1 eksperimentasi pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas

advertisement
1
EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN
DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA
SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA
MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN
AJARAN 2009/ 2010
TESIS
OLEH :
RIZQI TRESNANINGSIH
NIM. S850209117
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN
DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA
KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA
MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN
2009/ 2010
Tesis
diajukan Oleh:
RIZQI TRESNANINGSIH
S850290117
Telah disetujui oleh dosen pembimbing
Pada tanggal : 17 Juni 2010
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Mardiyana, M.Si
NIP.
196002251993021002
Drs. Pangadi, M.Si
NIP.
195710121991031001
Mengetahui,
Ketua Program Pascasarjana
Pendidikan Matematika
Dr. Mardiyana, M.Si
NIP. 196002251993021002
3
EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN
DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA
KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA
MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN
2009/ 2010
Disusun Oleh:
RIZQI TRESNANINGSIH
S850290117
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Pada tanggal :
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
: Prof. Dr. Budiyono, M.Sc
........................
Sekretaris
: Dr. Riyadi, M. Si
.........................
Anggota Penguji :
1.
Dr. Mardiyana, M. Si
...........................
2.
Drs. Pangadi, M. Si
............................
Mengetahui,
Direktur PPs UNS
Ketua Program Studi
PendidikanMatematika
Prof. Dr. Suranto, M.Sc, Ph.D.
NIP. 19570820 198503 1004
Dr. Mardiyana, M.Si.
NIP.19600225 199302 1002
4
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya :
Nama
: RIZQI TRESNANINGSIH
NIM
: S 850209117
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :
EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
DAN
DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA
KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA
MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN
2009/ 2010, adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan
gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta,
Mei 2010
Yang Membuat Pernyataan
RIZQI TRESNANINGSIH
5
MOTTO
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali
mereka sendiri mengubah keadaan jiwanya…”
QS. Ar Ra’d (Guruh) 13 : 11
Take Time To Think, it is the source of power
Take Time To Read, it is the foundation of wisdom
Take Time To Quiet, it is the opportunity to seek God
Take Time To Dream, it is the future made of
Take Time To Pray, it is the greatest power on earth
6
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan kepada :
Ø Dunia pendidikan khususnya program studi Matematika.
Ø Kedua orang tua, adik serta kakak saya yang selalu memberi motivasi dan
doa pada saya.
Ø Teman-teman satu angkatan yang selalu memberikan dukungan pada saya.
Ø Semua pihak yang telah membantu suksesnya penyusunan tesis ini.
7
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT dan rasa syukur yang besar
penulis panjatkan atas rahmat, taufik, hidayah dan pertolongan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul ”EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN
BERBASIS MASALAH
DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA
PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN
MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010”.
Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1.
Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph. D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
2.
Dr. Mardiyana, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika
Program Pascasarjana dan selaku Dosen Pembimbing I yang selalu
memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini serta
dengan pernuh kesabaran membimbing dan memberikan masukan kepada
penulis sehingga terselesaikannya tesis ini.
3.
Drs. Pangadi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang penuh dengan
kearifan telah bersedia memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis
demi kesempurnaan dan terselesaikannya tesis ini.
8
4.
Bapak ibu Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
bekal ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.
5.
Kepala SMA Negeri 1 Maospati, Kepala SMA Negeri 1 Barat, Kepala SMA
Negeri 1 Kawedanan, dan Kepala SMA Negeri 1 Karas beserta staf yang
telah mengijinkan penulis melakukan penelitian dan membantu kelancaran
proses penelitian tersebut.
6.
Rekan-rekan Mahasiswa Program studi Pendidikan Matematika Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Semoga amal kebaikan dari semua pihak tersebut mendapatkan balasan dari
Allah SWT. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi peningkatan
kualitas pendidikan matematika khususnya dan pendidikan di Indonesia pada
umumnya.
Surakarta, Mei 2010
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL….....…………………….….......……………………....
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ....................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ..........................................................................
iv
HALAMAN MOTTO .......................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................
vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ………………………………......…………………...………….
ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xiv
ABSTRAK .......................................................................................................
xv
ABSTRACT .....................................................................................................
xvi
BAB I . PENDAHULUAN ......…………………..............................
1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ………..........…........………………………....
3
C. Pemilihan Masalah ..............................................................................
4
D. Batasan Masalah ........…….......………………………….…...........
5
E. Rumusan Masalah ........…….......…………………………………....
6
F. Tujuan Penelitian .......……….......………………………………........ 6
G. Manfaat Penelitian
.......…….......…………………………………....
7
10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN .......…….
8
A. Kajian Pustaka …….....….................................….....…………..…….
8
1. Pengertian Belajar …….......…….……....……………..……...........
8
2. Model Pengajaran ……......………..........……….…........……........ 10
3. Pembelajaran ........…………........……............................................... 11
4. Pembelajaran Berbasis Masalah ………............................................ 12
5. Diskusi Kelas ..................................................................................... 22
6. Hakekat Matematika .........................…………........…….............. 28
7. Intelligence Quotient
……………......…..…................................. 30
B. Penelitian Yang Relevan ………….……..….…......…….…….......... 32
C. Kerangka Berpikir …………….……………….........………........…. 32
D. Hipotesis .......……………………….…………………..…........…... 37
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………………......…...…….…. 39
A. Tempat dan Waktu Penelitian
B. Metode Penelitian
……………..............…………… 39
.………………….....................……………. 40
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .…............…. 42
D. Teknik Pengumpulan Data ………………………...............…… 44
E. Teknik Analisis Data ..………………….........…………………. 53
1. Uji Keseimbangan ......….……....…........………….………... 53
2. Uji Prasyarat . ....…..………….......………….....…………...... 55
3. Pengujian Hipotesis Penelitian.……………...........…………. . 58
BAB IV. HASIL PENELITIAN …......................................….........….….... 66
A. Hasil Uji Coba Instrumen ..............……......…...…….…....…….. 66
11
B. Diskripsi Data ..........………………………......…………....….. 68
C. Hasil Uji Prasyarat..................................................…..…. ............. 76
D. Hasil Pengujian Hipotesis …………..……....……..……………. 78
E. Pembahasan Hasil Analisis ........................................................... 82
BAB V. PENUTUP ..................……...…....................................................... 90
A. Kesimpulan
...........................……….........…...……………….. 90
B. Implikasi Teoritis ……...…......…………........................……..... 91
C. Implikasi Praktis
.....................................................…..…............ 92
D. Saran ............................................................................................... 93
Daftar Pustaka ………………………………………………....………......….. 95
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Gambar hasil yang diperoleh siswa dari PBM ...........................16
Gambar 2.2. Gambar hasil yang diperoleh pelajar dari diskusi kelas .......... 22
Gambar 4.1. Histogram Data Tes Prestasi Belajar ......................................... 69
Gambar 4.2. Histogram Data Tes Prestasi Belajar Matematika pada
Pembelajaran Berbasis Masalah ................................................. 70
Gambar 4.3. Histogram Data Tes Prestasi Belajar Matematika pada Diskusi
Kelas .............................................................................................. 71
Gambar 4.4. Histogram Data IQ Siswa ........................................................... 72
Gambar 4.5. Histogram Data Prestasi Belajar Kelompok Tinggi.................. 73
Gambar 4.6. Histogram Data Prestasi Belajar Kelompok Sedang ............... 74
Gambar 4.7. Histogram Data Prestasi Belajar Kelompok Rendah ............... 75
13
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sintaksis Pembelajaran Berbasis Masalah ........................................... 20
Tabel 2.2 Sintaksis Diskusi Kelas ....................................................................... 27
Tabel 3.1 Pengelompokan IQ siswa ............................................................ 45
Tabel 3.2 Rancangan Penelitian………………………………....……..... 46
Tabel 3.3 Data Amatan, Rataan dan Jumlah kuadrat Deviasi..................... 60
Tabel 3.4 Rataan dan Jumlah Rataan ........................................................ 61
Tabel 3.5 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama........... 63
Tabel 4.1 Tabel hasil uji normalitas .......................................................... 76
Tabel 4.2 Tabel Hasil Uji Homogenitas .................................................... 77
Tabel 4.3 Tabel Rangkuman Hasil Analisis
Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama............................................. 78
Tabel 4.4 Rangkuman uji Sceffe untuk komparasi antar kolom ............... 79
Tabel 4.5 Rangkuman uji Sceffe untuk komparasi antar sel .................... 81
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 RPP Pembelajaran Berbasis Masalah .................................
97
Lampiran 2 RPP Diskusi Kelas ……………………………………....... 123
Lampiran 3 Kisi-kisi Soal Tes Prestasi Relajar ...…………………....... 145
Lampiran 4 Soal Uji Coba Tes Prestasi Relajar ……………………….. 146
Lampiran 5 Lembar Validator …………………………………………. 153
Lampiran 6 Perhitungan Reliabilitas …………………………………… 159
Lampiran 7 Perhitungan Indeks Kesukaran ……………………………. 160
Lampiran 8 Perhitungan Daya Beda ……………………………....….... 161
Lampiran 9 Tes Prestasi Siswa ...…………………………………........ 162
Lampiran 10 Uji Keseimbangan ...……………………………….…...... 167
Lampiran 11 Data Induk Penelitian …...……………………………...... 171
Lampiran 12 Data Tes Prestasi Siswa ………………………....……….. 177
Lampiran 13 Data Prestasi Pembelajaran Berbasis Masalah ……....……178
Lampiran 14 Data Prestasi Diskusi Kelas ……………………....……….179
Lampiran 15 Data IQ Siswa …………………………………....………. 180
Lampiran 16 Data Prestasi siswa IQ Tinggi ............................................ 181
Lampiran 17 Data Prestasi siswa IQ sedang ............................................ 182
Lampiran 18 Data Prestasi siswa IQ rendah ............................................ 183
Lampiran 19 Uji Normalitas Pembelajaran Berbasis Masalah ................ 184
Lampiran 20 Uji Normalitas Diskusi Kelas ………………………....…. 187
Lampiran 21 Uji Normalitas Kelompok Tinggi ...................................... 191
Lampiran 22 Uji Normalitas Kelompok Sedang ...................................... 193
Lampiran 23 Uji Normalitas Kelompok Rendah ..................................... 196
Lampiran 24 Uji Homogenitas Model Pengajaran ................................. 198
Lampiran 25 Uji Homogenitas IQ siswa ................................................ 202
Lampiran 26 Uji Anava Dua Jalan Sel Tak Sama .................................. 206
Lampiran 27 Surat Keterangan Penelitian ............................................. 212
Lampiran 28 Tabel Statistik ..................................................................... 216
15
ABSTRAK
RizqiTresnaningsih (S850102117): ”EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN
BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ
SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI
KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010”. Tesis, Surakarta:
Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta, 2010.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui model pembelajaran yang
lebih baik antara pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dengan Diskusi Kelas
(CD), (2) untuk mengetahui pengaruh tingkatan IQ terhadap prestasi belajar
matematika siswa, (3) untuk mengetahui pada siswa yang mempunyai IQ tinggi,
IQ sedang dan IQ rendah, model pengajaran mana yang lebih baik, antara PBM
dan CD.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental semu. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Magetan.
Sampel dalam penelitian adalah siswa kelas X SMA N 1 Maospati, SMA N 1
Barat, SMA N 1 Kawedanan yang berjumlah 220 siswa. Sampel diambil dengan
teknik Stratified Random Sampling. Pengumpulan data tes prestasi dilakukan
melalui tes prestasi dengan bentuk soal pilihan ganda dan mengambil data tes IQ
dari sekolah. Teknik analisis datanya menggunakan analisis variansi dua jalan
dengan sel tak sama.
Dari hasil Anava diperoleh: (1) tidak terdapat perbedaan rataan prestasi
belajar matematika antara PBM dan CD (Fa = 0,047 < Fa = 3,84), (2) terdapat
perbedaan rataan prestasi belajar matematika dari kelompok IQ tinggi, IQ sedang
dan IQ rendah (Fb = 4,76 > Fa = 3), (3) terdapat interaksi antara variabel model
pembelajaran dan variabel IQ siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa
(Fab = 10,88 > Fa = 3).
Dari hasil uji komparasi ganda antar kolom diperoleh terdapat perbedaan
rataan prestasi belajar siswa dengan IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah.
Berdasarkan rataannya, nilai siswa dengan IQ tinggi adalah 82,99, siswa IQ
sedang adalah 74,45, dan siswa dengan IQ rendah adalah 67,91. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa dengan IQ tinggi mendapat prestasi
matematika lebih baik dari pada siswa dengan IQ sedang, siswa dengan IQ sedang
mendapat prestasi lebih baik dari pada siswa dengan IQ rendah.
Dari hasil komparasi ganda antar sel diperoleh: (1) pada siswa dengan IQ
tinggi tidak terdapat perbedaan rerata prestasi belajar matematika antara PBM dan
CD, (2) pada siswa dengan IQ sedang, tidak terdapat perbedaan rerata prestasi
belajar matematika antara PBM dan CD, (3) pada siswa dengan IQ rendah
terdapat perbedaan rerata prestasi belajar matematika antara PBM dan CD.
Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Diskusi Kelas, Intelligence Quotient
(IQ)
16
ABSTRACT
Rizqi Tresnaningsih (S850209117): AN EXPERIMENTATION OF
PROBLEM BASED INSTRUCTION AND CLASSROOM DISCUSSION
TO THE ACHIEVEMENT OF LEARNING MATHEMATICS OF
STUDENTS GRADE X VIEWED FROM STUDENTS’ INTELLECTUAL
QUOTIENT ON SUBJECT MATTER MATHEMATICAL LOGIC IN SMA
NEGERI OF MAGETAN IN THE SCHOOLING YEAR 2009/ 2010. Thesis,
Surakarta: Mathematics Education Program, Postgraduate Program of Sebelas
Maret Surakarta University, 2010.
The objectives of this research are: (1) to find out models of teaching that is
better than problem based instruction (PBI) and classroom discussion (CD), (2) to
reveal the influence IQ level on students’ achievement in learning mathematics,
(3) to find out in students who have high level IQ, medium level IQ and low level
IQ, which better than between PBI and CD
This research is a quasi-experimental research. The population of this
research is all of SMAN students’ grade X in Magetan. The sample of this
research is 220 students grade X from SMAN 1 Maospati, SMAN 1 Barat and
SMAN 1 Kawedanan. The sample was drawn by using stratified random sampling
technique. The students’ achievement data were drawn by using achievement test
in form of multiple-choice and taking the data of the students’ IQ test from the
schools. The technique of analyzing data is two-way variance analysis with
different cell.
From the two-way variance analysis it is found: (1) there is not difference on
the average between PBI and CD on the students’ achievement in learning
mathematics, (Fa = 0,45 < Fa = 3,84), (2) there is a significant difference on the
average of the students achievement in learning mathematics between the student
with low level IQ, medium level IQ and high level IQ, (Fb = 4,76 > Fa = 3), (3)
there is a significant interaction between teaching models variable and the
students’ IQ variable on the students’ achievement in learning mathematics, (Fab =
10,88 > Fa = 3).
From the result of multiple comparative inter-column it is found that there
is difference on the average of mathematics achievement between student with
high level IQ, medium and low level IQ. Based on the average of achievement
score, the students with high level IQ gain the average score of 82.99, medium
level IQ students gain 74.45 and low level IQ students gain 67.91. From the result,
we can say that the students with high level IQ got better mathematics
achievement than students with medium level IQ, the students with medium level
IQ got mathematics achievement better than the students with low level IQ.
The multiple comparative inter-cell, it is found that: (1) the students with
high IQ there is not difference on the average of mathematics achievement of the
PBI and CD (2) the student with medium level IQ, there is not difference on the
average of mathematics achievement of the PBI and CD, (3) the students with low
17
level IQ there is a significant difference on the average of mathematics
achievement between PBI and CD.
