Uji Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides terhadap Sel Kanker Kolon Widr secara In Vitro Almaratul Khoiriyah 1506100005 Dosen Pembimbing: Awik Puji Dyah. N. S.Si., M.Si. dan Prof. Dr. Drs. Sukardiman, A.Pt., M.Sc. Jurusan Biologi – Fakultas MIPA – Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Abstract The aim of this research is to know in vitro cytotoxicity effect of A. suberitoides marine sponge extract on WiDr colon cancer cells. A. suberitoides was taken from Pasir Putih Seashore at Situbondo Jawa Timur. The sponge was extracted by 96% ethanol. Cytotoxicity test was performed by MTT assay, doubling time, and Apoptosis methods. Cell was determined by six treatment groups on the MTT assay and doubling time methods. They were the extract group (cells + culture medium + test material), cell control group (cells + culture medium), positive control group (cells + culture medium + cisplatin), medium control group (cells + culture medium), and solvent control group (cells + culture medium + DMSO), which was every series has three times repetition. On the apoptosis method is determined by four treatment groups, they were the extract group (cells + culture medium + extract), control cell group (cells + culture medium), positive control group (cells +culture medium + cisplatin), and negative control group (cells +culture medium +DMSO). The result showed that LC50 value of cytotoxcity test is 500,310 μg/mL. For doubling time test, IC50 value is showed in the amount of 46,44 μg/mL at 48 hours incubation. Moreover, apoptosis test showed 28,024% of apoptosis percentage. Keyword : Cytotoxcity test, Aaptos suberitoides extract, WiDr cell. I. PENDAHULUAN Kanker menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia dan penyakit pembunuh terbesar kedua setelah kardiovaskuler (Hawariah, 1998a). Usaha pencarian agen kemoterapi dari bahan alami yang mensasarkan target aksinya pada gen-gen pengatur pertumbuhan atau proliferasi sel dengan efek samping minimum adalah amat diperlukan dalam pengobatan penyakit kanker. Spons merupakan salah satu sumber senyawa-senyawa baru dari biota laut yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi. Spons menghasilkan metabolit sekunder yang tinggi serta memiliki kemampuan untuk mensintesis bermacammacam komponen organic seperti polyketida, alkaloid, peptid dan terpene (Sjorgen, 2006 dalam Nurhayati, 2009). Kanker kolon adalah penyakit genom. Uji sitotoksisitas merupakan uji pendahuluan yang penting untuk membantu dalam pemilihan ekstrak yang berpotensi sebagai agen antikanker (Cardellina et al. 1999). Studi pendahuluan telah dilakukan dengan tujuan untuk menskrining senyawa toksik dari beberapa spesies spons laut dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Hasil penelitian Nurhayati et al., tahun 2008 dilaporkan bahwa sebelas spesies spons yang diambil dari daerah perairan Pantai Pasir Putih Situbondo pada uji sitotosisitas dengan metode BST diperoleh LC 134.1362 ± 36.6114 – 874.5812 ± 50 99.3641 ppm. Spesies A.suberitoides merupakan jenis sponge yang paling toksik dengan nilai LC 50 134.1362 ± 36.6114 ppm. Sehingga A.suberitoides dapat dikandidatkan sebagai obat antikanker (Nurhayati, 2009). Dengan demikian, kajian sitotoksisitas ekstrak spons laut A. suberitoides secara in vitro diperlukan untuk menilai aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan sel-sel kanker