KEBERADAAN Escherichia coli PADA PERALATAN MAKAN

advertisement
KEBERADAAN Escherichia coli PADA PERALATAN MAKAN BALITA
SEBAGAI FAKTOR RISIKO DIARE PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS TUGU, KOTA DEPOK, TAHUN 2014
Indah Kusumadewi, Ema Hermawati
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak
Diare dapat disebabkan oleh berbagai penyebab langsung maupun faktor risiko, salah satunya infeksi bakteri E.
coli. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan E. coli pada peralatan makan balita dengan diare pada balita.
Penelitian juga melihat faktor terkait dengan kontaminasi E. coli, meliputi sarana air bersih, serta pengetahuan
dan praktik higiene sanitasi pengasuh balita. Studi kasus kontrol dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tugu
pada minggu terakhir bulan April sampai minggu kedua bulan Mei 2014. Sebanyak 30 sampel kasus didapatkan
dari kunjungan pasien balita penderita diare ke Puskesmas Tugu dan 30 sampel kontrol merupakan balita yang
tinggal dekat dengan sampel kasus (tetangga). Pengumpulan data meliputi wawancara, observasi, dan sampel
usap alat. Pemeriksaan E. coli menggunakan Sanitakun dan dianalisis di laboratorium. Penelitian menunjukkan
keberadaan E. coli pada peralatan makan balita tidak berhubungan signifikan dengan diare (p value = 0,108; OR
= 7,250; CI = 0,815-64,457). Terdapat dua variabel yang berhubungan signifikan dengan diare, yaitu jarak
sumber air ke sumber pencemar (p value = 0,009; OR = 4,929; CI = 1,612-15,071) dan pengetahuan pengasuh
balita (p value = 0,019; OR = 4,125; CI = 1,387-12,270). Jenis sarana air bersih, praktik pencucian peralatan
makan balita, dan praktik CTPS pengasuh balita tidak berhubungan signifikan dengan diare pada balita di
Kelurahan Tugu.
EXISTENCE OF Escherichia coli IN CHILDREN UNDER FIVE’S EATING
UTENSILS AS A DIARRHEA RISK FACTOR AMONG CHILDREN UNDER FIVE
IN COVERAGE AREA OF TUGU COMMUNITY HEALTH CENTER, DEPOK, 2014
Abstract
Diarrhea can caused by direct causes as well as risk factors, one of them is E. coli bacteria infection. This study
aims to know the correlation between E. coli on children under five’s eating utensils with diarrhea in children
under five. This study also observed another risk factors related to E. coli contamination, including good water
supply, and caregiver’s knowledge and hygiene sanitation practices. A case control study was conducted in
coverage area of Tugu Community Health Center on the last week of April until the second week of May, 2014.
As many as 30 case samples obtained from children under five’s diarrhea patient’s visit to Tugu Community
Health Center and 30 control samples are children under five who live next to case samples (neighbour). Data
collecting including interview, observation, and swab sample. E. coli was checked using Sanitakun and analyzed
in laboratory. Study shows that existence of E. coli on children under five’s eating utensils is not significantly
associated with diarrhea (p value = 0,108; OR = 7,250; CI = 0,815-64,457). There are two variables which
significantly associated with diarrhea, they are the distance of good water source from contaminant source (p
value = 0,009; OR = 4,929; CI = 1,612-15,071) and caregiver’s knowlegde (p value = 0,019; OR = 4,125; CI =
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
1,387-12,270). Good water supply, washing eating utensils practice, and caregiver’s washing hands using soap
practice are not associated with diarrhea in children under five in Tugu Village.
Keyword: diarrhea; children under five; Escherichia coli; good water; children under five’s eating utensils
Pendahuluan
Diare merupakan penyebab kedua kematian balita di dunia, setelah pneumonia. Setiap tahun,
760.000 balita meninggal karena mengalami diare (WHO, 2013). Di Indonesia, diare terjadi
pada semua kelompok umur, dengan prevalensi diare tertinggi adalah pada bayi (<1 tahun),
yaitu 11,2% dan balita (1-4 tahun), yaitu 12,2% (Balitbangkes, 2013). Berdasarkan data dari
Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi nasional diare di Indonesia adalah 7,0%. Terdapat 12
provinsi di Indonesia yang masih memiliki prevalensi diare di atas prevalensi nasional, salah
satunya adalah Jawa Barat (7,5%). Data dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat
menunjukkan selama tahun 2012, pola penyakit penderita rawat inap di rumah sakit umur 0 <1 tahun, diare menduduki peringkat ke-6. Sedangkan pada tahun yang sama, pada penderita
rawat inap umur 1-4 tahun, diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu
menduduki peringkat pertama.
Diare menduduki peringkat kelima dalam pola 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat
jalan di puskesmas Kota Depok. Berdasarkan kelompok umur, pola penyakit penderita rawat
jalan di puskesmas umur 0-<1 tahun dan umur 1-4 tahun, diare menduduki peringkat ke-4
(Dinas Kesehatan Kota Depok, 2012). Pada tahun 2013, dari sebelas kecamatan yang ada di
Kota Depok, balita penderita diare tertinggi terdapat di wilayah kerja Puskesmas Cipayung
dan tertinggi kedua terdapat di wilayah kerja Puskesmas Tugu, dengan jumlah masing-masing
621 dan 423 kasus (data yang dikonfirmasi dari P2P Dinas Kesehatan Kota Depok, 2014).
Berdasarkan Laporan Bulanan Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), dari
bulan Juli 2013 hingga Maret 2014, balita penderita diare yang berobat ke Puskesmas Tugu
mencapai 379 balita.
Kejadian diare dikhawatirkan akan semakin meningkat apabila tidak diketahui apa yang
menjadi penyebabnya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi kejadian diare pada balita
adalah sanitasi lingkungan, perilaku kebersihan, serta ketersediaan air bersih. Rendahnya
PHBS dapat menjadi faktor risiko kontaminasi bakteri Escherichia coli, yang merupakan
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
salah satu bakteri utama penyebab diare. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai hubungan keberadaan bakteri E. coli pada peralatan makan balita (sebagai
pencerminan dari ketersediaan air bersih dan perilaku kebersihan pengasuh balita) terhadap
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota
Depok.
Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya hubungan keberadaan Escherichia coli pada
peralatan makan balita dengan kejadian diare pada balita. Tujuan khusus dari penelitian ini
adalah diketahui keberadaan bakteri Escherichia coli pada peralatan makan balita; diketahui
sarana air bersih (jenis dan jarak ke sumber pencemar) yang digunakan warga; diketahui
pengetahuan pengasuh balita; diketahui praktik higiene sanitasi pengasuh balita; diketahui
hubungan sarana air bersih (jenis dan jarak ke sumber pencemar) dengan kejadian diare pada
balita; diketahui hubungan pengetahuan pengasuh balita dengan kejadian diare pada balita;
dan diketahui hubungan praktik higiene sanitasi pengasuh balita dengan kejadian diare pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Tugu.
Tinjauan Teoritis
Escherichia coli merupakan bagian dari kelompok fecal coliform, yaitu bakteri yang
bersumber dari kotoran manusia dan hewan (US EPA, 2008). Beberapa jenis E. coli bersifat
patogenik, yaitu dapat menimbulkan penyakit. Keberadaan E. coli di lingkungan, misalnya
pada tanah dan air, yang bersumber dari feses manusia dan hewan digunakan sebagai
indikator pencemaran tinja (CDC, 2012; Todar, 2012). Gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh E. coli salah satunya adalah diare. E. coli penyebab diare banyak ditemukan di seluruh
dunia, terutama di negara-negara berkembang yang minim akses air bersih dan memiliki
kondisi sanitasi yang buruk. Masa inkubasi E. coli untuk menyebabkan diare adalah 8 – 44
jam (Faridz, et al, 2007).
Bakteri E. coli masuk ke dalam tubuh manusia melalui transmisi fekal-oral, yaitu E. coli yang
terdapat dalam tinja manusia yang terinfeksi masuk ke tubuh manusia lain melalui mulut
(WHO, 2009). E. coli dapat tertelan oleh manusia ketika mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi, susu yang tidak dipasteurisasi, buah yang tidak dicuci bersih, air yang tidak
didesinfeksi, atau melalui perilaku berisiko seperti tidak mencuci tangan setelah
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
menggunakan toilet, sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah mengganti
popok bayi, setelah menceboki balita, setelah kontak dengan unggas, maupun setelah kontak
dengan feses orang yang terinfeksi (CDC, 2012). E. coli juga dapat ditemukan pada alat
makan apabila dicuci menggunakan air yang terkontaminasi. E. coli dapat pula disebarkan
oleh binatang vektor yang membawa E. coli dari tempat-tempat yang menjadi sumber bakteri.
Diare merupakan gejala umum dari infeksi gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis patogen, meliputi virus, bakteri, dan protozoa (WHO, 2009). Menurut definisi
WHO, diare merupakan keadaan ketika terjadi peningkatan frekuensi buang air besar, yaitu
tiga kali atau lebih dalam satu hari, disertai dengan perubahan bentuk tinja menjadi cair,
dengan atau tanpa lendir dan darah. Diare dapat disebabkan oleh pajanan tunggal maupun
beberapa pajanan penyebab (multi causa). Penyebab langsung diare secara umum dibagi
menajadi lima, yaitu infeksi (bakteri, virus, atau parasit), malabsorbsi, imunodefisiensi, alergi
makanan, dan keracunan pangan. Terdapat pula faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya diare pada balita, yaitu faktor lingkungan, demografi, cuaca dan iklim, pengasuh
balita, serta faktor individu (balita). Sebanyak 88% kematian akibat diare di dunia disebabkan
oleh akses air yang tidak aman serta higiene dan sanitasi yang buruk. Perbaikan higiene dan
sanitasi serta pengadaan akses air bersih yang mencukupi dapat menurunkan angka kesakitan
akibat penyakit-penyakit menular berbasis lingkungan, seperti diare. Higiene dan sanitasi
yang baik dapat tercipta apabila ada dukungan dari masyarakat, dengan melakukan perilaku
kebersihan yang baik dan benar (WHO, 2009).
Sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian faktor lingkungan fisik manusia yang
mungkin menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya
tahan hidup manusia (WHO dalam Sutrisno, 2008). Menurut Waluya (2010), kondisi
lingkungan yang mendasar untuk sanitasi yang baik mencakup pasokan air bersih yang aman;
pembuangan limbah dari manusia, hewan, dan industri yang efisien; perlindungan makanan
dari kontaminasi biologi, fisik, dan kimia; udara yang bersih dan aman; serta rumah yang
bersih dan aman. Sanitasi lingkungan dapat tercipta apabila tersedia fasilitas yang memadai
serta sarana prasarana lain yang berfungsi untuk memelihara kebersihan lingkungan. Selain
itu, untuk menciptakan kondisi lingkungan yang saniter perlu didukung dengan perilaku
kebersihan yang baik.
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Perilaku kebersihan adalah berbagai wujud tindakan yang dilakukan seseorang, mencakup
tindakan yang bersifat negatif maupun tindakan yang bersifat bertanggung jawab terhadap
kebersihan (Wibowo, 2009). Perilaku kebersihan yang terkait dengan kejadian diare, di
antaranya yang utama yaitu mencuci tangan menggunakan sabun atau CTPS (Cuci Tangan
Pakai Sabun). Kebiasaan mencuci tangan yang buruk (tidak mencuci tangan, mencuci tangan
tidak menggunakan sabun, atau mencuci tangan tidak menggunakan air bersih) berisiko
memindahkan bakteri penyebab diare dari tangan, yang berasal dari air maupun makanan, ke
mulut (Trimulyaningsih, 2006). Mencuci tangan menggunakan sabun setelah menggunakan
toilet, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, sebelum menyuapi makan balita,
setelah mengganti popok bayi, serta setelah kontak dengan unggas, kandang, maupun kotoran
unggas dapat memutus rantai penularan agen penyebab diare ke manusia (CDC, 2011).
Mencuci tangan menggunakan sabun dengan benar dapat mengurangi risiko diare sebesar 4247% (UNICEF Indonesia, 2012).
Selain kebersihan tangan, kebersihan peralatan makan juga harus diperhatikan untuk
mencegah penularan diare dari alat makan. Dalam Kepmenkes Nomor 942 tahun 2003
tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, cara menjaga kebersihan
peralatan makan yaitu mencuci peralatan makan yang sudah dipakai dengan air bersih yang
mengalir dan sabun; mengeringkan peralatan makan yang sudah dicuci dengan alat
pengering/lap yang bersih; dan menyimpan peralatan makan yang sudah bersih dan kering di
tempat yang bebas pencemaran (khusus dan tertutup).
