paradigma pendidikan islam tentang ekologi

advertisement
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM TENTANG EKOLOGI:
Ideologisasi Lingkungan Hidup sebagai Upaya Reformasi Bumi
Oleh: Aenudin
NIM: 10.3.00.1.03.01.0028
A. PENDAHULUAN
Sudah diketahui bahwa kerusakan alam dan lingkungan hidup yang lebih
dahsyat bukanlah disebabkan oleh proses penuaan alam itu sendiri, tapi justru
diakibatkan oleh tangan-tangan manusia yang selalu berdalih memanfaatkannya,
yang sesngguhnya sering kali mengekploitasinya tanpa mempedulikan kerusakankerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.1
Pada saat ini pencemaran berlangsung di mana-mana dengan laju begitu
cepat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kecenderungan pencemaran tersebut
mengarah kepada dua hal, yaitu: (1) ke arah pembuangan senyawa-senyawa kimia
tertentu yang semakin meningkat, terutama pembakaran minyak bumi secara
nyata saat ini sudah merubah sistem alami pada skala global; (2) ke arah
meningkatnya penggunaan bahan berbahaya beracun (B3) oleh berbagai kegiatan
industri dengan pembuangan limbahnya ke lingkungan. Akibatnya timbul
masalah- masalah yang bersifat global, antara lain: pemanasan global, hujan asam
(acid rain), menipisnya lapisan ozon, dan penyalahgunaan zat- zat adiktif, seperti
ganja, heroin, amfetamin, dan sebagainya dengan segala dampak negatif yang
ditimbulkannya.
2
Krisis ekologi dunia membuat diskusi-siskusi dalam sains dan agama
terasa mendesak. Kalau orang yang berasal dari perspektif-perspektif yang
berbeda tidak bisa menyepakati suatu keprihatinan bersama akan dunia natural ini,
sistem kehidupan planet kita terancam bahaya kehancuran yang tidak terelakkan
lagi. Konferensi terbaru para ilmuwan, para pemimpin agama, dan kaum teolog
mengakui perlunya suatu konsensus tentang masalah ini; dan konferensi seperti
ini merumuskan sebuah pernyataan bersama yang mendorong semua pihak untuk
1
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 298.
2
Rukaesih Achmad, Kimia Lingkungan (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), 1.
1
memperhatikan secara lebih dekat masalah- masalah ekologis. Konferensi ini telah
membuat sebuah deklarasi bersama; dan inilah deklarasi terakhir: “Seruan
Bersama sains dan Agama tentang Lingkungan”; deklarasi ini mencatat sikapsikap permusuhan pada masa silam antara para ilmuwan dan para teolog; tetapi
sekarang, dia mengatakan bahwa kita harus membuang perbedaan-perbedaan itu
dan bekerja bersama untuk menyelematkan Bumi. Maka, barangkali, lebih dari
dalam bidang lain, hal ini terasa lebih penting lagi secara pragmatis dalam
ekologi, yaitu kita tetap mengupayakan agar dialog-dialog antara para ilmuwan
dan para teolog tetap hidup.3
Tetapi, bagi beberapa ekolog sekuler, diskusi-diskusi seperti itu mungkin
akan sangat sulit karena agama dan teologi punya reputasi yang begitu banyak
menaruh kepedulian pada kesejahteraan dunia alamiah ini. Gereja-gereja, sinagogsinagog, dan masjid- masjid secara tradisional sedikit sekali memberi perhatian, itu
pun kalau ada, terhadap masalah- masalah ekologis yang utama; dan hingga barubaru ini para teolog telah mengabaikan hal- hal itu juga. Teks-teks klasik dari
berbagai tradisi agama sedikit sekali berbicara tentang kehancuran hutan tropis,
erosi tanah, hilangnya sumber air segar, semakin melebarnya gurun pasir, polusi
tanah, air, dan udara, pemusnahan spesies-spesies yang sudah sampai pada tingkat
yang membahayakan, pemanasan global, atau proses penipsan lapisan ozon
stratosfer. Lagi pula, beberapa pemuka agama masih juga mengabaikan populasi
manusia yang semakin berkembang cepat; hal ini semakin memperburuk setiap
ancaman lingkungan.
4
Russel Train, yang memimpin lembaga World Wild Llife Fund dan telah
menjadi pemimpin gerakan lingkungan selama lebih dari tiga puluh tahun,
menurutnya bahwa agama dan teologi tidak begitu tanggap terhadap krisis yang
ada saat ini merupakan sebuah teka-teki besar yang membingungkan. Dia juga
3
John F. Haught, Perju mpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog (Bandung:
Mizan Pustaka, 1995), 319-320.
4
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, 320.
2
merasa sedih bahwa pemerintah, perusahaan besar, dan akademi tidak banyak
berbicara.
5
Sebagai respon terhadap pendapat di atas, tulisan ini hendak membuktikan
ketidakbenaran pernyataan yang mengatakan bahwa agama (Islam) tidak
mempunyai relevansi terhadap ekologis. Pada hal Islam sebagai agama sarat
dengan ajaran nilai-nilai yang sejatinya membangun pola hubungan yang
harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara sesama manusia, dan lingkungan
alam semesta (ekologi).
Islam mempunyai pranata pendidikan yang mempunyai peran penting dan
strategis dalam mensosialisasikan dan mentransformasikan berbagai konsep, teori
ilmu pengetahuan dan teknologi serta menginternalisasikan nilai- nilai ajaran
Islam, termasuk konsep tentang ekologi dan lingkungan hidup kepada masyarakat
peserta didik.
Berdasarkan pada pemaparan tentang masalah- masalah ekologi dan
lingkungan hidup di atas, apakah Islam sebagai agama mempunyai relevansi
ekologis ?, bagaimana paradigma ideologi pendidikan Islam tentang ekologi dan
lingkungan hidup ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut, tulisan ini akan
merujuk pada berbagai literatur yang otoritatif di bidangnya.
B. PEMBAHASAN
1. Kekhalifahan dan Reformasi Bumi
Islam sebagai agama sarat dengan nilai- nilai yang berfungsi sebagai sistem
kehidupan, sejatinya mempunyai visi dan misi rahmah li> al-‘A>lami>n,
6
yang
berarti menjadikan kebaikan bagi semesta alam. Untuk mewujudkan visi dan misi
tersebut Allah telah menugaskan kepada manusia sebagai khalifah-Nya di bumi,7
yang mempunyai peran dan tugas memakmurkan dan membangun peradaban di
atasnya.
8
Sebagai khalifah, manusia diberi kewenangan oleh Allah
5
untuk
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog , 320-321.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam.” (Q.S. al-Anbiya>: 107).
7
Lihat Q.S. al-Baqarah:30.
8
Lihat Q.S. Hu>d :61.
6
3
mengelola lingkungan dengan mendayagunakan sumber daya alam bagi sebesarbesar manfaat hidup manusia guna mewujudkan kemakmuran dan membangun
peradaban di bumi.
Dalam pengelolaan lingkungan, manusia dituntut untuk mampu menjaga
keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa
keseimbangan itu sendiri mempunyai kaitan dengan hukum dualitas pada semua
ciptaan Allah. 9 Dalam al-Qur‟an difirmankan, “Dan dari segala sesuatu Kami
ciptakan dua sepasang, agar kamu sekalian renungkan.” 10 Dan, “Maha suci Dia
yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, dari tetumbuhan bumi,
dari diri mereka (manusia) sendiri, dan dari hal-hal yang tidak mereka
ketahui.”11
Perintah Allah untuk merenungkan hukum perpasangan atau dualitas itu
mengisyaratkan adanya sesuatu yang amat penting, yang berkaitan dengan hukum
itu, dalam usaha manusia memahami lingkungan hidupnya, baik fisik maupun
sosial. Manusia tidak akan mengerti kenyataan sekitarnya jika mengabaikan
hukum dualitas itu, karena hukum itu merupakan pangkal dari keharusan menjaga
keseimbangan antara dua unsur segala yang ada. Dalam al-Qur‟an terdapat
keterangan yang serba meliputi tentang hukum itu, dalam kalimat yang singkat
dan padat:
“Dan langitpun diangkat-Nya, dan diletakkan-Nya hukum keseimbangan.
Karena itu janganlah kamu sekalian melanggar hukum keseimbangan.
Dan tegakkanlah timbangan dengan jujur, dan janganlah kamu curang
terhadap hukum keseimbangan.” 12
Lebih
lanjut
Nurcholish
Madjid
mengemukakan
bahwa
hukum
keseimbangan atau al-Miza>n adalah hukum yang menguasai alam raya. Pesan
kepada umat manusia untuk jangan sampai melanggar hukum keseimbangan
adalah karena hukum keseimbangan itu sebenarnya merupakan hukum bagi
keseluruhan yang ada di alam raya. Maka dalam melakukan kegiatan menimbang
9
155-156.
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam (Jakarta: Paramadina & Dian Rakyat, 2009),
10
Q.S. al-Dhariya>t:49.
Q.S. Ya>si>n :36.
