mawarsih program studi biologi fakultas sains dan

advertisement
KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KUMBANG TINJA
(COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI KAWASAN TAMAN WISATA
PULAU SITU GINTUNG TANGERANG BANTEN
MAWARSIH
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KUMBANG TINJA
(COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI KAWASAN TAMAN WISATA
PULAU SITU GINTUNG TANGERANG BANTEN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MAWARSIH
104095003060
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M / 1432 H
ABSTRAK
MAWARSIH. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera:
Scarabaeidae) di Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten.
Dibimbing oleh: Narti Fitriana dan Fahma Wijayanti.
Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti dari konservasi biologi.
Kerusakan bendungan di kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menyebabkan
terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Salah satu bioindikator stabilnya
ekosistem suatu tempat adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang
koprofagus yang termasuk famili Scarabaeidae. Penelitian ini dilakukan di lahan
hijau kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menggunakan metode survei.
Sampel menggunakan baited pitfall trap yaitu perangkap dengan kotoran kuda
dan sapi, yang dipasang secara acak dan dibiarkan selama 5 hari. Spesimen yang
diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya kemudian diidentifikasi.
Sebanyak 438 individu kumbang tinja diperoleh pada penelitian ini, terdiri dari
genus Aphodius dan Onthophagus serta kumbang dari famili lainnya yaitu famili
Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Siphidae. Onthophagus merupakan
genus dominan yang terdiri dari 5 spesies. Berdasarkan nilai indeks keragaman
Shannon Wiener diperoleh nilai yang tergolong rendah yaitu 0,544 pada tinja
kuda dan 0,697 pada tinja sapi. Nilai keseragaman pada tinja kuda yaitu 0,338 dan
pada tinja sapi 0,433. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis
kumbang tinja diperoleh nilai kesamaan yaitu 0,8. Berdasarkan penelitian ini
menunjukkan bahwa kawasan taman wisata pulau Situ Gintung memiliki
keanekaragaman kumbang tinja yang rendah karena kerusakan bendungan
mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem di kawasan ini.
Kata Kunci: Scarabaeidae, Tinja kuda, Tinja sapi, Nilai keragaman, Taman
Wisata Pulau Situ Gintung.
ABSTRACT
MAWARSIH. The Abundance and Diversity of Dung Beetle (Coleoptera:
Scarabaeidae) in The Theme Park Situ Gintung Island Tangerang Banten. Advisor
Narti Fitriana and Fahma Wijayanti.
Biodiversity can be defined as the core of conservation biology. The dam
damaged in the theme park Situ Gintung island caused a decline in biodiversity.
One bioindicator stable ecosystem is a place of dung beetle or beetles belonging
to the family Scrabaeidae koprofagus. The research has been conducted to
determine the abundance and diversity of beetles Scarabaeidae in Situ Gintung
island, and the different types of beetles Scarabaeidae in horse and cow feses
ABSTRAK
MAWARSIH. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera:
Scarabaeidae) di Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten.
Dibimbing oleh: Narti Fitriana dan Fahma Wijayanti.
Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti dari konservasi biologi.
Kerusakan bendungan di kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menyebabkan
terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Salah satu bioindikator stabilnya
ekosistem suatu tempat adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang
koprofagus yang termasuk famili Scarabaeidae. Penelitian ini dilakukan di lahan
hijau kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menggunakan metode survei.
Sampel menggunakan baited pitfall trap yaitu perangkap dengan kotoran kuda
dan sapi, yang dipasang secara acak dan dibiarkan selama 5 hari. Spesimen yang
diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya kemudian diidentifikasi.
Sebanyak 438 individu kumbang tinja diperoleh pada penelitian ini, terdiri dari
genus Aphodius dan Onthophagus serta kumbang dari famili lainnya yaitu famili
Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Siphidae. Onthophagus merupakan
genus dominan yang terdiri dari 5 spesies. Berdasarkan nilai indeks keragaman
Shannon Wiener diperoleh nilai yang tergolong rendah yaitu 0,544 pada tinja
kuda dan 0,697 pada tinja sapi. Nilai keseragaman pada tinja kuda yaitu 0,338 dan
pada tinja sapi 0,433. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis
kumbang tinja diperoleh nilai kesamaan yaitu 0,8. Berdasarkan penelitian ini
menunjukkan bahwa kawasan taman wisata pulau Situ Gintung memiliki
keanekaragaman kumbang tinja yang rendah karena kerusakan bendungan
mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem di kawasan ini.
Kata Kunci: Scarabaeidae, Tinja kuda, Tinja sapi, Nilai keragaman, Taman
Wisata Pulau Situ Gintung.
ABSTRACT
MAWARSIH. The Abundance and Diversity of Dung Beetle (Coleoptera:
Scarabaeidae) in The Theme Park Situ Gintung Island Tangerang Banten. Advisor
Narti Fitriana and Fahma Wijayanti.
Biodiversity can be defined as the core of conservation biology. The dam
damaged in the theme park Situ Gintung island caused a decline in biodiversity.
One bioindicator stable ecosystem is a place of dung beetle or beetles belonging
to the family Scrabaeidae koprofagus. The research has been conducted to
determine the abundance and diversity of beetles Scarabaeidae in Situ Gintung
island, and the different types of beetles Scarabaeidae in horse and cow feses
which determined by survey methods. Samples used the usual pitfaill trap that
was a trap baited with horse and cow feces which was set at random and left for 5
days. Obtained speciments grouped by morphology and then identified. A total of
438 individuals dung beetle obtained in this study, consisting of the genus
Aphodius, Onthophagus and other beetles from the family of the Carabidae,
Chysomalidae, Colydidae and Siphidae. Onthophagus is the dominant genus of 5
species. According to the Shannon Wiener diversity index, the result showed that
the value was relatively low at 0.544 in horse feces and 0.697 in cow feces. The
value of uniformity in the feces of horse at 0.338 and 0.43 in cow feces, whereas
the similarity value according to the Sorensen similarity calculation on the type of
bettle feces was 0.8. Based on this research, the theme park Situ Gintung island
has a low diversity of dung bettle due to the dam damage causing the ecosystem
in this region becomes unstable.
Keywords: Scarabaeidae, Horse feces, Cow feces, Diversity value, Theme park
Situ Gintung island.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., sehingga
atas limpahan rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera:
Scarabaeidae) di KawasanTaman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang
Banten”. Namun semua ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan
dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orangtua (H. Mukri dan Hj. Sumarti) atas kasih sayang, nasihat dan
do’a tulus yang selalu dipanjatkan yang mengiringi perjalanan hidup
penulis. Saudara-saudaraku (Erni Zulianti, Kak Hariadi, Kak Kasuwan,
Kak Sutikno, Mbak Sus, Mbak Srimonah, Mbak Kastiyam, Dewi L, dan
Zeni) yang selalu memberikan nasihat, motivasi, dan bantuan kepada
penulis.
2. Narti Fitriana, M.Si selaku pembimbing I dan Dr. Fahma Wijayanti, M.Si
selaku pembimbing II yang sangat baik, selalu memberikan arahan,
nasihat dan masukan materi selama pelaksanaan penelitian hingga
terselesaikannya skripsi ini.
3. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud selaku Ketua Program Studi
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.
5. Drs. Paskal Sukandar, M.Si dan Dini Fardilah, M.Si., selaku Penguji
Seminar Hasil I dan II yang telah memberikan arahan dalam penyusunan
skripsi ini.
6. Dr.Lily Surayya E.P, M. Env. Stud dan Dini Fardila M.Si., Penguji
Munaqosah I danII yang telah memberikan arahan dalam penyusunan
skripsi ini.
7. Lilik Kundar Setiadi, S.Si yang telah memberikan nasihat, saran dan
pinjaman literatur selama penyusunan skripsi ini.
8. Heru Prasetyanto selaku manajer Taman Wisata Pulau Situ Gintung yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di
area Situ Gintung.
9. Sahabatku Fitriyah S.Si dan Zulfanah S.Si (MTV) yang telah memberikan
semangat dan keceriaanya dalam kehidupanku.
10. Teman-teman terbaikku Neni N S.Si, Sarah M S.Si, Khoirul Bariyah S.Si,
Mutiara RSDG S.Si dan semua teman Biologi angkatan 2004 atas
kebersamaan selama kuliah.
11. Teman-teman D’kosan (Sofiah R, S.Si, Khayu W, S.Si, dan Novi P, S.Si,
dan Nely S.Kom) yang telah membantu penulis dari awal hingga
terselesaikannya skripsi ini.
12. Farida Ahmad, S.Si yang telah sabar menghadapi penulis selama
penelitian di laboratorium.
13. Semua dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, terima kasih atas
segala ilmu yang telah diberikan.
14. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tiada gading yang tak retak, masih
banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pada bidang biologi.
Jakarta, September 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .....................................................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang .........................................................................
1
1. 2. Perumusan Masalah .................................................................
4
1. 3. Hipotesis ...................................................................................
4
1. 4. Tujuan Penelitian .....................................................................
5
1. 5. Manfaat Penelitian ...................................................................
5
1. 6. Kerangka Berfikir .....................................................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Kumbang Tinja .........................................................................
7
2. 1. 1. Klasifikasi ...................................................................
7
2. 1. 2. Morfologi ....................................................................
9
2. 1. 3. Siklus Hidup ................................................................
10
2. 1. 4. Ekologi ........................................................................
12
2. 1. 5. Peran Kumbang Tinja dalam Ekosistem .....................
13
2. 1. 6. Aktivitas Kumbang .....................................................
15
2. 2. Hubungan Kumbang dengan Kotoran ......................................
16
2. 3. Perbedaan Sistem Pencernaan Sapi dan Kuda .........................
18
2. 4. Penurunan Keanekaragaman Akibat Perubahan Lahan ...........
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................
