keefektivan ekstrak biota laut aglaophenia terhadap

advertisement
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525
Suada
Vol. 11, No. 2: 157 – 165, September 2011
Keefektivan Ekstrak Biota Laut Aglaophenia
157
KEEFEKTIVAN EKSTRAK BIOTA LAUT AGLAOPHENIA TERHADAP
AKTIVITAS ENZIM EKSTRASELULER DAN KANDUNGAN PROTEIN
FUSARIUM SERTA PERSENTASE BUSUK BATANG VANILI
I Ketut Suada
Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Jalan PB. Sudirman Denpasar 80232.
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Effectiveness of Aglaophenia marine biota extract against activity of extracellular enzymes, protein content of Fusarium,
and percentage of vanilla stem rot. The aim of this research was to investigate the effect of Aglaophenia extract on the
activity of cellulase and pectinase, protein content of Fusarium, and percentage of vanilla stem rot. This reasearch was
carried out in-vitro with concentration of extract of 2000, 1000, 500, 250, 125, 63, and 0 ppm (w/v). The treatments were also
applied on vanilla plant to determine their effect on the stem rot incidence. The results exhibited that the higher the concentration
of the extract given, both enzymes activity and mycelial protein content of Fusarium decreased. The decrease of enzymes
activity resulted in the decrease of vanilla stem rot percentage. The effectiveness of the extract to suppress stem rot was
higher than mancozeb, therefore, the extract could be used as a control agent against vanilla stem rot.
Key words: cellulase, pectinase, Aglaophenia, stem rot.
ABSTRAK
Keefektivan ekstrak biota laut Aglaophenia terhadap aktivitas enzim ekstraseluler dan kandungan protein Fusarium
serta persentase busuk batang vanili. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak Aglaophenia terhadap
aktivitas enzim selulase dan pektinase, kandungan protein Fusarium, dan persentase busuk batang vanili. Penelitian pengaruh
ekstrak Aglaophenia ini dilakukan secara in-vitro yang terdiri dari konsentrasi 2000, 1000, 500, 250, 125, 63, dan 0 ppm (w/v).
Perlakuan juga diberikan pada tanaman vanili untuk menentukan pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap persentase busuk
batang vanili. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan, makin rendah aktivitas
kedua enzim yang diteliti dan demikian pula makin rendah persentase busuk batang vanili. Menurunnya aktivitas enzim akibat
pemberian ekstrak Aglaophenia menyebabkan menurunnya persentase busuk batang. Keefektivan ekstrak tersebut lebih
tinggi dibanding fungisida mancozeb, oleh karena itu ekstrak tersebut dapat digunakan sebagai agen pengendali busuk
batang vanili.
Kata kunci: selulase, pektinase, Aglaophenia, busuk batang.
PENDAHULUAN
Pada saat suatu patogen nekrotrofik menyerang
tanaman maka patogen tersebut mula-mula akan
menghadapi kutikula, dinding sel, dan kemudian sistem
kimiawi pertahanan tanaman. Dinding sel merupakan
hambatan yang sangat kompleks karena terdiri dari
berbagai molekul polimer dengan ikatan kimia yang
berbeda-beda, namun komponen utama dinding sel
tanaman adalah selulose dan pektin (Onuh & Ohazurike,
2008). Oleh karena itu agar dapat menginfeksi sel
tanaman, patogen memerlukan berbagai jenis enzim
untuk memecah dinding sel tersebut (Dickinson, 2003).
Enzim poligalakturonase dan selulase adalah enzim
yang masing-masing dapat mengubah pektin dan
selulosa. Enzim tersebut merupakan pendegradasi
dinding sel yang pertama kali terbentuk pada jamur
(deVries & Visser, 2001), bakteri, dan nematoda pada
saat organisme ter sebut menyerang inangnya
(Mahalingam et al., 1999).
Poligalakturonase yang merupakan enzim endopoligalakturonase memecah cincin poligalakturonan
secara acak pada tanaman menjadi rantai-rantai pendek
berupa oligogalakturonan. Sementara eksopoligalakturonase bekerja di ujung (terminal) dari cincin
poligalakturonan dan menghasilkan produk monomer
seperti asam-asam galakturonan (Bateman & Basham,
1976). Menurut Scott et al. (2005), terdapat bukti
dengan korelasi kuat adanya keterlibatan endopoligalakturonase dalam menyebabkan gejala penyakit
dengan karakteristik busuk lunak.