12
Q.S. al-Rah}ma>n :7-9.
11
4
barang, manusia harus benar-benar jujur, dan tidak
melanggar hukum
keseimbangan itu. Pelanggaran terhadap hukum keseimbangan, biarpun terjadi
hanya dalam kegiatan menimbang barang sekecil apa pun, adalah pelanggaran
terhadap hukum alam raya. Maka dosanya adalah “dosa konsmis”, oleh karena itu
daya merusaknya juga kosmis, yaitu hancurnya seluruh tatanan hidup dalam
masyarakat, sehingga vonis penghancuran pun dijatuhkan Tuhan atas masyarakat
itu.
13
Hukum keseimbangan juga adalah hukum keadilan sebagai be ntuk hukum
keseimbangan antar sesama manusia.14
Menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan
alam maupun lingkungan sosial merupakan tugas kekhalifahan dalam upaya
reformasi bumi. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa muara dari semua prinsip
kekahlifahan manusia ialah reformasi bumi. Untuk pengertian “reformasi” itu alQur‟an menggunakan kata-kata ‚is}l a>h}‛ (saleh) dan ‚mas}lah} ah}‛ (maslahat).
Semuanya mengacu kepada makna baik, kebaikan dan perbaikan. Faham tentang
reformasi bumi (is}la>h al-ard}) dapat disimpulkan dari paling tidak dua firman Allah
yang terjemahannya sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah direformasi,
dan berdo‟alah kepada-Nya dengan rasa cemas dan harapan.
Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang
15
berbuat baik.”
Ungkapan “janganlah membuat kerusakan di bumi sesudah direformasi”
mengandung makna ganda. Pertama, larangan merusak bumi setelah reformasi
atau perbaikan (is}la>h) bumi itu telah terjadi oleh Tuhan sendiri, saat Ia
menciptakan tugas manusia untuk
memelihara bumi, karena bumi itu sudah
merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi tugas reformasi berkaitan
dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang alami dan sehat. Kedua,
larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi atau perbaikan oleh
13
Q.S. al-Isra>:16.
Q.S. al-Baqarah: 251. Lihat Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 156-157.
15
Q.S. al-A‘raf:56.
14
5
semua manusia. hal ini berkaitan dengan dengan reformasimenciptakan sesuatu
yang baru, yang baik (saleh) dan membawa kebaikan (maslahat) untuk manusia. 16
Ide tentang reformasi bumi juga dikemukakan dalam firman Allah
berkenaan dengan kisan Nabi Syu„aib a.s., yang terjemahannya sebagai berikut:
“Dan Kami telah utus kepada penduduk Madyan saudara mereka,
Syu„aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti
yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan
dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah reformasinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betulbetul kamu orang-orang yang beriman.”17
Firman ini mengajarkan bahwa reformasi bumi bersangkutan langsung
dengan prinsip keadilan dan kejujuran dalam kegiatan hidup, khususnya kegiatan
ekonomi yang melibatkan proses pembagian kekayaan dan pemerataan antara
warga masyarakat, sebab bumi yang sudah direformasi (reformed earth) tidak
boleh mengenal terjadinya perolehan kekayaan secara tidak sah dan tidak adil.
Bahkan juga tidak boleh terjadi penumpukan kekayaan begitu rupa sehingga harta
benda dan sumber hidup masyarakat beredar di antara orang-orang kaya saja
dalam masyarakat. Ajaran tentang pemerataan sumber daya hidup masyarakat itu
jelas sekali disebutkan dalam al-Qur‟an.18
Dari antara sekian banyak cara mengumpulkan kekayaan secara tidak adil
ialah korupsi dan riba. Ini merupakan kejahatan sosial yang dapat berakibat
pemindahan kekayaan dari seseorang ke orang lain secara tidak sah dan sangat
banyak membuat kepincangan sosial yang berbahaya. Riba ialah suatu sistem
ekonomi yang memungkinkan transaksi dan pemindahan kekayaan dengan
dampak penindasan oleh manusia atas manusia. 19
Konsep kekhalifahan dan reformasi bumi sebagai telah dikemukakan di
atas, menujukkan bahwa Islam mempunyai relevansi dan perhatian yang besar
16
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 158-159.
Q.S. al-A‘raf:85.
18
Lihat Q.S. al-H}ashr:7. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, 160.
19
Larangan tentang riba lihat Q.S. al-Baqarah: 188, 275, 278-279. Nurcholish Madjid,
Cita-cita Politik Islam, 160-162.
17
6
terhadap ekologi dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, ajaran Islam tentang
ekologi dan lingkungan hidup perlu dikonstruksi sebagai sebuah sistem
keyakinan (aqi>dah) tentang nilai dan cita-cita lingkungan hidup, kemudian
difahami, ditransformasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat, dan
diperjuangkan guna mewujudkan misi tersebut. Semua itu dikonstruksi sebagai
ideologi pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup.
Konsep pendidikan Islam, secara normatif sarat dengan nilai- nilai
transendental-Ilahiyah dan insaniyah serta berwawasan lingkungan (kealaman).
Semua itu dapat diwadahi dalam bingkai besar yang disebut antroposentrismeteistik. Sebuah konsep atau teori ilmu sosial apapun, termasuk teori pendidikan
tidak memiliki dampak sosial yang signifikan tanpa diorientasikan pada aksi
(action). Untuk menekankan perlunya aksi, nilai- nilai yang antroposentris teistik
itu dikonstruksi sebagai paradigma 20 ideologi pendidikan Islam. Sebuah ideologi
lazimnya memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas
masyarakat yang meyakini kebenaran nilai yang menjadi cita-cita ideologi
tersebut untuk memperjuangkannya.
Paradigma Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup bersifat
antroposentrisme-teistik, yaitu bahwa alam telah ditundukkan oleh Allah untuk
kepentingan hidup manusia, karena itu manusia dijadikan Allah sebagai khalifahNya.
21
Otto Soemarwoto mengemukakan bahwa pengelolaan lingkungan
pandangan kita bersifat antroposentris, yaitu melihat permasalahannya dari sudut
kepentingan manusia. Walaupun tumbuhan, hewan, dan unsur takhidup
diperhatikan, namun perhatian itu secara eksplisit atau implisit dihubungkan
20
Yang dimaksud dengan paradigma dalam makalah ini adalah seperti yang difahami
oleh Thomas Khun bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksikan oleh mode of thought
atau mode inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing (cara
mengetahui) tertentu pula. Paradig ma sebagai contoh yang diterima tentang praktik ilmiah
sebenarnya, termasuk huku m, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama -sama yang
menyediakan model yang darinya muncul trad isi yang koheren dari penelit ian ilmiah. Tho mas S.
Khun, (1962), penerjemah : Tjun Surjaman, The Structure of Scientific Revolution: Peran
Paradigma dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 10. Immanuel Kant
sebagai dikut ip oleh Kuntowijoyo misalnya, menganggap cara mengetahui itu sendiri sebagai
skema konseptual. Mark menamakannya sebagai ideologi; dan W itgenstein melihatnya sebagai
cagar bahasa. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), 327.
21
Lihat Q.S. al-Baqarah: 29, 30; Q.S. Ibrahi>m: 32, 33; Q.S. al-Nah}l:14; Q.S. al-H}ajj:65;
Q.S. Luqman: 20; Q.S. al-Ja>thiyah:12; Q.S. al-Zukhruf: 13.
7
dengan kepentingan manusia. 22 Konsep ini perlu dikonstruksi sebagai ideologi,
yaitu suatu sistem keyakinan tentang nilai dan cita-cita lingkungan hidup,
sehingga memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas
masyarakat yang meyakini kebenaran nilai-nilai dan cita-cita ideologi lingkungan
hidup untuk memperjuangkannya dalam kerangka mewujudkan misi Islam
sebagai rahmah li> al-‘A>lami>n.
2. Konsep Ekologi dan Lingkungan Hidup
Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan
lingkungan hidupnya. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel,
seorang ahli ilmu hayat, dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal
dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu.
Karena itu secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam
rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk
hidup. 23 Dalam pengelolaan lingkungan, ekologi yang kita butuhkan ialah ekologi
manusia. Ia merupakan cabang khusus ekologi, di samping ekologi tumbuhan,
ekologi hewan dan ekologi jasad renik. Ekologi manusia ialah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan
hidupnya.24
Suatu konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem, yaitu suatu sistem
ekologi yang terbentuk oleh hubugan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Menurut pengertian bahwa suatu sistem terdiri atas komponenkomponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem
terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu tempat yang berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus
materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam
ekosistem itu. Masing- masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung.
22
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan,
1987), 15-16.
23
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 15.
24
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 16.
8
Selama masing- masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerjasama
dengan baik, keteraturan ekosistem itu pun terjaga.
25
Keteraturan ekosistem menunjukkan bahwa ekosistem tersebut ada dalam
suatu keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidaklah bersifat statis, melainkan
dinamis. Ia selalu berubah-ubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadangkadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat
perbuatan manusia.