22
3. 2. Bahan dan Alat .........................................................................
23
3. 3. Cara Kerja ................................................................................
24
3. 3. 1. Metode Penelitian ........................................................
24
3. 3. 2. Pengambilan Sampel ...................................................
25
3. 3. 3. Identifikasi Serangga di Laboratorium ........................
26
3. 3. 4. Analisis Data ...............................................................
27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kelimpahan Kumbang Tinja .....................................................
29
4.2. Jenis Kumbang Tinja Berdasarkan Jenis Tinja .........................
34
4.3. Deskripsi Kumbang Tinja yang Ditemukan Di Taman Wisata
Pulau Situ Gintung ....................................................................
36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan ...............................................................................
41
5. 2. Saran .........................................................................................
41
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagian-Bagian Tubuh Kumbang (Maria, 1996) ...........................
9
Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Sihkahona, 2003) .................
11
Gambar 3. Kumbang Tinja Menggelinding Kotoran ......................................
18
Gambar 4. Denah Posisi Pemasangan Perangkap di Taman Wisata
Pulau Situ Gintung .......................................................................
23
Gambar 5. Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung ................................
25
Gambar 6. Perangkap Baited Pitfall Trap .......................................................
26
Gambar 7. Keanekaragaman Kumbang Tinja Berdasarkan Indeks
Shannon-Wienner(H') dan Evennes (E) pada tinja kuda dan sapi .
34
Gambar 8. Aphodius marginellus ....................................................................
36
Gambar 9. Onthopagus collfsi .........................................................................
37
Gambar 10. Onthopagus liliputanus ...............................................................
38
Gambar 11. Onthopagus luridipennis .............................................................
38
Gambar 12. Onthopagus trituber ....................................................................
39
Gambar 13. Onthopagus variolaris ................................................................
40
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jenis-jenis tinja yang ditemukan disekitar kawasan taman pulau
Situ Gintung .......................................................................................
29
Tabel 2. Jumlah Spesies (s), jumlah individu (N), Indeks Keragaman
Shannon Winner (H’) dan Evennes (E) Indeks Kesamaan Sorensen
(IS) Kumbang tinja di Kawasan Situ Gintung ...................................
34
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Tabel Keragaman Kumbang Tinja Scarabaeidae pada
Tinja Kuda ..................................................................................
46
Lampiran 2. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Sapi ........
46
Lampiran 3. Faktor Abiotik ............................................................................
47
Lampiran 4. Tabel distribusi kumbang tinja di wilayah Indonesia dari
Koleksi ilmiah MZB, P2B – LIPI ..............................................
48
Lampiran 5. Gambar Taman Wisata Pulau Situ Gintung ...............................
50
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti konservasi biologi
yang melibatkan keanekaragaman habitat sebagai hidup semua organisme di bumi.
Keanekaragaman merupakan sifat komunitas yang menunjukkan tingkat
keragaman
antara
anggota-anggota
komunitas
yang
ada
di
dalamnya.
Kenekaragaman hayati dapat diidentifikasi dengan jalan mengklasifikasikan
secara morfologi, fisiologi, perilaku maupun ciri-ciri lainnya. Dengan adanya
klasifikasi maka dapat diketahui adanya peran dan manfaat setiap spesies dalam
suatu komunitas. Tujuan penelitian kenekaragaman itu sendiri adalah untuk
menemukan keseimbangan optimal antara konservasi keanekaragaman hayati
dengan kehidupan manusia yang berkelanjutan (Noonan, 2007).
Keanekaragaman hayati dapat menyusut akibat adanya aktivitas manusia
dalam memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa
hal yang ikut berperan dalam menurunkan keanekaragaman hayati antara lain
hilangnya habitat akibat alih fungsi lahan, masuknya spesies baru, perubahan
iklim global, pencemaran lingkungan dan pembangunan. Seluruh aktivitas ini
banyak menghambat regenerasi alami sehingga dapat mengakibatkan kepunahan
jenis dan mengancam lingkungan alami (Samways, 1994).
Menurut Setiadi (2004) pada beberapa tahun terakhir sebagian besar
habitat serangga di lingkungan alami telah mengalami kerusakan dengan laju yang
sangat tinggi, sehingga mengakibatkan penurunan keanekaragaman spesies yang
menghuninya. Salah satu penyebab penurunan keanekaragaman spesies yang
paling utama adalah aktivitas manusia. Selain itu perubahan lahan alami menjadi
lahan buatan seperti pertanian dan pemukiman penduduk juga mempengaruhi
keanekaragaman spesies.
Situ Gintung merupakan kawasan wisata alam yang sebagian besar
wilayahnya adalah perairan dengan luas daratan sebesar 5 hektar dengan vegetasi
meliputi pepohonan dan rumput-rumputan. Seiring berkembangnya pembangunan
kota, daerah di sekeliling Taman Wisata Pulau Situ Gintung yang semula
merupakan perkebunan palawija dan sawah telah berubah menjadi pemukiman
penduduk dan tempat rekreasi wisata alami, Sedangkan lahan pertanian hanya
beberapa meter saja yang masih dipertahankan oleh penduduk. Saat ini Taman
Wisata Pulau Situ Gintung masih dalam kondisi yang tidak stabil dikarenakan
terjadinya kerusakan bendungan sehingga menyebabkan perubahan pada kondisi
danau. Kawasan yang dahulunya didominasi oleh perairan sekarang menjadi lahan
hijau yang didominasi rumput-rumputan. Perubahan ini diperkirakan merupakan
penyebab terjadinya penurunan keanekaragaman hayati di Situ Gintung.
Di dalam suatu ekosistem, serangga banyak bertindak sebagai penyangga
keanekaragaman. Salah satu kelompok Coleoptera yang berperan penting dalam
mempertahankan keseimbangan suatu ekosistem adalah kumbang tinja (dung
beetle) atau kumbang koprofagus yang termasuk dalam famili Scarabaeidae.
Kumbang koprofagus banyak digunakan sebagai bioindikator stabilnya ekosistem
karena tersebar luas pada berbagai tipe ekosistem, spesiesnya beragam, mudah
dicuplik dan memiliki peran yang penting secara ekologis. Kumbang tinja
berperan dalam penguraian kotoran hewan sehinggga terlibat dalam siklus hara
dan penyebaran biji-biji tumbuhan yang terbawa melalui kotoran. Dengan
demikian, kumbang tinja merupakan bagian yang penting dalam ekosistem untuk
mempertahankan keseimbangan alam dan rantai makanan. Kumbang koprofagus
juga sering digunakan sebagai bioindikator tingkat kerusakan suatu habitat pada
umumnya karena struktur komunitas dan distribusi kumbang koprofagus sangat
dipengaruhi oleh tipe vegetasi, tipe tanah, jenis kotoran dan musim (Doube, 1991;
Davis et al., 2001).
Kumbang koprofagus memiliki hubungan yang erat dengan mamalia
(Estrada, 1998). Tinja mamalia merupakan makanan dan media peletakan telur
kumbang Scarabaeidae dan hubungan keduanya menunjukkan distribusi dari
kumbang tinja. Kotoran yang dikeluarkan oleh hewan mamalia memiliki bentuk
dan ukuran yang bermacam-macam. Kotoran karnivora memiliki ciri-ciri ujung
kerucut dan pangkal bulat sedangkan pada herbivora memiliki ciri-ciri bentuk
bulat menyerupai kue. Kotoran kaya akan nutrien seperti protein, lemak, vitamin,
mineral, mikroba dan zat lainnya. Kotoran pada hewan dihinggapi beberapa
macam serangga. Menurut Hanski dan Cambefort (1991), kumbang tinja banyak
ditemukan di kotoran hewan mamalia dari golongan herbivora.
Sampai saat ini belum diketahui penelitian tentang kelimpahan dan
keanekaragaman kumbang tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung, serta
perbedaan jenis tinja terhadap kelimpahan Scarabaeidae. Melihat pentingnya
keberadaan dan peranan kumbang tinja dalam merombak kotoran hewan, maka
perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe lahan
dan jenis kotoran hewan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman kumbang tinja
(Coleoptera: Scarabaeidae) di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Dalam
penelitian ini, kumbang tinja dicuplik dengan perangkap yang diberi umpan
kotoran hewan herbivora yang berbeda.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kelimpahan dan keanekaragaman jenis kumbang tinja
Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung.
2. Bagaimanakah perbedaan jenis kumbang Scarabaeidae di tinja kuda dan
tinja sapi.
1.3. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis kumbang tinja Scarabaeide di
Taman Wisata Pulau Situ Gintung tinggi.
2. Terdapat perbedaan jenis kumbang tinja Scarabaeidae di tinja kuda dan
tinja sapi.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk
mengetahui
kelimpahan
dan
keanekaragaman
kumbang
Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung.
2. Untuk mengetahui perbedaan
jenis kumbang Scarabaeidae
ditemukan di tinja kuda dan tinja sapi.
yang
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan informasi tentang kondisi ekosistem di Taman Wisata
Pulau Situ Gintung.
2. Memberikan informasi perbedaan jenis dan kelimpahan kumbang tinja di
tinja sapi dan tinja kuda.
1.6. Kerangka berfikir
Aktivitas manusia
Perubahan habitat
Kumbang
koprofagus
Scarabaeidae
Mamalia herbivora
Kotoran
Keanekaragama
n hayati
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kumbang Tinja
2.1.1. Klasifikasi
Coleoptera merupakan salah satu ordo dari kelas Insekta yang mudah
dibedakan dari ordo lainnya. Dalam bahasa sehari-hari Coleoptera biasa disebut
kumbang. Karakter khas dari kumbang adalah memiliki sepasang sayap depan
yang keras (elytra) yang berfungsi sebagai pelindung bagi sepasang sayap
belakang yang tipis dan lunak. Kumbang (Coleoptera) menyusun kelompok
terbesar sekisar 40% dari seluruh jenis serangga. Anggotanya diperkirakan lebih
dari 350.000 spesies yang sudah diketahui namanya, dengan 30.000 spesies
diantaranya ada di Amerika Serikat dan Kanada (Borror et al., 1992), 30.000
spesies di Australia (Amir dan Kahono, 2003), dan di perkirakan sekitar 10% dari
jumlah jenis kumbang dunia terdapat di Indonesia.
