AGRESI MILITER AMERIKA DI IRAK TAHUN 2003 DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ARTIKEL Diajukan Sebagai Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Oleh : BAYU ANJASMARA 1310012111001 Program kekhususan Hukum internasional FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2016 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA PERSETUJUAN KARYA ILMIAH Nama : Bayu Anjasmara NPM : 1310012111001 Program Kekhususan : Hukum Internasional Judul Karya Ilmiah : Agresi Militer Amerika Di Irak Tahun 2003 Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional 1 AGRESI MILITER AMERIKA DI IRAK TAHUN 2003 DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Bayu Anjasmara1, Dwi Astuti Palupi, S.H.,M.H1, Poniar Warsono, S.H.1 1 Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bung Hatta Email: [email protected] ABSTRACT United States military aggression to Iraq has two main reasons underlying these attacks, first, the United States wishes to stop the project development of weapons of mass destruction in Iraq, the second, droping the regime of Saddam Hussein. The UN Security Council did not approve of this agrgression because it does not quality to be a threat to world peace and security as contained in Chapter VII of the UN Charter, and not also in self-defense. By doing American military aggression to Iraq has violated international law. US aggression to Iraq not only destroys infrastructure, but more than that lifted the lives of thousands of civilians should be protected by humanitarian law. The method used in study is a normative law research that is by collecting materials from books, the internet, legislation and the results of scientific papers more closely related to the purpose of this scientific work. The purpose of this study is to describe the legality of US military aggression to Iraq under international law and how law enforcement for violations of war crimes committed by the US government and its military forces in Iraq according to international humanitarian law. US military aggression is a violation of international law because it did not have permission from the United Nations. The mechanism of enforcement of humanitarian law can be found in the 1949 Geneva Conventions and Additional Protocol 1 of 1977 and other rules governing enforcement against war crimes in a court of either ad-hoc or permanent. Keyword: Military Aggression, American, Humanitarian Law __________________________________________________________________ A. Pendahuluan Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).1 1Hard Jowinoto, overview hukum humaniter internasional. http://soegenghardjowinoto.dosen.narota ma.ac.id/2012/02/08/overview-hukumhumaniter-internasional/. Diakses tanggal 25 november 2016. 2 Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum konflik bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Hukum Humaniter Internasional terdiri dari sekumpulan aturan-aturan internasional yang bertujuan untuk membatasi akibatakibat dari peperangan, baik orang maupun objek-objek lainnya. Aturan ini dituangkan dalam perjanjianperjanjian internasional yang dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu; perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur mengenai korban perang, perjanjianperjanjian internasional yang mengatur tentang pembatasan dan/ atau pelarangan terhadap senjatasenjata tertentu, perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur mengenai perlindungan terhadap objek-objek tertentu, perjanjianperjanjian internasional yang mengatur mengenai yurisdiksi internasional (tindakan atas pelanggaran-pelanggaran.2 Sejak dilancarkannya penggalangan dukungan atas agresi 2Sigit Fahrudin, istilah dan pengertian hukum humaniter internasional, http://mukahukum.blogspot.com/2009/0 4/1-istilah-dan-pengertian-hukum.html. Diakses tanggal 25 november 2016. Amerika, Inggris, dan sekutunya (koalisi) ke Irak hingga dilaksanakannya agresi itu sendiri di tahun 2003, berbagai kontroversi dan perdebatan bermunculan di berbagai belahan dunia, terutama mengenai legalitas dari agresi tersebut yang secara luas dipertanyakan oleh dunia internasional. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1441 isinya menuntut agar Irak mengizinkan dan memberikan akses sepenuhnya kepada IAEA (Badan Atom Internasional) untuk meneliti segala hal yang berkaitan dengan senjata pemusnah masal yang dimiliki Irak, namun itu tidak terbukti. Akan tetapi, Amerika beserta Inggris tetap melaksanakan agresi ke Irak, walaupun hal ini ditentang oleh dunia Internasional. Agresi militer koalisi yang dipimpin Amerika dan Inggris ke Irak dilakukan pada tahun 2003. Amerika melakukan serangan militer ke Irak atas dasar dugaan bahwa Negara Irak memiliki senjata pemusnah masal. Amerika Serikat khawatir bahwa senjata pemusnah masal tersebut akan digunakan Irak dibawah kepemimpinan Sadam Husen untuk menghancurkan stabilitas keamanan dunia, walaupun pada akhirnya keberadaan senjata pemusnah tersebut tidak pernah terbukti adanya.3 Berdasarkan Resolusi No 1441 Dewan Keamanan Perserikatan 3 Invasi irak 2003. https://id.m. Wikipedia.org/wiki. Diakses tanggal 16 september 2016. 