1 EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010 TESIS OLEH : RIZQI TRESNANINGSIH NIM. S850209117 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 2 EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010 Tesis diajukan Oleh: RIZQI TRESNANINGSIH S850290117 Telah disetujui oleh dosen pembimbing Pada tanggal : 17 Juni 2010 Pembimbing I Pembimbing II Dr. Mardiyana, M.Si NIP. 196002251993021002 Drs. Pangadi, M.Si NIP. 195710121991031001 Mengetahui, Ketua Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Dr. Mardiyana, M.Si NIP. 196002251993021002 3 EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010 Disusun Oleh: RIZQI TRESNANINGSIH S850290117 Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal : Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua : Prof. Dr. Budiyono, M.Sc ........................ Sekretaris : Dr. Riyadi, M. Si ......................... Anggota Penguji : 1. Dr. Mardiyana, M. Si ........................... 2. Drs. Pangadi, M. Si ............................ Mengetahui, Direktur PPs UNS Ketua Program Studi PendidikanMatematika Prof. Dr. Suranto, M.Sc, Ph.D. NIP. 19570820 198503 1004 Dr. Mardiyana, M.Si. NIP.19600225 199302 1002 4 PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini saya : Nama : RIZQI TRESNANINGSIH NIM : S 850209117 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010, adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Surakarta, Mei 2010 Yang Membuat Pernyataan RIZQI TRESNANINGSIH 5 MOTTO “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri mengubah keadaan jiwanya…” QS. Ar Ra’d (Guruh) 13 : 11 Take Time To Think, it is the source of power Take Time To Read, it is the foundation of wisdom Take Time To Quiet, it is the opportunity to seek God Take Time To Dream, it is the future made of Take Time To Pray, it is the greatest power on earth 6 PERSEMBAHAN Tesis ini saya persembahkan kepada : Ø Dunia pendidikan khususnya program studi Matematika. Ø Kedua orang tua, adik serta kakak saya yang selalu memberi motivasi dan doa pada saya. Ø Teman-teman satu angkatan yang selalu memberikan dukungan pada saya. Ø Semua pihak yang telah membantu suksesnya penyusunan tesis ini. 7 PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT dan rasa syukur yang besar penulis panjatkan atas rahmat, taufik, hidayah dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010”. Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph. D, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Mardiyana, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana dan selaku Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini serta dengan pernuh kesabaran membimbing dan memberikan masukan kepada penulis sehingga terselesaikannya tesis ini. 3. Drs. Pangadi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang penuh dengan kearifan telah bersedia memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis demi kesempurnaan dan terselesaikannya tesis ini. 8 4. Bapak ibu Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis. 5. Kepala SMA Negeri 1 Maospati, Kepala SMA Negeri 1 Barat, Kepala SMA Negeri 1 Kawedanan, dan Kepala SMA Negeri 1 Karas beserta staf yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian dan membantu kelancaran proses penelitian tersebut. 6. Rekan-rekan Mahasiswa Program studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Semoga amal kebaikan dari semua pihak tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan matematika khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya. Surakarta, Mei 2010 Penulis 9 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL….....…………………….….......…………………….... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN .................................... iii HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... iv HALAMAN MOTTO ....................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vi KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii DAFTAR ISI ………………………………......…………………...…………. ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv ABSTRAK ....................................................................................................... xv ABSTRACT ..................................................................................................... xvi BAB I . PENDAHULUAN ......………………….............................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ………..........…........……………………….... 3 C. Pemilihan Masalah .............................................................................. 4 D. Batasan Masalah ........…….......………………………….…........... 5 E. Rumusan Masalah ........…….......………………………………….... 6 F. Tujuan Penelitian .......……….......………………………………........ 6 G. Manfaat Penelitian .......…….......………………………………….... 7 10 BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN .......……. 8 A. Kajian Pustaka …….....….................................….....…………..……. 8 1. Pengertian Belajar …….......…….……....……………..……........... 8 2. Model Pengajaran ……......………..........……….…........……........ 10 3. Pembelajaran ........…………........……............................................... 11 4. Pembelajaran Berbasis Masalah ………............................................ 12 5. Diskusi Kelas ..................................................................................... 22 6. Hakekat Matematika .........................…………........…….............. 28 7. Intelligence Quotient ……………......…..…................................. 30 B. Penelitian Yang Relevan ………….……..….…......…….…….......... 32 C. Kerangka Berpikir …………….……………….........………........…. 32 D. Hipotesis .......……………………….…………………..…........…... 37 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ………………......…...…….…. 39 A. Tempat dan Waktu Penelitian B. Metode Penelitian ……………..............…………… 39 .………………….....................……………. 40 C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .…............…. 42 D. Teknik Pengumpulan Data ………………………...............…… 44 E. Teknik Analisis Data ..………………….........…………………. 53 1. Uji Keseimbangan ......….……....…........………….………... 53 2. Uji Prasyarat . ....…..………….......………….....…………...... 55 3. Pengujian Hipotesis Penelitian.……………...........…………. . 58 BAB IV. HASIL PENELITIAN …......................................….........….….... 66 A. Hasil Uji Coba Instrumen ..............……......…...…….…....…….. 66 11 B. Diskripsi Data ..........………………………......…………....….. 68 C. Hasil Uji Prasyarat..................................................…..…. ............. 76 D. Hasil Pengujian Hipotesis …………..……....……..……………. 78 E. Pembahasan Hasil Analisis ........................................................... 82 BAB V. PENUTUP ..................……...…....................................................... 90 A. Kesimpulan ...........................……….........…...……………….. 90 B. Implikasi Teoritis ……...…......…………........................……..... 91 C. Implikasi Praktis .....................................................…..…............ 92 D. Saran ............................................................................................... 93 Daftar Pustaka ………………………………………………....………......….. 95 12 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar hasil yang diperoleh siswa dari PBM ...........................16 Gambar 2.2. Gambar hasil yang diperoleh pelajar dari diskusi kelas .......... 22 Gambar 4.1. Histogram Data Tes Prestasi Belajar ......................................... 69 Gambar 4.2. Histogram Data Tes Prestasi Belajar Matematika pada Pembelajaran Berbasis Masalah ................................................. 70 Gambar 4.3. Histogram Data Tes Prestasi Belajar Matematika pada Diskusi Kelas .............................................................................................. 71 Gambar 4.4. Histogram Data IQ Siswa ........................................................... 72 Gambar 4.5. Histogram Data Prestasi Belajar Kelompok Tinggi.................. 73 Gambar 4.6. Histogram Data Prestasi Belajar Kelompok Sedang ............... 74 Gambar 4.7. Histogram Data Prestasi Belajar Kelompok Rendah ............... 75 13 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Sintaksis Pembelajaran Berbasis Masalah ........................................... 20 Tabel 2.2 Sintaksis Diskusi Kelas ....................................................................... 27 Tabel 3.1 Pengelompokan IQ siswa ............................................................ 45 Tabel 3.2 Rancangan Penelitian………………………………....……..... 46 Tabel 3.3 Data Amatan, Rataan dan Jumlah kuadrat Deviasi..................... 60 Tabel 3.4 Rataan dan Jumlah Rataan ........................................................ 61 Tabel 3.5 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama........... 63 Tabel 4.1 Tabel hasil uji normalitas .......................................................... 76 Tabel 4.2 Tabel Hasil Uji Homogenitas .................................................... 77 Tabel 4.3 Tabel Rangkuman Hasil Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama............................................. 78 Tabel 4.4 Rangkuman uji Sceffe untuk komparasi antar kolom ............... 79 Tabel 4.5 Rangkuman uji Sceffe untuk komparasi antar sel .................... 81 14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 RPP Pembelajaran Berbasis Masalah ................................. 97 Lampiran 2 RPP Diskusi Kelas ……………………………………....... 123 Lampiran 3 Kisi-kisi Soal Tes Prestasi Relajar ...…………………....... 145 Lampiran 4 Soal Uji Coba Tes Prestasi Relajar ……………………….. 146 Lampiran 5 Lembar Validator …………………………………………. 153 Lampiran 6 Perhitungan Reliabilitas …………………………………… 159 Lampiran 7 Perhitungan Indeks Kesukaran ……………………………. 160 Lampiran 8 Perhitungan Daya Beda ……………………………....….... 161 Lampiran 9 Tes Prestasi Siswa ...…………………………………........ 162 Lampiran 10 Uji Keseimbangan ...……………………………….…...... 167 Lampiran 11 Data Induk Penelitian …...……………………………...... 171 Lampiran 12 Data Tes Prestasi Siswa ………………………....……….. 177 Lampiran 13 Data Prestasi Pembelajaran Berbasis Masalah ……....……178 Lampiran 14 Data Prestasi Diskusi Kelas ……………………....……….179 Lampiran 15 Data IQ Siswa …………………………………....………. 180 Lampiran 16 Data Prestasi siswa IQ Tinggi ............................................ 181 Lampiran 17 Data Prestasi siswa IQ sedang ............................................ 182 Lampiran 18 Data Prestasi siswa IQ rendah ............................................ 183 Lampiran 19 Uji Normalitas Pembelajaran Berbasis Masalah ................ 184 Lampiran 20 Uji Normalitas Diskusi Kelas ………………………....…. 187 Lampiran 21 Uji Normalitas Kelompok Tinggi ...................................... 191 Lampiran 22 Uji Normalitas Kelompok Sedang ...................................... 193 Lampiran 23 Uji Normalitas Kelompok Rendah ..................................... 196 Lampiran 24 Uji Homogenitas Model Pengajaran ................................. 198 Lampiran 25 Uji Homogenitas IQ siswa ................................................ 202 Lampiran 26 Uji Anava Dua Jalan Sel Tak Sama .................................. 206 Lampiran 27 Surat Keterangan Penelitian ............................................. 212 Lampiran 28 Tabel Statistik ..................................................................... 216 15 ABSTRAK RizqiTresnaningsih (S850102117): ”EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN DISKUSI KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X DITINJAU DARI IQ SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA SMA NEGERI KABUPATEN MAGETAN TAHUN AJARAN 2009/ 2010”. Tesis, Surakarta: Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih baik antara pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dengan Diskusi Kelas (CD), (2) untuk mengetahui pengaruh tingkatan IQ terhadap prestasi belajar matematika siswa, (3) untuk mengetahui pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah, model pengajaran mana yang lebih baik, antara PBM dan CD. Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental semu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri se-Kabupaten Magetan. Sampel dalam penelitian adalah siswa kelas X SMA N 1 Maospati, SMA N 1 Barat, SMA N 1 Kawedanan yang berjumlah 220 siswa. Sampel diambil dengan teknik Stratified Random Sampling. Pengumpulan data tes prestasi dilakukan melalui tes prestasi dengan bentuk soal pilihan ganda dan mengambil data tes IQ dari sekolah. Teknik analisis datanya menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Dari hasil Anava diperoleh: (1) tidak terdapat perbedaan rataan prestasi belajar matematika antara PBM dan CD (Fa = 0,047 < Fa = 3,84), (2) terdapat perbedaan rataan prestasi belajar matematika dari kelompok IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah (Fb = 4,76 > Fa = 3), (3) terdapat interaksi antara variabel model pembelajaran dan variabel IQ siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa (Fab = 10,88 > Fa = 3). Dari hasil uji komparasi ganda antar kolom diperoleh terdapat perbedaan rataan prestasi belajar siswa dengan IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Berdasarkan rataannya, nilai siswa dengan IQ tinggi adalah 82,99, siswa IQ sedang adalah 74,45, dan siswa dengan IQ rendah adalah 67,91. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa dengan IQ tinggi mendapat prestasi matematika lebih baik dari pada siswa dengan IQ sedang, siswa dengan IQ sedang mendapat prestasi lebih baik dari pada siswa dengan IQ rendah. Dari hasil komparasi ganda antar sel diperoleh: (1) pada siswa dengan IQ tinggi tidak terdapat perbedaan rerata prestasi belajar matematika antara PBM dan CD, (2) pada siswa dengan IQ sedang, tidak terdapat perbedaan rerata prestasi belajar matematika antara PBM dan CD, (3) pada siswa dengan IQ rendah terdapat perbedaan rerata prestasi belajar matematika antara PBM dan CD. Kata Kunci: Pembelajaran Berbasis Masalah, Diskusi Kelas, Intelligence Quotient (IQ) 16 ABSTRACT Rizqi Tresnaningsih (S850209117): AN EXPERIMENTATION OF PROBLEM BASED INSTRUCTION AND CLASSROOM DISCUSSION TO THE ACHIEVEMENT OF LEARNING MATHEMATICS OF STUDENTS GRADE X VIEWED FROM STUDENTS’ INTELLECTUAL QUOTIENT ON SUBJECT MATTER MATHEMATICAL LOGIC IN SMA NEGERI OF MAGETAN IN THE SCHOOLING YEAR 2009/ 2010. Thesis, Surakarta: Mathematics Education Program, Postgraduate Program of Sebelas Maret Surakarta University, 2010. The objectives of this research are: (1) to find out models of teaching that is better than problem based instruction (PBI) and classroom discussion (CD), (2) to reveal the influence IQ level on students’ achievement in learning mathematics, (3) to find out in students who have high level IQ, medium level IQ and low level IQ, which better than between PBI and CD This research is a quasi-experimental research. The population of this research is all of SMAN students’ grade X in Magetan. The sample of this research is 220 students grade X from SMAN 1 Maospati, SMAN 1 Barat and SMAN 1 Kawedanan. The sample was drawn by using stratified random sampling technique. The students’ achievement data were drawn by using achievement test in form of multiple-choice and taking the data of the students’ IQ test from the schools. The technique of analyzing data is two-way variance analysis with different cell. From the two-way variance analysis it is found: (1) there is not difference on the average between PBI and CD on the students’ achievement in learning mathematics, (Fa = 0,45 < Fa = 3,84), (2) there is a significant difference on the average of the students achievement in learning mathematics between the student with low level IQ, medium level IQ and high level IQ, (Fb = 4,76 > Fa = 3), (3) there is a significant interaction between teaching models variable and the students’ IQ variable on the students’ achievement in learning mathematics, (Fab = 10,88 > Fa = 3). From the result of multiple comparative inter-column it is found that there is difference on the average of mathematics achievement between student with high level IQ, medium and low level IQ. Based on the average of achievement score, the students with high level IQ gain the average score of 82.99, medium level IQ students gain 74.45 and low level IQ students gain 67.91. From the result, we can say that the students with high level IQ got better mathematics achievement than students with medium level IQ, the students with medium level IQ got mathematics achievement better than the students with low level IQ. The multiple comparative inter-cell, it is found that: (1) the students with high IQ there is not difference on the average of mathematics achievement of the PBI and CD (2) the student with medium level IQ, there is not difference on the average of mathematics achievement of the PBI and CD, (3) the students with low 17 level IQ there is a significant difference on the average of mathematics achievement between PBI and CD. 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tantangan besar yang dihadapi guru saat ini yakni bagaimana membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang melangkah dari pengalaman konkret ke arah berpikir abstrak yang dapat menghasilkan loncatan intuitif melalui sebuah desain pembelajaran aktif. Jean Piaget, salah seorang psikolog Swiss mengakui pentingnya menyiapkan lingkungan di mana siswa dapat melangkah dari pengalaman konkret menuju ke menemukan konsep, dan mengaplikasikan konsep. Mengetahui sebuah objek atau peristiwa, tidak sesederhana melihatnya dan menggambarnya. memodifikasinya, Mengetahui objek menstransformasi berarti dan berbuat terhadapnya, memahami proses transformasinya, dan sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap objek adalah mengkontruksinya. (Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna, 2007 http://lubisgrafura .wordpress.com). Upaya peningkatan kualitas pembelajaran khususnya mata pelajaran matematika harus terus diupayakan, baik oleh guru maupun semua pihak yang terkait langsung dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena matematika memegang peranan yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan. Mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai 19 tingkat perguruan tinggi. Mata pelajaran matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), sebagian besar siswa menganggap bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi dibanding mata pelajaran Bahasa Inggris ataupun Bahasa Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada hasil nilai Ujian Akhir Nasional di SMA Negeri 1 Barat, Kabupaten Magetan. Nilai rata-rata UAN pada tahun ajaran 2006/ 2007 untuk mata pelajaran Matematika adalah 7,44, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris adalah 8,89 dan nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah 8,42. Dari data nilai tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata mata pelajaran matematika paling rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai mata pelajaran yang lain. Prestasi belajar siswa dalam matematika dipengaruhi beberapa faktor, dua diantaranya adalah pengaruh IQ siswa dan model mengajar guru. Cara belajar interaktif merupakan cara belajar yang dituntut dari siswa, agar siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu guru dituntut untuk mendorong siswa agar mereka dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Guru dituntut untuk mendorong siswa belajar secara aktif dan dapat meningkatkan kemampuan dalam memahami suatu konsep dalam matematika. 20 Kecerdasan intelektual merupakan salah satu faktor yang cukup penting yang berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Dengan adanya perbedaan tingkat IQ pada siswa maka prestasi belajar siswa akan memperoleh hasil yang berbeda. Siswa yang mempunyai IQ tinggi akan mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan IQ rendah. Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan karakteristik yang melekat pada setiap siswa, karena IQ merupakan sifat bawaan atau keturunan dari keluarga yang dibawa sejak lahir. Beberapa macam model pengajaran interaktif diharapkan mampu mengatasi permasalahan dalam pembelajaran matematika. Dua diantaranya adalah Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) dan Classroom Discussion (Diskusi Kelas). Oleh karena itu guru dituntut untuk mendorong siswa agar mereka dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Guru dituntut untuk mendorong siswa belajar secara aktif dan dapat meningkatkan kemampuan dalam memahami suatu konsep dalam matematika. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut. 21 1. Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan IQ yang rendah, terkait dengan itu menimbulkan pertanyaan, apakah dengan IQ yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa? 2. Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan tingkat kedisiplinan siswa dalam belajar rendah, terkait dengan itu menimbulkan pertanyaan, apakah dengan tingkat kedisiplinan belajar yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa? 3. Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan kurang efektifnya model pengajaran yang diambil oleh guru, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah dengan memilih model pengajaran yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa? 4. Prestasi belajar matematika siswa mungkin dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara model pengajaran dengan tingkatan IQ. C. Pemilihan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, maka dapat dipilih permasalahan sebagai berikut: 1. Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan kurang efektifnya model pengajaran yang diambil guru, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah dengan memilih model pengajaran yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa? 22 2. Rendahnya hasil belajar matematika siswa mungkin berkaitan dengan IQ yang rendah, terkait dengan itu menimbulkan pertanyaan, apakah dengan IQ yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa? 3. Prestasi belajar matematika siswa mungkin dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara model pengajaran dengan tingkatan IQ. D. Batasan Masalah Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam penelitian ini perlu diberikan batasan masalah, diantaranya adalah berikut. 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada siswa SMA kelas X di SMA Negeri Kabupaten Magetan. 2. Materi yang diberikan pada siswa kelas X adalah materi Logika Matematika. 3. Hasil belajar Matematika dalam penelitian ini adalah hasil belajar dari tes yang diberikan oleh peneliti seusai pembelajaran. 4. Experimentasi dalam penelitian ini adalah experimentasi dari penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas. 5. Penelitian ini ditinjau dari segi IQ siswa dalam memahami konsep logika jika disampaikan dengan pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas. 23 E. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik, pembelajaran berbasis masalah atau diskusi kelas? 2. Apakah siswa yang mempunyai IQ tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang, dan siswa yang mempunyai IQ sedang mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah? 3. Pada IQ tinggi, model pengajaran manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik, pada IQ sedang model pengajaran manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik sedangkan pada IQ rendah model pengajaran manakah yang memberikan prestasi yang lebih baik. F. Tujuan Penelitian Tujuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih baik antara pembelajaran Berbasis Masalah dengan Diskusi Kelas. 2. Untuk mengetahui pengaruh IQ terhadap prestasi belajar matematika siswa. 24 3. Untuk mengetahui pada siswa yang mempunyai IQ tinggi model pengajaran mana yang lebih baik, pada siswa yang mempunyai IQ sedang model pengajaran mana yang lebih baik, dan pada siswa yang mempunyai IQ rendah, model pengajaran mana yang lebih baik. G. Manfaat Hasil Penelitian 1. Bagi guru matematika khususnya Sebagai masukan agar dapat mengambil langkah yang tepat dalam menentukan model pengajaran. 2. Bagi peneliti Sebagai pengetahuan tentang perbedaan pengaruh IQ dengan model pengajaran serta interaksinya. 3. Bagi siswa Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan bagi siswa tentang pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas untuk bisa dipraktikkan di kelas. 25 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Belajar Belajar menurut Gagne (dalam Syaiful Sagala, 2008:17) “merupakan kegiatan yang kompleks dan hasilnya berupa kapabilitas, timbulnya kapabilitas disebabkan oleh stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pelajar.” Dengan demikian pengertian belajar menurut Gagne adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi dan menjadi kapabilitas baru. Gagne juga mengungkapkan belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Hilgard (dalam Wina Sanjaya, 2006:112) mengungkapkan “Learning is the process by which and activity originates or changed through training procedures (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not attributable to training”. Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan ilmiah. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan 26 munculnya perubahan perilaku. Aktifitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Piaget (dalam Syaiful Sagala, 2007:24) memberikan pendapat tentang pengertian belajar sebagai berikut. Piaget berpendapat ada dua proses yang terjadi dalam perkembangan dan pertumbuhan kognitif anak yaitu proses ‘assimilation’ dan ‘accommodation’. Proses assimilation, dalam proses ini menyesuaikan atau mencocokan informasi yang baru itu dengan apa yang telah ia ketahui dengan mengubahnya bila perlu. Proses accommodation yaitu anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah diketahui sebelumnya sehingga informasi yang baru itu dapat disesuaikan dengan lebih baik. Jadi belajar menurut pandangan Piaget adalah belajar perubahan struktural yang saling melengkapi antara asimilasi dan akomodasi dalam proses menyusun kembali dan mengubah apa yang telah diketahui melalui belajar. Belajar menurut peneliti adalah suatu proses perubahan pada diri individu dari keadaan yang tidak bisa menjadi bisa yang ditempuh melalui suatu usaha untuk mencapai tujuan yang dimaksud, yang melibatkan aspek kognitif seseorang. Sehingga dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu seperangkat proses kognitif yang menimbulkan suatu peluang terjadinya respon, yang ditandai dengan adanya perubahan struktural yang saling melengkapi antara asimilasi dan akomodasi berkat pengalaman dan latihan yang akan membawa perubahan pada individu. 27 2. Model Pengajaran Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model mengajar yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan tugas mengajar dan juga kesulitan siswa. Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Menurut Komaruddin (dalam Syaiful Sagala, 2007:175), model dapat dipahami sebagai: a. Suatu tipe atau desain, b. Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat langsung diamati, c. Suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau peristiwa, d. Suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan, e. Suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner, f. Penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya. Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukan realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai 28 kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukis prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktifitas pembelajaran. (Syaiful Sagala, 2007:176). Model mengajar menurut Joyce dan Weil (dalam Syaiful Sagala, 2007:176) adalah suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, desain unit-unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program komputer. Sebab model-model ini menyediakan alat-alat belajar yang diperlukan bagi para siswa. 3. Pembelajaran Syaiful Sagala (2007:61) menyebutkan bahwa “pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan”. Sedangkan pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh siswa. Pembelajaran menurut Corey (dalam Syaiful Sagala, 2007:61) adalah “suatu proses yang mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan seseorang tersebut turut serta dalam tingkah laku 29 tertentu dalam kondisi–kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu”. Mengajar menurut William H Burton (dalam Syaiful Sagala, 2007:61) adalah “upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar”. Sering dikatakan mengajar adalah mengorganisasikan aktivitas siswa dalam arti luas. Peranan guru bukan semata–mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar, agar proses belajar lebih memadai. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasar, motivasi, latar belakang akademis serta latar belakang sosial ekonomi. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran. (Syaiful Sagala, 2007:61). 