Haatzaai Artikelen: Pedang DamoclesPembunuh Demokrasi

advertisement
Occasional Paper Series #4
Haatzaai Artikelen: Pedang Damocles Pembunuh
Demokrasi, Reformasi dan HAM
Oleh
Togi Simanjuntak
ELSAM
Jakarta
2004
Haatzaai Artikelen:Pedang Damocles Pembunuh Demokrasi, Reformasi dan HAM oleh
Togi Simanjuntak
Editor
Erasmus Cahyadi T.
Desain Sampul:
Layout:
Cetakan Pertama, Oktober 2004
Hak terbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM
Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi
manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia di Indonesia.
Penerbit
ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519
E-mail: [email protected], [email protected]; Web-site: www.elsam.or.id
Daftar Isi
1. Latar Belakang
2. Ancaman bagi Demokrasi, Reformasi, dan Hak Asasi Manusia
3. Karakter Penggunaan dan Korbannya di Masa Reformasi
4. Harus Ditiadakan
Profil Elsam
Haatzaai Artikelen:1
Pedang Damocles2 Pembunuh Demokrasi, Reformasi dan HAM
Togi Simanjuntak
Latar Belakang
Belum lagi genap satu tahun masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (selanjutnya
disebut Rezim Megawati), ruang tahanan mulai diisi kembali oleh tahanan-tahanan
politik.3 Situasi ini sangat kontras dengan putusan pengadilan yang membebaskan para
koruptor penjarah uang negara, atau putusan pengadilan hak asasi manusia (HAM) ad hoc
yang menghukum ringan (bahkan membebaskan) para perwira militer yang diindikasikan
melanggar HAM.
Sebagian dari para tahanan politik itu merupakan para mahasiswa dan pemuda yang
melakukan unjuk-rasa menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik
(BBM/TDL) awal Januari 2003, juga para aktivis organisasi non-pemerintah, atau tokoh
masyarakat di wilayah konflik yang menyampaikan pendapat dan pikirannya atas situasi
yang berkembang di wilayahnya.
Memang sebagian dari antara mereka belum diadili. Tetapi beberapa yang diadili,
seperti misalnya tokoh Front Pembela Islam (FPI) Jafar Umar Thalib, tokoh Front
Kedaulatan Maluku (FKM) Alexander Hermanus Manuputty, serta aktivis Sentral
Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar sudah divonis. Yang mengejutkan,
mereka dikenakan pasal-pasal karet tentang apa yang dimaksudkan dengan penyebaran
rasa kebencian atau Haatzaai Artikelen. Haatzaai Artikelen, yang di masa pemerintahan
KH Abdurrahman Wahid mulai dikuburkan itu, kini dibangkitkan kembali.
Tampaknya pendulum kebebasan politik, kebebasan berekspresi, dan menyatakan
pendapat cepat bergeser. Saat ini, jerat untuk kasus-kasus politik kembali dipasang. Di
berbagai daerah – dari Aceh, Jakarta, hingga Papua – bisa ditemui kasus-kasus politik yang
berakhir dengan pemenjaraan. Kasusnya pun sangat beragam, dari aksi teatrikal yang
mencoret dan menginjak-injak gambar presiden/wakil presiden, membakar boneka wayang
berwajah presiden, menggelar aksi demonstrasi tanpa izin, melanggar ketertiban umum,
menghasut, melawan petugas, sampai “hanya” mengibarkan bendera.
1
Dalam seluruh artikel ini, penyebutan haatzaai artikelen (misalnya seperti yang dipakai penulis untuk tabel
4 artikel ini) tidak hanya dimaksudkan dengan pasal-pasal penyebar kebencian yang terdapat pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi juga menyangkut semua produk hukum yang terkait dengan
kejahatan keamanan negara (misalnya Undang-undang dan sebagainya) maupun pidana politik lainnya.
2
Pedang Damocles diambil dari kisah Damocles, penduduk Syracuse, Yunani, pada abad ke-4 Masehi saat
diperintah oleh tiran Dionysus. Pada suatu kesempatan Damocles diundang sang tiran untuk menghadiri
sebuah pesta yang diadakannya, kemudian Damocles memenggal kepala Dionysius. Sedemikian tajamnya
pedang tersebut, sehingga dikisahkan mampu memotong setipis apapun rambut seorang manusia. Lihat
Thomas E. Guinn, “The Sword of Damocles”, di dalam http://www.csanews.net/
3
Saat tulisan ini digarap, Presiden Megawati Soekarnoputri belum genap satu tahun memerintah. Oleh
karena itu data yang digunakan didalam artikel ini berasal dari periode tersebut. Pada periode itu banyak
terjadi unjuk rasa menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak, dan juga kerusuhan di daerah-daerah
konflik. Hal ini bisa dimengerti, mengapa pasal-pasal penyebar kebencian banyak digunakan penyidik
kepolisian bagi para terdakwa demonstrasi dan “penyulut” kerusuhan di daerah konflik. Semakin
berkurangnya intensitas demonstrasi pada tahun kedua dan tahun ketiga pemerintahan Megawati, maka
sebagai konsekuensi logisnya adalah semakin berkurang pula penggunaan pasal-pasal penyebar kebencian
oleh aparat penyidik kepolisian.
1
Mengapa pasal-pasal karet tersebut kembali dipergunakan rezim Megawati? Apa
yang melatarbelakangi penggunaan Haatzaai Artikelen untuk membungkam suara-suara
kritis di masyarakat? Apakah ini berarti kita telah kembali ke zaman otoriter sebelum
bergulirnya reformasi yang dipelopori para mahasiswa? Apakah akibatnya bagi kelanjutan
reformasi, pertumbuhan demokrasi, serta penegakan HAM di Indonesia?4
Menjelaskan motif yang melatarbelakangi penggunaan kembali Haatzaai Artikelen
oleh rezim Megawati untuk menjerat para aktivis politik bisa didekati dari beberapa
perspektif teori.
Pertama, mereka yang mencoba menjelaskannya dari pendekatan paradigmatik
ideologi politik yang dianut Megawati dan partainya, yakni ideologi nasionalisme yang
diusung dalam varian nasionalisme organik.5 Dalam varian nasionalisme ini, maka negara
ditempatkan secara lebih superior vis a vis rakyatnya. Negara dengan otoritas yang
dimilikinya dapat mengabaikan hak-hak sipil dan politik warga-masyarakatnya.
Penggunaan yang sistematis dari model nasionalisme ini bisa mengarah kepada
otoritarianisme, dan -dalam bentuk ekstremnya- adalah fasisme negara. Kondisi ini
kemudian bisa diparalelkan dengan penerapan nasionalismenya rezim Soeharto di masa
lalu.
Kedua, adalah mereka yang mencoba menjelaskannya dari pendekatan
pembangunan kembali sistem hukum yang mendukung atau mem-back up praktik-praktik
paradigma ideologi politik nasionalisme rezim Megawati. Atau – meminjam istilah MM
Billah – pembangunan kembali sistem hukum ini sebagai bagian dari upaya rekonsilidasi
otoritarianisme.6
Kecenderungan upaya penguatan sistem atau produk hukum untuk rekonsilidasi
otoritarianisme ini sudah tampak dari beberapa proses legislasi di DPR. Sementara
kebutuhan atas produk hukum yang bisa melindungi penguatan proses demokratisasi dan
penegakan HAM terabaikan, di lain sisi, proses legislasi yang mendukung rekonsilidasi
otoritarianisme menjadi porsi perhatian DPR maupun pemerintah untuk segera disetujui.
Untuk sekedar menyebut beberapa contoh, misalnya RUU Anti-terorisme, RUU Intelijen,
RUU Kebebasan Informasi, dan RUU TNI.
Dalam konteks sosio-politik seperti inilah, menjadi jelas logika penerapan Haatzaai
Artikelen oleh rezim Megawati. Artinya, sebelum suatu produk undang-undang yang sahih
4
Demokrasi, reformasi, dan HAM yang dimaksudkan dalam artikel ini merupakan suatu kosa kata yang lahir
dari hasil pengalaman historis dan sosiologis masyarakat di negara-negara liberal-kapitalis Barat. Oleh sebab
itu, untuk mengukur pelanggaran hak-hak sipil dan politik, yang diakibatkan oleh penggunaan pasal-pasal
penyebar kebencian, dalam kaitannya dengan proses demokratisasi, reformasi, dan penegakan HAM di
Indonesia, penulis menggunakan referensi para teoritisi liberal-universalis, dan libertarian-individualis
(sebagaimana tabel 2, dan 3 pada artikel ini), darimana pengertian HAM itu dilahirkan.
Kedua, penggunaan referensi para teoritisi liberal-universalis, dan libertarian-individualis dalam
artikel ini sesungguhnya ingin menunjukkan, bahwa konsepsi demokrasi dan perjuangan HAM telah
diletakkan dalam kerangka prosedur baku pentahapan politik (yang ilutif): “non-demokrasi—transisi-demokrasi penuh”. Sementara itu, dalam pandangan kaum sosialis, praksis pembebasan dan emansipasi
kemanusiaan yang sejati dengan sendirinya akan mereduksi kebutuhan-kebutuhan atas dasar kategorikategori HAM sebagaimana dipraktikkan di negara-negara kapitalis pusat maupun pinggiran. Kategorikategori HAM adalah agenda terselubung (hidden agenda) kaum pemilik modal untuk mempertahankan
sistem dan struktur sosial yang tidak adil, di negara-negara kapitalis pusat maupun pinggiran.
