ABASA AYAT 1-10 SKRIPSI Diajukan

advertisement
STUDI ANALISIS TENTANG NILAI - NILAI
KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL DALAM AL-QUR’AN
SURAT ‘ABASA AYAT 1-10
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata S1
Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Oleh :
LILIS MUKHLISOH
NIM
: 211190
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA 2015
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI)
Akreditasi BAN-PT Peringkat B
Nomor : 192/SK/BAN-PT/Ak-XVI/SI/IX/2013
Ijin Penyelenggaraan SK Mendikbud RI
Nomor : 149/E/O/2013
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN
Lampiran
: 4 (empat) Eksemplar
Hal
: Naskah Skripsi
Kepada :
Yth. Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Universtitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU)
di Jepara
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi saudara :
Nama : Lilis Mukhlisoh
NIM
: 211190/131310000412
Judul : STUDI ANALISIS TENTANG NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN
MORAL DAN SOSIAL DALAM AL-QUR’AN SURAT
‘ABASA AYAT 1-10
Dengan ini saya mohon sekiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jepara,
September 2015
Pembimbing
Dr. Sa’dullah Assa’idi, M.Ag
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggungjawab penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam referinsi yang dijadikan bahan
rujukan.
Jepara, September 2015
Penulis
Lilis Mukhlisoh
NIM : 211190
iv
MOTTO
           
            
Artinya : “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah),
Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami
mengutus seorang rasul”.1
. Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya (Semarang :
PT Karya Toha Putra), hlm. 226
1
v
PERSEMBAHAN
Karya skripsi ini kupersembahkan sebagai ungkapan banyak terima kasih
kepada ;
 UNISNU Jepara mencetak generasi yang Cendekia dan
Berakhlaqul Karimah
 Suami dan anak-anakku tercinta
 Ayah ibu dan Saudara-saudaraku yang senantiasa memberikan
semangat dalam penyelesaian skripsi
 Sahabat-sahabatku yang berjuang untuk meraih prestasi
vi
vii
ABSTRAK
Lilis Mukhlisoh, NIM 211190, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah Unisnu (Universitas Islam Nahdlatul Ulama’) Jepara Tahun Ajaran 20132014. Judul skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Social dalam al-Qur’an Surat
‘Abasa 1-10”
Penulisan skripsi ini untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur’an surat ‘Abasa 1-10 yaitu, nilai moral dan social yang dijadikan sebagai
tuntunan dalam kehidupan. Nilai moral dan social merupakan nilai yang penting bagi
kehidupan, baik sebagai makhluk pribadi, makhluk Tuhan, maupun makhluk social.
Nilai moral dan social merupakan nilai yang digunakan dasar sebagai tuntunan dan
tujuan manusia dalam kehidupannya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriptif
kualitatif. Data pada penilitian ini diambil dari al-Qur’an surat ‘Abasa 1-10, tafsir alMaraghi surat ‘Abasa 1-10, tafsir al-Misbah 1-10 dan tafsir Jalalain surat ‘Abasa 1-10.
Pada penelitian ini peneliti berperan sebagai instrument utama. Identtifikasi data
dibantu dengan menggunakan penjelasan dari beberapa buku-buku tasfir yang relevan
dan buku-buku lain yang menunjang. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik studi dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data
dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikai, menafsirkan
dan mendiskripsikan data kemudian mengambil simpulan.
Berdasarkan analisis data diperoleh simpulan bahwa dalam al-Qur’an surat
‘Abasa 1-10 terdapat nilai-nilai kependidikan moral dan sosial antara lain : Nilai
keadilan adalah memberikan kesempatan yang sama antara orang kaya dengan orang
miskin, laki-laki dengan wanita dalam hal pendidikan. Nilai rasa kasih sayang adalah
sikap penuh rasa kasih sayang kepada peserta didik karena merupakan kebutuhan jiwa
yang paling pokok dalam kehidupan manusia, Nilai kesopanan (lemah lembut,
menegur secara tidak langsung) adalah sikap yang dilakukan oleh pendidik dalam
vii
memperbaiki tindakan atau perbuatan peserta didik yang dinilai kurang tepat dalam
proses belajar mengajar.
Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 juga terkandung beberapa penerapan nilai-nilai
kependidikan dan moral antara lain : Nilai adil dalam proses belajar mengajar antara
lain, dengan memberikan mata pelajaran kepada semua peserta didik dan memberikan
kesempatan dan hak yang sama untuk belajar ataupun bertanya tanpa membedakan
status sosial, ekonomi, budaya dan rupa sehingga tidak ada kesan pilih kasih atau
perbedaan (diskriminasi) Nilai kasih sayang terhadap peserta didik dalam proses
belajar mengajar dengan cara mengungkangkannya dalam bentuk kata-kata atau
perbuatan. Nilai kesopanan (menegur dengan tidak langsung dan lemah lembut)
dalam proses belajar mengajar tidak selamanya apa yang dilakukan peserta didik
dapat diterima oleh pendidik (guru). apabila guru ingin mengubah perilaku peserta
didik yang tidak dapat diterima itu, maka menegur dengan sopan dan lemah lembut
yang harus diterapkannya lebih dahulu dalam keadaan tersebut
Kata Kunci : Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Sosial Surat ‘Abasa 1-10
viii
ix
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah berkat rahmat, hidayah dan inayah Allah swt,
penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi dengan baik.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw
pembawa risalah kebenaran, penyelamat manusia dari kesesatan menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapat bimbingan, arahan,
bantuan, serta saran-saran dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu sudah
sewajarnya bila pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada ;
1. Bapak Prof. DR. KH Muhtarom HM selaku rektor Unisnu Jepara yang telah
merestui pembahasan skripsi ini
2. Bapak Drs.H.Akhirin Ali, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilum
Keguruan Unisnu Jepara yang telah menyetujui pembahasan skripsi ini
3. Bapak Dr.Sa’dullah Assa’idi, M.Ag selaku pembimbing skripsi ini yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk memberikan nasihat, petunjuk serta
arahan kepada penulis dalam rangka menyusun skripsi ini, sehingga dapat
terselesaikan skripsi ini
4. Pimpinan perpustakaan Unisnu Jepara beserta stafnya, yang telah memberikan
pelayanan dan fasilitas berupa buku-buku yang diperlukan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini
ix
5. Para Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Unisnu Jepara yang selama
ini telah membekali berbagai ilmu pengetahuan sehingga penulis bisa
menyelesaikan penyusunan skripsi ini
6. Ayah, ibu, kakak dan suamiku serta buah hatiku M. Rizqi Ramadhan
Ardiansyah dan Tsaniatur Rohmatul Ulya yang senantiasa memberi semangat
dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini
7. Teman-teman tercinta satu angkatan yang telah memberi sumbangsih pikiran
kepada penulis serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Dan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyelesaiannya skripsi ini
Akhirnya, semoga semua amal baik mereka mendapat imbalan yang
berlipat ganda dari Allah swt. Amin
Jepara,
Desember 2015
Lilis Mukhlisoh
NIM
: 211190
NIRM : 11/X/17.2.1/2960
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………...…………………………………… …… i
HALAMAN NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN …..………………………………………........... iii
SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………… iv
HALAMAN MOTTO……. ……….………………………………………….... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………. vi
ABSTRAK ……………………………………………………………………. vii
KATA PENGANTAR ……………….………………………………………… ix
DAFTAR ISI …………………………….……………………………………. xi
BAB 1
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.. …………………………. …….. 1
B. Perumusan Masalah……..………………………………… 5
C. Tujuan Masalah…… ……………….…………………….. 6
D. Manfaat Penelitian ………………………..……………… 6
E. Kajian Penelitian …………………………………………. 7
F. Metode Penelitian …………. ………………………….... 12
G. Sistematika Penelitian……… ………………………….... 15
BAB II
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL
A. Pengertian Nilai-Nilai Kependidikan Moral dan Sosial .... 17
1. Pengertian Nilai …………………………………….. 17
2. Pengertian Pendidikan………………………………. 19
3. Pengertian Moral ……………………………………. 21
4. Pengertian Sosial……………………………………. 24
B. Bentuk-Bentuk Nilai Pendidikan Moral dan Sosial……....25
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Moral dan
Sosial…………………...…………………………………29
xi
BAB III
: TAFSIR AL-QUR’AN DALAM SURAT ‘ABASA AYAT 1-10
A. Pengertian dan Fungsi Al-Qur’an.. ……………………….39
1. Pengertian Al-Qur’an …………………………………39
2. Fungsi Al-Qur’an ……………………………………..42
3. Hubungan antara Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan ….49
4. Al-Qur’an Membimbing Manusia Kepada Akhlakul
Karimah ……………………………………………… 54
B. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10..………………..60
1. Teks dan Terjemahan Surat ‘Abasa Ayat 1-10.……… 60
2. Sabab an-Nuzul Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ………..……. 62
3. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ………...….. 67
a. Menurut pendapat Mustafa al-Maraghi dalam kitab
Tafsir al-Maraghi ..…………………… …………... 67
b. Menurut pendapat M.Quraish Shihab dalam kitab
Tafsir al-Misbah…………………………………….70
c. Menurut pendapat Jalaluddin Al-Mahalli dan
Jalaluddin As-Suyuti dalam kitab Tafsirnya Jalalain. 75
BAB IV
: NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL
YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN
SURAT ‘ABASA AYAT 1-10
A. Nilai-Nilai Pendidikan Moral dan Sosial yang Terkandung
dalam Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ……………… 80
1. Guru Harus Bersikap Adil terhadap Peserta Didik
dalam Pendidikan ………………………………….. 80
2. Guru Harus Membimbing Peserta Didik dengan
Kasih Sayang ……………………………………….. 82
3. Teguran Bagi Peserta Didik dapat Dilakukan
Secara Tidak Langsung, Lemah Lembut dan Sopan…86
xii
B. Penerapan Nilai-Nilai Kependidikan Surat ‘Abasa
Ayat 1-10 dalam Proses Belajar Mengajar…………… …88
1. Sikap Adil dalam Proses Belajar Mengajar ………….90
2. Rasa kasih Sayang dalam Proses Belajar Mengajar …92
3. Teguran secara tidak Langsung, Sopan, Lemah
Lembut dalam Proses Belajar Mengajar …………..... 95
C. Analisis Terhadap Tafsir Dalam Al-Qur’an Surat
‘Abasa Ayat 1-10…..………………………………......... 98
BAB V
: KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………..107
B. Saran-saran ……………………………………………..108
C. Penutup …………………………………………………109
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-qur’an adalah wahyu Ilahi dan bersifat transcendental bagi manusia,
tetapi juga merupakan bagian kehidupan yang dapat membukakan mata hati
mereka, yang tiada lain sebagai wujud empiris dapat dialami.1 Al-qur’an
adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai
pedoman hidup bagi muslimin dan petunjuk bagi manusia. Kata al-Qur’an
berasal dari kata qara’a - yaqrau - qiraatan dan qur’anan yang berarti bacaan
atau yang dibaca.
Al-qur’an di dalamnya memuat berbagai petunjuk bagi manusia yang
berguna bagi dasar yang kukuh untuk semua prinsip, etika dan moral yang
sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Prinsip-prinsip etika dan moral
sangat dibutuhkan dalam upaya memberikan bentuk dan arah terhadap
tingkah laku manusia yang berkaitan dengan seluruh jaringan kehidupannya
baik individu maupun sosial. Dengan arah prinsip-prinsip etika dan moral atas
tingkah laku manusia oleh al-Qur’an akan tercipta suatu kehidupan yang
berimbang di dunia dengan tujuan kebahagiaan terakhir di akhirat. Ini
merupakan misi dari agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an yaitu
memberikan rahmat kepada makhluk sekalian alam.
1
Sa’dullah Assa’idi, Pemahaman Tematik Al-Qur’an Menurut Fazlur Rahman,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 60
1
2
Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surat al-Anbiya’ ayat 107,
sebagai berikut :
    
Artinya : “ dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam. (QS : al-Anbiya’ 21: 107)2
Dengan demikian, seluruh hal yang terkandung dalam al-Qur’an pada
hakekatnya merupakan
ajaran dan tuntunan bagi umat Islam. al-Qur’an
memberikan petunjuk dan pedoman bagi kehidupan dalam berbagai bentuk
ajaran, misalnya : ajaran aqidah, akhlak, hukum, filsafat, politik. ibadah dan
pendidikan. Ajaran pendidikan merupakan ajaran penting yang dibawa oleh
al-Qur’an. sedangkan di dalam al-Qur’an terdapat 1.404 ayat yang berkaitan
dengan pendidikan atau hampir 25 % menunjukkan pentingnya pendidikan
pada pandangan ulama.3
Dapat dikatakan bahwa al-Qur’an yang menjadi sumber ajaran Islam
tersebut menuntu perhatian serius tentang pendidikan, apabila seseorang ingin
mengetahui lebih jauh apa yang terkandung di dalamnya harus belajar alQur’an dengan benar. Untuk bisa memahami dan menemukan ajaran dan isi
kandungan al-Qur’an seseorang tidak hanya dituntut untuk mampu membaca
al-Qur’an dengan baik, tetapi juga harus memiliki kemampuan memahami,
2
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press,
1989), hlm. 508
3
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta : Pustaka al-Husna,
1985), hlm. 98.
3
mengungkapkan isi, serta menggali prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
al-Qur’an dengan menggunakan ilmu tafsir al-Qur’an yang benar. Dengan
demikian,
tafsir
al-Qur’an
pada
hakekatnya,
meminjam
ungkapan
Muhammad al-Sabuni, merupakan anak kunci untuk membuka simpanan
yang ditimbun dalam al-Qur’an. 4
Sebagai upaya kodifikasi terhadap tafsir al-Qur’an yang dilakukan
oleh para mufasir semenjak masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99101 H).5 Salah satu surat yang diberi tafsirannya oleh para mufasir adalah
surat ‘Abasa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw diterangkannya
pada suatau hari, Rasulullah saw berdialog dengan beberapa orang pembesar
Quraiys. Dalam riwayat Anas bin Malik r.a. disebutkan , pembesar itu
bernama Ubay bin Khalaf. Menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah
Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul
Muthalib.Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat menginginkan
mereka beriman.
Tiba-tiba datang kepada beliau seorang laki-laki buta, yaitu Abdullah
bin Ummi Maktum. Mulailah Abdullah meminta Nabi saw untuk
membacakan beberapa ayat al-Qur’an kepadanya dan berkata, ‘Ya
Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang telah Allah swt ajarkan kepada
engkau. Rasulullah saw berpaling darinya dengan wajah masam, menghindar
dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang
4
Muhammad Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut Dar al-Irsyad), hlm. 59
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 73
5
4
lain. Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah saw pun kembali
pulang, tiba-tiba Allah swt menahan pandangannya dan menundukkan
kepalanya. Selanjutnya Allah swt menurunkan ayat tersebut. 6
Dalam konteks itu Allah swt menegur Nabi-Nya, seraya menjelaskan
bahwa kebutaan, kelemahan dan kefakiran Ibnu Ummi Maktum tidaklah
dijadikan penyebab berpalingnya Nabi Muhammad saw dari mendengar
penjelasannya. Hal itu bisa menimbulkan keputusasaan golongan orang yang
cacat dan golongan dari fakir-miskin. Bahkan Nabi Muhammad saw telah
diperintahkan agar mengelus hati mereka sebagimana telah disebutkan dalam
al-Qur’an surat al-An’am ayat 52 :
…         
Artinya :“dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki
keridhaanNya”. (QS : al-An’am : 52)7
Pandangan lain yang menjadi latar belakang juga adalah adanya
masalah di kalangan umat Islam yaitu apakah benar Nabi Muhammad saw
yang telah diakui sebagai orang maksum dan berakhlak tinggi pernah
bermuka masam seperti diceritakan dalam surat ‘Abasa tersebut. Terhadap
masalah ini, ada yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad saw tidak
pernah bermuka masam dan yang bermuka masam dalam surat tersebut
6
Ar-Rifa’I dan Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir ,
Jilid 4 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 911.
7
Ibid., hlm. 194
5
adalah al-Walid bin Mughirah.8 Pandangan tersebut diatas tentunya menarik
untuk disikapi dalam bentuk penelitian. Berdasarkan pokok-pokok pikiran
tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 110 dari segi pendidikan dan diangkat menjadi skripsi dengan judul “ Studi
Analasis Tentang Nilai - Nilai Kependidikan Moral Dan Sosial Dalam AlQur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10 ”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan penulis
diatas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah :
1. Apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan sosial yang terkandung dalam alQur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 ?
2. Bagaimanakah penerapan nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam
proses pendidikan agama Islam?
Mengingat luasnya cakupan materi nilai-nilai pendidikan moral dan
sosial serta penerapannya dalam proses pendidikan agama Islam, maka
penulis membatasinya sebagai berikut ;
a. Bersikap adil dalam mendidikan.
b. Bersikap penuh rasa kasih sayang dalam mendidik
c. Menegur peserta didik secara tidak langsung, lemah lembut dan penuh
kesopanan
8
Husein al-Habsyi, Nabi Muhammad SAW Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,
(Jakarta : al-Kautsar, 1992), hlm. 12
6
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai pendidikan moral dan sosial yang
terkandung dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10
2. Untuk mengetahui penerapan nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam
proses pendidikan agama Islam.
D. Manfaat Penalitian
1. Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi dalam
dunia pendidikan untuk pengembangan ilmu pendidikan khususnya
pendidikan agama Islam
2. Praktisi ;
a. Bagi peneliti, sebagai pengalaman awal dalam rangka meningkatkan
mutu kualitas penelitian berikutnya, dan sebagai bekal dalam
meningkatkan kualitas pendidik dalam mentransfer ilmu pendidikan
agama Islam pada tahap berikutnya.
b. Bagi pendidik (guru)
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan dan
memudahkan tugas pendidik (guru) mata pelajaran agama Islam dalam
mendidik peserta didiknya di madrasah.
c. Bagi pemerhati dunia pendidikan
Sebagai sumbangsih dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik pada madrasah.
7
d. Dapat
dijadikan sebagai
informasi
guna
memperbaiki
system
pembelajaran di madrasah.
E. Kajian Pustaka
Pendidikan-kata ini juga dilekatkan kepada Islam-telah didefinisikan
secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi
pandangan dunia (weltanschauung) masing-masing. Namun, pada dasarnya,
semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam semacam kesimpulan
awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda
untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih
efektif dan efisien.9
Berhubungan dengan kompetensi, bahwa sebelum guru memilih
strategi apa yang dipakai dalam belajar yang hendak dicapai memerlukan
pemahaman-pemahaman berupa fakta, konsep, teori maupun hukum.
Pertimbangan selanjutnya adalah dari sudut peserta didik, hal yang perlu
dipertimbangkan adalah mengenai tingkat kematangan peserta didik, sesuai
dengan bakat, minat dan kondisi peserta didik khususnya. Isi pendidikan
Islam memiliki sejumlah karakteristik yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah saw sebagai sumber ajaran Islam.
Karakteristik pertama tampak pada kriteria pemilihannya, yaitu iman,
ilmu, amal, akhlak dan sosial. Dengan kreteria tersebut pendidikan Islam
merupakan pendidikan keimanan, ilmiah, amaliah, moral dan sosial. semua
9
Azmumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta : Kalimah, 2001), cet III, hlm. 3
8
kreteria tersebut terhimpun dalam firman Allah ketika menyifati kerugian
manusia yang menyimpang dari jalan pendidikan Islam, baik manusia sebagai
individu, manusia sebagai jenis, manusia sebagai generasi, maupun umat
manusia secara keseluruhan.10
Penelitian serta kajian tentang potensi yang berhubungan dengan alQur’an banyak dilakukan oleh peneliti. Bahkan beberapa karya ilmiah dan
buku-buku yang relevan dengan sebuah permasalahan yang dikaji banyak
memberikan masukan yang lebih dalam rangka mengkaji dan memahami
secara komprehensif. Di antara karya ilmiah yang sangat mendukung dalam
kajian penelitian ini antara lain ;
Pertama, “Implikasi fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam (Q.S. arRum : 30)”. oleh Mukti Anshari. Peneliti dalam hal ini banyak
mengungkapkan tentang potensi manusia beragama, khususnya untuk
diwujudkan dalam dunia pendidikan agama Islam dan untuk dikembangkan
dalam rangka mencetak manusia menjadi insan kamil, alasannya manusia
pada dasarnya mempunyai fitrah dalam kebaikan dan keburukan.
Kedua, Konsep Al-Qur’an tentang Fitrah Manusia dan Implikasinya
dalam Pendidikan Islam”, diteliti oleh Anis Saifuddin. Kajian penelitian ini,
menelaah mengenai potensi yang terdapat pada manusia bersifat universal
yaitu jasmani, ruhani, nafsu, rasio dan akal untuk diaktualisasikan dalam
pendidikan Islam memberikan rangsangan positif terhadap peserta didik.
10
Suparta dan Hery Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Amissco,
2008), cet II, hlm. 101
9
Ketiga, “Konsep al-Qur’an tentang Pengembangan Potensi Melalui
Pendidikan Surat al-Baqarah 164 dan 129, Shaat 29, al-A’raf 179 dan AsShaffat 102”, oleh M. Chowi. Peneliti dalam mengkaji ini menyimpulkan
tentang potensi akal yang merupakan dimensi rohaniah manusia yang ada
sejak dilahirkan yang bertujuan untuk mengkaji kebenaran realitas kehidupan.
Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan tentang pengembangan beberapa
potensi manusia, tetapi penelitiannya hanya difokuskan pada potensi akal
saja.
Keempat, skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam
Surat al-Maidah Ayat 2” disusun oleh Munasifah. Dalam skripsi tersebut
diterangkan bahwa al-Qur'an menyuruh kita bertolong-tolongan terhadap
segala yang memberi manfaat kepada umat, baik mengenai dunia maupun
mengenai akherat. Dan inilah sebabnya badan-badan sosial dan perkumpulanperkumpulan keagamaan sangat diperlukan dalam masa kini. Kegiatankegiatan memberi pertolongan di awal Islam, dilakukan tanpa bentuk
organisasi, karena semua mereka terikat dengan janji Allah. Adapun pada
masa sekarang ini maka perlu kita membentuk badan-badang sosial agar
seruan itu mendatangkan hasil. Berbaktilah kepada Allah hai segala manusia
yang berjalan menurut sunnahnya yang telah diterangkan dalam al-Qur'an dan
dalam undang-undang kejadian dalam alam ini; bahwasannya Allah itu maha
keras siksa-Nya. Oleh karena itu janganlah kamu menyalahi perintah-Nya.
Siksa Tuhan melengkapi siksa dunia dan siksa akherat.
10
Kelima, skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Edukatif dalam Al-Qur'an
Surat al-Fatihah dan Implemtasinya dalam Pendidikan Islam” disusun oleh
Jarir Syakif. Skripsi itu pada intinya menerangkan bahwa di dalam jamaah
dididik hidup yang berdisiplin. Jamah mempunyai imam dan selebihnya
menjadi makmun. Bahkan di zaman nabi dan sahabt-sahabatnya, imam
sembahyang berjamaah ialah nabi, khalifah-khalifah, gubernur di tiap-tiap
negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya
seperti ketika rukuk dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits yang
mengatakan bahwa barang siapa yang mengangkat kepalanya terdahulu dari
pada imam mengangkat kepala, maka kepalanya itu akan berganti menjadi
kepala keledai. Al-Fatihah mendidik kita memakai adab sopan santun yang
tertinggi. Adab sopan santun yang tertinggi itu dimulai terhadap kepada
Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam
masyarakat.
Keenam, skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Akhlak dalam alQur'an Surat Luqman Ayat 13 sampai 18” . Disusun oleh Zubaidi. Dalam
penelitiannya penyusun skripsi itu mengambil kesimpulan bahwa dalam ayatayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah memberikan hikmah pada
Luqman. Kemudian Allah menerangkan pengajaran yang diberikan oleh
Luqman kepada anaknya dan dalam celah-celah pengajaran Luqman itu Allah
menerangkan beberapa perintah umum yang harus dilakukan oleh asng anak
dalam memperlakukan orang tuanya dan kewajiban mereka dalam
memelihara hak-hak Allah.
11
Berbeda dengan penelitian tersebut, maka peneliti dalam hal ini hanya
lebih memfokuskan pada nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam alQur’an surat ‘Abasa 1-10 untuk diimplementasikan dalam dunia pendidikan
yang bertumpa pada pendidik dan peserta didik. Adapun nilai-nilai moral dan
sosial yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain ;
1. Bersikap adil dalam mendidik.
2. Bersikap penuh rasa kasih sayang dalam mendidik
3. Menegur peserta didik secara tidak langsung, lemah lembut dan penuh
kesopanan ketika mendidik
Pendidikan
moral
dan
sosial
dalam
Islam
mulai
dengan
pengembangan mental individu dari aspek inisiatif dan tanggung jawab
individual yang merupakan dasar tanggang jawab secara kelompok di mana
setiap individu bertanggung jawab terhadap yang lain. Pendidikan moral dan
sosial merupakan aspek penting dalam pendidikan Islam karena manusia
menurut tabiatnya, dalam arti sesuai dengan hukum penciptaan Allah, adalah
makhluk sosial11. Allah swt firmannya Q.S. al-Hujurat 13 ;
         