158
J. HPT Tropika
Produksi enzim pektolitik dan selulolitik, agen
utama patogenisitas organisme, telah diidentifikasi pada
beber apa spesies Pythium, termasuk P.
aphanedermatum (Sutton et al., 2006) dan P.
debaryanum (Wood & Gupta, 1958 dalam Onuh &
Ohazurike, 2008). Sekresi poligalakturonase merupakan
salah satu syarat kunci untuk terjadinya infeksi pada
tanaman (Clausen & Reen, 1996) dan bahkan perbedaan
tingkat sekresinya dan kecepatan tumbuh miselia jamur
patogen secara signifikan berkorelasi dengan tingkat
virulensi (Wei-Chen et al., 1998; Ohazurike & Arinze,
1999; Owen-Going et al., 2004). Mutasi terhadap gen
yang
mengekspresikan
enzim
pektat
liase pada Erwinia spp. menyebabkan patogenisitas
patogen tersebut sangat menurun (Dickinson, 2003).
Berbagai jenis Fusarium telah diketahui mampu
menghasilkan enzim selulase dan pektinase selama
proses infeksi pada sel tanaman. Menurut Ugwuanyi
& Obeta (1997), Fusarium oxysporum dalam media
pektin dapat menghasilkan enzim pendegradasi pektin
seperti hidrolase, liase, dan pektinesterase.
Kelompok enzim pektinolitik memegang peranan
penting dalam proses maserasi dinding sel dengan
mendegradasi pektin pada lamela tengah sel pada
dinding sel primer sehingga sel-sel tanaman menjadi
terpisah satu sama lainnya (Bruhlmann et al., 1994;
Onuh & Ohazurike, 2008). Proses hidrolisis itu dimulai
dengan esterifikasi pektin oleh enzim pektin metil
esterase menjadi metanol dan asam poligalakturonat
(Reignault et al., 2008).
Secara molekuler, keefektivan suatu fungisida
atau ekstrak tertentu dapat pula ditentukan dengan
melihat produktivitas protein jamur sasaran. Protein
akan terganggu produksinya jika jamur dikenai metabolit
sekunder seperti fenol (senyawa umum yang dihasilkan
oleh organisme antagonis/antibiosis) karena senyawa
tersebut menghambat aktivitas beberapa enzim. Enzim
yang segera terganggu aktivitasnya adalah glukosa-6fosfat dehidrogenase serta suksinat dehidrogenase yang
merupakan enzim yang berperan dalam respirasi
(Dickinson, 2003).
Untuk menekan perkembangan penyakit
tumbuhan khususnya jamur, berbagai jenis fungisida telah
diterapkan. Fungisida sintetik berangsur-angsur
ditinggalkan dan penelitian ke arah penemuan fungsida
organik terus dikembangkan. Bahan dari biota laut mulai
pula banyak diungkap karena telah dibuktikan bahwa
sumber daya laut Indonesia sangat besar dan belum digali
dengan sungguh-sungguh. Untuk megetahui keefektivan
ekstrak hewan laut Aglaophenia terhadap Fusarium,
dapat diketahui melalui pengaruhnya terhadap
produktivitas protein dan aktivitas enzim patogen di
Vol. 11, No. 2, 2011: 157–165
samping pengaruhnya terhadap tingkat serangan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi
hewan laut Aglaophenia sp. dalam upaya
penanggulangan penyakit vanili.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. Sampel hewan laut Aglaophenia
sp. diambil dari pantai Tukad Abu Karangasem Bali.
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober 2008 sampai
Februari 2009.
Isolasi Fusarium oxysporum. Fusarium yang
digunakan, diisolasi dari batang vanili yang bergejala
busuk batang dengan menggunakan media Matuo (tiap
liter mengandung 1,00 g K2PO4, 0,50 g KCl, 0,50 g
MgSO 4 .7H 2 O, 0,01 g Fe-Na-EDTA, 2,00 g LAsparagine, 20,00 g D-Galaktose, 1,00 liter akuades)
yang khusus untuk mengisolasi Fusarium (Matuo, 1972).
Ster ilisasi bagian bergejala dilakukan dengan
menggunakan alkohol 70% selama 1 menit, kemudian
dibilas dengan akuades steril. Melalui subkultur, biakan
murni yang diperoleh diisolasi berdasarkan spora tunggal
untuk memperoleh genetik jamur yang seragam.
Pembuatan Ekstrak Hewan Laut. Hasil skrining
yang dilakukan terhadap 53 jenis biota laut menunjukkan
bahwa hewan laut Aglaophenia sp. (Filum Cnidaria,
Kelas Hydrozoa, Famili Plumular idae, Genus
Aglaophenia) sangat efektif menekan Fusarium secara
in-vitro. Ekstrak metanolnya dapat menimbulkan zona
hambat diameter 58 mm dan nilai MIC (minimum
inhibition concentration) 0,05% (tidak dipublikasikan).
