BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen terbesar tubuh kita, yaitu sekitar 60% berat badan. Komposisi cairan tubuh terdiri dari cairan intraseluler 65% dan cairan ekstraseluler yang terdiri dari cairan interstisial dan plasma sebesar 35% (Sawka dkk, 2005). Air harus diperoleh dari makanan dan minuman setiap hari karena air yang dihasilkan dari metabolisme tubuh tidak cukup untuk kebutuhannya (Montgomery, 2002). Asupan cairan yang kurang berhubungan dengan beberapa masalah kesehatan, meskipun demikian, air sering diabaikan sebagai komponen dari diet. Dekade terakhir ini, perhatian publik tertuju pada pentingnya hidrasi yang cukup, tetapi dasar ilmiah bagi kecukupan harian cairan yang dianjurkan belum jelas (Sawka dkk, 2005; Jequier dan Constant, 2010). Kehamilan adalah sebuah kondisi fisiologis yang ditandai dengan peningkatan berat badan meliputi deposit lemak, peningkatan total cairan tubuh dan pertumbuhan hasil konsepsi. Kehamilan cukup bulan menyebabkan peningkatan berat badan sekitar 12,5 kg, sebagian besar terdiri dari air, sehingga total cairan tubuh meningkat 6-8 liter, yang terdapat di cairan amnion, plasenta dan cairan ekstraseluler dan intraseluler. Volume plasma maternal akan meningkat 40-45%, menyebabkan penurunan osmolalitas plasma 10 mosm/kg air, dari 290 menjadi 280 mosm/kg air. Cairan amnion yang mengelilingi janin dengan volume sekitar 500-1200 ml, penting untuk perkembangan janin (Cunningham dkk, 2014). Kebutuhan air akan meningkat selama kehamilan karena diperlukan untuk mendukung sirkulasi janin, produksi cairan amnion, dan volume darah yang meningkat (Montgomery, 2002). Nilai ambang osmolalitas plasma terhadap rasa haus dan sekresi hormon antidiuretik / arginine vasopressin (AVP) menurun, terjadi pada awal kehamilan kemudian konstan pada kehamilan lanjut, menyebabkan peningkatan retensi cairan, 1 2 hal ini dibutuhkan ibu untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Kondisi tersebut bisa disebabkan karena peran hormone chorionic gonadotropin (hCG) dan relaksin pada kehamilan awal, peran estrogen, progesteron dan aldosteron yang meningkat selama kehamilan, penurunan sensitivitas sistem osmoregulator pada kehamilan lanjut, tanpa dipengaruhi oleh keberadaan janin (Mckinley dan Johnson, 2004; Hanretty, 2010; Cunningham dkk, 2014). Keseimbangan cairan tubuh tercapai bila volume cairan masuk (input) sama dengan volume cairan keluar (output). Cairan yang masuk berasal dari minuman, makanan dan hasil oksidasi zat makanan, sedangkan cairan yang keluar meliputi; urin, feses, penguapan kulit dan saluran nafas. Keluarnya cairan tubuh dipengaruhi oleh iklim, temperatur dan kelembaban udara (Jequier dan Constant, 2010). Kebutuhan air ibu hamil dipengaruhi banyak faktor seperti misalnya aktifitas ibu hamil, suhu lingkungan, tempat tinggal, dan sebagainya, menyebabkan tidak ada suatu rumusan khusus yang berlaku bagi semua ibu hamil. Kebutuhan cairan sangat tergantung terhadap asupan energi dari makanan, yaitu 1-1.5 ml cairan untuk setiap kilogram kalori asupan energi. Kebutuhan energi saat kehamilan rata-rata meningkat 300 kkal/hari, oleh karena itu ibu hamil memerlukan setidaknya 300 ml asupan air tambahan. Pada umumnya ibu hamil dianjurkan untuk minum minimal 8-10 gelas air setiap harinya (Montgomery, 2002; EFSA, 2010; Konsensus nasional POGI, 2013). Cairan amnion adalah komponen dinamik yang sangat berhubungan dengan ibu dan janin, merupakan elemen dasar yang sangat penting untuk janin. Volume cairan amnion yang adekuat adalah syarat untuk perkembangan janin intra uteri dan keluaran neonatus yang baik (Patrelli dkk, 2012). Volume cairan amnion yang adekuat dipertahankan oleh keseimbangan antara produksi cairan janin (cairan paru dan urin) dan resorpsi (kegiatan menelan dan aliran intramembran). Mekanisme regulator yang