Jurnal Perempuan 45 - UN Women Asia

advertisement
No. 45, 2006
Pendiri
Gadis Arivia
Pemimpin Redaksi
Adriana Venny
Redaktur Pelaksana
Mariana Amiruddin
Redaksi
Eko Bambang Subiyantoro
Sekretaris Redaksi
Suprihadi
Desain & Layout
Agus Wiyono
Penjualan & Sirkulasi
A. Nazaruddin
Budi Hermawan
Endang Setiyawati
Percetakan
SMKG Desa Putera, Jakarta
Alamat Redaksi
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp.: (021) 83702005 (hunting)
Faks: (021) 8302434
E-mail: [email protected]
Website: www.jurnalperempuan.com
Penerbit
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN
Cetakan Pertama, Jakarta, Januari 2006
ISSN : 1410-153X
Didukung oleh
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak, mengkopi
sebagian atau keseluruhan tanpa seijin Yayasan Jurnal Perempuan.
Isi tulisan tidak harus mencerminkan pandangan redaksi.
• Daftar Isi •
D a f ta r I s i Edisi 45
Prolog
4
CEDAW tak Bertaring, Salah
Siapa?
31
Apakah Hukum Boleh
“Berpihak”? Sebuah
Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
47
Sejauh Mana Indonesia
Merespon ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
65
Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam: Upaya
Implementasi CEDAW
dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
Topik Empu
7
Sejauh Mana Negara Memperhatikan Masalah Perempuan? (CEDAW dan Pertanyaan tentang KebijakanKebijakan Negara)
Ratna Batara Munti
101 Pemenuhan Hak-Hak Politik
Perempuan Sejauh Manakah?
Ani Soetjipto
19
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap
Perempuan
Rita Serena Kolibonso
111 Menjamin Hak Perempuan
dan Anak Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
CEDAW-Restoring Rights To Women, americantruths.com, maisonneuve.org, Nico Haryono,
petersenlawoffice.com, saltspring.com, unfpa.org, rapereliefshelter.bc.ca, gelos.ru,
intranet.usc.edu.au, pepper-graphics.com, childtrafficking.com, amnesty.org
2
Jurnal Perempuan 45
• Daftar Isi •
KLIPING
78
Hak Asasi Perempuan Belum
Menjadi Bagian Institusional
Hukum
PROFIL
WAWANCARA
122 Sri Danti, Dra. M.A
“Negara dan Pemahaman
CEDAW yang Lemah...”
139 Sjamsiah Achmad:
Pengawal Keadilan Melalui
Konvensi
Eko Bambang Subiyantoro
Kolom Budaya
156 Puisi
160 Cerpen
Serba-serbi
131
148
172
173
Kata dan Makna
Rak Buku
Surat Pembaca
Tentang Penulis
JURNAL PEREMPUAN mengundang anda menuliskan ide-ide kritis dan
pemikiran-pemikiran alternatif yang berkaitan dengan persoalan
perempuan dan isu-isu gender. Jumlah halaman tulisan 10-15 halaman
kuarto, spasi 2, dilengkapi dengan catatan belakang/daftar pustaka dan
biodata singkat penulis. Redaksi dapat menyingkat, mengubah dan
mengedit tulisan tanpa mengubah maksud dan isinya. Dianjurkan tulisan
dikirim dalam bentuk file dalam disket atau melalui e-mail dalam bentuk
attachment. Untuk tulisan yang dimuat akan disediakan honorarium yang
pantas. Tulisan yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas
permintaan penulis dengan menyertakan perangko secukupnya.
Jurnal Perempuan 45
3
• Prolog •
CEDAW tak Bertaring,
Salah Siapa?
T
epatnya 25 tahun yang lalu di markas besar PBB, Indonesia
meratifikasi CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) dan mengimplementasikannya lewat UU No. 7 tahun 1984. Apa hasil dari perjalanan
CEDAW selama lebih dari 20 tahun di republik ini? Hanya segelintir
orang yang tahu dan menjalankannya. Selebihnya, mendengar kata
CEDAWpun hanya terbengong-bengong. Nasib perempuan pun hampir
tak mengalami perubahan.
Hebatnya lagi, selain CEDAW, sebenarnya telah banyak instrumen
internasional lainnya yang bicara soal hak dan nasib perempuan, antara
lain Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi
Prostitusi (1949), Konvensi 100 ILO tentang Persamaan Pendapatan
(1951), Konvensi tentang Hak Politik Perempuan (1952), Konvensi
mengenai Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah (1957), Konvensi
mengenai Ijin Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan
Perkawinan (1962), Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak-anak
dalam situasi Darurat dan Konflik Bersenjata (1974), ICPD di Kairo
dengan fokus kesehatan reproduksi perempuan (1994), Beijing Platform
untuk melihat perkembangan isu perempuan di berbagai bidang
misalnya: kesehatan, kemiskinan, media, di wilayah konflik, dan lainnya
(1995), Deklarasi tentang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang
antara lain menyepakati nilai kesetaraan gender guna mencapainya
(2000), serta Resolusi 1325 dari Dewan Keamanan PBB tentang dampak
konflik bagi perempuan, tentang perlindungan perempuan dan anak di wilayah
konflik dan apa yang dapat dilakukan
perempuan untuk mewujudkan perdamaian (2000).
Delegasi Indonesia juga tak kalah
sibuk mondar-mandir ikut kongres
guna mengucap sepakat dengan
4
CEDAW-Restoring Rights To Women
Jurnal Perempuan 45
• Prolog •
segala komitmen internasional ini. Namun malang bagi PBB dan terlebih
untuk perempuan, banyak negara (tidak hanya Indonesia), masih gemar
menjadi macan kertas konvensi. Dalam pelaksanaan justru banyak hal
yang bertolak belakang.
Simak isi konvensi CEDAW yang disisipkan di Jurnal Perempuan
kali ini, dalam pasal yang sangat penting yakni 2 poin 5 CEDAW:
mewajibkan negara untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat,
termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan dan praktekpraktek yang diskriminatif terhadap perempuan.
Dari contoh ini, amatlah jelas, alih-alih menegakkan hak perempuan,
Indonesia dengan segala perangkat hukumnya justru menganggap
perempuan angin lalu. Tak heran bila angka kematian ibu melahirkan
serta angka kekerasan terhadap perempuan di ruang domestik dan
publik justru kian membumbung tinggi.
Ketidakseriusan negara dalam menerapkan CEDAW masih ditambah
lagi dengan tercetaknya berbagai peraturan daerah (Perda) dan aneka
rancangan undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan
termasuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sebentar lagi bakal
disahkan. Padahal dalam CEDAW jelas dikemukakan bahwa setiap
produk perundang-undangan dan tata aturan haruslah dikaji secara
mendalam guna menghindari praktik diskriminasi dan kekerasan
terhadap perempuan.
Maka tak berlebihan kiranya jika Sekjen PBB Kofi Annan, pada
konferensi PBB di awal tahun 2005 yang lalu mengawali peringatan 10
tahun Beijing Platform dengan nada pesimis; “Millenium Development
Goal tidak akan pernah berarti apa-apa jika masing-masing negara tidak
abai pada 12 bidang kritis yang sudah dicanangkan oleh Beijing
Platform”. Yang ini berarti pula bahwa selama ini CEDAW sebagai batu
penjurunya telah dibiarkan merana tanpa ada yang serius menjalankannya.
Meski hasil evaluasi tiap lima tahun CEDAW selalu menggambarkan
tiadanya kemajuan, bagaimanapun kita masih butuh sikap optimis di
balik semua kepedihan itu. Dan karenanya tak berlebihan pula kiranya
jika dalam rangka memperingati hari perempuan internasional 8 Maret
kali ini CEDAW kembali didengung-dengungkan serta dikupas dengan
lebih tegas, agar bangsa ini tak lagi mundur ke belakang. (Adriana Venny)
Jurnal Perempuan 45
5
americantruths.com
• Topik Empu •
Sejauh Mana Negara
Memperhatikan
Masalah Perempuan?
(CEDAW dan Pertanyaan tentang
Kebijakan-Kebijakan Negara)
Ratna Batara Munti
“Sejauh mana negara telah sungguh-sungguh memberi
perhatian terhadap masalah perempuan? Khususnya
yang berkaitan dengan komitmen negara terhadap
penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di negeri ini?”
P
ernyataan di atas dibuat untuk ditujukan pada negara,
sejauh mana kepedulian negara terhadap persoalan perempuan
dalam kebijakan-kebijakan yang dirancang dan disahkan,
ataupun terhadap konvensi-konvensi internasional dimana negara ini
ikut menandatanganinya.
Ketahuilah, bahwa pemerintah Indonesia telah membuat komitmen
dengan meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Namun setelah berjalan sekian waktu, ratifikasi ini kemudian
memunculkan pertanyaan: sejauh manakah implementasi Konvensi
Jurnal Perempuan 45
7
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
Ratna Batara Munti
tersebut, terutama terkait dengan prinsip adanya kewajiban negara untuk
menghapus berbagai bentuk diskriminasi baik secara de jure (berdasarkan hukum) maupun de facto (berdasarkan kenyataan sesungguhnya).
Istilah diskriminasi dalam Konvensi CEDAW dirumuskan dengan;
Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan, yang dibuat atas
dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan
atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan’’.
Kata persamaan di atas tidak hanya pada akses terhadap penerapan
HAM yang sama bagi perempuan tetapi juga persamaan terhadap
manfaat atau pada hasilnya (equality of acces, equality of opportunity and
equality of result).
Hal terpenting dalam konvensi ini adalah bahwa ada penegasan
prinsip tentang kewajiban negara untuk membuat atau mengubah
hukum, menghapus stereotip dan kebiasaan yang diskriminatif, serta
melakukan upaya atau langkah khusus yang diperlukan guna
memastikan adanya persamaan secara de facto. Dalam konteks ini,
konvensi mengakui bahwa sifat diskriminasi terhadap perempuan
adalah historis dan sistemik (dilatari atau dibentuk oleh sejarah maupun
sistem), sehingga tujuannya diarahkan pada persamaan de facto melalui
jaminan secara konstitusional, hukum dan regulasi-regulasi, juga
menempuh langkah-langkah lainnya termasuk langkah-langkah khusus
seperti ‘affirmative action’.1
Implementasi CEDAW dan Kekerasan Negara dalam Membuat
Kebijakan
Dalam kenyataannya, implementasi konvensi ini oleh pemerintah
Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Meski telah 21 tahun
diratifikasi (artinya telah menjadi produk nasional), banyak pihak
terutama pemerintah yang diantaranya aparat penegak hukum dan
pembuat kebijakan yang paling berkewajiban melaksanakan konvensi
tersebut ternyata tidak memahami substansi serta prinsip-prinsip
persamaan yang tercantum dalam konvensi, bahkan tidak mengetahui
8
Jurnal Perempuan 45
Ratna Batara Munti
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
keberadaan konvensi tersebut. Mereka masih sangat terpaku pada
aturan-aturan konvensional seperti KUHP/KUHAP, UU Perkawinan
serta peraturan perundangan lainnya yang bias gender. Padahal
kehadiran Konvensi tersebut justru
untuk mengkritisi
keberadaan berbagai aturan yang melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. 2 Sejauh
ini belum banyak
langkah-langkah
nyata yang dilakukan khususnya dalam membuat kebijakan baru atau kebijakan yang mengoreksi hukum
yang masih diskriminatif. Kebijakan dalam hal ini dilihat sebagai suatu
sistem, yang tidak saja menyangkut substansi atau isi dari kebijakan/
keputusan hukum yang berlaku, tetapi juga menyangkut struktur baik
kelembagaan atau pun pribadi aparat pemerintahan, dan juga terakhir
mencakup budaya di masyarakat, seperti norma, nilai-nilai dan
keyakinan atau penafsiran ajaran tertentu yang hidup di masyarakat.
Meski lahirnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23/2004 serta Undang-undang Pemilu
yang memuat affirmative action tidak dapat dipungkiri telah memberi
peluang bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasibnya, namun
yang terjadi akhir-akhir ini khususnya pasca pemerintahan Megawati
(Presiden Perempuan Pertama RI), justru memukul balik apa yang sudah
diperjuangkan selama ini oleh kelompok perempuan. Seperti arus politik
yang berkembang saat ini di pusat-pusat kekuasaan (pemerintah dan
legislatif), tidak saja di tingkat nasional (pusat) tetapi juga di tingkat
lokal diantaranya munculnya peraturan-peraturan daerah yang
diskriminatif terhadap perempuan malah membuka peluang baru
munculnya kekerasan terhadap perempuan yang terlegitimasi oleh
Jurnal Perempuan 45
9
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
Ratna Batara Munti
negara, atau dengan kata lain kekerasan yang dilakukan negara. Apa
yang disebut “politik seksualitas negara” yang menempatkan tubuh dan
seksualitas perempuan sebagai yang potensial bersalah dan ancaman
bagi norma-norma masyarakat sehingga ia ditempatkan menjadi
sasaran/target berbagai aturan yang ada.
Hal ini misalnya tercermin melalui pengaturan pornografi dan
pornoaksi baik dalam RUU KUHP maupun dalam RUU khusus yang
mengatur Pornografi dan Pornoaksi (RUU Pornografi dan Pornoaksi).
Selain itu di tingkat lokal, Peraturan Daerah atau Perda-Perda tentang
maksiat, kewajiban berbusana tertentu, pengaturan jam malam bagi
perempuan dan lain sebagainya merebak di banyak daerah, seperti
Medan, Aceh, Padang, Gorontalo, dan daerah-daerah lainnya, seiring
dengan berlakunya otonomi daerah.3 Fenomena ini dapat dibaca di suratsurat kabar lokal dimana banyak peraturan-peraturan daerah yang
hanya sibuk mengurus perempuan di malam hari, cara berpakaian,
berjalan dengan saudaranya atau tidak, dan lain sebagainya.
Semua aturan-aturan tersebut kembali mengukuhkan stereotip
terhadap perempuan, mendomestikasi perempuan, mendikotomi
seksualitas perempuan (perempuan baik versus perempuan pelacur),
yang intinya menempatkan tubuh/seksualitas perempuan sebagai target
pengaturan (kontrol) negara.
Saat ini memang ada beberapa dari aturan lama yang sedang
diupayakan perbaikan atau revisinya untuk menjadi lebih baik, seperti
Revisi UU Kewarganegaraan (RUU Kewarganegaraan), Revisi UU
Kesehatan (RUU Kesehatan) dan Revisi KUHP (RUU KUHP), yang
bahkan saat ini menjadi prioritas dalam agenda Prolegnas (Program
Legislasi Nasional) di DPR masa sidang 2005 - 2009. Namun, yang
menjadi persoalan di sini, justru usulan perubahan baik dari pihak DPR
(inisiatif DPR) maupun pihak pemerintah masih jauh dari yang
diharapkan kelompok perempuan, khususnya bila dikaitkan dengan
implementasi CEDAW. Tampaknya kedua kelompok perumus kebijakan
ini tidak sungguh-sungguh memiliki kemauan (political will) untuk
menerapkan prinsip-prinsip CEDAW maupun ketentuan-ketentuannya
yang jelas-jelas merupakan kewajiban (akuntabilitas) mereka sebagaimana yang ditegaskan dalam prinsip kewajiban negara di dalam pasal
CEDAW di atas.
10
Jurnal Perempuan 45
Ratna Batara Munti
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
Berikut adalah penjelasan bagaimana prinsip-prinsip CEDAW masih
jauh dari implementasi kebijakan-kebijakan yang ada di negara ini.
Diskriminasi terhadap Perempuan dalam RUU KUHP, dan UU
Kesehatan
Rumusan RUU KUHP yang menjadi inisitaif pemerintah dan kini
sedang dibahas di DPR, kenyataannya telah memperluas kriminalisasi
yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP. RUU ini didasarkan pada
asumsi-asumsi moralitas sempit dan cenderung mengebiri hak-hak asasi
manusia, seperti rumusan kriminalisasi ‘hidup bersama’. Implikasinya
terkait dengan definisi perkawinan (UU Perkawinan) yang sangat
terbatas pada perkawinan heteroseksual yang tercatat dan yang sematamata oleh agama yang diakui negara. Di luar itu, terkait dengan rumusan
RUU KUHP di atas, maka segala bentuk kehidupan perkawinan –di
luar rumusan tersebut– akan terancam sebagai tindak pidana.
RUU KUHP juga meng-kriminalisasi para pekerja seks (prostituted-women)
yang berada di jalanan sebagai pelaku tindak pidana. Rumusan ini jelas
sangat ‘bias kelas’ (hanya perempuan di jalan yang mayoritas perempuan
kelas bawah) serta ‘bias gender/ jenis kelamin’ (hanya perempuan yang
menjadi target kriminal). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan
Konvensi Internasional mengenai Perdagangan Manusia dan Eksploitasi
Prostitusi, yang menempatkan prostituted-women sebagai korban dari
sistem kejahatan khususnya kejahatan perdagangan manusia. Selain
itu, RUU ini juga kembali menafikan hak-hak perempuan untuk hidup
sehat dengan meng-kriminalisasi bentuk aborsi apapun tanpa mempertimbangkan kondisi perempuan seperti korban perkosaan atau akibat
kondisi-kondisi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) lainnya yang
menyebabkan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Saat
ini AKI di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN, yaitu 307 kasus
per 100.000 angka kelahiran hidup. Ini artinya dalam 1 jam ada 2 orang
perempuan meninggal karena proses kehamilan, persalinan, dan pasca
melahirkan.4
Sementara itu, UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 sangat minim dalam
mengatur persoalan aborsi dan hak-hak reproduksi perempuan/
kesehatan reproduksi lainnya. Perempuan jadi terbatas untuk mengakses
pelayanan kesehatan terkait dengan hak/kesehatan reproduksinya. Saat
ini UU Kesehatan tengah direvisi, dan kepentingan perempuan adalah
Jurnal Perempuan 45
11
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
Ratna Batara Munti
memastikan agar UU tersebut tidak diskriminatif terhadap perempuan
yakni memastikan agar kaum perempuan dapat menikmati hak-haknya
untuk bisa hidup sehat dan bebas dari ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, sebagai hak asasinya, sebagaimana telah dijamin
dalam Amandemen Konstitusi (pasal 28 g ayat 1) .
Diskriminasi dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi
maisonneuve.org
RUU Pornografi dan Pornoaksi adalah salah satu RUU yang tidak
mengakomodasi kepentingan perempuan terutama seperti yang menjadi
prinsip-prinsip dalam CEDAW, karena semata-mata menjadikan isu
moralitas sebagai acuan dan tidak menempatkan masalah perlindungan
terhadap perempuan dan anak yang justru rentan menjadi objek
pornografi. Alih-alih mengatur pornografi dan melindungi korbannya,
RUU ini memberi peluang kemungkinan munculnya kekerasan serta
premanisme oleh kelompok masyarakat tertentu yang mengaku sebagai
‘polisi-polisi moral’ yang dengan sewenang-wenang mengintervensi
kehidupan pribadi orang lain atau juga melakukan pemerasan. Hal ini
12
Jurnal Perempuan 45
Ratna Batara Munti
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
dimungkinkan terjadi karena rumusan delik pornografi dan khususnya
pornoaksi sudah terlalu jauh mencampuri pilihan bebas seseorang
untuk mengekspresikan diri/identitas diri. Selain membatasi ekspresi
seseorang, unsur-unsur perbuatan pidana tidak dirumuskan dengan
jelas sehingga dapat terjadi multi-tafsir yang menyebabkan rentannya
seseorang menjadi tertuduh sebagai pelaku kriminal, terutama dalam
ketentuan pornoaksi. Contohnya pada pasal 29 dan 305 RUU yang
melarang seseorang melakukan gerakan tubuh yang menyerupai
kegiatan masturbasi atau onani, serta gerakan tubuh yang menyerupai
kegiatan hubungan seks. Unsur-unsur serta batasan dalam perbuatan
ini tidak jelas dan tentunya akan menimbulkan penafsiran beragam.
Begitupula dalam pasal 25 ayat 1 yang melarang keras untuk
mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual. Ketentuan ini
mengarah pada pengaturan cara berbusana yang pada akhirnya
membatasi pilihan ekspresi diri seseorang. Dalam pengecualian pasal
di atas, cara berbusana atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan
menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan hanya diperbolehkan
sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau
kepercayaan.6 Padahal dalam kenyataannya, mereka tidak hanya
menggunakan busana adat hanya untuk ritus, tetapi juga dalam
keseharian mereka, seperti komunitas suku-suku di Papua dan daerah
lainnya.
Selain itu, Pasal 27 RUU ini juga melarang orang berciuman bibir di
muka umum dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun/
maksimal 5 tahun serta denda minimal 100 juta/maksimal 500 juta
rupiah, dan pasal 28 RUU yang melarang menari/bergoyang erotis
dengan ancaman pidana penjara minimal 18 bulan/maksimal 7 tahun
dan atau denda minimal 150 juta/maksimal 750 juta.
Perlu dipertanyakan, apakah sudah tepat tindakan-tindakan tersebut
di atas dikategorikan sebagai tindak kriminal dan pelakunya
diposisikan sebagai pelaku kriminal? Apakah tidak lebih baik penjara
kita dipenuhi dengan pelaku perkosaan dan pencabulan yang justru
sering dibebaskan atau dihukum ringan dalam hitungan bulan sementara
ini jelas-jelas merupakan bentuk kejahatan terhadap orang, ketimbang
pelaku kriminal karena berciuman bibir atau menari/bergoyang erotis?
Rumusan-rumusan pasal di atas (dalam RUU ini) jelas membatasi hak
asasi seseorang untuk mengekspresikan diri (menari), rasa kasih sayang
Jurnal Perempuan 45
13
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
Ratna Batara Munti
(berciuman) maupun kreativitasnya (berbagai karya seni yang tercipta).
Selain itu berapa banyak jenis tari-tarian tradisional yang katanya harus
dilestarikan, akan ikut pula terpasung dengan pasal ini. Bayangkan
penjara kita akan disesaki oleh para artis dangdut, penari, peragawati
atau designer, atau para remaja ibukota yang kebetulan menggunakan
busana kelihatan pusar; semua komunitas di wilayah/suku tertentu
yang sehari-hari menggunakan busana adat yang ‘terbuka’, tidak hanya
pada saat ritus keagamaan; ibu-ibu yang menyusukan bayi di tempat
umum; mereka yang mandi di pinggir kali atau remaja yang berciuman
bibir. Sekali lagi, apakah sudah tepat menjadikan mereka semua pelaku
kriminal melalui RUU ini?
Memang terkecuali dalam pasal 36 ayat 2, larangan pornoaksi tidak
berlaku terhadap kegiatan seni. Tetapi lagi-lagi dibatasi pada kegiatan
seni yang dilaksanakan hanya ditempat khusus pertunjukan seni.
Padahal karya seni ditujukan untuk mendapat perhatian dari
masyarakat umum. Dengan adanya ketentuan ini, karya seni hanya
dapat dipertunjukan di tempat pertunjukan seni secara eksklusif. Seni
menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok
masyarakat tertentu saja. Ini merupakan pembatasan hak berekspresi
dan hak masyarakat untuk menikmati seni.
RUU Pornografi dan Pornoaksi pada dasarnya adalah bentuk
ekspresi dari ‘moral panic’ kelompok masyarakat tertentu yang kemudian
dipolitisasi oleh kelompok penguasa untuk tujuan-tujuan kekuasaan
seperti antara lain mendapatkan dukungan politik dari kelompokkelompok dominan di masyarakat. RUU ini telah mengaburkan batasan
apa yang menjadi wilayah himbauan moral, dengan apa yang
selayaknya diakomodasi ke dalam wilayah hukum/pidana (menjadikan
seseorang sebagai pelaku kriminal melalui UU). RUU Pornografi dan
Pornoaksi pada akhirnya berpotensi melanggar HAM dan kehidupan
privasi seseorang warga negara, karena RUU ini tidak menempatkan
prinsip-prinsip utama seperti mempertimbangkan segala aspek
pluralisme (adat, budaya, keyakinan, gender), HAM, dan perspektif
korban dalam merumuskan deliknya. RUU ini akan mengurangi
penghormatan terhadap hak untuk berekspresi, memiliki identitas diri,
hak atas keamanan pribadi, serta hak atas informasi sebagai HAM.
Khususnya juga bagi orang dewasa terutama perempuan yang berhak
mengakses informasi dan fasilitas dukungan berkaitan dengan
14
Jurnal Perempuan 45
Ratna Batara Munti
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
pelaksanaan hak-hak reproduksi dan seksual/kesehatan reproduksi dan
seksual sebagaimana termuat dalam Hasil Konferensi Kependudukan
di Kairo (ICPD, 1999) yang juga ikut ditandatangani oleh pemerintah
Indonesia .
Diskriminasi dalam RUU Kewarganegaraan
Dalam revisi UU Kewarganegaraan (RUU Kewarganegaraan) yang
tengah dibahas Pansus Kewarganegaraan di DPR saat ini dan yang
merupakan inisiatif DPR, ternyata masih saja membuat perbedaan
terhadap prempuan, dimana menjadikan kelompok laki-laki sebagai
sentral, sementara perempuan disubordinasikan dan dijadikan warga
negara kelas dua. Hal ini tercermin dalam beberapa ketentuannya yang
mengabaikan hak yang sama bagi perempuan dalam perkawinan campur
untuk diperlakukan sama dengan laki-laki terkait dengan haknya untuk
menentukan kewarganegaraan dirinya maupun anaknya. RUU
Kewarganegaraan masih menganut asas kesatuan kewarganegaraan
dengan pusat sentralnya pada laki-laki/bapak sebagai pihak yang
menentukan ataupun memutuskan. Perempuan Indonesia dapat
kehilangan kewarganegaraannya akibat perkawinannya dengan suami
berkewarganegaraan asing (WNA).7 Diperlukan syarat bagi istri bila
ingin mempertahankan WNI-nya, yakni permohonan kepada Presiden
melalui Menteri/Pejabat/Perwakilan RI yang diajukan dalam tenggang
waktu 2 tahun sejak tanggal pernikahan.8 Namun, pada ketentuan lain
juga disebutkan bahwa permohonan tidak menyebabkan berkewarganegaraan ganda.9 Hal ini tentunya membuat dilema bagi istri
dimana secara hukum suami menentukan istri untuk mengikuti
warganegaranya.
Selain itu perempuan juga tidak dapat secara otomatis menentukan
kewarganegaraan anaknya seperti halnya laki-laki, tetapi ia (perempuan) harus melakukannya melalui perjanjian nikah dan lagi-lagi
dengan tidak menyebabkan anak berkewarganegaraan ganda (yang
menyebabkan dilema), melalui permohonan serta dalam konteks apabila
pengadilan telah menetapkan hak asuh pada ibu (pasca perceraian).10
Intinya, RUU Kewarganegaraan masih diskriminatif terhadap
perempuan/istri, dan dengan begitu jauh dari harapan untuk
mengoreksi atau memperbaiki situasi perempuan, khususnya yang
berada dalam perkawinan campur (berlainan kewarganegaraan).
Jurnal Perempuan 45
15
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
Ratna Batara Munti
Tantangan Perempuan dan Agenda ke Depan
Merupakan tantangan bagi kelompok perempuan untuk terus
menerus menuntut tanggungjawab negara agar sungguh-sungguh
mengimplementasikan komitmen yang telah dibuat (CEDAW) terutama
juga didesak oleh situasi saat ini yang dalam kenyataannya kebijakankebijakan banyak yang berakibat semakin memburuk bagi perempuan.
Terutama munculnya gerakan konservatisme seiring dengan kebijakan
otonomi daerah tentu saja merupakan tantangan serius dalam upaya
mewujudkan demokratisasi dan penegakan HAM dalam kehidupan
perempuan. Dalam kerangka ini, maka advokasi kebijakan menjadi satu
strategi yang penting dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Melalui
advokasi kebijakan, kelompok perempuan dapat mendesakkan agendaagenda legislasi yang meletakkan sasaran pada kondisi, kebutuhan serta
kepentingan perempuan.
Saat ini melalui jaringan pro-legnas pro-perempuan (program
legislasi nasional pro perempuan), kelompok perempuan tengah
berupaya mendesakkan agenda legislasi perempuan dalam pembahasan
Program Legislasi Nasional 2005-2009 di DPR RI, yakni dengan
merespon berbagai draf RUU seperti RUU KUHP, RUU Pornografi dan
Pornoaksi, Revisi UU Kewarganegaraan, serta mendesakkan Revisi UU
Kesehatan, RUU Perlindungan Saksi, RUU Anti Trafiking, RUU
Perlindungan bagi PRT, serta Amandemen UU Perkawinan. Begitupun
di tingkat lokal, kelompok perempuan berupaya mengadvokasi PerdaPerda seperti Perda Trafiking, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)
atau tentang penanggulangan HIV/AIDS, seperti yang dilakukan oleh
kelompok perempuan di Bengkulu, Makasar, Yogjakarta dan Surabaya,
selain juga mengkritisi Perda-Perda yang diskriminatif.
Belajar dari pengalaman mengadvokasi UU Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004, diperlukan dukungan
dan jaringan yang luas dari berbagai kelompok masyarakat yang peduli
dengan penegakan HAM khususnya bagi perempuan. Sebab mengubah
suatu kebijakan di masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah dan
tidak dapat ditempuh hanya oleh segelintir orang atau sekelompok orang
saja. Hal ini melibatkan kerja-kerja advokasi yakni suatu upaya
sistematis dan terorganisir dari kelompok-kelompok masyarakat untuk
melakukan serangkaian kegiatan mulai dari perumusan masalah,
16
Jurnal Perempuan 45
Ratna Batara Munti
Sejauh Mana Negara Memperhatikan
Masalah Perempuan?
membuat rumusan-rumusan perubahan kebijakan yang diharapkan,
pembentukan jaringan dan opini publik, kampanye dan sosialisasi,
mobilisasi massa, hingga lobi-lobi dan terlibat dalam setiap proses
pembahasan dan pengambilan keputusan.
Oleh karena itu untuk ke depan, penting untuk melakukan konsolidasi
di antara kelompok masyarakat yang peduli HAM dan demokrasi baik
di tingkat nasional maupun di tingkat lokal untuk mengkritisi
konservatisme dan wacana moralitas yang dominan, khususnya dalam
melihat serta mengambil solusi terhadap persoalan-persoalan sosial
yang saat ini terjadi. Perlu menggalang kekuatan bersama untuk
merespon fenomena pelanggaran HAM, khususnya terhadap perempuan
dengan upaya-upaya yang lebih sistematis dan sinergis antar anggota/
kelompok masyarakat.
Catatan Belakang
1
Affirmative action adalah tindakan sementara untuk mengangkat kaum minoritas atau
marginal (masyarakat yang terpinggirkan). Misalnya kebijakan tentang kuota
perempuan 30% untuk melibatkan perempuan di parlemen sehingga kebijakankebijakan untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dapat terakomodasi.
2
Sebagaimana tercantum dalam pasal 2 butir f dalam Konvensi tersebut yang
menegaskan kewajiban negara untuk mengambil semua langkah yang tepat, termasuk
legislasi, untuk mengubah atau menghapuskan hukum, peraturan, kebiasaan dan
praktek yang mendiskriminasikan perempuan.
4
Binkesmas Depkes RI malah memperkirakan kontribusi aborsi tidak aman antara 30
– 50 persen dari kematian ibu di Indonesia.
5
Lihat draft RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sudah beredar di seminarseminar atau diskusi publik dan menjadi prioritas untuk segera di sahkan. Akhir-akhir
ini RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bahkan di tolak oleh seniman dan budayawan
dalam sebuah pertemuan di Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Jakarta.
6
Lihat RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi pasal 36 ayat 1
7
Lihat pasal 26 ayat 1 RUU Kewarganegaraan.
8
Lihat pasal 26 ayat 2 dan 3 RUU Kewarganegaraan.
9
Lihat pasal 8 RUU Kewarganegaraan.
10
Lihat pasal 2 RUU Kewarganegaraan.
Jurnal Perempuan 45
17
Foto: Nico Haryono
• Topik Empu •
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap
Perempuan
Rita Serena Kolibonso
P
ada tahun 1992, penegasan bahwa kekerasan terhadap
perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap
perempuan merupakan momentum penting bagi advokasi
gerakan penegak hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi
perempuan. Penegasan ini dilatari oleh pertama, penajaman konsep hak
asasi manusia tersebut telah ditegaskan oleh Komite PBB yaitu tentang
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kedua, seiring dengan
dikeluarkannya duapuluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB
tersebut yang isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakukan oleh
negara-negara peserta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of
Jurnal Perempuan 45
19
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Rita Serena Kolibonso
All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Dari latar belakang
inilah mulai terjadi kemajuan (progress) dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat di berbagai negara
termasuk Indonesia.
Di badan PBB, langkah ini telah diawali dengan disetujuinya
penunjukkan Pelapor Khusus PBB mengenai masalah Kekerasan
Terhadap Perempuan (Special Rapporteur on Violence Against Women, 1993)
dan disepakati Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
(20 Desember 1993).
Pada sidang ke 11 tahun 1992, Komite PBB tentang Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan mengeluarkan Rekomendasi Umum
Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan.1 Rekomendasi ini
pada dasarnya memberikan penjelasan tambahan kepada pasal 1
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan2 yang mengatur definisi “diskriminasi terhadap perempuan”.
Konvensi tersebut pertama kali ditandatangani Indonesia di PBB tanggal
29 Juli 1980 dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada
tanggal 24 Juli 1984.3
Menurut pasal 1 konvensi, diskriminasi terhadap perempuan berarti
setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hakhak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas
dari status perkawinannya, atas dasar persamaan antara perempuan
dan laki-laki.
Penjelasan tambahan definisi “diskriminasi terhadap perempuan”
ini menurut Rekomendasi No. 19, termasuk juga kekerasan berbasis
gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap sosok
perempuan, karena dia adalah perempuan atau hal-hal yang memberi
akibat pada perempuan secara proporsional. Hal tersebut termasuk
tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian fisik, mental dan
seksual atau penderitaan atau ancaman, atas tindakan tersebut atau
kekerasan/paksaan dan perampasan kebebasan (Komentar Umum pasal
20
Jurnal Perempuan 45
Rita Serena Kolibonso
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
1). Komite juga menambahkan komentarnya dalam Rekomendasi ini
bahwa kekerasan berbasis gender bisa melanggar ketentuan Konvensi
tersebut tanpa membedakan apakah ketentuan tersebut mengekspresikan
kekerasan yang dimaksud. Ditambahkan pula, bahwa kekerasan
berbasis gender yang merusak, menghalangi atau menghapuskan
kenikmatan atas hak asasinya dan kebebasan fundamental di bawah
hukum umum dan di bawah konvensi hak asasi manusia adalah suatu
diskriminasi dalam pengertian pasal 1 konvensi ini.4
Mengapa Perlu Ditegaskan?
Salah satu latar belakangnya, pemahaman bahwa kekerasan berbasis
gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius
menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan
kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak perempuan dan laki-laki.
Hak-hak dan kebebasan tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk
tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapat
perlindungan yang sama sehubungan dengan norma-norma kemanusiaan pada saat konflik bersenjata nasional atau internasional, hak atas
kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk mendapatkan kesamaan
atas perlindungan hukum di bawah Undang-undang, dan hak untuk
mendapatkan standar tinggi dalam hal kesehatan mental dan fisik.
Selanjutnya untuk melengkapi penegasan bahwa kekerasan terhadap
perempuan termasuk bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Komite
PBB ini juga memberikan tambahan ulasan dan komentar atas pasalpasal tertentu dari konvensi yakni pasal 2, pasal 6, pasal 11, pasal 12,
pasal 14, pasal 16 dan pasal 5.
Salah satunya adalah ulasan pasal 2 (f) 5 dan 10 (c) konvensi,
menyebutkan bahwa sikap-sikap tradisional dimana perempuan
dianggap sebagai subordinasi laki-laki atau seperti juga pembakuan
peran-peran gender (stereotype) yang dalam prakteknya terus-menerus
meluas, dalam hubungannya dengan kekerasan atau paksaan, misalnya
kekerasan dan penganiayaan dalam keluarga, kawin paksa, mas kawin,
kematian, penyerangan dan penyunatan perempuan. Prasangkaprasangka dan perlakuan seperti itu, membenarkan adanya kekerasan
berbasis gender sebagai sebuah bentuk perlindungan dan kontrol atas
perempuan. Efek atau akibat dari kekerasan semacam itu terhadap
integritas perempuan adalah penghilangan atau pencabutan atas
Jurnal Perempuan 45
21
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Rita Serena Kolibonso
kesamaan penikmatan, pelaksanaan dan pengetahuan akan hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental.
Sementara itu, sebagian besar fakta atau ancaman kekerasan atas
dasar suatu konsekuensi yang mendasari bentuk-bentuk dari kekerasan
berbasis gender tadi, membantu ikut serta membuka mata untuk
menegakkan hak-hak perempuan dalam subordinasi perannya, atas
rendahnya posisi perempuan dalam partisipasi politik, rendahnya
tingkat pendidikan, serta sedikitnya kesempatan kerja untuk mereka.
Sikap-sikap ini juga memberikan sumbangan besar pada perkembangan
persoalan pornografi dan gambar porno yang bertujuan mengeksploitasi
perempuan sebagai objek seksual daripada sebagai individu.
Pada ulasan mengenai pasal 16 dan pasal 5 Konvensi, Komite PBB
tersebut menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling
berbahaya. Sebab kekerasan dalam rumah tangga telah lama dianggap
lazim bagi masyarakat di banyak negara. Dalam hubungan kekeluargaan
di segala umur, perempuan menderita segala macam penderitaan
termasuk pemukulan, perkosaan dan bentuk-bentuk lain dari penyerangan seksual serta mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional.
Ketergantungan ekonomi dalam hal ini memaksa perempuan untuk
bertahan pada hubungan yang dijalankan berdasarkan tindakan
kekerasan. Pencabutan atau pengambil-alihan tanggung jawab oleh lakilaki dapat juga disebut sebagai sebuah bentuk kekerasan dan paksaan.
Selain itu bentuk-bentuk dari kekerasan ini juga menempatkan
perempuan pada risiko kesehatan dan menghalangi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas
dasar suatu kesamaan.5
Duapuluh Butir Rekomendasi Khusus PBB
Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
telah menetapkan 20 butir rekomendasi khusus kepada negara-negara
yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui Rekomendasi Umum Nomor
19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Rekomendasi-rekomendasi
tersebut mengharuskan negara-negara peserta konvensi untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut:
22
Jurnal Perempuan 45
Rita Serena Kolibonso
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Tabel 1.
Butir-butir Rekomendasi untuk Negara-Negara yang telah Meratifikasi
CEDAW
No. Butir-Butir Rekomendasi
1
Menentukan suatu ukuran yang tepat dan efektif untuk mengatasi segala bentuk
kekerasan yang berbasis gender, dalam hal apakah hal tersebut merupakan
suatu tindakan yang bersifat umum atau privat.
2.
Membuat Undang-undang mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic
violence) dan penganiayaan, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk-bentuk
lain dari kekerasan yang berbasis gender, bertujuan memberikan perlindungan
yang cukup terhadap perempuan serta untuk menghargai integritas dan
martabatnya. Perlindungan dan pelayanan yang tepat harus disediakan bagi
korban-korban. Pelatihan bersensitif gender kepada Hakim Pengadilan dan
Penegak Hukum serta pekerja sosial di masyarakat harus diberikan dan sangat
penting bagi efektifnya pelaksanaan Konvensi ini.
3.
Mendorong diadakannya kompilasi data statistik dan penelitian tentang penyebab
dan akibat dari kekerasan dan keefektifan ukuran/standar untuk mencegah dan
mengatasi kekerasan.
4.
Ukuran/standar efektif harus diambil untuk memastikan bahwa media
menghormati adanya dukungan penghargaan terhadap perempuan.
5.
Dalam hal laporan kekerasan ini harus dengan mengidentifikasi sifat dan tingkat
sikap, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang menghidupkan terus
kekerasan terhadap perempuan, serta macam-macam kekerasan yang
mengakibatkan mereka harus melaporkan ukuran-ukuran yang harus mereka
lakukan untuk menanggulangi kekerasan dan efek dari ukuran/ standar tersebut.
6.
Memperkenalkan pendidikan dan program informasi untuk umum guna membantu
menghapus berbagai prasangka yang menghalangi kesamaan hak perempuan.
7.
Pencegahan yang efektif dan standar hukuman yang sangat penting untuk
mengatasi perdagangan perempuan serta eksploitasi seksual.
8.
Dalam laporannya harus menggambarkan tingkat dari semua masalah ini dan
standar-standarnya termasuk ketentuan-ketentuan pidana, perlindungan dan
standar rehabilitasi yang sudah dilakukan untuk melindungi perempuan
sehubungan dengan pelacuran paksa atau perdagangan perempuan dan bentuk
lain dari eksploitasi. Efektivitas dari pelaksanaan standar ini, juga harus
digambarkan dengan jelas.
9.
Prosedur pengaduan dan bantuan yang efektif termasuk ganti rugi, harus
diberikan.
10. Memasukkan dalam laporan yakni informasi tentang pelecehan seksual dan
standar-standar untuk melindungi perempuan dari pelecehan dan bentuk lain
dari paksaan atas kekerasan di tempat kerja.
11. Membentuk dan mendukung berbagai pelayanan untuk korban-korban kekerasan
dalam rumah tangga, perkosaan, penyerangan seksual dan bentuk lain dari
kekerasan berbasis gender termasuk pengungsi, khususnya pelatihan kesehatan
bagi pekerja rehabilitasi dan konseling.
Jurnal Perempuan 45
23
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Rita Serena Kolibonso
12. Mengambil ukuran untuk mengatasi praktik-praktik tersebut dan harus
mempertimbangkan adanya rekomendasi Komite atas penyunatan perempuan
(Rekomendasi No. 14) dalam laporan masalah kesehatan.
13. Memastikan bahwa standar yang harus diambil untuk mencegah paksaan dalam
hubungannya dengan kesuburan dan reproduksi perempuan serta memastikan
bahwa perempuan tidak dipaksa untuk menggunakan prosedur medis yang tidak
aman misalnya aborsi yang tidak aman karena tidak tersedia pelayanan yang
tepat/ layak sehubungan dengan kontrol kesuburan.
14. Dalam laporannya harus memastikan tingkat ketidakberhasilan dari masalahmasalah itu dan harus menunjukkan standar yang sudah diambil dan akibatnya.
15. Memastikan bahwa pelayanan untuk korban kekerasan dapat dicapai oleh
perempuan di pedesaan dan dipadukan pelayanan khusus di masyarakat.
16. Standar-standar untuk melindungi korban kekerasan adalah termasuk pelatihan
dan kesempatan-kesempatan dalam pekerjaan serta pengawasan atas kondisi
pekerjaan serta pekerja rumah tangga (PRT).
17. Melaporkan risiko-risiko yang dialami perempuan pedesaan, tingkat dan sifat
dari kekerasan dan penganiayaan dimana mereka adalah subjeknya, kebutuhannya
dan akses untuk mendukung dan pelayanan lain serta efektivitas dari standar
tersebut untuk mengatasi kekerasan.
18. Ukuran-ukuran penting untuk mengatasi hal tersebut harus termasuk: hukuman
pidana jika dibutuhkan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT);
Undang-undang untuk mengubah/menggantikan “the defence of honour”
sehubungan dengan penyerangan atau pembunuhan dari seorang anggota
keluarga; pelayanan untuk menjamin keselamatan dan keamanan korban KDRT
termasuk tempat pengungsian (shelter), konseling dan program rehabilitasi;
program rehabilitasi untuk pelaku KDRT; serta mendukung pelayanan bagi
keluarga-keluarga dimana penganiayaan seksual telah terjadi.
