PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM TENTANG EKOLOGI: Ideologisasi Lingkungan Hidup sebagai Upaya Reformasi Bumi Oleh: Aenudin NIM: 10.3.00.1.03.01.0028 A. PENDAHULUAN Sudah diketahui bahwa kerusakan alam dan lingkungan hidup yang lebih dahsyat bukanlah disebabkan oleh proses penuaan alam itu sendiri, tapi justru diakibatkan oleh tangan-tangan manusia yang selalu berdalih memanfaatkannya, yang sesngguhnya sering kali mengekploitasinya tanpa mempedulikan kerusakankerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.1 Pada saat ini pencemaran berlangsung di mana-mana dengan laju begitu cepat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kecenderungan pencemaran tersebut mengarah kepada dua hal, yaitu: (1) ke arah pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yang semakin meningkat, terutama pembakaran minyak bumi secara nyata saat ini sudah merubah sistem alami pada skala global; (2) ke arah meningkatnya penggunaan bahan berbahaya beracun (B3) oleh berbagai kegiatan industri dengan pembuangan limbahnya ke lingkungan. Akibatnya timbul masalah- masalah yang bersifat global, antara lain: pemanasan global, hujan asam (acid rain), menipisnya lapisan ozon, dan penyalahgunaan zat- zat adiktif, seperti ganja, heroin, amfetamin, dan sebagainya dengan segala dampak negatif yang ditimbulkannya. 2 Krisis ekologi dunia membuat diskusi-siskusi dalam sains dan agama terasa mendesak. Kalau orang yang berasal dari perspektif-perspektif yang berbeda tidak bisa menyepakati suatu keprihatinan bersama akan dunia natural ini, sistem kehidupan planet kita terancam bahaya kehancuran yang tidak terelakkan lagi. Konferensi terbaru para ilmuwan, para pemimpin agama, dan kaum teolog mengakui perlunya suatu konsensus tentang masalah ini; dan konferensi seperti ini merumuskan sebuah pernyataan bersama yang mendorong semua pihak untuk 1 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 298. 2 Rukaesih Achmad, Kimia Lingkungan (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), 1. 1 memperhatikan secara lebih dekat masalah- masalah ekologis. Konferensi ini telah membuat sebuah deklarasi bersama; dan inilah deklarasi terakhir: “Seruan Bersama sains dan Agama tentang Lingkungan”; deklarasi ini mencatat sikapsikap permusuhan pada masa silam antara para ilmuwan dan para teolog; tetapi sekarang, dia mengatakan bahwa kita harus membuang perbedaan-perbedaan itu dan bekerja bersama untuk menyelematkan Bumi. Maka, barangkali, lebih dari dalam bidang lain, hal ini terasa lebih penting lagi secara pragmatis dalam ekologi, yaitu kita tetap mengupayakan agar dialog-dialog antara para ilmuwan dan para teolog tetap hidup.3 Tetapi, bagi beberapa ekolog sekuler, diskusi-diskusi seperti itu mungkin akan sangat sulit karena agama dan teologi punya reputasi yang begitu banyak menaruh kepedulian pada kesejahteraan dunia alamiah ini. Gereja-gereja, sinagogsinagog, dan masjid- masjid secara tradisional sedikit sekali memberi perhatian, itu pun kalau ada, terhadap masalah- masalah ekologis yang utama; dan hingga barubaru ini para teolog telah mengabaikan hal- hal itu juga. Teks-teks klasik dari berbagai tradisi agama sedikit sekali berbicara tentang kehancuran hutan tropis, erosi tanah, hilangnya sumber air segar, semakin melebarnya gurun pasir, polusi tanah, air, dan udara, pemusnahan spesies-spesies yang sudah sampai pada tingkat yang membahayakan, pemanasan global, atau proses penipsan lapisan ozon stratosfer. Lagi pula, beberapa pemuka agama masih juga mengabaikan populasi manusia yang semakin berkembang cepat; hal ini semakin memperburuk setiap ancaman lingkungan. 4 Russel Train, yang memimpin lembaga World Wild Llife Fund dan telah menjadi pemimpin gerakan lingkungan selama lebih dari tiga puluh tahun, menurutnya bahwa agama dan teologi tidak begitu tanggap terhadap krisis yang ada saat ini merupakan sebuah teka-teki besar yang membingungkan. Dia juga 3 John F. Haught, Perju mpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), 319-320. 4 John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, 320. 2 merasa sedih bahwa pemerintah, perusahaan besar, dan akademi tidak banyak berbicara. 5 Sebagai respon terhadap pendapat di atas, tulisan ini hendak membuktikan ketidakbenaran pernyataan yang mengatakan bahwa agama (Islam) tidak mempunyai relevansi terhadap ekologis. Pada hal Islam sebagai agama sarat dengan ajaran nilai-nilai yang sejatinya membangun pola hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara sesama manusia, dan lingkungan alam semesta (ekologi). Islam mempunyai pranata pendidikan yang mempunyai peran penting dan strategis dalam mensosialisasikan dan mentransformasikan berbagai konsep, teori ilmu pengetahuan dan teknologi serta menginternalisasikan nilai- nilai ajaran Islam, termasuk konsep tentang ekologi dan lingkungan hidup kepada masyarakat peserta didik. Berdasarkan pada pemaparan tentang masalah- masalah ekologi dan lingkungan hidup di atas, apakah Islam sebagai agama mempunyai relevansi ekologis ?, bagaimana paradigma ideologi pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, tulisan ini akan merujuk pada berbagai literatur yang otoritatif di bidangnya. B. PEMBAHASAN 1. Kekhalifahan dan Reformasi Bumi Islam sebagai agama sarat dengan nilai- nilai yang berfungsi sebagai sistem kehidupan, sejatinya mempunyai visi dan misi rahmah li> al-‘A>lami>n, 6 yang berarti menjadikan kebaikan bagi semesta alam. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut Allah telah menugaskan kepada manusia sebagai khalifah-Nya di bumi,7 yang mempunyai peran dan tugas memakmurkan dan membangun peradaban di atasnya. 8 Sebagai khalifah, manusia diberi kewenangan oleh Allah 5 untuk John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog , 320-321. “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiya>: 107). 7 Lihat Q.S. al-Baqarah:30. 8 Lihat Q.S. Hu>d :61. 6 3 mengelola lingkungan dengan mendayagunakan sumber daya alam bagi sebesarbesar manfaat hidup manusia guna mewujudkan kemakmuran dan membangun peradaban di bumi. Dalam pengelolaan lingkungan, manusia dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa keseimbangan itu sendiri mempunyai kaitan dengan hukum dualitas pada semua ciptaan Allah. 9 Dalam al-Qur‟an difirmankan, “Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan dua sepasang, agar kamu sekalian renungkan.” 10 Dan, “Maha suci Dia yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, dari tetumbuhan bumi, dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal yang tidak mereka ketahui.”11 Perintah Allah untuk merenungkan hukum perpasangan atau dualitas itu mengisyaratkan adanya sesuatu yang amat penting, yang berkaitan dengan hukum itu, dalam usaha manusia memahami lingkungan hidupnya, baik fisik maupun sosial. Manusia tidak akan mengerti kenyataan sekitarnya jika mengabaikan hukum dualitas itu, karena hukum itu merupakan pangkal dari keharusan menjaga keseimbangan antara dua unsur segala yang ada. Dalam al-Qur‟an terdapat keterangan yang serba meliputi tentang hukum itu, dalam kalimat yang singkat dan padat: “Dan langitpun diangkat-Nya, dan diletakkan-Nya hukum keseimbangan. Karena itu janganlah kamu sekalian melanggar hukum keseimbangan. Dan tegakkanlah timbangan dengan jujur, dan janganlah kamu curang terhadap hukum keseimbangan.” 12 Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa hukum keseimbangan atau al-Miza>n adalah hukum yang menguasai alam raya. Pesan kepada umat manusia untuk jangan sampai melanggar hukum keseimbangan adalah karena hukum keseimbangan itu sebenarnya merupakan hukum bagi keseluruhan yang ada di alam raya. Maka dalam melakukan kegiatan menimbang 9 155-156. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam (Jakarta: Paramadina & Dian Rakyat, 2009), 10 Q.S. al-Dhariya>t:49. Q.S. Ya>si>n :36. 12 Q.S. al-Rah}ma>n :7-9. 11 4 barang, manusia harus benar-benar jujur, dan tidak melanggar hukum keseimbangan itu. Pelanggaran terhadap hukum keseimbangan, biarpun terjadi hanya dalam kegiatan menimbang barang sekecil apa pun, adalah pelanggaran terhadap hukum alam raya. Maka dosanya adalah “dosa konsmis”, oleh karena itu daya merusaknya juga kosmis, yaitu hancurnya seluruh tatanan hidup dalam masyarakat, sehingga vonis penghancuran pun dijatuhkan Tuhan atas masyarakat itu. 13 Hukum keseimbangan juga adalah hukum keadilan sebagai be ntuk hukum keseimbangan antar sesama manusia.14 Menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial merupakan tugas kekhalifahan dalam upaya reformasi bumi. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa muara dari semua prinsip kekahlifahan manusia ialah reformasi bumi. Untuk pengertian “reformasi” itu alQur‟an menggunakan kata-kata ‚is}l a>h}‛ (saleh) dan ‚mas}lah} ah}‛ (maslahat). Semuanya mengacu kepada makna baik, kebaikan dan perbaikan. Faham tentang reformasi bumi (is}la>h al-ard}) dapat disimpulkan dari paling tidak dua firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah direformasi, dan berdo‟alah kepada-Nya dengan rasa cemas dan harapan. Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang 15 berbuat baik.” Ungkapan “janganlah membuat kerusakan di bumi sesudah direformasi” mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi setelah reformasi atau perbaikan (is}la>h) bumi itu telah terjadi oleh Tuhan sendiri, saat Ia menciptakan tugas manusia untuk memelihara bumi, karena bumi itu sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi tugas reformasi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang alami dan sehat. Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi atau perbaikan oleh 13 Q.S. al-Isra>:16. Q.S. al-Baqarah: 251. Lihat Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 156-157. 15 Q.S. al-A‘raf:56. 14 5 semua manusia. hal ini berkaitan dengan dengan reformasimenciptakan sesuatu yang baru, yang baik (saleh) dan membawa kebaikan (maslahat) untuk manusia. 16 Ide tentang reformasi bumi juga dikemukakan dalam firman Allah berkenaan dengan kisan Nabi Syu„aib a.s., yang terjemahannya sebagai berikut: “Dan Kami telah utus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu„aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah reformasinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betulbetul kamu orang-orang yang beriman.”17 Firman ini mengajarkan bahwa reformasi bumi bersangkutan langsung dengan prinsip keadilan dan kejujuran dalam kegiatan hidup, khususnya kegiatan ekonomi yang melibatkan proses pembagian kekayaan dan pemerataan antara warga masyarakat, sebab bumi yang sudah direformasi (reformed earth) tidak boleh mengenal terjadinya perolehan kekayaan secara tidak sah dan tidak adil. Bahkan juga tidak boleh terjadi penumpukan kekayaan begitu rupa sehingga harta benda dan sumber hidup masyarakat beredar di antara orang-orang kaya saja dalam masyarakat. Ajaran tentang pemerataan sumber daya hidup masyarakat itu jelas sekali disebutkan dalam al-Qur‟an.18 Dari antara sekian banyak cara mengumpulkan kekayaan secara tidak adil ialah korupsi dan riba. Ini merupakan kejahatan sosial yang dapat berakibat pemindahan kekayaan dari seseorang ke orang lain secara tidak sah dan sangat banyak membuat kepincangan sosial yang berbahaya. Riba ialah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan transaksi dan pemindahan kekayaan dengan dampak penindasan oleh manusia atas manusia. 19 Konsep kekhalifahan dan reformasi bumi sebagai telah dikemukakan di atas, menujukkan bahwa Islam mempunyai relevansi dan perhatian yang besar 16 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 158-159. Q.S. al-A‘raf:85. 18 Lihat Q.S. al-H}ashr:7. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 160. 19 Larangan tentang riba lihat Q.S. al-Baqarah: 188, 275, 278-279. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 160-162. 17 6 terhadap ekologi dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, ajaran Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup perlu dikonstruksi sebagai sebuah sistem keyakinan (aqi>dah) tentang nilai dan cita-cita lingkungan hidup, kemudian difahami, ditransformasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat, dan diperjuangkan guna mewujudkan misi tersebut. Semua itu dikonstruksi sebagai ideologi pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup. Konsep pendidikan Islam, secara normatif sarat dengan nilai- nilai transendental-Ilahiyah dan insaniyah serta berwawasan lingkungan (kealaman). Semua itu dapat diwadahi dalam bingkai besar yang disebut antroposentrismeteistik. Sebuah konsep atau teori ilmu sosial apapun, termasuk teori pendidikan tidak memiliki dampak sosial yang signifikan tanpa diorientasikan pada aksi (action). Untuk menekankan perlunya aksi, nilai- nilai yang antroposentris teistik itu dikonstruksi sebagai paradigma 20 ideologi pendidikan Islam. Sebuah ideologi lazimnya memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas masyarakat yang meyakini kebenaran nilai yang menjadi cita-cita ideologi tersebut untuk memperjuangkannya. Paradigma Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup bersifat antroposentrisme-teistik, yaitu bahwa alam telah ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan hidup manusia, karena itu manusia dijadikan Allah sebagai khalifahNya. 21 Otto Soemarwoto mengemukakan bahwa pengelolaan lingkungan pandangan kita bersifat antroposentris, yaitu melihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia. Walaupun tumbuhan, hewan, dan unsur takhidup diperhatikan, namun perhatian itu secara eksplisit atau implisit dihubungkan 20 Yang dimaksud dengan paradigma dalam makalah ini adalah seperti yang difahami oleh Thomas Khun bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksikan oleh mode of thought atau mode inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing (cara mengetahui) tertentu pula. Paradig ma sebagai contoh yang diterima tentang praktik ilmiah sebenarnya, termasuk huku m, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama -sama yang menyediakan model yang darinya muncul trad isi yang koheren dari penelit ian ilmiah. Tho mas S. Khun, (1962), penerjemah : Tjun Surjaman, The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 10. Immanuel Kant sebagai dikut ip oleh Kuntowijoyo misalnya, menganggap cara mengetahui itu sendiri sebagai skema konseptual. Mark menamakannya sebagai ideologi; dan W itgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), 327. 21 Lihat Q.S. al-Baqarah: 29, 30; Q.S. Ibrahi>m: 32, 33; Q.S. al-Nah}l:14; Q.S. al-H}ajj:65; Q.S. Luqman: 20; Q.S. al-Ja>thiyah:12; Q.S. al-Zukhruf: 13. 7 dengan kepentingan manusia. 22 Konsep ini perlu dikonstruksi sebagai ideologi, yaitu suatu sistem keyakinan tentang nilai dan cita-cita lingkungan hidup, sehingga memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas masyarakat yang meyakini kebenaran nilai-nilai dan cita-cita ideologi lingkungan hidup untuk memperjuangkannya dalam kerangka mewujudkan misi Islam sebagai rahmah li> al-‘A>lami>n. 2. Konsep Ekologi dan Lingkungan Hidup Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli ilmu hayat, dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu. Karena itu secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. 23 Dalam pengelolaan lingkungan, ekologi yang kita butuhkan ialah ekologi manusia. Ia merupakan cabang khusus ekologi, di samping ekologi tumbuhan, ekologi hewan dan ekologi jasad renik. Ekologi manusia ialah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya.24 Suatu konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubugan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut pengertian bahwa suatu sistem terdiri atas komponenkomponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing- masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung. 22 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1987), 15-16. 23 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 15. 24 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 16. 8 Selama masing- masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerjasama dengan baik, keteraturan ekosistem itu pun terjaga. 25 Keteraturan ekosistem menunjukkan bahwa ekosistem tersebut ada dalam suatu keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidaklah bersifat statis, melainkan dinamis. Ia selalu berubah-ubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadangkadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat perbuatan manusia. 26 Lingkungan hidup ialah ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan takhidup di dalamnya. 27 Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam- macam faktor: (1) oleh jenis dan jumlah masingmasing jenis unsur lingkungan hidup tersebut, (2) interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu, (3) kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup, (4) faktor non materiil suhu, cahaya, dan kebisingan. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya. 28 Menurut Otto Soemarwoto bahwa mutu lingkungan hidup tertentu berhubungan dengan sumberdaya dan kebutuhan dasar makhluk hidup. Yang dimaksud mutu lingkungan hidup ialah suatu kondisi lingkungan dalam hubungannya dengan mutu hidup. Makin tinggi derajat mutu hidup dalam suatu lingkungan tertentu, makin tinggi pula derajat mutu lingkungan tersebut dan sebaliknya. Karena mutu hidup tergantung dari derajat pemenuhan kebutuhan dasar, mutu lingkungan dapatlah diartikan sebagai derajat pemenuhan kebutuhan dasar dalam kondisi lingkungan tersebut. Makin tinggi derajat pemenuhan kebutuhan dasar itu, makin tinggi pula mutu lingkungan dan sebaliknya.29 Dengan menghubungkan mutu lingkungan dengan derajat pemenuhan kebutuhan dasar, berarti lingkungan itu merupakan sumber daya. Dari lingkungan 25 26 27 28 29 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 16-17. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 17. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, 44-45. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 46-47. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 51. 9 itu kita mendapatkan unsur-unsur yang kita perlukan untuk produksi dan konsumsi. Sebagian dari sumber daya itu dimiliki oleh perorangan dan badan tertentu, misalnya lahan. Sebagian lagi sumber daya itu merupakan milik umum, misalnya udara, sungai, pantai, laut dan ikan laut. Udara misalnya, diperlukan untuk menjalankan mesin, karena dalam udara itu terdapat oksigen. Apabila tidak ada udara, mesin pun tak dapat berjalan. Air adalah faktor lain yang kita perlukan untuk produksi. Misalnya, air untuk produksi pertanian, perikanan dan peternakan. 30 Kebutuhan dasar dapat dibagi secara hirarkis berturut-turut dari atas ke bawah dalam tiga golongan, yaitu: (1) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati; (2) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup manusiawi; dan (3) kebutuhan dasar untuk memilih. 31 Faktor lingkungan sebagian membantu dan sebagian la gi merintangi kita untuk mendapatkan kebutuhan dasar kita. Faktor yang membantu untuk mendapatkan kebutuhan dasar itu merupakan manfaat lingkungan. Sedangkan yang merintangi merupakan risiko lingkungan. Manfaat dan risiko lingkungan itu berupa faktor hayati dan fisik kimia serta dapat bersifat alamiah a tau buatan manusia. Misalnya, nyamuk malaria merupakan risiko lingkungan yang bersifat hayati dan mata air merupakan manfaat lingkungan yang bersifat fisik. Keduanya merupakan faktor alamiah. Racun hama, misalnya DDT, yang mencemari suatu perairan adalah risiko lingkungan yang bersifat kimia buatan manusia. 32 3. Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan lingkungan dapatlah kita artikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan lingkungan haruslah bersifat lentur, karena persepsi tentang kebutuhan dasar, terutama untuk kelangsungan hidup yang manusiawi tidak sama untuk semua golongan masyarakat dan 30 31 32 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 51. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, 55. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 63. 10 berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan kelenturan itu kita berusaha untuk tidak menutup pilihan golongan masyarakat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya atau menutup secara dini pilihan kita untuk kemudian hari. 33 Pengelolaan lingkungan mempunyai ruang lingkup yang luas dengan cara yang beraneka pula. Pertama, pengelolaan lingkungan secara rutin. Kedua, perencanaan dini pengelolaan lingkungan suatu daerah yang menjadi dasar dan tuntutan bagi perencanaan pembangunan. Ketiga, perencanaan pengelolaan berdasarkan perkiraan dampak lingkungan yang akan terjadi sebagai akibat suatu proyek pembangunan yang sedang direncanakan. Keempat, perencanaan pengelolaan lingkungan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan, baik disebabkan oleh alamiah maupun tindakan manusia. 34 Tujuan pengelolaan lingkungan adalah: (1) melestarikan keseimbangan dan keserasian lingkungan. Keseimbangan lingkungan sering juga disebut keseimbangan ekologi; (2) mempertahankan daya lenting. Daya lenting menunjukkan kemampuan suatu sistem untuk pulih setelah ia terkena gangguan; (3) pembangunan yang berwawasan lingkungan. 4. Makna dan Fungsi Ideologi “Ideologi” (ideology) –terdiri dari kata “ideo” (idea) yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan, dan lain- lain, dan “logi” (logos) yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan –dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. 35 Konsep ide berasal dari Plato. 36 Terma ini dipakai dalam pengertian tersebut oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836 M.) 37 dalam 33 34 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 69. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 82. 35 Ali Shariati, “Man and Islam” diterjemah kan M. A mien Rais menjadi Tugas Cendekiawan Muslim (Jakarta: Rajawali, 1984), 192. 36 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra, 2003). 37 Anotoine Destutt de Tracy adalah seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Prancis. Ia adalah tokoh yang pertama kali menggunakan istilah „idelogi‟. Dalam mengusung ide -ide filosofinya, ia banyak terinspirasi oleh pemikiran John Locke. Ia adalah seorang bangsawan, ketika meletus Revolusi Perancis, ia banyak mengamb il bagian dalam revolusi tersebut. selain seorang filosof, ia juga mendalami ilmu Psikologi. 11 bukunya Element d‟ideologie, dipublikasikan pada 1801. 38 Ada juga yang mengkaitkannya dengan konsep idola dari Francis Bacon. Di tangan De Tracy, pengertian ideologi sudah jauh bergeser baik dari makna idea maupun idola. Destutt de Tracy memandang ideologi sebagai ilmu pengetahuan tentang ide. Di sini ideologi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang dianggap netral. 39 Sebagai ilmu pengetahuan, ideologi dituntut obyektif dalam mempelajari tiap ide dalam arti mengesampingkan prasangka-prasangka metafisika dan agama. Bidang kajiannya meliputi asal- usul ide, mengapa suatu ide muncul, bagaimana berkembangnya suatu ide, dan strategi-strategi apa yang dapat dilakukan untuk menyebarkan suatu ide. Ideologi didefinisikan oleh A.S. Hornby sebagai “seperangkat gagasan yang membentuk landasan sistem ekonomi dan politik; atau s istem kepercayaan yang dianut oleh seseorang atau kelompok tertentu yang mempengaruhi cara berperilaku mereka.” 40 Soerjono Soekanto mendefinisikan ideologi adalah perangkat kepercayaan yang ditentukan secara sosial; sistem kepercayaan yang melindungi kepentingan golongan elit; dan sistem kepercayaan. 41 Ideologi dapat diartikan sebagai sistem kepercayaan atau sistem keyakinan, maka ideologi dalam pengertian ini dapat bersumber dari agama, yang disebut sebagai IdeologyReligious (ideologi agama), yaitu ideologi yang terdiri dari unsur- unsur dan nilainilai agama.42 Dalam Microsoft Encarte Encylopedia, ideologi didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan yang memuat nilai- nilai dan ide- ide yang diorganisasikan secara rapi sebagai basis filsafat, sains, pro gram sosial, ekonomi 38 Reinhard Bendix, “Ideology” dalam William Outhwaite (ed.) The Blacwell Dictionary of Modern Social Thught diterjemahkan oleh Tri W ibowo B.S. menjadi Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 376. Lihat pula Anthony Giddens, “Central Problems in Social Theory: Action, structure, and contradiction in social analysis,” diterjemahkan oleh Dariyatno menjadi Problemtika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontardiksi dalam Analisis Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 314. 39 Lihat Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Bandung: Jalasutera, 2003), 34. 40 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary, Sixth Edition (New York: Oxford University Press, 2003), 672. 41 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Rajawali, 1983), 230. 42 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, 231. 12 politik yang menjadi pandangan hidup, aturan berpikir, dan cara bertindak individu atau kelompok.43 Mengenai kedudukan antara ilmu, filsafat dan ideologi dalam hubungannya dengan perjuangan politik dan cita-cita politik, tentu berbeda. Ilmu dan filsafat yang subyeknya disebut ilmuwan dan filosof berbeda dengan sang ideolog. Seorang ilmuwan tidak akan memaksakan atau mempengaruhi orang lain, ia hanya menjelaskan, mempresentasikan apa yang ditemui sebagai suatu karya dan secara moril perlu diketahui atau disampaikan kepada orang lain atau masyarakat. Ilmuwan tidak membentuk suatu kelompok untuk melawan kecenderungan yang dianggap sebagai sesuatu yang merusak yang terjadi di masyarakat, dan secara politis bersentuhan dengan pemegang kekuasaa n atau subyek politik. Oleh karena itu, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan suatu revolusi. Adapun ideologi dan ideolog, senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisasikan perlawanan, protes, dan penggugatan yang menakjubkan. Ideologi pada hakikatnya memiliki semangat tanggung jawab, keyakinan, dan keterlibatan serta komitmen. 