BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Perusahaan merupakan pusat perjanjian kontrak antara berbagai pihak yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda, yaitu pemegang saham sebagai principal dan manajemen yang diwakili oleh manajer sebagai agen, supplier, dan pihak-pihak lainnya termasuk calon investor dan karyawan. Teori yang menjelaskan hubungan antara pihak-pihak tersebut (pihak prinsipal dan pihak agen) disebut teori keagenan (agency theory) Salno dan Baridwan (2000). Prinsipal dalam teori keagenan bertugas mendelegasikan pertanggungjawaban atas pembuatan keputusan kepada agen, hal ini dapat pula dikatakan bahwa prinsipal memberikan suatu amanah kepada agen untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama (Mursalim, 2005). Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka pada perusahaan, sedangkan agen diasumsikan akan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain 13 yang terlibat dalam hubungan. Sesuai dengan asumsi tersebut, maka manajer akan mengambil kebijakan yang menguntungkan dirinya sebelum memberikan manfaat kepada pemegang saham. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Komalasari (1999:167) bahwa salah satu kunci dari teori agensi adalah adanya perbedaan tujuan antara prinsipal dan agen sehingga semua individu berusaha untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Beberapa hal yang lain adalah adanya tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda, dimana setiap individu ingin mengoptimalkan kepentingan pribadi, menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen. Pihak prinsipal termotivasi untuk melakukan kontrak dalam rangka menyejahterakan dirinya melalui profitabilitas yang pada umumnya diharapkan selalu meningkat. Disisi yang lain, agen termotivasi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya (Widyaningdyah, 2001). Konflik kepentingan semakin meningkat ketika aktivitas agen sehari-hari tidak dapat dimonitor oleh prinsipal sehingga prinsipal tidak mengetahui apakah agen sudah bekerja sesuai dengan keinginan prinsipal atau tidak (Komalasari, 1999:168). Pertentangan kepentingan antara agen dan prinsipal disebut sebagai konflik keagenan. Perbedaan kepentingan tersebut mendorong pihak manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba. 2.1.2 Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan informasi yang diharapkan mampu memberikan bantuan kepada pemakai untuk membuat keputusan ekonomi yang bersifat finansial. Laporan keuangan tersebut adalah salah satu parameter yang 14 yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen adalah laba. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam PSAK No.25 (2009:2) menyatakan manfaat dari informasi laba yaitu untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya. Oleh karena itu, manajemen mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan yang dapat membuat laporan keuangan menjadi baik. Salah satu bentuk dari tindakan ini adalah praktik perataan laba (income smoothing) yang pada dasarnya merupakan tindakan yang dinilai bertentangan dengan tujuan perusahaan (Widyaningdyah, 2001). Sumber informasi penting yang menggambarkan kinerja perusahaan adalah laporan keuangan yang diterbitkan manajemen. Laporan keuangan berfungsi memberikan informasi keuangan bagi pihak-pihak yang internal maupun eksternal dengan tujuan yang berbeda-beda. Laporan keuangan merupakan bentuk tanggung jawab dari manajemen dengan menampilkan hasil yang telah diraih selama periode yang sudah berlangsung. Kebanyakan informasi keuangan dalam laporan keuangan digunakan oleh pihak eksternal dalam pengambilan keputusan ekonomi dan bisnis, salah satunya adalah informasi mengenai laba perusahaan (Dewi dan Sujana, 2014) . Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2012:1), laporan keuangan adalah bagian dari proses keuangan yang lengkap yang meliputi posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, dan laporan perubahan posisi keuangan (disajikan dalam 15 bentuk laporan arus kas dan laporan arus dana). Kegunaan laporan keuangan disertai dengan catatan atas laporan keuangan menyediakan informasi mengenai posisi keuangan suatu perusahaan, kesuksesan aktivitas operasi perusahaan, strategi manajemen untuk mencapai laba di masa depan dan kebijaksanaan akuntansi yang digunakan (Fraster dan Ormiston, 2004:4). Laporan keuangan perusahaan menjadi salah satu sumber informasi dalam menilai perusahaan menguntungkan atau tidak untuk dijadikan investasi. Informasi tersebut dan ditambah informasi dari berbagai sumber lainnya akan dianalisis oleh investor sehingga mereka dapat mengambil keputusan investasi, seperti membeli, menahan, atau menjual saham. Selain itu investor juga dapat mengetahui seberapa besar risiko atas investasi yang akan mereka tanamkan. Salah satu informasi dalam laporan keuangan yang cukup penting adalah informasi laba perusahaan. Laba mencerminkan hasil usaha perusahaan dalam suatu periode. Bagi manajemen, laba merupakan salah satu indikator kinerja perusahaan, dan baik buruknya kinerja manajemen perusahaan seringkali dilihat dari laba yang dihasilkan dalam suatu periode. Informasi laba juga penting bagi manajemen dalam menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan ke depan. Bagi investor, informasi laba perusahaan ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan investasi di perusahaan tersebut, atau seberapa besar investasi yang akan ditanamkan dalam perusahaan tersebut. (Saputra, 2009) 2.1.3 Manajemen Laba Manajemen laba beberapa tahun terakhir menjadi isu yang kontroversial bagi pemegang saham dan pemilik modal. Belum adanya batasan kesepakatan 16 mengenai definisi tentang pengertian manajemen laba membuat banyaknya persepsi tentang manajemen laba itu sendiri. Berbagai pandangan dan pendapat tentang manajemen laba muncul mulai dari manajemen laba yang dianggap sebagai sebuah taktik atau kecurangan yang dilakukan oleh manajer guna kepentingannya pribadi, dan ada juga yang beranggapan jika manajemen laba itu sendiri adalah cara perusahaan menyelamatkan kelangsungan perusahaan ke depannya. Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen secara berbeda-beda. Menurut Jumingan dalam Suhendah (2005) yang dikutip dalam Kartika Dewi dan Zulaikha (2011), earning management merupakan suatu proses yang disengaja, menurut standar akuntansi keuangan untuk mengarahkan pelaporan laba pada tingkat tertentu. Budiasih (2009) mengatakan bahwa, manajemen laba merupakan intervensi menajemen dalam proses menyusun pelaporan keuangan eksternal, dengan demikian manajemen dapat menaikkan atau menurunkan laba akuntansi sesuai dengan kepentinganya. Ningsaptiti (2010) dalam penelitiannya mengutip beberapa pengertian yaitu menurut Schipper (1989), manajemen laba adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan, dan menurunkan laba, sedangkan Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa, manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi-transaksi yang mengubah laporan keuangan, hal ini bertujuan untuk menyesatkan para stakeholders tentang kondisi 17 kinerja ekonomi perusahaan, serta untuk mempengaruhi penghasilan kontraktual yang mengendalikan angka akuntansi yang dilaporkan. Penelitian Scott (2006) membagi bahwa manajemen laba dapat dilakukan dengan empat teknik yaitu: 1) Taking a Bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang. 2) Minimalisasi Laba (Income Minimization) Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat probabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan laba periode sebelumnya. 3) Maksimalisasi Laba (Income Maximization) Tindakan income maximization dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. 