BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil penelitan ini dan analisis tersebut disusun mengacu pada konsep-konsep yang telah dituangkan pada BAB II, dan data Bab III ini diperoleh wawancara dengan pemangku jabatan di Dewan Adat Biak, dan sumber-sumber lainnya yang kemudian dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau bukubuku yang menunjang penulisan skripsi ini, A. Hasil Peneltian 1. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil, yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil, termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua.1 Kabupaten Biak Numfor terletak di Teluk Cenderawasih pada titik 0°21'-1°31' LS, 134°47'-136°48' BT dengan ketinggian 0 - 1.000 meter di atas permukaan laut.Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung dengan 1 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 18:45 Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Kabupaten Biak Numfor sebagai salah satu tempat yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan dunia luar terutama negara-negara di kawasan Pasifik, Australia atau Filipina. Letak geografis ini memberikan kenyataan bahwa posisinya sangat strategis untuk membangun kawasan industri, termasuk industri pariwisata. Berdasarkan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Kelas I Frans Kaisiepo Biak pada tahun 2011 dilaporkan bahwa suhu udara rata‐rata di wilayah Kabupaten Biak Numfor adalah 27,1 C dengan kelembaban udara rata‐rata 86,3%, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah Kabupaten Biak Numfor termasuk kategori panas 2. Asal Usul Masyarakat Biak Pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem “w” pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem “v” yang kemudian berubah menjadi “b” sehingga muncullah kata Biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu.2 Asal-usul nama serta arti kata tersebut ada beberapa pendapat. Pertama ialah bahwa nama Biak yang berasal dari kata “v” iak itu yang pada mulanya merupakan suatu kata yang dipakai untuk menamakan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedalaman pulau-pulau tersebut. Kata tersebut mengandung “pengertian orang-orang yang tinggal di dalam hutan”, “orangorang yang tidak pandai kelautan”, seperti misalnya tidak cakap menangkap ikan di laut, tidak pandai berlayar di laut dan menyeberangi lautan yang luas dan lain-lain. Nama tersebut diberikan oleh penduduk pesisir pulau-pulau itu yang memang mempunyai kemahiran tinggi dalam hal-hal kelautan. Sungguhpun nama tersebut pada mulanya mengandung pengertian menghina golongan penduduk tertentu, nama itulah kemudian diterima dan dipakai sebagai nama resmi untuk penduduk dan daerah tersebut.3 2 3 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 20: 45 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Biak_Numfor download Kamis, 22 Mei 2014, Jam 21:05 Pendapat lain, berasal dari keterangan cerita lisan rakyat berupa mite, yang menceritakan bahwa nama itu berasal dari warga klen Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen. Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Demikianlah mereka berangkat, tetapi setiap kali mereka menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo nampak di atas permukaan laut. Keadaan ini menyebabkan mereka berkata, v`iak wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo dan hingga sekarang nama itulah yang tetap dipakai.4 Kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga Kainkain Karkara Biak pada tahun 1947.5 Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah. 4 Kamma 1978:29-33 5 De Bruijn 1965:87 Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.6 Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerahdaerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut. 3. Bentuk Pemerintahan 6 http://seputarbyak.blogspot.com/2013/06/sejarah-pulau-biak-kabupaten-biak-numfor.html Bentuk Pemerintahan Biak sebelum dan setelah bersama Indonesia antara lain sebagai berikut7 : Sejarah Periode Tahun 1526 – 1616 Pada tahun 1526 Gubernur Portugis untuk Ternate Jorge de Menezes berangkat dari Malaka menuju Ternate. Disebabkan badai, kapalnya terdampar di Warsa Biak Utara. Selama 6 bulan ia tinggal di Warsa (Desember 1526 - Mei 1527) menunggu cuaca yang baik dan di bulan Mei 1527 ia berangkat meninggalkan Biak serta tiba di Ternate 31 Mei 1527. a. Periode Tahun 1616 – 1919 Pada tahun 1616 Jacob Le Maire dan Willem Cornelizs Schoten yang berlayar melewati Kepualauan Biak Numfor sehingga untuk pertama kali disebut Schouten Eilanden.Pada periode ini juga tepatnya tanggal 26 April 1908 Pendeta F.J.F Fan Hasselt membuka Pos Zending pertama di Maudori dengan menempatkan Guru Petrus Kafiar putra asli Maudori (Biak) yang menjadi Guru Injil pertama di Irian Jaya, kemudian tempat ini diusahakan pedagang Belanda (VOC) kerja sama dengan pedagang Cina sebagai tempat pelabuhan Kapal Dagang VOC. 7 http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/91/name/papua/detail/9106/biak-numfor download Jumat , 23 Mei 2014, Jam 18:45 b. Periode Tahun 1919 – 1945 Periode ini kedudukan Anggraidi (Paray) sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan dipindahkan ke Bosnik sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan yang baru. Selanjutnya Bosnik merupakan ibukota pertama daerah Biak Numfor hingga tahun 1945. Pada Bulan April 1942 pecah Perang Dunia II. Sebagai puncaknya tanggal 22 April 1944 tentara Sekutu merebut kembali Hollandia (Jayapura) di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mc Arthur dan mendarat di Biak pada tanggal 27 Mei 1944. c. Periode 1945 – 1962 Dengan kemenangan Sekutu (1944 - 1945) kekuatan pada waktu itu berada di tangan NICA (Netherlandsch Indies Civil Administration). Setelah kekuasaan Sekutu berakhir daerah ini diserahkan kembali pada Pemerintahan Hindia Belanda. Mengingat letak Ibukota Pemerintahan di Bosnik kurang strategis baik dari segi pengembangan maupun perluasan kota itu sendiri, di samping fasilitas yang tersedia pada waktu itu tidak memadai bila dibandingkan dengan fasilitas yang ditinggalkan oleh tentara Sekutu di Nicakamp (Yendidori)8, maka pada tahun 1946 ibukota dipindahkan ke Nicakamp. Tahun 1953 ibukota dipindahkan ke Biak sebagai ibukota Order Afdeling Schouten Eilanden. d. Periode 1963 – Sekarang Berdasarkan resolusi yang diterima oleh PBB pihak Belanda menyerahkan Irian Barat (Nederland New Guinea) pada UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962. Selanjutnya UNTEA menyerahkannya kepada Indonesia. Pada tanggal 1 Mei 1963 jam 12.30 WIT, diadakan upacara penyerahan Irian Barat dari UNTEA epada Pemerintah RI di depan Kantor Order Afdeling Schouten Eilanden yang ditandai dengan penurunan bendara UNTEA digantikan dengan pengibaran Bendera Merah Putih. Pada saat yang sama penggantian peredaran uang Golden dengan Rupiah Irian Barat (IBRP) dengan dibukanya peti uang IBRP oleh Lukas Rumkorem. Tonggak sejarah lain dalam peristiwa penyerahan kedaulatan ini adalah penanaman Pohon Beringin di depan Kantor Order Afdeling Schouten Eilanden tepatnya di Lapangan Mandala Biak oleh HPB (Hoofd Plaatselijk Bestuur) atau Kepala Pemerintahan Setempat Arnold Mampioperr. Arnold Mampioperr putera Indonesia kelahiran Biak 8 Nama “Nicakamp” diperkirakan berasal dari penyebutan local atas “NICA Camp” yang adalah kamp pasukan sekutu pada Perang Dunia II. adalah HPB pertama di saat kedaulatan UNTEA ke Republik Indonesia yang pada waktu itu juga menjabat sebagai Ketua Dewan Daerah Biak. Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan UU No.12 Tahun 1969 maka sampai dengan tahun 1984 kabupaten Biak Numfor sekarang bernama Kabupaten Teluk Cenderawasih sebagai salah satu kabupaten yang masih itu masih membawahi daerah Yapen waropen dan sebagaian daeran Paniai. Nama Kabupaten Teluk Cenderawasih pada tahun 184 diubah dengan sebutan Kabupaten Biak Numfor berdasarkan SK Bupati Biak Numfor Nomor 61 SK/VII/1984 tanggal 26 Juli1984. 4. Kedudukan Hukum Adat Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui hukum adat dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan pada apa yang telah dikemukakan diatas maka penulis ingin melakukan penulisan skripsi ini dengan memberikan judul, ”Eksistensi Hukum Adat melalui Peran Peradilan Adat di Kabupaten Biak Numfor”, dengan maksud untuk mengemukan beberapa hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan hukum adat Indonesia dengan mengadakan penelitian-penelitian untuk mengukap beberapa hal yang dipandang penting untuk menjadikannya sebagai hukum tertulis. Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka antara lain : a. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ; b. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup; c. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan d. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. e. Diatur dalam undang-undang Dengan demikian konsistusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat: a. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat b. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi : (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat. Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Undang-undang Dasar 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Undang-undang/ Perpu Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden Peraturan Daerah Propinsi Peraturan Daerah Kota/ Kabupaten Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana. 5. Pengaruh Otonomi Khusus di Papua Terhadap Pengakuan Hukum Adat Otonomi daerah dalam rangka percepatan pelayanan pemerintah guna pencapaian kesejahteraan masyarakat belum bisa berjalan dengan baik karena tidak dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan pembenahan sistem birokrasi yang efisien. Pemerintah didesak untuk mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi mekanisme inplementasi UU No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua. Kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkepanjangan menumbuhkan sikap apatis dan disintegratif sebagian masyarakat Papua. Bila kita melihat sejarah, konflik yang terjadi di Papua awalnya berupa konflik komunal yang terjadi secara tradisi, yang timbul dari persaingan antarsuku dalam memperebutkan wilayah kekuasaan. Konflik tradisi berkembang menjadi lebih kompleks sejalan dengan proses depolitisasi elite masyarakat Papua dalam memperebutkan posisi sosial politik. Keterbelakangan pendidikan, kemiskinan, dan kesenjangan antara masyarakat lokal dan pendatang menjadi pemicu konflik baru di Papua. Isu-isu itu menjadi komoditas yang sangat mudah dikelola oleh berbagai pihak, terutama yang berkaitan dalam penguasaan sumber daya alam. Kompleksitas penanganan konflik yang lamban dan tidak mengena pada akar masalah didalam penyelesaian sengketa didalah hukum adat menurut masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor sendiri adalah undang-undang Tuhan, yang menurut mereka diwariskan Tuhan kepada mereka dan dipercayai turuntemurun hingga saat ini adalah salah satu kepercayaan masyarakat adat asli Kabupaten Biak Numfor. Ketika kita berbicara tentang adat maka kita berbicara tentang Undang-Undang Tuhan, tampaknya hal ini turut dipengaruhi oleh percampuran antara adat dengan kepercayaan agama Kristen yang masuk di Biak sejak tahun 1908.9 Menurut narasumber, dalam kitab umat kristiani (Perjanjian Lama) semua tertulis bahwa apa yang ditulis menjadi bagian yang sakral dimana perjanjian lama memuat tentang aturan-aturan adat yang harus dan patut ditaati karena itu adalah Undang-Undang Tuhan contoh dari Kitab Kejadian-Wahyu banyak sekali yang menulis tentang adat itu sendiri, narasumber juga mengungkapkan bahwa kalau yang menjadi bagian dari aturan sanksi hukum adat disampaikan dari awal mulanya manusia orang Papua atau orang Biak itu berada, maka itu di pakai 9 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak. sebagai aturan hukum, bagi siapa pelanggar hukum maka akan di berikan sanksi adat.10 (dalam hal ini dikatakan bahwa Hukum Tuhan didalam perjanjian lama dan perjanjian baru adalah bagian yang memuat segala aturan yang menjadi kontrol agar manusia tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan orang lain, dan ini menjadi bagian aturan-aturan adat yang apabila ada masyarakat adat dalam hal ini masyarakat Kabupaten Biak yang melangggar maka dia akan dikenakan sanksi adat. Selama ini sanksi adat di Kabupaten Biak Numfor sudah berjalan hal ini terlihat dengan sanksi adat yang diberikan dalam beberapa kasus yang menyangkut pembunuhan, perzinahan dan pelanggaran norma-norma adat. Itu semua merujuk pada sanksi hukum adat. Hasil wawancara dengan narasumber juga terungkap bahwa masyarakat memilih menyelesaikan masalah dengan hukum adat dikarenakan ada beberapa alasan yakni faktor keterbukaan dalam penyelesaian sengketa, faktor kendala bahasa, faktor waktu dan tempat, faktor kepastian dalam ganti rugi, dan faktor sosial budaya.11 a. Dasar-dasar terbentuknya Dewan Adat atau Peradilan Adat Hukum adat telah lama berlaku sebagai satu-satunya sumber hukum bagi masyarakat adat di Biak. Pada saat itu belum ada lembaga pemerintah 10 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak 11 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak yang mewadahi atau mengakomodir permasalahan-permasalahan adat serta tugas dan wewenang hakim adat yang telah dilantik sejak tahun 1950. Kemudian pada tahun 2000 Dewan Adat Papua di Jayapura membentuk dewan adat Biak Numfor dengan tujuan untuk mewadahi dan mengakomodir permasalahan-permasalahan adat. UU No. 21 Tahun 2001 BAB 14 pasal 50 ayat 1 dan 2 telah mengatur dan mengakomodir fungsi tugas peradilan adat yang dipakai sebagai acuan dasar untuk bekerja sesuai dengan peraturan, kewenangan sepenuhnya kepada peradilan adat untuk mengadili seseorang baik itu dari suku-suku asli maupun suku lain atau suku pendatang di Kabupaten Biak Numfor, jadi apabila ada masalah adat yang terjadi pada suku asli di Biak dan datang kepada dewan adat maka dewan adat akan menyelesaikan masalah berdasarkan aturan adat yang berlaku. Sejak tahun 1950 telah disahkan peraturan adat KKB (Kankain Karkara Byak). Penelitian dokumentasi oleh Rapat Kerja Dewan Adat Biak pada tahun 12-14 November 2002 menemukan adanya pengangkatan hakim-hakim adat dan para kepala kampung pada tahun 1950 di wilayah Biak untuk wilayah Biak Selatan. Dokumen-dokumen putusan pengadilan adat juga telah tercatat sejak tahun 1953. Dalam dokumen KKB juga sudah tertera secara eksplisit hakim-hakim/anggota-anggota Kankain Kakara District pada tahun 1950. Adapun nama hakim-hakim tersebut sebagai berikut: 1. Kornelia Kawer (Wanita Bosnik) 2. Willem Masosendifu (Kepala Seksi Yadibur) 3. Utrek Wompere (Kepala Sekolah Opyaref) 4. Paulus Morin (Kepala Kampung Mamoribo) 5. Yakob Ap (Kepala Kampung Swaipak) 6. Alexander Mansoben (Kepala Kampung Mansoben di Asbik) 7. Charles Morin (Kepala Kampung Wundi) 8. Yakob Mandibondibo (Kepala Kampung Sorido IV) 9. Hendrik Yarangga (Kepada Kampung Samber) 10. Hendrik Rumaropen (Kepala Kampung Ambroben) 11. Yakob Kafiar (Kepala Seksi Mokmer) 12. Hendrik Siambiak (Kepala Kampung Mokmer).12 b. Sanksi Hukum Adat Sebagai ketentuan hukum dalam memvonis segala pelanggaran hukum yang ada, dewan adat juga merujuk pada keputusan KKB ada orang-orang tua dulu pada tahun 1950an sudah membuat keputusan KKB tersebut. Menurut narasumber, “Dalam KKB telah dijabarkan secara rinci sanksi hukum adat bagi pelanggar-pelanggar hukum adat di Kabupaten 12 Lihat Dokumen KKB Tahun 1950. Biak Numfor yang dapat dipegang sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan sengketa adat seperti pembunuhan, perzinahan, sengketa tanah, pelanggaran norma adat, lakalantas, dll”13 Daftar sanksi tersebut dari Kankain Karkara Byak sebagai berikut: Pasal 1 Bilamana ada seorang menjuruh seorang lain untuk memanjat kelapa dan lain-lain akhirya jatuh dan itu mati, maka menurut hukum adat orang biak maka yang menyuruh orang itu naik kelapa hingga jatuh mati, wajib membayar denda babiak 200 barang. Pasal 2 Bila mana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulang kakinya patah pendek kata salah sebuah anggota tubuhnya luka parah dan akhirnya sembuh, akan tetapi ia sendiri tak mampu mencari penghidupannya untuk rumah tangganya, maka ia dikenakan babiak setinggi-tingginya 100 barang campur (papus barbaren). Pasal 3 Bilamana orang itu jatuh hingga luka parah atau tulangnya patah, akan tetapi kemudian sembuh dan ia dapat melakukan pekerjaannya lagi maka ia harus membayar dan setinggi-tingginya 50 barang campur ( papus barbaren). Pasal 6 Bagian: 1. “Sasmerbin atau Samarmerbin”. Bila mana seorang perempuan kawin dengan keridla hatinya dilarikan oleh aki-laki lain maka segala mas kawinnya dikembalikan. (Bim befarbuk kwar boi snon bese duni ma byuki: Irya ararem ro snon byuk beponya, kyabri kayem) 2. Bila mana perempuan tersebut karena perbuatan lakinya tidak baik, dilarikan laki-laki lain maka maskawinnya tidak dikembalikan. (Bim befarbuk kwar ine, bur ra fyarbuk 13 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak. bese/byuk snon babo, snar snon byuk beponya kenenm byedi bye Irya araren snon byuk beponya kyaber ba) 3. Bila mana anak perempuan bujang dilarikan oleh seorang lakilaki maka dendanya dijatuhkan kepada laki-laki setinggitingginya 50(lima puluh) robena atau papus. (Imboi inai ingbor ro snon I duni, Irya babyak parkara ya dado fa snon beyuni ya isoine babyak babaya 50 robena ma papus) 4. Bila mana anak seorang anak perempuan balu dilarikan oleh seorang laki-laki, maka dendanja dijatuhkan kepada laki-laki tersebut per setinggi 30 robena atau papus. (Bim kabong snon ya duni’fa byuki;Irya babyak ya baba byedya bye 30 robena ma papus) Pasal 7 Bagian: 1. Bilamana seorang perempuan kawin, lari dari lakinya maka segala maskawin dikembalikan. (Bin befarbuk ibur swari:Irya ararem snoni byuk darmu. Bin ine kyab’ri kayem be snon iburya) 2. Bila mana seorang perempuan tersebut lari dari lakinya karena perbuatan lakinya tidak baik, maka maskawin tidak dikembalikan. (Bin ibur snon byuk ya snar kenem snon byuk ya. Ibyeba:Irya ararem snoni byuk darmi ya kyaberba) 3. Bila mana seorang perempuan bujang atau perempuan balu lari dari kaum keluarganya akan membuktikan keridlaan hatinya maka dalam hal ini “Babiak Mamia” tidak berlaku. (Inai igbor syae ma ibur simam byesya fa dun snon kabor imarisem ya ma subuk su : Irya babyak mamiyai oba) Selain sanksi adat yang diatur dalam KKB, ada juga beberapa keputusankeputusan yang dibuat oleh masing-masing wilayah, yang kemudian keputusankeputusan tersebut menjadi sari hukum adat, sari hukum adat tersebut ditetapkan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah, tetapi acuannya tetap sama hanya saja bentuk sanksinya dibedakan besar kecilnya sanksi hukum dipertimbangkan oleh wilayah masing-masing, hal ini juga di sebut dengan fenomena nilai atau variasi nilai sangsi adat berdasarkan masing-masing wilayah adat. Lembaga ini tetap hidup bahkan sampai saat ini. 14 c. Penyelesaian Sengketa Adat Sengketa adat dibedakan menjadi dua yakni antar lain : Sengketa adat pidana : pembunuhan, pencurian, Sengketa adat perdata : pelanggran hak-hak dasar, norma adat, dan lain-lain. Proses penyelesain sengketa juga perlu melihat KKB yang mengatur penyelesain sengketa dimana nantinya ada pelaku dan korban atau orang – orang yang bersengketa didalam persidangan yang akan dipimpin oleh hakim yakni kepala suku untuk menyelesaikan perkara dan hakim akan mengambil keputusan dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.15 d. Hakim Adat Sanksi hukum adat yang dimaksud di atas keputusannya ditetapkan oleh hakim adat. Hakim adat adalah seseorang yang dipercaya dan ditunjuk langsung oleh masyarakat wilayah hukum adat tetentu menjadi mananwir atau kepala suku. Hakim dalam peradilan adat sebagai pengambil keputusan tidak 14 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak. 15 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak. dibedakan atau tidak ada perbedaan antara hakim untuk keputusan sengketa pidana maupun sengketa perdata.16 Dalam proses peyelesaian sengketa adat hakim dituntut bijaksana untuk menyelesaikan sengketa adat yang sedang diproses, ada 2 bagian penting yang menjadi inti bagi seorang hakim adat yaitu : (1) harus menegakkan hukum siapa pun pelanggar hukum maka wajib dihukum. (2) mengangkat harkat dan martabat serta hak asasi seseorang. Hakim dalam membuat keputusan harus melihat status ekonomi apakah orang yang dihukum statusnya mampu atau tidak, kalau tidak mampu maka masih bisa diberikan kelonggaran mengingat hakim harus menghargai hak asasi seseorang.17 Aturan-aturan yang mempertegas kedudukan peradilan adat selain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 kemudian bisa dilihat pada Perdasus No.20 Tahun 2008 baik asas, tujuan, kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang dari peradilan adat di Papua pada khsususnya di Kabupaten Biak Numfor yakni : ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Peradilan adat di Papua berasaskan : a. kekeluargaan; 16 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak. 17 Wawancara : Bpk.Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak. b. musyawarah dan mufakat; dan c. peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. a. b. c. d. e. Pasal 3 Peradilan adat di Papua bertujuan : sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan,penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua dan bukan Papua memperkokoh kedudukan peradilan adat; menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan; menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Kedudukan Peradilan Adat Pasal 4 Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat adat Papua. Tempat Kedudukan Pengadilan Adat Pasal 5 (1) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat adat di Papua. (2) Lingkungan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran. Tugas Pasal 6 Pengadilan adat bertugas menerima dan mengurus perkara perdata adat dan perkara pidana adat. Fungsi Pasal 7 Pengadilan adat berfungsi untuk : a. penyelesaian perkara perdata adat dan perkara pidana adat; dan b. melindungi hak-hak orang asli Papua dan bukan Papua. Kewenangan Pasal 8 (1) Pengadilan adat berwenang menerima dan mengurus perkara perdata adat dan perkara pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua. (2) Pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima dan mengurus (3) (4) (5) (6) perkara yang terjadi antara orang asli Papua dan bukan asli Papua jika ada kesepakatan di antara para pihak. Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara. Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya, pihak yang berkeberatan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri. Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadi peristiwa pidana. Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi keputusan pengadilan adat ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penuntutan, dalam hal ini keputusan pengadilan adat yang bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara yang diajukan. B. Analisis Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan narasumber, penulis akan menganalisis eksistensi peradilan adat Papua khususnya di Kabupaten Biak. Analisis ini didasarkan pada rumusan masalah yaitu Bagaimana eksistensi peradilan adat di Kabupaten Biak Numfor dalam sistem hukum di Indonesia yakni : 1. Analisis Alat-Alat Perlengkapan Adat, Tugas Dalam Persekutuan Hukum Adat dan Delik Adat Ungkapan yang sangat terkenal dalam kajian hukum yang diperkenalkan oleh Tullius Cicero (106-43 SM) Ubi Societas Ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Ungkapan itu kemudian dikembangkan dan berlaku juga kepada masyarkat adat “Dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan adat”, karena setiap hukum membutuhkan peradilan. Teori ini juga berlaku di Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan “dimana ada masyarakat adat disitu ada peradilan adat “, di Kabupaten Biak Numfor dilingkungan masyarakat adat ada peradilan adat yang berfungsi untuk menyelesaikan segala bentuk perkara adat baik itu bentuk pidana adat atau perdata adat. Hukum adat yang merupakan hukum kebiasaan yang mengandung unsur regionalitas menurut Van Vollenhoven berdasarkan konsep atau teori ini juga penulis mengasumsikan bahwa hukum adat di Kabupaten Biak Numfor yang dipakai untuk mengatur masyarakat adat dan merupakan sumber hukum yang kemudian tertulis didalam Kankain Karkara Byak adalah undang-undang Tuhan karna bersumber dari kitab umat kristiani yang berkaitan dengan aturan-aturan adat di Kabupaten Biak Numfor. a. Alat Perlengkapannya dan Tugasnya Dalam Persekutuan Hukum Adat Penulis mencoba menganalisis berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich sebagai das lebende recht atau the living law, ada 4 sifat alat perlengkapan persekutuan hukum di Indonesia : Pemerintah adat dalam lingkungan masyarakat adat dalam hal ini di Kabupaten Biak Numfor, dipimpin oleh Dewan adat atau pemangku adat dalam hal ini ada yang lebih tinggi untuk memimpin masyarakat setempat yakni oleh Kepala suku atau ondoafi. Putusan adat berkaitan dengan pembicaraan masalah perkawinan, dan dalam rapat atau negosiasi tersebut biasanya pemangku adat atau dewan adat mengatasnamakan keluarga. Putusan Peradilan adat Kabupaten Biak Numfor bersifat mengikat masyarakat lingkungan adat baik untuk masyarakat asli Biak maupun pendatang. Putusan ini berkaitan dengan perkara pidana adat dan perkara perdata adat dilingkungan masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor. Pengangkatan Kepala adat di Kabupaten Biak Numfor didasarkan pada syarat-syarat yang ketat. Para ahli waris mendapatkan prioritas menjadi kepala adat. b. Delik Adat Menurut pemahaman masyarakat adat di Kabupaten Biak Numfor delik adat adalah setiap pelanggaran adat yang dilakukan oleh satu pihak baik itu berkaitan dengan materi maupun non materi dengan pihak yang lain. Apabila pelanggaran itu terjadi akan menimbulkan reaksi adat yaitu pembicaraan dalam menyelesaikan perkara atau pelanggaran tersebut dengan cara penembusan adat baik berupa barang atau uang untuk memperbaiki pelanggaran tersebut sehingga ada keseimbangan. Setiap orang yang berada dilingkungan masyarakat adat ada aturan-aturan ada yang mengatur kehidupan kalau di Kabupaten Biak Numfor masyarakat adat sangat mengetahui aturan-aturan adat yang ada pada Kankain Karkara Byak. Peradilan adat menjadi lembaga yang sangat penting dilingkungan adat dalam menyelesaikan segala perkara adat atau pelanggaran adat dilingkungan masyarakat adat. 2. Analisis Berdasarkan Tata Aturan Perundang-Undangan Dalam rangka mengatasi keingainan masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI, maka Pemerintah memberikan Otsus bagi Provinsi Papua yang dimakasudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahtraan, dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Propinsi lain. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus sendiri didalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti juga memiliki tanggungjawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan Pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-udangnan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial dan budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakiladat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang diberikan adalah ikut serta dalam merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai keetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua dan pegakuan terhadap eksistensi hak ulayat, masyakarakat adat, dan hukum adat. Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001. 3. Perbandingan Undang-Undang Darurat No 1 Tahun 1951 dengan UndangUndang No. 21 Tahun 2001 No 1 Aspek Keberadaan UU Darurat No 1 Tahun 1951 UU No 21 Tahun 2001 Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Peradilan Peradilan Adat Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan berdasarkan Pasal 50 ayat (2) Adat bahwa, pada saat yang berangsur- yakni : angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan : a. b. Segala Pengadilan Adat (Inhemse Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd (1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan Gebied) kecuali peradilan Agama, jika adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat . ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri. 2 Eksistensi Peradilan Adat Berdasarkan ini, peradilan rechtspraak) adat tetap Eksestensi Peradilan Adat (inheemsche diakui dalam pasal 50 Undang- dihapuskan berangsur-angsur namun undang-undang oleh secara Undang Otonomi Khusus hasil pemerintah, rekomendasi mengakui peradilan desa (dorpjustitie). eksistensi Permusyawaratan dalam TAP Majelis Perwakilan MPR Nomor IV/MPR/1999 yang mendorong segera dibentuk Undang-Undang Otonomi khusus bagi Papua yang didalamnya mengatur wewenang peradilan adat 3 Fungsi Peradilan adat dalam Undang-Undang Peradilan adat adalah peradilan Darurat No 1 Tahun 1951 dihapus perdamaian tetap diakui fungsi dan wewenangnya masyarakat hukum adat, yang didalam kehidupan masyarakat adat. mempunyai memeriksa sengketa di lingkungan kewenangan dan perdata mengadili adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan; .memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan.18 18 R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita, 1972), hlm. 50-51. Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu, peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah “peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undangundang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Dengan kata lain Undang-Undang No 21 Tahun 2001 memberikan makna baru terhadap lembaga peradilan di Papua saat ini. Konsep ini sesuai pula dengan definisi peradilan adat yang dikembangkan oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”19. Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka peradilan adat 19 Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1. mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat20. Peradilan adat merupakan pranata atau perangkat hukum adat yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat setempat21, sehingga termasuk sebagai entitas yang mendapat pengakuan dan penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut dalam kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Perkara-perkara adat yang diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa maupun pelanggaran hukum adat. Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat setempat, sehingga mustahil dirumuskan secara seragam mengenai struktur dan mekanisme peradilan adat yang hidup 20 Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: „Pemberdayaan Awig-awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6. 21 Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di seluruh wilayah Indonesia. Penting ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah bagian dari sistem peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru dari peradilan adat sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undangundang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta pluralisme hukum22, ini merupakan kondisi dimana sebelum lahirnya UndangUndang No 21 Tahun 2001 namun dengan demikian dapat dilihat bahwa meskipun bukan bagian dari sistem peradilan negara tetapi hidup dan diakui oleh masyarakat ini disebabkan dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu, di samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga berlaku sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk. Untuk selanjutnya peradilan adat yang jika menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1951 bukan bagian dari peradilan negara atau memperoleh pengakuan dari negara dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 dan peradilan ini berarti Undang-Undang No 21 dan Perdasus telah mengakui fakta pluralisme hukum tersebut dan diterima sebagai bagian dari sistem peradilan negara. Dengan demikian dapat digambarkan dalam bentuk hirarki peraturan perundang-undangan 22 Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralismm,1986), hlm. 1. berkaitan dengan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia yakni : a. Gambar Piramida : kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan di Indonesia berdasar hirarki peraturan perundang-undangan UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) TAP MPR Romawi III Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor UNDANG-UNDANG Undang-Undang No 21 Tahun 2001 PERATURAN DAERAH 4. Kedudukan Peradilan adat di Kabupaten Biak dalam sistem hukum Peraturan Daerah Khusus Nomor 20 Tahun 2008 Indonesia Kedudukan Peradilan Adat di Papua khususnya dalam hal ini di Kabupaten Biak dapat dilihat dari budaya hukum yang bersumber dari aturanaturan adat yang hidup dari sejak zaman dulu hingga sekarang dan menjadi bagian hukum yang mengatur cara hidup masyarakat kabupaten biak diluar hukum positif yang sifatnya nasional dalam sistem hukum Indonesia. Sebelum menganalisis kedudukan peradilan adat sebaiknya mengetahui dan memahami terlebih dahulu bahwa kedudukan peradilan adat di Papua khsususnya di Kabupaten Biak yang bersumber dari aturan-aturan adat tersebut, dan Hukum adat keberadaanya diakui didalam walaupun hukum adat merupakan sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat, akan tetapi kebaradaanya sebagai sumber hukum positif sudah diakui oleh Negara dalam 23 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah memajukan kebudayaan Nasional”, maksud dari memajukan kebudayaan nasional adalah bahwa simbol-simbol atau jaringan makna yang dipintalnya sendiri (termasuk didalamnya hukum adat) diakui eksistensinya sebagai budaya bangsa yang prospeknya menjamin dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Indonesia umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan dalam hal ini di kabupaten Biak, masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Pada dasarnya hukum adat di Kabupaten Biak merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian adalah bahwa hukum adat bagi masyarakat Papua khsususnya di Kabupaten Biak hukum adat 23 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 merupakan faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat, baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat. Hukum adat di Kabupaten Biak biasa disebut Kankai Karkara Byak ini menjadi acuan atau aturan bagi masyakarat kabupaten dalam menjalani kehidupan diluar hukum yang berlaku secara nasional. Kedudukan Peradilan Adat khsususnya di Kabupaten Biak mendapat pengakuan secara hukum dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kesempatan kepada lembaga hukum lain yang berkaitan dengan kekuasaaan hukum lain diluar lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan mahkamah konstitusi dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak, dan Pasal 50 dan 51 Undang- Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan Pasal 4 Perdasus Papua No. 20 Tahun 2008 menjelaskan kekuasaan peradilan mengakui fungsi dan kedudukan peradilan adat diluar Badan Peradilan lain atau Peradilan Adat dalam menyelesaikan sengketa adat atau perkara-perkara pindana adat atau perdara adat. Kedudukan Peradilan Adat berdasarkan Pasal 5 Perdasus No. 20 Tahun 2008 adalah di lingkungan masyarakat adat Papua berdasarkan sistem kepemimpinan ondoafi, system kepemimpinan raja atau sistem kepemimpinan pria berwibawa dan kepemimpinan campuran. Dalam hal ini peradilan adat Kabupaten Biak berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Kabupaten Biak. Berdasarkan Perdasus tersebut memeberi kekhususan bagi lembaga peradilan adat untuk menjalankan wewenang atau kekuasaan kehakiman hanya dilingkungan masyarakat adat papua atau masyarakat kabupaten biak tidak untuk daerah lain di Indonesia. Peradilan Adat Kabupaten Biak berdasarkan hasil wawancara Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak24 mengatakan bahwa “peradilan adat di Kabupaten Biak memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa pidana adat dan perdata adat” berdasarkan Pasal 8 Perdasus No 20 Tahun 2008, dalam hal ini berkaitan dengan hasil wawancara penulis menganalisis yang mana berkaitan wewenang kekuasaan kehakiman, peradilan adat secara tidak langsung telah mengambil wewenang peradilan negara ditingkat pertama yakni peradilan umum dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata, atau dapat juga dikatakan bahwa ada lembaga lain yang memiliki wewenang dan kedudukan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata diluar peradilan negara sebelum peradilan umum ditingkat pertama yakni peradilan adat. Jadi apabila perkara pidana atau perdata yang berkaitan dengan masyarakat adat atau dengan masyararakat diluar adat maka diselesaikan dulu di peradilan adat, dan apabila tidak dapat diselesaikan oleh peradilan adat atau masyarakat yang bersengkata tidak puas dengan hasil dari putusan dari peradilan adat dapat diselesaikan peradilan negara atau peradilan umum. Dengan demikian melihat hasil penelitian terkait peradilan adat di Kabupaten Biak dapat analsis dimulai berlakunya Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, prinsip peradilan negara sebagai satu-satunya lembaga 24 Wawancara : Bapak Gerald Kafiar.A.Md.Pi - Ketua III Bidang Yudicatief Dewan Adat Biak peradilan di wilayah Republik Indonesia masih dianut, seperti dituangkan melalui Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan denagn undang-undang”. Peluang bagi diakuinya peradilan adat kembali tertutup setelah Undangundang Nomor 42 Tahun 2009 diberlakukan. Walaupun undang-undang baru ini secara khusus mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan dalam satu pasal tersendiri, tetapi penyelesaian perkara yang diakui hanyalah alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase. Istilah yang digunakan adalah “sengketa” bukan lagi “perkara” sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004, sehingga tidak sesuai dengan konsep peradilan adat secara utuh, yang berwenang menyelesaikan perkara adat, baik yang bersifat perdata maupun pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam undang-undang yang mengatur kekuasan kehakiman yang berlaku saat ini, tidak ada pengakuan terhadap peradilan adat. Pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat datang dari Undangundang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, suatu undang-undang yang hanya berlaku lokal di wilayah Papua. Undang-undang itu sendiri merupakan turunan dari Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur pemerintahan daerah, dan Romawi III pasal 1 Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 berkaitan dengan rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti agar secepatnya merampungkan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majeli Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan. Pengakuan terhadap peradilan adat ditegaskan secara ekplisit dalam Pasal 50 undang-undang tersebut, yang menyatakan: (1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tiga hal. Pertama, bahwa dalam undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman yang kini berlaku eksistensi peradilan adat tidak diakui; Kedua, saat ini terjadi inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan RI pada level undang-undang terkait dengan pengakuan terhadap peradilan adat. Di satu sisi, peradilan adat diakui dalam undang-undang yang berlaku lokal, sedangkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku secara nasional, peradilan adat tidak mendapatkan pengakuan. Yang ketiga, dengan begitu, arahan politik hukum pengakuan peradilan adat yang diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) belum dijabarkan secara konsisten dalam realita peraturan perundang-undangan Republik Indonesia pada level undang-undang. a. Perbandingan Peradilan Umum dan Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia No Keterangan Peradilan Adat Peradilan Umum Pasal 18B Ayat (2) UUD1945, Pasal 50 dan 51 Undang- Undang Peraturan Perudang- No 21 Tahun 2001 tentang Undang-Undang No. 48 Tahun Undangan Otonomi, Peraturan Khusus 2009 1 Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 Hakim adalah Manawir atau 2 Hakim Pemangku Jabatan Kepala Suku di Kabupaten Biak Proses Penyelesaian pada ada 3 Proses Penyelesaian Proses penyelesaian sengketa adat pada proses persidangan dan berdasarkan nilai-nilai adat atau berdasarkan putusan dengan kekelurgaan yang berlaku untuk melihat tata aturan yang menyelesaikan perkara pidana berlaku di tingkat I dan atau perdata didalam proses ditingkat banding di siding yang di pimpin oleh hakim Pengadilan Tinggi dan adat yakni kepala suku. Peninjaun Kembali di Mahkamah Agung Pidana : Kurungan atau penjara Sanksi Pidana atau Perdata yang 4 dan hukuman mati; Perdata Sanksi bersifat ganti rugi berupa ganti rugi. 5. Faktor- faktor yang membuat masyarkat memilih penyelesaian masalah dengan hukum adat Berdasarkan hasil penelitian dengan pemangku adat di Kabupaten Biak Numfor berkaitan dengan kencendrungan masyakrat adat di Biak lebih cendrung memilih atau menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan berbagai macam kasus pidana dan perdata, ini dikarekan antara lain : a. Faktor Keterbukaan dalam proses penyelesaian Berdasarkan hasil penelitian dikatehui bahwa, masyarakat memandang dalam proses penyelesai dengan menggunakan peradilan adat, sanksi dan denda adat tidak hanya dijatuhkan seenaknya saja tetapi berdasarkan fakta. Penerapan hukum adat dalam peradilan dat juga disesuaikan dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri, dimana hukum itu diterapkan untuk menciptakan ketertiban, keadilan serta adanya suasana damai dalam masyarakat. Masyarakat juga memilih hukum adat atau peradilan adat selain lebih melihat proses penyelesaian diperadilan umum atau proses penyelesaian sampai ke Peradilan umum memakan cukup waktu lama dengan prosedural yang cukup berbelit. Atau menjadi alasan juga banyak pengaduan ditingkat kepolisian tetapi sedikit yang diselesaikan. Walaupun kemudian pihak-pihak yang bersengketa merasa tidak puas dengan hasil keputusan peradilan adat dapat mengajukannya keperadilan umum berdasarkan amanah undang-undang otonomi khusus dan perdasus. b. Faktor kendala bahasa Masyakarat lebih memahami bahasa hukum adat dibanding dengan bahsa hukum formal ini dikarenakan bahasa hukum adat lebih mudah untuk dimengerti serta sesuai dengan budaya masyarakat di kabupaten Biak Numfor c. Faktor waktu dan tempat Masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan menggunakan peradilan adat, karena dianggap lebih cepat, dan tidak memakan waktu yang lama, dan untuk Peradilan Adat tempatnya mudah dijangkau oleh mereka yang bersengketa sehingga mereka lebih memilih peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa. d. Faktor kepastian dalam ganti rugi Adanya kepastian dalam ganti rugi ini yang membuat masyarakat adat di kabupaten biak lebih memilih menyelesaikan masalah dengan menggunakan peradilan adat. Ini berkaitan dengan sanksi adat berupa denda atau ganti rugi. Sanksi berupa denda adat atau ganti rugi itu wajib dipenuhi oleh pelaku kepada pihak korban. e. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Adat di Kabupaten Biak lebih memilih penyelesaian sengkata dengan menggunakan peradilan adat dikarenakan di peradilan adat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada hidup didalam masyarakat, dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat kabupaten biak ini dikarenakan adanya budaya hukum yang akan menentukan seseorang itu patuh atau tidak patuh terhadap peraturan adat yang ada. 6. Problematika Peradilan Adat Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem peradilan nasional. Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk menyelesaikan sengketa diperadilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat yang bisa memaksakan penegakannya. Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya. Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam hubungannya dengan masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat dalam hal-hal tertentu Misalnya di bidang hukum dan peradilan, dengan penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan tercapainya kesejahteraan. Upaya menemukan sebuah sistem hukum yang dapat menjamin secara setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas sosial yang demikian beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Tidak perlu diragukan lagi bahwa peradilan adat dapat memberikan sesuatu yang seringkali lebih baik dari pada ketika orang datang kepada peradilan formal. Sudah menjadi pemahaman masyarakat peradilan adat bahwa beracara di peradilan adat lebih mudah diakses oleh masyarakat, cepat dan biayanya murah, sedangkan peradilan formal yang harus mengikuti tahapan-tahapan pelaksanaan hukum yang lebih panjang, hal ini membuat peradilan adat cenderung dapat lebih cepat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditanganinya. Hal yang lain adalah peradilan adat dijalankan bukan oleh tenaga-tenaga professional yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan sebagai hakim. Melainkan dijalankan oleh pimpinan-pimpinan atau orang-orang tertentu yang dipandang memahami adat didalam masyarakat yang juga memiliki profesi atau pekerjaannya sendiri-sendiri. Jadi hakim atau pelaksana peradilan adat bukan orang yang menggantungkan hidupnya pada bekerjanya peradilan adat, melainkan karena tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Hal ini dapat menghindari terjadinya suap dalam menyelesaikan kasus di peradilan adat. Kelebihan lain dari peradilan adat adalah tujuannya untuk menyeimbangkan situasi sosial yang terganggu karena adanya suatu tindakan yang melanggar hukum adat. Oleh karena itu, pada umumnya sanksi adat bukanlah sebagai bentuk pembalasan, tetapi sebagai upaya untuk menormalkan keadaan sosial menjadi harmoni sepertisebelumnya. Tidak salah kemudian sanksi dalam persidangan adat berupaya menjadi alat untuk mendamaikan para pihak yang berperkara. Namun bukan berarti peradilan adat tidak punya masalah atau tantangan dalam pelaksanaannya. Tantangan pertama, masalah utama adalah persoalan pengawasan terhadap pelaksanaan peradilan adat. Isu soal pengawasan itu penting supaya tidak ada orang diadili secara sewenang-wenang atau karena ketidaksukaan yang tidak beralasan darisuatu kelompok dominan terhadap kelompok minoritas di dalam masyarakat. Memang salah satu basis utama peradilan adat adalah tanggungjawab dari pimpinan dan pemangku adat. Namun tidak berarti bahwa pimpinan dan pemangku adat selalu benar. Kalau mau jujur, di beberapa tempat terdapat pimpinan adat yang memanfaatkan otoritasnya untuk memperkaya diri sendiri dan terkadang dapat menghilangkan tanggungjawabnya sebagai Kepala Adat memilih untuk kepentingan diri sendiri. Tantangan kedua dalam menjalankan peradilan adat adalah persoalan yurisdiksi peradilan adat. Yurisdiksi atau lingkup kewenangan hukum dari peradilan adat mencakup pertanyaan (1) perkara apa saja yang dapat diadili di peradilan adat dan (2) peradilan adat dapat diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat itu sendiri atau tidak. Secara sekilas tentu dua pertanyaan itu mudah dijawab. Namun bila ditelisik lebih jauh dan dalam, maka ada pertanyaan turunan, misalkan apakah peradilan adat juga akan menangani kasus pembunuhan, korupsi atau tindakan-tindakan yang baru dikenal sebagai kejahatan oleh masyarakat. Tentang pertanyaan kedua misalkan apakah peradilan adat juga punya kewenangan untuk mengadili perusahaan atau pemerintah yang melakukan pelanggaran di wilayah mereka. Dan, seberapa efektifkah peradilan adat diterapkan terhadap orang dari luar masyarakat adat. Tantangan ketiga adalah mengatasi masalah ketidakadilan dari struktur adat yang telah melembaga. Pada beberapa komunitas masyarakat adat terlalu bias laki-laki dan membungkam suara perempuan dalam pengambilan keputusan. Dominasi elit dalam kelembagaan adat juga mempengaruhi bagaimana peradilan adat dapat bekerja untuk mendatangkan keadilan bagi pihak yang lemah di dalam komunitas. Tantangan keempat adalah birokratisasi peradilan adat. Penerimaan pemerintah terhadap keberadaan peradilan adat sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perkara yang dihadapi oleh masyarakat biasanya diikuti dengan mengadopsi nilai dan standar-standar yang perlu diikuti oleh para pemangku adat yang menyelenggarakan peradilan adat. Ketergantungan para pemangku peradilan adat terhadap pemerintah mengurangi kemandirian dari institusi peradilan adat dalam menyelesaikan perkara yang mempertemukan masyarakat adat dengan pemerintah. Oleh karena itu, perlu meletakan kedudukan peradilan adat bukan sebagai kepanjangantangan dari pemerintah, melainkan sebagai kenyataan yang menunjukan bahwa terdapat hukum yang hidup di dalam masyarakat Cara institusional dilakukan dengan fomalisasi atau legalisasi keberadaan peradilan adatdalam kebijakan maupun peraturan negara. Cara ini merupakan bagian untuk pengakuan terhadap hukum adat. Upaya ini berbarengan dengan pengakuan terhadap peranan lembaga adat dan bahkan tentang pemerintahan berbasis adat. Dengan cara ini, peradilan adat diposisikan sebagai perpanjangan tangan negara sekaligus sebagai institusi terdepan dalam menangani perkara yang dihadapi oleh masyarakat. Karena itu, biasanya ia membutuhkan legalisasi apakah itu melalui peraturan daerah, keputusan ketua pengadilan atau dengan kesepakatan antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum. Formalisasi lembaga adat ini akan mempengaruhi perubahan nilai dan tata cara dalam melaksanakan peradilan adat sebab telah mulai mengadopsi nilai-nilai dan tata cara peradilan formal. Hal ini dilakukan untuk menjamin peradilan adat mengikuti standar-standar yang umum dipakai oleh peradilan formal, misalkan berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence ) maupun persamaan dihadapanhukum (equality before the law ) yang umum dikenal dalam praktik peradilan. Upaya untuk melegalisasi lembaga peradilan adat terbuka pada inisiatif perundang-undangan yang sedang berlangsung, misalkan dengan bentuk pengakuan secara legal didalam Undang-Undang Kehakiman dimana Peradilan Adat menjadi bagian dari lingkungan peradilan yang diakui didalam sistem hukum di Indonesia, serta dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang sekarang sedang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR, atau dalam RUU Desa yang sedang dibahas pada Komisi II DPR. Selain pada level nasional, pada level daerah dapat didorong peraturan daerah, keputusan kepala daerah maupun kesekapatan-kesepakatan antara berbagai pihak, terutama antara lembaga adat dengan aparat penegak hukum untuk menggunakan peradilan adat sebagai bagian penting dalam upaya memudahkan akses masyarakat terhadap keadilan. Cara formalisasi lain yang dapat dilakukan bukan dengan melegalisasi struktur kelembagaan peradilan adat, tetapi melegalisasi putusan-putusan yang dikeluarkanoleh peradilan adat. Dengan pendekatan ini maka negara tidak perlu ambil pusing dengan struktur peradilan adat, termasuk tidak perlu pusing dengan berapa jumlah orang yang terlibat dalam peradilan, apakah pimpinan acara sidang dipimpin oleh orang yang disebut hakim atau dengan nama lokal. Inti dari pendekatan formal yang kedua ini lebih berorientasi pada hasil yang dibuat dari peradilan adat. Putusan peradilan adat tersebut kemudian dicatatatkan oleh hakim yakni kepala adat atau orang-orang yang berada di struktur pimpinana adat. Cara ini juga memiliki kontribusi agar ikut „mendidik‟ hakim muda ikut terlibat dengan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Pengadilan negeri yang mengadili perkara yang telah ditangani oleh peradilan adat dapat mengundang hakim-hakim peradilan adat untuk menjadi ahli di persidangan. Putusan-putusan peradilan adat dikumpulkan dalamsebuah dokumen yang menjadi bahan kajian kalangan akademisi. Dengan menjadikanbahan kajian oleh akademisi, maka diharapkan hukum adat akan lebih jauh berkembangkarena menjadi persoalan yang diteliti dan didiskusikan. Cara lain untuk memperkuat peradilan adat adalah cara non-institusional. Dengan kata lain, cara ini tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengakuan dari negara terhadap keberadaan peradilan adat. Pendekatan kedua ini lebih mengutamakan adanya kesadaran masyarakat untuk memilih datang ke peradilan adat dari pada datang ke pengadilan negara. Untuk menciptakan keberlangsungan peradilan adat akan sangat ditentukan dari putusan-putusan yang dihasilkannya. Semakin adil, dapat diterima dan semakin mudah, maka peradilan adat akan semakin kuat. Tantangan dalam melakukan pendekatan ini adalah konsistensi masyarakat adat dan keberlanjutan lembaga peradilan adat. Penguatan kapasitas dan keberlanjutan peradilan adat pada generasi berikutnya merupakan faktor kunci untuk cara ini. Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua merupakan suatu dinamika tersendiri dalam peraturan perundangundangan Republik Indonesia yang memberi harapan bahwa di masa depan eksistensi peradilan adat akan diakui secara nasional. Bandul politik hukum nasional tampaknya mengarah kepada pengakuan eksplisit terhadap peradilan adat yang ada dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, penting diingatkan bahwa peradilan adat adalah suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang juga melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman. Dari perspektif ini, idealnya di masa depan masalah peradilan adat semestinya juga diatur dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman sehingga terjadi konsistensi antara undang-undang yang mengatur tentang peradilan dengan undang-undang lainnya yang juga mengatur peradilan adat. Agar politik hukum kekuasaan kehakiman dapat mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat, maka revisi terhadap Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman relevan dilakukan.