STUDI ANALISIS TENTANG NILAI - NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL DALAM AL-QUR’AN SURAT ‘ABASA AYAT 1-10 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata S1 Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan Oleh : LILIS MUKHLISOH NIM : 211190 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA 2015 UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Akreditasi BAN-PT Peringkat B Nomor : 192/SK/BAN-PT/Ak-XVI/SI/IX/2013 Ijin Penyelenggaraan SK Mendikbud RI Nomor : 149/E/O/2013 NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN Lampiran : 4 (empat) Eksemplar Hal : Naskah Skripsi Kepada : Yth. Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universtitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) di Jepara Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara : Nama : Lilis Mukhlisoh NIM : 211190/131310000412 Judul : STUDI ANALISIS TENTANG NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL DALAM AL-QUR’AN SURAT ‘ABASA AYAT 1-10 Dengan ini saya mohon sekiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqasahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Jepara, September 2015 Pembimbing Dr. Sa’dullah Assa’idi, M.Ag ii SURAT PERNYATAAN Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referinsi yang dijadikan bahan rujukan. Jepara, September 2015 Penulis Lilis Mukhlisoh NIM : 211190 iv MOTTO Artinya : “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.1 . Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya (Semarang : PT Karya Toha Putra), hlm. 226 1 v PERSEMBAHAN Karya skripsi ini kupersembahkan sebagai ungkapan banyak terima kasih kepada ; UNISNU Jepara mencetak generasi yang Cendekia dan Berakhlaqul Karimah Suami dan anak-anakku tercinta Ayah ibu dan Saudara-saudaraku yang senantiasa memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi Sahabat-sahabatku yang berjuang untuk meraih prestasi vi vii ABSTRAK Lilis Mukhlisoh, NIM 211190, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Unisnu (Universitas Islam Nahdlatul Ulama’) Jepara Tahun Ajaran 20132014. Judul skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Social dalam al-Qur’an Surat ‘Abasa 1-10” Penulisan skripsi ini untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an surat ‘Abasa 1-10 yaitu, nilai moral dan social yang dijadikan sebagai tuntunan dalam kehidupan. Nilai moral dan social merupakan nilai yang penting bagi kehidupan, baik sebagai makhluk pribadi, makhluk Tuhan, maupun makhluk social. Nilai moral dan social merupakan nilai yang digunakan dasar sebagai tuntunan dan tujuan manusia dalam kehidupannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif kualitatif. Data pada penilitian ini diambil dari al-Qur’an surat ‘Abasa 1-10, tafsir alMaraghi surat ‘Abasa 1-10, tafsir al-Misbah 1-10 dan tafsir Jalalain surat ‘Abasa 1-10. Pada penelitian ini peneliti berperan sebagai instrument utama. Identtifikasi data dibantu dengan menggunakan penjelasan dari beberapa buku-buku tasfir yang relevan dan buku-buku lain yang menunjang. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik studi dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikai, menafsirkan dan mendiskripsikan data kemudian mengambil simpulan. Berdasarkan analisis data diperoleh simpulan bahwa dalam al-Qur’an surat ‘Abasa 1-10 terdapat nilai-nilai kependidikan moral dan sosial antara lain : Nilai keadilan adalah memberikan kesempatan yang sama antara orang kaya dengan orang miskin, laki-laki dengan wanita dalam hal pendidikan. Nilai rasa kasih sayang adalah sikap penuh rasa kasih sayang kepada peserta didik karena merupakan kebutuhan jiwa yang paling pokok dalam kehidupan manusia, Nilai kesopanan (lemah lembut, menegur secara tidak langsung) adalah sikap yang dilakukan oleh pendidik dalam vii memperbaiki tindakan atau perbuatan peserta didik yang dinilai kurang tepat dalam proses belajar mengajar. Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 juga terkandung beberapa penerapan nilai-nilai kependidikan dan moral antara lain : Nilai adil dalam proses belajar mengajar antara lain, dengan memberikan mata pelajaran kepada semua peserta didik dan memberikan kesempatan dan hak yang sama untuk belajar ataupun bertanya tanpa membedakan status sosial, ekonomi, budaya dan rupa sehingga tidak ada kesan pilih kasih atau perbedaan (diskriminasi) Nilai kasih sayang terhadap peserta didik dalam proses belajar mengajar dengan cara mengungkangkannya dalam bentuk kata-kata atau perbuatan. Nilai kesopanan (menegur dengan tidak langsung dan lemah lembut) dalam proses belajar mengajar tidak selamanya apa yang dilakukan peserta didik dapat diterima oleh pendidik (guru). apabila guru ingin mengubah perilaku peserta didik yang tidak dapat diterima itu, maka menegur dengan sopan dan lemah lembut yang harus diterapkannya lebih dahulu dalam keadaan tersebut Kata Kunci : Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Sosial Surat ‘Abasa 1-10 viii ix KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah berkat rahmat, hidayah dan inayah Allah swt, penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw pembawa risalah kebenaran, penyelamat manusia dari kesesatan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapat bimbingan, arahan, bantuan, serta saran-saran dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu sudah sewajarnya bila pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ; 1. Bapak Prof. DR. KH Muhtarom HM selaku rektor Unisnu Jepara yang telah merestui pembahasan skripsi ini 2. Bapak Drs.H.Akhirin Ali, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilum Keguruan Unisnu Jepara yang telah menyetujui pembahasan skripsi ini 3. Bapak Dr.Sa’dullah Assa’idi, M.Ag selaku pembimbing skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan nasihat, petunjuk serta arahan kepada penulis dalam rangka menyusun skripsi ini, sehingga dapat terselesaikan skripsi ini 4. Pimpinan perpustakaan Unisnu Jepara beserta stafnya, yang telah memberikan pelayanan dan fasilitas berupa buku-buku yang diperlukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini ix 5. Para Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Unisnu Jepara yang selama ini telah membekali berbagai ilmu pengetahuan sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini 6. Ayah, ibu, kakak dan suamiku serta buah hatiku M. Rizqi Ramadhan Ardiansyah dan Tsaniatur Rohmatul Ulya yang senantiasa memberi semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini 7. Teman-teman tercinta satu angkatan yang telah memberi sumbangsih pikiran kepada penulis serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaiannya skripsi ini Akhirnya, semoga semua amal baik mereka mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah swt. Amin Jepara, Desember 2015 Lilis Mukhlisoh NIM : 211190 NIRM : 11/X/17.2.1/2960 x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………...…………………………………… …… i HALAMAN NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN …..………………………………………........... iii SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………… iv HALAMAN MOTTO……. ……….………………………………………….... v HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………. vi ABSTRAK ……………………………………………………………………. vii KATA PENGANTAR ……………….………………………………………… ix DAFTAR ISI …………………………….……………………………………. xi BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.. …………………………. …….. 1 B. Perumusan Masalah……..………………………………… 5 C. Tujuan Masalah…… ……………….…………………….. 6 D. Manfaat Penelitian ………………………..……………… 6 E. Kajian Penelitian …………………………………………. 7 F. Metode Penelitian …………. ………………………….... 12 G. Sistematika Penelitian……… ………………………….... 15 BAB II : NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL A. Pengertian Nilai-Nilai Kependidikan Moral dan Sosial .... 17 1. Pengertian Nilai …………………………………….. 17 2. Pengertian Pendidikan………………………………. 19 3. Pengertian Moral ……………………………………. 21 4. Pengertian Sosial……………………………………. 24 B. Bentuk-Bentuk Nilai Pendidikan Moral dan Sosial……....25 C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Moral dan Sosial…………………...…………………………………29 xi BAB III : TAFSIR AL-QUR’AN DALAM SURAT ‘ABASA AYAT 1-10 A. Pengertian dan Fungsi Al-Qur’an.. ……………………….39 1. Pengertian Al-Qur’an …………………………………39 2. Fungsi Al-Qur’an ……………………………………..42 3. Hubungan antara Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan ….49 4. Al-Qur’an Membimbing Manusia Kepada Akhlakul Karimah ……………………………………………… 54 B. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10..………………..60 1. Teks dan Terjemahan Surat ‘Abasa Ayat 1-10.……… 60 2. Sabab an-Nuzul Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ………..……. 62 3. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ………...….. 67 a. Menurut pendapat Mustafa al-Maraghi dalam kitab Tafsir al-Maraghi ..…………………… …………... 67 b. Menurut pendapat M.Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Misbah…………………………………….70 c. Menurut pendapat Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti dalam kitab Tafsirnya Jalalain. 75 BAB IV : NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT ‘ABASA AYAT 1-10 A. Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Sosial yang Terkandung dalam Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ……………… 80 1. Guru Harus Bersikap Adil terhadap Peserta Didik dalam Pendidikan ………………………………….. 80 2. Guru Harus Membimbing Peserta Didik dengan Kasih Sayang ……………………………………….. 82 3. Teguran Bagi Peserta Didik dapat Dilakukan Secara Tidak Langsung, Lemah Lembut dan Sopan…86 xii B. Penerapan Nilai-Nilai Kependidikan Surat ‘Abasa Ayat 1-10 dalam Proses Belajar Mengajar…………… …88 1. Sikap Adil dalam Proses Belajar Mengajar ………….90 2. Rasa kasih Sayang dalam Proses Belajar Mengajar …92 3. Teguran secara tidak Langsung, Sopan, Lemah Lembut dalam Proses Belajar Mengajar …………..... 95 C. Analisis Terhadap Tafsir Dalam Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10…..………………………………......... 98 BAB V : KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………..107 B. Saran-saran ……………………………………………..108 C. Penutup …………………………………………………109 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-qur’an adalah wahyu Ilahi dan bersifat transcendental bagi manusia, tetapi juga merupakan bagian kehidupan yang dapat membukakan mata hati mereka, yang tiada lain sebagai wujud empiris dapat dialami.1 Al-qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi muslimin dan petunjuk bagi manusia. Kata al-Qur’an berasal dari kata qara’a - yaqrau - qiraatan dan qur’anan yang berarti bacaan atau yang dibaca. Al-qur’an di dalamnya memuat berbagai petunjuk bagi manusia yang berguna bagi dasar yang kukuh untuk semua prinsip, etika dan moral yang sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Prinsip-prinsip etika dan moral sangat dibutuhkan dalam upaya memberikan bentuk dan arah terhadap tingkah laku manusia yang berkaitan dengan seluruh jaringan kehidupannya baik individu maupun sosial. Dengan arah prinsip-prinsip etika dan moral atas tingkah laku manusia oleh al-Qur’an akan tercipta suatu kehidupan yang berimbang di dunia dengan tujuan kebahagiaan terakhir di akhirat. Ini merupakan misi dari agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an yaitu memberikan rahmat kepada makhluk sekalian alam. 1 Sa’dullah Assa’idi, Pemahaman Tematik Al-Qur’an Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 60 1 2 Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surat al-Anbiya’ ayat 107, sebagai berikut : Artinya : “ dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS : al-Anbiya’ 21: 107)2 Dengan demikian, seluruh hal yang terkandung dalam al-Qur’an pada hakekatnya merupakan ajaran dan tuntunan bagi umat Islam. al-Qur’an memberikan petunjuk dan pedoman bagi kehidupan dalam berbagai bentuk ajaran, misalnya : ajaran aqidah, akhlak, hukum, filsafat, politik. ibadah dan pendidikan. Ajaran pendidikan merupakan ajaran penting yang dibawa oleh al-Qur’an. sedangkan di dalam al-Qur’an terdapat 1.404 ayat yang berkaitan dengan pendidikan atau hampir 25 % menunjukkan pentingnya pendidikan pada pandangan ulama.3 Dapat dikatakan bahwa al-Qur’an yang menjadi sumber ajaran Islam tersebut menuntu perhatian serius tentang pendidikan, apabila seseorang ingin mengetahui lebih jauh apa yang terkandung di dalamnya harus belajar alQur’an dengan benar. Untuk bisa memahami dan menemukan ajaran dan isi kandungan al-Qur’an seseorang tidak hanya dituntut untuk mampu membaca al-Qur’an dengan baik, tetapi juga harus memiliki kemampuan memahami, 2 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press, 1989), hlm. 508 3 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1985), hlm. 98. 3 mengungkapkan isi, serta menggali prinsip-prinsip yang terkandung di dalam al-Qur’an dengan menggunakan ilmu tafsir al-Qur’an yang benar. Dengan demikian, tafsir al-Qur’an pada hakekatnya, meminjam ungkapan Muhammad al-Sabuni, merupakan anak kunci untuk membuka simpanan yang ditimbun dalam al-Qur’an. 4 Sebagai upaya kodifikasi terhadap tafsir al-Qur’an yang dilakukan oleh para mufasir semenjak masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99101 H).5 Salah satu surat yang diberi tafsirannya oleh para mufasir adalah surat ‘Abasa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw diterangkannya pada suatau hari, Rasulullah saw berdialog dengan beberapa orang pembesar Quraiys. Dalam riwayat Anas bin Malik r.a. disebutkan , pembesar itu bernama Ubay bin Khalaf. Menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthalib.Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat menginginkan mereka beriman. Tiba-tiba datang kepada beliau seorang laki-laki buta, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Mulailah Abdullah meminta Nabi saw untuk membacakan beberapa ayat al-Qur’an kepadanya dan berkata, ‘Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang telah Allah swt ajarkan kepada engkau. Rasulullah saw berpaling darinya dengan wajah masam, menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang 4 Muhammad Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut Dar al-Irsyad), hlm. 59 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 73 5 4 lain. Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah saw pun kembali pulang, tiba-tiba Allah swt menahan pandangannya dan menundukkan kepalanya. Selanjutnya Allah swt menurunkan ayat tersebut. 6 Dalam konteks itu Allah swt menegur Nabi-Nya, seraya menjelaskan bahwa kebutaan, kelemahan dan kefakiran Ibnu Ummi Maktum tidaklah dijadikan penyebab berpalingnya Nabi Muhammad saw dari mendengar penjelasannya. Hal itu bisa menimbulkan keputusasaan golongan orang yang cacat dan golongan dari fakir-miskin. Bahkan Nabi Muhammad saw telah diperintahkan agar mengelus hati mereka sebagimana telah disebutkan dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 52 : … Artinya :“dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya”. (QS : al-An’am : 52)7 Pandangan lain yang menjadi latar belakang juga adalah adanya masalah di kalangan umat Islam yaitu apakah benar Nabi Muhammad saw yang telah diakui sebagai orang maksum dan berakhlak tinggi pernah bermuka masam seperti diceritakan dalam surat ‘Abasa tersebut. Terhadap masalah ini, ada yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah bermuka masam dan yang bermuka masam dalam surat tersebut 6 Ar-Rifa’I dan Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir , Jilid 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 911. 7 Ibid., hlm. 194 5 adalah al-Walid bin Mughirah.8 Pandangan tersebut diatas tentunya menarik untuk disikapi dalam bentuk penelitian. Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 110 dari segi pendidikan dan diangkat menjadi skripsi dengan judul “ Studi Analasis Tentang Nilai - Nilai Kependidikan Moral Dan Sosial Dalam AlQur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan penulis diatas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah : 1. Apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan sosial yang terkandung dalam alQur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 ? 2. Bagaimanakah penerapan nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam proses pendidikan agama Islam? Mengingat luasnya cakupan materi nilai-nilai pendidikan moral dan sosial serta penerapannya dalam proses pendidikan agama Islam, maka penulis membatasinya sebagai berikut ; a. Bersikap adil dalam mendidikan. b. Bersikap penuh rasa kasih sayang dalam mendidik c. Menegur peserta didik secara tidak langsung, lemah lembut dan penuh kesopanan 8 Husein al-Habsyi, Nabi Muhammad SAW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam, (Jakarta : al-Kautsar, 1992), hlm. 12 6 C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan sosial yang terkandung dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 2. Untuk mengetahui penerapan nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam proses pendidikan agama Islam. D. Manfaat Penalitian 1. Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi dalam dunia pendidikan untuk pengembangan ilmu pendidikan khususnya pendidikan agama Islam 2. Praktisi ; a. Bagi peneliti, sebagai pengalaman awal dalam rangka meningkatkan mutu kualitas penelitian berikutnya, dan sebagai bekal dalam meningkatkan kualitas pendidik dalam mentransfer ilmu pendidikan agama Islam pada tahap berikutnya. b. Bagi pendidik (guru) Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan dan memudahkan tugas pendidik (guru) mata pelajaran agama Islam dalam mendidik peserta didiknya di madrasah. c. Bagi pemerhati dunia pendidikan Sebagai sumbangsih dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik pada madrasah. 7 d. Dapat dijadikan sebagai informasi guna memperbaiki system pembelajaran di madrasah. E. Kajian Pustaka Pendidikan-kata ini juga dilekatkan kepada Islam-telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi pandangan dunia (weltanschauung) masing-masing. Namun, pada dasarnya, semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam semacam kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.9 Berhubungan dengan kompetensi, bahwa sebelum guru memilih strategi apa yang dipakai dalam belajar yang hendak dicapai memerlukan pemahaman-pemahaman berupa fakta, konsep, teori maupun hukum. Pertimbangan selanjutnya adalah dari sudut peserta didik, hal yang perlu dipertimbangkan adalah mengenai tingkat kematangan peserta didik, sesuai dengan bakat, minat dan kondisi peserta didik khususnya. Isi pendidikan Islam memiliki sejumlah karakteristik yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw sebagai sumber ajaran Islam. Karakteristik pertama tampak pada kriteria pemilihannya, yaitu iman, ilmu, amal, akhlak dan sosial. Dengan kreteria tersebut pendidikan Islam merupakan pendidikan keimanan, ilmiah, amaliah, moral dan sosial. semua 9 Azmumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Kalimah, 2001), cet III, hlm. 3 8 kreteria tersebut terhimpun dalam firman Allah ketika menyifati kerugian manusia yang menyimpang dari jalan pendidikan Islam, baik manusia sebagai individu, manusia sebagai jenis, manusia sebagai generasi, maupun umat manusia secara keseluruhan.10 Penelitian serta kajian tentang potensi yang berhubungan dengan alQur’an banyak dilakukan oleh peneliti. Bahkan beberapa karya ilmiah dan buku-buku yang relevan dengan sebuah permasalahan yang dikaji banyak memberikan masukan yang lebih dalam rangka mengkaji dan memahami secara komprehensif. Di antara karya ilmiah yang sangat mendukung dalam kajian penelitian ini antara lain ; Pertama, “Implikasi fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam (Q.S. arRum : 30)”. oleh Mukti Anshari. Peneliti dalam hal ini banyak mengungkapkan tentang potensi manusia beragama, khususnya untuk diwujudkan dalam dunia pendidikan agama Islam dan untuk dikembangkan dalam rangka mencetak manusia menjadi insan kamil, alasannya manusia pada dasarnya mempunyai fitrah dalam kebaikan dan keburukan. Kedua, Konsep Al-Qur’an tentang Fitrah Manusia dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam”, diteliti oleh Anis Saifuddin. Kajian penelitian ini, menelaah mengenai potensi yang terdapat pada manusia bersifat universal yaitu jasmani, ruhani, nafsu, rasio dan akal untuk diaktualisasikan dalam pendidikan Islam memberikan rangsangan positif terhadap peserta didik. 10 Suparta dan Hery Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Amissco, 2008), cet II, hlm. 101 9 Ketiga, “Konsep al-Qur’an tentang Pengembangan Potensi Melalui Pendidikan Surat al-Baqarah 164 dan 129, Shaat 29, al-A’raf 179 dan AsShaffat 102”, oleh M. Chowi. Peneliti dalam mengkaji ini menyimpulkan tentang potensi akal yang merupakan dimensi rohaniah manusia yang ada sejak dilahirkan yang bertujuan untuk mengkaji kebenaran realitas kehidupan. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan tentang pengembangan beberapa potensi manusia, tetapi penelitiannya hanya difokuskan pada potensi akal saja. Keempat, skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Surat al-Maidah Ayat 2” disusun oleh Munasifah. Dalam skripsi tersebut diterangkan bahwa al-Qur'an menyuruh kita bertolong-tolongan terhadap segala yang memberi manfaat kepada umat, baik mengenai dunia maupun mengenai akherat. Dan inilah sebabnya badan-badan sosial dan perkumpulanperkumpulan keagamaan sangat diperlukan dalam masa kini. Kegiatankegiatan memberi pertolongan di awal Islam, dilakukan tanpa bentuk organisasi, karena semua mereka terikat dengan janji Allah. Adapun pada masa sekarang ini maka perlu kita membentuk badan-badang sosial agar seruan itu mendatangkan hasil. Berbaktilah kepada Allah hai segala manusia yang berjalan menurut sunnahnya yang telah diterangkan dalam al-Qur'an dan dalam undang-undang kejadian dalam alam ini; bahwasannya Allah itu maha keras siksa-Nya. Oleh karena itu janganlah kamu menyalahi perintah-Nya. Siksa Tuhan melengkapi siksa dunia dan siksa akherat. 10 Kelima, skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Edukatif dalam Al-Qur'an Surat al-Fatihah dan Implemtasinya dalam Pendidikan Islam” disusun oleh Jarir Syakif. Skripsi itu pada intinya menerangkan bahwa di dalam jamaah dididik hidup yang berdisiplin. Jamah mempunyai imam dan selebihnya menjadi makmun. Bahkan di zaman nabi dan sahabt-sahabatnya, imam sembahyang berjamaah ialah nabi, khalifah-khalifah, gubernur di tiap-tiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seperti ketika rukuk dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits yang mengatakan bahwa barang siapa yang mengangkat kepalanya terdahulu dari pada imam mengangkat kepala, maka kepalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai. Al-Fatihah mendidik kita memakai adab sopan santun yang tertinggi. Adab sopan santun yang tertinggi itu dimulai terhadap kepada Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam masyarakat. Keenam, skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Akhlak dalam alQur'an Surat Luqman Ayat 13 sampai 18” . Disusun oleh Zubaidi. Dalam penelitiannya penyusun skripsi itu mengambil kesimpulan bahwa dalam ayatayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah memberikan hikmah pada Luqman. Kemudian Allah menerangkan pengajaran yang diberikan oleh Luqman kepada anaknya dan dalam celah-celah pengajaran Luqman itu Allah menerangkan beberapa perintah umum yang harus dilakukan oleh asng anak dalam memperlakukan orang tuanya dan kewajiban mereka dalam memelihara hak-hak Allah. 11 Berbeda dengan penelitian tersebut, maka peneliti dalam hal ini hanya lebih memfokuskan pada nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam alQur’an surat ‘Abasa 1-10 untuk diimplementasikan dalam dunia pendidikan yang bertumpa pada pendidik dan peserta didik. Adapun nilai-nilai moral dan sosial yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain ; 1. Bersikap adil dalam mendidik. 2. Bersikap penuh rasa kasih sayang dalam mendidik 3. Menegur peserta didik secara tidak langsung, lemah lembut dan penuh kesopanan ketika mendidik Pendidikan moral dan sosial dalam Islam mulai dengan pengembangan mental individu dari aspek inisiatif dan tanggung jawab individual yang merupakan dasar tanggang jawab secara kelompok di mana setiap individu bertanggung jawab terhadap yang lain. Pendidikan moral dan sosial merupakan aspek penting dalam pendidikan Islam karena manusia menurut tabiatnya, dalam arti sesuai dengan hukum penciptaan Allah, adalah makhluk sosial11. Allah swt firmannya Q.S. al-Hujurat 13 ; Artinya : “ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu 11 Ibid., hlm.146 12 disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. al-Hujurat : 13) 12 Firman Allah swt tersebut sekaligus menunjukkan bahwa proses pendidikan berpusat pada manusia sebagai sasaran taklif, yaitu dalam proses moral dan sosial yang menuntut kerja sama masyarakat di berbagai lapangan kehidupan. F. Metode Penelitian 1. Sumber data Sumber data dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakkan dua sumber yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer meliputi pembahasan teks dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10, ayat-ayat alQur’an, kitab-kitab tafsir yang relevan tentang materi nilai-nilai pendidikan moral dan sosial. Sumber data sekunder meliputi buku-buku yang ada kaitannya dengan materi nilai-nilai pendidikan moral dan sosial. 2. Metode Pengumpulan Data Dalam rangka mendapatkan data yang sesuai digunakan riset kepustakaan (library research) yaitu dengan cara membaca dan mempelajari kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan buku-buku yang lain yang ada kaitannya dalam pembahasan skripsi. kemudian ditelaah, dipahami dan diajukan pada pembimbing dan diambil intisarinya sehingga menjadi karya tulis yang bernilai ilmiah. Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press, 1989), hlm.412 12 13 3. Metode Analisis Data Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu : “telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumendokumen sebagai sumber data. meskipun dokumen biasanya berisi kalimat tertulis atau tercetak, tetapi sebenarnya tidaklah terbatas.13 Metode analisis isi ini, penulis gunakan dalam menelaah data yang sumbernya bisa dari barang, cetakan, buku teks, buku pelajaran dan lain sebaginya yang berhubungan dengan materi nilai-nilai pendidikan moral dan sosial. Disamping menggunakan tersebut, penulis juga menggunakan metode al-tafsir al-Tahlily, adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf. Penulis memulai urainnya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Adapun kitab-kitab tafsir yang digunakan sebagai sumber dalam penelitaian ini antara lain Tafsir Al-Maraghi oleh Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Misbah oleh M. Quraish Shihab dan Tafisr Jalalain oleh Jaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi serta kitab tafsir lain yang dianggap mewakili serta terjangkau selama penulisan skirpsi ini serta kitab-kitab tafsir yang 13 John W.Best, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982), hlm. 133 14 dianggap relevan. Dalam menganalisa data-data yang ada, penulis menerapkan beberapa metode berfikir : a. Metode Induksi Metode induksi adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian dari faktafakta yang khusus dan peristiwa yang kongkrit itu ditarik generalisasigeneralisasi yang mempunyai sifat umum.14 b. Metode deduksi Metode deduksi adalah suatu cara berfikir dari pernyataan yang bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus.15 c. Metode Komparasi Metode komparasi adalah metode yang digunakan untuk mencari jawaban secara mendasar tentang sebab akibat, dengan jalan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya suatu fenomena di masa sekarang.16 Memiliki faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan faktor satu dengan yang lainnya.17 14 Mundiri, Logika, Diterbitkan atas kerjasama dengan Badan Penerbitan IAIN Walisongo Semarang Press, Jakarta : Rajawali Pers, 1996), cet II, hlm.12 15 Ibid., 16 Taufiq Rahman dkk, Panduan Belajar Sosiologi 2, (Jakarta, : Yudhistira, 2002), hlm.28-29 17 Winarno Surahmad, Proses dan Tehnik Research, (Bandung : Tarsindo, 1972), hlm.135-136 15 G. Sistematika Penelitian Agar memperoleh hasil data pembahasan yang sistematis dan utuh, maka penulisan skripsi disusun dengan sistematika sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan. Bab ini sabagai landasan pembahasan dan penulisan skripsi, yang meliputi : Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, kajian pustaka dan metode penelitian skripsi ini. Kemudian akhir bab ini penulis mengemukakan sistematika penulisan skripsi. Bab II.Nilai-nilai Pendidikan Moral dan Sosial. Untuk bahan analsisis, penulis dalam bab ini memberikan pengertian nilai, pendidikan, moral dan sosial. Lalu bentuk nilai-nilai pendidikan moral dan sosial, kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam pendidikan. Dalam bab ini penulis juga mengemukakan nilai-nilai pendidikan moral dan sosial yang penekanannya pada pendidikan keadilan, kasih sayang dan menegur peserta didik secara tidak langsung, lemah lembut serta penuh kesopanan. Bab III.Tafsir al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10. Dalam bab ini penulis membahas apa pengertian al-Qur’an dan fungsi al-Qur’an, baru tafsir surat’Abasa ayat 1-10 yang terdiri dari teks dan terjemahan. Kemudian mengemukakan Asbabun-Nuzul surat tersebut yang dilanjutkan tafsirnya. Mengenai tafsir dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10, penulis mengemukakan pendapat dari Ahmad Musthafa 16 Al-Maraghi (Tafsir Al-Maraghi), M. Quraish Shihab (Tafsir AlMisbah) , Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi (Tafisr Jalalain) serta tafsir-tafsir yang relevan. Kemudian penulis berusaha dengan kemampuan yang sangat terbatas mengemukakan analisisnya terhadap tafsir dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 tersebut. Bab IV Nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10. Dalam bab ini penulis menggali dan menguraikan nilainilai pendidikan moral dan sosial serta penerapannya yang terkandung dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam proses pendidikan. Bab V Penutup. Dalam bab ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari uraian atau jawaban atas dua pertanyaan yang dikemukakan dalam perumusan masalah. Setelah itu penulis memberikan saransaran yang dianggap penting untuk kemajuan pendidikan khusunya, baru penutup, sabagai tanda berakhirnya penulisan skripsi. BAB II NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL A. Pengertian Nilai-Nilai Kependidikan Moral dan Sosial 1. Pengertian Nilai Ada beberapa pendapat mengenai batasan tentang pengertian nilai. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia nilai adalah harga, ukuran : angka yang mewakili prestasi; sifat-sifat penting yang yang berguna bagi manusia, dalam menjalani hidupnya.1 Nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial untuk membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai2. Menurut Pepper nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Sedangkan menurut Perry nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Adapun menurut Kluckhon nilai adalah hasil pengaruh seleksi perilaku.3 Dari berbagai pendapat pengertian di atas dapat dipahami bahwa nilai adalah segala sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.4 1 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Kartika, 1997), hlm. 376 2 M.Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung : CV Wacana Prima, 2008), cet ke II, hlm. 153. 3 Edy Purwito, Sosiologi 1, (Surakarta : Widya Duta, 1995), hlm. 37 4 Ibid., hlm. 38 17 18 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara subyek dan obyek memiliki arti penting dalam kehidupan obyek. Sebagai contoh segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan. sedangkan bagi masyarakat kota, sekarang garam tidak berarti dibandingkan dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi orang kota. Namun demikian nilai-nilai semata-mata tidak terletak kepada subyek pemberi nilai, tetapi di dalam sesuatu tersebut mengandung hal yang bersifat esensial yang menjadikan sesuatu itu sangat bernilai. Tuhan mengandung semata sifat kesempurnaan yang tiada taranya dari segenap makhluk apa pun di jagad raya ini, garam mengandung zat asin yang dibutuhkan manusia, dan emas emas mengandung sesuatu yang tidak akan berkarat. Apabila unsur yang bersifat esensial ini tidak ada, maka manusia juga tidak akan memberikan harga terhadap sesuatu tersebut. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk social dan secara perlahan dinternalisasikan oleh individu ke dalam dirinya serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil yang secara eksplisit atau implisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapainya. 19 2. Pengertian Pendidikan Secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai proses yang mempunyai tujuan, sasaran dan target. Oleh karena itu pendidikan hendaknya mempunyai langkah-langkah sistematis yang harus dilalui secara bertahap oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sekedar memperjelas pengertian pendidikan, berikut ini dikutip dari beberapa tokoh tentang definisi pendidikan yaitu ; a. Menurut Prof.Drs.Piet A.Sahertian pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.5 b. Menurut Prof.Dr.Azyumardi Azra, M.A pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.6 c. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7 Apabila penulis amati dari ketiga definisi di atas, maka nampak jelas walaupun dikemukakan dengan rumusan yang berbeda-beda namun di sana tidak mengandung perbedaan yang prinsipal. Pendidikan bisa diartikan sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan 5 Piet. A. Sahertian, Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm.1 6 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Kalimah, 2011), hlm. 3 7 Ahmad D.Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1980) Cet.ke.4, hlm.19 20 mengembangkan fitrah secara potensial (sumber daya) insan menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Perbedaan ketiganya terletak pada penekanannya, sehingga ketiganya saling melengkapi. Misalnya definisi Piet A.Sahertian penekannanya adalah pada usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kemudian Azyumardi Azra penekananya pada proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Sedangkan Ahmad D. Marimba penekananya pada bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sehingga kalau ketiga definisi itu penulis padukan, maka akan mewujudkan suatu kesimpulan diantaranya ; a) bahwa pendidikan itu tidak lain adalah suatu usaha manusia, b) bahwa usaha itu dilakukan atau dilaksanakan dengan adanya kesadaran, c) bahwa usaha itu dilaksanakan oleh orang yang merasa bertanggungjawab kepada hari depan, d) usaha itu selalu menuju kea rah suatu tujuan tertentu (masa depan) 21 3. Pengertian Moral dan Sosial a. Pengertian Moral Istilah moral berasal dari kata Latin “mores” yang artinya tata cara dalam kehidupan, addat istiadat, atau kebiasaan.8 Moral merupakan kaidah norma atau pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat.9 Abudin Nata mengatakan bahwa kata moral berasal dari kata “mos-mores” yang berarti tata cara, adat istiadat, kebiasaan dan kebijaksanaan. Moral adalah aturan yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan baik atau buruk.10 Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu tersebut menjadi anggota komunitas sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan social secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan. Persamaan moral adalah etika yang berassal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang berarti kebiasaan, yaitu kebiasaan baik atu buruk. Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan 8 M.Asrori, loc.cit, hlm. 155 Ibid., 10 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 90 9 22 tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkkan jalan untuk apa yang harus diperbuat.11 Maka singkatnya bahwa pokok persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. perbuatan inilah yang dapat dikatakan “baik dan buruk”.12 Sebagai cabang filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik an buruk, ukuran yang dipergunakan adalah akal pikiran yang sehat. Akal sehatlah yang menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk.. Kalau moral dan etika dibandingkan, maka moral lebih bersifat praktis, sedangkan etika bersifat teoritis, atau moral bersifat lokal, etika bersifat umum (regional). Sedangkan dalam Isalm moral biasa dikaitkan dengan akhlak yang berarti “budi pekerti” mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik mungkin buruk. Yang termasuk ke dalam pengertian positif (baik) adalah segala tinngkah laku, tabi’at, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain-lain sifat yang baik. Sedangkan yang termassuk ke dalam pengertian negative adalah semua tingkah laku, tabi’at, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat dan lain-lain yang buruk. Yang menentukan suatu perbuatan atau tingkah 11 12 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm.3 Ibid., hlm.5 23 laku itu baik atau buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasaan atau adat istiadat.13 Akhlak Islami yang telah diuraikan di atas, berbeda dengan moral dan etika. Perbedaannya dapat dilihat terutama dari sumber yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan norma agama, nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama, serta nilai dan norma masyarakat yang merugikan diri sendiri dan masyarakat. Yang menentukan baik dan buruk suatu sikap (akhlak) yang melahirkan perilaku dan perbuatan manusia, di dalam agama dan ajaran Islam adalah al-Qur’an yang dijelaskan dan diuraikan oleh Rasulullah saw dengan sunnah yang kini dapat kit abaca dalam kitab-kitab hadis. Yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu tempat. oleh karena itu dipandang sebagai sumbernya, akhlak Islami yang bersifat tetap dan berlaku umat selama-lamanya, sedangkan moral dan etika berlaku selama masa itu tertentu di suatu tempat tertentu. konsekuensinya .(nisbi). perbedaan pengertian ini harus bisa 13 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 348 24 dipahami supaya kita dapat membedakan antara sifat dan isi akhlak, moral dan etika.14 b. Pengertian Sosial Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia sosial adalah sesuatu yang menyangkut aspek kehidupan masyarakat.15 Mengenai pengertian sosial adalah berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses social (sosial).16 Acapkali dibedakan dua macam persoalan, yaitu antara masalah masyarakat (scientific or social problem) dengan problem sosial (ameliotive or social problems). Yang pertama analisis tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua meneliti tentang gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau menghilangkannya. Sosiologi menyelididki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-krnyataan kehidupan masyarakat.17 Masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginankeinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepencingan ikatan sosial.18 Apabila unsur-unsur sosial yang sling berbeda itu sudah dapat saling menyesuaikan dengan baik, maka fungsi-fungsi 14 Op.cit, hlm. 356 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Kartika, 1997), hlm. 500 16 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), edisi IV, hlm. 396 17 Ibid., hlm. 397 18 Ibid., hlm. 398 15 25 kehidupan bersama akan serasi. Jika sudah terjadi keserasian fungsi dalam berbagai segi kehidupan, maka keteraturan sosial akan terwujud.19 Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud nilai-nilai kependidikan moral dan social adalah segala usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai atau sesuatu yang dipandangnya berharga mengenai perbuatan, sikap, kehendak, budi pekerti, perangai, sifat, akhlak, dan adat kebiasaan baik dan buruk di dalam masyarakat dan kebudayaan. B. Bentuk-bentuk Nilai Pendidikan Moral dan Sosial Ditinjau dari sudut pandangan pendidikan, tujuan pendidikan sering bersifat sangat umum seperti “menjadi manusia yang baik”, “yang bertanggung jawab”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi kepada masyarakat”, dan sebagainya.20 Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa. Persoalan manusia baik adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional, akan tetapi menyangkut masalah penghayatan dan pemahaman dan pengamalan yang lebih bersifat efektif dari pada kognitif. Persoalan menjadikan manusia menjadi baik tidak hanya wilayah pendidikan, melainkan hanya menjadi tanggung jawab semua jenis pendidikan, baik pendidikan rasional, tehnologi, ekonomi, maupun pendidikan jasmani. 19 20 Edy Purwito, Sosiologi, (Surakarta : Widya Duta, 1995), hlm.45 Nasution, Teknologi Pendidikan, (Bandung : Bumi Aksara, 1982), hlm. 17 26 Kewajiban mengimplikasikan nilai dalam semua jenis pendidikan, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia menjadi baik. Dalam pembahasan nilai ini penulis akan menjelaskan tentang nilai-nilia kependidikan moral dan sosial yang terkandung dalam macam-macam nilai ditinjau dari segi pendekatan proses budaya antara lain : 1. Nilai Adil Adil itu ada dua macam. Yang pertama mensifati perseorangan dan yang kedua mensifati masyarakat atau pemerintah.21 Adil perseorangan ialah memberi hak kepada yang mempunyai hak, karena tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakatmempunyai hak untuk merasakan kebaikan yang didapat oleh masyarakat. Bila orang mengambil haknya dengan tiada melebihi dan memberi hakhak orang dengan tiada mengurangi maka itu adalah adil. Mencuri itu adalah dlalim karena mengambil hak orang lain, atau tiada memberi haknya, begitu pula penjual yang menimbang untuk pembeli kurang dari semestinya adalah dlalim, karena ia tiada memberi hak pembeli.22 Lawan adil yang paling besar ialah “berat sebelah” yakni keinginan manusia pada salah satu dua barang yang sama, keinginan mana yang menimbulkan dan memberikan haknya lebih banyak dan mengurangi hak orang lain. Di dalam hal adil ini, Allah swt berfirman : 21 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Alihbasa Farid Ma’ruf, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), cet ke VI, hlm. 237 22 Ibid., h. 238 27 … Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…. (Q.S. Al-Hadied : 25).23 Banyak orang-orang yang berlaku serat sebelah kepada lainnya, karenanya ia memberi hukaman salah, sedang ia tidak merasa bahwa ia berlaku berat sebelah, bhakan berkeyakinan adil menurut pandangannya. Oleh karena itu wajib bagi manusia menyelidiki dirinya dan berlaku hatihati jangan sampai jatuh salah.24 2. Nilai Belas Kasih Banyak orang berkata : “Belas kasih diatas keadilan”. Dengan kata ini mereka bermaksud bahwa pekerjaan yang digerakkan oleh rasa belas kasih itu lebih utama dari pekerjaan yang dilakukan menurut keadilan saja. Pada umumnya kata ini tidak benar, bahkan terkadanag salah terkadang benar. mari amati contoh dari apa yang dipergunakan dalam kata-kata ini. a. Seorang guru di suatu madrasah/sekolah, tidak cakap dalam pekerjaannya, tidak pandai mengajar dan memberi faedah kepada peserta didiknya, karenanya ia tidak akan dipergunakan lagi, akan tetapi ia seorang yang telah berusia tua, miskin dan mempunyai keluarga, maka 23 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Gema Risalah Press, 1989), hlm. 904 24 Ahmad Amin loc.cit., 28 dikatakan : “Belas kasih diatas keadilan”, berarti menurut keadilan dia harus dilepas, sedangkan menurut belas kasih mengharuskan ia tetap dalam pekerjaannya. Akan tetapi di dalam soal ini, wajib bagi kita mempergunakan keadilan, bukan belas kasih, maka keadilan di sini adalah di atas belas kasih, karena kerugian yang didapati peserta didik melebihi dari kerugian yang mengenai guru dan keluarganya. Madrasah/sekolah itu bukan tempat mencari rizki dengan tidak ada kecakapannya, bahkan ia mengambil gajinya, karena dilihat dari buah pekerjaannya, maka bila pekerjaannya tidak baik tidak berhak menerima gaji. Kalau dikatakan bahwa ia seorang miskin dan mempunyai keluarga yang menjadi tanggungannya, seharusnya ia menerima kebaikan dari orang lain, dengan semua itu, maka dikatakan bahwa kebaikan itu tidak dari madrasah/sekolah tetapi dari perhimpunan sosial. b. Seorang pencuri tertangkap sedang mengambil dompet, lalu ia meminta kepada orang banyak supa diberi belas kasih dan menangis agar dilepaskan, maka mereka berkata : “Belas kasih di atas keadilan”. Kata ini tidak benar juga, karena hukuman kepada pencuri itu haknya bangsa seluruhnya, dan segolongan saja tidak dapat memberi ampunan c. Seorang di penjara dengan dhalim, akan diberi ampun, maka dikatan : “Belas kasih di atas keadilan”. Ini juga salah, karena keadilan memastikan untuk tidak dipenjara. Maka belas kasih dan keadilan itu sama tuntutannya, dan bukan belas kasih di atas keadilan. 29 Diantara beberapa soal, mempergunakan kata-kata ini ada benarnya, seperti engkau menghutangi orang lain, engkau belas kasih kepadanya dan lalu engkau lepaskan hutang itu engkau undurkan waktu membayarnya sehingga ia kuasa mengembalikannya. Menurut keadilan engkau mengambil hutang itu dan belas kasih harus hutang itu engkau lepaskan atau undurkan masa membayarnya, karena belas kasih di atas keadilan. Pendeknya kata-kata itu benar, lalu ia melepaskan belas kasih itu yang memiliki hak kkeadilan, lalu ia melepaskan haknya dan memberi belas kasih. Adapun memberi belas kasih sedang keadilan itu milik orang lain, adalah semata-mata salah, sebagaimana yang telah kami contohkan.25 C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Moral dan Sosial Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai-nilai pendidikan moral dan sosil dalam proses pendidikan adalah faktor intern dan faktor ekstern. 1. Faktor Intern (keturunan atau bakat) Dalam masalah keturrunan sebagai salah satu factor pembentukan moral atau akhlak yaitu ada pribahasa jawa “kacang mongso ninggalo lanjaran” artinya orang berbuat pasti ada bekasnya. Maka sudah menjadi keyakinan dari umat manusia bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh pada keturunnya di dalam berbagai macam keadaan antara lain jasmaniah, akal dan akhlaknya. Akhlak seseorang dipandang baik atau tidak ditunjukkan oleh perilaku seseorang itu tersebut. Akhlak itu lahir sekaligus bersumber dari 25 Ahmad Amin, op.cit., hlm. 247 30 akidah. jika akidahnya seseorang mantap maka akhlak yang dinyatakan dalm perbuatannya seseorang akan baik. 26 Di dalam al-Qur’an pun ada ayat-ayat yang mendukung tentang pengaruh faktor keturunan ini ,yaitu adanya pengaruh keturunan pada akhlak seseorang seperti tersirat dalam firman Allah swt tentang kisah Siti Maryam, Artinya : “Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. kaumnya berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang Amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina".27 (QS Maryam : 27-28) Menurut pendapat penulis dan kebayakan pendapat yang mendekati kenyataan adalah bahwa keturunan itu bukan faktor satu-satunya untuk membentuk jasmani, akal dan moral (akhlak), melainkan pendidikan formal dan nonformal juga sangat menentukannya. 2. Faktor Ekstern a. Rumah tangga (keluarga) Keluarga atau rumah tangga merupakan sumber yang banyak mempengaruhi dan memberikan dasar-dasar bagi pendidikan bagi 26 Muta’alimah dan Ali Muqaddas, Membangun karakter Bangsa Melalui Akidah dan Akhlak, pengantar Dr.HLM. Abdul Muhaya , MA, (Semarang : Rafi Sarana Perkasa, 2014), hlm.6 27 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 1996), hlm.245 31 seseorang dan merupakan factor yang sangat penting dalam pembentukan mental dan moral (akhlak). Sebab sebelum seseorang (anak) keluar dari lingkungan keluarganya, terlebih dahulu dia menerima pengalaman-pengalaman dari keluarganya di rimah, terutama dari ibu dan ayah terlebih lagi dari pendidikan yang datang dari ibu. Sebagaimana telah pernah dikemukakan bahwa, mental serta moral (akhlak) seseorang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang sampai kepadanya, baik disadari ataupun tidak disadari, semuanya menggabung menjadi satu membentuk mental dan kepribadian (moral/akhlak) seseorang tersebut. Maka dalam hal ini setelah manusia lahir ke dalam dunia secara tidak langsung si bayi menerima perlakuan dari ibu dan ayahnya. Disadari pula semua hal yang sampai kepada si anak akan menjadi bahan pembentukan mental dan kepribadian (moral/akhlak). Maka manusia yang pertama kali menerima pengalaman itu adalah ibu dan ayah sebagai contoh utama bagi anak-anaknya dalam sebuah keluarga. Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibtuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri.28 Adapun faktor ibu dan ayah paling mempengaruhi, sebagai pengalaman-pengalaman pertama bagi si anak. Karena itu kewajiban mendidik anak adalah terletak pada keduanya yaitu ibu28 hlm. 113 Asrori Mohammad, Psikologi Pembelajaran, (Bandung : CV Wacana Prima, 2008), 32 ayahnya. Pendidikan ini akan membekas pada mental si anak. sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah saw , ﻣﺎ َ ِﻣنْ ﻣ َْوﻟ ًْو ٍد ِاﻻﱠ ﯾ ُْوﻟَ ُد ﻋَ ﻠَﻰ ا ْﻟﻔِطْ رَ ِة َﻓﺄَﺑ ََواهُ ُﯾﮭَوﱢ دَ اﻧِ ِﮫ (أ َْو◌ُ ﯾ َﻧﺻﱢرَ اﻧِ ِﮫ أَو ُﯾﻣَﺟﱢ ﺳَﺎ ِﻧ ِﮫ )روه ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menyahudikan atau mensaranikan atau memajusikannya”. (HR Muslim).29 Hadits ini menunjukkan dengan adanya peranan orang tua yaitu ibu bapak dalam mengarahkan mental dan moral (akhlak) seseorang disengaja maupun tidak disengaja. Secara fitrahnya, sesungguhnya tidak ada orang tua yang tidak pernah sayang kepada anak-anaknya, dan demikian pula anak kepada kedua orang tuanya. Namun apabila salah langkah dalam pembentukan dan mengisinya akan terjadi hal-hal yang sebaliknya. Dengan kata lain, yang dibutuhkan oleh remaja dalam perkembangan hubungan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Jadi, iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga unsur ; 1. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya 2. Karakteristik khas itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga itu (termasuk remajanya) 29 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Toha Putra, tt), hlm. 458 33 3. Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala kelaurga, sikap, dan harapan individu dalam keluarga tersebut.30 Diantara cara-cara yang patut digunakan oleh keluarga dalam mendidik anak-anaknya dari segi sosial menurut hemat penulis antara lain ; 1. Memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya dalam tingkah laku sosial yang sehat berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama 2. Menjadikan rumah sebagai tempat dimana terciptanya hubunganhubungan sosial yang menciptakan rasa kassih sayang, rasa aman dan penuh kedamaian 3. Membiasakan anak-anaknya secara berangsur-angsur berdiri dan memikul tanggung jawab dan membimbingnya jika ada kesalahan dengan penuh kasih sayang 4. Menjauhkan mereka adri sifat manja dan berfoya-foya dan jangan menghina dan merendahkan mereka dengan kasar, sebab sifat memanjakan dan kekerasan itu merusak kepribadian anak-anak 5. Memperlakukan mereka dengan rasa kasih sayang dan lemah lembut dengan menghormatinya di depan kawan-kawannya dan lingkungan masyarakat. 6. Menolong anak-anaknya menjalin persahabatan dengan seseorang dengan memuliakannya, sebab manusia turut menjadi baik karena berkawan dengan orang baik pula. Asrori Mohammad ,op., cit, hlm. 114. 