14 BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2000). Soetjiningsih (2008) mengungkapkan bahwa, perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya dalam keadaan belum menikah. Menurut Mu’tadin (dalam Rediekan & Respati, 2013), perilaku seksual pranikah adalah perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut agama dan kepercayaan tiap-tiap individu. Begitu pula dengan Crooks (dalam Nuandri & Widayat, 2014) yang mendefinisikan perilaku seksual pranikah sebagai perilaku yang mengarah pada keintiman heteroseksual yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan sebelum adanya ikatan resmi (pernikahan). Purnomowardani dan Koentjoro (2000) mengatakan bahwa, perilaku seksual pranikah adalah manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku seksual dari tahap yang paling ringan hingga tahap yang paling berat yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah. Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan bentuk tingkah laku seksual yang beraneka ragam, mulai dari berkencan, 14 15 bercumbu, dan bersenggama yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita, diluar perkawinan yang sah (Sarwono, 2008). Simanjuntak (dalam Prastawa & Lailatushifah, 2009) juga menyatakan bahwa, perilaku seksual pranikah adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman sampai dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah perilaku yang mengarah pada keintiman heteroseksual yang merupakan manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku seksual yang meliputi segala macam tindakan seksual seperti berkencan, bergandengan tangan, berciuman, hingga bersenggama yang melibatkan dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda tanpa melalui proses pernikahan yang sah menurut agama dan kepercayaan tiap-tiap individu. 2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Perilaku seksual pranikah remaja adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh remaja sebelum mereka menikah (Soetjiningsih, 2008). Menurut Soetjiningsih (2008), bentuk-bentuk perilaku seksual umumnya bertahap, dimulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual. Tahap-tahap perilaku seksual remaja dapat dirinci sebagai berikut: a. Berpegangan tangan, b. Memeluk/dipeluk di bahu, 16 c. Memeluk/dipeluk di pinggang, d. Ciuman bibir, e. Ciuman bibir sambil pelukan, f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian, g. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian, h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa pakaian, j. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa pakaian, k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa pakaian, l. Hubungan seksual. Sarwono (2010) mengungkapkan berbagai macam tingkah laku seksual yang dimulai dari berkencan, dilanjutkan dengan berpegangan tangan dan berpelukan, kemudian berciuman hingga meraba-raba daerah erogen (payudara/alat kelamin), dan berakhir pada intercourse yang meliputi: a. Kissing Ciuman yang dilakukan dapat menimbulkan rangsangan seksual, seperti di bibir disertai rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan, sedangkan berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah dinamakan french kiss. Kadang french kiss juga disebut ciuman mendalam atau soul kiss. 17 b. Necking Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman di sekitar leher disertai dengan pelukan yang lebih mendalam. c. Petting Petting merupakan perilaku seksual yang berupa menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Petting merupakan langkah yang lebih mendalam daripada necking. Perilaku petting termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan yang meliputi lengan, dada, buah dada, kaki, dan daerah kemaluan, baik di luar maupun di dalam pakaian. d. Intercourse Intercourse adalah perilaku seksual yang dilakukan dengan bersatunya dua orang, pria dan wanita, secara seksual yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina wanita untuk mendapatkan kepuasan seksual. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa bentukbentuk perilaku seksual remaja secara bertahap terdiri atas berkencan, berpegangan tangan, memeluk atau dipeluk di bahu, memeluk atau dipeluk di pinggang, ciuman bibir, ciuman sambil pelukan, meraba atau diraba daerah sensitif dalam keadaan berpakaian, mencium atau dicium daerah sensitif dalam keadaan berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, meraba atau diraba daerah sensitif dalam keadaan tanpa pakaian, mencium atau dicium daerah sensitif dalam keadaan tanpa pakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa pakaian, dan hubungan 18 seksual (intercourse). Bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut untuk selanjutnya akan digunakan sebagai dasar penyusunan skala perilaku seksual pranikah dalam penelitian ini, karena telah merangkum secara lebih lengkap dan terinci dari beberapa teori yang telah dipaparkan. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Menurut Elizabeth B. Hurlock (dalam Kumalasari & Andhyantoro, 2012), beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah sebagai berikut: a. Faktor perkembangan yang terjadi dalam diri remaja, yaitu berasal dari keluarga dimana remaja mulai tumbuh dan berkembang. b. Faktor luar, yaitu mencakup kondisi sekolah/pendidikan formal yang cukup berperan terhadap perkembangan remaja dalam mencapai kedewasaannya. c. Faktor masyarakat, yaitu adat kebiasaan, pergaulan dan perkembangan di segala bidang khususnya teknologi yang dicapai manusia. Menurut Bachtiar (2004), faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja, di antaranya: a. Pendidikan, pendidikan yang rendah cenderung melakukan hubungan seksual pranikah dibanding dengan yang berpendidikan tinggi dan berprestasi. b. Sosial ekonomi, dengan perkonomian keluarga yang rendah cenderung remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah agar pasangannya dapat memenuhi segala sesuatu yang ia butuhkan. 19 c. Pengaruh teman, pengaruh teman memang sangat kuat dalam mempengaruhi perilaku seksual. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja menurut Soetjiningsih (2008), yaitu: a. Faktor individual 1) Self esteem/harga diri Remaja yang self esteemnya rendah cenderung mudah untuk melakukan perilaku seksual pranikah, dan sebaliknya. 2) Religiusitas Religiusitas berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semakin tinggi religiusitas remaja maka semakin rendah perilaku seksual pranikahnya, dan sebaliknya. b. Faktor keluarga Hubungan orang tua-remaja mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja, dan pengaruhnya merupakan yang paling besar diantara faktor lainnya. Semakin baik hubungan orang tua-remaja, maka akan semakin rendah perilaku seksual pranikah pada remaja, dan sebaliknya. c. Faktor di luar keluarga 1) Tekanan negatif teman sebaya Tekanan negatif teman sebaya berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Semakin tinggi tekanan untuk 20 berperilaku negatif dari teman sebaya, maka semakin tinggi pula perilaku seksual pranikah pada remaja, dan sebaliknya. 2) Media pornografi Eksposur media pornografi mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja. Semakin tinggi eksposur media pornografi, maka semakin tinggi pula perilaku seksual pranikah pada remaja, dan sebaliknya. Faktor yang menyebabkan perilaku seksual pranikah pada remaja menurut Sarwono (2008) adalah: a. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. b. Penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain). c. Norma-norma agama yang berlaku, seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut. 21 d. Penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video casette, foto copy, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap anak. Malah, orang tua cenderung membuat jarak terhadap anak dalam masalah yang satu ini. f. Kecenderungan pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat. Hal ini akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria. Menurut Setiawan dan Nurhidayah (2008), perilaku seksual pranikah dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi peningkatan libido seksual akibat perubahan hormonal (perspektif biologis), pengalaman seksual serta pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Faktor eksternal meliputi penundaan usia perkawinan pada remaja, larangan yang sifatnya tabu mengenai perilaku seksual pada remaja, meningkatnya rangsangan seksual dari media massa, sikap orang tua yang tidak terbuka mengenai masalah seksual pada anak, pergaulan yang semakin bebas di 22 kalangan remaja, kurangnya pengawasan dari pendidik dan orangtua pada remaja, serta dorongan dari teman sebaya untuk melakukan perilaku seksual. Berdasarkan uraian di atas, perilaku seksual pranikah pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal, yang berasal dari dalam diri individu, maupun faktor eksternal, yang berasal dari luar diri individu. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja, diantaranya, faktor perkembangan dalam diri remaja, harga diri atau self esteem, religiusitas, perubahan hormonal, pengalaman seksual, serta pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, diantaranya, faktor sosial ekonomi, hubungan orang tua-remaja yang tidak terbuka, norma-norma agama yang berlaku, penundaan usia perkawinan, meningkatnya rangsangan seksual dari media massa, pergaulan bebas di kalangan remaja, kurangnya pengawasan dari pendidik dan orang tua remaja, serta dorongan dari teman sebaya untuk melakukan perilaku seksual. B. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Harga diri adalah kata yang banyak digunakan dalam bidang ilmu psikologi. Para ahli dalam bidang ilmu psikologi sering menggunakan istilah harga diri untuk menandakan bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya. Robinson (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) mengatakan bahwa, harga diri merupakan bagian atau komponen yang lebih spesifik dari konsep diri, yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian terhadap diri. Evaluasi atau penilaian 23 tersebut akan memperlihatkan bagaimana penilaian individu tentang penghargaan terhadap dirinya, sifat, dan kemampuan individu itu sendiri (Myers, 2012). Harga diri adalah dimensi evaluasi yang menyeluruh dari diri individu (Santrock, 2003). Deaux, Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono & Meinarno, 2012) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri sendiri. Sejalan dengan Deaux dkk., Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh setiap individu yang merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif. Harga diri juga menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (Baron, Byrne, & Branscombe, dalam Sarwono & Meinarno, 2012). Definisi harga diri menurut Coopersmith (1967): “Self esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it expresses an attitude of approval or dissaproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable, significant, successful and worthy. In short, self esteem is a personal judgement of worthiness that is expressed in the attitudes the invidual holds toward himself” Menurut Padmomartono (2014) harga diri atau self esteem merupakan rasa seseorang sebagai bernilai dan berharga sebagai hasil dari mengevaluasi konsep dirinya. Padmomartono (2014) selanjutnya menjelaskan bahwa, harga diri atau self esteem, yaitu: 1) Penilaian akhir nilai atau harga akan diri (selfworth). 2) Tidak ada konteks yang sensitif dan tidak berkaitan dengan tugas yang spesifik. 3) Penilaian kognitif yang bebas dari tujuan tertentu. 4) 24 Mempersoalkan pertanyaan tentang rasa, “Bagaimana perasaan saya tentang diri saya sendiri?” Harga diri merupakan variabel psikologis yang memegang peranan penting dalam perkembangan sikap dan perilaku individu. Hal tersebut sebagian dikarenakan manusia memang sangat memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa positif atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan lain sebagainya (Baron & Byrne, 2004). Terlebih lagi para remaja yang pada dasarnya masih dalam situasi peralihan dan krisis dalam menemukan identitas dirinya sehingga perasaan berharga dan bernilai sangatlah dibutuhkan oleh remaja (Santrock, 2003). Crocker (dalam Mulyana & Purnamasari, 2010) mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan kemampuan individu untuk mempertahankan pandangan yang positif terhadap diri sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan, maupun kegagalan. Pada umumnya setiap individu menginginkan harga diri yang positif, karena dengan harga diri yang positif individu dapat merasakan bahwa dirinya berguna atau berarti bagi orang lain meskipun dirinya memilki kelemahan baik secara fisik maupun secara mental (Maslow, dalam Lubis, 2009). Menurut Vaughan dan Hogg (dalam Sarwono & Meinarno, 2012) alasan setiap individu menginginkan harga diri yang positif adalah sebagai berikut: a. Harga diri yang positif membuat orang merasa nyaman dengan dirinya di tengah kepastian akan kematian yang suatu waktu dihadapinya. Greenberg, Pyszcynski, dan Solomon (1986) dalam terror management theory, 25 menyatakan bahwa, manusia mengalami kecemasan dalam menghadapi kematian. Greenberg, dkk. melakukan eksperimen yang hasilnya menunjukkan bahwa partisipan eksperimen yang mendapat penilaian positif terhadap aspek-aspek kepribadiannya, harga dirinya positif, lebih sedikit mengalami arousal fisik dan kecemasan ketika menonton video tentang kematian yang sengaja diputar oleh eksperimenter. b. Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan penolakan sosial. Dalam hal ini, harga diri menjadi ‘alat ukur’ (sociometer) untuk melihat sejauh mana seseorang merasa diterima dan menyatu dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, semakin positif harga diri yang dimiliki, semakin menunjukkan bahwa ia semakin merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya. Berbeda dengan orang yang memiliki harga diri yang tinggi atau positif, orang dengan harga diri yang rendah atau negatif sering kali memiliki permasalahan dalam hidup – mereka dengan penghasilan yang lebih sedikit, penyalahgunaan obat, dan cenderung tertekan (Salmela-Aro, & Nurmi, dalam Myers, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa harga diri mempengaruhi tingkah laku individu dalam kehidupan sosial. Sarwono dan Meinarno (2012) mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya, secara positif maupun negatif sehingga mempengaruhi tingkah laku sosial individu. Jika orang menilai secara positif terhadap dirinya, maka ia menjadi percaya diri dalam mengerjakan hal-hal yang ia kerjakan dan 26 memperoleh hasil yang positif pula. Sebaliknya, orang yang menilai secara negatif terhadap dirinya, menjadi tidak percaya diri ketika mengerjakan sesuatu, sehingga hasil yang didapatkan tidak menggembirakan (Sarwono& Meinarno, 2012). Sifat dari harga diri dapat dikatakan labil dan bisa mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Coopersmith, 1967). Setiap individu memiliki harga diri yang berbeda-beda. Coopersmith (1967) mengklasifikasikan harga diri atau self esteem menjadi tiga kelompok, yaitu harga diri tinggi, harga diri sedang, dan harga diri rendah. Hal tersebut tergantung bagaimana individu tersebut menyikapi dan mengevaluasi tindakan yang dilakukannya sendiri. Coopersmith (1967) menjelaskan individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki sifat aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, cenderung sukses dalam bidang akademis dan juga dalam hal hubungan sosial. Dalam pergaulan, individu yang memiliki harga diri tinggi lebih bersifat memimpin, bebas berpendapat, tidak menghindari perbedaan pendapat, tahan terhadap semua kritikan dan tidak mudah cemas. Individu dapat bergaul dengan baik, adanya sifat optimis yang terbentuk berdasarkan keyakinan dalam dirinya bahwa ia memiliki kecakapan, kemampuan bergaul dan kepribadian yang kuat. Menurut Hurlock (1980), remaja dengan harga diri tinggi cenderung akan menjalani tahapan perkembangannya dengan lebih baik. Individu yang memiliki harga diri sedang menurut Coopersmith (1967) memiliki ciri-ciri sifat dan cara bertindak yang hampir sama dengan individu yang memiliki taraf harga diri yang tinggi. Perbedaannya hanya terletak pada 27 intensitas keyakinan diri, mereka agak kurang yakin dalam menilai pribadinya dan mereka agak tergantung pada penerimaan sosial lingkungan dimana mereka berada. Di sisi lain, individu yang memiliki harga diri sedang juga memiliki harapan dan keberartian yang positif. Selanjutnya Coopersmith (1967) menjelaskan bahwa, individu dengan harga diri yang rendah memiliki rasa percaya diri yang rendah dan kurang berani untuk menyatakan diri masuk ke dalam suatu kelompok. Individu dengan taraf harga diri yang rendah juga cenderung menunjukkan sifat-sifat keputusasaan, selalu membayangkan kegagalan, dihinggapi depresi, selalu merasa tidak menarik, dan merasa terisolir dalam pergaulannya. Selain itu, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung kurang memiliki kemauan untuk menghadapi kekurangan dan kelemahan, takut menegur orang yang berbuat kesalahan, dan sangat peka terhadap kritik. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah bagian atau komponen yang lebih spesifik dari konsep diri, yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian secara menyeluruh yang dibuat oleh setiap individu terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-negatif, yang akan memperlihatkan bagaimana penilaian individu tentang penghargaan terhadap dirinya, sifat, dan kemampuan individu itu sendiri yang mempengaruhi tingkah laku sosial individu. 2. Aspek-aspek Harga Diri Menurut Maslow (dalam Boeree, 2006), ada dua aspek utama yang mempengaruhi harga diri, yaitu: 28 a. Penghargaan dari diri sendiri Penghargaan dari diri sendiri merupakan keyakinan bahwa individu merasa aman dengan keadaan dirinya, merasa berharga dan adekuat. Ketidakmampuan merasakan diri berharga membuat individu merasa rendah diri, kecil hati, serta tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Pengetahuan yang baik tentang diri serta mampu menilai secara objektif kelebihan-kelebihan maupun kelemahan-kelamahan yang dimiliki oleh individu membuat individu mampu menumbuhkan perasaan berharga terhadap diri sendiri. Individu dapat menghargai dirinya bila individu tersebut mengetahui siapa dirinya. b. Penghargaan dari orang lain Penghargaan dari orang lain dikaitkan dengan penerimaan, perhatian, dan afeksi yang ditunjukkan oleh lingkungan. Bila lingkungan memandang individu memiliki arti, nilai, dan dapat menerima individu apa adanya maka hal itu memungkinkan individu untuk dapat menerima dirinya sendiri, serta mendorong individu memiliki harga diri tinggi atau positif, dan sebaliknya. Aspek-aspek harga diri secara lebih rinci dikemukakan oleh Coopersmith (1967), yaitu: a. Keberartian (Significance) Keberartian dikaitkan dengan penerimaan, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari lingkungannya. Penerimaan ditandai oleh kehangatan, respon positif, ketertarikan serta rasa suka terhadap individu 29 apa adanya. Bila lingkungan memandang individu memiliki arti, nilai, serta dapat menerima individu apa adanya maka hal itu memungkinkan individu untuk dapat menerima dirinya sendiri, yang pada akhirnya mendorong individu memiliki harga diri yang tinggi atau positif. Sebaliknya, bila lingkungan menolak dan memandang individu tidak berarti maka individu akan mengembangkan penolakan dan mengisolasi diri. Hal itu membuat individu cenderung mengembangkan harga diri yang rendah atau negatif. b. Kekuatan (Power) Kekuatan diartikan sebagai kemampuan individu untuk mempengaruhi terjadinya sesuatu dengan mengendalikan sikap dirinya, serta mengontrol atau mengendalikan orang lain. Apabila individu mampu mengontrol diri sendiri dan orang lain dengan baik, maka hal tersebut akan mendorong terbentuknya harga diri yang positif atau tinggi, demikian juga sebaliknya. Kekuatan juga dikaitkan dengan inisiatif. Pada individu yang memiliki kekuatan tinggi akan memiliki inisiatif yang tinggi, dan sebaliknya. Secara umum pengaruhnya dapat dilihat dari pengakuan dan penghargaan yang diterima dari orang lain serta sejauh mana orang lain menghargai hak serta ide-idenya. c. Kompetensi (Competence) Kompetensi diartikan sebagai memiliki usaha yang tinggi untuk mendapatkan prestasi yang baik, sesuai dengan tahapan usianya. 