KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI KAWASAN TAMAN WISATA PULAU SITU GINTUNG TANGERANG BANTEN MAWARSIH PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI KAWASAN TAMAN WISATA PULAU SITU GINTUNG TANGERANG BANTEN SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta MAWARSIH 104095003060 PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M / 1432 H ABSTRAK MAWARSIH. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten. Dibimbing oleh: Narti Fitriana dan Fahma Wijayanti. Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti dari konservasi biologi. Kerusakan bendungan di kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Salah satu bioindikator stabilnya ekosistem suatu tempat adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang koprofagus yang termasuk famili Scarabaeidae. Penelitian ini dilakukan di lahan hijau kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menggunakan metode survei. Sampel menggunakan baited pitfall trap yaitu perangkap dengan kotoran kuda dan sapi, yang dipasang secara acak dan dibiarkan selama 5 hari. Spesimen yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya kemudian diidentifikasi. Sebanyak 438 individu kumbang tinja diperoleh pada penelitian ini, terdiri dari genus Aphodius dan Onthophagus serta kumbang dari famili lainnya yaitu famili Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Siphidae. Onthophagus merupakan genus dominan yang terdiri dari 5 spesies. Berdasarkan nilai indeks keragaman Shannon Wiener diperoleh nilai yang tergolong rendah yaitu 0,544 pada tinja kuda dan 0,697 pada tinja sapi. Nilai keseragaman pada tinja kuda yaitu 0,338 dan pada tinja sapi 0,433. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis kumbang tinja diperoleh nilai kesamaan yaitu 0,8. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan taman wisata pulau Situ Gintung memiliki keanekaragaman kumbang tinja yang rendah karena kerusakan bendungan mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem di kawasan ini. Kata Kunci: Scarabaeidae, Tinja kuda, Tinja sapi, Nilai keragaman, Taman Wisata Pulau Situ Gintung. ABSTRACT MAWARSIH. The Abundance and Diversity of Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae) in The Theme Park Situ Gintung Island Tangerang Banten. Advisor Narti Fitriana and Fahma Wijayanti. Biodiversity can be defined as the core of conservation biology. The dam damaged in the theme park Situ Gintung island caused a decline in biodiversity. One bioindicator stable ecosystem is a place of dung beetle or beetles belonging to the family Scrabaeidae koprofagus. The research has been conducted to determine the abundance and diversity of beetles Scarabaeidae in Situ Gintung island, and the different types of beetles Scarabaeidae in horse and cow feses ABSTRAK MAWARSIH. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten. Dibimbing oleh: Narti Fitriana dan Fahma Wijayanti. Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti dari konservasi biologi. Kerusakan bendungan di kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Salah satu bioindikator stabilnya ekosistem suatu tempat adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang koprofagus yang termasuk famili Scarabaeidae. Penelitian ini dilakukan di lahan hijau kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menggunakan metode survei. Sampel menggunakan baited pitfall trap yaitu perangkap dengan kotoran kuda dan sapi, yang dipasang secara acak dan dibiarkan selama 5 hari. Spesimen yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya kemudian diidentifikasi. Sebanyak 438 individu kumbang tinja diperoleh pada penelitian ini, terdiri dari genus Aphodius dan Onthophagus serta kumbang dari famili lainnya yaitu famili Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Siphidae. Onthophagus merupakan genus dominan yang terdiri dari 5 spesies. Berdasarkan nilai indeks keragaman Shannon Wiener diperoleh nilai yang tergolong rendah yaitu 0,544 pada tinja kuda dan 0,697 pada tinja sapi. Nilai keseragaman pada tinja kuda yaitu 0,338 dan pada tinja sapi 0,433. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis kumbang tinja diperoleh nilai kesamaan yaitu 0,8. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan taman wisata pulau Situ Gintung memiliki keanekaragaman kumbang tinja yang rendah karena kerusakan bendungan mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem di kawasan ini. Kata Kunci: Scarabaeidae, Tinja kuda, Tinja sapi, Nilai keragaman, Taman Wisata Pulau Situ Gintung. ABSTRACT MAWARSIH. The Abundance and Diversity of Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae) in The Theme Park Situ Gintung Island Tangerang Banten. Advisor Narti Fitriana and Fahma Wijayanti. Biodiversity can be defined as the core of conservation biology. The dam damaged in the theme park Situ Gintung island caused a decline in biodiversity. One bioindicator stable ecosystem is a place of dung beetle or beetles belonging to the family Scrabaeidae koprofagus. The research has been conducted to determine the abundance and diversity of beetles Scarabaeidae in Situ Gintung island, and the different types of beetles Scarabaeidae in horse and cow feses which determined by survey methods. Samples used the usual pitfaill trap that was a trap baited with horse and cow feces which was set at random and left for 5 days. Obtained speciments grouped by morphology and then identified. A total of 438 individuals dung beetle obtained in this study, consisting of the genus Aphodius, Onthophagus and other beetles from the family of the Carabidae, Chysomalidae, Colydidae and Siphidae. Onthophagus is the dominant genus of 5 species. According to the Shannon Wiener diversity index, the result showed that the value was relatively low at 0.544 in horse feces and 0.697 in cow feces. The value of uniformity in the feces of horse at 0.338 and 0.43 in cow feces, whereas the similarity value according to the Sorensen similarity calculation on the type of bettle feces was 0.8. Based on this research, the theme park Situ Gintung island has a low diversity of dung bettle due to the dam damage causing the ecosystem in this region becomes unstable. Keywords: Scarabaeidae, Horse feces, Cow feces, Diversity value, Theme park Situ Gintung island. KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., sehingga atas limpahan rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di KawasanTaman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten”. Namun semua ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kedua orangtua (H. Mukri dan Hj. Sumarti) atas kasih sayang, nasihat dan do’a tulus yang selalu dipanjatkan yang mengiringi perjalanan hidup penulis. Saudara-saudaraku (Erni Zulianti, Kak Hariadi, Kak Kasuwan, Kak Sutikno, Mbak Sus, Mbak Srimonah, Mbak Kastiyam, Dewi L, dan Zeni) yang selalu memberikan nasihat, motivasi, dan bantuan kepada penulis. 2. Narti Fitriana, M.Si selaku pembimbing I dan Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku pembimbing II yang sangat baik, selalu memberikan arahan, nasihat dan masukan materi selama pelaksanaan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. 5. Drs. Paskal Sukandar, M.Si dan Dini Fardilah, M.Si., selaku Penguji Seminar Hasil I dan II yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Dr.Lily Surayya E.P, M. Env. Stud dan Dini Fardila M.Si., Penguji Munaqosah I danII yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Lilik Kundar Setiadi, S.Si yang telah memberikan nasihat, saran dan pinjaman literatur selama penyusunan skripsi ini. 8. Heru Prasetyanto selaku manajer Taman Wisata Pulau Situ Gintung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di area Situ Gintung. 9. Sahabatku Fitriyah S.Si dan Zulfanah S.Si (MTV) yang telah memberikan semangat dan keceriaanya dalam kehidupanku. 10. Teman-teman terbaikku Neni N S.Si, Sarah M S.Si, Khoirul Bariyah S.Si, Mutiara RSDG S.Si dan semua teman Biologi angkatan 2004 atas kebersamaan selama kuliah. 11. Teman-teman D’kosan (Sofiah R, S.Si, Khayu W, S.Si, dan Novi P, S.Si, dan Nely S.Kom) yang telah membantu penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini. 12. Farida Ahmad, S.Si yang telah sabar menghadapi penulis selama penelitian di laboratorium. 13. Semua dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. 14. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa tiada gading yang tak retak, masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pada bidang biologi. Jakarta, September 2011 Penulis DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ..................................................................................................... i ABSTRACT ................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ......................................................................... 