BAB I PENDAHULUAN A. Membaca Ulang Pelaksanaan Pilkades A.1. Pilkades “Baik-Baik Saja”: Sebuah Wacana oleh Negara Pemilihan Kepala Desa atau yang sangat popular disingkat Pilkades, pelaksanaannya di berbagai desa di Indonesia seringkali diwacanakan oleh negara secara umum berjalan lancar tanpa ada masalah yang dinggap berarti. Menurut negara, pelaksanaan Pilkades dalam kondisi baik-baik saja dari waktu ke waktu. Mereka mendeklarasikan bahwa pelembagaan electoral activity di tingkat desa ini sudah sempurna dan sesuai dengan amanat demokrasi. Saya katakan sebagai wacana karena negara dalam hal ini mereka tidak “jujur”. Mereka tidak secara serius melihat fakta-fakta Pilkades yang ada di lapangan. Mereka juga kemudian tidak mencatat fakta-fakta tersebut dalam kondisi rapi supaya pencatatan itu bisa menjadi bahan evaluasi yang penting sebagai pijakan tindakan negara melalui kebijakan lain tentang Pilkades di kemudian hari. Apa yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar hanya menutupi fakta-fakta tentang Pilkades di lapangan dengan wacana yang bernada harmonis. Argumen dasar di atas saya dapatkan setidaknya setelah saya membaca beberapa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan Pilkades di beberapa desa di Kecamatan Bandar Kabupaten Batang yang dikeluarkan oleh beberapa 1 Pemerintah Desa (Pemdes) yang bersangkutan. Hasil pembacaan yang saya lakukan menyimpulkan telah terjadi hal yang mengejutkan. Beberapa Pemdes yang dalam hal ini berlaku sebagai negara, membuat laporan-laporan dengan format yang nyaris sama dan substansi yang nyaris sama juga mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi. Dalam laporan pertanggungjawaban tersebut, semua menyatakan bahwa pelaksanaan Pilkades di desa yang bersangkutan secara umum berjalan relatif lancar, aman, dan tertib serta tidak ada masalah atau kendala yang berarti. Ada kesan yang sangat kuat bahwa laporanlaporan tersebut dibuat seragam. Laporan-laporan tersebut disusun dengan rapi dan disertai dengan dokumentasi-dokumentasi berupa gambar foto yang sangat mendukung wacana keharmonisan yang dilakukan oleh negara tersebut. Semua laporan yang kemudian menjadi dasar argumen ini disahkan dan terkumpul dan dicap di kecamatan untuk kemudian diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Layaknya Kecamatan, Pemkab juga hanya sebagai lembaga pengumpul, pengesah, dan pemberi cap stempel belaka. Wacana tentang harmonisnya Pilkades tersebut kemudian semakin lengkap ditambah dengan tindakan negara itu sendiri yang cenderung pasif dan menutup diri dari keadaan. Alur birokratif sudah menjadi standar penilaian negara dalam melihat Pilkades. Otoritas kekuasaan di atas desa hanya menerima begitu saja laporan-laporan yang dibuat oleh desa. Negara tidak ingin repot lagi melakukan recheking ataupun setidaknya melakukan review terhadap laporan- 2 laporan tersebut. Dengan demikian negara hanya bergantung pada alur birokratif yang pada dasarnya tidak lebih dari sekedar lips services saja. Dampak dari wacana oleh negara tentang Pilkades ini jelas terlihat pada produk-produk kebijakan negara. Dalam kurun waktu satu dekade Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 yang seolah tidak perlu diotak-atik lagi itu menjadi “rujukan suci” jika terjadi permasalahan pada pelaksanaan Pilkades. Hal itu disebabkan karena negara merasa sudah mengatur semuanya di dalam peraturan pemerintah ini. Selain Peraturan Pemerintah itu sudah tidak ada lagi yang secara spesifik mengatur Pilkades. Kemunculan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diklaim mengakomodasi beberapa perbaikan tata kelola desa sebenarnya tidak membawa perubahan signifikan khususnya dalam pelaksanaan Pilkades. Gelaran enam tahunan ini bukan prioritas lagi bagi negara. Hal itu tidak bisa lepas dari latar belakang munculnya UU Desa tersebut. Kemunculannya berasal dari protes besar-besaran oleh para kepala desa dan perangkat desa yang menginginkan kesejahteraan mereka ditingkatkan secara khusus dan kesejahteraan bagi desa itu sendiri pada umumnya. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Desa No. 6 Tahun 2014 sebagai kebijakan yang subtansinya lebih teknis dari UU Desa terkesan hanya menitikberatkan pada bagaimana alokasi dana desa yang jumlahnya jauh lebih besar dari sebelum adanya UU Desa ini. Tidak ada upaya perbaikan secara signifikan terkait dengan pelaksanaan Pilkades yang tersurat 3 pada pasal-pasal di dalamnya. Pasal 40 dari peraturan tersebut yang sedikit menyinggung Pilkades itupun hanya sekedar memberikan perubahan pada syaratsyarat menjadi Pilkades dan lama jabatan kepala desa yang diperpanjang menjadi tiga kali periode yang semula hanya dua kali periode. Dari UU Desa tersebut sudah terlihat bagaimana negara menganggap Pilkades tidak sedang dalam masalah. Tidak ada sama sekali semangat dari negara untuk mengupayakan penindaklanjutan terhadap laporan-laporan pelaksanaan Pilkades. Negara tidak mau repot membuat kebijakan baru dan pokoknya “terima beres” saja dari laporan-laporan yang masuk. Dengan kata lain, semangat dari UU Desa No. 6 Tahun 2014 ini hanya menyangkut kesejahteraan desa dan para aparatur pemerintahan desa saja, tidak lebih. Dengan melihat respon negara yang pasif terhadap pelaksanaan Pilkades melalui paket kebijakan perundang-undangannya seperti di atas, maka saya pikir adanya kecenderungan penyamaan persepsi melalui laporan-laporan pelaksanaan Pilkades supaya menganggap bahwa Pilkades di tempat masing-masing tidak bermasalah itu memang benar-benar masif. Pola-pola pembangunan wacana seperti ini jelas terjadi di banyak sekali desa di seluruh Indonesia. A.2. Pilkades Tidak “Baik-Baik Saja”: Perilaku Politik Nondemokratis Lantas jika pengalaman birokratis di atas hanya sebuah wacana, maka apa yang sebenarnya terjadi? Jika negara memang benar-benar serius dalam melihat pelaksanaan Pilkades di seluruh desa yang ada, maka negara bisa dipastikan akan melihat situasi dan kondisi yang sesungguhnya sangat memprihatinkan, bahkan 4 sebenarnya tidak harmonis sama sekali. Cara pandang negara yang kukuh bahwa pelaksanaan Pilkades selama ini baik-baik saja lambat laun barangkali bisa luntur seandainya negara benar-benar serius melihat dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Sudah saatnya negara keluar dari jebakan romantisme yang dibuat oleh dirinya sendiri. Adalah pihak-pihak di luar negaralah yang justru berhasil meluruskan wacana “menyesatkan” yang dibangun oleh negara selama bertahun-tahun. Mereka dengan jelas bisa melihat bagaimana situasi dan kondisi nyata pelaksanaan Pilkades di lapangan. Mereka berasal dari kalangan akademisi dan juga warga negara biasa. Mereka mengungkapkan adanya perilaku politik yang mengarah kepada metode ilegal dalam tiap-tiap pelaksanaan Pilkades yang itu tidak terakomodasi dalam sebagian besar laporan pertanganggungjawaban pelaksanaan Pilkades oleh banyak desa. Sueni mengatakan bahwa pengalaman Pilkades tahun 2013 di Desa Tambahrejo Kecamatan Bandar Kabupaten Batang sangat jelas memperlihatkan bagaimana keterlibatan panitia pelaksanaan Pilkades dalam memenangkan calon kepala desa dan mengalahkan calon kepala desa yang lain dengan menggandakan kertas suara yang dicoblos pemilih. Kejahatan dalam Pilkades yang terstruktur dengan rapi ini belakangan menyebabkan ketidakpuasan bagi pihak yang dikalahkan dan menyebabkan terjadinya kerusuhan. Meskipun sudah terbukti 5 panitia pelaksanaan Pilkades melakukan kecurangan, calon kepala desa tidak mampu berbuat apa-apa karena sudah kehabisan sumber daya dan dana13. Desa Wonosegoro yang juga masih berada di Kecamatan Bandar juga tidak ketinggalan, sebelum pelaksanaan Pilkades, beberapa orang harus babak belur karena dipaksa oleh orang-orang yang mengaku suruhan calon kepala desa tertentu supaya mau memilihnya. Intimidasi, kekerasan, dan pemaksaan sangat terlihat di sana dan tidak ada aparat yang berjaga lantaran desa tersebut memang sering terjadi kerusuhan antar masyarakatnya. Tidak hanya tindakan koersif tetapi juga terdapat jual beli suara calon kepala desa dan calon pemilih. Mereka yang mempunyai uang sangat banyak, strategi untuk memenangkan pemilihannya yaitu dengan cara membeli suara orang satu rumah dengan nominal uang sekian juta (tebasan)14. Pilkades di lain daerah, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada akhir tahun 2013 merupakan Pilkades yang sarat politik uang dan ajang perjudian. Soal pembagian uang kepada pemilih supaya calon dipilih bukanlah sesuatu yang baru lagi. Biaya pendaftaran dan logistik perorang mencapai 200 jutaan, itu saja yang gagal menjadi kepala desa. Untuk memenangkan pemilihan, calon kepala desa setidaknya menyiapkan uang sekitar 500 juta rupiah. Faktor penentu kemenangan bukan lagi pada strategi kampanye dan perang visi misi melainkan seberapa besar uang yang dikeluarkan. 