kekuatan alat bukti elektronik dalam pandangan hukum islam dan

advertisement
KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK
DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Muhamad Hilmi Farid
NIM 104045101557
Di bawah bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
H. Zubir Laini, SH.
Sri Hidayati. M.Ag
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAM HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429/2008
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 02 Desember 2008
M Hilmi Farid
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufiqNya yang tak terhingga. Salam sejahtera semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, karya tulis ini dapat penulis rampungkan, bahagia bercampur haru
mengiringi atas karunia ini, yang tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati nan
dalam. Pertama penulis haturkan terimakasih dan sayang yang dalam buat abi H. OOM
ZAENAL ABIDIN. Alm. walaupun keras mendidik tapi penuh kasih sayang untuk terus
maju, seiring doaku akan selalu datang pada mu dan semoga Allah SWT menerima amal
ibadah abi. Amin
ucapan terima kasih kepada keluarga. Umi Hj. ACIH, kakak-kakaku: Teh Mumuf
& suami, Teh Ulfah & suami, A Emi, adik-adik: Idan dan Apid. Yang telah mendukung
moril dan imoril kepada penulis yang hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
pendidikan. Rasa terima kasih bercampur haru penulis kepada mereka tak bisa diwakili
dengan untaian kata-kata. Merekalah yang mengantar penulis hingga sampai pada suatu
tahapan ini.
Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih kepada rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. H. Komarudin hidayat, M.A.,
Dekan fakultas Syar’iah dan Hukum, prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H.,
M,A., M.M., beserta jajaranya yang telah memberikan bimbingan baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada penulis selama menjadi mahasiswa. Ucapan terima kasih
penulis kepada Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Asmawi M.Ag., dan Sekretaris
Program Studi Sri Hidayati M.Ag., yang telah tulus ikhlas meluang kan waktunya untuk
membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.
Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada H. Zoebir Laini SH dan Sri
Hidayati M.Ag., yang secara kritis dan sadar meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis dari tahap awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini. Melalui pena
dan pikiran beliau, penulis banyak memperoleh pelajaran-pelajaran berharga.
Terima kasih kepada Pengurus Perpustakaan Syariah dan Hukum, Pengurus
Perpustakaan Utama, yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan penulis.
Ucapan terima kasih ku pun sampaikan kepada para dosen yang dengan ikhlas
membekali penulis dengan ilmu pengetahuan. Dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan
terima kasih kepada teman-teman seangkatan yaitu PI-2004: Amin, Pay, Zaelani, Husni,
Nandez, Evi, Haris, Zulfah, Novi, Irna, Puti, Reva, Aziz, Ozi, Ricko, Johan dan tiga
bersaudara (Thomp, Vito dan Devison)
Terakhir penulis ucapkan, Semoga amal baik mereka semua diterima oleh Allah
SWT. amin
Ciputat, 20 Oktober 2008
21 Syawal 1429 H
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara alamiah manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang
tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya, secara alamiah pula manusia tidak
mungkin
dilepaskan dari
hukum
yang
tujuannya
adalah
menjaga eksistensi
keberadaannya. Bagi manusia, teknologi tanpa disertai dengan hukum akan berakibat
pada kekacauan (Chaos), yang pada giliranya akan merusak pada kehidupan manusia itu
sendiri. Sebaliknya hukum yang semata-mata membatasi kemajuan teknologi akan
memasung keberadaban manusia. Di sinilah perlunya keseimbangan antara hukum dan
teknologi.1
Perkembangan teknologi informasi yang melanda dunia dewasa ini tidak dapat
dihindari dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa perkembangan tersebut mempengaruhi
tatanan aktifitas manusia. Kurang diimbangi dengan pemahaman yang baik dan memadai
mengenai teknologi khususnya dalam perspektif hukum. Hal ini disebabkan, penekanan
yang digunakan dewasa ini sangat Technologie Minded (mengandalkan teknologi),
padahal idealnya kita harus melihatnya secara holistik dengan berbagai sudut pandang
tentunya, baik dari sudut teknologi, hukum, bisnis, maupun sosial. Sehingga transformasi
teknologi dan industri yang kita harapkan dapat terlaksana.
Internet dengan berbagai kelebihannya ternyata banyak pula diperdebatkan.
Perdebatan-perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya mengenai istilah-istilah
hukum yang terkait dengan telematika itu sendiri, pendekatan apakah yang digunakan
1
Lihat Hikmahanto Juana (guru besar ilmu hukum Fakultas hukum Universitas Indonesia) kata
pengantar ini dikutip dalam buku Kompilasi Hukum Telematika karya Edmon Makarim, Th 2005
untuk menjawab perdebatan-perdebatan semacam ini apakah pendekatan formulatif atau
aplikatif. Kemudian masalah pembuktian data elektronik, yang baru dikenal dalam sistem
hukum kita yaitu Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masalah
yuridiksi tentang pembajakan hak intelektual di internet dan permasalahan-permasalahan
lainnya.
Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia
lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce)2 yang
diprediksikan sebagai “bisnis besar masa depan”(the next big thing). E-commerce ini
bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju, tetapi juga telah
menjadi model transaksi termasuk Indonesia.3
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan
normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam
kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian,
tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang
berkaitan dengan kegiatan cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak
lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara. Aksesnya dengan mudah dapat dilakukan
dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik bagi pelaku internet maupun
orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana
kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian
merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik baru saja terakomodasi
dalam sistem hukum acara Indonesia. Dalam kenyataannya data yang dimaksud juga
2
3
E-commerce adalah perniagaan secara elektronik
Depkominfo. RI ”.Undang-Undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik”.
ternyata sangat rentan untuk diubah, di sadap, di palsukan dan di kirim ke berbagai
penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun
bisa demikian cepat. Teknologi informasi telah menjadi instrument efektif dalam
perdagangan global.
Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena
saat ini transaksi e-commerce (perniagaan secara elektronik) telah menjadi bagian dari
perniagaan nasional dan internasional.4 Contoh kongkrit adalah untuk membayar zakat,
atau berkorban pada saat Idhul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat
pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah
orang juga dapat membayar tidak dengan uang, tapi cukup dengan mendebit pulsa
telepon seluler melalui fasilitas SMS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di
bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukan
hak cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi.
Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat,
karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktifitasnya,
terutama dalam pemanfaatan informasi. Akan tetapi, fenomena tersebut dapat memicu
lahirnya berbagai bentuk konflik di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang
tidak bertanggung jawab.
Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikatagorikan sebagai tindakan
dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber sudah tidak pada
tempatnya lagi untuk mengkatagorikan sesuatu dengan ukuran kualifikasi hukum
4
Saat ini PBB melalui komisi khususnya, UNCITRAL, telah mengeluarkan 2 Guide Lines, yang
terkait dengan transaksi elektronik, yaitu UNCRITRAL Model Law On Lectronic Commerce With Guide
To Enactmen. 1996, United Nation Publication, NEW YORK, 1999, dan UNCITRAL Model Law on
Electronic Signature With Guide to Enactment 2001, United Nation Pubication. New York, 2002(di kutip
dari buku CYBER LAW Dan HAKI dalam sistem hukum Indonesia.karya Ahmad M Ramli)
konvensional untuk dapat dijadikan dan objek perbuatan, sebab jika cara ini yang
ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan
cyber sangat berdampak nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan
demikian subjek pelakunya harus diklasifikasikan pula sebagai orang yang telah
melakukan perbuatan hukum yang nyata.
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace,
pertama adalah pendekatan teknologi, kedua adalah pendekatan sosial budaya-etika, dan
ketiga pendekatan hukum.5
Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan,
terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi
komputer menyebabkan munculnya juga jenis kegiatan-kegiatan baru, yaitu dengan
memanfaatkan komputer sebagai modus operandi.6 Penyalahgunaan komputer dalam
perkembangannya menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, terutama kaitannya
dengan proses pembuktian tindak pidana (factor yuridis). Apalagi penggunaan komputer
untuk tindak kejahatan itu memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan
kejahatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional). Perbuatan atau
tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan
mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan
menggunakan komputer.
Kemudahan yang diperoleh melalui internet tentunya tidak menjamin jaminan
bahwa aktifitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman dan tidak melanggar
5
Ahmad M Ramli, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung, 2004 ;
Refika aditama).hal 3
6
Modus operandi menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah suatu hal yang melatar
belakangi tindakan, dimana adanya keterhubungan antara kejiwaan dengan perbuatan yang dilakukan
dikaitkan dengan keadaan sekeliling.
norma. Di situlah kita harus jeli dalam melihat permasalahan yang berkembang di dalam
masyarakat. Pengaturan cyberlaw Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan
negara-negara lain. Seperti di Asia Tenggara, Indoensia merupakan Negara yang baru
memiliki perundang-undangan yang khusus mengenai cyberlaw. Salah satu isu dari
cyberlaw yang semakin marak akhir-akhir ini adalah cybercrime atau kejahatan yang
memiliki keterkaitan erat dengan teknologi informasi. Kejahatan yang terjadi melalui
jaringan publik (internet) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari suatu dunia yang
tidak mengenal batas yurisdiksi. Kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime ataupun
computer cryme Indonesia sebenarnya masih dapat ditangani dengan perundangundangan pidana Indonesia yang masih berlaku (KUHP). Namun seringkali timbul
pertanyaan mengenai relevansi pengaturan tersebut dengan jenis tindak pidana yang
berkembang sekarang. Salah satu kasus lama di Indonesia yang masuk dalam ruang
lingkup kejahatan komputer yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 363 K/PID/1984
Tanggal 25 Juni 1984 mengenai penggelapan uang di bank melalui komputer. Perbuatan
pidana itu merupakan kerjasama antara orang luar dengan oknum pegawai BRI cabang
Brigjen Katamso Yogyakarta dari tanggal 15 September-12 Desember 1982, yaitu
dengan cara mentransfer uang melalui kliring, kemudian warkat kliring yang diterima
dari keliring tersebut oleh oknum pegawai BRI secara melawan hukum dan tanpa
sepengetahuan bagian kartu dibebankan pada rekening orang lain yang bukan ke rekening
yang tertulis pada warkat keliring dengan cara membukukan melalui komputer tanpa
kartu atau strook mesin. Perbuatan ini berlangsung 44 kali mencapai jumlah Rp.
815.000.000.00,- serta Rp. 10.000.000.00,- melalui validasi tunai tanpa dilakukan mutasi
atas kartu nasabah Nyonya Karlina. atas perbuatan tersebut Pengadilan Negeri
Yogyakarta dengan keputusannya Nomor. 33/1983/PID/PN tanggal 20 September 1983
menjatuhkan hukuman atas terdakwa bersalah melakukan perbuatan korupsi dan
menghukum penjara 10 tahun dipotong masa tahanan, harus membayar biaya
perkara Rp. 100.000.00,- Keputusan ini diperkuat oleh keputusan Pengadilan Tinggi
Yogyakarta Nomor 41/1983/Pid/PTy, Tanggal 6 Maret 1984 dan Mahkamah Agung
dengan keputusan Nomor. 363/K/PID/1984 tanggal 25 Juli 1984 menolak permohonan
kasasi yang diajukan jaksa karena hak permohonan kasasi telah gugur, disebabkan tidak
ada memori kasasi. Adapun landasan hukum penuntutan adalah Pasal 55 (1) jo. Pasal 64
(1) KUHP Pidana jo Pasal 1 (1a) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang pada intinya perbuatan tersebut dilakukan
bersama-sama antara terdakwa dan oknum pegawai BRI dan merugikan Negara.7
Perbuatan melawan hukum di dunia cyber sangat tidak mudah diatasi dengan
mengandalkan hukum positif konvensional, Indoensia saat ini baru mereflesikan diri
dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau Negara maju seperti
Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan
regulasi hukum cyber ke dalam hukum fositif nasionalnya.8
Salah saru implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah
pengaruhnya terhadap eksistensi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) disamping
terhadap bidang-bidang
lain seperti transaksi bisnis (elektronik) kegiatan e-
government(sistem informasi pemerintah), dan lain-lain, Kasus-kasus terkait dengan
7
Dikutip dari buku Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta; PT Raja Grapindo
Persada, 2005). hal. 418
8
Lihat Leonardo, Edmon,Ahmad M Ramli,Kimberley, Paul. “government of indonesia
information infrastructure development project (IIDP).,hal 170
pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainya
adalah contoh yang marak terjadi saat ini.9
Pembuktian tentang benar tidaknya melakukan perbuatan yang didakwakan,
merupakan bagian yang terpenting secara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia
dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan yang didakawakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai
keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan
untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas
dengan kebenaran formil.
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa
sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan, sistem atau teori
pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat.
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain,
menganut bahwa hakimlah yang menilai alat bukti yang di ajukan dengan keyakinan nya
sendiri dan bukan dari juri seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon, Di
Negara-negara tersebut, belakangan juri yang umum nya terdiri dari orang awam itulah
yang menentukan salah tidak nya seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin
sidang dan menjatuhkan pidana.10
Hukum pembuktian, yang tercantum dalam buku IV (keempat) dari Burgelijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengandung segala aturan
pokok pembuktian dalam perdata, pembuktian dalam BW semata-mata hanya
berhubungan dengan perkara saja, ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para
9
10
Ibid.,h. 4
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana. (Jakarta : Sinar Grafika. 2006), cet, ke-5. hal 245
sarjana hukum yang dapat dijadikan acuan, menurut Pitlo pembuktian adalah suatu cara
yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan
kepentingannya, menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakakn oleh
para pihak dalam dalam suatu persengketaan.
Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1867
KUHPer dikenal dengan pembagian katagori “tertulis” yakni : a) Akta otentik dan b)
Akta di bawah tangan.11 Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding
dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kakuatan, pembuktian formil,
pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini mengingat bahwa dalam pasal
1868 KUHPer dinyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk
undang-undang, oleh dan di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat
itu.(contoh akta jual beli tanah). dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik No 11 Tahun 2008, menyatakan akan keabsahan alat bukti yang bersifat
elektronik yaitu terangkum dalam Bab III pasal 5 ayat 1 : “Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah ”. dan
pasal 5 ayat 2 :” informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagamana dimaksud
pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
indonesia”. Dalam pada pasal itu ada yang membahas tentang “informasi elektronik
merupakan alat bukti yang sah” di sini dapat digarisbawahi bahwa yang merupakan alat
bukti yang sah dan mempunyai kekuatan seperti apa yang dimaksudkan dengan pasal
1868 tersebut yaitu sama dengan akta otentik, hal ini diperinci oleh pasal 16 ayat 1 point
11
ke-7
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata.(Jakarta : Sinar Grafika. 2007) cet
(b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik12 yaitu “Dapat melindungi
ketersediaan keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersbut“.
Pembuktian dalam hukum acara pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam
acara perdata, di mana dalam acara pidana pembuktian bersifat materil sedangkan untuk
acara perdata bersifat formil. Oleh karena itu, sekiranya dicurigai terhadap alat bukti telah
dipalsukan. Persidangan acara perdata akan menunggu diputuskanya dulu kasus pidana
tersebut, Dalam hukum acara perdata pembuktian formil yang dimaksud pada pokok nya
adalah cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan
hubungan hukum dari para pihak.
Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR yang macam nya sebagai berikut :
a. Keterangan saksi/kesaksian-kesaksian
b. Surat-surat
c. Pengakuan
d. Petunkuk/isyarat-isyarat13
Lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Alat-alat bukti14
yang dikenal hukum acara pidana adalah :
a. Surat
b. Keterangan saksi
12
Depkominfo. RI. UU NO 11 TAHUN 2008.h.11
13
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indoenesia,
(jakarta : Fadya Indah Mandiri, 2008).h.16
14
Alat bukti berbeda dengan barang bukti, dimana menurut acara pidana ada tiga katagori barang
bukti , yaitu : (a) barang yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana; (b) barang yang digunakan
untuk membantu terjadinya perbuatan pidana; dan (c) barang yang menjadi hasil perbuatan pidana.
c. Petunjuk
d. Keterangan ahli, dan
e. Sumpah 15
Sementara itu, untuk acara perdata pasal 164 HIR (Herizein Inlands Reglement),
atau RIB (Reglement Indonesia yang Diperbarui) staatsblaad 1941 No. 44 dan 1866
KUHPer adalah (a) Surat, (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Bukti saksi, dan (e)
Sumpah.16 Berdasarkan hal tersebut, Jika kita cermati keberadaan suatu informasi yang
dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem
tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir
sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem informasi yang baik, maka
secara tidak langsung akan dibedakan dengan dua jenis kekuatan pembuktian, valid dan
tidak valid, atau layak atau tidak untuk di percaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek
akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri, jika ia memenuhi kriteria standar,
sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, Sistem telah dapat dijamin
sebagaimana mestinya dan output informasi dapat dinyatakan valid dan outentik secara
substansial sehingga informasi tekstual tersebut dapat diakui di persidangan dan layaknya
diterima paling tidak sebagai alat bukti surat atau bukti tulisan.17
Dalam literatur bahwa ada kajian konsepsi berkaitan alat bukti pada zaman
sahabat Nabi dan yang dianut oleh para imam Mazhab yaitu yang berkaitan dengan
15
KUHAP dan KUHP. Jakarta : Sinar Grafika. 2006 cet, ke-6
16
R. Soesilo. HIR dan RIB dengan penjelasan.Bogor : Politea. Hal 121
17
241
Edmon makarim. Pengantar Hukum Telematika.(Jakarta, : Raja Grafindo Persada. 2005) hal
sumpah. Ada beberapa pendapat para ulama berkaitan akan sumpah yang di ucapkan oleh
tergugat yaitu :
Pertama.menetapkan, Bahwasanya sumpah itu adalah keterangan yang lemah,
tidak dapat menyelesaikan sengketa secara memuaskan kedua belah pihak. Karena itu
hakim boleh menerima saksi yang dapat di ajukan oleh si penggugat, sesudah sitergugat
bersumpah, Umar Ibn Al Khatab berpegang pada pandapat ini juga segolongan hakim
salaf.
Kedua. Pendapat Imam Malik, beliau membolehkan si penggugat mengajukan
saksinya untuk membenarkan gugatannya. Sesudah si tergugat bersumpah. Akan tetapi
dengan syarat, si penggugat tidak mengetahui ada saksinya sebelum dilakukan sumpah.
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama Syafi’iyah, seperti Al Ghazali.
Ketiga.Sumpah di anggap alat menyelesaikan perkara, maka tidak boleh
mendengar keterangan saksi sipenggugat sesudah si tergugat bersumpah, Karena sumpah
si tergugat telah membatalkan hak si penggugat, Karenanya tidak lagi diterima
kesaksianya. Pendapat ini dipegang oleh Ahluzh Zhahir, Ibnu Laila, dan Abu Ubaid.18
Kebanyakan perundang-undangan barat yang membolehkan sumpah mengambil
jalan tengah. Sesuai dengan mazhab Hanafi, yaitu dapat memenangkan si penggugat
apabila si tergugat tidak mau bersumpah. Tetapi pihak tergugat boleh meminta supaya
pihak penggugat bersumpah. Apabila terjadi hal yang demikian, maka si penggugat
dihukum benar. Tetapi apabila dia juga enggan bersumpah, maka gugatannya ditolak19
18
Ibid.hal 152-153
19
Ibid.hal 154
Ternyata pemerintah Indonesia dengan serius akan menindaklanjuti kesetiap
wibesite (situs informasi) untuk selalu menjaga norma-norma dan etika dalam
penggunaan fasilitas dunia maya (cyber space) ini terlihat dari berbagai situs-situs yang
oleh pemerintah Indonesia di blockir, dengan hal tersebut, banyak pengguna Internet
mengganggap situs resmi pemilik saham.
Salah satu konsep pembuktian dalam hukum islam adalah adanya alat bukti
petunjuk (karinah) dan keterangan saksi (syahadah). Dari teori tersebut akan terlihat jelas
bagaimana hukum pidana islam ternyata sudah mempunyai alur sistem pembuktian
hingga zaman kemajuan dalam teknologi.
Dalam berbagai kasus cybercrime di Indonesia seperti sejumlah pemuda dari
Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal “yahoo” yaitu dengan menjual
mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat
seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja
dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA).
Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun
penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah
nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id.
Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang
sedang berlangsung pada saat itu.20 Dan terakhir adalah kasus Erick Jazier Adriansjah
yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas
20
Petrus Reinhard Golose, perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya di Indonesia oleh
Polri. Buletin hukum perbankan, Vol, 4. Nomor 2, Agustus 2006.
dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan
nasabah. 21 Semua pelaku tersebut diatas ditangkap oleh kepolisian dengan petunjuk.
Dari berbagai permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk membahas
akan permasalahan tersebut dengan membuat sekripsi dengan judul. “KEKUATAN
ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berawal dari banyaknya permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang
perkara Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis membatasi ruang lingkup
skripsi ini hanya pada beberapa pokok masalah terpenting saja baik dari segi Normatif
yaitu : hanya membahas tentang kekuatan bukti-bukti elektronik yang tertuang dalam
Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum Islam, Serta peraturan
lain yang di anggap relevan, Maupun dari segi aplikasinya atau penerapan pasal-pasal
tersebut dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini.
Untuk mencapai hasil yang maksimal, perlu adanya rumusan-rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Pembuktian elektronik ?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik tersebut dalam hukum positif ?
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap alat bukti elektronik tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
21
Seputar Indonesia. Senin tanggal 17 November 2008.
1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan alat-alat bukti elektronik dalam
hukum positif dan hukum Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat-alat bukti elektronik dalam proses
peradilan serta dampaknya bagi kehidupan manusia
3. Memperoleh gambaran relevansi Normatif dari Perundang-undangan yang mengatur
masalah alat-alat bukti elektronik.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Segi Teoritis
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pandangan hukum
positif dan hukum Islam tentang alat-alat bukti Elektronik yang terus berkembang di
Indonesia.
b. Segi Praktis
Mengetahui bagaimana korelasi pasal-pasal dalam hukum positif dan hukum Islam
mengenai implementasi penerapan alat bukti elektronik diperadilan
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini berbentuk penelitian kualitatif yang memakai deskriftif
analisis
1.
Sumber Data
Penulisan skripsi ini merupakan penelitian kepustkaan (library research) yaitu
penelitian yang mengacu pada literatur-literatur dan referensi yang berkenaan dan
berhubungan dengan judul skripsi ini.
Adapun sumber data berupa bahan hukum yang digunakan penulis ini adalah :
a. Sumber data bahan hukum primer yaitu berupa kitab Al-Qur’an, Hadist, kitab
undang-undang hukum acara pidana.(KUHAP),Undang-Undang Informasi Dan
Transaksi Elektronik. .
b. Sumber data bahan hukum sekunder berupa makalah-makalah, artikel, jurnal,
dokumen-dokumen, dan referensi lainya yang berhubungan dengan masalah alatalat bukti Elektronik.
2.
Tehnik Pengumpulan Data
Penulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library reseach)
yaitu penelitian yang mengacu pada literatrue-literatur dan referensi yang ada lalu dibaca
dan ditelaah secara akurat untuk memperoleh sumber-sumber yang berkaitan dengan
skripsi ini.
3.
Metode Analisis Data
Setelah data-data yang diperlukan telah terpenuhi maka langkah berikutnya
adalah mengadakan identifikasi yang mengkaji secara analisis dengan menggunakan
pendekatan yang akurat yaitu :
a
Metode induktif yaitu metode berfikir yang bertitik tolak pada data-data yang
bersifat khusus, yang mempunyai kesamaan, kemudian diimplikasikan menjadi
kesimpulan yang bersifat umum.
b. Metode deduktif yaitu logika bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum
kemudian dijadikan titik tolak dalam menilai suatu fakta yang bersifat khusus dan
konkrit.
Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi yang disusun oleh. Tim Fakultas Syariah Dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.2007”
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai
berikut :
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika
penulisan.
BAB II Menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum
tentang alat-alat bukti elektronik,sistem pembuktian, dan alat-alat bukti dalam kaedah
hukum positif dan hukum islam .
BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pembuktian alat bukti
elektronik dalam perkara pidana, sekilas tentang elektronik, alat bukti elektronik, modus
operandi kejhatan dunia maya (cyber crime), penyidikan tindak pidana, dan berbagai
kebijakan/ peraturan alat bukti elektronik.
BAB IV Dalam bab ini penulis meguraikan kajian hukum yang berkaitan tentang,
Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif. Kekuatan alat bukti elektronik
dalam hukum islam, Pendapat para imam mazhab berkaitan dengan alat bukti elektronik.
Dan pendapat penulis berkaitan dengan kekuatan alat bukti elektronik.
BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran
BAB II
TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM POSITIF
1. Pengertian Pembuktian
Dalam rambu-rambu hukum, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting hukum
acara, sebab pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan
pembuktian yang ada, dalam hal ini hak asasi manusia di pertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal
tidak benar. Untuk inilah maka hakim harus mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hukum pembuktian.
Pembuktian berasal dari kata bukti, bukti menurut kamus besar bahasa
Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedang
pembuktian itu sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha
menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.22
Beberapa ahli hukum memberikan komentar berbeda-beda tentang arti
pembuktian, sesuai dengan pandangan mereka, di antaranya :
22
Tim Penyusun Kamus Pustaka dan Pengembangan Bahasa, kamus besar bahasa
Indonesia,(Jakarta: balai pustaka, 1988), cet. Ke-1, h.133
a. Menurut R, Subekti, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan.23
b. Menurut TM, Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang
dapat menampakkan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain. 24
c. Menurut A, Mukti Arto, bahwa yang dimaksud dengan membuktikan artinya
mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang
berlaku.25
2. Beban Pembuktian
Dalam hukum acara, pembagian pembuktian merupakan bagian dari dasar
hukum, pembuktian yang diatur oleh undang-undang, akan tetapi dalam pengaturan
undang-undang tidak banyak memberikan penjelasan secara mendetail, Namun
persoalan ini sangatlah penting untuk dipahami, karena menyangkut soal hukum di
pengadilan yang mengakibatkan batalnya putusan pengadilan, pembuktian dilakukan
para pihak dan bukan oleh hakim, hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak
untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan
pembuktian (bewijslast, burden of proof) 26
23
24
25
Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII,h.7
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Jakarta: bulan bintang, 1975), h.139
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka Pelajar,
1998), Cet. Ke-II, h. 135
26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta,
2006, Cet,Pertama, h.141
Beban pembuktian dalam hukum perdata, seperti dalam pasal 163 HIR (ps. 283
Rbg, 1865 KUHPer) dapat disingkat sebagai berikut: ”Siapa yang mengemukakan
sesuatu, mesti membuktikan”. Dengan dasar ini saja, tidak berbuat apa-apa. Pasal ini
mengatakan siapa yang mengatakan mempunyai hak, mesti membuktikan haknya itu.
dan siapa yang mengemukakan suatu peristiwa untuk menguatkan haknya atau untuk
membantah hak orang lain, mesti membuktikan adanya peristiwa itu..
Nampaknya. Penjelasan yang terdapat pada pasal 1865 tidak berbeda dengan
pasal 163 HIR yang mengatakan bahwa:
“Barang siapa yang mengatakan
mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk
meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.27
Atau pasal 1865 bahwa ”Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak,
atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah
suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang di
kemukakan itu”.28
Dari pasal-pasal di atas adanya suatu variable yang terkait yang menggaris
bawahi “Apabila ada suatu hak, atau apabila ada suatu peristiwa. Maka para pihak
harus membuktikan akan adanya semua itu di persidangan”.
Berbeda dengan beban pembuktian yang terdapat dalam hukum acara pidana
positif, yang harus diingat adalah adanya azas presumption innocence dalam hukum
acara pidana positif, yang secara tegas azas tersebut tercantum dalam UndangUndang Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004, pasal 8 :”Setiap orang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap
27
28
R.Tresna, komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.139
Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika. 2007),cet.
Ke- VI.h.463
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.29
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 66:
”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. 30
Hanyalah
merupakan penjelmaan azas “Praduga tak bersalah”.
Dengan demikian berarti bahwa beban pembuktian ini diletakkan di pundak
jaksa penuntut umum selaku pihak yang mendakwa. Jadi, pihak penuntut umumlah
yang mempunyai beban pembuktian, artinya ia harus membuktikan kebenaran tentang
apa yang tersusun dalam surat dakwaannya. Adapun yang harus dibuktikan adalah
semua unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada terdakwa.31
3. Macam-Macam Teori Pembuktian
Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenaranya. Sering dikatakan,
bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah
kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari
kebenaran materil, ini tidak berarti bahwa dalam perdata hakim mencari kebenaran
yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim
tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Jadi tidak
melihat bobot isi, akan tetapi kepada luas dari pada pemerikasaan oleh hakim32. Pasal
29
Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta
: CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5
30
KUHP dan KUHAP,(Jakarta : Sinar Grafika. 2006), cet ke-VI.h.226
31
Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.191
32
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
1998),cet.ke-1.edisi ke-5.h.138
178 ayat 3 HIR atau pasal 183 ayat 3 Rbg. Adapun pasal 178 ayat 3, HIR33 adalah :
“Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat,
atau memberikan lebih dari pada yang digugat”. Sedang bagi hakim pidana dalam
mencari kebenaran materil peristiwanya harus terbukti.
Dalam sistem pembuktian yang ada di Indonesia dalam setiap peradilanya,
setidaknya mempunyai teori-teori tersendiri dalam penamaannya. Atas berbagai teori
tersebut hingga para pakar sarjana hukum menyepakati bahwa ada beberapa sistem
dalam peradilan yang ada di Indonesia dan menjadi acuan prakteknya. Di antara dari
teori-teori tersebut adalah :
a. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Keberadaan dari sistem atau teori ini berasal dari pemikiran bahwa alat bukti
berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran.
Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah
melakukan perbuatan yang didakawakan. Oleh Karen aitu, bagaimanapun juga
diperlukan keyakinan hakim sendiri. Maka teori ini disebut juga conviction intime,
yaitu pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam
undang-undang.34
b
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “Keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam
sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi, yaitu keyakinan hakim harus didukung
33
R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya,(Bogor: politie),h.131.
34
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grfika. 2002), cet. Ke-II,h. 248
dengan “Alasan-alasan yang jelas”. Maka sistem ini disebut juga sebagai sistem
conviction raisonee, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa
yang mendasari keyakinan nya atas kesalahan terdakwa.35
c
Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang di
sebut undang-undang, disebut juga sistem atau teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan
kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh Undang-undang, maka keyakinan hakim
dalam sistem ini tidak diperlukan lagi. Dalam sistem ini disebut juga teori
pembuktian formal.36
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Negatif
Teori ini merupakan keseimbangan antara dua sistem yang saling bertolak
belakang secara ekstream. Dari keseimbangan tersebut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif “Menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu
sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undangundang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem itu, terwujudlah suatu
“Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusan berbunyi :
salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan
kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”. 37
35
M. Yahya Harahap, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar
grafika, 2000), cet. Ke-I, h.256
36
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,h.247
37
Ibid.,h.250
4. Sistem Pembuktian
Berbicara masalah sistem pembuktian dalam hukum acara postif, tidak terlepas
dari pembicaraan pembuktian, macam-macam bukti, dan kekuatan masing-masing
alat bukti itu. Begitu pula tidak terlepas dari teori sistem pembuktian yang ada. Oleh
karena itu, dalam uraian selanjutnya sedikit banyak akan dibicarakan kembali
mengenai sistem-sistem pembuktian yang telah dikemukakan di atas.