1 1. 2. Perumusan Masalah ................................................................. 4 1. 3. Hipotesis ................................................................................... 4 1. 4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5 1. 5. Manfaat Penelitian ................................................................... 5 1. 6. Kerangka Berfikir ..................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Kumbang Tinja ......................................................................... 7 2. 1. 1. Klasifikasi ................................................................... 7 2. 1. 2. Morfologi .................................................................... 9 2. 1. 3. Siklus Hidup ................................................................ 10 2. 1. 4. Ekologi ........................................................................ 12 2. 1. 5. Peran Kumbang Tinja dalam Ekosistem ..................... 13 2. 1. 6. Aktivitas Kumbang ..................................................... 15 2. 2. Hubungan Kumbang dengan Kotoran ...................................... 16 2. 3. Perbedaan Sistem Pencernaan Sapi dan Kuda ......................... 18 2. 4. Penurunan Keanekaragaman Akibat Perubahan Lahan ........... 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 22 3. 2. Bahan dan Alat ......................................................................... 23 3. 3. Cara Kerja ................................................................................ 24 3. 3. 1. Metode Penelitian ........................................................ 24 3. 3. 2. Pengambilan Sampel ................................................... 25 3. 3. 3. Identifikasi Serangga di Laboratorium ........................ 26 3. 3. 4. Analisis Data ............................................................... 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelimpahan Kumbang Tinja ..................................................... 29 4.2. Jenis Kumbang Tinja Berdasarkan Jenis Tinja ......................... 34 4.3. Deskripsi Kumbang Tinja yang Ditemukan Di Taman Wisata Pulau Situ Gintung .................................................................... 36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan ............................................................................... 41 5. 2. Saran ......................................................................................... 41 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 42 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bagian-Bagian Tubuh Kumbang (Maria, 1996) ........................... 9 Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Sihkahona, 2003) ................. 11 Gambar 3. Kumbang Tinja Menggelinding Kotoran ...................................... 18 Gambar 4. Denah Posisi Pemasangan Perangkap di Taman Wisata Pulau Situ Gintung ....................................................................... 23 Gambar 5. Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung ................................ 25 Gambar 6. Perangkap Baited Pitfall Trap ....................................................... 26 Gambar 7. Keanekaragaman Kumbang Tinja Berdasarkan Indeks Shannon-Wienner(H') dan Evennes (E) pada tinja kuda dan sapi . 34 Gambar 8. Aphodius marginellus .................................................................... 36 Gambar 9. Onthopagus collfsi ......................................................................... 37 Gambar 10. Onthopagus liliputanus ............................................................... 38 Gambar 11. Onthopagus luridipennis ............................................................. 38 Gambar 12. Onthopagus trituber .................................................................... 39 Gambar 13. Onthopagus variolaris ................................................................ 40 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jenis-jenis tinja yang ditemukan disekitar kawasan taman pulau Situ Gintung ....................................................................................... 29 Tabel 2. Jumlah Spesies (s), jumlah individu (N), Indeks Keragaman Shannon Winner (H’) dan Evennes (E) Indeks Kesamaan Sorensen (IS) Kumbang tinja di Kawasan Situ Gintung ................................... 34 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tabel Keragaman Kumbang Tinja Scarabaeidae pada Tinja Kuda .................................................................................. 46 Lampiran 2. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Sapi ........ 46 Lampiran 3. Faktor Abiotik ............................................................................ 47 Lampiran 4. Tabel distribusi kumbang tinja di wilayah Indonesia dari Koleksi ilmiah MZB, P2B – LIPI .............................................. 48 Lampiran 5. Gambar Taman Wisata Pulau Situ Gintung ............................... 50 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti konservasi biologi yang melibatkan keanekaragaman habitat sebagai hidup semua organisme di bumi. Keanekaragaman merupakan sifat komunitas yang menunjukkan tingkat keragaman antara anggota-anggota komunitas yang ada di dalamnya. Kenekaragaman hayati dapat diidentifikasi dengan jalan mengklasifikasikan secara morfologi, fisiologi, perilaku maupun ciri-ciri lainnya. Dengan adanya klasifikasi maka dapat diketahui adanya peran dan manfaat setiap spesies dalam suatu komunitas. Tujuan penelitian kenekaragaman itu sendiri adalah untuk menemukan keseimbangan optimal antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kehidupan manusia yang berkelanjutan (Noonan, 2007). Keanekaragaman hayati dapat menyusut akibat adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa hal yang ikut berperan dalam menurunkan keanekaragaman hayati antara lain hilangnya habitat akibat alih fungsi lahan, masuknya spesies baru, perubahan iklim global, pencemaran lingkungan dan pembangunan. Seluruh aktivitas ini banyak menghambat regenerasi alami sehingga dapat mengakibatkan kepunahan jenis dan mengancam lingkungan alami (Samways, 1994). Menurut Setiadi (2004) pada beberapa tahun terakhir sebagian besar habitat serangga di lingkungan alami telah mengalami kerusakan dengan laju yang sangat tinggi, sehingga mengakibatkan penurunan keanekaragaman spesies yang menghuninya. Salah satu penyebab penurunan keanekaragaman spesies yang paling utama adalah aktivitas manusia. Selain itu perubahan lahan alami menjadi lahan buatan seperti pertanian dan pemukiman penduduk juga mempengaruhi keanekaragaman spesies. Situ Gintung merupakan kawasan wisata alam yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan dengan luas daratan sebesar 5 hektar dengan vegetasi meliputi pepohonan dan rumput-rumputan. Seiring berkembangnya pembangunan kota, daerah di sekeliling Taman Wisata Pulau Situ Gintung yang semula merupakan perkebunan palawija dan sawah telah berubah menjadi pemukiman penduduk dan tempat rekreasi wisata alami, Sedangkan lahan pertanian hanya beberapa meter saja yang masih dipertahankan oleh penduduk. Saat ini Taman Wisata Pulau Situ Gintung masih dalam kondisi yang tidak stabil dikarenakan terjadinya kerusakan bendungan sehingga menyebabkan perubahan pada kondisi danau. Kawasan yang dahulunya didominasi oleh perairan sekarang menjadi lahan hijau yang didominasi rumput-rumputan. Perubahan ini diperkirakan merupakan penyebab terjadinya penurunan keanekaragaman hayati di Situ Gintung. Di dalam suatu ekosistem, serangga banyak bertindak sebagai penyangga keanekaragaman. Salah satu kelompok Coleoptera yang berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan suatu ekosistem adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang koprofagus yang termasuk dalam famili Scarabaeidae. Kumbang koprofagus banyak digunakan sebagai bioindikator stabilnya ekosistem karena tersebar luas pada berbagai tipe ekosistem, spesiesnya beragam, mudah dicuplik dan memiliki peran yang penting secara ekologis. Kumbang tinja berperan dalam penguraian kotoran hewan sehinggga terlibat dalam siklus hara dan penyebaran biji-biji tumbuhan yang terbawa melalui kotoran. Dengan demikian, kumbang tinja merupakan bagian yang penting dalam ekosistem untuk mempertahankan keseimbangan alam dan rantai makanan. Kumbang koprofagus juga sering digunakan sebagai bioindikator tingkat kerusakan suatu habitat pada umumnya karena struktur komunitas dan distribusi kumbang koprofagus sangat dipengaruhi oleh tipe vegetasi, tipe tanah, jenis kotoran dan musim (Doube, 1991; Davis et al., 2001). Kumbang koprofagus memiliki hubungan yang erat dengan mamalia (Estrada, 1998). Tinja mamalia merupakan makanan dan media peletakan telur kumbang Scarabaeidae dan hubungan keduanya menunjukkan distribusi dari kumbang tinja. Kotoran yang dikeluarkan oleh hewan mamalia memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam. Kotoran karnivora memiliki ciri-ciri ujung kerucut dan pangkal bulat sedangkan pada herbivora memiliki ciri-ciri bentuk bulat menyerupai kue. Kotoran kaya akan nutrien seperti protein, lemak, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Kotoran pada hewan dihinggapi beberapa macam serangga. Menurut Hanski dan Cambefort (1991), kumbang tinja banyak ditemukan di kotoran hewan mamalia dari golongan herbivora. Sampai saat ini belum diketahui penelitian tentang kelimpahan dan keanekaragaman kumbang tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung, serta perbedaan jenis tinja terhadap kelimpahan Scarabaeidae. Melihat pentingnya keberadaan dan peranan kumbang tinja dalam merombak kotoran hewan, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe lahan dan jenis kotoran hewan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman kumbang tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Dalam penelitian ini, kumbang tinja dicuplik dengan perangkap yang diberi umpan kotoran hewan herbivora yang berbeda. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kelimpahan dan keanekaragaman jenis kumbang tinja Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. 2. Bagaimanakah perbedaan jenis kumbang Scarabaeidae di tinja kuda dan tinja sapi. 1.3. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis kumbang tinja Scarabaeide di Taman Wisata Pulau Situ Gintung tinggi. 2. Terdapat perbedaan jenis kumbang tinja Scarabaeidae di tinja kuda dan tinja sapi. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman kumbang Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. 2. Untuk mengetahui perbedaan jenis kumbang Scarabaeidae ditemukan di tinja kuda dan tinja sapi. yang 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Dapat memberikan informasi tentang kondisi ekosistem di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. 2. Memberikan informasi perbedaan jenis dan kelimpahan kumbang tinja di tinja sapi dan tinja kuda. 1.6. Kerangka berfikir Aktivitas manusia Perubahan habitat Kumbang koprofagus Scarabaeidae Mamalia herbivora Kotoran Keanekaragama n hayati BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kumbang Tinja 2.1.1. Klasifikasi Coleoptera merupakan salah satu ordo dari kelas Insekta yang mudah dibedakan dari ordo lainnya. Dalam bahasa sehari-hari Coleoptera biasa disebut kumbang. Karakter khas dari kumbang adalah memiliki sepasang sayap depan yang keras (elytra) yang berfungsi sebagai pelindung bagi sepasang sayap belakang yang tipis dan lunak. Kumbang (Coleoptera) menyusun kelompok terbesar sekisar 40% dari seluruh jenis serangga. Anggotanya diperkirakan lebih dari 350.000 spesies yang sudah diketahui namanya, dengan 30.000 spesies diantaranya ada di Amerika Serikat dan Kanada (Borror et al., 1992), 30.000 spesies di Australia (Amir dan Kahono, 2003), dan di perkirakan sekitar 10% dari jumlah jenis kumbang dunia terdapat di Indonesia. Menurut Borror et al., (1992) kumbang diklasifikasikan dalam Filum; Arthropoda, Subfilum Mandibulata, Kelas Insecta dan Ordo Coleoptera. Kumbang dibagi manjadi 4 Subordo, yaitu Achostemata, Myxophaga, Adephaga dan Polyphaga. Subordo Polyphaga merupakan subordo dengan anggota sekitar 138 famili yang mencakup 90% dari semua Coleoptera, salah satunya Scarabaeidae. Beberapa jenis kumbang Scarabaeidae, yang telah diketahui sebagai perombak kotoran mamalia terbagi dalam dua genus, yaitu genus Onthophagus dan genus Copris. Genus Onthophagus terdiri dari Onthophagus gazella, 7 O. depressus, O. compositus, O. Dunningi. Genus Copris terdiri dari Copris incertus dan C. ribbei (Setiadi, 2004). Di Afrika, telah diketahui sekitar 2.000 spesies kumbang yang hidup pada tinja hewan, tetapi baru beberapa jenis saja yang telah diketahui biologinya (Waterhouse, 1974). Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 1000 spesies kumbang Scarabaeidae (Noerdjito, 2003). Kumbang yang memakan kotoran hewan terdiri dari beberapa famili yaitu Scarabaeidae, Histeridae, Staphylinidae, Hydrophilidae dan Silphidae (Britton, 1970). 2.1.2. Morfologi Kumbang mempunyai tubuh yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu caput (kepala), toraks (dada) dan abdomen (perut). Pada kepala terdapat antena, mata dan mulut. Antena pada Coleoptera mempunyai ruas yang bervariasi, pada kumbang jantan antena kadang-kadang mempunyai ruas ganda dan lebih besar daripada betina. Tipe mulut kumbang adalah penggigit dan pengunyah. Mandibula berkembang dengan baik (Borror et al., 1992). Pada toraks terdapat sepasang sayap. Sayap depan mengeras dan menebal yang disebut elytra berfungsi sebagai pelindung. Pada sayap belakang terdapat membranus yang berfungsi untuk terbang (Borror et al., 1992). Toraks terdiri atas tiga ruas yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Protoraks adalah toraks bagian depan yang berkembang dengan baik, mesotoraks merupakan toraks bagian tengah dan metatoraks merupakan bagian belakang. Pada tiap ruas toraks terdapat sepasang tungkai, umumnya bertipe ambulatorial (berjalan), fusorial (menggali), nafotorial (berenang) dan saltatorial (melompat) (Borror et al., 1992). Abdomen pada Coleoptera terdiri dari 10 segmen pada jantan dan 9 segmen pada betina. Pada segmen pertama terdapat alat pendengaran (membrane tympanum) . Pada setiap segmen juga terdapat juga spirakel yaitu lubang tempat masuknya udara. Pada beberapa jenis kumbang segmen terakhir pada betina menjadi ovipositor atau alat untuk meletakkan telur. Kumbang tinja (dung beetles) dikenal dengan istilah koprofagus. Istilah ini biasanya digunakan pada serangga yang memakan tinja hewan (Fincher et al., 1971). Kumbang-kumbang ini mudah dikenali dengan bentuk tubuhnya yang cembung, bulat telur atau memanjang dengan tungkai bertarsi 5 ruas dan sungut 8-11 ruas dan berlembar. Tiga sampai tujuh ruas terakhir antena umumnya meluas menjadi struktur-struktur seperti lempeng yang dibentangkan sangat lebar atau bersatu membentuk satu gada ujung yang padat. Tibia tungkai depan membesar dengan tepi luar bergeligi atau berlekuk. Pada kelompok kumbang pemakan tinja bentuk kaki ini khas sebagai kaki penggali (Borror et al., 1992). Antena Mata Abdomen Femur Sayap Tarsus Kuku Tibia Gambar 1. Bagian-bagian Tubuh Kumbang Tinja (Maria, 1996) 2.1.3 Siklus Hidup Kumbang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola). Perkembangan lingkaran hidupnya dimulai dari telur, kemudian menetas menjadi larva. Larva berkembang dan setelah mengalami beberapa kali ganti kulit kemudian menjadi pupa. Pupa selanjutnya mengalami perkembangan menjadi kumbang dewasa (Amir dan Kahono, 2003). Siklus hidup kumbang Scarabaeidae ini dapat dilihat pada Gambar 2. Kumbang dewasa bewarna coklat kehitaman. Kumbang dewasa meletakkan telurnya ke dalam tanah yang berukuran kecil berwarna putih bening dengan kedalaman 5 – 20 cm. Kumbang juga meletakkan telurnya di tempat yang sesuai dengan kebutuhan larva, agar larva dapat berkembang dengan baik. Tempat yang baik untuk perkembangan larva yaitu tempat yang banyak mengandung bahan organik seperti pada serasah dan tanah yang subur. Setelah 1 – 2 minggu telur menetas menjadi larva, larva kecil mulai aktif memakan bahan organik atau serasah, setelah cukup umur larva berada di tanah dengan kedalaman kurang lebih 10 – 30 cm. Lamanya larva di dalam tanah berkisar 4 – 6 bulan. Apabila situasi tidak menguntungkan misalnya suhu tidak sesuai atau sangat kering, larva dapat mengalami proses inaktif yang disebut diapause. Bila kondisi sesuai larva akan berubah menjadi kepompong, biasanya dapat ditemukan pada saat musim tanam berikutnya. Kepompong dapat ditemukan di dalam tanah dengan kedalaman 15 – 30 cm. Kepompong yang belum aktif dapat ditemukan pada kedalaman tanah 20 – 30 cm. Kepompong dapat bertahan dalam tanah sampai umur 2 bulan. Setelah adanya kelembaban tanah yang cukup kepompong akan berkembang menjadi kumbang dewasa. Umumnya kumbang dewasa berumur kurang lebih 30 hari. (Anomimus, 2007). Larva 3 Pupa Dewasa Larva 2 Telur Larva 1 Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Kahono, 2003) Larva kumbang memiliki bentuk yang bermacam-macam, diantaranya: 1. Scarabaeiform (tipe C), tubuh lunak, melengkung membentuk huruf C, biasanya larva tidak aktif atau lambat setelah menjadi besar, misalnya larva Scarabidae. 2. Campodeiform, larva kumbang berwarna perak, tubuh memanjang, pipih serta bergerak sangat aktif, misalnya pada kumbang Carabidae. 3. Elateriform, larva yang mirip ulat kawat, kulit badan keras, kaki-kaki pada toraks sangat pendek, misalnya pada kumbang Elateridae. 4. Eruciform, larva kumbang mirip ulat tidak mempunyai kaki abdomen, hidup pada habitat terbuka sebagai pemakan daun atau bunga, misalnya Chrysomelidae (Borror et al., 1992). 