44 Ali Shariati mengemukakan bahwa ideologi adalah sebuah kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara manusia, terutama di antara kaum muda, dan khususnya di antara para cendekiwan dan intelektual dalam suatu masyarakat. Bahkan kata ideologi ini sering mengundang semangat pengorbanan diri. 45 Ciri dari suatu ideologi adalah cita-cita yang dalam dan luas, bersifat jangka panjang, bahkan dalam hal dasar bersifat universal atau diyakini bersifat universal. Ia dirasakan milik dari suatu kelompok manusia yang dapat mengidentifikasikan dirinya dengan isi ajaran tersebut. ia juga mengikat kelompok, sering pula membenarkan dan mempertahankan sikap perbuatan kelompok.46 43 Deddy Is matullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 92. 44 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim , 196. 45 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim , 191. 46 Deliar Noer, Ideologi Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Pengkhid mtan, 1983), 31. 13 Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarah, dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikannya suatu bentuk hubungan kekuasaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk meyikapi persoalan tersebut. dalam konteks inilah, kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali dibaikan.47 Selanjutnya, Frans Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. 48 Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakikat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus ditata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya, ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional kesehariannya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktik kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk citacita bersama. Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. 47 48 Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kansius, 1992), 230. Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 232. 14 Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakikat realitas dan bagaimana manusia harus hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan, namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis karena mendukung tatanan ssosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu, seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.49 Di dunia Islam, ideologi sebagai sistem keyakinan atau ideology-religious bagi Ali Shariati misalnya, Islam merupakan satu-satunya ideologi yang akan menyelamatkan Iran dari segala bentuk tekanan dan penindasan. 50 Dalam konteks ini, Islam yang dimaksud Shariati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya, melainkan lebih merupakan sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan. 51 Menurut Shariati bahwa ideologi merupakan paham dan teori perjuangan yang dianut kuat oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita sosial tertentu dalam 49 Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 232. Latar belakang sosial polit ik Iran saat Shariati hidup penuh dengan penindasan dan kezaliman yang dilakukan pemerintah di bawah rezim Shah Reza Pahlev i. Kondisi ekono mi dengan adanya bantuan Amerika bukan membangkit kan kesejah teraan rakyat, melain kan menyengsarakan mereka. Untuk membebaskan massa dari krisis dan membawa mereka mencapai Iran yang merdeka serta berkeadilan sosial-ekonomi, Shariati yakin, bukan liberalis me-kapitalisme atau sosialisme yang bisa mengobati penyakit ini, melain kan Islam. Lihat Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17 Tokoh (Jakarta: Grasindo, 2003), 133. Lihat pula Yann Richard, “Contemporary Sh i„i Thought”, dalam Nikkie R. Keddie, Roots of Revolution, 27, sebagaimana dikutip oleh M. Nafis, “Dari Cengkraman Penjara Ego memburu Revolusi: Memahami „Kemelut‟ Tokoh Pemberontak” dalam Deden Rid wan, Ed., Memahami Hegemoni Barat, Ali Shariati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Lentera, 1999), 84. 50 51 Ali Shariati, Red Shi„ism (Texas: FIL, 1980), 7. 15 kehidupan. 52 Hamid Algar menyebutkan bahwa Islam versi Shariati merupakan sistem ide, kelengkapan dan totalitas yang tidak hanya terbatas pada pemurnian moral individu dan perwujudan hubungan spiritual antara individu dengan Tuhan. 53 Senada dengan Algar, Ervand Abrahamian memandang bahwa Islam tidaklah konservatif, keyakinan fatalistik, atau keimanan yang buta politik, melainkan sebuah ideologi revolusioner yang menembus semua bidang kehidupan, khususnya politik, dan memberi semangat bagi kaum mukmin untuk berjuang melawan semua bentuk tekanan, penindasan, dan ketidakadilan sosial.54 Berbeda dengan pendapat Shariati, menurut Nurcholish Madjid bahwa Islam tidak identik dengan ideologi. Ideologisasi Islam yang berlangsung selama ini di dalam masyarakatnya telah merelatifikasikan Islam sebagai ajaran yang universal. Ideologi sangat terikat oleh ruang dan waktu. Meskipun menyangkut persoalan yang luas dan tidak sederhana dan mempunyai makna positif tersendiri sebagai suatu bentuk sumbangan kepada kebangkitan Islam di sekitar perang dunia kedua, pandangan langsung kepada Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada. 55 Dalam perjalanan hidupnya, umat manusia memerlukan orientasi idiologis. Karena orientasi ideologis inilah mengarahkan ke mana seharusnya ia merancang dan menggerakkan kehidupannya itu. Tanpa memiliki ideologi, manusia tak ubahnya seperti kapal di tengah lautan yang tidak memiliki arah kompas yang harus dituju. Karena ideologi pada dasarnya bersumber pada pemikiran yang menjadi cita-cita, maka betapapun hebatnya, ia bukanlah agama. Karena itu menyamakan agama sebagai ideologi adalah salah secara akademik. Agama bersumber dari wahyu, sedangkan ideologi bersumber dari pemikiran. Namun demikian agama yang telah turun dalam dataran empirik yang diproses melalui ijtihad dapat dikatakan sebagai ideologi, namun ideologi tersebut tidak 52 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, 192. 53 Hamid Algar, The Roots of Iranian Revolution (Kanada: Ontario, 1983), 78. 54 Ervan Abrahamian, Iran Between Two Revolution (New Jersey: Princeton University, 1982), 666. 55 Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17 Tokoh , 228-229. 16 sebebas ideologi yang bercorak sekuler. 56 Tilaar menegaskan bahwa ideologi diartikan sebagai suatu pandangan dunia atau weltanschuung. Pandangan filosofis ini berasal dari kebudayaan dan dapat pula berasal dari agama atau kombinasi keduanya, seperti yang hidup dalam beberapa suku bangsa di Indonesia. 57 Ideologi bagi pengikutnya memiliki fungsi positif. Menurut Vago yang dikutip Haidar Nashir, ideologi memiliki fungsi: (1) memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat; (2) sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam kehidupan kelompok atau masyarakat; dan (3) memberikan motivasi bagi para individu mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan. 58 Selanjutnya Haidar Nashir mengemukakan bahwa gerakan sosial apapun tidak lepas dari ideologi, lebih- lebih yang meletakan dirinya dengan ideologi. Ideologi diperlukan untuk membangun sistem, solidaritas, arah, mobilisasi anggota, dan strategi perjuangan sesuai dengan prinsip suatu gerakan sosial, lebihlebih gerakan keagamaan. Kendati di abad ke-21 ini muncul isu tentang “kematian ideologi” (The End of Ideology), terutama setelah berakhirnya Perang Dingin yang diwarnai kejatuhan rezim Komunisme di Eropa Timur sejak tahun 1989, tetapi dalam kenyataannya ideologi tetap dianut dan menjadi acuan dalam pemikiran atau tindakan berbagai gerakan sosial dan politik. Bagi sementara ahli, isu “akhir ideologi” lebih sekedar menjadi sebuah wawasan daripada suatu kenyataan. 59 Dalam kenyataan dan sejarah peradaban umat manusia, tiga alam pikiran dengan derajat dan orientasi yang berbeda selalu mewarnai kehidupan umat manusia, yaitu agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan.60 56 Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan etika (Jakarta: UIN Jakarta, 2005) , 559-560. 57 H.A.R. Tilaar Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, 165-178. 58 Haidar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), 32. 59 David McLeland, Ideologi Tanpa Akhir, terjemahan Muhammad Syu kri (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 159. 