4. Pembelajaran Berbasis Masalah Esensi pembelajaran berbasis masalah berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Problem-based learning is an active learning method based on the use of ill-structured problems as a stimulus for learning. Ill-structured problems are complex problems that cannot be solved by a simple 30 algorithm. Such problems do not necessarily have a single correct answer but require learners to consider alternatives and to provide a reasoned argument to support the solution that they generate. In PBL, students have the opportunity to develop skills in reasoning and selfdirected learning. (Cindy E. Hmelo dan Silver Howard S. Barrows, 2006:24) Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan metode pembelajaran aktif yang digunakan untuk masalah terstruktur yang merupakan tanggapan dari hasil pembelajaran. Pada model pengajaran ini, digunakan untuk menyelesaikan masalah mempunyai struktur yang kompleks yang tidak cukup bila dikerjakan dengan algoritma yang sederhana. Pada Pembelajaran Berbasis Masalah ini, siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya sendiri. Problem-based learning (PBL) is currently advocated as a powerful means for facilitating students’ attainment of the high-level competencies and transferable skills increasingly being demanded by government, commerce, and industry (Murray & Savin-Baden, 2000). PBL, as defined by Barrows and Tamblyn (1980), refers to “the learning that results from the process of working toward the understanding or resolution of a problem” (p. 18). In general, the goals in problem-based learning are two-fold: 1) to promote deep understanding of subject matter content while 2) simultaneously developing students’ higher-order thinking. While PBL can come in a variety of forms, depending on the discipline under study and the goals of the curriculum (see Savery, this issue), it tends to include features such as learner autonomy, active learning, cooperation and collaboration, authentic activities, and reflection and transfer (Peggy A. Ertmer and Krista D. Simons, 2006:40). Pembelajaran berbasis masalah mempunyai peranan yang sangat kuat dalam menghadapi kompetensi tingkat tinggi dalam memenuhi kebutuhan pemerintah, pasar dan industri. Secara umum tujuan dari pembelajaran 31 berbasis masalah ada dua, yang pertama untuk menaikkan pengetahuan secara mendalam dari isi suatu materi, yang kedua mengembangkan berfikir tingkat tinggi siswa. a. Fitur-fitur Khusus Pembelajaran Berbasis Masalah Para pengembang Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu Cognition & Technology Group at Vanderbilt, Gordon et al., Krajcik et al., Slavin et al Torp & Sage, mendeskripsikan bahwa model instruksional ini memiliki fitur-fitur di bawah ini: Ø Pertanyaan atau masalah penggerak. Alih-alih mengorganisasikan pelajaran di seputar prinsip atau ketrampilan tertentu, PBM mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi siswa. Mereka menghadapi berbagai situasi kehidupan nyata yang tidak dapat diberi jawaban-jawaban sederhana dan ada berbagai solusi yang competing untuk menyelesaikannya. Ø Fokus Interdisipliner. Meskipun PBM dapat dipusatkan pada subyek tertentu (sains, matematika, sejarah), tetapi masalah yang diinvestigasi dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk menggali banyak subyek. Sebagai contoh, masalah polusi yang muncul di pelajaran Chesapeake Bay diatas menyangkut beberapa subyek akademik maupun terapan pemerintahan. biologi, ekonomi, sosiologi, turisme, dan 32 Ø Investigasi Autentik. PBM mengharuskan siswa untuk melakukan investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi riil untuk masalah riil. Mereka harus menganalisa dan menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (bila mungkin), membuat inferensi, dan menarik kesimpulan. Metode invetigasi yang digunakan tentu bergantung pada sifat masalah yang diteliti. Ø Produksi Artefak dan exhibit. PBM menuntut siswa untuk mengstruksikan produk dalam bentuk artefak dan exhibit yang menjelaskan atau mempresentasikan solusi mereka. Artefak dan exhibit yang nanti akan dideskripsikan, dirancang oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada orang lain apa yang telah mereka pelajari dan memberikan alternatif yang menyegarkan untuk makalah wajib atau ujian tradisional. Ø Kolaborasi. Seperti model cooperative learning, PBM ditandai dengan siswa-siswa yang bekerja sama dengan siswa-siswa lain, paling sering secara berpasangan atau dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk keterlibatan secara berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan dialog bersama, dan untuk mengembangkan berbagai ketrampilan sosial. 33 Pembelajaran Berbasis Masalah tidak dirancang untuk membantu guru menyampaikan informasikan dengan jumlah besar kepada siswa. Pembelajaran Berbasis Masalah dirancang terutama untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya, mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya melalui berbagai situasi riel atau situasi yang disimulasikan dan menjadi pelajar mandiri dan otonom. Beberapa hal tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar di bawah ini. Pembelajaran Berbasis Masalah Keterampilan untuk belajar secara mandiri Keterampilan penyelidikan dan keterampilan mengatasi masalah Perilaku dan keterampilan sosial sesuai peran orang dewasa Gambar. 2.1 Gambar hasil yang diperoleh siswa dari PBM The design of the PBL instructional approach used in the current study (Maxwell et. al., 2001) is instantiated in a series of curricular units focused on the knowledge, concepts, and principles that comprise the American high-school economics curriculum (Buck Institute for Education, n.d.). These units can take from one day to three weeks to complete, scaffold, and, to some degree, constrain teacher and student behavior. Each unit contains seven interrelated phases: entry, problem framing, knowledge inventory, problem research and resources, problem twist, problem log, problem exit, and problem debriefing. Student groups generally move through the phases in the order indicated but may return to a previous phase or linger in a phase as they consider a particularly difficult part of the problem. The teacher takes a facilitative role, answering questions, 34 moving groups along,monitoring positive and negative behavior,and watching for opportunities to direct students to specific resources or to provide clarifying explanations. (John R. Mergendoller, 2006:50) Rancangan pendekatan pembelajaran berbasis masalah memfokuskan pada pengetahuan, konsep dan prinsip yang ada pada bagian–bagian kurikulum pembelajaran. Setiap bagian berisi tujuh fase yang saling berhubungan, yaitu kerangka masalah, pernemuan pengetahuan, penelitian dan sumber masalah, lingkup masalah, batang masalah, jalan keluar masalah, mencari alternative yang terbaik dalam menyelesaikan masalah. b. Dukungan Teoritis dan Empiris Pembelajaran berbasis masalah di pihak lain mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang dikerjakan oleh siswa, tetapi pada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka). Meskipun peran guru dalam pembelajaran ini kadang-kadang juga melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan tentang berbagai hal kepada siswa, tetapi lebih sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Untuk PBM dalam hal ini akan dilacak melalui tiga arus utama pemikiran abad ke-20. 1. Dewey dan Kelas Berorientasi Masalah Seperti halnya cooperative learning, PBM menemukan akar intelektualnya dalam hasil karya John Dewey. Dalam Democracy and Education (1916), Dewey mendeskripsikan pandangan tentang pendidikan 35 dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Pedagogi Dewey mendorong guru untuk melibatkan siswa di berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah sosial dan intelektual penting. Dewey mengatakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya purposeful (memiliki maksud yang jelas) dan tidak abstrak dan bahwa pembelajaran yang purposeful itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan memerintahkan anak-anak dalam kelompok-kelompok kecil untuk menangani proyek-proyek yang mereka minati dan mereka pilih sendiri. Visi pembelajaran yang purposeful dan dipusatkan pada masalah yang didukung oleh hasrat bawaan siswa untuk mengeksplorasi situasi-situasi yang secara personal berarti baginya jelas berhubungan dengan PBM dengan filosofi dan pedagogi Dewey. 2. Piaget, Vygotsky dan Konstruktvisme. Jean Piaget, psikolog Swiss menghabiskan waktu lebih dari 50 tahun untuk mempelajari bagaimana anak-anak berpikir dan proses-proses yang terkait dengan perkembangan intelektual mereka. Piaget membenarkan bahwa anak-anak memiliki sifat bawaan ingin tahu dan terus berusaha memahami dunia sekitarnya. Keingintahuan ini, menurut Piaget memotivasi mereka untuk mengkonstruksikan secara aktif representasi-representasi di benaknya tentang lingkungan yang mereka alami. 36 Perspektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan PBM, banyak meminjam pendapat Piaget (1954, 1963). Perspektif ini mengatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengalamannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tapi berevolusi dan berubah secara konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya. Lev Vygotsky seorang psikolog Rusia. Seperti Piaget, Vygotsky (1978, 1994) percaya bahwa intelek berkembang ketika individu mengalami perkembangan baru dan membingungkan, dan ketika mereka berusaha mengatasi diskrepansi yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman ini. Dalam usaha menemukan pemahaman ini, individu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya dan mengkonstruksi makna baru. Tetapi Vygotsky menekankan pentingnya aspek sosial belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain memacu pengonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual belajar. 3. Bruner dan Discovery Learning Jerome Bruner, psikolog Hardvard adalah salah satu pemuka dalam reformasi kurikulum pada tahun 1950-an sampai 1960-an. Ia dan rekan sejawatnya memberikan dukungan teoritis penting terhadap discovery 37 learning, sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery (penemuan pribadi). Tujuan pendidikan bukan hanya untuk memperbesar dasar pengetahuan siswa, tapi juga untuk menciptakan berbagai kemungkinan untuk invention (penciptaan) dan discovery (penemuan). PBM juga menyandarkan diri pada konsep lain yang berasal dari Bruner, yakni idenya tentang scaffolding. Bruner mendeskripsikan scaffolding sebagai sebuah proses dari pelajar yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada di luar kapasitas perkembangannya dengan bantuan guru (scaffolding) atau orang yang lebih mampu. Bruner percaya bahwa interaksi sosial di dalam dan diluar sekolah banyak bertanggung jawab atas perolehan bahasa dan perilaku mengatasi masalah anak. c. Sintaksis Untuk PBM Tabel 2.1 Sintaksis PBM Fase Fase 1: Memberikan permasalahannya siswa Perilaku Guru orientasi Guru membahas tujuan kepada pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk 38 terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Fase 2: Mengorganisasikan untuk meneliti siswa Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas- tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. Fase 3: Membantu investigasi mandiri Guru dan kelompok mendorong untuk siswa mendapatkan informasi yang melaksanakan tepat, eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Fase 4: Mengembangkan dan Guru membantu siswa mempresentasikan artefak dan dalam merencanakan exhibit dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan modelmodel dan membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain. Fase 5: Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk mengevaluasi proses melakukan refleksi terhadap mengatasi masalah investigasinya dan prosesproses gunakan. yang mereka 39 5. Pembelajaran Diskusi Kelas a. Ikhtisar tentang Diskusi Kelas Diskusi dan wacana kelas merupakan aspek sentral diantara seluruh aspek pengajaran. Penggunaan diskusi kelas yang efektif membutuhkan pemahaman tentang beberapa topik penting yang terkait dengan wacana dan diskusi kelas. Menurut para guru istilah diskusi mendeskripsikan prosedur yang mereka gunakan untuk mendorong pertukaran verbal diantara siswasiswanya. Istilah wacana digunakan untuk memberikan perspektif secara keseluruhan tentang komunikasi kelas. Berikut adalah gambar hasil yang diperoleh pelajar dari diskusi. Diskusi Kelas Pemahaman Konseptual Keterlibatan dan Engagement Keterampilan komunikasi dan proses berpikir Gambar 2.2 Gambar hasil yang diperoleh pelajar dari diskusi kelas Diskusi adalah situasi yang guru dan siswa atau antar siswa saling bercakap-cakap dan berbagi ide atau pendapat. Diskusi juga digunakan guru untuk mencapai paling tidak tiga tujuan instruksional penting yang 40 ditunjukkan pada Gambar 2.2. Penjelasan secara terinci mengenai diskusi kelas adalah sebagai berikut : Ø Diskusi meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan membantu mereka mengonstruksikan pemahamannya sendiri tentang isi akademik. Mendiskusikan suatu topik membantu siswa memperkuat dan memperluas pengetahuannya tentang topik itu dan meningkatkan kemampuannya untuk memikirkan tentang hal itu. Ø Diskusi meningkatkan keterlibatan dan engagement siswa. Penelitian ataupun kearifan guru berpengalaman menunjukkan bahwa agar kegiatan pembelajaran yang baik terjadi, siswa harus bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan tidak sepenuhnya tergantung pada guru. Diskusi memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara dan memainkan ide-idenya sendiri di depan umum dan memberikan motivasi untuk terlibat di dalam wacana di luar kelas. Ø Diskusi digunakan oleh guru untuk membantu siswa mempelajari berbagai keterampilan komunikasi dan proses berpikir yang penting. Oleh karena itu diskusi bersifat publik, ia memberikan sarana bagi guru untuk mencari tahu apa yang dipikirkan siswa dan bagaimana mereka memproses ide dan informasi yang diajarkan. Dengan demikian diskusi memberikan lingkup sosial bagi guru yang dapat membantu siswa menganalisis barbagai proses berpikir dan mempelajari berbagai keterampilan komunikasi penting seperti 41 menyatakan ide-ide yang jelas, mendengarkan orang lain, merespon orang lain dengan cara yang baik, dan mengajukan pertanyaan yang baik. b. Dukungan Teoritis dan Empiris Banyak dukungan teoritis untuk penggunaan diskusi berasal dari bidang-bidang yang dipelajari oleh para pakar lewat pelajaran bahasa, proses komunikasi dan pola pertukaran. Untuk memikirkan peran bahasa, dapat dipikirkan bahwa dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari bahwa kesuksesan banyak bergantung pada penggunaan bahasa dan komunikasi. Wacana melalui bahasa juga sentral bagi sesuatu yang berlangsung di kelas. Courtney Cazden (dalam Arends.2008:76) seorang pakar topik wacana kelas yang paling terkemuka di Amerika menulis bahwa “bahasa percakapan adalah medium yang memungkinkan pengajaran terjadi dan medium bagi siswa dalam mendemonstrasikan siswa yang telah dipelajarinya kepada guru”. Bahasa percakapan menyediakan sarana bagi siswa untuk membicarakan tentang apa yang sudah mereka ketahui dan membentuk makna dari pegetahuan baru setelah pengetahuan itu diperoleh. Bahasa percakapan mempengaruhi proses berpikir siswa dan memberi merek identitas sebagai pelajar dan anggota kelompok kelas. 