Jasad hewan laut tersebut dengan kadar air 12,5% yang
telah digiling halus digunakan dalam penelitian ini.
Sebanyak 500 g serbuk dimaserasi dengan metanol 1 L
dan dikocok dengan kecepatan 25 rpm selama 24 jam.
Setelah disaring dengan kertas Whatman no. 2, filtrat
ditampung dan residunya dimaserasi ulang sebanyak dua
kali. Filtrat gabungan dipekatkan dengan penguap vakum
berputar pada 40o C sampai diperoleh ekstrak kasar.
Ekstrak kasar ini dikeringdinginkan, kemudian disimpan
dalam botol berwarna gelap dan siap digunakan dalam
percobaan.
Pembuatan Ekstrak Enzim dan Bahan Analisis
Protein. Sebanyak 30 mL PDB (potato dextrose broth)
pH 4,5 dalam tabung Erlenmeyer ditambah ekstrak
Aglaophenia sp. sesuai konsentrasi uji. Tiap tabung
diinokulasi satu potongan koloni jamur Fusarium
Suada
diamater 5 mm umur lima hari, kemudian diinkubasi
selama tujuh hari pada 28oC dengan pengocokan pada
125 rpm. Setelah masa inkubasi, biakan disaring dengan
kertas Whatman no. 2 sehingga diperoleh filtrat sebagai
ekstrak enzim. Miselia yang diperoleh digunakan untuk
bahan analisis protein.
Pengukuran Aktivitas Selulase. Aktivitas enzim ini
ditentukan dengan metode DNS (3,5-dinitrosalicylic
acid) (Wu et al., 2008). Campuran reaksi terdiri dari
0,1 mL ekstrak enzim, 1,9 mL 1% (w/v) CMC-Na
(Carboxymethylcellulose) dalam bufer fosfat,
diinkubasi pada 50oC selama 20 menit. Sebanyak 1,5
mL DNS ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk
merata. Campuran tersebut dipanaskan 100oC selama
10 menit kemudian didinginkan. Spektrum gula reduksi
diukur pada λ 520 nm. Satu unit aktivitas enzim adalah
jumlah gula reduksi yang dihasilkan oleh 1 mg enzim
per menit pada kondisi uji. Glukosa (Sigma, St. Louise,
Mo., USA) digunakan untuk membuat kurva standar.
Aktivitas Pektinase. Aktivitas pektinase
(poligalakturonase) ditentukan mengikuti metode DNS
(Wu et al., 2008). Campuran reaksi terdiri dari 2 mL
ekstrak enzim, 2 mL larutan 0,4% (w/v) pektin (polyD-galacturonic acid ethyl ester, Sigma Aldrich)
dilarutkan dalam 0,2 M bufer etil asetat pH 4,4 dan diaduk
merata. Campuran direaksikan pada suhu 45oC selama
30 menit, ditambahi 1,5 mL DNS dan dididihkan 5 menit.
Spektrum gula reduksi diukur pada λ 520 nm. Standar
kurva dibuat dari 0,1% (w/v) asam ß-galakturonat
(Sigma, St. Louise, Mo., USA) dalam bufer etil asetat.
Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah
asam ß-galakturonat dihasilkan dari hidrolisis pektin oleh
1 mg enzim per menit pada kondisi uji.
Pembuatan Reagen DNS. Penentuan gula reduksi
dilakukan dengan menggunakan reagen DNS. Reagen
ini dibuat dari 0,2 g DNS, 0,04 g fenol, 0,01 g Na2SO4, 4
g potassium sodium (+)-tartrat tetrahidrat (Rochelle salt)
yang dilarutkan dalam 100 mL air (Wu et al., 2008).
Kurva standar dibuat dari campuran 0,5 mL larutan
glukosa (konsentrasi 0-800 µg/mL), 1,5 mL reagen DNS,
dididihkan 5 menit dan absorbansinya diukur pada λ 540
nm.
Pengukuran Protein dengan Metode Lowry.
Sebagian miselia dari siapan di atas dioven pada suhu
80oC sampai berat konstan, lalu digerus sampai menjadi
tepung. Sebanyak 25 mg tepung tersebut ditambah
dengan 1 mL 2 N natrium hidroksida, pH 7, dikocok,
lalu dipanaskan pada 80oC selama 10 menit. Campuran
Keefektivan Ekstrak Biota Laut Aglaophenia
159
tersebut disentrifugasi pada 5000 rpm selama 10 menit
dan absorban supernatan diukur pada λ 750 nm. Kurva
standar dibuat dari albumin serum Bovin (BSA)
konsentrasi 0-100 µg/100 µL dalam natrium hidroksida.