berperan ada 3 yaitu, kontrol plasenta terhadap air dan larutan, regulasi inflow dan outflow janin, dan pengaruh maternal terhadap keseimbangan cairan janin. Cairan amnion mengandung 98-99% air, komposisi kimianya bervariasi 3 tergantung umur kehamilan. Ketika urin janin mulai memasuki kantong amnion, osmolalitas cairan amnion lebih rendah dibandingkan darah janin. Setelah keratinisasi kulit janin, osmolalitas cairan amnion semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur kehamilan. Osmolalitas cairan amnion yang rendah disebabkan produksi urin janin yang hipotonik, menyebabkan tekanan osmotik yang besar terhadap aliran air menuju jalur intramembran dan transmembran (Modena dan Fieni, 2004). Perkiraan volume cairan amnion dengan menggunakan sonografi merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan komponen penting untuk menilai profil biofisik janin meliputi; evaluasi gerakan janin, nafas, tonus otot, indeks cairan amnion, dan nonstress test (NST), untuk prediksi keluaran janin. Ada hubungan antara penurunan volume cairan amnion terhadap stillbirth, anomali janin, detak jantung janin yang tidak normal saat persalinan, peningkatan seksio sesarea oleh karena fetal distress, dan asidosis janin (Moore, 2011; Megha dan Indu, 2014). Beberapa studi telah mempelajari hubungan antara volume intravaskular ibu dan volume cairan amnion. Kilpatrick dkk (1991) dan Kilpatrick dan Safford (1993) melaporkan bahwa hidrasi air pada ibu meningkatkan indeks cairan amnion baik pada oligohidramnion maupun normoamnion. Fait dkk (2003) menunjukkan bahwa 75% ibu oligohidramnion yang mengkonsumsi air dua liter per hari, memperlihatkan peningkatan indeks cairan amnion sebesar 50%. Mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan dengan perbaikan perfusi uteroplasenta atau perubahan osmolalitas plasma ibu dan janin, yang meningkatkan aliran urin janin. Oosterhof dkk (2000) menunjukkan peningkatan asupan air pada ibu hamil dengan oligohidramnion akan meningkatkan aliran darah ke uterus dan plasenta, meningkatkan produksi urin janin sehingga meningkatkan valume cairan amnion. Flack dkk (1995) menunjukkan bahwa asupan air yang berlebihan tidak mempengaruhi volume cairan amnion, namun asupan air yang kurang menyebabkan kurangnya cairan amnion hingga 8% 4 dalam waktu yang relatif singkat (Borges dkk, 2011; Patrelli dkk, 2012; Konsensus nasional POGI, 2013). Pada umumnya konseling yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada ibu hamil terbatas pada kecukupan asupan nutrisi, masih sangat jarang disampaikan mengenai kecukupan asupan cairan. Data mengenai asupan cairan yang dianjurkan untuk ibu hamil di Indonesia khususnya Yogyakarta belum tersedia karena belum pernah dilakukan penelitian atau survei mengenai hal tersebut. Berdasarkan fakta tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh gambaran asupan cairan pada ibu hamil di Yogyakarta dan hubungannya dengan peningkatan volume cairan amnion, dalam rangka meningkatkan keluaran kehamilan. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran asupan cairan ibu hamil di Yogyakarta? 2. Apakah ada perbedaan rerata indeks cairan amnion pada ibu hamil dengan asupan cairan cukup dibandingkan asupan cairan kurang? C. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh gambaran asupan cairan ibu hamil di Yogyakarta 2. Mengetahui perbedaan rerata indeks cairan amnion ibu hamil dengan asupan cairan cukup dibandingkan asupan cairan kurang. D. Manfaat Penelitian Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang bermanfaat tentang gambaran kecukupan asupan cairan ibu hamil dan pentingnya asupan cairan ibu hamil terhadap peningkatan indeks cairan amnion dalam rangka meningkatkan keluaran kehamilan. 