Mempertanyakan Keselamatan Energi Nuklir

advertisement
P OP LINGKUNGAN
SELASA, 15 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA
11
Mempertanyakan Keselamatan
Energi Nuklir
Krisis yang terjadi
pada pembangkit
listrik Fukushima
Daiichi, Jepang,
pascagempa dan
tsunami menimbulkan keraguan
tentang keselamatan
energi nuklir.
DIAN PALUPI
P
ERTANYAAN mengenai kalayakan penggunaan energi nuklir
di daerah-daerah rawan
gempa seperti Jepang telah lama
bergulir. Penilaian awal dari
kecelakaan pembangkit listrik
tenaga nuklir (PLTN) Fukushima
Daiichi memperlihatkan kurangnya antisipasi ancaman tsunami.
Reaktor memang mampu
bertahan dari gempa bumi kuat,
tetapi ombak lautlah yang merusak generator dan sistem cadangan, serta menghilangkan kemampuan untuk mendinginkan
reaktor.
Dengan meledaknya reaktor nuklir unit 1 di Fukushima,
James M Acton dari Carnegie
Endowment for International
Peace mengatakan industri nuklir akan terguncang. Dekade
yang lalu, setelah kecelakaan
di Chernobyl dan Pulau Three
Mile, Pennsylvania, Acton mengatakan industri nuklir mencoba meyakinkan bahwa reaktor
baru memiliki fitur keselamatan
yang jauh lebih baik. Namun,
“Hal tersebut membuat perbedaan yang sangat sedikit kepada
masyarakat,” ujarnya.
Bertahun-tahun, operator pabrik Jepang bersama pejabat
pemerintah kadang-kadang menyembunyikan beberapa hal dari
publik yang semakin tidak mudah menerima tenaga nuklir.
Pada 2007, gempa bumi di
barat laut Jepang menyebabkan
kebakaran dan kebocoran radiasi
kecil di pabrik nuklir terbesar di
dunia di Kota Kashiwazaki. Pada
investigasi berikutnya ditemu-
AP/THE YOMIURI SHIMBUN, DAISUKE TOMITA
TERKENA RADIASI: Pasien yang diduga terkena radiasi nuklir dirawat
REUTERS/KYODO/FILES
FUKUSHIMA DAIICHI: Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di Provinsi Fukushima, Jepang, beberapa waktu lalu.
kan bahwa Tokyo Electric, operator pabrik tersebut, rupanya
telah membangun fasilitas di
atas patahan seismik aktif.
Serangkaian kebakaran dalam
pabrik setelah gempa memperparah ketakutan publik. Namun,
Tokyo Electric mengatakan
mereka melakukan upgrade fasilitas untuk menahan getaran
kuat. Pabrik tersebut kemudian
dibuka kembali pada 2009.
Tahun lalu, reaktor lain juga
diizinkan dibuka kembali, setelah 14 tahun tidak aktif akibat
sebuah kebakaran. Operator
pabrik tersebut, Monju Prototype Fast Breeder Reactor, yang
berlokasi sekitar 220 kilometer
barat Tokyo, mencoba menutupi besarnya kebakaran dengan
merilis video setelah peristiwa
kecelakaan pada 1995.
Argumen bencana
Dalam hitungan jam setelah
ledakan terjadi di reaktor unit
1 PLTN Fukushima Daiichi,
pendukung nuklir berargumen
bahwa masalahnya cuma satu,
yaitu sebuah bencana alam dalam skala yang belum pernah
dialami di Jepang.
Mereka menunjukkan bahwa
penggalian bahan bakar fosil
juga memiliki sejarah sendiri dalam masalah kecelakaan besar.
Termasuk keruntuhan tambang
batu bara dan tumpahan minyak British Petroleum di Teluk
Meksiko.
Beberapa mengatakan mungkin telah terjadi salah langkah
dalam menangani reaktor unit
1. “Sebuah sumber alternatif air
untuk pendinginan inti seharusnya sudah segera tersedia,” kata
Nils J Diaz, insinyur nuklir yang
memimpin Komisi Pengaturan
Nuklir AS, 2003-2006, yang telah
mengunjungi PLTN Daiichi.
