analisis tegangan lebih transien karena proses energized pada

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
Tegangan lebih transien yang disebabkan oleh proses surja hubungpada
saluran transmisi terjadi di sepanjang saluran itu dengan besar tegangan yang
berbeda-beda untuk tiap titik pengukuran di sepanjang saluran. Magnitude tegangan
lebih transien tersebut dapat merusak bahan isolasi pada peralatan transmisi jika
nilainya melebihi SIL (Switch Insulation Level) dari bahan isolasi itu, oleh sebab itu
perlu dilakukan upaya untuk meredam tegangan lebih transien.
Pustaka yang berhubungan dengan tegangan lebih transient telah dilakukan
oleh beberapa peneliti yang diantaranya adalah :
1. Dommel dan Herman (1996) di University of British Columbia mendesain dan
mengembangkan sebuah program komputer untuk menyelesaikan permasalahan
transien pada sistem tenaga listrik. Program komputer tersebut dinamakan EMTP
(Electromagnetic Transients Program).
2. Marti (1998) dengan metode Frequency Dependent Profile (FDProfile)
melakukan kajian mengenai profile tegangan lebih transien pada saluran transmisi
230 kV dan menyatakan bahwa tegangan lebih transien tersebut terjadi tidak
hanya di ujung-ujung saluran tapi juga di sepanjang saluran transmisi dengan
profil dan karakteristik tegangan yang berbeda-beda.
1
3. Ali. T. Imece (1996)yang tergabung dalam IEEE Modelling and Analysis of
System Transien Working telah melakukan Tugas Akhir mengenai tegangan lebih
transien pada gardu induk tegangan tinggi 230 kV.
4. L.F. Woodruff (1983), telah melakukan Tugas Akhir mengenai tegangan transien
dengan menggunakan metode gelombang berjalan.
5. J.H. Brunke (1990) telah melakukan Tugas Akhir dengan topik aplikasi arrester
untuk pengendalian tegangan transien akibat operasi pensaklaran (switching).
Sedangkan materi kajian pada Tugas Akhir ini adalah menganalisis tegangan lebih
transien yang terjadi di sepanjang saluran transmisi karena surja hubung dengan
menggunakan EMTP, yang mana akan melengkapi materi kajian yang belum
dibahas.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Tegangan Lebih
Suatu sistem tenaga listrik bisa mengalami gangguan yang dapat
mengakibatkan terhentinya penyaluran daya listrik. Salah satu penyebab gangguan
yang mungkin terjadi adalah rusaknya sistem isolasi karena pengaeuh tegangan lebih
akibat operasi pensaklaran maupun akibat surja hubung. Oleh karena itu, dalam
pengoperasian sistem tenaga listrik perlu perhatian khusus pada sistem proteksi
terhadap tegangan lebih (Arismunandar, 1990). Tegangan lebih adalah tegangan
yang hanya dapat ditahan untuk waktu yang terbatas (Sirait dan Zorro, 1987).
2
Ditinjau dari bentuknya ada dua jenis tegangan lebih, yaitu :
a. Tegangan lebih periodik
b. Tegangan lebih aperiodik
Berdasarkan sebabnya ada dua jenis penyebab, yaitu :
a. Sebab luar
b. Sebab dalam
Tegangan lebih berdasarkan sumbernya menurut IEC, ditimbulkan oleh :
a. Tegangan lebih petir (lightning over voltage) pada peralatan listrik
bai sambaran langsung, tidak langsung, maupun secara induksi.
b. Tegangan lebih surja hubung (switching over voltage) baik akibat
operasi penutupan maupun operasi pembukaan.
c. Tegangan lebih sementara (temporary over voltage) yang
disebabkan oleh sistem
Magnitude tegangan lebih tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap
ketahanan isolasi peralatan.
Ketahanan isolasi peralatan sistem tenaga listrik
terhadapa tegangan lebih yang disebabkan oleh surja hubung disebut tingkat isolasi
dasar (TDL) atau basic insulator level (BIL)yaitu kekuatan isolasi impuls referensi
level yang menurut IEC-71-1 dinyatakan dalam impuls crest-voltage dengan bentuk
gelombang standar 1,2/50 mikro detik.