13 14 Wawancara Slamet Sueni pada tanggal 15 Oktober 2013. Wawancara Ahmad Rukhin tanggal 3 Desember 2014. 6 Tidak hanya jual beli suara tetapi juga perilaku berjudi juga sangat masif di sana. Seorang petaruh judi Pilkades (botoan), bahkan bisa menjadikan calon kades keluar sebagai pemenangnya. Caranya, yaitu dengan membeli suara pemilih dan memutar modal rupiah mereka. Penjudi akan mendatangi atau membeli suara warga dengan nilai fantastis. Bahkan, H-7 bursa taruhan pemenangpun sudah diputar oleh penjudi. Di sini penjudipun punya peran membeli suara. Bukan untuk memenangkan calon tapi demi kemenangan judinya. Masyarakat menilai hal itu terjadi tanpa ada tindakan dari negara meskipun negara sebenarnya tahu akan hal tersebut15. Beberapa akademisi juga telah menyebutkan bahwa fakta yang sering terjadi dalam pelaksanaan Pilkades adalah konflik baik horisontal seperti yang ditulis oleh Ardiansyah (2006) dan Kurniawan (2009) maupun antar elit politik desa dengan sesamanya yang pernah ditulis oleh Cahyono (2005). Selain itu, yang tidak kalah maraknya dan cenderung termanifestasi adalah jual beli suara pemilih seperti Pilkades di Batang dan Malang juga pernah dikemukakan oleh Jaweng (2011) dan Abdillah (2009). Kompleksitasnya juga mengarah pada kampanye hitam oleh para calon kepala desa dan intimidasi kepada pemilih oleh calon kepala desa tertentu juga dibahas oleh Ardiansyah (2006). Dari sisi partisipasi, dapat dilihat dari bagaimana partisipasi masyarakat yang rendah dengan sebab sabotase dari calon kepala desa tertentu untuk memenangkan dirinya yang ditulis oleh Gosango (2010). Ditambah pula fakta 15 http://m.beritajatim.com/politik_pemerintahan/167031/Pilkades,_Ajang_Politik_Uang_dan_Pest anya_Pejudi.html tanggal 3 Oktober 2013. 7 kecurangan-kecurangan yang sifatnya prosedural ketika pelaksanaan yang ditulis oleh Kiswanto (2008) hingga pada kecurangan-kecurangan yang berbau metafisik dan supranaturalistik seperti penggunaan jasa dukun untuk membantu pemenangan calon kepala desa tertentu yang dijelaskan secara gamblang oleh Dewi (2009). Fakta-fakta di atas kemudian membantah wacana negara bahwa pelaksanaan Pilkades di Indonesia berada dalam kondisi yang tanpa masalah. Negara selama ini seakan tidak melihat secara baik sehingga kejadiannyapun berulang-ulang dari tahun ke tahun. Pada tingkat yang lebih ekstrim, fakta-fakta itu menjadi semacam kebiasaan yang mengakar kuat di dalam perilaku politik subyek-subyek Pilkades. Fakta-fakta yang telah saya sebutkan di atas agaknya menjadi bahan pertimbangan untuk memikirkan ulang bagaimana pelaksanaan Pilkades ketika dihadapkan pada fakta-fakta pelaksanaan Pilkades masa kini. Bahan pertimbangan ini mencakup pada aspek pokok yaitu perilaku politik nondemokratis dari aktoraktor politik calon kepala desa (elit) maupun masyarakat pemilih (massa) dimana mereka meyakini kebiasaan melakukan tindakan-tindakan ilegal seperti penggunaan uang dan pemaksaan kehendak untuk memenangkan Pilkades itu dibenarkan karena “dibiarkan” oleh negara. Semua pihak juga seharusnya gelisah dengan pelaksanaan Pilkades yang belum sesuai dengan esensi demokrasi seperti ini. 8 Sehubungan dengan perkembangan demokrasi itu, pada negara sering dijumpai yang masih mengalami gejala-gejala perilaku politik nondemokratis (Diamond, 2003, hal. 88). Tidak terkecuali Indonesia, alih-alih melaksanakan prosedur demokrasi lokal dengan melaksanakan aktivitas elektoral desa, subyek-subyek politiknya masih berperilaku politik nondemokratis dengan tidak menaati aturan main yang ada pada aktivitas elektoral tersebut sehingga pada saat yang sama mereka sedang melemahkan demokrasi itu sendiri. Hal-hal seperti ini yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan Pilkades di lapangan dan selama ini belum dijadikan agenda penting bagi negara. A.3. Mengapa Pilkades Simpar Tahun 2013 Salah satu pelaksanaan Pilkades yang di dalamnya terdapat perilakuperilaku politik nondemokratis adalah Pilkades yang dilaksanakan di Desa Simpar, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang pada akhir tahun 2013. Pada bagian awal bab ini, saya menyampaikan bahwa saya telah melakukan pembacaan laporan-laporan tentang pelaksanaan Pilkades yang diterbitkan oleh beberapa Pemdes. Dari beberapa laporan tersebut, yang saya baca salah satunya adalah laporan pertanggungjawaban pelaksanaan Pilkades Desa Simpar 2013. Dengan ini, Pilkades Simpar 2013 tidak bisa mengelak menjadi objek kajian saya. Sama dengan laporan-laporan dari desa lain sekitar Simpar, pelaksanaan Pilkades Simpar 2013 diklaim oleh Pemdes Simpar telah berjalan sesuai dengan instruksi dari Pemkab Batang dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, kalau mau serius, Pilkades Simpar tahun 2013 sebenarnya 9 sangat kontroversial. Ini bisa dibuktikan dengan adanya cara pandang berbeda antara negara yang dalam hal ini adalah Pemdes Simpar dan warga masyarakat Simpar. Negara mengatakan melalui laporan pertanggunjawaban pelaksanaan Pilkades16, “Pilkades Simpar 2013 telah berjalan dengan aman dan tertib dan tidak menemui kendala yang berarti….. hanya saja masih terdapat kepadatan lalu-lintas pemilih dalam memilih karena pintu masuk hanya terdiri dari satu pintu…..” Sedangkan warga masyarakat bernama Khuzaini 17 dengan sedih sembari berkaca-kaca kedua matanya mengatakan, “Pilkades tidak hanya persoalan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saja, tetapi juga persoalan di luar arena itu. Pilkades Simpar 2013 ini sangat mengerikan bagi saya, penuh intrik dan cenderung tidak beradab. Intimidasi dan jual beli suara adalah hal yang wajib terlihat”. Kutipan wawancara di atas jelas menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan mengenai pelaksanaan Pilkades Simpar 2013. Yang satu berbicara keharmonisan sebuah perhelatan demokratisasi dengan hanya memandang peristiwa yang berlokasi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan dimensi fornal prosedural saja. Satunya penuh keseriusan dan kesedihan berbicara dimensi realitas di lapangan dimana perilaku aktor-aktor politik dan pendukungnya bertingkah seolah bukan layaknya manusia yang memiliki adab dan etika tertentu. Dari kacamata awam dan dengan mempercayai orang yang berkata serius dan jujur di atas, kutipan wawancara itu saja sudah bisa menarik rasa ingin tahu 16 Pemdes Simpar. 2013. Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Pilkades Simpar Kecamatan Bandar Kabupaten Batang Tahun 2013. Batang: Pemdes Simpar, halaman Evaluasi 17 Slamet Khuzaeni adalah salah seorang pemuda yang aktif berorganisasi di Desa Simpar dan mendukung salah satu calon kepala desa namun dia mendapat tekanan dari calon kepala desa yang lain selama seminggu sebelum hari pemilihan. 10 kita. Sepenggal wawancara tersebut juga bisa digunakan untuk melihat secara mendalam bagaimana perilaku politik yang terdapat pada pelaksanaan Pilkades Simpar 2013. Oleh karena itu, pelaksanaan Pilkades Simpar 2013 di lapangan terutama pada dimensi nonformal agaknya masih perlu dipertanyakan dan dipikir ulang. Hal tersebut di atas kemudian menarik untuk dikaji. Hasil kajian ini tentu saja berupaya memunculkan sebuah “kebenaran” di tengah perbedaan ekstrim dari dua cara pandang dua subyek politik tersebut tentang sebuah pelaksanaan Pilkades. Kajian ini diharapkan bisa membongkar dan meghadirkan “kebenaran” bahwa dalam pelaksanaan Pilkades Simpar 2013 terdapat perilaku-perilaku politik nondemokratis. Selain itu, apa yang menjadi penyebab terjadinya perilakuperilaku tersebut juga kemudian patut dibongkar. Bagaimanapun juga segala sesuatu yang terjadi ada penyebab logisnya. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka kemudian muncul dua pertanyaan. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: ”Bagaimana perilaku politik nondemokratis terdapat dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Simpar 2013?” 11 Perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013 tentunya dapat ditelusuri penyebabnya. Oleh karena itu, pertanyaan lain yang kemudian perlu saya lontarkan adalah demikian: “Mengapa perilaku politik nondemokratis muncul dalam Pemilihan Kepala Desa Simpar (Pilkades) Simpar 2013?” C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut: 1. Memaparkan bagaimana perilaku politik nondemokratis yang terdapat dalam Pemilihan Kepala Desa Simpar, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang tahun 2013; 2. Menjelaskan penyebab keberadaan perilaku nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013; Selain tujuan di atas, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan antara lain untuk kepentingan sebagai berikut: 1. Referensi bagi praktisi demokrasi lokal khususnya pemerhati elektoral tingkat desa dalam mengamati dan menganalisis varian-varian dinamika Pilkades di Indonesia; 2. Referensi bagi praktisi politik dalam mendesain mekanisme teknis dan hukum yang lebih baik untuk Pilkades di masa yang akan datang; 3. Bentuk kontribusi bagi pengembangan keilmuan di bidang politik tentang perilaku politik dalam konteks Pilkades di Indonesia. 12 D. Kajian Literatur Sebagai bahan telaah dan referensi, saya melakukan kajian terhadap beberapa hasil penelitian orang lain. Selain untuk memperkaya pengetahuan, hal ini juga dilakukan untuk menghindari kesamaan dalam analisis dan fokus penelitian sehingga potensi plagiasi bisa ditiadakan. Selain itu, penelitian yang relevan ini juga saya gunakan untuk mencari tautan obyek kajian dan kemudian saya cari benang merahnya. Setidaknya, saya memilih tiga penelitian yang fokusnya koheren dengan penelitian saya. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Kartodirjo (1992) dan Kana (2000). Kedua penelitian itu menyoroti bagaimana strategi pemenangan calon kepala desa pada Pilkades di beberapa desa di Jawa dan DIY. Kartodirjo memperlihatkan bagaimana dalam strategi pemenangan calon kepala desa dalam beberapa Pilkades di DIY terdapat trik, taktik, intrik, kasak-kusuk, dan intimidasi. Calon kepala desa yang memiliki sumber daya lebih banyak dapat lebih bisa mengelola dan memperlancar strategi tersebut. Dalam studi Kana yang berfokus di Jawa misalnya, para calon kepala desa menggunakan strategi pemenangan yang masih tradisional. Mereka calon kepala desa memanfaatkan ikatan kekeluargaan, kewilayahan, dan memanfaatkan “tokoh terminal”, baik berupa tokoh masyarakat maupun tokoh preman. Selain itu, politik uang dalam hal ini juga berperan besar. Mereka bisa memobilisasi masa di luar daerah dengan uang yang sangat banyak supaya dapat memilih calon kepala desa yang melakukan mobilisasi tersebut. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Hastuti, dkk (2012). Mereka menyoroti partisipasi masyarakat dalam Pilkades di beberapa desa di Kabupaten 13 Tegal. Partisipasi masyarakat dalam Pilkades sangat bergantung pada politik uang yang dilakukan oleh para calon kepala desa kepada calon pemilihnya. Wujudnya adalah calon kepala desa memberikan uang kepada setiap masyarakat Rp.35.000.00,- hingga Rp.120.000.00,-, pemberian sembako dan kaos, pemberian uang secara kolektif melalui pembuatan sarana dan prasana publik. Dengan politik uang, partisipasi masyarakat bisa terdongkrak dengan melihat perolehan suara tiap calon. Calon kepala desa yang terpilih adalah calon yang paling banyak mengeluarkan uang. Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009). Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa mekanisme Pilkades yang sudah bersifat modern tidak mampu membuat para pemilih dan calon kepala desa menjadi lebih rasional. Mekanisme Pilkades itu juga tidak mampu menghilangkan nilai-nilai dan jaringan politik tradisional yang sudah melekat lama dalam penyelenggaraan Pilkades itu sendiri. Justru sebaliknya, nilai-nilai dan jaringan politik tradisional itu cenderung fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan mekanisme olektoral yang modern. Nilai-nilai Jawa yang bersifat mistis metafisik dominan terlihat di sela-sela aktivitas prosedural Pilkades. Bentuknya adalah dengan masih adanya praktikpraktik supranaturalistis yang bertujuan untuk memenangkan calon kepala desa tertentu. Selain itu, prediksi kemenangan salah satu calon kepala desa didasarkan pada pulung yang mengitari rumah calon dan kokok ayam jantan menjelang pemilihan. Untuk memenangkan Pilkades, calon kepala desa secara tradisional juga memanfaatkan jaringan kekerabatan dan lokasi tempat tinggal. Pendekatan 14 secara kultural juga menjadi sarana yang cukup efektif untuk mendapatkan suara dalam Pilkades. Jika dicermati secara mendalam, ketiga penelitian tersebut memiliki tautan obyek penelitian yang sama dengan obyek penelitian saya meskipun dengan analisis teori yang berbeda. Kesamaan itu bisa dikerangkai dengan istilah perilaku politik nondemokratis oleh para aktor, baik yang berkontestasi maupun yang berpartisipasi dalam Pilkades. Perilaku politik nondemokratis para aktor yang berkontestasi dalam Pilkades terwujud pada bagaimana strategi pemenangan yang digunakan oleh para calon kepala desa. Sedangkan perilaku politik nondemokratis masyarakat terwujud pada bagaimana partisipasi mereka dalam Pilkades yang tergantung pada politik uang. Penelitian terakhir memperlihatkan bahwa faktor kesejarahan mengenai nilai-nilai dan jaringan politik tradisional ternyata menyebabkan adanya perilaku politik nondemokratis di dalam mekanisme pemilihan modern. Namun demikian, kesamaan dalam ketiga penelitian yang telah saya sajikan itu diharapkan bisa memperlihatkan perbedaan analisis teori yang saya gunakan dalam penelitian saya. E. Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian saya terdiri dari rangkaian beberapa konsep kunci. Pertama, konsep mengenai Pemilu yang demokratis. Konsep Pemilu di sini saya pinjam untuk konteks pemilihan kepala desa. Kedua, Pilkades dari aspek esensi demokratis dan aspek teknis. Konsep Pilkades dalam kerangka ini menjelaskan bagaimana Pilkades Simpar 2013 semestinya dilakukan (kondisi 15 ideal). Ketiga, konsep mengenai perilaku politik dan perilaku-perilaku politik nondemokratis. Konsep ini menjelaskan perilaku aktor-aktor politik dalam Pilkades Simpar 2013 yang merupakan bagian dari penyangkalan terhadap kondisi ideal pelaksanaan sebuah Pilkades. Keempat, konsep path dependence sebagai penjelasan teoritis akan penyebab keberadaan perilaku-perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013. E.1. Pemilu Demokratis Negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahannya bisa dipastikan menggunakan Pemilu sebagai prosedur wajib dalam merotasi kekuasaan. Dalam sistem-sistem politik pemerintahan yang lain barangkali orang menjadi pemimpin karena asal-usul kelahiran, kemujuran, kekayaan, kekerasan, kooptasi, pengetahuan yang dimiliki, penunjukan, atau ujian. Akan tetapi semua itu tidak di lakukan dalam sistem politik pemerintahan demokrasi karena prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin (Pemilu). (Huntington, 1995, hal. 4) Tentu saja Pemilu yang dimaksud di atas adalah pemilihan pemimpin yang dilaksanakan secara adil dan kompetitif oleh seluruh aktor di dalamnya. Pemilu harus bisa menjadi “metode demokratis” dengan menjadi prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Pemilu dikatakan demokratis jika kemudian prosesnya dilakukan dengan adil, jujur, dan berkala. Dalam Pemilu itu para calon secara 16 bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Warga negara diberi kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Di antara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemiihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. (Schumpeter dalam Huntington, 1995, hal. 4) Robert Dahl menambahkan bahwa Pemilu yang demokratis kemudian juga mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan untuk meraih kesempatan menjadi pejabat pemerintah, pemimpin