KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Muhamad Hilmi Farid NIM 104045101557 Di bawah bimbingan Pembimbing I Pembimbing II H. Zubir Laini, SH. Sri Hidayati. M.Ag KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAM HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429/2008 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 02 Desember 2008 M Hilmi Farid KATA PENGANTAR Puji dan syukur milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufiqNya yang tak terhingga. Salam sejahtera semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, karya tulis ini dapat penulis rampungkan, bahagia bercampur haru mengiringi atas karunia ini, yang tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati nan dalam. Pertama penulis haturkan terimakasih dan sayang yang dalam buat abi H. OOM ZAENAL ABIDIN. Alm. walaupun keras mendidik tapi penuh kasih sayang untuk terus maju, seiring doaku akan selalu datang pada mu dan semoga Allah SWT menerima amal ibadah abi. Amin ucapan terima kasih kepada keluarga. Umi Hj. ACIH, kakak-kakaku: Teh Mumuf & suami, Teh Ulfah & suami, A Emi, adik-adik: Idan dan Apid. Yang telah mendukung moril dan imoril kepada penulis yang hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Rasa terima kasih bercampur haru penulis kepada mereka tak bisa diwakili dengan untaian kata-kata. Merekalah yang mengantar penulis hingga sampai pada suatu tahapan ini. Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih kepada rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. H. Komarudin hidayat, M.A., Dekan fakultas Syar’iah dan Hukum, prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M,A., M.M., beserta jajaranya yang telah memberikan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama menjadi mahasiswa. Ucapan terima kasih penulis kepada Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Asmawi M.Ag., dan Sekretaris Program Studi Sri Hidayati M.Ag., yang telah tulus ikhlas meluang kan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis. Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada H. Zoebir Laini SH dan Sri Hidayati M.Ag., yang secara kritis dan sadar meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dari tahap awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini. Melalui pena dan pikiran beliau, penulis banyak memperoleh pelajaran-pelajaran berharga. Terima kasih kepada Pengurus Perpustakaan Syariah dan Hukum, Pengurus Perpustakaan Utama, yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan penulis. Ucapan terima kasih ku pun sampaikan kepada para dosen yang dengan ikhlas membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman seangkatan yaitu PI-2004: Amin, Pay, Zaelani, Husni, Nandez, Evi, Haris, Zulfah, Novi, Irna, Puti, Reva, Aziz, Ozi, Ricko, Johan dan tiga bersaudara (Thomp, Vito dan Devison) Terakhir penulis ucapkan, Semoga amal baik mereka semua diterima oleh Allah SWT. amin Ciputat, 20 Oktober 2008 21 Syawal 1429 H Penulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara alamiah manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya, secara alamiah pula manusia tidak mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya adalah menjaga eksistensi keberadaannya. Bagi manusia, teknologi tanpa disertai dengan hukum akan berakibat pada kekacauan (Chaos), yang pada giliranya akan merusak pada kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya hukum yang semata-mata membatasi kemajuan teknologi akan memasung keberadaban manusia. Di sinilah perlunya keseimbangan antara hukum dan teknologi.1 Perkembangan teknologi informasi yang melanda dunia dewasa ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa perkembangan tersebut mempengaruhi tatanan aktifitas manusia. Kurang diimbangi dengan pemahaman yang baik dan memadai mengenai teknologi khususnya dalam perspektif hukum. Hal ini disebabkan, penekanan yang digunakan dewasa ini sangat Technologie Minded (mengandalkan teknologi), padahal idealnya kita harus melihatnya secara holistik dengan berbagai sudut pandang tentunya, baik dari sudut teknologi, hukum, bisnis, maupun sosial. Sehingga transformasi teknologi dan industri yang kita harapkan dapat terlaksana. Internet dengan berbagai kelebihannya ternyata banyak pula diperdebatkan. Perdebatan-perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya mengenai istilah-istilah hukum yang terkait dengan telematika itu sendiri, pendekatan apakah yang digunakan 1 Lihat Hikmahanto Juana (guru besar ilmu hukum Fakultas hukum Universitas Indonesia) kata pengantar ini dikutip dalam buku Kompilasi Hukum Telematika karya Edmon Makarim, Th 2005 untuk menjawab perdebatan-perdebatan semacam ini apakah pendekatan formulatif atau aplikatif. Kemudian masalah pembuktian data elektronik, yang baru dikenal dalam sistem hukum kita yaitu Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masalah yuridiksi tentang pembajakan hak intelektual di internet dan permasalahan-permasalahan lainnya. Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce)2 yang diprediksikan sebagai “bisnis besar masa depan”(the next big thing). E-commerce ini bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju, tetapi juga telah menjadi model transaksi termasuk Indonesia.3 Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian, tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara. Aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik bagi pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik baru saja terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia. Dalam kenyataannya data yang dimaksud juga 2 3 E-commerce adalah perniagaan secara elektronik Depkominfo. RI ”.Undang-Undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. ternyata sangat rentan untuk diubah, di sadap, di palsukan dan di kirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat. Teknologi informasi telah menjadi instrument efektif dalam perdagangan global. Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena saat ini transaksi e-commerce (perniagaan secara elektronik) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional.4 Contoh kongkrit adalah untuk membayar zakat, atau berkorban pada saat Idhul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah orang juga dapat membayar tidak dengan uang, tapi cukup dengan mendebit pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukan hak cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi. Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat, karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktifitasnya, terutama dalam pemanfaatan informasi. Akan tetapi, fenomena tersebut dapat memicu lahirnya berbagai bentuk konflik di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab. Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikatagorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkatagorikan sesuatu dengan ukuran kualifikasi hukum 4 Saat ini PBB melalui komisi khususnya, UNCITRAL, telah mengeluarkan 2 Guide Lines, yang terkait dengan transaksi elektronik, yaitu UNCRITRAL Model Law On Lectronic Commerce With Guide To Enactmen. 1996, United Nation Publication, NEW YORK, 1999, dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signature With Guide to Enactment 2001, United Nation Pubication. New York, 2002(di kutip dari buku CYBER LAW Dan HAKI dalam sistem hukum Indonesia.karya Ahmad M Ramli) konvensional untuk dapat dijadikan dan objek perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber sangat berdampak nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus diklasifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum yang nyata. Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua adalah pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum.5 Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya juga jenis kegiatan-kegiatan baru, yaitu dengan memanfaatkan komputer sebagai modus operandi.6 Penyalahgunaan komputer dalam perkembangannya menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, terutama kaitannya dengan proses pembuktian tindak pidana (factor yuridis). Apalagi penggunaan komputer untuk tindak kejahatan itu memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan kejahatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional). Perbuatan atau tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan komputer. Kemudahan yang diperoleh melalui internet tentunya tidak menjamin jaminan bahwa aktifitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman dan tidak melanggar 5 Ahmad M Ramli, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung, 2004 ; Refika aditama).hal 3 6 Modus operandi menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah suatu hal yang melatar belakangi tindakan, dimana adanya keterhubungan antara kejiwaan dengan perbuatan yang dilakukan dikaitkan dengan keadaan sekeliling. norma. Di situlah kita harus jeli dalam melihat permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Pengaturan cyberlaw Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti di Asia Tenggara, Indoensia merupakan Negara yang baru memiliki perundang-undangan yang khusus mengenai cyberlaw. Salah satu isu dari cyberlaw yang semakin marak akhir-akhir ini adalah cybercrime atau kejahatan yang memiliki keterkaitan erat dengan teknologi informasi. Kejahatan yang terjadi melalui jaringan publik (internet) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari suatu dunia yang tidak mengenal batas yurisdiksi. Kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime ataupun computer cryme Indonesia sebenarnya masih dapat ditangani dengan perundangundangan pidana Indonesia yang masih berlaku (KUHP). Namun seringkali timbul pertanyaan mengenai relevansi pengaturan tersebut dengan jenis tindak pidana yang berkembang sekarang. Salah satu kasus lama di Indonesia yang masuk dalam ruang lingkup kejahatan komputer yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 363 K/PID/1984 Tanggal 25 Juni 1984 mengenai penggelapan uang di bank melalui komputer. Perbuatan pidana itu merupakan kerjasama antara orang luar dengan oknum pegawai BRI cabang Brigjen Katamso Yogyakarta dari tanggal 15 September-12 Desember 1982, yaitu dengan cara mentransfer uang melalui kliring, kemudian warkat kliring yang diterima dari keliring tersebut oleh oknum pegawai BRI secara melawan hukum dan tanpa sepengetahuan bagian kartu dibebankan pada rekening orang lain yang bukan ke rekening yang tertulis pada warkat keliring dengan cara membukukan melalui komputer tanpa kartu atau strook mesin. Perbuatan ini berlangsung 44 kali mencapai jumlah Rp. 815.000.000.00,- serta Rp. 10.000.000.00,- melalui validasi tunai tanpa dilakukan mutasi atas kartu nasabah Nyonya Karlina. atas perbuatan tersebut Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan keputusannya Nomor. 33/1983/PID/PN tanggal 20 September 1983 menjatuhkan hukuman atas terdakwa bersalah melakukan perbuatan korupsi dan menghukum penjara 10 tahun dipotong masa tahanan, harus membayar biaya perkara Rp. 100.000.00,- Keputusan ini diperkuat oleh keputusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 41/1983/Pid/PTy, Tanggal 6 Maret 1984 dan Mahkamah Agung dengan keputusan Nomor. 363/K/PID/1984 tanggal 25 Juli 1984 menolak permohonan kasasi yang diajukan jaksa karena hak permohonan kasasi telah gugur, disebabkan tidak ada memori kasasi. Adapun landasan hukum penuntutan adalah Pasal 55 (1) jo. Pasal 64 (1) KUHP Pidana jo Pasal 1 (1a) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang pada intinya perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama antara terdakwa dan oknum pegawai BRI dan merugikan Negara.7 Perbuatan melawan hukum di dunia cyber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, Indoensia saat ini baru mereflesikan diri dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau Negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi hukum cyber ke dalam hukum fositif nasionalnya.8 Salah saru implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah pengaruhnya terhadap eksistensi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) disamping terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis (elektronik) kegiatan e- government(sistem informasi pemerintah), dan lain-lain, Kasus-kasus terkait dengan 7 Dikutip dari buku Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta; PT Raja Grapindo Persada, 2005). hal. 418 8 Lihat Leonardo, Edmon,Ahmad M Ramli,Kimberley, Paul. “government of indonesia information infrastructure development project (IIDP).,hal 170 pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainya adalah contoh yang marak terjadi saat ini.9 Pembuktian tentang benar tidaknya melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting secara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakawakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan, sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat. Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain, menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang di ajukan dengan keyakinan nya sendiri dan bukan dari juri seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon, Di Negara-negara tersebut, belakangan juri yang umum nya terdiri dari orang awam itulah yang menentukan salah tidak nya seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana.10 Hukum pembuktian, yang tercantum dalam buku IV (keempat) dari Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengandung segala aturan pokok pembuktian dalam perdata, pembuktian dalam BW semata-mata hanya berhubungan dengan perkara saja, ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para 9 10 Ibid.,h. 4 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana. (Jakarta : Sinar Grafika. 2006), cet, ke-5. hal 245 sarjana hukum yang dapat dijadikan acuan, menurut Pitlo pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya, menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakakn oleh para pihak dalam dalam suatu persengketaan. Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1867 KUHPer dikenal dengan pembagian katagori “tertulis” yakni : a) Akta otentik dan b) Akta di bawah tangan.11 Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kakuatan, pembuktian formil, pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini mengingat bahwa dalam pasal 1868 KUHPer dinyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang, oleh dan di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu.(contoh akta jual beli tanah). dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008, menyatakan akan keabsahan alat bukti yang bersifat elektronik yaitu terangkum dalam Bab III pasal 5 ayat 1 : “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah ”. dan pasal 5 ayat 2 :” informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagamana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di indonesia”. Dalam pada pasal itu ada yang membahas tentang “informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah” di sini dapat digarisbawahi bahwa yang merupakan alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan seperti apa yang dimaksudkan dengan pasal 1868 tersebut yaitu sama dengan akta otentik, hal ini diperinci oleh pasal 16 ayat 1 point 11 ke-7 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata.(Jakarta : Sinar Grafika. 2007) cet (b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik12 yaitu “Dapat melindungi ketersediaan keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersbut“. Pembuktian dalam hukum acara pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam acara perdata, di mana dalam acara pidana pembuktian bersifat materil sedangkan untuk acara perdata bersifat formil. Oleh karena itu, sekiranya dicurigai terhadap alat bukti telah dipalsukan. Persidangan acara perdata akan menunggu diputuskanya dulu kasus pidana tersebut, Dalam hukum acara perdata pembuktian formil yang dimaksud pada pokok nya adalah cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak. Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR yang macam nya sebagai berikut : a. Keterangan saksi/kesaksian-kesaksian b. Surat-surat c. Pengakuan d. Petunkuk/isyarat-isyarat13 Lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Alat-alat bukti14 yang dikenal hukum acara pidana adalah : a. Surat b. Keterangan saksi 12 Depkominfo. RI. UU NO 11 TAHUN 2008.h.11 13 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indoenesia, (jakarta : Fadya Indah Mandiri, 2008).h.16 14 Alat bukti berbeda dengan barang bukti, dimana menurut acara pidana ada tiga katagori barang bukti , yaitu : (a) barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana; (b) barang yang digunakan untuk membantu terjadinya perbuatan pidana; dan (c) barang yang menjadi hasil perbuatan pidana. c. Petunjuk d. Keterangan ahli, dan e. Sumpah 15 Sementara itu, untuk acara perdata pasal 164 HIR (Herizein Inlands Reglement), atau RIB (Reglement Indonesia yang Diperbarui) staatsblaad 1941 No. 44 dan 1866 KUHPer adalah (a) Surat, (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Bukti saksi, dan (e) Sumpah.16 Berdasarkan hal tersebut, Jika kita cermati keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem informasi yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dengan dua jenis kekuatan pembuktian, valid dan tidak valid, atau layak atau tidak untuk di percaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri, jika ia memenuhi kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, Sistem telah dapat dijamin sebagaimana mestinya dan output informasi dapat dinyatakan valid dan outentik secara substansial sehingga informasi tekstual tersebut dapat diakui di persidangan dan layaknya diterima paling tidak sebagai alat bukti surat atau bukti tulisan.17 Dalam literatur bahwa ada kajian konsepsi berkaitan alat bukti pada zaman sahabat Nabi dan yang dianut oleh para imam Mazhab yaitu yang berkaitan dengan 15 KUHAP dan KUHP. Jakarta : Sinar Grafika. 2006 cet, ke-6 16 R. Soesilo. HIR dan RIB dengan penjelasan.Bogor : Politea. Hal 121 17 241 Edmon makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta, : Raja Grafindo Persada. 2005) hal sumpah. Ada beberapa pendapat para ulama berkaitan akan sumpah yang di ucapkan oleh tergugat yaitu : Pertama.menetapkan, Bahwasanya sumpah itu adalah keterangan yang lemah, tidak dapat menyelesaikan sengketa secara memuaskan kedua belah pihak. Karena itu hakim boleh menerima saksi yang dapat di ajukan oleh si penggugat, sesudah sitergugat bersumpah, Umar Ibn Al Khatab berpegang pada pandapat ini juga segolongan hakim salaf. Kedua. Pendapat Imam Malik, beliau membolehkan si penggugat mengajukan saksinya untuk membenarkan gugatannya. Sesudah si tergugat bersumpah. Akan tetapi dengan syarat, si penggugat tidak mengetahui ada saksinya sebelum dilakukan sumpah. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama Syafi’iyah, seperti Al Ghazali. Ketiga.Sumpah di anggap alat menyelesaikan perkara, maka tidak boleh mendengar keterangan saksi sipenggugat sesudah si tergugat bersumpah, Karena sumpah si tergugat telah membatalkan hak si penggugat, Karenanya tidak lagi diterima kesaksianya. Pendapat ini dipegang oleh Ahluzh Zhahir, Ibnu Laila, dan Abu Ubaid.18 Kebanyakan perundang-undangan barat yang membolehkan sumpah mengambil jalan tengah. Sesuai dengan mazhab Hanafi, yaitu dapat memenangkan si penggugat apabila si tergugat tidak mau bersumpah. Tetapi pihak tergugat boleh meminta supaya pihak penggugat bersumpah. Apabila terjadi hal yang demikian, maka si penggugat dihukum benar. Tetapi apabila dia juga enggan bersumpah, maka gugatannya ditolak19 18 Ibid.hal 152-153 19 Ibid.hal 154 Ternyata pemerintah Indonesia dengan serius akan menindaklanjuti kesetiap wibesite (situs informasi) untuk selalu menjaga norma-norma dan etika dalam penggunaan fasilitas dunia maya (cyber space) ini terlihat dari berbagai situs-situs yang oleh pemerintah Indonesia di blockir, dengan hal tersebut, banyak pengguna Internet mengganggap situs resmi pemilik saham. Salah satu konsep pembuktian dalam hukum islam adalah adanya alat bukti petunjuk (karinah) dan keterangan saksi (syahadah). Dari teori tersebut akan terlihat jelas bagaimana hukum pidana islam ternyata sudah mempunyai alur sistem pembuktian hingga zaman kemajuan dalam teknologi. Dalam berbagai kasus cybercrime di Indonesia seperti sejumlah pemuda dari Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal “yahoo” yaitu dengan menjual mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA). Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id. Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu.20 Dan terakhir adalah kasus Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas 20 Petrus Reinhard Golose, perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya di Indonesia oleh Polri. Buletin hukum perbankan, Vol, 4. Nomor 2, Agustus 2006. dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan nasabah. 21 Semua pelaku tersebut diatas ditangkap oleh kepolisian dengan petunjuk. Dari berbagai permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk membahas akan permasalahan tersebut dengan membuat sekripsi dengan judul. “KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berawal dari banyaknya permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang perkara Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini hanya pada beberapa pokok masalah terpenting saja baik dari segi Normatif yaitu : hanya membahas tentang kekuatan bukti-bukti elektronik yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum Islam, Serta peraturan lain yang di anggap relevan, Maupun dari segi aplikasinya atau penerapan pasal-pasal tersebut dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini. Untuk mencapai hasil yang maksimal, perlu adanya rumusan-rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan Pembuktian elektronik ? 2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik tersebut dalam hukum positif ? 3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap alat bukti elektronik tersebut ? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 21 Seputar Indonesia. Senin tanggal 17 November 2008. 1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan alat-alat bukti elektronik dalam hukum positif dan hukum Islam 2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat-alat bukti elektronik dalam proses peradilan serta dampaknya bagi kehidupan manusia 3. Memperoleh gambaran relevansi Normatif dari Perundang-undangan yang mengatur masalah alat-alat bukti elektronik. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Segi Teoritis Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang alat-alat bukti Elektronik yang terus berkembang di Indonesia. b. Segi Praktis Mengetahui bagaimana korelasi pasal-pasal dalam hukum positif dan hukum Islam mengenai implementasi penerapan alat bukti elektronik diperadilan D. Metode Penelitian Jenis penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif yang memakai deskriftif analisis 1. Sumber Data Penulisan skripsi ini merupakan penelitian kepustkaan (library research) yaitu penelitian yang mengacu pada literatur-literatur dan referensi yang berkenaan dan berhubungan dengan judul skripsi ini. Adapun sumber data berupa bahan hukum yang digunakan penulis ini adalah : a. Sumber data bahan hukum primer yaitu berupa kitab Al-Qur’an, Hadist, kitab undang-undang hukum acara pidana.(KUHAP),Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik. . b. Sumber data bahan hukum sekunder berupa makalah-makalah, artikel, jurnal, dokumen-dokumen, dan referensi lainya yang berhubungan dengan masalah alatalat bukti Elektronik. 2. Tehnik Pengumpulan Data Penulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) yaitu penelitian yang mengacu pada literatrue-literatur dan referensi yang ada lalu dibaca dan ditelaah secara akurat untuk memperoleh sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi ini. 3. Metode Analisis Data Setelah data-data yang diperlukan telah terpenuhi maka langkah berikutnya adalah mengadakan identifikasi yang mengkaji secara analisis dengan menggunakan pendekatan yang akurat yaitu : a Metode induktif yaitu metode berfikir yang bertitik tolak pada data-data yang bersifat khusus, yang mempunyai kesamaan, kemudian diimplikasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum. b. Metode deduktif yaitu logika bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai suatu fakta yang bersifat khusus dan konkrit. Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi yang disusun oleh. Tim Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.2007” E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut : BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan. BAB II Menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang alat-alat bukti elektronik,sistem pembuktian, dan alat-alat bukti dalam kaedah hukum positif dan hukum islam . BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara pidana, sekilas tentang elektronik, alat bukti elektronik, modus operandi kejhatan dunia maya (cyber crime), penyidikan tindak pidana, dan berbagai kebijakan/ peraturan alat bukti elektronik. BAB IV Dalam bab ini penulis meguraikan kajian hukum yang berkaitan tentang, Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif. Kekuatan alat bukti elektronik dalam hukum islam, Pendapat para imam mazhab berkaitan dengan alat bukti elektronik. Dan pendapat penulis berkaitan dengan kekuatan alat bukti elektronik. BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran BAB II TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM POSITIF 1. Pengertian Pembuktian Dalam rambu-rambu hukum, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting hukum acara, sebab pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian yang ada, dalam hal ini hak asasi manusia di pertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hakim harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hukum pembuktian. Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang pembuktian itu sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.22 Beberapa ahli hukum memberikan komentar berbeda-beda tentang arti pembuktian, sesuai dengan pandangan mereka, di antaranya : 22 Tim Penyusun Kamus Pustaka dan Pengembangan Bahasa, kamus besar bahasa Indonesia,(Jakarta: balai pustaka, 1988), cet. Ke-1, h.133 a. Menurut R, Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.23 b. Menurut TM, Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang dapat menampakkan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain. 24 c. Menurut A, Mukti Arto, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.25 2. Beban Pembuktian Dalam hukum acara, pembagian pembuktian merupakan bagian dari dasar hukum, pembuktian yang diatur oleh undang-undang, akan tetapi dalam pengaturan undang-undang tidak banyak memberikan penjelasan secara mendetail, Namun persoalan ini sangatlah penting untuk dipahami, karena menyangkut soal hukum di pengadilan yang mengakibatkan batalnya putusan pengadilan, pembuktian dilakukan para pihak dan bukan oleh hakim, hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of proof) 26 23 24 25 Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII,h.7 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Jakarta: bulan bintang, 1975), h.139 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1998), Cet. Ke-II, h. 135 26 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006, Cet,Pertama, h.141 Beban pembuktian dalam hukum perdata, seperti dalam pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 KUHPer) dapat disingkat sebagai berikut: ”Siapa yang mengemukakan sesuatu, mesti membuktikan”. Dengan dasar ini saja, tidak berbuat apa-apa. Pasal ini mengatakan siapa yang mengatakan mempunyai hak, mesti membuktikan haknya itu. dan siapa yang mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, mesti membuktikan adanya peristiwa itu.. Nampaknya. Penjelasan yang terdapat pada pasal 1865 tidak berbeda dengan pasal 163 HIR yang mengatakan bahwa: “Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.27 Atau pasal 1865 bahwa ”Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang di kemukakan itu”.28 Dari pasal-pasal di atas adanya suatu variable yang terkait yang menggaris bawahi “Apabila ada suatu hak, atau apabila ada suatu peristiwa. Maka para pihak harus membuktikan akan adanya semua itu di persidangan”. Berbeda dengan beban pembuktian yang terdapat dalam hukum acara pidana positif, yang harus diingat adalah adanya azas presumption innocence dalam hukum acara pidana positif, yang secara tegas azas tersebut tercantum dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004, pasal 8 :”Setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap 27 28 R.Tresna, komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.139 Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika. 2007),cet. Ke- VI.h.463 tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.29 Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 66: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. 30 Hanyalah merupakan penjelmaan azas “Praduga tak bersalah”. Dengan demikian berarti bahwa beban pembuktian ini diletakkan di pundak jaksa penuntut umum selaku pihak yang mendakwa. Jadi, pihak penuntut umumlah yang mempunyai beban pembuktian, artinya ia harus membuktikan kebenaran tentang apa yang tersusun dalam surat dakwaannya. Adapun yang harus dibuktikan adalah semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa.31 3. Macam-Macam Teori Pembuktian Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Sering dikatakan, bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari kebenaran materil, ini tidak berarti bahwa dalam perdata hakim mencari kebenaran yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Jadi tidak melihat bobot isi, akan tetapi kepada luas dari pada pemerikasaan oleh hakim32. Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5 30 KUHP dan KUHAP,(Jakarta : Sinar Grafika. 2006), cet ke-VI.h.226 31 Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.191 32 Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 1998),cet.ke-1.edisi ke-5.h.138 178 ayat 3 HIR atau pasal 183 ayat 3 Rbg. Adapun pasal 178 ayat 3, HIR33 adalah : “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. Sedang bagi hakim pidana dalam mencari kebenaran materil peristiwanya harus terbukti. Dalam sistem pembuktian yang ada di Indonesia dalam setiap peradilanya, setidaknya mempunyai teori-teori tersendiri dalam penamaannya. Atas berbagai teori tersebut hingga para pakar sarjana hukum menyepakati bahwa ada beberapa sistem dalam peradilan yang ada di Indonesia dan menjadi acuan prakteknya. Di antara dari teori-teori tersebut adalah : a. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Keberadaan dari sistem atau teori ini berasal dari pemikiran bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakawakan. Oleh Karen aitu, bagaimanapun juga diperlukan keyakinan hakim sendiri. Maka teori ini disebut juga conviction intime, yaitu pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.34 b Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “Keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yaitu keyakinan hakim harus didukung 33 R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya,(Bogor: politie),h.131. 34 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grfika. 2002), cet. Ke-II,h. 248 dengan “Alasan-alasan yang jelas”. Maka sistem ini disebut juga sebagai sistem conviction raisonee, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinan nya atas kesalahan terdakwa.35 c Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang di sebut undang-undang, disebut juga sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh Undang-undang, maka keyakinan hakim dalam sistem ini tidak diperlukan lagi. Dalam sistem ini disebut juga teori pembuktian formal.36 d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Negatif Teori ini merupakan keseimbangan antara dua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstream. Dari keseimbangan tersebut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif “Menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undangundang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem itu, terwujudlah suatu “Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusan berbunyi : salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”. 37 35 M. Yahya Harahap, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar grafika, 2000), cet. Ke-I, h.256 36 Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,h.247 37 Ibid.,h.250 4. Sistem Pembuktian Berbicara masalah sistem pembuktian dalam hukum acara postif, tidak terlepas dari pembicaraan pembuktian, macam-macam bukti, dan kekuatan masing-masing alat bukti itu. Begitu pula tidak terlepas dari teori sistem pembuktian yang ada. Oleh karena itu, dalam uraian selanjutnya sedikit banyak akan dibicarakan kembali mengenai sistem-sistem pembuktian yang telah dikemukakan di atas. Untuk mencari dan menemukan kebenaran di sidang pengadilan, hakim harus berpedoman pada pasal 183 KUHAP jo pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004 jo pasal 294 ayat (1) HIR tentang pembuktian, yang masing-masing berbunyi: Pasal 183 KUHAP berbunyi :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”. 38 Pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) berbunyi :“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang di anggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.39 Pasal 294 ayat (1) HIR berbunyi :“Tiada seorang pun boleh dikenakan hukuman, selain jika mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar 38 39 KUHAP dan KUHP.(Jakarta : Sinar Grafika. 2006),cet.ke-6.h.271 Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta : CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5 telah menjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.40 Dari bunyi pasal di atas, sama-sama menganut sistem “Pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Perbedaan antara ketiganya, hanya terletak pada penekanan saja. Pada pasal 183 KUHAP, syarat “Pembuktian menurut cara-cara yang sah”. Berbeda dengan pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) yang hanya menyebutkan “Alat pembuktian” tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti yang digunakan kemudian pada pasal 294 ayat (1) HIR yang selalu menekankan dasar “Keyakinan hakim“ untuk memutuskan salah tidaknya seseorang tertuduh, meskipun dengan pembuktian. Akan tetapi tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti. Dengan melihat ketentuan pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1) HIR tersebut di atas, terkandung beberapa hal pokok, yaitu : a. Sekurang-kurang nya harus ada dua alat bukti yang sah menurut undangundang yang berlaku b. Dan atas dasar alat bukti yang sah tersebut, hakim berkeyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah. 41 Pengertian dari kata sekurang-kurang nya tersebut, di atas kalau di hubungkan dengan alat bukti yang sah, seperti yang termaktub dalam psal 184 ayat (1) KUHAP maka perkataan sekurang-kurang nya itu berarti merupakan dua di antara lima alat bukti, yakni: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,dan Keterangan terdakwa. 40 41 R.Tresna, komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.237 Andi Hamzah, Editor, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana,(Jakarta: Ghalia Indonesia,1986),cet.ke-1,h. 86 Dengan sekurang-kurang nya alat bukti menurut sistem pembuktian yang dianut KUHAP di negara Indonesia adalah negatief wettelijk. maka syarat tersebut hanya memenuhi wettelijk saja. Sedangkan syarat negatifnya adalah keyakinan dari hakim terhadap terdakwa, apakah tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa benar-benar dilakukan terdakwa atau tidak. Jadi sangat tepat untuk membuktikan tindak pidana di dalam sidang pengadilan, di samping memenuhi syarat sekurangkurang nya dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, harus ada keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan. Serta tidak mengenal adanya alat bukti yang tersebut di luar undangundang. Hal ini dimaksud untuk menjaga dan melindungi hak-hak si terdakwa. 5. Alat-Alat Bukti Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungan nya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.42 Sebagaimana di uraikan terlebih dahulu, pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif“ alat bukti yang sah menurut undang-undang, di luar alat bukti itu, tidak di benarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan terbatas hanya di perbolehkan mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya 42 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indonesia, jakarta : FIM Jakarta, 2008. h.11 di luar alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana dan dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”, alat-alat bukti tersebut dalah : a. Keterangan saksi Pada pasal 1 butir (27) KUHAP, yang menyatakan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu”. Sedangkan pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti, di jelaskan dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan;“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan” Kemudian dari kesaksian itu sendiri ada dua macam, yaitu saksi yang kebetulan mengetahui dan saksi yang sengaja untuk menyaksikan suatu perbuatan. Kesaksian harus terbatas kepada peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri, mengetahui sendiri dengan mata kepala sendiri (ratio sciandi). Pendapat atau persangkaan yang di peroleh secara berfikir (ratio concludendi), bukan merupakan kesaksian. b. Keterangan Ahli keterangan ahli terdapat dalam pasal 1 butir (28) KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan ahli, adalah: “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pengertian keterangan ahli ini, diperjelas lagi oleh pasal 120 KUHAP yang berkesimpulan bahwa:“ keterangan ahli adalah orang yang memiliki keahlian khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaikbaiknya” Sedangkan keterangan ahli dinilai sebagai alat bukti, dinyatakan dalam pasal 186 KUHAP, yaitu: “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”. Dari beberapa pemahaman tentang pengertian keterangan ahli dalam KUHAP tersebut, maka bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli tersebut adalah untuk menjelaskan tentang bukti-bukti yang ada, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli-ahli lainya. Wajib memberikan keterangan demi keadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang kehlianya. Hal tersebut terangkum dalam bunyi pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Surat Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tandatanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat. Surat sebagaimana dalam 187 ayat (1) huruf c, ternyata dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : “Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.” Potret atau gambar, peta, denah, meskipun ada tanda-tanda bacaan, tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atas isi hati seseorang. Itu semua hanya sekedar merupakan barang atau benda untuk meyakinkan.43 d. Petunjuk Menurut pasal 188 KUHAP bahwa petunjuk adalah :“Perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Petunjuk bukanlah merupakan alat pembuktian yang langsung, tatapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang menurut pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari : Keterangan saksi, Surat dan Keterangan terdakwa Selanjutnya dalam ayat (3) dari pasal yang sama menekankan bahwa penilaian atas kekuatan dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. e. Keterangan Terdakwa Lain halnya dengan hukum acara pidana yang lama (HIR) yang mengenal pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah, maka dalam KUHAP dipakai istilah keterangan terdakwa, apakah perbedaanya? 43 H.Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.ke-IX,h.148 Menurut Ansori Sabuan, bahwa pengakuan terdakwa (bekentenis) ialah pernyataan terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana dan menyatakan dialah yang bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa (erkentenis) tidak usah merupakan pengakuan bersalah, pemungkiran pun dapat dijadikan bukti, sehingga pengertianya lebih luas dari pengakuan terdakwa.44 Hal ini serupa dijelaskan pula oleh Andi Hamzah, bahwa dalam pengakuan terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat yaitu: 1). Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan. 2) Mengaku ia bersalah Dari kedua syarat inilah yang membedakan bagi keterangan terdakwa yang memberikan arti lebih luas pengertiannya dari pada pengakuan terdakwa itu sendiri.45 Kemudian dalam KUHAP secara definitif dijelaskan pada pasal 189 ayat (1) yang menyatakan:“Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa menyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Jadi, keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti harus dinyatakan di sidang. Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dapat di pergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya dan keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 44 Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana, (Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.196 45 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grfika. 2002), cet. Ke-II,h. 273 Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) ialah alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. f. Alat bukti tertulis Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR dan 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. g. Pembuktian dengan saksi Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 19021912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan peribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. h. Persangkaan-persangkaan Persangkaan-persangkaan diatur dalam pasal 164 HIR dan 1866 BW, dalam penejelasan HIR 173 menguraikan tentang persangkaan, namun tidak memberi perumususan apa yang dinamakan “persangkaan” itu, pasal itu hanya memberikan ketentuan, bahwa persangkaan-persangkaan saja, yang tidak didasarkan atas suatu undang-undang.hanya boleh diperhatikan oleh pada mempertimbangkan suatu perkara, kalau persangkaan-persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan bersesuaian satu sama lain.46 Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak lain adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadiranya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.47 i. Pengakuan Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR dan 1923 -1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan. Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak. baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan. Yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. j. Sumpah Alat bukti sumpah di atur dalam pasal 155-158, 177 HIR dan 1929-1945 BW. Yang pada umum nya diartikan sebagai suatau pernyataan yang khidmat 46 47 Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, (Bogor: politie),h.127 Mertokusumo, Hukum 1998),cet.ke-1.edisi ke-5.h.177 Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya. Jadi pada hekekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. B. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ISLAM 1. Pengertian Pembuktian Dalam hukum Islam, pembuktian disebut juga "ٌ( ”اََِْتAl-Itsbat),48 yang artinya membuktikan atau menetapkan adanya suatu peristiwa, Muhamad Salam Madzkur mengartikan pembuktian dengan kata " َََِْ( " أAl-Bayyinah),49 yang artinya menjelaskan atau membuktikan, perbedaan tersebut adalah hanya karena perbedaan ruang lingkup arti kata itu sendiri, di mana di satu pihak berarti umum dan di pihak lain bersifat khusus, yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Di dalam buku Ensiklopedi hukum Islam, kata bayyinah diartikan secara etimologis berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar), sedangkan dalam istilah teknis, berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan.50 Selanjutnya Ibnu Al-Qayyim memberi definisi tentang al-bayyinah ()أ atau pembuktian sebagai berikut: 48 Subhi Mahmassany, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380 H), h. 291 49 Muhamad Salam Madzkur, Al-Qadha’u Fi Al-Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah Al-Arabiyah, tanpa tahun), h.83 50 Abdul Aziz Dahlan , Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.14 ُُ !ْ"َاَََُْ إٌِْ ُِِ َ یَُُ ا وَی Artinya :“Pembuktian adalah suatu nama bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan perkara yang benar dan menampakkan nya” Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim pun pada dasarnya tidak menitikberatkan kepada alat-alat bukti, akan tetapi meliputi segala sesuatu apapun wujudnya, maka dapat dianggap sebagai katagori alat bukti. Sedangkan menurut Subhy Mahmassany bayyinah adalah sebagai berikut: ََُِِْْیْ!ُ اْ ُُ وَإَِْءِ اَِْ ََِْ َ َا# َُاَِْت Artinya:“Pembuktian adalah mengemukakan alasan dan memberikan dalil suatu perkara sehingga kepada meyakinkan”. Pendapat Subhy Mahmassany tersebut sama dengan pendapat para ahli hukum lainya bahwa pembuktian tidak terbatas pada alat-alat bukti tertentu, hanya saja ia menambahkan harus dengan keyakinan hakim, keyakinan menurutnya adalah “apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atau dasar penelitian dari dalil-dalil itu”. 