           
Artinya : “ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
11
Ibid., hlm.146
12
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(Q.S. al-Hujurat : 13) 12
Firman Allah swt tersebut sekaligus menunjukkan bahwa proses
pendidikan berpusat pada manusia sebagai sasaran taklif, yaitu dalam proses
moral dan sosial yang menuntut kerja sama masyarakat di berbagai lapangan
kehidupan.
F. Metode Penelitian
1. Sumber data
Sumber data dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakkan dua
sumber yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer meliputi
pembahasan teks dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10, ayat-ayat alQur’an, kitab-kitab tafsir yang relevan tentang materi nilai-nilai
pendidikan moral dan sosial. Sumber data sekunder meliputi buku-buku
yang ada kaitannya dengan materi nilai-nilai pendidikan moral dan sosial.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data yang sesuai digunakan riset
kepustakaan (library research) yaitu dengan cara membaca dan
mempelajari kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan buku-buku yang lain
yang ada kaitannya dalam pembahasan skripsi. kemudian ditelaah,
dipahami dan diajukan pada pembimbing dan diambil intisarinya sehingga
menjadi karya tulis yang bernilai ilmiah.
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press,
1989), hlm.412
12
13
3. Metode Analisis Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode analisis isi (content
analysis), yaitu : “telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumendokumen sebagai sumber data. meskipun dokumen biasanya berisi kalimat
tertulis atau tercetak, tetapi sebenarnya tidaklah terbatas.13
Metode analisis isi ini, penulis gunakan dalam menelaah data yang
sumbernya bisa dari barang, cetakan, buku teks, buku pelajaran dan lain
sebaginya yang berhubungan dengan materi nilai-nilai pendidikan moral
dan sosial. Disamping menggunakan tersebut, penulis juga menggunakan
metode al-tafsir al-Tahlily, adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di
dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah
tersusun dalam mushaf.
Penulis memulai urainnya dengan mengemukakan arti kosa kata
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Adapun kitab-kitab
tafsir yang digunakan sebagai sumber dalam penelitaian ini antara lain
Tafsir Al-Maraghi oleh Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Misbah
oleh M. Quraish Shihab dan Tafisr Jalalain oleh Jaluddin al-Mahalli dan
Jalaluddin as-Suyuthi serta kitab tafsir lain yang dianggap mewakili serta
terjangkau selama penulisan skirpsi ini serta kitab-kitab tafsir yang
13
John W.Best, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 1982),
hlm. 133
14
dianggap relevan. Dalam menganalisa data-data yang ada, penulis
menerapkan beberapa metode berfikir :
a. Metode Induksi
Metode induksi adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta
yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian dari faktafakta yang khusus dan peristiwa yang kongkrit itu ditarik generalisasigeneralisasi yang mempunyai sifat umum.14
b. Metode deduksi
Metode deduksi adalah suatu cara berfikir dari pernyataan yang
bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus.15
c. Metode Komparasi
Metode komparasi adalah metode yang digunakan untuk mencari
jawaban secara mendasar tentang sebab akibat, dengan jalan
menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya suatu fenomena di masa
sekarang.16
Memiliki faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau
fenomena yang diselidiki dan membandingkan faktor satu dengan yang
lainnya.17
14
Mundiri, Logika, Diterbitkan atas kerjasama dengan Badan Penerbitan IAIN Walisongo
Semarang Press, Jakarta : Rajawali Pers, 1996), cet II, hlm.12
15
Ibid.,
16
Taufiq Rahman dkk, Panduan Belajar Sosiologi 2, (Jakarta, : Yudhistira, 2002),
hlm.28-29
17
Winarno Surahmad, Proses dan Tehnik Research, (Bandung : Tarsindo, 1972),
hlm.135-136
15
G. Sistematika Penelitian
Agar memperoleh hasil data pembahasan yang sistematis dan utuh,
maka penulisan skripsi disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan. Bab ini sabagai landasan pembahasan dan penulisan
skripsi, yang meliputi : Latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan masalah, manfaat penelitian, kajian pustaka dan metode
penelitian
skripsi
ini.
Kemudian
akhir
bab
ini
penulis
mengemukakan sistematika penulisan skripsi.
Bab II.Nilai-nilai Pendidikan Moral dan Sosial. Untuk bahan analsisis,
penulis dalam bab ini memberikan pengertian nilai, pendidikan,
moral dan sosial. Lalu bentuk nilai-nilai pendidikan moral dan sosial,
kemudian faktor-faktor yang mempengaruhi nilai-nilai pendidikan
moral dan sosial dalam pendidikan. Dalam bab ini penulis juga
mengemukakan nilai-nilai pendidikan moral dan sosial
yang
penekanannya pada pendidikan keadilan, kasih sayang dan menegur
peserta didik secara tidak langsung, lemah lembut serta penuh
kesopanan.
Bab III.Tafsir al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10. Dalam bab ini penulis
membahas apa pengertian al-Qur’an dan fungsi al-Qur’an, baru tafsir
surat’Abasa ayat 1-10 yang terdiri dari teks dan terjemahan.
Kemudian mengemukakan Asbabun-Nuzul surat tersebut yang
dilanjutkan tafsirnya. Mengenai tafsir dalam al-Qur’an surat ‘Abasa
ayat 1-10, penulis mengemukakan pendapat dari Ahmad Musthafa
16
Al-Maraghi (Tafsir Al-Maraghi), M. Quraish Shihab (Tafsir AlMisbah) , Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi (Tafisr
Jalalain) serta tafsir-tafsir yang relevan. Kemudian penulis berusaha
dengan kemampuan yang sangat terbatas mengemukakan analisisnya
terhadap tafsir dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 tersebut.
Bab IV Nilai-nilai pendidikan moral dan sosial dalam al-Qur’an surat ‘Abasa
ayat 1-10. Dalam bab ini penulis menggali dan menguraikan nilainilai pendidikan moral dan sosial serta penerapannya yang
terkandung dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam proses
pendidikan.
Bab V Penutup. Dalam bab ini penulis memberikan beberapa kesimpulan
dari uraian atau jawaban atas dua pertanyaan yang dikemukakan
dalam perumusan masalah. Setelah itu penulis memberikan saransaran yang dianggap penting untuk kemajuan pendidikan khusunya,
baru penutup, sabagai tanda berakhirnya penulisan skripsi.
BAB II
NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL
A. Pengertian Nilai-Nilai Kependidikan Moral dan Sosial
1. Pengertian Nilai
Ada beberapa pendapat mengenai batasan tentang pengertian nilai.
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia nilai adalah harga, ukuran : angka
yang mewakili prestasi; sifat-sifat penting yang yang berguna bagi manusia,
dalam menjalani hidupnya.1 Nilai merupakan sesuatu yang diyakini
kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai
merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial
untuk membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai
suatu yang ingin dicapai2.
Menurut Pepper nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau
yang buruk. Sedangkan menurut Perry nilai adalah segala sesuatu yang
menarik bagi manusia sebagai subjek. Adapun menurut Kluckhon nilai
adalah hasil pengaruh seleksi perilaku.3 Dari berbagai pendapat pengertian
di atas dapat dipahami bahwa nilai adalah segala sesuatu yang dipentingkan
manusia sebagai subjek menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang
buruk sebagai abstraksi pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman
dengan seleksi perilaku yang ketat.4
1 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Kartika, 1997), hlm. 376
2
M.Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung : CV Wacana Prima, 2008), cet ke II,
hlm. 153.
3 Edy Purwito, Sosiologi 1, (Surakarta : Widya Duta, 1995), hlm. 37
4 Ibid., hlm. 38
17
18
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara subyek dan
obyek memiliki arti penting dalam kehidupan obyek. Sebagai contoh
segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari
pada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan
kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan.
sedangkan bagi masyarakat kota, sekarang garam tidak berarti dibandingkan
dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi orang kota.
Namun demikian nilai-nilai semata-mata tidak terletak kepada subyek
pemberi nilai, tetapi di dalam sesuatu tersebut mengandung hal yang bersifat
esensial yang menjadikan sesuatu itu sangat bernilai. Tuhan mengandung
semata sifat kesempurnaan yang tiada taranya dari segenap makhluk apa
pun di jagad raya ini, garam mengandung zat asin yang dibutuhkan manusia,
dan emas emas mengandung sesuatu yang tidak akan berkarat. Apabila
unsur yang bersifat esensial ini tidak ada, maka manusia juga tidak akan
memberikan harga terhadap sesuatu tersebut.
Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk social dan secara perlahan
dinternalisasikan oleh individu ke dalam dirinya serta diterima sebagai milik
bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang
relatif stabil yang secara eksplisit atau implisit membimbing individu dalam
menentukan tujuan yang ingin dicapainya.
19
2. Pengertian Pendidikan
Secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai proses yang
mempunyai tujuan, sasaran dan target. Oleh karena itu pendidikan
hendaknya mempunyai langkah-langkah sistematis yang harus dilalui secara
bertahap oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sekedar
memperjelas pengertian pendidikan, berikut ini dikutip dari beberapa tokoh
tentang definisi pendidikan yaitu ;
a. Menurut Prof.Drs.Piet A.Sahertian pendidikan adalah usaha sadar yang
dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.5
b. Menurut Prof.Dr.Azyumardi Azra, M.A pendidikan merupakan suatu
proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.6
c. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7
Apabila penulis amati dari ketiga definisi di atas, maka nampak jelas
walaupun dikemukakan dengan rumusan yang berbeda-beda namun di sana
tidak mengandung perbedaan yang prinsipal. Pendidikan bisa diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan
5
Piet. A. Sahertian, Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), hlm.1
6
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Kalimah, 2011), hlm. 3
7
Ahmad D.Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma’arif, 1980) Cet.ke.4,
hlm.19
20
mengembangkan fitrah secara potensial (sumber daya) insan menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
Perbedaan ketiganya terletak pada penekanannya, sehingga ketiganya
saling melengkapi. Misalnya definisi Piet A.Sahertian penekannanya adalah
pada usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, kemudian Azyumardi Azra penekananya pada proses
penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan
hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Sedangkan Ahmad D. Marimba
penekananya pada bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.
Sehingga kalau ketiga definisi itu penulis padukan, maka akan
mewujudkan suatu kesimpulan diantaranya ;
a) bahwa pendidikan itu tidak lain adalah suatu usaha manusia,
b) bahwa usaha itu dilakukan atau dilaksanakan dengan adanya kesadaran,
c) bahwa usaha itu dilaksanakan oleh orang yang merasa bertanggungjawab
kepada hari depan,
d) usaha itu selalu menuju kea rah suatu tujuan tertentu (masa depan)
21
3. Pengertian Moral dan Sosial
a. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mores” yang artinya tata cara
dalam kehidupan, addat istiadat, atau kebiasaan.8 Moral merupakan kaidah
norma atau pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya
dengan kelompok sosial dan masyarakat.9 Abudin Nata mengatakan bahwa
kata moral berasal dari kata “mos-mores” yang berarti tata cara, adat
istiadat, kebiasaan dan kebijaksanaan. Moral adalah aturan yang digunakan
untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan baik atau buruk.10
Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu
oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu tersebut menjadi anggota
komunitas sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan
seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan social secara harmonis, adil,
dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang
damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Persamaan moral adalah etika yang berassal dari bahasa Yunani,
“Ethos” yang berarti kebiasaan, yaitu kebiasaan baik atu buruk. Etika adalah
suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan
8
M.Asrori, loc.cit, hlm. 155
Ibid.,
10
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 90
9
22
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkkan jalan untuk apa yang harus diperbuat.11
Maka singkatnya bahwa pokok persoalan etika ialah segala perbuatan
yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia
mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. perbuatan inilah yang
dapat dikatakan “baik dan buruk”.12 Sebagai cabang filsafat yang
mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik
an buruk, ukuran yang dipergunakan adalah akal pikiran yang sehat. Akal
sehatlah yang menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk..
Kalau moral dan etika dibandingkan, maka moral lebih bersifat
praktis, sedangkan etika bersifat teoritis, atau moral bersifat lokal, etika
bersifat umum (regional). Sedangkan dalam Isalm moral biasa dikaitkan
dengan akhlak yang berarti “budi pekerti” mengandung makna yang ideal,
tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang
mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik mungkin buruk.
Yang termasuk ke dalam pengertian positif (baik) adalah segala
tinngkah laku, tabi’at, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah,
sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain-lain sifat yang baik.
Sedangkan yang termassuk ke dalam pengertian negative adalah semua
tingkah laku, tabi’at, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat
dan lain-lain yang buruk. Yang menentukan suatu perbuatan atau tingkah
11
12
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm.3
Ibid., hlm.5
23
laku itu baik atau buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasaan atau
adat istiadat.13
Akhlak Islami yang telah diuraikan di atas, berbeda dengan moral dan
etika. Perbedaannya dapat dilihat terutama dari sumber yang menentukan
mana yang baik dan mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah
segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan norma agama,
nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain. Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak
berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama, serta nilai dan norma
masyarakat yang merugikan diri sendiri dan masyarakat. Yang menentukan
baik dan buruk suatu sikap (akhlak) yang melahirkan perilaku dan perbuatan
manusia, di dalam agama dan ajaran Islam adalah al-Qur’an yang dijelaskan
dan diuraikan oleh Rasulullah saw dengan sunnah yang kini dapat kit abaca
dalam kitab-kitab hadis.
Yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika
adalah adat istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu
tempat di suatu tempat. oleh karena itu dipandang sebagai sumbernya,
akhlak Islami yang bersifat tetap dan berlaku umat selama-lamanya,
sedangkan moral dan etika berlaku selama masa itu tertentu di suatu tempat
tertentu. konsekuensinya .(nisbi). perbedaan pengertian ini harus bisa
13
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1998), hlm. 348
24
dipahami supaya kita dapat membedakan antara sifat dan isi akhlak, moral
dan etika.14
b. Pengertian Sosial
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia sosial adalah sesuatu yang
menyangkut aspek kehidupan masyarakat.15 Mengenai pengertian sosial
adalah berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan
proses social (sosial).16 Acapkali dibedakan dua macam persoalan, yaitu
antara masalah masyarakat (scientific or social problem) dengan problem
sosial (ameliotive or social problems). Yang pertama analisis tentang
macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua
meneliti tentang gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk
memperbaiki atau menghilangkannya.
Sosiologi menyelididki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat
dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-krnyataan
kehidupan masyarakat.17 Masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian
antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan
kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginankeinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan
kepencingan ikatan sosial.18 Apabila unsur-unsur sosial yang sling berbeda
itu sudah dapat saling menyesuaikan dengan baik, maka fungsi-fungsi
14
Op.cit, hlm. 356
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya : Kartika, 1997), hlm. 500
16
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada),
edisi IV, hlm. 396
17
Ibid., hlm. 397
18
Ibid., hlm. 398
15
25
kehidupan bersama akan serasi. Jika sudah terjadi keserasian fungsi dalam
berbagai segi kehidupan, maka keteraturan sosial akan terwujud.19
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa
yang dimaksud nilai-nilai kependidikan moral dan social adalah segala
usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai atau
sesuatu yang dipandangnya berharga mengenai perbuatan, sikap, kehendak,
budi pekerti, perangai, sifat, akhlak, dan adat kebiasaan baik dan buruk di
dalam masyarakat dan kebudayaan.
B. Bentuk-bentuk Nilai Pendidikan Moral dan Sosial
Ditinjau dari sudut pandangan pendidikan, tujuan pendidikan sering
bersifat sangat umum seperti “menjadi manusia yang baik”, “yang bertanggung
jawab”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi kepada
masyarakat”, dan sebagainya.20 Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah
untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia
yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.
Persoalan manusia baik adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan
fakta dan kebenaran ilmiah rasional, akan tetapi menyangkut masalah
penghayatan dan pemahaman dan pengamalan yang lebih bersifat efektif dari
pada kognitif. Persoalan menjadikan manusia menjadi baik tidak hanya
wilayah pendidikan, melainkan hanya menjadi tanggung jawab semua jenis
pendidikan, baik pendidikan rasional, tehnologi, ekonomi, maupun pendidikan
jasmani.
19
20
Edy Purwito, Sosiologi, (Surakarta : Widya Duta, 1995), hlm.45
Nasution, Teknologi Pendidikan, (Bandung : Bumi Aksara, 1982), hlm. 17
26
Kewajiban mengimplikasikan nilai dalam semua jenis pendidikan,
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari tujuan pendidikan untuk
menjadikan manusia menjadi baik. Dalam pembahasan nilai ini penulis akan
menjelaskan tentang nilai-nilia kependidikan moral dan sosial yang terkandung
dalam macam-macam nilai ditinjau dari segi pendekatan proses budaya antara
lain :
1. Nilai Adil
Adil itu ada dua macam. Yang pertama mensifati perseorangan dan
yang kedua mensifati masyarakat atau pemerintah.21 Adil perseorangan
ialah memberi hak kepada yang mempunyai hak, karena tiap-tiap orang
sebagai anggota masyarakatmempunyai hak untuk merasakan kebaikan
yang didapat oleh masyarakat.
Bila orang mengambil haknya dengan tiada melebihi dan memberi hakhak orang dengan tiada mengurangi maka itu adalah adil. Mencuri itu adalah
dlalim karena mengambil hak orang lain, atau tiada memberi haknya, begitu
pula penjual yang menimbang untuk pembeli kurang dari semestinya adalah
dlalim, karena ia tiada memberi hak pembeli.22
Lawan adil yang paling besar ialah “berat sebelah” yakni keinginan
manusia pada salah satu dua barang yang sama, keinginan mana yang
menimbulkan dan memberikan haknya lebih banyak dan mengurangi hak
orang lain. Di dalam hal adil ini, Allah swt berfirman :
21
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Alihbasa Farid Ma’ruf, (Jakarta : Bulan Bintang,
1975), cet ke VI, hlm. 237
22
Ibid., h. 238
27
       