30 Kompetensi dapat dikaitkan dengan tingkat dimana individu memiliki performansi yang tinggi dalam pelaksanaan tugas-tugas yang bervariasi. d. Kebajikan (Virtue) Kebajikan dapat diartikan sebagai ketaatan individu terhadap aturan dalam masyarakat serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat. Pada umumnya masyarakat dapat menerima individu yang mematuhi prinsip-prinsip etis, moral, dan agama yang telah diterimanya dan diinternalisasi. Demikian juga bila individu mampu memberikan contoh atau dapat menjadi panutan yang baik bagi lingkungannya, akan diterima secara baik oleh masyarakat. Jadi, ketaatan individu terhadap aturan masyarakat dan kemampuan individu memberi contoh bagi masyarakat dapat menimbulkan penerimaan lingkungan yang tinggi terhadap individu tersebut. Penerimaan lingkungan yang tinggi ini mendorong terbentuknya harga diri yang tinggi, dan sebaliknya, penerimaan lingkungan yang rendah terhadap individu akan mendorong terbentuknya harga diri yang rendah. Selanjutnya, Branden (dalam Mruk, 2006) juga mengungkapkan aspek- aspek harga diri, yaitu: a. Perasaan kompetensi pribadi Perasaan kompetensi pribadi disebut juga sebagai kepercayaan diri atau self confidence. Perasaan kompetensi pribadi mencakup keyakinan atau kepercayaan diri individu terhadap kemampuannya berpikir dan bertindak 31 untuk mengatasi masalah yang didasarkan pada tantangan dalam kehidupannya. b. Perasaan nilai pribadi Perasaan nilai pribadi disebut juga sebagai penghormatan diri atau self respect. Perasaan nilai pribadi mencakup keyakinan dan kepercayaan diri individu bahwa dirinya akan menjadi sukses dan bahagia, menjadi orang yang patut dihargai dan memiliki hak untuk mewujudkan segala citacitanya dan menikmati hasil atas usahanya tersebut. Berdasarkan aspek-aspek harga diri yang diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, maka penelitian ini menggunakan aspek harga diri yang diungkapkan oleh Coopersmith (1967) dan Branden (dalam Mruk, 2006) yang terdiri atas keberartian, kekuatan, kompetensi, kebajikan, dan perasaan nilai pribadi, dimana aspek-aspek tersebut memiliki kesesuaian dengan responden penelitian. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Menurut Coopersmith (1967), terdapat lima faktor yang mempengaruhi harga diri, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Faktor jenis kelamin Menurut Ancok, dkk. (dalam Ghufron & Risnawati, 2010), wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria, seperti perasaan kurang mampu, kepercayaan diri yang kurang mampu, atau merasa harus dilindungi. Hal ini terjadi mungkin karena peran orang tua dan harapanharapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria maupun wanita. Pendapat tersebut sama dengan penelitian dari Coopersmith (1967) yang 32 membuktikan bahwa, harga diri wanita lebih rendah daripada harga diri pria. b. Inteligensi Individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah. Individu dengan harga diri yang tinggi juga memiliki skor inteligensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras. c. Kondisi fisik Coopersmith (1967) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. Begitu pula dengan remaja yang terlalu memikirkan masalah ukuran dan bentuk tubuhnya. Mereka akan berusaha mati-matian untuk bisa mempertahankan bentuk tubuh atau menurunkan berat badannya. d. Lingkungan keluarga Coopersmith (1967) berpendapat bahwa, perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. Orang tua yang sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga. Mereka yang berasal dari keluarga bahagia akan memiliki harga diri tinggi karena mengalami perasaan nyaman dan berasal dari penerimaan, cinta, dan tanggapan positif orang tua mereka. Pengabaian 33 dan penolakan akan membuat mereka secara otomatis merasa tidak berharga. Perasaan tidak berharga, diacuhkan, dan tidak dihargai akan menumbuhkan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri. e. Lingkungan sosial Klass dan Hodge (1978) (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) berpendapat bahwa, pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya, termasuk penerimaan teman dekat (peer), mereka bahkan mau untuk melepaskan prinsip diri mereka dan melakukan perbuatan yang sama (conform) dengan teman dekat mereka agar bisa dianggap ‘sehati’ walaupun perbuatan itu adalah perbuatan yang negatif. Sementara menurut Coopersmith (1967), ada beberapa ubahan dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui pengalaman dalam lingkungan, kesuksesan dalam bidang tertentu, kompetisi, dan nilai kebaikan. Menurut Koentjoro (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri adalah sebagai berikut: a. Lingkungan keluarga, merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Perlakukan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis di dapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi. 34 b. Lingkungan sosial, merupakan tempat individu yang berpengaruh pada pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri. Sebaliknya, pengalaman, keberhasilan, persahabatan, dan kemasyuran akan meningkatkan harga diri. c. Faktor psikologis, penerimaan diri akan mengarahkan individu mampu menentukan arah dirinya pada saat mulai memasuki hidup bermasyarakat sebagai anggota masyarakat yang sudah dewasa. d. Jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam pola pikir, cara berpikir, dan bertindak antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan uraian di atas, harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal, yang berasal dari dalam diri individu maupun faktor eksternal, yang berasal dari luar diri individu. Faktor psikologis individu, jenis kelamin, inteligensi, kondisi fisik merupakan faktor internal yang mempengaruhi harga diri pada individu. Selain itu, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi harga diri pada individu. C. Dukungan Sosial Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan mengatakan sebagai makhluk sosial. Ki Hajar Dewantara (dalam 35 Ahmadi & Uhbiyati, 2001) mengemukakan pengertian keluarga berdasarkan asal-usul kata bahwa, keluarga berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata, yaitu kawula dan warga. Dalam bahasa Jawa kuno, kawula berarti hamba dan warga berarti anggota. Secara bebas keluarga dapat diartikan sebagai hamba atau warga saya, dimana setiap anggota dari warga merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan. Keluarga adalah lingkungan yang terdiri dari beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah dan bersatu. Seperti yang diungkapkan oleh Mubarak (2009), bahwa keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain. Selain itu, Duvall (dalam Setiadi, 2008) juga mendefinisikan keluarga sebagai sekumpulan orang-orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, atau kelahiran yang tinggal bersama dalam rumah yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari tiap anggota keluarga. Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masingmasing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga batih. Menurut Soekanto (2004), keluarga batih merupakan unit pergaulan 36 terkecil yang hidup dalam masyarakat yang memiliki peranan-peranan tertentu, yaitu: a. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut. b. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggotanya. c. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup. d. Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, dimana orang tua, baik ayah maupun ibu, merupakan individu-individu yang paling utama dalam kehidupan remaja yang mengarahkan pembentukan tata nilai serta perilaku pada remaja. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai tokoh penting yang mengawasi dengan siapa remaja menjalin hubungan (Santrock, 2012) dan merupakan suatu sistem dukungan yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis (Desmita, 2012). 