(world view) suatu masyarakat yang terbentuk dan pengalaman bersama
dalam batas dan kondisi lingkungan tertentu yang menghasilkan sistem
sosiokultural, khususnya nilai-nilai spesifik.22 Sementara ideologi lebih
cenderung pada sistem nilai yang bersifat mengikat dan berasal dari ide
besar, baik yang bersumber dari alam pikir ataupun wahyu.
Pancasila pada akhirnya menjadi “ideologi bangsa” setelah pada kurun
1945 hingga 1950 mengalami berbagai cobaan dalam sistem politik dan
kenegaraan negara muda Indonesia. Adanya kemungkinan tafsir yang
disesuaikan dengan kepentingan adalah hal yang tidak terelakan mengenai
sila pertama. Misalnya kelomopok nasionalis sekuler melihat makna
ketuhanan dalam pengertian sosiologis.23 Ketuhahan tidak terikat pada
agama atau netral, sehingga terlihat seolah Islam bukanlah inspirasi
perumusan Pancasila. Sementara kalangan komunis berkeinginan lebih
jauh, menggati sila pertama dengan kebebasan beragama dan kepercayaan.24
Perdebatan panjang mengenai tafsiran sila pertama ini cukup melegekan
setelah beberapa tokoh sepakat untuk melakukan reinterpretasi. Pertama,
Pancasila merupakan kompromi politik. Perdebatan di siding BPUPK dan
PPKI merupakan bentuk kompromi tersebut. Kedua, lebih dari sekedar
kompromi politik atau kontrak sosial, Pancasila merupakan falsafah bangsa
atau welstanchauung bangsa Indonesia.25
Bagaimana lantar respon umat Islam? Muhammadiyyah dan Nahdlatul
Ulama pada awalnya nampak masih ragu menerima Pancasila sebagai faslafah
bangsa. Hal ini terambar dari pidato Mohammad Nasir yang
mempertanyakan sumber sila-sila dalam Pancasila. Demikian pula dengan
KH Ahmad Zaini yang berasal dari NU.26
22
As’ad Said Ali, Negara, hlm. 18-19.
Ahmad Syafii Maarif, Islam, hlm. 147.
24
As’ad Said Ali, Negara, hlm. 26.
25
Ibid., hlm. 23-24.
26
Ahmad Syafii Amarif, Islam, hlm. 147.
23
[ 202 ]
Sukron Ma’mun
Muhammadiyah dan NU menggagap Pancasila merupakan kompromi
politik yang dimaksudkan untuk mendudukan hal yang paling esensial
dari proses kehidupan berbangsa yang plural atau multikultur. Kenyataan
kehidupan berbangsa yang plural saat itu harus diselamatkan dalam situasi
yang kritis dalam masa-masa awal menjelang kemerdekaan.27 Menurut
KH Mustafa Bisri NU sendiri misalnya menerima totalitas Pancasila sebagai
asal tunggal setelah melakukan perdebatan panjang, bahkan kemudian
menjadi pembela utama Pancasila.28
Terlepas dari perdebatan panjang mengenai Pancasila sebagai falsafah
bangsa, Pancasila layak menjadi “ideologi bangsa” untuk menyatukan
pikiran, gagasan, dan tindakan semua komponen bangsa. Sebagaimana
dikemukakan KH Abdurrahman Wahid,29 Pancasila harus diterima sebagai
ideologi bangsa yang mengikat seluruh kompenen bangsa dalam sila yang
lima. Pancasila merupakan bukan sebatas hasil perenungan, lebih dari itu
nilai-nilai yang diangkat adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai relegius
yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum
membentuk negara.
Potr
et R
etak N
usantara
otret
Retak
Nusantara
Tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila mengalami distorsi yang luar biasa
selama rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto.
27
Ibid., hlm. 149.
Pembelaan ini menurut KH Mustofa Bisri dituangkan dalam Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila
dengan Islam yang berjumlah lima poin hasil Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama
tanggal 21 Desember 1983. Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama. Kedua, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara
Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain,
mencermkinkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama
(NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan antarmanusia. Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan
dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi
dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. Lihat As’ad Said Ali, Negara, hlm.
xxix-xxx. Lihat pula Andree Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 242-245.
29
Abdurahman Wahid, Pancasila Sebagai Ideologi dalam Kaitannya Dengan Kehidupan Beragama
dan Berkepercayaan Terhadap Tuhan YME, dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds. Pancasila Sebagai
Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: BP7 Pusat, 1991), hlm. 161.
28
[ 203 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pemberlakuan asas tunggal memang bukan sesuatu yang buruk, namun
cara mensikapi dan menjadikan Pancasila sebagai bagian dari jiwa bangsa
Indonesia yang kurang tepat.
Program pemasyarakatan Pancasila melalui Penataran P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dinilai hanya sebuah program tanpa
“penghayatan dan pengamalan” sama sekali terhadap Pancasila itu sendiri.
Pancasila hanya menjadi jargon, namun tidak menjadi bagian dari hidup
terutama bagi kaum elit politik (penguasa). Memang setiap warga negara
wajib mengikuti program tersebut untuk mengenalkan Pancasila sebagai
pandangan hidup bernegara. Namun program Penataran P4 seolah hanya
rutinitas dan bagian dari cara “pembelengguan” warga masyarakat. Peserta
penetaran hanya akan meniru kata-kata sang penatar, tanpa perlu
mempertanyakan atau bahkan mengkiritisi. Bertanya, mendebat, atau
mengkritisi justru akan menjadi boomerang bagi yang bersangkutan.30
Akibat dari kekurangtepatan memberikan pemahaman terhadap
masyarakat akan Pancasila, justru Pancasila menjadi senjata bagi masyarakat
untuk melawan negara. Tidak sedikti masyarakat yang secara diam-diam
antipasti terhadap Pancasila. Banyak ormas-ormas Islam yang menentang
Pancasila sebagai asas tunggal organisasi, bahkan menolaknya.
Pemberlakuan asas tunggal bagi organisasi selama Orde Baru
mendapatkan tantangan keras dari berbagai ormas Islam.31 Bagi yang cukup
moderat mereka menganggap bahwa Pancasila tidak bisa dijadikan asas
untuk kepentingan organisasi, namun bisa menjadi asas bagi negara.
Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama (NU) berada dalam posisi ini.
Meskipun keduanya pada akhirnya menerima secara total. Sebaliknya bagi
yang secara frontal menolak, mereka tidak bisa mengkompromikannya
karena berbagai alasan. Misalnya Pancasila ciptaan manusia, kesepakatan
politik, dan penuh kontroversial pada proses pembentukannya. Menerima
asas tunggal dikhawatirkan menganggap Pancasila telah menggantikan
agama.
Potret paling nyata penolakan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara
adalah kasus pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia
30
31
As’ad Said Ali, Negara, hlm. xvi, xxv-xxviii
Ibid., hlm. xxvi.
[ 204 ]
Sukron Ma’mun
(TII) oleh SM Kartosuwiryo. Kartosuwiryo memprokalmirkan diri sebagai
imam dari gerakan pemberontakan tersebut dan mendapatkan simpati dan
dukungan dari banyak pihak. Kahar Muzakar dan pasukannya menyatakan
dukungannya pada tanggal 20 Januari 1952 dan menyatakan diri sebagai
bagian dari NII (Negara Islam Indonesia, istilah lain dari Darul Islam/
DI). Kemudian pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh di Aceh
juga menyatakan bagian dari NII Kartosuwiryo. Tahun 1954, Ibnu Hajar
dan pasukannya yang bermarkas di Kalimantan Selatan juga
menggabungkan diri. Pada akhirnya, gerakan ini berhasil ditumpas oleh
militer pro pemerintah dan tidak pernah lagi muncul kecuali melalui
gerakan bawah tanah.32
Setelah adanya gerakan makar itu, disusul oleh gerakan perlawanan
terhadap kekuasaan yang dikomandani oleh Partai Komunis Indonesi (PKI)
tahun 1965.33 Sebagai partai komunis PKI boleh dibilang sebagai penolak
keras Pancasila, karena pertentangan dengan asas ideologi dan gerakan dasar
dari ideologi komunis. Bukan haya itu, secara deametral PKI bertentangan
dengan nilai-nilai dasar dalam Pancasila. Pada puncak gerakan makar yang
dilakukan oleh PKI tanggal 30 Spetember 1965, akhirnya gerakan partai
komunis ini berhasil dilumpuhkan sebelum akhirnya beralihnya kekauasaan
Orde Baru.
Semasa pemerintah orde baru, rezim penguasa juga secara frontal
“menyerang” kelompok-kelompok yang menolak asas tunggal sebagai
kelompok yang berorientasi pada ideologi Marxist, Lenin, dan Komunis.
Meskipun penyerangan ini juga ditujukkan pada ormas dan partai Islam,
yang kala itu ditunjukkan pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
(Ismail, 1999:197-199). Menurut Gus Mus34 penolakan bisa dianggap
sebagai subversi oleh Rezim Orde Baru yang sangat membahayakan bagi
yang bersangkutan. Mereka akan disebut “PKI”, “ekstrem kanan”, “ekstrim
kiri” dan tidak Pancasilais”.
32
Saifuddin, Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa; Sebuah Metamorfosa Baru, Analisis, Volume
XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 22.
33
Baca Eep Syaifullah Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru; Masalah dan Masa Depan
Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 19.
34
Baca kata pengantar KH Mustofa Bisri dalam buku As’ad Said Ali, Negara, xxvi.
[ 205 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Akibat dari penolakan ini tentu saja sikap represif pemerintah terhadap
kalangan penolak, tidak mengecualikan Islam. Partai politik Islam
mengalami masa kemunduran dan organisasi-organisasi Islam ada dalam
pengawasan ketat pemerintah. Sikap represif ini mengakibatkan gerakan
Islam justru mulai melakukan konsolidasi dan penguatan ideologi yang
cukup diriskan pada masa-masa selanjutnya.
Ali35 melihat masyarakat Indonesia letih dengan ideologisasi Pancasila
selama Orde Baru yang hanya terkesan formalis tanpa makna. Tidak
mengeherankan jika gerakan Islamist yang melakukan konsolodasi dan
penguatan ideologi tiba-tiba meledak pasca reformasi tahun 1998.
Penolakan Pancasila sebagai ideologi tunggal menjadi tidak terbendung
lagi, bahkan yang lebih parah adalah adanya upaya menggantikan ideologi
Indonesia.
Model gerakan, cara pandang, dan sistem yang seragam muncul
kepermukaan sebagai bukti konsolidasi penguatan gerakan Islamist di
bawah tekanan Orde Baru. Ali36 memberikan contoh bagaimana alumnialumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab,
perguruan tinggi Islam di Indonesia yang merupakan cabang Universitas
Imam Muhammad ibn Saud Riyad) yang mengenalkan ideologi salafi ala
Arab Saudi kepada mahasiswa-mahasiswanya. Berdirinya LIPIA ini tidak
lepas dari peran Nastir dan DDII-nya yang memiliki jaringan dengan
Ikhwanul Muslimin Mesir.37 Ali38 menambahkan tidak mengherankan
pecahnya reformasi tahun 1998 kemudian bermunculan gerakan Islam
yang memiliki karakter mirip gerakan Ikhwan di Timur Tengah.
Gerakan-gerakan salafi ini kemudian merembes di kota-kota besar
terutama di kalangan kaum muda intelektual yang merasa haus akan
pengetahuan agama dan spiritual. Kampus-kampus “sekuler” menjadi basis
persemaian massifnya gerakan Islamist modern, seperti Institut Teknologi
35
Ibid., 264.
Ibid., 301-303.
37
Abd A’la, Sikap Muslim Fundamentalis Indonesia terhadap NKRI Antara Penolakan dan Penerimaan
Setengah Hati, UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 Juli 2010, hlm. 59. Lihat juga M. Imdadun
Rahmad, Arus, bagian yang membahas permulaan persinggungan kelompok Islam dengan Ikhwanul
Muslim Mesir.
38
As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 31.
36
[ 206 ]
Sukron Ma’mun
Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI)
Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Sebels
Maret (UNS) Solo, dan kota-kota besar lainnya.
Di kalangan masyarakat luas gerakan Islamist juga mengalami
penguatan yang tak kalah kerasnya, kelompok-kelompok radikal yang boleh
jadi anti Pancasila melakukan penguatan. Beberapa kelompok gerakan dapat
disebutkan adalah MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad,
FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wa al-jama’ah), HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta), Hizbullah Sunan
Bonang, Laskar Jundullah, dan lain sebagainya.39 Indikasi anti Pancasila
adalah upaya yang massif untuk merongrong kekuasaan dengan dalih
pemerintahan thaghut dan kafir. Hal yang paling sederhana juga misalnya
terdapat sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan gerakan tersebut melarang
adanya penghormatan terhadap bendera Merah Putih.
Gerakan ideologi Islamist dengan berbagai variannya muncul baik di
lembaga-lembaga pendidikan resmi milik pemerintah, seperti SekolahSekolah Negeri Unggulan, universitas-universitas negeri terbaik di
Indonesia. kelompok-kelompok siswa dan mahasiswa mendirikan atau
berafiliasi dengan gerakan-gerakan radikal yang anti Pancasila dan bahkan
NKRI. Kasinyo Harto40 yang melakukan penelitian di Universitas Sriwijaya
menemukan berbagai gerakan Islamist telah menjadi bagian dari gerakan
Mahasiswa di kampus tersebut, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Gerakan
Tarbiyah, gerakan Salafi, dan Jamaah Tabligh.
Gerakan-gerakan Islamist ini sebenarnya telah lama menjamur di
berbagai kampus besar, sebagaimana disebutkan di atas. Gerakan-gerakan
ini memang tumbuh dalam beberapa varian, jika merujuk pada model
taksonomi gerakan yang dibuat oleh As’ad Said Ali41 gerakan Islam dapat
39
Saifuddin, Radikalisme, hlm. 27.
Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan
Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang, Jakarta: Balitbag Kemenag RI, 2008.
41
Secara lebih rinci As’ad Said Ali membagi kelompok mainstream dan non-mainstream dalam
berbagai varian. Varian-variab dalam kelompok mainstream dapat dibedakan menjadi empat, Islam
Modernis, Islam Tradisional-Konservatif, Transformasi Islam, Islam Fundamentalis. Sementara
varian dalam kelompok non-mainstream dapat dipilah dalam dua kategori, yakni salafi dan nonsalafi. gerakan-gerakan kelompok non-salafi seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Gerakan
Syiah, dan Jamaah Tabligh. sementara karakteri dalam kelompok salafi adalah salafi wahabi, salafi
40
[ 207 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dibedakan menjadi dua, mainstream dan non-mainstream, maka seluruh
gerakan tersebut ada di kampus-kampus. Gerakan Islam salafi, non-salafi,
Islam konservatif, dan fundamentalis telah tumbuh di lingkungan
pendidikan tinggi.
Gerakan-gerakan Islam transnasional ini memang memberikan warna
yang cukup signifikan dalam kancah akademik di Perguruan Tinggi.
Pluralias atau multiideologi menjadi warna baru yang tidak dapat
dipungkiri. Namun sayangnya dari sekian gerakan ada upaya-upaya
melemahkan NKRI dan menggerus nilai-nilai Pancasila. Hal ini wajar
adanya mengingat gerakan keagamaan ini juga tidak sedikit yang antipasti
terhadap Pancasila.
Kasus paling menyolok mata adalah video yang menjadi viral di media
massa terkait dengan deklarasi khilafah Islamiyyah di kampus Institut
Pertanian Bogor (IPB) (Januari 2017).42 Kebenaran kasus ini sendiri masih
dalam proses penyelidikan pihak berwenang, polisi. Khilafah adalah sistem
negara Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hukum
tertinggi dan syariah merupakan sistem terbaiknya. Jika kabar tersebut
benar adanya, Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara sedang dikoyakkoyak oleh anak bangsa sendiri. Belum lagi “skandal” politik yang menguras
energi bangsa dalam kasus menjelang pilkada DKI. Isu penistaan agama
dan kemudian dibumbui oleh sikap-sikap rasial merupakan kasus
“ponodaan” terhadap kesepakatan bersama, yang sangat jauh dari nilainilai Pancasila.
Terlepas dari hal itu, pasca reformasi “performa” Pancasila sedang
mengalami penurunan di mata masyarakat. Menguatnya gerakan syariat
dan khilafah di beberapa forum yang diprakarsai oleh gerakan-gerakan
Islamist menjadi potret buram perjalanan bangsa Indonesia. Seperti ada
upaya yang massif menggerus kebhenikaan Indonesia yang mengarah pada
satu tujuan politik tertentu.
jihadi, dan salafi puritan. Dalam taksonomi gerakan keagamaan yang dibuat oleh As’ad Said Ali ini,
kelompok salafi merujuk pada kelompok yang cendenrung radikal dalam gerakannya, termasuk
terbentuknya Laskar Jihad Ahl Sunnah Wal Jamaah (LJASW) pimpinan Ja’far Umar Thalib. Lihat
As’ad Said Ali, Ideologi, hlm. 63-144.
42
Lihat Berita Satu, Polri Dalami Video Deklarasi Konsep Khilafah di Kampus IPB, sumber: https:/
/www.youtube.com/watch?v=BqppeNoZluc. Diakses 2 Mei 2017.
[ 208 ]
Sukron Ma’mun
Mengembalikan P
ancasila
Pancasila
Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI) dan Pancasila adalah harga
mati. Pengingkaran terhadapnya adalah sebuah pelanggaran kesepakatan
bersama atas nilai-nilai besar yang dibangun oleh para pendahulu. Pancasila
bukan hanya sekedar sila-sila yang perlu dihafal, namun juga perlu dihayati,
dipahami, serta dipraktikkan dalam keseharian masyarakat bangsa dan
negara.
Pobia terhadap Pancasila pasca reformasi merupakan imbas terhadap
sikap represif Orde Baru terhadap ormas anti Pancasila dan sikap eksesif
terhadap Pancasila. Sikap pobia ini muncul kembali tatkala tahun 2003
dirancang UU keormasan yang di dalamnya terdapat pasal pemberlakuan
Pancasila sebagai asas utama organisasi langsung mendapat penentangan
kuat. Beberapa ormas yang menolak pemberlakuan “asas tunggal” pun
menolak disebut sebagai anti Pancasila.
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Majelis Az Zikra, dan ormas
Islam Persatuan Islam (PERSIS) menolak asas Pancasila wajib ada dalam
ormas. HTI menjadi kelompok yang paling keras menolak Pancasila sebagai
asas organisasi, bahkan HTI sendiri menolak Indonesia sebagai negara yang
sah mengigat cita-cita politiknya khilafah Islamiyyah (Republika, 22/03/
2013). Alasan penolakan ini didasarkan pada tiga pandangan, sebagaimana
ditulisa dalam buku karya Drs. Muhammad Thalib dan Irfan S. Awwas
dalam buku “Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Menguak Tabir
Pemikiran Politik Founding Father RI”.43 Pertama teori yang menyatakan
Pancasila berasal dari bumi Indonesia, lahir akibat proses kebudayaan bangsa
Indonesia yang beragam, kemudian dirumuskan oleh para pendiri bangsa
ini sejak zaman penjajah Jepang bercokol di Indonesia.
Menurut teori ini, dalam merumuskan Pancasila, Soekarno telah berhasil
memadukan aspirasi para pemimpin Islam ketika itu, yang berhasrat
menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara, dengan cara
memasukkan ke-Tuhan-an sebagai salah satu silanya. Dalam ide pokok
konsepsi ini, agaknya Pancasila ingin berdiri sebagai wakil kepercayaan
43
Buku ini dapat diakses secara online di https://taimullah.files.wordpress.com/2012/09/
5sila__zionisme.pdf. Diakses 1 Mei 2017.
[ 209 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
seluruh umat beragama di negeri ini. Dalam perkembangan berikutnya,
penguasa ingin mencari kepastian hukum atas keinginan tersebut, yang
pada gilirannya melahirkan doktrin azas tunggal, dengan tujuan pokoknya
“Mempancasilakan Umat Beragama”.
Kedua, teori yang menyatakan bahwa Pancasila yang dikemukakan
oleh beberapa orang pemimpin pergerakan Indonesia di dalam rapat
BPUPKI dalam sidangnya pada bulan Juni 1945, adalah pengaruh dari
kode moral ajaran Budha yang telah menjadi tuntunan dan tatanan hidup
sehari-hari di dalam masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Sayangnya
pendapat ini sangat lemah, mengingat angka lima dalam Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945
merupakan angka penting yang ada dalam ajaran Jawa, Hindu, dan Islam.44
K etiga, teori yang menyatakan baha Pancasila yang digagas oleh
Mohamad Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno adalah terpengaruh akan
doktrin zionis yang telah dipropagandakan oleh tokoh-tokoh Freemasonry
di Asia pada umumnya, dan Asia Tenggara pada khususnya. Adanya
persamaan antara sila-sila Pancasila dengan Khams Qanun Zionis, dan
azas-azas ideologi negara yang dikemukakan oleh Nehru di India, Dr. Sun
Yat Sen di Cina, Pridi Banoyong di Thailand, dan Andres Bonivasio di
Filipina adalah bukti bahwa Pancasila tidak sesuai dengan Islam.
Pancasila nampaknya sulit keluar dari jarum penolakan elemen-elemen
bangsa ini yang terlanjur memiliki cara pandang berbeda, namun
pengembalian makna dan upaya penyegaran harus terus dilakukan. Hal
ini dimaksudkan agar bangsa ini tidak kehilangan arah dalam melangkah,
dan terjebak pada sekterian kelompok-kelompok.
Memang harus diakui bahwa kenyataan keragaman dan pemahaman
yang kurang tepat terhadap Pancasila menimbulkan berbagai persoalan,
polemik, dan debat. Terlebih secara lebih dalam memaknai Pancasila
dimaksudkan untuk menggantikan ideologi atau keyakinan umat beragama
akan menambah alasan untuk anti Pancasila.
Untungnya beberapa akademisi dan praktisi melakukan diskusi positif
terkait dengan wacana Pancasila. Ali45 menjelaskan polemik dan debat
44
45
Yudi Latif, Negara, hlm. 17.
As’ad Said Ali, Negara, hlm. 52-53.
[ 210 ]
Sukron Ma’mun
tersebut berujung pada empat wacana. Pertama, wacana Pancasila yang
dianggap sebagai kontrak sosial dan bukan ideologi. Sebagai kontrak sosial
posisinya sama dengan Magna Charta Inggris atau Bill of Right Amerika
Serikat. Pancasila tidak mungkin diubah, karena mengubah Pancasila sama
dengan mengubah negara. Kedua, wacana Pancasila sebagai ideologi
kebangsaan. Pancasila dalam konteks ini diletakkan sebagai identitas
kebangsaan dan keindonesiaan, atau ciri kultural masyarakat Indonesia.
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dianggap sebagai nilai yang
mampu merekatkan entitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi bangsa
Indonesia. sebagai ideologi bangsa Pancasila dimiliki oleh semua entitas
bangsa yang ada di Indonesia.
Ketiga, wacana mengenai Pancasila sebagai visi bangsa dan negara. Hal
yang penting untuk dipahami adalah Pancasila adalah cita-cita bangsa yang
hendak diraih, bukan kondisi faktual yang ada. Jika pemahaman diletakkan
pada kondisi saat ini maka terlalu banyak nilai-nilai yang dianggap
melenceng jauh dari Pancasila. Sehingga kegetiran terhadap kendosi negara
yang “kacau” harus dipahami bukan karena Pancasila, namun lebih pada
sikap dan perilaku oknum. Keempat, wacana yang meletakkan Pancasila
sebagai konsepsi politis dan ideologi negara. Dalam konteks ini Pancasila
hanya berlaku pada ruang publik dan domain politik. Ideologi-ideologi
yang menjadi doktrin keagamaan menjadi wilayah privat, golongan, atau
asosiasi harus dihormati dan diakui oleh negara.
Jika perdebatan atau perbincangan wacana demikian berkembang
dengan baik, dengan melepaskan segala prasangka politik dan golongan
maka upaya “mengembalikan” atau mendudukan Pancasila sebagai ideologi
bangsa dan negara akan memperoleh hasil yang maksimal. Ali 46
mengungkapkan banyak ilmuwan yang melihat di manakah Pancasila
didudukan atau dikembalikan sehingga mampu memberikan resapan untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan luhur bangsa Indonesia. Pertama, posisi
Pancasila bisa menjadi “kontrak sosial”, “ideologi bangsa”, “konsepsi politik”,
atau “common platform”. Masing-masing akan sangat tergantung pad acara
pandangnya. Namun hal yang membanggakan adalah adanya kejernihan
dan ketulusan cara pandang terhadap Pancasila.
46
Ibid., hlm. 57-82.
[ 211 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kedua, Pancasila sebagai dasar negara, yang artinya sumber segala
hukum. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No XX tahun 1966.
Namun posisinya ini harus dipahami hukum kenegaraan, bukan hukum
agama. Meskpiun masih terdapat hal-hal yang bersifat abstrak dalam
Pancasila, sehingga yang menjadi tugas bersama adalah cara Pandang
terhadap Pancasila sebagai grundnorm yang tidak kaku. Ketiga, Pancasila
sebagai konsesus dasar negara. Pancasila sebagaimana dibahas di atas
merupakan produk yang telah diperdebatkan, dinegosiasikan dan akhirnya
menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan inilah yang hendaknya
menjadikan pijakan bagi elemen-elemen bangsa untuk secara arif melihat
kepentingan bersama, bukan ego sektoral etnisitas ataupun agama.
Hal yang menimbulkan polemik dalam konteks pendudukan dan fungsi
Pancasila adalah ketika mendudukan Pancasila sebagai ideologi negara yang
justru tidak diilhami secara tulus dan tepat oleh penguasa. Sehingga istilah
Pancasila hanya “diwiridkan” betul adanya, karena Pancasila hanya
didoktrinkan bukan diamalkan. Gambaran sederhana ajaran baik hanya
disampaikan, tetapi tidak dilakukan apalagi dcontohkan.
Penting untuk dipikirkan ulang, meskipun sudah menjadi perdebatan
lama, bahwa Pancasila harus menjadi ideologi bangsa yang mampu
memberikan warna, identitas atau karakter bagi masyarakat bangsa. Nilainilai agung (high value) yang diserap dari kebudayaan, tradisi, keyakinan,
dan agama-agama yang ada di Nusantara harus ditumbuhkan dan dimaknai
secara berkelanjutan. Pemahaman dan kesadaran yang perlu terus dibangun
adalah Pancasila tidak menggantikan ideologi atau keyakinan agama, namun
ia merupakan warna lain yang memberikan bumbu. Dalam konteks sosiocultul dan politik Pancasila ada dalam ranah publik, bukan pada area privat.
Akhirnya, kembali pada para elit dan seluruh elemen bangsa untuk
kembali melihat, mendudukan, dan menjadikan Pancasila sebagai sesuatu
yang mendasar bagi kehidupan bangsa dan negara dalam arti publik, bukan
ranah privat. Sehingga ideologi bangsa ini bisa menyelamatkan kehidupan
bersama, bukan dikoyak karena sempitnya cara pandang dan pikir.
[ 212 ]
Sukron Ma’mun
Daf
tar P
ustaka
aftar
Pustaka
A.M.W. Pranaka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: CSIS, 1985.
Abd A’la, “Sikap Muslim Fundamentalis Indonesia terhadap NKRI Antara
Penolakan dan Penerimaan Setengah Hati,” UNISIA, Vol. XXXIII
No. 73 Juli 2010.
Abdurahman Wahid, “Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan
Kehidupan Beragama dan Berkepercayaan terhadap Tuhan YME,
dalam Alfian & Oetojo Oesman, eds., Pancasila Sebagai Ideologi
dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi
tentang Perdebatan dan Konstitante, Jakarta: LP3ES, 2006.
Andik Wahyu Muqoyyidin, “Dialektika Islam dan Budaya Lokal dalam
Bidang Sosial Sebagai Salah Satu Wajah Islam Jawa”, el Harakah,
Vol. 14. No. 1, 2012.
Andree Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna,
Yogyakarta: LKiS, 1999.
As’ad Ali Said, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi: Gerakan-Gerakan SosialPolitik dalam Tinjauan Ideologis, Jakarta: LP3ES, 2013.
______, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbagangsa, Jakarta:
LP3ES, 2009.
Berita Satu, Polri Dalami Video Deklarasi Konsep Khilafah di Kampus
IPB, sumber: https://www.youtube.com/watch?v=BqppeNoZluc.
Diakses 2 Mei 2017.
Clifford Geertz, Abangan Santri Priyayi, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983.
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan,
Jakarta: Gramedia, 1996.
Eep Syaifullah Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru; Masalah
dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Bandung:
Rosdakarya, 2000.
Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus
Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang,
Jakarta: Balitbag Kemenag RI, 2008.
M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme
Islam Timur Tengah Ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005.
[ 213 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Martin Van Bruinessen, “Global andLocal in Indonesia lslam” dalam Southeast
Asian Studies, Kyoto: vol 37, No 2, 1999.
Muhammad Choirul Huda, “Meneguhkan Pancasila sebagai Ideologi Bernegara: Implementasi Nilai Keseimbangan dalam Pembangunan
Hukum”, dalam Absori, dkk (eds.), Transendensi Hukum:
Prospek dan Implementasi, Yogyakarta: Genta Publishing 2016.
Saifuddin, “Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa; Sebuah
Metamorfosa Baru”, Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011.
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi
Pancasila, Cetakan Kelima, Jakarta: Gramedia, 2015.
[ 214 ]
PANC
A SIL
A , MUL
TIK
UL
TURALISME D
AN
PANCA
SILA
MULTIK
TIKUL
ULTURALISME
DAN
TANT
ANGAN INKL
TANTANGAN
INKLUSI
USI SOSIAL
Mirza Satria Buana
Pendahuluan
P
ancasila sebagai alas nilai filosofis bangsa terus diuji dalam zamannya.
Pada masa awal kemerdekaan, Pancasila juga diuji oleh diskursus
dan pergerakan akar rumput yang menolak dan yang bertujuan untuk
melencengkan nilai-nilai luhurnya. Ideologi komunis (kiri) mencoba
membawa diskursus kenegaraan dalam tataran pertentangan kelas antara
kubu kapitalis vis-à-vis proletarian, yang merupakan pemikiran khas Marxis.1
Sedangkan golongan ‘Islam politik’ (kanan) mengarahkan visi mereka untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi tunggal negara.2 Masih berbekas kuat
dalam ingatan kolektif bangsa, bagaimana para pemimpin negara (eksekutif)
melencengkan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan tamsil kepentingan mereka
sendiri: Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy),3
dan Soeharto dengan Ekonomi Pancasila dan banyak lagi program kerja
Orde Baru yang semata ditambah kata ‘Pancasila’ setelahnya, namun sayangnya abai akan esensi demokrasi.4 Fenomena sosial dan politik diatas menjadi
bukti bahwa Pancasila sangat lah rawan terhadap re-interpretasi penguasa.
1
2
3
4
Herbert Feith, ‘President Soekarno, the Army and the Communists: The Triangle Changes Shape’,
Asian Survey Vol 4 (1964), hlm. 969-980, 979.
Sunny Tanuwidjaja,’Political Islam and Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidance
of Islam’s Political Decline’, Contemporary South-east Asia: A Journal of International and Strategic
Affairs 32, No 1 (2010), hlm. 32.
Feith, supra 1, hlm. 970.
Adnan Buyung Nasution, ‘Southeast Asian Constitutionalism: Toward Constitutional Democracy
in Indonesia’, (Inaugural Professorial Lecture, Melbourne Law School, 20 Okotober 2010) hlm. 7.
[ 215 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sejatinya, Pancasila sebagai sebuah nilai filosofis-normatif bangsa
memiliki karakteristik sosio-kultural yang kuat, karakteristik inilah yang
menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka; ideologi yang memiliki
fleksibilitas dan daya lenting dalam ikhtiar menjemput perubahan zaman,
yang mana nilai-nilainya digali dari bumi Indonesia yang multikultural.
Filsuf Yunani, Heraclitus pernah berkata ‘Panta Rei’ yang berarti; semua
akan mengalir (semua akan berubah pada zamannya). Dalam ikhtiar
menjemput perubahan itulah, Pancasila dituntut untuk tetap relevan
sebagai ideologi terbuka.5
Konteks kontemporer Indonesia adalah zaman pasca-otoritarian dimana
sebagian masyarakat masih terlena dengan euphoria kebebasan terutama
dalam ranah sosial dan politik. Zaman ini juga bisa disebut sebagai jalan
terjal transisi demokrasi yang merupakan fase rawan suatu negara. Salah
mengambil jalan kebijakan, alih-alih mencapai konsolidasi dan kemapanan
dalam berdemokrasi, tidak mustahil bangsa ini akan kembali terjatuh dalam
dekapan kuasa semi-otoritarianisme dan oligarki. Sebagai konsekuensi dari
‘kebebasan’, era pasca-otoritarian juga menjadi lahan subur bersemainya
paham-paham intoleran-rasis baik yang berbasis primordial (kesukuan)
maupun keagamaan.
Kehadiran pergerakan ini berdampak signifikan terhadap turunnya
penghayatan nilai-nilai Pancasila, Hak Asasi Manusia (HAM) dan hakikat
empiris masyarakat Indonesia yang multikultural. Berdasarkan laporan
Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), pada tahun 2016 silam jumlah
pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
semakin meningkat dan ironisnya pemerintah daerah adalah pihak yang
paling banyak diadukan, yang berarti pemerintah daerah telah melakukan
pembiaran (omission ) terhadap praktek-praktek intoleran dan antikeberagaman di masyarakat. Rinciannya adalah sebagai berikut: 44
pengaduan terhadap pembatasan/pelarangan dan perusakan tempat ibadah,
19 pengaduan untuk pembatasan dan pelarangan ibadah atau kegiatan
keagamaan, serta 12 pengaduan untuk ancaman dan intimidasi terhadap
kelompok keagamaan tertentu.6 Hal ini belum termasuk maraknya ujaran
5
6
Kompas, “Keberagaman Jadi Kekuatan: Pancasila Relevan Hadapi Setiap Tantangan”, Kompas, 11
Januari, 2017, 15.
Kompas, “Pemda Paling Banyak Diadukan: Kebebasan Beragama Terus Terancam”, Kompas, 11
Januari, 2017, 5.
[ 216 ]
Mirza Satria Buana
kebencian (hate speech), berita bohong (hoax) dan disinformasi yang
bermuatan Suku, Agama, Ras dan Aliran (SARA) di media sosial. Fenomena
ini terkuak dan tersebar luas semenjak kontestasi pemilihan presiden 2014
silam sampai saat ini. Permasalahan diatas tentu menjadi polemik dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menginsyafi
adanya kemajemukan bangsa.
Ajaran-ajaran intoleran-rasis yang bermuara pada rusaknya inklusi sosial
diatas, sejauh ini telah berhasil mempenetrasi alam pemikiran masyarakat
kelas menengah dan kaula muda (termasuk mahasiswa/i), lewat jargonjargon yang simplistik dan pergerakan yang militan. Pancasila dan
kenyataan empiris bangsa Indonesia yang majemuk cenderung dinafikan.
Diganti dengan eskalasi candu kebencian terhadap suatu golongan dan
kepercayaan tertentu di masyarakat pada umumnya, dan di media sosial
pada khususnya. Inilah tantangan kontemporer Pancasila yang nyata,
bagaimana memperkuat kembali inklusi sosial lewat tatanan nilai-nilai
Pancasila dan kebijakan multikulturalisme? Tulisan ini mencoba untuk
mencari titik temu antara Pancasila dengan multikulturalisme, dan sembari
mencari format realistis untuk inklusi sosial dengan melakukan studi
perbandingan dengan negara-negara multikultural lainnya. Untuk
menjawab permasalahan diatas, tulisan ini disusun dalam beberapa subbahasan: (1) perkembangan dari konsep multikulturalisme, pergeseran
definisinya dan tantangan-tantangan kontemporer yang dihadapi, baik
dalam ranah internasional maupun nasional; (2) pengalaman dari dua
negara tetangga: Malaysia dan Singapura, dalam mengelola dan merawat
keberagamanan; dan (3) analisa terkait hubungan Pancasila dengan
Multikulturalisme.
Multikulturalisme: M
asalah atau SSolusi?
olusi?
Masalah
Tantangan inklusi sosial, sejatinya bukanlah isu partikular Indonesia semata,
namun lebih merupakan tantangan global. Eropa, Amerika Serikat dan
Australia yang dikenal sebagai negara modern dan egalitarian pun
menghadapi tantangan serupa walaupun memiliki konteks penekanan yang
berbeda-beda.7 Menguatnya aliran ultra-nasionalis (ekstrim kanan) dan
7
Alexandra Xanthaxi, ‘Multiculturalism and International Law: Discussing Universal Standard’
Human Rights Quarterly 32 (2010), hlm. 21-48.
[ 217 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
proteksionisme menjadi sebab utamanya. Alih-alih dianggap sebagai simbol
persatuan dan toleransi suatu bangsa, multikulturalisme malah kerap
dianggap sebagai embrio ekstrimisme, segresasi kultural dan perpecahan
internal suatu negara. Martin Wolf menulis: “multiculturalism is dangerous
as it may destroy political community … [and] demeaning because it
devalues citizenship” (“multikulturalisme sangat berbahaya karena dapat
menggerogoti konsep ‘komunitas politik’ dan dapat mendeskreditkan
konsep kewarganegaraan.”).8 Berkaca pada pengalaman Britania Raya, Trevor
Phillips juga berkata: “multiculturalism has lead to segregation because
ethnic groups live in separate entities with no interaction with each other”
(multikulturalisme telah menuju kepada segregasi karena kelompok etnis
tertentu tinggal ditempat yang terpisah dan tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain).9 Dalam praktiknya, Perancis adalah salah satu negara liberal
Barat yang paling sering memandang sinis politik dan kebijakan
multikulturalisme.10
Selain tendensi ultra-nasionalis, politik proteksionisme juga berdampak
destruktif pada inklusi sosial masyarakat internasional lain, semisal:
Britanian Raya lewat referendum menyetujui opsi Brexit (keluar dari Uni
Eropa) pada 2016 silam. Isu-isu anti-imigran juga kerap dapat ditemui di
Amerika Serikat, terutama dalam masa kampanye Pilpres 2016, yang
berujung pada terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat
di akhir 2016 silam. Dengan menguatnya proteksionisme dibeberapa
negara-negara, masyarakat internasional diprediksi akan memasuki masamasa penuh ketidakpastian, terutama dalam bidang ekonomi-perdagangan
dan geo-politik kawasan.11 Paham ultra-nasionalis bahwa kembali menguat
di negara yang jaraknya ‘selemparan batu’ dari Indonesia, Australia. Hal
8
Martin Wolf. 2005. ‘When Multiculturalism is a nonsense’, Financial Times https://www.ft.com/
content/ff41a586-197f-11da-804e-00000e2511c8 [Diakses 11 Januari 2017].
9
Michael White, ‘Trevor Phillips says the unsayable about race and multiculturalism, The Guardian,
16 Maret 2015 https://www.theguardian.com/uk-news/2015/mar/16/trevor-phillips-racemulticulturalism-blog [Diakses 13 Januari 2017]
10
Dominick MacGoldrick, Human Right and Religion: The Islamic Headscraft in Europe (Hart
Publishing, 2006), hlm 2.
11
Teuku Faizasyah, ‘Post-US presidential election: Years of living in uncertainty, The Jakarta Post, 20
December 2016 http://www.thejakartapost.com/academia/2016/12/30/post-us-presidential-election-years-of-living-in-uncertainty.html [Diakses 13 Januari 2017]. Lihat juga, Makmur Keliat,
‘Tantangan Diplomasi Ekonomi’, Kompas, 17 Januari 2017.
[ 218 ]
Mirza Satria Buana
tersebut tentu dapat mempengaruhi geo-politik negara-negara Asean-Pasifik
pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya.
Kecenderungan ultra-nasional (nasionalisme sempit) dan proteksionalisme, bisa dianalisa sebagai sebuah perwujudan ketidakpercayaan diri
terhadap kemampuan (politik, kultural maupun ekonomi) dan kritis
identitas dari kelompok mayoritas, sehingga memandang keberagaman dan
perbedaan dalam suasana kompetitif bukan dipahami sebagai pelengkap
kehidupan.
Padahal secara normatif, multikulturalisme sudah dipandang sebagai
nilai universal dalam hukum dan hak asasi manusia internasional, lewat
beberapa instrumen hukum Internasional, semisal: Pasal 27 (1) the Universal
Declaration on Human Rights (UDHR),12 Pasal 13 dan 15 the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR),13
Pasal 31 the International Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination (ICERD),14 Pasal 7 the Declaration of Minorities15
dan the UNESCO Declaration of the Principles of International Cultural
Co-operation.16 Dalam rumusan beberapa instrumen hukum internasional
diatas, aspek keberagaman yang ditafsirkan sebagai hak atas berbudaya
(right to culture) sangat ditekankan. Budaya dianggap sebagai genus dari
segala ragam cipta, rasa dan karsa manusia; dari bahasa, filosofi, agama/
kepercayaan, ilmu pengetahuan sampai pada sistem ideologi.17
Namun terlepas dari adanya pengakuan terhadap keberagamanan dan
peran signifikan dari budaya di beberapa instrumen-instrumen hukum
internasional diatas, the Universal Declaration on Cultural Diversity masih
menempatkan aspek keberagaman budaya dibawah subordinasi hak-hak
individual. Dengan kata lain, keberagaman budaya tidak boleh menjadi
alasan untuk mengabaikan dan membatasi hak-hak individual (no one
may invoke cultural diversity to infringe upon human rights guaranteed
12
The Universal Declaration on Human Rights (UDHR), Pasal 27 (1).
The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Pasal 13 dan 15.
14
The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD),
Pasal 31.
15
The Declaration of Minorities, Pasal 7.
16
The UNESCO Declaration of the Principles of International Cultural Co-operation.
17
Patrick Thornberry, International Law and the Rights of Minorities (Clarendon Publisher, 1993),
hlm 67.
13
[ 219 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
by international law, nor to limit their scope).18 Hal ini bermakna adanya
hierarki antara norma hukum dan HAM Internasional, di mana hak-hak
individual dipersepsikan lebih superior ketimbang hak-hak masyarakat atau
komunal.
Menanggapi hal ini, Alexandra Xanthaxi memberi komentar:
Hierarki yang di buat Deklarasi tersebut jelas terlalu simplistik, dan dapat
menjadi penyebab masalah di masa depan. Dalam hierakhi tersebut
tergambar alur ideologi liberal yang mensyaratkan harus adanya konsistensi
dan keberagaman keberagaman budaya yang dimiliki minoritas dengan
budaya dominan di masyarakat mayoritas. Memaksakan logika liberal ini
akan mencederai nilai-nilai keadilan restoratif dan memperburuk inklusi
sosial di masyarakat multikultural. Sejatinya, hukum menjanjikan
kebebasan, bukan pengekangan.19
Xanthaxi mengajukan gagasan tentang keadilan kontekstual (contextual
justice), dimana pemerintah dapat melakukan penyesuaian atau rekayasa
hukum untuk mengakomodasi adanya fakta-fakta keberagaman di
masyarakat. Penyesuaian atau rekayasa hukum tersebut dapat dilakukan
berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan dan konteks sosial suatu
masyarakat.20 Menutup argumennya, Xanthaxi mengatakan bahwa: “tidak
ada hierarki dalam norma-norma HAM Internasional (hak individu vis-àvis hak komunal), kedua-duanya berimbang dan setara, namun benar ada
hak-hak yang harus diutamakan, yaitu: non-derogable rights.”21 Penjelasan
Xanthaxi di atas, memberi ‘angin segar’ bagi kalangan aktivis
multikulturalisme untuk melawan gejala ultra-nasionalis di beberapa negara,
salah satunya lewat mekanisme rapporteur di Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB).
The UN Special Rapporteur on Contemporary Forms of Racism
mengeluarkan laporan, sebagai berikut: “[P]olitical agenda are increasingly
focused on protecting the ‘national identity’ ‘defending the national interest’
safeguarding the ‘national heritage’, and combating ‘illegal foreign
immigrants’ … the rhetoric becomes the new political expression of
18
The Universal Declaration on Cultural Diversity, Pasal 31.
Xanthaxi, supra note 7, hlm. 23.
20
Ibid 33.
21
Ibid 34.
19
[ 220 ]
Mirza Satria Buana
discrimination and xenophobia (fear to other group)” (Agenda politik saat
ini cenderung hanya fokus pada mempertahankan ‘identitas nasional’,
‘mempertahankan kepentingan nasional’, menjaga ‘keluhuran dan warisan
nasional’ dan melawan ‘imigran asing illegal’ … retorika ini menjadi ekpresi
politis yang diskriminatif dan dapat berujung pada xenophobia (ketakutan
berlebihan pada orang asing).22
Masih kuatnya anasir liberal lewat superioritas hak individual terhadap
hak-hak komunal masyarakat, mungkin disebabkan oleh masih kentalnya
definisi awal tentang multikulturalisme itu sendiri. Multikulturalisme
memang awalnya mengambil konteks negara barat. Definisi awal tentang
multikulturalisme diberikan oleh the Canadian Royal Commission pada
tahun 1965, untuk menunjukkan politik inklusif terhadap imigran-imigran
asing yang datang dari latar belakang etnik, budaya, agama/kepercayaan
dan bahasa.23 Definisi multikulturalisme diatas memang harus di redefinisi, karena dalam konteks negara berkembang terutama di wilayah
Asia, keberagaman merupakan suatu hal yang otentik dan alamiah. Selain
itu perspektif Barat kerap menyederhanakan multikulturalisme dengan
memakai ‘kesamaan’ sebagai titik temu perbedaan-perbedaan.24 Pendekatan
tersebut jelas terlalu simplistik.
Sejatinya, multikulturalisme harus dipahami secara umum sebagai suatu
sikap diri yang menerima perbedaan dan keberagaman dalam lingkup
masyarakat yang poli-etnik (poly-ethnic).25 Titik awal dan tekan dalam
multikulturalisme, bukan berpangkal pada penyamarataan (uniformitas)
suatu entitas, namun berpangkal pada keinsyafan diri mengakui ada
perbedaan-perbedaan yang nyata dalam masyarakat. Perbedaan (yang kerap
berujung pada praduga a priori dan stigma) itulah yang coba untuk
dijembatani oleh diskursus dan kebijakan multikulturalisme. Jelaslah
terlihat bahwa, sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah pranata sosialpolitik yang dapat digunakan sebagai solusi untuk menghilangkan segregasi
sosial-kultural dan memperkuat inklusi sosial suatu bangsa.
22
The UN Special Rapporteur on Contemporary Forms of Racism, Political Platforms Which Promote or Incite Racial Discrimination, hlm. 8-10.
23
Ien Ang, Multiculturalism, 2005 http://media.wiley.com/product_ancillary/92/06312256/
DOWNLOAD/Multiculturalism.pdf [Diakses 10 Januari 2017]
24
Ibid.
25
Xanthaxi, supra note 7, hlm. 31.
[ 221 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Lebih lanjut, dalam perkembangan diskursusnya, multikulturalisme
ditafsirkan sebagai: “prinsip yang bertujuan untuk menghilangkan
‘kerusakan struktural’ dan menjamin terciptanya kesetaraan substantif dan
memberi akses kepada masyarakat yang belum berkembang, lewat
pembentukan institusi khusus dan menjalankan program affirmative
action.”26 Tafsir diatas merupakan perkembangan pemikiran dari aktivis
komunalistik dan akademisi HAM partikular (cultural relativists) yang
memandang affirmative action sebagai rekayasa sosial untuk
mendistribusikan keadilan bagi kaum marginal. Tesis ini menolak paham
liberal-sekularisme yang berpandangan bahwa negara harus berada dalam
posisi netral, dimana setiap orang harus diperlakukan setara (the principle
of formal equality), padahal dalam kenyataannya, disaat negara berada
dalam posisi netral atau tidak berpihak itulah terjadi ketidakadilan dan
diskriminasi bagi kalangan termarginal, maka negara harus melakukan
tindakan afirmatif (affirmative action). Tesis ini disebut sebagai the principle
of substantial equality atau the principle of difference.27
Selain dalam teori, prinsip affirmative action juga sudah diperkuat oleh
yurisprudensi peradilan International, dimana hakim Tanaka di International
Court of Justice (ICJ) memberi dissenting opinion dalam kasus Afrika
Selatan, sebagai berikut: “a different treatment is permitted when it can be
justified by the criterion of justice … [or] reasonable [as] generally referred
to by the Anglo-American school of law” (penanganan yang berbeda pada
suatu kasus dapat diijinkan apabila memenuhi kriteria keadilan … yang
dikenal dalam dalil-dalil hukum Anglo-Amerika).28
Pertentangan kedua tesis ini sampai pada ranah aplikatif-kebijakan,
dalam regional Asian Tenggara (ASEAN), pengalaman Malaysia dan
Singapura dapat memberi pelajaran berharga bagi Indonesia tentang cara
merawat ‘tanam bunga’ bernama masyarakat multikultural.
26
Ibid.
Adeno Addis, ‘Individualism, Communitarianism, and the Right of Ethnic Minorities’, Notre
Dame Law Review 67 3 (1992) hlm. 644-45.
28
Dissenting Opinion of Judge Tanaka, http://www.icj-cij.org/docket/files/47/4969.pdf hlm. 251
27
[ 222 ]
Mirza Satria Buana
Merawat M
ultikulturalisme: P
engalaman M
alaysia dan
Multikulturalisme:
Pengalaman
Malaysia
Singapura
Negara-negara tetangga yang hanya berjarak ‘selemparan batu’ dari
Indonesia, Malaysia dan Singapura dipakai sebagai ilustrasi dalam hal
kebijakan manajerial multikulturalisme. Keduanya dipilih karena derajat
keberagaman mereka hampir serupa dengan Indonesia, terutama Malaysia
yang tidak hanya memiliki kedekatan etnis (Melayu), namun juga
kedekatan agama/kepercayaan (Mayoritas Muslim) dengan Indonesia.
Malaysia dan Singapura memiliki kedekatan historis yang kental karena
keduanya adalah bekas jajahan Inggris dan menganut sistem hukum
Common Law dengan Westminister parliamentary system, walau tentu
dengan beberapa variasi dan modifikasi. Singapura malah dulunya
merupakan bagian dari negara bagian Federasi Malaya, bersama dengan
Sabah dan Sarawak. Hanya pada tahun 1965, Singapura resmi berpisah
dari Federasi Malaya menjadi negara kota berdaulat penuh.29
Walau keduanya sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat,
warisan kolonial Inggris masih berbekas dalam politik multikultural kedua
negara. Inggris, sama halnya dengan apa yang dilakukan Belanda kepada
Indonesia, menciptakan sistem kemasyarakatan yang bertumpu pada sistem
liberal-kapitalis yang menekankan pada pembagian etnisitas (ethnic
pluralism). Masyarakat dibagi kedalam dua kelompok kerja besar: (1)
kelompok yang bergerak di bidang perdagangan, jasa dan industri, yakni
etnik Tionghoa dan India; (2) kelompok yang bergerak di bidang
pemerintahan dan pengambil kebijakan publik, yaitu etnik Melayu.30
Segregasi berbasis kerja ini kemudian akan menjadi beban kultural bagi
kedua negara.
Terlepas dari eratnya hubungan historis-emosional diantara dua negara,
Malaysia dan Singapura, pasca disintegrasi, memiliki konfigurasi etnik yang
berkebalikan. Di Malaysia, 50,4 % dikuasai oleh etnik Melayu-Muslim,
23,7 % etnik Tionghoa, 11 % masyarakat adat atau ‘orang asli’ (indigenous
peoples), 7,1 % etnik India/Tamil/Bangla dan 7,8 % etnik lain. Sedangkan
29
Noraini M Noor dan Chan-Hoong Leong, ‘Multiculturalism in Malaysia and Singapore: Contesting Models’, International Journal of Intercultural Relations 37 (2013) hlm. 714-726.
30
Ibid hlm. 714.
[ 223 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
di Singapura, 74,1% dikuasai oleh mayoritas etnik Tionghoa, 13, 4% etnik
Melayu-Muslim, 9,2% etnik India/Tamil/Bangla dan 3,3% etnik lain.31
Dalam hal kebijakan manajerial multikultural, kedua negara mengambil
jalan kebijakan yang berbeda. Malaysia mengambil jalan affirmative action.32
Sedangkan Singapura tidak percaya dengan affirmative action, dan memilih
untuk mengambil jalan pragmatic semi-authoritarian dimana negara
digerakkan oleh ideologi berbasis pasar (market-driven ideology), pro bisnis
dan memberi kesempatan, tindakan dan pelayanan yang sama kepada
seluruh warga negara, tanpa memandang ras, suku dan agama/
kepercayaannya (formal equality).33 Kedua negara memakai paradigmaparadigma yang jauh berseberangan: komunalisme berbasis ras mayoritas
versus liberal-kapitalis; affirmative action versus formal equality dan
‘keadilan’ versus ‘persatuan’.
Malaysia
Pasca keluarnya Singapura dari Federasi Malaya, kohesi sosial Malaysia
mengalami keguncangan besar. Dampaknya adalah kerusuhan rasial
berdarah pada 13 Mei 1969 yang dipicu oleh ketimpangan sosial antara
mayoritas Melayu dengan non-Melayu (terutama etnis Tionghoa).34
Pemerintah Malaysia kemudian mengeluarkan kebijakan populis, yang
bernama Kebijakan Ekonomi Baru (The New Economic Policy/NEC) yang
menjadi dasar kebijakan rekayasa affirmative action dengan memberikan
perlakuan istimewa terhadap kelompok mayoritas yang termarginal secara
ekonomi yaitu etnis Melayu.
Keistimewaan bagi mayoritas Melayu hampir dalam semua aspek
publik dan privat, semisal hak politik, pelayanan publik, pendidikan,
bahasa, sampai pada aspek kebudayaan dan agama/kepercayaan. Bahkan
identitas Melayu sudah dibaurkan dengan agama Islam; Islam adalah
Melayu, Melayu adalah Islam. Dengan affirmative action diharapkan
31
Ibid hlm. 715.
Hans-Dieter Evers, ‘Changing Ethnic Diversity in Peninsula Malaysia’, Kajian Malaysia 32 (1)
(2014), hlm. 37-53.
33
Chua Beng Huat, Taking Groups Rights Seriously: Multiracialism in Singapore, Working Paper
No 124, Oktober 2005, (Murdoch University, Asia Research Centre), hlm 5.
34
Yudi Latif, Merenda Persatuan dan Keadilan, Kompas, 11 Januari 2017, hlm. 15.
32
[ 224 ]
Mirza Satria Buana
kesenjangan struktur sosial dan ekomoni yang dulu timpang dapat
diseimbangkan.35
Program affirmative action memang memberi dampak signifikan kepada
etnis Melayu sebagai mayoritas yang dulu termarginal, namun kebijakan
tersebut tidak serta merta berhasil memperbaiki inklusi sosial di masyarakat.
Dalam struktur negara Malaysia, ada semacam pembagian kekuasaan
(power-sharing) antara etnis Melayu dengan etnis non-Melayu (Tionghoa),
dimana ada etnis Melayu menguasai sektor politik dan pemerintahan,
sedangkan etnis non-Melayu menguasai sektor bisnis, perdagangan dan
jasa. Walau terkadang, mereka pun bisa saling ‘selingkuh’, apabila
kepentingan mereka saling bertaut.36
Karena dibangun dengan pondasi pragmatisme, kesepakatan tidak
tertulis tersebut cuman efektif dalam ranah luaran, namun terkesan artifisial,
palsu, tidak tulus dan bersifat temporer. Hal ini dikarenakan kedua
kelompok masih memendam rasa ketidaksukaan (cultural griviences) dan
cenderung suka berkompetisi satu sama lain. Hubungan yang dicitrakan
harmonis antara mereka hanya dilekatkan oleh kepentingan power-sharing,
tidak lebih dari itu.37
Penekanan pada aspek ‘keadilan’ oleh pemerintah Malaysia, terbukti
berdampak buruk terhadap inklusi sosial. Dalam hal ini, ‘keadilan’ yang
diskriminatif (dengan affirmative action) telah mencederai nilai ‘persatuan’
Malaysia’. Kedua belah pihak, baik Melayu maupun non-Melayu (Tionghoa
dan India) masih merasa terancam satu sama lain. Ancaman tidak hanya
lewat ancaman nyata (realistic threats) namun juga lewat ancaman-ancaman
sosio-kultural. Ancaman nyata dapat dilihat dari merasa terancamnya etnis
Melayu dengan kekuatan kapital ekonomi non-Melayu. Disisi lain etnis
non-Melayu juga merasa terancam dengan kebijakan-kebijakan populispolitis dari kelompok Melayu, terutama yang berkaitan dengan penetrasi
Islamisasi dan larangan kawin inter-etnis dan beda agama.38
35
Noor, supra note 28, hlm. 717.
Ibid.
37
Ibid hlm. 718.
38
Ibid hlm. 719.
36
[ 225 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sedangkan ancaman-ancaman sosio-kultural, dapat dilihat dari
terancamnya etnis non-Melayu dari kewajiban menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pendidikan di semua tingkat pendidikan di
Malaysia, dan etnis Melayu sendiri merasa terancam dengan budaya-budaya
non-Melayu yang coba diintrodusir ke ranah publik.39 Secara psikologis,
etnis Melayu masih menganggap negara Malaysia sebagai tanah Melayu.
Dengan kata lain, hanya merekalah yang layak menjadi penguasa di negara
tersebut. Etnis non-Melayu harus memiliki sikap tahu diri ketika berusaha
mencari nafkah dan tinggal ditanah leluhur mereka.40
Sadar akan ‘bom waktu multikultural’ dinegaranya dan setelah
kehilangan hampir 2/3 suara di pemilu legislatif tahun 2008, pemerintah
Malaysia yang dikuasai partai penguasa United Malays National
Organisation (UMNO) mencoba berbenah dengan mengeluarkan program
kebijakan multikulturalisme yang diklaim lebih inklusif dan demokratis
bernama 1Malaysia, dengan tajuk “unity in diversity and inclusiveness”.
Namun sayangnya, program tersebut masih dipandang sinis oleh kedua
kelompok. Etnis Melayu, terutama yang beraliran nasionalis beranggapan
program tersebut akan mendeskreditkan marwah etnis Melayu di hadapan
etnis-etnis non-Melayu, sedangkan non-Melayu menganggap program ini
semata sebagai lip-service, guna menarik suara etnis non-Melayu pada
pemilu legislatif.41
Lewat deskripsi diatas, jelas tergambar bahwa affirmative action juga
memiliki banyak kekurangan-kekurangan substantif maupun praktikal.
Keistimewaan yang diberikan kepada kelompok mayoritas terkesan salah
sasaran, karena seharusnya kelompok minoritas lah yang lebih diutamakan.
Kebijakan tersebut malah mengentalkan rasa kebanggaan berlebih (excessive
proudness) etnis Melayu dan ‘menina-bobokan’ mereka dalam zona
nyaman. Affirmative action, secara konseptual bukanlah konsep yang buruk
malah sangat berguna untuk memberi akses keadilan kepada masyarakat
marginal, namun ‘dosis’ affirmative action hanya efektif untuk jangka pendek
39
Steve Fenton, ‘Malaysia and Capitalist Modernisation: Plural and Multicultural Models’, dalam
Matthias Koenig (ed), Pluralism and Multiculturalism in Colonial and Post-Colonial Societies,
International Journal on Multicultural Societies, 5 2 (2003) hlm.135-161.
40
Ibid hlm. 138.
41
Evers, supra, 31, 50. Lihat juga, Noor, supra, 28, hlm. 717.
[ 226 ]
Mirza Satria Buana
dan menengah, bukan untuk jangka panjang. Kekurangan-kekurangan
inilah yang dihindari oleh negara Singapura.
Singapura
Sebagaimana diterangkan dalam bab sebelumnya, motif utama Singapura
melepaskan diri dari Federasi Malaya adalah ketidaksetujuan pemimpin
Singapura, Lee Kuan Yew yang kelak menjadi Perdana Menteri (PM)
Singapura paling berpengaruh, terhadap kebijakan affirmative action. Lee
Kuan Yew adalah seorang liberal-pragmatis yang percaya bahwa setiap warga
negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintah, tanpa
memandang suku, ras dan agama/kepercayaan orang tersebut.42 Untuk
dapat survive dalam kancah persaingan global, Singapura, negara yang tidak
memiliki Sumber Daya Alam (SDA) dan memiliki wilayah daratan yang
sempit ini harus total dan gigih dalam mengkapitalisasi sektor jasa,
perdagangan dan perbankan. Guna menunjang sektor ekonomi, Singapura
memakai konsep sekularisme dan meritokrasi, namun cenderung
mengorbankan aspek demokrasi prosedural.43 Pemerintahan Singapura bisa
dianggap sebagai pemerintahan soft-authoritarian.
Untuk menjaga inklusi sosial masyarakat, pemerintah Singapura
menjalankan kebijakan integrasi (integration policy ), dimana ada
pembauran atau penyatuan antara identitas kesukuan (etnis) dengan
identitas nasional.44 Itu sebabnya kebanyakan warga negara Singapura kerap
ingin disebut sebagai; Chinese-Singaporean, jika mereka dari etnis Tionghoa;
Malay-Singaporean, jika mereka seorang Melayu dan Indian-Singaporean,
jika mereka berdarah India. Menjadi warga negara Singapura tidak serta
merta membuang identitas dan latar belakang etnis mereka.45 Dalam hal
penggunaan bahasa pun pemerintah Singapura sangat tegas sekaligus
responsif, dimana bahasa utama untuk pendidikan adalah bahasa Inggris
yang netral, sedangkan bahasa ibu (mother tongue) juga dapat dipilih
untuk diajarkan sesuai dengan latar belakang etnis masing-masing.46
42
Eivind Furlund, Singapore, from third to first would country: The effect of development in Little
India and Chinatown (Tesis Master, Norwegian University of Technology and Science, 2008), hlm.
111.
43
Ibid, hlm. 113.
44
John W Berry, ‘Acculturation: Living Successfully in Two Cultures’, International Journal of
Intercultural Relations 29 6 (2005), hlm. 697-712, 699.
45
Noor, supra note 28, hlm. 45.
46
Ibid.
[ 227 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pemerintah Singapura sangat serius dalam mengelola keberagaman dan
menjaga inklusi sosial, salah satu strateginya adalah dengan membentuk
organisasi nir-laba yang bersifat self-help bagi masing-masing komunitas
etnis. Semisal komunitas Melayu memiliki organisasi yang bernama
Mendaki,47 komunitas entis India juga memiliki organisasi yang bernama
Singaporean Indian Development Association (SINDA).48 Organisasiorganisasi ini bertujuan sebagai wadah konsultasi dan sebagai instrumen
preventif untuk merespon gejala-gejala pergesekan rasial di masyarakat.
Untuk mencegah segresasi sosial (residential enclaves) dan menciptakan
interaksi antar rasial yang sehat, pemerintah Singapura sangat tegas dalam
aspek pengaturan perumahan dan zonasi tata ruang. Dalam setiap kawasan
yang dihuni oleh mayoritas etnis tertentu, harus ada perimbangan dengan
hadirnya representasi etnis minoritas di wilayah tersebut.49 Semisal di
kawasan Little India yang banyak dihuni oleh masyarakat etnis India,
kelompok minoritas Tionghoa dan Melayu-Muslim juga harus memiliki
representasi di wilayah tersebut. Selain itu dalam hal hak dan partisipasi
politik pada pemilihan umum nasional, Konstitusi Singapura mewajibkan
konstituen kelompok (a group constituen) yang terdiri dari empat sampai
enam kandidat, setidaknya satu dari mereka harus berasal dari etnis
minoritas.50
Kebijakan formal equality yang diterapkan oleh pemerintah Singapura
mensyaratkan pengendalian politik yang baik, salah satu caranya adalah
dengan cara melebur sistem partai politik menjadi satu yang berkolerasi
positif dengan sistem parlemen yang efektif dan berintegritas. Rumus liberal
pemerintah Singapura adalah dengan mengendalikan politik, maka laju
investasi akan lancar yang mana akan berdampak positif pada neraca
keuangan negara dan distribusi kemakmuran bangsa. Tentu diperlukan
penegakan hukum yang tegas untuk menghalau hasrat praktek korupsi
yang dapat melencengkan kemakmuran. Dengan kemakmuran yang merata,
masyarakat yang walaupun secara alamiah berbeda etnis dan keyakinan
tidak akan ambil pusing dengan ‘perbedaan’ mereka, dikarenakan
47
Yayasan Mendaki, http://www.mendaki.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017].
SINDA, http://www.sinda.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017].
49
Furlund, supra note 40, hlm. 12.
50
Ibid hlm. 13.
48
[ 228 ]
Mirza Satria Buana
kebutuhan hidup (basic needs ) mereka sudah tercapai. Pengalaman
Singapura ini seakan mengkonfirmasi adagium ‘hanya orang yang lapar
(miskin) yang pemarah, orang yang kenyang perutnya mudah dikendalikan’.
