Implementasi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

advertisement
Implementasi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya:
Kerangka Normatif dan Standar Internasional∗
Oleh: Ifdhal Kasim∗
Pendahuluan
Makalah ini akan membahas isu-isu yang diajukan dalam term of reference seminar ini,
yakni: (i) berbagai kerangka normatif danm standar internasional yang mengatur hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya; (ii) sistem dan mekanisme internasional implementasi hakhak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk badan-badan internasional yang terkait; (iii)
berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem dan mekanisme internasional
menyangkut hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta langkah-langkah internasional
dalam penyempurnaannya; (iv) kerangka normatif kewajiban negara menurut sistem dan
standar internasional dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya; dan (v) sumber-sumber acuan normatif kewajiban negara termasuk Prinsipprinsip Linburg dan Maaastricht.
Kerangka Normatif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak ekosob di dalam hukum hak
asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki bahasan pokok tulisan ini. Tidak
berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak ekosob merupakan bagian yang esensial
dalam hukum hak asasi manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan
politik ia menjadi bagian dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari
∗
Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang “Menuju Perlindungan dan Pemantauan
yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi
Hak Asasi Manusia UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), di Yogyakarta,
16 April 2007.
∗
Adalah Direktur Hukum dan Legislasi Reform Institute, Jakarta.
1
international bill of human rights, kedudukan hak ekosob dengan demikian sangat
penting dalam hukum hak asasi manusia internasional; ia menjadi acuan pencapaian
bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian hak ekosob
tidak dapat ditempatkan di bawah hak-hak sipil dan politik
--sebagaimana telah
dikesankan selama ini.
Pengikatan terhadap hak eksob itu diwujudkan dengan mempositifikasikan hak-hak
tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam
Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya –yang dalam bahasa aslinya dikenal
dengan Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disingkat
CESCR), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966 –bersama-sama
dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua kovenan ini memang dilahirkan secara
bersamaan, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan pada saat perumusannya ketika
itu.1 Negara-negara yang telah menjadi pihak pada Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya itu --dengan meratifikasinya, mencapai berjumlah 142 Negara,2 dan kini
ditambah satu negara lagi yang baru meratifikasi, yaitu Indonesia.
Tingginya tingkat ratifikasi terhadap kovenan ini menunjukkan, bahwa kovenan ini
memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Karena ia telah diterima oleh lebih dari
seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional menganggap,
perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki kedudukan sebagai bagian
dari hukum kebiasaan internasional (international customary law);3 ia mengikat setiap
negara dengan atau tanpa ratifikasi. Tetapi bagi kita sekarang, kovenan tersebut telah
1
Pada saat perumusannya, para perancangnya berupaya merumuskan sebuah international bill of human
rights, yang mencakup kedua kategori hak tersebut. Bukan memisahkannya ke dalam dua kovenan. Tetapi
karena pertentang politik pada saat itu, yang berada dalam atmosfir Perang Dingin, akhirnya dipisahkan
menjadi dua kovenan. Uraian ringkas mengenai ini dapat dibaca dalam Thomas Buergental, International
Human Rights in A Nutshell (Wset Publising Co, 1995).
2
Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000 CESCR telah
diratifikasi oleh 142 Negara dan ditandatangani oleh 61 Negara. Kemudian pada tahun 1997, Cina
menyusul meratifikasi kovenan ini, persisnya 27 Oktober 1997. Lihat, Millenium Summit Multilateral
Treaty Framework (New York: United Nations, 2000). Oktober 2005, menyusul Indonesia meratifikasinya.
3
Argumen seperti ini diajukan dan dipertahankan oleh, di antaranya, yang paling vokal adalah Prof.
Lois B. Sohn dan Browlie. Lihat Lois B. Sohn & T. Buergental, International Protection of Human Rights,
1973; dan Ian Browlie, Principles of Public International Law (New York: Oxford University Press, 1990).
2
menjadi bagian dari hukum nasional kita; ia telah mengikat negara ini untuk
melaksanakan isi kovenan tersebut di dalam negerinya.
Pembahasan dari sudut legal ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik.
Tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenainya menunjukkan realitas
yang lain, yakni memposisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hakhak sipil dan politik. Jadi dalam waktu yang lama telah berkembang persepsi yang
menyangkal keberadaan hak-hak ekosob ini dalam rezim hukum hak asasi manusia,
dengan mengatakan bahwa hak-hak ini bukanlah hak yang riel (not really right). Karena
itu marilah kita periksa pula bagaimana penyangkalan tersebut dibangun.