37 2. Fungsi Keluarga Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, keluarga adalah agen penting dalam masyarakat untuk mengembangkan setiap individu, terutama individu yang sedang dalam masa remaja. Pada dasarnya keluarga memiliki beberapa fungsi pokok, diantaranya fungsi biologis, fungsi afeksi, dan fungsi sosialisasi. Fungsi biologis antara lain melahirkan anak, fungsi afeksi, yaitu hubungan kasih sayang, dan fungsi sosialisasi, yaitu interaksi sosial dalam keluarga dalam pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, serta nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangannya. Mubarak (2009) mengemukakan bahwa, dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan sebagai berikut: a. Fungsi biologis, yang merupakan fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara, dan membesarkan anak-anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga. b. Fungsi psikologis, yang merupakan fungsi untuk memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga. c. Fungsi sosialisasi, yang merupakan fungsi untuk membina sosialisasi pada anak-anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya. d. Fungsi ekonomi, yang merupakan fungsi untuk mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimana yang akan datang. 38 e. Fungsi pendidikan, yang merupakan fungsi untuk menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Selanjutnya, fungsi keluarga secara lebih rinci terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 (dalam Puspitawati, 2012), yang menyatakan fungsi keluarga terdiri atas: a. Fungsi keagamaan Keluarga dikembangkan untuk mampu menjadi wahana yang pertama dan utama untuk membawa seluruh anggotanya melaksanakan ibadah dengan penuh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa. b. Fungsi sosial budaya Keluarga dikembangkan menjadi wahana untuk melestarikan budaya nasional yang luhur dan bermartabat. c. Fungsi cinta dan kasih sayang Keluarga menjadi wahana pertama dan utama untuk menumbuhkan cinta kasih antar sesama anggotanya, antar orang tua dengan pasangannya, antar anak dengan orang tua, dan sesama anak sendiri. 39 d. Fungsi perlindungan Keluarga menjadi pelindung yang pertama, utama, dan kokoh dalam memberikan kebenaran dan keteladanan kepada anak-anak dan keturunannya. e. Fungsi reproduksi Keluarga menjadi pengatur reproduksi keturunan secara sehat dan berencana, sehingga anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi penerus yang berkualitas. f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan Keluarga berfungsi sebagai sekolah dan guru yang pertama dan utama dalam mengantarkan anak-anaknya untuk menjadi panutan masyarakat luas dan dirinya sendiri. g. Fungsi ekonomi Keluarga menyiapkan dirinya untuk menjadi suatu unit yang mandiri dan sanggup untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batinnya dengan penuh kemandirian. h. Fungsi pembinaan lingkungan Keluarga siap dan sanggup memelihara kelestarian lingkungan untuk memberikan yang terbaik kepada anak cucunya dimasa yang akan datang. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa keluarga merupakan kelompok primer yang memiliki peran penting bagi kehidupan seluruh anggotanya. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan- 40 kebutuhan setiap anggotanya yang mencakup empat dimensi manusia, diantaranya biologi, psikologis, sosial, dan spiritual. 3. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga Dukungan sosial atau social support adalah sebuah istilah yang tersusun dari dua kata, yaitu social dan support. Social (sosial) artinya menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu (Chaplin, 2011), dan support (dukungan) yang artinya: 1. Mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, 2. Memberikan dorongan atau pengobatan semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuatan keputusan (Chaplin, 2011). Berdasarkan pengertian dari masing-masing kata tersebut, secara bebas dukungan sosial atau social support dapat diartikan sebagai kegiatan menyediakan atau memberikan dorongan atau pengobatan semangat serta nasihat untuk memenuhi kebutuhan orang lain dalam berbagai situasi, termasuk dalam situasi pembuatan keputusan. Secara umum, dukungan sosial menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang potensial memberikan dukungan atau disebut sebagai significant other. Sarafino (2013) mendefinisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima individu dari orang lain ataupun kelompok. Secara lebih rinci, Cobb (1976) juga mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari salah satu atau ketiga dari hal berikut: 1. Informasi yang mengarah pada individu untuk percaya bahwa mereka diperhatikan dan dicintai, 2. Informasi yang mengarah 41 pada individu untuk percaya bahwa mereka berharga dan dihargai, dan 3. Informasi yang mengarah pada individu untuk percaya bahwa mereka berasal dari jaringan komunikasi yang sama dengan kewajiban bersama. Kuntjoro (2002) menjelaskan bahwa, dukungan sosial merupakan informasi verbal dan non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan individu dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai sumber yang potensial memberikan dukungan yang ada di sekitar individu, salah satunya adalah keluarga. Pada dasarnya dukungan sosial keluarga dapat diperoleh dari seluruh anggota keluarga, tidak terkecuali dukungan sosial keluarga yang berasal dari keluarga besar yang dimiliki individu, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan anggota keluarga lainnya. Akan tetapi, orang tua, baik ayah maupun ibu, sangatlah berperan penting dalam memberikan bimbingan dan dukungan bagi remaja. Dukungan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis, meningkatkan relasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten dan hubungan erat yang positif di luar keluarga, serta dapat menyangga remaja dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa (Desmita, 2012). 42 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi dari dukungan sosial keluarga adalah dorongan, kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diberikan oleh keluarga, khususnya orang tua kepada individu, atau berupa kehadiran dan halhal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku individu, sehingga individu percaya bahwa mereka diperhatikan, dicintai, berharga, bernilai. 4. Aspek-aspek Dukungan Sosial Keluarga Menurut Cohen dan Syme (1985), terdapat empat aspek dukungan sosial, yaitu: 1. Dukungan emosional, seperti empati, cinta, dan kepercayaan yang didalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan, dan keterbukaan, 2. Dukungan informatif, berupa informasi, nasihat, dan petunjuk yang diberikan untuk menambah pengetahuan seseorang dalam mencaru jalan keluar pemecahan masalah, 3. Dukungan instrumental, seperti penyediaan sarana yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai dalam bentuk materi, pemberian kesempatan waktu, pekerjaan, peluang serta modifikasi lingkungan, dan 4. Penilaian positif, berupa pemberian penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, memberi umpan balik mengenai hasil atau prestasi, penghargaan dan kritik yang membangun. Sarafino (2013) membagi aspek-aspek dukungan sosial ke dalam lima aspek, yaitu: 43 a. Dukungan instrumental (tangible or instrumental support) Dukungan ini merupakan pemberian sesuatu berupa bantuan nyata (tangible aid) atau dukungan alat (intstrumental aid). Bentuk dari dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan secara langsung kepada individu, seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan, dan pelayanan lainnya. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan ini sangat diperlukan dalam menghadapi keadaan yang dianggap dapat dikontrol. b. Dukungan informasional (informational support) Dukungan informasi mencakup pemberian nasihat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik tentang kondisi individu dan apa yang harus ia lakukan. Dukungan ini membantu individu mengenali masalah yang sebenarnya serta mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. c. Dukungan emosional (emotional support) Dukungan emosional merupakan dukungan yang berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi, atau ekspresi. 44 Bentuk dukungan ini melibatkan rasa empati, ada yang selalu mendampingi, adanya suasana kehangatan, dan rasa diperhatikan yang dapat memberikan individu perasaan nyaman, tentram, berharga, dan merasa dicintai, sehingga individu dapat menghadapi dan menyelesaikan masalahnya dengan baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. d. Dukungan penghargaan (esteem support) Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi. e. Dukungan jaringan (network support) Dukungan jaringan mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain, membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif. House (dalam Smet, 1994) mengungkapkan aspek-aspek dukungan sosial keluarga menjadi empat dimensi, yakni: 45 a. Dukungan emosional Dukungan yang mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian yang diberikan orang lain kepada individu yang bersangkutan, sehingga individu yang bersangkutan menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. b. Dukungan penghargaan Dukungan ini terjadi lewat ungkapan hormat, penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain. c. Dukungan instrumental Dukungan ini mencakup bantuan langsung yang meliputi penyediaan saran untuk mempermudah atau mendorong orang lain, contohnya, peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung lain. d. Dukungan informatif Dukungan informasi dapat berupa saran-saran, nasihat, petunjuk yang diperoleh dari orang lain, serta umpan balik, sehingga individu dapat membatasi masalahnya dan mencoba mencari jalan keluarnya. Berdasarkan uraian aspek-aspek dukungan sosial yang diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, maka penelitian ini menggunakan aspek dukungan sosial keluarga yang diungkapkan oleh House (dalam Smet, 1994). Aspek harga diri yang diungkapkan oleh House (dalam Smet, 1994) meliputi: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Aspek ini dipilih karena lebih sesuai dengan responden penelitian, 46 selain itu aspek dukungan sosial keluarga yang diungkapkan oleh House (dalam Smet, 1994) memiliki banyak kesamaan dengan beberapa aspek lain yang diungkapkan oleh Cohen dan Syme (1985) dan Sarafino (2013). 