Pengalaman Singapura diatas tentu dapat sangat berguna bagi
Indonesia, walaupun tidak bisa juga diadopsi secara mutlak, dikarenakan
konteks yang berbeda antara keduanya. Semisal dari segi kuantitas jumlah
penduduk dan luas wilayah negara, Indonesia berkali-kali lipat lebih besar
dan banyak jumlah penduduknya ketimbang Singapura. Indonesia sebagai
nation-state tentu memiliki tantangan-tantangan yang berbeda dan lebih
komplek.
Multikulturalisme dan P
ancasila: Teman atau Lawan?
Pancasila:
Dalam konteks Indonesia, inklusi sosial sebenarnya lebih mudah dicapai,
dibanding semisal dengan Perancis yang pemerintahan dan kebijakan
nasionalnya sudah a priori memandang isu multikulturalisme,51 atau
dengan Malaysia yang pemerintahannya sudah terlalu lama memanjakan
kelompok mayoritas dengan affirmative action. Pemerintah Indonesia
(eksekutif ) relatif aman dari anasir proteksionalisme di lembaga-lembaga
pemerintahan, hal tersebut dapat dilihat dari konstelasi koalisi partai politik
di tubuh eksekutif yang mayoritas dikuasai oleh kelompok nasionalis dan
Islam moderat. Selain itu, Indonesia memiliki kapital filosofis yaitu Pancasila,
yang sila-silanya bernafaskan semangat persatuan bangsa, keberagaman dan
keadilan sosial. Konteks masalah tentang multikulturalisme dan inklusi
sosial di Indonesia lebih pada kekuatan ‘akar rumput’ kelompok intoleran
dan anti-keberagaman yang secara militan-informal mampu memobilisasi
isu-isu keagamaan, ras dan suku baik di dalam spektrum politik nasional
maupun lokal.
Multikulturalisme sebagai sebuah keniscayaan alamiah tentu perlu
dipandang sebagai sebuah anugerah dan kapital sosial, dan bukan sebagai
sumber masalah. Menggunakan pendekatan mono-perspektif dalam
bernegara terang benderang mengkhianati hakikat dari tujuan bernegara
dan berbangsa itu sendiri: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasarkan atas persatuan,
51
MacGoldrick, supra note 10, hlm. 23.
[ 229 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dari rumusan
tujuan berbangsa dan bernegara yang terpatri dalam Pembukaan Konstitusi
Proklamasi jelas terlihat bahwa negara wajib melindungi seluruh warga
negara, tidak terbatas hanya pada suku dan agama mayoritas saja.
Menurut Yudi Latif, narasi Proklamasi diatas dapat dicandra dalam
dua perspektif, yaitu: ‘persatuan’ dan ‘keadilan’. Kedua nilai tersebut
kemudian disarikan dalam rumusan sila-sila Pancasila, terutama Sila ke-3
tentang “Persatuan Indonesia” dan Sila ke-5 tentang “Keadilan Sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia”. Secara filosofis, ‘keadilan’ tidak bisa
dipertukarkan dengan ‘persatuan’, demikian juga tidak bisa ‘persatuan’
dicapai dengan mengorbankan ‘keadilan’. Kedua nilai tersebut harus dapat
berjalan beriringan, saling mengimbangi dan melengkapi.52
Inklusi sosial yang Pancasilais dapat terwujud dengan membuka ruangruang diskursus dengan proses-proses interaktif, pertukaran gagasan dan
ide, dan penyerbukan silang budaya yang cair dan informal. Kondisi ini
disebut sebagai plural-multikulturalisme. Sedangkan segresasi sosial
berdasar etnik dan kepercayaan yang dapat berevolusi sebagai cultural
cleavages, dimana masyarakat hidup dan berkembang hanya dalam
kekompong budayanya saya, tanpa ada ikhtiar untuk merapatkan interaksi
dengan entitas lain, harus ditolak.53
Adeno Addis menekankan perlunya implementasi konsep critical
pluralism yang memandang kondisi keberagaman dan kelompok minoritas
sebagai rekan dialogis dalam menjalani evolusi kemasyarakatan, bukan
sebagai entitas yang harus dilindungi dari mayoritas. Pemerintah dituntut
untuk berperan aktif memfasilitasi dialog-dialog berkelanjutan guna
menemukan jalan terbaik dan kompromi agar nilai-nilai keberagaman bisa
terus hidup dan menjadi inspirasi bagi masyarakat. 54
Diharapkan dengan melaksanakan konsep ini, kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas tidak hanya mampu berdialog dan berinteraksi nirpraduga, namun juga dapat meningkatkan derajat partisipasi minoritas
dalam program pembangunan berkelanjutan. Konsep critical pluralism
52
Latif, supra note 33, hlm. 15.
Ibid.
54
Addis, supra note 26, hlm. 644.
53
[ 230 ]
Mirza Satria Buana
yang berdimensi dialogis-restoratif ini senafas dengan Sila ke-4 Pancasila,
“Kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawatan perwakilan.”
Dalam ranah teknis-implementatif, pemerintah dapat memerankan dua
fungsi yang dapat dieksekusi dalam dua skenario yang berbeda. Pertama,
apabila negara dihadapkan pada keadaan dimana kedaulatan negara,
persatuan negara dan nilai multikulturalisme ditantang oleh kelompokkelompok intoleran-rasis yang anti-kemajemukan, maka sikap pemerintah
adalah netral-represif. Dalam strategi ini negara tidak memihak suatu
golongan dan kepercayaan manapun, hanya berpihak pada nilai Pancasila;
“Persatuan Indonesia”. Strategi ini memiliki kedekatan konseptual dengan
prinsip liberal-sekularisme negara dimana negara harus bersikap netral dan
mengayomi semua pihak dan golongan kepentingan dalam negara. Dalam
konteks ini pemerintah dapat menggunakan kewenangannya untuk
mempertahankan status quo.
Kedua, apabila negara dihadapkan pada suatu fakta adanya diskriminasi
yang sistematis terhadap kelompok minoritas yang termarginal baik oleh
sistem negara maupun swasta, maka sikap pemerintah adalah partial
(memihak)-responsif. Strategi ini bercirikan paham komunalisme.55 Dalam
skenario ini, keberpihakan penting untuk mencapai keadilan (equity) bagi
masyarakat marginal, tentunya keberpihakan harus diawali dengan peran
aktif pemerintah menfasilitasi dialog antara kelompok-kelompok
kepentingan. Strategi ini senafas dengan Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Lewat prinsip-prinsip Pancasila tersebut, masalah inklusi sosial dapat
diselesaikan lewat kebijakan politik inklusif yang bersumber pada nilainilai luhur Pancasila. Kebijakan politik inklusif tersebut bertujuan untuk
mengurangi gesekan pertarungan ideologi (the war of credo) dalam
spektrum negara, dimana peran dan kewajiban negara (the state’s obligation)
sebagai penjaga hak-hak asasi warga negaranya menjadi sangat relevan.
Dari penjelasan ini, jelaslah terlihat relasi antara prinsip-prinsip Pancasila
yang dapat saling melengkapi dalam konteks sosial-politik yang berbeda.
Pancasila juga bertali-temali dengan multikulturalisme lewat perumusan
kedua sila: ‘persatuan’ dan ‘keadilan’.
55
Ibid, hlm. 645.
[ 231 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Penutup
Pengalaman negara tetangga; Malaysia dan Singapura penting sebagai
pengingat bahwa merawat keberagaman memerlukan ikhtiar yang nyata
dan menyeluruh; tidak hanya sekedar terlihat elok dalam tataran teoritiskonseptual, namun juga harus mampu menjawab tantangan-tantangan
teknis di lapangan. Malaysia telah mengajarkan kepada kita akan pentingnya
pemerintahan yang aktif dan berani turun tangan dalam mengelola
ketimpangan sosial di masyarakat dengan program affirmative action.
Singapura mengajarkan kepada kita tentang tata kelola dan administrasi
kewarganegaraan yang efektif dan berintegritas. Contoh-contoh positif dari
kedua negara tersebut, sejatinya telah terparti dalam sila-sila Pancasila
sebagai dasar falsafah negara.
Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki sebuah daya ketahanan
dan adaptasi dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer.
Tantangan inklusi sosial tersebut dapat dicari jawabannya dengan menelaah
sila-sila penting dalam Pancasila; terutama sila ke-3 ‘persatuan’ dan sila
ke-5 ‘keadilan’. Untuk menyeimbangkan antara nilai ‘persatuan’ dengan
nilai ‘keadilan’ tersebut diperlukan ikhtiar negara untuk menjadikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai ruang interaksi bersama yang
berkeadilan.
Akar masalah dari eskalasi anti-keberagaman di Indonesia adalah
kesenjangan sosial dan ekonomi pada masyarakat, terutama pada lapis
terbawah. Kesenjangan dapat dikurangi dengan memberikan affirmative
action kepada komunitas yang benar-benar membutuhkan, namun hanya
sebagai kebijakan jangka pendek dan menengah. Selain itu pemerintah
juga perlu berperan aktif dalam menertibkan pergerakan organisasiorganisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis suku dan agama. Berkaca pada
pengalaman Singapura, ormas malah dapat menjadi kekuatan negara
madani (civil society), bukan sebagai beban negara. Ormas-ormas di
Indonesia seharusnya dapat ditransformasi dengan setidaknya memiliki 3
(tiga) peran penting: (1) peran dialogis, sebagai jembatan penghubung
antara komunitas yang satu dengan yang lain (mayoritas dan minoritas);
(2) peran pemberdayaan, dimana ormas tersebut dapat melakukan
pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar yang dapat meningkatkan
kapasitas personal maupun kelompok tertentu; dan terakhir (3) peran
[ 232 ]
Mirza Satria Buana
penyelesaian sengketa informal, dalam konteks suasana kebathinan yang
tegang dan penuh kecurigaan, ormas dapat berperan sebagai mediator dan
fasilitator konflik dalam sengketa sosial. Selain itu secara fundamentalmakro, pengendalian politik diperlukan guna merawat nilai keberagaman
dan suasana kebathinan masyarakat. Stabilitas politik perlu dijaga dengan
mengedepankan supremasi hukum yang berintegritas dan penegakan
hukum yang berkeadilan. Dengan politik yang stabil dan demokratis, negara
dapat dengan leluasa merawat ‘tanah bunga’ yang beragam dan wangi
bernama Indonesia.
Pada akhirnya, jelas terlihat bahwa Pancasila tidak bertujuan untuk
membentuk keseragaman (uniformitas), dan sikap mengisolasi diri dari
pergaulan dan interaksi konstruktif global (proteksionisme). Malahan
Pancasila mencoba untuk mengayomi perbedaan, keragamanan dan
memberi nuansa inklusif dan toleransi pada pergaulan global yang
konstruktif. Sikap proteksionisme dan nasionalisme sempit ibarat seperti
tinggal sendiri dalam ruang yang gelap pekat. Angin dan badai mungkin
menunggu di luar ruangan, namun ada juga pengharapan cahaya matahari
dan udara segara. Indonesia diharapkan dapat berani keluar dari ruang
gelap tersebut dan berani menantang silau mentari, dengan berpedoman
pada Pancasila.
Selain itu, Pancasila juga memerlukan nyala api solidaritas dari seluruh
anak bangsanya. Solidaritas harus dibangun dengan dialog, interaksi yang
intens dan mendalam dalam masyarakat. Sehingga seluruh warga negara
Indonesia akan bersatu secara tulus dan ikhlas menerima keberagaman
sebagai hadiah terindah Tuhan kepada Indonesia. Semoga.
Referensi
Buku dan JJurnal
urnal
Addis, Adeno, ‘Individualism, Communitarianism, and the Right of Ethnic
Minorities’, Notre Dame Law Review 67 3 (1992).
Berry, John W, ‘Acculturation: Living Successfully in Two Cultures’,
International Journal of Intercultural Relations 29 6 (2005).
Evers, Hans-Dieter, ‘Changing Ethnic Diversity in Peninsula Malaysia’,
Kajian Malaysia 32 No 1 (2014).
[ 233 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Feith, Herbert, ‘President Soekarno, the Army and the Communists: The
Triangle Changes Shape’, Asian Survey Vol 4 (1964).
Matthias Koenig (ed), Pluralism and Multiculturalism in Colonial and
Post-Colonial Societies, International Journal on Multicultural
Societies, 5 2 (2003).
Huat, Chua Beng, Taking Groups Rights Seriously: Multiracialism in
Singapore, Working Paper No 124, Oktober 2005, (Murdoch
University, Asia Research Centre).
MacGoldrick, Dominick, Human Right and Religion: The Islamic
Headscraft in Europe (Hart Publishing, 2006).
Nasution, Adnan Buyung, ‘Southeast Asian Constitutionalism: Toward
Constitutional Democracy in Indonesia’, (Inaugural Professorial
Lecture, Melbourne Law School, 20 Okotober 2010).
Noor, Noraini M, dan Chan-Hoong Leong, ‘Multiculturalism in Malaysia
and Singapore: Contesting Models’, International Journal of
Intercultural Relations 37 (2013).
Tanuwidjaja, Sunny,’Political Islam and Islamic Parties in Indonesia:
Critically Assessing the Evidance of Islam’s Political Decline’,
Contemporary South-east Asia: A Journal of International and
Strategic Affairs 32, No 1 (2010).
Thornberry, Patrick, International Law and the Rights of Minorities
(Clarendon Publisher, 1993).
Xanthaxi, Alexandra, ‘Multiculturalism and International Law: Discussing
Universal Standard’ Human Rights Quarterly 32 (2010).
Tesis
Furlund, Eivind, Singapore, from third to first would country: The effect
of development in Little India and Chinatown (Tesis Master,
Norwegian University of Technology and Science, 2008).
Konvensi Internasional
The Universal Declaration on Human Rights (UDHR).
The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR).
The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (ICERD)
The Declaration of Minorities.
[ 234 ]
Mirza Satria Buana
The UNESCO Declaration of the Principles of International Cultural Cooperation.
The Universal Declaration on Cultural Diversity.
The UN Special Rapporteur on Contemporary Forms of Racism, Political
Platforms Which Promote or Incite Racial Discrimination.
Surat Kabar
Kompas, “Keberagaman Jadi Kekuatan: Pancasila Relevan Hadapi Setiap
Tantangan”, Kompas, 11 Januari, 2017.
Kompas, “Pemda Paling Banyak Diadukan: Kebebasan Beragama Terus
Terancam”, Kompas, 11 Januari, 2017.
Keliat, Makmur, ‘Tantangan Diplomasi Ekonomi’, Kompas, 17 Januari 2017.
Latif, Yudi, Merenda Persatuan dan Keadilan, Kompas, 11 Januari 2017.
Website
Ang, Ien, Multiculturalism, 2005 http://media.wiley.com/product_ ancillary/92/ 06312256/DOWNLOAD/Multiculturalism.pdf
[Diakses 10 Januari 2017].
Dissenting Opinion of Judge Tanaka, http://www.icj-cij.org/docket/files/
47/4969.pdf.
Faizasyah, Teuku, ‘Post-US presidential election: Years of living in uncertainty,
The Jakarta Post, 20 December 2016 http://www.thejakartapost.
com/academia/2016/12/30/post-us-presidential-election-yearsof-living-in-uncertainty.html [Diakses 13 Januari 2017].
SINDA, http://www.sinda.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017].
Yayasan Mendaki, http://www.mendaki.org.sg/ [Diakses 12 Januari 2017].
Wolf, Martin. 2005. ‘When Multiculturalism is a nonsense’, Financial
Times https://www.ft.com/content/ff41a586-197f-11da-804e00000e2511c8 [Diakses 11 Januari 2017].
White, Michael, ‘Trevor Phillips says the unsayable about race and
multiculturalism, The Guardian , 16 Maret 2015 https://
www.theguardian.com/uk-news/2015/ mar/16/trevor-phillipsrace-multiculturalism-blog [Diakses 13 Januari 2017].
[ 235 ]
PA
TRIARKHISME PANC
A SIL
A: DIALEKTIK A
PATRIARKHISME
PANCA
SILA:
PEREMPU
AN D
AL
AM PERUMUSAN
PEREMPUAN
DAL
ALAM
PANC
A SIL
A D
AN PEMBANGUNAN BANGSA
PANCA
SILA
DAN
INDONESIA
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
P
atriarkhi dalam tulisan ini dimaksudkan untuk melihat kebijakan
negara terhadap peran perempuan. Pancasila sebagai dasar negara
merupakan seperangkat nilai yang menjadi pedoman terhadap
berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara. Tulisan ini akan mengkaji
tentang peran perempuan dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia
dan partisipasinya dalam membangun bangsa dan negara pasca
kemerdekaan.
Kendati peran perempuan minim dalam momentum lahirnya dasar
negara, namun tidak menjadikan perempuan berpangku tangan. Berbagai
upaya untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dilakukan. Hanya
saja, semua tergantung pada besar atau kecilnya peluang dan kesempatan
yang dapat dimainkan oleh kaum perempuan dalam mengawal setiap
kebijakan politik hukum yang dibuat negara. Tulisan ini akan mencoba
mengkaji tentang pasang surut peluang dan kesempatan yang dilakukan
dan diraih perempuan sebagai batu pijakan untuk optimalisasi peran
perempuan pada masa yang akan datang dalam setiap proses sosial, politik
dan hukum dalam rangka membangun bangsa dan negara.
[ 237 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Perjuangan M
elawan P
enjajah di Tengah B
udaya P
atriar
kisme
Melawan
Penjajah
Budaya
Patriar
atriarkisme
Konseptualiasi patriarki1 sebenarnya telah ada sejak manusia ada,
khususnya dalam konteks peranan mereka dalam ranah kehidupan keluarga
dan sosial masyarakat. Sejarah perjalanan kehidupan manusia menunjukkan
bahwa peran manusia dalam kehidupan sosial terbentuk berdasar fungsi
sosialnya, dimana terdapat pembagian peran antara kaum laki-laki dan
kaum perempuan. Jika menelusuri asumsi tersebut diatas, patriarkhi
memunculkan keyakinan bahwa perempuan memiliki tugas sebagai
penyambung garis keturunan. 2 Bahkan menurut Weber, budaya
mengkonstruksi peran laki-laki sebagai pemegang kendali kehidupan
perempuan dalam ranah hubungan rumah tangga.3 Tidak hanya itu,
mitologi Yunani mengibaratkan perempuan sebagai simbol Pandora4 yang
konotasinya berisi tentang kesulitan, kejahatan dan penderitaan.5 Kemudian
Aristoteles dengan oposisi biner-nya6 memposisikan perempuan secara
berlawanan dengan laki-laki, sementara Thomas Aquinas dan Immanuel
Kant mendefinisikan perempuan adalah laki-laki yang tidak tidak sempurna
dibandingkan laki-laki bahkan anak-anak sekalipun.7 Sederet konsepsi
diatas menunjukkan bahwa peran perempuan hanyalah sebagai
penyambung keturunan dan bahkan masa menstruasi dianggap kelemahan,
1
2
3
4
5
6
7
Konsep ini disebut-sebut berawal dari adanya konsep kepemilikan pribadi (Privat Ownership) yang
melahirkan pembagian peran antara laki-laki disektor publik dan perempuan di ranah reproduksi.
Harta yang terkumpul akan diwariskan kepada anak sehingga konsep kejelasan nasab mewajibkan
perempuan mempertahankan keperawanannya hingga menikah. Lihat “Asal-usul Budaya Patriarki”,
(14 July 2015), online: PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta <http://pkbi-diy.info/?p=3940>.
Edi Riyadi Terre, Manusia, Perempuan, Laki-laki: Pengantar ke Pemikiran, Cetakan Pertama, ed
(Jakarta: Komunitas Salihara, 2013) hlm. 65
Lihat Ikhwan Setiawan, Membaca_Lagi_Struktur_Patriarki_dalam_Ma (1).pdf hlm. 2. Secara historis
sistem matriarkhi lebih dahulu berkembang dalam sejarah peradaban manusia. Namun tradisi
perang memposisikan laki-laki dengan kekuatan fisiknya lebih dominan daripada perempuan.
Dengan demikian Claudia von Werlhof berpendapat bahwa logika patrairkhi adalah logika perang
Pandora adalah perempuan pertama dalam mitologi Yunani yang diberi keistimewaan berupa
kemampuan yang unik. Akan tetapi Pandora digambarkan sebagai penyebab terjadinya keburukan.
Lihat “Apa Itu Pandora?”, (9 December 2015), online: Natl Geogr Indones <http://
nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/apa-itu-pandora>.
Ikhwan Setiawan, Membaca_Lagi_Struktur_Patriarki_dalam_Ma (1).pdf hlm. 12
Muhadjir Darwin, “Maskulinitas: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis” (1999) Cent Popul
Policy Stud Gadjah Mada Univ 281 hlm. 12
Muhammad Adji, Lina Meilinawati & Baban Banita, Perempuan dalam Kuasa Patriarkhi (Bandung:
Universitas Pajajaran, 2009) hlm. 17
[ 238 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
sehingga tergantung pada sperma laki-laki dalam membentuk janin dan
kehidupan baru.8
Patriarkhi disebut sebagai the magic system9 karena memunculkan
gender yaitu konstruksi masyarakat dalam menjelaskan jenis kelamin.
Bahwa laki-laki harus kuat, tegas gagah, berani dan berbagai karakter lain
yang bersifat pemimpin. Sedangkan perempuan harus memiliki kepribadian,
lembut, telaten, harus tunduk, menghormati dan melayani suami, harus
mengasuh, menjaga dan mendidik anak, sementara terhadap masyarakat
perempuan harus bisa bertindak untuk menjaga diri dan nama baik keluarga.
Konsepsi gender seringkali salah kaprah di masyarakat karena sulit
membedakannya dengan kodrat yaitu pemberian Tuhan yang tidak dapat
diingikari sehingga menganggap keduanya sama.
Konstruksi Patriarkhi di Indonesia tumbuh subur di berbagai wilayah,
bahkan menempatkan peran perempuan sebagai istri dan ibu yang harus
berdiam diri di rumah.10 Dalam masyarakat Jawa, seorang perempuan
bermakna wanito yang berarti wani ditoto, harus siap untuk diatur oleh
laki-laki. Peran perempuan dijelaskan dalam istilah 3M (masak, macak,
manak) yang berarti perempuan harus memasak, berias dan melahirkan.
Posisi fungsional perempuan juga sering disebut dengan adagium suwargo
nunut neroko katut yang menunjukkan perempuan selalu sebagai pihak
kedua yang tergantung kepada laki-laki, atau melalui adagium konco
wingking, dapur sumur kasur. Hal tersebut terlihat jelas bahwa deskripsi
peran perempuan tergantung pada laki-laki,11 bahkan tidak jarang peran
perempuan dibeberapa daerah di Indonesia terdistorsi berada dibawah
pengaruh laki-laki.
Patriarkhi disebut sebagai sistem sosial yang menempatkan laki-laki
superior atas perempuan.12 Setidaknya norma sosial, norma hukum dan
8
Wahyuni Retnowulandari, “Budaya Hukum Patriarkhi versus Feminisme dalam Penegakan Hukum
Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan” (2010) 8:3 J Huk 16 hlm. 135.
9
Siti Rokhimah, “Patriarkhisme dan Ketidakadilan Gender” (2015) 6:1 MUWAZAH, online: <http:/
/e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/view/440> hlm. 135.
10
Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender” (2012) 3:1 MUWAZAH,
online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/download/6/6> hlm. 1
11
Dwi Edi Wibowo, “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender” (2012) 3:1 MUWAZAH,
online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/download/6/6> hlm. 1
12
Rokhimah, supra note 9 hlm. 133.
[ 239 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
norma agama masih sangat kuat mengatur relasi antara perempuan dan
laki-laki. Norma sosial disebut-sebut masih tertancap kuat oleh budaya
patriarkhi, hal tersebut terlihat dengan masih adanya budaya dalam
masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kaum yang rentan
terhadap kekerasan.13 Sementara norma hukum tidak dapat berbuat banyak
untuk mengubah budaya yang masih sedemikian kuat dalam keyakinan
masyarakat.14 Norma agama juga tidak mampu secara optimal mengubah
pandangan masyarakat.15
Terlepas dari konstruksi budaya sebagaimana disebut di atas, budaya
patriarkhi di Indonesia tidak secara membabi buta meniadakan peran
perempuan. Tidak sedikit perempuan yang berperan dalam perjuangan
bangsa Indonesia mengusir penjajah dan merebut keberdekaan bangsa.
Tampilnya pejuang perempuan seperti Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah,
Marta Christina Tiahahu dari Ambon, Cut Nyak Dien dan Cut Meutia
dari Aceh16 menjadi bukti bahwa peran perempuan dalam merebut
kemerdekaan dari penjajah melampaui budaya patriarkal yang ada. Selain
itu, perempuan juga mampu tampil berkiprah dalam dunia pendidikan.
Bergulirnya politik etis17 ketika itu menempatkan masyarakat Indonesia
13
Dina Tsalist Wildana, “Sakralisasi Abhekalan dan Desakralisasi Nikah dalam Perspektif Gender bagi
Masyarakat Muslim Madura di Jember” (2017), online: <http://repository.unej.ac.id/ handle/
123456789/80075> hlm. 221.
14
Undang-Undang perkawinan masih mengizinkan mengizinkan perempan yang masih berusia anak,
ditengah budaya yang memposisikan perempuan (istri) sebagai pelayan suami. Hal ini memangkas
berbagai kesematan seperti pendidikan, kesehatan dan perekonomian bagi perempuan. hal ini
berakibat pada minimnya lapangan kerja yang berbanding lurus dengan minimnya perlindungan
hak di dalam pekerjaan bagi perempuan.Lihat Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana,
“Perempuan dan Tembakau di Mayang Kabupaten Jember: Perspektif Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” (2017) 6:2 JURISDICTIE 118 hlm. 126.
15
Ajaran agama masih memandang perempuan terikat dalam kodratnya yaitu melayani suami, melahirkan
dan mendidik anak. Tidak sedikit tokoh agama yang mendukung adanya perkawinan dini mengingat
persiapan kodrat tersebut ditidakan perlu menunggu waktu yang lama. Itulah sebabnya mengapa
upaya menaikkan batas minimal perkawinan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Lihay Pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 18 June 2015 [Pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan] hlm. 8.
16
Pujiati Pujiati, Kelestarian Perjuangan Kongres Wanita Indonesia (Kowani): Analisis Pada Masa
Kolonial Dan Pascakolonial Universiti Sains Malaysia, 2007) [unpublished] hlm. 5
17
Politik Etis adalah kebijakan pemerintah Belanda akibat diberlakukannya sistem Tanam paksa dan
Politik Liberal yang mengakibatkan kemakmuran diperoleh bagi negara penjaajah sementara disisi
lain kesengsaraan bagi masyarakat terjajah. Oleh sebab itu Ratu Wilhelmina pada tahun 1901
memerintahkan Belanda untuk menanggulaangi kesengsaraan pribumi dengan melaksanakan tiga
kebijakan yaitu edukasi, irigasi dan transmigrasi. Lihat Gusti Muhammad Prayudi & Dewi Salindri,
“Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1901-1942” (2015)
3:1 Publika Budaya 20 hlm. 22.
[ 240 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
turut mengenyam pendidikan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat
sehingga muncul pula tokoh perempuan dibidang pendidikan seperti R.A.
Kartini (Jawa Tengah), Rahmah el Yunusiyyah (Padang Panjang), Dewi
Sartika (Jawa Barat), Rohana Kudus (Minangkabau), Maria Walanda
Maramis (Sulawesi Utara), Ny. Hj Ahmad Dahlan (Yogyakarta), Ny. Hj
Rasuna Said (Sumatera Barat) dan tokoh lainnya yang ikut andil dalam
memperjuangkan adanya akses pendidikan kepada masyarakat, khususnya
kaum perempuan. 18 Dalam gerakan sosial kemasyarakatan, peran
perempuan terlihat dari munculnya organisasi perempuan seperti Poetri
Mahardika 1912, Poetri Sedjati, Wanita Oetama, Jong Java, Pawijatan
Wanito tahun 1915 di Magelang, Organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak
Temurun (PIKAT) tahun 1917 di Manado, Poetri Boedi tahun 1919 di
Surabaya, Wanita Taman Siswa (1922).19 Selain itu, organisai perempuan
berbasis agama juga muncul seperti Aisiyyah 1917, Muslimat NU, dan
Poesara Wanita Katolik. Pada tahun 1928 Kongres Perempuan Indonesia20
pertama dilakukan untuk membahas berbagai permasalahan seperti
pendidikan, perkawinan, poligami, dan lainnya yang bertujuan untuk
menjadi pemersatu gerakan perempuan Indonesia.
Munculnya gerakan-gerakan sosial yang dimotori oleh perempuan pada
masa pra kemerdekaan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada problem
yang membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam mengusir penjajah
dan merebut kemerdekaan Indonesia. Tidak munculnya problem keberadaan
perempuan diluar “kodrat”nya menunjukkan bahwa sistem patriarkhi hilang
dan larut dalam kepentingan yang lebih besar yakni gerakan saling
mendukung demi terciptanya kemerdekaan Indonesia. Peran perempuan
yang saling bahu membahu dengan laki-laki dalam merebut kemerdekaan
telah banyak dikaji oleh para peneliti. Hampir semua sepakat bahwa peran
perempuan sama besarnya dengan peran laki-laki dalam peperangan
mengusir penjajah, pendidikan dan dalam berorganisasi sehingga mencapai
18
Beberapa lembaga pendidikan yang d dirikan antara lain STOVIA yaitu sekolah yang mendidikan
calon dokter bagi pribumi, OSVIA yang mendidik pegawai atau priyayi. Sekolah ini hanya dapat
dinikmati oleh para kalangan pribumi bangsawan. Lihat budi Utomo, hlm.11-12
19
Lucky Sandra Amalia, Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke Masa - Politik Lipi (LIPI,
Pusat Penelitian Politik (The Center for Political Studies), 2010).
20
Dari Kongres ini melahirkan beberapa putusan salah satunya adalah dibentuknya Perikatan
Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang selanjutnya berubah nama menjadi KOWANI.
[ 241 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
kemerdekaan bangsa Indonesia. Peran perempuan sebagaimana diuraikan
diatas menunjukkan bahwa perempuan telah membuat batu pijakan yang
sangat kuat dalam rangka turun serta dalam merebut kemerdekaan dan
membangun bangsa.
Patriar
khi dalam SSejarah
ejarah P
embentukan P
ancasila
atriarkhi
Pembentukan
Pancasila
Lahirnya Pancasila tidak lepas dari upaya Jepang demi menjaga stabilitas
daerah jajahannya (Indonesia) disaat Jepang mengalami kekalahan Pasca
Perang ke II. Pada sidang Parlemen tahun 1944, Jepang menjanjikan
kemerdekaan bagi Indonesia.21 Agar janji tersebut terlihat nyata, Jepang
membentuk organisasi yang bernama Dokuritsu Junbii Chosakai atau
dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdeaan
Indonesia (BPUPKI).22 Salah satu tugas badan ini adalah mempersiapkan
hal-hal yang diperlukan dalam membentuk negara yangmerdeka dan
mempersiapkan dasar negara.23
Dari sejumlah anggota BPUPKI24 terdapat 2 orang diantaranya yang
berjenis kelamin perempuan yaitu Maria Ulfa dan Soenarjo
Mangoenpoespito.25 Meski demikian sejarah kurang begitu mencatat kiprah
kedua perempuan dalam perumusan dasar negara dan undang-undang
dasar. BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali26 yaitu sidang pertama
membahas tentang dasar negara yang dimotori oleh kaum agamis dan kaum
nasionalis.27 Sidang pertama menghasilkan dasar negara yang terdiri dari
21
Widya Rossani Rahayu, Perdebatan tentang Dasar Negara pada Sidang Badan Penyelidikan UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) 29-17 Juli 1945 Universitas Indonesia, 2008) [unpublished] hlm. 89.
22
Badan ini didirikan pada tanggal 1 Maret 1945, namun peresmiannya baru dilakukan pada tanggal
29 April 1945 oleh Letjen Yuichiro Nagano dan menetapkan K.R.T Radjiman Wediodiningrat
sebagai ketuanya. Lihat Ibid hlm. 90.
23
Tugas BPUPKI tertuang di dalam Maklumat Gunseikan No. 23 Ibid hlm. 91.
24
Jumlah Anggota BPUPKI disebut ada 67 orang yang 8 diantaranya merupakan orang Jepang yang
tidak memiliki hak suara. Ibid.
25
“Fokus Edisi 19: Membebaskan Perempuan Merayakan Kemerdekaan”, online: RAHIMA Pus
Pendidik Dan Inf Islam Dan Hak-Hak Peremp <http:// www.rahima.or.id/index.php/categorytable/157-fokus-edisi-19-membebaskan-perempuan-merayakan-kemerdekaan>.
26
Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan sidang ke dua pada tanggal 10
Juli-17 Juli 1945. Lihat Rahayu, supra note 22 hlm. 91.
27
Kaum nasionalis dimotori oleh Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Soepomo sedangkan kaum
agamis direpresentasikan oleh Wachid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Muzakkir. Lihat
Ibid hlm. 95.
[ 242 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
lima dasar yaitu Pancasila, sedangkan sidang kedua membahas tentang
undang-undang dasar sehingga tersusun preambule dan batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945.28
Karena dianggap telah selesai, BPUPKI dibubarkan dan dibentuklah
Panitia Persiapan Kemerdeaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 7 Agustus
1945 dimana tidak ada keterwakilan perempuan didalamnya. Termasuk
penentuan tanggal kemerdekaan dimana anggota PPKI terpecah menjadi
dua golongan yaitu golongan tua dan golongan muda. S.K Trimurti29
menyaksikan peristiwa perbedaan pendapat tersebut dan pasca pembacaan
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dia
memainkan perananannya dalam penyebarluasan kabar kemerdekaan
Indonesia melalui kegiatan jurnalistik.30 Melalui keahliannya, berita
kemerdekaan dapat tersosialisasikan ke seluruh pelosok negeri.
Gautama Budi berpendapat bahwa Pancasila memiliki tiga fungsi bagi
bangsa Indonesia yaitu sebagai tata nilai, ideologi dan dasar negara.31
Pancasila sebagai tata nilai merupakan sari pati bangsa bangsa yang tidak
dengan sengaja dibentuk oleh siapapun. Sedangkan Pancasila sebagai
ideologi dan dasar negara merupakan proses kelanjutan dari kerja Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam
sidang pertama dan keduanya, dan hasil dari kinerja Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menetapkan Pancasila sebagai dasar
negara.
Keterlibatan perempuan dalam penyusunan Pancasila sebagai ideologi
dan dasar negara sangat minim. Setidaknya keterwakilan perempuan telah
28
1 Juni 1945 merupakan hari ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karenanya 1 Juni
di sebut sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Meskipun di tahun tersebut susunan Pancasila yaitu 1.
Kebangsaan Indonesia, 2). Internasionalisme atau Perikemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4)
Kesejahteraan Sosial, 5). Ketuhanan. Lihat Ibid hlm. 100–101.
29
Surastri Karma Trimurti atau sering di singkat S.K. Trimurti adalah Istri dari Sayuti Melik. Selain
Istri seorang Tokoh Kemerdekaan ia memiliki kompetensi untuk turun berjuang mempertahankan
Kemerdekaan. Lihat Ipong Jazimah, “SK Trimurti: pejuang perempuan Indonesia” (2016) 10:1 J
Sej Dan Budaya 47 hlm. 50
30
Dadan Wildan, M Hum & Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara RI, “Membuka Catatan Sejarah:
Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945” (2014) 17 Minist State Secr Repub Indones Jkt,
online: <http://server2.docfoc.com/uploads/Z2015/ 11/29/OKdbnIgKUY/de9fc69deb93ee
287d1f04fa401fd52b.doc> hlm. 4
31
Gautama Budi Arundhati, “Relasi Norma Proklamasi dan Pancasila” in (2016) 3 hlm. 5–7
[ 243 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ada di badan penyusun Pancasila. Meskipun track recordnya kurang terekam
oleh sejarah. Namun sedikit banyak ide dan kepentingan perempuan telah
diakui dan setara dengan laki-laki. Hal ini tampak pada makna substantif
Alenia Pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa dalam bentuk
penghapusan penjajahan di muka bumi sebab mengutamakan kemanusiaan
dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia . Kemerdekaan dalam
pembukaan konstitusi tersebut memiliki makna tersirat bahwa baik lakilaki ataupun perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh dan
menikmati kemerdekaannya secara utuh. Sedangkan penghapusan
penjajahan dapat dimaknai tidak adanya sikap menguasai dan diskriminatif
oleh siapa pun terhadap siapapun, termasuk sikap dan tindakan diskriminatif
yang didasarkan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Orde Lama: Ter
kikisnya P
atriar
khi oleh SSemangat
emangat R
ev
olusi
erkikisnya
Patriar
atriarkhi
Rev
evolusi
Patriarkhisme pada masa Orde Lama dimaksudkan untuk melihat
kepemimpinan presiden Ir. Soekarno terkait peran dan posisi perempuan
dalam ranah pemerintahan, sosial dan masyarakat. Hal ini akan ditelusuri
melalui keterwakilannya dalam lembaga pemerintahan, kebijakan-kebijakan
negara yang dihasilkan, serta perkembangan perempuan dalam masyarakat.
Pola kepemimpinan Presiden Ir. Soekarno sebagai presiden pertama
Indonesia terbagi dalam beberapa periode yaitu periode revolusi, periode
demokrasi liberal dan periode demokrasi terpimpin. Masa revolusi dibawah
kepemimpinan presiden Ir. Soekarno, Indonesia sedang berusaha
memperoleh pengakuan atas kemerdekaannya ditengah upaya Belanda
untuk kembali ingin menjajah Indonesia. Ditengah kondisi ini, organisasi
perempuan KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) sebagai salah satu
organisasi perempuan yang ada saat itu memberi dukungan penuh atas
kemerdekaan Indonesia.32 KOWANI juga berperan serta menjadi anggota
organisasi internasional WIDF ( Women’s International Democratic
Federation) pada tahun 1946. Bergabungnya KOWANI dalam organisasi
WIDF bertujuan agar WIDF dan dunia internasional membantu
menyampaikan protes terhadap agresi Belanda ke Indonesua di PBB.33
32
Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia
pascakejatuhan PKI (Yogyakarta: Penerbit Galangpress, 2010) hlm. 151
33
Ibid hlm. 152
[ 244 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
Organisasi perempuan pada masa pemerintahan Orde Lama tidak hanya
bergerak pada bidang yang terkait dengan kepentingan perempuan. Mereka
juga membahas persoalan sosial kemasyarakatan, politik, dan
pemerintahan.34 Ruang lingkup organisasi perempuan juga tidak bersifat
lokalitas saja, namun juga aktif dalam skala nasional dan internasional.
Selain KOWANI, organisasi perempuan lainnya yang sejak awal juga eksis
sebelum kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan, seperti organisasi BBW
(Barisan Buruh Wanita) yang dipimpin oleh S.K Trimurti yang merupakan
istri dari Sayuti Melik.35 S.K. Trimurti memperjuangkan hak kaum buruh
sehingga pada masa pemerintahan Orde Lama, beliau terpilih menjadi
Menteri Perburuhan dan prestasi yang dicapainya adalah lahirnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perburuhan, peraturan
perundang-undangan tentang kerja yang didalamnya berisi tentang
perlindungan negara terhadap pekerja perempuan. S.K Trimurti juga
dipercaya menjadi Dewan Perancangan Nasional dan sekaligus menjadi
anggota MPRS pada tahun 1959.36
Selain itu, bermunculan juga tokoh perempuan ketika Orde Lama
berkuasa yang memainkan peranannya di dunia politik seperti Kartini
Kartaradjasa dan Supeni (dari Partai Nasional Indonesia), Walandau (dari
Partai Kristen Indonesia), Mahmuda Mawardi dan H.A.S Wachid Hasyim
(dari Partai Nahdatul Ulama), Salawati Daud (dari partai Komunis
Indonesia).37
Arah gerakan perempuan pada masa Orde Lama terlihat jelas dari peran
aktifnya di bidang politik sebagai reaksi dari kebijakan demokrasi liberal
Ir. Soekarno. Salah satunya adalah lahirnya organisasi Gerakan Wanita
Indonesia Sedar (Gerwis) pada tahun 1950an yang merupakan cikal bakal
organisasi perempuan Gerwani yang berada dibawah struktuk organisasi
Partai Komunis Indonesia (PKI). Upaya signifikan yang dilakukan Gerwis
di bidang politik, feminisme, sosial dan ekonomi, hak anak dan hak wanita,
34
Risdha nugroho Budiyanto, Aktivitas Gerwani di Kota Semarang Tahun 1950-1965 Universitas
Diponegoro, 2009) [unpublished] hlm. 80
35
Jazimah, supra note 17
36
Ibid.
37
Lucky Sandra Amalia, “Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke Masa - Politik Lipi”,
(2010), online: <http://politik.lipi.go.id/kolom/296-kiprah-perempuan-di-ranah-politik-darimasa-ke-masa>
[ 245 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
serta anti imperialisme terwujud salah satunya melalui terdorongnya upaya
pembentukan undang-undang perkawinan yang demokratis. Mendekati
dekade 1955, Gerwis berubah menjadi Gerwani dengan fokus gerakannya
dibidang politik yaitu pendidikan politik bagi kaum perempuan untuk
menyikapi pemilu dan tetap mengkritisi masalah-masalah feminisme seperti
perkosaan, penghapusan perkawinan paksa, reformasi undang-undang
perkawinan. Gerwani juga turut serta menuntut penurunan harga dalam
sektor ekonomi.
Pada masa Orde Lama, Ir. Soekarno memiliki kekuasaan penuh, namun
masih memberikan ruang bagi aktualisasi diri organisasi perempuan. Arah
gerakan organisasi perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya, hak perempuan dan anak, serta demokrasi. Margaretha menyebut
bahwa partisipasi perempuan pada masa Orde Lama telah sesuai dengan
kemampuan yang dilakukan secara demokratis terhadap setiap peran sosial
politiknya.38 Akrabnya presiden Ir. Soekarno dengan gerakan perempuan
berdampak pada semakin berkembangnya gerakan perempuan pada masa
itu dan ditambah dengan penetapan tanggal 22 Desember 1928 yang
dilakukan presiden Ir. Soekarno sebagai terhadap Hari Ibu, sedangkan perlu
diketahui bahwa tanggal 22 Desember 1928 merupakan hari pembukaan
Kongres Perempuan Indonesia yang pertama.39
Orde B
ar
u: K
ebangkitan P
atriar
khi dalam SSemangat
emangat
Bar
aru:
Kebangkitan
Patriar
atriarkhi
ancasila
Pemurnian P
Pancasila
Pemerintahan Orde Baru secara terminologis berbeda dan berseberangan
dengan pola yang dibangun oleh Orde Lama dibidang peranan perempuan.
Pemerintahan Orde Baru dimulai ketika Presiden Soeharto menerima Surat
Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) dari Presiden Ir. Soekarno.40 Orde
38
Hanita Margaretha, Lembaga Akademi dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan
dari Kekerasan Berbasis Gender (Universitas Indonesia, Jakarta: Program Studi Kajian Gender,
Program Pascasarjana (Multidisiplin), 2015) hlm. 15
39
Saat ini terjadi sering dijumpai persepsi yang kurang tepat mengenai hari ibu, yang sering dimaknai
pengorbanan perempuan sebagai ibu. Padahal Dekrit Presiden No 361 Tahun 1959 dimaksudkan
sebagai penghargaan bagi perempuan yang meskipun akif di dalam rumah tangga, akan tetapi tidak
meniadakan perannya di dalam masyarakat, pemerintahan dan negara “Sejarah Singkat Hari Ibu”,
online:
<http://bkddki.jakarta.go.id/unduh/2013/20131217_HARI_IBU_2013/
20131217_HARI_IBU_2013_SEJARAH_SINGKAT.pdf>.
40
Sunarso, supra note 19 hlm. 10
[ 246 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
Baru berupaya menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen
sebagaimana tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun seperti
yang tertera dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang juga
mengatur tentang relasi antara pemerintah dengan kelompok organisasi
perempuan.
Gerakan perempuan di Indonesia berada pada titik nadirnya pada
tahun 1965, berawal dari dihancurkannya Gerwani karena terindikasi
Gerakan 30 September 1965 PKI. Gerwani dilabeli dengan stigma gerakan
perempuan liar, tidak bermoral dan sudah tentu menjadi organisasi
terlarang.41 Akibatnya peristiwa tersebut, gerakan perempuan yang kritis
menjadi diam dan hanya organisasi perempuan yang memiliki ide sejalan
dengan pemerintahan Orde Baru saja yang dapat bertahan. Orde Baru
merombak kembali identitas perempuan melalui istilah-itilah yang mudah
diingat dan diserap oleh masyarakat. Seperti istilah macak, masak manak
(3M) 42 dan 3I yaitu Istri, Ibu dan Ibu Rumah tangga (“ibuisme”) untuk
menyebutkan tugas perempuan.43 Darwin menyebutkan bahwa masa Orde
Baru meruppakan masa domestikasi gerakan perempuan melalui reproduksi
tugas peran dan posisi perempuan yang subordinasi atas laki-laki serta
terkooptasinya gerakan perempuan.44
Pada tahun 1974, pemerintahan Orde Baru membuat kebijakan
Keluarga Berencana (KB)45 yang memposisikan perempuan sebagai sasaran.
Pada Tahun itu juga pemerintah membentuk Pembinaan Keluarga Sejahtera
(PKK) dan Dharma Wanita yang bertujuan sebagai alat untuk mengontrol
perempuan. Salah satu posisi penguatan kontrol perempuan dalam ranah
rumah tangga adalah dengan diberlakukannya undang-undang yang
41
Tyas Retno Wulan, “Pemetaan gerakan Perempuan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Penguatan
Publik Spere di Pedesaan” (2008) 3:1 Yin Yang 120. Revolusi tahun 1965 diberitakan berbagai
media disebabkan oleh PKI dan Gerwani yang memiliki kedekatan dengan PKI dituduh melakukan
perbuatan tidak manusiawi terhadap para tentara dan TNI di Lubang Buaya. Berita ini menyebabkan
stigma geraakan perempuan yang cenderung liar dan tidak bermoral
42
Vitriya Kusuma Dewi & Gayung Kasuma, “Perempuan Masa Orde Baru (Studi Kebijakan PKK dan
KB Tahun 1968-1983)” (2014) 4:2 Verleden J Kesehat 157.
43
Wulan, supra note 44.
44
Ibid.
45
Dewi & Kasuma, supra note 45. Kebijakan mengontrol jumlah penduduk melalui KB tertera di
dalam GBHN tahun 1973-1978 yang mana isu ini tidak pernah dibahas pada masa orde lama
maupun oleh organisasi perempuan sebelumnya
[ 247 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
mengatur tentang perkawinan dan mengokohkan posisi perempuan sebagai
ibu rumah tangga.
Pemerintahan Orde Baru melarang keras Gerwani disatu sisi dan disisi
lain membiarkan tetap hidup organisasi perempuan yang telah ada sejak
Orde Lama dengan catatan tidak bertentangan dengan arah kebijakan
pemerintahan Orde Baru. Sebagai kontrol, pemerintah membentuk PKK
dan Dharma Wanita pada tahun 1974 dengan meletakkan Panca Dharma
Perempuan sebagai tugas perempuan yaitu mendukung suami, mendidik
dan membina generasi muda, mengatur rumah tangga dan bekerja untuk
menambah penghasilan rumah tangga, serta menjadi anggota masyarakat.46
Pada tahun 1978, melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN),
pemerintah Orde Baru memasukkan perempuan dalam lembaga
pemerintahan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita.
Kendati demikian, pemerintahan Orde Baru menetapkan tugas perempuan
dalam Panca Dharma Perempuan.47 Pada Tahun 1983, Pemerintahan Orde
Baru kembali menguatkan peranan PKK dan Dharma Wanita melalui Baru
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983 dan meningkatkan status
dari Menteri Muda menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.
Langkah tersebut memberikan penekanan bahwa peranan wanita dalam
pembangunan lebih signifikan.48 Pada tahun 1988, melalui Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988, terjadi pergeseran konsep terkait
peranan wanita yaitu awalnya menempatkan perempuan dalam
pembangunan menjadi perempuan dan pembangunan.49 Pada tahun 1993,
melalui Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993, pemerintah
membuat konsep yang menegaskan bahwa perempuan merupakan “mitra
sejajar pria”, namun tetap pada koridor mempertahankan konsep “kodrat”
perempuan sebagai batasan geraknya.50
46
Dini Anitasari S, Melly Setyawati & Sri Wiyanti, Kebijakan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia
Paska Orde Baru (Studi Kasus di Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat) (Jawa Barat, DI
Yogyakarta dan Sumatera Barat: Woman’s Empowerment in Muslim Contexts gender, poverty and
demicratisation form the inside out, 2010) hlm. 9
47
Ibid. hlm. 10
48
Ibid.
49
Ibid.
50
Ibid.
[ 248 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
Menurut Hafidz, kebijakan pemerintahan Orde Baru yang semula
menempatkan perempuan dalam keluarga, kemudian dilibatkan dan
terlibat dalam pembangunan dilakukan pemerintah bukan semata-mata
untuk peningkatan kualitas perempuan, akan tetapi untuk menarik investor
asing dengan upah buruh perempuan yang murah sebagai daya tariknya.51
Kebijakan dibidang pangan, berupa revolusi hijau juga tidak memberikan
banyak manfaat bagi kondisi perempuan.52
Pemerintahan Orde Baru memberikan dua pilihan terhadap organisasi
gerakan perempuan yaitu bertahan dengan mengubah arah gerakannya
atau tetap menggunakan arah gerakannya yang semula namun harus
menanggung konsekuensi akan dianggap sebagai bagian dari organisasi
terlarang Gerwani. Organisasi Perwari, Wanita Demokrat, yang ketika masa
pemerintahan Orde Lama banyak melakukan kritik terhadap kebijakan
pemerintahan Ir. Soekarno, pada saat pemerintahan Orde Baru mengubah
arah gerakannya dan berganti menjadi Organisasi Istri Pegawai yang
gerakannya berfokus pada kesejahteraan keluarga menengah keatas.53
Menurut Tyas, pemerintahan Orde Baru merupakan era pemerintahan
yang melakukan upaya domestikasi terhadap gerakan perempuan.54
Sementara Ariel Haryanto menyebut gerakan perempuan pada masa
pemerintahan Orde Baru telah dijinakkan dan dimanfaatkan.55 Istilah ini
tidak berlebihan jika mengingat gerakan perempuan yang semula kritis
menaggapi situasi sosial, politik dan kenegaraan, namun pada era Orde
Baru ditekan sedemikian rupa sehingga gerakan perempuan hanya memiliki
ruang lingkup domestik saja dengan Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi
sebagai pengawasnya.
Melihat lika-liku pergerakan organisasi perempuan pada masa
pemerintahan Orde Baru, agak tepat kiranya jika mengutip pendapat
Charles Fourier yang menyatakan bahwa suatu perubahan dapat diukur
51
Lihat Dini Anitasari S, Melly Setyawati & Sri Wiyanti, Kebijakan Pemberdayaan Perempuan di
Indonesia Paska Orde Baru (Studi Kasus di Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat) (Jawa
Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat: Woman’s Empowerment in Muslim Contexts gender,
poverty and demicratisation form the inside out, 2010) hlm. 8.
52
Tim LPTP Solo, “Agenda Perempuan dalam Gerakan Petani” (2012) 2:1 MUWAZAH, online:
<http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/ Muwazah/article/view/18> hlm. 206
53
Wulan, supra note 29
54
Ibid. Domestikasi adalah menempatkan peranan perempuan sebagai unsur pendukung suami yang
mengurus urusan rumah tangga dan tidak terlibat pada urusan politik dan pemerintahan.
[ 249 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dari sejauhmana kemajuan dicapai oleh perempuan.56 Setelah sekian lama
berkuasa, pada akhirnya era Orde Baru mencapai titik klimaksnya dengan
lengsernya rezim tersebut pada Mei 1998. Namun jika menilik peristiwa
yang terjadi, runtuhnya kekuasaan Orde Baru baru dimulai pada 23 Februari
1998, tepatnya ketika terjadi gerakan masif yang dipelopori oleh sekelompok
perempuan yang melakukan demonstrasi gerakan “politik susu” dengan
nama gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) yang menuntut penurunan harga
susu. Akibat demontrasi inilah dunia pada akhirnya mengetahui
kebobrokan politik dan ketidakadilan sosial yang terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa
runtuhnya Orde Baru memberikan angin segar bagi organisasi gerakan
perempuan untuk kembali bangkit setelah sekian lama dijinakkan dan
dimanfaatkan oleh kekuasaan Pemerintahan Orde Baru.57
Era R
eformasi: K
ebangkitan K
embali G
erakan P
er
empuan
Reformasi:
Kebangkitan
Kembali
Gerakan
Per
erempuan
Krisis ekonomi yang terjadi pada rentang 1996 – 1998 menjadi titik pijak
berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut muncul ditengarai
akibat kebijakan hutang luar negeri presiden Soeharto kepada World Bank.
Efek krisis ekonomi berdampak pada munculnya chaos disetiap lini
kehidupan masyarakat. Melambungnya harga kebutuhan pokok hingga
mencapa 400% ditanggapi dengan sangat cepat oleh gerakan perempuan
dengan melakukan aksi demonstrasi di jalan dan menuntut pengusutan
kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.58
Hasil dari tuntutan tersebut adalah didirikannya Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang memiliki
tujuan untuk menciptakan situasi kondusif untuk menghapus kekerasan
terhadap perempuan, memberikan saran dan masukan kepada pemerintah
dan memastikan tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap perempuan.
Oleh karenanya berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (KOMNAS Perempuan) yang bertujuan menciptakan situasi
55
Lihat Wulan, supra note 44.
Maria A. Sardjono, Tiga Orang Perempuan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 36
57
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara, Bogor: Penernit Komunitas Bambu, 2011, h. 56
58
Neng Dara Afifah, “Gerakan Perempuan di Era Reformasi Capaian dan Tantangan”, online: <http:/
/www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2014/04/GERAKAN-PEREMPUAN-DIERA-REFORMASI_Neng-Dara-Affiah-21-April-2014.pdf> hlm. 1
56
[ 250 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
kondusif untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, memberikan
masukan kepada para pengambil kebijakan dan memastikan tidak ada
kebijakan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan.59
Hasil dari reformasi selain berdirinya KOMNAS Perempuan, juga
ditandai dengan kebangkitan beberapa organisasi perempuan yang sempat
terpinggirkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Selain itu juga, reformasi
mendorong berkembangnya organisasi perempuan dengan munculnya
organisasi perempuan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah
Tangga),60 Yayasan Pulih,61 Migran Care,62 Lingkaran Pendidikan Alternatif
Untuk Perempuan (KAPAL).63 Organisasi perempuan berbasis keagamaan
pun tumbuh seperti Rahima,64 Fahmina,65 organisasi perempuan Kajian
Islam dan Sosial (LKIS).66
Kebangkitan kembali gerakan perempuan telah memiliki kekuatan
untuk mendorong pemerintah membuat kebijakan yang sensitif gender.
Seperti dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Pemberdayaan Perempuan, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Kebijakan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
59
Ibid hlm. 2
Organisasi ini berdiri tahun 2000, semula bernama “windows project” yang bertugas
mendokumentasikan kehidupan perempuan sebagai kepala rumah tangga (janda) di wilayah konflik
(Aceh). Lihat Afifah, supra note 42.
61
Organisasi ini berdiri tahun 2002 yang fokus paada pencegakan kekeraasan terhadap perempuan
baik didalam rumah tangga, konflik ataupun bencana dengan memberikan pelayanan psikologis,
dan trauma healing Ibid.
62
Fokus pada pendamplingan perempuan buruh migrant Ibid.
63
Berdiri tanggal 8 Maret 2000 yang memberikan pendidikan alternative berupa wacana pluralism
dan penguatan komunitas belajar di Indoesia.Ibid.
64
Berdiri tahun 2000 yang fokus pada pendidikan dan informasi tentang hak perempuan dalam
islam. Ibid.
65
Berdiri di Cirebon tahun 2000 yang bertujuan untuk memberikan penyadaran public pada tiga isu
utama yaitu Islam dan Demokrasi, Islam dan Gender, serta Islam dan Otonomi Komunitas. Ibid.
66
Terbentuk tahun 2006 yang bergerak dibidang kajian dan pelatihan hak-hak perempuan, penerbitan
buku, pendampingan perempuan korban kekerasan di komunitas pesantren dan majelis taklim.Lihat
Ibid.
60
[ 251 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dan hasil revisinya. Terbitnya berbagai kebijakan tersebut secara
regulatif telah melindungi perempuan dari berbagai tindakan yang
diskriminatif. Munculnya peraturan perundang-undangan yang memihak
perempuan menunjukkan bahwa pemerintah pasca reformasi cukup serius
melindungi perempuan sebagai bagian dari warga negara. Jaminan
perempuan untuk berkiprah di dunia politik pun telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012.
Era reformasi disebut oleh Tyas Retno sebagai masa redefinisi perempuan
yang sempat didefinisikan secara luas oleh masa pra kemerdekaan sampai
masa kemerdekaan khususnya Orde Lama.67 Definisi yang dibangun ketika
masa kemerdekaan sampai masa Orde Lama menempatkan setiap manusia
memiliki kewajiban dan hak untuk membangun bangsa dan negara berupa
merebut kemerdekaan dan mengisinya demi kemakmuran bersama. Oleh
karenanya, tidak aneh apabila terdapat organisasi perempuan yang
memperjuangkan nasib buruh, tani, anak, perempuan, politik,
pemerintahan dan lain sebagainya. Definisi ini mengalami penyempitan
pada masa Orde Baru dengan menghilangkan peran perempuan dalam
peran negara dan pemerintahan ke dalam peran rumah tangga. Kemudian
definisi awal tentang perempuan dihadirkan kembali pada masa reformasi
yang ditandai dengan munculnya organisasi perempuan.
Prinsip F
ilosifis P
ancasila dan SSistem
istem P
atriar
khi
Filosifis
Pancasila
Patriar
atriarkhi
Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan sejatinya tidak untuk
dipertentangkan dan diadu siapa yang lebih hebat dari siapa. Pancasila
telah mengatur hubungan antara sesama manusia dalam rumusan silanya.
Sila pertama menyebutkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
fondasi mendasar bagi setiap tindakan manusia, termasuk hubungan sesama
manusia, antara laki-laki dan perempuan. Sila Ketuhanan ini sekalipun
disebut terakhir dalam sidang I Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), namun menjadi dasar utama yang tidak
67
Wulan, supra note 29 hlm. 5.
[ 252 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
hanya menyatakan bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan, akan tetapi juga
menjadikan masyarakat berkeyakinan tanpa ada egoisme agama.68
Sila Kedua merupakan konsep peri kemanusiaan atau internasionalisme
yang berarti bangsa Indonesia menghargai hak asasi semua bangsa demi
penguatan nasionalisme itu sendiri.69 Pengakuan hak asasi setiap bangsa
diakui, termasuk juga hak asasi laki-laki maupun perempuan. Keduanya
diakui untuk pembangunan nasional bangsa yang lebih baik.
Sila Ketiga merupakan konsepsi dari persatuan Indonesia yang semula
menempati urutan pertama dengan kebangsaan Indonesia, yang kemudian
menjadi Sila Ketiga Pancasila. Kebangsaan atau bangsa tidak memiliki
pengertian yang sempit seperti bangsa Jawa, bangsa Madura, bangsa
Minang, bangsa Bugis. Akan tetapi bangsa diartikan sesuai geo politik
yang tinggal disemua pulau di Indonesia (nasionale staat).70
Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Prinsip ketiga adalah mufakat atau
demokrasi. Menurut Ir. Soekarno, syarat mutlak kuatnya suatu negara
adalah karena adanya permusyawaratan, perwakilan. 71 Musyawarah
merupakan jati diri bangsa yang oleh filsafat barat disebut dengan istilah
demokrasi. Tanpa menyebutkan demokrasi, Ir. Soekarno tetap
mengindahkan berbagaia kepentingan, aspirasi dan pendapat masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan.
Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, semula
menduduki prinsip ke empat yaitu kesejahteraan sosial. Menurut Ir.
Soekarno, prinsip ini berkaitan erat dengan sila sebelumnya yaitu demokrasi.
Bahwa tugas demokrasi adalah untuk mendatangkan kesejahteraan sosial,
bukan individu, kelompok, ataupun jenis kelamin tertentu.
68
Dwi Siswoyo, “Pandangan Bung Karno Tentang Pancasila dan Pendidikan” (2013) 32:1 Cakrawala
Pendidik hlm. 108.
69
Lihat Ibid hlm. 107.
70
Lihat Ibid hlm. 106.
71
Ibid hlm. 107.
[ 253 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pancasila, N
egara dan P
atriar
khi
Negara
Patriar
atriarkhi
Pasang surut sistem kekuasaan patriarkhi di Indonesia tampak fluktuatif.
Masa pra kemerdekaan sistem partiarkhi tidak mengurung perempuan
untuk aktif dalam kegiatan sosial, organisasi bahkan perjuangan di medan
peperangan. Kolonialisme sebagai musuh bersama menjadikan hegemoni
patriarkhi dikesampingkan untuk tujuan bersama yaitu kemerdekaan.
Peremuan bergerak di berbagai bidang meliputi perjuangan fisik, intelektual
dan organisasai. Laki-laki dan perempuan secara kolektif berjuang bersama
tanpa mempersoalkan identitas peran masing-masing.
Pada masa Orde Lama, sistem patriarkhi dalam kekuasaan negara masih
memberikan kebebasan gerak bagi gerakan organisasi perempuan untuk
mengaktualisasikan aktivitasnya. Bahkan gerakan perempuan dibiarkan
membentuk dirinya sendiri melalui definisi, ruang gerak dan kebijakan
yang mendukung maupun oposisi dengan pemerintahan. Pada Masa Orde
Baru, sistem negara yang dibangun berbeda dengan apa yang ada ketika
masa Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Presiden
Soeharto justru memperlihatkan sikap bahwa pemerintahan dapat
mengendalikan gerakan organisasi perempuan dalam bentuk penyeragaman
gerakan, melakukan kontrol aktif dan selalu mengendalikan organisasi
perempuan yang ada, bahkan cenderung menidurkan dan membunuh
perlahan gerakan organisasi perempuan yang tidak dapat dikendalikan,
dengan memberikan stigma berupa sempalan organisasi terlarang Gerwani.
Pada masa pemerintahan reformasi, patriarkhi dalam sistem negara
berubah menjadi sosok yang ingin memberdayakan dengan cara
memberikan kekuatan kepada perempuan. Pola ini hampir sama dengan
apa yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Lama. Perbedaanya hanya
terletak pada munculnya tokoh perempuan lebih merata dari setiap
golongan.
Gerakan organisasi perempuan di Indonesia dengan segala lika-likunya
sejatinya belum sepenuhya membawa hasil yang diinginkan. Berbagai
survey menunjukkan bahwa tugas gerakan perempuan masih sangat panjang.
Selama negara masih melihat pola patriarkal dengan timpang, maka
keadilaan sosial tidak akan terwujud, khususnya bagi gerakan perempuan.
[ 254 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
Politik H
ukum Anti D
iskriminasi terhadap P
er
empuan di
Hukum
Diskriminasi
Per
erempuan
Indonesia
Perilaku diskriminatif kepada perempuan diruang publik maupun dalam
rumah tangga selalu menjadi fenomena yang tidak kunjung usai. Peristiwa
tindakan kekerasan fisik, seksual ataupun psikis terhadap kaum perempuan
di Indonesia sering dijumpai dalam setiap berita informasi yang disuguhkan
media massa, bahkan tak jarang negara melakukan pembenaran terhadap
tindakan tersebut. Tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam ranah
politik masih dapat dilihat dari kedudukannya sebagai pihak pelengkap
sehingga hak mereka jauh dari situasi yang seharusnya diberikan. Jika
mengacu pada konstitusi yang menyatakan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama di muka hukum, cukup jelas tindakan diskriminatif
yang menimpa banyak perempuan dikategorikan sebagai tindakan
pelanggaran atas hak asasi manusia. Menurut Kollman, kesenjangan dan
diskriminasi yang dialami perempuan dikarenakan tiga faktor; Pertama,
terpeliharanya budaya patriarki yang mempengaruhi sistem sosial dan
budaya masyarakat sehingga berdampak pada tidak adanya akses yang
proporsional kepada perempuan dalam masyarakat. Kedua, peraturan dan
produk hukum yang dihasilkan lembaga negara masih belum berperspektif
gender. Ketiga, doktrin agama yang lebih sering menempatkan perempuan
sebagai pihak kedua dalam setiap lini kehidupan sosial kemasyarakatan.72
Persoalan diskriminasi terhadap perempuan yang selalu mewarnai setiap
sisi kehidupan mereka dapat teratasi selain melalui semangat pemerintah
untuk memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan, juga harus
diiringi dengan adanya kemandirian ekonomi melalui adanya akses
kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki, peningkatan pendidikan dan
kesadaran kesehatan yang harus dimiliki oleh setiap perempuan sehingga
tidak akan terjadi tindakan kekerasan, trafficking dan aktivitas lainnya yang
dapat merusak peranan dan fungsi perempuan. Dalam sebuah catatannya,
Mutia Hatta mencatat bahwa tantangan nyata bagi perempuan adalah
tingkat kematian ibu yang masih tinggi, pemerkosaan dan tindakan
kekerasan, perdagangan perempuan dan anak (trafficking), hak politik,
72
Nathalie Kollman, Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: YLKI dan Ford Foundation, 1998
[ 255 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ekonomi dan sosial yang masih belum maksimal dinikmati oleh kaum
perempuan.73
Salah satu instrument penting untuk memberikan perlindungan
terhadap kaum perempuan adalah adanya regulasi yang dapat
menguntungkan kaum perempuan. Dalam kajian normatif, sebenarnya
terdapat dua instrument yang dapat dijadikan payung hukum untuk
melindungi kaum perempuan dan menghapuskan budaya patriarkhal.