Ketahanan isolasi terhadap surja hubung disebut switch insulator level, yaitu
tingkat ketahanan isolasi terhadap surja hubungdengan bentuk gelombang standard
250x25000 mikro detik.menurut IEC (international elektrotechnical commision)-712 besarnya BIL dan SIL untuk peralat bertegangan 525 kV adalah 1425 kV dan 1175
3
kV. Tingkat ketahanan isolasi pada suatu sistem tenaga listrik biasanya ditentukan
oleh tegangan lebih petir, surja hubung dan frekuensi.
2.2.2. Surja Petir
Adalah gejala tegangan lebih transien yang disebabkan oleh proses surja
hubung pada senuah saluran transmisi.
Bentuk gelombang surja petir atupun surja hubung dapat didefinisikan
sebagai tegangan impuls yaitu, tegangan yang naik dalam waktu singkat sekali
disusul dengan penurunan yang lambat menuju nol, yang dinyatakan dalam bentuk
persamaan (Arismunandar, 1994) :
V = Vo (e-at – e-bt)
(2.1)
dengan :
V
= tegangan osilasi
Vo
= tegangan sistem
a dan b
= konstanta yang diperoleh dari rangkaian
Muka gelombang didefinisikan sebagai bagian dari gelombang yang dimulai
dari titik nol nominal sampai ke titik puncak, sedangkan sisanya disebut ekor
gelombang.
Tegangan lebih transien yang terjadi akibat proses pemeberian tenaga pada
sebuah saluran transmisi dalam keadaan tanpa beban bisa mencapai 1,5 – 2,5 kali
tegangan nominal pada ujung penerima, tergantung karakteristik saluran transmisi
yang dipakai.
4
Gambar 2.1. Bentuk Gelombang Surja Hubung
T1 = muka gelombang,
T2 = ekor gelombang
2.2.3. Transien
Adalah periode peralihan selama arus-arus cabang dan tegangan-tegngan
elemen berubah dari nilai semula menjadi nilai baru akibat dari perubahan sumber
tegangan atau perubahan elemen-elemen rangkaian. Dan stelah transien berlalu,
keadaan rangkaian disebut tunak (steady state) (Joseph A. Edminister, 1995). Pada
saat terjadi transien, komponen-komponen dalam sistem tenaga listrik mengalami
tekanan yang sangat besar berupa arus dan tegangan. Tegangan yang ditimbulkan
berupa tegangan lebih transien dan magnitudenya dapat mengakibatkan kerusakan
pada komponen sistem.
5
Transien pada rangkaian R-L
L
V
R
Gambar 2.2. Rangkaian R-L Seri
Bila V = Vm Sin (ωt + θ) dimasukan ke dalam rangkaian dengan cara
menutup saklar S pada t = 0, maka tegangan yang terpasang pada rangkaian adalah
Vm Sin θ. Hal ini karena S menutup pada titik tertentu, sudut θ akan mempunyai
nilai dari θ sampai 2π. Resultan arus (i) terdiri dari arus steady state (is) arus transien
(it).
i = is + it
Harga maksimal arus steady state adalah :
Im = Vm/
R2+Xl2
= Vm/Z
Z merupakan impedansi rangkaian. Arus tertinggal terhadap tegangan sebesar θ
dengan θ = Xl/R atau θ = tan-1(Xl/R).
Persamaan untuk harga sesaat dari arus steady state menjadi :
Is = Im sin { Sin ωt +(θ - Φ)]
Sedangkan arus transient dirumuskan sebagai berikut :
6
it = Io.e-t/λ
Sehingga arus resultannya menjadi :
i = Im sin{Sin ωt +(θ - Φ)} + Io.e-t/λ
Untuk t = 0 dan i = 0, diperoleh :
0 = Im sin (θ - Φ) + Io
Sehingga :
Io = -Im sin (θ - Φ)
Maka persamaan arus resultannya menjadi :
i = Im sin{Sin ωt +(θ - Φ)}- {Im sin (θ - Φ)}e-t/λ
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa bentuk gelombang arus resultan dipengaruhi
oleh sudut θ dan waktu pada saat saklar S ditutup.
