11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Shared Stock (Sediaan yang Diusahakan Bersama) Sediaan merupakan jumlah organisme yang merupakan bagian dari suatu populasi disuatu tempat, dan suatu sediaan mungkin saja merupakan suatu bagian dari suatu populasi atau lebih dari satu populasi (Widodo, 2006). Selanjutnya Marguire (2006), menyatakan bahwa pengertian sediaan dalam perikanan merupakan parameter-parameter pertumbuhan serta kematian dalam area geografi tertentu dan tidak terkait dengan sediaan lain dari spesies yang sama pada area tertentu. Pelaksanaannya konsep sedian tersebut beragam, tergantung kepada pengetahuan dan informasi yang tersedia. Widodo (2006) menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian tentang sediaan dalam pengelolaan perikanan, pada dasarnya sediaan didefinisikan sedemikian rupa sehingga model-model produksi perikanan (yield) akan dapat diterapkan dan diaplikasikan. Setiap contoh, statistik dari individu-individu dari suatu sediaan harus memiliki karakteristik-karakteristik produksi yang serupa terhadap setiap sampel dari sediaan. Karakteristik pokok yang dikaitkan dengan berbagai model yield adalah: (1) jumlah yang dilahirkan dalam satu tahun tertentu, (2) laju pertumbuhan, (3) laju kematian alami, dan (4) laju kematian penangkapan. Bila kawasan geografis dari suatu spesies berbeda-beda dalam karakteristikkarakteristik tersebut, maka untuk keperluan manajemen, kawasan tersebut harus dianggap lebih dari satu sediaan. Sebagian besar dari berbagai sediaan ikan di dunia tidak berada sepenuhnya dibawah yurisdiksi suatu negara, dan tidak jarang sediaan ikan tersebut dieksploitasi oleh sejumlah negara tertentu. Akibatnya, implementasi suatu tindakan pengelolaan tidak hanya melibatkan suatu negara tertentu tetapi memerlukan persetujuan dari negara-negara lain yang bersangkutan (Widodo, 2006). Istilah baku yang digunakan untuk menjelaskan sediaan tersebut adalah shared stock (sediaan yang diusahakan bersama). Menurut Munro (2004) pengertian istilah shared stock meliputi: (1) sumberdaya ikan yang melintasi batas ZEE dari satu atau lebih negara pantai (transboundary stock), (2) spesies beruaya jauh (tertera dalam Lampiran 1 12 UNCLOS 1982), terutama spesies tuna, (3) semua sediaan ikan lainnya yang diterdapat diantara perairan ZEE negara pantai dan laut lepas tertentu (straddling stock), dan (4) sediaan ikan yang hanya terdapat di laut lepas (high seas fish stocks). Keterangan : 1. Highly migratory; 2. Straddling (extensive distribution); 3. High seas. Bottom panel: 4. Pelagic straddling (mostly within EEZ); 5. Demersal straddling (mostly within EEZ); 6. Straddling (transboundary); 7. Straddling (mostly in high seas); 8. Straddling (evenly distributed) Gambar 3 Jenis- Jenis Sediaan Ikan Secara Parsial (Maguire, 2006) 13 2.2. Highly Migratory Stock (Sedian Ikan Beruaya Jauh) Highly migratory stocks, terdiri dari spesies-spesies ikan yang terdapat pada Lampiran 1 UNCLOS 1982 yang merupakan defenisi sah (legal) tentang sedian ikan beruaya jauh. Berdasarkan definisi ilmiah sediaan ikan beruaya jauh didefinisikan sebagai jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dan melintasi laut lepas dan ZEE, bahkan batas-batas administrasi suatu negara (Maguire, 2006). Dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982, termasuk dalam sedian ikan beruaya jauh terdiri dari ; tuna dan tuna-like species, oceanic sharks, pomfrets, sauries dan dolphinfish. Jenis tuna terdiri dari ; (1) Albacore tuna (Thunnus alalunga), (2) Bluefin tuna (thunnus thynnus), (3) Bigeye tuna (Thunnus obesus), (4) Skipjack tuna (Katsuwo pelamis), (5) Yellowfin tuna (Thunnus albacores), (6) Blackfin tuna (Thunnus atlanticus), (7) Litle tuna (Euthynnus alleteratus dan E.affinis) , (8) Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), (9) Frigate mackerels (Auxis thazard dan A.rochei). Sedangkan kelompok tuna lainnya, terdiri dari ; (1) Marlin terdiri dari 8 spesies (Teprapturus angustirostris, T. belone, T. pfluegeri, T.albidus, T.audax, T. georgei, Makaira indica, M.nigricans), (2) Sailfish, terdiri dari 2 spesies (Istiophorus platyphorus dan I. albicans), dan (3) Swordfish (Xiphias gladicus). Seiring dengan perkembangan identifikasi spesies, spesies yang masuk dalam kelompok sediaan ikan beruaya jauh dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982 seharusnya diperbaharui. Berdasarkan identifikasi FAO terakhir, spesies Blackfin tuna, Little tuna, dan Frigate tuna tidak termasuk spesies beruaya jauh karena merupakan spesies-spesies neritic yang hidup di perairan dekat pantai dengan kedalaman kurang dari 200 m. Selanjutnya, penamaan spesies pada Lampiran 1 UNCLOS tidak seseuai dengan penamaan spesies yang ditetapkan FAO. Menurut Serdy (2003), penyebab perbedaan penamaan antara Lampiran 1 UNCLOS dan FAO, adalah: (1) penamaan kelompok tuna yang tertera dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982 mengacu kepada Statistik Perikanan dan Buku Tahunan FAO yang diterbitkan pada tahun 1975, dan tidak diperbaharui ketika UNCLOS 1982 ditetapkan pada tahun 1982, (2) terdapat kesalahan terjemahan nama tuna ke bahasa utama FAO lainnya, yakni penamaan dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Penamaan FAO ini 14 mengacu kepada Lampiran B Kesepakatan Pendirian IOTC. Perbedaan pemberian nama juga terdapat pada kelompok spesies beruaya jauh