politik dapat bersaing dalam mencari dukungan dalam meraih suara, dan pelaksanan kampanyekampanye dalam Pemilu itu sendiri. Pemilu yang demokratis juga harus melibatkan responsifitas negara terhadap warga negara. Dahl menekankan responsifitas pemerintah terhadap partisipsi warga negaranya, yang setara secara politis sebagai dasar sifat demokrasi, artinya ada perlindungan dan penjaminan terhadap hak pilih warga negaranya. (Dahl dalam Huntington, 1995, hal. 6) Asas-asas umum Pemilu berikut yang mana secara universal telah dianut oleh beberapa negara demokratis seperti Amerika, Perancis, dan Jerman juga termasuk Indonesia dapat digunakan sebagai kriteria Pemilu yang demokratis. Pertama, langsung, rakyat dapat memberikan hak pilihnya secara langsung tanpa perantara. Kedua, umum, tidak ada diskriminasi bagi setiap warga negara untuk mengikuti Pemilu. Ketiga, bebas, setiap warga negara berhak memilih sesuai hati nurani tanpa adanya paksaan dari siapapun dan negara menjamin kebebasan tersebut. Keempat, rahasia, pilihan warga negara tidak boleh diketahui siapapun 17 dengan cara apapun. Kelima, jujur, semua penyelenggara, pengawas, dan pemantau Pemilu harus bersikap dan berlaku jujur sesuai tata tertib perundangundangan. Keenam, adil, baik peserta maupun pemilih harus diperlakukan dengan adil, sama, dan bebas dari kecurangan dari pihak manapun. (Prihatmoko, 2005, hal. 110-111) Pemilu yang demokratis juga harus diselenggarakan dan diawasi oleh lembaga sampiran negara untuk menjamin asas-asas di atas. Akan lebih bermanfaat dan lebih mantap lagi jika penyelenggaraan Pemilu dengan melibatkan semakin banyaknya pengamatan dan pengawasan yang dilakukan oleh kelompokkelompok internasional. Tentu saja mereka adalah pihak-pihak yang cukup kompeten dan tidak berpihak, dan para mengamat itu mengesahkan Pemilu tersebut sebagai pemilihan yang telah memenuhi standar kejujuran dan keadilan minimal. (Huntington, 1995, hal. 7) Pemilu yang terbuka, bebas, dan adil adalah esensi demokrasi, suatu sine qua non yang tidak dapat dielakkan. Pemerintah yang merupakan hasil Pemilu boleh jadi tidak efisien, korup, berpandangan pendek, tidak bertanggungjawab, didominasi oleh kepentingan-kepentingan khusus, dan tidak mampu mengambil dan menjalankan kebijakan-kebijakan demi kebaikan publik. Sifat-sifat ini mungkin menyebabkan pemerintah semacam itu tidak disukai, namun tidak mesti membuatnya demokratis. (Huntington, 1995, hal. 8) 18 E.2. Pilkades Demokratis Pilkades merupakan salah satu bentuk lembaga demokrasi yang berada di level desa. Konsep ini mengadopsi konsep Pemilu sehingga prinsip dasar dan asas-asasnya serta mekanisme teknisnyapun serupa meskipun tak sama. Dengan menyamakan konsep Pilkades terhadap Pemilu arah dan tujuannya jelas supaya Pilkades dapat dijadikan sebagai mekanisme rekrutmen pemimpin dan kontestasi yang kompetitif serta partisipasi yang setara bagi warga desa (demokratis). E.2.1. Pilkades: Mekanisme Rekrutmen, Kontestasi, dan Partisipasi Politik Pilkades merupakan sebuah lembaga demokrasi lokal (desa) yang mana berfungsi sebagai sarana dari sebuah proses politik yang disebut dengan rekrutmen pemimpin desa. Rekrutmen pemimpin desa (kepala desa) akan diisi oleh satu elit pada akhirnya. Lebih jauh, rekrutmen semacam ini dapat diartikan sebagai proses ke arah pengisian (staffing) peran-peran politik yang mana di satu sisi menyangkut transformasi peran nonpolitik menjadi layak memainkan peran politik dan di sisi lain adalah seleksi untuk menduduki posisi politik yang tersedia. Namun demikian, maksud dari rekrutmen ini adalah proses yang memiliki penekanan pada kelayakan dan seleksi. (Lay dalam Dewi, 2009, hal. 22) Rekrutmen yang berdasarkan pada kelayakan dan seleksi seperti di atas menjadi penting perannya karena akan dapat dilihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik baik dari diri pemimpin itu maupun mereka yang dipimpinnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, pola rekrutmen semacam ini dapat 19 mengungkapkan derajat tipe keterwakilan politik, struktur, dan perubahan peran politik, serta basis stratatifikasi sosial dalam masyarakat. Dengan harapan bahwa rekrutmen yang dilakukan jangan sampai memunculkan oligarki atau kekuasaan yang hanya dipegang oleh elit. (Lay dalam Dewi, 2009, hal. 22) Selain menjadi sarana rekrutmen pemimpin, Pilkades juga sekaligus bisa dipahami sebagai ajang kontes politik para kandidat yang akan menjadi kepala desa. Kontestasi politik ini dapat diikuti oleh siapapun yang memenuhi syarat secara yuridis. Masyarakat desa tidak hanya memilih atau menjadi pemilih namun juga berkesempatan menjadi calon yang dipilih. Sehubungan dengan itu, demokrasi membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama. Pada level desa pun demikian seharusnya. Desa yang semula otonom dan bisa dikatakan tidak baru dalam menjalankan pemilihan pemimpin secara langsung sudah semestinya melakukan apa yang disyaratkan demokrasi tersebut. Oleh karena itu dalam mengisi jabatan publik seperti kepala desa sebagai contoh sudah seharusnya membuka peluang untuk semua orang yang memenuhi syarat, dengan kompetisi yang wajar sesuai aturan yang telah disepakati. Pilkades yang demokratis mencakup bagaimana penciptaan suasana kontestasi yang kompetitif. Calon-calon yang bersaing berada dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Pilkades dapat disebut kompetitif apabila secara hukum (de jure) dan kenyataan (de facto) tidak menetapkan pembatasan dalam rangka menyingkirkan calon-calon atau kelompok tertentu atas 20 dasar alasan-alasan politik. Pembatasan merupakan diskriminasi dan bertentangan dengan keadilan demokrasi dan kesamaan di depan hukum. Lebih jauh lagi, dalam kompetisi Pilkades pemilih harus memiliki pilihan di antara berbagai alternatif politik yang bermakna atau calon-calon yang layak, syarat kompetisi harus berlaku sama bagi seluruh calon dalam pengertian “satu medan permainan yang sama”. ( Eklit dan Svenson dalam Prihatmoko, 2005, hal. 113) Selain menjadi sarana rekrutmen politik dan kontestasi politik, Pilkades juga menjadi sarana untuk memberikan preferensi secara politik oleh masyarakat dalam bentuk partisipasi. Kita bisa mengacu pada asas dasar demokrasi ala Schumpeter yaitu ”kontestasi dan partisipasi”. Kekuasaan pada hakikatnya milik rakyat dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dalam paham demokrasi dikenal adagium klasik bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Dengan demikian, sumber legitimasi kekuasaan tertinggi dan tidak ditawar-tawar lagi adalah kedaulatan rakyat. Hal tersebut bisa menggambarkan posisi masyarakat desa dalam Pilkades. Masyarakat sangat terbuka memiliki preferensi (dapat berpatisipasi) dalam politik, sebuah preferensi yang dilindungi. Preferensi dalam bentuk partisipasi yang dilindungi mengandung tiga maksud bahwa akses pada Pilkades harus terbuka bagi setiap warga negara (universal suffrage, atau hak pilih universal), bahwa ada pilihan dari antara alternatif-alternatif politik riil (para calon yang berkompetisi), dan bahwa hasilnya tidak ditentukan sebelumnya. Akses bagi warga yang terbuka berarti bahwa hak pilih benar-benar bersifat universal. Semua warga dijamin memiliki hak pilih 21 tanpa diskriminasi. Bukan merupakan kontroversi dan kontradiksi apabila hak untuk memilih dibatasi dengan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi warga, seperti usia, kesehatan jasmani dan rohani, domisili, dan lamanya bermukim. Keterbukaan berarti persamaan nilai suara dari seluruh warga negara dihitung sama tanpa terkecuali. Prinsip yang digunakan adalah one person, one vote, one value. Tidak dibedakan antara kaum melarat sampai konglomerat, dari buta huruf sampai profesor, dan seterusnya. (Prihatmoko, 2005, hal. 115) Kemudian setelah masyarakat memberikan preferensi politiknya dalam Pilkades, baru setelah itu orang akan melihat dan menilai seberapa besar pejabat publik terpilih memenuhi janji-janjinya. Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal untuk memberikan ganjaran atau hukuman (reward and punishment) dalam Pilkades mendatang. Kepala desa yang tidak dapat memenuhi janji-janjinya dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak terpilih, sebaliknya kepala desa yang tidak berkenan di hati masyarakat akan dipilih kembali. (Prihatmoko, 2005, hal. 36) E.2.2. Aspek Teknis Prosedural Pilkades: Sistem dan Tahapan Unsur teknis prosedural dalam penyelenggaraan Pilkades merupakan penopang ide dan gagasan besar tentang Pilkades di atas. Sistem pemilihan kepala desa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap watak dan karakter persaingan para calon kepala desa. Karakter dan watak persaingan tidak lain adalah ciri-ciri yang menonjol dari kompetisi dalam pemilihan kepala desa berikut implikasi dan konsekuensinya, biasanya diterjemahkan dalam kelebihan dan kekurangan. Sistem 22 pemilihan juga bisa dirancang untuk memperlancar perilaku politik tertentu karena sistem pemilihan dapat dengan mudah dimanipulasi. Oleh sebab itu, penggunaan sistem pemilihan kepala desa harus dibarengi dengan instrumen lain yang sifatnya kontroling dan didiskusikan dengan masyarakat. (Prihatmoko, 2005, hal. 96) Dengan kata lain, untuk mengetahui kemungkinan penerapan sistem pemilihan kepala desa yang berlangsung di Indonesia selama ini kita bisa mengacu pada sistem pemilihan langsung kepala negara atau presiden. Antara pemilihan kepala desa dan kepala negara memiliki kemiripan, namun sudah termodifikasi, yaitu menggunakan two round system atau run-off system. Sesuai namanya, cara kerja sistem two round ini dilakukan dengan dua putaran dengan catatan tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut (50% + 1) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama. Dua calon presiden atau kepala desa dengan perolehan suara terbanyak harus melalui putaran kedua beberapa waktu setelah putaran pertama. Perbedaannya pada Pilkades, putaran kedua dilakukan bervariasi di tiap-tiap kabupaten di Indonesia, ada yang segera melakukan putaran kedua setelah penghitungan selesai, ada yang tidak menggunakan dua calon pemeroleh suara terbanyak, dan jika putaran kedua tidak mendapatkan hasil yang ditentukan maka Pilkades diselenggarakan ulang dengan membuka calon pendaftaran baru. Hal itu disebabkan karena cakupan wilayah desa yang tidak terlalu luas dan kebijakan pemerintah daerah masing-masing. (Prihatmoko, 2005, hal. 97) 23 Sistem pemilihan ini dalam Pilkades memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan sistem modifikasi tersebut calon terpilih memiliki legitimasi yang cukup besar. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa Pilkades yang semula membutuhkan biaya besar karena dibebankan pada masing-masing desa dan jika terjadi dua putaran atau pemilihan ulang maka biaya yang dikeluarkan sudah pasti besar. Tidak hanya biaya, energi dan waktu yang dimiliki oleh masyarakat desa juga akan terkuras. (Prihatmoko, 2005, hal. 98) Sedangkan tahapan dalam Pilkades sama dengan tahapan pada Pemilu. Aktor utama dalam Pilkades juga sama yaitu masyarakat desa sebagai pemilih, eli desa sebagai calon kepala desa, dan organisasi penyelenggara sebagai panitia pelaksanaan Pilkades. Adapun tahapan umum dalam Pilkades adalah pendaftaran pemilih, pendaftaran calon kepala desa, penetapan calon kepala desa, kampanye calon kepala desa, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan calon kepala desa terpilih. Hal-hal yang berkaitan dengan syarat dan kriteria calon kepala desa serta tugas dan wewenang panitia pelaksanaan Pilkades telah diatur dalam tata tertib pelaksanaan Pilkades yang dibuat oleh masing-masing Pemerintah Daerah. (Prihatmoko, 2005, hal. 204) E.3. Perilaku Politik Nondemokratis dalam Pilkades Meskipun Pilkades sudah dirancang dan disamakan dengan Pemilu dengan harapan pelaksanaannya berjalan dengan demokratis, akan tetapi banyak sekali kenyataan atau fakta di lapangan berbicara lain. Kasus Pilkades Simpar merupakan salah satu kasus yang menjelaskan bagaimana pelaksanaan Pilkades 24 tidak berjalan dengan demokratis. Pelaksanaan Pilkades Simpar 2013 lebih banyak didominasi oleh perilaku politik nondemokratis yang sifatnya sangat prinsipil daripada perilaku yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Untuk mengkerangkai perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013 ini, setidaknya dua konsep penting di bawah ini dapat membantu. Konsep tersebut adalah konsep mengenai perilaku politik secara umum dan konsep perilaku politik nondemokratis dalam pelaksanaan perebutan kekuasaan politik. E.3.1. Perilaku Politik Secara umum perilaku politik adalah tindakan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam kegiatan politik ataupun proses pembuatan dan keputusan politik (Surbakti, 1992, hal. 31). Sedangkan secara khusus, perilaku politik dalam kasus Pilkades meliputi segala tindakan dan kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan Pilkades. Perilaku politik dalam Pilkades meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, kampanye, upaya mempengaruhi suara, lobi dan sebagainya. Unsur penting yang ada di balik perilaku politik yaitu sikap politik. Sikap politik merupakan hubungan atau pertalian antara keyakinan yang telah melekat dan mendorong seseorang untuk menanggapi suatu obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. Sikap dan perilaku masyarakat dipengaruhi oleh proses dan peristiwa historis masa lalu dan merupakan kesinambungan yang dinamis. 25 Peristiwa atau kejadian politik secara umum maupun yang menimpa pada individu atau kelompok masyarakat, baik yang menyangkut sistem politik atau ketidakstabilan politik, dapat mempengaruhi perilaku politik masyarakat (Putra, 2003, hal. 20). Hal tersebut memperjelas bagaimana sikap aktor-aktor dalam Pilkades Simpar 2013 menjadi penting karena dapat mempengaruhi tindakan atau perilakunya. E.3.2. Perilaku Politik Nondemokratis Meskipun ide dan gagasan Pilkades sudah menunjukkan bagaimana demokrasi bekerja di dalamnya, namun dalam kasus Pilkades Simpar 2013 demokrasi tidak dapat bekerja, Pilkades hanya berupa tahapan-tahapan tanpa esensi demokrasi. Hal itu ditunjukkan dengan perilaku-perilaku nondemokratis oleh para aktor yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkades baik oleh para elit calon kepala desa, organisasi pelaksana, maupun masyarakat pemilih. Hal itu tidak terlepas dari bagaimana kondisi demokrasi di Indonesia yang belum sepenuhnya mapan. Masyarakat dari berbagai elemen belum bisa menjadikan nilai-nilai demokrasi dalam setiap kegiatan dan tindakan politik mereka tidak terkecuali dengan aktivitas elektoral. Sikap, persepsi, dan keyakinan mereka seringkali mengingkari nilai-nilai demokrasi yang ada pada tiap kali gelaran pemilihan. Sehingga, perilaku politik mereka adalah perilaku politik yang bersifat nondemokratis. Diamond memberikan beberapa bentuk dan kriteria perilaku politik aktoraktor politik dalam sebuah pemilihan yang menujukkan perilaku politik 26 nondemokratis. Lebih jauh, baginya perilaku politik nondemokratis dalam pemilihan dapat melemahkan nilai demokrasi yang sudah ada dalam pemilihan itu sendiri. Level Elit Sikap, Persepsi, dan Keyakinan Kebanyakan signifikan pemimpin dalam Perilaku yang Para pemimpin tersebut tidak saling pemerintahan menghargai satu sama lain dalam maupun yang nonpemerintahan tidak persaingan mendukung lembaga-lembaga dan kekuasaan. aturan-aturan kekuasaan tidak dilakukan secara dari sistem konstitusional. damai, memperebutkan Mereka cenderung kekerasan, berebut menggunakan melanggar hukum, konstitusi, dan norma-norma perilaku politik yang diterima bersama. Para elit membuat retorika yang dapat menghasut para pengikut mereka pada kekerasan, intoleransi atau metode-metode ilegal. Organisasi Organisasi sosial maupun politik dan Semua organisasi signifikan tersebut pemerintahan berusaha menggunakan kekerasan, tidak mendukung tegaknya aturan berdemokrasi dalam kecurangan, atau metode-metode kehidupan mereka. inkonstitusional atau antidemokrasi lainnya sebagai taktik yang disengaja dalam mengejar kekuasaan atau sasaran politik lain. Massa Setidaknya lebih dari 30 % publik Mereka mendukung para elit dan yang secara sadar dan konsisten tidak organisasi mendukung tegaknya nilai-nilai dan kekerasan, kecurangan, atau metode- prosedur demokrasi. metode ilegal dan inkonstitusional lainnya yang untuk menggunakan mengekspresikan