Untuk mencari dan menemukan kebenaran di sidang pengadilan, hakim harus
berpedoman pada pasal 183 KUHAP jo pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman
No 4 Tahun 2004 jo pasal 294 ayat (1) HIR tentang
pembuktian, yang masing-masing berbunyi:
Pasal 183 KUHAP berbunyi :“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukanya”. 38
Pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) berbunyi :“Tidak seorang pun
dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang di anggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.39
Pasal 294 ayat (1) HIR berbunyi :“Tiada seorang pun boleh dikenakan
hukuman, selain jika mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar
38
39
KUHAP dan KUHP.(Jakarta : Sinar Grafika. 2006),cet.ke-6.h.271
Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.(Jakarta
: CV. Eko Jaya, 2004), cet ke-1, h.5
telah menjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah
yang salah tentang perbuatan itu”.40
Dari bunyi pasal di atas, sama-sama menganut sistem “Pembuktian menurut
undang-undang secara negatif”. Perbedaan antara ketiganya, hanya terletak pada
penekanan saja. Pada pasal 183 KUHAP, syarat “Pembuktian menurut cara-cara
yang sah”. Berbeda dengan pasal 6 ayat (2) KUUKK (No 4 Tahun 2004) yang hanya
menyebutkan “Alat pembuktian” tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti yang
digunakan kemudian pada pasal 294 ayat (1) HIR yang selalu menekankan dasar
“Keyakinan hakim“ untuk memutuskan salah tidaknya seseorang tertuduh, meskipun
dengan pembuktian. Akan tetapi tanpa menyebutkan batas minimum alat bukti.
Dengan melihat ketentuan pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1) HIR
tersebut di atas, terkandung beberapa hal pokok, yaitu :
a.
Sekurang-kurang nya harus ada dua alat bukti yang sah menurut undangundang yang berlaku
b. Dan atas dasar alat bukti yang sah tersebut, hakim berkeyakinan bahwa
tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah. 41
Pengertian dari kata sekurang-kurang nya tersebut, di atas kalau di
hubungkan dengan alat bukti yang sah, seperti yang termaktub dalam psal 184 ayat
(1) KUHAP maka perkataan sekurang-kurang nya itu berarti merupakan dua di
antara lima alat bukti, yakni: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk,dan
Keterangan terdakwa.
40
41
R.Tresna, komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV,h.237
Andi Hamzah, Editor, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana,(Jakarta: Ghalia
Indonesia,1986),cet.ke-1,h. 86
Dengan sekurang-kurang nya alat bukti menurut sistem pembuktian yang
dianut KUHAP di negara Indonesia adalah negatief wettelijk. maka syarat tersebut
hanya memenuhi wettelijk saja. Sedangkan syarat negatifnya adalah keyakinan dari
hakim terhadap terdakwa, apakah tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa
benar-benar dilakukan terdakwa atau tidak. Jadi sangat tepat untuk membuktikan
tindak pidana di dalam sidang pengadilan, di samping memenuhi syarat sekurangkurang nya dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, harus ada keyakinan
hakim bahwa terdakwalah yang bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang
didakwakan. Serta tidak mengenal adanya alat bukti yang tersebut di luar undangundang. Hal ini dimaksud untuk menjaga dan melindungi hak-hak si terdakwa.
5. Alat-Alat Bukti
Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungan
nya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran
adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.42
Sebagaimana di uraikan terlebih dahulu, pasal 184 ayat (1) KUHAP telah
menentukan secara “limitatif“ alat bukti yang sah menurut undang-undang, di luar
alat bukti itu, tidak di benarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, terikat dan
terbatas hanya di perbolehkan mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya
42
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Perdata, Dan Korupsi Di Indonesia,
jakarta : FIM Jakarta, 2008. h.11
di luar alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana dan dibenarkan mempunyai
“kekuatan pembuktian”, alat-alat bukti tersebut dalah :
a. Keterangan saksi
Pada pasal 1 butir (27) KUHAP, yang menyatakan: “Keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu”.
Sedangkan pengertian keterangan saksi sebagai alat bukti, di jelaskan dalam
pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan;“keterangan saksi sebagai alat bukti
ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”
Kemudian dari kesaksian itu sendiri ada dua macam, yaitu saksi yang
kebetulan mengetahui dan saksi yang sengaja untuk menyaksikan suatu perbuatan.
Kesaksian harus terbatas kepada peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri,
mengetahui sendiri dengan mata kepala sendiri (ratio sciandi). Pendapat atau
persangkaan yang di peroleh secara berfikir (ratio concludendi), bukan merupakan
kesaksian.
b. Keterangan Ahli
keterangan ahli terdapat dalam pasal 1 butir (28) KUHAP, yang dimaksud
dengan keterangan ahli, adalah: “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Pengertian keterangan ahli ini, diperjelas lagi oleh pasal 120 KUHAP yang
berkesimpulan bahwa:“ keterangan ahli adalah orang yang memiliki keahlian
khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaikbaiknya”
Sedangkan keterangan ahli dinilai sebagai alat bukti, dinyatakan dalam pasal
186 KUHAP, yaitu: “keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan”.
Dari beberapa pemahaman tentang pengertian keterangan ahli dalam KUHAP
tersebut, maka bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli tersebut adalah untuk
menjelaskan tentang bukti-bukti yang ada, setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli-ahli lainya. Wajib
memberikan keterangan demi keadilan dengan mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya
menurut pengetahuan dalam bidang kehlianya. Hal tersebut terangkum dalam bunyi
pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c. Surat
Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tandatanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang
tidak memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran,
bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat.
Surat sebagaimana dalam 187 ayat (1) huruf c, ternyata dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : “Berita acara dan surat lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangan itu.”
Potret atau gambar, peta, denah, meskipun ada tanda-tanda bacaan, tetapi
tidak mengandung suatu buah pikiran atas isi hati seseorang. Itu semua hanya
sekedar merupakan barang atau benda untuk meyakinkan.43
d. Petunjuk
Menurut pasal 188 KUHAP bahwa petunjuk adalah :“Perbuatan, kejadian,
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya”.
Petunjuk bukanlah merupakan alat pembuktian yang langsung, tatapi pada
dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat pembuktian yang lain, yang
menurut pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari : Keterangan saksi,
Surat dan Keterangan terdakwa
Selanjutnya dalam ayat (3) dari pasal yang sama menekankan bahwa
penilaian atas kekuatan dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
e. Keterangan Terdakwa
Lain halnya dengan hukum acara pidana yang lama (HIR) yang mengenal
pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah, maka dalam KUHAP dipakai
istilah keterangan terdakwa, apakah perbedaanya?
43
H.Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), Cet.ke-IX,h.148
Menurut Ansori Sabuan, bahwa pengakuan terdakwa (bekentenis) ialah
pernyataan terdakwa bahwa ia melakukan tindak pidana dan menyatakan dialah
yang bersalah. Sedangkan keterangan terdakwa (erkentenis) tidak usah merupakan
pengakuan
bersalah,
pemungkiran pun dapat
dijadikan
bukti,
sehingga
pengertianya lebih luas dari pengakuan terdakwa.44
Hal ini serupa dijelaskan pula oleh Andi Hamzah, bahwa dalam pengakuan
terdakwa sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat yaitu:
1). Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan.
2) Mengaku ia bersalah
Dari kedua syarat inilah yang membedakan bagi keterangan terdakwa yang
memberikan arti lebih luas pengertiannya dari pada pengakuan terdakwa itu
sendiri.45
Kemudian dalam KUHAP secara definitif dijelaskan pada pasal 189 ayat (1)
yang menyatakan:“Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa menyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri”.
Jadi, keterangan terdakwa itu sebagai alat bukti harus dinyatakan di sidang.
Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dapat di
pergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya dan keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri.
44
Ansori Sabuan,Hukum Acara Pidana, (Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1,h.196
45
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grfika. 2002), cet. Ke-II,h. 273
Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti
yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan
berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat
bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang pasal 164 HIR,
284 Rbg, 1866 BW) ialah alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.
f. Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR dan 1867-1894 BW.
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
g. Pembuktian dengan saksi
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 19021912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan
secara lisan dan peribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang dipanggil di persidangan.
h. Persangkaan-persangkaan
Persangkaan-persangkaan diatur dalam pasal 164 HIR dan 1866 BW, dalam
penejelasan HIR 173 menguraikan tentang persangkaan, namun tidak memberi
perumususan apa yang dinamakan “persangkaan” itu, pasal itu hanya memberikan
ketentuan, bahwa persangkaan-persangkaan saja, yang tidak didasarkan atas suatu
undang-undang.hanya boleh diperhatikan oleh pada mempertimbangkan suatu
perkara, kalau persangkaan-persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan
bersesuaian satu sama lain.46
Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak lain adalah
alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada
ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan
membuktikan kehadiranya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan
demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat
menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.47
i.
Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174, 175, 176 HIR
dan 1923 -1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan
atau di luar persidangan.
Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis)
merupakan keterangan sepihak. baik tertulis maupun lisan yang tegas dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan. Yang
membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan
hukum
yang
diajukan oleh
lawannya,
yang
mengakibatkan
pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.
j.
Sumpah
Alat bukti sumpah di atur dalam pasal 155-158, 177 HIR dan 1929-1945
BW. Yang pada umum nya diartikan sebagai suatau pernyataan yang khidmat
46
47
Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, (Bogor: politie),h.127
Mertokusumo, Hukum
1998),cet.ke-1.edisi ke-5.h.177
Acara
Perdata
Indonesia.
(Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.
yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan
mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya. Jadi pada
hekekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan
dalam peradilan.
B.
TEORI PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ISLAM
1.
Pengertian Pembuktian
Dalam hukum Islam, pembuktian disebut juga "ٌ‫( ”اََِْت‬Al-Itsbat),48 yang
artinya membuktikan atau menetapkan adanya suatu peristiwa, Muhamad Salam
Madzkur mengartikan pembuktian dengan kata " َََِْ‫( " أ‬Al-Bayyinah),49 yang
artinya menjelaskan atau membuktikan, perbedaan tersebut adalah hanya karena
perbedaan ruang lingkup arti kata itu sendiri, di mana di satu pihak berarti umum
dan di pihak lain bersifat khusus, yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang
sama. Di dalam buku Ensiklopedi hukum Islam, kata bayyinah diartikan secara
etimologis berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menjelaskan yang hak (benar), sedangkan dalam istilah teknis, berarti alat-alat
bukti dalam sidang pengadilan.50
Selanjutnya Ibnu Al-Qayyim memberi definisi tentang al-bayyinah (‫)أ‬
atau pembuktian sebagai berikut:
48
Subhi Mahmassany, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380 H), h.
291
49
Muhamad Salam Madzkur, Al-Qadha’u Fi Al-Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah Al-Arabiyah, tanpa
tahun), h.83
50
Abdul Aziz Dahlan , Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.14
ُُ !ْ"َ‫اَََُْ إٌِْ ُِِ َ یَُُ ا وَی‬
Artinya :“Pembuktian adalah suatu nama bagi segala sesuatu yang dapat
menjelaskan perkara yang benar dan menampakkan nya”
Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim pun pada dasarnya tidak
menitikberatkan kepada alat-alat bukti, akan tetapi meliputi segala sesuatu apapun
wujudnya, maka dapat dianggap sebagai katagori alat bukti.
Sedangkan menurut Subhy Mahmassany bayyinah adalah sebagai berikut:
َِْْ‫َُِیْ!ُ اْ ُُ وَإَِْءِ اَِْ ََِْ َ َا‬# ُ‫َاَِْت‬
Artinya:“Pembuktian adalah mengemukakan alasan dan memberikan dalil
suatu perkara sehingga kepada meyakinkan”.
Pendapat Subhy Mahmassany tersebut sama dengan pendapat para ahli
hukum lainya bahwa pembuktian tidak terbatas pada alat-alat bukti tertentu,
hanya saja ia menambahkan harus dengan keyakinan hakim, keyakinan
menurutnya adalah “apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atau dasar
penelitian dari dalil-dalil itu”. 51
Dari uraian di atas dapatlah dikompromikan karena mempunyai tujuan
yang sama, sehingga antara definisi yang satu dengan yang lainya saling kuat
menguatkan, dan akan menghasilkan pengertian yang lebih sempurna, yang
berarti pembuktian adalah usaha menghadirkan keterangan mengajukan alasan
untuk menjelaskan yang benar dari suatu peristiwa hingga mencapai keyakinan
hakim tentang dalil-dalil yang diajukan ke persidangan. Sehingga masing-masing
pihak mempunyai hak yang sama dalam melakukan pertarungan hukum di muka
hakim.
2. Sistem Pembuktian
51
Mahmassany, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami,., h. 292
Terlintas dalam pikiran kita bahwa dari berbagai teori pada bab-bab
sebelumnya
yaitu tentang konsep teori pembuktian menurut hukum positif,
begitu lengkapnya hingga pada akhirnya yaitu tentang sistem pembuktian. Lalu
bagaimanakah dengan konsep hukum acara Islam ? Kalau kita amati bersama,
dalam hukum acara Islampun menganut sistem pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat dilihat dari beberapa
indikasi pada masa Rasulullah, sahabat dan para ulama, indikasi-indikasi tersebut
adalah:
a. bahwa ternyata seluruh alat bukti yang dianggap sah oleh fuqaha berorientasi
kepada memperkuat keyakinan hakim, untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
diuraikan alat-alat bukti yang mengarah kepada keyakinan hakim yaitu:
1) Kesaksian (‫)ا'!دة‬
pengertian persaksian, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zahaili adalah
sebagai berikut:
ِ‫َء‬2َْ‫ِ ا‬3َِْ4 ِ5 ِ‫َدَة‬%&‫ٌ ِﺏَ(ْ'ِ ا‬+َ ِ‫َدِقٌ ِِ َْت‬. ٌ‫َْر‬0ِ‫وَهَِ إ‬
“Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk
membuktikan suatu kebenaran dengan lafadz syahadat di depan
pengadilan”.52
Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan
cara yang lazim dan umum. Karena nya persaksian merupakan cara
pembuktian yang sangat penting dalam mengungkapkan suatu jarimah.
Dasar hukum untuk persaksian sebagai bukti terdapat dalam Al-Qur’an
dan As-Sunah. Dalam Al-Qur’an antara lain tercantum dalam:
52
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu, (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989), Juz VI.h.388
1. Surah Al-Baqarah ayat 282

!" 
./02" ()*+
, ' #$%&
;☺ #%789: 342
5%&
8 #)=>5%
C4DE% #7 *?@AB 5DIJ⌧L%& ☺FG/H
( : ‫ )ا( اة‬P +M
58NO ☺FG/H
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu, jika tidak ada dua orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang
lupa, seorang lagi mengingatkannya”.(QS. Al-Baqarah: 282)
2. Surah At-Thalaq ayat 2:
RS

M%Q
7
)☺W!7
T*+UV
( : ‫ق‬,-‫ ?[ )ا‬/XYFZ “….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena allah..”(QS. Ath-Thalaq: 2)
Sebagaimana diketahui kesaksian (ََِْْ‫ )ا‬merupakan alat bukti yang
bersifat personal (َِْ.ْ/0'‫)اَََْْ ا‬, oleh karenanya benar atau salahnya
keterangan yang dikemukakan para saksi, sepenuhnya diserahkan kepada
keyakian hakim. Dalam hubungan ini ada satu kaidah fiqhiyah yang
menyatakan:
“Pada dasarnya tidak dapat ditetapkan sesuatu yang disaksikan atau
diceritakan (oleh saksi), kecuali berdasarkan keyakinan atau dugaan yang
dipegang teguh oleh syara’ sesuai dengan dasar tersebut”.53
2) Petunjuk (َْْ‫) اَْ(َ ِی‬
Pengertian Qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
53
h.39
Jalal Al-Din Al-Sayuti, Al-Sybah Wa Alnadzair Fi Al-Furu’,( Mesir: musthafa muhamad,t.p.,),
ِ1َْ2َ3 ‫ُل‬5َ6َ7 ،ًِ:َ‫َهِ ٍَ @ُ(َِرنْ ﺵَ<ًﺥ‬C ٍ‫َ آُ أََرَة‬Eِ‫اَْ(َ ْیَْْ ه‬
“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu
yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya”.54
Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk
tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang
lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya
qarinah sudah dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukum nya. Salah
satu contoh qarinah dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang
perempuan yang tidak bersuami. Dalam jarimah syarbul khamr (meminum
minuman keras), yang dapat dianggap sebagai qarinah, misalnya bau
minuman keras dari mulut tersangka. Dalam tindak pidana pencurian,
ditemukanya barang curian di rumah tersangka merupakan suatu qarinah yang
menunjukkan bahwa tersangkalah yang mencuri barang tersebut.55
Petunjuk yang diketahui oleh hakim selam dalam sidang atau luar sidang
merupakan indikasi yang menguatkan keyakinan hakim. 56 Karena hanya
berdasarkan indikasai tersebut hakim tidak dapat mengambil keputusan
kecuali apabila ia telah yakin bahwa peristiwa itu telah terjadi. Hal ini sesuai
dengan definisi qarinah itu sendiri berupa “tanda-tanda untuk memperoleh
keyakinan”.