51 Dari uraian di atas dapatlah dikompromikan karena mempunyai tujuan yang sama, sehingga antara definisi yang satu dengan yang lainya saling kuat menguatkan, dan akan menghasilkan pengertian yang lebih sempurna, yang berarti pembuktian adalah usaha menghadirkan keterangan mengajukan alasan untuk menjelaskan yang benar dari suatu peristiwa hingga mencapai keyakinan hakim tentang dalil-dalil yang diajukan ke persidangan. Sehingga masing-masing pihak mempunyai hak yang sama dalam melakukan pertarungan hukum di muka hakim. 2. Sistem Pembuktian 51 Mahmassany, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami,., h. 292 Terlintas dalam pikiran kita bahwa dari berbagai teori pada bab-bab sebelumnya yaitu tentang konsep teori pembuktian menurut hukum positif, begitu lengkapnya hingga pada akhirnya yaitu tentang sistem pembuktian. Lalu bagaimanakah dengan konsep hukum acara Islam ? Kalau kita amati bersama, dalam hukum acara Islampun menganut sistem pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi pada masa Rasulullah, sahabat dan para ulama, indikasi-indikasi tersebut adalah: a. bahwa ternyata seluruh alat bukti yang dianggap sah oleh fuqaha berorientasi kepada memperkuat keyakinan hakim, untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan alat-alat bukti yang mengarah kepada keyakinan hakim yaitu: 1) Kesaksian ()ا'!دة pengertian persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zahaili adalah sebagai berikut: َِء2َِْ ا3َِْ4 ِ5 َِدَة%&ٌ ِﺏَ(ْ'ِ ا+َ َِدِقٌ ِِ َْت. ٌَْر0ِوَهَِ إ “Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafadz syahadat di depan pengadilan”.52 Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karena nya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkapkan suatu jarimah. Dasar hukum untuk persaksian sebagai bukti terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Dalam Al-Qur’an antara lain tercantum dalam: 52 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu, (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989), Juz VI.h.388 1. Surah Al-Baqarah ayat 282 !" ./02" ()*+ , ' #$%& ;☺ #%789: 342 5%& 8 #)=>5% C4DE% #7 *?@AB 5DIJ⌧L%& ☺FG/H ( : )ا( اةP +M 58NO ☺FG/H “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu, jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya”.(QS. Al-Baqarah: 282) 2. Surah At-Thalaq ayat 2: RS M%Q 7 )☺W!7 T*+UV ( : ق,- ?[ )ا/XYFZ “….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena allah..”(QS. Ath-Thalaq: 2) Sebagaimana diketahui kesaksian (ََِْْ )اmerupakan alat bukti yang bersifat personal (َِْ.ْ/0')اَََْْ ا, oleh karenanya benar atau salahnya keterangan yang dikemukakan para saksi, sepenuhnya diserahkan kepada keyakian hakim. Dalam hubungan ini ada satu kaidah fiqhiyah yang menyatakan: “Pada dasarnya tidak dapat ditetapkan sesuatu yang disaksikan atau diceritakan (oleh saksi), kecuali berdasarkan keyakinan atau dugaan yang dipegang teguh oleh syara’ sesuai dengan dasar tersebut”.53 2) Petunjuk (َْْ) اَْ(َ ِی Pengertian Qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut: 53 h.39 Jalal Al-Din Al-Sayuti, Al-Sybah Wa Alnadzair Fi Al-Furu’,( Mesir: musthafa muhamad,t.p.,), ِ1َْ2َ3 ُل5َ6َ7 ،ًِ:ََهِ ٍَ @ُ(َِرنْ ﺵَ<ًﺥC ٍَ آُ أََرَةEِاَْ(َ ْیَْْ ه “Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”.54 Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya qarinah sudah dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukum nya. Salah satu contoh qarinah dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang perempuan yang tidak bersuami. Dalam jarimah syarbul khamr (meminum minuman keras), yang dapat dianggap sebagai qarinah, misalnya bau minuman keras dari mulut tersangka. Dalam tindak pidana pencurian, ditemukanya barang curian di rumah tersangka merupakan suatu qarinah yang menunjukkan bahwa tersangkalah yang mencuri barang tersebut.55 Petunjuk yang diketahui oleh hakim selam dalam sidang atau luar sidang merupakan indikasi yang menguatkan keyakinan hakim. 56 Karena hanya berdasarkan indikasai tersebut hakim tidak dapat mengambil keputusan kecuali apabila ia telah yakin bahwa peristiwa itu telah terjadi. Hal ini sesuai dengan definisi qarinah itu sendiri berupa “tanda-tanda untuk memperoleh keyakinan”. 3) Pengakuan Terdakwa (ا ُر7ْ8َْ)ا 54 Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu.h 391 55 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I.h.244 56 Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayat Islam, Penerjemah: Drs. Usman Hasyim, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), Cet. Ke-1, h.96 Menurut arti bahasa adalah penetapan, sedangkan menurut syara’, pengakuan didefinisikan sebagai berikut: ِ 1ِِ َافُ ﺏ6ْ3َِْْ ﺡَ أًوِا3َُاَِﺥَْرKًُه3ْ َﺵ...ُْ َارFَِْا 57 “Pengakuan menurut syara adalah sesuatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut”. Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’.adapun sumber dari Al-Qur’an 1. Surah An-Nisa’ ayat 135 !'? @\]^Y , .ab)%! )L()*` )_ * [? *?@ DcdeH f 7 *+Ddg(7 A/ )% a) ( : َءMَْ)ا.... P .f 5!O “ Wahai orang-orang beriman, jadilah kami oprang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu….”(QS.An-Nisaa’:135) Penyaksian seseorang atas dirinya sendiri ditafsirkan sebagai suatu pengakuan atas perbuatan yang dilakukannya.58 2. Surah Ali Imran iY%N h? ⌧%O7 QH ?☺% 8jWkC_ R0Y lDJ V Llm%* J*?! qTrT n@☺+p ☺w 3st=uv 3S)" xpf ;_%Ll% *+r S%! P yLp^(5cu_ l% zr%O7 Tr" 5!7* M{5H *+ a%Q PA/ S%! P (" 5!7 })* %! *+r T (7 @%& FYZ 8V 57 58 Abd al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy,Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi, t,tp.h.303 Muslich,hukum pidana islam,h.,.228 “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya",Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu". Pengakuan yang dapat diterima sebagai alat bukti adalah pengakuan yang jelas, terperinci, dan pasti. Sehingga tidak bisa ditafsirkan lebih kecuali perbuatan pidana yang dilakukanya. Kejelasan dan rincian dari pengakuan tersebut didasarkan kepada sunah Rasulullah saw, ketika beliau mengintrogasi Ma’iz yang mengaku berzina dan mengulangi pengakuan nya itu sebanyak empat kali, dalam introgasinya nabi menyatakan: (رئ/ِ )روا اUْلَ اKَُ یَر،V:ََلF،َْتَ أَوْﻥَ"َ ْتOَPَQَْ أَوRْ2ََF َS02َTَ “ Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau hanya memandangnya? Ma’iz menjawab: Tidak, ya Rasulullah”. (Hadist Riwayat Bukhari)59 Selain persyaratan pengakuan di atas, selain itu untuk syarat sah nya pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan tidak dipaksa (terpaksa), pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang berakal dan mempunyai kebebasan (pilihan).dengan demikian, pengakuan yang datang dari orang gila, atau hilang akal nya, dan orang yang dipaksa hukum nya tidak sah dan tidak dapat diterima.60 b. Bahwa dalam hukum Islam, terdapat prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana, prinsip ini menyatakan 59 Muhamad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salim, (Mesir: Maktabah Mustafa al-baby al-halaby. 1960), Juz IV.h.8 60 Muslich,hukum pidana islam,h.230 bahwa hukuman had harus dihindari manakala terdapat “keragu-raguan”. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah. G ُِوْدَ ﺏِْ'ْ!َت5َإِدْرَءُوْاُ ا Artinya :“Hukuman had harus dihindari berdasarkan keragu-raguan” . Pengakuan syubhat di sini adalah seluruh keadaan yang menyebabkan keraguan-raguan bagi hakim untuk memutuskan perkara, baik ditinjau dari segi maksud dilakukan tindak pidana (XَِﻥYُْ ا5ْ.َF), ataupun karena syaratsyarat yang ditentukan tidak dipenuhi. Seperti mendakwakan seorang berbuat zina, berdasarkan bukti dua orang saksi saja. Sedangkan trdakwa tidak mengakui dakwaan itu. Atau melakukan pencurian dalam keadaan kelaparan merajalela atau melakukan pencurian harta milik orang hanya sendiri. Dalam keadaan seperti ini, hakim tidak dapat menjatuhkan had melainkan mengalihkan kepada hukuman ta’zir yang merupakan pendidikan bagi mayarakat 3. Alat-Alat Bukti Para ulama berbeda pendapat tentang alat-alat bukti yang harus ada dalam setiap jarimah.yaitu perbedaan jumlah dan macam-macam alat buktinya, sebagai berikut: Menurut jumhur ulama untuk pembuktian jarimah qishash dan diat dapat dipergunakan tiga cara (alat bukti) pembuktian yaitu: pengakuan (ُْ ارFَْ)ا, persaksian ()ا'!دة, dan sumpah (َََُMَ(َْ) ا 61 t.th),h.39 Jalal Al-Din As-Sayuti, Al-Asybah Wa Al-Nadzair fi al-Furu’,(Mesir: musthafa Muhammad. Menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hanbali, untuk pembuktian jarimah qishash dan diat digunakan empat cara (alat) pembuktian, yaitu: pengakuan, persaksian, sumpah dan petunjuk62 Menurut TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa “alat-alat bukti yang berpokok dalam hujjah yang diperlukan dalam soal gugat menggugat ada tiga yaitu: iqrar’(pengakuan), saksi, dan sumpah.63 Menurut mazhab Hanafi menyatakan bahwa: “alat-alat bukti ada lima, yaitu: sumpah, pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah”, 64 Menurut ahmad ad-da’ur dalam kitabnya “Ahkam Al-Bayyinat” menyatakan bahwa “alat-alat bukti yang diakui oleh nash Al-Qur’an dan AlHadist yaitu: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan document-dokument tertulis yang meyakinkan”.65 Menurut Sayyid Sabiq menyatakan bahwa “alat-alat bukti adalah: iqrar, syahadah, surat-surat resmi yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.66 Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” menyatakan bahwa “alat-alat bukti itu ialah : saksi, sumpah, nukul, pengakuan, atau sesuatu yang tersusun dari salah satu bukti lain”. 62 Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy .h.,303 63 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan Dalam Hukum Acara Islam, (semarang: PT Pustaka Rizki putra, 1997), Cet. Ke-I.h.136 64 Madzkur. Al-Qadha’u Fi Al-Islam,.h.74 65 Ahmad ad-da’ur, hukum pembuktian dalam islam, penerjemah syamsudin ramadlan, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. 2007), h.7 66 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunah,(Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), Jilid ke-II, h.352 Demikian para ulama sengat variatif dalam mengungkapkan alat-alat bukti tersebut, akan tetapi setelah membaca uraian beliau diatas dalam kitabnya masing-masing, maka dapatlah disimpulkan bahwa dalam hukum acara islam mengenal enam alat bukti. Sebagai berikut: a. Sumpah (َََُMَ(َْ)ا Menurut bahasa arab arti qasamah sama dengan (َُلPَYُْْ وَاMُْ )اyang artinya bagus dan indah67, dan (ُِْPَ )اyang artinya sumpah.68 . namun dalam arti secara istilah didefinisikan sebagai berikut. 6َ(َى اKْ3َ[ د7ُ رَة0 َُPَْنُ اPََِْهَ!َُ ا\َیMَ(ُِْ َادُ ﺏPْوا 69 Adapun yang dimaksud dengan qasamah disini adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan. Hanafiyah mendefinisikan qasamah dengan menyatakan bahwa “Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama Allah SWT karena adanya sebab tertentu, untuk orang tertentu yaitu terdakwa dan menurut cara tertentu”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa qasamah adalah sumpah diulang-ulang. Hanya saja siapa yang bersumpah masih di perselisihkan oleh para fuqaha, Menurut Hanafiyah, sumpah dilakukan oleh penduduk tempat di temukannya korban. Sedangkan menurut jumhur ulama menyatakan bahwa sumpah dilakukan oleh keluarga korban. 67 Munawir Ahmad Wason, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta : Pondok Pesantren Munawwir, 1984. h.1119 68 Muslich,hukum pidana islam .h.234 69 Abdullah bin Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Dar Al-Manar, 1368, Juz VIII,h.64 Al- Abdul Qadir Al-Audah dan Wahbah Zuhaili membuat dafinisi yang merangkum kedua pendapat tersebut. mengatakan : “Arti qasamah menurut istilah para fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang di dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si terbunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan”. Menurut Ar’rafi dan Imam Nawawi : “Sumpah itu adalah memastikan sesuatu perkara atau menguatkan dengan menyebut nama Allah atau salah satu sifatnya”.70 Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy :“Sumpah ialah memperteguh kebenaran sesuatu yang dimaksud dengan menyebut nama Allah atau sesuatu sifat-sifatnya”.71 Adapun mengenai penyebutan nama Allah dalam sumpah yaitu dengan menggunakan lafadz “ِ102ِْ( " ﺏdemi Allah)dan bukan lainya, hal ini mengingat sabda Rasulullah Saw yang berbunyi: ْKُ:ِ2َْ@َV:ً3ْKُ7ْ َ ُ1ْ63 َU اXِ]َِ هُ َیْ َةَ رXَْ أﺏ3 ئM0 داوُدَوَاXِِ< ِوَایٍَ\َﺏ7َو Artinya:“Dan pada riwayat abu daud dan nasa’I dari abu hurairah r,a. marfu’: janganlah kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kelian atau ibu-ibu kalian dan jangan pula dengan nama dewa-dewa, dan janganlah kamu bersumpah dengan nama Allah kecuali kalau kalian sungguh-sungguh”. b. Iqrar (pengakuan), Iqrar menurut bahasa adalah " "اتyang berarti penetapan atau penemuan72, sedang iqrar menurut istilah: 70 Taqiuddin ad-Damsyki, Kifayah al-Ahyar II,(bandung: Al-Ma’rif, tanpa tahun), h.247 71 TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam II,(Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h.176 َِ(َ6MُP اE7ْKََِ و1ِPُ ﺡEِ7َ^ِ و:َ2ُِ(َ ِ ﺏPْ_ٍ ا:َ ﻥX2َ3 ِ َْ`2ِِ َتِ ﺡaُُْbِاَ\َﺥَْرُ ﺏ Artinya: “Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan datang” Sedangkan menurut Abdul Qadir Al-Audah, iqrar adalah: cََْ ﺡ3ُِﺥَْرVَا Artinya:“Pemberitahuan tentang sesuatu yang hak” Adapun mengenai istilah iqrar dalam Al-Qur’an tercantum dalam surat Ali Imran ayat 81. S%! Tr" 5!7* zr%O7 PA/ *+ a%Q M{5H })* %! (" 5!7 Artinya:“….Allah berfirman: apakah kamu mengakui dan menerima perjanjianku terhadap yang demikian itu? Maka mereka menjawab, kami mengakui…”(Q.S. Ali Imran. 3:81) Jadi iqrar adalah memberitahukan akan adanya hak orang lain pada diri si pengaku, adapaun fungsi iqrar adalah menguatkan alasan qadhi untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang memberikan pengakuan itu sendiri, ini berarti bahwa akibat dari adanya pengakuan itu tidak dapat melibatkan orang lain yang tidak memberikan pengakuan. c. Bukti tulisan (R6)ا Di zaman sekarang ini, bukti tertulis tidak dapat diabaikan karena dalam perkembangan nya tulisan menjadi alat bukti yang paling utama untuk menjadikan adanya suatu perbuatan, dan untuk memberikan keyakinan kepada hakim, oleh karena itu pada saat sekarang ini, alat bukti yang menggunakan 72 Wason, Kamus Arab-Indonesia,h.,1105 tulisan itu lebih diyakini kebenaranya dibandingkan dengan bukti lisan. Di dalam Al-Qur’an telah disyaratkan urgensi dari bukti tulisan ini, firman allah: d. Petunjuk (َ یF) 73 Menurut Subhi Mahmashani, definisi qarinah adalah: (ّ َا5 ارة ا` ﺡEا( ی ه “Qarinah adalah tanda-tanda yang sampai derajat 74 Artinya: keyakinan” Menurut wahbah zuhaili, definisi qarinah adalah: ِ123 eّ567 ,0:َه ةِ @(رنُ ﺵ<ﺥC ٍ أرةeّ2 آEا( ی ه Artinya:“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya” Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu: 1) Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan 2) Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yang samar (khafi) Al-qur’an telah mengakui keabsahan atau kekuatan pembuktian dari alat bukti berupa petunjuk ini, melalui firman : 2Wa" "t S%! #H ?F0t7 V Dt⌧' 4Lr! ;r! yLpcuW☺%! \!⌧` 8 )rt z%!=u%& #!⌧` #H .feY%+ 5LfW ;r! yLpcuW☺%! 