TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Persepsi Praktisi dan Akademisi terhadap Penerapan Teknologi BIM di Arsitektur Irfan Irwanuddin(1), Aswin Indraprastha(2), Hanson E. Kusuma(2) (1) (2) Program Studi Magister Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung. Kelompok Keilmuan Perancangan Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Pada skala global ataupun di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa urgensi untuk mengadaptasi teknologi BIM akan semakin menguat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana perspektif para akademisi maupun praktisi di bidang arsitektur terhadap teknologi BIM. Studi pendahuluan yang bersifat kualitatif ini menggunakan metode pengumpulan data dengan kuesioner yang dibagikan kepada pihak - pihak yang berkaitan dengan bidang arsitektur. Hasil analisis awal yang bersifat kualitatif digunakan untuk membuat klasifikasi antara responden praktisi dan akademisi terhadap teknologi BIM. Responden yang mengenal BIM cenderung menyatakan bahwa BIM merupakan software yang efisien, informatif, integratif, kolaboratif, komunikatif, dan sulit diadaptasi. Responden yang tidak mengenal BIM menyebutkan beberapa software CAD dan alasan penggunaannya, seperti familiaritas, fitur, kemudahan, kesederhanaan, kecepatan dan popularitas. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa praktisi lebih cenderung memahami BIM dibandingkan akademisi. Kata-kunci: akademisi, BIM, praktisi Pengantar Sebagai salah satu Negara ASEAN yang memiliki pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, Indonesia kini dihadapkan pada kondisi akan semakin tingginya jumlah proyek konstruksi, ditambah dengan adanya kebijakan ASEAN Economic Community dan undangan investasi dari Presiden saat ini, yang di perkirakan akan semakin memperbesar tantangan para praktisi di bidang AEC di Indonesia (Indraprastha, 2015). Perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung memiliki tanggung jawab dalam mendidik dan memper-siapkan lulusan yang mampu merespon perubahan ini. Beberapa Negara seperti Norwegia, Finlandia, Amerika, Inggris, dan Denmark telah mengadopsi BIM sebagai sistem dalam bidang konstruksi di negara masing – masing (Wong, Wong, & Nadeem, 2009). Diantara negara negara ASEAN yang turut andil dalam ASEAN Economic Community, Singapura telah menjadi pelopor di bidang implementasi BIM. Tercatat, sejak tahun 1997, teknologi ini telah dirintis sebagai standar dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan sertifikasi fire safety (Khemlani, 2005). Tentunya, sebuah revolusi dari teknologi CAD menuju BIM bukanlah perkara mudah. Dalam skala individu, proses adaptasi BIM membutuhkan pemahaman yang berbeda dari teknologi CAD. Karena konsep dasar dari BIM adalah strukturisasi dan koordinasi informasi digital dari modeling sebuah bangunan (Çetiner, 2010). Oleh karena itu, tahap awal dari adaptasi BIM adalah dimulai dari pemahaman terlebih dahulu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap kecenderungan akademisi dan praktisi terhadap BIM, dan diungkap pula alasan yang menyebabkan responden yang tidak mengenal BIM masih menggunakan teknologi CAD sebagai data tambahan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | H 167 Persepsi Praktisi dan Akademisi terhadap Penerapan Teknologi BIM di Arsitektur Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif (Creswell, 2013) yang memiliki kemampuan mengidentifikasi dan mengeksplo-rasi faktor-faktor penting dalam suatu persoalan yang diteliti (Groat & Wang, 2002). Tujuan menggunakan metode ini untuk membuka kemungkinan jawaban yang luas dan konstruktif dari keseluruhan responden. Arsitek Arsitek Junior Desainer interior Drafter kontraktir Pegawai Swasta Wiraswasta 27 5 4 1 1 3 1 1 1 1 1 1 0 34 10 20 30 40 Metode Pengumpulan Data Diagram 1. Distribusi jenis profesi responden. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan survey online dalam bentuk kuesioner. Kuesioner online ini dibagikan dengan cara snowball-non-random-sampling kepada siapapun yang memiliki profesi berkaitan dengan dunia arsitektur (praktisi dan akademisi), baik melalui media sosial atau kanal pribadi. Beberapa responden yang didapat melalui kanal pribadi tersebut juga diminta untuk menyebarkan kepada teman teman – mereka yang sekiranya relevan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, responden dibagi berdasarkan dua klasifikasi, yakni “mengenal BIM” dan “tidak mengenal BIM” dengan menggunakan sistem two-way question. Kemudian dari masing – masing dua pertanyaan tersebut terdapat 1 pertanyaan terbuka (open-ended) untuk menggali opini responden, serta 1 pertanyaan jenis checklist untuk mengggali jenis - jenis software apa saja yang responden kenali sebagai data tambahan. Dari proses tersebut, didapatkan total 81 responden. Dengan jumlah responden dari kelompok profesi praktisi sebanyak 43 responden, dan dari kelompok profesi akademisi sebanyak 38 responden. Dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa profesi dari masing – masing responden pun beragam. Didalamnya, profesi yang tergolong sebagai praktisi terdiri dari wira-swasta (1 orang), pengawas arsitek (1 orang), pegawai swasta (1 orang), karyawan BUMN konstruksi (1 orang), general affair (1 orang), drafter (1 orang), desainer interior (1 orang), arsitek junior (4 orang), arsitek lepas (5 orang), dan arsitek (27 orang). Sedangkan yang tergolong sebagai akademisi adalah terdiri dari asisten lab (1 orang), dosen (3 orang), dan mahasiswa (34 orang). Kuesioner online berisi pertanyaan yang disusun secara kualitatif. Pertanyaan kualitatif menggunakan struktur pertanyaan terbuka (openended) guna menggali informasi sebanyak – banyaknya. Dalam pembahasan kali ini, data yang digunakan adalah data teks kualitatif. H 168 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan metode analisis konten, analisis distribusi, dan analisis korespondensi. Terlebih dahulu dilakukan metode analisis konten guna membuka informasi mengenai opini responden yang mengenal dan tidak mengenal BIM. Selanjutnya, analisis distribusi dilakukan untuk mengetahui frekuensi opini dari responden yang paling dominan. Pada tahap akhir, dilakukan analisis korespondensi guna mengungkap kecenderungan praktisi dan akademisi terkait pemahaman mengenai BIM. Analisis dan Interpretasi Di tahap pertama content analysis, dilakukan tahap open coding, yakni tahapan untuk mengidentifikasi kata kunci dari data teks yang ada. Contoh open coding dari jawaban responden mengenai BIM dapat dilihat dalam kutipan hasil kuesioner berikut. “BIM adalah sistem software permodelan yang terintegrasi khususnya hingga dunia industri konstruksi. mulai dari perencanaan hingga pemilihan spesifikasi teknis mampu dipecahkan Irfan Irwanuddin dengan efisien. ini luar biasa sekali.” (Arsitek, Jakarta) “Teknologi modeling BIM dapat meng-hadirkan informasi yang lebih mendetail, khusunya dalam hal perencanaan struktur dan konstruksi bangunan sehingga proses perancangan tidak berjalan parsial antara desain visual dan teknis.” (Mahasiswa, Surabaya) Berdasarkan data teks di atas, didapatkan beberapa kata kunci dari opini responden tentang BIM yaitu “terintegrasi”, “efisien”, “mendetail”, dan “tidak berjalan parsial”. Selanjutnya, dilakukan axial coding untuk mengelompokkan kata kunci yang telah didapat untuk digolongkan ke dalam kategori. Dalam tahap ini diperlukan diskusi kelompok guna menghindari bias dari hasil pengategorian. Untuk jenis responden yang mengenal BIM, ditemukan 6 kategori, sedangkan untuk jenis responden yang tidak mengenal BIM, juga ditemukan sebanyak 6 kategori. Setelah itu, kategori – kategori ini digunakan pada tahap analisis distribusi. Berikut contoh axial coding mengenai opini responden baik praktisi maupun akademi yang mengenal BIM dan yang tidak mengenal BIM dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Dari seluruh kategori yang didapat, dilakukan analisis distribusi dengan cara menganalisis frekuensi masing – masing kategori. Analisis dilakukan untuk mengklasifikasi dan mengungkap di antara praktisi dan akademisi yang mengenal BIM manakah yang kecenderungannya yang paling kuat. Tabel 1. Contoh axial coding opini responden yang mengenai BIM No Kategori Kata Kunci Modeling Analitis 1 Informasi struktur yang lebih mendetail Informatif Informasi Utilitas Memperjelas Detail 2 Memudahkan aspek arsitektural, struktural, dan teknikal Integratif Integrasi Formula RAB Membantu maintenance bangunan Tabel 2. Contoh