5
Nasionalisme organik ini bertolak-belakang dengan nasionalisme-kerakyatan yang diusung para foundingfathers Indonesia – Soekarno dan kawan-kawan – yaitu yaitu suatu bentuk nasionalisme pembebasan dan
pemerdekaan untuk tercapainya suatu tatanan masyarakat yang adil, sejahtera, dan berperi-kemanusiaan.
Sedangkan nasionalisme-organik adalah suatu bentuk nasionalisme yang sudah termanipulasikan untuk
kepentingan kekuasaan elite politik dan ekonomi saja. Semboyannya yang terkenal adalah, “right or wrong is
my country”.
6
Lihat epilog M.M. Billah di dalam Stagnasi Hak Asasi Manusia, KontraS, 2002, hal. 92ff.
2
untuk berlangsungnya kembali praktik otoritarianisme memperoleh legitimasinya oleh
negara, maka sebagai suatu “transisi” adalah relevan untuk menggunakan pasal-pasal karet
Haatzaai Artikelen dalam kaitan menangkapi, dan memenjarakan para anggota masyarakat
yang kritis.
Bahkan lebih jauh lagi, jika di masa rezim Soeharto, penerapan Haatzaai Artikelen
itu masih memiliki bobot politik, karena disesuaikan dengan esensi atau substansi delik
politik terhadap para pelakunya. Maka, di masa rezim Megawati ini, seseorang bisa
dikenakakan Haatzaai Artikelen atas tuduhan penghinaan yang sebenarnya belum
menyentuh esensi atau substansi seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal delik politik
pada kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti misalnya, membalikkan foto
Presiden Dan Wakil Presiden, membawa wayang yang disimbolikkan sebagai figur
Presiden Megawati, atau juga membakar patung yang mirip wajah presiden.
Ancaman bagi Demokrasi, Reformasi, dan Hak Asasi Manusia
Penerapan Haatzaai Artikelen ini, bisa berimplikasi negatif bagi keberlangsungan
reformasi, proses demokratisasi, dan penegakan HAM di Indonesia. Lebih spesifik, bahwa
praksis penerapannya, secara substansial, bisa melanggar hak-hak sipil dan politik
warganegara sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
(DUHAM), dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan
on Civil and Polirtical Rights/ICCPR). Bahkan, dalam hubungannya atau kaitannya
dengan penghargaan dan penghormatan atas HAM sebagaimana tercantum pada konstitusi
negara, yaitu Amandemen Kedua UUD 1945 Bab XA Pasal 28A hingga 28J.
Bagaimanakah bisa dijelaskan karakter-karakter ancaman itu pada ketiga aspek:
kehidupan demokrasi di suatu negara, keberlangsungan reformasi dan penegakan HAM
khususnya?
Seperti diketahui Haatzaai Artikelen ini memiliki beberapa sifat atau watak “karet”.
Berbeda dengan azas yang dianut pada hukum pidana yang limitatif, maka Haatzaai
Artikelen ini menganut azas non-limitatif. Hukum Pidana mempersyaratkan batasanbatasan yang jelas secara formal-material atas tuduhan tindak pidana yang dilakukan
seseorang, yang justru tidak dipenuhi oleh pasal-pasal Haatzaai Artikelen.
Yang lainnya lagi, bahwa Haatzaai Artikelen ini berangkat dari presumtion of
guilty, bukan presumtion of innocence sebagaimana dikenal pada proses hukum acara
pidana. Dua aspek ini – presumtion of guilty dan azas non-limitatif – jelas menjadi celah
atau ruang untuk membuka peluang terjadinya praktik pelanggaran HAM, terutama atas
pengakuan hak-hak sipil dan politik warganegara.
Secara umum, para human rights scholar dan human rights defender/activist
mengelompokkan atau mengklasifikasikan hak-hak sipil dan politik tersebut atas tiga
kebebasan dasar, yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan
berkumpul. Dan, hukum hak asasi manusia internasional (termasuk ICCPR)
memperbolehkan pembatasan atas kebebasan-kebebasan dasar hanya pada “saat keadaan
darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, dan yang keberadaannya dinyatakan
secara resmi.” Pembatasan ini hanya diberlakukan, “sejauh hal itu dibutuhkan sekali oleh
urgensi situasi.”7
7
Lihat kata pengantar Sydney R. Jones, “Tiga Kebebasan Dasar Di Asia: Suatu Tinjauan Umum”, di dalam
Membelenggu Kebebasan Dasar: Potret Tiga Kebebasan Dasar di Asia, Elsam, 1999, hal.xxiii.
3
Lagi pula tentang pembatasan ini, sebagaimana dicermati pada berbagai pertemuan
Komite Hak Asasi Manusia PBB8, maka kebebasan berpendapat dapat dilakukan
pembatasan, “tetetetapi hanya sebatas sebagaimana ditentukan undang-undang, dan sejauh
untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban publik, kesehatan, atau moral
masyarakat.” Sementara itu, untuk kebebasan berserikat dan berkumpul dapat dibatasi atas
semua aspek di atas, maupun demi kepentingan melindungi hak-hak dan kebebasan orang
lain. Tetetapi, pembatasan itu harus dicantumkan dalam undang-undang, dan hanya
“sejauh diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis.”
Walaupun demikian kovenan memiliki suatu pembedaan yang jelas, dan tegas
antara kebebasan berpendapat dengan kebebasan berekspresi. Hal ini menjadi penting
untuk diungkapkan, karena argumentasi yang dihasilkannya akan berimplikasi, mengapa
Haatzaai Artikelen itu dapat membuka celah dan ruang bagi kemungkinan terjadinya
pelanggaran HAM.
Jika hak atas kebebasan berpendapat merupakan hal yang bersifat pribadi dan
absolut, tanpa membuka celah untuk paksaan apa pun, sementara kebebasan berekspresi,
merupakan hal yang bersifat umum dalam tingkat kepentingan sosial, serta memiliki
batasan-batasan yang alami. Pokoknya, ekspresi tersebut dapat menjadi subjek dari
larangan-larangan, tetetetapi hanya dalam kerangka prinsip legalitas, yaitu larangan atas
kebebasan berekspresi harus diatur dengan undang-undang, memiliki kadar urgensi, juga
karena disebabkan untuk tujuan-tujuan umum tertentu dan spesifik.9
Jadi, kebebasan berekspresi ini sebagaimana Paragraf 3 dari Pasal 19 ICCPR
mengandung klausul pembatasan, bahwa penerapan dari hak-hak yang diatur dalam
paragraf 2 Pasal 19 juga disertai tugas dan tanggung-jawab khusus. Selengkapnya bunyi
paragraf 3 Kovenan sebagai berikut:
“Pelaksanaan hak yang dicantumkan dalam ayat 2 Pasal ini menimbulkan
kewajiban-kewajiban dan tanggung-jawab khusus. Oleh karenanya dapat
dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetetetapi hal ini hanya dapat
dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:
a. menghormati hak dan nama baik orang lain;
b. melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum atau kesehatan atau
moral umum”
8
Komite atau komisi ini dibentuk pada tahun 1946, dengan tugas melakukan pengkajian-pengkajian,
mempersiapkan rekomendasi-rekomendasi dan rancangan instrumen-instrumen internasional yang
menyangkut hak asasi manusia. Komite juga menjalankan tugas-tugas khusus dari Majelis Umum atau
Dewan Ekonomi dan Sosial, termasuk dugaan-dugaan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Komisi ini
bekerjasama dengan semua badan PBB yang berwenang di bidang hak asasi manusia. Juga membantu Dewan
Ekonomi dan Sosial dalam mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan hak asasi manusia
dalam sistem PBB.
Komite yang semula terdiri dari 18 anggota, sekarang terdiri dari perwakilan 43 Negara Anggota
yang dipilih untuk masa tiga tahun. Beberapa tahun terakhir, Komite Hak Asasi Manusia telah membentuk
organ-organ untuk menyelidiki masalah-masalah hak asasi manusia di negara-negara dan wilayah-wilayah,
serta untuk tema-tema pelanggaran tertentu. Diantaranya termasuk pencarian fakta oleh para ahli yang terdiri
dari pelapor-pelapor khusus (special rapporteurs), perwakilan atau orang-orang yang ditunjuk oleh komite
untuk mempelajari situasi hak asasi manusia di negara-negara tertentu. Lihat Pusat Hak Asasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UN Centre for Human Rights), Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia: Lembar Fakta
(Terjemahan), Komnas HAM dan British Council, 1999, hal. 3-4.
9
Lihat Karl Josef Partsch, “Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan Berpolitik”, di dalam Ifdal
Kasim (ed), Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Elsam, Juli 2001, hal. 256ff.