Penyangkalan terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Selama ini telah terbangun suatu persepsi populer mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. –yang telah diterima secara umum. Yaitu persepsi atau pandangan yang
mengontraskan hak ekosob dengan hak-hak sipil dan politik. Kedua kategori hak ini
dikontraskan secara diametral. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya digambarkan
sekedar sebagai statemen politik, sementara hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai
hak yang riil. Karena kedua kategori hak ini, yang diatur dalam masing-masing kovenan,
memang menggunakan formulasi hukum yang berbeda. Kalau CESCR menggunakan
formulasi “… undertakes to take steps, … to the maximum of its available resources, with
a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the
present Covenant …”.4 Dipihak lain, ICCPR (Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik)
menggunakan: “… undertakes to respect and to ensure to all induvidual within its
territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant
…”.5 Formulasi hukum yang berbeda ini dijadikan dasar untuk menarik garis pembeda
yang tajam antara kedua kovenan tersebut.
4
Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
5
Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
3
Perbedaan tajam yang dibuat itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak-hak sipil dan politik
dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights).6 Dikatakan positif, karena untuk
merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan
negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif (obligation to do something).
Sebaliknya dikatakan negatif, karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam
rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Peran negara di sini
haruslah pasif (obligation not to do something). Makanya hak-hak negatif itu dirumuskan
dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori
positif dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas). Sebagai hak-hak positif, maka
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan (nonjusticiable). Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat
dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat
menuntut negara ke muka pengadilan, karena pelanggaran tersebut. Sebaliknya, orang
yang disiksa oleh aparatur negara dapat dengan segera menuntut tanggung jawab negara
atas pelanggaran tersebut ke muka pengadilan.
Disamping membedakannya dengan cara positif dan negatif tersebut, juga dibuat
perbedaan secara ideologis. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dikatakan bermuatan
ideologis, sementara hak-hak sipil dan politik non-ideologis. Artinya hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya hanya dapat diterapkan pada suatu sistem ekonomi tertentu, sedangkan
hak-hak sipil dan politik dapat diterapkan untuk semua sistem ekonomi atau
pemerintahan apapun. Atau dalam kata-kata Philip Alston dan Gerald Quinn,7
“... civil and political rights are seen as essentially non-ideological in nature and
are potentially compatible with most system of goverment. By contrast,
economic, social and cultural rights are often perceived to be of a deeply
ideological nature, to necessitate an unacceptable degree of intervention in the
6
Lihat Vierdag, “The Legal Nature of the Rights Granted by the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights”, Netherlands Yearbook of International Law 1978, 69-105.
7
Philips Alston dan Gerald Quinn, “The Nature and Scope of States Parties Obligations under the
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights”, Human Rights Quarterly, Vol 9 (May,
1987), No. 2.
4
domestic affairs of states, and to be inherently incompatible with a free market
economy”.
Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. Kalau hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara --meminjam istilah yang
digunakan Komisi Hukum Internasional-- dalam bentuk obligations of result, sedangka
hak-hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of
conduct. Tetapi apakah argumen-argumen penyangkalan tersebut memiliki validitas yang
kuat? Ternyata kontras yang dibuat itu hanya artifisial dan mitos belaka. Karena
perbedaan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai legal nature
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan kajian-kajian mutakhir, seperti yang
diprakarsai oleh ahli-ahli hukum seperti Philip Alston, Asbojrn Aide, Audrey Chapman,
Scott Leckie, Katarina Tomasevski (sekedar menyebut beberapa di antaranya),
mengungkapkan ketidaksahihan penyangkalan tersebut. Pandangan-pandangan mereka
sangat mempengaruhi perumusan Prinsip-prinsip Limburg8 dan Pedoman Maastrict.9
Kebijakan Negara dalam Melindungi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Berdasarkan pada kajian-kajian mutakhir hak-hak ekosob, ternyata diungkapkan bahwa
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak sepenuhnya merupakan hak-hak positif.
Sebab cukup banyak hak-hak yang diakui di dalamnya menuntut negara agar tidak
mengambil tindakan (state obligation not to do something) guna melindungi hak tersebut.
Bukannya melulu mengharuskan negara aktif mengambil tindakan. Hal ini dapat kita
lihat pada klausul-klausul seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah,
kebebasan melakukan riset, larangan menggunakan anak-anak untuk pekerjaan
berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di dalam CESCR. Ketentuan-ketentuan itu
menunjukkan dengan gamblang, bahwa yang diatur di dalam CESCR bukan hanya hak8
Prinsip-prinsip Limburg ini dirumuskan oleh para ahli hukum internasional sebagai suatu usaha
untuk mengefektifkan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberikan penafsiran
baru terhadap ketentuan-ketentuan CESCR. Prinsip-prinsip ini tidak mengikat secara hukum.