Transien pada rangkaian R-C
C
V
R
Gambar 2.32. Rangkaian R-C Seri
7
Pada kasus ini, resultan arus didefenisikan sama seperti pada rangkaian R-L yaitu :
I = is + it
= Im sin{Sin ωt +(θ - Φ)} + Io.e-t/λ
Di mana :
Im = Vm/
R2+Xl2
V = Vm Sin (ωt + θ)
Nilai Io diperoleh dari kondisi mula-mula (t = 0, i = 0) dengan
Io = -Im sin (θ - Φ)
Sehingga resultan arusnya menjadi :
i = Im sin{Sin ωt +(θ - Φ)}- {Im sin (θ - Φ)}e-t/λ
Transien pada rangkian R-L-C
Rangkaian RLC seperti terlihat pada gambar, baik energi elektromagnetik
maupun elektrostatik terlibat di dalamnya, sehingga perubahan kondisi yang
mendadak pada rangkaian melibatkan redistribusi kedua bentuk energi tersebut.
Arus transien yang dihasilkan karena redistribusi ini dikenal dengan sebutan transien
energi ganda (doeble energi transient). Arus yang dihasilakan sebagai arus non
direksional atau arus osilasi yang menurun. Dalam rangkaian RLC tegangan transien
terjadi pada ketiga parameter rangkaian, sehingga persamaan tegangan transiennya
adalah :
i.R + L di/dt + q/C = 0
Diperoleh persamaan diferensial sebagai berikut :
d2i/dt2 + R/L.di/dt + i/LC = 0
8
Penyelesaian dari persamaan di atas adalah
it = k1.eλ1t + k2.eλ2t
di mana k1 dan k2 adalah konstanta rangkaian. Sedangkan nilai λ1 dan λ2 ditentukan
oleh persamaan :
λ1 = -R/2L +
(R2/4L2) – (1/LC)
λ2 = -R/2L -
(R2/4L2) – (1/LC)
dan,
Sesuai dengan nilai λ1 dan λ2 ada empat kondisi rangkaian RLC yang berbeda yaitu
pada saat R = 0, 1/LC < R2/4L2, 1/LC > R2/4L2, dan pada saat 1/LC = R2/4L2.
2.2.4. Analisis Transien : Gelombang Berjalan
Gejala tegangan lebih transien akibat surja hubung pada saluran transmisi
dapat diselesaikan dengan membuat rangkaian ekivalen satu fase, sehingga tiga fase
saluran transmisi diasumsikan sebagai satu fasa tunggal. Metode rangkaian fasa
tunggal ini dapat digunakan untuk menentukan tegangan lebih transien pada saluran
transmisi, jika dilakukan pendekatan, pemutus tenaga pada masing-masing fasa
menutup secara serentak.
Tegangan lebih transien yang terjadi pada saluran transmisi bertambah
nilainya, karena adanya sifat yang saling berhubungan satu sama lain pada saluran 3
fasa. Pemutus tenaga yang terdapat pada jaringan 3 fasa, pada hakekatnya menutup
secara tidak serentak (non simultaneous), sehingga nilai tegangan maksimum yang
terdapat di sepanjang saluran bervariasi menurut waktu menutupnya pada masingmasing fasa.
9
Studi tentang surja hubung pada saluran transmisi adalah sangat kompleks,
sehingga pada Tugas Akhir ini hanya mempelajari kasus suatu saluran yang tanpa
rugi-rugi. Suatu saluran tanpa rugi-rugi adalah representasi yang baik dari saluransaluran frekuensi tinggi di mana ωL dan ωC menjadi sangat besar dibandingkan
dengan R dan G. Untuk surja hubung pada saluran transmisi daya, studi saluran
tanpa rugi-rugi merupakan penyerdehanaan yang memungkinkan untuk memahami
beberapa gejala surja hubung tanpa terlalu melibatkan diri pada teori-teori yang
terlalu rumit.
Pendekatan yang dipilih untuk persoalan ini sama seperti yang telah
digunakan untuk menurunkan hubungan-hubungan tegangan dan arus dalam keadaan
steady state untuk yang saluran panjang dengan konstanta-konstanta yang tersebar
merata. Kita akan mengukur jarak x sepanjang saluran dari ujung pengirim ke dalam
elemen deferensial dengan panjang ∆x yang diperlihatkan pada gambar 2.4.