Metode Bradford. Sebanyak 100 g miselia (berat
basah) digerus setelah ditambah dengan nitrogen cair.
Gerusan tersebut ditambah 0,5 mL bufer (0,1 M TrisHCl pH 8,0 dan 1 mM EDTA), disentrifugasi pada 12.000
rpm selama 10 menit, kemudian supernatannya
diencerkan dengan bufer yang sama (1:5). Sebanyak
20 µL sampel tersebut ditambah dengan 1 mL 1/5 reagen
Bradford, dihomogenkan dengan vorteks, dan
absorbansinya diukur pada λ 595 nm setelah diinkubasi
selama 30 menit. Kurva standar dibuat dengan albumin
serum Bovin pada kondisi uji.
Ekstraksi Protein. Sebanyak 50 mg tepung miselia
ditambah dengan 500 µL bufer ekstraksi yang terdiri
dari: 20 mM Tris, 10 mM natrium bikarbonat, 10 mM
magnesium klorida, 0,1 mM Na2EDTA.2H2O, 10 mM
â-mercaptoetanol, 100 gL-1 sukrosa, dan 1 mol L-1 Triton
X-100 dalam pH 8 (HCl). Ekstrak tersebut disentrifugasi
pada 20.000 rpm selama 20 menit pada 4 o C dan
supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam
eppendorf baru.
Pemisahan Protein. Protein dipisahkan dengan
elektroforesis gel poliakrilamida pada alat elektroforesis
(10x8 cm; SE 250, Höefer Scientific Instruments).
Stacking gel ter diri dari 3,75% acryl amidebisacrylamide 30:0,8 v/v dalam 125 mM bufer Tris/
HCl pH 6,8 dan separating gel terdiri dari 7,5% acryl
amide-bisacrylamide 30:0,8 v/v dalam 375 mM Tris/
HCl, pH 8,8 sebagai bufer. Gel dialiri listrik AC 110 V,
15 mA 75 menit dalam bufer elektroda Tris glycine
mengandung 25 mM Tris dan 192 mM glicyne pH 8,3.
Uji Aktivitas Ekstrak terhadap Persentase Busuk
Batang Vanili. Pengujian ini menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor yaitu
konsentrasi ekstr ak Aglaophenia sp. termasuk
pembanding fungisida Mancozeb dan sumber inokulum
yaitu tanah endemik dan tanah steril yang diinokulasi
konidia Fusarium. Unit perlakuan diulang tiga kali dan
tiap ulangan terdiri dari 10 stek tanaman.
Media tanam (tanah:pupuk kandang:pasir 2:1:1)
sebanyak 2 kg dimasukkan ke dalam pot berdiamter 20
cm dan tinggi 30 cm. Media tanam tersebut disiram
dengan ekstrak Aglaophenia sp. sesuai perlakuan
dengan volume 100% kapasitas lapang. Perlakuan yang
sama diberikan pada tanah steril, namun pencampuran
160
Vol. 11, No. 2, 2011: 157–165
J. HPT Tropika
inokulum dilakukan dengan patogen kultur pada media
beras (beras yang dikukus setengah matang diinokulasi
patogen secara aseptik dan diinkubasi selama dua
minggu). Jumlah inokulum akhir pada media tanam dibuat
10x10 5 CFU/g tanah media. Persentase serangan
penyakit (busuk batang) dan jumlah inokulum Fusarium
dalam tanah ditentukan setelah stek pada kontrol busuk
semua. Jumlah inokulum ditentukan dengan metode
cawan tuang (Hadiutomo, 1982). Sebanyak 1 g media
tanam diencerkan 10 5 kali dengan akuades steril
kemudian diinkubasi pada media khusus Matuo selama
tiga hari. Jumlah inokulum dihitung dengan mengalikan
jumlah koloni yang tumbuh dengan faktor pengenceran.
Data dianalisis ragam dan perbedaan pengaruh di antara
perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada
taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Enzim Ekstraseluler (Selulase dan
Pektinase) Fusarium. Ekstrak Aglaophenia sp.
mampu menurunkan aktivitas kedua enzim yang dikaji,
yaitu selulase dan pektinase. Makin tinggi konsentrasi
ekstrak yang diberikan, makin rendah aktivitas enzim
tersebut. Enzim selulase lebih mudah terpengaruh
dibanding pektinase, yaitu aktivitas selulase telah
menurun pada konsentrasi ekstrak terendah (16 ppm)
yang diberikan, sedangkan pektinase baru terpengaruh
pada 250 ppm ekstrak (Tabel 1). Mudahnya enzim
selulase terpengaruh oleh ekstrak dibandingkan pektinase
mungkin berkaitan dengan struktur molekul enzim
selulase yang berbeda dengan pektinase. Hal ini belum
dapat dikaji karena molekul aktif ekstrak belum dapat
diidentifikasi. Gambar 1 menunjukkan kurva regresi
hubungan aktivitas kedua enzim dan konsentrasi ekstrak
dengan koefisien determinasi kurva cukup tinggi yaitu
80% dan 91%. Angka tersebut menunjukkan ekstrak
kasar tersebut sangat mempengaruhi aktivitas kedua
enzim ekstraseluler Fusarium.