9
Pedoman ini juga dirumuskan oleh para ahli hukum internasional yang tidak mengikat secara
hukum. Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam memantau pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya.
5
hak dalam jenis “rights to”, tetapi juga hak-hak dalam jenis “freedom from”. Jadi
mengatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya semata-mata merupakan hak-hak
positif jelas menyesatkan.
Makanya frasa undertakes to take steps, to achieve progressively dan to maximum of its
available resources pada pasal 2(1) CESCR harus dilihat sebagai ketentuan yang
memiliki hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya.10 Hakikat kewajiban
hukum yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi
juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). Makanya kurang tepat, tanggung
jawab negara di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini dibedakan antara
obligation of conduct dan obligation of result. Kedua kewajiban itu merupakan kewajiban
yang sekaligus harus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil
langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut
berhasil (obligation of result). Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak
diberbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan
memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas mengapa dikatakan
keliru, jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada obligation of result.
Dalam sebuah konferensi yang diorganisir oleh International Commission of Jurist,
David Matas11 --salah seorang yang terlibat dalam dalam konferensi tersebut, dengan
tegas menolak pemisahan antara kedua bentuk tanggung jawab negara itu. Kita turunkan
di sini pendapatnya:
10
Salah seorang sarjana yang memberi perhatian besar terhadap frasa-frasa kontroversial itu adalah
Robert E. Robertson. Dalam tulisannya yang mengulas frasa ‘maximum available resources’, Robertson
menunjukkan betapa tidak mudahnya memahami bahasa yang digunakan CESCR. Katanya, “It is a
difficult phrase –two warring adjectives describing an undefined noun. ‘Maximum’ stands for idealism;
‘available’ stands for reality. ‘Maximum’ is the sword of human rights rhetoric; ‘available’ is the wiggle
room for the State. Lihat, Robert E. Robertson, “Measuring State Compliance with the Obligation to
Devote the “Maximum Available Resources” to Realizing Economic, Social and Cultural Rights,” Human
Rights Quarterly, Vol. 16 (November 1994): Hlm.694.
11
Lihat David Matas, “Economic, Social and Cultural Rights and the Rule of Lawyers: North
American Perspectives”, International Commission of Jurist: Special Issue, December 1995.
6
“Put in terms of distinction between obligations of conduct and obligations of
result, the notion that economic, social and cultural rights are always and only
obligations of result, and that political and civil rights are always and only
obligations of conduct is false. For countries like Canada and the US all
economic and social rights are obligations of conduct and not just obligations of
result. For countries like Canada and the US, if an economic, social or cultural
rights is not being realised, the reason is unwillingness and not incapacity”.
Prinsip-prinsip Limburg juga menegaskan hal yang serupa. Kumpulan prinsip yang
disusun oleh para ahli hukum internasional itu --yang didesain untuk memberi pedoman
dalam mengimplementasikan CESCR, berusaha meletakkan arah baru dalam melihat
tanggung jawab negara dalam konteks hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Yaitu
dengan tidak memandangnya melulu bersifat positif. Hal ini dapat kita baca pada
paragraf ke-16 Prinsip-prinsip Limburg itu. Di sana dikatakannya:
“All States parties have an obligation to begin immediately to take steps towards
full realization of the rights contained in the Covenant.”
Selanjutnya pada paragraf ke-22, ditegaskan lagi:
“Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full
by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of
the Covenant.”
Jadi, meskipun CESCR menetapkan pencapaian secara bertahap dan mengakui realitas
keterbatasan sumberdaya yang tersedia di satu sisi, pada sisi lain ia juga menetapkan
berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dilecehkan sebagai “bukan merupakan hak
yang sebenarnya” alias sekedar “statemen politik”. Sama seperti hak-hak sipil dan politik,
ia juga merupakan hak yang sebenarnya yang juga dapat dituntut pemenuhannya melalui
pengadilan (justiciable). Terutama untuk hak-hak yang diatur pada pasal 3, 7(a) dan (i),
8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal 15(3). Hak-hak dalam pasal-pasal ini bersifat
justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan nasional masing-masing negara.
Argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat
digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan segera hak-hak tersebut. Jadi anggapan
selama ini mengenai non-justiciable dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jelas
7
menyesatkan. Selain tidak menyumbang apa pun bagi kepentingan advokasi pemenuhan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Begitu juga mengenai anggapan, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak
cocok bagi semua sistem pemerintahan atau ekonomi. Karena ia ideologis! Anggapan ini
juga keliru, karena hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini tidak pernah didesain untuk
salah satu sistem ekonomi atau pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya ini bersifat netral. Penjelasan mengenai netralitas hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya itu dikuatkan oleh General Comment dari Komite Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dikatakannya:12
Thus, in terms of political and economic sytems the Covenant is neutral and its
principles cannot accurately be described as being predicated exclusively upon
the need for, or the desirability of, a socialist or a capitalist system, or a mixed,
centrally planned, or laissez-faire economy, or upon any other particulary
approach. In this regard, the Committee reaffirms that rights recognized in the
Covenant are susceptible of realization within the context of a wide variety of
economic and political systems.