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tantangan besar yang dihadapi guru saat ini yakni
bagaimana membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir siswa
yang melangkah dari pengalaman konkret ke arah berpikir abstrak yang
dapat menghasilkan loncatan intuitif melalui sebuah desain pembelajaran
aktif. Jean Piaget, salah seorang psikolog Swiss mengakui pentingnya
menyiapkan lingkungan di mana siswa dapat melangkah dari pengalaman
konkret menuju ke menemukan konsep, dan mengaplikasikan konsep.
Mengetahui sebuah objek atau peristiwa, tidak sesederhana melihatnya dan
menggambarnya.
memodifikasinya,
Mengetahui
objek
menstransformasi
berarti
dan
berbuat
terhadapnya,
memahami
proses
transformasinya, dan sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap objek
adalah mengkontruksinya. (Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna, 2007
http://lubisgrafura .wordpress.com).
Upaya peningkatan kualitas pembelajaran khususnya mata pelajaran
matematika harus terus diupayakan, baik oleh guru maupun semua pihak
yang terkait langsung dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena matematika memegang peranan yang sangat penting
dalam segala aspek kehidupan. Mata pelajaran matematika merupakan salah
satu mata pelajaran yang diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai
19
tingkat perguruan tinggi. Mata pelajaran matematika juga merupakan salah
satu mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Akhir Nasional (UAN).
Dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), sebagian besar siswa menganggap
bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang
mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi dibanding mata pelajaran
Bahasa Inggris ataupun Bahasa Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada hasil
nilai Ujian Akhir Nasional di SMA Negeri 1 Barat, Kabupaten Magetan.
Nilai rata-rata UAN pada tahun ajaran 2006/ 2007 untuk mata pelajaran
Matematika adalah 7,44, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris
adalah 8,89 dan nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah 8,42.
Dari data nilai tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata mata pelajaran
matematika paling rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai mata
pelajaran yang lain.
Prestasi belajar siswa dalam matematika dipengaruhi beberapa faktor,
dua diantaranya adalah pengaruh IQ siswa dan model mengajar guru. Cara
belajar interaktif merupakan cara belajar yang dituntut dari siswa, agar
siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu guru dituntut
untuk mendorong siswa agar mereka dapat meningkatkan prestasi
belajarnya. Guru dituntut untuk mendorong siswa belajar secara aktif dan
dapat meningkatkan kemampuan dalam memahami suatu konsep dalam
matematika.
20
Kecerdasan intelektual merupakan salah satu faktor yang cukup
penting yang berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Dengan adanya
perbedaan tingkat IQ
pada siswa maka prestasi belajar siswa akan
memperoleh hasil yang berbeda. Siswa yang mempunyai IQ tinggi akan
mempunyai
prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang
mempunyai IQ sedang dan IQ rendah.
Kecerdasan intelektual (IQ)
merupakan karakteristik yang melekat pada setiap siswa, karena IQ
merupakan sifat bawaan atau keturunan dari keluarga yang dibawa sejak
lahir.
Beberapa macam model pengajaran interaktif diharapkan mampu
mengatasi permasalahan dalam pembelajaran matematika. Dua diantaranya
adalah Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) dan
Classroom Discussion (Diskusi Kelas). Oleh karena itu guru dituntut untuk
mendorong siswa agar mereka dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
Guru dituntut untuk mendorong siswa belajar secara aktif dan dapat
meningkatkan kemampuan dalam memahami suatu konsep dalam
matematika.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat
diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut.
21
1.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan
IQ yang rendah, terkait dengan itu menimbulkan pertanyaan, apakah
dengan IQ yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa?
2.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan
tingkat kedisiplinan siswa dalam belajar rendah, terkait dengan itu
menimbulkan pertanyaan, apakah dengan tingkat kedisiplinan belajar
yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa?
3.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan
kurang efektifnya model pengajaran yang diambil oleh guru, sehingga
menimbulkan pertanyaan, apakah dengan memilih model pengajaran
yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa?
4.
Prestasi belajar matematika siswa mungkin dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya interaksi antara model pengajaran dengan tingkatan IQ.
C. Pemilihan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka dapat dipilih permasalahan
sebagai berikut:
1.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan
kurang efektifnya model pengajaran yang diambil guru, sehingga
menimbulkan pertanyaan, apakah dengan memilih model pengajaran
yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa?
22
2.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan
IQ yang rendah, terkait dengan itu menimbulkan pertanyaan, apakah
dengan IQ yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa?
3.
Prestasi belajar matematika siswa mungkin dipengaruhi oleh ada atau
tidaknya interaksi antara model pengajaran dengan tingkatan IQ.
D. Batasan Masalah
Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam penelitian ini perlu
diberikan batasan masalah, diantaranya adalah berikut.
1.
Penelitian ini hanya dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMA
Negeri Kabupaten Magetan.
2.
Materi yang diberikan pada siswa kelas X adalah materi Logika
Matematika.
3.
Hasil belajar Matematika dalam penelitian ini adalah hasil belajar dari
tes yang diberikan oleh peneliti seusai pembelajaran.
4.
Experimentasi dalam penelitian ini adalah experimentasi dari
penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas.
5.
Penelitian ini ditinjau dari segi IQ siswa dalam memahami konsep
logika jika disampaikan dengan pembelajaran Berbasis Masalah dan
Diskusi Kelas.
23
E. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.
Manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik,
pembelajaran berbasis masalah atau diskusi kelas?
2.
Apakah siswa yang mempunyai IQ tinggi mempunyai prestasi belajar
yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang, dan
siswa yang mempunyai IQ sedang mempunyai prestasi belajar yang
lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah?
3.
Pada IQ tinggi, model pengajaran manakah yang memberikan prestasi
belajar lebih baik, pada IQ sedang model pengajaran manakah yang
memberikan prestasi belajar yang lebih baik sedangkan pada IQ
rendah model pengajaran manakah yang memberikan prestasi yang
lebih baik.
F. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih baik antara
pembelajaran Berbasis Masalah dengan Diskusi Kelas.
2.
Untuk mengetahui pengaruh IQ terhadap prestasi belajar matematika
siswa.
24
3.
Untuk mengetahui pada siswa yang mempunyai IQ tinggi model
pengajaran mana yang lebih baik, pada siswa yang mempunyai IQ
sedang model pengajaran mana yang lebih baik, dan pada siswa yang
mempunyai IQ rendah, model pengajaran mana yang lebih baik.
G. Manfaat Hasil Penelitian
1.
Bagi guru matematika khususnya
Sebagai masukan agar dapat mengambil langkah yang tepat dalam
menentukan model pengajaran.
2.
Bagi peneliti
Sebagai pengetahuan tentang perbedaan pengaruh IQ dengan model
pengajaran serta interaksinya.
3.
Bagi siswa
Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan bagi siswa tentang
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas untuk bisa
dipraktikkan di kelas.
25
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kajian Pustaka
1. Pengertian Belajar
Belajar menurut Gagne (dalam Syaiful Sagala, 2008:17) “merupakan
kegiatan yang kompleks dan hasilnya berupa kapabilitas, timbulnya
kapabilitas disebabkan oleh stimulasi yang berasal dari lingkungan dan
proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar.” Dengan demikian pengertian
belajar menurut Gagne adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah
sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi dan menjadi
kapabilitas baru. Gagne juga mengungkapkan belajar adalah perubahan
yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara
terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja.
Hilgard (dalam Wina Sanjaya, 2006:112) mengungkapkan “Learning
is the process by which and activity originates or changed through training
procedures (wether in the laboratory or in the natural environment) as
distinguished from changes by factors not attributable to training”. Bagi
Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur
latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan ilmiah. Belajar
bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, belajar adalah proses
mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan
26
munculnya perubahan perilaku. Aktifitas mental itu terjadi karena adanya
interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.
Piaget (dalam Syaiful Sagala, 2007:24) memberikan pendapat tentang
pengertian belajar sebagai berikut.
Piaget berpendapat ada dua proses yang terjadi dalam perkembangan
dan pertumbuhan kognitif anak yaitu proses ‘assimilation’ dan
‘accommodation’. Proses assimilation, dalam proses ini menyesuaikan
atau mencocokan informasi yang baru itu dengan apa yang telah ia
ketahui dengan mengubahnya bila perlu. Proses accommodation
yaitu anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa
yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu
dapat disesuaikan dengan lebih baik.
Jadi belajar menurut pandangan Piaget adalah belajar perubahan
struktural yang saling melengkapi antara asimilasi dan akomodasi dalam
proses menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui melalui
belajar.
Belajar menurut peneliti adalah suatu proses perubahan pada diri
individu dari keadaan yang tidak bisa menjadi bisa yang ditempuh melalui
suatu usaha untuk mencapai tujuan yang dimaksud, yang melibatkan aspek
kognitif seseorang. Sehingga dari beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah suatu seperangkat proses kognitif yang
menimbulkan suatu peluang terjadinya respon, yang ditandai dengan
adanya perubahan struktural yang saling melengkapi antara asimilasi dan
akomodasi berkat pengalaman dan latihan yang akan membawa perubahan
pada individu.
27
2. Model Pengajaran
Untuk
mengatasi
berbagai
problematika
dalam
pelaksanaan
pembelajaran, tentu diperlukan model-model mengajar yang dipandang
mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar dan juga
kesulitan siswa. Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Menurut
Komaruddin (dalam Syaiful Sagala, 2007:175), model dapat dipahami
sebagai:
a. Suatu tipe atau desain,
b. Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu
proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat langsung diamati,
c. Suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang
dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau
peristiwa,
d. Suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu
terjemahan realitas yang disederhanakan,
e. Suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner,
f. Penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan
sifat bentuk aslinya.
Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya,
walaupun model itu sendiri bukan realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas
dasar pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai
28
kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukis prosedur yang
sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran
untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktifitas
pembelajaran. (Syaiful Sagala, 2007:176).
Model mengajar menurut Joyce dan Weil (dalam Syaiful Sagala,
2007:176)
adalah
suatu
deskripsi
dari
lingkungan
belajar
yang
menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, desain unit-unit
pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran,
buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program
komputer. Sebab model-model ini menyediakan alat-alat belajar yang
diperlukan bagi para siswa.
3. Pembelajaran
Syaiful Sagala (2007:61) menyebutkan bahwa “pembelajaran ialah
membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar
merupakan
penentu
utama
keberhasilan
pendidikan”.
Sedangkan
pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan
oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh siswa.
Pembelajaran menurut Corey (dalam Syaiful Sagala, 2007:61) adalah
“suatu proses yang mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola
untuk memungkinkan seseorang tersebut turut serta dalam tingkah laku
29
tertentu dalam kondisi–kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap
situasi tertentu”.
Mengajar menurut William H Burton (dalam Syaiful Sagala, 2007:61)
adalah “upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan dan dorongan
kepada siswa agar terjadi proses belajar”. Sering dikatakan mengajar adalah
mengorganisasikan aktivitas siswa dalam arti luas. Peranan guru bukan
semata–mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan
memberi fasilitas belajar, agar proses belajar lebih memadai.
Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk
membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau nilai yang baru.
Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui
kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasar,
motivasi, latar belakang akademis serta latar belakang sosial ekonomi.
Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran
merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator
suksesnya pelaksanaan pembelajaran. (Syaiful Sagala, 2007:61).
4. Pembelajaran Berbasis Masalah
Esensi pembelajaran berbasis masalah berupa menyuguhkan berbagai
situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat
berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan.
Problem-based learning is an active learning method based on the use
of ill-structured problems as a stimulus for learning. Ill-structured
problems are complex problems that cannot be solved by a simple
30
algorithm. Such problems do not necessarily have a single correct
answer but require learners to consider alternatives and to provide a
reasoned argument to support the solution that they generate. In PBL,
students have the opportunity to develop skills in reasoning and selfdirected learning. (Cindy E. Hmelo dan Silver Howard S. Barrows,
2006:24)
Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan metode pembelajaran aktif
yang digunakan untuk masalah terstruktur yang merupakan tanggapan dari
hasil pembelajaran. Pada model pengajaran ini, digunakan untuk
menyelesaikan masalah mempunyai struktur yang kompleks yang tidak
cukup bila dikerjakan dengan algoritma yang sederhana. Pada Pembelajaran
Berbasis Masalah ini, siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan
kemampuannya sendiri.
Problem-based learning (PBL) is currently advocated as a powerful
means for facilitating students’ attainment of the high-level
competencies and transferable skills increasingly being demanded by
government, commerce, and industry (Murray & Savin-Baden, 2000).
PBL, as defined by Barrows and Tamblyn (1980), refers to “the
learning that results from the process of working toward the
understanding or resolution of a problem” (p. 18). In general, the
goals in problem-based learning are two-fold: 1) to promote deep
understanding of subject matter content while 2) simultaneously
developing students’ higher-order thinking. While PBL can come in a
variety of forms, depending on the discipline under study and the goals
of the curriculum (see Savery, this issue), it tends to include features
such as learner autonomy, active learning, cooperation and
collaboration, authentic activities, and reflection and transfer (Peggy
A. Ertmer and Krista D. Simons, 2006:40).
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai peranan yang sangat kuat
dalam menghadapi kompetensi tingkat tinggi dalam memenuhi kebutuhan
pemerintah, pasar dan industri. Secara umum tujuan dari pembelajaran
31
berbasis masalah ada dua, yang pertama untuk menaikkan pengetahuan
secara mendalam dari isi suatu materi, yang kedua mengembangkan berfikir
tingkat tinggi siswa.
a.
Fitur-fitur Khusus Pembelajaran Berbasis Masalah
Para pengembang Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu Cognition &
Technology Group at Vanderbilt, Gordon et al., Krajcik et al., Slavin et al
Torp & Sage, mendeskripsikan bahwa model instruksional ini memiliki
fitur-fitur di bawah ini:
Ø
Pertanyaan atau masalah penggerak. Alih-alih mengorganisasikan
pelajaran di seputar prinsip atau ketrampilan tertentu, PBM
mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah
yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi siswa.
Mereka menghadapi berbagai situasi kehidupan nyata yang tidak dapat
diberi jawaban-jawaban sederhana dan ada berbagai solusi yang
competing untuk menyelesaikannya.
Ø
Fokus Interdisipliner. Meskipun PBM dapat dipusatkan pada subyek
tertentu (sains, matematika, sejarah), tetapi masalah yang diinvestigasi
dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk menggali banyak
subyek. Sebagai contoh, masalah polusi yang muncul di pelajaran
Chesapeake Bay diatas menyangkut beberapa subyek akademik
maupun
terapan
pemerintahan.
biologi,
ekonomi,
sosiologi,
turisme,
dan
32
Ø
Investigasi Autentik. PBM mengharuskan siswa untuk melakukan
investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi riil untuk
masalah riil. Mereka harus menganalisa dan menetapkan masalahnya,
mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan
menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (bila mungkin),
membuat inferensi, dan menarik kesimpulan. Metode invetigasi yang
digunakan tentu bergantung pada sifat masalah yang diteliti.
Ø
Produksi
Artefak
dan
exhibit.
PBM
menuntut
siswa
untuk
mengstruksikan produk dalam bentuk artefak dan exhibit yang
menjelaskan atau mempresentasikan solusi mereka. Artefak dan
exhibit yang nanti akan dideskripsikan, dirancang oleh siswa untuk
mendemonstrasikan kepada orang lain apa yang telah mereka pelajari
dan memberikan alternatif yang menyegarkan untuk makalah wajib
atau ujian tradisional.