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seseorang Mendapatkan Dukungan Sosial Keluarga Sarafino (2013) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi individu mendapatkan dukungan sosial dari orang lain, yaitu: a. Penerima dukungan (recipient) Individu tidak akan memperoleh dukungan bila individu tersebut tidak ramah, tidak mau menolong individu lain, dan tidak membiarkan individu lain mengetahui bahwa mereka membutuhkan pertolongan. Beberapa individu terkadang kurang asertif untuk memahami bahwa sebenarnya ia membutuhkan pertolongan orang lain, atau merasa bahwa ia seharusnya mandiri dan tidak ingin mengganggu orang lain, atau merasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya, atau tidak tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan. b. Penyedia dukungan (provider) Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu. Selain itu, ketika penyedia tengah menghadapi stess, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa ada orang lain yang sedang membutuhkan dukungan darinya. 47 c. Komposisi dan struktur jaringan sosial Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran, yaitu jumlah orang yang biasa dihubungi, frekuensi hubungan, yaitu seberapa sering individu bertemu dengan orang tersebut, komposisi, yaitu apakah orang tersebut adalah keluarga, teman, rekan kerja, atau lainnya, serta keintiman yang merupakan kedekatan hubungan individu dan adanya keinginan untuk saling mempercayai. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga juga diungkapkan oleh Feirig dan Lewis (dalam Friedman, 1998), bahwa ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak yang berasal dari keluarga dari keluarga besar. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh seseorang dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman (1998), orang yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan orang lain dan juga lebih egosentris dibanding orang yang lebih tua. Faktor lain yang mempengaruhi dukungan sosial adalah kelas sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan, tingkat pendidikan dan status sosial. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dukungan sosial keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri individu maupun dari luar diri individu. Faktor-faktor tersebut 48 diantaranya adalah penerima dukungan, penyedia dukungan, komposisi dan struktur jaringan sosial, ukuran keluarga, usia, dan kelas sosial ekonomi. D. Remaja 1. Pengertian Remaja Remaja sebagai periode tertentu dari kehidupan manusia (Desmita, 2012). Konsep “remaja” muncul kira-kira setelah era industrialisasi merata di negaranegara Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya (Sarwono, 2000). Di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2012). Adolescence (masa remaja) didefinisikan sebagai periode antara pubertas dan kedewasaan dengan usia yang diperkirakan antara 12 sampai 21 tahun untuk anak gadis, yang lebih cepat menjadi matang daripada anak laki-laki, dan antara 13 hingga 22 tahun bagi anak laki-laki (Chaplin, 2011). Kematangan yang dimaksud adalah bukan kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial (Kumalasari & Andhyantoro, 2012). Hurlock (1980) juga mengungkapkan bahwa, istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Seperti yang diungkapkan oleh WHO, masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa itu terjadi pertumbuhan yang pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan perkembangan, baik fisik, 49 mental, maupun peran sosial (Surjadi, dalam Kumalasari & Andhyantoro, 2012). Pandangan ini juga diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock, 1980) dengan mengatakan: “Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Selain itu, perubahan intelektual yang mencolok, transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.” Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara lengkap Muangman (dalam Sarwono, 2008) mengungkapkan bahwa, remaja adalah suatu masa ketika: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual; b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Masa remaja adalah periode yang penting dalam rentang kehidupan individu. Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat 50 jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting (Hurlock, 1980). Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012), setidaknya ada tiga hal yang menjadikan masa remaja penting sekali, terutama bagi kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut: a. Masa remaja (usia 10-19 tahun) merupakan masa yang khusus dan penting karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia dan sering disebut masa pubertas. b. Masa remaja terjadi perubahan fisik (organobiologis) secara tepat yang tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mental-emosional). Perubahan yang cukup besar ini dapat membingungkan remaja yang mengalaminya, karena itu perlu pengertian, bimbingan, dan dukungan lingkungan sekitarnya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat, baik jasmani, mental, maupun psikososial. c. Dalam lingkungan sosial tertentu, sering terjadi perbedaan perlakuan terhadap remaja laki-laki dan wanita. Bagi laki-laki, masa remaja merupakan saat diperolehnya kebebasan, sedangkan untuk remaja wanita merupakan saat dimulainya segala bentuk pembatasan (pada zaman dahulu gadis mulai dipingit ketika mereka mulai mengalami menstruasi). Pemberian batasan terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masa remaja tidaklah mudah, termasuk dalam penentuan batasan usia pada masa remaja, hal tersebut dikarenakan masa remaja termasuk dalam masa yang unik (Al-Mighwar, 2006). Batasan usia remaja yang berbeda-beda dapat dikarenakan penyesuaian dengan sosial budaya setempat (Kumalasari & 51 Andhyantoro, 2012). Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan, masalah yang dirasakan paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Berbeda dengan WHO yang meninjaunya dari bidang kesehatan, dari segi program pelayanan, Departemen Kesehatan mendefinisikan remaja sebagai individuindividu dengan batasan usia 10-19 tahun dan belum kawin (Kumalasari & Andhyantoro, 2012). Sebagai pedoman umum, Sarwono (2008) mengungkapkan bahwa, dapat digunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a. Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik). b. Di banyak masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). c. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg) (kriteria psikologi). d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih 52 menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum dapat memberikan pendapat sendiri, dan sebagainya. e. Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan. Hal itu karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Oleh karena itu, definisi remaja di sini dibatasi khusus untuk yang belum menikah. Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir (Hurlock, 1980). Garis yang memisahkan antara masa remaja awal dengan masa remaja akhir terletak kira-kira di sekitar usia tujuh belas tahun. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun, dan masa remaja akhir berlangsung kira-kira dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1980). Tetapi, batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: usia 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, usia 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, dan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. 2. Ciri-ciri Umum Masa Remaja Setiap periode penting selama rentang kehidupan memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri- 53 ciri remaja menurut Hurlock (dalam Al-Mighwar, 2006), sebagaimana paparan berikut. a. Masa yang penting Semua periode dalam rentang kehidupan memang penting, tetapi ada perbedaan dalam tingkat kepentingannya. Adanya akibat yang langsung terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode lainnya. Baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang sama pentingnya bagi remaja karena adanya akibat fisik dan akibat psikologis. b. Masa transisi Transisi merupakan tahap dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Pada setiap periode transisi, tampak ketidakjelasan status individu dan munculnya keraguan terhadap peran yang harus dimainkannya. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan bukan juga orang dewasa. Bila remaja bertingkah laku seperti anak-anak, maka dia akan diajari untuk bertindak sesuai dengan usianya. Di sisi lain, ketidakjelasan status itu juga menguntungkan karena memberi peluang kepada remaja untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola tingkah laku, nilai, dan sifat yang paling relevan dengannya. c. Masa perubahan Selama masa remaja, tingkat perubahan sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat selama masa awal remaja, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. 