Pertama, instrument internasional yang berbicara tentang perlindungan
perempuan melalui Konvensi Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan.74
Kedua adanya instrument perundang-undangan yang mendukung kaum
perempuan untuk menghapus tradisi patriarkhi dan menyeimbangkan
peranan sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
Instrument perlindungan terhadap perempuan melalui kebijakan
internasional melalui konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan akan
efektif dan optimal jika kehendak politik pemerintah nasional
mendukungnya melalui proses politik hukum Indonesia dalam rangka
meratifikasinya menjadi hukum nasional Indonesia sesuai dengan Pasal 11
Undang-Undang Dasar 1945.75 Melalui proses politik hukum dengan cara
melakukan ratifikasi tersebut akan menempatkan posisi perempuan sederajat
dalam ranah publik dan bahkan domestik dalam sistem tata hukum
Indonesia. Dukungan khusus terhadap perempuan melalui paket kebijakan
pemerintah melalui kebijakan politik hukum secara sederhana memberikan
dampak positif berupa terbukanya ruang bagi perempuan untuk berperan
aktif dalam setiap kegiatan sosial, politik, ekonomi dan sektor lainnya secara
seimbang dengan laki-laki.
Namun dalam prakteknya, politik hukum Indonesia yang bersifat pada
pengarus utamaan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang masih
jauh dari harapan karena dua hal; Pertama, belum adanya kehendak politik
yang besar dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk membuat
kebijakan yang memihak secara utuh terhadap peran perempuan sehingga
setiap kebijakan yang dihasilkan masih sangat jauh dari harapan. Kedua,
73
Kompas, edisi 17 Juli 2007
Konvensi yang ada terkait perlindungan terhadap kekerasan kaum perempuan termaktub dalam
CEDAW (Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Woman)
75
Pasal 11 UUD 1945
74
[ 256 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
bangunan hukum yang dihasilkan terkait pemberian peran terhadap
perempuan masih sangat lemah dan rapuh karena implementasi terhadap
peraturan yang dihasilkan seringkali tidak terlaksana dengan baik terlebih
berbenturan dengan kepentingan budaya dan agama.76
Lemahnya bangunan hukum Indonesia terkait peranan perempuan
terlihat dari tiga aspek;77 Pertama, aspek lemahnya materi hukum yang
dihasilkan. Konstruksi pembangunan regulasi terkait peranan perempuan
yang dibangun di Indonesia tidak sepenuhnya utuh dan terkesan hanya
sebagai pelengkap saja sehingga pembelaan atas kepentingan dan kesetaraan
perempuan dalam ranah politik, ekonomi, sosial dan lainnya cenderung
terlihat tidak ada keseriusannya. Seperti regulasi penentuan kuota
perempuan dalam partisipasi politik sebanyak 30% dalam undang-undang
partai politik. Meskipun telah ditentukan kuota keterwakilan perempuan,
tidak sedikit partai politik yang enggan menetapkan perempuan sebagai
pemain utama dalam setiap kontestasi politik layaknya lak-laki. Hal tersebut
pada akhirnya berdampak pada tidak maksimalnya keterwakilan perempuan
dalam lembaga pemerintahan. Selain itu, dalam undang-undang partai
politik masih banyak ditemukan penggunaan istilah-istilah yang
menempatkan posisi perempuan tidak sejajar dalam partisipasi
keterwakilannya dengan laki-laki, semisal penggunaan istilah
“memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari
jumlah kursi keterwakilan yang ada”.78
Kedua, tidak adanya kejelasan terkait lembaga yang akan menegakkan
hukum yang mengatur terkait pelanggaran terhadap tidak dilaksanakannya
hak perempuan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perlindungan dan kesetaraan perempuan tidak memberikan kewenangan
yang jelas dan nyata kepada lembaga tertentu untuk melakukan
penindakan.
76
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas, 2005, h. 43
Donny Danardono, Teori Hukum Feminis: Menolak Netralitas Hukum, Merayakan Difference
dan AntiEssensialisme” dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Perempuan dan Hukum: menuju Hukum
yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008. 134
78
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, Statistik Anggota DPR 2009-2014 Hasil
Pemilu Legislatif Perbandingan Perempuan Dan Laki-Laki. Diambil dari http://mediacenter.kpu.go.id
77
[ 257 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Ketiga, peraturan perundang-undangan yang dibuat terkait
keterwakilan perempuan dalam partisipasi politik tidak memberikan sanksi
yang jelas jika terjadi pelaggaran. Peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penentuan kuota 30% atas partisipasi politik perempuan
tidak memberikan kejelasan sanksi apa kepada partai politik dan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) jika aturan tersebut tidak terpenuhi sesuai aturan
dalam undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa partai politik
sebagai representasi kendaraan politik menuju parlemen dan lembaga
pemerintahan lainnya gagal melaksanakan amanat yang telah diberikan
oleh peraturan perundang-undangan yang mengharuskan ada pemenuhan
kuota bagi perempuan.
Jika mengamati tiga aspek kelemahan struktur hukum diatas terlihat
jelas bahwa konstruksi struktur hukum di Indonesia terkait dengan peranan
perempuan dalam politik, ekonomi, sosial dan lainnya cenderung hanya
menjadi bahan pelengkap saja dan menunjukkan bahwa budaya
patriarkalisme dalam proses politik hukum dan sistem perundangundangan di Indonesia masih cukup kuat sehingga jaminan terhadap
partisipasi dan peranan perempuan dalam ranah publik tidak sepenuhnya
dapat berjalan dengan baik.
Daftar P
ustaka
Pustaka
Afifah, Neng Dara. “Gerakan Perempuan di Era Reformasi Capaian dan
Tantangan”, online: <http://www.komnasperempuan.go.id/wpcontent/uploads/2014/04/ GERAKAN-PEREMPUAN-DIERA-REFORMASI_Neng-Dara-Affiah-21-April-2014.pdf>.
Dewi, Vitriya Kusuma & Gayung Kasuma. “Perempuan Masa Orde Baru
(Studi Kebijakan PKK dan KB Tahun 1968-1983)” (2014) 4:2
Verleden J Kesehat 157.
Hasba, Irham Bashori & Dina Tsalist Wildana. “Perempuan dan Tembakau
di Mayang Kabupaten Jember: Perspektif Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” (2017) 6:2
JURISDICTIE 118.
Retnowulandari, Wahyuni. “Budaya Hukum Patriarkhi versus Feminisme
dalam Penegakan Hukum di Persidangan Kasus Kekerasan
terhadap Perempuan” (2010) 8:3 J Huk 16.
[ 258 ]
Irham Bashori Hasba & Dina Tsalist Wildana
Rokhimah, Siti. “Patriarkhisme dan Ketidakadilan Gender” (2015) 6:1
MUWAZAH, online: <http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/
index.php/Muwazah/article /view/440>.
Siswoyo, Dwi. “Pandangan Bung Karno Tentang Pancasila dan Pendidikan”
(2013) 32:1 Cakrawala Pendidik.
Wildana, Dina Tsalist. “Sakralisasi Abhekalan dan Desakralisasi Nikah dalam
Perspektif Gender bagi Masyarakat Muslim Madura di Jember”
(2017), online: <http://repository.unej.ac.id/handle/
123456789/80075>.
Wulan, Tyas Retno. “Pemetaan gerakan Perempuan di Indonesia dan
Implikasinya terhadap Penguatan Publik Spere di Pedesaan”
(2008) 3:1 Yin Yang 120.
Amalia, Lucky Sandra. Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa ke
Masa - Politik Lipi (LIPI, Pusat Penelitian Politik (The Center
for Political Studies), 2010).
Anitasari S, Dini, Melly Setyawati & Sri Wiyanti. Kebijakan Pemberdayaan
Perempuan di Indonesia Paska Orde Baru (Studi Kasus di Jawa
Barat, DI Yogyakarta dan Sumatera Barat) (Jawa Barat, DI
Yogyakarta dan Sumatera Barat: Woman’s Empowerment in
Muslim Contexts gender, poverty and demicratisation form the
inside out, 2010).
Rahayu, Widya Rossani. Perdebatan tentang Dasar Negara pada Sidang
Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI)
29-17 Juli 1945 Universitas Indonesia, 2008) [unpublished].
Setiawan, Ikhwan. Membaca_Lagi_Struktur_Patriarki_dalam_Ma (1).pdf.
“Asal-usul Budaya Patriarki”, (14 July 2015), online: PKBI Drh Istimewa
Yogyak <http://pkbi-diy.info/?p=3940>.
“Apa Itu Pandora?”, (9 December 2015), online: Natl Geogr Indones <//
nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/apa-itu-pandora>.
“Fokus Edisi 19: Membebaskan Perempuan Merayakan Kemerdekaan”,
online: RAHIMA Pus Pendidik Dan Inf Islam Dan Hak-Hak
Peremp <http://www.rahima.or.id/index.php/category-table/
157-fokus-edisi-19-membebaskan-perempuan-merayakankemerdekaan>.
“Sejarah Singkat Hari Ibu”, online: <http://bkddki.jakarta.go.id/unduh/
2013/ 20131217_HARI_IBU_2013/20131217_HARI_IBU_
2013_SEJARAH_SINGKAT.pdf>.
[ 259 ]
MENGUJI NEGARA PARIPURNA: PANC
A SIL
A
PANCA
SILA
DAN TANT
ANGAN DUNIA MA
YA
TANTANGAN
MAY
Anwar Masduki
Pendahuluan
P
ada tahun 2011, Yudi Latif menerbitkan buku yang berjudul “Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.”1 Buku
setebal lebih dari 600 halaman ini memaparkan secara komprehensif
tentang sejarah, teori yang melatari dan komparasinya, dan tentu saja
strategi bagaimana nilai-nilai pancasila bisa diterapkan (dibumikan) di
Indonesia. Dengan bahasa perlunya “visi baru,” Latif2 memberi fakta bahwa
kondisi kontemporer Indonesia masihlah sangat memprihatinkan, penuh
dengan masalah kebangsaan yang menjadi kanker ganas kebangsaan
Indonesia yang seharusnya semakin lama semakin berjalan menuju kearah
yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Sementara itu, Pancasila sekarang ini sedang menjadi sorotan yang
lumayan panas. Salah satunya karena adanya pelaporan kasus penghinaan
Pancasila oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) yang menyatakan dalam salah
satu ceramahnya bahwa dalam Pancasila ala Sukarno, Ketuhanan ada di
pantat, dan Ketuhanan ala Piagam Jakarta ada di kepala.3 Pernyataan HRS
yang terekam dalam video dan diunggah di Youtube membuat berang
1
2
3
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, 2011, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Ibid, hlm. 49.
Bunyi lengkap dari ucapan HRS, sebagaimana dikutip Majalah Tempo, adalah sebagai berikut:
“Pada Pancasila Sukarno, Ketuhanan ada di pantat. Sedangkan pada Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan
ada di kepala.” Tempo, Musim Laporan Imam Petamburan, Edisi 23-29 Januari 2017, hlm. 70.
[ 261 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sukmawati, salah seorang putri Sukarno, yang kemudian melaporkan HRS
ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat tentang dugaan penghinaan
terhadap Bapak Proklamator dan Pancasila. Sampai artikel ini ditulis, HRS
sudah ditetapkan sebagai tersangka dan berkasnya akan dilimpahkan ke
Kejaksaan dan tinggal menunggu waktu untuk disidangkan di Pengadilan
Negeri Bandung.4
Kasus HRS ini memberi sinyal bahwa Pancasila, separah apapun dengan
krisis aplikasi nilai-nilai Pancasila, masih menjadi bahasan umum yang
selalu penting dan menegaskan eksistensi Pancasila yang masih dianggap
sebagai salah satu simbol dan ajaran penting negara. Meskipun pemrosesan
kasus HRS terlihat berbau politis, terkait dengan usaha polisi untuk
menjinakkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(GNPF MUI), dimana HRS adalah salah satu pemimpin dan motor
penggerak utama, adalah sudah tugas kepolisian untuk menganggap serius
semua pelecehan terhadap Pancasila agar tidak diremehkan.5
Selain itu, kasus HRS juga memberi pemahaman adanya dimensi yang
potensial menjadi medan masalah dan konsen Pancasila, yakni persebaran
konten dalam dunia maya. Harus diakui, bahwa ketika para pendiri bangsa
merumuskan Pancasila, internet dan segala pernik kehidupannya belum
ada. Hal ini seperti menjadi akumulasi nilai baru yang semestinya menjadi
konsen para pemerhati Pancasila, dimana dunia kontemporer sekarang ini
tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi di dunia maya.
Berdasarkan perenungan-perenungan diatas, tulisan ini akan berfokus
pada konsep pembumian Pancasila menurut Yudi Latif dan
menggunakannya sebagai alat analisis secara filosofis dan idealistik untuk
mengkaji fenomena dunia maya yang terjadi di Indonesia. Mengingat
kejadian dunia maya yang begitu luas, cepat serta banyak sekali kejadiannya,
4
5
Majalah Tempo edisi 23-29 Januari 2017 mengulas masalah HRS ini dengan mendetail,
menjadikannya sebagai Laporan Utama dengan judul “Meringkus Rizieq”, hlm. 68-80.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa Pancasila adala spirit dari UUD 1945, yang seharusnya
tercermin dalam semua aturan dan kebijakan nasional Negara Indonesia. Lihat Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH., Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila dan Kaedah-Kaedah Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945, makalah yang disampaikan dalam Kongres Pancasila III,
diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Universitas Airlangga, di
Surabaya, 1 Juni, 2011. Link: http://www.jimly.com/makalah/namafile/85/
MEMBUDAYAKAN_PANCASILA. pdf, diakses pada tanggal 16 Februari 2017.
[ 262 ]
Anwar Masduki
tulisan ini akan fokus pada isu-isu sosial yang sedang atau telah terjadi
disana, dengan mengambil pendapat dari Yasraf Amir Piliang dalam
artikelnya yang berjudul: Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi
Informasi dan Perubahan Sosial.6 Penulis hanya akan mengambil satu atau
beberapa isu yang sempat menjadi buah bibir nasional, mengingat
keterbatasan ruang dalam penulisan makalah ini.
Tulisan ini akan dimulai dengan rangkuman ide-ide Yudi Latif untuk
membumikan Pancasila dari masing-masing sila, kemudian
menginventarisir secara general apa atau masalah-masalah kebudayaan dunia
maya mana yang sudah atau sedang terjadi. Selanjutnya, isu-isu
kontemporer tersebut akan dianalisis untuk melihat sejauh mana ide
Pancasila sebagai Negara Paripurna bisa efektif dalam menjamin hak warga
Negara dan memberikan landasan moral dan konstitusional bagi perilaku
bangsa Indonesia di dunia maya.
Membumikan P
ancasila: P
rinsip-P
rinsip N
egara P
aripurna
Pancasila:
Prinsip-P
rinsip-Prinsip
Negara
Paripurna
Yudi Latif dengan tegas menyatakan, bahwa dia menerbitkan buku itu
dengan kesadaran penuh tentang perlunya visi baru7 yang perlu digali
dari sejarah, nilai dan praktik Pancasila yang sudah dilakukan di negeri
ini. Visi baru itu diperuntukkan sebagai arah baru dan atau solusi dari
kebobrokan moral dan politik yang sekarang melanda bangsa Indonesia.
Latif dengan cergas menyatakan bahwa semua elemen kebangsaan harus
menengok ulang dan mengkaji Pancasila, bukan sebagai ideologi yang
bersifat sakral ataupun menjadi agama baru.8 Sehingga, posisi Pancasila
adalah jangkar nilai yang menjadi rujukan moral dari segala perilaku di
negeri ini, dari politik sampai aturan konstitutifnya.
Ketuhanan: P
rinsip D
ifer
ensiasi dan E
tika SSosial
osial9
Prinsip
Difer
iferensiasi
Etika
Secara historis, perdebatan dan bahkan konflik fisik sudah sering terjadi
untuk menentukan susunan dan tafsir yang paling tepat terkait sila pertama
6
7
8
9
Yasraf Amir Piliang, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial,
Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012 hlm. 143-156.
Latif, Op.cit. hlm. 49.
Ibid, hlm. 110.
Ibid, hlm. 110-117.
[ 263 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ini. Perdebatan yang panas antar sesama anak negeri ini memang bermula
dari penghapusan 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi:
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.10”
Penghapusan ini merupakan hasil lobi dan kerelaan terakhir dari wakil
Muhammadiyah11 agar mengganti sila pertama dengan kalimat “Ketuhanan
yang Maha Esa.”
Meskipun begitu, sebagai sebuah jalan tengah, Ketuhanan yang Maha
Esa adalah solusi terbaik agar Indonesia yang multikultural ini bisa terus
bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)12.
Solusi ini, menurut Yudi Latif, termaktub dalam pemaknaan Ketuhanan
dalam bingkai NKRI yang bisa merangkul semua elemen; yakni prinsip
diferensiasi dan penempatan Ketuhanan sebagai Etika Sosial.13
Secara singkat, prinsip diferensiasi menjadikan seluruh agama di
Indonesia dalam posisi yang setara, terlepas apakah agama tersebut dianut
oleh mayoritas atau minoritas. Tidak ada pengistimewaan tertentu sehingga
asas keadilan menjadi lebih mudah untuk diterapkan bagi semua agama
dan penganutnya. Latif menegaskan bahwa prinsip diferensiasi berbeda
jauh dengan prinsip separasi yang sekuler, atau prinsip fusi yang
menyatukan agama dengan Negara.14 Hal ini mengindikasikan bahwa
Negara menghargai dan menjaga keberlangsungan hidup agama dan
penganutnya, namun tidak ikut campur atau dicampuri dengan dan oleh
ajaran agama tersebut.
Untuk memperjelas peran penting agama, Ketuhanan sebagai sebuah
etika sosial merupakan proses pembumian Pancasila yang begitu penting.
Prinsip etika sosial menekankan bahwa seluruh ajaran agama tentang
10
Ibid, hlm. 83
Mengutip ceritera dari Bung Hatta, Latif menyatakan bahwa wakil Islam terakhir yang menyatakan
persetujuan dihapuskannya 7 kata adalah Ki Bagus Hadikusumo, wakil Islam dari Muhammadiyan.
Ibid, hlm. 83-84. Lihat sumber aslinya dalam Moh. Hatta, Memoir, 2002, Jakarta: Yayasan Hatta.
12
Menganalisis perdebatan tentang amandemen Undang-Undang Dasar yang berlangsung sejak tahun
1999-2002, termasuk posisi Islam (syariah) dan negara, Hosen menegaskan bahwa kegagalan
untuk mengembalikan Piagam Jakarta karena disebabkan oleh pilihan bangsa Indonesia untuk
mengedepankan substansi Islam daripada formalitasnya sendiri. Lihat Nadirsyah Hosen, Religion
and the Indonesian Constitution: a Recent Debate, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 36, no.
3, 2005, hlm. 419–440.
13
Latif, supra note 1. hlm. 110-117
14
Ibid..
11
[ 264 ]
Anwar Masduki
kebaikan merupakan mata air nilai yang tidak akan pernah kering dan
seyogianya menjadi acuan dan kesepakatan dari seluruh agama dan
penganutnya. Selain itu, etika sosial juga menjamin adanya interaksi antar
sesama warga Indonesia yang setara dan saling menghormati satu dengan
yang lain.
Kemanusiaan: SSebuah
ebuah P
rinsip U
niv
ersal15
Prinsip
Univ
niversal
Yang menjadi konsen dari sila kemanusiaan adalah adanya persamaan posisi
manusia yang setara. Sebagai manusia Indonesia yang mengakui nilai
ketuhanan, semua manusia adalah sesama hamba yang mendedikasikan
hidupnya hanya untuk mengabdi kepada sang pencipta. Tidak ada hak
bagi sesiapapun untuk berlaku zalim kepada yang lain, karena perbuatan
itu akan menghina eksistensi sang Pencipta sebagai satu-satunya entitas
yang berhak untuk memperlakukan hamba-Nya sesuka hati.
Akan tetapi, persamaan itu hanya akan tercipta ketika masing-masing
manusia itu mempunyai adab yang luhur, sehingga keadaban menjadi
pintu masuk utama untuk menilai apakah manusia telah berlaku zalim
atau tidak kepada yang lain. Dari sini bisa terlihat, jika bangsa Indonesia
adalah bangsa yang tidak setuju dengan aneka bentuk penjajahan, karena
penjajahan itu sendiri adalah perbuatan zalim yang tidak beradab, karena
ia merampas, menguasai dan menindas orang lain, membuat posisi orang
lain tersebut tidak setara dan tertindas.
Persatuan: SSebuah
ebuah P
engakuan K
eberagaman16
Pengakuan
Keberagaman
Hal yang unik dari Indonesia adalah fakta bahwa bangsa ini terdiri dari
beragam suku, posisi topografi yang berlainan, serta berupa kepulauan
yang dikelilingi oleh samudera. Oleh karena itu, perbedaan adalah hal
yang wajar dan menjadi kenyataan yang diterima bersama. Keuntungan
dari realitas ini adalah tidak adanya wajah dominan dari bangsa ini, karena
masing-masing mempunyai ciri khas. Yang kemudian dilakukan adalah
penyematan prinsip untuk ber-bhinneka tunggal ika, dimana satu sama
15
16
Ibid, hlm. 237-244.
Ibid, hlm. 369-377.
[ 265 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
lain saling mengakui perbedaan masing-masing, namun bersepakat untuk
bersatu padu bersama dalam naungan NKRI.
Prinsip perbedaan sebagai basis persatuan menjadi pengakuan sekaligus
basis interaksi sosial yang efektif, dikarenakan masing-masing elemen
mengakui adanya sang liyan dan hormat-menghormati dengan keunikan
masing-masing. Alih-alih menjadi faktor peretak, perbedaan adalah modal
perekat dasar bagi interaksi sosial yang intens, luas dan memberi nilai
lebih dibandingkan hanya berinteraksi dengan kelompok yang
monokultural. Interaksi sosial ini diperlukan karena disitulah masyarakat
yang beragam akan mampu bekerjasama dengan baik.
Pada titik ini, efektifitas kerja sama antar elemen sosial ini yang akan
menjamin terciptanya demokrasi yang efektif, dimana kekuasaan benarbenar muncul dari kebutuhan dan keinginan dasar masing-masing orang
yang berbeda-beda tersebut. Selain itu, efektifitas demokrasi ini akan menjadi
penjamin yang kontinyu terkait adanya keberagaman, sehingga persatuan
yang berbasiskan perbedaan akan selalu solid dan terbuhul dengan kuat.17
Permusyawaratan: SSebuah
ebuah P
rinsip K
edaulatan Rakyat18
Prinsip
Kedaulatan
Pengalaman dijajah bertahun-tahun menjadikan para pendiri bangsa sadar
bahwa penindasan adalah bentuk kejahatan yang bisa dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain, atau satu bangsa kepada bangsa yang lain.
Untuk mencegah itu, kekuasaan haruslah mencerminkan keseluruhan suara
rakyat sehingga tidak memberikan ruang sesempit apapun kepada sebuah
kelompok untuk menindas kelompok yang lain. Dalam kerangka ini,
permusyawaratan menajdi prinsip yang seyogianya bisa menyatukan
seluruh aspirasi dan elemen kerakyatan yang eksis di negeri ini. Oleh karena
itu, Negara hadir untuk memberikan jaminan adanya kesetaraan posisi
dan distribusi peran yang bisa diakses dan dilakukan oleh seluruh rakyatnya,
tanpa terkecuali.19
17
Lihat Gina Lestari, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan
SARA, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015, hlm.
31-37.
18
Latief, supra note 1, hlm. 475-486.
19
Negara hadir melalui dengan system demokrasi keterwakilan (representative democracy) atau demokrasi
tidak langsung (indirect democracy), dimana rakyat memilih para wakilnya untuk duduk di kursi
[ 266 ]
Anwar Masduki
Akan tetapi, permusyaratan yang bersendikan kedaulatan rakyat juga
perlu mempertimbangkan faktor hikmat/kebijaksanaan, dimana tidak
semua produk hukum demokrasi dan atau kenegaraan akan pas dan sesuai
dengan tuntutan rakyat dan zaman. Hikmat/kebijaksanaan disini kemudian
berusaha menyatukan semangat antroposentrisme dan teosentrisme yang
menjadi tulang punggung dari identitas dan moralitas bangsa Indonesia.
Dengan begitu, demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat adalaha
kekuasaan yang selalu mematuhi dan atau menyelaraskan dengan semangat
moral yang menjadi landasan dan tujuan ideal setiap manusia yang
beragama. Nilai-nilai transendental, oleh karena itu, tidak bisa ditinggalkan
dari langgam demokrasi kerakyatan, justru menjadi pelengkap yang selalu
menyinari jalan kekuasaan itu sendiri.
Keadilan SSosial:
osial: SSebuah
ebuah IIdealitas
dealitas N
egara P
aripurna20
Negara
Paripurna
Tujuan akhir dari nilai-nilai Pancasila adalah terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Latif menyatakan bahwa prinsip Negara
kesejahteraan dengan bertumpu pada koperasi adalah bentuk ideal dari
prinsip keadilan itu sendiri. Negara kesejahteraan merupakan Negara yang
menghimpun segenap kekayaan Negara, mengelolanya dan mendistribusikannya demi kemakmuran rakyat.21
Selain itu, prinsip keadilan sosial merupakan nilai paripurna yang
menjadi muara dari semua sila dalam Pancasila. Dalam hal ini, ketuhanan
yang dianut oleh bangsa Indonesia merupakan etika sosial yang menjadi
jiwa dari segala proses-proses yang dilakukan untuk mencapai keadilan
bersama. Kemanusiaan merupakan landasan pokok yang menganggap bahwa
semua manusia adalah setara sehingga keadilan bukan menjadi utopia,
mengingat semua manusia setara, diakui eksistensinya dan berhak untuk
pemerintahan untuk menjalankan mandate mereka. Lihat Nur Rohim Yunus, Aktualisasi Demokrasi
Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sosio Didaktika: Social Science Education
Journal, 2(2), 2015, hlm. 162.
20
Latief, supra note 1, hlm. 582-606.
21
Mengutip Sujatmiko, Siregar menyatakan bahwa pengurangan kesenjangan adalah tugas mendasar
dari nilai keadilan sosial-nya Pancasila. Dalam hal ini, makna lain dari kesejahteraan sosial adalah
semakin hilangnya kesenjangan apapun dari kehidupan bangsa Indonesia. Lihat Christian Siregar,
Pancasila, Keadilan Sosial dan Persatuan Indonesia, Jurnal HUMANIORA Vol.5 No.1 April 2014,
hlm. 107-112.
[ 267 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dihormati dan menjungjung tinggi kebersamaa. Persatuan merupakan
simpul kebangsaan yang mengikat seluruh elemen bangsa sehingga bersedia
untuk mengaku dan mencintai diri sebagai satu bangsa Indonesia dan
mau bekerjasama demi tercapainya keadilan sosial. Tanpa persatuan
tersebut, akan mustahil bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan
paripurnanya. Yang terakhir, kedaulatan rakyat berprinsip musyawarah
mufakatlah yang menjadi cara untuk mengambil keputusan secara adil
bagi semua golongan sehingga tidak akan ditemukan penindasan minoritas
maupun tirani mayoritas. Mekanisme kedaulatan yang bermoral ketuhanan,
berdasar pada kemanusiaan dan bersimpul persatuan-lah yang diperlukan
bersama agar tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dunia M
aya: Tren K
ontempor
er B
angsa IIndonesia
ndonesia
Maya:
Kontempor
ontemporer
Bangsa
Dewasa ini, perkembangan yang paling siginifikan dan sangat
mempengaruhi level kebangsaan adalah proses yang terjadi dalam dunia
maya. Sebagai sebuah tren global, perkembangan dan kejadian di dunia
maya adalah situasi dan kondisi yang tidak hanya menyatukan warga dunia
dalam satu aliran atau metode berinteraksi, akan tetapi juga menyertakan
fakta dan realitas yang terjadi di dunia nyata. Bisa dikatakan bahwa
fenomena yang terjadi di dunia maya tidak akan bisa terlepas dari apa
yang terjadi di dunia nyata.
Namun, proses mempengaruhi itu ternyata tidak searah, dimana dunia
nyata juga nyatanya terkadang dipengaruhi oleh dunia maya. Contoh
adanya petisi online yang sanggup memaksa para pengambil kebijakan di
sebuah Negara adalah contoh konkritnya. Dari situ, hubungan antara dunia
maya dan dunia nyata adalah hubungan yang dialektis, dimana masingmasing sebagai tesis dan antitesis yang saling mempengaruhi dan
menciptakan perkembangan baru (sintesis) yang berkesinambungan.
Yasraf Amir Piliang menyatakan bahwa dunia maya setidaknya memberi
pengaruh dan kemudian terpengaruh oleh 3 hal, yakni individu, antar
individu dan komunitas.22 Ketiga level ini saling pengaruh mempengaruhi,
berjalin kelindan erat dengan realitas baik dunia maya dan nyata yang
22
Yasraf Amir Piliang, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial,
Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012 hlm. 143-156.
[ 268 ]
Anwar Masduki
terus menerus memproduksi aneka macam realitas yang pada akhirnya
harus disikapi secara bijak oleh setiap orang, setiap kelompok dan setiap
Negara bangsa. Berikut adalah penjelasan singkatnya:
Tren IIndividu:
ndividu: SSebuah
ebuah P
dentitas23
Prroblem IIdentitas
Piliang dengan jelas menyatakan bahwa perubahan pertama yang terjadi
dari adanya dunia maya adalah perubahan identitas. Jika dalam dunia
nyata, identitas dibangun berdasarkan penginderaan yang fisikal, dalam
dunia maya, identitas menjadi kabur dan tidak mempunyai patokan yang
jelas. Hal ini mengakibatkan adanya identitas semu, dimana setiap anggota
dunia maya (user) bisa mempunyai beragam identitas yang ganda.
Kepalsuan ini menjadi titik tekan dari Piliang, mengingat tiadanya alat
ukur yang pasti untuk memverifikasi kebenaran identitas tersebut.
Identitas yang ganda dalam dunia maya kemudian menciptakan sebuah
kekacauan identitas, dimana setiap individu tidak mempunyai batasan
apapun untuk berpindah dari satu identitas ke identitas yang lain, entah
itu identitas yang palsu maupun benar-benar berasal dari dunia nyata.
Kekacauan ini yang disebut oleh Piliang, dengan mengutip pendapat
Rheingold, sebagai sebuah identitas yang terbelah (divided self ) atau
skizofrenia, jika mengikuti istilahnya Lacan.24
Tren Antarindividu: SSebuah
ebuah R
elasi Vir
tual25
Relasi
irtual
Pada tingkatan interaksi antar individu, antara satu user dengan user yang
lain, muncul adanya ‘deteriolisasi’, dimana orang yang berinteraksi satu
sama lain di dunia nyata membutuhkan adanya dimensi ruang yang
mempertemukan mereka. Dalam dunia nyata, dimensi ruang ini menjadi
tiada, tergantikan oleh mediasi teknologi yang mendasarkan diri pada
eksistensi bit computer (computer bytes). Ketiadaan mediasi ruang ini
kemudian menjadikan ‘halusinasi teritorial’, dimana user bisa merasa begitu
dekat dengan orang yang secara geogerafis jauh dari tempatnya berselancar
di dunia maya.
23
Ibid, hlm. 147 dan 152.
Ibid, hlm. 152.
25
Ibid, hlm. 147-148, 152.
24
[ 269 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Tren antar individu memberi peluang adanya tingkat interaksi yang
mampu melipat jarak dan menyingkat waktu. Seseorang di Indonesia,
contohnya, bisa saja berbicara bebas dengan seseorang di Skotlandia, meski
keduanya terpisah jarak yang jauh dan waktu yang berbeda. Tidak hanya
dua orang individu, dunia maya juga bisa menghubungkan banyak orang
pada waktu yang sama meski berada di tempat yang berbeda-beda.
Tren SSosial:
osial: SSebuah
ebuah K
omunitas IImajiner
majiner26
Komunitas
Perubahan yang kemudian adalah adanya ruang publik imajiner yang
demokratis dan terbuka. Akan tetapi, pemaknaan demokratis dan terbuka
ini jelas berbeda dengan realitas dunia nyata, dimana berbagai nilai, norma
dan aturan hukum menjadi pembatas dan atau aturan main yang disepakati
bersama. Aturan itu dilakukan agar tercipta sebuah ruang publik yang
sehat dan mampu dipertanggung-jawabkan serta mempunyai ekses positif
bagi kehidupan dunia bersama.
Dalam konteks dunia maya, Piliang menyatakan bahwa demokrasi
dalam dunia maya adalah demokrasi yang radikal atau sebuah keadaan
yang disebut hyper-democracy.27 Keadaan ini meniadakan tata aturan
bersama dalam dunia dunia konvensional, sehingga dalam dunia maya,
setiap individu begitu bebas mengekspresikan dirinya sendiri tanpa ada
pembatas sedikitpun.
Kondisi yang bebas tanpa hambatan ini menciptakan sebuah ruang
yang begitu terbuka namun sangat ekstrim. Piliang menyebutnya sebagai
sebuah hyper space, di mana setiap orang bebas untuk berpartisipasi,
berpendapat dan terbuka pada titik yang sangat ekstrem, di mana:
Opini publik dibentuk seakan-akan tanpa norma, realitas dapat
dikonstruksi atau dimanipulasi, kejahatan dapat dilakukan secara
tersembunyi, sehingga meskipun tampaknya tidak ada pemaksaan
(coersion) dan kekerasan (violence) di dalamnya, sesungguhnya terdapat
berbagai bentuk kekerasan (pencurian, perusakan, pemalsuan,
pembajakan situs) dan pemaksaan dalam bentuknya yang virtual.28
26
Ibid, hlm. 148-149, 153-154.
Ibid, hlm. 153.
28
Yasraf Amir Piliang, hlm. 153-154.
27
[ 270 ]
Anwar Masduki
Ujian D
unia M
aya: UU ITE dan P
rinsip N
egara P
aripurna
Dunia
Maya:
Prinsip
Negara
Paripurna
Dengan memahami konsep Negara Paripurna ala Pancasila, kita mafhum
bahwa lima sila yang ada merupakan sebuah satu kesatuan yang bermuara
pada satu tujuan, yakni keadilan sosial. Secara singkat, keadilan sosial yang
ingin diraih oleh bangsa Indonesia adalah sebuah kondisi adil bagi
masyarakat Indonesia yang dijiwai oleh etika ketuhanan, pengakuan
terhadap universalitas kemanusiaan, serta nasionalisme yang berbasis pada
demokrasi kerakyatan.
Mengingat kelima nilai itu bermuara pada satu tujuan yang sama,
maka akan lebih menarik dan tidak bertele-tele jika kita ingin mengujinya
dalam sebuah realitas, dengan cara melihat seberapa jauh muara bersama
itu diterapkan dalam sebuah persoalan. Artinya, jika kita ingin menguji
Negara paripurna dengan apa yang terjadi di dunia maya, maka kita perlu
melihat bagaimana Negara merespon apa yang terjadi di dunia maya itu,
apakah respon itu sesuai dengan prinsip paripurna dari Pancasila, yakni
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mengujinya, kita bisa melihatnya dengan mengkaji bagaimana
prinsip-prinsip Keadilan Sosial dan 4 sila pendukungnya beroperasi dalam
penyikapan sebuah konten atau perilaku yang terjadi di dunia maya.
Penyikapan itu, mengikuti Piliang, minimal bisa terjadi dalam tiga wilayah,
yakni individual, interaksi antar individu dan komunitas.
Pada sisi lain, respon yang dilakukan oleh Negara Indonesia untuk
menyikapi perkembangan di dunia maya bisa terlihat dari adanya UndangUndang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) atau yang biasa disebut dengan UU ITE yang kemudian direvisi
pada tanggal 27 Oktober 2017. Revisi ini melingkupi 7 hal,29 yakni: 1)
penghindaran multitafsir terkait pencemaran nama baik, 2) penurunan
ancaman penjara dan denda, 3) pelaksanaan putusan MK terkait intersepsi
undang-undang, 4) penyesuaian dengan Kitab Undang-Undang Hukum
29
Siaran Pers Kementrian Komunikasi dan Informatika, No. 87/HM/KOMINFO/12/2016 tentang
UU Revisi ITE Ditandatangani Presiden dan Berlaku mulai 25 November 2016. Link: https://
www.kominfo.go.id/ content/detail/8463/siaran-pers-no-87hmkominfo122016-tentang-uu-revisiite-ditandatangani-presiden-dan-berlaku-mulai-25-november-2016/0/siaran_pers, diakses pada
tanggal 16 Februari 2017.
[ 271 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Acara Pidana (KUHAP), 5) Penguatan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS), 6) penambahan ketentuan hak dihapus (right to be forgotten),
yakni kewajiban menghapus muatan yang tidak relevan, dan 7) penguatan
peran pemerintah dalam mencegah penyebaran muatan negatif.
Revisi ini dilakukan diantaranya karena sejak diundangkan tahun 2008
sampai November 2016, laporan terbanyak terkait pidana yang
mendalilkan diri berdasarkan UU ITE adalah pencemaran nama baik
(berjumlah 90 % dari total 215 kasus).30 Selain itu, alasan utama dan
normative yang diajukan oleh Negara adalah untuk melindungi hak dan
nama baik masyarakat tanpa harus membatasi pola, cara dan ruang
komunikasinya.31 Hal ini mengingat adanya potensi kriminalisasi yang
keterlaluan (over-criminalization) terhadap setiap user dunia maya yang
justru dengan mendasarkan diri pada UU ITE, menjadikannya absurd
dalam perspektif dunia nyata.32
Penerapan dari UU ITE ini memang tidak bisa diremehkan. Sepanjang
tahun 2016 saja, Kepolisian telah menerima 2.700 laporan, dengan aduan
yang meliputi ujaran kebencian, ancaman dan informasi sesat (hoax).33
Hal ini menandakan adanya kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk
secara aktif melaporkan adanya indikasi pelanggaran yang mereka temui
atau alami di dunia maya. Dalam kondisi yang sedemikian riuh, peran
dari prinsip keadilan sosial menjadi penting untuk didiskusikan disini.
30
Data ini diambil dari paparan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dalam
diskusi yang diadakan oleh Kelas Kebijakan dan Regulasi Media, Program Sarjana Ilmu Komunikasi
FISIP UI, Selasa, 6 Desember 2016 di Universitas Indonesia, Jakarta. Lihat berita yang ditulis oleh
Dara Adinda Kesuma Nasution, Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelenggu?, Kamis, 8
Desember 2016. Link: http://www.ui.ac.id/berita/revisi-uu-ite-memerdekakan-atau-membelenggu.
html, diakses pada tanggal 16 Februari 2017.
31
Lihat Arif Mujayanto, Melindungi Masyarakat melalui UU ITE, rubrik Jeda, Selasa, 8 November
2016, LKBN Antara. Link: http://www.antaranews.com/berita/ 594820/melindungi-masyarakatmelalui-uu-ite, diakses pada tanggal 16 Februari 2017.
32
Kasus awal yang menyita publik adalah adanya kriminalisasi terhadap Prita Mulyasari, yang diputus
bersalah dengan berdasarkan UU ITE Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 (1), yakni tentang pencemaran
nama baik. Lebih lengkapnya lihat Rini Retno Winarni, Efektivitas Penerapan Undang – Undang
ITE Dalam Tindak Pidana Cyber Crime, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol.14 No.1
Oktober 2016, hlm. 23-24. Kasus Prita ini menjadi isu nasional dan membentuk gerakan massif
yang bernama Koin untuk Prita, untuk membayar denda yang harus dibayar oleh Prita, serta
mengilhami berbagai gerakan serupa di kemudian hari.
33
Dedy Priatmojo dan Syaifullah, Setahun, Polisi Terima Laporan 2.700 Pelanggaran UU ITE,
Jum’at, 6 Januari 2017, www.viva.co.id. Link: http:// nasional.news.viva.co.id/news/read/867510setahun-polisi-terima-laporan-2-700-pelanggaran-uu-ite, diakses pada tanggal 16 Februari 2017.
[ 272 ]
Anwar Masduki
Keadilan sosial sebagai sebuah tujuan paripurna, mengandaikan adanya
moralitas yang bertumpu pada ketuhanan, berpijak pada nilai kemanusiaan,
berpegang pada persatuan bersama, serta menggunakan kedaulatan rakyat
yang berbasis pada musyawarah mufakat. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin tidak ada lagi jeritan penderitaan rakyat dengan menjadikan
Negara sebagai pelaku utama pencapaian jaminan kemerdekaan yang
termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yakni: 1) Melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan
kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) Melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Nyatanya, penerapan dan respon Negara terhadap tantangan dunia
maya masih sangat memprihatinkan. Revisi UU ITE pada tahun 2016
masih belum bisa menjamin rasa keadilan sosial yang berlangsung pada
tiga isu penting dunia maya, yakni individu, interaksi antar individu dan
komunitas, masih belum menyentuh hak dan rasa keadilan sosial itu sendiri.
Negara, dalam hal ini para penegak hukum, masih terlalu gagap,
diindikasikan dari hasil penerapan dan keputusan pengadilan terkait UU
ITE yang masih sering menjadi pro dan kontra.
Penahanan terhadap Yusniar di Makassar, karena dia membuat status
keluhan di laman media sosialnya menjadi salah satu persoalan terbaru
yang membuat penerapan UU ITE oleh para penegak hukum menjadi
aneh sekali.34 Keanehan ini terjadi karena Yusniar sendiri tidak pernah
menyebut dengan jelas siapa orang yang dia keluhkan, hanya dengan
menulis frase “anggota DPR.” Penyebutan itu karena dia hanya mendengar
seseorang yang memimpin pembongkaran paksa rumah orang tuanya
dengan menyebut diri sebagai anggota DPR. Mengingat tidak adanya nama
yang disebut, maka menjerat Yusniar dengan UU ITE tentang pencemaran
nama baik menjadi terasa sangat menggelikan.35
34
Fatimah Kartini Bohang, Yusniar Ditahan gara-gara Status “No Mention” di Facebook, Selasa, 8
November 2016, Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2016/11/08/ 19350047/
yusniar.ditahan.gara-gara.status.no.mention.di. facebook, diakses pada tanggal 16 Februari 2017.
35
Yoga Hastadi Widiartanto, Pengamat: Status Facebook ‘No Mention’ Yusniar Bukan Pencemaran
Nama Baik, Rabu, 9 November 2016, Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2016/
11/09/11080057/pengamat.status.facebook.no.mention.yusniar.bukan.pencemaran. nama.baik,
diakses pada tanggal 16 Februari 2017.
[ 273 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pengenaan UU ITE terhadap user dunia maya tentu saja diperlukan,
sepanjang ia tidak mencederai semangat dari prinsip keadilan sosial yang
diagungkan oleh Pancasila. Dalam kondisi yang seperti ini, diperlukan
setidaknya kecermatan dari aparat penegak hukum untuk menggunakan
UU ITE dengan penuh kehati-hatian, serta tidak mencederai rasa keadilan
sosial yang dipunyai oleh publik.
Penutup
Pancasila adalah sebuah konsep Negara Paripurna yang memimpikan adanya
Keadilan Sosial dengan bersendikan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan
dan Permusyawaratan Perwakilan. Soekarno, meringkas semua itu dalam
sebuah semangat yang dia sebut sangat Indonesia, yakni semangaat gotong
royong. Keadilan sosial adalah sebuah usaha gotong royong yang seharusnya
melibatkan semua elemen dan bertahta pada berbagai nilai luhur yang
mendasari dan memberi aura positif bagi tercapainya tujuan luhur tersebut.
Akan tetapi, sebuah cita-cita ideal harus menghadapi tantangan yang
setara agar terlihat seberapa jauh idealitas itu teruji dengan baik. Mengingat
Pancasila yang sudah sedemikian lama, sementara dunia terus menerus
bergerak maju ke depan, tantangan kontemporer adalah sebuah
keniscayaan.36 Dalam kerangka ini, tantangan dunia maya adalah sebuah
kompleksitas yang begitu mengusik dan membutuhkan konsen dan
konsentrasi yang begitu tinggi untuk menghadapinya. UU ITE sebagai
salah satu alat Negara untuk menjamin adanya cita-cita paripurna bernama
Keadilan Sosial masih jauh dari sempurna. Masih ditemukan banyak
ketidak-adilan terhadap warga Negara yang ironisnya itu dilakukan oleh
aparat Negara, khususnya para penegak hukum.
Oleh karena itu, mengikuti Sunaryo37, dalam menghadapi dunia maya
dan lebih umum lagi adalah gelombang globalisasi yang semakin kuat,
Pancasila harus menjadi penyaring dan sekaligus penyelaras antara nilainilai luar dengan nilai-nilai keindonesiaan, serta responsif dengan
36
Lihat Otong Rosadi, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di
Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vo. 10, no. 3, September 2010, hlm. 282-290
37
Sunaryo, Globalisasi dan Pluralisme Hukum Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pancasila.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, jilid 42, no. 4, Tahun 2013, hlm. 535-541
[ 274 ]
Anwar Masduki
permasalahan lokal yang timbul terkait harmonisasi nilai global dengan
lokal Indonesia. Responsifitas itu juga penting sekali, bukan sebagai nilai
filosofis belaka, namun juga menjadi nilai aksi utama untuk menghadapi
tantangan terbaru yang senantiasa akan muncul. Dengan begitu, Pancasila
bisa kita harapkan menjadi sebuah nilai paripurna yang layak untuk diraih
oleh segenap bangsa Indonesia.
Daftar P
ustaka
Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, 2011, Prof. Dr. SH., Membudayakan Nilai-Nilai
Pancasila dan Kaedah-Kaedah Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945, makalah, 1 Juni, 2011.
Hatta, Moh, Memoir, 2002, Jakarta: Yayasan Hatta.
Hosen, Nadirsyah, Religion and the Indonesian Constitution: a Recent
Debate. Journal of Southeast Asian Studies, vol. 36, no. 3, 2005,
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan
Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lestari, Gina, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia
Di Tengah Kehidupan SARA, Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 1, Pebruari 2015
Piliang, Yasraf Amir, 2012, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi
Informasi dan Perubahan Sosial, Jurnal Sosioteknologi Edisi 27
Tahun 11, Desember 2012
Rosadi, Otong, 2010, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam
Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum,
Vo. 10, no. 3, September 2010
Siregar, Christian, 2014, Pancasila, Keadilan Sosial dan Persatuan Indonesia, Jurnal HUMANIORA Vol.5 No.1 April 2014
Sunaryo, 2013, Globalisasi dan Pluralisme Hukum Dalam Pembangunan
Sistem Hukum Pancasila. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, jilid
42, no. 4, Tahun 2013
Tempo, Majalah, 2017, “Meringkus Rizieq”, edisi 23-29 Januari 2017
Winarni, Rini Retno, 2016, Efektivitas Penerapan Undang – Undang ITE
Dalam Tindak Pidana Cyber Crime , Jurnal Hukum Dan
Dinamika Masyarakat Vol.14 No.1 Oktober 2016
[ 275 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Yunus, Nur Rohim, Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Sosio Didaktika: Social Science Education Journal, 2(2), 2015, hlm. 162.
Bohang, Fatimah Kartini, Yusniar Ditahan gara-gara Status “No Mention”
di Facebook, Selasa, 8 November 2016, Kompas.com. Link:
http://tekno.kompas.com/ read/2016/11/08/19350047/
yusniar.ditahan.gara-gara.status.no.mention.di.facebook
Mujayanto, Arif, Melindungi Masyarakat melalui UU ITE, rubrik Jeda,
Selasa, 8 November 2016, LKBN Antara. Link: http://www.
antaranews.com/berita/ 594820/melindungi-masyarakatmelalui-uu-ite
Nasution, Dara Adinda Kesuma, Revisi UU ITE: Memerdekakan atau
Membelenggu? , Kamis, 8 Desember 2016. Link: http://
www.ui.ac.id/berita/revisi-uu-ite-memerdekakan-ataumembelenggu.html
Priatmojo, Dedy dan Syaifullah, Setahun, Polisi Terima Laporan 2.700
Pelanggaran UU ITE, Jum’at, 6 Januari 2017, www.viva.co.id.
Link: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/867510-setahunpolisi-terima-laporan-2-700-pelanggaran-uu-ite,
Widiartanto, Yoga Hastadi, Pengamat: Status Facebook ‘No Mention’
Yusniar Bukan Pencemaran Nama Baik, Rabu, 9 November 2016,
Kompas.com. Link: http://tekno.kompas.com/read/2016/11/09/
11080057/pengamat.status.facebook.no.mention.yusniar.
bukan.pencemaran.nama.baik
Siaran Pers Kementrian Komunikasi dan Informatika, No. 87/HM/
KOMINFO/12/2016 tentang UU Revisi ITE Ditandatangani
Presiden dan Berlaku mulai 25 November 2016. Link: https://
www.kominfo.go.id/ content/detail/8463/siaran-pers-no87hmkominfo122016-tentang-uu-revisi-ite-ditandatanganipresiden-dan-berlaku-mulai-25-november-2016/0/siaran_pers.
[ 276 ]
BAB IV
PANC
A SIL
A , KED
AUL
ATAN
ULA
PANCA
SILA
KEDA
NEGARA D
AN GLOBALISA
SI
DAN
GLOBALISASI
MORALIT
A S PANC
A SIL
A D
AL
AM KESESA
TAN
MORALITA
PANCA
SILA
DAL
ALAM
KESESAT
GLOBALISA
SI
GLOBALISASI
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Pendahuluan
G
lobalisasi adalah sebuah proses perubahan pola interaksi manusia,
dan sebagian lagi cenderung dirugikan oleh gerusan yang cepat
dari aktor-aktor globalisasi.1 Proses ini adalah bagian dari sebuah
perjalanan panjang dari negara yang memberikan akses penuh pada
keterbukaan pasar yang menyebabkan arus ekonomi menjadi tidak
terbendung. Globalisasi mulai terasa pada akhir abad ke-19 atau awal abad
ke 20, yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi internet.
Internet berimbas kepada kehidupan masyarakat yang terkonsentrasi kepada
teknologi digital yang secara tidak langsung meniadakan kepekaan terhadap
individu lain dalam lingkungan sosialnya.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat akibat globalisasi juga akan
mengubah kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri. Kebudayaan akan
melahirkan kemajemukan yang muncul dalam tiap entitas-entitas individu
didalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Levi-Strauss bahwa kemajemukan
budaya terwujud bukan karena kelompok-kelompok sosial tersebut
terisolasi, melainkan karena adanya kontak secara terus-menerus antara
kelompok-kelompok tersebut.2 Perubahan budaya mau tidak mau terjadi
1
2
Winner Agung Pribadi, “Sumbangan Perspektif Gramscian Dalam Memahami Gerakan Globalisasi
Alternatif ” (2008) II 23 hlm. 35.
Bachtiar Alam, “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan” (1998) 54 J
Antropol Indones 1 hlm. 3.
[ 279 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
akibat semakin masifnya proses penggunaan teknologi digital dalam
lingkaran kehidupan masyarakat. Globalisasi itu sendiri tidak harus disikapi
dengan penolakan yang keras atas perubahan karena dengan mempelajari
dan memahami kebudayaan dalam konteks wacana dan praksis akan
memperkaya kemajemukan kebudayaan kita.3
Proses globalisasi bukanlah sebuah proses yang baru mulai akhir-akhir
ini, yang disebabkan oleh lonjakan perkembangan sistem komunikasi, tetapi
sejak masa lalu setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan suatu
“masyarakat global”.4 Adam Smith berpendapat bahwa pertumbuhan
ekonomi dan kemakmuran global akan dapat terwujud apabila perdagangan
internasional berjalan menurut logika prinsip-prinsip pasar bebas yang
menekankan ketiadaan hambatan perdagangan, sehingga faktor-faktor
produksi, distribusi, dan konsumsi dapat bergerak bebas.5 Prinsip pasar
bebas akan semakin mengoptimalkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
ekonomi seluruh masyarakat.
Arus perdagangan internasional bebas tersebut memberikan kemudahan
dalam distribusi terhadap barang yang telah diproduksi oleh suatu negara
lain dapat dikonsumsi oleh masyarakat di belahan benua lainnya.
Perdagangan bebas tersebut juga berakibat terhadap arus permodalan
internasional dan berimplikasi pula pada pemindahan industri dari negaranegara maju ke negara-negara berkembang.6 Penemuan-penemuan alat
komunikasi dan transportasi semakin mempercepat perkembangan dan
proses globalisasi itu sendiri, sehingga terjadi perubahan sosial di masyarakat
sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang memfasilitasi terjadinya
pertukaran budaya dan transaksi ekonomi internasional. Perkembangan
tersebut dijadikan sebuah dasar atau rujukan untuk perluasan dan
pendalaman arus perdagangan, modal, teknologi, dan informasi
internasional, dalam sebuah pasar global yang cenderung terintegrasi. James
Petras dan Henry Veltmer pun sependapat dengan menyatakan bahwa
globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah proses liberalisasi pasar nasional
3
4
5
6
Ibid.
R Borofsky, Assessing Cultural Anthropology (New York: McGraw-Hill, Inc) hlm. 377–395.
Agung Pribadi, supra note 1 hlm. 25.
Paulus Rudolf Yuniarto, “Masalah Globalisasi di Indonesia: Antara Kepentingan, Kebijakan, dan
Tantangan” (2016) 5:1 J Kaji Wil 67 hlm. 67.
[ 280 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
dan global yang mengarah pada kebebasan arus perdagangan, modal,
maupun informasi dengan sebuah kepercayaan bahwa situasi ini akan
menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia.7
Globalisasi sebagai sebuah konsep ekonomi global, melahirkan
universalitas bagi kehidupan masyarakat mulai dari lingkup paling kecil.
Mitos globalisasi yang menyatakan bahwa dunia pada akhirnya terbuka
lebar tentunya akan ada perubahan terhadap kebudayaan lokal dan
hilangnya identitas serta jati diri bangsa. Globalisasi pada konteks kekinian
dipandang berbeda oleh banyak kalangan. Pemahaman globalisasi sangat
dekat dengan modernisasi. Pada masyarakat modern, arus globalisasi tidak
terbendung dan tidak mampu ditolak. Pengasingan atau alienasi budaya
tampak dalam peradaban yang semakin mengikuti perkembangan dunia
yang global. Simbol-simbol yang tampak dalam cara berpakaian, cara
komunikasi, bahasa dan cara berpikir instan adalah pergeseran nilai budaya
yang mau tidak mau terjadi seiring majunya pemikiran masyarakat modern.
Mansour Fakih menyebut modernitas sebagai gagasan tentang
perubahan sosial, dan seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi
sebuah ideologi. 8 Kepercayaan masyarakat bahwa modernitas akan
membawa kemajuan peradaban tampaknya berakibat pada perubahan
budaya. Budaya masyarakat yang dahulunya masih menghargai budaya
lokal, dengan arus globalisasi ini budaya tersebut telah bercampur dengan
budaya barat yang menyuguhkan suatu bentuk keseragaman dengan
munculnya gaya hidup global seperti: makanan, pakaian, dan musik.9
Masyarakat yang pada awalnya menjadikan kesederhanaan sebagai nilai
dalam berkehidupan, berubah menjadi masyarakat yang asosial dan
individualis. Globalisasi sebagai jalan cepat dalam pemikiran ekonomi makro
menjanjikan kesejahteraan dengan segala bentuknya.
Kemajuan teknologi, persaingan terbuka dan permodalan yang besar
dari para investor adalah segala hal yang di atur dalam sebuah sistem
7
8
9
Ibid hlm. 68.
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Jakarta: Insist Press, 2009) hlm.
21.
Novita Rahmania & Martinus Legowo, “Konstruksi Remaja Tentang Media Online Perubahan Gaya
Hidup Pada Era Globalisasi Di Ketintang Timur Surabaya” (2016) 4:1 Paradigma, online: <http:/
/ejournal.unesa.ac.id/article/ 18061/39/article.pdf> hlm. 2.
[ 281 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ekonomi negara. Kesejahteraan yang dijanjikan secara sadar atau tidak
menjadi hegemoni individu untuk turut serta dalam pertarungan besar.
Individu semakin dimunculkan dan kepentingan bersama semakin
terpinggirkan. Kesejahteraan sosial yang dicita-citakan dalam falsafah bangsa
Indonesia ini hanya menjadi utopia karena sumber daya ekonomi dan
produksi semakin menipis dan dikuasai sebesar-besarnya untuk kepentingan
modal. Pada akhirnya alat produksi menjadi tidak terbatas dan digunakan
untuk kepentingan produksi massal. Manusia terpinggirkan, lalu
tergantikan oleh alat-alat yang semakin canggih dan minim membutuhkan
tenaga manusia. Mereka tidak mempunyai alat produksi yang dibutuhkan
dalam sektor industri yang proses produksinya membutuhkan mesin-mesin
canggih.
Tarikan-T
arikan G
lobalisasi vs K
ebutuhan
arikan-Tarikan
Globalisasi
Kebutuhan
Gerakan anti Globalisasi telah mendunia sebagai bentuk perlawanan atas
organisasi perdagangan punia. Kelompok yang melakukan perlawanan itu
adalah yang termaginalkan secara sistemik dan struktural oleh proses
globalisasi ekonomi, antara lain adalah sebagian besar negara berkembang,
aktivis lingkungan dan feminis, serta gerakan akar rumput (grassroots) yang
menyebar di seluruh dunia.10 Gerakan anti globalisasi adalah sebuah gerakan
yang memperjuangkan reformasi sosial dan politik untuk mengubah wajah
globalisasi dari model top-down globalisasinya neoliberal ke arah
kemungkinan terciptanya globalisasi akar rumput ( grass-roots
globalization).11 Gerakan tersebut tidak menentang globalisasi seluruhnya
namun hanya mempermasalahkan mengenai bentuk-bentuk globalisasi
yang tidak adil. Perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional
serta lembaga keuangan negara sebagai pemodal bagi negara-negara kecil
dan berkembang yang ada saat ini, menguasai kebijakan ekonomi negara
agar sesuai dengan kepentingan pemilik modal dan investor asing.
Adanya globalisasi yang membuka ruang begitu lebar terhadap
masuknya investasi asing menyebabkan globalisasi “melemahkan” peran
negara. Dalam tataran ekonomi yang tanpa batas (economic borderless),
10
11
Agung Pribadi, supra note 1 hlm. 23.
Ibid hlm. 25.
[ 282 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
pemerintahan nasional hanya sebagai institusi perantara (transmission belts)
yang menyusup diantara kekuatan lokal dan nasional yang sedang
bertumbuh serta mekanisme pengaturan kapital global.12 Terkait dengan
pengaruh globalisasi terhadap negara, Ohmae menyatakan empat alasan
mengapa di era global sekarang ini peran negara semakin menipis.13
Pertama, negara-bangsa semakin kurang memberi kontribusi dan semakin
berkurangnya kebebasan untuk memberi berbagai kontribusi. Hal tersebut
disebabkan karena pasar bebas telah semakin berdaulat dan biasa
menghukum negara-negara yang tidak mampu bekerja secara efisien. Kedua,
dalam ekonomi global yang terintegrasi, negara bangsa telah menjadi fisik
nostalgik. Model Nostalgik menurut Muller adalah masyarakat abad
pertengahan, dimana dibawah raja, masing-masing golongan hidup
bersama sesuai fungsi mereka.14 Pasar global menciptakan mereka ke dalam
etnitas yang saling terkait satu sama lain misalnya adalah Uni Eropa,
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ketiga, semakin mengglobalnya
perusahaan-perusahaan Transnasional yang mana rangkaian produksinya
pun mengglobal. Sehingga akan sangat sulit sekali untuk melakukan
identifikasi atau mengenali suatu barang yang diproduksi dan
diperdagangkan dengan merujuk pada identitas nasional. Pada sistem
produksi yang demikian, besar kemungkinannya masing-masing negara
bangsa menyumbang komponen untuk produksi suatu barang. Keempat,
semakin mengglobalnya ekonomi dunia menyebabkan konsumenkonsumen yang berdiam dalam batas suatu teritorial negara-bangsa tertentu
akan mempunyai peluang untuk menikmati barang-barang dengan harga
murah dan kualitas tinggi yang seringkali tidak diproduksi oleh industri
nasional mereka.
Globalisasi sebagai sebuah sistem, tidak mampu dibendung oleh
manusia. Faktor utama yang mendukung adalah adanya kebutuhan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang semakin
besar dan tak mampu disediakan sendiri oleh masing-masing negara.15
12
Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi” (2015) 1:1 J Hub Int 1 hlm. 3.
Ibid.
14
Franz Magnis-Suseno, Pijar-pijar filsafat: dari Gatholoco ke filsafat perempuan, dari Adam Müller
ke Postmodernisme (Kanisius, 2005) hlm. 67.
15
Soetatwo Hadiwigeno, “Globalisasi, Liberalisasi Dan Daya Saing Sektor Pertanian” (1999) 4 JEP
hlm. 127.
13
[ 283 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan informasi yang makin terbuka,
menjadikan masyarakat tidak mampu memilih apa yang sangat dibutuhkan
tetapi yang apa harus diwajibkan ada agar tidak tergerus arus modernisasi
masyarakat. Globalisasi bukan hanya sebagai sistem ekonomi yang terbentuk
secara terstruktur dan global, tapi juga memaksa negara mengambil arah
kebijakan yang bernafaskan kapitalisme dan liberalisme. Privatisasi aset
negara menjadi salah satu bentuk konkritnya. Kapitalisme melahirkan
budaya hidup yang individual dan bahkan mendorong manusia pada
pilihan-pilihan yang sulit untuk menolak arus perkembangan teknologi
yang semakin mengasingkan mereka pada kehidupan sosialnya.
Kisaran akhir tahun 80-an muncul strategi pembangunan “baru” yang
tercermin dalam program kebijakan pembangunan dari IMF (International
Monetary Fund) dan Bank Dunia, dimana strategi tersebut menunjukkan
Renaissance (kebangkitan kembali) pola pikir dari kaum liberal dalam teori
ekonomi pembangunan.16 Keuntungan dari pertumbuhan ekonomi
nasional, dikatakan akan diturunkan (tricle-down-efect) pada semua lapisan
masyarakat, dan efesiensi ekonomi dikatakan akan meningkat dengan adanya
kompetisi di pasar bebas tersebut dimana barang dapat dikenakan harga
yang berlebihan atau memperbesar keuntungan ketika pesaing di dalam
pasar bisa menawarkan produk yang sama pada harga lebih rendah.17 Sejarah
tersebut mencatat bahwa manusia tidak mampu membuat tolakan terhadap
kekuatan yang dibuat oleh kepentingan besar dalam hal ini pemilik modal.
Tarikan kebutuhan menuju modernisasi yang di-impikan masyarakat
sebagai bentuk kemajuan peradaban, mau tidak mau menjadikan globalisasi
sebagai sebuah pintu gerbang liberalisasi. Terhadap hal ini, mau tidak mau
globalisasi harus dilihat secara komprehensif. Berbicara anti globalisasi maka
harus melihatnya tidak melulu sebagai suatu sistem yang menjajah
kepentingan sebagian kecil individu. Bagaimanapun, penolakan terjadi pada
akhirnya juga tidak mampu membuat mereka tidak menggunakan hasil
dari kemajuan teknologi. Gesekan antara keinginan untuk menolak
globaliasasi secara nyata, sangat berbanding terbalik dengan sikap dalam
memilih kebutuhan mereka yang berasal dari kemajuan teknologi.
16
B Kuspradono, “Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Ekonomi ‘Neoliberal’” (2016) 7:2 Kinerja
165 hlm. 165.
17
Ibid hlm. 166.
[ 284 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Fungsionalisasi Globalisasi untuk mencapai misi kesejahteraan, harus
dilihat dari sisi yang fair. Berbicara anti globalisasi namun tidak mampu
membuat benteng atas masuknya arus global, ini sama saja dengan kita
menerima sebagian subsistem dari globalisasi.
Terdapat tiga pilar utama dalam globalisasi yang saling terkait satu
dengan lainnya yaitu modal, teknologi, dan manajemen.18 Modal dapat
diartikan sebagai harta benda (misal: uang, barang, dan sebagainya) yang
dapat dipergunakan untuk meghasilkan kekayaan.19 Dalam globalisasi,
modal yang mengalir secara bebas tersebut akan sangat mudah didapatkan
oleh perusahaan yang berada di tempat yang jauh sekalipun. Kebanyakan
modal besar berada di negara-negara Barat yang menjadi investor bagi
negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Paul Krugman
menyatakan kontrol modal menjadi solusi sementara untuk negara yang
mengalami krisis nilai tukar uang.20 Pilar berikutnya adalah teknologi yang
akan memudahkan pergerakan modal ke suatu daerah yang tidak dikenal
sekalipun. Teknologi membawa era komunikasi universal yang tanpa jarak.