26
Lingkungan hidup ialah ruang yang ditempati suatu makhluk hidup
bersama dengan benda hidup dan takhidup di dalamnya. 27 Sifat lingkungan hidup
ditentukan oleh bermacam- macam faktor: (1) oleh jenis dan jumlah masingmasing jenis unsur lingkungan hidup tersebut, (2) interaksi antara unsur dalam
lingkungan hidup itu, (3) kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup, (4) faktor
non materiil suhu, cahaya, dan kebisingan. Manusia berinteraksi dengan
lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan
hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya.
28
Menurut Otto Soemarwoto bahwa mutu lingkungan hidup tertentu
berhubungan dengan sumberdaya dan kebutuhan dasar makhluk hidup. Yang
dimaksud mutu lingkungan hidup
ialah suatu kondisi lingkungan dalam
hubungannya dengan mutu hidup. Makin tinggi derajat mutu hidup dalam suatu
lingkungan tertentu, makin tinggi pula derajat mutu lingkungan tersebut dan
sebaliknya. Karena mutu hidup tergantung dari derajat pemenuhan kebutuhan
dasar, mutu lingkungan dapatlah diartikan sebagai derajat pemenuhan kebutuhan
dasar dalam kondisi lingkungan tersebut. Makin tinggi derajat pemenuhan
kebutuhan dasar itu, makin tinggi pula mutu lingkungan dan sebaliknya.29
Dengan menghubungkan mutu lingkungan dengan derajat pemenuhan
kebutuhan dasar, berarti lingkungan itu merupakan sumber daya. Dari lingkungan
25
26
27
28
29
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 16-17.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 17.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, 44-45.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 46-47.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 51.
9
itu kita mendapatkan unsur-unsur yang kita perlukan untuk produksi dan
konsumsi. Sebagian dari sumber daya itu dimiliki oleh perorangan dan badan
tertentu, misalnya lahan. Sebagian lagi sumber daya itu merupakan milik umum,
misalnya udara, sungai, pantai, laut dan ikan laut. Udara misalnya, diperlukan
untuk menjalankan mesin, karena dalam udara itu terdapat oksigen. Apabila tidak
ada udara, mesin pun tak dapat berjalan. Air adalah faktor lain yang kita perlukan
untuk produksi. Misalnya, air untuk produksi pertanian, perikanan dan
peternakan.
30
Kebutuhan dasar dapat dibagi secara hirarkis berturut-turut dari atas ke
bawah dalam tiga golongan, yaitu: (1) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup
hayati; (2) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup manusiawi; dan (3)
kebutuhan dasar untuk memilih.
31
Faktor lingkungan sebagian membantu dan sebagian la gi merintangi kita
untuk mendapatkan kebutuhan dasar kita. Faktor yang membantu untuk
mendapatkan kebutuhan dasar itu merupakan manfaat lingkungan. Sedangkan
yang merintangi merupakan risiko lingkungan. Manfaat dan risiko lingkungan itu
berupa faktor hayati dan fisik kimia serta dapat bersifat alamiah a tau buatan
manusia. Misalnya, nyamuk malaria merupakan risiko lingkungan yang bersifat
hayati dan mata air merupakan manfaat lingkungan yang bersifat fisik. Keduanya
merupakan faktor alamiah. Racun hama, misalnya DDT, yang mencemari suatu
perairan adalah risiko lingkungan yang bersifat kimia buatan manusia.
32
3. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan dapatlah kita artikan sebagai usaha secara sadar
untuk memelihara dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita
dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan lingkungan haruslah bersifat
lentur, karena persepsi tentang kebutuhan dasar, terutama untuk kelangsungan
hidup yang manusiawi tidak sama untuk semua golongan masyarakat dan
30
31
32
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 51.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, 55.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 63.
10
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dengan kelenturan itu kita berusaha untuk
tidak menutup pilihan golongan masyarakat tertentu untuk mendapatkan
kebutuhan dasarnya atau menutup secara dini pilihan kita untuk kemudian hari. 33
Pengelolaan lingkungan mempunyai ruang lingkup yang luas dengan cara
yang beraneka pula. Pertama, pengelolaan lingkungan secara rutin. Kedua,
perencanaan dini pengelolaan lingkungan suatu daerah yang menjadi dasar dan
tuntutan bagi perencanaan pembangunan. Ketiga,
perencanaan pengelolaan
berdasarkan perkiraan dampak lingkungan yang akan terjadi sebagai akibat suatu
proyek pembangunan yang sedang direncanakan. Keempat,
perencanaan
pengelolaan lingkungan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami
kerusakan, baik disebabkan oleh alamiah maupun tindakan manusia.
34
Tujuan pengelolaan lingkungan adalah: (1) melestarikan keseimbangan
dan keserasian lingkungan. Keseimbangan lingkungan sering juga disebut
keseimbangan ekologi; (2) mempertahankan daya lenting. Daya lenting
menunjukkan kemampuan suatu sistem untuk pulih setelah ia terkena gangguan;
(3) pembangunan yang berwawasan lingkungan.
4. Makna dan Fungsi Ideologi
“Ideologi” (ideology) –terdiri dari kata “ideo” (idea) yang berarti
pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan, dan lain- lain, dan “logi” (logos) yang
berarti logika, ilmu, atau pengetahuan –dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang
keyakinan dan cita-cita. 35 Konsep ide berasal dari Plato. 36 Terma ini dipakai
dalam pengertian tersebut oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836 M.) 37 dalam
33
34
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 69.
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 82.
35
Ali Shariati, “Man and Islam” diterjemah kan M. A mien Rais menjadi Tugas
Cendekiawan Muslim (Jakarta: Rajawali, 1984), 192.
36
Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra, 2003).
37
Anotoine Destutt de Tracy adalah seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Prancis.
Ia adalah tokoh yang pertama kali menggunakan istilah „idelogi‟. Dalam mengusung ide -ide
filosofinya, ia banyak terinspirasi oleh pemikiran John Locke. Ia adalah seorang bangsawan, ketika
meletus Revolusi Perancis, ia banyak mengamb il bagian dalam revolusi tersebut. selain seorang
filosof, ia juga mendalami ilmu Psikologi.
11
bukunya Element d‟ideologie, dipublikasikan pada 1801.
38
Ada juga yang
mengkaitkannya dengan konsep idola dari Francis Bacon. Di tangan De Tracy,
pengertian ideologi sudah jauh bergeser baik dari makna idea maupun idola.
Destutt de Tracy memandang ideologi sebagai ilmu pengetahuan tentang ide. Di
sini ideologi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang dianggap netral. 39
Sebagai ilmu pengetahuan, ideologi dituntut obyektif dalam mempelajari tiap ide
dalam arti mengesampingkan prasangka-prasangka metafisika dan agama. Bidang
kajiannya meliputi asal- usul ide, mengapa suatu ide muncul, bagaimana
berkembangnya suatu ide, dan strategi-strategi apa yang dapat dilakukan untuk
menyebarkan suatu ide.
Ideologi didefinisikan oleh A.S. Hornby sebagai “seperangkat gagasan
yang membentuk landasan sistem ekonomi dan politik; atau s istem kepercayaan
yang dianut oleh seseorang atau kelompok tertentu yang mempengaruhi cara
berperilaku mereka.”
40
Soerjono Soekanto mendefinisikan ideologi adalah
perangkat kepercayaan yang ditentukan secara sosial; sistem kepercayaan yang
melindungi kepentingan golongan elit; dan sistem kepercayaan. 41 Ideologi dapat
diartikan sebagai sistem kepercayaan atau sistem keyakinan, maka ideologi dalam
pengertian ini dapat bersumber dari agama, yang disebut sebagai IdeologyReligious (ideologi agama), yaitu ideologi yang terdiri dari unsur- unsur dan nilainilai agama.42
Dalam Microsoft Encarte Encylopedia, ideologi didefinisikan sebagai
suatu sistem kepercayaan
yang
memuat
nilai- nilai dan
ide- ide
yang
diorganisasikan secara rapi sebagai basis filsafat, sains, pro gram sosial, ekonomi
38
Reinhard Bendix, “Ideology” dalam William Outhwaite (ed.) The Blacwell Dictionary
of Modern Social Thught diterjemahkan oleh Tri W ibowo B.S. menjadi Kamus Lengkap
Pemikiran Sosial Modern (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 376. Lihat pula
Anthony Giddens, “Central Problems in Social Theory: Action, structure, and contradiction in
social analysis,” diterjemahkan oleh Dariyatno menjadi Problemtika Utama dalam Teori Sosial:
Aksi, Struktur, dan Kontardiksi dalam Analisis Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 314.
39
Lihat Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Bandung: Jalasutera, 2003), 34.
40
A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary, Sixth Edition (New York:
Oxford University Press, 2003), 672.
41
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Rajawali, 1983), 230.
42
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, 231.