4
Persoalan yang kemudian mengemuka adalah – sebagaimana pengalaman Komite
Hak Asasi Manusia PBB – terjadinya perdebatan mengenai tafsir dan interpretasi terhadap
poin b ayat 2 Pasal 19 tersebut, karena ini menyangkut hubungan antara negara dengan
warganegaranya, serta antara suatu negara dengan negara lainnya. Pada umumnya,
kesepakatan yang diambil –sebagai suatu kompromi dan jalan tengah – adalah akses atas
rahasia militer, hubungan diplomatik, atau urusan pemerintahan lainnya. Juga menyangkut
pelarangan atas material-material pornografi.
Jika dikaitkan dengan penerapan Haatzaai Artikelen, maka kontroversi atas
pembatasan menjadi relevan untuk dibahas, karena siapakah yang memutuskan apakah
sebuah pembatasan dapat dibenarkan? Bukankah ini akan terkait dengan pandangan
subjektif siapa yang berkuasa di suatu negara, dalam sistem demokrasi apa pun?
Misalkan tentang keamanan nasional, maka Michael HH Low, menyatakan, bahwa
pengertian tentang keamanan nasional sebagai suatu keadaan yang bebas dari tekanan fisik
(intervensi militer) dari luar. Kadar dari keamanan adalah relatif, karena tergantung kepada
persepsi elite politik suatu pemerintahan, dan juga harus didasarkan pada pertimbangan
objektif dari pandangan dan kemampuan pihak luar. Juga subjektif tergantung kepada
karakter elite politik, serta moralitas yang berkembang di masyarakat.10
Dalam konteks Indonesia misalnya, maka terdapat penafsiran terhadap definisi
“politik”, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi, human rights defender, juga
lembaga yudikatif negara (Mahkamah Agung) sekalipun.
Pada berbagai kasus delik politik yang menggunakan pasal-pasal Haatzaai
Artikelen sering terjadi perdebatan antara jaksa, pembela, dan hakim apakah seseorang itu
dianggap telah melakukan suatu perbuatan yang menyerang pemerintah, padahal di pihak
lain, perbuatannya itu masih dianggap sebagai hak warganegara untuk mengeluarkan
pendapatnya yang dijamin oleh konstitusi negara. Permasalahannya adalah sejauh mana
seseorang dianggap telah menyebarkan rasa benci, bermusuhan, atau menghina
pemerintah. Kapankah seseorang dianggap membenci, bermusuhan atau menghina
pemerintah, dan sejauh mana pendapat itu masih dianggap sebagai suatu kritik.11
Meskipun ditandai dengan adanya pembatasan, tetetapi pada prinsipnya tiga
kebebasan dasar tersebut, termasuk hak-hak yang terhimpun di dalamnya, dikategorikan
sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin
didalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Ini
jelas bertolakbelakang dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dikategorikan
sebagai hak-hak positif (positive rights).
Dengan menguraikan tentang pembatasan, serta kategori jenis kebebasan dasar
kovenan sipil-politik itu, dimaksudkan untuk meletakkan dan menempatlan posisi
Haatzaai Artikelen, sebagai suatu instrumen hukum yang berpotensi terhadap terjadinya
pelanggaran HAM.
Mengacu kepada pasal-pasal ICCPR, maka hak-hak negatif dapat dibagi atas dua
klasifikasi.12 Pertama, hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak yang bersifat absolut,
dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak, walaupun dalam
keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk dalam jenis ini adalah: (1) hak atas
hidup (rights to life); (2) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (3) hak
10
Lihat Michael HH Low, Introduction to the National Security Concept, Institute for Strategic Studies
University of Pretoria, ISSUP, South Africa, 1977, hal.10-11.
11
Lihat Lobby Loeqman, Delik Politik di Indonesia: Analisis Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta, IND-HILL-CO, 1993, hal. 7 dan 80.
12
Lihat Ifdhal Kasim, “Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik: Sebuah Pengantar” di dalam Hak Sipil dan
Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta, Juli 2001, xi-xiii.
5
bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (4) hak bebas dari penahanan
karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (5) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku
surut; (6) hak sebagai subjek hukum; dan (7) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan
agama.
Kelompok kedua, adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh
dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Hak dan kebebasan
yang termasuk dalam jenis ini antara lain: (1) hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
(2) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat
buruh; (3) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi, termasuk kebebasan
mencari, menerima, dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan batas (baik melalui lisan dan tulisan).
Dari dua jenis klasifikasi tersebut, maka Haatzaai Artikelen itu potensial
berbenturan, menegasi, dan mengeliminasi, baik pada jenis non-derogable terutama hak
atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan agama, maupun pada jenis derogable, yakni pada
keseluruhan hak seperti hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan berserikat, dan
hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi.
Jika dikaitkan kepada kedua jenis hak tersebut, pada beberapa kasus penggunaan
Haatzaai Artikelen di masa pemerintahan Megawati, maka sudah tampak akibatnya bagi
upaya penegakan HAM. Pengadilan atas Ja’far Umar Thalib, Alexander Manuputty,
Muhammad Nazar, atau juga dua pemuda aktivis (Nanang Mamija dan Muzakkir),
melanggar pasal-pasal ICCPR, baik pada jenis non-derogable (Pasal 18 kovenan), dan
jenis derogable (Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 22 kovenan).
Tabel 1
Penggunaan Haatzaai Artikelen Rezim Megawati Soekarnoputri dan Jenis
Pelanggaran HAM Menurut ICCPR
Nama Tokoh/Aktivis
Dakwaan/Pasal
Politik
Ja’far Umar Thalib
(i)Menyatakan rasa permusuhan,
kebencian, dan penghinaan
terhadap pemerintah Indonesia;
(ii)Melakukan provokasi,
menghasut, dan menghina
Presiden/Wakil Presiden;
(iii)Menghasut orang supaya
melakukan perbuatan pidana
(Pasal 134 KUHP; Pasal 134 jo
Pasal 136, dan Pasal 160)
Melakukan tindak pidana makar
(Pasal 106 jo Pasal 55 Ayat (1)
ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP
Mengkampanyekan separatisme
di Aceh (Pasal 154, Pasal 155,
Pasal 160, dan Pasal 161 KUHP)
Menghina Kepala Negara (Pasal
134 dan 137 KUHP)
Alexander Manuputty
Muhammad Nazar
Nanang Mamija dan Muzakkir
Delik Jenis Pelanggaran HAM
Menurut Pasal ICCPR
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, dan
Pasal 22
Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 22
Pasal 19 dan Pasal 22
Pasal 19 dan Pasal 22
Sumber: diolah dari berbagai media-massa
Dengan menganalisis instrumen-instrumen Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang
dikomparasikan kepada pasal-pasal Haatzaai Artikelen menjadi jelas, bagaimana dampak
atau akibat yang ditimbulkannya terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia. Tak hanya
6
itu, secara politis, penerapan Haatzaai Artikelen juga berimplikasi kepada proses
demokratisasi dan reformasi yang kini menjadi agenda pemerintahan Megawati
Soekarnoputri.
Mengapa Haatzaai Artikelen ini menjadi semacam “api dalam sekam” bagi
kehidupan demokrasi di suatu negara (termasuk Indonesia), karena hal ini menyangkut
filosofi dasar tentang konsepsi keamanan negara dan kejahatan negara. Sementara itu,
Haatzaai Artikelen sendiri merupakan jenis pidana atau delik politik dan/atau delik
kejahatan keamanan negara.
Di sinilah letak persoalannya, jika – dalam definisinya yang paling sederhana
sekalipun – demokrasi hendak meletakkan atau menempatkan rakyat dalam posisi sentral
pada setiap pengambilan keputusan politik di suatu negara, maka – sebaliknya/bertolak
belakang – filosofi dasar delik politik atau keamanan negara yang menjadi landasan
berpijak Haatzaai Artikelen adalah rakyat sebagai subordinasi dari kekuasaan negara di
mana keamanan negara harus didahulukan ketimbang kepentingan individu. Dengan logika
demikian, maka demokrasi menjadi bermakna sejauh mendukung kepentingan-kepentingan
ideologi-politik yang diusung suatu negara. Atau juga, HAM menjadi sesuatu yang bisa
dinomor-duakan, sementara keamanan negara menjadi sesuatu yang mesti didahulukan.
Di sini juga letak seriusnya ancaman Haatzaai Artikelen bagi demokrasi, karena
dengan sifat “karet”-nya, dan azas “presumtion of guilty” yang dianutnya, maka pengadilan
akan menghukum seorang warganegara yang secara kritis menggugat, mempertanyakan,
dan bahkan menolak suatu kebijaksanaan pemerintah yang dinilai tidak demokratis.
Dari berbagai pendekatan yang ada, maka untuk menilai ciri hakiki suatu negara
demokratis biasanya para ahli ilmu politik menggunakan dua pendekatan, yaitu demokrasi
sebagai tujuan, dan kedua, cara penyelenggaraan negara yang memungkinkan terwujudnya
negara yang demokratis.