selain tuna, bahkan kesalahan juga terdapat pada pengelompokan famili dan jumlah spesies dalam satu famili (Serdy, 2003). Tabel 1 Perbandingan Penamaan Tuna Beruaya Jauh antara FAO dan UNLOS Inggris Perancis UNCLOS Albacore tuna FAO Albacore Bluefin tuna Bigeye tuna Northern bluefin tuna Bigeye tuna Skipjack tuna Skipjack tuna Yellowfin tuna Yellowfin tuna Blackfin tuna Blackfin tuna Little tuna Kagawa (E. affinis); Little tunny (E. alletteratus) Thoine Southern bluefin tuna Frigate mackerel Southern bluefin tuna Frigate tuna (A.thazard); Bullet (A.rochei) Thon a nageoire bleue Auxide Spanyol UNCLOS Thon blane germon Thon rouge FAO Germon UNCLOS Atun blanco FAO Atun blanco Thon rouge Atun rojo Atun Thon obese a gros ceil Bonite a ventre raye Thon a negeore jaune Thon noir Thon obese Patudo Patudo Listo Listodo Listodo Albacore Rabil Rabil Thon a nageoires Thoine orientale (E. affinis); Thonine (E. alletteratus) Thon rouge du sud Auxide (A.thazard); Bonite (A.rochei) Atun de aleta negra Bonito del Pacifico Atun aleta negra Bacoreta oriental (E. affinis); Bacoreta (E. alletteratus) Atun del sur Atun de aleta azul del sur Melva Melva (A.thazard); Melvera (A.rochei) Sumber : Serdy A (2003) 2.3 Straddling Stocks (Sediaan Beruaya Terbatas) Pada pasal 63 UNCLOS, straddling stock didefinisikan sebagai sediaan ikan yang sama atau sejenis yang terdapat dalam ZEE dua negara pantai atau lebih. Menurut (Maguire, 2006), konsep sediaan beruaya terbatas dapat meliputi satu kesatuan dari sebagian besar sediaan ikan didalam perairan ZEE suatu negara hingga diluar perairan ZEE atau laut lepas. Tidak ada batasan jumlah biomass, suatu jenis ikan dikategorikan sebagai sediaan beruaya terbatas, sebagai contoh northern cod 95 persen biomass berada di perairan pantai (Maguire, 2006). 2.4 High Seas Stocks Fish (Sediaan Ikan Laut Lepas) Sediaan ikan laut lepas tidak didefinisikan secara khusus dalam UNCLOS 1982, namun secara umum konsep high seas stocks fish terdapat dalam UN Fish 15 Stock Agreement 1995. FAO (1994) menggunakan istilah purely high seas stocks untuk jenis ikan yang tidak ditemukan dalam perairan ZEE, atau jenis ini hanya ditemukan di laut lepas (Maguire, 2006). 2.5 Transboundary Stocks (Sediaan di Perbatasan Antar Negara) Menurut Caddy (1997), sediaan di perbatasan antar negara merupakan sekolompok organisme yang dieksploitasi secara komersil, tersebar atau beruaya melintasi b atas maritim dua negara atau lebih, atau batas maritim dari sebuah negara dan laut lepas tertentu, dimana hanya dapat dikelola secara efektif melalui kerjasama antar negara. 2.6 Norma – Norma Pengelolaan Perikanan Global Prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), khususnya kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing) sebagai salah satu pilar dalam Hukum Laut Internasional, tampaknya mulai melemah dan secara perlahan-lahan akan berakhir. Faktor pendorong semakin melemahnya prinsip kebebasan menangkap ikan di laut lepas adalah karena timbulnya kekhawatiran akan semakin menurunnya potensi sumberdaya ikan, antara lain karena semakin intensifnya teknologi penangkapan ikan yang dapat membahayakan kelestariannya. Apabila yang dikhawatirkan itu ternyata terbukti, maka pada gilirannya dapat diperkirakan akan mengancam keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Berbagai upaya kompromi telah dilakukan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Salah satu alternatifnya adalah melalui pemberian hak eksklusif (souvereign rights) kepada negara-negara pantai untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Upaya tersebut akan menjadi kurang efektif apabila armada perikanan dari berbagai negara mengarahkan operasinya ke kawasankawasan laut yang berbatasan dengan ZEE. Kawasan ini berada di luar jangkauan yurisdiksi negara pantai, terutama apabila sasarannya adalah jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya. 16 Food and Agriculture Organization (FAO), bersama-sama dengan The Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal Affairs of the United Nations telah mengembangkan norma-norma perikanan untuk dapat diberlakukan secara global. Norma-norma perikanan global ini direncanakan untuk diterapkan melalui pemberdayaan organisasi-organisasi perikanan regional, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk di kawasan-kawasan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan norma-norma pengelolaan perikanan internasional pada dasarnya merupakan rancangan rinci dari ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam UNCLOS 1982, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas (Pasal 63) dan jenis-jenis ikan yang beruaya jauh (Pasal 64). Pengaturan internasional yang berkaitan dengan kegiatan perikanan terdiri dari: 1) United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 (Konvensi Hukum Laut 1982) Pada hukum laut sebelumnya, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas merupakan bagian yang terpisah dari Konvensi Jenewa 1958. Dalam UNCLOS 1982 kedua hal tersebut telah diatur secara komprehensif yaitu tepatnya terdapat dalam Pasal 116-120 Konvensi. Disamping itu, UNCLOS 1982 juga mengatur persoalan perikanan pada rejimrejim maritim lainnya terutama pada rejim ZEE yang terdapat dalam Bab V Pasal 55-75 UNCLOS 1982. 