3) Pengakuan Terdakwa (‫ا ُر‬7ْ8َْ‫)ا‬
54
Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu.h 391
55
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,( Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I.h.244
56
Teori Pembuktian Menurut Fiqh Jinayat Islam, Penerjemah: Drs. Usman Hasyim, (Yogyakarta:
Andi Offset, 1984), Cet. Ke-1, h.96
Menurut arti bahasa adalah penetapan, sedangkan menurut syara’, pengakuan
didefinisikan sebagai berikut:
ِ 1ِ‫ِ َافُ ﺏ‬6ْ3ِْ‫َْ ﺡَ أًوِا‬3ُ‫َاَِﺥَْر‬Kُ‫ًه‬3ْ َ‫ﺵ‬...ُ‫ْ َار‬Fَِْ‫ا‬
57
“Pengakuan menurut syara adalah sesuatu pernyataan yang menceritakan
tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut”.
Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, Sunah,
dan Ijma’.adapun sumber dari Al-Qur’an
1. Surah An-Nisa’ ayat 135
!'?
@\]^Y
,
.ab)%! )L()*` )_
*
[? *?@ DcdeH f
7 *+Ddg(7 A/
 )% a) ( : ‫َء‬Mَْ‫)ا‬.... P .f
5!O
“ Wahai orang-orang beriman, jadilah kami oprang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu….”(QS.An-Nisaa’:135)
Penyaksian seseorang atas dirinya sendiri ditafsirkan sebagai suatu pengakuan
atas perbuatan yang dilakukannya.58
2. Surah Ali Imran
iY%N
h?
⌧%O7
QH
?☺%
8jWkC_ R0Y
lDJ
V
Llm%*
J*?!
qTrT
n@☺+p
☺w
3st=uv
3S)"
xpf
;_%Ll%
*+r
S%!
P
yLp^(5cu_
l% zr%O7
Tr"
5!7*
M{5H
*+ a%Q
PA/

S%! P ("
5!7 })* %!
*+r
T
(7 @%&
FYZ 8V
57
58
Abd al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy,Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi, t,tp.h.303
Muslich,hukum pidana islam,h.,.228
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi:
"Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah
Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada
padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya",Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami
mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan
Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".
Pengakuan yang dapat diterima sebagai alat bukti adalah pengakuan yang
jelas, terperinci, dan pasti. Sehingga tidak bisa ditafsirkan lebih kecuali
perbuatan pidana yang dilakukanya. Kejelasan dan rincian dari pengakuan
tersebut didasarkan kepada sunah Rasulullah saw, ketika beliau mengintrogasi
Ma’iz yang mengaku berzina dan mengulangi pengakuan nya itu sebanyak
empat kali, dalam introgasinya nabi menyatakan:
(‫رئ‬/‫ِ )روا ا‬U‫ْلَ ا‬Kَُ‫ یَر‬،V:َ‫َل‬F،َ‫ْتَ أَوْﻥَ"َ ْت‬OَPَQْ‫َ أَو‬Rْ2ََF َS02َTَ
“ Barangkali engkau hanya menciumnya, atau meremas-remasnya, atau
hanya memandangnya? Ma’iz menjawab: Tidak, ya Rasulullah”. (Hadist
Riwayat Bukhari)59
Selain persyaratan pengakuan di atas, selain itu untuk syarat sah nya
pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan tidak dipaksa (terpaksa),
pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang berakal dan
mempunyai kebebasan (pilihan).dengan demikian, pengakuan yang datang
dari orang gila, atau hilang akal nya, dan orang yang dipaksa hukum nya tidak
sah dan tidak dapat diterima.60
b. Bahwa dalam hukum Islam, terdapat prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam
menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana, prinsip ini menyatakan
59
Muhamad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salim, (Mesir: Maktabah Mustafa al-baby al-halaby.
1960), Juz IV.h.8
60
Muslich,hukum pidana islam,h.230
bahwa hukuman had harus dihindari manakala terdapat “keragu-raguan”. Hal
ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah.
G
ِ‫ُوْدَ ﺏِْ'ْ!َت‬5َ‫إِدْرَءُوْاُ ا‬
Artinya :“Hukuman had harus dihindari berdasarkan keragu-raguan” .
Pengakuan syubhat di sini adalah seluruh keadaan yang menyebabkan
keraguan-raguan bagi hakim untuk memutuskan perkara, baik ditinjau dari
segi maksud dilakukan tindak pidana (Xِ‫َﻥ‬Yْ‫ُ ا‬5ْ.َF), ataupun karena syaratsyarat yang ditentukan tidak dipenuhi. Seperti mendakwakan seorang berbuat
zina, berdasarkan bukti dua orang saksi saja. Sedangkan trdakwa tidak
mengakui dakwaan itu. Atau melakukan pencurian dalam keadaan kelaparan
merajalela atau melakukan pencurian harta milik orang hanya sendiri. Dalam
keadaan seperti ini, hakim tidak dapat menjatuhkan had melainkan
mengalihkan kepada hukuman ta’zir yang merupakan pendidikan bagi
mayarakat
3. Alat-Alat Bukti
Para ulama berbeda pendapat tentang alat-alat bukti yang harus ada dalam
setiap jarimah.yaitu perbedaan jumlah dan macam-macam alat buktinya, sebagai
berikut:
Menurut jumhur ulama untuk pembuktian jarimah qishash dan diat dapat
dipergunakan tiga cara (alat bukti) pembuktian yaitu: pengakuan (ُ‫ْ ار‬Fَْ‫)ا‬,
persaksian (‫)ا'!دة‬, dan sumpah (َََُMَ(َْ‫) ا‬
61
t.th),h.39
Jalal Al-Din As-Sayuti, Al-Asybah Wa Al-Nadzair fi al-Furu’,(Mesir: musthafa Muhammad.
Menurut sebagian fuqaha seperti ibn Al-Qayyim dari mazhab Hanbali,
untuk pembuktian jarimah qishash dan diat digunakan empat cara (alat)
pembuktian, yaitu: pengakuan, persaksian, sumpah dan petunjuk62
Menurut TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa “alat-alat bukti
yang berpokok dalam hujjah yang diperlukan dalam soal gugat menggugat ada
tiga yaitu: iqrar’(pengakuan), saksi, dan sumpah.63
Menurut mazhab Hanafi menyatakan bahwa: “alat-alat bukti ada lima,
yaitu: sumpah, pengakuan, penolakan sumpah, qasamah, bayyinah”, 64
Menurut ahmad ad-da’ur dalam kitabnya “Ahkam Al-Bayyinat”
menyatakan bahwa “alat-alat bukti yang diakui oleh nash Al-Qur’an dan AlHadist yaitu: pengakuan, sumpah, kesaksian, dan document-dokument tertulis
yang meyakinkan”.65
Menurut Sayyid Sabiq menyatakan bahwa “alat-alat bukti adalah: iqrar,
syahadah, surat-surat resmi yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.66
Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” menyatakan
bahwa “alat-alat bukti itu ialah : saksi, sumpah, nukul, pengakuan, atau sesuatu
yang tersusun dari salah satu bukti lain”.
62
Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy .h.,303
63
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan Dalam Hukum Acara Islam, (semarang: PT Pustaka Rizki
putra, 1997), Cet. Ke-I.h.136
64
Madzkur. Al-Qadha’u Fi Al-Islam,.h.74
65
Ahmad ad-da’ur, hukum pembuktian dalam islam, penerjemah syamsudin ramadlan, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah. 2007), h.7
66
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunah,(Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), Jilid ke-II, h.352
Demikian para ulama sengat variatif dalam mengungkapkan alat-alat
bukti tersebut, akan tetapi setelah membaca uraian beliau diatas dalam kitabnya
masing-masing, maka dapatlah disimpulkan bahwa dalam hukum acara islam
mengenal enam alat bukti. Sebagai berikut:
a.
Sumpah (َََُMَ(َْ‫)ا‬
Menurut bahasa arab arti qasamah sama dengan (ُ‫َل‬PَYْ‫ُْ وَا‬Mُْ‫ )ا‬yang
artinya bagus dan indah67, dan (ُِْPَ‫ )ا‬yang artinya sumpah.68 . namun dalam arti
secara istilah didefinisikan sebagai berikut.
6َ(‫َى ا‬Kْ3َ‫[ د‬7ُ ‫رَة‬0 َُPْ‫َنُ ا‬Pْ‫ََِهَ!َُ ا\َی‬Mَ(ِْ‫ُ َادُ ﺏ‬Pْ‫وا‬
69
Adapun yang dimaksud dengan qasamah disini adalah sumpah yang
diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan.
Hanafiyah mendefinisikan qasamah dengan menyatakan bahwa
“Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama
Allah SWT karena adanya sebab tertentu, untuk orang tertentu yaitu terdakwa
dan menurut cara tertentu”.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa qasamah adalah sumpah
diulang-ulang. Hanya saja siapa yang bersumpah masih di perselisihkan oleh para
fuqaha, Menurut Hanafiyah, sumpah dilakukan oleh penduduk tempat di
temukannya korban. Sedangkan menurut jumhur ulama menyatakan bahwa
sumpah dilakukan oleh keluarga korban.
67
Munawir Ahmad Wason, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta : Pondok Pesantren
Munawwir, 1984. h.1119
68
Muslich,hukum pidana islam .h.234
69
Abdullah bin Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Dar Al-Manar, 1368, Juz VIII,h.64
Al-
Abdul Qadir Al-Audah dan Wahbah Zuhaili membuat dafinisi yang
merangkum kedua pendapat tersebut. mengatakan : “Arti qasamah menurut istilah
para fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang di dalam dakwaan (tuntutan)
pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si terbunuh) untuk
membuktikan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan”.
Menurut Ar’rafi dan Imam Nawawi : “Sumpah itu adalah memastikan
sesuatu perkara atau menguatkan dengan menyebut nama Allah atau salah satu
sifatnya”.70
Menurut TM. Hasbi Ash Shiddieqy :“Sumpah ialah memperteguh
kebenaran sesuatu yang dimaksud dengan menyebut nama Allah atau sesuatu
sifat-sifatnya”.71
Adapun mengenai penyebutan nama Allah dalam sumpah yaitu dengan
menggunakan lafadz “ِ102ِْ‫( " ﺏ‬demi Allah)dan bukan lainya, hal ini mengingat
sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:
ْKُ:ِ2َْ@َV:ً3ْKُ7ْ َ ُ1ْ63 َU‫ ا‬Xِ]َ‫ِ هُ َیْ َةَ ر‬X‫َْ أﺏ‬3 ‫ئ‬M0‫ داوُدَوَا‬Xِ‫ِ< ِوَایٍَ\َﺏ‬7َ‫و‬
Artinya:“Dan pada riwayat abu daud dan nasa’I dari abu hurairah r,a.
marfu’: janganlah kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kelian atau
ibu-ibu kalian dan jangan pula dengan nama dewa-dewa, dan janganlah
kamu bersumpah dengan nama Allah kecuali kalau kalian sungguh-sungguh”.
b. Iqrar (pengakuan),
Iqrar menurut bahasa adalah "‫ "ات‬yang berarti penetapan atau
penemuan72, sedang iqrar menurut istilah:
70
Taqiuddin ad-Damsyki, Kifayah al-Ahyar II,(bandung: Al-Ma’rif, tanpa tahun), h.247
71
TM.Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam II,(Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h.176
َِ(َ6MُP‫ ا‬E7ْKََ‫ِ و‬1ِPُ‫ ﺡ‬Eِ7َ‫^ِ و‬:َ2ِ‫ُ(َ ِ ﺏ‬P‫ْ_ٍ ا‬:َ‫ ﻥ‬X2َ3 ِ َْ`2ِِ َ‫تِ ﺡ‬aُُْbِ‫اَ\َﺥَْرُ ﺏ‬
Artinya:
“Mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan
ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan, meskipun untuk masa yang akan
datang”
Sedangkan menurut Abdul Qadir Al-Audah, iqrar adalah:
cَ‫َْ ﺡ‬3ُ‫ِﺥَْر‬Vَ‫ا‬
Artinya:“Pemberitahuan tentang sesuatu yang hak”
Adapun mengenai istilah iqrar dalam Al-Qur’an tercantum dalam surat Ali
Imran ayat 81.
S%! Tr"
5!7* zr%O7
PA/
 *+ a%Q M{5H })* %! ("
5!7
Artinya:“….Allah berfirman: apakah kamu mengakui dan menerima
perjanjianku terhadap yang demikian itu? Maka mereka menjawab, kami
mengakui…”(Q.S. Ali Imran. 3:81)
Jadi iqrar adalah memberitahukan akan adanya hak orang lain pada diri si
pengaku, adapaun fungsi iqrar adalah menguatkan alasan qadhi untuk
menjatuhkan pidana kepada orang yang memberikan pengakuan itu sendiri, ini
berarti bahwa akibat dari adanya pengakuan itu tidak dapat melibatkan orang lain
yang tidak memberikan pengakuan.
c. Bukti tulisan (R6‫)ا‬
Di zaman sekarang ini, bukti tertulis tidak dapat diabaikan karena dalam
perkembangan nya tulisan menjadi alat bukti yang paling utama untuk
menjadikan adanya suatu perbuatan, dan untuk memberikan keyakinan kepada
hakim, oleh karena itu pada saat sekarang ini, alat bukti yang menggunakan
72
Wason, Kamus Arab-Indonesia,h.,1105
tulisan itu lebih diyakini kebenaranya dibandingkan dengan bukti lisan. Di dalam
Al-Qur’an telah disyaratkan urgensi dari bukti tulisan ini, firman allah:
d. Petunjuk (َ‫ ی‬F) 73
Menurut Subhi Mahmashani, definisi qarinah adalah:
(‫ّ َا‬5‫ ارة ا` ﺡ‬E‫ا( ی ه‬
“Qarinah adalah tanda-tanda yang sampai derajat
74
Artinya:
keyakinan”
Menurut wahbah zuhaili, definisi qarinah adalah:
ِ123 eّ567 ,0:‫َه ةِ @(رنُ ﺵ<ﺥ‬C ٍ‫ أرة‬eّ2‫ آ‬E‫ا( ی ه‬
Artinya:“Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang
menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan
kepadanya”
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu
qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
1) Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan
dasar dan pegangan
2) Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan
yang jelas (zhahir) dan yang samar (khafi)
Al-qur’an telah mengakui keabsahan atau kekuatan pembuktian dari alat
bukti berupa petunjuk ini, melalui firman :

€2Wa"
"t
S%!
#H ?F0t7 V €D€t⌧'
4Lr! ;r! yLpcuW☺%! \!⌧`
8
)rt
z%!=u%&
#!⌧` #H ‚ƒ .feY%+ 5LfW
;r!
yLpcuW☺%!