Menurut Borror et al., (1992) kumbang diklasifikasikan dalam Filum;
Arthropoda, Subfilum Mandibulata, Kelas Insecta dan Ordo Coleoptera.
Kumbang dibagi manjadi 4 Subordo, yaitu Achostemata, Myxophaga, Adephaga
dan Polyphaga. Subordo Polyphaga merupakan subordo dengan anggota sekitar
138 famili yang mencakup 90% dari semua Coleoptera, salah satunya
Scarabaeidae.
Beberapa jenis kumbang Scarabaeidae, yang telah diketahui sebagai
perombak kotoran mamalia terbagi dalam dua genus, yaitu genus Onthophagus
dan genus Copris. Genus Onthophagus terdiri dari Onthophagus gazella,
7
O.
depressus, O. compositus, O. Dunningi. Genus Copris terdiri dari Copris incertus
dan C. ribbei (Setiadi, 2004).
Di Afrika, telah diketahui sekitar 2.000 spesies kumbang yang hidup pada
tinja hewan, tetapi baru beberapa jenis saja yang telah diketahui biologinya
(Waterhouse, 1974). Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 1000 spesies
kumbang Scarabaeidae (Noerdjito, 2003). Kumbang yang memakan kotoran
hewan terdiri dari beberapa famili yaitu Scarabaeidae, Histeridae, Staphylinidae,
Hydrophilidae dan Silphidae (Britton, 1970).
2.1.2. Morfologi
Kumbang mempunyai tubuh yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu caput
(kepala), toraks (dada) dan abdomen (perut). Pada kepala terdapat antena, mata
dan mulut. Antena pada Coleoptera mempunyai ruas yang bervariasi, pada
kumbang jantan antena kadang-kadang mempunyai ruas ganda dan lebih besar
daripada betina. Tipe mulut kumbang adalah penggigit dan pengunyah.
Mandibula berkembang dengan baik (Borror et al., 1992).
Pada toraks terdapat sepasang sayap. Sayap depan mengeras dan menebal
yang disebut elytra berfungsi sebagai pelindung. Pada sayap belakang terdapat
membranus yang berfungsi untuk terbang (Borror et al., 1992). Toraks terdiri atas
tiga ruas yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Protoraks adalah toraks
bagian depan yang berkembang dengan baik, mesotoraks merupakan toraks
bagian tengah dan metatoraks merupakan bagian belakang. Pada tiap ruas toraks
terdapat sepasang tungkai, umumnya bertipe ambulatorial (berjalan), fusorial
(menggali), nafotorial (berenang) dan saltatorial (melompat) (Borror et al., 1992).
Abdomen pada Coleoptera terdiri dari 10 segmen pada jantan dan 9
segmen pada betina. Pada segmen pertama terdapat alat pendengaran (membrane
tympanum) . Pada setiap segmen juga terdapat juga spirakel yaitu lubang tempat
masuknya udara. Pada beberapa jenis kumbang segmen terakhir pada betina
menjadi ovipositor atau alat untuk meletakkan telur.
Kumbang tinja (dung beetles) dikenal dengan istilah koprofagus. Istilah ini
biasanya digunakan pada serangga yang memakan tinja hewan (Fincher et al.,
1971). Kumbang-kumbang ini mudah dikenali dengan bentuk tubuhnya yang
cembung, bulat telur atau memanjang dengan tungkai bertarsi 5 ruas dan sungut
8-11 ruas dan berlembar. Tiga sampai tujuh ruas terakhir antena umumnya meluas
menjadi struktur-struktur seperti lempeng yang dibentangkan sangat lebar atau
bersatu membentuk satu gada ujung yang padat. Tibia tungkai depan membesar
dengan tepi luar bergeligi atau berlekuk. Pada kelompok kumbang pemakan tinja
bentuk kaki ini khas sebagai kaki penggali (Borror et al., 1992).
Antena
Mata
Abdomen
Femur
Sayap
Tarsus
Kuku
Tibia
Gambar 1. Bagian-bagian Tubuh Kumbang Tinja (Maria, 1996)
2.1.3 Siklus Hidup
Kumbang
mengalami
metamorfosis
sempurna
(holometabola).
Perkembangan lingkaran hidupnya dimulai dari telur, kemudian menetas menjadi
larva. Larva berkembang dan setelah mengalami beberapa kali ganti kulit
kemudian menjadi pupa. Pupa selanjutnya mengalami perkembangan menjadi
kumbang dewasa (Amir dan Kahono, 2003).
Siklus hidup kumbang Scarabaeidae ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Kumbang dewasa bewarna coklat kehitaman. Kumbang dewasa meletakkan
telurnya ke dalam tanah yang berukuran kecil berwarna putih bening dengan
kedalaman 5 – 20 cm. Kumbang juga meletakkan telurnya di tempat yang sesuai
dengan kebutuhan larva, agar larva dapat berkembang dengan baik. Tempat yang
baik untuk perkembangan larva yaitu tempat yang banyak mengandung bahan
organik seperti pada serasah dan tanah yang subur. Setelah 1 – 2 minggu telur
menetas menjadi larva, larva kecil mulai aktif memakan bahan organik atau
serasah, setelah cukup umur larva berada di tanah dengan kedalaman kurang lebih
10 – 30 cm. Lamanya larva di dalam tanah berkisar 4 – 6 bulan. Apabila situasi
tidak menguntungkan misalnya suhu tidak sesuai atau sangat kering, larva dapat
mengalami proses inaktif yang disebut diapause.
Bila kondisi sesuai larva akan berubah menjadi kepompong, biasanya
dapat ditemukan pada saat musim tanam berikutnya. Kepompong dapat
ditemukan di dalam tanah dengan kedalaman 15 – 30 cm. Kepompong yang
belum aktif dapat ditemukan pada kedalaman tanah 20 – 30 cm. Kepompong
dapat bertahan dalam tanah sampai umur 2 bulan. Setelah adanya kelembaban
tanah yang cukup kepompong akan berkembang menjadi kumbang dewasa.
Umumnya kumbang dewasa berumur kurang lebih 30 hari. (Anomimus, 2007).
Larva 3
Pupa
Dewasa
Larva 2
Telur
Larva 1
Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Kahono, 2003)
Larva kumbang memiliki bentuk yang bermacam-macam, diantaranya:
1. Scarabaeiform (tipe C), tubuh lunak, melengkung membentuk huruf C,
biasanya larva tidak aktif atau lambat setelah menjadi besar, misalnya
larva Scarabidae.
2. Campodeiform, larva kumbang berwarna perak, tubuh memanjang, pipih
serta bergerak sangat aktif, misalnya pada kumbang Carabidae.
3. Elateriform, larva yang mirip ulat kawat, kulit badan keras, kaki-kaki
pada toraks sangat pendek, misalnya pada kumbang Elateridae.
4. Eruciform, larva kumbang mirip ulat tidak mempunyai kaki abdomen,
hidup pada habitat terbuka sebagai pemakan daun atau bunga, misalnya
Chrysomelidae (Borror et al., 1992).
2.1.4. Ekologi
Anggota Coleoptera (kumbang) pada umumnya dapat hidup hampir di
semua habitat dan memakan berbagai jenis bahan tanaman dan hewan, baik yang
masih hidup atau mati. Banyak jenis kumbang yang hidup pada permukaan atau di
dalam tanah, air, pada cendawan, bagian tanaman yang sehat atau busuk, kotoran
hewan atau bangkai (Borror et al., 1992). Semua kumbang tinja adalah scarab
tetapi tidak semua scarab merupakan kumbang tinja. Dari berbagai spesies
kumbang yang sering ditemukan pada kotoran hewan, yang termasuk kumbang
tinja sejati adalah dari superfamili Scarabaeoidea famili Scarabaeidae, Aphodiidae
dan Geotrupidae (Cambefort, 1991).
Penyebaran kumbang seperti kumbang tinja dipengaruhi oleh keberadaan
hewan. Selain itu juga, dipengaruhi oleh bentuk tanah, bentuk kanopi tumbuhan
dan cahaya. Tipe tanah dan bentuk tumbuhan sangat berpengaruh terhadap
keaktifan maupun distribusi kumbang tinja. Pada daerah bersemak populasi
kumbang lebih banyak dibandingkan pada padang rumput, dikarenakan daerah
bersemak keadaan lingkungannya lebih sesuai untuk aktivitas terbang
(Waterhouse, 1974 dan Double, 1983). Sementara itu pada daerah yang bersemak
yang bertanah liat lempung populasi dan spesies-spesies kumbang jauh lebih
banyak daripada yang dijumpai di tanah liat berpasir. Hal ini diakibatkan karena
kemampuan tanah liat lempung untuk mengikat dan menahan air yang merupakan
kebutuhan kumbang tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah liat
berpasir. Tipe tanah juga berpengaruh terhadap kelompok kumbang tinja yang ada.
Pada tanah yang gembur lebih banyak ditemukan kelompok endokoprid
dibandingkan kelompok dweller (Hanski dan Cambefort, 1991).