pilihan-pilihan politik mereka. Tabel 1.1. Perilaku Politik Nondemokratis (diolah) Tabel di atas dapat dikontekstualisasikan lagi pada perilaku politik nondemokratis yang ada dalam Pilkades Simpar 2013. Kontekstualisasi ini bisa 27 memberikan ukuran atau indikator bagaimana perilaku politik nondemokratis berlangsung pada proses perebutan kekuasaan dalam aktivitas elektoral desa. Indikator-indikator yang eksplisit dalam kasus Pilkades Simpar 2013 mengenai perilaku politik nondemokratis setidaknya bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Level Elit Aktor Calon Kepala Desa Kepala Desa Sikap Tidak Perilaku menghargai dan Menggunakan cara-cara menghormati aturan-aturan dari nondemokratis sistem Pilkades. ilegal Aktif dalam dan inkonstitusional hal strategi pemenangan dan berkampanye. Organisasi Panitia Pilkades BPD Tidak mendukung aturan-aturan dari tegaknya sistem Pilkades. Menggunakan metode- metode inkonstitusional dalam menyelenggarakan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pilkades. Massa Masyarakat Kebanyakan mereka konsisten Menggunakan metode- Desa tidak mendukung tegaknya nilai- metode nilai dan prosedur Pilkades. dan ilegal inkonstitusional dalam nondemokratis mengekspresikan dukungan terhadap calon kepaa desa dan orientasi partisipasi mereka dalam Pilkades. Tabel 1.2. Kontekstualisasi Perilaku Politik Nondemokratis dalam PilkadesSimpar 2013 E.4. Path Dependence dan Perilaku Politik Nondemokratis Dalam sejarah perebutan kekuasaan politik, selalu ada saja pihak yang berkecenderungan untuk memenangkan perebutan tersebut dengan perilaku 28 politik nondemokratis. Perbedaannya kemudian ditentukan pada tingkat toleransi atas perilaku tersebut, apakah wajar bisa diterima atau tidak bisa diterima sama sekali. Pertanyaannya kemudian apa sebenarnya yang menyebabkan perilakuperilaku politik nondemokratis tersebut sering kali terjadi dalam tiap kali perebutan kekuasaan? Pola apa yang dapat menggambarkan hal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya meminjam konsep path dependence atau jalur ketergantungan. Konsep path dependence ini berasal dari pendekatan sejarah dan perilaku. Perkara masa lampau atau dalam istilah Schumpeter “history matters” adalah bagian yang sangat penting dan sering sekali menentukan pola perilaku pada saat ini. Pola sikap dan perilaku orang-orang sangat tergantung pada sejarah dan kebiasaan yang bersifat membudaya. Kebiasaan dan budaya di masa lalu ini sangat menjadi inspirasi atau pendorong bagi munculnya perilaku masa sekarang dan masa depan. (Jones dan Wadhwani, 2008, hal. 19-20) Perilaku individu tertentu terwadah dalam sebuah wadah komunal yang telah membentuk sistem nilai tertentu. Organisasi, institusi, atau komunitas politik memiliki nilai yang tidak bisa diubah begitu saja (North, 1990, hal. 35). Katakan saja dalam mekanisme pemilihan pemimpin politik desa, modernisasi dan demokratisasi politik di desa yang diwujudkan dengan Pilkades itu juga tidak serta merta mampu menjadi pengubah perilaku masyarakat menjadi demokratis dalam memilih pemimpin. Hal itu disebabkan karena mereka takut akan mengacaukan sistem nilai yang sudah mapan. Mereka takut akan resiko-resiko politik, sosial, bahkan ekonomi yang akan timbul jika dilakukan suatu perubahan 29 mendasar. Oleh karena itu, keberadaan dan posisi perilaku-perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades cukup kuat. Banyak orang yang kemudian menolak hal-hal baru yang datang belakangan dengan asumsi bahwa apa yang telah dilakukan selama ini sudah dianggap benar dan menguntungkan. Ketakutan atas resiko yang akan terjadi apabila mengubah kebiasaan tersebut membuat mereka sulit untuk melakukan inovasi-inovasi yang sebenarnya akan jauh lebih menguntungkan jika dilakukan. (David, 1985, hal. 15) Kondisi yang sudah jamak terjadi dalam masyarakat kita akan sulit dirubah secara langsung. Apa yang selama ini dipedomani dan dianggap benar akan terus diperjuangkan untuk dipertahankan. Kebiasaan lama yang turun temurum terjadi dalam sebuah komunal akan sulit dirubah dengan teori dan logika yang boleh jadi dianggap sebagai sesuatu yang baru dan mengandung banyak resiko. Resiko inilah yang kemudian mereka hindari dengan tetap berpegang teguh pada apa yang selama ini mereka alami dan yakini kebenarannya. Kondisi tersebut di atas adalah sebuah realitas dari path dependence. Butuh mekanisme evolusi yang tidak main-main dalam melawan sejarah. Ketergantungan individu atau masyarakat terhadap sesuatu sulit untuk diubah dalam jangka waktu pendek, kalaupun bisa diubah itu menggunakan jalan revolusi yang bersifat mendasar dan segera. Bagaimana jika perubahan sudah berhasil dilakukan pada faktor “history matters” atau kondisi path dependence? Jawabannya adalah akan muncul kondisi path dependence yang baru. Dampak 30 kemunculan faktor yang baru ini dapat mengubah sistem nilai yang ada pada institusi tertentu. Pada akhirnya perilaku individu juga akan berubah. (North, 1990, hal. 40-42) Dengan demikian, dalam konteks perilaku politik nondemokratis, butuh perjuangan jangka panjang dan didasari oleh penyadaran untuk berusaha menghentikan perilaku-perilaku tersebut dan digantikan dengan ketaatan pada aturan main dalam Pilkades. Bisa juga dengan cara melakukan revolusi spontan oleh negara ataupun masyarakat untuk tidak memberikan toleransi terhadap keberadaan perilaku-perilaku politik nondemokratis tersebut. F. Konseptualisasi Dalam penelitian ini, konseptualisasi yang saya bangun adalah pertama, Pilkades. Pilkades adalah bagian dari mekanisme Pemilu yang mana berfungsi sebagai sarana rekrutmen calon pemimpin politik pemerintahan di desa serta merupakan sarana kontestasi elit dan partisipasi massa menyalurkan preferensi dalam memilih, mendukung, dan membantu elit tersebut untuk menjadi pemimpin. Kedua, perilaku politik nondemokratis adalah segala sikap, persepsi, dan keyakinan yang terwujud dalam tindakan atau kegiatan menggunakan kekuatan, kecurangan, atau cara-cara ilegal lainnya oleh aktor-aktor politik dari elit, organisasi, dan juga massa dalam perebutan kekuasaan politik. 31 Ketiga, path dependence dalam perilaku politik nondemokratis adalah faktor penting untuk melihat keberadaan perilaku politik nondemokratis berdasarkan pendekatan sejarah dimana perilaku politik nondemokratis di masa lalu yang telah menjadi kebiasaan mendorong munculnya perilaku politik nondemokratis di masa sekarang dan juga di masa depan (jika tidak mengalami perubahan). G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Untuk meneliti tentang perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013, saya menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualiatatif ini pada dasarnya merupakan penelitian yang tidak menggunakan perhitungan secara statistis (Cresswell, 2007, hal. 23). Penelitian jenis ini membebaskan saya dari angka-angka, dan narasumber (objek yang diteliti) tidak terikat dalam jawaban-jawaban baku. Hal ini juga dipertegas dengan temuan-temuan saya di lapangan yang sebagian besar bentuknya bukan statistik. Dalam penelitian ini, kualitas data-data yang saya peroleh lebih penting dibandingkan seberapa banyaknya data itu sendiri. Selanjutnya penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa. Hal ini sangat cocok dengan karakteristik yang dimiliki oleh metode penelitian studi kasus. Penggunaan metode studi kasus juga sesuai karena kasus yang diangkat dalam penelitian ini 32 merupakan “deviant case” yang mana kasus perilaku politik nondemokratis terjadi secara masif dalam Pilkades. Kasus Pilkades Simpar 2013 merupakan kasus yang menunjukkan bahwa pelaksanaan Pilkades selama ini di Indonesia tidak seindah seperti pada laporan pertanggungjawaban pelaksanaannya. Kasus ini juga sebenarnya membangunkan kita dari tidur panjang dalam romantisme bahwa Pilkades berjalan baik-baik saja padahal sesungguhnya masih banyak ditemukan perilaku-perilaku politik nondemokratis di dalamnya. Kasus ini bisa dikatakan sebagai kasus yang menarik karena dalam penyelenggaraan Pilkades pada era modernisasi politik seperti sekarang ini ternyata pelaksanaannya masih terbelenggu oleh kebiasaan-kebiasaan lama yang bersifat nondemokratis. Menurut Yin studi kasus juga merupakan sebuah strategi penelitian bila sang peneliti hanya memiliki sedikit peluang dalam melakukan kontrol terhadap peristiwa atau fenomena yang dianggap kekinian di dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu kemudian menjadi syarat dimana studi kasus dijadikan sebagai sebuah strategi yang berasal dari tiga kondisi, pertama tipe pertanyaan yang dibuat, kedua kontrol yang dilakukan oleh peneliti terhadap peristiwa, dan ketiga adalah fokus yang mengarah pada peristwa yang kontemporer dibandingan peristiwa yang telah terlalu lampau (sejarah). (Yin, 2003, hal. 7-17 ) Berdasarkan pendapat Yin di atas, maka penelitian terhadap kasus Pilkades Simpar 2013 ini sangat tepat dilakukan dengan metode studi kasus. Alasannya, pertama, pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimana dan 33 mengapa. Kedua, peneliti memiliki kontrol dan proposisi sendiri atas kasus yang diambil. Ketiga, sifat kasus yang diteliti masih sangat baru karena fokus periode yang dilihat adalah dinamika Pilkades Simpar tahun 2013. Bagi Desa Simpar, Pilkades tersebut merupakan Pilkades yang paling akhir dilakukan dimana penelitian ini juga dilakukan dalam tahun yang sama. G.