73
Wason, Kamus Arab-Indonesia, h.,1114
74
Mahmashani, Falsafah Al-Tasyri Fi Al-Islam, h.258
P
Zg^(
8 )rt z
f⌧%+%&
.!Yqu F⌧'
Artinya :
“Yusuf
berkata: “dia menggodaku untuk menundukan diriku
(kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan
kesaksianya: “jika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan yusuf
termasuk orang-orang yang dusta,dan jika baju gamisnya koyak di belakang,
maka wanita itulah yang dusta, dan yusuf termasuk orang-orang yang benar”
(Q.S. Yusuf. 12:26-27)
Namun para ulama memperselisihkan akan kekuatan alar bukti petunjuk
tersebut dalam tundak pidana pembunuhan dan penganiayaan, untuk jarimahjarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina.
Misalnya adanya qarinah kehamilan dari seseorang yang tidak bersuami. Dan
dalam tindak pidana syurbul khamr yaitu adanya bau dari mulut seseorang.
BAB III
PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA
B. Sekilas tentang alat bukti elektronik
Perkembangan dan penggunaan berbagai macam peralatan teknis oleh
manusia, memungkinkan mereka untuk melakukan beragam bentuk aktifitas secara
virtual (maya) mulai dari aktifitas hiburan, pendidikan, perdagangan, pemerintahan,
kemunikasi hingga penegakkan hukum, sesungguhnya bukanlah hal yang luar biasa.
Sejarah perkembangan teknologi informasi ini bertitiktolak pada terjadinya
revolusi industri revolusi di Eropa dengan diketemukanya telegram oleh Samuel
Morse pada tahun 1844 (yang kemudian hari demi hari berhasil menyatukan seluruh
wilayah Amerika Serikat melalui sebuah jaringan telegram nasional).75
Sejarah perkembangan teknologi juga diwarnai dengan adanya upaya hukum
untuk mengatur teknologi tersebut. Namun demikian sejarah perkembangan hukum
teknologi yang diartikan sebagai aspek-aspek hukum yang berhubungan dan
mengatur tentang teknologi belum menunjukkan makna yang berarti hingga
perkembangannya merkantilisme di Eropa Barat, terutama setelah pergantian abad
VIII dan terjadinya Revolusi di Inggris.76
Pada dewasa ini dampak perkembangan teknologi informasi (IT) telah memicu
munculnya berbagi respon hukum, dimana dampak perkembangan teknologi pada
umumnya telah memicu berbagi macam respon. Demikian pula halnya dengan
75
76
Ian J. Lioyd, Information Technology Law; (London : Butterworths. 2000) Third Edition.hlm.1
Arsyad Sanusi. DKK. Analisi Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik
Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana.(Badan pembinaan hukum nasional
departemen kehakiman dan HAM RI tahun 2003.
dampak perkembangan informasi dan berbagai respon hukum yang muncul
berkaitan dengan perkembangan teknologi tersebut. Dan tak dapat dipungkiri bahwa
berbagai macam permasalahan baru telah timbul sebagai akibat dari pengaruh
teknologi khususnya teknologi Informasi. Berbagai permasalahan tersebut terhadap
berbagai bidang. Yaitu :
Pertama, masalah sosial dan budaya. Hages dan Powers berpendapat bahwa
teknologi informasi telah merubah masyarakat dengan sangat cepat yaitu dengan
mengubah akar-akar kelembagaan masyarakat, termasuk aspek-aspek interpersonal
manusia yang paling mendasar baik di lingkungan kerja maupun di dalam keluarga.
Sementara Garson berpendapat bahwa teknologi informasi pada dewasa ini telah
menjadi lebih bersifat politis dibandingkan dengan teknologi-teknologi yang lain,
yang disebabkan Karena eratnya hubungan antara teknologi informasi dengan proses
keputusan. Garson juga mengingatkan tentang kemungkinan bahwa teknologi dapat
mengikis nilai-nilai demokrasi dan dapat memicu perkembangannya tirani dan
dominasi.
Kedua, masalah stabilitas financial dan keamanan . dampak kemajuan
teknologi terhadap seluruh aspek kehidupan manusia telah semakin luas sehingga
memunculkan berbagai potensi tatangan baru yang dapat mengancam individu,
perusahaan, maupun masyarakat pada umumnya, yaitu apabila teknologi-teknologi
baru tersebut disalahgunakan. Contoh terbaru yang dapat dikemukakan adalah
perkembangan teknologi electronic banking. Di Amerika Serikat Federal Bureau of
Investigation (FBI) mencatat bahwa kasus tindak kejahatan komputer pada tahun
1998 berjumlah 547 kasus, namun pada tahun 1999 angka tersebut mengalami
peningkatan tajam sehingga menjadi 1154 kasus. Serangan besar-besaran yang
dilakukan para hacker dan diarahkan ke berbagai portal, website dan perusahaan
yang berbasis di Amerika Serikat telah mengakibatkan para penyedia akses layanan
internet menolak memberikan akses internet selama beberapa jam, di mana masalah
ini mencapai puncaknya pada tanggal 8 dan 9 Februari 2000.
Ketiga, masalah pengelolaan dan eksploitasi informasi perkembangan dan
kemajuan yang dicapai bidang teknologi informasi (misalnya dalam hal transmisi,
penyimpanan dan pemerosesan teks, suara, gambar, atau bentuk-bentuk data yang
lain) termasuk-Teleconference-telah merubah apa yang selama ini dianggap tidak
mungkin dilakukan di dalam konteks realis, menejemen informasi. diperkenalkannya
metode digital dan penggunaan media-media elektronik telah memberikan sejumlah
keuntungan dan manfaat. Namun di sisi yang lain juga telah memunculkan berbagai
macam masalah baru yang sama sekali belum pernah dialami pada masa-masa
sebelumnya.77
C. Alat Bukti Elekronik
Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari keadilan), adalah
alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk
meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang
memeriksa perkara. Alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa di pergunakan
oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti tersebut diperlukan oleh pencari
keadilan maupun pengadilan.78 Suatu persengketaan atau perkara tidak bisa
77
78
Ibid.,hlm. 28
Rohan. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2002),cet.ke-9.hlm.144
diselesaikan tanpa adanya alat bukti, artinya kalau gugatan penggugat tidak
berdasarkan alat bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi
dengan menolak gugatan karena tidak terbukti.
Sistem pembuktian di era teknologi informasi sekarang menghadapi tantangan
besar yang memerlukan penanganan serius, khususnya dalam kaitan dengan upaya
pemberantasan kejahatan dunia maya (cybercrime). Hal ini muncul karena bagi
sebagian pihak jenis-jenis alat bukti yang selama ini di pakai untuk menjerat pelaku
tindak pidana tidak mampu lagi dipergunakan dalam menjerat pelaku-pelaku
kejahatan di dunia maya (cybercrime).79
Sementara itu, pesatnya teknologi informasi melalui internet telah mengubah
aktivitas-aktivitas kehidupan yang semula perlu dilakukan secara kontak fisik, kini
dengan menggunakan cyberspace, aktivitas keseharian dapat dilakukan secara virtual
atau maya. Masalah pelik yang dihadapi penegak hukum saat ini adalah bagaimana
menjaring cybercrime yang mengusik rasa keadilan tersebut dikaitkan dengan
ketentuan pidana yang berlaku.
Dalam hukum acara pidana, dikenal 5 (lima) alat bukti yang sah sebagaimana
diatur dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP. Di luar alat-alat bukti ini, tidak dibenarkan
dipergunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim
ketua sidang. Penuntut umum, Terdakwa atau Penasehat hukum terikat dan terbatas
hanya di perbolehkan mempergunakan alat-alat bukti ini saja. Mereka tidak leluasa
mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang di tentukan
79
Didik M. Arief Mansur. dan Elisatris Gultom. Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi
Informasi.(Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 97
dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP, sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan
sebelumnya.
Dalam pengungkapan suatu perkara pidana, paling tidak ada tiga hal yang tidak
dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau validitas suatu putusan pengadilan,
yaitu: sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara, alat bukti dan kekuatan
pembuktian, serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang dihadirkan
dalam persidangan. Sehingga membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim
tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, baik dalam hukum acara perdata maupun
dalam hukum acara pidana, pembuktian memegang peranan sentral80
Lalu bagaimanakah dengan alat bukti elektronik. Bisakah dijadikan sebagai
alat bukti yang sah? Dalam undang-undang No 8 Tahun 199781 tentang dokumen
perusahaan telah mulai menjangkau ke arah pembuktian data elektronik,
walau
undang-undang ini tidak mengatur masalah pembuktian. Namun melalui undangundang ini, pemerintah berusaha mengatur pengkuan atas microfilm dan media lainya
(alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan
yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan,
misalnya Flash Disk, Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM) dan Write-OneRead-Many(WORM)82 yang diatur dalam pasal di bawah ini.
Pasal 12 undang-undang dokumen perusahaan tersebut berbunyi sebagai
berikut:
1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam microfilm atau media lainya
80
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika Divisi Perguruan Tinggi,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003),h.419
81
82
<http://www.budi.insani.co.id>
Undang-Undang Dokumen Perusahaan No 8 Tahun 1997,(Jakarta: PT Sinar Grafika)
2) Pengalihan dokumen perusahaan kedalam microfilm atau media lainya
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan sejak dokumen
tersebut dibuat atau diterima oleh perusahaan yang bersangkutan.
3) Dalam mengalihkan dokumen perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1, pimpinan perusahaan perusahaan wajib mempertimbangkan
kagunaan naskah asli dokumen yang perlu tetap disimpan karena
mengandung niai tertentu demi kepentinan perusahaan atau demi
kepentingan nasional.
4) Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan kedalam microfilm atau
saranan lainya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan hukum
pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu,
pimpinan perusahaan wajib tetap menyimpan naskah asli tersebut.
Ternyata dalam perkembangannya pemerintah memfokuskan bahwa pentingnya
pengaturan terhadap transaksi dalam dunia maya (cyber space), oleh karena itu
pemerintah mengesahkan undang-undang yang berkaitan terhadap pengawasan,
aktivitas dunia maya tersebut dengan mengeluarkan kebijakan baru dengan UndangUndang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik83. Yang
menguatkan bahwa alat bukti elektronik itu sudah bisa untuk di jadikan alat bukti
dalam peradilan Indonesia.
Seperti dalam dalam pasal 1 ayat 1 :
“Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenis nya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi:
“Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat ditampilkan, dan/atau didengar melalui
computer atau system elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat di pahami oleh orang
yang mampu memahaminya”.
83
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transsaksi Elektronik,
Depkominfo, Republik Indonesia
Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi: “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”
C. Modus Operandi Dalam Kejahatan Dunia Maya (CyberCrime)
Dewasa ini perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat
mengkhawatirkan mengingat tindakan carding, hacking, cracking, phising, booting,
viruses, cyberquating, perjudian, penipuan, terorisme, dan penyebaran informasi
deskruktif telah menjadi bagian aktivitas pelaku kejahatan di dunia maya. Dari
perbuatan-perbuatan di atas dapat digolongkan dalam modus operandi pelaku,
mengapa pelaku berbuat kriminal demikian.
Modus operandi menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah suatu hal yang
melatar belakangi tindakan, di mana adanya keterhubungan antara kejiwaan dengan
perbuatan yang dilakukan dikaitkan dengan keadaan sekeliling.
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis
komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk
sesuai modus operandi84 yang ada, antara lain:
1. Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu system
jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik
system jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker)85
melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan
84
Golose. petrus reinhard. perkembangan cybercrime dan upaya penanganannya
di indonesia oleh polri. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29 Volume 4 Nomor 2, Agustus
2006
85
Hacker adalah seseorang yang mampu dan dapat memprogram jaringan serta mempelajari
system jaringan.
rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang
untuk mencoba keahliannya menembus suatu system yang memiliki tingkat proteksi
tinggi.
Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pasal 31 ayat (1) : ”Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dalam suatu
komputer dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain”.
Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi Internet/intranet.
Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor-Timur sedang hangat-hangatnya
dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak
oleh hacker (Kompas, 11/08/1999) Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil
menembus masuk kedalam data base berisi data para pengguna jasa America Online
(AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang e-commerce
yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs
Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker,
yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya
(http://www.fbi.org)/.
2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang
sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau
mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong
atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal
yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan
rahasia Negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan
sebagainya. Dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 pasal 7 ayat (1): “Setiap orang
dengan sangaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau elektronik dokumen yang
memiliki muatan yang melenggar kesusilaan”.
3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting
yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya
ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi
"salah ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan
memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja di salah gunakan.
Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pasal 32 (1) :”Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah,
menambah,
mengurangi,
melakukan
memindahkan, menyembunyikan
transmisi,
merusak,
menghilangkan,
suatu informasi elektronik dan atau dokumen
elektronik orang lain yang tidak berhak”.
4. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan
kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer
(computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap
saingan bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam
suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan komputer): UndangUndang
No
11
Tahun
2008
pasal
31
ayat
(1)
:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dalam suatu komputer dan/atau system elektronik tertentu milik orang lain”
5.
Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan
ini
dilakukan
dengan
membuat
gangguan,
perusakan
atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer
yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan
menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu,
sehingga data, program computer atau sistem jaringan komputer tidak dapat
digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang
dikehendaki oleh pelaku. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 pasal 33:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apapun yang berakibat terganggunya system elektronik dan atau
mengakibatkan system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya”.
6.
Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki
pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs
milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata
merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya. Dalam Undang-Undang No 11
tahun 2008 pasal 31 (2) : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau
system elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan
apapun manapun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang di
transmisikan”.
7.
Infringements of Privacy
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang
tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang
apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil
maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit
tersembunyi dan sebagainya. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Pasal 35
:”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan atau
dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
D. Penyidikan Tindak Pidana kejahatan cyber crime
Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1 angka
13 penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Dalam memulai penyidikan tindak pidana Polri
menggunakan parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang
dikaitkan dengan segi tiga pembuktian/evidence triangle untuk memenuhi aspek
legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi. Adapun
rangkaian kegiatan penyidik dalam melakukan penyidikan adalah.
1. Penyelidikan
Tahap penyelidikan merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik
dalam melakukan penyelidikan tindak pidana serta “tahap tersulit dalam proses
penyidikan” mengapa demikian?. Karena dalam tahap ini penyidik harus dapat
membuktikan tindak pidana yang terjadi, serta bagaimana dan sebab-sebab tindak
pidana tersebut, untuk dapat menentukan bentuk laporan polisi yang akan dibuat.
Informasi didapat dari NCB/Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau
laporan dari negara lain yang kemudian diteruskan ke Unit cybercrime/satuan yang
ditunjuk. Dalam penyelidikan kasus-kasus cybercrime, modusnya seperti kasus
carding, metode yang digunakan hampir sama dengan penyelidikan dalam menangani
kejahatan narkotika terutama dalam undercover(penyamaran) dan control delivery
(kebebasan terkontrol). Petugas setelah menerima informasi atau laporan dari
Interpol, yang dirugikan melakukan koordinasi dengan pihak yang mengirimkan
untuk melakukan pengiriman barang. Permasalahan yang ada dalam kasus seperti ini
adalah laporan yang masuk terjadi setelah pembayaran barang ternyata ditolak oleh
bank dan barang sudah diterima oleh pelaku, di samping adanya kerjasama antara
carder dengan karyawan shipping sehingga apabila polisi melakukan koordinasi
informasi tersebut akan bocor dan pelaku tidak dapat ditangkap sebab identitas yang
biasanya dicantumkan adalah palsu. Untuk kasus hacking atau memasuki jaringan
komputer orang lain secara ilegal dan melakukan modifikasi (deface), penyidikannya
dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal pembuktian. Banyak saksi
maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, belum lagi
kendala masalah bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi, dan
kode-kode digital yang membutuhkan SDM, serta peralatan komputer forensik yang
baik. Dalam hal kasus-kasus seperti situs porno maupun perjudian para pelaku
melakukan hosting/pendaftaran di luar negeri yang memiliki yuridiksi yang berbeda
dengan negara Indonesia sebab pornografi secara umum dan perjudian bukanlah suatu
kejahatan. Di Amerika dan Eropa walaupun alamat yang digunakan berbahasa
Indonesia dan operator daripada website ada di Indonesia, sehingga kita tidak dapat
melakukan tindakan apapun terhadap mereka sebab website tersebut bersifat universal
dan dapat di akses di mana saja.