2) Agreement for the Implementation of the Provision of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA) 1995. Persetujuan ini merupakan hasil dari konferensi yang membahas masalah konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis ikan yang beruaya jauh. Persetujuan ini dicapai melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995 bertempat di Markas 17 Besar PBB di New York. Selain dihadiri oleh 137 perwakilan negara termasuk Indonesia, konferensi ini dihadiri pula oleh perwakilan organisasi-organisasi perikanan regional. Konferensi tersebut di atas merupakan tindak lanjut dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 47/192 tanggal 22 Desember 1992 yang menindaklanjuti mandat Agenda 21 sebagai salah satu hasil KTT Rio de Janeiro (1992) tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan. 3) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas, 1993. Persetujuan ini berlaku untuk semua kapal perikanan dengan maksud untuk meningkatkan penaatan kapal-kapal perikanan terhadap ketentuanketentuan konservasi sumber-sumber perikanan di laut lepas. Pemberlakuan Persetujuan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) yang dicanangkan urgensinya pada Deklarasi Cancun, 1992 dan Deklarasi Rio de Janeiro, 1992, dan khususnya di dalam Agenda 21. 4) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF). CCRF merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam UNIA 1995. Sedangkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tata Laksana ini. Walaupun demikian substansi pengaturannya hanya sebagian kecil saja yang berkaitan dengan permasalahan perikanan di laut lepas, karena sebagian besar pengaturannya berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber-sumber perikanan di perairan nasional dan ZEE, baik budi daya maupun perikanan tangkap, yang harus dilakukan secara bertanggung jawab. Tata Laksana ini memuat prinsip-prinsip dan standar perilaku internasional dengan tujuan untuk menjamin agar upaya-upaya konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan dapat berhasil secara efektif, termasuk perlindungan 18 habitat dan ekosistem serta keragaman jenis dan populasinya. Oleh karena itu, setiap negara, organisasi internasional, dan individu dihimbau untuk secara sukarela melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dirancang untuk memiliki kekuatan berlaku secara universal, meliputi antara lain: prinsip-prinsip umum, pengelolaan sumber-sumber perikanan, dan operasi penangkapan ikan. 5) UN Conference on Environment and Development (UNCED) : Agenda 21 Agenda 21 merupakan merupakan respon dalam mempersiapkan secara global tantangan pembangunan pada abad ke – 21, dimana bertujuan untuk terus meningkatkan kualitas hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan. Terdapat beberapa bagian yang terkait dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan, yakni : a) Bagian I .Dimensi Sosial dan Ekonomi (Bab 2 dan Bab 8). Walaupun tidak berhubungan langsung dengan perikanan, namun terdapat beberapa isu yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan, termasuk salah satunya adalah perikanan. b) Bagian II. Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya. Terdapat beberapa bab yang berhubungan dengan perikanan, yakni (1) Bab 9; Perlindungan atmosphere, berhubungan dengan buangan gas (polusi) dari aktivitas penangkapan ikan dan penggunaan mesin pendingin yang dapat menipsikan ozon; (2) Bab 15; Konservasi dan keanekaragaman hayati; (3) Bab 17; Perlindungan laut, termasuk laut tertutup, semi tertutup dan wilayah pesisir yang meliputi : pengelolaan terpadu dan berkalanjutan wilayah pesisir dan ZEE, perlindungan lingkungan perlindungan laut, pemanfaatan berkelanjutan dan sumberdaya hayati di laut lepas, pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya hayati laut di wilayah hukum nasional, penguatan kerjasama dan koordinasi pada tingkat regional dan internasional, dan pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. 19 6) Convention on Bilogical Diversity (CBD) CBD diratifikasi pada tahun 1995 merupakan tindak lanjut implementasi UNCED. CBD bertujuan untuk mengkonservasi keanekaragaman biologi, pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan dan pemanfaatan bersama secara tepat untuk sumber genetic, hak dalam memanfaatkan sumberdaya, dan penggunaan teknologi yang tepat. Pada saat yang bersamaan, sebagian negara-negara anggota FAO juga mengadopsi instrumen aturan internasional yakni CCRF. Terdapat beberapa persamaan prinsip antara CDB dengan CCRF sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kesamaan Prinsip antara Convention on Bilogical (CBD) dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Convention on Bilogical (CBD) 9.2.4. Membuat sistem informasi 9.2.5. Memonitoring lingkungan perairan 9.3.1 Menlindungi kenakerhama genetic dan ekisistem 7.5 Pendekatan kehati-hatian Sumber : www.fao.org/fi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 7d. Pengelolaan dan penyusunan data 7b. Memonitor komponen-kompnen keanakaragaman bilogi 8d. melindungi ekosistem.14.a kajian damapak lingkungan Prolog : Pendekatan kehati-hatian CBD secara rinci diatur lebih lanjut pada Jakarta Mandate yang meliputi rencana-rencana aksi pengelolaan ekosistem laut dan pesisir serta eksosistem perairan umum daratan berupa upaya konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dan habitatnya, pengelolaan pengenalan spesies asing, keterpaduan pengelolaan wilayah, pendekatan kehati-hatian, pendekatan eksosistem. 