1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem ketatanegaraan negara demokrasi, pelaksanaan konstitusi
harus diawasi agar tidak melenceng dan disalahgunakan. Terutama keputusan dan
peraturan yang menyangkut hajat hidup, hak asasi serta kepentingan
orang
banyak tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Konstitusi tersebut juga dapat
diubah, jika dinilai terbukti melanggar kepentingan hak hidup orang banyak,
dalam praktek ketatanegaraan di banyak negara pada umumnya tugas pembuatan
serta pengawasan dalam pelaksanaaanya menjadi wewenang badan atau lembaga
legislatif,
sedangkan
untuk
wewenang
untuk
menguji
materiil
peraturan
perundangan-undangan dilakukan oleh lembaga yudikatif. Ada suatu mekanisme
yang lazim diterapkan di berbagai negara di dunia, mekanisme ini lazim disebuat
dengan uji materiil undang-undang atau judicial review . Hak menguji undangundang merupakan hak hakim konstitusi yang dimaksudkan agar tidak adanya
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang keududukannya dibawah
dengan peraturan yang lebih tinggi yakni konstitusi. Konstitusi sebagai dasar
untuk menguji undang-undang, karena di dalamnya mengatur prinsip-prinsip
negara. M ulai dari hak asasi manusia sampai bagaimana perekonomian negara
seharusnya diatur, yang merupakan bagian dari konstitusi. 1
Hedi Herdiansyah dan Byitri Susanti, “M enguji Undang-Undang di Indonesia”,
M akalah pada Penelitian atau W orkshop Nasional Hukum Acara di M K Hotel Borobudur Jakarta,
tanggal 21 M ei 2006.
1
1
2
Di dalam negara-negara yang mendasari diri atas demokrasi
konstitusionalis terdapat gagasan konstitusionalisme yang beranggapan bahwa
Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi untuk membatasi pemerintah
sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenangwenang, termasuk dalam pembentukan peraturan perundang -undangan yang
dimungkinkan adanya pergeseran dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam
konstitusi itu sendiri sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pembu at
undang-undang. Fungsi itu sendiri merupakan ciri khas Undang -Undang Dasar. 2
M ekanisme uji materiil di Indonesia merupakan kewenangan M ahkamah
Konstitusi yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan,
dalam rangka menjaga amanat kon stitusi sebagai hukum dasar atau hukum
supreme dalam
penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar
dilaksanakam secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita cita demokrasi, serta guna menjaga terlaksananya pemerintahan negara yan g
stabil,
dan
juga
merupakan
koreksi
terhadap
pengalaman
kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi. Kewenangan konstitusional M ahkamah Konstitusi melaksanakan
prinsip checks and balances yang
menempatkan
semua
lembaga
negara
dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan
negara. Keberadaan M ahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat
saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara . . 3 Di Indonesia M ahkamah
Konstitusi resmi berdiri pada tahun 2003.
Keberadaan M ahkamah Konstitusi serta kewenangannya yang salah
satunya merupakan hak uji materiil undang-undang atau judicial review adalah
dalam rangka menjamin agar kehendak konstitusi dapat diim plementasikan secara
Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam M asa Transisi, FH UII Press,
Yogyakarta, hlm. 24.
3
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang M ahkamah
Konstitusi.
2
3
konsekuen tanpa cacat, dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya, serta tanpa
adanya penyimpangan terhadap nilai-nilai serta prinsip-prinsip dalam konstitusi
dimaksud. 4
Salah satu upaya dalam rangka menjamin hak konstitusi warga negara
adalah
merupakan
salah
satu
nilai
fundamental
dalam
konstitusi
pasca
amandemen adalah adanya judicial review terhadap penetapan tersangka yang
tercantum dalam KUHAP seperti yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah.
Bachtiar Abdul Fatah melalui kuasa hukumnya mengajukan judicial
review terhadap Pasal 1 angka 2 KUH AP, Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto
Pasal 21 ayat (1) K UHAP, Pasal 77 huruf (a) KUH AP dan Pasal 156 ayat (2)
KUHAP yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip due process of law . Dalam
praktek untuk menegakan hukum pidana dan untuk melindungi hak-hak
konstitusional warga negara, maka digunakan hukum acara pidana sebagai tolak
ukurnya. Pada dasarnya hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan
memberikan batasaran yang dapat dilakukan
oleh negara
dalam
proses
penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan metode yang baku
untuk menegakan hukum dan melindungi hak-hak warga neagara/individu selama
proses hukum berlangsung.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip mengenai penegakan dan perlindungan
Hak Asasi M anusia (HAM ) yang telah dinyatakan oleh M ahkamah sebagai
penafsir tunggal Konstitusi (The Sole Interpreter O f The Constitution) melalui
putusan M ahkamah N omor 34/PUU -XI/2013, dapat disimpulkan bahwa ketentuan
Ni’matul Huda, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Perubahan
UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 201.
4
4
hukum acara pidana dalam hal ini KU HAP yang tidak ses uai dengan prinsip due
process of law dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3) juncto 28D ayat (1) U UD 1945, karena hukum acara
pidana dalam hal ini KUHAP merupakan implementasi dari penegakan dan
perlindungan HAM yang merupakan ketentuan konstitusional dalam UUD 1945.