Gambar 2.4. Model dari sebuah saluran transmisi
10
Keterangan :
R = hambatan per satuan panjang
L = induktansi per satuan panjang
C = kapasitansi per satuan panjang
G = konduktansi per satuan panjang
Tegangan V dan I adalah fungsi-fungsi x dan t bersama-sama, sehingga kita
perlu menggunakan turunan sebagian. Persamaan jatuh tegangan seri di sepanjang
elemen saluran adalah
⎛
∂V
∂i ⎞
∆x = ⎜ Ri + L ⎟∆x
⎝
∂x
∂t ⎠
(2.2)
demikian pula halnya :
⎛
∂V
∂V ⎞
⎟∆x
∆x = ⎜Gv + C
⎝
∂x
∂t ⎠
(2.3)
Persamaan dan tersebut di atas dapat dibagi dengan ∆x, dan karena hanya
membahas suatu saluran tanpa rugi-rugi, maka R dan G akan sama dengan nol
sehingga didapatkan :
∂V
∂i
=L
∂x
∂t
(2.4)
∂i
∂V
=C
∂x
∂t
(2.5)
dan
Sekarang variabel i dapat dihilangkan dengan menghitung turunan sebagian
kedua suku dalam persamaan (2.4) terhadap x dan turunan sebagian kedua suku
11
dalam persamaan (2.5) terhadap t. Prosedur ini menghasilkan ∂2i / ∂x∂t pada kedua
persamaan yang dihasilkan, dan dengan mengeliminir turunan sebagian kedua dari
variabel i dari kedua persamaan tersebut, didapatkan :
1 ∂2V ∂2V
.
= 2
LC ∂x 2
∂t
(2.6)
Persamaan (2.6) ini adalah yang dinamakan persamaan gelombang berjalan
suatu saluran tanpa rugi-rugi. Penyelesaian persamaan ini adalah fungsi dari (x-vt),
dan tegangannya dinyatakan dengan :
V = f1(x-vt) + f2(x+vt)
(2.7)
Yang merupakan suatu penyelesaian untuk terjadinya komponen-komponen
ke depan dan ke belakang sebuah gelombang berjalan secara bersamaan pada sebuah
saluran tanpa rugi-rugi. Variabel v yang menyatakan kecepatan gelombang berjalan
dapat dinyatakan dengan :
v=
1
LC
(2.8)
dengan :
v = kecepatan rambat gelombang (m/s)
L = induktansi saluran (H/m)
C = kapasitansi saluran (F/m)
Jika gelombang yang berjalan ke depan, yang disebut juga dengan gelombang
datang, dinyatakan dengan :
V+ = f1(x-vt)
(2.9)
12
Suatu gelombang arus akan ditimbulkan oleh muatan-muatan yang bergerak
dan dapat dinyatakan dengan :
i+ =
1
LC
f 1( x − vt )
(2.10)
dari persamaan (2.9) dan persamaan (2.10) didapatkan bahwa :
V+
L
=
+
i
C
(2.11)
Perbandingan antara V dan i dinamakan impedansi karakteristik atau
impedansi surja (ZC) dari saluran tanpa rugi-rugi.
Jika suatu tegangan v(t) diterapkan pada salah satu ujung saluran transmisi
tanpa rugi-rugi, unit kapasitasi C pertama dimuati pada tegangan v(t). Kapasitansi ini
kemudian meluah kedalam unit kapasitansi berikutnya melalui induktansi L. proses
bermuatan-peluahan (charge-discharge) ini berlanjut hingga ujung saluran dan
energi gelombang dialihkan dari bentuk elektronik (dalam kapasitansi) ke bentuk
magnetik (dalam induktansi). Jadi, gelombang teganan bergerak maju secara gradual
ke ujung saluran dengan menimbulkan gelombang arus ekivalen juga. Propagasi
gelombang tegangan dan arus ini disebut gelombang berjalan (travelling wave) dan
gelombang ini keluhatan seolah-olah tegangan dan arus berjalan sepanjang saluran
dengan kecepatan yang diberikan oleh persamaan (2.8).
