Eksistensi Peradilan Adat Kabupaten Biak Numfor dalam Sistem

advertisement
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian yang penulis peroleh
disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil
penelitan ini dan analisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah
dituangkan pada BAB II, dan data Bab III ini diperoleh wawancara dengan pemangku
jabatan di Dewan Adat Biak, dan sumber-sumber lainnya yang kemudian dianalisis
berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah
setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau bukubuku yang menunjang penulisan skripsi ini,
A. Hasil Peneltian
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil, yaitu
Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil,
termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan
kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor
adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1
Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik
0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di
atas permukaan laut.Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada
di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 18:45
Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Kabupaten Biak Numfor sebagai
salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan
dunia luar terutama negara-negara di kawasan Pasifik, Australia atau
Filipina. Letak geografis ini memberikan kenyataan bahwa posisinya
sangat strategis untuk membangun kawasan industri, termasuk industri
pariwisata.
Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans
Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di
wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara
rata‐rata 86,3%, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah Kabupaten
Biak Numfor termasuk kategori panas
2. Asal Usul Masyarakat Biak
Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal
tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor
adalah
Schouten
Eilanden,
menurut
nama
orang
Eropa
pertama
berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17.
Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk
penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem “w” pada
kata wiak sebenarnya berasal dari fonem “v” yang kemudian berubah menjadi
“b” sehingga muncullah kata Biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama
terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor,
dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung
antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah
dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk
Cenderawasih itu.2
Asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama
ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata “v” iak itu yang pada mulanya
merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang
bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut
mengandung “pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan”, “orangorang yang tidak pandai kelautan”, seperti misalnya tidak cakap menangkap
ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas
dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu
yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan.
Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina
golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai
sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut.3
2
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 20: 45
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 21:05
Pendapat lain, berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite,
yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang
meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen
Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat
meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di
suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari
pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka
menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas
permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau
`v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang
nama itulah yang tetap dipakai.4
Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah
dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak
pada tahun 1947.5 Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga
adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi
mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau
kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada
pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah.
4
Kamma 1978:29-33
5
De Bruijn 1965:87
Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli
Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan
pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan
daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor
pada tahun 1959.6
Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah
administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa
dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah
Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerahdaerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut.
3. Bentuk Pemerintahan
6
http://seputarbyak.blogspot.com/2013/06/sejarah-pulau-biak-kabupaten-biak-numfor.html
Bentuk Pemerintahan Biak sebelum dan setelah bersama Indonesia antara lain
sebagai berikut7 :
Sejarah Periode Tahun 1526 – 1616
Pada tahun 1526 Gubernur Portugis untuk Ternate Jorge de
Menezes berangkat dari Malaka menuju Ternate. Disebabkan badai,
kapalnya terdampar di Warsa Biak Utara. Selama 6 bulan ia tinggal di
Warsa (Desember 1526 - Mei 1527) menunggu cuaca yang baik dan di
bulan Mei 1527 ia berangkat meninggalkan Biak serta tiba di Ternate 31
Mei 1527.
a. Periode Tahun 1616 – 1919
Pada tahun 1616 Jacob Le Maire dan Willem Cornelizs Schoten yang
berlayar melewati Kepualauan Biak Numfor sehingga untuk pertama kali
disebut Schouten Eilanden.Pada periode ini juga tepatnya tanggal 26 April
1908 Pendeta F.J.F Fan Hasselt membuka Pos Zending pertama di Maudori
dengan menempatkan Guru Petrus Kafiar putra asli Maudori (Biak) yang
menjadi Guru Injil pertama di Irian Jaya, kemudian tempat ini diusahakan
pedagang Belanda (VOC) kerja sama dengan pedagang Cina sebagai tempat
pelabuhan Kapal Dagang VOC.
7
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/91/name/papua/detail/9106/biak-numfor
download Jumat , 23 Mei 2014, Jam 18:45
b. Periode Tahun 1919 – 1945
Periode ini kedudukan Anggraidi (Paray) sebagai pusat perdagangan
dan pemerintahan dipindahkan ke Bosnik sebagai pusat perdagangan dan
pemerintahan yang baru. Selanjutnya Bosnik merupakan ibukota pertama
daerah Biak Numfor hingga tahun 1945. Pada Bulan April 1942 pecah
Perang Dunia II.
Sebagai puncaknya tanggal 22 April 1944 tentara Sekutu merebut
kembali Hollandia (Jayapura) di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mc
Arthur dan mendarat di Biak pada tanggal 27 Mei 1944.
c. Periode 1945 – 1962
Dengan kemenangan Sekutu (1944 - 1945) kekuatan pada waktu
itu berada di tangan NICA (Netherlandsch Indies Civil Administration).
Setelah kekuasaan Sekutu berakhir daerah ini diserahkan kembali pada
Pemerintahan Hindia Belanda.
Mengingat letak Ibukota Pemerintahan di Bosnik kurang strategis
baik dari segi pengembangan maupun perluasan kota itu sendiri, di
samping fasilitas yang tersedia pada waktu itu tidak memadai bila
dibandingkan dengan fasilitas yang ditinggalkan oleh tentara Sekutu di
Nicakamp (Yendidori)8, maka pada tahun 1946 ibukota dipindahkan ke
Nicakamp. Tahun 1953 ibukota dipindahkan ke Biak sebagai ibukota
Order Afdeling Schouten Eilanden.
d. Periode 1963 – Sekarang
Berdasarkan resolusi yang diterima oleh PBB pihak Belanda
menyerahkan Irian Barat (Nederland New Guinea) pada UNTEA
(United Nation Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober
1962. Selanjutnya UNTEA menyerahkannya kepada Indonesia. Pada
tanggal 1 Mei 1963 jam 12.30 WIT, diadakan upacara penyerahan Irian
Barat dari UNTEA epada Pemerintah RI di depan Kantor Order
Afdeling Schouten Eilanden yang ditandai dengan penurunan bendara
UNTEA digantikan dengan pengibaran Bendera Merah Putih. Pada saat
yang sama penggantian peredaran uang Golden dengan Rupiah Irian
Barat (IBRP) dengan dibukanya peti uang IBRP oleh Lukas Rumkorem.
Tonggak sejarah lain dalam peristiwa penyerahan kedaulatan ini adalah
penanaman Pohon Beringin di depan Kantor Order Afdeling Schouten
Eilanden tepatnya di Lapangan Mandala Biak oleh HPB (Hoofd
Plaatselijk Bestuur) atau Kepala Pemerintahan Setempat Arnold
Mampioperr. Arnold Mampioperr putera Indonesia kelahiran Biak
8
Nama “Nicakamp” diperkirakan berasal dari penyebutan local atas “NICA Camp” yang adalah kamp pasukan
sekutu pada Perang Dunia II.
adalah HPB pertama di saat kedaulatan UNTEA ke Republik Indonesia
yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Daerah Biak.
Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan UU No.12 Tahun 1969
maka sampai dengan tahun 1984 kabupaten Biak Numfor sekarang
bernama Kabupaten Teluk Cenderawasih sebagai salah satu kabupaten
yang masih itu masih membawahi daerah Yapen waropen dan sebagaian
daeran Paniai.
Nama Kabupaten Teluk Cenderawasih pada tahun 184 diubah
dengan sebutan Kabupaten Biak Numfor berdasarkan SK Bupati Biak
Numfor Nomor 61 SK/VII/1984 tanggal 26 Juli1984.
4. Kedudukan Hukum Adat
Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada
kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen
konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan :
Negara mengakui hukum adat dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan diatas maka penulis ingin
melakukan penulisan skripsi ini dengan memberikan judul, ”Eksistensi Hukum
Adat melalui Peran Peradilan Adat di Kabupaten Biak Numfor”, dengan
maksud untuk mengemukan beberapa hal yang sangat penting untuk
mempertahankan dan memelihara keberadaan hukum adat Indonesia dengan
mengadakan penelitian-penelitian untuk mengukap beberapa hal yang
dipandang penting untuk menjadikannya sebagai hukum tertulis.
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka antara lain :
a. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak
tradisionalnya ;
b. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;
c. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
d. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsistusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan
penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
a. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat
b. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang.
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya
mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI
tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan
penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
(indigeneous people).
Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6
ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam
masyarakat
bersangkutan dengan
memperhatikan hukum
dan peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka
penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat
yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat,
tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas
Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam
ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian
harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan
ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata
dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan pasal
7 UU No. 12 Tahun 2011, maka tata urutan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-undang Dasar 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Undang-undang/ Perpu
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Propinsi
Peraturan Daerah Kota/ Kabupaten
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai
sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai
hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan,
putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.
5. Pengaruh Otonomi Khusus di Papua Terhadap Pengakuan Hukum Adat
Otonomi daerah dalam rangka percepatan pelayanan pemerintah guna
pencapaian kesejahteraan masyarakat belum bisa berjalan dengan baik karena
tidak dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan
pembenahan
sistem
birokrasi
yang
efisien.
Pemerintah
didesak
untuk
mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi mekanisme inplementasi UU No
21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.
Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkepanjangan
menumbuhkan sikap apatis dan disintegratif sebagian masyarakat Papua. Bila kita
melihat sejarah, konflik yang terjadi di Papua awalnya berupa konflik komunal
yang terjadi secara tradisi, yang timbul dari persaingan antarsuku dalam
memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik tradisi berkembang menjadi lebih
kompleks sejalan dengan proses depolitisasi elite masyarakat Papua dalam
memperebutkan posisi sosial politik. Keterbelakangan pendidikan, kemiskinan,
dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu konflik
baru di Papua. Isu-isu itu menjadi komoditas yang sangat mudah dikelola oleh
berbagai pihak, terutama yang berkaitan dalam penguasaan sumber daya alam.
Kompleksitas penanganan konflik yang lamban dan tidak mengena pada
akar masalah didalam penyelesaian sengketa didalah hukum adat menurut
masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor sendiri adalah undang-undang Tuhan,
yang menurut mereka diwariskan Tuhan kepada mereka dan dipercayai turuntemurun hingga saat ini adalah salah satu kepercayaan masyarakat adat asli
Kabupaten Biak Numfor. Ketika kita berbicara tentang adat maka kita berbicara
tentang Undang-Undang Tuhan, tampaknya hal ini turut dipengaruhi oleh
percampuran antara adat dengan kepercayaan agama Kristen yang masuk di Biak
sejak tahun 1908.9
Menurut narasumber, dalam kitab umat kristiani (Perjanjian Lama) semua
tertulis bahwa apa yang ditulis menjadi bagian yang sakral dimana perjanjian
lama memuat tentang aturan-aturan adat yang harus dan patut ditaati karena itu
adalah Undang-Undang Tuhan contoh dari Kitab Kejadian-Wahyu banyak sekali
yang menulis tentang adat itu sendiri, narasumber juga mengungkapkan bahwa
kalau yang menjadi bagian dari aturan sanksi hukum adat disampaikan dari awal
mulanya manusia orang Papua atau orang Biak itu berada, maka itu di pakai
9
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
sebagai aturan hukum, bagi siapa pelanggar hukum maka akan di berikan sanksi
adat.10 (dalam hal ini dikatakan bahwa Hukum Tuhan didalam perjanjian lama
dan perjanjian baru adalah bagian yang memuat segala aturan yang menjadi
kontrol agar manusia tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan orang
lain, dan ini menjadi bagian aturan-aturan adat yang apabila ada masyarakat adat
dalam hal ini masyarakat Kabupaten Biak yang melangggar maka dia akan
dikenakan sanksi adat.
Selama ini sanksi adat di Kabupaten Biak Numfor sudah berjalan hal ini
terlihat dengan sanksi adat yang diberikan dalam beberapa kasus yang
menyangkut pembunuhan, perzinahan dan pelanggaran norma-norma adat. Itu
semua merujuk pada sanksi hukum adat. Hasil wawancara dengan narasumber
juga terungkap bahwa masyarakat memilih menyelesaikan masalah dengan
hukum adat dikarenakan ada beberapa alasan yakni faktor keterbukaan dalam
penyelesaian sengketa, faktor kendala bahasa, faktor waktu dan tempat, faktor
kepastian dalam ganti rugi, dan faktor sosial budaya.11
a. Dasar-dasar terbentuknya Dewan Adat atau Peradilan Adat
Hukum adat telah lama berlaku sebagai satu-satunya sumber hukum
bagi masyarakat adat di Biak. Pada saat itu belum ada lembaga pemerintah
10
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak
11
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak
yang mewadahi atau mengakomodir permasalahan-permasalahan adat serta
tugas dan wewenang hakim adat yang telah dilantik sejak tahun 1950.
Kemudian pada tahun 2000 Dewan Adat Papua di Jayapura
membentuk dewan adat Biak Numfor dengan tujuan untuk mewadahi dan
mengakomodir permasalahan-permasalahan adat.
UU No. 21 Tahun 2001 BAB 14 pasal 50 ayat 1 dan 2 telah mengatur
dan mengakomodir fungsi tugas peradilan adat yang dipakai sebagai acuan
dasar untuk bekerja sesuai dengan peraturan, kewenangan sepenuhnya
kepada peradilan adat untuk mengadili seseorang baik itu dari suku-suku
asli maupun suku lain atau suku pendatang di Kabupaten Biak Numfor, jadi
apabila ada masalah adat yang terjadi pada suku asli di Biak dan datang
kepada dewan adat maka dewan adat akan menyelesaikan masalah
berdasarkan aturan adat yang berlaku.