4) Perataan Laba (Income Smoothing) Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 18 2.1.4 Perataan Laba Seperti beberapa teknik manajemen laba yang telah dijabarkan oleh Scoot (2006) yang paling bertahan dan digunakan dari waktu ke waktu adalah teknik perataan laba atau income smoothing. Eckel (1981) menyebutkan bahwa ada dua jenis income smoothing, yaitu natural smoothing dan intentionally smoothed by management. Natural smoothing menunjukkan pendapatan yang discretionary accrual secara alamiah mempunyai fluktuasi pendapatan yang rendah sehingga bisa dikatakan merata, sedangkan intentionally smoothed by management dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu real smoothing dan artificial smoothing. Real smoothing adalah income smoothing yang dilakukan oleh manajemen dengan secara aktual mengevaluasi dan menentukan transaksi yang akan diambil atau tidak berdasarkan pengaruh perataannya pada pendapatan (smooth effect), sedangkan artificial smoothing adalah perataan yang dilakukan oleh manajemen untuk memperbaiki penampilan laporan keuangan dengan memanipulasinya. Manipulasi ini tidak mencerminkan transaksi yang menjadi dasar laporan (underlying transaction), sedangkan menurut Masodah (2007) perataan merupakan upaya yang secara sengaja dimaksudkan untuk menormalkan pendapatan dalam rangka mencapai kencenderungan tertentu atau tingkat yang diinginkan. Perataan laba merupakan bentuk manajemen laba dan secara umum didefinisikan sebagai peredam fluktuasi laba yang dilaporkan dari waktu ke waktu (Ronen dan Yaari, 2008). Dapat dikatakan manajemen cenderung untuk mengambil tindakan untuk meningkatkan penghasilan bila penghasilan yang relatif rendah dan untuk mengurangi laba bila penghasilan yang relatif tinggi. 19 Alasan utama bahwa manajer melakukan manipulasi laba adalah memaksimalkan kekayaan mereka sendiri, mengurangi keberisikoan dirasakan perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan, pertemuan perjanjian utang, mengurangi pajak dan biaya politik, dan meningkatkan keandalan perkiraan keuangan. Meskipun ada bukti bahwa perataan laba terjadi, efeknya terhadap informasi pendapatan sebagian besar tidak diketahui (Tudor, 2009). 2.1.5 Ukuran Perusahaan Menurut Vintila et al. (2013) ukuran perusahaan adalah suatu skala, atau citra perusahaan yang dapat diklasifikasikan dengan dengan menentukan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara. Penentuan pengukurannya bisa dengan beberapa cara antara lain dengan total aset, total penjualan, rata-rata tingkat penjualan, nilai pasar saham, jumlah tenaga kerja,dan total ekuitas (Sudarmaji dan Sularto 2007). Penentuan ukuran perusahaan ini didasarkan pada log nilai total ekuitas perusahaan. Perkembangan ukuran suatu perusahaan sangat mempengaruhi perhatian dan ketertarikan para analis, investor maupun pemerintah dalam menilai kelangsungan perusahaan ke depannya. Perusahaan besar cenderung akan menghindari fluktuasi laba yang drastis, karena perusahaan nantinya akan dibebani pajak yang besar dan juga untuk menghindari permintaan kenaikan gaji dari serikat (Kieso dan Weygandt, 2010:260). Ukuran aktiva dapat dijadikan sebagi tolak ukur untuk dapat memperlihatkan besar atau kecilnya ukuran suatu perusahaan. Perusahaan yang 20 mampu mencapai total aktiva yang besar dapat diindikasikan bahwa perusahaan tersebut sudah dalam tahap kedewasaan, yaitu tahapan yang memperlihatkan bagaimana suatu perusahaan dalam jangka waktu yang relatif stabil mampu mendapatkan prospek yang baik juga mempunyai arus kas perusahaan yang sudah bernilai positif dan dianggap lebih mampu menghasilkan laba dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai total aset kecil (Bestivano, 2013). 2.1.6 Profitabilitas Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan (Brigham, 2006). Profitabilitas sering juga disebut rentabilitas yang berarti kemampuan suatu perusahaan untuk mendapatkan laba selama periode tertentu. Menurut Prayudi dan Daud (2013), profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dimana laba bersih merupakan ukuran profitabilitas yang terpenting. Rasio profitabilitas suatu perusahaan selalu menjadi perhatian utama bagi kreditur maupun investor dalam pengambilan keputusan. Ungkapan serupa juga mengatakan bahwa profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu. Rasio keuangan profitabilitas diukur dengan membandingkan laba bersih dengan total aktiva atau biasa disebut dengan Return On Asset (ROA) (Dewi dan Sujana, 2014). Menurut Adiningih dan Asyik (2014) Profitabilitas merupakan salah satu indikator yang penting untuk menilai suatu perusahaan. Selain digunakan sebagai alat untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, 21 profitabilitas juga dapat digunakan untuk mengetahui efektifitas perusahaan