Saat gelombang yang berjalan pada suatu saluran transmisi mencapai titik
transisi, seperti suatu rangkaian terbuka, rangkaian hubungan singkat, suatu
sambungan dengan saluran lain atau kabel, belitan mesin, dan lain-lain, maka pada
titik itu terjadi perubahan parameter saluran. Akibatnya sebagaian dari gelombang
berjalan bergerak melewati bagian lain dari rangkaian. Pada titik transisi, tegangan
13
atau arus dapat berharga nol sampai dua kali harga semula tergantung pada
karakteristik teminalnya. Gelombang berjalan asal (impinging wave) disebut
gelombang datang (incident wave) dan dua macam gelombang lain yang muncul
pada titik transmisi disebut dengan gelombang pantul (reflected wave) dan
gelombang maju (transmitted wave). Gelombang-gelombang tersebut diilustrasikan
pada gambar 2.5 di bawah ini.
Gambar 2.5 Gelombang Pantul dan Maju dari Suatu Gelombang Datang
pada titik Sambungan dari Dua Impedansi yang Berbeda
2.2.5. Analisis Transien : Gelombang Pantul.
Di sini akan dibahas apa yang akan terjadi jika suatu tegangan pertama-tama
dihubungkan pada ujung pengirim suatu saluran transmisi yang ditutup dengan suatu
impedansi ZR .
Jika saklar ditutup dan suatu tegangan terhubung pda suatu saluran, suatu
gelombang tegangan V+ mulai berjalan sepanjang saluran dikikuti oleh suatu
gelombang arus i+. Perbandingan antara VR dan iR di ujung saluran pada setiap saat
14
harus sama dengan resistansi penutup ZR. Oleh karena itu kedatangan V+ dan i+ di
ujung penerima di mana nilai-nilainya adalah VR+ dan iR+ harus menimbulkan
gelombang-gelombang yang berjalan ke belakang atau gelombang-gelombang
pantulan V- dan i- yang nilai-nilainya di ujung adalah VR- dan iR- sedemikian
sehingga,
VR V R+ + V −R
= +
iR
i R + i −R
(2.12)
di mana VR- dan iR- adalah gelombang-gelombang V- dan i- yang diukur pada ujung
penerima.
Jika dibuat ZC =
i R+ =
L / C didapat dari persamaan (2.11) :
VR+
Zc
(2.13)
dan
iR− = −
VR−
Zc
(2.14)
Kemudian dengan memasukkan nilai iR+ dan iR- ke dalam persamaan (2.12)
dihasilkan persamaan :
VR− =
ZR − Zc +
.V
ZR + Zc R
(2.15)
Koefisien pantulan ρR untuk tegangan pada ujung penerima saluran
didefnisikan sebagai VR-/VR+, jadi :
ρR =
Z R − Zc
Z R + Zc
(2.16)
dengan :
15
ρR = koefisien pantulan pada ujung penerima
ZR = impedansi ujung penerima
ZC = impedansi karakteristik (impedansi surja)
Jika saluran ditutup dengan impedansi karakteristiknya ZC, terlihat bahwa
koefisien pantulan untuk sama dengan nol, sehingga tidak ada gelombang pantulan,
dan saluran berlaku seakan-akan panjangnya tidak terhingga.
Jika ujung saluran merupakan suatu rangkaian terbuka ZR
adalah tak
terhingga dan didapatkan harga ρR sama dengan 1 (satu). Dengan demikan tegangan
yang terjadi pada ujung penerima menjadi 2 kalinya tegangan pada sumber tegangan
atau pada ujung pengirim.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa besar tegangan lebih transien
sangat tergantung pada impedansi karakteristik (ZC =
L / C ), dimana impedansi
karakteristik tersebut sangat berpengaruh terhadap koefisien pantulan ρR.
Semakin besar nilai C (kapasitansi saluran) maka akan semakin besar juga
tegangan lebih transien yang ditimbulkan. Tetapi tegangan lebih transien tersebut
dapat diperkecil dengan cara menambahkan nilai L (induktansi) ke dalam saluran
transmisi, sehingga ZC akan menjadi lebih besar yang pada akhirnya akan
memperkecil koefisien pantulan (ρR). Penambahan nilai L (induktansi) ke dalam
saluran transmisi dilakukan dengan cara memasang reaktor shunt pada ujung
pengirim saluran transmisi.