Ø
Kolaborasi. Seperti model cooperative learning, PBM ditandai dengan
siswa-siswa yang bekerja sama dengan siswa-siswa lain, paling sering
secara berpasangan atau dalam bentuk kelompok-kelompok kecil.
Bekerja sama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara
berkelanjutan
dalam
tugas-tugas
kompleks
dan
meningkatkan
kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan dialog bersama, dan
untuk mengembangkan berbagai ketrampilan sosial.
33
Pembelajaran Berbasis Masalah tidak dirancang untuk membantu guru
menyampaikan
informasikan
dengan
jumlah
besar
kepada
siswa.
Pembelajaran Berbasis Masalah dirancang terutama untuk membantu siswa
mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan
masalah, dan keterampilan intelektualnya, mempelajari peran-peran orang
dewasa dengan mengalaminya melalui berbagai situasi riel atau situasi yang
disimulasikan dan menjadi pelajar mandiri dan otonom. Beberapa hal
tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar di bawah ini.
Pembelajaran
Berbasis
Masalah
Keterampilan untuk
belajar secara mandiri
Keterampilan
penyelidikan dan
keterampilan
mengatasi masalah
Perilaku dan
keterampilan
sosial sesuai peran
orang dewasa
Gambar. 2.1 Gambar hasil yang diperoleh siswa dari PBM
The design of the PBL instructional approach used in the current
study (Maxwell et. al., 2001) is instantiated in a series of curricular
units focused on the knowledge, concepts, and principles that
comprise the American high-school economics curriculum (Buck
Institute for Education, n.d.). These units can take from one day to
three weeks to complete, scaffold, and, to some degree, constrain
teacher and student behavior. Each unit contains seven interrelated
phases: entry, problem framing, knowledge inventory, problem
research and resources, problem twist, problem log, problem exit, and
problem debriefing. Student groups generally move through the
phases in the order indicated but may return to a previous phase or
linger in a phase as they consider a particularly difficult part of the
problem. The teacher takes a facilitative role, answering questions,
34
moving groups along,monitoring positive and negative behavior,and
watching for opportunities to direct students to specific resources or to
provide clarifying explanations. (John R. Mergendoller, 2006:50)
Rancangan pendekatan pembelajaran berbasis masalah memfokuskan
pada pengetahuan, konsep dan prinsip yang ada pada bagian–bagian
kurikulum pembelajaran. Setiap bagian berisi tujuh fase yang saling
berhubungan, yaitu kerangka masalah, pernemuan pengetahuan, penelitian
dan sumber masalah, lingkup masalah, batang masalah, jalan keluar
masalah, mencari alternative yang terbaik dalam menyelesaikan masalah.
b.
Dukungan Teoritis dan Empiris
Pembelajaran berbasis masalah di pihak lain mengambil psikologi
kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa
yang dikerjakan oleh siswa, tetapi pada apa yang mereka pikirkan (kognisi
mereka). Meskipun peran guru dalam pembelajaran ini kadang-kadang juga
melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan tentang berbagai hal kepada
siswa, tetapi lebih sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan
fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan
masalahnya sendiri. Untuk PBM dalam hal ini akan dilacak melalui tiga
arus utama pemikiran abad ke-20.
1.
Dewey dan Kelas Berorientasi Masalah
Seperti halnya cooperative learning, PBM menemukan akar
intelektualnya dalam hasil karya John Dewey. Dalam Democracy and
Education (1916), Dewey mendeskripsikan pandangan tentang pendidikan
35
dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan
menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah
kehidupan nyata. Pedagogi Dewey mendorong guru untuk melibatkan siswa
di berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki
berbagai masalah sosial dan intelektual penting.
Dewey mengatakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya
purposeful (memiliki maksud yang jelas) dan tidak abstrak dan bahwa
pembelajaran yang purposeful itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya
dengan memerintahkan anak-anak dalam kelompok-kelompok kecil untuk
menangani proyek-proyek yang mereka minati dan mereka pilih sendiri.
Visi pembelajaran yang purposeful dan dipusatkan pada masalah yang
didukung oleh hasrat bawaan siswa untuk mengeksplorasi situasi-situasi
yang secara personal berarti baginya jelas berhubungan dengan PBM
dengan filosofi dan pedagogi Dewey.
2.
Piaget, Vygotsky dan Konstruktvisme.
Jean Piaget, psikolog Swiss menghabiskan waktu lebih dari 50 tahun
untuk mempelajari bagaimana anak-anak berpikir dan proses-proses yang
terkait dengan perkembangan intelektual mereka. Piaget membenarkan
bahwa anak-anak memiliki sifat bawaan ingin tahu dan terus berusaha
memahami dunia sekitarnya. Keingintahuan ini, menurut Piaget memotivasi
mereka untuk mengkonstruksikan secara aktif representasi-representasi di
benaknya tentang lingkungan yang mereka alami.
36
Perspektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan PBM, banyak
meminjam pendapat Piaget (1954, 1963). Perspektif ini mengatakan bahwa
pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses
mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengalamannya sendiri.
Pengetahuan tidak statis, tapi berevolusi dan berubah secara konstan selama
pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa
mereka
untuk
mendasarkan
diri
dan
memodifikasi
pengetahuan
sebelumnya.
Lev Vygotsky seorang psikolog Rusia. Seperti Piaget, Vygotsky
(1978, 1994) percaya bahwa intelek berkembang ketika individu mengalami
perkembangan baru dan membingungkan, dan ketika mereka berusaha
mengatasi diskrepansi yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman ini.
Dalam usaha menemukan pemahaman ini, individu menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya dan mengkonstruksi
makna baru. Tetapi Vygotsky menekankan pentingnya aspek sosial belajar.
Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain memacu
pengonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual
belajar.
3.
Bruner dan Discovery Learning
Jerome Bruner, psikolog Hardvard adalah salah satu pemuka dalam
reformasi kurikulum pada tahun 1950-an sampai 1960-an. Ia dan rekan
sejawatnya memberikan dukungan teoritis penting terhadap discovery
37
learning, sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya
membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin
ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan
keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery
(penemuan pribadi). Tujuan pendidikan bukan hanya untuk memperbesar
dasar pengetahuan siswa, tapi juga untuk menciptakan berbagai
kemungkinan untuk invention (penciptaan) dan discovery (penemuan).
PBM juga menyandarkan diri pada konsep lain yang berasal dari
Bruner, yakni idenya tentang scaffolding. Bruner mendeskripsikan
scaffolding sebagai sebuah proses dari pelajar yang dibantu untuk
mengatasi masalah tertentu yang berada di luar kapasitas perkembangannya
dengan bantuan guru (scaffolding) atau orang yang lebih mampu. Bruner
percaya bahwa interaksi sosial di dalam dan diluar sekolah banyak
bertanggung jawab atas perolehan bahasa dan perilaku mengatasi masalah
anak.
c.
Sintaksis Untuk PBM
Tabel 2.1 Sintaksis PBM
Fase
Fase 1:
Memberikan
permasalahannya
siswa
Perilaku Guru
orientasi Guru
membahas
tujuan
kepada pembelajaran,
mendeskripsikan
berbagai
kebutuhan logistik penting,
dan memotivasi siswa untuk
38
terlibat
dalam
kegiatan
mengatasi masalah.
Fase 2:
Mengorganisasikan
untuk meneliti
siswa Guru membantu siswa untuk
mendefinisikan
dan
mengorganisasikan
tugas-
tugas belajar yang terkait
dengan permasalahannya.
Fase 3:
Membantu investigasi mandiri Guru
dan kelompok
mendorong
untuk
siswa
mendapatkan
informasi
yang
melaksanakan
tepat,
eksperimen,
dan mencari penjelasan dan
solusi.
Fase 4:
Mengembangkan
dan Guru
membantu
siswa
mempresentasikan artefak dan dalam merencanakan
exhibit
dan
menyiapkan artefak-artefak
yang tepat, seperti laporan,
rekaman video, dan modelmodel
dan
membantu
mereka
untuk
menyampaikannya
kepada
orang lain.
Fase 5:
Menganalisis
dan Guru membantu siswa untuk
mengevaluasi
proses melakukan refleksi terhadap
mengatasi masalah
investigasinya dan prosesproses
gunakan.
yang
mereka
39
5. Pembelajaran Diskusi Kelas
a. Ikhtisar tentang Diskusi Kelas
Diskusi dan wacana kelas merupakan aspek sentral diantara seluruh
aspek pengajaran. Penggunaan diskusi kelas yang efektif membutuhkan
pemahaman tentang beberapa topik penting yang terkait dengan wacana dan
diskusi kelas. Menurut para guru istilah diskusi mendeskripsikan prosedur
yang mereka gunakan untuk mendorong pertukaran verbal diantara siswasiswanya. Istilah wacana digunakan untuk memberikan perspektif secara
keseluruhan tentang komunikasi kelas. Berikut adalah gambar hasil yang
diperoleh pelajar dari diskusi.
Diskusi
Kelas
Pemahaman
Konseptual
Keterlibatan dan
Engagement
Keterampilan
komunikasi dan
proses berpikir
Gambar 2.2 Gambar hasil yang diperoleh pelajar dari diskusi kelas
Diskusi adalah situasi yang guru dan siswa atau antar siswa saling
bercakap-cakap dan berbagi ide atau pendapat. Diskusi juga digunakan guru
untuk mencapai paling tidak tiga tujuan instruksional penting yang
40
ditunjukkan pada Gambar 2.2. Penjelasan secara terinci mengenai diskusi
kelas adalah sebagai berikut :
Ø
Diskusi meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan membantu
mereka
mengonstruksikan
pemahamannya
sendiri
tentang
isi
akademik. Mendiskusikan suatu topik membantu siswa memperkuat
dan memperluas pengetahuannya tentang topik itu dan meningkatkan
kemampuannya untuk memikirkan tentang hal itu.
Ø
Diskusi meningkatkan keterlibatan dan engagement siswa. Penelitian
ataupun kearifan guru berpengalaman menunjukkan bahwa agar
kegiatan pembelajaran yang baik terjadi, siswa harus bertanggung
jawab atas pembelajarannya sendiri dan tidak sepenuhnya tergantung
pada guru. Diskusi memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berbicara dan memainkan ide-idenya sendiri di depan umum dan
memberikan motivasi untuk terlibat di dalam wacana di luar kelas.
Ø
Diskusi digunakan oleh guru untuk membantu siswa mempelajari
berbagai keterampilan komunikasi dan proses berpikir yang penting.
Oleh karena itu diskusi bersifat publik, ia memberikan sarana bagi
guru untuk mencari tahu apa yang dipikirkan siswa dan bagaimana
mereka memproses ide dan informasi yang diajarkan. Dengan
demikian diskusi memberikan lingkup sosial bagi guru yang dapat
membantu
siswa
menganalisis
barbagai
proses
berpikir
dan
mempelajari berbagai keterampilan komunikasi penting seperti
41
menyatakan ide-ide yang jelas, mendengarkan orang lain, merespon
orang lain dengan cara yang baik, dan mengajukan pertanyaan yang
baik.
b. Dukungan Teoritis dan Empiris
Banyak dukungan teoritis untuk penggunaan diskusi berasal dari
bidang-bidang yang dipelajari oleh para pakar lewat pelajaran bahasa,
proses komunikasi dan pola pertukaran. Untuk memikirkan peran bahasa,
dapat dipikirkan bahwa dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari
bahwa kesuksesan banyak bergantung pada penggunaan bahasa dan
komunikasi.
Wacana melalui bahasa juga sentral bagi sesuatu yang berlangsung di
kelas. Courtney Cazden (dalam Arends.2008:76) seorang pakar topik
wacana kelas yang paling terkemuka di Amerika menulis bahwa “bahasa
percakapan adalah medium yang memungkinkan pengajaran terjadi dan
medium bagi siswa dalam mendemonstrasikan siswa yang telah
dipelajarinya kepada guru”. Bahasa percakapan menyediakan sarana bagi
siswa untuk membicarakan tentang apa yang sudah mereka ketahui dan
membentuk makna dari pegetahuan baru setelah pengetahuan itu diperoleh.
Bahasa percakapan mempengaruhi proses berpikir siswa dan memberi
merek identitas sebagai pelajar dan anggota kelompok kelas.
42
c. Wacana dan Kognisi
Ada hubungan kuat antara bahasa dan berpikir, dan keduanya
menghasilkan kemampuan untuk menganalisis, menalar secara deduktif dan
induktif, dan membuat referensi yang masuk akal berdasarkan pengetahuan.
Wacana adalah salah satu cara bagi siswa untuk mempraktikan proses
berfikir dan meningkatkan ketrampilan berfikirnya.
Untuk “tumbuh”, sistem berpikir yang kompleks membutuhkan amat
banyak pengalaman dan percakapan yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam pembicaraan tentang apa yang telah kita kerjakan dan kita lihat,
dan dalam perdebatan tentang segala yang kita manfaatkan dari
pengalaman kita, bahwa ide-ide menjadi berlipat ganda, disempurnakan
dan akhirnya menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru dan eksplorasi
lebih jauh.
Melalui diskusi, guru diberi jendela untuk melihat keterampilan
berpikir siswanya dan setting untuk memberikan koreksi dan umpan balik
bila mereka melihat penalaran yang tidak lengkap dan keliru. Memaparkan
segalanya yang dipikirkan juga memberikan kesempatan kepada siswa
untuk ”mendengar” pikirannya sendiri dan untuk belajar cara memantau
proses berpikirnya sendiri.
Salah satu aspek diskusi kelas adalah kemampuannya untuk
mendukung
pertumbuhan
kognitif.
Aspek
lainnya
adalah
untuk
menghubungkan dan menyatukan aspek-aspek kognitif dan sosial
pembelajaran. Hubungan kognitif-sosial itu paling jelas dalam bagaimana
partisipasi sosial mempengaruhi pemikiran dan pertumbuhan kognitif.
Lauren Resnick dan Leopold Klopfer (dalam Arends.2008:77)
melihat
43
misalnya bahwa ”setting sosial memberikan kesempatan untuk meniru
strategi berfikir yang efektif”.
a. Merencanakan dan melaksanakan Diskusi
1. Merencanakan Diskusi
Merencanakan sebuah diskusi membutuhkan usaha perencanaan yang
sama banyaknya dengan tipe-tipe pembelajaran lainnya. Meskipun
spontasitas dan fleksibelitas penting dalam diskusi, perencanaan yang
dibuat oleh guru sebelumnya juga cukup penting. Berikut adalah
perencanaan diskusi :
· Mempertimbangkan maksud, memutuskan bahwa diskusi yang
dimaksud sesuai dengan pelajaran tertentu
· Mempertimbangkan
siswa,
mengetahui
pengetahuan
yang
sebelumnya sudah dimiliki siswa dalam merencanakan diskusi sama
pentingnya seperti dalam merencanakan jenis-jenis pelajaran lainnya
· Memilih sebuah pendekatan, pendekatan yang dipih seharusnya
merefleksikan maksud guru dan sifat antar siswa yang terlibat.
· Membuat rencana, rencana pelajaran untuk diskusi terdiri atas
sejumlah tujuan dan garis besar isi
2. Melaksanakan Diskusi
Sintaksis untuk diskusi adalah sebagai berikut :
44
Tabel 2.2 Sintaksis Diskusi
Fase
Fase 1:
Perilaku Guru
Mengklarifikasikan
maksud Membahas maksud diskusi
dan establishing set
dan mempersiapkan siswa
untuk berpartisipasi
Fase 2:
Memfokuskan diskusi
Memberikan
fokus
diskusi
untuk
dengan
mendeskripsikan
dasarnya,
peraturan
mengajukan
pertanyaan
awal,
menyodorkan situasi yang
membingungkan,
atau
memdiskripsikan sebuah isu
diskusi.