2.1.5. Peran Kumbang Tinja dalam Ekosistem
Kumbang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem, keberadaan
kumbang dapat memberikan informasi yang sangat penting dalam studi
lingkungan. Dengan perilaku makan dan reproduksi yang dilakukan di sekitar
tinja maka kumbang tinja sangat membantu penyebaran dan menguraikan tinja
sehingga tidak menumpuk di suatu tempat. Aktifitas ini secara umum berpengaruh
terhadap struktur tanah dan siklus hara sehingga juga berpengaruh terhadap
tumbuhan di sekitarnya. Dengan membenamkan tinja, kumbang dapat
memperbaiki kesuburan dan aerasi tanah, serta meningkatkan laju siklus nutrisi
(Andresen, 2001). Kumbang tinja juga sangat berperan dalam mencegah
pencemaran tanah pada padang rumput (Gittings et al., 1994).
Di Australia kumbang tinja merupakan agen pengendalian hayati yang
sangat efektif dalam mengontrol populasi lalat yang banyak berkumpul pada
kotoran sapi. Dengan menguraikan kotoran ternak secara cepat dari permukaan
tanah maka kumbang tinja mengurangi perkembangbiakan vektor (perantara)
berbagai jenis penyakit (Thomas, 2001).
Peran penting lainnya dari kumbang tinja dalam ekosistem adalah sebagai
agen penyebaran tumbuhan dengan jalan membenamkan biji yang terdapat pada
kotoran hewan ke dalam tanah sehingga mendukung terjadinya perkecambahan
biji. Biji yang tidak dibenamkan oleh kumbang tinja biasanya sangat rentan untuk
berkecambah karena dimangsa oleh predator seperti tikus dan hewan pengerat
lainnya (Andersen, 2001). Kumbang tinja sering digunakan sebagai bioindikator
tingkat kerusakan hutan tropis dan habitat pada umumnya karena struktur
komunitas dan distribusi kumbang tinja sangat dipengaruhi oleh faktor biotik dan
abiotik (Bornemissza, 1970).
Sebagian anggota kumbang bersifat menguntungkan bagi manusia, antara
lain:
1. Sebagai predator (untuk pengendalian hama)
2. Sebagai penyerbuk
3. Pemakan bahan buangan seperti tinja dan bangkai
4. Mempunyai nilai artistik atau keindahan yang dapat digunakan sebagai hiasan
dinding, meja, motif tekstil dan lain-lain (Bima, 2007).
Mengingat perannya yang sangat kompleks dan penting dalam ekosistem
dan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan manusia, maka penurunan
keragaman spesies kumbang tinja akibat kegiatan manusia yang tidak
mempertimbangkan kelestarian ekosistem akan menyebabkan kerugian yang luas.
Tidak adanya kumbang Scarabaeidae akan menimbulkan ketidakseimbangan
ekosistem misalnya, timbuhan tinja dapat menyebabkan musnahnya padang
rumput karena tidak ada yang merombaknya.
2.1.6. Aktivitas Kumbang Tinja
Kehidupan dan aktivitas kumbang dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti:
tipe tanah, suhu, kelembaban, curah hujan, intensitas cahaya dan lain-lain.
Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor bagi kumbang untuk dapat
mengetahui habitat yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Kumbang pada umumnya, aktif pada siang hari (Fincher et al., 1971). Selain itu,
faktor biotik seperti predator yang dapat mengendalikan populasi kumbang
dengan mempengaruhi mortalitas telur, larva dan kumbang dewasa.
Pada malam hari kumbang tinja juga menggunakan sinar bulan untuk
menentukan arah. Kumbang tinja mampu menggunakan polarisasi yang tercipta
ketika sinar bulan menerpa partikel-partikel kecil di atmosfer untuk menentukan
posisinya dan berjalan pada garis lurus. Berkat kemampuan navigasi tersebut,
kumbang tinja bisa dengan cepat menggulung dan menggelindingkan kotoran
hewan ke sarangnya sehingga terhindar dari pembajakan oleh kumbang lain.
Namun demikian saat tidak ada sinar bulan, kumbang tinja tidak bisa
menjaga kelurusan jalannya. Hal ini menunjukkan bahwa kumbang menggunakan
polarisasi sinar, yang juga berarti bahwa kumbang memiliki banyak waktu untuk
mencari makan. Sistem navigasi polarisasi sinar bulan hanya cocok pada
kumbang tinja yang hidup di tempat terbuka seperti padang rumput savana
(Naifian, 2006).
2.2. Hubungan Kumbang dengan Kotoran
Kumbang tinja memerlukan kotoran sebagai makanan untuk kelangsungan
hidupnya. Kotoran tinja yang banyak dikunjungi kumbang tinja adalah kotoran
mamalia herbivora, seperti kotoran sapi dan kuda (Doube, 1991 dan
Westerwalbesloh, 2004). Berdasarkan hasil analisis, kotoran ternak mengandung
22,9% sellulosa, 18,32% hemisellulosa, 10,20% lignin, 34,72% karbon organik
total, 1,26% nitrogen total, ratio C:N 27,56:1, 0,73% P dan 0,68% K (Lingaiah
dan Rajasekaran, 1986).
Kumbang tinja (Scarabaeidae) memiliki prilaku yang khas yaitu membuat
bola-bola tinja kemudian menggiringnya ke sarang dan membuat terowongan
untuk menyimpan bola-bola kotoran tersebut (Sato, 1997). Kumbang tinja
(Scarabaeidae) biasanya mulai berburu kotoran segar ketika matahari mulai
terbenam. Saat menemukan kotoran kumbang akan membentuknya menjadi bola
lalu menggelindingkannya ke sarang menggunakan kaki belakang dalam arah
lurus.
Berbagai spesies kumbang koprofagus menggunakan kotoran mamalia
dengan cara berbeda-beda. Kebanyakan spesies menggali terowongan dalam tanah
atau secara langsung di sekitar timbunan kotoran. Kumbang tersebut membawa
kotoran ke dalam terowongan, kemudian membentuknya menjadi bulatan-bulatan
seperti bola. Jumlah bola yang dibentuknya dapat mencapai 40, kumbang betina
lalu meletakkan telur di dalamnya. Bila telur menetas, selama perkembangan larva
berada dalam bulatan tinja dan memakan bagian dalam bulatan kotoran dan
merombak bagian dalam bulatan tersebut. Setelah sampai fase pupa kemudian
kumbang membuat jalan keluar menuju permukaan tanah (Bornemissza, 1970)
Beberapa kumbang koprofagus tertarik pada kotoran dan bangkai tetapi
belum diketahui apakah mereka hanya datang untuk memakan bangkai atau
sebagai tempat untuk melangsungkan perkawinan (Hanski dan Cambefort, 1991).
Kumbang kotoran ini mudah menyesuaikan diri dalam hal pemilihan habitat dan
makanan (Barbero et al., 1999).
Selain beragam dari segi morfologi, kumbang tinja juga memiliki
keragaman dalam strategi pemanfaatan sumberdaya. Secara garis besar kumbang
tinja dapat digolongkan dalam empat kelompok fungsional (guild), yaitu, (i)
kelompok telekoprid atau penetap (dwellers), dan kelompok pembuat sarang
(nester), (ii) kelompok parakoprid atau pembuat terowongan (tunnelers), dan (iii)
kelompok endokoprid atau penggulung kotoran (rollers) serta (iv) kelompok
kleptokoprid (Doube, 1990;Westerwalbeslohl et al., 2004).
Kelompok penetap yang banyak ditemukan di daerah empat musim
memakan langsung kotoran yang ditemukannya dan umumnya meletakkan telur
di kotoran tersebut tanpa membentuk sarang. Kelompok pembuat terowongan
yang didominasi oleh Scarabaeinae dan Geotrupinae menggali terowongan di
bawah kotoran yang ditemukannya, membawa kotoran ke tempat tersebut dan
memanfaatkannya sebagai makanan dan tempat berbiak. Kelompok penggulung
kotoran memiliki kemampuan untuk membuat bola tinja sebagai suatu sumber
daya yang dapat dipindahkan, dibawa ke tempat lain sebelum dibenamkan ke
dalam tanah. Kelompok kleptoparasit menggunakan kotoran yang telah
dimonopoli oleh jenis telekoprid atau parakoprid (Hanski dan Cambefort, 1991;
Westerwalbeslohl et al., 2004)
Gambar 3. Kumbang Tinja Menggelinding Kotoran (Naifian, 2006)
2.3 Perbedaan Sistem Pencernaan Sapi dan Kuda
Pola sistem pencernaan pada hewan umumnya sama dengan manusia,
yaitu terdiri atas mulut, faring, esofagus, lambung, dan usus. Namun demikian,
struktur alat pencernaan kadang-kadang berbeda antara hewan yang satu dengan
hewan yang lain. Jika dibandingkan dengan kuda, faring pada sapi lebih pendek.
Esofagus (kerongkongan) pada sapi sangat pendek dan lebar serta lebih mampu
berdilatasi (mernbesar). Esofagus berdinding tipis dan panjangnya bervariasi
diperkirakan sekitar 5 cm (Djuhanda, 1984).
Pada beberapa herbivora (kuda dan kelinci) lambungnya relatif sederhana
dan dapat disamakan dengan lambung karnivora sedangkan usus besarnya,
terutama sekum lebih luas dan rumit dari yang dimiliki karnivora. Sebaliknya
pada herbivora lain (sapi, kambing, domba), lambungnya (sistem berlambung
majemuk) adalah besar dan rumit, sedangkan usus besarnya panjang akan tetapi
kurang berfungsi (Djuhanda, 1984).
Hewan-hewan herbivora (pemakan rumput) seperti domba, sapi, kerbau
disebut sebagai hewan memamah biak (ruminansia). Sistem pencernaan makanan
pada hewan ini lebih panjang dan kompleks. Makanan hewan ini banyak
mengandung selulosa yang sulit dicerna oleh hewan pada umumnya sehingga
sistem pencernaannya berbeda dengan sistem pencernaan hewan lain. Lambung
ruminansia terdiri atas 4 bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum
dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya.
Lambung sapi sangat besar, diperkirakan sekitar 3/4 dari isi rongga perut.