…   
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan…. (Q.S. Al-Hadied : 25).23
Banyak orang-orang yang berlaku serat sebelah kepada lainnya,
karenanya ia memberi hukaman salah, sedang ia tidak merasa bahwa ia
berlaku berat sebelah, bhakan berkeyakinan adil menurut pandangannya.
Oleh karena itu wajib bagi manusia menyelidiki dirinya dan berlaku hatihati jangan sampai jatuh salah.24
2. Nilai Belas Kasih
Banyak orang berkata : “Belas kasih diatas keadilan”. Dengan kata ini
mereka bermaksud bahwa pekerjaan yang digerakkan oleh rasa belas kasih
itu lebih utama dari pekerjaan yang dilakukan menurut keadilan saja. Pada
umumnya kata ini tidak benar, bahkan terkadanag salah terkadang benar.
mari amati contoh dari apa yang dipergunakan dalam kata-kata ini.
a. Seorang
guru
di
suatu
madrasah/sekolah,
tidak
cakap
dalam
pekerjaannya, tidak pandai mengajar dan memberi faedah kepada peserta
didiknya, karenanya ia tidak akan dipergunakan lagi, akan tetapi ia
seorang yang telah berusia tua, miskin dan mempunyai keluarga, maka
23
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Gema Risalah Press,
1989), hlm. 904
24
Ahmad Amin loc.cit.,
28
dikatakan : “Belas kasih diatas keadilan”, berarti menurut keadilan dia
harus dilepas, sedangkan menurut belas kasih mengharuskan ia tetap
dalam pekerjaannya.
Akan tetapi di dalam soal ini, wajib bagi kita mempergunakan keadilan,
bukan belas kasih, maka keadilan di sini adalah di atas belas kasih,
karena kerugian yang didapati peserta didik melebihi dari kerugian yang
mengenai guru dan keluarganya.
Madrasah/sekolah itu bukan tempat mencari rizki dengan tidak ada
kecakapannya, bahkan ia mengambil gajinya, karena dilihat dari buah
pekerjaannya, maka bila pekerjaannya tidak baik tidak berhak menerima
gaji. Kalau dikatakan bahwa ia seorang miskin dan mempunyai keluarga
yang menjadi tanggungannya, seharusnya ia menerima kebaikan dari
orang lain, dengan semua itu, maka dikatakan bahwa kebaikan itu tidak
dari madrasah/sekolah tetapi dari perhimpunan sosial.
b. Seorang pencuri tertangkap sedang mengambil dompet, lalu ia meminta
kepada orang banyak supa diberi belas kasih dan menangis agar
dilepaskan, maka mereka berkata : “Belas kasih di atas keadilan”. Kata
ini tidak benar juga, karena hukuman kepada pencuri itu haknya bangsa
seluruhnya, dan segolongan saja tidak dapat memberi ampunan
c. Seorang di penjara dengan dhalim, akan diberi ampun, maka dikatan :
“Belas kasih di atas keadilan”. Ini juga salah, karena keadilan
memastikan untuk tidak dipenjara. Maka belas kasih dan keadilan itu
sama tuntutannya, dan bukan belas kasih di atas keadilan.
29
Diantara beberapa soal, mempergunakan kata-kata ini ada benarnya,
seperti engkau menghutangi orang lain, engkau belas kasih kepadanya dan
lalu engkau lepaskan hutang itu engkau undurkan waktu membayarnya
sehingga ia kuasa mengembalikannya. Menurut keadilan engkau mengambil
hutang itu dan belas kasih harus hutang itu engkau lepaskan atau undurkan
masa membayarnya, karena belas kasih di atas keadilan.
Pendeknya kata-kata itu benar, lalu ia melepaskan belas kasih itu yang
memiliki hak kkeadilan, lalu ia melepaskan haknya dan memberi belas kasih.
Adapun memberi belas kasih sedang keadilan itu milik orang lain, adalah
semata-mata salah, sebagaimana yang telah kami contohkan.25
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendidikan Moral dan Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai-nilai pendidikan moral dan
sosil dalam proses pendidikan adalah faktor intern dan faktor ekstern.
1. Faktor Intern (keturunan atau bakat)
Dalam masalah keturrunan sebagai salah satu factor pembentukan
moral atau akhlak yaitu ada pribahasa jawa “kacang mongso ninggalo
lanjaran” artinya orang berbuat pasti ada bekasnya. Maka sudah menjadi
keyakinan dari umat manusia bahwa faktor keturunan mempunyai
pengaruh pada keturunnya di dalam berbagai macam keadaan antara lain
jasmaniah, akal dan akhlaknya.
Akhlak seseorang dipandang baik atau tidak ditunjukkan oleh
perilaku seseorang itu tersebut. Akhlak itu lahir sekaligus bersumber dari
25
Ahmad Amin, op.cit., hlm. 247
30
akidah. jika akidahnya seseorang mantap maka akhlak yang dinyatakan
dalm perbuatannya seseorang akan baik. 26
Di dalam al-Qur’an pun ada ayat-ayat yang mendukung tentang
pengaruh faktor keturunan ini ,yaitu adanya pengaruh keturunan pada
akhlak seseorang seperti tersirat dalam firman Allah swt tentang kisah Siti
Maryam,
           
           
Artinya : “Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan
menggendongnya.
kaumnya
berkata:
"Hai
Maryam,
Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang Amat
mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali
bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah
seorang pezina".27 (QS Maryam : 27-28)
Menurut pendapat penulis dan kebayakan pendapat yang mendekati
kenyataan adalah bahwa keturunan itu bukan faktor satu-satunya untuk
membentuk jasmani, akal dan moral (akhlak), melainkan pendidikan
formal dan nonformal juga sangat menentukannya.
2. Faktor Ekstern
a. Rumah tangga (keluarga)
Keluarga atau rumah tangga merupakan sumber yang banyak
mempengaruhi dan memberikan dasar-dasar bagi pendidikan bagi
26
Muta’alimah dan Ali Muqaddas, Membangun karakter Bangsa Melalui Akidah dan
Akhlak, pengantar Dr.HLM. Abdul Muhaya , MA, (Semarang : Rafi Sarana Perkasa, 2014), hlm.6
27
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : PT Karya Toha
Putra, 1996), hlm.245
31
seseorang dan merupakan factor yang sangat penting dalam
pembentukan mental dan moral (akhlak). Sebab sebelum seseorang
(anak) keluar dari lingkungan keluarganya, terlebih dahulu dia
menerima pengalaman-pengalaman dari keluarganya di rimah, terutama
dari ibu dan ayah terlebih lagi dari pendidikan yang datang dari ibu.
Sebagaimana telah pernah dikemukakan bahwa, mental serta
moral (akhlak) seseorang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang
sampai kepadanya, baik disadari ataupun tidak disadari, semuanya
menggabung menjadi satu membentuk mental dan kepribadian
(moral/akhlak) seseorang tersebut.
Maka dalam hal ini setelah manusia lahir ke dalam dunia secara
tidak langsung si bayi menerima perlakuan dari ibu dan ayahnya.
Disadari pula semua hal yang sampai kepada si anak akan menjadi
bahan pembentukan mental dan kepribadian (moral/akhlak). Maka
manusia yang pertama kali menerima pengalaman itu adalah ibu dan
ayah sebagai contoh utama bagi anak-anaknya dalam sebuah keluarga.
Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibtuhkan
oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan
rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk
menyatakan diri.28 Adapun faktor ibu dan ayah paling mempengaruhi,
sebagai pengalaman-pengalaman pertama bagi si anak. Karena itu
kewajiban mendidik anak adalah terletak pada keduanya yaitu ibu28
hlm. 113
Asrori Mohammad, Psikologi Pembelajaran, (Bandung : CV Wacana Prima, 2008),
32
ayahnya. Pendidikan ini akan membekas pada mental si anak.
sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah saw ,
‫ﻣﺎ َ ِﻣنْ ﻣ َْوﻟ ًْو ٍد ِاﻻﱠ ﯾ ُْوﻟَ ُد ﻋَ ﻠَﻰ ا ْﻟﻔِطْ رَ ِة َﻓﺄَﺑ ََواهُ ُﯾﮭَوﱢ دَ اﻧِ ِﮫ‬
(‫أ َْو◌ُ ﯾ َﻧﺻﱢرَ اﻧِ ِﮫ أَو ُﯾﻣَﺟﱢ ﺳَﺎ ِﻧ ِﮫ )روه ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya : “Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka kedua ibu
bapaknyalah yang menyahudikan atau mensaranikan atau
memajusikannya”. (HR Muslim).29
Hadits ini menunjukkan dengan adanya peranan orang tua yaitu
ibu bapak dalam mengarahkan mental dan moral (akhlak) seseorang
disengaja maupun tidak disengaja. Secara fitrahnya, sesungguhnya
tidak ada orang tua yang tidak pernah sayang kepada anak-anaknya, dan
demikian pula anak kepada kedua orang tuanya. Namun apabila salah
langkah dalam pembentukan dan mengisinya akan terjadi hal-hal yang
sebaliknya.
Dengan kata lain, yang dibutuhkan oleh remaja dalam
perkembangan hubungan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga
yang kondusif. Jadi, iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga
unsur ;
1. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga
lainnya
2. Karakteristik khas itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam
keluarga itu (termasuk remajanya)
29
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Toha Putra, tt), hlm. 458
33
3. Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala kelaurga, sikap, dan
harapan individu dalam keluarga tersebut.30
Diantara cara-cara yang patut digunakan oleh keluarga dalam
mendidik anak-anaknya dari segi sosial menurut hemat penulis antara
lain ;
1. Memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya dalam tingkah laku
sosial yang sehat berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama
2. Menjadikan rumah sebagai tempat dimana terciptanya hubunganhubungan sosial yang menciptakan rasa kassih sayang, rasa aman
dan penuh kedamaian
3. Membiasakan anak-anaknya secara berangsur-angsur berdiri dan
memikul tanggung jawab dan membimbingnya jika ada kesalahan
dengan penuh kasih sayang
4. Menjauhkan mereka adri sifat manja dan berfoya-foya dan jangan
menghina dan merendahkan mereka dengan kasar, sebab sifat
memanjakan dan kekerasan itu merusak kepribadian anak-anak
5. Memperlakukan mereka dengan rasa kasih sayang dan lemah lembut
dengan menghormatinya di depan kawan-kawannya dan lingkungan
masyarakat.
6. Menolong anak-anaknya menjalin persahabatan dengan seseorang
dengan memuliakannya, sebab manusia turut menjadi baik karena
berkawan dengan orang baik pula.
Asrori Mohammad ,op., cit, hlm. 114.
30
34
7. Menggalakkan mereka mendapatkan kerja yang dapat menolong
mereka bisa menepa hidup dikemudian harinya
8. Membiasakan mereka hidup sederhana supaya lebih siap dalam
menghadapi kesulitan hidup yang akan datang
9. Bersifat adil dan kasih sayang diantara mereka
10. Membiasakan mereka cara-cara Islam dalam pergaulan sehari-hari,
seperti makan, minum, tidur, memberi salam, silaturrahmi serta
masuk rumah dan kegiatan hidup yang baik.
b. Sekolah
Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosial
individu dalam rangka pengembangan kemampuan hubungan sosialnya
dan sekaligus sebagai faktor lingkungan baru yang sangat menantang
atau bahkan mencemaskan bagi dirinya. Para guru dan teman-temaa
sekelas membentuk suatu system yang kemudian menjadi semacam
lingkungan norma baru.31
Sebagaimana dalam lingkungan keluarga, maka lingkungan
sekolah juga dituntut mampu menciptakan ilklim kehidupan sekolah
yang kondusif bagi perkembangan social remaja. Sekolah merupakan
salah satu lingkungan di mana remaja hidup dalam kesehariannya.
Sebagaimana dalam keluarga, Sekolah juga memiliki potensi untuk
memudahkan atau menghambat perkembangan sosial remaja.32
31
32
Ibid, hlm. 115
Ibid, hlm. 116
35
Lingkungan sekolah yang kurang positif iklim kehidupannya
dapat menciptakan hambatan-hambatan bagi perkembangan hubungan
sosial remaja. Sebaliknya, sekolah yang iklim kehidupannya bagus
dapat memperlancar atau bahkan memacu perkembangan hubungan
sosial remaja.
Selama tidak ada pertentangan, maka selama itu pula anak tidak
akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. Namun, jika
salah satu kelompok lebih kuat daripada lainnya, maka anak akan
menyesuaikan dirinya dengan kelompok di mana dirinya dapat diterima
dengan baik.
Ada empat tahap proses pengembangan hubungan sosial yang
harus dilalui oleh anak, yaitu ;
1. Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain, menghargai dan
menghormati hak orang lain
2. Anak dituntut untuk mentaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan
diri dengan norma-norma kelompok
3. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi
sosial berdasarkan azas saling memberi dan menerima
4. Anak dituntut untuk bisa saling memberi dan menerima dengan
orang lain.33
Dari urain di atas penulis dapat memberi kesimpulan bahwa
sekolah merupakan factor yang penting disamping faktor-faktor yang
33
Ibid.,
36
lainnya. Sebab sekolah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran
didalamnya memberiakn pendidikan kepada peserta didik untuk
menyalurkan dan mengembangkat bakat yang ada pada peserta didik
seta membimbing dan mengarahkan bakat tersebut agar bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat umunya dengan baik.
c. Lingkungan Masyarakat
Selain faktor rumah tangga (keturunan) dan faktor sekolah,
faktor lingkungan juga sebagai sumber yang banyak memberikan
pengaruh bagi perkembangan remaja. Salah satu masalah yang dialami
remaja dalam proses pengembangan hubungan sosialnya adalah bahwa
tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja.
Di satu sisi remaja dianggap sudah benar, tetapi kenyataannya di
sisi lain mereka tidak diberi kesempatan atau peran sebagai orang yang
sudah dewasa. Untuk masalah-masalah yang dipandang penting dan
menentukan, remaja masih sering dianggap anak kecil atau dianggap
belum mampu sehingga sering menimbulkan kekecewaan atau
kejengkelan pada remaja. Keadaan semacam ini sering menjadi
penghambat perkembangan hubungan sosial remaja.34
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan
beajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat
orangtua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan
demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberi dampak
34
Ibid.,
37
baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai
oleh siswa.35
Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan diluar
rumah tangga tempat kita hidup sehari-hari, tempat kita bergaul atau
sekitar di kanan dan kiri kita. Seseorang yang hidup dalam lingkungan
yang baik secara langsung atau tidak langsung akan dapat kesiraman
nama baik baginya, dan sebailknya orang yang hidup dalam suatu
lingkungan yang buruk, dia akan terbawa buruk walaupun dia sendiri
umpamanya tidak melakukan keburukan itu.
Hal demikian biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara
hidup orang tersebut dikemudian harinya. Karena itu pula ajaran Islam
mengajarkan agar memilih tempat tinggal yang baik untuk tempat
tinggal kita berumah tangga sebelum kita menempatinya, supaya
meneliti apakah lingkungannya cocok untuk berumah tangga atau tidak,
jangan membawa pengaruh buruk bagi keluarga dan anak-anak. Nabi
Muhammad saw bersabda ;
‫ﻖ وَ اﻟﺰﱠا ُد ﻗَﺒْﻞَ اﻟﺮﱠﺣِ ْﯿ ِﻞ‬
ِ ‫ﻖ ﻗَﺒْﻞَ اﻟﻄﱠﺮ ْﯾ‬
ُ ‫أ◌َ ◌َ ﻟْﺠﺎَ ُر ﻗَﺒْﻞَ اﻟﺪﱠا ِر وَ اﻟ ﱠﺮﻓِ ْﯿ‬
Artinya : “(carilah) tetangga sebelum berumah tangga, dan (carilah)
teman sebelum bepergian dan (carilah) bekal
seperjalanan”.36
Hadits ini memberikan tuntunan dan petunjuk kepada kita
apabila hendak mendirikan rumah, atau membeli rumah untuk tempat
138-139
35
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet III, hlm.
36
Al-Sayuthi, Al-Jami’ul al-Shaghir, Juz I, hlm. 297
38
tinggal, atau kita akan mengisis rumah untuk tempat tinggal hendaknya
memperhatikan siapa tetangga yang ada disekitar kita, bagaimana
akhlak tetangga kita. Sebab kalau bertetangga dengan yang tidak baik
akhlaknya akan mempengaruhi dalam kehidupan selanjutnya.
Dengan demikian, iklim kehidupan masyarakat memberikan
sumbangan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja.
Apabila, remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan trend
yang sedang berkembang dalam masyarakat agar tetap selalu merasa
dipandang trendy.37
37
Asrori Mohammad , op,.cit, hlm. 117
38
BAB III
TAFSIR AL-QUR’AN DALAM SURAT ‘ABASA AYAT 1-10
A. Pengertian dan Fungsi Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
a. Pengertian Menurut Bahasa
Al-qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw sebagai pedoman hidup bagi muslim dan petunjuk
bagi manusia. Kata al-Qur’an berasal dari kata qara’a–yaqra’u–
qiraa’atan dan qur’aanan yang berarti bacaan atau dibaca.1
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan definisi
al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al-qur’an
adalah masdar yang diartikan dengan isim maf’ul yaitu maqru = yang
dibaca.2 Dari uraian pendapat di atas, didukung oleh ayat al-Qur’an
yang memiliki arti demikian yaitu ;
        
