<< Jangan Pecah Belah Bangsaku! >> SETUUJUUU, ... bung Roeslan! Nampak tulisan bung Jaya Suprana “Jangan Pecah Belah Bangsaku”, sebagaimana bung nyatakan dalam kesimpulan, hanyalah “merupakan suatu usaha untuk menutup-nutupi adanya bahaya akut, yang datang dari dalam negeri yang mengancam terjadinya perpecahan bangsa Indonesia” SESUNGGUHNYA! Patut direnungkan bersama, ...! Bagaimana tidak? Kenyataan perubahan kwalitas hal-ihwal di alam semesta ini terjadi akibat faktor-intern, faktor ekstern hanya berperan mempengaruhi saja melalui faktor intern. Sedang bung Jaya tidak menyoroti faktor-intern BANGSA Indonesia dalam belasan tahun terakhir ini, telah tumbuh makin marak pemikiran-pemikiran sumber PERPECAHAN BANGSA! Dari Jenderal Kivlan Zein yang menuntut penafsiran ulang motto “BHINEKA TUNGGAL IKA” , dan Pasal 1 UUD 45, yakni Negara berbentuk kesatuan menjadi persatuan; Pembukaan UUD 45 dan lagu tanah airku, yang berbunyi “tanah tumpah darahku” agar diubah menjadi "tanahku yang tercinta”. Sampai pada usaha dan kegiatan FPI yang kembali berusaha makin keras berlakukan Syariah Islam menggantikan Pancasila, ... Inilah SUMBER PERPECAHAN BANGSA sesungguhnya kalau TIDAK diatasi dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya! Dan nampak jelas, sumber perpecahan bangsa ini makin mencuat tajam dan membuat suasana PILKADA DKI Jakarta menjadi PANAS dan TEGANG, ... dengan diangkatnya isu ayat 51 Al Maidah. Bagaimana mungkin berlakukan ayat-51 Almaidah untuk PILKADA, bahkan PILPRES di Indonesia? Disatu pihak penafsiran ayat 51 itu sendiri bisa berbeda-beda, dipihak lain juga jelas ayat-51 Almaidah belum disahkan menjadi UU dinegara ini! Sedang PILKADA dan PILPRES adalah masalah POLITIK, masalah kepemimpinan pejabat NEGARA yang merupakan pemimpin dalam masyarakat majemuk. BUKAN Pemimpin AGAMA! Jadi perlu penekanan adanya Kebersamaan dari berbagai suku, Agama yang beraneka ragam! Harus bisa menerima gagasan Pluralisme! Bagi sesama umat Islam boleh saja menghimbau, menganjurkan untuk memilih sesama Muslim, tapi TIDAK MELARANG umatnya untuk memilih yang non-Muslim! Itu yang dikatakan Ahok jangan membodohi atau membohongi orang pakai ayat-51 Almaidah. Coba sekarang kita BELAJAR bagaimana ketegasan pemikiran Sukarno dengan gagasan pluralisme. Dalam sebuah pidato di Universitas Indonesia pada 1953, memberi alasan bahwa toleransi agama merupakan kunci untuk persatuan Indonesia, dan diskriminasi 1 agama akan memecah-belah bangsa. Sukarno dengan gagasan kesetaraan bagi seluruh minoritas agama: “Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik.” Lebih lanjut Sukarno menyatakan: “Bukan satu, bukan tiga, bukan ratusan, tapi ribuan orang Kristen gugur dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang diinginkan dari harapan umat Kristen? Haruskah kita tidak menghargai pengorbanan mereka? Harapan mereka bersama-sama menjadi anggota dari rakyat Indonesia yang merdeka dan bersatu. Jangan pakai kata-kata “minoritas,” jangan sekalipun! Umat Kristen tak ingin disebut minoritas. Kita tidak berjuang untuk menyebutnya minoritas. Orang Kristen berkata: “Kami tidak berjuang untuk anak kami untuk disebut minoritas.” Apakah itu yang kalian inginkan? Apa yang diinginkan setiap orang adalah menjadi warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sama dengan saya, dengan ulama, dengan anak-anak muda, dengan para pejabat, setiap orang tanpa kecuali: setiap orang ingin menjadi warga negara Republik Indonesia, setiap orang, tanpa memandang minoritas atau mayoritas.” (Sukarno, “A speech at the University of Indonesia” di Jakarta, 7 Mei 1953, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Jakarta: Equinox 2007) hal. 168-69.) Sekarang, coba perhatikan total penduduk Indonesia sekitar 238 juta orang, menurut sensus 2010. Negara kepulauan ini terdiri lebih dari 17.000 pulau yang jadi rumah bagi 1000 kelompok bahasa, sebagian besar berbasis etnis. Sekira 88 persen mengindentifikasi diri sebagai Muslim, 9,3 persen Kristen, 1,8 persen Hindu, 0,6 persen Buddha, dan sisanya penganut pelbagai agama lebih kecil. ( Penduduk Indonesia berdasarkan Agama Tahun 2010, diterbitkan Kementerian Agama, http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload.pdf -- diakses 3 Maret 2012) Sementara ada ragam mengagumkan di antara mereka yang beridentitas Muslim, tidaklah mengejutkan bila Islam sebagai pokok rujukan kunci dalam diskusi politik dan sosial di Indonesia. Hanya saja sangat disayangkan dan patut disesalkan, kelompok Islam garis KERAS, yang menamakan diri “Darul Islam”, pada 7 Agustus 1949, mengumumkan bentuk Negara Islam Indonesia, di Jawa Barat. Berlanjut dengan melancarkan pemberontakan 2 menggulingkan Pemerintah RI! Dengan sendirinya pemberontakan DI/TII yang dilancarkan kelompok Islam radikal ini cukup melumpuhkan pemerintahan Indonesia, bahkan mengakibatkan tidak sedikit jatuh KORBAN JIWA! Tercatat pemberontakan yang terjadi di tahun 1953 — 1958 itu, korban kedua belah-pihak, pemberontak Islam dan militer Indonesia, mengakibatkan kematian sekitar 11.000 orang. JANGAN LUPA PELAJARAN SEJARAH! Usaha KERAS menegakkan NEGARA ISLAM itulah kenyataan terjadi PERPECAHAN BNAGSA! Dan, sudah menelan 11 ribu KORBAN JIWA! Apakah hendak diulangi dan dilanjutkan dengan berbagai bentuk perjuangan radikal-kekerasan berdarah-darah lagi??? Salam-damai, ChanCT https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/206491 From: roeslan [email protected] [GELORA45] Sent: Monday, April 24, 2017 11:01 PM Refleksi : Pesan dari pak Jaya Suprana Jangan pecah belah bangsaku, dalam menaggapi tulisan investigasi Allan Nairn, saya tanggapi sebagai pesan pengenalan yang tidak tepat; yang dapat dikategorikan dalam gaya bahasa Streotyping (penggunaan steriotip). Menggunakan bahasa dengan bahasa seperti itu mencerminkan adanya kegagakan dalam mengenali perbedaan antara sebab dalam dan sebab luar, yang menyebabkan tetjadinya persatuan atau perpecahan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini saya berpendapat bahwa persatuan bangsa Indonesia adalah sepenuhnya ditentukan oleh sebab dalam, yaitu : 1. Pancasia yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945, versi Bung Karno 2. Doktrin Bineka Tunggal Ika Atas dasar inilah maka disusunlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab luar adalah datang dari Neokolonialisme dan Imperialisme, dan anek-anteknya didalam negeri, yang mencoba intuk memecah belah bangsa Indonesia, tapi gagal total; karena bangsa Indonesia konsekuen mempertahanman Ideolgi pancasila 1 Juniu 1945, dan kebinekaan dan NKRI sebagai harga mati. 3 Kenyataan ini tercermin dalam : pemberontakan PRRI/Permesta yang direkayasa oleh imperialsime AS gagal total, karena bangsa Indonesias dibawah pimpinan Bung Karno tetap besatu dalam menjunjung tinggi Kebinekaan dan Pancsila 1 