54 Bila terjadi penurunan dalam perubahan fisik, penurunan juga akan terjadi pada perubahan sikap dan tingkah laku. d. Masa bermasalah Meskipun setiap periode memiliki masalah sendiri, masalah masa remaja termasuk masalah yang sulit diatasi, baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Hal tersebut dikarenakan, pertama, sebagian masalah yang terjadi selama masa kanak-kanak diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga mayoritas remaja tidak berpengalaman dalam mengatasinya. Kedua, sebagian remaja sudah merasa mandiri sehingga menolak bantuan orang tua dan guru-guru. Dia ingin mengatasi masalahnya sendirian. e. Masa pencarian identitas Penyesuaian diri dengan standar kelompok dianggap jauh lebih penting bagi remaja, terutama pada tahun-tahun awal masa remaja. Namun secara bertahap, mereka mulai mengharapkan identitas diri dan tidak lagi merasa puas dengan adanya kesamaan dalam segala hal dengan teman sebayanya. f. Masa munculnya ketakutan Majeres berpendapat, “Banyak yang beranggapan bahwa popularitas mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak diantaranya yang bersifat negatif.” Persepsi negatif terhadap remaja seperti tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku merusak, mengindikasikan pentingnya bimbingan dan pengawasan orang dewasa. Demikian pula, 55 terhadap kehidupan remaja muda yang cenderung tidak simpatik dan takut bertanggung jawab. g. Masa yang tidak realistik Pandangan subjektif cenderung mewarnai remaja. Mereka memandang diri sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya, dan bukan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam hal cita-cita. Tidak hanya berakibat bagi dirinya sendiri, bahkan bagi keluarga dan teman-temannya, cita-cita yang tidak realistik ini berakibat pada tingginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya, semakin tinggi kemarahannya. Bila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dia akan sakit hati dan kecewa. h. Masa menuju masa dewasa Saat usia kematangan semakin dekat, para remaja gelisah untuk meninggalkan stereotip usia belasan tahun yang indah di satu sisi, dan harus bersiap-siap menuju usia dewasa di sisi lainnya. Kegelisahan itu timbul akibat kebimbangan tentang bagaimana meninggalkan masa remaja dan bagaimana pula memasuki masa dewasa. Bila kurang arahan atau bimbingan, tingkah laku mereka akan menjadi ganjil, seperti berpakaian dan bertingkah laku meniru orang dewasa, merokok, minum minuman keras, menggunakan obat terlarang, dan terlibat dalam perilaku seks. 56 3. Tahapan Perkembangan Remaja Menurut Hurlock (dalam Kumalasari & Andhyantoro, 2012) tahap perkembangan pada masa remaja dibagi menjadi tiga tahap, diantaranya: a. Masa remaja awal (12-15 tahun) 1) Lebih dekat dengan teman sebaya, 2) Ingin bebas, 3) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya, 4) Mulai berpikir abstrak. b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) 1) Mencari identitas diri, 2) Timbul keinginan untuk berkencan, 3) Mempunyai rasa cinta yang mendalam, 4) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, 5) Berkhayal tentang aktivitas seks. c. Masa remaja akhir (18-21 tahun) 1) Pengungkapan kebebasan diri, 2) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya, 3) Mempunyai citra tubuh (body image) terhadap dirinya sendiri, 4) Dapat mewujudkan rasa cinta. 4. Perubahan Fisik pada Masa Remaja Masa remaja terjadi ketika seseorang mengalami perubahan struktur tubuh dari anak-anak menjadi dewasa (pubertas). Pada masa ini terjadi suatu perubahan fisik yang cepat disertai banyak perubahan, termasuk di dalamnya 57 pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan melaksanakan fungsi reproduksi. Perubahan-perubahan fisik merupakan gejala primer dalam pertumbuhan masa remaja, yang berdampak terhadap perubahan-perubahan psikologis (Sarwono, dalam Desmita, 2012). Perubahan yang terjadi pada pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda sebagai berikut. a. Tanda-tanda seks primer Tanda-tanda seks primer yang dimaksud adalah yang berhubungan langsung dengan organ seks. Dalam Modul Kesehatan Reproduksi Remaja (Depkes, dalam Kumalasari dan Andhyantoro, 2012) disebutkan bahwa, ciri-ciri seks primer pada remaja adalah sebagai berikut. 1) Remaja laki-laki Remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia antara 10-15 tahun. Mimpi basah sebetulnya merupakan salah satu cara tubuh laki-laki ejakulasi. Ejakulasi terjadi karena sperma yang terus-menerus diproduksi perlu dikeluarkan. Ini adalah pengalaman yang normal bagi semua remaja laki-laki. 2) Remaja wanita Pada remaja wanita sebagai tanda kematangan organ reproduksi adalah ditandai dengan datangnya menstruasi. Menstruasi adalah proses peluruhan lapisan dalam atau endometrium yang banyak mengandung pembuluh darah dari uterus melalui vagina. Hal ini berlangsung terus 58 sampai menjelang masa menopause, yaitu ketika individu wanita berumur 40-50 tahun. b. Tanda-tanda seks sekunder 1) Remaja laki-laki a) Lengan dan tungkai kaki bertambah panjang; tangan dan kaki bertambah besar. b) Bahu melebar, pundak serta dada bertambah besar dan membidang, pinggung menyempit. c) Pertumbuhan rambut di sekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan, dan kaki. d) Tulang wajah memanjang dan membesar tidak tampak seperti anak kecil lagi. e) Tumbuh jakun, suara menjadi besar. f) Penis dan buah zakar membesar. g) Kulit menjadi lebih kasar, tebal, dan berminyak. h) Rambut menjadi lebih berminyak. i) Produksi keringat menjadi lebih banyak. 2) Remaja wanita a) Lengan dan tungkai kaki bertambah panjang, tangan dan kaki bertambah besar. b) Pinggul lebar, bulat, dan membesar. c) Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar ketiak dan vagina. d) Tulang-tulang wajah mulai memanjang dan membesar. 59 e) Pertumbuhan payudara, puting susu membesar dan menonjol, serta kelenjar susu berkembang, payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat. f) Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang pori-pori bertambah besar, kelenjar lemak, dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif. g) Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu, lengan, dan tungkai. h) Suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu. 5. Perkembangan Seksualitas pada Remaja Peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas pada masa remaja merupakan salah satu fenomena kehidupan remaja yang sangat menonjol. Santrock (1980) menggambarkan hal tersebut sebagai berikut: During adolescence, the lives of mae and female becaome wrapped is sexuality... Adolescence is a time of sexual exploration and experimentation, of sexual fantasies and sexual realities, of incorporating sexuality into one’s identity. Adolescents have an almost insatiable curiousity about sexuality’s mysteries. They think about whether they are sexuality attractive, whether they will grow more, whether anyone will love them, and whether it is normal to have sex. The majority of adolescents manage eventually to develop a mature sexual identity, but for most there are periods of vunerability and confusion along life’s sexual journey (Santrock, dalam Desmita, 2012). Tugas perkembangan yang pertama berhubungan dengan seksualitas yang harus dikuasai adalah pembentukan hubungan baru dan lebih matang dengan lawan jenis (Hurlock, 1980). Remaja harus memperoleh konsep yang dimiliki ketika masih anak-anak agar dapat menguasai tugas perkembangan tersebut, 60 dan dapat memainkan peran yang tepat dengan seksnya. Dorongan untuk melakukan hal ini datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1980). Peningkatan perhatian remaja terhadap kehidupan seksual ini juga dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Desmita, 2012). Terutama kematangan organ-organ seksual dan perubahan-perubahan hormonal yang mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dalam diri remaja. Dorongan-dorongan seksual pada masa remaja ini sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari dorongan seksual orang dewasa. Dorongan-dorongan seksual tersebut tidak jarang menimbulkan ketegangan fisik dan psikis pada remaja karena remaja belum memiliki pengalaman tentang seksual sebelumnya (Desmita, 2012). Meningkatnya minat seksualitas pada masa remaja serta untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual yang ditimbulkan dari hal tersebut, remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seksualitas (Hurlock, 1980). Pada umumnya, hanya sedikit remaja yang mempelajari dan mendapatkan informasi mengenai seluk beluk tentang seksualitas dari orang tua, hal tersebut dapat dikarenakan remaja kurang percaya diri untuk membahas masalah seksualitas dengan orang tuanya, selain itu, pada zaman sekarang ini tidak sedikit orang tua yang masih mentabukan pembahasan seputar seksualitas dengan anak remaja mereka. Oleh karena itu, remaja mencari lebih banyak informasi mengenai seksualitas dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya karena higiene seks di 61 sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama (Hurlock, 1980). Sejalan dengan Hurlock, Desmita (2012) juga mengungkapkan bahwa, untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual tersebut, remaja mencoba mengekspresikan dorongan seksualnya dalam berbagai bentuk tingkah laku seksual, mulai dari melakukan aktivitas berkencan, bercumbu, sampai dengan melakukan kontak seksual. E. Hubungan antara Harga Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Putri 1. Hubungan antara Harga Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan Perilaku Seksual pada Remaja Putri Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012). Masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang berhubungan langsung dengan