Sejak tahun 1950 telah disahkan peraturan adat KKB (Kankain
Karkara Byak). Penelitian dokumentasi oleh Rapat Kerja Dewan Adat Biak
pada tahun 12-14 November 2002 menemukan adanya pengangkatan
hakim-hakim adat dan para kepala kampung pada tahun 1950 di wilayah
Biak untuk wilayah Biak Selatan. Dokumen-dokumen putusan pengadilan
adat juga telah tercatat sejak tahun 1953. Dalam dokumen KKB juga sudah
tertera secara eksplisit hakim-hakim/anggota-anggota Kankain Kakara
District pada tahun 1950. Adapun nama hakim-hakim tersebut sebagai
berikut:
1. Kornelia Kawer (Wanita Bosnik)
2. Willem Masosendifu (Kepala Seksi Yadibur)
3. Utrek Wompere (Kepala Sekolah Opyaref)
4. Paulus Morin (Kepala Kampung Mamoribo)
5. Yakob Ap (Kepala Kampung Swaipak)
6. Alexander Mansoben (Kepala Kampung Mansoben di Asbik)
7. Charles Morin (Kepala Kampung Wundi)
8. Yakob Mandibondibo (Kepala Kampung Sorido IV)
9. Hendrik Yarangga (Kepada Kampung Samber)
10. Hendrik Rumaropen (Kepala Kampung Ambroben)
11. Yakob Kafiar (Kepala Seksi Mokmer)
12. Hendrik Siambiak (Kepala Kampung Mokmer).12
b. Sanksi Hukum Adat
Sebagai ketentuan hukum dalam memvonis segala pelanggaran
hukum yang ada, dewan adat juga merujuk pada keputusan KKB ada
orang-orang tua dulu pada tahun 1950an sudah membuat keputusan KKB
tersebut.
Menurut narasumber, “Dalam KKB telah dijabarkan secara rinci
sanksi hukum adat bagi pelanggar-pelanggar hukum adat di Kabupaten
12
Lihat Dokumen KKB Tahun 1950.
Biak Numfor yang dapat dipegang sebagai dasar untuk mengambil
keputusan dalam menyelesaikan sengketa adat seperti pembunuhan,
perzinahan, sengketa tanah, pelanggaran norma adat, lakalantas, dll”13
Daftar sanksi tersebut dari Kankain Karkara Byak sebagai berikut:
Pasal 1
Bilamana ada seorang menjuruh seorang lain untuk memanjat
kelapa dan lain-lain akhirya jatuh dan itu mati, maka menurut hukum adat
orang biak maka yang menyuruh orang itu naik kelapa hingga jatuh mati,
wajib membayar denda babiak 200 barang.
Pasal 2
Bila mana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulang kakinya
patah pendek kata salah sebuah anggota tubuhnya luka parah dan akhirnya
sembuh, akan tetapi ia sendiri tak mampu mencari penghidupannya untuk
rumah tangganya, maka ia dikenakan babiak setinggi-tingginya 100 barang
campur (papus barbaren).
Pasal 3
Bilamana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulangnya patah,
akan tetapi kemudian sembuh dan ia dapat melakukan pekerjaannya lagi
maka ia harus membayar dan setinggi-tingginya 50 barang campur ( papus
barbaren).
Pasal 6 Bagian:
1. “Sasmerbin atau Samarmerbin”. Bila mana seorang perempuan
kawin dengan keridla hatinya dilarikan oleh aki-laki lain maka
segala mas kawinnya dikembalikan. (Bim befarbuk kwar boi
snon bese duni ma byuki: Irya ararem ro snon byuk beponya,
kyabri kayem)
2. Bila mana perempuan tersebut karena perbuatan lakinya tidak
baik, dilarikan laki-laki lain maka maskawinnya tidak
dikembalikan. (Bim befarbuk kwar ine, bur ra fyarbuk
13
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
bese/byuk snon babo, snar snon byuk beponya kenenm byedi
bye Irya araren snon byuk beponya kyaber ba)
3. Bila mana anak perempuan bujang dilarikan oleh seorang lakilaki maka dendanya dijatuhkan kepada laki-laki setinggitingginya 50(lima puluh) robena atau papus. (Imboi inai ingbor
ro snon I duni, Irya babyak parkara ya dado fa snon beyuni ya
isoine babyak babaya 50 robena ma papus)
4. Bila mana anak seorang anak perempuan balu dilarikan oleh
seorang laki-laki, maka dendanja dijatuhkan kepada laki-laki
tersebut per setinggi 30 robena atau papus. (Bim kabong snon ya
duni’fa byuki;Irya babyak ya baba byedya bye 30 robena ma
papus)
Pasal 7 Bagian:
1. Bilamana seorang perempuan kawin, lari dari lakinya maka segala
maskawin dikembalikan. (Bin befarbuk ibur swari:Irya ararem
snoni byuk darmu. Bin ine kyab’ri kayem be snon iburya)
2. Bila mana seorang perempuan tersebut lari dari lakinya karena
perbuatan lakinya tidak baik, maka maskawin tidak dikembalikan.
(Bin ibur snon byuk ya snar kenem snon byuk ya. Ibyeba:Irya
ararem snoni byuk darmi ya kyaberba)
3. Bila mana seorang perempuan bujang atau perempuan balu lari
dari kaum keluarganya akan membuktikan keridlaan hatinya maka
dalam hal ini “Babiak Mamia” tidak berlaku. (Inai igbor syae ma
ibur simam byesya fa dun snon kabor imarisem ya ma subuk su :
Irya babyak mamiyai oba)
Selain sanksi adat yang diatur dalam KKB, ada juga beberapa keputusankeputusan yang dibuat oleh masing-masing wilayah, yang kemudian keputusankeputusan tersebut menjadi sari hukum adat, sari hukum adat tersebut ditetapkan
sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah, tetapi acuannya tetap sama hanya
saja bentuk sanksinya dibedakan besar kecilnya sanksi hukum dipertimbangkan
oleh wilayah masing-masing, hal ini juga di sebut dengan fenomena nilai atau
variasi nilai sangsi adat berdasarkan masing-masing wilayah adat. Lembaga ini
tetap hidup bahkan sampai saat ini. 14
c. Penyelesaian Sengketa Adat
Sengketa adat dibedakan menjadi dua yakni antar lain :

Sengketa adat pidana : pembunuhan, pencurian,

Sengketa adat perdata : pelanggran hak-hak dasar, norma adat, dan
lain-lain.