12
politik yang menjadi pandangan hidup, aturan berpikir, dan cara bertindak
individu atau kelompok.43
Mengenai kedudukan
antara
ilmu,
filsafat
dan
ideologi dalam
hubungannya dengan perjuangan politik dan cita-cita politik, tentu berbeda. Ilmu
dan filsafat yang subyeknya disebut ilmuwan dan filosof berbeda dengan sang
ideolog. Seorang ilmuwan tidak akan memaksakan atau mempengaruhi orang
lain, ia hanya menjelaskan, mempresentasikan apa yang ditemui sebagai suatu
karya dan secara moril perlu diketahui atau disampaikan kepada orang lain atau
masyarakat. Ilmuwan tidak membentuk suatu kelompok untuk melawan
kecenderungan yang dianggap sebagai sesuatu yang merusak yang terjadi di
masyarakat, dan secara politis bersentuhan dengan pemegang kekuasaa n atau
subyek politik. Oleh karena itu, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah
melahirkan suatu revolusi. Adapun ideologi dan ideolog, senantiasa memberikan
inspirasi,
mengarahkan dan
mengorganisasikan perlawanan,
protes,
dan
penggugatan yang menakjubkan. Ideologi pada hakikatnya memiliki semangat
tanggung jawab, keyakinan, dan keterlibatan serta komitmen.
44
Ali Shariati mengemukakan bahwa ideologi adalah sebuah kata ajaib yang
menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara manusia, terutama di antara
kaum muda, dan khususnya di antara para cendekiwan dan intelektual dalam suatu
masyarakat. Bahkan kata ideologi ini sering mengundang semangat pengorbanan
diri.
45
Ciri dari suatu ideologi adalah cita-cita yang dalam dan luas, bersifat
jangka panjang, bahkan dalam hal dasar bersifat universal atau diyakini bersifat
universal. Ia dirasakan milik dari suatu kelompok manusia yang dapat
mengidentifikasikan dirinya dengan isi ajaran tersebut. ia juga mengikat
kelompok, sering pula membenarkan dan mempertahankan sikap perbuatan
kelompok.46
43
Deddy Is matullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif:
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 92.
44
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim , 196.
45
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim , 191.
46
Deliar Noer, Ideologi Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Pengkhid mtan,
1983), 31.
13
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi sebagai keseluruhan sistem
berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan kelompok sosial atau
individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang
eksistensi suatu kelompok sosial, sejarah, dan proyeksinya ke masa depan serta
merasionalisasikannya suatu bentuk hubungan kekuasaan. Dengan demikian,
ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti
dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan
sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang
sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk meyikapi persoalan tersebut. dalam
konteks inilah, kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali
dibaikan.47
Selanjutnya, Frans Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi
ideologi. 48 Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup.
Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakikat realitas seluruhnya, yaitu
merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang
makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang
bagaimana suatu masyarakat harus ditata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi
monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi,
bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dikembangkan
berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim
atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan
mutlak tanpa reserve.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya, ideologi yang menyuguhkan
kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional kesehariannya akan selalu
berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat.
Operasionalisasi dalam praktik kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan
secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk citacita bersama. Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter
dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
47
48
Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kansius, 1992), 230.
Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 232.
14
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini
ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakikat
realitas dan bagaimana manusia harus hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan itu
hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan, namun cita-cita dan
keyakinan itu sering berdimensi ideologis karena mendukung tatanan ssosial yang
ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu, seperti kekuasaan suatu
kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap
perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu
masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada
dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan
perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai
aktivitas sosial dan politik.49
Di dunia Islam, ideologi sebagai sistem keyakinan atau ideology-religious
bagi Ali Shariati misalnya, Islam merupakan satu-satunya ideologi yang akan
menyelamatkan Iran dari segala bentuk tekanan dan penindasan. 50 Dalam konteks
ini, Islam yang dimaksud Shariati bukanlah agama yang hanya memperhatikan
aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya,
melainkan lebih merupakan sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
51
Menurut Shariati bahwa ideologi merupakan paham dan teori perjuangan yang
dianut kuat oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita sosial tertentu dalam
49
Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 232.
Latar belakang sosial polit ik Iran saat Shariati hidup penuh dengan penindasan dan
kezaliman yang dilakukan pemerintah di bawah rezim Shah Reza Pahlev i. Kondisi ekono mi
dengan adanya bantuan Amerika bukan membangkit kan kesejah teraan rakyat, melain kan
menyengsarakan mereka. Untuk membebaskan massa dari krisis dan membawa mereka mencapai
Iran yang merdeka serta berkeadilan sosial-ekonomi, Shariati yakin, bukan liberalis me-kapitalisme
atau sosialisme yang bisa mengobati penyakit ini, melain kan Islam. Lihat Didin Saefuddin,
Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17 Tokoh (Jakarta: Grasindo,
2003), 133. Lihat pula Yann Richard, “Contemporary Sh i„i Thought”, dalam Nikkie R. Keddie,
Roots of Revolution, 27, sebagaimana dikutip oleh M. Nafis, “Dari Cengkraman Penjara Ego
memburu Revolusi: Memahami „Kemelut‟ Tokoh Pemberontak” dalam Deden Rid wan, Ed.,
Memahami Hegemoni Barat, Ali Shariati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta:
Lentera, 1999), 84.
50
51
Ali Shariati, Red Shi„ism (Texas: FIL, 1980), 7.
15
kehidupan. 52 Hamid Algar menyebutkan bahwa Islam versi Shariati merupakan
sistem ide, kelengkapan dan totalitas yang tidak hanya terbatas pada pemurnian
moral individu dan perwujudan hubungan spiritual antara individu dengan
Tuhan. 53 Senada dengan Algar, Ervand Abrahamian memandang bahwa Islam
tidaklah konservatif, keyakinan fatalistik, atau keimanan yang buta politik,
melainkan sebuah ideologi revolusioner yang menembus semua bidang
kehidupan, khususnya politik, dan memberi semangat bagi kaum mukmin untuk
berjuang melawan semua bentuk tekanan, penindasan, dan ketidakadilan sosial.54
Berbeda dengan pendapat Shariati, menurut Nurcholish Madjid bahwa
Islam tidak identik dengan ideologi. Ideologisasi Islam yang berlangsung selama
ini di dalam masyarakatnya telah merelatifikasikan Islam sebagai ajaran yang
universal. Ideologi sangat terikat oleh ruang dan waktu. Meskipun menyangkut
persoalan yang luas dan tidak sederhana dan mempunyai makna positif tersendiri
sebagai suatu bentuk sumbangan kepada kebangkitan Islam di sekitar perang
dunia kedua, pandangan langsung kepada Islam sebagai ideologi bisa berakibat
merendahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada. 55
Dalam perjalanan hidupnya,
umat manusia memerlukan orientasi
idiologis. Karena orientasi ideologis inilah mengarahkan ke mana seharusnya ia
merancang dan menggerakkan kehidupannya itu. Tanpa memiliki ideologi,
manusia tak ubahnya seperti kapal di tengah lautan yang tidak memiliki arah
kompas yang harus dituju. Karena ideologi pada dasarnya bersumber pada
pemikiran yang menjadi cita-cita, maka betapapun hebatnya, ia bukanlah agama.
Karena itu menyamakan agama sebagai ideologi adalah salah secara akademik.
Agama bersumber dari wahyu, sedangkan ideologi bersumber dari pemikiran.
Namun demikian agama yang telah turun dalam dataran empirik yang diproses
melalui ijtihad dapat dikatakan sebagai ideologi, namun ideologi tersebut tidak
52
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, 192.
53
Hamid Algar, The Roots of Iranian Revolution (Kanada: Ontario, 1983), 78.
54
Ervan Abrahamian, Iran Between Two Revolution (New Jersey: Princeton University,
1982), 666.
55
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17
Tokoh , 228-229.
16
sebebas ideologi yang bercorak sekuler. 56 Tilaar menegaskan bahwa ideologi
diartikan sebagai suatu pandangan dunia atau weltanschuung. Pandangan filosofis
ini berasal dari kebudayaan dan dapat pula berasal dari agama atau kombinasi
keduanya, seperti yang hidup dalam beberapa suku bangsa di Indonesia.
57
Ideologi bagi pengikutnya memiliki fungsi positif. Menurut Vago yang
dikutip Haidar Nashir, ideologi memiliki fungsi: (1) memberikan legitimasi dan
rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat;
(2) sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam kehidupan
kelompok atau masyarakat; dan (3) memberikan motivasi bagi para individu
mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan. 58
Selanjutnya Haidar Nashir mengemukakan bahwa gerakan sosial apapun
tidak lepas dari ideologi, lebih- lebih yang meletakan dirinya dengan ideologi.
Ideologi diperlukan untuk membangun sistem, solidaritas, arah, mobilisasi
anggota, dan strategi perjuangan sesuai dengan prinsip suatu gerakan sosial, lebihlebih gerakan keagamaan. Kendati di abad ke-21 ini muncul isu tentang “kematian
ideologi” (The End of Ideology), terutama setelah berakhirnya Perang Dingin
yang diwarnai kejatuhan rezim Komunisme di Eropa Timur sejak tahun 1989,
tetapi dalam kenyataannya ideologi tetap dianut dan menjadi acuan dalam
pemikiran atau tindakan berbagai gerakan sosial dan politik. Bagi sementara ahli,
isu “akhir ideologi” lebih sekedar menjadi sebuah wawasan daripada suatu
kenyataan. 59 Dalam kenyataan dan sejarah peradaban umat manusia, tiga alam
pikiran dengan derajat dan orientasi yang berbeda selalu mewarnai kehidupan
umat manusia, yaitu agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan.60
56
Abudin Nata, Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural, Pendidikan
Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan etika (Jakarta: UIN Jakarta, 2005) , 559-560.