2.1.4. Ekologi Anggota Coleoptera (kumbang) pada umumnya dapat hidup hampir di semua habitat dan memakan berbagai jenis bahan tanaman dan hewan, baik yang masih hidup atau mati. Banyak jenis kumbang yang hidup pada permukaan atau di dalam tanah, air, pada cendawan, bagian tanaman yang sehat atau busuk, kotoran hewan atau bangkai (Borror et al., 1992). Semua kumbang tinja adalah scarab tetapi tidak semua scarab merupakan kumbang tinja. Dari berbagai spesies kumbang yang sering ditemukan pada kotoran hewan, yang termasuk kumbang tinja sejati adalah dari superfamili Scarabaeoidea famili Scarabaeidae, Aphodiidae dan Geotrupidae (Cambefort, 1991). Penyebaran kumbang seperti kumbang tinja dipengaruhi oleh keberadaan hewan. Selain itu juga, dipengaruhi oleh bentuk tanah, bentuk kanopi tumbuhan dan cahaya. Tipe tanah dan bentuk tumbuhan sangat berpengaruh terhadap keaktifan maupun distribusi kumbang tinja. Pada daerah bersemak populasi kumbang lebih banyak dibandingkan pada padang rumput, dikarenakan daerah bersemak keadaan lingkungannya lebih sesuai untuk aktivitas terbang (Waterhouse, 1974 dan Double, 1983). Sementara itu pada daerah yang bersemak yang bertanah liat lempung populasi dan spesies-spesies kumbang jauh lebih banyak daripada yang dijumpai di tanah liat berpasir. Hal ini diakibatkan karena kemampuan tanah liat lempung untuk mengikat dan menahan air yang merupakan kebutuhan kumbang tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah liat berpasir. Tipe tanah juga berpengaruh terhadap kelompok kumbang tinja yang ada. Pada tanah yang gembur lebih banyak ditemukan kelompok endokoprid dibandingkan kelompok dweller (Hanski dan Cambefort, 1991). 2.1.5. Peran Kumbang Tinja dalam Ekosistem Kumbang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem, keberadaan kumbang dapat memberikan informasi yang sangat penting dalam studi lingkungan. Dengan perilaku makan dan reproduksi yang dilakukan di sekitar tinja maka kumbang tinja sangat membantu penyebaran dan menguraikan tinja sehingga tidak menumpuk di suatu tempat. Aktifitas ini secara umum berpengaruh terhadap struktur tanah dan siklus hara sehingga juga berpengaruh terhadap tumbuhan di sekitarnya. Dengan membenamkan tinja, kumbang dapat memperbaiki kesuburan dan aerasi tanah, serta meningkatkan laju siklus nutrisi (Andresen, 2001). Kumbang tinja juga sangat berperan dalam mencegah pencemaran tanah pada padang rumput (Gittings et al., 1994). Di Australia kumbang tinja merupakan agen pengendalian hayati yang sangat efektif dalam mengontrol populasi lalat yang banyak berkumpul pada kotoran sapi. Dengan menguraikan kotoran ternak secara cepat dari permukaan tanah maka kumbang tinja mengurangi perkembangbiakan vektor (perantara) berbagai jenis penyakit (Thomas, 2001). Peran penting lainnya dari kumbang tinja dalam ekosistem adalah sebagai agen penyebaran tumbuhan dengan jalan membenamkan biji yang terdapat pada kotoran hewan ke dalam tanah sehingga mendukung terjadinya perkecambahan biji. Biji yang tidak dibenamkan oleh kumbang tinja biasanya sangat rentan untuk berkecambah karena dimangsa oleh predator seperti tikus dan hewan pengerat lainnya (Andersen, 2001). Kumbang tinja sering digunakan sebagai bioindikator tingkat kerusakan hutan tropis dan habitat pada umumnya karena struktur komunitas dan distribusi kumbang tinja sangat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik (Bornemissza, 1970). Sebagian anggota kumbang bersifat menguntungkan bagi manusia, antara lain: 1. Sebagai predator (untuk pengendalian hama) 2. Sebagai penyerbuk 3. Pemakan bahan buangan seperti tinja dan bangkai 4. Mempunyai nilai artistik atau keindahan yang dapat digunakan sebagai hiasan dinding, meja, motif tekstil dan lain-lain (Bima, 2007). Mengingat perannya yang sangat kompleks dan penting dalam ekosistem dan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan manusia, maka penurunan keragaman spesies kumbang tinja akibat kegiatan manusia yang tidak mempertimbangkan kelestarian ekosistem akan menyebabkan kerugian yang luas. Tidak adanya kumbang Scarabaeidae akan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem misalnya, timbuhan tinja dapat menyebabkan musnahnya padang rumput karena tidak ada yang merombaknya. 2.1.6. Aktivitas Kumbang Tinja Kehidupan dan aktivitas kumbang dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti: tipe tanah, suhu, kelembaban, curah hujan, intensitas cahaya dan lain-lain. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor bagi kumbang untuk dapat mengetahui habitat yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Kumbang pada umumnya, aktif pada siang hari (Fincher et al., 1971). Selain itu, faktor biotik seperti predator yang dapat mengendalikan populasi kumbang dengan mempengaruhi mortalitas telur, larva dan kumbang dewasa. Pada malam hari kumbang tinja juga menggunakan sinar bulan untuk menentukan arah. Kumbang tinja mampu menggunakan polarisasi yang tercipta ketika sinar bulan menerpa partikel-partikel kecil di atmosfer untuk menentukan posisinya dan berjalan pada garis lurus. Berkat kemampuan navigasi tersebut, kumbang tinja bisa dengan cepat menggulung dan menggelindingkan kotoran hewan ke sarangnya sehingga terhindar dari pembajakan oleh kumbang lain. Namun demikian saat tidak ada sinar bulan, kumbang tinja tidak bisa menjaga kelurusan jalannya. Hal ini menunjukkan bahwa kumbang menggunakan polarisasi sinar, yang juga berarti bahwa kumbang memiliki banyak waktu untuk mencari makan. Sistem navigasi polarisasi sinar bulan hanya cocok pada kumbang tinja yang hidup di tempat terbuka seperti padang rumput savana (Naifian, 2006). 2.2. Hubungan Kumbang dengan Kotoran Kumbang tinja memerlukan kotoran sebagai makanan untuk kelangsungan hidupnya. Kotoran tinja yang banyak dikunjungi kumbang tinja adalah kotoran mamalia herbivora, seperti kotoran sapi dan kuda (Doube, 1991 dan Westerwalbesloh, 2004). Berdasarkan hasil analisis, kotoran ternak mengandung 22,9% sellulosa, 18,32% hemisellulosa, 10,20% lignin, 34,72% karbon organik total, 1,26% nitrogen total, ratio C:N 27,56:1, 0,73% P dan 0,68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986). Kumbang tinja (Scarabaeidae) memiliki prilaku yang khas yaitu membuat bola-bola tinja kemudian menggiringnya ke sarang dan membuat terowongan untuk menyimpan bola-bola kotoran tersebut (Sato, 1997). Kumbang tinja (Scarabaeidae) biasanya mulai berburu kotoran segar ketika matahari mulai terbenam. Saat menemukan kotoran kumbang akan membentuknya menjadi bola lalu menggelindingkannya ke sarang menggunakan kaki belakang dalam arah lurus. Berbagai spesies kumbang koprofagus menggunakan kotoran mamalia dengan cara berbeda-beda. Kebanyakan spesies menggali terowongan dalam tanah atau secara langsung di sekitar timbunan kotoran. Kumbang tersebut membawa kotoran ke dalam terowongan, kemudian membentuknya menjadi bulatan-bulatan seperti bola. Jumlah bola yang dibentuknya dapat mencapai 40, kumbang betina lalu meletakkan telur di dalamnya. Bila telur menetas, selama perkembangan larva berada dalam bulatan tinja dan memakan bagian dalam bulatan kotoran dan merombak bagian dalam bulatan tersebut. Setelah sampai fase pupa kemudian kumbang membuat jalan keluar menuju permukaan tanah (Bornemissza, 1970) Beberapa kumbang koprofagus tertarik pada kotoran dan bangkai tetapi belum diketahui apakah mereka hanya datang untuk memakan bangkai atau sebagai tempat untuk melangsungkan perkawinan (Hanski dan Cambefort, 1991). Kumbang kotoran ini mudah menyesuaikan diri dalam hal pemilihan habitat dan makanan (Barbero et al., 1999). Selain beragam dari segi morfologi, kumbang tinja juga memiliki keragaman dalam strategi pemanfaatan sumberdaya. Secara garis besar kumbang tinja dapat digolongkan dalam empat kelompok fungsional (guild), yaitu, (i) kelompok telekoprid atau penetap (dwellers), dan kelompok pembuat sarang (nester), (ii) kelompok parakoprid atau pembuat terowongan (tunnelers), dan (iii) kelompok endokoprid atau penggulung kotoran (rollers) serta (iv) kelompok kleptokoprid (Doube, 1990;Westerwalbeslohl et al., 2004). Kelompok penetap yang banyak ditemukan di daerah empat musim memakan langsung kotoran yang ditemukannya dan umumnya meletakkan telur di kotoran tersebut tanpa membentuk sarang. Kelompok pembuat terowongan yang didominasi oleh Scarabaeinae dan Geotrupinae menggali terowongan di bawah kotoran yang ditemukannya, membawa kotoran ke tempat tersebut dan memanfaatkannya sebagai makanan dan tempat berbiak. Kelompok penggulung kotoran memiliki kemampuan untuk membuat bola tinja sebagai suatu sumber daya yang dapat dipindahkan, dibawa ke tempat lain sebelum dibenamkan ke dalam tanah. Kelompok kleptoparasit menggunakan kotoran yang telah dimonopoli oleh jenis telekoprid