30 34 7. Menggalakkan mereka mendapatkan kerja yang dapat menolong mereka bisa menepa hidup dikemudian harinya 8. Membiasakan mereka hidup sederhana supaya lebih siap dalam menghadapi kesulitan hidup yang akan datang 9. Bersifat adil dan kasih sayang diantara mereka 10. Membiasakan mereka cara-cara Islam dalam pergaulan sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, memberi salam, silaturrahmi serta masuk rumah dan kegiatan hidup yang baik. b. Sekolah Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosial individu dalam rangka pengembangan kemampuan hubungan sosialnya dan sekaligus sebagai faktor lingkungan baru yang sangat menantang atau bahkan mencemaskan bagi dirinya. Para guru dan teman-temaa sekelas membentuk suatu system yang kemudian menjadi semacam lingkungan norma baru.31 Sebagaimana dalam lingkungan keluarga, maka lingkungan sekolah juga dituntut mampu menciptakan ilklim kehidupan sekolah yang kondusif bagi perkembangan social remaja. Sekolah merupakan salah satu lingkungan di mana remaja hidup dalam kesehariannya. Sebagaimana dalam keluarga, Sekolah juga memiliki potensi untuk memudahkan atau menghambat perkembangan sosial remaja.32 31 32 Ibid, hlm. 115 Ibid, hlm. 116 35 Lingkungan sekolah yang kurang positif iklim kehidupannya dapat menciptakan hambatan-hambatan bagi perkembangan hubungan sosial remaja. Sebaliknya, sekolah yang iklim kehidupannya bagus dapat memperlancar atau bahkan memacu perkembangan hubungan sosial remaja. Selama tidak ada pertentangan, maka selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat daripada lainnya, maka anak akan menyesuaikan dirinya dengan kelompok di mana dirinya dapat diterima dengan baik. Ada empat tahap proses pengembangan hubungan sosial yang harus dilalui oleh anak, yaitu ; 1. Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain, menghargai dan menghormati hak orang lain 2. Anak dituntut untuk mentaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok 3. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi sosial berdasarkan azas saling memberi dan menerima 4. Anak dituntut untuk bisa saling memberi dan menerima dengan orang lain.33 Dari urain di atas penulis dapat memberi kesimpulan bahwa sekolah merupakan factor yang penting disamping faktor-faktor yang 33 Ibid., 36 lainnya. Sebab sekolah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran didalamnya memberiakn pendidikan kepada peserta didik untuk menyalurkan dan mengembangkat bakat yang ada pada peserta didik seta membimbing dan mengarahkan bakat tersebut agar bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat umunya dengan baik. c. Lingkungan Masyarakat Selain faktor rumah tangga (keturunan) dan faktor sekolah, faktor lingkungan juga sebagai sumber yang banyak memberikan pengaruh bagi perkembangan remaja. Salah satu masalah yang dialami remaja dalam proses pengembangan hubungan sosialnya adalah bahwa tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Di satu sisi remaja dianggap sudah benar, tetapi kenyataannya di sisi lain mereka tidak diberi kesempatan atau peran sebagai orang yang sudah dewasa. Untuk masalah-masalah yang dipandang penting dan menentukan, remaja masih sering dianggap anak kecil atau dianggap belum mampu sehingga sering menimbulkan kekecewaan atau kejengkelan pada remaja. Keadaan semacam ini sering menjadi penghambat perkembangan hubungan sosial remaja.34 Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan beajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orangtua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak 34 Ibid., 37 baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa.35 Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan diluar rumah tangga tempat kita hidup sehari-hari, tempat kita bergaul atau sekitar di kanan dan kiri kita. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara langsung atau tidak langsung akan dapat kesiraman nama baik baginya, dan sebailknya orang yang hidup dalam suatu lingkungan yang buruk, dia akan terbawa buruk walaupun dia sendiri umpamanya tidak melakukan keburukan itu. Hal demikian biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara hidup orang tersebut dikemudian harinya. Karena itu pula ajaran Islam mengajarkan agar memilih tempat tinggal yang baik untuk tempat tinggal kita berumah tangga sebelum kita menempatinya, supaya meneliti apakah lingkungannya cocok untuk berumah tangga atau tidak, jangan membawa pengaruh buruk bagi keluarga dan anak-anak. Nabi Muhammad saw bersabda ; ﻖ وَ اﻟﺰﱠا ُد ﻗَﺒْﻞَ اﻟﺮﱠﺣِ ْﯿ ِﻞ ِ ﻖ ﻗَﺒْﻞَ اﻟﻄﱠﺮ ْﯾ ُ أ◌َ ◌َ ﻟْﺠﺎَ ُر ﻗَﺒْﻞَ اﻟﺪﱠا ِر وَ اﻟ ﱠﺮﻓِ ْﯿ Artinya : “(carilah) tetangga sebelum berumah tangga, dan (carilah) teman sebelum bepergian dan (carilah) bekal seperjalanan”.36 Hadits ini memberikan tuntunan dan petunjuk kepada kita apabila hendak mendirikan rumah, atau membeli rumah untuk tempat 138-139 35 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet III, hlm. 36 Al-Sayuthi, Al-Jami’ul al-Shaghir, Juz I, hlm. 297 38 tinggal, atau kita akan mengisis rumah untuk tempat tinggal hendaknya memperhatikan siapa tetangga yang ada disekitar kita, bagaimana akhlak tetangga kita. Sebab kalau bertetangga dengan yang tidak baik akhlaknya akan mempengaruhi dalam kehidupan selanjutnya. Dengan demikian, iklim kehidupan masyarakat memberikan sumbangan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja. Apabila, remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat agar tetap selalu merasa dipandang trendy.37 37 Asrori Mohammad , op,.cit, hlm. 117 38 BAB III TAFSIR AL-QUR’AN DALAM SURAT ‘ABASA AYAT 1-10 A. Pengertian dan Fungsi Al-Qur’an 1. Pengertian Al-Qur’an a. Pengertian Menurut Bahasa Al-qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi muslim dan petunjuk bagi manusia. Kata al-Qur’an berasal dari kata qara’a–yaqra’u– qiraa’atan dan qur’aanan yang berarti bacaan atau dibaca.1 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan definisi al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al-qur’an adalah masdar yang diartikan dengan isim maf’ul yaitu maqru = yang dibaca.2 Dari uraian pendapat di atas, didukung oleh ayat al-Qur’an yang memiliki arti demikian yaitu ; Artinya : “ Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS Al-Qiyamah : 17-18) 3 1 St Chamamah Suratno, Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), jilid 1, hlm. 28 2 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.1 3 Departeman Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Karya Toha Putra), hlm. 461 39 b. Pengertian Menurut Istilah Allah swt menamakan kitab yang diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad saw, untuk disampaikan kepada umat dengan beberapa nama, di antara yang popular ialah Al-Kitab dan Al-Qur’an.4 Pengertian al-Qur’an secara istilah banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai keahlian, baik dari ulama bahasa, ulama ushul, ulama’ fiqih, dan ulama mutakallimin. Definisi-definisi dimaksud sudah tentu satu dengan yang lainnya berbeda, karena penekanannya berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan keahlian mereka itu. Namun mereka semua sependapat bahwa pengertian pokok yang terkandung dalam istilah al-Qur’an ( ) أﻟﻘرأنadalah : ﷲُ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َم ﻣِنْ أَوﱠ لِ ا ْﻟﻔَﺎﺗِﺣَ ِﺔ ّ ﺻﻠﱠﻰ َ ظ اﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ ﻣُﺣّ ّﻣ ٍد ُ أﻟّﻠَ ْﻔ ِاِﻟﻰ أَﺧِرِ ﺳ ُْورَ ِة اﻟﻧﱠﺎس Artinya : “Lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas”.5 Perbedaan pendapat yang ada di antara mereka adalah memberikan pokok rincian tentang sifat-sifat yang terdapat di dalam pengertian pokok tersebut. Diantara mereka ada yang memberikan perincian yang singkat atau sederhana, ada yang tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang, ada pula yang relatif panjang. 4 Hasbi Ash-Shiddieqy, Ibid., Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir : Isa al-Halaby, tth), juz I, hlm.14 5 40 Para ulama yang memberikan rincian sederhana , tentang definisi al-Qur’an menurut mereka yaitu : َﻛﻼَ ُم ا ْﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد ﺻَﻠﻰ ﷲ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم اﻟ َﻣ ْﻛﺗ ُْوبُ ِﻓﻰ ا ْﻟ َﻣﺻَﺎﺣِفِ اﻟ َﻣ ْﻧﻘ ُْو ُل ﺑِﺎﻟﺗ َﱠواﺗُرِ اﻟ ُﻣ َﺗ َﻌ ﱠﺑ ُد ﺑِ ِﺗﻼ ََو ِﺗ ِﮫ Artinya : “Kalam (Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang dinukilkan secara mutawatir dan membacanya merupakan suatau ibadah.6 Sedangkan para ulama yang memberikan rincian tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang, definisi al-Qur’an menurut mereka adalah ; ﺻﻠﱠﻰ ﷲ َوﺳَﻠ َم َ أ ْﻟﻘُرْ أن ھ َُو اﻟ َﻛﻼَ ُم اﻟﻣُﻌْ ِﺟ ُز اﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ اﻟ ﱠﻧﺑِﻲ ﻼ وَ ِﺗ ِﮫ ِ اﻟ َﻣ ْﻛﺗ ُْوبُ ﻓِﻲ اﻟ َﻣﺻَﺎﺣِفِ اﻟ َﻣ ْﻧﻘ ُْو ُل ﺑِﺎاﻟﺗ َﱠواﺗُرِ اﻟ ُﻣ َﺗ َﻌ ﱠﺑ ُد ِﺑ ِﺗ Artinya : “ Kalam Allah yang mengandung I’jaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang termaktub dalam mushaf-mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir dan membacanya merupakan suatu ibadah”.7 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa definisi yang baik dan yang mencakup unsur-unsur pokok tentang rincian al-Qur’an adalah yang dikemukakan oleh Dr.Subhi al-Shalih tersebut. Dan yang memberikan yang relatif panjang tentang definisi al-Qur’an dikemukakan oleh M. Ali al-Shabani yaitu ; 6 Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, opcit., hlm.15 Subhi al-Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Alam lil Malain, 1977), cet ke 9, hlm 21 7 41 ﻼ ُم ﷲ اﻟﻣُﻌْ ِﺟ ُز اﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ ﺧَ ﺎ ﺗَمِ اﻵَ ْﻧ ِﺑﯾَﺎ ِء َوا ْﻟﻣُرْ َﺳﻠِ ْﯾ ِن ﺑ َِواﺳ َط ِﺔ ِ َﻛ اﻟ َﻣ ْﻛﺗ ُْوبُ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻣﺻَﺎﺣِفِ اﻟ َﻣ ْﻧﻘُوُ ُل,اﻵ ِﻣ ْﯾ ِن ِﺟﺑْرِ ﯾْل َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ اﻟ ﱠﺳﻼَ َم ِاﻟَ ْﯾﻧَﺎ ﺑِﺎ ﻟﺗ َﱠواﺗُرِ اﻟ ُﻣ َﻌ ﱠﺑ ُد ِﺑ ِﺗﻼ ََو ِﺗ ِﮫ اﻟ َﻣ ْﺑدُو ُء ِﺑﺳ ُْورَ ِة اﻟﻔَﺎﺗِﺣ ِﺔ اﻟﻣُﺧْ َﺗ َﺗ ﱡم ِِﺑﺳ ُْورَ ِة اﻟﻧّﺎس Artinya : “Kalam Allah yang mengandung I’jaz yang diturunkan kepada penutup Nabi dan Rasul (Nabi Muhammad saw) melalui perantara malaikat jibril as yang termaktub dalam mushaf-mushaf yang dinukilkan dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas”’8 2. Fungsi Al-Qur’an Dalam pembahasan fungsi al-Qur’an ini penulis membahas bahwa al-Qur’an sebagai sumber pendidikan diantaranya ; a. Al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan akal pikirannya. Manusia dan hewan sama-sama menikmati fungsi pancaindera. Manusia berbeda dari hewan karena akal budi yang dianugerahkan Allah dan kemampuan berpikir yang memungkinkannya untuk mengadakan tinjauan dan pembahasan terhadap berbagai hal dan perintiwa, menyimpulkan hal-hal yang umum dari bagian-bagian, dan menyimpulkan berbagai kesimpulan dari premis-premis.9 Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia ditunjuk oleh Allah swt untuk menjadi khalifah di muka bumi. Penunjukkan Allah swt tersebut tercantum dalam surat Al-An’am ayat 165 : 8 9 Muhammad Ali al-Sabani, Al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Irsyad, tth) Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Pustaka, 1985), hlm. 147 42 Artinya : “ dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am : 165) 10 Sebagai khalifah (penguasa) di bumi manusia memiliki tanggungjawab untuk mengelola alam sekitarnya. Untuk memperoleh kemampuan itu manusia harus mengenal alam sekitarnya dengan sebaik-baiknya, manusia harus sering mengamati alam sekitarnya, serta mengingat-ingat gejala-gejala yang ia lihat pada pengamatan itu. Sehubungan dengan keharusan manusia untuk mengenal alam sekitarnya dengan baik agar dapat mengelola alam sekitarnya, Allah swt melalui al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan akal pikirannya. Al-qur’an memberi petunjuk kepada manusia dalam setiap tahap kehidupan. Dengan demikian kita dapat berharap untuk menurunkan dasar-dasar petunjuk dari al-Qur’an bagi riset-riset yang dilakukan dalam ilmu-ilmu kealaman.11 10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, ( Semarang : PT Karya Toha Putra, 1996), hlm. 119 11 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur,an, Pengantar : Haidar Bagir (Bandung : Mizan Media Utama, 2001), cet. XII, hlm. 118 43 Berikut ini penulis cantumkan beberapa ayat yang menyuruh manusia untuk mempergunakan akal pikirannya : Artinya : “dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS Al-An’am 97)12 Menurut M.Suparta, MA dan Herry Noer Aly, MA mengatakan bahwa pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan bersifat komprehensif karena lahir dari prinsip kesatuan yang merupakan aspek penting di dalam konsep Islam. Atas dasar itu, Islam mendorong manusia untuk mempelajari setiap pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya, dan sesama umat manusia, baik dalam lingkup pengetahuan kesyari’atan maupun pengetahuan social, kealaman, ataupun pengetahuan lannya.13 Kemampuan manusia untuk berpikir inilah yang membuatnya patut diberi kewajiban untuk melaksanakan beragai ibadah dan memikul tanggungjawab pemilihan dan kehendak.14 Anjuran tersebut tampak 12 Departeman Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, (Semarang : PT Toha Putra, 1996), h, 111 13 HLM.M.Suparta dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Amissco, 2008), cet 2, hlm. 128 14 Utsman Najati, Ibid., 147 44 pada firman Allah swt yang bisa kita ambil pelajarannya yaitu sebagai berikut ; Artinya : “ Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.(QS At-Tariq : 5-7) 15 Dalam ayat yang lain Allah swt menegaskan dengan firman-Nya Q.S. al-Ghasyiah 17-21 ; Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? dan bumi bagaimana ia dihamparkan?. Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”. (Q.S. al-Ghasyiah 17-21)16 Ayat tersebut memerintahkan hendaknya manusia memperhatikan dan menggunakan akalnya untuk memikirkan bagaimana ia diciptakan pada awal mulanya agar bisa mengerti dan menyadari siapa 15 16 Departeman Agama RI, op,.cit, hlm. 59 Departeman Agama RI, op,.cit, hlm.474 45 sesungguhnya yang memberi kehidupan pada dirinya. Sebab jika ia mampu menciptakan makhluk dari suatu bahan yang tidak memeiliki tanda-tanda kehidupan sama sekali, maka untuk mematikan dan menghidupkannya amatlah mudah bagi-Nya. Oleh sebab itu hendaklah ia giat beramal saleh, agar bisa memperoleh kesenangan dan kenikmatan manakala ia kembali kepada-Nya.17 Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(QS. Ali Imran : 190)18 Ayat tersebut menyatakan bahwa Islam sangat menganjurkan kepada manusia utnuk menggunakan akalnya secara maksimal. Anjuran tersebut dipertegas dengan terhadap orang yang tidak menggunakan akalnya untuk meneliti, memperhatikan, dan menggali bukti-bukti serta menarik kesimpulan dari berbagai pengetahuan, baik pengetahuan keagamaan maupun keduniaan.19 … 17 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 1993), Juz 30, cet II, hlm. 198 18 Departeman Agama RI, loc.,cit. 19 M.Suparta dan Herry Noer Aly,op,.cit, hlm. 130 46 Artinya : “ Katakanlah sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu berpikirlah …(Q.S. Saba’ : 46)20 Ayat di atas menurut penulis bahwa tugas manusia di dalam hidup ini adalah menjalankan peranan itu dengan sempurna, dan senantiasa menambah kesempurnaannya sampai akhir hayat, hingga menjadi orang muslim yang paling mulia, yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa. Artinya : “Katakanlah adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S.Az-Zumar : 9) 21 Ayat tersebut dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang pertama, yakni orang-orang yang mengetahui pahala yang akan mereka peroleh bila melakukan kebaikan kepada Tuhan mereka dan mengetahui hukuman yang mereka akan terima bagi mereka yang bermaksiat kepada-Nya adalah orang yang mencapai derajat tertinggi. Sedangkan orang yang tidak mengetahui hal itu, jatuh ke jurang keburukan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dapat mengambil pelajaran dari hujjah-hujjah Allah dan dapat memenuhi nasehat dan memeikirkan-Nya hanyalah orang-orang yang 20 21 Departemen Agama RI, op,.cit, hlm.346 Ibid,, hlm.367 47 mempunyai akal dan pikiran yang sehat, bukanorang-orang yang bodoh dan lalai. Artinya : “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imran : 191)22 Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penyempurnaan hidup beragama dan kemajuan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia tidak akan tercapai tanpa memfungsikan akal pikirannya secara maksimal (baik). Oleh sebab itu tidak keliru ketika Azyumardi Azra menyatakan : Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. . Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam ; yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial- masyarakat, bangsa dan Negara-maka 22 Ibid., hlm. 59 48 pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam yang dapat disebut sebagai tujuan akhir pendidikan Islam”.23. Sebagaimana firman Allah swt ; Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”.