Proses penyelesain sengketa juga perlu melihat KKB yang mengatur
penyelesain sengketa dimana nantinya ada pelaku dan korban atau orang –
orang yang bersengketa didalam persidangan yang akan dipimpin oleh hakim
yakni kepala suku untuk menyelesaikan perkara dan hakim akan mengambil
keputusan dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.15
d. Hakim Adat
Sanksi hukum adat yang dimaksud di atas keputusannya ditetapkan
oleh hakim adat. Hakim adat adalah seseorang yang dipercaya dan ditunjuk
langsung oleh masyarakat wilayah hukum adat tetentu menjadi mananwir atau
kepala suku. Hakim dalam peradilan adat sebagai pengambil keputusan tidak
14
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
15
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
dibedakan atau tidak ada perbedaan antara hakim untuk keputusan sengketa
pidana maupun sengketa perdata.16
Dalam proses peyelesaian sengketa adat hakim dituntut bijaksana
untuk menyelesaikan sengketa adat yang sedang diproses, ada 2 bagian
penting yang menjadi inti bagi seorang hakim adat yaitu :
(1) harus menegakkan hukum siapa pun pelanggar hukum maka wajib
dihukum.
(2) mengangkat harkat dan martabat serta hak asasi seseorang.
Hakim dalam membuat keputusan harus melihat status ekonomi
apakah orang yang dihukum statusnya mampu atau tidak, kalau tidak
mampu maka masih bisa diberikan kelonggaran mengingat hakim harus
menghargai hak asasi seseorang.17
Aturan-aturan yang mempertegas kedudukan peradilan adat selain
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001
kemudian bisa dilihat pada Perdasus No.20 Tahun 2008 baik asas, tujuan,
kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang dari peradilan adat di Papua pada
khsususnya di Kabupaten Biak Numfor yakni :
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Peradilan adat di Papua berasaskan :
a. kekeluargaan;
16
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
17
Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak.
b. musyawarah dan mufakat; dan
c. peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
a.
b.
c.
d.
e.
Pasal 3
Peradilan adat di Papua bertujuan :
sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan,
perlindungan,penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat
adat Papua dan bukan Papua
memperkokoh kedudukan peradilan adat;
menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan;
menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan
membantu pemerintah dalam penegakan hukum.
Kedudukan Peradilan Adat
Pasal 4
Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan
masyarakat adat Papua.
Tempat Kedudukan Pengadilan Adat
Pasal 5
(1) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat adat di Papua.
(2) Lingkungan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem
kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem
kepemimpinan campuran.
Tugas
Pasal 6
Pengadilan adat bertugas menerima dan mengurus perkara perdata adat dan
perkara pidana adat.
Fungsi
Pasal 7
Pengadilan adat berfungsi untuk :
a. penyelesaian perkara perdata adat dan perkara pidana adat; dan
b. melindungi hak-hak orang asli Papua dan bukan Papua.
Kewenangan
Pasal 8
(1) Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara perdata adat dan
perkara
pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua.
(2) Pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima dan
mengurus
(3)
(4)
(5)
(6)
perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan asli Papua jika ada
kesepakatan
di antara para pihak.
Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui kewenangan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan
negara.
Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan
atas
putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, pihak yang
berkeberatan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.
Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan
hukum
pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari
Ketua
Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan
Negeri
yang bersangkutan dengan tempat terjadi peristiwa pidana.
Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi keputusan
pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan
dapat
melakukan penyidikan dan penuntutan, dalam hal ini keputusan pengadilan adat
yang
bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara
yang
diajukan.
B. Analisis
Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan narasumber, penulis akan
menganalisis eksistensi peradilan adat Papua khususnya di Kabupaten Biak. Analisis ini
didasarkan pada rumusan masalah yaitu Bagaimana
eksistensi peradilan adat di
Kabupaten Biak Numfor dalam sistem hukum di Indonesia yakni :
1. Analisis Alat-Alat Perlengkapan Adat, Tugas Dalam Persekutuan Hukum
Adat dan Delik Adat
Ungkapan yang sangat terkenal dalam kajian hukum yang diperkenalkan
oleh Tullius Cicero (106-43 SM) Ubi Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat
disitu ada hukum). Ungkapan itu kemudian dikembangkan dan berlaku juga
kepada masyarkat adat “Dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan
adat”, karena setiap hukum membutuhkan peradilan. Teori ini juga berlaku di
Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan “dimana ada masyarakat adat disitu
ada peradilan adat “, di Kabupaten Biak Numfor dilingkungan masyarakat
adat ada peradilan adat yang berfungsi untuk menyelesaikan segala bentuk
perkara adat baik itu bentuk pidana adat atau perdata adat.
Hukum adat yang merupakan hukum kebiasaan yang mengandung unsur
regionalitas menurut Van Vollenhoven berdasarkan konsep atau teori ini juga
penulis mengasumsikan bahwa hukum adat di Kabupaten Biak Numfor yang
dipakai untuk mengatur masyarakat adat dan merupakan sumber hukum yang
kemudian tertulis didalam Kankain Karkara Byak adalah undang-undang
Tuhan karna bersumber dari kitab umat kristiani yang berkaitan dengan
aturan-aturan adat di Kabupaten Biak Numfor.
a. Alat Perlengkapannya dan Tugasnya Dalam Persekutuan Hukum
Adat
Penulis mencoba menganalisis berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Eugen Ehrlich sebagai das lebende recht atau the living law, ada 4
sifat alat perlengkapan persekutuan hukum di Indonesia :

Pemerintah adat dalam lingkungan masyarakat adat dalam hal ini
di Kabupaten Biak Numfor, dipimpin oleh Dewan adat atau
pemangku adat dalam hal ini ada yang lebih tinggi untuk
memimpin masyarakat setempat yakni oleh Kepala suku atau
ondoafi.

Putusan adat berkaitan dengan pembicaraan masalah perkawinan,
dan dalam rapat atau negosiasi tersebut biasanya pemangku adat
atau dewan adat mengatasnamakan keluarga.

Putusan Peradilan adat Kabupaten Biak Numfor bersifat mengikat
masyarakat lingkungan adat baik untuk masyarakat asli Biak
maupun pendatang. Putusan ini berkaitan dengan perkara pidana
adat dan perkara perdata adat dilingkungan masyarakat adat di
Kabupaten Biak Numfor.

Pengangkatan Kepala adat di Kabupaten Biak Numfor didasarkan
pada syarat-syarat yang ketat. Para ahli waris mendapatkan
prioritas menjadi kepala adat.
b. Delik Adat
Menurut pemahaman masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor delik
adat adalah setiap pelanggaran adat yang dilakukan oleh satu pihak baik itu
berkaitan dengan materi maupun non materi dengan pihak yang lain. Apabila
pelanggaran itu terjadi akan menimbulkan reaksi adat yaitu pembicaraan dalam
menyelesaikan perkara atau pelanggaran tersebut dengan cara penembusan adat
baik berupa barang atau uang untuk memperbaiki pelanggaran tersebut sehingga
ada keseimbangan.
Setiap orang yang berada dilingkungan masyarakat adat ada aturan-aturan
ada yang mengatur kehidupan kalau di Kabupaten Biak Numfor masyarakat adat
sangat mengetahui aturan-aturan adat yang ada pada Kankain Karkara Byak.
