PENGEMBANGAN BUDIDAYA DAN PEMANFATAAN TANAMAN OBAT KELUARGA ( TOGA ) PADA KUKERTA ANGKATAN XIV DI DUSUN PADANG PALANGEH KECAMATAN PELEPAT ILIR KKABUPATEN BUNGO Herawati, Desmawita, Angken, Dwi Rahma Fitri, Mukhlis Universitas Muara Bungo ABSTRAK Pemanfaatan tanaman obat di Indonesia makin meningkat dari waktu ke waktu baik oleh industri kecil maupun besar. Untuk hal tersebut diperlukan upaya pembudidayaan nya. Tanaman obat harus diproduksi secara alami atau ramah lingkungan, harus bebas dari bahan-bahan kimia sehingga budidayanya pun harus secara organik. Tanaman obat lebih berkhasiat jika digunakan dalam keadaan segar. Jadi jika ditanam di pekarangan rumah selain berfungsi sebagai taman (Toga) , tanaman obat juga dapat sebagai sumber oksigen dan sumber bahan makanan. Untuk menghindari akibat negatif dari pemanfaatan tanaman obat bagi penderita penyakit, maka pemilihan jenis dan bahan tanaman obat harus secara baik dan benar sesuai indikasi penyakit. I . PENDAHULUAN Pengembangan agroindustri tanaman obat di Indonesia memiliki prospek yang baik. Indonesia memiliki lebih dari 9.609 spesies tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat ( Wasito, 2008). Menurut Syukur dan Hernani (2003), sekitar 26% telah dibudidayakan, dan sisanya 74% tumbuhan liar di hutan-hutan. Dari yang telah dibudidayakan, lebih dari 940 jenis digunakan sebagai obat tradisional Faktor yang mendukung pengembangan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) adalah besarnya potensi kekayaan sumber daya alam Indonesia sebagai bahan baku obat tradisional (Simplisia) yang dapat diformulasikan menjadi obat tradisional. Penggunaan obat dimasyarakat memiliki kecendrungan untuk “back to nature” dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat, karena obat sintetis dirasakan terlalu mahal dengan efek samping yang besar. Peningkatan konsumsi obat tradisional di Indonesia semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari perkembangan industri obat tradisional yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997 di Indonesia terdapat 429 buah IKOT dan 20 buah Industri Obat Tradisional (IOT). Pada tahun 1999, meningkat menjadi 833 buah IKOT dan 87 buah IOT (Wasito, 2008). Badan POM (2005) mendefinisikan obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan mineral, sediaan sari atau campuran dari bahan-bahan tersebut digunakan secara turun temurun untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Ada 9 tanaman obat unggulan nasional sampai ketahap klinis yaitu : salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabe jawa dan mengkudu. Di Yogjakarta tepatnya di desa Sendangmulyo, Minggir, Sleman sudah didirik an Pos Herbal Desa yaitu Puskesmas berbasis obat-obatan tradisional atau herbal. Tanaman obat yang digunakan adalah kunyit, jahe, temulawak, kencur, sambiloto, gandarusa, kejibeling, brotowali, dan katuk ( Harian Pikiran Rakyat,5 Agustus 2011). Secara garis besar tanaman obat dikatagorikan menjadi 3 kelompok : 1 . Tanaman obat tradisional : yaitu tanaman yang dketahui dan dipercaya masyarakat tertentu memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Contoh tanaman Purwaceng (Pimpinella sp.) dipercaya oleh masyarakat Dieng sebagai bahan penambah gairah sex. 2 . Tanaman obat modern, tanaman yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan aktif yang berkhasiat sebagai obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Contoh : meniran (Phyllanthus niruri) yang telah dikemas sebagai obat penambah daya tahan tubuh pada anak, 3 . Tanaman obat potensial, tanaman yang diduga mengandung atau memiliki senyawa aktif berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai bahan obat-obatan. Contoh sarang semut (Myrmecodia spp). (Hidayat, 2008). Pemanfaatan tanaman obat secara langsung dapat memperbaiki status gizi, sarana pemarataan pendapatan, sarana pelestarian alam, serta sarana gerakan penghijauan dan keindahan. Ramuan obat tradisional bersifat konstruktif sehingga hasil optimal bila herbal dikonsumsi secara rutin, jadi tidak cocok untuk pengobatan penyakit yang akut. Efek samping obat tradisional tidak sama dengan obat sintetis karena pada tanaman obat terdapat suatu mekanisme penangkal atau mampu menetralkan efek samping tersebut , disebut juga “SEES “ ( Side Effect Eliminating Subtanted). Akan tetapi kelemahan dari obat tradisional juga ada yaitu sampai saat ini bahan baku belum terstandarisasi dan tidak semua bahan atau ramuan telah teruji secara klinis atau pra-klinis. Ramuan obat tradisional bersifat higrokospis dan volumnies akibatnya mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme ( Lestrari, 2008) Pada dasarnya budidaya tanaman obat tidak hanya dapat dilakukan di lahan luas tetapi di lahan terbatas seperti pekarangan rumah dapat ditanami tanaman obat. Budidaya tanaman obat di pekarangan rumah atau dikenal dengan nama Taman Tanaman Obat Keluarga atau Toga berkhasiat guna memenuhi kebutuhan keluarga akan obat-obatan sehingga lebih mandiri dan tidak tergantung obat sintetis. Untuk itu perlu dipahami bagaimana membudidayakan tanaman obat di pekarangan rumah secara organik agar obat tradisional yang dikonsumsi terbebas dari bahan kimia berbahaya atau menciptakan taman yang ramah lingkungan. Metode Penunjang Keputusan Pemilihan Toga ( Tanaman Obat Keluarga) TOGA merupakan tanaman hasil budidaya masyarakat yang berkhasiat sebagai obat dan sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Menurut KemenKes RI (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia), terdapat 1.000 jenis tanaman dinyatakan dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat, dimana baru 350 spesies telah banyak digunakan masyarakat maupun industri sebagai bahan baku obat. Pemanfaatan TOGA sebagai obat alternatif oleh masyarakat Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak ratusan tahun lalu, pendahulu kita telah pandai meracik obat-obatan tradisional, seperti jamu yang berasal dari beragam jenis tumbuhan, akarakaran, dan bahan-bahan alamiah yang dapat menjaga kesehatan badan. Kemahiran tersebut diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Namun dalam pemilihan bahan baku TOGA terkadang masih kekurangan informasi. Informasi yang terbatas membuat pengguna TOGA hanya terpaku pada salah satu jenis bahan. Pemilihan bahan pengganti atau alternatif dari satu jenis tanaman dapat diketahui masih kurang. Jika informasi tersebut dapat diterima dengan baik, pemilihan bahan baku TOGA bisa beraneka ragam. Metode Pengembangan sistem ini menggunakan metode waterfall. Tahapan dalam metode waerfall yakni requirement definition, system and software desaign, implementation and unit testing, integration and system testing, dan operation and maintenance. Pelaksanaan Kegiatan Program pembuatan toga dusun padang palangeh dimulai pada rabu, 8 februari 2017 – jum’at, 17 februari 2017. kegiatan ini di danai oleh ADD (Anggaran Dana Desa) dusun padang palangeh dan mahasiswa kukerta universitas muara bungo angkatan XIV. Tahapan pelaksaan kegiatan: Persiapan lahan Pembuatan toga Penanaman Perawatan Dokumentasi kegiatan pembuatan toga Pembahasan Untuk membudidayakan tanaman obat dapat dilakukan dalam sebidang tanah baik di halaman, kebun atau ladang. Dahulu