Menurut Diaz, Jepang mungkin telah bertindak terlalu lambat untuk mencegah overheating.
Ketakutan para regulator Jepang
atas reaksi publik, kata dia,
mungkin menunda operator
pabrik untuk bertindak secepat
mungkin.
“Mereka lebih suka menunggu
dan melakukan hal-hal dengan
sempurna daripada melakukannya sekarang,” kata Diaz. Pun
pencarian kesempurnaan ini,
tambahnya, sering menyebabkan orang menyembunyikan
sesuatu atau menunggu terlalu lama untuk melakukan
sesuatu.
Hampir tanpa sumber daya
alam, Jepang memang telah
mempertimbangkan tenaga nuklir sebagai alternatif bahan bakar
sejak 1960-an. Jepang menganggap tenaga nuklir merupakan
cara untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca dan menangkap pasar energi yang besar di
Asia.
Negeri ini merupakan salah
satu konsumen energi nuklir
terbesar di dunia, dengan 17
pembangkit nuklir--berikut 55
reaktor--yang mampu meme-
AP/JOHN MCCONNICO, FILE
MENCAIR: Bongkahan es mencair di Pantai Kulusuk, sebelah selatan Greenland, beberapa waktu lalu. Es abadi di dua kutub, Antartika dan
Greenland, mengalami percepatan pencairan dalam tempo 20 tahun terakhir.
HASIL penelitian memperlihatkan bahwa es abadi di dua kutub, Antartika dan Greenland,
mengalami percepatan pencairan dalam tempo 20 tahun
terakhir. Akibatnya, permukaan
air laut pun mengalami kenaikan
tajam.
Tim ilmuwan menyimpulkan, melelehnya es di dua kutub
lebih cepat daripada perkiraan
para ilmuwan. Kesimpulan
tersebut disampaikan dalam
jurnal Geophysical Research Letter seperti dilansir BBC.co.uk,
awal Maret.
Dari simulasi model iklim
dan data satelit, para ilmuwan
memperkirakan lelehan es dari
dua kutub akan menaikkan
permukaan air laut setinggi 1,3
milimeter per tahun. Namun,
pada kenyataannya, air laut
mengalami kenaikan hingga 3
milimeter per tahun.
Hasil kajian tim ilmuwan
ter sebut memberi tambahan
data untuk hasil pengamatan
yang dilakukan beberapa riset
lainnya. Beberapa kelompok
periset lainnya telah menyatakan
bahwa kenaikan permukaan air
laut memang lebih cepat daripada apa yang diproyeksikan
pada pertemuan Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC), 2007.
Pada 2006, jumlah es Greenland dan Antartika yang mencair
setiap tahunnya mencapai 475
gigaton. Secara rata-rata, mencairnya es di Greenland meningkat 22 gigaton pertahun. Adapun
di Antartika yang lebih dingin,
es yang mencair meningkat 14,5
gigaton per tahun.
Jika peningkatan pencairan
es di dua kutub tetap terjadi,
pada 2050, permukaan air laut
secara global naik hingga 15
cm. Kenaikan tersebut pun
sudah termasuk perkiraan
adanya kontribusi kenaikan
permukaan air laut dari mencairnya air pada gunung-gunung gletser.
“Di masa depan, lempeng es
akan mendominasi kenaikan
permukaan air laut. Itu bukan
hal yang mengejutkan. Lempeng
es memang memiliki es lebih banyak daripada gunung gletser,”
ucap periset Eric Rignot dari
NASA Jet Propulsion Laboratory (JPL), Pasadena, California,
Amerika Serikat.
Apa yang sesungguhnya
mengejutkan, kata dia, adalah
kenaikan permukaan air laut
akibat mencairnya lempeng es
di kutub tengah berlangsung
sekarang ini.