42 c. Wacana dan Kognisi Ada hubungan kuat antara bahasa dan berpikir, dan keduanya menghasilkan kemampuan untuk menganalisis, menalar secara deduktif dan induktif, dan membuat referensi yang masuk akal berdasarkan pengetahuan. Wacana adalah salah satu cara bagi siswa untuk mempraktikan proses berfikir dan meningkatkan ketrampilan berfikirnya. Untuk “tumbuh”, sistem berpikir yang kompleks membutuhkan amat banyak pengalaman dan percakapan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam pembicaraan tentang apa yang telah kita kerjakan dan kita lihat, dan dalam perdebatan tentang segala yang kita manfaatkan dari pengalaman kita, bahwa ide-ide menjadi berlipat ganda, disempurnakan dan akhirnya menghasilkan pertanyaan-pertanyaan baru dan eksplorasi lebih jauh. Melalui diskusi, guru diberi jendela untuk melihat keterampilan berpikir siswanya dan setting untuk memberikan koreksi dan umpan balik bila mereka melihat penalaran yang tidak lengkap dan keliru. Memaparkan segalanya yang dipikirkan juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk ”mendengar” pikirannya sendiri dan untuk belajar cara memantau proses berpikirnya sendiri. Salah satu aspek diskusi kelas adalah kemampuannya untuk mendukung pertumbuhan kognitif. Aspek lainnya adalah untuk menghubungkan dan menyatukan aspek-aspek kognitif dan sosial pembelajaran. Hubungan kognitif-sosial itu paling jelas dalam bagaimana partisipasi sosial mempengaruhi pemikiran dan pertumbuhan kognitif. Lauren Resnick dan Leopold Klopfer (dalam Arends.2008:77) melihat 43 misalnya bahwa ”setting sosial memberikan kesempatan untuk meniru strategi berfikir yang efektif”. a. Merencanakan dan melaksanakan Diskusi 1. Merencanakan Diskusi Merencanakan sebuah diskusi membutuhkan usaha perencanaan yang sama banyaknya dengan tipe-tipe pembelajaran lainnya. Meskipun spontasitas dan fleksibelitas penting dalam diskusi, perencanaan yang dibuat oleh guru sebelumnya juga cukup penting. Berikut adalah perencanaan diskusi : · Mempertimbangkan maksud, memutuskan bahwa diskusi yang dimaksud sesuai dengan pelajaran tertentu · Mempertimbangkan siswa, mengetahui pengetahuan yang sebelumnya sudah dimiliki siswa dalam merencanakan diskusi sama pentingnya seperti dalam merencanakan jenis-jenis pelajaran lainnya · Memilih sebuah pendekatan, pendekatan yang dipih seharusnya merefleksikan maksud guru dan sifat antar siswa yang terlibat. · Membuat rencana, rencana pelajaran untuk diskusi terdiri atas sejumlah tujuan dan garis besar isi 2. Melaksanakan Diskusi Sintaksis untuk diskusi adalah sebagai berikut : 44 Tabel 2.2 Sintaksis Diskusi Fase Fase 1: Perilaku Guru Mengklarifikasikan maksud Membahas maksud diskusi dan establishing set dan mempersiapkan siswa untuk berpartisipasi Fase 2: Memfokuskan diskusi Memberikan fokus diskusi untuk dengan mendeskripsikan dasarnya, peraturan mengajukan pertanyaan awal, menyodorkan situasi yang membingungkan, atau memdiskripsikan sebuah isu diskusi. Fase 3: Mengendalikan diskusi Memantau interaksi siswa, melontarkan pertanyaan, memberikan ide-ide, merespon ide-ide, menegakkan dasar, peraturan mencatat diskusi, proses dan mengekspresikan ide-idenya sendiri. Fase 4: Mengakhiri diskusi Membantu mengakhiri diskusi dengan merangkum atau mengekspresikan makna diskusi bagi dirinya. 45 Fase 5: Debriefing Memerintahkan siswa untuk menelaah diskusinya memikirkan dan proses- prosesnya. 6. Hakekat Matematika Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang biasanya dianggap paling sulit oleh kebanyakan siswa. Di sekolah banyak siswa yang kurang tertarik dengan matematika dan sering kali mempertanyakan relevansi dari begitu banyaknya waktu yang dihabiskan untuk mempelajari pelajaran matematika. (Muijs, D. dan Reynolds, D, 2008:332) “Mathematics anxiety has gained heightened awareness by mathematics educators as an important factor in the learning and teaching of mathematics” (Gresham, Gina, 2007: 24). Matematika memegang peranan yang cukup penting, oleh karenanya matematika hampir selalu ada pada setiap bidang. Akan tetapi kegelisahan pada pelajaran matematika memberikan pengaruh yang cukup besar yang dikarenakan hal tersebut merupakan faktor yang cukup penting pada siswa dalam pembelajaran dan pengajaran matematika. Matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan. Mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat 46 perguruan tinggi. Mata pelajaran matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. The History of Mathematics Teaching, then we were confronted with History of Mathematics Education, which encompasses the whole educational system as it relates to mathematics and better indicates the broad range of issues, such as the history of textbooks, the history of professional organizations of mathematics teachers, or the history of teacher education programs. On the other hand, mathematics education is used sometimes in the sense of the scientific discipline. (Schubring, Gert, 2006 : 4) Sejarah pengajaran matematika dihadapkan dengan sejarah pendidikan matematika, yang mana meliputi keseluruhan sistem pendidikan yang berhubungan dengan ilmu matematika dan merupakan indikasi yang lebih baik pada persoalan yang luas, seperti pada sejarah buku teks atau sejarah pada program pendidikan guru. Dengan kata lain, pendidikan matematika digunakan sebagai inti pada disiplin ilmu. Matematika merupakan jalan utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan keterampilan kognitif yang lebih tinggi pada anak-anak. Pada Matematika juga memegang peranan penting di sejumlah bidang ilmiah lain, bidang fisika, teknik dan statistik. Mengingat pentingnya matematika, maka tidak mengherankan bila ada cukup banyak penelitian tentang kemampuan siswa untuk berpikir dan belajar matematika, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa pengertian matematika. (Muijs, D. dan Reynolds, D, 2008: 333) 47 7. Intelligence Quotient (IQ) Salah satu teori yang memiliki pengaruh abadi di bidang pendidikan adalah teori IQ (Intelligence Quotient). Teori IQ dilihat sebagai penentu kemampuan orang untuk belajar, untuk mencapai prestasi akademik. Para pakar ahli teori IQ seperti William Stern, yang merupakan salah satu pengembang teori ini diawal abad 20, menyatakan bahwa inti kecerdasan dibawa sejak lahir. Banyak psikolog AS dan Eropa yang mendukung kesimpulan ini. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah sebagai berikut: a. Faktor bawaan atau keturunan Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. 48 Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal. b. Faktor lingkungan Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsanganrangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Intelligence Quotient (IQ) adalah skor yang diperoleh seseorang dari sebuah alat tes kecerdasan. Salah satu cara untuk mengukur tingkat IQ seseorang adalah dengan tes IQ. Analisis untuk mengukur IQ seseorang menunjukkan bahwa semua item (pertanyaan) di dalam tes-tes itu pada dasarnya mengukur sebuah faktor besar yang disebut G atau ”General Multiple” (intelgensi umum). Oleh karena itu teori itu mengatakan bahwa orang memiliki sebuah intelgensi umum dasar, yang akan memprediksi seberapa baik kemampuan mereka untuk belajar dan berprestasi di sekolah (Muijs, D. dan Reynolds, D, 2008:28). 49 B. Hasil Penelitian Yang Relevan Penelitian oleh Elfina Hidayatus S. Yang berjudul ”Pembelajaran Berbasis Masalah sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII MtsN Kembang Sawit Pada Sub Pokok Bahasan Faktorisasi Suku Aljabar Tahun 2007/ 2008”. Dari penelitian tersebut, jika dilihat dari segi model pengajaran yang digunakan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar siswa aktif mengikuti pelajaran dengan menggunakan pembelajaran Berbasis Masalah. Berbeda dengan penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah pembelajaran berbasis masalah memberikan prestasi yang lebih baik dari pada diskusi kelas. Sehingga dari hasil penelitian diharapkan dapat diketahui model pengajaran mana yang lebih efektif. Kesamaan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Elfina dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang pembelajaran berbasis masalah. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Elfina pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keaktifan siswa, sementara pada penelitian ini, pembelajaran berbasis masalah diharapkan mampu memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik dari pada diskusi kelas. C. Kerangka Pemikiran Seorang guru harus mengetahui model pengajaran apa yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan, sehingga siswa akan dengan mudah 50 menerima materi yang akan diajarkan guru. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pengajaran interaktif yang berpusat pada siswa. Siswa dituntut untuk aktif berpikir dalam proses pembelajaran. Pada pembelajaran berbasis masalah, guru tidak memberikan materi secara langsung kepada siswa, melainkan siswa harus aktif menelaah materi logika matematika, menemukan masalah, mencari solusi atau alternatif dari masalah tersebut. Dari kegiatan tersebut, akan memunculkan beberapa pertanyaan, ide ataupun sanggahan dari siswa yang lain. Di samping itu siswa akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran. Pada pembelajaran berbasis masalah, pemecahan suatu masalah bisa dilakukan dengan membentuk kelompok. Dalam diskusi kelompok setiap siswa berhak mengeluarkan ide-idenya untuk memecahkan masalah, hal itu akan memancing siswa untuk selalu berpikir secara aktif dalam pembelajaran. Selain itu pembelajaran berbasis masalah mempunyai sifat yaitu menirukan peran orang dewasa dalam menangani masalah dalam kehidupan seharihari, sehingga dari sini dapat diketahui bahwa siswa mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya memunculkan kesadaran dari dalam diri siswa untuk memperoleh prestasi yang lebih baik. Melalui pembelajaran berbasis masalah akan membantu dalam pengembangan sikap ilmiah siswa, rasa tanggung jawab siswa terhadap ilmu pengetahuan, hal itu dikarenakan siswa telah terbiasa untuk aktif berpikir, baik pada waktu proses pembelajaran atau mengeluarkan 51 pendapatnya pada waktu berdiskusi. Model pengajaran ini, dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, karena siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. Belajar matematika merupakan suatu aktivitas mental yang tinggi yang berkaitan dengan penalaran untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol kemudian diterapkannya dalam masalah. Belajar matematika dengan pembelajaran berbasis masalah, dinilai akan lebih mudah, hal itu dikarenakan pembelajaran berbasis masalah memaksimalkan keaktifan siswa untuk aktif berpikir, memahami dan memecahkan masalah dalam matematika. Melalui pembelajaran berbasis masalah , siswa akan terlatih untuk aktif berfikir sehingga tidak akan merasa sulit dalam memecahkan masalah matematika. Salah satu faktor yang cukup penting yang berpengaruh pada prestasi belajar siswa yaitu adalah faktor IQ siswa. Dengan adanya perbedaan tingkat IQ pada siswa maka prestasi belajar siswa akan memperoleh hasil yang berbeda. Siswa yang mempunyai IQ tinggi akan mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan IQ rendah. Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan karakteristik yang melekat pada setiap siswa, karena IQ merupakan sifat bawaan atau keturunan dari keluarga yang dibawa sejak lahir. Melalui pembelajaran berbasis masalah, kemungkinan hasil belajar siswa akan lebih baik. Hal itu disebabkan keaktivan siswa pada waktu 52 proses pembelajaran, sehingga siswa akan lebih mudah dalam memahami materi dan memecahkan masalah dalam matematika. Di samping itu, konsep matematika yang bersifat abstrak, akan dapat dipahami dengan baik apabila siswa telah terlatih berpikir aktif dan kreatif serta jika siswa mempunyai motivasi yang baik untuk mau belajar tekun dan memahami materi dengan baik. Melalui keaktivan siswa dalam proses pembelajaran dan kekreatifan dalam mengeluarkan ide-ide untuk memecahkan masalah dan kesadaran serta rasa tanggung jawab yang baik, pembelajaran berbasis masalah dinilai lebih efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Diskusi kelas juga merupakan salah satu model pengajaran yang berpusat pada siswa. Melalui model pengajaran ini, siswa juga diarahkan untuk memecahkan soal secara berkelompok dalam satu kelas. Banyak dukungan teoritis untuk penggunaan diskusi berasal dari bidang-bidang yang dipelajari oleh para pakar lewat pelajaran bahasa, proses komunikasi dan pola pertukaran. Untuk memikirkan peran bahasa, dapat dipikirkan bahwa dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari bahwa kesuksesan banyak bergantung pada penggunaan bahasa dan komunikasi. Akan tetapi pada diskusi kelas jika pada suatu kelompok terdapat miskonsepsi yang terjadi antar siswa, maka akan menimbulkan kesalahan konsep pada suatu materi pelajaran. Belajar matematika dengan model pengajaran ini, dikhawatirkan akan terjadi miskonsepsi antar siswa, karena pada model pengajaran ini 53 menekankan pada komunikasi antar siswa. Konsep matematika yang bersifat abstrak akan sulit untuk dipahami jika komunikasi yang kurang jelas terjadi sehingga menimbulkan kekeliruan dalam pemahaman konsep. Melalui model pengajaran diskusi kelas, kemungkinan hasil belajar siswa tidak akan lebih baik jira dibanding dengan pembelajaran berbasis masalah. Beberapa materi matematika juga akan merasa sulit untuk dipahami, dan bisa terjadi kesalahan konsep jika siswa tidak dapat berkomunikasi dengan baik, misalnya bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi kurang bisa dipahami oleh temannya yang lain, sehingga teman dalam kelompoknya tersebut salah menafsirkan bahan yang didiskusikan. Sehingga melalui model pengajaran ini, dinilai kurang efektif untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Dari pemaparan mengenai pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas jika dikaitkan dengan IQ, kemungkinan pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada Diskusi Kelas, baik untuk siswa yang mempunyai IQ tinggi, sedang ataupun rendah. Hal itu disebabkan karena dalam pembelajaran Berbasis Masalah setiap siswa berhak mengeluarkan ide-idenya untuk memecahkan masalah, hal itu akan memancing siswa untuk berfikir kritis dan aktif dalam pembelajaran, hal tersebut berkaitan dengan IQ siswa karena berhubungan dengan proses berpikir siswa. Siswa yang mempunyai IQ tinggi akan dapat berpikir lebih kritis dan lebih cepat dari pada IQ sedang dan rendah. Selain itu pembelajaran berbasis masalah 54 mempunyai sifat yaitu menirukan peran orang dewasa dalam menangani masalah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dari sini dapat diketahui bahwa siswa mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya memunculkan kesadaran dari dalam diri siswa untuk memperoleh prestasi yang lebih baik. Hal tersebut tidak memerlukan IQ yang tinggi, karena suatu kesadaran untuk berusaha bisa dimiliki oleh siswa yang mempunyai IQ sedang dan rendah. D. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah dugaan sementara yang diperkirakan oleh peneliti. Pembelajaran berbasis masalah adalah model pengajaran yang menekankan pada keaktifan siswa. Berdasarkan kajian pustaka, kerangka pemikiran dan rumusan masalah, peneliti mengemukakan hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Pembelajaran Berbasis Masalah memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada diskusi kelas. 2. Siswa IQ tinggi akan mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan rendah, pada siswa yang mempunyai IQ sedang akan mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. 3. 55 3. a. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, pembelajaran berbasis masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika lebih baik daripada diskusi kelas b. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang model pengajaran berbasis masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika lebih baik daripada diskusi kelas c. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah model pengajaran berbasis masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika lebih baik daripada diskusi kelas. 56 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian yang dimaksud adalah lokasi atau daerah dimana penelitian itu diadakan. Adapun penelitan ini diadakan di SMA Negeri di Kabupaten Magetan. Pemilihan tempat ini diadakan dengan pertimbangan sebagai berikut. 1. Kurikulum di SMA Negeri di Kabupaten Magetan kelas X menggunakan KBK, yang sesuai dengan model pengajaran yang peneliti gunakan. 2. Jumlah siswa kelas X yang cukup banyak dalam setiap kelasnya, sehingga bisa mewakili populasi. 3. Nilai rata-rata matematika UAN tahun pelajaran 2006/ 2007 di salah satu SMA Negeri di Kabuaten Magetan yaitu SMA N 1 Barat paling rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata mata pelajaran lain. Nilai rata-rata UAN pada tahun ajaran 2006/ 2007 untuk mata pelajaran Matematika adalah 7,44, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris adalah 8,89 dan nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah 8,42. Waktu yang digunakan untuk pembuatan proposal dan penelitian adalah lima bulan, yaitu pada bulan November dan Desember 2009, 57 Januari, Februari dan Maret tahun 2010, dimana jadwal penelitian adalah sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan a. Penyusunan Proposal : Minggu ke-1,2,3,4 bulan November dan minggu ke-1,2 bulan Desember 2009. b. Penyusunan Instrumen : Minggu ke-3,4 bulan Desember 2009 c. Ijin Penelitian di Sekolah : Minggu ke-1 bulan Januari 2010 2. Tahap Pelaksanaan a. Penelitian di sekolah : Minggu ke-2 bulan Januari sampai minggu kedua bulan Maret 2010 b. Uji coba instrumen : Minggu ke-1 bulan Maret 2010 c. Tes Prestasi : Minggu ke-3 dan ke-4 bulan Maret 2010 3. Tahap Akhir a. Analisis Data : Bulan April 2010 b. Ujian Tesis : Bulan Juli 2010 B. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental semu. Peneliti memberikan perlakuan yang berbeda pada dua sampel penelitian, yaitu pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. Kedua kelompok tersebut diasumsikan mempunyai kemampuan awal yang sama sehingga hasil penelitian adalah hasil dari perlakuan yang diberikan peneliti. 58 Kedua kelompok tersebut diasumsikan sama dalam segi yang relevan dan hanya berbeda dalam penggunaan model pengajaran matematika. Adapun langkah-langkah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menentukan populasi 2. Menentukan sekolah untuk dijadikan sampel penelitian, yang terdiri dari tiga sekolah dan satu sekolah untuk uji coba instrumen 3. Menentukan sampel penelitian secara random, membagi sampel menjadi dua kelompok, untuk diberikan perlakuan yang berbeda 4. Dilakukan pengambilan data tentang IQ siswa dengan cara tes IQ yang dikategorikan menjadi tiga tingkat, yaitu tinggi, sedang dan rendah. 5. Kelompok I diberi pengajaran dengan pembelajaran berbasis masalah dan kelompok II diberi model pengajaran diskusi kelas 6. Melakukan tes tentang materi Logika Matematika untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan menggunakan kedua model pengajaran tersebut 7. Melakukan analisis data untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa pada materi logika matematika, yang ditinjau dari perbedaan penggunaan model pengajaran, tingkat IQ dan pengaruh interaksi model pengajaran dan tingkat kecerdasan siswa terhadap prestasi belajar siswa. 59 C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono.2007:55). Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri Kabupaten Magetan, yang terdiri atas : 2. a. SMA N 1 Magetan f. SMA N 1 Sukomoro b. SMA N 2 Magetan g. SMA N 1 Maospati c. SMA N 3 Magetan h. SMA N 1 Kawedanan d. SMA N 1 Plaosan i. SMA N 1 Barat e. SMA N 1 Parang j. SMA N 1 Karas Teknik Pengambilan Sampel Sampel penelitian diambil secara random, maksudnya masing-masing sampel mempunyai peluang yang sama untuk diambil. Populasi pada penelitian ini terdiri atas siswa siswa kelas X dari SMA Negeri seKabupaten Magetan. Salah satu cara menentukan teknik pengambilan sampel adalah dengan Stratified Random Sampling. Teknik pengambilan sampel tersebut dilakukan dengan melakukan stratifikasi atas sampel-sampel yang terdiri atas kelompok-kelompok yang merupakan anggota dari populasi. Teknik ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 60 a. Mengambil populasi yang terdiri atas siswa kelas X SMA Negeri Kabupaten Magetan b. Dari populasi itu diambil sekolah yang menjadi anggota populasi, dan dilakukan stratifikasi atas sekolah-sekolah SMA Negeri di Kabupaten Magetan yang menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah. Hal tersebut bertujuan agar sampel yang diambil dapat terwakili dari siswa yang mempunyai IQ tinggi, sedang dan rendah. c. Dari sepuluh sekolah yang sudah diperingkat tersebut dilakukan pengambilan secara random satu sekolah dari masing-masing tingkatan tersebut untuk dijadikan sampel penelitian, dan satu sekolah untuk tingkatan IQ sedang untuk sekolah uji instrumen. d. Dari pengundian tersebut peneliti memperoleh empat sekolah yaitu misalnya SMAN 1 Maospati mewakili sekolah tingkatan IQ tinggi, SMAN 1 Barat, mewakili sekolah tingkatan IQ sedang, SMAN 1 Kawedanan mewakili sekolah tingkatan IQ rendah dan SMAN 1 Karas untuk uji instrumen. Pembelajaran Berbasis Masalah dikenakan pada kelas XF SMAN 1 Maospati, kelas X3 SMAN 1 Barat dan kelas X5 SMAN 1 Kawedanan. Diskusi Kelas dikenakan pada kelas XH SMAN 1 Maospati, X1 SMAN 1 Barat, dan kelas X6 SMAN 1 Kawedanan, Sedangkan kelas X4 SMAN 1 Karas sebagai uji coba soal. 61 D. Teknik Pengumpulan Data 1. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pengajaran dan IQ siswa. Adapun kedua variabel bebas akan dijelaskan sebagai berikut : a Variabel Bebas 1. Model Pengajaran (variabel eksperimen) 1. Model Pengajaran menggambarkan kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukis prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktifitas pembelajaran. 2. Indikator: berupa sintaksis dari masing-masing model pengajaran 3. Skala Pengukuran : nominal dengan dua kategori 4. Simbol : A a 1 = pembelajaran berbasis masalah a 2 = diskusi kelas 2. IQ Siswa (variabel atribut) 1. IQ siswa digunakan sebagai penentu kemampuan orang untuk belajar, untuk mencapai prestasi akademik. 2. Indikator : Skor hasil tes IQ siswa 62 3. Skala Pengukuran : Interval, diubah menjadi skala ordinal dengan tiga kategori sebagai berikut : Pengelompokan IQ siswa : Tabel 3.1 Pengelompokan IQ siswa Simbol Interval B1 X ³X+ B2 B3 X- Keterangan 1 s 2 1 1 s<X<X + s 2 2 X£X- 1 s 2 Tinggi Sedang Rendah 4. Simbol : B Keterangan : b1 = IQ tinggi s = standar deviasi b2 = IQ sedang X = skor siswa b3 = IQ rendah X = rerata skor seluruh siswa b Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah prestasi belajar siswa. Adapun variabel terikat akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Prestasi belajar matematika adalah hasil tes prestasi belajar matematika siswa pada materi logika matematika 2. Skala pengukuran : interval 63 3. Indikator : Nilai tes siswa materi logika matematika pada siswa yang diajar dengan kedua model pengajaran. 4. Simbol : AB 2. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial 2 x 3, dengan maksud untuk mengetahui pengaruh dua variabel bebas terhadap variabel terikat. Tabel . 3.2 Rancangan Penelitian IQ (B) Rendah Tinggi (b1) Sedang (b2) (b3) Model Pengajaran(A) Pembelajaran Berbasis ab11 ab12 ab13 ab21 ab22 ab23 Masalah (a1) Diskusi Kelas (a2) 3. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan instrumen tes dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pada penelititan ini setiap satu RPP digunakan untuk satu pertemuan, sehingga terdapat delapan RPP untuk delapan pertemuan. Tes yang digunakan pada penelitian ini adalah tes prestasi belajar yang digunakan untuk mengetahui hasil atau nilai dari pembelajaran yang telah diberikan pada kedua kelompok. Tes yang dibuat 64 memuat materi yang diajarkan yaitu materi logika matematika. Sedangkan untuk hasil IQ, peneliti hanya mengambil data hasil tes IQ dari sekolah. Pada penyusunan tes prestasi belajar adalah sebagai berikut : a. Membuat kisi-kisi soal tes prestasi belajar b. Menyusun soal tes prestasi belajar c. Mengadakan uji coba soal tes prestasi belajar 4. Uji Coba Instrumen Setelah instrumen tes tersebut dibuat, lalu instrumen diujicobakan pada siswa di sekolah yang dipilih sebagai sekolah uji coba. Dari hasil uji coba, lalu dianalisa untuk mengetahui apakah tes yang telah dibuat valid reliabel, konsisten, mempunyai tingkat kesukaran dan daya pembeda yang sesuai atau tidak. a Uji Validitas Suatu tes dikatakan valid jika mengukur apa yang seharusnya diukur. (Allen dan Yen. dalam Budiyono.2004:55). Dalam penelitian ini butir instrumen dikatakan valid menurut validitas isi jika validator setuju dengan semua kriteria yang ditentukan sehingga butir telah sesuai dengan semua kriteria yang ditentukan. Kriteria tersebut meliputi kesesuaian butir soal dengan pokok bahasan, kesesuaian butir soal dengan kisi-kisi, soal tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar, kalimat soal mudah dipahami, dan item soal tidak bermakna ganda. 65 b Uji Reliabilitas Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut memberikan hasil yang tetap. Masalah reliabel tes berkaitan dengan ketetapan hasil tes. Kata reliabel sering disebut terpercaya, terandalkan, konsisten, ajeg. Suatu reliabilitas alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang sama (konsisten, ajeg). Uji reliabilitas pada soal tes menggunakan teknik KuderRichardson, yaitu sebagai berikut : 2 æ n öæç s t - å p i q i r11 = ç ÷ 2 st è n - 1 øçè ö ÷ ÷ ø (Budiyono, 2003 : 69) dengan : r11 : indeks reliabilitas instrumen n : banyaknya butir instrumen pi : proporsi banyaknya subjek yang menjawab benar pada butir ke-i qi :1- pi s 2t : variansi total Sebuah instrumen mempunyai reliabilitas yang tinggi jika derajat kesalahannya kecil. Hasil perhitungan dan uji reliabilitas kemudian diinterpretasikan ke dalam kriteria reliabilitas sebagai berikut : 0,80 £ r11 £ 1,00 : sangat tinggi 0,60 £ r11 < 0,80 : tinggi 0,40 £ r11 < 0,60 : cukup 66 0,20 £ r11< 0,40 : rendah 0,00 £ r11 < 0,20 : sangat rendah Pada penelitian ini, butir soal yang dianggap reliabel jika berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi, sehingga butir soal yang dipakai adalah butir soal yang mempunyai indeks reliabilitas lebih besar dan sama dengan 0,6. c Tingkat Kesukaran Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan bilangan yang disebut dengan indeks kesukaran. Bilangan tersebut adalah bilangan real pada interval 0,00 sampai dengan 1,00. soal dengan indeks kesukaran mendekati 0,00 berarti butir tersebut terlalu sukar, sebaliknya soal yang mendekati 1,00, butir soal tersebut terlalu mudah. Tingkat kesukaran butir soal adalah proporsi banyaknya peserta yang menjawab benar butir soal tersebut terhadap seluruh peserta tes. Indek kesukaran diberi simbol P, yang merupakan singkatan dari proporsi. Rumus untuk mencari P adalah sebagai berikut : P = B JS (Suharsimi Arikunto. 2003:208) Keterangan : P : Indeks Kesukaran 67 B : Banyaknya siswa yang menjawab soal dengan benar JS : Jumlah seluruh siswa peserta tes. Klasifikasi untuk indeks kesukaran yang paling banyak digunakan adalah : 0,00 £ P < 0,30 soal sukar 0,30 £ P < 0,70 soal sedang 0,70 £ P £ 1,00 soal mudah Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Soal yang sukar dampak positifnya akan melatih siswa untuk berpikir lebih tinggi, sedangkan dampak negatifnya akan membuat siswa putus asa. Sedangkan soal mudah dampak positifnya akan membuat siswa lebih semangat dalam mengerjakan sedangkan dampak negatifnya kurang dapat merangsang siswa untuk berfikir tingkat tinggi. Pada penelitian ini, butir soal yang digunakan adalah butir soal yang mempunyai indeks kesukaran antara 0,30 sampai 0,70. e. Daya Pembeda Daya Pembeda dari sebuah butir instrumen adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Derajat daya pembeda dinyatakan dengan Indeks Diskriminasi (D), yang bernilai -1,00 sampai 1,00. Indeks diskriminasi makin mendekati 1,00 berarti daya pembeda soal tersebut makin baik, sebaliknya jika mendekati 0,00 daya pembeda makin buruk. 68 Indeks diskriminasi bernilai negatif berarti siswa yang mempunyai kemampuan rendah banyak menjawab benar untuk soal tersebut, sedangkan siswa yang pandai banyak yang salah dalam menjawab soal tersebut. Jika nilai indeks diskriminasi 0,00 berarti tidak ada daya pembeda, sehingga siswa yang pandai dan siswa yang tidak pandai menjawab benar untuk soal tersebut, atau menjawab salah soal tersebut. Seluruh siswa yang akan tes, dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok atas dan kelompok bawah. Kelompok atas terdiri dari siswa yang pandai, sedangkan kelompok bawah terdiri dari siswa yang tidak pandai. Rumus yang digunakan untuk menghitung daya pembeda adalah sebagai berikut : D= B A BB = PA - PB JA JB (Suharsimi Arikunto. 