(Q.S. Ali Imran : 102)24 Demikianlah mempergunakan dan al-Qur’an menyuruh mengembangkan akal manusia untuk pikirannya untuk kesejahteraan serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuan pendidikan serta dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. b. Hubungan antara Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Pada dasarnya al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi ummat manusia, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, dan mengajari mereka berbagai nilai dan metode pemikiran dan kehidupan yang baru. Ia pun memberi petunjuk kepada mereka akan tingkah laku yang lurus dan benar, demi kepentingan dan kebaikan mereka sendiri 23 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milieium Baru, (Jakarta : Kalimah, 2001), cet III, hlm. 8 24 Departeman Agama RI, op.,cit, hlm. 50 49 dan masyarakat, dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar dalam mendidik dan membina diri sendiri secara benar, sehingga bisa mencapai kesempurnaan manusiawi yang merealisaikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.25 Hal ini dinyatakan dalam firman Allah swt ; Artinya : “ Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. Al-Isra’ : 9)26 Penegasan ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an mengintrodusir dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.27 Manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama : sumber Ilahi dan sumber manusiawi. Ilmu pengetahuan yang bersumber Ilahi ialah jenis ilmu pengetahuan yang datang langsung dari Allah baik melalui wahyu, ilham, atau mimpi (ru’ya) yang benar. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari manusiawi ialah ilmu pengetahuan yang dipelajari dari berbagai pengalaman pribadinya 25 Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Pustaka, 1985), Cet I, hlm. 283 Departeman Agama RI, op.,cit, hlm. 225 27 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta : Penamadani, 2003), Cet I, hlm. 155 26 50 dalam kehidupan, juga dalam upayanya dalam menelaah, mengamati, dan memecahkan berbagai problem yang dihadapinya.28 Jadi demikian, apakah hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya, Jawahir Al-Qur’an, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Qur’an AlKarim.29 Bertolak belakang dengan pendapat Imam Al-Ghazli tersebut Al-Imam Al-Syatibi, yang dikutip M. Quraish Shihab, berpendapat bahwa “para sahabat tentu lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorangpun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan”.30 Berkaitan dengan perselisihan pendapat mengenai hal tersebut, M. Quraish Shihah berpendapat bahwa : “Menurut hemat kami hubungan antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi, pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri”. Utsman Najati, op., cit, hlm.169 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan Media Utama, 2009), Cet III, edisi ke 1, hlm. 58 30 Ibid., hlm.59 28 29 51 Selanjutnya beliau menerangkan : “Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi tergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan social yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh”.31 Di dalam al-Qur’an tersimpul beberapa ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Demikianlah al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.32 Dalam hal ini M. Quraish Shihab berpendapat bahwa : “Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya ilkim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya”33 Hal ini adalah akibat belum terwujudnya sayart-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan diatas. Dan dari segi inilah, menurutnya korelasi pertama dan utama antara hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.34 Sedangkan korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat al-Qur’an yang 31 Ibid., hlm.60 Ibid., hlm.61 33 Ibid., hlm. 63 34 Ibid., hlm. 60 32 52 berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat ilmiah tersebut misalnya beliau berpendapat bahwa : “Teori bumi datar yang merupakan satu hokum aksioma di satu ma sa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin ridak sedikit orang yang yakin bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiahterutama menurut Ilmu Pasti-adalah “benar”, sedangkan kenyataannya belum tentu demikian”.35 Allah swt dalam surat al-Anbiya’ ayat 30 telah berfirman ; Artinya : “dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. al-Anbiya’ : 30)36 Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan suatu gumpalan dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh alQur’an gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisahkan oleh Allah swt. Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek, dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang ilmuwan yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. 35 36 Ibid., hlm. 65 Ibid., hlm.259 53 Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas. 37 Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab penjelas mengenai petunjuk dan pembeda antara yang hak dengan yang bathil diturunkan untuk manusia agar mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, ia adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu penegtahuan sebisa mungkin. Kemudian ia menjadikan observasi atas alam sekitarnya sebagai alat untuk percaya kepada setiap penemuan baru atau teori ilmiah sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam al-Qur’an bukanlah pelajaran kosmologi atau biologi atau sains pada umumnya. c. Al-Qur’an Membimbing Manusia kepada Akhlakul Karimah Al-Qur’an mengisyaratkan dirinya sebagai “pemberi petunjuk kepada (jalan) yang benar, memberi kabar gembira serta pahala bagi orang mukmin yang beramal saleh. Hal demikian dinyakatakan oleh Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat : 9 ; . 37 M.Quraish Shihab, op.,cit, hlm. 66 54 Artinya : “ Sesungguhnya al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa 38 bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. al-Isra’ : 9) Hasbi ash-Shiddieqy menyatakan berkenaan dengan ayat di atas bahwa Allah swt menurunkannya untuk memberi petunjuk kepada manusia pada jalan yang lurus.39 Untuk itu tugas manusia pada hakikatnya adalah harus tunduk dan patuh terhadap segala perintah Allah swt dan meninggalkan segala larangan-Nya (hablum min Allah) dalam segala aspek kehidupan manusia (hablum min annas), Allah swt berfirman ; Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzariyat : 56)40. Rasulullah saw dianugerahi oleh Allah swt mempunyai kemampuan mengungkapkan kkata-kata yang singkat, namun padat maknanya (jawaami’ul-kalim). Di antara nasehat yang paling berharga adalah anjuran untuk menghiasi diri dengan akhlak mulia. Nabi as tidak hanya menganjurkan dengan kata-kata. Beliau juga mempraktikkannya terlebih dahulu dengan sempurna, sehingga beliau benar-enar menjadi teladan yang tiada tara Departeman Agama RI, op.,cit, hlm. 255 Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2010), cet. II, hlm. 17 40 Departeman Agama RI, op., cit, hlm. .417 38 39 55 (Al-Hasyimi, 2009:9)41. Memang di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang membawa ajaran atau norma-norma yang baik dan mulia yang harus dipegang teguh oleh setiap orang. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an telah mewariskan terhadap pribadi Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Pernyataan itu diperjelas dengan firman Allah swt Q.S. al-Ahzab : 21 Artinya : “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah “.(Q.S. al-Ahzab : 21)42 Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an telah meninggalkan dampak yang positif terhadap pribadi Rasulullah saw dan para sahabatnya. Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang membawa ajaran-ajaran atau norma-norma yang baik dan mulia yang harus dilaksanakan dan dipegang teguh oleh setiap orang. Berikut ini penulis kutipkan beberapa ayat yang membawa ajaran/pendidikan kepada akhlakul karimah ; 1. Amanah (dapat dipercaya) Q.S. An-Nisa : 58, Allah swt berfirman ; 41 Muta’alimah dan Ali Muqoddas, Membangun Karakter Bangsa Melalui Akidah dan Akhlak, Kata Pengantar Abdul Muhaya, (Semarang : Rafi Sarana Perkasa, 2014), cet I, hlm.36 42 Departeman Agama RI, op., cit, hlm. .336 56 … Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…(Q.S. An-Nisa’: 58)43 Pengertian amanah adalah bertanggung jawab seseorang yang mendapat titipan barang, harta, benda, pesan, pekerjaan atau yang lainnya dengan mengembalikannya atau menyampaikannya kepada orang yang mempunyai barang, harta, benda, pesan itu atau melaksanakan pekerjaan yang diserahkan kepadanya sebaik mungkin. Makna yang lebih luas lagi dapat dicontohkan seperti : menyimpan rahasia, tulus dalam memberikan masukan kepada orang yang meminta pendapat dan menyampaikan pesan kepada pihak yang benar.44 2. Jujur (berkata benar) Q.S. Al-Ahzab 70, Allah swt berfirman ; Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar (Q.S. Al-Ahzab : 70)45 43 Ibid., hlm. 69 Muta’alimah dan Ali Muqoddas, op.cit., hlm.52 45 Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 341 44 57 Islam mengajarkan bahwa jujur merupakan pokok segala sifat mulia, karena kejujuran mendorong seseorang pada kebaikan, dan kebaikan itulah yang akan mengantarkan orang tersebut masuk surga. Sebaliknya kebohongan adalah sifat tercela yang dibenci oleh Allah dan rasul-Nya karena bohong itu sifat munafik dan tidak ada seorangpun yang senang dibohongi. Mungkin pada tahap tertentu kebohongan bisa mendatangkan keuntungan, tetapi itu hanya sementara dan sesaat ketika kebohongan tersebut belum terungkap. Namun kebohongan tidak mungkin dapat dilakukan dalam jangka panjang apalahi seumur hidup. Suatu saat kebohongan pasti akan terungkap. Di saat itulah orang yang bohong, tidak jujur itu akan mengais kerugian yang tiada terkira dan tiada tara. Karena selain merugikan orang lain, kebohongan juga menrugikan diri sendiri.46 3. Al-Iffah (menjaga kehormatan diri) … Artinya : “ dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya… (Q.S. AnNur : 33)47 46 47 Muta’alimah dan Ali Muqoddas, loc.cit., hlm. 46 Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 282 58 Ayat ini mengajarkan kepada manusia agar senantiasa menjaga kehormatan dirinya dalam segala aspek kehidupan. Sikap iffah ini hanya akan terbentuk manakala seseorang telah memiliki sifat malu. Sedangkan “Al-Iffah” adalah sikap yang bisa menjaga diri seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa, baik yang bisa dilakukan oleh tangan ataupun lisan. Lebih dari itu dengan sikap ini seseorang akan berusaha meningkatlan hal-hal yang sebenarnya dibolehkan untuknya, namun untuk melindungi diri dari hal-hal yang tidak patut, maka dia rela untuk meninggalkannya. Sepertinya tidak meminta-minta meskipun dalam keadaan kesulitan, tidak merebut/menuntut hak-hak material dan duniawi yang seharusnya ia terima, tidak makan dalam keadaan berdiri maupun berjalan, tetap memeilhara kesucian diri dari perbuatan yang tidak baik.48 Ayat-ayat tersebut di atas dan ayat-ayat lainnya yang sejenis yang membwa ajaran akhlak banyak terdapat di dalam al-Qur’an. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya budi pekerti yang luhur di dalam agama Islam. Maka bagi orrang mukminin alQur’an harus menjadi cermin dalam kehidupan sehari-hari dan harus meneladani akhlak dari Rasulullah saw, sebagaimana firman Allah swt ; 48 Muta’alimah dan Ali Muqoddas, op.cit., hlm. 57 59 … Artinya : “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab : 21)49 Ayat ini menurut penulis menuntut agar orang mukmin mencotoh Rasulullah saw di dalam amal perbuatannya dan berjalan sesuai dengan petunjuknya, jika memang benar-benar menghendaki pahala dari Allah swt, takut akan azabnya di hari semua orang memikirkan dirinya sendiri dan penolong ditiadakan kecuali hanya amal yang dilakukan seseorang dan banyak mengingat Allah swt. Demikianlah pentingnya budi pekerti luhur dan tingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari-hari dalam Islam, sehingga halhal itu disebutkan Allah swt dalam al-Qur’an dan kita harus mengamalkannya. B. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 1. Teks dan Terjemahan Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 49 Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 336 60 Artinya : “ Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), Atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. maka kamu melayaninya, padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya”. (Q.S. ‘Abasa ; 1-10)50 Arti Kosa Kata : ََﻋﺒَﺲ ﺗَ َﻮﻟﱠﻰ اَنْ ﺟَﺎﺋَﮫُ ْاﻷﻋْﻤﻰ ﻚ َ َوﻣَﺎﯾُ ْﺪ ِر ْﯾ ﯾَ َﺰﻛّﻰ ﯾَ ﱠﺪ ﱠﻛ ُﺮ 50 ‘Abasa Berubah masam wajahnya karena (kurang senang) Tawalla Berpaling Anjaa’ahul-a’maa karena didatangioleh seorang yang buta kedua matanya hal apakah yang kamu ketahui dari orang buta tersebut? membersihkan diri dengan ajaran-ajaran syari’at mengambil nasihat atau pelajaran mengandalkan harta benda yang banyak dan kekuasaan sehingga mengabaikan AlQur’an Wamaa yudriika Yazakkaa Yazzakkaru اِ ْﺳﺘَﻐْﻨﻰ Istagnaa ﺗَﺼَ ﺪﱠى Tasaddaa menyambut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra : 1993), cet II, juz 30, hlm. 68 61 ﯾَﺴْﻌﻰ ﯾَﺨْ ﺸﻰ ﺗَﻠَﮭّﻰ Yas’aa bersegera menemui Yakhsyaa takut tersesat Talahhaa menganggap remah mengabaikannya51 atau 2. Sebab An-Nuzul Surat ‘Abasa Ayat 1-10 Surat ‘Abasa terdiri dari 42 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah, diturunkan sesudah surat An-Najm. Dinamai ‘Abasa (ia bermuka masam) diambil dari perkataan ‘Abasa yang terdapat pada ayat pertama surat ini.52 Surat ini disepakati sebagai surah Makkiyah. Namanya yang paling popular adalah surah ‘Abasa (cemberut)53. Surah ini dinilai sebagai surah yang ke 24 segi perurutan turunnya kepada Nabi saw. ia turun sesudah surah an-Najm dan sebelum surah al-Qadr. Jumlah ayat-ayatnya menurut perhitungan ulama Mekah, Madinah, Kufah adalah 42 ayat, sedangkan menurut cara perhitungan ulama Bashrah 41 ayat.54 Surat ‘Abasa ini termasuk dalam golongan surat-surat Makkiyah. Surat ‘Abasa ini mengemukakan hakikat-hakikat yang besar itu dengan pemberitaan-pemberitaan yang sangat berkesan, di dalam ayat-ayat yang sangat kuat tekannanya.55 51 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesa, Kesan dan Keserassian Al-Qur,an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), juz ‘Amma, hlm. 57 52 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, (Jakarta : 1971), hlm. 1023 53 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), cet Ke.4, hlm .160 54 M.Quraish Shihab, op.,cit, hlm 58 55 M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2010), cet III, hlm.85 62 Mengenai sebab an-Nuzul surat ‘Abasa ini penulis sampaikan beberapa riwayat yang menjelaskannya, diantaranya : a. Ibnu Katsir menerangkan : Diterangkan oleh beberapa kalangan mufassir, “Pada suatu hari, Rasullullah saw berdialog dengan beberapa orang pembesar Quraisy. Dalam riwayat Anas bin Malik r.a. disebutkan, pembesar itu bernama Ubay bin Khalaf. menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muththalib. Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat menginginkan agar mereka beriman. Tiba-tiba, datang kepada beliau seorang laki-laki buta, yaitu Abdulluh bin Ummi Maktum. Mulailah Abdullah meminta Nabi saw untuk membacakan beberapa ayat AlQur’an kepadanya dan berkata, ‘Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepada engkau. ‘ Rasulullah saw berpaling darinya dengan wajah masam, menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang lain. Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah saw pun kembali pulang, tiba-tiba Allah menahan pandangannya dan menundukkan kepalanya.56 56 Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), jilid 4, hlm. 911 63 b. Al-Maraghi menerangkan : Surah ini diturunkan berkenaan dengan kisah anak Ummi Maktum yang terkenal dengan nama ‘Amr ibnu Qais, yaitu anak lelaki paman Siti Khatijah. Ia adalah seorang tuna netra dan ikut berhijrah ke Madinah bersama para sahabat yang lain. Nabi berkali-kali menyuruhnya sebagai pengganti beliau dalam mengimami salat dengan kaum Muslimin di Madinah. Ia adalah Muazzirnur-Rasul kedua setelah sahabat bilal. Kisah tentang Ibnu Ummi Maktum adalah sebagai berikut: Pada suatu hari ia bergegas menemui Rasulullah saw. di Makkah, yang pada saat itu Rasulullah sedang menemui beberapa pemimpin Quraiys. Di antara mereka adalah “Utbah dan Syaibah, keduanya anak Rabi’ah, Abu Jahal ibn Hisyam, Al-‘Abbas ibnu ‘Abdil-Muthalib, Umayyah ibnu Khalaf dan Walid ibnu Mugirah. Ketika itu Rasulullah saw mengajak mereka agar masuk Islam dan mengingatkan mereka tentang akan datangnya hari akhir serta mengajak mereka takut kepada kekuatan dan kekuasaan Allah. Nabi saw menjanjikan bahwa apabila mereka bersedia masuk Islam, maka bagi mereka pahala yang paling baik. Nabi saw sangat mengharapkan kesediaan mereka untuk menerima ajakannya. Sebab dengan Islamnya mereka yang merupakan pemimpin orang-orang Arab, maka akan banyak pula orang-orang yang masuk Islam. 64 Ketika Ibnu Ummi Maktum sampai di Majlis Rasulullah saw ia berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah ! Bacakanlah kepada kami dan ajarilah kami apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada anda”. Ia mengulang-ulang perkataannya karena kebutaannya sehingga ia tidak mengetahui kesibukan yang sedang dihadapi oleh Nabi saw yang pada saat itu sedang menemui pemimpin-pemimpin Arab. Nabi saw tidak suka menghentikan pembicaraan beliau dengan mereka. Hal ini tampak dari aroma muka beliau yang berubah menjadi masam dan beliau memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum.57 c. K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan menerangkan : Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allah, ‘Abasa wa tawallaa (Dia [Muhammad] bermuka masam dan berpaling) (Q.S. 80 ‘Abasa : 1) turun berkenaan dengan ibnu Ummi Maktum, seorang buta yang datang kepada Rasulullah saw. seraya bertanya : ”Berilah aku petunjuk, ya Rasulullah. “Pada waktu itu Rasulullah saw sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy. Beliau berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan tetap menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ibnu Ummi Maktum berkata : “Apakah yang saya katakana ini mengganggu tuan? “ 57 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, (Semarang : PT. Karya Tuha Putra, 1993), Penterjemah Bahrun Abubakar, juz 30, hlm 70 65 Rasulullah menjawab : “Tidak”. Ayat-ayat ini (Q.S. 80 ‘Abasa : 1-10) turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saw itu.58 d. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi menerangkan ; Imam Turmudzi dan Ima Hakim, kedua-duanya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Siti Aisyah r.a. yang telah menceritakan, bahwa berfirman Allah swt berikut ini, yaitu ; Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. (Q.S, 80 ‘Abasa 1) diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ummi Maktum yang buta. Pada suatu hari ia datang kepada Rassulullah saw lalu berkata : ”Wahai Rasulullah, berikanlah aku bimbingan (kepada Islam)”. Pada saat itu di hadapan Rasulullah saw ada beberapa orang laki-laki dari kalangan pemimpin-pemimpin kaum musyrikin. Rasulullah saw berpaling dari Abdullah ibnu Ummi Maktum karena melayani mereka. Lalu Rasulullah saw berkata :”Bagaimanakah pendapatmu, apakah di dalam hal-hal yang telah aku katakana tadi dapat membuka hatimu?” Laki-laki dari pemimpin kaum musyrikin itu menjawab :”Tidak”. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya (Q.S, 80 ‘Abasa, 1-2)59 58 Shaleh dan Dahlan, Asbaabun Nuzuul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (Bandung : Diponegoro : 2000), edisi II, hlm. 628 59 Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafisr Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat jilid 4, Penterjemah Bahrun Abubakar, L.C, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2003), cet 7, hlm.2665-2666 66 3. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 Surat ‘Abasa yang jumlah ayatnya 42, termasuk surat yang diturunkan di Makkah sesudah surat An-Najm. Dalam menafsirkan alQur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 penulis memberikan beberapa pendapat yaitu ; Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam kitabnya tafsir al-Maraghi, M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al-Misbah dan Tafsir Jalalain oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi serta kitab-kita tafsir lain yang relevan. Adapun penjelasan tentang tafsir surat ‘Abasa ayat 1-10 sebagai berikut ; a. Pendapat Musthafa al-Maraghi dalam kitabnya Tafsir alMaraghi ; Ayat pertama dan kedua ; ( , ) Wajah Rasulullah saw berubah masam dan berpaling tatkala datang kepadanya orang buta. Ia tidak menghendaki pembicaraannya terpotong olehnya.60 Penyebutan orang buta dalam ayat merupakan pemberitahuan akan keuzurannya yang harus dimaklumi dalam hal ia memotong pembicaraan nabi saw tatkala beliau sedang disibukkan oleh pertemuannya dengan orang banyak. Bisa jadi kebutaan ini merupakan ‘illat yang menyebabkan marah dan berpalingnya 60 Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.,cit, hlm. 72 67 Rasulullah dari padanya. Seolah-olah ayat ini mengatakan, “Oleh karena kebutaannya, maka kmau (Muhammad) seharusnya lebih berbelas kasihan dan berlaku lemah lembut kepadanya. Lalu bagaimana bisa layak kamu melakukannya dengan kasar?” Masalah ini sama halnya denagn teguran anda kepada seseorang yang kedatangan fakir miskin kemudian menghardiknya, “Mengapa anda tega menyakiti orang miskin yang seharusnya anda perlakukan dengan baik dan penuh kasih sayang?”.61 Ayat ketiga dan keempat ; ( , ) Lalu apakah yang menyebabkan kamu memperlakukan orang buta tersebut dengan perlakuan yang demikian?. Mungkin ia hendak membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia terima darimu sehingga ia akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta nasehat kepadamu, kemudian ia mengambil manfaat dari peringatan dan nasehat-nasehatmu.62 Kesimpulan : Sesungguhnya kamu tiada mengetahui apa yang hendak dilakukannya yaitu keinginan untuk membersihkan diri dan meminta nasehat. Jika kamu mengetahui hal itu, niscaya kamu tidak akan memperlakukannya secara demikian. Ayat ini merupakan isyarat bahwa kaum musyrikin – yang oleh nabi saw, diharapkan kesedian 61 Ibid., hlm. 72 Ibid., hlm. 73 62 68 mereka untuk membersihkan diri dan menerima nasehat-nasehatnya – sama sekali tidak bisa diharapkan lagi kesediaan mereka.63 Kemudian Allah menurunkan bahwa perihal Muhammad bersama para hadirin di majlisnya dapat disimpulkan dalam dua point berikut ini ; Point pertama dalam ayat 5 dan 6 ; ( , ) Adapun orang yang merasa dirinya kaya dengan harta benda dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan apa yang ada padamu berupa ilmu yang terkandung dalam al-Kitab yang telah diturunkan kepadamu. Lalu kamu melayani mereka dengan suatu pengharapan akan kesediaan mereka memasuki Islam dan kesediaan untuk beriman.64 Ayat ketujuh ; ( ) Lalu apakah apakah engkau mendapat cela jika ia tetap dalam keadaannya semula serta tidak mau membersihkan diri dari kotoran kebodohan? Engkau tiada lain hanyalah seorang Rasul yang diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah. 63 Ibid., Ibid., 64 69 Dan engkau telah menunaikan kewajiban tersebut. Lalu mengapa engkau sangat mengharapkan ke-Islam-an mereka?65 Kesimpulan : Janganlah engkau terlalu berharap akan ke-Islam-an mereka. Dan jangan pula menyibukkan diri dengan ajakan kepada mereka kemudian engkau memalingkan muka dari orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada-Ku.66 Point kedua pada ayat kedelapan, kesembilan dan ayat kesepuluh ; ( , , ) Adapun terhadap orang yang bergegas datang kepadamu – karena ingin memperoleh hidayah dari-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya – dan ia berbuat demikian itu karena dorongan rasa takut kepada-Nya serta berlaku hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan – tetapi ngkau justru meremehkan dan mengabaikan serta tidak bersedia menjawab pertanyaannya.67 b. Pendapat M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsirnya Al-Misbah; Ayat pertama dan kedua ; “Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra” 65 Ibid., Ibid., 67 Ibid.,hlm.74 66 70 Setelah dalam surah yang lalu Allah membatasi tugas Nabi Muhammad saw hanya pada pemberi peringatan, padahal tealah datang kepada beliau seorang tunanetra yang bermaksud menanamkan rasa takut dalam hatinya dan mengambil pelajaran, maka ayat di atas mengomentari hal tersebut dan menegur Nabi secara halus. Apapun hubungannya, ayat-ayat di atas bagaikan menyatakan : Dia yakni Nabi Muhammad saw berubah wajahnya sehingga Nampak bermuka masam dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh keinginannya seorang dari mereka. Dia berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra yang memutus pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu. Penyebutan kata (‘ )ﻋﺑسabasa dalam bentuk persona ketiga, tidak secara langsung menunjuk Nabi saw, mengisyaratkan betapa halus teguran ini, dan betapa Allah pun - dalam mendidik Nabi-Nya tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya. Penyebutan kata ()أﻵﻋﻣﻰ al-a’maa/yang buta mengisyaratkan bahwa Abdullah bersikap demikian, karena dia tidak melihat sehingga hal ini mestinya dapat merupakan alasan untuk mentoleransinya.68 68 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), juz ‘Amma, hlm.60 71 Ayat ketiga dan keempat ; “Apakah yang menjadikanmu mengetahui-boleh jadi ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?” Teguran ayat-ayat yang laludilanjutkan oleh ayat di atas bahwa : Apakah yang menjadikanmu mengetahui yakni engkau tidak dapat mengetahui – walau berupa keras menyangkut isi hati seseorang – boleh jadi ia sang tunanetra itu ingin membersihkan diri yakni beramal saleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama – walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atau ia ingin mendapatkan pengajaran, sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak? Kata ( )ﯾزﻛّﻰyazakkaa asalnya adalah ( )ﯾﺗزﻛّﻰyatazakkaa tetapi huruf ( )تta’ tidak disebut, ia diganti dengan huruf ( )زzai dan di-idgham-kan, Ini menueur al-Biqa’i untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat terwujud walau tidak terlalu mantap.69 69 Ibid.,hlm.61 72 Ayat kelima sampai kesepuluh ; “Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia sakit, maka engkau terhadapnya mengabaikan.” Setelah ayat yang lalu menjelaskan sikap Nabi Muhammad ssaw terhadap ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum, ayat-ayat di atas menjelaskan sikap beliau terhadap tokoh kaum musyrikin yang beliau sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan : Adapun orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak atau kedudukan sosial serta pengetahuan – maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut kepada Allah, engkau terhadapnya saja – bukan kepada sang tunanetra itu melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Sebenarnya sikap Rasul saw terhadap tokoh-tokoh kaum musyrikin itu, terdorong oleh rasa takut beliau jangan sampai beliau dinilai belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itulah teguran ini dilanjutkan dengan menyatakan bahwa : Engkau – wahai Nabi agung – melakukan hal itu , padahal tiada celaan atasmu kalau ia yakni yang engkau layani tidak membersihkan diri yakni tidak beriman 73 walau dalam tingkat sekecil apapun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allah, maka sebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan. Kata ( )اﺳﺗﻐﻧﻰistaghnaa terambil dari kata ( )ﻏﻧﻲghaniya yakni tidak butuh. Huruf ( )سsin pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Ia merasa tidak butuh kepada Allah serta petunjuk Nabi Muhammad saw karena kekayaan, pengetahuan dan kedudukan sosialnya. Kata ( )ﺗﺻدّىtashaddaa terambil dari kata ( )ﺻدىshadaa yaitu gema yakni suara yang memantul. Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, gema suara dan pantulannya akan terus terdapat sampai terhendtinya suara itu. Siapa yang melakukan hal itu dinamakan tasaddaa. Kata ()ﺗﻠﮭّﻰ talahhaa terambil dari kata ( ﯾﻠﮭﻰ-)ﻟﮭﻰ lahaa- yalhaa yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga mengabaikan yang lain. Dalam Haasyiyat al-Jamal, digarisbawahi kata ini bukan terambil dari kata ( )اﻟّﻠﮭﻰal-lahw. Kata kedua ini bermakna lengah dan lupa. Kata yang digunakan ayat ini tidak selalu berarti meninggalkan yang penting 74 dengan mengerjakan yang tidak penting, tetapi bisa juga meninggalkan yang lebih penting karena mengerjakan yang penting. 70 c. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti dalam tafsirnya Jalalaian ; Ayat pertama ; 1. َ( َﻋﺑَسDia telah bermua masam) yakni Nabi Muhammad telah bermuka masam - َوﺗ ََوﻟّﻰ (dan berpaling) yaitu memalingkan mukanya karena,71 Ayat kedua ; 2. أَنْ ﺟَ ﺎ َءهُ اﻷﻋْ ﻣﻰ (telah datang seorang buta kepadanya) yaitu Abdullah ibnu Ummi Maktum. Nabi saw tidak meladeninya karena pada saat itu ia sedang sibuk menghadapi orang-orang yang diharapkan untuk dapat masuk Islam, mereka terdiri dari orangorang terhormat kabilah Quraisy, dan ia sangat menginginkan mereka masuk Islam. Sedangkan orang yang buta itu atau Abdullah ibnu Ummi Maktum tidak mengetahui kesibukan Nabi saw pada waktu itu karena ia buta. Maka Abdullah ibnu Ummi Maktum langsung menghadap dan berseru dengan suara yang agak keras:”Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah Allah ajarkan kepadamu”. Akan tetapi nabi saw pergi dan berpaling darinya menuju ke rumah, maka turunlah wahyu yang menegur sikap-sikap 70 Ibid., hlm.62 Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafisr Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat jilid 4, Penterjemah Bahrun Abubakar, L.C, (Bandung : sinar naru algensindo, 2003), cet 7, hlm.2657 71 75 itu, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini. Nabi saw setelah itu apabila datang Abdullah ibnu Ummi Maktum berkunjung kepadanya, beliau selalu mengatakan : “Selamat datang orang yang menyebabkan Rabbku menegurku”, lalu beliau menghamparkan kain serbannya sebagai tempat duduk Abdullah ibnu Ummi Maktum.72 Ayat ketiga ; 3. ك ﻟَ َﻌﻠّ ُﮫ ﯾَزﱠ ﻛﱠﻰ َ َو َﻣﺎ ﯾُدْ رِ ْﯾ kamu (Tahukah kamu) artinya, mengertikah ( ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﮫ ﯾَزﱠ ﻛﱠﻰbarangkali ia ingin membersihkan dirinya) dari dosa-dosa setelah mendengar dari kkamu ; lafaz Yazzakkaa bentuk asalnya adalah Yatazakkaa, kemudian huruf Ta diidghamkan kepada huruf Za sehingga jadilah Yazzakkaa.73 Ayat keempat ; 4. َا َْو َﯾ ﱠذﻛَر (Atau dia ingin mendapatkan pelajaran) lafaz Yadzdzakkaru bentuk asalnya adalah Yatadzakkaru, kemudian Ta diidghamkan kepada huruf Dzal sehingga jadilah Yadzdzakkaru, artinya mengambil pelajaran dan nasihat – َﻓ َﺗ ْﻧ َﻔ َﻌ ُﮫ اﻟ ﱢذﻛْرى (lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya) atau nasihat yang 72 Ibid., Ibid,. 73 76 telah didengarnya dari kamu bermanfaat bagi dirinya. Menurut suatu qiraat lafaz Fatanfa’ahu dibaca Fatanfa’uhu yaitu dibaca Nashab karena menjadi jawab dari Tarajji lafaz La’allahuu tadi.74 Ayat kelima ; 5. ( اَﻣﱠﺎ َﻣ ِن اﺳْ ﺗَﻐْ ﻧﻰAdapun orang yang merasa dirinya serba cukup) karena memiliki harta.75 Ayat keenam ; 6. ﺻدّى َ َﻓﺎَﻧْتَ ﻟَ ُﮫ َﺗ (Maka kamu melayaninya) atau menerima dan mengajukan tawaranmu ; menurut suatu qiraat lafaz Tashaddaa dibaca Tashshaddaa yang bentuk asalnya adalah Tatashaddaa, kemudian huruf Ta kedua diidghamkan kepada huruf Shad, sehingga jadilah Tashshaddaa.76 Ayat ketujuh ; 74 Ibid,. Ibid,. 76 Ibid,. 75 77 7. ك اَﻻﱠ ﯾّزﱠ ﻛﱠﻰ َ َوﻣَﺎ َﻋﻠَ ْﯾ (Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri) yakni orang yang serba berkecukupan itu tidak beriman.77 Ayat kedelapan ; 8. ك ﯾَﺳْ ﻌﻰ َ َواَﻣﱠﺎ ﻣَنْ ﺟَ ﺎ َء (Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera) lafaz Yas’aa berkedudukan sebagai Haal atau kata keterangan keadaan bagi Fa’il atau objek yang terkandung di dalam lafaz Jaa-a.78 Ayat kesembilan ; 9. َوھ َُو ﯾَﺧْ ﺷﻰ (Sedangkan ia takut) kepada Allah swt ; lafaz Yakhsyaa menjadi Haal dari fa’il yang terdapat di dalam lafaz Yas’aa, yang dimaksud adalah si buta itu atau Abdullah ibnu Ummi Maktum.79 Ayat kesepuluh ; 77 Ibid., hlm. 2659 Ibid., 79 Ibid., 78 78 10. َﻓﺎَﻧْتَ َﻋ ْﻧ ُﮫ َﺗﻠَﮭّﻰ (Maka kamu mengabaikannya) artinya, tiada memperhatikannya sama sekali ; lafaz Talahhaa asalnya Tatalahhaa, kemudian salah satu dari huruf Ta dibuang, sehingga jadilah Talahhaa.80 Dari beberapa penafsiran di atas penulis menyimpulkan bahwa sikap Nabi Muhammad saw yang bermuka masam dan berpaling tersebut bukanlah sifat kekurangan beliau, melainkan sifat kemuliaannya. Karena beliua memiliki sifat maksum, mengutamakan orang-orang yang benar-benar beriman dan mensucikan hati itu lebih diutamakan dari pada orang yang tidak bersungguh-sungguh takut kepada Allah swt. 80 Ibid., 85 BAB IV NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT ‘ABASA AYAT 1-10 A. Nilai-Nilai Kependidikan Moral Dan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 Dari telaah terhadap Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 yang penulis lakukan, maka di dalamnya terdapat nilai-nilai kependidikan moral dan sosial yang penulis sampaikan sebagai berikut : 1. Guru Harus Bersikap Adil terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan Nilai-nilai ini diisyaratkan ayat ke 5 -10 surat ‘Abasa yang teks ayatnya sebagai berikut ; Artinya : “Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya”.(Q.S. ‘Abasa : 5-10)1 1 Departeman Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, ( Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1996), hlm. 467 86 Rangkain ayat tersebut mengisyaratkan agar dalm pembelajaran jangan melayani orang kaya secara khusus dan mengabaikan orang fakir, atau dengan kata lain hendaknya memperlakukan orang kaya dengan orang fakir secara adil dalam proses pendidikan. Bila orang mengambil haknya dengan tiada melebihi dan memberi hak-hak orang dengan tiada mengurangi makna itu adalah adil.2 Ahmad Amin mengemukakan tentang adil dan belas kasih ; “…banyak orang berkata :”Belas kasih di atas keadilan”. Dengan kata ini mereka bermaksud bahwa pekerjaan yang digerakkan oleh belas kasih itu lebih utama dari pekerjaan yang dilakukan menurut keadilan. Pada umumnya kata ini tidak benar, bahkan terkadang salah dan terkadang benar”. Marilah kita beri contoh dari apa yang dipergunakan kata-kata ini : Seorang guru disuatu sekolahan, tidak cakap dalam pekerjaannya, tidak pandai mengajar dan memberi faedah kepada anak-anak muridnya, karenanya ia tidak akan dipergunakan lagi, akan tetapi ia seorang yang telah berusia tinggi, miskin dan mempunyai keluarga; maka dikatakan: “Belas kasih di atas keadilan”, berarti menurut keadilan dia harus dilepas, sedangkan menurut belas kasih mengharuskan ia tetap dalam pekerjaannya.3 Hal demikian itu menghendaki agar dalam melayani para peserta didik yang belajar, seorang pendidik tidak boleh membeda-bedakan, antara peserta didik anak orang berada dengan peserta didik anak orang tak punya, antara peserta didik yang paras cantik atau tampan dengan peserta didik yang berparas biasa, antara peserta didik yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan peserta didik yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. 