lembar berita volume 1

advertisement
ISSN: 0854-2996
VOLUME XIV, No. 1, 2008
LEMBAR BERITA
Penyebab terjadinya berbagai keadaan darurat di
Indonesia antara lain bencana alam, konflik sosial,
konflik politik, dan kecelakaan. Keadaan ini
mengakibatkan terganggunya kehidupan normal
masyarakat bahkan mereka terpaksa harus
meninggalkan tempat tinggal dan hidup di
pengungsian. Di tempat pengungsian, masyarakat
akan dihadapkan pada banyak masalah di
antaranya keterbatasan suplai pangan, air bersih,
energi, yang membawa konsekuensi terhadap
timbulnya masalah kesehatan dan gizi. Yang paling
dikhawatirkan oleh orang tua dalam pengungsian
adalah kesehatan anak-anaknya seberapapun
tingkat keparahan dan lamanya keadaan darurat
tersebut.
Hasil kajian Puslitbang Gizi, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat Departemen Kesehatan RI dan
SEAMEO-TROPMED RCCN Universitas Indonesia
dan UNICEF yang dilakukan setelah tsunami-NAD
pada Februari-Maret 2005 menunjukkan adanya
masalah gizi kurang akut, gizi kurang kronis dan
anemia pada balita. Jumlah anak yang menderita
masalah gizi kurang kronis, dan anemia lebih tinggi
ditemukan pada anak pengungsi dibandingkan
bukan pengungsi. Jumlah anak dengan gizi kurang
yang akut tidak berbeda antara anak pengungsi
dan bukan pengungsi.
Anak dengan akut (sebagai indikator adanya
kekurangan pangan dan atau penyakit akut)
banyak ditemui pada kelompok umur 1-2 tahun,
sedangkan anak gizi kurang dan malnutrisi kronis
banyak ditemui pada kelompok umur di atas 3
tahun. Pada kelompok anak-anak prasekolah,
cakupan vitamin A dan vaksinasi campak masih
Hasil kajian menunjukkan bahwa prevalensi
rendah.
anemia pada anak balita, ibu hamil dan
menyusui mengindikasikan suatu masalah
1
kesehatan masyarakat, sementara prevalensi
defisiensi zat besi dan vitamin A pada ibu hamil
Pada WUS, prevalensi gizi kurang adalah 10.7%,
gizi lebih atau obesitas hampir 3 kali lipat (29.7%).
Prevalensi anemia pada WUS tidak hamil adalah
29.7%. Di samping itu, kajian ini menunjukkan
tidak adanya perbedaan prevalensi gizi kurang dan
anemia pada wanita pengungsi dan bukan
pengungsi. Di wilayah yang paling terkena dampak
tsunami (Aceh Barat), ditemukan WUS penderita
gizi kurang, ISPA, demam, dan anemia dengan
prevalensi tertinggi.
Kajian selanjutnya juga dilakukan terhadap
program rehabilitasi gizi (Nutrition Rehabilitation
Program-NRP) oleh WFP (World Food Program)
pada masa transisi pasca tsunami (Juli-Agustus
2007).
Industrial Council for Development (ICD) bekerjasama dengan SEAMEO-TROPMED RCCN Universitas
Indonesia dan Departemen Kesehatan RI, tepat setelah tsunami (5-24 Februari 2005) melakukan
pemantauan dan pengamatan kondisi keamanan pangan pada situasi pasca tsunami untuk mengurangi
kejadian penyakit yang disebabkan oleh makanan (food-borne illnesses).
Ternyata hampir seluruh sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan pemantauan keamanan
pangan. Sumberdaya ini termasuk staf, peralatan, data, buku manual, buku pedoman, dan lain-lain.