Masyarakat tidak mampu menolak teknologi yang bisa mendekatkan jarak
dan mempersingkat waktu. Keterbukaan informasi juga menjadikan
teknologi sebagai basis kepentingan yang besar terhadap penerimaan
globalisasi. Pilar terakhir adalah manajemen yaitu penggunaan sumberdaya
yang efektif untuk mencapai suatu sasaran; yang dapat pula diartikan sebagai
seorang pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannya suatu perusahaan
atau organisasi.21
Fenomena Globalisasi dilihat bukan pada tataran besarnya efek kerugian
negara yang ditimbulkan serta pengasingan diri individu terhadap individu
lainnya. Globalisasi merupakan fenomena ekonomi, politik, budaya yang
bukan hanya sebagai sistem bisnis baru, tapi juga merombak tatanan hidup
manusia, menciptakan kelas sosial baru dan menyebabkan dunia menjadi
mengecil, mengglobal dan tanpa batas.22 Bagi sebagian kalangan globalisasi
18
Sigid Sriwanto, “Tiga Pilar Globalisasi Dan Global Ekonomi” (2009) 1:2 Geo Edukasi, online:
<http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/GeoEdukasi/ article/view/716>.
19
“Arti kata modal - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online: <http://kbbi.web.id/
modal>.
20
Sriwanto, supra note 18.
21
“Arti kata manajemen - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online: <http://kbbi.web.id/
manajemen>.
22
Sriwanto, supra note 18.
[ 285 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dapat dinilai sebagai integrasi manusia, yang juga dapat melahirkan
disintegrasi dalam hubungan dengan manusia lain. Perkembangan ke arah
modern yang ditimbulkan oleh dampak globalisasi bisa menjadi sebuah
perubahan kontruksi sosial masyarakat dan juga bisa diterima sebagai
kesadaran kemanusiaan secara universal.
Globalisasi dalam P
andangan P
ancasila SSebagai
ebagai F
alsafah
Pandangan
Pancasila
Falsafah
Bangsa
Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki
fungsi yang sangat fundamental.23 Pancasila selain bersifat yuridis formal
juga bersifat filosofis. Sifat yuridis formal yang mengharuskan setiap
peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan pada Pancasila
sebagai sumber hukum materiil. Sedangkan sifat filosofis, menjadikan
Pancasila adalah sebagai falsafah negara juga sebagai pedoman perilaku
kehidupan berbangsa dan bernegara. Driyarkarsa berpendapat bahwa
Pancasila sebagai weltanschauung, yaitu sebuah falsafah atau pandangan
hidup yang mampu merealitaskan nilai-nilainya dalam kehidupan
masyarakat, dapat menjadi ideologi terbuka yang bersifat aktual, dinamis,
antisipatif, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman.24 Citacita dan nilai-nilai mendasar dalam Pancasila bersifat tetap dan tidak
berubah.
Pada sila pertama yang berbunyi ‘KeTuhanan Yang Maha Esa’sebagai
basis nilai filosofis hubungan negara dan agama di Indonesia sebagai sebuah
‘local genius’ bangsa Indonesia dalam mendirikan negara.25 Makna tersebut
tidak dapat dipisahkan dengan makna agama yang di Indonesia, karena
nilai-nilai agama di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Sila ini pun tidak
dimaksudkan bahwa negara Indonesia didasarkan pada suatu paham
tertentu, atau bahkan negara tidak berhak mencampuri ruang aqidah. Hal
ini juga berarti negara harus menjamin hak yang paling asasi pada setiap
23
Purwito Adi, “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Bagi Masyarakat Sebagai Modal Dasar Pertahanan
Nasional NKRI” (2016) 1:1 J Moral Kemasyarakatan, online: <http://ejournal.unikama.ac.id/
index.php/JMK/article/view/1185> hlm. 39.
24
Kaelan Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, Dan Aktualisasinya,
pertama ed (Yogyakarta: Paradigma, 2013) hlm. 67.
25
Ibid hlm. 167.
[ 286 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama
masing-masing.
Menurut Soekarno, bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang
mempunyai kepercayaan akan suatu ‘zat’ yang baik yaitu Tuhan.26 Sehingga
sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk mempunyai suatu kepercayaan
yang di rumuskan dalam sila Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa dengan alasan
bahwa nilai atau prinsip ke-Tuhan-an dapat menjadi pengikat keseluruhan
manusia dan masyarakat Indonesia. Sila ini menunjukkan bahwa pada
dasarnya masyarakat Indonesia percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan dalam
setiap agama yang diakui di Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun
Globalisasi membawa sebuah liberalisasi ke Indonesia, bangsa Indonesia
menolak yang disebut dengan atheisme dan juga propaganda anti agama.
Manusia dalam pusaran Globalisasi cenderung menggunakan sesuatu
dengan berlebihan dan tanpa arah. Hal ini akan mengakibatkan perilaku
konsumtif dan pada akhirnya melahirkan hedonisme yang diartikan
mendasarkan baik atau buruknya tindakan atas dasar tujuan yang akan
diusahkan yaitu kenikmatan.27 Prinsip hedonisme menganggap bahwa
kesenangan merupakan sesuatu yang baik dan hal tersebut menjadi tujuan
hidupnya. Sedangkan hal yang membuat kesusahan, penderitaan, atau
tidak menyenangkan adalah hal yang tidak baik dan harus dihindari. Sikap
yang hanya menekankan tujuan kenikmatan akan meng-alienasi manusia
terhadap lingkungan sosialnya. Fredric Jameson menggunakan kerangka
berikir Neo-Marxis yang melihat bahwa realitas post-modernisme
menunjukkan bahwa kita telah memasuki fase kapitalisme lanjut yang
bercirikan; sirkulasi tanda dan simbol yang tiada hentinya, arus informasi
yang berskala global serta konsumsi imaji yang hedonistik.28 Manusia
dengan keyakinan akan kebenaran tertentu dalam hal ini yang menganut
budaya konsumtif dan hedonis, akan mengasingkan diri dengan masyarakat
yang tidak sejalan yaitu masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-
26
Soekarno Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Presindo, 2006)
hlm. 140.
27
Paulus Wahana, “Menerapkan Etika Nilai Max Scheler Dalam Perkuliahan Pendidikan Pancasila
Untuk Membangun Kesadaran Moral Mahasiswa” (2016) 26:2 J Filsafat 189 hlm. 189.
28
Hamzah Fansuri, “Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia” (2012)
2:1 J Sosiol Islam, online: <http://jsi.uinsby.ac.id/ index.php/jsi/article/view/17> hlm. 33.
[ 287 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
nilai moral dan agama. Setiap agama yang ada di Indonesia, mengajarkan
nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun dalam tatanan
masyarakat global, masing-masing individu menganggap kelompoknya
yang paling benar.
Sila kedua Pancasila pada prinsipnya adalah bahwa kemanusiaan yang
adil dan beradab merupakan sebuah sikap dan perilaku manusia yang sesuai
dengan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya.
Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk Individu dan juga makhluk
sosial. Soekarno melalui bukunya yang berjudul “Tjamkan Pantjasila”
membahas tentang kemanusiaan dalam konteks yang konkret yaitu
mengenai identitas diri.29 Rasa peri-kemanusiaan merupakan sebuah
resultan dari pertumbuhan rohani, kebudayaan. Pertumbuhan tersebut
bermula dari tingkat yang paling rendah hingga yang lebih tinggi
tingkatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa peri-kemanusiaan
merupakan evolusi dalam perasaan batin manusia.
Wujud dari nilai ini antara lain melaksanakan ketertiban dunia berdasar
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; ikut menjunjung tinggi
hak asasi manusia dengan ide keselarasan antara individu dan masyarakat
(monodualis).30 Dalam hal ini pula ada sikap saling mencintai sesama
manusia, tenggang rasa, dan tidak semena-mena terhadap orang lain;
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, melakukan kegiatan
kemanusiaan/sosial; terakhir yang tidak kalah penting adalah turut serta
dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sebagai bentuk penghormatan
tertinggi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan. Setiap manusia yang
dibekali cipta, rasa, dan karsa oleh Tuhan sang pencipta, akan terus
berdinamika dengan kehidupannya.31 Penghormatan atas kesetaraan dan
kebebasan setiap orang menjadi wujud yang yang nyata dalam perumusan
sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara Indonesia harus
merealisasikan dan mengembangkan nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab ini pada pergaulan masyarakat internasional.32
29
Soekarno, Soekarno, Tjamkan Pantja Sila; Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta, 1964)., in
1964.
30
Kaelan, supra note 24 hlm. 238.
31
Andreas D Bolo et al, Pancasila Kekuatan Pembebas, Buku Humaniora Universitas Parahyangan
(Sleman: PT. Kanisius Yogyakarta, 2012) hlm. 152.
32
Driyakarya Driyakarya, Tentang Negara dan Bangsa, Kumpulan Karangan (Yogyakarta: Kanisius,
1980) hlm. 71.
[ 288 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Sila ketiga, persatuan Indonesia menggambarkan bahwa negara ini tidak
dibentuk berdasarkan pada prinsip individualisme yang berkembang sejak
masa renaissance dengan menyebutkan man are created free and equal.33
Negara Indonesia tidak dibentuk berdasarkan kontrak sosial dari tiap-tiap
individu, melainkan sebuah manifestasi nilai-nilai individu di dalam
masyarakat. Globalisasi mengarahkan pikiran manusia ke arah kebutuhan
yang harus dipilih. Globalisasi akan memecah rasa nasionalisme dan
persatuan bangsa Indonesia. Hal ini tidak sejalan dengan cita sila ketiga
dari Pancasila. Masyarakat Suburban adalah salah satu efek dari arus
globalisasi. Sebuah penduduk yang hidup di pinggiran kota kemudian
mencari nafkah di kota-kota besar. Mereka memiliki karakteristik yang ada
diantara masyarakat kota dan masyarakat desa, sehingga bisa dikatakan
penduduk yang berpindah dari desa ke kota yang berada tinggal di pinggiran
kota.34 Salah satu karakteristik pola hidup msyarakat suburban adalah secara
fisik berdekatan namun secara sosial berjauhan.35 Hal tersebut menjadi
contoh paling nyata dari bentuk perubahan budaya masyarakat dengan
sikap-sikap sederhana, menjadi masyarakat yang tanpa arah dan tanpa
pilihan. Sikap anti sosial dan cenderung memikirkan kelompoknya
dibanding entitas lain diluar kelompoknya, adalah akibat dari keadaan
tersebut.
Sila keempat yang menggambarkan nilai kerakyatan dan demokrasi.
Nilai kerakyatan pada sila keempat ini mengacu kepada gagasan Mohammad
Hatta yang mengatakan bahwa demokrasi tidak ditandai dengan sistem
parlementer, pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu tertentu, dan
membangun sistem demokratis dengan megahnya gedung-gedung
pemerintahan.36 Dalam menjalankan sistem politik yang demokrasi, harus
dipersiapkan pula masyarakat yang demokratis. Lebih lanjut Hatta
menjabarkan tentang prinsip-prinsip masyarakat yang demokratis adalah
kemandirian dan tanggung jawab individu, keterlibatan atau partisipasi
dalam masyarakat, dan hubungan kooperatif antarindividu yang mandiri
33
Kartohadiprojo Soediman, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa (Bandung: Gatra Pustaka,
2010) hlm. 25.
34
Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya
(Bandung: Pustaka Setia, 2015) hlm. 87.
35
Ibid.
36
Bolo et al, supra note 31 hlm. 191.
[ 289 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dalam masyarakat.37 Ketiga prinsip tersebut saling berhubungan satu sama
lain dan saling mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam relasi
sosial, mengembangkan jaringan hubungan kooperatif dengan individu
lain dalam kelompoknya dan menegaskan diri untuk menjadi mandiri dan
bertanggung jawab..
Nilai kerakyatan erat dengan konsep civil society atau masyarakat sipil
yang diturunkan dari gagasan Aristoteles, Koinonia Politike yang berarti
sebuah komunitas warga negara yang dipersatukan dalam sebuah
pemerintahan atau negara yang sah.38 Masyarakat sipil harus dibentuk
terlebih dahulu sebagai syarat untuk membentuk suatu tatanan negara
Indonesia yang demokratis. Beberapa konsep masyarakat diberikan oleh
para pendiri bangsa yaitu masyarakat yang kooperatif oleh Hatta; sistem
kekeluargaan dalam membentuk masyarakat sipil sebagaimana yang digagas
oleh Soekarno; dan sistem masyarakat integratif yang digagas oleh
Soepomo.39 Sehingga dalam pusaran globalisasi ini, pembentukan
masyarakat sipil yang bergotong royong akan mengarahkan dan
mewujudkan nilai kerakyatan sebagaimana dalam sila keempat Pancasila.
Sekalipun Globalisasi dapat membentuk masyarakat yang individualistik,
tetapi jika ketiga prinsip ini menjadi satu kesatuan utuh yang menjadi
jiwa dan spirit masyarakat Indonesia, maka tidak akan sulit untuk
mewujudkan nilai kerakyatan.
Pada sila terakhir yaitu sila kelima. Keadilan sosial atas bangsa Indonesia,
semestinya lahir dari meratanya kepentingan rakyat. Bagaimana Globalisasi
telah memisahkan secara tegas dan menciptakan kelas dalam masyarakat,
maka nilai keadilan sosial menjadi hal yang tidak akan pernah bisa di capai
dalam tataran kehidupan yang global. Kehidupan yang tidak
mengingingkan adanya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, namun
hanya kepentingan pasar yang akan memperkaya segelintir kelompok dan
semakin memiskinkan sebagian besar rakyat Indonesia.
37
Mohammad Hatta, Islam, Society, Democarcy & Peace (New Delhi: Information Service Indonesia,
the Embassy of the Republic of Indonesia in India, 1955) hlm. 44–47.
38
Sunil Khilnani & S Kaviraj, eds, “The Development of Civil Society” in Civ Soc Hist Possibilities,
5th ed (Cambridge: University Press, 2001) hlm. 17.
39
Bolo et al, supra note 31 hlm. 228–229.
[ 290 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Nilai L
uhur P
ancasila dalam K
esesatan G
lobalisasi
Luhur
Pancasila
Kesesatan
Globalisasi
Nilai luhur merupakan sebuah parameter atau tolak ukur dalam hal kebaikan
yang berkenaan dengan hal-hal yang mendasar dan abadi dalam hidup
manusia seperti halnya sebuah cita-cita yang hendak dicapai dalam
kehidupan manusia.40 Sebagai sebuah bangsa, Negara kesatuan republik
Indonesia (NKRI) mempunyai sebuah cita-cita bangsa yang tertuang di
dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yaitu mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.41 Pancasila mempunyai dua fungsi
pokok yaitu sebagai dasar negara dan sebagai falsafah atau pandangan hidup.
Sebagai dasar negara artinya nilai-nilai di dalam Pancasila berfungsi
mengatur dan memandu hubungan antara negara dengan warga negara
dan antara negara dengan negara lain. sebagai falsafah atau pandangan
hidup artinya berfungsi untuk mengatur dan memandu hubungan antar
anggota masyarakat, antara anggota masyarakat satu dengan anggota
masyarakat lainnya, dan antara masyarakat dengan masyarakat.42 Nilainilai Pancasila yang digunakan untuk memandu dan mengatur tersebut
digali lagi oleh Soekarno untuk berkembang bersama bangsa Indonesia
dalam menghadapi arus globalisasi.
Nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Pancasila adalah, Nilai
Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan
dan kesatuan, nilai kedaulatan rakyat, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Kelima nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh
tak terpisahkan maknanya dan menjadi ruh, spirit, yang membangun jati
diri bangsa Indonesia. Nilai Ketuhanan memiliki makna bahwa bangsa
Indonesia menjamin penduduknya untuk memeluk agama dan beribadah
menurut agama dan keyakinan masing-masing. Menjamin adanya sebuah
toleransi atas kehidupan beragama. Pada saat ini di Indonesia sendiri masih
mengakui enam agama. Keenam agama tersebut diharapkan memberikan
panutan dan ajaran untuk berperilaku baik dan luhur terhadap sesama
manusia. Namun yang perlu kita perhatikan bahwa keyakinan berbeda
dengan agama.
40
Kaelan, supra note 24 hlm. 41.
Adi, supra note 23 hlm. 38.
42
Dominukus Rato, “Korelasi Pancasila, Proklamasi, dan Pembukaan Konstitusi” in Al Khanif, ed,
Pancasila Sebagai Realitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 36.
41
[ 291 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Durkheim menyatakan bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat
diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal dan pikiran manusia sendiri,
singkat kata agama merupakan bagian dari pengetahuan yang tidak dapat
dicapai oleh ilmu pengetahuan biasa dengan pemikiran akal pikiran saja.43
Agama berbicara tentang tatanan perilaku seseorang yang menganut
keyakinan tertentu. Sedangkan keyakinan berarti sikap bathin yang
ditujukan atas Ketuhanan yang mereka percayai benar dan baik adanya.
Al-Khanif mengutip dari Ahmad Syafi’ie Maarif menyatakan bahwa
Monotheisme sila pertama Pancasila dilihat sebagai norma yang sekuler
karena prinsip ke-Tuhan-an Pancasila dapat dipahami secara terbuka oleh
siapa saja.44 Dalam hal ini konsep Ketuhanan dalam Pancasila dilarang
untuk di monopoli oleh suatu kelompok tertentu. Bahwa jaminan
kehidupan beragama haruslah bernafaskan keyakinan dan kepercayaan
seseorang dalam konsep ke-Tuhan-an mereka. Dalam hal ini bukan hanya
6 agama saja di diakui, namun juga mengakui semua aliran kepercayaan
yang tumbuh berkembang di Indonesia. Keberagaman yang ada menjadikan
Indonesia sebagai bangsa yang plural. Plularisme, menyebabkan Indonesia
menghadapi krisis di berbagai bidang, dimana agama menjadi salah satu
penyebab konflik atau kekerasan yang marak terjadi.45 Dengan kata lain
kemajemukan agama harus dilandasi spirit pluralisme yaitu semangat
kebangsaan yang memberikan penghargaan atas keberagaman dan
perbedaan.
Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas
Gajah Mada melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan terjadi
perluasan pengaruh wacana tentang ancaman aliran sesat, dan meluasnya
pengaruh wacana ancaman aliran sesat tidak hanya menyangkut jumlah,
tetapi melebarnya spektrum sasaran dan aktor.46 Hal ini menunjukkan
43
Muhammaddin Muhammaddin, “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama” (2016) 14:1 J Ilmu
Agama 99 hlm. 102.
44
Al Khanif, ed, “Pancasila dan Agama: Teman atau Lawan?” in Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir
Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 182.
45
Murni Hermawati Sitanggang, “Pancasila dalam Dinamika Pluralisme Indonesia” in Al Khanif, ed,
Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 217.
46
“Kasus penodaan agama masih mewarnai di 2013”, (26 April 2013), online: SINDOnews.com
<https://nasional.sindonews.com/read/742167/15/kasus-penodaan-agama-masih-mewarnai-di2013-1366915825>.
[ 292 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
bahwa pluralisme menjadi isu yang harus dijawab oleh negara atas nama
keyakinan beragama. Fundamentalisme dan radikalisme agama kerapkali
melihat keyakinannya sebagai keyakinan yang paling benar. Menurut
Armstrong, Fundamentalisme dapat dilihat sebagai bentuk penolakan
terhadap modernitas atau pascamodernitas.47 Al Khanif menyatakan “This
principle shows a plurality-sensitive religious state philosophy, which is
that the ideals of every religious denomination can be realized, in the sense
that the state allows and assists its citizens to enjoy their respective religious
freedom”.48 Bahwa negara harus menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan dari penduduknya, serta mampu memberikan rasa aman dan
ketenangan dalam melaksanakan ibadah atas agama dan kepercayaannya
itu.
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki makna untuk bisa
menjadi sebuah pribadi manusia yang bersikap adil dengan sebuah tindakan
yang beradab. Keadilan belum tentu didapatkan dengan cara-cara yang
beradab. Masyarakat Indonesia hendaknya. tidak hanya menjadi pribadi
yang ego untuk bisa memikirkan kepentingan pribadinya. Menganggap
dirinya adalah yang patut untuk diperhatikan dan dihormati. Menjadi
manusia yang adil dan beradab tentunya berkaitan dengan nilai dari KeTuhan-an pasa sila pertama, bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan
hendaknya saling menghormati hak dan kemerdekaan manusia lainnya.
Hak asasi manusia termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan
pasal 28A-28J. Secara implisit, dasar bagi sikap hormat kita terhadap
kemanusiaan adalah mengakui kemampuan manusiawi yang mendasar dan
mengusahakan agar fungsi alamiahnya dapat diwujudkan setiap pribadi
di dalam masyarakat, sedangkan gagasan adil dan beradab adalah bentuk
pengakuan kepada setiap orang tanpa kecuali, tanpa dibatasi oleh
latarbelakang masing-masing, mengandung penghormatan terhadap
kemampuan manusiawi mendasar dalam menjalankan fungsi alamiahnya.49
Kemanusiaan yang adil dan beradab bisa kita lihat sebagai
penghormatan tertinggi terhadap martabat manusia. Memahami keadilan
47
Bolo et al, supra note 31 hlm. 111.
The Jakarta Post, “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect religions”, online: Jkt Post
<http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasila-protectreligions.html>.
49
Bolo et al, supra note 31 hlm. 132.
48
[ 293 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
yang beradab sebagai bentuk dari sebuah kebebasan individu yang berkaitan
dengan adab atau budayanya. Intisari dari pemikiran kemanusiaan dan
keadilan yang beradab adalah kebebasan individu dengan melihat
kepentingan individu lainnya, dengan kata lain penghormatan terhadap
hak asasi manusia menjadi sebuah keharusan agar tercipta keadilan yang
beradab. Penghakiman tanpa pengadilan adalah wajah buram dari lemahnya
jaminan terhadap hak hidup dan rasa aman untuk tinggal dan bernaung
di negara ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menemukan terjadinya pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan Salim
Kancil. “Dugaannya ada peristiwa yang kejam dan merendahkan martabat
manusia, dalam hal ini latar belakangnya yang penting untuk diamati,
yaitu “Ada bisnis pasir,”.50 Kasus penyiksaan dan pembunuhan aktivis anti
tambang pasir di Lumajang Jawa Timur yang terjadi kepada Salim Kancil
dan Tosan adalah bentuk kekuatan dari kepentingan pasar yang berakibat
pada hilangnya hak hidup dan rasa aman bagi individu yang membela
kepentingan rakyat.
Nilai persatuan memiliki makna untuk menumbuhkan rasa
nasionalisme cinta tanah air. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam
suku bangsa dan budaya. Kemerdekaan Indonesia didapatkan dan
diperjuangkan oleh seluruh warga negara Indonesia yang berbeda-beda
suku bangsa dan budaya dalam sebuah semboyan bhineka tunggal ika.
Perenungan terhadap sila ketiga adalah hakikat bahwa persatuan merupakan
tema penting untuk mencapai kemerdekaan, kesadaran akan persatuan
memperkuat rasa nasionalisme demikian juga sebaliknya.51 Nasionalisme
bisa diartikan mencintai produk hasil negeri sendiri dan menghargai tiap
karya anak bangsa. Dengan masuknya modal dan produk-produk asing
membuat produk lokal tersingkirkan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) menilai perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi menerapkan
pengurangan tarif dan subsidi sebesar 30 persen yang memberikan kerugian
kepada Indonesia sebesar kurang lebih 18 Triliun Rupiah per tahunnya.52
50
TempoCo, “Salim Kancil Dibunuh, Komnas: Pelanggaran HAM Jelas Terjadi”, online: Tempo
News <https://m.tempo.co/read/news/2015/10/05/063706547/salim-kancil-dibunuh-komnaspelanggaran-ham-jelas-terjadi>.
51
Bolo et al, supra note 31 hlm. 132.
52
“Koran TEMPO | Situs Berita Online Indonesia”, online: <https://koran.tempo.co/konten/ 2006/
09/21/82626/Globalisasi-Rugikan-Indonesia-Rp-18-Triliun-Setiap-Tahun>.
[ 294 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Hal ini berarti persatuan yang diharapkan menjadi dasar nilai luhur sila
ketiga menjadi tidak tercapai.
Nilai kedaulatan rakyat dalam sebuah permusyawaratan perwakilan.
Kedaulatan rakyat artinya bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi dalam sebuah negara. Indonesia mengakuinya dan mengaturnya
di dalam Konstitusi UUD NRI 1945. Kepentingan dan keinginan rakyat
merupakan tujuan utama berjalannya pemerintahan. Setiap kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah harus berdasarkan kepentingan rakyat yang
diwakilinya, bukan hanya kepentingan kelompok atau golongan. Cara
perumusan dan penyusunan kebijakan tersebut melalui sebuah lembaga
perwakilan legislatif. Permusyawaratan bukanlah sebuah proses
pengambilan keputusan dengan metode menang-kalah melainkan
pemahaman bersama untuk mencapai sebuah tujuan. Keterwakilan erat
kaitannya dengan demokrasi. Karena Indonesia memilih sistem
keterwakilan dalam menjalankan roda kehidupan bernegaranya.
Kapitalisme global mendorong demokrasi ke arah kebijakan yang tidak
memihak kepentingan rakyat. “Globalisasi ekonomi atau kapitalisme global
telah memunculkan aktor utama yang sangat penting dalam ekonomi
politik, yakni lembaga-lembaga pengaturan global internasional (transworld
governance) , korporasi-korporasi internasional (multinational and
transnasional corporation), dan lembaga-lembaga swasta (NGO), dimana
Scholte menyebutnya sebagai suprastate”.53 Wakil rakyat di lembaga
legislatif sebagai representasi kepentingan hajat hidup orang banyak, harus
mampu mengusung kepentingan rakyat diatas segala kepentingan pribadi
dan golongan. Penyidik KPK menahan anggota DPR fraksi partai Golkar
Charles Jones yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pada
pengembangan kasus korupsi mantan Dirjen Pembinaan Pembangunan
Kawasan Transmigrasi (Dirjen P2KTrans) Kemenakertrans Jamaluddien
Malik.54 Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri yang
dilakukan oleh wakil rakyat jelas mencederai wajah demokrasi. Dimana
seharusnya demokrasi dalam sistem keterwakilan bisa membawa
kesejahteraan bagi rakyat.
53
54
Winarno, supra note 12 hlm. 6.
Kartika S Tarigan, “Kasus Korupsi P2KTrans, Anggota DPR Charles Mesang Ditahan KPK”, online:
detiknews <http:/>.
[ 295 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Nilai terakhir adalah nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial menggambarkan sebuah pemerataan terhadap kepentingan
masyarakat. Keadilan demikian tidak akan didapatkan jika tidak melihat
nilai-nilai yang sudah tertuang sebelumnya. Keadilan dibutuhkan sebuah
persamaan rasa untuk saling menjaga hak asasi masyarakat Indonesia.
Persamaan yang membangkitkan rasa persatuan dan duduk bersama untuk
menetapkan tujuan bangsa yaitu kesejahteraan sosial. Soekarno menyatakan
di dalam prinsip kesejahteraan tidak akan ada kemiskinan di dalam
Indonesia merdeka.55 Pasal 33 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa cabangcabang produksi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan disisi lain
harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Penjualan aset kepada investor asing adalah salah satu bentuk
keberpihakan bagi kepentingan segelintir orang. John Perkins dalam
bukunya, Confession of an Economic Hitman mengungkap perselingkuhan
korporasi, pemerintah dan intelektual untuk menguasai sebuah negara.56
Proses produksi oleh investor asing hanya melibatkan sekelompok orang
sebagai tenaga kerja. Masyarakat lokal tidak benar-benar menikmati hasil
dari eksplorasi dari kekayaan alam dimana mereka tinggal. Seharusnya
merekalah yang paling berhak atas kemakmuran dari hasil produksi tersebut.
Pemerintah melalui Menteri BUMN akan segera membahas detail struktur
perusahaaan patungan (joint venture) yang akan dibentuk bersama dengan
perusahaan dari Mexico yaitu Cemex Asia Holding Ltd, dalam hal ini
pemerintah menawarkan kepada Cemex untuk bersama membentuk sebuah
perusahaan semen baru yang akan mengelola tiga aset Semen Gresik yaitu
Pabrik Tuban 1 (satu), Pabrik Tuban 2 (dua) dan Pabrik Tuban 3 (tiga).57
Negara berhak mengambil kebijakan untuk kepentingan kelangsungan
hidup jangka panjang, baik dari sisi konservasi alam dan juga kemakmuran
rakyatnya. Kekayaan alam tidaklah patut dijadikan komoditi, lebih-lebih
dijual-belikan kepada investor asing.
55
Shidarta Shidarta, “Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial Dalam Gagasan Revolusi Hukum
Soediman Kartohadiprodjo” (2015) 1:1 Veritas Justitia, online: <http://journal.unpar.ac.id/
index.php/veritas/article/view/1415> hlm. 24.
56
Yuniarto, supra note 6 hlm. 76.
57
“Pemerintah Bahas Perusahaan Patungan Dengan Cemex”, online: Tempo Bisnis <https://
bisnis.tempo.co/read/news/2005/01/14/05654955/pemerintah-bahas-perusahaan-patungandengan-cemex>.
[ 296 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Kebijakan N
egara B
erlandaskan N
ilai-nilai P
ancasila
Negara
Berlandaskan
Nilai-nilai
Pancasila
Pemerintah Indonesia saat ini telah menyusun sembilan program pokok
dalam pemerintahannya yang disebut dengan program Nawa Cita. Program
Nawa Cita merupakan sebuah program yang memprioritaskan jalan menuju
perubahan Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam
bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kesembilan
program pemerintah dalam Nawa Cita ini mencerminkan apa yang terdapat
di dalam nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Hal senada juga disampaikan
oleh Budiman Sudjatmiko bahwa masyarakat yakin Nawa Cita dan Pancasila
akan mendapatkan mafaat dari pembangunan, dari demokrasi, karena mereka
tidak mau berada di bawah konstitusi yang lain, di bawah ideologi yang
lain, di bawah aturan negara yang lain kecuali NKRI, Pancasila, dan masyarakat
Bhineka Tunggal Ika yang sudah bertahan di wilayah nusantara ini.58
Nilai-nilai Pancasila menjadi spirit pemerintah untuk menyusun
program pemerintah yang akan dijalankan. Pemerintah yang merupakan
wakil dari masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat internasional
harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat Indonesia, menjadikan
Indonesia untuk bisa mandiri dan berdaya saing dalam era globalisasi.
Khofifah Indar Parawangsa menyatakan, hal yang termaktub dalam agenda
prioritas pemerintahan atau Nawa Cita poin kedelapan tentang revolusi
karakter bangsa dan poin kesembilan tentang restorasi sosial, dimana
Kementerian Sosial memprakarsai perwujudan agenda tersebut dengan
mengadakan sosialisasi pembangunan kepedulian sosial.59 Kepedulian sosial
adalah sebuah bentuk sikap yang bisa membangun kepekaan mental
individu yang pada akhirnya akan memperkuat ikatan kebangsaan menuju
persatuan dan kesatuan. Hal ini nantinya akan menjaga keutuhan NKRI
yang terancam dengan adanya globalisasi. Pancasila sebagai ruh bangsa
Indonesia akan membawa kemajemukan masyarakatnya menjadi arif untuk
menghadapi globalisasi. Sehingga nilai-nilai luhur Pancasila bukan hanya
menjadi ideologi semu. Ideologi yang hanya mempunyai cita-cita ideal
yang sulit diterjemahkan dalam sebuah sikap, bahkan dalam sebuah pilihan
berkehidupan.
58
Kompas Cyber Media, “Pancasila Tidak Sempurna, tetapi Ideologi Lainnya Jauh Lebih Buruk”,
online: KOMPAS.com <http://nasional.kompas.com/read/2016/ 11/19/13395571/.pancasila.
tidak.sempurna.tetapi.ideologi.lainnya.jauh.lebih.buruk.>.
59
Ibid.
[ 297 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Referensi
Bolo, Andreas D et al. Pancasila Kekuatan Pembebas, Buku Humaniora
Universitas Parahyangan (Sleman: PT. Kanisius Yogyakarta, 2012).
Borofsky, R. Assessing Cultural Anthropology (New York: McGraw-Hill,
Inc).
Driyakarya, Driyakarya. Tentang Negara dan Bangsa, Kumpulan Karangan
(Yogyakarta: Kanisius, 1980).
Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Jakarta:
Insist Press, 2009).
Hatta, Mohammad. Islam, Society, Democarcy & Peace (New Delhi:
Information Service Indonesia, the Embassy of the Republic of
Indonesia in India, 1955).
Jamaludin, Adon Nasrullah. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat
Kota dan Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015).
Kaelan, Kaelan. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis,
Yuridis, dan Aktualisasinya, pertama ed (Yogyakarta: Paradigma,
2013).
Magnis-Suseno, Franz. Pijar-pijar filsafat: dari Gatholoco ke filsafat perempuan,
dari Adam Müller ke Postmodernisme (Kanisius, 2005).
Soediman, Kartohadiprojo. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
(Bandung: Gatra Pustaka, 2010).
Soekarno, Soekarno. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta:
Media Presindo, 2006).
Adi, Purwito. “Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Bagi Masyarakat Sebagai
Modal Dasar Pertahanan Nasional NKRI” (2016) 1:1 J Moral
Kemasyarakatan, online: <http://ejournal.unikama.ac.id/index.
php/JMK/article/view/1185>.
Agung Pribadi, Winner. “Sumbangan Perspektif Gramscian dalam
Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ” (2008) II 23.
Alam, Bachtiar. “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori
Kebudayaan” (1998) 54 J Antropol Indones 1.
Fansuri, Hamzah. “Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian
Sosiologi Indonesia” (2012) 2:1 J Sosiol Islam, online: <http://
jsi.uinsby.ac.id/index.php/ jsi/article/view/17>.
Hadiwigeno, Soetatwo. “Globalisasi, Liberalisasi dan Daya Saing Sektor
Pertanian” (1999) 4 JEP.
[ 298 ]
Emanuel Raja Damaitu & Ayuningtyas Saptarini
Khanif, Al, ed. “Pancasila dan Agama: Teman atau Lawan?” in Pancasila
Sebagai Relitas Percik Pemikir Tentang Pancasila Dan Isu-Isu
Kontemporer Indones (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016).
Khilnani, Sunil & S Kaviraj, eds. “The Development of Civil Society” in Civ
Soc Hist Possibilities, 5th ed (Cambridge: University Press, 2001).
Kuspradono, B. “Kritik Terhadap Konsep Pembangunan Ekonomi
‘Neoliberal’” (2016) 7:2 Kinerja 165.
Muhammaddin, Muhammaddin. “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama”
(2016) 14:1 J Ilmu Agama 99.
Rahmania, Novita & Martinus Legowo. “Konstruksi Remaja Tentang
Media Online Perubahan Gaya Hidup Pada Era Globalisasi Di
Ketintang Timur Surabaya” (2016) 4:1 Paradigma, online:
<http://ejournal.unesa.ac.id/article/18061/39/ article.pdf>.
Rato, Dominukus. “Korelasi Pancasila, Proklamasi, dan Pembukaan
Konstitusi” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Realitas Percik
Pemikir Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016).
Shidarta, Shidarta. “Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dalam
Gagasan Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo” (2015)
1:1 Veritas Justitia, online: <http://journal.unpar.ac.id/index.php/
veritas/article/view/1415>.
Sitanggang, Murni Hermawati. “Pancasila dalam Dinamika Pluralisme
Indonesia” in Al Khanif, ed, Pancasila Sebagai Relitas Percik Pemikir
Tentang Pancasila Dan Isu-Isu Kontemporer Indones (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016).
Sriwanto, Sigid. “Tiga Pilar Globalisasi Dan Global Ekonomi” (2009) 1:2
Geo Edukasi, online: <http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.
php/GeoEdukasi/ article/view/716>.
Wahana, Paulus. “Menerapkan Etika Nilai Max Scheler dalam Perkuliahan
Pendidikan Pancasila Untuk Membangun Kesadaran Moral
Mahasiswa” (2016) 26:2 J Filsafat 189.
Winarno, Budi. “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi” (2015) 1:1 J
Hub Int 1.
Yuniarto, Paulus Rudolf. “Masalah Globalisasi di Indonesia: Antara
Kepentingan, Kebijakan, dan Tantangan” (2016) 5:1 J Kaji Wil 67.
Media, Kompas Cyber. “Pancasila Tidak Sempurna, tetapi Ideologi Lainnya
Jauh Lebih Buruk”, online: KOMPAS.com <http://nasional.
[ 299 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
kompas.com/read/2016/ 11/19/13395571/.pancasila.tidak.
sempurna.tetapi.ideologi.lainnya.jauh.lebih.buruk.>.
Post, The Jakarta. “Questioning a theistic, secular Pancasila to protect
religions”, online: Jkt Post <http://www.thejakartapost.com/news/
2015/06/01/ questioning-a-theistic-secular-pancasila-protectreligions.html>.
Soekarno. Tjamkan Pantja Sila; Pantja Sila Dasar Falsafah Negara (Jakarta,
1964).
Tarigan, Kartika S. “Kasus Korupsi P2KTrans, Anggota DPR Charles
Mesang Ditahan KPK”, online: detiknews <http:/>.
TempoCo. “Salim Kancil Dibunuh, Komnas: Pelanggaran HAM Jelas
Terjadi”, online: Tempo News <https://m.tempo.co/read/news/
2015/10/05/063706547/salim-kancil-dibunuh-komnaspelanggaran-ham-jelas-terjadi>.
“Kasus penodaan agama masih mewarnai di 2013”, (26 April 2013), online:
SINDOnews.com <https://nasional.sindonews.com/read/
742167/15/kasus-penodaan-agama-masih-mewarnai-di-20131366915825>.
“Arti kata modal - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”, online:
<http://kbbi.web.id/modal>.
“Arti kata manajemen-Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”,
online: <http://kbbi.web.id/manajemen>.
“Koran TEMPO | Situs Berita Online Indonesia”, online: <https://
koran.tempo.co/konten/2006/09/21/82626/GlobalisasiRugikan-Indonesia-Rp-18-Triliun-Setiap-Tahun>.
“Pemerintah Bahas Perusahaan Patungan Dengan Cemex”, online: Tempo Bisnis
<https://bisnis.tempo.co/read/news/2005/01/14/05654955/
pemerintah-bahas-perusahaan-patungan-dengan-cemex>.
[ 300 ]
PANC
A SIL
A D
AN KED
AUL
ATAN BAHA
SA
PANCA
SILA
DAN
KEDA
ULA
BAHASA
DAL
AM PUSARAN GLOBALISA
SI
ALAM
GLOBALISASI
Wiwit Kurniawan
Latar B
elakang: G
lobalisasi dan P
olitik B
ahasa
Belakang:
Globalisasi
Politik
Bahasa
K
ita sekarang hidup di era di mana setiap orang di berbagai belahan
dunia saling terhubung dan bisa berkomunikasi dengan mudah.
Fenomena globalisasi telah merubah sendi-sendi kehidupan dalam
berbagai masyarakat yang memiliki budaya yang beragam. Dengan adanya
konektivitas yang masif, setiap budaya dan masyarakat tidak bisa hidup
terisolasi, namun akan menjadi bagian dari jejaring masyarakat dunia.
Adanya globalisasi tentu bisa memberikan dampak positif, seperti
peningkatan perdagangan internasional dan silang budaya. Namun di sisi
lain, interaksi budaya dalam masyarakat global bisa membawa pada
subordinasi, imperialisme dan kolonialisme bentuk baru. Globalisasi
membawa kita pada dunia yang tanpa batas dan model komunitas plural,
namun bagaimana pengetahuan disebarkan menunjukkan adanya diskurus
tunggal dan tradisi intelektual dari komunitas yang lebih dominan.1 Bentuk
infiltrasi negatif dan dominasi tersebut terjadi di berbagai dimensi, termasuk
ranah bahasa. Munculnya salah satu bahasa internasional yang dominan
menurut Phillipson disebut Imperialisme bahasa. Imperialisme bahasa
adalah dominasi suatu bahasa yang ditegaskan oleh konstruksi terus-menerus
atas ketidakadilan (inequality)secara struktural maupun kultural antara
bahasa yang dominan dengan bahasa lain.2 Pancasila sebagai falsafah hidup
1
2
Suresh A Canagarajah, ed., 2005. Reclaiming the Local in Language Policy and Practice, New York:
Routledge, hal xiv.
Robert Phillipson, 1992. Linguistic Imperialism, Oxford: Oxford University Press, hlm. 47.
[ 301 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bangsa Indonesia memiliki fungsi sebagai panduan dalam membendung
hegemoni asing dalam arus globalisasi. Untuk mengatasi berbagai persoalan
yang timbul atas dampak globalisasi di ranah bahasa, diperlukan nilainilai praktis sebagai panduan yang bersumber dari Pancasila dan kebudayaan
bangsa.
Indonesia, sebagai negara di persimpangan benua, telah mengalami
globalisasi sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam konteks perdagangan
global, di Nusantara sejak lama telah ada jalur perdagangan antara Barat
dan Timur3. Pada era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kapal-kapal
nusantara telah berlayar mengarungi samudera untuk berdagang dan
berdiplomasi ke negara-negara ‘atas angin’. Pada sekarang ini, intensitas
interaksi budaya tentu akan lebih intens. Oleh karana itu, dampak negatif
dari globalisasi juga muncul di Indonesia.
Atas dampak globalisasi tersebut kebudayaan Indonesia senantiasa
berinteraksi dengan kebudayaan-kebudayaan lain di dunia. Berbagai
keunggulan budaya luar bisa memperkaya khasanah kebudayaan
Nusantara. Di sisi lain globalisasi merupakan sebuah virus mematikan yang
bisa berpengaruh buruk pada pudarnya eksistensi budaya-budaya lokal4.
Sebagai contoh, masuknya budaya Barat melalui media membuat
masyarakat mengikuti tren populer namun tanpa filter kritis dan diduplikasi
secara serampangan. Alih-alih melakukan modernisasi dalam masyarakat,
malah hanya melakukan pembaratan (westernization) saja. Meniru budaya
Barat namun hanya permukaannya saja dan terkadang bertentangan dengan
nilai budaya bangsa.
Di samping membawa heterogenitas budaya, globalisasi juga
menyebabkan penyeragaman dalam segi bahasa. Globalisasi memungkinkan
munculnya keberagaman budaya dalam sebuah komunitas tertentu. Setiap
orang dari latar budaya dan bahasa yang berbeda bisa berinteraksi dengan
masyarakat dari budaya yang berbeda. Heterogenitas tersebut memerlukan
adanya syarat, yakni kesatuan bahasa. Walaupun menyajikan pertemuan
berbagai budaya, globalisasi mendorong masyarakat dunia untuk
3
4
Syahruddin Mansyur, 2016. “Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah dalam Jaringan Perdagangan Masa
Kolonial di Maluku,” Kapata Arkeologi, 7, 13, hlm. 20.
A. Safril Mubah, 2011. “Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam Menghadapi Arus
Globalisasi,” Jurnal Unair, 24, 4, hlm. 302.
[ 302 ]
Wiwit Kurniawan
menggunakan bahasa yang sama, dalam hal ini adalah bahasa Inggris. Dalam
interaksi global ini bahasa Inggris menjadi penghubung. Oleh karena itu,
banyak negara di dunia sangat menekankan penguasaan bahasa Inggris
bagi warganya.
Di Indonesia, posisi bahasa Inggris baik dalam pendidikan maupun
dalam masyarakat sangat penting. Dalam pendidikan di Indonesia, bahasa
Inggris diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Mata pelajaran bahasa Inggris juga dijadikan mata kuliah yang diujikan
secara nasional di sekolah. Dalam masyarakat Indonesia, bahasa Inggris
juga dianggap sebagai bahasa yang memiliki prestis tinggi. Di Indonesia,
bahasa Inggris digunakan sebagai media bahasa perdagangan internasional
dan bahasa akademik. Oleh karena itu, ada kesan orang yang menguasai bahasa
Inggris adalah orang dari golongan yang terpelajar, modern dan pintar.5
Bahasa Inggris di Indonesia tidak sekedar menjadi bahasa asing (foreign
language), namun merupakan suatu instrumen kolonialisme. Phillipson
memandang globalisasi sebagai sebuah kesatuan rajutan antara
Americanization dan Englishization6, usaha untuk menyebarkan dominasi
bahasa Inggris. Sugiharto melihat bahwa ada efek dari globalisasi di mana
negara yang kuat dianggap sebagai ’center’ dan yang lemah sebagai
‘periphery’, negara yang dominan memaksakan kuasanya atas yang didominasi7.
Dalam hal ini, yang dipermasalahkan adalah bukan penyebarannya yang
masif, namun adanya wacana yang menggiring pemikiran untuk
mengagung-agungkan (fetisme) bahasa Inggris. Konsekuensi tersebut
berakibat munculnya ‘keminderan’ berbahasa. Ada rasa tidak percaya diri
dengan bahasa sendiri dan cenderung memuja bahasa Inggris.
Bahasa Inggris sangat jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari
di Indonesia, masyarakat lebih banyak menggunakan bahasa daerah atau
bahasa Indonesia. Walaupun demikian, hal ini tidak membuat bahasa
Inggris absen dari pergaulan di Indonesia. Fenomena yang terjadi di
Indonesia adalah terjadinya campur kode (mix code) antara bahasa Indonesia
5
6
7
Allan Lauder, 2010. “The status and function of English in Indonesia: A review of key factors,”
Makara Hubs-Asia, 8, 3, hlm. 6.
Setiono Sugiharto, 2013. “Rethinking Globalization, Reclaiming the Local: A Post-Colonial Perspective of English Language Education in Indonesia,” The Indonesian Quarterly, 41, 3, hlm. 151.
Ibid.
[ 303 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dan bahasa Inggris. Jika digunakan sebagaimana mestinya, campur kode
bisa menambah khasanah perbendaharaan kata, namun jika dilakukan
serampangan akan menyebabkan kekacauan bahasa. Ariel Heryanto
menyampaikan bahwa penggunaan istilah bahasa Inggris secara obral dan
serampangan banyak muncul dalam pergaulan remaja di Indonesia dan
film-film remaja, bahkan gejala ini dianggap normal.8 Penutur Indonesia
menyerap istilah dalam kalimat asing namun tanpa mengindahkan makna
dan gramatika. Akhirnya yang muncul adalah bahasa campur aduk, tidak
bisa dikatakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris pun tidak.
Dalam perspektif bangsa Indonesia, bahasa merupakan entitas sentral
dalam sebuah identitas budaya. Sumarsono menyebutnya sebuah identitas
diri yang konstruktif9. Hal ini terlihat dalam Sumpah Pemuda, ditegaskan
bahwa yang satu tidak hanya bangsa dan tanah air, namun juga bahasa.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun memiliki fungsi kohesif
sebagai pemersatu10, pembentuk suatu identitas bangsa. Bahasa merupakan
sebuah entitas pembeda dan ‘ruang’ di mana budaya dan bangsa ada dan
berkembang. Oleh karena itu, permasalahan fetisme bahasa asing dan
campur-aduk bahasa menjadi hal yang penting. Persoalan ini tidak hanya
tentang bahasa saja, namun merupakan persoalan identitas kebangsaan
dan nasionalisme.
Dalam berbangsa dan bernegara, masyarakat Indonesia berpedoman
pada Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup
bangsa.11 Oleh karena itu, berbagai persoalan kebangsaan dan nasionalisme
harus merujuk pada nilai-nilai luhur Pancasila. Sebagai pandangan hidup,
Pancasila merupakan pedoman dalam berbagai segi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal ini tidak terkecuali pada permasalahan politik bahasa
yang ada sekarang ini. Dalam menyelenggarakan masyarakat, aturan
berbahasa juga harus merefleksikan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai
bintang pembimbing (leading star) harus digali dan dihayati agar bisa
8
Ariel Heryanto, Rubrik Asal-Usul, Kompas Cyber Media, 11 Maret 2007
Sumarsono, 2002, Sosiolinguistik, Yogyakarta: Sabda bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, hlm.
162.
10
Jujun S Suriasumantri, 1984, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan,
hlm. 200.
11
Rozali Abdullah, 1993, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 8.
9
[ 304 ]
Wiwit Kurniawan
merumuskan panduan nilai-nilai dalam menyusun kebijakan dan tindakan
bahasa di Indonesia.
Pancasila merupakan pandangan hidup untuk setiap persoalan bangsa,
termasuk persoalan bahasa. Oleh karena itu, perlu adanya kajian bagaimana
nilai-nilai pancasila berbicara soal kebahasaan dan rumusan apa yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan persoalan imperialisme bentuk baru
berupa hegemoni bahasa asing di Indonesia.
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji bagaimana proses globalisasi
dan dampaknya pada Indonesia, terutama dalam ranah bahasa. Dalam
perspektif pemikiran Robert Phillipson, fenomena fetisme bahasa Inggris
dan posisinya yang dominan dipandang sebagai suatu imperialisme bahasa.
Penjabaran atas bagaimana fenomena globalisasi memperkuat imperialisme
bahasa akan disajikan untuk memperjelas konteks yang tengah terjadi.
Untuk memecahkan permasalahan terkait Imperialisme bahasa dalam
pusaran globalisasi ini, penulis akan menggali nilai-nilai Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa. Pancasila digunakan sebagai problem solver dalam
persoalan kebahasaan.
Globalisasi dan Dampaknya dalam Kebahasaan di Indonesia
Dalam bagian ini penulis akan menjabarkan hakikat globalisasi, baik segi
sejarah maupun konsep. Bagian ini akan mengkaji bagaimana fenomena
globalisasi tersebut berdampak pada kebutuhan untuk berbahasa Inggris
dan bagaimana bahasa tersebut menjadi bahasa yang dominan dalam kancah
global.
Istilah ‘global’ menurut Oxford English Dictionary telah muncul sejak
400 tahun yang lalu, namun penggunaannya secara umum mulai tahun
196012. Globalisasi menjadi wacana yang banyak dibahas oleh pemikir di
berbagai disiplin keilmuan. Oleh karena itu, pendefinisian atas istilah
globalisasi menjadi sulit. Di samping masalah etimologi, kapan fenomena
globalisasi dimulai juga merupakan permasalahan yang pelik. Untuk lebih
memahami fenomena tersebut, berikut ini akan dibahas sejarah globalisasi
dan pengertiannya secara konseptual.
12
Malcolm. Waters, 2001, Globalization (2nd edn), London and New York: Routledge, hlm. 2.
[ 305 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Interaksi antar bangsa dalam catatan sejarah dimulai sejak awal
munculnya peradaban besar. Walaupun sudah berlangsung sejak lama,
interaksi yang cukup kuat dan terjalin lama dimulai saat ramainya jalur
sutra, sebuh jalur perdagangan yang menghubungkan Eropa dan Cina.
Janet Abu-Lughod menjelaskan bahwa “Perekonomian perdagangan
internasional yang terbentang dari tenggara Eropa sampai Cina pada masa
1250 sampai 1350, telah mengubah Asia tengah menjadi ‘media tanpa
friksi’ melalui perdagangan dan pertukaran yang lancar dan bebas.”13 Pada
era inilah berbagai suku bangsa dan kebudayaan saling berinteraksi secara
masif dan teratur dalam rangka perdagangan.
Revolusi industri dan kemajuan teknologi yang terjadi di Eropa juga
merupakan faktor penting dalam mendorong globalisasi di era modern.
Penemuan kapal uap dan penjelajahan atas benua baru merupakan jalan
dimulainya interaksi global secara masif. Pada abad ke-15 dan 16, bangsa
Eropa membuat rintisan terpenting dalam penjelajahan samudera, salah
satunya adalah pelayaran ke “Dunia Baru” oleh Columbus untuk mencari
rempah-rempah14. Berbagai perkembangan teknologi, kebutuhan akan
bahan baku dan surplus produksi memaksa bangsa Eropa untuk mencari
daerah-daerah koloni sebagai sumber bahan baku dan daerah pemasaran
mereka. Berbagai faktor tersebut memungkinkan terjadinya suatu interaksi
global dengan sangat cepat.
Globalisasi pada awal zaman modern berbeda dengan globalisasi masa
lalu lewat jalur sutra. Globalisasi modern didongkrak oleh kapitalisme dan
kebutuhan akan sumber daya alam. Oleh karena itu, globalisasi saling
berkelindan dengan invasi bangsa-bangsa Eropa. Hal ini seperti yang
diutarakan oleh Malcom Waters bahwa Globalisasi adalah konsekuensi
langsung dari ekspansi kebudayaan Eropa yang membentang di seluruh
planet melalui pemukiman, kolonialisasi, dan replika budaya. Globalisasi
saling terikat dengan pola perkembangan kapitalisme sebagaimana hal
tersebut menyebar melalui ranah politik dan budaya.15 Globalisasi dalam
pengertian Waters tidak hanya suatu perdagangan yang fair, namun suatu
13
Kevin H. O’Rourke, dan Jeffrey G. Williamson, 2002, “When did globalisation begin?” European
Review of Economic History, 6, 1, hlm. 2.
14
Ibid. Hlm. 1
15
Malcolm Waters, supra note 12, hlm. 6.
[ 306 ]
Wiwit Kurniawan
arena penundukan dan penjajahan. Melalui jalan globalisasilah
imperialisme beroperasi dan penundukan wilayah dan budaya lain dimulai.
Konsep Globalisasi
Karena istilah globalisasi digunakan oleh banyak pemikir dari berbagai
latar belakang disiplin ilmu, penyeragaman istilah globalisasi akan sangat
sulit. Walaupun sulit membuat definisi yang bulat, dengan analisis sejarah
di atas, akan didapat pengertian khusus akan globalisasi. Secara umum
globalisasi dipandang sebagai fenomena yang memberi kesadaran bahwa
kita semua adalah bagian dari masyarakat global. Seperti yang diutarakan
oleh Waters bahwa “Komponen penting definisi adalah gagasan atas
intensifikasi kesadaran global dimana ini adalah sebuah fenomena baru.”
Namun jika dilihat dari analisis sejarah yang disajikan di atas, globalisasi
tidak sekedar interaksi dan komunikasi. Dalam globalisasi ini muncul pada
kesadaran global, kesadaran yang menyokong adanya saling ketergantungan
material yang sangat tinggi, kesadaran yang meningkatkan kemungkinan
dunia akan diubah menjadi suatu sistem tunggal.”16 Sehingga globalisasi
bukan hanya tumbuhnya kesadaran akan kesatuan global, namun
munculnya suatu sistem tunggal. Sistem inilah yang akan mengontrol
lokalitas agar tunduk atas kuasa global.
Dalam makalah ini, globalisasi dipandang sebagai suatu fenomena di
mana berbagai bangsa dan budaya saling berinteraksi, namun interaksi
tersebut tidaklah dalam kedudukan yang setara. Globalisasi merupakan
jalan untuk melakukan infiltrasi dan hegemoni oleh budaya yang dominan
kepada budaya subordinat. Globalisasi adalah arena pertarungan antar
budaya, budaya kuat melakukan hegemoni, budaya lokal melakukan resistensi.
Karena globalisasi merupakan arena pertarungan, hal ini akan
berdampak pada lokalitas dan nasionalisme suatu bangsa. Dengan adanya
globalisasi, nasionalisme dan kedaulatan suatu bangsa diuji dan ditantang.
Dalam konteks Indonesia, di era globalisasi, ketahanan nasional merupakan
perisai untuk membendung pengaruh buruk dari berbagai ideologi dan
budaya asing. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
akan berinteraksi dengan budaya dan ideologi asing. Di sinilah urgensi
16
Ibid. hlm. 205.
[ 307 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
penghayatan nilai-nilai pancasila dalam berbagai ranah di mana arus global
menggempur sendi kehidupan bangsa.
Nasionalisme D
iserang P
enjajahan B
ar
u
Diserang
Penjajahan
Bar
aru
Bahasa adalah instrumen penting dalam identitas nasional dan kebangsaan.
Seperti kata pepatah bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Oleh karena
itu, kebahasaan yang terbebas dari belenggu kolonial merupakan syarat
mutlak untuk membentuk suatu negara yang berdaulat. Dalam fenomena
kebahasaan di Indonesia, di mana imperialisme baru yang menumpang
globalisasi mengikis kedaulatan bahasa, perlu adanya kajian untuk
mempertahankannya.
Dalam ketatanegaraan Indonesia, Pancasila adalah landasan dan
pandangan hidup bangsa. Pancasila merupakan antitesis dari imperialisme
dan kolonialisme yang terjadi selama 350 tahun di bumi nusantara. Karena
posisi Pancasila sebagai filter ideologi luar dan penangkal kolonialisme,
maka nilai-nilai luhur Pancasila perlu digali untuk menanggulangi
fenomena penjajahan bahasa yang terjadi di Indonesia.
Kedudukan P
ancasila dalam M
asyarakat IIndonesia
ndonesia
Pancasila
Masyarakat
Tanggal 1 Juni 1945 untuk pertama kali Bung Karno menyampaikan pidato
yang monumental tentang Pancasila sebagai dasar negara di depan sidang
BPUPKI, pada hari itulah lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan
nama Pancasila17. Pancasila lahir dari sebuah proses yang panjang dan
melibatkan berbagai unsur dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.
Munculnya Pancasila merupakan suatu titik tolak dalam sejarah perjuangan
bangsa. Pancasila dirumuskan untuk menjadi sebuah dasar negara, sebuah
landasan bagi kemerdekaan dan kebebasan dari penjajahan. Pancasila
merupakan sebuah penolakan atas imperialisme dan kolonialisme. Seperti
yang diutarakan Hartati Soemasdi bahwa munculnya Pancasila dan negara
adalah suatu sintesis dari pergulatan thesis-anthitesis yang ada pada
zamannya18. Pancasila merupakan sebuah rumusan untuk melawan segala
bentuk kolonialisme.
17
Pimpinan MPR, 2012, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekertariat Jenderal MPR RI,
hlm. 41.
18
Hartati Soemasdi, 1985, Pemikiran Tentang Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 35.
[ 308 ]
Wiwit Kurniawan
Memang benar bahwa Soekarno adalah perumus Pancasila, namun
beliau menolak untuk disebut sebagai pencipta Pancasila. Pancasila sudah
ada sejak dahulu dalam jiwa bangsa Indonesia. Seperti yang diutarakan
Soekarno dalam pidatonya “Saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah
pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekedar
memformuleerkan perasaan-perasaan yang ada dalam kalangan rakyat
dengan beberapa kata-kata, yang saya namakan Pancasila19.” Sehingga,
Pancasila adalah produk zaman, sebuah perjalanan panjang dan pengalaman
yang dilalui bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap silanya merupakan kristalisasi
berbagai kepribadian luhur bangsa Indonesia di berbagai wilayah dan
zamannya. Kalau kita menggali jiwa bangsa Indonesia dari dahulu hingga
sekarang, kita akan menemukan kelima unsur tersebut dalam jiwa bangsa
Indonesia20. Pancasila bukan merupakan barang baru, namun sebuah
ikhtisar kepribadian semua kebudayaan nusantara. Nilai-nilai luhur
pancasila telah dan tengah ada dalam tiap-tiap kebudayaan dan masyarakat
Indonesia yang menjelma dalam berbagai nilai, aturan, adat-istiadat, hikayat
dan nasehat.
Implementasi P
ancasila, M
asih R
elev
ankah?
Pancasila,
Masih
Relev
elevankah?
Walaupun Pancasila merupakan sebuah manifesto luhur bangsa, namun
dalam masa Orde Baru Pancasila diselewengkan. Pancasila ditafsirkan oleh
penguasa sesuai dengan kebutuhannya dan dipaksakan ke dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, pasca runtuhnya rezim Soeharto, Pancasila
seakan menjadi trauma tersendiri dalam masyarakat.
Atas pengalaman tersebut, bukan berarti Pancasila harus terkubur
bersama kelamnya masa lalu. Namun harus dihidupkan kembali sebagai
jatidiri bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Tafsir dan makna Pancasila
tidak boleh dimonolopi oleh segelintir elit penguasa. Pancasila adalah milik
sejarah dan rakyat Indonesia sepenuhnya. Di sanalah, di jiwa merekalah
Pancasila bersemanyam. Bukan pada politikus, dewan perumus, atau
akademikus.
19
20
Pimpinan MPR, supra note 17, hlm. 42.
Rozali Abdullah, supra note 11, hlm. 5.
[ 309 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Untuk menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai dasar
dan penuntun kepribadian bangsa, Pancasila perlu di-dekonstruksi.
Revitalisasi Pancasila adalah dengan melepaskannya dari segala belenggu
penafsiran tunggal, menyerahkannya pada asalnya, dalam jiwa rakyat
Indonesia. Seperti yang diutarakan oleh Soekarno bahwa “Aku menggali
di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya
bangsa Indonesia itu ada lima perasaan21.” Maka untuk melakukan
penghayatan akan Pancasila bukan dengan meletakannya sebagai postulat
dan melakukan deduksi yang menghasilkan nilai praktis dari postulat
tersebut, namun dengan menggali, mencari dan menghayati dalam
kebudayaan, jiwa masyarakat dan konteks bangsa Indonesia nilai-nilai
luhurnya, lalu merefleksikannya ke dalam setiap sila di Pancasila.
Penghayatan Pancasila juga perlu mempertimbangkan setiap sila yang
ada. Hal ini karena Pancasila merupakan sebuah keutuhan, setiap silanya
saling mengunci. Seperti yang dikatakan Soemasdi bahwa ajaran Pancasila
adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat22. Sila KeTuhanan Yang Maha Esa tidak berdiri sendiri, namun Ke-Tuhanan yang
dimaksud terlingkupi oleh Kemanusiaan. Pemahaman menyeluruh atas
setiap sila dan penghayatan dari bawah/ konteks masyarakat adalah kunci
dalam menghidupkan kembali Pancasila sebagai jiwa bangsa. Dalam
pengamalannya, Pancasila perlu ditransformasi menjadi tujuan hidup,
tinjauan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup, dasar sikap hidup23.
Pancasila sebagai pegangan hidup merupakan solusi atas berbagai
persoalan bangsa. Di samping itu, pancasila merupakan sintesis dari
dialektika perjuangan dan penjajahan. Oleh karena itu, dalam permasalahan
yang diangkat dalam tulisan ini yakni terkait imperialisme dan kolonialisme
bahasa, Pancasila merupakan solusi yang tepat. Sebagai sebuah solusi,
Pancasila perlu ditransformasi ke dalam nilai praktis sebagai panduan dalam
menyelesaikan persoalan kedaulatan bahasa yang tengah kita hadapi.
Dalam pengamalan Pancasila, perlu tekad yang bulat atau Ekaprasetya
Pancakarsa. Ekaprasetya Pancakarsa berarti tekad yang bulat untuk
21
Pimpinan MPR, supra note 17, hlm. 42.
Hartati Soemasdi, supra note 18, hlm. 35.
23
Ibid. hlm. 44.
22
[ 310 ]
Wiwit Kurniawan
melaksanakan lima kehendak.24 Tekad diperlukan untuk selalu berpegang
pada jiwa dan kepribadian bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Untuk
melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan.
Penghayatan SSila-sila
ila-sila P
ancasila dalam Ranah K
edaulatan
Pancasila
Kedaulatan
Bahasa
Pancasila harus dikemukakan isi dan artinya yang kontekstual sehingga
nilainya bisa ditemukan dalam semua kebudayaan bangsa Indonesia.
Pancasila yang terdiri dari lima sila masing-masing silanya adalah KeTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Dalam
bagian ini penulis akan mencoba menggali dan menghayati berbagai nilainilai dalam kebudayaan bangsa dan mengawalinya dari persoalan secara
kontekstual di masyarakat, setelah itu akan direfleksikan ke dalam nilainilai Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila dalam real kondisi masyarakat
akan digali sebagai suatu problem solving dalam menghadapi tantangan
globalisasi dan imperialisme bahasa yang tengah dialami.
Untuk menghadapi fenomena imperialisme bahasa, penulis akan
menganalisa setiap sila dalam pancasila yang nanti akan dijadikan nilai
rujukan dalam permasalahan kebahasaan kita. Sila yang paling utama sebagai
rujukan adalah sila ke-3 dan ke-5, yakni Persatuan Indonesia dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ke-3 merupakan landasan untuk
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, hal ini relevan untuk acuan dalam
kebahasaan di mana salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat pemersatu
bangsa. Sila Keadilan sosial mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat
adil dalam segala hal. Prinsip keadilan bisa digunakan sebagai landasan
untuk bisa menempatkan segala sesuatu sebagaimana fungsi dan
tempatnya. Seperti dalam hal kebahasaan, di mana perlu meletakkan dan
menggunakan bahasa asing dan bahasa nasional sesuai fungsi dan
kedudukannya. Dari analisa Pancasila ini lah akan diperoleh landasan etika
dalam menghadapi persoalan imperialisme bahasa.
Karena Pancasila merupakan sistem filsafat yang integral, maka setiap
sila akan terpaut dengan sila yang lain. Dalam pembahasan ini penulis
24
Ibid. hlm. 64.