Untuk melihat dari perspektif cara penyelenggaraan negara, maka mazhab
Schumpeterian – yakni suatu mazhab dari para teoritisi ilmu politik yang melihat
pendekatan prosedur dalam demokrasi – bisa menjelaskan tentang posisi sentral rakyat di
dalam suatu negara yang mengklaim dirinya sebagai demokratis. Mazhab ini melihat,
bahwa esensi dari karakteristik demokrasi adalah melalui prosedur kelembagaan untuk
melakukan perubahan kepemimpinan dengan kompetisi yang bebas (free competition)
melalui pilihan rakyat (popular vote).13
Robert A Dahl14 misalnya, yang menggunakan istilah “poliarki” (polyarchy) untuk
demokrasi, menyebutkan ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus
menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Hal ini bisa dilihat, pertama,
seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; kedua,
seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam
kompetisi politik itu.
Maka, untuk menjamin pemerintah berperilaku demokratis, harus ada kesempatan
yang diberikan kepada rakyat untuk: (1) merumuskan preferensi atau kepentingannya
sendiri; (2) memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan
kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan (3) mengusahakan
agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan
pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasar isi atau asal-usulnya.
13
J Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, George Allen and Unwin, London, 1970, p. 269273.
14
Robert A Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Democracy and Its Critics), diterjemahkan oleh A
Rahman Zainuddin, Cet.1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992.
7
Selain dari mazhab Schumpeterian, maka Diamond, Linz, dan Lipset15
memprasyaratkan demokrasi yang dijalankan di suatu negara yang demokratis atas tiga
syarat berikut: (1) adanya kompetisi yang meluas antara individu-individu dan kelompok
organisasi (terutama partai politik) untuk meraih kekuasaan berdasarkan jangka waktu
yang reguler, dan tanpa paksaan; (2) adanya partisipasi politik yang melibatkan partisipasi
sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan umum; (3) adanya kebebasan sipil dan
politik yang dimanifestasikan melalui kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan
untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi.
Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa besarkah bahayanya penggunaan
Haatzaai Artikelen tersebut bagi demokrasi di suatu negara, jika menggunakan parameter
negara demokratis para pemikir Schumpeterian itu? Jika dimatrikskan, maka akan terlihat
penegasian pasal-pasal dari Haatzaai Artikelen sebagai ancaman hukuman terhadap warga
negara yang mempergunakan hak-hak sipil dan politiknya sebagai berikut.
Tabel 2
Ciri Hakiki Negara Demokratis Schumpetarian vs. Ancaman Delik Politik Haatzaai
Artikelen
Teoritisi Schumpeterian
Prasyarat
Demokrasi Penegasian
Prasyarat
(Hak Politik Rakyat)
Demokrasi
Melalui
Haatzaai Artikelen
Robert A Dahl
(1) kebebasan untuk membentuk
dan bergabung dalam organisasi;
(2) kebebasan untuk
mengungkapkan pendapat; (3)
tersedianya sumber-sumber
informasi alternatif
(1) menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia (Pasal 154); (2)
menyiarkan, mempertunjukkan,
atau menempelkan tulisan yang
mengandung perasaan
permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia (Pasal 155 ayat 1); (3)
menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suatu
golongan di Indonesia (Pasal
156); (4) menyiarkan,
mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan yang
mengandung perasaan
permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap suatu
golongan di Indonesia (Pasal 157
ayat 1); (5) penghinaan dengan
lisan dan tulisan terhadap
penguasa atau badan hukum
(Pasal 207); (6) menyiarkan,
mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan yang
memuat penghinaan terhadap
penguasa atau badan hukum
15
L Diamond, J Linz, and S Lipset (eds), Democracy in Developing Countries, Vol. 3: Asia, Adamantine
Press, London, 1989, p. 51ff
8
J. Madison16
(1) hak-hak warganegara yang
“equal” , termasuk hak secara
langsung untuk mengawasi
jalannya pemerintahan; (2) sistem
politik yang harus memberi
jaminan kepada kaum minoritas
untuk memperoleh kesejahteraan,
kekuasaan, dan status
(Pasal 208 ayat 1); (7) tanpa izin
polisi mengadakan keramaian
(Pasal 510)
Sama dengan di atas, yakni Pasal
154, Pasal 155 ayat 1, Pasal 156,
Pasal 157 ayat 1, Pasal 207, Pasal
208 ayat1, Pasal 510
Tabel 3
Ciri Hakiki Negara Demokratis mazhab Demokrasi Liberal vs. Ancaman Delik
Politik Haatzaai Artikelen
Teoritisi
Liberal
Demokrasi Prasyarat
Demokrasi Penegasian
Prasyarat
(Hak Politik Rakyat)
Demokrasi
Melalui
Haatzaai Artikelen
Diamond, Linz, dan Lipset
1) Kebebasan berbicara, (2)
kebebasan pers, (3) kebebasan
untuk berorganisasi
(1) menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia (Pasal 154); (2)
menyiarkan, mempertunjukkan,
atau menempelkan tulisan yang
mengandung perasaan
permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia (Pasal 155 ayat 1); (3)
menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suatu
golongan di Indonesia (Pasal
156); (4) menyiarkan,
mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan yang
mengandung perasaan
permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suatu
golongan di Indonesia (Pasal 157
ayat 1); (5) penghinaan dengan
lisan dan tulisan terhadap
penguasa atau badan hukum
(Pasal 207); (6) menyiarkan,
mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan yang
memuat penghinaan terhadap
penguasa atau badan hukum
(Pasal 208 ayat 1); (7) tanpa izin
polisi mengadakan keramaian
(Pasal 510)
16
Lihat Paul Cammack, Capitalism and Democracy in the Third World: The Doctrine for Political
Development, Leicester University Press, London and Washington, 1997, p.20.
9
Dari matriks seperti diperlihatkan oleh tabel tersebut, maka terlihat jelas bahwa prasyarat
demokrasi seperti yang diajukan baik oleh para teoritisi Schumpetarian, para teoritisi
demokrasi liberal dan/atau demokrasi pluralis lainnya akan menjadi tidak memenuhi
syarat, jika produk hukum formal yang eksis di Indonesia masih tetap mengakomodir
pasal-pasal karet tersebut.
Sebabnya adalah karena pasal-pasal karet itu merupakan manifestasi suatu kondisi
dari pemberlakuan konsepsi keamanan negara yang memasukkan konsep “internal
subversion”, yakni suatu konsep pengelolaan negara yang menempatkan rakyat dan/atau
warga negaranya sebagai musuh negara, karena adanya kecurigaan dari negara bahwa
tindakan subversi lebih banyak datang dari dalam negeri. Apakah ia “murni merupakan
aspirasi lokal”, ataukah ia merupakan “infiltrasi dari unsur-unsur asing ke dalam negeri”.
Menurut sifatnya, kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dapat dibedakan
dalam dua jenis.17 Pertama, pengkhianatan intern (hoogverraad), yaitu kejahatan terhadap
bentuk pemerintahan dan bentuk negara. Misalnya pembunuhan terhadap kepala negara,
pemberontakan dan sebagainya. Dalam hal ini yang dilanggar adalah keamanan intern
negara (inwindige velligheid) atau “internal security”.
Kedua, pengkhianatan ekstern (landverraad), yaitu kejahatan keamanan negara dari
luar, atau kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi negara sehubungan dengan
negara-negara asing. Misalnya perbuatan-perbuatan yang membahayakan keamanan
negara terhadap serangan dari luar negeri (uitwindige veiligheid) atau “external security”,
karena berhubungan dengan aspek-aspek yang berada di luar wilayah negara.
Karakter Penggunaan dan Korbannya di Masa Reformasi
Penerapan Haatzaai Artikelen jelas berimplikasi secara signifikan bagi kehidupan
demokrasi, arah reformasi, dan – khususnya – penegakan HAM di Indonesia. Setelah
terjadinya semacam jeda di masa pemerintahan Gus Dur, tampaknya pasal-pasal karet
tersebut kembali dipergunakan oleh aparat kepolisian di masa pemerintahan Megawati
untuk menangkapi dan menjerat mereka yang menyampaikan aspirasi politiknya, melalui
aksi-aksi unjuk rasa.
Spektrum (luas jangkauan) dan gradasi (tingkatan) orang-orang maupun jenis,
bentuk atau ruang lingkup aktivitas yang bisa dimasukkan dan/atau dikategorikan sebagai
pantas untuk dijerat dengan pasal-pasal karet itu begitu luas dan beragam.
Dari sisi latar belakang ideologi-politik, mereka yang terjerat bisa merupakan
aktivis politik beraliran sosialisme (marxis, atau trostkys), juga mereka yang menganut
faham fundamentalisme agama, atau bahkan seorang nasionalis kerakyatan. Dari sisi ruang
lingkup aktivitas, mereka yang terjerat bisa merupakan akibat dari suatu pemogokan buruh,
menulis artikel di media-massa, unjuk rasa terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap
merugikan rakyat, hingga menyebarkan atau menempelkan pamflet di tempat-tempat
keramaian.
Dari sisi profesi, status sosial, dan posisi kelas, maka mereka yang dijerat pasalpasal karet tersebut, mulai dari seorang akademisi hingga buruh pabrik, dari seorang
wartawan hingga pengamen jalanan, dari seorang human rights defender hingga buruh
percetakan, dari seorang politisi partai hingga petani tak bertanah, dan dari seorang
mahasiswa hingga office boy sebuah organisasi non-pemerintah.