Lambung mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara
yang akan dimamah kembali (kedua kali). Selain itu, pada lambung juga terjadi
proses fermentasi atau pembusukan. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%,
omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%. Pembagian ini terlihat dari bentuk tonjolan
pada saat otot sfinkter berkontraksi (Campbell et al., 2002).
Makanan dari kerongkongan akan masuk rumen yang berfungsi sebagai
gudang sementara bagi makanan yang tertelan. Di rumen terjadi pencernaan
protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan
oleh bakteri dan jenis protozoa tertentu. Dari rumen, makanan akan diteruskan ke
retikulum dan di tempat ini makanan akan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan
yang masih kasar (disebut bolus). Bolus akan dimuntahkan kembali ke mulut
untuk dimamah kedua kali. Dari mulut makanan akan ditelan kembali untuk
diteruskan ke omasum (perut bulu). Pada omasum terdapat kelenjar yang
memproduksi enzim yang akan bercampur dengan bolus. Akhirnya bolus akan
diteruskan ke abomasum (perut sejati), yaitu perut yang sebenarnya dan di tempat
ini masih terjadi proses pencernaan bolus secara kimiawi oleh enzim (Campbell et
al., 2002).
Selulase yang dihasilkan oleh mikroba (bakteri dan protozoa) akan
merombak selulosa menjadi asam lemak. Akan tetapi, bakteri tidak tahan hidup di
abomasum karena pH yang sangat rendah, akibatnya bakteri ini akan mati, namun
dapat dicernakan untuk menjadi sumber protein bagi hewan pemamah biak.
Dengan demikian, hewan ini tidak memerlukan asam amino esensial seperti pada
manusia. Asam lemak serta protein inilah yang menjadi bahan baku
pembentukkan susu pada sapi. Enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri ini
tidak hanya berfungsi untuk mencerna selulosa menjadi asam lemak, tetapi juga
dapat menghasilkan bio gas yang berupa CH4 yang dapat digunakan sebagai
sumber energi alternatif. Tidak tertutup kemungkinan bakteri yang ada di sekum
akan keluar dari tubuh organisme bersama feses, sehingga di dalam feses (tinja)
hewan yang mengandung bahan organik akan diuraikan dan dapat melepaskan gas
CH4 (gas bio) (Ville, 1988).
Hewan seperti kuda, kelinci, dan marmut tidak mempunyai struktur
lambung seperti pada sapi untuk fermentasi selulosa. Proses fermentasi atau
pembusukan yang dilaksanakan oleh bakteri terjadi pada sekum yang banyak
mengandung bakteri. Proses fermentasi pada sekum tidak seefektif fermentasi
yang terjadi di lambung. Akibatnya kotoran kuda, kelinci, dan marmut lebih kasar
karena proses pencernaan selulosa hanya terjadi satu kali, yakni pada sekum.
Sedangkan pada sapi proses pencernaan terjadi dua kali, yakni pada lambung dan
sekum yang kedua-duanya dilakukan oleh bakteri dan protozoa tertentu
(Campbell et al., 2002).
2.4 Penurunan Keanekaragaman Kumbang Akibat Perubahan Lahan
Penurunan keanekaragaman hayati terjadi sejalan degan meningkatnya
perubahan ekosistem alami menjadi lahan buatan. Perubahan pada struktur
vegetasi dan faktor lingkungan fisik dapat berpengaruh terhadap penurunan
keanekaragaman hayati salah satunya adalah kumbang (Fardila, 2008). Taman
Wisata Pulau Situ Gintung merupakan salah satu kawasan yang mengalami
perubahan pada lahan yang nyata beberapa tahun terakhir hingga kini perubahan
lahan di Taman Wisata Pulau Situ Gintung terus berlangsung dengan adanya
kondisi pemukiman penduduk yang berkembang dengan pesat sementara
persediaan lahan yang ada sangat terbatas mengakibatkan adanya kawasan
pemukiman yang dikembangkan di atas lahan yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ekonomi dan lahan
pertanian pada akhirnya ekosistem alami diubah menjadi perkebunan atau ladang
dan wisata alam (Fardila, 2008).
Berdasarkan hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan lahan
akibat aktivitas manusia, perubahan srtuktur vegetasi dan faktor lingkungan fisik
diketahui sebagai penyebab utama penurunan keanekaragaman hayati terhadap
spesies kumbang. Collins dan Glenns (1997) memprediksi bahwa tingkat
keanekaragaman tertinggi dapat ditemukan pada komunitas dengan tingkat
gangguan sedang.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di kawasan wisata Pulau Situ Gintung, Ciputat Timur
Tangerang, Banten pada bulan Februari 2010 sampai bulan Maret 2010. Secara
geografis, Taman Wisata Pulau Situ Gintung terletak pada koordinat 6o18’
24,59’LS dan 106o 45’ 22,05’ BT.
Kawasan terbuka hijau Situ Gintung, meliputi bagian depan kawasan
terbuka yang terdiri dari tempat outbond, mushola dan pendopo dengan vegetasi
seperti akasia (Acacia mangium), merak (Caesalpinia pulcherrima) dan kelapa
(Cocos nucifera). Bagian tengah terdiri dari lapangan tenis, arena bermain anakanak dengan vegetasinya antara lain akasia (Acacia mangium), nangka
(Arthocavpus integra), ketapang (Terminalia catappa), petai cina (Leucaena
leucocephala), palem botol (Hyophorbe lagenicaulis), rambutan (Nephelium
lappaceum), saga (Adenanthera pavonina) dan waru (Hibiscus tiliaceus). Di
bagian belakang terdiri dari vegetasi seperti akasia (Acacia mangium), nangka
(Arthocaprus integra), ketapang (Terminalia catappa), petai cina (Leucaena
leucocephala), saga (Adenanthera pavonina) dan waru (Hibiscus tiliaceus).
22
Gambar 4. Denah posisi pemasangan perangkap di Taman Wisata
Pulau Situ Gintung.
Keterangan : ∆ : Plot tinja kuda; O : Plot tinja sapi; A : Loket; B : Rumah
Singgah; C : WC Umum; D : Gudang; E : Kantin; F : Pendopo;
G : Musholla; H : Lap. Tenis
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kotoran sapi,
kotoran kerbau dan kotoran kuda yang digunakan sebagai umpan. Air sabun dan
garam digunakan sebagai cairan pembunuh serangga yang masuk ke dalam
perangkap, kapur barus (nafthalen), alkohol 70% dan lem digunakan sebagai
pengawet sampel yang sudah didapat.
Alat yang digunakan antara lain: gelas plastik ukuran 500 ml, kantong
plastik 1 kg sebagai tempat spesimen yang diperoleh, kain kasa untuk
membungkus kotoran yang digunakan sebagai umpan, kayu kecil (ranting)
berukuran 30 cm digunakan untuk mengantung umpan, nampan, kertas label,
botol film, gunting, pinset, kuas, mikroskop stereo, jarum mouting, kotak
serangga, termometer, oven, kamera digital, lux meter, anemometer, higrometer,
jangka sorong, alat tulis, kuas dan skrop.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Pengambilan sampel
kumbang tinja dilakukan dengan memasang perangkap menggunakan tinja sapi
dan kuda (Baited pitfall trap). Lokasi penempatan perangkap adalah di sekitar
terbuka hijau Pulau Situ Gintung, masing-masing sebanyak 20 perangkap tinja
sapi dan tinja yang dipasang secara acak (random sampling).
Gambar 5. Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung
3.3.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan dengan perangkap baited
pitfall trap (Maulida, 2003) menggunakan umpan kotoran mamalia yaitu sapi dan
kuda. Kotoran mamalia dibungkus dengan kain kasa sebesar ibu jari, kemudian
diikat pada bambu dan digantung di atas gelas plastik yang berisi larutan garam
dan air sabun untuk membunuh kumbang tinja yang masuk ke dalam perangkap.
Posisi peletakan umpan dibagi menjadi 4 tempat yang mengikuti arah mata angin
pada terbuka hijau Pulau Situ Gintung yaitu bagian utara dan barat untuk umpan
tinja sapi dan selatan dan timur untuk umpan tinja kuda, setiap perangkap
diletakan secara acak dan setiap umpan berjarak 5 meter. Perangkap dibiarkan
selama 5 hari dan dilakukan pengulangan sebanyak 6 kali. Pada saat pemasangan
perangkap dilakukan pengukuran faktor fisik seperti: : suhu, kelembaban udara,
kecepatan angin dan intensitas cahaya (Klx) dengan alat ukur termometer,
higrometer, anemometer dan lux meter.
Kumbang tinja yang terperangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik
beserta cairan dalam gelas plastik. Selanjutnya dipindahkan ke dalam botol film
yang berisi alkohol 70% untuk pengawetan sementara dan dilakukan pengawetan
spesimen di Laboratorium Ekologi Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk diidentifikasi.
Gambar 6. Perangkap Baited pitfall trap
3.3.3. Identifikasi Serangga di Laboratorium
Spesimen yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya,
selanjutnya diidenfikasi dan dihitung jumlah individu. Identifikasi dilakukan
menggunakan mikroskop stereo di Laboratorium Ekologi, Pusat Laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan buku acuan identifikasi serangga
(Borror et al., 1992). Spesimen yang tidak diketahui jenisnya dibandingkan
dengan spesimen yang terdapat di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI
Cibinong, Jawa Barat dan Museum Serangga Taman Kupu-kupu (MSTK), Taman
Mini Indonesia Indah (TMII).
Pengawetan kumbang tinja (Coleoptera) dilakukan dengan pengawetan
kering. Kumbang tinja (Coleoptera) dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC
selama 7 hari atau sampai kering. Masing-masing sampel diberi label, nomor dan
dimasukkan ke dalam kotak serangga yang sudah diberi kapur barus.
