Respon Anatomi Daun Dan Parameter Fotosintesis Tumbuhan Padi

advertisement
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Media (KAM) dan Kadar Air Relatif (KAR) Daun
Kebutuhan air pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim) dan C4
(Echnochloa dan bayam) dapat dipenuhi melalui tanah dengan jalan penyerapan
oleh akar, walaupun sebagian besar air akan dilepas ke udara dalam proses
transpirasi. Besarnya penyerapan air oleh tumbuhan dalam pot, ditandai dengan
penurunan kadar air media (KAM) tanam. Kandungan air pada tumbuhan akan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan salah satunya adalah kadar air tanah itu
sendiri.
Perlakuan cekaman kekeringan dengan menunda penyiraman dapat
menurunkan KAM tumbuhan (Gambar 4 atas). Penurunan KAM terus terjadi
sampai akhir perlakuan kekeringan yaitu 12 hari setelah perlakuan (HSP) pada padi
gogo, caisim, dan bayam, serta 14 HSP pada Echinochloa.
Padi gogo
40
Echinochloa
Caisim
Bayam
K A M (% )
30
20
10
0
0
4
8
12
Recovery
0
4
8
12
14
K A R (% )
100
80
60
40
20
0
Hari Setelah Perlakuan
0
4
8 12 14
Hari Setelah Perlakuan
Kontrol
0
4
8 12 14 16
Hari Setelah Perlakuan
0
4
8
12
14
Hari Setelah Perlakuan
Kekeringan
Gambar 4 Nilai rata-rata Kadar Air Media (KAM) (%) (Gambar atas), dan nilai rata-rata Kadar Air
relatif (KAR)(%) (Gambar bawah) padi gogo, cesim dan bayam pada 0-12 HSP dan
0-14 HSP (Echinochloa) dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
Umumnya tumbuhan uji sudah layu berat pada 12 HSP yang ditunjukkan
dengan nilai KAM secara berturut-turut pada padi gogo sebesar 15,93%, caisim
sebesar 15,93%, dan bayam sebesar 14,13%. Nilai KAM pada Echinochloa pada 12
HSP sebesar 14,13%, namun secara morfologi tumbuhan Echinochloa belum
24
nampak layu berat, sehingga perlakuan kekeringan dilanjutkan hingga 14 HSK
(Gambar 5C). Penurunan KAM secara nyata terjadi antara perlakuan kekeringan
dengan kontrol, namun terhadap jenis tumbuhan yang diamati tidak berbeda nyata
(P>0,05). Walaupun demikian KAM meningkat lagi setelah dilakukan penyiraman
kembali (Gambar 4 atas).
Penurunan KAM dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan aliran
air pada tumbuhan, sehingga terjadi defisit air dan gangguan fungsi fisiologis di
dalam sel tumbuhan. Aliran air ini terkait dengan potensial air, potensial osmotik
dan gradien tekanan. Ketika kandungan air tanah menurun, konduktivitas hidrolik
tanah juga akan menurun drastis. Penurunan ini terjadi karena adanya penguapan
akibat transpirasi. Pada tanah yang sangat kering, potensial air media akan
menurun di bawah titik layu permanen. Pada kondisi ini berarti potensial air tanah
lebih rendah dari atau sama dengan potensial osmotik tumbuhan, sehingga
tumbuhan tidak mampu mempertahankan tekanan turgor walaupun kehilangan air
lewat transpirasi berhenti (Tang et al. 2002).
Aliran air di tanah terjadi dalam bentuk aliran massa yang terjadi karena
adanya gradien tekanan. Air ini kemudian akan diserap oleh tumbuhan secara
osmosis melalui membran sel akar. Penyerapan air oleh akar terjadi karena adanya
gradien potensial osmotik ataupun gradien potensial air antara tumbuhan dan tanah
(Taiz dan Zeiger 2002). Perakaran yang lebih dalam akan meningkatkan
ketersediaan air dari proliferasi akar (berat akar persatuan volume tanah),
meningkatkan pengambilan air dari suatu satuan volume tanah sebelum terjadi
pelayuan permanen (Sharma dan Flotcher 2002).
A
B
C
D
Gambar 5 Morfologi tumbuhan percobaan pada hari 12 HSK. (A) padi gogo, (B) caisim,
(C) Echinochloa, dan (D) bayam . Tanda panah menunjukkan cekaman kekeringan.
25
Penurunan KAM akibat perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan
penurunan kadar air relatif (KAR) daun tumbuhan, walaupun pola penurunannya
agak berbeda (Gambar 4 bawah). KAM menurun sejak awal kekeringan, namun
penurunan KAR daun baru terlihat pada hari ke-8, walaupun tidak berbeda nyata (p
>0,05) antara perlakuan cekaman kekeringan dan kontrol. Penurunan ini terus
terjadi sampai hari terakhir perlakuan hari ke-12 untuk padi gogo, caisim, dan
bayam serta 14 HSP untuk echinochloa. Nilai KAR terendah daun pada padi gogo,
caisim, dan bayam berturut-turut sebesar 56,68%, 53,97%, dan 57,97%, sedangkan
echinochloa sebesar 63,25%.
Secara umum hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan tumbuhan
mengalami penurunan KAR di bawah 60%, kecuali pada echinochloa. Echinochloa
memiliki nilai KAR lebih tinggi dari pada ketiga tumbuhan uji (padi gogo, caisim,
dan bayam) pada 12 HSK. Hal ini kemungkinan terkait dengan karakteristik
echinochloa sebagai tumbuhan C4 yang dapat memanfaatkan air lebih efisisen.
Long (1999), menyatakan bahwa tumbuhan C4 cukup efisien dalam pemanfaatan
air. Echinochloa mengalami penurunan nilai KAR di bawah 60 % terjadi pada hari
ke-14 setelah perlakuan kekeringan yaitu sebesar 59,91% (Gambar 4 bawah).
Penurunan nilai KAR daun akan menyebabkan kehilangan turgor daun
sehingga akhirnya terjadi kelayuan, penutupan stomata, penurunan fotosintesis dan
mempengaruhi proses metabolisme dasar lainnya (Alfredo et al. 2000). Kehilangan
turgor akibat penurunan KAR daun berkaitan erat dengan kondisi air media tanam.
Pada kondisi normal, saat potensial air media lebih tinggi dari pada potensial air
tumbuhan, akar dapat menyerap air dengan baik. Proses ini berlangsung hingga
tekanan turgor bernilai positif pada jaringan tumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002).
Ketika cekaman kekeringan terjadi, saat KAM rendah, laju penyerapan air oleh
tumbuhan menurun dan akan menurunkan tekanan turgor sel.
Kadar air relatif daun yang menggambarkan status air daun merupakan
parameter ketahanan menghadapi cekaman kekeringan. Proses fotosintesis pada
sebagian besar tumbuhan akan mulai tertekan bila nilai KAR tumbuhan lebih
rendah dari 70 %, sehingga tumbuhan memerlukan pengaturan dalam tubuhnya
diantaranya dengan melakukan penutupan stomata (Quilambo 2004).
Penurunan KAR daun akan menurunkan konduktansi stomata daun dan
dengan perlahan akan menurunkan konsentrasi CO2 di dalam daun. Karena
26
penurunan konduktansi stomata menyebabkan penurunan konsentrasi CO2, dan
dengan sendirinya akan menurunkan laju fotosintesis (Lawlor 2002). Penurunan
konduktansi stomata ini terjadi pada tumbuhan untuk mengurangi kehilangan air
yang berlebihan akibat cekaman air yang terjadi (Tezara et al. 2002).
Rewatering
akan
mengembalikan
kondisi
KAM
sehingga
dapat
meningkatkan KAR daun dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan tumbuhan
kontrol setelah dua hari recovery (Gambar 4 atas dan bawah). Peningkatan
kandungan air tanah dapat mengurangi faktor cekaman yang disebabkan oleh
cekaman kekeringan dan dapat menurunkan kerusakan akibat cekaman yang
terjadi. Dengan sendirinya tumbuhan dapat tumbuh kembali dan terhindar dari
kerusakan akibat cekaman air (Marschner 1995).
Peningkatan KAR daun ini diperlukan untuk perbaikan tumbuhan dari
kerusakan akibat perlakuan cekaman kekeringan. Blanco-shanchez et al. (2002)
telah
melakukan penelitian
pada tumbuhan
Cistus
albidus
dan Cistus
monspeliensis. Pemberian air kembali pada tumbuhan yang mendapat perlakuan
kekeringan dapat meningkatkan KAR daun sampai mencapai nilai yang sama
dengan kontrol.
Parameter Fotosintesis
Perlakuan cekaman kekeringan beberapa hari menyebabkan penurunan
suplai CO2 yang berakibat pada penurunan laju fotosintesis yang dapat diamati
melalui parameter fotosintesis. Pada percobaan ini parameter fotosintesis yang
diamati meliputi; efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), pelepasan energi untuk
reaksi fotokimia atau photochemical quenching (qP), hasil quantum fotosintesis
(qY), dan pelepasan energi reaksi non fotokimia atau non photochemical quenching
(qN).
Perlakuan cekaman kekeringan tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap
nilai Fv/Fm, namun pada akhir cekaman (12 HSK) nilai Fv/Fm menurun cukup
besar terutama pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim). Nilai Fv/Fm pada
caisim saat 12 HSK menurun dari 0,70 menjadi 0,45 µmol m-2 s-1 dan padi gogo
dari 0,62 menjadi 0,43 µmol m-2 s-1 sedangkan Echinochloa dari 0,69 menjadi 0,59
µmol m-2 s-1 dan pada bayam penurunan Fv/Fm hanya terjadi sedikit (Gambar 6A).
27
Dari parameter fotosintesis yang diukur menunjukkan efisiensi fotosintesis
maksimum (Fv/Fm) cenderung menurun pada akhir perlakuan kekeringan (Gambar
6A), walaupun tidak berbeda nyata, namun kecenderungan penurunan lebih besar
pada tumbuhan C3 dibandingkan tumbuhan C4. Penurunan Fv/Fm diduga sebagai
akibat terjadinya kerusakan piranti fotosintesis, khususnya pada fotosistem II (PSII)
(Hamim 2005).
Cekaman kekeringan secara dramatis menurunkan parameter fotosintesis
qP. Penurunan qP terlihat nyata mulai hari ke-4 (caisim) dan hari ke-8 (padi gogo)
hingga 12 HSP (Gambar 6B). Pada akhir cekaman yaitu 12 HSP nilai qP pada
tumbuhan padi gogo, caisim, dan bayam berturut-turut dari: 0,32 µmol m-2 s-1, 0,30
µmol m-2 s-1, dan 0,54 µmol m-2 s-1 serta 14 HSP pada Echinochloa sebesar 0,30
µmol m-2 s-1 dibandingkan dengan rata-rata kontrol berturut-turut sebesar 0,83
µmol m-2 s-1, 0,81 µmol m-2 s-1, 0,86 µmol m-2 s-1, dan 0,81 µmol m-2 s-1.
Berdasarkan data parameter pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP)
menggambarkan bahwa telah terjadi penurunan laju fotosintesis (Pn) akibat
cekaman kekeringan. Penurunan qP pada tumbuhan C3 terjadi lebih besar dari pada
tumbuhan C4 (Gambar 6B). Hal tersebut menggambarkan bahwa pemanfaatan
energi hasil reaksi terang untuk reduksi karbon jauh lebih rendah pada tumbuhan
C3 dibanding tumbuhan C4 sebagai akibat cekaman kekeringan.
Cekaman kekeringan yang diberikan selama 12 hari telah menyebabkan
suplai air untuk menjaga tugiditas sel dan jaringan berkurang sehingga menurunkan
laju fotosintesis. Penurunan ini disebabkan terutama akibat suplai CO2 yang
berkurang akibat penutupan stomata (Cornic 2000). Pada keadaan ini pemanfaatan
energi dari reaksi terang untuk reaksi karbon menurun yang ditandai dengan
penurunan nilai qP (photochemical quenching). Penrunan qP hingga akhir periode
cekaman menandakan bahwa reaksi fotokimia fotosintesis semakin rendah dan
hampir mencapai nol. Hal ini berakibat pada terjadinya over reduksi pada
tumbuhan karena pemakaian ATP dan NADPH hasil reaksi terang tidak terjadi
(Subrahmanyam 2006).
Di lain pihak untuk menghindari terjadinya kerusakan akibat over reduksi,
energi hasil reaksi terang dimanfaatkan untuk proses non-photochemical quenching
(qN), yang dapat melepaskan kembali energi dalam bentuk panas. Hal tersebut
dapat dilihat dengan nilai qN yang justru meningkat dengan perlakuan kekeringan.
28
Peningkatan qN secara nyata mulai 4 HSP (padi gogo) dan 8 HSP (bayam) hingga
12 HSP. Pada akhir cekaman peningkatan qN tertinggi terjadi pada tumbuhan padi
gogo yaitu dari 0,24 hingga 0,69 µmol m-2 s-1 dan terendah pada Echinochloa yaitu
C
Bayam
Echinochloa
Caisim
0,6
0,4
0,2
0
q P (u m o l m -2 s -1 )
0
4
8
12
Recovery
0
4
8
12
Recovery
1
1
0,8
0,8
0,6
0,6
0,4
0,4
0,2
0,2
0
0
q N (u m o l m -2 s -1 )
B
Padi gogo
0,8
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Caisim
0
4
8
12
14
Recovery
0
4
8
12
Recovery
12
14
1
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
q Y ( u m o l m -2 s -1 )
A
F v /F m (u m o l m -2 s -1
dari 0,57 menjadi 0,62 µmol m-2 s-1 (Gambar 6C).
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0
4
8
12
0
4
8
12
Bayam
Recovery
0,6
D
0,4
0,2
0
Hari setelah Perlakuan
14
0
4
8
12
14
Hari setelah Perlakuan
Kontrol
0
4
8
12
14
Hari setelah Perlakuan
16
0
4
8
Hari Setelah Perlakuan
Kekeringan
Gambar 6 Parameter fotosintesis tumbuhan uji. (A) Efisiensi maksimum fotosintesis
(Fv/Fm), (B) pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP), (C) pelepasan
energi untuk reaksi non fotokimia (qN) ,dan (D) quantum Yield (qY) tumbuhan
padi gogo, caisim, Echinochloa dan bayam. Tanda panah menunjukkan titik
rewatering.
Mungkin penurunan qP dikompensasi dengan disipasi energi berupa panas melalui
proses non fotokimia (qN), sehingga nilai qN meningkat. Peningkatan qN ini
berfungsi sebagai kontrol balik terhadap kelebihan transpor elektron saat
fotosintesis. Proses disipasi energi berupa panas ini merupakan suatu mekanisme
pertahanan tumbuhan terhadap kerusakan piranti fotosintesis akibat cekaman
kekeringan (Pastenes et al. 2004).
Cekaman kekeringan juga menurunkan quantum Yield (qY) pada semua
tumbuhan yang diamati di akhir perlakuan. Penurunan qY terbesar pada padi gogo
29
dari 0,46 menjadi 0,05 µmol m-2 s-1 dan penurunan terkecil pada bayam dari 0,52
menjadi 0,20 µmol m-2 s-1 setelah 12 HSP kekeringan (Gambar 6D). Peningkatan
qN dan penurunan qP menyebabkan transfer elektron yang akan menghasilkan
energi dalam bentuk ATP dan NADPH atau quantum Yield (qY) menjadi
berkurang. Hal ini ditunjukkan pada Gambar (6D). Penurunan qY disebabkan
banyaknya energi yang dilepas dalam bentuk energi panas yang terkait dengan
perubahan gradien pH dan siklus xantofil (Horton dan Ruban 2004).
Rewatering selama 2 hari meningkatkan kembali laju fotosintesis pada
semua tumbuhan yang diamati dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan
kontrol pada 14 HSP (padi gogo, caisim, dan bayam), dan 16 HSP (Echinochloa).
Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan dapat recovery setelah cekaman air dan
peningkatan laju fotosintesis seiring dengan peningkatan KAR pada daun
tumbuhan yang diuji. Menurut Wang dan Huang (2004), rewatering sangat penting
untuk perbaikan fisiologi tumbuhan yang diberi perlakuan cekaman kekeringan dan
cekaman suhu tinggi. Tumbuhan memulai kembali aktifitas fisiologinya seperti
fotosintesis, stabilitas membran sel, dan aktifitas senyawa antioksidan. Semua
proses tersebut sangat penting bagi tumbuhan
untuk perbaikan dari cekaman
seperti kekeringan.
Kandungan Asam Askorbat (ASA)
Perlakuan cekaman kekeringan dapat menginduksi peningkatan kandungan
ASA pada semua tumbuhan kecuali bayam (Gambar 7). Kandungan ASA tertinggi
dijumpai pada echinochola sebesar 17,71 g/100g berat segar dan terendah pada
bayam sebesar 6,95 g/100g berat segar, sementara itu rata-rata nilai ASA dari
semua tumbuhan kontrol adalah 5,57 g/100g berat segar. Akumulasi ASA lebih
tinggi pada tumbuhan berdaun sempit dibanding tumbuhan berdaun lebar saat
mengalami cekaman kekeringan. Bahkan pada tumbuhan bayam akumulasi ASA
hampir tidak terjadi hingga pada akhir periode cekaman kekeringan. Kandungan
ASA daun kembali mengalami penurunan setelah penyiraman kembali.
A S A ( m g /1 0 0 g B S )
30
Echinochloa
Caisim
Padi gogo
Bayam
20
15
10
5
0
0
4
8 12 14
Hari setelah Perlakuan
0
4
8 12 14
Hari setelah Perlakuan
Kontrol
0
4 8 12 14 16
Hari setelah Perlakuan
Kekeringan
0
4
8
12 14
Hari setelah Perlakuan
Gambar 7 Kandungan asam askorbat padi gogo, caisim, dan bayam mulai 0 sampai 12 HSP dan
14 HSP Echinochloa dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
Perlakuan cekaman kekeringan pada tumbuhan uji dapat menginduksi
peningkatan kandungan ASA daun terutama pada tumbuhan berdaun sempit (Padi
gogo dan Echinochloa) mulai hari 8 HSP pada padi gogo dan 12 HSP pada
Echinochloa sampai akhir perlakuan kekeringan (Gambar 7). Peningkatan
kandungan ASA ini diduga berkaitan dengan tindakan penyelamatan tumbuhan
terhadap tingginya ROS terutama periode akhir cekaman. Peranan asam askorbat
(ASA) pada tumbuhan terutama diperlukan pada saat tumbuhan mengalami
cekaman oksidatif. Cekaman oksidatif dapat terjadi pada saat tumbuhan mengalami
cekaman kekeringan berat (Violita 2007). ASA digunakan sebagai senyawa
antioksidan yang dapat membantu mengubah senyawa oksidatif menjadi senyawa
yang tidak berbahaya bagi tumbuhan. ASA berkaitan dengan aktivitas enzim
askorbat peroksidase (APX) pada siklus askorbat-glutation. Pada siklus ini ASA
berperan sebagai senyawa yang ikut mengubah H2O2 menjadi H2O (Apel dan Hirt
2004).
ASA berperan sebagai agen reduksi yang dapat menetralisir spesies oksigen
reaktif (ROS) seperti hidrogen peroksida pada tumbuhan. Pembentukan senyawa
oksidatif pada tumbuhan diawali dengan reduksi oksigen pada membran sel
kloroplas membentuk ROS seperti; (O2-), H2O2 (Blokhina et al. 2003). Peningkatan
ROS dapat menimbulkan kerusakan pada komponen membran sel terutama pada
saat tumbuhan defisit air (Noctor dan Foyer 1998).
Walaupun demikian ASA bukan satu-satunya antioksidan pada tumbuhan,
seperti yang terjadi pada bayam. Bayam memiliki kandungan ASA lebih rendah
31
dibanding tanaman uji yang lainnya pada 12 HSP (Gambar 7). Hal ini menguatkan
dugaan bahwa mekanisme pertahanan tumbuhan dalam menghadapi cekaman
kekeringan melalui antioksidan mungkin dilakukan oleh enzim lain seperti
superoksida dismutase (SOD) atau glutation reduktase (GR). Kedua enzim ini juga
aktif terlibat dalam menanggulangi ROS dalam tumbuhan seperti pada kedelai
(Violita 2007).
Rewatering yang diberikan pada tumbuhan selama 2 hari, dapat
menurunkan kembali kandungan ASA daun sampai pada tingkat yang sama dengan
kontrol (Gambar 6). ASA terinduksi ketika tumbuhan kelebihan elektron karena
adanya ketidakseimbangan antara produksi NADPH oleh fotosistem I dengan
penggunaan NADPH pada siklus Calvin (Kuzniak et al. 2008). Penurunan
kandungan ASA setelah recovery
menandakan bahwa tumbuhan sudah mulai
mengalami perbaikan setelah diberikan perlakuan cekaman kekeringan. Pada
kondisi tersebut mungkin metabolisme yang terjadi pada tumbuhan sudah mulai
stabil.
Pertumbuhan Tanaman
Tinggi tumbuhan sebagai respon terhadap cekaman kekeringan
Perlakuan cekaman kekeringan dapat menekan pertumbuhan tinggi tajuk
semua tumbuhan yang diuji. Penghambatan pertumbuhan tinggi tajuk secara nyata
(p< 0,05) akibat cekaman kekeringan terjadi pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan
bayam), sedangkan tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim)) mengalami penurunan
yang tidak nyata (p>0,05) (Tabel 1). Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan
selama 12 hari menyebabkan penghambatan pertumbuhan. Perbedaan tinggi tajuk
antara perlakuan kekeringan dan kontrol paling besar terjadi pada echinochloa,
sedangkan terkecil terjadi pada padi gogo. Tinggi tajuk pada Echinochloa dan padi
gogo pada 12 HSP berturut-turut sebesar 149,7 cm dan 90,5 cm dibanding dengan
masing-masing kontrolnya berturut-turut sebesar 199 cm dan 98,5 cm (Tabel 1).
Proses pemanjangan dan perbesaran pada sel tumbuhan di antaranya
ditentukan oleh tekanan turgor. Hilangnya turgiditas dapat menghambat
pertumbuhan sel yang akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Hamim
32
2003). Ketika kekeringan semakin meningkat maka tumbuhan menyesuaikan diri
melalui proses fisiologi yang kemudian diikuti perubahan struktur morfologi
tumbuhan seperti layu, meningkatkan pertumbuhan akar dan menghambat
pertumbuhan pucuk. Pertumbuhan sel merupakan fungsi tumbuhan yang paling
sensitif terhadap kekurangan air. Nilai kandungan air jaringan meristem yang
rendah, seringkali menyebabkan penurunan kandungan air yang dibutuhkan untuk
pengembangan sel. Hal ini menyebabkan pengurangan dalam hal sintesis protein,
sintesis dinding sel, dan pengembangan sel (Sharma dan Flotcher 2002).
Tabel 1 Tinggi tajuk dan panjang akar tumbuhan padi gogo, caisim, Echinochloa, dan
bayam perlakuan kontrol (K0) dan cekaman kekeringan (K1) pada akhir perlakuan
Parameter
Perlakuan
Tumbuhan C3
Padi gogo
Caisim
Tumbuhan C4
Echinochloa
Bayam
Tinggi tajuk (cm)
K0
K1
98,5c
90,5c
33,1ab
21,8a
199e
149,7d
82,2c
52b
Panjang akar (cm)
K0
K1
29,2b
38,6c
9,9a
14,3a
32,5c
50d
24,1b
31,7b
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom, menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
5% pada uji.
Pertumbuhan sel tanaman juga ditentukan oleh ketersedian zat hara pada
media tanam seperti
ketersedian unsur karbon untuk membentuk senyawa
polisakarida, unsur nitrogen untuk membentuk polipeptida pada dinding sel dan
unsur-unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan dalam pertumbuhan sel (Yosilayla
2008). Pada media tanah yang digunakan dalam percobaan ini memiliki
unsur
hara yang rendah (Lampiran 2) yang diketahui melalui kriteria penilaian sifat kimia
tanah (Lampiran 3), bahkan unsur N dan C tergolong sangat rendah. Ketersedian
unsur hara dan kemampuan akar menyerap unsur hara tersebut, kemungkinan
berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman uji (Tabel 1). Hal ini
berkaitan
dengan
perlakuan
cekaman
kekeringan
yang
diberikan,
yang
menyebabkan keterbatasan air sebagai pelarut unsur hara, sehingga kemampuan
akar untuk menyerap unsur hara tersebut menjadi turun. Penurunan penyerapan
hara dan air oleh akar, mengakibatkan suplai zat-zat yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan tanaman tidak terpenuhi, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat (Sharma dan Flotcher 2002).
33
Berbeda dengan tajuk, perlakuan cekaman kekeringan justru meningkatkan
panjang akar pada keempat tumbuhan yang diamati. Peningkatan panjang akar
terlihat secara nyata terjadi pada Echinochloa dan padi gogo sedangkan pada
caisim dan bayam juga cenderung meningkat, namun tidak berbeda nyata antara
kekeringan dengan kontrol. Peningkatan tertinggi terjadi pada echinochloa yaitu
dari 32,5 menjadi 50 cm sedangkan terendah caisim dari 9,9 menjadi 14,3 cm
(Tabel 1). Peningkatan panjang akar akibat cekaman kekeringan merupakan respon
tumbuhan sebagai bentuk adaptasi terhadap kekeringan yang terkait dengan
kemampuan akar untuk memperoleh air tanah pada zona yang lebih dalam (Taiz
dan Zeiger 2002).
Walaupun panjang akar bertambah, akan tetapi pertumbuhan akar secara
lateral tidak berkembang. Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak bertambahnya
bobot kering akar tumbuhan uji. Bahkan cenderung terjadi penurunan pada bobot
kering akar akibat cekaman kekeringan (Tabel 2).
Kramer (1995) menambahkan bahwa akar pada tumbuhan yang terdapat
pada tanah kering berfungsi sebagai sensor utama terhadap cekaman air. Perubahan
kandungan air tanah akan dapat menyebabkan perubahan metabolisme akar seperti;
produksi sitokinin, peningkatan produksi ABA, dan gangguan metabolisme
nitrogen yang akan mengirim sinyal biokimia ke tajuk. Sinyal ini akan
menginduksi terhambatnya pertumbuhan tajuk sehingga terjadi perubahanperubahan pada tumbuhan seperti; penghambatan pertumbuhan, konduktan stomata
dan laju fotosintesis, tanpa memperhatikan status air daun (Kramer dan Boyer
1995).
Tajuk akan tumbuh sedemikian sampai pengambilan air oleh akar menjadi
pembatas pertumbuhan selanjutnya, sebaliknya akar akan tumbuh sampai
permintaan untuk fotosintat dari tajuk sama dengan suplai fotosintat ke bagianbagian tumbuhan seperti
ke biji (Lambers et al. 1997) . Hal ini dilakukan
tumbuhan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi kekeringan. Penghambatan
pertumbuhan ini terkait dengan distribusi fotosintat yang dibutuhkan organ
tumbuhan. Selain itu juga terkait dengan kemampuan akar untuk mencari air yang
lebih ke dalam tanah (Taiz dan Zeiger 2002).
Wu dan Cosgrove (2000) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi dan
molekuler yang membantu pertumbuhan akar di bawah kondisi kekeringan dapat
34
terlihat antara lain pada perubahan dinding sel. Pada bagian akar ini akan terjadi
peningkatan aktivitas pemanjangan dan juga terdapat enzim yang dapat
menginduksi pemanjangan akar dan perubahan dinding sel akar yang lebih
kompleks.
Pengaruh kekeringan terhadap luas daun
Perlakuan cekaman kekeringan dapat menghambat pertumbuhan luas daun.
Penghambatan pertumbuhan luas daun akibat cekaman selama 12 HSP pada padi
gogo, caisim, dan bayam berturut-turut 54,6 cm, 84,8 cm, 126,7 cm dan
Echinochloa sebesar 134,3 cm pada 14 HSP dibanding masing-masing kontrol
berturut-turut sebesar 64,4 cm, 167,1 cm, 215,8 cm dan 148,6 cm (Gambar 8). Hal
ini dapat dipahami bahwa caisim dan bayam adalah tanaman berdaun lebar yang
memungkinkan penguapan per satuan luas daun lebih besar dibanding dengan
Echinochloa dan padi gogo yang memiliki tipe berdaun sempit. Penghambatan
pertumbuhan luas daun ditunjukkan pula oleh data anatomi baik secara kuantitatif
maupun kualitatif (Tabel 3 dan Gambar 9).
Luas Daun (cm )
Padi gogo
Echinochloa
200
150
100
50
0
Luas Daun (cm)
0
3
6
9
12
14
0
0
3
6
9
6
9
12
14
16
Bayam
Caisim
250
200
150
100
50
0
3
12
14
Hari setelah Perlakuan
Kontrol
0
3
6
9
12 14
Hari setelah Perlakuan
Kekeringan
Gambar 8 Luas daun padi gogo, caisim, Echinochloa, dan bayam mulai 0 hingga 12
HSP dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
35
Apabila asupan air dari akar ke daun tidak terpenuhi seperti pada perlakuan
kekeringan, maka dapat menurunkan laju fotosintesis tumbuhan di daun (Gambar
6B). Penghambatan pertumbuhan luas daun merupakan respon pertama tumbuhan
terhadap kekeringan. Keterbatasan air karena penurunan KAM dan KAR akan
menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan-lahan akan menghambat
pertumbuhan luas daun. Luas daun pada tumbuhan sangatlah penting, karena luas
daun dapat mempengaruhi absorbsi cahaya yang digunakan dalam proses
fotosintesis. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis
pada tingkat tajuk tumbuhan, sehingga produksi menjadi turun (Sitompul dan
Guritno 1995). Dengan demikian cekaman kekeringan tidak hanya berpengaruh
pada nisbah berat daun per satuan luas daun, tetapi juga total fotosintesis dari tajuk
tumbuhan (Szilagyi 2003).
Produksi bahan kering tumbuhan
Perlakuan cekaman kekeringan juga menurunkan bobot kering tajuk
tumbuhan uji seperti halnya pada penurunan tinggi tajuk. Penurunan bobot tajuk
secara nyata terjadi pada tumbuhan berdaun sempit (padi gogo dan Echinochloa)
dibandingkan kontrolnya (Tabel 2).
Tabel 2 Bobot tajuk, bobot akar, bobot biji/pot tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim), dan
C4 (Echinochloa dan bayam) pada perlakuan kontrol (K0) dan cekaman
kekeringan (K1).
Bobot
kering
Tajuk (g)
Akar (g)
Biji (g)
Tumbuhan C3
Tumbuhan C4
Padi
Caisim
Echinochloa
Bayam
K0
K1
K0
K1
K0
K1
K0
K1
24,5d
18,0c
3,4ab 1,2a 31,3e 19,7cd
8,1b
3,0ab
7,7bc
3,7ab
1,1a
0,5a 9,4c
8,0bc
2,5ab
1,0a
24,4d
13,1c
2,2a
1,2a 11,8c
6,6b
10,8c
6,4b
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata taraf 5% pada uji
lanjut tukey.
Kekeringan juga menyebabkan penurunan pada bobot kering akar.
Pada
umumnya perbedaan bobot kering akar tidak nyata terjadi antara cekaman
kekeringan dengan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekeringan lebih
besar pengaruhnya terhadap penurunan bobot kering tajuk dibanding penurunan
bobot kering akar.
36
Bobot kering merupakan parameter pertumbuhan yang baik untuk
mengamati pengaruh dari cekaman kekeringan. Bobot kering merupakan hasil
akumulasi fotosintesis tumbuhan selama pertumbuhannya (Levitt 1980). Penurunan
bobot kering mungkin terkait erat dengan penurunan laju fotosintesis selama
cekaman kekeringan baik pada tingkat satuan perluasan dan maupun fotosintesis
total tanaman (Violita 2007).
Selain penurunan bobot kering tajuk dan akar akibat kekeringan, penurunan
juga terjadi pada bobot kering biji tumbuhan. Semua tumbuhan uji mengalami
penurunan bobot kering biji, kecuali caisim (Tabel 2). Hal ini mungkin berkaitan
dengan penurunan kadar air relatif daun, yang dapat memicu penutupan stomata
(DaMatta et al. 2002) dan mengakibatkan suplai CO2 ke dalam daun rendah,
sehingga terjadi penurunan laju fotosintesis (Gambar 6A-6D). Penurunan laju
fotosintesis ini menyebabkan berkurangnya hasil fotosintat, sehingga transpor hasil
fotosintat ke titik tumbuh dan biji sebagai pusat sink juga berkurang (Srivastava
2002).
Pengamatan Anatomi Jaringan Tumbuhan
Ketebalan sel-sel daun, diameter xilem dan floem
Perlakuan cekaman kekeringan cenderung mengurangi tebal tulang daun
utama (TDU) pada empat jenis tumbuhan uji, seperti terlihat pada Tabel 3.
Umumnya penurunan TDU pada tumbuhan tidak berbeda antara perlakuan
cekaman dengan kontrol, kecuali bayam yang mengalami penurunan tebal daun
dari 1400 menjadi 470 µm (Tabel 3 dan Gambar 8A, B). Walaupun hanya pada
bayam yang terjadi penurunan tulang daun secara nyata, akan tetapi penurunan
ketebalan lamina daun (LD) terjadi pada semua tumbuhan uji.
Lamina daun merupakan organ tumbuhan yang penting, karena lamina daun
tempat berlangsungnya fotosintesis dan transpirasi tumbuhan (Esau 1977).
Perlakuan kekeringan menurunkan ketebalan lamina daun semua tumbuhan yang
diuji secara nyata (Tabel 3). Penurunan pada tebal LD tersebut memungkinkan
adanya gangguan piranti fotosintesis, juga diduga terjadi penurunan tekanan turgor
pada semua sel-sel mesofil seperti palisade dan bunga karang. Penurunan tekanan
37
turgor biasanya akan berdampak pada penurunan berbagai metabolisme di dalam
sel termasuk fotosintesis dan respirasi (Hamim 2005).
Tabel 3 Ketebalan daun, ukuran sel-sel daun, dan diameter xilem dan floem tumbuhan C3
(padi dan caisim), dan C4 (Echinochloa dan bayam) pada perlakuan kontrol (K0)
dan kekeringan (K1).
Daun
Padi
K0
Tumbuhan C3
Caisim
K1
K0
K1
Ketebalan
(µm)
TDU
LD
Tinggi Sel
(µm)
EPA
EPB
SM
SB
PS
BKR
275ab
65b
245a
28,3a
12,5bc
9,2ab
11,7a
37,5a
-
Diameter
(µm)
XTDU
XLD
FL
31,7ab
27,5ab
7,3ab
Tumbuhan C4
Echinochloa
Bayam
K0
K1
K0
K1
820d
227,5g
650cd
179,2f
646,7cd
146,7e
536,7c
95,83cd
9,3a
5,8a
8,3a
30,8a
-
15cd
10,8bc
66,7b
19,2b
12,5bc
8,3ab
19,2a
13,3a
16,7d
15d
25b
64,2b
-
10,8a
11,7bcd
11,7a
54,2a
-
36,7ab
33,3bc
4,3a
29,2a
23,3a
14,7d
36,7ab
28,3abc
8,3b
37,5b
33,3bc
12,3cd
46,7c
42,5d
8,7bc
1400e
125,8de
470bc
86,7bc
16,7d
13,3cd
52,5d
60d
11,7ab
10abc
38,3c
50,8c
30ab
26,7a
15,2d
36,7ab
34,2c
9,2bc
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata taraf 5% pada uji
lanjut tukey. TDU = tulang daun utama, LD = lamina daun, EPA = epidermis atas, EPB =
epidermis bawah, SM = sel mesofil, PS = sel palisade, BKR = sel bunga karang, XTDU =
xilem TDU, XLD = xilem LD, FL = floem.
Bagian-bagian lamina daun yang diukur meliputi epidermis atas (EPA),
epidermis bawah (EPB), sel bulliform (SB), sel mesofil (SM), jaringan palisade
(PS), sel bunga karang (BKR). Perlakuan cekaman kekeringan dapat menurunkan
tebal EPA dan EPB pada daun tumbuhan uji. Penurunan tebal EPA daun lebih
tinggi pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan bayam) dari pada C3 (padi gogo dan
caisim) (Tabel 3).
Sel bulliform (SB) merupakan ciri dari kelompok Poaceae (rerumputan)
yang tidak dimiliki oleh kelompok tumbuhan seperti Amaranthus (Sutrian 1992).
Perlakuan cekaman kekeringan dapat mengurangi tinggi sel bulliform. Penurunan
tinggi sel bulliform secara nyata terjadi pada Echinochloa (Tabel 3). Berdasarkan
pengamatan secara mikroskopis, sel bulliform mengalami pengerutan pada bagian
adaksial yang diduga akibat kekurangan air pada pemberian cekaman kekeringan
38
(Gambar 9E dan 9F). Sel bulliform adalah bagian dari EPA yang berbentuk seperti
gelembung, bervakuola besar dan dinding selnya tipis (Voznesenskaya et al. 2005).
Sel bulliform mudah dipengaruhi oleh tekanan turgor terutama pada
gerakan menutup dan membuka pada daun dewasa, karena sifatnya yang dapat
menyimpan air (Esau 1977). Apabila terjadi kekurangan air, sel bulliform
mengalami pengerutan sehingga daun menggulung (Gambar 9E dan 9F).
Penurunan tinggi SB yang nyata pada Echinochloa menggambarkan bahwa
tumbuhan ini mengalami perubahan turgor, sehingga mengarah terjadinya
penggulungan daun saat cekaman kekeringan (Alvarez et al. 2005). Selama
kekurangan air yang berlebihan, sel bulliform bersama dengan sel mesofil
mengerut, yang memungkinkan daun menjadi lebih mudah untuk melipat atau
menggulung (Longhi-Wagner 2001).
Pemberian cekaman kekeringan menurunkan ketebalan sel mesofil.
Penurunan ketebalan sel mesofil secara nyata terjadi pada Echinochloa yaitu dari
25 menjadi 11,7µm (Tabel 3).
Perlakuan cekaman kekeringan menurunkan
ketebalan jaringan palisade dan bunga karang secara nyata (p<0,05) terjadi pada
tumbuhan caisim dan bayam antara kekeringan dan kontrol. Bahkan tumbuhan
caisim mengalami degradasi sel palisade dari dua lapis menjadi satu lapis (Gambar
9G dan 9H).
K0
A
10 um
µµm C
50 um
µµm
E
100 um
µµm
50 um
G
K1
µµm I
100 um
50 um
100 um
µµm
h
B
10 um
µµm D
50 um
µµm F
100 um
µµm
H
µµm
J
µµm
Gambar 9 Struktur anatomi daun tanaman uji pada cekaman kekeringan.
Keterangan: K0 = kontrol, K1 = kekeringan, A= Tebal tulang daun utama (TDU)
bayam K0, B=TDU bayam K1, C=Tebal lamina daun (LD) padi K0, D=LD padi K1,
E= Sel bulliform (SB) padi K0, F= SB padi K1, G = Palisade (PS) caisim K0, H= PS
caisim K1, I=Diameter xilem (DX) LD Echinochloa K0, J=DXLD Echinochloa
K1. Tanda panah menunjukkan perubahan akibat kekeringan. A dan B (100x), C, D, G,
dan H (400x), E, F, I, dan J (1000x).
39
Selain dari sel-sel pada bagian lamina daun, juga dilakukan pengamatan
pada diameter xilem tulang daun utama (TDU), xilem lamina daun (LD), dan
diameter floem. Perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan
diameter xilem pada TDU pada tumbuhan Echinochloa (Gambar 9I dan 9J).
Kecenderungan peningkatan diameter xilem TDU juga terlihat pada padi gogo,
caisim, dan bayam, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 3).
Peningkatan diameter xilem secara nyata terjadi pada LD tumbuhan yang
mendapat cekaman kekeringan pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan bayam).
Xilem merupakan jaringan pengangkut terutama air dan hara dari akar menuju
tajuk. Perlakuan kekeringan cenderung meningkatkan diameter xilem. Perubahan
ini diduga sebagai bentuk adaptasi tumbuhan, yaitu dengan meningkatkan diameter
xilem untuk menambah penyerapan air dari tanah (Patakas et al. 2002).
Sebaliknya pemberian cekaman kekeringan menurunkan diameter floem
tumbuhan. Penurunan diameter floem daun berbeda nyata (p<0,05) pada tumbuhan
berdaun lebar (caisim dan bayam), sedangkan pada tumbuhan berdaun sempit (padi
gogo dan Echinochloa) tidak mengalami penurunan diameter floem secara nyata
(p>0,05) antara cekaman kekeringan dan kontrol (Tabel 3).
Penurunan KAM yang diikuti penurunan KAR daun menyebabkan turgor
sel daun menjadi rendah. Hilangnya turgiditas sel daun dapat menyebabkan
pengerutan pada sel daun termasuk diameter floem. Pengerutan diameter floem
pada tumbuhan berdaun lebar lebih nyata dibanding yang berdaun sempit. Hal ini
diduga karena tumbuhan berdaun lebar memiliki posisi daun yang horisontal,
sehingga lebih mudah terpapar cahaya dibanding tumbuhan berdaun sempit dengan
posisi daun yang tegak. Posisi daun yang horisontal menyebabkan transpirasi lebih
besar (Esau 1977), sehingga pengerutan diameter floem terjadi lebih besar pada
tumbuhan berdaun lebar. Pengerutan diameter floem diduga mengganggu transpor
hasil fotosintat terutama dari source ke sink (Srivastava 2002).
Download