5 E. Keaslian Penelitian Kilpatrick dkk (1991) dengan metode randomized controlled trial (RCT) meneliti hidrasi ibu hamil oligohidramnion terhadap peningkatan indeks cairan amnion (ICA) atau amniotic fluid index (AFI). Ibu hamil diberi minum air putih 2 liter dalam 2-4 jam sebelum diukur AFI nya, pada hari yang sama atau besoknya AFI diukur ulang, didapatkan hasil rata-rata AFI setelah perlakuan meningkat secara signifikan pada kelompok hidrasi (6,3 dibanding 5,1; P < 0,01), dengan rata-rata perubahan AFI (AFI setelah perlakuan – AFI sebelum perlakuan= 1,5 dibanding 0,31; P < 0,01). Kilpatrick dan Safford (1993) dengan metode RCT meneliti hidrasi ibu hamil normoamnion terhadap peningkatan AFI. Pada kelompok hidrasi diberi minum 2 liter air, sedangkan kelompok kontrol 100 ml air sebelum diukur AFI nya, 4-6 jam kemudian diukur ulang AFI nya. Hasilnya rata-rata AFI kelompok hidrasi meningkat secara signifikan (3,0 ± 2,4 cm; P ≤ 0,0001) sedangkan kelompok kontrol terjadi penurunan secara signifikan (-1,5 ± 2,7 cm; P ≤ 0,0001). Al-Salami dkk (2007) menggunakan studi kasus kontrol prospektif meneliti pengaruh hidrasi maternal terhadap volume cairan amnion pada kehamilan trimester tiga dengan oligohidramnion. Pada 100 ibu hamil dengan umur kehamilan 32-40 minggu diberikan air minum 2 liter dalam 2 jam, dibagi dua kelompok, 50 ibu hamil oligohidramnion dan 50 ibu hamil normoamnion sebagai kelompok kontrol, sebelum dan sesudah perlakuan diukur AFI nya, didapatkan hasil rata-rata AFI kelompok oligohidramnion dan kelompok normoamnion meningkat secara signifikan (1,91 ± 0,61; P < 0,001 dan 2,57 ± 1,37; P < 0,001). Borges dkk (2011) dengan metode RCT meneliti pengaruh hidrasi ibu hamil terhadap peningkatan AFI. Ibu hamil normoamnion dengan umur kehamilan 33-36 minggu, dibagi 3 kelompok, kelompok 1 minum cairan isotonik 1,5 liter, kelompok 2 minum air 1,5 liter dan kelompok 3 merupakan kelompok kontrol, minum air 200 ml, dalam waktu 2-4 jam, AFI diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Hasilnya median 6 AFI meningkat secara signifikan setelah perlakuan pada kelompok cairan isotonik dan air dibanding kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok cairan isotonik dan air. Hidrasi cairan isotonik meningkatkan AFI 10 kali lipat (IK 95%: 2,09-49,89) dan hidrasi air meningkatkan AFI 6 kali lipat (IK 95%: 1,1630,95). Patrelli dkk (2012) dengan metode RCT meneliti hidrasi ibu hamil terhadap kuantitas cairan amnion dan keluaran kehamilan pada kehamilan trimester tiga dengan isolated oligohydramnion. Kelompok A terdiri dari 66 ibu hamil oligohidramnion idiopatik, sedangkan kelompok B terdiri dari ibu hamil tanpa oligohidramnion, merupakan kelompok kontrol. Semua kelompok diberikan infus larutan isotonis 1500 ml perhari selama 6 hari, AFI diukur pada hari-0 dan hari-7. Kelompok A kemudian diikuti sampai persalinan, dibagi kelompok A1 pada ibu yang mendapatkan hidrasi oral di rumah 1500 ml/hari dan kelompok A2 hidrasi oral dirumah 2500 ml/hari, didapatkan hasil pada pengukuran AFI hari-0, nilai rata-rata AFI kelompok A 39,68 ± 11,11 mm; kelompok B 126,92 ± 10,59 mm (P < 0,001). Pengukuran AFI hari-7, kelompok A 77,71 ± 15,04 mm; kelompok B tidak ada perubahan, 128,56 ± 10,67 mm (P < 0,001). Kelompok A1 menjelang persalinan 86,21 ± 16,90 mm; kelompok A2 112,45 ± 14,92 mm (P < 0,001). Shahnazi (2012) menggunakan RCT meneliti pengaruh hidrasi intravena terhadap volume cairan amnion pada ibu hamil trimester tiga dengan oligohidramnion. Subyek penelitian adalah 20 ibu hamil oligohidramnion 37-41 minggu yang dibagi 2 kelompok, kelompok A diberikan 1 liter cairan isotonik secara intravena selama 30 menit, kelompok B sebagai kontrol, diukur AFI sebelum dan sesudah perlakuan, didapatkan hasil peningkatan AFI 32% pada kelompok hidrasi ΔAFI 1,5 cm (IK 95%: 0,46-2,64; P = 0,01), kelompok kontrol 1%, tidak meningkat secara signifikan, ΔAFI 0,41 cm (IK 95%: -0,01-0,83; P = 0,06).