2.7 Regional Fishery Bodies Mandat Regional Fishery Bodies (RBF) atau Badan – Badan Perikanan Regional beragam. Beberapa RBF mempunyai mandat untuk memberikan nasehat (advisory mandate), mekanisme keputusan ataupun koordinasi yang tidak mengikat dari anggota. Sedangkan beberapa RBF memiliki mandat pengelolaan atau dikenal dengan Regional Fisheries Management Organization (RFMO). 20 Negara yang menjadi anggota RFMO terikat dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan dalam suatu RFMO. Fungsi RBF juga beragam, termasuk pengumpulan, analisis dan disemininasi informasi dan data, mengkoordinasikan pengelolaan perikanan melalui skema dan mekanisme bersama, menyediakan forum kebijakan dan teknik, dan pengambilan keputusan terkait dengan konservasi, pengelolaan, pengembangan dan tanggungjawab terhadap sumberdaya. RFMO memainkan peran unik dalam fasilitasi kerjasama internasional untuk konservasi dan pengelolaan sediaan ikan. RFMO merupakan organisasi kerjasama perikanan antar pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan langkahlangkah konservasi dan pengelolaan perikanan (FAO, 2001). RBF merupakan wadah penting untuk meningkatkan pemanfaatkan berkelanjutan dimana kerjasama internasional dibutuhkan dalam pengelolaan dan konservasi. Secara signifikan, United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) 1992 merupakan perangkat hukum menempatkan RBF dalam fasilitasi kerjasama internasional. Peran dan prioritas RBF beragam menurut mandat dan faktor-faktor lainnya, termasuk kemauan politik dari para anggotanya. FAO menilai RBF memiliki peran penting untuk meningkatkan perikanan berkelanjutan jangka panjang melalui kerjasama internasional dalam konservasi dan pengelolaan. Peran FAO adalah : (a) memberikan dukungan administrasi dan teknik kepada RBF; (b) meningkatkan kerjasama dan konsutasi diantara RBF; (c) memfasilitasi pertemuan RBF; dan (d) mendorong RBF untuk mengimplementasikan hal-hal yang diatur dalam UNCED, termasuk keterpaduan program-program FAO dengan RBF. Tabel 3. Kelompok – Kelompok Regional Fisheries Bodies No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri Diluar FAO Global dan lintas samudera 34 anggota 1982 Dibawah FAO Berdasarkan Pasal Samudera Hindia 12 Anggota (termasuk 1996 RFMO 1. Commission for the Conservation of Antarctic Marine Living Resources (CCAMLR) 2. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) 21 No Jenis Status VI Posisi Anggota Indonesia) Tahun Berdiri 3. North-East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC) Diluar FAO Samudera Atlantik 7 anggota 1982 4. South Pacific Regional Fisheries Management Organisation (SPRFMO) Diluar FAO Samudera Pasifik 20 Negara 2006 5. Convention on the Conservation and Management of the Pollock Resources (CCBSP) Diluar FAO Samudera Pasifik 5 anggota 1996 Non Samudera Pasisifk 2 anggota 1923 Samudera Pasifik 5 Negara 1993 6. International Pacific Halibut Commission (IPHC) 7. North Pacific Anadromous Fish Commission (NPAFC) 8. Western and Centra Pasific Fisheries Commission (WCPFC) Diluar FAO Samudera Pasifik 36 negara (Indonesia : Cooperating NonMember) 2004 9. Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) Diluar FAO Global dan lintas samudera 9 anggota 1994 10. International Whaling Commission (IWC) Diluar FAO Global dan lintas samudera 66 anggota 1946 11. Pacific Salmon Commission (PSC) Diluar FAO Samudera Pasifik 2 anggota 1985 12. General Fisheries Commission for the Mediterranean (GFCM) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal VI Mediterania dan Laut Hitam 23 anggota 1952 13. Lake Victoria Fisheries Organization (LVFO) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsifunsgi FAO Perairan Umum Daratan 3 Negara 1994 14. Regional Commission for Fisheries (RECOFI) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal VI Samudera Hindia 8 Negara 1999 15. Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC) Diluar FAO Samudera Pasifik 13 anggota 1950 16. Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO) Diluar FAO Samudera Atlantik 15 anggota 1979 17. South East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsifunsgi FAO Samudera Atlantik 4 anggota 2003 18. International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsifunsgi FAO Samudera Atlantik 3 negara 1966 19. North Atlantic Salmon Conservation Organization Diluar FAO Samudera 30 anggota 1983 22 No Jenis Status Posisi Atlantik Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsifunsgi FAO Samudera Hindia 6 anggota 2006 1. Asia-Pacific Fishery Commission (APFIC) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal VI Samudera Pasifik dan Perairan Umum Daratan 21 Anggota (termasuk Indonesia) 1948 2. Commission for Inland Fisheries of Latin America (COPESCAL) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Perairan Umum Daratan 21 anggota 1976 3. Forum Fisheries Agency (FFA) Diluar FAO Samudera Pasifik Anggota 1997 4. Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) Diluar FAO Samudera Pasifik 11 anggota (termasuk Indonesia) 1967 5. The Bay of Bengal Programme - Inter Governmental Organisation (BOBP-IGO) Diluar FAO Samudera Hindia 4 anggota 2003 6. Joint Technical Commission for the Argentina/Uruguay Maritime Front (CTMFM) Diluar FAO Samudera Atlantik 2 anggota 1973 7. International Council for the Exploration of the Sea (ICES) Diluar FAO Samudera Atlantik 19 anggota 1964 8. Pacific Community (SPC) Diluar FAO Samudera Pasifik 33 anggota 1947 9. Regional Fisheries Advisory Commission for South-West Atlantic (CARPAS) Diluar FAO Samudera Atlantik 3 anggota 1974 10. Comité régional des pêches du Golfe de Guinée (COREP) Diluar FAO Samudera Atlantik 4 anggota 1984 11. Mekong River Commission (MRC) Diluar FAO Perairan Umum Daratan 4 anggota 1995 12. Sub-Regional Commission on Fisheries (SRFC) Diluar FAO Samudera Atlantik 7 anggota 1985 13. Fishery Committee for the Eastern Central Atlantic (CECAF) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Samudera Atlantik 3 anggota 1967 14. South Pacific Permanent Commission (CPPS) Diluar FAO Samudera Pasifik 4 anggota 1952 15. North Atlantic Marine Mammal Commission (NAMMCO) Diluar FAO Samudera Atlantik 4 anggota 1992 16. South West Indian Ocean Fisheries Commission Diluar FAO Samudera Hindia 9 anggota 2004 (NASCO) 20. South Indian Ocean Fisheries Agreement (SIOFA) Anggota Tahun Berdiri Advisory Mandate Bodies 23 No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri 17. Committee for Inland Fisheries of Africa (CIFAA) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Perairan Umum Daratan 37 anggota 1971 18. European Inland Fisheries Advisory Commission (EIFAC) Diluar FAO Perairan Umum Daratan 34 anggota 1957 19. Latin American Organization for the Development of Fisheries (OLDEPESCA) Diluar FAO Global dan lintas samudera 14 anggota 1982 20. Western Central Atlantic Fishery Commission (WECAFC) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Samudera Atlantik 35 anggota 1973 21. Ministerial Conference on Fisheries Cooperation among African States Bordering the Atlantic Ocean (COMHAFAT) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsifunsgi FAO Samudera Atlantik 22 anggota 2007 22. Fishery Committee of the West Central Gulf Of Guinea (FCWC) Diluar FAO Samudera Atlantik 6 anggota 2006 23. North Pacific Marine Science Organization (PICES) Diluar FAO Samudera Pasifik 6 anggota 1992 (SWIOFC) Sumber : (1) www.fao.org/fi , (2) WCPFC, 2007 (3) FAO, 1999 dan (4) Lodge M, 2007 2.8 Regional Fisheries Management Organization (RFMO) Pembentukan suatu RFMO, merupakan implementasi pengelolaan sumberdaya ikan dilaut lepas yang telah diamanatkan dalam UNCLOS 1982. Pada pasal 116-118 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa semua negara mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerjasama dengan negara lain dalam mengambil tindakan untuk upaya konservasi sumberdaya hayati di laut lepas dan berkerjasama untuk menetapkan organisasi perikanan sub regional atau regional. Selanjutnya dipertegas pada Pasal 8 UN Fish Stock Agreement 1995, bahwa negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus berkerjasama dalam mengelola sumberdaya ikan di laut lepas melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional. Pembentukan RFMO mulai meningkat sejak tahun 1960-an, saat ini telah dibentuk 18 RFMO, hampir seluruh perairan laut lepas telah menjadi kewenangannya. Saat ini keberadaan RFMO memegang peran penting dalam sistem pengelolaan perikanan global, tanpa adanya kerjasama tersebut optimasi 24 pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan akan sulit untuk dicapai (Lodge and House, 2007). RFMO memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan yang bersifat shared fish stocks (transboundary, highly migratory, straddling stock, and discrete high seas stocks) pada perairan tertentu yang disepakati bersama yang dapat meliputi laut lepas maupun perairan ZEE suatu negara. Disamping itu RFMO juga mempunyai kewajiban dalam konservasi dan kelestarian semua spesies yang tergolong pada perikanan seperti: seabirds, turtles, dolphins, sharks dan non-target fish; dan sumberdaya laut lainnya. Sumber : Bird Life International, 2008 Gambar 4. Peta Wilayah Kewenangan RFMO 25 2.9 Shared Allocation (Alokasi Jatah) Menurut McDorman (2005) memerhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat dua aspek penting yang merupakan fokus keputusan RFMO. Kedua aspek penting tersebut adalah : a. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) , serta alokasi kuota bagi setiap anggota RFMO. b. Penetapan dan pemberlakukan langkah dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, musim penangkapan, musim tidak menangkap, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. Penentuan alokasi kuota sering sekali menjadi perdebatan sengit diantara negara anggota dalam setiap pertemuan tahunan RFMO, karena setiap negara lebih mengutamakan kepentingan ekonomi yang diperoleh dari kuota tersebut, dibandingkan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan berkelanjutan yang menjadi azas dalam suatu RFMO. Walaupun dalam UN Fish Stock Agreement 1995 telah diuraikan dasar pertimbangan pemberian kuota berlandaskan pada “prinsip keadilan dan tidak diskriminatif” terhadap negara anggota dan negara pihak, namun faktanya tidak demikian. Fauzi (2006) menyatakan kuota merupakan instrumen kebijakan yang sering digunakan dalam pengendalian perikanan. Instrumen ini dianggap mampu menghilangkan ekternalitas negatif yang sering terjadi pada perikanan. Satria, et.al (2009) secara ringkas menjelaskan tentang kuota tentang kuota, yakni : 1. Global Quota, jumlah tangkapan ditetapkan berdasarkan jumlah ikan yang boleh ditangkap (JTB) dalam suatu perairan tanpa menyebutkan berapa jumlah yang diperbolehkan untuk setiap pelaku. Akibatnya, masih terjadi persaingan untuk menangkap ikan (race to fish) yang sangat tinggi dan ekses kapasitas penangkapan tidak bisa dihindari sehingga menyebabkan musim tangkap yang makin pendek juga malah terjadi over fishing. 