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini saya lakukan di Desa Simpar selama kurang lebih tiga bulan. Bagi saya, Desa Simpar adalah sebuah desa yang cukup bisa digunakan sebagai representasi dari desa-desa yang ada di sekitarnya bahkan desa-desa lain di seluruh Indonesia. Sebagai sebuah desa, Desa Simpar memiliki karakteristik sosial politik seperti desa-desa lain, sehingga perilaku-perilaku nondemokratis yang kemudian diangkat merupakan bagian dari kesamaan karakteristikkarakteristik tersebut. Selain itu, Desa Simpar merupakan desa dimana saya tinggal, sehingga hal ini membantu saya mendapatkan data-data yang sangat akurat dan mendalam. Lokasi dalam satu desa tersebut terdiri dari semua dusun di Simpar yaitu Dusun Rombeh, Dusun Simpar dan Dusun Kanyaran. Dusun Rombeh merupakan wilayah tempat tinggal calon kepala desa Moh. Nasir. Dusun Kanyaran merupakan wilayah tempat tinggal calon kepala desa Turmudzi. Sedangkan Dusun Simpar merupakan wilayah tengah Desa Simpar. Pada dasarnya menurut Barkan bahwa perebutan kekuasaan di dalam masyarakat desa sangat erat kaitannya dengan konteks-konteks geografis wilayah. Menurutnya, orang dipilih 34 menjadi pemimpin sangat mungkin karena lokasi dimana dia tinggal sangat dekat dengan basis konstituennya. Oleh kerena itu, lokasi-lokasi tersebut dipilih karena letaknya yang strategis dari sisi-sisi politis yang ada dalam Pilkades Simpar 2013. G.3. Sumber Data Data dan informasi dalam penelitian ini digali melalui dua sumber. Karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka data-datanya sebagian besar adalah data-data kualitatif yang diperoleh dari jawaban-jawaban terbuka dari para informan. Adapun data yang berupa angka itu hanya data statistik pendukung. Sumber data yang dimaksud kemudian adalah sebagai berikut: G.3.1. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya untuk mengetahui sejarah, pandangan, dan perkembangan sebuah kasus. Informasi dalam penelitian ini berasal dari tiga sumber informasi utama. Sumber-sumber informasi itu kemudian disebut sebagai informan. Pertama, data yang diperoleh langsung dari para elit desa Simpar yaitu calon-calon kepala desa, kepala desa yang masih menjabat aktif, dan tokoh masyarakat. Kedua, data dan informasi langsung dari warga atau masyarakat Desa Simpar yang terlibat secara langsung dalam Pilkades Simpar dan yang tidak terlibat secara langsung. Informan yang terlibat secara langsung artinya mereka yang menjadi simpatisan aktif maupun pasif, dan yang menggunakan hak pilihnya. Sedangkan informan yang terlibat secara tidak langsung adalah mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya namun tahu dinamika dari pemilihan 35 kepala desa tersebut. Ketiga, data dan informasi dari panitia pemilihan kepala desa sebagai pihak penyelenggara pemilihan dan anggota BPD sebagai pengawas bersama panitia penyelenggara. G.3.2. Data Skunder Data skunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung atau dikutip dari sumber lain. Adapun data skunder yang telah saya kumpulkan berasal dari, Pertama, arsip-arsip atau dokumen dari Panitia Pemilihan Kepala Desa Simpar yang sudah di simpan di kantor Pemerintah Desa Simpar dalam bentuk agenda, hasil penemuan, dokumen administrasi, proposal, dan dokumen internal organiasasi kepanitiaan dan tulisan laporan peristiwa atau berita acara. Kedua, arsip-arsip atau peraturan petunjuk teknis dari Bagian Tata Pemerintahan Desa Kabupaten Batang, surat-surat resmi dari Pemda Kabupaten Batang yang berkaitan dengan topik. Ketiga, artikel-artikel dan kajian ilmiah terkait dengan topik, laporan penelitian, internet, majalah dan surat kabar dan juga arsip-arsip serta laporan penelitian dari lembaga yang berkaitan dengan pemilihan kepala desa dan perilaku politik. G.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan segala data dan informasi yang diperlukan saya menggunakan beberapa teknik untuk mempermudah sekaligus supaya susuai dengan jenis penelitian kualitatif. Oleh karena itu saya menggunakan teknikteknik yang dianjurkan oleh Yin sebagai berikut: 36 G.4.1. Observasi Langsung Observasi atau pengamatan langsung telah saya lakukan sebelum diselenggarakannya Pilkades Simpar 2013. Sebelum dilakukan Pilkades, saya mengamati bagaimana perilaku-perilaku politik nondemokratis calon kepala desa dan juga masyarakat desa. Observasi langsung ini saya lakukan dengan cara menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan secara rutin oleh masyarakat Desa Simpar, sebagai contoh dalam acara tahlilan, hajatan, dan pengajianpengajian. Selain itu pertemuan-pertemuan informal insidental seperti perbincangan-perbincangan di pinggir jalan, warung-warung, dan tempat perkumpulan lain juga saya ikuti. Saya juga menghadiri acara-acara resmi desa seperti rapat pembentukan panitia pelaksana Pilkades, penghitungan suara, rapat BPD. Dari hal itu, saya sedikit mengalami kesulitan. Contohnya, dalam mengamati obrolan serta kejadian-kejadian yang berkaitan dengan topik penelitian saya sering terbawa dengan pendapat pribadi mengenai perilaku politik nondemokratis masyarakat desa sehingga ketika terlibat dalam perbincangan saya sangat sering berselisih pendapat dengan informan. Hal itu menjadikan informan kemudian mengalihkan topik pembicaraan ke selain Pilkades. Selain itu, ketika melakukan pengamatan saya sering dicurigai masyarakat desa sebagai mata-mata atau tim sukses dari calon tertentu. Hal itu memunculkan rasa kurang nyaman antara saya dengan masyarakat sehingga data-data yang saya perlukan tidak nampak secara gamblang karena ada kesan hati-hati dari masyarakat dalam berperilaku. Akan tetapi, semua kesulitan tersebut tidak menimbulkan 37 permasalahan yang berarti bagi proses pengumpulan data yang saya lakukan karena saya masih bisa menggunakan teknik lain yaitu dengan wawancara. G.4.2. Wawancara Mendalam Selain observasi langsung, untuk melakukan re-cheking atau pembuktian informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya secara inten maka saya melakukan wawancara mendalam. Wawancara mendalam telah saya lakukan kepada semua informan yang ditentukan, mulai dari warga Desa Simpar biasa sampai kepada aktor-aktor atau informan kunci dalam Pilkades Simpar 2013. Adapun daftarnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No. Nama Informan Alamat Keterangan 1. Moh. Nasir Dusun Rombeh Kepala desa terpilih 2. Turmudzi Dusun Kanyaran Calon kepala desa tidak terpilih 3. Malikan Dusun Kanyaran Ketua Panitia Pemilihan Kepala Desa Simpar 4. Joko Utomo Dusun Rombeh Kepala Desa Simpar yang masih menjabat saat itu 5. Mukit Dusun Simpar Kepala Dusun Simpar Lurung Tengah 6. Suratno Dusun Simpar Kepala Dusun Simpar Dukuh 7. Moh. Anas Dusun Simpar Tokoh masyarakat 8. Masykur Dusun Rombeh Tokoh masyarakat/pengamat 9. Slamet Khuzaini Dusun Rombeh Pegiat sosial/pengamat 10. Waroh Dusun Simpar Pegiat sosial 11. Rasmujo Dusun Simpar Warga desa 12. Haris Rifai Dusun Simpar Warga desa 13. Syariah Dusun Simpar Istri perangkat desa 14. Sri Umami Desa Bandar Anggota DPRD