istilahnya Apotek Hidup tetapi sekarang istilah nya Taman Tanaman Obat Keluarga atau TOGA ( Dep-Kes 1983). Banyak jenis tanaman obat yang berpenampilan menarik dapat dijadikan taman. Keindahan tanaman obat bisa diperoleh dari bunga-bunganya yang cantik ( contoh: bunga kancing, rosella, bunga matahari, bunga pagoda, bunga pukul empat, kumis kucing), batang yang rimbun (contoh : lidah buaya, lidah mertua, sosor bebek, sirih merah) dan tanaman obat yang penampilan pohonnya perdu misalnya keji beling (untuk pagar), jeruk kenikir dan kemuning. Pola penanaman disesuaikan dengan kondisi areal yang tersedia, ketersediaan tanaman dan perawatan tanaman (Lestari, 2008). Seperti yang dinyatakan oleh Permadi (2008), sesuaikanlah jenis tanaman obat yang hendak ditanam dengan penyakit yang hendak diobati serta mudah diolah menjadi simplisia dengan cara sederhana Lebih baik bila memanfaatkan tanaman liar yang lazim ditemukan namun mudah untuk dibudidayakan. Selain untuk bahan obat, sebaiknya tanaman tersebut juga dapat dikonsumsi sebagai pelengkap sayuran, buah-buahan , dan rempah bumbu masak. Kiat menata TOGA supaya terlihat lebih menarik dibandingkan dengan taman tanaman hias adalah perlu penataan taman secara apik dengan mengikuti irama gradasi yaitu menempatkan tanaman pendek dan semak di bagian terdepan. Selanjutnya diikuti dengan menanam perdu, tujuannya agar tanaman cukup mendapatkan sinar matahari. Tanaman yang tidak menyukai cahaya penuh dapat ditanam di bawah pohon seperti tanaman obat yang berimpang (jahe, kunyit, temu-temuan, bangle, jombang, dan puwoceng) (Permadi, 2008). Masalah yang timbul pada waktu menata TOGA adalah lahan pekarangan yang terbatas. Menurut Lestari (2008), beberapa tanaman obat dapat ditanam secara vertikal menggunakan talang-talang alumunium dan besi baja yang dirakit membentuk piramida. Contoh tanaman obat yang dapat ditanam dengan cara ini adalah tanaman yang tidak berkayu seperti daun dewa, sambung nyawa, temu-temuan, pegagan, keladi tikus, dan rumput mutiara. Tanaman-tanaman yang menjuntai atau sayur-sayuran dapat ditanam pada talang air yang disusun secara sederhana dan saling disambungkan dengan tali sehingga dapat menciptkan keteduhan dan dapat dimanfaatkan sebagai kerai alami penyaring cahaya matahari dan tampias hujan. Tanaman obat seperti sirih, gondola, cabe jawa, dan alamanda dapat ditanam dengan cara merambatkan tanaman pada dinding hunian, batang pohon atau pagar. Cara lain adalah menggunakan pot gantung pada plafon teras. Dalam rangka pelestarian tanaman obat di Indonesia dan demi menghasilkan obat tradisional yang aman, maka semua tanaman obat harus diproduksi secara alami dan terbebas bahan kimia berbahaya alias ramah lingkungan. Sistem budidaya ini disebut dengan budidaya organik. Ada empat prinsip dasar dalam budidaya secara organik yaitu : 1. tidak menggunakan pestisida kimia, 2. tidak menggunakan pupuk kimia, 3. beberapa spesies gulma dari golongan polong-polongan tetap dibiarkan tmbuh, dan 4 .tidak membajak tanah yang akan ditanami sebab pembajakan tanah akan merusak aerasi udara, air, dan nutrisi di dalam tanah yang diperlukan bagi tanaman obat ( Martha Tilaar Innovation Centre, 2002). Lestari (2008) dan Kardinan & Agus Ruhnayat (2003) menyatakan bahwa beragam bibit tanaman obat dapat diperoleh di dapur seperti umbi bawang, rimpang bumbu dapur. Sedangkan biji cabai dan tomat yang terbuang masih dapat disemai dan ditanam kembali. Untuk mempercepat petumbuhan dan tidak terserang penyakit, bibit direndam dalam lender bekicot. Media pesemaian digunakan sekam bakar : pasir (4:1). Sekam disini berguna untuk