Harus diperhatikan di sini bahwa gelombang-gelombang yang berjalan
kembali ke arah ujung pengirim akan menyebabkan pantulan-pantulan baru yang
16
ditentukan oleh koefisien pantulan pada ujung pengirim ρS dan imedansi ujung
pengirim ZR.
ρS =
ZS − Zc
ZS + Zc
(2.17)
dengan :
ρS = koefisien pantlan pada ujung pengirim
ZR = impedansi ujung pengirim
ZC = impedansi karakteristik (impedansi surja)
Oleh karena itu pemasangan reaktor pada ujung pengirim selain berpengaruh
pada nilai impedansi surja (ZC) juga berpengaruh pada nilai impedansi pengirim
(ZR). Sehingga hubungan antara nilai induktansi reaktor dan tegangan lebih transien
yang terjadi tidak akan linear.
2.2.6. Parameter Saluran
a. Resistansi
Resistansi dari suatu penghantar saluran transmisi adalah penyebab yang terpenting
dari rugi-rugi daya pada saluran transmisi tersebut. Jika tidak ada keterangan lain,
maka yang dimaksudkan dengan istilah resistansi adalah resistansi efektif. Resistansi
efektif dari sebuah penghantar saluran transmisi adalah (Stevenson, 1996):
R=
rugi 2daya
I2
ohm
(2.18)
Dengan daya dinyatakan dalam watt dan I adalah arus rms pada penghantar dalam
ampere. Resistansi efektif sebuah penghantar adalah sama dengan resistansi arus
17
searah (DC) dari penghantar tersebut jika terdapat distribusi arus yang merata di
seluruh penghantar. Resistansi DC diberikan oleh persamaan sebagai berikut :
Ro =
ρ.l
A
ohm
(2.19)
dengan :
ρ = hambatan jenis penghantar
L = panjang penghantar
A= luas penampang penghantar
b . Induktansi
Suatu penghantar transmisi yang dialiri listrik akan menghasilkan fluks
gandeng atau fluks linkages persatuan arus saluran sepanjang penghantar tersebut.
Bila jarak masing-masing penghantar pada suatu saluran transmisi 3 fasa tidak sama,
maka GMD (Geometric Mean Distance) dapat diperoleh dengan persamaan sebagai
berikut :
Deq =
3
d 12.d 23.d 31
(2.20)
Dengan : d12, d23, d31 = jarak antar fasa
18
Gambar 2.7. Penampang Saluran 3 fasa dengan Jarak Pemisah tak Sama
Harga GMD untuk penghantar berkas (bundle conductor) berbeda-beda
sesuai dngan jumlah subkonduktor yang terpasang di dalam penghantar berkas
tersebut, sebagai contoh misalnya :
- Untuk berkas dengan 2 penghantar
D=
Ds.d
- Untuk berkas dengan 3 penghantar
D = 3 Ds.d 2
- Untuk berkas dengan 4 penghantar
D = 1,09.4 Ds.d 3
Dengan :
D
= GMD dari penghantar berkas
Ds = GMD penghantar yang membentuk berkas (diperoleh dari tabel)
d
= jarak antar penghantar adal satu berkas penghantar
Maka besar induktansi pada masing-masing fasa penghantar dapat dihitung
sebagai berikut :
19
L = 2.10-7.ln
Deq
D
[H/m]
(2.21)
Sedangkan untuk harga reaktansi untuk tiap fasa penghantar dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
XL = 2.π.f.L
[ohm/m]
(2.22)
Dengan : f = frekuensi jala-jala
Jarak pemisah antar saluran yang tidak sama mengakibatkan fluks gandeng
dan induktansi pada masing-masing fasa menjadi berlainan. Suatu induktansi yang
berbeda pada setiap fasa menghasilkan sebuah rangkaian yang tidak seimbang.
Keseimbangan dari ketiga fasa tersebut dapat dikembalikan dengan cara menukar
kedudukan-kedudukan penghantar pada selang jarak yang teratur disepanjang
salurana sedemikin hingga setiap penghantar akan menduduki posisi semula
penghantar yang lainnya pada suatu jarak yang sama. Pertukaran posisi penghantar
semacam itu disebut transposisi. (Stevenson, 1996).