57
H.A.R. Tilaar Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekuasaan, 165-178.
58
Haidar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2001), 32.
59
David McLeland, Ideologi Tanpa Akhir, terjemahan Muhammad Syu kri (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005), 159.
60
Haedar Nashir,
Muhammadiyah, 2010), 195.
Muhammadiyah
17
Gerakan
Pembaruan
(Yogyakarta:
Suara
Menurut golongan positivistik yang dikategorikan ideologi adalah segala
penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk
ideologi itu merupakan keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan
hanya merupakan keyakinan subyektif. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu
pengetahuan, menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan
tertutup, sedangkan ilmu pengetahuan memiliki watak obyektif, faktual, dan
terbuka.61
Disadari adanya sisi negatif dari ideologi atau pendekatan ideologis, tetapi
dipandang perlu adanya konsep pendidikan yang bersifat ideologis untuk
memberikan pemikiran alternatif atau sebagai penyeimbang atas banjirnya
ideologi pendidikan liberal di negeri kita. Untuk meminimalkan sisi negatif
ideologi perlu dibatasi pada ideologi dalam arti netral dan dan ideologi terbuka.
Ideologi dalam arti netral adalah sistem berfikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani
sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi
tergantung isinya, kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu sebaliknya.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai- nilai dasar,
sedangkan penerjemahnnya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial-politik
selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan
perkembangan cita-cita masyarakat. Operasionalisasinya tidak ditentukan secara
apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Oleh karena itu ideologi
terbuka bersifat inklusif,
tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan untuk
melegitimasi kepentingan sekelompok orang. 62
5. Paradigma Antroposentris-Teistik sebagai Ideologi Pendidikan Islam
Istilah
antroposentris-teistik
sesungguhnya
perpaduan
antara
antroposentrisme dan teisme. Kata teisme dimaksudkan untuk memberi sifat
antroposentrisme, maka menjadi antroposentris-teistik, sehingga secara eksplisit
berbeda dengan antroposentrisme naturalistic, antroposentrisme scientific, atau
antroposentrisme rasional yang sekuler.
61
168.
62
Kuntowijyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Prestasi (Bandung: Mizan, 1993),
Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 236.
18
Antroposentris
(anthropocentric)
artinya
berpusat
pada
manusia.
Antroposentrisme adalah ajaran (humanisme) yang menyatakan bahwa pusat alam
semesta adalah manusia. 63 Antroposentrisme merupakan ajaran humanisme, di
mana sejak awal abad 20 sampai sekarang merupakan konsep kemanusiaan yang
sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak kepada manusia,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan
manusia
untuk
memelihara
dan
menyempurnakan
keberadaannya sebagai makhluk paling mulia. Karena begitu berharganya konsep
humanisme ini, maka dewasa ini terdapat sekurang-kurangnya empat aliran
penting yang mengklaim sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu: (1)
Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3) Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3)
Eksistensialisme, dan (4) Agama.64
Walaupun keempat aliran itu memiliki perbedaan yang tajam bahkan
saling bertentangan, namun mereka memiliki titik-titik kesepakatan mengenai
prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali
Shariati mendeskripsikannya ke dalam tujuh prinsip:
(1) Manusia adalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri
di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
(2) Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan
kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih
adalah dua sifat Ilahiyah yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia.
(3) Manusia adalah makhluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia
yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam
luar dengan kekuatan berfikir.
(4) Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah
makhluk hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan
kemampuan membangun peradaban.
(5) Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang menyebabkan manusia mampu
menjadikan dirinya makhluk sempurna di depan alam dan di hadapan Tuhan.
63
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 58
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 21.
64
19
(6) Manusia adalah makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang
ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada”, tetapi selalu
berusaha mengubahnya menjadi “apa yang semestinya”.
(7) Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai
(value).65
Ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut diakui oleh hampir semua
aliran filsafat. Bahkan ideologi- ideologi kontemporer seperti feminisme,
pluralisme, dan posmodernisme bertolak dari pandangan humanisme ini.
Bedanya, bagi humanisme sekuler yang dilatarbelakangi eksistensialisme
misalnya, hanya mengakui manusia sebagai makhluk yang wujud dengan
sendirinya di alam semesta, tidak terdapat bagian atau karakteristik tertentu yang
datang dari Tuhan. Humanisme sekuler lainnya telah mengambil moral
kemanusiaan seluruhnya dari agama, dengan menegasikan Tuhan, sebagaimana
dinyatakan bahwa pendidikan spiritual dalam nisbahnya dengan keutamaankeutamaan moral dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan. 66
Dalam perspektif Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan suci (fit}rah). Dengan
kefitrahan yang dimilikinya, manusia harus menyatakannya dalam sikap yang suci dan
baik kepada sesama manusia dalam pergumulannya, Nurcholis Madjid menjelaskan
bahwa:
Karena fitrah}-nya itu manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus
dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Sifat dasar kesucian itu
disebut hani>fiyyah karena manusia adalah makhlu k yang hani>f. Sebagai makh luk yang hani>f
itu manusia memiliki dorongan naluri ke arah kebaikan dan kebenaran atau kesucian. Pusat
dorongan hani>fiyyah itu terdapat dalam dirinya yang paling mendalam dan paling murn i, yang
disebut (hati) nurani, artinya “bersifat nur atau cahaya (luminous).67
Kesucian kemanusiaan itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan
perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan. Yaitu suatu perjanjian atau
ikatan janji antara manusia sebelum ia lahir ke dunia dengan Tuhan, bahwa
65
Ali Shariat i, Hu manisme antara Islam dan Mazhab Barat, Terj. Afif Muhammad
(Bandung: Pustaka Hiadayah, 1996), 47-49.
66
Ali Shariati, Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, 46.
67
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 179.
20
manusia akan mengakui Tuhan sebagai Pelindung dan Pemelihara (Rabb) Satusatu-Nya baginya. Maka manusia (dan jin) pun tidaklah diciptakan Allah
melainkan dengan kewajiban tunduk dan menyembah kepada-Nya saja, yaitu
menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa, tawhi>d. Maka ber- tawhi>d dengan
segala konsekuensinya itulah makna hakiki hidup manusia, yaitu suatu makna
hidup atas dasar keinsafan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan kembali
kepada-Nya. Makna hidup yang hakiki itu melampaui tujuan-tujuan duniawi
(terrestrial), menembus tujuan-tujuan hidup ukhrawi (celestial).68
Dengan pernyataan al-Quran bahwa, manusia diciptakan dalam keadaan
fit}rah artinya kemampuan bawaan dan intuitif manusia untuk membedakan mana
yang benar dan salah itu berarti bahwa, manusia memiliki kecenderungan alamiah
kepada kebaikan, kebenaran dan yang suci (hanafiyah). Sebagai makhluk yang
fit}rah dan hanafiyah, manusia selalu memiliki potensi untuk bersikap benar dan
berperilaku baik dalam berbagai pemikiran, maksud dan perbuatannya. 69 Islam
mengajarkan bahwa, manusia adalah makhluk yang pada dasarnya adalah baik
dan benar ( fit}rah-hani>f). Oleh karena manusia sebagai makhluk tertinggi dan
sebaik-baik ciptaan Tuhan, maka Allah kemudian memuliakannya dibandingkan
dengan makhluk lain di bumi. Karena itu Islam memanda ng bahwa setiap jiwa
manusia memiliki harkat dan martabat yang sama nilainya dengan manusia yang
lainnya. Sebuah nilai humanistik yang universal dalam ajaran Islam. 70
Islam dengan demikian, memiliki komitmen yang kuat untuk menjadikan
humanisme sebagai sebuah sikap positif dalam membangun manusia yang adil
dan beradab serta memiliki komitmen dan solidaritas yang tinggi terhadap senasib
sepenanggungan dengan komunitas manusia lainnya, tanpa membedakan di antara
sesama mereka. Karena itu, seorang muslim dituntut untuk menjadi humanis tanpa
harus membedakan masyarakat yang digumulinya. Sikap humanistik yang
ditunjukkan terletak pada kesiapannya dalam menerima dan bekerja sama dengan
68
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 179.
69
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Pemikiran Muhammad
Arkoun (Yogyakarta: 2000), 162-163.
70
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad (Jakarta: Paramadina, 1999), 148.
21
pemikiran di luar Islam dalam membebaskan manusia dari berbagai bentuk
ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Maka bagi Nurcholish Madjid, bahwa
manusia harus kembali kepada sifat naturalnya, yaitu fitrahnya yang suci. Dari
sini sesungguhnya manusia dapat memulai untuk mendaftarkan kembali nuktahnuktah pandangan dasar kemanusiaannya.