Kekurangan air bersih, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas dapat menjadi penghambat
dalam menciptakan kondisi higiene dan sanitasi yang baik. Air dapat menjadi media transmisi
agen penyakit, salah satunya bakteri penyebab diare. Berdasarkan Permenkes No. 416 Tahun
1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, pengertian air bersih adalah air
yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan
dan dapat diminum apabila telah dimasak. Sumber air bersih yang terkontaminasi dapat
menjadi faktor risiko diare. Sumber air bersih yang berjarak kurang dari 10 meter dengan
septic tank berisiko tinggi terkontaminasi bakteri dari kotoran manusia. Air tersebut jika
digunakan untuk keperluan minum, memasak, maupun mencuci peralatan makan dapat
menjadi sumber penularan bakteri penyebab diare ke manusia (Bumulo, 2012).
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol. Studi dimulai dari kejadian penyakit,
kemudian ditelusuri ke belakang (retrospektif) faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit tersebut (Wulandari, 2012). Lokasi penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas
Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama tiga
minggu, yaitu mulai minggu terakhir bulan April hingga minggu kedua bulan Mei 2014.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak berumur 6–59 bulan dan/atau anak berumur
0-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif yang bertempat tinggal di Kelurahan Tugu,
Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat pada saat penelitian dilaksanakan.
Sampel penelitian dibagi menjadi dua, yaitu sampel kasus dan sampel kontrol. Sampel kasus
adalah anak berumur 6 – 59 bulan dan/atau anak berumur 0-6 bulan yang tidak mendapatkan
ASI eksklusif yang berobat ke Puskesmas Tugu, yang didiagnosa oleh petugas medis
(dokter/perawat/bidan) menderita diare, dan anak tersebut bertempat tinggal di wilayah
Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat. Sampel kontrol adalah
anak berumur 6 – 59 bulan dan/atau anak berumur 0-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif yang bertempat tinggal dekat dengan kasus (tetangga) atau tinggal di wilayah yang
sama dengan kasus, yang pada saat pengambilan data tidak sedang menderita diare. Sampel
dihitung menggunakan rumus penghitungan besar sampel penelitian kasus kontrol dengan
studi tidak berpadanan (Basuki, 2002), yaitu:
! = 2!!(!! + !! )!
!! + !! !
Keterangan:
n
= jumlah sampel
R
= perkiraan Odds Ratio
!0
= proporsi kontrol yang terpajan pada pajanan yang sedang diteliti
!! = !! !
(1 + !! (! − 1) 1
! = (!! + !! )
2
! = 1 − !
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Besar sampel ditentukan dengan turut memperhitungkan besar sampel dalam penelitian
sebelumnya oleh peneliti lain. Beberapa variabel yang memiliki kesamaan dengan penelitian
ini dijadikan acuan dalam pengambilan besar sampel.
Tabel 1. Besar Sampel Penelitian Sebelumnya Terkait Diare
Peneliti
Masniah
(2012)
Yunus
(2003)
Ibrahim
(2003)
!0
OR
!!
!
!
!
Pencucian
alat makan
Jenis SAB
0,28
7,057
0,73
0,51
0,49
19
0,3
5,1
0,69
0,49
0,51
26
Bakteriologis
air bersih
0,18
6,027
0,57
0,37
0,63
24
Variabel
Desain
penelitian
Cross
sectional
Case
control
Case
control
Berdasarkan penghitungan, didapatkan sampel minimal sebanyak 26. Untuk menghindari
hilangnya sampel, jumlah sampel ditambah 10% dari hasil penghitungan, menjadi 29 sampel,
dibulatkan menjadi 30 sampel. Sampel kasus dan sampel kontrol dibuat perbandingan 1:1,
sehingga dibutuhkan 30 sampel kasus dan 30 sampel kontrol, dengan total sampel 60 balita.
Pengumpulan data dilakukan empat tahap. Tahap pertama, menunggu kasus diare di
puskesmas. Pasien yang dinyatakan menderita diare berdasarkan diagnosa tenaga medis di
puskesmas menjadi sampel kasus. Tahap kedua, setelah didapatkan identitas penderita diare,
pada hari itu juga atau maksimal satu hari sesudahnya dilakukan wawancara dan observasi ke
rumah penderita. Di rumah penderita, dilakukan wawancara terhadap pengasuh balita dengan
panduan kuesioner untuk mengetahui faktor-faktor risiko tertentu yang berpotensi
menyebabkan diare pada balita. Dilakukan juga observasi untuk memperkuat data hasil
wawancara. Kemudian, diambil sampel usap sendok makan balita menggunakan Sanitakun
untuk diteliti di laboratorium, guna mengetahui kontaminasi sendok makan balita oleh bakteri
E. coli. Tahap ketiga, mencari responden kontrol yang tinggal di dekat rumah penderita,
kemudian melakukan kegiatan yang sama seperti pada responden kasus. Tahap keempat,
pemeriksaan sampel di laboratorium Kesehatan Lingkungan FKM UI. Sampel diinkubasi
selama 24 jam dalam suhu 350C. Setelah 24 jam, E. coli telah tumbuh dan dapat dihitung.
Koloni E. coli ditandai dengan timbulnya bitik berwarna ungu pada permukaan Sanitakun.
Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat
digunakan untuk memperoleh informasi berupa gambaran distribusi dan frekuensi dari setiap
variabel yang diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Hasil Penelitian
Hasil penelitian disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Analisis Hubungan Keberadaan E. coli pada Peralatan Makan Balita dan Faktor Risiko
yang Berkaitan dengan Diare pada Balita di Kelurahan Tugu Tahun 2014
Variabel
Keberadaan bakteri E. coli pada
alat makan balita
Positif
Negatif
Jenis sarana air bersih
Buruk
Baik
Jarak SAB dengan sumber
pencemar
Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
Pengetahuan pengasuh balita
Buruk
Baik
Praktik cuci alat makan balita
Buruk
Baik
Praktik CTPS pengasuh balita
Buruk
Baik
*signifikan (p value <0,05) Kasus
n
%
Kontrol
n
%
Total
(%)
6
24
20
80
1
29
3,3
96,7
1
29
3,3
96,7
1
29
23
7
76,7
23,3
18
12
p value
OR
95% CI
11,7
88,3
7,250
0,81564,457
0,108
3,3
96,7
3,3
96,7
1,000
0,06016,763
1,000
12
18
40
60
58,3
41,7
4,929
1,61215,071
0,009*
60
40
8
22
26,7
73,3
43,3
56,7
4,125
1,38712,270
0,019*
10
20
33,3
66,7
6
24
20
80
26,7
73,3
2,000
0,6196,465
0,381
14
16
46,7
53,3
13
17
43,3
56,7
45,0
55,0
1,144
0,4143,166
1,000
Hasil pemeriksaan keberadaan bakteri E. coli pada alat makan balita menunjukkan bahwa dari
30 sampel kasus dan 30 sampel kontrol terdapat 7 sampel usap alat positif mengandung
bakteri E. coli, yang ditemukan pada 6 sampel kasus (20%) dan 1 sampel kontrol (3,3%).
Odds Ratio (OR) yang didapat dari hasil penghitungan adalah sebesar 7,250 yang artinya
balita yang pada alat makannya terdapat bakteri E. coli berisiko 7,250 kali lebih besar
menderita diare dibandingkan dengan balita yang pada alat makannya tidak terdapat bakteri
E. coli. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut.
Penelitian pada variabel jenis sarana air bersih dengan kejadian diare menunjukkan persentase
jenis sarana air bersih baik pada sampel kasus sebesar 96,7% dan buruk sebesar 3,3%. Jumlah
yang sama didapatkan pada sampel kontrol. Hal ini menyebabkan tidak terdapat hubungan
antara variabel jenis sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita, dengan OR = 1.
Berdasarkan hasil penelitian jarak sumber air bersih dengan sumber pencemar, pada sampel
kasus didapatkan 76,7% sampel tidak memenuhi syarat jarak minimal sumber air bersih
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
dengan sumber pencemar dan hanya 23,3% sampel yang memenuhi syarat. Hasil penelitian
menunjukkan OR sebesar 4,929 yang artinya balita yang di rumahnya memiliki jarak sumber
air bersih dengan sumber pencemar <10 meter (tidak memenuhi syarat) berisiko 4,929 kali
terkena diare dibandingkan dengan balita yang di rumahnya memiliki jarak sumber air bersih
dengan sumber pencemar ≥10 meter (memenuhi syarat). Kedua variabel tersebut terbukti
berhubungan yang signifikan, dengan p value < 0,05.
Variabel selanjutnya yang diteliti adalah pengetahuan pengasuh balita. Sebanyak 60% kasus
diare dialami oleh balita yang diasuh oleh pengasuh yang memiliki pengetahuan yang buruk
mengenai diare dan 40% dialami oleh balita yang diasuh oleh pengasuh berpengetahuan baik
mengenai diare. OR yang dihasilkan adalah 4,125 yang artinya balita yang diasuh oleh
pengasuh berpengetahuan buruk mengenai diare berisiko 4,125 kali lebih besar menderita
diare dibandingkan dengan balita yang diasuh oleh pengasuh berpengetahuan baik mengenai
diare. Hasil uji statistik membuktikan variabel pengetahuan pengasuh balita berhubungan
signifikan dengan kejadian diare pada balita.
Pada variabel praktik pencucian peralatan makan balita, didapatkan proporsi balita diare yang
diasuh oleh pengasuh yang melakukan praktik pencucian peralatan makan dengan baik lebih
kecil (33,3%) dibandingkan dengan balita diare yang diasuh oleh pengasuh yang melakukan
praktik pencucian peralatan makan dengan buruk. Balita yang tidak menderita diare sebanyak
80% diasuh oleh pengasuh yang melakukan praktik pencucian peralatan makan dengan baik.
Hubungan kedua variabel ini menghasilkan OR sebesar 2,000 yang artinya balita yang diasuh
oleh pengasuh yang belum melakukan praktik pencucian peralatan makan balita dengan baik
berisiko 2 kali lebih besar menderita diare dibandingkan dengan balita yang diasuh oleh
pengasuh yang melakukan praktik pencucian peralatan makan balita dengan baik.
Variabel praktik cuci tangan pakai sabun (CTPS) pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa balita
yang menderita diare yang diasuh oleh pengasuh dengan praktik CTPS yang baik maupun
buruk proporsinya hampir sama, masing-masing sebesar 53,3% dan 46,7%. Proporsi yang
hampir sama juga ditemukan pada sampel kontrol, yaitu responden dengan praktik CTPS baik
sebesar 56,7% dan buruk sebesar 43,3%. OR berdasarkan penghitungan statistik didapatkan
angka 1,144 yang artinya balita yang diasuh oleh pengasuh dengan praktik CTPS buruk
berisiko menderita diare 1,144 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang diasuh oleh
pengasuh dengan praktik CTPS baik. Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Pembahasan
Keberadaan E. coli pada peralatan makan balita dengan diare pada balita. Keberadaan
bakteri E. coli pada peralatan makan mengindikasikan bahwa peralatan makan tersebut telah
kontaminasi oleh feses. Kontaminasi dapat bersumber dari air yang digunakan untuk mencuci
maupun dari tangan manusia. Kontaminasi juga dapat disebabkan oleh pengetahuan pengasuh
yang kurang mengenai higiene dan sanitasi peralatan makan, sehingga pengasuh tidak
melakukan praktiknya dengan benar. Higiene sanitasi peralatan makan yang dimaksud
meliputi cara pencucian peralatan makan, penggunaan sumber air, serta pengeringan dan
penyimpanan peralatan makan. Kebersihan tangan pengasuh balita juga perlu dijaga, untuk
mencegah kontaminasi bakteri pada peralatan makan balita.
Penelitian yang dilakukan Kusuma, dkk (2010) menunjukkan bahwa pada 72,2% peralatan
makan yang diteliti terkontaminasi bakteri E. coli. Berdasarkan penelitian tersebut, higiene
tangan orang yang biasa menyiapkan makan bayi (termasuk menangani pencucian alat
makannya) merupakan faktor risiko kontaminasi E. coli pada peralatan makan bayi (p value =
0,002). Tangan yang terkontaminasi E. coli berisiko 3,7 kali lebih besar terhadap kontaminasi
pada peralatan makan.