Fase 3:
Mengendalikan diskusi
Memantau interaksi siswa,
melontarkan
pertanyaan,
memberikan
ide-ide,
merespon
ide-ide,
menegakkan
dasar,
peraturan
mencatat
diskusi,
proses
dan
mengekspresikan ide-idenya
sendiri.
Fase 4:
Mengakhiri diskusi
Membantu
mengakhiri
diskusi dengan merangkum
atau
mengekspresikan
makna diskusi bagi dirinya.
45
Fase 5:
Debriefing
Memerintahkan siswa untuk
menelaah
diskusinya
memikirkan
dan
proses-
prosesnya.
6. Hakekat Matematika
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang biasanya
dianggap paling sulit oleh kebanyakan siswa. Di sekolah banyak siswa yang
kurang tertarik dengan
matematika dan sering kali mempertanyakan
relevansi dari begitu banyaknya waktu yang dihabiskan untuk mempelajari
pelajaran matematika. (Muijs, D. dan Reynolds, D, 2008:332)
“Mathematics
anxiety
has
gained
heightened
awareness
by
mathematics educators as an important factor in the learning and teaching
of mathematics”
(Gresham, Gina, 2007: 24). Matematika memegang
peranan yang cukup penting, oleh karenanya matematika hampir selalu ada
pada setiap bidang. Akan tetapi kegelisahan pada pelajaran matematika
memberikan pengaruh yang cukup besar yang dikarenakan hal tersebut
merupakan faktor yang cukup penting pada siswa dalam pembelajaran dan
pengajaran matematika.
Matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam segala
aspek kehidupan. Mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai
tingkat
46
perguruan tinggi. Mata pelajaran matematika juga merupakan salah satu
mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional.
The History of Mathematics Teaching, then we were confronted with
History of Mathematics Education, which encompasses the whole
educational system as it relates to mathematics and better indicates
the broad range of issues, such as the history of textbooks, the history
of professional organizations of mathematics teachers, or the history
of teacher education programs. On the other hand, mathematics
education is used sometimes in the sense of the scientific discipline.
(Schubring, Gert, 2006 : 4)
Sejarah pengajaran matematika dihadapkan dengan sejarah pendidikan
matematika, yang mana meliputi keseluruhan sistem pendidikan yang
berhubungan dengan ilmu matematika dan merupakan indikasi yang lebih
baik pada persoalan yang luas, seperti pada sejarah buku teks atau sejarah
pada program pendidikan guru. Dengan kata lain, pendidikan matematika
digunakan sebagai inti pada disiplin ilmu.
Matematika
merupakan
jalan
utama
untuk
mengembangkan
kemampuan berpikir logis dan keterampilan kognitif yang lebih tinggi pada
anak-anak. Pada Matematika juga memegang peranan penting di sejumlah
bidang ilmiah lain, bidang fisika, teknik dan statistik. Mengingat
pentingnya matematika, maka tidak mengherankan bila ada cukup banyak
penelitian tentang kemampuan siswa untuk berpikir dan belajar matematika,
maka perlu dipahami terlebih dahulu apa pengertian matematika. (Muijs, D.
dan Reynolds, D, 2008: 333)
47
7. Intelligence Quotient (IQ)
Salah satu teori yang memiliki pengaruh abadi di bidang pendidikan
adalah teori IQ (Intelligence Quotient). Teori IQ dilihat sebagai penentu
kemampuan orang untuk belajar, untuk mencapai prestasi akademik. Para
pakar ahli teori IQ seperti William Stern, yang merupakan salah satu
pengembang teori ini diawal abad 20, menyatakan bahwa inti kecerdasan
dibawa sejak lahir. Banyak psikolog AS dan Eropa yang mendukung
kesimpulan ini.
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk
bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses
berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata
yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah sebagai berikut:
a. Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga
sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya
sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi.
IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang
sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya.
48
Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ
mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak
pernah saling kenal.
b. Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir,
ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang
berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan
otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsanganrangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga
memegang peranan yang amat penting.
Intelligence Quotient (IQ) adalah skor yang diperoleh seseorang dari
sebuah alat tes kecerdasan. Salah satu cara untuk mengukur tingkat IQ
seseorang adalah dengan tes IQ. Analisis untuk mengukur IQ seseorang
menunjukkan bahwa semua item (pertanyaan) di dalam tes-tes itu pada
dasarnya mengukur sebuah faktor besar yang disebut G atau ”General
Multiple” (intelgensi umum). Oleh karena itu teori itu mengatakan bahwa
orang memiliki sebuah intelgensi umum dasar, yang akan memprediksi
seberapa baik kemampuan mereka untuk belajar dan berprestasi di sekolah
(Muijs, D. dan Reynolds, D, 2008:28).
49
B.
Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian oleh Elfina Hidayatus S. Yang berjudul ”Pembelajaran
Berbasis Masalah sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas VII MtsN Kembang Sawit Pada Sub Pokok Bahasan
Faktorisasi Suku Aljabar Tahun 2007/ 2008”. Dari penelitian tersebut, jika
dilihat dari segi model pengajaran yang digunakan bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar siswa aktif mengikuti pelajaran dengan
menggunakan pembelajaran Berbasis Masalah. Berbeda dengan penelitian
ini, peneliti ingin mengetahui apakah pembelajaran berbasis masalah
memberikan prestasi yang lebih baik dari pada diskusi kelas. Sehingga dari
hasil penelitian diharapkan dapat diketahui model pengajaran mana yang
lebih efektif. Kesamaan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Elfina
dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang pembelajaran
berbasis masalah. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Elfina
pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keaktifan siswa,
sementara pada penelitian ini, pembelajaran berbasis masalah diharapkan
mampu memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik dari pada
diskusi kelas.
C.
Kerangka Pemikiran
Seorang guru harus mengetahui model pengajaran apa yang sesuai
dengan materi yang akan diajarkan, sehingga siswa akan dengan mudah
50
menerima materi yang akan diajarkan guru. Pembelajaran berbasis masalah
merupakan salah satu model pengajaran interaktif yang berpusat pada
siswa. Siswa dituntut untuk aktif berpikir dalam proses pembelajaran. Pada
pembelajaran berbasis masalah, guru tidak memberikan materi secara
langsung kepada siswa, melainkan siswa harus aktif menelaah materi logika
matematika, menemukan masalah, mencari solusi atau alternatif dari
masalah tersebut. Dari kegiatan tersebut, akan memunculkan beberapa
pertanyaan, ide ataupun sanggahan dari siswa yang lain. Di samping itu
siswa akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran. Pada
pembelajaran berbasis masalah, pemecahan suatu masalah bisa dilakukan
dengan membentuk kelompok. Dalam diskusi kelompok setiap siswa
berhak mengeluarkan ide-idenya untuk memecahkan masalah, hal itu akan
memancing siswa untuk selalu berpikir secara aktif dalam pembelajaran.
Selain itu pembelajaran berbasis masalah mempunyai sifat yaitu menirukan
peran orang dewasa dalam menangani masalah dalam kehidupan seharihari, sehingga dari sini dapat diketahui bahwa siswa mempunyai tanggung
jawab yang besar terhadap ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya
memunculkan kesadaran dari dalam diri siswa untuk memperoleh prestasi
yang lebih baik. Melalui pembelajaran berbasis masalah akan membantu
dalam pengembangan sikap ilmiah siswa, rasa tanggung jawab siswa
terhadap ilmu pengetahuan, hal itu dikarenakan siswa telah terbiasa untuk
aktif berpikir, baik pada waktu proses pembelajaran atau mengeluarkan
51
pendapatnya pada waktu berdiskusi. Model pengajaran ini, dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa, karena siswa dilibatkan secara aktif
dalam proses pembelajaran.
Belajar matematika merupakan suatu aktivitas mental yang tinggi yang
berkaitan dengan penalaran untuk memahami arti dan hubungan-hubungan
serta simbol-simbol kemudian diterapkannya dalam masalah. Belajar
matematika dengan pembelajaran berbasis masalah, dinilai akan lebih
mudah, hal itu dikarenakan pembelajaran berbasis masalah memaksimalkan
keaktifan siswa untuk aktif berpikir, memahami dan memecahkan masalah
dalam matematika. Melalui pembelajaran berbasis masalah , siswa akan
terlatih untuk aktif berfikir sehingga tidak akan merasa sulit dalam
memecahkan masalah matematika.
Salah satu faktor yang cukup penting yang berpengaruh pada prestasi
belajar siswa yaitu adalah faktor IQ siswa. Dengan adanya perbedaan
tingkat IQ pada siswa maka prestasi belajar siswa akan memperoleh hasil
yang berbeda. Siswa yang mempunyai IQ tinggi akan mempunyai prestasi
belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan IQ
rendah. Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan karakteristik yang melekat
pada setiap siswa, karena IQ merupakan sifat bawaan atau keturunan dari
keluarga yang dibawa sejak lahir.
Melalui pembelajaran berbasis masalah, kemungkinan hasil belajar
siswa akan lebih baik. Hal itu disebabkan keaktivan siswa pada waktu
52
proses pembelajaran, sehingga siswa akan lebih mudah dalam memahami
materi dan memecahkan masalah dalam matematika. Di samping itu,
konsep matematika yang bersifat abstrak, akan dapat dipahami dengan baik
apabila siswa telah terlatih berpikir aktif dan kreatif serta jika siswa
mempunyai motivasi yang baik untuk mau belajar tekun dan memahami
materi dengan baik. Melalui keaktivan siswa dalam proses pembelajaran
dan kekreatifan dalam mengeluarkan ide-ide untuk memecahkan masalah
dan kesadaran serta rasa tanggung jawab yang baik, pembelajaran berbasis
masalah dinilai lebih efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Diskusi kelas juga merupakan salah satu model pengajaran yang
berpusat pada siswa. Melalui model pengajaran ini, siswa juga diarahkan
untuk memecahkan soal secara berkelompok dalam satu kelas. Banyak
dukungan teoritis untuk penggunaan diskusi berasal dari bidang-bidang
yang dipelajari oleh para pakar lewat pelajaran bahasa, proses komunikasi
dan pola pertukaran. Untuk memikirkan peran bahasa, dapat dipikirkan
bahwa dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari bahwa
kesuksesan banyak bergantung pada penggunaan bahasa dan komunikasi.
Akan tetapi pada diskusi kelas jika pada suatu kelompok terdapat
miskonsepsi yang terjadi antar siswa, maka akan menimbulkan kesalahan
konsep pada suatu materi pelajaran.
Belajar matematika dengan model pengajaran ini, dikhawatirkan akan
terjadi miskonsepsi antar siswa, karena pada model pengajaran ini
53
menekankan pada komunikasi antar siswa. Konsep matematika yang
bersifat abstrak akan sulit untuk dipahami jika komunikasi yang kurang
jelas terjadi sehingga menimbulkan kekeliruan dalam pemahaman konsep.
Melalui model pengajaran diskusi kelas, kemungkinan hasil belajar
siswa tidak akan lebih baik jira dibanding dengan pembelajaran berbasis
masalah. Beberapa materi matematika juga akan merasa sulit untuk
dipahami, dan bisa terjadi kesalahan konsep jika siswa tidak dapat
berkomunikasi dengan baik, misalnya bahasa yang digunakan dalam
berkomunikasi kurang bisa dipahami oleh temannya yang lain, sehingga
teman dalam kelompoknya tersebut salah menafsirkan bahan yang
didiskusikan. Sehingga melalui model pengajaran ini, dinilai kurang efektif
untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
Dari pemaparan mengenai pembelajaran Berbasis Masalah dan
Diskusi Kelas jika dikaitkan dengan IQ, kemungkinan pembelajaran
Berbasis Masalah lebih baik dari pada Diskusi Kelas, baik untuk siswa yang
mempunyai IQ tinggi, sedang ataupun rendah. Hal itu disebabkan karena
dalam pembelajaran Berbasis Masalah setiap siswa berhak mengeluarkan
ide-idenya untuk memecahkan masalah, hal itu akan memancing siswa
untuk berfikir kritis dan aktif dalam pembelajaran, hal tersebut berkaitan
dengan IQ siswa karena berhubungan dengan proses berpikir siswa. Siswa
yang mempunyai IQ tinggi akan dapat berpikir lebih kritis dan lebih cepat
dari pada IQ sedang dan rendah. Selain itu pembelajaran berbasis masalah
54
mempunyai sifat yaitu menirukan peran orang dewasa dalam menangani
masalah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dari sini dapat diketahui
bahwa siswa mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap ilmu
pengetahuan, yang pada akhirnya memunculkan kesadaran dari dalam diri
siswa untuk memperoleh prestasi yang lebih baik. Hal tersebut tidak
memerlukan IQ yang tinggi, karena suatu kesadaran untuk berusaha bisa
dimiliki oleh siswa yang mempunyai IQ sedang dan rendah.
D.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang diperkirakan oleh peneliti.
Pembelajaran berbasis masalah adalah model pengajaran yang menekankan
pada keaktifan siswa. Berdasarkan kajian pustaka, kerangka pemikiran dan
rumusan masalah, peneliti mengemukakan hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
1. Pembelajaran
Berbasis
Masalah
memberikan
prestasi
belajar
matematika yang lebih baik daripada diskusi kelas.
2. Siswa IQ tinggi akan mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik
dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan rendah, pada siswa
yang mempunyai IQ sedang akan mempunyai prestasi belajar
matematika lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah.
3.
55
3.
a. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, pembelajaran berbasis
masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika lebih baik
daripada diskusi kelas
b. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang model pengajaran
berbasis masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika
lebih baik daripada diskusi kelas
c. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah model pengajaran
berbasis masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika
lebih baik daripada diskusi kelas.
56
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian yang dimaksud adalah lokasi atau daerah dimana
penelitian itu diadakan. Adapun penelitan ini diadakan di SMA Negeri di
Kabupaten Magetan. Pemilihan tempat ini diadakan dengan pertimbangan
sebagai berikut.
1.
Kurikulum di SMA Negeri di Kabupaten Magetan kelas X
menggunakan KBK, yang sesuai dengan model pengajaran yang
peneliti gunakan.
2.
Jumlah siswa kelas X yang cukup banyak dalam setiap kelasnya,
sehingga bisa mewakili populasi.
3.
Nilai rata-rata matematika UAN tahun pelajaran 2006/ 2007 di
salah satu SMA Negeri di Kabuaten Magetan yaitu SMA N 1
Barat paling rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata mata
pelajaran lain. Nilai rata-rata UAN pada tahun ajaran 2006/ 2007
untuk mata pelajaran Matematika adalah 7,44, nilai rata-rata mata
pelajaran Bahasa Inggris adalah 8,89 dan nilai rata-rata mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah 8,42.
Waktu yang digunakan untuk pembuatan proposal dan penelitian
adalah lima bulan, yaitu pada bulan November dan Desember 2009,
57
Januari, Februari dan Maret tahun 2010, dimana jadwal penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
a. Penyusunan Proposal : Minggu ke-1,2,3,4 bulan November dan
minggu ke-1,2 bulan Desember 2009.
b. Penyusunan Instrumen : Minggu ke-3,4 bulan Desember 2009
c. Ijin Penelitian di Sekolah : Minggu ke-1 bulan Januari 2010
2. Tahap Pelaksanaan
a. Penelitian di sekolah : Minggu ke-2 bulan Januari sampai minggu
kedua bulan Maret 2010
b. Uji coba instrumen : Minggu ke-1 bulan Maret 2010
c. Tes Prestasi : Minggu ke-3 dan ke-4 bulan Maret 2010
3. Tahap Akhir
a. Analisis Data : Bulan April 2010
b. Ujian Tesis : Bulan Juli 2010
B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental semu. Peneliti
memberikan perlakuan yang berbeda pada dua sampel penelitian, yaitu
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. Kedua kelompok tersebut
diasumsikan mempunyai kemampuan awal yang sama sehingga hasil
penelitian adalah hasil dari perlakuan yang diberikan peneliti.