17
Lihat Oemar Seno Adji, “Delik Politik”, Pidato Ilmiah pada Dies Natalis Universitas Krisnadwipayana,
Jakarta, 1986.
10
Fakta bahwa semenjak Megawati berkuasa telah terjadi sejumlah penangkapan
dengan mempergunakan Haatzaai Artikelen sebagai pidana penjeratnya, memang tidak
bisa diperbandingkan dengan tindakan serupa yang dilakukan oleh rezim-rezim
pemerintahan sebelumnya, baik di masa Soekarno, maupun Soeharto. Sulit, jika mengukur
tingkat ancamannya bagi demokrasi dan penegakan HAM atas dasar kuantifikasi
rekapitulasi angka-angka korban Haatzaai Artikelen. Soeharto misalnya, mempraktikkan
tindakan anti-demokrasi dan HAM itu selama lebih 32 tahun, sementara Megawati baru
memerintah belum lagi genap satu tahun.
Yang lebih penting adalah, jika melihat implikasi penerapan Haatzaai Artikelen
secara esensial dan substansial bagi kehidupan demokrasi, reformasi, dan HAM. Artinya,
seberapa besar tingkat kualitatif yang ditimbulkannya bagi nilai-nilai kemanusiaan, jika
Haatzaai Artikelen itu tetap dipertahankan oleh suatu rezim yang berkuasa. Meskipun
demikian, kuantifikasi rekapitulasi angka-angka pun bisa berbicara jujur tentang
penggunaan Haatzaai Artikelen ini di masa rezim Megawati.
Tabel 4
Perbandingan Rekapitulasi Angka Korban Haatzaai Artikelen dan/atau Pidana
Politik Rezim Soeharto dan Rezim Megawati Soekarnoputri
Nama Rezim
Jumlah Korban Haatzaai Keterangan Persebaran
Artikelen18
Korban
(Wilayah,
Golongan, dan lain-lain)
Rezim Soeharto
378 orang19
Rezim Megawati Soekarnoputri
244 orang20
(1)Aceh dan Lampung 78 orang;
(2)Irian Jaya/Papua 44 orang;
(3)Jakarta, NTB, Jabar, dan
Wilayah lain 71 orang;
(4)Mahasiswa/Pemuda:
-Peristiwa Malari (1974) 37
orang;
-ITB (1989) 6 orang;
-Golput Semarang (1992) 2
orang;
-Front Aksi Mahasiswa Indonesia
(1989) 21 orang;
-Buku Pramoedya (UGM, 1989)
3 orang;
-Kasus Partai Rakyat Demokratik
(1996) 14 orang;
-Kasus striker SDSB 1 orang
(5)Tanjung Priok (1984) 45
orang;
(6)Timor Timur 18 orang;
(7)Buruh (Medan dan Pematang
Siantar, 1994) 38 orang
(1)Maluku (Front Kedaulatan
Maluku dan Front Pembela
18
Baik yang sudah divonis, disidangkan, atau dijerat Haatzaai Artikelen, tapi kemudian tuntutannya
dibatalkan.
19
Jika bukan sebagai dakwaan primair, maka sebagai dakwaan subsidair, biasanya pasal-pasal Haatzaai
Artikelen disandingkan dengan UU Subversi.
20
Biasanya disandingkan dengan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum. Belum termasuk 84 orang mahasiswa anti-Golkar, yang ditahan karena dituduh masuk ke
pekarangan kantor partai tanpa izin.
11
Islam) 8 orang;
(2)Mahasiswa dan Pemuda:
-Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi 49 orang;
-Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia 20 orang;
-Berbagai elemen 47 orang;
-Universitas Muslim Indonesia
Makassar 15 orang;
-Mahasiswa IKIP PGRI Jember
27 orang;
-Gerakan Pemuda Kerakyatan 4
orang;
-IISIP 15 orang;
-PRD 1 orang;
-Komunike Bersama 1 orang;
(3)Aceh 4 orang;
(4)Buruh (FNPBI dan lainnya) 52
orang;
(5)FPI (Habib Rizieq Shihab) 1
orang
Sumber: diolah dari berbagai media-massa
Sebagai suatu angka statistik, maka banyaknya jumlah orang yang menjadi korban di masa
rezim Megawati ini, yang dijerat dengan pasal-pasal pidana politik dan Haatzaai Artikelen
khususnya, dan produk hukum yang terkait dengan keamanan negara umumnya bisa
melahirkan sejumlah pertanyaan tentang kecenderungan arah pemerintahan yang semakin
otoritarian. Jadi, jika setahun dihitung 365 hari – meskipun saat tulisan ini dikerjakan
Megawati belum lagi genap setahun berkuasa – maka setiap 1,5 hari terjadi penangkapan
terhadap seorang warganegara yang dijerat dengan pasal-pasal Haatzaai Artikelen atau pun
dengan undang-undang yang terkait lainnya.
Jumlah orang yang dijerat Haatzaai Artikelen, pasal-pasal pidana politik, dan
produk hukum tentang keamanan negara dengan pendekatan kuantifikasinya, memang bisa
menjadi penilaian (assesment) tersendiri terhadap arah kecenderungan pemerintahan
Megawati dalam mengelola negara ini. Tetetapi, di lain pihak, kita pun menyaksikan
kembali dipergunakannya pola-pola atau metode penangkapan terhadap warganegara yang
disangkakan melakukan pelanggaran pidana politik, yang mengingatkan kita pada masa
otoritarianisme rezim Soeharto dahulu.
Meskipun sebagian ditangkap pada saat berdemonstrasi, tetetapi sebagian lainnya
ditangkap setelah demonstrasi selesai. Bisa malam harinya, keesokan hari, atau beberapa
hari kemudian. Iqbal Siregar, aktivis Gerakan Pemuda Islam (GPI), yang melakukan unjuk
rasa menentang kenaikan harga BBM, disatroni aparat, ditangkap menjelang tengah malam
di rumahnya. Ia ditangkap dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap presiden
karena kedapatan meMegawating potret wajah Megawati yang diberi tanda silang dengan
lakban warna hitam.21
Pola penangkapan sejenis juga dialami Nanang Mamija dan Muzakkir, dua aktivis
Gerakan Pemuda Kerakyatan. Empat hari setelah berdemonstrasi, Muzakkir, yang juga
seorang pengamen itu disergap aparat polisi di perempatan jalan di kawasan Galur, Jakarta
Pusat ketika sedang menjalankan profesinya tersebut. Sehari kemudian, Nanang diciduk
saat sedang tidur di rumah orang tuanya di kawasan Cileduk, Tangerang. Keduanya
21
P Bambang Wisudo dan Windoro AT, “Penjara Buat Para Aktivis Politik”, Kompas, 1 Maret 2003.
12
divonis satu tahun penjara olen Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena terbukti
melakukan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Memang dalam aksi 14 Juni 2002, kedua pemuda itu melakukan aksi teatrikal
dengan menggunakan foto Megawati-Hamzah sebagai lakon. Pada akhir lakon, foto itu
dinjak-injak lantas ditaburi nasi dan lauk basi. Aksi ini berakhir dengan tertib dan tanpa
insiden. Ternyata hal ini berbuntut panjang. Persoalannya menjadi mencuat ketika Jacob
Nuwa Wea, kader PDI Perjuangan yang juga Menteri Tenaga Kerja itu bereaksi keras atas
cara kedua pemuda itu menyampaikan aspirasinya. Bahkan Megawati yang marah
mengancam akan mencabut ke-WNI-an para demonstran.22
Tampaknya aksi menyobek, menginjak, dan membakar potret atau boneka kepala
negara sudah menjadi ritual yang selama ini biasa dilakukan demonstran dan disaksikan
masyarakat di layar televisi. Jika pada masa Habibie, dan Gus Dur, situasi ini berlalu
begitu saja23, maka situasi yang berbeda terjadi pada masa Megawati. Tiba-tiba foto
Presiden menjadi demikian penting, dan bisa membenarkan aparat untuk mencabut
kebebasan seseorang atas dasar pasal-pasal penyebaran kebencian.
Sakralisasi gambar wajah Megawati ini segera memakan banyak korban terutama
kalangan mahasiswa di berbagai daerah. Selain Muzakkir, dan Nanang, maka terjadi hal
serupa di berbagai kota, Jakarta, Surabaya, dan Banda Aceh, dimana para mahasiswa itu
dijerat dengan delik penghinaan/penyebaran kebencian.
Tetetapi bukan hanya penghinaan terhadap kepala negara saja yang dipakai aparat
untuk menjerat aktivis. Polisi juga menggunakan pasal-pasal dalam UU Nomor 9 Tahun
1999 berkaitan dengan penyelenggaraan aksi unjuk rasa tanpa izin, pelanggaran ketertiban
umum Pasal 156 KUHP, Pasal 154 dan 160 KUHP tentang penghasutan, atau Pasal 214
dan 218 soal tindakan menyerang petugas.
