AGRESI MILITER AMERIKA DI IRAK TAHUN 2003 DITINJAU DARI

advertisement
AGRESI MILITER AMERIKA DI IRAK TAHUN 2003 DITINJAU DARI
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ARTIKEL
Diajukan Sebagai Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
BAYU ANJASMARA
1310012111001
Program kekhususan
Hukum internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG
2016
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG HATTA
PERSETUJUAN KARYA ILMIAH
Nama
: Bayu Anjasmara
NPM
: 1310012111001
Program Kekhususan
: Hukum Internasional
Judul Karya Ilmiah
: Agresi Militer Amerika Di Irak Tahun 2003
Ditinjau
Dari
Hukum
Humaniter
Internasional
1
AGRESI MILITER AMERIKA DI IRAK TAHUN 2003 DITINJAU DARI
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Bayu Anjasmara1, Dwi Astuti Palupi, S.H.,M.H1, Poniar Warsono, S.H.1
1
Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta
Email: [email protected]
ABSTRACT
United States military aggression to Iraq has two main reasons underlying these
attacks, first, the United States wishes to stop the project development of weapons
of mass destruction in Iraq, the second, droping the regime of Saddam Hussein.
The UN Security Council did not approve of this agrgression because it does not
quality to be a threat to world peace and security as contained in Chapter VII of
the UN Charter, and not also in self-defense. By doing American military
aggression to Iraq has violated international law. US aggression to Iraq not only
destroys infrastructure, but more than that lifted the lives of thousands of civilians
should be protected by humanitarian law. The method used in study is a normative
law research that is by collecting materials from books, the internet, legislation
and the results of scientific papers more closely related to the purpose of this
scientific work. The purpose of this study is to describe the legality of US military
aggression to Iraq under international law and how law enforcement for violations
of war crimes committed by the US government and its military forces in Iraq
according to international humanitarian law. US military aggression is a violation
of international law because it did not have permission from the United Nations.
The mechanism of enforcement of humanitarian law can be found in the 1949
Geneva Conventions and Additional Protocol 1 of 1977 and other rules governing
enforcement against war crimes in a court of either ad-hoc or permanent.
Keyword: Military Aggression, American, Humanitarian Law
__________________________________________________________________
A. Pendahuluan
Hukum
Humaniter
Internasional adalah seperangkat
aturan
yang,
karena
alasan
kemanusiaan
dibuat
untuk
membatasi
akibat-akibat
dari
pertikaian senjata. Hukum ini
melindungi mereka yang tidak atau
tidak lagi terlibat dalam pertikaian,
dan membatasi cara-cara dan metode
berperang.
Hukum
Humaniter
Internasional adalah istilah lain dari
hukum perang (laws of war) dan
hukum konflik bersenjata (laws of
armed conflict).1
1Hard Jowinoto, overview
hukum humaniter internasional.
http://soegenghardjowinoto.dosen.narota
ma.ac.id/2012/02/08/overview-hukumhumaniter-internasional/. Diakses
tanggal 25 november 2016.
2
Istilah Hukum Humaniter
atau
lengkapnya
disebut
International Humanitarian Law
Applicable in Armed Conflict, pada
awalnya dikenal sebagai hukum
perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum konflik
bersenjata (laws of arms conflict),
dan pada akhirnya dikenal dengan
istilah hukum humaniter.
Hukum
Humaniter
Internasional terdiri dari sekumpulan
aturan-aturan internasional yang
bertujuan untuk membatasi akibatakibat dari peperangan, baik orang
maupun objek-objek lainnya. Aturan
ini dituangkan dalam perjanjianperjanjian internasional yang dapat
dikelompokkan
dalam
empat
kategori, yaitu; perjanjian-perjanjian
internasional
yang
mengatur
mengenai korban perang, perjanjianperjanjian
internasional
yang
mengatur tentang pembatasan dan/
atau pelarangan terhadap senjatasenjata tertentu, perjanjian-perjanjian
internasional
yang
mengatur
mengenai perlindungan terhadap
objek-objek tertentu, perjanjianperjanjian
internasional
yang
mengatur
mengenai
yurisdiksi
internasional
(tindakan
atas
pelanggaran-pelanggaran.2
Sejak
dilancarkannya
penggalangan dukungan atas agresi
2Sigit Fahrudin, istilah dan
pengertian hukum humaniter
internasional,
http://mukahukum.blogspot.com/2009/0
4/1-istilah-dan-pengertian-hukum.html.
Diakses tanggal 25 november 2016.
Amerika, Inggris, dan sekutunya
(koalisi)
ke
Irak
hingga
dilaksanakannya agresi itu sendiri di
tahun 2003, berbagai kontroversi dan
perdebatan bermunculan di berbagai
belahan dunia, terutama mengenai
legalitas dari agresi tersebut yang
secara luas dipertanyakan oleh dunia
internasional.
Resolusi Dewan Keamanan
PBB No. 1441 isinya menuntut agar
Irak mengizinkan dan memberikan
akses sepenuhnya kepada IAEA
(Badan Atom Internasional) untuk
meneliti segala hal yang berkaitan
dengan senjata pemusnah masal yang
dimiliki Irak, namun itu tidak
terbukti. Akan tetapi, Amerika
beserta Inggris tetap melaksanakan
agresi ke Irak, walaupun hal ini
ditentang oleh dunia Internasional.
Agresi militer koalisi yang
dipimpin Amerika dan Inggris ke
Irak dilakukan pada tahun 2003.
Amerika melakukan serangan militer
ke Irak atas dasar dugaan bahwa
Negara Irak memiliki senjata
pemusnah masal. Amerika Serikat
khawatir bahwa senjata pemusnah
masal tersebut akan digunakan Irak
dibawah kepemimpinan Sadam
Husen
untuk
menghancurkan
stabilitas keamanan dunia, walaupun
pada akhirnya keberadaan senjata
pemusnah tersebut tidak pernah
terbukti adanya.3
Berdasarkan Resolusi No
1441 Dewan Keamanan Perserikatan
3 Invasi irak 2003. https://id.m.
Wikipedia.org/wiki. Diakses tanggal 16
september 2016.
3
Bangsa-Bangsa, penggunaan senjata
atau kekerasan militer hanya bisa
dibenarkan jika Irak menolak Tim
Inspeksi
Senjata
Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Namun Amerika
Serikat tetap melancarkan agresi
militer terhadap Irak meskipun Irak
telah bersedia untuk bekerjasama dan
menurut hasil pemeriksaan Tim
Inspeksi
Senjata
Perserikatan
Bangsa-Bangsa tidak ditemukan
adanya bukti bahwa Irak memiliki
senjata pemusnah massal seperti
yang
dituduhkan
sebelumnya.