[ 311 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
lebih menekankan sila ke-3 dan sila ke-5, namun akan tetap
mengkorelasikan dengan sila-sila yang lain. Dengan pendekatan holistik
ini, diharapkan Pancasila bisa menjadi sumber nilai bagi tantangan
imperialisme bahasa dalam era globalisasi.
Bahasa SSebagai
ebagai P
emersatu B
angsa
Pemersatu
Bangsa
Benedict Anderson mengatakan bahwa human language created possibility
of a new form of immaged community.25 Hal ini menyimpulkan bahwa
bahasa adalah unsur pemersatu dan pembentuk suatu bangsa. Oleh karena
itu, kedaulatan bahasa adalah faktor penting dalam usaha menjaga kesatuan
dan persatuan Indonesia. Persatuan yang dimaksud adalah persatuan yang
melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Seperti dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia sepakat untuk bersatu dengan
tujuan melindung hak setiap rakyatnya dari segala bentuk penindasan.
Seperti kata pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”. Sila Persatuan
Indonesia mengajarkan bahwa bangsa Indonesia harus bangga dengan
bahasa nasionalnya, karena bahasa Indonesia telah mempersatukan ribuan
pulau yang ada di nusantara. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan
bahasa nasional merupakan ancaman bagi persatuan. Kebanggaan berbahasa
Indonesia bukan berarti pemaksaan penggunaannya dalam setiap
percakapan dan kehidupan sehari-hari. Namun lebih pada saat penggunaan
sesuai fungsinya dan dengan diiringi rasa bangga.
Memposisikan secara biner bahasa nasional dan bahasa Inggris dan
meletakkan bahasa Inggris di posisi yang lebih prestisius merupakan tanda
kurangnya penghayatan akan nilai persatuan bangsa. Hal ini bukan berarti
anti atau melarang apa yang serba asing, namun penghapusan mental
terjajah atau mental inlander. Mental yang merasa rendah diri akan
identitasnya, mental yang selalu silau dan takluk dengan tuan dan nyonya
kompeni.
Sebagai alat pemersatu bangsa, kedudukan bahasa Indonesia tidak bisa
digantikan oleh bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Pancasila dalam
25
Benedict Anderson, 2006, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism, London: Verso Books, hlm. 59.
[ 312 ]
Wiwit Kurniawan
sila ke-3 menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa
persatuan tersebut, kedaulatan dan kestabilan negara akan sulit diraih.
Karena bahasa nasional sebagai bahasa pemersatu sangat penting, maka
tindakan fetisme bahasa Inggris dan memposisikan bahasa tersebut sebagai
bahasa yang utama merupakan hal yang keliru.
Keadilan dalam Berbahasa
Pada Sila ke lima berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Secara umum, sila ini berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat
perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial dan budaya26.
Keadilan adalah bersedia memberikan kepada orang lain apa yang menjadi
haknya27. Keadilan ini juga perlu diimplementasikan pada penutur bahasa
dan ranah kebahasaan.
Dalam masyarakat modern, meminjam istilah dari Phillipson, right of
language atau hak berbahasa merupakan hak yang harus diakui dalam
masyarakat demokrasi. Setiap orang berhak menggunakan bahasa aslinya
tanpa intimidasi dan stereo typing. Bahasa adalah setara, konstitusi dan
Pancasila tidak mengizinkan suatu bentuk bahasa digunakan untuk
merendahkan atau mempertinggi kedudukan seseorang.
Dalam masa kolonial, hak-hak kemanusiaan dan kesetaraan hanya
diberikan kepada golongan orang Belanda dan kalangan ningrat. Setiap
bangsa juga dikotakkan dengan hanya boleh menggunakan bahasanya
sendiri. Bahasa Belanda diposisikan sebagai bahasa Tinggi yang boleh
digunakan oleh kalangan atas. Pancasila yang mengandung nilai keadilan
merupakan antithesis dari ketimpangan ini. Keadilan sosial masyarakat akan
hak kesetaraan dan kemanusiaan harus dimiliki oleh setiap warga Indonesia.
Tidak ada bahasa yang lebih tinggi derajatnya dari bahasa lain. Yang
menentukan tinggi rendahnya seseorang bukan jenis bahasanya namun
apa yang dibahasakan. Keadilan sosial dalam hal bahasa adalah menjunjung
tinggi kedaulatan bahasa persatuan, memberikan hak yang sama bagi setiap
warga untuk berbahasa.
26
27
Pimpinan MPR, supra note 17, hlm. 80.
Hartati Soemasdi, supra note 18, hlm. 47.
[ 313 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sila Keadilan sosial juga terpaut dengan sila Kemanusiaan yang adil
dan beradab. Karena keadilan akan saling beriringan dengan kemanusiaan
dan keberadaban. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengantarkan
kita akan sejarah kebudayaan nusantara yang beradab dan berkeadilan.
Dalam konteks penjajahan bahasa, kita bisa mengambil hikmah bahwa
tiap-tiap kebudayaan nusantara tidak pernah memaksakan suatu suku atau
bangsa untuk menggunakan bahasa tertentu. Bahasa adalah ciri dan
identitas kebangsaan. Oleh karena itu, kita harus menghargai seseorang
atas pilihan bahasanya. Kita harus meletakkan bahasa asing/ Inggris sebagai
mana mestinya. Bahasa asing sebagai sarana untuk berkomunikasi pada
yang asing. Bukan untuk dipaksakan dalam kehidupan internal negara
yang berdaulat. Hal ini juga tidak berarti melarang penggunaan bahasa
Inggris, namun penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi dan
kedudukannya.
Penutup
Sebagai pemersatu bangsa, bahasa Indonesia memiliki kedudukan penting.
Dalam arus globalisasi yang membawa imperialisme dan kolonialisme
bentuk baru dalam ranah bahasa, membuat kedaulatan bahasa di Indonesia
menjadi goyah. Untuk meneguhkan kembali kedudukan bahasa Indonesia
sebagai suatu kebanggaan dan identitas nasional, perlu adanya revitalisasi
nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
merupakan perisai bangsa dalam menghadapi penetrasi negatif dari
globalisasi. Dalam penghayatannya, Pancasila menyuguhkan suatu
kesadaran bahwa dalam berbahasa hendaknya menjunjung tinggi prinsip
keadilan, kemanusiaan, persamaan hak dan kesetaraan. Prinsip-prinsip
tersebut merupakan sebuah antitesis atas bentuk penjajahan bahasa yang
membentuk hirarki yang timpang antara bahasa nasional dan bahasa asing.
Prinsip yang bersumber dari Pancasila tersebut merupakan penawar atas
problematika kebahasaan. Dengan kesetaraan dalam memandang bahasa
asing dan kebanggaan atas bahasa nasional, bangsa Indonesia mampu
menjadi bangsa yang berdaulat sekaligus memiliki daya saing global.
[ 314 ]
Wiwit Kurniawan
Referensi
Abdullah, Rozali, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup
Bangsa. Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Anderson, Benedict, Imagined communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism. London: Verso Books, 2006.
Ariel Heryanto, Rubrik Asal-Usul, Kompas Cyber Media, 11 Maret 2007.
Canagarajah, A. Suresh, ed., Reclaiming the Local in Language Policy and
Practice, New York: Routledge, 2005.
Lauder, Allan, “The status and function of English in Indonesia: A review
of key factors”, Makara Hubs-Asia, volume 8, nomer 3, 2010.
Mansyur, Syahruddin, “Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah dalam Jaringan
Perdagangan Masa Kolonial di Maluku”, Kapita Arkeologi, volume
7, nomer 13, 2016.
Mubah, A. Safril, “Strategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal dalam
Menghadapi Arus Globalisasi”, Jurnal Unair, volume 24, nomer
4, 2011.
O’Rourke, Kevin H., Jeffrey G., Williamson, “When Did Globalisation
Begin?”, European Review of Economic History, volume 6, nomer
1, 2002.
Phillipson, Robert, Linguistic Imperialism, Oxford: Oxford University
Press, 1992.
Pimpinan MPR, Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekertariat
Jenderal MPR RI, 2012.
Said, Edward, Orientalism, New York: Penguin Books, 1978.
Soemasdi, Hartati, Pemikiran tentang filsafat Pancasila. Yogyakarta: Andi
Offset, 1992.
Sugiharto, Setiono, “Rethinking Globalization, Reclaiming the Local: A
Post-Colonial Perspective of English Language Education in
Indonesia”, The Indonesian Quarterly, volume 41, nomer 3, 2013.
Sumarsono, Sosiolinguistik, Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka
Pelajar, 2002.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Sinar Harapan, 1984.
Waters, Malcolm, Globalization (2nd ed), New York: Routledge, 2001.
[ 315 ]
PANC
A SIL
A D
AL
AM ARUS LIBERALISA
SI
PANCA
SILA
DAL
ALAM
LIBERALISASI
PANGAN PA
SC
AREFORMA
SI
PASC
SCAREFORMA
AREFORMASI
Muhammad Bahrul Ulum
P
ancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum memiliki peran
sentral di Indonesia, baik berkaitan dengan pembangunan sistem
hukum maupun penataan kebijakan ekonomi nasional yang
berlandaskan pada keadilan sosial. Amanat keadilan sosial tersebut tertuang
di dalam prinsip kelima Pancasila dan diturunkan pada Pasal 33 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Keduanya memiliki esensi pengakuan hak dan kewajiban dalam distribusi
kekayaan yang adil1 disertai peran negara sebagai pemilik kontrol kebijakan
guna mewujudkan kesejahteraan.2 Dengan peran kontrol dalam bidang
ekonomi, negara bertanggung jawab melindungi hak asasi manusia,
termasuk hak atas kesejahteraan bagi warga negaranya. Artinya, terdapat
ikatan hak dan kewajiban, di mana hak yang diberikan kepada warga negara
menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk melindungi dan memenuhinya.
1
2
Hingga kini masih belum terdapat kesepakatan makna keadilan sosial baik dalam lingkup Pancasila
maupun secara umum. Ketidakadaan definisi baku menurut Michael Reisch disebabkan karena
keadilan sosial tidak bersifat universal yang penerapannya cenderung menitikberatkan pada redistribusi
ekonomi antarindividu. Michael Reisch, “Defining Social Justice in a Socially Unjust World”
(2002) 83:4 Fam Soc J Contemp Soc Serv 343 hlm. 343. Meskipun demikian, pendapat John
Rawls dapat menjadi rujukan makna keadilan sosial: “These principles are the principles of social
justice: they provide a way of assigning rights and duties in the basic institutions of society and they
define the appropriate distribution of the benefits and burdens of social cooperation.” John Rawls,
A Theory of Justice, Rev. ed (Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 1999)
hlm. 4.
Dalam konteksnya, keadilan sosial memiliki hubungan erat dengan negara kesejahteraan dengan
tujuan dasar guna mencapai persamaan ekonomi, sosial dan politik. S C Srivastava, Industrial
Relations and Labour Laws, 6th Edition (Vikas Publishing House, 1990) hlm. 6.
[ 317 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Hak dan kewajiban tersebut juga mengikat terkait dengan pemenuhan
kebutuhan primer warga negara, khususnya dalam bidang pangan. Selaras
dengan itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU
Pangan) menegaskan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan
kebutuhan pangan sebagai kewajiban negara.3 Ketentuan ini menegaskan
bahwa warga negara memiliki hak atas pangan dengan kewajiban negara
untuk memenuhinyadalam serangkaian kebijakan pangan, mencakup
kedaulatan pangan, kemandirian pangan maupun ketahanan pangan.4
Dalam sejarah Indonesia, pangan terus menjadi masalah pelik,
khususnya sejak awal tahun 1990an. Permasalahan tersebut ditandai
dengan semakin melambatnya perkembangan reformasi perdagangan dan
diikuti dengan ekonomi Indonesia yang relatif terbuka sebagai akibat
liberalisasi ekonomi.5 Liberalisasi ini menekankan efisiensi ekonomi yang
membawa pengaruh terhadap sendi-sendi kebijakan pangan di Indonesia.
Badan Usaha Logistik (Bulog) adalah salah satu objek eskperimen liberalisasi
Indonesia dengan kritik institusional dan manajerial terkait dengan
efektivitas dan efisiensinya sebagai lembaga stabilisasi harga pangan
nasional.6 Akibat liberalisasi, negara harus menanggung biaya mahal dalam
kebijakan pangan sebagai akibat pemberlakuan subsidi ekspor7 dalam
3
4
5
6
7
Pada awalnya, ketahanan pangan didefinisikan dengan ketersediaan pangan dalam skala nasional dan
internasional. Pada 1980–1990, Indonesia mengadopsi kebijakan stabilisasi ketahanan pangan
dalam tingkat nasional, namun setelah itu disadari bahwa ketersediaan pangan dalam skala nasional
tidak dapat menjamin kecukupan pangan pada tingkat individu dan rumah tangga. Karenanya,
ketahanan pangan era formasi meliputi ketersediaan dan aksesbilitas pangan. I Wayan Rusastra,
United Nations & Indonesia, eds, Food Security and Poverty in the Era of Decentralization in
Indonesia, CAPSA working paper no. 102 (Bogor, Indonesia: [Jakarta]: United Nations ESCAP;
Bureau of Planning, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia, 2008) hlm. 1.
Penyebutan ketiga istilah ini dikenal di dalam UU Pangan. Kedaulatan pangan dapat dimaknai
sebagai hak negara dan bangsa untuk menentukan kebijakan pangannya secara mandiri, termasuk
penentuan sistem pangan berdasarkan potensi sumber daya lokal oleh masyarakat. Kemandirian
pangan terkait dengan produksi aneka pangan dalam negeri yang dilakukan oleh negara atau bangsa
guna memastikan kecukupan kebutuhan pangan sampai tingkat perseorangan. Ketahanan pangan
dapat dimaknai dengan keadaan terpenuhnya pangan sampai tingkat perseorangan dengan indikator
ketersediaan pangan yang cukup dari sisi jumlah ataupun mutu, gizi, aman, merata dan terjangkau.
M Chatib Basri & Arianto A Patunru, “Why Government Hurts the Poor? The Case of Indonesia’s
Rice Protection” (2009) Universitas Indonesia, online: <http:// www.nottinghamenterprise. com/
gep/documents/conferences/2009/janconfmalaysia2009/basri-patunru-notingham.pdf> hlm. 1.
Shahidur Rashid, Ashok Gulati & Ralph Waldo Cummings Jr, From Parastatals to Private Trade:
Lessons from Asian Agriculture (Intl Food Policy Res Inst, 2008) hlm. 138.
Asian Development Bank, Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and Rural Development
(Asian Development Bank, 2006) hlm. 111.
[ 318 ]
Muhammad Bahrul Ulum
perdagangan internasional. Dengan subsidi ekspor, komoditas pangan
impor memiliki harga yang relatif murah sehingga merangsang importir
untuk menikmati fasilitas itu.8 Konsekuensinya, kebijakan pangan nasional
jatuh pada keadaan yang memprihatinkan dengan indikator tingginya
Indonesia terhadap komoditas pangan impor.9
Ketergantungan terhadap impor terlihat pada sepanjang 1998–2001
yang menunjukkan impor beras mencapai 9% dari total konsumsi atau
18% dari total impor dunia.10 Kenyataan ini menempatkan Indonesia
sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia.11 Dalam kurun JanuariNovember 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat impor
Indonesia atas beras mencapai 1.2 ton dengan peningkatan impor sebesar
110.66% dari jumlah impor tahun sebelumnya. 12 Indonesia juga
menggantungkan pasokan kedelai impor dari Amerika Serikat yang pada
2016 tercatat sebanyak 68% atau sekitar 1.8 juta ton.13 Naiknya Impor
juga sempat diyakini dapat menjadi alternatif dalam stabilisasi harga cabai
yang pada akhir 2016 mengalami kenaikan sangat tinggi.14 Kenyataankenyataan ini menegaskan bahwa impor cenderung dianggap sebagai
alternatif penyelesaian daripada sebagai tantangan dan permasalahan
pangan domestik guna terwujudnya kemandirian pangan.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor menjadi justifikasi buruknya
potret ekonomi di tengah tatanan sistem hukum yang mengidealkan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Dalam konteks
terbukanya Indonesia pada sistem ekonomi pasar, sistem ekonomi Pancasila
8
A Husni Malian, “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia” (2004)
2:2 J Analisis Kebijakan Pertanian, online: <http://pse.litbang.pertanian.go.id/ ind/pdffiles/ ART022a.pdf> hlm. 141.
9
George Fane & Peter Warr, “Agricultural Protection in Indonesia” (2008) 44:1 Bull Indones Econ
Stud 133 hlm. 136.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Kompas Cyber Media, “Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta Ton”, online: KOMPAS.com
<http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/29/202642826/impor.beras.ri.pada.2016.
mencapai.1.2.juta.ton>.
13
Muhammad Idris, “Indonesia Negeri Tempe Tapi Impor Kedelai”, online: detikfinance <https://
finance.detik.com//d-3372130/indonesia-negeri-tempe-tapi -impor-kedelai>.
14
Liputan6com, “BPS: Pemerintah Bisa Buka Keran Impor untuk Turunkan Harga Cabai”, online:
liputan6.com <http://bisnis.liputan6.com/read/2640655/bps-pemerintah-bisa-buka-keran-imporuntuk-turunkan-harga-cabai>.
[ 319 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
mensyaratkan peran pemerintah sebagai pengendali kebijakan (ekonomi
pasar terkendali).15 Dengan kata lain, di tengah arus globalisasi, fokus sistem
ekonomi Pancasila bukan pada orientasi pasar, melainkan target produksi
nasional guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya. 16 Ini sebagai
konsekuensi bahwa Pancasila mengidealkan tatanan ekonomi yang
dibangun atas kemandirian bangsa Indonesia sendiri.
Artikel ini mendiskusikan kebijakan pangan di Indonesia pascareformasi
yang memperhadapkan Pancasila dengan liberalisasi. Dalam konteks
Pancasila, terdapat peran negara dalam sektor ekonomi guna memastikan
terwujudnya kesejahteraan sosial sebagai amanat dari Prinsip kelima
Pancasila. Bagian pertama mendiskusikan keberhasilan Soeharto berikut
kegagalannya dalam menata kebijakan pangan menjelang era reformasi.
Artikel ini juga menyikapi beberapa langkah liberalisasi sektor pertanian
melalui Agreement on Agriculture (AoA) dalam kerangka World Trade
Organization (WTO). Reformasi Bulog sebagai akibat dari krisis ekonomi
1997 akan menjadi fokus tantangan kebijakan pangan Indonesia
pascareformasi. Pada bagian akhir, artikel ini menjelaskan urgensi revitalisasi
parastatal di bidang pangan di tengah arus liberalisasi ekonomi, dengan
fokus pada peran negara dalam bidang ekonomi guna mewujudkan
kesejahteraan sosial.
Belajar dari Soeharto
Sejak awal Pemerintahan, Soeharto menyadari peran penting kebijakan
pangan guna mewujudkan kesejahteraan warga negaranya.17 Soeharto
mencapai keberhasilan dalam mewujudkan Indonesia sebagai swasembada
pangan18 di sektor beras pada tahun 1984.19 Namun, keberhasilan tersebut
15
Zainal Arifin Hosein, “Peran Negara Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan Menurut
UUD 1945” (2017) 23:3 J Huk IUS QUIA IUSTUM 503 hlm. 519.
16
R William Liddle, “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections on a Recent Debate” (1982)
18:1 Bull Indones Econ Stud 96 hlm. 98.
17
Pada awal pemerintahan, Soeharto menyusun program prioritas stabilisasi ekonomi untuk mengatasi
inflasi mencapai 600% pada 1965-1966. Pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi prioritas
pembangunan, dengan tujuan menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga stabil dan
kepentingan pemerintah dalam mengendalikan politik di pedesaan. Jullisar An-naf, “Tinjauan
Analitis terhadap Model Pembangunan Indonesia” (2012) 2:01 J FISIP Kybernan, online: <http:/
/www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/kybernan/article/view/309> hlm. 67.
18
Pantjar Simatupang, Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan
Pangan Nasional (2016) hlm. 7. Dalam World Food Summit, Presiden Soeharto menerima
[ 320 ]
Muhammad Bahrul Ulum
tidak mampu bertahan secara berkelanjutan yang pada awal tahun 1990an
terdapat penurunan produksi pangan yang menjadi indikator awal
runtuhnya kebijakan pangan nasional.20 Karena, pengambil kebijakan saat
ini perlu memperhatikan sejarah jatuh dan bangunnya kebijakan pangan
era Soeharto dan menjadikannya sebagai pelajaran penting dalam menata
kebijakan pangan ke depan.
Dalam sejarahnya, keberhasilan Soeharto dalam menata kebijakan
pangan dapat dilihat dari langkah reformis penataan kebijakan pangan
domestik dengan pendirian lembaga quasi-pemerintah bernama Badan
Urusan Logistik (Bulog). Dalam menjalankan tugasnya, Bulog diberikan
kewenangan mengintervensi pasar dengan justifikasi kebijakan pangan satu
pintu guna memastikan terwujudnya swasembada dan ketahanan pangan
nasional.21 Dalam kerangka ini, Bulog bertanggung jawab dalam bentuk
pengadaan dan pendistribusian komoditas tertentu dengan menerapkan
harga dasar bagi produsen sehingga memberikan keuntungan bagi
konsumen.22 Bulog juga melakukan distribusi pangan subsidi, khususnya
beras, bagi warga negara miskin dan rentan secara ekonomi, serta menjaga
dan mengatur persediaan beras nasional.23 Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) merupakan strategi Bulog dalam mewujudkan swasembada pangan
di mana jaminan harga minimum diberikan kepada petani guna
mengantisipasi pasar menentukan harga di bawah harga yang telah
dijaminkan kepada petani.24 Karenanya, Bulog sebagailembaga tunggal di
bidang pangan berperan strategis mencakup perlindungan para petani
penghargaan atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada dari yang sebelumnya berstatus
sebagai net importer. Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 138.
19
Disebutkan bahwa Indonesia dalam kurun 1981-1984 dapat meningkatkan produksi beras sebesar
16% yang menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras. David Dawe, “The Changing
Structure of the World Rice Market, 1950–2000” (2002) 27:4 Food Policy 355 hlm. 358.
20
Faisal Kasryno et al, Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional (2016) Forum Penelitian Agro
Ekonomi, hlm. 1.
21
Kelahiran Bulog diproyeksikan guna menjaga ketahanan pangan dan stabilisasi harga beras dan
ketersediaan pangan bulanan bagi Pegawai Negeri Sipil dan Militer. Jonatan Lassa, “Politik Ketahanan
Pangan Indonesia 1950-2005” (2005) Jkt ZEF, online: <http://www.zef.de/uploads/tx_zefportal/
Publications/3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20 Indonesia%201950-2005. pdf> hlm.
5.
22
Sachin Kumar Sharma, “Indonesia: Product Specific Support to Rice Under WTO” in WTO Food
Security (Springer Singapore, 2016) 81 hlm. 83.
23
Ibid.
24
Ibid hlm. 84.
[ 321 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dalam usaha produksi bahan pokok beras sekaligus penyediaan pangan
domestik dengan harga nasional yang relatif stabil.
Kesuksesan kebijakan politik ekonomi Soeharto dalam bidang pangan
tidak terlepas dari implementasi kebijakan yang berdasarkan pada nilainilai Pancasila.25 Sesuai dengan prinsip keadilan sosial, Pancasila meyakini
negara memiliki peran untuk mengurangi tingkat kesenjangan yang salah
satunya diakibatkan oleh meluasnya liberalisasi dan berkembangnya
perusahaan swasta.26 Di samping itu, keberhasilan juga disebabkan oleh
sistem administrasi publik yang dapat berjalan cukup baik saat itu. Saat
itu, Bulog memaksimalkan Koperasi Unit Desa (KUD) yang berperan
mengumpulkan beras dari para petani kecil, khususnya pada masa panen.27
Terkait hal itu, terdapat sinergi antara dan Bulog hingga tingkat daerah.
KUD turut bertugas mendistribusikan beras, Bulog baru melakukan impor
dalam keadaan yang membutuhkan, khususnya pada masa tanam.28
Kebijakan ini berdampak positif dalam distribusi pangan sehingga dapat
meningkatkan efisiensi yang berpengaruh pada harga pangan yang relatif
lebih murah.
Permasalahan muncul pada awal 1990an yang menjadi babak akhir
kejayaan kedaulatan pangan nasional.29 Misalnya, untuk komoditas beras,
produksi rata-rata adalah 1.3% yang tidak berbanding lurus dengan
permintaan yang mencapai 2.3% per tahun.30 Sejak saat itu, Indonesia
tidak lagi dapat memenuhi persediaan pangan hanya dengan mengandalkan
pasokan domestik sehingga harus melakukan impor.
Dalam perkembangannya, impor justru menjadi permasalahan serius
bagi keberlangsungan Bulog. Ketergantungan impor memperhadapkan
Bulog pada inefisiensi dalam manajemen internal dan stabilitas harga
pangan. Inefisiensi muncul karena subsidi ekspor, berakibat pada murahnya
harga barang impor dibandingkan dengan harga barang lokal, sehingga
terdapat kenaikan biaya yang harus dikeluarkan oleh Bulog dalam stabilisasi
25
Armin Taubert, “Liberalism under Pressure in Indonesia” (1991) Southeast Asian Aff 122 hlm.
131.
26
Ibid.
27
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 140.
28
Ibid.
29
Kasryno et al, supra note 19 hlm. 1.
30
Ibid.
[ 322 ]
Muhammad Bahrul Ulum
harga pangan.31 Inefisiensi juga dipengaruhi oleh praktik kepentingan
antara elit politik dan aktor swasta yang membuat proses impor beras
berjalan tidak transparan.32 Salim Group dan kroni-kroni Soeharto tercatat
sebagai aktor yang mendominasi kegiatan impor beras dengan meraup
keuntungan antara USD 10–15 untuk setiap ton.33 Buruknya manajemen
dapat disimpulkan oleh laporan audit yang mencatat bahwa dalam kurun
1993-1998 Bulog mencatatkan inefisiensi sekitar Rp 6.7 triliun atau USD
400 miliar per tahun.34
Keadaan ini menjadi titik tolak perubahan kebijakan Pemerintah atas
kebijakan yang sebelumnya telah diambil dan diyakini berjalan efektif.
Selanjutnya, muncul gagasan tentang evaluasi pentingnya kelembagaan
dan efektivitas Bulog dengan alasan keadaan fiskal yg berat yang dihadapi
oleh Pemerintah.35 Sejak itu, peran kontrol negara atas sektor pertanian
secara mulai dilepaskan secara berangsur-angsur melalui liberalisasi dan
deregulasi.
Liberalisasi SSektor
ektor P
er
tanian
Per
ertanian
Dengan memperhatikan kendala Indonesia dalam mewujudkan swasembada
beras pada awal 1990an,36 situasi ekonomi internasional juga mengalami
perkembangan yang cukup signifikan pada akhir abad ke-20. Khususnya,
saat dimulainya liberalisasi perdagangan di bawah payung World Trade
Organization (WTO) yang secara efektif beroperasi awal 1995. WTO
sebagai organisasi perdagangan internasional hadir dengan sistem
perdagangan baru yang berpengaruh pada pola hubungan ekonomi
antarnegara.37
31
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 141.
Ibid hlm. 144.
33
Pengadaan impor melibatkan kerja sama 12 konglomerat yang telah mendapatkan persetujuan
khusus dari Bulog dalam melakukan impor beras yang mana setengah dari perusahaan tersebut
memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kroni Soeharto. Ibid.
34
Inefisiensi Bulog terkait pengaruh kegiatannya yang mencakup sektor swasta, akibat dari perdagangan
tidak fair sehingga menghasilkan kerugian mencapai sekitar Rp 2.6 triliun. Ibid hlm. 145.
35
Hitoshi Yonekura, “Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector: The Transformation of
Bulog into a Public Corporation” (2005) 43:1 Dev Econ 121 hlm. 123.
36
Disebutkan juga bahwa periode 1989-1991, Indonesia justru masih tercatat sebagai net exporter.
Budi Winarno, Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses dan Studi Kasus Komparatif (Center for Academic Publishing Service, 2016) hlm. 236.
37
Matthias Herdegen, Principles of International Economic Law (OUP Oxford, 2013) hlm. 178.
32
[ 323 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Indonesia bergabung pada WTO dengan mengesahkan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (UU WTO). Pengesahan UU WTO
memiliki implikasi pada persetujuan Indonesia untuk mengadopsi sistem
perdagangan yang disusun oleh WTO di mana Pemerintah wajib
memastikan kesesuaian hukum, peraturan dan prosedur administrasi
dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian WTO.38
Dengan kata lain, Indonesia telah menyepakati setiap hukum yang
dikeluarkan oleh WTO dan diadopsi sistem dalam hukum nasionalnya.
Salah satu hukum WTO tersebut adalah Agreement on Agriculture (AoA)
yang saat ini menjadi landasan utama Pemerintah Indonesia dalam
melangsungkan liberalisasi sektor pertanian melalui perdagangan
internasional di bidang pangan.39
Adapun kewajiban Indonesia atas AoA adalah menyelaraskan kebijakan
domestiknya dengan aturan internasional dengan alasan guna mendorong
pertumbuhan sektor pertanian dalam bentuk liberalisasi. Selanjutnya,
liberalisasi menggeser kebijakan ekonomi nasional menuju aturan global
yang mendukung mekanisme pasar dan menghapus hambatan
perdagangan. 40 Ini berarti bahwa Pemerintah harus membuka pasar
domestiknya dan Indonesia menjadi bagian dari persaingan usaha
internasional.41 Terbukanya pasar membawa akibat pada beragamnya
barang impor yang dapat dengan mudah masuk pada pasar domestik
dengan harga yang relatif murah,42 namun tidak stabil.43 Dalam batas
tertentu, perdagangan internasional dapat meningkatkan kesejahteraan dan
dapat merusak pasar domestik yang berujung pada menurunnya
kesejahteraan masyarakat suatu negara.
38
Gregory Messenger, The Development of World Trade Organization Law: Examining Change in
International Law (Oxford University Press, 2016) hlm. 75.
39
Dewa Swastika & Sri Nuryanti, “The Implementation of Trade Liberalization in Indonesia” (2006)
4:4 Anal Kebijak Pertan 257 hlm. 257.
40
Peter Rosset, Food Is Different: Why We Must Get the WTO out of Agriculture, Global issues
(Black Point, N.S: Fernwood Pub, 2006) hlm. 4.
41
Ibid hlm. 17.
42
Ibid.
43
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 152.
[ 324 ]
Muhammad Bahrul Ulum
Salah satu alasan perdebatan dalam perdagangan internasional dalam
bidang pertanian44 adalah diberikannya kesempatan bagi pengekspor untuk
menerapkan subsidi ekspor.45 Subsidi ekspor memungkinkan negara
eksportir memberikan subsidi perdagangannya yang menjadikan harga
barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan harga normal
atau harga domestik.46 Harga pangan impor yang lebih murah ini
selanjutnya memiliki dampak negatif pada harga pangan lokal yang menjadi
relatif mahal dalam pasar domestik. Karenanya, penting untuk
mengantisipasi ketergantungan Indonesia terhadap impor dalam
mewujudkan ketahananan pangan dan kesejahteraan rakyat yang
berkeadilan. Fenomena ini juga menjadi alasan yang mendasar untuk
menguatkan kembali peran negara dalam mengontrol kebijakan sektor
pangan. Jika tidak, Indonesia akan tetap memiliki kecenderungan yang
tinggi bergantung pada impor. Keadaan ini akan mendistorsi pasar dan
dengan mudah mematikan persaingan usaha dan harga domestik.
Kondisi ini juga menyebabkan kerugian bagi para pelaku produksi
pertanian dalam negeri, khususnya petani kecil. Hal ini mengingat bahwa
subsidi ekspor mempengaruhi penurunan harga pangan tingkat domestik
sehingga produk pertanian petani lokal tidak dapat bersaing dalam pasar.
Misalnya, petani Indonesia harus menanggung rugi karena pasokan kedelai
dari Amerika Serikat yang menerapkan subsidi ekspor yang berpengaruh
pada matinya petani kedelai lokal dan semakin meningkatnya
ketergantungan Indonesia pada pasar kedelai dari Amerika Serikat.47
Pada periode Abdurrahman Wahid, Pemerintah telah mencoba
mengeluarkan kebijakan tarif impor sebesar 30% dari harga dunia guna
memberikan perlindungan terhadap petani kecil akibat murahnya pangan
44
Berdasarkan AoA, setiap negara diharuskan menurunkan secara bertahap mencakup segala jenis
proteksi perdagangan, subsidi maupun hambatan non-tarif. Namun demikian, banyak negara maju
masih melakukan perlindungan terhadap petani melalui subsidi petani dan dukungan pasar yang
berakibat pada ketimpangan terhadap negara berkembang dalam sektor pertanian mikronya. Swastika
& Nuryanti, supra note 38 hlm. 257.
45
Kym Anderson & Will Martin, eds, Agricultural Trade Reform and the Doha Development Agenda
(Washington, DC: Palgrave Macmillan/World Bank, 2006) hlm. 197.
46
Asian Development Bank, supra note 7 hlm. 112.
47
Michael Agustinus, “WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak Bagi RI”, online:
detikfinance <https://finance.detik.com//d-3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-produk-pertanianini-dampak-bagi-ri>.
[ 325 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
impor.48 Namun, sekali lagi, perdagangan bebas menyediakan ragam harga
pangan dunia sebagai pengaruh dari ketidakstabilan harga dunia49 diikuti
dengan hapusnya monopoli negara dalam kegiatan ekspor-impor.
Ketidakstabilan ini turut membawa dampak langsung terhadap pasar lokal
dan meyebabkan ketidakstabilan harga pangan di Indonesia.50 Terhadap
ketidakstabilan harga pangan tersebut, juga telah melahirkan perbedaan
pandangan. Pada satu sisi, dikatakan bahwa ketidakstabilan harga
disebabkan oleh liberalisasi pangan dan pada sisi lain disebutkan hal itu
disebabkan oleh kebijakan harga pangan dan kebijakan pertanian nasional
yang sering berubah-ubah.51 Terlepas dari perdebatan, kedua sudut
pandang tersebut sekiranya perlu menjadi fokus pemerintah guna
mendeteksi permasalahan mendasar dalam sektor pangan.
Pengalaman ini penting menjadi refleksi bersama guna
mempertahankan sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila guna
memastikan keseimbangan harga pangan domestik yang relatif murah dan
stabil, bukan bergantung pada impor. Dalam upaya mewujudkannya,
Pemerintah perlu lebih serius dalam meningkatkan dukungan terhadap
sektor pertanian lokal dan distribusi hasil pertanian. Peningkatan dukungan
dilakukan karena perubahan ekonomi global yang perlu pula disikapi
Pemerintah dengan perubahan kebijakan tingkat domestik. Kebijakan
tersebut harus mampu beradaptasi dengan realitas global namun tetap
berorientasi pada peran negara sehingga terwujud kemandirian pangan.
Misalnya, Pemerintah melakukan kebijakan keunggulan komparatif atas
salah satu komoditas pangan guna mengatasi keterbatasan pangan yang
berujung pada impor. Diversifikasi pangan juga perlu dilakukan guna
menekan tingginya konsumsi warga negara terhadap beberapa komoditas
pangan tertentu, seperti beras dan kedelai.
Sekiranya Pemerintah perlu menjadikan pengalaman awal 1990an
sebagai referensi penting dalam penataan kebijakan dan kelembagaan
pangan nasional. Indonesia perlu kembali mendasarkan kebijakan
pangannya berlandaskan Pancasila, bukan sebaliknya menyimpangi
48
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 151.
Ibid hlm. 152.
50
Ibid.
51
Ibid.
49
[ 326 ]
Muhammad Bahrul Ulum
Pancasila dan menjunjung liberalisasi. Dengan melihat perubahan
konfigurasi ekonomi global, Indonesia perlu mengadaptasikan pola
liberalisasi dengan sistem ekonomi Pancasila Pancasila dengan
meminimalkan gesekan dan pertentangan antara keduanya. Hal demikian
karena sistem ekonomi Pancasila memungkinkan terbuka dengan perubahan
konfigurasi pasar dan negara memiliki hak untuk mengatur urusan
domestiknya sebagai bagian dari tanggung jawab hak asasi manusia. Dengan
kata lain, ini memungkinkan Pemerintah menekan dampak negatif
liberalisasi dengan memaksimalkan peran kendali pemerintah dalam urusan
pangan sebagai bentuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Bentuk perlindungan Pemerintah dapat dilakukan dengan dukungan
petani domestik. Dukungan ini memungkinkan pemajuan produksi pangan
lokal dan meningkatkan daya saing dalam taraf internasional. Karenanya,
diskusi mengenai Pancasila dengan tujuan menyeimbangkan antara peran
negara dan peran pasar tidak perlu terlalu dipertentangkan dengan
liberalisasi yang mengendaki kebebasan pasar dengan peran negara yang
sangat minimal.52
Selain itu, guna perlindungan hak atas warga negara, diperlukan peran
lembaga quasi-pemerintah yang kuat seperti kinerja Bulog pada masa
swasembada pangan. Peran Bulog saat itu lazim dikenal dengan parastatal.
Parastatal pangan selanjutnya memainkan peran strategis kebijakan pangan,
termasuk memastikan impor pangan yang dapat berjalan dalam satu pintu
di bawahnya. Parastatal sebagai lembaga quasi-pemerintah yang
bertanggung jawab menjalankan aktivitas perdagangan publik di bidang
pangan memiliki peran dalam stabilisasi harga komoditas pertanian.53
Dengan peran ini, parastatal dapat memastikan harga dasar bagi petani
dan harga maksimum bagi konsumen.54 Lembaga ini juga bertugas
mengendalikan kegiatan ekspor dan impor dalam sektor pangan.55 Ini
menegaskan bahwa kehadiran parastatal memungkinkan peran sentral
negara dalam perdagangan pangan guna memastikan stabilitas dan
distribusi pangan dalam tingkat domestik berjalan dengan baik.
52
Murray N Rothbard, Man, Economy, and State with Power and Market, Scholar’s Edition (Ludwig
von Mises Institute, 2004) hlm. 1238.
53
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 3.
54
Ibid.
55
Ibid.
[ 327 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kehadirannya juga sebagai implementasi dari sistem ekonomi Pancasila
yang memungkinkan stabilnya ekonomi pasar dengan melibatkan peran
negara dalam kegiatan ekonomi.
Melalui parastatal, impor dapat dilakukan sebagai upaya stabilisasi
harga, bukan karena atas dasar harga pangan impor yang jauh lebih murah
daripada harga domestik. Peran sentral parastatal seperti ini dapat dimaknai
sebagai implementasi Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan kontrol
negara atas kegiatan ekonomi guna melindungi masyarakat secara kolektif.
Dengan kata lain, bumi dan kekayaan yang terdapat di dalamnya harus
berada dalam kontrol negara, mencakup bidang pangan. Melalui peran
negara, ini memungkinkan distribusi pangan dapat berjalan dalam kendali
Pemerintah sehingga dapat melindungi kepentingan dan kesejahteraan
petani yang rentan akan dampak liberalisasi perdagangan. Ini juga memiliki
dampak positif pada peningkatan produksi pertanian oleh petani lokal
karena harga jual hasil pertaniannya relatif stabil.
Peran negara melalui parastatal ini menjadi justifikasi wujud dari
keadilan sosial dan cerminan Prinsip kelima Pancasila. Hal demikian
disebabkan oleh peran parastatal yang memungkinkan distribusi pangan
dilaksanakan secara terpadu sehingga masyarakat dapat mengaksesnya
dengan baik. Aspek ini menjadi titik penting di mana distribusi yang baik
dapat mendukung akses hak atas pangan yang lebih baik. Senada dengan
Amartya Sen, disebutkan bahwa permasalahan pangan tidak hanya terkait
dengan produksi atau ketersediaan pangan, tetapi juga faktor distribusi
atas kepemilikan pangan; kendala akses pangan terkait dengan lemahnya
kepemilikan pangan dalam tingkat rumah tangga atau individu dan
kelompok yang lebih kaya dapat membeli pangan lebih banyak.56 Ini
menyebabkan kenaikan harga pangan dan memperburuk pertukaran hak,
berakibat pada menurunnya akses pangan oleh masyarakat.57
Sayangnya, memasuki era reformasi, Bulog sebagai parastatal telah
dilumpuhkan secara sistematis baik secara fungsional maupun institusional.
Secara fungsional, saat ini Bulog tidak lagi berwenang dalam mengontrol
56
Amartya Sen, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (Oxford: New York:
Clarendon Press; Oxford University Press, 1981) hlm. 4.
57
Ibid.
[ 328 ]
Muhammad Bahrul Ulum
harga pangan. Secara institusional, sejak 2003, Bulog telah berbentuk Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan kata lain, Bulog yang seharusnya
diperkuat sebagai parastatal yang siap menghadapi liberalisasi, justru
ditundukkan terhadap liberalisasi yang berujung pada perubahan status
Bulog sebagai BUMN.
Bulog dalam P
usaran Liberalisasi
Pusaran
Selain alasan sistem ekonomi nasional yang relatif terbuka pada awal 1990an,
Bulog juga dihadapkan dengan tantangan transparansi dan efisiensi
pengelolaan pangan.58 Kenaikan permintaan beras terhadap produksi yang
hanya mampu mencapai setengah dari rata-rata permintaan,59 juga menjadi
permasalahan serius kebijakan pangan nasional yang menjadikan Indonesia
sebagai net importer sejak 1994.60 Indonesia juga dihadapkan dengan krisis
ekonomi 1998 yang selanjutnya mendorong Pemerintah berinisiatif
mendapatkan fasilitas pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).61
Dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) oleh Pemerintah,
keberlangsungan peran sentral Bulog harus terhenti. LoI tersebut
mensyaratkan penghapusan monopoli impor beras oleh Bulog.62 IMF
menganggap bahwa upaya untuk mengatasi krisis perlu dilakukan dengan
deregulasi, termasuk penghapusan monopoli sektor pangan oleh Bulog.63
Dengan kata lain, stabilitas dan efisiensi ekonomi pasar akan tercapai apabila
dihapuskannya kewenangan monopoli pangan di Indonesia.64 Persetujuan
permohonan bantuan yang dituangkan dalam Memorandum of Economic
and Financial Policies (MEFP)65 menyebabkan intervensi pasar atas beberapa
58
Basri & Patunru, supra note 5 hlm. 1.
Kasryno et al, supra note 19 hlm. 1.
60
Budi Winarno, supra note 35 hlm. 236.
61
Dalam kurun 1997–2001, terdapat tujuh LoI yang telah disetujui antara IMF dan Indonesia. Tiga
LoI pada periode Soeharto, delapan pada periode B.J. Habibie, empat pada periode Abdurrahman
Wahid dan satu pada periode Megawati. Daljit Singh & Chin Kin Wah, Southeast Asian Affairs
2004 (Institute of Southeast Asian Studies, 2004) hlm. 197.
62
Dalam kurun 1997–2001, terdapat tujuh LoI yang telah disetujui antara IMF dan Indonesia. Tiga
LoI pada periode Soeharto, delapan pada periode B.J. Habibie, empat pada periode Abdurrahman
Wahid dan satu pada periode Megawati. Ibid.
63
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 148.
64
Yonekura, supra note 34 hlm. 124.
65
Budi Winarno, supra note 35 hlm. 341.
59
[ 329 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
komoditas pangan oleh Pemerintah dihentikan dan sebagai gantinya adalah
liberalisasi impor.66 Konsekuensinya, Bulog tidak lagi sebagai agen tunggal
yang dapat memonopoli pangan termasuk dalam hal kebijakan impor.
Dengan kata lain, perjanjian tersebut telah membawa tekanan kebijakan
terhadap Bulog sebagai state trading enterprise67 yang seharusnya berperan
mengontrol stabilitas harga pangan.68 Sejak itu, status state trading enterprise tidak lagi melekat pada Bulog dan Indonesia tidak lagi memiliki
lembaga parastatal.
Sebagai akibat dari MEFP, Bulog mengalami proses transisi dengan
tuntutan transformasi Bulog menjadi lebih transparan dan akuntabel.69
Dalam menyikapi hal tersebut, kewenangan Bulog secara bertahap
dipangkas. Melalui Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1997, ditentukan
bahwa Bulog terbatas hanya mengelola komoditas beras dan gula pasir.
Selanjutnya, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 yang
berisi pemangkasan kewenangan Bulog menjadi hanya mengelola komoditas
beras, sedangkan komoditas lain diserahkan pada mekanisme pasar.
Tindakan ini dibuat dengan alasan mengefektifkan Bulog dalam mengelola
persediaan bahan pangan pokok serta memperlancar sirkulasi barang,
meskipun dengan mereduksi pengelolaan komoditas lain oleh Bulog.70
Melalui Keputusan Presiden 29 Tahun 2000, Bulog didorong menjadi
lembaga yang lebih mandiri. Setelah itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 2003 yang mengubah status Bulog dari Lembaga
Pemerintah Non-Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum
(Perum). Status ini menegaskan bahwa Bulog telah bertransformasi
sepenuhnya menjadi BUMN, dengan implikasi bahwa Bulog tidak lagi
bertindak sebagai lembaga negara, melainkan sebagai pelaku pasar. Dengan
66
M Chatib Basri & Hal Hill, “Indonesia - Trade Policy Review 2007” (2008) 31:11 World Econ
1393 hlm. 1405.
67
Ian Gillson & Amir Fouad, eds, Trade Policy and Food Security: Improving Access to Food in
Developing Countries in the Wake of High World Prices (The World Bank, 2014) hlm. 19.
68
Daan Marks, “Unity or Diversity? Market Integration and Long-run Economic Growth in Indonesia” (2008), online: <https://pdfs.semanticscholar.org/2253/d2b8d140eabcf5418c7
f9181a58e28fd210f.pdf> hlm. 12.
69
Rashid, Gulati & Jr, supra note 6 hlm. 138.
70
Alasan ini termuat dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1995 tentang Bulog sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997.
[ 330 ]
Muhammad Bahrul Ulum
kata lain, di samping bertugas menyediakan barang dan jasa publik guna
melayani masyarakat, Bulog juga bertindak pelaku pasar bersama dengan
pelaku swasta lain yang menikmati liberalisasi pangan.
Transformasi Bulog dari lembaga pemerintah menjadi BUMN adalah
potret liberalisasi telah memasuki aspek kelembagaan, tidak hanya aspek
kebijakan impor sebagaimana implikasi bergabungnya Indonesia ke dalam
WTO. Dalam aspek kelembagaan, peran strategis Bulog sebagai parastatal
di bidang pangan dipangkas sehingga tidak lagi memiliki kedudukan
penting dalam kebijakan pangan. Ini juga menegaskan bahwa negara telah
kehilangan peran kontrol strategis atas kebijakan pangan, seperti
pelaksanaan kegiatan impor pangan yang diserahkan pada mekanisme pasar.
Minimnya peran negara dalam mengontrol kebijakan pangan mengakibatkan mengikuti mekanisme liberalisasi, daripada mempertahankan
sistem ekonomi Pancasila.
Mungkinkah P
arastatal H
idup K
embali?
Parastatal
Hidup
Kembali?
Dengan menyandang status Perum, dapat dikatakan bahwa keberadaan
Bulog seperti ketidakberadaannya. Dalam batas tertentu, Bulog hanya
berwenang melakukan menyediakan komoditas pangan dan melaksanakan
usaha sebagai konsekuensi dari status BUMN, tanpa kewenangan
mengontrol stabilisasi harga pangan dalam tingkat regulasi. Misalnya, untuk
mengatasi lonjakan harga beras, stabilisasi yang dapat dilakukan Bulog
adalah mengadakan operasi pasar seperti membagikan beras miskin (Raskin)71
kepada pihak-pihak yang terdampak langsung dari kenaikan harga.72
Kenyataan demikian menegaskan bahwa Bulog tidak lagi memiliki
peran penting dalam kebijakan pangan, karena kewenangan kebijakan
pangan tersebar di beberapa kementerian seperti Kementerian Pertanian
dan Kementerian Perdagangan. Tersebarnya kewenangan di berbagai instansi
tersebut mengakibatkan ketidakpaduan kebijakan pagan, seperti data
pangan nasional yang memengaruhi buruknya manajemen impor pangan
71
72
Perum BULOG, “Sekilas RASKIN”, online: <http://www.bulog.co.id/sekilas_raskin.php>.
Tribun Jogja “Bulog DIY Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Beras”, online: Trib Jogja
<http://jogja.tribunnews.com/2015/01/06/bulog-diy-gelar-operasi-pasar-untuk-stabilkan-hargaberas>.
[ 331 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Indonesia.73 Karenanya, Indonesia membutuhkan alternatif dari sisi
kelembagaan guna memastikan kebijakan pangan dapat berjalan secara
terpadu. Dengan mengingat Indonesia telah terlepas dari LoI dengan IMF,74
reformasi Bulog sebagai lembaga parastatal dengan peran state trading
enterprise sangat mungkin dilakukan75 atau dengan mendirikan parastatal
baru yang dapat bersinergi dengan Bulog sebagai BUMN.
Selaras dengan itu, Undang-Undang 18 Tahun 2012 tentang Pangan
(UU Pangan) memandang penting untuk mengangkat kembali peran sentral
lembaga parastatal di bidang pangan. Disebutkan bahwa parastatal tersebut
memiliki tugas untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian
pangan dan ketahanan pangan dalam skala nasional. Bab XII tentang
kelembagaan pangan menyebutkan pentingnya pembentukan lembaga
Pemerintah di bidang pangan dengan kedudukan di bawah Presiden dan
pertanggungjawaban kepada Presiden. Lembaga ini juga dapat mengusulkan
kepada Presiden dalam penugasan khusus kepada BUMN di bidang pangan
guna melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan maupun distribusi
pangan pokok dan pangan lainnya.
Dalam reformasi institusional pangan, pembentukan parastatal baru
juga perlu memperhatikan runtuhnya Bulog dalam mewujudkan
swasembada pangan pada awal 1990an.76 Disebutkan bahwa jatuhnya
fungsi parastatal Bulog tidak lepas dari aktor swasta terhadap Bulog dalam
kegiatan impor yang memiliki keterkaitan dengan Soeharto dan kronikroninya. Mempertimbangkan permasalahan utama yang dihadapi oleh
Bulog adalah transparasi dan efisiensi, penyelesaian yang harus ditempuh
ke depan dalam lembaga pangan adalah perbaikan tata kelola dan prosedur
administrasi yang baik (good governance).
73
Pewarta: Ade Junida, “APINDO Persoalkan Ketidaksamaan Data Pangan Nasional”, online: Antara
News <http://www.antaranews.com/berita/565581/apindo-persoalkan-ketidaksamaan-data-pangannasional>.
74
Detikcom, “Akhirnya! RI Lepas dari Utang IMF”, online: detikfinance <https://finance.detik.com/
/ d-2716821/akhirnya-ri-lepas-dari-utang-imf>.
75
Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1969 tentang Struktur
Organisasi serta Tugas Pokok dan Fungsi Badan Urusan Logistik.
76
Budi Winarno, supra note 35 hlm. 326.
[ 332 ]
Muhammad Bahrul Ulum
Penutup
Dalam era liberalisasi saat ini, kebijakan pangan Indonesia perlu kembali
bertumpu pada Pancasila. Upaya perlindungan dan pemenuhan warga
negara atas hak pangan perlu diwujudkan Pemerintah dengan memperkuat peran negara sebagai implementasi dari sistem ekonomi Pancasila.
Sistem ini menginginkan peran negara sebagai pengendali kebijakan dalam
upaya mewujudkan keadilan sosial. Peran ini menjadi penting saat Indonesia
mengintegrasikan diri dengan sistem ekonomi global; Indonesia harus
memperkuat sistem pangan nasional dan beradaptasi dengan ekonomi pasar
guna meningkatkan produktivitas dan daya saing lokal dalam mewujudkan
swasembada pangan. Melalui cara ini, Pemerintah berperan dalam
mengurangi tingkat kesenjangan kemampuan masyarakat dalam mengakses
pangan sekaligus bentuk dari keadilan sosial.
Sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial, Indonesia pada era
pascareformasi ini perlu merevitalisasi kebijakan pangan. Revitalisasi dapat
dilakukan dengan menghidupkan kembali lembaga pangan dalam satu
pintu dalam rangka mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan. Hal
demikian mengingat bahwa Indonesia sebagai negara agraris yang
kenyataannya justru menggantungkan kebutuhan pangan dari impor.
Setelah lunasnya hutang Indonesia kepada IMF, terdapat urgensi
tentang pentingnya membangun kembali kedaulatan dan kemandirian
pangan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi
parastatal atau membangun parastatal baru. Komitmen tersebut tertuang
dalam Pasal 126 UU Pangan yang mengamanatkan tentang pendirian
kelembagaan pangan dengan karakter parastatal. Sayangnya, komitmen
pendirian kelembagaan tersebut hingga kini belum dilakukan hingga
dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres). Kelak, Perpres yang mengatur
organisasi dan tata kelola lembaga pangan tersebut perlu memperhatikan
aspek efisiensi, transparasi dan transparansi publik yang merupakan
implementasi dari good governance. Aspek ini menjadi penting agar
pengalaman jatuhnya fungsi Bulog tidak terjadi kembali pada kelembagaan
pangan yang baru nanti.
[ 333 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Daftar P
ustaka
Pustaka
Anderson, Kym & Will Martin, eds. Agricultural Trade Reform and the
Doha Development Agenda (Washington, DC: Palgrave
Macmillan/World Bank, 2006).
Asian Development Bank. Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and
Rural Development (Asian Development Bank, 2006).
Budi Winarno. Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses dan Studi
Kasus Komparatif (Center for Academic Publishing Service, 2016).
Gillson, Ian & Amir Fouad, eds. Trade Policy and Food Security: Improving
Access to Food in Developing Countries in the Wake of High
World Prices (The World Bank, 2014).
Herdegen, Matthias. Principles of International Economic Law (OUP
Oxford, 2013).
Messenger, Gregory. The Development of World Trade Organization Law:
Examining Change in International Law (Oxford University Press,
2016).
Rashid, Shahidur, Ashok Gulati & Ralph Waldo Cummings Jr. From
Parastatals to Private Trade: Lessons from Asian Agriculture (Intl
Food Policy Res Inst, 2008).
Rawls, John. A Theory of Justice, Rev. ed (Cambridge, Mass: Belknap
Press of Harvard University Press, 1999).
Rosset, Peter. Food Is Different: Why We Must Get the WTO out of
Agriculture, Global issues (Black Point, N.S: Fernwood Pub, 2006).
Rothbard, Murray N. Man, Economy, and State with Power and Market,
Scholar’s Edition (Ludwig von Mises Institute, 2004).
Rusastra, I Wayan, United Nations & Indonesia, eds. Food Security and
Poverty in the Era of Decentralization in Indonesia, CAPSA
working paper no. 102 (Bogor, Indonesia: [Jakarta]: United
Nations ESCAP; Bureau of Planning, Ministry of Agriculture,
Republic of Indonesia, 2008).
Sen, Amartya. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation
(Oxford: New York: Clarendon Press; Oxford University Press,
1981).
Singh, Daljit & Chin Kin Wah. Southeast Asian Affairs 2004 (Institute of
Southeast Asian Studies, 2004).
[ 334 ]
Muhammad Bahrul Ulum
Srivastava, S C. Industrial Relations and Labour Laws, 6th Edition (Vikas
Publishing House, 1990).
A Husni Malian. “Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas
Pertanian Indonesia” (2004) 2:2 J Anal Kebijak Pertan, online:
<http:// pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART02-2a.pdf>.
An-naf, Jullisar. “Tinjauan Analitis terhadap Model Pembangunan
Indonesia” (2012) 2:01 J FISIP Kybernan, online: <http://www.
ejournal-unisma.net/ojs/ index.php/kybernan/article/view/309>.
Basri, M Chatib & Hal Hill. “Indonesia-Trade Policy Review 2007” (2008)
31:11 World Econ 1393.
Basri, M Chatib & Arianto A Patunru. “Why Government Hurts the Poor?
The Case of Indonesia’s Rice Protection” (2009) Univ Indones,
online: <http://www.nottinghamenterprise.com/gep/documents/
conferences/2009/janconfmalaysia2009/basri-patunrunotingham.pdf>.
Dawe, David. “The Changing Structure of the World Rice Market, 1950–
2000” (2002) 27:4 Food Policy 355.
Fane, George & Peter Warr. “Agricultural Protection in Indonesia” (2008)
44:1 Bull Indones Econ Stud 133.
Hosein, Zainal Arifin. “Peran Negara dalam Pengembangan Sistem
Ekonomi Kerakyatan Menurut UUD 1945” (2017) 23:3 J Huk
IUS QUIA IUSTUM 503.
Lassa, Jonatan. “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005” (2005)
Jkt ZEF, online: <http://www.zef.de/uploads/tx_zefportal/Publications/3ddf_Politik %20Ketahanan%20Pangan%20
Indonesia%201950-2005.pdf>.
Liddle, R William. “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections
on a Recent Debate” (1982) 18:1 Bull Indones Econ Stud 96.
Marks, Daan. “Unity or Diversity? Market Integration and Long-run
Economic Growth in Indonesia” (2008), online: <https://
pdfs.semanticscholar.org/ 2253/d2b8d140eabcf5418c7f9181a
58e28fd210f.pdf>.
Sharma, Sachin Kumar. “Indonesia: Product Specific Support to Rice Under
WTO” in WTO Food Security (Springer Singapore, 2016) 81.
Swastika, Dewa & Sri Nuryanti. “The Implementation of Trade
Liberalization in Indonesia” (2006) 4:4 Anal Kebijak Pertan 257.
Taubert, Armin. “Liberalism under Pressure in Indonesia” (1991) Southeast
Asian Aff 122.
[ 335 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Yonekura, Hitoshi. “Institutional Reform in Indonesia’s Food Security
Sector: The Transformation of Bulog into a Public Corporation”
(2005) 43:1 Dev Econ 121.
Agustinus, Michael. “WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini
Dampak Bagi RI”, online: detikfinance <https://finance.detik.
com//d-3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-produk-pertanianini-dampak-bagi-ri>.
Detikcom. “Akhirnya! RI Lepas dari Utang IMF”, online: detikfinance
<https://finance.detik.com//d-2716821/akhirnya-ri-lepas-dariutang-imf>.
Idris, Muhammad. “Indonesia Negeri Tempe Tapi Impor Kedelai”, online:
detikfinance <https://finance.detik.com//d-3372130/indonesianegeri-tempe-tapi-impor-kedelai>.
Junida, Pewarta: Ade. “APINDO Persoalkan Ketidaksamaan Data Pangan
Nasional”, online: Antara News <http://www.antaranews.com/
berita/ 565581/apindo-persoalkan-ketidaksamaan-data-pangannasional>.
Kasryno, Faisal et al. Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional (2016)
Forum Penelitian Agro Ekonomi.
Liputan6com. “BPS: Pemerintah Bisa Buka Keran Impor untuk Turunkan
Harga Cabai”, online: liputan6.com <http://bisnis.liputan6.com/
read/2640655/bps-pemerintah-bisa-buka-keran-impor-untukturunkan-harga-cabai>.
Media, Kompas Cyber. “Impor Beras RI pada 2016 Mencapai 1,2 Juta
Ton”, online: KOMPAS.com <http://bisniskeuangan.kompas.
com/read/2016/12/29/202642 826/impor.beras.ri.pada.2016.
mencapai.1.2.juta.ton>.
Simatupang, Pantjar. Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar
Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional (2016).
“Perum BULOG-Sekilas RASKIN”, online: <http://www.bulog.co.id/
sekilas_ raskin.php>.
“Bulog DIY Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Beras”, online:
Trib Jogja <http://jogja.tribunnews.com/2015/01/06/bulog-diygelar-operasi-pasar-untuk-stabilkan-harga-beras>.
[ 336 ]
MENGUJI KEADIL
AN PANC
A SIL
A D
AL
AM
KEADILAN
PANCA
SILA
DAL
ALAM
YAT A
TA S TANAH
MENJA
GA KED
AUL
ATAN RAK
MENJAGA
KEDA
ULA
RAKY
AT
Hayatul Ismi
Pendahuluan
P
ancasila mengandung lima nilai yaitu: nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan nilai
keadilan. Pancasila menjadi ruh dari hukum yang akan dibentuk,
sehingga hukum yang berlaku memuat kesadaran akan bertuhan,
memuliakan manusia, mempersatukan beragam golongan, mengutamakan
musyawarah dan adil.1 Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana merupakan prinsip keadilan pancasila memberikan acuan bagi
olah fikir, olah sikap dan olah tindak harus mengarah pada terwujudnya
kesejahteraan lahir dan batin yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia tanpa kecuali, kesejahteraan harus dapat dirasakan oleh seluruh
lapisan masyaraka.2Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di
Indonesia maka tentu harus mengarah kepada prinsip keadilan pancasila,
kita ketahui bahwa keberadaan mineral dan batubara sebagai sumber daya
alam Indonesia, bukan disebabkan karena perbuatan manusia, tetapi
semata-mata merupakan pemberian dari Tuhan Sebagai anugerah dari
Tuhan, manusia harus mengelola dan memanfaatkannya untuk kepentingan
umat manusia.3Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 3 UUPA
1
2
3
Fokky Fuad, Filsafat Hukum Pancasila Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praktis, Jurnal Ilmiah
Mimbar Demokrasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2013, hlm. 2-3.
J. Tjiptabudy, Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Era
Reformasi, Jurnal Sai Volume 16 Nomor 3 Juli-September 2010, hlm.4.
Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia, Bandung: Pustaka Reka Cipta
2013, hlm.2.
[ 337 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Nomor 5 tahun 1960, Hak menguasai dari negara dalam mengelola
pertambangan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara. Thomas Aquinas merumuskan bahwa tujuan
hukum hendaklah menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat secara umum.
Rakyat dalam suatu Negara haruslah menikmati kesejahteraan umum itu.4
Keberadaan tambang pada umumnya berada dipedalaman yang biasanya
disitu masih hidup dan berkembang masyarakat adatnya dan masih
terdapat hak ulayat masyarakat adat tersebut, sehingga seringkali
penambangan terjadi diatas tanah hak ulayat masyarakat adat dan hal ini
sering pula mengakibatkan konflik, karena penambangan dilakukan tanpa
sepengetahuan masyarakat adat dan tanpa izin masyarakat adat setempat.
Fakta menunjukkan pengelolaan pertambangan selama ini lebih
mengutamakan keuntungan secara ekonomi, dilain pihak kurang
memperhatikan aspek sosial dan lingkungan hidup. Terjadinya tumpang
tindih pemberian hak atas tanah yang diberikan kepada perusahaan
pertambangan, di mana dalam memberikan hak guna usaha (HGU) sering
terdapat hak ulayat di dalamnya bahkan wilayah pertambangan berdiri di
atas hak ulayat.
Dalam pengelolaan pertambangan batubara dimana terkait hak ulayat
pengelola sering tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang masih
eksis terhadap penggunaan hak ulayat, masyarakat adat pemegang hak
ulayat sering dirugikan dengan penggunaan tanah hak ulayat dalam
pertambangan batubara, karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam
membuat kebijakan.Pencaplokan tanah ulayat masyarakat adat, pelanggaran
HAM terhadap masyarakat adat setempat, penghancuran tatanan adat,
perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup,
penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi
masyarakat asli, adalah fakta yang dirasakan. Akibat segala bentuk
ketidakadilan, kemudian muncul letupan-letupan kekerasan yang
mengakibatkan konflik berkepanjangan. Undang-undang pertambangan
UU No.4 tahun tahun 2009 saat ini juga tidak mengatur perlindungan
4
Otong Rosadi, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di
Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 10, Nomor 2, September 2010, hlm.283.
[ 338 ]
Hayatul Ismi
terhadap hak ulayat yang lahannya digunakan untuk pertambangan,
sehingga seringkali terjadi tumpang tindih hak atas tanah.
Hal ini menunjukkan bahwa akar permasalahan terhadap konflik
dibidang pertanahan dan sumber daya alam belum dapat dituntaskan,
meskipun telah lahir Ketetapan MPR No. IX/MPR 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, untuk mengatasi
kerusakan lingkungan, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah serta timbulnya sengketa dan/atau konflik
pertanahan dan sumber daya alam. Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 4 huruf J TAP MPR No. IX/
MPR/2001dan juga prinsip keadilan pancasila yang merupakan dasar negara
dalam melakukan kegiatan pertambangan. Namun pada kenyataannya
mandat TAP MPR No. IX/MPR/2001 ini belum dilaksanakan. Dan arti
keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila belum dapat diterapkan.
Pancasila harusnya diletakkan sebagai sumber dari segala sumber hukum
maka setiap aturan hukum yang memiliki posisi di bawah Pancasila sebagai
grundnorm harus mendasarkan rasio logisnya pada pancasila dan tidak
boleh bertentangan dengannya.5 Maka berdasarkan hal tersebut diatas
penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan menguji
keadilan Pancasila dalam menjaga kedaulatan rakyat atas tanah.
Pengakuan terhadap H
ak U
layat M
asyarakat H
ukum A
dat
Hak
Ulayat
Masyarakat
Hukum
Adat
Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat ditegaskan di dalam UUD
1945 Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Pasal 28 I
ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-2 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa
identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
5
Fuad, supra note 1, hlm. 2.