2. Individual Quota (IQ), memberikan kuota kepada indivudu hingga para pelaku tidak perlu bersaing secara ketat untuk menangkap ikan sebanyakbanyaknya. Kelemahan sistem ini memungkinkan para pemegang kuota tidak mampu memanfaatkan kuota tersebut secara maksimal. Akibatnya , 26 ada sejumlah potensi ikan yang ditangkap dan secara ekonomis merugikan baik pemegang kuota sendiri maupun ekonomi keseluruhan. 3. Individual Transfer Quota (ITQ), merupakan perkembangan dari IQ dimana kuota dapat dialihtangankan (transferable). ITQ dapat diperdagangkan, disewa, dijual atau diberikan kepada pihak lain. Perdagangan kuota tersebut berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip mekanisme pasar dengan memerhatikan variabel sediaan ikan. Perubahan sediaan ikan tersebut sangat memengaruhi harga kuota ataupun harga ikan. dalam kondisi sediaan ikan meningkat maka jumlah kuota akan meningkat sehingga nilai kuota dengan sendirinya akan turun. Sebaliknya , ketika sediaan ikan menurun makan jumlah kuota akan mengecil dan ini mengakibatkan nilai atau harga kuota akan meningkat. Selain itu, kuota akan mendorong terjadinya efesiensi kapital dan tenaga kerja yang digunakan karena kuota memberikan hak kepemilikan spasial (partial property rights) kepada nelayan. Namun demikian, penerapan kuota tidak akan menjamin terjadinya peningkatan input pada perikanan. Fenomena capital stuffing (penumpukan modal) yang terjadi pada beberapa perikanan di dunia yang menerapkan kuota, membuktikan dugaan tersebut. Selain memungkinkan terjadinya capital stuffing, Copes (1986) dalam Fauzi (2006) secara terperinci menguraikan beberapa masalah potensial yang memungkinkan timbul penerapan kuota. Masalah tersebut antara lain menyangkut penentuan kuota, enforcement, highgrading. Kuota bisa saja ditentukan secara lelang, atau dijual dengan harga tertentu, sehingga untuk menentukan cara yang tepat akan menimbulkan biaya adminitrasi. Selain itu, high grading bisa timbul karena pemiliki kuota akan mengisi kuotanya dengan ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga bisa menimbulkan tangkapan sampingan yang pada gilirannya akan menyulitkan pendugaan sediaan ikan. 2.10 Kebijakan Publik Berbagai pakar mendefinisikan kebijakan publik dengan beragam. Hal ini mencerminkan, bahwa kebijakan publik sulit untuk didefinisikan atau dirumuskan 27 (Wahab, 2012). Jenkins (1978) sebagaimana diacu dalam Wahab (2012) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu serangkaian yang paling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut. Sementara menurut Hogwood dan Gun (1984), kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta). Berdasarkan pengertian kebijakan publik di atas, bahwa semua pembuat kebijakan publik senantiasa melibatkan pemerintah dengan cara tertentu. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Gerston (2002), bahwa semua pembuat kebijakan public melibatkan pemerintah dalam berbagai cara. Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (Dun, 1998). Implikasi kebijakan publik sebagaimana dipaparkan di atas, yaitu: (1) kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu daripada sekedar sebagai bentuk perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak, asal-asalalan, dan serba kebetulan; (2) kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri; (3) kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu; dan (4) kebijakan publik mungkin berbentuk positif atau negative (Wahab, 2012). Sementara itu, analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998). Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan. Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan 28 dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat beberapa aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan (Gambar 5). Sementara analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujianpengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalahmasalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan. Sumber: Hogwood dan Gunn 1984 Gambar 5 Bentuk Penyusunan Kebijakan Publik 2.11 Penelitian Terdahulu tentang RFMO dan WCPFC Penelitian terdahulu terkait dengan RFMO dan WCPFC difokuskan pada penelitian biologi, operasional penangkapan dan efektivitas pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan. Oleh karena itu, dalam rangka mendapatkan informasi secara luas tentang kegiatan penangkapan ikan di laut lepas, maka dilakukan penelusuran terhadap RFMO. Adapun beberapa hasil penelusuran tersebut, yaitu: 29 1) Kebebasan di Laut Lepas Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa laut lepas memiliki asas-asas kebebasan sebagaimana dituangkan dalam UNCLOS 1982. Namun demikian, dalam perkembangannya, kebebasan tersebut tidak berlaku untuk kegiatan penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Hannesson (2011), yang menyebutkan bahwa kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang. Kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca pemberlakuan UNIA 1995, sehingga penangkapan ikan di laut lepas yang tidak mengindahkan aturan RFMO dapat dikenakan aturan sanksi illegal fishing. 