Tindakan Amerika Serikat tersebut
bertentangan dengan Pasal 2 (4)
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang menyatakan: “Bahwa dalam
melakukan hubungan internasional,
semua anggota Perserikatan BangsaBangsa harus menahan diri dari
penggunaan kekerasan terhadap
integrasi
wilayah/kemerdekaan
politik suatu bangsa”.4
Agresi
militer
Amerika Serikat ke Irak ini
menimbulkan dampak yang besar
bagi seluruh kehidupan rakyat Irak.
Banyak penduduk sipil yang tewas
akibat serangan tentara Amerika
Serikat yang tidak bisa membedakan
antara pasukan militer (kombatan)
dan penduduk sipil (non kombatan).
Dalam suatu sengketa bersenjata
pasti akan menimbulkan korban baik
itu terhadap kombatan maupun
4 Ach. Tahir, “Penegakan
Hukum Terhadap Pelanggaran Berat
Hak Asasi Manusia”, Supremasi
Hukum, Vol. 2, No 2, Desember 2013,
hlm.284
penduduk sipil. Kombatan adalah
orang yang aktif turut serta dalam
pertempuran dan penduduk sipil
adalah orang yang tidak terlibat
dalam pertempuran.5
Berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Amerika Serikat
yang tergabung dalam Center For
Contitutional
Rights
(CCR)
mengadukan kepada Mahkamah
Pidana
Internasional
atau
International Criminal Court (ICC)
tentang
terjadinya
pelanggaran
Hukum Humaniter atau Hak Asasi
Manusia pada saat terjadinya agresi
militer Amerika Serikat ke Irak 2003
yang dilakukan oleh Tentara
Amerika Serikat.6 Berdasarkan
tuntutan
tersebut
pengadilan
internasional
seharusnya
mulai
melakukan penyelidikan termasuk
kepala negara yang memerintahkan
agresi militer yaitu Presiden George
W. Bush sebagai penjahat perang
dalam agresi militer ke Irak.7
Pada maret 2002, Presiden
George W. Bush mencabut dukungan
yang telah diberikan Presiden Bill
Clinton terhadap Mahkamah Pidana
Internasional.
Konsekuensinya,
warga Amerika Serikat termasuk
George W. Bush dan Tentara
Amerika Serikat yang melakukan
5 Haryomataram, 2005,
Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, hlm. 73
6 Gatra, 16 April 2003, hlm.
29.
7 Ibid.
4
pelanggaran berat hukum humaniter
internasional di Irak tidak bisa diadili
oleh Mahkamah Pidana Internasional
ini. Pencabutan dukungan tersebut
merupakan
langkah
preventif
Presiden George W. Bush agar lolos
dari jerat hukum internasional dalam
melaksanakan
politik
internasionalnya.8
Berdasarkan uraian contoh
kasus di atas, terdapat adanya
pelanggaran
ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Hukum
Humaniter Internasional. Baik itu
status serangan Amerika ke Irak
maupun
pelanggaran
mengenai
terbunuhnya penduduk sipil Irak
dalam
ageresi
militer
yang
dilancarkan Amerika Serikat.
B. Perumusan Masalah
1.
Bagaimana legalitas agresi
militer Amerika ke Irak pada
tahun 2003 ?
2.
Bagaimana upaya penegakan
hukum terhadap pelanggaran
kejahatan perang Amerika di
Irak ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui legalitas agresi
militer Amerika ke Irak pada tahun
2003.
2.
Untuk
mengetahui
upaya
penegakan
hukum
terhadap
pelanggaran kejahatan
D. Metode Penelitian
8 Ach. Tahir, Op.Cit, hlm.
285-286.
1.
Jenis Penelitian
Pada
penelitian
hukum
normatif, bahan pustaka merupakan
data dasar yang dalam (ilmu)
penelitian digolongkan sebagai data
sekunder. Data sekunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, sehingga meliputi suratsurat pribadi, buku-buku harian,
buku-buku, sampai pada dokumendokumen resmi yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
2.
Sumber Data
Data yang diperoleh adalah
data sekunder yang merupakan data
yang diperoleh dari bahan-bahan
dokumentasi dan bahan tertulis
lainnya yang terkait dengan judul
artikel ini.
Bahan Hukum Primer: yaitu bahanbahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari aturan-aturan dalam
Hukum Internasional, terdiri dari:
1. Konvensi Jenewa 1949.
2. Protokol tambahan I
(sengketa
bersenjata
internasional).
3. Protokol Tambahan II
(perlindungan
korban
konflik
bersenjata
internasional).
4. Statuta Roma
Bahan Hukum Sekunder: yaitu data
kepustakaan yang dipakai untuk
mendukung bahan hukum primer,
yang
memberikan
penjelasan
mengenai bahan hukum primer.
Disini penulis mengambil data dari
media massa, artikel-artikel, literatur,
internet,
yang
menunjang
pembahasan mengenai mekanisme
penegakan
hukum
terhadap
5
kejahatan perang didalam hukum
humaniter internasional.
5.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan
melakukan studi pustaka baik
menggunakan buku maupun data dari
internet berupa artikel yang berkaitan
dengan
penulisan
ini
yang
menggunakan berbagai ensiklopedia.
Dengan
cara
mempelajari,
menganalisa, dan menyimpulkan
bahan-bahan hukum tersebut, yang
ada hubungannya dengan pokok
masalah yang penulis teliti dan
susun. Melakukan pencatatan yang
berisikan berbagai pengertian dan
pendapat para ahli tentang kejahatan
perang.
Melakukan
penelitian
kepustakaan pada beberapa pustaka
yang ada. Perpustakaan yang
dikunjungi oleh penulis adalah:
1.
Perpustakaan Fakultas
Hukum
Universitas
Bung hatta.
2.
Perpustakaan
Pusat
Universitas Bung Hatta.
3.
Perpustakaan Daerah.
4.
Analisis Data
Penulisan ini menggunakan
penelitian hukum normatif. Oleh
karena itu, maka di gunakan analisis
dengan ukuran kualitatif yang
berpusat pada substansi dengan
proses pendataan dalam menarik
kesimpulan menggunakan metode
berfikir deduktif yang berpangkal
pada pengajuan bahan premis mayor
berupa aturan hukum. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatiannya
pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan
gejala yang ada dalam kehidupan
manusia. Gejala tadi dianalisis lagi
dengan menggunakan teori yang
obyektif.9
E. Hasil Penelitian & Pembahasan
a. Legalitas Serangan Agresi
Militer Amerika Ke Irak Pada
Tahun 2003
1.