Jika terdapat ketentuan dalam KUHAP yang bertentangan dengan prinsip due
process of law dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil, maka dengan
sendirinya pada dasarnya ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat
(5) UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk menegakan dan melindungi HAM
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang mengharuskan
pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan di dalam peraturan perundang undangan.
Hak uji materiil yang diajukan pemohon adalah Pasal 1 angka 2, Pasal 1
angka 14 jo Pasal 17 jo Pasal 21 ayat (1) K UHAP, Pasal 77 huruf (a) dan Pasal
156 ayat (2) KUH AP ((Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara
yang
diatur
dalam
undang-undang
ini
untuk
mencari
serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tenta ng
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya .”
Pasal 1 angka 14 KUH AP menyatakan :
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
5
Pasal 17 KUHAP menyatakan :
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. ”
Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan :
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam
menimbulkan
kekhawatiran
bahwa
hal adanya
tersangka
atau
keadaan yang
terdakwa
akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.”
Pasal 77 huruf (a) KUHAP menyatakan :
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan;”
Pasal 156 ayat (2) KUH AP menyatakan :
“Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu
tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau
hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus se telah selesai
pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.”
Frasa “bukti permulaan” sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 14 dan
frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana terdapat dalam Pasal 17
6
KUHAP tanpa disertai parameter yang jelas telah menimbulkan ketidakpastian
hukum sehubungan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi penyidik sebelum
menyatakan orang menjadi tersangka atau sebelum menggunakan upaya paksa
dalam menangkap seseorang. Hal ini dianggap oleh pihak pemohon bertentangan
dengan U ndang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) serta
Pasal 28I ayat (5) yang dapat menimbulkkan kesewenang-wenangan yang secara
nyata bertentangan dengan prinsip due process of law .
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan :
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan :
“Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan.”
Selanjutnya untuk mengakomodir prinsip due process of law tersebut,
maka konsep Praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf (a) KUHAP yang terbatas
pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian
penyidikan
atau
penghentian
penuntutan
jelas
tidak
dapat
7
memberikan perlindungan yang cukup seora ng Tersangka dari pelanggaran Hak
Asasi M anusia.
Hakim M ahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
dalam amar putusannya menyatakan bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan Pasa l 1
angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) U ndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981,
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
N omor 3209)
bertentangan dengan U ndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 Undang-U ndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang H ukum Acara Pidana.
Berkaitan dengan Pasal 77 huruf (a), M ahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Pasal 77 huruf (a) tersebut bertentangan dengan U ndang -Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Keluarnya Putusan M K ini akan menjadi landasan bagi para hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutuskan bahwa penetapan tersangka masuk dalam
objek Praperadilan dan perselisihan pendapat yang kadang terjadi dan bahkan
sampai kepada disparitas putusan hakim mengenai Praperadilan tentang penetapan
tersangka bisa diakhiri. Kini putusan M K ini menjadi angin segar bagi para
tersangka yang tidak puas atas keputusan penyidik yang memberikan keputusan
penetapan tersangka kepada dirinya, bisa menempu h upaya Praperadilan untuk
8
mendapatkan keadilan, dan disisi lain putusan M K ini juga akan berpengaruh
terhadap kinerja penyidik dalam menetapkan tersangka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat
dirumuskan perm asalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar dikabulkannya judicial review terhadap Pasal 1 angka 14
juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 huruf (a) KUHAP?
2. Bagaimana implikasi yuridis putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 21/PU U XII/2014 terhadap pemenuhan asas kepastian hukum dan asas keadilan dalam
mewujudkan prinsip due process of law ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari
penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar dikabu lkannya judicial review
terhadap Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77
huruf (a) KUHAP.
2. Untuk mengetahui dan menganalisi implikasi yuridis putusan M ahkamah
Konstitusi Nomor 21/P UU-XII/2014 terhadap pemenuhan asas kepastian
hukum dan asas keadilan dalam mewujudkan prinsip due process of law .
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. M anfaat Praktis
9
Hasil penelitian ini untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi
masyarakat dalam hal pemahaman atas implikasi yuridis putusan M ahkamah
Konstitusi Nomor 21/PU U-XII/2014 terhadap pemenuhan asas kepastian
hukum dan asas keadilan dalam hal mewujudkan prinsip due process of law .
Bagi negara, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap
penyelenggaraan sistem ketatanegaraan menurut UUD RI 1945.
2. M anfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat m emberikan manfaat sebagai
referensi maupun literatur dan bahan-bahan hukum yang dapat bermanfaat
bagi peneliti-peneliti yang akan datang terutama yang terkait dalam
melakukan
studi
pengembangan
ilm u
pengetahuan
terkait
hukum
ketatanegaraan.