[ 339 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Pancasila, berintikan pada kekeluargaan, maknanya mengakui adanya
perbedaan kepribadian individu, tetapi tidak kepribadian yang bebas, yang
tidak menghiraukan adanya yang lain, melainkan yang terikat dalam satu
kesatuan, “kesatuan dalam perbedaan; perbedaan dalam kesatuan”, maka
diakuilah adanya perbedaan antara kelompok-kelompok pergaulan hidup
manusia yang satu dan lainnya. Bung Karno juga menganjurkan, ‘janganlah
kita membedakan antara ‘orang Indonesia asli’ dan ‘orang Indonesia tidak
asli’, melainkan seperti halnya kita mengakui dan mengenal suku Batak,
Minangkabau dan sebagainya kita sebut juga yang tadinya kita namakan
orang Indonesia tidak asli sebagai suku Tiong Hoa, suku Arab, suku India
dan sebagainya. Hal ini memperlihatkan keinginan untuk menghadirkan
suatu tata hukum Indonesia yang memberikan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak lagi mempersoalkan asal usul dan latar belakang
golongannya. Semua komponen bangsa Indonesia diikat dengan semangat
kekeluargaan dan tata hukum Indonesia wajib untuk mengayomi seluruh
bangsa Indonesia itu tanpa terkecuali.6Pada hakekatnya keadilan adalah
kata sifat yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah atau tidak pilih
kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan
suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan
(justice or fair treatment).7
Hak ulayat menjamin kehidupan daripada anggota-anggotanya yang
ada dalam lingkungan ulayat tersebut. Karena itu tiap-tiap anggotanya
berhak untuk mengambil hasil dari tanah, dan binatang serta tumbuhan
yang ada di atas ulayat tersebut. Hubungan antara kepentingan
perseorangan dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan
mempunyai daya kekuatan yang sama, artinya hak perseorangan
mempertahankan diri terhadap hak persekutuan adalah sama kuatnya
dengan persekutuan mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Hak
ulayat masih selalu diakui, akan tetapi tidak boleh dipergunakan
bertentangan dengan Undang-undang serta kepentingan umum bangsa.
6
7
Shidarta, Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial Dalam Gagasan Revolusi Hukum Soediman
Kartohadiprodjo, http//Journal.unpar.ac.id, hlm. 4.
Agus Budi Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika
Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal
Perspektif, Volume XVI Nomor 4 Tahun 2011 Edisi September, hlm. 218.
[ 340 ]
Hayatul Ismi
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, menyatakan bahwa
bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Meskipun negara merupakan organisasi
yang diberikan kewenangan untuk menguasai seluruh bumi, air dan
kekayaan yang terkandung didalamnya sebagaimana yang dinyatakan di
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang selanjutnya dijabarkan dalam
Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat yang
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Namun penguasaan ini dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Semua kebijakan pemerintah di bidang agraria yang dituangkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus dapat meningkatkan
kemakmuran, kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya. Kebijakan
pemerintah di bidang agraria yang hanya menguntungkan segelintir orang
(investor) tidak dapat dibenarkan.
Keadilan P
ancasila dalam P
engelolaan SSumber
umber D
aya Alam
Pancasila
Pengelolaan
Daya
Keadilan pancasila perlu diberi penekanan makna sebagai cita hukum
(rechtsidée) bangsa Indonesia. Keadilan pancasila sebagaimana yang tertuang
dalam sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, adalah suatu prinsip bahwa didalam lapangan sosial dan ekonomi
ada kesamaan, disamping kesamaan politik. Didalam lapangan sosial dan
ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan dalam keseimbangan
dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial untuk mengusahakan dan
memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat mutlak daripada
manusia sebagai individu. Karena bebas hidup berarti berhak untuk hidup
dan berhak untuk hidup berarti menerima apa yang menjadi hak
kebutuhannya, bukan karena hasil usahanya, akan tetapi hak kebutuhan
didalam arti yang mutlak daripada manusia hak untuk hidup yang harus
dilaksanakan, hanya tentu dapat dilaksanakan kalau dipenuhi kebutuhan
yang diperlukan untuk melangsungkan hidupnya, dan kebutuhan ini
merupakan hak.
Sebagaimana yang kita ketahui Pancasila sebagai dasar filsafat negara
kita ialah terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 didalam
kalimatnya yang keempat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu
[ 341 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
sebagai penjelmaan naskah proklamasi kemerdekaan kita memuat segala
cita-cita kebangsaan. Didalam kalimat yang kedua disebutkan bahwa
“perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dari kata-kata yang terakhir
“adil dan makmur” terlihatlah dengan lebih tegas lagi tujuan bangsa kita
dengan proklamasi kemerdekaan untuk bernegara.8
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kalimat yang
ke-empat dinyatakan juga bahwa pembentukan Pemerintah Indonesia
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, dengan adanya keadilan
sosial sebagai dasar filsafat Negara kita, maka berarti bahwa didalam Negara
adil dan makmur dan kesejahteraan umum itu harus terjelma keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.9 Di dalam Pancasila, keadilan tertuang
dalam sila kelima, dengan kata-kata “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Soediman menggambarkan kata sosial sebagai hubungan antarmanusia dalam kelompoknya. Dikatakan bahwa Tiap-tiap individu
memiliki empat unsur atau alat perlengkapan hidupnya, yakni raga, rasa,
rasio, dan hidup dengan rukun. Agar ada ketenteraman, keseimbangan,
dan harmoni keempat hal ini harus diseimbangkan. hal ini disebut sebagai
“bahagia”. Jadi, menurut Soediman Kartohadiprodjo, “keadilan sosial”
adalah kebahagiaan yang diharapkan. Soekarno merangkaikan prinsip
kesejahteraan ini dengan prinsip demokrasi. Menurut Soekarno di dalam
prinsip kesejahteraan tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
merdeka. Pemikiran Soekarno tentang demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi ini adalah hasil endapan lama Soekarno sebagaimana terlihat dalam
paparannya tentang marhaenisme. Bagi Soekarno, marhaneisme adalah asas
dan cara perjuangan sosialisme ala Indonesia berlandasarkan prinsip sosionasionalisme dan sosio-demokrasi yang menghendaki hilangnya
kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Indonesia tidak saja harus
mencapai kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi.
Mohammad Hatta juga memberi warna sangat kuat pada penjabaran prinsip
sosio-demokrasi ala Indonesia. Pada masa sidang kedua BPUPK tanggal
8
9
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pantjuran Tudjuh, 1974. hlm. 37-38
Ibid.
[ 342 ]
Hayatul Ismi
11 Juli 1945, badan ini membentuk tiga panitia, yaitu panitia perancang
hukum dasar, panitia perancang keuangan dan ekonomi, dan panitia
perancang pembelaan tanah air, yang masing-masing dipimpin oleh
Soekarno, Hatta, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Soekarno lalu membentuk
lagi panitia kecil yang bertugas merumuskan undang-undang dasar di
bawah pimpinan Soepomo. Mereka semua bekerja cepat. Dalam rapat besar
BPUPK tanggal 13 Juli 1945 inilah Hatta memberi masukan terkait dengan
keadilan dan kesejahteraan sosial secara lengkap sebagai berikut: (1) Orang
Indonesia hidup dalam tolong-menolong; (2) Tiap-tiap orang Indonesia
berhak mendapat pekerjaan dan mendapat penghidupan yang layak bagi
manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang;
(3) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif;
(4) Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak,
dikuasai oleh pemerintah; (5) Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orangseorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga;
(6) Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang
lain; dan (7) Fakir dan miskin dipelihara oleh pemerintah. 10
Didalam penjelasan resmi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan bahwa didalam pembukaan terkandung pokok-pokok pikiran
negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial menurut Pembukaan
Undnag-Undang dasar 1945 ini dimaksudkan tidak hanya bagi rakyat
Indonesia sendiri tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Artinya negara
menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya,
inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan, Negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Didalam keadilan sosial
tercakup pemeliharaan kepentingan umum negara sebagai negara,
kepentingan umum para warga negara bersama, kepentingan bersama dan
kepentingan khusus dari para warga negara perseorangan, keluarga, suku
bangsa dan setiap golongan warga Negara.11
Kebijakan nasional di bidang pertanahan tentang penguasaan dan
penataan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan
10
11
Shidarta, supra note 1, hlm.25.
Notonogoro, supra note 1, hlm.137-140.
[ 343 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya penguasaan tanah
oleh negara harus sesuai dengan tujuan pemanfaatannya dan perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat luas serta tidak menimbulkan
sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan
memperhatikan hak-hak atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas
maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian, termasuk
berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan
penelantaran tanah. Penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam
skala besar untuk mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah
harus tetap mempertimbangkan aspek sosial, politik ketahanan keamanan
dan pelestarian lingkungan hidup. 12
Pemerataan kesejahteraan yang dilahirkan melalui pembangunan di
segala bidang diselenggarakan melalui penataan penguasaan dan
pemanfaatan tanah melalui kegiatan redistribusi atau konsolidasi tanah
yang dilakukan dengan pemberian sertifikat hak atas tanah guna memberi
kepastian hak. Selain untuk menunjang dan mempercepat pengembangan
wilayah, pemerataan peruntukan tanah juga dimaksud untuk
menanggulangi kemiskinan serta untuk mencegah kesenjangan sosial yang
timbul akibat penguasaan tanah yang tidak merata. Untuk itu pembanguan
bidang pertanahan perlu dilakukan dan didukung oleh penyempurnaan
berbagai peraturan perundang-undangan yang dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan sosial politik dan hukum di masyarakat.
Pembentukan landasan hukum baru guna mengoptimalkan penerapan
aturan-aturan pokok yang terkandung dalam UUPA perlu disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan hukum masyarakat saat itu, termasuk
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa
mendatang. Selain itu, perlu juga dibentuk langkah-langkah antisipasi
untuk menghadapi berbagai perubahan yang dapat mengakibatkan
pergeseran kerangka dan atau penerapan hukum adat yang mendasari
perlakuan hukum agraria setempat. Semua kegiatan pembentukan dan
penerapan kaedah hukum baru sebagai pelaksana ketentuan-ketentuan
pokok UUPA seyogyanya mempunyai satu tujuan akhir yang sama yaitu
12
Elza Syarif, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: KPG,
hlm.158, 2012.
[ 344 ]
Hayatul Ismi
untuk dipergunakan bagi pencapaian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk itu, Negara mempunyai andil yang sangat besar untuk
mengusahakan agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. 13
Tidak mudah memang untuk mewujudkan keadilan sosial di bidang
pertanahan dan sumber daya alam. Di tengah iklim globalisasi ekonomi
seperti saat ini. Konstitusi dan Pasal 2 ayat 3 UUPA dengan tegas
menyatakan bahwa keadilan yang hendak dicapai sebagai tujuan akhir di
bidang agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, adalah
keadilan sosial. Keadilan sosial pada hakikatnya terkait dengan sistem
distribusi semua produksi yang dihasilkan oleh masyarakat dari pengelolaan
pertanahan dan sumber daya alam. Hal ini tidak terlepas dari masalah
kekuasaan, khususnya kekuasaan untuk menentukan pembagian. Oleh
karena itu, pelaksanaan keadilan sosial akan tergantung pada struktur
ekonomi, politik, sosial budaya dan ideologi dalam masyarakat. Selama
struktur tidak mendukung kearah upaya mencari keseimbangan posisi tawar
yang relative sama antar berbagai kelompok masyarakat, maka keadilan
sosial akan sulit tercapai. Pada kenyataannya, posisi tawar masyarakat
memang berbeda-beda. Posisi tawar pengusaha yang menggunakan sumber
daya alam sebagai bahan produksinya mempunyai posisi tawar yang tinggi
dan akses yang besar terhadap sumber daya alam, sedangkan masyarakat
hukum adat, nelayan, petani, buruh dan kelompok minoritas lainnya
mempunyai posisi tawar yang rendah.
Untuk mencapai keadilan sosial sebagai wujud dari keadilan agraria,
maka dipelukan konsep keadilan lain sebagai sasaran antara dalam
mewujudkan keadilan sosial tersebut. Dalam hal pelaksanaan reforma agraria
yang bertujuan mengoreksi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, maka perlu
diterapkan keadilan korektif (positif discrimination), yaitu keadilan yang
memberi perhatian lebih kepada kelompok masyarakat yang tidak
diuntungkan karena perbedaan posisi tawar, agar keseimbangan dapat tercapai.
13
Bagir Manan, Beberapa catatan atas Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, FHUNPAD, Bandung,1999, hlm.2.
[ 345 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Keadilan sosial berhubungan dengan kegiatan sosial dari masyarakat,
di mana individu bagian dari anggota masyarakat atau subsocieties.
Pendapat ini juga dipertegas oleh pernyataan presiden Soekarno menyatakan
keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan
makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada
penindasan.14
Keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi kepada seseorang/
sekelompok orang yang dirugikan akibat diberlakukannya suatu ketentuan
peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah. Keadilan
korektif ditujukan untuk mendatangkan dampak positif bagi kelompok
masyarakat yang secara sosial ekonomi lemah atau kurang diuntungkan.
Prinsip yang digunakan sebagai landasannya adalah ketidaksamaan di antara
kelompok dalam masyarakat dengan menekankan pada kelompok
masyarakat yang kurang diuntungkan secara sosial ekonomi untuk
memperoleh akses kehidupannya.
Selain pada keadilan korektif, keadilan agraria yang menjadi tujuan
reforma agraria harus mengandung unsur dan paradigma keadialan
protektif pula. Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan
pengayoman (perlindungan) Dalam kehidupannya, manusia tidak saja perlu
dilindungi kebebasannya untuk berkreasi tetapi juga keamanan hidupnya,
sehingga manusia yang satu tidak boleh menjadi korban kesewenangwenangan manusia yang lain. Semangat yang terkandung dalam keadilan
protektif adalah bahwa meskipun semua manusia diperlakukan sama
dihadapan hukum, namun menjadi kewajiban negara untuk memberikan
perlindungan/proteksi terhadap kaum minoritas yang mengalami hambatan
untuk mengekspresikan atau mewujudkan hak-hak penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemilikannya atas tanah dan sumber daya alam. Hal ini
merupakan perwujudan dari negara hukum kesejahteraan yang dianut
Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Negara mempunyai andil yang sangat besar untuk mengusahakan agar
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
14
Widhayani Dian Pawesti, Keadilan Sosial Dalam Perlindungan Kepentingan Nasional Pada Penanaman
Modal Asing di Bidang Sumber Daya Alam, Jurnal Yuridika, Volume 30, Nomor 1, Januari-April
2015, hlm. 65.
[ 346 ]
Hayatul Ismi
pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat Hukum adat adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang
pengakuan dan perlindungannya ditegaskan didalam konstitusi negara kita
yaitu pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionlanya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesi.
Oleh sebab itu apabila tanah dan kekayaan alam mereka digunakan oleh
perusahaan maka harus tetap menghargai hak-hak masyarakat adat,
penggunaan tanah dan kekeyaan alam mereka harus mengarah kepada
kesejahteraan masyarakat adat tersebut, demi tercapainya tujuan negara
kesejahteraan. Menghargai, mengakui, memberikan konpensasi yang
mensejahterakan dan memajukan mereka secara nyata, bahkan melibatkan
mereka dalam mengambil kebijakan terkait penggunaan tanah dan
kekayaan alam mereka adalah salah satu bentuk tercapainya nilai-nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan
masyarakat adil dan makmur.
Jika kita mengacu kepada konsep negara kesejahteraan, tujuan pokok
negara tidak terletak pada mempertahankan hukum (positif ), tetapi pada
tujuan mencapai keadilan sosial (sosiale gerechtigheid) bagi semua warga
negara. Oleh karena itu jika perlu, negara dapat bertindak di luar hukum
untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Alat administrasi
negara dalam melaksanakan fungsinya (bestuurszorg) diberi kebebasan
untuk bertindak (fries ermessen) tanpa harus melanggar asas legalitas dan
tidak bertindak sewenang-wenang.15 Ketika terjadi pengabaian terhadap
hak-hak masyarakat atas atas kekayaan alam yang mereka miliki maka sudah
seharusnyalah negara bertindak dalam membela rakyatnya. Pemerintah
yang tidak menjamin rakyatnya menikmati kesejahteraan umum adalah
pemerintah yang menghianati mandat yang diembannya. Pemerintah
haruslah melaksanakan suatu negara demi kesejahteraan antara lain melalui
hukumnya yang adil. Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain keadilan,
15
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2009,
hlm.14.
[ 347 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
perdamaian, ketentraman hidup, keamanan dan jaminan bagi warganya,
hukum yang tidak adil bertentangan dengan hakikat hukum dan haruslah
diubah agar mencapai sasaran yakni kesejahteraan umum.16
Begitu juga halnya dengan konsep yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum tidak cukup kalau hanya
berperan sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyrakat,
hukum perlu berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan perubahanperubahan dibidangsosial. pendapat Mochtar tersebut dilandasi oleh
pokok-pokok pikiran bahwa keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan,
bahkan dipandang (mutlak) perlu. Hukum dalam arti kaedah atau
peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau
sarana pembangunan dalam arti dapat mengarahkan kegiatan manusia
kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Mochtar
Kusumaatmadja mengingatkan, sebelum hukum nasional dikembangkan
hendaklah dilakukan penelitian guna mengetahui bidang bidang hukum
yang harus diperbarui dan bidang-bidang hukum yang perlu dibiarkan
supaya berkembang dengan sendirinya.17
Tujuan hukum baru dapat tercapai apabila didukung oleh tugas hukum
yaitu menyerasikan kepastian hukum dengan kesebandingan hukum
sehingga keadilan terwujud. Untuk mencapai tujuan dan tugas hukum
tersebut maka setiap masyarakat hukum menjalankan tiga peranan utama
yang saling berkaitan yaitu:
1. Sebagai sarana pengendalian sosial
2. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi social
3. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu18
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam melaksanakan
pembangunan nasional terhadap bangsa dan negara, terdapat dalam sila
keadilan sosial, konsep hubungan antara manusia dengan tanah sebagai
16
Rosadi, supra note 1.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung,
2002, hlm. v.
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1984. hlm.
87.
17
[ 348 ]
Hayatul Ismi
tempat kehidupan manusia sangat jelas terlihat dan tertuang dalam Pasal
33 UUD 1945 dan Pasal 3 UUPA menempatkan individu serta masyarakat
sebagai kesatuan yang tak dapat terpisahkan.19 Pancasila sebagai falsafah
hidup bangsa Indonesia mempunyai arti bahwa Pancasila oleh bangsa Indonesia diyakini benar-benar memiliki kebenaran yang mutlak bagi bangsa
Indonesia. falsafah Pancasila berarti pandangan hidup, sikap hidup atau
tuntunan hidup bahwa pemenuhan kebutuhan terhadap tanah diletakkan
pada kerangka kebutuhan masyarakat Indonesia termasuk masyarakat adat,
sehingga hubungan tidak bersifat individualistik semata tetapi bersifat
kolektif dan/atau kebersamaan ( communal ) memberikan suatu
keseimbangan dalam perlakuan dengan tetap memberikan tempat dan
penghormatan terhadap hak perorangan di dalam kelompok masyarakat
adat dan/atau lokal yang mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah
pusat dan/atau daerah terhadap pembangunan pertambangan batubara.20
Hak-hak perorangan atas tanah tidak bersifat mutlak tetapi ada
batasannya terutama atas hak individu masyarakat adat. Penguasaan dan
penggunaan tanah secara wajar dan bertanggungjawab, hak atas tanah
dipunyai seseorang diletakkan kewajiban tertentu. Konsep hubungan yang
diterjemahkan dalam Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
dasar Pokok-pokok Agraria yang menyebutkan bahwa “semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. 21
Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan kepastian
hukum terhadap masyarakat hukum adat.Pada umumnya secara de facto22
rakyat telah mengerjakan tanah secara turun temurun dan terjadi
sepengetahuan atau ijin pemegang hak atau kuasanya, secara de jure tidak
ditindaklanjuti, karena rakyat tidak menyadari pentingnya alat bukti
hak.Negara berperan sebagai aktor dan berkedudukan sejajar dengan
pemegang hak harus tunduk pada peraturan dan/ atau ketentuan yang
dibuat sendiri dan berperan sebagai pengatur berbagai kepentingan menjadi
wasit yang adil.
19
Ibid.
Ibid.
21
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah bagi Bangsa Indonesia Ditinjau dari ajaran Hak Asasi
Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 299.
22
Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jala Permata,
Jakarta, 2007, hlm. 92.
20
[ 349 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kebijakan pertanahan yang adil dan populis, sejatinya telah digariskan
dalam UUPA. Secara normatif, nilai-nilai Pancasila diterjemahkan dalam
berbagai ketentuan UUPA. Namun dalam tataran empiris, ketentuanketentuan UUPA tersebut tidak diimplementasikan sesuai cita-cita
perumusnya, karena pilihan politik hukum yang diambil tidak mendukung
nilai-nilai keadilan dan populis tersebut. Akibatnya yang terjadi adalah
ketidak-adilan agraria, dan timbulnya peraturan-peraturan tentang sumber
daya alam dan peraturan pelaksanaan UUPA yang pro-kapitalis Oleh karena
itu, struktur hukum yang dibangun untuk merestrukturisasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam,
melalui program-program reforma agraria, adalah struktur hukum reforma
agraria yang mampu menciptakan keadilan.23
Keadilan agrarian adalah suatu keadaan di mana tidak ada konsentrasi
yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah dan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Selain itu, terjamin pula kepastian hak masyarakat setempat (termasuk
masyarakat hukum adat) atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah dan kekayaa alam lainnya. Kalimat “konsentrasi yang
berarti” harus dimaknai bahwa pemilikan seseorang atas tanah, atau
penguasaan suatu korporasi untuk memanfaatkan sumber daya alam tetap
diperkenankan sepanjang hal tersebut tetap membuka akses bagi masyarakat
terhadap aset yang berupa tanah dan sumber daya alam serta terjaminnya
keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi masyarakat setempat
(termasuk masyarakat hukum adat) yang menjadi sumber penghidupannya.
Dengan demikian, program-program reforma agraria harus berisi access
reform dan asset reform. Asetnya (tanah dan sumber daya alam) harus
ditata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannyanya; serta
ditambah dengan pembukaan aksesnya berupa sumber-sumber ekonomi
(keuangan, manajemen, pasar) dan sumber-sumber politik (partisipasi
politik).24
23
Ida Nurlinda, Membangun Struktur Hukum Reforma Agraria untuk Mewujudkan Keadilan Agraria,
Orasi Ilmiah Berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria pada
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 9 Januari 2015, hlm.16-18.
24
Ibid.
[ 350 ]
Hayatul Ismi
Dalam kaitannya pembukaan akses dimaksud, maka prinsip keadilan
difahami dalam dimensi baik keadilan inter generasi maupun keadilan
antar generasi dalam upaya mengakses sumber daya alam. Keadilan adalah
salah satu tujuan hukum. Antara hukum dan keadilan sulit dipisahkan
karena pada keadilanlah hukum bermuara.
Melalui keadilan korektif, yang memberikan perhatian lebih kepada
kelompok yang paling tidak diuntungkan oleh pilihan politik hukum yang
telah diambil oleh pemerintah. Sebagai victim of development, masyarakat
marjinal perlu mendapat pemulihan hak-hak dasar kehidupannya
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28A UUD 1945. Perwujudan keadilan
agraria seyogianya memperhatikan pula hal-hal lain di luar dari apa yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Mungkin saja
hasil dari penerapan hukum tersebut tidak memenuhi unsur kepastian
hukum, namun jika itu dilakukan untuk memberikan keadilan bagi
masyarakat yang selama ini terhalang aksesnya terhadap tanah dan sumber
daya alam, maka demi mewujudkan keadilan agraria yang berorientasi pada
keadilan korektif, hal tersebut akan jauh lebih baik. 25
Kesimpulan
Masyarakat hukum adat masih hidup dan dilindungi oleh konstitusi
Republik Indonesia, lahan hak ulayat sering dijadikan lahan dalam
pengelolaan pertambangan, hukum agraria tidak mengatur hak untuk lahan
pertambangan secara khusus begitu juga pada hukum pertambangan Indonesia yang diatur melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 juga
tidak mengatur perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat
jika lahan mereka digunakan dalam pengelolaan pertambangan. Dengan
ketidaktegasan aturan dalam pengelolaan pertambangan ini seringkali
terjadi pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat terhadap hak ulayat
mereka, sehingga memicu konflik bekepanjangan, hal ini diakibatkan
ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat hukum adat terhadap hak
mereka atas tanah ulayat mereka.Pada hakikatnya bahwa apapun yang
dilakukan oleh seluruh komponen bangsa, baik pemeritah, ataupun swasta,
harus sesuatu yang dapat menciptakan keadilan sosial, keadilan sosial yang
25
Ibid.
[ 351 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
hendak diwujudkan harus benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat
Indonesia, tidak terkecuali bagi masyarakat hukum adat.
Maka menurut penulis agar dalam pengeloaan pertambangan diatas
tanah hak ulayat ini dapat dilakukan secara berkeadilan sebagaimana dasar
negara pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka
pengaturan tentang perlindungan terhadap hak ulayat ini harus diatur di
dalam Undang-undang pertambangan secara lebih khusus. Dan tentunya
yang menjadi prinsip dalam pembentukan undang-undang ini adalah
pancasila sebagai norma dasar.
Referensi
Buku
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah bagi Bangsa Indonesia, Ditinjau
dari ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006.
Elza Syarif, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan, Jakarta: KPG, hlm.158,2012.
Ida Nurlinda, “Membangun Struktur Hukum Reforma Agraria untuk
Mewujudkan Keadilan Agraria,” Orasi Ilmiah Berkenaan dengan
Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Agraria pada
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 9 Januari 2015
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, Jakarta,
Rajawali Pers, 2009.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
PT. Alumni, Bandung, 2002.
Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah untuk
Kepentingan Umum, Jala Permata, Jakarta, 2007.
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pantjuran Tudjuh, 1974.
Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia,
Bandung: Pustaka Reka Cipta 2013
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia.
Jurnal
Agus Budi Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif
Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi terhadap
[ 352 ]
Hayatul Ismi
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Perspektif,
Volume XVI Nomor 4 Tahun 2011.
Bagir Manan, Beberapa Catatan atas Rancangan Undang-Undang Minyak
dan Gas Bumi, FH-UNPAD, Bandung, 1999, hlm. 2.
Widhayani Dian Pawesti, Keadilan Sosial Dalam Perlindungan Kepentingan
Nasional Pada Penanaman Modal Asing di Bidang Sumber Daya
Alam, Jurnal Yuridika, volume 30, Nomor 1, Januari-April 2015.
Fokky Fuad, Filsafat Hukum Pancasila Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai
Praktis, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Volume 13, Nomor
1, Oktober 2013.
J. Tjiptabudy, Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya Melestarikan NilaiNilai Pancasila di Era Reformasi, Jurnal Sai Volume 16 Nomor 3
Juli-September 2010.
Otong Rosadi, Hukum Kodrat, Pancasila dan Asas Hukum Dalam
Pembentukan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum,
Volume 10, Nomor 2, September 2010.
Shidarta, Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dalam Gagasan
Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo, http//
Journal.unpar.ac.id.
Peraturan P
er
undangan
Per
erundangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
[ 353 ]
BAB V
KEADIL
AN D
AN DEMOKRA
SI
KEADILAN
DAN
DEMOKRASI
PANC
A SIL
A DI ERA
PANCA
SILA
GLOBALISA
SI
GLOBALISASI
PANC
A SIL
A D
AL
AM DINAMIK A
PANCA
SILA
DAL
ALAM
KET
ATANEGARAAN INDONESIA
KETA
Rosita Indrayati
Pendahuluan
I
ndonesia sebagai sebuah entitas yang mengadopsi konsep negara hukum
melembagakan peran besar negara di dalam rumusan staatsidee yang
tercantum di dalam sebuah Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (selanjutnya disebut Konstitusi Indonesia). Pembukaan tersebut berisi
tentang Pemerintah Republik Indonesia yang didirikan untuk memajukan
kesejahteraan umum.1 Pembebanan tanggung jawab untuk memajukan
kesejahteraan umum tersebut, secara otomatis di bidang politik hukum,
akan berimplikasi terhadap pembangunan dalam bidang hukum, yang
tidak hanya membangun lembaga-lembaga hukum, tetapi juga harus
mencakup pembangunan substansi produk-produk hukum dan sebuah
kultur yang merupakan hasil dari suatu sistem hukum dalam bentuk
peraturan-peraturan hukum yang bersifat kultural yakni sikap dan nilainilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum tersebut.2
Ideologi Pancasila yang berperan sebagai sistem nilai telah mengakar
dan berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam
nilai-nilai Pancasila tersebut telah tumbuh dalam masyarakat berupa tradisi,
sikap, perilaku, adat-istiadat serta budaya bangsa. Penempatan Pancasila
1
2
Erfandi Erfandi, “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan Sistem Hukum Pidana
di Indonesia” (2016) 1 J Lmiah Pendidik Pancasila Dan Kewarganearaan 23 hlm. 23. Terkait
dengan konsep negara kesejahteraan, lihat alinea keempat UUD 1945.
Lihat, Ibid., hlm. 84-6.
[ 357 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan
Konstitusi Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.3 Hal itu dapat terlihat
pada susunan sila-sila dalam Pancasila secara sistematis dan hierarkis,
dimulai dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sampai dengan sila
ke lima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila
tersebut lahir sebagai pandangan hidup dan metode refleksi yang sudah
seharusnya diwujudkan oleh aparat penegak hukum. Artinya, sila-sila dalam
Pancasila sebenarnya merepresentasikan unsur-unsur dari prinsip-prinsip
hukum positif karena telah mencakup falsafah kebangsaan.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi pembentukan
hukum terutama (pembentukan peraturan perundang-undangan) tidak
hanya masih relevan tetapi merupakan keharusan untuk masa depan
Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan Konstitusi
Indonesia yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia.4 Hal ini dapat dilihat apabila Pancasila terlepas dari suatu makna
hukum nasional, maka suatu hukum nasional tersebut akan mati. Meskipun
hukum nasional tersebut tetap ada, hukum nasional tersebut hanya
merupakan mayat hidup yang menakutkan dan merusak serta dapat
mengganggu kenyamanan hidup dan kehidupan semua manusia di dunia
ini.5 Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia, sudah seharusnya dijadikan
langkah awal dan refleksi kritis sebagai upaya dalam memecahkan persoalan
kebangsaan. Namun sayangnya hingga saat ini seolah-olah nilai-nilai
Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia tidak mampu
diimplementasikan oleh elite politik dan masyarakat, sehingga tak salah
kiranya jika banyak terjadi permasalahan peradaban bangsa Indonesia.
Pembukaan Konstitusi Indonesia dalam alinea keempat mengisyaratkan sebuah rumusan Ideologi Pancasila sebagai dasar Negara Republik
3
4
5
Kurniasar Kurniasar, “PANCASILA SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM DI
INDONESIA” 243 hlm. 247.
Otong Rosadi, “HUKUM, KODRAT, PANCASILA DAN ASAS HUKUM” (2010) 10 J Din
Huk 282 hlm. 289–290.
Syahrul Kirom, “Mempraksiskan Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia” (2015) 5 No.
1 J Ilm Civ 1 hlm. 2.
[ 358 ]
Rosita Indrayati
Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut di dalam hukum positif di Indonesia
secara yuridis normatif sesuai dengan konstitusional yang sah, berlaku,
dan akan mengikat seluruh elemen bangsa tanpa perkecualian. Rumusan
Ideologi Pancasila dalam arti secara imperatif harus dilaksanakan oleh seluruh
rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral,
dan saling mengandaikan serta saling mengunci. Ketuhanan sebagai ruh
dari empat pilar lainnya harus diletakan dalam prinsip bernegara yang
berdasar pada prinsip kekeluargaan yang egaliter, untuk meneguhkan konsep
negara yang beradab, berkesatuan, berdemokrasi dan menjunjung nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.6
Interpretasi norma hukum dalam Konstitusi Indonesia sebagai hukum
tertinggi akan didasarkan pada jiwa bangsa dalam Pancasila yang berfungsi
sebagai cita hukum yang akan menjadi dasar dan sumber pandangan hidup
atau falsafah hidup bangsa yang menjadi pedoman dalam pembentukan
undang-undang dan peraturan lain yang lebih rendah.7 Orang-orang atau
masyarakat penganut ideologi berbeda pun mengakui peran Pancasila dalam
menjaga pluralisme Indonesia sangat besar karena dapat menyatukan
masyarakat Indonesia yang heterogen karena hidup dengan adat istiadat
dan bahasa yang berbeda serta mempunyai kepercayaan yang berbeda.
Selain itu juga Pancasila juga mampu memberikan pedoman berupa nilainilai yang menjamin terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan bangsa.8
Pancasila sebagai dasar filosofis juga terdapat dalam Pembukaan
Konstitusi Indonesia yang merupakan kesepakatan pertama penyangga dan
penopang paham konstitusi atau yang biasa disebut dengan
konstitu-sionalisme. Pembukaan Konstitusi Indonesia belum pernah
mengalami perubahan meskipun batang tubuhnya telah beberapa kali
mengalami perubahan. Maka kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar
filosofis bangunan Negara Republik Indonesia juga tidak pernah mengalami
perubahan. Perubahan tersebut hanya pada sistem dan institusi sebagai
tujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan nilai-
6
7
8
Rosita Indrayati, PANCASILA SEBAGAI REALITAS (Percik Pemikiran Tentang Pancasila dan IsuIsu Kontemporer di Indonesia), 1st ed (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) hlm. 339.
Kurniasar, supra note 3 hlm. 249.
Margaritno Kamis, Pembatasan Kekuasaan Presiden, 1st ed (Malang: Setara Press, 2014) hlm. 247.
[ 359 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
nilai Ideologi Pancasila. Hal ini akan disesuaikan makna Pancasila sebagai
ideologi yang terbuka dan hanya dapat dijalankan atau dilakukan dalam
sistem negara yang demokratis dengan nilai-nilai dan perkembangan
masyarakat. 9
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa juga telah dijadikan sebagai
dasar dalam pembatasan kekuasaan untuk menciptakan iklim demokrasi
yang berciri khas Pancasila. Pembatasan kekuasaan dalam bernegara
merupakan pilar penting dari sebuah negara hukum (rule of law) yang
demokratis. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rakyat menyaksikan
betapa Orde Lama dan Orde Baru memanipulasi prinsip “demokrasi”
Pancasila karena mereka memberlakukan kekuasaan yang begitu sentralistik.
Pola kepemimpinan di bawah rejim Sukarno dan Suharto menjadi
hambatan terbesar bagi tumbuh dan berkembangnya negara hukum yang
demokratis. Suatu sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistik
dengan sendirinya mematikan negara hukum yang demokratis.
Lahirnya Amandemen Konstitusi Indonesia merupakan wujud dari
Reformasi Politik dan Reformasi Konstitusi yang berjalan secara demokratis.
Era Reformasi dimulai dan ditandai dengan dilakukannya reformasi Politik
dan Reformasi Konstitusi untuk menyempurnakan landasan hukum dalam
bernegara. Reformasi konstitusi dilakukan karena terdapat beberapa aspek
kelemahan yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia. Aspek-aspek tersebut
antara lain adalah Pertama, Konstitusi Indonesia akan membangun suatu
sistem politik yang executive heavy dengan cara memberikan porsi atau
bagian yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya
mekanisme checks and balance dan tanpa adanya pembatasan kekuasaan
Presiden. Kedua, Konstitusi Indonesia terlalu banyak memberi kewenangan
secara atribusi dan delegasi kepada Presiden untuk dapat mengatur lagi
hal-hal penting dalam bentuk peraturan perundang-undangan mauun
aturan pelaksananya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Selain itu, batang
tubuh konstitusi Indonesia banyak memuat beberapa pasal yang ambigu
atau multitafsir sehingga dapat ditafsirkan maupun diartikan dengan
bermacam-macam tafsir akan tetapi tafsir yang harus diterima oleh warga
negara atau masyarakat adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden. Aspek yang
9
Indrayati, supra note 6 hlm. 338–339.
[ 360 ]
Rosita Indrayati
terakhir adalah Konstitusi Indonesia lebih mengutamakan semangat
penyelenggaraan negara dari pada sistem penyelenggaraannya.10
Konsep P
emisahan K
ekuasaan di IIndonesia
ndonesia
Pemisahan
Kekuasaan
Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia menganut
paham demokrasi yang artinya kedaulatan serta kekuasaan berada di tangan
rakyat dan dilakukan menurut peraturan perundang-undangan.11 Penegasan
lain menyatakan bahwa Konstitusi kita juga menentukan secara tegas
Negara Indonesia adalah Negara Hukum Indonesia yang heterogen.12
Sebagai ruh dari berdirinya negara Indonesia dan mengandung nilai-nilai
dasar dalam bernegara, Pembukaan Konstitusi Indonesia tersebut sampai
sekarang belum mengalami perubahan.
Konsep Negara Hukum mengakui prinsip-prinsip supremasi hukum
dan konstitusi, pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem
konstitusional yang diatur dalam konstitusi, terdapatnya jaminan-jaminan
tentang hak asasi manusia, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak
serta memberikan jaminan persamaan setiap warga negara dalam hukum
dan pemerintahan, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk
terhadap abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa.
Pada hakikatnya hukumlah yang menentukan atau menjadi penentu setiap
kebijakan sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocrasy). Dalam konsep
‘the rule of Law’ menjadikan sebuah keyakinan adanya pengakuan bahwa
hukum mempunyai kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan
yang lain (supremacy of law), terdapatnya persamaan dalam hukum dan
pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam
segala proses kehidupan berbangsa dan bernegara (due process of law). Ide
dasar dari negara hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan
dengan dasar hukum yang baik, adil dan merata. Oleh karena itu, dalam
negara hukum terdapat 4 (empat) tuntutan dasar: Pertama tuntutan
kepastian hukum yang menjadi suatu kebutuhan langsung masyarakat;
10
Martha Pigome, “IMPLEMENTASI PRINSIP DEMOKRASI DAN NOMOKRASI DALAM
STRUKTUR KETATANEGARAAN RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945” (2011) 11 J Din
Huk 335 hlm. 335–336.
11
Lihat Pasal 1 (2) UUD NRI 1945
12
Lihat Pembukaan UUD N 1945 alinea keempat.
[ 361 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
kedua tuntutan bahwasannya hukum berlaku sama bagi semua penduduk
dan warga negara; ketiga democratic legitimate atau legitimasi demokratis
yang mana dalam proses pembentukan hukumnya harus mengikutsertakan
serta mendapat persetujuan rakyat; dan keempat adanya tuntutan budi
pekerti yakni dalam menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat
di dunia ini.13
Pembatasan kekuasaan menjadi hal yang sangat penting dalam
kekuasaan negara atau pemerintah yang menjadikan dasar falsafah Lord
Acton menyatakan bahwasanya Manusia sebagai pribadi individu yang
mempunyai kekuasaan atau kekuatan dalam pemerintahan akan cenderung
menyalahgunakan kekuasaan tersebut meskipun kekuasaan tersebut telah
diatur dalam undang-undang, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan
tak terbatas dapat dipastikan akan menyalahgunakan kekuasaan tersebut.
Demokrasi konstitusional adalah merupakan gagasan atau konsep dasar
untuk membatasi kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara.14
Untuk dapat memberikan penilaian apakah konsep dasar dalam
Konstitusi Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan ataukah
pembagian kekuasaan pemisahan kekuasaan (separation of powers) dapat
dilihat dari sudut materiil dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti
materiil memberikan arti bahwasanya pembagian kekuasaan tersebut
dipertahankan secara tegas dalam berbagai tugas kenegaraan yang secara
karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan menjadi tiga
bagian yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Begitu juga sebaliknya
apabila pembagian kekuasaan tidak dapat dipertahankan secara tegas, maka
sistem pemerintahan seperti itu disebut pemisahan kekuasaan dalam arti
formal.
Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil diartikan pemisahan
kekuasaan. Sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal dikenal
dengan pembagian kekuasaan. 15 Jimly Assidiqqie 16 berpendapat
13
Franz Mgnis Suseno, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1993) hlm. 295.
14
Ibid hlm. 297.
15
Moh Kusnardi & Harmally Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, 1st ed (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI dan CV Sinar Bakti, 1988) hlm. 143.
16
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945
(yogyakarta: FH UII PRESS, 2005) hlm. 35.
[ 362 ]
Rosita Indrayati
bahwasanya pemisahan kekuasaan dapat bersifat horizontal dan vertikal.
Pemisahan kekuasaan ke atas atau horizontal diartikan bahwa kekuasaan
tersebut terpisah-pisah ke dalam masing-masing fungsi yang tercermin
pada lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi
(check and balances). Sedangkan pemisahan kekuasaan bersifat ke bawah
atau vertikal berarti perwujudan suatu kekuasaan itu diberikan dan dibagi
secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang berada
di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Konstitusi Indonesia sebagai konstitusi dasar negara Indonesia tidak
mengenal sistem pemisahan kekuasaan (Separation of power) pada trias
politica yang dianut Montesquieu akan tetapi sistem pemerintahan yang
digunakan adalah sistem pembagian kekuasaan sebagai unsur penting negara
hukum. Ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) menampakkan
corak beragam di beberapa negara di dunia yang bergantung pada praktik
politik yang berlaku, kebiasaan serta prinsip-prinsip hukum yang dianut
negara tersebut.
Di Indonesia, kekuasaan dan kewenangan Presiden sebagai kepala negara
hanya merupakan kekuasaan yang bersifat administratif (eksekutif )
sebagaimana diatur dalam Konstitusi Indonesia.17 Kekuasaan eksekutif
dalam hal pemerintahan diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan
pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup
fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan
dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Dasar P
embatasan K
ekuasaan P
Pembatasan
Kekuasaan
Prresiden
Hak prerogatif presiden adalah kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat
diganggu oleh pihak lain. Hak prerogatif secara teoretis diartikan sebagai
hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat
mandiri dan mutlak dan tidak dapat digugat lembaga negara lain. Sistem
pemerintahan negara-negara modern juga memiliki hak tersebut dalam
17
Lihat pasal 10 – 15 Konstitusi Indonesia.
[ 363 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bidang-bidang tertentu yang terdapat dalam konstitusi mereka. Hak
prerogatif disamakan juga dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh
konstitusi kepada lembaga eksekutif kekuasaan pemerintahannya (seperti
Amerika Serikat dan negara-negara lain yang mengaut sistem separation of
power atau sistem pemisahan kekuasaan), dalam pembuatan kebijakankebijakan politik maupun ekonomi. Sistem pemerintahan negara-negara
modern menempatkan semua model kekuasaan dalam lingkup
pertanggungjawaban publik. Kekuasaan tersebut tidak dapat dikontrol,
digugat maupun dimintai suatu pertanggungjawaban, sehingga dalam
praktik pelaksanaannya sulit memperoleh tempat. Hak prerogatif dalam
praktik ketatanegaraan negara-negara modern tidak dapat bersifat mutlak
dan mandiri, terkecuali dalam ruang lingkup pengambilan kebijakan
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disebut PPKI)
menetapkan UUD 1945 menjadi Konstitusi Indonesia.18 Konstitusi yang
pertama ini dimaksudkan untuk menjadi undang-undang sementara waktu
sifatnya.19 Konstitusi tersebut ditetapkan dalam situasi revolusi serta adanya
keinginan untuk segera memerdekakan Negara Indonesia. Konstitusi ini
dinilai sah dari sudut pandangan hukum yang menunjuk kepada
berhasilnya revolusi Indonesia.20 Dengan demikian, lahirnya konstitusi
pertama itu merupakan awal Indonesia sebagai negara modern yang terlepas
dari penjajahan.21
Kekuasaan Presiden pada masa konstitusi pertama ini mempunyai
kekuasaan yang besar, yaitu menjalankan kekuasaan eksekutif dan legislatif
sekaligus. Presiden mendapat bantuan dari komite nasional Indonesia untuk
mejalankan kekuasaan yang diperolehnya. Sebagaimana dituangkan dalam
Aturan Peralihan yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia. Menurut A.K.
18
Konstitusi yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar yang terdiri dari 16 BAB, 37 Pasal, 46
Ayat, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan. Lihat Chrisdianto Eko Purnomo,
‘Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia’ (2010) 7
Nomor 2 Jurnal Konstitusi 159, 162.
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hlm. 42–43.
20
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, 2d ed (Jakarta: CV. Caliandra, 1965) hlm. 3. Dalam
Chrisdianto Eko Purnomo, ‘Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan
Indonesia’ (2010) 7 Nomor 2 Jurnal Konstitusi 159, 162.
21
Deny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007) hlm. 48.
[ 364 ]
Rosita Indrayati
Pringgodigdo, Presiden memiliki kekuasaan yang besar, meskipun dibantu
oleh sebuah Komite Nasional sehingga dapat dipandang presiden bertindak
secara diktator dan dapat diartikan pengekangan atas sebuah kekuasaan.22
Dengan kata lain, atas dasar ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan ini dapat
menciptakan absolutisme karena tiadanya pembatasan kekuasaan Presiden.
Menurut Bagir Manan kuatnya kekuasaan Presiden dalam
penyelenggaraan negara bukan sekedar kenyataan yang ada akan tetapi
merupakan sesuatu yang korelatif dengan sistem pemerintahan yang
terdapat dalam Konstitusi Indonesia.23 Konstitusi Indonesia menyatakan
bahwa presiden bisa sebagai kepala pemerintahan dan juga dapat menjadi
kepala negara sekaligus. Namun demikian, Konstitusi Indonesia mengatur
bahwa dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, presiden
harus mendapatkan persetujuan parlemen. Model kerjasama antara
presiden dan parlemen juga dapat dilihat dari penyusunan anggaran negara
dan belanja negara (staatsbegrooting). Selain itu, hubungan Presiden
dengan parlemen dapat dilihat dari fungsi parlemen; yaitu fungsi legislasi,
anggaran dan pengawasan yang terkait erat dengan fungsi kontrol terhadap
pemerintah.
Berdasarkan ulasan tersebut, Konstitusi Indonesia tidak saja berfungsi
untuk membatasi kekuasaan presiden, akan tetapi bagaimana seharusnya
kekuasaan presiden diatur secara tepat, tegas, dan jelas sehingga kewenangan
yang dimiliki oleh Presiden adalah kewenangan yang sifatnya terbatas dan
proporsional. Pembatasan kekuasaan presiden secara perspektif sebenarnya
adalah merupakan korelasi antara kekuasaan presiden dengan masa
jabatanya. Apabila masa jabatan presiden tidak dibatasi secara tegas dan
jelas, presiden dan golongannya akan memperluas dan memperkuat,
sehingga disinilah peran nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan.
Pancasila sebagai F
ilosofi K
epemimpinan di IIndonesia
ndonesia
Filosofi
Kepemimpinan
Pancasila dijadikan sebagai realitas di Indonesia dengan cara mewujudkan
satu realitas baru di negara kita. Realitas Pancasila sekarang menunjukkan
22
AK Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang Dasar Dalam Teori dan
Praktek (Jakarta: Pembangunan, 1956) hlm. 11.
23
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (yogyakarta: FH UII PRESS, 2004) hlm. 120.
[ 365 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
gejala sudah mulai memudar dan bahkan banyak nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat telah bertentangan dengan Pancasila. Realitas
baru tersebut hanya dapat tercipta melalui usaha yang akan didominasi
melalui suatu bentuk perbuatan,24 sehingga wacana baru terkait dengan
realitas Pancasila tersebut sangat diperlukan.
Kepemimpinan nasional yang tercipta dalam kekuasaan presiden
mampu mengajak seluruh bangsa membuat perubahan yang diinginkan
bersama. Keberhasilan kepemimpinan nasional dalam mengajak seluruh
bangsa yang perlu dilandasi kemampuannya dalam mengajak dan
memotivasi semua orang atau pihak yang menjalankan kepemimpinan di
daerah serta di berbagai organisasi untuk bersama-sama mewujudkan
perubahan dan menjadikan Pancasila realitas di Indonesia.
Kondisi kepemimpinan nasional di negara Indonesia sekarang ini,
seharusnya mampu dan akan menyadarkan kita bahwa proses degradasi
telah terjadi terhadap kepemimpinan yang ada di negara Indonesia.
Kepemimpinan nasional di negara Indonesia kita dapat dikatakan sangat
lemah dan tidak amanah akibat memperhatikan kepentingan golongannya
masing-masing. Adanya korupsi juga membuktikan bahwa pemerintahan
yang dipegang oleh presiden tidak mampu memberikan upaya penegakan
hukumnya. Pelanggaran hukum dan HAM terdapat dimana-mana, gejala
disintegrasi bangsa semakin nampak dengan adanya perbedaan-perbedaan
dikarenakan budaya, agama dan keyakinan masing-masing masyarakat,
banyaknya kebijakan-kebijakan ekonomi yang kurang berpihak kepada
rakyat. Hal ini diakibatkan karena krisis kepemimpinan dan tak adanya
teladan dari pemimpin yang tak menjiwai dan tidak berbasis pada Pancasila.
Pemimpin nasional (Presiden) seharusnya dilihat dan dirasakan
masyarakat bahwa pemimpin tersebut adalah orang-orang yang kuat
keyakinannya kepada Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa,
pandangan hidup bangsa, dan jati diri bangsa Indonesia. Keyakinan itu
dapat diekspresikan melalui berbagai pikiran dan tindakan yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Didukung oleh karakter atau
kepribadian yang kuat niat serta tekad yang bulat sehingga mewujudkan
24
Sayidiman Suryohadiprojo, Mengobarkan Kembali API PANCASILA (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2014) hlm. 250.
[ 366 ]
Rosita Indrayati
keberanian moral dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Di beberapa negara
modern seperti Amerika, Inggris, Perancis, dan Tiongkok adalah merupakan
negara yang kepemimpinannya sudah sangat kuat. Sistem pemerintahan
telah terbangun dengan demikian siapa pun yang akan menjadi presiden
akan tetap membuat pemerintahan tersebut kuat dan tidak goyah. Kondisi
politik yang dinamis tetap akan membuat baik dan kokoh suatu birokrasi
dan administrasi yang profesional dan terstruktur. Sementara di Negara
Indonesia setiap terjadinya perubahan kepemimpinan sangat berpengaruh
terhadap semua sektor baik sektor ekonomi maupun sektor politik.
Indonesia seharusnya memilih pemimpin nasional atau presiden dengan
berdasarkan atas ideologi yang telah diyakini yakni ideologi Pancasila karena
kelima sila dalam Pancasila tersebut telah menjelaskan setiap proses
berkehidupan berbangsa dan bernegara. Siapa pun presidennya diharapkan
akan mampu membawa negara Indonesia kepada tujuan yang dicita-citakan
dalam pembukaan Konstitusi Indonesia dalam alinea ke-4.25 Sebagai
pemimpin nasional presiden harus tetap berpegang teguh pada semua
konsep kelima sila dalam Pancasila. Sila pertama tentang Ketuhanan
ditempatkan dan diposisikan menjadi dasar yang paling utama dalam
kaitannya dengan moralitas bangsa. Sila Ketuhanan sebagai sila yang
mempunyai sifat causa prima yang artinya sebagai sumber dari sila-sila
yang lain sehingga pemimpin harus ber-Tuhan, mempunyai moral dan
selalu menjalankan eksistensinya sebagai pemimpin dengan benar dan
mempunyai tujuan menyejahterakan rakyat dan warga negaranya. Seorang
pemimpin yang ber-Tuhan sangat mungkin menjadi seorang pemimpin
yang religius dan selalu melaksanakan setiap kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahannya seperti yang diperintahkan oleh
Tuhannya serta menjauhkan dari setiap larangan Tuhan dan agamanya.
Sifat pemimpin yang sesuai dengan sila pertama tersebut merupakan tipe
pemimpin yang taat pada aturan agamanya dan tunduk pada semua yang
diatur dalam agamnya karena agama yang selalu dijadikan tolak ukur setiap
tindakan yang dijalankan oleh pimpinan tersebut.
Sila kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ciri dan sifat pemimpin yang dapat ditonjolkan dari sila ini adalah
25
Ibid.
[ 367 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bahwasanya seorang pemimpin harus selalu mencari cara dalam setiap
tindakannya untuk mencapai tujuan kepemimpinannya berbangsa dan
bernegara. Sila ini juga menonjolkan sifat humanisme yang universal
melalui pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) artinya bahwa
kepemimpinan yang harus dijalankan berdasarkan sila ini adalah seorang
pemimpin yang dalam setiap kebijakan yang diambil berdasarkan HAM.
Sila ketiga Pancasila adalah sila persatuan. Dalam sila ini terkandung
makna bahwasanya pemimpin harus goal oriented dan process oriented.
Artinya pemimpin harus mempunyai tujuan atau berorientasi untuk
pencapaian suatu tujuan dan proses yang berlangsung, sehingga pemimpin
yang berbasis pada Pancasila harus mempunyai tujuan menekankan
semangat persatuan dan kesatuan untuk terus berproses. Kepemimpinan
yang berbasis persatuan dipandang sebagai pemimpin yang solidarity maker.
Artinya pemimpin tersebut mampu menempatkan diri sebagai pemersatu
bangsa, yang bisa menjejakkan kaki dan menempatkan diri dimana-mana
akan tetapi tetap satu kendali, yang akan menjadi simbol kebersamaan
dan persatuan serta kesatuan bangsa.26
Sila keempat Pancasila mempunyai makna kerakyatan atau demokrasi
yang ada di negara Indonesia. Kepemimpinan nasional dan kekuasaan yang
berdasarkan konsep sila adalah pemimpin yang dapat mengimplementasikan
kedemokratisan dalam setiap pengambilan kebiajakan serta aspek
penyelenggaraan pemerintahan, aspek tersebut adalah aspek politik, aspek
ekonomi, aspek budaya, dan aspek pendidikan, hal ini dapat mencapai
tujuan nasional bangsa dan negara secara demokratis dan bermartabat.
Sedangkan sila terakhir dalam Pancasila adalah sila kelima yang berisi
tentang keadilan sosial yang akan menjadi tujuan akhir dalam berbangsa
dan bernegara di Negara Indonesia. Kepemimpinan yang dibangun dengan
dasar sila ini tidak hanya suatu kepemimpinan yang hanya berbicara tentang
hukum dan keadilan dalam bidang ekonomi, keadilan dalam aspek politik,
serta keadilan dalam bidang pendidikan akan tetapi kepemimpinan yang
berkeadilan tinggi dalam pencapaian suatu tujuan akhir yakni berkeadilan
sosial. Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan yang berdimensi sosial
artinya sebuah keadilan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial
26
Alif Lukmanul Hakim, supra note 25.
[ 368 ]
Rosita Indrayati
masyarakat. Keadilan di sini juga adalah keadilan yang akan selalu berpihak
kepada masyarakat yang terpinggirkan dan termarginalkan oleh suatu
lingkungan. Sehingga harapan ke depan seorang presiden sebagai pemimpin
nasional yang mempunyai kekuasaan seharusnya berdasar atas kelima sila
dalam Pancasila sebagai pedoman dalam melaksanakan fungsi-fungsi
penyelenggaraan pemerintahan yang tertuang dalam peraturan perundangundangan sebagai konsep negara hukum. Pancasila adalah falsafah atau
pegangan hidup masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara,
sehingga kehidupan masyarakatnya harus berdasarkan konsep nilai-nilai
yang terkandung di dalam Pancasila tersebut.27
Penutup
Pembatasan kekuasaan Presiden dimulai pada saat pertama kali Anggota
MPR merubah Konstitusi Indonesia yang di dalam gagasan negara hukum
demokratis diperdebatkan, hal itu dikarenakan kekuasaan Presiden yang
begitu besar. Nilai-nilai Pancasila tercermin dalam Konstitusi Indonesia
sehingga implementasi pembatasan kekuasaan presiden akan tercermin
dalam penyelenggaraan pemerintahan serta dalam setiap pengambilan
kebijakan dan menentukan keputusan yang akan diambil.
Pemimpin nasional seharusnya dapat dilihat dan dirasakan masyarakat
sebagai orang-orang yang kuat keyakinannya kepada Pancasila yang
merupakan dasar negara, ideologi bangsa, pandangan hidup bangsa, dan
jati diri bangsa Indonesia. Keyakinan itu dapat diekspresikan melalui
berbagai pikiran dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan
Konstitusi Indonesia. Didukung oleh karakter atau kepribadian yang kuat
niat serta tekad yang bulat sehingga mewujudkan keberanian moral dan
rasa tanggung jawab yang tinggi.
Referensi
Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945 (yogyakarta: FH UII PRESS, 2005).
27
Pancasila, supra note 28.
[ 369 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
———. Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006).
Indrayana, Deny. Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan
Pembongkaran (Bandung: Mizan Pustaka, 2007).
Indrayati, Rosita. PANCASILA SEBAGAI REALITAS (Percik Pemikiran
Tentang Pancasila dan Isu-Isu Kontemporer di Indonesia), 1st
ed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016).
Kamis, Margaritno. Pembatasan Kekuasaan Presiden, 1st ed (Malang: Setara
Press, 2014).
Kusnardi, Moh & Harmally Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia, 1st
ed (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV
Sinar Bakti, 1988).
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi (yogyakarta: FH UII PRESS,
2004).
Pringgodigdo, AK. Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang
Dasar Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Pembangunan, 1956).
Sunny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, 2d ed (Jakarta: CV.
Caliandra, 1965).
Suryohadiprojo, Sayidiman. Mengobarkan Kembali API PANCASILA
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014).
Suseno, Franz Mgnis. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993).
Eko Purnomo, Chrisdianto. “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden
Terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia” (2010) 7 Nomor 2
J Konstitusi 159.
Erfandi, Erfandi. “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan
Sistem Hukum Pidana di Indonesia” (2016) 1 J Lmiah Pendidik
Pancasila Dan Kewarganearaan 23.
Kirom, Syahrul. “Mempraksiskan Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di
Indonesia” (2015) 5 No. 1 J Ilm Civ 1.
Kurniasar, Kurniasar. “PANCASILA SUMBER DARI SEGALA SUMBER
HUKUM DI INDONESIA” 243.
Pigome, Martha. “IMPLEMENTASI PRINSIP DEMOKRASI DAN
NOMOKRASI DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN RI
PASCA AMANDEMEN UUD 1945” (2011) 11 J Din Huk 335.
Rosadi, Otong. “HUKUM, KODRAT, PANCASILA DAN ASAS
HUKUM” (2010) 10 J Din Huk 282.
[ 370 ]
PURIFIK A SI PILK AD
A D
AN REVIT
ALISA
SI
ADA
DAN
REVITALISA
ALISASI
DEMOKRA
SI PANC
A SIL
A DI INDONESIA
DEMOKRASI
PANCA
SILA
M. Iwan Satriawan
Pendahuluan
B
agi negara-negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara
dengan demokrasi modern, pemilihan umum (pemilu) merupakan
mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan
pemilu dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai bentuk
paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud
paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena
itu sistem dan penyelenggaraan pemilu menjadi perhatian utama.1
Sejak Indonesia diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada
17 Agustus 1945,2 para pendiri bangsa Indonesia (the founding people)
melalui UUD 1945 (yang disahkan pada 18 Agustus 1945) telah
menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya
disebut NKRI) menganut paham atau ajaran demokrasi. Dalam demokrasi
Indonesia, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ini berarti
1
2
Gaffar, J. M, Politik Hukum Pemilu, Jakarta, Konstitusi Press, 2013, hlm. 36.
Untuk mendapatkan pengakuan bahwa telah berdiri negara merdeka bernama Indonesia di kawasan
Asia Tenggara pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pemerintahan baru Indonesia dibawah pimpinan
Soekarno dan Hatta berusaha mendapatkan dukungan dari negara-negara di dunia. Sebagai awal
dukungan sudah muncul pengakuan dari negara Mesir, Palestina dan India mengenai keberadaan
negara Indonesia sebagai negara yang merdeka. Uraian lebih lanjut baca dalam Hatta, M. Untuk
Negeriku (Menuju Gerbang Kemerdekaan), Jakarta, Gramedia Kompas, 2015.
[ 371 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham demokrasi
perwakilan (representative democracy).3
Setelah kurang lebih tiga puluh sembilan tahun negara Indonesia ada
dibawah rezim pemerintahan otoriter (orde lama dan orde baru), melalui
gerakan reformasi oleh rakyat bekerja sama dengan mahasiswa pada 21
Mei tahun 1998 Indonesia telah mengawali babak baru dalam penerapan
sistem demokrasinya.4
Dalam konteks reformasi, pemilu adalah karya politik gerakan reformasi.
Oleh karena melibatkan pula massa akar rumput, pemilu yang terjadi di
era reformasi merupakan pemilu non-mobilisasi, sekaligus pemilu dengan
tujuan untuk menegakkan hak-hak politik masyarakat sipil, yang selama
kurun tiga dekade sebelumnya kurang terakomodasi secara lebih memadai.
Betapa pun demokrasi lewat pemilu pada waktu itu masih sekedar
“demokrasi prosedural”.5
Dalam konteks perkembangan penerapan demokrasi perspektif
pemilihan kepala daerah merupakan drama yang memiliki episode-episode
kontekstual dengan dinamika politik dalam transisi demokrasi di Indonesia.
Semua pihak harus bijaksana dalam menilai setiap episode tersebut, karena
dalam suatu transisi demokrasi pilihan-pilihan penerapan demokrasi sebagai
bagian dari dinamika politik berbanding lurus dengan kondisi dinamis
baik di dalam negeri maupun kondisi dinamis global. Masa transisi ini
ditandai dengan terjadinya liberalisasi dan demokrasi.6
Liberalisasi tidak hanya dalam konteks ekonomi saja namun juga telah
masuk pada tataran pemilu, baik pemilu legislatif dan eksekutif lebihlebih pada pilkada. Liberalisasi identik dengan makna kebebasan, baik
kebebasan dalam berpendapat maupun mengambil keputusan. Demikian
halnya yang terjadi dengan dinamika pilkada di Indonesia.
3
4
5
6
Rambe, K. Z Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Expose, 2016, hlm. 7.
Orde lama dimulai penerapan dekrit presiden 5 Juli 1959 yang menghasilkan konsepsi demokrasi
terpimpin yang berakhir pada 1966, sedangkan Orde baru dimulai dari tahun 1967-1998.
Sardini, N, H., Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Yogyakarta, Fajar Media, 2011,
hlm. 3.
Hoesein, Z, A., & Yasin, R., 2015. Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Penguatan Konsep dan
Penerapannya), Jakarta Timur, LP2AB, hlm. 2.
[ 372 ]
M. Iwan Satriawan
Salah satu bentuk dari liberalisasi pemilu adalah diberikannya
kebebasan bagi rakyat dalam menentukan pemimpinnya baik di tingkat
nasional maupun daerah. Diawali dengan pelaksanaan pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung (one man one vote) pada tahun 2004
menjadi pemicu bagi dilaksanakannya pula pemilihan kepala daerah secara
langsung atau selanjutnya disebut dengan pilkada pada tahun 2005.7
Dalam sistem demokrasi modern kegiatan pemilu maupun pilkada
secara berkala juga merupakan sarana penyaluran hak asasi warga negara
yang sangat prinsipil dan fundamental. Oleh karena itu, dalam rangka
pelaksanaan hak-hak asasi warga negara penyelenggaraan pilkada mengalami
dinamisasi, mengingat pilkada merupakan fondasi awal bagi terwujudnya
demokrasi di tingkat lokal.8 Salah satu bentuk dinamika demokrasi tersebut
adalah tetap berperan pentingnya partai politik dalam suksesi kepala daerah,
meskipun sejak 2008 berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah
diatur tentang mekanisme pencalonan kepala daerah lewat jalur independen
(non parpol).
Colin Rallings dan Michael Thrasher dalam bukunya Local Election
in Britain mengutarakan sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah memiliki
dampak baik lokal maupun nasional. Seberapa baik atau buruk partai dalam
tampilannya akan berdampak pada panggung politik baik lokal maupun
nasional.9 Berdasarkan pendapat tersebut telah menunjukkan pentingnya
pilkada terhadap eksistensi partai politik di tingkat pusat dan juga daerah.
Sedangkan disisi lain asumsi umum mengatakan bahwa demokrasi di
tingkat lokal akan mendapatkan kekuatan apabila terjadi penyerahan
mandat (politik) langsung dari warga kepada para kepala daerah. Oleh
sebab itu terdapat beberapa keuntungan ketika pilkada langsung
dilaksanakan yaitu pertama, terwujudnya legitimasi politik, kedua pilkada
7
8
9
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pilkada pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2005 dengan jumlah pemilihan gubernur sebanyak 7, Walikota sebanyak
174 dan bupati sebanyak 32 (sumber direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri).
Hamidi, J., & Mustofa, L., 2010. Rethinking Penyelenggaraan Pilkada yang Demokratis dan
Partisipatif sebuah kumpulan tulisan dalam Konstitusionalisme Demokrasi, Malang, In-Trans
Publishing, hlm. 211.