60 Haedar Nashir, Muhammadiyah, 2010), 195. Muhammadiyah 17 Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Menurut golongan positivistik yang dikategorikan ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu merupakan keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektif. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan tertutup, sedangkan ilmu pengetahuan memiliki watak obyektif, faktual, dan terbuka.61 Disadari adanya sisi negatif dari ideologi atau pendekatan ideologis, tetapi dipandang perlu adanya konsep pendidikan yang bersifat ideologis untuk memberikan pemikiran alternatif atau sebagai penyeimbang atas banjirnya ideologi pendidikan liberal di negeri kita. Untuk meminimalkan sisi negatif ideologi perlu dibatasi pada ideologi dalam arti netral dan dan ideologi terbuka. Ideologi dalam arti netral adalah sistem berfikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi tergantung isinya, kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu sebaliknya. Ideologi terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai- nilai dasar, sedangkan penerjemahnnya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Operasionalisasinya tidak ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Oleh karena itu ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan untuk melegitimasi kepentingan sekelompok orang. 62 5. Paradigma Antroposentris-Teistik sebagai Ideologi Pendidikan Islam Istilah antroposentris-teistik sesungguhnya perpaduan antara antroposentrisme dan teisme. Kata teisme dimaksudkan untuk memberi sifat antroposentrisme, maka menjadi antroposentris-teistik, sehingga secara eksplisit berbeda dengan antroposentrisme naturalistic, antroposentrisme scientific, atau antroposentrisme rasional yang sekuler. 61 168. 62 Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Prestasi (Bandung: Mizan, 1993), Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 236. 18 Antroposentris (anthropocentric) artinya berpusat pada manusia. Antroposentrisme adalah ajaran (humanisme) yang menyatakan bahwa pusat alam semesta adalah manusia. 63 Antroposentrisme merupakan ajaran humanisme, di mana sejak awal abad 20 sampai sekarang merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak kepada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk paling mulia. Karena begitu berharganya konsep humanisme ini, maka dewasa ini terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang mengklaim sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu: (1) Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3) Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3) Eksistensialisme, dan (4) Agama.64 Walaupun keempat aliran itu memiliki perbedaan yang tajam bahkan saling bertentangan, namun mereka memiliki titik-titik kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali Shariati mendeskripsikannya ke dalam tujuh prinsip: (1) Manusia adalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan. (2) Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat Ilahiyah yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia. (3) Manusia adalah makhluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berfikir. (4) Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun peradaban. (5) Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya makhluk sempurna di depan alam dan di hadapan Tuhan. 63 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 58 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 21. 64 19 (6) Manusia adalah makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada”, tetapi selalu berusaha mengubahnya menjadi “apa yang semestinya”. (7) Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).65 Ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut diakui oleh hampir semua aliran filsafat. Bahkan ideologi- ideologi kontemporer seperti feminisme, pluralisme, dan posmodernisme bertolak dari pandangan humanisme ini. Bedanya, bagi humanisme sekuler yang dilatarbelakangi eksistensialisme misalnya, hanya mengakui manusia sebagai makhluk yang wujud dengan sendirinya di alam semesta, tidak terdapat bagian atau karakteristik tertentu yang datang dari Tuhan. Humanisme sekuler lainnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari agama, dengan menegasikan Tuhan, sebagaimana dinyatakan bahwa pendidikan spiritual dalam nisbahnya dengan keutamaankeutamaan moral dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan. 66 Dalam perspektif Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fit}rah). Dengan kefitrahan yang dimilikinya, manusia harus menyatakannya dalam sikap yang suci dan baik kepada sesama manusia dalam pergumulannya, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa: Karena fitrah}-nya itu manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu disebut hani>fiyyah karena manusia adalah makhlu k yang hani>f. Sebagai makh luk yang hani>f itu manusia memiliki dorongan naluri ke arah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat dorongan hani>fiyyah itu terdapat dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murn i, yang disebut (hati) nurani, artinya “bersifat nur atau cahaya (luminous).67 Kesucian kemanusiaan itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan. Yaitu suatu perjanjian atau ikatan janji antara manusia sebelum ia lahir ke dunia dengan Tuhan, bahwa 65 Ali Shariat i, Hu manisme antara Islam dan Mazhab Barat, Terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hiadayah, 1996), 47-49. 66 Ali Shariati, Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, 46. 67 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 179. 20 manusia akan mengakui Tuhan sebagai Pelindung dan Pemelihara (Rabb) Satusatu-Nya baginya. Maka manusia (dan jin) pun tidaklah diciptakan Allah melainkan dengan kewajiban tunduk dan menyembah kepada-Nya saja, yaitu menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa, tawhi>d. Maka ber- tawhi>d dengan segala konsekuensinya itulah makna hakiki hidup manusia, yaitu suatu makna hidup atas dasar keinsafan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Makna hidup yang hakiki itu melampaui tujuan-tujuan duniawi (terrestrial), menembus tujuan-tujuan hidup ukhrawi (celestial).68 Dengan pernyataan al-Quran bahwa, manusia diciptakan dalam keadaan fit}rah artinya kemampuan bawaan dan intuitif manusia untuk membedakan mana yang benar dan salah itu berarti bahwa, manusia memiliki kecenderungan alamiah kepada kebaikan, kebenaran dan yang suci (hanafiyah). Sebagai makhluk yang fit}rah dan hanafiyah, manusia selalu memiliki potensi untuk bersikap benar dan berperilaku baik dalam berbagai pemikiran, maksud dan perbuatannya. 69 Islam mengajarkan bahwa, manusia adalah makhluk yang pada dasarnya adalah baik dan benar ( fit}rah-hani>f). Oleh karena manusia sebagai makhluk tertinggi dan sebaik-baik ciptaan Tuhan, maka Allah kemudian memuliakannya dibandingkan dengan makhluk lain di bumi. Karena itu Islam memanda ng bahwa setiap jiwa manusia memiliki harkat dan martabat yang sama nilainya dengan manusia yang lainnya. Sebuah nilai humanistik yang universal dalam ajaran Islam. 70 Islam dengan demikian, memiliki komitmen yang kuat untuk menjadikan humanisme sebagai sebuah sikap positif dalam membangun manusia yang adil dan beradab serta memiliki komitmen dan solidaritas yang tinggi terhadap senasib sepenanggungan dengan komunitas manusia lainnya, tanpa membedakan di antara sesama mereka. Karena itu, seorang muslim dituntut untuk menjadi humanis tanpa harus membedakan masyarakat yang digumulinya. Sikap humanistik yang ditunjukkan terletak pada kesiapannya dalam menerima dan bekerja sama dengan 68 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 179. 69 Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Pemikiran Muhammad Arkoun (Yogyakarta: 2000), 162-163. 70 Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid Tekad (Jakarta: Paramadina, 1999), 148. 21 pemikiran di luar Islam dalam membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Maka bagi Nurcholish Madjid, bahwa manusia harus kembali kepada sifat naturalnya, yaitu fitrahnya yang suci. Dari sini sesungguhnya manusia dapat memulai untuk mendaftarkan kembali nuktahnuktah pandangan dasar kemanusiaannya. 