71
Humanisme dalam Islam menjadikan perhatian utamanya terhadap
moralitas Islam yang berpijak pada komitmen kemanusiaan sebagai dasar dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia. Islam dengan
seluruh cita-cita yang dimilikinya, sebagai sebuah kerangka dalam meletakkan
fondasi untuk sebuah pandangan dunia yang humanistik. Pandangan humanisme
seperti ini dimaksudkan untuk menampilkan Islam sebagai rahmah li> al-‘a>lami>n
tanpa harus membedakan latar belakang agama, suku, dan ideologi. Se hingga bagi
Kuntowijoyo, Islam adalah sebuah agama yang humanistik. Dimana sebuah
agama yang menekankan manusia sebagai tujuan sentral inilah sesungguhnya
nilai dasar Islam.72
Dalam perspektif Islam, humanisme harus dipahami sebagai suatu konsep
dasar
kemanusiaan
yang
tidak
berdiri bebas.
Artinya
bahwa
makna
“memanusiakan manusia” harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks
inilah, al-Qur‟an memandang manusia sebagai “wakil” atau “khalifah” Allah di
bumi. Untuk memfungsikan kekhalifahannya, Tuhan telah melengkapi manusia
potensi intelektual dan spiritual sekaligus. 73 Karena itu menurut Kuntowijoyo,
humanisme Islam adalah humanisme yang bercirikan teosentrik, yaitu sebuah
agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan sekaligus
mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban umat manusia. Prinsip
humanisme seperti inilah yang kemudian ditransformasikan sebagai sebuah nilai
71
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 192.
72
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung:Mizan, 1996), 167.
73
Abu Hafsin, “Kata Pengantar” dalam Kamdani (penyunting), Islam dan Humanisme:
Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal (Yogyakarta: IAIN
walisongo Semarang Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007), ix.
22
dalam pergumulannya dengan realitas kehidupan masyarakat dan kebudayaan
yang mengitarinya.74
Menurut M. Amin Abdullah, bahwa terjadi proses pencampuran yang
kental dan pekat antara dimensi “historis-kekhalifahan” yang aturannya selalu
berubah-ubah, lantaran tantangan zaman dan “normativitas” al-Qur‟an yang
sha>lihun likulli zama>nin wa maka>n. Pergumulan antara das sein (historisitaskekhalifahan) dan das sollen (normativitas-al-Qur‟an) sebenarnya dimulai sejak
awal kehidupan manusia yang tersimbolkan dalam perjuangan dan sejarah hidup
Nabi Muhammad Saw. dan para Nabi sebelumnya. Maka dalam upaya memahami
kembali pesan-pesan moral keagamaan dan kemanusiaan yang berdimensi
histories-antroponsentris adalah suatu keharusan dan kemestian. Keharusan
tidaklah berarti “membongkar” wilayah normativitas ajaran Islam, akan tetapi
sebagai upaya artikulatif terhadap historitas ajaran Islam agar sesuai dengan
semangat zaman dan tuntutan peradaban kemanusiaan kontemporer.75
Dengan demikian, haruslah disadari bahwa hanya melalui pemahaman
terhadap teks al-Qur‟an yang komprehensiflah akan dapat ditemukan pesan-pesan
Islam yang dijadikan sebagai paradigma kemanusiaan, karena teks selama ini
menjadikannya sebagai embarkasi pemahaman keagamaan sekaligus terminal
akhir terhadap sebuah kebenaran. Teks al-Qur‟an bila ditafsirkan secara kaya,
tergantung konteks sosial-budaya yang melatarinya dan pembaca itu sendiri. 76
Dengan demikian, persentuhan antara penafsir dengan al-Qur‟an merupakan
pergulatan yang dinamis dan berusaha melahirkan makna yang bersentuhan
langsung dengan realitas kemanusiaan kontemporer.
Dengan semangat perkembangan peradaban manusia modern, penafsiran
terhadap al-Qur‟an harus mampu memberikan problem solving terhadap realitas
kehidupan kekinian sebagai cita-cita humanisme dalam Islam, seperti masalah
74
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, 168
75
M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), 19.
Nasr Hami>d Abu> Zaid, Mafhu>m al-Na>s} Dira> sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n diterjemahkan oleh
Khairun Nahd}iyyi>n dengan judul Tekstualitas Al-qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: LKiS, 2001), v.
76
23
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), Demokrasi, Hak Asasi manusia (HAM),
pendidikan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, pencemaran lingkungan hidup
dan sederet persoalan kemanusiaan lain yang mengitarinya. Karena itu, gagasan
pemikiran seperti itu sudah harus dilakukan, yakni bergeser ke arah paradigma
pemikiran berdimensi antroposentris-Qur‟ani, yakni terkait dengan kemaslahatan
kemanusiaan universal yang dijiwai oleh semangat al-Qur‟an.
Berdasarkan pada konsep humanisme dalam Islam sebagaimana d iuraikan
di atas, maka antroposentrisme atau humanisme yang diangkat menjadi paradigma
ideologi pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup ini pada
dasarnya juga bertolak dari prinsip-prinsip dasar kemanusiaan tersebut, karena
sesungguhnya semua itu implisit dalam konsep fitrah manusia. Akan tetapi
antroposentrisme dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip
teosentrisme. Di satu sisi keimanan tawhi>d sebagai inti ajaran Islam, menjadi
pusat seluruh orientasi nilai. Semua itu kembali untuk
manusia yang
dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam sebagai rahmah li> al-‘A>lami>n, yang
berarti menjadi kebaikan bagi (lingkungan hidup) semesta alam.
6. Paradigma Pendidikan Islam tentang Ekologi dan Lingkungan Hidup
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tugas kekhalifahan manusia di
bumi mempunyai implikasi terhadap menjaga keseimbangan dan kelestarian
lingkungan hidup sebagai upaya reformasi bumi. Pendidikan dalam Islam
dipandang sebagai upaya sistematis dalam mempersiapkan kader-kader khalifah
di bumi, dimana tempat tersebut dijadikan Allah sebagai tempat yang baik bagi
manusia dalam pelaksanaan tugas kekhalifahan manusia. Salah satu tugas
kekhalifahan adalah memakmurkan bumi dan membangun peradaban di atasnya. 77
Implikasi dari konsep tersebut, maka menjaga dan melestarikan bumi dan
lingkungannya merupakan bagian dari tugas kekhalifahan manusia. Konsep ini
harus dijadikan sebagai sistem keyakinan (aqi>dah), difahami, dan diperjuangkan
untuk diwujudkan dengan cara ditarsnformasikan, dan diinternalisasikan kepada
masyarakat didik.
77
Lihat Q.S. Hu>d : 61.
24
Hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia berkembang
dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik, lingkungan hidup akan
berkembang ke arah yang optimal. 78 Sementara untuk membentuk manusia yang
baik adalah tugas dan fungsi pendidikan. Di sinilah terdapat hubungan yang erat
antara pendidikan dengan lingkungan hidup.
Hubungan erat antara pendidikan dengan lingkungan hidup dinyatakan
Ahmad Tafsir bahwa secara umum tujuan pendidikan ialah menghasilkan manusia
yang baik. Secara umum pula diketahui bahwa bila setiap orang sudah menjadi
orang yang baik maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang baik.
79
Masyarakat merupakan lingkungan kehidupan sosial (sosial-ekonomi-politik), di
mana proses pendidikan terjadi dalam interaksi antar- manusia dalam masyarakat.
Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan sosial yang menghargai nilai- nilai
kemanusiaan yang beradab dan lingkungan alam yang perlu dilestarikan.
Konsep pendidikan Islam tentang lingkungan hidup, Nurcholish Madjid
menjelaskan bahwa kesadaran pentingnya memelihara alam lingkungan hidup
merupakan salah satu kesadaran yang amat penting pada umat manusia sekarang.
Bencana-bencana alam yang menimpa umat manusia akhir-akhir ini merupakan
akibat kerusakan lingkungan. 80 Pendidikan lingkungan hidup harus melibatkan
usaha penyadaran tentang harga tak ternilai dari alam sebagai anugerah Tuhan.
Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara anugerah itu dan
memanfaatkannya dengan penuh syukur kepada-Nya. Karena itu menurut
Nurcholish Madjid bahwa membuat kerusakan di bumi merupakan salah satu
kejahatan tertinggi.81
78
Konsep tersebut sebagai kesimpu lan Besar Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Pembangunan Nasional, Universitas Padjadjaran, Bandung, Tanggal 15-18 Mei 1972.
79
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusikan Manusia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006), 93.
80
“Muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah tangan manusia, untuk
membuat mereka merasakan sebagian dari akibat apa yang telah mereka kerjakan, agar mereka
kembali ke jalan yang benar”. (Q.S. al-Ru>m [30]:41). Lihat Nurcholish Madjid, Indonesia Kita
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 166.