Suplai air bersih ke masyarakat sangat bergantung pada transpotasi darat yang saat itu rusak berat. Saat
kunjungan dilakukan ke kamp-kamp pengungsian dan dapur umum serta tempat-tempat penjualan
makanan dan pasar, ditemukan beberapa hal berikut:
Kurangnya fasilitas cuci tangan yang memadai
Kurangnya sarana suplai air bersih dan sanitasi
Tidak adanya kontrol terhadap lalat
Kurangnya tempat pembuangan sampah
Tidak tersedianya materi komunikasi dan pendidikan tentang keamanan pangan
Kurang tersedianya tempat penyimpanan makanan yang memadai
Dapur umum hanya beroperasi di sejumlah kamp pengungsian. Para pengungsi umumnya diberi
bahan pangan mentah.
™ Sejumlah pasar hancur total. Pasar sementara beroperasi di tempat yang kurang memadai.
™
™
™
™
™
™
™
Ditemukan juga adanya kejadian luar biasa keracunan makanan di salah satu kamp
pengungsian. Karena terbatasnya sumberdaya, maka penyelidikan epidemiologis tidak dapat dilakukan
secara memadai. Namun demikian, penatalaksanaan kasus keracunan ini di rumah sakit dan di
puskesmas terbukti dapat secara efektif mengurangi dampak negatif akibat kejadian ini.
2
Masalah gizi di wilayah darurat, khususnya bagi
bayi dan anak-anak, merupakan hal yang sangat
penting dan perlu diperhatikan secara serius,” ujar
Dr. Gianfranco Rotigliano, Kepala Perwakilan
UNICEF di Indonesia.
Hanya pada situasi tertentu dan atas indikasi medis
dan sosial tertentu, susu formula dapat diberikan
secara terbatas dan melalui pengawasan dan
persyaratan yang sangat ketat (misalnya tersedianya
air bersih).
Merosotnya pemberian ASI menunjukkan adanya
peningkatan dalam penggunaan susu formula,
yang jika digunakan secara tepat pun masih kalah
manfaatnya jika dibandingkan dengan air susu
ibu. Dalam keadaan darurat yang sering diikuti
dengan kelangkaan air bersih dan sedikitnya
kesempatan serta fasilitas untuk membersihkan
botol dan perlengkapan makan bayi dan anak,
risiko yang berkaitan dengan pemberian makanan
yang tidak alami cukup tinggi.
Meningkatkan mutu pemberian makanan pada bayi
dan anak dalam keadaan darurat merupakan salah
satu cara yang paling efektif untuk mengurangi
angka kematian dan mencegah kekurangan gizi.
(Siaran Pers Unicef, Jakarta 21 Maret 2008)
Sering terdapat anggapan yang tidak tepat bahwa
keluarga-keluarga
di
wilayah
bencana
membutuhkan susu formula dan susu bubuk.
Sumbangan-sumbangan sukarela dalam bentuk
tersebut sering membanjiri wilayah bencana.
“Pengorganisasian, koordinasi, dan pengaturan
yang jelas dan tepat sangat diperlukan untuk
mengendalikan bantuan susu formula di wilayah
bencana demi terlindunginya keselamatan bayi dan
anak. Masyarakat luas dan para donor yang
beritikad baik perlu diberitahu bahwa produkproduk tersebut tidak diperlukan dalam situasi
darurat”.
Dalam situasi darurat perlu diperhatikan kondisi setempat karena:
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Terjadi suasana panik dimana penduduk setempat mengutamakan penyelamatan diri sendiri
Air bersih dan bahan bakar terbatas
Bantuan makanan terlambat datang ke tempat lokasi
Bantuan makanan yang ada, kurang tepat bagi kelompok sasaran tertentu
Hal tersebut di atas menimbulkan permasalahan besar utamanya bagi bayi, anak baduta dan ibu
menyusui serta bagi petugas di lapangan. Dampak yang terjadi adalah bertambahnya kesakitan
dan kematian pada bayi, serta menurunnya status gizi balita sehingga gizi buruk bertambah. Ibu
menyusui banyak yang mengalami stress berat sehingga tidak lagi menyusui dan terjadi pula
pelanggaran Internasional Kode. Untuk mengantisipasi hal ini perlu dilakukan tindakan
pencegahan secara dini.