Peradilan adat menjadi lembaga yang sangat penting dilingkungan adat dalam
menyelesaikan segala perkara adat atau pelanggaran adat dilingkungan
masyarakat adat.
2. Analisis Berdasarkan Tata Aturan Perundang-Undangan
Dalam rangka mengatasi keingainan masyarakat Papua yang ingin
memisahkan diri dari NKRI, maka Pemerintah memberikan Otsus bagi Provinsi
Papua yang dimakasudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi
hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi,
peningkatan kesejahtraan, dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan
dan keseimbangan dengan kemajuan Propinsi lain.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian
kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur
dan mengurus sendiri didalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti
juga memiliki tanggungjawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
menyelenggarakan Pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di
Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai
bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-udangnan.
Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial dan
budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang
memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakiladat, agama, dan kaum
perempuan. Peran yang diberikan adalah ikut serta dalam merumuskan kebijakan
daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai keetaraan dan
keragaman kehidupan masyarakat Papua
dan pegakuan terhadap eksistensi hak
ulayat, masyakarakat adat, dan hukum adat.
Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat
dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001.
3. Perbandingan Undang-Undang Darurat No 1 Tahun 1951 dengan UndangUndang No. 21 Tahun 2001
No
1
Aspek
Keberadaan
UU Darurat No 1 Tahun 1951
UU No 21 Tahun 2001
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan
Peradilan
Peradilan Adat
Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan berdasarkan Pasal 50 ayat (2)
Adat
bahwa, pada saat yang berangsur- yakni :
angsur akan ditentukan oleh Menteri
Kehakiman, dihapuskan :
a.
b.
Segala Pengadilan Adat (Inhemse
Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd
(1) Kekuasaan kehakiman di
Provinsi
Papua
dilaksanakan oleh Badan
Peradilan sesuai dengan
peraturan
perundangundangan.
(2) Di samping kekuasaan
kehakiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),
diakui adanya peradilan
Gebied) kecuali peradilan Agama, jika
adat di dalam masyarakat
hukum adat tertentu.
peradilan itu menurut hukum yang
hidup
merupakan
suatu
bagian
tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi
menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat .
ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap
diperthankan.
Peradilan
yang
dilakukan oleh Hakim Swapraja dan
Hakim Adat yang telah dihapuskan itu
diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
2
Eksistensi
Peradilan Adat
Berdasarkan
ini,
peradilan
rechtspraak)
adat
tetap
Eksestensi Peradilan Adat
(inheemsche diakui dalam pasal 50 Undang-
dihapuskan
berangsur-angsur
namun
undang-undang
oleh
secara Undang Otonomi Khusus hasil
pemerintah, rekomendasi
mengakui
peradilan desa (dorpjustitie).
eksistensi Permusyawaratan
dalam
TAP
Majelis
Perwakilan
MPR
Nomor
IV/MPR/1999 yang mendorong
segera dibentuk Undang-Undang
Otonomi khusus bagi Papua yang
didalamnya mengatur wewenang
peradilan adat
3
Fungsi
Peradilan adat dalam Undang-Undang
Peradilan adat adalah peradilan
Darurat No 1 Tahun 1951 dihapus
perdamaian
tetap diakui fungsi dan wewenangnya
masyarakat hukum adat, yang
didalam kehidupan masyarakat adat.
mempunyai
memeriksa
sengketa
di
lingkungan
kewenangan
dan
perdata
mengadili
adat
dan
perkara pidana di antara para
warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan.
Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan
adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan; .memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan”.
Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem
peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil
(hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan
hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan.18
18
R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita, 1972),
hlm. 50-51.
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam
makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche
rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus
bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi
perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu,
peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah
dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah
“peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan
istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat
dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undangundang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat
mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam
masyarakat Indonesia saat ini. Dengan kata lain Undang-Undang No 21 Tahun
2001 memberikan makna baru terhadap lembaga peradilan di Papua saat ini.
Konsep ini sesuai pula dengan definisi peradilan adat yang dikembangkan
oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem
peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas
masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana
peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”19.
Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat adalah sistem
peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka peradilan adat
19
Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1.
mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan
tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat
setempat20.
Peradilan adat merupakan pranata atau perangkat hukum adat yang
keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi kesatuan masyarakat hukum
adat setempat21, sehingga termasuk sebagai entitas yang mendapat pengakuan dan
penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut
dalam kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang
hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili
perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
Perkara-perkara adat yang diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa
maupun pelanggaran hukum adat. Struktur, mekanisme, dan hukum yang
digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
adalah berdasarkan pada hukum adat setempat, sehingga mustahil dirumuskan
secara seragam mengenai struktur dan mekanisme peradilan adat yang hidup
20
Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong
Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: „Pemberdayaan Awig-awig Desa
Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6.
21
Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di
seluruh wilayah Indonesia.
Penting ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah
bagian dari sistem peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru
dari peradilan adat sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal
pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undangundang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta
pluralisme hukum22, ini merupakan kondisi dimana sebelum lahirnya UndangUndang No 21 Tahun 2001 namun dengan demikian dapat dilihat bahwa
meskipun bukan bagian dari sistem peradilan negara tetapi hidup dan diakui oleh
masyarakat ini disebabkan dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat itu, di samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga
berlaku sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk.
Untuk selanjutnya peradilan adat yang jika menurut Undang-Undang No 1
Tahun 1951 bukan bagian dari peradilan negara atau memperoleh pengakuan dari
negara dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 dan peradilan ini
berarti
Undang-Undang No 21 dan Perdasus telah mengakui fakta pluralisme hukum
tersebut dan diterima sebagai bagian dari sistem peradilan negara. Dengan
demikian dapat digambarkan dalam bentuk hirarki peraturan perundang-undangan
22
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku
di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal
Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of Legal
Pluralismm,1986), hlm. 1.
berkaitan dengan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia
yakni :
a. Gambar Piramida : kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di
Indonesia berdasar hirarki peraturan perundang-undangan
UUD
1945
Pasal
18B
Ayat
(2)
TAP MPR
Romawi III
Pasal 1
Ketetapan MPR
Nomor
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No 21 Tahun
2001
PERATURAN DAERAH
4. Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum
Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008
Indonesia
Kedudukan Peradilan Adat di Papua khususnya dalam hal ini di
Kabupaten Biak dapat dilihat dari budaya hukum yang bersumber dari aturanaturan adat yang hidup dari sejak zaman dulu hingga sekarang dan menjadi bagian
hukum yang mengatur cara hidup masyarakat kabupaten biak diluar hukum positif
yang sifatnya nasional dalam sistem hukum Indonesia.
Sebelum menganalisis kedudukan peradilan adat sebaiknya mengetahui
dan memahami terlebih dahulu bahwa kedudukan peradilan adat di Papua
khsususnya di Kabupaten Biak yang bersumber dari aturan-aturan adat tersebut,
dan Hukum adat keberadaanya diakui didalam walaupun hukum adat merupakan
sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat,
akan tetapi kebaradaanya sebagai sumber hukum positif sudah diakui oleh Negara
dalam
23
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah
memajukan kebudayaan Nasional”, maksud dari memajukan kebudayaan nasional
adalah bahwa simbol-simbol atau jaringan makna yang dipintalnya sendiri
(termasuk didalamnya hukum adat) diakui eksistensinya sebagai budaya bangsa
yang prospeknya menjamin dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Indonesia
umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan dalam hal ini di kabupaten Biak,
masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap
dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Pada dasarnya hukum adat
di Kabupaten Biak merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta
menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa
hukum adat bagi masyarakat Papua khsususnya di Kabupaten Biak hukum adat
23
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
merupakan faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat,
baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat.
Hukum adat di Kabupaten Biak biasa disebut Kankai Karkara Byak ini
menjadi acuan atau aturan bagi masyakarat kabupaten dalam menjalani kehidupan
diluar hukum yang berlaku secara nasional. Kedudukan Peradilan Adat
khsususnya di Kabupaten Biak mendapat pengakuan secara hukum dalam Pasal
24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kesempatan kepada
lembaga hukum lain yang berkaitan dengan kekuasaaan hukum lain diluar
lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan
mahkamah konstitusi dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak, dan Pasal 50
dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua
dan Pasal 4 Perdasus Papua No. 20 Tahun 2008 menjelaskan kekuasaan peradilan
mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain atau
Peradilan Adat dalam menyelesaikan sengketa adat atau perkara-perkara pindana
adat atau perdara adat.
Kedudukan Peradilan Adat berdasarkan Pasal 5 Perdasus No. 20 Tahun
2008 adalah di lingkungan masyarakat adat Papua berdasarkan sistem
kepemimpinan ondoafi, system kepemimpinan raja atau sistem kepemimpinan
pria berwibawa dan kepemimpinan campuran. Dalam hal ini peradilan adat
Kabupaten Biak berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Kabupaten Biak.
Berdasarkan Perdasus tersebut memeberi kekhususan bagi lembaga peradilan adat
untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan kehakiman hanya dilingkungan
masyarakat adat papua atau masyarakat kabupaten biak tidak untuk daerah lain di
Indonesia.
Peradilan Adat Kabupaten Biak berdasarkan hasil wawancara Bapak
Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak24
mengatakan bahwa “peradilan adat di Kabupaten Biak memiliki wewenang dalam
penyelesaian sengketa pidana adat dan perdata adat” berdasarkan Pasal 8
Perdasus No 20 Tahun 2008, dalam hal ini berkaitan dengan hasil wawancara
penulis menganalisis yang mana berkaitan wewenang kekuasaan kehakiman,
peradilan adat secara tidak langsung telah mengambil wewenang peradilan negara
ditingkat pertama yakni peradilan umum dalam menyelesaikan perkara pidana
dan perdata, atau dapat juga dikatakan bahwa ada lembaga lain yang memiliki
wewenang dan kedudukan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata
diluar peradilan negara sebelum peradilan umum ditingkat pertama yakni
peradilan adat. Jadi apabila perkara pidana atau perdata yang berkaitan dengan
masyarakat adat atau dengan masyararakat diluar adat maka diselesaikan dulu di
peradilan adat, dan apabila tidak dapat diselesaikan oleh peradilan adat atau
masyarakat yang bersengkata tidak puas dengan hasil dari putusan dari peradilan
adat dapat diselesaikan peradilan negara atau peradilan umum.
Dengan demikian melihat hasil penelitian terkait peradilan adat di
Kabupaten Biak dapat analsis dimulai berlakunya Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman Tahun 2004, prinsip peradilan negara sebagai satu-satunya lembaga
24
Wawancara : Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak
peradilan di wilayah Republik Indonesia masih dianut, seperti dituangkan melalui
Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah
peradilan negara dan ditetapkan denagn undang-undang”.
Peluang bagi diakuinya peradilan adat kembali tertutup setelah Undangundang Nomor 42 Tahun 2009 diberlakukan. Walaupun undang-undang baru ini
secara khusus mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam
satu pasal tersendiri, tetapi penyelesaian perkara yang diakui hanyalah alternatif
penyelesaian sengketa dan arbitrase. Istilah yang digunakan adalah “sengketa”
bukan lagi “perkara” sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, sehingga tidak sesuai dengan konsep
peradilan adat secara utuh, yang berwenang menyelesaikan perkara adat, baik
yang bersifat perdata maupun pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dalam undang-undang yang mengatur kekuasan kehakiman yang berlaku saat ini,
tidak ada pengakuan terhadap peradilan adat.
Pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat datang dari Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,
suatu undang-undang yang hanya berlaku lokal di wilayah Papua. Undang-undang
itu sendiri merupakan turunan dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur
pemerintahan daerah, dan Romawi III pasal 1 Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/2000 berkaitan dengan rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti
agar secepatnya merampungkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi
Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli
Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001
dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.
Pengakuan terhadap peradilan adat ditegaskan secara ekplisit dalam Pasal
50 undang-undang tersebut, yang menyatakan:
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan
Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tiga hal. Pertama, bahwa dalam
undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman yang kini berlaku eksistensi
peradilan adat tidak diakui; Kedua, saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan
perundang-undangan RI pada level undang-undang terkait dengan pengakuan
terhadap peradilan adat. Di satu sisi, peradilan adat diakui dalam undang-undang
yang berlaku lokal, sedangkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang
berlaku secara nasional, peradilan adat tidak mendapatkan pengakuan. Yang
ketiga, dengan begitu, arahan politik hukum pengakuan peradilan adat yang
diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) belum dijabarkan secara konsisten
dalam realita peraturan perundang-undangan Republik Indonesia pada level
undang-undang.
a. Perbandingan Peradilan Umum dan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di
Indonesia
No
Keterangan
Peradilan Adat
Peradilan Umum
Pasal 18B Ayat (2) UUD1945,
Pasal 50 dan 51 Undang- Undang
Peraturan Perudang-
No 21 Tahun 2001 tentang
Undang-Undang No. 48 Tahun
Undangan
Otonomi, Peraturan Khusus
2009
1
Propinsi Papua Nomor 20 Tahun
2008
Hakim adalah Manawir atau
2
Hakim
Pemangku Jabatan
Kepala Suku di Kabupaten Biak
Proses Penyelesaian pada ada
3
Proses Penyelesaian
Proses penyelesaian sengketa adat
pada proses persidangan dan
berdasarkan nilai-nilai adat atau
berdasarkan putusan dengan
kekelurgaan yang berlaku untuk
melihat tata aturan yang
menyelesaikan perkara pidana
berlaku di tingkat I dan
atau perdata didalam proses
ditingkat banding di
siding yang di pimpin oleh hakim
Pengadilan Tinggi dan
adat yakni kepala suku.
Peninjaun Kembali di
Mahkamah Agung
Pidana : Kurungan atau penjara
Sanksi Pidana atau Perdata yang
4
dan hukuman mati; Perdata
Sanksi
bersifat ganti rugi
berupa ganti rugi.
5. Faktor- faktor yang membuat masyarkat memilih penyelesaian masalah
dengan hukum adat
Berdasarkan hasil penelitian dengan pemangku adat di Kabupaten Biak
Numfor berkaitan dengan kencendrungan masyakrat adat di Biak lebih cendrung
memilih atau menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan berbagai macam
kasus pidana dan perdata, ini dikarekan antara lain :
a. Faktor Keterbukaan dalam proses penyelesaian
Berdasarkan
hasil
penelitian
dikatehui
bahwa,
masyarakat
memandang dalam proses penyelesai dengan menggunakan peradilan adat,
sanksi dan denda adat tidak hanya dijatuhkan seenaknya saja tetapi
berdasarkan fakta. Penerapan hukum adat dalam peradilan dat juga
disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum
itu diterapkan untuk menciptakan ketertiban, keadilan serta adanya
suasana damai dalam masyarakat.
Masyarakat juga memilih hukum adat atau peradilan adat selain
lebih melihat proses penyelesaian diperadilan umum atau proses
penyelesaian sampai ke Peradilan umum memakan cukup waktu lama
dengan prosedural yang cukup berbelit. Atau menjadi alasan juga banyak
pengaduan ditingkat kepolisian tetapi sedikit yang diselesaikan. Walaupun
kemudian pihak-pihak yang bersengketa merasa tidak puas dengan hasil
keputusan peradilan adat dapat mengajukannya keperadilan umum
berdasarkan amanah undang-undang otonomi khusus dan perdasus.
b. Faktor kendala bahasa
Masyakarat lebih memahami bahasa hukum adat dibanding dengan
bahsa hukum formal ini dikarenakan bahasa hukum adat lebih mudah
untuk dimengerti serta sesuai dengan budaya masyarakat di kabupaten
Biak Numfor
c. Faktor waktu dan tempat
Masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan menggunakan
peradilan adat, karena dianggap lebih cepat, dan tidak memakan waktu
yang lama, dan untuk Peradilan Adat tempatnya mudah dijangkau oleh
mereka yang bersengketa sehingga mereka lebih memilih peradilan adat
untuk menyelesaikan sengketa.
d. Faktor kepastian dalam ganti rugi
Adanya kepastian dalam ganti rugi ini yang membuat masyarakat
adat di kabupaten biak lebih memilih menyelesaikan masalah dengan
menggunakan peradilan adat. Ini berkaitan dengan sanksi adat berupa
denda atau ganti rugi. Sanksi berupa denda adat atau ganti rugi itu wajib
dipenuhi oleh pelaku kepada pihak korban.
e. Faktor Sosial Budaya
Masyarakat Adat di Kabupaten Biak lebih memilih penyelesaian
sengkata dengan menggunakan peradilan adat dikarenakan di peradilan
adat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada hidup didalam masyarakat,
dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat kabupaten biak ini
dikarenakan adanya budaya hukum yang akan menentukan seseorang itu
patuh atau tidak patuh terhadap peraturan adat yang ada.
6. Problematika Peradilan Adat
Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah
alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam
sistem peradilan nasional. Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk
menyelesaikan sengketa diperadilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan
atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat
yang bisa memaksakan penegakannya.
Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih
disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya.
Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam hubungannya dengan
masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat
dalam hal-hal tertentu Misalnya di bidang hukum dan peradilan, dengan
penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan
tercapainya kesejahteraan.
Upaya menemukan sebuah sistem hukum yang dapat menjamin secara
setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas sosial yang demikian
beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Tidak perlu
diragukan lagi bahwa peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali
lebih baik dari pada ketika orang datang kepada peradilan formal.
Sudah menjadi pemahaman masyarakat peradilan adat bahwa beracara di
peradilan adat lebih mudah diakses oleh masyarakat, cepat dan biayanya murah,
sedangkan peradilan formal yang harus mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan
hukum yang lebih panjang, hal ini membuat peradilan adat cenderung dapat lebih
cepat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditanganinya.
Hal yang lain adalah peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga
professional yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim.
Melainkan dijalankan oleh pimpinan-pimpinan atau orang-orang tertentu yang
dipandang memahami adat didalam masyarakat yang juga memiliki profesi atau
pekerjaannya sendiri-sendiri. Jadi hakim atau pelaksana peradilan adat bukan
orang yang menggantungkan hidupnya pada bekerjanya peradilan adat, melainkan
karena tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Hal ini dapat menghindari
terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus di peradilan adat.
Kelebihan
lain
dari
peradilan
adat
adalah
tujuannya
untuk
menyeimbangkan situasi sosial yang terganggu karena adanya suatu tindakan
yang melanggar hukum adat. Oleh karena itu, pada umumnya sanksi adat
bukanlah sebagai bentuk pembalasan, tetapi sebagai upaya untuk menormalkan
keadaan sosial menjadi harmoni sepertisebelumnya. Tidak salah kemudian sanksi
dalam persidangan adat berupaya menjadi alat untuk mendamaikan para pihak
yang berperkara.
Namun bukan berarti peradilan adat tidak punya masalah atau tantangan
dalam pelaksanaannya. Tantangan pertama, masalah utama adalah persoalan
pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan adat. Isu soal pengawasan itu penting
supaya tidak ada orang diadili secara sewenang-wenang atau karena
ketidaksukaan yang tidak beralasan darisuatu kelompok dominan terhadap
kelompok minoritas di dalam masyarakat. Memang salah satu basis utama
peradilan adat adalah tanggungjawab dari pimpinan dan pemangku adat. Namun
tidak berarti bahwa pimpinan dan pemangku adat selalu benar. Kalau mau jujur,
di beberapa tempat terdapat pimpinan adat yang memanfaatkan otoritasnya untuk
memperkaya diri sendiri dan terkadang dapat menghilangkan tanggungjawabnya
sebagai Kepala Adat memilih untuk kepentingan diri sendiri.
Tantangan kedua dalam menjalankan peradilan adat adalah persoalan
yurisdiksi peradilan adat. Yurisdiksi atau lingkup kewenangan hukum dari
peradilan adat mencakup pertanyaan (1) perkara apa saja yang dapat diadili di
peradilan adat dan (2) peradilan adat dapat diterapkan terhadap orang dari luar
masyarakat adat itu sendiri atau tidak. Secara sekilas tentu dua pertanyaan itu
mudah dijawab.