3 Bangsa-Bangsa, penggunaan senjata atau kekerasan militer hanya bisa dibenarkan jika Irak menolak Tim Inspeksi Senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun Amerika Serikat tetap melancarkan agresi militer terhadap Irak meskipun Irak telah bersedia untuk bekerjasama dan menurut hasil pemeriksaan Tim Inspeksi Senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak ditemukan adanya bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan sebelumnya. Tindakan Amerika Serikat tersebut bertentangan dengan Pasal 2 (4) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan: “Bahwa dalam melakukan hubungan internasional, semua anggota Perserikatan BangsaBangsa harus menahan diri dari penggunaan kekerasan terhadap integrasi wilayah/kemerdekaan politik suatu bangsa”.4 Agresi militer Amerika Serikat ke Irak ini menimbulkan dampak yang besar bagi seluruh kehidupan rakyat Irak. Banyak penduduk sipil yang tewas akibat serangan tentara Amerika Serikat yang tidak bisa membedakan antara pasukan militer (kombatan) dan penduduk sipil (non kombatan). Dalam suatu sengketa bersenjata pasti akan menimbulkan korban baik itu terhadap kombatan maupun 4 Ach. Tahir, “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia”, Supremasi Hukum, Vol. 2, No 2, Desember 2013, hlm.284 penduduk sipil. Kombatan adalah orang yang aktif turut serta dalam pertempuran dan penduduk sipil adalah orang yang tidak terlibat dalam pertempuran.5 Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Amerika Serikat yang tergabung dalam Center For Contitutional Rights (CCR) mengadukan kepada Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) tentang terjadinya pelanggaran Hukum Humaniter atau Hak Asasi Manusia pada saat terjadinya agresi militer Amerika Serikat ke Irak 2003 yang dilakukan oleh Tentara Amerika Serikat.6 Berdasarkan tuntutan tersebut pengadilan internasional seharusnya mulai melakukan penyelidikan termasuk kepala negara yang memerintahkan agresi militer yaitu Presiden George W. Bush sebagai penjahat perang dalam agresi militer ke Irak.7 Pada maret 2002, Presiden George W. Bush mencabut dukungan yang telah diberikan Presiden Bill Clinton terhadap Mahkamah Pidana Internasional. Konsekuensinya, warga Amerika Serikat termasuk George W. Bush dan Tentara Amerika Serikat yang melakukan 5 Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, hlm. 73 6 Gatra, 16 April 2003, hlm. 29. 7 Ibid. 4 pelanggaran berat hukum humaniter internasional di Irak tidak bisa diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional ini. Pencabutan dukungan tersebut merupakan langkah preventif Presiden George W. Bush agar lolos dari jerat hukum internasional dalam melaksanakan politik internasionalnya.8 Berdasarkan uraian contoh kasus di atas, terdapat adanya pelanggaran ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Hukum Humaniter Internasional. Baik itu status serangan Amerika ke Irak maupun pelanggaran mengenai terbunuhnya penduduk sipil Irak dalam ageresi militer yang dilancarkan Amerika Serikat. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana legalitas agresi militer Amerika ke Irak pada tahun 2003 ? 2. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran kejahatan perang Amerika di Irak ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui legalitas agresi militer Amerika ke Irak pada tahun 2003. 2. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran kejahatan D. Metode Penelitian 8 Ach. Tahir, Op.Cit, hlm. 285-286. 1. Jenis Penelitian Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi suratsurat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumendokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 2. Sumber Data Data yang diperoleh adalah data sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan dokumentasi dan bahan tertulis lainnya yang terkait dengan judul artikel ini. Bahan Hukum Primer: yaitu bahanbahan hukum yang mengikat dan terdiri dari aturan-aturan dalam Hukum Internasional, terdiri dari: 1. Konvensi Jenewa 1949. 2. Protokol tambahan I (sengketa bersenjata internasional). 3. Protokol Tambahan II (perlindungan korban konflik bersenjata internasional). 4. Statuta Roma Bahan Hukum Sekunder: yaitu data kepustakaan yang dipakai untuk mendukung bahan hukum primer, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Disini penulis mengambil data dari media massa, artikel-artikel, literatur, internet, yang menunjang pembahasan mengenai mekanisme penegakan hukum terhadap 5 kejahatan perang didalam hukum humaniter internasional. 5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dengan melakukan studi pustaka baik menggunakan buku maupun data dari internet berupa artikel yang berkaitan dengan penulisan ini yang menggunakan berbagai ensiklopedia. Dengan cara mempelajari, menganalisa, dan menyimpulkan bahan-bahan hukum tersebut, yang ada hubungannya dengan pokok masalah yang penulis teliti dan susun. Melakukan pencatatan yang berisikan berbagai pengertian dan pendapat para ahli tentang kejahatan perang. Melakukan penelitian kepustakaan pada beberapa pustaka yang ada. Perpustakaan yang dikunjungi oleh penulis adalah: 1. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Bung hatta. 2. Perpustakaan Pusat Universitas Bung Hatta. 3. Perpustakaan Daerah. 