Mengingat kedua enzim tersebut paling berperan
bagi patogenisitas suatu patogen (deVries & Visser,
2001; Dickinson, 2003), maka adanya ekstrak
Aglaophenia tersebut diduga dapat menyebabkan
patogenisitas Fusarium berkurang secara nyata. Hal
itu berarti ekstrak tersebut dapat berperan sebagai
fungisida untuk menekan Fusarium penyebab busuk
pada tanaman vanili.
Pengaruh Ekstrak Aglaophenia terhadap
Kandungan Protein Miselium Fusarium. Ekstrak
Aglaophenia sp. berpengaruh nyata terhadap
kandungan protein jamur Fusarium. Makin tinggi
konsentrasi ekstrak yang diberikan, makin rendah
kandungan protein jamur (Tabel 2). Berdasarkan metoda
Lowry, kadar protein miselium telah terpengaruh oleh
125 ppm ekstrak, sedangkan berdasarkan metode
Bradford pengaruh itu terlihat pada konsentrasi ekstrak
500 ppm. Tertekannya protein tersebut didukung oleh
penelitian Sudana (1997) yang menemukan bahwa
berbagai senyawa metabolit sekunder dapat menekan
sintesis asam nukleat dan protein Ceratocystis
paradoxa. Hal tersebut disebabkan oleh terhambatnya
aktivitas enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase serta
suksinat dehidrogenase sehingga respirasi menurun.
Menurut Bruinenberg (1982 dalam Sudana, 1997) dan
(Dickinson, 2003) kedua enzim tersebut memegang
peranan penting dalam berlangsungnya proses respirasi
jamur.
Tabel 1. Aktivitas enzim ekstraseluler Fusarium yang diperlakukan dengan ekstrak Aglaophenia sp.
Konsentrasi ekstrak
(ppm)
Aktivitas enzim (µg/mL/menit)
Selulase
Pektinase
0
1946,74 a
3930,89
16
1908,86 b
3914,23
31
1885,38 b
3908,17
63
1817,20 c
3891,50
125
1806,59 c
3806,65
250
183,87 d
389,98
500
166,44 d
361,20
1000
164,92 d
358,17
2000
0,00 e
0,00
Angka-angka (rata-rata dari tiga ulangan) pada kolom yang sama yang diikuti oleh
tidak berbeda berdasarkan uji jarak berganda Duncan (p>0,05).
a
a
a
a
a
b
b
b
c
huruf yang sama
Suada
Keefektivan Ekstrak Biota Laut Aglaophenia
161
Pektinase
Y=e2453,04-13,33X
R2 = 0,91*
Selulase
Y=e 1 173 ,66-1 3,57X
R2 = 0,80*
Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi ekstrak Aglaophenia sp. dan aktivitas enzim selulase serta pektinase
Fusarium
Tabel 2. Kandungan protein miselia Fusarium yang diperlakukan dengan ekstrak Aglaophenia sp.
Kandungan protein miselia (µg/g)
Konsentrasi ekstrak (ppm)
Metode Lowry
0
63
125
250
500
1000
2000
208,71
205,37
195,76
179,95
159,88
127,79
93,02
a
a
b
c
d
e
f
Metode Bradford
208,60
187,52
170,24
163,88
142,79
110,00
62,95
a
a
a
a
b
c
d
Angka-angka (rata-rata dari tiga ulangan) pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda berdasarkan uji jarak berganda Duncan (p>0,05).
Pengaruh ekstrak Aglaophenia terhadap protein
juga tampak pada gel SDS-PAGE seperti pada Gambar
2. Makin tinggi konsentrasi ekstrak makin rendah
kandungan protein miselium. Protein pada konsentrasi
ekstrak tinggi (1000 dan 2000 ppm) tampak lebih sedikit
dibanding pada konsentrasi ekstrak yang lebih rendah.
Hal ini ditunjukkan oleh tampilan pita-pita protein pada
konsentrasi tinggi tersebut lebih tipis dibanding lainnya.
Tertekannya pembentukan protein tersebut sangat
berdampak pada rendahnya kemampuan jamur tumbuh
dan menginfeksi sel inang.