Dalam Perspektif Hukum
Internasional
Isu sentral yang dikemukakan
oleh Amerika Serikat di mata
internasional
guna
merealisir
tujuannya untuk menyerang irak
adalah dengan membuat tuduhan
bahwa Irak memiliki sejumlah
senjata pemusnah massal (nuklir,
bilologi dan kimia) yang dikuatirkan
akan membahayakan perdamaian dan
keamanan internasional. Belakangan
semakin
terungkap
bahwa
sebenarnya ada satu isu pokok lain
yang dapat dianggap sebagai
dorongan kuat bagi Amerika untuk
menginvasi Irak dengan ataupun
tanpa persetujuan Dewan Keamanan
PBB.
Isu yang dikemas rapi dibalik
isu sentral seperti tersebut di atas
adalah keinginan Amerika untuk
menggulingkan
pemerintahan
Saddam Husein. Uraian berikut ini
akan membahas kemungkinan kedua
isu itu dalam perspektif Hukum
Internasional.
1.
Isu
Pemilikan
Senjata
Pemusnah Massal Irak
9Burhan ashshofa, 2013,
Metode penelitian hukum, jakarta: rineka
cipta, hlm 20-21.
6
Isu ini semakin hari semakin
tidak relevan mengingat kenyataan
bahwa Tim
Inspeksi
Senjata
Pemusnah Massal PBB yang diketuai
oleh Hans Blix tidak menemukan
bukti bahwa Irak memiliki senjata
pemusnah massal. Irak memang
pernah memiliki senjata pemusnah
massal, namun menurut Der Spiegel,
pasokan bahan senjata tersebut
didapat Irak secara legal justru
dengan mengantongi 711 lisensi dari
Departemen Perdagangan Amerika
sendiri.10
Dengan fakta-fakta diatas,
Amerika sebenarnya tidak memiliki
hak apapun untuk meneruskan
niatnya menyerang Irak kecuali
Dewan Keamanan menyetujuinya.
Bila pemerintahan Bush tetap
bersikeras juga atas kebijakannya itu,
maka berarti telah terjadi berbagai
pelanggaran
atas
Hukum
Internasional secara terang-terangan,
tepat di depan mata masyarakat
internasional.
Pada point ini norma-norma
hukum internasional yang dilanggar
oleh Amerika ketika menyerang Irak
tanpa persetujuan DK PBB adalah:
1.
Pasal 1 (1) Piagam PBB
Dengan menyerang
Irak maka Amerika
telah mengkhianati
cita-cita luhur dari
PBB
untuk
:
“...menggunakan
langkah-langkah
10Sunarsip, “Minyak di Balik
Krisis Irak, Republika, Jakarta, 13 Maret
2003, hlm 5.
kolektif
dalam
mencegah
dan
menghapuskan
ancaman-ancaman
terhadap perdamaian,
untuk menekan aksiaksi
agresi
atau
pelanggaranpelanggaran
lain
terhadap perdamaian
dan untuk membawa
tujuan-tujuan damai.”
2.
Pasal 2 (4) Piagam PBB
Pelanggaran terhadap
kewajiban yang di
berikan oleh pasal ini
untuk “...membatasi
diri mereka dalam
hubungan
internasional
dari
ancaman
atau
penggunaan
kekuatan.”
Dari
norma-norma
hukum internasional tersebut di atas,
terlihat bahwa serangan Amerika ke
Irak berarti pengingkaran terhadap
kesepakatan internasional tentang
penggunaan
langkah-langkah
kolektif dalam menangani masalahmasalah
yang
mengancam
perdamaian
dan
keamanan
internasional, sekaligus sebagai bukti
ketidakmampuan Amerika dalam
membatasi
diri
mereka
dari
penggunaan
ancaman
atau
penggunaan
kekuatan
demi
kepentingannya semata-mata. Aksi
penyerangan terhadap Irak berarti
aksi agresi yang kelak harus
dipertanggungjawabkan
sesuai
7
dengan hukum internasional yang
berlaku.
3.
Isu
Penggulingan
Pemerintahan Saddam Husein
Suka
tidak
suka,
pemerintahan
Saddam
Hussein
adalah pemerintahan yang berdaulat
di Irak. Oleh karena itu tidak ada
pihak manapun, bahkan PBB
sekalipun yang berwenang untuk
mencampuri itu (pasal 2 (7) Piagam
PBB). Argumentasi yang diajukan
oleh Amerika terhadap intervensi ini
adalah
kepedulian
negara
superpower atas masalah-masalah
demokrasi, Hak Azasi Manusia,
Tatanan
Internal,
Perlindungan
Bangsa-bangsa Asing dan lain-lain.
Justifikasi yang digunakan Amerika
di atas ternyata tidak diterima
sebagai suatu aturan kebiasaan
internasional,
malah
intervensi
semacam itu secara universal telah
banyak ditolak.
2. Berdasarkan Pasal 51 dan 33
Piagam PBB 1945
Pasal 51 Piagam PBB
menyebutkan bahwa; Tidak ada
suatu ketentuan dalam Piagam ini
yang
boleh
merugikan
hak
perseorangan atau bersama untuk
membela diri apabila suatu serangan
bersenjata terjadi terhadap suatu
Anggota
Perserikatan
Bangsabangsa, sampai Dewan Keamanan
mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan
untuk
memelihara
perdamaian
serta
keamanan
internasional.
Tindakan-tindakan
yang diambil oleh Anggota-anggota
dalam melaksanakan hak membela
diri ini harus segera dilaporkan
kepada Dewan Keamanan dan
dengan cara bagaimanapun tidak
dapat mengurangi kekuasaan dan
tanggung jawab Dewan Keamanan
menurut Piagam ini untuk pada
setiap waktu mengambil tindakan
yang
dianggap
perlu
untuk
memelihara
atau
memulihkan
perdamaian
serta
keamanan
internasional.
Menurut pasal 33 ayat 1
Piagam PBB penyelesaian sengketa
dapat ditempuh melalui cara-cara
sebagai berikut:
a. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran
pandangan dan usul-usul antara dua
pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, jadi tidak melibatkan
pihak ketiga.
b. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak memihak dimaksud
untuk mencari fakta.
c. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasajasa baik jika pihak yang bersengketa
tidak dapat menyelesaikan secara
langsung persengketaan yang terjadi
diantara
mereka.
d. Mediation (mediasi)
Pihak ketiga campur tangn untuk
mengadakan rekonsiliasi tuntutantuntutan dari para pihak yang
bersengketa. Dalam mediasi pihak
ketiga
lebih
aktif.
e. Consiliation (Konsiliasi)
Merupakan
kombinasi
antara
penyelesaian sengketa dengan cara
enquiry
dan
mediasi.
f. Arbitration (arbitrase)
8
Pihaknya adalah negara,
dan badan-badan hukum.
lebih flexible dibanding
penyelesain
sengketa
pengadilan.
g. Penyelesain sengketa
hokum
individu,
Arbitrasi
dengan
melalui
menurut
Dalam penyelesaian ini para pihak yang
bersengketa
akan
mengajukan
masalahnya
ke
Mahkamah
Internasional. Mahkamah internasional
ini bertugas untuk menyelesaikan
tuntutan
yang
diajukan
dan
mengeluarkan keputusan yang bersifat
final dan mengikat para pihak.