58
Kedua kelompok tersebut diasumsikan sama dalam segi yang relevan
dan hanya berbeda dalam penggunaan model pengajaran matematika.
Adapun langkah-langkah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Menentukan populasi
2.
Menentukan sekolah untuk dijadikan sampel penelitian, yang terdiri
dari tiga sekolah dan satu sekolah untuk uji coba instrumen
3.
Menentukan sampel penelitian secara random, membagi sampel
menjadi dua kelompok, untuk diberikan perlakuan yang berbeda
4.
Dilakukan pengambilan data tentang IQ siswa dengan cara tes IQ yang
dikategorikan menjadi tiga tingkat, yaitu tinggi, sedang dan rendah.
5.
Kelompok I diberi pengajaran dengan pembelajaran berbasis masalah
dan kelompok II diberi model pengajaran diskusi kelas
6.
Melakukan tes tentang materi Logika Matematika untuk mengetahui
hasil belajar siswa dengan menggunakan kedua model pengajaran
tersebut
7.
Melakukan analisis data untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar
siswa pada materi logika matematika, yang ditinjau dari perbedaan
penggunaan model pengajaran, tingkat IQ dan pengaruh interaksi
model pengajaran dan tingkat kecerdasan siswa terhadap prestasi
belajar siswa.
59
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
1.
Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau
subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan
oleh
peneliti
untuk
dipelajari
dan
kemudian
ditarik
kesimpulannya (Sugiyono.2007:55). Populasi pada penelitian ini adalah
siswa kelas X SMA Negeri Kabupaten Magetan, yang terdiri atas :
2.
a. SMA N 1 Magetan
f.
SMA N 1 Sukomoro
b. SMA N 2 Magetan
g.
SMA N 1 Maospati
c. SMA N 3 Magetan
h.
SMA N 1 Kawedanan
d. SMA N 1 Plaosan
i.
SMA N 1 Barat
e. SMA N 1 Parang
j.
SMA N 1 Karas
Teknik Pengambilan Sampel
Sampel penelitian diambil secara random, maksudnya masing-masing
sampel mempunyai peluang yang sama untuk diambil. Populasi pada
penelitian ini terdiri atas siswa siswa kelas X dari SMA Negeri seKabupaten Magetan.
Salah satu cara menentukan teknik pengambilan sampel adalah dengan
Stratified Random Sampling. Teknik pengambilan sampel tersebut
dilakukan dengan melakukan stratifikasi atas sampel-sampel yang terdiri
atas kelompok-kelompok yang merupakan anggota dari populasi. Teknik ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
60
a.
Mengambil populasi yang terdiri atas siswa kelas X SMA Negeri
Kabupaten Magetan
b.
Dari populasi itu diambil sekolah yang menjadi anggota populasi, dan
dilakukan stratifikasi atas sekolah-sekolah SMA Negeri di Kabupaten
Magetan yang menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Hal
tersebut bertujuan agar sampel yang diambil dapat terwakili dari siswa
yang mempunyai IQ tinggi, sedang dan rendah.
c.
Dari sepuluh sekolah yang sudah diperingkat tersebut dilakukan
pengambilan secara random satu sekolah dari masing-masing
tingkatan tersebut untuk dijadikan sampel penelitian, dan satu sekolah
untuk tingkatan IQ sedang untuk sekolah uji instrumen.
d.
Dari pengundian tersebut peneliti memperoleh empat sekolah yaitu
misalnya SMAN 1 Maospati mewakili sekolah tingkatan IQ tinggi,
SMAN 1 Barat, mewakili sekolah tingkatan IQ sedang, SMAN 1
Kawedanan mewakili sekolah tingkatan IQ rendah dan SMAN 1 Karas
untuk uji instrumen. Pembelajaran Berbasis Masalah dikenakan pada
kelas XF SMAN 1 Maospati, kelas X3 SMAN 1 Barat dan kelas X5
SMAN 1 Kawedanan. Diskusi Kelas dikenakan pada kelas XH SMAN
1 Maospati, X1 SMAN 1 Barat, dan kelas X6 SMAN 1 Kawedanan,
Sedangkan kelas X4 SMAN 1 Karas sebagai uji coba soal.
61
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas dan satu variabel
terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pengajaran dan IQ
siswa. Adapun kedua variabel bebas akan dijelaskan sebagai berikut :
a Variabel Bebas
1. Model Pengajaran (variabel eksperimen)
1. Model Pengajaran menggambarkan kerangka konseptual yang
mendeskripsikan dan melukis prosedur yang sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar dan sebagai pedoman
bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan
aktifitas pembelajaran.
2. Indikator: berupa sintaksis dari masing-masing model pengajaran
3. Skala Pengukuran : nominal dengan dua kategori
4. Simbol : A
a 1 = pembelajaran berbasis masalah
a 2 = diskusi kelas
2. IQ Siswa (variabel atribut)
1. IQ siswa digunakan sebagai penentu kemampuan orang untuk
belajar, untuk mencapai prestasi akademik.
2. Indikator : Skor hasil tes IQ siswa
62
3. Skala Pengukuran : Interval, diubah menjadi skala ordinal dengan
tiga kategori sebagai berikut :
Pengelompokan IQ siswa :
Tabel 3.1 Pengelompokan IQ siswa
Simbol
Interval
B1
X ³X+
B2
B3
X-
Keterangan
1
s
2
1
1
s<X<X + s
2
2
X£X-
1
s
2
Tinggi
Sedang
Rendah
4. Simbol : B
Keterangan :
b1 = IQ tinggi
s = standar deviasi
b2 = IQ sedang
X = skor siswa
b3 = IQ rendah
X = rerata skor seluruh siswa
b Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah prestasi belajar siswa.
Adapun variabel terikat akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Prestasi belajar matematika adalah hasil tes prestasi belajar
matematika siswa pada materi logika matematika
2. Skala pengukuran : interval
63
3. Indikator : Nilai tes siswa materi logika matematika pada siswa yang
diajar dengan kedua model pengajaran.
4. Simbol : AB
2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial 2 x 3, dengan
maksud untuk mengetahui pengaruh dua variabel bebas terhadap variabel
terikat.
Tabel . 3.2 Rancangan Penelitian
IQ (B)
Rendah
Tinggi (b1)
Sedang (b2)
(b3)
Model Pengajaran(A)
Pembelajaran
Berbasis
ab11
ab12
ab13
ab21
ab22
ab23
Masalah (a1)
Diskusi Kelas (a2)
3. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan instrumen tes dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pada penelititan ini setiap satu RPP
digunakan untuk satu pertemuan, sehingga terdapat delapan RPP untuk
delapan pertemuan. Tes yang digunakan pada penelitian ini adalah tes
prestasi belajar yang digunakan untuk mengetahui hasil atau nilai dari
pembelajaran yang telah diberikan pada kedua kelompok. Tes yang dibuat
64
memuat materi yang diajarkan yaitu materi logika matematika. Sedangkan
untuk hasil IQ, peneliti hanya mengambil data hasil tes IQ dari sekolah.
Pada penyusunan tes prestasi belajar adalah sebagai berikut :
a.
Membuat kisi-kisi soal tes prestasi belajar
b.
Menyusun soal tes prestasi belajar
c.
Mengadakan uji coba soal tes prestasi belajar
4. Uji Coba Instrumen
Setelah instrumen tes tersebut dibuat, lalu instrumen diujicobakan
pada siswa di sekolah yang dipilih sebagai sekolah uji coba. Dari hasil uji
coba, lalu dianalisa untuk mengetahui apakah tes yang telah dibuat valid
reliabel, konsisten, mempunyai tingkat kesukaran dan daya pembeda yang
sesuai atau tidak.
a Uji Validitas
Suatu tes dikatakan valid jika mengukur apa yang seharusnya diukur.
(Allen dan Yen. dalam Budiyono.2004:55). Dalam penelitian ini butir
instrumen dikatakan valid menurut validitas isi jika validator setuju dengan
semua kriteria yang ditentukan sehingga butir telah sesuai dengan semua
kriteria yang ditentukan. Kriteria tersebut meliputi kesesuaian butir soal
dengan pokok bahasan, kesesuaian butir soal dengan kisi-kisi, soal tidak
terlalu mudah dan tidak terlalu sukar, kalimat soal mudah dipahami, dan
item soal tidak bermakna ganda.
65
b Uji Reliabilitas
Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi
jika tes tersebut memberikan hasil yang tetap. Masalah reliabel tes berkaitan
dengan ketetapan hasil tes. Kata reliabel sering disebut terpercaya,
terandalkan, konsisten, ajeg. Suatu reliabilitas alat ukur atau alat evaluasi
dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang sama
(konsisten, ajeg). Uji reliabilitas pada soal tes menggunakan teknik KuderRichardson, yaitu sebagai berikut :
2
æ n öæç s t - å p i q i
r11 = ç
÷
2
st
è n - 1 øçè
ö
÷
÷
ø
(Budiyono, 2003 : 69)
dengan :
r11
: indeks reliabilitas instrumen
n
: banyaknya butir instrumen
pi
: proporsi banyaknya subjek yang menjawab benar pada butir ke-i
qi
:1- pi
s 2t
: variansi total
Sebuah instrumen mempunyai reliabilitas yang tinggi jika derajat
kesalahannya kecil. Hasil perhitungan dan uji reliabilitas kemudian
diinterpretasikan ke dalam kriteria reliabilitas sebagai berikut :
0,80 £ r11 £ 1,00 : sangat tinggi
0,60 £ r11 < 0,80 : tinggi
0,40 £ r11 < 0,60 : cukup
66
0,20 £ r11< 0,40 : rendah
0,00 £ r11 < 0,20 : sangat rendah
Pada penelitian ini, butir soal yang dianggap reliabel jika berada pada
kategori tinggi dan sangat tinggi, sehingga butir soal yang dipakai adalah
butir soal yang mempunyai indeks reliabilitas lebih besar dan sama dengan
0,6.
c Tingkat Kesukaran
Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang
disebut dengan indeks kesukaran. Bilangan tersebut adalah bilangan real
pada interval 0,00 sampai dengan 1,00. soal dengan indeks kesukaran
mendekati 0,00 berarti butir tersebut terlalu sukar, sebaliknya soal yang
mendekati 1,00, butir soal tersebut terlalu mudah. Tingkat kesukaran butir
soal adalah proporsi banyaknya peserta yang menjawab benar butir soal
tersebut terhadap seluruh peserta tes. Indek kesukaran diberi simbol P, yang
merupakan singkatan dari proporsi. Rumus untuk mencari P adalah sebagai
berikut :
P =
B
JS
(Suharsimi Arikunto. 2003:208)
Keterangan :
P
:
Indeks Kesukaran
67
B
:
Banyaknya siswa yang menjawab soal dengan benar
JS
:
Jumlah seluruh siswa peserta tes.
Klasifikasi untuk indeks kesukaran yang paling banyak digunakan adalah :
0,00 £ P < 0,30 soal sukar
0,30 £ P < 0,70 soal sedang
0,70 £ P £ 1,00 soal mudah
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu
sukar. Soal yang sukar dampak positifnya akan melatih siswa untuk
berpikir lebih tinggi, sedangkan dampak negatifnya akan membuat siswa
putus asa. Sedangkan soal mudah dampak positifnya akan membuat siswa
lebih semangat dalam mengerjakan sedangkan dampak negatifnya kurang
dapat merangsang siswa untuk berfikir tingkat tinggi. Pada penelitian ini,
butir soal yang digunakan adalah butir soal yang mempunyai indeks
kesukaran antara 0,30 sampai 0,70.
e. Daya Pembeda
Daya Pembeda dari sebuah butir instrumen adalah kemampuan butir
soal itu untuk membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan
tinggi dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Derajat daya
pembeda dinyatakan dengan Indeks Diskriminasi (D), yang bernilai -1,00
sampai 1,00. Indeks diskriminasi makin mendekati 1,00 berarti daya
pembeda soal tersebut makin baik, sebaliknya jika mendekati 0,00 daya
pembeda makin buruk.
68
Indeks diskriminasi bernilai negatif berarti siswa yang mempunyai
kemampuan rendah banyak menjawab benar untuk soal tersebut, sedangkan
siswa yang pandai banyak yang salah dalam menjawab soal tersebut. Jika
nilai indeks diskriminasi 0,00 berarti tidak ada daya pembeda, sehingga
siswa yang pandai dan siswa yang tidak pandai menjawab benar untuk soal
tersebut, atau menjawab salah soal tersebut.
Seluruh siswa yang akan tes, dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok atas dan kelompok bawah. Kelompok atas terdiri dari siswa
yang pandai, sedangkan kelompok bawah terdiri dari siswa yang tidak
pandai. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya pembeda adalah
sebagai berikut :
D=
B A BB
= PA - PB
JA JB
(Suharsimi Arikunto. 2003:213)
Keterangan :
D
:
Daya Pembeda
J
:
Jumlah peserta tes
JA
:
Jumlah siswa kelompok atas
JB
:
Jumlah siswa kelompok bawah
BA
:
Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB
Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
69
Klasifikasi untuk daya pembeda yang paling banyak digunakan adalah :
0,00
<
D
£
0,20
Jelek
0,20
<
D
£
0,40
Cukup
0,40
<
D
£
0,70
Baik
0,70
<
D
£
1,00
Sangat baik
Pada penelitian ini, butir soal yang digunakan adalah butir soal yang
mempunyai indeks diskriminan lebih dari 0,4.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Metode Tes
Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data adalah metode tes. Tes yang dilakukan ada dua jenis tes yaitu tes IQ,
yang digunakan untuk mengetahui tingkat kecerdasan siswa dan Tes
prestasi belajar, yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar setelah
kedua kelompok diberi perlakuan yang berbeda.
Idrakusumah
(1975:27),
(dalam
Erman
Suherman.
1993:10)
menyebutkan bahwa tes adalah “suatu alat atau prosedur yang sistematik
dan objektif untuk memperoleh data atau keterangan tentang seseorang,
dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat”. Untuk tes IQ, peneliti
mengambil data hasil tes IQ siswa dari sekolah penelitian. Sedangkan tes
prestasi belajar berupa pertanyaan tentang materi logika matematika, berupa
pilihan ganda dengan 5 pilihan jawaban dan berjumlah 30 soal, yang mana
70
skor pada tiap soal adalah 1, sehingga nilai totalnya adalah 30, dan nilainya
adalah jumlah benar dibagi jumlah soal.
b. Metode Dokumentasi
Menurut Budiyono (2003 : 54) “Metode dokumentasi adalah cara
pengumpulan data dengan melihatnya dalam dokumen yang telah ada.
Dokumen biasanya merupakan dokumen resmi yang telah terjamin
keakuratannya”. Penggunaan metode dokumentasi pada penelitian ini
adalah untuk mendapatkan data tentang nilai ujian akhir semester I siswa
kelas X pada pelajaran matemátika dan data hasil tes IQ siswa. Data nilai
ujian akhir semester I pada pelajaran matemátika kelas X digunakan untuk
mengetahui apakah antara kedua kelompok mempunyai keadaan awal yang
sama, sehingga hasil belajar adalah dari perlakuan yang diberikan secara
berbeda pada kedua kelompok. Data IQ digunakan untuk menentukan
kriteria IQ siswa pada pengelompokan kriteria IQ, yang terdiri atas IQ
tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Data IQ diambil dari hasil tes IQ yang
telah diadakan di sekolah.