Gelombang demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),
telepon, dan tarif dasar listrik (TDL) pada awal tahun 2003 juga membawa korban dengan
dijeratnya para aktivis mahasiswa-pemuda dengan pasal-pasal haatzaai artikelen. Ign
Mahendra, dan Yoyok didakwa telah melakukan penghinaan terhadap kepala negara, yakni
presiden dan wakil presiden saat melakukan aksi demo menuntut penurunan BBM, TDL,
dan telepon di Bunderan UGM, Jl. Cik Di Tiro pada tanggal 17 Januari 2003. Mereka
didakwa telah melakukan pembakaran foto presiden dan wakil presiden. Perbuatan ini oleh
jaksa diartikan telah menyerang kehormatan dan nama baik seorang kepala negara.
Keduanya diancam dengan Pasal 134 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman
hukuman maksimal 6 tahun penjara.24
Selain terhadap mahasiswa dan pemuda, maka rezim Megawati juga menggunakan
pasal-pasal karet ini untuk meredam unjuk rasa kaum buruh. Pada 24 September 2002,
sebanyak 2000 buruh berdemonstrasi di Cimahi, Jawa Barat menuntut kenaikan upah
buruh 100 persen, menolak pemutusan hubungan kerja, menolak Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI)/Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK) beserta
revisinya, dan juga UU No. 25/1997. Buntut dari demonstrasi itu, sebanyak 32 buruh
ditangkap, serta dinyatakan bersalah melanggar Pasal 510 KUHP, yakni berdemonstrasi
tanpa meminta izin kepada aparat keamanan.25
Di Jawa Barat, tepatnya di kota Bandung, aksi unjuk rasa yang berakhir bentrok
dengan aparat kepolisian terjadi pada 13-14 Juni 2002, yang mengakibatkan sebanyak 20
22
Lihat “Menghina Mega, Memenjarakan Tapol,” Kompas, 31 Agustus 2002.
Pernah terjadi, ratusan foto Gus Dur dikubur oleh para mahasiswa Makassar. Gus Dur tenang-tenang saja,
jangankan memerintahkan menangkap pelakunya, untuk memberangus aksi-aksi itu pun ia tak tergoda. Ibid.
24
“Dihadiri Massa PDIP, Pembakar Foto Mega Disidang”, detik.com, 26 Pebruari 2003.
25
“Ribuan Buruh Berdemonstrasi: 32 Orang Ditangkap di Cimahi”, Kompas, 25 September 2002.
23
13
buruh anggota Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) ditahan dengan
tuduhan menghasut, karena menghimpun buruh dan menyebarkan pamflet mengajak buruh
bergerak menentang tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan yang akan
mempermudah pemecatan buruh oleh pihak pemilik perusahaan.26
Mahasiswa, pemuda, buruh, dan aktivis organisasi non-pemerintah menjadi target
utama untuk dijerat dengan Haatzaai Artikelen, sebagai konsekuensi yang akan dihadapi
mereka yang menggunakan hak-hak sipil dan politiknya. Lalu bagaimana pemerintah dalam hal ini aparat keamanan- mempersepsikan pasal-pasal karet tersebut pada daerahdaerah konflik?
Tidak bisa dipungkiri, bahwa angin kebebasan yang dihembuskan oleh euforia
reformasi menghantarkan semangat “perlawanan” daerah-daerah yang selama ini merasa
dimarginalkan secara ekonomi dan politik oleh pemerintah pusat. Setelah lebih 32 tahun
sepertinya tak memiliki ruang gerak untuk mengartikulasikan diri, sekonyong-konyong
banyak elite politik daerah yang menyuarakan hak-hak daerah mereka, bahkan jika perlu
dengan tuntutan maksimal melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).27
Ternyata persoalan daerah seperti magma tersumbat sebuah gunung berapi, dimana
selama puluhan tahun kebijakan pembangunan yang tidak adil itu tidak dicari jalan ke
luarnya atau akar masalahnya dengan melihat persoalan secara menyeluruh (holistik dan
multidimensional), tetetapi justru dengan pendekatan represif (militeristik dan bersandar
pada hukum positif semata), yaitu melalui penerapan UU Subversi No.11/PNPS/1963,
serta –last but not least – pasal-pasal haatzaai artikelen.
Dalam kasus kerusuhan sosial di Maluku sejak tahun 1999 yang telah memakan
korban lebih 3000 jiwa itu, pemerintah pusat seolah-olah mencari jalan pintas dan
“mencari kambing hitam” dengan memidana tokoh-tokoh yang dianggap memperkeruh
atau memanas-manasi situasi.
Panglima Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib meskipun akhirnya dinyatakan tak
besalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tetapi sempat mendekam di penjara, karena
didakwa menyatakan rasa permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah
Indonesia, dan juga melakukan provokasi, menghasut, dan menghina Presiden dan Wakil
Presiden, serta menghasut orang supaya melakukan perbuatan pidana. Ia dituduh
melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 134 KUHP
pada dakwaan pertama; Pasal 134 jo Pasal 136 pada dakwaan kedua; dan Pasal 160 KUHP
pada dakwaan ketiga, karena pidatonya di Masjid Al Fatah, Ambon, Maluku pada 26 April
2002.28
Sementara itu, Pimpinan Eksekutif Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alexander
Hermanus Manuputty dan Pimpinan Yudikatif FKM Samuel Waeleruny divonis 3 tahun
penjara oleh hakim PN Jakarta Utara, karena dinilai terbukti bersalah melakukan tindak
pidana makar, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64
Ayat (1) KUHP. Kedua orang itu dipersalahkan karena mengibarkan bendera Republik
Maluku Selatan (RMS) di markas RMS di Ambon.29 Alex sendiri menolak hukuman dan
tuduhan yang ditujukan terhadap dirinya. Ia menilai, pengadilan hanya menyoroti peristiwa
26
Kompas, 15 Juni 2002.
Selain di Provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku, dan Papua, maka wacana tentang selfdetermination juga muncul di Provinsi Riau yang kaya sumber daya alam mineral. Di Riau, salah seorang
pelopornya adalah Letjen (Purn) Syarwan Hamid, seorang militer loyalis Soeharto yang diduga tersangkut
pada beberapa kasus pelanggaran HAM seperti misalnya Peristiwa 27 Juli 1996.
28
“Ja’far Umar Thalib Divonis Bebas”, Kompas, 31 Januari 2003.
29
“Manuputty Divonis 3 Tahun”, Kompas, 29 Januari 2003.
27
14
kelahiran RMS di masa lalu, dan mengenai aktivitasnya, ia melakukan penelitian yang tak
membahayakan keselamatan orang lain.30
Di Papua, menyusul kerusuhan di Wamena yang menewaskan 11 penduduk
setempat akibat tembakan aparat keamanan, serta 19 orang pendatang pada 9 Oktober
2000, sebanyak lima orang aktivis politik, serta 16 orang anggota milisi pro-kemerdekaan,
Satgas Papua ditahan dan dikenai tuduhan pasal-pasal haatzaai artikelen, serta Pasal 2 ayat
1 UU No. 12 Tahun 1963 tentang Keadaan Darurat.31
Kelima aktivis tersebut adalah Pendeta (Pdt) Obed Komba, Pdt Yudas Meage,
Yafet Yelemagen, Murjono Murib, dan Amelia Yigibalom. Meskipun para saksi mata
menyebutkan, kelimanya sama sekali tidak terlibat dalam aksi kekerasan yang terjadi, dan
bahkan melakukan upaya-upaya untuk meredam massa yang beringas, tetapi aparat
keamanan tetap menjatuhkan dakwaan atas pasal-pasal 106 KUHP tentang perbuatan yang
mendukung separatisme; pasal 110 KUHP tentang turut serta dalam perbuatan yang
mendukung separatisme; pasal 154 KUHP tentang menyebarkan rasa permusuhan;
kebencian, dan penghinaan kepada pemerintah yang sah; pasal 155 KUHP tentang
menyebarkan rasa kebencian di antara masyarakat melalui media; pasal 160 KUHP tentang
mempengaruhi masyarakat untuk membangkang pemerintah atau melawan hukum; serta
pasal 169 KUHP tentang ikut serta dalam organisasi yang menganjurkan perbuatan
melawan hukum.32
Sementara itu, dari 16 anggota Satgas Papua, 15 orang di antaranya dikenai
dakwaan atas UU Keadaan Darurat, serta Pasal 214 KUHP, yakni memiliki senjata api
secara gelap. Seorang lainnya, Sudirman Pagawak didakwa atas Pasal 160 KUHP, dan
Pasal 192 KUHP tentang merusak fasilitas publik.33
Tak hanya para aktivis di Papua yang dikenai pasal-pasal karet, di Jakarta pun,
sebanyak 4 aktivis Papua ditahan dan dikenai Pasal 106, 110, dan 154 KUHP sebagai
buntut dari demonstrasi 300 orang Papua, yang menuntut kemerdekaan di Kedutaan Besar
Belanda pada 1 Desember 2000.