71 Humanisme dalam Islam menjadikan perhatian utamanya terhadap moralitas Islam yang berpijak pada komitmen kemanusiaan sebagai dasar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia. Islam dengan seluruh cita-cita yang dimilikinya, sebagai sebuah kerangka dalam meletakkan fondasi untuk sebuah pandangan dunia yang humanistik. Pandangan humanisme seperti ini dimaksudkan untuk menampilkan Islam sebagai rahmah li> al-‘a>lami>n tanpa harus membedakan latar belakang agama, suku, dan ideologi. Se hingga bagi Kuntowijoyo, Islam adalah sebuah agama yang humanistik. Dimana sebuah agama yang menekankan manusia sebagai tujuan sentral inilah sesungguhnya nilai dasar Islam.72 Dalam perspektif Islam, humanisme harus dipahami sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri bebas. Artinya bahwa makna “memanusiakan manusia” harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah, al-Qur‟an memandang manusia sebagai “wakil” atau “khalifah” Allah di bumi. Untuk memfungsikan kekhalifahannya, Tuhan telah melengkapi manusia potensi intelektual dan spiritual sekaligus. 73 Karena itu menurut Kuntowijoyo, humanisme Islam adalah humanisme yang bercirikan teosentrik, yaitu sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan sekaligus mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme seperti inilah yang kemudian ditransformasikan sebagai sebuah nilai 71 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 192. 72 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung:Mizan, 1996), 167. 73 Abu Hafsin, “Kata Pengantar” dalam Kamdani (penyunting), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal (Yogyakarta: IAIN walisongo Semarang Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007), ix. 22 dalam pergumulannya dengan realitas kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang mengitarinya.74 Menurut M. Amin Abdullah, bahwa terjadi proses pencampuran yang kental dan pekat antara dimensi “historis-kekhalifahan” yang aturannya selalu berubah-ubah, lantaran tantangan zaman dan “normativitas” al-Qur‟an yang sha>lihun likulli zama>nin wa maka>n. Pergumulan antara das sein (historisitaskekhalifahan) dan das sollen (normativitas-al-Qur‟an) sebenarnya dimulai sejak awal kehidupan manusia yang tersimbolkan dalam perjuangan dan sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. dan para Nabi sebelumnya. Maka dalam upaya memahami kembali pesan-pesan moral keagamaan dan kemanusiaan yang berdimensi histories-antroponsentris adalah suatu keharusan dan kemestian. Keharusan tidaklah berarti “membongkar” wilayah normativitas ajaran Islam, akan tetapi sebagai upaya artikulatif terhadap historitas ajaran Islam agar sesuai dengan semangat zaman dan tuntutan peradaban kemanusiaan kontemporer.75 Dengan demikian, haruslah disadari bahwa hanya melalui pemahaman terhadap teks al-Qur‟an yang komprehensiflah akan dapat ditemukan pesan-pesan Islam yang dijadikan sebagai paradigma kemanusiaan, karena teks selama ini menjadikannya sebagai embarkasi pemahaman keagamaan sekaligus terminal akhir terhadap sebuah kebenaran. Teks al-Qur‟an bila ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya yang melatarinya dan pembaca itu sendiri. 76 Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan al-Qur‟an merupakan pergulatan yang dinamis dan berusaha melahirkan makna yang bersentuhan langsung dengan realitas kemanusiaan kontemporer. Dengan semangat perkembangan peradaban manusia modern, penafsiran terhadap al-Qur‟an harus mampu memberikan problem solving terhadap realitas kehidupan kekinian sebagai cita-cita humanisme dalam Islam, seperti masalah 74 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, 168 75 M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 19. Nasr Hami>d Abu> Zaid, Mafhu>m al-Na>s} Dira> sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n diterjemahkan oleh Khairun Nahd}iyyi>n dengan judul Tekstualitas Al-qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2001), v. 76 23 Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), Demokrasi, Hak Asasi manusia (HAM), pendidikan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, pencemaran lingkungan hidup dan sederet persoalan kemanusiaan lain yang mengitarinya. Karena itu, gagasan pemikiran seperti itu sudah harus dilakukan, yakni bergeser ke arah paradigma pemikiran berdimensi antroposentris-Qur‟ani, yakni terkait dengan kemaslahatan kemanusiaan universal yang dijiwai oleh semangat al-Qur‟an. Berdasarkan pada konsep humanisme dalam Islam sebagaimana d iuraikan di atas, maka antroposentrisme atau humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideologi pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup ini pada dasarnya juga bertolak dari prinsip-prinsip dasar kemanusiaan tersebut, karena sesungguhnya semua itu implisit dalam konsep fitrah manusia. Akan tetapi antroposentrisme dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Di satu sisi keimanan tawhi>d sebagai inti ajaran Islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai. Semua itu kembali untuk manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam sebagai rahmah li> al-‘A>lami>n, yang berarti menjadi kebaikan bagi (lingkungan hidup) semesta alam. 6. Paradigma Pendidikan Islam tentang Ekologi dan Lingkungan Hidup Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tugas kekhalifahan manusia di bumi mempunyai implikasi terhadap menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup sebagai upaya reformasi bumi. Pendidikan dalam Islam dipandang sebagai upaya sistematis dalam mempersiapkan kader-kader khalifah di bumi, dimana tempat tersebut dijadikan Allah sebagai tempat yang baik bagi manusia dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia. Salah satu tugas kekhalifahan adalah memakmurkan bumi dan membangun peradaban di atasnya. 77 Implikasi dari konsep tersebut, maka menjaga dan melestarikan bumi dan lingkungannya merupakan bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Konsep ini harus dijadikan sebagai sistem keyakinan (aqi>dah), difahami, dan diperjuangkan untuk diwujudkan dengan cara ditarsnformasikan, dan diinternalisasikan kepada masyarakat didik. 77 Lihat Q.S. Hu>d : 61. 24 Hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan hidup akan berkembang ke arah yang optimal. 78 Sementara untuk membentuk manusia yang baik adalah tugas dan fungsi pendidikan. Di sinilah terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan lingkungan hidup. Hubungan erat antara pendidikan dengan lingkungan hidup dinyatakan Ahmad Tafsir bahwa secara umum tujuan pendidikan ialah menghasilkan manusia yang baik. Secara umum pula diketahui bahwa bila setiap orang sudah menjadi orang yang baik maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang baik. 79 Masyarakat merupakan lingkungan kehidupan sosial (sosial-ekonomi-politik), di mana proses pendidikan terjadi dalam interaksi antar- manusia dalam masyarakat. Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan sosial yang menghargai nilai- nilai kemanusiaan yang beradab dan lingkungan alam yang perlu dilestarikan. Konsep pendidikan Islam tentang lingkungan hidup, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa kesadaran pentingnya memelihara alam lingkungan hidup merupakan salah satu kesadaran yang amat penting pada umat manusia sekarang. Bencana-bencana alam yang menimpa umat manusia akhir-akhir ini merupakan akibat kerusakan lingkungan. 80 Pendidikan lingkungan hidup harus melibatkan usaha penyadaran tentang harga tak ternilai dari alam sebagai anugerah Tuhan. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara anugerah itu dan memanfaatkannya dengan penuh syukur kepada-Nya. Karena itu menurut Nurcholish Madjid bahwa membuat kerusakan di bumi merupakan salah satu kejahatan tertinggi.81 78 Konsep tersebut sebagai kesimpu lan Besar Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional, Universitas Padjadjaran, Bandung, Tanggal 15-18 Mei 1972. 79 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusikan Manusia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), 93. 80 “Muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan manusia, untuk membuat mereka merasakan sebagian dari akibat apa yang telah mereka kerjakan, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. (Q.S. al-Ru>m [30]:41). Lihat Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 166. 81 Q.S. al-Ma> ‘idah [5]:32, di mana diisyaratkan bahwa hukum mati dapat dikenakan kepada pelaku kejahatan pembunuhan dan kejahatan membuat kerusakan di bumi. Lihat Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 166. 