19. Melaporkan tentang tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan
seksual dalam pencegahannya, hukuman dan standar bantuan yang sudah diambil.
20. Mengambil semua standar hukum dan standar lain yang penting untuk memberikan
perlindungan yang efektif kepada perempuan dari kekerasan berbasis gender.
Termasuk didalamnya: Ukuran/standar hukum yang efektif, termasuk sanksi
pidana, bantuan perdata dan ketentuan yang mengatur kewajiban untuk
melindungi perempuan terhadap segala bentuk kekerasan termasuk kekarasan
dan penganiayaan dalam keluarga, penyerangan dan pelecehan seksual di tempat
kerja.
- Ukuran/standar pencegahan termasuk informasi publik dan program
pendidikan untuk merubah sikap, dalam hubungannya dengan peranan dan
status laki-laki dan perempuan.
- Melampirkan semua bentuk kekerasan berbasis gender dalam laporannya
dan memasukkan semua data yang ada atas kejadian dari setiap kekerasan
dan akibatnya bagi perempuan yang menjadi korban.
- Laporan-laporan harus termasuk informasi hukum, pencegahan dan standar
perlindungan yang sudah diambil untuk mengatasi kekerasan terhadap
perempuan dan sejauhmana efektivitas dari standar itu.
24
Jurnal Perempuan 45
Rita Serena Kolibonso
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Mencermati isi rekomendasi-rekomendasi tersebut di atas, sekaligus
dapat menjadi refleksi dan evaluasi atas perjalanan advokasi
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan pada umumnya, dan
penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada
khususnya. Perjalanan panjang pengesahan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
pengadaan layanan sejumlah women’s crisis centre serta layanan-layanan
terpadu bagi perempuan sebagai korban kekerasan yang mulai
disediakan oleh kepolisian dan tenaga kesehatan; merupakan sebagian
saja dari kebutuhan upaya dan aksi yang harus dan telah dilakukan.
Sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai standar data statistik
nasional tentang statistik kasus kekerasan terhadap perempuan atau
Kasus KDRT dan untuk kasus perkosaan. Namun contoh data statistik
kasus kekerasan terhadap perempuan yang dipublikasikan secara teratur
setiap tahun oleh Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre sejak tahun
1998 dan lembaga-lembaga layanan dan pendampingan korban
kekerasan terhadap perempuan lainnya sangat bermanfaat untuk
dikompilasi sebagai laporan Statistik yang tersedia di Indonesia
sebagaimana disebutkan dalam Rekomendasi Umum No.19 tersebut di
atas. Berikut ini statistik tahun 2002-2005 untuk kasus kekerasan
terhadap perempuan di Mitra Perempuan WCC.
Tabel 2.
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (Data Mitra Perempuan)
Tahun
Kasus
2005
455
2004
329
2003
272
2002
226
2001
258
Sumber: Mitra Perempuan 2002-2005
Bahkan data statistik dari Mitra Perempuan menunjukkan bahwa di
tahun 2005, 4,74% anak-anak di bawah umur 18 tahun mengalami
kekerasan. Selain itu, dari kasus yang datang, 9 dari 10 perempuan
mengalami lebih dari 1 jenis atau bentuk kekerasan (fisik, psikis, seksual
dan penelantaran atau ekonomi), 9 dari 10 anak mengalami dampak
Jurnal Perempuan 45
25
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Rita Serena Kolibonso
yang mengganggu kesehatan jiwa. Bahkan sebanyak 26 orang mencoba
bunuh diri, 16,26% terganggu kesehatan reproduksinya, serta 55,32%
mengalami konflik domestik. Berikut adalah data statistik Mitra
Perempuan bagaimana hubungan (relasi) pelaku dengan korban
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.
Tabel 3.
Relasi Pelaku dengan Korban KDRT dan Kekerasan terhadap Perempuan
No. Pelaku
Korban KDRT
Perempuan korban kekerasan
1.
Suami
2.
Mantan suami
77,36%
3.
Orangtua/ saudara/ anak
6,15%
4.
Majikan
0,22%
5.
Pacar/ teman dekat
6.
Tetangga
1,54%
7.
Lainnya
2,64%
3,08%
9,01%
86,81%
13,19%
Sumber: Data statistik Mitra Perempuan 2005
Demikian pula beban kekerasan terhadap perempuan lebih banyak
menunjukkan kekerasan yang berlapis atau dalam berbagai bentuk
(psikis, fisik, penelantaran, dll.).6
Grafik 1.
Beban Kekerasan Perempuan
Sumber: Mitra Perempuan, 2005
26
Jurnal Perempuan 45
Rita Serena Kolibonso
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Namun dari berbagai bentuk kekerasan yang ada, grafik menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis.7
Grafik 2.
Bentuk Kekerasan yang Dialami Perempuan
Sumber: Mitra Perempuan, 2005
Bahkan dari kasus yang datang ke Mitra Perempuan, perempuan
korban kekerasan menempuh upaya sendiri untuk memulihkan dirinya
sendiri. Berikut adalah bagan yang menunjukkan perempuan korban
kekerasan memilih bantuan dari keluarga atau orang terdekat di luar
keluarga:8
Bagan 1.
Upaya yang Ditempuh Perempuan sebelum ke Mitra Perempuan
Sumber: Mitra Perempuan, 2005
Jurnal Perempuan 45
27
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
Rita Serena Kolibonso
Sedangkan bantuan yang banyak dilakukan Mitra Perempuan
terhadap perempuan korban kekerasan adalah lebih banyak dalam
bentuk konseling.9
Bagan 2.
Bantuan Mitra Perempuan
Sumber: Mitra Perempuan, 2005
Dari data-data yang terlampir dan disajikan melalui Mitra Perempuan
adalah sedikit dari jutaan perempuan yang mengalami kekerasan di
Indonesia. Nampaknya masih panjang perjalanan rencana aksi yang
harus dilakukan Indonesia di masa mendatang untuk menghapuskan
kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu kebutuhan di masa
mendatang dalam merespon masalah KDRT diantaranya meliputi,
pertama, sosialisasi Undang-undang No. 23 Tahun 2004 untuk mencegah
KDRT, kedua, sosialisasi dan kerjasama di kalangan penegak hukum,
layanan kesehatan, pekerja sosial dan relawan pendamping di
masyarakat, ketiga, peningkatan perlindungan bagi korban kekerasan
dan saksi, keempat, menambah jumlah bantuan dan layanan pendampingan, serta membebaskan korban dari biaya visum et repertum.
Oleh karena itu kesinambungan komitmen dan agenda jangka
panjang menjadi tuntutan yang harus dilakukan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat secara bermitra.
Catatan Belakang
1
PBB, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (the
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), 1979.
28
Jurnal Perempuan 45
Rita Serena Kolibonso
Diskriminasi Itu Bernama
Kekerasan Terhadap Perempuan
2
Ibid.
3
Lembaran Negara RI Tahun 1984 Nomor 29, Undang-undang RI Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita.
4
LBH Apik, Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan,
Jakarta.
5
Rita Serena Kolibonso, Optional Protokol terhadap Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Jakarta: Mitra Perempuan,
2001).
6
Mitra Perempuan, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan dalam Rumah Tangga.
7
Ibid.
8
Mitra Perempuan, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Layanan Women’s
Crisis Centre, Laporan tahun 2005.
9
Ibid.
DAPATKAN JURNAL PEREMPUAN EDISI 44
Pendidikan Alternatif
untuk Perempuan
Ada tiga alasan mengapa pendidikan alternatif
bagi perempuan menjadi amat penting: akses
perempuan ke dalam dunia pendidikan masih
rendah; kurikulum yang masih bias gender dan;
pendidikan formal yang belum mampu menjawab
kebutuhan spesifik perempuan. Akibatnya tingkat
perempuan yang buta huruf di berbagai wilayah di
Indonesia selalu lebih tinggi dari laki-lakinya dan
pendidikan formal tidak membebaskan perempuan
dari berbagai persoalan-persoalan seperti trafiking,
kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi
terhadap perempuan di tempat kerja, dan
sebagainya.
Jurnal Perempuan 45
29
CEDAW-Restoring Rights To Women
• Topik Empu •
Apakah Hukum Boleh
“Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
Pendahuluan
Penggunaan kata “hukum berpihak”, sebagaimana tertuang dalam
tulisan ini, dapat menimbulkan debat dan polemik yang tidak
berkesudahan, terutama bila dilakukan di lingkungan studi hukum.
“Netralitas”, “objektivitas”, “kepastian hukum”, merupakan nilai dan
prinsip yang sangat dijunjung tinggi oleh para sarjana hukum. Prinsip
tersebut hampir merupakan “harga mati”, sehingga hukum tidak boleh
berpihak. Hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi
keadilan kepada semua orang, tidak pandang bulu. Dalam paradigma
positivisme, hukum dipandang mengandung kebenaran dan keadilan
yang sudah pasti. Lebih jauh terdapat klaim bahwa satu-satunya hukum
Jurnal Perempuan 45
31
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
yang paling tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satusatunya institusi yang mendistribusi keadilan kepada segenap warga
negara.
Klaim ini sama sekali tidak ada salahnya, terutama pada masyarakat
yang memiliki kondisi sine qua non yaitu strukturnya tidak berlapis secara
jelas, dimana setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan
yang relatif sama, dan birokrasi peradilannya relatif bersih dari korupsi.
Prinsip “equality before the law” dapat ditegakkan dan memberi keadilan
secara pasti kepada hampir setiap warga negara dalam kondisi di atas.
Namun dalam masyarakat yang sangat berlapis, ada kesenjangan
ekonomi yang luar biasa tinggi, yaitu ada kelompok masyarakat yang
begitu kaya dan berkuasa secara politik, ada golongan menengah, dan
kemudian golongan miskin yang juga sangat beragam lapisannya, maka
implementasi dari prinisip “kesamaan di muka hukum”, menjadi
diragukan dapat memberi keadilan yang sama. Apalagi pada masyarakat yang di dalamnya “menyimpan” berbagai persoalan ketidakadilan,
di mana orang-orang yang berasal dari ras, golongan, kelas, agama
minoritas, dan jenis kelamin yang berbeda tidak mendapat akses
perlakuan yang sama, ditambah lagi dengan kondisi birokrasi peradilan
yang relatif korup, maka implikasi dari prinsip “equality before the law”,
justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Perlakuan yang berbeda
terhadap pihak yang dipandang sebagai “the other” (yang lain/liyan)
dapat dijumpai dalam rumusan yang eksplisit berbagai peraturan
perundang-undangan dan kebijakan, maupun dalam kehidupan praktek
sehari-hari.1
Dalam telaah hukum kritis dapat dilihat bahwa pada hakekatnya
hukum adalah “pedang bermata dua”. Di satu sisi hukum memang bisa
digunakan sebagai sebuah acuan yang paling adil dan paling
mengayomi. Namun, di pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum
juga bisa digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan
dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak yang menjadi korban
dari hukum yang tidak adil. Hukum dapat mengklaim kebenarankebenaran sampai ranah yang tidak terbatas.2 Pada sisi yang kedua ini,
terbuka berbagai diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum
“dipersandingkan” dengan berbagai pengalaman perempuan, kelompok
miskin, minoritas, pendeknya kelompok yang tidak memiliki kekuasaan
untuk menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum
32
Jurnal Perempuan 45
Sulistyowati Irianto
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
akan digunakan untuk tujuan baik atau “tidak baik” (melanggengkan
kekuasaan), adalah tergantung “man behind the gun” atau siapa aktor di
balik hukum itu.
Pertanyaan tentang Hukum Perempuan
Sering orang lupa bertanya kepada perempuan: adakah hukum telah
menjamin dia dalam memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia
yang bermartabat? Apakah hukum sudah menjamin perempuan untuk
didengar suaranya dalam ruang-ruang publik pengambilan keputusan
penting dalam bernegara dan bermasyarakat? Apakah hukum sudah
melindungi diri perempuan dari kekerasan, kelaparan, kebodohan?
Apakah hukum sudah menjamin perempuan untuk dapat mengekspresikan dirinya apa adanya dan mengontrol tubuhnya sendiri?
Nyatanya tidak, hukum bahkan telah membatasi ruang gerak
perempuan, menentukan jam berapa perempuan baru boleh keluar
rumah, harus menggunakan pakaian seperti apa3, harus berperilaku
seperti apa, dan sudah sejak lama hukum menempatkan perempuan
dalam hal perkawinan secara tidak layak karena disebut sebagai
“nakhoda” keluarga bersama dengan suaminya. Hukum bahkan telah
menyebabkan perempuan, keluar dari hutan-hutan tanah leluhurnya,
ketika masyarakat adat kehilangan aksesnya kepada tanah dan
sumberdaya alam, menjadi “budak” di negara orang, hanya demi sesuap
nasi bagi keluarga dan dirinya sendiri, dan kehilangan haknya sebagai
orang merdeka.4 Di tengah-tengah bangsa yang menyebut diri sebagai
“religius” , hukum telah memberi legitimiasi kepada sekelompok orang
untuk menjadi “polisi moral” mengejar perempuan yang tidak beruntung
dan menjajakan tubuhnya untuk dapat bertahan hidup, kemudian
menghukumnya sebagai pelaku kejahatan.5 Sebentar lagi melalui
Undang-Undang yang gagah perkasa6, “kegenitan” perempuan akan
dihabisi, bahkan perempuan dan laki-laki, tidak boleh lagi mengekspresikan kasih sayang, sebuah perasaan kodrati kemanusiaan.
Pertanyaan kritis dalam mengkaji persoalan hukum dari perspektif
perempuan adalah: “Benarkah bahwa hukum sungguh netral dan
objektif?” Benarkah prinsip “equality before the law” memang menjamin
setiap orang berada dalam posisi yang setara dan adil? Dalam hal ada
kelompok tertinggal yang tidak mendapatkan akses kepada keadilan
dalam masyarakat, dan untuk dapat “mengejar” ketertinggalan itu maka
Jurnal Perempuan 45
33
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
dibuatkan affirmative action, apakah dalam arti ini maka akan dibolehkan
“hukum yang berpihak”?
Pejabat dan pembuat undang-undang bermegah dalam “singgasana”,
terus menciptakan hukum-hukumnya sendiri, mengklaim kebenarannya
sendiri dalam rangka mendefinsikan kekuasaannya. Bagi mereka, target
legislasi adalah menciptakan sekian ratus undang-undang, jauh lebih
penting daripada memperhitungkan kepentingan rakyat miskin dan
perempuan, yang bahkan akan menjadi target dari peraturan perundangundangan. Akibatnya, hukum tidak responsif terhadap persoalanpersoalan perempuan. Hukum tidak dapat mengikuti perkembangan
masyarakat yang begitu cepat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan perempuan, “yang berdimensi baru”, misalnya perdagangan
perempuan.
Selanjutnya para pelaksana hukum dalam menjalankan tugasnya
“hanya” berpatokan pada apa yang tertulis dalam Undang-Undang,
dan tidak mengadakan “ujian” terhadap kasus-kasus dan pengalaman
masyarakat. Para pelaksana hukum seolah “tidak menyadari” bahwa
kerja hukum dalam masyarakat potensial “berbenturan” dengan
kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan budaya. Dalam kondisi seperti
ini sebenarnya yang diharapkan adalah terobosan-terobosan baru yang
lahir dari para pelaksana hukum dalam rangka memberi akses keadilan
kepada warga masyarakat. Namun pembaharuan hukum, khususnya
berupa “pemikiran paradigmatik hukum baru”, dan keberanian untuk
melakukan terobosan-terobosan terutama dalam memberikan keadilan
kepada perempuan, sangat lambat datangnya.
Perempuan dalam Pandangan Hukum
Sebenarnya pembaharuan hukum telah terjadi, ditandai oleh adanya
berbagai instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan,
bersumber dari berbagai konvensi internasional, hukum positif nasional,
termasuk berbagai jurisprudensi atas kasus-kasus dimana perempuan
mendapat keadilan.7 Perlu disebutkan disini bahwa jaminan keadilan
dapat dicari mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 27,
hingga berbagai peraturan perundang-undangan seperti yang terbaru
yakni UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU no.7/
1984 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Wanita 8 yang sangat
komprehensif mengatur larangan diskriminasi terhadap perempuan
34
Jurnal Perempuan 45
Sulistyowati Irianto
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
hampir di segala bidang kehidupan. Di samping itu terdapat berbagai
prinsip dan nilai keadilan bagi perempuan dan laki-laki yang terserak
di berbagai peraturan perundang-undangan lain.
Namun terdapat jurang yang dalam di antara apa yang seharusnya
(das sollen) dikehendaki terjadi oleh hukum, dan implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari (das sein), sehingga hukum hanya dapat
dipandang sebagai “payung fantasi”9. Kemudian keberadaan instrumen
hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan dilemahkan oleh
berbagai peraturan perundang-undangan lain, yang berimplikasi tidak
adil bagi perempuan. Standar ganda dan penempatan perempuan yang
tidak setara dalam perumusan hukum juga dapat dijumpai dan terserak
dalam pasal-pasal tertentu dalam berbagai peraturan perundangundangan lain, seperti UU Perkawinan no.1/1974, Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Undang-undang keimigrasian, UU Kesehatan,
UU yang berkenaan dengan kedudukan perempuan dalam politik,
peraturan daerah, dan tidak kalah pentingnya adalah berbagai kebijakan
di tingkat pusat maupun daerah.
Jangan lupa, hukum adat dalam banyak hal juga menyimpan potensi
diskriminasi terhadap perempuan. Dalam banyak etnis dapat ditemukan
bahwa perempuan tidak mendapat akses yang sama dengan laki-laki
kepada sumberdaya alam termasuk tanah. Pada masyarakat dengan
kekerabatan patrilineal, perempuan tidak ditempatkan sebagai ahli waris
oleh ayah maupun suaminya, dan bila sudah tua ditempatkan dalam
tanggungjawab anak laki-laki tertuanya.10 Pada masyarakat dengan
sistem kekerabatan matrilineal,11 sungguh pun garis keturunan dan waris
dihitung menurut garis ibu, tetapi kontrol terhadap harta lebih berada
pada saudara laki-laki ibu (mother’s brother). Sementara itu pada
masyarakat dengan sistem kekerabatan bilateral/ parental 12 dimana
garis keturunan boleh dihitung melalui garis ayah maupun ibu,
perempuan mendapat separuh saja dari bagian yang diperoleh saudara
laki-lakinya.13
Jurang Antara Acuan Normatif dan Kenyataan Sosial
Mengapa ada kesenjangan antara hukum sebagai acuan normatif
dan kenyataan sosial? Beberapa faktor dapat menjawab pertanyaan ini.
Pertama, adanya hukum, termasuk kebijakan yang tidak berselaras
dengan peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan
Jurnal Perempuan 45
35
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
keadilan bagi perempuan. Kedua, adanya persoalan yang “tersimpan”
dalam hukum sendiri. Ketiga, menjadikan hukum sebagai alat rekayasa
sosial tidaklah mudah.
Terdapatnya Peraturan Perundang-undangan “Tandingan”
Sebagaimana telah diungkapkan dalam pengantar tulisan ini,
sungguhpun terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang
menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi
tidak sedikit peraturan perundang-undangan, termasuk kebijakan, dan
rancangan undang-undang sekalipun, yang tidak responsif terhadap
kepentingan perempuan, malahan berimplikasi terhadap terjadinya
diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundangundangan yang saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal
maupun horisontal.14 Dalam ajaran mengenai hierarkhi peraturan
perundang-undangan (teori Stuffenbaum dari Hans Kelsen) yang sangat
dikenal di kalangan sarjana hukum sebenarnya keadaan ini tidak boleh
terjadi. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
apalagi Undang-undang Dasar. Namun keadaan inilah yang terjadi di
Indonesia.
Meski UUD 45 Pasal 27 (b) telah menjamin kesamaan di muka hukum
bagi setiap warga negara, tetapi terdapat banyak undang-undang sampai
peraturan daerah, yang mengandung rumusan yang berstandar ganda.
Sekadar mengambil beberapa contoh, Pasal 34 UU No. 1/1974 mengenai
Perkawinan memberikan status kepada suami sebagai kepala keluarga
dan istri sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai implikasinya,
terutama bagi perempuan bekerja karena tidak dianggap sebagai pencari
nafkah utama. Ketentuan mengenai keimigrasian dan kewarganegaraan, 15 tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk
menentukan hak memilih kewarganegaraan bagi anaknya, dengan
dampaknya yang merugikan terutama bagi perempuan yang bercerai
dari suaminya yang orang asing dan memiliki anak. Spirit dari berbagai
peraturan daerah telah menempatkan sebagai kriminal, perempuan yang
karena kemiskinannya, bekerja sebagai pekerja seks. Mereka dikejar-kejar
oleh “polisi moral” yang adalah aparat penegak hukum, untuk digiring
ke panti rehabilitasi, untuk “disucikan” selama 3 bulan. Sementara itu
36
Jurnal Perempuan 45
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
pelanggan mereka, laki-laki, tidak dikenakan sanksi apapun. Lebih parah
lagi, untuk mencegah maksiat, kepada seluruh perempuan dikenakan
jam malam, yang sangat membatasi ruang gerak perempuan untuk
beraktivitas di ruang publik.
Kepada perempuan juga diatur untuk mengenakan pakaian yang
seragam, suatu hal yang tidak dapat dimengerti bagaimana negara bisa
mengintervensi begitu jauh urusan pribadi perempuan.
Kondisi di atas juga menunjukkan bahwa hukum sesungguhnya tidak
netral dan objektif, karena telah menetapkan dan menerapkan standar
ganda bagi mereka yang memiliki kekuasaan (laki-laki) dan mereka
yang tidak memiliki kekuasaan (perempuan). Kenyataan ini telah
menjugkirbalikkan sebuah prinsip yang diagung-agungkan tentang
“netralitas”, “obyektivitas” dan “kepastian hukum”.
Ketidakadilan terhadap perempuan juga tercermin dalam kebijakan
anggaran, sebagaimana yang dapat ditemukan di beberapa daerah.
Lihatlah beberapa contoh perbandingan alokasi anggaran bagi
kepentingan perempuan, dan kepentingan pejabat eksekutif dan legislatif
di beberapa daerah berikut ini.
Tabel 1.
Perbandingan Alokasi Anggaran untuk Perempuan
No Daerah
Peruntukan dana bagi
perempuan dan anak
Peruntukan dana bagi
pejabat
1 Ciamis, 2004
Penanganan gizi buruk anak Jamuan makan pemerintah
Rp 10 juta
Rp 4 milyar lebih
2 DI Yogyakarta, 2004 Pemberdayaan perempuan
(DI Yogyakarta, 2001) Rp 40,616 (Rp 0,-)
Dana purna tugas DPRD
Rp 98 juta/orang
(Rp 9,7 miliar)
3 Subang, 2004
Bantuan ibu hamil risiko
tinggi keluarga miskin
Rp 10 juta
Perjalanan dinas DPRD
Rp 2,3 milyar
4 Kulon Progo, 2004
Posyandu Balita Rp 4 juta
Pembangunan dermaga
Karangwuni-Glagah
Rp 135 milyar
Sumber: Diolah dari Warta Korupsi, Seri Perempuan dan Anggaran, edisi 4/ September - Oktober
2004, Yogyakarta: IDEA (Institute for Development and Economic Analysis)
Begitupula khususnya dalam bidang kesehatan dapat dilihat alokasi
APBD DI Yogyakarta, sebagai berikut.
Jurnal Perempuan 45
37
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
Tabel 2.
Alokasi APBD Yogyakarta tahun 2004
NoAPBD kota Yogyakarta
tahun 2004
Penerima Manfaat
Jumlah
1 Tunjangan kesehatan
DPRD Yogyakarta
45 orang anggota DPRD
Rp 198.450.000,-
2 Peningkatan gizi masyarakat Pasien kurang mampu
Rp
64.409.700
3 Biaya perawatan dan
pengobatan lokal
Masyarakat khususnya
anak-anak
Rp
62.394.000,-
4 Bantuan keuangan untuk
balita gizi buruk
Balita gizi buruk
Rp
17.500.000,-
Sumber: Diolah dari Warta Korupsi, Seri Perempuan dan Anggaran, edisi 4/Sept-Okt 2004,
Yogyakarta: IDEA (Institute for Development and Economic Analysis)
Bayangkanlah anggaran kesehatan untuk 45 orang anggota DPRD
jauh lebih banyak daripada anggaran kesehatan bagi seluruh orang
miskin (perempuan dan anak) di wilayah yang sama. Padahal siapakah
penyumbang anggaran pendapatan daerah terbesar? Ternyata
pendapatan beberapa derah berasal dari retribusi orang sakit (orang
miskin, ibu dan anak). Di beberapa daerah pada tahun 2004, bahkan,
pendapatan paling besar berasal dari sektor kesehatan, yaitu di Bantul
(sebesar Rp. 10,3 miliar), Yogyakarta (Rp. 5,14 miliar), Gunung Kidul
(Rp. 5,43 miliar), Subang (14,055), dan Kebumen tahun 2003 (Rp. 3,5
miliar).
Lagi-lagi kondisi di atas telah menunjukkan bahwa hukum dan
kebijakan telah berpihak kepada pemilik kekuasaan (pejabat eksekutif
dan legislatif), dan mengabaikan pengalaman mereka yang tidak
memiliki kekuasaan yaitu perempuan dan anak-anak dari kelompok
paling miskin dalam masyarakat. Kenyataan itu juga menunjukkan
bahwa hukum yang mengklaim dirinya sebagai netral dan objektif,
ternyata telah berpihak kepada mereka yang berkuasa.
Hukum Menyimpan Persoalannya Sendiri
Hukum dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
hukum mencerminkan budaya yang ada dalam masyarakat, atau budaya
adalah faktor determinan dari hukum. Budaya patriarkhi yang kental
dalam suatu masyarakat dapat ditemui dan dibaca dari teks-teks hukum
yang ada dalam masyarakat tersebut. Penetapan dan penerapan standar
38
Jurnal Perempuan 45
Sulistyowati Irianto
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
ganda dan penempatan perempuan pada posisi yang subordinate dalam
hukum, sebagaimana dijelaskan di atas, memang merefleksikan juga
budaya hukum masyarakat yang patriarkhis.
Di samping itu secara paradigmatik ada beberapa persoalan yang
dapat menjawab mengapa terdapat jurang antara hukum dalam acuan
normatif dan kenyataan sosial. Dianutnya azas legalitas dalam “doing
law” bagi seorang sarjana hukum, menyebabkan dia sukar sekali bergerak
dari ruang-ruang yang telah ditetapkan itu. Asas legalitas yang
mengatakan bahwa “suatu perbuatan tidak dapat dihukum bila tidak
ada undang-undangnya”, begitu kuat tertanam di kalangan para sarjana
hukum, khususnya ahli hukum pidana. Dalam konteks sejarah
terbentuknya penal code (Perancis), memang tepat untuk membuat hukum
yang demikian, untuk mencegah kesewenangan
penguasa terhadap peghukuman rakyat yang
tidak bersalah. Namun sesudah 150 tahun
yang lalu sejak penal code Perancis dibawa
oleh Belanda ke Indonesia, masyarakat
Indonesia sudah berubah begitu cepat, dan
dalam banyak konteks, ada masalahmasalah (perempuan), yang tidak tertampung lagi dalam hukum pidana
tersebut.
Tambahan lagi, cara penafsiran teks
dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan dilakukan dengan
pandangan yang legistis, yaitu undangundang dibaca sebagaimana huruf-hurufnya berbunyi. Hal ini menyebabkan mereka
kesulitan, atau tidak terlalu berani untuk
melakukan terobosan-teorobasan baru, bahkan ketika mereka berhadapan dengan masalah kemanusiaan sekalipun. Sebagai contoh,
petersenlawoffice.com
para pelaksana hukum sering tidak mengerti
bagaimana harus menangani pelaku kejahatan perdagangan terhadap
perempuan, dengan alasan belum ada undang-undangnya. Padahal
sebenarnya para pelaksana hukum yang “peka” dan peduli terhadap
persoalan kemanusiaan perempuan, dapat menemukan pasal-pasal
Jurnal Perempuan 45
39
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
yang sudah tersedia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang mengandung unsur-unsur perdagangan perempuan
seperti penyekapan orang, pemalsuan dokumen, melarikan orang, dan
sebagainya. Persoalannya adalah jarang sekali dapat ditemukan
pelaksana hukum yang progresif dan responsif terhadap pengalaman
perempuan.
Padahal sebenarnya bila para pelaksana hukum mau bersikap
progresif, di dalam menjalankan tugasnya, dalam ajaran ilmu hukum
mereka malahan diharuskan untuk tidak hanya menomorsatukan legal
justice saja, tetapi juga moral justice. Hakim tidak hanya menjadi corong
undang-undang, tetapi dia harus membuat “undang-undang” (judge
made law) dalam kondisi di mana suatu perkara belum ada undangundangnya.
Teori Menemukan Hukum (rechtsvinding theorie) yang
dikembangkan dalam ilmu hukum mengajarkan bahwa
hakim bukan hanya menerapkan peraturan perundangundangan atau ketentuan hukum, tetapi dalam menafsirkan serta menemukan ketentuan hukum dan memberikan putusan, hakim juga menciptakan hukum,
bedasarkan ketuhanan yang maha esa.16
Dalam hal seberapa jauh konvensi internasional digunakan dalam
penanganan perkara/ pembelaan terhadap perempuan di persidangan,
ada saja hakim yang menyatakan bahwa sukar untuk mengimplementasikannya, karena tidak ada pasal-pasal dan sanksi hukum yang jelas
dalam konvensi tersebut. Namun sesungguhnya, hakim yang progresif
akan mengatakan bahwa meskipun tidak bisa digunakan dalam proses
penuntutan, tetapi setidaknya konvensi CEDAW, dapat dimasukkan
dalam pertimbangan hakim.
Lebih lanjut dalam praktik, terutama dalam kasus-kasus pidana kita
melihat bahwa hakim lebih banyak “hanya” melakukan konfirmasi
antara dakwaan jaksa dan pasal-pasal dalam peraturan perundangundangan. Bahkan banyak hakim yang menyatakan bahwa dalam
menangani perkara dan memilih UU mana yang akan digunakan dalam
penyelesaian perkara itu, akan sangat tergantung pada “pilihan hukum”
yang digunakan jaksa.
Sebagai contoh dalam kasus-kasus dimana perempuan tertangkap
40
Jurnal Perempuan 45
Sulistyowati Irianto
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
sebagai pengedar narkotika, dan sekarang menantikan hukuman mati,
ternyata ditemukan bahwa mereka sebenarnya adalah korban dari
perdagangan perempuan17, yang menjadikan mereka pengedar narkotika.
Pelaku dari pengedar narkotika itu sebenarnya adalah suami, “suami
gelap” atau pacar, yang berhasil merekrut mereka dengan jebakanjebakan asmara dan uang.18 Hakim “hanyalah” melakukan konfirmasi
dari tuduhan jaksa terhadap UU Psikotropika dan Narkotika yang
berbunyi “barang siapa tertangkap tangan membawa heroin... maka...”
Memang benar para perempuan itu tertangkap tangan, tetapi hakim tidak
meng-explore lebih jauh, alasan atau pengalaman perempuan terdakwa,
mengapa mereka berada dalam situasi tersebut, dan bagaimana
perempuan sampai berada dalam kondisi itu.
Namun kita juga harus memahami lebih jauh dari sisi hakim,
mengapa hakim enggan melakukan eksplorasi lebih jauh demi
terungkapnya kebenaran materiil dan tercapainya “moral justice”?
Banyak hakim menyatakan bahwa mereka tidak memiliki fasilitas dan
dana yang cukup memadai untuk bisa melakukan upaya dalam rangka
mendapatkan kebenaran materil tersebut. Dalam hal ini negara
seharusnya memang bertanggungjawab menyediakan sarana dan
fasilitas memadai agar hakim bisa secara leluasa menjalankan tugas
sebaik-baiknya demi tercapainya keadilan kepada semua pihak. Di
samping itu kita juga melihat bahwa hakim di Indonesia sangat dibebani
oleh perkara yang bertumpuk dan tertunda. Mereka tidak punya cukup
waktu untuk memberi perhatian “lebih” kepada perkara-perkara tertentu,
sungguhpun perkara tersebut menyangkut masalah kemanusiaan. Hal
itu akan berarti penelantaran terhadap perkara-perkara lain yang
tertunggak.
Menjadikan Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial
Mengintroduksi instrumen hukum, termasuk konvensi internasional,
yang responsif gender, dengan tujuan memperbaiki keadaan masyarakat
ke arah yang lebih baik dan adil, dapat dilihat dalam kerangka
menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social
engineering). Paham ini digagas oleh aliran instrumentalis yang
dipeolopori oleh Roscoe Pound.19 Dalam implementasinya, ternyata
upaya mengubah masyarakat melalui hukum belum tentu dapat dijamin
keberhasilannya. Mengapa?
Jurnal Perempuan 45
41
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
saltspring.com
Hukum bukanlah teks yang berada di ruang kosong, hukum baru
bisa bermakna bila dia “dibunyikan” dalam peristiwa-peristiwa konkret
yang ada dalam masyarakat, karena hukum memang berada di dalam
masyarakat. “Hukum baru” dihantarkan ke dalam masyarakat, yang
dalam kacamata antropologi
hukum dapat diumpamakan
sebagai suatu arena sosial yang
semi otonom (semi-autonomous
social field). 20 Arena tersebut
memiliki kapasitas untuk menciptakan aturan-aturannya sendiri (self-regulations), beserta
sanksi-sanksinya, yang biasanya merupakan sanksi sosial
yang akan berimplikasi serius
bagi mereka yang dianggap
melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ditetapkan bersama itu. Karena
masyarakat sudah memiliki
hukumnya sendiri, maka tidak
mengherankan bila “hukum
baru” belum tentu dapat diterima. “Hukum baru” akan
diterima oleh masyarakat bila
mengandung prinsip-prinsip
yang selaras dengan aturan-aturan mereka sendiri. Atau masyarakat
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menerima “hukum baru”.
Dalam proses itu sering terjadi penolakan-penolakan, terutama karena
“semangat” hukum baru tidak dianggap cocok dengan budaya
masyarakat setempat.
Penolakan terhadap “hukum baru” juga terjadi di kalangan para
pelaksana hukum. Namun bila ditelusuri lebih jauh, ternyata penolakan
tersebut, sebagiannya disebabkan oleh ketidaktahuan para pelaksana
hukum tentang kasus-kasus pengalaman perempuan yang nyata, dan
juga apa yang diinginkan perempuan (korban diskriminasi), yang
diabstraksikan spiritnya dalam “hukum baru”. Khususnya penolakan
42
Jurnal Perempuan 45
Sulistyowati Irianto
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
terhadap konvensi internasional sering disebabkan oleh anggapan
dalam masyarakat, juga pelaksana hukum, bahwa konvensi tersebut
berasal dari Barat, membawa budaya Barat, yang tidak cocok dengan
masyarakat Timur. Kurang dipahami bahwa Konvensi internasional,
Konvensi “CEDAW” misalnya dilahirkan oleh masyarakat internasional, dirumuskan sendiri oleh delegasi dari berbagai bangsa dan
negara. Konvensi CEDAW bahkan lebih banyak dirumuskan dan
disuarakan oleh delegasi perwakilan dari negara-negara Asia Afrika
dan negara berkembang lain pada umumnya, di mana para perempuannya sungguh-sungguh mengalami diskriminasi dan kekerasan dari
praktek budaya lokal. Kenyataan-kenyataan yang dialami oleh
perempuan, dan keinginan perempuan untuk melepaskan diri dari
diskriminasi dan kekerasan itulah yang tidak lain direfleksikan dalam
pasal-pasal yang termuat dalam Konvensi Internasional.
Dalam kondisi itu, pertanyaannya menjadi: bagaimana “janji” dari
negara-negara penandatangan Konvensi CEDAW, yang jumlahnya saat
ini sudah sekitar 180 negara? Mereka sudah tanda tangan, sudah berjanji
untuk menerapkan prinsip-prinsip CEDAW dalam hukum nasonal
mereka sendiri, merubah peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan prinsip CEDAW, atau membuat peraturan
perundang-undang yang baru. Di pihak lain, mereka “tetap”
membiarkan eksploitasi, perbudakan, kekerasan, dan berbagai bentuk
diskriminasi lain terhadap perempuan.
Pembaharuan Hukum di Indonesia Ke Depan, Seperti Apa?
Sebenarnya telah terdapat peluang yang cukup luas bagi terciptanya
reformasi hukum di Indonesia, di samping sudah adanya berbagai
instrumen hukum yang menjamin kesetaraan dan keadilan seperti
dijelaskan di atas. Peluang tersebut adalah telah dibukanya pers yang
bebas, kebebasan mimbar, dan mulai diakuinya hak-hak politik.21
Namun pembaharuan hukum tidak mudah untuk dilakukan, karena
problem yang diwarisi bangsa ini terlalu kompleks untuk diselesaikan
dalam waktu sekejap, terutama adalah aparat birokrasi hukum yang
korup, dan mental permisif masyarakat terhadap praktek pelanggaran
hukum, dan masih adanya hukum dan kebijakan (bahkan rancangan)
yang berimplikasi diskriminatif terhadap kelompok rentan dalam
masyarakat.
Jurnal Perempuan 45
43
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Sulistyowati Irianto
Sungguhpun pembaharuan hukum sangat diperlukan, tetapi juga
harus dilakukan secara berhati-hati, tidak hanya sekadar mengagendakan rancangan-rancangan hukum baru demi tercapainya target “asal
memuaskan”. Harus diwaspadai bila ternyata hukum yang dirancang
adalah yang sarat dengan kepentingan. Hukum dijadikan sebagai alat
untuk mendefinisikan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat. Bila melihatnya dari perspektif perempuan, dapat dijumpai
adanya muatan kepentingan dalam berbagai (rancangan) peraturan
perundang-undangan. Isu-isu perempuan sangat rentan untuk dimasuki
dan dijadikan isu politik, karena simbolisasi politik dilekatkan pada
seksualitas tubuh serta keberadaan perempuan itu sendiri.
Catatan Belakang
1
Olsen, Frances E, Feminist Legal Theory vol I : Foundations and Outlooks (New
York: New York University Press, 1995).
2
Carol Smart, Feminism and the Power of Law (USA: Routledge, a Division of
Routledge, Chapman and Hall, Inc, 1990).
3
Penelitian terhadap 9 daerah yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan,
Menggalang Perubahan. Perlunya Perspektif Gender Dalam Otonomi Daerah
(Jakarta: YJP, 2004) dan Women Research Institute, Representasi Perempuan
dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah (Jakarta: WRI, 2005) telah
menunjukkan adanya impelementasi dari berbagai peraturan daerah (Perda) tersebut,
yang merugikan perempuan.
4
Ada banyak kasus perempuan dari komunitas adat, yang karena hutan wilayah adatnya
dikonversi menjadi hutan lindung, hutan negara atau hutan komersial, dan kemudian
masyarakat setempat mengalami proses pemiskinan, akhirnya perempuan tersebut
menempatkan diri sebagai survivor, keluar dari wilayahnya untuk menjadi TKW di
negeri orang.
5
Mengacu pada berbagai Perda, terutama setelah era otonomi daerah, dimana banyak
Pemerintah Daerah yang membuat Perda anti maksiat.
6
Mengacu pada RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Semua ekspresi kasih sayang
dipandang sebagai erotika dalam RUU tersebut.
7
Sejak tahun 1961 sampai 1980-an, setidaknya 9 dari 10 kasus waris di kalangan
masyarakat Batak Toba, oleh Mahkamah Agung diputuskan untuk memberi hak
waris kepada perempuan, sama seperti saudara laki-lakinya, dan istri dinyatakan
berhak atas harta perkawinan. Hal-hak tersebut tidak dikenal dalam hukum adat
Batak, lihat Sulistyowati Irianto, Perempuan Di antara Berbagai Pilihan Hukum
(Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 2003).
8
Terjemahan dari Women’s Convention, yang sering juga disebut sebagai CEDAW
44
Jurnal Perempuan 45
Sulistyowati Irianto
Apakah Hukum Boleh “Berpihak”?
Sebuah Pertanyaan Perempuan
Convention. Konvensi Wanita adalah istilah yang resmi digunakan oleh pemerintah/
negara ketika meratifikasi konvensi tersebut melalui UU no.7/1984.
9
LM Lapian Gandhi, Hukum Payung Fantasi, Payung Pajangan: Sebuah Hasil
Penelitian mengenai Seberapa Jauh Konvensi Wanita Pasal 11 Diadopsi Dalam
Peraturan Perundang-undangan Perburuhan Indonesia (Jakarta: Convention
Watch, 1995).
10
Sebagai contoh adalah masyarakat Batak. Pada masa sekarang dapat ditemui adanya
perubahan-perubahan dalam hukum adat Batak, dalam berbagai bentuk. Di kota
besar, sudah banyak laki-laki yang membuat testamen dan menyertakan istri dan
anak-anak perempuan sebagai ahli warisnya. Sudah semakin banyak putusan hakim
(jurusprudensi) yang memberi hak waris kepada perempuan baik sebagai anak maupun
istri. Sungguhpun demikian dalam kehidupan sehari-hari masih banyak orang Batak
yang mengacu pada hukum adat, yang membatasi akses perempuan kepada harta
waris, bila berhadapan dengan masalah waris. Lihat Sulistyowati Irianto, Perempuan
Di antara Berbagai Pilihan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).
11
Garis keturunan dan warisan dihitung dari garis ibu, seperti masyarakat Minangkabau.
12
Garis keturunan dihitung dari garis ayah maupun garis ibu, seperti dalam masyarakat
Jawa.
13
Sulistyowati Irianto, Adakah Keadilan Sosial Juga ditujukan Bagi Perempuan? dalam
Al Andang Binawan dan A. Prasetyantoko (eds.), Keadilan Sosial, Upaya Mencari
Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2004)
14
Vertikal, maksudnya peraturan perundang-undangan yang di bawah bertentangan
dengan yang di atasnya, horisontal dimaksudkan sebagai adanya pertentangan
substansi di antara berbagai peraturan perundang-undangan yang berkedudukan sama
tingkatannya.
15
Termasuk yang masih berbentuk Rancangan Undang- Undang.
16
LM Lapian Gandhi, Makna dan Konsekuensi Hukum Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita dan Prinsip-Prinsip yang
Mendasarinya, makalah untuk Lokakarya ”Peran hakim Dalam Menegakkan Hukum
Berkeadilan Gender: Masalah-Masalah yang Dihadapi”,Jakarta, 19 -20 , 2005.
17
Louise Brown, Sex Slaves: The Trafficking of Women in Asia (London: Virago
Press, 2001).
18
Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Firliana Purwanti, Perdagangan Perempuan
dan Pengedaran Narkoba: Studi Kasus di LP Wanita, Tangerang (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005).
19
Sally Falk Moore, Law as Process, An Anthropological Approach (London:
Routledge & Kegan Paul, 1983).
20
Ibid.
21
Dadang Trisasongko, Pembaharuan Hukum di Jaman yang Sedang Berubah
(Jakarta: PSHK, Jentera, edisi 3/ Tahun II/November 2004) hal. 51-58.
Jurnal Perempuan 45
45
CEDAW-Restoring Rights To Women
• Topik Empu •
Sejauh Mana Indonesia
Merespon ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
Pendahuluan
Pasal 12 CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan telah menyatakan bahwa negara
wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan reproduksi. Kenyataannya,
walaupun Indonesia telah meratifikasi CEDAW dengan mengeluarkan
UU. No. 7/1984 tetap saja perempuan mendapatkan perlakuan
diskriminatif dalam mendapatkan hak-hak dan pelayanan kesehatan
reproduksinya, terutama dalam kebijakan keluarga berencana yang
hanya menjadikan perempuan sebagai sasaran.