E. Keaslian Penelitian
Dalam
penyusunan
penulisan
huku
ini,
penulis
telah
melakukan
penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian, baik dari perpustakaan
Fakultas H ukum
Universitas Gadjah M ada, media cetak maupun media
elektronik. Penelusuran yang penulis lakukan menemukan beberapa penelitian di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah M ada yang berkaitan dengan
implikasi Putusan M ahkamah Konstitusi antara lain sebagai berikut:
1. Implikasi Yuridis Putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU -XI/2013
Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, disusun oleh Eka
10
Lestaria, tahun 2014. 5 Penelitian tersebut merumuskan masalah sebagai
berikut:
“Bagaimana implikasi yuridis putusan M ahkamah Konstitusi N omor
34/PUU-XI/2013 terhadap asas kepastian hukum dan keadilan?”
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Lestaria, didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
Keluarnya Putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PU U -XI/2013
(putusan kedua) telah berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan keadilan.
Ketidakpastian hukum dari putusan tersebut oleh karena pertimbangan
putusan tersebut inkonsistensi dengan putusan sebelumnya yaitu Putusan
M ahkamah Konstitusi N omor 16/PU U -VIII/2010 (putusan pertama). Ketiga
pertimbangan M K dalam putusan kedua kontradiktif dengan pertimbangan
dalam putusan pertama sehingga menimbulkan keraguan dan ketidakjelasan.
Sedangkan ketidakadilan dari putusan tersebut karena permohonan yang
dikabulkan oleh M K terkait PK hanya pada perkara pidana, sedangkan
pengajuan PK pada perkara perdata dan tata usaha negara tetap dibatasi hanya
satu kali, yang mana telah membatasi hak warga negara lainnya untuk
mencapai keadilan pada perkara perdata maupun tata usaha ne gara. padahal
hak setiap warga negara dijamin persamaannya oleh Pasal 28 ayat (1) UUD
1945 yaitu setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum. Sehingga M K dalam putusannya tidak
Eka Lestaria, 2014, “Implikasi Yuridis Putusan M ahkamah Konstitusi Nom or 34/PUU XI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan ”, Tesis, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta .
5
11
mencerminkan rasa keadilan karena membeda-bedakan warga negara yang
satu dengan warga negara lainnya, terkesan memihak dan sewenang -wenang.
2. Implikasi Putusan M ahkamah Konstitusi Nom or 34/PU U -XI/2013 Terhadap
Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Hukum Acara Pidana Terkait
Asas Litis Finiri Oportet, disusun oleh Arifanny Faizal, tahun 2015. 6
Penelitian tersebut merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana relavansi putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU XI/2013 terhadap upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum
acara pidana di Indonesia?
b. Bagaimana implikasi putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU XI/2013 terhadap asas litis finiri oportet dalam hukum acara pidana di
Indonesia?
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifanny Faizal, didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
M enurut Pasal 268 ayat (3) KU HAP upaya hukum peninjauan
kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini berarti putusan yang
sudah diajukan peninjauan kembali dan telah diputus untuk perkara yang
sama tidak dapat diajukan lagi oleh terpidana atau ahli warisnya. Ketentuan
peninjauan kembali dalam Pasal 268 ayat (3) K UHAP tersebut tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat setelah adanya Putusan M ahkamah Konstitusi
Nomor 34/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, saat ini upaya hukum peninjauan
Arifanny Faizal, 2015, “Implikasi Putusan M ahkamah Konstitusi Nom or 34/PUU XI/2013 Terhadap Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam H ukum Acara Pidana Terkait Asas
Litis Finiri Oportet”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah M ada
Yogyakarta.
6
12
kembali dapat dilakukan lebih dar i satu kali. A pabila ada pejabat negara atau
warga negara yang membatasi upaya hukum peninjauan kembali hanya satu
kali setelah adanya Putusan M ahkamah Konstitusi N omor 34/PUU -XI/2013
maka tindakannya tidak memiliki dasar hukum. Pada dasarnya P utusan
M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU -XI/2013 tidak mengganggu tujuan dan
fungsi peninjauan kembali.
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, setelah membaca penelitian
Eka Lestaria dan Arifanny Faizal, baik pada bagian rumusan masalah maupun
kesimpulan maka
Penulis
menyimpulkan penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Penelitian Eka Lestaria
melihat implikasi putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU -XI/2013
dari aspek hukum tata negara sementara penelitian Arifanny Faizal melihat
implikasi putusan M ahkamah Konstitusi Nomor 34/PU U -XI/2013 terhadap
upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana terkait asas litis
finiri oportet. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan melihat implikasi
dari putusan yang lain yaitu Putusan M ahkamah Konstitusi N omor 21/PUU XII/2014 terhadap pemenuhan asas kepastian hukum dan asas keadilan dalam
mewujudkan prinsip due process of law , dengan demikian penelitian yang
penulis
lakukan
dengan
judul
“IM PLIKASI
YURIDIS
PUTUSAN
M AHKAM AH KO NSTITUSI NOM OR 21/PUU-XII/2014 TERHA DAP
PEM ENUHAN ASAS KEPASTIA N HUKUM DAN ASAS KEADILAN
DALAM M EWUJUD KAN PRINSIP DUE PROCESS OF LAW ” adalah asli,
belum pernah dilakukan dan permasalahan ini murni ide penulis sehingga
penelitian ini bukan merupakan karya plagiarisme .
Download