E. Teknik Analisis Data
1.
Uji Keseimbangan
Uji keseimbangan digunakan untuk melihat apakah kedua kelompok
dalam keadaan seimbang sebelum dilakukan penelitian, sehingga dapat
diketahui bahwa kedua kelompok mempunyai kemampuan awal yang sama.
71
Data yang digunakan untuk melakukan uji ini adalah data nilai Ujian Akhir
Semester I, mata pelajaran matematika. Uji yang digunakan untuk uji
keseimbangan adalah uji t. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Hipotesis
H0 : m 1 = m 2 (populasi-populasi seimbang)
H1 : m 1 ¹ m 2 (populasi-populasi tidak seimbang)
b. Taraf signifikan ( a ) = 0,05
c. Statistik uji yang digunakan :
t=
(X1 - X 2 )
1
1
+
n1 n2
sp
~ t( n1+n2-2) dengan s 2p =
(n1 - 1) s12 + (n2 - 1) s 22
n1 + n 2 - 2
Keterangan :
t
: t hitung ; t ~ t( n1+n2-2)
X1
: rata-rata ulangan akhir semester I kelas X mata pelajaran
matematika yang diajar dengan pembelajaran berbasis
masalah
X2
:
rata-rata nilai ulangan akhir semester I kelas X mata
pelajaran matematika yang diajar dengan diskusi kelas
n1
:
ukuran sampel kelompok yang diajar dengan pembelajaran
berbasis masalah
n2
: ukuran sampel kelompok yang diajar dengan diskusi kelas
72
s1
2
: variansi kelompok yang diajar dengan pembelajaran berbasis
masalah
s2
2
: variansi kelompok yang diajar dengan diskusi kelas
sp
2
: variansi gabungan antara kelompok yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas
d. Daerah Kritik
DK = { t / t < ─ t a
2
;( n1 +n2 - 2 )
atau t > t a
2
;( n1 +n2 - 2 )
}
e. Keputusan uji
H0 ditolak jika t Î DK, dan H0 diterima jika t Ï DK.
f. Kesimpulan
Kesimpulan bisa dilihat dari keputusan uji, yaitu ditolak atau diterimanya
H0 .
(Budiyono, 2004 : 151)
2.
Uji Prasyarat
a.
Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah suatu populasi
berdistribusi normal atau tidak. Pada penelitian ini, peneliti melakukan uji
normalitas dengan menggunakan metode Lilliefors. Uji normalitas dengan
metode Lilliefors digunakan apabila datanya tidak berbentuk distribusi
frekuensi bergolong. (Budiyono.2004:170). Untuk menguji normalitas ini
digunakan metode Lilliefors.
73
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Hipotesis
H0
:
sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1
:
sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
2) Taraf signifikan ( a ) = 0,05
3) Statistik uji yang digunakan :
L = max │F(zi) - S (zi)│
Keterangan:
F(zi ) = P(Z≤zi ), Z ~ N(0,1)
Zi
: skor standar, z i =
s
: standar deviasi
(Xi - X )
s
S(zi ) : proporsi cacah Z ≤ z i terhadap seluruh cacah z
Xi
: skor responden
4) Daerah kritik (DK)
DK = {L│L > Lα:n } dengan n adalah ukuran sampel.
Lα:n diperoleh dari tabel Lilliefors
5) Keputusan uji
H0 ditolak jika Z Î DK
6) Kesimpulan
Kesimpulan bisa dilihat dari hasil H0 pada keputusan uji
(Budiyono, 2004 : 170)
74
Daerah kritik untuk uji ini adalah DK = { L | L > Lα;n } dengan n
adalah ukuran sampel. Untuk beberapa α dan n, nilai Lα;n dapat dilihat
pada tabel lampiran nilai kritik uji Lilliefors (tabel 7. Budiyono. 2004:319)
Jika L Î DK, maka Ho ditolak Jika L Ï DK, maka Ho tidak ditolak
(diterima).
b.
Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah populasi-populasi
mempunyai variansi-variansi yang sama atau tidak. Untuk menguji
homogenitas, digunakan metode Barltlet, dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1) Hipotesis
H0 : s 12 = s 22 = …= s k2 (populasi-populasi homogen)
H1 : Paling tidak ada satu i dan satu j sehingga s i2 ¹ s 2j dengan
i≠j
2) Taraf Signifikansi ( α ) = 0,05
3) Statistik Uji yang digunakan :
c2 =
k
ù
2,303 é
f
.
log
RKG
f j log S 2j ú
ê
å
C ë
j=1
û
Keterangan:
χ2~ χ2(k-1)
k
: banyaknya populasi
f
: derajat kebebasan untuk RKG = N - k
75
N
: banyaknya seluruh nilai ( pengukuran ).
fj
: derajat kebebasan untuk Sj 2 = nj - 1
j
: l, 2, ..., k
nj
: cacah pengukuran pada sampel ke-j
c = 1+
1 é
1 1ù
êå - ú
3(k - 1) êë f j f úû
RKG =
å SS
åf
(å X )
-
2
SS j = å X
i
j
2
j
j
nj
4) Daerah Kritik (DK)
{
DK= c 2 c 2 > c 2 a :k -1
}
5) Keputusan Uji
Ho ditolak jika χ 2 Î DK
6) Kesimpulan
Kesimpulan bisa dilihat dari hasil H0 pada keputusan uji.
(Budiyono, 2004 : 176-177)
3.
Uji Hipotesis
Dalam penelitian ini digunakan analisis variansi dua jalan dengan
jumlah sel tak sama. Adapun langkah-langkah untuk pengujian ini adalah
sebagai berikut :
Model analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama adalah :
Xijk = m + a i + b j + (ab ) ij + e ijk
76
Keterangan :
Xijk : data (nilai) ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j
µ
: rerata dari seluruh data (rerata besar)
αi
: efek baris ke-i pada variabel terikat
βj
: efek kolom ke j pada variabel terikat
(αβ)ij : kombinasi efek baris ke-i dan kolom k-j pada variabel
terikat
εijk
: Deviasi data Xijk terhadap rataan populasinya (µijk) yang.
berdistribusi normal dengan rataan 0
i
: 1, 2
1 : model pengajaran pembelajaran berbasis masalah..
2 : model pengajaran diskusi kelas.
j
: 1, 2, 3
1 : IQ rendah
2 : IQ sedang
3 : IQ tinggi
k
: 1, 2, ..., nij ; nij : cacah data amatan pada setiap sel.
(Budiyono, 2004 : 228)
a Hipotesis :
Baris menyatakan variabel (faktor A) yang mempunyai nilai a1, a2. dan
kolom menyatakan variabel(faktor B) yang mempunyai nilai b1,b2,b3.
77
HoA : a i = 0 untuk setiap i = 1,2 (tidak ada perbedaan efek antara
baris terhadap variabel terikat)
H1A :
paling sedikit ada satu a i yang tidak nol (ada perbedaan efek
antar baris terhadap variabel terikat)
HoB : b j = 0 untuk setiap j = 1,2,3 (tidak ada perbedaan efek antara
kolom terhadap variabel terikat)
H1B :
paling sedikit ada satu b j yang tidak nol (ada perbedaan efek
antar kolom terhadap variabel terikat)
HoAB :
(ab ) ij =0 untuk setiap i = 1,2 dan j = 1,2,3 (tidak terdapat
interaksi baris dan kolom terhadap variabel terikat)
H1AB : paling sedikit ada satu (ab ) ij yang tidak nol (terdapat interaksi
baris dan kolom terhadap variabel terikat).
b Komputasi
Pada analisis variansi dua jalan sel tak sama notasi dan tata letak data
amatan diberikan pada tabel berikut :
Tabel.3.3
Data Amatan, Rataan dan Jumlah Kuadrat Deviasi
IQ(B)
b1
b2
b3
Model Pengajaran (A)
a1
n 11
ΣX 11k
n 12
ΣX 12k
n 13
ΣX 13k
X
X
X
11
12
13
78
a2
ΣX211k
C 11
SS11
n21
ΣX 21k
ΣX212k
C 12
SS12
n22
ΣX 22k
ΣX213k
C 13
SS13
n23
ΣX 23k
X
X
X
21
ΣX221k
22
ΣX222k
23
ΣX223k
C 21
SS 21
C22
SS22
C 23
SS 2 3
Tabel . 3.4
Rataan dan Jumlah Rataan
B
b1
b2
b3
Total
A
a1
AB11
AB12
AB13
A1
a2
AB21
AB22
AB23
A2
Total
B1
B2
B3
G
dengan :
nij = ukuran sel ij (sel pada baris ke-i dan kolom ke-j)
= banyaknya data amatan pada sel ij
= frekuensi sel ij
nh = rataan harmonik frekwensi sel
pq
1
å
i , j nij
N= å nij = banyak seluruh data amatan
i, j
SSij= å X ijk 2 k
(å X ijk ) 2
k
nijk
= jumlah kuadrat deviasi data amatan pada sel ij
79
ABij = rataan pada sel ij
Ai =
å AB
= jumlah rataan baris ke-i
ij
j
Bj =
å AB
= jumlah rataan kolom ke-j
ij
i
G=
å AB
ij
= jumlah rataan semua sel
i, j
sehingga :
(1)
G2
pg
(2) =
å SSij;
i, j
(3) = å
i
Ai
q
2
(5) = å ABij 2
i, j
Jumlah Kuadrat
JKA = nh {(3)-(1)}
JKB = nh {(4)-(1)}
JKAB = nh {(1)+(5) - (3) – (4)}
JKT = JKA + JKA + JKAB + JKG
Derajat Kebebasan (dk)
dkA = p - 1
dkB = q-1
dkAB = (p – 1) (q-1)
dkT = N-1
(4) =
Bj 2
åj p ;
80
dkG = N - pq
RKA =
JKA
dkA
RKAB =
JKAB
dkAB
RKB =
JKB
dkB
RKG =
JKG
dkG
Statistik ujinya adalah :
Fa =
RKA
RKG
Fb =
RKB
RKG
Fab =
RKAB
RKG
Daerah Kritik :
Daerah Kritik untuk Fa adalah DK = {Fa Fa> Fa
; p -1, N - pq
}
Daerah Kritik untuk Fb adalah DK = {Fb Fb > Fa ;q -1, N - pq }
Daerah Kritik untuk Fab adalah DK = {Fab Fab > Fa
( q -1)( N - pq ), N - pq
}
Tabel 3.5
Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama.
Sumber
A(baris)
B(kolom)
AB
Galat
Total
c.
JK
dk
RK
Fobs.
JKA
dkA
RKA
Fa
JKB
dkB RKB Fb
JKAB dkAB RKAB Fab
JKG dkG RKG
JKT
dkT
-
-
Fα
Fa
; p -1, N - pq
Fa ;q -1, N - pq
Fa ( q -1)( N - pq ), N - pq }
-
Uji Lanjut Pasca Anava
Uji lanjut pasca anava adalah tindak lanjut dari analisis variansi, jika
hasil analisis variansi menunjukkan hipotesis nol ditolak. Tujuannya untuk
81
melakukan pelacakan terhadap perbedaan rerata setiap pasangan kolom,
baris dan setiap pasangan sel. Metode komparasi ganda yang dipakai adalah
metode Scheffe. Langkah-langkah komparasi ganda dengan metode Scheffe
pada analisis variansi dua jalan terdapat empat macam komparasi.
Komparasi ganda tersebut antara lain :
a.
Komparasi ganda baris ke-i dan baris ke-j
b.
Komparasi ganda kolom ke-i dan kolom ke-j
c.
Komparasi ganda sel ij dan sel kj
d.
Komparasi ganda sel ij dan sel ik
Karena pada penelitian ini pada rancangan penelitian hanya
mempunyai 2 baris, yaitu pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas,
maka tidak perlu dilakukan komparasi antar baris.
a. Komparasi Rataan Antar Kolom.
Uji Sceffe untuk komparasi rataan antar kolom adalah :
F.i -. j =
Daerah Kritik adalah :
Dk = { F l F >(q-1) Fa ;q -1, N - pq }.
( X .i - X . j ) 2
æ 1
1 ö÷
RKGç +
çn
÷
è .i n. j ø
82
b. Komparasi Rataan antar sel pada kolom yang sama.
Fij - kj =
( X ij - X kj ) 2
æ 1
1 ö÷
RKGç
+
çn
÷
è ij n kj ø
Fij - jk = nilai F observasi pada pembanding rataan pada sel ij dan sel kj.
X ij = rataan pada sel ij.
X jk = rataan pada sel jk.
RKG = Rataan Kuadrat Galat .
nij = ukuran sel ij.
n kj = ukuran sel kj.
DK = { F l F >(pq-1) Fa ; pq -1, N - pq }.
c. Komparasi Rataan antar sel pada baris yang sama.
Fij -ik =
Dengan Daerah Kritik :
DK = { F l F >(pq-1) Fa ; pq -1, N - pq }.
( X ij - X ik ) 2
æ 1
1 ö÷
RKGç
+
çn
÷
è ij nik ø
83
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Uji Coba Instrumen
1. Uji Validitas Isi
Tes prestasi belajar matematika materi logika matematika terdiri dari
35 soal. Soal tes tersebut berbentuk pilihan ganda dengan 5 pilihan
jawaban. Melalui dua orang validator yaitu Tutik Sri Sulasmini S.Pd dan
Dra. Endang Sudjajati, yang mana kedua orang tersebut adalah guru di
sekolah penelitian yang telah mempunyai pengalaman mengajar lebih dari
15 tahun dan sudah tersertifikasi. Dari kedua validator ke-35 soal tes
prestasi belajar dinyatakan valid karena dinilai telah memenuhi kisi-kisi
soal. (Tabel lembar validator ada pada Lampiran 5)
2. Uji Reliabilitas
Suatu reliabilitas alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai
suatu alat yang memberikan hasil yang sama (konsisten atau ajeg). Uji
reliabilitas pada soal tes menggunakan teknik Kuder-Richardson. Hasil uji
reliabilitas instrumen terhadap 32 responden memberikan hasil r11 = 0,92.
Dari hasil tersebut bisa diketahui bahwa instrumen tes reliabel. (Tabel uji
reliabilitas pada Lampiran 6)
84
3. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran butir soal adalah proporsi banyaknya peserta yang
menjawab benar butir soal tersebut terhadap seluruh peserta tes. Pada
penelitian ini, tingkat kesukaran P yang digunakan adalah jika P terletak
antara 0,30 £ P < 0,70. Hasil uji instrumen menunjukkan dari 35 soal yang
diujikan mempunyai tingkat kesukaran antara 0,30 sampai 0,70, sehingga
35 butir soal tersebut bisa digunakan sebagai instrumen tes prestasi belajar.
(Tabel tingkat kesukaran pada Lampiran 7)
4. Daya Pembeda
Daya Pembeda dari sebuah butir instrumen adalah kemampuan butir
soal itu untuk membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan
tinggi dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Pada penelitian
ini, daya pembeda yang dipakai adalah daya pembeda yang nilainya lebih
dari 0,4. Dari hasil uji instrumen diperoleh bahwa terdapat 5 butir soal yang
mempunyai nilai daya pembeda yang kurang dari 0,4, yaitu soal nomor 7,
18, 19, 25 dan 28 yang mempunyai klasifikasi daya pembeda jelek,
sehingga ke-5 butir soal tersebut harus dibuang. (tabel perhitungan daya
beda pada Lampiran 8)
85
B. Deskripsi Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data tes prestasi belajar
matematika materi logika matematika pada kelas X SMA. Sampel diambil
sebanyak 220 siswa yang terdiri atas 110 siswa yang diajar dengan
Pembelajaran Berbasis Masalah, dan 110 siswa yang diajar dengan Diskusi
Kelas. Sampel untuk kelas yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis
Masalah adalah kelas XH SMA N 1 Maospati, X3 SMA N 1 Barat, X5
SMA N 1 Kawedanan. Sampel untuk kelas yang diajar dengan Diskusi
Kelas adalah kelas XF SMA N 1 Maospati, X1 SMA N 1 Barat dan X6
SMA N 1 Kawedanan.