2003:213) Keterangan : D : Daya Pembeda J : Jumlah peserta tes JA : Jumlah siswa kelompok atas JB : Jumlah siswa kelompok bawah BA : Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar BB Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar 69 Klasifikasi untuk daya pembeda yang paling banyak digunakan adalah : 0,00 < D £ 0,20 Jelek 0,20 < D £ 0,40 Cukup 0,40 < D £ 0,70 Baik 0,70 < D £ 1,00 Sangat baik Pada penelitian ini, butir soal yang digunakan adalah butir soal yang mempunyai indeks diskriminan lebih dari 0,4. 5. Metode Pengumpulan Data a. Metode Tes Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode tes. Tes yang dilakukan ada dua jenis tes yaitu tes IQ, yang digunakan untuk mengetahui tingkat kecerdasan siswa dan Tes prestasi belajar, yang digunakan untuk mengetahui hasil belajar setelah kedua kelompok diberi perlakuan yang berbeda. Idrakusumah (1975:27), (dalam Erman Suherman. 1993:10) menyebutkan bahwa tes adalah “suatu alat atau prosedur yang sistematik dan objektif untuk memperoleh data atau keterangan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat”. Untuk tes IQ, peneliti mengambil data hasil tes IQ siswa dari sekolah penelitian. Sedangkan tes prestasi belajar berupa pertanyaan tentang materi logika matematika, berupa pilihan ganda dengan 5 pilihan jawaban dan berjumlah 30 soal, yang mana 70 skor pada tiap soal adalah 1, sehingga nilai totalnya adalah 30, dan nilainya adalah jumlah benar dibagi jumlah soal. b. Metode Dokumentasi Menurut Budiyono (2003 : 54) “Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan melihatnya dalam dokumen yang telah ada. Dokumen biasanya merupakan dokumen resmi yang telah terjamin keakuratannya”. Penggunaan metode dokumentasi pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan data tentang nilai ujian akhir semester I siswa kelas X pada pelajaran matemátika dan data hasil tes IQ siswa. Data nilai ujian akhir semester I pada pelajaran matemátika kelas X digunakan untuk mengetahui apakah antara kedua kelompok mempunyai keadaan awal yang sama, sehingga hasil belajar adalah dari perlakuan yang diberikan secara berbeda pada kedua kelompok. Data IQ digunakan untuk menentukan kriteria IQ siswa pada pengelompokan kriteria IQ, yang terdiri atas IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Data IQ diambil dari hasil tes IQ yang telah diadakan di sekolah. E. Teknik Analisis Data 1. Uji Keseimbangan Uji keseimbangan digunakan untuk melihat apakah kedua kelompok dalam keadaan seimbang sebelum dilakukan penelitian, sehingga dapat diketahui bahwa kedua kelompok mempunyai kemampuan awal yang sama. 71 Data yang digunakan untuk melakukan uji ini adalah data nilai Ujian Akhir Semester I, mata pelajaran matematika. Uji yang digunakan untuk uji keseimbangan adalah uji t. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Hipotesis H0 : m 1 = m 2 (populasi-populasi seimbang) H1 : m 1 ¹ m 2 (populasi-populasi tidak seimbang) b. Taraf signifikan ( a ) = 0,05 c. Statistik uji yang digunakan : t= (X1 - X 2 ) 1 1 + n1 n2 sp ~ t( n1+n2-2) dengan s 2p = (n1 - 1) s12 + (n2 - 1) s 22 n1 + n 2 - 2 Keterangan : t : t hitung ; t ~ t( n1+n2-2) X1 : rata-rata ulangan akhir semester I kelas X mata pelajaran matematika yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah X2 : rata-rata nilai ulangan akhir semester I kelas X mata pelajaran matematika yang diajar dengan diskusi kelas n1 : ukuran sampel kelompok yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah n2 : ukuran sampel kelompok yang diajar dengan diskusi kelas 72 s1 2 : variansi kelompok yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah s2 2 : variansi kelompok yang diajar dengan diskusi kelas sp 2 : variansi gabungan antara kelompok yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas d. Daerah Kritik DK = { t / t < ─ t a 2 ;( n1 +n2 - 2 ) atau t > t a 2 ;( n1 +n2 - 2 ) } e. Keputusan uji H0 ditolak jika t Î DK, dan H0 diterima jika t Ï DK. f. Kesimpulan Kesimpulan bisa dilihat dari keputusan uji, yaitu ditolak atau diterimanya H0 . (Budiyono, 2004 : 151) 2. Uji Prasyarat a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah suatu populasi berdistribusi normal atau tidak. Pada penelitian ini, peneliti melakukan uji normalitas dengan menggunakan metode Lilliefors. Uji normalitas dengan metode Lilliefors digunakan apabila datanya tidak berbentuk distribusi frekuensi bergolong. (Budiyono.2004:170). Untuk menguji normalitas ini digunakan metode Lilliefors. 73 Langkah-langkahnya sebagai berikut : 1) Hipotesis H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal 2) Taraf signifikan ( a ) = 0,05 3) Statistik uji yang digunakan : L = max │F(zi) - S (zi)│ Keterangan: F(zi ) = P(Z≤zi ), Z ~ N(0,1) Zi : skor standar, z i = s : standar deviasi (Xi - X ) s S(zi ) : proporsi cacah Z ≤ z i terhadap seluruh cacah z Xi : skor responden 4) Daerah kritik (DK) DK = {L│L > Lα:n } dengan n adalah ukuran sampel. Lα:n diperoleh dari tabel Lilliefors 5) Keputusan uji H0 ditolak jika Z Î DK 6) Kesimpulan Kesimpulan bisa dilihat dari hasil H0 pada keputusan uji (Budiyono, 2004 : 170) 74 Daerah kritik untuk uji ini adalah DK = { L | L > Lα;n } dengan n adalah ukuran sampel. Untuk beberapa α dan n, nilai Lα;n dapat dilihat pada tabel lampiran nilai kritik uji Lilliefors (tabel 7. Budiyono. 2004:319) Jika L Î DK, maka Ho ditolak Jika L Ï DK, maka Ho tidak ditolak (diterima). b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah populasi-populasi mempunyai variansi-variansi yang sama atau tidak. Untuk menguji homogenitas, digunakan metode Barltlet, dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Hipotesis H0 : s 12 = s 22 = …= s k2 (populasi-populasi homogen) H1 : Paling tidak ada satu i dan satu j sehingga s i2 ¹ s 2j dengan i≠j 2) Taraf Signifikansi ( α ) = 0,05 3) Statistik Uji yang digunakan : c2 = k ù 2,303 é f . log RKG f j log S 2j ú ê å C ë j=1 û Keterangan: χ2~ χ2(k-1) k : banyaknya populasi f : derajat kebebasan untuk RKG = N - k 75 N : banyaknya seluruh nilai ( pengukuran ). fj : derajat kebebasan untuk Sj 2 = nj - 1 j : l, 2, ..., k nj : cacah pengukuran pada sampel ke-j c = 1+ 1 é 1 1ù êå - ú 3(k - 1) êë f j f úû RKG = å SS åf (å X ) - 2 SS j = å X i j 2 j j nj 4) Daerah Kritik (DK) { DK= c 2 c 2 > c 2 a :k -1 } 5) Keputusan Uji Ho ditolak jika χ 2 Î DK 6) Kesimpulan Kesimpulan bisa dilihat dari hasil H0 pada keputusan uji. (Budiyono, 2004 : 176-177) 3. Uji Hipotesis Dalam penelitian ini digunakan analisis variansi dua jalan dengan jumlah sel tak sama. Adapun langkah-langkah untuk pengujian ini adalah sebagai berikut : Model analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama adalah : Xijk = m + a i + b j + (ab ) ij + e ijk 76 Keterangan : Xijk : data (nilai) ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j µ : rerata dari seluruh data (rerata besar) αi : efek baris ke-i pada variabel terikat βj : efek kolom ke j pada variabel terikat (αβ)ij : kombinasi efek baris ke-i dan kolom k-j pada variabel terikat εijk : Deviasi data Xijk terhadap rataan populasinya (µijk) yang. berdistribusi normal dengan rataan 0 i : 1, 2 1 : model pengajaran pembelajaran berbasis masalah.. 2 : model pengajaran diskusi kelas. j : 1, 2, 3 1 : IQ rendah 2 : IQ sedang 3 : IQ tinggi k : 1, 2, ..., nij ; nij : cacah data amatan pada setiap sel. (Budiyono, 2004 : 228) a Hipotesis : Baris menyatakan variabel (faktor A) yang mempunyai nilai a1, a2. dan kolom menyatakan variabel(faktor B) yang mempunyai nilai b1,b2,b3. 77 HoA : a i = 0 untuk setiap i = 1,2 (tidak ada perbedaan efek antara baris terhadap variabel terikat) H1A : paling sedikit ada satu a i yang tidak nol (ada perbedaan efek antar baris terhadap variabel terikat) HoB : b j = 0 untuk setiap j = 1,2,3 (tidak ada perbedaan efek antara kolom terhadap variabel terikat) H1B : paling sedikit ada satu b j yang tidak nol (ada perbedaan efek antar kolom terhadap variabel terikat) HoAB : (ab ) ij =0 untuk setiap i = 1,2 dan j = 1,2,3 (tidak terdapat interaksi baris dan kolom terhadap variabel terikat) H1AB : paling sedikit ada satu (ab ) ij yang tidak nol (terdapat interaksi baris dan kolom terhadap variabel terikat). b Komputasi Pada analisis variansi dua jalan sel tak sama notasi dan tata letak data amatan diberikan pada tabel berikut : Tabel.3.3 Data Amatan, Rataan dan Jumlah Kuadrat Deviasi IQ(B) b1 b2 b3 Model Pengajaran (A) a1 n 11 ΣX 11k n 12 ΣX 12k n 13 ΣX 13k X X X 11 12 13 78 a2 ΣX211k C 11 SS11 n21 ΣX 21k ΣX212k C 12 SS12 n22 ΣX 22k ΣX213k C 13 SS13 n23 ΣX 23k X X X 21 ΣX221k 22 ΣX222k 23 ΣX223k C 21 SS 21 C22 SS22 C 23 SS 2 3 Tabel . 3.4 Rataan dan Jumlah Rataan B b1 b2 b3 Total A a1 AB11 AB12 AB13 A1 a2 AB21 AB22 AB23 A2 Total B1 B2 B3 G dengan : nij = ukuran sel ij (sel pada baris ke-i dan kolom ke-j) = banyaknya data amatan pada sel ij = frekuensi sel ij nh = rataan harmonik frekwensi sel pq 1 å i , j nij N= å nij = banyak seluruh data amatan i, j SSij= å X ijk 2 k (å X ijk ) 2 k nijk = jumlah kuadrat deviasi data amatan pada sel ij 79 ABij = rataan pada sel ij Ai = å AB = jumlah rataan baris ke-i ij j Bj = å AB = jumlah rataan kolom ke-j ij i G= å AB ij = jumlah rataan semua sel i, j sehingga : (1) G2 pg (2) = å SSij; i, j (3) = å i Ai q 2 (5) = å ABij 2 i, j Jumlah Kuadrat JKA = nh {(3)-(1)} JKB = nh {(4)-(1)} JKAB = nh {(1)+(5) - (3) – (4)} JKT = JKA + JKA + JKAB + JKG Derajat Kebebasan (dk) dkA = p - 1 dkB = q-1 dkAB = (p – 1) (q-1) dkT = N-1 (4) = Bj 2 åj p ; 80 dkG = N - pq RKA = JKA dkA RKAB = JKAB dkAB RKB = JKB dkB RKG = JKG dkG Statistik ujinya adalah : Fa = RKA RKG Fb = RKB RKG Fab = RKAB RKG Daerah Kritik : Daerah Kritik untuk Fa adalah DK = {Fa Fa> Fa ; p -1, N - pq } Daerah Kritik untuk Fb adalah DK = {Fb Fb > Fa ;q -1, N - pq } Daerah Kritik untuk Fab adalah DK = {Fab Fab > Fa ( q -1)( N - pq ), N - pq } Tabel 3.5 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama. Sumber A(baris) B(kolom) AB Galat Total c. JK dk RK Fobs. JKA dkA RKA Fa JKB dkB RKB Fb JKAB dkAB RKAB Fab JKG dkG RKG JKT dkT - - Fα Fa ; p -1, N - pq Fa ;q -1, N - pq Fa ( q -1)( N - pq ), N - pq } - Uji Lanjut Pasca Anava Uji lanjut pasca anava adalah tindak lanjut dari analisis variansi, jika hasil analisis variansi menunjukkan hipotesis nol ditolak. Tujuannya untuk 81 melakukan pelacakan terhadap perbedaan rerata setiap pasangan kolom, baris dan setiap pasangan sel. Metode komparasi ganda yang dipakai adalah metode Scheffe. Langkah-langkah komparasi ganda dengan metode Scheffe pada analisis variansi dua jalan terdapat empat macam komparasi. Komparasi ganda tersebut antara lain : a. Komparasi ganda baris ke-i dan baris ke-j b. Komparasi ganda kolom ke-i dan kolom ke-j c. Komparasi ganda sel ij dan sel kj d. Komparasi ganda sel ij dan sel ik Karena pada penelitian ini pada rancangan penelitian hanya mempunyai 2 baris, yaitu pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas, maka tidak perlu dilakukan komparasi antar baris. a. Komparasi Rataan Antar Kolom. Uji Sceffe untuk komparasi rataan antar kolom adalah : F.i -. j = Daerah Kritik adalah : Dk = { F l F >(q-1) Fa ;q -1, N - pq }. ( X .i - X . j ) 2 æ 1 1 ö÷ RKGç + çn ÷ è .i n. j ø 82 b. Komparasi Rataan antar sel pada kolom yang sama. Fij - kj = ( X ij - X kj ) 2 æ 1 1 ö÷ RKGç + çn ÷ è ij n kj ø Fij - jk = nilai F observasi pada pembanding rataan pada sel ij dan sel kj. X ij = rataan pada sel ij. X jk = rataan pada sel jk. RKG = Rataan Kuadrat Galat . nij = ukuran sel ij. n kj = ukuran sel kj. DK = { F l F >(pq-1) Fa ; pq -1, N - pq }. c. Komparasi Rataan antar sel pada baris yang sama. Fij -ik = Dengan Daerah Kritik : DK = { F l F >(pq-1) Fa ; pq -1, N - pq }. ( X ij - X ik ) 2 æ 1 1 ö÷ RKGç + çn ÷ è ij nik ø 83 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Uji Coba Instrumen 1. Uji Validitas Isi Tes prestasi belajar matematika materi logika matematika terdiri dari 35 soal. Soal tes tersebut berbentuk pilihan ganda dengan 5 pilihan jawaban. Melalui dua orang validator yaitu Tutik Sri Sulasmini S.Pd dan Dra. Endang Sudjajati, yang mana kedua orang tersebut adalah guru di sekolah penelitian yang telah mempunyai pengalaman mengajar lebih dari 15 tahun dan sudah tersertifikasi. Dari kedua validator ke-35 soal tes prestasi belajar dinyatakan valid karena dinilai telah memenuhi kisi-kisi soal. (Tabel lembar validator ada pada Lampiran 5) 2. Uji Reliabilitas Suatu reliabilitas alat ukur atau alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang sama (konsisten atau ajeg). Uji reliabilitas pada soal tes menggunakan teknik Kuder-Richardson. Hasil uji reliabilitas instrumen terhadap 32 responden memberikan hasil r11 = 0,92. Dari hasil tersebut bisa diketahui bahwa instrumen tes reliabel. (Tabel uji reliabilitas pada Lampiran 6) 84 3. Tingkat Kesukaran Tingkat kesukaran butir soal adalah proporsi banyaknya peserta yang menjawab benar butir soal tersebut terhadap seluruh peserta tes. Pada penelitian ini, tingkat kesukaran P yang digunakan adalah jika P terletak antara 0,30 £ P < 0,70. Hasil uji instrumen menunjukkan dari 35 soal yang diujikan mempunyai tingkat kesukaran antara 0,30 sampai 0,70, sehingga 35 butir soal tersebut bisa digunakan sebagai instrumen tes prestasi belajar. (Tabel tingkat kesukaran pada Lampiran 7) 4. Daya Pembeda Daya Pembeda dari sebuah butir instrumen adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang mempunyai kemampuan rendah. Pada penelitian ini, daya pembeda yang dipakai adalah daya pembeda yang nilainya lebih dari 0,4. Dari hasil uji instrumen diperoleh bahwa terdapat 5 butir soal yang mempunyai nilai daya pembeda yang kurang dari 0,4, yaitu soal nomor 7, 18, 19, 25 dan 28 yang mempunyai klasifikasi daya pembeda jelek, sehingga ke-5 butir soal tersebut harus dibuang. (tabel perhitungan daya beda pada Lampiran 8) 85 B. Deskripsi Data Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data tes prestasi belajar matematika materi logika matematika pada kelas X SMA. Sampel diambil sebanyak 220 siswa yang terdiri atas 110 siswa yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, dan 110 siswa yang diajar dengan Diskusi Kelas. Sampel untuk kelas yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah adalah kelas XH SMA N 1 Maospati, X3 SMA N 1 Barat, X5 SMA N 1 Kawedanan. Sampel untuk kelas yang diajar dengan Diskusi Kelas adalah kelas XF SMA N 1 Maospati, X1 SMA N 1 Barat dan X6 SMA N 1 Kawedanan. 