Mahkamah Internasional merupakan
bagian integral dari PBB, jadi tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya.
h. Badan-badan regional
Melibatkan lembaga atau organisasi
regional baik sebelum maupun
sedudah PBB berdiri
i. Cara-cara damai lainnya
3. Ketentuan Hukum Humaniter
Internasional
Selama agresi militer ke
Irak,
Amerika
Serikat
telah
melanggar beberapa ketentuan norma
hukum internasional tentang Hukum
Humaniter, yaitu:
1.
Amerika Serikat Telah
Melanggar Kedaulatan Irak
Dan Hak Menentukan Nasib
Sendiri Bagi Bangsa Irak
Di dalam konsep hukum
internasional yang diakui bangsabangsa beradab (civilized nations),
setiap negara memiliki hak-hak
merdeka (independent), berdaulat
(souvereignity),
dan
sederajat
(equality).
Sehingga
pada
hakikatnya,
masyarakat
hukum
internasional
merupakan
suatu
kompleksitas kehidupan bersama
yang terjalin secara tetap dan terus
menerus antara sejumlah negaranegara yang berdaulat dan sederajat,
yang terikat, tunduk, dan taat pada
suatu sistem hukum yang bersifat
internasional.11
Di dalam pasal 1 ayat 2
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengakui
adanya
hak
untuk
menentukan nasib sendiri (self
determination).
Adapun bunyi lengkapnya adalah
sebagai berikut:
“Mengembangkan hubungan
persahabatan antara bangsabangsa
berdasarkan
penghargaan atas prinsipprinsip persamaan hak dan
hak rakyat untuk menentukan
nasib sendiri, dan mengambil
tindakan-tindakan lain yang
wajar untuk memperteguh
perdamaian universal.”
Selain itu, dalam Mukadimah
Universal Declaration of Human
Rights yang disahkan oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 9
Desember 1948 terdapat ketentuan
tentang hak atas kedaulatan dan hak
untuk menentukan nasib sendiri
sebagai berikut:
“Mengakui peranan penting
kerjasama internasional dan
kerja yang berharga dari
11Likadja, F.E. dan Bassie, F.D,
1988, Desain instruksional dasar hukum
internasional, jakarta: ghalia indonesia,
hlm 23.
9
para individu, kelompok,
dan perkumpulan dalam
memberikan
sumbangan
terhadap
penghapusan
secara
efektif
semua
pelanggaran
hak
asasi
manusia dan kebebassan
dasar individu dan rakyat,
termasuk dalam kaitannya
dengan pelanggaran yang
kasar atau sistematik dan
massal seperti yang timbul
darin apartheid, semua
bentuk diskriminasi rasial,
kolonialisme, dominasi atau
pendudukan asing, agresi,
atau ancaman terhadap
kedaulatan
nasional,
persatuan nasional, atau
integritas, territorial, dan
dari penolakan terhadap
hak
rakyat
untuk
menentukan
nasibnya
sendiri dan hak setiap orang
untuk
melaksanakan
kedaulatan sepenuhnya atas
kekayaan dan sumber daya
nasionalnya.”12
Dalam rangka pelaksanaan
hak menentukan nasib sendiri suatu
bangsa, maka pada tanggal 14
Desember 1960 Majelis Umum PBB
telah menyetujui adanya “Deklarasi
tentang pemberian kemerdekaan
kepada Negara-negara dan Bangsabangsa jajahan.” Deklarasi tersebut
memuat prinsip-prinsip penting dan
12Ifdhal Kasim, 2000,
Dinmensi-dimensi hak asasi manusia
pada administrasi keadilan, jakarta:
elsam, hlm 11.
mendasar bagi pelaksanaan hak
penentuan nasib sendiri, yang
menekankan bahwa semua bangsa
adalah sama dan tidak satupun akan
membenarkan
dominasi
suatu
bangsa oleh bangsa lain.13
Di dalam Resolusi Majelis
Umum PBB 1514 (XV) dan Resolusi
1541
(XV)
tahun
1960
menggarisbawahi keputusan bebas
setiap negara atas status politis dan
perkembangan ekonomi, sosial, dan
budaya.14 Demikian juga Resolusi
2625 (XXV) tanggal 24 oktober
1970 juga menyatakan bahwa:
“Semua bangsa di dunia punya
kebebasan untuk menentukan, tanpa
campur tangan dari luar, status
politik mereka dan dalam rangka
mengupayakan
pembangunan
ekonomi, sosial, dan budaya dan
setiap negara mempunyai kewajiban
untuk menghormati.”15
Di kaitkan dengan kasus
agresi militer Amerika Serikat ke
Irak, maka untuk alasan apapun baik
alasan penegakan hak asasi manusia
di Irak karena kediktatoran rezim
Saddam Hussein, dan untuk alasanalasan
lainnya
tidak
dapat
dibenarkan. Menurut ketentuan13Sumaryo Suryokusumo,
1997, Studi kasus hukum organisasi
internasional, bandung: Alumni, hlm
176-177.
14www.kompas.com, 12 mei
2003: Demokrasi Membutuhkan
Inkulturasi.
15Sumaryo Suryokusumo,
Op.Cit, hlm 179-180
10
ketentuan internasional di atas,
perbuatan
tersebut
merupakan
pelanggaran kedaulatan
terhadap
sebuah negara
dan
termasuk
perbuatan mencampuri dalam negeri
negara lain.
2.
Amerika Serikat Telah
Melakukan Pelanggaran Berat
Hukum Humaniter
Menurut
Hikmahanto
Juwana, Pakar Hukum Internasional
Universitas
Indonesia,
bahwa
tindakan Presiden George W. Bush
bisa dituduh telah melakukan
kejahatan kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan agresi.
Tuduhan tersebut didasarkan pada
fakta, karena dalam serangannya
Amerika Serikat tidak membedabedakan sasaran. Tempat-tempat
yang diduga menjadi tempat
persembunyian Saddam Hussein
langsung
digempur,
tidak
memperdulikan penduduk sipil dan
pasukan militer. Akibat serangan
yang tidak membedakan sasaran
tersebut,
banyak
menewaskan
penduduk sipil.16
Berkaitan dengan perlindungan
penduduk sipil terbagi menjadi 2
(dua). Pertama, perlindungan umum
berdasarkan
Konvensi
Jenewa,
perlindungan umum yang diberikan
kepada penduduk sipil tidak boleh
dilakuka secara diskriminatif. Dalam
segala keadaan, penduduk sipil
berhak atas penghormatan pribadi,
hak kekeluargaan, kekayaan dan
praktek ajaran gamanya. Kedua,
perlindungan khusus, perlindungan
ini diberikan kepada penduduk sipil
yang
tergabung
dalam
suatu
organisasi sosial yang melaksanakan
tugas-tugas
sosial
seperti
Perhimpunan Palang Merah Nasional
dan anggota Perhimpunan Penolong
Sukarela lainnya, termasuk anggota
pertahanan sipil.17
Perjanjian internasional yang
mengatur perang, yang mencakup
perlindungan penduduk sipil yang
utama ialah:
1.