Artinya : “ Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila
Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. (QS Al-Qiyamah : 17-18) 3
1
St Chamamah Suratno, Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam Modern, (Yogyakarta : PT
Dana Bhakti Prima Yasa, 2003), jilid 1, hlm. 28
2
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.1
3
Departeman Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Karya
Toha Putra), hlm. 461
39
b. Pengertian Menurut Istilah
Allah swt menamakan kitab yang diturunkan-Nya kepada nabi
Muhammad saw, untuk disampaikan kepada umat dengan beberapa
nama, di antara yang popular ialah Al-Kitab dan Al-Qur’an.4 Pengertian
al-Qur’an secara istilah banyak dikemukakan oleh para ulama dari
berbagai keahlian, baik dari ulama bahasa, ulama ushul, ulama’ fiqih,
dan ulama mutakallimin. Definisi-definisi dimaksud sudah tentu satu
dengan yang lainnya berbeda, karena penekanannya berbeda-beda
disebabkan oleh perbedaan keahlian mereka itu.
Namun mereka semua sependapat bahwa pengertian pokok yang
terkandung dalam istilah al-Qur’an (‫ ) أﻟﻘرأن‬adalah :
‫ﷲُ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َم ﻣِنْ أَوﱠ لِ ا ْﻟﻔَﺎﺗِﺣَ ِﺔ‬
ّ ‫ﺻﻠﱠﻰ‬
َ ‫ظ اﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ ﻣُﺣّ ّﻣ ٍد‬
ُ ‫أﻟّﻠَ ْﻔ‬
ِ‫اِﻟﻰ أَﺧِرِ ﺳ ُْورَ ِة اﻟﻧﱠﺎس‬
Artinya : “Lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, mulai
dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas”.5
Perbedaan pendapat yang ada di antara mereka adalah
memberikan pokok rincian tentang sifat-sifat yang terdapat di dalam
pengertian pokok tersebut. Diantara mereka ada yang memberikan
perincian yang singkat atau sederhana, ada yang tidak terlalu pendek
dan tidak terlalu panjang, ada pula yang relatif panjang.
4
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ibid.,
Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Mesir : Isa
al-Halaby, tth), juz I, hlm.14
5
40
Para ulama yang memberikan rincian sederhana , tentang definisi
al-Qur’an menurut mereka yaitu :
‫َﻛﻼَ ُم ا ْﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ ﻣُﺣَ ﱠﻣ ٍد ﺻَﻠﻰ ﷲ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم اﻟ َﻣ ْﻛﺗ ُْوبُ ِﻓﻰ‬
‫ا ْﻟ َﻣﺻَﺎﺣِفِ اﻟ َﻣ ْﻧﻘ ُْو ُل ﺑِﺎﻟﺗ َﱠواﺗُرِ اﻟ ُﻣ َﺗ َﻌ ﱠﺑ ُد ﺑِ ِﺗﻼ ََو ِﺗ ِﮫ‬
Artinya : “Kalam (Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., yang dinukilkan secara mutawatir dan membacanya
merupakan suatau ibadah.6
Sedangkan para ulama yang memberikan rincian tidak terlalu
pendek dan tidak terlalu panjang, definisi al-Qur’an menurut mereka
adalah ;
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ َوﺳَﻠ َم‬
َ ‫أ ْﻟﻘُرْ أن ھ َُو اﻟ َﻛﻼَ ُم اﻟﻣُﻌْ ِﺟ ُز اﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ اﻟ ﱠﻧﺑِﻲ‬
‫ﻼ وَ ِﺗ ِﮫ‬
ِ ‫اﻟ َﻣ ْﻛﺗ ُْوبُ ﻓِﻲ اﻟ َﻣﺻَﺎﺣِفِ اﻟ َﻣ ْﻧﻘ ُْو ُل ﺑِﺎاﻟﺗ َﱠواﺗُرِ اﻟ ُﻣ َﺗ َﻌ ﱠﺑ ُد ِﺑ ِﺗ‬
Artinya : “ Kalam Allah yang mengandung I’jaz yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, yang termaktub dalam
mushaf-mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir dan
membacanya merupakan suatu ibadah”.7
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa definisi yang baik
dan yang mencakup unsur-unsur pokok tentang rincian al-Qur’an
adalah yang dikemukakan oleh Dr.Subhi al-Shalih tersebut. Dan yang
memberikan
yang
relatif
panjang
tentang
definisi
al-Qur’an
dikemukakan oleh M. Ali al-Shabani yaitu ;
6
Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, opcit., hlm.15
Subhi al-Shalih, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Alam lil Malain, 1977),
cet ke 9, hlm 21
7
41
‫ﻼ ُم ﷲ اﻟﻣُﻌْ ِﺟ ُز اﻟ ُﻣﻧَزﱠ ُل ﻋَﻠﻰ ﺧَ ﺎ ﺗَمِ اﻵَ ْﻧ ِﺑﯾَﺎ ِء َوا ْﻟﻣُرْ َﺳﻠِ ْﯾ ِن ﺑ َِواﺳ َط ِﺔ‬
ِ ‫َﻛ‬
‫ اﻟ َﻣ ْﻛﺗ ُْوبُ ﻓِﻰ ا ْﻟ َﻣﺻَﺎﺣِفِ اﻟ َﻣ ْﻧﻘُوُ ُل‬,‫اﻵ ِﻣ ْﯾ ِن ِﺟﺑْرِ ﯾْل َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ اﻟ ﱠﺳﻼَ َم‬
‫ِاﻟَ ْﯾﻧَﺎ ﺑِﺎ ﻟﺗ َﱠواﺗُرِ اﻟ ُﻣ َﻌ ﱠﺑ ُد ِﺑ ِﺗﻼ ََو ِﺗ ِﮫ اﻟ َﻣ ْﺑدُو ُء ِﺑﺳ ُْورَ ِة اﻟﻔَﺎﺗِﺣ ِﺔ اﻟﻣُﺧْ َﺗ َﺗ ﱡم‬
ِ‫ِﺑﺳ ُْورَ ِة اﻟﻧّﺎس‬
Artinya : “Kalam Allah yang mengandung I’jaz yang diturunkan
kepada penutup Nabi dan Rasul (Nabi Muhammad saw)
melalui perantara malaikat jibril as yang termaktub dalam
mushaf-mushaf yang dinukilkan dengan surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat an-Nas”’8
2. Fungsi Al-Qur’an
Dalam pembahasan fungsi al-Qur’an ini penulis membahas bahwa
al-Qur’an sebagai sumber pendidikan diantaranya ;
a. Al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan akal
pikirannya.
Manusia dan hewan sama-sama menikmati fungsi pancaindera.
Manusia berbeda dari hewan karena akal budi yang dianugerahkan
Allah dan kemampuan berpikir yang memungkinkannya untuk
mengadakan tinjauan dan pembahasan terhadap berbagai hal dan
perintiwa, menyimpulkan hal-hal yang umum dari bagian-bagian, dan
menyimpulkan berbagai kesimpulan dari premis-premis.9
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia ditunjuk oleh Allah
swt untuk menjadi khalifah di muka bumi. Penunjukkan Allah swt
tersebut tercantum dalam surat Al-An’am ayat 165 :
8
9
Muhammad Ali al-Sabani, Al-Tibyan Fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Irsyad, tth)
Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Pustaka, 1985), hlm. 147
42
       
          
   
Artinya : “ dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am :
165) 10
Sebagai khalifah (penguasa) di bumi manusia memiliki
tanggungjawab untuk mengelola alam sekitarnya. Untuk memperoleh
kemampuan itu manusia harus mengenal alam sekitarnya dengan
sebaik-baiknya, manusia harus sering mengamati alam sekitarnya, serta
mengingat-ingat gejala-gejala yang ia lihat pada pengamatan itu.
Sehubungan dengan keharusan manusia untuk mengenal alam
sekitarnya dengan baik agar dapat mengelola alam sekitarnya, Allah swt
melalui al-Qur’an menyuruh manusia untuk mempergunakan akal
pikirannya. Al-qur’an memberi petunjuk kepada manusia dalam setiap
tahap kehidupan. Dengan demikian kita dapat berharap untuk
menurunkan dasar-dasar petunjuk dari al-Qur’an bagi riset-riset yang
dilakukan dalam ilmu-ilmu kealaman.11
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, ( Semarang : PT Karya
Toha Putra, 1996), hlm. 119
11
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur,an, Pengantar : Haidar Bagir
(Bandung : Mizan Media Utama, 2001), cet. XII, hlm. 118
43
Berikut ini penulis cantumkan
beberapa ayat yang menyuruh
manusia untuk mempergunakan akal pikirannya :
         
       
Artinya : “dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar
kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan
di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda
kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.
(QS Al-An’am 97)12
Menurut M.Suparta, MA dan Herry Noer Aly, MA mengatakan
bahwa
pandangan
Islam
terhadap
ilmu
pengetahuan
bersifat
komprehensif karena lahir dari prinsip kesatuan yang merupakan aspek
penting di dalam konsep Islam. Atas dasar itu, Islam mendorong
manusia untuk mempelajari setiap pengetahuan yang bermanfaat bagi
dirinya, masyarakatnya, dan sesama umat manusia, baik dalam lingkup
pengetahuan kesyari’atan maupun pengetahuan social, kealaman,
ataupun pengetahuan lannya.13
Kemampuan manusia untuk berpikir inilah yang membuatnya patut
diberi kewajiban untuk melaksanakan beragai ibadah dan memikul
tanggungjawab pemilihan dan kehendak.14 Anjuran tersebut tampak
12
Departeman Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, (Semarang : PT Toha
Putra, 1996), h, 111
13
HLM.M.Suparta dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta :
Amissco, 2008), cet 2, hlm. 128
14
Utsman Najati, Ibid., 147
44
pada firman Allah swt yang bisa kita ambil pelajarannya yaitu sebagai
berikut ;
          

   
Artinya : “ Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia
diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang
keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada
perempuan.(QS At-Tariq : 5-7) 15
Dalam ayat yang lain Allah swt menegaskan dengan firman-Nya
Q.S. al-Ghasyiah 17-21 ;
 

      
    
  
        
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
Dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?. Maka berilah peringatan,
karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan”. (Q.S. al-Ghasyiah 17-21)16
Ayat tersebut memerintahkan hendaknya manusia memperhatikan
dan menggunakan akalnya untuk memikirkan bagaimana ia diciptakan
pada awal mulanya agar bisa mengerti dan menyadari siapa
15
16
Departeman Agama RI, op,.cit, hlm. 59
Departeman Agama RI, op,.cit, hlm.474
45
sesungguhnya yang memberi kehidupan pada dirinya. Sebab jika ia
mampu menciptakan makhluk dari suatu bahan yang tidak memeiliki
tanda-tanda kehidupan sama sekali, maka untuk mematikan dan
menghidupkannya amatlah mudah bagi-Nya. Oleh sebab itu hendaklah
ia giat beramal saleh, agar bisa memperoleh kesenangan dan
kenikmatan manakala ia kembali kepada-Nya.17
       
   
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,(QS. Ali Imran : 190)18
Ayat tersebut menyatakan bahwa Islam sangat menganjurkan
kepada manusia utnuk menggunakan akalnya secara maksimal. Anjuran
tersebut dipertegas dengan terhadap orang yang tidak menggunakan
akalnya untuk meneliti, memperhatikan, dan menggali bukti-bukti serta
menarik kesimpulan dari berbagai pengetahuan, baik pengetahuan
keagamaan maupun keduniaan.19
          
… 
17
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT Karya
Toha Putra, 1993), Juz 30, cet II, hlm. 198
18
Departeman Agama RI, loc.,cit.
19
M.Suparta dan Herry Noer Aly,op,.cit, hlm. 130
46
Artinya : “ Katakanlah sesungguhnya aku hendak memperingatkan
kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap
Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri;
kemudian kamu berpikirlah …(Q.S. Saba’ : 46)20
Ayat di atas menurut penulis bahwa tugas manusia di dalam
hidup ini adalah menjalankan peranan itu dengan sempurna, dan
senantiasa menambah kesempurnaannya sampai akhir hayat, hingga
menjadi orang muslim yang paling mulia, yang bertaqwa dengan
sebenar-benarnya taqwa.
         
  
Artinya : “Katakanlah adakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan
orang-orang
yang
tidak
mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran. (Q.S.Az-Zumar : 9) 21
Ayat tersebut dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hal ini
menunjukkan bahwa orang yang pertama, yakni orang-orang yang
mengetahui pahala yang akan mereka peroleh bila melakukan kebaikan
kepada Tuhan mereka dan mengetahui hukuman yang mereka akan
terima bagi mereka yang bermaksiat kepada-Nya adalah orang yang
mencapai derajat tertinggi. Sedangkan orang yang tidak mengetahui hal
itu, jatuh ke jurang keburukan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang
dapat mengambil pelajaran dari hujjah-hujjah Allah dan dapat
memenuhi nasehat dan memeikirkan-Nya hanyalah orang-orang yang
20
21
Departemen Agama RI, op,.cit, hlm.346
Ibid,, hlm.367
47
mempunyai akal dan pikiran yang sehat, bukanorang-orang yang bodoh
dan lalai.
       
        
    
Artinya : “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa
neraka. (Q.S. Ali Imran : 191)22
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penyempurnaan hidup
beragama dan kemajuan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia
tidak akan tercapai tanpa memfungsikan akal pikirannya secara
maksimal (baik). Oleh sebab itu tidak keliru ketika Azyumardi Azra
menyatakan :
Pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran
Islam secara keseluruhan. . Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam ; yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di
akhirat. Dalam konteks sosial- masyarakat, bangsa dan Negara-maka
22
Ibid., hlm. 59
48
pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam
skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam yang
dapat disebut sebagai tujuan akhir pendidikan Islam”.23. Sebagaimana
firman Allah swt ;
          

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam”.(Q.S.
Ali Imran : 102)24
Demikianlah
mempergunakan
dan
al-Qur’an
menyuruh
mengembangkan
akal
manusia
untuk
pikirannya
untuk
kesejahteraan serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi
kemajuan pendidikan serta dapat mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
b. Hubungan antara Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Pada dasarnya al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk
bagi ummat manusia, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, dan
mengajari mereka berbagai nilai dan metode pemikiran dan kehidupan
yang baru. Ia pun memberi petunjuk kepada mereka akan tingkah laku
yang lurus dan benar, demi kepentingan dan kebaikan mereka sendiri
23
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milieium Baru,
(Jakarta : Kalimah, 2001), cet III, hlm. 8
24
Departeman Agama RI, op.,cit, hlm. 50
49
dan masyarakat, dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar dalam
mendidik dan membina diri sendiri secara benar, sehingga bisa
mencapai kesempurnaan manusiawi yang merealisaikan kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.25 Hal ini dinyatakan dalam firman Allah
swt ;
        