81
Q.S. al-Ma> ‘idah [5]:32, di mana diisyaratkan bahwa hukum mati dapat dikenakan
kepada pelaku kejahatan pembunuhan dan kejahatan membuat kerusakan di bumi. Lihat
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 166.
25
Selanjutnya, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa selain alam ini
berwujud alam kebendaan mati seperti gunung- gunung, lembah- lembah, sungaisungai dan seterusnya, anugerah Tuhan itu juga berwujud alam kehidupan (hayati)
yang beraneka ragam, baik flora maupun fauna. Tuhan menganugerahkan kepada
bangsa Indonesia keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terbesar di muka
bumi, yang merupakan titipan Tuhan untuk dipelihara bagi sebesar-besar manfaat
bangsa dan seluruh umat manusia. jadi, selain kepada negara sendiri, kita ba ngsa
Indonesia memikul tanggung jawab kepada seluruh dunia. Pendidikan kita harus
menanamkan kesadaran itu.82
Senada dengan pendapat Ahmad Tafsir dan Nurcholish Madjid tentang
hubungan antara pedidikan dan lingkungan hidup, Tilaar mengemukakan bahwa
proses pendidikan terjadi dalam interaksi antar- manusia dalam masyarakat yang
majemuk. Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu
dilestarikan serta lingkungan sosial yang menghargai nilai- nilai kemanusiaan yang
beradab. Proses pembudayaan atau proses pemanusiaan tersebut
harus
memperhatikan tuntutan-tuntutan intergenerasi yaitu faktor- faktor pelestrian
ekologis, budaya dan kependudukan. Selanjutnya proses pemanusiaan itu
merupakan pula suatu proses interkultural yang meliputi budaya lokal, nasional,
dan internasional (global) menuju terciptanya suatu masyarakat madani global
yang bertumpu dari masyarakat madani Indonesia yang mempunyai cirinya yang
khas yaitu kebudayaan Indonesia.83
A. Malik Fadjar mengemukakan bahwa dalam pemanfaatan kekayaan
hidup ini seharusnya tidak menggunakan dalih apa pun ditempuh dengan merusak
lingkungan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan seharusnya
adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah dan mencintai lingkungan.
Namun ekosistem kehidupan yang berkembang hingga saat ini kurang
mencerminkan sepenuhnya usaha- usaha ke arah itu, sehingga kerusakan
lingkungan dapat kita saksikan terjadi di mana-mana. Maka semua pihak sudah
82
Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, 167.
Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 11.
83
26
sepatutnya dihimbau segera dan senantiasa menjaga lingkungan hidup dan
melestarikannya.84
Selanjutnya, A. Malik Fadjar menyatakan bahwa pendidikan perlu
senantiasa mengupayakan ke arah menumbuhkan kesadaran untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup. Pemanfaatan kekayaan bumi, laut, dan udara
haruslah dilakukan dengan tetap ramah dan cinta pada lingkungan. Kesadaran
semacam ini perlu ditanamkan di tengah masyarakat pada semua lapisan, sejak
usia dini hingga ke semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan paling tinggi.
Semua harus menyadari bahwa dukungan semua pihak mutlak dilakukan demi
terwujudnya pelestarian lingkungan hidup yang lebih baik. Kebijakan-kebijakan
di luar pendidikan, baik yang bersifat mikro maupun makro, di Indonesia harus
bersinergi ke arah itu dengan intensitas lebih. Tentu dengan memanfaatkan dan
mengusahakan secara terus menerus potensi bangsa, baik sumber da ya manusia
maupun sumber dana, yang berpretensi memberikan sumbangan berarti kepada
dunia lingkungan.85
7. Ideologisasi Lingkungan Hidup melalui Pendidikan Islam sebagai Upaya
Reformasi Bumi
Sebuah konsep atau teori ilmu sosial apapun, termasuk teori pend idikan
tidak memiliki dampak sosial yang signifikan tanpa diorientasikan pada aksi
(action). Untuk menekankan perlunya aksi, konsep-konsep, teori-teori, nilai- nilai
dan cita-cita tentang ekologi dan lingkungan hidup itu perlu dikonstruksi sebagai
paradigma ideologi pendidikan Islam. Ideologi berfungsi sebagai mediasi yeng
menjembatani kesenjangan antara idealita dan realita, antara visi dan aksi, antara
individu dan masyarakat, antara obyektivitas dan subyektivitas. Sebuah ideologi
lazimnya memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas
masyarakat yang meyakini kebenaran nilai yang menjadi cita-cita ideologi
tersebut untuk memperjuangkannya. Dengan kata lain perlu ada gerakan
84
85
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 298.
A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, 298.
27
ideologisasi lingkungan hidup melalui institusi pendidikan dalam rangka
reformasi bumi.
Berkaitan dengan ideologisasi nilai dalam pendidikan, penulis cenderung
pada paradigma Neo-Kantian, yang melihat “ide” sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku atau tindakan-tindakan sadar manusia dalam situasinya
yang konkrit. 86 Konsep “ide” berasal dari Plato. 87 “Ide” yang telah dikonstruksi
sebagai konsep sistematis akan berkembang menjadi nilai, norma dan akhirnya
akan menjelma menjadi sebuah ideologi.
Senada dengan Neo-Kantian, ideologi menurut Qiba>ri Isma> ‘il merupakan
pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi perilaku dan jiwa manusia. 88 Menurut
Shariati bahwa ideologi merupakan paham dan teori perjuangan yang dianut kuat
oleh kelompok manusia menuju pada cita-cita sosial tertentu dalam kehidupan. 89
Ideologi menurut A.S. Hornby sebagai sistem kepercayaan yang dianut oleh
seseorang atau kelompok tertentu yang mempengaruhi cara berperilaku mereka. 90
Sementara menurut Fredric Jameson bahwa ideologi adalah konsep
mediasi yang unggul, yang menjembatani kesenjangan antara individu dan sosial,
antara fantasi dan kognisi, antara ekonomi dan estetika, objektivitas dan
subjektivitas, akal dan alam bawah sadar, pribadi dan publik.91
Tilaar juga menjelaskan bahwa ada hal yang berkaitan dengan pengertian
ideologi yang mempengaruhi praksis pendidikan, yaitu ideologi sebagai ide-ide
yang menuntun kehidupan dalam masyarakat (guiding principles). Bahwa
masyarakat kita adalah masyarakat yang bermoral. Moral adalah susunan nilainilai atau ide- ide yang diagungkan dalam kehidupan bersama. Moral atau ide-ide
86
Yusril Ih za Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam
(Jakarta: Paramadina, 1999), 4.
87
Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra, 2003).
88
Qiba>ri Isma> ‘il, ‘Ilm al-Ijtima‘ wa al-Idi>y aulaujiya>t (Iskandariyah: al-Maktab al-‘Arabi
al-H}adi>th, 1979), 10.
89
Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, 192.
90
A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary, Sixth Edition (New York:
Oxford University Press, 2003), 672.
91
Fredric Jameson, The Ideologies of Theory (London & New York: Verso, 2008), ix.
28
dasar dapat bersumber dari agama, adat- istiadat, atau kebudayaan pada
umumnya.92
Secara historis bahwa pendidikan telah dijadikan oleh umat manusia,
setiap masyarakat atau bangsa di dunia sebagai media ideologisasi. Hal ini
sebagaimana dikatakan Antonio Gramsci bahwa ideologi yang dominan tidak
hanya dapat dimenangkan melalui revolusi atau kekera san oleh institusi- institusi
negara sebagai dikatakan Karl Marx, tetapi juga dapat melalui jalan hegemoni
melalui institusi- institusi lain, seperti institusi agama, pendidikan, media massa,
dan keluarga.
93
Senada dengan Gramci, Kevin B. Smith juga menyatakan bahwa
pendidikan sebagai media ideologisasi.
bahwa
kurikulum
pendidikan
perkembangan ekonomi.
95
94
Michael W. Apple mengemukakan
dipengaruhi
oleh
ideologi,
budaya
dan
Demikian juga Elliot W. Eisner mengemukakan bahwa
Ideologi- ideologi (ideologies) berfungsi memberikan arah kepada sekolah-sekolah
untuk mencapai tujuan, yakni nilai-nilai.
96
Dilihat dari paradigma ini, fenomena konkrit yang berhubungan dengan
praksis pendidikan, dapat dianggap sebagai hasil dari manifestasi dari ideologi
tertentu yang
berada dibaliknya itu. Berdasarkan pada paradigma ini, maka
paradigma pendidikan Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup harus
dijadikan sebagai sistem keyakinan (aqi>dah) dalam bentuk ideologi. Sehingga
memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas
masyarakat untuk memperjuangkannya.
92
H.A.R. Tilaar Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekuasaan, 165-178.
93
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekusanaan, 165-166. Lihat Donny Gahral A, Arus Pemikiran Kontemporer, 121-127.
94
Kevin B. Smith dalam bukunya The Ideology of Education: The Commenwealth, the
Market, and America‟s Schools (Albany New York: State University of New York Press, 2003).
95
Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York and London: Routledge
Falmer, 2004), 25-40.