axial coding alasan responden yang menggunakan software CAD (tidak mengenal BIM) No 1 Kategori Kata Kunci Lebih mudah penggunaannya mempermudah menginformasikan ide Kemudahan Mudah dipelajari Mudah digunakan 2 familiar di kalangan mahasiswa software modelling yang paling populer modeling arsitektur pertama yang dipelajari Familiar Efisien 4 Informatif Hasil analisis distribusi untuk responden praktisi yang mengenal BIM dapat dilihat pada Diagram 2. Dari data distribusi, terlihat bahwa opini dari praktisi mengenai BIM adalah “Informatif” dengan jumlah 13 (36,1%), “Integratif” dengan jumlah 12 (33,33%), “Efisien” dengan jumlah 4 (11,1%), “Kolaboratif” dengan jumlah 3 (8,3%), “Komunikatif” dengan jumlah 3 (8,3%), dan “Sulit Diadaptasi” dengan jumlah paling kecil, yakni 1 (2,8%). 13 Integratif 12 Kolaboratif 3 Komunikatif 3 Sulit Diadaptasi 1 0 5 10 15 Diagram 2. Praktisi yang mengenal BIM. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | H 169 Persepsi Praktisi dan Akademisi terhadap Penerapan Teknologi BIM di Arsitektur Hasil ini menunjukkan bahwa opini dominan dari para praktisi mengenai BIM adalah Informatif. Yang dimaksud dengan informatif disini adalah karakter dari BIM yang mencakup spesifikasi, dokumentasi, dan informasi terstruktur yang tertanam dalam objek modeling yang secara langsung akan memudahkan transisi dari dokumentasi hingga manajemen (Gu, N., Singh, V., London, K., 2014). Hasil analisis distribusi untuk responden dari akademisi yang mengenal BIM dapat dilihat pada Diagram 3. Terlihat bahwa opini dari akademisi mengenai BIM adalah “Informatif” dengan jumlah 11 (35,5%), “Integratif” dengan jumlah 10 (32,3%), “Komunikatif” dengan jumlah 4 (12,9%), “Efisien” dengan jumlah 3 (9,7%), “Sulit Diadaptasi” dengan jumlah 2 (6,4%), dan “Kolaboratif” dengan jumlah paling kecil, yakni 1 (3,2%). Efisien Informatif Integratif Kolaboratif Komunikatif Sulit Diadaptasi 3 10 11 1 menggunakan BIM diantaranya adalah “Google Sketchup” dengan jumlah 36 (63,2%), “Autodesk AutoCAD” dengan jumlah 15 (26,3%), “Autodesk 3ds Max” dengan jumlah 4 (7%), dan sisanya “Vray”, dan “Rhinoceros” dengan jumlah masing – masingnya 1 (1,8%). Sedangkan alasan responden menggunakan software tersebut diantaranya adalah “Mudah” dengan jumlah 33 (48,5%), “Umum Digunakan” dengan jumlah 11 (11,8%), “Sederhana” dengan jumlah 8 (10,3%), “Familiar” dengan jumlah 7 (%), “Kelengkapan Fitur” dengan jumlah 6 (8,8%), dan “Ringan” dengan jumlah paling sedikit yakni 3 (4,4%). Dari hasil analisis diatas dapat terlihat bahwa Software CAD yang paling banyak digunakan responden yang tidak mengenal BIM adalah Google Sketchup, dengan alasan tertinggi karena kemudahannya. Jika dilihat progresnya selama ini, secara umum perubahan dari sistem manual ke CAD membutuhkan 20 tahun, dari CAD ke BIM membutuhkan 7 tahun, dan hal selanjutnya bisa saja terjadi dalam waktu yang semakin singkat lagi sesuai dengan kebutuhan pada zamannya (Deamer, 2014) 4 2 0 Autodesk 3Ds Max 5 10 15 Diagram 3. Akademisi yang mengenal BIM. Hasil ini menunjukkan bahwa opini dominan dari para akademisi mengenai BIM adalah Integratif. Yang dimaksud dengan integratif disini adalah kemampuan untuk koordinasi setiap fase baik dalam desain maupun konstruksi, sehingga work-flow yang dihasilkan berjalan lebih efisien (Eastman, C., P. Teicholz, R. Sacks, and K. Liston., 2008). Bagi responden dari praktisi dan akademisi yang tidak mengenal BIM, software yang digunakan adalah CAD. Dari data yang didapat, terungkap beberapa jenis software CAD yang digunakan, beserta opini mengenai software tersebut yang dapat dilihat pada Diagram 4 dan Diagram 5. Jenis software yang paling sering digunakan oleh praktisi dan akademisi yang tidak H 170 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 4 Autodesk AutoCAD 15 Google Sketchup 36 Rhinoceros 1 Vray 1 0 10 20 30 40 Diagram 4. Jenis Software selain BIM yang digunakan. Fimiliar Kelengkapan Fitur Mudah Ringan Sederhana Umum Digunakan 7 6 33 3 8 11 0 10 20 30 Diagram 5. Alasan Praktisi dan Akademisi menggunakan CAD 40 Irfan Irwanuddin Setelah opini praktisi dan akademisi terhadap BIM diungkap, tahap terakhir yang dilakukan adalah analisis korespondensi. Tujuan dari analisis ini adalah mengungkap kecenderungan