25 Selanjutnya, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa selain alam ini berwujud alam kebendaan mati seperti gunung- gunung, lembah- lembah, sungaisungai dan seterusnya, anugerah Tuhan itu juga berwujud alam kehidupan (hayati) yang beraneka ragam, baik flora maupun fauna. Tuhan menganugerahkan kepada bangsa Indonesia keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terbesar di muka bumi, yang merupakan titipan Tuhan untuk dipelihara bagi sebesar-besar manfaat bangsa dan seluruh umat manusia. jadi, selain kepada negara sendiri, kita ba ngsa Indonesia memikul tanggung jawab kepada seluruh dunia. Pendidikan kita harus menanamkan kesadaran itu.82 Senada dengan pendapat Ahmad Tafsir dan Nurcholish Madjid tentang hubungan antara pedidikan dan lingkungan hidup, Tilaar mengemukakan bahwa proses pendidikan terjadi dalam interaksi antar- manusia dalam masyarakat yang majemuk. Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu dilestarikan serta lingkungan sosial yang menghargai nilai- nilai kemanusiaan yang beradab. Proses pembudayaan atau proses pemanusiaan tersebut harus memperhatikan tuntutan-tuntutan intergenerasi yaitu faktor- faktor pelestrian ekologis, budaya dan kependudukan. Selanjutnya proses pemanusiaan itu merupakan pula suatu proses interkultural yang meliputi budaya lokal, nasional, dan internasional (global) menuju terciptanya suatu masyarakat madani global yang bertumpu dari masyarakat madani Indonesia yang mempunyai cirinya yang khas yaitu kebudayaan Indonesia.83 A. Malik Fadjar mengemukakan bahwa dalam pemanfaatan kekayaan hidup ini seharusnya tidak menggunakan dalih apa pun ditempuh dengan merusak lingkungan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan seharusnya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah dan mencintai lingkungan. Namun ekosistem kehidupan yang berkembang hingga saat ini kurang mencerminkan sepenuhnya usaha- usaha ke arah itu, sehingga kerusakan lingkungan dapat kita saksikan terjadi di mana-mana. Maka semua pihak sudah 82 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 167. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 11. 83 26 sepatutnya dihimbau segera dan senantiasa menjaga lingkungan hidup dan melestarikannya.84 Selanjutnya, A. Malik Fadjar menyatakan bahwa pendidikan perlu senantiasa mengupayakan ke arah menumbuhkan kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Pemanfaatan kekayaan bumi, laut, dan udara haruslah dilakukan dengan tetap ramah dan cinta pada lingkungan. Kesadaran semacam ini perlu ditanamkan di tengah masyarakat pada semua lapisan, sejak usia dini hingga ke semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan paling tinggi. Semua harus menyadari bahwa dukungan semua pihak mutlak dilakukan demi terwujudnya pelestarian lingkungan hidup yang lebih baik. Kebijakan-kebijakan di luar pendidikan, baik yang bersifat mikro maupun makro, di Indonesia harus bersinergi ke arah itu dengan intensitas lebih. Tentu dengan memanfaatkan dan mengusahakan secara terus menerus potensi bangsa, baik sumber da ya manusia maupun sumber dana, yang berpretensi memberikan sumbangan berarti kepada dunia lingkungan.85 7. Ideologisasi Lingkungan Hidup melalui Pendidikan Islam sebagai Upaya Reformasi Bumi Sebuah konsep atau teori ilmu sosial apapun, termasuk teori pend idikan tidak memiliki dampak sosial yang signifikan tanpa diorientasikan pada aksi (action). Untuk menekankan perlunya aksi, konsep-konsep, teori-teori, nilai- nilai dan cita-cita tentang ekologi dan lingkungan hidup itu perlu dikonstruksi sebagai paradigma ideologi pendidikan Islam. Ideologi berfungsi sebagai mediasi yeng menjembatani kesenjangan antara idealita dan realita, antara visi dan aksi, antara individu dan masyarakat, antara obyektivitas dan subyektivitas. Sebuah ideologi lazimnya memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas masyarakat yang meyakini kebenaran nilai yang menjadi cita-cita ideologi tersebut untuk memperjuangkannya. Dengan kata lain perlu ada gerakan 84 85 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 298. A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 298. 27 ideologisasi lingkungan hidup melalui institusi pendidikan dalam rangka reformasi bumi. Berkaitan dengan ideologisasi nilai dalam pendidikan, penulis cenderung pada paradigma Neo-Kantian, yang melihat “ide” sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku atau tindakan-tindakan sadar manusia dalam situasinya yang konkrit. 86 Konsep “ide” berasal dari Plato. 87 “Ide” yang telah dikonstruksi sebagai konsep sistematis akan berkembang menjadi nilai, norma dan akhirnya akan menjelma menjadi sebuah ideologi. Senada dengan Neo-Kantian, ideologi menurut Qiba>ri Isma> ‘il merupakan pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi perilaku dan jiwa manusia. 88 Menurut Shariati bahwa ideologi merupakan paham dan teori perjuangan yang dianut kuat oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita sosial tertentu dalam kehidupan. 89 Ideologi menurut A.S. Hornby sebagai sistem kepercayaan yang dianut oleh seseorang atau kelompok tertentu yang mempengaruhi cara berperilaku mereka. 90 Sementara menurut Fredric Jameson bahwa ideologi adalah konsep mediasi yang unggul, yang menjembatani kesenjangan antara individu dan sosial, antara fantasi dan kognisi, antara ekonomi dan estetika, objektivitas dan subjektivitas, akal dan alam bawah sadar, pribadi dan publik.91 Tilaar juga menjelaskan bahwa ada hal yang berkaitan dengan pengertian ideologi yang mempengaruhi praksis pendidikan, yaitu ideologi sebagai ide-ide yang menuntun kehidupan dalam masyarakat (guiding principles). Bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang bermoral. Moral adalah susunan nilainilai atau ide- ide yang diagungkan dalam kehidupan bersama. Moral atau ide-ide 86 Yusril Ih za Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 4. 87 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra, 2003). 88 Qiba>ri Isma> ‘il, ‘Ilm al-Ijtima‘ wa al-Idi>y aulaujiya>t (Iskandariyah: al-Maktab al-‘Arabi al-H}adi>th, 1979), 10. 89 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, 192. 90 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary, Sixth Edition (New York: Oxford University Press, 2003), 672. 91 Fredric Jameson, The Ideologies of Theory (London & New York: Verso, 2008), ix. 28 dasar dapat bersumber dari agama, adat- istiadat, atau kebudayaan pada umumnya.92 Secara historis bahwa pendidikan telah dijadikan oleh umat manusia, setiap masyarakat atau bangsa di dunia sebagai media ideologisasi. Hal ini sebagaimana dikatakan Antonio Gramsci bahwa ideologi yang dominan tidak hanya dapat dimenangkan melalui revolusi atau kekera san oleh institusi- institusi negara sebagai dikatakan Karl Marx, tetapi juga dapat melalui jalan hegemoni melalui institusi- institusi lain, seperti institusi agama, pendidikan, media massa, dan keluarga. 93 Senada dengan Gramci, Kevin B. Smith juga menyatakan bahwa pendidikan sebagai media ideologisasi. bahwa kurikulum pendidikan perkembangan ekonomi. 95 94 Michael W. Apple mengemukakan dipengaruhi oleh ideologi, budaya dan Demikian juga Elliot W. Eisner mengemukakan bahwa Ideologi- ideologi (ideologies) berfungsi memberikan arah kepada sekolah-sekolah untuk mencapai tujuan, yakni nilai-nilai. 96 Dilihat dari paradigma ini, fenomena konkrit yang berhubungan dengan praksis pendidikan, dapat dianggap sebagai hasil dari manifestasi dari ideologi tertentu yang berada dibaliknya itu. Berdasarkan pada paradigma ini, maka paradigma pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup harus dijadikan sebagai sistem keyakinan (aqi>dah) dalam bentuk ideologi. Sehingga memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas masyarakat untuk memperjuangkannya. 92 H.A.R. Tilaar Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, 165-178. 93 H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekusanaan, 165-166. Lihat Donny Gahral A, Arus Pemikiran Kontemporer, 121-127. 94 Kevin B. Smith dalam bukunya The Ideology of Education: The Commenwealth, the Market, and America‟s Schools (Albany New York: State University of New York Press, 2003). 95 Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York and London: Routledge Falmer, 2004), 25-40. 96 Elliot W. Eisner, The Education Imagination: On the Design and Evalution of School Programs (New Jersey: Upper Saddle River, 2002), 47. 