       
Artinya : “ Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. Al-Isra’ :
9)26
Penegasan ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an
mengintrodusir dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang
lebih lurus. Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.27
Manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama
: sumber Ilahi dan sumber manusiawi. Ilmu pengetahuan yang
bersumber Ilahi ialah jenis ilmu pengetahuan yang datang langsung dari
Allah baik melalui wahyu, ilham, atau mimpi (ru’ya) yang benar.
Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari manusiawi ialah
ilmu pengetahuan yang dipelajari dari berbagai pengalaman pribadinya
25
Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Pustaka, 1985), Cet I, hlm. 283
Departeman Agama RI, op.,cit, hlm. 225
27
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam
Al-Qur’an, (Jakarta : Penamadani, 2003), Cet I, hlm. 155
26
50
dalam kehidupan, juga dalam upayanya dalam menelaah, mengamati,
dan memecahkan berbagai problem yang dihadapinya.28
Jadi demikian, apakah hubungan al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para
ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya, Jawahir Al-Qur’an,
Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang
ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah
diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Qur’an AlKarim.29 Bertolak belakang dengan pendapat Imam Al-Ghazli tersebut
Al-Imam Al-Syatibi, yang dikutip M. Quraish Shihab, berpendapat
bahwa “para sahabat tentu lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa
yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorangpun di antara mereka
yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu
pengetahuan”.30
Berkaitan dengan perselisihan pendapat mengenai hal tersebut,
M. Quraish Shihah berpendapat bahwa :
“Menurut hemat kami hubungan antara al-Quran dan ilmu
pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula
dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi,
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih
tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan
sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri”.
Utsman Najati, op., cit, hlm.169
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan Media Utama, 2009), Cet III, edisi ke 1, hlm. 58
30
Ibid., hlm.59
28
29
51
Selanjutnya beliau menerangkan : “Kemajuan ilmu pengetahuan
bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi tergantung
pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan social yang
mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh”.31
Di dalam al-Qur’an tersimpul beberapa ayat yang menganjurkan
untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Demikianlah
al-Qur’an
telah
membentuk
satu
iklim
baru
yang
dapat
mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal
yang dapat menghalangi kemajuannya.32 Dalam hal ini M. Quraish
Shihab berpendapat bahwa :
“Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting
daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya
ilkim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu
akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban
hasil penemuannya”33
Hal ini adalah akibat belum terwujudnya sayart-syarat sosial dan
psikologis yang disebutkan diatas. Dan dari segi inilah, menurutnya
korelasi pertama dan utama antara hubungan al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan.34
Sedangkan korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat
ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat al-Qur’an yang
31
Ibid., hlm.60
Ibid., hlm.61
33
Ibid., hlm. 63
34
Ibid., hlm. 60
32
52
berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat ilmiah
tersebut misalnya beliau berpendapat bahwa :
“Teori bumi datar yang merupakan satu hokum aksioma di
satu ma sa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang
kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti
lonjongnya telur. Mungkin ridak sedikit orang yang yakin
bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiahterutama menurut Ilmu Pasti-adalah “benar”, sedangkan
kenyataannya belum tentu demikian”.35
Allah swt dalam surat al-Anbiya’ ayat 30 telah berfirman ;
        
          
Artinya : “dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah
suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
(Q.S. al-Anbiya’ : 30)36
Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan
suatu gumpalan dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh alQur’an gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisahkan oleh Allah swt.
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik;
bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek, dan
fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang ilmuwan yang
mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui.
35
36
Ibid., hlm. 65
Ibid., hlm.259
53
Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai
sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan
satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas. 37
Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab penjelas mengenai
petunjuk dan pembeda antara yang hak dengan yang bathil diturunkan
untuk manusia agar mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, ia adalah mendorong
manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta
menambah ilmu penegtahuan sebisa mungkin. Kemudian ia menjadikan
observasi atas alam sekitarnya sebagai alat untuk percaya kepada setiap
penemuan baru atau teori ilmiah sehingga mereka dapat mencarikan
dalilnya dalam al-Qur’an bukanlah pelajaran kosmologi atau biologi
atau sains pada umumnya.
c. Al-Qur’an Membimbing Manusia kepada Akhlakul Karimah
Al-Qur’an mengisyaratkan dirinya sebagai “pemberi petunjuk
kepada (jalan) yang benar, memberi kabar gembira serta pahala bagi
orang mukmin yang beramal saleh. Hal demikian dinyakatakan oleh
Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat : 9 ;
        
.       
37
M.Quraish Shihab, op.,cit, hlm. 66
54
Artinya : “ Sesungguhnya al Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada
orang-orang mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa
38
bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. al-Isra’ : 9)
Hasbi ash-Shiddieqy menyatakan berkenaan dengan ayat di atas
bahwa Allah swt menurunkannya untuk memberi petunjuk kepada
manusia pada jalan yang lurus.39 Untuk itu tugas manusia pada
hakikatnya adalah harus tunduk dan patuh terhadap segala perintah
Allah swt dan meninggalkan segala larangan-Nya (hablum min Allah)
dalam segala aspek kehidupan manusia (hablum min annas), Allah swt
berfirman ;
     
Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzariyat :
56)40.
Rasulullah saw dianugerahi oleh Allah swt mempunyai
kemampuan mengungkapkan kkata-kata yang singkat, namun padat
maknanya (jawaami’ul-kalim). Di antara nasehat yang paling berharga
adalah anjuran untuk menghiasi diri dengan akhlak mulia. Nabi as tidak
hanya menganjurkan dengan kata-kata.
Beliau
juga
mempraktikkannya
terlebih
dahulu
dengan
sempurna, sehingga beliau benar-enar menjadi teladan yang tiada tara
Departeman Agama RI, op.,cit, hlm. 255
Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), (Semarang : PT Pustaka
Rizki Putra, 2010), cet. II, hlm. 17
40
Departeman Agama RI, op., cit, hlm. .417
38
39
55
(Al-Hasyimi, 2009:9)41. Memang di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat
yang membawa ajaran atau norma-norma yang baik dan mulia yang
harus dipegang teguh oleh setiap orang. Dengan demikian tidak
diragukan lagi bahwa al-Qur’an telah mewariskan terhadap pribadi
Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Pernyataan itu diperjelas
dengan firman Allah swt Q.S. al-Ahzab : 21
           
    
Artinya : “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
Dia banyak menyebut Allah “.(Q.S. al-Ahzab : 21)42
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an telah
meninggalkan dampak yang positif terhadap pribadi Rasulullah saw dan
para sahabatnya. Di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang membawa
ajaran-ajaran atau norma-norma yang baik dan mulia yang harus
dilaksanakan dan dipegang teguh oleh setiap orang.
Berikut ini penulis kutipkan beberapa ayat yang membawa
ajaran/pendidikan kepada akhlakul karimah ;
1. Amanah (dapat dipercaya) Q.S. An-Nisa : 58, Allah swt berfirman ;
41
Muta’alimah dan Ali Muqoddas, Membangun Karakter Bangsa Melalui Akidah dan
Akhlak, Kata Pengantar Abdul Muhaya, (Semarang : Rafi Sarana Perkasa, 2014), cet I, hlm.36
42
Departeman Agama RI, op., cit, hlm. .336
56
         
…     
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…(Q.S.
An-Nisa’: 58)43
Pengertian amanah adalah bertanggung jawab seseorang yang
mendapat titipan barang, harta, benda, pesan, pekerjaan atau yang
lainnya dengan mengembalikannya atau menyampaikannya kepada
orang yang mempunyai barang, harta, benda, pesan itu atau
melaksanakan
pekerjaan
yang
diserahkan
kepadanya
sebaik
mungkin.
Makna yang lebih luas lagi dapat dicontohkan seperti :
menyimpan rahasia, tulus dalam memberikan masukan kepada orang
yang meminta pendapat dan menyampaikan pesan kepada pihak
yang benar.44
2. Jujur (berkata benar) Q.S. Al-Ahzab 70, Allah swt berfirman ;
       
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar
(Q.S. Al-Ahzab : 70)45
43
Ibid., hlm. 69
Muta’alimah dan Ali Muqoddas, op.cit., hlm.52
45
Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 341
44
57
Islam mengajarkan bahwa jujur merupakan pokok segala sifat
mulia, karena kejujuran mendorong seseorang pada kebaikan, dan
kebaikan itulah yang akan mengantarkan orang tersebut masuk
surga. Sebaliknya kebohongan adalah sifat tercela yang dibenci
oleh Allah dan rasul-Nya karena bohong itu sifat munafik dan tidak
ada seorangpun yang senang dibohongi.
Mungkin pada tahap tertentu kebohongan bisa mendatangkan
keuntungan, tetapi itu hanya sementara dan sesaat ketika
kebohongan tersebut belum terungkap. Namun kebohongan tidak
mungkin dapat dilakukan dalam jangka panjang apalahi seumur
hidup. Suatu saat kebohongan pasti akan terungkap. Di saat itulah
orang yang bohong, tidak jujur itu akan mengais kerugian yang
tiada terkira dan tiada tara. Karena selain merugikan orang lain,
kebohongan juga menrugikan diri sendiri.46
3. Al-Iffah (menjaga kehormatan diri)
        
… 
Artinya : “ dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah
menjaga
kesucian
(diri)nya,
sehingga
Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya… (Q.S. AnNur : 33)47
46
47
Muta’alimah dan Ali Muqoddas, loc.cit., hlm. 46
Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 282
58
Ayat ini mengajarkan kepada manusia agar senantiasa menjaga
kehormatan dirinya dalam segala aspek kehidupan. Sikap iffah ini
hanya akan terbentuk manakala seseorang telah memiliki sifat malu.
Sedangkan “Al-Iffah” adalah sikap yang bisa menjaga diri
seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa, baik yang bisa
dilakukan oleh tangan ataupun lisan. Lebih dari itu dengan sikap ini
seseorang akan berusaha meningkatlan hal-hal yang sebenarnya
dibolehkan untuknya, namun untuk melindungi diri dari hal-hal
yang tidak patut, maka dia rela untuk meninggalkannya.
Sepertinya tidak meminta-minta meskipun dalam keadaan
kesulitan, tidak merebut/menuntut hak-hak material dan duniawi
yang seharusnya ia terima, tidak makan dalam keadaan berdiri
maupun berjalan, tetap memeilhara kesucian diri dari perbuatan
yang tidak baik.48 Ayat-ayat tersebut di atas dan ayat-ayat lainnya
yang sejenis yang membwa ajaran akhlak banyak terdapat di dalam
al-Qur’an.
Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya budi pekerti
yang luhur di dalam agama Islam. Maka bagi orrang mukminin alQur’an harus menjadi cermin dalam kehidupan sehari-hari dan
harus meneladani akhlak dari Rasulullah saw, sebagaimana firman
Allah swt ;
48
Muta’alimah dan Ali Muqoddas, op.cit., hlm. 57
59
          
…      
Artinya : “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. al-Ahzab : 21)49
Ayat ini menurut penulis menuntut agar orang mukmin
mencotoh Rasulullah saw di dalam amal perbuatannya dan berjalan
sesuai dengan petunjuknya, jika memang benar-benar menghendaki
pahala dari Allah swt, takut akan azabnya di hari semua orang
memikirkan dirinya sendiri dan penolong ditiadakan kecuali hanya
amal yang dilakukan seseorang dan banyak mengingat Allah swt.
Demikianlah pentingnya budi pekerti luhur dan tingkah laku
yang baik dalam kehidupan sehari-hari dalam Islam, sehingga halhal itu disebutkan Allah swt dalam al-Qur’an dan kita harus
mengamalkannya.
B. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10
1. Teks dan Terjemahan Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10
          
           
49
Departeman Agama RI, op.cit., hlm. 336
60
           
      
Artinya : “ Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya, Tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), Atau
Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu
memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa
dirinya serba cukup. maka kamu melayaninya, padahal tidak
ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri
(beriman), Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan
bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut
kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya”. (Q.S. ‘Abasa ;
1-10)50
Arti Kosa Kata :
َ‫َﻋﺒَﺲ‬
‫ﺗَ َﻮﻟﱠﻰ‬
‫اَنْ ﺟَﺎﺋَﮫُ ْاﻷﻋْﻤﻰ‬
‫ﻚ‬
َ ‫َوﻣَﺎﯾُ ْﺪ ِر ْﯾ‬
‫ﯾَ َﺰﻛّﻰ‬
‫ﯾَ ﱠﺪ ﱠﻛ ُﺮ‬
50
‘Abasa
Berubah masam wajahnya
karena (kurang senang)
Tawalla
Berpaling
Anjaa’ahul-a’maa
karena didatangioleh seorang
yang buta kedua matanya
hal apakah yang kamu
ketahui dari orang buta
tersebut?
membersihkan diri dengan
ajaran-ajaran syari’at
mengambil nasihat atau
pelajaran
mengandalkan harta benda
yang banyak dan kekuasaan
sehingga mengabaikan AlQur’an
Wamaa yudriika
Yazakkaa
Yazzakkaru
‫اِ ْﺳﺘَﻐْﻨﻰ‬
Istagnaa
‫ﺗَﺼَ ﺪﱠى‬
Tasaddaa
menyambut
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT Karya
Toha Putra : 1993), cet II, juz 30, hlm. 68
61
‫ﯾَﺴْﻌﻰ‬
‫ﯾَﺨْ ﺸﻰ‬
‫ﺗَﻠَﮭّﻰ‬
Yas’aa
bersegera menemui
Yakhsyaa
takut tersesat
Talahhaa
menganggap remah
mengabaikannya51
atau
2. Sebab An-Nuzul Surat ‘Abasa Ayat 1-10
Surat ‘Abasa terdiri dari 42 ayat, termasuk golongan surat-surat
Makkiyah, diturunkan sesudah surat An-Najm. Dinamai ‘Abasa (ia
bermuka masam) diambil dari perkataan ‘Abasa yang terdapat pada ayat
pertama surat ini.52 Surat ini disepakati sebagai surah Makkiyah.
Namanya yang paling popular adalah surah ‘Abasa (cemberut)53. Surah
ini dinilai sebagai surah yang ke 24 segi perurutan turunnya kepada Nabi
saw. ia turun sesudah surah an-Najm dan sebelum surah al-Qadr. Jumlah
ayat-ayatnya menurut perhitungan ulama Mekah, Madinah, Kufah adalah
42 ayat, sedangkan menurut cara perhitungan ulama Bashrah 41 ayat.54
Surat ‘Abasa ini termasuk dalam golongan surat-surat Makkiyah.
Surat ‘Abasa ini mengemukakan hakikat-hakikat yang besar itu dengan
pemberitaan-pemberitaan yang sangat berkesan, di dalam ayat-ayat yang
sangat kuat tekannanya.55
51
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesa, Kesan dan Keserassian Al-Qur,an, (Jakarta
: Lentera Hati, 2002), juz ‘Amma, hlm. 57
52
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Al-Qur’an, (Jakarta : 1971), hlm. 1023
53
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), cet Ke.4,
hlm .160
54
M.Quraish Shihab, op.,cit, hlm 58
55
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra,
2010), cet III, hlm.85
62
Mengenai sebab an-Nuzul surat ‘Abasa ini penulis sampaikan
beberapa riwayat yang menjelaskannya, diantaranya :
a. Ibnu Katsir menerangkan :
Diterangkan oleh beberapa kalangan mufassir, “Pada suatu hari,
Rasullullah saw berdialog dengan beberapa orang pembesar Quraisy.
Dalam riwayat Anas bin Malik r.a. disebutkan, pembesar itu bernama
Ubay bin Khalaf. menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah
Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul
Muththalib. Beliau sangat sering melayani mereka dan sangat
menginginkan agar mereka beriman. Tiba-tiba, datang kepada beliau
seorang laki-laki buta, yaitu Abdulluh bin Ummi Maktum. Mulailah
Abdullah meminta Nabi saw untuk membacakan beberapa ayat AlQur’an kepadanya dan berkata, ‘Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku
apa yang telah Allah ajarkan kepada engkau. ‘ Rasulullah saw
berpaling darinya dengan wajah masam, menghindar dan tidak suka
berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang lain.
Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah saw pun kembali
pulang, tiba-tiba Allah menahan pandangannya dan menundukkan
kepalanya.56
56
Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, (Jakarta : Gema
Insani Press, 2000), jilid 4, hlm. 911
63
b. Al-Maraghi menerangkan :
Surah ini diturunkan berkenaan dengan kisah anak Ummi
Maktum yang terkenal dengan nama ‘Amr ibnu Qais, yaitu anak lelaki
paman Siti Khatijah. Ia adalah seorang tuna netra dan ikut berhijrah ke
Madinah bersama para sahabat yang lain. Nabi berkali-kali
menyuruhnya sebagai pengganti beliau dalam mengimami salat
dengan kaum Muslimin di Madinah. Ia adalah Muazzirnur-Rasul
kedua setelah sahabat bilal.
Kisah tentang Ibnu Ummi Maktum adalah sebagai berikut: Pada
suatu hari ia bergegas menemui Rasulullah saw. di Makkah, yang
pada saat itu Rasulullah sedang menemui beberapa pemimpin
Quraiys. Di antara mereka adalah “Utbah dan Syaibah, keduanya anak
Rabi’ah, Abu Jahal ibn Hisyam, Al-‘Abbas ibnu ‘Abdil-Muthalib,
Umayyah ibnu Khalaf dan Walid ibnu Mugirah. Ketika itu Rasulullah
saw mengajak mereka agar masuk Islam dan mengingatkan mereka
tentang akan datangnya hari akhir serta mengajak mereka takut kepada
kekuatan dan kekuasaan Allah. Nabi saw menjanjikan bahwa apabila
mereka bersedia masuk Islam, maka bagi mereka pahala yang paling
baik. Nabi saw sangat mengharapkan kesediaan mereka untuk
menerima
ajakannya.
Sebab
dengan
Islamnya
mereka
yang
merupakan pemimpin orang-orang Arab, maka akan banyak pula
orang-orang yang masuk Islam.
64
Ketika Ibnu Ummi Maktum sampai di Majlis Rasulullah saw ia
berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah ! Bacakanlah kepada kami dan
ajarilah kami apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada anda”. Ia
mengulang-ulang perkataannya karena kebutaannya sehingga ia tidak
mengetahui kesibukan yang sedang dihadapi oleh Nabi saw yang pada
saat itu sedang menemui pemimpin-pemimpin Arab. Nabi saw tidak
suka menghentikan pembicaraan beliau dengan mereka. Hal ini
tampak dari aroma muka beliau yang berubah menjadi masam dan
beliau memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum.57
c. K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan menerangkan :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allah,
‘Abasa wa tawallaa (Dia [Muhammad] bermuka masam dan
berpaling) (Q.S. 80 ‘Abasa : 1) turun berkenaan dengan ibnu Ummi
Maktum, seorang buta yang datang kepada Rasulullah saw. seraya
bertanya : ”Berilah aku petunjuk, ya Rasulullah. “Pada waktu itu
Rasulullah saw sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin
Quraisy. Beliau berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan tetap
menghadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ibnu Ummi Maktum
berkata : “Apakah yang saya katakana ini mengganggu tuan? “
57
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, (Semarang : PT. Karya
Tuha Putra, 1993), Penterjemah Bahrun Abubakar, juz 30, hlm 70
65
Rasulullah menjawab : “Tidak”. Ayat-ayat ini (Q.S. 80 ‘Abasa : 1-10)
turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saw itu.58
d. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi menerangkan ;
Imam
Turmudzi
dan
Ima
Hakim,
kedua-duanya
telah
mengetengahkan sebuah hadits melalui Siti Aisyah r.a. yang telah
menceritakan, bahwa berfirman Allah swt berikut ini, yaitu ; Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling. (Q.S, 80 ‘Abasa 1)
diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ummi Maktum yang
buta. Pada suatu hari ia datang kepada Rassulullah saw lalu berkata :
”Wahai Rasulullah, berikanlah aku bimbingan (kepada Islam)”.
Pada saat itu di hadapan Rasulullah saw ada beberapa orang
laki-laki dari kalangan pemimpin-pemimpin kaum musyrikin.
Rasulullah saw berpaling dari Abdullah ibnu Ummi Maktum karena
melayani mereka. Lalu Rasulullah saw berkata :”Bagaimanakah
pendapatmu, apakah di dalam hal-hal yang telah aku katakana tadi
dapat membuka hatimu?” Laki-laki dari pemimpin kaum musyrikin
itu menjawab :”Tidak”. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya :
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang
seorang buta kepadanya (Q.S, 80 ‘Abasa, 1-2)59
58
Shaleh dan Dahlan, Asbaabun Nuzuul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat
Al-Qur’an, (Bandung : Diponegoro : 2000), edisi II, hlm. 628
59
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafisr Jalalain Berikut Asbaabun
Nuzuul Ayat jilid 4, Penterjemah Bahrun Abubakar, L.C, (Bandung : Sinar Baru Algensindo,
2003), cet 7, hlm.2665-2666
66
3. Tafsir Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10
Surat ‘Abasa yang jumlah ayatnya 42, termasuk surat yang
diturunkan di Makkah sesudah surat An-Najm. Dalam menafsirkan alQur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 penulis memberikan beberapa pendapat
yaitu ; Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam kitabnya tafsir al-Maraghi,
M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya Al-Misbah dan Tafsir Jalalain
oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi serta
kitab-kita tafsir lain yang relevan.
Adapun penjelasan tentang tafsir surat ‘Abasa ayat 1-10 sebagai
berikut ;
a. Pendapat Musthafa al-Maraghi dalam kitabnya Tafsir alMaraghi ;
Ayat pertama dan kedua ;
(    ,  )
Wajah Rasulullah saw berubah masam dan berpaling tatkala
datang kepadanya orang buta. Ia tidak menghendaki pembicaraannya
terpotong olehnya.60
Penyebutan orang buta dalam ayat merupakan pemberitahuan
akan keuzurannya yang harus dimaklumi dalam hal ia memotong
pembicaraan nabi saw tatkala beliau sedang disibukkan oleh
pertemuannya dengan orang banyak. Bisa jadi kebutaan ini
merupakan ‘illat yang menyebabkan marah dan berpalingnya
60
Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.,cit, hlm. 72
67
Rasulullah dari padanya. Seolah-olah ayat ini mengatakan, “Oleh
karena kebutaannya, maka kmau (Muhammad) seharusnya lebih
berbelas kasihan dan berlaku lemah lembut kepadanya. Lalu
bagaimana bisa layak kamu melakukannya dengan kasar?”
Masalah ini sama halnya denagn teguran anda kepada seseorang
yang kedatangan fakir miskin kemudian menghardiknya, “Mengapa
anda tega menyakiti orang miskin yang seharusnya anda perlakukan
dengan baik dan penuh kasih sayang?”.61
Ayat ketiga dan keempat ;
(     ,     )
Lalu apakah yang menyebabkan kamu memperlakukan orang buta
tersebut dengan perlakuan yang demikian?. Mungkin ia hendak
membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia terima
darimu sehingga ia akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia
hendak meminta nasehat kepadamu, kemudian ia mengambil manfaat
dari peringatan dan nasehat-nasehatmu.62
Kesimpulan : Sesungguhnya kamu tiada mengetahui apa yang
hendak dilakukannya yaitu keinginan untuk membersihkan diri dan
meminta nasehat. Jika kamu mengetahui hal itu, niscaya kamu tidak
akan memperlakukannya secara demikian. Ayat ini merupakan isyarat
bahwa kaum musyrikin – yang oleh nabi saw, diharapkan kesedian
61
Ibid., hlm. 72
Ibid., hlm. 73
62
68
mereka untuk membersihkan diri dan menerima nasehat-nasehatnya –
sama sekali tidak bisa diharapkan lagi kesediaan mereka.63
Kemudian Allah menurunkan bahwa perihal Muhammad bersama
para hadirin di majlisnya dapat disimpulkan dalam dua point berikut
ini ;
Point pertama dalam ayat 5 dan 6 ;
(    ,   )
Adapun orang yang merasa dirinya kaya dengan harta benda
dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan apa
yang ada padamu berupa ilmu yang terkandung dalam al-Kitab yang
telah diturunkan kepadamu. Lalu kamu melayani mereka dengan suatu
pengharapan akan kesediaan mereka memasuki Islam dan kesediaan
untuk beriman.64
Ayat ketujuh ;
(     )
Lalu apakah apakah engkau mendapat cela jika ia tetap dalam
keadaannya semula serta tidak mau membersihkan diri dari kotoran
kebodohan? Engkau tiada lain hanyalah seorang Rasul yang
diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah.
63
Ibid.,
Ibid.,
64
69
Dan engkau telah menunaikan kewajiban tersebut. Lalu mengapa
engkau sangat mengharapkan ke-Islam-an mereka?65
Kesimpulan : Janganlah engkau terlalu berharap akan ke-Islam-an
mereka. Dan jangan pula menyibukkan diri dengan ajakan kepada
mereka kemudian engkau memalingkan muka dari orang yang telah
tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada-Ku.66
Point kedua pada ayat kedelapan, kesembilan dan ayat kesepuluh ;
(   ,   ,    )
Adapun terhadap orang yang bergegas datang kepadamu –
karena ingin memperoleh hidayah dari-Nya serta mendekatkan diri
kepada-Nya – dan ia berbuat demikian itu karena dorongan rasa takut
kepada-Nya serta berlaku hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam
jurang kesesatan – tetapi ngkau justru meremehkan dan mengabaikan
serta tidak bersedia menjawab pertanyaannya.67
b. Pendapat M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsirnya Al-Misbah;
Ayat pertama dan kedua ;
      
“Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya
seorang tunanetra”
65
Ibid.,
Ibid.,
67
Ibid.,hlm.74
66
70
Setelah dalam surah yang lalu Allah membatasi tugas Nabi
Muhammad saw hanya pada pemberi peringatan, padahal tealah
datang kepada beliau seorang tunanetra yang bermaksud menanamkan
rasa takut dalam hatinya dan mengambil pelajaran, maka ayat di atas
mengomentari hal tersebut dan menegur Nabi secara halus.
Apapun hubungannya, ayat-ayat di atas bagaikan menyatakan :
Dia yakni Nabi Muhammad saw berubah wajahnya sehingga Nampak
bermuka masam dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh
keinginannya seorang dari mereka. Dia berpaling, karena telah datang
kepadanya seorang tunanetra yang memutus pembicaraannya dengan
tokoh-tokoh itu.
Penyebutan kata (‫‘ )ﻋﺑس‬abasa dalam bentuk persona ketiga,
tidak secara langsung menunjuk Nabi saw, mengisyaratkan betapa
halus teguran ini, dan betapa Allah pun - dalam mendidik Nabi-Nya tidak menuding beliau atau secara tegas mempersalahkannya.
Penyebutan
kata
(‫)أﻵﻋﻣﻰ‬
al-a’maa/yang
buta
mengisyaratkan bahwa Abdullah bersikap demikian, karena dia tidak
melihat sehingga hal ini mestinya dapat merupakan alasan untuk
mentoleransinya.68
68
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta
: Lentera Hati, 2002), juz ‘Amma, hlm.60
71
Ayat ketiga dan keempat ;
         
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui-boleh jadi ia ingin
membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran, sehingga
bermanfaat baginya pengajaran itu?”
Teguran ayat-ayat yang laludilanjutkan oleh ayat di atas bahwa
: Apakah yang menjadikanmu mengetahui yakni engkau tidak dapat
mengetahui – walau berupa keras menyangkut isi hati seseorang –
boleh jadi ia sang tunanetra itu ingin membersihkan diri yakni beramal
saleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama
– walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atau ia
ingin
mendapatkan
pengajaran,
sehingga
bermanfaat
baginya
pengajaran itu walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak?
Kata
(‫ )ﯾزﻛّﻰ‬yazakkaa asalnya adalah (‫ )ﯾﺗزﻛّﻰ‬yatazakkaa
tetapi huruf
(‫ )ت‬ta’ tidak disebut, ia diganti dengan huruf (‫ )ز‬zai
dan di-idgham-kan, Ini menueur al-Biqa’i untuk mengisyaratkan
bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat terwujud
walau tidak terlalu mantap.69
69
Ibid.,hlm.61
72
Ayat kelima sampai kesepuluh ;
 
   
  
   
    
  
   
“Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani
padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan
adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia
sakit, maka engkau terhadapnya mengabaikan.”
Setelah ayat yang lalu menjelaskan sikap Nabi Muhammad
ssaw terhadap ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum, ayat-ayat di atas
menjelaskan sikap beliau terhadap tokoh kaum musyrikin yang beliau
sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan : Adapun
orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta,
anak atau kedudukan sosial serta pengetahuan – maka walau ia tidak
memiliki motivasi untuk takut kepada Allah, engkau terhadapnya saja
– bukan kepada sang tunanetra itu melayaninya dengan menjelaskan
secara sungguh-sungguh ajaran Islam.
Sebenarnya sikap Rasul saw terhadap tokoh-tokoh kaum
musyrikin itu, terdorong oleh rasa takut beliau jangan sampai beliau
dinilai belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itulah teguran ini
dilanjutkan dengan menyatakan bahwa : Engkau – wahai Nabi agung
– melakukan hal itu , padahal tiada celaan atasmu kalau ia yakni
yang engkau layani tidak membersihkan diri yakni tidak beriman
73
walau dalam tingkat sekecil apapun. Dan adapun siapa yang datang
kepadamu
dengan
bersegera
yakni
penuh
perhatian
untuk
mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allah, maka
sebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan.
Kata
(‫ )اﺳﺗﻐﻧﻰ‬istaghnaa terambil dari kata (‫ )ﻏﻧﻲ‬ghaniya
yakni tidak butuh. Huruf (‫ )س‬sin pada kata tersebut dipahami dalam
arti merasa/menduga. Ia merasa tidak butuh kepada Allah serta
petunjuk Nabi Muhammad saw karena kekayaan, pengetahuan dan
kedudukan sosialnya.
Kata (‫ )ﺗﺻدّى‬tashaddaa terambil dari kata (‫ )ﺻدى‬shadaa
yaitu gema yakni suara yang memantul. Seseorang yang menghadapi
orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan
suaranya, gema suara dan pantulannya akan terus terdapat sampai
terhendtinya suara itu. Siapa yang melakukan hal itu dinamakan
tasaddaa. Kata
(‫)ﺗﻠﮭّﻰ‬
talahhaa terambil dari kata
(‫ ﯾﻠﮭﻰ‬-‫)ﻟﮭﻰ‬
lahaa- yalhaa yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu, sehingga
mengabaikan yang lain. Dalam Haasyiyat al-Jamal, digarisbawahi
kata ini bukan terambil dari kata (‫ )اﻟّﻠﮭﻰ‬al-lahw.
Kata kedua ini bermakna lengah dan lupa. Kata yang
digunakan ayat ini tidak selalu berarti meninggalkan yang penting
74
dengan
mengerjakan
yang
tidak
penting,
tetapi
bisa
juga
meninggalkan yang lebih penting karena mengerjakan yang penting. 70
c. Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti dalam tafsirnya
Jalalaian ;
Ayat pertama ;
  
1.
َ‫( َﻋﺑَس‬Dia telah bermua masam) yakni Nabi Muhammad telah bermuka
masam -
‫َوﺗ ََوﻟّﻰ‬
(dan berpaling) yaitu memalingkan mukanya karena,71
Ayat kedua ;
   
2.
‫أَنْ ﺟَ ﺎ َءهُ اﻷﻋْ ﻣﻰ‬
(telah datang seorang buta kepadanya) yaitu
Abdullah ibnu Ummi Maktum. Nabi saw tidak meladeninya karena
pada saat itu ia sedang sibuk menghadapi orang-orang yang
diharapkan untuk dapat masuk Islam, mereka terdiri dari orangorang terhormat kabilah Quraisy, dan ia sangat menginginkan
mereka masuk Islam. Sedangkan orang yang buta itu atau Abdullah
ibnu Ummi Maktum tidak mengetahui kesibukan Nabi saw pada
waktu itu karena ia buta. Maka Abdullah ibnu Ummi Maktum
langsung menghadap dan berseru dengan suara yang agak
keras:”Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah Allah ajarkan
kepadamu”. Akan tetapi nabi saw pergi dan berpaling darinya
menuju ke rumah, maka turunlah wahyu yang menegur sikap-sikap
70
Ibid., hlm.62
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Tafisr Jalalain Berikut Asbaabun
Nuzuul Ayat jilid 4, Penterjemah Bahrun Abubakar, L.C, (Bandung : sinar naru algensindo, 2003),
cet 7, hlm.2657
71
75
itu, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini. Nabi saw
setelah itu apabila datang Abdullah ibnu Ummi Maktum
berkunjung kepadanya, beliau selalu mengatakan : “Selamat datang
orang yang menyebabkan Rabbku menegurku”, lalu beliau
menghamparkan kain serbannya sebagai tempat duduk Abdullah
ibnu Ummi Maktum.72
Ayat ketiga ;
    
3.
‫ك ﻟَ َﻌﻠّ ُﮫ ﯾَزﱠ ﻛﱠﻰ‬
َ ‫َو َﻣﺎ ﯾُدْ رِ ْﯾ‬
kamu
(Tahukah kamu) artinya, mengertikah
‫( ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﮫ ﯾَزﱠ ﻛﱠﻰ‬barangkali ia ingin membersihkan dirinya) dari
dosa-dosa setelah mendengar dari kkamu ; lafaz Yazzakkaa bentuk
asalnya adalah Yatazakkaa, kemudian huruf Ta diidghamkan
kepada huruf Za sehingga jadilah Yazzakkaa.73
Ayat keempat ;
    
4.
َ‫ا َْو َﯾ ﱠذﻛَر‬
(Atau
dia
ingin
mendapatkan
pelajaran)
lafaz
Yadzdzakkaru bentuk asalnya adalah Yatadzakkaru, kemudian Ta
diidghamkan kepada huruf Dzal sehingga jadilah Yadzdzakkaru,
artinya mengambil pelajaran dan nasihat –
‫َﻓ َﺗ ْﻧ َﻔ َﻌ ُﮫ اﻟ ﱢذﻛْرى‬
(lalu
pengajaran itu memberi manfaat kepadanya) atau nasihat yang
72
Ibid.,
Ibid,.
73
76
telah didengarnya dari kamu bermanfaat bagi dirinya. Menurut
suatu qiraat lafaz Fatanfa’ahu dibaca Fatanfa’uhu yaitu dibaca
Nashab karena menjadi jawab dari Tarajji lafaz La’allahuu tadi.74
Ayat kelima ;
   
5.
‫( اَﻣﱠﺎ َﻣ ِن اﺳْ ﺗَﻐْ ﻧﻰ‬Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup)
karena memiliki harta.75
Ayat keenam ;
   
6.
‫ﺻدّى‬
َ ‫َﻓﺎَﻧْتَ ﻟَ ُﮫ َﺗ‬
(Maka kamu melayaninya) atau menerima dan
mengajukan tawaranmu ; menurut suatu qiraat lafaz Tashaddaa
dibaca Tashshaddaa yang bentuk asalnya adalah Tatashaddaa,
kemudian huruf Ta kedua diidghamkan kepada huruf Shad,
sehingga jadilah Tashshaddaa.76
Ayat ketujuh ;
    
74
Ibid,.
Ibid,.
76
Ibid,.
75
77
7.
‫ك اَﻻﱠ ﯾّزﱠ ﻛﱠﻰ‬
َ ‫َوﻣَﺎ َﻋﻠَ ْﯾ‬
(Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia
tidak membersihkan diri) yakni orang yang serba berkecukupan itu
tidak beriman.77
Ayat kedelapan ;
    
8.
‫ك ﯾَﺳْ ﻌﻰ‬
َ ‫َواَﻣﱠﺎ ﻣَنْ ﺟَ ﺎ َء‬
(Dan adapun orang yang datang
kepadamu dengan bersegera) lafaz Yas’aa berkedudukan sebagai
Haal atau kata keterangan keadaan bagi Fa’il atau objek yang
terkandung di dalam lafaz Jaa-a.78
Ayat kesembilan ;
  
9.
‫َوھ َُو ﯾَﺧْ ﺷﻰ‬
(Sedangkan ia takut) kepada Allah swt ; lafaz
Yakhsyaa menjadi Haal dari fa’il yang terdapat di dalam lafaz
Yas’aa, yang dimaksud adalah si buta itu atau Abdullah ibnu Ummi
Maktum.79
Ayat kesepuluh ;
   
77
Ibid., hlm. 2659
Ibid.,
79
Ibid.,
78
78
10.
‫َﻓﺎَﻧْتَ َﻋ ْﻧ ُﮫ َﺗﻠَﮭّﻰ‬
(Maka kamu mengabaikannya) artinya, tiada
memperhatikannya sama sekali ; lafaz Talahhaa asalnya Tatalahhaa,
kemudian salah satu dari huruf Ta dibuang, sehingga jadilah
Talahhaa.80
Dari beberapa penafsiran di atas penulis menyimpulkan bahwa sikap
Nabi Muhammad saw yang bermuka masam dan berpaling tersebut bukanlah sifat
kekurangan beliau, melainkan sifat kemuliaannya. Karena beliua memiliki sifat
maksum, mengutamakan orang-orang yang benar-benar beriman dan mensucikan
hati itu lebih diutamakan dari pada orang yang tidak bersungguh-sungguh takut
kepada Allah swt.
80
Ibid.,
85
BAB IV
NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN MORAL DAN SOSIAL YANG
TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT ‘ABASA AYAT 1-10
A. Nilai-Nilai Kependidikan Moral Dan Sosial Yang Terkandung Dalam
Al-Qur’an Surat ‘Abasa Ayat 1-10
Dari telaah terhadap Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-10 yang penulis
lakukan, maka di dalamnya terdapat nilai-nilai kependidikan moral dan sosial
yang penulis sampaikan sebagai berikut :
1. Guru Harus Bersikap Adil terhadap Peserta Didik Dalam Pendidikan
Nilai-nilai ini diisyaratkan ayat ke 5 -10 surat ‘Abasa yang teks
ayatnya sebagai berikut ;
  

   
  
   
    
 
  