atau parakoprid (Hanski dan Cambefort, 1991; Westerwalbeslohl et al., 2004) Gambar 3. Kumbang Tinja Menggelinding Kotoran (Naifian, 2006) 2.3 Perbedaan Sistem Pencernaan Sapi dan Kuda Pola sistem pencernaan pada hewan umumnya sama dengan manusia, yaitu terdiri atas mulut, faring, esofagus, lambung, dan usus. Namun demikian, struktur alat pencernaan kadang-kadang berbeda antara hewan yang satu dengan hewan yang lain. Jika dibandingkan dengan kuda, faring pada sapi lebih pendek. Esofagus (kerongkongan) pada sapi sangat pendek dan lebar serta lebih mampu berdilatasi (mernbesar). Esofagus berdinding tipis dan panjangnya bervariasi diperkirakan sekitar 5 cm (Djuhanda, 1984). Pada beberapa herbivora (kuda dan kelinci) lambungnya relatif sederhana dan dapat disamakan dengan lambung karnivora sedangkan usus besarnya, terutama sekum lebih luas dan rumit dari yang dimiliki karnivora. Sebaliknya pada herbivora lain (sapi, kambing, domba), lambungnya (sistem berlambung majemuk) adalah besar dan rumit, sedangkan usus besarnya panjang akan tetapi kurang berfungsi (Djuhanda, 1984). Hewan-hewan herbivora (pemakan rumput) seperti domba, sapi, kerbau disebut sebagai hewan memamah biak (ruminansia). Sistem pencernaan makanan pada hewan ini lebih panjang dan kompleks. Makanan hewan ini banyak mengandung selulosa yang sulit dicerna oleh hewan pada umumnya sehingga sistem pencernaannya berbeda dengan sistem pencernaan hewan lain. Lambung ruminansia terdiri atas 4 bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya. Lambung sapi sangat besar, diperkirakan sekitar 3/4 dari isi rongga perut. Lambung mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara yang akan dimamah kembali (kedua kali). Selain itu, pada lambung juga terjadi proses fermentasi atau pembusukan. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%. Pembagian ini terlihat dari bentuk tonjolan pada saat otot sfinkter berkontraksi (Campbell et al., 2002). Makanan dari kerongkongan akan masuk rumen yang berfungsi sebagai gudang sementara bagi makanan yang tertelan. Di rumen terjadi pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan jenis protozoa tertentu. Dari rumen, makanan akan diteruskan ke retikulum dan di tempat ini makanan akan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar (disebut bolus). Bolus akan dimuntahkan kembali ke mulut untuk dimamah kedua kali. Dari mulut makanan akan ditelan kembali untuk diteruskan ke omasum (perut bulu). Pada omasum terdapat kelenjar yang memproduksi enzim yang akan bercampur dengan bolus. Akhirnya bolus akan diteruskan ke abomasum (perut sejati), yaitu perut yang sebenarnya dan di tempat ini masih terjadi proses pencernaan bolus secara kimiawi oleh enzim (Campbell et al., 2002). Selulase yang dihasilkan oleh mikroba (bakteri dan protozoa) akan merombak selulosa menjadi asam lemak. Akan tetapi, bakteri tidak tahan hidup di abomasum karena pH yang sangat rendah, akibatnya bakteri ini akan mati, namun dapat dicernakan untuk menjadi sumber protein bagi hewan pemamah biak. Dengan demikian, hewan ini tidak memerlukan asam amino esensial seperti pada manusia. Asam lemak serta protein inilah yang menjadi bahan baku pembentukkan susu pada sapi. Enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri ini tidak hanya berfungsi untuk mencerna selulosa menjadi asam lemak, tetapi juga dapat menghasilkan bio gas yang berupa CH4 yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Tidak tertutup kemungkinan bakteri yang ada di sekum akan keluar dari tubuh organisme bersama feses, sehingga di dalam feses (tinja) hewan yang mengandung bahan organik akan diuraikan dan dapat melepaskan gas CH4 (gas bio) (Ville, 1988). Hewan seperti kuda, kelinci, dan marmut tidak mempunyai struktur lambung seperti pada sapi untuk fermentasi selulosa. Proses fermentasi atau pembusukan yang dilaksanakan oleh bakteri terjadi pada sekum yang banyak mengandung bakteri. Proses fermentasi pada sekum tidak seefektif fermentasi yang terjadi di lambung. Akibatnya kotoran kuda, kelinci, dan marmut lebih kasar karena proses pencernaan selulosa hanya terjadi satu kali, yakni pada sekum. Sedangkan pada sapi proses pencernaan terjadi dua kali, yakni pada lambung dan sekum yang kedua-duanya dilakukan oleh bakteri dan protozoa tertentu (Campbell et al., 2002). 2.4 Penurunan Keanekaragaman Kumbang Akibat Perubahan Lahan Penurunan keanekaragaman hayati terjadi sejalan degan meningkatnya perubahan ekosistem alami menjadi lahan buatan. Perubahan pada struktur vegetasi dan faktor lingkungan fisik dapat berpengaruh terhadap penurunan keanekaragaman hayati salah satunya adalah kumbang (Fardila, 2008). Taman Wisata Pulau Situ Gintung merupakan salah satu kawasan yang mengalami perubahan pada lahan yang nyata beberapa tahun terakhir hingga kini perubahan lahan di Taman Wisata Pulau Situ Gintung terus berlangsung dengan adanya kondisi pemukiman penduduk yang berkembang dengan pesat sementara persediaan lahan yang ada sangat terbatas mengakibatkan adanya kawasan pemukiman yang dikembangkan di atas lahan yang tidak sesuai dengan tempatnya. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ekonomi dan lahan pertanian pada akhirnya ekosistem alami diubah menjadi perkebunan atau ladang dan wisata alam (Fardila, 2008). Berdasarkan hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan lahan akibat aktivitas manusia, perubahan srtuktur vegetasi dan faktor lingkungan fisik diketahui sebagai penyebab utama penurunan keanekaragaman hayati terhadap spesies kumbang. Collins dan Glenns (1997) memprediksi bahwa tingkat keanekaragaman tertinggi dapat ditemukan pada komunitas dengan tingkat gangguan sedang. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan wisata Pulau Situ Gintung, Ciputat Timur Tangerang, Banten pada bulan Februari 2010 sampai bulan Maret 2010. Secara geografis, Taman Wisata Pulau Situ Gintung terletak pada koordinat 6o18’ 24,59’LS dan 106o 45’ 22,05’ BT. Kawasan terbuka hijau Situ Gintung, meliputi bagian depan kawasan terbuka yang terdiri dari tempat outbond, mushola dan pendopo dengan vegetasi seperti akasia (Acacia mangium), merak (Caesalpinia pulcherrima) dan kelapa (Cocos nucifera). Bagian tengah terdiri dari lapangan tenis, arena bermain anakanak dengan vegetasinya antara lain akasia (Acacia mangium), nangka (Arthocavpus integra), ketapang (Terminalia catappa), petai cina (Leucaena leucocephala), palem botol (Hyophorbe lagenicaulis), rambutan (Nephelium lappaceum), saga (Adenanthera pavonina) dan waru (Hibiscus tiliaceus). Di bagian belakang terdiri dari vegetasi seperti akasia (Acacia mangium), nangka (Arthocaprus integra), ketapang (Terminalia catappa), petai cina (Leucaena leucocephala), saga (Adenanthera pavonina) dan waru (Hibiscus tiliaceus). 22 Gambar 4. Denah posisi pemasangan perangkap di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Keterangan : ∆ : Plot tinja kuda; O : Plot tinja sapi; A : Loket; B : Rumah Singgah; C : WC Umum; D : Gudang; E : Kantin; F : Pendopo; G : Musholla; H : Lap. Tenis 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kotoran sapi, kotoran kerbau dan kotoran kuda yang digunakan sebagai umpan. Air sabun dan garam digunakan sebagai cairan pembunuh serangga yang masuk ke dalam perangkap, kapur barus (nafthalen), alkohol 70% dan lem digunakan sebagai pengawet sampel yang sudah didapat. Alat yang digunakan antara lain: gelas plastik ukuran 500 ml, kantong plastik 1 kg sebagai tempat spesimen yang diperoleh, kain kasa untuk membungkus kotoran yang digunakan sebagai umpan, kayu kecil (ranting) berukuran 30 cm digunakan untuk mengantung umpan, nampan, kertas label, botol film, gunting, pinset, kuas, mikroskop stereo, jarum mouting, kotak serangga, termometer, oven, kamera digital, lux meter, anemometer, higrometer, jangka sorong, alat tulis, kuas dan skrop. 3.3. Cara Kerja 3.3.1. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan dengan memasang perangkap menggunakan tinja sapi dan kuda (Baited pitfall trap). Lokasi penempatan perangkap adalah di sekitar terbuka hijau Pulau Situ Gintung, masing-masing sebanyak 20 perangkap tinja sapi dan tinja yang dipasang secara acak (random sampling). Gambar 5. Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung 3.3.2. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan dengan perangkap baited pitfall trap (Maulida, 2003) menggunakan umpan kotoran mamalia yaitu sapi dan kuda. Kotoran mamalia dibungkus dengan kain kasa sebesar ibu jari, kemudian diikat pada bambu dan digantung di atas gelas plastik yang berisi larutan garam dan air sabun untuk membunuh kumbang tinja yang masuk ke dalam perangkap. Posisi peletakan umpan dibagi menjadi 4 tempat yang mengikuti arah mata angin pada terbuka hijau Pulau Situ Gintung yaitu bagian utara dan barat untuk umpan tinja sapi dan selatan dan timur untuk umpan tinja kuda, setiap perangkap diletakan secara acak dan setiap umpan berjarak 5 meter. Perangkap dibiarkan selama 5 hari dan dilakukan pengulangan sebanyak 6 kali. Pada saat pemasangan perangkap dilakukan pengukuran faktor fisik seperti: : suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya (Klx) dengan alat ukur termometer, higrometer, anemometer dan lux meter. Kumbang tinja yang terperangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik beserta cairan dalam gelas plastik. Selanjutnya dipindahkan ke dalam botol film yang berisi alkohol 70% untuk pengawetan sementara dan dilakukan pengawetan spesimen di Laboratorium Ekologi Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk diidentifikasi. Gambar 6. Perangkap Baited pitfall trap 3.3.3. Identifikasi Serangga di Laboratorium Spesimen yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya, selanjutnya diidenfikasi dan dihitung jumlah individu. Identifikasi dilakukan menggunakan mikroskop stereo di Laboratorium Ekologi, Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan buku acuan identifikasi serangga (Borror et al., 1992). Spesimen yang tidak diketahui jenisnya dibandingkan dengan spesimen yang terdapat di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong, Jawa Barat dan Museum Serangga Taman Kupu-kupu (MSTK), Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pengawetan kumbang tinja (Coleoptera) dilakukan dengan pengawetan kering. Kumbang tinja (Coleoptera) dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC selama 7 hari atau sampai kering. Masing-masing sampel diberi label, nomor dan dimasukkan ke dalam kotak serangga yang sudah diberi kapur barus. 3.3.4. Analisis Data Analisis data keanekaragaman kumbang tinja meliputi analisis keanekaragaman α (keanekaragaman dalam suatu habitat) dengan menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Jumlah H' berkisar antara1,5-3,5. Nilai H'<1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah. Jumlah H' diantara 1,5-3,5 menunjukkan keanekaragaman sedang dan jumlah H'>3,5 menunjukkan keanekaragaman tinggi. Selain itu dihitung nilai Evennes (Odum, 1994) dan keanekaragaman β (keanekaragaman antar habitat) dengan menghitung indeks kesamaan jenis menggunakan Sorensen. Menentukan Indeks Keanekaragaman Jenis dilakukan menggunakan rumus: H' = -Σ (Pi ln Pi) dengan, Pi = ni N Ket: H' = Indeks Keragaman Jenis ni = Jumlah individu jenis ke- i N = Jumlah total semua spesies dalam komunitas Pi = Kelimpahan relatif Menentukan Indeks Keseragaman dilakukan menggunakan: E = H' ln S Ket: E = Nilai keseimbangan antara jenis S = Jumlah jenis yang ditemukan Menentukan Indeks Kesamaan Jenis dilakukan dengan menggunakan rumus: IS = 2C A +B B Ket: IS = Indeks Kesamaan Sorensen A = Jumlah spesies di tinja kuda B = Jumlah spesies di tinja sapi C = Jumlah spesies yang sama pada kedua sama pada kedua sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelimpahan Kumbang Tinja Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Taman Wisata Pulau Situ Gintung didapatkan hasil 453 individu dan terdiri dari lima famili kumbang Coleoptera yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis kumbang tinja yang ditemukan di sekitar Taman Wisata Pulau Situ Gintung No 1 2 3 4 5 Taksa Family Carabidae Family Chysomalidae Family Colydiidae Family Scarabaeidae a. Aphodius marginellus b. Onthophagus collfsi c. O. Liliputanus d. O. Luridipennis e. O. Trituber f. O. Variolaris Family Silphidae Jumlah Jenis Tinja Kuda Sapi 4 1 1 6 1 0 2 2 0 2 29 131 2 174 3 6 6 0 59 198 0 279 Jumlah 5 7 1 5 8 6 2 88 329 2 453 Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 438 individu kumbang tinja yang tergolong famili Scarabaeidae, terdiri dari dua genus yaitu Aphodius dan Onthophagus. Jumlah individu kumbang tinja yang ditemukan pada setiap umpan bervariasi, kumbang yang ditemukan pada tinja sapi (272 individu) lebih banyak dari pada tinja kuda (166 individu). Hal ini dapat disebabkan karena kumbang lebih tertarik pada tinja sapi yang memiliki tekstur halus dan lebih aromatis karena banyaknya mikroba dan nematoda yang terkandung didalamnya (Vulinuc, 2000). 29 Kelimpahan individu kumbang tinja Scarabeidae yang tertinggi adalah Onthophagus variolaris yaitu sebanyak 329 individu dan yang paling sedikit adalah Onthopagus luridipennis terdapat 2 individu. Onthophagus variolaris lebih banyak ditemukan di tinja sapi, sebaliknya O.luridipennis hanya terdapat di tinja kuda saja, kemungkinan O. luridipennis lebih menyukai tinja yang kasar berserat (non ruminasia), Sedangkan O.liliputanus tidak ditumukam di tinja kuda. Genus Aphodius di temukan 1 spesies saja yaitu Aphodius marginellus dengan 5 individu, jenis ini juga lebih banyak ditemukan di tinja sapi dibandingkan di tinja kuda. Tinja sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu 22,59%, 18,32% hemiselulosa, 10,20% lignin, 34,72% karbon organik, 1,26% total nitrogen, ratio C:N 0,73% P dan 0, 68% K (Lingaiah, 1986). Dengan komposisi senyawa di atas, mikroba-mikroba yang terkandung di dalam tinja sapi tersebut akan memfermentasikan kandungan selulosanya sehingga akan menghasilkan gas metan yang lebih tinggi dibanding tinja kuda. Hal itu menyebabkan tinja sapi lebih aromatis sehingga banyak kumbang tinja yang mendekatinya. Tinja kuda mempunyai kadar air dan C/N hanya sedikit, maka biogas yang dihasilkan tidak setinggi tinja sapi (Lingaiah, 1986). Oleh karena itu tidak banyak kumbang yang menghampiri perangkap yang berumpan tinja kuda dikarenakan tinja kuda mengandung sedikit kadar air, hal itu dikarenakan pencernaan kuda tidak selengkap sapi. Sapi merupakan hewan memamah biak yang mempunyai empat lambung yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya untuk mencerna makanannya, sehingga tinja yang dihasilkan lebih cair dibandingkan tinja kuda. Hal ini menyebabkan jumlah mikroba didalamnya akan lebih banyak sehingga dapat meningkatkan proses fermentasi. Semakin tinggi fermentasi di tinja tersebut, maka gas metan yang dihasilkan akan lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tinja sapi lebih menarik kumbang Scarabaeidae sehingga lebih mudah habis atau terurai. Tidak hanya famili Scarabaeidae saja yang ditemukan di tinja kuda dan sapi, kumbang lain yang tergolong dalam famili Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Silphidae juga terdapat dalam perangkap yang dipasang. Diduga keberadaan kumbang tersebut dapat terbawa oleh angin tau memang tertarik dengan aroma yang dikeluarkan oleh tinja kuda dan sapi. Jika dibandingkan dengan daerah lain seperti T.N Kayan Mentarang (Kalimantan Timur) dan T.N Gunung Pangrango maka keragaman jenis kumbang tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung tergolong paling sedikit. Di hutan Pa’ Raye T.N Kayan Mentarang (Kalimantan Timur) ditemukan 26 jenis kumbang tinja sementara itu di T.N Gunung Pangrango ditemukan 28 jenis (Kahono dan Rosicho, 2003). Perbedaan keragaman jenis ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tipe ekosistem, lama pemasangan perangkap maupun perbedaan ketiggian. Di T.N Kayan Mentarang dan T.N Gunung Pangrango cenderung disebabkan oleh tingginya keragaman dan kekayaan lingkungan termasuk jenis satwa yang hidup pada lingkungan ekositem tersebut, sehingga mendapatkan keragaman jenis dan kelimpahan individu kumbang tinja scarabaeidae yang lebih banyak. Sementara pada kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung mempunyai lingkungan ekosistem yang rendah. Kombinasi suhu yang tidak teratur setiap harinya di Taman Wisata Pulau Situ Gintung mempengaruhi kualitas tinja. Hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada lampiran 3, Kondisi cuaca pada saat pengambilan sampel selalu berubahubah, dimana pada siang hari cuaca sangat cerah dan panas, lalu sore harinya turun hujan. Pada minggu kelima, kondisi cuaca di Taman Wisata Pulau Situ Gintung hujan deras, sehingga suhu udara cukup rendah dan kelembaban udara menjadi lebih tinggi. Pada kondisi lingkungan seperti ini kualitas tinja lebih bagus dibanding saat cuaca panas. Hal ini mengakibatkan banyak kumbang tinja yang menghampiri perangkap, terutama dari genus Onthophagus. Spesies ini paling banyak ditemukan di kedua jenis tinja, khususnya O. variolaris. Spesies ini ditemukan paling banyak di tinja yang segar dengan kadar air yang tinggi. Menurut Barbero et al., (1999) dan Errouissi et al., (2004), kondisi mikroklimat terutama suhu dan kelembaban udara serta kandungan tinja merupakan faktor yang sangat menentukan komposisi spesies kumbang tinja. Dari penjelasan sebelumnya bahwa tinja sapi memiliki kadar air dan ratio C/N yang lebih, menyebabkan tinja sapi lebih lembab jika dibandingkan tinja kuda, sehingga O. variolaris lebih banyak ditemukan di tinja sapi. Kadar air dalam tinja sapi lebih bertahan lama karena teksturnya yang halus walaupun