3.3.4. Analisis Data
Analisis
data
keanekaragaman
kumbang
tinja
meliputi
analisis
keanekaragaman α (keanekaragaman dalam suatu habitat) dengan menghitung
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Jumlah H' berkisar antara1,5-3,5. Nilai
H'<1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah. Jumlah H' diantara 1,5-3,5
menunjukkan keanekaragaman sedang dan jumlah H'>3,5 menunjukkan
keanekaragaman tinggi. Selain itu dihitung nilai Evennes (Odum, 1994) dan
keanekaragaman β (keanekaragaman antar habitat) dengan menghitung indeks
kesamaan jenis menggunakan Sorensen.
Menentukan Indeks Keanekaragaman Jenis dilakukan menggunakan
rumus:
H' = -Σ (Pi ln Pi)
dengan, Pi = ni
N
Ket: H' = Indeks Keragaman Jenis
ni = Jumlah individu jenis ke- i
N = Jumlah total semua spesies dalam komunitas
Pi = Kelimpahan relatif
Menentukan Indeks Keseragaman dilakukan menggunakan:
E = H'
ln S
Ket: E = Nilai keseimbangan antara jenis
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Menentukan Indeks Kesamaan Jenis dilakukan dengan menggunakan rumus:
IS = 2C
A +B
B
Ket: IS = Indeks Kesamaan Sorensen
A = Jumlah spesies di tinja kuda
B = Jumlah spesies di tinja sapi
C = Jumlah spesies yang sama pada kedua sama pada kedua sampel
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelimpahan Kumbang Tinja
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Taman Wisata Pulau
Situ Gintung didapatkan hasil 453 individu dan terdiri dari lima famili kumbang
Coleoptera yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis kumbang tinja yang ditemukan di sekitar Taman Wisata Pulau
Situ Gintung
No
1
2
3
4
5
Taksa
Family Carabidae
Family Chysomalidae
Family Colydiidae
Family Scarabaeidae
a. Aphodius marginellus
b. Onthophagus collfsi
c. O. Liliputanus
d. O. Luridipennis
e. O. Trituber
f. O. Variolaris
Family Silphidae
Jumlah
Jenis Tinja
Kuda
Sapi
4
1
1
6
1
0
2
2
0
2
29
131
2
174
3
6
6
0
59
198
0
279
Jumlah
5
7
1
5
8
6
2
88
329
2
453
Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 438 individu kumbang tinja
yang tergolong famili Scarabaeidae, terdiri dari dua genus yaitu Aphodius dan
Onthophagus. Jumlah individu kumbang tinja yang ditemukan pada setiap umpan
bervariasi, kumbang yang ditemukan pada tinja sapi (272 individu) lebih banyak
dari pada tinja kuda (166 individu). Hal ini dapat disebabkan karena kumbang
lebih tertarik pada tinja sapi yang memiliki tekstur halus dan lebih aromatis
karena banyaknya mikroba dan nematoda yang terkandung didalamnya (Vulinuc,
2000).
29
Kelimpahan individu kumbang tinja Scarabeidae yang tertinggi adalah
Onthophagus variolaris yaitu sebanyak 329 individu dan yang paling sedikit
adalah Onthopagus luridipennis terdapat 2 individu. Onthophagus variolaris lebih
banyak ditemukan di tinja sapi, sebaliknya O.luridipennis hanya terdapat di tinja
kuda saja, kemungkinan O. luridipennis lebih menyukai tinja yang kasar berserat
(non ruminasia), Sedangkan O.liliputanus tidak ditumukam di tinja kuda. Genus
Aphodius di temukan 1 spesies saja yaitu Aphodius marginellus dengan 5 individu,
jenis ini juga lebih banyak ditemukan di tinja sapi dibandingkan di tinja kuda.
Tinja sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu
22,59%, 18,32% hemiselulosa, 10,20% lignin, 34,72% karbon organik, 1,26%
total nitrogen, ratio C:N 0,73% P dan 0, 68% K (Lingaiah, 1986). Dengan
komposisi senyawa di atas, mikroba-mikroba yang terkandung di dalam tinja sapi
tersebut akan memfermentasikan kandungan selulosanya sehingga akan
menghasilkan gas metan yang lebih tinggi dibanding tinja kuda. Hal itu
menyebabkan tinja sapi lebih aromatis sehingga banyak kumbang tinja yang
mendekatinya.
Tinja kuda mempunyai kadar air dan C/N hanya sedikit, maka biogas yang
dihasilkan tidak setinggi tinja sapi (Lingaiah, 1986). Oleh karena itu tidak banyak
kumbang yang menghampiri perangkap yang berumpan tinja kuda dikarenakan
tinja kuda mengandung sedikit kadar air, hal itu dikarenakan pencernaan kuda
tidak selengkap sapi. Sapi merupakan hewan memamah biak yang mempunyai
empat lambung yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dengan ukuran
yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya untuk mencerna
makanannya, sehingga tinja yang dihasilkan lebih cair dibandingkan tinja kuda.
Hal ini menyebabkan jumlah mikroba didalamnya akan lebih banyak sehingga
dapat meningkatkan proses fermentasi. Semakin tinggi fermentasi di tinja tersebut,
maka gas metan yang dihasilkan akan lebih tinggi. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tinja sapi lebih menarik kumbang Scarabaeidae sehingga lebih
mudah habis atau terurai.
Tidak hanya famili Scarabaeidae saja yang ditemukan di tinja kuda dan
sapi, kumbang lain yang tergolong dalam famili Carabidae, Chysomalidae,
Colydidae dan Silphidae juga terdapat dalam perangkap yang dipasang. Diduga
keberadaan kumbang tersebut dapat terbawa oleh angin tau memang tertarik
dengan aroma yang dikeluarkan oleh tinja kuda dan sapi.
Jika dibandingkan dengan daerah lain seperti T.N Kayan Mentarang
(Kalimantan Timur) dan T.N Gunung Pangrango maka keragaman jenis kumbang
tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung tergolong paling sedikit. Di hutan Pa’
Raye T.N Kayan Mentarang (Kalimantan Timur) ditemukan 26 jenis kumbang
tinja sementara itu di T.N Gunung Pangrango ditemukan 28 jenis (Kahono dan
Rosicho, 2003). Perbedaan keragaman jenis ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu tipe ekosistem, lama pemasangan perangkap maupun perbedaan
ketiggian. Di T.N Kayan Mentarang dan T.N Gunung Pangrango cenderung
disebabkan oleh tingginya keragaman dan kekayaan lingkungan termasuk jenis
satwa yang hidup pada lingkungan ekositem tersebut, sehingga mendapatkan
keragaman jenis dan kelimpahan individu kumbang tinja scarabaeidae yang lebih
banyak. Sementara pada kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung mempunyai
lingkungan ekosistem yang rendah.
Kombinasi suhu yang tidak teratur setiap harinya di Taman Wisata Pulau
Situ Gintung mempengaruhi kualitas tinja. Hasil pengukuran suhu dapat dilihat
pada lampiran 3, Kondisi cuaca pada saat pengambilan sampel selalu berubahubah, dimana pada siang hari cuaca sangat cerah dan panas, lalu sore harinya
turun hujan. Pada minggu kelima, kondisi cuaca di Taman Wisata Pulau Situ
Gintung hujan deras, sehingga suhu udara cukup rendah dan kelembaban udara
menjadi lebih tinggi. Pada kondisi lingkungan seperti ini kualitas tinja lebih bagus
dibanding saat cuaca panas. Hal ini mengakibatkan banyak kumbang tinja yang
menghampiri perangkap, terutama dari genus Onthophagus. Spesies ini paling
banyak ditemukan di kedua jenis tinja, khususnya O. variolaris. Spesies ini
ditemukan paling banyak di tinja yang segar dengan kadar air yang tinggi.
Menurut Barbero et al., (1999) dan Errouissi et al., (2004), kondisi mikroklimat
terutama suhu dan kelembaban udara serta kandungan tinja merupakan faktor yang
sangat menentukan komposisi spesies kumbang tinja. Dari penjelasan sebelumnya
bahwa tinja sapi memiliki kadar air dan ratio C/N yang lebih, menyebabkan tinja
sapi lebih lembab jika dibandingkan tinja kuda, sehingga O. variolaris lebih
banyak ditemukan di tinja sapi. Kadar air dalam tinja sapi lebih bertahan lama
karena teksturnya yang halus walaupun sudah beberapa hari sehingga kondisinya
tetap lembab dan selalu menarik O. variolaris untuk menghampirinya.
O. variolaris mengandalkan indera penciuman dan sentuhan untuk mendekati
tinja (Comignan, 1928). Di Prancis, dari 4.276 individu yang mewakili 39 spesies yang
dikumpulkan, meliputi 13 2.750 kumbang spesies Onthophagus lebih menyukai tinja
sapi daripada tinja kuda (Dormont et al., 2004). Faktor-faktor seperti iklim, tanah, dan
jenis tinja semua berkontribusi pada kumbang tinja himpunan area tertentu (Halffter dan
Matthews 1966; Nealis 1977; Fincher 1973).
Genus Onthophagus lebih menyukai tanah berpasir sehingga sebagian
besar hidup di daerah berpasir dengan vegetasi jarang (Halffter dan Matthews 1966).
Pada saat pengambilan sampel, perangkap yang paling banyak ditemukan
O. variolaris adalah yang dipasang di tempat yang vegetasinya sedikit dengan
kondisi tanah yang gembur dan banyak rumput, yaitu pada plot 3 yang berisi tinja
sapi.
Kumbang tinja jenis lain mungkin akan menghampiri perangkap pada hari
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan spesifikasi tertentu dari masing-masing tinja
yang disukai oleh beberapa spesies, seperti tekstur tinja, kesegaran tinja, atau
kandungan serat pada tinja. Spesies yang lainnya yang ditemukan adalah dari genus
Aphodius, yaitu Aphodius marginellus. Spesies ini memanfaatkan tinja sebagai
tempat menyimpan larva dan bagi kumbang Aphodius dewasa, tinja tersebut
dijadikan sebagai bahan makanan mereka (Halffter dan Matthews 1966).