Gambar 2.8. Transposisi Saluran
20
c. Kapasitansi
Suatu penghantar pada saluran transmisi mempunyai beda potensial antara
penghantar yang satu dengan penghantar yang lainnya. Akibat dari beda potensial
tersebut, maka penghantar-penghantar tersebut akan bersifat seperti kapasitor, yaitu
apabila dua buah penghantar yang mempunayi beda potensial dan dipisahkan oleh
suatu ruang bebas atau beban dielektrik, maka akan menghasilkan muatan kapasitif
di antara kedua penghantar tersebut.
Besar kapasitansi antar penghantar adalah
(Stevenson, 1996) :
Cab =
π .k
( )
ln D r
F/m
(2.23)
Sedang harga kapasitansi ke penghantar netral salah satu dari dua kapasitansi
seri yang sama atau dua kali kapasitansi antar saluran, sehingga ;
Cn = Can = Cbn =
2.π .k
ln D r
( )
F/m
(2.24)
Dengan :
k = konstanta dielektrik (permitivitas) = 8,855.10-12 F/m
D = jarak antara kedua penghantar
r = jari-jari penghantar
21
Gambar 2.9. Representasi Kapasitansi
Harga kapasitansi antara saluran penghantar ke netral untuk saluran tiga fasa adalah
sebagai berikut :
Cn =
2.π .k
⎛ Deq ⎞
⎟
ln⎜
⎝ r ⎠
F/m
(2.25)
Dengan :
Deq = GMD saluran
= 3 d12.d 23.d 31
k
= konstanta dielektrik (permitivitas) = 8,855.10-12 F/m
r
= jari-jari penghantar
22
Jika saluran penghantar tiga fasa tersebut merupakan penghantar berkas maka harga
kapasitansi ke netralnya adalah sebagai berikut :
Cn =
2.π .k
⎛ Deq ⎞
⎟
ln⎜
⎝ D ⎠
F/m
(2.26)
Dengan harga D tergantung pada jumlah saluran dalam satu berkas, yaitu sebagai
berikut :
- Untuk berkas dengan 2 penghantar
D=
r.d
- Untuk berkas dengan 3 penghantar
D = 3 r.d 2
- Untuk berkas dengan 4 penghantar
D = 1,09.4 r.d 3
Dengan :
r = jari-jari penghantar yang menyusun berkas
d = jarak antar penghantar dalam satu berkas
Jika pengaruh bumi tidak diabaikan, dengan menggunakan metode bayangan untuk
menghitung kapasitansi antara saluran penghantar ke netral, maka persamaan (2.26)
menjadi :
Cn =
2.π .k
⎛ 3 h12.h 23.h31 ⎞
⎛ Deq ⎞
⎟
⎟ − ln⎜⎜
ln⎜
3 h .h .h ⎟
⎝ D ⎠
⎝
1 2 3 ⎠
F/m
(2.27)
Setelah harga kapasitansi diketahui, maka harga reaktansi kapasitif dapat
dihitung, yaitu sebagai berikut :
23
Xc =
1
ohm/m
2.π . f .C
(2.28)
Gambar 2.10. Saluran Tiga Fasa dengan Bayangannya.
2.2.7. Metode Penyelesaian dengan EMTP
EMTP (Electromagnetic Transients Program) adalah sebuah paket program
komputer terintegasi yang secara khusus didesain untuk meyelesaikan permasalahan
peralihan (transient) pada sistem tenaga listrik untuk rangkaian terkonsentrasi,
rangkaian terdistribusi, atau kombinasi dari kedua rangakian tersebut.
Program ini pertama kali dikembangkan oleh H.M. Dommel di Munich
Institute of Technology pada awal tahun 1960-an.
H.M. Dommel melanjutkan
pekerjaan tersebut di BPA (Bonneville Power Administration) dan bekerja sama
dengan S. Meyer. Sekitar tahun 1980, EMTP menjadi program yang diminati oleh
banyak perusahaan listrik.