2) Performance RFMO dan Efektivitas Pelaksanaan Konvensi WCPFC Keberlanjutan sumberdaya ikan dalam suatu wilayah laut lepas tidak dapat dilepaskan dari lembaga pengelola (RFMO). Bjørndal (2009) menyebutkan kriteria performan NEAFC, yaitu: (1) Conservation and management of fisheries resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and dispute settlement procedures; (4) Co-operation; dan (5) NEAFC in a regional and international context. Khusus untuk WCPFC, Hanich (2011) menyatakan bahwa WCPFC telah gagal melaksanaan Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya overfishing bigeye tuna. 3) Kajian tentang Hasil Tangkapan Sampingan Permasalahan hasil tangkapan sampingan menjadi perhatian bersama masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan, penangkapan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory species) menyisakan permasalahan, yaitu tertangkap hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut (Levesque, 2008). Kelemahan ICCAT adalah ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan nasional, pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan hukum. Selain itu, adanya kesenjangan indikator performance ICCAT dalam hal efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan ICCAT (Levesque, 2008). 30 Herndon, et.al. (2010) menambahkan bahwa penurunan jumlah hiu selama ini dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap.Dalam rangka mengkaji hasil tangkapan sampingan, Waugh, et.al (2008) menyebutkan pentingnya ecological resource assessment (ERA) melalui empat tahapan, yakni: (a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk assessment; (c) identification of risk and implementation of management measures to address risks; dan (d) monitoring and review. 4) Akses Publik Terhadap Dokumen RFMO Berdasarkan prinsip-prinsip transparansi yang terdapat dalam Konvensi RFMO, maka para pemangku kepentingan perikanan memilki hak untuk mendapatkan informasi dokumen ilmiah yang dimiliki RFMO. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Polacheck (2012), bahwa publik memiliki akses terhadap dokumen ilmiah yang digunakan RFMO dalam menetapkan setiap keputusan. Ketersediaan data ilmiah merupakan salah satu syarat transparansi RFMO sebagaimana diamanatkan oleh UNIA 1995, yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan untuk promosi aktif publikasi dan diseminasi hasil penelitian. 5) Program Observer di Laut Lepas Dalam rangka pelaksanan pemantauan dan pengawasan di laut lepas, maka setiap kapal ikan wajib menempatkan observer diatas kapalnya. Laporan Dickson (2012) mengungkapkan bahwa program observer perikanan (Fisheries Observer Program) yang dilaksanakan oleh BFAR yang bekerjasama dengan industri perikanan mampu menciptakan kepatuhan pelaku usaha dalam pelaksanaan tindakan konservasi dan pengelolaan laut lepas secara berkelanjutan. 6) Kajian Keanggotaan Indonesia pada WCPFC Ariadno (2012) mengkaji WCPFC dalam perspektif hukum. Disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sesuai dengan Konvensi, meskipun perlu tambahan. Selain itu, penegakan hukum terhadap kapal perikanan Indonesia belum efektif. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kewajiban 31 sesuai aturan WCPFC, maka perlu dilakukan pendampingan teknis untuk mencapai kapasitas dan kemampuan pemerintah Indonesia. CCAMLR process of risk assessment to minimise the effects of longline fishing mortality on seabirds 2008 S.M. Waugha, G.B. Baker, R. Gales, J.P. Croxall Judul International fisheries agreement: Review of the International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas Case study—Shark management Tahun Penulis/Peneliti 2008 Juan C. Levesque Tabel 4. Kajian literatur RFMO dan WCPFC 10 Tahun Terakhir Marine Policy 32 (2008) 442–454 Jurnal Marine Policy 32 (2008) 528–533 empat tahap dalam ecological resource assessment (ERA), yaitu: (a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk assessment; (c) identification of risk and implementation of management measures to address risks; and (d) monitoring and review; Adopsi pendekatan bisa dilakukan untuk menangani permasalahan burung laut dan tangkapan sampaingan lainnya. Kesimpulan ICCAT berhasil mengelola beberapa jenis spesies beruaya juah (HMS), tapi gagal dalam mengelola hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut. Kelemahan ICCAT adalah ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan nasional, ketidakmampuan pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan hukum Adanya kesenjangan indikator performance ICCAT dalam hal efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan ICCAT 32 Kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang Kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca pemberlakuan UNIA 1995. Penangkapan ikan di laut lepas bertentangan dengan aturan RFMO Rights based fishing on the high seas: Is it possible? Rognvaldur Hannesson 2011 Marine Policy 35 (2011) 667–674 Badan internasional telah efektif mewujudkan pengelolaan hiu secara berkelanjutan Penurunan jumlah hiu selama ini dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap. Ketiadaan data selama ini difasilitasi oleh badan internasional The case for an international Marine Policy 34 commission for the conservation and (2010) 1239–1248 management of sharks (ICCMS) Andrew Herndon, Vincent F. Gallucci, Douglas DeMaster, William Burke Kesimpulan Kriterian performace NEAFC, yaitu: (1) Conservation and management of fisheries resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and dispute settlement procedures; (4) Cooperation; and (5) NEAFC in a regional and international context. 