Artinya : “Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu
melayaninya. padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia
tidak membersihkan diri (beriman). dan Adapun orang yang
datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan
pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu
mengabaikannya”.(Q.S. ‘Abasa : 5-10)1
1
Departeman Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, ( Semarang : PT. Karya
Toha Putra, 1996), hlm. 467
86
Rangkain ayat tersebut mengisyaratkan agar dalm pembelajaran
jangan melayani orang kaya secara khusus dan mengabaikan orang fakir,
atau dengan kata lain hendaknya memperlakukan orang kaya dengan orang
fakir secara adil dalam proses pendidikan.
Bila orang mengambil haknya dengan tiada melebihi dan memberi
hak-hak orang dengan tiada mengurangi makna itu adalah adil.2 Ahmad
Amin mengemukakan tentang adil dan belas kasih ;
“…banyak orang berkata :”Belas kasih di atas keadilan”. Dengan
kata ini mereka bermaksud bahwa pekerjaan yang digerakkan oleh
belas kasih itu lebih utama dari pekerjaan yang dilakukan menurut
keadilan. Pada umumnya kata ini tidak benar, bahkan terkadang
salah dan terkadang benar”.
Marilah kita beri contoh dari apa yang dipergunakan kata-kata ini :
Seorang guru disuatu sekolahan, tidak cakap dalam pekerjaannya,
tidak pandai mengajar dan memberi faedah kepada anak-anak
muridnya, karenanya ia tidak akan dipergunakan lagi, akan tetapi ia
seorang yang telah berusia tinggi, miskin dan mempunyai keluarga;
maka dikatakan: “Belas kasih di atas keadilan”, berarti menurut
keadilan dia harus dilepas, sedangkan menurut belas kasih
mengharuskan ia tetap dalam pekerjaannya.3
Hal demikian itu menghendaki agar dalam melayani para peserta
didik yang belajar, seorang pendidik tidak boleh membeda-bedakan, antara
peserta didik anak orang berada dengan peserta didik anak orang tak
punya, antara peserta didik yang paras cantik atau tampan dengan peserta
didik yang berparas biasa, antara peserta didik yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan peserta didik yang tidak mempunyai hubungan
kekerabatan.
2
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Alih Bahasa Farid Ma’ruf (Jakarta : Bulan Bintang,
1991), hlm. 238
3
Ibid., hlm 246
87
Para peserta didik harus dilayani dengan sama (adil), seimbang
sesuai dengan perbedaan individual di anara mereka. Perlakuan adil yang
dirasakan oleh peserta didik akan menambah wibawanya para guru. Hal itu
akan mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang kondusif dan
baik. Dengan demikian keadilan dalam pendidikan merupakan sesuatu
yang harus ada dalam kegiatan lembaga pendidikan, masyarakat dan
bangsa.
2. Guru Harus Membimbing Peserta Didik Dengan Kasih Sayang
Nilai-nilai ini diisyaratkan oleh serangkaian ayat 1-4 surat ‘Abasa
yang teks ayatnya sebagai berikut :
  
   
  
      
Artinya : “ Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena
telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali
ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? teguran guru terhadap peserta didik dilakukan
secara tidak langsung, lemah lembut dan sopan”.( Q.S. ‘Abasa :
1-4)4
Rangkaian ayat tersebut menisyaratkan bahwa bermuka masam dan
berpaling muka dari orang yang inign membersihkan diri dari dosa atau
ingin mendapatkan pelajaran tidak diperkenankan. Sebaliknya, orang
4
. Departemen Agama loc.,cit
88
tersebut harus dilayani dengan rasa penuh kasih sayang, terlebih mereka
yang cacat fisik seperti yang diisyaratkan lafaz al-A’maa (‫)أﻵﻋْ ﻣﻰ‬
Pentingnya kasih sayang ini dikarenakan rasa kasih sayang adalah
kebutuhan jiwa yang paling pokok dalam hidup manusia. Faktor yang
terlihat pula dalam masyarakat sekarang, ialah kerukunan hidup dalam
rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanga saling pengertian,
saling menerima, saling menghargai, saling mencintai di antara suami
isteri. Tidak rukunnya ibu bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak,
mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah
orang tua yang tidak rukun. Maka anak-anak yang gelisah dan cemas itu
mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan
dari rasa hatinya, biasanya mengganggu ketentraman orang lain.
Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang
mendapat perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan
mencari kepuasan di luar rumah, seperti anak-anak yang kita sebutkan
dalam contoh-contoh di atas. Umumnya mereka datang dari rumah tangga
yang berantakan.5
Dengan demikian dalam kegiatan pendidikan pun manusia sangat
membutuhkan
adanya
rasa
kasih
sayang
dari
semua
pihak
sekolah/madrasah terutama seorang guru, terlebih mereka yang cacat
fisiknya. Rasa kasih sayang yang diberikan oleg guru dalam proses
5
Zakiah Darajat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta : PT. Bulan Bintang,
1971), cet ke 4, hlm. 17-18
89
pendidikan akan menunjang kesuksesan dalam belajarnya, sebagaimana
dijelaskan oleh Prof H.M. Arifin berikut ini :
“…membimbing berdasarkan rasa kasih sayang terhadap anakdidik akan menghasilkan kedaya-gunaan proses belajar
mengajar. Membimbing dan mengasihi mengandung makna
ikatan batin dan penuh pengertian antara guru dan anak didik,
sehungga dengan ikatan batin dan penuh pengertian itu belajar
anak didik akan lebih dapat berlangsung intensif sesuai denagn
kemampuan individu mereka, tanpa ada perasaan tertekan dari
pendidik. Rasa kasih sayang akan memperlancar kegiatan
belajar dari hambatan-hambatan psikologis akibat ketakutan
atau keresahan batin dan sebagainya.6
Oleh sebab itu kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru, salah
satunya adalah harus menatuh rasa kasih sayang terhadap peserta didik dan
memperlakukan mereka seperti perlakuan terhadap kita sendiri dan anak
sendiri. Keutamaan untuk bersikap penuh rasa kasih sayang dalam
mendidik peserta didik terkandung di dalam hadis Nabi saw sebagai
berikut :
‫ﺻﻠّﻰ ﷲ‬
َ ‫ ﻗَﺎ َل رَ ﺳ ُْو ُل ﷲ‬: ْ‫َﻋنْ ﻋَﺎ ِﺋ َﺷ َﺔ رَ ﺿَﻲَ ﷲ َﻋ ْﻧﮭَﺎ ﻗَﺎ ﻟَت‬
‫َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم اِنّ ﷲ رَ ِﻓﯾْقٌ ُﯾﺣِبﱡ اﻟرﱠ ﻓِقَ ﻓِﻲ اﻵﻣْرِ ُﻛﻠﱢ ِﮫ‬
Artinya :”Dari Aisyah ra, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw,
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut. Dia mencintai sikap lemah
lembut (kasih sayang) dalam segala urusan”. (HR.Bukhori
Muslim)7
Hadis tersebut menyatakan bahwa Allah swt mencintai sikap kasih
sayang dalam segala urusan. Segala urusan dalam hadis tersebut mencakup
6
H..M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjuan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1994), cet 3, hlm. 213
7
Mahyudin Abi Zakarah Yahya bin Syarif An-Nawawi, Riyadhus Sholihin, (Semarang :
Toha Putra, tth), hlm.307
90
banyak hal, termasuk di dalamnya sikap penuh kasih sayang terhadap
peserta didik dalam proses belajar mengajar.
Hadis di atas juga menjelaskan bahwa Allah swt mencintai dan
mengutamakan sikap kasih sayang (lemah lembut) dalam segala urusan.
Segala urusan dalam ayat tersebut mencakup banyak hal, termasuk di
dalamnya menyangkut tentang pendidikan kasih sayang dalam mendidik
peserta didik. Ditegaskan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari ;
‫ ﻗَﺎ َل رَ ﺳ ُْو ُل ﷲ‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬: ‫َﻋ ِن اﻟﻧﱡﻌْ ﻣَﺎ ِن ﺑ ِن ﺑَﺷِ ﯾْرِ رَ ﺿِ ﻲَ ﷲ َﻋ ْﻧ ُﮭﻣَﺎ‬
‫ﺻﻠَﻰ ﷲ َﻋﻠَ ْﯾ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َم " َﻣ َﺛ ُل اﻟَﻣ ُْؤ ِﻣ ِﻧﯾْنَ ﻓِﻲْ ﺗ ََوا ﱡد ِھ ْم َوﺗَرَ ا ُﺣ ِﻣ ِﮭ ْم‬
َ
... "‫ط ِﻔ ِﮭ ْم َﻣ َﺛ ُل اﻟْﺟَ َﺳ ِد‬
ُ ‫َو َﺗﻌَﺎ‬
Artinya : “Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir r.a., dia berkata :
Rasulullah saw telah bersabda, “Orang-orang mukmin dalam hal
saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyanyangi bagaikan
satu tubuh”… (Hadis.diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadis
6011)8
Hadis ini lebih mendorong supaya manusia khususnya sesama
muslim terutama untuk bersikap penuh kasih sayang terhadap manusia
yang lain. Apabila tidak, ia akan tidak akan dikasihi oleh Allah swt. Nabi
Muhammad saw pun yang mempunyai tugas untuk membimbing
manusia mencapai akhlak mulia adalah seorang yang memiliki sifat
penuh kasih sayang, sebagaimana firman Allah swt ;
8
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penterjemah Drs.Achmad Zaidun,
(Jakarta : Pustaka Amani, 2003) cet II, hlm. 1048
91
        
.     
Artinya : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat
belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang
mukmin”. (Q.S.At-Taubah : 128)9
Dari apa yang diuraikan di atas penulis mengambil kesimpulan
bahwa, sikap penuh kasih sayang harus dimiliki oleh para pendidi
terhadap peeserta didiknya ketika dalam proses belajar mengajar. Apabila
tidak dimiliki oleh para pendidik sifat penuh kasih sayang itu, kecil
kemungkinannya proses belajar mengajar akan berhasil dengan baik.
3. Teguran Bagi Peserta Didik Dapat Dilakukan Secara Tidak Langsung,
Lemah Lembut dan Sopan
Nilai-nilai ini juga diisyaratkan dalam surat ‘Abasa ayat 1-4. Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah swt dalam menegur Nabi
Muhammad saw atas sikap beliau yang dinilai-Nya “kurang tepat”,
M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan ;
“ penyebutan kata (‫’ )ﻋﺑس‬abasa dalam bentuk personal
ketiga, tidak secarang langsung menunjuk Nabi saw,
mengisyaratkan betapa halus teguran ini, dan betapa Allah
pun-dalam mendidik Nabi-Nya-tidak menuding beliau secara
tegas mempersalahkannya”.10
9
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risala Press,
1989) , hlm. 303
10
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta
: Lentera Hati, 2002), Juz ‘Amma, hlm. 60
92
Dari keterangan di atas penulis menguraikan, bahwa Allah swt
sebagai pendidik beliau dalam menegurnya tidak secara langsung,
melainkan menegurnya dengan cara tidak langsung. Dari urain itu, dapat
diambil sebuah pelajaran bahwa dalam memperbaiki sikap atau tindakan
peserta didik yang dinilai tidak tepat, tidaklah serta merta pendidik
jatuhkan hukuman secara langsung ataupun teguran secara langsung. Akan
lebih baik dan bijaksana manakala yang pertama kali pendidik lakukan
adalah menegurnya dengan tidak langsung, sopan dan lemah lembut.
Seorang pendidik yang berhasil memperbaiki peserta didiknya
yang melakukan tindakan kurang tepat melalui teguran tidak langsung
dapatlah dikatakan ia seorang pendidik yang memiliki sifat professional.
Sedangkan menegur dengan sopan dan lemah lembut adalah salah satu
kunci suksesnya pendidik dalam mendidik para peserta didiknya.
Urain tersebut memperkuat pernyataan bahwa menegur dengan
tidak langsung, sopan, lemah lembut dalam memperbaiki tindakan peserta
didik yang tidak baik adalah tindakan bijaksana yang harus dilakukan lebih
dahulu, sebab memberi hukuman, sikap ,lemah lembut dalam menegur
akan mendukung keberhasilan dalam membimbing para peserta didik
kearah yang baik. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah swt sebagai
berikut :
93
           
…   
Artinya : “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu …” (Q.S.Ali Imran : 159)11
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kepribadian Rasulullah saw
dalam membimbing para sahabatnya dan manusia lainnya sehingga tidak
menjahui Rasulullah saw disebabkan oleh karena Rasulullah saw memiliki
sifat yang lemah lembut, tidak bersikap kasar dan tidak berhati keras.
Maka guru ketika dalam menegur peserta didik atas tindakannyan yang
tidak tepat atau kurang tepat, jauh akan lebih berhasil apabila
dilakukannya dengan sikap lemah lembut dan sopan.
B. Penerapan Nilai-nilai Kependidikan Surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam Proses
Belajar Mengajar
Sebelum
menjelaskan
bagaimana
menerapkan
nilai-nilai
kependidikan yang terkandung dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam proses
belajar mengajar, penulis terlebih dahulu menjelaskan apa itu proses
belajar mengajar. Proses belajar mengajar terdiri dari tiga kata ; proses,
belajar dan mengajar. Proses berarti rangkaian tindakan, perbuatan atau
penyuluhan yang menghasilkan sesuatu.12
11
90
12
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,( Semarang : CV Asy-Syifa), hlm.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), hlm. 703
94
Belajar mengandung arti berusaha dapat beroleh kepandaian
dengan menghafal, melatih diri dan sebagainya.13 Atau belajar adalah
kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental
dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.14
Sedangkan mengajar adalah membimbing kegiatan siswa belajar.
Mengajar adalah mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di
sekitar siswa sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa
melakukan kegiatan belajar.15 Ada pula yang memberikan pengertian
mengajar adalah aktivitas yang dilakukan guru dengan memberikan
pengajaran kepada para siswa.
Pengajaran
hendaknya
dipandang
sebagai
variable
bebas
(independent variable), yaitu suatu kondisi yang harus dimanipulasikan,
suatu rangkaian strategi yang harus diambil dan dilaksanakan oleh guru.16
Dengan demikian proses belajar mengajar menurut hemat penulis adalah
suatu rangkaian yang dilakukan oleh peserta didik dan pendidik dalam
kelas khususnya, untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berikut ini penulis kemukakan penerapan nilai-nilai kependidikan
moral dan sosial yang terkandung dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 dalam
kegiatan proses belajar mengajar sebagai berikut ;
13
Ibid., hlm 22
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), cet 3, hlm. 59
15
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung :
CV. Sinar Baru, 1989), hlm. 5
16
Munzeir S dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta :
Amissco, 2008),cet 2, hlm 61
14
95
1. Sikap Adil dalam Proses Belajar Mengajar
Apa yang diisyaratkan dalam al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 5-10
tersebut hendaknya bersikap adil, dalam kegiatan proses belajar
mengajar harus diterapkan. Sering dalam kegiatan prose belajar
mengajar di sekolah/madrasah peserta didik yang telah mencapai
perkembangan kecerdasan mengadakan penilaian terhadap sikap dan
tindakan pendidik terhadap peserta didiknya.
Ada di antara mereka menyatakan :”Bapak A pilih kasih terhadap
murid-muridnya. Bapak B tidak adil dalam membuat soal-soal tes, kelas
saya soalnya sulit-sulit dan kelas lainnya mudah-mudah. Bapak C
kurang adil dalam memberikan penilaian dan lain-lain”. Terlepas
apakah penilaian peserta didik tersebut benar atau salah, hal demikian
itu menunjukkan bahwa peserta didik ingin diperlakukan secara adil
oleh seorang pendidik. Dalam hal itu, Allah swt berfirman QS An-Nisa’
58;
          
…    
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil….” (QS. An-Nisa’
58).17
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press,
1989), hlm. 128
96
Dengan demikian sikap adil dalam proses belajar mengajar harus
diterapkan dan dilaksanakan. Caranya, dengan memberikan materi
pelajaran kepada semua peserta didik dan memberikan kesempatan
yang sama untuk belajar atau bertanya tanpa membedakan status sosial,
ekonomi, budaya dan rupa shingga tidak ada kesan pilih kasih atau
perbedaan (diskriminasi). Pendidik hendaknya tidak menyisakan meteri
pelajaran dalam waktu yang telah ditentukan pada kelas yang satu,
sedangkan di kelas yang lainnya ia telah menyelesaikan materi
pelajaran dalam waktu yang telah ditentukan.
Pendidik hendaknya menanggapi semua pertanyaan dari pesertata
didik dan tidak mengabaikan pertanyaan peserta didik yang lain. Apa
yang diinginkan, diminta oleh peserta didik dalam rangka belajara,
sesame keinginan, permintaan itu sesuai dengan peraturan yang ada dan
masih dalam batas kewajaran hendaknya dilayani dengan sebaikbaiknya. Selain itu dalam membuat soal-soal tes untuk mengetahui
penguasaan materi pelajaran oleh peserta didik juga hendaknya
diterapkan. Jadi tidak diberikan soal-soal tes yang diluar materi
pelajaran yang telah di berikannya. Hendaknya juga kualitas soal yang
diberikan di kelas satu dengan yang lainnya ataupun, ataupun dilajur
kanan atau kiri dalam satu kelas.
Kemudian dalam memberikan penilaian pun sikap adil juga harus
diterapkan dengan memberikan penilaian yang obyektif terhadap
kemampuan belajar para peserta didik. Yaitu agar peserta didik tidak
97
merasa adanya penialain berat sebelah hendaknya peserta didik diberi
tahu komponen atau dasar penilaian dan lembar jawaban atas tesnya
yang telah dikoreksi dan dinilainya diberikan kepada peserta didik agar
mengetahui hasil sebenarnya asli tesnya.
Dari urain tersebut jelaslah bahwa sikap adil dalam proses belajar
mengajar harus diterapkan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Tentu saja penerapannya tidak sebatas apa yang diuraikan di atas.
Dalam banyak kegiatan belajar di sekolah/madrasah sikap adil
dibutuhkan oleh peserta didik. Bagi peserta didik penerapannya yang
baik akan membuat dirinya senang dan bersemangat belajar dalam
mencapai prestasinya. Sikap adil ini jelas sangat membantu berjalannya
proses belajar mengajar yang harus dimilki oleh seorang pendidik,
supaya dalam interaksi belajar sehari-hari bisa berjalan dengan baik.
2. Rasa Kasih Sayang dalam Proses Belajar Menagajar
Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 1-4
yaitu mengisyaratkan
hendaknya bersikap kasih sayang terhadap peserta didik, dapat
diterapkan dalam proses belajar mengajar. Dari keterangan tersebut
telah jelas bahwa para peserta didik membutuhkan rasa kasih sayang
dari para pendidik. dan rasa kasih sayang yang diberikan oleh para
pendidik kepada peserta didik dapat menunjang kedaya gunaan belajar,
rasa kasih sayang itu dapat diterapkan oleh guru dalam proses belajar
mengajar dengan cara mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata atau
perbuatan.
98
Berkenaan dengan hal itu, Allah swt berfirman QS Ali Imran ayat
159 ;
           