Juni 1945, dan banyak contoh-contoh lain misalnya politik imperialis ``divide et impera`` alat imperialis untiuk memecah belah kekuatan kita. tapi kita tetap survive.!!! Sebab dalam: Yang menolak kebinekaan, yang tercermin dalam bukunya May jen TNI (Pur) Kivlan Zein, yang berjudul `` Konflik dan Integrasi`` TNI-AD. Yang pada halaman 142-143, disitu dinyatakan bahwa perlunya diadakan penafsiran ulang terhadap motto ``Bineka Tunggal Ika``, dan Pasal 1 UUD 45, yakni Negara berbentuk kesatuan menjadi persatuan; Pembukaan UUD 45 dan lagu tanah airku, yang berbunyi ``tanah tumpah darahku´´agar diubah menjadi ``tanahku yang tercinta``. Sungguh luar biasa sikap politik reaksioner, yang di inginkan Mayjen TNI (Pur) Kivlan Zen ini!!! Dan belakangan ini sikap ketua FPI yang menistakan Pancsia 1 Juni 1945. Meraka-mereka inilah yang secara hakiki hendak memecah belah bangsa Indonesia, ironinya bahaya yang datang dari dalam ini dtutup-tutupi oleh Pak Jaya Suprana. Padahal tulisan investigasi Allan Nairn, sama sekali tidak akan ada effeknya, ini katakan oleh pak jendra Gatot Nurmantyo < http://indeks.kompas.com/tag/gatot.nurmantyo > . Kesimpulan akhir tulisan pak Jaya Suprana yang mengirimkan pesan ``Jangan pecah belah bangsaku!``, hanyalah merupakan suatu usaha untuk menutup-nutupi adanya habaya akut, yang datang dari dalam negeri yang mengancam terjadinya perpecahan bangsa Indonesia. Roeslan. Von: [email protected] [mailto:[email protected]] Gesendet: Montag, 24. April 2017 08:48 An: [email protected]; [email protected]; [email protected] Betreff: [temu_eropa] Jangan pecah belah bangsaku! http://www.antaranews.com/berita/625716/jangan-pecah-belah-bangsaku? Jangan pecah belah bangsaku! Senin, 24 April 2017 11:39 WIB | 884 Views Oleh Jaya Suprana *) Jaya Suprana (ANTARA FOTO/Teresia May) Menarik, membaca tulisan investigasi Allan Nairn berjudul, "Trumps Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President" yang apabila dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia kira-kira 4 berbunyi sebagai berikut : "Sekutu Trump di Indonesia seranjang dengan ISIS yang didukung militer berupaya menggulingkan presiden pilihan rakyat". Konon, informasi tentang gerakan makar untuk menggulingkan Presiden Jokowi itu diperoleh melalui sejumlah wawancara dan dokumen-dokumen yang didapat dari internal TNI, Kepolisian, Intelijen Indonesia, serta Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) yang dibocorkan oleh Edward Snowden. Dalam tulisan hasil investigasi jurnalistik Allan Nairn dengan tokoh-tokoh kunci yang dianggap berseberangan dengan Presiden Jokowi itu disebutkan bahwa kasus penistaan agama yang menimpa Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) hanyalah jembatan untuk menuju tujuan yang lebih besar, yaitu menumbangkan Presiden Jokowi dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Awal gerakkan makar dimulai dari gelombang aksi besar-besaran dengan tema aksi bela Islam yang bermunculan bak jamur di musim penghujan dalam masa Pilkada DKI Jakarta 2017. Aksi-aksi itu sengaja direkayasa sebagai pintu masuk gerakan makar dengan dalih menuntut Ahok agar segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan penistaan terhadap agama Islam dalam kasus Al-Maidah. Gubernur DKJ Jaya yang lebih dikenal dengan nama panggilan Ahok itu adalah berkah bagi gerakan makar melalui kasus terpeleset lidah tentang Al-Maidah ayat 51 itu. Gagal