Konvensi Den Haag (KDH)
tahun 1899 yang kemudian
disempurnakan oleh KDH
tahun 1907. KDH tahun 1907
ini terdiri dari 13 konvensi
beserta satu Peraturan Den
Haag
(PHD)
sebagai
lampiran KDH IV tahun 1907
dan stu deklarasi.
2.
Konvensi Jenewa (KJ) tahun
1949, yang terdiri dari empat
konvensi. KJ IV tahun 1949
itu
khusus
mengatur
perlindungan penduduk sipil
di masa perang.
3.
Protokol Tambahan pada KJ
12 tahun 1949 (PTKJ) yang
ditandatangani pada tahun
1977. PTKJ Tahun 1977
terdiri dari dua protokol,
yakni PTKJ I yang mengatur
perlindungan korban perang
internasional dan PTKJ II
yang mengatur perlindungan
16www.kompas.com, 12 mei
2003: Demokrasi Membutuhkan
Inkulturasi.
17Arlina Permatasari, 1999,
Pengantar Hukum Humaniter, jakarta:
miamita print, hlm 170-177.
11
korban
perang
non
internasional.
Yang termasuk penduduk sipil
disini selain penduduk sipil, juga
wartawan
,
yang
seharusnya
dilindungi menjadi korban dari agresi
militer itu. Tindakan pasukan
Amerika
tersebut
melanggar
ketentuan pasal 8 Statuta Roma
tentang War Crimes atau kejahatan
perang, yaitu melanggar pasal 8 ayat
2 huruf b, (i), (ii) dan (v).
Ketentuannya sebagai berikut:
1.
Secara
sengaja
melancarkan serangan
terhadap sekelompok
penduduk sipil atau
terhadap setiap orang
sipil yang tidak ikut
serta secara langsung
dalam permusuhan itu.
2.
Secara
sengaja
melakukan serangan
gterhadap
obyekobyek sipil, yaitu
obyek yang bukan
merupakan
sasaran
militer.
3.
Menyerang
atau
membom,
dengan
sarana apapun, kotakota,
desa-desa,
perumahan
atau
gedung yang bukan
obyek militer.
Selain itu, pasukan Amerika
Serikat juga melakukan pengeboman
terhadap rumah sakit. Tindakan ini
merupakan pelanggaran terhadap
pasal 18 dan pasal 19 Konvensi
Jenewa 1949 tentang perlindungan
warga sipil saat perang, yaitu pasal
18 Konvensi Jenewa 1949 sebagai
berikut:
“...Para
penduduk
dan
perhimpunan-perhimpunan
penolong, walau di daerah
yang diserbu atau didukung
sekalipun,
untuk
secara
spontan mengumpulkan dan
merawat yang luka dan sakit
yang berkebangsaan apapun.
Penduduk
sipil
harus
menghormati yang luka dan
sakit ini dan khususnya tidak
boleh
bertindak
dengan
kekerasan terhadap mereka.
Seseorang tidak boleh dianiaya
atau dihukum karena telah
merawat yang luka dan sakit.
Ketentuan-ketentuan pasal ini
tidak membebaskan Negara
pendudukan dari kewajibankewajiban untuk memberikan
perawatan
jasmaniah
dan
rohaniah kepada yang luka dan
sakit.”18
Adapun ketentuan pasal 19
Konvensi
Jenewa
1949
menyatakan bahwa:
“Bangunan-bangunan tetap dan
kesatuan kesehatan bergerak
dari Dinas Kesehatan dalam
kadaan apapun tidak boleh
diserang, tetapi selalu harus
dihormati dan dilindungi oleh
pihak-pihak dalam sengketa.
Bilamana bangunan-bangunan
18Pasal 18 Konvensi Jenewa
1949
12
tetap dan kesatuan-kesatuan
kesehatan bergerak itu jatuh
dalam tangan pihak lawan,
maka
anggota-anggotanya
harus bebas untuk melanjutkan
kewajiban-kewajiban mereka,
selama negara yang melawan
mereka tidak menjamin sendiri
perawatan yang perlu bagi
yang luka dan sakit yang
terdapat dalam bangunanbangunan
berikut
dan
kesatuan-kesatuan
tersebut.
Penguasa-penguasa
yang
bertsnggungjawab
harus
menjamin bahwa bangunanbangunan kesehatan tersebut
sedapat mungkin ditempatkan
dengan cara sedemikian rupa
sehingga penyerangan atas
sasara-sasaran militer tidak
membahayakan keselamatan
mereka.”19
Penyerangan Amerika Serikat
ke Irak tanpa alasan yang jelas dan
tanpa didukung oleh Resolusi Dewan
Keamanan PBB dapat dituduh
sebagai kejahatan agresi. Tindakan
ini melanggar pasal 51 Piagam PBB
dapat dituduh sebagai kejahatan
agresi. Tindakan ini melanggar pasal
51 Piagam PBB, perang bisa
dilakukan untuk membela diri atau
dimandatkan oleh PBB. Dalam kasus
agresi militer Amerika ke Irak,
Amerika hanya merujuk resolusi No.
1441 yang menentukan bahwa Irak
harus
melucuti
senjata-senjata
19Pasal 19 Konvensi Jenewa
1949
pemusnah massal yang kemungkinan
masih
dimilikinya.
Padahal
kenyataan
menunjukkan,
yang
menjadi target agresi militer Amerika
Serikat ini adalah menggulingkan
rezim Saddam Hussein yang dinilai
diktator dan ingin membebaskan
rakyat Irak.
Dalam kaitannya
dengan
agresi militer Amerika Serikat ke
Irak tahun 2003, maka yang
dimaksud
dengan
pelanggaran
hukum humaniter di sini adalah
George W. Bush sebagai kepala
negara yang memerintahkan agresi
militer tersebut dan juga pasukan
Amerika Serikat yang terbukti telah
melanggar hukum humaniter. Bukti
dari pernyataan di atas bahwa
George W. Bush tetap meerintahkan
untuk melakukan agresi militer ke
Irak, meskipun tanpa persetujuan
bulat Dewan Keamanan PBB.
Perbuatan George W. Bush ini
termasuk dalam Crimes Against
Peace.
Hal
ini
merupakan
pelanggaran terhadap Konvensi
Jenewa 1949 dan Hukum Den Haag
1899 dan 1907, serta Piagam
Nuremberg Pasal 6A, dimana dalam
pelanggaran Crimes Against Peace
yang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban
adalah
pengambil keputusan.
b.