3
PMBA dalam situasi darurat harus dilaksanakan berdasarkan beberapa
prinsip antara lain:
ƒ Dilaksanakan dengan benar dan tepat
ƒ Merupakan bagian penting pelayanan kepada ibu, bayi dan anak
ƒ Departemen Kesehatan menyusun juknis PMBA dalam situasi darurat sehingga setiap tindakan
instansi terlibat mengacu pada pedoman
ƒ Sebagai koordinator penyelenggara di tingkat pusat adalah Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) bersama Departemen Kesehatan dan di tingkat daerah adalah Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
ƒ Penilaian cepat kedaruratan mencakup kajian PMBA meliputi kebutuhan ibu, bayi dan anak
termasuk bayi piatu
ƒ Bantuan susu formula untuk bayi yang memerlukan (bayi piatu dan indikasi medis) disediakan oleh
pemerintah dan tidak termasuk paket ransum pangan darurat.
ƒ Dalam hal adanya bantuan susu formula dari pihak selain pemerintah maka dinas kesehatan
setempat memutuskan menerima atau menolak bantuan dan bertanggung jawab atas
pendistribusian dan penggunaan bantuan tersebut.
Kesiapan penyelenggara PMBA dalam situasi darurat
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
BNPB dan Depkes melakukan koordinasi dalam hal penyelarasan kebijakan lintas program, lintas
sektor, badan internasional dan LSM
Departemen Kesehatan menyusun pedoman pelaksanaan PMBA dalam situasi darurat termasuk
modul pelatihan
Koordinator menetapkan pembagian kerja, mekanisme kerja dan tanggung jawab dari setiap
kegiatan PMBA dalam situasi darurat
Koordinator menyebarluaskan informasi tentang hasil penyelarasan kebijakan, dan pedoman PMBA
dalam situasi darurat kepada seluruh institusi terkait termasuk media
Koordinator bersama Departemen Kesehatan melaksanakan pelatihan tentang PMBA dalam situasi
darurat terhadap instansi yang diharapkan terlibat dalam menangani PMBA pada situasi darurat.
Pelatihan petugas meliputi penilaian cepat, penentuan prioritas dan penyelenggaraan.
Tindakan prioritas dalam melakukan intervensi mendasar adalah:
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Utamakan kelompok rawan ibu hamil, bayi dan balita
Ibu hamil mendapat tablet tambah darah (kecuali di daerah endemis malaria)
Ibu nifas mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 IU)
Ibu yang mempunyai bayi < 6 bulan dan masih menyusu secara eksklusif, harus diberi dukungan
agar tetap menyusui secara eksklusif sampai bayi umur 6 bulan.
Ibu yang mempunyai bayi dan anak umur 6-24 bulan dan masih menyusui, harus diberi dukungan
agar tetap menyusui bayi dan anaknya dengan memberi bantuan konseling
Bayi umur 6-11 bulan diberi MP-ASI bubur dan 1 kapsul vitamin A (100.000 IU)
Anak umur 12-23 bulan diberi MP-ASI (pabrikan/pangan lokal)
Anak umur 12-59 bulan diberi vitamin A dosis tinggi (200.000IU)
Koordinator melakukan monitoring dan evaluasi atas kerja tim
Tindakan dalam melakukan intervensi teknis adalah:
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Melakukan identifikasi ibu yang mempunyai masalah menyusui dengan tindakan memberi
konseling menyusui
Ibu dengan HIV/AIDS positif harus diberi penjelasan tentang keuntungan dan kerugian
memberikan makanan Pengganti ASI (PASI) kepada bayinya. Ibu diberi kesempatan untuk
menentukan memberi PASI atau menyusui bayinya
Menyediakan tempat atau ruangan khusus untuk ibu yang memerlukan bantuan untuk menyusui
dan atau penyiapan MP-ASI
Bayi piatu atau yang terpisah dari keluarganya diberi makanan pengganti ASI (susu formula atau
PASI lainnya)
4
IBU DAN BAYI
BERSAMA
LAKTASI OK
DUKUNGAN
PEMBERIAN
ASI
IBU DAN BAYI
TIDAK BERSAMA
SEBELUM
TERJADI KRISIS
IBU MENYUSUI
SEBELUM TERJADI
KRISIS IBU TIDAK
MENYUSUI
LAKTASI
BERKURANG/
TERGANGGU
MEMUNGKINKAN
DILAKUKAN
LAKTASI
DUKUNGAN
RELAKTASI
TERSEDIANYA DONOR
ASI DENGAN STATUS
HIV NEGATIF
LAKTASI TIDAK
MEMUNGKINKAN
DONOR ASI
TIDAK TERSEDIA
DAPAT DIBERIKAN
SUSU FORMULA
* Dengan
pengawasan ketat
Dalam keadaan darurat ada dua kemungkinan kondisi yaitu ibu dan bayi bersama atau ibu dan bayi tidak
bersama. Penatalaksanaan pemberian makanan bayi untuk ke dua kondisi tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Jika ibu dan bayi bersama
Jika sebelum terjadi keadaan darurat ibu dapat menyusui bayinya, maka laktasi dapat
dilanjutkan dengan pemberian dukungan kepada ibu. Jika laktasi berkurang maka si ibu
diberikan dukungan untuk relaktasi.