Jika laju rata-rata kehilangan
es pada dua kutub diproyeksikan hingga 2100, kenaikan
permukaan air laut mencapai 56 cm. Angka tersebut memang berbeda dengan apa yang
diproyeksikan IPCC. Pada 2007,
IPCC memproyeksikan kenaikan maksimum permukaan air
laut 59 cm.
Namun, proyeksi itu dilakukan tanpa pemahaman yang
cukup tentang proses pencairan lempeng es. Akibatnya,
proyeksi yang dihasilkan pun
tidak mampu menghasilkan
kesimpulan yang mendekati
akurat.
Sejak 2007, beberapa kelompok periset dengan metode
berbeda menyimpulkan bahwa
pencairan es akan mempengaruhi negara-negara dan kota-kota
kepulauan dengan garis pantai
yang panjang dan rendah, semisal Bangladesh.
“Jika tren sekarang masih
terus berlanjut, permukaan air
laut akan naik secara signifikan, jauh melebihi apa yang
telah diproyeksikan IPCC,”
jelas Rignot. (Dvd/M-3)
nuhi sekitar 30% dari kebutuhan
listrik negara.
Kelompok lingkungan
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan energi negaranya, Presiden Amerika Serikat
Barack Obama mendesak perluasan tenaga nuklir. Februari tahun lalu Obama mengumumkan
pinjaman senilai US$8,3 juta
untuk membangun pembangkit tenaga nuklir selama tiga
dekade.
Baik Demokrat dan Republik
telah meyakini perluasan tenaga
nuklir sebagai cara untuk menghasilkan listrik dan lowongan
kerja. Lonjakan harga bensin
baru-baru ini, serta tumpahan
minyak Teluk Meksiko, juga telah menempatkan kebijakan AS
pada fokus baru, yaitu pembenahan energi dengan mencari lebih
banyak sumber bahan bakar.
Namun, para pakar lingkungan mengatakan apa yang
terjadi di Jepang seharusnya
di sebuah rumah sakit di Nihonmatsu, Provinsi Fukushima, Jepang,
Minggu (13/3). Kecelakaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)
Fukushima Daiichi memperlihatkan kurangnya antisipasi terhadap
ancaman tsunami.
menjadi wake-up call bagi Obama
untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya. “Permintaan
Obama atas pinjaman tambahan
untuk proyek reaktor nuklir kini
mulai dipertanyakan mengingat
tingginya risiko keselamatan
dan adanya limbah radioaktif
dari reaktor nuklir,” ujar Tom
Clements dari kelompok lingkungan Friends of the Earth.
Kelompok ini menentang perluasan tenaga nuklir di AS bahkan sebelum bencana Jepang
terjadi.
Senator independen Joe Lieberman mencatat terdapat 104
pembangkit listrik tenaga nuklir
di Amerika Serikat. Sekitar 23
di antaranya dibangun mirip
dengan desain PLTN di Jepang
yang sekarang menjadi fokus
perhatian dunia.
Tak hanya di AS, kelompok
pecinta lingkungan di Prancis juga telah mengingatkan
negaranya untuk mengakhiri
ketergantungan pada tenaga
nuklir. Menurut mereka, bencana di Jepang menunjukkan
tidak ada jaminan keselamatan
dalam industri nuklir, dan sudah
waktunya membuang teknologi
yang telah menyebabkan bencana nuklir sipil terburuk di
Chernobyl pada 1986 itu. “Risiko
nuklir bukan merupakan risiko
yang benar-benar dapat dikendalikan.” kata Cecile Duflot, ketua
partai hijau Eropa Ecologie-Les
Verts, kepada Reuters.
Prancis memiliki 58 reaktor
nuklir yang tersebar di 19 lokasi,
menyediakan hampir 4/5 kebutuhan listrik negara. Hal ini
menjadikan Prancis negara nuklir kedua terbesar dunia setelah
Amerika Serikat.
Jaringan antinuklir Prancis,
Sortir du Nucleaire, bahkan
berpendapat, meledaknya pembangkit energi nuklir Jepang ini
sebagai tragedi Chernobyl baru.
(Nytimes/Reuters/M-3)
[email protected]
Download