24
Seperti telah disebutkan di atas, EMTP lebih ditekankan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan peralihan pada sistem tenaga listrik, namun demikian EMTP
juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan tenaga listrik dalam keadaan
tunak. EMTP menjadi sangat baik jika digunakan untuk menganalisis transien pada
operasi surja hubung (switching surge) atau surja petir (lightning surge) karena
program ini secara khusus menyediakan fasilitas pemodelan untuk generator, circuit
breaker, transformator, sumber surja petir dan pemodelan berbagai jenis saluran
transmisi.
a. Resistor
Karena resistor tidak mempunyai waktu awal (past history) pada rangkaian
ekivalennya, maka hubungan antara tegangan dan arus yang melewatinya adalah
sebagai berikut :
i (t ) =
v(t )
R
(2.29)
Rangakaian ekivalennya dapat digambarkan sebagai berikut :
25
Gambar 2.11. Rangkaian Ekivalen Sebuah Resistor
b. Induktor
Hubungan antara tegangan dan arus pada sebuah induktor dinyatakan oleh
persamaan sebagai berikut :
v (t ) = L
di
dt
(2.30)
dengan :
v = tegangan induktor
L = induktansi induktor
I = arus pada induktor
T = waktu
Sehingga arus di induktor mempunyai bentuk persamaan :
26
t
1
i (t ) = i (0) + ∫ v(t ).dt
L
(2.31)
0
dengan :
i(0) = nilai arus awal.
Jika ∆ t diambil sebagai time step maka persamaan (2.31) menjadi :
1
i (t ) = I (t − ∆t ) +
L
t
∫ v(t ).dt
(2.32)
t − ∆t
dengan menggunakan integral aturan trapezoidal, persamaan (2.32) menjadi :
1
[v(t ) + v(t − ∆t )] × ∆t
L
2
(2.33)
∆t
∆t
.v(t ) + i (t − ∆t ) +
v(t − ∆t )
2L
2L
(2.34)
i (t ) = i (t − ∆t ) +
atau
i (t ) =
persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi :
i (t ) =
v(t )
+ IL
RL
(2.35)
dengan :
RL =
2L
∆t
(2.36)
IL =
i (t − ∆t ) + v(t − ∆t )
RL
(2.37)
Berdasarkan pada persamaan (2.37), induktor kemudian mempunyai rangkaian
ekivalen yang terdiri dari sumber arus yang diakibatkan oleh tegangan dan arus pada
27
time step sebelumnya paralel dengan resistans, seperti terlihat pada gambar sebagai
berikut :
Gambar 2.12. Rangkaian Ekivalen Sebuah Induktor
a. Rangkaian umum
b. Rangkaian ekivalen berdasarkan aturan integrasi
trapezoidal.
c. Kapasitor
Hubungan antara tegangan dan arus pada sebuah induktor dinyatakan oleh
persamaan sebagai berikut :
i (t ) = C
dv
dt
(2.38)
dengan :
i(t) = arus yang melewati kapasitor
v
= tegangan kapasitor
C
= kapasitas kapasitor
t
= waktu
28
Dari persamaan tersebut di atas maka tegangan pada kapasitor dapat dinyatakan
dengan persamaan sebagai berikut :
t
1
v(t ) = v(0) + .∫ i (t )dt
C
(2.39)
0
dengan :
v(0) = nilai awal kapasitor
Jika dipakai ∆ t sebagai time step, maka persamaan (2.39) menadi :
t
1
v(t ) = .∫ i (t )dt + v(t − ∆t )
C
(2.40)
0
dengan :
v(t- ∆ t) = tegangan pada time step sebelumnya
Dengan menggunakan aturan integral trapezoidal persamaan (2.40) menjadi :
v(t ) =
1
[i(t − ∆t ) + i(t )] ∆t + v(t − ∆t )
C
2
(2.41)
v (t ) =
∆t
∆t
.i (t − ∆t ) +
.i (t ) + v(t − ∆t )
2C
2C
(2.42)
atau :
Dari persamaan tersebut di atas arus i(t) dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
i (t ) = v(t )
2C
2C
− i (t − ∆t ) −
.v(t − ∆t )
∆t
∆t
(2.43)
Dapat disederhanakan menjadi :
i (t ) =
v(t )
+ IC
RC
(2.44)
29
Dengan :
RC =
∆t
2C
IC = −i (t − ∆t ) −
(2.45)
v(t − ∆t )
RC
(2.46)
Persamaan (2.46) menghasilkan rangkaian ekivalen sebuah kapasitor yang
terdiri dari sebuah resistor dan sebuah sumber arus sebagaimana terlihat pada gambar
di bawah ini :
30
Download