menghindari serangan penyakit. Untuk pengolahan lahan dan penanaman, harus diperhatikan kualitas lapisan tanah. Bila kondisi “top soil” kurang bagus, tanah dicangkul sedalam 15 cm kemudian tanah tersebut dicampur dengan kompos atau pupuk kandang dan perbandingannya 1 : 2 atau 1 : 3 tergantung kebutuhan. Tanaman obat juga memerlukan perawatan secara rutin agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Seperti hal nya penyiraman rutin pada musim hujan satu kali sehari sedangkan musim kemarau dua hari sekali. Lestari (2008) dan Redaksi Agromedia ( 2010) menyatakan bahwa air rebusan telur, air rendaman teh, air bekas mencuci ikan dapat digunakan sebagai siraman karena banyak mengandung kalsium. Air cucian beras dicampur dengan kulit telur yang telah dihancurkan pun dapat digunakan untuk menyiram tanaman karena air ini banyak mengandung hormon giberalin dan auksin yang bagus untuk perkembangan tanaman. Pemberian pupuk organik berupa kompos dan pupuk kandang dilakukan pada awal tanam sebagai campuran media. Pemberian berikutnya, setiap 20 hari sekali untuk tanaman sayuran yang berfungsi juga sebagai tanaman obat, misalnya seledri, tomat, dan cabai. Sedangkan tanaman semak dan perdu, pemupukan diulang saat repotting jika ditanam di pot, atau rutin 3 – 6 bulan sekali bila langsung ditanam di tanah. Secara umum setiap ton pupuk kandang mengandung 5 kg Nitrogen, 3 kg Phosphat, dan 5 kg Kalium. Pupuk kandang ada bermacam-macam yaitu kotoran ayam, kandungan Nitrogennya 3 kali lebih besar daripada pupuk kandang lainnya, kotoran kambing, kandungan Nitrogen dan Kalium 2 kali lebih besar daripada kotoran sapi. Untuk tanaman obat yang akan dipanen daunnya, disarankan menggunakan pupuk ayam, sedangkan untuk tanaman obat yang akan dipanen buah/rimpang adalah pupuk sapi/kambing ( Kardinan dan Agus Ruhnayat, (2003); Pracaya, 2007). Budidaya tanaman obat di Toga juga dapat diserang oleh hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit secara alami dengan menggunakan pestisida nabati memang tidak seefektif bila menggunakan pestisida sintetis (kimia). Namun dampak di alam dan pada tanaman obat itu sendiri jauh lebih positif apabila diaplikasikan dalam jangka panjang. Menurut Lestari (2008), jika hama dan penyakit menyerang dapat ditanggulangi dengan bahan alami dari tanaman itu sendiri atau tanaman lainnya. Kandungan zat alami yang terkandung pada tanaman tertentu bermanfaat mengusir hama dan penyakit. Sudarmo (2005), Kardinan (2002) serta Martha Tilaar (2002) menyatakan beberapa tanaman yang potensial dapat digunakan sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman sebagai pestisida botani antara lain : papaya, sirsak, kenikir, bunga mentega, mint, kemangi, serehwangi, bengkuang, cabai merah, dan tomat ( sasarannya hama serangga), sedangkan coleus, jahe, cengkih, dan lengkuas ( sasarannya penyakit ). Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi kualitas tanaman obat. Apabila pasokan cahaya kurang maka tanaman akan kurus, tanaman tumbuh tidak proporsional, dan tidak menghasilkan bunga/buah. Penyiraman yang berlebihan atau media kurang subur akan menyebabkan tanaman tidak segar, menguning, dan mengalami pembusukan pada bagian pucuk. Jadi solusinya, tanaman dipindahkan ke lokasi yang cukup mendapat cahaya, frekuensi penyiraman dikurangi, dan memeriksa aliran drainase (Kardinan dan Agus Ruhnayat, 2003). Agar hasil panen tanaman obat dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menyembuhkan berbagai penyakit, maka harus diperhatikan waktu panen yang sesuai. Pemanenan sebaiknya dilakukan sebelum pukul 10 pagi atau menjelang magrib guna