Paham Sebagai seorang insan awam politik, saya tidak malu mengakui bahwa saya sempat mengalami "gagal paham" total akibat kewalahan dalam upaya mengikuti apalagi memahami makna yang terkandung dalam tulisan investigasi Allan Nairn yang ditulis dengan gaya lincah kelas langitan itu. Akibat informasi yang diungkapkan dalam tulisan investigasi dahsyat itu luar biasa luas dan kompleks serta terkesan sedemikian berserakan ke sana ke mari maka daya tafsir saya yang dangkal dan naif ini, kebingungan dalam menghimpun demi merajut kesemuanya menjadi suatu kesimpulan. Kebetulan di dalam naskah investigasi yang ditulis bukan oleh seorang warga Indonesia itu disebutkan nama-nama para warga Indonesia yang menurut tokoh jurnalis investigator bukan warga Indonesia itu layak ditengarai sebagai para pengkhianat bangsa yang berniat menggulingkan presiden yang sudah dipilih secara sah lewat pemilihan umum yang demokratis langsung oleh rakyat Indonesia. Kebetulan sebagian besar para warga Indonesia yang dicurigai ingin melakukan makar itu secara pribadi saya kenal. Sejauh saya mengenal sesama warga Indonesia yang namanya disebut di dalam naskah investigasi Allan Nairn itu, mereka adalah para tokoh bangsa yang sangat cinta kepada Tanah Air Angkasa yaitu Indonesia. Kenyataan 5 Pada kenyataan tokoh-tokoh Indonesia yang disebut di dalam naskah Allan Nairn itu memang aktif di ranah politik maka dapat diyakini bahwa para beliau itu sadar politik dan tentunya juga sadar konstusional sehingga rasanya mustahil jika mereka akan melakukan makar yang secara jelas tergolong perilaku tidak konstitusional. Juga pada kenyataan di negeri Allan Nairn sendiri pasti ada bahkan banyak politisi yang tidak setuju atau tidak suka terhadap presiden yang secara konstitusional telah dipilih oleh rakyat setempat namun sejauh ini velum terbukti bahwa ada politisi negeri Allan Nairn yang ingin melakukan makar. Selama merasa tersinggung belum dilarang secara konstitusional di negeri saya sendiri maka saya berhak untuk merasa tersinggung oleh pernyataan Allan Nairn mengatakan bahwa ada politisi sesama warga Indonesia yang sedang berkomplot ingin melakukan makar sebab dapat diartikan bahwa Allan Nairn menganggap peradaban politik negeri saya lebih biadab ketimbang negeri beliau. Di sisi lain saya mengkhawatirkan naskah investigasi Allan Nairn itu berpotensi mengalihkan fokus perhatian dari kenyataan sumber permasalahan utama yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yaitu kesenjangan sosial akibat kurangnya keberpihakan penguasa terhadap wong cilik . Maka selama demokrasi masih mengizinkan saya memilih sikap pribadi dan selama makar belum nyata terjadi di negeri tercinta saya ini, saya memilih untuk bersikap tidak percaya bahwa ada sesama warga Indonesia tega hati akan melakukan makar di persada Tanah Air Angkasa saya yaitu Indonesia. Sikap ini bukan berarti saya ternina-bobo dibuai kenaifan saya sebab saya justru memilih untuk makin bersikap "eling lan waspada" dalam menghadapi tulisan para warga bukan Indonesia yang mungkin lebih obyektif namun tentu lebih tidak peduli apabila bangsa yang sangat saya cintai ini terpecah belah seperti telah terbukti terjadi dalam tragedi nasional yang menimpa bangsa Indonesia pada tahun 1965 dan 1998. Jangan pecah belah bangsaku ! *) Penulis adalah seniman dan budayawan, WNI yang cinta Indonesia (T.A041/B/M007/M007) Editor: Unggul Tri Ratomo 6