Jurnal Perempuan 45
47
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
Implementasi CEDAW sebenarnya sudah harus segera kelihatan
progresifitasnya terhadap kepentingan reproduksi perempuan
Indonesia, sebab telah dikuatkan pula oleh hasil Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan di Kairo (1994) atau International
Conference on Population and Development (ICPD) dimana Indonesia pun
ikut menandatangani hasil konferensi ini. Melalui ICPD, kita dapat
melihat seberapa jauh CEDAW diimplementasikan secara khusus dalam
hal hak kesehatan reproduksi perempuan.
Sebelas tahun setelah konferensi tersebut ternyata kehidupan
perempuan di Indonesia hanya sedikit mengalami peningkatan.
Berbagai penelitian, baik yang dilakukan oleh NGO, lembaga riset
perguruan tinggi maupun pemerintah, menunjukkan bahwa tujuan dan
sasaran strategis yang dengan sangat rinci telah diuraikan ke dalam
bab-bab maupun pasal-pasal dokumen ICPD Plan of Action (PoA),
kenyataannya tidak dapat dipenuhi oleh berbagai negara, termasuk
Indonesia.1 Kematian ibu dan perempuan yang sebenarnya dengan
mudah dapat dicegah masih saja berlangsung terus.
Dalam hal kematian ibu, Indonesia masih saja tertinggi kedua setelah
Laos di antara negara-negara ASEAN, yaitu 380 per 100.000 kelahiran
hidup.2 Setiap tahunnya, ada 20.000 perempuan Indonesia meninggal
di saat hamil atau melahirkan.3 Belum lagi tingkat anemia di antara
remaja putri maupun perempuan hamil, yang menjadikan mereka sangat
berisiko di saat hamil dan melahirkan. Dan yang paling mencemaskan,
ternyata penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi mereka, jumlahnya dari
hari ke hari makin meningkat. HIV/AIDS yang ditularkan dari suami ke
istri yang tidak tahu menahu ini sangat memprihatinkan karena banyak
dari mereka pada akhirnya menjadi janda, sekaligus harus menjadi
pencari nafkah untuk anak-anaknya, padahal dia sendiri kondisi
kesehatannya semakin hari semakin buruk.
Banyak laporan penelitian, yang khusus memonitor pencapaian
kesepakatan ICPD, menunjukkan bahwa implementasi dari programprogram yang telah disepakati bersama di tahun 1994 ternyata berjalan
sangat lambat. Ironisnya hal ini tetap terjadi, meski lima tahun yang
lalu semua negara yang terkait telah menyepakati kembali meningkatkan
komitmen bersama (the spirit of Cairo) dan berjanji akan memenuhi
kebutuhan spesifik perempuan beserta semua hak reproduksinya.
Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan yang diluncurkan
tidak menggunakan HAM dan Hak Perempuan dalam kerangka
48
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
konseptual. Selain itu, program-program yang menggunakan “label”
kesehatan reproduksi, di tingkat implementasi kenyataannya tidak lain
adalah program yang sama yaitu program ibu dan anak di tingkat
Puskesmas atau program ‘Operasi Manunggal KB-Kesehatan’ di tingkat
masyarakat yang tetap saja bertujuan untuk mendapatkan sebanyak
mungkin akseptor (orang yang mengikuti program KB) yang sasaran
utamanya adalah perempuan keluarga pra-sejahtera. Keluarga prasejahtera ini justru yang tidak dapat memilih jenis kontrasepsi yang
mereka inginkan, karena yang diberikan gratis hanya kontrasepsi jangka
3 – 5 tahun yaitu implant (susuk). Padahal jenis alat kontrasepsi ini efek
sampingnya sangat banyak dilaporkan oleh para perempuan yang
menggunakannya. Hartman 4 yang banyak melakukan penelitian
terhadap pengguna implant juga sangat resah dengan efek samping yang
sempat banyak dialami oleh mereka.
Apa Saja Komitmen terhadap ICPD-Kairo yang Harus Dipenuhi?
Prinsip dasar ICPD Plan of Action (PoA) adalah “universal human
rights” yang memang telah diakui dan diadopsi dalam berbagai UU
negara berkembang maupun negara maju. Prinsip ini mengakui bahwa
semua terlahir sebagai seorang yang memiliki otoritas terhadap dirinya,
adanya kesetaraan hak dan martabat (equal dignity and rights) serta
memiliki hak untuk hidup, kebebasan, keamanan, perkembangan diri
dan pendidikan. Dalam Dokumen ICPD Chapter II khusus diuraikan
tentang hak asasi perempuan yang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dan merupakan bagian yang integral dari hak asasi manusia.
Kunci utama dari hak ini adalah; (1) penghapusan segala bentuk
diskriminasi yang didasari atas jenis kelamin, (2) adanya peran serta
maupun keterlibatan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di
semua tingkatan.
Dalam ICPD Plan of Action, hak kesehatan reproduksi diuraikan
panjang lebar dalam Chapter IV, khususnya dalam mengimplementasikan
pelayanan kesehatan yang harus menggunakan prinsip informed choice
(pilihan berdasarkan informasi) dan kebebasan memilih. Chapter VII
dokumen ICPD sekali lagi mendefinisikan kesehatan reproduksi dan
hak reproduksi dalam paragraf 7.2 dan 7.3 dan mempertegas, bahwa
keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya
memiliki perspektif hak maupun perspektif kesehatan. Dalam pasal 7.3
khusus ditegaskan bahwa hak bagi setiap pasangan ataupun individu
Jurnal Perempuan 45
49
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
(perorangan) untuk menentukan sendiri semua yang terkait dengan
reproduksinya dan harus terbebas dari diskriminasi, pemaksaan
maupun kekerasan. Diisyaratkan agar semua warga, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menikmati standar
kesehatan yang tertinggi, baik kesehatan fisik, mental, maupun sosial
dan akses terhadap pelayanan kesehatan harus universal, tidak boleh
dibatasi oleh status pernikahan, umur, jenis kelamin maupun status
ekonomi-sosial seseorang. Hak untuk hidup dan hidup secara sehat
adalah hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negara wajib
menyediakan semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
warganya tanpa terkecuali.5
Apa kata ICPD-PoA tentang Keluarga Berencana?
unfpa.org
Chapter VIII khusus diuraikan tentang keluarga berencana. Di
dalamnya dicantumkan bahwa keluarga berencana harus dikaitkan
dengan program pencegahan dan pengobatan penyakit menular seksual,
termasuk HIV/AIDS dan isu seksualitas harus menjadi bagian integral
dari program-program ini.
Secara tegas dalam ICPD PoA dicantumkan, bahwa pencapaian
(goals) dari program Keluarga Berencana harus didasarkan atas “unmet
needs”. Dimana setiap jenis
alat kontrasepsi ataupun
pelayanan yang dibutuhkan
baik laki-laki maupun perempuan harus disediakan,
selain itu harus pula memenuhi kebutuhan akan
informasi yang benar dan
akurat. Hitungan demografis juga tidak boleh dalam
bentuk target atau kuota,
dan insentif tidak boleh dipakai lagi dalam merekrut
calon pengguna alat kontrasepsi.
Program Keluarga Berencana dalam hal ini diharuskan mengutamakan “client centered approach” (pendekatan yang terkonsentrasi
pada klien) dengan standar pelayanan yang berkualitas. Disamping itu,
informasi yang terbaik dan akurat, termasuk konseling yang dapat
50
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
memberdayakan klien. Informasi yang memberdayakan klien bisa
membantu dalam memutuskan yang terbaik bagi tubuhnya, sehingga
drop-out sebagai akseptor bisa dicegah dan juga kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD). Oleh karena itu, suatu program harus didesain sesuai
dengan kebutuhan yang diinginkan kaum perempuan dengan
menjadikannya sebagai subjek dalam perencanaan, implementasi
maupun evaluasi. Di beberapa negara berkembang sudah diberlakukan
“Informed Contraceptive Choice” dan hak untuk mendapatkan secara gratis
pelayanan kesehatan dasar, termasuk alat kontrasepsi. Bagaimana di
Indonesia?
Dalam mengimplementasikan program kontrasepsi, kenyataannya
BKKBN tetap menitikberatkan pada upaya pengendalian penduduk dan
mengabaikan “informed contraceptive choice”, karena sistem kafetaria
(yang menjanjikan klien dapat memilih sendiri jenis alat kontrasepsi
yang diinginkan) tidak tersedia. Perempuan miskin kenyataannya masih
dijadikan target untuk menggunakan implant yang merupakan alat
kontrasepsi jangka panjang (3 – 5 tahun) yang tingkat kegagalannya
kecil, namun banyak efek sampingnya bagi perempuan yang menggunakannya. Program implant untuk masyarakat sama sekali tidak “client
centred” (tidak terkonsentrasi pada sistem hubungan klien) karena
pelayanan masih saja diberikan secara massal dan diselenggarakan di
suatu ruangan sempit di kantor kecamatan. Para calon akseptor datang
sekaligus pada jam yang sama, sehingga konseling (dalam arti
sesungguhnya) tidak dapat diberikan.
IUD (spiral), salah satu alat kontrasepsi yang beberapa tahun lalu
banyak digunakan perempuan di Indonesia, kenyataannya tidak
disubsidi lagi oleh pemerintah. IUD buatan lokal yang dahulu
kualitasnya sangat bagus ternyata pabriknya ditutup, sedangkan IUD
yang diproduksi belum lama ini, sangat jelek kualitasnya. Pemasangan
IUD di praktek bidan swasta di wilayah perkotaan sudah sangat mahal,
yaitu sekitar Rp.350.000 – Rp.400.000, padahal kebanyakan perempuan
memiliki seorang bidan sebagai orang kepercayaannya dalam persoalan
kesehatan reproduksi, tetapi tetap saja kebanyakan perempuan tidak
bisa membayar IUD yang sangat mahal ini.
Suatu kebijakan kependudukan memang berhubungan dengan
fertilitas (kesuburan/ kelahiran, yang berarti berkaitan dengan sistem
reproduksi perempuan), namun demikian tidak boleh hanya menitikberatkan pada urusan jumlah penduduk yang dikaitkan dengan
Jurnal Perempuan 45
51
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
pembangunan ekonomi, karena sebenarnya yang diutamakan adalah
kebijakan kependudukan yang berorientasi pada hak reproduksi. Oleh
karena itu ada 4 pilar atau prinsip yang harus dipatuhi negara dalam
mendesain kebijakan kependudukannya, yaitu; (1) berbasis HAM, (2)
pendekatan kesehatan reproduksi yang holistik, (3) berisikan
pemberdayaan dan pemajuan perempuan, serta (4) memperhatikan
kebutuhan remaja.
Kesehatan Reproduksi yang Holistik
Definisi Kesehatan Reproduksi tercantum dalam paragraph 7.2 ICPD
Plan of Action (PoA), yang berbunyi sebagai berikut:
“...Kondisi sehat fisik, mental dan sosial saat menjalankan
fungsi dan proses reproduksi.”
Dua konferensi PBB (ICPD 1994 di Kairo dan Konferensi Perempuan
Sedunia tahun 1995 di Beijing) menekankan kesejahteraan perempuan
secara fisik, emosional, dan sosial sebagai bagian dari hak asasi dan
sebagai elemen penting bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Konferensi Beijing juga menekankan pada hak perempuan untuk
dilindungi dari aktivitas seks yang tidak diinginkan, penyiksaan, dan
sunat perempuan.
Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, seringkali
menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan baru yang diluncurkan setelah
1994 mengacu kepada Plan of Action (PoA) dari ICPD (1994) dengan
menyebutkan semua komponen kesehatan reproduksi yang harus
terpenuhi. Kenyataannya, paradigma yang digunakan tetap tidak
berubah dan masih saja mengabaikan hak asasi manusia, khususnya
hak asasi perempuan yang sebenarnya melekat dalam hak kesehatan
reproduksi.
Pendekatan kesehatan reproduksi yang holistik berarti semua aspek
yang terkait harus mendapatkan porsi yang sama dan tidak dapat
dipilah-pilah karena kebutuhannya saling terkait. Remaja harus
mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi dan bukan hanya KIE
(komunikasi, informasi dan edukasi) saja.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan PoA dalam paragraf 7.3
diisyaratkan untuk tidak memilah-milah ataupun mengkotak-kotakkan
program-program yang tercakup dalam kebijakan kesehatan reproduksi
52
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
suatu negara. Sebab, dalam dokumen ICPD ditegaskan bahwa
pendekatan yang harus digunakan dalam setiap kebijakan yang terkait
dengan kependudukan dan kesehatan reproduksi, adalah pendekatan
hak kesehatan reproduksi yang berbasiskan hak asasi manusia,
khususnya hak asasi perempuan. Pendekatan ini mengakui adanya hak
yang paling esensial dari setiap pasangan ataupun individu (perorangan)
untuk menentukan secara bebas tanpa paksaan: berapa anak, kapan
dan jarak anak yang diinginkannya. Serta adanya ketersediaan sarana
dan prasarana bagi pemenuhan kebutuhan yang terkait dengan
kesehatan reproduksi dari setiap pasangan ataupun individu. Semua
program kesehatan reproduksi yang tersedia harus saling terkait, karena
memang untuk mencapai standar kesehatan reproduksi yang tertinggi,
yang salah satu indikatornya adalah penurunan AKI yang sangat
signifikan, disyaratkan untuk meluncurkan bukan program kesehatan
saja, namun juga menghapus semua produk hukum yang membatasi
pemberi layanan untuk memberikan setiap jenis layanan yang
dibutuhkan oleh warganya.6
Baru Tahap Wacana: Hanya Terbatas pada Pergantian Struktur
Organisasi di Departemen Kesehatan dan BKKBN
Dalam satu kalimat dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat
lamban dalam merealisasikan pengembangan kesehatan reproduksi
seperti yang tercantum dalam dokumen ICPD-Cairo, apalagi dalam
pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi maupun kesehatan seksual.
Di atas kertas memang cukup banyak tercantum kata kesehatan
reproduksi, bahkan pada tanggal 12 Desember 2005 Departemen
Kesehatan beserta tim lintas sektor yang berasal dari Kementerian
Pemberdayaan Perempuan, Departemen Pendidikan Nasional,
Departemen Sosial dan BKKBN meluncurkan suatu buku “Pedoman
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi” 7, yang
dianggap dapat memayungi pelaksanaan upaya seluruh komponen
kesehatan reproduksi di Indonesia.
Buku pedoman ini merupakan hasil dari berbagai pertemuan Komisi
Kesehatan Reproduksi yang mengadakan pertemuan berkala sejak tahun
1999. Sebenarnya di tahun 1996, Lokakarya Nasional Kesehatan
Reproduksi sudah menyepakati bersama ruang lingkup kesehatan
reproduksi yang meliputi; kesehatan ibu dan bayi baru lahir, Keluarga
Berencana, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran ReproJurnal Perempuan 45
53
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
duksi (ISR), termasuk IMS-HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan
komplikasi aborsi, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan
penanganan infertilitas, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi
pada usia lanjut (kanker, osteoporosis, dementia, dll).
Dalam perencanaannya, pelayanan kesehatan reproduksi akan
dilaksanakan dalam paket pelayanan reproduksi esensial (PKRE) dan
komprehensif (PKRK). Namun dalam pelaksanaannya, diketahui paket
PKRK sangat jarang ditemui.
Bagaimana dengan Landasan Hukumnya?
Pada dasarnya kita patut berbangga memiliki Kementerian
Pemberdayaan Perempuan yang satu-satunya (di antara Departemen
Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial dan
BKKBN) menulis dalam pembukaan buku pedoman kebijakan dan
strategi nasional yang diluncurkan Desember 2005 yang lalu sebagai
berikut8:
“Disadari bahwa kendala utama dalam penanganan
masalah pelayanan kesehatan reproduksi dan penegakkan hak-hak reproduksi adalah belum terintegrasinya
dalam sistim hukum dan perundangan nasional,
sehingga pelaksanaan juga kurang terpadu dan kurang
efektif”.
Kementerian ini juga khusus menyebutkan tentang:
“Masalah utama yang perlu mendapat perhatian khusus
dan sangat menentukan kelangsungan hidup suatu
bangsa adalah masih tingginya angka kematian ibu dan
makin meningkatnya penyebaran HIV/AIDS.”
Sedangkan dalam sambutan Menteri Kesehatan di buku pedoman
yang sama tidak sekalipun menyebut kata hak reproduksi apalagi perlu
adanya landasan hukum. Memang pemangku kepentingan di
Departemen Kesehatan kelihatannya tidak peduli dengan perlu
diadakannya perubahan dalam UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Sampai saat ini draf perubahan UU tentang kesehatan ini keluar sebagai
inisiatif DPR-RI, sedangkan pihak Departemen Kesehatan tetap saja tidak
bergeming.
Dalam makalahnya yang berjudul “Perbaikan Undang-Undang
54
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Kesehatan”9, Dirjen Binkesmas yang menyampaikannya dalam acara
Hari Kartini di Departemen Kesehatan pada tanggal 20 April 2005
mengatakan, bahwa memang sudah saatnya untuk mengubah UU No.
23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dengan alasan utamanya yaitu
paradigma sakit harus diubah menjadi paradigma sehat. Namun tidak
ada disebutkan pentingnya landasan hukum untuk penegakan hak
reproduksi.
Secara implisit dapat disimpulkan bahwa banyak pemangku
kebijakan masih sangat takut mendengar kata hukum. Padahal, Nur
Rasyid, SH, MH, dalam presentasinya mewakili Departemen Hukum
dan HAM pada acara round table discussion yang bertema Kajian tentang
Masalah Aborsi Dilihat dari Aspek Perlindungan Hak Reproduksi
Perempuan tanggal 23 Desember 2005 mengatakan bahwa hukum justru
harus diidentikkan dengan perlindungan. Jadi, ketika mendengar kata
hukum seharusnya disambut dengan baik, karena petugas kesehatan
dalam memberikan suatu pelayanan kesehatan untuk klien yang sangat
membutuhkannya akan merasa terlindungi secara hukum dan diketahui
juga batasan-batasannya serta sanksinya bila melanggar. Di pihak lain
hukum juga menetapkan sejauhmana perempuan dapat menuntut hakhak kesehatan reproduksinya.
Dokumen ICPD banyak menuntut tanggung jawab negara (dalam
hal ini pemerintah) untuk melindungi warganya dari tindakan-tindakan
medis yang secara prosedur medis tidak dapat dipertanggungjawabkan
sehingga mengakibatkan komplikasi, kecacatan maupun kematian.
Untuk mencegah ini semua, regulasi yang harus tertuang dalam undangundang sudah seharusnya diterbitkan dan dengan cara ini juga hak
dan kewajiban dari setiap klien, petugas medis dan semua pihak yang
terkait dapat ditegakkan dan dihormati. Berbagai praktek diskriminasi
terhadap klien yang berasal dari sosial-ekonomi rendah juga dapat
dieliminasi. Masih saja pelayanan medis, termasuk pemasangan implant
dan IUD, yang diberikan di luar klinik kualitasnya sangat rendah.
Padahal konsep dasar ICPD – Kairo (1994) adalah hak, pilihan,
pemberdayaan perempuan dan qualitity of care (pelayanan yang
berkualitas).
Memang upaya BKKBN untuk mengubah UU Kependudukan sudah
ada namun bila disimak isi draf UU Kependudukan tersebut ternyata
jauh dari yang diharapkan oleh Dokumen ICPD (1994).10 Ada baiknya
Departemen Hukum dan HAM menjadi leading sector atau pihak yang
Jurnal Perempuan 45
55
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
terdepan untuk mempromosikan sekaligus mengajarkan kepada pemangku kepentingan yang mendesain draf Amandemen UU Kependudukan
dan draft Amandemen UU Kesehatan agar mengetahui apa yang disebut
UU Kependudukan dan UU Kesehatan yang berbasis HAM.
UU No.39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 7 tahun 1984
tentang CEDAW
Sebenarnya Indonesia sejak tahun 1999 telah memiliki instrumen
HAM yaitu UU No.39 tahun 1999, namun kenyataannya masih banyak
pihak tidak mengenal UU ini. Kelihatannya, para birokrat di Departemen
Kesehatan, BKKBN, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan
mungkin juga departemen yang lain, tidak mengerti bagaimana harus
mengimplementasikan UU No.39/1999 ini ke dalam kebijakan-kebijakan
di lingkup kerjanya. Sebenarnya, untuk kepentingan perlindungan hak
perempuan, bisa menggunakan payung hukum UU No.39/1999 ini. Oleh
karena itu, perempuan dapat menuntut haknya melalui UU ini, termasuk
pemenuhan hak kesehatan reproduksi. Sampai saat ini, baik UU
Kesehatan maupun UU Kependudukan di Indonesia belum diubah, yang
berarti dokumen ICPD (1994) belum diakomodir oleh pemerintah
Indonesia (termasuk dalam mengukur sampai dimana implementasi
CEDAW diberlakukan).
Konsep Hak dan Kesehatan Reproduksi serta Kesehatan Seksual:
Bukan Sebatas Program!
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum dapat menerjemahkan
komitmen yang telah dibuatnya pada tahun 1994 di Kairo, dilanjutkan
dengan komitmen di tahun 1999 di Den Haag dan New York serta di
London tahun 2005. Apakah pemerintah Indonesia tahu bahwa suatu
komitmen harus direalisasikan dalam suatu bentuk “political will” yang
kuat, dan dalam kaitannya dengan mandat ICPD (1994) ada 4 hal yang
harus segera diimplementasikan yaitu; (1) melaksanakan hak dan
kesehatan reproduksi serta kesehatan seksual dalam kerangka hak asasi
manusia, khususnya hak asasi perempuan, (2) terwujudnya kesehatan
dan keadilan gender, (3) adanya alokasi anggaran untuk merealisasikan
kebijakan dan perencanaan pengembangan hak dan kesehatan
reproduksi serta kesehatan seksual, (4) menciptakan kerjasama yang
baik antara pemerintah dengan LSM serta semua organisasi masyarakat
yang berada di akar rumput.
Dalam mengkritisi berbagai kebijakan ataupun strategi yang
56
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
berlabelkan “Kesehatan Reproduksi” dari Departemen Kesehatan dan
BKKBN, bahkan juga dari Kementerian Koordinator Kesra, terlihat
bahwa yang diajukan adalah sebatas program saja11, padahal prinsip
dasar dari Dokumen ICPD adalah kesetaraan dan keadilan gender yang
berlandaskan hak asasi manusia atau pemenuhan hak klien (clients
rights) dengan memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan
kepada klien, yang harus menitikberatkan pada penyediaan jenis
layanan yang diinginkan dan juga sangat dibutuhkan klien, khususnya
klien perempuan yang memiliki kekhususan kebutuhan akan pelayanan
yang terkait dengan fungsi reproduksinya, seperti pelayanan aborsi yang
aman.
Di samping itu, program yang diajukan juga masih terkotak-kotak
dan tidak menitikberatkan kepada pendekatan kesehatan reproduksi
dan seksual yang holistik. Ini berarti setiap perempuan dan juga remaja
harus dilihat sebagai individu yang memiliki hak dan otoritas terhadap
tubuhnya sendiri, tanpa harus dikaitkan umur, status dan gendernya.
Kesehatan Perempuan Didefinisikan Secara Keliru
Koblinsky dan kawan-kawan (1997) 12 sudah di tahun 1990-an
menyebutkan bahwa konsep “Kesehatan Perempuan” telah keliru
didefinisikan, karena definisi kesehatan perempuan lebih didominasi
oleh fungsi-fungsi dan sistem reproduksi perempuan yang berkaitan
dengan pengendalian fertilitas. Van der Kwak yang dikutip oleh
Koblinsky mendefinisikan kesehatan perempuan secara lebih luas dari
fungsi dan sistem reproduksi, yaitu:
“Kesehatan seorang perempuan merupakan kesejahteraan total yang bukan hanya ditentukan oleh faktor
biologis dan reproduktif, melainkan juga dipengaruhi
oleh beban kerja, gizi, stress, perang, migrasi, dan
sebagainya”.
Konsep lain tentang kesehatan perempuan, yang juga dikutip
Koblinsky dikemukakan oleh World Federation of Public Health Associations,
yang mengatakan bahwa:
“Kesehatan perempuan ... tanpa meninggalkan pengakuan terhadap fungsi reproduksi dan merawat anak,
sesungguhnya mencakup pandangan yang lebih luas
Jurnal Perempuan 45
57
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
tentang kehidupan perempuan yang menyebabkan
adanya kebutuhan pelayanan yang dapat memenuhi
seluruh kebutuhan kesehatan “perempuan yang sesungguhnya”, tanpa memandang usia atau status sosial.”
Kenyataannya kebutuhan perempuan akan kesehatan tidak hanya
sekadar yang berhubungan dengan kehamilan dan motherhood. Masalah
kesehatan perempuan berbeda bentuk pada setiap tingkatan umur dan
bergantung pada lingkungan di mana mereka hidup. Dalam suatu
wilayah, perempuan meninggal karena tidak memperoleh akses
pelayanan kesehatan, atau tenaga pelayanan dasar tidak merata, tetapi
di wilayah lain perempuan meninggal mungkin disebabkan oleh
penggunaan teknik kesehatan yang berlebihan.
Kebanyakan perempuan masih saja hidup terkungkung. Diketahui,
bahwa sepanjang siklus hidup perempuan, keberadaan dan aspirasi
mereka sehari-hari masih dibatasi oleh perilaku yang diskriminatif, serta
struktur ekonomi dan sosial yang tidak adil. Faktor-faktor berbasis
gender, sebagian besar dipengaruhi oleh budaya dan pemahaman agama
yang sempit, berdampak terhadap kesehatan perempuan.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
Indonesia memiliki generasi muda yang terbanyak di antara negaranegara ASEAN: 30,2% dari jumlah penduduk berada pada usia antara
10-24 tahun. Namun demikian, sangat banyak remaja (usia antara 10
dan 19) dan dewasa muda (sampai dengan 24 tahun) belum mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi maupun infeksi menular
seksual apalagi menikmati pelayanan kesehatan reproduksi yang
sebenarnya juga sangat dibutuhkan.13
Dalam dokumen ICPD PoA dinyatakan bahwa salah satu pilar yang
harus menjadi landasan bagi setiap kebijakan kependudukan suatu
negara adalah: memperhatikan kebutuhan remaja. Oleh karena itu,
komponen kesehatan reproduksi remaja harus juga menjadi prioritas.
“... remaja haruslah turut berperan aktif dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi dari aktivitas
pengembangan yang memiliki dampak langsung dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Dan ini sama pentingnya
dengan aktivitas informasi, edukasi dan komunikasi,
serta pelayanan kesehatan reproduksi dan seksualitas.”
58
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
rapereliefshelter.bc.ca
Sampai saat ini ada pihak-pihak yang tidak menyetujui adanya
pelayanan kesehatan reproduksi bagi para remaja, sehingga hanya
terbatas pada pemberian informasi dan konseling saja. Dengan
diluncurkannya buku “Pedoman
Kebijakan dan Strategi Kesehatan
Reproduksi” di bulan Desember
2005 lalu yang secara implisit
mencantumkan diperbolehkannya
remaja menerima pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas,
termasuk pelayanan informasi
dengan memperhatikan keadilan
dan kesetaraan gender, diharapkan remaja bisa memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi. Bahkan dicantumkan bahwa upaya
pendidikan kesehatan reproduksi
remaja (KRR) dilaksanakan melalui
jalur pendidikan formal maupun
nonformal, dengan memberdayakan para tenaga pendidik dan
pengelola pendidikan.
Diharapkan apa yang tercantum dalam dokumen 5 lembaga ini
benar-benar diimplementasikan, karena pendidikan seksualitas di
sekolah-sekolah masih saja hanya berbentuk ceramah dan diberikan
hanya dalam dua hari setahun. Padahal pendidikan seksualitas tidak
saja hanya tentang anatomi tubuh, namun harus mencakup life skill
education, sehingga remaja sanggup dan terampil dalam menghadapi
ajakan negatif ataupun berbagai ancaman yang dihadapinya.14 Selain
itu, youth friendly clinic yang setiap saat dapat dikunjungi oleh remaja
tanpa dilihat umur, gender dan status sosial maupun ekonomi, harus
disediakan di sebanyak mungkin tempat. Untuk penyediaan pelayanan
ini tidak perlu biaya khusus, karena hanya “nebeng” tempat dan fasilitas
yang sudah ada. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
menjadi pionir dalam melibatkan remaja dalam seluruh kegiatan di
Centra Mitra Remajanya (CMR).
Jurnal Perempuan 45
59
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
Penutup
ICPD – Kairo telah mengubah kependudukan dan program keluarga
berencana yang semula difokuskan pada pencapaian target demografis
menjadikan hak dan kebutuhan (keinginan) dari setiap individu,
khususnya perempuan, sebagai prinsip dasar hak dan kesehatan
reproduksi serta kesehatan seksual. Perubahan ini otomatis menunjang
implementasi CEDAW yang menyangkut masalah kesehatan reproduksi
perempuan. Oleh karena itu, hak asasi perempuan harus tetap
dipertahankan sebagai simpul (at the centre) dari visi global dan bentuk
pembangunan global. ICPD – PoA mensyaratkan terciptanya kemitraan
yang strategis di antara semua kelompok-kelompok gerakan perempuan
dan juga dengan semua pihak yang bergerak di lingkup hak asasi
manusia, kesehatan (termasuk family planning) maupun pembangunan
(termasuk pengentasan kemiskinan). Pengarusutamaan hak dan
seksualitas ke dalam program-program kesehatan/KB harus terus
dipromosikan untuk kemudian diimplementasikan. Pengejawantahan
hak-hak ini dalam berbagai bentuk implementasi yang bermakna harus
dapat memperlihatkan adanya perubahan kondisi perempuan ke arah
yang lebih baik.
Selain itu, ICPD – PoA juga menegaskan pentingnya peran laki-laki
dalam semua aspek yang terkait dengan kesehatan seksual dan
reproduksi. Memang, budaya patriarkhi yang tetap masih terus
dipertahankan merupakan tantangan yang paling serius dan harus
ditangani. Peran laki-laki dalam program Keluarga Berencana yang
diluncurkan tanggal 12 Desember 2005 lalu bahkan masih saja belum
dicantumkan sebagai suatu program, apalagi mendapatkan prioritas.
Dari angka penggunaan alat kontrasepsi pria yang dalam dua dekade
tetap saja tidak berubah (2,3%) dapat terlihat bagaimana pemangku
kebijakan sangat bias gender dalam menetapkan program-programnya.
“The Holy Trinity” yang mengkaitkan perempuan, kependudukan,
dan pertumbuhan ekonomi, jelas membebankan perempuan sebagai
pihak yang harus bertanggungjawab terhadap pengendalian jumlah
penduduk karena dianggap hanya perempuan yang bisa menurunkannya. Padahal seharusnya laki-laki juga menjadi akseptor yang aktif
sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas persoalan kependudukan.
Sampai saat ini hanya 2,3% pria yang aktif menjadi akseptor (1,6%
kondom dan 0,7% vasektomi).15
Isu aborsi juga tetap menjadi ganjalan dalam implementasi ICPD ini,
60
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
padahal sudah sangat banyak penelitian tentang aborsi dilakukan
selama 10 tahun terakhir ini. Di tahun 200216 telah terestimasi adanya
2.000.000 insiden aborsi setiap tahunnya di Indonesia, yang lebih kurang
900.000 melakukan aborsi yang tidak aman yaitu dengan pertolongan
orang-orang yang tidak berwenang dan secara medis tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Besaran masalah aborsi ini memang diakui
oleh Departemen Kesehatan, karena Dirjen Binkesmas mengatakan
bahwa 30% dari kematian ibu disebabkan oleh komplikasi aborsi yang
tidak aman yang mengakibatkan pendarahan hebat maupun infeksi.
Dilihat dari besaran masalah aborsi di Indonesia, sebenarnya sudah
dapat dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat (public health
concern) dan untuk itu pemerintah wajib melindungi kaum perempuan
dari praktik aborsi yang tidak aman.
Sampai saat ini dengan adanya kerancuan pasal 15 dari UU No.23/
1992 tentang kesehatan tetap saja pihak provider (penyedia/ petugas
medis) tidak berani memberikan layanan aborsi karena tidak ada payung
hukumnya. Masalah aborsi harus dilihat sebagai masalah kesehatan
dan bukan masalah moral. Kebutuhan akan layanan aborsi tetap akan
berlangsung terus karena berbagai alasan; (1) Tidak ingin hamil tetapi
tidak menggunakan kontrasepsi karena tidak tahu, tidak ada, tidak
disetujui suami, (2) Menggunakan kontrasepsi tetapi gagal, (3) Mengikat
kontrak kerja yang mensyaratkan tidak/ belum boleh hamil, (4) Ada
cacat bawaan yang berat pada janin, (5) Ada gangguan mental berat
yang tidak memungkinkan ia mengasuh anak, (6) Hamil akibat perkosaan
atau inses (incest), (7) Alasan sosial ekonomi (masih mondok, suami belum
mempunyai pekerjaan tetap, isteri harus bekerja berat misalnya jadi
buruh kasar, korban KDRT), (8) Ibu menderita HIV/AIDS dan khawatir
anaknya akan terkena juga, (9) Suami belum setuju kalau ia hamil; atau
(10) Hamil sebelum menikah atau ingkar janji.
Rendahnya status kesehatan perempuan dan tingginya Angka
Kematian Ibu (AKI) sangat terkait dengan rendahnya kemampuan
perempuan untuk menggunakan hak-hak mereka. Tidak hanya laki-laki,
tetapi juga setiap perempuan berhak secara mandiri mendapatkan hak
reproduksi mereka. Jurang antara keberadaan hak yang seharusnya
dengan apa yang sesungguhnya didapat seorang perempuan, muncul
dari kurangnya komitmen pemerintah dalam memperjuangkan dan
melindungi hak-hak yang seharusnya diterima kaum perempuan. Hal
ini merupakan salah satu alasan mengapa pemahaman terhadap faktorJurnal Perempuan 45
61
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Atashendartini Habsjah
faktor tersebut harus dimiliki para petugas medis (provider) dalam upaya
meningkatkan pelayanan kesehatan perempuan dengan memberikan
para perempuan tidak hanya pil atau obat, melainkan juga informasi,
pendidikan, keterampilan komunikasi dan pengendalian diri di wilayah
seksualitas dan fertilitas yang dapat diterimanya melalui konseling.
Pemanfaatan hak merupakan kunci bagi tindak lanjut di masa depan,
perempuan sendirilah yang harus mengambil keputusan yang
menyangkut tubuh dan kesejahteraan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, syarat utama keberhasilan kesepakatan ICPD – Kairo
adalah komitmen semua pihak yang berasal dari eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Komitmen yang sangat tinggi ini harus dikomandokan oleh Presiden dan Departemen Kesehatan sebagai leading
sector yang terus menerus harus berkoordinasi dengan departemen terkait.
Departemen Kesehatan tidak boleh menarik diri dan mengatakan kondisi
kesehatan reproduksi yang buruk bukan menjadi tanggung jawab
departemennya semata karena banyak faktor non-medis yang berpengaruh. Di semua negara yang berhasil menurunkan angka kematian
ibu dengan sangat cepat merupakan hasil kerja keras dari semua sektor
di bawah komando Presiden dan Sektor Kesehatan.
Pesan khusus kepada perumus dan penentu kebijakan di instansi
terkait adalah suatu kewajiban menerapkan pengetahuan tentang hak
asasi manusia, terutama hak asasi perempuan”. Amandemen UUD 1945
khusus pasal 28 (h) telah menegaskan bahwa setiap warga negara berhak
untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan. Di
samping itu UU No.7/ 1984 tentang Ratifikasi CEDAW dan UU No.39/
1999 tentang HAM juga sudah memayungi perlindungan hukum atas
pelayanan kesehatan reproduksi yang harus diterima oleh setiap warga
negara, khususnya perempuan yang terkait dengan peran dan fungsi
reproduksinya yang spesifik. Keterbatasan anggaran bukan alasan yang
bisa diterima, karena pelayanan kesehatan reproduksi sebenarnya dapat
diselenggarakan secara efisien dan efektif dengan hanya menyisipkannya ke dalam program-program yang sudah ada. Namun sayangnya
anggaran dialokasikan terpisah-pisah secara vertikal. Selain itu, petugas
medis harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang HAM. Hak
reproduksi, dan hak klien agar mereka memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap kondisi kesehatan/kesejahteraan dari perempuan yang
menjadi klien mereka.
62
Jurnal Perempuan 45
Atashendartini Habsjah
Sejauh Mana Indonesia Merespon
ICPD-KAIRO?
Catatan Belakang
1
IRRMA team, Indonesia’s NGO Country Report for ICPD +10 (Indonesia: IRRMA
dan Ford Fondation ARROW Project, 2004).
2
UNDP Human Development Report 2004, Cultural Liberty in Today’s Diverse
World (New York: United Nation Development Programme , 2004).
3
Depkes RI, Rencana Strategi Nasional “Making Pregnancy Safer” di Indonesia
(Jakarta, 2001).
4
Lihat Dadang Juliantoro, Tiga Puluh Tahun Cukup: Keluarga Berencana dan
Hak-Hak Konsumen (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000).
5
IRRMA team, Indonesia’s NGO Country Report for ICPD+10 (Indonesia: IRRMA
dan Ford Foundation-ARROW Project, 2004)
6
Mariana Amiruddin, Kesehatan Hak Reproduksi Perempuan (Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan dan Japan Foundation, 2003).
7
Buku Pedoman Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di
Indonesia (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Kementrian Negara Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia, Departemen Pendidikan dan Nasional Republik
Indonesia, Departemen Sosial RI, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
UNFPA, 2005).
8
Ibid.
9
Dirjen Binkesmas Depkes RI, periode 2001-2005, makalah Perbaikan UU Kesehatan
Disampaikan pada Seminar dan Info Fair, “Arti Perjuangan Kartini dan Kesehatan
Perempuan di Indonesia: Upaya Mempercepat Perbaikan UU Kesehatan.” (Jakarta,
2005)
10
Meiwita Budhiharsana dan Herna Lestari, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
(Jakarta: The Ford Foundation dan BKKBN, 2002).
11
“Kumpulan makalah dan tanggapan Fraksi-Fraksi DPR-RI mengenai Perubahan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan: Tahun 2002-2004
(Yayasan Kesehatan Perempuan, IFPPD, dan The Ford Foundation, 2004).
12
Gadis Arivia. Filsafat Berperspektif Feminis (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003).
13
Laurike Moeliono, Indra Nurpatria; Pongai Pierre, Adi Albyn Respati, Informasi
Penunjang Advokasi KRR (Jakarta: BKKBN dan Bank Dunia, 2004), Ahmad
Saifudin dan Irwan Hidayana, Seksualitas Remaja (Jakarta: Antropologi Fisip UI
dan Ford Foundation, 1999).
14
Mariana Amiruddin, Pendidikan Seks Salah Satu Cara Menyelamatkan Seksualitas
Perempuan (Jurnal perempuan edisi 41, 2005) hal. 106-107.
15
Dadang Juliantoro, op.cit.
16
B. Utomo dan A. Habsjah dkk “Incidence and Socio-Psychological aspects of Abortion
in Indonesia”: a community-bsed survey in ten mayor cities and six districts, year
2000" (Jakarta: Centre for Health- University of Indonesia, 2001).
Jurnal Perempuan 45
63
• Topik Empu •
Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW
dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
Pendahuluan
Sudah umum diketahui bahwa Indonesia melalui UU No. 7 tahun
1984 meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala
bentuk perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, dikenal dengan
sebutan CEDAW (The Convension on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women). Salah satu isi penting dalam konvensi
tersebut adalah larangan diskriminasi apa pun dalam kehidupan
perkawinan.
Isu perkawinan menjadi penting karena bersinggungan dengan nilainilai sosial-budaya yang hidup dan dianut secara luas dalam masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ajaran Islam sangat kuat
Jurnal Perempuan 45
65
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
mempengaruhi nilai-nilai budaya, ekonomi, sosial dan politik bangsa
Indonesia, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang berkaitan dengan relasi
gender, khususnya relasi suami-isteri dalam kehidupan perkawinan.
Konsekuensi logis dari ratifikasi konvensi ini, antara lain Indonesia
berkewajiban melaksanakan semua ketentuan yang ada dalam konvensi.
Tujuan utama dari implementasi ini adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup perempuan melalui penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik.
Implementasi tersebut, antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk
menyelaraskan aturan-aturan hukum nasional dengan isi konvensi.
Kenyataannya, setelah 22 tahun berlalu, belum banyak kemajuan
yang dicapai. Indikasinya terlihat dari masih kuatnya diskriminasi
terhadap perempuan, meningkatnya kasus-kasus kekerasan yang
berbasis gender, parahnya angka kematian ibu melahirkan, maraknya
kasus trafficking, tingginya angka poligami dan perkawinan anak-anak,
bertambahnya jumlah perkawinan yang tidak dicatatkan atau
perkawinan sirri, dan masih pula ditemukan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Sulitnya mengimplementasikan konvensi CEDAW dalam kehidupan
masyarakat yang mayoritas beragama Islam, disebabkan antara lain
rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilainilai agama Islam yang menjelaskan peranan dan fungsi perempuan
dan masih banyak penafsiran ajaran Islam yang merugikan kedudukan
dan peranan perempuan. Kuatnya pemahaman Islam yang bias gender
dan bias nilai-nilai patriarkhi tersebut menimbulkan tuduhan terhadap
Islam sebagai sumber masalah atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi lakilaki dan perempuan atau ketidakadilan gender (gender inequality).
Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki
dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat
berbahaya. Persoalannya bahwa pelanggengan ketidakadilan gender
itu bukan bersumber dari watak agama itu sendiri, melainkan berasal
dari pemahaman, penafsiran, dan implementasi ajaran agama yang
sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarkhi, ideologi
kapitalisme, atau pengaruh kultur abad pertengahan yang sangat
feodalistik.
66
Jurnal Perempuan 45
Siti Musdah Mulia
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Salah satu bentuk peraturan yang mengikat umat Islam Indonesia
adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam). Di dalamnya diatur berbagai
ketentuan berkaitan urusan keluarga, seperti perkawinan, kewarisan
dan perwakafan. KHI yang menjadi pedoman para hakim agama di
Indonesia itu mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap
perempuan,1 dibangun berdasarkan asumsi yang bias gender dan bias
nilai-nilai patriarkhis, serta berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap
perempuan. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi upaya implemenasi
CEDAW, terutama dalam kehidupan perkawinan atau keluarga, harus
dimulai dengan merevisi KHI.