dalam mengelola sumber-sumber yang dimilikinya. Berdasarkan definisi tersebut, diduga profitabilitas mempengaruhi perataan laba sebab secara logis laba merupakan instrumen yang terkait langsung dengan objek perataan laba. Dapat dikatakan, profitabilitas menjadi tolak ukur kinerja bagi pihak eksternal. Perataan laba lebih cenderung dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai return on asset yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang lebih rendah karena manajemen paham tentang kemampuan untuk memperoleh laba pada masa mendatang sehingga memudahkan dalam menunda atau mempercepat laba. Profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan dengan return on asset (ROA). Hasil dari laba bersih dibagi dengan total aktiva merupakan nilai dari ROA. Hasil tersebut merupakan laba bersih dimana laba sebelum dilakukannya perataan laba. Laba sebelum perataan laba diperoleh dengan mengurangi laba bersih dengan nilai total accruals (TA) (Prabayanti dan Gerianta 2010). Rasio profitabilitas akan menunjukkan kombinasi efek dari likuiditas, manajemen aktiva dan utang pada hasil-hasil operasi (Brigham, 2006). Rasio profitabilitas dapat diukur dengan dilakukannya perbandingan antara laba setelah pajak dengan total aktiva perusahaan. Profitabilitas itu sendiri merupakan hal paling penting yang sangat mempengaruhi pengambilan keputusan para investor untuk dapat menentukan sehat atau tidaknya suatu perusahaan. Zuhroh (1996), Jin dan Machfoedz (1998) serta Suwito dan Herawaty (2005) berpendapat bahwa, profitabilitas tidak berpengaruh terhadap perataan laba. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashari et al. (1994) menemukan bukti bahwa perusahaan 22 dengan tingkat profitabilitas rendah mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan perataan laba. Rasio profitabilitas dapat digunakan untuk menentukan apakah perusahaan mempunyai prospek yang cukup baik ke depannya. Perusahaan yang profitabel umumnya akan berkembang di masa yang akan datang. Tetapi harus pula disadari bahwa tingkat keuntungan (profitabilitas) untuk masing-masing jenis industri bisa berbeda-beda tergantung sifat usaha dan risiko. Meskipun tingkat keuntungan tersebut berbeda-beda, tetapi selalu ada tingkat hasil minimum yang diharapkan yaitu lebih besar dari tingkat keuntungan investasi bebas resiko (Sunarto dan Agus, 2009). 2.1.7 Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan perusahaan menggambarkan tolak ukur keberhasilan perusahaan. Keberhasilan tersebut juga menjadi tolok ukur investasi untuk pertumbuhan pada masa yang akan datang (Sunarto dan Agus, 2009). Pertumbuhan perusahaan diproksikan dengan pertumbuhan aktiva yang diperoleh melalui perbandingan antara total aktiva tahun berjalan yang dikurangi total aktiva tahun sebelumnya. Lambatnya pertumbuhan perusahaan merupakan sinyal bagi investor bahwa kinerja perusahaan menurun. Menurunnya kinerja perusahaan akan menimbulkan keengganan bagi calon investor untuk melakukan investasi pada perusahaan tersebut. Titman dan Wessel (1988) mengatakan bahwa kesempatan tumbuh sebagai perusahaan merupakan proksi yang tepat untuk biaya agensi hutang. Mereka menyarankan bahwa tendensi untuk melakukan investasi 23 adalah terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri yang sedang tumbuh. Pertumbuhan perusahaan dapat diukur dari pertumbuhan aktiva, yaitu dengan membandingkan antara total aktiva tahun berjalan dikurangi total aktiva tahun sebelumnya dibagi dengan total aktiva tahun sebelumnya. Dilihat dari sudut pandang investor, pertumbuhan suatu perusahaan merupakan suatu tanda perusahaan memiliki aspek yang menguntungkan, sehingga investor pun akan mengharapkan tingkat pengembalian dari investasi yang dilakukan menunjukkan perkembangan (Pratiwi, 2013). Pertumbuhan aset menggambarkan pertumbuhan aktiva perusahaan yang akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan yang menyakini bahwa persentase perubahan total aktiva merupakan indikator yang lebih baik dalam mengukur pertumbuhan perusahaan (Putrakrisnanda, 2009). Ukuran yang digunakan adalah dengan menghitung proporsi kenaikan atau penurunan aktiva. Pada penelitian