Dalam konteks pemahaman legal nature hak-hak ekosob seperti dipaparkan panjang
lebar di atas, kita dapat memastikan bahwa tanggungjawab negara (state obligation)
dalam memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya dalam bentuk
obligation of result, tetapi sekaligus dalam bentuk obligation of conduct. Dalam konteks
tanggungjawab yang demikian ini, maka kebijakan-kebijakan negara dalam memajukan
hak-hak ekosob harus dapat menunjukkan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban tersebut.
Itu artinya, ketika negara merancang kebijakan kesehatan atau kebijakan pendidikan, ia
harus sudah menimbang hasilnya dapat menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan atau
hak atas pendididkan tersebut. Begitu pula negara harus menyediakan sarana atau
mekanisme yang memberi akses kepada rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut
tidak terpenuhi.
Kebijakan negara dalam kontek pemenuhan hak-hak ekosob dengan demikian tidak
terkait dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan negara tersebut, apakah pro-pasar
12
Lihat General Comment 3, The nature of State parties obligations (Art. 2, para. 1 of the Covenant), UN
Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 (1994), para. 11.
8
atau sistem komando. Sekalipun kebijakan ekonomi suatu negara didasarkan pada sistem
pasar bebas atau liberalisme –seperti yang sekarang diterapkan pemerintahan saat ini,
negara tersebut tetap memikul kewajiban merealisasi hak-hak ekosob warganya di dalam
sistem ekonomi tersebut. Apabila kebijakan ekonomi negara tersebut gagal memberi
jaminan terhadap pemenuhan hak-hak ekosob warganya, maka negara dapat dikatakan
melanggar hak-hak yang terdapat dalam kovenan tersebut (violations of covenant
obligations). Apalagi setelah kita menjadi pihak dari kovenan tersebut.
Kemiskinan sebagai Pelanggaran terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Permasalahan dasar kemiskina di Indonesia dapat digambarkan dengan kondisi dimana
masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen
(BPS, Maret 2006), masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta
KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total
angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses
pelayanan
kesehatan,
pendidikan,
perumahan
&
permukiman,
infrastruktur,
permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas.
Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat luasnya
kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya sekitar 56.000 hektar
kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000
desa dikategorikan desa miskin.
Tingkat kinerja penanggulangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia kondisinya
masih belum optimal. Koordinasi yang dalam hal pendataan, pendanaan dan
kelembagaan masih lemah. Kelemahan ini juga dirasakan pada koordinasi antar programprogram penanggulangan kemiskinan di antara instansi pemerintah pusat dan daerah,
begitu juga dengan integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada
tahap pelaksanaan, serta sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat
madani) dalam penyelenggaraan keseluruhan upaya penanggulangan kemiskinan. Selain
kelembagaan di pemerintah, kita masih dihadapkan pada fakta pada belum optimalnya
dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam
penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.
9
Gambar 1
Perkembangan Jumlah Anggaran Program & Proyek
Penanggulangan Kemiskinan di APBN
60
51
50
42
Triliun
Rupiah
40
30
20
23
16,5
18
16
10
0
2002
Sumber :
Catatan :
2003
2004
2005
2006
2007*
TKPK dan Bappenas
Untuk Tahun 2007 diambil dari pagu indikatif program penanggulangan kemiskinan
usulan Departemen dan LPND (RKP 2007)
Penutup
Uraian yang dipaparkan tulisan ini tidak seluruhnya menjawab apa yang dirumuskan
dalam term of reference, tetapi mungkin akan dilengkapi oleh pembahas yang lain. Saya
hanya membahas sebagiannya, dan saya coba pusatkan pada pembahasan terhadap
konsep tanggungjawab negara dalam konteks memajukan hak-hak ekosob. Karena dari
sinilah kebijakan negara dalam mewujudkan perlindungan hak-hak ekosob tersebut
seharusnya lahir. Artinya, kebijakan negara dalam menjamin hak-hak tersebut merupakan
bentuk tanggungjawabnya terhadap pelaksanaan kovenan ekosob yang sudah
diratifikasinya. Apabila negara tidak mengambil langkah-langkah apapun dalam
memajukan, melindungi dan memenuhi hak-hak ekosob itu, maka negara telah melanggar
kewajibannya melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Lalu ujungnya adalah
impunitas. ***
10
Download