4.2 Jenis Kumbang Tinja Berdasarkan Jenis Tinja
Tingkat kelimpahan jenis merupakan salah satu ukuran penting
keanekaragaman yang dihitung berdasarkan kelimpahan individunya, hal tersebut
dapat dilihat dari nilai indeks keragaman Shannon-Winner (H')
Tabel 2. Jumlah Spesies (S), Jumlah Individu (N), Indeks Keragaman ShannonWinner (H') dan Evennes (E) Indek Kesamaan (IS) Sorensen Kumbang
Tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung
Jenis Tinja
Tinja Kuda
Tinja Sapi
S
5
5
N
166
272
H’
0,544
0,697
E
0,338
0,433
IS
0,8
Nilai keragaman (H') dan Evennes (E)
Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada jenis tinja sapi
dan kuda dapat dilihat pada Gambar 7.
H'; sapi; 0,697
H'; kuda; 0,544
E; sapi; 0,433
E; kuda; 0,338
H'
E
Jenis Tinja
Gambar 7. Keragaman Kumbang tinja berdasarkan indeks Shannon-Winner
(H’) dan Evennes-nya (E) pada tinja kuda dan sapi
Berdasarkan dari hasil perhitungan nilai keragaman jenis kumbang tinja
pada jenis tinja tercantum pada tabel 2 dan gambar 7, keduanya sama-sama
memiliki nilai keragaman jenis yang rendah, yaitu 0,544 untuk kuda dan 0,697
untuk sapi dengan jumlah 5 jenis. Menurut Magurran, (1988) indeks
keanekaragaman jenis (H') berkisar antara 1,5-3,5. Nilai H'<1,5 menunjukkan
keanekaragaman rendah. Nilai H' diantara 1,5-3,5 menunjukkan keanekaragaman
sedang dan jumlah H'>3,5 menunjukkan keanekaragaman tinggi.
Bila
keanekaragaman Scarabaeidae ini menunjukkan kualitas yang rendah, maka
keberadaan Scarabaeidae di dalam suatu ekosistem merupakan terutama salah satu
kunci di dalam daur bahan.
Jumlah Scarabaidae yang sedikit menunjukkan lambatnya daur bahan di
ekosistem tersebut, karena organisme yang pendaur tidak banyak keberadaannya
di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Hasil analisis data dengan menggunakan
indeks keragaman Shanon Winner menunjukan adanya perbedaan tingkat
keragaman dan Evennes pada masing-masing jenis tinja.
Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis kumbang tinja
berdasarkan jenis tinja yaitu tinja kuda dan tinja sapi diperoleh nilai kesamaan
yang sama yaitu (0,8) atau 8%. Hal ini menunjukkan keanekaragaman jenisnya
sama atau tidak ada perbedaan. Menurut Magurran (1988), indeks Sorensen yang
mendekati 100% berarti keanekaragaman mendekati sama. Hal ini menunjukkan
bahwa walaupun kelimpahannya berbeda, jenis-jenis kumbang tinja yang
ditemukan di tinja sapi dan tinja kuda sama.
4.3. Deskripsi Kumbang Tinja yang ditemukan di Taman Wisata Pulau Situ
Gintung
Dari hasil sampel yang ditemukan jenis kumbang tinja terdiri dari 6 jenis
yaitu sebagai berikut:
1. .Aphodius marginellus
Aphodius marginellus yang ditemukan pada penelitian ini memiliki
pronotum berwarna hitam kecoklatan berlubang-lubang kecil terdapat bulu
halus, elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam kecoklatan
mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Pada bagian
abdomen memiliki 5-6 segmen gabungan dan ukuran tubuhnya rata-rata
4,9 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum
Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.
Gambar 8. Aphodius marginellus
2. Onthophagus collfsi
Onthophagus collfsi yang ditemukan pada penelitian ini memiliki
pronotum berwarna hitam kelam berlubang-lubang kecil dan terdapat bulu
halus, elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam mengkilat
menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Spesies ini memiliki
abdomen dengan 5-6 segmen gabungan, tarsus dan tibia 5 ruas dan ukuran
tubuh 7,8 mm Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di
Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.
Gambar 9. Onthophagus collfsi
3. Onthophagus liliputanus
Onthophagus liliputanus ditemukan pada penelitian ini pada
bagian kepalanya mempunyai tanduk dan pronotum berwarna hitam kelam
berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus. Elytra keras bergaris-garis
vertikal berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan
berbulu halus, tarsus dan tibia 5 dan ukuran tubuhnya sekitar 3,5 mm
Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum
Bogoriense LIPI Cibinong.
Gambar 10. Onthophagus liliputanus
4. Onthophagus luridipennis
Onthophagus luridipennis ditemukan pada penelitian ini memiliki
pronotum berwarna hitam kusam berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus,
pada bagian Kepala terdapat 2 tanduk. Elytra keras bergaris-garis vertikal
berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus,
tarsus dan tibia memiliki 5 ruas dan ukuran tubuhnya sekitar 6,7 mm. Spesies ini
sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI
Cibinong.
Gambar 11. Onthophagus luridipenni
5. Onthophagus trituber
Onthophagus trituber ditemukan pada penelitian ini memiliki
antena meluas menjadi struktur seperti kepingan yang dapat dibentangkan
secara lebar (phyllophaga), di kepala terdapat 2 tanduk. Pronotum
berwarna hitam mengkilat berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus dan
terdapat 3 tonjolan. Bagian elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna
hitam belang-belang coklat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu
halus. Abdomen memiliki 5-6 segmen gabungan, tarsus dan tibia memiliki
5 ruas dan ukuran tubuhnya 6,7 mm. Spesies ini sudah dibandingkan
dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.
Gambar 12. Onthophagus tritube
6. Onthophagus variolaris
Onthophagus variolaris ditemukan pada penelitian ini pada antena
meluas menjadi struktur seperti kepingan yang dapat dibentangkan secara
lebar (phyllophaga). Pronotum berwarna hitam mengkilat berlubanglubang kecil terdapat bulu halus, bagian elytra keras bergaris-garis vertikal
berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu
halus. Abdomen dengan 5 - 6 segmen gabungan, tarsus dan tibia memiliki
5 ruas, tetapi di bagian tarsus terdapat koksa dan ukuran tubuhnya sekitar
4,6 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum
Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.
Gambar 13. Onthophagus variolaris
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Keanekaragaman kumbang tinja Scarabaeidae di kawasan Kaman Wisata
Pelau Situ Gintung adalah
438 individu, 2 genus dan 6 jenis yaitu
Aphodius marginellus, Onthohpagus collfsi, O.liliputanus, O.ludipennis,
O.trituber, O.variolaris. kelimpahan individu kumbang tinja Scarabaeidae
pada setiap genus yang tinggi adalah pada Onthophagus variolaris adalah
329 individu.
2. Keanekaragaman kumbang tinja Scarabaeidae yang ditemukan di tinja sapi
dan kuda cenderung sama.
5.2. Saran
Penelitian ini merupakan studi awal tentang keragaman jenis kumbang
tinja Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Hasil yang diperoleh
masih dibutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut sehingga dapat memonitor
keberadaan dan keberlangsungan hidap kumbang tinja Scarabaeidae.
41
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M dan S. Kahono. 2003. Serangga Tanaman Nasional Gunung Halimun
Jawa Bagian Barat (Edisi I). Biodiversity Conservation Project. LIPI. Bogor.
Andresen, E. 2001. Effect Of Dung Presence, Dung Amonunt And Secondary
Dispersal By Dung Beetles On The Fate Of Micropholis Guyanensis
(Sapotaceae) Seeds In Central Amazonia. Journal of Tropical Ecology
17:61-78.
Anonimus, 2007. http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:qoyAX8
Bwab8J :www.unsjournals.com/D/D0602/D0602pdf/D060215.pdf+struktur
+komunitas+guild+pada+kumbang+scarabaeidae&hl=id&gl=id170709gu
ild. Akses 17 Juli 2009.
Barbero E, Palestrini C, Rolando A. 1999. Dung bettle conservation: effects of
habitat and resource selection (Coleoptera: Scarabaeoidea) Journal of Insect
Conservation 3: 75-84.
Bima.
2007.
Penangkaran
Kupu-kupu
di
Kepulauan
http://www.pulauseribu.net. Akses tanggal 14 Februari 2009.
Seribu.
Bornemissza, G. F. 1970. Insectary Studies On The Control Of Dung
Breedingflies by the Activity Of The Dungg Beetle. CSIRO Camberra.
Pedobilogoa.
Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi ke 6. Diterjemahkan oleh Soeriyono Partospoedjono. UGM
Press. Yogjakarta.
Britton, E.B. 1970. Coleoptera. The Insects of Australia, Division of Entomology,
CSIRO Canberra. 30 : 495-621.
Campbell, N.A., Reece, J. B., Mitchell, L. G. 2002. Biolog edisi Kelima.Penerbit
Erlangga. Jakarta
Collins, S. L. dan Glenn, S. M. 1997. Intermediate Distrubance and its
Relationship to within - and between – patch dynamics. New Zealand
Journal of Ecology 21 (1): 103 – 110.
Comignan, J.1928 Note Preliminarie sur le rÏle de l'olfaction chez (Scarabaeus
semipunctatus) L. Journal Bulletin de la Societe Entomologique de France
14 214-216.
42
Davis, A. J. Holloway, J. D. Huijbregts, H. Krikken. J, Sutton. 2001. Dung
Beetles As Indicators of Change in the Forests of Northen Borneo. Journal
of Aplied Ecology. 38:593-616.