…   
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu .. .. (QS Ali Imran : 159)18
Dari ayat di atas dapat dimengerti bahwa kelembutan merupakan
refleksi dari kasih sayang yang telah dianugerahkan oleh Allah di dalam
jiwa setiap manusia. Kelembutan akan lahir dari hati yang penuh kasih
sayang. Hanya orang yang memiliki kasih sayanglah yang akan
berperilaku lemah lembut. Adapun ungkapan rasa kasih sayang dapat
diterapkan dalam bentuk kata-kata misalnya ketika memulaia pelajaran
pendidik menyatakan : ”Para peserta didik yang kusayangi, marilah
pelajaran yang lalu kita lanjutkan” , kata-kata yang neniliki makna
kasih sayang mempunyai dampak yang positif bagi jiwa peserta didik.
Sedangkan ungkapan dengan rasa kasih sayang yang diterapkan
jauh lebih terasa oleh peserta didik apabila dilakuk perbuatan, misalnya
: misalnya ada seorang peserta didik yang sedang sakit pendidik
menyempatkan diri menjenguknya dan mendo’akan agar segera
sembuh.
18
Ibid., hlm. 103
99
Apabila pendidik melakukan ini, bagi peserta didik mengandung
arti bahwa pendidik tersebut menyanyanginya dan merasa kehilangan
peserta didiknya. Hal ini membuat hubungan pendidik dan peserta
didiksemakin baik dan menumbuhkan kepercayaan kepada diri peserta
didik sehingga semangatnya untuk belajar semakin bertambah.
Perbuatan pendidik yang jauh lebih dirasakan lagi sebagai
ungkapan rasa ksaih sayangnya oleh pesreta didik adalah apabila
pendidik membimbingnya dengan penuh perhatian dan kesabaran serta
mau memberikan suatu rangkuman yang sistematis dan efektif atas
pelajaran-pelajaran yang dianggapnya sulit atau tidak sulit sehingga
peserta didik merasa mudah dan senang mempelajarinya.
Pendidik hendaknya menerapkan kepada peserta didik rasa kasih
sayang. Drs.Sudarsono S.H mengemukakan tentang kasih sayang yaitu ;
“…kasih sayang merupakan pembawaan naluri setiap orang.
Kasih sayang, dalam etika Islam termasuk salah saru sifat yang
terpuji (mahmudah). Perwujudan sifat kasih sayang atau “arrahman” di dalam Etika Islam meliputi : perlakuan kasih sayang
di dalam keluarga, kasih sayang dalam lingkungan dan antar
bangsa. Jika seseorang memiliki sifat “ar-rahmah’ maka ia akan
memiliki tingkah laku : suka menyambung tali kekeluargaan
(silaturrahmi), memiliki rasa persaudaraan yang sangat erat,
mudah damai, suka menolong orang lain yang sedang
mengalami kesulitan, mudah memaafkan kesalahan yang
dilakukan orang lain kepadanya dan bersifat pemurah. Sifat-sifat
mahmudah yang tercakup dalam Etika Islam sangat dibutuhkan
dalam kehidupan masyarakat.19
19
Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991),
cet II, hlm. 52
100
Pendidik yang menerapkan ini akan disenangi oleh pesertta didik
karena dia memahami kebutuhannya, sehingga mau memberikannya.
Apabila rasa senang terhadap pendidik sudah timbul dalam diri pribadi
peserta didik, maka dalam proses belajar mengajar akan mempunyai
kedayagunaaanya yang lebih. Karena rasa senang terhadap pendidik
yang dimiliki peserta didik akan mendorongnya untuk mengikuti
pelajaran yang diberikannya dengan baik dan penuh perhatian.
Dari urain di atas jelaslah bahwa rasa kasih sayang itu
dibtutuhkan oleh peserta didik. Pendidik semestinya mempunyai sifat
ini dalam arti yang lebih luas lagi dan menerapkannya dalam proses
belajar mengajar. Karena hal demikian menunjang keberhasilan dalam
kegiatan proses belajar mengajar yang diinginkan oleh peserta didik dan
pendidik.
3. Teguran Secara Tidak Langsung, Sopan, Lemah Lembut dalam
Proses Belajar Mengajar
Nilai-nilai yang diisyaratkan oleh rangkaian ayat 1-4 dalam alQur’an surat ‘Abasa yaitu hendaknya menegur dengan tidak langsung
dan lemah lembut dapat diterapkan dalam peoses belajar mengajar.
Dalam proses belajar mengajar, tidak selamanya apa yang
dilakukan peserta didik dapat diterima oleh pendidik. Pada waktu
berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas, tak jarang ada peserta
didik yang melakukan sesuatu yang dapat mengganggu berlangsungnya
pembelajaran. Misalnya : Peserta didik yang datang terlambat dan
101
mengganggu kelas yang sedang diadakan kegiatan belajar, peserta didik
yang gaduh di dalam kelas, peserta didik yang berteriak-teriak di
ruangan dan lain-lain.
Apabila pendidik yang bersangkutan ingin merubah perilaku
peserta didik yang tidak dapat diterima itu, maka pendidik harus
menegur dengan sopan dan lemah lembut, adalah yang harus
diterapkannya lebih dahulu dalam keadaan tersebut. Menasihati dengan
lemah lembut merupakan diantara kesuksesan pendidik dalam proses
belajar mengajar. Nasihat adalah upaya menyadarkan pelajar akan
pelanggarannya dengan bertolak dari aturan dalam kegiatan belajar
mengajar, serta kepada pelajar diberi informasi-informasi untuk
memperluas wawasannya tentang akibat-akibat dari pelanggarannya.20
Berdasarkan penjelasan tersebut Allah swt berfirman dalam QS
al-Hujurat ayat 12 ;
         
…        
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain…. (QS.al-Hujurat
: 12)21
20
Suparta dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Amissco,
2008), cet II, hlm .216-217
21
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Gema Risalah Press :
1989), hlm.847
102
Dalam mengubah pelanggaran peserta didik , pendidik dapat
menggunakan prinsip nasihat yaitu : pada awalnya pelajar harus
mengetahui dengan jelas apa pelanggarannya, sebaiknya guru tidak
memberitahukan secara langsung kepada pelajar apa pelanggaran
pelajar melainkan membimbing pelajar untuk menemukan sendiri dan
mengungkapkan kembali pelanggarannya, serta sebaiknya pemahaman
pelajar tentang akibat-akibat dari pelanggarannya merupakan hasil
diskusi antara guru dan pelajar.22
Peringatan secara tidak langsung juga memberikan stimulus
kepada peserta didik ketika melakukan pelanggaran dalam kegiatan
belajar mengajar. Peringatan adalah penginformasian secara singkat
kepada pelajar apa kesalahannya serta konsekuensi-konsekuensi yang
akan ditanggung bila kesalahan yang sama diulang kembali. Dalam
peringatan terdapay dua hal yaitu peringatan tentang pelanggaran
pelajar, serta pernyataan tentang konsekuensi yang akan ditanggung
bila pelanggaran itu diulangi.23
Dengan demikian menegur yang sopan dan lemah lembut serta
memberikan nasihat harus diterapkan dalam proses belajar mengajar,
dan peserta didik tidak akan mudah melakukan tindakan-tindakan yang
menggangu jalannya kegiatan belajar mengajar.
22
23
Op.,cit., hlm 217
Ibid.,
103
C. Analisis Terhadap Tafsir dalam al-Qur ‘an Surat ‘Abasa Ayat 1-10
Dari urian yang diberikan oleh para ahli tafsir tersebut penulis
memberikan analisis bahwa peristiwaa turunnya surat ‘Abasa ini memberikan
kandungan pengertian bahwa betapa tinggi akhlak Rasulullah saw dengan
ketinggian yang tiada bandingnya sampaipun dalam isyarat dengan mata dan
bermuka masam. Sikap Rasulullah saw yang bermuka masam dan berpaling
tersebut bukan merupakan sifat kekurangan beliau, melainkan sifat
kemuliaannya. Karena beliau memiliki sifat maksum, mengutamakan orangorang yang benar-benar beriman dan mensucikan hati itu lebih diutamakan
dari pada orang yang tidak bersungguh-sungguh takut kepada Allah swt.
Dari uraian tafsir yang dikemukakan oleh Ahmad Musthafa alMaraghi dalam kitabnya tafsir al-Maraghi ayat 1-4 dapat disimpulkan
sesungguhnya kamu tiada mengetahui apa yang hendak dilakukannya yaitu
keinginan untuk membersihkan diri dan meminta nasehat. Jika kamu
mengetahui hal itu, niscaya kamu tidak akan memperlakukannya secara
demikian. Kemudian ayat 5-7 dapat disimpulkan : “Jangan engkau terlalu
berharap akan ke-Islam-an mereka. Dan jangan pula menyibukkan diri
dengan ajakan kepada mereka kemudian engkaumemalingkan muka dari
orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada-Ku.24
Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10, penulis mengambil kesimpulan dari
pernyataan M.Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah yaitu : “Apa yang
24
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : PT Karya Toha
Putra, 1993), cet ke II, hlm 72-73.
104
dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan
kata-kata apalagi mengusirnya, adalah sikap yang sanagt terpuji-dalam
ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan
mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa
mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama
sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan, muka masamnya pun tidak terlihat
oleh ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bartanya : Jika demikian,
mangapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau manusia teragung
sehingga sikap yang menimbulkan kesan negatif pun tidak dikehendaki Allah
untuk beliau perankan.25
Dari beberapa urain di atas penulis menyimpulkan setelah menerima
teguran dari Allah swt dalam kisah ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum, Rasulullah
saw selalu menerima dan menghormati ‘Abdullah Ibn Maktum yang buta dan
fakir itu serta selalu menanyakan tentang keadaan dan keperluannya. Bahkan
bila ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum datang kepada beliau Rasulullah saw
mengucapkan “selamat datang orang yang menyebabkan aku ditegur oleh
Allah sawt”. Apa yang dilakukan Rasulullah saw itu menandakan betapa
beliau itu mengasihi dan menyanyangi ‘Abdullah Ibn Maktum.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw tersebut, bila kita tarik dalam
konteks pendidikan antara hubungan guru dan peserta didik sekarang ini,
maka terhadap peserta didik yang menuntut ilmu dan butuh kepada ilmu serta
25
M.Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta
: Lentera, 2002), juz ‘Amma, hlm. 75
105
bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, sebagai guru hendaknya
menyanyangi dan mengasihi peserta didik dan melayaninya dengan lemah
lembut, kasih sayang dan dengan keseriusan meskipun peserta didik
kekurangan dalam pengetahuan dan kefakiran.
Lebih lanjut seorang guru hendaknya bersikap adil dalam mendidik,
menyampaikan ilmu terhadap para peserta didik dalam menyamakan
kedudukan mereka, baik mereka itu orang yang terpandang atau orang yang
lemah, orang fakir atau orang kaya. Hal ini bila kita kontekstualisasikan
kegiatan belajar mengajar maka guru juga menegur secara tidak langsung,
bersikap penuh kasih sayang dalam mendidik dan berlaku lemah lembut dan
penuh dengan kesopanan.
Ketiga nilai-nilai kependidikan moral dan social dari penurunan surat
‘Abasa ayat 1-10 tersebut yaitu 1) nilai keadilan, 2) nilai kasih sayang, 3)
nilai kesopanan (menegur tidak langsung dan lemah lembut), akan penulis
bahas lebih menda;am di bab IV yang disertai dengan bagaimana
menerapkannya dalam kegiatan proses belajar mengajar.
Dari penjelasan tafsir di atas penulis mengambil beberapa pelajaran
yang terdapat dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 diantaranya ;
1. Allah swt menegur sikap Rasulullah saw yang lebih mengutamakan orangorang kafir dari pada orang yang beriman walaupun orang-orang kafir itu
pembesar kaum, sedang orang beriman itu pula buta dan miskin. Ini
mengandungi pengajaran agar Rasulullah saw tidak mengecilkan hati
106
orang-orang beriman kerana mereka lebih baik dari orang-orang kafir
walaupun mereka miskin.
2. Sikap Rasulullah saw demikian bukanlah suatu dosa dan tidak bercanggah
dengan sifat maksumnya (terpelihara dari dosa) kerana sikap tersebut
muncul dari sifat semula jadi (naluri) Rasulullah saw sebagai manusia
biasa seperti ridha, benci, ketawa, dan menangis yang tidaklah dibebankan
dengan dosa di dalam syariat Islam.
3. Sifat merasa diri serba berkecukupan selalu mendorong manusia menjadi
angkuh dan sombong. Inilah sifat orang-orang kafir. Padahal jika direnung
dengan cermat sebenarnya manusia sangat berhajat kepada bantuan Allah
swt. Oleh itu Rasulullah saw tidak sepatutnya memberi perhatian lebih
kepada mereka yang memiliki sifat buruk demikian.
4. Sifat orang yang beriman senantiasa berusaha untuk membersihkan dirinya
dengan mengambil pengajaran dari al-Quran. Dan pengajaran al-Quran
sangat berguna bagi orang-orang yang beriman. Mereka takut kalau-kalau
terjerumus ke dalam lembah kesesatan. Oleh sebab itu, manusia seperti ini
perlu diberi perhatian dan sangat tidak wajar kalau diabaikan.
5. Para pendakwah tidak dibebani dosa jika orang yang didakwahi tidak
mengikuti ajakan atau dakwah yang disampaikan. Tugas mereka hanya
menyampaikan saja. Tidak ada paksaan dalam agama. Taufik dan hidayah
secara mutlaknya datang daripada Allah swt.
BAB V
KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang penulis kaji dalam bab demi bab skripsi
ini, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut ;
1.
Dalam
surat
‘Abasa
ayat
1-10
terkandung
beberapa
nilai-nilai
kependidikan moral dan sosial antara lain :
a.
Nilai keadilan adalah memberikan kesempatan yang sama antara
orang kaya dengan orang miskin, laki-laki dengan wanita dalam hal
pendidikan.
b.
Nilai rasa kasih sayang adalah sikap penuh rasa kasih sayang kepada
peserta didik karena merupakan kebutuhan jiwa yang paling pokok
dalam kehidupan manusia,
c.
Nilai kesopanan (lemah lembut, menegur secara tidak langsung)
adalah sikap yang dilakukan oleh pendidik dalam memperbaiki
tindakan atau perbuatan peserta didik yang dinilai kurang tepat dalam
proses belajar mengajar.
2.
Dalam surat ‘Abasa ayat 1-10 juga terkandung beberapa penerapan nilainilai kependidikan dan moral antara lain :
a. Nilai adil dalam proses belajar mengajar antara lain, dengan
memberikan mata pelajaran kepada semua peserta didik dan
memberikan kesempatan dan hak yang sama untuk belajar ataupun
101
102
bertanya tanpa membedakan status sosial, ekonomi, budaya dan rupa
sehingga tidak ada kesan pilih kasih atau perbedaan (diskriminasi)
b. Nilai kasih sayang terhadap peserta didik dalam proses belajar
mengajar dengan cara mengungkangkannya dalam bentuk kata-kata
atau perbuatan.
c. Nilai kesopanan (menegur dengan tidak langsung dan lemah lembut)
dalam proses belajar mengajar tidak selamanya apa yang dilakukan
peserta didik dapat diterima oleh pendidik (guru). apabila guru ingin
mengubah perilaku peserta didik yang tidak dapat diterima itu, maka
menegur dengan sopan dan lemah lembut yang harus diterapkannya
lebih dahulu dalam keadaan tersebut
B. Saran-saran
1. Pemerintah, dalam kebijakan kependidikan hendaknya meningkatkan
pemerataan pendidikan agar setiap warga negara khususnya anak-anak
orang miskin sempat dan mendapatkan layanan pendidikan secara
maksimal karena itu merupakan haknya.
2. Dengan diberlakukannya otonomi pendidikan maka profesionalisme guru
hendaknya ditingkatkan guna menyongsong kemajuan dunia pendidikan
kedepan.
3. Masyarakat
yang
mampu
hendaknya
aktif
dalam
mensukseskan
pendidikan dengan membantu anak-anak yang tidak mampu atau putus
sekolah agar pendidikan anak-anak tersebut bisa berhasil dan berjalan
dengan baik.
103
C. Penutup
Puji syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah swt yang
dengan rahnat-Nya penulsi dapat menyusun skripsi ini sebagai syarat mendapat
gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Penulis menyadari dengan sepenuh hati, bahwa skripsi ini masih perlu
pembenahan baik dari segi isi maupun metode. Segala kitik dan saran atas
skripsi ini penuils harapkan dan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.
Akhirnya dengan selesainya skripsi ini penulis harapkan mudahmudahan bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya,
Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Assa’idi Sa’dullah, 2013, Pemahan Tematik Al-Qur’an Menurut
Fazlur Rahman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Ar-Rifa’i Muhammad Nasib, 2000, Kemudahan dari Allah Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir , Jilid 4 Jakarta:Gema Insani Press
Azra Azyumardi , 2001, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta : Kalimah, cet III
Amin Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), 1975, Jakarta : Bulan Bintang
Asrori Muhammad, 2008, Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV
Wacana Prima
Ali Daud Muhammad, 1998, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Ash-Shiddieqy Hasbi, 2009, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir, Semarang : Pustaka Rizki Putra
______, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an), 2010, Semarang :
PT Pustaka Rizki Putra, cet II
Al-Zarqani ‘Azhim Abdul Muhammad, Manahil al-Irfan fi Ulum alQur’an, Mesir : Isa al-Halaby, juz 1
Al-Shalih Subhi, 1977, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut : Dar alAlam lil Malain, cet ke 9
Al-Maraghi Musthafa Ahmad, 1993, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,
Semarang : PT Karya Toha Putra, juz 30.
Al-Mahalli Jalaluddin dan As-Syuyuti Jamaluddin, 2003, Tafsir
Jalalain, Bandung : Sinarbaru al-Gensindo
Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1989, Bandung
: Gema Risalah Press
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1988, Jakarta : Balai Pustaka
Darajat Zakiah, 1997, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia :
Jakarta : PT Bulan Bintang, cet ke 4
Dahlan, Shaleh, 2000, Asbabun Nuzuul, Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an : Bandung : Diponegoro, edisi II
Ghulsyani Mahdi, 2001, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an : Bandung
: Mizan Media Utama, cet XII
Husein al-Habsyi, 1992, Nabi Muhammad SAW Bermuka Manis Tidak
Bermuka Masam : Jakarta : al-Kautsar
Hayati Usman, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa : Bandung : Pustaka
HM Arifin, 1994, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisiplinier : Jakarta ; Bumi Aksara
Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia : Surabaya : Kartika
Langgulung Hasan, 1985, Pendidikan dan Peradaban Islam, : Jakarta,
Pustaka al-Husna
Muhammad Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, : Bairut Dar
al-Irsyad
Mundiri, Logika, 1996, Diterbitkan atas kerjasama dengan Badan
Penerbitan IAIN Walisongo Semarang Press, Jakarta : Rajawali Pers
Muta’alimah, Muqaddas Ali, 2014, Membangun Karakter Bangsa
Melalui Akidah dan Akhlak : Semarang : Rafi Sarana Perkasa
Marimba D Ahmad, 1980, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : AlMa’arif, cet ke 4
Nasution, 1982, Teknologi Pendidikan : Bandung : Bumi Aksara
Nata, Abudin, 1997, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Piet A Suhertian, 2008, Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi
Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia : Jakarta :
Rineka
Rahman Taufiq, 2002, Panduan Belajar Sosiologi : Jakarta : Yudistira
Shihab M Quraish, 2003, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Keserasian AlQur’an : Jakarta : Lentera Hati
_________, 2009, Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat : Bandung : Mizan, cet III. Edisi 1
Shihab Umar, 2003, Konstektualitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas
Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an : Jakarta : Penamadani
Surahmad Winarno, 1972, Proses dan Tehnik Research : Bandung :
Tarsindo
Syah Muhibbin, 2001, Psikologi Belajar : Jakarta : Logos Wacana
Ilmu
Sujana Nana, 1989, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar
Mengajar : Bandung : CV Sinar Baru
Sudarsono, 1991Etika Kenakalan Remaja, Jakarta : PT Rineka Cipta,
cet II
Suratno, St Chamamah, 2003, Ensiklopedi Al-Qur’an Dunia Islam
Modern : Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, jilid 1
Suparta, Aly Noer Hery, 2008, Metodologi Pengajaran Agama Islam :
Jakarta : Amissco
Soekanto Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar : Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, edisi IV
Taufiq Rahman,
2002, Panduan Belajar Sosiologi 2 : Jakarta, :
Yudhistira
Zuhdi Masjfuk, 1993, Pengantar Ulumul Qur’an : Surabaya : Bina
Ilmu
Download