kepribadian, seksual, dan peran sosial remaja. Pada perubahan fisik terjadi perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer dan sekunder yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual. Pada perubahan psikologis, keadaan emosi remaja cenderung labil dan lebih mendominasi daripada pikiran yang logis dan realistis. Pada kehidupan sosial, ciri khas kematangan sosial remaja ditandai dengan mulai munculnya ketertarikan terhadap lawan jenis, yang mana perilaku tersebut biasanya dimanifestasikan dalam bentuk yang salah satunya 62 adalah remaja lebih senang bergaul dengan lawan jenis mereka (Mansur, 2009). Pada masa remaja beberapa pola perilaku individu remaja mulai terbentuk, termasuk identitas diri, kematangan seksual, dan keberanian untuk melakukan perilaku yang berisiko (Widyastuti, 2009). Perilaku berisiko pada remaja mengacu pada segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian dan adaptasi sosial dari remaja (WHO, 1993). Beberapa perilaku berisiko yang berkaitan dengan masalah kesehatan yang terjadi pada remaja salah satunya adalah perilaku seksual pranikah (Smet, 1994). Perilaku seksual remaja zaman sekarang semakin lama semakin permisif. Perilaku berpelukan dan berciuman seolah-olah sudah merupakan hal yang wajar dilakukan oleh remaja. Perilaku-perilaku seksual yang demikian ekstrim dapat menjadi pemicu remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah atau kontak seksual yang dilakukan berpasangan tanpa ikatan pernikahan yang sah, contohnya intercourse. Ada beberapa bentuk perilaku seksual remaja yang dilakukan secara berturut-turut, yaitu kissing, necking, petting, dan intercourse, atau seks oral (Santrock, 2012). Suryoputro, dkk. (2006) menyatakan bahwa, harga diri merupakan salah satu elemen personal yang berpengaruh dalam perilaku sekual. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soetjiningsih (2008) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja membuktikan bahwa, harga diri merupakan salah satu faktor individual yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja. Andriani (2013) menambahkan bahwa, harga 63 diri memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku seksual pranikah remaja. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu dengan harga diri tinggi cenderung memiliki peluang yang rendah untuk melakukan kegiatan seksual pranikah, dan sebaliknya, individu dengan harga diri rendah cenderung memiliki peluang yang tinggi untuk melakukan kegiatan seksual pranikah. Remaja dengan harga diri tinggi cenderung akan menjalani tahapan perkembangannya dengan lebih baik (Hurlock, 1980). Crocker (dalam Mulyana & Purnamasari, 2010) juga mengungkapkan bahwa, individu dengan harga diri tinggi akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap diri sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan, maupun kegagalan. Menurut Coopersmith (1967), individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki sifat aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, cenderung sukses dalam bidang akademis dan juga dalam hal hubungan sosial, serta dalam pergaulan, individu yang memiliki harga diri tinggi lebih bersifat memimpin, bebas berpendapat, tidak menghindari perbedaan pendapat, tahan terhadap semua kritikan, dan tidak mudah cemas. Remaja dengan harga diri tinggi cenderung akan memandang dirinya secara positif serta menghargai dan menerima dirinya sendiri apa adanya (Santrock, 1999). Hal tersebut memungkinkan remaja putri dengan harga diri yang tinggi untuk mengarahkan tingkah laku sosialnya ke arah positif dengan menghindari perilaku seksual pranikah karena remaja merasa dirinya berharga dan ingin mempertahankan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri 64 inilah yang membentuk harga diri remaja berkaitan dengan masalahmasalahnya, salah satunya adalah masalah seksualitasnya. Pada dasarnya, harga diri berpengaruh pada tingkah laku sosial individu. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Steinberg (1999) yang mengatakan bahwa, harga diri merupakan konstruk yang penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Sejalan dengan Steinberg (1999), Sarwono dan Meinarno (2012) mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya yang mempengaruhi tingkah laku sosial individu. Coopersmith (1967) juga mengungkapkan bahwa, individu dengan harga diri tinggi tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat, serta mematuhi prinsip-prinsip etis, moral, dan agama yang telah diterimanya dan diinternalisasi. Baumeister, dkk. (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa, harga diri mempengaruhi inisiatif individu dan dapat memperlihatkan perilaku individu, baik anti-sosial maupun prososial. Individu yang memiliki harga diri tinggi maka akan memperlihatkan perilaku prososial, dan sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung melakukan perilaku anti-sosial. Hal tersebut dikarenakan harga diri merupakan bagian dari terbentuknya karakteristik seseorang. Selain harga diri, yang merupakan faktor personal yang mempengaruhi munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja, faktor dari luar diri remaja yang juga sangat mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja adalah faktor dukungan sosial keluarga, dimana dukungan sosial keluarga merupakan salah satu faktor penguat dari munculnya perilaku individu (Green, dalam 65 Notoatmodjo, 2007). Soetjiningsih (2008) dalam penelitiannya membuktikan bahwa, keluarga merupakan faktor yang paling tinggi mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja, diikuti faktor lain, diantaranya tekanan teman sebaya, religiusitas, dan eksposur media pornografi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Soetjiningsih (2008), penelitian yang dilakukan oleh Handayani, dkk. (2010) juga membuktikan bahwa, dukungan sosial keluarga, khususnya orang tua, berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, yang mana orang tua, baik ayah maupun ibu, merupakan individu-individu yang paling signifikan dalam kehidupan remaja yang mengarahkan pembentukan tata nilai serta perilaku pada remaja. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai tokoh penting yang mengawasi dengan siapa remaja menjalin hubungan (Santrock, 2012) dan merupakan suatu sistem dukungan yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis (Desmita, 2012). Dukungan sosial yang berasal dari keluarga, khususnya orang tua, merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan perilaku dalam diri individu. Menurut Lee dan Detels (2007), dukungan sosial orang tua dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu dukungan yang bersifat positif dan dukungan yang bersifat negatif. Dukungan positif adalah perilaku positif yang ditunjukkan oleh orang tua, dan dukungan yang bersifat negatif adalah perilaku 66 yang dinilai negatif yang dapat mengarahkan pada perilaku negatif. Dukungan sosial keluarga yang positif akan memperkuat perilaku positif dan akan melemahkan perilaku negatif pada individu. Dalam hal ini perilaku seksual pranikah merupakan jenis perilaku yang negatif, maka dengan dukungan sosial keluarga yang positif dapat memungkinkan remaja menghindari perilaku seksual pranikah. Menurut House (dalam Smet, 1994), dukungan sosial yang dapat diberikan oleh keluarga kepada remaja dalam hal ini dapat berupa dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan. Bentuk dukungan sosial dapat dijelaskan seperti di bawah ini: a. Dukungan instrumental, bentuk dari dukungan ini merupakan penyediaan bantuan nyata atau materi yang dapat memberikan pertolongan secara langsung kepada individu, seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan, dan pelayanan lainnya. b. Dukungan informasional, bentuk dari dukungan ini mencakup pemberian nasihat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik tentang kondisi individu dan apa yang harus ia lakukan. c. Dukungan emosional, bentuk dari dukungan ini berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi atau ekspresi. d. Dukungan penghargaan, bentuk dari dukungan ini ungkapan hormat, penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain. 67 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, bahwa harga diri dan dukungan sosial keluarga secara bersama-sama berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja, khususnya remaja putri. Remaja putri yang memiliki harga diri tinggi dan dukungan sosial keluarga yang tinggi akan memandang dirinya secara positif, menghargai dan menerima dirinya sendiri apa adanya, dapat mengendalikan sikap dirinya serta mengontrol atau mengendalikan orang lain, merasa diterima dan menyatu dengan orang-orang disekitarnya, percaya akan kemampuannya sendiri, taat terhadap aturan dalam masyarakat serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat, merasa dirinya diperhatikan, dicintai, serta merasa dirinya dihargai dengan berbagai dukungan yang diberikan lingkungan sosial yang diberikan keluarganya, khususnya orang tua. Adanya karakteristik tersebut dapat memungkinkan remaja putri untuk menghindari perilaku seksual pranikah. 