Timbul pertanyaan mengapa harus dimulai dari KHI? Paling tidak,
ada tiga alasan. Pertama, KHI dipandang sebagai jantung syariat atau
inti ajaran Islam sehingga menjadi rujukan nilai di masyarakat. Kedua,
KHI merupakan panduan hukum hakim agama di Pengadilan Agama
dalam memutuskan perkara-perkara keluarga, khususnya di bidang
perkawinan. Ketiga, upaya mengeliminasi semua bentuk diskriminasi
terhadap perempuan harus dimulai dari keluarga. Sebab, keluarga yang
katanya merupakan wilayah paling aman itu justru paling banyak
merekam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).
intranet.usc.edu.au
Jurnal Perempuan 45
67
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
Keempat, sejumlah pasal dalam KHI berseberangan dengan undangundang baru, seperti Amandemen UUD 1945, UU No.7 tentang Rativikasi
CEDAW; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semua
undang-undang tersebut sangat menekankan upaya perlindungan dan
penguatan hak-hak perempuan menuju terwujudnya kondisi kesetaraan
dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selain
itu, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah amat tegas
menekankan prinsip demokrasi dengan ciri partisipasi seluruh
masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Pemerintah
pun meratifikasi sejumlah Konvensi Internasional yang berisi
perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan. Bahkan, lahir UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), keduanya sangat mengedepankan perlunya
perlindungan terhadap anak dan perempuan dari berbagai bentuk
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
Substansi CEDAW Mengenai Perkawinan
Konvensi CEDAW menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak
asasi perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan. Pasal 5
(b) menyebutkan: “negara menjamin bahwa pendidikan keluarga mencakup
pengertian yang tepat mengenai keibuan sebagai suatu fungsi sosial, dan
pengakuan terhadap tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam
mengasuh dan mengembangkan anak-anaknya. Bahwa kepentingan anak
merupakan pertimbangan pertama dalam semua kasus.” Ketentuan ini
menegaskan pentingnya pengakuan tehadap tugas keibuan sebagai
fungsi sosial. Setiap orang harus menghormati hak-hak perempuan,
terutama ketika mereka menjalani tugas-tugas reproduksinya. Hanya
perempuan yang bisa menjadi ibu dan itu merupakan tugas kemanusiaan yang sangat luhur dan harus dihormati. Setiap perempuan yang
sedang menjalankan tugas sosial tersebut harus mendapatkan jaminan
hak untuk terbebas dari semua perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan
kekerasan dari siapa pun dan dengan alasan apa pun.
Pernyataan konvensi ini sekaligus meluruskan pemahaman keliru
di masyarakat yang memandang tugas mengasuh dan merawat anak
sebagai kewajiban ibu semata, padahal sesungguhnya menjadi kewajiban
orang tua: ayah dan ibu. Sayangnya, pemahaman keagamaan mainstream
68
Jurnal Perempuan 45
Siti Musdah Mulia
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
di masyarakat mengakui secara tegas adanya segregasi ruang antara
ruang privat dan ruang publik. Tugas-tugas domestik dalam rumah
tangga dipandang sebagai kewajiban isteri, sebaliknya tugas-tugas di
ruang publik monopoli suami. Konsekuensinya, isteri bekerja di ruang
publik terpaksa memikul beban ganda karena disamping harus
menyelesaikan tugasnya di tempat kerja, dia juga tetap harus bisa
mengerjakan tugasnya yang dipandang utama di dalam rumah tangga.
Sebaliknya, kondisi demikian tidak berlaku bagi suami. Tugas-tugas
domestik di rumah tangga tidak pernah dipikulkan pada pundak lakilaki sehingga tidak dikenal istilah beban ganda bagi laki-laki.
Pandangan bias gender ini mempengaruhi sistem kerja di ruang
publik. Para isteri yang bekerja selalu dianggap sebagai kerja membantu
suami, padahal banyak di antara mereka justru menjadi penyangga
utama kebutuhan finansial keluarga, bukan sekadar membantu. Ironis
bukan? Fatalnya lagi, karena dianggap bukan sebagai pencari nafkah
utama keluarga, status mereka dikategorikan sebagai layang atau tidak
menikah sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti
diperoleh para laki-laki, rekan kerja mereka. Pada umumnya, pendapatan
pekerja perempuan lebih kecil daripada pendapatan pekerja laki-laki,
meskipun volume dan kualitas pekerjaannya sama.
Penegasan Konvensi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan
segregasi ruang privat dan ruang publik yang mengakibatkan beban
kerja lebih berat bagi perempuan dan desakan untuk mengakui hak
perempuan bekerja di ruang publik tanpa diskriminasi sedikit pun.
Kondisi ideal yang diinginkan melalui konvensi tersebut adalah
hilangnya istilah beban ganda bagi perempuan. Laki-laki dan
perempuan keduanya sama-sama bertanggung jawab dalam tugas-tugas
domestik di rumah tangga. Keduanya harus bisa berbagi tugas dengan
nyaman dan penuh tanggungjawab berdasarkan kesadaran kemanusiaan.
Masyarakat pada umumnya masih menganggap pekerjaan merawat
anak dan mengurus rumah tangga sebagai tugas kodrati perempuan.
Apa yang disebut kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang sifatnya
“pemberian Tuhan” yang tidak berubah dan tidak dapat diubah oleh
siapa pun. Kalau begitu, hal-hal yang sifatnya kodrati dalam diri
perempuan tidak banyak, yaitu hanya berkaitan dengan organ-organ
reproduksi mereka yang spesifik, seperti haid, hamil, menyusui, dan
Jurnal Perempuan 45
69
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
melahirkan. Seluruh aktivitas tersebut tidak dapat dilakukan oleh selain
perempuan karena berhubungan erat dengan fungsi reproduksi
perempuan, khususnya payudara dan rahim. Seluruh aktivitas
perempuan yang terkait langsung dengan fungsi payudara dan rahim
itulah yang disebut dengan kodrat perempuan, di luar itu bukan kodrat.
Dengan demikian, aktivitas membersihkan rumah, memasak,
mencuci, menjaga dan merawat anak bagi perempuan merupakan
sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat selama
bertahun-tahun bahkan berabad-abad sehingga membentuk tradisi atau
kebiasaan yang sulit berubah sehingga dipandang sebagai kodrat
perempuan. Berbagai contoh aktivitas tersebut bukanlah sesuatu yang
bersifat kodrati karena pekerjaan itu tidak membutuhkan payudara atau
rahim perempuan. Pekerjaan-pekerjaan itu bisa dilakukan dengan baik,
atau mungkin lebih baik oleh laki-laki. Hal itu tergantung pembiasaan
saja. Pekerjaan memasak, misalnya selalu dipandang sebagai kewajiban
kodrati isteri, padahal kenyataannya dapat dilakukan secara lebih
berkualitas dan profesional oleh para laki-laki, khususnya oleh mereka
yang berprofesi sebagai koki di restoran atau di tempat-tempat publik
lainnya. Pertanyaannya, mengapa pekerjaan domestik itu bisa dilakukan
dengan baik oleh laki-laki? Jawabannya sederhana saja, ketika di ruang
publik pekerjaan itu dihargai dan dinilai dengan uang, tidak demikian
halnya jika dilakukan di rumah tangga.
Lebih lanjut, konvensi menyebutkan hak-hak perempuan dalam
perkawinan pada pasal 11 ayat 2: bahwa untuk mencegah diskriminasi
terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau karena menjadi ibu dan untuk
menjamin haknya yang efektif untuk bekerja, maka negara melarang pengenaan
sanksi, pemecatan dengan alasan kehamilan atau cuti karena melahirkan dan
atas dasar status perkawinan (2.a). Sebaliknya, perempuan yang mengambil
cuti melahirkan tetap menerima upah atau dengan tunjangan sosial yang
sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula, senioritas, dan tunjangan sosial
(2.b). Bahkan, negara harus menyediakan perlindungan khusus bagi perempuan
selama hamil dalam jenis pekerjaan yang terbukti merugikan mereka (2.d).
Ketentuan konvensi tersebut menegaskan perlindungan terhadap
hak-hak perempuan pekerja untuk tidak mengalami diskriminasi karena
alasan perkawinan dan karena fungsi-fungsi reproduksi mereka.
Ketentuan ini sangat relevan mengingat di masyarakat sering dijumpai
70
Jurnal Perempuan 45
Siti Musdah Mulia
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
lembaga atau perusahaan yang hanya merekrut pekerja perempuan yang
belum menikah dan memecatnya begitu ketahuan telah menikah. Atau
perusahaan dan lembaga yang tidak memberikan hak cuti kepada pekerja
perempuan berkaitan dengan fungsi reproduksi mereka, seperti cuti haid,
hamil, melahirkan, dan menyusui.
Konvensi CEDAW secara lebih detail dan rinci menjelaskan hak-hak
perempuan dalam kehidupan keluarga dan perkawinan pada pasal 16
sebagai berikut.
Pertama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk
memasuki perkawinan. Hak ini dalam masyarakat Islam tidak
dibenarkan karena perempuan hanya bisa menikah dengan persetujuan
orang tua atau walinya. Perempuan bukanlah individu yang mandiri
dan dalam konteks hukum dia hanya diperlakukan sebagai objek, bukan
subjek hukum. Dia tidak bisa mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri, sebagaimana saudara mereka yang laki-laki.2
Kedua, hak dan kebebasan yang sama bagi laki-laki dan perempuan
untuk memilih pasangan hidup dengan persetujuan penuh. Ketentuan
ini pun sulit diimplementasikan karena pemahaman mayoritas
memandang haram hukumnya perempuan menikah beda agama.3
Pandangan ini sangat mundur karena dalam kitab-kitab fikih klasik
dinyatakan laki-laki Islam bisa menikahi perempuan non-Islam.4 Kalau
laki-laki Muslim bisa menikahi non-Muslim tentu berlaku juga bagi
perempuan Muslimah. Bukankah keduanya sama-sama manusia, samasama menganut Islam?
Ketiga, hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki selama
perkawinan dan perceraian. Ketentuan ini sulit dilaksanakan selama
dalam hukum dinyatakan laki-laki boleh poligami 5 dan boleh
menceraikan sepihak atau boleh merujuk atas keinginan sepihak.
Keempat, hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua tanpa
memandang status perkawinannya, dan dalam hal yang berhubungan
dengan anak semuanya harus dilakukan dengan mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak. Ketentuan ini penting mengingat di
masyarakat kita terjadi perlakuan diskriminatif terhadap anak yang lahir
di luar perkawinan.6
Kelima, hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perwalian,
perwakilan, dan adopsi anak. Dalam KHI dinyatakan hanya laki-laki
Jurnal Perempuan 45
71
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
gelos.ru
yang bisa bertindak sebagai wali. Jika ayah berhalangan hak perwalian
turun kepada saudara laki-laki dan seterusnya kepada kerabat laki-laki
lainnya. Kalau semua kerabat tidak ada hak itu pindah kepada wali
hakim yang tidak memiliki ikatan kekerabatan apa pun. Ibunya,
meskipun telah mengasuh sang anak sejak bayi, bahkan sejak dalam
kandungan tidak pernah mendapatkan limpahan hak tersebut. 7
Hak persaksian dalam
perkawinan pun monopoli milik laki-laki. 8
Padahal, dalam realitas
sehari-hari, perempuan
pun hadir di tengahtengah perhelatan perkawinan, namun kehadiran mereka dianggap
tiada.
Keenam, hak pribadi
yang sama bagi suamiistri, termasuk untuk
memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan, dan ketujuh, hak yang
sama bagi suami-istri mengenai kepemilikan, perolehan, manajemen,
administrasi, dan pembagian harta kekayaan. Hak-hak ini masih jauh
dinikmati perempuan dalam kehidupan perkawinan. Sebab, di
masyarakat dan dalam hukum, status dan posisi suami-isteri sudah
dikapling sedemikian rupa; suami sebagai kepala rumah tangga dan
isteri sebagai ibu rumah tangga yang bertanggungjawab penuh atas
semua urusan domestik.9
Apa itu KHI?
Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum Islam produk
pemerintah Indonesia masa Orde Baru yang isinya diambil dari sejumlah
kitab fiqh yang umumnya ditulis pada abad pertengahan. KHI disusun
berdasarkan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama pada tanggal 21 Maret 1985 dan dikukuhkan sebagai pedoman
resmi dalam bidang hukum material bagi para hakim agama di
72
Jurnal Perempuan 45
Siti Musdah Mulia
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
lingkungan Peradilan Agama10 berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.
Paling tidak ada tiga tujuan pokok KHI, yaitu merumuskan hukum
Islam secara sistematis dan konkrit di Indonesia; membangun landasan
penerapan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama yang
berwawasan nasional; dan yang terpenting adalah unifikasi materi
hukum Islam yang menjadi sumber acuan para hakim Pengadilan
Agama. KHI terdiri dari tiga hukum: Hukum Perkawinan; Kewarisan;
dan Perwakafan. Secara keseluruhan KHI terdiri atas 229 pasal dan
porsi terbanyak menyangkut hukum perkawinan (170 pasal).
KHI merupakan respon pemerintah terhadap timbulnya “keresahan”
di masyarakat akibat beragamnya keputusan Pengadilan Agama
terhadap suatu kasus yang serupa. Padahal, keanekaragaman putusan
itu merupakan konsekuensi logis dari beragamnya sumber pengambilan
hukum, berupa kitab-kitab fiqh yang dipakai hakim agama dalam
memutuskan suatu perkara. Berbicara tentang kitab fiqh berarti berbicara
tentang keanekaragaman pendapat ulama, dan menarik bahwa tidak
satu pun ulama besar itu mengklaim pendapatnyalah yang benar secara
mutlak. Artinya, kebebasan berpendapat sangat dijamin dalam Islam.
Anehnya, prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin Islam tersebut
tidak menjadi prinsip pemerintah ketika itu. Atas dasar adanya
“keresahan” masyarakat, pemerintah lalu memproduksi suatu hukum
positif sebagai rujukan hukum yang seragam bagi para hakim agama.
Tujuannya jelas agar tidak lahir lagi beragam keputusan untuk kasuskasus serupa, seperti sebelumnya.
Kebijakan pemerintah melahirkan KHI mengandung dua hal, di satu
sisi memang memudahkan kerja para hakim agama dan pihak-pihak
lainnya yang akan mencari rujukan hukum secara instant, tetapi di sisi
lain berarti memangkas kreativitas dan upaya-upaya ijtihad dalam
bidang hukum. Karena sudah tersedia materi hukumnya secara mudah,
umumnya para hakim agama tidak lagi melakukan pengkajian terhadap
kitab-kitab fikih. Hal ini pada gilirannya menjadikan proses ijtihad
menjadi stagnan dan umat Islam terbelenggu dalam kejumudan hukum.
Sementara itu, berbagai persoalan baru bermunculan mengikuti
dinamika masyarakat, seperti persoalan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), trafficking (perdagangan perempuan), perkawinan kontrak,
perkawinan sirri, dan perkawinan beda agama, sedangkan rujukan
hukum tidak berubah. Tentu saja, hal ini pada gilirannya menimbulkan
Jurnal Perempuan 45
73
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
kesulitan baru bagi para hakim, terutama dalam merumuskan keputusan
di pengadilan. Materi KHI sarat dengan muatan nilai-nilai patriarkhis
yang bias gender. Terlebih lagi KHI secara eksplisit menempatkan
perempuan sebagai objek seksual dan meneguhkan subordinasi
perempuan. Tidak heran jika ajaran Islam seperti tercermin dari isi KHI
dituduh sebagai salah satu unsur yang melanggengkan budaya
patriarkhis dan mengekalkan relasi gender yang tidak setara sehingga
sangat potensial memicu timbulnya berbagai bentuk perilaku
diskriminatif terhadap perempuan.
Mengapa Perlu CLD KHI?
Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI)11 adalah
rumusan hukum perkawinan Islam model baru yang humanis, sensitif
gender dan akomodatif terhadap nilai-nilai universal Islam, seperti
keadilan, kesetaraan, kemajemukan, dan kemaslahatan. Rumusan baru
ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam sebagaimana
terbaca dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sangat menghormati
hak-hak asasi manusia dan sangat anti nilai-nilai patriarki, serta
mengadvokasikan kesetaraan dan keadilan gender dalam relasi lakilaki dan perempuan. Konsep baru hukum perkawinan ini dimaksudkan
sebagai respon terhadap berbagai persoalan sosial kontemporer yang
dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini, antara lain berupa tingginya
angka kasus kekerasan dalam rumah tangga; maraknya kasus trafficking
in women and children (perdagangan perempuan dan anak perempuan)
dengan menggunakan modus operandi perkawinan; merebaknya
praktek perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab dan amat
merugikan perempuan dan anak-anak; meluasnya praktek perkawinan
anak-anak (di bawah umur); tingginya angka perkawinan yang tidak
dicatatkan (perkawinan sirri atau “bawah tangan”); dan menjamurnya
praktek prostitusi di masyarakat.
CLD KHI menawarkan paradigma baru dalam perkawinan, dan itu
terlihat dari empat hal, yaitu rumusan definisi, asas, prisnsip dasar,
dan tujuan perkawinan. Pertama, definisi perkawinan disebut sebagai
berikut: Perkawinan adalah akad yang sangat serius (mitsaaqan
ghaliidzan), dilakukan secara sadar oleh dua orang manusia untuk
membentuk keluarga, dan pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan
dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah
74
Jurnal Perempuan 45
Siti Musdah Mulia
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada
enam, yakni: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah),
keadilan (al-’adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (alta’addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan
perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga bahagia
(sa’adah) dan sejahtera (sakinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah
wa rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat,
aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Keempat paradigma tersebut menjadi landasan utama rumusan
pasal-pasal CLD mengenai soal wali, saksi, pencatatan, usia perkawinan,
mahar, perkawinan beda agama, poligami, cerai dan rujuk, iddah, ihdad,
pencarian nafkah, nusyuz, posisi dan kedudukan suami-isteri, serta hak
dan kewajiban suami-isteri.
Al-Qur‘an (Al-Ahzab ayat 7, An-Nisa ayat 21 dan 154) selalu
menggambarkan ikatan perkawinan dengan mitsaqan ghalidzan, yakni
sebagai perjanjian suci dan serius di antara kedua belah pihak yang
setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, kedua
belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan
perjanjian tersebut. Selanjutnya, Al-Qur‘an juga menegaskan hubungan
egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49;
Fatir,11; an-Naba‘, 78; an-Nisa‘, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12;
al-Baqarah, 187; dan an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut
ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis
tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam
lebih merupakan suatu akad atau kontrak.12 Kontrak itu terlihat dari
adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Jadi, perkawinan
adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara,
yaitu laki-laki dan perempuan, masing-masing telah memenuhi
persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan
kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.
Menarik dicatat bahwa Al-Qur‘an membahas soal perkawinan secara
rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan
menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23
kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali.
Memahami hakikat perkawinan dalam Islam tidak bisa tidak, kecuali
mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan
menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, lalu mencari
Jurnal Perempuan 45
75
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Siti Musdah Mulia
benang merah yang menjadi intisari dari seluruh penjelasan ayat-ayat
tersebut.
Dari keseluruhan ayat perkawinan tersebut disimpulkan lima prinsip
dasar perkawinan. Pertama, prinsip monogami.13 Kedua, prinsip mawaddah
wa rahmah (cinta dan kasih sayang)14; ketiga, prinsip saling melengkapi
dan melindungi15; keempat, prinsip mu‘asyarah bil ma‘ruf (pergaulan yang
sopan dan santun), baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi
kemanusiaan16; dan kelima, prinsip kebebasan memilih jodoh bagi lakilaki dan perempuan sepanjang tidak memiliki ikatan kekerabatan yang
dilarang.
Kesimpulan
Sebagai sebuah tawaran yang dirumuskan berdasarkan hasil
penelitian dan pengkajian, tentu CLD KHI tidak mengklaim dirinya
sebagai rumusan final yang harus diterima secara absolut oleh semua
pihak, melainkan hendaknya dilihat sebagai sebuah ijtihad mempromosikan Islam yang hakiki mengenai perkawinan, ajaran yang
mengedepankan cinta kasih dan penghargaan kepada manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perlu dilihat sebagai upaya mencari
solusi atas pelbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi
masyarakat, khususnya solusi atas diskriminasi terhadap perempuan,
demi membangun masyarakat yang demokratis, egaliter, dan ramah
terhadap perempuan.
Konsep CLD KHI, terutama hukum perkawinan, bertujuan
mengeliminasi semua bentuk dominasi, kekerasan, diskriminasi, dan
eksploitasi, terutama terhadap perempuan yang terjadi sebelum, selama,
dan sesudah perkawinan. CLD KHI menperjuangkan agar tidak ada
lagi dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam
perkawinan oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Tidak ada lagi
perkawinan terpaksa, tidak ada lagi perkawinan anak-anak, tidak ada
lagi perkawinan tanpa pencatatan atau sirri (bawah tangan), tidak ada
lagi perkawinan kontrak yang tidak bertanggungjawab, tidak ada lagi
perkawinan poligami, dan terakhir semua perkawinan hanya sah jika
dicatatkan (registered marriage). Terakhir, CLD KHI ingin mewujudkan
perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak perempuan, terutama
menyangkut perkawinan, seperti tertuang dalam konvensi CEDAW.
76
Jurnal Perempuan 45
Siti Musdah Mulia
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam:
Upaya Implementasi CEDAW dalam Perkawinan
Catatan Belakang
1
Lihat Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002) terutama
pada pasal-pasal berikut: 2, 15, 19, 25, 30, 40, 45, 55, 79, 80, 84, 153, dan 170.
2
Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 19-23.
3
KHI, pasal 40.
4
Kajian luas mengenai ini lihat Maria Ulfah Anshor, Cs. (Editor) Tafsir Ulang
Perkawinan Lintas Agama (Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004). Lihat juga Siti
Musdah Mulia, Muslimah Reformis (Bandung: Mizan, 2005).
5
Lihat KHI, pasal 55 dan kajian tentang poligami, silahkan lihat Siti Musdah Mulia,
Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia, 2003) dan Faqihuddin Abdul Kadir,
Memilih Monogami (Yogyakarta: LkiS, 2005).
6
KHI, pasal 100.
7
KHI, pasal 19.
8
KHI, pasal 25.
9
KHI, pasal 79-84.
10
Indonesia memiliki tiga jenis pengadilan, yakni Pengadilan Negeri yang menangani
kasus-kasus umum bagi seluruh warga negara, tanpa membedakan agama; Pengadilan
Agama yang khusus menangani kasus-kasus perkawinan, perceraian, rujuk, wakaf
dan sebagainya bagi komunitas Islam Indonesia; dan Pengadilan Militer yang khusus
menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan militer. Sejak reformasi hukum tahun
1999 ketiga jenis pengadilan tersebut bersatu di bawah naungan Mahkamah Agung.
11
Nama ini sengaja dipilih agar cepat menarik perhatian masyarakat untuk membahas.
CLD atas KHI ini seperti halnya KHI itu sendiri terdiri dari tiga rumusan hukum:
hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Tidak seluruh pasal
dalam KHI mengalami perubahan dalam CLD, melainkan hanya pasal-pasal tertentu
saja yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhis serta tidak
mengakomodasikan pandangan Islam yang pluralis dan humanis. CLD merupakan
hasil penelitian dan pengkajian selama dua tahun dari suatu Tim Pembaruan Hukum
Islam yang dibentuk oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG)
Departemen Agama dimana penulis menjadi koordinatornya. Untuk mengetahui
secara lengkap tentang rumusan CLD tersebut lihat Tim Pengarusutamaan Gender,
Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft KHI, Jakarta, 2004 (Naskah belum
dipublikasikan).
12
Qur’an Surat An-Nisa‘ ayat 21 dan surat Al-Baqarah, ayat 231.
13
Qur’an Surat An-Nisa‘ayat 3 dan 129.
14
Qur’an Surat Ar-R-m, ayat 21.
15
Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 187.
16
Qur’an Surat An-Nisa‘ ayat 19, At-Taubah, ayat 24 dan Al-Haj ayat 13.
Jurnal Perempuan 45
77
• Kliping •
Hak Asasi Perempuan
Belum Menjadi Bagian
Institusional Hukum
T
ernyata hak asasi perempuan belum jadi bagian institusional
dalam hukum, keputusan pengadilan, kebijakan, penegakan,
program dan anggaran pemerintah. Tidak terakomodasinya hak
asasi perempuan ini pada akhirnya menjadi salah satu hambatan utama
dalam pelaksanaan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Demikian pendapat
Achie Sudiarti Luhulima, anggota kelompok kerja “Convention Watch”
yang juga penasehat senior: Sekretariat Nasional Gender dan IPTEK.
Selain itu, faktor lain yang juga menjadi hambatan dalam melaksanakan CEDAW adalah negara-negara peserta belum atau tidak memahami
standar hak asasi dan cara untuk mencapainya. Disamping itu pula,
dalam melaksanakan CEDAW ini masih banyak persoalan kurangnya
keahlian, metodologi dan kemampuan untuk menerapkan standar hak
asasi manusia dalam melakukan analisis masalah-masalah sosial serta
cara mengatasinya. Sejumlah hambatan-hambatan struktural seperti
budaya tidak memenuhi standar hak asasi manusia, kesulitan dalam
meraih keadilan dan kurangnya cara untuk menghapus diskriminasi
serta norma budaya dan praktek-praktek yang cenderung stereotip
(membagikan peran berdasarkan jenis kelamin) dan bentuk-bentuk
seksisme lainnya, juga menjadi bagian dari hambatan pelaksanaan
CEDAW.
Disamping itu pula, menurut Achie, banyak perempuan belum
menyadari hak asasinya dan belum paham cara menuntut hak-hak itu.
Indonesia sendiri telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-undang
No 7 tahun 1984 dan diperkokoh dengan Undang-undang nomor 29
tahun 1999 tentang konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial. Sebagai negara yang telah melakukan
ratifikasi, berarti Indonesia seharusnya mempunyai kewajiban untuk
melakukan penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan
78
Jurnal Perempuan 45
• Kliping •
Jurnal Perempuan 45
79
pepper-g
raphics.co
m
nasional yang terkait dengan konvensi internasional tersebut. Disamping
itu pula Indonesia juga harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan kewajiban melaporkan pelaksanaan dalam rangka menghapus
segala bentuk diskriminasi terutama yang terkait dengan diskriminasi
terhadap perempuan.
Menurut Achie, substansi dari konvensi CEDAW ini adalah
menetapkan bahwa perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya yang harus dinikmati atas dasar persamaan dengan
pria terlepas dari status perkawinannya. Konvensi ini pula menurut
Achie menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks itu, maka menurut
konvensi CEDAW prinsip dasar kewajiban negara tersebut meliputi halhal sebagai berikut yaitu; (1) menjamin
hak-hak perempuan melalui hukum
dan kebijakan serta menjamin hasilnya. (2) Menjamin pelaksanaan
praktis dari hak-hak itu melalui
langkah tindak atau aturan khusus,
menciptakan kondisi yang kondusif
untuk meningkatkan akses bagi
perempuan pada peluang yang
ada, (3) negara tidak hanya menjamin tetapi juga merealisasikan
hak-hak perempuan, (4) negara
tidak hanya menjamin secara de
jure, tetapi juga secara de facto
dan (5) negara tidak saja harus
mengaturnya di sektor publik,
tetapi juga terhadap tindakan
orang-orang dan lembaga di
sektor privat (keluarga) dan
sektor swasta.
Berkaitan dengan sejumlah
hambatan tersebut di atas, maka menurut Achie harus
ada langkah-langkah yang perlu dilaksanakan yaitu, pertama berkaitan
dengan Substansi Hukum dan Kebijakan. Dalam aspek ini perlu
mengintegrasikan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan
• Kliping •
perempuan dalam sistem hukum. Selain itu dalam aspek ini perlu juga
menghapus peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan
menetapkan peraturan baru yang melarang diskriminasi terhadap
perempuan. Aspek yang juga penting adalah menerapkan norma dan
standar yang ditetapkan oleh CEDAW dalam menyusun perencanaan,
melaksanakan dan memantau kebijakan di tingkat nasional maupun
lokal untuk melindungi, meningkatkan dan memenuhi hak asasi
perempuan.
Langkah kedua adalah berkaitan dengan struktur dan proses
institusional. Dalam aspek ini perlu mengembangkan kapasitas
kelembagaan yang akan melaksanakan atau menegakkan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan baru. Selain itu juga perlu
menetapkan mekanisme kelembagaan untuk memantau perkembangan
pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan memberikan laporan kepada
Komite CEDAW.
Sementara langkah ketiga adalah berkaitan dengan faktor budaya.
Dalam aspek ini perlu ditingkatkan kesadaran seluruh masyarakat akan
kesamaan hak asasi perempuan dan laki-laki yang dijamin oleh Konvensi
CEDAW.
Pada tanggal 3 Agustus 2004 dua tahun yang lalu bahkan ketua
DPR RI Akbar Tanjung dalam pidato pembukaan Capacity Building
anggota DPR dan DPD perempuan periode 2004-2009 di Hotel Red Top
Jakarta Pusat mengatakan bahwa beberapa konstitusi yang berlaku di
Indonesia secara prinsip masih banyak yang belum sesuai dengan
konvensi CEDAW atau konvensi tentang penghapusan kekerasan
terhadap perempuan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
“Kita harus terus melakukan perbaikan manakala memang diketemukan
adanya Undang-undang atau peraturan yang berlaku masih mengandung diskriminasi terhadap perempuan,” ujar Akbar.
Dalam pidatonya ini Akbar mengingatkan bahwa anggota DPR
dalam fungsinya akan mempunyai 3 fungsi utama yaitu sebagai pembuat
undang-undang, fungsi penetapan APBN dan fungsi pengawasan
terhadap implementasi undang-undang. “Ketiga fungsi yang saat ini
saudara-saudara emban sebagai anggota DPR begitu juga DPD haruslah
bisa diaktualisasikan dalam misi peningkatan pemberdayaan
perempuan,” katanya lagi.
Salah satu masalah hak perempuan yang belum tertangani sampai
80
Jurnal Perempuan 45
• Kliping •
saat ini adalah melihat makin tingginya korban pelanggaran hak
reproduksi perempuan. Atas hal ini pada bulan April 2005 yang lalu
Jaringan Perempuan untuk Program Legislasi Nasional (Jaringan
Prolegnas) pernah melakukan desakan kepada pemerintah untuk segera
menurunkan Ampres tentang revisi Undang-Undang Kesehatan No. 23
tahun 1992. Menurut jaringan ini penegakan hak reproduksi Perempuan
adalah juga bagian dari penegakan hak asasi manusia.
Jaringan Prolegnas bahkan memberi argumentasi sejarah mengenai
hak reproduksi perempuan ini dapat mengambil pelajaran dari Kartini
sebagai pejuang hak reproduksi. Ia keburu dijemput ajal empat hari
setelah melahirkan anak pertamanya, karena proses reproduksi yang
dialami, pada 13 Nopember 1904. Kenyataannya, seratus tahun telah
kita lewati perjuangan Kartini, pelanggaran hak reproduksi perempuan
tetap saja tinggi, diantaranya masih terlihat tingginya angka kematian
ibu melahirkan di Indonesia, yakni 307 per 100.000 kelahiran hidup.
Salah satu penyebab tingginya pelanggaran hak reproduksi
perempuan di Indonesia menurut Jaringan ini adalah kebijakankebijakan yang tidak menghormati hak asasi manusia (HAM). Misalnya
dalam bentuk-bentuk kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul dan
berekspresi. Bagian dari warga bangsa yang sering mengalami berbagai
bentuk pelanggaran HAM dalam segala bidang kehidupannya adalah
perempuan.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak reproduksi perempuan (HAM) yang
dialami oleh perempuan ini sangat beragam. Mulai dari perkosaan dalam
perkawinan, perjodohan, larangan aborsi, pelecehan seksual, penyiksaan, paksaan terhadap penggunaan alat kontrasepsi, tiadanya
informasi tentang masalah kesehatan reproduksi, dan berbagai bentuk
diskriminasi lainnya dengan tujuan untuk “tidak mengubah”, tatanan
budaya, norma dan pemahaman ajaran agama yang ada dengan
memandang secara negatif dan menomorduakan kepentingan
perempuan.
Persoalan-persoalan perempuan, seperti yang telah dijabarkan, jelas
sangat memprihatinkan dan terlihat berseberangan dengan semangat
diratifikasinya Konvensi CEDAW. Belum lagi melalui UU No. 7 tahun
1984 dimana negara berkewajiban dan berupaya melakukan regulasi
yang melindungi dan menjamin hak-hak perempuan dan menghapuskan
kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan. (EBS)
Jurnal Perempuan 45
81
• Lampiran •
UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1984
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN
SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA
[CONVENTION ON THE ELEMINATION OF ALL FORMS OF
DISCRIMINATION AGAINTS WOMEN]
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. Bahwa segala warga negara bersama kedudukannya
didalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala
bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapus karena
tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b. Bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidang pada tanggal 18 Desember 1979, telah
menyetujui Konvensi mengenai penghapusan segala
bentuk Diskriminasi terhadap wanita [Convertion on the
Elimination of All Form Discrimination Against Women]
c. Bahwa ketentuan-ketentuan didalam Konvensi tersebut
diatas pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia;
d. Bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah
menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli
1980 sewaktu diadakan KonperensiSedunia Dasawarsa
Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi wanita di Kopenhagen;
e. Bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka di
pandang perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana
tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-Undang.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV MPR/1983 tentang Garis-Garis besar
Haluan Negara;
82
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI
PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP
WANITA [CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS
OF DISCRIMINITION AGAINST WOMEN]
Pasal 1
Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention on the Eliminition of All Forms of Discrimanition Against Women) yang telah
disetujui oleh Majelis Permusyarawatan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18
Desember 1979, dengan persyaratan [reservation terhadap pasal 29 ayat (1) tentang
penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang
salinannya dilampirkan pada Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1984
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Juli 1984
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, SH
SOEHARTO
Jurnal Perempuan 45
83
• Lampiran •
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 NOMOR 29
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7
TAHUN 1984
TENTANG
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA
[CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION
AGAINST WOMEN]
I. Umum
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi
mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita.
Diskriminasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan
hak dengan pria dan menyatakan langkah-langkah seperlunya untuk menjamin
pelaksanaan deklarasi tersebut.
Oleh karena deklarasi itu sifatnya tidak mengikat, maka Komisi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi tersebut
menyusun rencana konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
Pada tanggal 18 Desember tahun 1979 Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah menyetujui Konvensi tersebut karena ketentuan Konvensi pada dasarnya
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, maka
Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan
Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah
merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember
1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan
pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut.
Dalam pemungutan suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai
perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha
internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena isi
Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar
tahun 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan.
Ketentuan Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Nasional yang mengandung asas persamaan hak
antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah
kita anggap baik atau lebih baik dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi
bangsa Indonesia. Dalam pelaksanannya, ketentuan dalam konvensi ini wajib
disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya,
adat istiadat serta morma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara
luas masyarakat Indonesia.
84
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa
pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang
dikehendaki bangsa Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal 29 Konvensi memuatkan ketentuan tentang cara untuk menyelesaikan
perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau penerapan
ketentuan konvensi. Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri
pada ketentuan pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima
suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia
tersangkut, kepada Mahkamah Internasional.
Dengan pertimbangan tersebut di atas Indonesia mengadakan persyaratan
[reservation] terhadap pasal 29 ayat (1) Konvensi hingga dengan demikian
Indonesia menyatakan dirinya tidak terikat oleh pasal tersebut.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3277.
Jurnal Perempuan 45
85
• Lampiran •
LAMPIRAN :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1984
TANGGAL 24 JULI 1984
Tentang:
PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA[CONVENTION ON THE ELIMINATION OF
ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINTS WOMEN]
Diterjemahkan oleh :
Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia [KNKWI] bekerja sama dengan
Departemen Luar Negeri RI.
Disempurnakan oleh :
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita
Catatan :
Apabila terjadi ketidaksamaan penafsiran dalam penterjemahaan, maka yang
digunakan sebagai pedoman adalah naskah aslinya yang berbahasa Inggris.
KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK
DISKRIMINASI TERHADAP WANITA
Negara-negara peserta pada Konvensi yang sekarang ini,
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi
keyakinan atas hak-hak azazi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan
atas persamaan hak antara pria dan wanita.
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azazi Manusia
menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa
semua manusia dlahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap
orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan
apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.
Memperhatikan bahwa Negara-Negara peserta pada perjanjian Internasional
mengenai hak-hak Azazi Manusia berkewajiban untuk menjamin hak yang sama antara
pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi sosial, budaya, sipil dan politik.
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah
naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khususnya, yang menganjurkan
86
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
persamaan hak antara pria dan wanita.
Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan rekomendasirekomendasi yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan
khususnya yang menganjurkan persamaan hak antara pria dan wanita.
Namun demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacammacam dokumen tersebut, namun diskriminasi yang luas terhadap wanita masih tetap
ada.
Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap wanita adalah melanggar azas persamaan
hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi
wanita, atas dasar persamaan dengan kaum pria dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi
dan budaya negara-negara mereka. Hal ini menghambat perkembangan kemakmuran
masyarakat dan menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum
wanita dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat
manusia.
Memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, wanita yang paling sedikit
mendapat kesempatan untuk memperoleh makanan, pemeliharaan kesehatan,
pendidikan, pelatihan, maupun untuk memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain
kebutuhan.
Yakin bahwa dengan terbentuknya tata ekonomi internasional yang baru, berdasarkan
pemerataan dan keadilan, akan memberikan sumbangan yang berarti terhadap
peningkatan persamaan antara pria dan wanita.
Menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan semua bentuk rasisme,
diskriminasi rasial, kolonialisme, neo kolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi
serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri. Negara adalah penting, untuk
dapat menikmati sepenuhnya hak-hak pria dan wanita.
Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional,
pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal balik diantara semua negara,
terlepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata nuklir di bawah
pengawasan internasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-azas keadilan,
persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara,realisasi hak-hak
bangsa yang berada dibawah dominasi asing, dominasi kolonial pendudukan asing
untuk menetukan nasib sendiri dan kemerdekaannya, maupun menghormati kedaulatan
nasional dan keutuhan wilayah, akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan,
yang dampaknya akan menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara pria
dan wanita.
Yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu negara,
kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi maksimal kaum
wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria di segala lapangan.
Mengingatkan kembali sumbangan besar kaum wanita terhadap kesejahteraan
keluarga dan pembangunan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti
sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dalam membesarkan
Jurnal Perempuan 45
87
• Lampiran •
anak-anak, dan menyadari bahwa peranan wanita dalam memperoleh keturunan
hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anakanak menghendaki pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita dan masyarakat
sebagai keseluruhan.
Menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional kaum pria maupun
peranan kaum wanita dalam masyarakat dan dalam keluarga, untuk mencapai persamaan
sepenuhnya antara pria dan wanita.
Bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum dalam Deklarasi mengenai
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, dan untuk itu membuat peraturan yang
diperlukan untuk menghapus diskriminasi seperti itu dalam segala bentuk dan
perwujudannya,
Telah bersepakat mengenal hal-hal sebagai :
BAGIAN I
Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah “Diskriminasi terhadap Wanita”
berarti setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebabasankebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Pasal 2
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya
dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditundatunda, kebijaksanaan menghapus terhadap wanita, dan untuk tujuan ini berusaha.
a. Mencantumkan azas persamaan antara pria dan wanita dalam Undang-Undang
Dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya jika belum
termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari azas ini melalui
hukum dan cara-cara lain yang tepat;
b. Membuat peraturan perundang-undangan lain yang tepat dan peraturanperaturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang semua
diskriminasi terhadap wanita;
c. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang
sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang
kompeten dan bahan-bahan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita
yang efektif terhadap setiap tindakan diskriminasi;
d. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap wanita, dan
untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga
negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;
88
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
e. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakuan
diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.
f.
Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undangundang untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturanperaturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap
wanita;
g. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap wanita.
Pasal 3
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial,
ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita
sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hakhak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan
pria.
Pasal 4
1. Pembuatan peraturan-peraturan khusus sementara oleh negara-negara peserta
yang ditujukan untuk mempercepat persamaan “de facto” antara pria dan
wanita, tidak dianggap diskriminasi seperti ditegaskan dalam Konvensi yang
sekarang ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan
norma-norma yang tak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan ini
dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.
2. Pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk
peraturan-peraturan yang dimuat dalam Konvensi, yang sekarang ini, ditujukan
untuk melindungi kehamilan, tidak dianggap diskriminasi.
Pasal 5
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat :
a. Untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita dengan
maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaankebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau
superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi pria
dan wanita.
b. Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga melalui pengertian yang tepat
mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab
bersama pria dan wanita dalam membesarkan anak-anak mereka,
seyogyanyalah bahwa kepentingan anak-anak adalah pertimbangan utama
dalam segala hal.
Pasal 6
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita
dan eksploitasi pelacuran.
Jurnal Perempuan 45
89
• Lampiran •
BAGIAN II
Pasal 7
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan
kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan
dengan pria, hak :
a. Untuk memilih dan dipilih.
b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan
segala fungsi pemerintahan di semua tingkat;
c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan
non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik
negara.
Pasal 8
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin
bagi wanita kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional
dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional atas dasar
persamaan dengan pria tanpa suatu diskriminasi.
Pasal 9
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita hak yang sama dengan
pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya
kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara otomatis Negaranegara peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang
asing maupun perubahan mengubah kewarganegaraan atau memaksakan
kewarganegaraan suaminya kepadanya.
2. Negara-negara peserta wajib memberi kepada wanita hak yang sama dengan
pria berkenaan kewarganrgaraan anak-anak mereka.
BAGIAN III
Pasal 10
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita guna menjamin bagi mereka hak-hak yang
sama dengan pria di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara
pria dan wanita :
a. Persyaratan yang sama untuk mebimbing karir dan keahlian, untuk kesempatan
mengikuti pendidikan dan memperoleh ijazah dalam lembaga-lembaga pendidikan
90
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
segala tingkatan baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Persamaan ini
wajib dijamin baik dalam pendidikan taman kanak-kanak, umum teknik, serta
dalam pendidikan keahlian tehnik tinggi maupun dalam segala macam jenis
pelatihan kejuruan;
b. Pengikutsertaan pada kurikulum yang sama, ujian yang sama, staf pengajar
dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah
yang berkualitas sama;
c. Penghapusan tiap konsep yang stereotip mengenai peranan pria dan wanita di
segala tingkat dan dalam segala bentuk pendidikan dengan menganjurkan koedukasi dan lain-lain jenis pendidikan yang akan membantu untuk mencapai
tujuan ini, khususnya dengan merevisi buku wajib dan program-program sekolah
serta penyesuaian metode mengajar;
d. Kesempatan yang sama untuk mengambil manfaat dari beasiswa dan lain-lain
dana pendidikan;
e. Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan yang
berkelanjutan, termasuk progam pendidikan orang dewasa dan pemberantasan
buta huruf fungsional, khususnya program-program yang ditujukan pada
pengurangan sedini mungkin tiap jurang pemisah dalam pendidikan yang ada
antara pria dan wanita;
f.
Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program
untuk gadis-gadis dan wanita yang sebelum waktunya meninggalkan sekolah.
g. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan
pendidikan jasmani;
h. Dapat memperoleh penerangan edukatif khusus untuk membantu menjamin
kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk penerangan dan nasehat
mengenai keluarga berencana.
Pasal 11
a. Hak untuk bekerja sebagai hak azasi manusia;
b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi
yang sama dalam penerimaan pegawai;
c. Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk promosi,
jaminan pekerjaan dan semua tunjangan serta fasilitas kerja, hak untuk
memperoleh pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang temasuk masa kerja sebagai
magang, pelatihan kejuruan lanjutan dan pelatihan ulang lanjutan;
d. Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik
untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan dengan nilai yang
sama, maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan;
e.
Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam pensiun, pengangguran, sakit,
cacat, lanjut usia, serta lain-lain, ketidakmampuan untuk bekerja, hak atas
masa cuti yang di bayar;
f.
Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha
perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan.
Jurnal Perempuan 45
91
• Lampiran •
2.