2.
Penindakan
Dalam penangkapan tersangka sering kali polisi tidak dapat menentukan secara
pasti siapa pelakunya, karena mereka melakukannya cukup melalui komputer yang
dapat dilakukan di mana saja tanpa ada yang mengetahuinya sehingga tidak ada saksi
yang mengetahui secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh hanya dapat
menemukan IP Address dari pelaku dan komputer yang digunakan. Penyitaan barang
bukti banyak menemui permasalahan karena biasanya pelapor sangat lambat dalam
melakukan pelaporan, hal tersebut membuat data serangan di log server sudah
dihapus biasanya terjadi pada kasus deface, sehingga penyidik menemui kesulitan
dalam mencari log statistik yang terdapat di dalam server sebab biasanya secara
otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban server. Hal ini
membuat penyidik tidak menemukan data yang dibutuhkan untuk dijadikan barang
bukti sedangkan data log statistic merupakan salah satu bukti vital dalam kasus
hacking untuk menentukan arah datangnya serangan.
3. Pemeriksaan
Pemeriksaan terhadap saksi dan korban banyak mengalami hambatan, hal ini
disebabkan karena pada saat kejahatan berlangsung atau dilakukan tidak ada satupun
saksi yang melihat (Testimonium De Auditu). Mereka hanya mengetahui setelah
kejadian berlangsung karena menerima dampak dari serangan yang dilancarkan
tersebut seperti tampilan yang berubah maupun tidak berfungsinya program yang ada,
hal ini terjadi untuk kasus-kasus hacking Untuk kasus carding, permasalahan yang
ada adalah saksi korban kebanyakan berada di luar negeri sehingga sangat
menyulitkan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan untuk dimintai keterangan
dalam berita acara pemeriksaan saksi korban. Apakah mungkin nantinya hasil BAP
dari luar negri yang dibuat oleh kepolisian setempat dapat dijadikan kelengkapan isi
berkas perkara?.
E. Berbagai Kebijakan/Peraturan Alat Bukti Elektronik
Pertama-tama patut dikemukakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan
(criminal policy) tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum
pidana (sarana penal), tetapi harus di tempuh dengan pendekatan integral/sistematik.
Mengenai upaya penanggulangan kejahatan dalam bidang elektronik, dapat
dikemukakan dalam berbagai undang-undang yang telah dan belum disahkan yakni
dalam bentuk rancangan undang-undang. Berbagai undang-undang tersebut adalah:
1. Undang-Undang No 7 Tahun 1971 Tentang Kearsifan
Yang dimaksud dengan arsif dalam undang-undang ini adalah:
a. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh lemaga-lembaga Negara dan
badan-badan pemerintahan dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan
tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah
b. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh badan-badan swasta dan/atau
perorangan, dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun
berkelompok , dalam pelaksanaan kehidupan kebangsa.
2. Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
pada pasal-pasal berikut ini
Pasal 1 ayat 2: “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan
dengan menggunakan computer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik
lainya”.
Pasal 1 ayat 3: “Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpam, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi”.
Pasal 1 ayat 5: “Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan
informasi”.
Pasal 1 ayat 9: “Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik
yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek
hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara
sertifikat elektronik”.
Pasal 1 ayat 10: “Penyelenggara sertifikat elektronik adalah badan hukum yang
berfungsi sebagai sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan
mengaudit sertifikat elektronik”
Pasal 1 ayat 12: “Tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
informasi elektronik yang diletakkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikan”.
Pasal 1 ayat 14: “Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik,
magnetic, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan”.
3. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
Pasal 3: “Dokumen kerungan terdiri dari catatan-catatan, bukti pembuktian, dan
data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak dan
kewajiban serta kegiatan usahasuatu perusahaan”
Pasal 4:”Dokumen lainya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterngan
yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan
dokuemn perusahaan”
4. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
Pasal 26 A : “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
5. Rancangan Undang-Undang Transfer Dana86. Terdapat pada bab XIII yang untuk
sementara ini memuat sebagai berikut:
a. dengan sengaja mengubah, mengaburkan, meghilangkan, menghapuskan,
sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam perintah transfer dana,
dengan meksud untuk mengakibatkan kerugian penerima yang berhak
dan/atau pihak lain dan untuk memperkaya diei sendiri dan/atau pihak lain
b. dengan sengaja melwan hukum, mengakses, mengambil, mengubah,
menggunakan, menggandkan dan atau melakukan tindakan lain secara tanpa
hak terhadap suatu informasi perintah transfer dana dan atau sistem transfer
dana bank
6. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khusus nya pada bagian lima
paragraf 1, paragraf 2 dan paragraf 3 menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan
dengan menggunakan alat komputer atau mediasi elektronik lainya itu dilarang.
Adapun rincian terdapat Bagian kelima paragraf 1 Tindak pidana terhadap
informatika dan telematika yaitu Penggunaan dan perusakan informasi elektronik
dan domain
Pasal 373 : “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan
denda paling banyak kategori 4 setiap orang yang menggunakan dan/atau
mengakses computer dan/atau system elektronik dengan cara apapun tanpa hak,
dengan maksud untuk memperoleh, mengubah, merusak,atau menghilangkan
informasi dalam computer dan/atau sistem elektronik”.
Bagian kelima pada paragraf 2 yaitu Tanpa hak mengakses komputer dan
system elektronik
Pasal 377 : “Dipidana dengan pidana penjara paling sebentar 3 tahun dan
paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 4 dan paling banyak
kataegori 5 setiap orang yang menggunakan dan/atau mengakses computer
dan/atau system elektronik dengan cara apapun tanpa hak, dengan maksud
memperoleh mengubah, merusak, atau menghilankan informasi milik pemerintah
yang karena status nya harus dirahasiakan atau dilindungi”.
Bagian kelima pada Paragraf 3 yaitu Pornografi Anak Melalui Komputer
Pasal 379 :”Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan
denda kategori 4 setiap orang yang tanpa hak melakukan tindak pidana yang
berkaitan dengan pornografi anak berupa”.
86
Berdasarkan draft RUU. Januari 2004
a. memproduksi pornografi dengan tujuan untuk didistribusikan melalui
system computer
b. menyediakan pornografi anak melalui suatu system komputer
c. mendistribusikan atau mengirimkan pornografi anak melalui system
computer
d. membeli pornografi anak melalui suatu sitem computer untuk diri sendiri
atau orang lain.
e. Memiliki pornografi anak di dalam suatu system computer atau dalam
suatu media penyimpanan data komputer
BAB IV
KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif
Pengakuan alat bukti elektronik berawal dari perintisan oleh United Nation
Commission On International Trade (UNCITRAL) yang mencantumkan dalam ecommerce model law ketentuan mengenai transaksi elektronik di akui sederajat
“tulisan” di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan.
Mengacu pada UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan tanda
tangan atau bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang di tetapkan dalam
undang-undang yang khusus mengatur soal transaksi elektronik87. Pasal 5 dan pasal 6
dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik menyatakan bahwa :
Pasal 5 :
1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan hokum acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undng-undang ini.
4. Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.
87
Didik M. Arief Mansur. dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi. h.110
Pasal 6 :
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam pasal 5 ayat (4)
yang mengsyaratkan bahwa suatu inforamsi harus berbentuk tertulis atau
asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah
sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhanya, dan dapat dipertanggung jawabkan
sehingga menerangkan suatu keadilan.
Dalam peraturan diatas menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan
memanfaatkan media elektronik memiliki nilai yang sama dengan tulisan atau akta
yang dibuat secara konvensional, sehingga pada prakteknya tidak dapat ditolak suatu
bukti transaksi yang dilakukan secara elektronik.terlebih dari itu semua pemerintah
selalu mempertegas akan konsepsi peraturan dalam dunia maya, yaitu dengan di
rangcangnya undang-undang teknologi informasi memuat hal yang baru mengenai
data elektronik, yaitu dengan mengakui data elektronik yang terdapat pada ruang
maya. Hal ini dapat dilihat pada BAB I mengenai ketentuan umum, pasal 1 angka 16,
yaitu : “Dokumen elektronik adalah stiap informasi yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam media magnetic, optikal, memori
komputer atau media elektronik”
Dalam transaksi elektronik yang berlangsung dengan menggunakan media
elektronik, transaksi dilaksanakan tanpa tatap muka antara nasabah dengan bank,
bukti atas transaksi yang dilakukan tersimpan dalam bentuk data elektronik yang
terekam dalam sistem penyimpanan data computer. Mengenai alat-alat bukti dalam
transaksi elektronik, Michael chissick dan Alistair kelman menyatakan ada tiga tipe
pembuktian yang dibuat oleh Komputer, yaitu :88
1.
88
Real evidence (bukti nyata)
Michael chissick dan Akistair kelman, “Electronic Commerce Law Practice” sebagaimana
dikutip dari M arsyad sanusi, E-commerce: hukum dan solusinya, (Bandung :PT. Mizan Grafindo Sarana,
2001),hlm. 97-98
Real evidence atau bukti nyata ini meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa
yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui pengaplikasian software dan
penerimaan informasi dari devise lain seperti jam yang built in, langsung dalam
komputer atau remote sender, bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Jika
sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai
pemabayran pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi
yang terjadi dan credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini
akan di gunakan sebagai sebuah bukti nyata.
2.
Hearsay evidence (bukti yang berupa kabar orang lain)
Termasuk pada hearsay evidence adalah dokumen-dokumen data yang diproduksi
oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan
(dimasukan) oleh manusia kepada komputer. Cek yang ditulis dan slip
pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk hearsay
evidence
3.
Drived evidence
Yang
dimaksud
dengan
drived
evidence
adalah
informasi
yang
mengkombinasikan antara bukti nya (real evidence) dengan informasi yang
diberikan oleh manusia ke komputer dengan tujuan untuk membentuk sebuah data
yang tergabung. Contoh dari drived evidence adalah table dalam kolom-kolom
harian sebuah statemen bank karena tebel ini adalah di peroleh dari real evidence
(yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearsay evidence (check
individu dan entry pembayaran lewat slip-paying)
Berkenaan dengan hukum pembuktian dalam proses peradilan baik dalam
perkara pidana maupun perdata, akibat kemajuan teknologi khususnya teknologi
informasi, ada suatu persoalan mengenai bagaimana kedudukan produk teknologi.
Khususnya catatan elektronik, sebagai alat bukti, sebagai contoh, pengguna
teleconference dalam persidangan oleh beberapa kalangan di pandang sebagai
terobosan hukum atau penemuan hukum karena pengguna teknologi ini belum diatur
dalam KUHAP. Namun keresahan diatas nampkanya hilang karena sudah disahkanya
undang-undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang menguatkan
bahwa alat bukti elektronik adalah sah di ajukan di persidangan.
Di Indonesia ada sendiri terdapat putusan pengadilan yaitu putusan MARI
Nomor 9/KN/1999, yang dalam putusanya hakim menerima hasil print-out sebagai
alt bukti surat. Kemudian kasus pidana yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta
Timur mengetengahkan bukti e-mail (elektronik mail) sebagai salah satu alat bukti,
setelah mendengar keterangan ahli bahwa transfer data melalui e-mail tersebut tidak
terjadi tindakan manipulatif. Hakim memvonis terdakwa dengan hukuman satu tahun
penjara karena terbukti telah melakukan tindakan cabul berupa penyebaran tulisan
dan gambar89
Berkenaan dengan korelasi diatas bahwa, hasil dari teknologi tinggi seperti
microfilm, microfiche dan facsimile (bukan cap tanda tangan) sudah dianggap
sebagai alat bukti tertulis dengan pertimbangan analog putusan MA 14 april 1976
tersebut kiranya microfilm, microfiche, dan facsimile dapat dianggap sebagai alat
bukti tertulis. Kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti tertulis terletak pada
89
Data elektronik sebagai alat
www.hukumonline.com/atikel_detail asp?id=8034
bukti
masih
di
pertanyakan.
Dalam
<http:
aslinya. Jadi salinan, foto copy dan microfilm haruslah sesuai dengan aslinya. Kalau
aslinya hilang, maka faoto copy atau microfilm harus disertai dengan keterangan atau
dengan jalan apapun secara sah dari mana ternyata bahwa foto copy atau microfilm
itu sesuai dengan aslinya.
Dalam suratnya tanggal 14 Januari 1988 no 19/TU/88/102/pid keapada
menteri kehakiaman, mahkamah agung mengemukakan pendapatnya bahwa
microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam
perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana tersebut
dalam pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP. Dengan catatan bahwa baik microfilm
maupun microfiche itu sebelum nya dijamin keotentikanya yang dapat ditelusuri
kemabali dari registrasi mauapun berita acara.90
B. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Islam
Alvin toffler dalam bukunya, the third wave (1980) telah memprediksikan
bahwa di era milenium ketiga, teknologi akan memegang peranan yang signifikan
dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
ini akan mengimplikasikan berbagai perubahan dalam kinerja manusia91,
Setelah kita mengetahui bagaimana alat bukti elektronik dalam pandangan
hukum positif yang seudah mengukuhkan bahwa ternyata alar bukti elektronik itu
sudah di tetapkan sebagai alat bukti yang nyata atau alat bukti yang sah di
persidangan. Ini terlihat dari adanya kasus MARI Bomor 9/KN/1999, dan ditunjang
90
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
2006),Edisi ke-7.Cet.ke-1.hlm.165
91
Toffler. Alvin, The Third Wave, (1980). Buku ini dikutip dari Abdul Gofur Anshari, pokokpokok hukum perjanjian islam diindonesia.(Yogyakarta:: Citra Media, 2006),hal.135
dengan banyak nya regulasi yang mengakomodir dan mendukung kekuatan alat bukti
elektronik tersebut.
Namun bagaimana kah dengan hukum islam. Apakah hukum islam dengan
peradilanya mengakui adanya alat bukti elektronik? Menurut Abduh Malik dalam
bukunya Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan Kuhp92, pada kasus
perzinahan93 yang biasa terjadi dengan menggunakan kamera atau media elektronik
lainya, kamera adalah sebuah perakam gambar dan suaru dengan menggunakan pita
video/kaset, video atau dengan mnggunakan lempengan compact disc (CD). CD dapat
direkayasa melalui komputer untuk berfungsi menjadi VCD. VCD terdiri dari video
(alat perekam gambar) dan compact disk. Jadi VCD adalah alat perekam gambar dan
suaru melalui kamera, gambar yang di peroleh melalui kaset video/VCD bias dilihat
dengan menggunakan VCD player. Dengan demikian pengambilan gambar melalui
pita video/kaset video dan VCD dengan menggunakan bantuan komputer dapat dibuat
gambar palsu yang berbeda dengan kenyataan aslinya. Yaitu antara lain dengan
pemotongan dan penyambungan gambar-gambar tertentu sehingga menghasilkan
sesuatu yang lain.. karena itu diperlukan bantuan teknologi lain untuk mengetahui
keaslian atau kepalsuan gambar yang dilihat. Jadi kebenaran gambar yang diperoleh
amat bergantung kepada kecanggihan alat lain untuk meneliti kebenaranya. Dengan
demikian tingkat kebenaran gambar yang diperoleh tidak cukup meyakinkan dan
tidak lengsung bisa di percaya. Beliau menyimpulkan bahwa pembuktian dengan
menggunakan VCD atau media elektronik lainya bisa di sahkan apabila sudah
92
Muhamad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang. 2003).hlm. 133
93
Zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan(perkawinan)
meneliti terlebih dahulu dengan menggunakan alat elektronik yang lebih canggih.