Upaya Penegakan Hukum
Terhadap
Pelanggaran
Kejahatan Perang Amerika Di
Irak
1.
Penegakan
Hukum
Berdasarkan
Hukum
Humaniter
13
Mekanisme penegakan hukum
humaniter dapat ditemukan dalam
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan I Tahun 1977 serta
aturan-aturan lain yang mengatur
tentang penegakan hukum terhadap
kejahatan perang dalam suatu
mahkamah baik yang bersifat ad-hoc
maupun yang permanen.
Pengaturan
terhadap
pelanggaran dan penyalahgunaan
wewenang yang terjadi selama
perang
berdasarkan
Konvensi
Jenewa 1949 terdapat dalam Pasal 49
Konvensi Jenewa I yang berbunyi
sebagai berikut.
yang berkepentingan, orangorang demikian untuk diadili,
asal saja pihak peserta agung itu
dapat menunjukan perkara prima
facie.
Tiap peserta agung harus
mengambil
tindakan-tindakan
yang perlu untuk memberantas
selain pelanggaran berat yang
ditentukan dalam pasala berikut,
segala
perbuatan
yang
bertentangan dengan ketentuan
konvensi-konvensi ini.
Pihak pesrta agung berjanji
untuk menetapkan unhdangundang yang diperlukan untuk
memberi sanksi pidana efektif
terhadap
orang-orang
yang
melakukan atau memerintahkan
melakukan salah satu diantara
pelanggaran berat atas konvensi
ini seperti yang ditentukan
didalam pasala berikut.
Dalam segala keadaan, orangorang yang dituduh harus
mendapatkan jaminan-jaminan
peradilan dan pembelaan yang
wajar, yang tidak boleh kurang
menguntungkan dari jaminanjaminan yang diberikan oleh
Konvensi
Jenewa
tentang
Perlakuan Tawanan Perang
tanggal 12 Agustus 1949
sebagaimana diatur dalam Pasal
105 dan seterusnya.
Tiap peserta agung berkewajiban
untuk mencari orang-orang yang
disangka telah melakukan atau
memerintahkan melakukan salah
satu diantara pelanggaran berat
seperti yang dimaksudkan, dan
harus mengadili orang-orang
demikian
dengan
tidak
memandang
kebangsaannya.
Pihak peserta agung juga, jika
dikehendakinya, dan sesuai
dengan ketentuan perundangundangan sendiri, menyerahkan
kepada pihak peserta agung lain
Negara Pihak yang berperang,
sesuai dengan ketentuan konvensi,
selalu membawa sendiri mahkamah
militernya, sehingga apabila terdapat
suatu pelanggaran yang dilakukan
oleh tentara regulernya, mereka bisa
mengadili secara langsung sesuai
dengan hukum militer negara
tersebut. Kebiasaan yang dilakukan
oleh negara tersebut, merupakan
implementasi dari Pasal 49 Konvensi
Jenewa I Tahun 1949, dimana
penegakan hukum diutamakan untuk
dilakukan oleh negara pihak itu
14
sendiri sebagai bentuk tanggung
jawab negara sebagaimana diatur
dalam konvensi tersebut.
2.
Pengadilan
Tingkat
Internasional Yang Tersedia
Dalam Rangka Penegakan
Hukum
Terhadap
Pelanggaran
Hukum
Humaniter
1.
Mahkamah
Pidana
Internasional
(MPI)
/
International Criminal Court
(ICC)
Pada tanggal 17 Juli 1998,
dalam sebuah Konferensi Diplomatik
PBB di Roma Italia telah dihasilkan
sebuah perjanjian multilateral yaitu
Statuta Roma yang merupakan dasar
terbentuknya Mahkamah Pidana
Internasional/ICC. Dari 148 negara
peserta konvensi, sebanyak 120
negara mendukung, 7 menentang,
dan 21 abstain. Dari 120 negara yang
mendukung
itu
tidak
serta
meratifikasi.
Ketika
disetujui,
Mahkamah Pidana Internasional bisa
diberlakukan minimal bila sudah
diratifikasi 60 negara. Angka
minimal baru diperoleh setelah 4
tahun, tepatnya Juli 2002.20
Pada tanggal 1 Juli 2002,
Statuta Roma ini telah diratifikasi
oleh 60 negara dan secara otomatis
statuta ini telah berlaku. Hingga saat
ini, 139 negara telah menandatangani
statuta tersebut. Mahkamah ini akan
menjadi lembaga permanen yang
20Masyhur Effendi, 2005,
Perkembangan Dimensi Hak Asasi
Manusia, bogor: Ghalia indonesia, hlm
150
tidak dibatasi oleh waktu, dan
tempat. Mahkamah ini memiliki
kewenangan untuk menyelidiki,
mengadili, menghukum individu,
presiden, jendral, panglima perang
ataupun tentara bayaran yang
terbukti telah melakukan The Crime
of Genocide (Kejahatan Genosida),
Crimes Against Humanity (Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan),
War
Crimes (Penjahat Perang) dan The
Crime og Agression (Kejahatan
Agresi). Yurisdiksi ini tercantum
dalam Pasal 5 Statuta Roma.
Mahkamah
Pidana
Internasional adalah hasil dari sebuah
proses perundingan yang demokratis
yang ingin menciptakan keadilan
internasional (international justice).
Dalam kerjanya, Mahkamah ini akan
bermarkas di Haque, sebuah kota di
negeri Belanda.21
Mahkamah ini dapat bekerja
terhadap sebuah kejahatan jika
negara tersebut sudah meratifikasi
Statuta Roma. Jika satu negara telah
meratifikasinya,
maka
dengan
otomatis, negara tersebut mengakui
yurisdiksi mahkamah. Yurisdiksi dari
mahkamah bersifat nonretroaktif
ataun tidak berlaku surut. Pasal 7
ayat (2) Statuta Roma.
Berdasarkan uraian diatas,
maka George W. Bush sebagai
kepala negara, penanggungjawab
agresi militer ke Irak dan juga
pasukan Amerika Serikat yang
melakukan
pelanggaran
berat
humaniter di Irak tidak dapat diadili
21ibid
15
melalui
Mahkamah
Pidana
Internasional, sebab Amerika Serikat
tidak/telah mencabut ratifikasinya
tehadap Statuta Roma yang telah
diberikan
negara
semasa
pemerintahan Bill Clinton. Hal ini
sebenarnya bisa disimpangi, dalam
hukum internasional bila sejumlah
minimum negara menandatangani
dan meratifikasi suatu perjanjian,
maka perjanjian tersebut menjadi
sumber hukum kebiasaan yang bisa
dipaksakan berlakunya pada negara
manapun.22
2.
Mahkamah
Kejahatan
Internasional / Pengadilan Ad
Hoc
Mahkamah
kejahatan/pengadilan Ad Hoc adalah
sebuah peradilan internasional yang
dibentuk PBB secara Ad Hoc. Ad
Hoc disini mempunyai pengertian
bahwa
keberadaannya
hanya
dilakukan pada saat ada kebutuhan
dan setelah melaksanakan tugasnya
lembaga ini akan segera dibubarkan.
Pembentukan Mahkamah Kejahatan
Internasional
didasarkan
pada
Resolusi Dewan Keamanan PBB
dengan merujuk pada Bab VII
Piagam PBB, khususnya Pasal 41
Piagam Jo. Resolusi 1264 tahun
1999.
Pembentukan
Mahkamah
kejahatan
Internasional
harus
mendapat persetujuan dari negaranegara pihak. Hal ini berdasarkan
pengalaman dari ICTY dan ICTR
22Tempo, 28 Desember 2003:
Bila Saddam Diadili, hlm 11.
dimana persetujuan dari negara
dimana para tersangka pelanggar
hukum humaniter berada cukup
penting. Bahkan disyaratkan pula
adanya kerjasama dan bantuan
peradilan
(judicial
assistence)
dengan
negara-negara
yang
berkepentingan.23
Dengan demikian, apabila tidak
ada persetujuan dan kerjasama dari
negara dimana tersangka berada
maka
Mahkamah
Kejahatan
Internasional yang dibentuk tidak
akan banyak manfaatnya. Hal ini
emgingat
pengajuan
tersangka
bahkan penangkapannya
bukan
dilakukan oleh aparat Mahkamah
kejahatan Internasional ataupun
pasukan PBB, tetapi aparat dari
negara dimana tersangka berada.
Sehingga bila dikaitkan dengan kasus
pelanggaran Hukum Humaniter di
Irak Oleh Amerika Serikat maka
pembentukan Mahkamah Kejahatan
Internasional untuk mengadili para
pelanggar Hukum Humaniter dalam
agresi militer Amerika Serikat ke
Irak akan mengalami banyak
hambatan, sebab Amerika Serikat
sudah bisa ditebak akan menolak
untuk bekerjasama.
3.
Penegakan
Hukum
Berdasarkan Kasus Yang
Terjadi
Penegakan hukum terhadap
tentara yang melanggar ketentuanketentuan dalam konflik sengketa
bersenjata yang diatur dalam Hukum
Humaniter Internasional, didasarkan
23Pasal 29 Statuta ICTY
16
pada dua variabel, yaitu yang
pertama adalah berdasarkan hukum
negara tempat tentara tersebut, dan
yang kedua adalah berdasarkan
hukum negara dimana tentara
tersebut melakukan pelanggaran.
Penegakan hukum oleh negara
tempat terjadinya pelanggaran oleh
tentara, dalam kasus yang pernah
terjadi, tergantung pada kuat atau
tidaknya negara tersebut secara
politik maupun militer, meskipun hal
tersebut menjadi kewenangan negara
yang bersangkutan karena hal itu
merupakan
kedaulatan
negara
tersebut. Seringkali yang terjadi pada
kasus-kasus tentara yang melakukan
pelanggaran,
diajukan
pada
mahkamah negara asal tentara
tersebut dan diadili berdasarkan
hukum negara asal atau pengirim
tentara.
Sebagai contoh adalah juri di
Pengadilan Negara Bagian Kentucky,
Amerika
Serikat,
menyatakan,
seorang mantan tentara Amerika
Serikat
terbukti
bersalah
memperkosa gadis Irak berusia 14
tahun lalu membunuhnya juga
membunuh keluarganya. Tentara
bernama Steven Green (24) itu pun
terancam hukuman mati. Green
dilaporkan sudah dipecat dari
kesatuannya karena disorientasi
kepribadian
sebelum
kasusnya
mencuat.
Sebanyak
empat
tentara
Amerika Serikat lain telah divonis
hukuman antara 5 dan 110 tahun
karena terlibat aksi keji tersebut pada
2006.
Mereka
mengakui
memperkosa Abeer Qassim al-Janabi
kemudian
membunuhnya.
Para
pelaku juga menghabisi nyawa kedua
orangtua dan adik perempuan korban
sebelum membakar rumah keluarga
itu di kota Mahmudiya, Irak. Ini
adalah kasus pertama mantan tentara
Amerika Serikat diadili berdasarkan
Undang-Undang Amerika Serikat
yang
memungkinkan
peradilan
terhadap pelaku kejahatan yang
terjadi di luar negeri.
Vonis terhadap Green akan
dibacakan, Senin (11/5). Pada
Agustus 2007, rekan Green, Jesse
Spelman, divonis 110 tahun karena
terlibat kasus ini. Sebanyak tiga
tentara lain mengaku bersalah dan
divonis 5 hingga 100 tahun.24
Bersama Sersan Paul Cortez,
Prajurit Jesse Spielman, dan Prajurit
Bryan Howard, Spesialis Barker
akan
didakwa
melakukan
pemerkosaan dan pembunuhan.
Keempat
tentara
itu
dituduh
membantu bekas prajurit Steven
Green, yang sejak keluar dari dinas
militer merencanakan, melaksanakan
dann meneutup-nutupi serangan
tersebut. Green mengaku bersalah di
pengadilan
federal
dan
akan
disidangkan terpisah di Amerika
Serikat.
Pada hari serangan itu terjadi,
para serdadu itu sedang menenggak
whisky Irak yang dicampur dengan
24Internasional Kompas,
Tentara AS Memerkosa dan Membunuh
Gadis Irak,
http://internasional.kompas.com/read/x
ml/2009/05/08/09020153/tentara.as.me
merkosa.dan.membunuh.gadis.irak.
17
minuman
berenergi
sambil
mempraktekkan pukulan golf di
sebuah pos pemeriksaan di Baghdad,
kata pernyataan barker. Salah
seorang tentara itu, Steven Green,
mengatakan ia “ingin pergi ke
sebuah rumah dan membunuh orang
irak,” seperti dituduhkan. Keempat
tentara itu akhirnya pergi ke sebuah
rumah sekitar 200 meter jaraknya
dan menyuruh suami-istri dan putri
mereka berusia lima tahun masuk ke
kamar tidur, tetapi putrinya yang
berusia 14 tahun disuruh tetap berada
di ruang tamu.
Menurut pernyataan Barker, ia dan
Cortez bergantian memperkosa atau
mencoba memperkosa anak itu.
Barker mendengar suara tembakan di
kamar tidur, dan Steven Green
muncul dengan AK-47 di tangannya
sambil mengatakan “Mereka semua
sudah mati. Saya bunuh mereka”.