Keadaan yang serupa terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dimana
pemerintah pusat dalam upaya meredam pikiran-pikiran kritis dan tuntutan politik
masyarakat Aceh atas hak-hak mereka, menangkap serta menjatuhkan dakwaan pasal-pasal
Haatzaai Artikelen. Muhammad Nazar, Ketua Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)
salah satu korbannya. Karena mengorganisir rencana Unjuk Rasa Untuk Perdamaian
(“Mass Rally for Peace”) yang diprediksi akan diikuti ribuan rakyat NAD pada 11
November 2000, Nazar ditangkap polisi atas tuduhan sebagai orang yang selalu
mengkampanyekan separatisme di Aceh. Nazar pun didakwa atas pasal-pasal 154, 155,
160, dan 161 KUHP. Ia diadili pada Pebruari 2001.34
Selain Nazar, pasal ini juga menjerat Reihana Diani, aktivis Organisasi Perempuan
Demokratik Aceh, yang ditangkap bersama enam aktivis lainnya dalam aksi menuntut
Megawati-Hamzah mundur, serta menyerukan kemerdekaan untuk Aceh. Ia diajukan ke
pengadilan dengan dakwaan menghina kepala negara dan divonis enam bulan penjara,
hanya beberapa saat setelah pemerintah RI dan GAM menandatangani kesepakatan
penghentian permusuhan di Geneva (Swiss) 9 Desember 2002.
30
Lihat “Dituntut Lima Tahun Penjara”, di dalam http://www.TokohIndonesia.com
Lihat Amnesty International, Briefing on the Current Human Rights Situation in Indonesia, 31 Januari
2001, hal. 2 dan 7.
32
Ibid, hal.8
33
Ibid, hal.7
34
Ibid, hal.6.
31
15
Dari berbagai contoh kasus penerapan Haatzaai Artikelen di masa reformasi ini,
tampak jelas belum berubahnya sifat, watak, dan karakter aparat keamanan di dalam
mempersepsikan aktivitas warganegara untuk mengaktualisasikan hak-hak sipil dan
politiknya. Pendekatan yang dipergunakan masih belum beranjak dari model pendekatan
represif dan militeristik seperti yang diterapkan pada masa rezim otoriter Soeharto.
Pemerintahan Megawati bersikap ambigu terhadap persoalan ini. Di satu sisi, aparat
keamanan sepertinya bersikap “reformis” dengan memberi ruang berekspresi bagi warga
negara untuk berunjuk-rasa pada berbagai kasus yang tidak menyentuh atau menghujam ke
masalah posisi dan kedudukan kekuasan elite politik seperti aksi unjuk rasa menentang
invasi AS ke Irak. Tetetapi di sisi lain, aparat keamanan sepertinya cepat bereaksi ketika
aksi unjuk rasa tersebut, sudah menyentuh atau menghujam ke wilayah yang terkait dengan
persoalan suksesi kepemimpinan nasional ataupun memprotes kebijakan pemerintah yang
dinilai tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan.
Harus Ditiadakan
Jika Haatzaai Artikelen ini sesungguhnya sangat berbahaya untuk kehidupan demokrasi,
keberlangsungan reformasi, dan penegakan HAM, ini artinya keberadaannya tidak
memiliki legitimasi untuk dipertahankan. Baik secara historis-filosofis, historis-juridis,
maupun historis-politis. Oleh sebab itu, pertanyaannya adalah, apa yang sebaiknya mesti
dilakukan oleh segenap komponen bangsa untuk memutuskan mata-rantai dengan produk
hukum yang potensial bagi terjadinya praktek-praktek pelanggaran HAM tersebut?
Untuk menjawabnya, maka ada baiknya terlebih dahulu kita membedah untuk
kemudian mematahkan dalil-dalil serta argumen yang sebelumnya menjadi dasar legitimasi
dicantumkan, dan digunakannya pasal-pasal karet tersebut di dalam KUHP.
Pasal-pasal penyebar kebencian itu hingga kini belum dicabut, bahkan tetap
diakomodasi di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RUU KUHP)35 yang kini masih diagendakan di DPR. Oleh sebab itu, menjadi penting
untuk mengkritisi keberadaan pasal-pasal itu di dalam sistem hukum nasional kita. Secara
historis, maka sudah jelas bahwa motif mengapa haatzaai artikelen ini tetap dipertahankan
keberadaannya, adalah sebagai upaya rezim pada suatu masa pemerintahan untuk
mempertahankan kekuasaannya. Rezim yang berkuasa, baik pada masa kolonial maupun
pasca kolonial, selalu berusaha meredam dan mencoba untuk menyelesaikan suatu konflik
politik melalui penggunaan delik politik yang diakomodasi pada sistem hukum nasional.
Sesungguhnya haatzaai artikelen ini tidak memiliki legitimasi sama sekali untuk
dipertahankan. Baik secara historis-filosofis, historis-juridis, maupun historis-politis.
Dari aspek historis-filosofis36 misalnya, haatzaai artikelen ini dicangkokkan
kepada KUHP pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905, dari British Indian Penal
Code yakni ketentuan pidana yang berlaku di India sewaktu dijajah Inggris. Padahal upaya
untuk memasukkan materi tersebut kepada KUHP Belanda sendiri ditolak oleh partaipartai politik, dan Parlemen Negeri Belanda karena dianggap melanggar hak-hak asasi
warga negara Belanda. Landasan filosofisnya mengapa pasal-pasal itu tetap diberlakukan,
karena dinilai pantas untuk diterapkan hanya bagi penduduk negeri jajahan.
Bahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, sifat delik haatzaai artikelen ini diubah
dari yang asli menjadi sangat mematikan. Pada materi aslinya, haatzaai artikelen
35
Periksa kembali Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor…Tahun…Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Direktorat Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundangundangan 1999-2000.
36
Lihat RH Siregar,”Indonesia Masih Dijajah Belanda”, Suara Pembaruan, 27 Juni 2002.
16
membebankan kepada penyidik untuk membuktikan terlebih dahulu telah terjadi perasaan
kebencian dan permusuhan dalam masyarakat terhadap pemerintah, menjadi sebaliknya,
yakni tak ada keharusan bagi penyidik untuk membuktikan perasaan tersebut.
Dari aspek historis-juridis dan historis-politis, maka haatzaai artikelen ini tidak
layak untuk diterapkan, karena sulit untuk merumuskan delik politik akibat sulitnya
mencari definisi yang universal tentang politik. Delik politik merupakan istilah sosiologis,
bukan istilah juridis. Akibatnya dalam sejarah hukum, pada sistem hukum yang berlaku
pada suatu masa, di suatu negara manapun, tidak pernah diketemukan suatu kesatuan
pendapat tentang substansi delik politik. Padahal asas dalam hukum pidana menghendaki
kejelasan yang mempunyai sifat limitatif, untuk mencegah terjadinya multi-tafsir.
Mengutip Remmelink, Lobby Loeqman37 menjelaskan, perlunya dibedakan antara
perbuatan politik dengan kejahatan politik. Perbandingan antara keduanya, akan
memperlihatkan bahwa perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak ditujukan untuk
menimbulkan kekacauan dengan suatu tujuan mengacaukan negara, akan tetetetapi
melakukan suatu perbuatan kritik yang melanggar undang-undang dengan tujuan
memperbaiki keadaan masyarakat dengan medium ekspresinya seperti demonstrasi, petisi,
aksi protes, dan sebagainya. Pelaku delik politik dengan penuh kesadaran berkeyakinan,
bahwa dirinya beritikad baik telah melakukan suatu perbuatan yang menurutnya tidak
bertentangan dengan tertib masyarakat. Bahkan perbuatannya adalah demi kebaikan
masyarakat dan keadilan, meskipun mungkin saja –sebagai konsekuensinya – akan diikuti
dengan suatu peristiwa kekerasan.
Bagi seseorang yang ingin melakukan kritik terhadap suatu kebijakan pemerintah,
tidaklah secara otomatis dianggap sebagai ingin melakukan kekacauan di bidang
ketatanegaraan, akan tetetetapi sebagai bentuk kontrol sosial terhadap kebijaksanaan
pelaksanaan pemerintah.
Sedangkan menurut Hazewinkel-Suringa38, maka untuk memahami sikap beberapa
negara atas pemberlakukan delik politik dibedakan atas empat teori. Dalam konteks
Indonesia, maka haatzaai artikelen melihat kepada pengaturannya yang ada di dalam
KUHP, termasuk dalam teori objektif, atau teori absolut, yaitu delik politik yang ditujukan
terhadap negara dan lembaga-lembaga negara. Sedangkan pengaturan yang terdapat dalam
undang-undang subversi (UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi), termasuk dalam klasifikasi teori subjektif, yaitu pada dasarnya semua perbuatan
yang dilakukan dengan berlatar-belakang atau bertujuan politik adalah suatu delik politik.
Rumusan tentang delik politik memang sangat beragam, dan berbeda-beda.