2 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Alih Bahasa Farid Ma’ruf (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 238 3 Ibid., hlm 246 87 Para peserta didik harus dilayani dengan sama (adil), seimbang sesuai dengan perbedaan individual di anara mereka. Perlakuan adil yang dirasakan oleh peserta didik akan menambah wibawanya para guru. Hal itu akan mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang kondusif dan baik. Dengan demikian keadilan dalam pendidikan merupakan sesuatu yang harus ada dalam kegiatan lembaga pendidikan, masyarakat dan bangsa. 2. Guru Harus Membimbing Peserta Didik Dengan Kasih Sayang Nilai-nilai ini diisyaratkan oleh serangkaian ayat 1-4 surat ‘Abasa yang teks ayatnya sebagai berikut : Artinya : “ Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? teguran guru terhadap peserta didik dilakukan secara tidak langsung, lemah lembut dan sopan”.( Q.S. ‘Abasa : 1-4)4 Rangkaian ayat tersebut menisyaratkan bahwa bermuka masam dan berpaling muka dari orang yang inign membersihkan diri dari dosa atau ingin mendapatkan pelajaran tidak diperkenankan. Sebaliknya, orang 4 . Departemen Agama loc.,cit 88 tersebut harus dilayani dengan rasa penuh kasih sayang, terlebih mereka yang cacat fisik seperti yang diisyaratkan lafaz al-A’maa ()أﻵﻋْ ﻣﻰ Pentingnya kasih sayang ini dikarenakan rasa kasih sayang adalah kebutuhan jiwa yang paling pokok dalam hidup manusia. Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat sekarang, ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanga saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling mencintai di antara suami isteri. Tidak rukunnya ibu bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak, mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah orang tua yang tidak rukun. Maka anak-anak yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan dari rasa hatinya, biasanya mengganggu ketentraman orang lain. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan mencari kepuasan di luar rumah, seperti anak-anak yang kita sebutkan dalam contoh-contoh di atas. Umumnya mereka datang dari rumah tangga yang berantakan.5 Dengan demikian dalam kegiatan pendidikan pun manusia sangat membutuhkan adanya rasa kasih sayang dari semua pihak sekolah/madrasah terutama seorang guru, terlebih mereka yang cacat fisiknya. Rasa kasih sayang yang diberikan oleg guru dalam proses 5 Zakiah Darajat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1971), cet ke 4, hlm. 17-18 89 pendidikan akan menunjang kesuksesan dalam belajarnya, sebagaimana dijelaskan oleh Prof H.M. Arifin berikut ini : “…membimbing berdasarkan rasa kasih sayang terhadap anakdidik akan menghasilkan kedaya-gunaan proses belajar mengajar. Membimbing dan mengasihi mengandung makna ikatan batin dan penuh pengertian antara guru dan anak didik, sehungga dengan ikatan batin dan penuh pengertian itu belajar anak didik akan lebih dapat berlangsung intensif sesuai denagn kemampuan individu mereka, tanpa ada perasaan tertekan dari pendidik. Rasa kasih sayang akan memperlancar kegiatan belajar dari hambatan-hambatan psikologis akibat ketakutan atau keresahan batin dan sebagainya.6 Oleh sebab itu kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru, salah satunya adalah harus menatuh rasa kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap kita sendiri dan anak sendiri. Keutamaan untuk bersikap penuh rasa kasih sayang dalam mendidik peserta didik terkandung di dalam hadis Nabi saw sebagai berikut : ﺻﻠّﻰ ﷲ َ ﻗَﺎ َل رَ ﺳ ُْو ُل ﷲ: َْﻋنْ ﻋَﺎ ِﺋ َﺷ َﺔ رَ ﺿَﻲَ ﷲ َﻋ ْﻧﮭَﺎ ﻗَﺎ ﻟَت َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم اِنّ ﷲ رَ ِﻓﯾْقٌ ُﯾﺣِبﱡ اﻟرﱠ ﻓِقَ ﻓِﻲ اﻵﻣْرِ ُﻛﻠﱢ ِﮫ Artinya :”Dari Aisyah ra, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut. Dia mencintai sikap lemah lembut (kasih sayang) dalam segala urusan”. (HR.Bukhori Muslim)7 Hadis tersebut menyatakan bahwa Allah swt mencintai sikap kasih sayang dalam segala urusan. Segala urusan dalam hadis tersebut mencakup 6 H..M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjuan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1994), cet 3, hlm. 213 7 Mahyudin Abi Zakarah Yahya bin Syarif An-Nawawi, Riyadhus Sholihin, (Semarang : Toha Putra, tth), hlm.307 90 banyak hal, termasuk di dalamnya sikap penuh kasih sayang terhadap peserta didik dalam proses belajar mengajar. Hadis di atas juga menjelaskan bahwa Allah swt mencintai dan mengutamakan sikap kasih sayang (lemah lembut) dalam segala urusan. Segala urusan dalam ayat tersebut mencakup banyak hal, termasuk di dalamnya menyangkut tentang pendidikan kasih sayang dalam mendidik peserta didik. Ditegaskan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ; ﻗَﺎ َل رَ ﺳ ُْو ُل ﷲ: ﻗَﺎ َل: َﻋ ِن اﻟﻧﱡﻌْ ﻣَﺎ ِن ﺑ ِن ﺑَﺷِ ﯾْرِ رَ ﺿِ ﻲَ ﷲ َﻋ ْﻧ ُﮭﻣَﺎ ﺻﻠَﻰ ﷲ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم " َﻣ َﺛ ُل اﻟَﻣ ُْؤ ِﻣ ِﻧﯾْنَ ﻓِﻲْ ﺗ ََوا ﱡد ِھ ْم َوﺗَرَ ا ُﺣ ِﻣ ِﮭ ْم َ ... "ط ِﻔ ِﮭ ْم َﻣ َﺛ ُل اﻟْﺟَ َﺳ ِد ُ َو َﺗﻌَﺎ Artinya : “Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir r.a., dia berkata : Rasulullah saw telah bersabda, “Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyanyangi bagaikan satu tubuh”… (Hadis.diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadis 6011)8 Hadis ini lebih mendorong supaya manusia khususnya sesama muslim terutama untuk bersikap penuh kasih sayang terhadap manusia yang lain. Apabila tidak, ia akan tidak akan dikasihi oleh Allah swt. Nabi Muhammad saw pun yang mempunyai tugas untuk membimbing manusia mencapai akhlak mulia adalah seorang yang memiliki sifat penuh kasih sayang, sebagaimana firman Allah swt ; 8 Imam Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penterjemah Drs.Achmad Zaidun, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003) cet II, hlm. 1048 91 . Artinya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (Q.S.At-Taubah : 128)9 Dari apa yang diuraikan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa, sikap penuh kasih sayang harus dimiliki oleh para pendidi terhadap peeserta didiknya ketika dalam proses belajar mengajar. Apabila tidak dimiliki oleh para pendidik sifat penuh kasih sayang itu, kecil kemungkinannya proses belajar mengajar akan berhasil dengan baik. 3. Teguran Bagi Peserta Didik Dapat Dilakukan Secara Tidak Langsung, Lemah Lembut dan Sopan Nilai-nilai ini juga diisyaratkan dalam surat ‘Abasa ayat 1-4. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah swt dalam menegur Nabi Muhammad saw atas sikap beliau yang dinilai-Nya “kurang tepat”, M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan ; “ penyebutan kata (’ )ﻋﺑسabasa dalam bentuk personal ketiga, tidak secarang langsung menunjuk Nabi saw, mengisyaratkan betapa halus teguran ini, dan betapa Allah pun-dalam mendidik Nabi-Nya-tidak menuding beliau secara tegas mempersalahkannya”.10 9 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risala Press, 1989) , hlm. 303 10 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), Juz ‘Amma, hlm. 60 92 Dari keterangan di atas penulis menguraikan, bahwa Allah swt sebagai pendidik beliau dalam menegurnya tidak secara langsung, melainkan menegurnya dengan cara tidak langsung. Dari urain itu, dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam memperbaiki sikap atau tindakan peserta didik yang dinilai tidak tepat, tidaklah serta merta pendidik jatuhkan hukuman secara langsung ataupun teguran secara langsung. Akan lebih baik dan bijaksana manakala yang pertama kali pendidik lakukan adalah menegurnya dengan tidak langsung, sopan dan lemah lembut. Seorang pendidik yang berhasil memperbaiki peserta didiknya yang melakukan tindakan kurang tepat melalui teguran tidak langsung dapatlah dikatakan ia seorang pendidik yang memiliki sifat professional. Sedangkan menegur dengan sopan dan lemah lembut adalah salah satu kunci suksesnya pendidik dalam mendidik para peserta didiknya. Urain tersebut memperkuat pernyataan bahwa menegur dengan tidak langsung, sopan, lemah lembut dalam memperbaiki tindakan peserta didik yang tidak baik adalah tindakan bijaksana yang harus dilakukan lebih dahulu, sebab memberi hukuman, sikap ,lemah lembut dalam menegur akan mendukung keberhasilan dalam membimbing para peserta didik kearah yang baik. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah swt sebagai berikut : 93 … Artinya : “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu …” (Q.S.Ali Imran : 159)11 Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kepribadian Rasulullah saw dalam membimbing para sahabatnya dan manusia lainnya sehingga tidak menjahui Rasulullah saw disebabkan oleh karena Rasulullah saw memiliki sifat yang lemah lembut, tidak bersikap kasar dan tidak berhati keras. Maka guru ketika dalam menegur peserta didik atas tindakannyan yang tidak tepat atau kurang tepat, jauh akan lebih berhasil apabila dilakukannya dengan sikap lemah lembut dan sopan. B. Penerapan Nilai-nilai Kependidikan Surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam Proses Belajar Mengajar Sebelum menjelaskan bagaimana menerapkan nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam proses belajar mengajar, penulis terlebih dahulu menjelaskan apa itu proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar terdiri dari tiga kata ; proses, belajar dan mengajar. Proses berarti rangkaian tindakan, perbuatan atau penyuluhan yang menghasilkan sesuatu.12 11 90 12 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,( Semarang : CV Asy-Syifa), hlm. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 703 94 Belajar mengandung arti berusaha dapat beroleh kepandaian dengan menghafal, melatih diri dan sebagainya.13 Atau belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.14 Sedangkan mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar. Mengajar adalah mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melakukan kegiatan belajar.15 Ada pula yang memberikan pengertian mengajar adalah aktivitas yang dilakukan guru dengan memberikan pengajaran kepada para siswa. Pengajaran hendaknya dipandang sebagai variable bebas (independent variable), yaitu suatu kondisi yang harus dimanipulasikan, suatu rangkaian strategi yang harus diambil dan dilaksanakan oleh guru.16 Dengan demikian proses belajar mengajar menurut hemat penulis adalah suatu rangkaian yang dilakukan oleh peserta didik dan pendidik dalam kelas khususnya, untuk mencapai tujuan pendidikan. Berikut ini penulis kemukakan penerapan nilai-nilai kependidikan moral dan sosial yang terkandung dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam kegiatan proses belajar mengajar sebagai berikut ; 13 Ibid., hlm 22 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet 3, hlm. 59 15 Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : CV. Sinar Baru, 1989), hlm. 5 16 Munzeir S dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Amissco, 2008),cet 2, hlm 61 14 95 1. Sikap Adil dalam Proses Belajar Mengajar Apa yang diisyaratkan dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 5-10 tersebut hendaknya bersikap adil, dalam kegiatan proses belajar mengajar harus diterapkan. Sering dalam kegiatan prose belajar mengajar di sekolah/madrasah peserta didik yang telah mencapai perkembangan kecerdasan mengadakan penilaian terhadap sikap dan tindakan pendidik terhadap peserta didiknya. Ada di antara mereka menyatakan :”Bapak A pilih kasih terhadap murid-muridnya. Bapak B tidak adil dalam membuat soal-soal tes, kelas saya soalnya sulit-sulit dan kelas lainnya mudah-mudah. Bapak C kurang adil dalam memberikan penilaian dan lain-lain”. Terlepas apakah penilaian peserta didik tersebut benar atau salah, hal demikian itu menunjukkan bahwa peserta didik ingin diperlakukan secara adil oleh seorang pendidik. Dalam hal itu, Allah swt berfirman QS An-Nisa’ 58; … Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….” (QS. An-Nisa’ 58).17 17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press, 1989), hlm. 128 96 Dengan demikian sikap adil dalam proses belajar mengajar harus diterapkan dan dilaksanakan. Caranya, dengan memberikan materi pelajaran kepada semua peserta didik dan memberikan kesempatan yang sama untuk belajar atau bertanya tanpa membedakan status sosial, ekonomi, budaya dan rupa shingga tidak ada kesan pilih kasih atau perbedaan (diskriminasi). Pendidik hendaknya tidak menyisakan meteri pelajaran dalam waktu yang telah ditentukan pada kelas yang satu, sedangkan di kelas yang lainnya ia telah menyelesaikan materi pelajaran dalam waktu yang telah ditentukan. Pendidik hendaknya menanggapi semua pertanyaan dari pesertata didik dan tidak mengabaikan pertanyaan peserta didik yang lain. Apa yang diinginkan, diminta oleh peserta didik dalam rangka belajara, sesame keinginan, permintaan itu sesuai dengan peraturan yang ada dan masih dalam batas kewajaran hendaknya dilayani dengan sebaikbaiknya. Selain itu dalam membuat soal-soal tes untuk mengetahui penguasaan materi pelajaran oleh peserta didik juga hendaknya diterapkan. Jadi tidak diberikan soal-soal tes yang diluar materi pelajaran yang telah di berikannya. Hendaknya juga kualitas soal yang diberikan di kelas satu dengan yang lainnya ataupun, ataupun dilajur kanan atau kiri dalam satu kelas. Kemudian dalam memberikan penilaian pun sikap adil juga harus diterapkan dengan memberikan penilaian yang obyektif terhadap kemampuan belajar para peserta didik. Yaitu agar peserta didik tidak 97 merasa adanya penialain berat sebelah hendaknya peserta didik diberi tahu komponen atau dasar penilaian dan lembar jawaban atas tesnya yang telah dikoreksi dan dinilainya diberikan kepada peserta didik agar mengetahui hasil sebenarnya asli tesnya. Dari urain tersebut jelaslah bahwa sikap adil dalam proses belajar mengajar harus diterapkan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tentu saja penerapannya tidak sebatas apa yang diuraikan di atas. Dalam banyak kegiatan belajar di sekolah/madrasah sikap adil dibutuhkan oleh peserta didik. Bagi peserta didik penerapannya yang baik akan membuat dirinya senang dan bersemangat belajar dalam mencapai prestasinya. Sikap adil ini jelas sangat membantu berjalannya proses belajar mengajar yang harus dimilki oleh seorang pendidik, supaya dalam interaksi belajar sehari-hari bisa berjalan dengan baik. 2. Rasa Kasih Sayang dalam Proses Belajar Menagajar Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-4 yaitu mengisyaratkan hendaknya bersikap kasih sayang terhadap peserta didik, dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar. Dari keterangan tersebut telah jelas bahwa para peserta didik membutuhkan rasa kasih sayang dari para pendidik. dan rasa kasih sayang yang diberikan oleh para pendidik kepada peserta didik dapat menunjang kedaya gunaan belajar, rasa kasih sayang itu dapat diterapkan oleh guru dalam proses belajar mengajar dengan cara mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata atau perbuatan. 98 Berkenaan dengan hal itu, Allah swt berfirman QS Ali Imran ayat 159 ; … Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu .. .. (QS Ali Imran : 159)18 Dari ayat di atas dapat dimengerti bahwa kelembutan merupakan refleksi dari kasih sayang yang telah dianugerahkan oleh Allah di dalam jiwa setiap manusia. Kelembutan akan lahir dari hati yang penuh kasih sayang. Hanya orang yang memiliki kasih sayanglah yang akan berperilaku lemah lembut. Adapun ungkapan rasa kasih sayang dapat diterapkan dalam bentuk kata-kata misalnya ketika memulaia pelajaran pendidik menyatakan : ”Para peserta didik yang kusayangi, marilah pelajaran yang lalu kita lanjutkan” , kata-kata yang neniliki makna kasih sayang mempunyai dampak yang positif bagi jiwa peserta didik. Sedangkan ungkapan dengan rasa kasih sayang yang diterapkan jauh lebih terasa oleh peserta didik apabila dilakuk perbuatan, misalnya : misalnya ada seorang peserta didik yang sedang sakit pendidik menyempatkan diri menjenguknya dan mendo’akan agar segera sembuh. 