1. Data Tes Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari hasil uji coba tersebut terdapat 5 soal yang tidak sesuai yaitu soal nomor 7, 18, 19, 25 dan 28, sehingga soal tersebut harus dibuang. Dari data tes diperoleh N adalah 220, dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT adalah 90, dan Rata-rata adalah 75,27, median Me adalah 76,26, modus Mo adalah 81, standart deviasi s adalah 8,04, penyajian data bergolong dengan range R adalah 30, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 86 8,72 » 9, dan lebar kelas e = R = 3,33. Perhitungan selengkapnya pada k Lampiran 12. Dari data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.1 Diagram Batang Data Tes Prestasi Belajar 50 40 30 20 10 0 61.5 65.5 69.5 73.5 77.5 81.5 85.5 89.5 2. Data Tes Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika kelas yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N adalah 110, dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT adalah 90, dan rata-rata adalah 76,2, median Me adalah 77,18, Modus Mo adalah 80,56, standart deviasi s adalah 8,24, penyajian data bergolong dengan range R adalah 30, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 7,73 » 8, dan 87 lebar kelas e = R = 4. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 13. Dari k data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.2 Diagram Batang Data Tes Prestasi Belajar Matematika pada Pembelajaran Berbasis Masalah 25 20 15 10 5 0 61.5 65.5 69.5 73.5 77.5 81.5 85.5 89.5 3. Data Tes Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika kelas yang diajar dengan Diskusi Kelas Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N adalah 110, dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT adalah 86,7, dan rata-rata adalah 74,77 , median Me adalah 76,17 , modus Mo adalah 81,04, standart deviasi s adalah 7,81 , penyajian data bergolong dengan range R adalah 27, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 7,7 » 7 , dan 88 lebar kelas e = R = 4. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 14. Dari k data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.3 Diagram Batang Data Tes Prestasi Belajar Matematika pada Diskusi Kelas 30 25 20 15 10 5 0 61.5 65.5 69.5 73.5 77.5 81.5 85.5 4. Data IQ siswa Pada data tes IQ siswa, kriteria IQ dikelompokkan berdasarkan tiga tingkatan IQ yaitu tinggi, sedang dan rendah, yang didasarkan pada hasil data tes IQ siswa dimana < X <X + X ³X+ 1 1 s adalah kriteria IQ tinggi X - s 2 2 1 1 s kriteria IQ sedang dan X £ X - s kriteria IQ rendah. 2 2 Pada penelitian ini, siswa yang mempunyai IQ antara 114 sampai 130 termasuk dalam kategori IQ tinggi, siswa yang mempunyai IQ antara 104 sampai 106 termasuk dalam kategori IQ sedang, sedangkan siswa yang mempunyai IQ 76 sampai 98 termasuk dalam kategori IQ rendah. Pada penelitian ini terdapat 220 siswa yaitu 110 siswa yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah dan 110 siswa yang diajar 89 dengan Diskusi Kelas. Siswa yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah terdiri atas 45 siswa dengan kriteria IQ tinggi, 39 siswa IQ sedang dan 26 siswa IQ rendah. Sedangkan siswa yang diajar dengan Diskusi kelas terdiri atas 42 siswa dengan kriteria IQ tinggi, 35 siswa IQ sedang ,dan 33 siswa IQ rendah. Dari data tes diperoleh N adalah 220, dengan nilai terendah XR adalah 76 dan nilai tertinggi XT adalah 130, dan rata-rata adalah 107,63, median Me adalah 109,36, Modus Mo adalah 112, standart deviasi s adalah 10,47, penyajian data bergolong dengan range R adalah 54, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 8,729 » 9, dan lebar kelas e = R = 6 . Perhitungan k selengkapnya pada Lampiran 15. Dari data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.4 Diagram Batang Data IQ Siswa 60 50 40 30 20 10 0 78.5 84.5 90.5 96.5 103 109 115 121 127 133 90 5. Data Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Pada Siswa IQ Tinggi Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N = 87, dengan nilai terendah XR adalah 73,3 dan nilai tertinggi XT adalah 90, dan rata-rata adalah 83,20, median Me adalah 83,65, Modus Mo adalah 79,22, standart deviasi s = 4,31, penyajian data bergolong dengan range R adalah 17, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 8,729 » 9, dan lebar kelas e = R = 2. k Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 16. Dari data tersebut dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.5 Diagram Batang Data Prestasi Belajar Kelompok Tinggi 25 20 15 10 5 0 73.5 75.5 77.5 79.5 81.5 83.5 85.5 87.5 89.5 91 6. Data Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Pada Siswa IQ Sedang Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N =74, dengan nilai terendah XR adalah 63,3 dan nilai tertinggi XT adalah 83,3, dan rata-rata adalah 73,61, median Me adalah 73,93, Modus Mo adalah 73,77, standart deviasi s adalah 3,074, penyajian data bergolong dengan range R adalah 20, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 7,16 » 7, dan lebar kelas e = R = 3. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 17. Dari data tersebut k dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.6 Diagram Batang Data Prestasi Belajar Kelompok Sedang 35 30 25 20 15 10 5 0 64 67 68 73 76 77 82 92 7. Data Prestasi Belajar Matematika Materi Logika Matematika Pada Siswa IQ Rendah Data tes prestasi belajar diambil setelah dilakukan tes prestasi belajar yang mana tes tersebut terdiri atas 30 soal pilihan ganda dengan lima pilihan jawaban. Sebelum dilakukan tes prestasi belajar, soal tersebut telah diuji coba berdasarkan validitas, reliabilitas, indeks konsistensi internal, daya pembeda, tingkat kesukaran. Dari data tes diperoleh N adalah 59 , dengan nilai terendah XR adalah 60 dan nilai tertinggi XT adalah 80, dan rata-rata adalah 66,14, median Me adalah 65,97, Modus Mo adalah 61,5, standart deviasi s adalah 4,86 penyajian data bergolong dengan range R adalah 20, banyak kelas d = 1+3,3 log N = 6,844 » 7, dan lebar kelas e = R = 3. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 18. Dari data tersebut k dapat dibuat gambar diagram batang sebagai berikut. Gambar 4.7 Diagram Batang Data Prestasi Belajar Kelompok Rendah 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 61 64 67 70 73 76 79 93 C. Uji Persyaratan Analisis 1. Uji Keseimbangan Uji keseimbangan digunakan untuk melihat apakah kedua kelompok mempunyai kemampuan awal yang sama apa tidak. Data uji keseimbangan diambil dari hasil Ujian Akhir Semester 1 mata pelajaran matematika. Hasil uji keseimbangan dengan uji t diperoleh t obs = 0,03, dan DK = {t t < -1,960 atau t > 1,960}. Karena t obs Ï DK, maka H0 ditolak, sehingga ini berarti kedua kelompok mempunyai kemampuan awal yang sama. (Perhitungan selengkapnya pada Lampiran 10) 2. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari distribusi normal atau tidak. Uji normalitas digunakan metode Lilliefors dengan taraf signifikansi 5 persen. Pada penelitian ini dilakukan 5 kali, yaitu uji normalitas antar baris dan kolom saja. Pada penelitian ini, uji normalitas yang dilakukan adalah uji normalitas kelompok yang diajar dengan Pembelajaran Berbasis Masalah, normalitas kelompok yang diajar dengan Diskusi Kelas, kelompok dengan IQ tinggi, kelompok IQ sedang dan kelompok IQ rendah. Hasil uji normalitas tersebut dapat disajikan pada tabel berikut: 94 Tabel 4.1 Tabel Hasil Uji Normalitas Uji normalitas Lobs Ltabel Keputusan Kesimpulan PBL 0,080 0,085 Ho diterima Normal DK 0,084 0,085 Ho diterima Normal IQ Tinggi 0,084 0,095 Ho diterima Normal IQ Sedang 0,094 0,1 Ho diterima Normal IQ Rendah 0,109 0,115 Ho diterima Normal Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, untuk setiap sampel mempunyai nilai Lobs < Ltabel , sehingga Ho diterima, ini berarti setiap sampel berasal dari populasi normal. (Perhitungan uji normalitas pada Lampiran 19 sampai 23) 3. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah populasi-populasi mempunyai variansi-variansi yang sama atau tidak. Untuk menguji homogenitas, digunakan metode Barltlet dengan taraf signifikansi 5 %. Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan sebanyak dua kali. Pertama uji homogenitas antar baris yaitu model pembelajaran dan antar kolom yaitu IQ siswa. Hasil uji homogenitas adalah sebagai berikut: 95 Tabel 4.2 Tabel Hasil Uji Homogenitas c 2 obs c 2 0,05;n k Model pembelajaran 2 IQ 3 1,979 3,841 4,914 5,991 Keputusan Keimpulan Ho diterima Homogen Ho diterima Homogen (Perhitungan uji homogenitas pada Lampiran 24 dan 25) D. Hasil Pengujian Hipotesis 1. Analisis variansi dengan sel tak sama Hasil perhitungan pada analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama disajikan dalam tabel berikut: Tabel 4.3 Tabel Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama JK Model pengajaran (A) IQ (B) Interaksi (AB) Galat Total dK RK Fobs Fa Keputusan 1,160 1 1,160 0,046 3,84 Ho diterima 236,599 2 118,299 4,760 3 Ho ditolak 540,653 2 270,327 10,877 3 Ho ditolak 5318,16 214 24,851 6096,573 219 Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut : 96 a. Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara peserta didik yang diajar menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas. b. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara peserta didik yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. c. Terdapat interaksi antara variabel Model Pembelajaran dan IQ siswa terhadap prestasi belajar siswa. 2. Uji lanjut pasca Anava Uji lanjut pasca Anava dilakukan jika hasil analisis variansi menunjukkan hipotesis nol ditolak. Dari hasil perhitungan analisis variansi di atas, menunjukkan H0B dan H0AB ditolak, ini berarti harus dilakukan uji lanjut pasca anava a. Uji lanjut Pasca Anava Antar kolom Uji lanjut Pasca Anava Antar kolom dilakukan karena H0B ditolak. Dari hasil perhitungan analisis variansi pada Tabel 4.3, menunjukkan H0B ditolak, sehingga harus dilakukan uji lanjut pasca anava antar kolom. Uji ini dilakukan dengan metode Sceffe, yaitu menguji komparasi rataan antar kolom. Hasil perhitungan pada uji lanjut dengan metode Sceffe dapat disajikan dalam tabel berikut: 97 Tabel 4.4 Rangkuman uji sceffe untuk komparasi antar kolom Fobs Ho m.1 = m .2 m .2 = m.3 m.1 = m .3 117,443 56,62 321,96 2 F(0.05;2;214) p (2)(3) = 6 < 0,05 Ho ditolak (2)(3) = 6 < 0,05 Ho ditolak (2)(3) = 6 < 0,05 Ho ditolak kesimpulan Berdasarkan pada tabel rangkuman uji Sceffe di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai IQ tinggi dan siswa yang mempunyai IQ sedang. Berdasarkan rataan marginalnya siswa yang mempunyai IQ tinggi rata-ratanya adalah 82,99, siswa yang mempunyai IQ sedang rataratanya adalah 74,45, sehingga siswa yang mempunyai IQ tinggi berprestasi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang. 2. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai IQ sedang dan siswa yang mempunyai IQ rendah. Berdasarkan rataan marginalnya siswa yang mempunyai IQ sedang rata-ratanya adalah 74,45 dan siswa yang mempunyai IQ rendah rata-ratanya adalah 67,91, sehingga siswa IQ sedang berprestasi lebih baik dari pada siswa IQ rendah. 3. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai IQ tinggi dan siswa yang mempunyai IQ rendah. 98 Berdasarkan rataan marginalnya siswa yang mempunyai IQ tinggi rata-ratanya adalah 82,99 dan siswa yang mempunyai IQ rendah rata-ratanya adalah 67,91, sehingga siswa IQ tinggi berpretasi lebih baik dari pada IQ rendah. b. Uji lanjut Pasca Anava Antar Sel Dari hasil perhitungan analisis variansi pada Tabel 4.3, menunjukkan H0AB ditolak, ini berarti harus dilakukan uji lanjut pasca anava antar sel. Uji lanjut dilakukan dengan metode Sceffe, dengan menguji komparasi rataan antar baris pada kolom yang sama serta rataan antar kolom pada baris yang sama. Hasil perhitungan pada uji lanjut dengan metode Sceffe dapat disajikan dalam tabel berikut: Tabel 4.5 Rangkuman uji sceffe untuk komparasi antar sel Ho m11 = m 21 m12 = m 22 m13 = m 23 Fobs 5F(0.05;5;214) P Kesimpulan 6.99 11.05 > 0.05 Ho diterima 0.026 11.05 > 0.05 Ho diterima 15.79 11.05 < 0.05 Ho ditolak Berdasarkan tabel rangkuman uji Sceffe di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa, pada siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. 99 2. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa, pada siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. 3. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah, terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa pada siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. Berdasarkan rataannya prestasi belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah adalah 65, sedangkan rataan prestasi siswa yang diajar dengan diskusi kelas adalah 70,2, sehingga pada IQ rendah diskusi kelas memberikan prestasi yang lebih baik dari pada pembelajaran berbasis masalah. E. 1. Pembahasan Hasil Analisis Hipotesis Pertama Hipotesis pertama dari penelitian ini adalah pembelajaran berbasis masalah akan memberikan prestasi belajar yang lebih baik dari pada Diskusi Kelas. Berdasarkan hasil perhitungan Anava dua jalan dengan sel tak sama, diperoleh Fa = 0,047 < Fa = 3,84. Karena Fa tidak terletak pada daerah kritik, maka hipotesis nol diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas. 100 Hipotesis pertama ini tidak terbukti, hal tersebut dapat dijelaskan pada penjelasan berikut ini. a. Pembelajaran Berbasis Masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir, ketrampilan menyelesaikan masalah, dan ketrampilan intelektualnya, sehingga menjadi pelajar mandiri. Pembelajaran berbasis masalah mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Perspektif kognitif- konstruktivis, yang menjadi landasan Pembelajaran Berbasis Masalah mengatakan bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengalamannya sendiri. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada kelas yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah, interaksi antar siswa cukup baik, setiap siswa berusaha untuk menyampaikan ide dalam memecahkan masalah logika matematika dengan penuh tanggung jawab. b. Diskusi kelas dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa dan membantu mereka mengonstruksikan pemahamannya sendiri tentang isi akademik. Mendiskusikan suatu topik membantu siswa memperkuat dan memperluas pengetahuannya tentang topik itu dan meningkatkan kemampuannya untuk memikirkan tentang suatu hal. Diskusi memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara dan memainkan ide-idenya sendiri di depan umum dan 101 memberikan motivasi untuk terlibat di dalam wacana di luar kelas. Diskusi digunakan guru untuk membantu siswa mempelajari berbagai ketrampilan komunikasi dan proses berfikir yang penting. Diskusi memberikan sarana bagi guru untuk mencari tahu apa yang dipikirkan siswa dan bagaimana mereka memproses ide dan informasi yang diajarkan. Dukungan teoritis untuk penggunaan diskusi berasal dari bidang-bidang yang dipelajari oleh para pakar lewat bahasa, proses komunikasi dan pola pertukaran. Ada hubungan kuat antara bahasa dan berfikir, dan keduanya menghasilkan kemampuan untuk menganalisis, menalar secara deduktif dan induktif, dan membuat referensi yang masuk akal berdasarkan pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada kelas yang diajar dengan diskusi kelas, siswa dapat berkomunikasi cukup baik dengan teman kelompoknya maupun dengan anggota kelompok lain dalam berdiskusi materi logika matematika. Kedua model pengajaran tersebut sama-sama untuk meningkatkan kekreatifan proses berfikir siswa yang dilakukan dengan diskusi kelompok. Dukungan teoritis dari kedua model pengajaran terletak pada kognitif siswa, yang menekankan pada proses berfikir siswa, sehingga keduanya menghasilkan kemampuan untuk menganalisis, menalar secara deduktif dan induktif, menyelidiki dan membuat referensi yang masuk akal berdasarkan 102 pengetahuan. Kedua model pengajaran tersebut dapat memberikan rataan prestasi belajar matematika yang sama pada siswa kelas X materi logika matematika. Penjelasan tersebut merupakan alasan hipotesis pertama pada penelitian ini tidak terbukti. 