73 Wason, Kamus Arab-Indonesia, h.,1114 74 Mahmashani, Falsafah Al-Tasyri Fi Al-Islam, h.258 P Zg^( 8 )rt z f⌧%+%& .!Yqu F⌧' Artinya : “Yusuf berkata: “dia menggodaku untuk menundukan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksianya: “jika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan yusuf termasuk orang-orang yang dusta,dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan yusuf termasuk orang-orang yang benar” (Q.S. Yusuf. 12:26-27) Namun para ulama memperselisihkan akan kekuatan alar bukti petunjuk tersebut dalam tundak pidana pembunuhan dan penganiayaan, untuk jarimahjarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina. Misalnya adanya qarinah kehamilan dari seseorang yang tidak bersuami. Dan dalam tindak pidana syurbul khamr yaitu adanya bau dari mulut seseorang. BAB III PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA B. Sekilas tentang alat bukti elektronik Perkembangan dan penggunaan berbagai macam peralatan teknis oleh manusia, memungkinkan mereka untuk melakukan beragam bentuk aktifitas secara virtual (maya) mulai dari aktifitas hiburan, pendidikan, perdagangan, pemerintahan, kemunikasi hingga penegakkan hukum, sesungguhnya bukanlah hal yang luar biasa. Sejarah perkembangan teknologi informasi ini bertitiktolak pada terjadinya revolusi industri revolusi di Eropa dengan diketemukanya telegram oleh Samuel Morse pada tahun 1844 (yang kemudian hari demi hari berhasil menyatukan seluruh wilayah Amerika Serikat melalui sebuah jaringan telegram nasional).75 Sejarah perkembangan teknologi juga diwarnai dengan adanya upaya hukum untuk mengatur teknologi tersebut. Namun demikian sejarah perkembangan hukum teknologi yang diartikan sebagai aspek-aspek hukum yang berhubungan dan mengatur tentang teknologi belum menunjukkan makna yang berarti hingga perkembangannya merkantilisme di Eropa Barat, terutama setelah pergantian abad VIII dan terjadinya Revolusi di Inggris.76 Pada dewasa ini dampak perkembangan teknologi informasi (IT) telah memicu munculnya berbagi respon hukum, dimana dampak perkembangan teknologi pada umumnya telah memicu berbagi macam respon. Demikian pula halnya dengan 75 76 Ian J. Lioyd, Information Technology Law; (London : Butterworths. 2000) Third Edition.hlm.1 Arsyad Sanusi. DKK. Analisi Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana.(Badan pembinaan hukum nasional departemen kehakiman dan HAM RI tahun 2003. dampak perkembangan informasi dan berbagai respon hukum yang muncul berkaitan dengan perkembangan teknologi tersebut. Dan tak dapat dipungkiri bahwa berbagai macam permasalahan baru telah timbul sebagai akibat dari pengaruh teknologi khususnya teknologi Informasi. Berbagai permasalahan tersebut terhadap berbagai bidang. Yaitu : Pertama, masalah sosial dan budaya. Hages dan Powers berpendapat bahwa teknologi informasi telah merubah masyarakat dengan sangat cepat yaitu dengan mengubah akar-akar kelembagaan masyarakat, termasuk aspek-aspek interpersonal manusia yang paling mendasar baik di lingkungan kerja maupun di dalam keluarga. Sementara Garson berpendapat bahwa teknologi informasi pada dewasa ini telah menjadi lebih bersifat politis dibandingkan dengan teknologi-teknologi yang lain, yang disebabkan Karena eratnya hubungan antara teknologi informasi dengan proses keputusan. Garson juga mengingatkan tentang kemungkinan bahwa teknologi dapat mengikis nilai-nilai demokrasi dan dapat memicu perkembangannya tirani dan dominasi. Kedua, masalah stabilitas financial dan keamanan . dampak kemajuan teknologi terhadap seluruh aspek kehidupan manusia telah semakin luas sehingga memunculkan berbagai potensi tatangan baru yang dapat mengancam individu, perusahaan, maupun masyarakat pada umumnya, yaitu apabila teknologi-teknologi baru tersebut disalahgunakan. Contoh terbaru yang dapat dikemukakan adalah perkembangan teknologi electronic banking. Di Amerika Serikat Federal Bureau of Investigation (FBI) mencatat bahwa kasus tindak kejahatan komputer pada tahun 1998 berjumlah 547 kasus, namun pada tahun 1999 angka tersebut mengalami peningkatan tajam sehingga menjadi 1154 kasus. Serangan besar-besaran yang dilakukan para hacker dan diarahkan ke berbagai portal, website dan perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat telah mengakibatkan para penyedia akses layanan internet menolak memberikan akses internet selama beberapa jam, di mana masalah ini mencapai puncaknya pada tanggal 8 dan 9 Februari 2000. Ketiga, masalah pengelolaan dan eksploitasi informasi perkembangan dan kemajuan yang dicapai bidang teknologi informasi (misalnya dalam hal transmisi, penyimpanan dan pemerosesan teks, suara, gambar, atau bentuk-bentuk data yang lain) termasuk-Teleconference-telah merubah apa yang selama ini dianggap tidak mungkin dilakukan di dalam konteks realis, menejemen informasi. diperkenalkannya metode digital dan penggunaan media-media elektronik telah memberikan sejumlah keuntungan dan manfaat. Namun di sisi yang lain juga telah memunculkan berbagai macam masalah baru yang sama sekali belum pernah dialami pada masa-masa sebelumnya.77 C. Alat Bukti Elekronik Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari keadilan), adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang memeriksa perkara. Alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa di pergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti tersebut diperlukan oleh pencari keadilan maupun pengadilan.78 Suatu persengketaan atau perkara tidak bisa 77 78 Ibid.,hlm. 28 Rohan. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002),cet.ke-9.hlm.144 diselesaikan tanpa adanya alat bukti, artinya kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan alat bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi dengan menolak gugatan karena tidak terbukti. Sistem pembuktian di era teknologi informasi sekarang menghadapi tantangan besar yang memerlukan penanganan serius, khususnya dalam kaitan dengan upaya pemberantasan kejahatan dunia maya (cybercrime). Hal ini muncul karena bagi sebagian pihak jenis-jenis alat bukti yang selama ini di pakai untuk menjerat pelaku tindak pidana tidak mampu lagi dipergunakan dalam menjerat pelaku-pelaku kejahatan di dunia maya (cybercrime).79 Sementara itu, pesatnya teknologi informasi melalui internet telah mengubah aktivitas-aktivitas kehidupan yang semula perlu dilakukan secara kontak fisik, kini dengan menggunakan cyberspace, aktivitas keseharian dapat dilakukan secara virtual atau maya. Masalah pelik yang dihadapi penegak hukum saat ini adalah bagaimana menjaring cybercrime yang mengusik rasa keadilan tersebut dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku. Dalam hukum acara pidana, dikenal 5 (lima) alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP. Di luar alat-alat bukti ini, tidak dibenarkan dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim ketua sidang. Penuntut umum, Terdakwa atau Penasehat hukum terikat dan terbatas hanya di perbolehkan mempergunakan alat-alat bukti ini saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang di tentukan 79 Didik M. Arief Mansur. dan Elisatris Gultom. Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi.(Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 97 dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya. Dalam pengungkapan suatu perkara pidana, paling tidak ada tiga hal yang tidak dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau validitas suatu putusan pengadilan, yaitu: sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara, alat bukti dan kekuatan pembuktian, serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, baik dalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana, pembuktian memegang peranan sentral80 Lalu bagaimanakah dengan alat bukti elektronik. Bisakah dijadikan sebagai alat bukti yang sah? Dalam undang-undang No 8 Tahun 199781 tentang dokumen perusahaan telah mulai menjangkau ke arah pembuktian data elektronik, walau undang-undang ini tidak mengatur masalah pembuktian. Namun melalui undangundang ini, pemerintah berusaha mengatur pengkuan atas microfilm dan media lainya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Flash Disk, Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM) dan Write-OneRead-Many(WORM)82 yang diatur dalam pasal di bawah ini. Pasal 12 undang-undang dokumen perusahaan tersebut berbunyi sebagai berikut: 1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam microfilm atau media lainya 80 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika Divisi Perguruan Tinggi,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),h.419 81 82 <http://www.budi.insani.co.id> Undang-Undang Dokumen Perusahaan No 8 Tahun 1997,(Jakarta: PT Sinar Grafika) 2) Pengalihan dokumen perusahaan kedalam microfilm atau media lainya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan sejak dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh perusahaan yang bersangkutan. 3) Dalam mengalihkan dokumen perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, pimpinan perusahaan perusahaan wajib mempertimbangkan kagunaan naskah asli dokumen yang perlu tetap disimpan karena mengandung niai tertentu demi kepentinan perusahaan atau demi kepentingan nasional. 4) Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan kedalam microfilm atau saranan lainya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan hukum pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu, pimpinan perusahaan wajib tetap menyimpan naskah asli tersebut. Ternyata dalam perkembangannya pemerintah memfokuskan bahwa pentingnya pengaturan terhadap transaksi dalam dunia maya (cyber space), oleh karena itu pemerintah mengesahkan undang-undang yang berkaitan terhadap pengawasan, aktivitas dunia maya tersebut dengan mengeluarkan kebijakan baru dengan UndangUndang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik83. Yang menguatkan bahwa alat bukti elektronik itu sudah bisa untuk di jadikan alat bukti dalam peradilan Indonesia. Seperti dalam dalam pasal 1 ayat 1 : “Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenis nya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya”. Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi: “Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat ditampilkan, dan/atau didengar melalui computer atau system elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya”. 83 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transsaksi Elektronik, Depkominfo, Republik Indonesia Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi: “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah” C. Modus Operandi Dalam Kejahatan Dunia Maya (CyberCrime) Dewasa ini perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan mengingat tindakan carding, hacking, cracking, phising, booting, viruses, cyberquating, perjudian, penipuan, terorisme, dan penyebaran informasi deskruktif telah menjadi bagian aktivitas pelaku kejahatan di dunia maya. Dari perbuatan-perbuatan di atas dapat digolongkan dalam modus operandi pelaku, mengapa pelaku berbuat kriminal demikian. Modus operandi menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah suatu hal yang melatar belakangi tindakan, di mana adanya keterhubungan antara kejiwaan dengan perbuatan yang dilakukan dikaitkan dengan keadaan sekeliling. Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi84 yang ada, antara lain: 1. Unauthorized Access to Computer System and Service Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu system jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik system jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker)85 melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan 84 Golose. petrus reinhard. perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya di indonesia oleh polri. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006 85 Hacker adalah seseorang yang mampu dan dapat memprogram jaringan serta mempelajari system jaringan. rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu system yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pasal 31 ayat (1) : ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain”. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi Internet/intranet. Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor-Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999) Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk kedalam data base berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang e-commerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org)/. 2. Illegal Contents Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia Negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan sebagainya. Dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 pasal 7 ayat (1): “Setiap orang dengan sangaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau elektronik dokumen yang memiliki muatan yang melenggar kesusilaan”. 3. Data Forgery Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja di salah gunakan. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pasal 32 (1) :”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan memindahkan, menyembunyikan transmisi, merusak, menghilangkan, suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik orang lain yang tidak berhak”. 4. Cyber Espionage Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan komputer): UndangUndang No 11 Tahun 2008 pasal 31 ayat (1) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain” 5. Cyber Sabotage and Extortion Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program computer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pasal 33: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya system elektronik dan atau mengakibatkan system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya”. 6. Offense against Intellectual Property Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya. Dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 pasal 31 (2) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun manapun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang di transmisikan”. 7. Infringements of Privacy Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Pasal 35 :”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”. D. Penyidikan Tindak Pidana kejahatan cyber crime Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1 angka 13 penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam memulai penyidikan tindak pidana Polri menggunakan parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang dikaitkan dengan segi tiga pembuktian/evidence triangle untuk memenuhi aspek legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi. Adapun rangkaian kegiatan penyidik dalam melakukan penyidikan adalah. 