Banyak penelitian terdahulu melihat hubungan diare dengan bakteri E. coli di air minum,
makanan, botol susu balita, dan alat makan. Indriani (2013) meneliti hubungan bakteriologis
alat minum balita dengan diare pada balita, yang menunjukkan risiko balita mengalami diare
1,308 kali lebih besar pada balita yang pada alat minumnya terdapat bakteri E. coli.
Hubungan yang dihasilkan tidak signifikan, dengan p value = 0,455. Paramitha (2008)
meneliti bakteri E. coli pada botol susu balita kemudian dihubungkan dengan kejadian diare
pada balita, membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut (p value
= 0,554, OR = 0,656). Penelitian lain dilakukan oleh Karminingsih (2010) untuk melihat
hubungan diare dengan kandungan bakteri dalam air minum. Hasil dari penelitian tersebut
terbukti berhubungan, dengan OR = 2,010 dan p value = 0,006.
Pada penelitian ini, uji laboratorium tidak dilakukan pada air minum balita maupun air bersih,
karena tidak semua responden menggunakan air dari sumber air bersih utama untuk minum.
Penelitian juga tidak dilakukan pada botol susu, karena balita yang menggunakan botol susu
tidak sebanyak bayi. Balita yang sudah bisa menggunakan gelas, akan menggunakan gelas
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
untuk minum. Terdapat perbedaan perlakuan antara botol susu dengan gelas minum balita.
Pengasuh balita biasanya akan merebus botol susu balita untuk membunuh bakteri, sedangkan
gelas minum biasanya hanya akan dicuci seperti alat makan lainnya, menggunakan air dan
sabun tanpa direbus.
Tidak adanya hubungan yang signifikan untuk kedua variabel ini dapat dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu selang waktu antara pencucian alat makan dengan penelitian cukup
lama sehingga bakteri sudah mati dan sampel yang diambil terlalu kecil dan terbatas pada
sendok makan balita. Pertimbangan pengambilan sendok makan sebagai sampel yaitu sendok
adalah alat makan yang dimasukkan ke dalam mulut balita, sehingga bakteri pada sendok
dapat langsung masuk ke dalam tubuh balita.
Jenis sarana air bersih dengan diare pada balita. Sarana air bersih yang terlindungi akan
mengurangi risiko kontaminasi air dari berbagai pencemar potensial. Penelitian yang
dilakukan di Kelurahan Tugu menunjukkan bahwa hampir semua responden (96,7%)
menggunakan jenis sarana air bersih yang tergolong baik. Berdasarkan hasil observasi di
rumah responden, sebagian besar responden menggunakan air dari sumur bor dan sumur gali
terlindungi untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, memasak, dan minum.
Hanya sebagian kecil responden (3,3%) yang menggunakan air bersih dari sumur gali tidak
terlindungi. Persentase yang sama didapatkan pada sampel kasus dan kontrol. Data yang
cenderung homogen ini mengakibatkan penghitungan statistik menunjukkan kedua variabel
tidak berhubungan, dengan dan OR = 1.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Syarbaini (2002) yang menunjukkan tidak ada
hubungan antara sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita (OR = 0,60 dan p value =
0,26). Penelitian Syarbaini memberikan hasil yang hampir sama dengan penelitian ini, yaitu
proporsi sarana air bersih yang digunakan responden kasus dan kontrol sebagian besar
termasuk baik (93,8%), dan hanya 6,2% (3,8% pada kasus dan 6,2% pada kontrol) yang
menggunakan sarana air bersih yang kurang baik.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sapta (2002) di Sukabumi.
Dalam penelitian tersebut, balita yang di rumahnya menggunakan sarana air bersih yang
buruk berisiko 4,125 kali lebih besar terkena diare dibandingkan dengan balita yang di
rumahnya menggunakan sarana air bersih yang baik. Hubungan yang signifikan didapatkan
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
antara kedua variabel tersebut (p value 0,000). Begitu juga dengan penelitian Ibrahim (2003)
di Solok yang menghasilkan risiko diare sebesar 3,254 kali pada balita yang di rumahnya
menggunakan sarana air bersih yang kurang baik, dengan hubungan yang signifikan (p value
= 0,000). Perbedaan hasil penelitian dapat terjadi karena beberapa hal, seperti perbedaan
dalam pengelompokan jenis sarana air bersih dan besar sampel dalam penelitian.
Jarak sumber air bersih ke sumber pencemar dengan diare pada balita. Kepadatan
penduduk di Kelurahan Tugu diiringi dengan pertumbuhan pemukiman penduduk yang
semakin pesat. Kepadatan penduduk dan pemukiman ini menyebabkan lahan bebas yang
dimiliki penduduk menjadi berkurang, termasuk lahan untuk membuat sumur dan septic tank,
sehingga banyak sumber air bersih penduduk yang berjarak kurang dari 10 meter dengan
sepctic tank. Jarak yang tidak memenuhi syarat ini berisiko menimbulkan efek kesehatan dari
pencemaran air bersih oleh bakteri-bakteri yang berasal dari sepctic tank yang dapat
merembes ke sarana air bersih jika terjadi kebocoran dinding septic tank, kebocoran dinding
sumur, atau banjir. Penghitungan statistik menunjukkan variabel jarak sumber air bersih
dengan sumber pencemar berhubungan dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Tugu,
dengan OR = 4,929. Hubungan antara kedua variabel tersebut terbukti signifikan, dapat
dilihat dari p value yang kurang dari 0,05.
Fariqa (2013) meneliti tentang hubungan tingkat risiko pencemaran sumber air bersih dengan
kejadian diare pada balita, dengan salah satu aspeknya adalah jarak sumber air bersih dengan
sumber pencemar. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang signifikan, dengan OR =
1,78. Hasil ini juga didukung oleh kajian yang dilakukan UNICEF Indonesia (2012) mengenai
air bersih, sanitasi, dan kebersihan, yang menyatakan bahwa daerah air tanah di daerah
perkotaan rentan terhadap kontaminasi feses. Kontaminasi terhadap air tanah antara lain
merupakan akibat dari kepadatan penduduk yang berlebihan dan toilet yang tidak sehat.