kolon. II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Kultur Sel Kultur sel diambil dari stok yang disimpan dalam tangki cair yang diletakkan dalam locator pada suhu -196°C. Kultur sel dicairkan dalam air ± 37.7 °C, Selanjutnya sel ditumbuhkan dalam beberapa (2-3) buah tissue culture flask kecil dan diinkubasi dalam incubator pada suhu 37°C dengan aliran 5% CO2 dan 95% O2. Setelah 24 jam, media diganti dan sel ditumbuhkan sampai konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian. Setelah jumlah sel cukup atau konfluen (± 70%), medium diganti dengan medium RPMI 1640 baru sebanyak 5 ml. Sel diambil sebanyak sebesar 3 x 104 sel/ 100 µl media dengan dihitung melalui bilik haemocytometer. Uji Sitotoksisitas Metode MTT (Microculture Tetrazolium) Suspensi sel WiDr sebanyak 100 µl dengan kepadatan 3 x 104 sel/100 µl media disistribusikan ke dalam sumuran- sumuran pada 96-well plate dan diinkubasikan selama 24 jam. Setelah diinkubasi, ke dalam sumuran dimasukkan 100 µl larutan uji pada berbagai seri konsentrasi. Sebagai kontrol positif ditambahkan 100 µl cisplatin pada berbagai seri konsentrasi ke dalam sumuran yang berisi 100 µl suspense sel. Sebagai kontrol sel ditambahkan 100 µl medium kultur ke dalam sumuran yang berisi 100 µl suspense sel dan sebagai kontrol pelarut ditambahkan 100 µl DMSO ke dalam sumuran yang berisi 100 µl suspensi sel dengan delusi yang sesuai dengan delusi konsentrasi larutan uji, kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam incubator dengan aliran 5% CO2 dan 95% O2. Pada akhir inkubasi, media kultur dibuang lalu ditambahkan 10 µl larutan MTT (5 mg/mL PBS), kemudian sel diinkubasi selama 3-4 jam. Reaksi MTT dihentikan dengan penambahan reagen stopper SDS (100 µl). Microplate berisi suspensi sel diseker ± 5 menit kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan diinkubasi selama 1 malam pada suhu kamar. Sel yang hidup bereaksi degan MTT membentuk warna ungu. Hasil pengujian dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 595 nm Uji Sitotoksisitas melalui Pengamatan Kinetika Proliferasi Sel ( Uji Doubling Time) Uji ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemeberian ekstrak spons laut terhadap proliferasi sel WiDr. dengan cara kerja yang sama dengan metode MTT, namun terdapat penambahan inkubasi selama 24; 48; 72 jam. Uji Apoptosis Sel diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator CO2 370C. Selanjutnya sel diberi perlakuan dengan 500 µl ekstrak spons laut A. suberitoides pada konsentrasi LC50 pada uji sitoktoksisitas metode MTT. Sebagai kontrol sel, ditambahkan 500 µl media kultur RPMI, kontrol positif ditambah cisplatin pada konsentrasi LC50 dan kontrol pelarut ditambah 500 µl DMSO, kemudian sel diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator. Pada akhir inkubasi, medium dibuang dan coverslip dikeluarkan dari sumuran, diletakkan pada gelas benda Poly-L-Lysine secara merata dan dibuat rangkap dua. sebanya 5 µl larrutan staining ditambahakan pada permukaan coverslip tersebut, kemudian didiamkan ±2 menit agar larutan berinteraksi dengan sel. Sel segera diamati di bawah mikroskop fluroseen dengan perbesaran dengan perbesaran 100 x dan hasil pengamatan difoto dengan kamera digital. Sel yang hidup akan berflurosen hijau dengan acridine orange dan sel yang mati akan berflurosen oranye dengan ethidium bromide. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitiodes terhadap Sel Kanker Kolon WiDr dengan Metode MTT assay Hasil yang diperoleh dari pembacaan Elisa Reader berupa nilai absorbansi dari tiap sumuran yang telah diberi bahan uji sesuai kelompok perlakuan. Nilai absorbansi selanjutnya digunakan untuk mengukur pertumbuhan sel kanker kolon WiDr pada inkubasi 24 jam setelah diberikan beberapa perlakuan. Jika ekstrak ini memiliki aktivitas sitotoksik yang signifikan terhadap sel WiDr ini, maka ekstrak tersebut dapat dikatakan sebagai anti kanker. Data kematian sel kanker kolon WiDr ditampilkan pada Tabel 1. Tabel .1. Presentase kematian sel kanker kolon WiDr perlakuan ekstrak setelah inkubasi 24 jam dengan pewarnaan MTT Konsentrasi % kematian Perlakuan (μg/mL) Kontrol negatif 0 4,728 7,5 6,147 Ekstraks spons laut A.suberitoides 15 10,686 30 15,603 60 18,77 120 19,385 240 31,253 480 89,551 960 98,676 1440 94,846 1920 90,496 Presentase kematian terendah yaitu 6,147% terjadi pada konsentrasi 7.5 µg/ml (ekstrak terendah). Sedangkan presentase kematian tertinggi yakni dengan 98,676% terjadi pada konsentrasi 960 µg/ml. Terjadi penurunan prosentase kematian setelah mencapai prosentase kematian tertinggi yakni pada dua konsentrasi di atas 960 µg/ml dengan prosentase kematian 90,496% pada konsentrasi tertinggi perlakuan ekstrak (1920 µg/ml). Hal ini disebabkan karena pelarut ekstrak yakni DMSO memiliki keterbatasan dalam melarutkan suatu zat, sehingga setelah mencapai titik jenuh pelarutan, maka pelarut DMSO tidak dapat melarutkan ekstrak lagi sehingga terbentuk endapan. Hal ini sesuai dengan Underwood tahun 1986 yang menyebutkan bahwa pada umumnya ukuran partikel meningkat mencapai suatu maksimum dan kemudian berkurang, bila reaksi reagensia-reagensia dinaikkan. Aktivitas sitotoksisitas ekstrak terhadap sel WiDr diketahui melalui analisa presentase kematian sel WiDr oleh ekstrak dengan menggunakan SPSS Windows 16.0 dengan program analisa regresi probit. Dari analisa regresi probit ini dapat diketahui nilai LC 50 ekstrak spons laut A. suberitoides yakni 500,310 µg/mL. Berdasarkan nilai LC50 tersebut dapat dikatakan bahwa ekstrak spons A.suberitoides bersifat tidak toksik terhadap sel kanker WiDr. Hal ini sesuai dengan standar NCI bahwa suatu senyawa bersifat sitotoksik jika mempunyai jika mempunyai LC50 lebih kecil dari 20 μg/mL (Suffness, 1991 dalam Puspitasari, 2001). Semakin kecil nilai LC50 maka tingkat ketoksikan suatu senyawa semakin besar. Efek ekstrak spons A.suberitoides terhadap proliferasi sel WiDr Uji doubling time merupakan metode untuk mengetahui pertumbuhan sel diukur dari persamaan regresi linier yang dibuat dari slope sehingga menggambarkan kinetika proliferasi sel. Metode ini memiliki langkah kerja yang sama dengan MTT assay namun terdapat penambahan waktu inkubasi 48 dan 72 jam. Hasil pengamatan untuk metode doubling time menunjukkan bahwa setelah sel kanker diinkubasi selama 24 jam kelompok kontrol masih hidup. Sel kanker pada inkubasi 24 jam kelompok perlakuan ekstrak 144,540 µg/mL terdapat sekitar 40,413 % sel yang hidup, pada kadar 72,270 µg/mL terdapat 41,585% yang hidup, ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan konsentrasi 144,54 dan 72,270 µg/mL (p>0,05). Sedangkan pada konsentrasi 36,1235 µg/mL terdapat 49,226% sel yang hidup. Pada inkubasi 48 jam terlihat perbedaan yang nyata antara konsentrasi 144,54; 72,270 dan 36,135 µg/mL. Pada inkubasi 