Untuk mencegah diskriminasi terhadap wanita atas dasar perkawinan atau kehamilan
dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negara-negara peserta
wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat :
a. Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan
atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status
perkawinan;
b. Untuk mengadakan peraturan cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan
sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula;
c. Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial yang perlu guna
memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga
dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat,
khususnya dengan meningkatkan pembentukkan dan pengembangan suatu
jaringan tempet-tempat penitipan anak;
d. Untuk memberikan perlindungan khusus kepada kaum wanita selam kehamilan
pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka;
3. Perundang-undangan yang brsifat melindungi sehubungan dengan hal-hal yang
terhadap dalam pasal ini wajib ditinjau kembali secara berkala berdasar ilmu
pengetahuan dan tehnologi, serta direvisi, dicabut atau diperluas menurut keperluan.
Pasal 12
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita di bidang pemeliharaan kesehatan
dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan
yang berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara
pria dan wanita.
2.
Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat (1) ini, negara-negara peserta wajib
menjamin kepada wanita pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan,
persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan cumacuma dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama
kahamilan dan masa menyusui.
Pasal 13
Negara-negara wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus
diskriminasi terhadap wanita di lain-lain bidang kehidupan ekonomi dan sosial supaya
menjamin hak-hak yang sama, atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya:
a. Hak atas tunjangan keluarga
b. Hak atas pinjaman bank, hipotik dan lain-lain bentuk kredit permodalan;
c. Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olahraga dan semua
segi kehidupan kebudayaan.
Pasal 14
1. Negara-negara wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi
oleh wanita di daerah pedesaan dan peranan yang dimainkan wanita pedesaan
92
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
demi kelangsungan hidup keluarga mereka dibidang ekonomi, termasuk pekerjaan
mereka pada sektor ekonomi bukan penghasil uang, dan wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menjamin penerapan ketentuanketentuan Konvensi ini bagi wanita di daerah pedesaan.
2. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita di daerah pedsaan, dan menjamin
bahwa mereka ikut serta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan
pedesaan atas dasar persamaan antara pria dan wanita, khususnya menjamin
kepada wanita pedesaan hak :
a. Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan
pembangunan di segala tingkat;
b. Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan dan kesehatan yang memadai,
termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga
berencana;
c. Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial;
d. Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal
maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan
buta huruf fungsional serta, manfaat semua pelayanan masyarakat dan
pelayanan penyuluhan guna meningkatkan keterampilan tehnik mereka;
e. Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya
memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi
melalui pekrjaan atau kewiraswastaan;
f.
Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat;
g. Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas
pemasaran, tehnologi tepat-guna, serta perlakuan sama pada landreform
dan urusan-urusan pertanahan termasuk pengaturan-pengaturan tanah
pemukiman;
h. Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubungan
dengan perumahan, sanitasi penyediaan listrik dan air, pengangkutan dan
komunikasi.
BAGIAN IV
Pasal 15
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita persamaan hak dengan
pria di muka hukum.
2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita dalam urusan-urusan
sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum pria dan kesempatan yang
Jurnal Perempuan 45
93
• Lampiran •
sama untuk menjalankan kecakapan tersebut, khususnya agar memberikan
kepada wanita hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan
untuk mengurus harta benda, serta wajib memberikan mereka perlakuan yang
sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.
3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen
yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan
hukum bagi wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada pria dan wanita hak-hak
yang sama berkenaan dengan hukum yang berhubungan dengan mobilitas
orang-orang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.
Pasal 16
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam semua urusan yang berhubungan
dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara
pria dan wanita, dan khussusnya akan menjamin :
a. Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;
b. Hak sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang
perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;
c. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada
pemutusan perkawinan;
d. Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas dari status
kawin mereka, dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak
mereka. Dalam semua kasus, kepentingan anak-anaklah yang wajib
diutamakan;
e. Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab
jumlah dan penjarakan kelahiran anak-anak mereka serta memperoleh
penerangan, pendidikan dan sarana-sarana untuk memungkinkan mereka
menggunakan hak-hak ini;
f.
Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak atau lembaga-lembaga
yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perundangan-undangan
nasional, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang wajib
diutamakan;
g. Hak pribadi yang sama sebagai suami-istri, termasuk hak untuk memilih
nama keluarga, profesi dan jabatan;
h. Hak sama untuk kedua suami istri bertalian dengan pemilihan, perolehan,
pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindah tangankan harta
benda, baik secara cuma-cuma maupun dengan penggantian berupa uang.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum
dan semua tindakan yang perlu, termasuk perundang-undangan, wajib diambil
untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran
perkawinan di Kantor Catatan Sipil yang resmi.
94
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
BAGIAN V
Pasal 17
1. Untuk menilai kemajuan yang telah dibuat pada implementasi Konvensi yang
sekarang ini, dibentuk suatu Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita
[Commite CEDAW, selanjutnya disebut Komite]. Pada waktu Konvensi ini mulai
berlaku, Komite terdiri dari delapan belas orang dan setelah Konvensi ini
diratifikasi atau dilakukan aksesi oleh negara peserta ketiga puluh lima, terdiri
dari dua puluh tiga orang ahli yang bermartabat tingggi dan kompoten di bidang
yang dicakup oleh Konvensi ini. Ahli-ahli ini akan dipilih oleh negara-negara
peserta di antara warga negaranya dan bertindak dalam kapasitas pribadi
mereka, dengan mempertimbangkan distribusi geografis yang tepat dan
mempertimbangkan unsur-unsur dari berbagai bentuk peradababn manusia
dan hukum utama yang berlaku.
2. Anggota-anggota Komite dipilih dengan jalan pemungutan suara secara rahasia
dari daftar nama orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara peserta.
Setiap negara peserta mencalonkan seorang di antara warganegaranya sendiri.
3. Pemilihan pertama diadakan enam bulan setelah tanggal mulai berlakunya
Konvensi. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal setiap pemilihan,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada
negara-negara peserta, mengundang mereka untuk mengajukan pencalonan
mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar
menurut urutan dari semua orang yang dicalonkan itu, dengan mencantumkan
nama peserta yang telah mencalonkan mereka, dan menyampaikan daftar itu
kepada negara peserta;
4. Pemilihan para anggota Komite diadakan pada suatu rapat antar negara-negara
peserta yang diundang oleh Sekretaris Jenderal di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Pada rapat tersebut, dua pertiga dari negara-negara yang
terpilih untuk Komite itu adalah calon-calon yang memperoleh jumlah suara
terbesar dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-negara peserta
yang hadir yang memberikan suara.
5. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Namun, masa
jabatan sembilan orang di antara anggota yang dipilih pada pemilihan pertama
habis waktunya setelah dua tahun berakhir, segera setelah pemilihan pertama,
nama-nama kesembilan anggota ini dipilih melalui undian oleh Ketua Komite.
6. Pemilihan lima orang anggota Komite tambahan diadakan sesuai dengan
ketentuan ayat (2) (3) dan (4) pasal ini, setelah ratifikasi atau aksesi yang
ketiga puluh lima. Masa jabatan dua orang di antara anggota-anggota tambahan
yang dipilih pada kesempatan ini habis waktunya setelah dua tahun berakhir,
nama-nama kedua anggota ini dipilih melalui undian oleh ketua Komite.
7. Untuk mengisi lowongan yang timbul secara insidentil, negara-negara peserta
yang ahlinya berhenti berfungsi sebagai anggota, Komite menunjuk ahli lain
dari antara warganegara yang harus disetujui oleh Komite.
8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
akan menerima tunjangan-tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-
Jurnal Perempuan 45
95
• Lampiran •
Bangsa menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh Majelis, mengingat
pentingnya tanggung jawab Komite.
9. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan pegawai-pegawai
dan fasilitas yang diperlukan bagi pelaksanaan efektif fungsi-fungsi Komite di
bawah Konvensi ini.
Pasal 18
1. Negara-negara peserta yang menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh Komite laporan
mengenai peraturan-peraturan legistatif, judikatif, administratif atau langkahlangkah lain yang telah diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dari
Konvensi yang sekarang ini dan laporan-laporan mengenai kemajuan yang
dicapai :
a. Dalam satu tahun setelah mulai berlaku untuk negara yang bersangkutan;
dan
b. Sesudah itu sekurang-kurangnya tiap empat tahun dan selanjutnya sewaktuwaktu sesuai permintaan Komite.
2.
Laporan dapat memuat faktor dan kesulitan yang mempengaruhi tingkat
pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terdapat didalam Konvensi ini.
Pasal 19
1. Komite wajib membuat peraturan-peraturan prosedurnya sendiri.
2. Komite wajib memilih pejabat-pejabatnya unruk masa jabatan dua tahun.
Pasal 20
1. Komite wajib tiap tahun mengadakan pertemuan untuk jangka waktu tidak lebih
dari dua minggu guna mempertimbangkan laporan-laporan yang diajukan sesuai
dengan pasal 18 Konvensi ini.
2. Pertemuan Komite tersebut pada ayat (1) diadakan di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau tempat lain sesuai dengan keputusan Panitia.
Pasal 21
1. Komite, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, setiap tahun wajib melapor kepada
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya serta dapat
memberi saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelitian laporanlaporan dan keterangan yang diterima dari negara-negara peserta. Saransaran dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite
bersama-sama dengan tanggapan, jika ada, dari negara-negara peserta.
2. Sekretaris Jenderal wajib mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi
Kedudukan Wanita, untuk diketahui.
96
Jurnal Perempuan 45
• Lampiran •
Pasal 22
Badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa berhak untuk diwakili sesuai dengan
lingkup kegiatan mereka pada waktu dipertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan
konvensi ini. Komite dapat memintanya badan-badan khusus tersebut untuk
menyerahkan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk lingkup kegiatan
mereka.
BAGIAN VI
Pasal 23
Adapun dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi ketentuan manapun yang lebih
baik bagi tercapainya persamaan antara pria dan wanita yang mungkin terdapat :
a. Dalam perundang-undangan suatu negara peserta; atau
b. Dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan internasional manapun yang
berlaku bagi negara itu.
Pasal 24
Negara-negara peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu
pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari
hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.
Pasal 25
1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua negara.
2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan
Konvensi ini.
3. Konvensi ini perlu diratifikasi. Instrumen-instrumen ratifikasi disimpan pada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua negara. Aksesi berlaku dengan
penyimpanan instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa.
Pasal 26
1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat diajukan sewaktu-waktu oleh
setiap negara peserta dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila perlu menentukan langkahlangkah yang akan diambil bertalian dengan permintaan tersebut.
Jurnal Perempuan 45
97
• Lampiran •
Pasal 27
1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal disimpankannya
instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang keduapuluh pada Sekretaris
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau yang melakukan aksesi
setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang
keduapuluh, Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketigapuluh tanggal
disimpankannya instrumen ratifikasi atau instrumen aksesinya sendiri.
Pasal 28
1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan
kepada semua negara naskah keberatan-keberatan yang dibuat oleh negaranegara pada waktu ratifikasi atau aksesi.
2. Keberatan yang bertentangan dengan sasaran dan tujuan Konvensi ini tidak
diijinkan.
3. Keberatan-keberatan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dengan
memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua negara.
Pasal 29
1.
Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara peserta mengenai penafsiran
atau penerapan Konvensi ini tidak diselesikan melalui perundingan, diajukan
untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara negara-negara tersebut.
Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrasi itu, salah satu
dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah
Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan Peraturan Mahkamah
itu.
2. Setiap negara peserta pada waktu penandatanganan atau ratifikasi Konvensi
ini atau pada waktu aksesi dapat menyatakan bahwa negara peserta itu tidak
menganggap dirinya terikat oleh ayat (1) pasal ini, negara-negara peserta lain
tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap negara peserta yang telah membuat
keberatan demikian.
3. Negara peserta yang telah mengajukan keberatan seperti tersebut pada ayat
(2) pasal ini sewaktu-waktu dapat menarik kembali keberatannya dengan jalan
pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis,
Rusia, dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama dan wajib disimpan pada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Demikianlah yang bertandatangan dibawah ini, diberikan kuasa sebagaimana mestinya,
telah menandatangani Konvensi ini.
98
Jurnal Perempuan 45
Portal berita perempuan pertama
di Indonesia dengan corak
jurnalisme yang sensitif gender,
kami ingin menampilkan
kesetaraan dalam aktualitas.
Ikuti:
• Berita perempuan terkini
• Profil tokoh perempuan
• Artikel perempuan
• Feature perempuan
• Agenda-agenda YJP terbaru
• Konselling
• Produk-produk YJP
• Program-Program YJP
• dsb
100
Jurnal Perempuan 45
• Topik Empu •
Pemenuhan
Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
Ani Soetjipto
“ Those societies which have given equal access to women and
men in economic and political opportunities have progressed
much faster than those which denied such access. Gender equality
is necessary condition for sound human development” -Mahbub
Ul Haq-1
I
ndonesia selama ini telah memiliki catatan panjang dalam upaya
pemberdayaan perempuan melalui berbagai ketentuan dalam
undang-undang. Jika ditelusuri, ketentuan dalam UUD 1945 secara
formal sebenarnya telah menjamin partisipasi perempuan Indonesia
dalam arena politik. Amatilah pasal-pasal yang tertuang dalam UUD 45,
terlihat bahwa negara menolak diskriminasi dalam bentuk apapun
terhadap warga negaranya, bahwa negara mengakui hak dasar setiap
warga negara. Selain itu, negara juga ‘memberi perlakuan khusus’
(affirmative action) agar setiap warga negara memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hak-hak
politik warga negara antara lain tercantum dalam pasal 27 (1), 28 E (3),
dan 28 H (2).
Jurnal Perempuan 45
101
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
Ani Soetjipto
Pada tahun 1952, Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai
hak politik perempuan (UN Convention on Political Rights of Women)
melalui UU No. 68 tahun 1958, di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Undang-undang ini memberikan perempuan hak untuk memilih dan
dipilih dalam lembaga legislatif negara.
Pada tahun 1984, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto,
Indonesia kembali meratifikasi Konvensi PBB mengenai Penghapusan
terhadap Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UN
Convention on the Elimination of All Form of Discrimination against Women
disingkat CEDAW) melalui UU No. 7/1984.
Selanjutnya, tahun 1999 pemerintahan Presiden Habibie meratifikasi
Optional Protocol of the Women Convention (OP-CEDAW). OP-CEDAW
adalah instrumen hak asasi manusia yang melengkapi konvensi CEDAW
dengan menetapkan dua prosedur tambahan yang bertujuan untuk
memberikan kesempatan mendapatkan keadilan bagi perempuan di
tingkat internasional. OP-CEDAW menetapkan dua prosedur tambahan
yaitu prosedur komunikasi dan investigasi yang bertujuan untuk
menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Sejak
saat itu memang pemerintah Indonesia melakukan upaya serius
memperbaiki kebijakan pemberdayaan perempuan melalui strategi
“pengarusutamaan gender”(gender mainstreaming).
Pada Februari 2003, Indonesia kembali mengadopsi kebijakan kuota
yang bersifat sukarela dalam UU No. 12/2003 yang berkaitan dengan
Pemilu, sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi politik
perempuan.
Terlepas dari semua ketentuan tersebut pada kenyataannya
partisipasi politik perempuan dan hak-hak politik perempuan masih
sangat terbatas dan jauh tertinggal atau jauh dari target sebagaimana
yang dicanangkan dalam Konferensi Perempuan Dunia di Beijing tahun
1995 (Beijing Platform for Action). Lalu bagaimana pelaksanaannya hingga
kini?
Tulisan berikut ini akan membahas situasi empirik yang berkaitan
dengan pemenuhan hak-hak perempuan dalam partisipasinya di bidang
politik di Indonesia.
Data dan Fakta Perempuan di Lembaga Legislatif
Tabel di bawah ini (tabel 1) menunjukkan bahwa perempuan yang
102
Jurnal Perempuan 45
Ani Soetjipto
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
duduk di lembaga legislatif di tingkat nasional, tercatat hanya sekitar
11,82%. Sementara di tingkat provinsi (lihat tabel 2) dan kabupaten/
kota jumlahnya lebih kecil lagi hanya sekitar 10% di DPRD I dan 8% di
DPRD II. Jumlah perempuan di DPD cukup tinggi (21,1%). Dalam badan
legislatif dua kamar (DPR dan DPD) representasi perempuan di MPR
tercatat 16,46%. Walaupun keterwakilan perempuan di DPD cukup
tinggi, namun wewenang yang dimainkan DPD masih sangat terbatas
dan lebih sempit dibandingkan dengan DPR, sehingga terkesan hanya
berfungsi ‘setengah kamar’ saja.2
Tabel 1.
Perempuan dalam Lembaga Legislatif (DPR- RI) 2005
Partai
Perempuan
Laki-laki
Jumlah
Golkar ( Golongan Karya)
20
100
120
PDI-P ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
13
96
109
PPP ( Partai Persatuan Pembangunan)
4*
54
58
Partai Demokrat
6
51
57
PKB ( Partai Kebangkitan Bangsa)
7
45
52
PAN ( Partai Amanat Nasional)
7
46
53
PKS ( Partai Keadilan Sejahtera)
3
42
45
PBR ( Partai Bintang Reformasi)
2
12
14
PDS ( Partai Damai Sejahtera)
3
10
13
Partai Pelopor
1
2
3
JUMLAH
65(11,82%) 485(88,15%) 550 (100%)
Sumber: CETRO, 2005
· tidak termasuk data dari Papua Barat, Kalimantan Tengah, Maluku.
Tabel 2.
Representasi Perempuan di DPR-RI, DPRD I, DPRD II dan DPD
Institusi
Perempuan
Laki-laki
Jumlah
DPR-RI**
65 (11,82%)
485 (88,15%)
550
27 (21,1%)
101 (78,9%)
128
DPD
DPRD I ( Pripinsi)
188 (10%)
1662 (90%)
1850
DPRD II ( Kabupaten/kota)
1090 (8%)
12046 (92%)
13.125
Sumber: CETRO, 2005
· ** 4 anggota baru perempuan menggantikan Suryadharma Ali, Fahmi Idris, Pramono Anung dan
kemenangan hasil keputusan sengketa Pemilu di Irjabar untuk partai Pelopor.
Jurnal Perempuan 45
103
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
Ani Soetjipto
Perempuan di Lembaga Eksekutif
Data-data berikut ini menunjukkan bahwa dilihat dari sisi kuantitas,
partisipasi politik perempuan di bidang politik dan pengambilan
keputusan memang masih sangat rendah, walaupun jika kita amati
rangkaian panjang undang-undang dan ketentuan internasional yang
telah diadopsi di Indonesia, Indonesia termasuk negara yang cukup
maju merespon berbagai tuntutan internasional yang berkaitan dengan
pemajuan hak-hak politik perempuan.
Tabel 3.
Perempuan yang Terpilih sebagai Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota hasil Pilkada 2005
No. Propinsi
Kabupaten/kota
Tanggal
Terpilih
Dukungan partai
1. JATENG
Kebumen
05-Juni
2. DIY
Gunung Kidul
26 Juni
3. JATIM
Banyuwangi
20 Juni
4. SULUT
Minahasa Utara
20 Juni
5. SULUT
Tomohon
20 Juni
6. MALUKU
Seram Timur
23 Juni
Rustriningsih dan PDI-P
M Nasirudin
Al Mansyur
Soeharto dan
PAN
Ny Badingah
Ratna Ani Lestari Koalisi 18 parpol
dan Yusuf Nuris
kecil
Vonny Panambunan PD dan PKPI
dan Sonya Singai
Jeferson Rumajan PNBK, PKPB, PPD,
dan Lineke W
dll
Abdullah Vanath PKPB, PKS, PKPI
dan Siti Umuria
Sumber: CETRO, 2005
Jumlah perempuan dalam kabinet Indonesia bersatu di bawah
presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini pada akhirnya adalah hanya
11,11 % dari total keseluruhan 36 anggota.
Tabel 4.
Perempuan dalam Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudoyono(2005–2009)
No. Nama
Kementrian
1.
2.
3.
4
Menteri
Menteri
Menteri
Menteri
104
Sri Mulyani Indrawati
Mari Elka Pangestu
Siti Fadilah Supari
Meutia Farida Hatta Swasono
Keuangan
Perdagangan
Kesehatan
Pemberdayaan Perempuan
Jurnal Perempuan 45
Ani Soetjipto
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
Foto: Dok. YJP
Namun demikian, dari data-data yang telah dijabarkan tetap terlihat
adanya jurang yang begitu lebar antara ketentuan formal dengan
implementasi. Mengapa? Sebuah studi yang dilakukan oleh FES
(Friedrich Ebert Stiftung) dan menganalisa tentang partisipasi perempuan
dalam bidang politik dan pengambilan keputusan di lima negara Asia
(Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand)3 memperoleh
temuan menarik atas persoalan ini.
Pertama adalah tidak ada satu pun negara di Asia yang menjadi objek
penelitian, mampu mencapai angka keterwakilan yang mendekati 30%
seperti yang tertuang dalam berbagai advokasi internasional yang
dilakukan setelah Deklarasi Beijing di tahun 1995. Di Indonesia, kita
melihat hanya ada sedikit kenaikan di tahun 2004 tapi hasil dari Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah) menunjukkan bahwa kita layak cemas bahwa
proses desentralisasi demokratisasi di Indonesia terlihat semakin
menjauhkan perempuan dari posisi-posisi kunci sebagai pengambil
keputusan di tingkat lokal.
Kedua, hambatan sosial budaya
masih menjadi kendala terbesar bagi
perempuan untuk dapat berpartisipasi di bidang politik. Budaya
patriarkhi masih menjadi kendala
yang ditemukan di semua negara
Asia, dan pandangan-pandangan
tersebut diyakini tidak saja oleh
banyak laki-laki tetapi juga sebagian perempuan sebagai suatu
kebenaran. Di Indonesia kendala
budaya ini semakin diperkuat
dengan interpretasi ajaran agama. Kita menyaksikan desentralisasi
demokrasi di banyak daerah kembali memarjinalkan perempuan dan
menciptakan aturan-aturan hukum yang membatasi kembali peran
publik dari perempuan. Justifikasi mempertahankan adat dan budaya
lokal/asli yang selalu dikemukakan sebagai alasan.
Ketiga, transisi demokrasi yang berlangsung di negara-negara Asia
termasuk Indonesia, walaupun di satu sisi berhasil melakukan reformasi
hak-hak politik perempuan lewat penataan ulang mekanisme ketatanegaraan melalui reformasi konstitusi maupun perundang-undangan
Jurnal Perempuan 45
105
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
Ani Soetjipto
nasional, tapi di sisi lain juga gagal melakukan perubahan substansial
dalam proses demokratisasi yang berjalan. Yang banyak terjadi adalah
demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial. Di Indonesia
walaupun kebijakan affirmative terhadap perempuan dapat diadopsi,
namun hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak untuk
diimplementasikan. Kendala terbesar adalah partai politik yang belum
sepenuhnya berubah dan aktor-aktor politik yang masih didominasi
oleh banyak ‘pemain lama’.
Keempat, isu perempuan dan politik masih menjadi isu yang datang
dan hilang dalam gerakan perempuan di banyak negara Asia termasuk
Indonesia. Isu perempuan, politik dan pengambilan keputusan belum
menjadi arus utama dari fokus gerakan perempuan. Di Indonesia, kita
menyaksikan betapa gerakan perempuan sangat majemuk yang dapat
dilihat dari isu dan strategi yang beragam untuk memperjuangkan hakhak politik perempuan. Tingkat perjuangan mereka juga berada di
berbagai permukaan di tingkat makro atau strategis maupun di lingkup
mikro atau kepentingan praktis perempuan. Memang tidak ada yang
salah, mengingat masalah perempuan begitu beragam, kompleks dan
parah. Tapi sisi buruknya adalah gerakan politik perempuan acapkali
menjadi tidak produktif. Semua ingin ditangani, dan kenyataannya
memang banyak yang tak tertangani.
Kelima, di lima negara Asia yang menjadi objek penelitian,
pemerintahannya masih melihat isu perempuan sebagai persoalan
kesejahteraan (welfare) yang erat berkaitan dengan pengentasan
kemiskinan dan perlindungan bagi kelompok-kelompok marjinal.
Program anti kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan
dan anak, kesehatan, pendidikan, adalah contoh konkret dari isu-isu
kesejahteraan yang dianggap menjadi isu perempuan yang penting di
banyak negara. Di semua negara Asia termasuk Indonesia, pemerintah
masih belum sampai pada upaya pemberdayaan politik perempuan serta
mewujudkan keadilan bagi perempuan sebagai arus utama program
pemberdayaan perempuan. Dalam isu welfare yang dijadikan sebagai
sandaran pun kita melihat bahwa alokasi dana yang tersedia untuk menjalankan program-program tersebut sangat minim dan jauh dari memadai.
Keenam, jalan menuju partisipasi yang adil dalam bidang politik dan
pengambilan keputusan masih menjadi tantangan berat yang harus
dilalui. Jalan ini menjadi tidak mudah ketika ternyata, ikatan antara
106
Jurnal Perempuan 45
Ani Soetjipto
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
perempuan yang berada di posisi pengambilan keputusan dengan
mereka yang di luar juga ternyata tidak berkesinambungan. Cita-cita
yang tadinya diusung adalah dengan adanya sejumlah perempuan di
posisi pengambilan keputusan, kita berharap mereka bisa lebih baik
memperjuangkan kepentingan perempuan dengan asumsi bahwa
sebagai perempuan mereka juga memiliki pengalaman yang sama
sehingga dapat mudah mengerti. Harapan itu tinggal harapan. Banyak
sekali perempuan di posisi pengambilan keputusan yang ternyata tidak
pernah memikirkan dan memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan mayoritas masyarakat.
Penutup
Dari sejumlah data yang disajikan dan uraian persoalan partisipasi
perempuan dalam politik di Asia dan Indonesia, terutama, dalam
meninjau sejauhmana implementasi CEDAW di negeri ini, maka kita
perlu mengambil langkah strategis. Yaitu dalam rangka memajukan
hak-hak politik perempuan di Indonesia dimana pemerintah kita ikut
menandatangani konvensi CEDAW tersebut. Langkah strategis yang
penting untuk dilakukan adalah beberapa pertanyaan yang harus
terjawab berikut ini.
Pertama, apakah kita lebih baik mempunyai ‘sedikit perempuan’ di
posisi pengambilan keputusan tetapi mereka mempunyai kapasitas dan
kepekaan daripada ‘lebih banyak perempuan’ tetapi tidak menjalankan
mandat yang diembannya untuk mengakomodasi kepentingan
perempuan? Dengan kata lain, apakah lebih baik kualitas atau kapasitas
daripada mengejar jumlah atau kuantitas?
Kedua, apakah memang menjadi lebih strategis bersekutu dengan
laki-laki yang mengerti persoalan perempuan daripada terus berteriak
kepentingan perempuan yang hanya dapat dipahami oleh perempuan?
Dengan kata lain, yang penting adalah ‘perspektifnya gender-nya’
daripada ‘jenis kelaminnya’.
Ketiga, di tengah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat pada
elit politik, partai politik, dan beban ekonomi mereka yang semakin hari
semakin berat, masih adakah peluang agar masyarakat dapat percaya
pada kandidat perempuan sehingga akan memilih perempuan pada
pemilu mendatang, serta apakah masyarakat tidak apatis terhadap
politik?
Jurnal Perempuan 45
107
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
Ani Soetjipto
Foto: Dok. YJP
Keempat, bagaimana pendidikan politik warga harus dijalankan di
berbagai kelompok sasaran yang berbeda dan sangat majemuk serta
heterogen dilihat dari sisi ekonomi, status sosial, lapangan kerja,
pendidikan serta mengajarkan berbagai kebajikan nilai-nilai demokrasi
yang lebih baik dari pada melalui sistem yang otoritarianisme?
Kelima, bagaimana instrumen demokrasi harus di bangun di
Indonesia, mengingat instrumen demokrasi seperti partai politik, belum
menjadi instrumen pendukung untuk pemajuan demokrasi itu sendiri.
Tantangan demokrasi di Indonesia juga mengalami ancaman dengan
fenomena korupsi, primordialisme, dominasi eksekutif dan hilangnya
peran pengawasan dan penyeimbang dari
lembaga legislatif serta keterbatasan peran
yang bisa dimainkan oleh kelompok
masyarakat sipil di Indonesia. Di tengah
defisit-nya demokrasi tersebut, dan peluang kembalinya pemerintahan presidensial yang sangat kuat, peluang untuk
melakukan pembatasan terhadap peran
publik dan peran politik perempuan akan
semakin mudah dijalankan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul sebagai strategi ke depan karena
setelah melihat fenomena politik kontemporer yang terjadi di Indonesia serta
kenyataan di lapangan bahwa ternyata
banyak sekali wakil-wakil rakyat kita yang
perempuan juga sangat mengecewakan
dan tidak bisa memenuhi harapan. Tidak
sedikit perempuan politisi yang ternyata juga bagian dari politisi busuk
yang sibuk mementingkan diri sendiri dan lupa dengan amanat
konstituen yang diwakilinya. Mereka ikut terlibat korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Kapasitas
kebanyakan dari mereka juga sangat rendah untuk dapat menjalankan
fungsi yang mereka emban. Saat ini kita dihadapkan pada pilihan pilihan yang serba tidak mudah dan sulit mendapatkan semua yang
ideal, yang kita kehendaki. Maka dalam hal implementasi CEDAW
tentang hak-hak politik perempuan, kita harus memikirkan kendala108
Jurnal Perempuan 45
Ani Soetjipto
Pemenuhan Hak-Hak Politik Perempuan
Sejauh Manakah?
kendala tersebut, terutama setelah keterwakilan perempuan 30%
diterapkan dan hampir tak memetik harapan untuk kepentingan
perempuan sendiri.
Catatan Belakang
1
Mahbub ul Haq adalah ahli ekonomi dari Pakistan, salah satu pendiri tentang teori
Human Development. Ia adalah teman pribadi dari Amartya Sen ketika belajar di
Cambridge University. Ia juga membuat Human Development Index, yang digunakan
untuk laporan tahunan Pengembangan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia juga
pernah menjabat Direktur Perencanaan Kebijakan Bank Dunia. Pernyataannya ini
mengatakan bahwa negara yang maju secara ekonomi dan politik, indikatornya dapat
dilihat dari terpenuhinya hak-hak perempuan dan relasi yang setara antara laki-laki
dan perempuan.
2
Data yang diambil dari Centre for Electoral Reform (Cetro) atau Yayasan Pusat
Reformasi Pemilu tahun 2005, lihat informasi lainnya di www.cetro.or.id.
3
Tema ini terangkum dalam buku Southeast Asian Women in Politics and Decision
Making: Ten Years After Beijing: Gaining Ground? (Manila: SEAWatch and
Friedrich Ebert Stiftung , 2nd edition, July 2005).
Ikuti Jurnal Perempuan edisi 46 mendatang dengan tema
Jurnal Perempuan 45
109
• Topik Empu •
Menjamin Hak Perempuan
dan Anak Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
B
agaimana sebuah konvensi lahir sesungguhnya adalah hasil dari
pengamatan dan proses panjang dalam menjawab kebutuhan
nyata masyarakat secara universal, untuk mewujudkan keadilan,
meskipun secara umum untuk mencapai keadilan tersebut akan selalu
berbenturan dengan persoalan budaya dimana budaya yang terlanjur
terbentuk cenderung menerapkan sebaliknya (sesuatu yang justru
mengarah pada ketidakadilan).
Dalam hal ini, kita akan membahas bagaiamana terdapat dua kelompok
masyarakat yang paling rentan mengalami ketidakadilan di dunia
manapun (terutama negara berkembang) yaitu anak dan perempuan
(selain lansia, masyarakat etnis tertentu yang dipinggirkan, kelompok
Jurnal Perempuan 45
111
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
seks minoritas, orang-orang cacat, dan masyarakat yang kesulitan
ekonomi). Tulisan berikut ini sengaja memusatkan perhatian pada
masalah perempuan dan anak, sebab satu dengan lainnya sangatlah
berkaitan dimana secara alami anak akan lahir dari kandungan ibu,
dan ibu itu sendiri adalah jenis kelamin perempuan. Bahwa kedua
kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat ini sangat erat berkaitan
satu sama lain.
Atas persoalan kerentanan perempuan dan anak ini, perlu kita
merujuk dua konvensi internasional, yaitu Konvensi Hak Anak dan
CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan).
Menengok Masalah Anak dan Perempuan
Siapakah yang disebut anak? Ia mencakup anak laki-laki dan
perempuan yang berusia di bawah umur 18 tahun. Sementara dalam
Konvensi Hak Anak dan Perempuan menjadi mencakup segala usia
karena konvensi ini membicarakan anak perempuan dan perempuan
dewasa, tetapi tidak ada konvensi yang mengatur khusus tentang hak
laki-laki. Tidak adanya konvensi tentang hak laki-laki karena banyak
kasus yang menunjukkan persentase laki-laki sebagai korban
ketidakadilan secara mendasar sangat kecil, karena justru pada
kenyataannya kelompok masyarakat laki-laki memegang peranan
pencipta ketidakadilan dalam sosial, politik, ekonomi maupun budaya,
mengingat ruang publik memang telah lama dikuasai oleh kaum lakilaki. Namun demikian, mengapa ketidakadilan itu terjadi bukan pula
kesalahan semata-mata ditumpahkan kepada mereka.
CEDAW yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979
sebetulnya jauh sebelum muncul Konvensi Hak Anak. Munculnya
konvensi CEDAW dilatarbelakangi oleh terkumpulnya data mengenai
perempuan di seluruh dunia yang menunjukkan statistik mengejutkan
tentang perbedaan ekonomi dan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan merupakan golongan mayoritas dari orang miskin di dunia,
dan jumlah perempuan yang hidup di desa-desa miskin telah meningkat
50% sejak tahun 1975. Perempuan juga merupakan mayoritas
penyandang buta huruf di dunia. Jumlahnya meningkat dari 543 juta
menjadi 597 juta antara tahun 1970 sampai 1985. Perempuan di Asia
dan Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih banyak daripada kaum
112
Jurnal Perempuan 45
Magdalena Sitorus
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
laki-laki dan sebagian besar tidak mendapat bayaran. Diseluruh dunia
penghasilan perempuan berkisar antara 30 sampai 40 persen lebih rendah
daripada laki-laki untuk suatu pekerjaan yang sama. Bahkan hampir di
seluruh dunia hanya 10 sampai 20 persen jabatan manajerial dan
administrasi di pegang oleh perempuan dan kurang dari 20 persen untuk
jabatan di pabrik. Dan hal lainnya, kurang dari 5% perempuan yang
menjadi Kepala Negara. Pekerjaan perempuan di rumah dan dalam
lingkup keluarga tidak dibayar dan apabila pekerjaan ini diperhitungkan
sebagai produktivitas nasional maka penghasilan global akan meningkat
antara 25 sampai 30%.1
Oleh karena itu, dalam hal hak-hak anak, dalam CEDAW tercantum
dalam berbagai pasal kata-kata kepentingan anak-anak merupakan yang
tertinggi. Misalnya pada bagian I pasal 5 dinyatakan bahwa ‘Para Negara
Peserta’ akan mengambil semua tindakan yang tepat untuk (a)
mengurangi pola-pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan
perempuan dengan tujuan menghapuskan semua prasangka dan
kebiasaan dan semua praktek lain yang didasarkan pada pemikiran
rendahnya atau unggulnya baik jenis kelamin ataupun pada peranperan stereotip bagi laki-laki dan perempuan, (b) menjamin bahwa
pendidikan keluarga mencakup pengertian yang tepat mengenai
‘keibuan’ sebagai fungsi sosial dan pengakuan terhadap tanggung jawab
bersama dari laki-laki dan perempuan dalam pengasuhan dan
perkembangan anak-anak mereka, karena dimengerti bahwa kepentingan
anak-anak adalah merupakan pertimbangan primordial dalam semua hal.
Demikian pula dalam pasal 16; (a) hak dan tanggung jawab yang
sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka dalam
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan anak-anak mereka,
dalam semua kasus kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi,
(b) hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan,
pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak-anak atau lembagalembaga serupa dimana konsep-konsep ini ada dalam perundangundangan nasional, dalam semua kasus, kepentingan anak-anak harus
merupakan yang tertinggi.2
Kemudian lahirlah Konvensi Hak Anak yang ditetapkan oleh Majelis
Umum PBB 10 tahun kemudian atau pada tahun 1989, juga hasil
pengamatan dan pelaporan tentang ketidakadilan yang serius yang
diderita oleh anak-anak adalah; tingginya tingkat kematian anak,
Jurnal Perempuan 45
113
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dasar. Juga berbagai kasus tentang anak-anak
yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam
pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, anak-anak dalam penjara
serta anak-anak sebagai pengungsi dan korban-korban konflik
bersenjata. Bahkan di dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002
pada Bab II tentang Asas dan Tujuan juga telah disebutkan bahwa selain
UUD 1945 sebagai asas, tetapi juga prinsip-prinsip dasar dalam
Konvensi Hak-Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights of the Child)
yang meliputi3; non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.4 Dua hal mendasar atas persoalan anak
pada dua konvensi (CEDAW dan UU Perlindungan Anak) ini adalah
non diskriminasi dan kepentingan yang terbaik bagi anak atau dalam kata lain
kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi. Demikian pula halnya
dalam UU No. 23 tahun 2004 Bab II pasal 3 tentang Asas dan Tujuan
pada bagian c tentang non diskriminasi ikut ambil bagian di dalamnya.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa munculnya peraturan baik
dalam bentuk konvensi, undang-undang, peraturan ataupun lainnya
karena memang ada persoalan yang ingin di atasi dengan banyaknya
kasus-kasus yang ada, yaitu kondisi perempuan dan anak yang
mengalami diskriminasi dan berdampak besar dalam kehidupannya.
Salah satu hal yang perlu dikhawatirkan adalah kondisi mereka yang
rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan. Jumlah yang banyak ini
diantaranya karena perempuan dan anak mempunyai ketergantungan
dalam berbagai aspek terutama ekonomi yang dikondisikan sedemikian
rupa. Bahkan anak secara alami sangatlah bergantung pada orang-orang
dewasa di sekelilingnya, salah satunya adalah untuk kepentingan
kematangan emosionalnya. Kenyatannya anak di negeri ini tidak dilihat
menjadi cikal bakal sumberdaya manusia di masa mendatang. Bahkan
anak tidak dilihat sebagai sosok yang harus dididik, dilindungi baik
secara fisik maupun emosionalnya.
Misalnya di banyak negara miskin dalam dunia dimana teknologi
terus berkembang, masih banyak perlakuan diskriminatif terhadap anak
perempuan yang menyebabkan mereka mengalami kekurangan gizi
ketimbang anak laki-laki. Artinya bahwa anak perempuan yang kelak
akan menjadi ibu telah mengalami kekurangan gizi sejak usia dini,
114
Jurnal Perempuan 45
Magdalena Sitorus
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
childtrafficking.com
dengan pengetahuan yang minim karena akses untuk memperoleh
pendidikan selain terbatas juga tidak didahulukan, tentu akan
berdampak dalam melakukan pendidikan terhadap anak-anaknya. Halhal yang mendasar ini tak mungkin lagi dibayangkan untuk segera
memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak,
bahkan menghargai pendapat anak.
Bahkan di dalam UU No. 23
tahun 2004 yang baru-baru ini
disahkan tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) pada Bab I tentang Ketentuan Umum no.l secara jelas
dinyatakan “kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
pada timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.” Dalam UU ini terdapat kata terutama
perempuan yang menunjukkan betapa kelompok ini sangat rentan
mengalami tindak kekerasan pada ranah domestik.5 Artinya, undangundang ini juga melingkupi anak perempuan, sebab bagian dari lingkup
rumah tangga. Anak-anak kenyataannya juga rentan terhadap tindak
kekerasan di dalam keluarga, seperti yang terpampang dalam tayangantayangan berita di televisi.
Adapun di dalam UU PKDRT No. 23 tahun 2004 pada Bab III pasal 5
disebutkan terdapat empat bentuk tindak kekerasan yaitu: pertama,
kekerasan fisik dijelaskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat, kedua, kekerasan psikis, dijelaskan
sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga, kekerasan
seksual, dijelaskan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
serta dijelaskan juga sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap
Jurnal Perempuan 45
115
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk
tujuan komersil dan/ atau tujuan tertentu. Keempat, penelantaran rumah
tangga (identik dengan kekerasan dalam bentuk ekonomi) dijelaskan
bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan selanjutnya dijelaskan
bahwa juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada
di bawah kendali orang tersebut.
Berikut ini adalah kasus nyata yang pernah terjadi pada anak
perempuan dalam lingkup rumah tangga. Ita (bukan nama sebenarnya),
adalah anak perempuan berusia 14 tahun yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga. Ia adalah putri tunggal dari pasangan Eva dan
Adam (bukan nama sebenarnya). Eva dan Adam bekerja di perusahaan
swasta. Rumah mereka berdekatan dengan rumah orang tua Adam yang
juga tinggal bersama dengan saudara-saudara perempuannya. Usai
sekolah, Ita biasanya akan ke rumah neneknya sambil menunggu kedua
orang tuanya pulang atau kadangkala tinggal sendirian di rumah.
Ita kemudian diketahui hamil (Ita sendiri tidak mengetahui
kehamilannya pada saat itu) ketika gurunya di sekolah melihat
perubahan pada diri Ita yaitu kelihatan seperti malas dan tidak
bersemangat mengikuti pelajaran dan juga perubahan pada tubuhnya
yang menimbulkan pertanyaan pada guru. Akhirnya diketahui sesudah
dilakukan pemeriksaan ke dokter Ita dinyatakan hamil 5 bulan. Hal ini
membuat ibu Ita terkejut dan betapa sulitnya untuk mencari tahu siapa
pelaku yang mengakibatkan Ita hamil.
Namun dengan penelusuran panjang, pada akhirnya diketahui
bahwa pelakunya adalah ayah kandung Ita sendiri. Ayah Ita kemudian
sempat mendekam di penjara karenanya. Namun demikian keluarga
Adam (keluarga ayahnya) tetap melakukan intimidasi terhadap Ita
putrinya dan Eva istrinya agar kasus tersebut dicabut disertai dengan
ancaman-ancaman lainnya. Ditambah lagi Ita harus keluar dari sekolah
karena hamil. Saudara-saudara perempuan ayah Ita di pengadilan
bahkan tak henti-hentinya mengintimidasi Ita sebagai korban karena
menurut mereka semua itu terjadi karena kesalahan Ita yaitu dipastikan
116
Jurnal Perempuan 45
Magdalena Sitorus
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
berupaya memancing rangsangan seksual pada ayahnya dengan cara
berpakaian yang ‘seronok’ sehingga peristiwa tersebut terjadi.
Dalam proses pengadilan, Adam ternyata tidak mengakui seluruh
perbuatannya. Eva masih tetap melakukan kunjungan setianya ke
tahanan dimana Adam berada. Kunjungan Eva di rumah tahanan
ternyata dimanfaatkan Adam untuk melakukan pendekatan dan meyakinkan perasaan Eva yang akhirnya percaya bahwa suaminya bukanlah
pelaku kehamilan Ita dan bahkan Eva, sang ibu mulai ikut menyalahkan
Ita, putrinya sendiri. Ita kemudian mengalami kesedihan luar biasa karena ibu yang diharapkan mendukungnya malah melakukan sebaliknya.
Ita kemudian berusaha untuk memeriksakan DNA-nya agar terbukti
bahwa anak yang dikandungnya adalah hasil perbuatan ayah
kandungnya sendiri. Usaha itu tidak dapat terwujud karena mahalnya
biaya untuk tes DNA. Pada akhirnya dengan segala upaya Adam pun
dapat keluar dari penjara. Ita mengalami kekecewaan luar biasa dan
posisinya semakin sulit, karena sang ibu bahkan pada akhirnya memilih
kembali hidup bersama Adam suaminya.