96
Elliot W. Eisner, The Education Imagination: On the Design and Evalution of School
Programs (New Jersey: Upper Saddle River, 2002), 47.
29
D. PENUTUP
Berdasarkan pada uraian-uraian sebelumnya, makalah ini membuktikan
ketidakbenaran pendapat yang menyatakan bahwa agama (Islam) tidak
mempunyai relevansi ekologis sebagai dinyatakan oleh Russel Train. Makalah ini
menunjukkan bahwa konsep Islam tentang prinsip-prinsip
kekhalifahan,
semuanya bermuara pada reformasi bumi, yaitu menjaga keseimbangan ekologi
dan lingkungan hidup. Hal ini membuktikan bahwa Islam mempunyai relevansi
ekologis.
Paradigma Islam tentang ekologi dan lingkungan hidup bersifat
antroposentrisme-teistik, –yaitu karena manusia dijadikan Allah sebagai khalifahNya, maka alam telah ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan hidup manusia –
yakni melihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia. Walaupun
tumbuhan, hewan, dan unsur takhidup diperhatikan, namun perhatian itu secara
eksplisit atau implisit dihubungkan dengan kepentingan manusia. Konsep ini perlu
dikonstruksi sebagai sistem keyakinan (aqi>dah) dalam bentuk ideologi, yaitu
suatu sistem keyakinan tentang nilai dan cita-cita lingkungan hidup, sehingga
memiliki kekuatan mengikat dan mendorong seseorang atau komunitas
masyarakat untuk memperjuangkannya dalam rangka reformasi bumi. Maka
dengan demikian, visi dan misi Islam sebagai rahmah li> al-‘A>lami>n akan
terwujud, yakni menjadi kebaikan bagi semesta alam.
Pendidikan sebagai media ideologisasi dipandang sebagai upaya sistematis
dalam mempersiapkan kader-kader khalifah di bumi, dimana tempat tersebut
dijadikan Allah sebagai tempat yang baik bagi manusia untuk pelaksanaan tugas
kekhalifahan manusia. Hanya dalam lingkungan hidup yang baik, manusia dapat
tumbuh dan berkembang dengan optimal, dan hanya dengan manusia yang baik,
lingkungan hidup akan berkembang dengan optimal. Sementara untuk membentuk
manusia yang baik adalah tugas dan fungsi pendidikan. Proses pendidikan terjadi
dalam interaksi antar- manusia dalam masyarakat yang majemuk (pluralis).
Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu
dilestarikan serta lingkungan sosial yang menghargai nilai- nilai kemanusiaan yang
beradab. Walla>hu A‘lam bi al-S}awa>b.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Filsafat Kalam di Era Postmodernisme.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Abra>shi, Muhammad ‘At}iyah. al-Tarbiyah al-Isla> miyyah wa Fala> safatuha>. Mesir:
Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, tt.
Abrahamian, Ervan. Iran Between Two Revolution. New Jersey: Princeton
University, 1982.
Abu> Zaid, Nasr Hami>d. Mafhu>m al-Na>s} Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n.
diterjemahkan oleh Khairun Nahd}iyyi>n dengan judul Tekstualitas Alqur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.Yogyakarta: LKiS, 2001.
Ahmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Abra>shi, Muhammad ‘At}iyah. al-Tarbiyah al-Isla> miyyah wa Fala> safatuha>. Mesir:
Isa al-Ba>bi> al-Halabi>, tt.
Algar, Hamid. The Roots of Iranian Revolution. Kanada: Ontario, 1983.
Apple, Michael W. Ideology and Curriculum. New York and London: Routledge
Falmer, 2004.
Apple, Michael W. Education and Power. Boston; Routledge & Keagan Paul,
1982.
Aronowitz, S. & Giroux, H.A. Education Under Siege. Massachusetts: Bergin &
Garvey Publishers, Inc. 1985.
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Bell, Daniel (ed.). The End of Ideology: on the Exhaustion of Political Ideas in the
Fifties. New York: Free Press, 1962.
Bell, Daniel. ‘Ideologi: Sebuah Perdebatan,’ Commentary. Jilid 38, Oktober 1964.
Bernoit, R.J. What’s Wrong with the Environment ? dalam Frances, SS. (editor).
Environmental Sciences. The New York Academy of Science, 1987.
Bottery, Mike. The Challenges of Educational Leaderships: Values in a Globalized
Age. London: Paul Chapman Publishing, 2004.
Choulen, E.T. Environmental Protection. Dalam Encyclopedia of Environmental
Science. Mc Graw Hill, 1990.
Daldjoeni. N. Dan Suyitno. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung:
Alumni, 1982.
Djadjadiningrat, S.T. Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta: Universitas
Eagleton, Terry. Ideology, An Introduction. London: Verso, 1991.
Echols, John M. dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2000.
Eisner, Elliot W. The Educational Imagination: On the Design and Evalution of
School Programs, (Thir Edition). New Jersey: Upper Saddle River, 2002.
Engel Michael. The Struggle for Control of Public Education: Market Ideology vs.
Democratic values. Philadelphia: Temple University Press, 2000.
31
Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
Fukuyama, Francis. The End of History and Last Men. diterjemahkan menjadi
Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Adipura,
2000.
Giroux, Henry A. Ideology. Culture and the Process of Schooling.
Philadelphia:Temple University and falmer Press, 1981.
Giroux, Henry A. Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the
Opposition. New York: Bergin & harvey Publishers, Inc., 1983.
Haught, John F. Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog. Bandung:
Mizan Pustaka, 1995.
Hornby, A S. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Sixth edition. New York:
Oxford University Press, 2003.
Ismail, Faisal. “Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of
Muslim Acceptance of the Pancasila” diterjemahkan menjadi. Ideologi
Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan
Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Isma> ‘il, Qiba>ri ‘Ilm al-Ijtima‘ wa al-Idi>yaulaujiya>t. Iskandariyah: al-Maktab al‘Arabi al-H}adi>th, 1979.
Ismatullah, Deddy dan Asep A. Sahid Gatara. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif:
Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama. Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Jameson, Fredric. The Ideology of Theory. London & New York: Verso, 2008.
Kamdani. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis
Humanisme Universal. Yogyakarta: IAIN walisongo Semarang
Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 1996.
Madjid, Nurcholish. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di
Tabloid Tekad. Jakarta: Paramadina, 1999.
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 2000.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi
Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2003.
Madjid, Nurcholish. Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia pustaka Utama, 2004.
Madjid, Nurcholish. Cita-cita Politik Islam. Jakarta: Paramadina bekerjasama
dengan Dian Rakyat, 2009.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam.
Jakarta: Paramadina, 1999.
McLeland, David. Ideologi Tanpa Akhir. (terjemahan) Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005.
Michel, Foucault. Menggugat Sejarah Ide.(terjemahan) Yogyakarta: Ircisid, 2002.
Mitchell, W.J.Thomas. Iconology: Image, Text, Ideology (Cichago: University of
Chicago Press, 1986).
32
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004.
Nahlawi>, Abdurrahma>n. Min Asa>lib al-Tarbiyah al-Isla> miyah: al-Tarbiyah bi alAyat. Beirut Libanon: Da>r al-Fikr al-Ma‘a>shir, 1989.
Nashir, Haedar. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan.Yogyakarta:Suara
Muhammadiyah, 2010.
Nata, Abudin. Pendidikan Islam di Era Global: Pendidikan Multikultural,
Pendidikan Multi Iman, Pendidikan Agama, Moral dan Etika. Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2005.
Noer, Deliar. Ideologi Politik dan Pembangunan. Jakarta: Yayasan Pengkhidmtan,
1983.
Nuswantoro. Daniel Bell Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera, 2001.
O‘Neill. William. Educational Ideologies. Santa Monica, California: Goodyear
Publishing Company, Inc. 1981.
Outhwaite, William (ed.). The Blackwell Dictionary of Modern Social Thught
(terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Ruslani. Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Pemikiran Muhammad
Arkoun. Yogyakarta: 2000.
Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual
17 Tokoh. Jakarta: Grasindo, 2003.
Salim, E. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1989.
Salim, E. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES, 1991.
Shariati, Ali. Man and Islam. diterjemahkan menjadi .Tugas Cendikiawan Muslim.
Jakarta: Rajawali, 1984.
Shariati, Ali. Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat. Terj. Afif Muhammad
Bandung: Pustaka Hiadayah, 1996.
Shariati, Ali. Red Shi‘ism. Texas: FIL, 1980.
Smith, Kevin B. The Ideology of Education: The Commenwealth, the Market, and
America’s Schools.
Smith, W.A. The Meaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy.
Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976.
Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali, 1983.
Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan, 1987.
Soemarwoto, Otto. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Suseno, Frans Magnis. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: kansius, 1992.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami, Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusikan Manusia. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2005.
Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Tilaar, H.A.R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani: Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
33
Tilaar, H.A.R. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2005.
Tilaar, H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekusanaan. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Deartemen Pendidikan
Nasional, Balai Pustaka, edisi ketiga, 2005.
Warnadi. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup: untuk Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud, 1997.
34
Download