72 jam juga terlihat perbedaan yang nyata antar perlakuan konsentrasi. Adanya kematian sel menunjukkan bahwa ekstrak spons laut telah berinteraksi untuk menghambat pertumbuhan sel WiDr. Tabel 2 Prosentase kehidupan sel WiDr dengan perlakuan ekstrak spons laut hasil uji doubling time Waktu inkubasi Konsentrasi sampel (jam) (µg/mL) 24 48 72 % hidup 144,54 40,413 72,27 41,585 36,135 49,226 0 100,047 144,54 25,917 72,27 42,903 36,135 53,030 0 100,040 144,54 14,449 72,27 24,501 36,135 32,058 0 60.10717 Pengamatan kontrol sel menunjukkan adanya penurunan jumlah sel setelah inkubasi 72 jam dan perbandingan perlakuan ekstrak dengan kontrol sel pada uji Anova menunjukkan signifikan (p<0,05) pada semua waktu inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada kontrol sel, sel WiDr terus mengalami proliferasi karena tidak ada yang menghambat. Ekstrak spons menjadi faktor utama penghambat proliferasi sel WiDr. Adanya penurunan sel hidup pada kelompok kontrol-inkubasi 72 jam dapat disebabkan karena jumlah sel yang terlalu banyak dan sumber nutrisi yang tersedia semakin lama semakin menipis. Akibatnya sel kanker WiDr kekurangan sumber nutrisi dan akhirnya sebagian sel mengalami kematian. Data doubling time selanjutnya dibuat profil hubungan antara prosentase sel hidup dan waktu inkubasi. Slope dari persamaan ini menggambarkan kinetika pertumbuhan sel WiDr dengan perlakuan ekstrak (Gambar 4.2) dan cisplatin (Gambar 4.3). 60.000 144,54 50.000 72,27 Kehidupan Sel (%) 36,135 40.000 Linear (144,54) Linear (72,27) 30.000 Linear (36,135) Linear (36,135) 20.000 10.000 0.000 0 20 40 60 Waktu Inkubasi y = -0.357x + 61.94 R² = 0.590 y = -0.355x + 53.41 R² = 0.692 80 y = -0.540x + 52.89 R² = 0.995 Gambar 1 Korelasi antara prosentase hidup sel WiDr dengan berbagai waktu inkubasi hasil uji doubling time menggunakan ekstrak spons laut A.suberitoides 60.000 12,05 50.000 6,025 Kehidupan sel (%) 3,0125 40.000 Linear (12,05) 30.000 Linear (6,025) Linear (3,0125) 20.000 10.000 y = -0.294x + 59.26 R² = 0.961 0.000 y = -0.268x + 50.69 R² = 0.996 -10.000 -20.000 0 20 40 60 Waktu inkubasi (jam) 80 y = -1.091x + 65.62 R² = 0.996 Gambar 2 Korelasi antara prosentase hidup sel WiDr dengan berbagai waktu inkubasi hasil uji doubling time menggunakan cisplatin Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa slope yang paling kecil pada perlakuan ekstrak adalah konsentrasi 144,54 μg/mL disusul 36,135 μg/mL lalu 72,27 μg/mL, sedangkan perlakuan cisplatin (Gambar 2) pada konsentrasi 12,05 μg/mL lalu 3,0125 μg/mL disusul 6,025 μg/mL. Slope yang semakin kecil akan menghasilkan doubling time yang lebih lama, dengan kata lain terjadi penghambatan proliferasi yang semakin besar. Inkubasi 48 jam baik pada ekstrak maupun cisplatin menunjukkan slope terbesar. Hal ini menunjukkan kemampuan penghambatan pertumbuhan sel WiDr tidak sejalan dengan pertambahan konsentrasi ekstrak dan cisplatin. IC50 merupakan Inhibitory Concentration 50 di mana diperlukan dosis untuk mendapatkan sel yang hidup sejumlah 50% dari populasi sel. Berdasarkan hasil penelitian nilai konsentrasi IC50 ekstrak yakni 46,45 μg/mL (inkubasi 48 jam). Menurut Mans et.al (2000) dalam Arjuna (2007) suatu ekstrak tanaman uji berpotensi untuk dikembangkan dalam upaya penemuan senyawa-senyawa baru yang berperan sebagai antikanker jika nilai IC50 yang diperoleh < 50 μg/mL. Pada penelitian ini ekstrak spons laut A.suberitoides memiliki IC50 46,45 μg/mL (inkubasi 48 jam). Dengan demikian ekstrak spons laut A.suberitoides berpotensi untuk dikembangkan sebagai antikanker. Meskipun titik tangkap aktivitas sitotoksik dari A.suberitoides belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan besar aktivitas sitotoksik tersebut terjadi dengan menginduksi apoptosis. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian seperti dari Coutinho tahun 2002 yang menunjukkkan bahwa spons A.suberitoides menghasilkan senyawa bioaktif aaptamin (benzo 1,6naphthyridin). Dalam penelitian Mayer tahun 2008 secara in vitro menyatakan bahwa senyawa antikanker aaptamin bekerja dengan mekanisme peningkatan apoptosis dengan menginduksi ekspresi dari protein p21 yang berfungsi untuk menahan siklus sel pada fase G2/M. Protein p21 merupakan anggota famili protein inhibitor kinase (CDIK) yang berfungsi menghambat siklus sel dan ekspresinya dikontrol oleh p53-independen. Pada sel normal, dalam keadaan seimbang konsentrasi protein p53 rendah, tetapi ketika terjadi kerusakan DNA protein tersebut terakumulasi dan mengaktifasi proses transkripsi beberapa gen, salah satunya adalah protein yang mengkode p21. Protein 21 tidak mengaktifasi kompleks cyclin D/cdk 4,6 sehingga mencegah fosforilasi protein Rb. Hal ini menyebabkan siklus berhenti pada restriction point pada fase G1. Keadaan ini menyediakan kesempatan untuk perbaikan DNA. Jika perbaikan tersebut berhasil maka siklus dilanjutkan dari fase G1 ke fase S, tetapi jika perbaikan DNA tidak berhasil, gen p53 memicu terjadinya apoptosis Pengaruh ekstrak etanol ekstrak spons laut A. suberitoides terhadap apoptosis sel WiDr Metode yang digunakan adalah dengan pewarnaan DNA melalui metode doublestaining menggunakan ethidium bromide dan acridine orange. Kedua macam zat warna ini dapat digunakan secara bersamaan karena dapat menghasilkan warna yang kontras, sehingga mempermudah pengamatan di bawah mikroskop flouresen. Pewarna ethidium bromide sehingga pengamatan sel dilakukan segera setelah pewarnaan karena interkasi yang terlalu lama antara larutan doublestaining dengan sel maka sel yang hidup akan mati. Berikut gambar hasil pengamatan secara morfologi. Hasil pengamatan secara morfologis dapat dilihat pada gambar berikut ini. a b Gambar 3 Morfologi sel WiDr sebagai kontrol pada uji apoptosis; (a) sel hidup (b) sel mati a b Gambar 4 Morfologi sel WiDr dengan perlakuan DMSO; (a) sel hidup (b) sel mati b a Gambar 5 Morfologi sel WiDr dengan perlakuan cisplatin konsentrasi LC50 12,05 µg/ml; (a) sel hidup dan (b) diduga sel mengalami apoptosis a b Gambar 6 Morfologi sel WiDr dengan perlakuan ekstrak spons laut A.suberitoides konsentrasi LC50 144,54 µg/ml; (a) sel hidup dan (b) diduga sel mengalami apoptosis Pengamatan secara morfologi sel WiDr menunjukkan adanya perbedaan morfologi antara sel hidup dan sel mati. Hal ini karena adanya interaksi antara sel dan pewarna doublestaining. Ethidium bromide dan acridine orange mampu menembus membran sel kemudian berinteraksi dengan DNA. Sel yang masih hidup akan berpendar dengan warna hijau dengan acridine orange dan yang mati akan berpendar orange dengan ethidium bromide. Ethidium bromide akan menembus sel mati karena terjadi penurunan integritas membran dan bersifat tidak pemiabel terhadap senyawa yang masuk dan acridine orange mengandung gugus kation sehingga dapat berinteraksi dengan DNA sel hidup yang