Ketika melahirkan, sang bayi yang dikandung Ita ternyata mengalami
kerapuhan tulang. Hal tersebut adalah salah satu dampak akibat
hubungan darah yang sangat dekat. Akhirnya sang bayi kemudian
dititipkan di sebuah panti dengan perjanjian bahwa anaknya dapat
diambil kembali bila pada saat yang memungkinkan.
Ita sendiri enggan tinggal bersama orang tuanya dan memutuskan
untuk tinggal bersama neneknya dari pihak ibu. Kemudian ia bekerja di
sebuah cafe tempat ia bekerja hingga malam yang bila dilihat posisinya,
Ita masih tergolong anak-anak dan sangat rentan untuk mengalami
tindak kekerasan seksual. Kasus Ita tersebut ternyata berakhir begitu
saja, termasuk dalam persoalan hukum.
Ini hanya satu dari banyak kasus yang menimpa anak-anak
perempuan seperti Ita. Kasus lain adalah saat terjadi pelecehan seksual
antar siswa SMP di salah satu sekolah di Jakarta. Ami (bukan nama
sebenarnya) pada suatu hari merasa tidak enak badan dan guru
kemudian membawanya untuk beristirahat di ruang UKS (ruang dimana
siswa yang sakit dapat beristirahat). Kebetulan saat itu juga ada siswa
laki-laki (Udin, bukan nama sebenarnya) yang juga beristirahat karena
kondisi yang sama di tempat tidur yang berbeda dan hanya dipisahkan
oleh gorden. Namun tak diduga, selang kemudian Udin mendekati Ami
Jurnal Perempuan 45
117
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
dan mulai menggerayangi tubuhnya. Ami tidak dapat berbuat banyak
karena kondisinya betul-betul lemah pada saat itu. Ami bisa terlepas
dari perbuatan Udin yang tidak senonoh tersebut karena bel berbunyi
dan mulai banyak murid dan guru yang berjalan hilir mudik disekitar
ruangan tersebut. Udin kembali ke tempat tidurnya. Ami kemudian
melaporkan hal tersebut kepada kepala sekolah. Kepala sekolah
kemudian memanggil Udin yang ternyata tidak mengakui perbuatannya,
bahkan malah membalikkan persoalan bahwa Ami sudah memfitnahnya.
Pihak sekolah kemudian memanggil orang tua Udin dan karena
kebetulan orang tuanya adalah keluarga mampu, mereka membalik
menggugat sekolah karena dianggap sudah mencemarkan nama baik
anak dan mereka sebagai orangtua. Ami dipaksa untuk meminta maaf
kepada Udin dan orangtuanya yang serta merta di tolak habis-habisan
oleh Ami karena ia merasa diperlakukan secara tidak adil. Karena
persoalan tersebut menjadi merebak di sekolah itu, pihak sekolah
kemudian membuat keputusan untuk mengeluarkan Ami dari sekolah
tersebut saat itu sudah akan menghadapi ujian.
Orang tua Ami berusaha meminta kepada pihak sekolah, agar paling
tidak Ami dapat mengikuti ujian akhirnya. Pihak sekolah justru
menganggap Ami sudah mencemarkan nama baik sekolah tersebut.
Dapat kita lihat betapa lemahnya posisi Ami sebagai anak sekaligus
sebagai perempuan. Ketidakberpihakan sekolah terhadap korban
sebagai anak dan perempuan mengakibatkan Ami menjadi korban untuk
yang kesekian kalinya. Sekolah sibuk menjaga nama baik, tanpa
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak apalagi pada saat
menghadapi ujian akhir. Bagaimana diskriminatifnya pihak sekolah
yang hanya karena secara strata sosial si Udin lebih kuat dibandingkan
Ami yang hanya dari keluarga biasa-biasa saja.6
Bila kita kaitkan dengan dua konvensi di atas yaitu CEDAW atau
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan dan Konvensi Hak Anak atau CRC (Convention on the Rights
of the Child) dimana negara kita telah ikut meratifikasi untuk bertanggung
jawab atas konvensi tersebut, maka dapat dikatakan dari kasus-kasus
tersebut (dari banyak kasus lainnya) bahwa kedua konvensi tersebut
belum dapat terlaksana. Pola-pola tingkah laku sosial dan budaya lakilaki dan perempuan yang merujuk pada peran-peran stereotip sangat
kental di dalamnya dan kepentingan terbaik bagi anak sangat terabaikan.
118
Jurnal Perempuan 45
Magdalena Sitorus
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
Cerita-cerita ini merupakan refleksi dari perlakuan diskriminasi terhadap
perempuan maupun anak.
Bagaimana kasus ini dilihat sebagai contoh perlakuan diskriminasi?
Untuk kasus Ita (anak perempuan yang dihamili ayahnya sendiri) adalah
representasi dari lemahnya posisi Eva (ibu-nya Ita) sebagai perempuan
dan Ita sebagai anak. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pertama, Eva
punya ketergantungan emosional yang sangat terhadap Adam (istri
terhadap suami) dan Adam menggunakan ketergantungan Eva tersebut
untuk kepentingan dirinya sendiri dan demikian juga halnya Ita sebagai
anak yang masih mempunyai ketergantungan tinggi terhadap kedua
orangtuanya baik dari banyak aspek. Argumen-argumen Ita sebagai
anak untuk menggunakan hak partisipasinya pun terabaikan
Kedua, memojokkan posisi anak sebagai perempuan juga terjadi dari
berbagai pihak bahkan dari keluarga ayah Ita sendiri, meskipun mereka
adalah perempuan. Bagaimana pola-pola tingkah laku sosial baik dari
kelompok laki-laki maupun perempuan yang cenderung tidak berpihak
pada perempuan sebagai korban.
Ketiga, negara yang dalam hal ini melalui aparat-aparat hukumnya
pun belum memahami kasus secara lebih mendalam terutama yang
berkaitan dengan kasus-kasus tindak kekerasan, khususnya kekerasan
seksual. Bahkan anak yang mengalami perkosaan dari ayahnya sendiri
sampai mengalami kehamilan sering dituduh sebagai perbuatan suka
sama suka dan untuk maka persoalan tidak lagi diperpanjang. Artinya
bahwa anak tidak dilihat secara arif dimana anak yang mengalami
tindak kekerasan seksual tidak mesti dengan pemaksaan berbentuk fisik,
tetapi dapat dilihat melalui bujukan ataupun rayuan, atau tindakan
yang manipulatifpun dapat dilihat sebagai tindak kekerasan karena
ketidakmatangan emosional anak.
Keempat, negara belum menjalankan peran dan fungsinya secara
maksimal bahkan sering berperilaku diskriminatif terhadap korban yang
dalam jumlah terbesar adalah anak dan perempuan.
Dapat disimpulkan bahwa kuatnya budaya patriarkhis dalam
tatanan masyarakat sangat menghambat perlindungan bagi perempuan
maupun anak, terlebih ketika mereka dalam posisi sebagai korban
kekerasan seksual. Negara seharusnya memiliki itikad baik meratifikasi
kedua konvensi di atas yaitu CEDAW dan CRC dalam upaya mengatasi
ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan anak, tetapi di pihak
Jurnal Perempuan 45
119
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
Magdalena Sitorus
lain masyarakat ternyata sudah terbiasa dengan budaya yang
menganggap biasa atas perlakuan diskriminatif terhadap perempuan
maupun anak. Artinya diperlukan kerja keras dan pelaksanaan yang
tidak main-main dalam menghadapi masalah tersebut.
Bagaimana bila para pemegang kebijakan, aparat penegak hukum,
para pendidik, kelompok-kelompok masyarakat lainnya termasuk keluarga yang menjadi kelompok terkecil di dalam masyarakat seperti ini yang
tidak mempunyai perspektif perempuan dan anak dapat berpihak kepada mereka? Tidak kalah pentingnya pertanyaan tentang bagaimana dalam bertindak terhadap anak kepentingan terbaik bagi anak adalah menjadi pertimbangan utama? Untuk menembus kesadaran yang tidak terbatas hanya pada tataran wacana saja butuh waktu yang sangat panjang.
Untuk itu perlu dipikirkan strategi berikut ini, bahwa negara melalui
sektor yang memegang peranan sebagai vocal point harus secara gencar,
serius dan berkesinambungan mensosialisasikan kedua konvensi yaitu
CEDAW dan CRC serta undang-undang lainnya yang berkaitan dengan
anak dan perempuan ke seluruh lapisan masyarakat mulai dari
pemegang kebijakan, aparat penegak hukum dan seluruh lapisan
masyarakat lainnya. Sosialisasi dapat juga dilakukan dalam bentuk
pelatihan-pelatihan tentang hak perempuan dan hak anak terlebih
tentang hak-hak mereka ketika menjadi korban, melalui media massa
baik media cetak maupun elektronik.
Misalnya penanganan terhadap korban dimana menurut UU PKDRT
antara lain mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan baik dari
keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial
maupun lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini bekerja sama dengan
stakeholders yang ada dan mengefektifkan peranan yang sudah ada,
terlebih yang berada di akar rumput.
Selain itu, diperlukan pelatihan-pelatihan yang intens tentang
pemahaman tindak kekerasan sehingga diharapkan mempunyai
perspektif terhadap perempuan dan anak terlebih ketika mereka menjadi
korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Langkah berikutnya
adalah pentingnya monitoring dan evaluasi hasil dari sosialisasi yang
sudah dilakukan sehingga mengetahui sejauhmana keberhasilannya
Tokoh-tokoh agama dan masyarakat juga menjadi kelompok yang harus
di advokasi karena dalam kenyataannya mereka mempunyai peranan
penting dalam upaya penanganan kasus-kasus tindak kekerasan
120
Jurnal Perempuan 45
Magdalena Sitorus
Menjamin Hak Perempuan dan Anak
Melalui Konvensi
sepanjang kelompok ini mempunyai perspektif yang adil dan berpihak
terhadap perempuan dan anak. Semua itu dilakukan dalam upaya melakukan penanganan yang berpihak pada perempuan dan anak dan yang
tidak kalah pentingnya adalah pendidikan seks bagi anak sejak usia dini
dengan metode yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan
anak dan meningkatkan kepekaan terhadap kelompok-kelompok
masyarakat termasuk orang tua maupun pendidik melalui edukasi sebagai
upaya pencegahan tindak kekerasan terutama kekerasan seksual.
Pada saat seperti ini diperlukan pemulihan kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum dimana diharapkan tidak terjadi
diskriminasi bagi setiap orang yang berhadapan dengan hukum terlebih
yang berkaitan dengan sanksinya sehingga slogan yang berbunyi hukum
hanya berlaku bagi yang mampu membayar tidak lagi ada di kepala mereka.
Oleh karena itu visi ke depan sesuai dengan akan kemana arah
kemajuan bangsa ini adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang
adil yang dimulai dengan meningkatkan kualitas anak-anak yang sudah
dididik dengan setara tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan,
kaya ataupun miskin, karena bagaimana sumberdaya manusia ke depan
menjadi yang berkualitas adalah harus dipupuk sejak usia dini.
Kemudian, untuk mencipta sumberdaya manusia yang hebat tentu
erat kaitannya dengan kualitas ibu, yaitu ibu yang sehat akan melahirkan
anak yang sehat. Dapat dibayangkan bila anak perempuan yang sejak
kecil sudah mengalami tindak kekerasan, kurang gizi, tidak punya akses
pendidikan kelak ketika mereka menjadi ibu dapat diduga secara logika
akan melahirkan anak-anak yang seperti apa.
Catatan Belakang
1
Lembar Fakta Komisi Hak Asasi Manusia Edisi II: “Diskriminasi terhadap Perempuan:
Konvensi dan Komite” lihat di www.sekitarkita.com
2
Lihat Konvensi CEDAW/ Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan.
3
Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4
Lihat Konvensi Hak Anak atau Child Rights Convention.
5
Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
6
Kedua kasus ini ditangani oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Jurnal Perempuan 45
121
• Wawancara •
Sri Danti, Dra. M.A
Asisten Deputi Urusan Pendidikan Perempuan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan
“Negara dan Pemahaman
CEDAW yang Lemah...”
Bagaimana sejauh ini
implementasinya dan apa yang
menjadi hambatan utama KPP
dalam mengimplementasikan
Konvensi CEDAW? Berikut
pemaparan Sri Danti, Dra.
MA, Asisten Deputi Urusan
Pendidikan Perempuan
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan dalam
wawancaranya dengan
jurnalis Jurnal
Perempuan, Eko Bambang
Subiyantoro.
122
Foto: Dok. YJP
Meskipun hampir 21 tahun kita meratifikasi Konvensi CEDAW,
namun kita masih mempunyai sejumlah kelemahan, khususnya
mengenai implementasi Konvensi CEDAW ini. Pemerintah telah
menunjuk Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP)
untuk menjadi leading sector pelaksanaan konvensi ini. Sebagai
kementerian non teknis, tugas ini bukanlah mudah, karena harus
bersinergi dengan departemen-departemen teknis lainnya. Bukan
saja menghadapi masalah struktur yang
berat, namun menghadapi pola pikir
jajaran instansi terkait yang masih
menganggap remeh isu perempuan
adalah hambatan yang sangat serius.
Jurnal Perempuan 45
• Wawancara •
Jurnal Perempuan (JP): Apa yang bisa dilaporkan dari implmentasi konvensi
CEDAW ini?
Sri Danti (SD): Selama 21 tahun ada banyak yang dilakukan ya. Kita bisa
melihat dari sejumlah kebijakan publik. Kalau kita bicara kesetaraan
gender, sebetulnya kita sudah ada di Inpres (Instruksi Presiden) No. 9
tahun 2000. Ada juga undang-undang mengenai HAM yang juga
mengimplementasikan CEDAW, yaitu UU Pemilu dan sejumlah
kebijakan-kebijakan mengenai kelembagaan. Fungsi KPP sendiri
dalam implementasi CEDAW adalah berkoordinasi dengan instansi
teknis terkait seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan
sebagainya. KPP bukan sebagai pihak yang melakukan, karena KPP
bukan implementing agency. KPP adalah koordinator yang fungsinya
merumuskan kebijakan-kebijakan untuk penghapusan diskriminasi.
Kenapa perlu lembaga yang mengkoordinasikan? Karena isu
perempuan itu cross cuting ya, atau lintas sektor yang tidak hanya
dilakukan oleh satu departemen, tetapi oleh semua departemen terkait.
Sama halnya dengan konvensi CEDAW, kalau kita lihat di dalam
konvensi itu banyak macamnya yaitu pendidikan, kesehatan, politik,
trafiking, keluarga, lembaga perkawinan dan sebagainya.
JP: Selama ini apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya?
(SD): Terus-terang masih banyak hambatan dalam pelaksanaan konvensi
CEDAW itu. Pertama, belum banyak orang paham isi konvensi tersebut.
Ini karena konvensi yang diratifikasi 21 tahun lalu, namun
sosialisasinya kita akui masih lemah. Karena yang menangani
CEDAW, terus terang tadinya tidak jelas dimana, jadi akhirnya
sekarang kita angkat kembali dengan strategi baru. Konvensi itu
pernah kita terjemahkan, namun sosialisasinya masih terbatas, karena
kekurangan dana dan belum banyak harapan untuk mensosialisasikannya, itu yang menjadi permasalahan kedua.
JP: Bagaimana dengan instansi terkait lainnya berkaitan dengan implementasi
konvensi ini?
(SD): Departemen terkait lainnya masih perlu pembenahan. Dengan
adanya mutasi sistem dan struktur yang terus berubah-ubah, akhirnya
substansi konvensi CEDAW pemahamannya tidak melembaga, maka
Jurnal Perempuan 45
123
• Wawancara •
implementasinya masih terhambat. Tetapi bukan berarti mereka tidak
melaksanakan. Mereka melaksanakan walaupun mereka tidak tahu
bahwa apa yang dilakukan merupakan langkah CEDAW. Misalnya
mereka melaksanakan pengarusutamaan gender, itu kan dalam kerangka pelaksanaan CEDAW juga. Begitu pula dengan pembentukan
gender focal point di masing-masing instansi untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan, program yang responsif gender dan sekarang sudah
hampir di semua sektor. Jadi yang muncul di permukaan: PUG
(Pengarusutamaan Gender) bukan CEDAW, padahal payungnya itu
ya CEDAW itu sendiri.
JP: Bagaimana seharusnya bentuk implementasi CEDAW ini untuk instansi
terkait?
(SD): Mestinya terlembaga ya. Jadi kalau pejabatnya pindah, substansinya
tidak berubah dan sudah dipahami. Jika dalam struktur departemen
terlembaga, maka jika orang yang bertanggungjawab menjadi focal
point itu pindah, tentu lembaga yang ditinggalkannya tetap. Selama
ini orangnya pindah, instansinya ikut hilang juga. Persoalannya juga,
rata-rata yang menjadi focal point, apalagi di daerah-daerah itu bukan
eselon 2 yang tidak punya fungsi koordinasi. Padahal namanya focal
point itu ya harus decision maker yang bisa mengkoordinasikan orang
dan pemahaman-pemahaman itu yang tidak gampang. Orang
ngomongin gender, orang selalu mikirnya perempuan, dan kalau
sudah perempuan mereka seolah-olah malas untuk membahasnya.
JP: Ada perbedaan signifikan antara pemahaman CEDAW dan PUG?
(SD): Sangat signifikan, mereka itu tidak paham bahwa CEDAW itu
landasan payungnya PUG, sehingga mereka lebih memahami Inpres
No. 9 tahun 2000, tentang PUG. Kita paham, kita memang tidak terlalu
mensosialisasikan konvensi itu, jadi ada jurang memang, tetapi
sekarang memang sudah harus mulai diperkenalkan lagi, karena
memang orang yang tidak paham substansi hukum itukan agak sulit
memahami konvensi ini.
JP: Apa dengan demikian signifikansinya akan mempengaruhi pelaksanaan?
(SD): Tidak, tidak apa-apa. PUG itu sebenarnya strategi untuk
124
Jurnal Perempuan 45
• Wawancara •
melaksanakan CEDAW. Konvensi CEDAW itukan penghapusan
diskriminasi, maka mereka sudah ada program misalnya pendidikan
untuk penghapusan buta huruf perempuan, kesehatan penurunan
AKI atau trafiking perempuan, mereka sudah melakukan semua, tetapi
mereka tidak menyadari bahwa payungnya adalah CEDAW, jadi yang
harus diutamakan kita sekarang adalah mengintensifkan sosialisasi
Konvensi CEDAW tersebut.
JP: Apa aspek penting bagi bangsa Indonesia dengan meratifikasi Konvensi
CEDAW ini?
(SD): CEDAW itu kan landasan internasional, kenapa kita ratifikasi,
karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, itu yang
pertama. Namun yang lebih penting lagi karena konvensi ini
digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia, dengan pendekatan right based, pendekatan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan
itu sama yaitu manusia dan sangat universal. Jadi pentingnya
Foto: Dok. YJP
“Jadi pentingnya
memahami konvensi
ini adalah sebagai
pendekatan
payung
pemberdayaan
perempuan yang
dijalankan.”
Jurnal Perempuan 45
125
• Wawancara •
memahami konvensi ini adalah sebagai pendekatan payung
pemberdayaan perempuan yang dijalankan.
JP : Bagaimana dengan aparatur penegak hukum?
(SD): Mereka belum paham. Kita akui sosialisasi memang kurang, tetapi
sedang kita intensifkan, kita ingin mereka yang sudah tersosialisasi
terpilih, kita beri mereka TOT (Training of Trainer - red). Seharusnya
mereka yang sudah mendapatkan training bisa mensosialisasikan ke
orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi
kendalakendala fokus program yang berbeda dan ini menjadi
hambatan di hampir sejumlah departemen.
JP: Adakah persoalan lain yang menjadi hambatan utama?
(SD): Ada, yaitu advokasi. Kalau kita advokasi kan harus mengubah
pola pikir pejabat nih, masalahnya, ketika kita mengundang pejabat,
tetapi mereka selalu mewakilkan, jadi tidak pernah mereka sendiri
yang duduk disitu, karena sekali lagi mereka menganggap masalah
perempuan adalah masalah perempuan sendiri bukan masalah kita
bersama. Mereka tidak membayangkan bahwa kalau kita memberdayakan perempuan, maka separuh masalah di Indonesia, sebetulnya
bisa terselesaikan, karena perempuan Indonesia, hampir separuh
penduduk Indonesia, dan yang miskin banyak juga terjadi pada
perempuan, itu yang belum dipahami oleh pejabat-pejabat di sejumlah
instansi.
JP : Lalu apa strategi ke depan dalam mensosialisasikan CEDAW ini?
(SD): Kita akan mensosialisasikan ini ke beberapa provinsi. Kita harapkan
setelah mereka dapat sosialisasikan, bisa dilanjutkan sosialisasinya
ke bawah. Namun tidak hanya sosialisasi, tetapi juga bisa diimplementasikan dan itu menjadi tanggungjawab departemen teknis.
JP: Lalu bagaimana mengawasinya?
(SD): Kita punya program kerja untuk menyusun laporan, monitoring
pelaksanaan CEDAW, dan anggotanya sendiri dari instansi terkait.
JP: Sudah siapkah infrastruktur dan sistem yang mendukung pelaksanaan ini?
126
Jurnal Perempuan 45
• Wawancara •
(SD): Terus terang capacity building-nya masih kurang. Selama ini hanya
memakai suatu kelembagaan. Misalnya di departemen kami sudah
ada focal point, kita pakai dan kita tambah ilmunya. Lalu mereka yang
di daerah, ada biro PP (Biro Pemberdayaan Perempuan). Kalau selama
ini yang disosialisasikan materinya PUG, maka kita tambahkan
ilmunya pada substansi CEDAW. Tentu saja kementerian kita
memfasilitasi apa yang dapat kita beri seperti bantuan teknis, maka
kita memberikan pelatihan, karena kita tidak semuanya pintar untuk
hal ini, maka kita bekerjasama dengan para mantan pejabat, NGO,
atau pihak asing sebagai fasilitator. Kita mengharapkan mereka bisa
melanjutkan ke bawah, karena tangan kita terbatas, dana kita juga
terbatas.
JP: Kapan Indonesia terakhir melaporkan implementasi CEDAW di Indonesia
ini ke PBB?
(SD): Kita sudah melaporkan yang pertama, kedua dan ketiga digabung,
dan terakhir untuk laporan keempat dan kelima tahun 1995 – 2003
kita sudah mengirimkannya tahun 2005 lalu, dan kita sekarang sedang
menunggu komentar mereka.
JP: Dalam laporan kemarin apa saja hambatannya?
(SD): Hambatannya data itu kita sangat lemah untuk laporan, terutama
untuk departemen terkait, karena mereka mengerti CEDAW, yang
kedua kebanyakan dari mereka hanya project oriented, setelah membuat
kegiatan ya begitu saja, tidak ada laporan, tidak ada data dan
sebagainya. Lalu mereka tidak ada data terpilah, data terpilah itu
lemah sekali di departemen, karena untuk membuat data terpilah
mahal, sehingga kita cukup sulit sekali untuk mengukur keberhasilan
untuk yang sudah dicapai. Sehingga laporan kita itu banyak yang
kualitatif, dan mestinya kan ada statistiknya juga. Sekali lagi
kelemahan kita sesungguhnya di reporting dan recording.
JP: Apa strategi baru untuk mengatasi masalah tersebut?
(SD): Salah satu cara, kita untuk pertama kali membentuk Pokja, orangnya
juga kita harapkan tidak ganti-ganti. Kedua, kalau dulu bikinnya
borongan dalam jangka waktu 8 tahun karena tidak ada yang
Jurnal Perempuan 45
127
• Wawancara •
bertanggungjawab untuk menyusun, padahal mestinya ada yang
incharge laporan ini. Maka sekarang ini kita mulai bikin tahunan,
mulai 2004-2008. Saya juga menunggu data dari teman-teman, dan
kenyataannya sulit. Saya tidak tahun mengapa, padahal CEDAW ini
bukan pemerintah melainkan negara, dan kalau negara itu elemennya
banyak, termasuk NGO, aparat penegak hukum dan sebagainya. Kita
hanya diserahi tugas untuk melaporkan saja. Anehnya kalau sudah
persoalan laporan, biasanya pada lari semua.
JP: Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana implementasi CEDAW di
Indonesia?
(SD): Indonesia relatif maju, karena kita sudah ada lembaga yang
menangani perempuan, di negara lain belum tentu, kita dianggap
sudah maju, kita punya institusinya, menterinya, peraturan kebijakan
lain yang mendukung, strategi, dan infrastruktur di daerah. Namun
karena kita besar, maka tidak semua tertangani dengan cepat. (EBS)
Berita menjadikan
peristiwa mempunyai arti
Dapatkan rekaman berita perempua
n
di media massa melalui
Layanan Kliping
Berita Perempuan
Yayasan Jurnal Perempuan
Hubungi:
Yayasan Jurnal Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)
Fax (021) 8302434
e-mail : [email protected]
128
Jurnal Perempuan 45
• Wawancara •
Jangan lewatkan VCD tentang “Kekerasan terhadap
Perempuan” yang diproduksi YJP pada tahun 2000
yang mengangkat tentang kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan diseluruh dunia. Beserta
komentar para tokoh seperti Nelson Mandela, Bianca
Jagger, Radhika Coomraswamy,
Hj. Khofifah Indar Parawangsa dan masih banyak lagi.
Film Director: Miranti Hidajadi
Perempuan di Wilayah Konflik. VCD yang diproduksi
YJP tahun 2002 ini mengangkat isu-isu perempuan ditiga
wilayah konflik di Indonesia: Aceh, Poso dan Papua.
Persoalan perempuan di barak pengungsian, masalah
trauma, jaminan rasa aman, pelecehan serta kekerasan
seksual menjadi tema utama dalam dokumentasi film ini.
Sebuah liputan yang perlu untuk diketahui berbagai kalangan.
Film Director: Angela Nicoara
Perdagangan perempuan dan anak masih saja marak, sekalipun upaya
membongkar praktek perdagangan itu sudah banyak dilakukan. Ini membuktikan
persoalannya memang pelik. Penanganannya hanya bisa dilakukan bila semua
pihak baik pejabat, akademisi, aparat, tokoh masyarakat,
profesional, LSM, media massa maupun elemen masyarakat
lainnya berkomitmen untuk memberantas perdagangan
perempuan dan anak.
Melalui penelitian dan kegiatannya di lapangan, Yayasan Jurnal
Perempuan (YJP) menampilkan dan mengemas persoalan
perdagangan perempuan dan anak dalam media VCD & DVD,
produksi YJP tahun 2003.
Film Director: Gadis Arivia
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp. Jurnal
: (021)
8370 2005 45
Perempuan
Fax
: (021) 830 2434
E-mail
: [email protected]
129
CEDAW-Restoring Rights To Women
• Kata dan Makna •
Kata dan Makna
CEDAW dan Sejarahnya
Sejak berdirinya pada tahun 1945, PBB telah menempatkan Hak Asasi
Manusia (HAM) sebagai agenda utama. Kekejaman dan kejahatan
Perang Dunia II merupakan pendorong utama berkembangnya upayaupaya perlindungan internasional terhadap HAM. Piagam PBB tahun
1945 menetapkan tiga tujuan utama dari organisasi baru ini yakni:
mendorong terwujudnya perdamaian dan keamanan internasional,
memajukan pertumbuhan sosial ekonomi serta merumuskan dan
melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar setiap individu,
apapun ras, jenis kelamin, bahasa atau agamanya.
Walaupun Komisi Kedudukan Perempuan atau Commission on the
Jurnal Perempuan 45
131
• Kata dan Makna •
Status of Women (CSW) merupakan sub-komisi saja dari Komisi HAM
yang dibentuk PBB pada tahun 1946, namun umurnya sebagai subkomisi hanya 4 bulan saja, karena sejak Juni 1946 CSW sudah ditetapkan
sebagai komisi penuh. Sejak awal hak-hak politik perempuan sudah
merupakan isu prioritas, karena hanya sedikit negara yang mengakuinya.
Maka CSW berhasil membuat Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi
resolusi pada bulan Desember 1946 yang merekomendasikan agar
negara-negara anggota PBB yang belum melakukan, segera memberikan
hak-hak politik perempuan yang sama dengan laki-laki, dan dalam kaitan
ini mengambil langkah-langkah untuk mencapai tujuan Piagam PBB.
CSW selama tahap-tahap awal dari perjuangannya untuk menegakkan
hak-hak perempuan berhasil memperjuangkan kedudukannya sebagai
komisi yang mempunyai hak yang sama dengan Komisi HAM. Menarik
untuk dicatat bahwa kedua komisi ini – CSW dan CHR (Commission on
Human Rights) berkali-kali bertentangan keras selama penyusunan
Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Misalnya, CSW berhasil mengubah
rancangan awal dari pasal 1 DUHAM yaitu “all men are brothers” menjadi
“all human beings are born free and equal in dignity and rights”. Pada waktu
DUHAM diadopsi pada tahun 1948, mayoritas perempuan di dunia belum
dapat memilih atau belum dijamin hak pilihnya.
Maka CSW terus berjuang, sehingga konvensi Hak Politik Perempuan
diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1952, 14 tahun lebih dahulu
dari 2 perjanjian internasional lainnya yaitu Covenant on Civil and Political
Rights (CCPR) dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(CESCR) pada tahun 1966. Walaupun kedua Perjanjian ini juga jelas
menyatakan bahwa dalam penerapan pemajuan dan perlindungan hakhak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak boleh ada
diskriminasi atau pembedaan atas dasar jenis kelamin, tetapi CSW terus
melanjutkan upayanya yang sudah dimulai sejak tahun 1965 untuk
membuat Sidang Majelis Umum PBB tahun 1967 mengadopsi “Declaration
on the Elimination of Discrimination Against Women”.
Karena CSW dalam setiap sidangnya selalu menerima laporan dari
berbagai penjuru dunia bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih
terus berlangsung tanpa pencegahan yang sungguh-sungguh utamanya
dari pemerintah, maka pada tahun 1972 CSW bersepakat untuk terus
mendesak agar dibuat “konvensi anti diskriminasi”, yang secara hukum
mengikat negara-negara yang meratifikasi atau states parties (negara
132
Jurnal Perempuan 45
• Kata dan Makna •
peserta), jadi tidak seperti deklarasi (tahun 1967) yang hanya mempunyai
kekuatan moral dan politis. Setelah mendapat masukan dari 40 negara,
4 badan khusus PBB dan 10 organisasi non pemerintah, dan berhasil
mengatasi permasalahan-permasalahan khususnya yang bertalian
dengan isu-isu penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam
hukum, hak-hak dalam perkawinan dan keluarga, dalam pendidikan,
dunia kerja dan pembangunan pedesaan, dalam pelayanan kesehatan,
dalam pinjaman bank dan kredit, CSW menyepakati keseluruhan konsep
dan meneruskannya ke Majelis Umum PBB untuk diadopsi.
Dengan 130 suara setuju dan 11 abstain, Konvensi CEDAW diadopsi
Majelis Umum PBB pada Tanggal 18 Desember 1979. Untuk memantau
kemajuan yang dicapai dalam melaksanakan Konvensi CEDAW, maka
dibentuk Committee on the Elimination of Discrimination Against
Women, yang selanjutnya disebut Komite CEDAW. Sampai awal tahun
2005 ini, 180 dari 191 negara anggota PBB telah meratifikasi Konvensi
ini (Negara Peserta).
Proses pemantapan CEDAW sebagai upaya memajukan HAM
perempuan, sekaligus merupakan proses perluasan pemahaman tentang
HAM. Selanjutnya, semakin meluasnya penerapan Konvensi CEDAW
telah melicinkan jalan menuju perluasan dan perpanjangan cakupan
HAM ke dalam berbagai konteks dan identitas sosial budaya. Dengan
demikian, cakupan penegakan HAM telah meluas kedalam lingkungan
privat sehingga pemahaman tentang hubungan erat antara lingkungan
privat dan publik, juga telah meningkat.
CEDAW sebagai Instrumen HAM Internasional
Konvensi CEDAW merupakan Perjanjian Internasional tentang
perempuan yang paling komprehensif, menetapkan kewajiban hukum
yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi yang sering
digambarkan sebagai international bill of rights for women ini menetapkan
persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Diskriminasi terhadap
perempuan akan dihapuskan melalui langkah-langkah hukum,
kebijakan dan program maupun melalui “tindakan khusus sementara”
untuk mempercepat persamaan atau kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki dalam menikmati HAM nya, yang diartikan sebagai tindakan
non diskriminasi.
Jurnal Perempuan 45
133
• Kata dan Makna •
Konvensi CEDAW unik karena merupakan instrumen hukum
internasional pertama yang menetapkan arti diskriminasi terhadap
perempuan; mensyaratkan pemerintah menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan tidak saja dalam kehidupan publik tetapi juga
dalam kehidupan privat. Konvensi ini selanjutnya mengarahkan
pemerintah mengadakan upaya-upaya tambahan untuk menangani
permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan di daerah
pedesaan untuk menjamin, atas dasar persamaan antara laki-laki dan
perempuan, bahwa perempuan berpartisipasi dalam, dan memperoleh
manfaat dari pembangunan di pedesaan, atau memperoleh manfaat yang
sama dengan laki-laki.
Konvensi ini merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang
menegaskan hak reproduksi perempuan dan mewajibkan negara-negara
peserta memodifikasi pola-pola sosial budaya dan pola-pola perilaku
laki-laki dan perempuan agar supaya dapat menghapuskan prasangkaprasangka dan kebiasaan-kebiasaan maupun semua praktek-praktek
lainnya yang berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas salah
satu jenis kelamin atau peran-peran baku bagi laki-laki dan perempuan.
Konvensi ini merupakan instrumen HAM yang dinamis. Sejak
diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979, dan berlakunya pada
tahun 1981, maka Komite CEDAW, negara-negara peserta yang awal
tahun 2005 sudah berjumlah 180, maupun semua pemgemban
kepentingan lainnya utamanya perempuan sendiri dari berbagai
kelompok di seluruh penjuru dunia, telah memberikan sumbangansumbangan pikiran dalam memberikan penjelasan-penjelasan dan
meningkatkan pemahaman tentang prinsip-prinsip substantif yang
terkandung dalam berbagai pasal, utamanya yang menyangkut ciri-ciri
khusus dari diskriminasi terhadap perempuan, yang diderita perempuan
karena ia perempuan.
Konvensi ini menekankan bahwa pendekatan hukum formal atau
program saja tidak mencukupi untuk mencapai persamaan substantif
antara perempuan dan laki-laki.
Selanjutnya, sasaran Konvensi ini juga meliputi dimensi-dimensi
diskriminatif dari konteks-konteks sosial budaya dimasa lampau yang
masih dianut dewasa ini. Maka tujuan utama Konvensi ini ialah
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk
sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensinya pada persamaan
134
Jurnal Perempuan 45
• Kata dan Makna •
substantif antara perempuan dan laki-laki di seluruh penjuru dunia
dan di sepanjang masa.
Prinsip-prinsip Konvensi CEDAW
CEDAW menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara laki-laki
dan perempuan (equality and justice), yaitu persamaan hak dan
kesempatan serta “perlakuan yang adil” di segala bidang dan segala
kegiatan. Konvensi CEDAW juga mengakui bahwa: (a). ada perbedaan
biologis atau kodrati antara laki-laki dan perempuan; (b). ada perbedaan
perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan; (c). perbedaan kondisi dan posisi antara
laki-laki dan perempuan, karena perempuan ada dalam kondisi dan
posisi yang lebih lemah atau rentan karena mengalami diskriminasi
atau menanggung akibat dari perlakuan diskriminatif yang dialami
sebelumnya atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat
melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan “karena mereka
perempuan” dan biasanya memang diperlakukan demikian.
Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, CEDAW menetapkan prinsip-prinsip serta ketentuan-ketentuan untuk menghapus
kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan kedudukan
CEDAW-Restoring Rights To Women
Jurnal Perempuan 45
135
• Kata dan Makna •
perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat. Prinsip-prinsip
tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi
pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan. Prinsip-prinsip
CEDAW dapat pula digunakan sebagai alat untuk mengkaji apakah
suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak jangka
pendek atau jangka panjang yang merugikan perempuan. Prinsipprinsip itu terjalin secara konseptual dalam pasal 1 hingga pasal 16
CEDAW.
Konvensi CEDAW memberikan pengertian yang komprehensif tentang
prinsip-prinsip “diskriminasi terhadap perempuan”, “persamaan
substantif” dan “kewajiban negara” untuk digunakan: i) dalam
menangani diskriminasi terhadap perempuan dalam semua bidang; ii)
oleh semua pihak yang bertanggung jawab menghapuskan kekerasan
terhadap perempuan, maupun semua perempuan dan laki-laki.
(Semua tulisan ini dikutip dari dokumen Sjamsiah Ahmad berjudul Konvensi Penghapusan
segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW, UU No. 7 tahun 1984 dan
Berbagai Kesepakatan Internasional Tentang Pengarusutamaan Gender, Jakarta: 13
Januari 2006)
Mengundang anda penerbit buku-buku
berperspektif gender untuk bergabung
supplier
menjadi
Toko Buku
“Perempuan”
Alamat:
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)
Fax (021) 8302434
e-mail : [email protected]
Hubungi:
Nazar ([email protected])
(Bagian Distribusi)
136
Jurnal Perempuan 45
Buku ini memuat persoalan-persoalan yang dihadapi
perempuan dalam politik. Di dalamnya kita akan
diperkenalkan pada apa makna politik, apa hambatanhambatan perempuan yang ingin terjun ke dunia
politik, serta bagaimana agar perempuan dapat
melakukan perubahan dari sekarang.
Buku ini juga memuat panduan-panduan praktis
disertai dengan data, pengalaman, dan kecenderungan
terbaru yang dihadapi perempuan dalam politik, baik di
negeri sendiri maupun di luar negeri.
Isi dan penjelasan buku ini sangat berguna bagi perempuan
yang hendak terjun di dunia politik, para politisi, aktivis
pembela hak-hak perempuan, akademisi, peneliti, dan semua
pihak pemerhati masalah partisipasi perempuan dalam politik di
Indonesia.
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Telp. : (021) 8370 2005, Fax : (021) 830 2434
E-mail : [email protected]
B
uku ini mengeksplorasi persoalanpersoalan filsafat dan feminisme. Di dalam
eksplorasi ini, penulis menunjukkan dominasi
pemikiran maskulin di dalam Filsafat Barat.
Sebanyak 14 filsuf terkenal diteliti mulai dari filsuffilsuf Yunani hingga filsuf-filsuf kontemporer dalam
teks-teks filosofis mereka tentang perempuan. Temuantemuan yang dicapai adalah bahwa kebanyakan filsuf
meminggirkan perempuan dalam mainstream filsafat dan
tidak memberikan ruang bagi pemikiran feminis. Penulis
menggunakan pendekatan dekonstruksi untuk
memperlihatkan bagaimana cara berpikir maskulin
beroperasi dan dengan pendekatan yang sama berhasil
menyuarakan filsuf-filsuf perempuan dengan cara baca
yang baru.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi
Bagian Pemasaran Yayasan Jurnal Perempuan
Karya Gadis Arivia
Jl. Tebet
Telp.
Fax
E-mail
Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
: (021) 8370 2005
: (021) 830 2434
: [email protected]
• Profil •
138
Foto: Dok. YJP
Jurnal Perempuan 45
• Profil •
Sjamsiah Achmad:
Pengawal Keadilan Melalui
Konvensi
Eko Bambang Subiyantoro
S
etelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada hari Selasa malam,
10 Januari 2006 menjadi waktu yang paling luang bagi Sjamsiah
Achmad dari sekian waktu yang dipadati oleh kesibukannya.
Melalui percakapan telepon, Sjamsiah Achmad sangat bersemangat
untuk meluangkan waktunya meski hari itu bertepatan dengan
peringatan Hari Raya Idul Adha. “Selasa malam anda tidak keberatan
kan datang ke rumah saya?” begitu tanya Sjamsiah. “Saya menanyakan
pada anda karena saya takut menganggu waktu anda di hari lebaran,”
katanya lagi.
Di usia 73 tahun pada bulan Maret 2006, agenda kerja Sjamsiah
Achmad bukannya berkurang, justru semakin padat. Pagi hari, 11 Januari
Jurnal Perempuan 45
139
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
Eko Bambang Subiyantoro
lalu, beliau harus ke Denpasar, Bali dan hari itu juga harus kembali ke
Jakarta untuk melaksanakan kewajibannya melakukan beberapa
kegiatan. Baru beberapa hari di Jakarta ia kemudian harus bertolak ke
Tokyo, Jepang. Ia sedang tidak melakukan perjalanan wisata, melainkan
perjalanan kemanusiaan yang terus ia suarakan, khususnya keadilan
bagi perempuan.
Saat saya tiba di kediamannya, di komplek LIPI Taman Widya Candra
Jakarta Selatan, rumah beliau tidak nampak seperti rumah di sebuah
kawasan, yang dikenal sebagai perumahan para menteri. Saya menemui
beliau di ruang tamu dengan sebuah kipas angin sederhana yang
lumayan menghilangkan udara panas hari itu. Saya melihat sekeliling
dan di ruangan itu saya terpaku pada foto-foto yang dipajang. Tampak
salah satu foto, Sjamsiah memegang sebuah tropi penghargaan sebagai
perempuan berbusana terbaik. “Saya dinilai sebagai orang yang selalu
memakai busana baik, menggunakan pakaian dengan bahan-bahan
tradisional Indonesia. Saya tidak menyangka apa yang saya kenakan
diperhatikan orang,” ujar Sjamsiah tertawa di usianya yang lebih dari
setengah baya. Sementara itu foto lainnya tampak Sjamsiah berjabat
tangan dengan Hilary Clinton, ketika berkunjung ke Indonesia beberapa
waktu yang lalu.
“Mengapa Anda memilih saya untuk diwawancara?” tanya Sjamsiah
mengawali pembicaraan. “Tema Jurnal Perempuan kali ini tentang
Konvensi Internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan atau CEDAW. Perjuangan
melaksanakan konvensi tersebut tentu tidak lepas dari proses
keterlibatan perempuan sehingga konvensi ini ikut diratifikasi oleh
negara kita. Maka sulit membiarkan seorang ibu yang banyak orang
bilang mempunyai komitmen kuat terhadap pelaksanaan CEDAW di
Indonesia, itulah alasan kami melakukan wawancara,” jawab saya.
Perempuan Sulawesi yang Menapak Dunia
Tanggal 10 Maret 2006, Sjamsiah Achmad tepat berusia 73 tahun,
tentu bukan usia muda lagi untuk seorang aktivis dengan segudang
kegiatan. Kita tentu dapat membayangkan bagaimana di usianya yang
muda dulu ketika Indonesia masih dalam kondisi revolusi dan kemudian
membiasakan dirinya merdeka dan tuntutan pembangunan di sanasini terjadi, ia menapaki perjuangan hak-hak perempuan di tingkat
140
Jurnal Perempuan 45
Eko Bambang Subiyantoro
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
nasional bahkan sampai ke tingkat internasional. Bagi saya mungkin
saja, di saat kini pun Sjamsiah Achmad masih terlihat energik dan
tangkas.
Perempuan kelahiran Sengkang Sulawesi Selatan tahun 1933 ini
adalah anak keempat dari sembilan bersaudara dengan dua orang ibu.