4. Analisis Data Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif. Oleh karena itu, maka di gunakan analisis dengan ukuran kualitatif yang berpusat pada substansi dengan proses pendataan dalam menarik kesimpulan menggunakan metode berfikir deduktif yang berpangkal pada pengajuan bahan premis mayor berupa aturan hukum. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Gejala tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang obyektif.9 E. Hasil Penelitian & Pembahasan a. Legalitas Serangan Agresi Militer Amerika Ke Irak Pada Tahun 2003 1. Dalam Perspektif Hukum Internasional Isu sentral yang dikemukakan oleh Amerika Serikat di mata internasional guna merealisir tujuannya untuk menyerang irak adalah dengan membuat tuduhan bahwa Irak memiliki sejumlah senjata pemusnah massal (nuklir, bilologi dan kimia) yang dikuatirkan akan membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Belakangan semakin terungkap bahwa sebenarnya ada satu isu pokok lain yang dapat dianggap sebagai dorongan kuat bagi Amerika untuk menginvasi Irak dengan ataupun tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. Isu yang dikemas rapi dibalik isu sentral seperti tersebut di atas adalah keinginan Amerika untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Husein. Uraian berikut ini akan membahas kemungkinan kedua isu itu dalam perspektif Hukum Internasional. 1. Isu Pemilikan Senjata Pemusnah Massal Irak 9Burhan ashshofa, 2013, Metode penelitian hukum, jakarta: rineka cipta, hlm 20-21. 6 Isu ini semakin hari semakin tidak relevan mengingat kenyataan bahwa Tim Inspeksi Senjata Pemusnah Massal PBB yang diketuai oleh Hans Blix tidak menemukan bukti bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Irak memang pernah memiliki senjata pemusnah massal, namun menurut Der Spiegel, pasokan bahan senjata tersebut didapat Irak secara legal justru dengan mengantongi 711 lisensi dari Departemen Perdagangan Amerika sendiri.10 Dengan fakta-fakta diatas, Amerika sebenarnya tidak memiliki hak apapun untuk meneruskan niatnya menyerang Irak kecuali Dewan Keamanan menyetujuinya. Bila pemerintahan Bush tetap bersikeras juga atas kebijakannya itu, maka berarti telah terjadi berbagai pelanggaran atas Hukum Internasional secara terang-terangan, tepat di depan mata masyarakat internasional. Pada point ini norma-norma hukum internasional yang dilanggar oleh Amerika ketika menyerang Irak tanpa persetujuan DK PBB adalah: 1. Pasal 1 (1) Piagam PBB Dengan menyerang Irak maka Amerika telah mengkhianati cita-cita luhur dari PBB untuk : “...menggunakan langkah-langkah 10Sunarsip, “Minyak di Balik Krisis Irak, Republika, Jakarta, 13 Maret 2003, hlm 5. kolektif dalam mencegah dan menghapuskan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, untuk menekan aksiaksi agresi atau pelanggaranpelanggaran lain terhadap perdamaian dan untuk membawa tujuan-tujuan damai.” 2. Pasal 2 (4) Piagam PBB Pelanggaran terhadap kewajiban yang di berikan oleh pasal ini untuk “...membatasi diri mereka dalam hubungan internasional dari ancaman atau penggunaan kekuatan.” Dari norma-norma hukum internasional tersebut di atas, terlihat bahwa serangan Amerika ke Irak berarti pengingkaran terhadap kesepakatan internasional tentang penggunaan langkah-langkah kolektif dalam menangani masalahmasalah yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional, sekaligus sebagai bukti ketidakmampuan Amerika dalam membatasi diri mereka dari penggunaan ancaman atau penggunaan kekuatan demi kepentingannya semata-mata. Aksi penyerangan terhadap Irak berarti aksi agresi yang kelak harus dipertanggungjawabkan sesuai 7 dengan hukum internasional yang berlaku. 3. Isu Penggulingan Pemerintahan Saddam Husein Suka tidak suka, pemerintahan Saddam Hussein adalah pemerintahan yang berdaulat di Irak. Oleh karena itu tidak ada pihak manapun, bahkan PBB sekalipun yang berwenang untuk mencampuri itu (pasal 2 (7) Piagam PBB). Argumentasi yang diajukan oleh Amerika terhadap intervensi ini adalah kepedulian negara superpower atas masalah-masalah demokrasi, Hak Azasi Manusia, Tatanan Internal, Perlindungan Bangsa-bangsa Asing dan lain-lain. Justifikasi yang digunakan Amerika di atas ternyata tidak diterima sebagai suatu aturan kebiasaan internasional, malah intervensi semacam itu secara universal telah banyak ditolak. 2. Berdasarkan Pasal 51 dan 33 Piagam PBB 1945 Pasal 51 Piagam PBB menyebutkan bahwa; Tidak ada suatu ketentuan dalam Piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu Anggota Perserikatan Bangsabangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil oleh Anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut Piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Menurut pasal 33 ayat 1 Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut: a. Negosiasi (perundingan) Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga. b. Enquiry (penyelidikan) Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta. c. Good offices (jasa-jasa baik) Pihak ketiga dapat menawarkan jasajasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka. d. Mediation (mediasi) Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutantuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif. e. Consiliation (Konsiliasi) Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi. f. Arbitration (arbitrase) 8 Pihaknya adalah negara, dan badan-badan hukum. lebih flexible dibanding penyelesain sengketa pengadilan. g. Penyelesain sengketa hokum individu, Arbitrasi dengan melalui menurut Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutan yang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. h. Badan-badan regional Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sedudah PBB berdiri i. Cara-cara damai lainnya 3. Ketentuan Hukum Humaniter Internasional Selama agresi militer ke Irak, Amerika Serikat telah melanggar beberapa ketentuan norma hukum internasional tentang Hukum Humaniter, yaitu: 1. Amerika Serikat Telah Melanggar Kedaulatan Irak Dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Irak Di dalam konsep hukum internasional yang diakui bangsabangsa beradab (civilized nations), setiap negara memiliki hak-hak merdeka (independent), berdaulat (souvereignity), dan sederajat (equality). Sehingga pada hakikatnya, masyarakat hukum internasional merupakan suatu kompleksitas kehidupan bersama yang terjalin secara tetap dan terus menerus antara sejumlah negaranegara yang berdaulat dan sederajat, yang terikat, tunduk, dan taat pada suatu sistem hukum yang bersifat internasional.11 Di dalam pasal 1 ayat 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Adapun bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut: “Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsabangsa berdasarkan penghargaan atas prinsipprinsip persamaan hak dan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian universal.” Selain itu, dalam Mukadimah Universal Declaration of Human Rights yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948 terdapat ketentuan tentang hak atas kedaulatan dan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai berikut: “Mengakui peranan penting kerjasama internasional dan kerja yang berharga dari 11Likadja, F.E. dan Bassie, F.D, 1988, Desain instruksional dasar hukum internasional, jakarta: ghalia indonesia, hlm 23. 9 para individu, kelompok, dan perkumpulan dalam memberikan sumbangan terhadap penghapusan secara efektif semua pelanggaran hak asasi manusia dan kebebassan dasar individu dan rakyat, termasuk dalam kaitannya dengan pelanggaran yang kasar atau sistematik dan massal seperti yang timbul darin apartheid, semua bentuk diskriminasi rasial, kolonialisme, dominasi atau pendudukan asing, agresi, atau ancaman terhadap kedaulatan nasional, persatuan nasional, atau integritas, territorial, dan dari penolakan terhadap hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak setiap orang untuk melaksanakan kedaulatan sepenuhnya atas kekayaan dan sumber daya nasionalnya.”12 Dalam rangka pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa, maka pada tanggal 14 Desember 1960 Majelis Umum PBB telah menyetujui adanya “Deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada Negara-negara dan Bangsabangsa jajahan.” Deklarasi tersebut memuat prinsip-prinsip penting dan 12Ifdhal Kasim, 2000, Dinmensi-dimensi hak asasi manusia pada administrasi keadilan, jakarta: elsam, hlm 11. mendasar bagi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri, yang menekankan bahwa semua bangsa adalah sama dan tidak satupun akan membenarkan dominasi suatu bangsa oleh bangsa lain.13 Di dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) dan Resolusi 1541 (XV) tahun 1960 menggarisbawahi keputusan bebas setiap negara atas status politis dan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya.14 Demikian juga Resolusi 2625 (XXV) tanggal 24 oktober 1970 juga menyatakan bahwa: “Semua bangsa di dunia punya kebebasan untuk menentukan, tanpa campur tangan dari luar, status politik mereka dan dalam rangka mengupayakan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya dan setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati.”15 Di kaitkan dengan kasus agresi militer Amerika Serikat ke Irak, maka untuk alasan apapun baik alasan penegakan hak asasi manusia di Irak karena kediktatoran rezim Saddam Hussein, dan untuk alasanalasan lainnya tidak dapat dibenarkan. Menurut ketentuan13Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi kasus hukum organisasi internasional, bandung: Alumni, hlm 176-177. 14www.kompas.com, 12 mei 2003: Demokrasi Membutuhkan Inkulturasi. 15Sumaryo Suryokusumo, Op.Cit, hlm 179-180 10 ketentuan internasional di atas, perbuatan tersebut merupakan pelanggaran kedaulatan terhadap sebuah negara dan termasuk perbuatan mencampuri dalam negeri negara lain. 2. Amerika Serikat Telah Melakukan Pelanggaran Berat Hukum Humaniter Menurut Hikmahanto Juwana, Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia, bahwa tindakan Presiden George W. Bush bisa dituduh telah melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Tuduhan tersebut didasarkan pada fakta, karena dalam serangannya Amerika Serikat tidak membedabedakan sasaran. Tempat-tempat yang diduga menjadi tempat persembunyian Saddam Hussein langsung digempur, tidak memperdulikan penduduk sipil dan pasukan militer. Akibat serangan yang tidak membedakan sasaran tersebut, banyak menewaskan penduduk sipil.16 Berkaitan dengan perlindungan penduduk sipil terbagi menjadi 2 (dua). Pertama, perlindungan umum berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakuka secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran gamanya. Kedua, perlindungan khusus, perlindungan ini diberikan kepada penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas sosial seperti Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota pertahanan sipil.17 Perjanjian internasional yang mengatur perang, yang mencakup perlindungan penduduk sipil yang utama ialah: 1. Konvensi Den Haag (KDH) tahun 1899 yang kemudian disempurnakan oleh KDH tahun 1907. KDH tahun 1907 ini terdiri dari 13 konvensi beserta satu Peraturan Den Haag (PHD) sebagai lampiran KDH IV tahun 1907 dan stu deklarasi. 