2010 Jurnal Marine Policy 33 (2009) 685–697 Judul Overview, roles, and performance of the North East Atlantic fisheries commission (NEAFC) Tahun Penulis/Peneliti 2009 Trond Bjørndal 33 Quentin Hanich Martin Aranda, Hilario Murua, dan Paul de Bruyn 2012 Penulis/Peneliti 2011 Tahun Managing fishing capacity in tuna regional fisheries management organisations (RFMOs): Development and state of the art Interest and Influence -A Snapshot of the Western and Central Pacific Tropical Tuna Fisheries Judul Kesimpulan Penerapan rezim berbasis hak di laut lepas sangat kecil peluangnya. Hal ini dikarenakan, disyaratkan adanya pembatasan jumlah negara yang terlibat Marine Policy. 36 (2012) 985–992 Jurnal ini mengkaji praktik-praktik pengelolaan kapasitas perikanan di 4 RFMO, yaitu: Inter American TropicalTuna Commission (IATTC), International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Western and Central Pacific Research Online WCPFC dianggap gagal mencegah terjadinya overfishing dan mengurangi Australian National penangkapan baby tuna. Centre for Ocean Keberhasilan pelaksanaan upaya Resources and konservasi dan pengelolaan pada WCPFC Security sangat dipengaruhi kepentingan setiap (ANCORS) negara. University of Perlu penguatan peran politik WCPFC Wollongong untuk penyeimbangan kepentingan negara anggota sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang terkait dengan konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Jurnal 34 2012 Tahun Tom Polacheck Penulis/Peneliti Jurnal Marine Policy. 36 (2012) 132–141. Judul Politics and independent scientific advice in RFMO processes: A case study of crossing boundaries Akses publik terhadap dokumen ilmiah yang digunakan RFMO dalam menetapkan setiap keputusan. Ketersediaan data ilmiah merupakan salah satu syarat transparansi RFMO sebagaimana diamanatkan oleh UNIA 1995, yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan untuk promosi aktif Kesimpulan Commission (WCPFC). Perbedaan pengertian fishing capacity dalam konvensi pembentukan keempat RFMO Fishing capacity lebih kompleks dari pembatasan jumlah kapal, karena adanya faktor efisiensi teknis dan kapasitas tangkapan Regional Vessel Registers (RVRs) sekarang digunakan untuk membatasi tipe dan panjang kapal, khususnya kapal purse seine. RFMO dihadapkan pada tantangan aspirasi negara berkembangan dalam membangun industri perikanan tunanya. Pengelolaan berbasis hak dalam dunia perikanan tuna, masih menjadi perdebatan internasional 35 Review of Policy and Legal Arrangements of WCPFC Related Matters and Checklist of Compliance Shortfalls Melda Kamil Ariadno 2012 Judul Dickson, A. C. DFT, Analysis of Purse Seine/Ring Net M. Demoos, W. S. de Fishing Operations in Philippine la Cruz, I. EEZ Tanangonan, J. O. Dickson, DFT and R. V. Ramiscal Penulis/Peneliti 2012 Tahun Indonesia paper policy for WCPFC, November 2012 Paper prepared for the Scientific Committee Eighth Regular Session, 7-15 August 2012 Busan, Republic of Korea Jurnal Peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sesuai dengan Konvensi, meskipun perlu tambahan Penegakan hukum terhadap kapal perikanan Indonesia belum efektif Dalam rangka pemenuhan kewajiban sesuai aturan WCPFC, maka perlu dilakukan pendampingan teknis untuk mencapai kapasitas dan kemampuan pemerintah Indonesia. Aturan WCPFC akan mengikat secara efektif, apabila Indonesia melakukan ratifikasi. Pengurangan kedalaman jaring tidak hanya menurunkan tangkapan bigeye tuna, tetapi juga yellowfin tuna dan skipjack. Program observer perikanan (Fisheries Observer Program) melaporkan bahwa kerjasama yang baik antara BFAR dan industri perikanan untuk mengkaji dan melaksanakan aturan dan kepatuhan sesuai perjanjian terkait dengan tindakan pengelolaan dan konservasi Kesimpulan publikasi dan diseminasi hasil penelitian 36 37 2.12 Novelty (Kebaruan) Penelitian terdahulu sebagaimana disajikan pada Tabel 4 mengkaji RFMO dalam aspek kelembagaan. Sementara kajian khusus WCPFC baru dilaksanakan alam konteks analisa peraturan perundang-undangan menggunakan yuridis comparative. Dengan demikian, dampak lanjutan berupa besaran dampak yang ditimbulkan dari Konvensi WCPFC belum dikaji secara lebih mendalam. Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam beberapa aspek, yaitu: 1) Formulasi strategi, yang perlu dilakukan secara sinergis dan komprehensif. Seperangkat strategi ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, kebaharuan kedua dalam penelitian ini adalah rumusan strategi utuh dan menyeluruh dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi diplomasi Indonesia di wilayah WCPFC. 2) Kajian implikasi. Ratifikasi adalah salah satu pengikatan diri suatu negara terhadap suatu hukum internasional sesuai asas pacta sunt servanda. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menjadi panduan Indonesia dalam bersikap untuk menjadi anggota atau CNM. Dengan demikian, kebaharuan ketiga dalam penelitian ini adalah analisis implikasi persiapan ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi WCPFC, khususnya analisa terhadap larangan penangkapan baby tuna (yellowfin dan big eye). 38