Ia tujuh bersaudara kandung dengan ibu pertama dan bertambah lagi
dua saudara dari ibu tiri. Ayahnya adalah pensiunan kepala kejaksaan
negeri Kabupaten Sengkang Sulawesi Selatan. “Saya kasihan dengan
mendiang ibu saya. Nampaknya waktu itu tidak ada perhatian soal
kesehatan reproduksi. Hampir setiap tahun melahirkan, bahkan sampai
beberapa tahun tidak mendapat menstruasi. Ia meninggal setelah
kelahiran adik saya yang ketujuh,” kenang Sjamsiah.
Jika sekarang Sjamsiah menjadi seorang peneliti, mungkin bukanlah
pekerjaan yang dicita-citakan, karena waktu kecil Sjamsiah ingin menjadi
seorang dokter, tetapi karena yang ada asramanya adalah sekolah guru,
maka mau tidak mau Sjamsiah mesti mengikuti pendidikan guru.
“Zaman dulu ketat sekali, kita tidak dapat sembarangan sekolah, apalagi
waktu itu zaman perang, dan saya masuk ke sekolah guru dan lulus di
tahun 1952.”
Selepas sekolah guru, awalnya Sjamsiah ingin melanjutkan sekolah
lebih tinggi, namun ada larangan dari pemerintah untuk tidak
melanjutkan pendidikan dengan alasan setelah perang negara sangat
kekurangan guru. Tetapi pemerintah berjanji membolehkan sekolah lagi,
dengan syarat telah mengajar selama dua tahun, tetapi dengan
persyaratan lulusan ranking 1 sampai 3. Sjamsiah kebetulan memenuhi
syarat itu, sehingga setelah 2 tahun mengajar pada tahun 1954, ia
menagih janji kepada pemerintah untuk diperbolehkan sekolah. Untuk
mengurus kebutuhan pendidikan ini ia harus bolak-balik ke Jakarta
karena ada perubahan pola pemerintahan. Setelah tiga bulan lamanya
mengurus surat-surat, akhirnya ia pindah ke Jakarta dan mulai
melanjutkan sekolah. Pada waktu itu Sjamsiah ternyata masih memiliki
kewajiban untuk mengajar lagi. “Pagi saya sekolah, dan sore mengajar,
begitu terus, saya sampai tidak merasakan letih,” ungkapnya.
Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia melanjutkan kuliah di Diploma 1
Pendidikan, waktu itu namanya Sekolah Khusus Pendidikan. Setelah
tamat diploma, ia melanjutkan ke UKI (Universitas Kristen Indonesia)
mengambil jurusan Pedagogi di Fakultas Sastra dan Filsafat sampai
Jurnal Perempuan 45
141
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
Eko Bambang Subiyantoro
Foto: Dok. YJP
berhasil menyelesaikan sarjana muda. “Setelah lulus, oleh almarhum
Prof. Simanjuntak, mantan rektor IKIP (sekarang Universitas Negeri
Jakarta), saya dan dua teman diminta kerjasama dengan beliau untuk
membentuk unit riset departemen pendidikan nasional. Unit riset ini
berada di bawah Jawatan Pendidikan Umum. Sekarang namanya badan
Litbang Diknas. Waktu itu kita dirikan pada tahun 1956,” ujar Sjamsiah.
Di unit Research baru tersebut Sjamsiah mulai terus melakukan
pengembangan dan penelitian tentang dunia pendidikan. Ia misalnya
melakukan riset bagaimana membaca dengan metode keluar sekolah
dan untuk percobaannya dilakukan di Tapak Siring Bali. Setelah hampir
4 tahun menjadi peneliti, pada tahun 1960, Sjamsiah mendapat
kesempatan untuk meraih Master of Elementery Schooll Supervision di
New York University, New York City, USA. Studi di AS ini terbilang
singkat, di sana Sjamsiah benar-benar konsentrasi penuh. Pada tahun
1962, Sjamsiah sudah berhasil meraih gelar Master itu; “Master yang
saya raih cepat, karena di sana saya hanya kuliah saja, kalau di
Indonesia ya kuliah, ya riset, sambil mengajar.”
Sebetulnya, begitu
Sjamsiah berhasil menyelesaikan studinya,
ia langsung ditawari
untuk mengambil Ph.D
oleh profesornya. Tawaran itu ditolak, meskipun profesornya memberi garansi 2 tahun
untuk dapat selesai.
“Saya bilang tidak, saya
sudah diberi kesempatan banyak oleh bangsa
lain dan sekarang rakyat Indonesia sedang
membutuhkan saya, dan saya ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia,”
katanya. Sebelum balik ke Indonesia, beruntung Sjamsiah masih sempat
mampir selama 3 bulan di Inggris atas undangan British Council untuk
melihat sistem pendidikan yang dikembangkan di Inggris.
Setelah balik ke Indonesia, Sjamsiah kembali bekerja di Unit Riset
142
Jurnal Perempuan 45
Eko Bambang Subiyantoro
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
yang ia bangun dan kemudian semakin berkembang. Satu tahun saja ia
bekerja di sana, karena kemudian ia dipindahkan ke Departemen Urusan
Riset Nasional tahun 1963. Namun demikian, baru satu tahun juga
bekerja, Sjamsiah sudah harus pindah lagi ke Moskow, menjadi sekretaris
pribadi Duta Besar RI di Moskow. Tujuan utama di Moskow, selain
bekerja, Sjamsiah harus menjalani perawatan, karena sebelumnya ia
mengalami kecelakaan. Pakaian yang ia kenakan terbakar api yang
ditimbulkan dari spirtus yang ia gunakan sebagai pemanas makanan.
“Sejak kejadian itu, saya cuti di luar tanggungan negara. “Ke Moskow
juga dalam rangka berobat. Selama tiga tahun di sana, saya belajar bahasa
Rusia dan politik. Saya baca semua buku-buku politik, dan saya selalu
memberi masukan ke duta besar yang telah membantu saya,” ujar
Sjamsiah. Ketika kembali ke Indonesia, ternyata Departeman Riset
Nasional tidak ada lagi, digantikan menjadi Lembaga Riset Nasional,
dan setahun kemudian berubah menjadi LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia). “Saya bekerja sejak LIPI berdiri, dan saya
menjadi Kepala Biro Hubungan Internasional tahun 1967 sampai dengan
tahun 1978.”
Karir Sjamsiah terus melejit. Setelah sebelas tahun di LIPI, ia ditawari
bekerja di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) oleh pemerintah RI. Tadinya
Sjamsiah hanya dikontrak selama 3 bulan, tetapi kemudian diperpanjang
menjadi 1 tahun, sampai akhirnya diperpanjang lagi menjadi 11 tahun.
Di Lembaga PBB ini Sjamsiah bekerja di Office for Science and Technology
United National, New York. Setelah dua tahun ia pindah ke Non
Governmental Organizations (NGOs) Unit, Office of The Under Secretary
General (1982-1983).
Berikutnya pada tahun 1983 Sjamsiah mendapat tugas di Wina,
Austria sebagai Program Officer di Branch for the Advancement of Women,
Center for Social Development and Humanitarian Affairs UNOV (United
Nations Office Vienua) sejak 1986 sampai 1988. Selama periode 1983-1988
ini ia sangat terlibat dalam persiapan dan penyusunan tiga dokumen
utama Konverensi Dunia Ketiga tentang perempuan di tahun 1985, yaitu
“Review and Appraisal” Dasa Warsa PBB untuk perempuan. Ia terpilih
sebagai ketua Tim untuk Strategi Berwawasan Kedepan bagi Kemajuan
Perempuan, dan Survei Dunia I tentang Wanita dalam Pembangunan,
maupun Rencana Jangka Menengah antar Badan-Badan PBB bagi
kemajuan Perempuan.
Jurnal Perempuan 45
143
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
Eko Bambang Subiyantoro
“Sebenarnya pada waktu itu saya tidak tahu tentang women. Tetapi
untungnya sejak saya di PBB, sampai tahun 1980, setiap konferensi
dunia, Sekjen membuat pidato dan kebetulan saya menjadi tim penulis
pidatonya, saya lalu banyak mendengarkan, apa itu women,” ujar
Sjamsiah. “Nah untungnya lagi, waktu itu NGO perempuan di NewYork
sudah besar, jadi setiap sabtu saat NGO tersebut rapat, terutama pada
saat menjelang konferensi, saya terpanggil ingin tahu, ikut aja di situ
mendengarkan mereka dan setelah itu saya mengerti tentang women yang
dimaksud di sini adalah perjuangan atau gerakan perempuan untuk
mendapatkan hak-haknya.”
Sejak itu aktivitas Sjamsiah terus berlanjut. Sejak ditugaskan di Wina,
ia bertekad bulat memperjuangkan perempuan Indonesia yang ia tahu
kondisinya. Ia lalu dipercaya oleh United Nation (PBB) untuk kembali
menjabat sebagai Komite CEDAW yang terdiri dari 24 perwakilan negara
yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW. Sjamsiah Achmad adalah
generasi ketiga yang diangkat menjadi Komite CEDAW di PBB. Pertama
kali yang ditunjuk adalah Almarhumah Ibu Sukarman. Namun beliau
belum sempat datang, meninggal dunia karena kecelakaan. Selanjutnya
diganti dengan Prof. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Setelah itu, periode berikutnya adalah Sunaryati Hartono, mantan kepala
BPHN, sekarang wakil ketua Ombusdman, barulah kemudian Sjamsiah
Achmad pada tahun 2001-2004.
Saat ini, selain menjadi Penasehat Gender dan Iptek di LIPI, Sjamsiah
juga menjadi Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan di usianya yang menjelang
73 tahun ini, ia diangkat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan
Persahabatan Indonesia – Timor Leste, yang di angkat oleh Presiden
SBY dan Presiden Xanana Gusmao.
Pengawal CEDAW, Pengawal Keadilan Perempuan
“Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, tanggung jawab
ini seharusnya benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya
eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO dan setiap individu,” ujar
Sjamsiah. Itulah sebabnya Sjamsiah Achmad kelihatan tidak mau
berhenti mengawal CEDAW untuk dapat dilaksanakan dengan baik di
Indonesia. Sampai sekarang ia terus memantau perkembangan CEDAW,
meskipun tidak lagi aktif di Komite CEDAW. Menurut Sjamsiah meskipun
144
Jurnal Perempuan 45
Eko Bambang Subiyantoro
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun CEDAW
secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Menurutnya, masih banyak terjadi ketidakadilan bagi perempuan di
Indonesia. Ketidakadilan ini disebabkan oleh beberapa hal, disamping
kultur masyarakat, peran negara untuk menghapus kekerasan terhadap
perempuan juga belum sepenuhnya dilakukan, bahkan dipahami.
Indonesia, menurut Sjamsiah sebenarnya tidak terlalu terpanggil untuk
bicara soal hak asasi manusia. “Pak Harto (baca: Soeharto, pemimpin
Orde Baru) baru bicara persoalan ini sekitar tahun 1990, mendekati
turunnya dari jabatan presiden. Sejak itulah, kita baru membentuk
Komnas HAM dan sebagainya. Menjelang Viena tahun 1993, baru
Indonesia bicara soal hak asasi manusia, karena tidak mungkin kalau
tidak bicara,”ujar Sjamsiah.
CEDAW diakui oleh Sjamsiah sampai kini belum banyak diketahui
oleh masyarakat luas, khususnya Aparat Penegak hukum dan
pemerintah yang membuat kebijakan. “Jangankan masyarakat luas,
aparat penegak hukum, dan aparatur pemerintah saja sampai sekarang
masih banyak yang tidak mengerti apa itu CEDAW,” katanya lagi.
Menurut Sjamsiah hal ini karena sosialisasi keberadaan CEDAW masih
sangat minim. Padahal CEDAW sudah berumur lebih dari 20 tahun,
sejak diratifikasi pertama kali di tahun 1984. “Banyak tanggungjawab
negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih
‘segudang’ yang belum kita lakukan. Peradilan yang kompeten juga belum
bisa kita ciptakan. Tidak hanya peradilan dengan standar yang ada,
tetapi juga peradilan yang berperspektif gender,”
Sjamsiah menyesalkan tidak tersosialisasinya CEDAW dengan baik,
padahal CEDAW memberi banyak pengertian tentang bentuk-bentuk
diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Sjamsiah, selama ini upaya
pemberdayaan perempuan sering ditentang oleh masyarakat. “Misalkan
saja soal kuota perempuan 30 persen. Masyarakat masih banyak yang
tidak paham soal kuota perempuan. Kuota perempuan masih dianggap
sebagai tindakan meminta belas kasihan, ini kan keliru besar,” cetusnya.
“Kenapa 30 persen? itu juga sudah menjadi ketentuan internasional
secara minimal untuk mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Jadi
bukannya meminta-minta, tetapi itu memang hak perempuan. Dan yang
lebih penting lagi, bahwa itu sifatnya temporary, tidak permanen,”
katanya lagi.
Jurnal Perempuan 45
145
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
Eko Bambang Subiyantoro
Menurut Sjamsiah, hal yang paling penting di CEDAW adalah
prinsipnya yang non diskriminasi. Jika terjadi pembedaan perempuan
dan berakibat pada kerugian perempuan itu, maka sudah termasuk
diskriminasi. Di dalan konvensi CEDAW sudah diatur secara detail,
bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan mana yang
permanent action. “Masalah pendidikan misalnya. Data menunjukkan
angka partisipasi sekolah anak perempuan cukup rendah dibandingkan
dengan anak laki-laki. Nah upaya untuk mengejar ketertinggalan
pendidikan anak perempuan inilah yang dimaksud sebagai upaya
temporary action. Misalkan memberi beasiswa untuk perempuan, itu
sifatnya benar-benar temporary action yang harus dihapuskan bila
persamaan sudah mulai terbangun,” katanya.
Belum berjalannya CEDAW secara baik di Indonesia bukan berarti
Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Digunakannya CEDAW
sebagai dasar hukum sejumlah kebijakan adalah indikator yang dapat
diacungi jempol, karena dengan demikian CEDAW diperhatikan
keberadaannya. Sjamsiah memaklumkan kesulitan pelaksanaan ini
berkaitan dengan persoalan kultur budaya yang berbaur dengan agama
di Indonesia adalah kendala yang paling berat bagi pelaksanaan
CEDAW.
Masyarakat masih belum bisa melihat bahwa budaya, sebagai ciptaan
manusia dapat diubah dan berkembang sesuai konteks zamannya. Tidak
banyak perubahan akan kultur budaya dan perilaku masyarakat ini
juga terjadi pada aspek pembedaan gender (sengaja dibedakan antara
perempuan dan laki-laki atau diskriminatif terhadap perempuan) dalam
masyarakat. Pembedaan gender sebagai bentuk konstruksi masyarakat,
dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya.
Masyarakat masih belum mau melakukan perubahan-perubahan secara
mendasar dengan alasan akan mengubah struktur kehidupan, ditambah
lagi dengan konservatisme agama yang semakin menyudutkan
perempuan dalam masyarakat. “Bukti nyata dari semua ini adalah masih
berlakunya UU Perkawinan tahun 1974 yang menempatkan perempuan
sebagai orang nomor dua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa lakilaki yang mencari nafkah, perempuan mengurus rumah tangga, yang
seharusnya ketentuan ini harus diubah karena merugikan dan tidak
memberi keadilan bagi perempuan,” katanya lagi. “Di masa depan, saya
hanya berharap, pemerintah membuat sistem kelembagaan yang akan
146
Jurnal Perempuan 45
Eko Bambang Subiyantoro
Pengawal Keadilan Melalui Konvensi
Foto: Dok. YJP
“Di masa depan, saya hanya
berharap, pemerintah membuat
sistem kelembagaan yang akan
menangani masalah HAM,
dalam arti pelaksanaan,
sehingga kita bisa menjamin
dua hal, pertama memberi
keadilan kepada orang yang
dilanggar HAM-nya, kedua
memberi keadilan pula kepada
pelaku yang harus dibawa ke
pengadilan.”
menangani masalah HAM, dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa
menjamin dua hal, pertama memberi keadilan kepada orang yang
dilanggar HAM-nya, kedua memberi keadilan pula kepada pelaku yang
harus dibawa ke pengadilan.”
Dedikasi Sjamsiah yang tinggi bagi perjuangan hak asasi manusia
dan khususnya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia tidak
pernah redup. Hidupnya telah ia serahkan secara total bagi umat
manusia. Di kalangan aktivis dan gerakan perempuan Indonesia bahkan
di dunia, nama Sjamsiah Achmad bukan nama asing. Empat tahun
keberadaanya di Komite CEDAW Badan Dunia ini, menjadikan upaya
keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sebagai bagian dari
hidupnya. Ia selalu mengamati bagaimana bentuk diskriminasi terjadi
terus pada perempuan di negeri ini. Dan dengan peran dan
kompetensinya di tataran nasional maupun internasional, ia telah
banyak melakukan perubahan dan pemahaman bagi banyak pihak.
Itulah sebabnya Syamsiah Achmad, yang memang memilih hidupnya
menjadi pengawal keadilan bagi perempuan melalui konvensi hukum
yang berpihak pada perempuan dimana ia dapat langsung terlibat di
dalamnya.
Jurnal Perempuan 45
147
• Rak Buku •
Simone de Beauvoir dan Etika
Pembebasan Perempuan
Judul Buku
Penulis
Pengantar
Penerbit
Cetakan
Tebal
: Pembebasan Tubuh Perempuan:
Gugatan Etis Simone de
Beauvoir terhadap Budaya
Patriarkat
: Shirley Lie
: Karlina Supelli
: Grasindo, Jakarta
: Pertama, 2005
: xx + 102 halaman
D
Buku yang semula adalah tesis
di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Jakarta ini adalah salah
satu dari sedikit karya dalam
bahasa Indonesia yang mencoba
mensis-tematisasi dan mengkontekstualkan pemikiranpemikiran Beauvoir. Gagasangagasan Beauvoir yang dapat
dikatakan bersifat filosofis dan
merupakan kritik pedas terhadap
budaya patriarkhat yang menindas
dalam buku ini diletakkan dalam
kerangka praksis-etis pembebasan
kaum perempuan. Untuk itu,
penulis buku ini, selain mengolah
dari The Second Sex, juga banyak
mengolah pemikiran filosofis
Beauvoir yang tertuang dalam The
Ethics of Ambiguity.
148
Jurnal Perempuan 45
i kalangan para aktivis gender,
Simone de Beauvoir (19081986) merupakan salah satu tokoh
kunci yang pemikirannya tak bisa
dilewatkan untuk ditelaah.
Magnum opusnya, Le Deuxième Sexe
(1949), dicatat sebagai karya klasik
yang memberikan uraian cukup
komprehensif tentang kondisi
(ketertindasan) perempuan dan
telah memberikan pengaruh yang
cukup signifikan dalam menginspirasi dan memotivasi gerakangerakan pembebasan perempuan.
Karya klasiknya itu, yang dalam
bahasa Inggris berjudul The Second
Sex, telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, diterbitkan oleh
Pustaka Promethea, Yogyakarta
(2003).
• Rak Buku •
Budaya patriarkhat memulai
riwayat penindasannya terhadap
perempuan dengan stigmatisasi
negatif terhadap kebertubuhan
perempuan. Unsur-unsur biologis
pada tubuh perempuan dilekati
dengan atribut-atribut patriarkhat
dengan cara menegaskan bahwa
tubuh perempuan adalah hambatan
untuk melakukan aktualisasi diri.
Perempuan diciutkan semata dalam
fungsi biologisnya saja. Dengan cara
demikian, tubuh bagi kaum
perempuan tak lagi dapat menjadi
instrumen untuk melakukan
transendensi sehingga perempuan
tak dapat memperluas dimensi
subjektivitasnya kepada dunia dan
lingkungan di sekitarnya. Tubuh
yang sudah dilekati nilai-nilai
patriarkhat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta
diinternalisasikan melalui mitosmitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara.
Dalam kerangka penjelasan
seperti inilah maka perempuan
kemudian diposisikan sebagai jenis
kelamin kedua (the second sex) dalam
struktur masyarakat. Akibatnya,
perempuan tak dapat mengolah
kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang
positif, konstruktif, dan aktual.
Dalam situasi yang demikian ini,
Jurnal Perempuan 45
pola relasi kaum laki-laki dan
perempuan menjadi tak ramah lagi.
Kaum laki-laki tak menghendaki
adanya ketegangan relasi subjekobjek, sebagaimana dijelaskan oleh
filsuf-filsuf eksistensial, dengan
menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai
peng-ada lain yang absolut.
Pada titik inilah pemikiran
Beauvoir tentang etika ambiguitas
menjadi penting dikemukakan.
Dengan etika ambiguitas, Beauvoir
menolak sikap yang ingin mengelak
ketegangan relasi tersebut. Menurut
Beauvoir, ketegangan antara
“kebutuhan akan orang lain” dan
“kekhawatiran dikuasai orang lain”
(diobjekkan) merupakan situasi
yang harus diterima apa adanya
dan ditransendensikan ke dalam
situasi yang lebih proposional dan
manusiawi.
Jalan pembebasan kaum perempuan ditempuh dari dua jalur
utama, yakni level pemikiran dan
praktik. Pada tataran pemikiran,
tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkhis yang
membuatnya tak leluasa melakukan
proses transendensi. Tubuh, milik
perempuan maupun laki-laki,
dalam pandangan filosofis
Beauvoir adalah situasi; tubuh
adalah tempat subjek melakukan
149
• Rak Buku •
dialog dan penafsiran antara
sejumlah nilai yang ditawarkan
konstruksi sosial di sekelilingnya
dan nilai-nilai yang dipilihnya
secara otonom. Selain menempatkan konsep subjek dengan tubuh
yang berbeda dan ambigu, Beauvoir
juga menyerukan untuk mengubah
pola relasi antara kaum laki-laki
dan perempuan dari ikatan biologis
dan fungsional menjadi ikatan
manusawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan
dan kemurahan hati.
Di level praktik, Beauvoir
mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu
pembuka bagi pembebasan tubuh
perempuan, yang akan semakin
mantap jika dipadukan dengan
perlakuan setara terhadap perempuan di ranah sosial, budaya, dan
politik, yang dicapai melalui
revolusi sosial.
Selain melakukan sistematisasi,
buku ini cukup berhasil melakukan
kritik dan kontekstualisasi
pemikiran-pemikiran Beauvoir
dalam konteks problem-problem
kekinian perempuan di era
globalisasi. Di beberapa bagian
misalnya, menurut penulis buku ini,
Beauvoir kadang terlihat terlalu
menyederhanakan persoalan situasi
perempuan dan tidak mengakomodasi kompleksitas situasi
150
penindasan perempuan yang
cukup rumit. Di akhir bagian,
penulis buku ini menambahkan
bahwa selain ancaman nilai-nilai
patriarkhat sebagaimana tampak
jelas dalam pemikiran Beauvoir,
perempuan kini juga ditantang oleh
kekuatan pasar bebas yang untuk
beberapa hal tak jauh berbeda
dengan kultur patriarkhis dalam
soal menyempitkan ruang perempuan ke dalam kategori objek belaka,
di tengah kegamangan kaum
perempuan untuk terjun ke dalam
ketegangan dan sifat dasar
kebebasannya.
Karya ini cukup berhasil
menyajikan pemikiran-pemikiran
filosofis Simone de Beauvoir tentang
praksis etis pembebasan perempuan dalam bahasa dan uraian
yang cukup mudah dicerna tanpa
harus kehilangan segi kedalaman
kajiannya. Buat mereka yang terjun
di level gerakan (sosial) pembebasan
perempuan, buku ini dapat
menyuguhkan peta umum kondisi
perempuan dengan berbagai
kompleksitas persoalannya, dan
buat kaum perempuan sebagai
individu, melalui buku ini Beauvoir
memberikan semangat dan seruan
untuk selalu hidup lebih autentik
dan hidup dengan semangat
menggali identitas dan makna
kebebasan. (M Mushthafa)
Jurnal Perempuan 45
Duka untuk Betty Friedan
(1921 - 2006)
Sebagai lembaga yang concern dengan
perjuangan feminisme di seluruh dunia,
kami ikut berduka atas meninggalnya Betty
Friedan, 5 Februari 2006 lalu, bertepatan dengan
hari ulang tahunnya ke 85. Betty Friedan adalah
seorang feminis modern gelombang pertama dengan
bukunya yang terkenal The Feminine Mystique yang
diluncurkan pada tahun 1963. Ia meninggal dunia karena
mengalami gagal jantung di rumahnya, di Washington DC.
Bukunya yang sangat laris terjual berjudul The Problem That Has No
Name mengenai masa krisis perempuan Amerika pada masa setelah
Perang Dunia ke II yang diperlakukan tidak adil oleh pemikiran
tradisional terhadap peran perempuan di ranah domestik. Ia juga
menulis buku Melding Sociology and Humnistic Psycholog, sebuah buku
yang menjadi tonggak ujung sebuah pergerakan yang amat besar
pada abad terakhir, dimana feminisme Amerika sangat berkembang
maju semenjak tahun 1800.
Selain itu, ia adalah seorang aktivis pendiri Organisasi
Perempuan Nasional sebuah organisasi feminis baru yang
pertama pada abad pertengahan di Amerika tahun 1966, Betty
Friedan juga salah satu pendiri dari Kaukus Politik
Perempuan dan juga mendirikan Kelompok Aksi HakHak Aborsi.
Kita kehilangan tokoh feminis modern,
namun semangat dan ide perjuangannya
bagi keadilan perempuan tetap terus
bersama kita.
• Rak Buku •
Otonomi Daerah:
Perlu Reformasi pada Segala
Kebijakan Publiknya
Judul
Penulis
Penerbit
Terbit
Tebal
: Representasi Perempuan
dalam Kebijakan Publik di Era
Otonomi Daerah
: Endriana Noerdin, Lisabona
Rahman, Ratna Laelasari Y.,
Sita Aripurnami
: Women Research Institute
: Jakarta, 2005
: XVII + 76 Halaman
D
Nanggroe Aceh Darussalam,
Gianyar, Kupang, Kendari, Samarinda dan Kutai Barat. Satu langkah
yang perlu didukung terutama dalam
upaya mengevaluasi implementasi
dari Undang-undang Otonomi
Daerah tahun 1999, di mana
sebetulnya pemerintah Indonesia
telah membuat peraturan hukum
dengan menyertakan pengarusutamaan gender dalam GBHN 1999.
Riset yang dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kualitatif
berperspektif feminis dalam analisis
tekstual, sekaligus merupakan
investigasi yang mengungkap
bahwa Perda di sembilan kabupaten/ kota dan satu provinsi,
semuanya telah melanggar hak-hak
asasi perempuan dan membatasi
ruang kehidupan perempuan.
152
Jurnal Perempuan 45
alam kata pengantarnya,
Hans Atlov mengatakan
pentingnya keberadaan buku ini,
terutama memaparkan bagaimana
peraturan daerah (Perda) di
Indonesia selama dua tahun
belakangan in telah merugikan
perempuan dengan membatasi hakhak asasi mereka. Hal ini merupakan salah satu akibat yang tidak
menguntungkan dari desentralisasi
sehingga membutuhkan perhatian
lebih jauh untuk mengkaji implementasi Perda.
Buku ini sendiri merupakan
serangkaian penelitian yang
dilakukan oleh Women Reseach
Institute (WRI) di 10 pemerintah
daerah (Pemda) dalam era otonomi
daerah, meliputi Sukabumi,
Tasikmalaya, Solok, Mataram,
• Rak Buku •
Temuan-temuan yang tidak sensitif
gender ini jelas meremehkan peran
perempuan di wilayah publik
bahkan mengucilkan eksistensi
perempuan. Hal ini menunjukkan
bahwa Pemda belum sepenuhnya
memiliki political will untuk menganggap perempuan sebagai bagian
dari publik. Diskriminasi dapat dilihat dalam banyak kejadian dengan
penerapan hukum Syariah Islam,
pemulihan institusi tata pemerintahan adat yang didominasi oleh
laki-laki, konteks “perilaku amoral”,
wajib berpakaian tertentu, pembatasan ruang bergerak seperti keluar
pada malam hari, dan lainnya.
Salah satu teks yang diangkat
dalam buku ini adalah Qanun Kota
Banda Aceh No. 7 Tahun 2002
yang mengatur tata cara pemilihan
Geucik (kepala kampung). Ada 14
persyaratan yang tertera pada pasal
8 ayat (1) oleh kandidat Geucik.
Namun menyoroti salah satu syarat
saja, yaitu harus mampu menjadi
imam shalat, tentu membenturkan
potensi perempuan untuk menjadi
kepala kampung. Dalam perspektif
masyarakat umum tentang Hukum
Islam saja ia harus dibenturkan
pada konteks aturan bahwa hanya
laki-laki yang dapat menjadi imam
shalat, sedangkan perempuan tidak
dapat menjadi imam shalat bagi
laki-laki. Jelas sudah, dalam hal ini,
Jurnal Perempuan 45
mungkinkah perempuan diberi hak
untuk menjadi Geucik?
Sebagaimana Qanun yang
memiliki potensi diskriminatif
terhadap perempuan, maka perlu
disimak kembali secara teliti apakah
memang setiap Perda berpotensi
menutup ruang publik perempuan?
Kenapa penelitian awal ini
memakai perspektif feminis
disebabkan kebutuhannya yang
mendesak, maka perspektif feminis
dibandingkan dengan perspektif
lain, sangat membantu mengungkap permasalahan perempuan
pada umumnya, dan secara khusus
erat kaitannya dengan representasi
dan partisipasi perempuan dalam
politik dan kebijakan publik.
Dengan demikian hasil penelitian
dapat digunakan sebagai rujukan
untuk memetakan kebutuhan
praktis dan strategis gender dalam
rangka pemberdayaan politik
perempuan di tingkat lokal dan
nasional.
Harusnya semua Perda mengacu kepada Undang-undang No. 22
Tahun 1999 butir satu, yang
menyatakan “Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan
dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan,
serta potensi dan keanekaragaman
daerah” (Bab I, hal 4). Namun
membaca dari awal hingga bab
153
• Rak Buku •
terakhir dengan segala otensitas
temuan-temuannya, buku ini jelas
mengungkap ketimpangan gender
dalam kebijakan publik bagi
keadilan untuk perempuan dalam
otonomi daerah. Maka buku ini
dapat menjadi sebuah kitab
pembelajaran, bahwa masih
panjang jalan yang harus dilalui
untuk mereformasi segala peraturan,
segala kebijakan yang tidak
mendiskriminasikan hak-hak
t
terbai ru
h
a
l
Te
terb isme
bukug femin
n
tenta
perempuan sebagaimana termaktub
dalam Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia dan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW), semua
prinsip-prinsip dasar yang
menghormati hak-hak perempuan
harus selalu ditegakkan. Satu
harapan terakhirnya adalah
“Masyarakat yang Berkeadilan
Gender”. (Yoke Sri Astuti)
Feminisme:
Sebuah Kata Hati
Karya: Dr. Gadis Arivia
”Buku ini merupakan koleksi tulisan
yang lengkap tentang isu-isu
feminisme. Apa yang dituangkan di
dalam buku ini ditulis oleh seorang
pemikir dan hati feminis. Penindasan
yang ditentang dan dipersoalkan oleh
seorang feminis mencerahkan dan
membebaskan kelompok-kelompok
tertindas lainnya”.
Dapatkan di toko buku,
bursa buku atau
Koperasi Mahasiswa terdekat
Departemen Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
154
Untuk pemesanan hubungi:
Ima 0812 981 1969
Marketing YJP (021) 8370 2005
Jurnal Perempuan 45
Perubahan
Biaya Berlangganan
Mulai Bulan April 2006, biaya
berlangganan Jurnal Perempuan
sebesar Rp.100.000 untuk
1 tahun/6 edisi
(diluar ongkos kirim)
NB:
• Ongkos kirim berlangganan Pulau Jawa
sebesar Rp. 5.000 x 6 edisi
• Ongkos kirim berlangganan luar Pulau
Jawa sebesar Rp. 10.000 x 6 edisi
Untuk berlangganan dan informasi
lebih lanjut hubungi:
Marketing Yayasan Jurnal
Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp. : (021) 8370 2005
Fax : (021) 830 2434
E-mail : [email protected]
• Puisi •
Tanpa Sebab Langsung
(With No Immediate Cause)
Ntozake Shange
Tiap 3 menit seorang perempuan dipukuli
tiap lima menit seorang perempuaan diperkosa
tiap sepuluh menit gadis kecil dilecehkan
tetap saja aku naik kereta hari ini
sebelahku seorang lelaki tua yang
mungkin habis memukuli istrinya
3 menit lalu atau 3 hari
30 tahun lalu mungkin dia menyodomi anak
perempuannya tapi aku duduk saja
karena seorang pemuda di kereta
mungkin memukuli seorang pemudi
hari ini atau esok
mungkin aku kurang cepat menutup
pintu
mendorong pintu tiap 3 menit terjadi
seorang perempuan merebak ke pipinya
tumpah dari mulutnya
bagai boneka yang koyak
dengan mulut merah merekah dan terbuka
tiap tiga menit ada bahu
terbentur plester dan pemanggang
kursi terdorong hingga rusuk
air panas atau sperma mendidih hiasi tubuhnya
aku naik kereta hari ini
156
Jurnal Perempuan 45
• Puisi •
dan beli koran dari seorang
lelaki yang mungkin
telah mencengkeram ibunya ke
setrika
aku tak tahu mungkin dia menahan gadis kecil di
taman dan menyobek bagian belakangnya
dengan batang besi
aku tak tahu pasti apa yang telah dia lakukan aku cuma
tahu tiap 3 menit
tiap lima menit tiap sepuluh menit
jadi aku beli koran itu
mencari pengumuman itu penemuan itu
terbelahnya tubuh perempuan
korban-korban yang belum semua dikenali
hari ini mereka telanjang dan mati
menolak bersaksi
satu dari sepuluh gadis tidak koheren
aku raih kopi dan melepehnya
aku temukan satu pengumuman
bukan tubuh perempuan yang bengkak di sungai
mengambang bukan anak yang bersimbah darah di
gang 59
bukan bayi yang terberai di lantai
“ada laporan bahwa perempuan yang sering dipukuli
bisa membunuh
suami dan kekasih mereka
tanpa sebab seketika”
aku meludah aku muntah aku teriak
kami semua punya sebab langsung
tiap 3 menit
tiap 5 menit
tiap 10 menit
tiap hari
tubuh perempuan ditemukan
Jurnal Perempuan 45
157
• Puisi •
di jalan sempit dan kamar tidur
di ujung tangga
sebelum aku naik kereta
beli koran
minum kopi
aku harus tahu
apa kamu melukai perempuan hari ini
apa kamu memukul perempuan hari ini
melempar anak kecil melintasi ruangan
apakah itu celana dalam gadis kecil
di sakumu
apa kamu melukai perempuan hari ini
aku harus tanyakan pertanyaan aneh ini
yang berwenang butuh aku melakukannya
membangun
sebab langsung
tiap tiga menit
tiap lima menit
tiap sepuluh menit
tiap hari.
(Diadaptasi oleh Indah Lestari)
Ntozake Shange, perempuan berkulit hitam yang lahir di New Jersey dan
menempuh pendidikan di University of Southern California. Ia telah
menelurkan beberapa novel dan choreopoem. Karyanya berjudul “For
Coloured Girls Who Have Considered Suicide/ When The Rainbow is Enuf
dipentaskan di Broadway tahun 1976.
158
Jurnal Perempuan 45
LAYANAN INFORMASI & DOKUMENTASI
YAYASAN JURNAL PEREMPUAN
Bagi Anda yang membutuhkan referensi, buku-buku, kliping dan
informasi lainnya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan
kesetaraan gender, YJP memberikan layanan baru yaitu Pusat Informasi
dan Dokumentasi. Daftarkan diri Anda untuk mendapatkan layananlayanan seperti:
1. Mendengarkan Program Radio Jurnal Perempuan
2. Menyaksikan film dokumenter produksi YJP, setiap hari Senin &
Kamis pk. 15.00
3. Keikutsertaan dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh YJP
4. Akses ke semua bahan koleksi perpustakaan YJP.
Informasi dan Dokumentasi YJP
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Phone (021) 8370 2005 (Hunting)
Fax (021) 8302434
E-mail : [email protected]
Pandu
a
pentingnya
gerakan penyadaran
kesetaraan perempuan
dalam media...
[
Seri
Pemberdayaan
Perempuan
n Unt
uk J u
r nalis
]
Harga satuan Rp. 15.000
Harga paket (3 buku) Rp. 40.000
amnesty.org
• Cerpen •
Dewi Nova Wahyuni
160
Jurnal Perempuan 45
• Cerpen •
Mesin waktu membawaku pada suatu waktu beberapa tahun ke
depan dan sebuah pulau yang kaya dengan pohon kelapa. Pulau
yang subur, tempat para monyet dan burung hidup damai tanpa
takut diburu. Pulau hijau ini dikelilingi laut yang ombaknya setengah
besar, sangat menyenangkan untuk diajak bercanda sambil berenang.
Dan aku terdampar pada sebuah cottage yang berjarak 20 meter dari
bibir pantai.
Pagi, 29 Desember 2015
Aku berjalan menyusuri pantai, membiarkan kaki telanjangku
bersentuhan dengan pasir putih. Air laut naik memenuhi bibir pantai,
ombak mendayu-dayu dimainkan angin pagi. Aku bertemu beberapa
lelaki, memandang heran pada seluruh tubuhku, tapi tidak satu pun
yang menggoda. Barangkali mereka merasa asing bertemu perempuan
dari waktu yang berbeda.
Permukaan laut, biru kehijauan diterpa matahari yang mulai
menyembul dari balik gunung, tetapi aku tidak melihat seorang
perempuan pun di pantai. Mungkin mereka masih sibuk memandikan
anak, membersihkan rumah, mencuci, seperti perempuan di waktuku.
Setelah kembali ke cottage, aku mampir di resto untuk sarapan.
Aku sarapan segelas susu segar, seiris roti dan keju, dan akhirnya aku
bertemu seorang perempuan dengan baju tanpa motif berwarna
kelabu. Kepalanya ditutupi oleh kain yang sama, hingga tak selembar
rambutnya nampak. Potongan blusnya lurus tidak menampakkan
seberapa kurus atau /gendut tubuhnya, roknya berpotongan longgar.
Wajahnya alami tanpa polesan apapun. Ia salah satu pelayan di
cottage ini. Sebelum aku meninggalkan resto, dengan sopan perempuan ini memberiku koran pagi. Aku mengucapkan terima kasih,
sambil menyembunyikan keherananku dengan cara perempuan ini
berpakaian.
Berita Pagi ini…
20 Perempuan Diarak Karena Mencium Tentara Kerajaan Satu
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - 20 perempuan Pupu diarak oleh Polisi
Jurnal Perempuan 45
161
• Cerpen •
Pengawas Pupu (3P) karena mencium para Tentara Kerajaan Satu (TKS)
yang berpulang ke Kerajaan Satu. Peristiwa ini terjadi di Pelabuhan Pupu,
setelah kapal yang ditumpangi ratusan TKS meninggalkan pelabuhan.
Ciuman itu, merupakan ciuman terakhir kepada kekasihnya, yang kemungkinan besar tidak akan kembali ke negeri Pupu akibat penarikan TKS paska
perjanjian damai. Pengarakan dilakukan karena para perempuan itu telah
melanggar Undang-undang Pupu No. 1 tentang anti porno aksi.
5 Perempuan Dipotong Rambutnya karena Menolak Berpakaian
Kelabu
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - 5 perempuan muda dipotong rambutnya oleh eksekutor karena menolak berpakaian kelabu. Pemotongan rambut
ini dilakukan di alun-alun kota pada hari Minggu Sore, 27 Desember 2015.
Pemotongan rambut yang ditonton ribuan orang ini, disertai cercaan dari
warga Pupu.
“Perempuan jalang, mempermalukan bangsa Pupu.”
“Perempuan binal, tukang pamer tubuh, santapan TKS.”
“Ibu-ibu, waspadalah dengan perempuan-perempuan yang
menolak berpakaian kelabu, karena mereka akan menggoda suami
ibu-ibu sekalian.”
Penolakan berpakaian kelabu ini merupakan sikap melawan
hukum yang bertentangan dengan Undang-undang Pupu No. 2
tentang Susila Perempuan Pupu.
Sepasang Kekasih Dianiaya Massa
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - Sepasang kekasih dianiaya
massa, karena kepergok sedang berpelukan di Kamp Pengungsian
Beriman. Penganiayaan ini, terjadi karena mereka dianggap telah
mencemari negeri Pupu. Si Perempuan juga dianggap kelompok yang
mengakibatkan banyak persoalan. Perempuan seperti itu, adalah
perempuan yang umumnya pernah berpacaran dengan TKS. Kelompok bersenjata yang menyebar kesengsaraan selama berpuluh tahun.
Perempuan yang mau disentuh sebelum dinikahi juga sekaligus
sumber segala bencana banjir, kekeringan, yang melanda negeri Pupu
162
Jurnal Perempuan 45
• Cerpen •
setiap tahun, sebagai azab atas perilaku para perempuan yang tak
bisa lagi menjadi tiang negara. Karena itu, warga Kamp Beriman
memutuskan untuk mengusir perempuan itu dari kamp mereka.
Sementara yang laki-laki cukup dinasehati dan diawasi agar tidak
mengulang perbuatan yang sama.
Ibu-ibu Menjual Sarden, Menteri Sosial Dituduh Korupsi!
NEGERI PUPU, SUARA PUPU - Bantuan sarden, biskuit untuk
pengungsi korban banjir dan korban konflik tidak benar-benar
dikonsumsi oleh pengungsi. Seorang Ibu menyampaikan bahwa
keluarganya tidak terbiasa makan makanan kaleng, apalagi memberikan biskuit pada balita, ia khawatir anak-anaknya akan kekurangan
gizi. Untuk itu, ia menjual pangan bantuan tersebut ke pasar terdekat
untuk dibelanjakan sayur dan ikan segar. Sementara itu, kelompok
pengawas bantuan mengancam akan mengajukan Menteri Sosial
Negeri Pupu ke meja hijau atas tuduhan korupsi. Tuduhan itu terkait
dengan buruknya layanan publik di kamp-kamp pengungsian,
padahal bantuan dari dunia internasional terus mengalir ke Pemerintah Pupu. Husein Mubarak, Ketua Badan Koordinasi Bantuan
Pengungsi (BKBP) yang bertanggung jawab atas situasi ini, menjelaskan bahwa lembaganya tidak dapat bekerja maksimal karena macetnya aliran dana dari Menteri Sosial.
Gila, bagaimana bisa, mesin waktu membawaku pada waktu dan
tempat seperti ini.
Malam, 31 Desember 2015
Bulan bundar bersinar cemerlang di atas laut, aku menyandarkan
tubuhku di dada bidang Jeremy, sambil membiarkan kaki kami
terciprat ombak. Setelah beberapa hari terdampar, aku bertemu Jeremy,
seorang relawan dari Organisasi Penolong Dunia (OPD). Dia satu
dari sedikit orang, yang bisa aku ajak bicara tentang segala macam
aturan yang membuatku pusing selama di sini. Dia bertahan bekerja
di sini, untuk kemanusiaan, seperti yang biasa aku dengar dari
Jurnal Perempuan 45
163
• Cerpen •
orang-orang sejenis dia. Bagaimanapun dia teman yang paling
berharga untukku, karena dia mengerti apa yang membuatku resah
dan apa yang aku inginkan. Yah, aku tak punya keinginan lain, selain
kembali ke tahun 2005 dan ke kampungku, sebuah perkebunan teh di
Indonesia. Yah, walaupun kalian tahu kan Indonesia?
Sesungguhnya aku mau bilang, bahwa Jeremy itu agak keren, dan
yang lebih penting dari itu, sentuhannya membuat setiap sel tubuhku
menari-nari. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bercinta dengannya.