Dan hal ini bisa dilakukan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus
dibidangnya. Dan ada satu instrumen lagi dalam pengkajian alat bukti tersebut yaitu
harus sesuai dengan apa yang telah di syari’atkan oleh Nabi Muhamad SAW.
Berbagai kasus perzinahan yang terjadi diruang maya(cyber space) terutama yang
berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo, dan pelanggaran kesusilaan
pelanggaran kesusilaan/percabulan/perbuatan tidak senonoh/zina. Semakin maraknya
pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya berbagai istilah
seperti: cyberphornography(khususnya child pornogrphy), on-line pornography,
cyber sex, cyber saxer, cyber lover, cyber romance, cyber affair, on-line romance, sex
only, cyber sex addict, cyber sex offender.94 Namun yang paling banyak digunakan
dari istilah-istilah tersebut adalah cyber sex. Menurut Peter David Goldberg Cyber sex
adalah pengguna internet untuk tujuan-tujuan seksual, senada dengan ini Dr. David
Greenfield mengemukakan bahwa cyber sex adalah menggunakan computer untuk
setiap bentuk ekspresi atau kepuasan sexsual. Dikemukakan juga olehnya, bahwa
cyber sex dapat dipandang sebagai kepuasaan/kegembiraan maya, dan suatu bentuk
baru dari keintiman.95 Patut dicatat bahwa hubungan intim atau keintiman (intimacy)
itu dapat mengandung arti hubungan sexual atau perzinaan. 96
Menurut Dr.Abduh Mun’im (Ahli Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia) pembuktian telah terjadi atau tidaknya perzinahan melalui DNA pada
94
Barda Nawawi Arif., Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di
Indoensia,.hlm. 177 .
95
Gloria G.Brame, boot up and turn on,1996. gloriabrame.com/glory/journ7.htm
96
Jhon M.Echols dan hasan shadily, Kamus Inggris Indonesia,2000.hlm. 328
sperma yang ditemukan pada vagina mencapai mencapai 99.9% kebenaranya, karena
DNA yang dimiliki seseorang tidak sama dengan dimilki orang lain, ada
sfesifikasinya.
Jadi pembuktian melalui ilmu kedokteran forensik dapat dikatakan hampir
sama kuatnya dengan bukti melalui penglihatan mata telanjang secara tradisional. 97
Dalam hokum islam ada tiga konsep alat bukti yang dapat digunakan untuk
membuktikan perselisihan atau jarimah dalam kasus cybercrime yaitu alat bukti
petunjuk/qarinah, saksi/syahadah, dan tulisan/al-kitabat. Karena tiga hal tersebut bisa
diajukan pada persidangan bila adanya kasus-kasus seperti cybersex, cyberteror, dan
cybercrime. Pelakunya disebut hacker (pelaku tindak pidana memasuki jaringan
system computer yang bersifat rahasia milik perorangan atau instansi pemerintah
dengan cara melawan hukum) atau teroris (pelaku
tindak pidana
yang
menyebarluaskan ancaman kepada masyarakat umum di seluruh dunia melalui system
jaringan computer dengan cara melawan hukum). Untuk selanjutnya akan diterangkan
lebih lanjut di bawah ini.
1) Kesaksian (‫)ا'!دة‬
Penggunaan saksi sebagai alat pembuktian untuk suatu jarimah merupakan
cara yang lazim dan umum. Karena nya persaksian merupakan cara pembuktian yang
sangat penting dalam mengungkapkan suatu jarimah. Dasar persaksian dalam firman
allah swt :
T*+UV RS
 M%Q 7
( : ‫ق‬,-‫ ?[ )ا‬/XYFZ )☺W!7
97
.Malik. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam Dan KUHP..hlm.139
“….Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena allah..”(QS. Ath-Thalaq: 2)
Dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dan pelukaan (penganiayaan),
para fuqaha membedakan antara jarimah yang hukumanya badaniah, seperti
qishas,dera, dan lain-lain dengan jarimah yang hukumanya maliah, seperti diat atau
ganti rugi.98
Dalam hal kejahatan cybercrime alat bukti yang digunakan termasuk kepada
klasifikasi hukumanya maliah yang menurut imam syafi’I dan imam ahmad,
pembuktian untuk jarimah yang hukumanya maliah, seperti diat dan atau ganti rugi,
bisa dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpahnya penuntut (korban) atau keengganan
bersumpahnya terdakwa.
Malikiyah berbeda pendapat dengan imam dengan imam syafi’I dan imam
ahmad, mereka (malikiyah) membolehkan pembuktian untuk jarimah yang
hukumanya maliah dengan saksi dua orang wanita ditambah dengan sumpahnya
penuntut, sedangkan imam Syafi’i dan imam ahmad tidak membolehkanya. Alasan
mereka (malikiyah) adalah bahwa dua orang perempuan dapat menggantikan seorang
laki-laki dalam kedudukanya sebagai saksi dalam masalah harta benda. Karena itu
maka dalam hukuman maliah dua orang perempuan juga bisa diginakan sebagai saksi
untuk pembuktian tindak pidananya.
Sedangkan menurut imam abu hanifah dan pengikutnya, untuk tindak pidana
yang hukumanya maliah dapat digunakan dua orang saksi laki-laki, atau laki-laki dan
dua orang perempuan. Mereka tidak membolehkan digunakanya seorang laki-laki
98
Muslich, Hukum Pidana Islam,.hlm.232
ditambah dengan sumpah atau dua orang perempuan ditambah dengan sumpah,
karena hal itu berarti menambah-nambah nas yang tercantum dalam surah Al-Baqarah
ayat 282.99 Disamping itu Rasulullah saw, menyatakan dalam hadistnya:
‫[ اﻥ‬23 ًP‫[ِ وَا‬3ّ5P‫[ ا‬23 ُ1ََ‫ ا‬: ٍhْ‫ِ ﺵَدٍ ﺹ‬gِ‫َْ!َِ ﺏ‬2َِ‫و‬...
“….Dan diriwayatkan oleh al-baihaqi dengan sanad yang sahih :
keterangan (saksi) adalah hak penuntut, sedangkan sumpah adalah haknya
terdakwa (orang-orang ingkar)”100
Dan diantara saksi-saksi yang di klasifikasikan oleh Teungku Muhamad Hasbi
Ash-Shiddiqie, yaitu adanya saksi penterjemah yaitu perkataan penterjemah dalam
menerjemah kan perkataan sipenggugat atau sitergugat. Dalam penafsiran
penterjemahan tersebut maka seorang penterjemah dapat melihat apa yang
sebenarnya terjadi dalam perbuatan jarimah tersebut walaupun dalam hal itu harus
mencari fakta-fakta yang tersembunyi. Dalam kitab Al-Asybah Wan Nadhair
karangan Ibnu Nujaim, ada suatu kaidah:
ً(َ2ْ- ِِ‫ ْ ﺝ‬6ًP‫ْلً ا‬KF ًَ(‫ی‬
“Diterima perkataan penterjemah secara mutlak”
Dalam konsepsi hukum islam diatas maka dapat terlihat bagaimana seorang
Micheal Chissiick dan Alistair kelman, menyimpulkan salah satu tipe pembuktian
elektronik dari dari tiga tipe, yaitu tipe Drived Evidence. Hal ini terlihat bagaimana
seorang sebagai penuntut (saksi) menuntut seseorang tergugat prihal sesuatu
kejahatanya. Karena dia (saksi) mengetahui akan adanya kesalahan dalam kalkulasi
dan/atau data komputer yang telah dibuat tergugat dengan cara melawan hukum.
99
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinayi Al-Islamiy,,hlm.318
100
Muhamad ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Al-Baby AlHalaby. 1960), hlm. 8
Dan dengan konsep penterjemah maka lebih ditekankan kepada bahwa suatu
peristiwa yang di tuntutkan oleh penuntut itu benar adanya. Dengan cara melihat
lebih dalam kasus tersebut bahkan penulis bisa mengsimpulkan bahwa penterjemah
sebagai saksi ahli.
Dalam kasus cybersex atau perzinaan dengan media elektronik. Dengan
sendirinya hukum islam sangat detail dan ketat melihat kasus tersebut sehingga bila
kita lihat dalam nash-nash Al-Qur’an bahwa harus adanya empat orang saksi yang
melihat langsug masuk nya “ember ke dalam sumur” firman Allah SWT :
Artinya :”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,”(surat An-Nuur,
24:4)
Di Indonesia contoh kasus yang menggunakan saksi media elektronik dengan
menggunakan (teleconference) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 547/Pid
B/2003/PN Jkt Pst.
2) Petunjuk yang meyakinkan (T-F َْْ‫) اَْ(َ ِی‬
Almajalah al-adliyah mempergunakan karinah sebagai bukti bahkan dia
mentaklifkan karinah dengan:
ِْ(‫ا‬k5‫ََرَةًاَا`ًﺡ‬V‫ا‬
“Tanda-tanda yang menimbulkan keyakinan”
Apabila seseorang keluar dari sesuatu rumah kosong dalam keadaan takut dan
gentar, sedang ditangan nya ada pisau yang berlumuran darah, kemudian masuklah
kedalam rumah itu seseorang lain, lalu melihatnya sesuatu jenazah dari orang yang
mati terbunuh, maka sedikitpun tidak diragukan lagi. Bahwa orang yang membunuh
orang tersebut adalah orang yang memegang pisau tadi.101 Dari peristiwa contoh
diatas sekiranya bila kita melihat di Indonesia suatu kasus yang sangat menyedot
perhatian masyarakat dan media masa, yaitu kasus mutilasi dan pembunuhan berantai
yang dilakukan oleh Ryan, pria asal jombang ini telah membunuh 11 orang termasuk
istri dan anaknya. Dari hasil penyelidikan oleh tim kepolisian bahwa setelah
tersangka (ryan) membunuh heri (korban mutilasi), tersangka menggunakan kartu
ATM korban, maka dengan itu polisi mendapatkan petunjuk bahwa pengguna kartu
ATM itu adalah pembunuh heri. Dengan system perbankan maka diketahuilah bahwa
ryan adalah seorang pembunuh berantai yang darinya telah hilang 11 nyawa. Ataukah
adanya suatu alat bukti dari KPK prihal pembicaraan para koruptor dalam
persidangan kasus skandal BLBI yaitu pembicaraan antara jaksa Urip trigunawan
dengan Artalyta.dll
Hakim selaku pemutus suatu putusan hukum harus jeli melihat suatu perkara
diatas karena dalam hal karinah ini terpacu pada pertimbangan serta ‘uruf bagi
masyarakat. Oleh karenanya karinah ini dinamakan:
ِّ7 T‫َالِ ا‬K‫ َایًْ أ\َﺡ‬F
“Karinah-karinah yang berdasar uruf masyarakat”
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang hingga
akhirnya seluruh manusia berbondong membenahi konsep keilmuan dalam berbagai
bidang pula, khusus nya dalam bidang teknologi prihal ini sesuai dengan zaman dan
perkembangan pola pikir manusia. Dalam hukum islam suatu kasus spionase = Cyber
101
Ash Shiddiqie, Peradilan Dan Hukum Acara Islam..hlm.158
Espionage ternyata telah lebih dahulu ada yaitu dalam firman allah swt, surat alHujurat 12:
)U
* !'? @\]^Y
,
8V U…5N⌧` )Ln„
l2
ETTH ‚t' ‡r
f †H ‚t' *+Erf 0
l
, ˆ‰ )cddd@F ˆ‰
ˆ4J&]
, #7 TJ
/7 m0
*‹7 P ŠEr
f
P L/)☺Lt{5%+%& ŒlW
pWD87 8%%
Eb)% '? C#H P '? )HC
‚>ƒ 3Žpb"
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencaricari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”(surat AlHujurat, 49:12))
3) Alat bukti tulisan (R6‫)ا‬
Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tandatanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.
Pada masa sekarang ini adalah bukti otentik yang dianggap paling penting
untuk membuktikan kebeneran dakwaan. Pada masa dahulu orang yang pandai
menulis hanya sedikit oleh karenanya bukti tertulis ini tidak terlalu populer. Didalam
syari’at islam sendiripun demikian, kurang dipergunakan bukti tertulis ini, terkecuali
menghadapi persoalan-persoalan utang yang ditangguhkan. Jumhur fuqaha
berpendapat, bahwa membuat bukti tertulis, demikian pula mengadakan saksi,
adalah hal yang dianjurkan saja bukan diwajibkan. Dalam pada itu Ath Thalabi dan
Daud mewajibkan tertulis.102 Senada dengan ulama lain yang menyatakan bahwa
102
Ibid.hlm.156
bukti tulis bisa disahkan dalam pembuktian ini disampaikan oleh Ahmad ad-da’ur
dan Sayyid Sabiq. Dan sesuai dengan perkembanganya pemikiran para ulama
Mutaakhirin atas dasar ikhtisan, menerima bukti tertulis itu.
Surat-surat atau tulisan, apa dan betapun bentuk, sifat dan isinya, tidak lain
adalah karena dibuat oleh manusia. Baik sengaja ataupun tidak. Manusia hanya
hidup sebentar, tetapi surat atau tuklisan bisa hidup ribuan, jika Allah dan RasulNya
mengakui bahwa manusia hidup (saksi) adalah alat bukti maka tulisan atau suratnya
tidak bisa tidak. Juga sebagai alat bukti. Jika kesaksian manusia diberikan dengan
menggunakan akalnya lalu dicetuskan dengan lisan maka cetusan akal manusia ada
pula yang terwujud dalam surat atau tulisan.103
Al-Qur’an memerintahkan untuk menulis kan transaksi dibidang muamalah
yang tidak tunai.dalam surat Al-Baqarah 02:282
})U
* \!'? Fv,]^Y
,
A/’H Sf Ž*‘U
,% %QH
L/)LnL”J%& "‰“=dv
427
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”(QS. Albaqarah.02:282)
Rasulullah saw menyuruh tuliskan ayat Mushaf Al-Qur’an. Rasulullah saw
membuat perjanjian Hudaibiah, perjanjian antara kaum muslimin dan musyrikin
Mekah. juga tertulis, Sampainya Al-Qur’an dan Hadist kepada sekarang ini yang
justru merupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran islam tidak lain melalui
103
Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama.hlm.145
tulisan. jadi cukup beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai alat
bukti.