2. Konvensi Jenewa (KJ) tahun 1949, yang terdiri dari empat konvensi. KJ IV tahun 1949 itu khusus mengatur perlindungan penduduk sipil di masa perang. 3. Protokol Tambahan pada KJ 12 tahun 1949 (PTKJ) yang ditandatangani pada tahun 1977. PTKJ Tahun 1977 terdiri dari dua protokol, yakni PTKJ I yang mengatur perlindungan korban perang internasional dan PTKJ II yang mengatur perlindungan 16www.kompas.com, 12 mei 2003: Demokrasi Membutuhkan Inkulturasi. 17Arlina Permatasari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, jakarta: miamita print, hlm 170-177. 11 korban perang non internasional. Yang termasuk penduduk sipil disini selain penduduk sipil, juga wartawan , yang seharusnya dilindungi menjadi korban dari agresi militer itu. Tindakan pasukan Amerika tersebut melanggar ketentuan pasal 8 Statuta Roma tentang War Crimes atau kejahatan perang, yaitu melanggar pasal 8 ayat 2 huruf b, (i), (ii) dan (v). Ketentuannya sebagai berikut: 1. Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam permusuhan itu. 2. Secara sengaja melakukan serangan gterhadap obyekobyek sipil, yaitu obyek yang bukan merupakan sasaran militer. 3. Menyerang atau membom, dengan sarana apapun, kotakota, desa-desa, perumahan atau gedung yang bukan obyek militer. Selain itu, pasukan Amerika Serikat juga melakukan pengeboman terhadap rumah sakit. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 dan pasal 19 Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan warga sipil saat perang, yaitu pasal 18 Konvensi Jenewa 1949 sebagai berikut: “...Para penduduk dan perhimpunan-perhimpunan penolong, walau di daerah yang diserbu atau didukung sekalipun, untuk secara spontan mengumpulkan dan merawat yang luka dan sakit yang berkebangsaan apapun. Penduduk sipil harus menghormati yang luka dan sakit ini dan khususnya tidak boleh bertindak dengan kekerasan terhadap mereka. Seseorang tidak boleh dianiaya atau dihukum karena telah merawat yang luka dan sakit. Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak membebaskan Negara pendudukan dari kewajibankewajiban untuk memberikan perawatan jasmaniah dan rohaniah kepada yang luka dan sakit.”18 Adapun ketentuan pasal 19 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa: “Bangunan-bangunan tetap dan kesatuan kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan dalam kadaan apapun tidak boleh diserang, tetapi selalu harus dihormati dan dilindungi oleh pihak-pihak dalam sengketa. Bilamana bangunan-bangunan 18Pasal 18 Konvensi Jenewa 1949 12 tetap dan kesatuan-kesatuan kesehatan bergerak itu jatuh dalam tangan pihak lawan, maka anggota-anggotanya harus bebas untuk melanjutkan kewajiban-kewajiban mereka, selama negara yang melawan mereka tidak menjamin sendiri perawatan yang perlu bagi yang luka dan sakit yang terdapat dalam bangunanbangunan berikut dan kesatuan-kesatuan tersebut. Penguasa-penguasa yang bertsnggungjawab harus menjamin bahwa bangunanbangunan kesehatan tersebut sedapat mungkin ditempatkan dengan cara sedemikian rupa sehingga penyerangan atas sasara-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan mereka.”19 Penyerangan Amerika Serikat ke Irak tanpa alasan yang jelas dan tanpa didukung oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB dapat dituduh sebagai kejahatan agresi. Tindakan ini melanggar pasal 51 Piagam PBB dapat dituduh sebagai kejahatan agresi. Tindakan ini melanggar pasal 51 Piagam PBB, perang bisa dilakukan untuk membela diri atau dimandatkan oleh PBB. Dalam kasus agresi militer Amerika ke Irak, Amerika hanya merujuk resolusi No. 1441 yang menentukan bahwa Irak harus melucuti senjata-senjata 19Pasal 19 Konvensi Jenewa 1949 pemusnah massal yang kemungkinan masih dimilikinya. Padahal kenyataan menunjukkan, yang menjadi target agresi militer Amerika Serikat ini adalah menggulingkan rezim Saddam Hussein yang dinilai diktator dan ingin membebaskan rakyat Irak. Dalam kaitannya dengan agresi militer Amerika Serikat ke Irak tahun 2003, maka yang dimaksud dengan pelanggaran hukum humaniter di sini adalah George W. Bush sebagai kepala negara yang memerintahkan agresi militer tersebut dan juga pasukan Amerika Serikat yang terbukti telah melanggar hukum humaniter. Bukti dari pernyataan di atas bahwa George W. Bush tetap meerintahkan untuk melakukan agresi militer ke Irak, meskipun tanpa persetujuan bulat Dewan Keamanan PBB. Perbuatan George W. Bush ini termasuk dalam Crimes Against Peace. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 dan Hukum Den Haag 1899 dan 1907, serta Piagam Nuremberg Pasal 6A, dimana dalam pelanggaran Crimes Against Peace yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah pengambil keputusan. b. Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Kejahatan Perang Amerika Di Irak 1. Penegakan Hukum Berdasarkan Hukum Humaniter 13 Mekanisme penegakan hukum humaniter dapat ditemukan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I Tahun 1977 serta aturan-aturan lain yang mengatur tentang penegakan hukum terhadap kejahatan perang dalam suatu mahkamah baik yang bersifat ad-hoc maupun yang permanen. Pengaturan terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi selama perang berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 terdapat dalam Pasal 49 Konvensi Jenewa I yang berbunyi sebagai berikut. yang berkepentingan, orangorang demikian untuk diadili, asal saja pihak peserta agung itu dapat menunjukan perkara prima facie. Tiap peserta agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasala berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi-konvensi ini. Pihak pesrta agung berjanji untuk menetapkan unhdangundang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas konvensi ini seperti yang ditentukan didalam pasala berikut. Dalam segala keadaan, orangorang yang dituduh harus mendapatkan jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tidak boleh kurang menguntungkan dari jaminanjaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang tanggal 12 Agustus 1949 sebagaimana diatur dalam Pasal 105 dan seterusnya. Tiap peserta agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan melakukan salah satu diantara pelanggaran berat seperti yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang demikian dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak peserta agung juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan sendiri, menyerahkan kepada pihak peserta agung lain Negara Pihak yang berperang, sesuai dengan ketentuan konvensi, selalu membawa sendiri mahkamah militernya, sehingga apabila terdapat suatu pelanggaran yang dilakukan oleh tentara regulernya, mereka bisa mengadili secara langsung sesuai dengan hukum militer negara tersebut. Kebiasaan yang dilakukan oleh negara tersebut, merupakan implementasi dari Pasal 49 Konvensi Jenewa I Tahun 1949, dimana penegakan hukum diutamakan untuk dilakukan oleh negara pihak itu 14 sendiri sebagai bentuk tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam konvensi tersebut. 2. Pengadilan Tingkat Internasional Yang Tersedia Dalam Rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hukum Humaniter 1. Mahkamah Pidana Internasional (MPI) / International Criminal Court (ICC) Pada tanggal 17 Juli 1998, dalam sebuah Konferensi Diplomatik PBB di Roma Italia telah dihasilkan sebuah perjanjian multilateral yaitu Statuta Roma yang merupakan dasar terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional/ICC. Dari 148 negara peserta konvensi, sebanyak 120 negara mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain. Dari 120 negara yang mendukung itu tidak serta meratifikasi. Ketika disetujui, Mahkamah Pidana Internasional bisa diberlakukan minimal bila sudah diratifikasi 60 negara. Angka minimal baru diperoleh setelah 4 tahun, tepatnya Juli 2002.20 Pada tanggal 1 Juli 2002, Statuta Roma ini telah diratifikasi oleh 60 negara dan secara otomatis statuta ini telah berlaku. Hingga saat ini, 139 negara telah menandatangani statuta tersebut. Mahkamah ini akan menjadi lembaga permanen yang 20Masyhur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia, bogor: Ghalia indonesia, hlm 150 tidak dibatasi oleh waktu, dan tempat. Mahkamah ini memiliki kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, menghukum individu, presiden, jendral, panglima perang ataupun tentara bayaran yang terbukti telah melakukan The Crime of Genocide (Kejahatan Genosida), Crimes Against Humanity (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan), War Crimes (Penjahat Perang) dan The Crime og Agression (Kejahatan Agresi). Yurisdiksi ini tercantum dalam Pasal 5 Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional adalah hasil dari sebuah proses perundingan yang demokratis yang ingin menciptakan keadilan internasional (international justice). Dalam kerjanya, Mahkamah ini akan bermarkas di Haque, sebuah kota di negeri Belanda.21 Mahkamah ini dapat bekerja terhadap sebuah kejahatan jika negara tersebut sudah meratifikasi Statuta Roma. Jika satu negara telah meratifikasinya, maka dengan otomatis, negara tersebut mengakui yurisdiksi mahkamah. Yurisdiksi dari mahkamah bersifat nonretroaktif ataun tidak berlaku surut. Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma. Berdasarkan uraian diatas, maka George W. Bush sebagai kepala negara, penanggungjawab agresi militer ke Irak dan juga pasukan Amerika Serikat yang melakukan pelanggaran berat humaniter di Irak tidak dapat diadili 21ibid 15 melalui Mahkamah Pidana Internasional, sebab Amerika Serikat tidak/telah mencabut ratifikasinya tehadap Statuta Roma yang telah diberikan negara semasa pemerintahan Bill Clinton. Hal ini sebenarnya bisa disimpangi, dalam hukum internasional bila sejumlah minimum negara menandatangani dan meratifikasi suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut menjadi sumber hukum kebiasaan yang bisa dipaksakan berlakunya pada negara manapun.22 2. Mahkamah Kejahatan Internasional / Pengadilan Ad Hoc Mahkamah kejahatan/pengadilan Ad Hoc adalah sebuah peradilan internasional yang dibentuk PBB secara Ad Hoc. Ad Hoc disini mempunyai pengertian bahwa keberadaannya hanya dilakukan pada saat ada kebutuhan dan setelah melaksanakan tugasnya lembaga ini akan segera dibubarkan. Pembentukan Mahkamah Kejahatan Internasional didasarkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB dengan merujuk pada Bab VII Piagam PBB, khususnya Pasal 41 Piagam Jo. Resolusi 1264 tahun 1999. Pembentukan Mahkamah kejahatan Internasional harus mendapat persetujuan dari negaranegara pihak. Hal ini berdasarkan pengalaman dari ICTY dan ICTR 22Tempo, 28 Desember 2003: Bila Saddam Diadili, hlm 11. dimana persetujuan dari negara dimana para tersangka pelanggar hukum humaniter berada cukup penting. Bahkan disyaratkan pula adanya kerjasama dan bantuan peradilan (judicial assistence) dengan negara-negara yang berkepentingan.23 Dengan demikian, apabila tidak ada persetujuan dan kerjasama dari negara dimana tersangka berada maka Mahkamah Kejahatan Internasional yang dibentuk tidak akan banyak manfaatnya. Hal ini emgingat pengajuan tersangka bahkan penangkapannya bukan dilakukan oleh aparat Mahkamah kejahatan Internasional ataupun pasukan PBB, tetapi aparat dari negara dimana tersangka berada. Sehingga bila dikaitkan dengan kasus pelanggaran Hukum Humaniter di Irak Oleh Amerika Serikat maka pembentukan Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili para pelanggar Hukum Humaniter dalam agresi militer Amerika Serikat ke Irak akan mengalami banyak hambatan, sebab Amerika Serikat sudah bisa ditebak akan menolak untuk bekerjasama. 3. Penegakan Hukum Berdasarkan Kasus Yang Terjadi Penegakan hukum terhadap tentara yang melanggar ketentuanketentuan dalam konflik sengketa bersenjata yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional, didasarkan 23Pasal 29 Statuta ICTY 16 pada dua variabel, yaitu yang pertama adalah berdasarkan hukum negara tempat tentara tersebut, dan yang kedua adalah berdasarkan hukum negara dimana tentara tersebut melakukan pelanggaran. Penegakan hukum oleh negara tempat terjadinya pelanggaran oleh tentara, dalam kasus yang pernah terjadi, tergantung pada kuat atau tidaknya negara tersebut secara politik maupun militer, meskipun hal tersebut menjadi kewenangan negara yang bersangkutan karena hal itu merupakan kedaulatan negara tersebut. Seringkali yang terjadi pada kasus-kasus tentara yang melakukan pelanggaran, diajukan pada mahkamah negara asal tentara tersebut dan diadili berdasarkan hukum negara asal atau pengirim tentara. Sebagai contoh adalah juri di Pengadilan Negara Bagian Kentucky, Amerika Serikat, menyatakan, seorang mantan tentara Amerika Serikat terbukti bersalah memperkosa gadis Irak berusia 14 tahun lalu membunuhnya juga membunuh keluarganya. Tentara bernama Steven Green (24) itu pun terancam hukuman mati. Green dilaporkan sudah dipecat dari kesatuannya karena disorientasi kepribadian sebelum kasusnya mencuat. Sebanyak empat tentara Amerika Serikat lain telah divonis hukuman antara 5 dan 110 tahun karena terlibat aksi keji tersebut pada 2006. Mereka mengakui memperkosa Abeer Qassim al-Janabi kemudian membunuhnya. Para pelaku juga menghabisi nyawa kedua orangtua dan adik perempuan korban sebelum membakar rumah keluarga itu di kota Mahmudiya, Irak. Ini adalah kasus pertama mantan tentara Amerika Serikat diadili berdasarkan Undang-Undang Amerika Serikat yang memungkinkan peradilan terhadap pelaku kejahatan yang terjadi di luar negeri. Vonis terhadap Green akan dibacakan, Senin (11/5). Pada Agustus 2007, rekan Green, Jesse Spelman, divonis 110 tahun karena terlibat kasus ini. Sebanyak tiga tentara lain mengaku bersalah dan divonis 5 hingga 100 tahun.24 Bersama Sersan Paul Cortez, Prajurit Jesse Spielman, dan Prajurit Bryan Howard, Spesialis Barker akan didakwa melakukan pemerkosaan dan pembunuhan. Keempat tentara itu dituduh membantu bekas prajurit Steven Green, yang sejak keluar dari dinas militer merencanakan, melaksanakan dann meneutup-nutupi serangan tersebut. Green mengaku bersalah di pengadilan federal dan akan disidangkan terpisah di Amerika Serikat. Pada hari serangan itu terjadi, para serdadu itu sedang menenggak whisky Irak yang dicampur dengan 24Internasional Kompas, Tentara AS Memerkosa dan Membunuh Gadis Irak, http://internasional.kompas.com/read/x ml/2009/05/08/09020153/tentara.as.me merkosa.dan.membunuh.gadis.irak. 17 minuman berenergi sambil mempraktekkan pukulan golf di sebuah pos pemeriksaan di Baghdad, kata pernyataan barker. Salah seorang tentara itu, Steven Green, mengatakan ia “ingin pergi ke sebuah rumah dan membunuh orang irak,” seperti dituduhkan. Keempat tentara itu akhirnya pergi ke sebuah rumah sekitar 200 meter jaraknya dan menyuruh suami-istri dan putri mereka berusia lima tahun masuk ke kamar tidur, tetapi putrinya yang berusia 14 tahun disuruh tetap berada di ruang tamu. Menurut pernyataan Barker, ia dan Cortez bergantian memperkosa atau mencoba memperkosa anak itu. Barker mendengar suara tembakan di kamar tidur, dan Steven Green muncul dengan AK-47 di tangannya sambil mengatakan “Mereka semua sudah mati. Saya bunuh mereka”. Menurut kesaksian itu, Green kemudian juga memperkosa gadis itu dan menembaknya sampai mati. Mayatnya disirami bensin dan dibakar. 