Batang 38 15. Abdurrasyid Dusun Simpar Tokoh masyarakat 16. Slamet Sueni Desa Tambahrejo Tokoh masyarakat 17. Ahmad Rukhin Desa Wonosegoro Pemuda desa 18. Wahidin Desa Simpar Warga desa 19. Syawal Desa Simpar Warga desa Tabel 1.3. Daftar Nama Informan Dalam melakukan wawancara, seluruh informan dalam penelitian ini saya dekati dengan menggunakan pendekatan subyektivitas yang lebih lues supaya informan merasa nyaman dan tidak merasa sedang ditekan atau diintrogasi. Saya memulai dengan obrolan santai terlebih dahulu dan secara perlahan menggali informasi yang mendalam. Hal ini bertujuan untuk membebaskan informan dalam menjawab pertanyaan. Hal ini juga sesuai dengan saran Moleong yang mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif kita tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kebutuhan. (Moleong, 1999, hal 3) Selain itu, saya menggunakan teknik wawancara snowball interview and informan yang mana pertanyaan wawancara dan informannya bisa berkembang. Oleh karena itu, saya mendapatkan data dan informan yang cukup banyak sesuai kebutuhan. Konsekuensi dari teknik yang saya lakukan itu maka model pertanyaan wawancara bersifat semi terbuka yang mana jawabannya tidak ditentukan dan dibatasi. Sedangkan durasi wawancara ini juga sangat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi dan kesibukan informan. 39 G.4.3. Studi Dokumen Studi dokumen telah saya lakukan dengan mengakses berbagai macam data skunder yang telah ditentukan sebelumnya sesuai kebutuhan. Semuanya itu saya akses di beberapa tempat antara lain dokumen-dokumen yang berada di Pemerintahan Desa Simpar, Kantor Pemerintah Kabupaten Batang Bagian Tata Pemerintahan Desa, dan KPUD Batang. Beberapa yang lain diperoleh dari media massa surat kabar dan majalah. Untuk mengakses data-data lainnya lagi yang diperlukan saya menggunakan perpustakaan umum pusat UGM, PLOD UGM, IRE Yogyakarta, dan Perpustakaan Daerah Batang. Selain itu, saya juga menggunakan akses internet untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan, artikel, jurnal, atau penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian. G.5. Teknik Analisis Data Setelah data-data yang diperlukan, kemudian saya melakukan proses agregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data-data tersebut menjadi unitunit yang dapat dikelola. Agregasi ini merupakan bagian dari proses kategorisasi atau pemetaan hal-hal khusus menjadi hal-hal yang bersifat umum dengan maksud menemukan pola umum data. Selanjutnya data diorganisir secara kronologis, artinya di sini saya menggunakan urutan waktu. Selanjutnya kategori dimasukkan ke dalam suatu tipologi. Proses analisis saya lakukan semenjak berada di lapangan atau pada objek yang diteliti sampai proses penelitian berakhir berakhir. Adapun tipe analisis yang saya pakai adalah tipe deskriptif eksplanatif yang mana saya telah memaparkan dan menjelaskan perilaku politik 40 nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013 dengan membagi dalam kategori elit, organisasi, dan massa. Sedangkan langkah-langkah tahapan analisisnya adalah Pertama, semua data dikumpulkan dengan cara observasi langsung, wawancara mendalam, dan mengumpulkan data dari kepustakaan, arsip, dan berita pers. Kedua, melakukan penilaian dan pengamatan terhadap data primer dan skunder yang selanjutnya disesuaikan dengan keadaan real di lapangan. Ketiga, melakukan interpretasi data untuk dikaji berdasarkan kerangka teori. Keempat, membuat kesimpulan atas data-data yang sudah ditemukan dan diproses pada tahapan sebelumnya. Dalam penyusunan hasil penelitian ini, teori dan fokusnya sempat mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sebelum fokus terhadap perilaku politik npndemokratis dan penyebabnya, pada awalnya arah dari penelitian ini adalah untuk melihat aktualisasi dekonsolidasi demokrasi di desa melalui perilaku-perilaku nondemokratis aktor-aktor dalam Pilkades Simpar 2013. Saya mendapatkan masukan yang berharga dari dosen pembimbing Dr. Mada Sukmajati supaya mengganti fokus penelitian namun masih dengan menggunakan data yang sama. Menurutnya, dekonsolidasi demokrasi merupakan konsep yang kurang tepat dikenakan dalam lokus demokrasi level desa karena konsep itu merupakan konsep transisi demokrasi yang lebih tepat digunakan pada level negara. Kaitannya dengan teknik analisis data adalah bahwa perubahan yang signifikan tersebut tidak memberi pengaruh pada teknik analisis dekriptif yang saya gunakan. Saya hanya tinggal melakukan agregasi ulang dan memetakan 41 ulang sesuai dengan teori dan fokus yang baru. Sedangkan langkah-langkah analisis ini juga masih sama seperti saat sebelum tulisan ini berganti teori dan fokus. H. Sistematika Penulisan Laporan akhir dari penelitian saya ini memiliki beberapa bab. Bab-bab tersebut kemudian saya sistematisasi dalam runtutan bab, demikian sebagai berikut: Bab I (Pendahuluan), berisikan tentang bagaimana penelitian saya dilakukan. Hal itu saya awali dengan memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, teori dan konsep, definisi konseptual, dan saya akhiri dengan menunjukkan metode penelitian yang telah saya lakukan. Bab II (Sejarah Pemilihan Pemimpin Desa di Simpar), bab ini berisikan paparan sejarah tentang bagaimana pelaksanaan dan jenis mekanisme pemilihan pemimpin desa di Simpar dari wiwinan, bitingan, dan Pilkades yang kemudian dimulai pada masa kolonial hingga tahun 2007. Selain itu, di dalamnya juga terdapat pembahasan bagaimana perilaku politik nondemokratis aktor-aktor dalam masing-masing jenis mekanisme pemilihan masa lalu. Pada bagian terakhir berisi kesimpulan yang mana menjelaskan bagaimana perilaku politik nondemokratis ternyata sudah lama terjadi baik ketika pemilihan masih bernama wiwinan, bitingan, hingga Pilkades di tahun 2007. 42 Bab III (Aktualisasi Perilaku Politik Nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013), bab ini diawali dengan pemaparan profil sekilas pelaksanaan Pilkades Simpar 2013. Selain itu, bab ini secara jelas juga memaparkan aktualisasi perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013. Semua itu ditulis dengan kategori perilaku nondemokratis yang dilakukan oleh masing-masing aktor politik elit, massa, dan organisasi. Subbab tentang aktualisasi perilaku politik nondemokratis diawali dengan perilaku yang dilakukan oleh para elit yaitu penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh kepala desa, pemberian imbalan materi, pembelian suara ketika kampanye, dan penggunaan tindakan koersif. Selanjutnya diteruskan dengan subbab perilaku massa yaitu perilaku membantu tindakan elit dan pengkerdilan esensi Pilkades dengan upaya rent seeking. Sedangkan subbab terakhir adalah perilaku organisasi yaitu pembiaran dan pengabaian terhadap perilaku elit dan massa, serta memanipulasi laporan pertanggungjawaban Pilkades. Bab ini ditutup dengan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan Pilkades Simpar 2013 memang terdapat perilaku politik nondemokratis bahkan secara masif baik oleh elit, massa, dan organisasi dengan bentuk-bentuk tindakan yang bervariasi. Bab IV (Faktor Path Dependence dan Aktualisasi Perilaku Politik Nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013), berisikan tentang analisis dan penjabaran dengan konsep path dependence bahwa perilaku politik nondemokratis pada Pilkades Simpar 2013 yang merupakan replikasi masa lalu. 43 Selain itu, bab ini juga menjelaskan berdasarkan konsep path dependence bahwa perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013 seperti sebuah sistem yang memiliki kecenderungan stabil karena aktor-aktor di dalamnya menolak perubahan. Bab ini ditutup dengan kesimpulan bahwa eksistensi perilaku nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013 dikarenakan oleh rentetan peristiwa masa lalu yang stabil dan menolak perubahan. Bab V (Penutup), bab ini berisikan jawaban atas rumusan pertanyaan masalah yang diajukan. Bab ini menjelaskan kesimpulan yang mana menjelaskan jawaban atas pertanyaan “bagaimana” perilaku politik nondemokratis dalam Pilkades Simpar 2013 dan “mengapa” perilaku tersebut ada. Terakhir, bab ini berisi pendapat pribadi mengenai proses pelaksanaan Pilkades seharusnya berjalan demokratis. 44