Biasanya, karena sistem otoriter dan represif dari negara-negara di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, seseorang yang bisa dipidana politik selalu dikaitkan dengan aktivitasnya
sebagai aktivis politik, atau oposan pemerintah. Padahal beberapa teori hukum juga
menegaskan, bahwa seseorang, kelompok, atau golongan yang dapat dikategorikan
melakukan tindak pidana politik39 bukan hanya tehadap warga negara, tetetapi juga
37
Lihat Lobby Loeqman, “Penyelesaian Konflik Politik: Tinjauan Historis-Filosofis dan Praktis Pemanfaatan
Peradilan Sebagai Wahana”, di dalam http://www.geocities.com/RainForest/vines/3367/lukman.html
38
Ibid , seperti dikutip Lobby Loeqman dari Hazewinkel-Suringa, Inleiding tot de Studie van het
Nederlandse Strafrecht, Tjeenk Willink Alphen a/d Rijn, 1984
39
Sue Titus Reid memberi rumusan demikian untuk tindak pidana politik: “…Political crimes are those that
challenge the authority of the state and, particularly, its monopoly on the use of force. “Lebih jauh Reid
menambahkan, bahwa seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengubah struktur sosial, dapat pula
dikategorikan sebagai tindak pidana politik, dan mungkin diakibatkan oleh pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mempertahankan struktur atau hukum tertentu yang
diberlakukan karena alasan politis. Lihat Sue Titus Reid, Crime and Criminology, 9th edition, McGraw and
Hill Companies, 2000, hal. 256ff.
17
terhadap pejabat pemerintah yang dinilai melakukan –dalam istilah Hugh Barlow40 –
korupsi politik (political corruption) dalam bentuk, pertama, kegiatan yang ditujukan
untuk memperoleh keuntungan uang; kedua, kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan
kekuasaan politik kelompok tertentu.
Jadi, dalam konteks Indonesia, jika dipergunakan definisi Barlow, seseorang atau
mereka yang dapat dikenakan delik atau pidana politik, semestinya bukan hanya
diberlakukan terhadap mereka yang berpikir kritis untuk mengeritik pemerintah, tetetapi
juga terhadap pejabat publik atau pegawai negeri yang dapat dikategorikan melakukan
korupsi dan kolusi, serta juga terhadap politisi yang –misalnya – melakukan suatu caracara untuk memperoleh dana-dana pemilihan umum secara tidak sah. Argumentasinya,
bahwa korupsi dan kolusi yang dilakukan birokrat maupun politisi itu jelas dampaknya
merugikan masyarakat luas.
Dengan demikian, definisi kejahatan politik tidak semata “suatu perbuatan yang
menjurus kriminal akibat adanya ancaman terhadap negara dan stabilitas politik pada
khususnya” (an action considered criminal because it represent a threat to the state or its
political stability), tetetapi lebih luas lagi menyangkut “tingkah laku para birokrat dan
pejabat publik” (behaviour of the office holders), termasuk di dalamnya “para penegak
hukum” (law enforcement agents).
Oleh sebab itu, definisi kejahatan politik yang terdapat dalam KUHP sekarang ini
menafsirkan pelakunya hanya anggota masyarakat saja, padahal sesungguhnya si
peMegawating kekuasaan, yaitu mereka yang mempunyai jabatan tertentu, dapat pula
dituduh melakukan kejahatan politik, karena berusaha mempertahankan suatu orde
pemerintahan tertentu, dan kemudian melanggar hukum yang telah diputuskan
sebelumnya. Contohnya adalah kekerasan yang dilakukan polisi (police brutality),
pengabaian terhadap kebebasan berbicara (denial of free speech), pencegahan
kemerdekaan berserikat (restriction of free assembly), dan seterusnya.41
Jika definisi Barlow yang disepakati, maka tindak pidana politik patut pula
dikenakan kepada para elite politik dan elite ekonomi yang tidak mengindahkan asas
kedaulatan rakyat.
Dengan mengutip Barlow dan Reid, terlihat adanya upaya peng-antitesa-an
terhadap cara pandang selama ini, yang melihat delik politik atau delik keamanan negara
dari perspektif kekuasaan menjadi ke perspektif rakyat sebagai peMegawating tertinggi
kedaulatan pada suatu negara demokrasi. Semangat yang bisa dianalisis dari perspektif
Barlow dan Reid, bahwa keselamatan dan keamanan negara justru terancam oleh praktekpraktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan para birokrat maupun
elite ekonomi.
Persoalannya sekarang, bahwa tetap dipertahankannya pasal-pasal karet di dalam
KUHP, dan bahkan masih “muncul” di dalam RUU KUHP di era reformasi yang “konon”
sebagai representasi suatu pemerintahan sipil-demokratis, seharusnya menjadi perhatian
serius semua pihak –akademisi, human rights defender, aktivis pro-demokrasi, politisi
parpol, hingga birokrat dan teknokrat pemerintah yang kritis – untuk bersama-sama
memperjuangkan hapusnya Haatzaai Artikelen dari hukum positif di negara ini.
40
Demikian rumusan Hugh Barlow: “…We speak of political corruption when officer-holder in government
and politics violate the laws regulating their official conduct so as to benefit themselves or specific others, or
use the power and influence associated with their office to induce others to commite crimes…We may
encounter political corruption at city, county, state, and federal levels of the political process…Lihat Hugh D
Barlow and David Kauzlarich, Introduction to Criminology, 8th edition, Upper Saddle River, Prentice-Hall,
New Jersey, 2002, hal. 258ff
41
Lihat Irawan Saptono dan Togi Simanjuntak, Politik Pembebasan Tapol, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 26-27.
18
Sebagai suatu pasal yang dicangkokkan ke dalam KUHP kolonial dari British
Indian Penal Code, semestinya haatzaai artikelen itu menjadi tidak relevan lagi untuk
dipertahankan, karena lima sebab berikut ini.
Pertama, dasar argumentasi yang dipakai untuk mempergunakannya adalah untuk
kepentingan penjajahan negara-negara kolonial terhadap negara-negara terjajah. Dengan
sistem monarki yang dianut pada sebagian negara Eropa pada abad ke-18/19, yang
menuntut kepatuhan mutlak dan absolut kepada Raja/Ratu-nya.
Kedua, karena sifat karet dan subjektif yang melekat pada pasal-pasal tersebut
secara filosofis bertolak-belakang dengan azas yang dianut pada hukum pidana pada abad
ke-20 ini, yaitu mempunyai kejelasan yang bersifat limitatif.
Ketiga, pasal-pasal ini pun tidak sesuai lagi dengan semangat yang berkembang di
antara bangsa-bangsa di dunia, terutama menyangkut atau yang berhubungan dengan
kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi, yang tercantum pada Pasal 19
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,42 sebagai suatu hak dasar yang ‘menjiwai’ hakhak sipil-politik lainnya.
Keempat, jika tetap dipertahankan, maka pasal-pasal karet ini bisa mereduksi dan
bahkan mengeliminasi (dalam prakteknya) penghargaan dan penghormatan atas hak asasi
manusia sebagaimana tercantum pada konstitusi negara RI, yaitu Amandemen kedua UUD
1945 Bab XA Pasal 28A hingga 28 J.
Kelima, jika pun “terpaksa” untuk tetap diberlakukan, sebagai suatu alternatif,
maka pasal-pasal delik kejahatan politik atau delik keamanan negara itu dicantumkan atau
dimasukkan ke dalam KUHP, tetetetapi dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) oleh penyelenggara negara.
Oleh karena itu, demi untuk mendukung penegakan HAM, keberlangsungan
reformasi, dan proses demokratisasi maka pasal-pasal Haatzaai Artikelen yang masih
terdapat pada KUHP harus dicabut. Sebagai suatu jurisprudensi, hal ini pernah dilakukan
pada tahun 1946, pada saat republik masih berusia muda, dimana pemerintah kala itu
mencabut pasal 153 bis dan 161 bis dari KUHP.43 Saat itu, pemerintah melakukan
perubahan secara parsial, seperti juga yang dilakukan terhadap Pasal 171 KUHP dengan
menggantinya melalui Pasal XIV dan Pasal XV UU No. 1 Tahun 1946.
Berdasarkan pengalaman itu, maka sebaiknya elite politik di legislatif dan eksekutif
tidak perlu berpikir muluk-muluk untuk membuat RUU KUHP secara seutuhnya,
melainkan mengingat situasi dan kondisi serta urgensinya, maka penyempurnaan
sebaiknya dilakukan parsial. Yaitu beberapa pasal yang dinilai sangat mendesak untuk
diubah, dijadikan prioritas untuk ditangani. Sebaiknya cara seperti itulah yang ditempuh,
apabila penciptaan KUHP nasional seutuhnya belum dapat dilakukan dalam waktu dekat.
(*)
42
Pasal 19 DUHAM berbunyi, “Setiap orang memiliki hak bagi kebebasan berpendapat dan menyatakan
pikiran; hak tersebut termasuk kebebasan untuk memiliki pandangan tertentu tanpa campur tangan dan untuk
mencari, menerima, dan meneruskan informasi dan gagasan melalui sarana apapun dan tanpa batas.”
43
Pasal 153 bis dan 161 bis merupakan pasal-pasal yang paling sering dipergunakan pemerintah kolonial
untuk menjerat para tokoh pergerakan nasional. Pasal-pasal ini dipergunakan bagi mereka yang disebut
sebagai penghasut atau pemberontak, dengan disertai exorbitante rechten atau hak-hak luar biasa dari
gubernur jenderal untuk menggunakannya. Soekarno pada saat disidang pada 18 Agustus hingga 22
Desember 1930 di Bandung juga dikenakan pasal-pasal tersebut. Lihat Ir. Sukarno, Indonesia Menggugat:
Pidato Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial Bandung, 1930, Haji Masagung, Jakarta,
1989.
19
Download