1. Penyelidikan Tahap penyelidikan merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana serta “tahap tersulit dalam proses penyidikan” mengapa demikian?. Karena dalam tahap ini penyidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi, serta bagaimana dan sebab-sebab tindak pidana tersebut, untuk dapat menentukan bentuk laporan polisi yang akan dibuat. Informasi didapat dari NCB/Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau laporan dari negara lain yang kemudian diteruskan ke Unit cybercrime/satuan yang ditunjuk. Dalam penyelidikan kasus-kasus cybercrime, modusnya seperti kasus carding, metode yang digunakan hampir sama dengan penyelidikan dalam menangani kejahatan narkotika terutama dalam undercover(penyamaran) dan control delivery (kebebasan terkontrol). Petugas setelah menerima informasi atau laporan dari Interpol, yang dirugikan melakukan koordinasi dengan pihak yang mengirimkan untuk melakukan pengiriman barang. Permasalahan yang ada dalam kasus seperti ini adalah laporan yang masuk terjadi setelah pembayaran barang ternyata ditolak oleh bank dan barang sudah diterima oleh pelaku, di samping adanya kerjasama antara carder dengan karyawan shipping sehingga apabila polisi melakukan koordinasi informasi tersebut akan bocor dan pelaku tidak dapat ditangkap sebab identitas yang biasanya dicantumkan adalah palsu. Untuk kasus hacking atau memasuki jaringan komputer orang lain secara ilegal dan melakukan modifikasi (deface), penyidikannya dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal pembuktian. Banyak saksi maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, belum lagi kendala masalah bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi, dan kode-kode digital yang membutuhkan SDM, serta peralatan komputer forensik yang baik. Dalam hal kasus-kasus seperti situs porno maupun perjudian para pelaku melakukan hosting/pendaftaran di luar negeri yang memiliki yuridiksi yang berbeda dengan negara Indonesia sebab pornografi secara umum dan perjudian bukanlah suatu kejahatan. Di Amerika dan Eropa walaupun alamat yang digunakan berbahasa Indonesia dan operator daripada website ada di Indonesia, sehingga kita tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap mereka sebab website tersebut bersifat universal dan dapat di akses di mana saja. 2. Penindakan Dalam penangkapan tersangka sering kali polisi tidak dapat menentukan secara pasti siapa pelakunya, karena mereka melakukannya cukup melalui komputer yang dapat dilakukan di mana saja tanpa ada yang mengetahuinya sehingga tidak ada saksi yang mengetahui secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh hanya dapat menemukan IP Address dari pelaku dan komputer yang digunakan. Penyitaan barang bukti banyak menemui permasalahan karena biasanya pelapor sangat lambat dalam melakukan pelaporan, hal tersebut membuat data serangan di log server sudah dihapus biasanya terjadi pada kasus deface, sehingga penyidik menemui kesulitan dalam mencari log statistik yang terdapat di dalam server sebab biasanya secara otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban server. Hal ini membuat penyidik tidak menemukan data yang dibutuhkan untuk dijadikan barang bukti sedangkan data log statistic merupakan salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan arah datangnya serangan. 3. Pemeriksaan Pemeriksaan terhadap saksi dan korban banyak mengalami hambatan, hal ini disebabkan karena pada saat kejahatan berlangsung atau dilakukan tidak ada satupun saksi yang melihat (Testimonium De Auditu). Mereka hanya mengetahui setelah kejadian berlangsung karena menerima dampak dari serangan yang dilancarkan tersebut seperti tampilan yang berubah maupun tidak berfungsinya program yang ada, hal ini terjadi untuk kasus-kasus hacking Untuk kasus carding, permasalahan yang ada adalah saksi korban kebanyakan berada di luar negeri sehingga sangat menyulitkan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan untuk dimintai keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban. Apakah mungkin nantinya hasil BAP dari luar negri yang dibuat oleh kepolisian setempat dapat dijadikan kelengkapan isi berkas perkara?. E. Berbagai Kebijakan/Peraturan Alat Bukti Elektronik Pertama-tama patut dikemukakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum pidana (sarana penal), tetapi harus di tempuh dengan pendekatan integral/sistematik. Mengenai upaya penanggulangan kejahatan dalam bidang elektronik, dapat dikemukakan dalam berbagai undang-undang yang telah dan belum disahkan yakni dalam bentuk rancangan undang-undang. Berbagai undang-undang tersebut adalah: 1. Undang-Undang No 7 Tahun 1971 Tentang Kearsifan Yang dimaksud dengan arsif dalam undang-undang ini adalah: a. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh lemaga-lembaga Negara dan badan-badan pemerintahan dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah b. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh badan-badan swasta dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok , dalam pelaksanaan kehidupan kebangsa. 2. Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik pada pasal-pasal berikut ini Pasal 1 ayat 2: “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainya”. Pasal 1 ayat 3: “Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpam, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi”. Pasal 1 ayat 5: “Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi”. Pasal 1 ayat 9: “Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikat elektronik”. Pasal 1 ayat 10: “Penyelenggara sertifikat elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik” Pasal 1 ayat 12: “Tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang diletakkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikan”. Pasal 1 ayat 14: “Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetic, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”. 3. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan Pasal 3: “Dokumen kerungan terdiri dari catatan-catatan, bukti pembuktian, dan data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usahasuatu perusahaan” Pasal 4:”Dokumen lainya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterngan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan dokuemn perusahaan” 4. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A : “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 5. Rancangan Undang-Undang Transfer Dana86. Terdapat pada bab XIII yang untuk sementara ini memuat sebagai berikut: a. dengan sengaja mengubah, mengaburkan, meghilangkan, menghapuskan, sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam perintah transfer dana, dengan meksud untuk mengakibatkan kerugian penerima yang berhak dan/atau pihak lain dan untuk memperkaya diei sendiri dan/atau pihak lain b. dengan sengaja melwan hukum, mengakses, mengambil, mengubah, menggunakan, menggandkan dan atau melakukan tindakan lain secara tanpa hak terhadap suatu informasi perintah transfer dana dan atau sistem transfer dana bank 6. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khusus nya pada bagian lima paragraf 1, paragraf 2 dan paragraf 3 menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan dengan menggunakan alat komputer atau mediasi elektronik lainya itu dilarang. Adapun rincian terdapat Bagian kelima paragraf 1 Tindak pidana terhadap informatika dan telematika yaitu Penggunaan dan perusakan informasi elektronik dan domain Pasal 373 : “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak kategori 4 setiap orang yang menggunakan dan/atau mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun tanpa hak, dengan maksud untuk memperoleh, mengubah, merusak,atau menghilangkan informasi dalam computer dan/atau sistem elektronik”. Bagian kelima pada paragraf 2 yaitu Tanpa hak mengakses komputer dan system elektronik Pasal 377 : “Dipidana dengan pidana penjara paling sebentar 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 4 dan paling banyak kataegori 5 setiap orang yang menggunakan dan/atau mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun tanpa hak, dengan maksud memperoleh mengubah, merusak, atau menghilankan informasi milik pemerintah yang karena status nya harus dirahasiakan atau dilindungi”. Bagian kelima pada Paragraf 3 yaitu Pornografi Anak Melalui Komputer Pasal 379 :”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan denda kategori 4 setiap orang yang tanpa hak melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi anak berupa”. 86 Berdasarkan draft RUU. Januari 2004 a. memproduksi pornografi dengan tujuan untuk didistribusikan melalui system computer b. menyediakan pornografi anak melalui suatu system komputer c. mendistribusikan atau mengirimkan pornografi anak melalui system computer d. membeli pornografi anak melalui suatu sitem computer untuk diri sendiri atau orang lain. e. Memiliki pornografi anak di dalam suatu system computer atau dalam suatu media penyimpanan data komputer BAB IV KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif Pengakuan alat bukti elektronik berawal dari perintisan oleh United Nation Commission On International Trade (UNCITRAL) yang mencantumkan dalam ecommerce model law ketentuan mengenai transaksi elektronik di akui sederajat “tulisan” di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan. Mengacu pada UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan tanda tangan atau bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang di tetapkan dalam undang-undang yang khusus mengatur soal transaksi elektronik87. Pasal 5 dan pasal 6 dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik menyatakan bahwa : Pasal 5 : 1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hokum acara yang berlaku di Indonesia. 3. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undng-undang ini. 4. Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak berlaku untuk: a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. 87 Didik M. Arief Mansur. dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi. h.110 Pasal 6 : Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam pasal 5 ayat (4) yang mengsyaratkan bahwa suatu inforamsi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhanya, dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadilan. Dalam peraturan diatas menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan media elektronik memiliki nilai yang sama dengan tulisan atau akta yang dibuat secara konvensional, sehingga pada prakteknya tidak dapat ditolak suatu bukti transaksi yang dilakukan secara elektronik.terlebih dari itu semua pemerintah selalu mempertegas akan konsepsi peraturan dalam dunia maya, yaitu dengan di rangcangnya undang-undang teknologi informasi memuat hal yang baru mengenai data elektronik, yaitu dengan mengakui data elektronik yang terdapat pada ruang maya. Hal ini dapat dilihat pada BAB I mengenai ketentuan umum, pasal 1 angka 16, yaitu : “Dokumen elektronik adalah stiap informasi yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam media magnetic, optikal, memori komputer atau media elektronik” Dalam transaksi elektronik yang berlangsung dengan menggunakan media elektronik, transaksi dilaksanakan tanpa tatap muka antara nasabah dengan bank, bukti atas transaksi yang dilakukan tersimpan dalam bentuk data elektronik yang terekam dalam sistem penyimpanan data computer. Mengenai alat-alat bukti dalam transaksi elektronik, Michael chissick dan Alistair kelman menyatakan ada tiga tipe pembuktian yang dibuat oleh Komputer, yaitu :88 1. 88 Real evidence (bukti nyata) Michael chissick dan Akistair kelman, “Electronic Commerce Law Practice” sebagaimana dikutip dari M arsyad sanusi, E-commerce: hukum dan solusinya, (Bandung :PT. Mizan Grafindo Sarana, 2001),hlm. 97-98 Real evidence atau bukti nyata ini meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui pengaplikasian software dan penerimaan informasi dari devise lain seperti jam yang built in, langsung dalam komputer atau remote sender, bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Jika sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai pemabayran pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan di gunakan sebagai sebuah bukti nyata. 2. Hearsay evidence (bukti yang berupa kabar orang lain) Termasuk pada hearsay evidence adalah dokumen-dokumen data yang diproduksi oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan (dimasukan) oleh manusia kepada komputer. Cek yang ditulis dan slip pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk hearsay evidence 3. Drived evidence Yang dimaksud dengan drived evidence adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nya (real evidence) dengan informasi yang diberikan oleh manusia ke komputer dengan tujuan untuk membentuk sebuah data yang tergabung. Contoh dari drived evidence adalah table dalam kolom-kolom harian sebuah statemen bank karena tebel ini adalah di peroleh dari real evidence (yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearsay evidence (check individu dan entry pembayaran lewat slip-paying) Berkenaan dengan hukum pembuktian dalam proses peradilan baik dalam perkara pidana maupun perdata, akibat kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi, ada suatu persoalan mengenai bagaimana kedudukan produk teknologi. Khususnya catatan elektronik, sebagai alat bukti, sebagai contoh, pengguna teleconference dalam persidangan oleh beberapa kalangan di pandang sebagai terobosan hukum atau penemuan hukum karena pengguna teknologi ini belum diatur dalam KUHAP. Namun keresahan diatas nampkanya hilang karena sudah disahkanya undang-undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang menguatkan bahwa alat bukti elektronik adalah sah di ajukan di persidangan. Di Indonesia ada sendiri terdapat putusan pengadilan yaitu putusan MARI Nomor 9/KN/1999, yang dalam putusanya hakim menerima hasil print-out sebagai alt bukti surat. Kemudian kasus pidana yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengetengahkan bukti e-mail (elektronik mail) sebagai salah satu alat bukti, setelah mendengar keterangan ahli bahwa transfer data melalui e-mail tersebut tidak terjadi tindakan manipulatif. Hakim memvonis terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara karena terbukti telah melakukan tindakan cabul berupa penyebaran tulisan dan gambar89 Berkenaan dengan korelasi diatas bahwa, hasil dari teknologi tinggi seperti microfilm, microfiche dan facsimile (bukan cap tanda tangan) sudah dianggap sebagai alat bukti tertulis dengan pertimbangan analog putusan MA 14 april 1976 tersebut kiranya microfilm, microfiche, dan facsimile dapat dianggap sebagai alat bukti tertulis. Kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti tertulis terletak pada 89 Data elektronik sebagai alat www.hukumonline.com/atikel_detail asp?id=8034 bukti masih di pertanyakan. Dalam <http: aslinya. Jadi salinan, foto copy dan microfilm haruslah sesuai dengan aslinya. Kalau aslinya hilang, maka faoto copy atau microfilm harus disertai dengan keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dari mana ternyata bahwa foto copy atau microfilm itu sesuai dengan aslinya. Dalam suratnya tanggal 14 Januari 1988 no 19/TU/88/102/pid keapada menteri kehakiaman, mahkamah agung mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP. Dengan catatan bahwa baik microfilm maupun microfiche itu sebelum nya dijamin keotentikanya yang dapat ditelusuri kemabali dari registrasi mauapun berita acara.90 B. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Islam Alvin toffler dalam bukunya, the third wave (1980) telah memprediksikan bahwa di era milenium ketiga, teknologi akan memegang peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ini akan mengimplikasikan berbagai perubahan dalam kinerja manusia91, Setelah kita mengetahui bagaimana alat bukti elektronik dalam pandangan hukum positif yang seudah mengukuhkan bahwa ternyata alar bukti elektronik itu sudah di tetapkan sebagai alat bukti yang nyata atau alat bukti yang sah di persidangan. Ini terlihat dari adanya kasus MARI Bomor 9/KN/1999, dan ditunjang 90 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. 2006),Edisi ke-7.Cet.ke-1.hlm.165 91 Toffler. Alvin, The Third Wave, (1980). Buku ini dikutip dari Abdul Gofur Anshari, pokokpokok hukum perjanjian islam diindonesia.(Yogyakarta:: Citra Media, 2006),hal.135 dengan banyak nya regulasi yang mengakomodir dan mendukung kekuatan alat bukti elektronik tersebut. Namun bagaimana kah dengan hukum islam. Apakah hukum islam dengan peradilanya mengakui adanya alat bukti elektronik? Menurut Abduh Malik dalam bukunya Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan Kuhp92, pada kasus perzinahan93 yang biasa terjadi dengan menggunakan kamera atau media elektronik lainya, kamera adalah sebuah perakam gambar dan suaru dengan menggunakan pita video/kaset, video atau dengan mnggunakan lempengan compact disc (CD). CD dapat direkayasa melalui komputer untuk berfungsi menjadi VCD. VCD terdiri dari video (alat perekam gambar) dan compact disk. Jadi VCD adalah alat perekam gambar dan suaru melalui kamera, gambar yang di peroleh melalui kaset video/VCD bias dilihat dengan menggunakan VCD player. Dengan demikian pengambilan gambar melalui pita video/kaset video dan VCD dengan menggunakan bantuan komputer dapat dibuat gambar palsu yang berbeda dengan kenyataan aslinya. Yaitu antara lain dengan pemotongan dan penyambungan gambar-gambar tertentu sehingga menghasilkan sesuatu yang lain.. karena itu diperlukan bantuan teknologi lain untuk mengetahui keaslian atau kepalsuan gambar yang dilihat. Jadi kebenaran gambar yang diperoleh amat bergantung kepada kecanggihan alat lain untuk meneliti kebenaranya. Dengan demikian tingkat kebenaran gambar yang diperoleh tidak cukup meyakinkan dan tidak lengsung bisa di percaya. Beliau menyimpulkan bahwa pembuktian dengan menggunakan VCD atau media elektronik lainya bisa di sahkan apabila sudah 92 Muhamad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 2003).hlm. 133 93 Zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan(perkawinan) meneliti terlebih dahulu dengan menggunakan alat elektronik yang lebih canggih. Dan hal ini bisa dilakukan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus dibidangnya. Dan ada satu instrumen lagi dalam pengkajian alat bukti tersebut yaitu harus sesuai dengan apa yang telah di syari’atkan oleh Nabi Muhamad SAW. Berbagai kasus perzinahan yang terjadi diruang maya(cyber space) terutama yang berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo, dan pelanggaran kesusilaan pelanggaran kesusilaan/percabulan/perbuatan tidak senonoh/zina. Semakin maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya berbagai istilah seperti: cyberphornography(khususnya child pornogrphy), on-line pornography, cyber sex, cyber saxer, cyber lover, cyber romance, cyber affair, on-line romance, sex only, cyber sex addict, cyber sex offender.94 Namun yang paling banyak digunakan dari istilah-istilah tersebut adalah cyber sex. Menurut Peter David Goldberg Cyber sex adalah pengguna internet untuk tujuan-tujuan seksual, senada dengan ini Dr. David Greenfield mengemukakan bahwa cyber sex adalah menggunakan computer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan sexsual. Dikemukakan juga olehnya, bahwa cyber sex dapat dipandang sebagai kepuasaan/kegembiraan maya, dan suatu bentuk baru dari keintiman.95 Patut dicatat bahwa hubungan intim atau keintiman (intimacy) itu dapat mengandung arti hubungan sexual atau perzinaan. 96 Menurut Dr.Abduh Mun’im (Ahli Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pembuktian telah terjadi atau tidaknya perzinahan melalui DNA pada 94 Barda Nawawi Arif., Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di Indoensia,.hlm. 177 . 95 Gloria G.Brame, boot up and turn on,1996. gloriabrame.com/glory/journ7.htm 96 Jhon M.Echols dan hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia,2000.hlm. 328 sperma yang ditemukan pada vagina mencapai mencapai 99.9% kebenaranya, karena DNA yang dimiliki seseorang tidak sama dengan dimilki orang lain, ada sfesifikasinya. Jadi pembuktian melalui ilmu kedokteran forensik dapat dikatakan hampir sama kuatnya dengan bukti melalui penglihatan mata telanjang secara tradisional. 97 Dalam hokum islam ada tiga konsep alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perselisihan atau jarimah dalam kasus cybercrime yaitu alat bukti petunjuk/qarinah, saksi/syahadah, dan tulisan/al-kitabat. Karena tiga hal tersebut bisa diajukan pada persidangan bila adanya kasus-kasus seperti cybersex, cyberteror, dan cybercrime. Pelakunya disebut hacker (pelaku tindak pidana memasuki jaringan system computer yang bersifat rahasia milik perorangan atau instansi pemerintah dengan cara melawan hukum) atau teroris (pelaku tindak pidana yang menyebarluaskan ancaman kepada masyarakat umum di seluruh dunia melalui system jaringan computer dengan cara melawan hukum). Untuk selanjutnya akan diterangkan lebih lanjut di bawah ini. 1) Kesaksian ()ا'!دة Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan cara yang lazim dan umum. Karena nya persaksian merupakan cara pembuktian yang sangat penting dalam mengungkapkan suatu jarimah. Dasar persaksian dalam firman allah swt : T*+UV RS M%Q 7 ( : ق,- ?[ )ا/XYFZ )☺W!7 97 .Malik. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP..hlm.139 “….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena allah..”(QS. Ath-Thalaq: 2) Dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dan pelukaan (penganiayaan), para fuqaha membedakan antara jarimah yang hukumanya badaniah, seperti qishas,dera, dan lain-lain dengan jarimah yang hukumanya maliah, seperti diat atau ganti rugi.98 Dalam hal kejahatan cybercrime alat bukti yang digunakan termasuk kepada klasifikasi hukumanya maliah yang menurut imam syafi’I dan imam ahmad, pembuktian untuk jarimah yang hukumanya maliah, seperti diat dan atau ganti rugi, bisa dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpahnya penuntut (korban) atau keengganan bersumpahnya terdakwa. Malikiyah berbeda pendapat dengan imam dengan imam syafi’I dan imam ahmad, mereka (malikiyah) membolehkan pembuktian untuk jarimah yang hukumanya maliah dengan saksi dua orang wanita ditambah dengan sumpahnya penuntut, sedangkan imam Syafi’i dan imam ahmad tidak membolehkanya. Alasan mereka (malikiyah) adalah bahwa dua orang perempuan dapat menggantikan seorang laki-laki dalam kedudukanya sebagai saksi dalam masalah harta benda. Karena itu maka dalam hukuman maliah dua orang perempuan juga bisa diginakan sebagai saksi untuk pembuktian tindak pidananya. Sedangkan menurut imam abu hanifah dan pengikutnya, untuk tindak pidana yang hukumanya maliah dapat digunakan dua orang saksi laki-laki, atau laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka tidak membolehkan digunakanya seorang laki-laki 98 Muslich, Hukum Pidana Islam,.hlm.232 ditambah dengan sumpah atau dua orang perempuan ditambah dengan sumpah, karena hal itu berarti menambah-nambah nas yang tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 282.99 Disamping itu Rasulullah saw, menyatakan dalam hadistnya: [ اﻥ23 ًP[ِ وَا3ّ5P[ ا23 ُ1ََ ا: ٍhِْ ﺵَدٍ ﺹgَِْ!َِ ﺏ2َِو... “….Dan diriwayatkan oleh al-baihaqi dengan sanad yang sahih : keterangan (saksi) adalah hak penuntut, sedangkan sumpah adalah haknya terdakwa (orang-orang ingkar)”100 Dan diantara saksi-saksi yang di klasifikasikan oleh Teungku Muhamad Hasbi Ash-Shiddiqie, yaitu adanya saksi penterjemah yaitu perkataan penterjemah dalam menerjemah kan perkataan sipenggugat atau sitergugat. Dalam penafsiran penterjemahan tersebut maka seorang penterjemah dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam perbuatan jarimah tersebut walaupun dalam hal itu harus mencari fakta-fakta yang tersembunyi. Dalam kitab Al-Asybah Wan Nadhair karangan Ibnu Nujaim, ada suatu kaidah: ً(َ2ْ- ِِ ْ ﺝ6ًPْلً اKF ًَ(ی “Diterima perkataan penterjemah secara mutlak” Dalam konsepsi hukum islam diatas maka dapat terlihat bagaimana seorang Micheal Chissiick dan Alistair kelman, menyimpulkan salah satu tipe pembuktian elektronik dari dari tiga tipe, yaitu tipe Drived Evidence. Hal ini terlihat bagaimana seorang sebagai penuntut (saksi) menuntut seseorang tergugat prihal sesuatu kejahatanya. Karena dia (saksi) mengetahui akan adanya kesalahan dalam kalkulasi dan/atau data komputer yang telah dibuat tergugat dengan cara melawan hukum. 99 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinayi Al-Islamiy,,hlm.318 100 Muhamad ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Al-Baby AlHalaby. 1960), hlm. 8 Dan dengan konsep penterjemah maka lebih ditekankan kepada bahwa suatu peristiwa yang di tuntutkan oleh penuntut itu benar adanya. Dengan cara melihat lebih dalam kasus tersebut bahkan penulis bisa mengsimpulkan bahwa penterjemah sebagai saksi ahli. Dalam kasus cybersex atau perzinaan dengan media elektronik. Dengan sendirinya hukum islam sangat detail dan ketat melihat kasus tersebut sehingga bila kita lihat dalam nash-nash Al-Qur’an bahwa harus adanya empat orang saksi yang melihat langsug masuk nya “ember ke dalam sumur” firman Allah SWT : Artinya :”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,”(surat An-Nuur, 24:4) Di Indonesia contoh kasus yang menggunakan saksi media elektronik dengan menggunakan (teleconference) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 547/Pid B/2003/PN Jkt Pst. 2) Petunjuk yang meyakinkan (T-F َْْ) اَْ(َ ِی Almajalah al-adliyah mempergunakan karinah sebagai bukti bahkan dia mentaklifkan karinah dengan: ِْ(اk5ََرَةًاَا`ًﺡVا “Tanda-tanda yang menimbulkan keyakinan” Apabila seseorang keluar dari sesuatu rumah kosong dalam keadaan takut dan gentar, sedang ditangan nya ada pisau yang berlumuran darah, kemudian masuklah kedalam rumah itu seseorang lain, lalu melihatnya sesuatu jenazah dari orang yang mati terbunuh, maka sedikitpun tidak diragukan lagi. Bahwa orang yang membunuh orang tersebut adalah orang yang memegang pisau tadi.101 Dari peristiwa contoh diatas sekiranya bila kita melihat di Indonesia suatu kasus yang sangat menyedot perhatian masyarakat dan media masa, yaitu kasus mutilasi dan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan, pria asal jombang ini telah membunuh 11 orang termasuk istri dan anaknya. Dari hasil penyelidikan oleh tim kepolisian bahwa setelah tersangka (ryan) membunuh heri (korban mutilasi), tersangka menggunakan kartu ATM korban, maka dengan itu polisi mendapatkan petunjuk bahwa pengguna kartu ATM itu adalah pembunuh heri. Dengan system perbankan maka diketahuilah bahwa ryan adalah seorang pembunuh berantai yang darinya telah hilang 11 nyawa. Ataukah adanya suatu alat bukti dari KPK prihal pembicaraan para koruptor dalam persidangan kasus skandal BLBI yaitu pembicaraan antara jaksa Urip trigunawan dengan Artalyta.dll Hakim selaku pemutus suatu putusan hukum harus jeli melihat suatu perkara diatas karena dalam hal karinah ini terpacu pada pertimbangan serta ‘uruf bagi masyarakat. Oleh karenanya karinah ini dinamakan: ِّ7 Tَالِ اK َایًْ أ\َﺡF “Karinah-karinah yang berdasar uruf masyarakat” Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang hingga akhirnya seluruh manusia berbondong membenahi konsep keilmuan dalam berbagai bidang pula, khusus nya dalam bidang teknologi prihal ini sesuai dengan zaman dan perkembangan pola pikir manusia. Dalam hukum islam suatu kasus spionase = Cyber 101 Ash Shiddiqie, Peradilan Dan Hukum Acara Islam..hlm.158 Espionage ternyata telah lebih dahulu ada yaitu dalam firman allah swt, surat alHujurat 12: )U * !'? @\]^Y , 8V U 5N⌧` )Ln l2 ETTH t' r f H t' *+Erf 0 l , )cddd@F 4J&] , #7 TJ /7 m0 *7 P Er f P L/)☺Lt{5%+%& lW pWD87 8%% Eb)% '? C#H P '? )HC > 3pb" Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”(surat AlHujurat, 49:12)) 3) Alat bukti tulisan (R6)ا Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tandatanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Pada masa sekarang ini adalah bukti otentik yang dianggap paling penting untuk membuktikan kebeneran dakwaan. Pada masa dahulu orang yang pandai menulis hanya sedikit oleh karenanya bukti tertulis ini tidak terlalu populer. Didalam syari’at islam sendiripun demikian, kurang dipergunakan bukti tertulis ini, terkecuali menghadapi persoalan-persoalan utang yang ditangguhkan. Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa membuat bukti tertulis, demikian pula mengadakan saksi, adalah hal yang dianjurkan saja bukan diwajibkan. Dalam pada itu Ath Thalabi dan Daud mewajibkan tertulis.102 Senada dengan ulama lain yang menyatakan bahwa 102 Ibid.hlm.156 bukti tulis bisa disahkan dalam pembuktian ini disampaikan oleh Ahmad ad-da’ur dan Sayyid Sabiq. Dan sesuai dengan perkembanganya pemikiran para ulama Mutaakhirin atas dasar ikhtisan, menerima bukti tertulis itu. Surat-surat atau tulisan, apa dan betapun bentuk, sifat dan isinya, tidak lain adalah karena dibuat oleh manusia. Baik sengaja ataupun tidak. Manusia hanya hidup sebentar, tetapi surat atau tuklisan bisa hidup ribuan, jika Allah dan RasulNya mengakui bahwa manusia hidup (saksi) adalah alat bukti maka tulisan atau suratnya tidak bisa tidak. Juga sebagai alat bukti. Jika kesaksian manusia diberikan dengan menggunakan akalnya lalu dicetuskan dengan lisan maka cetusan akal manusia ada pula yang terwujud dalam surat atau tulisan.103 Al-Qur’an memerintahkan untuk menulis kan transaksi dibidang muamalah yang tidak tunai.dalam surat Al-Baqarah 02:282 })U * \!'? Fv,]^Y , A/H Sf *U ,% %QH L/)LnLJ%& "=dv 427 Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(QS. Albaqarah.02:282) Rasulullah saw menyuruh tuliskan ayat Mushaf Al-Qur’an. Rasulullah saw membuat perjanjian Hudaibiah, perjanjian antara kaum muslimin dan musyrikin Mekah. juga tertulis, Sampainya Al-Qur’an dan Hadist kepada sekarang ini yang justru merupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran islam tidak lain melalui 103 Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama.hlm.145 tulisan. jadi cukup beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai alat bukti. Yang menjadi patokan adalah alat bukti tulisan atau surat tersebut tidak boleh mengorbankan hukum material islam. Bukankah hukum formil itu semata-mata mengabdi untuk kepentingan hukum materil. 