antara praktisi dan akademisi terhadap teknologi BIM. Analisis dilakukan berdasarkan data teks yang didapat melalui metode two-way question di awal kuesioner. Lalu menggunakan metode perbandingan korelasi X dan Y untuk mendapatkan data kecenderungan di antara kedua penggolongan profesi tersebut. Hasil dari analisis korespondensi dapat dilihat pada Diagram 6. Dari diagram 6 dapat dilihat bahwa praktisi lebih cenderung mengenal BIM dibandingkan akademisi 0,15 Akademisi Tidak 0,10 c1 0,05 0,00 -0,05 Praktisi Ya -0,10 -0,10 -0,05 0,00 0,05 0,10 0,15 c2 Mengenal/Tidak Mengenal Penggolongan Profesi Diagram 6. Kecenderungan Praktisi dan Akademisi terhadap BIM (hasil analisis korespondensi, nilai significant value 0.30). Dari sudut pandang akademisi, hal ini dikarenakan adanya resiko yang cukup besar jika akademisi memiliki fokus terlalu banyak pada aspek yang terlalu teknis ketimbang menjaga kemampuan kritis dalam mendesain (Holzer, 2014). Sedangkan bagi praktisi, BIM memiliki kemampuan koordinasi, manajemen, dan pengembangan yang dibutuhkan oleh praktisi yang mana akademisi tidak terlalu membutuhkan hal tersebut (Holzer, 2014). Di sinilah terjadinya celah antara akademisi dan praktisi terkait BIM. Bagi akademisi, adaptasi teknologi BIM dalam pendidikan merupakan aspek yang sangat teknis, sehingga tidak terlalu menjadi perhatian utama dibandingkan kemam-puan kritis dalam mendesain. Sedangkan di dunia praktisi, adaptasi BIM justru memudahkan pekerjaan sehingga adaptasi BIM ini dinilai menguntungkan. Kesimpulan Dalam pemahaman mengenai BIM, tampak bahwa kecenderungan praktisi lebih unggul dibandingkan akademisi. Sebagian besar praktisi memahami BIM sebagai software yang Informatif, sedangkan sebagian besar akademisi memahami BIM sebagai software yang integratif. Adapun beberapa responden yang tidak mengenal BIM, kebanyakan menggunakan Google Sketchup karena faktor kemudahannya. Meskipun data kecenderungan praktisi dan akademisi menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu signifikan (kemungkinan kesalahan sebesar 30%), tetapi arah dari kecenderungan yang didapat dari hasil analisis korespondensi tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan Holzer. Penelitian ini mengungkap pandangan praktisi dan akademisi mengenai pemahaman terhadap BIM. Adapun kemungkinan-kemungkinan yang perlu digali lagi pada penelitian selanjutnya adalah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan akademisi terhadap BIM tidak sekuat praktisi. Daftar Pustaka Çetiner, O. (2010). A Review of Building Information Modeling Tools from an Architectural Design Perspective. Handbook of Research on Building Information Modeling and Construction Informatics, 19-28. Creswell, J. W. (2013). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publication. Deamer, P. (2014). Marx, BIM, and Contemporary Labor. Building Information Modeling: BIM in Current and Future Practice, 313-319. Eastman, C., P. Teicholz, R. Sacks, and K. Liston. (2008). BIM Handbook: A Guide to Building Information Modeling: For Owners, Managers, Designers, Engineers, and Contractors. Hoboken: John Wiley & Sons. Groat, L., & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | H 171 Persepsi Praktisi dan Akademisi terhadap Penerapan Teknologi BIM di Arsitektur Gu, N., Singh, V., London, K. (2014). BIM Ecosystem: The Coevolution of Products, Processes, and People. Building Information Modeling: BIM in Current and Future Practice, 197-210. Holzer, D. (2014). BIM and Parametric Design as Game Changer. Proceedings of the 19th International Conference on Computer-Aided Architectural Design research in Asia CAADRIA 2014, (pp. 379-388). Hong Koong. Indraprastha, A. (2015). Integration of Building Information Modeling (BIM) Course into Design Curriculum Case Study: Study Program of Architecture, Institut Teknologi Bandung. 9th BIM Academic Symposium, (p. 8). Washington, D.C. Khemlani, L. (2005). CORENET e-PlanCheck: Singapore's Automated Code Checking System. AECBytes. Wong, K. A., Wong, K. F., & Nadeem, A. (2009). Comparative Roles of Major Stakeholders for the Implementation of BIM in Various Countries. Changing Roles: New Roles, New Challenges. H 172 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016