Jika sebelum terjadi keadaan darurat ibu tidak menyusui bayinya maka si ibu memungkinkan
untuk melakukan laktasi dengan dukungan untuk relaktasi. Jika laktasi tidak memungkinkan
maka harus tersedia donor ASI dengan status HIV negatif. Jika donor ASI tidak tersedia dapat
diberikan susu formula dengan pengawasan yang ketat.
2. Jika ibu dan bayi tidak bersama
Jika ibu dan bayi tidak bersama, dan laktasi tidak memungkinkan maka harus tersedia donor ASI
dengan status HIV negatif. Jika donor ASI tidak tersedia dapat diberikan susu formula dengan
pengawasan yang ketat.
5
UNTUK DIKETAHUI………
Pemberian pangan untuk bayi dan balita pada keadaan darurat menegaskan perlindungan,
penggerakan dan dukungan terhadap pemberian ASI dan makanan yang memadai dan tepat waktu.
Untuk mendorong, mendukung dan melindungi ibu dalam pemberian ASI pada kondisi darurat ini
dibutuhkan keahlian khusus dari petugas mengenai konseling dan manajemen laktasi. Dukungan
dari petugas juga termasuk motivasi psikologis untuk mengurangi stres pada ibu menyusui sehingga
mendukung keberhasilan menyusui. Departemen Kesehatan pada tahun 2007 dan 2008 telah
melatih 132 konselor menyusui di 33 propinsi di Indonesia.
Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
IMD didefinisikan memberi kesempatan kepada bayi
mulai/inisiasi menyusu sendiri segera setelah
lahir/dini dengan membiarkan kontak kulit bayi
dengan kulit ibu setidaknya satu jam atau lebih,
sampai menyusu pertama selesai.
4 (empat) Langkah IMD :
• Dalam IMD, Sang Pencipta memberikan
perlindungan alamiah bagi bayi. Dalam IMD,
bayi memperoleh kolostrum yang penting untuk
kelangsungan hidupnya.
• Sewaktu merayap di dada ibu, bayi menjilat-jilat
kulit ibu dan menelan bakteri baik (tak
berbahaya) dari kulit ibu. Bakteri baik ini akan
berkembang biak membentuk koloni di kulit dan
usus bayi sehingga bayi menjadi lebih kebal dari
bakteri lain (bakteri jahat) yang akan dihadapi
di dunia barunya.
• Melalui IMD, Tuhan pun melimpahkan
kasih sayangNya pada sang ibu.
Tuhan menetapkan bahwa dada
ibu yang baru melahirkan akan
menghangatkan bayi dengan
tepat.
Layout by Siswono
Forum Koordinasi
Jaringan
Informasi Pangan dan Gizi
Sekretariat :
Dit. Bina Gizi Masyarakat
Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat
Jl. HR. Rasuna Said, Blok X5 Kav. 4-9,
Jakarta 12950
Telp. (021) : 5203883, 5277382
Fax : (021) 5210176
E-mail
[email protected]
Web Site:
http://www.gizi.net
6
Download