Djuhanda, Tatang.1984.Analisa Struktur Vertebrata Jilid 2. Armico.Bandung
Dormont, L., G. Epinat and J.-P. Lumaret. 2004. Trophic Preferences Mediated by
olfactory cues in dung beetles colonizing cattle and horse dung. Environ.
Lingkungan. Entomol. Entomol. 33 33 (2): 370-377
Doube, B.M. 1991. Dung Beetle of Southern Afrika. Princeton University Press.
Pp. 133-155.
Double, B. M. 1983. The Habitat Prefernce Of Some Bovine Dung Beetle
(Coleoptera: Scarabaeidae). In Hluhluwe Game Reserve, South Africa.
Bull.ent. Res. 73(3):357/371.
Errouissi, F.S.Haloti.P.J.Robert, A.J. Idrissi,and J.P. Lumaret. 2004. Effect of the
attictiveneess For dung beetles Of dung pat Origin and size alog
climaticgradient. Environ mental.Entomology 33(1):45-53.
Estrada A, G Halffer, R Coates-Estrada, DA Merrit. 1998. Dung Bettles attracted
to Mammalia Herbivor (Alouatta palliata) and Omnivora (Nasua marica)
Dung in the Tropical Rain Forest Of Los Tuxtlas, Mexico., Journal Of
Trofical Ecology.
Fardila, D. 2008. Pengaruh Tipe Lahan Terhadap Komunitas Burung di Kawasan
Bandung Bagian Barat. Tesis. ITB. Bandung.
Ferianita, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Fincher, G. T., Robert and T. B. Stewart. 1971. Flight Activity Of Coprophagous
Beetle On Swine Pasture. Ann. Ent. Soc. America 64(4):855-857.
Gittings, T., P.S. Giller, and G. Stakelum. 1994. Dung Decomposition In
Contrasting Temperate Pastures In Relation To Dung Beetle And
Earthworth Activity. Pedobiologia 38: 455-474.
Halffter, G., and E. G. Matthews 1966. The natural history of dung beetles of the
subfamily Scarabaeinae (Coleoptera: Scarabaeidae). Fol. Entomol. Mex. 1214: 1-312.
Haski I, and Y. Cambefort. 1991. Dung Beetle Ecology. Princeton, New Jerrsey.
Princeton University Press.
Lingaiah V. and Rajasekaran P. 1986. Biodigestion Of Cowdung And Organic
Wastes Mixed With Oil Cake In Relation To Energy in Agricultural Wastes
17(1986): 161-173
Maria. 1996. Pesona Dunia Kumbang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Magurran A.E. 1988. Ecological diversity and its measurements. London:
Croom Helm Limited. London.
Maulinda, D. 2003. Keragaman kumbang (Coleoptera: insecta) di Taman
Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi. IPB. Bogor.
Naifian. 2006. Kumbang Gunakan Sinar Bulan untuk Menentukan Arah.
naifian.blogspot.com akses 20 Juli 2009
Noerdjito, W.A. 2003. Keragaman Kumbang (Coleoptera). Dalam : Amir, M. dan
S. Kahono. (ed). Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian
Barat. Bogor: JICA Biodiversity Conservation Project.
Noonan, K. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati : Praktek Unggulan
Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk industri pertambangan
Terjemahan Oleh: Global Village Translations Pty Ltd. Commonwealth
Copyright Administration, Intellectual Property Branch, Department of
Communications, Information Technology and the Arts, GPO Box 2154,
Canberra ACT 2601. http://www.dcita.gov.au/cca. Akses 17 Juli 2009.
Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Samways, M, J. 1994. Insect Conservation Biology. Chapman dan Hall. New
York.
Sato, H. 1997. Two Nesting Behaviors And Life History Of Subsocial African
Dung-Rolling Beetle, Scarabaeus catenatus (Coleoptera: Scarabaeidae).
Journal of Natural History 31:457-469.
Setiadi, L. K. 2004. Kenekaragaman dan Distribusi Kumbang Tinja (Scarabaidae:
Choleptera) di Taman Nasional Gunung Pangrango Jawa Barat. Skripsi.
Biologi Universitas Nusa Bangsa. Bogor.
Shahabuddin. 2007. Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Keanekaragaman
Kumbang Koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) dan Dekomposisi Kotoran
Hewan: Studi Khusus pada Pinggiran Hutan di Taman Nasional Lorelindu,
Sulawesi Tengah. Tesis. IPB. Bogor.
Thomas, M. L. 2001. Dung Beetle Benefits in the Pasture Ecosystem. NCTA
Agriculture intern. www.Attra.Org/attra-pub/PDF/dung beetle.Pdf. Akses
17 Juli 2009.
Ville. 1988. Zoology Umum. Jilid 1. Erlangga. Jakarta
Vulinuc, K. 2000. Dung beetles (Coleoptera:Scarabaeidae), monkrys and
conservation in Amazonia. Florida Entomologist 83 (3):229-241.
Waterhouse, D. F. 1974. The Biological Control Of Dung. In Thomas Eisner And
Edward. Wilson Fransisco.
Westerwalbesloh, S.K., F.K. Krell, and K.E. Linsenmair. 2004. Diel Separation of
Afrotropical Dung Beetle Guilds-Avoiding Competition and Neglecting
resource (Coleoptera: scarabaeodea). Journal of Natural History.
Lampiran
Lampiran 1. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Kuda
No
1
2
3
4
5
Nama Spesies
Aphodius marginellus
Onthophagus collfsi
O. luridipenis
O. trituber
O. variolaris
ni
2
2
2
29
131
166
(ni/N)Pi
0,012
0,012
0,012
0,174
0,789
Pi ln Pi
0,012 x -4,423 = -0,053
0,012 x -4,423 = -0,053
0,012 x -4,423 = -0,053
0,174 x -1,749 = -0,304
0,789 x -0,237 = -0,187
0,544
H' = - ∑ Pi ln Pi = - (-0,544) = 0,544
E=
H'
0,544
=
= 0,338
ln S
1,609
H' < 1,5
H' (0,338) < 1,5 jadi nilai keragamannya rendah
Lampiran 2. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Sapi
No
1
2
3
4
5
Nama Spesies
Aphodius marginellus
Onthophagus collfsi
O. liliputanus
O. trituber
O. variolaris
ni
3
6
6
59
198
166
(ni/N)Pi
0,011
0,022
0,022
0,217
0,728
Pi ln Pi
0,011 x -4,510 = -0,05
0,022 x -3,817 = -0,084
0,022 x -3,817 = -0,084
0,217 x -1,528 = -0,332
0,728 x -0,317 = -0,231
0,697
H' = - ∑ Pi ln Pi = - (-0,697) = 0,697
E=
H' = O,697 = 0,433
ln S
1,609
H' < 1,5
H' (0,433) < 1,5 jadi nilai keragamannya rendah
IS =
2C
2x4
=
= 8 = 0,8
A+B
5+5
10
46
Lampiran 4. Tabel Distribusi Kumbang Tinja di Wilayah Indonesia dari
Koleksi Ilmiah MZB, P2B-LIPI
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
49
40
41
42
43
Jenis
Phacosoma punctatus
Paragymnopleurus sparsus sharp
Paragymnopleurus sparsus sharp
Paragymnopleurus sparsus sharp
Paragymnopleurus molosus
Paragymnopleurus molosus
Paragymnopleurus molosus
Paragymnopleurus molosus
Paragymnopleurus molosus
Paragymnopleurus molosus
Paragymnopleurus molosus
Onthophagus waterstradli Bouc
O. variolaris
O. variolaris
O. valiolaris
O. tricornis
O. tricornis
O. tricornis
O. sumatranus
O. sumatranus
O. sumatranus
O. sumatranus
O. rudis
O. rudis
O. rudis
O. rudis
O. rudis
O. pouper Bouc
O. pacificus
O. pacificus
O. pacificus
O. melangensis
O. leavis Har
O. javanensis
O. incisus
O. incisus
O. incisus
O. hanskins sp
O. foedus
O. dresceru
O. diabolicus
O. diabolicus
O. diabolicus
Lokasi
Jawa Barat
Kalimantan Timur
Kalimatan
Jawa Timur
Sumatera Aceh TN Leuser
Sulawesi
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Belitung
Kalimantan Timur
Papua
Kalimantan Timur
Jawa Timur
Sulawesi
Jawa Timur
Jawa Tengah
Sumatera Aceh TN Leuser
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jawa Tengah
Sumatera Aceh TN Leuser
NTT (fases rusa)
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jawa Tengah
Jawa Barat (Bogor)
Sumatera Aceh TN Leuser
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Kalimantan Timur
Papua
Sumatera Aceh TN Leuser
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Jawa Barat
JawaBarat
Sulawesi
Kalimantan Timur
Jawa Timur
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
O. diabolicus
O. diabolicus
O. diabolicus
O. diabolicus
O. avoceta Arrow
O. aurifex Har
O. aurifex Har
O. angustatus Bouc
O. angustatus Bouc
O. angustatus Bouc
Copris synopsis Bates
Copris punctulatus
Copris punctulatus
Copris punctulatus
Copris punctulatus
Copris agnus Sharp
Copris agnus Sharp
Catarsius molosus
Catarsius molosus
Catarsius molosus
Catarsius molosus
Jawa Tengah G Slamet
Sumatera Aceh TN Leuser
Jawa Timur G Raung
Jawa Tengah G Slamet
Kalimantan Timur
Sumatera Aceh TN Leuser
Kalimantan Barat
Sumatera Aceh TN Leuser
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Jawa Barat
Sumatera Barat
Sulawesi
Jawa Timur
Jawa Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Sumatera Aceh TN Leuser
Kalimantan Timur
Jawa Timur
Jawa Tengah
Lampiran 5. Gambar Taman Wisata Pulau Situ Gintung
Download