Penelitian oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta
menunjukkan bahwa 41% sumur gali yang digunakan warga Jakarta memiliki jarak kurang
dari 10 meter dari septic tank. Kondisi buruk lain yang ditemui di kota besar adalah septic
tank jarang disedot, sehingga kotoran mudah merembes ke air tanah dan tanah di sekitarnya
(BPLHD dalam UNICEF, 2012). Kondisi kepadatan penduduk yang tinggi juga ditemui di
Kelurahan Tugu. Sebanyak 76,7% sampel kasus memiliki jarak sumber air bersih yang tidak
memenuhi syarat kesehatan, yaitu kurang dari 10 meter dari sumber pencemar. Maka,
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
berdasarkan penelitian ini dan penelitian lain yang mendukung, dapat dikatakan bahwa jarak
sumber air bersih dengan sumber pencemar dapat mempengaruhi kejadian diare pada balita di
Kelurahan Tugu.
Pengetahuan pengasuh balita dengan diare pada balita. Pengasuh balita yang memiliki
pengetahuan yang baik mengenai diare akan melindungi balitanya dari diare dengan
melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Pengetahuan pengasuh yang baik juga dapat
mengurangi durasi diare balita, karena pengasuh mengetahui cara penanganan diare yang
tepat. Berdasarkan penelitian, kedua variabel terbukti berhubungan, dilihat dari OR yang
cukup besar, yaitu 4,125. Hubungan antara kedua variabel tersebut signifikan, dengan p value
< 0,05.
Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh Ibrahim (2003) di Solok yang menghasilkan OR
sebesar 4,483 yang artinya pengetahuan ibu yang kurang mengenai diare berisiko
meningkatkan kejadian diare pada balita sebesar 4,483 kali dibanding pengasuh
berpengetahuan baik mengenai diare. Kedua variabel juga menunjukkan hubungan yang
signifikan, dengan p value sebesar 0,000. Penelitian yang dilakukan oleh Cahyono (2003) di
Pondok Gede juga memberikan hasil yang sama, dengan risiko balita menderita diare 2,83
kali lebih besar apabila diasuh oleh pengasuh berpengetahuan rendah dibanding balita yang
diasuh oleh pengasuh berpengetahuan baik. Hubungan kedua variabel signifikan, dibuktikan
dengan p value = 0,002.
Berdasarkan telaah jawaban yang diberikan oleh responden pada saat wawancara,
pengetahuan pengasuh balita mengenai diare yang didapat dari pengalaman, sebagian sesuai
dengan teori, tapi sebagian juga masih tidak sesuai. Beberapa informasi dari responden terkait
pengetahuan yang salah, misalnya diare tidak menular, serta diare ditularkan melalui udara,
tikus, dan bersentuhan dengan penderita. Beberapa responden juga mengungkapkan mitos
bahwa diare pada balita merupakan pertanda bahwa kelak balita tersebut akan menjadi anak
yang pintar, padahal diare merupakan pertanda terjadi gangguan pencernaan balita.
Cara responden mencari pengobatan diare antara lain dengan membawa penderita ke
pelayanan kesehatan maupun membeli obat diare di apotek, dan memberikan obat tradisional,
seperti daun jambu, kunyit, salak, dan bawang merah. Selain itu, beberapa responden baru
membawa penderita ke pelayanan kesehatan setelah menunggu selama dua dari dan belum
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
sembuh. Selama dua hari, ada penderita yang tidak diberi perlakuan khusus dan ada yang
diberi obat tradisional. Kurangnya pengetahuan pengasuh balita dapat disebabkan oleh
pendidikan yang rendah serta kurangnya sumber informasi warga mengenai diare, penyebab,
pencegahan, dan pengobatannya. Pengetahuan yang kurang juga disebabkan banyak
responden yang merupakan ibu yang baru memiliki satu anak yang belum pernah menderita
diare, sehingga responden mengaku belum mempunyai pengalaman terkait diare pada balita.
Praktik pencucian peralatan makan balita dengan diare pada balita. Salah satu jalan
masuknya bakteri penyebab diare ke dalam tubuh balita adalah melalui peralatan makan dan
minum balita. Peralatan makan balita dapat terkontaminasi bakteri baik dari sumber air yang
digunakan; praktik yang buruk dalam mencuci, mengeringkan, maupun menyimpan peralatan
makan dan minum balita; dan kontaminasi dari tangan pengasuh yang akan menyiapkan
makan untuk balita. Berdasarkan penelitian, sebesar 33,3% sampel kasus diasuh oleh
pengasuh yang melakukan praktik pencucian peralatan makan balita dengan buruk dan 66,7%
pengasuh melakukan praktik pencucian peralatan makan balita dengan baik. Pada sampel
kontrol, 80% pengasuh balita melakukan praktik pencucian peralatan makan balita dengan
baik. Risiko balita menderita diare 2 kali lebih besar jika diasuh oleh pengasuh yang belum
melakukan praktik pencucian peralatan makan dengan baik. Tidak didapatkan hubungan yang
signifikan secara statistik dari kedua variabel.
Penelitan dengan variabel yang sama dilakukan oleh Iskandar (2005), yang menghasilkan OR
= 2,57, berarti risiko balita menderita diare 2,57 kali lebih besar jika diasuh oleh pengasuh
yang belum melakukan praktik pencucian alat makan dengan benar. Penelitian ini
menunjukkan hubungan yang signifikan (p value = 0,001). Begitu juga dengan penelitian
Masniah (2012) yang menunjukkan risiko diare 7 kali lebih besar pada balita yang peralatan
makan dan minumnya tidak dicuci dengan benar dan ada hubungan signifikan antara kedua
variabel ini (p value = 0,00). Pada penelitian Masniah (2012), praktik yang buruk lebih
banyak ditemukan pada sampel kasus dan praktik yang baik lebih banyak ditemukan pada
sampel kontrol. Sedangkan pada penelitian ini, praktik pencucian alat makan dengan benar
terdistribusi lebih banyak pada kedua kelompok, kasus maupun kontrol. Perbedaan
signifikansi hasil penelitian dipengaruhi oleh perbedaan distribusi data.