Yang menjadi patokan adalah alat bukti tulisan atau surat tersebut tidak boleh
mengorbankan hukum material islam. Bukankah hukum formil itu semata-mata
mengabdi untuk kepentingan hukum materil. 104
Dalam sistem kearsifan yang menyatakan bahwa suatu informasi elektronik
tetap diakui. Karena definisi kearsifan tidak pernah menyatakan arsif harus dalam
bentuk tertulis dalam media kertas saja, tetapi dimungkinkan juga disimpan dalam
media lainya.105 Dan berikut pula prosedur sistem perbankan modern saat ini
seluruhnya menggunakan komputer sebagai petugas yang secara otomatis mendebet
rekening nasabah (misalnya pengambilan lewat ATM atau pengambilan melalui cek
dan giro) atau secara otomatis menambahkan bunga atas dana nasabah. Seluruh nya
dicatat oleh komputer dan disimpan dalam bentuk file, dengan demikian, seluruh
pembuktian kasus-kasus perbankan yang berkaitan dengan dana nasabah sangatlah
mustahil didasarkan kepada dokumen aslinya, berbentuk kertas maka hanyalah
cetakan file komputer pada bank yang bersangkutan dengan diterimanya rekening
Koran tersebut sebagai alat bukti surat. Maka hal ini dapat menjadi dasar bagi
penyidik untuk menggunakan cetakan file komputer sebagai bukti surat.106
Untuk contoh kasus di Indonesia dalam pembuktian tulisan yaitu kasus
dengan pelaku Erick Jazier Adriansjah. Pelaku mengaku telah menyebarluaskan isu
bahwa ada lima bank yang sedang mengalami krisis likuiditas, dengan cara demikian
104
Ibid.hlm.146
105
Didik M. Arief Mansur. dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi. h.111
106
Ibid.h.113
maka lima bank tersebut akan menjual saham-saham nya dengan harga murah dan
itu dijadikan pelaku sebagai celah mendapatkan keuntungan107
C. Analisa Penulis Tentang Alat Bukti Elektronik
Dalam pandanganya penulis memperkirakan bahwa yang dimaksud dengan
alat bukti tulis atau sejenis tulisan itu hanya terdapat didalam kertas, atau tulisan
tangan dengan tinta yang masih basah diatas lembaran-lembaran kertas. Namun
semua itu ternyata keliru dalam pendefinisian tulisan dalam konsep hukum. Kertas
seringkali dinilai dengan media yang terpercaya untuk menyimpan barang bukti
(eviedence) yang dianggap sah dan sering kali pula dianggap sebagai media
terpercaya untuk digunakan sebagai barang bukti yang sah (legal), Sementara itu.
disisi lain teknologi pesan elektronik (elektronik message technology) diciptakan
untuk membatasi terjadinya pertukaran dokumen-dokumen diatas kertas antar
institusi dan sekeligus untuk meminimalkan pengguna kertas. Hal tersebut dapat
terlihat dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1997, Tentang perusahaan
Dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam microfilm atau media lainya
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 yang diatur dalam pasal 5 ayat (4) yang
mengsyaratkan Bahwa suatu inforamsi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhanya, dan dapat
dipertanggung jawabkan sehingga menerangkan suatu keadilan dan Rancangan
Undang-Undang Teknologi Infomasi. Dokumen elektronik adalah stiap informasi
yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam media magnetic,
optikal, memori komputer atau media elektronik.
107
Seputar Indonesia. Tanggal 17 November 2008
Dalam pada peraturan-peratarun tersebut ternyatakan bahwa alat bukti tulisan
itu bukan hanya dalam bentuk kertas melainkan data yang masih tersimpan rapih
dalam system computer con.flash disk, CDRW,Hardisk, dll
Ada tiga jenis umum dokumen yang dapat digunakan sebagai barang bukti di
pengadilan, lebih khususnya di dalam transaksi-transaksi elektronik yaitu:
1. Dokumen hasil audit komputer
2. Dokumen yang berisikan pesan elektronik
3. Laporan statistik atau hasil analisis yang diperoleh dari hasil survey suatu
komputer terhadap sejumlah data yang tersimpan didalam komputer.
Keautentikkan adalah sifat dasar dan mutlak untuk dijadikanya barang bukti
berupa dokumen didalam persidangan, barang bukti biasanya di artikan sebagai
segala sesuatu yang menunjukkan, memperjelas, atau mengindikasikan kebenaran
suatu fakta atau hal yang sedang di permasalahkan/disengketakan yang mempunyai
sifat persuasife dan meyakinkan.
Perihal tentang keotentikan suatu media elektronik dijadikan alat bukti
elektronik adalah suatu hal yang mutlak adanya, dengan tanpa melampaui batas
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dalam pembuktian surat. Pada
dokumen elektronik keotentikannya bisa terlihat dari beberapa cara:
a.
Pesan dan dokumen yang berisi pesan tersebut haruslah terlihat sama seperti
apa yang telah diklaim atau yang dikatakan.
b.
Keotentikkan pesan elektronik atau dokumen komputer yang lain dapat
dibuktikan melalui kesaksian para saksi tentang keadaan diseputar pesan
tersebut, atau bisa juga dengan cara mempertunjukkan (demonstrated) proses
pembuktian pesan tersebut atau dokumen dan berikut pula para saksi untuk
menjelaskan prihal:
1)
Prosedur yang digunakan untuk memuat dan menyimpan atau melindungi
dokumen tersebut
2)
Mata rantai penyimpan data dan/atau dokumen setelah dokumen tersebut
dibuat
3)
Keotentikkan bisa dilakukan dengan cara melalui keterangan ahli penguji
dokumen (document examiner) yang telah melakukan pengujian dan dinamis
ilmiah
Penulis berpandangan bahwa ternyata alat bukti elektronik itu sama halnya
dengan bukti nyata (real avidence) walaupun dengan itu harus melalu proses keotentik-kan suatu dokumen yang teknis nya sama saja dalam proses peradilan, yaitu
dengan cara memperdengarkan keterangan para saksi, mendengarkan keterangan
ahli, dan menunjukkan dokumen elektronik tersebut. Hingga dokumen itu sah
adanya, dan sah dijadikan alat bukti berupa media elektronik.
Hukum islam dalam prinsip pembuktian telah mempunyai beberapa konsep
alat bukti, Namun bila kita melihat dalam suatu kasus cybercrime maka yang lebih
mendekati untuk pembuktian dalam kasus tersebut adalah alat bukti tulisan/alkitabat, petunjuk/qarinah, dan saksi/syahadah.
Dari tiga konsep di atas maka penulis beranggapan dengan dalil-dalil yang
telah diperkuat dalam Bab-Bab sebelum nya. Bahwa ternyata tiga alat bukti tersebut
secara dan meyakinkan untuk diterima di persidangan.
Bukti yang harus di teliti secara mendetail ini tercantumkan dalam Al-Qur’an
yaitu firman Allah surat Al-Hujurat ayat 6:
62َT7 [23 ‫ا‬K.67 ٍ2َ!Y‫ـ ﺏ‬KF ‫ا‬K.ُ@ ‫اْ أن‬Kّ67 ِg‫ُ ﺏــ‬7 ْ‫اْ إن ﺝءَآ‬K‫یءا‬mّ‫ـ‬n!k‫یـ‬oَ‫یــ‬
{٤٩ : ١٦~‫ ات‬Y‫}ا‬5َ‫ﻥ‬
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS.Al-Hujuraat 49:06)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengakuan alat bukti elektronik berawal dari perintisan oleh United Nation
Commission On International Trade (UNCITRAL) yang mencantumkan dalam ecommerce model law ketentuan mengenai transaksi elektronik di akui sederajat
“tulisan” di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan.
Mengacu pada UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan
tanda tangan atau bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang di
tetapkan dalam undang-undang yang khusus mengatur soal transaksi elektronik.
Yang selanjutnya apa yang dimaksud dengan alat bukti elektronik adalah alat atau
upaya seseorang untuk menguatkan keyakinan hakim akan adanya suatu
kebenaran dalam peristiwa yang sedang di adilkan dengan perantara media
elektronik sebagai barang bukti yang disahkan. Pembuktian elektronik ini dapat
kita lihat dari Undang-Undang No 11 Tahun 2008, tepat nya dalam pasal 5 ayat
(1) “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Kasus yang pertama semenjak disahkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2008,
ini adalah Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai
lima Bank yang mengalami krisis likuiditas dengan menyebarkan lewat e-mail,
faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan nasabah. Pelaku terkena
hukuman UU No 11 Tahun 2008 ITE dengan ancaman pasal 27 ayat (3) dan pasal
28 (1) dengan hukuman maksimal enam tahun. Adapun kasus-kasus lainnya yang
sudah ada sebelum disahkannya Undang-Undang tersebut adalah pemuda dari
Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal “yahoo” yaitu dengan
menjual mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga
menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker
dari Bandung ini sengaja dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet
banking Bank Central Asia (BCA). Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan
deface (perubahan pada tampilan ataupun penambahan materi pada suatu website
yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah nama-nama partai yang ada
dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id. Yang mengakibatkan
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung
pada saat itu.
2. Para akademisi islam yang sah satunya adalah M. Abduh Malik, menyatakan
bahwa alat bukti berupa elektronik adalah sah bila diajukan di persidangan, akan
tetapi sebelum di persidangkan suatu barang bukti tersebut harus diteliti terlebih
dahulu dengan alat yang lebih canggih. Dan tidak menutup kemungkinan barang
bukti tersebut memerlukan kepastian dari seseorang penterjemah/saksi ahli, maka
oleh karena itu selayaknya hukum islam melihat kemanfaatan yang diberikan oleh
media elektronik dalam segala aspek kehidupan sampai kedalam rana-rana sistem
peradilannya. Pembuktian dalam sistem hukum islam yang bisa di kategorikan
untuk pembuktian elektronik adalah konsep alat bukti petunjuk/qarinah, seperti
dalam kasus ryan, setelah ryan membunuh dam memutilasi korban (Heri) ryan
langsung mengambil sejumlah uang dangan transaksi ATM. Maka setelah ryan
mengambil sejumlah uang tersebut polisi mendapatkan pertunjuk bahwa
pembunuh heri adalah ryan dengan cara melacak dengan sistem perbankan.
Selanjutnya adalah saksi/Syahadat, melalui keterangan saksi maka akan
didapatkan kebenaran yang nyata bahwa suatu peristiwa sudah benar terjadi
walaupun pembuktian nya harus didapatkan dari media elektronik. Contoh kasus
di Indonesia adalah pembunuhan Alda Risma, pelakunya tertangkap CCTV. Maka
dengan bantuan saksi ahli telematika (Roy Suryo) yang menerangkan bahwa
pembunuhnya adalah cen-cen pelaku tidak mengelak dan mengakui perbuatannya
di persidangan. Dan terakhir dari konsep pembuktian elektronik dalam pandangan
hukum islam adalah tulisan/al-kitabat dengan penafsiran tulisan secara
menyeluruh dalam yaitu penulisan bukan hanya ditulis dengan tangan di atas
kertas,melainkan tulisan yang dibuat oleh kalkulasi komputer. Maka alat bukti
dapat dikatakan sah pembuktiannya di persidangan. Contoh kasusnya adalah
Steven Haryanto, Dani Hermansyah dan Erick Jazier Adriansjah. Dengan
demikian penulis menyimpulkan bahwa alat bukti dalam hukum islam dapat di
kategorikan sebagai alat bukti elektronik dalam penerapan sistem peradilan adalah
tiga konsep tersebut yaitu alat bukti petunjuk/qarinah, saksi/syahadat, dan
tulisan/alkitabat.
B. Saran-saran
1. Indonesia dengan system pradilannya mengandalkan peraturan kitab hokum acara
pidana, HIR dan lainnya, ternyata sesuai dengan perkembangannya system hokum
tersebut tidak bias diterapkan. Karena dalam kenyataanya hamper semua segi
kehidupan sudah mengandalkan teknologi secabagi cara cepat dalam aktifitas
kehidupan dunia, dan hal itu yang tidak ada dalam kitab hokum acara pidana di
Indonesia. Dan perlu diketahui system ketentuan undang-undang mengatur
tentang aktifitas elektronik itu baru lahir otomatis harus banyak persidapan oleh
para penegak hokum, apakah dari sumber daya manusia nya, ataukah dari sarana
dan prasarananya.
2. Universitas
Islam
Negeri
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
sebagai
image
perkembangan peradaban pemikiran dalam hal teologi, hokum islam dan yang
lainnya, dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu
banyak nya perselisihan yang menggunakan media elektronik itu harus
diselesaikan dengan hokum syara’. Terlebih bilakita lihat dalam system
perkembangan muamalat dalam hal ini perdagangan dan perbankan, yang mau
tidak mau, suka tidak suka, dalam aktifitas nya harus selau menggunakan media
elektronik dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan. Maka dari itu semua
penulis berharap kepada setiap elemen jajaran birokrasi Universitas, terelebih
dalam system pengajaran yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum untuk bisa
mereflesikan hokum islam tersebut dalam rana mediasi elektronik yang tentunya
dengan asas sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
3. Penulis mengingatkan “ Ilmu tidak dating dengan sendirinya, ilmu itu harus
dikejar, Namun apabila ilmu sudah dipegang walaupun hanya dengan satu
sentuhan, maka percayalah ilmu itu akan selalu ada dalam jiwamu. Tinggal
bagaimana anda merawat ilmu itu selayaknya kamu merawat jiwamu”.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Tarjamah, Djambatan. 1978
Arif. Mansur. DKK. Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung : Refika Aditama.
2005
Asmawi. Fiagam Madinah, Dekalarasi Kairo Dan Maqậsid Al-Syari’ah,( makalah yang
ditulis tentang Hak Asasi Manusia.),
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinayi Al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-A’rabi,
tanpa tahun)
Ash-Shiddieqy Hasbi, TM. Al-Islam II,(Jakarta: Bulan Bintang, 1969),
Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Puataka
Pelajar, 1998), Cet. Ke-II
Dahlan, Aziz Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
Djajuli. A. Fiqh Jinayat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997
Endshaw, Assafa, Internet And E-Commerce Law; With A Focus On Aisa
Fasific.(Singapore : prentice hall. 2001)
Golose. Petrus Reinhard. kombes (pol) Drs. makalah, perkembangan cybercrime dan
upaya penanganannya di indonesia oleh polri
Harahap, M. Yahya, Pembaharuan Permasalahan Dan Penerapan KUHP,(Jakarta : sinar
grafika, 2000), cet. Ke-I
Hasby Teungku Muhammad. Peradilan dan hukum acara islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra.2001
Hamzah Andi. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Cet, ke-5. 2006
Ibrậhim, Abu Ishậk Al-Syậtibi , Al-Muwậfaqật Fi Usul Al-Syari’ah, Bairut : Dar al-kutub
al-‘Ilmiyyah,t.th,
Ismail ibn Muhamad Al-Kahlani, Subul As-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Al-Baby
Al-Halaby. 1960)
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1995).
Madzkur. Muhamad Salam, Al-Qadha’u Fi Al-Islam, (Kairo: Dar an-Nahdah AlArabiyah, tanpa tahun)
Muslich Wardi Ahmad. Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika. 2005
Malik. Abduh Muhamad. Perilaku Zina, Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan
Bintang. 2003
Makarim. Edmon Pengantar Hukum Telematika. Jakarta; PT Raja Grapindo
Persada,
2005.
Muhamad Tahir Ibn ‘Ấsyur, Maqậsid Al-Syari’ah al-islamiyyah,Kairo : Dar Al-salam,
1427 H/2006 M
Mahmassany, Subhi, Filsafat Tasyri’ fi Al-Islami, (Beirut: Darul Ilmi Lil Malayin, 1380
H)
Nawawi. Barda arif. Pembaharuan Hukum Pidana, Dalam Persfektif Kajian Perbandingan.
Bandung : Citra Aditiya Bakti. 2005
Nawawi Barda Arief. Tindak Pidana Mayantara, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2006
Rasyid. Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : Raja Grafindo Persada.cet
krsembilan.2002
Ramli Ahmad M, “Cyber Law Dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia”.(Bandung,
2004 ; Refika aditama)
Zuhali Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillahu, (Damaskus: Dar Al-Fikri, 1989), Juz VI
Sabiq Sayyid, Fiqh Al-Sunah,(Beirut: Dar al-Fiqr, 1983), Jilid ke-II
Sanusi, Arsyad. DKK. Analisi Evaluasi Hukum Tentang Pemanfaatan Media Elektronik
(Teleconference) Untuk Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana.(Badan
pembinaan hukum nasional departemen kehakiman dan HAM RI tahun 2003.
Subekti, Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), cet, ke-VIII
Sabuan, Ansori,Hukum Acara Pidana,(Bandung : Angkasa, 1990),Edisi ke-1
Soimin Soedaryo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. Cet.ketujuh.
2007
Soesilo. R. RIB/HIR dengan penjelasan. Bogor : Politeia. Tanpa tahun
Sudikno. Metrokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : liberty Yogyakarta. Edisi
kelima.1998
Sanusi, M arsyad . E-commerce: hukum dan solusinya, Bandung :PT. Mizan Grafindo
Sarana, 2001
Tresna R., Komentar HIR.(Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), cet. Ke-XV
KUHP dan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. Cetakan keenam. 2006
UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
UNDANG-UNDANG NO 7 TAHUN 1971 Tentang Kearsifan
UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi
UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik
Download