1. Data Tes Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika
Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar
yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima
pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut
telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi
internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari hasil uji coba tersebut
terdapat 5 soal yang tidak sesuai yaitu soal nomor 7, 18, 19, 25 dan 28,
sehingga soal tersebut harus dibuang.
Dari data tes diperoleh N adalah 220, dengan nilai terendah XR adalah
60 dan nilai tertinggi XT adalah 90, dan Rata-rata adalah 75,27, median Me
adalah 76,26, modus Mo adalah 81, standart deviasi s adalah 8,04, penyajian
data bergolong dengan range R adalah 30, banyak kelas d = 1+3,3 log N =
86
8,72 » 9, dan lebar kelas e =
R
= 3,33. Perhitungan selengkapnya pada
k
Lampiran 12. Dari data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang
sebagai berikut.
Gambar 4.1 Diagram Batang Data Tes Prestasi Belajar
50
40
30
20
10
0
61.5
65.5
69.5
73.5
77.5
81.5
85.5
89.5
2. Data Tes Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika
kelas yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah
Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar
yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima
pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut
telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi
internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N
adalah 110, dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT
adalah 90, dan rata-rata adalah 76,2, median Me adalah 77,18, Modus Mo
adalah 80,56, standart deviasi s adalah 8,24, penyajian data bergolong
dengan range R adalah 30, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 7,73 » 8, dan
87
lebar kelas e =
R
= 4. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 13. Dari
k
data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut.
Gambar 4.2 Diagram Batang Data Tes Prestasi Belajar Matematika
pada Pembelajaran Berbasis Masalah
25
20
15
10
5
0
61.5
65.5
69.5
73.5
77.5
81.5
85.5
89.5
3. Data Tes Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika
kelas yang diajar dengan Diskusi Kelas
Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar
yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima
pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut
telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi
internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N
adalah 110, dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT
adalah 86,7, dan rata-rata adalah 74,77 , median Me adalah 76,17 , modus
Mo adalah 81,04, standart deviasi s adalah 7,81 , penyajian data bergolong
dengan range R adalah 27, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 7,7 » 7 , dan
88
lebar kelas e =
R
= 4. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 14. Dari
k
data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut.
Gambar 4.3 Diagram Batang Data Tes Prestasi Belajar Matematika
pada Diskusi Kelas
30
25
20
15
10
5
0
61.5
65.5
69.5
73.5
77.5
81.5
85.5
4. Data IQ siswa
Pada data tes IQ siswa, kriteria IQ dikelompokkan berdasarkan tiga
tingkatan IQ yaitu tinggi, sedang dan rendah, yang didasarkan pada hasil
data tes IQ siswa dimana
< X <X +
X ³X+
1
1
s adalah kriteria IQ tinggi X - s
2
2
1
1
s kriteria IQ sedang dan X £ X - s kriteria IQ rendah.
2
2
Pada penelitian ini, siswa yang mempunyai IQ antara 114 sampai 130
termasuk dalam kategori IQ tinggi, siswa yang mempunyai IQ antara 104
sampai 106 termasuk dalam kategori IQ sedang, sedangkan siswa yang
mempunyai IQ 76 sampai 98 termasuk dalam kategori IQ rendah.
Pada penelitian ini terdapat 220 siswa yaitu 110 siswa yang diajar
dengan Pembelajaran Berbasis Masalah dan 110 siswa yang diajar
89
dengan Diskusi Kelas. Siswa yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis
Masalah terdiri atas 45 siswa dengan kriteria IQ tinggi, 39 siswa IQ
sedang dan 26 siswa IQ rendah. Sedangkan siswa yang diajar dengan
Diskusi kelas terdiri atas 42 siswa dengan kriteria IQ tinggi, 35 siswa IQ
sedang ,dan 33 siswa IQ rendah.
Dari data tes diperoleh N adalah 220, dengan nilai terendah XR adalah
76 dan nilai tertinggi XT adalah 130, dan rata-rata adalah 107,63, median
Me adalah 109,36, Modus Mo adalah 112, standart deviasi s adalah 10,47,
penyajian data bergolong dengan range R adalah 54, banyak kelas d =
1+3,3 log N = 8,729 » 9, dan lebar kelas e =
R
= 6 . Perhitungan
k
selengkapnya pada Lampiran 15. Dari data tersebut dapat dibuat gambar
diagram batang sebagai berikut.
Gambar 4.4 Diagram Batang Data IQ Siswa
60
50
40
30
20
10
0
78.5 84.5 90.5 96.5 103
109
115
121
127
133
90
5. Data Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Pada
Siswa IQ Tinggi
Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar
yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima
pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut
telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi
internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N = 87,
dengan nilai terendah XR adalah 73,3 dan nilai tertinggi XT adalah 90, dan
rata-rata adalah 83,20, median Me adalah 83,65, Modus Mo adalah 79,22,
standart deviasi s = 4,31, penyajian data bergolong dengan range R adalah
17, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 8,729 » 9, dan lebar kelas e =
R
= 2.
k
Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 16. Dari data tersebut dapat
dibuat gambar diagram batang sebagai berikut.
Gambar 4.5 Diagram Batang Data Prestasi Belajar Kelompok Tinggi
25
20
15
10
5
0
73.5
75.5
77.5
79.5
81.5
83.5
85.5
87.5
89.5
91
6. Data Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Pada
Siswa IQ Sedang
Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar
yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima
pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut
telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi
internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N =74,
dengan nilai terendah XR adalah 63,3 dan nilai tertinggi XT adalah 83,3, dan
rata-rata adalah 73,61, median Me adalah 73,93, Modus Mo adalah 73,77,
standart deviasi s adalah 3,074, penyajian data bergolong dengan range R
adalah 20, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 7,16 » 7, dan lebar kelas e =
R
= 3. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 17. Dari data tersebut
k
dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut.
Gambar 4.6 Diagram Batang Data Prestasi Belajar Kelompok Sedang
35
30
25
20
15
10
5
0
64
67
68
73
76
77
82
92
7. Data Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Pada
Siswa IQ Rendah
Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar
yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima
pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut
telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi
internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N
adalah 59 , dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT adalah
80, dan rata-rata adalah 66,14, median Me adalah 65,97, Modus Mo adalah
61,5, standart deviasi s adalah 4,86 penyajian data bergolong dengan range
R adalah 20, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 6,844 » 7, dan lebar kelas e =
R
= 3. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 18. Dari data tersebut
k
dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut.
Gambar 4.7 Diagram Batang Data Prestasi Belajar Kelompok Rendah
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
61
64
67
70
73
76
79
93
C. Uji Persyaratan Analisis
1. Uji Keseimbangan
Uji keseimbangan digunakan untuk melihat apakah kedua kelompok
mempunyai kemampuan awal yang sama apa tidak. Data uji keseimbangan
diambil dari hasil Ujian Akhir Semester 1 mata pelajaran matematika. Hasil
uji keseimbangan dengan uji t diperoleh t obs = 0,03, dan DK = {t t < -1,960
atau t > 1,960}. Karena t obs Ï DK, maka H0 ditolak, sehingga ini berarti
kedua kelompok mempunyai kemampuan awal yang sama. (Perhitungan
selengkapnya pada Lampiran 10)
2. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari distribusi normal atau tidak. Uji normalitas digunakan metode
Lilliefors dengan taraf signifikansi 5 persen. Pada penelitian ini dilakukan 5
kali, yaitu uji normalitas antar baris dan kolom saja. Pada penelitian ini, uji
normalitas yang dilakukan adalah uji normalitas kelompok yang diajar
dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, normalitas kelompok yang diajar
dengan Diskusi Kelas, kelompok dengan IQ tinggi, kelompok IQ sedang
dan kelompok IQ rendah. Hasil uji normalitas tersebut dapat disajikan pada
tabel berikut:
94
Tabel 4.1 Tabel Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas
Lobs
Ltabel
Keputusan
Kesimpulan
PBL
0,080
0,085
Ho diterima
Normal
DK
0,084
0,085
Ho diterima
Normal
IQ Tinggi
0,084
0,095
Ho diterima
Normal
IQ Sedang
0,094
0,1
Ho diterima
Normal
IQ Rendah
0,109
0,115
Ho diterima
Normal
Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, untuk setiap sampel mempunyai nilai
Lobs < Ltabel , sehingga Ho diterima, ini berarti setiap sampel berasal dari
populasi normal. (Perhitungan uji normalitas pada Lampiran 19 sampai 23)
3. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah populasi-populasi
mempunyai variansi-variansi yang sama atau tidak. Untuk menguji
homogenitas, digunakan metode Barltlet dengan taraf signifikansi 5 %.
Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan sebanyak dua kali. Pertama
uji homogenitas antar baris yaitu model pembelajaran dan antar kolom yaitu
IQ siswa. Hasil uji homogenitas adalah sebagai berikut:
95
Tabel 4.2 Tabel Hasil Uji Homogenitas
c 2 obs c 2 0,05;n
k
Model pembelajaran
2
IQ
3
1,979
3,841
4,914
5,991
Keputusan
Keimpulan
Ho diterima
Homogen
Ho diterima
Homogen
(Perhitungan uji homogenitas pada Lampiran 24 dan 25)
D.
Hasil Pengujian Hipotesis
1.
Analisis variansi dengan sel tak sama
Hasil perhitungan pada analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama
disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.3
Tabel Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama
JK
Model pengajaran (A)
IQ (B)
Interaksi (AB)
Galat
Total
dK
RK
Fobs
Fa
Keputusan
1,160
1
1,160
0,046
3,84
Ho diterima
236,599
2
118,299
4,760
3
Ho ditolak
540,653
2
270,327
10,877
3
Ho ditolak
5318,16
214
24,851
6096,573
219
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
96
a. Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara peserta
didik yang diajar menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan
Diskusi Kelas.
b. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara peserta didik
yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah.
c. Terdapat interaksi antara variabel Model Pembelajaran dan IQ siswa
terhadap prestasi belajar siswa.
2.
Uji lanjut pasca Anava
Uji lanjut pasca Anava dilakukan jika hasil analisis variansi
menunjukkan hipotesis nol ditolak. Dari hasil perhitungan analisis variansi
di atas, menunjukkan H0B dan H0AB ditolak, ini berarti harus dilakukan uji
lanjut pasca anava
a. Uji lanjut Pasca Anava Antar kolom
Uji lanjut Pasca Anava Antar kolom dilakukan karena H0B ditolak.
Dari hasil perhitungan analisis variansi pada Tabel 4.3, menunjukkan H0B
ditolak, sehingga harus dilakukan uji lanjut pasca anava antar kolom. Uji ini
dilakukan dengan metode Sceffe, yaitu menguji komparasi rataan antar
kolom. Hasil perhitungan pada uji lanjut dengan metode Sceffe dapat
disajikan dalam tabel berikut:
97
Tabel 4.4 Rangkuman uji sceffe untuk komparasi antar kolom
Fobs
Ho
m.1
=
m .2
m .2
=
m.3
m.1
=
m .3
117,443
56,62
321,96
2
F(0.05;2;214)
p
(2)(3) = 6
< 0,05
Ho ditolak
(2)(3) = 6
< 0,05
Ho ditolak
(2)(3) = 6
< 0,05
Ho ditolak
kesimpulan
Berdasarkan pada tabel rangkuman uji Sceffe di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang
mempunyai IQ tinggi dan siswa yang mempunyai IQ sedang.
Berdasarkan rataan marginalnya siswa yang mempunyai IQ tinggi
rata-ratanya adalah 82,99, siswa yang mempunyai IQ sedang rataratanya adalah 74,45, sehingga siswa yang mempunyai IQ tinggi
berprestasi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang.
2. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang
mempunyai IQ sedang dan siswa yang mempunyai IQ rendah.
Berdasarkan rataan marginalnya siswa yang mempunyai IQ sedang
rata-ratanya adalah 74,45 dan siswa yang mempunyai IQ rendah
rata-ratanya adalah 67,91, sehingga siswa IQ sedang berprestasi
lebih baik dari pada siswa IQ rendah.
3. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang
mempunyai IQ tinggi dan siswa yang mempunyai IQ rendah.
98
Berdasarkan rataan marginalnya siswa yang mempunyai IQ tinggi
rata-ratanya adalah 82,99 dan siswa yang mempunyai IQ rendah
rata-ratanya adalah 67,91, sehingga siswa IQ tinggi berpretasi lebih
baik dari pada IQ rendah.
b. Uji lanjut Pasca Anava Antar Sel
Dari hasil perhitungan analisis variansi pada Tabel 4.3, menunjukkan
H0AB ditolak, ini berarti harus dilakukan uji lanjut pasca anava antar sel.
Uji lanjut dilakukan dengan metode Sceffe, dengan menguji komparasi
rataan antar baris pada kolom yang sama serta rataan antar kolom pada
baris yang sama. Hasil perhitungan pada uji lanjut dengan metode Sceffe
dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.5 Rangkuman uji sceffe untuk komparasi antar sel
Ho
m11 = m 21
m12 = m 22
m13 = m 23
Fobs
5F(0.05;5;214)
P
Kesimpulan
6.99
11.05
> 0.05
Ho diterima
0.026
11.05
> 0.05
Ho diterima
15.79
11.05
< 0.05
Ho ditolak
Berdasarkan tabel rangkuman uji Sceffe di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, tidak terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika siswa, pada siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas.
99
2. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, tidak terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika siswa, pada siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas.
3. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah, terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika siswa pada siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. Berdasarkan
rataannya prestasi belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran
berbasis masalah adalah 65, sedangkan rataan prestasi siswa yang
diajar dengan diskusi kelas adalah 70,2, sehingga pada IQ rendah
diskusi kelas memberikan prestasi yang lebih baik dari pada
pembelajaran berbasis masalah.
E.
1.
Pembahasan Hasil Analisis
Hipotesis Pertama
Hipotesis pertama dari penelitian ini adalah pembelajaran berbasis
masalah akan memberikan prestasi belajar yang lebih baik dari pada
Diskusi Kelas. Berdasarkan hasil perhitungan Anava dua jalan dengan sel
tak sama, diperoleh Fa = 0,047 < Fa = 3,84. Karena Fa tidak terletak pada
daerah kritik, maka hipotesis nol diterima, sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar
dengan menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas.
100
Hipotesis pertama ini tidak terbukti, hal tersebut dapat dijelaskan pada
penjelasan berikut ini.
a. Pembelajaran Berbasis Masalah dirancang untuk membantu siswa
mengembangkan ketrampilan berfikir, ketrampilan menyelesaikan
masalah, dan ketrampilan intelektualnya, sehingga menjadi pelajar
mandiri. Pembelajaran berbasis masalah mengambil psikologi
kognitif sebagai dukungan teoritisnya.