Pengaruh Ekstrak Aglaophenia terhadap
Persentase Busuk Batang Vanili. Perlakuan ekstrak
kasar tidak berinteraksi dengan tanah asal inokulum
terhadap persentase busuk batang vanili. Ekstrak kasar
Aglaophenia sp. untuk semua konsentrasi yang diuji
mampu menekan busuk batang dan berbeda secara nyata
dibandingkan kontrol baik pada tanah endemik maupun
pada tanah steril yang diinfestasi Fusarium (Tabel 3).
Makin tinggi konsentrasi ekstrak diberikan, makin rendah
persentase busuk batang yang terjadi pada kedua tanah
sumber inokulum. Persentase busuk batang akibat
162
Vol. 11, No. 2, 2011: 157–165
J. HPT Tropika
Gambar 2. Profil SDS-PAGE protein miselia Fusarium yang diperlakukan dengan ekstrak Aglaophenia sp. M:
Marker; Line 1-8: pita protein pada konsentrasi ekstrak berturut-turut 0, 32, 63, 125, 250, 500, 1000, dan
2000 ppm (w/v)
Tabel 3. Persentase busuk batang vanili pada tanah dengan dua jenis sumber inokulum yang diperlakukan
dengan ekstrak Aglaophenia sp.
Busuk batang vanili (%)
Konsentrasi ekstrak (ppm)
0
500
1000
2000
4000
Mancozeb (2000)
Tanah endemik
Tanah steril dengan inokulasi
80,00
16,67
3,33
0,00
0,00
13,33
96,67 a
23,33 b
10,00 c
6,67 c
0,00 d
20,00 b
a
b
c
c
c
b
Angka-angka (rata-rata dari tiga ulangan) pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda berdasarkan uji jarak berganda Duncan (p>0,05). Data dianalisis setelah ditransformasi arc sin
akar (x+0,5).
perlakuan ekstrak 500 ppm (15% pada tanah endemik
dan 22,0% pada tanah steril yang diinokulasi patogen)
sama dengan perlakuan mancozeb 2000 ppm dan bahkan
lebih efektif dari fungisida tersebut untuk perlakuan
ekstrak dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak Aglaophenia tersebut
lebih efektif dibandingkan fungisida mancozeb dalam
menekan patogen busuk batang.
Persentase busuk batang pada tanah steril secara
nyata lebih tinggi dibandingkan pada tanah endemik
(Tabel 3). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya
keleluasaan perkembangan Fusarium tanpa adanya
hambatan/kompetisi dari organisme tanah lainnya (seperti
pada tanah endemik) sehingga serangannya terhadap
vanili hanya dibatasi oleh konsentrasi ekstrak. Di
samping itu, organisme lain dalam tanah yang mati akibat
panas sterilisasi merupakan sumber makanan bagi
Fusarium sehingga patogen dapat berkembang lebih
cepat dan menyerang vanili lebih intensif dibandingkan
pada tanah endemik yang penuh kompetisi. Berdasarkan
pembiakan dengan metode cawan tuang, dalam tanah
endemik ditemukan berbagai jenis mikroba dengan
populasi yang tinggi (Tabel 4). Berbagai jamur dan
bakteri yang ditemukan pada tanah endemik, di
antaranya adalah jamur Penicillium sp. (2x105 CFU/g
tanah) dan Streptomyces (3x105 CFU/g tanah) diketahui
Suada
Keefektivan Ekstrak Biota Laut Aglaophenia
dapat mengeluarkan senyawa antimikroba. Senyawa
tersebut dapat berpengaruh terhadap Fusarium dan
mikroba lainnya dengan membatasi perkembangannya
(Sudana, 1997; Dickinson, 2003). Selanjutnya Tombe et
al. (2005) mengungkapkan bahwa Penicillium spp.
dapat menghambat pertumbuhan Fusarium dalam
163
pengujian di media buatan. Menurut Agrios (1989)
dalam perkembangannya, patogen dalam tanah akan
terhambat akibat adanya mikroba lain terutama yang
bersifat antagonis. Selain berkompetisi terhadap nutrisi,
mikroba antagonis sering menyebabkan spora patogen
tidak dapat berkecambah (fungistatis). Hal ini terjadi
Tabel 4. Jenis dan p opulasi mikroba ya ng d iju mpa i pa da ta nah ende mik seb elum p erlaku an
N o.
Jen is/ciri m ikrob a
Populasi
(10 C F U/g tana h)
5
1
F usariu m
o xysp orum
2
F usariu m solani
1
3
P enicilliu m sp.
(M onilia les )
A spe rg illus n ige r
(M onilia les )
A spe rg illus fla vus
(M onilia les )
R hizopus sp.