bersifat anionik membentuk garam terdisosiasi dan dapat memasuki sel dan mewarnai inti sel menjadi hijau. Ethidium bromide hanya dapat memasuki sel yang mengalami kerusakan membran dan mewarnai inti sel menjadi merah. Ethidium bromide mengikat dengan cara menyisip di antara ikatan basa pada untai ganda DNA. Struktur cincin ethidium bromide adalah hidrofobik dan mirip dengan struktur cincin pada DNA. Ethidium bromide dapat membentuk kontak van der Walls tertutup dengan pasangan basa dan hal ini merupakan jawaban bahwa mengapa etidium mengikat pada lokasi hidrofobik molekul DNA. Molekul yang mengikat pada lokasi tersebut dikenal dengan Agent inter khelat karena mengkhelat pada susunan DNA yang kokoh. Dengan demikian, ethidium bromide merusak pilin ganda (double helix) dan menghambat replikasi DNA transkripsi, perbaikan DNA, dan rekombinasi. Ethidium bromide juga lebih mendominasi warna yang dihasilkan acridine orange. Pewarnaan dengan metode double staining menggunakan acridine orange dan ethidium bromide dapat membedakan sel yang hidup, sel apoptosis dan sel nekrosis. Sel hidup akan tampak memiliki inti sel dengan bentuk normal dan berwarna hijau. Sel yang mengalami apoptosis akan memiliki inti sel berwarna oranye dengan bentuk terkondensasi atau terfragmentasi. Sel yang mengalami nekrosis akan tampak memiliki inti sel berwarna oranye namun bentuk inti sel normal (Rible et al., 2005). Nekrosis dapat terjadi karena faktor lingkungan. Mungkin selama preparasi sel dengan double staining, terjadi stres yang menyebabkan sel-sel kemudian mati (Meiyanto dan Septisiani, 2005). Kontrol sel pada Gambar 3 terlihat hanya dua sel yang berflouresen warna merah pada satu lapang pandang, dengan kata lain sedikit sel yang mengalami kematian. Hampir semua sel berflouresen hijau terang, bentuk bulat, dan tidak mengalami fragmentasi. Demikian juga dengan DMSO (Gambar 4.5), hal ini karena DMSO relatif tidak toksik pada konsentrasi rendah. Pada perlakuan ekstrak dan cisplatin (Gambar 5 dan 6), terlihat bahwa sebagian besar sel berflouresen oranye/merah. Pada tabel 3 ditampilkan prosentase kematian sel secara apoptosis. Tabel 3 Prosentase kematian sel WiDr oleh apoptosis Perlakuan Rata-rata Prosentase Apoptosis Ekstrak A.suberitoides 144,54 µg/mL 28,024 LC 50 cisplatin 12,05 µg/mL 67,094 Kontrol sel 0,000 Kontrol DMSO 0,253 Hasil pengamatan apoptosis sel yang disajikan pada tabel 3 terlihat bahwa jumlah sel yang mengalami apoptosis pada perlakuan cisplatin lebih banyak dibandingkan dengan pada perlakuan ekstrak yakni 67,094% untuk cisplatin dan 28,024% untuk ekstrak. Cisplatin merupakan obat antikanker yang telah teruji sehingga dapat digunakan referensi dalam pengamatan morfologi sel. Pengamatan morfologi pada keduanya menunjukkan bahwa terdapat sel yang mengalami apoptosis. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak spons laut A.suberitodes memiliki efek sitotoksik terhadap sel WiDr dengan memacu apoptosis sel WiDr. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah aktivitas sitotoksisitas ekstrak spons laut A.suberitoides ditunjukkan dengan nilai LC50 (Lethal concentration 50%) sebesar 500,310 μg/mL dan aktivitas penghambatan proliferasi sel kanker ditunjukkan dengan IC50 (Inhibitory Concentration 50%) sebesar 46,45 μg/mL inkubasi 48 jam. Prosentase kematian secara apoptosis pada konsentrasi LC50 adalah 28,024% untuk ekstrak A.suberitoides.