sudah beberapa hari sehingga kondisinya tetap lembab dan selalu menarik O. variolaris untuk menghampirinya. O. variolaris mengandalkan indera penciuman dan sentuhan untuk mendekati tinja (Comignan, 1928). Di Prancis, dari 4.276 individu yang mewakili 39 spesies yang dikumpulkan, meliputi 13 2.750 kumbang spesies Onthophagus lebih menyukai tinja sapi daripada tinja kuda (Dormont et al., 2004). Faktor-faktor seperti iklim, tanah, dan jenis tinja semua berkontribusi pada kumbang tinja himpunan area tertentu (Halffter dan Matthews 1966; Nealis 1977; Fincher 1973). Genus Onthophagus lebih menyukai tanah berpasir sehingga sebagian besar hidup di daerah berpasir dengan vegetasi jarang (Halffter dan Matthews 1966). Pada saat pengambilan sampel, perangkap yang paling banyak ditemukan O. variolaris adalah yang dipasang di tempat yang vegetasinya sedikit dengan kondisi tanah yang gembur dan banyak rumput, yaitu pada plot 3 yang berisi tinja sapi. Kumbang tinja jenis lain mungkin akan menghampiri perangkap pada hari berbeda-beda. Hal ini menunjukkan spesifikasi tertentu dari masing-masing tinja yang disukai oleh beberapa spesies, seperti tekstur tinja, kesegaran tinja, atau kandungan serat pada tinja. Spesies yang lainnya yang ditemukan adalah dari genus Aphodius, yaitu Aphodius marginellus. Spesies ini memanfaatkan tinja sebagai tempat menyimpan larva dan bagi kumbang Aphodius dewasa, tinja tersebut dijadikan sebagai bahan makanan mereka (Halffter dan Matthews 1966). 4.2 Jenis Kumbang Tinja Berdasarkan Jenis Tinja Tingkat kelimpahan jenis merupakan salah satu ukuran penting keanekaragaman yang dihitung berdasarkan kelimpahan individunya, hal tersebut dapat dilihat dari nilai indeks keragaman Shannon-Winner (H') Tabel 2. Jumlah Spesies (S), Jumlah Individu (N), Indeks Keragaman ShannonWinner (H') dan Evennes (E) Indek Kesamaan (IS) Sorensen Kumbang Tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung Jenis Tinja Tinja Kuda Tinja Sapi S 5 5 N 166 272 H’ 0,544 0,697 E 0,338 0,433 IS 0,8 Nilai keragaman (H') dan Evennes (E) Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada jenis tinja sapi dan kuda dapat dilihat pada Gambar 7. H'; sapi; 0,697 H'; kuda; 0,544 E; sapi; 0,433 E; kuda; 0,338 H' E Jenis Tinja Gambar 7. Keragaman Kumbang tinja berdasarkan indeks Shannon-Winner (H’) dan Evennes-nya (E) pada tinja kuda dan sapi Berdasarkan dari hasil perhitungan nilai keragaman jenis kumbang tinja pada jenis tinja tercantum pada tabel 2 dan gambar 7, keduanya sama-sama memiliki nilai keragaman jenis yang rendah, yaitu 0,544 untuk kuda dan 0,697 untuk sapi dengan jumlah 5 jenis. Menurut Magurran, (1988) indeks keanekaragaman jenis (H') berkisar antara 1,5-3,5. Nilai H'<1,5 menunjukkan keanekaragaman rendah. Nilai H' diantara 1,5-3,5 menunjukkan keanekaragaman sedang dan jumlah H'>3,5 menunjukkan keanekaragaman tinggi. Bila keanekaragaman Scarabaeidae ini menunjukkan kualitas yang rendah, maka keberadaan Scarabaeidae di dalam suatu ekosistem merupakan terutama salah satu kunci di dalam daur bahan. Jumlah Scarabaidae yang sedikit menunjukkan lambatnya daur bahan di ekosistem tersebut, karena organisme yang pendaur tidak banyak keberadaannya di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Hasil analisis data dengan menggunakan indeks keragaman Shanon Winner menunjukan adanya perbedaan tingkat keragaman dan Evennes pada masing-masing jenis tinja. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis kumbang tinja berdasarkan jenis tinja yaitu tinja kuda dan tinja sapi diperoleh nilai kesamaan yang sama yaitu (0,8) atau 8%. Hal ini menunjukkan keanekaragaman jenisnya sama atau tidak ada perbedaan. Menurut Magurran (1988), indeks Sorensen yang mendekati 100% berarti keanekaragaman mendekati sama. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun kelimpahannya berbeda, jenis-jenis kumbang tinja yang ditemukan di tinja sapi dan tinja kuda sama. 4.3. Deskripsi Kumbang Tinja yang ditemukan di Taman Wisata Pulau Situ Gintung Dari hasil sampel yang ditemukan jenis kumbang tinja terdiri dari 6 jenis yaitu sebagai berikut: 1. .Aphodius marginellus Aphodius marginellus yang ditemukan pada penelitian ini memiliki pronotum berwarna hitam kecoklatan berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus, elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam kecoklatan mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Pada bagian abdomen memiliki 5-6 segmen gabungan dan ukuran tubuhnya rata-rata 4,9 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong. Gambar 8. Aphodius marginellus 2. Onthophagus collfsi Onthophagus collfsi yang ditemukan pada penelitian ini memiliki pronotum berwarna hitam kelam berlubang-lubang kecil dan terdapat bulu halus, elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Spesies ini memiliki abdomen dengan 5-6 segmen gabungan, tarsus dan tibia 5 ruas dan ukuran tubuh 7,8 mm Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong. Gambar 9. Onthophagus collfsi 3. Onthophagus liliputanus Onthophagus liliputanus ditemukan pada penelitian ini pada bagian kepalanya mempunyai tanduk dan pronotum berwarna hitam kelam berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus. Elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus, tarsus dan tibia 5 dan ukuran tubuhnya sekitar 3,5 mm Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong. Gambar 10. Onthophagus liliputanus 4. Onthophagus luridipennis Onthophagus luridipennis ditemukan pada penelitian ini memiliki pronotum berwarna hitam kusam berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus, pada bagian Kepala terdapat 2 tanduk. Elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus, tarsus dan tibia memiliki 5 ruas dan ukuran tubuhnya sekitar 6,7 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong. Gambar 11. Onthophagus luridipenni 5. Onthophagus trituber Onthophagus trituber ditemukan pada penelitian ini memiliki antena meluas menjadi struktur seperti kepingan yang dapat dibentangkan secara lebar (phyllophaga), di kepala terdapat 2 tanduk. Pronotum berwarna hitam mengkilat berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus dan terdapat 3 tonjolan. Bagian elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam belang-belang coklat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Abdomen memiliki 5-6 segmen gabungan, tarsus dan tibia memiliki 5 ruas dan ukuran tubuhnya 6,7 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong. Gambar 12. Onthophagus tritube 6. Onthophagus variolaris Onthophagus variolaris ditemukan pada penelitian ini pada antena meluas menjadi struktur seperti kepingan yang dapat dibentangkan secara lebar (phyllophaga). Pronotum berwarna hitam mengkilat berlubanglubang kecil terdapat bulu halus, bagian elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Abdomen dengan 5 - 6 segmen gabungan, tarsus dan tibia memiliki 5 ruas, tetapi di bagian tarsus terdapat koksa dan ukuran tubuhnya sekitar 4,6 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong. Gambar 13. Onthophagus variolaris BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Keanekaragaman kumbang tinja Scarabaeidae di kawasan Kaman Wisata Pelau Situ Gintung adalah 438 individu, 2 genus dan 6 jenis yaitu Aphodius marginellus, Onthohpagus collfsi, O.liliputanus, O.ludipennis, O.trituber, O.variolaris. kelimpahan individu kumbang tinja Scarabaeidae pada setiap genus yang tinggi adalah pada Onthophagus variolaris adalah 329 individu. 2. Keanekaragaman kumbang tinja Scarabaeidae yang ditemukan di tinja sapi dan kuda cenderung sama. 5.2. Saran Penelitian ini merupakan studi awal tentang keragaman jenis kumbang tinja Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Hasil yang diperoleh masih dibutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut sehingga dapat memonitor keberadaan dan keberlangsungan hidap kumbang tinja Scarabaeidae. 41 DAFTAR PUSTAKA Amir, M dan S. Kahono. 2003. Serangga Tanaman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat (Edisi I). Biodiversity Conservation Project. LIPI. Bogor. Andresen, E. 2001. Effect Of Dung Presence, Dung Amonunt And Secondary Dispersal By Dung Beetles On The Fate Of Micropholis Guyanensis (Sapotaceae) Seeds In Central Amazonia. Journal of Tropical Ecology 17:61-78. Anonimus, 2007. http://docs.google.com/gview?a=v&q=cache:qoyAX8 Bwab8J :www.unsjournals.com/D/D0602/D0602pdf/D060215.pdf+struktur +komunitas+guild+pada+kumbang+scarabaeidae&hl=id&gl=id170709gu ild. Akses 17 Juli 2009. Barbero E, Palestrini C, Rolando A. 1999. Dung bettle conservation: effects of habitat and resource selection (Coleoptera: Scarabaeoidea) Journal of Insect Conservation 3: 75-84. Bima. 2007. Penangkaran Kupu-kupu di Kepulauan http://www.pulauseribu.net. Akses tanggal 14 Februari 2009. Seribu. Bornemissza, G. F. 1970. Insectary Studies On The Control Of Dung Breedingflies by the Activity Of The Dungg Beetle. CSIRO Camberra. Pedobilogoa. Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke 6. Diterjemahkan oleh Soeriyono Partospoedjono. UGM Press. Yogjakarta. Britton, E.B. 1970. Coleoptera. The Insects of Australia, Division of Entomology, CSIRO Canberra. 30 : 495-621. Campbell, N.A., Reece, J. B., Mitchell, L. G. 2002. Biolog edisi Kelima.Penerbit Erlangga. Jakarta Collins, S. L. dan Glenn, S. M. 1997. Intermediate Distrubance and its Relationship to within - and between – patch dynamics. New Zealand Journal of Ecology 21 (1): 103 – 110. Comignan, J.1928 Note Preliminarie sur le rÏle de l'olfaction chez (Scarabaeus semipunctatus) L. Journal Bulletin de la Societe Entomologique de France 14 214-216. 42 Davis, A. J. Holloway, J. D. Huijbregts, H. Krikken. J, Sutton. 2001. Dung Beetles As Indicators of Change in the Forests of Northen Borneo. Journal of Aplied Ecology. 38:593-616. Djuhanda, Tatang.1984.Analisa Struktur Vertebrata Jilid 2. Armico.Bandung Dormont, L., G. Epinat and J.-P. Lumaret. 2004. Trophic Preferences Mediated by olfactory cues in dung beetles colonizing cattle and horse dung. Environ. Lingkungan. Entomol. Entomol. 33 33 (2): 370-377 Doube, B.M. 1991. Dung Beetle of Southern Afrika. Princeton University Press. Pp. 133-155. Double, B. M. 1983. The Habitat Prefernce Of Some Bovine Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae). In Hluhluwe Game Reserve, South Africa. Bull.ent. Res. 73(3):357/371. Errouissi, F.S.Haloti.P.J.Robert, A.J. Idrissi,and J.P. Lumaret. 2004. Effect of the attictiveneess For dung beetles Of dung pat Origin and size alog climaticgradient. Environ mental.Entomology 33(1):45-53. Estrada A, G Halffer, R Coates-Estrada, DA Merrit. 1998. Dung Bettles attracted to Mammalia Herbivor (Alouatta palliata) and Omnivora (Nasua marica) Dung in the Tropical Rain Forest Of Los Tuxtlas, Mexico., Journal Of Trofical Ecology. Fardila, D. 2008. Pengaruh Tipe Lahan Terhadap Komunitas Burung di Kawasan Bandung Bagian Barat. Tesis. ITB. Bandung. Ferianita, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Fincher, G. T., Robert and T. B. Stewart. 1971. Flight Activity Of Coprophagous Beetle On Swine Pasture. Ann. Ent. Soc. America 64(4):855-857. Gittings, T., P.S. Giller, and G. Stakelum. 1994. Dung Decomposition In Contrasting Temperate Pastures In Relation To Dung Beetle And Earthworth Activity. Pedobiologia 38: 455-474. Halffter, G., and E. G. Matthews 1966. The natural history of dung beetles of the subfamily Scarabaeinae (Coleoptera: Scarabaeidae). Fol. Entomol. Mex. 1214: 1-312. Haski I, and Y. Cambefort. 1991. Dung Beetle Ecology. Princeton, New Jerrsey. Princeton University Press. Lingaiah V. and Rajasekaran P. 1986. Biodigestion Of Cowdung And Organic Wastes Mixed With Oil Cake In Relation To Energy in Agricultural Wastes 17(1986): 161-173 Maria. 1996. Pesona Dunia Kumbang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Magurran A.E. 1988. Ecological diversity and its measurements. London: Croom Helm Limited. London. Maulinda, D. 2003. Keragaman kumbang (Coleoptera: insecta) di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi. IPB. Bogor. Naifian. 2006. Kumbang Gunakan Sinar Bulan untuk Menentukan Arah. naifian.blogspot.com akses 20 Juli 2009 Noerdjito, W.A. 2003. Keragaman Kumbang (Coleoptera). Dalam : Amir, M. dan S. Kahono. (ed). Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: JICA Biodiversity Conservation Project. Noonan, K. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati : Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk industri pertambangan Terjemahan Oleh: Global Village Translations Pty Ltd. Commonwealth Copyright Administration, Intellectual Property Branch, Department of Communications, Information Technology and the Arts, GPO Box 2154, Canberra ACT 2601. http://www.dcita.gov.au/cca. Akses 17 Juli 2009. Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Samways, M, J. 1994. Insect Conservation Biology. Chapman dan Hall. New York. Sato, H. 1997. Two Nesting Behaviors And Life History Of Subsocial African Dung-Rolling Beetle, Scarabaeus catenatus (Coleoptera: Scarabaeidae). Journal of Natural History 31:457-469. Setiadi, L. K. 2004. Kenekaragaman dan Distribusi Kumbang Tinja (Scarabaidae: Choleptera) di Taman Nasional Gunung Pangrango Jawa Barat. Skripsi. Biologi Universitas Nusa Bangsa. Bogor. Shahabuddin. 2007. Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Keanekaragaman Kumbang Koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) dan Dekomposisi Kotoran Hewan: Studi Khusus pada Pinggiran Hutan di Taman Nasional Lorelindu, Sulawesi Tengah. Tesis. IPB. Bogor. Thomas, M. L. 2001. Dung Beetle Benefits in the Pasture Ecosystem. NCTA Agriculture intern. www.Attra.Org/attra-pub/PDF/dung beetle.Pdf. Akses 17 Juli 2009. Ville. 1988. Zoology Umum. Jilid 1. Erlangga. Jakarta Vulinuc, K. 2000. Dung beetles (Coleoptera:Scarabaeidae), monkrys and conservation in Amazonia. Florida Entomologist 83 (3):229-241. Waterhouse, D. F. 1974. The Biological Control Of Dung. In Thomas Eisner And Edward. Wilson Fransisco. Westerwalbesloh, S.K., F.K. Krell, and K.E. Linsenmair. 2004. Diel Separation of Afrotropical Dung Beetle Guilds-Avoiding Competition and Neglecting resource (Coleoptera: scarabaeodea). Journal of Natural History. Lampiran Lampiran 1. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Kuda No 1 2 3 4 5 Nama Spesies Aphodius marginellus Onthophagus collfsi O. luridipenis O. trituber O. variolaris ni 2 2 2 29 131 166 (ni/N)Pi 0,012 0,012 0,012 0,174 0,789 Pi ln Pi 0,012 x -4,423 = -0,053 0,012 x -4,423 = -0,053 0,012 x -4,423 = -0,053 0,174 x -1,749 = -0,304 0,789 x -0,237 = -0,187 0,544 H' = - ∑ Pi ln Pi = - (-0,544) = 0,544 E= H' 0,544 = = 0,338 ln S 1,609 H' < 1,5 H' (0,338) < 1,5 jadi nilai keragamannya rendah Lampiran 2. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Sapi No 1 2 3 4 5 Nama Spesies Aphodius marginellus Onthophagus collfsi O. liliputanus O. trituber O. variolaris ni 3 6 6 59 198 166 (ni/N)Pi 0,011 0,022 0,022 0,217 0,728 Pi ln Pi 0,011 x -4,510 = -0,05 0,022 x -3,817 = -0,084 0,022 x -3,817 = -0,084 0,217 x -1,528 = -0,332 0,728 x -0,317 = -0,231 0,697 H' = - ∑ Pi ln Pi = - (-0,697) = 0,697 E= H' = O,697 = 0,433 ln S 1,609 H' < 1,5 H' (0,433) < 1,5 jadi nilai keragamannya rendah IS = 2C 2x4 = = 8 = 0,8 A+B 5+5 10 46 Lampiran 4. Tabel Distribusi Kumbang Tinja di Wilayah Indonesia dari Koleksi Ilmiah MZB, P2B-LIPI No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 49 40 41 42 43 Jenis Phacosoma punctatus Paragymnopleurus sparsus sharp Paragymnopleurus sparsus sharp Paragymnopleurus sparsus sharp Paragymnopleurus molosus Paragymnopleurus molosus Paragymnopleurus molosus Paragymnopleurus molosus Paragymnopleurus molosus Paragymnopleurus molosus Paragymnopleurus molosus Onthophagus waterstradli Bouc O. variolaris O. variolaris O. valiolaris O. tricornis O. tricornis O. tricornis O. sumatranus O. sumatranus O. sumatranus O. sumatranus O. rudis O. rudis O. rudis O. rudis O. rudis O. pouper Bouc O. pacificus O. pacificus O. pacificus O. melangensis O. leavis Har O. javanensis O. incisus O. incisus O. incisus O. hanskins sp O. foedus O. dresceru O. diabolicus O. diabolicus O. diabolicus Lokasi Jawa Barat Kalimantan Timur Kalimatan Jawa Timur Sumatera Aceh TN Leuser Sulawesi Kalimantan Timur Kalimantan Barat Jawa Timur Jawa Tengah Belitung Kalimantan Timur Papua Kalimantan Timur Jawa Timur Sulawesi Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Aceh TN Leuser Kalimantan Timur Kalimantan Barat Jawa Tengah Sumatera Aceh TN Leuser NTT (fases rusa) Kalimantan Timur Kalimantan Barat Jawa Tengah Jawa Barat (Bogor) Sumatera Aceh TN Leuser Kalimantan Timur Kalimantan Barat Jawa Barat Kalimantan Timur Papua Sumatera Aceh TN Leuser Kalimantan Timur Kalimantan Barat Kalimantan Timur Jawa Barat JawaBarat Sulawesi Kalimantan Timur Jawa Timur 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 O. diabolicus O. diabolicus O. diabolicus O. diabolicus O. avoceta Arrow O. aurifex Har O. aurifex Har O. angustatus Bouc O. angustatus Bouc O. angustatus Bouc Copris synopsis Bates Copris punctulatus Copris punctulatus Copris punctulatus Copris punctulatus Copris agnus Sharp Copris agnus Sharp Catarsius molosus Catarsius molosus Catarsius molosus Catarsius molosus Jawa Tengah G Slamet Sumatera Aceh TN Leuser Jawa Timur G Raung Jawa Tengah G Slamet Kalimantan Timur Sumatera Aceh TN Leuser Kalimantan Barat Sumatera Aceh TN Leuser Kalimantan Timur Kalimantan Barat Jawa Barat Sumatera Barat Sulawesi Jawa Timur Jawa Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Barat Sumatera Aceh TN Leuser Kalimantan Timur Jawa Timur Jawa Tengah Lampiran 5. Gambar Taman Wisata Pulau Situ Gintung