2. Hipotesis Kedua Hipotesis kedua dari penelitian ini adalah prestasi siswa yang mempunyai IQ tinggi akan lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang, siswa yang mempunyai IQ sedang akan mempunyai prestasi yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. Pada hasil analisis variansi dua jalan sel tak sama, telah diperoleh Fb = 4,76 > Fa = 3. Karena Fb terletak pada daerah kritik, sehingga hipotesis nol ditolak, ini berarti terdapat perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Karena hipotesis nol ditolak sehingga dilakukan uji lanjut pasca anava dengan metode Sceffe. Berdasarkan uji Sceffe tersebut, hipotesis nol ditolak, yang berarti terdapat perpedaan prestasi antara siswa yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah. Berdasarkan rataan marginalnya, siswa yang mempunyai IQ tinggi rata-ratanya adalah 82,99, siswa yang mempunyai IQ sedang rataratanya adalah 74,45, dan siswa yang mempunyai IQ rendah rata-ratanya adalah 67,91. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan prestasi siswa yang mempunyai IQ tinggi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ 103 sedang, siswa yang mempunyai IQ sedang mempunyai prestasi yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. Hipotesis kedua pada penelitian ini terbukti, hal tersebut dapat dijelaskan pada penjelasan berikut ini. Intelligence Quotient (IQ) dilihat sebagai penentu kemampuan orang untuk belajar, untuk mencapai prestasi akademik. Para pakar ahli teori IQ seperti William Stern, menyatakan bahwa inti kecerdasan dibawa sejak lahir. Faktor yang mempengaruhi IQ diantaranya adalah faktor keturunan dan lingkungan. Seorang anak yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang dan IQ rendah juga dipengaruhi kedua faktor tersebut. Faktor tersebut tidak hanya pada faktor keturunan saja, tetapi faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor lingkungan. Meskipun siswa tersebut berasal dari orang tua yang mempunyai IQ tinggi, jika tidak didukung oleh lingkungan yang kondusif, anak tersebut tidak dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya secara optimal. Salah satu cara untuk mengukur tingkat IQ seseorang adalah dengan tes IQ. Berdasarkan data hasil tes IQ siswa dan hasil dari penelitian ini, dapat diketahui siswa yang mempunyai IQ tinggi dapat berprestasi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang, siswa yang mempunyai IQ sedang berprestasi lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. Penjelasan tersebut merupakan alasan hipotesis kedua pada penelitian ini terbukti. 104 3. Hipotesis Ketiga Hipotesis ketiga dari penelitian ini adalah pada siswa yang mempunyai IQ tinggi Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada Diskusi Kelas, pada siswa yang mempunyai IQ sedang Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada Diskusi Kelas, dan pada siswa yang mempunyai IQ rendah Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari pada Diskusi Kelas. Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan sel tak sama diperoleh Fab = 10,87 > Fa = 3, maka HoAB ditolak, ini berarti terdapat interaksi antara variabel model pengajaran dan variabel IQ siswa terhadap prestasi belajar siswa. Berdasarkan tabel rangkuman uji Sceffe di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika baik pada siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. b. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, tidak terdapat perbedaan prestasi belajar matematika baik pada siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. c. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah, terdapat perbedaan prestasi belajar matematika pada siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas. Berdasarkan rataannya prestasi siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis 105 masalah adalah 65, sedangkan rataan prestasi siswa yang diajar dengan diskusi kelas adalah 70,2. Hipotesis ketiga pada penelitian ini tidak terbukti, hal tersebut dapat dijelaskan pada penjelasan berikut ini. Ø Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi akan cenderung lebih kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah ataupun diskusi kelas, sama-sama menekankan pada proses berfikir siswa dalam memecahkan masalah, karena kedua model pengajaran tersebut sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kekreatifan proses berfikir siswa, sehingga siswa yang mempunyai IQ tinggi dapat melaksanakan kedua model pembelajaran tersebut dengan baik. Hal tersebut menyebabkan pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, pembelajaran berbasis masalah sama baiknya dengan diskusi kelas. Penjelasan tersebut merupakan alasan poin pertama (a) pada hipotesis ketiga pada penelitian ini tidak terbukti. Ø Berdasarkan teori IQ, siswa yang mempunyai IQ sedang akan memperoleh hasil belajar rata-rata dari hasil suatu tes. Pembelajaran berbasis masalah ataupun diskusi kelas, sama-sama menekankan pada proses berfikir siswa dalam memecahkan masalah. Siswa yang mempunyai IQ sedang akan mempunyai prestasi rata-rata dari suatu tes, baik pada pembelajaran berbasis masalah ataupun diskusi kelas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada siswa yang mempunyai IQ 106 sedang pembelajaran berbasis masalah sama baiknya dengan diskusi kelas. Ø Pembelajaran Berbasis Masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir, ketrampilan menyelesaikan masalah, dan ketrampilan intelektualnya. Pembelajaran berbasis masalah mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah tentu kurang dapat melaksanakan tujuan pembelajaran berbasis masalah dengan baik. Berdasarkan teori IQ, hal tersebut dikarenakan proses berfikir atau kognitif siswa yang mempunyai IQ rendah tidak lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ tinggi dan IQ sedang. Diskusi kelas merupakan model pengajaran yang mengajak siswa dalam suatu kelompok untuk mendiskusikan suatu topik membantu siswa memperkuat dan memperluas pengetahuannya meningkatkan kemampuannya dalam berpikir. Meskipun pada diskusi kelas dan pembelajaran berbasis masalah sama-sama menekankan pada kognitif siswa, tapi pada diskusi kelas juga ditekankan pada komunikasi antar siswa. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah tentu dengan menggunakan model pengajaran diskusi kelas lebih sesuai dari pada dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut disebabkan siswa yang mempunyai IQ rendah dapat memperoleh pengetahuan baru dari teman lainnya pada saat berdiskusi. 107 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah pada BAB I dan pembahasan hasil penelitian pada BAB IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tidak terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar dengan menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas, karena kedua model pembelajaran tersebut memberikan rataan prestasi belajar yang sama. 2. Siswa yang mempunyai IQ tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ sedang dan siswa yang mempunyai IQ rendah. Siswa yang mempunyai IQ sedang mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang mempunyai IQ rendah. 3. a. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, Pembelajaran berbasis masalah memberikan rataan prestasi belajar matematika yang sama dengan Diskusi Kelas b. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, Pembelajaran berbasis masalah memberikan rataan matematika yang sama dengan Diskusi Kelas prestasi belajar 108 c. Pada siswa yang mempunyai IQ rendah, Diskusi Kelas memberikan rataan prestasi belajar matematika yang lebih baik dari pada Pembelajaran berbasis masalah B. Implikasi Teoritis Dalam proses pembelajaran seorang guru seharusnya dapat menentukan suatu model pengajaran yang sesuai dengan keadaan kelas. Hal tersebut akan memberikan prestasi belajar yang lebih baik jika menggunakan model pengajaran yang dapat meningkatkan keaktifan, kekreatifan dan kekritisan siswa. Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas merupakan Model pengajaran interaktif yang perlu dicoba dalam proses pembelajaran. Dengan menggunakan kedua model tersebut, siswa akan lebih aktif dalam kegiatan belajar dikelas, karena kedua model pengajaran interaktif tersebut dapat membangkitkan motivasi siswa serta kekritisan berfikir siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pada siswa yang mempunyai IQ tinggi, IQ sedang ataupun IQ rendah, kedua model pengajaran tersebut dapat digunakan. Untuk siswa yang mempunyai IQ tinggi, dengan menggunakan kedua model pengajaran tersebut dapat mengembangkan kreatifitas dalam berfikir, sehingga dapat meningkatkan dan mempertahankan prestasi belajar matematika. Pada siswa yang mempunyai IQ sedang, kedua model tersebut dapat mengembangkan kekreatifan dan kekritisan dalam berfikir. Sedangkan pada 109 siswa yang mempunyai IQ rendah, kedua model pengajaran tersebut dapat meningkatkan motivasi dan kekritisan dalam berfikir. C. Implikasi Praktis Dalam pelaksanaan suatu model pengajaran yang dilakukan dilapangan, yang mana pada penelitian ini adalah model pengajaran pembelajaran berbasis masalah dan diskusi kelas akan memberikan pengaruh pada kelangsungan pembelajaran di kelas. Kedua model pengajaran tersebut merupakan model pengajaran interaktif yang berpusat pada siswa. Setelah siswa diajar dengan menggunakan kedua model pengajaran tersebut, siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran di kelas, hal itu dikarenakan karena siswa mengikuti langkah demi langkah dari model pengajaran tersebut. Peneliti menilai praktik penggunaan model pengajaran Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas memberikan pengaruh positif pada siswa. Hal itu bisa dilihat ketika peneliti melakukan penelitian pembelajaran di kelas, siswa lebih aktif dalam berdiskusi dengan teman dalam satu kelompok, antar kelompok serta interaksi dengan guru sangat baik. Peningkatan keaktifan siswa dalam pembelajaran tersebut tentunya akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pelajaran matematika. Model pengajaran Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas juga memberikan pengaruh positif pada tingkatan IQ siswa. Penggunaan 110 Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas pada siswa yang mempunyai IQ tinggi dan IQ sedang dapat mengembangkan daya pikir siswa untuk lebih kritis dan kreatif pada proses pembelajaran. Sedangkan pada siswa yang mempunyai IQ rendah, dapat meningkatkan tingkat kekritisan berfikir. Pengaruh positif yang diberikan oleh kedua model pengajaran interaktif tersebut dapat dilihat pada perubahan siswa yang lebih aktif, kreatif dan dapat menambah motivasi belajar siswa pada pembelajaran matematika. Menurut peneliti, hendaknya guru perlu mencoba menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas pada pembelajaran matematika. Sedangkan untuk siswa sendiri, seharusnya dapat melaksanakan langkah demi langkah dari model pengajaran yang digunakan. D. Saran Untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada pengajaran matematika, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut. 1. Untuk sekolah Perlu dikembangkan dan diterapkan model pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa, misalnya model pembelajaran Berbasis masalah dan model pembelajaran Diskusi Kelas, sehingga dapat 111 memacu siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar siswa akan menjadi lebih baik. 2. Untuk siswa. Diharapkan dalam mempraktikkan model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas mengikuti secara aktif sehingga dapat digunakan sebagai sarana untuk berlatih aktif dalam proses belajar sehingga dapat memperoleh pengalaman yang baru. 3. Untuk guru Dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa hendaknya guru menggunakan model pembelajaran Berbasis Masalah dan Diskusi Kelas, khususnya materi logika matematika. 4. Untuk orang tua. Diharapkan orang tua lebih memperhatikan anak dalam membantu belajar di rumah, karena dukungan dan motivasi dari orang tua akan membantu anak dalam meraih prestasi belajar yang lebih baik. 112 Daftar Pustaka Arends, Richard I.1997. Classroom Instruction and Management . United States: McGraw-Hill Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Ertmer, Peggy dan Simons, Krista D. 2006. Jumping the PBL Implementation Hurdle: Supporting the Efforts of K–12 Teachers. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, 1(1):40 Faizatul Fajaroh. dan I Wayan Dasna. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar Learning Cycle, (Online),(http://lubisgrafura.Wordpres.com. Diakses 25 April 2008. Gresham, Gina. 2007. An Invitation into the Investigation of the Relationship between Mathematics Anxiety and Learning Styles in Elementary Preservice Teachers. Journal of Invitational Theory and Practice, 13 (3) :24. Hmelo, Cindy E. dan Barrows, S. H. 2006. Goals and Strategies of a Problem-based Learning Facilitator . The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. 1 (1):24 Mergendoller, J. R., Maxwell, N. L. dan Bellisimo, Yolanda. 2006. A The Effectiveness of Problem-based Instruction: Comparative Study of Instructional Methods and Student Characteristics. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, 2(1):50 Muijs, Daniel, dan Reynolds, David. 2008. Effective Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Robertus Angkowo dan Kosasih. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta : Grasindo Schubring, Gert. 2006. History of Learning and Teaching Mathematics. The International Journal for the History of Mathematics Education, 1 (1) 4. 113 Sugiyono. 2007. Statistik untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Sutrisno Hadi. 2000. Statistik. Yogyakarta: Andi Syaiful Sagala. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Wahyu B. K. 2009. Perbedaan IQ dan EQ, http://mabhak. Sch.id. diakses 5 Juni 2010. Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group