Perspektif
kognitif-
konstruktivis, yang menjadi landasan Pembelajaran Berbasis
Masalah mengatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun
terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan
mengkonstruksikan pengalamannya sendiri. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, pada kelas yang diajar dengan pembelajaran
berbasis masalah, interaksi antar siswa cukup baik, setiap siswa
berusaha untuk menyampaikan ide dalam memecahkan masalah
logika matematika dengan penuh tanggung jawab.
b. Diskusi kelas dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa dan
membantu mereka mengonstruksikan pemahamannya sendiri
tentang isi akademik. Mendiskusikan suatu topik membantu siswa
memperkuat dan memperluas pengetahuannya tentang topik itu
dan meningkatkan kemampuannya untuk memikirkan tentang
suatu hal. Diskusi memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berbicara dan memainkan ide-idenya sendiri di depan umum dan
101
memberikan motivasi untuk terlibat di dalam wacana di luar kelas.
Diskusi digunakan guru untuk membantu siswa mempelajari
berbagai ketrampilan komunikasi dan proses berfikir yang penting.
Diskusi memberikan sarana bagi guru untuk mencari tahu apa yang
dipikirkan siswa dan bagaimana mereka memproses ide dan
informasi yang diajarkan. Dukungan teoritis untuk penggunaan
diskusi berasal dari bidang-bidang yang dipelajari oleh para pakar
lewat bahasa, proses komunikasi dan pola pertukaran. Ada
hubungan kuat antara bahasa dan berfikir, dan keduanya
menghasilkan kemampuan untuk menganalisis, menalar secara
deduktif dan induktif, dan membuat referensi yang masuk akal
berdasarkan pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, pada kelas yang diajar dengan diskusi kelas, siswa dapat
berkomunikasi cukup baik dengan teman kelompoknya maupun
dengan anggota kelompok lain dalam berdiskusi materi logika
matematika.
Kedua model pengajaran tersebut sama-sama untuk meningkatkan
kekreatifan proses berfikir siswa yang dilakukan dengan diskusi kelompok.
Dukungan teoritis dari kedua model pengajaran terletak pada kognitif
siswa, yang menekankan pada proses berfikir siswa, sehingga keduanya
menghasilkan kemampuan untuk menganalisis, menalar secara deduktif dan
induktif, menyelidiki dan membuat referensi yang masuk akal berdasarkan
102
pengetahuan. Kedua model pengajaran tersebut dapat memberikan rataan
prestasi belajar matematika yang sama pada siswa kelas X materi logika
matematika. Penjelasan tersebut merupakan alasan hipotesis pertama pada
penelitian ini tidak terbukti.
2.
Hipotesis Kedua
Hipotesis kedua dari penelitian ini adalah prestasi siswa yang
mempunyai IQ tinggi akan lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ
sedang, siswa yang mempunyai IQ sedang akan mempunyai prestasi yang
lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. Pada hasil analisis
variansi dua jalan sel tak sama, telah diperoleh Fb = 4,76 > Fa = 3. Karena
Fb terletak pada daerah kritik, sehingga hipotesis nol ditolak, ini berarti
terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa
yang
mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Karena hipotesis nol
ditolak sehingga dilakukan uji lanjut pasca anava dengan metode Sceffe.
Berdasarkan uji Sceffe tersebut, hipotesis nol ditolak, yang berarti terdapat
perpedaan prestasi antara siswa yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan
IQ rendah. Berdasarkan rataan marginalnya, siswa yang mempunyai IQ
tinggi rata-ratanya adalah 82,99, siswa yang mempunyai IQ sedang rataratanya adalah 74,45, dan siswa yang mempunyai IQ rendah rata-ratanya
adalah 67,91. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan prestasi siswa yang
mempunyai IQ tinggi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ
103
sedang, siswa yang mempunyai IQ sedang mempunyai prestasi yang lebih
baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. Hipotesis kedua pada
penelitian ini terbukti, hal tersebut dapat dijelaskan pada penjelasan berikut
ini.
Intelligence Quotient (IQ) dilihat sebagai penentu kemampuan orang
untuk belajar, untuk mencapai prestasi akademik. Para pakar ahli teori IQ
seperti William Stern, menyatakan bahwa inti kecerdasan dibawa sejak
lahir. Faktor yang mempengaruhi IQ diantaranya adalah faktor keturunan
dan lingkungan. Seorang anak yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan
IQ rendah juga dipengaruhi kedua faktor tersebut. Faktor tersebut tidak
hanya pada faktor keturunan saja, tetapi faktor lain yang tidak kalah penting
adalah faktor lingkungan. Meskipun siswa tersebut berasal dari orang tua
yang mempunyai IQ tinggi, jika tidak didukung oleh lingkungan yang
kondusif, anak tersebut tidak dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya
secara optimal. Salah satu cara untuk mengukur tingkat IQ seseorang adalah
dengan tes IQ. Berdasarkan data hasil tes IQ siswa dan hasil dari penelitian
ini, dapat diketahui siswa yang mempunyai IQ tinggi dapat berprestasi lebih
baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang, siswa yang mempunyai
IQ sedang berprestasi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ
rendah. Penjelasan tersebut merupakan alasan hipotesis kedua pada
penelitian ini terbukti.
104
3.
Hipotesis Ketiga
Hipotesis ketiga dari penelitian ini adalah
pada siswa yang
mempunyai IQ tinggi Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada
Diskusi Kelas, pada siswa yang mempunyai IQ sedang Pembelajaran
Berbasis Masalah lebih baik dari pada Diskusi Kelas, dan pada siswa yang
mempunyai IQ rendah Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada
Diskusi Kelas. Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan sel tak sama
diperoleh Fab = 10,87 > Fa = 3, maka HoAB ditolak, ini berarti terdapat
interaksi antara variabel model pengajaran dan variabel IQ siswa terhadap
prestasi belajar siswa. Berdasarkan tabel rangkuman uji Sceffe di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, tidak terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika baik pada siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas.
b. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, tidak terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika baik pada siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas.
c. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah, terdapat perbedaan
prestasi belajar matematika pada siswa yang diajar dengan
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. Berdasarkan
rataannya prestasi siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis
105
masalah adalah 65, sedangkan rataan prestasi siswa yang diajar
dengan diskusi kelas adalah 70,2.
Hipotesis ketiga pada penelitian ini tidak terbukti, hal tersebut dapat
dijelaskan pada penjelasan berikut ini.
Ø
Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi akan cenderung lebih kritis dan
kreatif dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah
ataupun diskusi kelas, sama-sama menekankan pada proses berfikir
siswa dalam memecahkan masalah, karena kedua model pengajaran
tersebut sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kekreatifan proses
berfikir siswa, sehingga siswa yang mempunyai IQ tinggi dapat
melaksanakan kedua model pembelajaran tersebut dengan baik. Hal
tersebut menyebabkan pada siswa yang mempunyai IQ tinggi,
pembelajaran berbasis masalah sama baiknya dengan diskusi kelas.
Penjelasan tersebut merupakan alasan poin pertama (a) pada hipotesis
ketiga pada penelitian ini tidak terbukti.
Ø
Berdasarkan teori IQ, siswa yang mempunyai IQ sedang akan
memperoleh hasil belajar rata-rata dari hasil suatu tes. Pembelajaran
berbasis masalah ataupun diskusi kelas, sama-sama menekankan pada
proses berfikir siswa dalam memecahkan masalah. Siswa yang
mempunyai IQ sedang akan mempunyai prestasi rata-rata dari suatu
tes, baik pada pembelajaran berbasis masalah ataupun diskusi kelas.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang mempunyai IQ
106
sedang pembelajaran berbasis masalah sama baiknya dengan diskusi
kelas.
Ø
Pembelajaran Berbasis Masalah dirancang untuk membantu siswa
mengembangkan ketrampilan berfikir, ketrampilan menyelesaikan
masalah, dan ketrampilan intelektualnya. Pembelajaran berbasis
masalah mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya.
Pada siswa yang mempunyai IQ rendah tentu kurang dapat
melaksanakan tujuan pembelajaran berbasis masalah dengan baik.
Berdasarkan teori IQ, hal tersebut dikarenakan proses berfikir atau
kognitif siswa yang mempunyai IQ rendah tidak lebih baik dari pada
siswa yang mempunyai IQ tinggi dan IQ sedang. Diskusi kelas
merupakan model pengajaran yang mengajak siswa dalam suatu
kelompok untuk mendiskusikan suatu topik membantu siswa
memperkuat
dan
memperluas
pengetahuannya
meningkatkan
kemampuannya dalam berpikir. Meskipun pada diskusi kelas dan
pembelajaran berbasis masalah sama-sama menekankan pada kognitif
siswa, tapi pada diskusi kelas juga ditekankan pada komunikasi antar
siswa. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah tentu dengan
menggunakan model pengajaran diskusi kelas lebih sesuai dari pada
dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut
disebabkan siswa yang mempunyai IQ rendah dapat memperoleh
pengetahuan baru dari teman lainnya pada saat berdiskusi.
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah pada BAB I dan pembahasan hasil
penelitian pada BAB IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar
dengan menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan
Diskusi Kelas, karena kedua model pembelajaran tersebut
memberikan rataan prestasi belajar yang sama.
2.
Siswa yang mempunyai IQ tinggi mempunyai prestasi belajar
yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan
siswa yang mempunyai IQ rendah. Siswa yang mempunyai IQ
sedang mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada
siswa yang mempunyai IQ rendah.
3.
a. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, Pembelajaran berbasis
masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika yang
sama dengan Diskusi Kelas
b. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, Pembelajaran
berbasis
masalah
memberikan
rataan
matematika yang sama dengan Diskusi Kelas
prestasi
belajar
108
c. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah, Diskusi Kelas
memberikan rataan prestasi belajar matematika yang lebih
baik dari pada Pembelajaran berbasis masalah
B. Implikasi Teoritis
Dalam
proses
pembelajaran
seorang
guru
seharusnya
dapat
menentukan suatu model pengajaran yang sesuai dengan keadaan kelas. Hal
tersebut akan memberikan prestasi belajar yang lebih baik jika
menggunakan model pengajaran yang dapat meningkatkan keaktifan,
kekreatifan dan kekritisan siswa. Pembelajaran Berbasis Masalah dan
Diskusi Kelas merupakan Model pengajaran interaktif yang perlu dicoba
dalam proses pembelajaran. Dengan menggunakan kedua model tersebut,
siswa akan lebih aktif dalam kegiatan belajar dikelas, karena kedua model
pengajaran interaktif tersebut dapat membangkitkan motivasi siswa serta
kekritisan berfikir siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang ataupun IQ rendah,
kedua model pengajaran tersebut dapat digunakan. Untuk siswa yang
mempunyai IQ tinggi, dengan menggunakan kedua model pengajaran
tersebut dapat mengembangkan kreatifitas dalam berfikir, sehingga dapat
meningkatkan dan mempertahankan prestasi belajar matematika. Pada
siswa yang mempunyai IQ sedang, kedua model tersebut dapat
mengembangkan kekreatifan dan kekritisan dalam berfikir. Sedangkan pada
109
siswa yang mempunyai IQ rendah, kedua model pengajaran tersebut dapat
meningkatkan motivasi dan kekritisan dalam berfikir.
C. Implikasi Praktis
Dalam pelaksanaan
suatu
model
pengajaran
yang
dilakukan
dilapangan, yang mana pada penelitian ini adalah model pengajaran
pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas akan memberikan
pengaruh pada kelangsungan pembelajaran di kelas. Kedua model
pengajaran tersebut merupakan model pengajaran interaktif yang berpusat
pada siswa. Setelah siswa diajar dengan menggunakan kedua model
pengajaran tersebut, siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran di
kelas, hal itu dikarenakan karena siswa mengikuti langkah demi langkah
dari model pengajaran tersebut. Peneliti menilai praktik penggunaan model
pengajaran Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas memberikan
pengaruh positif pada siswa. Hal itu bisa dilihat ketika peneliti melakukan
penelitian pembelajaran di kelas, siswa lebih aktif dalam berdiskusi dengan
teman dalam satu kelompok, antar kelompok serta interaksi dengan guru
sangat baik. Peningkatan keaktifan siswa dalam pembelajaran tersebut
tentunya akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pelajaran
matematika.
Model pengajaran Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas
juga memberikan pengaruh positif pada tingkatan IQ siswa. Penggunaan
110
Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas pada siswa yang
mempunyai IQ tinggi dan IQ sedang dapat mengembangkan daya pikir
siswa untuk lebih kritis dan kreatif pada proses pembelajaran. Sedangkan
pada siswa yang mempunyai IQ rendah, dapat meningkatkan tingkat
kekritisan berfikir.
Pengaruh positif yang diberikan oleh kedua model pengajaran
interaktif tersebut dapat dilihat pada perubahan siswa yang lebih aktif,
kreatif dan dapat menambah motivasi belajar siswa pada pembelajaran
matematika.
Menurut
peneliti,
hendaknya
guru
perlu
mencoba
menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas pada
pembelajaran matematika. Sedangkan untuk siswa sendiri, seharusnya dapat
melaksanakan langkah demi langkah dari model pengajaran yang
digunakan.
D. Saran
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada pengajaran matematika,
maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut.
1. Untuk sekolah
Perlu dikembangkan dan diterapkan model pembelajaran yang
melibatkan keaktifan siswa, misalnya model pembelajaran Berbasis
masalah dan model pembelajaran Diskusi Kelas, sehingga dapat
111
memacu siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga
hasil belajar siswa akan menjadi lebih baik.
2. Untuk siswa.
Diharapkan dalam mempraktikkan model Pembelajaran Berbasis
Masalah dan Diskusi Kelas mengikuti secara aktif sehingga dapat
digunakan sebagai sarana untuk berlatih aktif dalam proses belajar
sehingga dapat memperoleh pengalaman yang baru.
3. Untuk guru
Dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa hendaknya guru
menggunakan model pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas,
khususnya materi logika matematika.
4. Untuk orang tua.
Diharapkan orang tua lebih memperhatikan anak dalam membantu
belajar di rumah, karena dukungan dan motivasi dari orang tua akan
membantu anak dalam meraih prestasi belajar yang lebih baik.
112
Daftar Pustaka
Arends, Richard I.1997. Classroom Instruction and Management . United
States: McGraw-Hill
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta : Sebelas
Maret University Press.
Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret
University Press.
Ertmer, Peggy dan Simons, Krista D. 2006. Jumping the PBL
Implementation Hurdle: Supporting the Efforts of K–12 Teachers. The
Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, 1(1):40
Faizatul Fajaroh. dan I Wayan Dasna. 2007. Pembelajaran dengan Model
Siklus Belajar Learning Cycle,
(Online),(http://lubisgrafura.Wordpres.com. Diakses 25 April 2008.
Gresham, Gina. 2007. An Invitation into the Investigation of the
Relationship between Mathematics Anxiety and Learning Styles in
Elementary Preservice Teachers. Journal of Invitational Theory and
Practice, 13 (3) :24.
Hmelo, Cindy E. dan Barrows, S. H. 2006. Goals and Strategies of a
Problem-based Learning Facilitator . The Interdisciplinary Journal of
Problem-based Learning. 1 (1):24
Mergendoller, J. R., Maxwell, N. L. dan Bellisimo, Yolanda. 2006. A The
Effectiveness of Problem-based Instruction: Comparative Study of
Instructional
Methods
and
Student
Characteristics.
The
Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, 2(1):50
Muijs, Daniel, dan Reynolds, David. 2008. Effective Teaching. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Robertus Angkowo dan Kosasih. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran.
Jakarta : Grasindo
Schubring, Gert. 2006. History of Learning and Teaching Mathematics. The
International Journal for the History of Mathematics Education, 1 (1)
4.
113
Sugiyono. 2007. Statistik untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta
Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara
Sutrisno Hadi. 2000. Statistik. Yogyakarta: Andi
Syaiful Sagala. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung :
Alfabeta
Wahyu B. K. 2009. Perbedaan IQ dan EQ, http://mabhak. Sch.id. diakses 5
Juni 2010.
Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group
Download