(M ucor ales)
2
4
5
6
10
1
1
2
7
B akteri koloni
ku nin g
14 5
8
B akteri koloni
b ening
2
9
B akteri koloni putih
10
S trep tom y ce s
22
3
K e tera ngan
- kolo ni p utih, da sar kolo ni u ngu
- konidiof or pende k (jau h lebih pe ndek
dibanding F. so lan i: Ma tuo, 197 2)
- kolo ni p utih ke kun inga n
- dasar koloni pa da med ia keku ninga n
- kolo ni b erw a rna hija u, konidiof or
berse kat dan ber ca ba ng
- kolo ni w a rna hita m, a da sel kaki
(foo t c ell), konid iofor tidak ber se ka t
- kolo ni c oklat keh itam an, ada sel ka ki
(foo t c ell), konid iofor tidak ber se ka t
- kolo ni pu tih de ngan spora ngiu m
b erw a rna hitam , berstolon, spora ngium
m en ga n dung vesikel
- bentuk koloni: bun da r
- tep ia n ko lon i: lic in
- eleva si k olon i: ce mbu ng
- bentuk koloni: filif or m
- tep ia n ko lon i: b ero mba k
- eleva si k olon i: ce mbu ng
- bentuk koloni: bun da r
- tep ia n ko lon i: lic in
- eleva si k olon i: ce mbu ng
- kolo ni ku ning, b erb ena ng-be nan g (ba kteri
G ram positif: D ick inson, 2003)
M ed ia kultur ya ng digu naka n a dala h P D A . P en entua n ju mla h k olon i dila kuka n d engan metod e ca w an
tu ang (H a diuto mo, 1982) . D a ta dip eroleh da ri rata -rata tiga u langa n.
Tabel 5 . K erapa ta n inoku lum F usariu m pa da tanah de nga n dua jenis sum ber inoku lum yan g
dip erla ku kan den gan ekstra k A glao phen ia sp .
Konsentra si ekstra k (p pm)
K era pa ta n in okulum (x10 5 C FU/g ta nah)
T ana h e ndem ik
T a nah steril d enga n inoku la si
0
30,67 a
50 0
20,01 b
100 0
15,67 b
200 0
7,33 c
400 0
2,00 d
M anc oz eb (2 000)
1,33 d
Angka -angka (ra ta -rata dar i tiga ula ngan) p ada k olom yang sa ma ya ng d iikuti
tidak be rbe da ber da sarka n u ji ja r ak berga n da D uncan (p>0 ,05). D ata dia nalisis
lo g (x+1).
46, 67 a
27, 12 b
23, 67 b
11, 67 c
6, 33 d
4, 67 d
oleh huru f ya ng sa ma
setela h ditra nsform asi
164
J. HPT Tropika
karena mikroba antagonis dapat mengeluarkan metabolit
toksik yang menghambat perkecambahan bahkan melisis
tabung kecambah.
Pengaruh Ekstrak Aglaophenia terhadap Jumlah
Inokulum Fusarium. Keberadaan jumlah inokulum
dalam media tanam vanili secara nyata tertekan oleh
ekstrak Aglaophenia dibandingkan kontrol. Makin tinggi
konsentrasi ekstrak, makin rendah jumlah inokulum
dalam tanah (Tabel 5). Jumlah inokulum pada kontrol
tanah endemik adalah 30,67x105 CFU/g tanah dan makin
rendah jumlahnya seiring meningkatnya perlakuan
konsentrasi ekstrak sampai hanya 2,00x105 CFU/g tanah
pada konsentrasi 4000 ppm. Angka ini tidak berbeda
nyata dengan perlakuan fungisida mancozeb pada
konsentrasi anjuran 2000 ppm.
Jumlah inokulum Fusarium dalam tanah steril
yang diinokulasi patogen tersebut lebih tinggi
dibandingkan pada tanah endemik (Tabel 5). Hal ini
menunjukkan adanya keleluasaan perkembangan
inokulum Fusarium tanpa adanya pengaruh kompetisi
mikroba lain seperti pada tanah endemik.
SIMPULAN
Aktivitas enzim ekstraseluler Fusarium dan
kandungan proteinnya secara nyata menurun setelah
diberi perlakuan konsentrasi ekstrak Aglaophenia yang
meningkat. Penurunan aktivitas enzim patogen tersebut
seiring dengan menurunnya persentase busuk batang
pada tanaman vanili. Keefektivan ekstrak tersebut
terhadap Fusarium lebih tinggi dibandingkan dengan
mancozeb. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak hewan
laut Aglaophenia sp. sangat efektif sebagai fungisida
untuk mengendalikan Fusarium oxysporum penyebab
busuk batang vanili.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Bapak Sekar atas bantuannya mencari sampel hewan
laut. Kepada pemerintah melalui DP2M Ditjen DIKTI
kami sangat berterimakasih atas dana yang diberikan
sehingga penelitian ini dapat berjalan. Akhirnya kepada
semua pihak yang telah memberi bantuan penulis
sampaikan pula terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1989. Introduction to Plant Pathology.