1. Simpulan 1. Agresi militer Amerika Serikat ke Irak merupakan suatu bentuk pelangaran hukum internasional. Adanya hukum internasional yang dilanggar oleh Amerika Serikat pada agresi tersebut yaitu pelanggaran kedaulatan suatu negara. Amerika Serikat melakukan agresi militer ke Irak tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. 2. Upaya penegakan hukum atas pelanggaran hukum humaniter pada saat agresi militer Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 dapat dilakukan dengan menuntut pertanggungjawaban Amerika Serikat sebagai negara yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban internasional dan pertanggungjawaban secara individu dari George w. Bush sebagai kepala negara yang memerintahkan agresi militer dan juga pertanggungjawaban pasukan Amerika Serikat dan koalisinya yang terbukti melakukan pelanggaran hukum humaniter Ucapan Terima Kasih Dalam penyusunan karya ilmiah ini, tentunya penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dwi Astuti Palupi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, sekaligus sebagai pembimbing II, yang bijaksana, teliti dan sabar dalam membimbing penulis hingga selesainya karya ilmiah ini. 2. Ibu Dr. Sanijar Pebrihariati R, SH., M.H. selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. 3. Ibu Deswita Rosra S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta. Terima kasih telah selalu memberikan motivasi yang sangat berharg bagi penulis. 18 4. Bapak Poniar Warsono, S.H, selaku pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan fikirannya sejenak untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta yang telah banyak memberikan ilmu yang sangat berguna bagi penulis. 6. Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta yang telah membantu dan memberikan pelayanan yang terbaik selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta (Mukiman dan Mildayanti) atas segala cinta dan pengorbananya yang selalu memberikan do’a disetiap sujudnya. Demikian juga untuk Abang dan Adikku (Yanki Tresna, S.E, Yana Triana, S.Si dan Giras Naifa) yang selalu memberiku semangat dan mendukung impianku. 8. Kepada semua sahabatsahabat seperjuangan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 9. Terima kasih kepada M. Insanul Kamil yang sedikit banyak telah membantu penulis mencari bahan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 10. Terima kasih kepada Permata FPS yang telah memberi masukan guna penyelesaian karya ilmiah ini. Kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, baik moril maupun materil, bimbingan, mencarikan dan menyediakan bahanbahan untuk penulis, bertukar pikiran (berdiskusi), serta memberikan motivasi dan semangat kepada penulis, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Akhirnya, penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itulah, kritik yang sifatnya mendidik, dan saran yang membangun, senantiasa penulis terima dengan lapang dada. DAFTAR PUSTAKA Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, jakarta, 2013 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, et all, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Red Cross, Jakarta, 1999. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005. Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok Doktrin Hakamrata, Usaha Nasional, Surabaya, 1994. 19 Likadja, F.E. dan Bassie, F.D, Desain instruksional dasar hukum internasional, ghalia indonesia, Jakarta, 1988. Ifdhal Kasim, Dinmensi-dimensi hak asasi manusia pada administrasi keadilan, elsam, Jakarta, 2000. Sumaryo Suryokusumo, Studi kasus hukum organisasi internasional, Alumni, Bandung, 1997. Arlina Masyhur Permatasari, Pengantar Hukum Humaniter, miamita print, Jakarta, 1999. Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia, Ghalia indonesia, Bogor, 2005 Konvensi Jenewa Tahun 1949 Dan Protokol Tambahan I Tahun 1977. Statuta Roma Piagam PBB Tahun 1945 Konvensi Den Haag Tahun 1907 Statuta ICTY Invasi irak 2003. https://id.m. Wikipedia.org/wiki. diakses tanggal 16 september 2016 Ach. Tahir, 2013, Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, jurnal Supremasi Hukum, vol 2/no 2/desember. Gatra, 16 April 2003. Sunarsip, Republika, 13 Maret 2003: Minyak di Balik Krisis Irak Kompas, 12 mei 2003: Demokrasi Membutuhkan Inkulturasi. Tempo, 28 Desember 2003: Bila Saddam Diadili, Internasional Kompas, Tentara AS Memerkosa dan Membunuh Gadis Irak, http://internasional.ko mpas.com/read/xml/2 009/05/08/09020153/t entara.as.memerkosa.d an.membunuh.gadis.ir ak. diakses tanggal 12 november 2016 Hard Jowinoto, overview hukum humaniter internasional. http://soegenghardjow inoto.dosen.narotama. ac.id/2012/02/08/over view-hukumhumaniterinternasional/. Diakses tanggal 25 november 2016. Sigit Fahrudin, istilah dan pengertian hukum humaniter internasional, http://mukahukum.blo gspot.com/2009/04/1istilah-dan-pengertianhukum.html. Diakses 20 tanggal 25 november 2016. https://lensword.wordpress.com/2015 /12/27/legalitas- invasi-amerika-keirak-berdasarkanpiagam-pbb-1945/. Diakses tanggal 25 november 2016.