menghindari penguapan zat-zat metabolit tanaman yang berguna untuk pengobatan. Cara panen sangat menentukan kualitas bahan (simplisia) yang dihasilkan. Contoh pada tanaman sirsak, sambiloto, kumis kucing, sembung, jati belanda, tempuyung, dan nimba, bagian yang dipanen adalah daun yang segar dan berwarna cerah dan terletak pada pertengahan batang. Pada tanaman rosella, tapak dara, soka, teratai, mawar, dan melati, bagian yang dipanen adalah bunga mekar sempurna, segar, dan warna belum berubah. Pada tanaman kunyit, kencur, jahe, temu mangga, temu ireng, lengkuas, bagian yang dipanen adalah rimpang yang sudah tua ditandai dengan bagian atas tanaman sudah mengering. Pada tanaman mahkota dewa, delima, dan lengkeng, bagian tanaman yang dipanen adalah kulit buah dari buah yang segar, tidak berkeriput, dan tidak lembe k ( Lestari,2008). Pascapanen merupakan kelanjutan dari proses panen pada tanaman obat. Tujuannya antara lain agar hasil panen berkualitas baik, tidak mudah rusak, serta lebih mudah disimpan untuk dilakukan proses selanjutnya. Proses pascapanen meliputi : 1. penyortiran bahan tanaman obat dari kotoran-kotoran, 2. pencucian, harus dilakukan sesingkat mungkin supaya zat yang berguna untuk obat tidak tercuci, 3. perajangan untuk bahan tanaman obat yang dipanen rimpangnya, 4. pengeringan, bila bahan berasal dari daun dan bunga, maka dilayukan di bawah naungan tetapi bila bahan berasal dari kulit tanaman, akar, buah, dan rimpang dijemur di bawah sinar matahari (Martha Tilaar (2002) ; Lestari (2008). Untuk memperoleh hasil yang optimal bagi penderita penyakit, jika menggunakan tanaman obat harus mengikuti aturan pemakaian yang tepat dan benar. Pemilihan jenis dan bahan tanaman obat secara baik dan benar sesuai indikasi penyakit dapat menggunakan bahan (simplisia) dalam keadaan segar atau kering, berkualitas baik dan tidak terkontaminasi mikroorganisme lainnya. Kesimpulan Pengembangan budidaya tanaman obat harus dilakukan secara organik tujuannya supaya memberikan dampak positip pada produk simplisia ( daun, bunga, buah, akar, batang) dari tanaman obat yang dihasilkan, aman terhadap lingkungan dan konsumen yang menggunakannya. Budidaya secara organik tanaman obat tidak hanya dilakukan di lahan yang luas saja, tetapi dengan lahan terbatas seperti di pekarangan di sekitar rumah dan dikenal dengan nama Taman Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Pemanfaatan tanaman obat telah terbukti berkhasiat dalam menangkal dan mengatasi penyakit manusia serta aman digunakan asal sesuai dengan aturan pemakaiannya Daftar Pustaka Depkes Republik Indonesia. 1983. TOGA ( Taman Obat Keluarga). Jakarta. Hidayat, S dan Team Flora. 2008. “Khasiat Herbal”. Gramedia Jakarta. Kardinan, A dan Agus Ruhnayat. 2003. “Budidaya Tanaman Obat Secara Organik”. PT. Agromedia Pustaka Jakarta Lestari, Garsinia. 2008. “Taman TOGA”. PT. Gramedia Jakarta. Permadi, A. 2008. :Membuat Kebun Tanaman Obat”. Pustaka Bunda Jakarta. Pracaya. 2007. “Bertanam Sayuran Organik”. Penerbit Penebar Swadaya Jakarta. Redaksi Agromedia. 2010. “Tips Merawat Tanaman Hias Populer”. PT. Agromedia Pustaka Jakarta. Sudarmo, S. 2005. “Pestisida Nabati”. Penerbit Kanisius Yogjakarta. Syukur, C dan Hernani. 2003. “Budidaya Tanaman Obat Komersial”. PT. Penebar Swadaya Jakarta. Martha Tilaar Innovation Centre. 2002. “ Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang “. PT. Penebar Swadaya Jakat. Wasito, H. 2008. Peran Perguruan Tinggi Farmasi Dalam Pengembangan Industri Kecil Obat Tradisional Untuk Pengentasan Kemiskinan”. Wawasan Tri Dharma Majalah Ilmiah Kopertis Wil.IV. No. 8. Th XX Maret