John Wiley and Sons. New York. 665p.
Vol. 11, No. 2, 2011: 157–165
Bateman DF & Basham HG. 1976. Degradation of plant
cell walls and membranes by microbial enzymes.
Pp. 456-468 In: Heitefuss R and Williams PH.
Encyclopedia of plant physiology. SpringerVerlag, New York.
Bruhlmann F, Kim KS, Zimmerman W & Fiechter A.
1994. Pectinolityc enzymes from Actinomycetes
for the degumming of ramie bast fibers. Applied
and Environmental Microbiology 60(6):21072112.
Clausen JS & Reen F. 1996. Characterization of
polygalacturonase from the brown rot fungus
Postia placenta. Applied Microbiology and
Biotechnol. 45:750-754.
deVries RP & Visser J. 2001. Aspergillus enzymes
involved in the degradation in plant cell wall
polysaccharides. Microbiology and Molecular
Biology Review 65:497-522.
Dickinson M. 2003. Molecular Plant Pathology. Bios
Scientific Publishers, London. 244p.
Hadiutomo RS. 1982. Mikrobiologi dalam Praktek.
Bagian Mikrobiologi, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Mahalingam RG, Wang & Knap KH. 1999.
Polygalacturonase and polygalacturonaseinhibitor protein: Gene and transcription in Glycine
max-Heterodera glycines interaction.
Molecular Plant Microbiology Interaction
12:490-498.
Ohazurike NC & Arinze AE. 1999. Inhibitory effects
of some host constituents on the post-harvest
Sclerotium rot of varieties of cocoyam tubers.
J. of Innovation in Life Sciences 4:12-19.
Onuh OM & Ohazurike NC. 2008. Effects of culture
ages on the production and activities of
polygalacturonase and cellulose (Cx) enzymes
produced by Pythium aphanidermatum
(EDSON FITZFAT.) isolated from soft stem rot
disease of cowpea. J. of Science World 3(2):5-9.
Owen-Going TN, Beninger CW, Christie B, Sutton JC
& Hall JC. 2004. Role of phenolic compounds in
epidemics of Pythium root r ot (Pythium
aphanidermatum) of hydroponic pepper. Can.
J. of Plant Pathol. 26(1):410-419.
Reignault P, Valette-Collet O & Boccara M. 2008. The
important of fungal pectinolityc enzymes in plant
Suada
Keefektivan Ekstrak Biota Laut Aglaophenia
invasion, host adaptability and symptom type. Eur.
J. Plant Pathol. 120:1-11.
Scott PT, Martin HL, Boreel SM, Wearing AH &
Maclean DJ. 2005. Molecular characterization,
pthogenesis, and fungicide sensitivity of Pythium
spp. from table beet (Beta vulgaris var. vulgaris)
grown in the Lockyer Valley, Queensland.
Australasian Plant Pathol.34(3):361-368.
Sudana IM. 1997. Metabolit sekunder baru dari
Pseudomonas fluorescens efektif mengendalikan
Ceratocystis paradoxa pada tanaman kelapa
(Tidak diterbitkan). ITB, Bandung.
Sutton JC, Sopher CR, Owen-Going TN, Liu W,
Grodzinski B, Hall JC & Benchimol RL. 2006.
Etiology and epidemiology of Pythium root rot in
hydroponic crops: current knowledge and
perspectives. Summa Phytopathol. 32(4):118130.
165
Tombe M, Sukamto, Zulhisnain & Taufiq E. 2005.
Budidaya vanili dengan menggunakan teknologi
Bio-FOB. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor. Perkembangan Teknologi TRO,
XVII(1):31-40.
Ugwuanyi JO & Obeta JAN. 1997. Some pectinolytic
and cellulolytic enzyme activities of fungi causing
rots of cocoyams. J. Sci. Food Agric. 73:432436.
Wei-Chen C, Huann-Ju H & Tsung-Che TT. 1998.
Purification and characterization of pectin liase
from Pythium splendens infected cucumber
fruits. Botanical Bulletin Academy 39:181-186.
Wu HS, Raza W, Liu DY, Wu CL, Mao ZS, Xu YC &
Shen QR. 2008 Allelopathic impact of artificially
applied coumarin on Fusarium oxysporum f.sp.
niveum. World J. Microbiol. Biotechnol.
24:1297-1304.
Download