ABSTRAK Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan

advertisement
ABSTRAK
Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak.
Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas
(nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis didalam
skripsi ini akan menganalisis tentang budaya malu masyarakat Jepang.
Malu adalah suatu reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari
orang lain, atau timbul pada saat ditertawakan orang lain. Rasa malu berarti
mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya.
Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi
masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu
ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika
iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya
suatu tindakan adalah malu. Dan pihak yang menilainya adalah masyarakat dan
diri sendiri, bukan keberadaan Tuhan. Hal ini didefenisikan sebagai budaya malu
umum (kouchi). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung
mengarah keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah keluar
inilah yang dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat
gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.
Malu muncul dikarenakan ketidak mampuan membalas budi dari orang
lain, atau disebut on (konsep kebaikan), yang terdiri dari giri (mengabdi
memikirkan untung rugi) dan gimu (pembalasan kebaikan setulus hati). Atau juga
dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung negatif, seperti sindiran,
kritikan atau cemoohan.
68
Universitas Sumatera Utara
Menurut paham Shintoisme dan Budhisme diajarkan bahwa nilai yang
paling tinggi adalah rasa malu. Oleh sebab itu, seluruh aktifitas mereka
difokuskan pada usaha menjaga rasa malu tersebut. Dan seseorang yang tahu malu
di defenisikan sebagai orang yang bajik, bahkan dikatakan sebagai orang
terhormat.
Pada dasarnya orang Jepang akan merasa malu jika dikritik atau
ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat menampilkan
seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di dalam diri
orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain yang dapat
membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat mengungkapkan
pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang mendapat
perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain. Juga berupa penilaian pihak lain
yang bersifat positif, seperti pujian dan sanjungan. Maksudnya, budaya malu
bukanlah sekedar balas budi, atau tidak hanya sebatas kritikan, sindiran dan
cemoohan dari pihak lain. Akan tetapi, perhatian berupa pujian dan sanjungan pun
mempengaruhi ada atau tidaknya rasa malu dalam diri seseorang. Yaitu malu yang
bertolak ukur pada diri sendiri (naimenteki), dan tidak mengacu pada penilaian
dari pihak lain (gaimenteki). Budaya malu seperti ini disebut dengan malu khusus
(shichi).
Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh
faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Dua faktor yang
menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu shikou no
kuichigai dan yuretsu kijun. Shikou no kuichigai ialah salah pengertian atau salah
69
Universitas Sumatera Utara
paham. Shikou no kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang
yang bersangkutan.
Sedangkan yuretsu kijun merupakan standarisasi yang digunakan oleh
orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain, yaitu standard
superior (makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain) dan standard
inferior (makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain).
Peran keluarga sangat berkaitan dalam budaya malu, yaitu keluarga
mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah
kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua,
berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya. Shichi atau
malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun,
merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri
seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga.
Begitu juga didalam masyarakat, dalam bersosialisasi di kalangan
masyarakat seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang
sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga
menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut.
Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu
akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no
kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di
dalam diri individu tersebut.
Budaya malu juga memiliki dua fungsi yaitu fungsi aktif dan pasif. Fungsi
malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan
70
Universitas Sumatera Utara
menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh
masyarakat di sekitarnya.
Fungsi malu yang bersifat aktif dapat kita lihat dari pertanggungjawaban
bangsa Jepang yang berupa permintaan maaf dan ganti rugi kepada para korban
jugun ianfu, dan merupakan suatu realisasi budaya yang di tunjukkan oleh bangsa
Jepang terhadap masyarakat dunia.
Pemerintah Jepang melakukan suatu pertanggungjawaban sebagaimana
yang diharapkan oleh masyarakat dunia untuk memperbaiki hal buruk yang
mereka lakukan di masa lalu. Mereka menetapkan kebijakan hukum yang terdiri
dari beberapa hal pokok. Yaitu, menerangkan dan mengakui fakta-fakta paksa
seksual dan kerugian yang disebabkan olehnya selama perang dunia ke-2, juga
melaksanakan tindakan sosial berupa permintaan maaf dan ganti rugi terhadap
para korban jugun ianfu, yaitu dukungan moral dan materi berupa dana
kompensasi sebesar 380 juta yen dan tertuang secara resmi dalam Memorandum
of Understanding (MOU) yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Maret
1997.
Fungsi malu yang bersifat pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang
dalam
menonjolkan
dirinya
secara
berlebihan.
Seorang
individu
akan
menonjolkan diri untuk menghindari kritikan dari orang lain yang menimbulkan
gejala malu, dengan cara mencapai suatu prestasi tertentu untuk memenuhi
perannya ditengah-tengah masyarakat. Namun sifat menonjolkan diri yang
berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan
menimbulkan kesan negatif bagi orang lain, sehingga menimbulkan rasa malu.
71
Universitas Sumatera Utara
Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang
yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri.
72
Universitas Sumatera Utara
Download