Rallings, C., & Thrasher, M., 2003, Local Elections in Britain, London, Routledge. hlm. 14
(terjemahan penulis)
[ 373 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
langsung mampu optimalisasi ekuilibrium checks and balances antara
lembaga-lembaga negara dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat
dan penguatan proses demokrasi di level lokal. Keempat pilkada langsung
akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat terutama berkaitan
dengan kualitas partisipasi publik.10
Namun seiring dengan berjalannya waktu telah terjadi pergeseran
makna pilkada, yang seharusnya dapat menghasilkan pemimpin yang
amanah justru telah bergeser menghasilkan pemimpin yang despotis, korup
dan tirani.11 Tidak hanya itu, munculnya dinasti politik tidak dapat
dipungkiri merupakan salah satu efek samping dari pelaksanaan pilkada
selain daripada gagalnya peran partai politik dalam menjalankan tugas
dan fungsinya sebagaimana amanat UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai politik.
Disisi lain sebagaimana diungkapkan oleh M. Andi Susilawan dkk,
bahwa pemilihan kepala daerah (baik gubernur, bupati dan walikota) yang
dipilih langsung oleh rakyat banyak sekali menimbulkan kerugian-kerugian
yang signifikan. Kerugian-kerugian tersebut diantaranya banyak masyarakat
cenderung bersifat euforia dan fanatisme terhadap calon yang mereka usung
sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan
melanggar aturan demi memenangkan pasangan calon pemimpin yang
mereka usung. Bahkan, apabila calon yang mereka usung gagal memenangkan
perhelatan pilkada, maka bukan tidak mungkin massa pendukung masingmasing akan melakukan tindakan kriminal dengan cara bentrok antara
massa pendukung yang mengakibatkan rusaknya fasilitas umum.12
Fenomena ini tidak lepas dari mulai hilangnya atau memudarnya
penerapan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila di Indonesia. Kejatuhan
10
Agustino, Leo, 2014. Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Bandung: Alfabeta. hlm. 103.
Beberapa contoh kepala daerah yang tertangkap KPK yaitu: Bupati Klaten, Bupati Tanggamus,
Bupati Lampung Selatan, Gubernur Banten, Gubernur Sumut. Sedangkan menurut Deputi
Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK, Ranu Wiharja mengungkapkan, sejauh ini terdapat 18
gubernur dan 343 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi. Lihat http://nasional.kompas.com/ read/
2016/08/03/12090731/kpk.18.gubernur.dan.343.bupati.wali.kota.terjerat.korupsi, diakses pada
20 Januari 2017.
12
Andi Silawan, M., dkk. Tinjauan Yuridis Terhadap Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jurnal Fiat Justisia, Vol. 8 Nomor 2 edisi AprilJuni 2014, hlm. 368. Beberapa kejadian kerusuhan yang melibatkan massa pendukung adalah
kasus pilkada Kuantan Singingi, Pilgub Papua Barat.
11
[ 374 ]
M. Iwan Satriawan
Soeharto membawa dampak yang sangat luas bagi penerimaan dan
penerapan Pancasila di masyarakat. Fenomena ini tidak terlepas dari
penerapan Pancasila di era Soeharto yang berupa doktrinasi mulai dari
pelaksanaan penataran P4, penerapan Pancasila sebagai asas tunggal baik
bagi parpol dan ormas hingga kepada tidak diterapkannya nilai-nilai
Pancasila secara murni dan konsekuen oleh pejabat negara dalam mengelola
negara. Hal ini berdampak pada apatisnya masyarakat terhadap sloganslogan penerapan Pancasila pasca reformasi. Pancasila bahkan diidentikkan
dengan warisan orde baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam,
sehingga jika ada upaya kembali menerapkan Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari dianggap sebagai upaya mengembalikan kejayaan orde baru
yang terkenal dengan penerapan psudeo demokrasinya. Berkembangnya
paham tentang seruan untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist
oleh kelompok-kelompok Islam puritan13 juga diakibatkan karena Pancasila
dianggap telah gagal dalam membawa negara Indonesia menuju
kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran.
Pancasila sebagai D
asar N
egara
Dasar
Negara
Pancasila merupakan dasar ideologi atau lebih kita kenal sebagai landasan
ideologi bangsa. Kata ideologi berasal kata idea dan logos. Idea berasal dari
bahasa Yunani “ideos” yang berarti bentuk gagasan, konsep, pengertian
dasar, cita-cita, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah ideologi
berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau cita-cita. Cita-cita yang
dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan harus dapat dicapai
sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan dasar, pandangan dan paham.14
Pancasila bukanlah wahyu yang turun dari langit. Pancasila merupakan
hasil pemikiran, perenungan anak-anak pergerakan dan pendiri bangsa
yang melalui konsensus nasional dijadikan dasar rumah bersama warga
nusantara. Baik sebagai dasar negara, pandangan hidup maupun sebagai
ideologi, Pancasila memiliki ciri transformatif. Maksudnya, sebagai sebuah
13
Kelompok-kelompok Islam puritan menurut penulis adalah mereka yang menyuarakan penerapan
Islam secara formal seperti HTI, Khilafatul Muslimin, LDII.
14
Jumanta Hamdayani sebagaimana dikutip oleh Krisnayuda, B. 2016. Pancasila dan UndangUndang: Relasi dan Transformasi Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta. Prenada
Media Group. hlm. 50.
[ 375 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dasar negara sejak awal pembahasannya dalam sidang BPUPKI, Pancasila
sudah dikaitkan dengan usaha mengubah suatu negara dan masyarakat
Indonesia yang mandiri, Pancasila menawarkan suatu cita ideal yang menjadi
sinar penerang menggapai masa depan bangsa yang gemilang. Dan sebagai
ideologi, Pancasila memberikan landasan sekaligus orientasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh dan menyeluruh.15
Dalam sidang BUPKI, Soekarno sebagai pencetus Pancasila telah
mengemukakan bahwa ada 5 (lima) sila sebagai philosofische grondslag,
suatu weltanchauung diatas mana negara Indonesia didirikan. Secara ringkas
Pancasila tersebut terdiri dari (1) Kebangsaan Indonesia; (2)
Internasionalisme atau Perikemanusiaan; (3) Demokrasi; (4) Keadilan
Sosial; dan (5) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.16 Kemudian usulan dari Bung
Karno ini disempurnakan redaksionalnya oleh panitia sembilan dan
dimasukkan dalam pembukaan UUD 1945.17
Konsekuensi dari kedudukan Pancasila sebagai dasar negara memiliki
sifat imperatif atau memaksa bagi semua warga negara Indonesia. Setiap
warga negara, baik pejabat maupun rakyat biasa wajib tunduk pada
Pancasila. Kondisi tersebut untuk merealisasikan suatu kehidupan yang
menghargai martabat dan hak asasi semua warga negara.18
Pada dasarnya Pancasila merupakan konsensus nasional yang memuat
nilai-nilai kebaikan bersama sebagai dasar pemersatu suatu negara. Sebagai
konsensus, apakah Pancasila merupakan falsafah negara atau sekedar
persetujuan politik hal demikian masih debatable. Tetapi setiap perjanjian
adalah suci bagi pihak-pihak yang terikat. Kesucian itu setidaknya menuntut
dua hal pertama, keharusan untuk melaksanakan isi perjanjian. Kedua,
larangan untuk mengkhianati isi perjanjian.19
15
Hariyono, 2014. Ideologi Pancasila (Roh Progresif Nasionalisme Indonesia), Malang. Intrans
Publishing. Hlm. 127-128.
16
Hatta, M. 2015. Menuju Gerbang Kemerdekaan, Jakarta. Kompas
17
Adapun penyempurnaan redaksionalnya menjadi sebagai berikut :(1) Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh
bangsa Indonesia.
18
Hariyono. 2014. Ideologi Pancasila Roh Progresif Nasionalisme Indonesia, Malang. Intrans Publishing, hlm. 154.
19
Abu Rokhmad, Dasar Negara Dan Taqiyyah Politik PKS, Walisongo, Volume 22, Nomor 1 Mei
2014, hlm. 15-16.
[ 376 ]
M. Iwan Satriawan
Berdasarkan sila ke-4 (empat) Pancasila tersebut, pemilihan tidak hanya
presiden namun juga kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)/atau Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota.
Dinamika Pilkada di Indonesia
Pemilihan Umum merupakan salah satu cara pergantian kekuasaan baik
secara nasional maupun lokal dengan damai. Pemilihan umum juga
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan
secara berkala.20
Dalam konteks nasional Pemilu sering disebut dengan istilah pemilihan
umum sedangkan dalam konteks lokal disebut dengan istilah pilkada
(pilihan kepala daerah), kedua istilah ini mengandung arti yang sama.
Pelaksanaan Pemilu secara reguler merupakan salah satu syarat dikatakan
suatu negara menganut paham negara demokrasi, karena dengan adanya
pemilu akan dapat mewujudkan kedaulatan rakyat, pemerintah yang
kredibilitas, memahami aspirasi rakyat dan terwujudnya suksesi
kepemimpinan di kalangan elit politik.
Menurut Kapur,21 pemilu secara langsung mempunyai beberapa
keistimewaan: pertama, merupakan proses yang lebih partisipatif dan kedua
adalah berupa partisipasi rakyat yang lebih luas, bukan saja melibatkan
sekelompok orang (oligarki) dalam parlemen.
Philip Mawhood dan J.A. Chandler sebagaimana dikutip oleh Suharizal
menyatakan bahwa pemerintah lokal memiliki potensi dalam mewujudkan
demokratisasi karena proses desentralisasi mensyaratkan adanya tingkat
responsivitas, keterwakilan dan akuntabilitas yang lebih besar.22 Dalam
kaitannya dengan pemilu di tingkat lokal, Alan R. Ball mengemukakan
20
Baca Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Kapur sebagaimana dikutip oleh Hasyim, S. & AW, Zainal. A. 2013. Pilkada dan Demokrasi di
Aceh dalam Belajar dari Politik Lokal, Jakarta. UI-Press, hlm. 102.
22
Suharizal, 2012. Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang), Jakarta. Rajawali
Press, hlm. 175.
21
[ 377 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bahwa pemilu dan demokrasi berkaitan erat dalam substansi maupun
fungsi. Pemilu merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam praktik
bernegara masa kini karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk
menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan.23
Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Larry Diamond.
Dalam kerangka pikiran Diamond, pemerintah daerah termasuk DPRD
memiliki peran yang cukup penting untuk mempercepat vitalitas demokrasi
berdasarkan sejumlah alasan.24 Alasan-alasan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut: pertama, pemerintah daerah dan DPRD dapat membantu
mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan berdemokrasi di kalangan
warganya. Baik melalui pendidikan politik hingga pada pelaksanaan pemilu.
Kedua, pemerintah daerah dan DPRD dapat meningkatkan akuntabilitas
dan pertanggungjawaban kepada berbagai kepentingan yang ada di daerah.
Ketiga, pemerintah daerah dan DPRD dapat menyediakan saluran dan
akses tambahan terhadap kelompok-kelompok yang secara historis
termarginalisasi baik karena perbedaan suku, agama maupun sosial ekonomi.
Keempat, pemerintah daerah dan DPRD dapat mendorong untuk
terwujudnya mekanisme checks and balance di dalam kekuasaan yaitu antara
eksekutif dan legislatif. Dan yang kelima, pemerintah daerah dan DPRD
dapat memberikan kesempatan kepada partai-partai atau faksi-faksi yang
ada di legislatif untuk melakukan oposisi di dalam kekuasaan politik.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan kepala daerah
dilakukan oleh dewan. Sementara menurut UU Nomor 22 Tahun 1948
kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat dari calon-calon yang diajukan
oleh DPRD. DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala
daerah kepada pemerintah pusat. Namun sejak berlakunya UU Nomor 1
Tahun 1957 hingga UU Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pemilihan kepala
daerah tidak mengalami perubahan dengan ketentuan sebagai berikut25
(a) Kepala daerah dipilih oleh DPRD; (b) Kepala daerah tingkat I diangkat
23
Alan. R.B, 1981, Modern Politics and Government, London and Basingstoke, The Macmillan
Press Ltd
24
Diamond. L, sebagaimana dikutip oleh Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia (konsolidasi
Demokrasi Pasca Orde Baru), Jakarta. Kencana Prenada Media, hlm. 171.
25
Suharizal, Pemilukada (Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang), (Jakarta: Rajawali Press,
2012), hlm 16.
[ 378 ]
M. Iwan Satriawan
dan diberhentikan oleh Presiden; (c) Kepala daerah tingkat II diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari
calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.
Ketentuan ini menunjukkan politik hukum pemerintahan daerah yang
diterapkan oleh pemerintahan era orde baru masih bersifat sentralistik.
Hal ini dibuktikan meskipun kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun
DPRD hanya berhak mengajukan dua orang calon terpilih untuk diajukan
kepada pemerintah pusat yang kemudian salah satunya ditetapkan menjadi
kepala daerah oleh presiden melalui mendagri.
Maka pelaksanaan pilkada yang dalam praktiknya selalu dilakukan oleh
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/Kota berubah hingga munculnya
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU
Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 12
Tahun 2008, selain dilaksanakannya pilkada langsung juga dibukanya
peluang bagi calon perseorangan sebagai calon kepala daerah.
Munculnya perubahan sistem pemilihan kepala daerah karena berkaca
pada kesuksesan pilpres pada tahun 2004, maka DPR RI bersepakat untuk
menerjamahkan frasa dipilih secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 dengan dipilihnya kepala daerah secara langsung. Ketentuan
ini kemudian dituangkan dalam Pasal 24 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun
2004 sebagaimana kemudian dirubah dengan UU Nomor 12 tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah.
Hal ini kemudian diperkuat dengan Putusan MK No. 072-073/PUUII/2004 yang salah satu bahasannya adalah pembuat undang-undang dapat
saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan
pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945.
Berdasarkan putusan ini, maka pilkada masuk pada rezim pemilu yang
mana sengketa perselisihan hasil pilkada masuk ranah wilayah Mahkamah
Konstitusi hingga terbentuknya peradilan tersendiri tentang sengketa
pilkada.
Purifikasi D
esain P
ilkada dalam D
esain D
emokrasi P
ancasila
Desain
Pilkada
Desain
Demokrasi
Pancasila
Reformasi 1998 telah membawa implikasi pada perubahan UUD 1945.
Dan sesuai kesepakatan aktor-kator politik waktu itu, ada 2 (dua) hal yang
[ 379 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
tidak boleh dilakukan perubahan yaitu (1) Sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensiil; dan (2) pembukaan UUD 1945 yang disitu juga
mencantumkan Pancasila sebagai dasar filosofi kebangsaan dan kenegaraan.
Salah satu point krusial dalam amanademen UUD 1945 adalah
pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. Hal ini berdampak pula pada
perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah. Amandemen UUD 1945
Pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa: “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis”.
Secara terminologis, demokrasi dalam masyarakat nusantara
dipersamakan dengan urun rembuk (jawa), mufakait (minang) ataupun
istilah lain yang mempunyai persamaan makna sebagai perundingan atau
pembicaraan terhadap sesuatu untuk mencari jalan atau cara penyelesaian
dari persoalan.26
Namun disatu sisi menurut Haga sebagaimana dikutip oleh Koentjoro
Poerbopranoto, dalam demokrasi ketimuran terdapat perbedaan substansial
dengan demokrasi barat, yakni adanya pengambilan keputusan dengan
mekanisme mufakat.27 Mekanisme mufakat atau musyawarah mufakat
dalam adat Indonesia adalah dilakukan oleh para tokoh adat, tokoh agama
dan tokoh masyarakat. Mereka berkumpul dalam suatu majelis untuk
memusyawarahkan suatu permasalahan yang muncul di masyarakat hingga
memunculkan pandangan yang sama mengenai pemecahan suatu
permasalahan tersebut. Hal inilah yang nampak pada masyarakat suku
Sasak (Lombok) yang menggunakan Begundem sebagai lembaga
pengambilan keputusan atau model mufakait dalam tradisi Minangkabau.
Pelaksanaan musyawarah mufakat sangat identik dengan demokrasi
Pancasila yang merupakan demokrasi didasarkan pada asas kekeluargaan
dan kegotong-royongan yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang
mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, kebenaran, kecintaan dan
budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.28
26
Budiardjo, M. 1982, Masalah Kenegaraan, Jakarta, Gramedia, hlm. 57.
Poerbopranoto, K, 1978, Sekilas tentang Sistem Pemerintahan Demokratis, Bandung. Eresco, hlm.
84.
28
Yunus, N. R, Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, SOSIO
DIDAKTIKA, vol. 2 edisi ke-2, tahun 2015, hlm. 160-161.
27
[ 380 ]
M. Iwan Satriawan
Demokrasi perwakilan sebagaimana sudah dipraktikkan di desa-desa
berabad-abad yang lampau dan menjadi jiwa Pancasila telah berubah ketika
semangat mengembalikan kedaulatan rakyat yang diwujudkan berupa
pemilihan langsung muncul seiring dengan banyaknya pemimpin di negara
ini yang terpilih bukan karena kehendak rakyat melainkan kehendak partai
atau dewan. Hal ini berakibat pada kekecewaan rakyat terhadap pemilihan
perwakilan.
Pelaksanaan pilkada secara langsung tidak hanya membawa dampak
perubahan demokrasi di tingkat lokal dan mahalnya biaya pelaksanaan
pilkada namun juga membawa dampak banyaknya sengketa yang muncul
diakibatkan ketidakpuasaan pendukung dan calon akan hasil akhir pilkada.
Berdasarkan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 menyatakan sengketa
pilkada bukan lagi kewenangan MK. Namun demikian sebelum ada regulasi
baru yang mengaturnya, MK tetap berwenang menangani sengketa pilkada.
Maka putusan ini menimbulkan pro dan kontra atas pelaksanaan pilkada
secara langsung. Bahkan perubahan Undang-Undang tentang pilkada kerap
kali terjadi. Mulai dari munculnya Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2014, kemudian diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 2015
hingga terakhir dilakukan perubahan lagi dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Inti
dari berbagai perubahan tersebut adalah tarik ulur pelaksanaan pilkada
secara langsung atau tidak langsung.
Padahal secara teoritis dalam praktiknya, pemilu secara demokrasi dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu dapat dipilih secara langsung atau juga dapat melalui
lembaga perwakilan. Demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dibuat
untuk dapat dipraktikkan dalam jangka waktu yang lama dan mencakup
wilayah yang cukup luas.29
Pro dan kontra apakah pilkada masuk rezim pemilu atau tidak sempat
mencuat, hal ini kemudian diperkuat dengan Putusan MK No. 97/PUUXI/2013 dalam pengujian UU No. 32 Tahun 2004 (dan perubahannya),
telah nyata bahwa sesungguhnya kebijakan untuk menerapkan Pasal 18
ayat (4) UUD 1945, khususnya frasa “dipilih secara demokratis” bagi kepala
29
Dahl sebagaimana dikutip oleh Gaffar, J ,M. 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta,
Konstitusi Press, hlm. 2-3.
[ 381 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) adalah mer
merupakan
upakan opened legal
policy bagi pembentuk undang-undang.
undang-undang.” (Vide putusan MK No. 1-2/
PUU-XII/2014 dan UU MK yang tidak memberikan kewenangan PH
Pilkada).
Maka sejatinya tidak harus pilkada dilakukan secara langsung di semua
daerah di Indonesia, namun harus juga melihat dan mempertimbangkan
kondisi DPRD dan kualitas demokrasi di daerah. Maka penulis mengusulkan perlu dilakukannya “the models of mixed local election” (model
pemilihan kepala daerah campuran).30
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jawahir Thontowi bahwa
praktik pilpres dan pilkada langsung telah meniadakan implementasi sila
keempat Pancasila. Istilah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan telah tiada dalam
praktekknya. Sebab sebelumnya lembaga DPRD provinsi, kabupaten dan
kota berfungsi melakukan filter (penyaringan) calon-calon gubernur, bupati
dan walikota yang berkualitas. Untuk dapat terseleksi dengan baik dan
berintegritas, maka institusi legislatif di tingkat provinsi, kabupaten dan
kota berfungsi sebagia tempat bermusyawarah wakil-wakil rakyat. Hilangnya
implementasi sila keempat tersebut telah menjadi keprihatinan akan
hilangnya pemahaman Pancasila dari generasi mendatang.31
Berdasarkan hal tersebut dan disesuaikan dengan semangat sila keempat
Pancasila,32 maka tidak semua daerah dapat dilakukan pemilihan kepala
daerah secara langsung namun disesuaikan dengan indeks demokrasi di
daerah, jika indeks demokrasi di suatu daerah cukup baik maka dapat
dilakukan pilkada langsung namun demikian juga sebaliknya jika indeks
demokrasi dalam suatu daerah menurun maka pemilihan kepala daerah
cukup dilakukan oleh DPRD.
30
Contoh beberapa daerah yang tidak menerapkan pilkada secara langsung yaitu: DKI, untuk pemilihan
wali kota di tunjuk oleh gubernur terpilih, DIY, Gubernur dan wakil gubernur disandang turun
menurun oleh Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam, sedangkan untuk bupati dan wali kota
di pilih secara langsung oleh rakyat.
31
Thontowi, Jawahir, 2016, Pancasila dalam Prespektif Hukum (Pandangan Terhadap Ancaman “The
Lost Generation”), Yogyakarta, UII Press, hlm. 87-88.
32
Lihat TAP MPRS NO. VIII/MPRS/1965, TAP MPRS ini masih berlaku karena hingga saat ini
belum ada yang mencabutnya.
[ 382 ]
M. Iwan Satriawan
Untuk merealisasikan model pilkada campuran ini, maka selain
diperlukan undang-undang pilkada secara umum, diperlukan juga undangundang pilkada secara khusus sebagaimana yang sudah dipraktikkan di
Aceh, DKI, Yogya dan Papua. Parameter daerah harus melakukan pilkada
melalui lembaga perwakilan dapat dimulai dari pelaksanaan pilkada tahun
sebelumnya yang mengalami kekacauan atau rusuh. Sehingga setiap daerah
yang pada periode sebelumnya pilkadanya rusuh, maka di periode
berikutnya pilkada dilaksanakan melalui DPRD.
Konteksualitas pemilihan kepala daerah dengan cara tidak langsung,
melalui DPRD secara faktual senyatanya dapat dilaksanakan yaitu dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah bersangkutan. Artinya,
pada daerah-daerah yang secara ekonomis justru menimbulkan biaya tinggi
yang dapat berpengaruh negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian setempat maka pemilihan melalui DPRD dapat menjadi
alternatif, tinggal bagaimana mekanisme pemilihan tersebut agar tidak
sesuai dengan orde lama dan orde baru ataupun mengikuti UU No.22
Tahun 1999.33
Penutup
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat di satu sisi merupakan upaya
mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dalam hal memilih kepala
daerahnya. Namun disisi lain, pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat
bertentangan dengan semangat pengamalan Pancasila khususnya pasal 4
(empat) yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Karena sejatinya
demokrasi yang diusung di Indonesia adalah demokrasi perwakilan
sebagaimana yang sudah dipraktikkan di desa-desa. Munculnya evaluasi
terhadap pelaksanaan pilkada secara langsung disebabkan masih banyaknya
pelanggaran pilkada yang dilakukan baik oleh penyelenggara maupun
peserta. Selain itu pilkada langsung juga membawa implikasi tumbuh
sumburnya korupsi di daerah dan munculnya dinasti politik. Oleh Karena
itu, model campuran lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia
33
Muhtadi, Makna dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Jurnal Konstitusi,
[ 383 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
saat ini, di mana tidak semua daerah dapat melaksanakan pilkada secara
langsung, namun ada juga beberapa daerah yang dapat melaksanakan
pilkada melalui lembaga perwakilan atau DPRD.
Demokrasi pada dasarnya tidak harus identik dengan pemilihan secara
langsung melainkan dapat dilakukan secara tidak langsung. Karena sejatinya
kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari segi partisipasi warga saja dalam
pemilu, melainkan juga tingkat kompetisi, legitimasi dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemimpin terpilih.
Sedangkan tingkat pertumbuhan pembangunan khususnya pada
sumber daya manusia di Indonesia belum merata baik antara Jawa dan
luar Jawa. Ketimpangan pembangunan masih dirasakan setiap warga negara.
Sehingga berdampak pada penerapan money politik dalam setiap pilkada
tetap meraja lela dan bahkan semakin masif. Maka pelaksanaan demokrasi
secara perwakilan saat ini menjadi pilihan terbaik bagi daerah yang masih
terbelakang mengenai pembangunan sumber daya manusia dan
pembangunan infrastrukturnya.
Daftar P
ustaka
Pustaka
Alan R. Ball, 1981, Modern Politics and Government, London: Macmillan
Press.
Abu Rokhmad, 2014. Dasar Negara Dan Taqiyyah Politik PKS, Walisongo,
Volume 22, Nomor 1 Mei.
Backy Krisnayuda, 2016. Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan
Transformasi Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Jakarta: Prenada Media Group
Colin Rallings & Thrasher, Michael, 2003, Local Elections in Britain,
London: Routledge.
Hasyim Syarifuddin & AW, Zainal Abidin. 2013. Pilkada dan Demokrasi
di Aceh dalam Belajar dari Politik Lokal, Jakarta: UI-Press.
Hariyono, 2014. Ideologi Pancasila (Roh Progresif Nasionalisme Indonesia),
Malang: IntransPublishing.
Janedri Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press.
_______, 2013, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Press.
[ 384 ]
M. Iwan Satriawan
Jazim Hamidi & Lutfi, Mustofa.2010. Rethinking Penyelenggaraan Pilkada
yang Demokratis dan Partisipatif sebuah kumpulan tulisan dalam
Konstitusionalisme Demokrasi, Malang: In-Trans Publishing.
Jawahir Thontowi, 2016, Pancasila dalam Perspektif Hukum (Pandangan
Terhadap Ancaman The Lost Generation), Yogyakarta: UII Press
Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia konsolidasi Demokrasi
Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media.
Leo Agustino, 2014. Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Bandung: Alfabeta.
M. Hatta, 2015. Untuk Negeriku, Jakarta: Gramedia Kompas.
Muhtadi, 2011. Makna dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4)
UUD 1945, Jurnal Konstitusi, FH UNILA, Vol. III No. 1.
Nur Hidayat, Sardini, 2011, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia, Yogyakarta: Fajar Media.
Rambe Kamarul Zaman, 2016, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Jakarta:
Expose.
Rallings, C., & Thrasher, M., 2003, Local Elections in Britain, London:
Routledge.
Suharizal, 2012. Pemilukada (Regulasi, Dinamika, dan Konsep
Mendatang), Jakarta: Rajawali Press.
Yunus, N.R, 2015. Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, SOSIO DIDAKTIKA, vol. 2 edisi ke-2.
Zainal Arifin Hoesein & Yasin, Rahman. 2015. Pemilihan Kepala Daerah
Langsung (Penguatan Konsep dan Penerapannya), Jakarta Timur:
LP2AB.
[ 385 ]
SOL
USI PANC
A SIL
A D
AL
AM PEMBAHARU
AN
SOLUSI
PANCA
SILA
DAL
ALAM
PEMBAHARUAN
DEMOKRA
SI INDONESIA: KAJIAN
DEMOKRASI
PENYEMPURNAAN REGUL
A SI PILK AD
A
REGULA
ADA
Achmadudin Rajab
Pendahuluan
S
istem demokrasi Pancasila seperti yang terdapat dalam sila ke-4
bermakna bahwa negara Indonesia dipimpin secara demokratis
melalui mekanisme perwakilan. Demokrasi Pancasila merupakan
demokrasi yang didasarkan pada asas kekeluargaan dan kegotongroyongan
yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-insur
berkesadaran religius, kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur,
berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.1 Sesuai dengan sila ke4 tersebut, maka dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara
dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat. Kebebasan
individu dalam demokrasi pancasila tidak bersifat mutlak, tetapi harus
diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.2 Demokrasi Pancasila pada
hakikatnya merupakan norma yang mengatur penyelenggaraan kedaulatan
rakyat dan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam kehidupan politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, bagi setiap warga negara
Republik Indonesia, organisasi kekuatan sosial politik, organisasi
kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainya serta lembaga-lembaga
negara baik di pusat maupun di daerah.3
1
2
3
Nur Rohim Yunus, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”,
Jurnal UIN JKT, No. 2 (November, 2015), hlm. 160-161.
Ibid.
Ibid.
[ 387 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Mekanisme perwakilan dalam menjalankan pemerintahan ini
dilaksanakan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta DPRD
termasuk bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila sesuai sila ke-4
Pancasila ini, dan kesemuanya adalah bentuk mesin pemerintahan di tingkat
daerah. Adapun untuk mengisi pemerintahan di daerah ini dilaksanakanlah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pilkada
merupakan pemilihan pemimpin suatu daerah yang melibatkan publik
atau rakyat secara berkedaulatan. Pilkada juga merupakan suatu aktivitas
dari proses demokrasi yang memiliki output yakni pejabat politik (elected
official) bukan memilih pejabat administratif (appointed official ).4 Pilkada
merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah
kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat
perhatian yang luas dari masyarakat maka penyelenggaraan Pilkada yang
demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan
sebuah daerah. Pilkada memiliki fungsi utama untuk menghasilkan
kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.
Mekanisme penyelenggaraan Pilkada telah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan,5 namun implementasi dari sejumlah
peraturan perundang-undangan tersebut tidaklah mudah karena dinamika
politik dan hukum pasca reformasi telah membuka dan memberikan ruang
yang luas bagi masyarakat untuk melakukan judicial review terhadap
beberapa peraturan terkait Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Adapun masyarakat yang melakukan judicial review disebut dengan
pemohon, walaupun memang pemohon haruslah subjek hukum yang
memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan
perkara konstitusi terkait kerugian konstitusionalnya atas keberlakukan
peraturan perundang-undangan tersebut.6
Para pemohon yang mengajukan gugatan terkait dengan pengaturan
Pilkada dalam UU Pilkada tersebut adalah bagian dari wujud demokrasi
4
5
6
Ari Padhanawati, Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta: Pustaka Rumpun
Ilalang, 2005), hlm. 144.
Lihat UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang; UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015; dan UU No. 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta, Konstitusi Press, 2006,
hlm. 68.
[ 388 ]
Achmaduddin Rajab
pancasila itu sendiri. Hal ini bagian dari pelaksanaan dan pengamalan sila
ke-4 yang menjafi dasar kehidupan pemerintahan bernegara dan
bersamyarakat yang demokratis. Walaupun praktik demokrasi juga
diterapkan di negara-negara lain, demokrasi di Indonesia ini memiliki ciri
yang khusus, yakni ada keseimbangan antara hak dan kewakiban warga
negara dalam membentuk dan menjunjung tinggi pemerintahannya.
Berbeda dengan demokrasi di negara-negara lain, dimana ada demokrasi
yang mengutamakan hak dan mengesampingkan kewajiban. Seperti yang
diatur oleh negara yang berpaham liberal ataupun demokrasi yang
mengutamakan kewajiban dan mengabaikan hak-hak warga negaranya
seperti yang diterapkan di negara-negara sosialis.
Di Indonesia penerapan demokrasi seperti halnya yang menjadi landasan
pelaksanaan Pilkada ini adalah demokrasi yang didalamnya ada
keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara yakni demokrasi
Pancasila. Dalam demokrasi Pancasila ini partisipasi masyarakat atau warga
negara dapat ditampung dan diakomodir dalam menentukan kebijakan
publik sehingga kebijakan dan ketentuan yang dibuat oleh pembentuk
undang-undang mendapat dukungan serta pengawasan dari masyarakat .
Adapaun karakteristik semacam ini dalam sila ke-empat meliputi: 1.
Penyelenggaraan Negara secara demokratis; 2. Demokrasi di Indonesia
adalah demokrasi Pancasila; dan 4. Bercirikan musyarawah untuk mufakat.7
Hal ini pulalah yang pada akhirnya menjadi alasan mengapa menjelang
Pilkada serentak pertama kali di tahun 2015 banyak pemohon dari
masyarakat menguji beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan
dmeokrasi pancasila itu sendiri. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kiranya
penulis ingin mengkaji mengnai “Urgensi Memasukkan Pancasila Sebagai
Solusi Atas Kekurangsempurnaan Undang-Undang Pemilihan Kepala
Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.” Kiranya tulisan ini dapat menjadi
masukan yang berarti guna perbaikan akan kekurangsempurnaan UU
Pilkada kedepannya pada khususnya dan bagi Pengembangan Hukum Tata
Negara ke depannya.
7
Hadi Wiyono. Kewarganegaraan. Jakarta, Widya Pustaka, 2007, hlm. 12.
[ 389 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Peran P
enting P
ancasila
Penting
Pancasila
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan maha karya asli Indonesia
yang bersumber dari kekayaan rohani, moral, dan budaya bangsa. Ketika
kita menyadari bahwa dalam alinea ke-4 dari pembukaan UUD NRI Tahun
1945 mengandung Pancasila didalamnya, maka dapat kita ketahui bahwa
Pancasila merupakan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara di
tanah air kita Indonesia. Dalam kehidupan politik dan pemerintahan
seharusnya tertanam jiwa Pancasila. Pengambilan keputuan suatu kebijakan
politik maupun kebijakan-kebijakan lainnya haruslah diawali oleh nilainilai Pancasila. Oleh karena itu pula maka adalah telah tepat bilamana
setiap warga negara harus mempelajari, mendalami, mengahyati dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita tarik dalam konsep sosial budaya, maka budaya dan ideologi
dapat masuk ke Indonesia dengan syarat dapat dicerna oleh sistem sosial
dan tata nilai setempat dan sangat mungkin untuk berkembang secara
berkesinambungan.8 Sehingga dengan demikian, kedudukan Pancasila
sebagai ideologi negara tersebut bukanlah tanpa maksud bahwa sejatinya
Pancasila merupakan sistem nilai yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Oleh karena itulah, Pancasila perlu diimplementasikan ke dalam
sistem pemerintahan yang diterapkan dalam mengatur aspek kehidupan
individu, berbangasa, dan bernegara. Untuk memahami peranan Pancasila,
perlu kita kaji kedudukan dari Pancasila di Indonesia.
Kedudukan Pancasila di Indonesia adalah sebagai staatsfunfamentalnorm
dalam struktur hierarki tata hukum Indonesia. Jika dilihat dari struktur
hierarki tata hukum Indonesia tersebut, maka kedudukan Pancasila
sebagai Staatsfundamental-norm. Pancasila sebagai dasar falsafah negara
sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945
tersebut menurut Notonagoro merupakan pula seuatu cita hukum
(rechtsidee) atau yang merupakan bintang pemandu9. Kedudukan
Pancasila yang semacam ini pula menjadikan Pancasila memiliki peran yang
8
9
Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2011, hlm 3.
Notonagoro, “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara
Indonesia)” dalamPancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
tanpa tahun).
[ 390 ]
Achmaduddin Rajab
penting yakni dalam setiap pembentukan hukum positif di Indonesia perlu
kiranya selalu mencapai ide-ide dalam Pancasila. Hal ini pula lah yang
pada akhirnya berkembang dalam setiap pengujian undang-undang di
Mahkamah Konstitusi atau judical review selain menggunakan konstitusi
sebagai batu uji dapat pula menggunakan Pancasila untuk menguji hukum
positif yang saat ini berlaku. Hal ini semata-mata dikarenakan kedudukan
Pancasila yakni sebagai Staatsfundamentalnorm dalam struktur hierarki
tata hukum Indonesia, maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila itu sendiri.
Pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah) dalam pembentukan undang-undang perlu kiranya
mengaktualisasikan Pancasila sebagai landasan politik hukum pembentukan
undang-undang di Indonesia. Peran penting Pancasila dengan
kedudukannya sebagai Staatsfundamentalnorm disini berarti Pancasila
perlu dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan hukum dalam
perundang-undangan baik dalam membentuk undang-undang yang baru
ataupun undang-undang perubahan, hal ini agar hukum yang dibentuk
nantinya dapat mencapai keadilan yang merupakan tujuan hakiki huku
tersebut.10 Pentingnya peran Pancasila untuk selalu masuk dalam politik
hukum pembentukan peraturan perundang-undangan disebabkan pula
bahwa Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
yang telah lahir sejak sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila juga
merupakan sebuah sistem filsafat yang juga rumusan ideal dalam
membangun keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa, sehingga berbagai
komponen bangsa seharusnya menggunakan dan mengembangkan sistem
filsafat Pancasila dalam berbagai bidang. Namun demikian secara realitas,
Pancasila yang sering diagung-agungkan sebagai falsafah bangsa, pedoman
bertindak, identitas nasional, sumber hukum, dan cita-cita nasional,
seringkali lebih dipandang hanya sebagai simbol saja. 11 Peran dan
kedudukan penting dari Pancasila ini seringkali terlupa bahkan tidak
10
Derita Prapti Rahayu, “Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum Indonesia”, Jurnal
Yustisia, Edisi 91 (Januari-April,2015), hlm 114-115.
11
Ibid.
[ 391 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
disadari oleh banyak pihak, dalam hal ini terkait dengan pembentukan
suatu undang-undang yang khusus untuk mengatur pelaksanaan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah yakni dalam membentuk UU Pilkada.
Menguji P
ancasila dalam D
inamika P
ilkada
Pancasila
Dinamika
Pilkada
Pilkada selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa terdapat perubahan metode
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dapat dilaksanakan baik
itu secara langsung maupun tidak langsung. Adapun semenjak era reformasi,
masyarakat secara luas lebih memiliki kepedulian mengenai jalannya politik
dan pemerintahan sebagai fungsi wujud kontrol langsung masyarakat
terhadap wakilnya di dalam pemerintahan. Oleh karena itu pula demokrasi
yang lebih diinginkan dan ada dalam benak ataupun mindset mayoritas
orang adalah demokrasi yang melibatkan aspirasi masyarakat dalam
menajalankan perannya seca aktif dan menentukan dalam proses politik.
Partisipasi merupakan elemen penting dalam pemberdayaan demokrasi
itu sendiri. Oleh karena itu, pemilihan yang dilakukan secara langsung
dalam pelaksanaan Pilkada lebih dirasakan demokratis untuk saat ini
dibandingkan pemilihan tidak langsung dalam rangka pelaksanaan amanat
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dinamika Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ini
diwarnai dengan terdapat 2 (dua) istilah yang berbeda yakni Pilkada dan
Pemilukada dalam kurang lebih 15 belas tahun untuk menggambarkan
politik Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedua istilah itupun
pada dasarnya memiliki pemaknaan yang berbeda. Pilkada secara umum
adalah proses pemilihan kepala daerah sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Sedangkan Pemilukada12 merupakan istilah ketika pemilihan
kepala daerah masuk dalam rezim Pemilu.13 Selanjutnya kembali ditegaskan
12
Pengertian Pemilukada diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007 yang menyatakan
bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
13
Istilah ini muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (UU No. 22 Tahun 2007).
[ 392 ]
Achmaduddin Rajab
sebagai bagian dari rezim Pemilu dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun
2011.14 Penggunaan istilah “kepala daerah” dalam UU 15/2011 telah
diubah menjadi “Gubernur, Bupati, dan Walikota” yang selaras dengan
bunyi asli Pasal 18 ayat (4).
MK kemudian menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah
rezim Pemilu dimana MK dalam putusan tersebut menyatakan bahwa
pemilihan umum diartikan hanyalah limitatif sesuai dengan original intent
menurut Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, yaitu Pemilihan Umum yang
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.15
Sehingga perluasan makna Pemilu yang mencakup Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)
adalah inkonstitusional menurut Mahakamah Konstitusi.16 Karena
pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilu melainkan rezim
Pemerintahan Daerah (Pemda) maka istilah yang paling mungkin adalah
digunakan adalah “Pemilihan” atau setidak-tidaknya menggunakan istilah
Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) bukan Pemilihan Umum (Pemilu)
Kepala Daerah. Adapun penggunaan istilah ini sesuai dengan bunyi Pasal
I angka 1 tentang perubahan Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2015.
Sejak diundangkan tahun 2015 hingga menjelang pelaksanaan Pilkada
serentak untuk pertama kalinya di tahun yang sama, banyak pihak yang
telah melakukan uji materi terhadap UU No. 8/2015.17 Walaupun sebagian
besar perkara yang diujikan ke MK tersebut tidak mengabulkan
permohonan pemohon/para pemohon, namun ada beberapa perkara yang
14
Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2011 menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
15
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013. Pertimbangan putusan poin [3.12.5]
hlm. 59.
16
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Pengujian
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, 19 Mei 2014, hlm .60.
17
Pada tahun 2015, MK telah melakukan uji materi terhadap UU No. 8/2015 yakni sebanyak 25 kali
pengujian sejak UU No. 8/2015 ini diundangkan sampai menjelang pelaksanaan Pilkada di tanggal
9 Desember 2015.
[ 393 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dikabulkan oleh MK karena dianggap telah merugikan hak konsitutsional
yang dimiliki oleh warga negara yang dijamin oleh Konstitusi selaku
Staatsgrundgesetz dan Pancasila selaku Staatsfundamentalnorm. Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945 (dimana terkandung Pancasila dalam paragraf
keempatnya) merupakan Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental
negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi bersifat “presupposed” dan merupakan landasan dasar bagi pengaturan negara lebih
lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan
norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekari oleh norma hukum yang
berisi sanksi18. Sedangkan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, merupakan
Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang
merupkan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijkasanaan negara untuk
menggariskan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan uang
mengikat umum19.
Yang pertama, adalah mengenai pembatasan terhadap dinasti politik
yang selama ini marak terjadi.20 Dinasti politik dapat dipahami sebagai
strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan
kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan
kalangan sanak keluarga.21 Salah satu perkara yang ditangani MK terkait
dinasti politik adalah permohonan Adnan Purichta Ichsan, anak kandung
dari Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo yang telah menjabat selama 2 periode
masa jabatan. Hubungan Pemohon sebagai anak kandung adalah tidak
memenuhi persyaratan calon sebagaimana diatur dalam Pasal I angka 6
tentang perubahan Pasal 7 huruf r UU 8/2015. Namun sebenarnya, pasal
ini sejatinya tidaklah menghilangkan hak konstitusi maupun bersifat
diskriminatif terhadap Pemohon karena jika dicermarti terdapat jawaban
dalam penggalan akhir dari Pasal I angka 6 tentang perubahan Pasal 7
huruf r UU 8/2015yang berbunyi “…kecuali telah melewati jeda 1 (satu)
kali masa jabatan”. Maksud dari penggalan kalimat tersebut adalah tidak
18
Kurnisar, Pancasila Sumber Dari Segala Sumber Hukum di Indonesia, (Universitas Sriwijaya
Palembang), hlm. 250-251.
19
Ibid.
20
Lihat Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015
21
Wasisto Raharjo Djati, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras
Lokal (LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Juli
2013), hlm. 204.
[ 394 ]
Achmaduddin Rajab
menutup hak secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan
jeda 1 (satu) periode pemerintahan saja, sehingga pada periode berikutnya
kerabat petahana tersebut boleh ikut dalam mencalonkan diri dalam
pemilihan kepala daerah. Jeda satu periode juga dimaksudkan agar kerabat
petahana yang mencalonkan tidak mendapatkan keuntungan baik langsung
maupun tidak langsung dari petahana yang masih menjabat pada periode
masa jabatan tersebut. Selain itu, pasal 7 huruf r ini juga memiliki arti
bahwa kerabat petahana boleh saja maju di daerah lain dimana petahana
di daerah tersebut bukanlah merupakan keluarga mereka.22
Pilkada merupakan suatu aktivitas dari proses demokrasi yang tidak
terlepas dari penyelenggaraan pemilu karena Pilkada, sehingga kedua hal
ini tidak bisa dipersamakan pemilihannya. Adapun pada akhirnya,
membatalkan ketentuan Pasal 7 huruf r, sehingga tidak ada pembatasan
bagi keluarga Petahana untuk maju dalam Pilkada. Kedua adalah perkara
yang gugatannya dikabulkan oleh MK seperti perkara yang diajukan oleh
para Pemohon atas nama Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan
Ramdansyah. MK pada putusannya mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian, yakni perubahan pada Pasal 22B huruf d dimana terdapat
frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota” yang kemudian oleh MK disempurnakan
menjadi “Panwaslu Kabupaten/Kota”. MK dalam putusan ini juga
menghapus Pasal I angka 122 tentang perubahan Pasal 196 yang mengatur
mengenai sanksi bagi ketua dan anggota KPPS yang denga sengaja tidak
membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara.
Selanjutnya, perkara ketiga yang gugatannya dikabulkan oleh MK
adalah perkara yang diajukan oleh Afdoli. Dalam perkara ini MK
menyatakan bahwa Pasal 7 huruf t serta Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU
8/2015 telah merugikan hak konstitusional dari Pemohon23. Pemohon juga
22
Terdapat pada risalah rapat pembahasan RUU Perubahan Atas UU 1/2015di Hotel Aryaduta Tugu
Tani tanggal 12-13 Februari 2015, yang juga dialami langsung oleh Penulis sebagai Perancang
Undang-Undang dari DPR RI dalam RUU Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015.
23
Lihat Putusan MK Nomor 46/PUU-XIII/2015 hlm 34 poin angka 3. Adapun pasal-pasal yang
dimaksud berbunyi sebangai berikut: Pasal 7 huruf t: “mengundurkan diri sebagai anggota Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak
mendaftarkan diri sebagai calon” dan Pasal 41 ayat (2): “Calon perseorangan dapat mendaftarkan
diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota,
jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10%
[ 395 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
menyatakan bahwa aturan pada UU 8/2015 telah telah melahirkan
ketidakpastian hukum bagi Pemohon untuk dicalonkan sebagai Bupati
Simalungun karena Pemohon telah bersosialisasi semenjak November
2014.24 Afdoli berpendapat bahwa dalam UU 8/2015 telah merugikan
hak konstitusionalnya karena ketentuan tersebut mewajibkan PNS untuk
mengundurkan diri sejak mendaftarkan sebagai calon. Dia lebih lanjut
juga mengatakan bahwa syarat dukungan calon perseorangan adalah
ketentuan yang tidak objektif karena jumlah dukungan masyarakat untuk
maju melalui jalur perseorangan dihitung berdasarkan jumlah penduduk
sebagai persyaratan pencalonan.25
Perkara yang gugatannya dikabulkan oleh MK selanjutnya adalah terkait
permohonan Fathor Rasyid dan Jumanto yang menyatakan bahwa Pasal 7
huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU 1/2015 telah merugikan hak
konstitusionalnya untuk ikut serta berpartisipasi sebagai calon dalam
Pilkada.26 Dalam permohonannya para Pemohon mengakui pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
(sepuluh persen); b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima
puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%
(delapan setengah persen); c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima
ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh
setengah persen); d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)
jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan e. Jumlah dukungan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50%
(lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.”
24
Ibid.
25
Lihat UU 8/2015 yakni Pasal 7 huruf t untuk syarat bagi PNS yang mendaftarkan diri dalam
Pilkada dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) mengenai syaray dukungan bagi calon dalam Pilkada yang
maju lewat jalur perseorangan.
26
Lihat Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 hlm 8 poin angka 14. Adapun pasal-pasal yang
dimaksud berbunyi sebangai berikut: Pasal 7 huruf g: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, dan penjelasannya
“ Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5
(lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan
publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan
terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku
kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari
ketentuan ini”. Serta Pasal 45 ayat (2) huruf k yang berbunyi: “surat keterangan tidak pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti
pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g”.
[ 396 ]
Achmaduddin Rajab
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. MK dalam putusan ini
menghapus penjelasan dalam Pasal 7 huruf g, sedangkan norma Pasal 7
huruf g di batang tubuh dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Jadi, dalam hal ini Mahakmah
Konstitusi melihat syarat keterbukaan sebagaimana pendapat mereka sendiri
dalam Putusan No. 4/PUU-VII/2009 secara berbeda. Padahal syarat
tersebut semula oleh pembuat undang-undang diatur dalam UU Pilkada
agar calon pemilih mengetahui latar belakang yang akan dipilihnya. Selain
itu juga hal ini bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Dengan demikian penambahan klausula
tersebut dalam bagian penjelasan yang merupakan satu kesatuan dengan
Pasal 7 huruf g, adalah suatu bentuk perwujudan norma hukum yang
tidak lepas dari sisi moralitas yang mendasarinya yakni keadilan, karena
“kehadiran moral dalam hukum dilambangkan oleh keadilan”27.
UU 1/2015 yang menggantikan 22/2014 sejatinya adalah undangundang yang mengembalikan Pilkada dari yang tadinya dilaksanakan secara
tidak langsung (pemilihan melalui internal DPRD) menjadi dipilih
langsung oleh rakyat. UU 1/2015 sejak awal menginginkan adanya
kandidat yang lebih dari 1 dalam pelaksanaan pemilihan. Sehingga sejak
awal yang namanya pemilihan secara langsung memang mengharuskan
adanya kompetisi dalam Pemilihan yang hanya terwujud hanya dan jika
terdapat kandidat yang lebih dari 1 dalam pelaksanaan Pilkada. Tidak adanya
kandidat lawan dalam Pilkada sehingga hanya terdapat 1 pasang calon
sebenarnya merupakan tanggung jawab dari partai politik maupun
masyarakat setempat. Sebagai contoh, UU 8/2015 mensyaratkan bahwa
Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang dapat mendaftarkan
pasangan calon adalah yang telah memenuhi persyaratan perolehan paling
sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25%
dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Tahun 2014 yang lalu.
Oleh karena itu partai politik disebut juga sebagai pilar demokrasi, yakni
27
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003),
hlm. 55.
[ 397 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the
degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis.28
Bahkan jika tidak maju lewat partai atau gabungan partai bisa juga maju
lewat jalur perseorangan, sehingga sebenarnya tidak ada alasan sebenarnya
di suatu daerah hanya memiliki 1 pasangan calon saja kecuali memang
situasi semacam ini memang diciptakan. Kompetisi adalah mutlak
terlaksana dalam hal pelaksanaan Pemilihan guna mewujudkan demokrasi
yang sehat. Kandidat lawan dalam kompetisi bukanlah musuh yang mesti
ditiadakan, akan tetapi adalah lawan yang bersahaja guna pelaksanaan
pemilihan secara damai, jujur, dan transparan. Kontestasi dalam demokrasi
mensyaratkan secara mutlak (conditio sine qua non) terdapatnya kubu
“kita” dan kubu “mereka”. Lebih jelasnya, demokrasi tidak akan ada tanpa
kontradiksi, konfrontasi, dan pluralisme kepentingan ataupun gagasan.29
Peran P
ancasila sebagai SSolusi
olusi K
ekurangsempurnaan UU
Pancasila
Kekurangsempurnaan
Pilkada
Fenomena banyaknya gugatan yang masuk dan telah diputuskan dalam
UU Pilkada tersebut dan beberapa diantaranya dikabulkan tersebut
merupakan sebuah rekor yang belum pernah terjadi sbelumnya dalam UU
manapun. Evaluasi yang dapat dipetik dari kenyataan ini bahwa UU 8/
2015 adalah jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan UU ini hadir dari
hasil Perppu yang tentu saja tidak dibentuk dalam waktu singkat oleh
pihak Pemerintah. Hal lainnya adalah tidak diterapkannya falsafah Pancasila
dalam pembentukan UU Pilkada ini. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal
2 UU 12/2011 menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber segala
sumber hukum negara”, sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dari
2 norma itu saja dapat kita ketahui bahwa posisi Pancasila itu adalah sangat
penting dalam pembentukan hukum. Lebih lanjut lagi, karena negara kita
menggunakan civil law sebagai sistem hukum, penggunaan aturan-aturan
28
Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, dimuat dalam http://www.jimly.com/
Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, diunduh pada 06 September 2015, Pukul 20.14 WIB.
29
Boni Hargens, Mengapa Politik Tidak Etis?, dimuat dalam http://www.unisosdem.org/article_
detail.php?aid=7705&coid=3&caid=31&gid=2, diunduh pada 07 Desember 2015, Pukul 20.14
WIB.
[ 398 ]
Achmaduddin Rajab
hukum yang sifatnya tertulis seperti misalnya membentuk undang-undang
tersendiri guna pelaksanaan Pilkada adalah cara-cara yang kosnitutisional.
Oleh karena itu memasukkan Pancasila sebagai nafas dari setiap undangunang apalagi undang-unang yang mengandung hajat hidup orang banyak
seperti Pilkada ini adalah sangat penting.
Itulah sebabnya MK pula membatalkan sejumlah pasal-pasal dalam
UU Pilkada yang dibentuk secara instan dan tanpa perencanaan yang
matang ini. MK adalah lembaga yang diberikan mandat untuk
melembagakan nilai-nilai pancasila melalui putusan-putusannya. Hamdan
Zoelfa yang juga merupakan mantan ketua MK mengaskan “Bahwa upaya
revitalisasi, internalisasi, dan implementasi nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila merupakan tanggung jawab masing-masing lembaga negara
di semua cabang-cabang kekuasaan sesuai peran dan posisinya dan tanggung
jawab bersama masyarakat sipil termasuk setiap warga negara. Dalam hal
ini, MK memiliki peran strategis untuk melembagakan nilai-nilai Pancasila,
terutama melalui kewenangannya untuk memutus permohonan pengujian
undang-undang yang diajukan kepadanya. Hal ini dapat dimengerti karena,
Pancasila alam tataran nilai, bukanlah norma hukum yang bersifat
implementatif, tetapi hanya mengandung nilai-nilai filosofis yang harus
dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan-peraturan perundang-undangan
di bawahnya dan kebijakan setiap organ negara. Penempatan niali-nilai
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 bermakna bahwa Pancasila
merupakan norma dasar filosofis yang harus dijadikan sebagai acuan dalam
menentukan konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Pada
tataran inilah MK berperan melembagakan nilai-nilai Pancasila. Putusan
MK adalah salah satu bentuk konkret dari pelembagaan nilai-nilai Pancasila
karena de facto putusan tersebut mengikat bagi sleuruh masyarakat
Indonesia”.30 Oleh karena itu pula lah, ketika pada akhirnya 8 putusan
MK yang dikabulkan dari 38 gugatan, hal tersebut merupakan wujud
kurangnya falsafah Pancasila dalam pembentukan UU Pilkada ini.
30
Hamdan Zoelva, Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif Kehidupan Beragama, Sosial,
Dan Budaya Melalui Putusan MK, (Materi disampaikan pada Kongres Pancasila IV Tahun 2012,
diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada didukung oleh Mahkamah Konsitutsi RI dan Majelis
Perwakilan Rakyar RI, Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni, 2012), hlm 10.
[ 399 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Peran Pancasila sebagai solusi kekurangsempurnaan UU Pilkada ini
adalah sangat penting, hal ini sejalan dengan pendapat Kaelan dalam
bukunya yang menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar filsafat Negara
Indonesia. Kaelan dalam bukunya menyatakan bahwa:
Pancasila adalah dasar filsafat Negara Indonesia, maka di antara Negara
dan warganya adalah terdapat hubungan hak dan kewajiban. Warga
Negara adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban,dan sebagaimana
diketahui untuk masa sekarang ini yang lebih diutamakan adalah masalah
wajib. Dalam merwalisasikan kewajiban distributif, yaitu tentang segala
sesuatu yang termasuk kewajiban, kekuasaan, dan lingkungan Negara.
Sebaliknya sebagai perimbangannya setiap wajib taat, tentang segala
sesuatu yang disepakati dalam hidup bersama, yang dalam masalah ini
yaitu ketaatan untuk melaksanakan Pancasila.31
Secara aplikatif perlunya memasukkan Pancasila terlebih dahulu dalam
pembentukan undang-undang bisa diwujudkan dengan membentuk naskah
akademik terlebih dahulu sebelum membentuk suatu rancangan undangundang. UU yang baik seharusnya didahului oleh pembuatan naskah
akademik terlebih dahulu, sehingga kedepannya tidak akan ada persoalan
konsitutsi yang dipersoalkan kembali seperti saat ini muncul pengujianpengujian di MK.
Kesimpulan
Pembentuk undang-undang telah berupaya untuk membentuk suatu
undang-undang yang khusus untuk mengatur segala sesuatunya mengenai
Pilkada. Perlunya adanya aturan yang jelas mengenai Pilkada adalah
merupakan amanat dari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dimana
Pilkada itu sendiri wajib dilaksanakan secara demokratis. Pilkada merupakan
cara untuk memilih pemimpin suatu daerah yang melibatkan publik atau
rakyat secara berkedaulatan. Oleh karena itu pula dalam rangka mendukung
proses demokrasi di Indonesia, lahirlah sejumlah pengaturan mengenai
Pilkada sebagai landasan pelaksanannya. Namun demikian, dalam
kenyatannya, UU Pilkada ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini jelas
terlihat dari banyaknya gugatan yang diajukan ke Mahakamah Konstitusi
31
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya,
(Yogyakarta: Paradigma, 2013), hlm. 681.
[ 400 ]
Achmaduddin Rajab
dimana hampir 1/3 dikabulkan oleh satu-satunya lembaga penafsir konsitusi
tersebut.
Banyaknya gugatan ke Mahkamah Konstitusi ini tentunya perlu
menjadi perhatian serius dari pembentuk undang-undang karena dari
kenyataan ini jelas ada kekurang sempurnaan dalam pembentukan peraturan
tersebut. Kekurang sempurnaan yang ada dalam politik hukum
pembentukan peraturan perundang-undangan cenderung dikarenakan
kurangnya falsafah kebagsaaan kita yakni falsafah demokrasi berbasis
Pancasila selaku falsafah tertinggi di Indonesia. Pancasila merupakan ideologi
negara yang bersumber dari kekayaan rohani, moral, dan budaya bangsa.
Pancasila merupakan sistem nilai yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia. Oleh karena itulah, Pancasila perlu diimplementasikan ke dalam
dunia pemerintahan yang diterapkan dalam mengatur aspek kehidupan
individu, berbangasa, dan bernegara, termasuk dimasukkan dalam politik
hukum pembentukan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pengamatan penulis, perlu kiranya memasukkan Pancasila
sebagai solusi atas kekurangsempurnaan UU Pilkada tersebut. Kedudukan
Pancasila selaku staatsfundamentalnorm yang merupakan falsafah hidup
bangsa janganlah ditinggalkan. Dengan selalu mendasari pembentukan
undang-undang kepada Pancasila yang merupakan sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia kiranya kekurangsempurnaan semacam ini
kedepannya tidak akan terjadi dan hal ini sejalan dengan prinsip demokratis
dari Pancasila itu sendiri. Mudah-mudahan masukan ini dapat menjadi
masukan yang berharga bagi pembentuk undang-undang dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya tuk menciptakan undang-undang
yang baik bagi bangsa dan negara Indonesia.
Referensi
Buku
Asshiddiqie,Jimly,Perkembangan dan Konslidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
_______,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,, 2006.
[ 401 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
_______,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Konstitusi
press, 2006.
_______,Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta:PT.Bhuana
Ilmu Populer, 2009.
Bari Azed, Abdul ,Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2000.
Budiardjo, Miriam ,Dasar-dasar Ilmu Politik. Cet.2, Jakarta: Gramedia,
1990.
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis,
danAktualisasinya, Yogyakarta: Paradigma, 2013.
Kurnisar, Pancasila Sumber Dari Segala Sumber Hukum di Indonesia,
(Universitas Sriwijaya Palembang).
Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003.
M. Friedman, Lawrence, The Legal Sistem: A Social Science Perspective,
New York: Russell Sage Foundation, 1975.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2006.
Raharjo Djati, Wasisto, Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi:
Dinasti Politik di Aras Lokal LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi
Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Juli 2013.
Rohim Yunus, Nur, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara”, Jurnal UIN JKT, No. 2 (November,
2015).
Pradhanawati, Ari,Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal,
Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005.
Prapti Rahayu, Derita, ”Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik Hukum
Indonesia”, Jurnal Yustisia, Edisi 91 (Januari-April, 2015).
Peraturan P
er
undang-undangan
Per
erundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
_______, Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 22
Thn.1999, LN No. 60 Tahun 1999, TLN No. 383.
_______,Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32
Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437.
_______,Undang-undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU 12
tahun 2008, LN No. 59 Tahun 2008, TLN No. 4844
[ 402 ]
Achmaduddin Rajab
_______,Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24
Tahun 2003, LN No 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
_______,Undang-undang Tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 15
Tahun 2011, LN No. 101 Tahun 2011, TLN No. 5246.
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005.
Komisi Pemilihan Umum, Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang
Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota,
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015.
_______,Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Perubahan Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015
tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota,
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015.
_______,Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota
dan Wakil Walikota Dengan Satu Pasangan Calon, Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2015.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/
PUU-II/2004, Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
_______, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4PUU-VII/2009,
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
_______, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013,
Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
[ 403 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Internet
Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi, dimuat dalam
http://www.jimly.com/Dinamika Partai Politik Dan Demokrasi,
diunduh pada 27 Januari 2017, Pukul 20.12 WIB.
Boni Hargens, Mengapa Politik Tidak Etis?, dimuat dalam http://
w w w. u n i s o s d e m . o r g / a r t i c l e _ d e t a i l . p h p ? a i d =
7705&coid=3&caid=31&gid=2, diunduh pada 27 Januari
2017, Pukul 21.14 WIB.
Bahan yang tidak diterbitkan
Risalah pada rapat pembahasan RUU Perubahan UU 1/2015di Hotel
Aryaduta Tugu Tani tanggal 12 Februari 2015.
Zoelva, Hamdan, Pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif
Kehidupan Beragama, Sosial, Dan Budaya Melalui Putusan MK,
(Materi disampaikan pada Kongres Pancasila IV Tahun 2012,
diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada didukung oleh
Mahkamah Konsitutsi RI dan Majelis Perwakilan Rakyar RI,
Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni, 2012).
[ 404 ]
MENY
OAL AKTU
ALISA
SI PANC
A SIL
A D
AL
AM
MENYO
AKTUALISA
ALISASI
PANCA
SILA
DAL
ALAM
PERSPEKTIF MAHK AMAH KONSTITUSI
Sadhu Bagas Suratno
Mahkamah Konstitusi Sebagai the Guardian of the
Constitution
K
etentuan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945).1 Keberadaan MK dalam negara hukum seperti
Indonesia,2 merupakan suatu keharusan mengingat prinsip dasar dari negara
hukum ialah adanya pembatasan kekuasaan dimana pada lazimnya hal
tersebut dimuat dalam konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.3 Sehingga
perlu adanya badan peradilan yang bertugas menjamin konstitusi dapat
ditegakkan sebagaimana mestinya.4
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, MK
dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat kewenangan
1
2
3
4
Lihat Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Lihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2005) 123.
Terkait hal tersebut, Abdul Mukhtie Fajar pernah berujar bahwa kelahiran MK semata-mata demi
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat, serta misi, mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya, dan membangun
konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. Abdul Mukhtie Fajar, ‘Mahkamah
Konstitusi dan Perkembangan Hukum di Indonesia’ [2010] 1.
[ 405 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
ditambah satu kewajiban, yaitu (i) menguji konstitusionalitas undangundang; (ii) memutus sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga
negara; (iii) memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum; (iv)
memutus pembubaran partai politik; dan (v) memutus pendapat DPR
yang berisi tuduhan bahwa Presiden melanggar hukum atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945, sebelum hal itu dapat diusulkan untuk
diberhentikan oleh MPR (mengingat keterbatasan jumlah halaman, karya
tulis ilmiah ini difokuskan pada kewenangan MK dalam hal menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang) .5
Dalam konteks pengujian konstitusional undang-undang, MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.6
Secara konseptual maupun normatif, pengujian konstitusionalitas undangundang meliputi pengujian formil yakni apakah pembentukan undangundang memenuhi atau tidak ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan/
atau pengujian materil yakni apakah muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.7
Meskipun terdapat perbedaan pada objek pengujiannya, namun dalam
hal putusan terdapat kesamaan diantara keduanya, yakni putusan MK
terbatas pada dikabulkannya pengujian undang-undang, dalam hal MK
berpendapat bahwa permohonan beralasan,8 ditolaknya pengujian undangundang dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan
UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian
5
6
7
8
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2006) 152.
Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Terkait pengujian formil dan materil, Sri Soemantri pernah berujar bahwa Hak uji materil (materiele
toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu
peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu. Sedangkan hak uji formil (formele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk
menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undangundang misalnya terjelma melalui cara-cara
(procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau tidak. Lihat Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia (Alumni Bandung
1986) 6, lihat pula Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Lihat Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[ 406 ]
Sadhu Bagas Suratno
atau keseluruhan, menyatakan permohonan ditolak,9 dan tidak dapat
diterimanya pengujian undang-undang dalam hal MK berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat.10
Namun dalam perkembangannya, terdapat beberapa putusan MK yang
tidak sesuai atau tidak diatur dalam undang-undang MK. Diantaranya
ialah putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional),
putusan ultra petita, mengesampingkan undang-undang dan putusan
sela.11 Cara berhukum yang tidak hanya terikat pada teks undang-undang
tersebut dapat digolongkan sebagai putusan yang berdimensi penemuan
hukum (rechtsvinding).12
Dalam konteks pengujian konstitusionalitas undang-undang, cara
berhukum yang tidak hanya terpaku pada teks undang-undang dan
kontekstual merupakan syarat utama dalam menghadirkan keadilan yang
substantif. Hal ini dikarenakan batu uji dari pengujian konstitusionalitas
undang-undang ialah UUD 1945 yang di dalamnya terkandung nilai-
9
Lihat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Lihat Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
11
Putusan konstitusional bersyarat dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 14-17/PUU-V/
2007 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, Putusan ultra petita dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, Putusan sela dapat ditemukan dalam Putusan MK nomor 133/PUU-VII/2009
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan Putusan yang mengesampingkan undang-undang dapat ditemukan
dalam Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Selengkapnya lihat Saldi Isra
dkk, ‘Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir
Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif)’ [2010] 2.