29 D. PENUTUP Berdasarkan pada uraian-uraian sebelumnya, makalah ini membuktikan ketidakbenaran pendapat yang menyatakan bahwa agama (Islam) tidak mempunyai relevansi ekologis sebagai dinyatakan oleh Russel Train. Makalah ini menunjukkan bahwa konsep Islam tentang prinsip-prinsip kekhalifahan, semuanya bermuara pada reformasi bumi, yaitu menjaga keseimbangan ekologi dan lingkungan hidup. Hal ini membuktikan bahwa Islam mempunyai relevansi ekologis. Paradigma Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup bersifat antroposentrisme-teistik, –yaitu karena manusia dijadikan Allah sebagai khalifahNya, maka alam telah ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan hidup manusia – yakni melihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia. Walaupun tumbuhan, hewan, dan unsur takhidup diperhatikan, namun perhatian itu secara eksplisit atau implisit dihubungkan dengan kepentingan manusia. Konsep ini perlu dikonstruksi sebagai sistem keyakinan (aqi>dah) dalam bentuk ideologi, yaitu suatu sistem keyakinan tentang nilai dan cita-cita lingkungan hidup, sehingga memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas masyarakat untuk memperjuangkannya dalam rangka reformasi bumi. Maka dengan demikian, visi dan misi Islam sebagai rahmah li> al-‘A>lami>n akan terwujud, yakni menjadi kebaikan bagi semesta alam. Pendidikan sebagai media ideologisasi dipandang sebagai upaya sistematis dalam mempersiapkan kader-kader khalifah di bumi, dimana tempat tersebut dijadikan Allah sebagai tempat yang baik bagi manusia untuk pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia. Hanya dalam lingkungan hidup yang baik, manusia dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal, dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan hidup akan berkembang dengan optimal. Sementara untuk membentuk manusia yang baik adalah tugas dan fungsi pendidikan. Proses pendidikan terjadi dalam interaksi antar- manusia dalam masyarakat yang majemuk (pluralis). Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu dilestarikan serta lingkungan sosial yang menghargai nilai- nilai kemanusiaan yang beradab. Walla>hu A‘lam bi al-S}awa>b. 30 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. Filsafat Kalam di Era Postmodernisme.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Abra>shi, Muhammad ‘At}iyah. al-Tarbiyah al-Isla> miyyah wa Fala> safatuha>. Mesir: Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, tt. Abrahamian, Ervan. Iran Between Two Revolution. New Jersey: Princeton University, 1982. Abu> Zaid, Nasr Hami>d. Mafhu>m al-Na>s} Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. diterjemahkan oleh Khairun Nahd}iyyi>n dengan judul Tekstualitas Alqur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.Yogyakarta: LKiS, 2001. Ahmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Abra>shi, Muhammad ‘At}iyah. al-Tarbiyah al-Isla> miyyah wa Fala> safatuha>. Mesir: Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, tt. Algar, Hamid. The Roots of Iranian Revolution. Kanada: Ontario, 1983. Apple, Michael W. Ideology and Curriculum. New York and London: Routledge Falmer, 2004. Apple, Michael W. Education and Power. Boston; Routledge & Keagan Paul, 1982. Aronowitz, S. & Giroux, H.A. Education Under Siege. Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers, Inc. 1985. Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000. Bell, Daniel (ed.). The End of Ideology: on the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. New York: Free Press, 1962. Bell, Daniel. ‘Ideologi: Sebuah Perdebatan,’ Commentary. Jilid 38, Oktober 1964. Bernoit, R.J. What’s Wrong with the Environment ? dalam Frances, SS. (editor). Environmental Sciences. The New York Academy of Science, 1987. Bottery, Mike. The Challenges of Educational Leaderships: Values in a Globalized Age. London: Paul Chapman Publishing, 2004. Choulen, E.T. Environmental Protection. Dalam Encyclopedia of Environmental Science. Mc Graw Hill, 1990. Daldjoeni. N. Dan Suyitno. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1982. Djadjadiningrat, S.T. Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta: Universitas Eagleton, Terry. Ideology, An Introduction. London: Verso, 1991. Echols, John M. dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2000. Eisner, Elliot W. The Educational Imagination: On the Design and Evalution of School Programs, (Thir Edition). New Jersey: Upper Saddle River, 2002. Engel Michael. The Struggle for Control of Public Education: Market Ideology vs. Democratic values. Philadelphia: Temple University Press, 2000. 31 Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Fukuyama, Francis. The End of History and Last Men. diterjemahkan menjadi Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Adipura, 2000. Giroux, Henry A. Ideology. Culture and the Process of Schooling. Philadelphia:Temple University and falmer Press, 1981. Giroux, Henry A. Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition. New York: Bergin & harvey Publishers, Inc., 1983. Haught, John F. Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog. Bandung: Mizan Pustaka, 1995. Hornby, A S. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Sixth edition. New York: Oxford University Press, 2003. Ismail, Faisal. “Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila” diterjemahkan menjadi. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Isma> ‘il, Qiba>ri ‘Ilm al-Ijtima‘ wa al-Idi>yaulaujiya>t. Iskandariyah: al-Maktab al‘Arabi al-H}adi>th, 1979. Ismatullah, Deddy dan Asep A. Sahid Gatara. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2007. Jameson, Fredric. The Ideology of Theory. London & New York: Verso, 2008. Kamdani. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: IAIN walisongo Semarang Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007. Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 1996. Madjid, Nurcholish. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid Tekad. Jakarta: Paramadina, 1999. Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 2000. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2003. Madjid, Nurcholish. Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2004. Madjid, Nurcholish. Cita-cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Dian Rakyat, 2009. Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1999. McLeland, David. Ideologi Tanpa Akhir. (terjemahan) Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005. Michel, Foucault. Menggugat Sejarah Ide.(terjemahan) Yogyakarta: Ircisid, 2002. Mitchell, W.J.Thomas. Iconology: Image, Text, Ideology (Cichago: University of Chicago Press, 1986). 32 Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004. Nahlawi>, Abdurrahma>n. Min Asa>lib al-Tarbiyah al-Isla> miyah: al-Tarbiyah bi alAyat. Beirut Libanon: Da>r al-Fikr al-Ma‘a>shir, 1989. Nashir, Haedar. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan.Yogyakarta:Suara Muhammadiyah, 2010. Nata, Abudin. Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan Etika. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Noer, Deliar. Ideologi Politik dan Pembangunan. Jakarta: Yayasan Pengkhidmtan, 1983. Nuswantoro. Daniel Bell Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera, 2001. O‘Neill. William. Educational Ideologies. Santa Monica, California: Goodyear Publishing Company, Inc. 1981. Outhwaite, William (ed.). The Blackwell Dictionary of Modern Social Thught (terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Ruslani. Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Pemikiran Muhammad Arkoun. Yogyakarta: 2000. Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17 Tokoh. Jakarta: Grasindo, 2003. Salim, E. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1989. Salim, E. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES, 1991. Shariati, Ali. Man and Islam. diterjemahkan menjadi .Tugas Cendikiawan Muslim. Jakarta: Rajawali, 1984. Shariati, Ali. Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat. Terj. Afif Muhammad Bandung: Pustaka Hiadayah, 1996. Shariati, Ali. Red Shi‘ism. Texas: FIL, 1980. Smith, Kevin B. The Ideology of Education: The Commenwealth, the Market, and America’s Schools. Smith, W.A. The Meaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy. Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali, 1983. Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan, 1987. Soemarwoto, Otto. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. Suseno, Frans Magnis. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: kansius, 1992. Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami, Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusikan Manusia. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. 33 Tilaar, H.A.R. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2005. Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekusanaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Deartemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, edisi ketiga, 2005. Warnadi. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup: untuk Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud, 1997. 34