Lagi pula aku tahu, dia sudah tidak bercinta selama 6 bulan, ehm..
kalian percaya?
Ada bulan, ada laut, ada Jeremy yang telanjang dan menciumi
seluruh tubuhku. Lalu, kami bercinta mengikuti deburan ombak yang
bergulung-gulung. Dan kami orgasme bersama sambil meneriakan I
love u….
5 Menit Kemudian
Aku dan Jeremy dikelilingi 12 orang Polisi Pengawas Pupu (3P),
dua diantara mereka perempuan. Salah satu dari perempuan itu
segera menutup tubuhku yang masih telanjang dengan kain sambil
mengumpat:
“Terkutuklah perempuan sumber penderitaan Pupu.”
Sementara anggota 3P yang lain merampas KTPku dan pass por
Jeremy. Aku tidak tahu bagaimana KTP-ku bisa berbunyi:
Nama : Dewi Pupu
Agama : Pupu
Tempat tanggal lahir: Negeri Pupu, 19 Nopember 1985.
Setelah itu, kami dibawa ke Kantor Departemen Pengawas Pupu
untuk melalui pemeriksaan. Kami dituduh telah melanggar Undangundang Pupu Pasal 4 tentang anti Seks Bebas jo Pasal 67 tentang anti
HIV/AIDS. Karena menurut otoritas Pupu, salah satu penyebar HIV/
AIDS adalah perempuan yang bersetubuh dengan TKS dan relawan
164
Jurnal Perempuan 45
• Cerpen •
organisasi bantuan internasional.
Aku menolak semua tuduhan itu, karena aku tidak melakukan
“seks bebas”s, aku bercinta dengan orang yang aku sukai dengan
segala riesiko yang aku pertimbangkan. Dan yang lebih mendasar
adalah mereka tidak boleh mengontrol seksualitasku. Aku juga
menolak dijuntokan ke pasal Anti HIV/AIDS karena Jeremy mengenakan kondom. Lagi pula aku bukan perempuan bodoh, yang melakukan seks tanpa pengaman. Bahkan aku sudah memikirkan kesehatan
tubuhku sebelum undang-undang ajaib itu mereka buat.
Tetapi tak seorangpun yang menghiraukan penolakanku. Orangorang berseragam itu memandangku dengan perasaan jijik sambil
sesekali mencuri pandang pada kain yang tidak bisa menutup seluruh
pahaku. Aku seperti berhadapan dengan robot-robot hidup yang siap
melahapku.
Tak ada yang bisa dilakukan Jeremy, selain menatapku dengan
seolah-olah berkata “sudahlah, tidak usah berdebat dengan mereka.”
Aku juga merasakan ketakutan yang diam-diam pada kedua matanya.
3 Jam Kemudian
Salah seorang pimpinan Organisasi Penolong Dunia (OPD)
melakukan pembicaraan dengan pimpinan Departemen Pengawas
Pupu. Setelah itu, Jeremy diperbolehkan meninggalkan Departemen. Ia
dengan segala cara meminta maaf tidak dapat membantuku. Undangundang Pupu pada prakteknya memang lebih sering menjerat orangorang yang berkebangsaan Pupu. Hanya dalam kondisi tertentu, ia
bisa menjerat orang asing.
Pada kondisi itu, posisiku sama dengan perempuan lain yang
berkencan dengan TKS. Undang-undang Pupu tidak bisa mengenai
kelompok orang bersenjata, dengan alasan mereka memiliki peradilan
sendiri. Peradilan itu bernama Peradilan Kaum Bersenjata, dimana
kami sebagai kaum sipil tidak punya akses informasi yang cukup dan
keberanian yang cukup untuk meminta keadilan melalui kaum
bersenjata.
Jurnal Perempuan 45
165
• Cerpen •
Rasa sukaku sama Jeremy habis sudah malam ini. Aku tidak bisa
melanjutkan rasa sukaku pada seseorang yang dilindungi oleh sistem
yang tidak aku sukai. Sistem yang hanya bisa mengontrol dan memenjarakan orang tak berkuasa dan tak bersenjata.
Januari 2016
Aku mengawali tahun dengan cara menghadapi cercaan ratusan
orang di sebuah lapangan sepakbola. Seorang eksekutor sudah siap
untuk mencambukku, tapi ia akan memastikan bahwa penonton
sudah cukup puas menyerangku dengan kata-kata.
“Perempuan Jalang!”
“Penyebar HIV/AIDS”
“Pemuas nafsu laki-laki bule”
“Usir dia dari negeri Pupu”
Aku tahu kata-kata dan tatapan mereka bisa 100 kali membuatku
perih, ketimbang cambukan sang eksekutor. Tetapi semakin mereka
berteriak, semakin hilang suara mereka dari pendengaranku. Aku
serasa dikerumuni orang bisu. Hanya jepretan kamera dan sorotan
handycam wartawan yang aku rasakan.
Ketika cambukan pertama mengenaiku, mereka berteriak riang,
seolah-olah berhasil menaklukan seekor kuda liar. Mereka tidak tahu
bahwa sesuatu yang merdeka dalam pikiranku tidak akan pernah
merasakan sakit oleh semua yang mereka lakukan.
Setelah pencambukan selesai, teriakan berubah.
“Usir dia dari negeri Pupu”
“Usir dia dari negeri Pupu”
“Usir dia dari negeri Pupu”
Bahkan mereka tidak mengerti bahwa aku bukan penduduk negeri
Pupu. Aku hanya pendatang dari tahun 2005, yang terdampar di
pulau Pupu dan sedikit menikmati tubuh Jeremy.
That’s all.
(Pantai resah, 17 menit pertama menapak 2006)
166
Jurnal Perempuan 45
• Cerpen
•
Ikuti terus isu-isu
perempuan
lewat
edisi-edisi Jurnal Perempuan berikut:
Perempuan adalah kelompok yang terus
mengalami pemiskinan. Secara ekonomi,
pendapatan perempuan di seluruh dunia
jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki
dan jumlahnya terus menurun setiap
tahun. Jurnal Perempuan edisi ini akan
membahas secara tajam hubunganhubungan antara ketidakadilan gender
dan fenomena pemiskinan perempuan
(feminization poverty)
MENGURAI KEMISKINAN:
Dimana Perempuan?
Melindungi Perempuan
dari HIV/AIDS
Seberapa berdayakah perempuan atas HIV/
AIDS? Demikian pertanyaan edisi kali ini.
Ternyata permasalahan perempuan positif
HIV amatlah kental dengan diskriminasi
gender diantaranya karena pasangan yang
dominan dan lingkungan yang tidak
mendukung mereka. Lebih mengagetkan
lagi, perempuan yang rentan positif adalah
yang aktif secara seksual atau sudah
Jurnal Perempuan 45dewasa dan telah menikah.
167
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan
setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda
di seluruh Indonesia
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
Stasiun Radio
GUNTUR
GLOBAL
DUTA DEWATA
SONORA 100,9 FM
HARMONI THE FAMILY RADIO STATION
SUARARIA SANTANA
SONORA JOGJA
PRIMA UNISI YOGYA
RRI YOGYAKARTA
SWARA GADJAH MADA FM
YASIKA FM
JAKARTA NEWS FM
SUARA METRO
SMART FM
SWARA SELEBES
GITASWARA PRAPITASARI/GSP
ANTASSALAM
MUSTIKA
BUK GAJAH MEGASWARATAMA (Radio BG)
RIA CINDELARAS
KELUARGA CIHANJUANG SEPULUH / KC-10
KAUMAN BOGOR/ERKAEM
MARITIM
SUARA GRAFIA
MARTHA FM
QUANTUM FM TASIKMALAYA
REKA KHARISMA SWARA
ALFINA 720 AM
ANITA
BAYUSAKTI
BIMASAKTI
BINTORO 1314 AM
BSP (SWARA BAHUREKSA)
CHANDRA POP
DAMASINTA FM
CANDI SEWU
CBS
DIAN SWARA
GIS
JPI FM
RIA FM FEMALE
SAS FM
MANDALIKA
POP JEPARA
PRIMA FM
MERAPI INDAH / RMI
GSM - FM
MULIA ARIFTA SWARAGRAHA
MURIA KUDUS
PERMATA
POLARIS
POP BREBES
POP KUDUS
POP PATI FM
POPFM PURWODADI
SUARA MRAPEN ABADI
POPFM PURWOREJO 93,4 FM
POPFM REMBANG
POP SEMARANG FM
CHANNEL 99 (eks RADIKS)
TOP FM - SEMARANG
“W” FM
IMELDA
168
POP SRAGEN FM
Frekuensi Propinsi
104.4 FM
96,5 FM
92,6 FM
101,1FM
98,1 FM
103,7 FM
97,4 FM
104,75 FM
91,1 FM
98,45 FM
95,3 FM
97,4 FM
91,0 FM
95, 9 FM
100,2 FM
100,9 FM
102,65 FM
107, 5 FM
87,60 FM
1134 KHz
106,15 FM
1134 AM
102,65 FM
98,5 FM
101, 3FM
94,6 FM
103,35 FM
720 AM
106, 6 FM
792 AM
98,8 FM
1314 AM
103, 8 FM
99,85 FM
101,6 FM
106,15 FM
91 FM
98,2 FM
90,4 FM
106,3 FM
98,8 FM
104,3 FM
12,78 AM
97, 3 FM
104 FM
104,9 FM
91,5 FM
101, 95 FM
1440 AM
900 AM
105,45 FM
95,3 FM
93,7 FM
91, 5 FM
94,6 FM
98,2 FM
93,4 FM
95,2FM
103,7 FM
99,15 FM
89,40 MHz
100,1 FM
104,4 FM
88, 8 FM
Kota
Jadwal Siar
Bali
Singaraja
Jumat: 11:30
Bali
Tabanan
Minggu: 11:20
Bali
Denpasar
Minggu: 15:00
Bangka
Pangkalpinang
Minggu: 09:00
Banten
Serang
Rabu: 19:30
Bengkulu
Bengkulu
Setiap Hari: 15:30
DI Yogyakarta
Yogyakarta
Rabu: 09:00
DI Yogyakarta
Pasar Kembang Kamis: 13:05, Minggu: 10:00
DI Yogyakarta
Kota Baru
Sabtu: 09:00
DI Yogyakarta
Yogyakarta
Rabu: 06:30
DI Yogyakarta
Karangkajen
Jumat: 11:00
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
Minggu: 11:00 & 17:00
DKI Jakarta
Jakarta Selatan
Minggu: 09:30 & 16:30
DKI Jakarta
Jakarta Pusat
Minggu: 07:48
Gorontalo
Gorontalo
Sabtu: 18:00
Jambi
Jambi
Sabtu: 10:30
Jawa Barat
Bandung
Rabu: 16:30
Jawa Barat
Bandung
Senin: 19:15
Jawa Barat
Indramayu
Sabtu: 18:30
Jawa Barat
Indramayu
Kamis: 05:15
Jawa Barat
Indramayu
Sabtu: 10:00
Jawa Barat
Bogor
Sabtu: 11:00
Jawa Barat
Cirebon
Rabu: 08:00, Minggu: 20:00
Jawa Barat
Cirebon
Selasa:10:00
Jawa Barat
Tasikmalaya
Rabu: 17:00
Jawa Barat
Tasikmalaya
Kamis: 18:00
Jawa Barat
Garut
Kamis: 13:00
Jawa Tengah
Pemalang
Sabtu: 06:00
Jawa Tengah
Tegal
Rabu: 10:10
Jawa Tengah
Kroya
Minggu: 13:00
Jawa Tengah
Kebumen
Minggu: 10:00
Jawa Tengah
Demak
Sabtu:10:30
Jawa Tengah
Pekalongan
Sabtu: 10:30
Jawa Tengah
Pekalongan
Minggu: 07:30
Jawa Tengah
Pekalongan
Minggu: 07:30
Jawa Tengah
Klaten
Minggu: 11:30
Jawa Tengah
Banjarnegara
Sabtu: 12:45
Jawa Tengah
Purwokerto
Jumat: 10:00
Jawa Tengah
Wonogiri
Minggu: 09:00
Jawa Tengah
Solo
Sabtu: 07:00
Jawa Tengah
Solo
Senin 21:00
Jawa Tengah
Solo
Sabtu: 10:30
Jawa Tengah
Jepara
Minggu: 08:00
Jawa Tengah
Jepara
Minggu: 08:30
Jawa Tengah
Jepara
Sabtu: 06:00
Jawa Tengah
Muntilan
Selasa: 06:00
Jawa Tengah
Muntilan
Minggu: 10:30
Jawa Tengah
Kebumen
Rabu: 09:00, Minggu: 17:00
Jawa Tengah
Kudus
Sabtu: 08:50
Jawa Tengah
Kartasura
Sabtu: 12:00
Jawa Tengah
Magelang
Rabu: 09:00
Jawa Tengah
Brebes
Sabtu: 10:00
Jawa Tengah
Kudus
Minggu: 07:00
Jawa Tengah
Pati
Rabu: 09:00
Jawa Tengah
Purwodadi
Minggu: 06:45
Jawa Tengah
Purwodadi
Selasa: 08:00
Jawa Tengah
Purworejo
Minggu: 12:00
Jawa Tengah
Rembang
Minggu: 08:30
Jawa Tengah
Semarang
Minggu: 07:00
Jawa Tengah
Semarang
Minggu: 16:30
Jawa Tengah
Semarang
Senin: 09:00
Jawa Tengah
Semarang
Minggu: 09:00
Jawa Tengah Jurnal
Semarang
Selasa: 08.00
Perempuan
45- 09.00
Jawa Tengah
Sragen
Selasa:09:00
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan
setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda
di seluruh Indonesia
No.
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
Stasiun Radio
POP YOGYA FM
PTPN RASITANIA
PURNAMASIDI
RONA PUSPITA AM.900
RPK FM
SATRIA FM
SBS - PURBALINGGA
SUARA GARUDA SAKTI
SWARA KRANGGAN PERSADA
WIJAYA
ZENITH
ANDIKA FM
ARUPADATU
BEST FM
DUTA CAKRAWALA SERASI FM (DCS)
GIGA FM
LIUR
Frekuensi Propinsi
99,5 FM
99,6 FM
101,95 FM
101,6 FM
107,2 FM
648 AM
828 AM
1243 AM
882 AM
102,6 FM
702 AM
106,5 FM
94,00 FM
103 FM
101,6 FM
99,85 FM
90, 9 FM
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Jawa Timur
Kota
Salam
Surakarta
Wonosobo
Kendal
Temanggung
Aji Barang
Purbalingga
Blora
Temanggung
Cilacap
Salatiga
Kediri
Mojokerto
Jember
Madiun
Sidoarjo
Tulungagung
Jadwal Siar
Minggu: 13.30
Sabtu: 10:30
Sabtu: 17:00
Jumat: 19:30
Jumat: 09:00
Sabtu: 12:00
Sabtu: 06:00
Minggu: 08:00
Kamis: 19:30
Minggu: 13:00
Sabtu: 09:00
Senin: 11:45
Kamis: 12:00
Senin: 07:20
Rabu: 09:00
Kamis: 06:00 &
Jumat: 12:00
104, 5 FM Jawa Timur
Malang
Senin, Kamis: 11:45
82 MITRA ADI SWARA
91.45 FM Jawa Timur
Pasuruan
Jumat: 07:00
83 PASURUAN WARNA PESONA (Warna 91.45 FM)
84 PROSALINA
101,3 FM Jawa Timur
Jember
Rabu, Kamis: 05:45
98,2 FM Jawa Timur
Jombang
Sabtu: 17:00
85 CITRA
93,5FM Jawa Timur
Kediri
Minggu: 18:00
86 SABDOTOMO
87 BONANSA
105, 10 FM Jawa Timur
Kediri
Senin - Jam: 09.30
98,0 FM Jawa Timur
Surabaya
Rabu: 09.00
88 SONORA
96,4 MHz Jawa Timur
Banyuwangi
Rabu: 08:15
89 SUARA MANDALA
90 SWARA KARIMATA
100,2 FM Jawa Timur
Pamekasan - Madura
Minggu: 16:15
98,8 FM Jawa Timur
Mojokerto
Kamis & Sabtu: 08:00
91 WIKA FM 98,8
102,3 FM Kalimantan Barat
Singkawang
Kamis: 10:00
92 ARYA BOMANTARA
93 BIMAREKSA
104,4 FM Kalimantan Barat
Sanggau
Rabu: 09:00
94 DERMAGA
936 AM Kalimantan Barat
Pontianak
Selasa: 11:00
828 KHZ Kalimantan Barat
Pontianak
Kamis: 11:30
95 MAHKOTA NGABANG GEMASWARA
96 PRIMADONA
99,1 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Rabu & Sabtu: 09:00
97 RADIO PEMERINTAH DAERAH KETAPANG
1088 AM Kalimantan Barat
Pontianak
Sabtu: 14:00
96, 7 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Sabtu: 09:00
98 SONORA
99 VOLARE
103, 4 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Rabu: 08:00
100 RAMA
107,5 FM Kalimantan Barat
Pontianak
Senin: 10.00
738 AM Kalimantan Barat
Mempawah
Selasa: 10:00
101 MELATI GRAMEDYA
102 POLAREKSA
104,15 MHz Kalimantan Barat
Sintang
Senin: 09:30
103 DBS / DIRGANTARA PERMAI
101,6 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin
Sabtu: 09:00
102, 7 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin
Sabtu: 10:00
104 NUSANTARA ANTIK
105 SMART (RADIO SWARA MAIDA ARTANUSA)
100,1 FM Kalimantan Selatan Banjarmasin
Minggu: 11:30
106 GEMAYA REKAYASA
104,7 FM Kalimantan Timur Balikpapan
Kamis: 09:00
101,3 FM Kalimantan Timur Balikpapan
Senin: 11:00
107 SWARA MEDIA SENTRANADA
108 MARS FM 104,2
104,2 FM Kalimantan Timur Penajam Paser Utara
Senin: 10:00
109 MESRA/DAYAPENCA PUTERA
102,3 FM Kalimantan Timur Samarinda
Minggu, Senin: 09:30
96 FM Kalimantan Timur Samarinda
Selasa: 18:15
110 BORNEO RADIO CHANNEL
111 RASUBHA
100,2 AM Lampung
Bandar Lampung
Rabu: 11:00
112 SUARA WAJAR
96, 8 FM Lampung
Bandar Lampung
Jumat: 10:05
Bastiong - Ternate
Kamis: 10:00
113 ISTANA BAHARA SWARA (RADIO ISTANA) 101 MHZ 101,25 FM Maluku
114 MILENIA
104,75 FM Maluku
Ternate
115 GEMA HIKMAH
103 FM Maluku
Ternate
Kamis: 08:30
103 FM Maluku
Ambon
Kamis: 07:30
116 SANGKAKALA
117 SWARA INDONESIANA
107,2 FM Maluku
Tidore
Kamis: 09:30
118 GEMA PERTIWI
104,6 FM Maluku
Halmahera Selatan
Rabu, Kamis, Jumat:
09:00, Sabtu: 10:00
119 ADYEMAJA
104,4 FM NAD
Lhokseumawe
Kamis: 09:00
120 KAZUMA BAWANASWARA
- NAD
Lhokseumawe
Senin: 19:30
NAD
Lhokseumawe
Minggu : 7.45
121 PRO 2 FM
122 ANDYTA RASISONIA
105,10 FM NAD
Bireun
Rabu, Minggu: 16:00
123 BAITURRAHMAN
98,5 FM NAD
Banda Aceh
Minggu: 09:00
106, 10 MHz NAD
Langsa
Jumat: 13:30
124 GYPSI
125 MEGAPHONE
105,60 FM NAD
Pidie
Sabtu:169
09:00, Minggu:
Jurnal Perempuan 45
11:00, Senin: 10:00
Nantikan Siaran Radio Jurnal Perempuan
setiap minggu di 186 Stasiun Radio kesayangan anda
di seluruh Indonesia
No.
Stasiun Radio
Frekuensi Propinsi
126
127
128
129
130
SUARA MAHARDIKA GEMPITA
CITRASUARA NUANSA LOMBOK / CNL
MITRA IDOLA KITA
SWARA MAYA PESONA INDAH
BAYU GITHA SWARA
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
KENANGAN
96, 5 FM
GYPSI FM
94,5 FM
OISVIRA FM
95,1 FM
KISSORA GRAHA PERSADA
105,1 FM
NADA MUDA CAKRAWALA (RADIO CAKRAM)
97,05 FM
PEMERINTAH DAERAH - NGADA
SONIA
102,9 MHz
TIRILOLOK
100,9 FM
ARTHUR PERKASA
105,1 FM
MOVE FM 1003 MHZ
103 FM
SUARA KASIH AGUNG (RSKA)
106,5 FM
VOP FM
100,2 FM
CITRA DAYANG SURI
104,8 FM
MELODY
88,80 FM
SHINE 92.5 FM
92,5 FM
CYNTHIA RHAMA BROADCASTING CORP.
100,2 FM
GEMA BENTARA
107 FM
KENCANA RIA INDAH SUARA
102,3 FM
SORERAM 1044 AM
1044 AM
SWARAKHARISMA TRISAD/STAR 107,5 FM
107,5 FM
BHARATA RASIHIMA
106,5 FM
MAKARA FM
103,6 FM
RINA BESTARI
738 KHz
MERCURIUS TOP FM
104,4 FM
SMART (RADIO MAKASSAR ARTATIARA)
100,9 FM
SWARA SENTOSA PRATAMA
103,7 FM
BEST FM
101,6 FM
MALEO
103, 7 FM
NEBULA NADA
101FM
NUGRAHA TOP
102,6 MHz
BULAVA
100,2 FM
GEMA ANGKASA SWARA ALKHAIRAT FM
1170 AM
SWARA PRAJA MUKTI / RADIO PEMDA POSO
97,8 FM
SUARA PUBLIKA
103,35 FM
SWARA RAMAYANA JELITA
1404 AM
BITTARO
1341 KHz
GEMA KENDARI FM
92, 40 MHz
SUARA ALAM
99,2 FM
AL-KHAIRAT (RAL)
102,65 FM
GITA LESTARI
105,10 FM
KOSMO FEMALE
96,1 FM
ROM 2 FM
101,6 FM
SMART(SWARA MANADO RADIO TRENDI) 100,9 FM
101,2 FM
SWARA CITRA ESA ENANG
104,4 FM
SWARA MAESAAN WAYA / MERSI
98, 5 FM
SWARA NUR HADDAD FM
100 MHz
BIMANTARA
98,8 FM
BUKIT TINGGI
101,5 FM
GEMA KARANG PUTIH (CLASSY 103 FM)
103,4 FM
SUSHI FM
100,2 FM
SONORA PALEMBANG (PT RADIO GEMA ATMAJAYA)
102,6 FM
SMART (SWARA MAQEBA ARTATIARA)
101,9 FM
ADI UTAMA LAKSAMANA (RAU 104.75 FM)
104,75 FM
LA FEMME
88 FM
MASS (MADINA SORA SERE)
101 FM
170
YASKA
JAYA
100,2 FM
95,3 FM
792 AM
98,8 FM
93,00 FM
NAD
NTB
NTB
NTB
NTB
Kota
Blang Pidie
Mataram
Selong
Lombok
Lombok
Jadwal Siar
Minggu: 10:00
Senin: 09:00
Jumat: 17:30
Selasa: 17:30
Minggu Jam : 10.00
Kamis Jam : 19.00
NTB
Sumbawa Barat
Selasa:17:00
NTB
Sumbawa
Minggu: 08:00 & 19:30
NTB
Sumbawa
Jumat: 17:00
NTT
Kupang
Rabu: 14:00
NTT
Maumere-Flores Rabu: 18:00, Sabtu: 07:30
NTT
Flores
Senin: 18:30
NTT
Maumere
Sabtu: 08:30
NTT
Kupang
Senin: 10:30
Papua
Jayapura
Selasa: 10:00
Papua
Jayapura
Jumat: 17:00
Papua
Jayapura
Selasa: 09:00
Papua
Jayapura
Rabu: 15:06
Riau
Dumai
Minggu: 08:00
Riau
Dumai
Senin: 19:00
Riau
Dumai
Kamis: 21:00
Riau
Pekanbaru
Selasa: 13:00
Riau
Batam
Rabu: 10:00
Riau
Batam
Kamis: 12:00
Riau
Pekanbaru
Kamis: 15:05
Riau
Bengkalis
Jumat: 10:00 & 18:00
Sulawesi Selatan Makassar
Minggu: 13:00
Sulawesi Selatan Kota Palopo
Sabtu: 10:00
Sulawesi Selatan Tana Toraja
Sabtu: 17:45
Sulawesi Selatan Makassar
Rabu: 08:00
Sulawesi Selatan Makassar
Jumat: 15:00
Sulawesi Selatan Makassar
Minggu: 09:00 & 20:00
Sulawesi Tengah
Palu
Sabtu: 15:30, Minggu: 09:00
Sulawesi Tengah
Tojo Unauna
Kamis:11:00
Sulawesi Tengah
Palu
Senin & Kamis: 09:30
Sulawesi Tengah
Palu
Senin, Rabu & Jumat: 11:30
Sulawesi Tengah
Poso
Kamis: 20:30
Sulawesi Tengah
Palu
Minggu: 13:00
Sulawesi Tengah
Poso
Rabu: 10:15
Sulawesi Tengah
Palu
Senin: 13:00
Sulawesi Tengah
Palu
Selasa: 14:30
Sulawesi Tengah
Toli-Toli
Selasa: 11:00
Sulawesi Tenggara Kendari
Jum’at & Minggu: 09:40
Sulawesi Tenggara Kendari
Sabtu: 10:00
Sulawesi Utara
Menado
Rabu: 10:15
Sulawesi Utara
Bitung
Rabu: 18:00
Sulawesi Utara
Manado
Sabtu: 08:00
Sulawesi Utara
Manado
Rabu: 17:30
Sulawesi Utara
Manado
Sabtu: 11:35
Sulawesi Utara
Manado
Rabu: 18:30
Sulawesi Utara
Manado
Minggu: 15:00, Senin: 07:00
Sulawesi Utara
Bolaang Mongondow
Senin & Kamis: 11:15
Sumatera Barat
Bukittinggi
Junat: 10:00
Sumatera Barat
Bukit Tinggi
Rabu: 10:00
Sumatera Barat
Padang
Selasa: 11:00
Sumatera Barat
Padang
Minggu: 20:00
Sumatera Selatan Palembang
Minggu: 09:30
Sumatera Selatan Palembang
Selasa: 19:00
Sumatera Utara
Pdg Sidempuan
Jumat: 20:00
Sumatera Utara
Medan
Rabu: 18:00
Sumatera Utara
Mandailing Natal
Senin: 10:30
Jurnal
Perempuan Sabtu:
4509:30
Sumatera Utara
Terbing Tinggi
Jangan lewatkan tema-tema menarik
tentang isu-isu perempuan
yang dikemas oleh
Radio Jurnal Perempuan, berikut ini:
RJP-327
Pendampingan Perempuan Positif HIV
RJP-328
Masalah Perempuan dan Pendidikan
RJP-329
Perempuan dan Musik
RJP-330
Reproduksi Perempuan Positif HIV
RJP-331
Pengamen Perempuan
RJP-332
Setahun lebih Paska Pemberlakuan Undang Undang PKDRT
RJP-333
Perempuan Bermotor
RJP-334
Keterwakilan Perempuan dalam Pengambilan Kebijakan Publik
Anda
Anda bisa
bisa mendapatkan
mendapatkan rekaman
rekaman kaset
kaset program
program
Radio
Jurnal
Perempuan
dengan
tema-tema
Radio Jurnal Perempuan dengan tema-tema yang
yang
anda
anda inginkan
inginkan seharga
seharga Rp.
Rp. 15.000,15.000,- per
per kaset.
kaset.
Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut.
Jl. Tebet Barat VIII No. 27
Jakarta Selatan 12810
Telp.
: (021) 8370 2005
Fax
: (021) 830 2434
E-mail
: [email protected]
Dapatkan Buku Terbaru Yayasan Jurnal Perempuan
PEREMPUAN BERTUTUR
Sebuah Wacana Keadilan Gender dalam Radio Jurnal Perempuan
Dalam Program Radio Jurnal Perempuan, telah banyak
sekali isu-isu yang berkaitan dengan perempuan diangkat.
Di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap
perempuan baik ruang publik maupun domestik, tingginya
angka kematian ibu melahirkan dan praktek trafiking
(perdagangan perempuan dan anak) serta masih kerap
terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, Radio Jurnal
Perempuan eksis untuk menjalankan fungsi raising
awareness (membangkitkan kesadaran masyarakat) akan
pentingnya penghormatan hak-hak perempuan.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi
Bagian Pemasaran Yayasan Jurnal Perempuan
Jl. Tebet Barat VIII No. 27 Jakarta Selatan 12810
Telp.
: (021) 8370 2005
Fax
: (021) 830 2434
E-mail
: [email protected]
Harga Rp. 30.000
Surat Pembaca JP Tema Lesbian
Sebagai jurnal yang membahas segala problematika perempuan yang
ada di Indonesia, bagaimana tanggapan anda tentang komunitas kaum
lesbian di Indonesia saat ini? Saya berharap edisi Jurnal Perempuan
berikutnya membahas komunitas kaum lesbian dengan detail.
annisaa azisah ([email protected])
Annisaa yang baik, dalam JP edisi 26 tentang kekerasan dan 41 tentang
seksualitas telah membahas isu lesbian. Isu ini memang penting untuk menjelaskan
keberadaan perempuan yang homoseksual, yang ternyata diperlakukan
diskriminatif. Kami sudah berencana untuk menerbitkan JP khusus tema lesbian
bila ada kesempatan nanti.
Cerpen Black Box
Redaksi Jurnal Perempuan, sangat disayangkan, dalam JP Edisi 44
“Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan”, terdapat Cerpen Hikmat
Gumelar berjudul “Black Box” yang sebelumnya telah dimuat di harian
Pikiran Rakyat (Desember 2005). Tentu saja hal ini sangat mengecewakan.
Ellin Rozana-INSTITUT PEREMPUAN
Ellin yang baik, terima kasih atas responnya.Redaksi sudah menghubungi
Hikmat Gumelar, menurutnya Cerpen Black Box di JP adalah versi yang lain
dari yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Menurutnya perbedaan versi itu
menunjukkan ia tidak melanggar kode etik. Redaksi memilih cerpen tersebut
karena mengangkat tema perempuan Gerwani, yang belum kami temukan di
cerpen lainnya.
!
RALAT
Dalam Jurnal Perempuan edisi 44, terdapat kesalahan pencantuman
biodata penulis Siti Murtiningsih. Biodata yang sebenarnya adalah:
Lulusan S1 Filsafat UGM tahun 1995 dan S2 Filsafat UGM tahun
1997. Penulis buku berjudul “Pendidikan Alat Perlawanan”, penerbit
Resist Book, 2004. Tulisan yang berjudul “Ideologi Gender dalam
Pendidikan Formal di Indonesia” merupakan salah satu penelitian
yang pernah dilakukannya di tahun 2000 bekerjasama Pusat Studi
Wanita UGM dengan DIKTI.
Redaksi
172
Jurnal Perempuan 45
Tentang Penulis Ani Soetjipto. Penulis adalah Pengajar di Universitas Indonesia serta
Program Officer di The Asian Fondation.
Atas Hendartini Habsjah. Seorang pengajar di Program Pasca Sarjana
Program Kajian Wanita Universitas Indonesia, pendiri dan peneliti di
Yayasan Kesehatan Perempuan.
Dewi Novi Wahyuni. Lulusan Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris
untuk Seksi American Study Universitas Diponegoro Semarang. Kini
bekerja sebagai Koordinator Divisi Pemantauan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Eko Bambang S. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Malang, aktif di Yayasan Jurnal Perempuan sejak 2003. Karya tulis
jurnalistiknya hampir setiap hari dapat dinikmati di Website
www.jurnalperempuan.com. Saat ini menjadi Koordinator Website
Yayasan Jurnal Perempuan.
Indah Lestari. Freelance Translator yang sedang menerjemahkan novel
sastra Inggris oleh penulis asal Afrika Selatan penerbit Jalasutra,
penyunting di Ilman Books terjemahan Indonesia novel Arab klasik,
dan kini di bekerja di Tempo.
M Mushthafa, mahasiswa Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, penulis
resensi buku di berbagai media.
Magdalena Sitorus, ketua Pokja Monitoring dan Evaluasi Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari tahun 2001 sampai sekarang
juga menjadi Ketua Rekan Perempuan yang melakukan pendidikan dan
pelatihan untuk hak anak dan perempuan. Tahun 1996-2004 menjadi
Direktur Eksekutif SIKAP untuk penanganan kasus kekerasan pada anak
dan perempuan, khususnya kekerasan seksual.
Ratna Batara Munti. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Jakarta dan
Koordinator Jaringan Pro Legislasi Nasional Pro Perempuan.
Rita Serena Kolibonso. Master Hukum lulusan Law Department,
Sheffield University, Inggris. Kini bekerja sebagai advokat dan Direktur
Eksekutif Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre, Jakarta.
Siti Musdah Mulia. Ketua Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender
Departemen Agama RI.
Sulityowati Irianto. Mengajar di Fakultas Hukum UI, dan Program Kajian
Wanita Pascasarjana UI, anggota ConventionWatch, Pusat Kajian Wanita
dan Gender, UI
Yoke Sri Astuti. Lulusan Filsafat Universitas Indonesia, kini bekerja
sebagai Manager Office Yayasan Jurnal Perempuan.
Jurnal Perempuan 45
173
Dapatkan
di toko buku terdekat, di kota anda!
BALI :
TB. GRAMEDIA: DUTA PLAZA Jl. Dewi Sartika Denpasar, MALL BALI GALERIA Lt. 2 Blok D.
Jl. Raya By-Pass, Ngurah Rai, Kuta 80361
BALIKPAPAN :
TB. GRAMEDIA Balikpapan Center Lt. 1, Jl. Jend. Sudirman
BANDUNG :
TB. GRAMEDIA Jl. Merdeka No. 43, Bandung Super Mall Jl. Gatot Subroto No. 286, Istana
Plaza Jl. Pasar Kaliki No.121-123, TB. Kecil (d.h. PASAR BUKU) Jl. Kyai Gede Utama No. 8,
TB. LITERA Jl. Ciembeluit No. 155, TB. Ultimus Jl. Karapitan 127, Radio Mustika Gd
Bandung Trade Center Jl. Terusan Pasteur 143-149 Bandung, TB. Cahaya Media Jl. Raya
Bandung-Sumedang Km 21 No. 161 A UNPAD Jatinangor. Institut Perempuan Jl. Dago
Pojok No. 85, Cablong
BANJARMASIN :
TB. GRAMEDIA Jl Veteran No. 61
BOGOR :
TB. GRAMEDIA: Gd. HERO Jl. Raya Pajajaran Bogor
DEPOK :
TB. GRAMEDIA: Cinere Mal Jl. Raya Cinere, TB. KARISMA: Mall Cinere lt. Dasar Jl. Raya
Cinere, Borobudur Dept. Store Lt.1 Jl. Margonda Raya No. 166. KOPERASI MAHASISWA:
Fak. SASTRA UI Depok, FISIP UI Depok, Fak. HUKUM UI Depok, Fak. EKONOMI UI
Depok, Departemen Filsafat -FIB UI Gd. III lt. 2 Kampus UI Depok
JAKARTA :
TB. GRAMEDIA: Jl. Matraman Raya No. 46-48 Jakarta Pusat, Jl. Melawai III No. 12-18 Blok
M Jakarta Selatan, Gd. HERO Jl. Gatot Subroto Kav. 64 Jakarta Selatan, Mall Kelapa Gading Jl.
Raya Kelapa Gading Jakarta Utara, Mal Cempaka Mas Jl. Letjend. Suprapto No. 1 Jakarta
Pusat, TB. GUNUNG AGUNG: Blok M Plaza Jl. Bulungan Jakarta Selatan, TB. KARISMA:
Mall Taman Anggrek lt. 3 Jl. S. Parman Slipi Jakarta Barat, Mall Puri Indah lt 1 No. 134 Kebon
Jeruk Jakarta Barat, Cijantung Mal Jl. Raya Bogor, Ruko Cibubur Indah Jl. Raya Cibubur,
Hero Plaza Jl. Raya Kalimalang, Citra Mall lt. 5 Klender Jl. I Gusti Ngurah Rai, Jl. Raya Cilandak
KKO Cilandak Timur. QB WORLD BOOK: GEMA BUILDING Lantai Dasar Jl. Sunda No. 9,
Jakarta Pusat, PLAZA SENAYAN lantai 3 Jl. Asia Afrika No. 8, Jakarta 10270, PONDOK INDAH
Jl. Alteri Pondok Indah No.1, Jakarta Selatan (Sebelah Masjid Pondok Indah), KEMANG Jl.
Kemang Raya No. 17, Kemang, Jakarta Selatan (Depan Kemchick), TB. NEWS STAND:
Pasar Festival Jl. HR. Rasuna Said TB. BENGKEL DEKLAMASI TIM Jl. Cikini Raya Jakarta
Pusat, JAKARTA BOOK CENTER Jl. Raya Kalibata Jakarta Selatan, Toko ANEKA Univ.
ATMAJAYA Jl. Jend. Sudirman Jakarta Selatan, TB. KALAM Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta
Timur. TB. Pro27 STT Jakarta Jl. Proklamasi No. 27 Jakarta Pusat, BOOK UNIVERSE Gd.
Sarinah Lt. 6 Jl. MH. Thamrin No. 11 Jakarta Pusat, PUSAT STUDI WANITA UI Gd.
Rektorat lt. 4 Jl. Salemba Raya Jakarta Pusat, Counter PT INDOPROM Indonesia: The
News Stand WTC Gd. WTC (Basement) Jl. Jend. Sudirman Kav. 29 Jakarta Selatan, Lobby
HOTEL MANDARIN Jl. MH. Thamrin Kav. 1 Jakarta Pusat, The News Stand 99 Ranch market
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 21 Pondok Indah, KEDAI WALHI Jl. Tegal Parang Utara No
14, KEDAI BUKU SINAU Jl. Bekasi Timur No 32. Jakarta Timur, OKTROI PLAZA Jl. Kemang
raya No 01 Jakarta Selatan, Toko Gue Perkantoran Hijau Arkadia Jl. TB. Simatupang Kav.
88, Jakarta Selatan. TB. Gabe Jaya Jl. Kramat Raya No. 4-6, Jakarta Pusat. KOPERASI
MAHASISWA: Univ. MUHAMMADIYAH Jl. Ciputat Raya Jakarta Selatan.
JEMBER :
TB. GRAMEDIA Jl. Trunojoyo No. 85
KEBUMEN :
INDIPT Jl. Tentara Pelajar Gg Srandil No 2
KENDARI :
Ade Agency Jl. Sasarani No.301, Solidaritas Perempuan Kendari Jl. Beringin No.2
KUPANG :
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 163
LAMPUNG :
TB. GRAMEDIA Jl. Raden Intan No. 66 Tanjung Karang.
MALANG :
TB. GRAMEDIA Mitra II Lt. 2 & 3, Jl. Letjen Sutoyo No. 32-34. Kedai Buku SINAU, Jl.
Bogor Atas No. 1C (Samping SMA Sriwedari).
PADANG :
TB. GRAMEDIA Jl. Damar No. 63
PALEMBANG :
TB. GRAMEDIA Jl. Kol. Atmo No. 45
PONTIANAK :
EQUAL Agency Jl. Ya’ M. Sabran Gg. Sutra No. 9 Rt. 05 Rw.03, Kel. Tanjung Hulu.
PURWOKERTO :
TB. GANESHA Jl. Overste Isdiman No. 1A
RIAU :
TB. GRAMEDIA Jl. Jendaral Sudirman No 245. Pekanbaru
SAMARINDA :
TB Gramedia Jl. S. Parman Mal Lembuswana Blok B. No 02
SALATIGA :
KOPERASI MAHASISWA: TB. WANCANA MULIA Univ. Satya Wacana Jl. Diponegoro
No. 52-60.
SEMARANG :
TB. GRAMEDIA Jl. Pandanaran No.122, TB. KARISMA HERO Jl. Sultan Agung No. 90,
TB. MERBABU Jl. Pandanaran No. 108, LBH Semarang Jl. Parang Kembang No. 14, Bumi
Tlogosari, KOSUMA UNDIP Jl. Hayam Wuruk No. 1, LRC-KJHAM Jl. Lemah Gempal 2 No
766 A, Warung Buku Perdikan Jl. Bedagan 481.
SOLO :
TB. SINAR BARU Jl. Kebangkitan Nasional Kios No. 84-86
SURABAYA :
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Basuki Rahmad No. 95; Jl. Manyar Kertoarjo No.16.; TB. Toga
Mas Super Bookstore Gedung Surabaya Indah Jl. Embong Malang 33-37
TANGERANG :
TB. GRAMEDIA: Bintaro Jaya Plaza Jl. Bintaro Utara Sektor III A Bintaro, Mall WTC Matahari
2nd Floor Jl. Raya Serpong No. 39 Km. 8, LIPPO Supermall Unit G No. 11-12 Karawaci
Tangerang. GRIA BUKU (1) Jl. Ibn Batutah No.1 BBS (Depan Koperasi UIN) Ciputat.(2) Jl.
Pesanggrahan No. 74 (samping Kampus UIN) Ciputat.
YOGYAKARTA :
TB. GRAMEDIA Jl. Jend. Sudirman No. 54-56 TB. SOSIAL AGENCY Jl Gejayen Mrican No.
43, Jl. Prof. Herman Yohanes No. 1170, Jl. Laksada Adisucipto No. 22, TB. TOGA MAS Jl.
Gejayan Mrican No.1, TB. INSIST Perum Sawitsari Jl. Kemuning No. B7, LSPPA Jl.
Mangkunegaran Kidul No. 21, KOPERASI MAHASISWA Univ. Gajah Mada Jl. Bulaksumur
H-7.
Kode Pelanggan
45
Diisi oleh Bagian Pemasaran YJP
FORMULIR BERLANGGANAN
Mohon dicatat sebagai pelanggan Jurnal Perempuan
Nama Lengkap
L
P
Tempat/tgl. lahir
Pekerjaan
Alamat Rumah
Kode Pos
Hp.
Telp.
eMail
Nama Instansi
Alamat
Telp.
Fax.
eMail
Bersama ini kami kirimkan Biaya berlangganan untuk 1 tahun/6 edisi sebesar:
Rp. 100.000,- mulai edisi **) ............ (diluar ongkos kirim)
Ongkos kirim: P. Jawa Rp. 5.000/edisi, Luar P. Jawa Rp. 10.000/edisi
Pembayaran*) dilakukan dengan:
Tunai Rp.....................................diambil ditempat pengiriman (Khusus Jakarta)
pada Tgl....................................Pukul....................................
Wesel Pos ke alamat Yayasan Jurnal Perempuan No. Resi.................Tgl................
Tr a n s f e r u a n g k e R e k e n i n g a . n . Y a y a s a n J u r n a l P e r e m p u a n d i :
BRI Kantor Cabang Pembantu Tebet No. Rek.0534-01-001088-50-7.
Pada tanggal.........................., melalui Bank..............................................
dan bukti Pembayaran beserta Formulir kami kirimkan ke Bagian Pemasaran YJP,
Jl. Tebet Barat VIII No. 27, Jakarta Selatan 12810 melalui Fax (021) 830 2434 atau POS.
Alamat pengiriman:
Rumah
Kantor
........................2006
*) Beri tanda pada pilihan yang diinginkan
**) 6 edisi dimulai dari Jurnal Perempuan terbaru
Hormat Kami,
........................................
Nama Pelanggan
Download