12
Penggunaan istilah rechtsvinding dijumpai dalam sistem peradilan di negara-negara Eropa Continental, sedangkan Judge Made Law lazim digunakan dalam sistem peradilan di negara-negara
Common Law. Perbedaan paling mendasar dari penemuan hukum pada kedua sistem tersebut ialah,
dalam sistem Common Law hakim memiliki peranan dalam membentuk suatu norma hukum yang
mengikat didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sedangkan dalam sistem Eropa Continental, hakim
dalam melakukan penemuan hukum harus melihat ketentuan normatifnya terlebih dahulu baru
ketika dirasa ketentuan tersebut tidak lengkap, tidak sesuai dengan kasus yang dihadapi atau tidak
ditemukan hukumnya baru hakim melakukan penemuan hukum. Lihat Achmad Rifai, Penemuan
Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Sinar Grafika 2011) 20.
10
[ 407 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa,13 sehingga diperlukan cara berhukum
yang tidak hanya sebatas pada memahami teks hitam diatas putih, melainkan
lebih dalam lagi yakni memahaminya hingga tatanan filosofis.14
Aktualisasi P
ancasila oleh M
ahkamah K
onstitusi
Pancasila
Mahkamah
Konstitusi
Secara normatif, salah satu asas dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman di Indonesia adalah asas peradilan negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.15 Keberadaan asas
tersebut,16 menegaskan bahwa penyelenggaraan peradilan tidak sematamata untuk menegakkan hukum tetapi juga keadilan.17 Sehingga dalam
konteks cita hukum (rechtsidee), tidak hanya kepastian hukum saja yang
harus dipenuhi oleh hakim MA/MK dalam memutus perkara tetapi juga
keadilan yang berdasarkan Pancasila, inilah yang disebut dengan rechtsidee
pancasila.18
Dalam konsep Rechtsidee Pancasila, kepastian hukum dan keadilan
tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat alternatif atau kompilatif
yang penerapannya bisa dipilih berdasar selera sepihak melainkan sebagai
13
Pancasila sebagai falsafah negara diperoleh dari sumber nilai dalam konteks perjalanan dinamis
sejarah kebudayaan bangsa. Selengkapnya lihat Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun
Hukum Berdasarkan Pancasila (Nusa Media 2014) 21-22.
14
Cara berhukum yang kontekstual muncul sebagai solusi atas kegagalan cara berhukum yang tekstual
dalam mengakomodir rasa keadilan masnyarakat. Di Indonesia, cara berhukum yang tekstual pernah
mengusik rasa keadilan masyarakat sebagaimana terdapat dalam putusan No. 247/PID.B/2009/
PN.PWT (Kasus pencurian 3 (tiga) kakao), Putusan /PID.B/2009/PN.Btg).105 (Kasus pencurian
sisa panen randu), Putusan No. 857/Pid.b/2001/PN.TNG ; PT No. 84/PID/2002PT. Bandung;
MA No. 1668 K/Pid/2002) (Kasus pencurian sandal bolong), Putusan No. 232/Pid.B/2008/
PN.Pra (kasus kawin lari). Lihat selengkapnya di Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma
Positivisme Hukum (Genta Publishing 2011) 181-222.
15
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
16
Asas hukum ini merupakan “jantungnya” peraturan hukum karena asas hukum merupakan landasan
yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan
hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Tentang teori ini lihat
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Cetakan Ketujuh (Citra Aditya Bakti 2012) 45.
17
Secara teoritis, menurut Teguh Prasetyo keadilan yang berdasarkan Pancasila ialah keadilan yang
bermartabat, yakni keadilan yang memanusiakan manusia. Lihat selengkapnya di Teguh Prasetyo,
Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila (Media Perkasa 2013) 93.
18
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Sekalipun ketiganya merupakan cita hukum, namun
masing-masing nilai mempunyai tuntutan substansi yang berbeda satu dengan yang lainya, sehingga
ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan. Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap
Paradigma Positivisme Hukum (Genta Publishing 2011) 247.
[ 408 ]
Sadhu Bagas Suratno
konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan yang saling menguatkan.19
Oleh karena itu, konsep kepastian hukum dan keadilan dalam Pancasila
harus mempertimbangkan beberapa aspek seperti (1) aspek keadilan dan
kepastian hukum berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa; (2)
Penghormatan atas martabat manusia; (3) Wawasan kebangsaaan dan
wawasan nusantara; (4) Persamaan dan kelayakan; (5) Keadilan sosial; (6)
Moral dan budi pekerti yang luhur, dan (7) Partisipasi dan transparansi
dalam proses pengambilan putusan publik.20
Konsekuensi dari disepakatinya Pancasila sebagai rechtsidee oleh segenap
bangsa Indonesia tersebut telah menempatkan Pancasila sebagai cita hukum,
cita moral dan cita keadilan yang meliputi suasana kejiwaaan bangsa Indonesia.21 Sehingga dalam konteks pengujian konstitusional undang-undang
oleh MK, mengingat yang menjadi batu ujinya ialah konstitusi yang di
dalamnya memuat nilai dan cita Pancasila maka hakim MK dalam memutus
perkara tersebut haruslah mampu mengakomodir nilai dan cita Pancasila
dalam putusannya.
Guna mewujudkan hal tersebut, secara normatif hakim konstitusi wajib
untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.22 Hal tersebut dimaksudkan agar
putusan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.23 Ketika proses implementasi hukum berjalan, hakim konstitusi
wajib menegakkan hukum dan keadilan, tidak hanya fokus pada hukum
yang tersurat dalam undang-undang secara sempit.
Dengan kata lain, dalam memutus suatu perkara hakim harus mau
dan mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
masyarakat, seorang hakim harus mampu bertindak sebagai living
19
Moh. Mahfud MD, Hukum, Moral dan Politik, Materi Studium Generale Matrikulasi Program
Doktor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang 23 Agustus 2008.
20
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Cet. Kedua (CV. Mandar Maju
2000) 196-197, lihat juga Derita Prapti Rahayu, ‘Aktualisasi Pancasila Sebagai Landasan Politik
Hukum Indonesia’ dalam Yustisia Edisi 91 [Januari- April 2015] 114-115.
21
Lihat Otong Rosadi, ‘Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam Pembentukan Hukum di
Indonesia’ 287-288.
22
Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
23
Lihat penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
[ 409 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan masyarakat dan
tidak terbelenggu oleh kekakuan prosedural positivistik yang ada dalam
peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan sekedar mulut
undang-undang.24
Dalam melaksanakan penggalian terhadap rasa keadilan masyarakat,
tidak jarang hakim MK mengesampingkan undang-undang yang ada. Hal
ini dikarenakan pada hakikatnya tidak ada undang-undang yang sempurna,
pasti di dalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada undangundang yang lengkap, selengkap-lengkapnya atau sejelas-jelasnya dalam
mengatur seluruh kegiatan manusia.25
Menurut Bambang Sutiyoso undang-undang bersifat statis dan rigid
(kaku), sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu meningkat dari
waktu ke waktu baik jenis maupun jumlahnya. Sehingga dapat dimengerti
kalau kemudian muncul suatu ungkapan hukum tertulis selalu ketinggalan
dengan peristiwanya.26 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Widodo
Dwi Putro, yakni pada dasarnya undang-undang yang telah ditetapkan
cenderung bersifat kaku dan sulit sekali berubah sementara basis sosial
tempat berpijaknya selalu berkembang dan perkembangan tersebut
membawa persoalan-persoalan hukum yang baru. Ketika undang-undang
itu dibuat mungkin dirasakan adil, namun setelah sekian lama undangundang itu diterapkan bisa saja menjadi terasa tidak adil, karena
masyarakatnya berubah.27
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, tidak jarang hakim MK
memutus perkara (khususnya pengujian konstitusionalitas undang-undang)
dengan melakukan penemuan hukum. Menurut Utrecht penemuan hukum
dapat dilakukan apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan
belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar
insiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini
24
Ganda Surya Satya J.A.P, Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila (Core Values) Sebagai Langkah Awal
Reformasi Hukum Indonesia Berdasarkan Hukum Progresif dalam Moh Mahfud MD, Sunaryati
Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya dan Anto F. Susanto, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran
Hukum Progresif (Thafa Media 2013) 258.
25
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar Cetakan Kelima (Liberty 2007) 37.
26
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum (UII Press 2006) 104.
27
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum (Genta Publishing 2011) 9.
[ 410 ]
Sadhu Bagas Suratno
hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum,
sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya.28
Sedangkan Paul Scholten menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya
penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan
bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik
dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun
rechtsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).29
Adapun putusan MK yang bernuansa penemuan hukum diantaranya
ialah, putusan MK nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
putusannya, MK menyatakan bahwa ketentuan a quo yang hanya memberi
kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup
hak konstitusional calon perseorangan dalam mengikuti pemilihan kepala
daerah bertentangan dengan konstitusi. Padahal merupakan hak setiap orang
untuk berpartisipasi dan diperlakukan sama dalam pemerintahan, implikasi
dari putusan tersebut ialah calon independen diperbolehkan mencalonkan
diri dalam pemilihan kepala daerah. Tentunya putusan ini membuka
peluang baru bagi calon non partai untuk dipilih dan meningkatkan
kualitas pelaksanaan demokrasi di daerah.
Kemudian, Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dimana dalam putusannya, MK
membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng
dalam pemilu presiden 2009. Meskipun putusan MK ini bersifat ultra
petita,30 namun keberadaannya mendapat sambutan positif dari masyarakat
luas.
28
Lihat pendapatnya Utrecht tersebut di Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam
Perspektif Hukum Progresif (Sinar Grafika 2011) 22.
29
Lihat pendapatnya Scholten tersebut di Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis
dan Sosiologis) (Chandra Pratama 1993) 146.
30
Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas suatu perkara yang tidak dituntut atau
memutus suatu perkara melebihi apa yang diminta pemohon. Secara normatif, ketentuan ultra petita
pada mulanya diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus
melebihi apa yang dituntut (petitum) oleh pemohon.
[ 411 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Hal ini dikarenakan dalam memutus perkara tersebut hakim MK
mencoba untuk merasakan dan menyelami kegelisahan masyarakat
Indonesia yang khawatir tidak dapat menyalurkan hak konstitusionalnya
untuk memilih dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden
periode 2009-2014 karena tidak terdaftar dalam DPT. Putusan ini sekaligus
menegaskan bahwa MK dalam memutus perkara konstitusionalitas undangundang, tidak hanya menghadirkan kepastian hukum namun juga
mengakomodir keadilan dalam putusannya. Hal tersebut tampak pada
salah satu pertimbangan hukumnya yang berbunyi “Sehingga berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka demi keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan hukum, Mahkamah memutuskan dalam Putusan yang bersifat
self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) guna
melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara
untuk menggunakan hak pilihnya”.
Putusan MK lainnya yang bernuansa penemuan hukum ialah Putusan
MK nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusannya, meskipun MK
menolak permohonan pemohon namun dalam pertimbangan hukumnya
Mahkamah menyatakan berwenang melakukan judicial review terhadap
Perppu. Padahal secara normatif, kewenangan pengujian konstitusionalitas
oleh MK terbatas hanya pada undang-undang terhadap UUD 1945.
Dalam putusan tersebut MK berpendapat bahwa materi muatan
Perppu pada hakikatnya sama dengan undang–undang, hanya segi formilnya
yang menjadi pembeda fundamental antara keduanya. Karena materi
Perppu sama dengan undang–undang, maka tidak menutup kemungkinan
ketentuan yang terdapat dalam Perppu tersebut bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara,
sehingga perlu ada lembaga yang berwenang untuk menguji
konstitusionalitasnya.
Keberanian MK dalam mendobrak status quo dan mengesampingkan
undang-undang dalam memutus perkara di dasarkan pada kekhawatiran
akan terlanggarnya hak konstitusional warga negara oleh suatu undangundang. Sementara di satu sisi, secara filosofis hak konstitusional merupakan
[ 412 ]
Sadhu Bagas Suratno
perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai
sumber filsafat bangsa Indonesia khususnya sila kedua, yakni kemanusiaan
yang adil dan beradab. Sehingga eksistensinya perlu ditegakkan semaksimal
mungkin.
Terkait hal tersebut, Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah
berpendapat bahwa Pancasila telah memberikan kedudukan yang tinggi
dan mulia atas potensi dan martabat manusia. Karenanya, ajaran HAM
berdasarkan Pancasila dijiwai dan dilandasi asas normatif theisme-religious.31
Artinya HAM merupakan karunia dan anugerah maha pencipta,
mengandung asas keseimbangan dimana selain berhak untuk mendapatkan
hak-hak dasar manusia juga berkewajiban untuk menghormati hak-hak
orang lain.
Sehingga tidak berlebihan apabila Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa
begitu pentingnya perlindungan/jaminan HAM dalam suatu negara hukum
khususnya dalam negara hukum Pancasila, ketentuan tersebut dianggap
sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping
materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan
pembagian kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga
negara.32
Sedangkan menurut I Dewa Gede Palguna, HAM yang diakui dan
dijamin oleh konstitusi, baik pengakuan dan jaminan itu dinyatakan secara
tegas maupun tersirat, disebut dengan hak konstitusional. Karena
dicantumkan dalam konstitusi maka seluruh cabang kekuasaan negara wajib
untuk menghormatinya. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan
terhadap hak konstitusional sebagai bagian dari konstitusi juga berarti
pembatasan terhadap kekuasaan negara. Selanjutnya, sebagai bagian dari
konstitusi maka hak-hak konstitusional itu harus dilindungi semaksimal
mungkin. Dalam konteks penegakan konstitusi, tentu saja hal tersebut
sulit untuk diwujudkan apabila dalam menafsirkan konstitusi hakim MK
31
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (Studi Pemikiran
Ahli Hukum Sepanjang Zaman) Cet. Ketiga (Pustaka Belajar 2009) 392-393, lihat juga Al-Khanif,
‘Questioning a theistic, seculer Pancasila to protect religions’ (2015) http://www.thejakartapost.com/
news/2015/06/01/ questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religions.html diakses 03 Maret
2017.
32
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid II (Sekretariat Jenderal MK RI 2006) 85.
[ 413 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
hanya berpaku pada bunyi teks konstitusi atau undang -undang yang
materinya diujikan terhadap konstitusi, melainkan harus melakukan
penelaahan lebih dalam lagi sampai ke tatanan filosofis.33
Senada dengan Palguna, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa
meskipun konstitusi sudah memuat prinsip-prinsip kekeluargaan, tetap
tak ada artinya dalam praktik jika semangat penyelenggara negaranya
bersifat perseorangan. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu
tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara.
pemerintahan baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak merintangi
jalannya negara, jadi yang penting itu adalah semangat.34 Oleh karena itu
hakim MK sebagai salah satu pelaku penyelenggara negara, dituntut untuk
menafsirkan konstitusi dengan mengedepankan nilai-nilai dasar yang dianut
serta senafas dengan spirit konstitusionalisme yang menjadi sukma dari
dokumen konstitusi.35
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, Satjipto pernah berujar bahwa sebagai satu-satunya
institusi di Indonesia yang berhak menguji konstitusionalitas suatu
undang-undang, Hakim MK diharapkan tidak terbelenggu pada teks
undang-undang semata, terlebih batu uji dari undang-undang tersebut
ialah konstitusi yang bersifatnya abstrak. Dengan demikian. MK diharapkan
menjadi sebuah badan yang dapat menerapkan konsep yang abstrak dari
hukum”36 Sehingga untuk mengimplementasikan konsep yang abstrak dari
hukum tersebut, hakim MK dalam memutus perkara pengujian
konstitusional undang-undang tidak boleh sekedar memahami UUD 1945
maupun undang-undang secara tekstual semata, melainkan lebih dalam
lagi, yakni memahami dan mengerti suasana kebatinan yang menjadi latar
belakang filosofis dan historis perumusan juridis pasal dalam konstitusi
yang dijadikan batu uji, kemudian dikorelasikan dengan kondisi sosiologis
dan rasa keadilan bangsa dan negara saat ini.
33
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complain) Upaya Hukum Terhadap
Pelanggaran Hak Hak konstitusional Warga Negara (Sinar Grafika 2013) 113.
34
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Genta Publishing 2009)
10.
35
Janedjri M Gaffar, ‘MK dan Hukum Progresif ’ SINDO (Jakarta, 5 Mei 2012).
36
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Asai-Esai Terpilih (Genta Publishing 2010) 3
[ 414 ]
Sadhu Bagas Suratno
Hal ini dikarenakan, ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan
dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak
hanya sekedar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi
prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan
demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak
konstitusional warga negara.37
Aktualisasi P
ancasila oleh M
ahkamah K
onstitusi: IIlusi
lusi
Pancasila
Mahkamah
Konstitusi:
ataukah Realitas?
Indonesia lahir dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang
sudah lahir terlebih dahulu pada sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan
penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 1 Juni 1945.
Pancasila adalah sebuah sistem filsafat yang merupakan rumusan ideal dalam
bangun keindonesiaan yang dicita-citakan bangsa.38
Menurut Soesanto Darmosoegondo, Pancasila telah memenuhi syarat
sebagai falsafah negara, karena (a) dapat mempersatukan seluruh bangsa
dan rakyat Indonesia yang susunan masyarakatnya majemuk; (b) bahwa
dasar falsafah negara itu diterima dan disetujui oleh seluruh bangsa dan
rakyat Indonesia; (c) bahwa dasar falsafah negara itu telah berakar dalam
hati bangsa dan rakyat Indonesia; dan (d) bahwa dasar falsafah negara itu
mampu memberikan pengarahan tujuan sehingga dapat dijadikan pedoman
bagi perjalanan hidup bangsa kita dikemudian hari.
Sedangkan menurut Winarno, Pancasila dijadikan falsafah negara
dikarenakan:
a. Pancasila merupakan hasil perenungan (contemplative) secara individual
maupun kelompok yang dilakukan secara radikal, sistematis dan universal
dengan mendasarkan diri kepada kenyataan/realitas yang ada pada bangsa
Indonesia. Perenungan individual dilakukan oleh Muhammad Yamin,
Soekarno, dan Soepomo. Sedangkan secara kelompok dilakukan oleh
panitia sembilan, anggota BPUPKI dan PPKI;
37
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi 2010) 10.
38
Soesanto Darmosoegondo, Falsafah Pancasila (Alumni 1975) 60
[ 415 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
b. Rumusan sila-sila Pancasila merupakan rumusan abstrak disusun secara
sistematis yang dipakai sebagai filsafat negara, ideologi negara;
c. Rumusan hakekat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan
Keadilan Sosial merupakan konsep universal yang dapat berlaku pada
setiap bangsa di dunia;
d. Rumusan Pancasila dipergunakan bagi kepentingan manusia (khususnya
manusia Indonesia) dan secara mendalam/radikal menempat dan
mengakui eksistensi Tuhan Yang Maha Esa dan manusia;
e. Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila hakekatnya dapat
diterima secara benar, baik dan universal, walaupun ada juga nilai-nilai
yang bersifat spesifik/singulir berlaku bagi bangsa Indonesia dan tidak
bertentangan dengan dengan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan.39
Konsekuensi dari dijadikannya Pancasila sebagai falsafah negara ialah
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila harus diimplementasikan
dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali
dalam aspek penegakan hukum dan kontitusi.
Salah satu cara dalam mewujudkan hal tersebut ialah, peradilan negara
harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.40 MK sebagai satu-satunya lembaga yang diberi tugas menjaga
tetap tegaknya konstitusi seringkali mendobrak status quo dan
mengesampingkan teks undang-undang jika dirasa undang-undang tersebut
tidak sesuai/bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh MK, cara
berhukum yang tidak hanya terjebak pada kepastian hukum sebagaimana
tercermin dalam tiga putusan yang telah penulis uraikan pada bahasan
sebelumnya, mengharuskan MK untuk secara terus menerus mengikuti
perkembangan rasa keadilan masyarakat yang menjadi dasar agar
Mahkamah tidak berdiam diri atau membiarkan terjadinya pelanggaran
hak konstitusional warga negara oleh adanya undang-undang tertentu.
39
Winarno, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Panduan Praktis Pembelajaran) (Yuma Pustaka
2012) 49
40
Lihat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[ 416 ]
Sadhu Bagas Suratno
Memang dalam proses penegakan hukum prosedur dan pasal-pasal
undang-undang itu tidak boleh diabaikan, karena itu merupakan sarana/
perlengkapan pokoknya. Akan tetapi harus diingat bahwa sarana dan
perlengkapan itu bukanlah tujuan yang sesungguhnya ingin dicapai oleh
hukum. Prosedur dan pasal-pasal itu hanyalah sarana dan perlengkapan
yang diharapkan dapat mengantarkan para penegak hukum untuk sampai
pada tujuan hukum yang sesungguhnya.41 Dengan kata lain, hakim dalam
membuat putusan tidaklah sekedar menjalankan prosedur dan kemudian
menerapkan pasal-pasal undang-undang yang cocok atas kejadian atau
peristiwa yang akan diputuskannya, melainkan melakukan pemaknaan lebih
dalam lagi yakni memahaminya hingga tatanan filosofis.
Disatu sisi, menurut Mahfud putusan-putusan MK yang diputus
berdasarkan cara berhukum yang demikian juga tak lepas dari kritik.
Biasanya, kritik itu dilontarkan oleh pihak yang kalah berperkara. Misalnya,
ada yang mengatakan MK itu sering memutus keluar dari undang-undang,
tetapi mengapa MK sering pula terbelenggu oleh undang-undang dalam
memutus? Terkait hal ini, bagi MK dalam memutus suatu perkara tidak
selamanya harus keluar dari undang-undang. Kalau undang-undangnya
benar, MK akan mengikuti undang-undang itu. Sebaliknya kalau undangundangnya tidak memberi rasa keadilan, MK membuat keadilan berdasarkan
kreasinya sendiri berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan keyakinan
hakim melalui permusyawaratan. Kemudian dituangkan dalam
pertimbangan-pertimbangan hukum yang lengkap dan memenuhi public
common sense. Konstruksi hukum disusun sedemikian rupa dengan
merinci penilaian atas bukti-bukti berdasar logika yang diterima oleh rasa
keadilan masyarakat.42
Pendapat Mahfud tersebut menegaskan bahwa peran hakim MK
sangatlah penting dalam mewujudkan putusan yang berkeadilan. Terkait
hal ini Satjipto berpendapat bahwa cara berhukum yang semakin bergeser
dari sistem formal ke sistem manusia, akan mampu merasakan dan
41
M. Syamsuddin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif (Kencana
Prenada Media Group 2012) 246
42
Moh. Mahfud MD, Inilah Hukum Progresif Indonesia dalam dalam Moh Mahfud MD, Sunaryati
Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya dan Anto F. Susanto, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran
Hukum Progresif (Thafa Media 2013) 7
[ 417 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
mengakomodir rasa keadilan dan kebutuhan hukum masyarakatnya.43
Bahkan begitu pentingnya faktor manusia dalam penegakan hukum Taverne
pernah berujar “berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan
peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.”44
Adapun dalam kapasitasnya sebagai manusia Indonesia, dalam diri
hakim MK sesungguhnya sudah tertanam sifat Pancasila. Hal ini dapat
dilihat dengan refleksinya yang menyatakan: (1) sila I, berdasarkan
intuisinya tumbuh kesadaran bahwa ia adalah makhluk Tuhan, (2) sila II,
tumbuh kesadaran bahwa ia adalah manusia beradab dan memiliki rasa
keadailan, (3) sila III, tumbuh kesadaran sebagai makhluk sosial suatu rasa
solider dengan masyarakat lainnya, untuk bersatu dalam berbangsa dan
bernegara, (4) sila IV, berdasarkan kemampuan mengobjektivikasi tumbuh
kesadaran untuk bermusyawarah, komunikasi yang ditunjang oleh
kemampuan berbahasa, (5) berdasarkan kesadaran dari sila I sampai dengan
IV tumbuhlah hasrat untuk berlaku adil kepada sesama manusia.45
Sehingga dalam konteks aktualisasi Pancasila oleh MK dalam bingkai
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, kombinasi antara
ketentuan normatif yang berisi kewajiban hakim dalam menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, serta ditunjang oleh faktor hakim MK
dalam kapasitasnya sebagai manusia Indonesia yang di dalamnya tertanam
nilai-nilai Pancasila, akan mampu mendorong hakim MK untuk
menciptakan putusan-putusan yang berkualitas, yang mampu
mengaktualisasikan dan mengakomodir nilai Pancasila di dalamnya.
Penutup
Keberhasilan MK dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam konteks
penyelenggaraan kekuasaan kehakim di Indonesia tercermin dalam beberapa
putusan MK, diantaranya ialah putusan MK nomor 5/PUU-V/2007
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
43
Saldi Isra dkk, ‘Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari
Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif )’ [2010] 47
44
Lihat selengkapnya di Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia
(Genta Publishing 2009) 10
45
Umar Kayam, ‘Pokok- Pokok Pikiran Tentang Hak Asasi Manusia, Pancasila, Masyarakat Kita’ 58
[ 418 ]
Sadhu Bagas Suratno
Pemerintahan Daerah, Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Putusan MK nomor 138/PUUVII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Putusan MK tersebut dihasilkan dari cara berhukum yang
tidak sekedar terpaku pada teks undang-undang semata, melainkan lebih
dalam hingga tatanan filosofis. Ke depannya, cara berhukum yang demikian
hendaknya diterapkan dalam setiap perkara yang sedang dihadapi oleh
hakim MK, tidak terbatas pada pengujian konstitusional undang-undang
semata.
Referensi
Buku
Achmad Ali. 1993. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama.
Achmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif
Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Bambang Sutiyoso. 2006. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum
Cet. Kedua. Bandung: CV. Mandar Maju.
I Dewa Gede Palguna. 2013. Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complain) Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Hak
konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MK RI.
_______. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI.
_______. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Marwan Mas. 2011. Pengantar Ilmu Hukum: Cetakan Kedua. Bogor:
Ghalia Indonesia.
[ 419 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Moh Mahfud MD. Sunaryati Hartono. Sidharta. Bernard L. Tanya dan
Anto F. Susanto. 2013. Dekonstruksi Dan Gerakan Pemikiran
Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media.
M. Syamsuddin. 2012. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis
Hukum Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
_______. 2012. Ilmu Hukum Cetakan Ketujuh. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
_______. 2010. Sosiologi Hukum Asai-Esai Terpilih. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi.
Sri Soemantri. 1986. Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni
Bandung.
Soesanto Darmosoegondo. 1975. Falsafah Pancasila. Bandung: Alumni.
Sudikno Mertokusumo. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar
Cetakan Kelima. Yogyakarta: Liberty.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2009. Ilmu Hukum dan
Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman)
Cet. Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Teguh Prasetyo. 2013. Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila.
Yogyakarta: Media Perkasa.
Widodo Dwi Putro. 2011. Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum.
Jakarta: Genta Publishing.
Winarno. 2012. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Panduan Praktis
Pembelajaran). Surakarta: Yuma Pustaka.
Makalah dan Majalah
Abdul Mukhtie Fajar. 20 Februari 2010. Mahkamah Konstitusi dan
Perkembangan Hukum di Indonesia. Malang: Orasi ilmiah dalam
rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya ke-47.
Derita Prapti Rahayu. Januari-April 2015. Aktualisasi Pancasila Sebagai
Landasan Politik Hukum Indonesia dalam Yustisia Edisi 91.
[ 420 ]
Sadhu Bagas Suratno
Moh. Mahfud MD. 23 Agustus 2008. Hukum, Moral dan Politik. Materi
Studium Generale Matrikulasi Program Doktor Bidang Ilmu
Hukum di Universitas Diponegoro. Semarang.
Otong Rosadi. Hukum Kodrat, Pancasila Dan Asas Hukum Dalam
Pembentukan Hukum Di Indonesia.
Saldi Isra dkk. 2010. Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di
Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum
Progresif). Padang: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi
Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Umar Kayam. Pokok- Pokok Pikiran Tentang Hak Asasi Manusia, Pancasila,
Masyarakat Kita dalam Jurnal UGM.
Janedjri M Gaffar. 15 Mei 2012. SINDO. MK dan Hukum Progresif.
Peraturan P
er
undang-U
ndangan dan P
utusan P
engadilan
Per
erundang-U
undang-Undangan
Putusan
Pengadilan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
((Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Putusan MK nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan MK nomor 14-17/PUU-V/2007 mengenai pengujian UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Putusan MK nomor 102/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
[ 421 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Putusan MK nomor 133/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Putusan MK nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Internet
Al-Khanif, ‘Questioning a theistic, seculer Pancasila to protect religions’
(2015) http://www.thejakartapost.com/news/2015/06/01/questioning-a-theistic-secular-pancasila-protect-religion.
[ 422 ]
PANC
A SIL
A DI ERA GLOBALISA
SI: SEBU
AH
PANCA
SILA
GLOBALISASI:
SEBUAH
PERSPEKTIF KET
ATANEGARAAN
KETA
Cakra Arbas
Pendahuluan
H
akikatnya anasir negara hukum bukanlah sesuatu yang baru dalam
kajian ketatanegaraan,1 sebagaimana yang diriwayatkan oleh para
sejarawan terdahulu, berwacana tentang negara hukum telah ada
jauh sebelum munculnya negara-negara modern pada tataran global dewasa
ini, artinya kesadaran masyarakat untuk bernaung dibawah konstruksi
hukum merupakan kesadaran dari masyarakat yang terdahulu.
Bahwa konsep negara hukum telah dimulai pada masa kehidupan filsuf
Plato, yang mana pada masa itu mencetuskan mengenai penyelenggaraan
negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang
baik, dan populer dengan istilah “nomoi/nomae”. Ide tentang negara
hukum, selanjutnya mulai dikembangkan abad ke-17 sebagai dampak dari
situasi dan kondisi politik di Eropa yang dimasa itu didominasi oleh
absolutisme.2
1
2
Ketatanegaraan berasal dari istilah Hindu-Jawa yakni tata dan negara, tata (susun) negara (lingkungan
kekuasaan Pemerintahan). Tata negara berarti susunan negara atau susunan Pemerintahan.
Ketatanegaraan berarti segala sesuatu mengenai susunan negara. Hukum ketatanegaraan adalah aturanaturan tentang Pemerintahan negara. Hukum ketatanegaraan dalam arti sempit hanya menguraikan
tentang aturan sesuatu negara tertentu yang dalam bahasa Belanda disebut staatsrecht (hukum
negara) dan dapat dilihat dari konstitusi. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Alumni,
Bandung, 2010), hlm. 44.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihat Dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bulan Bintang,
Jakarta, 1993), hlm. 66.
[ 423 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Dalam hal ini Immanuel Kant3 melalui teori negara hukumnya
menggagas mengenai tujuan dari negara, yaitu negara harus menjamin
terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum, serta
menegakkan hak-hak dan kebebasan masyarakatnya, sekaligus rakyat dan
Pemerintah secara bersama-sama merupakan subyek hukum.
Hal ini dapat dimaknai bahwa negara harus menjamin setiap warga
negara di dalam lingkungan hukum, sebagaimana ditentukan dalam produk
hukum, yang salah satunya diwujudkan melalui peraturan perundangundangan. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia) khususnya amanat Pasal 1 (3)
menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsep
negara hukum dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), sebagaimana yang diutarakan oleh Oemar Seno Adji4 adalah negara
hukum Pancasila, karena Pancasila sebagai dasar pokok dan sumber hukum,
negara hukum Indonesia dapat disematkan sebagai negara hukum Pancasila.
Paradigma P
ancasila
Pancasila
Menurut pandangan M. Solly Lubis,5 paradigma adalah suatu parameter,
rujukan, acuan yang dipergunakan sebagai dasar untuk berpikir atau
bertindak lebih lanjut. Ada 3 (tiga) bentuk paradigma dalam konsep
bernegara, yaitu: Pertama, paradigma filosofis, yakni berupa nilai-nilai
filosofis yang terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat
bangsa, yang secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers
3
4
5
Immanuel Kant dalam M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Mandar Maju, Bandung, 2007), hlm. 49.
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Airlangga, Jakarta, 1980) h.16. lihat juga
dalam Cakra Arbas, Aceh dan MoU Helsinki di Negara Kesatuan Republik Indonesia, (PT: Sofmedia,
Medan, 2015) hlm. 31.
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009) h. 15.
Lihat juga dalam M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, (PT. Sofmedia, Medan, 2011)
hlm. 81. Istilah paradigma dipopulerkan oleh Thomas S. Kuhn, dalam hal ini mendefinisikan
paradigma sebagai “… universally recognized scientific achievements that for a time provide model
problems and solutions to a community of practitioners”. Paradigma disini menunjuk pada cara
pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami,
atau kerangka umum yang mempedomani kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin. Paradigma berperan
sebagai “research guidance” lewat “model problems and solutions” yang menujukkan bagaimana
ilmuwan harus menjalankan penelitian dan telaah ilmiah, dan dengan itu berfungsi normatif.
Dengan demikian, paradigma itu berfungsi sebagai “the central cognitive resource” untuk kegiatan
ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang bersangkutan. Bernard Arief
Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, (Genta Publishing, Yogyakarta, 2013) hlm. 71-72.
[ 424 ]
Cakra Arbas
dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi atau
dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem
kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk
semua subsistem kehidupan nasional tersebut.
Kedua , paradigma yuridis, yakni segala sesuatunya berdasarkan
konstitusi. Konstitusi Indonesia merupakan acuan hukum tertinggi dan
membawahi aturan hukum lainnya, baik peraturan berupa produk pusat
maupun daerah. Konstitusi Indonesia juga memiliki political messages
yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya. Ketiga, paradigma
politis yakni berupa derivat dari Pancasila dan Konstitusi Indonesia, berupa
rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintahan dan pembangunan
nasional.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat, memiliki falsafah bangsa yang
termaktub di dalam Pancasila. Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai
dasar kemanusiaan yang dipandang secara sosiologis dan antropologis dapat
diterima sebagai pencerminan pandangan hidup bangsa Indonesia, silasila yang terdapat di dalam Pancasila merupakan kristalisasi tata nilai yang
hidup dan telah mentradisi dalam setiap sistem sosial yang ada di dalam
berbagai etnis suku bangsa yang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu
sampai saat ini.6 Dalam hal ini Tan Kamelo7 menyatakan bahwa:
… Pancasila harus diletakkan sebagai basic norm (grundsnorm) dalam
arti sesungguhnya bukan hanya (solifsistik) belaka, proses pembentukan
sistem hukum dengan kronologis demikian memperlihatkan adanya
karakter abstraksi dan derivasi hukum sehingga memiliki suatu kekuatan
yang tangguh dari ancaman sistem hukum asing. Dalam hal ini nilai hukum
6
7
Faisal Akbar Nasution, “Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum”, Makalah,
dilaksanakan dalam Seminar Kajian Sistem Ketatanegaraan, (6 Mei 2013), yang diselenggarakan
oleh MPR dan USU, hlm. 4.
Tan Kamelo, Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara Dalam pembangunan Nasional,
(Dewan Guru Besar USU, Medan, 2012) h. 98. Posisi Pancasila turut ditegaskan oleh Moh. Hatta,
bahwa jika diperhatikan benar-benar, Pancasila itu terdiri atas 2 (dua) fundamen, yaitu (1) Fundamen
moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan meletakkan dasar moral diharapkan oleh mereka
yang membuat pedoman negara ini supaya negara dan Pemerintahannya memeperoleh dasar yang
kokoh, yang memerintahkan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran serta persaudaraan keluar dan
kedalam dan (2) Fundamen Politik, yaitu perikemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi dan
keadilan sosial. Dengan politik Pemerintahan yang berdasarkan pada moral yang tinggi diharapkan
tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lihat Moh. Hatta, Demokrasi KitaBebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, (UI Press, Jakarta, 2002) hlm. 125.
[ 425 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
bangsa Indonesia sudah terformulasi dengan sangat indah dalam filosofi
bangsa (Pancasila), bersifat abstrak dan universal, mengandung keluhuran,
dan telah diuji beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan bangsa
Indonesia. Nilai hukum yang dibentuk bukan berasal dari nilai liberalisme,
kapitalisme, individualisme, melainkan dibentuk dari nilai yang bersifat
teokratis, humanistik yang beradab, mendahulukan musyawarah, serta
berkeadilan sosial ….
Berikut ini melalui skema akan digambarkan mengenai proses abstraksi
nilai dan derivasi nilai dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat:
Skema8
Berdasarkan skema tersebut dapat ditelaah bahwa Pancasila lahir
melalui proses abstraksi nilai yang ada dimasyarakat. Dalam proses abstraksi
nilai, dimulai dari menginventarisir nilai, asas, tradisi, dan kebiasaan yang
hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya nilai
yang sudah diabstraksikan tersebut diderivasi kembali kedalam masyarakat
melalui berbagai bentuk kebijakan Pemerintahan, baik dalam sektor
perkembangan politik hukum, maupun pembangunan. Dengan demikian,
dapat ditelaah bahwa segala bentuk kebijakan Pemerintahan, merupakan
8
Skema disadur dan direvisi seperlunya dari M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Mandar Maju,
Bandung, 2007) hlm. 16.
[ 426 ]
Cakra Arbas
segala sesuatu yang sudah hidup dan berkembang dalam masyarakat itu
sendiri.
Untuk mengaktualisasikan nilai yang terkandung di dalam Pancasila,
juga dijabarkan melalui kelima silanya, yaitu:9 Pertama, ketuhanan yang
maha esa.10 Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.11 Ketiga, persatuan
Indonesia. 12 Keempat , kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.13 Kelima, keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.14
Kelima sila yang tertuang dalam Pancasila telah menjadi dasar dan
berisi nilai-nilai dasar tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut pandangan M. Dimyati Hartono,15 kelima sila tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh, dan pada dasarnya berisi falsafah
hidup kekeluargaan berbangsa dan bernegara atau jiwa kegotong royongan.
9
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, (Paradigma, Yogyakarta, 2013) hlm. 166-435.
Bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan
setiap warga negara harus mengakui adanya Tuhan. Selanjutnya segenap rakyat Indonesia akan
mengamalkan dan menjalankan agamanya dengan cara yang berkeadaban yaitu hormat menghormati
satu sama lain. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2012), hlm. 45-78.
11
Bahwa sila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” pada prinsipnya menegaskan bahwa kita memiliki
Indonesia merdeka yang berada juga di lingkungan kekeluargaan bangsa-bangsa. Prinsip
internasionalisme dan kebangsaan Indonesia adalah internasionalisme yang berakar di dalam buminya
nasionalisme, dan nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Bahwa, akan
dihargai dan dijunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Sekaligus menegaskan bahwa kebangsaan
Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi
MPR Periode 2009-2014, supra note 10.
12
Bahwa sila “Persatuan Indonesia” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia merupakan
negara kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu, memiliki persatuan perangai
karena persatuan nasib, bangsa yang terikat pada tanah airnya. Persatuan Indonesia ialah persatuan
bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, yang bersatu karena didiorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Pimpinan MPR dan Tim
Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10.
13
Bahwa sila “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/
Perwakilan” pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan
mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Bangsa
Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi. Bangsa Indonesia
juga akan memelihara serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10.
14
Bahwa sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” pada prinsipnya menegaskan bahwa
bangsa Indonesia bukan hanya memiliki demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi. Indonesia harus memiliki kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Pimpinan
MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, supra note 10.
15
M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen UUDNRI Tahun 1945, (Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2009) h. 25.
10
[ 427 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Kaelan16 berpandangan bahwa Pancasila sebagai landasan filosofis
kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat ditelaah sesuai dengan
konteksnya, yaitu: Pertama, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa.
Perihal tersebut terkandung di dalamnya konsepsi dasar mengenai
kehidupan yang dicitakan, terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan
mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.
Kedua, Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia. Dalam
proses pendirian negara, dengan diilhami pandangan-pandangan dunia
tentang kenegaraan disintesiskan secara eklektis, sehingga merupakan suatu
local genius dan sekaligus sebagai suatu local wisdom bangsa Indonesia.
Ketiga, Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dasar formal kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul dalam
Pembukaan Konstitusi Indonesia.
Keempat, Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Proses terjadinya
Pancasila tidak seperti ideologi-ideologi lainnya yang hanya merupakan
hasil pemikiran seseorang saja, namun melalui suatu proses kausalitas yaitu
sebelum disahkan menjadi dasar negara nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup bangsa, dan sekaligus
sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Kelima, Pancasila sebagai ideologi
bangsa dan negara Indonesia. Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat
kaku dan tertutup, namun bersifat terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa
ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa
mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
merujuk pandangan Kaelan17 dapat ditelaah, bahwa:
… bangsa Indonesia dalam hidup bernegara telah memiliki suatu
pandangan hidup bersama yang bersumber pada akar budayanya dan
nilai-nilai religiusnya. Adanya pandangan hidup yang mantap maka bangsa
Indonesia akan mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya.
16
17
Kaelan, supra note 9.hlm. 43 – 67.
Ibid., Pada kesempatan yang sama Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan pandangan
hidup negara. Keberadaannya bermula dari pandangan hidup masyarakat Indonesia juga. Hanya saja,
pandangan hidup masyarakat ini belum disistematisasi dan belum disusun secara logis. Selain itu,
ia hanya menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku bagi tiap pribadi anggota masyarakat yang
bersangkutan, tanpa ada keinginan untuk disebarluaskan. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, PokokPokok Filsafat Hukum, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008) hlm. 243-244.
[ 428 ]
Cakra Arbas
Suatu pandangan hidup yang diyakini bangsa Indonesia akan mampu
memandang dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara
tepat sehingga tidak terombang-ambing dalam menghadapi persoalan
tersebut dengan suatu pandangan hidup yang jelas maka bangsa Indonesia
akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana mengenal dan memecahkan berbagai masalah politik, sosial budaya, ekonomi, hukum, hankam,
dan persoalan lainnya dalam gerak masyarakat yang semakin maju.
Tantangan G
lobalisasi dalam K
ebijakan P
emerintahan
Globalisasi
Kebijakan
Pemerintahan
Percaturan dunia global dewasa ini, seyogyanya tetap memberlakukan
adagium yang berlaku secara umum, yaitu “think globally and act locally”
yang mana dapat dimaknai bahwa silahkan berpikir secara global-universal,
namun demikian berbuatlah sesuai dengan kearifan lokal masyarakat yang
telah berakar sebagai suatu budaya dalam hidup berbangsa dan bernegara,
tanpa terkecuali hal ini sepantasnya menjadi paradigma dalam
menyelenggarakan pemerintahan di NKRI.
Pentingnya berbuat sesuai dengan kearifan lokal, tidak lain hal ini
dikarenakan dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia, berbagai riwayat
mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia meskipun terdapat beberapa
daerah yang tidak mampu dikuasai oleh bangsa asing, namun secara umum
hampir keseluruhan daerah nusantara merupakan peninggalan dari praktikpraktik kolonialisme dan imperialisme.
Bahwa bangsa asing dalam praktiknya seringkali menerapkan beberapa
target kapitalis, yaitu:18 Pertama, berusaha mendapatkan bahan mentah
dengan harga semurah-murahnya. Kedua, berusaha mendapatkan sekaligus
memanfaatkan tenaga kerja (buruh) dengan upah yang serendah-rendahnya.
Ketiga, berusaha merebut dan mempertahankan monopoli pasar, baik pasar
beli bahan mentah maupun pasar jual barang siap pakai.
Menariknya tidak hanya cukup sampai menerapkan target kapitalis,
akan tetapi faktanya juga turut mempraktikan berbagai target kolonialisimperialis, yang diantaranya:19 Pertama, dominasi politik. Kedua, eksploitasi
di bidang ekonomi. Ketiga, penetrasi dibidang budaya. Realitanya tidak
18
M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, (Mandar Maju, Bandung, 2011)
hlm. 73.
19
Ibid.
[ 429 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
dapat dipungkiri bahwa berbagai target dimaksud pada hakikatnya terus
berlangsung di era globalisasi sekarang ini, meskipun dengan cara yang
berbeda atau modus yang terselubung.
Pada prinsipnya, sebagai negara yang berdaulat Indonesia pada suatu
masa melalui produk politik hukum yang tertinggi, yaitu melalui Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), telah berupaya untuk menangkal sekaligus
mengantisipasi upaya bangsa asing dalam mempraktikkan berbagai upaya
kapitalisasi. Sebagaimana yang berbunyi:20
… perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir
Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu
globalisasi yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan
nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan
pembangunan nasional dimasa yang akan datang. Globalisasi yang
didorong kemajuan pesat dibidang teknologi, terutama teknologi
telekomunikasi, menyebabkan semakin derasnya arus informasi dengan
segala dampaknya baik positif maupun negatif. Peluang yang timbul dari
globalisasi adalah makin terbukanya pasar internasional bagi hasil
produksi dalam negeri, terutama yang memiliki keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif. Tantangan dibidang ekonomi, disamping
makin kuatnya persaingan di pasaran internasional, adalah munculnya
pengelompokan antar negara yang cenderung meningkatkan proteksionalisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran
hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang kurang
sehat. Ancaman dibidang politik dan pertahanan keamanan adalah
kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi pancasila.
Wawasan nusantara dan ketahanan nasional, khususnya persatuan dan
kesatuan bangsa yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan
nasional. Ancaman dibidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai
yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Pada satu sisi dapat dipahami bahwa besarnya ketergantungan
pemerintah kepada negara-negara asing, maka tidak akan mungkin strategi
politik dapat dilakukan secara mendasar, yang sesuai dengan falsafah bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Sehingga untuk beberapa perihal dengan catatan
terpaksa memilih jalan pragmatis, demi memenuhi kepentingan yang
bersifat mendesak.
20
Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia Tahun 1973 (Ketetapan MPR Republik Indonesia
No. II Tahun 1973).
[ 430 ]
Cakra Arbas
Oleh karena itu, reaktualisasi Pancasila dalam konteks globalisasi mutlak
diperlukan. Sekaligus seluruh komponen bangsa pada sisi yang lain
hendaknya mampu memperkuat unsur-unsur kemandirian melalui
beberapa cara, diantaranya:21 Pertama, memperkuat faktor kapital, baik
yang berupa pemilihan dana, maupun peralatan. Kedua, memperkuat
kemampuan dan penguasaan IPTEK, sehingga tidak hanya berposisi sebagai
konsumen, tetapi mampu berdaya saing sebagai produsen. Ketiga ,
merevitalisasi sistem manajemen, memberantas praktik korupsi-kolusi
nepotisme, termasuk mafia peradilan.
Globalisasi seyogyanya turut mengembangkan kolektif kebangsaan,
bahwa Pancasila sebagai ideologi yang mencerminkan proses abstraksi dan
derivasi nilai, kiranya mampu diimplementasikan oleh berbagai pemangku
kebijakan, sebagai norma dari segala norma. Artinya sudah sepantasnya
dalam merumuskan seluruh kebijakan pemerintahan, baik yang diklasifikasi
sebagai peraturan perundang-undangan mapun aspek pembangunan,
kiranya dapat berpegang teguh serta mengakomodir kepentingan kearifan
lokal masyarakat, yang sejalan dengan nilai luhur Pancasila.
Cita H
ukum (Rechtsidee) sebagai P
aradigma F
ilosofis
Hukum
Paradigma
Filosofis
Rechtsidee dapat diartikan sebagai keinginan, kehendak, atau suatu
harapan.22 Rechtsidee juga diartikan sebagai gagasan, rasa, cipta, pikiran
tentang hukum.23 Akan tetapi, A. Hamid S. Attamimi24 menyebutkan
bahwa makna rechtsidee lebih tepat diartikan sebagai cita hukum, dengan
argumentasi bahwa “cita” ialah gagasan, rasa, cipta, dan pikiran, sedangkan
“cita-cita” ialah keinginan, kehendak, harapan yang selalu ada di pikiran
atau di hati.
21
Lubis, supra note 18, hlm.75.
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1, (Kanisius, Yogyakarta, 2007), hlm. 59.
23
Rechtsidee, berasal dari 2 (dua) suku kata, yakni rechts (diartikan sebagai hukum) dan idee (diartikan
sebagai cita, gagasan, rasa cipta). Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita,
Jakarta, 1982) h. 96. Lihat juga dalam Yan Pradnya Puspa, Kamus Hukum, (Aneka Ilmu, Semarang,
2008) h. 470. Lihat juga dalam S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Ichtiar Baru,
Jakarta, 1978) hlm. 531.
24
Lihat Maria Farida Indrati, supra note 22.
22
[ 431 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Mengenai rechtsidee dalam konteks NKRI, disebutkan dalam
penjelasan25 tentang Konstitusi Indonesia pada angka III, yang berbunyi:
…Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebathinan dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita
hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum
yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis
…
Dapat ditelaah bahwa kedudukan dari pembukaan Konstitusi Indonesia
adalah lebih utama dari pada batang tubuh Konstitusi Indonesia, oleh
karena pembukaan Konstitusi Indonesia itu mengandung pokok-pokok
pikiran yang tidak lain adalah Pancasila. Apabila pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam pembukaan Konstitusi Indonesia tersebut
mencerminkan Pancasila sehingga menciptakan pasal-pasal dalam batang
tubuh Konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila merupakan norma
fundamental negara yang menjadi dasar dan sumber bagi aturan dasar
negara yaitu batang tubuh Konstitusi Indonesia.26
Pancasila juga menegaskan melalui kelima silanya, adalah sebagai cita
hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang secara positif merupakan “bintang pemandu” untuk
memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan, memberi
isi kepada setiap bentuk peraturan perundang-undangan, dan secara negatif
merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundangundangan tersebut. Pancasila sebagai norma fundamental negara dan
sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan sumber dan dasar
serta pedoman bagi batang tubuh Konstitusi Indonesia sebagai aturan dasar
negara serta peraturan perundang-undangan lainnya.27
25
Konstitusi Indonesia pasca amandemen tidak mengenal lagi istilah “penjelasan”. Hal ini sesuai
dengan amanat dari Konstitusi Indonesia yang mana ditegaskan pada Aturan Tambahan, khususnya
Pasal II, yang berbunyi “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, UUDNRI
Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”.
26
Indrati, supra note 22, hlm. 59.
27
Ibid. Telaah juga pandangan Mahfud MD, bahwa Pancasila sebagai cita hukum dapat memiliki 2
(dua) fungsi, diantaranya (a) Fungsi Konstitutif, Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum
yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh
Pancasila itu hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum dan (b) Fungsi Regulatif,
[ 432 ]
Cakra Arbas
Konstitusi Indonesia yang juga berposisi sebagai konstitusi tertulis,
pada pembukaan memuat filsafat negara, yakni Pancasila sebagai hukum
fundamental (basicnorm). Dalam hal ini pokok-pokok pikiran yang
mewujudkan cita hukum (rechtsidee) yang dilaksanakan bangsa Indonesia
dinyatakan dalam pembukaan Konstitusi Indonesia.
Menurut Notonegoro,28 dalam pembukaan Konstitusi Indonesia
terdapat 4 (empat) alinea, dalam hal ini alinea pertama, kedua, dan ketiga
mengandung angan-angan yang dalam (hak kodrat dan hak moral atas
kemerdekaan) cita yang mulia serta kesusilaan yang tinggi (kemanusiaan
dan keadilan) dan religius, sedangkan pada alinea keempat adalah
tercantum tujuan negara Republik Indonesia, hukum dasar, bentuk negara
dan filsafat negara yang berisi dari 5 (lima) sila Pancasila.
Kedudukan Konstitusi Indonesia sebagai sumber hukum merupakan
fungsi sebagai pengontrol terhadap sumber-sumber hukum yang ada di
bawahnya. Dalam tata hukum di Indonesia adanya hierarki dalam peraturan
perundang-undangan, hal ini ditujukan untuk mengatasi konflik antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, sehingga
akan berlaku asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori (peraturan yang lebih
tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah).
Untuk mengatasi konflik antara peraturan yang bersifat khusus dan
umum, sehingga akan berlaku asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
(peraturan khusus mengalahkan peraturan yang umum), serta untuk
mengatasi konflik antara peraturan yang baru dan yang lama, akan berlaku
asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori (peraturan yang baru akan
mengalahkan peraturan yang lama).29 Dengan demikian, ketika segala
sesuatunya diimplementasikan berdasarkan falsafah bangsa, dalam proses
implementasinya akan terhindar dari berbagai pro dan kontra.
Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif sebagai produk itu adil ataukah tidak adil.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Rajawali Press, Jakarta, 2011)
hlm. 54.
28
Abdussalam, Politik Hukum, (PTIK, Jakarta, 2011), h. 38. Lihat juga dalam Abdussalam, Filsafat
Hukum Perspektif Historis, (PTIK, Jakarta, 2011) hlm. 183.
29
Abdussalam, supra note 28, hlm. 40-41.
[ 433 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Sistem H
ukum N
asional sebagai P
aradigma Yuridis
Hukum
Nasional
Paradigma
Menurut pandangan Ismail Saleh30 bahwa sistem adalah suatu totalitas
yang terdiri dari komponen-komponen atau unsur-unsur yang satu sama
lain berbeda, tetapi saling berkaitan, sekaligus merupakan suatu pola atau
model yang mantap, sehingga dapat diterapkan secara konsisten. Sistem
hukum memiliki 2 (dua) makna, yaitu:31 Pertama, sistem hukum dalam
arti sempit (in enge zin). Sistem hukum dalam arti sempit adalah perangkat
hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik
produk Pemerintah Republik Indonesia maupun produk Pemerintah Daerah.
Kedua, sistem hukum dalam arti luas (in ruime zin). Sistem hukum
dalam arti luas32 meliputi filosofi hukum, politik hukum, kegiatan legislasi,
perangkat peraturan hukum, penerapan hukum, monitoring evaluasi
terhadap penerapan hukum serta feed back/input yang diperoleh dari sistem
moneva itu untuk menjadi bahan masukan bagi politik hukum berikutnya,
seperti penelitian hukum, pendidikan hukum, studi perbandingan dan
kebijakan harmonisasi hukum antarnegara.
Adanya suatu sistem hukum nasional yang lahir dari cita hukum
(rechtsidee) dan norma dasar negara, serta pembangunan nasional, termasuk
30
Ismail Saleh sebagaimana yang dimuat dalam M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundangundangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009), hlm. 4-5. Pada dasarnya suatu sistem memiliki ciriciri sebagai berikut: Pertama, saling keterkaitan, antara satu komponen dengan komponen yang lain,
saling membatasi tetapi juga saling memperkuat. Kedua, dinamis, tetapi tetap terjaga keserasian dan
keseimbangannya. Ketiga, terbuka, tetapi tidak kehilangan eksistensi dan identitasnya. Keempat,
galir, dalam arti tidak kaku, sehingga dapat menampung. Mengenai sistem hukum John Rawls
berpandangan bahwa sistem hukum adalah sebuah urutan aturan publik yang memaksa yang
ditujukan pada orang-orang rasional dengan tujuan mengatur perilaku mereka dan memberikan
kerangka kerja bagi kerja sama sosial. John Rawls, Teori Keadilan, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011)
hlm. 298.
31
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Mandar Maju, Bandung, 2009), hlm. 3.
32
Menurut pandangan Sunaryati Hartono, bahwa sistem hukum dalam arti luas meliputi: filsafat
Hukum, termasuk asas-asas, substansi atau materi hukum, keseluruhan lembaga-lembaga hukum,
proses dan prosedur hukum, sumber daya manusia (brainware), sistem pendidikan hukum, susunan
dan sistem organisasi serta koordinasi antar lembaga hukum, peralatan perkantoran lembaga-lembaga
hukum (hardware), perangkat lunak (software) seperti petunjuk pelaksanaan yang tepat, data base,
dan lain-lain, informasi hukum, perpustakaan dan penerbitan dokumen-dokumen resmi serta
buku atau informasi melalui internet, dan sebagainya, kesadaran hukum dan perilaku hukum
masyarakat (Budaya Hukum), anggaran belanja negara yang disediakan bagi pelaksanaan tugas
lembaga-lembaga hukum dan penyelenggaraan pembangunan hukum yang profesional. Sunaryati
Hartono dalam M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Mandar Maju, Bandung,
2009), hlm. 3.
[ 434 ]
Cakra Arbas
pembangunan hukum dapat lebih terarah, terpadu, dan berkesinambungan, karena ditopang oleh suatu sistem peraturan yang terpadu. Hakikat
dari sistem hukum yang dianut adalah keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan antara kepentingan orang perorangan, masyarakat dan
negara, yang terpancar melalui sila-sila Pancasila yang dalam
pelaksanaannya memerlukan sikap pengendalian diri secara utuh.
Menurut J.J.H. Bruggink,33 sistem hukum memiliki sub sistem berupa
peraturan-peraturan dan putusan-putusan hukum, artinya peraturanperaturan perundangan merupakan suatu kebulatan dalam sistem hukum
nasional, dalam hal ini J.J.H Bruggink mengartikan sistem hukum sebagai:
Pertama, produk kesadaran hukum. Kedua, bersifat terbuka atau dinamis.
Ketiga, mengenai aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum.
Pentingnya sistem hukum juga turut ditegaskan oleh Sudikno
Mertokusumo,34 bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri
dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut, kesatuan tersebut
diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan
hukum, asas hukum, dan pengertian hukum. Sehingga peraturan, asas,
dan pengertian hukum adalah bagian dari sistem hukum.
Sistem hukum memiliki komponen-komponen yang menjadi suatu
kebulatan, Menurut pandangan Mochtar Kusumaatmaja35 bahwa ada 3
(tiga) sistem hukum, yaitu: Pertama, adanya asas-asas dan kaidah-kaidah.
Kedua , adanya kelembagaan-kelembagan hukum. Ketiga , proses
perwujudan kaidah-kaidah dalam kenyataan.
Berdasarkan pandangan-pandangan dari para ahli hukum tersebut,
dapat disimpulkan memiliki satu persamaan, baik mengenai sistem hukum
dalam arti sempit, maupun sistem hukum pada arti luas, yakni memposisikan perangkat peraturan hukum (peraturan perundang-undangan)
sebagai salah satu bagian atau subsistem di dalam sistem hukum.36
33
J. J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), hlm. 137-140.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010), hlm. 59-60.
35
Mochtar Kusumaatmaja sebagaimana yang dimuat dalam B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur
Ilmu Hukum, (Mandar Maju, Bandung, 2000) hlm. 76.
36
M. Solly Lubis, supra note 31, hlm. 5.
34
[ 435 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Untuk konteks NKRI, menurut pandangan Ismail Saleh37 bahwa pada
dasarnya ada 4 (empat) komponen pokok dalam sistem hukum Pancasila
yaitu: Pertama, perangkat hukum yang tertuang dalam berbagai bentuk
perundang-undangan menurut tata urutan yang telah ditetapkan dan
memuat materi hukum yang diperlukan untuk menyelenggarakan
Pemerintahan.
Kedua, kelembagaan hukum sebagai wadah sekaligus wahana untuk
melaksanakan berbagai perangkat hukum yang telah ditetapkan. Di
dalamnya diatur juga proses dan prosedur dalam suatu jalinan dan jaringan
koordinasi kelembagaan hukumnya, serta kerja sama yang serasi dalam
Pemerintahan. Ketiga, aparatur hukum sebagai pelaksana, penegak dan
pengendali berbagai perangkat hukum yang telah ditetapkan. Keempat,
budaya hukum sebagai suatu etos kerja dan sikap moral yang harus
diperagakan oleh aparatur hukum.
Sebagaimana pandangan Notonagoro38 bahwa suatu sistem hukum
mesti berdasarkan pada filsafat hukum yang berfungsi menyelesaikan
masalah-masalah kenegaraan dan hukum. Oleh karena itu, filsafat hukum
menjadi pedoman dan pegangan fundamental bagi hidup kenegaraan dan
tertib hukum Indonesia. Mengenai tertib hukum, disebutkan bahwa tertib
hukum adalah keseluruhan daripada peraturan-peraturan hukum yang
memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: Pertama, ada kesatuan-kesatuan subjek
yang mengadakan peraturan-peraturan hukum. Kedua, ada kesatuan asas
kerohanian39 yang meliputi keseluruhan peraturan-peraturan itu. Ketiga,
ada kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum itu berlaku.
Keempat, ada kesatuan daerah dimana peraturan-peraturan hukum itu berlaku.
Menurut pandangan Notonagoro40 bahwa berbicara tentang sistem
hukum, tidak dapat dipisahkan dengan sub sistemnya yakni peraturan
perundang-undangan secara keseluruhan, sekaligus juga terkait subjek
pembuat peraturan perundang-undangan yakni kekuasaan atau dalam arti
37
Ibid., hlm. 5.
Notonagoro sebagaimana yang dimuat dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, 2011), hlm. 386.
39
Adapun yang dimaksud dengan asas kerohanian itu tidak lain adalah Pancasila sebagai sumber tertib
hukum yang (idealnya) melingkupi semua peraturan perundang-undangan (hukum positif ) yang
ada. Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2011), hlm. 387.
40
Notonagoro, supra note 38.
38
[ 436 ]
Cakra Arbas
luas adalah politik. Politik turut mengambil bagian dalam norma hukum
sebagai sebuah komponen atau sub sistem pencipta norma hukum.
Artinya bahwa jika merujuk sistem hukum dalam arti sempit, hanya
didasari melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan, baik di pusat secara nasional maupun di daerah sejalan
dengan asas otonominya. Akan tetapi dalam makna yang lebih luas, sistem
hukum jauh lebih kompleks dengan memperhatikan berbagai faktor yang
mempengaruhi diberlakukannya suatu aturan hukum melalui peraturan
perundang-undangan.
Penutup
Perkembangan zaman yang bermuara dengan munculnya globalisasi,
sebagaimana dipraktikan oleh negara-negara modern saat ini, dengan
berbagai kemudahan khususnya dibidang teknologi dan komunikasi, pada
satu sisi merupakan suatu pencapaian ilmu pengetahuan. Akan tetapi,
penting untuk disadari bahwa tidak jarang globalisasi dengan segala
kelebihannya, jika tidak mampu dikelola oleh bangsa Indonesia, tidak
menutup kemungkinan turut memporak-porandakan berbagai kearifan
lokal, sekaligus nilai luhur yang hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat.
Setali tiga uang, tantangan globalisasi akan berdampak pada ancaman
dibidang politik dan pertahanan keamanan, yaitu kemungkinan timbulnya
rongrongan terhadap ideologi Pancasila. Oleh karena itu, seyogyanya
paradigma Pancasila hendaknya menjadi tutur pemangkal dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, terlebih lagi bagi penyelenggara pemerintahan
ketika merumuskan berbagai kebijakan yang diaktualisasikan melalui sektor
pembangunan, maupun peraturan perundang-undangan.
Mengingat bahwa dari perspektif ketatanegaraan, peraturan
perundang-undangan merupakan suatu entitas dalam sistem hukum
nasional. Tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami sistem hukum
nasional, seyogyanya seluruh norma hukum didasari pada filsafat hukum,
dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia maka Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber norma hukum. Dalam hal ini
Pancasila telah melalui proses abstraksi nilai oleh segenap komponen
masyarakat yang hidup dan berkembang di Indonesia.
[ 437 ]
Pancasila dalam Pusaran Globalisasi
Referensi
Abdussalam, Politik Hukum, PTIK, Jakarta, 2011.
_______, Filsafat Hukum Perspektif Historis, PTIK, Jakarta, 2011.
Adji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Airlangga, Jakarta,
1980,
Amirin, Tatang M, Pokok-Pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 1996.
Arbas, Cakra, Aceh dan MoU Helsinki di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, PT: Sofmedia, Medan, 2015.
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang PrinsipPrinsipnya, Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya
Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang,
Jakarta, 1993.
Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996.
Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia Tahun 1973, Ketetapan
MPR Republik Indonesia No. II Tahun 1973.
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2010.
Hartono, M. Dimyati, Problematik dan Solusi Amandemen UndangUndang Dasar 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.
Hatta, Moh, Demokrasi Kita-Bebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, UI Press,
Jakarta, 2002.
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta,
2007.
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2013.
Kamelo, Tan, Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara Dalam
pembangunan Nasional, Dewan Guru Besar USU, Medan, 2012.
Lubis, M. Solly, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2011.
_______, Serba-serbi Politik dan Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2011.
_______, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Mandar Maju,
Bandung, 2009.
_______, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007.
_______, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 2007.
[ 438 ]
Cakra Arbas
Mahfud M.D, Moh, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,
Rajawali Press, Jakarta, 2011.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2010.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Sekretariat Jenderal
MPR RI, Jakarta, 2012.
Puspa, Yan Pradnya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2008.
Rawls, John, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.
Rhiti, Hyronimus, Filsafat Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
2011.
Sidharta, Bernard Arief, Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2013.
_______, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum , Mandar Maju,
Bandung, 2000.
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1982.
Wojowasito, S, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta,
1978.
[ 439 ]
Download