Praktik CTPS dengan diare pada balita. Praktik cuci tangan menggunakan sabun yang
dilakukan oleh pengasuh balita apabila dilakukan dengan baik dan benar dapat mencegah
terjadinya kontaminasi bakteri dari tangan pengasuh ke balitanya, baik secara langsung
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
(misalnya saat menyuapi makan balita dengan tangan) maupun tidak langsung (misalnya saat
menyiapkan makanan balita dan menyentuh peralatan makan yang akan digunakan oleh
balita). Cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir pada saat-saat kritis, yaitu sebelum
makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah menceboki balita,
setelah mengganti popok balita, dan setelah memegang binatang akan mengurangi risiko
kontaminasi bakteri pada tangan pengasuh balita yang akan berdampak pada kesehatan
balitanya.
Hasil penelitian ini menunjukkan praktik CTPS pada responden kasus hampir seimbang
antara praktik CTPS yang buruk dan yang baik, dengan persentase masing-masing sebesar
46,7% dan 53,3%. Hasil uji bivariat untuk kedua variabel ini tidak berhubungan, dengan OR
= 1 dan p value = 1. Hasil penelitian yang tidak membuktikan adanya hubungan antara
variabel praktik CTPS pengasuh balita dengan diare pada balita juga didapatkan oleh
Hidayanti (2012), dengan p value > 0,05) dan OR = 0,624. Hasil yang berbeda ditemukan
oleh Karminingsih (2010) dalam penelitiannya mengenai faktor risiko diare pada balita di
Cilincing. Risiko diare pada balita yang diasuh oleh pengasuh dengan praktik CTPS buruk
6,481 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang diasuh oleh pengasuh dengan praktik
CTPS baik. Berdasarkan uji statistik, dihasilkan p value sebesar 0,000 yang artinya hubungan
antara kedua variabel signifikan. Penelitian serupa dilakukan oleh Nuraeni (2012) yang
menunjukkan risiko balita menderita diare sebesar 20,333 kali lebih besar jika diasuh oleh
pengasuh yang melakukan praktik CTPS buruk, dengan hubungan antarvariabel yang
signifikan.
Perbedaan hasil penelitian dapat terjadi karena adanya bias informasi dari responden. Hasil
penelitian variabel ini juga dapat dipengaruhi oleh sikap responden dalam menjawab
pertanyaan
wawancara.
Sebagian
responden
menjawab
dengan
malu-malu,
yang
menimbulkan keraguan apakah responden menjawab dengan jujur. Ketidakjujuran responden
dapat terjadi apabila responden merasa malu atau takut untuk menjawab kondisi yang
sebenarnya.
Praktik mencuci tangan menggunakan sabun menjadi intervensi kesehatan yang efektif untuk
memutus mata rantai kontaminasi bakteri pada tangan. Selain itu, praktik CTPS juga efektif
dari segi biaya (cost effective) (Karminingsih, 2010). Berdasarkan temuan di lapangan, 45%
dari total sampel dalam penelitian ini masih melakukan praktik CTPS yang buruk, sehingga
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
masih diperlukan upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya mencuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir, terutama pada saat-saat kritis. Penyadaran dapat
dilakukan oleh kader posyandu atau pihak puskesmas, khususnya yang menangani ibu-ibu
muda yang memiliki balita. Selain itu, sosialisasi dan intervensi kesehatan pada masyarakat
diharapkan dapat menanamkan perilaku kesehatan yang baik untuk jangka panjang.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai keberadaan bakteri Escherichia coli pada peralatan
makan balita, pengetahuan pengasuh balita, dan praktik higiene sanitasi pengasuh balita
terhadap kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tugu tahun 2014 dapat
disimpulkan bahwa: (a) sebanyak 11,7% peralatan makan balita penderita diare
terkontaminasi bakteri E. coli; hanya 3,3% responden menggunakan sarana air bersih yang
kurang baik; 58,3% jarak sumber air bersih responden dengan sumber pencemar tidak
memenuhi syarat; 43,3% pengetahuan pengasuh balita masih kurang; 26,7% praktik
pencucian alat makan balita masih buruk; dan 45,0% praktik cuci tangan pakai sabun
pengasuh balita masih buruk; dan (b) keberadaan E. coli pada peralatan makan balita tidak
berhubungan signifikan dengan kejadian diare (p value =0,108; OR = 7,250). Variabel jarak
sumber air bersih dengan sumber pencemar dan pengetahuan pengasuh balita berhubungan
signifikan dengan diare pada balita. Variabel jenis sarana air bersih, praktik pencucian alat
makan balita dan praktik cuci tangan pengasuh balita tidak berhubungan signifikan dengan
kejadian diare.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dengan melihat beberapa variabel yang signifikan terhadap diare
pada balita di Kelurahan Tugu, disarankan bagi pihak Puskesmas Tugu untuk lebih
menggencarkan promosi kesehatan, khususnya mengenai diare, untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat. Promosi kesehatan yang berupa penyuluhan dapat dilakukan pada
saat berlangsung kegiatan posyandu. Puskesmas Tugu juga dapat membuat poster mengenai
diare, penyebab, gejala, pencegahan, dan pencegahannya yang kemudian dipasang di
puskesmas dan di setiap posyandu. Pihak Puskesmas Tugu bersama kader posyandu juga
perlu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membawa balita yang menderita
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
diare ke pelayanan kesehatan. Selain itu, pihak Puskesmas Tugu, terutama bagian Klinik
Sanitasi, yang rutin melakukan peninjauan di lapangan, sebaiknya terus berusaha memberikan
penyadaran perilaku hidup bersih dan sehat hingga masyarakat mau menerapkannya dengan
benar dan berkelanjutan.
Bagi Dinas Kesehatan Kota disarankan untuk memberikan alternatif solusi bagi masalah
kepadatan penduduk dan jarak sumber air bersih penduduk yang sebagian besar tidak
memenuhi syarat. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, dapat diciptakan teknologi inovatif
untuk penyediaan air bersih, misalnya membuat teknologi pengolahan air bersih, dengan
metode penyaringan dan penjernihan air, serta sterilisasi air dari bakteri. Disarankan juga bagi
Dinas Kesehatan untuk mengusahakan pengadaan jaringan perpipaan di pemukiman dimana
warganya masih banyak yang menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih, seperti
Kelurahan Tugu. Sistem perpipaan diharapkan mampu mencegah kontaminasi air dari
pencemar potensial, untuk menekan risiko terjadinya penyakit yang dapat menular melalui
media air, seperti diare.
Bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian dengan tema serupa, jika tersedia sumber
daya yang mencukupi, akan lebih baik apabila mengambil sampel dalam jumlah yang lebih
besar, supaya hasilnya lebih representatif. Apabila ingin melakukan penelitian dengan tema
yang sama di wilayah kerja Puskesmas Tugu, sebaiknya melihat lebih banyak faktor
penyebab diare dan menganalisisnya secara lebih mendalam, dengan instrumen yang telah
memenuhi syarat validitas dan reliabilitas.
Daftar Referensi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2014). Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Basuki, B. (2002). Aplikasi Metode Kasus Kontrol. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Bumulo, S. (2012). Hubungan Sarana Penyediaan Air Bersih dan Jenis Jamban Keluarga
dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pilolodaa
Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Tahun 2012. Skripsi Program Sarjana.
Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Cahyono, I. (2003). Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Gede Kota Bekasi Tahun 2003. Tesis Program
Pascasarjana. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Centers for Disease Control and Prevention. (2011). Diarrhea: Common Illness, Global
Killer. Diunduh pada 25 November 2013 dari U.S Department of Health and Human
Services:
http://www.cdc.gov/healthywater/pdf/global/programs/Globaldiarrhea508c.pdf
Centers for Disease Control and Prevention. (2012, Agustus). General Information
Escherichia coli (E. coli). Diakses pada 7 Maret 2014, di
http://www.cdc.gov/ecoli/general/index.html
Departemen Kesehatan RI. (1990). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Jakarta: Departemen Kesehatan
Dinas Kesehatan Kota Depok. (2012). Profil Kesehatan Kota Depok Tahun 2012. Depok:
Dinas Kesehatan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun
2012. Bandung: Dinas Kesehatan.
Faridz, R., Hafiluddin, dan Anshari, M. (2007). Analisis Jumlah Bakteri dan Keberadaan
Escherichia coli pada Pengolahan Ikan Teri Nasi di PT. Kelola Mina Laut Unit
Sumenep. Embryo, Vol. 4, No.2, 94-106.
Fariqa, K. (2013). Jenis Sumber Air Bersih dan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan
Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan Tahun 2013. Skripsi Program Sarjana.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Hidayanti, R. (2012). Faktor Risiko Diare di Kecamatan Cisarua, Cigudeg, dan
Megamendung Kabupaten Bogor Tahun 2012. Skripsi Program Sarjana. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Ibrahim. (2003). Hubungan Kondisi Sarana Air Bersih, Pembuangan Limbah dan
Karakteristik Individu dengan Kejadian Diare Balita di Kota Solok, Sumatera Barat
Tahun 2003. Tesis Program Pascasarjana. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat
UI.
Indriani, R. (2013). Hubungan antara Kontaminasi Escherichia coli dalam Air Minum dan
Faktor Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten Tahun 2013. Skripsi Program Sarjana. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI.
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Iskandar, K. (2005). Hubungan Kejadian Diare pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih,
Sarana Air Bersih, dan Jamban di Wilayah Puskesmas Kasomalang Kecamatan
Jalancagak Kabupaten Subang Bulan Maret-Juni Tahun 2005. Skripsi Program
Sarjana. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Karminingsih, M. (2010). Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Diare pada Balita di
Kecamatan Cilincing, Kota Administrasi Jakarta Utara, Tahun 2009/2010. Tesis
Program Pascasarjana. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Kementerian Kesehatan RI. (2003). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/Menkes/SK/VII/2003 Tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan
Jajanan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kusuma, A., Eryando, T., & Susanna, D. (2010). Escherichia coli Contamination of Babies’
Food-Serving Utensils in a District of West Sumatra, Indonesia. WHO South-East
Asia Journal of Public Health 2012; 1(1):20-27
Masniah, B. (2012). Gambaran Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Cimanuk
Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Tahun 2012. Skripsi Program Sarjana.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Nuraeni, A. (2012). Hubungan Penerapan PHBS Keluarga dengan Kejadian Diare Balita di
Kelurahan Tawangmas Kota Semarang. Tesis Program Magister Ilmu Keperawatan.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan UI.
Sapta, W.A. (2002). Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan dengan
Kejadian Diare pada Balita di Kecamatan Citamiang Kota Sukabumi Tahun 2002.
Tesis Program Pascasarjana. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Sutrisno. (2008). Kajian Manajemen dalam Pelaksanaan Sanitasi Lingkungan di Pelabuhan
Pontianak. Tesis Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro.
Syarbaini. (2002). Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada
Balita di Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2002. Tesis Program Pascasarjana.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Todar, K. (2012). Pathogenic Escherichia coli. Dipetik 25 Maret 2014, dari Todar’s Online
Textbook of Bacteriology: http://textbookofbacteriology.net/
Trimulyaningsih. (2006). Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Diare pada Batita
di Propinsi Jawa Barat Tahun 2005. Tesis Program Pascasarjana. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI.
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
UNICEF Indonesia. (2012). Air Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan. Ringkasan Kajian. Oktober
2012. Diunduh 7 Maret 2013, dari http://www.unicef.org/indonesia/id/A8__B_Ringkasan_Kajian_Air_Bersih.pdf
UNICEF Indonesia. (2012). Air Bersih, Sanitasi, dan Kebersihan. Ringkasan Kajian. Oktober
2012. Diunduh 7 Maret 2013, dari
http://www.unicef.org/indonesia/id/A8_-
_B_Ringkasan_Kajian_Air_Bersih.pdf
United States Environmental Protection Agency. (2008, September). Fecal Coliform and E.
coli. Dipetik 12 Maret 2014, dari http://www.epa.gov/katrina/fecal.html
Waluya, B. (2010). Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dipetik 30 Juni 2014, dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/197210242001121BAGJA_WALUYA/Pengelolaan_Lingkungan_Hidup_untuk_Tk_SMA/BAB_4_SA
NITASI_LINGKUNGAN.pdf
WHO. (2009). Diarrhoea: Why Children are still Dying and What can be Done?. Jenewa:
World Health Organization.
WHO.
(2013,
April).
Diarrhoeal
Disease.
Dipetik
5
Maret
2014,
dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/
Wibowo, I. (2009, Juli). Pola Perilaku Kebersihan: Studi Psikologi Lingkungan Tentang
Penanggulangan Sampah Perkotaan. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, 3747.
Wulandari, R.A.. (2012). Modul Kuliah Epidemiologi Kesehatan Lingkungan: Desain Studi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Keberadaan Escherichia..., Indah Kusumadewi, FKm UI, 2014
Download