18 Ibid., hlm. 103 99 Apabila pendidik melakukan ini, bagi peserta didik mengandung arti bahwa pendidik tersebut menyanyanginya dan merasa kehilangan peserta didiknya. Hal ini membuat hubungan pendidik dan peserta didiksemakin baik dan menumbuhkan kepercayaan kepada diri peserta didik sehingga semangatnya untuk belajar semakin bertambah. Perbuatan pendidik yang jauh lebih dirasakan lagi sebagai ungkapan rasa ksaih sayangnya oleh pesreta didik adalah apabila pendidik membimbingnya dengan penuh perhatian dan kesabaran serta mau memberikan suatu rangkuman yang sistematis dan efektif atas pelajaran-pelajaran yang dianggapnya sulit atau tidak sulit sehingga peserta didik merasa mudah dan senang mempelajarinya. Pendidik hendaknya menerapkan kepada peserta didik rasa kasih sayang. Drs.Sudarsono S.H mengemukakan tentang kasih sayang yaitu ; “…kasih sayang merupakan pembawaan naluri setiap orang. Kasih sayang, dalam etika Islam termasuk salah saru sifat yang terpuji (mahmudah). Perwujudan sifat kasih sayang atau “arrahman” di dalam Etika Islam meliputi : perlakuan kasih sayang di dalam keluarga, kasih sayang dalam lingkungan dan antar bangsa. Jika seseorang memiliki sifat “ar-rahmah’ maka ia akan memiliki tingkah laku : suka menyambung tali kekeluargaan (silaturrahmi), memiliki rasa persaudaraan yang sangat erat, mudah damai, suka menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan, mudah memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kepadanya dan bersifat pemurah. Sifat-sifat mahmudah yang tercakup dalam Etika Islam sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.19 19 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), cet II, hlm. 52 100 Pendidik yang menerapkan ini akan disenangi oleh pesertta didik karena dia memahami kebutuhannya, sehingga mau memberikannya. Apabila rasa senang terhadap pendidik sudah timbul dalam diri pribadi peserta didik, maka dalam proses belajar mengajar akan mempunyai kedayagunaaanya yang lebih. Karena rasa senang terhadap pendidik yang dimiliki peserta didik akan mendorongnya untuk mengikuti pelajaran yang diberikannya dengan baik dan penuh perhatian. Dari urain di atas jelaslah bahwa rasa kasih sayang itu dibtutuhkan oleh peserta didik. Pendidik semestinya mempunyai sifat ini dalam arti yang lebih luas lagi dan menerapkannya dalam proses belajar mengajar. Karena hal demikian menunjang keberhasilan dalam kegiatan proses belajar mengajar yang diinginkan oleh peserta didik dan pendidik. 3. Teguran Secara Tidak Langsung, Sopan, Lemah Lembut dalam Proses Belajar Mengajar Nilai-nilai yang diisyaratkan oleh rangkaian ayat 1-4 dalam alQur’an surat ‘Abasa yaitu hendaknya menegur dengan tidak langsung dan lemah lembut dapat diterapkan dalam peoses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, tidak selamanya apa yang dilakukan peserta didik dapat diterima oleh pendidik. Pada waktu berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas, tak jarang ada peserta didik yang melakukan sesuatu yang dapat mengganggu berlangsungnya pembelajaran. Misalnya : Peserta didik yang datang terlambat dan 101 mengganggu kelas yang sedang diadakan kegiatan belajar, peserta didik yang gaduh di dalam kelas, peserta didik yang berteriak-teriak di ruangan dan lain-lain. Apabila pendidik yang bersangkutan ingin merubah perilaku peserta didik yang tidak dapat diterima itu, maka pendidik harus menegur dengan sopan dan lemah lembut, adalah yang harus diterapkannya lebih dahulu dalam keadaan tersebut. Menasihati dengan lemah lembut merupakan diantara kesuksesan pendidik dalam proses belajar mengajar. Nasihat adalah upaya menyadarkan pelajar akan pelanggarannya dengan bertolak dari aturan dalam kegiatan belajar mengajar, serta kepada pelajar diberi informasi-informasi untuk memperluas wawasannya tentang akibat-akibat dari pelanggarannya.20 Berdasarkan penjelasan tersebut Allah swt berfirman dalam QS al-Hujurat ayat 12 ; … Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain…. (QS.al-Hujurat : 12)21 20 Suparta dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Amissco, 2008), cet II, hlm .216-217 21 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press : 1989), hlm.847 102 Dalam mengubah pelanggaran peserta didik , pendidik dapat menggunakan prinsip nasihat yaitu : pada awalnya pelajar harus mengetahui dengan jelas apa pelanggarannya, sebaiknya guru tidak memberitahukan secara langsung kepada pelajar apa pelanggaran pelajar melainkan membimbing pelajar untuk menemukan sendiri dan mengungkapkan kembali pelanggarannya, serta sebaiknya pemahaman pelajar tentang akibat-akibat dari pelanggarannya merupakan hasil diskusi antara guru dan pelajar.22 Peringatan secara tidak langsung juga memberikan stimulus kepada peserta didik ketika melakukan pelanggaran dalam kegiatan belajar mengajar. Peringatan adalah penginformasian secara singkat kepada pelajar apa kesalahannya serta konsekuensi-konsekuensi yang akan ditanggung bila kesalahan yang sama diulang kembali. Dalam peringatan terdapay dua hal yaitu peringatan tentang pelanggaran pelajar, serta pernyataan tentang konsekuensi yang akan ditanggung bila pelanggaran itu diulangi.23 Dengan demikian menegur yang sopan dan lemah lembut serta memberikan nasihat harus diterapkan dalam proses belajar mengajar, dan peserta didik tidak akan mudah melakukan tindakan-tindakan yang menggangu jalannya kegiatan belajar mengajar. 22 23 Op.,cit., hlm 217 Ibid., 103 C. Analisis Terhadap Tafsir dalam al-Qur ‘an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 Dari urian yang diberikan oleh para ahli tafsir tersebut penulis memberikan analisis bahwa peristiwaa turunnya surat ‘Abasa ini memberikan kandungan pengertian bahwa betapa tinggi akhlak Rasulullah saw dengan ketinggian yang tiada bandingnya sampaipun dalam isyarat dengan mata dan bermuka masam. Sikap Rasulullah saw yang bermuka masam dan berpaling tersebut bukan merupakan sifat kekurangan beliau, melainkan sifat kemuliaannya. Karena beliau memiliki sifat maksum, mengutamakan orangorang yang benar-benar beriman dan mensucikan hati itu lebih diutamakan dari pada orang yang tidak bersungguh-sungguh takut kepada Allah swt. Dari uraian tafsir yang dikemukakan oleh Ahmad Musthafa alMaraghi dalam kitabnya tafsir al-Maraghi ayat 1-4 dapat disimpulkan sesungguhnya kamu tiada mengetahui apa yang hendak dilakukannya yaitu keinginan untuk membersihkan diri dan meminta nasehat. Jika kamu mengetahui hal itu, niscaya kamu tidak akan memperlakukannya secara demikian. Kemudian ayat 5-7 dapat disimpulkan : “Jangan engkau terlalu berharap akan ke-Islam-an mereka. Dan jangan pula menyibukkan diri dengan ajakan kepada mereka kemudian engkaumemalingkan muka dari orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada-Ku.24 Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10, penulis mengambil kesimpulan dari pernyataan M.Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah yaitu : “Apa yang 24 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra, 1993), cet ke II, hlm 72-73. 104 dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya, adalah sikap yang sanagt terpuji-dalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan, muka masamnya pun tidak terlihat oleh ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bartanya : Jika demikian, mangapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau manusia teragung sehingga sikap yang menimbulkan kesan negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan.25 Dari beberapa urain di atas penulis menyimpulkan setelah menerima teguran dari Allah swt dalam kisah ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum, Rasulullah saw selalu menerima dan menghormati ‘Abdullah Ibn Maktum yang buta dan fakir itu serta selalu menanyakan tentang keadaan dan keperluannya. Bahkan bila ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum datang kepada beliau Rasulullah saw mengucapkan “selamat datang orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Allah sawt”. Apa yang dilakukan Rasulullah saw itu menandakan betapa beliau itu mengasihi dan menyanyangi ‘Abdullah Ibn Maktum. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut, bila kita tarik dalam konteks pendidikan antara hubungan guru dan peserta didik sekarang ini, maka terhadap peserta didik yang menuntut ilmu dan butuh kepada ilmu serta 25 M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta : Lentera, 2002), juz ‘Amma, hlm. 75 105 bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, sebagai guru hendaknya menyanyangi dan mengasihi peserta didik dan melayaninya dengan lemah lembut, kasih sayang dan dengan keseriusan meskipun peserta didik kekurangan dalam pengetahuan dan kefakiran. Lebih lanjut seorang guru hendaknya bersikap adil dalam mendidik, menyampaikan ilmu terhadap para peserta didik dalam menyamakan kedudukan mereka, baik mereka itu orang yang terpandang atau orang yang lemah, orang fakir atau orang kaya. Hal ini bila kita kontekstualisasikan kegiatan belajar mengajar maka guru juga menegur secara tidak langsung, bersikap penuh kasih sayang dalam mendidik dan berlaku lemah lembut dan penuh dengan kesopanan. Ketiga nilai-nilai kependidikan moral dan social dari penurunan surat ‘Abasa ayat 1-10 tersebut yaitu 1) nilai keadilan, 2) nilai kasih sayang, 3) nilai kesopanan (menegur tidak langsung dan lemah lembut), akan penulis bahas lebih menda;am di bab IV yang disertai dengan bagaimana menerapkannya dalam kegiatan proses belajar mengajar. Dari penjelasan tafsir di atas penulis mengambil beberapa pelajaran yang terdapat dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 diantaranya ; 1. Allah swt menegur sikap Rasulullah saw yang lebih mengutamakan orangorang kafir dari pada orang yang beriman walaupun orang-orang kafir itu pembesar kaum, sedang orang beriman itu pula buta dan miskin. Ini mengandungi pengajaran agar Rasulullah saw tidak mengecilkan hati 106 orang-orang beriman kerana mereka lebih baik dari orang-orang kafir walaupun mereka miskin. 2. Sikap Rasulullah saw demikian bukanlah suatu dosa dan tidak bercanggah dengan sifat maksumnya (terpelihara dari dosa) kerana sikap tersebut muncul dari sifat semula jadi (naluri) Rasulullah saw sebagai manusia biasa seperti ridha, benci, ketawa, dan menangis yang tidaklah dibebankan dengan dosa di dalam syariat Islam. 3. Sifat merasa diri serba berkecukupan selalu mendorong manusia menjadi angkuh dan sombong. Inilah sifat orang-orang kafir. Padahal jika direnung dengan cermat sebenarnya manusia sangat berhajat kepada bantuan Allah swt. Oleh itu Rasulullah saw tidak sepatutnya memberi perhatian lebih kepada mereka yang memiliki sifat buruk demikian. 4. Sifat orang yang beriman senantiasa berusaha untuk membersihkan dirinya dengan mengambil pengajaran dari al-Quran. Dan pengajaran al-Quran sangat berguna bagi orang-orang yang beriman. Mereka takut kalau-kalau terjerumus ke dalam lembah kesesatan. Oleh sebab itu, manusia seperti ini perlu diberi perhatian dan sangat tidak wajar kalau diabaikan. 5. Para pendakwah tidak dibebani dosa jika orang yang didakwahi tidak mengikuti ajakan atau dakwah yang disampaikan. Tugas mereka hanya menyampaikan saja. Tidak ada paksaan dalam agama. Taufik dan hidayah secara mutlaknya datang daripada Allah swt. BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang penulis kaji dalam bab demi bab skripsi ini, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut ; 1. Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 terkandung beberapa nilai-nilai kependidikan moral dan sosial antara lain : a. Nilai keadilan adalah memberikan kesempatan yang sama antara orang kaya dengan orang miskin, laki-laki dengan wanita dalam hal pendidikan. b. Nilai rasa kasih sayang adalah sikap penuh rasa kasih sayang kepada peserta didik karena merupakan kebutuhan jiwa yang paling pokok dalam kehidupan manusia, c. Nilai kesopanan (lemah lembut, menegur secara tidak langsung) adalah sikap yang dilakukan oleh pendidik dalam memperbaiki tindakan atau perbuatan peserta didik yang dinilai kurang tepat dalam proses belajar mengajar. 2. Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 juga terkandung beberapa penerapan nilainilai kependidikan dan moral antara lain : a. Nilai adil dalam proses belajar mengajar antara lain, dengan memberikan mata pelajaran kepada semua peserta didik dan memberikan kesempatan dan hak yang sama untuk belajar ataupun 101 102 bertanya tanpa membedakan status sosial, ekonomi, budaya dan rupa sehingga tidak ada kesan pilih kasih atau perbedaan (diskriminasi) b. Nilai kasih sayang terhadap peserta didik dalam proses belajar mengajar dengan cara mengungkangkannya dalam bentuk kata-kata atau perbuatan. c. Nilai kesopanan (menegur dengan tidak langsung dan lemah lembut) dalam proses belajar mengajar tidak selamanya apa yang dilakukan peserta didik dapat diterima oleh pendidik (guru). apabila guru ingin mengubah perilaku peserta didik yang tidak dapat diterima itu, maka menegur dengan sopan dan lemah lembut yang harus diterapkannya lebih dahulu dalam keadaan tersebut B. Saran-saran 1. Pemerintah, dalam kebijakan kependidikan hendaknya meningkatkan pemerataan pendidikan agar setiap warga negara khususnya anak-anak orang miskin sempat dan mendapatkan layanan pendidikan secara maksimal karena itu merupakan haknya. 2. Dengan diberlakukannya otonomi pendidikan maka profesionalisme guru hendaknya ditingkatkan guna menyongsong kemajuan dunia pendidikan kedepan. 3. Masyarakat yang mampu hendaknya aktif dalam mensukseskan pendidikan dengan membantu anak-anak yang tidak mampu atau putus sekolah agar pendidikan anak-anak tersebut bisa berhasil dan berjalan dengan baik. 103 C. Penutup Puji syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah swt yang dengan rahnat-Nya penulsi dapat menyusun skripsi ini sebagai syarat mendapat gelar Sarjana Strata Satu (S1) Penulis menyadari dengan sepenuh hati, bahwa skripsi ini masih perlu pembenahan baik dari segi isi maupun metode. Segala kitik dan saran atas skripsi ini penuils harapkan dan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Akhirnya dengan selesainya skripsi ini penulis harapkan mudahmudahan bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya, Amiin. DAFTAR PUSTAKA Assa’idi Sa’dullah, 2013, Pemahan Tematik Al-Qur’an Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Ar-Rifa’i Muhammad Nasib, 2000, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir , Jilid 4 Jakarta:Gema Insani Press Azra Azyumardi , 2001, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Kalimah, cet III Amin Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), 1975, Jakarta : Bulan Bintang Asrori Muhammad, 2008, Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV Wacana Prima Ali Daud Muhammad, 1998, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Ash-Shiddieqy Hasbi, 2009, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang : Pustaka Rizki Putra ______, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), 2010, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, cet II Al-Zarqani ‘Azhim Abdul Muhammad, Manahil al-Irfan fi Ulum alQur’an, Mesir : Isa al-Halaby, juz 1 Al-Shalih Subhi, 1977, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut : Dar alAlam lil Malain, cet ke 9 Al-Maraghi Musthafa Ahmad, 1993, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang : PT Karya Toha Putra, juz 30. Al-Mahalli Jalaluddin dan As-Syuyuti Jamaluddin, 2003, Tafsir Jalalain, Bandung : Sinarbaru al-Gensindo Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989, Bandung : Gema Risalah Press Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, Jakarta : Balai Pustaka Darajat Zakiah, 1997, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia : Jakarta : PT Bulan Bintang, cet ke 4 Dahlan, Shaleh, 2000, Asbabun Nuzuul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an : Bandung : Diponegoro, edisi II Ghulsyani Mahdi, 2001, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an : Bandung : Mizan Media Utama, cet XII Husein al-Habsyi, 1992, Nabi Muhammad SAW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam : Jakarta : al-Kautsar Hayati Usman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa : Bandung : Pustaka HM Arifin, 1994, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisiplinier : Jakarta ; Bumi Aksara Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia : Surabaya : Kartika Langgulung Hasan, 1985, Pendidikan dan Peradaban Islam, : Jakarta, Pustaka al-Husna Muhammad Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, : Bairut Dar al-Irsyad Mundiri, Logika, 1996, Diterbitkan atas kerjasama dengan Badan Penerbitan IAIN Walisongo Semarang Press, Jakarta : Rajawali Pers Muta’alimah, Muqaddas Ali, 2014, Membangun Karakter Bangsa Melalui Akidah dan Akhlak : Semarang : Rafi Sarana Perkasa Marimba D Ahmad, 1980, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : AlMa’arif, cet ke 4 Nasution, 1982, Teknologi Pendidikan : Bandung : Bumi Aksara Nata, Abudin, 1997, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Piet A Suhertian, 2008, Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia : Jakarta : Rineka Rahman Taufiq, 2002, Panduan Belajar Sosiologi : Jakarta : Yudistira Shihab M Quraish, 2003, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Keserasian AlQur’an : Jakarta : Lentera Hati _________, 2009, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat : Bandung : Mizan, cet III. Edisi 1 Shihab Umar, 2003, Konstektualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an : Jakarta : Penamadani Surahmad Winarno, 1972, Proses dan Tehnik Research : Bandung : Tarsindo Syah Muhibbin, 2001, Psikologi Belajar : Jakarta : Logos Wacana Ilmu Sujana Nana, 1989, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar : Bandung : CV Sinar Baru Sudarsono, 1991Etika Kenakalan Remaja, Jakarta : PT Rineka Cipta, cet II Suratno, St Chamamah, 2003, Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern : Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, jilid 1 Suparta, Aly Noer Hery, 2008, Metodologi Pengajaran Agama Islam : Jakarta : Amissco Soekanto Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar : Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, edisi IV Taufiq Rahman, 2002, Panduan Belajar Sosiologi 2 : Jakarta, : Yudhistira Zuhdi Masjfuk, 1993, Pengantar Ulumul Qur’an : Surabaya : Bina Ilmu