104 Dalam sistem kearsifan yang menyatakan bahwa suatu informasi elektronik tetap diakui. Karena definisi kearsifan tidak pernah menyatakan arsif harus dalam bentuk tertulis dalam media kertas saja, tetapi dimungkinkan juga disimpan dalam media lainya.105 Dan berikut pula prosedur sistem perbankan modern saat ini seluruhnya menggunakan komputer sebagai petugas yang secara otomatis mendebet rekening nasabah (misalnya pengambilan lewat ATM atau pengambilan melalui cek dan giro) atau secara otomatis menambahkan bunga atas dana nasabah. Seluruh nya dicatat oleh komputer dan disimpan dalam bentuk file, dengan demikian, seluruh pembuktian kasus-kasus perbankan yang berkaitan dengan dana nasabah sangatlah mustahil didasarkan kepada dokumen aslinya, berbentuk kertas maka hanyalah cetakan file komputer pada bank yang bersangkutan dengan diterimanya rekening Koran tersebut sebagai alat bukti surat. Maka hal ini dapat menjadi dasar bagi penyidik untuk menggunakan cetakan file komputer sebagai bukti surat.106 Untuk contoh kasus di Indonesia dalam pembuktian tulisan yaitu kasus dengan pelaku Erick Jazier Adriansjah. Pelaku mengaku telah menyebarluaskan isu bahwa ada lima bank yang sedang mengalami krisis likuiditas, dengan cara demikian 104 Ibid.hlm.146 105 Didik M. Arief Mansur. dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi. h.111 106 Ibid.h.113 maka lima bank tersebut akan menjual saham-saham nya dengan harga murah dan itu dijadikan pelaku sebagai celah mendapatkan keuntungan107 C. Analisa Penulis Tentang Alat Bukti Elektronik Dalam pandanganya penulis memperkirakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti tulis atau sejenis tulisan itu hanya terdapat didalam kertas, atau tulisan tangan dengan tinta yang masih basah diatas lembaran-lembaran kertas. Namun semua itu ternyata keliru dalam pendefinisian tulisan dalam konsep hukum. Kertas seringkali dinilai dengan media yang terpercaya untuk menyimpan barang bukti (eviedence) yang dianggap sah dan sering kali pula dianggap sebagai media terpercaya untuk digunakan sebagai barang bukti yang sah (legal), Sementara itu. disisi lain teknologi pesan elektronik (elektronik message technology) diciptakan untuk membatasi terjadinya pertukaran dokumen-dokumen diatas kertas antar institusi dan sekeligus untuk meminimalkan pengguna kertas. Hal tersebut dapat terlihat dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1997, Tentang perusahaan Dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam microfilm atau media lainya Undang-Undang No 11 Tahun 2008 yang diatur dalam pasal 5 ayat (4) yang mengsyaratkan Bahwa suatu inforamsi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhanya, dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadilan dan Rancangan Undang-Undang Teknologi Infomasi. Dokumen elektronik adalah stiap informasi yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam media magnetic, optikal, memori komputer atau media elektronik. 107 Seputar Indonesia. Tanggal 17 November 2008 Dalam pada peraturan-peratarun tersebut ternyatakan bahwa alat bukti tulisan itu bukan hanya dalam bentuk kertas melainkan data yang masih tersimpan rapih dalam system computer con.flash disk, CDRW,Hardisk, dll Ada tiga jenis umum dokumen yang dapat digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, lebih khususnya di dalam transaksi-transaksi elektronik yaitu: 1. Dokumen hasil audit komputer 2. Dokumen yang berisikan pesan elektronik 3. Laporan statistik atau hasil analisis yang diperoleh dari hasil survey suatu komputer terhadap sejumlah data yang tersimpan didalam komputer. Keautentikkan adalah sifat dasar dan mutlak untuk dijadikanya barang bukti berupa dokumen didalam persidangan, barang bukti biasanya di artikan sebagai segala sesuatu yang menunjukkan, memperjelas, atau mengindikasikan kebenaran suatu fakta atau hal yang sedang di permasalahkan/disengketakan yang mempunyai sifat persuasife dan meyakinkan. Perihal tentang keotentikan suatu media elektronik dijadikan alat bukti elektronik adalah suatu hal yang mutlak adanya, dengan tanpa melampaui batas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dalam pembuktian surat. Pada dokumen elektronik keotentikannya bisa terlihat dari beberapa cara: a. Pesan dan dokumen yang berisi pesan tersebut haruslah terlihat sama seperti apa yang telah diklaim atau yang dikatakan. b. Keotentikkan pesan elektronik atau dokumen komputer yang lain dapat dibuktikan melalui kesaksian para saksi tentang keadaan diseputar pesan tersebut, atau bisa juga dengan cara mempertunjukkan (demonstrated) proses pembuktian pesan tersebut atau dokumen dan berikut pula para saksi untuk menjelaskan prihal: 1) Prosedur yang digunakan untuk memuat dan menyimpan atau melindungi dokumen tersebut 2) Mata rantai penyimpan data dan/atau dokumen setelah dokumen tersebut dibuat 3) Keotentikkan bisa dilakukan dengan cara melalui keterangan ahli penguji dokumen (document examiner) yang telah melakukan pengujian dan dinamis ilmiah Penulis berpandangan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu sama halnya dengan bukti nyata (real avidence) walaupun dengan itu harus melalu proses keotentik-kan suatu dokumen yang teknis nya sama saja dalam proses peradilan, yaitu dengan cara memperdengarkan keterangan para saksi, mendengarkan keterangan ahli, dan menunjukkan dokumen elektronik tersebut. Hingga dokumen itu sah adanya, dan sah dijadikan alat bukti berupa media elektronik. Hukum islam dalam prinsip pembuktian telah mempunyai beberapa konsep alat bukti, Namun bila kita melihat dalam suatu kasus cybercrime maka yang lebih mendekati untuk pembuktian dalam kasus tersebut adalah alat bukti tulisan/alkitabat, petunjuk/qarinah, dan saksi/syahadah. Dari tiga konsep di atas maka penulis beranggapan dengan dalil-dalil yang telah diperkuat dalam Bab-Bab sebelum nya. Bahwa ternyata tiga alat bukti tersebut secara dan meyakinkan untuk diterima di persidangan. Bukti yang harus di teliti secara mendetail ini tercantumkan dalam Al-Qur’an yaitu firman Allah surat Al-Hujurat ayat 6: 62َT7 [23 اK.67 ٍ2َ!Yـ ﺏKF اK.ُ@ اْ أنKّ67 ِgُ ﺏــ7 ْاْ إن ﺝءَآKیءاmّـn!kیـoَیــ {٤٩ : ١٦~ اتY}ا5َﻥ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS.Al-Hujuraat 49:06) BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengakuan alat bukti elektronik berawal dari perintisan oleh United Nation Commission On International Trade (UNCITRAL) yang mencantumkan dalam ecommerce model law ketentuan mengenai transaksi elektronik di akui sederajat “tulisan” di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan. Mengacu pada UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan tanda tangan atau bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang di tetapkan dalam undang-undang yang khusus mengatur soal transaksi elektronik. Yang selanjutnya apa yang dimaksud dengan alat bukti elektronik adalah alat atau upaya seseorang untuk menguatkan keyakinan hakim akan adanya suatu kebenaran dalam peristiwa yang sedang di adilkan dengan perantara media elektronik sebagai barang bukti yang disahkan. Pembuktian elektronik ini dapat kita lihat dari Undang-Undang No 11 Tahun 2008, tepat nya dalam pasal 5 ayat (1) “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Kasus yang pertama semenjak disahkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2008, ini adalah Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan nasabah. Pelaku terkena hukuman UU No 11 Tahun 2008 ITE dengan ancaman pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 (1) dengan hukuman maksimal enam tahun. Adapun kasus-kasus lainnya yang sudah ada sebelum disahkannya Undang-Undang tersebut adalah pemuda dari Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal “yahoo” yaitu dengan menjual mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA). Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id. Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu. 2. Para akademisi islam yang sah satunya adalah M. Abduh Malik, menyatakan bahwa alat bukti berupa elektronik adalah sah bila diajukan di persidangan, akan tetapi sebelum di persidangkan suatu barang bukti tersebut harus diteliti terlebih dahulu dengan alat yang lebih canggih. Dan tidak menutup kemungkinan barang bukti tersebut memerlukan kepastian dari seseorang penterjemah/saksi ahli, maka oleh karena itu selayaknya hukum islam melihat kemanfaatan yang diberikan oleh media elektronik dalam segala aspek kehidupan sampai kedalam rana-rana sistem peradilannya. Pembuktian dalam sistem hukum islam yang bisa di kategorikan untuk pembuktian elektronik adalah konsep alat bukti petunjuk/qarinah, seperti dalam kasus ryan, setelah ryan membunuh dam memutilasi korban (Heri) ryan langsung mengambil sejumlah uang dangan transaksi ATM. Maka setelah ryan mengambil sejumlah uang tersebut polisi mendapatkan pertunjuk bahwa pembunuh heri adalah ryan dengan cara melacak dengan sistem perbankan. Selanjutnya adalah saksi/Syahadat, melalui keterangan saksi maka akan didapatkan kebenaran yang nyata bahwa suatu peristiwa sudah benar terjadi walaupun pembuktian nya harus didapatkan dari media elektronik. Contoh kasus di Indonesia adalah pembunuhan Alda Risma, pelakunya tertangkap CCTV. Maka dengan bantuan saksi ahli telematika (Roy Suryo) yang menerangkan bahwa pembunuhnya adalah cen-cen pelaku tidak mengelak dan mengakui perbuatannya di persidangan. Dan terakhir dari konsep pembuktian elektronik dalam pandangan hukum islam adalah tulisan/al-kitabat dengan penafsiran tulisan secara menyeluruh dalam yaitu penulisan bukan hanya ditulis dengan tangan di atas kertas,melainkan tulisan yang dibuat oleh kalkulasi komputer. Maka alat bukti dapat dikatakan sah pembuktiannya di persidangan. Contoh kasusnya adalah Steven Haryanto, Dani Hermansyah dan Erick Jazier Adriansjah. Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa alat bukti dalam hukum islam dapat di kategorikan sebagai alat bukti elektronik dalam penerapan sistem peradilan adalah tiga konsep tersebut yaitu alat bukti petunjuk/qarinah, saksi/syahadat, dan tulisan/alkitabat. B. Saran-saran 1. Indonesia dengan system pradilannya mengandalkan peraturan kitab hokum acara pidana, HIR dan lainnya, ternyata sesuai dengan perkembangannya system hokum tersebut tidak bias diterapkan. Karena dalam kenyataanya hamper semua segi kehidupan sudah mengandalkan teknologi secabagi cara cepat dalam aktifitas kehidupan dunia, dan hal itu yang tidak ada dalam kitab hokum acara pidana di Indonesia. Dan perlu diketahui system ketentuan undang-undang mengatur tentang aktifitas elektronik itu baru lahir otomatis harus banyak persidapan oleh para penegak hokum, apakah dari sumber daya manusia nya, ataukah dari sarana dan prasarananya. 2. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai image perkembangan peradaban pemikiran dalam hal teologi, hokum islam dan yang lainnya, dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu banyak nya perselisihan yang menggunakan media elektronik itu harus diselesaikan dengan hokum syara’. Terlebih bilakita lihat dalam system perkembangan muamalat dalam hal ini perdagangan dan perbankan, yang mau tidak mau, suka tidak suka, dalam aktifitas nya harus selau menggunakan media elektronik dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan. Maka dari itu semua penulis berharap kepada setiap elemen jajaran birokrasi Universitas, terelebih dalam system pengajaran yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum untuk bisa mereflesikan hokum islam tersebut dalam rana mediasi elektronik yang tentunya dengan asas sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis. 3. Penulis mengingatkan “ Ilmu tidak dating dengan sendirinya, ilmu itu harus dikejar, Namun apabila ilmu sudah dipegang walaupun hanya dengan satu sentuhan, maka percayalah ilmu itu akan selalu ada dalam jiwamu. Tinggal bagaimana anda merawat ilmu itu selayaknya kamu merawat jiwamu”. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Tarjamah, Djambatan. 1978 Arif. Mansur. DKK. Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung : Refika Aditama. 2005 Asmawi. Fiagam Madinah, Dekalarasi Kairo Dan Maqậsid Al-Syari’ah,( makalah yang ditulis tentang Hak Asasi Manusia.), Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinayi Al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi, tanpa tahun) Ash-Shiddieqy Hasbi, TM. Al-Islam II,(Jakarta: Bulan Bintang, 1969), Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka Pelajar, 1998), Cet. Ke-II Dahlan, Aziz Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) Djajuli. A. Fiqh Jinayat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997 Endshaw, Assafa, Internet And E-Commerce Law; With A Focus On Aisa Fasific.(Singapore : prentice hall. 2001) Golose. Petrus Reinhard. kombes (pol) Drs. makalah, perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya di indonesia oleh polri Harahap, M. Yahya, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar grafika, 2000), cet. Ke-I Hasby Teungku Muhammad. Peradilan dan hukum acara islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001 Hamzah Andi. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Cet, ke-5. 2006 Ibrậhim, Abu Ishậk Al-Syậtibi , Al-Muwậfaqật Fi Usul Al-Syari’ah, Bairut : Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah,t.th, Ismail ibn Muhamad Al-Kahlani, Subul As-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Al-Baby Al-Halaby. 1960) Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1995). Madzkur. Muhamad Salam, Al-Qadha’u Fi Al-Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah AlArabiyah, tanpa tahun) Muslich Wardi Ahmad. Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika. 2005 Malik. Abduh Muhamad. Perilaku Zina, Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang. 2003 Makarim. Edmon Pengantar Hukum Telematika. Jakarta; PT Raja Grapindo Persada, 2005. Muhamad Tahir Ibn ‘Ấsyur, Maqậsid Al-Syari’ah al-islamiyyah,Kairo : Dar Al-salam, 1427 H/2006 M Mahmassany, Subhi, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380 H) Nawawi. Barda arif. Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Persfektif Kajian Perbandingan. Bandung : Citra Aditiya Bakti. 2005 Nawawi Barda Arief. Tindak Pidana Mayantara, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2006 Rasyid. Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada.cet krsembilan.2002 Ramli Ahmad M, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung, 2004 ; Refika aditama) Zuhali Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu, (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989), Juz VI Sabiq Sayyid, Fiqh Al-Sunah,(Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), Jilid ke-II Sanusi, Arsyad. DKK. Analisi Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik (Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana.(Badan pembinaan hukum nasional departemen kehakiman dan HAM RI tahun 2003. Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII Sabuan, Ansori,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1 Soimin Soedaryo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. Cet.ketujuh. 2007 Soesilo. R. RIB/HIR dengan penjelasan. Bogor : Politeia. Tanpa tahun Sudikno. Metrokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : liberty Yogyakarta. Edisi kelima.1998 Sanusi, M arsyad . E-commerce: hukum dan solusinya, Bandung :PT. Mizan Grafindo Sarana, 2001 Tresna R., Komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV KUHP dan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. Cetakan keenam. 2006 UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1997 Tentang Dokumen Perusahaan UNDANG-UNDANG NO 7 TAHUN 1971 Tentang Kearsifan UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik