14 BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Seksual Pranikah 1

advertisement
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Seksual Pranikah
1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono,
2000). Soetjiningsih (2008) mengungkapkan bahwa, perilaku seksual pranikah
adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan
lawan jenisnya dalam keadaan belum menikah. Menurut Mu’tadin (dalam
Rediekan & Respati, 2013), perilaku seksual pranikah adalah perilaku seksual
yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut agama dan
kepercayaan tiap-tiap individu. Begitu pula dengan Crooks (dalam Nuandri &
Widayat, 2014) yang mendefinisikan perilaku seksual pranikah sebagai
perilaku yang mengarah pada keintiman heteroseksual yang dilakukan oleh
sepasang laki-laki dan perempuan sebelum adanya ikatan resmi (pernikahan).
Purnomowardani dan Koentjoro (2000) mengatakan bahwa, perilaku
seksual pranikah adalah manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat
diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap
perilaku seksual dari tahap yang paling ringan hingga tahap yang paling berat
yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah. Perilaku seksual
pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan
bentuk tingkah laku seksual yang beraneka ragam, mulai dari berkencan,
14
15
bercumbu, dan bersenggama yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita,
diluar perkawinan yang sah (Sarwono, 2008). Simanjuntak (dalam Prastawa &
Lailatushifah, 2009) juga menyatakan bahwa, perilaku seksual pranikah adalah
segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman sampai
dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual
yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
seksual pranikah adalah perilaku yang mengarah pada keintiman heteroseksual
yang merupakan manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati
secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku
seksual yang meliputi segala macam tindakan seksual seperti berkencan,
bergandengan tangan, berciuman, hingga bersenggama yang melibatkan dua
orang dengan jenis kelamin yang berbeda tanpa melalui proses pernikahan
yang sah menurut agama dan kepercayaan tiap-tiap individu.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual
Perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang
didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh
remaja sebelum mereka menikah (Soetjiningsih, 2008). Menurut Soetjiningsih
(2008), bentuk-bentuk perilaku seksual umumnya bertahap, dimulai dari
tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual. Tahap-tahap
perilaku seksual remaja dapat dirinci sebagai berikut:
a. Berpegangan tangan,
b. Memeluk/dipeluk di bahu,
16
c. Memeluk/dipeluk di pinggang,
d. Ciuman bibir,
e. Ciuman bibir sambil pelukan,
f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan
berpakaian,
g. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian,
h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian,
i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa pakaian,
j. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa pakaian,
k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa pakaian,
l. Hubungan seksual.
Sarwono (2010) mengungkapkan berbagai macam tingkah laku seksual
yang dimulai dari berkencan, dilanjutkan dengan berpegangan tangan dan
berpelukan, kemudian berciuman hingga meraba-raba daerah erogen
(payudara/alat kelamin), dan berakhir pada intercourse yang meliputi:
a. Kissing
Ciuman yang dilakukan dapat menimbulkan rangsangan seksual, seperti di
bibir disertai rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan
rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman
yang umum dilakukan, sedangkan berciuman dengan mulut dan bibir
terbuka, serta menggunakan lidah dinamakan french kiss. Kadang french
kiss juga disebut ciuman mendalam atau soul kiss.
17
b. Necking
Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman
di sekitar leher disertai dengan pelukan yang lebih mendalam.
c. Petting
Petting merupakan perilaku seksual yang berupa menggesek-gesekkan
bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Petting
merupakan langkah yang lebih mendalam daripada necking. Perilaku petting
termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan yang meliputi
lengan, dada, buah dada, kaki, dan daerah kemaluan, baik di luar maupun di
dalam pakaian.
d. Intercourse
Intercourse adalah perilaku seksual yang dilakukan dengan bersatunya dua
orang, pria dan wanita, secara seksual yang ditandai dengan penis pria yang
ereksi masuk ke dalam vagina wanita untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa bentukbentuk perilaku seksual remaja secara bertahap terdiri atas berkencan,
berpegangan tangan, memeluk atau dipeluk di bahu, memeluk atau dipeluk di
pinggang, ciuman bibir, ciuman sambil pelukan, meraba atau diraba daerah
sensitif dalam keadaan berpakaian, mencium atau dicium daerah sensitif dalam
keadaan berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan
berpakaian, meraba atau diraba daerah sensitif dalam keadaan tanpa pakaian,
mencium atau dicium daerah sensitif dalam keadaan tanpa pakaian, saling
menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa pakaian, dan hubungan
18
seksual (intercourse). Bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut untuk
selanjutnya akan digunakan sebagai dasar penyusunan skala perilaku seksual
pranikah dalam penelitian ini, karena telah merangkum secara lebih lengkap
dan terinci dari beberapa teori yang telah dipaparkan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Menurut Elizabeth B. Hurlock (dalam Kumalasari & Andhyantoro, 2012),
beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah
sebagai berikut:
a.
Faktor perkembangan yang terjadi dalam diri remaja, yaitu berasal dari
keluarga dimana remaja mulai tumbuh dan berkembang.
b.
Faktor luar, yaitu mencakup kondisi sekolah/pendidikan formal yang
cukup berperan terhadap perkembangan remaja dalam mencapai
kedewasaannya.
c.
Faktor masyarakat, yaitu adat kebiasaan, pergaulan dan perkembangan di
segala bidang khususnya teknologi yang dicapai manusia.
Menurut Bachtiar (2004), faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada
remaja, di antaranya:
a.
Pendidikan, pendidikan yang rendah cenderung melakukan hubungan
seksual pranikah dibanding dengan yang berpendidikan tinggi dan
berprestasi.
b.
Sosial ekonomi, dengan perkonomian keluarga yang rendah cenderung
remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah agar pasangannya
dapat memenuhi segala sesuatu yang ia butuhkan.
19
c.
Pengaruh
teman,
pengaruh
teman
memang
sangat
kuat
dalam
mempengaruhi perilaku seksual.
Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja
menurut Soetjiningsih (2008), yaitu:
a. Faktor individual
1) Self esteem/harga diri
Remaja yang self esteemnya rendah cenderung mudah untuk melakukan
perilaku seksual pranikah, dan sebaliknya.
2) Religiusitas
Religiusitas berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada
remaja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semakin tinggi
religiusitas remaja maka semakin rendah perilaku seksual pranikahnya,
dan sebaliknya.
b. Faktor keluarga
Hubungan orang tua-remaja mempunyai pengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja, dan pengaruhnya
merupakan yang paling besar diantara faktor lainnya. Semakin baik
hubungan orang tua-remaja, maka akan semakin rendah perilaku seksual
pranikah pada remaja, dan sebaliknya.
c. Faktor di luar keluarga
1) Tekanan negatif teman sebaya
Tekanan negatif teman sebaya berpengaruh langsung terhadap perilaku
seksual pranikah pada remaja. Semakin tinggi tekanan untuk
20
berperilaku negatif dari teman sebaya, maka semakin tinggi pula
perilaku seksual pranikah pada remaja, dan sebaliknya.
2) Media pornografi
Eksposur media pornografi mempengaruhi perilaku seksual pranikah
remaja. Semakin tinggi eksposur media pornografi, maka semakin
tinggi pula perilaku seksual pranikah pada remaja, dan sebaliknya.
Faktor yang menyebabkan perilaku seksual pranikah pada remaja menurut
Sarwono (2008) adalah:
a.
Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido
seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b.
Penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya
undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah
(sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun
karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang
makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental,
dan lain-lain).
c.
Norma-norma agama yang berlaku, seseorang dilarang untuk melakukan
hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangannya berkembang
lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku yang lain seperti berciuman dan
masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat
kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.
21
d.
Penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang
dengan adanya teknologi canggih (video casette, foto copy, satelit, VCD,
telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi.
Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan
meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya
karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual
secara lengkap dari orang tuanya.
e.
Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya
yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak
terbuka terhadap anak. Malah, orang tua cenderung membuat jarak
terhadap anak dalam masalah yang satu ini.
f.
Kecenderungan pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita
dalam masyarakat. Hal ini akibat berkembangnya peran dan pendidikan
wanita sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
Menurut Setiawan dan Nurhidayah (2008), perilaku seksual pranikah
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi
peningkatan libido seksual akibat perubahan hormonal (perspektif biologis),
pengalaman seksual serta pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Faktor
eksternal meliputi penundaan usia perkawinan pada remaja, larangan yang
sifatnya tabu mengenai perilaku seksual pada remaja, meningkatnya
rangsangan seksual dari media massa, sikap orang tua yang tidak terbuka
mengenai masalah seksual pada anak, pergaulan yang semakin bebas di
22
kalangan remaja, kurangnya pengawasan dari pendidik dan orangtua pada
remaja, serta dorongan dari teman sebaya untuk melakukan perilaku seksual.
Berdasarkan uraian di atas, perilaku seksual pranikah pada remaja
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal, yang berasal dari dalam
diri individu, maupun faktor eksternal, yang berasal dari luar diri individu.
Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja,
diantaranya, faktor perkembangan dalam diri remaja, harga diri atau self
esteem,
religiusitas,
perubahan
hormonal,
pengalaman
seksual,
serta
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, faktor eksternal yang
mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, diantaranya, faktor sosial
ekonomi, hubungan orang tua-remaja yang tidak terbuka, norma-norma agama
yang berlaku, penundaan usia perkawinan, meningkatnya rangsangan seksual
dari media massa, pergaulan bebas di kalangan remaja, kurangnya pengawasan
dari pendidik dan orang tua remaja, serta dorongan dari teman sebaya untuk
melakukan perilaku seksual.
B. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Harga diri adalah kata yang banyak digunakan dalam bidang ilmu
psikologi. Para ahli dalam bidang ilmu psikologi sering menggunakan istilah
harga diri untuk menandakan bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya.
Robinson (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) mengatakan bahwa, harga diri
merupakan bagian atau komponen yang lebih spesifik dari konsep diri, yang
melibatkan unsur evaluasi atau penilaian terhadap diri. Evaluasi atau penilaian
23
tersebut
akan
memperlihatkan
bagaimana
penilaian
individu
tentang
penghargaan terhadap dirinya, sifat, dan kemampuan individu itu sendiri
(Myers, 2012).
Harga diri adalah dimensi evaluasi yang menyeluruh dari diri individu
(Santrock, 2003). Deaux, Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono & Meinarno,
2012) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian atau evaluasi secara positif
atau negatif terhadap diri sendiri. Sejalan dengan Deaux dkk., Baron dan Byrne
(2004) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh setiap
individu yang merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam
rentang dimensi positif-negatif. Harga diri juga menunjukkan keseluruhan
sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (Baron,
Byrne, & Branscombe, dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Definisi harga diri
menurut Coopersmith (1967):
“Self esteem we refer to the evaluation which the individual makes and
customarily maintains with regard to himself: it expresses an attitude of
approval or dissaproval, and indicates the extent to which the individual
believes himself to be capable, significant, successful and worthy. In short,
self esteem is a personal judgement of worthiness that is expressed in the
attitudes the invidual holds toward himself”
Menurut Padmomartono (2014) harga diri atau self esteem merupakan rasa
seseorang sebagai bernilai dan berharga sebagai hasil dari mengevaluasi
konsep dirinya. Padmomartono (2014) selanjutnya menjelaskan bahwa, harga
diri atau self esteem, yaitu: 1) Penilaian akhir nilai atau harga akan diri (selfworth). 2) Tidak ada konteks yang sensitif dan tidak berkaitan dengan tugas
yang spesifik. 3) Penilaian kognitif yang bebas dari tujuan tertentu. 4)
24
Mempersoalkan pertanyaan tentang rasa, “Bagaimana perasaan saya tentang
diri saya sendiri?”
Harga diri merupakan variabel psikologis yang memegang peranan penting
dalam perkembangan sikap dan perilaku individu. Hal tersebut sebagian
dikarenakan manusia memang sangat memperhatikan berbagai hal tentang diri,
termasuk siapa dirinya, seberapa positif atau negatif seorang individu
memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan
lain sebagainya (Baron & Byrne, 2004). Terlebih lagi para remaja yang pada
dasarnya masih dalam situasi peralihan dan krisis dalam menemukan identitas
dirinya sehingga perasaan berharga dan bernilai sangatlah dibutuhkan oleh
remaja (Santrock, 2003).
Crocker (dalam Mulyana & Purnamasari, 2010) mengungkapkan bahwa,
harga diri merupakan kemampuan individu untuk mempertahankan pandangan
yang positif terhadap diri sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan,
maupun kegagalan. Pada umumnya setiap individu menginginkan harga diri
yang positif, karena dengan harga diri yang positif individu dapat merasakan
bahwa dirinya berguna atau berarti bagi orang lain meskipun dirinya memilki
kelemahan baik secara fisik maupun secara mental (Maslow, dalam Lubis,
2009). Menurut Vaughan dan Hogg (dalam Sarwono & Meinarno, 2012) alasan
setiap individu menginginkan harga diri yang positif adalah sebagai berikut:
a.
Harga diri yang positif membuat orang merasa nyaman dengan dirinya di
tengah kepastian akan kematian yang suatu waktu dihadapinya. Greenberg,
Pyszcynski, dan Solomon (1986) dalam terror management theory,
25
menyatakan bahwa, manusia mengalami kecemasan dalam menghadapi
kematian. Greenberg, dkk. melakukan eksperimen yang hasilnya
menunjukkan bahwa partisipan eksperimen yang mendapat penilaian
positif terhadap aspek-aspek kepribadiannya, harga dirinya positif, lebih
sedikit mengalami arousal fisik dan kecemasan ketika menonton video
tentang kematian yang sengaja diputar oleh eksperimenter.
b.
Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan,
kesepian, dan penolakan sosial. Dalam hal ini, harga diri menjadi ‘alat
ukur’ (sociometer) untuk melihat sejauh mana seseorang merasa diterima
dan menyatu dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, semakin
positif harga diri yang dimiliki, semakin menunjukkan bahwa ia semakin
merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya.
Berbeda dengan orang yang memiliki harga diri yang tinggi atau positif,
orang dengan harga diri yang rendah atau negatif sering kali memiliki
permasalahan dalam hidup – mereka dengan penghasilan yang lebih sedikit,
penyalahgunaan obat, dan cenderung tertekan (Salmela-Aro, & Nurmi, dalam
Myers, 2012).
Hal tersebut menunjukkan bahwa harga diri mempengaruhi tingkah laku
individu
dalam
kehidupan
sosial.
Sarwono
dan
Meinarno
(2012)
mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan penilaian atau evaluasi individu
terhadap dirinya, secara positif maupun negatif sehingga mempengaruhi
tingkah laku sosial individu. Jika orang menilai secara positif terhadap dirinya,
maka ia menjadi percaya diri dalam mengerjakan hal-hal yang ia kerjakan dan
26
memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya, orang yang menilai secara
negatif terhadap dirinya, menjadi tidak percaya diri ketika mengerjakan
sesuatu, sehingga hasil yang didapatkan tidak menggembirakan (Sarwono&
Meinarno, 2012).
Sifat dari harga diri dapat dikatakan labil dan bisa mengalami perubahan
dari waktu ke waktu (Coopersmith, 1967). Setiap individu memiliki harga diri
yang berbeda-beda. Coopersmith (1967) mengklasifikasikan harga diri atau self
esteem menjadi tiga kelompok, yaitu harga diri tinggi, harga diri sedang, dan
harga diri rendah. Hal tersebut tergantung bagaimana individu tersebut
menyikapi dan mengevaluasi tindakan yang dilakukannya sendiri.
Coopersmith (1967) menjelaskan individu yang memiliki harga diri tinggi
memiliki sifat aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, cenderung
sukses dalam bidang akademis dan juga dalam hal hubungan sosial. Dalam
pergaulan, individu yang memiliki harga diri tinggi lebih bersifat memimpin,
bebas berpendapat, tidak menghindari perbedaan pendapat, tahan terhadap
semua kritikan dan tidak mudah cemas. Individu dapat bergaul dengan baik,
adanya sifat optimis yang terbentuk berdasarkan keyakinan dalam dirinya
bahwa ia memiliki kecakapan, kemampuan bergaul dan kepribadian yang kuat.
Menurut Hurlock (1980), remaja dengan harga diri tinggi cenderung akan
menjalani tahapan perkembangannya dengan lebih baik.
Individu yang memiliki harga diri sedang menurut Coopersmith (1967)
memiliki ciri-ciri sifat dan cara bertindak yang hampir sama dengan individu
yang memiliki taraf harga diri yang tinggi. Perbedaannya hanya terletak pada
27
intensitas keyakinan diri, mereka agak kurang yakin dalam menilai pribadinya
dan mereka agak tergantung pada penerimaan sosial lingkungan dimana
mereka berada. Di sisi lain, individu yang memiliki harga diri sedang juga
memiliki harapan dan keberartian yang positif.
Selanjutnya Coopersmith (1967) menjelaskan bahwa, individu dengan
harga diri yang rendah memiliki rasa percaya diri yang rendah dan kurang
berani untuk menyatakan diri masuk ke dalam suatu kelompok. Individu
dengan taraf harga diri yang rendah juga cenderung menunjukkan sifat-sifat
keputusasaan, selalu membayangkan kegagalan, dihinggapi depresi, selalu
merasa tidak menarik, dan merasa terisolir dalam pergaulannya. Selain itu,
individu yang memiliki harga diri rendah cenderung kurang memiliki kemauan
untuk menghadapi kekurangan dan kelemahan, takut menegur orang yang
berbuat kesalahan, dan sangat peka terhadap kritik.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa harga diri adalah bagian atau komponen yang lebih spesifik
dari konsep diri, yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian secara
menyeluruh yang dibuat oleh setiap individu terhadap dirinya sendiri dalam
rentang dimensi positif-negatif, yang akan memperlihatkan bagaimana
penilaian individu tentang penghargaan terhadap dirinya, sifat, dan kemampuan
individu itu sendiri yang mempengaruhi tingkah laku sosial individu.
2. Aspek-aspek Harga Diri
Menurut Maslow (dalam Boeree, 2006), ada dua aspek utama yang
mempengaruhi harga diri, yaitu:
28
a.
Penghargaan dari diri sendiri
Penghargaan dari diri sendiri merupakan keyakinan bahwa individu
merasa aman dengan keadaan dirinya, merasa berharga dan adekuat.
Ketidakmampuan merasakan diri berharga membuat individu merasa
rendah diri, kecil hati, serta tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan.
Pengetahuan yang baik tentang diri serta mampu menilai secara objektif
kelebihan-kelebihan maupun kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh
individu membuat individu mampu menumbuhkan perasaan berharga
terhadap diri sendiri. Individu dapat menghargai dirinya bila individu
tersebut mengetahui siapa dirinya.
b.
Penghargaan dari orang lain
Penghargaan dari orang lain dikaitkan dengan penerimaan, perhatian, dan
afeksi yang ditunjukkan oleh lingkungan. Bila lingkungan memandang
individu memiliki arti, nilai, dan dapat menerima individu apa adanya
maka hal itu memungkinkan individu untuk dapat menerima dirinya
sendiri, serta mendorong individu memiliki harga diri tinggi atau positif,
dan sebaliknya.
Aspek-aspek harga diri secara lebih rinci dikemukakan oleh Coopersmith
(1967), yaitu:
a.
Keberartian (Significance)
Keberartian dikaitkan dengan penerimaan, perhatian, dan afeksi yang
diterima
individu
dari lingkungannya. Penerimaan
ditandai
oleh
kehangatan, respon positif, ketertarikan serta rasa suka terhadap individu
29
apa adanya. Bila lingkungan memandang individu memiliki arti, nilai,
serta dapat menerima individu apa adanya maka hal itu memungkinkan
individu untuk dapat menerima dirinya sendiri, yang pada akhirnya
mendorong individu memiliki harga diri yang tinggi atau positif.
Sebaliknya, bila lingkungan menolak dan memandang individu tidak
berarti maka individu akan mengembangkan penolakan dan mengisolasi
diri. Hal itu membuat individu cenderung mengembangkan harga diri yang
rendah atau negatif.
b.
Kekuatan (Power)
Kekuatan diartikan sebagai kemampuan individu untuk mempengaruhi
terjadinya sesuatu dengan mengendalikan sikap dirinya, serta mengontrol
atau mengendalikan orang lain. Apabila individu mampu mengontrol diri
sendiri dan orang lain dengan baik, maka hal tersebut akan mendorong
terbentuknya harga diri yang positif atau tinggi, demikian juga sebaliknya.
Kekuatan juga dikaitkan dengan inisiatif. Pada individu yang memiliki
kekuatan tinggi akan memiliki inisiatif yang tinggi, dan sebaliknya. Secara
umum pengaruhnya dapat dilihat dari pengakuan dan penghargaan yang
diterima dari orang lain serta sejauh mana orang lain menghargai hak serta
ide-idenya.
c.
Kompetensi (Competence)
Kompetensi diartikan sebagai memiliki usaha yang tinggi untuk
mendapatkan prestasi yang baik, sesuai dengan tahapan usianya.
30
Kompetensi dapat dikaitkan dengan tingkat dimana individu memiliki
performansi yang tinggi dalam pelaksanaan tugas-tugas yang bervariasi.
d.
Kebajikan (Virtue)
Kebajikan dapat diartikan sebagai ketaatan individu terhadap aturan dalam
masyarakat serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma
dan ketentuan yang berlaku di masyarakat. Pada umumnya masyarakat
dapat menerima individu yang mematuhi prinsip-prinsip etis, moral, dan
agama yang telah diterimanya dan diinternalisasi. Demikian juga bila
individu mampu memberikan contoh atau dapat menjadi panutan yang
baik bagi lingkungannya, akan diterima secara baik oleh masyarakat. Jadi,
ketaatan individu terhadap aturan masyarakat dan kemampuan individu
memberi contoh bagi masyarakat dapat menimbulkan penerimaan
lingkungan yang tinggi terhadap individu tersebut. Penerimaan lingkungan
yang tinggi ini mendorong terbentuknya harga diri yang tinggi, dan
sebaliknya, penerimaan lingkungan yang rendah terhadap individu akan
mendorong terbentuknya harga diri yang rendah.
Selanjutnya, Branden (dalam Mruk, 2006) juga mengungkapkan aspek-
aspek harga diri, yaitu:
a.
Perasaan kompetensi pribadi
Perasaan kompetensi pribadi disebut juga sebagai kepercayaan diri atau
self confidence. Perasaan kompetensi pribadi mencakup keyakinan atau
kepercayaan diri individu terhadap kemampuannya berpikir dan bertindak
31
untuk mengatasi masalah yang didasarkan pada tantangan dalam
kehidupannya.
b.
Perasaan nilai pribadi
Perasaan nilai pribadi disebut juga sebagai penghormatan diri atau self
respect. Perasaan nilai pribadi mencakup keyakinan dan kepercayaan diri
individu bahwa dirinya akan menjadi sukses dan bahagia, menjadi orang
yang patut dihargai dan memiliki hak untuk mewujudkan segala citacitanya dan menikmati hasil atas usahanya tersebut.
Berdasarkan aspek-aspek harga diri yang diungkapkan oleh beberapa ahli
di atas, maka penelitian ini menggunakan aspek harga diri yang diungkapkan
oleh Coopersmith (1967) dan Branden (dalam Mruk, 2006) yang terdiri atas
keberartian, kekuatan, kompetensi, kebajikan, dan perasaan nilai pribadi,
dimana aspek-aspek tersebut memiliki kesesuaian dengan responden penelitian.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri
Menurut Coopersmith (1967), terdapat lima faktor yang mempengaruhi
harga diri, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Faktor jenis kelamin
Menurut Ancok, dkk. (dalam Ghufron & Risnawati, 2010), wanita selalu
merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria, seperti perasaan kurang
mampu, kepercayaan diri yang kurang mampu, atau merasa harus
dilindungi. Hal ini terjadi mungkin karena peran orang tua dan harapanharapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria maupun wanita.
Pendapat tersebut sama dengan penelitian dari Coopersmith (1967) yang
32
membuktikan bahwa, harga diri wanita lebih rendah daripada harga diri
pria.
b.
Inteligensi
Individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik
yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah. Individu
dengan harga diri yang tinggi juga memiliki skor inteligensi yang lebih
baik, taraf aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras.
c.
Kondisi fisik
Coopersmith (1967) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara
daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan
kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik
dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. Begitu pula
dengan remaja yang terlalu memikirkan masalah ukuran dan bentuk
tubuhnya. Mereka akan berusaha mati-matian untuk bisa mempertahankan
bentuk tubuh atau menurunkan berat badannya.
d.
Lingkungan keluarga
Coopersmith (1967) berpendapat bahwa, perlakuan adil, pemberian
kesempatan untuk aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat
anak mendapat harga diri yang tinggi. Orang tua yang sering memberi
hukuman dan larangan tanpa alasan dapat menyebabkan anak merasa tidak
berharga. Mereka yang berasal dari keluarga bahagia akan memiliki harga
diri tinggi karena mengalami perasaan nyaman dan berasal dari
penerimaan, cinta, dan tanggapan positif orang tua mereka. Pengabaian
33
dan penolakan akan membuat mereka secara otomatis merasa tidak
berharga. Perasaan tidak berharga, diacuhkan, dan tidak dihargai akan
menumbuhkan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri.
e.
Lingkungan sosial
Klass dan Hodge (1978) (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) berpendapat
bahwa, pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari
dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses
lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain
kepadanya, termasuk penerimaan teman dekat (peer), mereka bahkan mau
untuk melepaskan prinsip diri mereka dan melakukan perbuatan yang
sama (conform) dengan teman dekat mereka agar bisa dianggap ‘sehati’
walaupun perbuatan itu adalah perbuatan yang negatif. Sementara menurut
Coopersmith (1967), ada beberapa ubahan dalam harga diri yang dapat
dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan
mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui
pengalaman dalam lingkungan, kesuksesan dalam bidang tertentu,
kompetisi, dan nilai kebaikan.
Menurut Koentjoro (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri
adalah sebagai berikut:
a.
Lingkungan keluarga, merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak.
Perlakukan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang
demokratis di dapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi.
34
b.
Lingkungan sosial, merupakan tempat individu yang berpengaruh pada
pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga
sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang,
penghinaan, dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri.
Sebaliknya, pengalaman, keberhasilan, persahabatan, dan kemasyuran
akan meningkatkan harga diri.
c.
Faktor psikologis, penerimaan diri akan mengarahkan individu mampu
menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat
sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa.
d.
Jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya
perbedaan dalam pola pikir, cara berpikir, dan bertindak antara laki-laki
dan perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik faktor internal, yang berasal dari dalam diri individu maupun faktor
eksternal, yang berasal dari luar diri individu. Faktor psikologis individu, jenis
kelamin,
inteligensi,
kondisi
fisik
merupakan
faktor
internal
yang
mempengaruhi harga diri pada individu. Selain itu, lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi harga diri
pada individu.
C. Dukungan Sosial Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak
belajar dan mengatakan sebagai makhluk sosial. Ki Hajar Dewantara (dalam
35
Ahmadi & Uhbiyati, 2001) mengemukakan pengertian keluarga berdasarkan
asal-usul kata bahwa, keluarga berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari
dua kata, yaitu kawula dan warga. Dalam bahasa Jawa kuno, kawula berarti
hamba dan warga berarti anggota. Secara bebas keluarga dapat diartikan
sebagai hamba atau warga saya, dimana setiap anggota dari warga merasakan
sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga
merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.
Keluarga adalah lingkungan yang terdiri dari beberapa orang yang masih
memiliki hubungan darah dan bersatu. Seperti yang diungkapkan oleh Mubarak
(2009), bahwa keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang
diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota
keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain. Selain itu, Duvall (dalam
Setiadi, 2008) juga mendefinisikan keluarga sebagai sekumpulan orang-orang
yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, atau kelahiran yang tinggal
bersama dalam rumah yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan
budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional,
dan sosial dari tiap anggota keluarga.
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masingmasing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga
batih. Menurut Soekanto (2004), keluarga batih merupakan unit pergaulan
36
terkecil yang hidup dalam masyarakat yang memiliki peranan-peranan tertentu,
yaitu:
a.
Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang
menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam
wadah tersebut.
b.
Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil
memenuhi kebutuhan anggotanya.
c.
Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan
hidup.
d.
Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses
sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, dimana orang
tua, baik ayah maupun ibu, merupakan individu-individu yang paling utama
dalam kehidupan remaja yang mengarahkan pembentukan tata nilai serta
perilaku pada remaja. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai tokoh penting
yang mengawasi dengan siapa remaja menjalin hubungan (Santrock, 2012) dan
merupakan suatu sistem dukungan yang menyediakan landasan yang kokoh
dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru
dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis
(Desmita, 2012).
37
2. Fungsi Keluarga
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, keluarga adalah agen penting
dalam masyarakat untuk mengembangkan setiap individu, terutama individu
yang sedang dalam masa remaja. Pada dasarnya keluarga memiliki beberapa
fungsi pokok, diantaranya fungsi biologis, fungsi afeksi, dan fungsi sosialisasi.
Fungsi biologis antara lain melahirkan anak, fungsi afeksi, yaitu hubungan
kasih sayang, dan fungsi sosialisasi, yaitu interaksi sosial dalam keluarga
dalam pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, serta nilai-nilai dalam
masyarakat dalam rangka perkembangannya.
Mubarak (2009) mengemukakan bahwa, dalam suatu keluarga ada
beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan sebagai berikut:
a.
Fungsi biologis, yang merupakan fungsi untuk meneruskan keturunan,
memelihara, dan membesarkan anak-anak, serta memenuhi kebutuhan gizi
keluarga.
b.
Fungsi psikologis, yang merupakan fungsi untuk memberikan kasih
sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian
anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga.
c.
Fungsi sosialisasi, yang merupakan fungsi untuk membina sosialisasi pada
anak-anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat
perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya.
d.
Fungsi ekonomi, yang merupakan fungsi untuk mencari sumber-sumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimana yang akan datang.
38
e.
Fungsi pendidikan, yang merupakan fungsi untuk menyekolahkan anak
untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak
sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak
untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya
sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
Selanjutnya, fungsi keluarga secara lebih rinci terdapat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 (dalam Puspitawati, 2012), yang
menyatakan fungsi keluarga terdiri atas:
a.
Fungsi keagamaan
Keluarga dikembangkan untuk mampu menjadi wahana yang pertama dan
utama untuk membawa seluruh anggotanya melaksanakan ibadah dengan
penuh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.
b.
Fungsi sosial budaya
Keluarga dikembangkan menjadi wahana untuk melestarikan budaya
nasional yang luhur dan bermartabat.
c.
Fungsi cinta dan kasih sayang
Keluarga menjadi wahana pertama dan utama untuk menumbuhkan cinta
kasih antar sesama anggotanya, antar orang tua dengan pasangannya, antar
anak dengan orang tua, dan sesama anak sendiri.
39
d.
Fungsi perlindungan
Keluarga menjadi pelindung yang pertama, utama, dan kokoh dalam
memberikan
kebenaran
dan
keteladanan
kepada
anak-anak
dan
keturunannya.
e.
Fungsi reproduksi
Keluarga menjadi pengatur reproduksi keturunan secara sehat dan
berencana, sehingga anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi penerus
yang berkualitas.
f.
Fungsi sosialisasi dan pendidikan
Keluarga berfungsi sebagai sekolah dan guru yang pertama dan utama
dalam mengantarkan anak-anaknya untuk menjadi panutan masyarakat
luas dan dirinya sendiri.
g.
Fungsi ekonomi
Keluarga menyiapkan dirinya untuk menjadi suatu unit yang mandiri dan
sanggup untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batinnya dengan
penuh kemandirian.
h.
Fungsi pembinaan lingkungan
Keluarga siap dan sanggup memelihara kelestarian lingkungan untuk
memberikan yang terbaik kepada anak cucunya dimasa yang akan datang.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa keluarga
merupakan kelompok primer yang memiliki peran penting bagi kehidupan
seluruh anggotanya. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
40
kebutuhan setiap anggotanya yang mencakup empat dimensi manusia,
diantaranya biologi, psikologis, sosial, dan spiritual.
3. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial atau social support adalah sebuah istilah yang tersusun
dari dua kata, yaitu social dan support. Social (sosial) artinya menyinggung
relasi di antara dua atau lebih individu (Chaplin, 2011), dan support
(dukungan) yang artinya: 1. Mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk
memenuhi kebutuhan orang lain, 2. Memberikan dorongan atau pengobatan
semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuatan keputusan
(Chaplin, 2011). Berdasarkan pengertian dari masing-masing kata tersebut,
secara bebas dukungan sosial atau social support dapat diartikan sebagai
kegiatan menyediakan atau memberikan dorongan atau pengobatan semangat
serta nasihat untuk memenuhi kebutuhan orang lain dalam berbagai situasi,
termasuk dalam situasi pembuatan keputusan. Secara umum, dukungan sosial
menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
orang lain yang potensial memberikan dukungan atau disebut sebagai
significant other.
Sarafino (2013) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan,
perhatian, penghargaan ataupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima
individu dari orang lain ataupun kelompok. Secara lebih rinci, Cobb (1976)
juga mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari salah satu atau
ketiga dari hal berikut: 1. Informasi yang mengarah pada individu untuk
percaya bahwa mereka diperhatikan dan dicintai, 2. Informasi yang mengarah
41
pada individu untuk percaya bahwa mereka berharga dan dihargai, dan 3.
Informasi yang mengarah pada individu untuk percaya bahwa mereka berasal
dari jaringan komunikasi yang sama dengan kewajiban bersama. Kuntjoro
(2002) menjelaskan bahwa, dukungan sosial merupakan informasi verbal dan
non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh
orang-orang yang akrab dengan individu dalam lingkungan sosialnya atau
berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional
atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya.
Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber yang potensial
memberikan dukungan yang ada di sekitar individu, salah satunya adalah
keluarga. Pada dasarnya dukungan sosial keluarga dapat diperoleh dari seluruh
anggota keluarga, tidak terkecuali dukungan sosial keluarga yang berasal dari
keluarga besar yang dimiliki individu, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan
anggota keluarga lainnya. Akan tetapi, orang tua, baik ayah maupun ibu,
sangatlah berperan penting dalam memberikan bimbingan dan dukungan bagi
remaja. Dukungan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang
menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan
menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas
dengan cara-cara yang sehat secara psikologis, meningkatkan relasi dengan
teman sebaya yang lebih kompeten dan hubungan erat yang positif di luar
keluarga, serta dapat menyangga remaja dari kecemasan dan perasaan-perasaan
depresi sebagai akibat dari masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa
(Desmita, 2012).
42
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi dari
dukungan
sosial
keluarga
adalah
dorongan,
kenyamanan,
perhatian,
penghargaan ataupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diberikan oleh
keluarga, khususnya orang tua kepada individu, atau berupa kehadiran dan halhal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah
laku individu, sehingga individu percaya bahwa mereka diperhatikan, dicintai,
berharga, bernilai.
4. Aspek-aspek Dukungan Sosial Keluarga
Menurut Cohen dan Syme (1985), terdapat empat aspek dukungan sosial,
yaitu: 1. Dukungan emosional, seperti empati, cinta, dan kepercayaan yang
didalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan, dan keterbukaan,
2. Dukungan informatif, berupa informasi, nasihat, dan petunjuk yang
diberikan untuk menambah pengetahuan seseorang dalam mencaru jalan keluar
pemecahan masalah, 3. Dukungan instrumental, seperti penyediaan sarana
yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai dalam bentuk materi,
pemberian kesempatan waktu, pekerjaan, peluang serta modifikasi lingkungan,
dan 4. Penilaian positif, berupa pemberian penghargaan atas usaha yang telah
dilakukan, memberi umpan balik mengenai hasil atau prestasi, penghargaan
dan kritik yang membangun.
Sarafino (2013) membagi aspek-aspek dukungan sosial ke dalam lima
aspek, yaitu:
43
a.
Dukungan instrumental (tangible or instrumental support)
Dukungan ini merupakan pemberian sesuatu berupa bantuan nyata
(tangible aid) atau dukungan alat (intstrumental aid). Bentuk dari
dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan
pertolongan secara langsung kepada individu, seperti pinjaman uang,
pemberian barang, makanan, dan pelayanan lainnya. Bentuk dukungan ini
dapat
mengurangi
kecemasan
karena
individu
dapat
langsung
memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan ini
sangat diperlukan dalam menghadapi keadaan yang dianggap dapat
dikontrol.
b.
Dukungan informasional (informational support)
Dukungan informasi mencakup pemberian nasihat, petunjuk-petunjuk,
saran-saran, informasi atau umpan balik tentang kondisi individu dan apa
yang harus ia lakukan. Dukungan ini membantu individu mengenali
masalah yang sebenarnya serta mengatasi masalah dengan cara
memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang
dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan
memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga
membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme
penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk.
c.
Dukungan emosional (emotional support)
Dukungan emosional merupakan dukungan yang berhubungan dengan hal
yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi, atau ekspresi.
44
Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang selalu
mendampingi, adanya suasana kehangatan, dan rasa diperhatikan yang
dapat memberikan individu perasaan nyaman, tentram, berharga, dan
merasa dicintai, sehingga individu dapat menghadapi dan menyelesaikan
masalahnya dengan baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi
keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.
d.
Dukungan penghargaan (esteem support)
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan yang positif
untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain.
Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri
dan kompetensi.
e.
Dukungan jaringan (network support)
Dukungan jaringan mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok.
Dukungan jaringan merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu
kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Dukungan ini
dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak
dengan orang lain, membantu mengalihkan perhatian seseorang dari
masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang
positif.
House (dalam Smet, 1994) mengungkapkan aspek-aspek dukungan sosial
keluarga menjadi empat dimensi, yakni:
45
a.
Dukungan emosional
Dukungan yang mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian
yang diberikan orang lain kepada individu yang bersangkutan, sehingga
individu yang bersangkutan menjadi yakin bahwa orang lain tersebut
mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya.
b.
Dukungan penghargaan
Dukungan ini terjadi lewat ungkapan hormat,
penghargaan positif,
dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan
individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain.
c.
Dukungan instrumental
Dukungan ini mencakup bantuan langsung yang meliputi penyediaan saran
untuk mempermudah atau mendorong orang lain, contohnya, peralatan,
perlengkapan, dan sarana pendukung lain.
d.
Dukungan informatif
Dukungan informasi dapat berupa saran-saran, nasihat, petunjuk yang
diperoleh dari orang lain, serta umpan balik, sehingga individu dapat
membatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluarnya.
Berdasarkan uraian aspek-aspek dukungan sosial yang diungkapkan oleh
beberapa ahli di atas, maka penelitian ini menggunakan aspek dukungan sosial
keluarga yang diungkapkan oleh House (dalam Smet, 1994). Aspek harga diri
yang diungkapkan oleh House (dalam Smet, 1994) meliputi: dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan
informatif. Aspek ini dipilih karena lebih sesuai dengan responden penelitian,
46
selain itu aspek dukungan sosial keluarga yang diungkapkan oleh House
(dalam Smet, 1994) memiliki banyak kesamaan dengan beberapa aspek lain
yang diungkapkan oleh Cohen dan Syme (1985) dan Sarafino (2013).
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang Mendapatkan Dukungan
Sosial Keluarga
Sarafino (2013) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi
individu mendapatkan dukungan sosial dari orang lain, yaitu:
a.
Penerima dukungan (recipient)
Individu tidak akan memperoleh dukungan bila individu tersebut tidak
ramah, tidak mau menolong individu lain, dan tidak membiarkan individu
lain mengetahui bahwa mereka membutuhkan pertolongan. Beberapa
individu terkadang kurang asertif untuk memahami bahwa sebenarnya ia
membutuhkan pertolongan orang lain, atau merasa bahwa ia seharusnya
mandiri dan tidak ingin mengganggu orang lain, atau merasa tidak nyaman
saat orang lain menolongnya, atau tidak tahu kepada siapa dia harus
meminta pertolongan.
b.
Penyedia dukungan (provider)
Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak memiliki
sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu. Selain itu, ketika penyedia
tengah menghadapi stess, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang
sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa ada orang
lain yang sedang membutuhkan dukungan darinya.
47
c.
Komposisi dan struktur jaringan sosial
Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran, yaitu jumlah orang yang biasa
dihubungi, frekuensi hubungan, yaitu seberapa sering individu bertemu
dengan orang tersebut, komposisi, yaitu apakah orang tersebut adalah
keluarga, teman, rekan kerja, atau lainnya, serta keintiman yang
merupakan kedekatan hubungan individu dan adanya keinginan untuk
saling mempercayai.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga juga diungkapkan
oleh Feirig dan Lewis (dalam Friedman, 1998), bahwa ada bukti kuat dari hasil
penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara
kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak
yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada
anak-anak yang berasal dari keluarga dari keluarga besar. Selain itu, dukungan
yang diberikan oleh seseorang dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman
(1998), orang yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan
atau mengenali kebutuhan orang lain dan juga lebih egosentris dibanding orang
yang lebih tua. Faktor lain yang mempengaruhi dukungan sosial adalah kelas
sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan, tingkat
pendidikan dan status sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dukungan sosial
keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berasal
dari dalam diri individu maupun dari luar diri individu. Faktor-faktor tersebut
48
diantaranya adalah penerima dukungan, penyedia dukungan, komposisi dan
struktur jaringan sosial, ukuran keluarga, usia, dan kelas sosial ekonomi.
D. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja sebagai periode tertentu dari kehidupan manusia (Desmita, 2012).
Konsep “remaja” muncul kira-kira setelah era industrialisasi merata di negaranegara Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya (Sarwono,
2000). Di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence”
yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere” (kata bendanya
adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam
perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2012).
Adolescence (masa remaja) didefinisikan sebagai periode antara pubertas
dan kedewasaan dengan usia yang diperkirakan antara 12 sampai 21 tahun
untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan
antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki (Chaplin, 2011). Kematangan
yang dimaksud adalah bukan kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan
psikologis dan sosial (Kumalasari & Andhyantoro, 2012). Hurlock (1980) juga
mengungkapkan bahwa, istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat
ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional,
sosial, dan fisik. Seperti yang diungkapkan oleh WHO, masa remaja adalah
masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada
masa itu terjadi pertumbuhan yang pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga
mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan perkembangan, baik fisik,
49
mental, maupun peran sosial (Surjadi, dalam Kumalasari & Andhyantoro,
2012). Pandangan ini juga diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock, 1980)
dengan mengatakan:
“Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah
tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat
(dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan
masa puber. Selain itu, perubahan intelektual yang mencolok, transformasi
intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk
mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya
merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.”
Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih
bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu
biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara lengkap Muangman (dalam
Sarwono, 2008) mengungkapkan bahwa, remaja adalah suatu masa ketika:
a.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual;
b.
Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa;
c.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Masa remaja adalah periode yang penting dalam rentang kehidupan
individu. Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting,
namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih
penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung
terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat
50
jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat
jangka panjang tetap penting (Hurlock, 1980). Menurut Kumalasari dan
Andhyantoro (2012), setidaknya ada tiga hal yang menjadikan masa remaja
penting sekali, terutama bagi kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut:
a.
Masa remaja (usia 10-19 tahun) merupakan masa yang khusus dan penting
karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia dan
sering disebut masa pubertas.
b.
Masa remaja terjadi perubahan fisik (organobiologis) secara tepat yang
tidak
seimbang
dengan
perubahan
kejiwaan
(mental-emosional).
Perubahan yang cukup besar ini dapat membingungkan remaja yang
mengalaminya, karena itu perlu pengertian, bimbingan, dan dukungan
lingkungan sekitarnya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi
manusia dewasa yang sehat, baik jasmani, mental, maupun psikososial.
c.
Dalam lingkungan sosial tertentu, sering terjadi perbedaan perlakuan
terhadap remaja laki-laki dan wanita. Bagi laki-laki, masa remaja
merupakan saat diperolehnya kebebasan, sedangkan untuk remaja wanita
merupakan saat dimulainya segala bentuk pembatasan (pada zaman dahulu
gadis mulai dipingit ketika mereka mulai mengalami menstruasi).
Pemberian batasan terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masa
remaja tidaklah mudah, termasuk dalam penentuan batasan usia pada masa
remaja, hal tersebut dikarenakan masa remaja termasuk dalam masa yang unik
(Al-Mighwar, 2006). Batasan usia remaja yang berbeda-beda dapat
dikarenakan penyesuaian dengan sosial budaya setempat (Kumalasari &
51
Andhyantoro, 2012). Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan,
masalah yang dirasakan paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja
adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini, WHO
menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Berbeda
dengan WHO yang meninjaunya dari bidang kesehatan, dari segi program
pelayanan, Departemen Kesehatan mendefinisikan remaja sebagai individuindividu dengan batasan usia 10-19 tahun dan belum kawin (Kumalasari &
Andhyantoro, 2012).
Sebagai pedoman umum, Sarwono (2008) mengungkapkan bahwa, dapat
digunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja
Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.
Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai tampak (kriteria fisik).
b.
Di banyak masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil
balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
c.
Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan
jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson),
tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud)
dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral
(Kohlberg) (kriteria psikologi).
d.
Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi
peluang
bagi
mereka
yang
sampai
batas
usia
tersebut
masih
52
menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh
sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum dapat memberikan
pendapat sendiri, dan sebagainya.
e.
Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan. Hal itu
karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat Indonesia
secara menyeluruh. Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun
dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara
hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Oleh karena
itu, definisi remaja di sini dibatasi khusus untuk yang belum menikah.
Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja
awal dan masa remaja akhir (Hurlock, 1980). Garis yang memisahkan antara
masa remaja awal dengan masa remaja akhir terletak kira-kira di sekitar usia
tujuh belas tahun. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun
sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan masa remaja akhir berlangsung
kira-kira dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas
tahun, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1980). Tetapi, batasan usia
remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.
Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: usia 12-15
tahun merupakan masa remaja awal, usia 15-18 tahun merupakan masa remaja
pertengahan, dan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir.
2. Ciri-ciri Umum Masa Remaja
Setiap periode penting selama rentang kehidupan memiliki ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-
53
ciri remaja menurut Hurlock (dalam Al-Mighwar, 2006), sebagaimana paparan
berikut.
a.
Masa yang penting
Semua periode dalam rentang kehidupan memang penting, tetapi ada
perbedaan dalam tingkat kepentingannya. Adanya akibat yang langsung
terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka panjangnya
menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode lainnya. Baik
akibat langsung maupun akibat jangka panjang sama pentingnya bagi
remaja karena adanya akibat fisik dan akibat psikologis.
b.
Masa transisi
Transisi merupakan tahap dari satu tahap perkembangan ke tahap
berikutnya. Pada setiap periode transisi, tampak ketidakjelasan status
individu
dan
munculnya
keraguan
terhadap
peran
yang
harus
dimainkannya. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan bukan
juga orang dewasa. Bila remaja bertingkah laku seperti anak-anak, maka
dia akan diajari untuk bertindak sesuai dengan usianya. Di sisi lain,
ketidakjelasan status itu juga menguntungkan karena memberi peluang
kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan
pola tingkah laku, nilai, dan sifat yang paling relevan dengannya.
c.
Masa perubahan
Selama masa remaja, tingkat perubahan sikap dan perilaku sejajar dengan
tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat selama
masa awal remaja, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat.
54
Bila terjadi penurunan dalam perubahan fisik, penurunan juga akan terjadi
pada perubahan sikap dan tingkah laku.
d.
Masa bermasalah
Meskipun setiap periode memiliki masalah sendiri, masalah masa remaja
termasuk masalah yang sulit diatasi, baik oleh remaja laki-laki maupun
remaja perempuan. Hal tersebut dikarenakan, pertama, sebagian masalah
yang terjadi selama masa kanak-kanak diselesaikan oleh orang tua dan
guru-guru, sehingga mayoritas remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasinya. Kedua, sebagian remaja sudah merasa mandiri sehingga
menolak bantuan orang tua dan guru-guru. Dia ingin mengatasi
masalahnya sendirian.
e.
Masa pencarian identitas
Penyesuaian diri dengan standar kelompok dianggap jauh lebih penting
bagi remaja, terutama pada tahun-tahun awal masa remaja. Namun secara
bertahap, mereka mulai mengharapkan identitas diri dan tidak lagi merasa
puas dengan adanya kesamaan dalam segala hal dengan teman sebayanya.
f.
Masa munculnya ketakutan
Majeres berpendapat, “Banyak yang beranggapan bahwa popularitas
mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak diantaranya yang
bersifat negatif.” Persepsi negatif terhadap remaja seperti tidak dapat
dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku merusak, mengindikasikan
pentingnya bimbingan dan pengawasan orang dewasa. Demikian pula,
55
terhadap kehidupan remaja muda yang cenderung tidak simpatik dan takut
bertanggung jawab.
g.
Masa yang tidak realistik
Pandangan subjektif cenderung mewarnai remaja. Mereka memandang diri
sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya, dan bukan berdasarkan
kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam hal cita-cita. Tidak hanya
berakibat bagi dirinya sendiri, bahkan bagi keluarga dan teman-temannya,
cita-cita yang tidak realistik ini berakibat pada tingginya emosi yang
merupakan ciri awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya,
semakin tinggi kemarahannya. Bila orang lain mengecewakannya atau
kalau dia tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dia akan
sakit hati dan kecewa.
h.
Masa menuju masa dewasa
Saat usia kematangan semakin dekat, para remaja gelisah untuk
meninggalkan stereotip usia belasan tahun yang indah di satu sisi, dan
harus bersiap-siap menuju usia dewasa di sisi lainnya. Kegelisahan itu
timbul akibat kebimbangan tentang bagaimana meninggalkan masa remaja
dan bagaimana pula memasuki masa dewasa. Bila kurang arahan atau
bimbingan, tingkah laku mereka akan menjadi ganjil, seperti berpakaian
dan bertingkah laku meniru orang dewasa, merokok, minum minuman
keras, menggunakan obat terlarang, dan terlibat dalam perilaku seks.
56
3. Tahapan Perkembangan Remaja
Menurut Hurlock (dalam Kumalasari & Andhyantoro, 2012) tahap
perkembangan pada masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, diantaranya:
a. Masa remaja awal (12-15 tahun)
1) Lebih dekat dengan teman sebaya,
2) Ingin bebas,
3) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya,
4) Mulai berpikir abstrak.
b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
1) Mencari identitas diri,
2) Timbul keinginan untuk berkencan,
3) Mempunyai rasa cinta yang mendalam,
4) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak,
5) Berkhayal tentang aktivitas seks.
c. Masa remaja akhir (18-21 tahun)
1) Pengungkapan kebebasan diri,
2) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya,
3) Mempunyai citra tubuh (body image) terhadap dirinya sendiri,
4) Dapat mewujudkan rasa cinta.
4. Perubahan Fisik pada Masa Remaja
Masa remaja terjadi ketika seseorang mengalami perubahan struktur tubuh
dari anak-anak menjadi dewasa (pubertas). Pada masa ini terjadi suatu
perubahan fisik yang cepat disertai banyak perubahan, termasuk di dalamnya
57
pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai
kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan melaksanakan fungsi
reproduksi. Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam
pertumbuhan masa remaja, yang berdampak terhadap perubahan-perubahan
psikologis (Sarwono, dalam Desmita, 2012). Perubahan yang terjadi pada
pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda sebagai berikut.
a. Tanda-tanda seks primer
Tanda-tanda seks primer yang dimaksud adalah yang berhubungan langsung
dengan organ seks. Dalam Modul Kesehatan Reproduksi Remaja (Depkes,
dalam Kumalasari dan Andhyantoro, 2012) disebutkan bahwa, ciri-ciri seks
primer pada remaja adalah sebagai berikut.
1) Remaja laki-laki
Remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah
mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja
laki-laki usia antara 10-15 tahun. Mimpi basah sebetulnya merupakan
salah satu cara tubuh laki-laki ejakulasi. Ejakulasi terjadi karena sperma
yang
terus-menerus
diproduksi
perlu
dikeluarkan.
Ini
adalah
pengalaman yang normal bagi semua remaja laki-laki.
2) Remaja wanita
Pada remaja wanita sebagai tanda kematangan organ reproduksi adalah
ditandai dengan datangnya menstruasi. Menstruasi adalah proses
peluruhan lapisan dalam atau endometrium yang banyak mengandung
pembuluh darah dari uterus melalui vagina. Hal ini berlangsung terus
58
sampai menjelang masa menopause, yaitu ketika individu wanita
berumur 40-50 tahun.
b. Tanda-tanda seks sekunder
1) Remaja laki-laki
a) Lengan dan tungkai kaki bertambah panjang; tangan dan kaki
bertambah besar.
b) Bahu melebar, pundak serta dada bertambah besar dan membidang,
pinggung menyempit.
c) Pertumbuhan rambut di sekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan,
dan kaki.
d) Tulang wajah memanjang dan membesar tidak tampak seperti anak
kecil lagi.
e) Tumbuh jakun, suara menjadi besar.
f)
Penis dan buah zakar membesar.
g) Kulit menjadi lebih kasar, tebal, dan berminyak.
h) Rambut menjadi lebih berminyak.
i)
Produksi keringat menjadi lebih banyak.
2) Remaja wanita
a) Lengan dan tungkai kaki bertambah panjang, tangan dan kaki
bertambah besar.
b) Pinggul lebar, bulat, dan membesar.
c) Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar ketiak dan vagina.
d) Tulang-tulang wajah mulai memanjang dan membesar.
59
e) Pertumbuhan payudara, puting susu membesar dan menonjol, serta
kelenjar susu berkembang, payudara menjadi lebih besar dan lebih
bulat.
f)
Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang pori-pori
bertambah besar, kelenjar lemak, dan kelenjar keringat menjadi
lebih aktif.
g) Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan
dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk
pada bahu, lengan, dan tungkai.
h) Suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu.
5. Perkembangan Seksualitas pada Remaja
Peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas pada masa remaja
merupakan salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol.
Santrock (1980) menggambarkan hal tersebut sebagai berikut:
During adolescence, the lives of mae and female becaome wrapped is
sexuality... Adolescence is a time of sexual exploration and
experimentation, of sexual fantasies and sexual realities, of incorporating
sexuality into one’s identity. Adolescents have an almost insatiable
curiousity about sexuality’s mysteries. They think about whether they are
sexuality attractive, whether they will grow more, whether anyone will
love them, and whether it is normal to have sex. The majority of
adolescents manage eventually to develop a mature sexual identity, but for
most there are periods of vunerability and confusion along life’s sexual
journey (Santrock, dalam Desmita, 2012).
Tugas perkembangan yang pertama berhubungan dengan seksualitas yang
harus dikuasai adalah pembentukan hubungan baru dan lebih matang dengan
lawan jenis (Hurlock, 1980). Remaja harus memperoleh konsep yang dimiliki
ketika masih anak-anak agar dapat menguasai tugas perkembangan tersebut,
60
dan dapat memainkan peran yang tepat dengan seksnya. Dorongan untuk
melakukan hal ini datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat
remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1980).
Peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini juga dipengaruhi
oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Desmita,
2012). Terutama kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan
hormonal yang mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam
diri remaja. Dorongan-dorongan seksual pada masa remaja ini sangat tinggi,
bahkan lebih tinggi dari dorongan seksual orang dewasa. Dorongan-dorongan
seksual tersebut tidak jarang menimbulkan ketegangan fisik dan psikis pada
remaja karena remaja belum memiliki pengalaman tentang seksual sebelumnya
(Desmita, 2012).
Meningkatnya minat seksualitas pada masa remaja serta untuk melepaskan
diri dari ketegangan seksual yang ditimbulkan dari hal tersebut, remaja selalu
berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seksualitas (Hurlock,
1980). Pada umumnya, hanya sedikit remaja yang mempelajari dan
mendapatkan informasi mengenai seluk beluk tentang seksualitas dari orang
tua, hal tersebut dapat dikarenakan remaja kurang percaya diri untuk
membahas masalah seksualitas dengan orang tuanya, selain itu, pada zaman
sekarang ini tidak sedikit orang tua yang masih mentabukan pembahasan
seputar seksualitas dengan anak remaja mereka. Oleh karena itu, remaja
mencari lebih banyak informasi mengenai seksualitas dari berbagai sumber
informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya karena higiene seks di
61
sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku
tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu,
atau bersenggama (Hurlock, 1980). Sejalan dengan Hurlock, Desmita (2012)
juga mengungkapkan bahwa, untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual
tersebut, remaja mencoba mengekspresikan dorongan seksualnya dalam
berbagai bentuk tingkah laku seksual, mulai dari melakukan aktivitas
berkencan, bercumbu, sampai dengan melakukan kontak seksual.
E. Hubungan antara Harga Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan
Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Putri
1. Hubungan antara Harga Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan
Perilaku Seksual pada Remaja Putri
Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan
manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa
(Santrock, 2012). Masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, psikologis,
dan sosial yang berhubungan langsung dengan kepribadian, seksual, dan peran
sosial remaja. Pada perubahan fisik terjadi perubahan secara biologis yang
ditandai dengan kematangan organ seks primer dan sekunder yang dipengaruhi
oleh kematangan hormon seksual. Pada perubahan psikologis, keadaan emosi
remaja cenderung labil dan lebih mendominasi daripada pikiran yang logis dan
realistis. Pada kehidupan sosial, ciri khas kematangan sosial remaja ditandai
dengan mulai munculnya ketertarikan terhadap lawan jenis, yang mana
perilaku tersebut biasanya dimanifestasikan dalam bentuk yang salah satunya
62
adalah remaja lebih senang bergaul dengan lawan jenis mereka (Mansur,
2009).
Pada masa remaja beberapa pola perilaku individu remaja mulai terbentuk,
termasuk identitas diri, kematangan seksual, dan keberanian untuk melakukan
perilaku yang berisiko (Widyastuti, 2009). Perilaku berisiko pada remaja
mengacu pada segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan
kepribadian dan adaptasi sosial dari remaja (WHO, 1993). Beberapa perilaku
berisiko yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang terjadi pada remaja
salah satunya adalah perilaku seksual pranikah (Smet, 1994).
Perilaku seksual remaja zaman sekarang semakin lama semakin permisif.
Perilaku berpelukan dan berciuman seolah-olah sudah merupakan hal yang
wajar dilakukan oleh remaja. Perilaku-perilaku seksual yang demikian ekstrim
dapat menjadi pemicu remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah
atau kontak seksual yang dilakukan berpasangan tanpa ikatan pernikahan yang
sah, contohnya intercourse. Ada beberapa bentuk perilaku seksual remaja yang
dilakukan secara berturut-turut, yaitu kissing, necking, petting, dan intercourse,
atau seks oral (Santrock, 2012).
Suryoputro, dkk. (2006) menyatakan bahwa, harga diri merupakan salah
satu elemen personal yang berpengaruh dalam perilaku sekual. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Soetjiningsih (2008) mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja membuktikan bahwa,
harga diri merupakan salah satu faktor individual yang mempengaruhi perilaku
seksual pranikah pada remaja. Andriani (2013) menambahkan bahwa, harga
63
diri memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku seksual pranikah remaja.
Hal tersebut menunjukkan bahwa individu dengan harga diri tinggi cenderung
memiliki peluang yang rendah untuk melakukan kegiatan seksual pranikah, dan
sebaliknya, individu dengan harga diri rendah cenderung memiliki peluang
yang tinggi untuk melakukan kegiatan seksual pranikah.
Remaja dengan harga diri tinggi cenderung akan menjalani tahapan
perkembangannya dengan lebih baik (Hurlock, 1980). Crocker (dalam
Mulyana & Purnamasari, 2010) juga mengungkapkan bahwa, individu dengan
harga diri tinggi akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap diri
sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan, maupun kegagalan.
Menurut Coopersmith (1967), individu yang memiliki harga diri tinggi
memiliki sifat aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, cenderung
sukses dalam bidang akademis dan juga dalam hal hubungan sosial, serta
dalam pergaulan, individu yang memiliki harga diri tinggi lebih bersifat
memimpin, bebas berpendapat, tidak menghindari perbedaan pendapat, tahan
terhadap semua kritikan, dan tidak mudah cemas. Remaja dengan harga diri
tinggi cenderung akan memandang dirinya secara positif serta menghargai dan
menerima dirinya sendiri apa adanya (Santrock, 1999). Hal tersebut
memungkinkan remaja putri dengan harga diri yang tinggi untuk mengarahkan
tingkah laku sosialnya ke arah positif dengan menghindari perilaku seksual
pranikah karena remaja merasa dirinya berharga dan ingin mempertahankan
pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri
64
inilah yang membentuk harga diri remaja berkaitan dengan masalahmasalahnya, salah satunya adalah masalah seksualitasnya.
Pada dasarnya, harga diri berpengaruh pada tingkah laku sosial individu.
Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Steinberg (1999) yang mengatakan
bahwa, harga diri merupakan konstruk yang penting dalam menentukan
tingkah laku seseorang. Sejalan dengan Steinberg (1999), Sarwono dan
Meinarno (2012) mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan penilaian atau
evaluasi individu terhadap dirinya yang mempengaruhi tingkah laku sosial
individu. Coopersmith (1967) juga mengungkapkan bahwa, individu dengan
harga diri tinggi tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan
ketentuan yang berlaku di masyarakat, serta mematuhi prinsip-prinsip etis,
moral, dan agama yang telah diterimanya dan diinternalisasi. Baumeister, dkk.
(dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa, harga diri mempengaruhi inisiatif
individu dan dapat memperlihatkan perilaku individu, baik anti-sosial maupun
prososial. Individu yang memiliki harga diri tinggi maka akan memperlihatkan
perilaku prososial, dan sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah
cenderung melakukan perilaku anti-sosial. Hal tersebut dikarenakan harga diri
merupakan bagian dari terbentuknya karakteristik seseorang.
Selain harga diri, yang merupakan faktor personal yang mempengaruhi
munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja, faktor dari luar diri remaja
yang juga sangat mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja adalah
faktor dukungan sosial keluarga, dimana dukungan sosial keluarga merupakan
salah satu faktor penguat dari munculnya perilaku individu (Green, dalam
65
Notoatmodjo, 2007). Soetjiningsih (2008) dalam penelitiannya membuktikan
bahwa, keluarga merupakan faktor yang paling tinggi mempengaruhi perilaku
seksual pranikah pada remaja, diikuti faktor lain, diantaranya tekanan teman
sebaya, religiusitas, dan eksposur media pornografi. Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Soetjiningsih (2008), penelitian yang dilakukan oleh
Handayani, dkk. (2010) juga membuktikan bahwa, dukungan sosial keluarga,
khususnya orang tua, berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada
remaja.
Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, yang mana orang
tua, baik ayah maupun ibu, merupakan individu-individu yang paling
signifikan dalam kehidupan remaja yang mengarahkan pembentukan tata nilai
serta perilaku pada remaja. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai tokoh
penting yang mengawasi dengan siapa remaja menjalin hubungan (Santrock,
2012) dan merupakan suatu sistem dukungan yang menyediakan landasan yang
kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan
baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara
psikologis (Desmita, 2012).
Dukungan sosial yang berasal dari keluarga, khususnya orang tua,
merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan perilaku
dalam diri individu. Menurut Lee dan Detels (2007), dukungan sosial orang tua
dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu dukungan yang bersifat positif dan
dukungan yang bersifat negatif. Dukungan positif adalah perilaku positif yang
ditunjukkan oleh orang tua, dan dukungan yang bersifat negatif adalah perilaku
66
yang dinilai negatif yang dapat mengarahkan pada perilaku negatif. Dukungan
sosial keluarga yang positif akan memperkuat perilaku positif dan akan
melemahkan perilaku negatif pada individu. Dalam hal ini perilaku seksual
pranikah merupakan jenis perilaku yang negatif, maka dengan dukungan sosial
keluarga yang positif dapat memungkinkan remaja menghindari perilaku
seksual pranikah.
Menurut House (dalam Smet, 1994), dukungan sosial yang dapat diberikan
oleh keluarga kepada remaja dalam hal ini dapat berupa dukungan
instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dan dukungan
penghargaan. Bentuk dukungan sosial dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
a.
Dukungan instrumental, bentuk dari dukungan ini merupakan penyediaan
bantuan nyata atau materi yang dapat memberikan pertolongan secara
langsung kepada individu, seperti pinjaman uang, pemberian barang,
makanan, dan pelayanan lainnya.
b.
Dukungan informasional, bentuk dari dukungan ini mencakup pemberian
nasihat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik
tentang kondisi individu dan apa yang harus ia lakukan.
c.
Dukungan emosional, bentuk dari dukungan ini berhubungan dengan hal
yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi atau ekspresi.
d.
Dukungan penghargaan, bentuk dari dukungan ini ungkapan hormat,
penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan
individu lain.
67
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, bahwa harga diri dan dukungan
sosial keluarga secara bersama-sama berhubungan dengan perilaku seksual
pranikah pada remaja, khususnya remaja putri. Remaja putri yang memiliki
harga diri tinggi dan dukungan sosial keluarga yang tinggi akan memandang
dirinya secara positif, menghargai dan menerima dirinya sendiri apa adanya,
dapat mengendalikan sikap dirinya serta mengontrol atau mengendalikan orang
lain, merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya, percaya
akan kemampuannya sendiri, taat terhadap aturan dalam masyarakat serta tidak
melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku
di masyarakat, merasa dirinya diperhatikan, dicintai, serta merasa dirinya
dihargai dengan berbagai dukungan yang diberikan lingkungan sosial yang
diberikan keluarganya, khususnya orang tua. Adanya karakteristik tersebut
dapat memungkinkan remaja putri untuk menghindari perilaku seksual
pranikah.
2. Hubungan antara Harga Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada
Remaja Putri
Masa remaja disebut sebagai masa peralihan antara tahap kanak-kanak dan
tahap dewasa dengan jangka waktu yang berbeda bagi setiap individu
tergantung pada faktor sosial dan budaya. Pada masa ini individu berada
diantara dua tahap kehidupan yang berbeda, yaitu masa kanak-kanak dan masa
dewasa (Hurlock, 1980). Hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan pada status
individu dan menimbulkan keraguan tentang peranan yang harus dilakukan.
Tugas perkembangan yang pertama berhubungan dengan seksualitas yang
68
harus dikuasai remaja adalah pembentukan hubungan baru dan lebih matang
dengan lawan jenis (Hurlock, 1980). Remaja harus memperoleh konsep yang
dimiliki ketika masih anak-anak agar dapat menguasai tugas perkembangan
tersebut, dan dapat memainkan peran yang tepat dengan seksnya. Dorongan
untuk melakukan hal ini datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari
minat remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1980).
Dorongan seksual bisa diekspresikan dalam bentuk perilaku seksual.
Perilaku seksual yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah
disebut perilaku seksual pranikah. Saat ini banyak remaja yang terjebak dalam
perilaku seksual pranikah yang pada dasarnya memberikan dampak yang
merugikan, terutama bagi remaja wanita. Bentuk perilaku seksual pranikah
yang dilakukan secara berturut-turut, yaitu kissing, necking, petting, dan
intercourse, atau seks oral (Santrock, 2012).
Harga diri merupakan dimensi evaluasi yang menyeluruh dari diri individu
(Santrock, 2003). Baron, Byrne, dan Branscombe (dalam Sarwono &
Meinarno, 2012) mengatakan bahwa, harga diri menunjukkan keseluruhan
sikap seseorang terhadap dirinya, baik positif maupun negatif. Pada umumnya
setiap individu menginginkan harga diri yang positif, karena dengan harga diri
yang positif individu dapat merasakan bahwa dirinya berguna atau berarti bagi
orang lain meskipun dirinya memiliki kelemahan, baik secara fisik maupun
secara mental (Maslow, dalam Lubis, 2009). Crocker (dalam Mulyana &
Purnamasari, 2010) juga mengungkapkan bahwa, individu dengan harga diri
69
yang positif atau tinggi akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap
diri sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan, maupun kegagalan.
Pada dasarnya harga diri berpengaruh pada tingkah laku sosial individu.
Sarwono dan Meinarno (2012) mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan
penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya yang mempengaruhi tingkah
laku sosial individu. Baumeister, dkk. (dalam Santrock, 2007) mengatakan
bahwa, harga diri mempengaruhi inisiatif individu dan dapat memperlihatkan
perilaku individu, baik anti-sosial maupun prososial. Remaja dengan harga diri
tinggi cenderung akan berperilaku positif, sedangkan remaja yang memiliki
harga diri rendah cenderung akan berperilaku negatif. Hal tersebut dapat
memungkinkan remaja yang memiliki harga diri tinggi akan menghindari
perilaku seksual pranikah karena remaja menghargai dan menerima dirinya
sendiri apa adanya, serta memandang dirinya secara positif dan akan
mempertahankan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Suryoputro, dkk. (2006) yang menunjukkan bahwa, harga diri sangat
mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana, dkk. (2010) yang menunjukkan
bahwa, ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan sikap
terhadap perilaku seksual pranikah. Penelitian lainnya yang mendukung adalah
penelitian yang dilakukan oleh Whitaker, dkk. (2000) dan Parcel, dkk. (1999)
menunjukkan bahwa, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung
70
akan menunda atau tidak melakukan aktivitas seksual dibandingkan dengan
remaja yang memiliki harga diri yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa harga diri berhubungan
dengan perilaku seksual pranikah pada remaja, khususnya remaja putri. Remaja
putri dengan harga diri yang tinggi akan menghindari perilaku seksual
pranikah. Hal ini disebabkan remaja putri yang memiliki harga diri yang tinggi
cenderung menghargai dan menerima dirinya sendiri apa adanya. Selain itu,
remaja putri dengan harga diri yang tinggi cenderung memandang dirinya
secara positif dan akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap
dirinya sendiri.
3. Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Perilaku Seksual
Pranikah pada Remaja Putri
Santrock (2012) mempertegas bahwa, remaja adalah masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dimulai saat anak menunjukkan
tanda-tanda pubertas dan dilanjutkan dengan perubahan-perubahan dari yang
bukan seksual menjadi seksual pada individu. Perubahan-perubahan yang
dialami remaja tersebut dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan pada
remaja. Ketegangan-ketegangan yang dialami remaja kadang-kadang tidak
terselesaikan
dengan
baik
yang
kemudian
menjadi
konflik
yang
berkepanjangan. Ketidakmampuan remaja dalam mengantisipasi konflik akan
menyebabkan perasaan gagal yang mengarah pada penyimpangan, salah
satunya adalah melakukan perilaku seksual pranikah.
71
Perilaku seksual pranikah adalah perilaku yang mengarah pada keintiman
heteroseksual yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan sebelum
adanya ikatan resmi (pernikahan) (Crooks, dalam Nuandri & Widayat, 2014).
Yuwono (2000) mengemukakan akibat dari perilaku seksual pranikah secara
fisiologis, yaitu: kehamilan yang tidak dikehendaki, kesehatan ibu, dan
penyakit menular seksual (PMS) dan secara psikologis, yaitu: perasaan
bersalah dan penolakan masyarakat, depresi, serta ketidaksiapan mental.
Kecenderungan perilaku seksual pada remaja terjadi melalui serangkaian
hal yang melatarbelakanginya dan diperoleh remaja saat berinteraksi dengan
lingkungannya. Faktor lingkungan yang paling tinggi mempengaruhi perilaku
seksual pranikah pada remaja adalah faktor keluarga. Keluarga merupakan
lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh yang sangat besar bagi
tumbuh kembang anak remaja (Maryani, 2010).
Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, khususnya orang
tua, baik ayah maupun ibu, merupakan individu-individu yang paling
signifikan dalam kehidupan remaja yang mengarahkan pembentukan tata nilai
serta perilaku pada remaja. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai tokoh
penting yang mengawasi dengan siapa remaja menjalin hubungan (Santrock,
2012) dan merupakan suatu sistem dukungan yang menyediakan landasan yang
kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan
baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara
psikologis (Desmita, 2012).
72
Dukungan sosial yang berasal dari keluarga, khususnya orang tua,
merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan perilaku
dalam diri individu. Menurut Lee dan Detels (2007), dukungan sosial orang tua
dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu dukungan yang bersifat positif dan
dukungan yang bersifat negatif. Dukungan positif adalah perilaku positif yang
ditunjukkan oleh orang tua, dan dukungan yang bersifat negatif adalah perilaku
yang dinilai negatif yang dapat mengarahkan pada perilaku negatif anak.
Dukungan sosial keluarga yang positif akan memperkuat perilaku positif dan
akan melemahkan perilaku negatif pada individu. Dalam hal ini perilaku
seksual pranikah merupakan jenis perilaku yang negatif, maka dengan
dukungan sosial keluarga yang positif dapat memungkinkan remaja
menghindari perilaku seksual pranikah.
Dukungan sosial yang dapat diberikan oleh keluarga kepada remaja dalam
hal ini dapat berupa dukungan instrumental, dukungan informasional,
dukungan emosional, dan dukungan penghargaan. Bentuk dukungan sosial
dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
a.
Dukungan instrumental, bentuk dari dukungan ini merupakan penyediaan
bantuan nyata atau materi yang dapat memberikan pertolongan secara
langsung kepada individu, seperti pinjaman uang, pemberian barang,
makanan, dan pelayanan lainnya.
b.
Dukungan informasional, bentuk dari dukungan ini mencakup pemberian
nasihat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik
tentang kondisi individu dan apa yang harus ia lakukan.
73
c.
Dukungan emosional, bentuk dari dukungan ini berhubungan dengan hal
yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi atau ekspresi.
d.
Dukungan penghargaan, bentuk dari dukungan ini ungkapan hormat,
penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan
individu lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2015) mengenai
hubungan antara dukungan sosial keluarga dan perilaku seksual pranikah pada
remaja, hasilnya membuktikan bahwa, ada hubungan yang negatif secara
statistik antara dukungan sosial keluarga dengan perilaku seksual pranikah
pada remaja. Penelitian lain mengenai dukungan sosial keluarga dan perilaku
seksual pranikah juga dilakukan oleh Handayani, dkk. (2010) dan penelitian
tersebut membuktikan bahwa, dukungan sosial keluarga, khususnya orang tua,
berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dukungan sosial
keluarga berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja,
khususnya remaja putri. Remaja putri yang mendapatkan dukungan sosial
keluarga yang positif, terutama dari orang tua, cenderung akan menghindari
perilaku seksual pranikah.
74
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut:
2
Harga Diri
1
Perilaku Seksual
Pranikah
Remaja Putri
Dukungan Sosial
Keluarga
3
Bagan 1.
Kerangka Berpikir Penelitian
Keterangan:
1
: Hubungan antara harga diri dan dukungan sosial keluarga
dengan perilaku seksual pranikah pada remaja putri.
2
: Hubungan antara harga diri dengan perilaku seksual
pranikah pada remaja putri.
3
: Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan
perilaku seksual pranikah pada remaja putri.
75
G. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Terdapat hubungan antara harga diri dan dukungan sosial keluarga terhadap
perilaku seksual pranikah pada remaja putri.
2.
Terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku seksual pranikah pada
remaja putri.
3.
Terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan perilaku seksual
pranikah pada remaja putri.
Download