Bab 5 Ringkasan Jepang memiliki stuktur masyarakat yang unik yaitu struktur masyarakat kelompok atau lazimnya diesebut sebagai Shuudan shugi. Yang dimaksud dengan struktur masyarakat kelompok adalah stuktur yang lebih mengutamakan individu sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat dibandingkan dengan sebagai sebuah personal. Masyarakat Jepang mengelompokkan diri mereka dengan orang-orang di sekitarnya sesuai dengan kriteria tertentu seperti tingkatan pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, diakui ke dalam suatu kelompok masyarakat tertentu menjadi prioritas utama bagi individu demi mendapatkan identitas diri. Ketika seseorang diakui oleh suatu kelompok masyarakat maka pada saat itulah dia menjadi manusia seutuhnya. Sejak masa kanak-kanak, individu Jepang diajarkan sebuah prisip sosial yang disebut shuudan ishiki atau dengan kata lain kesadaran untuk hidup berkelompok. Misalnya saja, ketika duduk dibangku TK mereka akan membentuk kelompok bermain yang disebut kumi/gumi. Jika seorang anak sudah bergabung dengan salah satu kumi maka dia tidak bisa seenaknya bergabung dalam permainan yang dilakukan oleh kumi yang lain. Bagi mereka, anggota dari kumi diluar kelompok bermain adalah orang asing.(Hiroshi F Iwama,1993:75). Menginjak usia SD, pertemanan kelompok ini memperluas wilayahnya selain sebagai kelompok bermain. Anak-anak yang berasal dari TK yang sama cenderung akan bergabung menjadi satu kelompok. Mereka kemudian akan membentuk kelompok makan siang, kelompok belajar, atau kelompok tamasya dan sebagainya, yang terbentuk sejak mereka pertama kali menginjak bangku pendidikan sekolah dasar. Hanya bersama 50 kelompok-kelompok inilah mereka akan menghabiskan masa SD mereka. Pertemanan kelompok macam ini akan terus berlanjut hingga ke tingkat SMP, SMA, bahkan universitas dan tempat kerja. Semakin tinggi jenjang kehidupan yang dimasuki maka akan semakin ketat dan beragam pula kriteria yang dituntut agar bisa bergabung dengan satu kelompok tertentu, terutama ketika seseorang menginjak usia remaja. Hal ini terlihat jelas di kelompok-kelompok yang terbentuk semasa SMA, misalnya kelompok murid populer, kelompok murid pandai, kelompok OSIS, bahkan kelompok yang terbentuk karena anggotanya tergabung dala satu ekstra kurikuler yang sama. Shuudan shugi dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Shudan Shikou Kehidupan masyarakat Jepang ini semakin berkembang dan berubah menjadi masyarakat industri dan kini memasuki masyarakat teknologi canggih. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang dibangun oleh kesatuan konsep kerja kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi kelompok dalam mengatur kehidupan sosialnya sebagai kerangka berpikirnya, yaitu orientasi kelompok (Shuudan Shikou). 2. Shudan seikatsu Adanya kesadaran tinggi dalam menjalankan kewajibannya menimbulkan rasa tanggung jawab di setiap individu yang termasuk dalam sebuah kelompok. Seperti dijelaskan Shimahara dalam Madubrangti (2008: 19) yaitu pembagian kerja yang merata sesuai dengan tugas dan kewajibannya merupakan sistem berkelompok dalam melakukan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk kepentingan dan kesejahteraan kelompoknya. Hal ini menimbulkan rasa tanggung jawab para anggota kelompok terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Mereka berusaha keras menjalankan tugas dan 51 kewajiban sebagai tanggung jawabnya agar kelompok memperoleh hasil yang menguntungkan bagi diri anggota kelompok dan kelompoknya. 3. Shuudan Ishiki Selain kehidupan berkelompok (Shuudan seikatsu) terdapat juga kesadaran berkelompok orang Jepang atau disebut dengan shuudan Ishiki (Ikeno, 2002:195). Dalam masyarakatnya, Jepang berpedoman pada sebuah kelompok merupakan hal yang sangat penting dan memberikan prioritasnya terhadap kelompok daripada diri sendiri. Kebanyakan masyarakat Jepang menyadari bahwa kebaikan yang sangat penting itu adalah dengan menyatakan setia kepada nilai-nilai kelompok yang diikutinya. Maia Tsurumi (2000) mengatakan bahwa manga merupakan salah satu indikator mengekspresikan nilai dan norma kehidupan masyarakat Jepang. Manga sebagai sebuah karya sastra juga terikat dengan kaidah-kaidah kesusastraan seperti layaknya karya sastra lainnya. Salah satu kaidah yang mengikat sebuah karya sastra adalah sosiologi sastra. Rene Wellek dan Austin Warren membagi telaah sosiologi sastra menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni mempermasalahakan tentang status sosial, ideologi politik, dan hal-hal lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Pokok telaahnya adalah apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga sosiologi sastra mempermasalahakan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. 52