Menurut kesaksian itu, Green
kemudian juga memperkosa gadis itu
dan menembaknya sampai mati.
Mayatnya disirami bensin dan
dibakar.
1. Simpulan
1. Agresi militer Amerika Serikat ke
Irak merupakan suatu bentuk
pelangaran hukum internasional.
Adanya hukum internasional yang
dilanggar oleh Amerika Serikat pada
agresi tersebut yaitu pelanggaran
kedaulatan suatu negara. Amerika
Serikat melakukan agresi militer ke
Irak tanpa persetujuan Dewan
Keamanan PBB.
2. Upaya penegakan hukum atas
pelanggaran hukum humaniter pada
saat agresi militer Amerika Serikat
ke Irak pada tahun 2003 dapat
dilakukan
dengan
menuntut
pertanggungjawaban
Amerika
Serikat
sebagai
negara
yang
melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban
internasional
dan
pertanggungjawaban secara individu
dari George w. Bush sebagai kepala
negara yang memerintahkan agresi
militer dan juga pertanggungjawaban
pasukan Amerika Serikat dan
koalisinya yang terbukti melakukan
pelanggaran hukum humaniter
Ucapan Terima Kasih
Dalam
penyusunan
karya
ilmiah ini, tentunya penulis juga
mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Ibu Dwi Astuti Palupi, S.H.,
M.H. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Bung
Hatta,
sekaligus
sebagai
pembimbing II, yang bijaksana,
teliti
dan
sabar
dalam
membimbing penulis hingga
selesainya karya ilmiah ini.
2.
Ibu Dr. Sanijar Pebrihariati R,
SH., M.H. selaku Wakil Dekan
Fakultas Hukum Universitas
Bung Hatta.
3.
Ibu Deswita Rosra S.H.,
M.H. selaku Ketua Bagian
Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Bung
Hatta. Terima kasih telah selalu
memberikan motivasi yang
sangat berharg bagi penulis.
18
4.
Bapak Poniar Warsono, S.H,
selaku pembimbing I, yang
telah meluangkan waktu dan
fikirannya
sejenak
untuk
membimbing penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah
ini.
5.
Bapak dan Ibu Dosen
Fakultas Hukum Universitas
Bung Hatta yang telah banyak
memberikan ilmu yang sangat
berguna bagi penulis.
6. Staf Tata Usaha Fakultas
Hukum Universitas Bung Hatta
yang telah membantu dan
memberikan pelayanan yang
terbaik
selama
penulis
menyelesaikan karya ilmiah
ini.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta
(Mukiman dan Mildayanti) atas
segala
cinta
dan
pengorbananya yang selalu
memberikan do’a disetiap
sujudnya. Demikian juga untuk
Abang dan Adikku (Yanki
Tresna, S.E, Yana Triana, S.Si
dan Giras Naifa) yang selalu
memberiku semangat dan
mendukung impianku.
8. Kepada
semua
sahabatsahabat seperjuangan yang
tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
9. Terima kasih
kepada M.
Insanul Kamil yang sedikit
banyak telah membantu penulis
mencari
bahan
dalam
penyelesaian karya ilmiah ini.
10. Terima kasih kepada Permata
FPS yang telah memberi
masukan guna penyelesaian
karya ilmiah ini.
Kepada semua pihak yang
telah membantu penyelesaian skripsi
ini yang tidak bisa penulis sebutkan
namanya satu persatu, baik moril
maupun
materil,
bimbingan,
mencarikan dan menyediakan bahanbahan untuk penulis, bertukar pikiran
(berdiskusi),
serta
memberikan
motivasi dan semangat kepada
penulis, sehingga karya ilmiah ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Akhirnya, penulis menyadari
bahwa penulisan karya ilmiah ini
masih banyak kekurangannya. Untuk
itulah, kritik yang sifatnya mendidik,
dan saran yang membangun,
senantiasa penulis terima dengan
lapang dada.
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian
Hukum, Rineka Cipta, jakarta, 2013
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, et
all, Pengantar Hukum
Humaniter,
International
Committee of The
Red Cross, Jakarta,
1999.
Haryomataram, Pengantar Hukum
Humaniter,
PT
Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Masyhur Effendi, Hukum Humaniter
Internasional
dan
Pokok-Pokok Doktrin
Hakamrata,
Usaha
Nasional, Surabaya,
1994.
19
Likadja,
F.E. dan Bassie, F.D,
Desain instruksional
dasar
hukum
internasional, ghalia
indonesia,
Jakarta,
1988.
Ifdhal Kasim, Dinmensi-dimensi hak
asasi manusia pada
administrasi keadilan,
elsam, Jakarta, 2000.
Sumaryo Suryokusumo, Studi kasus
hukum
organisasi
internasional, Alumni,
Bandung, 1997.
Arlina
Masyhur
Permatasari,
Pengantar
Hukum
Humaniter,
miamita print, Jakarta,
1999.
Effendi, Perkembangan
Dimensi Hak Asasi
Manusia,
Ghalia
indonesia,
Bogor,
2005
Konvensi Jenewa Tahun 1949 Dan
Protokol Tambahan I Tahun 1977.
Statuta Roma
Piagam PBB Tahun 1945
Konvensi Den Haag Tahun 1907
Statuta ICTY
Invasi
irak
2003. https://id.m.
Wikipedia.org/wiki.
diakses tanggal 16
september 2016
Ach. Tahir, 2013, Penegakan Hukum
Terhadap
Pelanggaran
Berat
Hak Asasi Manusia,
jurnal
Supremasi
Hukum, vol 2/no
2/desember.
Gatra, 16 April 2003.
Sunarsip, Republika, 13 Maret 2003:
Minyak di Balik Krisis Irak
Kompas, 12 mei 2003: Demokrasi
Membutuhkan
Inkulturasi.
Tempo, 28 Desember 2003: Bila
Saddam Diadili,
Internasional Kompas, Tentara AS
Memerkosa
dan
Membunuh
Gadis
Irak,
http://internasional.ko
mpas.com/read/xml/2
009/05/08/09020153/t
entara.as.memerkosa.d
an.membunuh.gadis.ir
ak. diakses tanggal 12
november 2016
Hard Jowinoto, overview hukum
humaniter
internasional.
http://soegenghardjow
inoto.dosen.narotama.
ac.id/2012/02/08/over
view-hukumhumaniterinternasional/. Diakses
tanggal 25 november
2016.
Sigit
Fahrudin,
istilah
dan
pengertian
hukum
humaniter
internasional,
http://mukahukum.blo
gspot.com/2009/04/1istilah-dan-pengertianhukum.html. Diakses
20
tanggal 25 november
2016.
https://lensword.wordpress.com/2015
/12/27/legalitas-
invasi-amerika-keirak-berdasarkanpiagam-pbb-1945/.
Diakses tanggal 25
november 2016.
Download