1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi menyambut bulan Suro merupakan hal yang sudah menjadi salah satu budaya penting bagi masyarakat Islam Jawa, baik yang masih berdomisili di Jawa maupun yang sudah hijrah (transmigrasi dan bermukim) di lain pulau. Kata “Suro” merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat Islam Jawa. Kata “Suro” menurut masyarakat Islam Jawa berasal dari kata “asyura” dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh, yakni tanggal 10 bulan Muharram. Bulan Muharram ini merupakan salah satu dari empat bulan haram atau bulan suci. Empat bulan haram tersebut adalah: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab (Tafsir al- Qurthubi dan Tafsir Ibn Katsir; ayat At-Taubah:36). Kata “muharram” sendiri secara harfiah bermakna yang disucikan, yang tidak dibolehkan, yang dimuliakan, tidak boleh disentuh. Kemudian tradisi upacara Suro yang diadakan oleh masyarakat Kejawen sejak dahulu, belakangan ini diketahui diadakan oleh komunitas penganut Buddha yang dipimpin oleh seorang Biksu. Hal ini yang kemudian sempat menjadikan perdebatan, pro dan kontra di antara umat Buddha sendiri dengan tokoh agama dari Mejelis lain yang merasa lebih mengetahui tentang pemahaman ajaran Buddha yang benar. Karena muncul tuduhan pada salah seorang Biksu di vihara tersebut dianggap telah melenceng melaksanakan ajaran tidak sesuai dengan kaidah ajaran agama Buddha yang murni, yaitu dengan memimpin 2 terselenggaranya upacara Suro di lingkungan Vihara. Pada umumnya ritual Suro identik dengan penyembelihan binatang sebagai sarana pelengkap sesaji untuk di persembahkan kepada kekuatan yang mereka anggap sebagai penguasa. Tentu saja faktor adanya pembunuhan tersebut yang dianggap bertentangan dengan ciri ajaran Buddha yang mengedepankan ajaran welas asih dan kasih sayang kepada semua makhluk. Bulan Suro merupakan salah satu bulan keramat, di samping karena pengaruh Islam, juga karena secara tradisi bagi masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan penentu perjalanan hidup. Sehingga bagi masyarakat muslim Jawa pada bulan tersebut disarankan untuk meninggalkan berbagai perayaan duniawi, untuk menyatukan sedulur papat lima pancer, dan fokus kepada Tuhan. Jadi, bukan karena ”keangkeran” bulan tersebut. Setiap agama dan kepercayaan pasti memiliki bulan khusus untuk berintropeksi, contohnya Islam pada bulan Ramadhan. Pada konteks Islam Jawa ini selain bulan Ramadhan, berdasarkan kearifan lokal Jawa juga memiliki bulan khusus untuk intropeksi dan bertobat kepada Tuhan yakni bulan Muharam atau Suro (Sholikhin, 2010:8). Berdasarkan uraian di atas nampaknya perayaan Suro memiliki arti penting antara budaya dan agama Pra-Islam dan zaman Islam, khususnya di Jawa saat ini. Terlebih lagi ritual ini dilaksanakan di komunitas Buddha. Suatu fenomena yang patut di angkat dengan alasan ingin tetap melestarikan tradisi Kejawen berbau Hindu-Jawa. Tetapi dalam ajaran Buddha sendiri tidak dikenal ritual seperti upacara Suro. Sehingga umat Buddha dan tokoh keagamaan Buddha 3 di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap mendapat tentangan internal dari beberapa umat Buddha sendiri dan tokoh agama Buddha di daerah itu. Perayaan Suro sesuai tradisi kejawen diawali dengan ziarah ke Gunung Srandil dan melakukan penanaman kepala kerbau di dekat pohon bodhi, dan pohon bodhi ini oleh umat Buddha adalah pohon yang disucikan. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi kerawuhan (kedatangan) Semar Sang Penguasa Gunung Srandil. Pada malam harinya diadakan resepsi dan dilanjutkan melakukan kirab ageng sesaji kepada Yang Mulia Kanjeng Ratu Kidul Sekaring Jagat dan larungan di pantai Srandil. Prosesi penanaman kepala kerbau inilah yang menjadikan ada beberapa penganut Buddha yang tidak setuju. Perayaan upacara Suro oleh umat Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil tentu saja sudah disesuaikan dengan ajaran Buddha, misalkan dirayakan dengan membagikan air berkah, kegiatan menyambut Suro juga diisi ritual larung sesaji di Pantai Gunung Srandil (Pantai Selatan Jawa). Sesajinyapun terdiri dari berbagai hasil bumi seperti padi, buah-buahan, dan sayuran. Kemudian sesaji tersebut diarak dari Vihara Tri Ratna menuju pantai selatan yang berjarak sekitar 500 meter dari Gunung Srandil. Sesampainya di tepi pantai, sesaji tersebut didoakan oleh komunitas penganut Buddha dan non-Buddha (komunitas kepercayaan Kejawen dan Islam Jawa). Setelah itu, sesaji dibawa ke tengah pantai untuk di larung (dihanyutkan). Perayaan upacara Suro ini diselenggarakan dalam rangka meneruskan budaya leluhur sekaligus wujud ungkapan rasa sukur masyarakat yang tinggal di sekitar Vihara Tri Ratna Gunung Srandil dan permohonan untuk mendoakan 4 keselamatan bangsa dan negara. Karena budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya yang menjadi ahli waris sekaligus pelaku menuju tercipta dan terwujudnya situasi yang disebut sadar budaya, yang merupakan kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang berada di tengah tata pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, melainkan plural. Kebudayaan nasional ataupun budaya-budaya lokal selalu berada di dalam suatu proses, di dalam kancah hubungan antar budaya yang selalu terjadi tanpa dapat dihindari. Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi. Sehingga jati diri dan identitas bangsa atau suku bangsa senantiasa terus muncul dipermukaan dan tidak tenggelam oleh pengaruh globalisasi yang terus berkembang. Menghidupkan kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan kembali identitas lokal, oleh karena itu identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279). Krisis identitas muncul ketika warisan budaya yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat dipertahankan lagi karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari luar, misalnya adanya arus globalisasi yang begitu gencar sehingga mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal tersebut dikarenakan adanya kesenjangan antara Das Solen (harapan) dan Das Sain (kenyataan). Di mana masyarakat pada umumnya sudah mengenal upacara Suro adalah identitas Islam tradisi Jawa, perayaan yang 5 sudah kental dengan banyak ritual sesaji penyembelihan kepala binatang sebagai tumbal. Tetapi kenyataannya ritual ini justru dilakukan oleh komunitas penganut Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil Cilacap yang justru ritualnya berbeda tidak seperti yang sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Berbeda dalam hal doa-doanya, berbeda dalam menyajikan sesajiannya. Agar jelas penerapan perayaan upacara Suro sebagai upaya melestarikan tradisi leluhur Jawa dalam budaya lokal sekaligus mempraktekkan ajaran Buddha sesuai Tri Pitaka. Maka penulis perlu mengadakan suatu penelitian untuk membongkar kesenjangankesenjangan tersebut. Dekonstruksi dari Derrida akan digunakan dalam melakukan analisis ini, agar masalah yang sempat muncul di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil berkenaan dengan adanya beda persepsi dalam memahami perayaan upacara Suro di Vihara oleh beberapa umat Buddha dengan tokoh dan pengurus dari Vihara Tri Ratna Gunung Srandil sebagai pelaksana perayaan upacara Suro bisa dijadikan sebagai pelajaran penentu kebijakan yang lebih baik. Gejala adanya persepsi yang muncul misalnya, adanya pernyataan sinis oleh umat Buddha yang tidak sepaham dengan adanya perayaan upacara Suro di Vihara tidak murni perayaan saja tetapi ada maksud disamping untuk meminta keselamatan ada maksud lainnya seperti dijadikan ajang cari simpati dan mencari dana saja. Sehingga bagi umat Buddha yang tidak setuju dengan perayaan tersebut cenderung untuk tidak datang setiap ada acara perayaan upacara Suro. Setelah itu mempengaruhi umat yang lain atau anggota keluarganya untuk tidak mengikuti perayaan Suro tersebut. Di samping itu juga ada tokoh agama Buddha yang melontarkan ucapan keras agar umat Buddha tidak mengikuti tradisi yang salah 6 seperti ikut-ikutan datang merayakan Suro di Srandil. Ada juga orang tua dari penganut Buddha yang keberatan jika anaknya di suruh untuk mengikuti perayaan upacara seperti upacara Suro yang menurutnya tidak mengajarkan ajaran Dhamma dari sang Buddha. Gejala beda persepsi yang lain akan dibahas di bab V pada tesis ini. 1.2 Rumusan Masalah Untuk lebih terfokusnya kajian dalam penelitian ini, maka masalahnya akan di batasi sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan adanya persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap? 3. Bagaimanakah dampak dan makna adanya persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan sekaligus menjelaskan adanya persepsi upacara Suro karena telah mengalami perubahan dari perayaan Suro oleh komunitas Kejawen yang merupakan identitas 7 Islam Jawa, di sesuaikan ke dalam ajaran Buddha dan di rayakan oleh komunitas Buddha umat Vihara Tri Ratna, Gunung Srandil, Cilacap. Juga masyarakat Buddha di sekitar Kabupaten Cilacap. Selain itu juga untuk menjelaskan dan meluruskan paham keliru mengenai beda persepsi dan tuduhan mengajarkan ajaran salah oleh Biksu Buddha kepada umat-umat di Vihara. Agar jelas penerapan perayaan upacara Suro sebagai upaya melestarikan tradisi leluhur Jawa dalam budaya lokal sekaligus melaksanakan ajaran agama Buddha sesuai Tri Pitaka. Hal ini untuk mengantisipasi konflik dikalangan umat Buddha sendiri. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui bentuk persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil Cilacap. 2. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan adanya persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil Cilacap. 3. Untuk menganalisis dampak dan makna adanya persepsi mengenai upacara Suro pada penganut Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil Cilacap. 8 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap perkembangan keilmuan, khususnya untuk memperkaya referensi berupa hasil penelitian yang berkaitan dengan perayaan upacara Suro yang merupakan identitas Islam tradisi Jawa, tetapi ritual ini justru dilakukan oleh komunitas penganut Buddha di Vihara Tri Ratna Gunung Srandil, sehingga memunculkan beda persepsi. Agar jelas penerapan perayaan upacara Suro sebagai upaya melestarikan tradisi leluhur Jawa dalam budaya lokal sekaligus melaksanakan ajaran agama Buddha sesuai Tri Pitaka, supaya tidak menimbulkan permasalahan. Khususnya yang datang dari umat-umat Buddha dan tokoh-tokoh agama Buddha sendiri, maupun dengan komunitas keyakinan lain. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pertimbangan penentu kebijakan, khususnya kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kerukunan kehidupan beragama di Indonesia.