ini, pertumbuhan perusahaan diukur dari proporsi perubahan aset, untuk membandingkan kenaikan atau penurunan atas total aset yang dimiliki oleh perusahaan (Oka, 2011). Kustono (2009) menjelaskan adanya pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap praktik perataan laba. Hasil ini mendukung pernyataan Key (1997) tentang adanya hubungan antara pertumbuhan perusahaan dengan praktik perataan laba. 24 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Praktik Perataan Laba Ukuran perusahaan pada penelitian ini diukur melalui total ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan. Ukuran perusahaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu objek. Pengukuran perusahaan bertujuan untuk membedakan secara kuantitatif antara perusahaan besar (large firm), perusahaan sedang (medium firm), dan perusahaan kecil (small firm) (Putrakrisnanda, 2009). Moses (1987) menemukan bukti bahwa perusahaanperusahaan yang lebih besar memiliki dorongan yang lebih besar pula untuk melakukan perataan laba dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil karena perusahaan-perusahaan pemeriksaan (pengawasan yang lebih yang lebih besar menjadi subyek ketat dari pemerintah dan masyarakat umum / general public). Penelitian tentang pengaruh ukuran perusahaan pada perataan laba semakin banyak diteliti, namun hasil dari penelitian tersebut masih banyak yang menghasilkan ketidakkonsistenan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Budiasih (2009), Bestivano (2013), Pranasari dan Dharmadiaksa (2014), serta Dewi dan Sujana (2014) menyimpulkan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba. Hasil tersebut berarti bahwa perusahaan yang memiliki ukuran yang besar memiliki dorongan yang lebih besar untuk melakukan perataan laba. Sebaliknya, Jao dan Pagalung (2011) membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada praktik perataan laba. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh 25 Adiningsih dan Asyik (2014) serta Fatmawati dan Djajanti (2015) yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap perataan laba. Sementara itu Yudho dan Mita (2010), Dewi (2010), Prabayanti dan Gerianta (2014), serta Sari (2009) menyimpulkan hasil yang berbeda bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap perataan laba, yang artinya bahwa ukuran besar atau kecilnya suatu perusahaan tidak menjadi dasar atau menjadi dorongan untuk suatu perusahaan penerapkan praktik perataan laba dalam perusahaan. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada praktik perataan laba. 2.2.2 Pengaruh Profitabilitas pada Praktik Perataan Laba Profitabilitas mencerminkan tingkat efektivitas yang dicapai oleh operasional perusahaan. Semakin besar rasio profitabilitas perusahaan, maka akan semakin baik perusahaan dalam menghasilkan laba. Laba menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa laba merupakan berita baik bagi pihak manajemen perusahaan maupun investor (Fatmawati dan Djajayanti, 2015). Tingkat profitabilitas yang stabil (smooth) akan memberikan keyakinan pada investor bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik dalam menghasilkan laba, karena investor lebih menyukai tingkat profitabilitas yang stabil setiap tahunnya (Putrakrisnanda, 26 2009). Profitabilitas juga seringkali digunakan oleh kreditor untuk memutuskan pinjaman mereka kepada suatu perusahaan (Utomo dan Baldric, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Ashari, dkk. (1994), Zurroh (1996), Peranasari dan Dharmadiaksa (2014), Budiasih (2009), Prabayanti dan Gerianta (2014) memperoleh hasil bahwa profitabilitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh positif dalam praktik perataan laba. Hasil tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi profitabilitas yang dihasilkan perusahaan cenderung akan melakukan perataan laba. Sebaliknya penelitian yang dilakuan oleh Pratiwi dan Handayani (2014) serta Tuti dan Indrawati (2007) menunjukkan bahwa pfofitabilitas berpengaruh negatif pada perataan laba. Penelitian yang dilakukan oleh Adiningsih (2014), Prayudi dan Rochmawati (2013), Utomo dan Baldric (2008), Suwito dan Herawaty (2005), Bestivano (2013), serta Dewi dan Zulaika (2011) menemukan hasil bahwa profitabilitas tidak berpengaruh pada praktik perataan laba. Hasil penelitian tersebut menandakan bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan cenderung untuk tidak melakukan perataan laba. Hal tersebut disebabkan karena perusahaan tersebut akan semakin menjadi sorotan publik sehingga perusahaan kemungkinan berusaha untuk tidak melakukan tindakan yang membahayakan kredibilitas perusahaan. Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: H2: Profitabilitas berpengaruh positif pada praktik perataan laba. 27 2.2.3 Pertumbuhan Perusahaan memoderasi dengan memperlemah Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Praktik Perataan Laba Banyak penelitian yang sudah dilakukan dalam meneliti hubungan antara ukuran perusahaan dan praktik perataan laba. Peneliti-peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian dengan variabel ukuran perusahaan ini menemukan hasil yang berbeda-beda mengenai pengaruh ukuran perusahaan pada praktik perataan laba. Hasil pengaruh signifikan ukuran perusahaan terhadap praktik perataan laba banyak ditemukan oleh beberapa peneliti yang meneliti hubungan ukuran perusahaan terhadap perataan laba dalam penelitiannya antara lain Budiasih (2009), Bestivano (2013), Peranasari dan Dharmadiaksa (2014), serta Dewi dan Sujana (2014). Namun, beberapa peneliti tidak dapat membuktikan bahwa ukuran perusaahaaan berpengaruh atau dengan kata lain dapat mendorong adanya tindakan perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan (Yudho dan Mita, 2010; Kustono, 2009; Prabayanti dan Gerianta, 2014). Perusahaan-perusahaaan manufaktur yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia tentu mempunyai tingkat pertumbuhan perusahaan yang berbeda-beda. Setiap perusahaan yang mempunyai pertumbuhan perusahaan yang baik maupun kurang juga mempunyai ukuran perusahaan yang berbeda pula. Saat pelaporan keuangan dan pelaporan labapun setiap perusahaan akan melaporkan labanya sesuai dengan pencapaian terbaik perusahaannya. Bisa dikatakan semakin besar ukuran perusahaan dengan pertumbuhan perusahaan yang melemah maka akan semakin kompleks laporan keuangan yang dilaporkan. Akibatnya untuk dapat mengurangi fluktuasi laba maka pihak manajemen akan tertarik untuk melakukan 28 praktik perataan laba untuk dapat menyesuaikan laba sesuai dengan minat dari para investor. H3: Pertumbuhan perusahaan memoderasi pengaruh ukuran perusahaan pada perataan laba. 2.2.4 Pertumbuhan Perusahaan memoderasi dengan pengaruh Profitabilitas pada Praktik Perataan Laba memperlemah Profitabilitas merupakan ukuran penting untuk menilai sehat atau tidaknya perusahaan yang mempengaruhi investor untuk membuat keputusan untuk membeli atau menjual saham perusahaan. Rasio profitabilitas perusahaan adalah rasio yang diukur berdasarkan perbandingan antara laba setelah pajak dengan total aktiva perusahaan (Suwito dan Arleen, 2005). Profitabilitas serupa dengan ukuran perusahaan merupakan variabel yang sama halnya dengan ukuran perusahaan, dimana profitabilitas juga menjadi variabel yang masih terbilang menghasilkan hasil yang tidak konsisten dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia dalam menyediakan laporan keuangannya memberikan informasi yang tidak sama. Perbedaan tersebut selain karena perbedaan sektor industri juga dipengaruhi oleh perbedaan perkembangan atau pertumbuhan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba perusahaan. Menurut Sunarto dan Agus (2009), suatu perusahaan yang sedang berada pada tahap pertumbuhan akan membutuhkan dana yang besar. Jika kebutuhan dana semakin besar maka perusahaan cenderung menahan sebagian besar pendapatannya. 29 Laba yang dihasilkan akan mempengaruhi rasio profitabilitas suatu perusahaan. Suatu industri yang menyajikan profitabilitas yang besar akan memperlihatkan bahwa semakin baik kinerja manajemen dalam menghasilkan laba yang tinggi yang nantinya akan berpengaruh pada keputusan dari para investor apakah akan tetap menanamkan sahamnya atau tidak (Dewi dan Prasetiono, 2012). H4: Pertumbuhan perusahaan memoderasi dengan memperlemah pengaruh profitabilitas pada perataan laba. 30