2. Hubungan antara Harga Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Putri Masa remaja disebut sebagai masa peralihan antara tahap kanak-kanak dan tahap dewasa dengan jangka waktu yang berbeda bagi setiap individu tergantung pada faktor sosial dan budaya. Pada masa ini individu berada diantara dua tahap kehidupan yang berbeda, yaitu masa kanak-kanak dan masa dewasa (Hurlock, 1980). Hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan pada status individu dan menimbulkan keraguan tentang peranan yang harus dilakukan. Tugas perkembangan yang pertama berhubungan dengan seksualitas yang 68 harus dikuasai remaja adalah pembentukan hubungan baru dan lebih matang dengan lawan jenis (Hurlock, 1980). Remaja harus memperoleh konsep yang dimiliki ketika masih anak-anak agar dapat menguasai tugas perkembangan tersebut, dan dapat memainkan peran yang tepat dengan seksnya. Dorongan untuk melakukan hal ini datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks (Hurlock, 1980). Dorongan seksual bisa diekspresikan dalam bentuk perilaku seksual. Perilaku seksual yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah disebut perilaku seksual pranikah. Saat ini banyak remaja yang terjebak dalam perilaku seksual pranikah yang pada dasarnya memberikan dampak yang merugikan, terutama bagi remaja wanita. Bentuk perilaku seksual pranikah yang dilakukan secara berturut-turut, yaitu kissing, necking, petting, dan intercourse, atau seks oral (Santrock, 2012). Harga diri merupakan dimensi evaluasi yang menyeluruh dari diri individu (Santrock, 2003). Baron, Byrne, dan Branscombe (dalam Sarwono & Meinarno, 2012) mengatakan bahwa, harga diri menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya, baik positif maupun negatif. Pada umumnya setiap individu menginginkan harga diri yang positif, karena dengan harga diri yang positif individu dapat merasakan bahwa dirinya berguna atau berarti bagi orang lain meskipun dirinya memiliki kelemahan, baik secara fisik maupun secara mental (Maslow, dalam Lubis, 2009). Crocker (dalam Mulyana & Purnamasari, 2010) juga mengungkapkan bahwa, individu dengan harga diri 69 yang positif atau tinggi akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap diri sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan, maupun kegagalan. Pada dasarnya harga diri berpengaruh pada tingkah laku sosial individu. Sarwono dan Meinarno (2012) mengungkapkan bahwa, harga diri merupakan penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya yang mempengaruhi tingkah laku sosial individu. Baumeister, dkk. (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa, harga diri mempengaruhi inisiatif individu dan dapat memperlihatkan perilaku individu, baik anti-sosial maupun prososial. Remaja dengan harga diri tinggi cenderung akan berperilaku positif, sedangkan remaja yang memiliki harga diri rendah cenderung akan berperilaku negatif. Hal tersebut dapat memungkinkan remaja yang memiliki harga diri tinggi akan menghindari perilaku seksual pranikah karena remaja menghargai dan menerima dirinya sendiri apa adanya, serta memandang dirinya secara positif dan akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryoputro, dkk. (2006) yang menunjukkan bahwa, harga diri sangat mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana, dkk. (2010) yang menunjukkan bahwa, ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan sikap terhadap perilaku seksual pranikah. Penelitian lainnya yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Whitaker, dkk. (2000) dan Parcel, dkk. (1999) menunjukkan bahwa, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung 70 akan menunda atau tidak melakukan aktivitas seksual dibandingkan dengan remaja yang memiliki harga diri yang rendah. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa harga diri berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja, khususnya remaja putri. Remaja putri dengan harga diri yang tinggi akan menghindari perilaku seksual pranikah. Hal ini disebabkan remaja putri yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung menghargai dan menerima dirinya sendiri apa adanya. Selain itu, remaja putri dengan harga diri yang tinggi cenderung memandang dirinya secara positif dan akan mempertahankan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. 3. Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Putri Santrock (2012) mempertegas bahwa, remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dimulai saat anak menunjukkan tanda-tanda pubertas dan dilanjutkan dengan perubahan-perubahan dari yang bukan seksual menjadi seksual pada individu. Perubahan-perubahan yang dialami remaja tersebut dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan pada remaja. Ketegangan-ketegangan yang dialami remaja kadang-kadang tidak terselesaikan dengan baik yang kemudian menjadi konflik yang berkepanjangan. Ketidakmampuan remaja dalam mengantisipasi konflik akan menyebabkan perasaan gagal yang mengarah pada penyimpangan, salah satunya adalah melakukan perilaku seksual pranikah. 71 Perilaku seksual pranikah adalah perilaku yang mengarah pada keintiman heteroseksual yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan sebelum adanya ikatan resmi (pernikahan) (Crooks, dalam Nuandri & Widayat, 2014). Yuwono (2000) mengemukakan akibat dari perilaku seksual pranikah secara fisiologis, yaitu: kehamilan yang tidak dikehendaki, kesehatan ibu, dan penyakit menular seksual (PMS) dan secara psikologis, yaitu: perasaan bersalah dan penolakan masyarakat, depresi, serta ketidaksiapan mental. Kecenderungan perilaku seksual pada remaja terjadi melalui serangkaian hal yang melatarbelakanginya dan diperoleh remaja saat berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor lingkungan yang paling tinggi mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja adalah faktor keluarga. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh yang sangat besar bagi tumbuh kembang anak remaja (Maryani, 2010). Keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial, khususnya orang tua, baik ayah maupun ibu, merupakan individu-individu yang paling signifikan dalam kehidupan remaja yang mengarahkan pembentukan tata nilai serta perilaku pada remaja. Selain itu, orang tua juga berperan sebagai tokoh penting yang mengawasi dengan siapa remaja menjalin hubungan (Santrock, 2012) dan merupakan suatu sistem dukungan yang menyediakan landasan yang kokoh dimana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dengan cara-cara yang sehat secara psikologis (Desmita, 2012). 72 Dukungan sosial yang berasal dari keluarga, khususnya orang tua, merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan perilaku dalam diri individu. Menurut Lee dan Detels (2007), dukungan sosial orang tua dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu dukungan yang bersifat positif dan dukungan yang bersifat negatif. Dukungan positif adalah perilaku positif yang ditunjukkan oleh orang tua, dan dukungan yang bersifat negatif adalah perilaku yang dinilai negatif yang dapat mengarahkan pada perilaku negatif anak. Dukungan sosial keluarga yang positif akan memperkuat perilaku positif dan akan melemahkan perilaku negatif pada individu. Dalam hal ini perilaku seksual pranikah merupakan jenis perilaku yang negatif, maka dengan dukungan sosial keluarga yang positif dapat memungkinkan remaja menghindari perilaku seksual pranikah. Dukungan sosial yang dapat diberikan oleh keluarga kepada remaja dalam hal ini dapat berupa dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan. Bentuk dukungan sosial dapat dijelaskan seperti di bawah ini: a. Dukungan instrumental, bentuk dari dukungan ini merupakan penyediaan bantuan nyata atau materi yang dapat memberikan pertolongan secara langsung kepada individu, seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan, dan pelayanan lainnya. b. Dukungan informasional, bentuk dari dukungan ini mencakup pemberian nasihat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik tentang kondisi individu dan apa yang harus ia lakukan. 73 c. Dukungan emosional, bentuk dari dukungan ini berhubungan dengan hal yang bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi, afeksi atau ekspresi. d. Dukungan penghargaan, bentuk dari dukungan ini ungkapan hormat, penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2015) mengenai hubungan antara dukungan sosial keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja, hasilnya membuktikan bahwa, ada hubungan yang negatif secara statistik antara dukungan sosial keluarga dengan perilaku seksual pranikah pada remaja. Penelitian lain mengenai dukungan sosial keluarga dan perilaku seksual pranikah juga dilakukan oleh Handayani, dkk. (2010) dan penelitian tersebut membuktikan bahwa, dukungan sosial keluarga, khususnya orang tua, berpengaruh terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dukungan sosial keluarga berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja, khususnya remaja putri. Remaja putri yang mendapatkan dukungan sosial keluarga yang positif, terutama dari orang tua, cenderung akan menghindari perilaku seksual pranikah. 74 F. Kerangka Pemikiran Kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut: 2 Harga Diri 1 Perilaku Seksual Pranikah Remaja Putri Dukungan Sosial Keluarga 3 Bagan 1. Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan: 1 : Hubungan antara harga diri dan dukungan sosial keluarga dengan perilaku seksual pranikah pada remaja putri. 2 : Hubungan antara harga diri dengan perilaku seksual pranikah pada remaja putri. 3 : Hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan perilaku seksual pranikah pada remaja putri. 75 G. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara harga diri dan dukungan sosial keluarga terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja putri. 2. Terdapat hubungan antara harga diri dengan perilaku seksual pranikah pada remaja putri. 3. Terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan perilaku seksual pranikah pada remaja putri.