Namun bila ditelisik lebih jauh dan dalam, maka ada pertanyaan turunan,
misalkan apakah peradilan adat juga akan menangani kasus pembunuhan, korupsi
atau tindakan-tindakan yang baru dikenal sebagai kejahatan oleh masyarakat.
Tentang pertanyaan kedua misalkan apakah peradilan adat juga punya
kewenangan untuk mengadili perusahaan atau pemerintah yang melakukan
pelanggaran di wilayah mereka. Dan, seberapa efektifkah peradilan adat
diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat.
Tantangan ketiga adalah mengatasi masalah ketidakadilan dari struktur adat
yang telah melembaga. Pada beberapa komunitas masyarakat adat terlalu bias
laki-laki dan membungkam suara perempuan dalam pengambilan keputusan.
Dominasi elit dalam kelembagaan adat juga mempengaruhi bagaimana peradilan
adat dapat bekerja untuk mendatangkan keadilan bagi pihak yang lemah di dalam
komunitas.
Tantangan keempat adalah birokratisasi peradilan adat. Penerimaan
pemerintah terhadap keberadaan peradilan adat sebagai salah satu mekanisme
penyelesaian perkara yang dihadapi oleh masyarakat biasanya diikuti dengan
mengadopsi nilai dan standar-standar yang perlu diikuti oleh para pemangku adat
yang menyelenggarakan peradilan adat. Ketergantungan para pemangku peradilan
adat terhadap pemerintah mengurangi kemandirian dari institusi peradilan adat
dalam menyelesaikan perkara yang mempertemukan masyarakat adat dengan
pemerintah. Oleh karena itu, perlu meletakan kedudukan peradilan adat bukan
sebagai kepanjangantangan dari pemerintah, melainkan sebagai kenyataan yang
menunjukan bahwa terdapat hukum yang hidup di dalam masyarakat
Cara institusional dilakukan dengan fomalisasi atau legalisasi keberadaan
peradilan adatdalam kebijakan maupun peraturan negara. Cara ini merupakan
bagian untuk pengakuan terhadap hukum adat. Upaya ini berbarengan dengan
pengakuan terhadap peranan lembaga adat dan bahkan tentang pemerintahan
berbasis adat. Dengan cara ini, peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan
tangan negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang
dihadapi oleh masyarakat. Karena itu, biasanya ia membutuhkan legalisasi apakah
itu melalui peraturan daerah, keputusan ketua pengadilan atau dengan
kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum.
Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata
cara dalam melaksanakan peradilan adat sebab telah mulai mengadopsi nilai-nilai
dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin peradilan adat
mengikuti standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal, misalkan
berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence ) maupun
persamaan dihadapanhukum (equality before the law ) yang umum dikenal dalam
praktik peradilan.
Upaya untuk melegalisasi lembaga peradilan adat terbuka pada
inisiatif perundang-undangan yang sedang berlangsung, misalkan dengan bentuk
pengakuan secara legal didalam Undang-Undang Kehakiman dimana Peradilan
Adat menjadi bagian dari lingkungan peradilan yang diakui didalam sistem
hukum di Indonesia, serta dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak
Masyarakat Adat yang sekarang sedang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR, atau
dalam RUU Desa yang sedang dibahas pada Komisi II DPR. Selain pada level
nasional, pada level daerah dapat didorong peraturan daerah, keputusan kepala
daerah maupun kesekapatan-kesepakatan antara berbagai pihak, terutama antara
lembaga adat dengan aparat penegak hukum untuk menggunakan peradilan adat
sebagai bagian penting dalam upaya memudahkan akses masyarakat terhadap
keadilan. Cara formalisasi lain yang dapat dilakukan bukan dengan melegalisasi
struktur kelembagaan peradilan adat, tetapi melegalisasi putusan-putusan yang
dikeluarkanoleh peradilan adat.
Dengan pendekatan ini maka negara tidak perlu ambil pusing dengan
struktur peradilan adat, termasuk tidak perlu pusing dengan berapa jumlah orang
yang terlibat dalam peradilan, apakah pimpinan acara sidang dipimpin oleh orang
yang disebut hakim atau dengan nama lokal. Inti dari pendekatan formal yang
kedua ini lebih berorientasi pada hasil yang dibuat dari peradilan adat. Putusan
peradilan adat tersebut kemudian dicatatatkan oleh hakim yakni kepala adat atau
orang-orang yang berada di struktur pimpinana adat. Cara ini juga memiliki
kontribusi agar ikut „mendidik‟ hakim muda ikut terlibat dengan hukum yang
berlaku di dalam masyarakat.
Pengadilan negeri yang mengadili perkara yang telah ditangani oleh
peradilan adat dapat mengundang hakim-hakim peradilan adat untuk menjadi ahli
di persidangan. Putusan-putusan peradilan adat dikumpulkan dalamsebuah
dokumen
yang
menjadi
bahan
kajian
kalangan
akademisi.
Dengan
menjadikanbahan kajian oleh akademisi, maka diharapkan hukum adat akan lebih
jauh berkembangkarena menjadi persoalan yang diteliti dan didiskusikan.
Cara lain untuk memperkuat peradilan adat adalah cara non-institusional.
Dengan kata lain, cara ini tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengakuan
dari negara terhadap keberadaan peradilan adat. Pendekatan kedua ini lebih
mengutamakan adanya kesadaran masyarakat untuk memilih datang ke peradilan
adat dari pada datang ke pengadilan negara. Untuk menciptakan keberlangsungan
peradilan adat akan sangat ditentukan dari putusan-putusan yang dihasilkannya.
Semakin adil, dapat diterima dan semakin mudah, maka peradilan adat akan
semakin kuat. Tantangan dalam melakukan pendekatan ini adalah konsistensi
masyarakat adat dan keberlanjutan lembaga peradilan adat. Penguatan kapasitas
dan keberlanjutan peradilan adat pada generasi berikutnya merupakan faktor
kunci untuk cara ini.
Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua merupakan suatu dinamika tersendiri dalam peraturan perundangundangan Republik Indonesia yang memberi harapan bahwa di masa depan
eksistensi peradilan adat akan diakui secara nasional. Bandul politik hukum
nasional tampaknya mengarah kepada pengakuan eksplisit terhadap peradilan adat
yang ada dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan
tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Namun demikian, penting diingatkan bahwa peradilan adat adalah suatu
sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang juga melaksanakan fungsi
kekuasaan kehakiman. Dari perspektif ini, idealnya di masa depan masalah
peradilan adat semestinya juga diatur dalam undang-undang tentang kekuasaan
kehakiman sehingga terjadi konsistensi antara undang-undang yang mengatur
tentang peradilan dengan undang-undang lainnya yang juga mengatur peradilan
adat. Agar politik hukum kekuasaan kehakiman dapat mengakomodasi pengakuan
terhadap peradilan adat, maka revisi terhadap Undang-undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman relevan dilakukan.
Download