DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU Disusun oleh: Yohandarwati Lenny N. Rosalin I D G Sugihamretha Sanjoyo Utin Kiswanti Guntur Pawoko Susiati Puspasari Fithriyah DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN BAPPENAS 2003 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ i DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 BAB II PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR.............................................. 2 A. Perlindungan Sosial....................................................................................................... 2 B. Jaminan Sosial ................................................................................................................ 3 C. Pendekatan ..................................................................................................................... 4 BAB III SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI ................................................. 5 A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL............................................. 5 A.1. A.2 A.3 A.4 A.5 JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA...................................................................... 5 JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT ........................ 8 PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN .............................. 10 PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT RENTAN....................... 13 JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN KEMATIAN (JASA RAHARJA) .......................................................................................................... 16 B. KEARIFAN LOKAL DAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI DAERAH ............................................................................................. 18 B.1 B.2 B.3 B.4 KABUPATEN TAKALAR- SULAWESI SELATAN ............................................ 18 KABUPATEN SIDOARJO- JAWA TIMUR ........................................................... 19 KABUPATEN SLEMAN- JAWA TENGAH.......................................................... 19 KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT – KALIMANTAN TENGAH ........................................................................................................................ 20 B.5 KOTA PADANG - SUMATERA BARAT ............................................................. 21 C. KONDISI DEMOGRAFI DAN EKONOMI YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN SOSIAL.................................................................................. 21 C.1 KONDISI DEMOGRAFI ........................................................................................... 22 C.2 KONDISI KETENAGAKERJAAN ......................................................................... 27 C.3 KONDISI EKONOMI .................................................................................................. 31 BAB IV PERLINDUNGAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA .................................. 34 (1) Malaysia........................................................................................................................ 34 (2) Filipina ......................................................................................................................... 35 (3) Thailand ....................................................................................................................... 37 (4) Amerika Serikat .......................................................................................................... 37 BAB V REKOMENDASI: DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU ...................................................................................................................... 39 A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR........................................... 39 B. TUJUAN DAN SASARAN ..................................................................................... 40 C. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ................................... 41 C.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Jaminan Sosial .............................................. 41 C.2 Kebijakan dan Strategi Penajaman Bantuan Sosial...................................................... 44 D. KETERKAITAN DENGAN PROGRAM – PROGRAM PEMBANGUNAN ................................................................................................... 46 D.1. Kebijakan Pengembangan Jaminan Sosial .................................................................. 46 D.2. Kebijakan Bantuan Sosial .............................................................................................. 47 E. RANCANGAN KELEMBAGAAN ...................................................................... 50 F. SISTEM PENDANAAN .......................................................................................... 50 G. PRIORITAS ................................................................................................................ 52 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 53 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU i DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4) Indonesia Tahun 1980-2020 .............................................................................................................. 22 Tabel 3.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima Provinsi, 1995 ................. 23 Tabel 3.3. Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase Lansia di Indonesia .............. 24 Tabel 3.4. Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan Pensiun dan Pesangon, 1986-1993 (dalam ribuan) ................................................................................... 25 Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia...................... 35 Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina .......................................... 37 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU ii BAB I PENDAHULUAN UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim SJSN telah menyusun suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi jaminan sosial dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin belum tercantum. Sejak tahun 2002 Bappenas telah melakukan kajian awal mengenai sistem perlindungan dan jaminan sosial yang pada intinya berupaya untuk menuju ke arah pembentukan suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, pada tahun ini Bappenas melakukan kajian yang lebih mendalam dengan output suatu rekomendasi “Desain Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Terpadu”. Dalam implementasi SPS tersebut, masyarakat yang bekerja, dunia usaha dan pemerintah diharapkan dapat bersama-sama menanggung pendanaan sistem tersebut. Salah satu rekomendasi kajian menyatakan perlunya suatu SPS yang dikaitkan dengan sistem administrasi penduduk (unique number system). Dengan demikian, identifikasi penduduk yang layak memperoleh perlindungan sosial akan lebih tepat dan efisien. Disadari bahwa pembentukan suatu SPS memerlukan waktu yang panjang dan lama. Oleh karena itu, implementasi SPS dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah membentuk kebijakan SPS berikut perangkat pendukung baik dari aspek hukum dan kelembagaan. Dalam naskah ini akan dipaparkan suatu desain SPS yang menyeluruh untuk seluruh penduduk Indonesia dan terintegrasi. Namun demikian pada tahap selanjutnya adalah diperlukan strategi pelaksanaan (termasuk master plan) SPS di beberapa daerah yang disesuaikan dengan kemampuan pemerintah, dunia usaha, masyarakat serta sasaran khusus penduduk miskin. Dalam tulisan ini, pertama, akan didefinisikan dahulu tentang pengertian dan prinsipprinsip dasar tentang jaminan dan perlindungan sosial. Keadaan pelaksanaan jaminan dan perlindungan sosial saat ini juga dijelaskan dalam tulisan ini. Sebagai bahan perbandingan tentang pelaksanaan jaminan dan perlindungan sosial, dalam tulisan ini juga di jelaskan secara singkat tentang pengalaman perlindungan dan jaminan sosial di luar negeri. Kondisi makro ekonomi dan demografi di Indonesia merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan SPS di Indonesia. Hal yang terpenting dalam tulisan ini adalah rekomendasi Desain Sistem Perlindungan Sosial Terpadu yang akan dijelaskan dalam tulisan ini meliputi aspek kebijakan, strategi, sasaran, program, kelembagaan, dan pendanaan. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 1 BAB II PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR A. Perlindungan Sosial (social protection). Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara. Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection). Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya. Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna perlindungan sosial itu sendiri. Akan halnya ILO (2002) dalam “Social Security and Coverage for All”, perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan skemaskema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan sosial bisa dibedakan dalam 3 (tiga) lapis (tier): Lapis (tier) Pertama merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh oleh pemerintah; Lapis Kedua merupakan skema asuransi sosial yang didanai dari kontribusi pemberi kerja (employer) dan pekerja; dan Lapis Ketiga merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh swasta. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut berdasarkan kontributor dana dalam tiap skema. Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager dari German Development Institute. Gsager berpendapat bahwa sistem-sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk mendukung penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat. Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga non pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kelompok masyarakat. Menurut Barrientos dan Shepherd (2003), perlindungan sosial secara tradisional dikenal sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan sosial, lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas dari jejaring pengaman sosial. Saat ini perlindungan sosial didefinisikan sebagai kumpulan upaya SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 2 publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi kerentanan, resiko dan kemiskinan yang sudah melebihi batas (Conway, de Haan et al.; 2000). Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui discussion report mengambil definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Nampaknya definisi inilah yang kemudian diadopsi dalam penyusunan konsep SJSN. B. Jaminan Sosial (Social Security). Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan bahwa jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter lainnya. Michael von Hauff dalam “The Relevance of Social Security for Economic Development” mengutip kesepakatan dari the World Summit for Social Development di Kopenhagen tahun 1995, bahwa sistem jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan pembangunan sosial dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Lebih rinci, deklarasi summit tersebut antara lain mencanangkan “to develop and implement policies which ensure that all persons enjoy adequate economic and social protection in the event of unemployment, sickness, during motherhood and child-rearing, in the event of widowhood, disability and in old age.” Selain untuk penanggulangan kemiskinan, jaminan sosial juga berfungsi sebagai perlindungan bagi individual dalam menghadapi kondisi kehidupan yang semakin memburuk yang tidak dapat ditanggulangi oleh mereka sendiri (von Hauff dan de Haan; 1997). Barrietos dan Shepherd (2003) menjelaskan bahwa jaminan sosial lebih sempit dibandingkan perlindungan sosial. Jaminan sosial umumnya dihubungkan dengan hal-hal yang menyangkut kompensasi dan program kesejahteraan yang lebih bersifat ‘statutory schemes’. Adapun bentuk jaminan sosial yang sudah diselenggarakan adalah asuransi sosial yang mencakup asuransi kesehatan (Askes dan Asabri), asuransi kesejahteraan sosial (Askesos), tabungan pensiun (Taspen), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek); kebijakan ketenagakerjaan seperti cuti hamil, cuti haid, tunjangan sakit/kecelakaan yang dibayarkan oleh perusahaan, dll. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 3 C. Pendekatan. Pendekatan yang selama ini digunakan lebih mengarah pada pendekatan berdasarkan permintaan (demand-based). Bahkan dalam naskah akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pun masih tercermin pendekatan tersebut. Salah satu misi yang dicanangkan SJSN adalah “meningkatkan pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa perlu menjadi peserta SJSN.” Semangat yang tercermin dalam misi ini adalah pendekatan demand-based. Di sini diharapkan suatu saat nanti keinginan untuk menjadi peserta dalam skema-skema SJSN akan timbul. Hal ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan, sebab dalam pelaksanaannya, yang dapat terjadi adalah penyelenggaraan pelayanan dengan spirit yang tidak berbeda dengan apa yang ada saat ini. Kemungkinan yang akan terjadi adalah pelayanan pemerintah yang minimal karena penduduk yang memerlukan pelayanan pemerintah; bukan karena sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk menghargai dan menghormati hak penduduk, serta melayani dan memenuhi kebutuhan penduduk. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 4 BAB III SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL A.1. JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (a). Latar Belakang Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri (Lihat Tabel 1). (b). JAMSOSTEK Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua. Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat. Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero. Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24 persen - 1,742 persen dari upah per bulan dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 5 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 5 yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja. Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurangkurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover dalam Jamsostek. Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002. (c). TASPEN Untuk itu pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Di samping itu, penyelenggaraan program jaminan kesejahteraan PNS diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN (Persero) ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM. Pengelolaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969 pendanaan pensiun dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar) dan telah dilakukan sampai dengan akhir 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan sistem funded dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75 persen dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25 persen dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS. Sumber dana program tabungan hari tua PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 3,25 persen dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan sumber dana untuk program dana pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75 persen dari penghasilan peserta setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah gaji pokok + tunjangan istri + tunjangan anak. Disamping itu, PNS juga dikenakan iuran sebesar 2,00 persen dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar iuran program kesehatan. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 6 Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan sekarang didasarkan pada keputusan direksi dengan formula: (0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 – P2000)). MI 1: Masa Iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti. MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti. Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah 2,5 persen x masa kerja x penghasilan dasar pensiun. Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen (Persero), Bank, dan Kantor Pos. Sasaran program jaminan sosial hari tua/pensiun yang dilaksanakan oleh PT (Persero) Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan – Keamanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku adalah peserta; atau janda/duda dari peserta, dan janda/duda dari penerima pensiun; atau yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun; atau orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta; atau istri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia. (d). ASABRI Program kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI. Dalam penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun. (e). ASKES Sistem perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem Asuransi Kesehatan (yang diselenggarakan oleh PT Askes), untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan antara lain, konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, pemeriksaan dan pengobatan gigi, dan lainnya. Visi ke depan PT Askes adalah menjadi spesialis asuransi kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan untuk mengantisipasi penerapan Jaminan Sosial Nasional yang sedang disusun pemerintah. Dengan pengalaman mengelola asuransi kesehatan selama 34 tahun dengan 14 juta peserta, PT Askes berharap menjadi market leader dan center of excellence asuransi kesehatan. Potongan iuran wajib atau premi untuk dana pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan Presiden. Keputusan Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Presiden No. 8 tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari penghasilan pegawai digunakan untuk pemeliharaan kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian dengan UU No. 43 tahun 1999, pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan pemerintah menanggung subsidi dan iuran yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri sipil, pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan, PT Askes juga menyelenggarakan Askes komersial untuk perusahaan swasta yang memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 7 . Berkaitan dengan otonomi daerah, PT Askes menawari pemerintah kabupaten/kota untuk membelikan produk suplemen/menambah premi untuk pegawai negeri dan keluarganya, sehingga jika berobat tidak perlu lagi iur biaya. Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, seluruh pegawai negeri sudah diberi paket suplemen. Pemerintah Daerah Papua juga mengundang PT Askes untuk mengelola jaminan pemeliharaan kesehatan rakyatnya. Selain itu, untuk meningkatkan komunikasi, Askes menyelenggarakan pertemuan rutin dengan organisasi provider (penyedia jasa layanan kesehatan), seperti Asosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada) dan rumah sakit perusahaan jawatan. Askes juga memiliki situs web dan e-mail untuk berkomunikasi. Saat ini Askes sedang menyiapkan buku saku untuk peserta maupun provider, serta berencana menyediakan formulir keluhan yang bisa dikirim ke Direktur Askes maupun kantor cabang sebagai mekanisme kontrol bagi Askes maupun provider. A.2 JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT (a) Latar Belakang Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Semestinya harga yang tidak terjangkau masyarakat ini bisa dikendalikan dengan asuransi kesehatan sosial. Namun, apabila hendak mengikuti asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar premi asuransi komersial. Cara terbaik untuk mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan adalah memperbaiki pembiayaan kesehatan dengan jaminan kesehatan sosial. Asuransi kesehatan dipandang sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan. Namun permasalahannya adalah hingga kini manajemen sistem asuransi banyak mengalami hambatan untuk mengimplementasikan konsep-konsep asuransi. Bila ditinjau dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H (1) menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan konstitusi WHO, yang menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu negara bertanggung jawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya terpenuhi. Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan keluarga miskin (Gakin), melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk pelayanan kesehatan dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru). Kemudian, pada akhir tahun 2001 disalurkan dana subsidi bahan bakar minyak (PDPSE) untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional Puskesmas, Bidan di Desa, Gizi, Posyandu, Pemberantasan penyakit menular (P2M) dan rujukan RS. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 8 (b) Konsep JPKM Masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, namun upaya kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) yang diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. JPKM mengarah kepada penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. JPKM bukan asuransi biasa, melainkan asuransi plus. Dalam arti, mengambil dana masyarakat dalam bentuk premi, kemudian melaksanakan pembiayaan kesehatan secara paripurna dan terkendali lewat pembayaran prospektif kepada penyedia pelayanan kesehatan, disertai sistem kendali mutu dan pemantauan utilisasi. Untuk menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, pemerintah meluncurkan sistem jaminan kesehatan dalam bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin). Nantinya, subsidi pemerintah untuk keluarga miskin tidak langsung disalurkan ke pemberi pelayanan kesehatan (puskesmas, bidan atau rumah sakit), melainkan lewat badan penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan (Bapel JPK). Bapel JPK bertugas mengelola kepesertaan, membayarkan dana ke pemberi pelayanan kesehatan serta menjaga mutu pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah/dinas kesehatan bertindak sebagai pembina/pengawas. Dengan sistem ini akan terjadi pemisahan fungsi yang tegas dan saling mengontrol. Keluarga miskin didorong memanfaatkan pelayanan serta dilayani secara terpadu oleh puskesmas dan rumah sakit. UU No. 23 tahun 1992 telah menetapkan bahwa JPKM sebagai cara yang terbaik karena diterapkan kendali biaya, kendali mutu dan kendali pemerataan kebutuhan bagi pesertanya. Sampai dengan akhir tahun 2002, cakupan JPKM baru mencapai 20,2 persen (Data Susenas) dengan coverage 6,3 persen keluarga miskin yang memperoleh kartu sehat JPSBK. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/Menkes/Per/VII/1993 mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan kesehatan. Paket ini diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara untuk kepentingan peserta dalam rangka melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan, yang meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat darurat dan penunjang. Penetapan biaya pelayanan kesehatan per kapita (kapitasi) yang dibayar oleh penyelenggara kepada PPK dihitung berdasarkan ketetapan tentang jenis pelayanan, utilisasi/kunjungan, dan biaya satuan (unit cost). Berdasarkan asumsi di tingkat pusat kapitasi pelayanan kesehatan (yankes) Gakin untuk paket harkes standar/dasar dengan tarif Perda subsidi, seperti berikut: No 1 2 3 4 Jenis Pelayanan Rawat jalan Tk I (Puskesmas) Rawat jalan spesialistik (RS Pemerintah) Rawat Inap (5 hari) Gawat Darurat Kunjungan Rata-rata Peserta 14,00 2,00 Tarif Perda (Rp) Biaya Per kapita 1.000 5.000 140 100 0,290 0,037 200.000 20.000 580 7 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 9 Jumlah biaya pelayanan kesehatan per kapita per bulan adalah Rp. 827,Dengan memperhitungkan biaya administrasi penyelenggara sebesar 8 persen, maka dihitung premi sebesar = 100/92 x Rp. 827,- = Rp. 899,-/kapita/bulan atau premi Gakin sebesar = 4 x Rp. 899,- = Rp. 3.596,-/keluarga/bulan. Dalam jangka panjang JPK Gakin akan diintegrasikan dengan asuransi sosial kesehatan yang mencakup seluruh penduduk. Asuransi sosial kesehatan bersifat wajib bagi seluruh penduduk, sedangkan JPKM bersifat sukarela. Untuk pembayarannya, premi bagi keluarga miskin dibayar oleh pemerintah, sedangkan keluarga mampu diminta membayar sendiri preminya. Paket pelayanan standar untuk keluarga miskin meliputi rawat jalan di puskesmas, rawat jalan spesialistis di rumah sakit, rawat inap di rumah sakit sesuai kebutuhan medik untuk ratarata lima hari serta pelayanan gawat darurat di puskesmas maupun rumah sakit. Sedangkan jenis perawatan bagi keluarga miskin yang telah dilaksanakan di rumah sakit adalah persalinan, tuberkulosis paru, gastroenteritis/gangguan pencernaan, bedah, tifoid, gastritis/radang lambung, febris/demam, hernia, asma, dan malaria. Pemerintah berniat untuk mengintegrasikan program bantuan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin dengan asuransi sosial kesehatan. Selain itu, adanya upaya pemerintah pusat untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam memelihara kesehatan penduduk miskin lewat kontribusi dana. Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah (APBN, APBD I, dan APBD II) dan masyarakat (rumah tangga, perusahaan, dan asuransi/jaminan kesehatan) masih sangat rendah, berkisar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai tersebut setara dengan US$12/kapita/tahun. Dari besaran pembiayaan kesehatan setahun, kontribusi pemerintah berkisar 30 persen (US$ 3,5/kapita). Sementara kontribusi masyarakat berkisar 75-80 persen berupa pengeluaran rumah tangga atau membayar dari kantong sendiri. Hanya sebagian kecil (berkisar 20 persen) yang merupakan pengeluaran terorganisasi oleh perusahaan asuransi/jaminan kesehatan. A.3 PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN (a). Latar Belakang Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis. Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah satu komponen pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis keluarga tersebut akan jatuh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa keluarga tersebut mengambil keputusan untuk “mengerahkan” seluruh anggota keluarganya untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu menambah pendapatan keluarga. Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 10 Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid Sekolah Dasar/SD dan SLTP, ditambah dengan murid Sekolah Menengah Umum/SMU dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out. (b) Landasan Hukum Landasan hukum bagi pembangunan dan jaminan sosial di bidang pendidikan adalah UUD 1945 Amandemen keempat tanggal 10 Agustus 2002, baik pada Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan Pasal 31 dalam ayat-ayatnya menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang; dan (3) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Selanjutnya, Pasal 34 dalam ayatayatnya menyatakan bahwa: (1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara; dan (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Landasan hukum lainnya adalah: UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Bekerja; dan UU No. 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak; serta Keputusan Presiden tentang Penanggulangan Kemiskinan. (c) Konsep Sistem Perlindungan Pendidikan Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini adalah sistem perlindungan dan jaminan sosial dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk miskin agar dapat tetap bertahan dan atau melanjutkan pendidikannya. Untuk itu, Pemerintah telah mengembangkan program Jaring Perlindungan Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama pada JPS bidang pendidikan diprioritaskan pada upaya-upaya seperti mengurangi angka putus sekolah yang cenderung meningkat, khususnya pada tingkat SD dan SLTP yang merupakan paket “Wajib Belajar Sembilan Tahun”, dan untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa untuk murid SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), SLTP/Madrasah Tsanawiyah (MTs.)/SLTP Luar Biasa (SLTPLB), dan SMU/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah (MA)/Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Di samping itu, juga diberikan dana bantuan operasional (DBO) bagi SD/MI/SDLB, SLTP/MTs./SLTPLB, dan SMU/SMK/MA/SMLB, yang dimaksudkan untuk mendukung biaya operasional dan pemeliharaan sekolah, agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan lancar. Kegiatan JPS bidang pendidikan didanai dengan APBN dan Pinjaman Luar Negeri (PLN), yang berasal dari World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB). Pengalokasian pendanaan adalah sebagai berikut: a. ADB : 16 provinsi; DKI, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, dan Irian Jaya. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 11 b. c. WB : 11 provinsi di luar ADB; DI Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, DI Yogyakarta, dan Timtim. APBN : Beasiswa untuk tingkat SD dan SMU, DBO untuk setingkat SMU, serta sasaran lainnya di luar ADB dan WB. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan: 1) sasaran dan sumber dana; 2) persyaratan siswa penerima beasiswa bagi siswa SD/MI/SDLB, dan siswa SLTP/MTs./SLTPLB, dan siswa SMU/SMK/MA/SMLB, serta 3) persyaratan bagi sekolah penerima dana bantuan operasional (DBO). Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk: 1) Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya; 2) mekanisme penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran dana; dan 3) sistem monitoring dan evaluasi. Sehubungan dengan akan berakhirnya JPS, maka Pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional), telah melaksanakan program serupa, yaitu melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), pada periode 2002/2003. Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan program PKPS BBM ini menggunakan sistem yang sama dengan JPS, hanya sumber dananya berasal dari APBN murni. Program ini juga memberikan beasiswa/Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah (BKS), sebagaimana JPS dengan pemberian beasiswa dan DBO-nya. Pada periode Januari – Juni 2003, BKM ini akan diberikan kepada 2,2 juta siswa SD (7 persen dari total siswa SD); 1 juta siswa SLTP (10 persen dari total siswa SLTP); dan 400 ribu siswa SMU (8 persen dari total siswa SMU). Jumlah bantuan yang akan diberikan per tahun masing-masing sebesar Rp 120.000,00 bagi siswa SD, Rp 240.000,00 bagi SLTP, dan Rp 300.000,00 bagi SMU. Adapun untuk periode Juli – Desember 2003, BKM tersebut akan diberikan kepada 5,75 juta siswa SD (19 persen dari total siswa SD); 1,75 juta siswa SLTP (18 persen dari total siswa SLTP); dan 600 ribu siswa SMU (12 persen dari total siswa SMU), dengan jumlah bantuan yang sama dengan periode sebelumnya. Adapun besarnya DBO atau BKS masing-masing adalah Rp 2 juta bagi SD, Rp 4 juta bagi SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU. Data selengkapnya mengenai realisasi JPS bidang pendidikan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998-2003, dapat dilihat pada Tabel Realisasi Pemberian Bantuan JPS Bidang Pendidikan 1998/1999-2002/2003 (terlampir). Di samping JPS bidang pendidikan, pada tahun 1998-2002, ADB juga telah memberikan bantuan pendidikan dalam bentuk JPS bidang sosial (JPS-BS). Bantuan ini berbentuk beasiswa bagi anak jalanan dan anak terlantar, yang diberikan secara block-grant kepada Rumah Singgah dan Panti Asuhan di 8 kota besar. Kedelapan kota besar tersebut adalah DKI, Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Palembang. Pada awalnya sempat terjadi duplikasi sasaran antara JPS pendidikan dengan JPS-BS, namun sejak diberlakukannya uang registrasi bagi penerima beasiswa JPS-BS, kemungkinan tersebut dapat dikurangi. Untuk mengembangkan skema yang sudah ada dalam kaitannya dengan SPJS di bidang pendidikan, diusulkan beberapa alternatif konsep awal SPJS di bidang pendidikan, antara lain: 1) pemberlakuan ketentuan khusus dalam berbagai ketentuan yang berkaitan dengan masalah keuangan, seperti uang pangkal, uang gedung, ujian sekolah, ujian nasional; 2) pemberlakuan model subsidi silang dalam pembiayaan pendidikan; 3) pengalokasian dana khusus bagi daerah terpencil, daerah bencana alam, dan daerah kerusuhan; 4) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak putus sekolah, anak-anak dari keluarga miskin, anak-anak yang tidak tamat dalam SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 12 program wajib belajar, anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 5) penyediaan layanan pendidikan bagi anak-anak cacat; dan 6) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak yang memiliki kemampuan luar biasa. (d) Sasaran Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah keluargakeluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan SMU. Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah: 1) anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan; 2) anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah bencana alam, daerah kerusuhan; 3) anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 4) anak-anak cacat; dan 5) anak-anak yang berprestasi. Adapun sasaran bagi JPS-BS adalah anak jalanan dan anak terlantar yang bersekolah, dengan sepengetahuan dari Rumah Singgah/Panti Asuhan yang bersangkutan. A.4 PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT RENTAN (a) Latar Belakang Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini pula kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai dengan tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan 13,4 juta di antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor). Pemerintah, dalam mengupayakan kesejahteraan sosial rakyat terutama masyarakat yang tergolong rentan seperti penduduk miskin, lanjut usia, anak, penyandang cacat ganda (fisik dan mental), serta penduduk yang tinggal di kawasan terpencil, telah menyelenggarakan beberapa bentuk perlindungan sosial. Namun hingga saat ini penduduk rentan serta yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum tersentuh oleh skema-skema tersebut sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap ketidak stabilan perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu, diperlukan suatu sistem yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi mereka dalam menghadapi ketidak stabilan ekonomi maupun sosial. Salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan sosial yang sepatutnya diterima oleh penduduk miskin, adalah melakukan uji-coba skema Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Melalui Askesos, penduduk miskin yang bekerja di sektor informal diharapkan akan dapat menikmati sistem asuransi sosial yang kemudian dapat menurunkan resiko ancaman ketidaksejahteraan sosial sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, ataupun meninggal dunia. (b) Kondisi Saat Ini Saat ini dengan berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah seperti yang telah diutarakan sebelumnya, tidak dapat disangkal bahwa dalam SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 13 penyelenggaraannya, skema-skema tersebut saling tumpang tindih. Bahkan, terjadi keragaman dalam pengertian dan cakupan dari skema-skema tersebut, misalnya: (1) Bantuan sosial. JPS merupakan bagian dari perlindungan sosial yang diberikan oleh pemerintah dalam menghadapi masa krisis ekonomi. Sebagai rescue project, maka JPS tidak direncanakan untuk bertahan dan berlanjut setelah masa krisis berakhir. Saat ini JPS telah memasuki tahap akhir (exit strategy), selama tahun 1998 hingga 2002 telah berhasil memberikan perlindungan sosial bagi sebagian penduduk penduduk miskin dan rentan selama masa krisis ekonomi berlangsung. Adapun perlindungan yang diberikan melalui JPS adalah di bidang kesehatan (kartu sehat), pendidikan (beasiswa dan dana bantuan operasional), kesejahteraan sosial (a.l. anak jalanan), keluarga berencana (kontrasepsi), dan usaha ekonomi (padat karya). Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kondisi krisis ekonomi, tercermin dalam pelaksanaan proyek JPS yang mengalami berbagai hambatan. Proyek JPS tidak terbentuk melalui sebuah perencanaan yang matang, melainkan melalui pengambilan keputusan darurat (seringkali disebut sebagai crash program). Sebagai akibatnya mekanisme penetapan sasaran penerima manfaat JPS tidak tepat, penyaluran dana tidak lancar, dan cakupan bantuan tidak konsisten, serta terjadi “kebocoran” dana selama masa lima tahun pelaksanaan JPS. Oleh karena itu, sistem perlindungan yang diharapkan di masa mendatang harus mencakup perlindungan secara otomatis dan sistematis dari dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama bagi kelompok penduduk rentan. Bentuk perlindungan sosial lain yang telah dilaksanakan pemerintah adalah pemberian subsidi beras bagi penduduk miskin saat terjadi paceklik panjang maupun krisis. Selama masa krisis ekonomi, Operasi Pasar Khusus (OPK) beras memungkinkan penduduk miskin untuk membeli beras seharga kurang dari setengah dari harga resmi. Namun, menurut studi dari SMERU, terjadi “kebocoran” dana dan salah target dalam pelaksanaannya, yakni mencapai sekitar 50%. Pemerintah juga telah memberikan perlindungan sosial dalam bentuk Kompensasi Kenaikan BBM sejak dicabutnya subsidi BBM pada tahun 2001. Hingga kini bantuan tersebut masih berlanjut khusus untuk bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, usaha kecil dan menengah, dan pertanian. Kompensasi Kenaikan BBM akan berakhir pada tahun 2004. Bantuan sosial yang diselenggarakan pemerintah (melalui Departemen Sosial) diberikan pada penduduk miskin, korban bencana alam/konflik, korban tindak kekerasan, dan pekerja migran yang bermasalah. Bentuk bantuan umumnya berupa biaya pangan (permakanan), transport dari tempat asal ke tempat pengungsian dan sebaliknya pada saat pemulangan/relokasi pengungsi, serta biaya perbaikan tempat tinggal. (2) Jaminan sosial. Saat ini upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan sosial adalah dengan Jaminan Kesejahteran Sosial (JKS), yang juga masih dalam tahap uji coba. Bentuk dari Jaminan Kesejahteraan Sosial ini terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan Sosial; dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individual, keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS terbagi dalam dua skema, yaitu skema permanen dan skema sementara. BKS Permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen seperti lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda). Adapun BKS Sementara diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen seperti korban bencana alam dan sosial. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 14 Menyimak skema-skema BKS, nampak bahwa skema BKS Permanen mirip dengan salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial, pelayanan sosial juga diperuntukkan bagi lanjut usia terlantar dan penyandang cacat. Perbedaan dari kedua upaya tersebut hanya pada mekanismenya. BKS permanen yang diujicobakan saat ini adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR). JKS-GR memberikan modal usaha kepada kelompok-kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut kemudian disisihkan sebagian untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dengan kata lain, jaminan kesejahteraan sosial tidak diberikan secara langsung pada PMKS, tetapi dengan melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Sedangkan mekanisme yang digunakan dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial dana diberikan secara langsung kepada PMKS. Kelemahan dari skema JKS-GR ini adalah bahwa kelompok-kelompok yang menjadi sasaran penerima bantuan modal umumnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong miskin dengan penghasilan yang sangat terbatas. Penghasilan dari usaha kelompok bisa diperkirakan hanya akan cukup untuk keperluan mereka sendiri. Dengan mensyaratkan mereka untuk membagikan sebagian dari hasil usaha mereka pada PMKS permanen, tentu akan terasa sangat membebani. Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini, apakah bila JKS-GR ini bisa berjalan dengan sukses dan kemudian dapat diterapkan secara nasional, maka kegiatan serupa di program pengembangan potensi kesejahteraan sosial akan dihapuskan? Patut dicatat bahwa mekanisme JKS-GR ini merupakan bentuk pelibatan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan upaya meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penduduk rentan. Demikian pula halnya dengan BKS Sementara yang serupa dengan salah satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial dengan sasaran utama penerima manfaat (target beneficiary) adalah korban bencana alam dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian. Bentuk lain dari JKS adalah Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) yang saat ini juga masih dalam tahap uji coba. Keanggotaannya masih bersifat sukarela dan terbatas dengan sasaran utama sebagai klien adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dll. Skema asuransi ini hampir sama atau bahkan sama dengan ujicoba yang dilakukan oleh Jamsostek dalam upayanya meningkatkan cakupan kepesertaan ke sektor informal. Pemerintah – dalam hal ini Departemen Sosial – berharap dapat kelak mengembangkan Askesos dalam skala nasional dan dengan keanggotaan yang bersifat wajib, berlaku bagi semua orang. Walaupun demikian, tantangan yang dihadapi untuk menyukseskan skema ini sangat besar, dengan berbagai kelemahannya yang harus diatasi terlebih dahulu. Kelemahan-kelemahan skema Askesos adalah: a) rancangan struktur organisasi yang kurang mencerminkan fungsi instansi pemerintah sebagai fasilitator dan regulator serta terlalu panjang berjenjang; b) penetapan besaran premi/iuran yang menggunakan nilai nominal, sehingga kurang mencerminkan kondisi dan kemampuan penduduk miskin di daerah yang tentu saja berbeda; c) penetapan besaran klaim yang menggunakan nilai nominal, sehingga kurang mencerminkan kondisi, kebutuhan dan kemampuan penduduk miskin di daerah yang tentu saja berbeda; d) penetapan jenis pertanggungan yaitu persyaratan yang cukup berat bagi peserta untuk mendapatkan klaim, seperti keterangan dokter yang ditunjuk, keterangan kepala sektor kepolisian setempat, keterangan ketua RT dan RW, keterangan dari kelurahan dan berita acara yang dibuat oleh petugas Askesos. Semua dokumen tersebut diperlukan untuk mendapatkan SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 15 klaim yang berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 600.000 tergantung lama keanggotaan dan jenis klaim. Persyaratan klaim tersebut masih belum pro-poor, sebab penduduk miskin tidak mempunyai cukup uang untuk transpor harus ke sana ke mari untuk mengurus semua dokumendokumen tersebut, belum lagi beban administrasi yang harus mereka tanggung. Selain kelemahan tersebut, skema Askesos juga akan sangat memberatkan pemerintah, sebab sharing premi-nya sangat timpang. Pemerintah harus menanggung sebagaian besar dari beban premi sebab pesertanya adalah penduduk yang tidak mampu, yang berpenghasilan sangat minim. Selain itu, seluruh atau sebagian besar biaya administrasi juga harus ditanggung pemerintah. Bila skema ini diperluas hingga tingkat nasional, kemungkinannya adalah pemerintah harus menanggung sebagian besar premi dari sekitar 37,5 juta orang atau paling tidak 13,4 juta orang yang sangat miskin, padahal kemampuan keuangan negara sangat terbatas, dan pemerintah telah pula menanggung sebagian dari beban asuransi yang telah lebih dulu berjalan seperti Jamsostek, Askes, Taspen, Jasa Raharja, dan Asabri. Satu bentuk perlindungan sosial yang belum terselenggara dengan baik adalah perlindungan hukum. Masyarakat miskin, cacat, terlantar, lansia, dan anak-anak, menjadi semakin tidak berdaya dengan tidak adanya perlindungan hukum. Hak-hak mereka akan dengan mudah terlindas tanpa adanya perlindungan hukum. Studi yang dilakukan oleh Univ. Muhammadiyah mengindikasikan bahwa salah satu faktor utama lingkaran setan kemiskinan yang sulit dipecahkan, adalah lemahnya posisi orang miskin di dalam sistem hukum. Oleh sebab itu, perlindungan hukum adalah sangat esensial bagi penduduk miskin. Menurut studi tersebut, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum menjalani persidangan tanpa didampingi oleh pengacara, dan walaupun tidak ada pidana mati bagi anakanak, sebagian besar hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman penjara, bukan hukuman denda ataupun hukuman non-penjara lainnya. Selain itu, meningkatnya jumlah anak yang dieksploitasi dan diperlakukan salah oleh orang dewasa baik secara fisik dan emosional merupakan indikasi yang kuat akan kebutuhan yang besar bagi anak akan perlindungan hukum yang memadai. A.5 JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN KEMATIAN (JASA RAHARJA) (a) Latar Belakang Program jaminan sosial pemerintah yang memberikan perlindungan dan santunan kematian adalah ”Perusahaan Negara Kerugian Jasa Raharja” yang berdiri sejak tanggal 1 Januari 1965 dengan tugas khusus mengelola pelaksanaan UU No.33 dan UU No. 34 tahun 1964. UU No.33/64 Jo PP No. 17/65 merupakan bentuk santunan kepada masyarakat yang mengalami musibah, kecelakaan dalam perjalanan. Sedangkan UU No. 34/64 Jo PP No. 18/65 merupakan bentuk santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat menggunakan transportasi umum. Undang-undang no 33/64 Jo PP no.17/65 berisi tentang: (1) korban yang berhak atas santunan meliputi setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan; (2) kendaraan bermotor umum (bis) yang berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry tersebut mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi korban akan diberikan jaminan ganda; (3) bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti mobil pariwisata, mobil sewa, dan lainSISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 16 lain terjamin juga; (4) jaminan bagi penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada putusan pengadilan negeri. Sedangkan ruang lingkup UU no 34/64 Jo PP No 18/65 menyatakan bahwa korban yang berhak atas santunan, adalah pihak ketiga yaitu: (1) setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, sebagai contoh adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor; (2) setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaraan bermotor yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi; (3) tabrakan dua atau lebih kendaraan bermotor apabila dalam laporan hasil pemeriksaan kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi maupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin; (4) pada kasus tabrak lari akan terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya; (5) pejalan kaki di atas rel atau jalanan kereta api dan atau menyeberang sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerat api; (6) pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan sebagaimana lazimnya kereta api akan lewat, apabila tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin. (b) Besaran Premi Dan Santunan Iuran Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan No. 415/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/danau, ferry/ penyeberangan, laut dan udara. Untuk Sumbangan Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan No.416/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Teknis pengenaan premi adalah; (1) Iuran Wajib: setiap penumpang yang akan menggunakan alat transportasi umum membayarkan iuran wajib yang disatukan dengan ongkos angkut pada saat membeli karcis atau membayar tarif angkutan dan pengutipan ini dilakukan oleh masing-masing operator (pengelola) alat transportasi tersebut; (2) Sumbangan Wajib: pembayarannya dilakukan secara periodik (setiap tahun) di kantor Samsat pada saat pendaftaran atau perpanjangan SIM. Pembayaran premi dalam program asuransi kecelakaan dikenal dengan 2 (dua) bentuk yaitu Iuran Wajib (IW) dan Sumbangan Wajib (SW). IW dikenakan kepada penumpang alat transportasi umum seperti kereta api, pesawat terbang, bus dan sebagainya. Sedangkan khusus penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota dan kereta api jarak pendek (kurang dari 50 km) dibebaskan dari pembayaran IW tersebut. SW dikenakan kepada pemilik / pengusaha kendaraan bermotor. Besarnya santunan UU No. 33 & 34 tahun 1964 yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 415/KMK.06/2001 dan 416/KMK.06/2001 tanggal 17 Juli 2001: Angkutan Umum Jenis Risiko Darat, Laut Udara Meninggal Rp.10.000.000,- Rp.50.000.000,- Cacat tetap Rp.10.000.000,- Rp.50.000.000,- Biaya Rawatan Rp. 5.000.000,- Rp.25.000.000,- Biaya Kubur Rp. 1.000.000,- Rp. 1.000.000,- SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 17 B. KEARIFAN LOKAL DAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI DAERAH B.1 KABUPATEN TAKALAR- SULAWESI SELATAN Di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, program-program yang berhubungan dengan perlindungan sosial berada pada beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan Nasional. Perlindungan sosial di bidang kesehatan dilaksanakan melalui strategi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), yang berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan. Ciri-cirinya adalah berkesinambungan, terjaga mutunya, dan terkendali biayanya, yang dilaksanakan melalui sistem pelayanan kesehatan prabayar yang paripurna (menyeluruh) dan berjenjang, dengan pelayanan tingkat pertama yang bermutu dan efisien. Pemeliharaan kesehatan paripurna tersebut mencakup upaya-upaya: promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan). Selain itu, ada suatu sistem jaminan sosial yang dikembangkan seperti dana sehat, yaitu dengan penyediaan biaya kesehatan yang tidak diperoleh masyarakat; dana untuk ibu hamil resiko tinggi, dengan sasaran pasangan usia subur (PUS) dari keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I. Skema yang dilaksanakan adalah dengan tabungan dan dana talangan/dana abadi (dari UNICEF). Bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, perlu diberikan pada anak, khususnya pada usia pendidikan dasar 7-15 tahun. Namun, permasalahan yang terjadi di Kabupaten Takalar adalah meningkatnya angka drop out sekolah, akibat banyaknya anak yang bekerja membantu orang tuanya, karena sebagian besar mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Khusus bagi yang berdomisili di daerah pesisir pantai kebanyakan mereka membantu orang tuanya mencari nafkah di laut. Selain itu, banyak pula anak usia pendidikan dasar yang pindah ke kota dan bekerja sebagai tukang batu, tukang becak, dan sebagainya. Di bidang ketenagakerjaan, para pegawai menginginkan adanya perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan jaminan sosial. Hal ini karena beberapa kasus kecelakaan dan penyakit akibat pekerjaan yang kurang mendapat perhatian dari perusahaan tempat mereka bekerja, dan hal tersebut mengakibatkan hilangnya penghasilan pegawai yang bersangkutan sementara tidak bekerja. Dalam hal pemberian jaminan sosial, Pabrik Gula Takalar (yang bernaung di bawah PTPN XIV), memberikan jaminan sosial bagi karyawannya dalam bentuk jaminan kesehatan yang diselenggarakan melalui klinik dan dokter perusahaan dan RS Pemerintah dan swasta. Sedangkan, PT Jasa Raharja memberikan perlindungan sosial kepada seluruh penduduk tanpa kecuali, yaitu untuk korban kecelakaan lalu lintas sebagai penumpang dan korban kecelakaan lalu lintas umum. Selain itu, ada suatu kelompok sistem kearifan lokal yang berhubungan dengan jaminan sosial yaitu kelompok ‘Sinoman’, yang mengumpulkan sejumlah dana untuk memberi bantuan bagi keluarga orang yang meninggal. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 18 B.2 KABUPATEN SIDOARJO- JAWA TIMUR Pada saat ini, pembangunan Kabupaten Sidoarjo menekankan pada dua aspek prioritas yaitu; meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro Growth) dan pembangunan sosial yang nya (dan Pro Poor). Dengan demikian upaya-upaya penurunan penduduk miskin serta peningkatan ekonomi lokal menjadikan sasaran utama. Pelaksanaan bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan dilakukan melalui; (a) Block Grant yang diberikan kepada institusi pendidikan (SD dan SLTP) di kabupaten untuk Beasiswa dan subsidi biaya minimal mencakup transportasi, seragam, dan alat tulis sekolah bagi siswa; dan bantuan sosial air bersih bagi tenaga pendidik; (b) Perlindungan sosial bidang pendidikan termasuk PADU dan Kejar Paket A, B, dan C; (c) Life skill saat ini termasuk dalam bantuan sosial dengan sasaran diutamakan bagi anak muda yang tidak sekolah, tidak bekerja, dan miskin. Di bidang kesehatan pelayanan kesehatan membutuhkan dana Rp 3 miliar per tahun untuk pelayanan kesehatan gratis di puskesmas bagi 450 ribu kepala keluarga. Namun demikian dari segi pendanaan belum mencukupi karena saat ini total APBD saat ini hanya Rp 5 miliar. Untuk itu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2003, telah dilakukan uji coba pelaksanaan JPKM di satu kecamatan. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh Pelayanan dasar di Puskesmas adalah Rp. 2000 setiap KK dan dibayarkan kepada Badan Pelaksana JPKM di Kab Sidoarjo. Sebagai perbandingan bila penyelenggaraan melalui ASKES memerlukan biaya Rp. 15.000 setiap KK. Perlindungan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kab. Sidoarjo saat ini mencapai 16 ribu orang dengan 22 jenis masalah kesejahteraan sosial. Dinas sosial telah memprioritaskan dalam rehabilitasi anak jalanan, WTS, dan gelandangan. Sedangkan Dinas Tenaga Kerja, juga menjalankan bantuan sosial, asuransi, dan pelayanan sosial bagi tenaga kerja. Metode yang digunakan untuk asuransi adalah tripartite, dengan sharing beban premi antara pekerja, perusahaan/employer, dan pemerintah. Di samping itu, Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3) menekankan pentingnya Jaminan Sosial bagi perempuan, sehubungan dengan kesehatan reproduksi wanita (haid, hamil, melahirkan, dan menyusui) serta perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dimasukkan dalam skema Perlindungan Sosial (SPS), sebab perempuan dan anak, terutama yang miskin sangat rentan tanpa perlindungan hukum. Perlu dipikirkan selain skema bantuan sosial di bidang hukum, juga skema jaminan sosialnya. B.3 KABUPATEN SLEMAN- JAWA TENGAH Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pelayan masyarakat senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai program yang telah dilaksanakan antara lain adalah program JPS bidang pendidikan dalam bentuk pemberian beasiswa, BKS, dan DBO; program bantuan sosial; pengelolaan program kesehatan; dan program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu telah dikembangkan juga berbagai sistem perlindungan dan jaminan sosial di lingkungan perguruan tinggi seperti di UGM, dan UII. Di bidang pendidikan, dalam rangka untuk menanggulangi meningkatnya anak putus sekolah telah dilakukan program JPS melalui beasiswa, DBO, dan BKS. Mengingat keterbatasan anggaran pembangunan pemerintah, pemerintah daerah Sleman berupaya untuk mencari dana dari pihak swasta melalui pemberian beasiswa dari beberapa perusahaan nasional. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 19 Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di lingkungan Universitas Islam Indonesia, Kabupaten Sleman, telah dibentuk kelembagaan yaitu Lembaga Amal Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS); Pusat pengelolaan bantuan Sosial dan Kesehatan (PP BANSOSKES); dan Dana Pensiun. UII memberikan beasiswa kepada siswa-siswi SD-SMU berdasarkan rekomendasi dosen dan karyawan UII. Di samping itu UII juga memberikan bantuan bidang kesehatan masyarakat di sekitar kampus terpadu dengan kartu sehat. Di bidang tenaga kerja, Kabupaten Sleman telah melaksanakan berbagai kebijakan ketenagakerjaan melalui program jaminan sosial tenaga kerja meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Di bidang sosial, kebijakan bantuan sosial pelaksanaannya melalui program pendampingan usaha sosial ekonomis produktif (USEP), dan program bantuan sosial. Di dalam pelaksanaan pendampingan kelompok USEP, pemerintah daerah Sleman memberikan bimbingan sosial dan memberikan stimulan modal usaha bergulir, dan mengadakan simpan pinjam. Kelompok USEP di Kab. Sleman sebanyak 171 kelompok masing-masing adalah 88 kelompok USEP IRT (Ibu Rumah Tangga); 33 kelompok USEP LU (Lanjut Usia); dan 50 kelompok USEP KT (Karang Taruna). Di samping itu diberikan juga bantuan sosial bagi penanganan bayi terlantar sebanyak 10 kasus, bantuan panti sosial untuk 977 orang untuk 24 panti sosial dengan dana bantuan Rp. 806 juta melalui dana dekonsentrasi, dan bantuan korban bencana alam. Peserta dari UGM menyampaikan beberapa pokok pikiran berkaitan dengan pengembangan sistem jaminan sosial nasional antara lain; badan penyelenggara (BPJS) harus tidak hanya satu, dan dapat mengakomodir badan penyelenggara daerah yang sudah ada (Bapel JPKM); paket pelayanan dan manfaat layanan harusnya sama, standar serta tarif rumah sakit dan dokter di atur; peran pemerintah pusat dan daerah harus jelas; semua bentuk pengelolaan harus berorientasi not-for profit. B.4 KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT – KALIMANTAN TENGAH Di Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, program-program yang berhubungan dengan bantuan dan jaminan sosial berada pada beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Sekretariat Kabupaten, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan dan Pengajaran. Di tengah masyarakat Kab. Kotawaringin telah terbentuk beberapa skema kearifan lokal yaitu Rukun Kematian, Jaminan bagi Anak Yatim Piatu, dan Anak Asuh (yang tinggal menyatu dan bekerja pada keluarga angkatnya selama menempuh pendidikan/bersekolah, dan biaya hidup serta pendidikannya ditanggung oleh keluarga angkatnya tersebut). Untuk koordinator pelaksana PJS (Program Jaminan Sosial) terpadu, diharapkan kelak dibentuk satu lembaga baru yang membawahi seluruh penyelenggara PJS yang telah ada saat ini dan menambahkan satu program (jamsos masyarakat secara umum) untuk mengakomodasikan kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat saat ini. Selain PJS-nya, akan dipertimbangkan pula aspek keamanan termasuk dalam cakupan manfaat jaminan sosial sektor informal, terutama bagi pedagang kaki lima. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 20 B.5 KOTA PADANG - SUMATERA BARAT Pemerintah Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, melalui Surat Edaran Walikota telah mengumpulkan zakat seluruh pejabat struktural Kota Padang sebesar 2,5 persen dari gaji. Pengumpulan dana dilakukan oleh Badan Amil Zakat di bawah pengawasan Majelis Ulama setempat. Dana tersebut selanjutnya digunakan sebagai dana bantuan sosial bagi penduduk miskin. Skema ini akan segera diikuti oleh beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, sejumlah paguyuban terbentuk di kalangan masyarakat, terutama masyarakat rantau Sumatera Barat, seperti Gebu Minang, Ikatan Keluarga Daerah Pariaman, dan Ikatan Sulit Air Sepakat. Paguyuban ini didirikan dengan tujuan untuk membangun daerah dan masyarakat asal mereka. Merupakan tradisi budaya Minang (seperti badoncek dan batagak kudo-kudo) untuk bersama-sama menanggung pembangunan daerah dan saling membantu, sehingga mekanisme pendanaan pembangunan sarana sosial publik dan pemberian bantuan bagi anggota masyarakat yang miskin atau tertimpa bencana sudah terbentuk dan membudaya. Masyarakat perguruan tinggi tidak ketinggalan dalam membangun skema perlindungan sosial bagi anggotanya. Perlindungan sosial yang telah ada saat ini adalah bantuan pengobatan dan perawatan kesehatan. Untuk tahun 2004 telah dirancang skema perlindungan sosial yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan, dan hukum, baik dalam bentuk bantuan maupun jaminan sosial. C. KONDISI DEMOGRAFI DAN EKONOMI YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN SOSIAL Dalam mengembangkan Sistem Perlindungan Sosial (SPS) perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi penduduk mengingat, pertama, bahwa kondisi sosial ekonomi penduduk itulah yang perlu menjadi pijakan sekaligus muara dari sistem perlindungan dan jaminan sosial yang akan dikembangkan. Sebagai pijakan dalam arti bahwa SPS yang akan dikembangkan berangkat dari kondisi sosial ekonomi penduduk yang ada, yang dengan demikian maka apa yang akan dikembangkan diharapkan dapat lebih realistis sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sebagai muara dalam arti bahwa SPS yang akan dikembangkan pada akhirnya ditujukan kepada seluruh penduduk. Kedua, kondisi seluruh penduduk juga perlu diperhatikan mengingat konstitusi memberikan mandat bahwa sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan adalah sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, bagi setiap orang, yang berarti mencakup seluruh penduduk (universal coverage). Uraian pada bagian ini akan dipilah dalam tiga bagian: a. Kondisi Demografi, yang akan menguraikan tentang makin besarnya tekanan demografis terhadap perlunya sistem perlindungan sosial. Dalam kaitan SPS uraian kondisi demografi yang amat relevan adalah berkaitan dengan pergeseran struktur penduduk ke arah penduduk tua (aging population) b. Kondisi Ketenagakerjaan, yang akan menggambarkan tentang situasi penduduk usia ekonomis dalam kaitannya dengan kemampuan mereka mengikuti SPS yang akan dikembangkan c. Kondisi Ekonomi, yang di samping akan menguraikan tentang kemampuan ekonomis penduduk utamanya adalah penduduk miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial dalam SPS juga akan menguraikan secara sekilas kondisi perekonomian dan kemampuannya dalam mendukung SPS yang akan dikembangkan. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 21 C.1 KONDISI DEMOGRAFI1 Kondisi demografi yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan pengembangan SPS utamanya adalah berkaitan dengan kecenderungan terjadinya pergeseran struktur penduduk Indonesia yang mengarah kepada struktur penduduk tua (aging population) yaitu makin banyaknya penduduk lanjut usia (lansia). Pengembangan SPS menjadi makin mendesak jika dilihat dari makin banyaknya jumlah dan proporsi penduduk lansia. (a). Penduduk Lansia Makin Banyak Data yang ada menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun baik dari segi jumlah maupun persentase. Kalau pada tahun 1971 jumlah penduduk lansia (60 tahun ke atas) di Indonesia baru sekitar 5,3 juta maka pada tahun 1990 jumlah tersebut meningkat dua kali lipat lebih yaitu menjadi 12,8 juta. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk lansia (60 tahun ke atas) Indonesia sudah mencapai 14,75 juta jiwa atau sekitar 7,25 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada dekade-dekade mendatang jumlah dan persentase lansia akan tumbuh berlipat ganda. Pada tahun 2020 penduduk lansia Indonesia diperkirakan akan mencapai 10 persen lebih. Peningkatan jumlah penduduk lansia tersebut jauh lebih besar dibanding dengan peningkatan jumlah penduduk balita (bawah lima tahun, Tabel 1.1). Post-war baby boom di Indonesia yang terjadi pada dekade '60-'70-an diperkirakan akan mengakibatkan aged-population boom pada dua dekade permulaan di abad 21. Generasi yang lahir pada tahun '60-'70-an saat ini tahun 90-an sedang memasuki kehidupan keluarga dan pada tahun 2010-2020-an akan memasuki tahap lanjut usia. Tabel 3.1. Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4) Indonesia Tahun 1980-2020 Penduduk Balita Penduduk Lansia Jumlah Persen Jumlah Persen 1971a 19.098.693 16,1 5.306.874 4,5 a 1980 21.190.672 14,4 7.998.543 5,5 b 1985 21.550.364 13,4 9.440.999 5,8 1990a 21.552.150 11,9 9.917.209 5,5 c 1995 21.609.150 11,0 13.600.962 6,9 2000d 21.715.900 10,3 15.958.400 7,6 d 2005 21.957.100 9,7 18.351.100 8,1 a BPS, Penduduk Indonesia 1971, 1980 dan 1990 hasil Sensus b BPS, Penduduk Indonesia 1985 hasil SUPAS 1985 c BPS. Penduduk Indonesia 1995, Hasil SUPAS 1995 d BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi 1995-2005, Seri: S7, BPS, Jakarta, Indonesia, Maret 1998 Secara absolut penduduk lansia Indonesia saat ini jumlahnya sudah besar, lebih besar dibanding jumlah lansia di sejumlah negara yang saat ini sudah mengalami masalah penduduk tua seperti Korea Selatan apalagi Singapura dan Hongkong. Jumlah penduduk lansia Indonesia yang pada tahun 1995 diperkiraan sebanyak 13,6 juta, jauh lebih besar dibanding jumlah lansia di Tulisan pada bagian ini banyak diktip dari Mundiharno, Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I, thesis, Universitas Indonesia, 1999 1 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 22 Korea Selatan yang hanya 3,99 juta untuk tahun 1995; dan hampir separuh jumlah lansia di Jepang yang sekitar 25,14 juta untuk tahun yang sama, 1995.2 Kenyataan ini dapat diinterpretasikan bahwa persoalan yang dihadapi di Korea Selatan – dan juga di Jepang – dalam hal pelayanan terhadap lansia secara relatif juga dihadapi oleh Indonesia, meskipun proses penuaan penduduk (aging population) di Korea Selatan dan Jepang lebih dahulu berlangsung. Persentase penduduk lansia terhadap total penduduk di Jepang tahun 1990 sebesar 17,2 persen, sementara persentase penduduk lansia di Indonesia untuk tahun yang sama baru 5,5 persen. Jika dilihat per provinsi, ternyata beberapa provinsi telah mengalami proses penuaan penduduk dibanding dengan apa yang terjadi secara nasional. Meskipun persentase penduduk lansia secara nasional “baru” sekitar 7 persen, namun secara lokal persentase penduduk lansia di beberapa provinsi sudah di atas 7 persen. Ada lima provinsi yang persentase penduduk lansianya (pada tahun 1995) sudah di atas 7 persen. Kelima provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah dan Sumatera Barat (Tabel 1.2). Tabel 3.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima Provinsi, 1995 Provinsi di Indonesia Persen Jumlah D.I. Yogyakarta 366.917 12,6 Jawa Timur 3.201.653 9,5 Bali 259.441 8,9 Jawa Tengah 2.610.833 8,8 Sumatera Barat 345.022 7,9 Sumber: BPS, Survei Penduduk Antar Sensus 1995 Jumlah penduduk lansia juga terkonsentrasi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Jumlah penduduk lansia di Pulau Jawa dan Bali mencapai 68.8 persen dari seluruh lansia yang ada di Indonesia. Jumlah dan persentase penduduk lansia di lima provinsi khususnya Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur hampir sama dengan kondisi di beberapa negara maju. Persentase penduduk lansia di Provinsi DI Yogyakarta (12,6 persen) dan Jawa Timur (9,5 persen) lebih besar dibanding persentase lansia di Singapore (9,21 persen) dan Korea Selatan (9,03 persen). (b). Penyebab Meningkatnya Penduduk Lansia Pada dasarnya penuaan penduduk terjadi karena adanya pergeseran struktur umur penduduk. Di tingkat nasional, pergeseran struktur umur penduduk lebih disebabkan oleh fertilitas dan mortalitas; faktor migrasi tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara di tingkat lokal – khususnya di daerah pedesaan – faktor migrasi sangat berpengaruh terhadap terjadinya penuaan penduduk (aging population). Menurunnya angka kelahiran penduduk di satu sisi dan meningkatnya angka harapan hidup di sisi lain menyebabkan terjadinya perubahan struktur penduduk suatu negara. Waktu yang dicapai suatu negara dalam melakukan penurunan fertilitas berpengaruh terhadap cepat tidaknya proses perubahan struktur penduduk suatu negara. 2 Diolah dari United Nations, World Population Prospect 1996 revision, medium variant New York, 1998. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 23 Dari sisi waktu penurunan angka kelahiran (fertility rate), PBB mengelompokkan negaranegara di dunia ke dalam tiga kategori sebagai berikut: a. Pre-initiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan angka kelahirannya belum dimulai sampai tahun 1990 b. Late initiation countries, yaitu negara-negara yang angka kelahirannya dimulai antara kurun waktu 1950-1990 c. Early intiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan angka kelahirannya telah berlangsung sebelum tahun 19503 Indonesia – sebagaimana negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand - dikategorikan PBB ke dalam late initiation countries. Angka kelahiran (CBR dan TFR) di Indonesia baru mulai menurun sejak tahun 1960-1965. CBR Indonesia diperkirakan mulai menurun dari 45,4 pada kurun 1955-1960 menjadi 42,9 pada kurun 1960-1965. Sedang TFR-nya menurun dari 5,67 pada kurun 1955-1960 menjadi 5,42 pada kurun 1960-1965. Sejak kurun 1960-1965 angka kelahiran (CBR dan TFR) Indonesia mengalami penurunan terus menerus hingga sekarang (UN, World Population Prospect 1990, p. 432). Penurunan fertilitas di satu sisi dan meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy) di sisi lain menyebabkan terjadinya proses penuaan penduduk Indonesia. Tabel 2.1 memperlihatkan adanya hubungan antara tingkat fertilitas yang makin menurun, IMR yang makin menurun, angka harapan hidup yang makin meningkat dan makin besarnya proporsi penduduk tua. Tabel 3.3. Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase Lansia di Indonesia Tahun TFR IMR e0 % Lansia (60+)*** 1971* 5,605 145 45,73 4,5 1980* 4,680 109 52,21 5,5 1990* 3,326 71 59,80 6,3 1995** 2,926 66 60,19 6,9 2000** 2,608 57 61,71 7,6 2005** 2,324 48 63,45 8,1 Sumber: * BPS, Tren Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, BPS, Jakarta, 1994 ** Eduard Bos et al., World Population Projection, Estimates and Projections with Related Demographic Statistics 1994-1995. A World Bank Book, The John Hopkins University Press, Baltimore and London, 1994, pp. 270-271 *** Hasil SP 1971, SP 1980, SP 1990 dan SUPAS 1995 serta hasil proyeksi Keterangan: a TFR 1971, 1980 dan 1980 masing-masing dihitung menurut kurun waktu 1967-1970, 19761979 dan 1986-1989. b TFR 1995, 2000 dan 2005 dihitung antar kurun waktu tersebut (1990-1995, 1995-2000, 2000-2005 c Estimasi IMR BPS menggunakan metode TRUSSEL (p, 68) d Estimasi TFR menggunakan metode anak kandung (Own Children) Dari Tabel tersebut tampak bahwa bersamaan dengan penurunan tingkat fertilitas, di satu sisi dan penurunan IMR serta peningkatan angka harapan hidup disisi lain, persentase penduduk lansia di Indonesia terus mengalami peningkatan secara signifikan. Penurunan TFR dari 5,605 pada tahun 1971 menjadi 2,926 pada tahun 1995 serta peningkatan angka harapan Hugo, Graeme, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at Local Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP, 3 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 24 hidup dari 45,7 pada tahun 1971 menjadi 60,2 tahun pada tahun 1995 telah menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi penduduk lansia (60+) dari 4,5 persen pada tahun 1971 menjadi 6,9 persen pada tahun 1995. Dalam skala lokal, migrasi turut mempengaruhi ageing population di suatu daerah melalui dua pola (i) migrasi masuk penduduk tua ke suatu daerah (pedesaan) akibat retirement migration (migrasi karena pensiun), dan; (ii) migrasi keluar penduduk muda (young out-migration) akibat dorongan faktor ekonomi di daerah lain. (c). Kondisi Penduduk Lansia Pertanyaan kemudian bagaimana kondisi penduduk lansia yang makin banyak tersebut. Siapakah yang menopang kehidupan mereka; seberapa besar dari mereka yang sudah memperoleh dukungan institusional secara formal (institusional support), seberapa besar dari mereka yang tercover dalam sistem bantuan dan jaminan sosial, darimana mereka memperoleh dukungan jika tidak termasuk dalam skema sistem bantuan dan jaminan sosial yang ada? Data yang ada menunjukkan jumlah penduduk lansia yang tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi maupun tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit. Masih cukup banyak penduduk lansia yang belum (tidak) memperoleh jaminan sosial baik berupa dana pensiun maupun asuransi. Tabel 3.4. Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan Pensiun dan Pesangon, 1986-1993 (dalam ribuan) Pegawai yang Mendapat Pensiun Jumlah Jumlah pegawai Pegawai yang Mendapat Pegawai Pegawai Pegawai yang Mendapat Pesangon dari Pemerintah Pemerintah BUMN Pensiun ASTEK Pusat Daerah 1986 2 947,2 438,4 142,3 3 527,9 2 606,1 1987 2 978,5 446,1 147,7 3 572,3 3 005,8 1988 3 156,2 468,7 154,9 3 779,8 3 334,9 1989 3 265,5 473,3 170,3 3 909,1 3 602,3 1990 3 291,1 480,2 170,5 3 941,8 3 929,1 1991 3 428,0 489,9 178,4 4 096,3 4 469,0 1992 3 516,9 497,8 183,7 4 198,4 5 041,9* 1993 3 594,2 507,1 109,7 4 211,0 Sumber: PT Taspen Jakarta (sebagaimana dikutip dari Hugo) dalam BPS, Laporan Sosial Indonesia 1997; Lanjut Usia (Lansia), BPS, Jakarta, Maret 1998, p. 63 Dari sekitar 13,3 juta lansia yang ada di Indonesia pada tahun 1995 diperkirakan hanya sekitar tiga puluh persen (4,2 juta jiwa) penduduk lansia yang mendapatkan jaminan hari tua berupa pensiun. Sisanya, 70 persen lansia belum tersentuh oleh dana pensiun. Demikian pula dengan asuransi kesehatan, cakupannya masih terbatas. Menurut Thabrany pada 1998 baru sekitar 14 persen penduduk (atau sekitar 27-30 juta jiwa) yang telah mendapat jaminan kesehatan, yang umumnya dalam bentuk JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat)4. Hasil pengolahan data IFLS II (1997) yang dilakukan Mundiharno juga menunjukkan angka yang berdekatan dimana hanya 13 persen responden yang memiliki jaminan 4 Thabrany, Hasbullah, Asuransi Kesehatan Pilihan Kebijakan Nasional, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 1998, pp-6-7 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 25 kesehatan termasuk didalamnya Askes, Astek, asuransi swasta lain, klinik karyawan dan penggantian biaya pengobatan5. Disamping cakupan jaminan sosial yang masih rendah, dukungan institusi (institusional support) yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk lansia juga masih belum memadai, setidaknya jika dilihat dari terbatasnya jumlah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang ada relatif dibanding dengan jumlah lansia yang membutuhkannya. Cakupan penanganan negara terhadap lansia yang terlantar melalui sistem panti masih amat rendah. Data yang ada mengungkapkan bahwa lansia terlantar yang ada pada tahun 1991 diperkirakan sebanyak 1.811.484 jiwa6. Sementara panti sosial tresna werdha (PSTW) yang ada di seluruh Indonesia hanya 155 PSTW dengan daya tampung hanya sekitar 7.756 lansia atau kurang dari setengah (0,43) persen. Dari jumlah PSTW tersebut hanya 55,5 persen (86 PSTW) dikelola swasta, sisanya 69 PSTW dikelola dan didirikan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Sosial). Gambaran ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk menangani permasalahan lansia – bahkan lansia terlantar yang merupakan keharusan ditangani oleh pemerintah sesuai amanat konstitusi – masih rendah. Rendahnya kemampuan negara dalam memberikan dukungan institusional (institutional support) sebagaimana dikemukakan dimuka menyebabkan keberadaan penduduk lansia jauh lebih banyak ditopang oleh keluarga dan masyarakat. Amat terbatasnya dukungan institusi (institutional support) terhadap keberadaan lansia baik dalam bentuk bantuan sosial (seperti melalui panti jompo dsb.) maupun asuransi sosial (asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, pensiun dan sejenisnya) membawa implikasi pada pentingnya peranan dukungan keluarga (familial support) terhadap keberadaan lansia. Pertanyaannya, dalam pola seperti apa dukungan keluarga itu diberikan kepada penduduk lansia? Dukungan keluarga terhadap keberadaan lansia dapat diwujudkan dalam pola koresidensi ataupun dalam bentuk intergenerational transfer. Hanya pola dukungan keluarga tersebut juga perlu dicermati mengingat perkembangan dan perubahan sosial ekonomi yang terjadi. Beberapa perubahan berikut bisa jadi berpengaruh pada menurunnya kuantitas dan kualitas dukungan keluarga terhadap penduduk lansia: - Adanya kecenderungan terjadi perubahan nilai keluarga dari extended family ke nuclear family. Perubahan nilai keluarga tersebut diduga akan mengurangi dukungan keluarga kepada lansia (khususnya anak kepada orang tua) mengingat makin sedikitnya orang tua yang tinggal bersama dengan anak-anaknya. Terbatasnya ukuran tempat tinggal (terutama di daerah perkotaan) di satu sisi dan perubahan budaya keluarga di sisi lain turut mempengaruhi makin sedikitnya orang tua yang tinggal bersama anak-anaknya. - Makin banyaknya wanita yang masuk ke pasar kerja diduga turut pula mengurangi dukungan keluarga terhadap lansia. Waktu wanita yang semula banyak digunakan untuk mengurus keluarga kini banyak yang tersedot ke pasar kerja. Data yang ada memperlihatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Wanita, meskipun masih lebih rendah dibanding dengan TPAK Pria, mengalami peningkatan secara berarti dari 33,1 persen pada tahun 1971 menjadi 38,8 persen pada tahun 1990. - Makin terhimpitnya norma-norma keluarga akibat modernisme, termasuk akibat perubahan struktur ekonomi juga dapat menyebabkan makin rendahnya dukungan keluarga pada lansia. David & Combs (sebagaimana dikutip Ogawa & Retherford, 1993) 5 Mundiharno, "Determinan Sosial Ekonomi Kepesertaan Asuransi Kesehatan", Laporan Penelitian Hibah Bersaing Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1999 6 Soepardo, Istikanah “Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief Statement”, dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 26 menyebutkan bahwa perubahan struktur ekonomi dari peasant-agrarian economy ke urbanindustrial economy turut mengubah pola dukungan anak terhadap orang tuanya. Dalam peasant-agrarian economy produksi cenderung bersifat family based dan unspecialized. Karenanya konflik antar generasi juga dapat diminimalkan. Dalam kondisi seperti itu anak menaruh hormat yang begitu besar terhadap orang tuanya. Sedang dalam urbanindustrial economy produksi tidak lagi bersifat family based. Pekerjaanpun cenderung bersifat spesialis. Pekerjaan diperoleh melalui pasar kerja yang memerlukan seseorang sebagai individu bukan sebagai anggota keluarga tertentu. Antara orang tua dan anaknya seringkali berada pada tempat yang berjauhan. Dalam kondisi seperti itu maka hubungan antara orang tua dan anaknya juga berkurang, yang pada gilirannya turut mempengaruhi rasa hormat dan penghargaan anak terhadap orang tuanya. Kekuatiran terhadap makin surutnya dukungan keluarga terhadap orang tua (lansia) telah banyak dikemukakan oleh banyak ahli, khususnya para sosiolog yang mengamati hal tersebut di negara-negara maju. Tuntutan pekerjaan yang banyak menyita waktu penduduk usia produktif telah mengurangi perhatian mereka terhadap para lansia. Di beberapa negara maju di Asia seperti Hongkong dan Singapura tradisi meluangkan waktu untuk merawat orang tua hampir punah dan hal itu merupakan masalah sosial yang cukup berarti. Di Singapura para anak bahkan “diwajibkan” untuk mendukung kehidupan orang tuanya. Frons, Jeffiers dan Nelson (1982, 10) sebagaimana dikutip Hugo menyatakan: "Asian sociologist believe that the ever increasing flight from the countryside to the cities in search of better, easier jobs strains family ties. As the younger generation becomes more affluent, more materialistic --and more preoccupied with a youth oriented Western culture-- the traditional regard for elderly is vanishing”7 Gejala serupa bisa pula terjadi di Indonesia dengan jenis dan kadar yang berbeda. Banyaknya penduduk muda yang melakukan migrasi ke kota (young out-migration) untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dapat berpengaruh terhadap dukungan mereka kepada orang tua. Memusatnya investasi – yang diikuti oleh proses industrialisasi – di daerah perkotaan – yang selanjutnya berdampak pada banyaknya kesempatan kerja di daerah perkotaan – telah mejadi salah satu faktor penyebab penting terjadinya migrasi penduduk muda dari desa ke kota. Banyaknya migrasi keluar penduduk muda dari desa ke kota-kota besar telah menyebabkan terjadinya struktur piramida penduduk desa yang kosong di tengah (hollow middle); proporsi penduduk tua dan anak-anak makin besar sementara proporsi penduduk dewasa-nya makin sedikit. Banyak lansia di desa, yang kemudian, ditinggal anak-anaknya pergi ke kota. Berbagai perubahan sosial ekonomi tersebut menggambarkan bahwa ke depan tidaklah cukup hanya mengandalkan dukungan keluarga dan masyarakat (family & social support) terhadap keberadaan lansia secara terus menerus. Oleh karena itu perlu dibangun dan dikembangkan suatu dukungan institusional (institutional support) yang sifatnya lebih sistemik dan permanen. Dalam kaitan inilah maka dari sisi kondisi demografis, pengembangan sistem perlindungan sosial yang komprehensif/terpadu mutlak diperlukan dan tidak dapat ditunda-tunda lagi. C.2 KONDISI KETENAGAKERJAAN Sebagaimana dikemukakan dimuka bahwa secara demografis, kebutuhan akan pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial sudah sangat mendesak terutama jika Graeme Hugo, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at Local Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP, New York, 1993, p. 40 7 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 27 dikaitkan dengan makin banyaknya penduduk lansia (baik secara absolut maupun relatif) di satu sisi, sementara dukungan kelembagaan yang ada masih rendah di sisi lain. Namun sistem jaminan sosial akan dapat dikembangkan secara lebih sistemik dan permanen jika didukung oleh kemampuan ekonomis dari penduduk usia produktif atau penduduk usia kerja. Karena penduduk usia kerja itulah yang berperan besar dalam memberikan kontribusi pada sistem perlindungan dan jaminan sosial. Dalam kaitan itulah maka perlu dilihat bagaimana kondisi penduduk usia ekonomis melalui dinamika ketenagakerjaan yang terjadi. Bagaimanakah kondisi ketenagakerjaan Indonesia, apakah amat mendukung dikembangkannya sistem jaminan sosial atau justru masih diwarnai oleh berbagai kendala dalam pengembangan jaminan sosial. Dalam kaitan pengembangan SPS ada beberapa fenomena utama yang perlu dicermati dalam dunia ketenagakerjaan antara lain masih tingginya angka pengangguran, banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor informal, rendahnya upah dan masih sedikitnya yang tercakup dalam sistem jaminan sosial tenaga kerja. (a).Tingginya Angka Pengangguran Salah satu fenomena yang menonjol kalau kita melihat kondisi ketenagakerjaan Indonesia adalah angka penganggurannya yang tinggi baik angka pengangguran terbuka (open unemployment) dan apalagi angka setengah pengangguran (underemployment) baik yang kentara (visible underemployment) maupun yang tidak kentara (invisible underemployment). Hasil Sensus Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa dari 95,65 juta angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja ada sekitar 5,81 juta jiwa yang belum bekerja paling sedikit 1 jam selama seminggu sebelum survei. Atau dengan kata lain ada angka pengangguran terbuka (open unemployment) adalah sebesar 6,1 persen. Komposisi Tenaga Kerja, 2000 Komposisi Penduduk Bukan Tenaga Kerja Tenaga Kerja Bukan Angkatan Kerja Angkatan Kerja Pekerja Pengangguran Jumlah Persen 203.456.000 62.285.195 30,6 141.170.805 69,4 45.519.844 32,2 95.650.961 67,8 89.837.730 93,9 5.813.231 6,1 70 71,06 60 50 38,93 40 30 Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penganggur terbuka tersebut meningkat menjadi 9,13 juta jiwa atau sekitar 9,06 persen pada tahun 2002. 20 Angka pengangguran tersebut akan makin besar jika 0 dilihat dengan ukuran angka setengah pengangguran (under employment) baik setengah pengangguran kentara (yang bekerja dibawah 36 jam per minggu) maupun setengah pengangguran tidak kentara (yang bekerjanya penuh waktu di atas 36 jam per minggu tetapi penghasilannya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidupnya). Untuk melihat angka 89,6 2,9 10 Pengangguran Bekerja < 15 Bekerja < 36 Bekerja < 42 T erbuka Jam Jam Jam SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 28 pengangguran di negara berkembang seperti Indonesia tidak cukup dengan melihat angka pengangguran terbuka tetapi perlu pula melihat angka setengah pengangguran karena permasalahan. Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa dari 89,8 juta yang bekerja terdapat sekitar 9,2 persen pekerja yang bekerja hanya kurang dari 15 jam per minggu, bahkan 39,83 persen di antaranya bekerja dibawah 36 jam per minggu. Dengan demikian angka setengah pengangguran kentara mencapai hampir 40 persen; sebuah angka yang sangat tinggi. Tingginya angka pengangguran tersebut terjadi karena besarnya supply tenaga kerja (labor surplus) akibat tekanan demografis di satu sisi, sementara di sisi lain kesempatan kerja (employment opportunities) masih sangat terbatas akibat rendahnya investasi. Data yang ada menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1996 s.d 2000 angkatan kerja kita bertambah sekitar 1,5 juta per tahun dari sekitar 88,2 juta angkatan kerja pada tahun 1996 bertambah menjadi 95,7 juta angkatan kerja pada tahun 2000. Dengan demikian setiap tahunnya ada tambahan sekitar 1,5 juta orang yang masuk ke pasar kerja dan karenanya memerlukan lapangan kerja baru. Padahal di sisi lain perkembangan investasi yang ada (akan diuraikan kemudian) belum mampu menciptakan lapangan kerja sebesar itu. (b) Rendahnya Kualitas dan Upah Tenaga Kerja Tekanan demografis yang diperlihatkan dari besarnya jumlah (kuantitas) angkatan kerja tersebut tidak diimbangi dengan kualitas yang memadai. Data yang ada menunjukkan bahwa sekitar 60 persen angkatan kerja Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Sementara yang berpendidikan SLTP hanya sekitar 16 persen, SLTA (19,4 persen) dan hanya 4,6 persen angkatan kerja yang tamat perguruan tinggi. Proporsi Angkatan Kerja Indonesia Menurut Pendidikan, 2000 4.6 19.4 16.1 59.9 Dengan kualitas SD Kebaw ah SLTP SLTA PT (dari segi pendidikan) yang masih rendah maka bisa dimaklum jika proporsi tenaga kerja yang memiliki upah rendah jauh lebih besar. Struktur Upah Rata-rata Upah 1.000.000 keatas 800.000 -999.999 600.000- 799.999 400.000 - 599.999 < 400.000 KHM Persen 15.53 9.22 15.98 20.42 38.85 416,886 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 29 Data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) 2002 menunjukkan bahwa sekitar 38,9 persen pekerja di Indonesia memiliki upah dibawah Rp 400.000,- per bulan. Padahal kebutuhan hidup minimum (KHM) mereka pada tahun yang sama sebesar Rp 416.886,-. Dengan demikian ada sekitar 40 persen pekerja yang upahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. (c) Banyak Pekerja di Sektor Informal 32.294.758 Rendahnya investasi yang berakibat pada sangat terbatasnya lapangan kerja di sektor formal ditambah dengan kualitas (tingkat pendidikan) yang rendah, berakibat pada banyaknya pekerja yang di sektor formal. Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen. 58.512.659 Gambaran ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas secara umum memang tampak belum menggembirakan. Kondisi ketenaga kerjaan yang tidak menguntungkan tersebut tentu saja menjadi tantangan besar dalam mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan sosial: - Tingginya angka penganguran secara umum mengisyaratkan masih banyaknya penduduk usia ekonomis (dan apalagi bukan usia ekonomis) yang tidak memiliki penghasilan. Banyaknya penduduk yang tidak berpenghasilan berimplikasi pada banyaknya penduduk yang tidak bisa membayar premi/iuran yang berarti makin banyak penduduk yang memiliki akses ke sistem jaminan (asuransi) sosial. - Rendahnya kualitas tenaga kerja juga bisa menjadi sebuah tantangan besar kaitannya dalam memberikan pengertian tentang perlunya jaminan sosial yang perlu mereka ikuti. - Sementara banyaknya pekerja yang memiliki upah rendah dibawah KHM mengindikasikan banyaknya pekerja yang mengalami kesulitan untuk membayar premi dalam kaitan dengan sistem jaminan (asuransi) sosial yang akan dikembangkan. - Banyaknya pekerja yang bekerja di sektor informal memberikan gambaran tentang makin sulitnya mengorganisir sesamanya untuk ikut bergabung dalam suatu skema jaminan sosial. (d) Cakupan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Masih Rendah Potret buram kondisi ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas bertambah lagi ketika dikaitkan dengan masih rendahnya pekerja yang tercakup dalam jaminan sosial tenaga kerja. Proporsi Pekerja yang Tercakup Jaminan Sosial Angkatan Kerja Jumlah Pekerja Jumlah Penganggur Jumlah Pekerja di Sektor Formal Jumlah Pekerja di Sektor Informal Jumlah Peserta Jamsostek Jumlah Pegawai Negeri Sipil Jumlah Peserta Jamsostek & PNS Proporsi Peserta Jamsostek terhadap Angkatan Kerja Proporsi Peserta Jamsostek terhadap Pekerja 1997 89,602,835 85,405,529 4,197,306 31,744,258 53,661,271 13,388,056 1998 92,734,932 87,672,449 5,062,483 30,331,046 57,341,403 14,959,138 1999 94,847,178 88,816,859 6,030,319 31,936,251 56,880,608 16,424,128 14.9 16.1 17.3 2000 95,650,961 89,837,730 5,813,231 31,530,566 58,307,164 18,140,886 3,945,778 22,086,664 19,0 (23,1)* 15.7 17.1 18.5 20,2 (24,6)* SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 30 Proporsi Peserta Jamsostek terhadap Pekerja Sektor Formal 42.2 49.3 51.4 57,5 (70,0)* Data yang ada memperlihatkan bahwa pada tahun 2000 baru sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor formal (selain PNS) yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Jumlah tersebut makin kecil jika dipertajam lagi kepada keaktifan mereka menjadi peserta. Jika ditambah dengan PNS, ada sekitar sekitar 70 persen pekerja sektor formal yang terdaftar dalam skema jaminan sosial. Namun jika angka proporsi jaminan sosial diperluas ke pekerja sektor informal maka terlihat bahwa cakupan jaminan sosial yang ada masih sangat rendah. Tabel di atas memperlihatkan bahwa hanya seperlima pekerja (formal dan informal) yang sudah tercakup oleh jaminan sosial tenaga kerja. Selama 22 tahun sejak beroperasinya pada tahun 1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar 18,1 juta pekerja atau 20 persen dari seluruh pekerja. Jumlah tersebut akan berkurang lagi jika dipertajam terhadap mereka yang benar-benar aktif memberikan premi. Masih relatif sedikitnya pekerja yang mempunyai jaminan sosial dalam kondisi ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas menggambarkan situasi yang dilematik. Di satu sisi, rendahnya cakupan tersebut mengharuskan perlunya memperluas cakupan kepesertaan ke seluruh pekerja bahkan angkatan kerja. Namun di sisi lain, tingginya pengangguran, rendahnya upah, banyaknya pekerja informal merupakan kendala besar dalam mengembangkan sistem jaminan sosial yang ada. Dan karena itu timbulnya pertanyaan klasik, dari mana kita mulai; membenahi kondisi ketenagakerjaan terlebih dahulu atau mengembangkan sistem jaminan sosial tenaga kerja terlebih dahulu. Secara pragmatis keduanya tentu perlu dikerjakan secara paralel. C.3 KONDISI EKONOMI Uraian di atas dapat disebut sebagai sebuah potret buram terhadap kondisi yang perlu dicermati dalam mengembangkan SPS. Potret buram tersebut masih bertambah jika dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, utamanya berkaitan dengan rata-rata pendapatan, jumlah penduduk miskin dan jumlah mereka yang masuk kategori PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Upaya pengembangan SPS tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian baik kondisi ekonomi penduduk dalam arti pendapatan mereka maupun kondisi makro ekonomi. Kondisi perekonomian itulah yang amat menentukan berhasil tidaknya pengembangan SPS yang berkelanjutan. Data yang ada menunjukkan bahwa pendapatan per kapita (PDB per kapita) Indonesia yang meskipun jika dilihat dari harga berlaku mengalami kenaikan secara signifikan tetapi jika dilihat dari harga konstan 1993 pendapatan perkapita penduduk Indonesia belum pulih sebagaimana kondisi sebelum krisis, tahun 1997. Jika dilihat dari harga berlaku, pendapatan per kapita Indonesia meningkat dari Rp 3,2 juta pada tahun 1997 menjadi Rp 7,59 juta pada tahun 2002. Namun jika dilihat dari harga konstan tahun 1993, pendapatan per kapita pada tahun 2002 (Rp 2,01 juta) masih lebih rendah dibanding pendapatan per kapita tahun 1997 (Rp 2,21 juta). Pendapatan per kapita sebesar itu lebih rendah dibanding beberapa negara lain yang sudah memiliki sistem jaminan sosial yang cukup baik. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 31 ribu rupiah Ang ka 3,495.7 pendapatan 1,541.6 2,893.6 per kapita 9,124.5 yang 8,067.4 meskipun 7,502.3 rendah 0,607.2 1,943.2 sebagaimana 6,400.2 6,389.1 6,201.2 6,212.2 8,478.1 3,078.1 6,339.1 7,079.19,210.2 9,958.1 disajikan di atas belumlah 94 95 96 97 98 99 00 01 02 cukup untuk melihat Hrg Berlaku Hrg Konstan '93 kondisi penduduk secara nyata mengingat distribusi pendapatan yang tidak merata, di mana sebagian kecil penduduk menguasai sebagian besar pendapatan sementara sebagian besar penduduk hanya menguasai sebagian kecil pendapatan. 8.000,0 7.000,0 6.000,0 5.000,0 4.000,0 3.000,0 2.000,0 1.000,0 0,0 Tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut antara lain dapat dilihat dari banyaknya jumlah penduduk miskin ditengah-tengah sebagaian kecil penduduk yang memiliki pendapatan sangat tinggi. Data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 38,4 juta jiwa atau sekitar 18,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Sebagian dari penduduk miskin tersebut menyandang masalah kesejahteraan sosial. Pendapatan per kapita yang rendah dan penduduk miskin yang banyak tentu saja merupakan tantangan besar tersendiri dalam upaya mengembangkan SPS. Tantangan tersebut akan dapat diatasi jika kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemajuan yang berarti. Sayangnya, data yang ada menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih belum begitu menggembirakan baik dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, angka investasi, perkembangan ekspor dan laju inflasi. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif rendah dibanding beberapa negara ASEAN lain yang pernah mengalami krisis ekonomi. Pada tahun 2002 perekonomian Indonesia tumbuh 3,66 persen, yang meskipun lebih tinggi dibanding tahun 2001, namun angka pertumbuhan sebesar itu masih lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 4 persen dalam asumsi APBN 2002. Angka pertumbuhan tersebut lebih didorong oleh permintaan konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang tumbuh masing-masing 4,72 persen dan 12,79 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu sulit untuk dapat menyerap angkatan kerja yang lebih banyak sebagaimana diuraikan di atas. Apalagi jika dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang ada lebih didorong oleh permintaan konsumsi. 100.000 014.29 80.000 60.000 839.75 618.85 021.35 40.000 262.52 20.000 685.31 298.01 624.51 650.51 2000 2001 447.9 0 1998 1999 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU PMDN (Miliar Rp) PMA (Juta USD) Pertumbuhan ekonomi yang rendah akan tumbuh lebih tinggi jika antara lain didorong oleh nilai investasi yang besar. Sayangnya data tentang nilai investasi di Indonesia juga belum memperlihatkan angka yang 2002 32 menggembirakan, bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan. Nilai investasi PMDN yang disetujui pada tahun 2002 hanya sebesar Rp 25,26 trilyun atau hanya separuh dari nilai yang sama pada tahun 2001. Demikian pula nilai investasi PMA yang disetujui pada tahun 2002 yang hanya sebesar USD 9,74 trilyun merupakan nilai investasi yang paling rendah sepanjang lima tahun terakhir sejak tahun 1998. Dengan investasi yang rendah seperti itu sulit untuk mengharapkan terjadi percepatan dalam pemulihan ekonomi Indonesia. Sementara data tentang nilai ekspor Indonesia juga relative mengalami stagnasi dalam tiga tahun terakhir. Nilai ekspor Indonesia yang pada tahun 2000 mencapai USD 62,12 milyar mengalami penurunan pada dua tahun berikutnya.Pada tahun 2001 nilai ekspor Indonesia hanya sebesar USD 56,3 milyar dan naik sedikit menjadi USD 57 milyar pada tahun 2002. Dengan kondisi perekonomian yang belum begitu menggembirakan sebagaimana diuraikan di atas maka masih agak sulit untuk mengembangkan SPS dalam skema asuransi sosial yang mengharuskan penduduk untuk membayar premi. Dengan kondisi seperti itu maka pengembangan SPS akan lebih menekankan pada bantuan sosial yang dananya berasal dari pemerintah baik APBN maupun APBD. Sayangnya, APBN Indonesia juga masih defisit. Proyeksi yang dilakukan BAPPENAS memperkirakan bahwa APBN 2004 diperkirakan masih mengalami defisit sebesar Rp 24,4 trilyun. Defisit anggaran diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami masa sulit terutama pada tahun 2004-20068. 8 Suharmen, “Gambaran APBN dalam Jangka Menangah”, paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 33 BAB IV PERLINDUNGAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA Penyelenggaraan Perlindungan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsip-prinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme bantuan dan asuransi sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran di berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan budaya penduduk di negara tersebut. Badan penyelenggara juga bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah sampai yang diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari sejarah berkembangnya sebuah sistem perlindungan sosial di negara tersebut. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya dan karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi pengembangan Sistem Perlindungan Sosial. Dalam bab ini akan disajikan secara garis besar sistem perlindungan sosial di beberapa negara tetangga dan negara maju agar dapat diambil pelajaran bagaimana suatu sistem perlindungan sosial dimulai dan bagaimana kondisi yang dapat harapkan kelak di kemudian hari. (1) Malaysia Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di Malaysia. Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF secara sukarela. Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bwah naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi. Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh kementerian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO). Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump sum) untuk modal usaha, menarik sebagian lump sum dan sebagian dalam bentuk anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 34 hasil pengembangannya saja tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah. (4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000, tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia. Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari tahun ke tahun seperti disajikan dalam Tabel berikut. Jumlah iuran tersebut ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali seorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998)9. Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia. Tahun Iuran Tenaga Kerja Iuran Pemberi Kerja Total 1952 - Juni 1975 5% 5% 10% Juli 75 – Nop 80 6% 7% 13% Des 80 – Des 92 9% 11% 20% Jan 93 – Des 95 10% 12% 22% Jan 96 - 11% 12% 23% (2) Filipina Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosialnya sejak tahun 1948, akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50 persen dari anggkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). i Untuk pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut defisini universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah 9 Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1998. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 35 Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001).10 Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat) hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi hak peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump sum atau bulanan bagi peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua (baik lump sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60 tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian (5) berupa uang tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak dengan bunga 6 persen setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8 persen setahun untuk pinjaman lebih dari P15.000. Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4 persen sebulan (tidak termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar bersama antara majikan (5,04 persen) dan pegawai (3,36 persen). Batas maksimum upah untuk perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan kecelakaan kerja adalah 1 persen dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan. Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah 2,5 persen upah sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9 persen (tanpa kecelakaan kerja) dan 11,9 persen (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12 persen dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9 persen dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002). PhilHealth merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50 persen penduduk Filipina). Anggota Philhealth terdiri atas 55 persen pegawai swasta, 24 persen pegawai pemerintah, 9 persen penduduk tidak mampu, 11 persen peserta sukrela (informal), dan 2 persen adalah peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian, iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5 persen yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi 10 Purwanto, E dan Wibisana, W. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina. 18 Juni 2002. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 36 penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada tahun 2003 ini, PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan tersebut (Dueckue, 2003).11 Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina Program Iuran Tenaga Iuran Pemberi Kerja kerja Jaminan sosial, SSS 5,04% 3,36% Kecelakaan kerja 1% Jaminan sosial, GSIS 9% 12% Kesehatan, PhilHealth 1,25% 1,25% Total: Swasta 6,29% 5,61% Pemerintah 10,25% 12% Total 8,4% 1,0% 21,0% 2,5% 11,9% 22,25% (3) Thailand Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang diatur oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta (4) Amerika Serikat Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1935 yang pada awalnya dikenal dengan naman OASDI program (Old-Age, Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang jaminan sosial tersebut disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di Amerika di awal tahun 1930an. Awalnya, UU jaminan sosial Amerika tidak mencakup asuransi sosial kesehatan (Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk 30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan OASDHI (H di antara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program OASDI, tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris peserta yang memenuhi syarat menerima manfaat jika peserta meninggal, dan apabila peserta menderita cacat. Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan. Namun demikian, pilihan tersebut tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program sukarela tidak efektif. Sebenarnya Amerika termasuk terbelakang dalam mengembangkan jaminan sosialnya dibandingkan dengan Jerman dan Inggris (Rejda, 1988).12 Pada prinsipnya, sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah (Social Security Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial Amerika bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan kesehatan. Hanya saja, 11 12 Dueckue, P. PhilHealth today. Presentation on the Social Health Insurance Meeting, Bangkok, July 3-6, 2003 Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. Prentice Hall, New Jersey, 1988 p25. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 37 jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk penduduk berusia 65 tahun keatas atau yang menderita cacat tetap atau penderita sakit ginjal yang mematikan. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 38 BAB V REKOMENDASI: DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR Sistem perlindungan sosial di sini diartikan sebagai sebuah sistem yang berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara baik disebabkan karena terhentinya, turunnya, atau tidak mencukupinya penghasilan, sakit, hamil, kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam maupun kerusuhan sosial. Dengan pengertian seperti itu maka perlindungan sosial di sini memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut: 1. Merupakan Program Publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Perlindungan dasar, yang berarti bahwa memberikan perlindungan yang bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia 3. Resiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi resiko berbagai peristiwa sosialekonomis yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara. 4. Berkelanjutan, dalam arti berkesinambungan baik dalam jangka-panjang maupun jangka pendek 5. Lintas Sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini perlu dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antar sektor baik sektor ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan, kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait lainnya. Dari sisi jenis dan cara pembiayaan, perlindungan sosial ini mencakup beberapa aspek sebagai berikut: 1. 2. Jaminan sosial yang terdiri dari: a. Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara membayar iuran/premi guna membiayai kemungkinan terjadinya resiko sosial-ekonomi yang dialami dengan ciriciri antara lain kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara dan dikelola dengan motif not for profit (keuntungan dikembalikan kepada peserta). b. Tabungan Hari Tua, dimana seluruh warga negara yang berusia ekonomis (15-60 tahun) dan memiliki penghasilan diwajibkan untuk menabung sejumlah tertentu untuk memupuk dana yang akan digunakan sebagai tunjangan hari tua baik berupa tunjangan paska karya maupun uang pensiun Bantuan sosial, dimana negara memberikan bantuan sosial (subsidi) kepada setiap warga negara yang mengalami resiko sosial ekonomi sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan maupun pendidikan. Di samping kedua kelompok di atas (jaminan sosial dan bantuan sosial) ada lagi kategori Asuransi Komersial yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pengelolaannya bersifat komersial (profit motif). Kategori ini tidak dimasukkan dalam kerangka SPS mengingat sasaran SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 39 dari asuransi komersial pada umumnya adalah penduduk berpenghasilan tinggi. Dan karena motif pengelolaannya adalah for profit (mengambil keuntungan) maka perkembangannya diserahkan kepada mekanisme pasar dimana pemerintah hanya mengeluarkan regulasiregulasi guna menjaga kepentingan publik. Dalam hal jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) peran pemerintah berada dalam dua domain yaitu disamping sebagai pembuat undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan jaminan sosial (regulatory body) juga sebagai pengawas dan pemberi mandat kepada para pengelola (operator) jaminan sosial. Dengan demikian peran pemerintah di sini bersifat quasi publik. Dalam hal bantuan sosial pemerintah berikut segenap perangkatnya berperan sebagai operator (pelaksana) undang-undang. Seluruh mekanisme pelaksanaan bantuan sosial diselenggarakan oleh perangkat-perangkat pemerintah yang ada. Sedang dalam hal asuransi komersial pemerintah semata-mata berperan sebagai pembuat undang-undang (regulatory body), sementara pengelolaan operasional asuransi komersial sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. B. TUJUAN DAN SASARAN Fokus dalam pengembangan sistem perlindungan sosial di sini diarahkan pada jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) dan bantuan sosial. Yaitu bagaimana mengembangkan sistem jaminan sosial yang mencakup sebanyak-banyak warga negara dan mengefektifkan bantuan sosial agar benar-benar dapat diterima oleh warga negara yang benar-benar membutuhkannya. Tujuan sistem ini pada akhirnya adalah: a. Untuk mendorong sebanyak mungkin warga negara agar mau dan mampu menjadi peserta jaminan sosial sehingga warga negara yang memperoleh bantuan sosial menjadi semakin kecil. Semakin banyak warga negara yang tercakup dalam skema jaminan sosial akan memperkecil kemungkinan warga negara tersebut dalam kategori yang memperoleh bantuan sosial. b. Mempertajam berbagai bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai sektor agar bantuan sosial yang diberikan dapat lebih tepat sasaran, terkoordinasi, efisien dan efektif. Sasaran jaminan sosial adalah setiap warga negara yang memiliki penghasilan. Sedang sasaran bantuan sosial adalah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) baik yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat permanen maupun yang bersifat temporer. Idealnya setiap warga negara terlindungi oleh salah satu dari tiga (utamanya dua) kategori skema perlindungan sosial sebagaimana disebutkan di atas. Setiap warga negara yang berpenghasilan diharapkan menjadi peserta jaminan sosial (apakah dalam bentuk asuransi sosial ataupun tabungan hari tua atau kedua-duanya). Penduduk yang memiliki berpenghasilan tinggi di samping menjadi peserta jaminan sosial sebagian mungkin menjadi peserta dalam asuransi komersial yang memberikan benefit sesuai yang diinginkannya. Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya setelah memenuhi persyaratan tertentu (antara lain melalui test kebutuhan – mean test) dapat memperoleh bantuan sosial yang bersifat subsidi dari pemerintah. Dengan kerangka seperti itu diharapkan setiap warga negara dapat memperoleh kehidupan yang layak sesuai harkat dan martabatnya sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi negara. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 40 C. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN Kebijakan dan strategi pengembangan sistem perlindungan sosial ini pertama-tama dirumuskan dengan melihat kondisi dan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan sosial selama ini. Hal-hal yang sudah dilaksanakan dengan baik terus dikembangkan, dan yang kurang perlu diperbaiki di masa mendatang. Perumusan strategi dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi dan permasalahan sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya ini penting dilakukan agar kebijakan dan strategi yang akan dikembangkan kedepan sama sekali tidak terputus dari apa yang telah dilakukan dan karenanya merupakan upaya perbaikan yang berkesinambungan dan terus menerus (continues improvement). Hal itu dilakukan karena pada dasarnya selama ini pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan perlindungan sosial hanya saja berbagai kegiatan tersebut dilakukan secara terpisah untuk masing-masing sektor, sehingga yang perlu dilakukan adalah memetakan seluruh kegiatan yang selama ini telah dilakukan dan mengembangkannya secara lebih baik, efektif dan terkoordinasi di masa depan. Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi maka ke depan dirumuskan kebijakan dan strategi pengembangan sistem perlindungan sosial sebagai berikut: C.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Jaminan Sosial Pengembangan sistem jaminan sosial ke depan antara lain mencakup beberapa kebijakan dan strategi pokok sebagai berikut: 1. Memperluas kepesertaan Salah satu masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan jaminan sosial selama ini adalah masih relatif rendahnya cakupan kepesertaan, baik kepesertaan di sektor formal terlebih lagi di sektor informal. a. Memperluas kepesertaan di Sektor Formal Selama ini pelaksanaan jaminan sosial bagi penduduk usia produktif (tenaga kerja) lebih fokus pada tenaga kerja di sektor formal baik pekerja pemerintah (PNS) maupun pekerja swasta. Dilihat dari cakupan kepesertaan, jaminan sosial di sektor pemerintah (PNS) tidak ada masalah baik yang dilakukan oleh PT Askes, PT Taspen maupun PT ASABRI. Semua pegawai negeri (baik sipil maupun militer) tercakup dalam skema tersebut; PT Askes dan PT Taspen untuk PNS dan PT ASABRI untuk anggota militer. Dengan demikian di sektor pemerintah, tidak ada masalah berkaitan dengan perluasan kepesertaan. Masalah yang timbul adalah berkaitan dengan cakupan kepesertaan jaminan sosial di sektor swasta. Sebagaimana diuaraikan di atas bahwa data yang ada memperlihatkan pada tahun 2000 baru sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor formal (di luar PNS) yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Selama 22 tahun sejak beroperasinya pada tahun 1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar 18,1 juta pekerja. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdaftar. Jika dipertajam terhadap mereka yang benar-benar aktif memberikan premi maka jumlah kepesertaan tersebut akan makin kecil. Jika melihat data tahun 2000, masih ada sekitar 13,39 juta pekerja di sektor formal yang belum tercakup dalam jaminan sosial. Masih banyaknya pekerja (baik secara SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 41 absolut maupun relatif) yang belum menjadi peserta jaminan sosial mendorong perlunya strategi dalam memperluas kepesertaan jaminan sosial di sektor formal. b. Mengembangkan kepesertaan di Sektor Informal Masalah cakupan kepesertaan jaminan sosial makin berat dihadapi di tenaga kerja sektor informal. Selama ini belum ada lembaga yang menangani secara sistematis tentang bagaimana mendorong kepesertaan jaminan sosial di tenaga kerja sektor informal. PT Jamsostek sebagai pelaksana jaminan sosial masih berkonsentrasi untuk mengembangkan kepesertaan di tenaga kerja sektor formal. Itupun cakupannya masih terbatas. Padahal proporsi pekerja di sektor informal justru lebih besar dibanding pekerja di sektor formal. Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal. Sementara yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen. Jika dibanding dengan jumlah seluruh pekerja (formal dan informal) yang berjumlah 89,8 juta (tahun 2000) maka cakupan peserta jaminan sosial 20,2 persen. Proporsi tersebut bertambah kecil lagi jika dibanding dengan angkatan kerja (tahun 2002) yang berjumlah 95,65 juta dan jumlah peserta yang terdaftar pada Jamsostek sebanyak 18,14 juta (tahun 2000) maka proporsi angkatan kerja yang tercakup oleh Jamsostek baru 18,97 persen. Padahal idealnya seluruh angkatan kerja dapat dicakup dalam Jamsostek. Dengan cakupan kepesertaan yang rendah seperti itu maka perlu ada kebijakan dan program yang dapat meningkatkan cakupan kepesertaan jamsostek. 2. Memperkuat kelembagaan a. Kelembagaan Pelaksana Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa selama ini sudah ada beberapa lembaga yang menjadi pelaksana jaminan sosial di Indonesia. Beberapa lembaga tersebut adalah PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI, PT Jamsostek, PT Jasa Raharja dan lainlain. Dengan berbagai dinamika kelebihan dan kelemahannya para pelaku jaminan sosial tersebut telah menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh karena para pelaku/ pelaksana jaminan sosial sudah ada maka strategi yang perlu dikembangkan pertamatama adalah memperkuat kelembagaan yang sudah ada (agar masing-masing mampu memperluas cakupan peserta dan meningkatkan kinerjanya) dibanding harus membuat kelembagaan baru yang dapat berbenturan dengan lembaga-lembaga pelaksana yang sudah ada. Strategi memperkuat (empowering) kelembagaan yang sudah ada ini dilakukan dengan mengeluarkan seperangkat kebijakan yang memungkinkan masing-masing lembaga pelaksana dapat lebih memperluas cakupan kepesertaan dan meningkatkan kinerjanya. b. Kelembagaan Pengawas Selama ini pengawasan terhadap lembaga pengelola jaminan sosial dilakukan secara terpisah oleh masing-masing departemen teknis yang terkait. PT Askes pengawasan teknisnya dilakukan oleh Departemen Kesehatan, PT Jamsostek pengawasannya teksnisnya dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja, PT Taspen pengawasannya dilakukan oleh Departemen Keuangan, PT ASABRI pengawasannya dilakukan oleh Mabes ABRI dan seterusnya. Dengan pengawasan yang terpisah SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 42 seperti itu maka kesan yang muncul adalah bahwa jaminan sosial dilakukan secara sektoral tanpa ada keterpaduan satu sama lain. Dengan melihat kenyataan seperti itu maka perlu dibentuk suatu lembaga pengawas yang baru yang dapat memantau dan mendorong masing-masing lembaga pelaksana dalam meningkatkan kinerjanya. c. Koordinasi antar Lembaga Salah satu masalah krusial yang dihadapi dalam pelaksanaan dan pengawasan jaminan sosial di Indonesia adalah koordinasi, baik koordinasi antar lembaga pengelola maupun koordinasi antar instansi pengawas. Lemahnya koordinasi tersebut berakibat pada tidak adanya keterpaduan yang saling mengisi antara program yang dikembangkan oleh lembaga yang satu dengan lembaga yang lain. Oleh karena itu koordinasi antar lembaga menjadi bagian penting yang perlu dikembangkan dalam memperkuat kelembagaan yang ada. 3. Meningkatkan kualitas pelayanan Masalah lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan jaminan sosial yang selama ini ada adalah berkaitan dengan kualitas pelayanan. Ada kesan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pengelola jaminan sosial baik itu oleh PT Jamsostek maupun PT Askes misalnya, kurang sesuai dengan harapan masyarakat sehingga banyak keluhan yang muncul berkaitan dengan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor; ada yang terkait dengan manajemen internal badan pengelola (seperti kualitas SDM, sistem kompensasi dsb.) tetapi ada yang terkait dengan kebijakan makro seperti besarnya iuran yang ditetapkan, sistem pembiayaan/pendanaan, sistem pengawasan dan sebagainya. Masalah-masalah yang terkait dengan manajemen internal badan pengelola biar diselesaikan oleh pihak manajemen pengelola sendiri. Sedang masalah yang perlu diperhatikan dalam kaitan pada kerangka dasar ini adalah masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan makro. Oleh karena itu salah satu rumusan strategi dalam pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagaimana menyusun kebijakan makro yang mendorong terjadinya peningkatan kualitas pelayanan badan pengelola. 4. Memperluas jenis manfaat (benefit) yang diberikan kepada peserta Sebagaimana diuraikan di atas, jenis manfaat yang selama ini diberikan oleh badan pengelola adalah sebagai berikut: a. PT Jamsostek, manfaat yang diberikan antara lain Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, dan Jaminan Hari Tua b. PT Askes, manfaat yang diberikan berupa asuransi kesehatan dengan cakupan pelayanan antara lain meliputi Rawat Jalan, Rawat Inap, Persalinan dan sebagainya. c. PT Taspen, manfaat yang diberikan berupa Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa skema lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM. d. PT ASABRI e. PT Jasa Raharja, memberikan santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat menggunakan transportasi umum. Jenis manfaat tersebut belum mencakup seluruh kemungkinan resiko sosial ekonomi yang dihadapi oleh seseorang. Oleh karena itu kedepan perlu dirumuskan berbagai jenis manfaat baru yang secara esensial dibutuhkan oleh setiap penduduk. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 43 Rumusan tentang berbagai jenis manfaat tersebut merupakan salah satu strategi kebijakan pengembangan sistem jaminan sosial. 5. Menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis data kepesertaan Jaminan Sosial Data kepesertaan merupakan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan jaminan sosial, apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk memperluas cakupan kepesertaan secara menyeluruh (universal coverage). Pengelolaan cakupan jaminan sosial secara menyeluruh bagi seluruh penduduk dapat dimungkinkan jika didukung oleh data kepesertaan yang baik, terintegrasi, sehingga terhindar dari adanya duplikasi. Selama ini pemerintah sedang mengembangkan Nomor Induk Kependudukan yang bersifat unik bagi masing-masing warga negara. NIK yang sedang dikembangkan tersebut diharapkan dapat pula digunakan bagi keperluan pengelolaan jaminan sosial, sehingga masing-masing lembaga pengelola dapat menggunakan NIK tersebut sebagai basis data kepesertaannya. Itulah sebabnya maka salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalah bagaimana menggunakan NIK sebagai basis data kepesertaan jaminan sosial, yang dengan demikian nomor kepesertaan jaminan sosial dapat paralel dengan data kependudukan secara keseluruhan sebagaimana telah dilakukan oleh berbagai negara maju yang telah menerapkan sistem serupa. Kelima hal itulah yang menjadi strategi dasar dalam mengembangkan sistem jaminan sosial kedepan. C.2 Kebijakan dan Strategi Penajaman Bantuan Sosial 1. Lebih Mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah: a. Meningkatkan koordinasi antar sektor Selama ini bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sudah dilakukan secara per sektor, diantaranya sektor sosial, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, kependudukan, dan agama. Ke depan upaya pemberian bantuan sosial yang dilakukan secara per sektor tetap dilanjutkan karena hal itu terkait dengan administrasi kebijakan publik yang ada. Hanya yang perlu ditingkatkan adalah koordinasi antar sektor agar berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh masing-masing sektor tidak terjadi tumpang tindih dan dapat lebih tepat sasaran. b. Mempertajam sasaran program bantuan sosial Salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan dalam pemberian bantuan sosial adalah bagaimana agar bantuan sosial tersebut dapat lebih tepat sasaran, diterima oleh yang benar-benar membutuhkannya. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis dalam mengenali sasaran dari berbagai program bantuan sosial, sehingga dana bantuan sosial yang terbatas benar-benar dapat sampai pada penduduk yang benar-benar membutuhkannya. Banyak program yang perlu dilakukan berkaitan dengan penajaman dan pengenalan sasaran. Salah satu di antaranya adalah dengan mengembangkan test kebutuhan (mean test) SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 44 sebagai salah satu instrumen untuk meyakinkan bahwa dana bantuan sosial yang akan diberikan benar-benar sesuai dan tepat sasaran. c. Mempercepat upaya pengentasan kemiskinan Berbagai program bantuan sosial yang diberikan pemerintah pada akhirnya bermuara pada upaya untuk mendorong penduduk agar terlepas dari kemiskinan sehingga dengan demikian mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Makin banyak penduduk yang miskin akan makin banyak pula dana yang diperlukan untuk program bantuan sosial. Oleh karena itu salah satu strategi dalam pemberian bantuan sosial adalah bagaimana mempercepat upaya pengentasan kemiskinan. 2. Mempertahankan dan Mengembangkan Kearifan Lokal Salah satu hal positif yang perlu dicermati dalam pengembangan sistem perlindungan sosial adalah adanya kearifan-kearifan sosial yang berkembang di masyarakat lokal. Ada mekanisme sosial yang berkembang di beberapa kelompok masyarakat yang sebenarnya terkait erat dengan pengembangan sistem perlindungan sosial. Beberapa di antaranya adalah yang berkembang di Bali, Jawa Tengah, Sumatera dan beberapa masyarakat lain. Di Bali misalnya, berkembang apa yang disebut sebagai iuran dana kesehatan untuk membantu para pemangku adapt yang kehidupannya masih sulit. Di Banyumas ada yang disebut sebagai “Paguyuban 17” dimana masyarakat mengumpulkan iuran yang digunakan untuk memberikan bantuan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh pencari nafkah utama, yang meninggal dunia. Di Kabupaten Asahan, Sumatera, dibentuk apa yang disebut sebagai Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan Kisaran (ISKAPI) dimana memberikan santunan kemalangan (meninggal dunia) dan pengurusan pemakaman. Setiap anggota wajib memberikan santunan sebesar Rp 500 kepada anggota yang tertimpa musibah. Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa sebenarnya di beberapa kelompok masyarakat telah berkembang kearifan sosial yang pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan sistem perlindungan sosial. Dan karena itu apa yang berkembang di masyarakat perlu diperhatikan, dipertahankan dan jika memungkinkan perlu dikembangkan dalam cakupan yang lebih luas. 3. Memperkuat Dukungan Keluarga dan Masyarakat Jumlah penduduk miskin di Indonesia juga masih sangat besar. Pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin mencapai 38,4 juta jiwa atau sekitar 18,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Sebagian dari penduduk miskin tersebut menyandang masalah kesejahteraan sosial. Data yang ada mengungkapkan bahwa lansia terlantar yang ada pada tahun 1991 diperkirakan sebanyak 1.811.484 jiwa13. Namun cakupan penanganan negara terhadap lansia yang terlantar melalui sistem panti masih amat rendah. Sementara panti sosial tresna werdha (PSTW) yang ada di seluruh Indonesia hanya 155 PSTW dengan daya tampung hanya sekitar 7.756 lansia atau kurang dari setengah (0,43) persen. Dari jumlah PSTW tersebut hanya 55,5 persen (86 PSTW) dikelola swasta, sisanya 69 PSTW dikelola dan didirikan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Sosial). Soepardo, Istikanah “Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief Statement”, dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83 13 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 45 Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam memberikan bantuan sosial baik terhadap penduduk miskin maupun terhadap keberadaan penduduk lansia mengisyaratkan perlunya dan pentingnya dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu salah satu strategi dan kebijakan yang perlu dikembangkan dalam pengembangan Sistem Perlindungan Sosial adalah dengan memperkuat dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat. D. KETERKAITAN DENGAN PROGRAM – PROGRAM PEMBANGUNAN Dengan memperhatikan kebijakan dan strategi pengembangan sebagaimana diuraikan di atas maka program-program pembangunan baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang harus mencakup hal-hal sebagai berikut: D.1. Kebijakan Pengembangan Jaminan Sosial 1). Perluasan Cakupan Kepesertaan a. Mendorong PT Jamsostek untuk dapat memperluas cakupan kepesertaan mencapai sekitar 100 persen dari seluruh pekerja swasta di sektor formal antara lain dengan memberikan kewenangan yang lebih luas dalam melakukan law enforcement terhadap perusahaan-perusahaan yang belum mengikutkan pekerjanya dalam jaminan sosial b. Merancang sebuah konsep (termasuk --tetapi tidak terbatas pada-- merancang kelembagaan baru, jika dianggap perlu) tentang pengelolaan jaminan sosial bagi tenaga kerja di sektor informal c. Melakukan uji coba (pilot project) secara sistematis dan berkesinambungan dalam rangka memperluas kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja di sektor informal d. Melakukan kampanye nasional tentang pentingnya sistem jaminan sosial bagi setiap warga negara e. Melakukan advokasi dan technical assistance ke pemerintah-pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) agar masing-masing daerah memiliki perhatian terhadap perlunya kepesertaan warganya dalam sistem jaminan sosial 2). Penguatan Kelembagaan a. Mengkaji dan merumuskan berbagai kebijakan yang dapat memperkuat keberadaan lembaga-lembaga pengelola jaminan sosial (PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI, PT Jasa Raharja, Bapel JPKM) agar melaksanakan fungsinya sebagai pengelola jaminan sosial secara efektif, efisien dan terkoordinasi b. Menetapkan bentuk badan hukum lembaga pengelola jaminan sosial yang memungkinkan lembaga pengelola tersebut mencapai visi dan misinya sebagai pengelola jaminan sosial yang not for profit c. Membentuk dan mengaktifkan forum koordinasi antar lembaga pengelola jaminan sosial, pemerintah dan perwakilan peserta dalam rangka membangun kebersamaan guna memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan jaminan sosial d. Membentuk sebuah Komite Pengawas yang antara lain bertugas dan berwenang memonitor dan mengkoordinasi pelaksanaan jaminan sosial yang dilakukan oleh berbagai lembaga pengelola e. Dan lain-lain 3). Peningkatan Kinerja Lembaga Pengelola Jaminan Sosial a. Menetapkan indikator-indikator kinerja keberhasilan lembaga pengelola secara obyektif dan transparan SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 46 b. Melakukan monitoring secara berkesinambung terhadap kinerja keberhasilan lembaga pengelola c. Mendorong lembaga pengelola untuk meningkatkan kinerja pelayanannya kepada para peserta d. Dan lain-lain 4). Perluasan Manfaat a. Mendorong lembaga pengelola untuk merumuskan berbagai jenis resiko sosial ekonomi yang belum tercakup dalam manfaat yang dikelola oleh lembaga pengelola tersebut b. Menetapkan besarnya iuran/premi yang diperlukan guna mencakup berbagai resiko baru yang akan dimasukkan dalam manfaat yang dikelola oleh lembaga pengelola c. Mengkoordinasikan berbagai manfaat yang dikelola oleh masing-masing lembaga pengelola agar tidak terjadi duplikasi antara satu dan lainnya d. Dan lain-lain 5). Pengembangan NIK - Basis Data Kepesertaan a. Mendorong instansi berwenang untuk dapat segera menyelesaikan penyusunan Nomor Induk Kependudukan sebagai basis data kependudukan yang dapat digunakan oleh berbagai sektor terkait b. Mendorong lembaga-lembaga pengelola jaminan sosial untuk menggunakan NIK sebagai basis data kepesertaan jaminan sosial c. Dan lain-lain D.2. Kebijakan Bantuan Sosial 1). Koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan bantuan sosial a. Bantuan Kesejahteraan Sosial Bantuan ini dipilahkan dalam dua kelompok sasaran, yaitu: - Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) Permanen yaitu pemberian biaya permakanan (dalam bentuk uang) secara terus menerus bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) permanen seperti lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin dan penyandang cacat ganda (fisik dan mental) - BKS Sementara yaitu pemberian uang atau barang bagi PMKS non permanen seperti korban bencana alam dan bencana sosial Bantuan sosial tersebut terutama diarahkan untuk para penyandang masalah sosial yang mengalami kesulitaan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hal pangan, sandang dan papan. Bantuan sosial dilakukan oleh Departemen Sosial sebagai leading sektor dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya. b. Bantuan Sosial Kesehatan Keluarga Miskin Bantuan sosial kesehatan antara lain diarahkan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara murah dan gratis kepada penduduk miskin baik dalam bentuk pelayanan SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 47 langsung (seperti imunisasi, pos pelayanan terpadu (posyandu) bagi balita, posyandu bagi lansia, sanitasi lingkungan dan sebagainya) maupun dalam bentuk pembiayaan kesehatan seperti kartu sehat/ karyu miskin dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan lain sebagainya Bantuan sosial ini dilakukan oleh Departemen Kesehatan sebagai leading sektor dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya. c. Bantuan Sosial Pendidikan Bagi Keluarga Miskin Bantuan sosial di sektor pendidikan berkaitan dengan membantu keluarga yang tidak mampu untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya paling tidak sampai jenjang pendidikan 9 tahun. Bagi anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan intelektual yang tinggi tetapi keluarganya tidak mampu membiayai pendidikannya dibantu dengan melalui skema beasiswa. Berbagai upaya tersebut selama ini sebenarnya sudah dilakukan dan karena itu ke depan tinggal dikembangkan lebih lanjut. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana agar dana bantuan sosial pendidikan yang jumlahnya terbatas tersebut dapat benar-benar sampai pada sasaran yang tepat. Bantuan sosial ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional sebagai leading sector dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya. d. Bantuan Sosial Ketenagakerjaan Bantuan sosial ketenagakerjaan diarahkan untuk membantu tenaga kerja agar dapat masuk ke pasar kerja memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Bantuan tersebut dilakukan baik pada tahap pre employment, employment maupun post employment. Bantuan pada tahap pre employment diberikan antara lain dalam bentuk bimbingan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan oleh pasar kerja. Bantuan pada tahap employment antara lain diberikan dalam bentuk informasi pasar kerja, perlindungan yang berkaitan dengan kondisi dan kesejahteraan pekerja, tunjangan pengangguran dan sebagainya. Sedang bantuan sosial pada tahap post employment antara lain diberikan dalam bentuk promosi ketenagakerjaan bagi lansia produktif untuk berkarya sesuai dengan kemampuan, pengetahuan dan pengalamannya. Bantuan sosial ketenagakerjaan dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai leading sektor dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya. e. Bantuan Sosial Lainnya Selain bantuan sosial yang dilakukan oleh sektor-sektor sebagaimana disebutkan di atas juga ada upaya bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai sektor lain seperti sektor Kependudukan dan KB (oleh Departemen Dalam Negeri dan BKKBN), sektor agama (oleh Departemen Agama) dan sebagainya. Berbagai bentuk bantuan sosial tersebut perlu dikoordinasikan satu sama lain baik dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya. Koordinasi tersebut sangat diperlukan sehingga tidak terjadi duplikasi baik duplikasi dalam kegiatan maupun SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 48 duplikasi dalam sasaran. Dengan demikian dana yang terbatas yang disediakan untuk berbagai upaya bantuan sosial tersebut dapat benar-benar tepat sasaran penggunaannya. 2). Bantuan Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan Bantuan sosial yang juga sangat penting dilakukan adalah bagaimana mengurangi jumlah penduduk miskin (absolut) yang jumlahnya sangat besar. Upaya ini dilaksanakan secara lintas sektoral dan telah disusun strategi penanggulangan kemiskinan yang diarahkan pada strategi sebagai berikut14: a. Perluasan Kesempatan i) meningkatkan alokasi fiscal bagi penanggulangan kemiskinan (DAU, DAK dan dukungan bagi prasarana) ii) menicptakan suatu sistem pajak (progresif) dan subsidi yang adil/berpihak pada kaum miskin iii) meningkatkan investasi publik dan swasta untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja baik melalui sektor riil maupun pembangunan sarana prasarana iv) meningkatkan stabilitas ekonomi, terutama yang berkaitan dengan harga bahanbahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin v) memberikan akses terhadap kredit/pinjaman bagi kaum miskin b. Pemberdayaan Masyarakat Miskin i) bantuan manajemen dan informasi bagi organisasi komunitas kaum miskin ii) membentuk organisasi-organisasi lintas stakeholders agar tercipta konsultasi antara pemerintah dan rakyat iii) memperkuat mekanisme penegakan hukum dalam rangka memasukkan peraturan masyarakat lokal ke dalam kerangka otonomi daerah iv) memperkuat akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok v) meningkatkan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal untuk mengembangkan demokrasi, meningkatkan partisipasi vi) memperkuat akses masyarakat miskin kepada sumberdaya keuangan, keterampilan berorganisasi secara modern serta penanaman budaya industri vii) mengembangkan akses yang baik dan setara terhadap kesempatan kerja (bagi pekerja di sektor formal dan informal) viii) mengembangkan jaringan kerjasama antara organisasi kemasyarakatan, pemerintah dan sektor swasta c. Peningkatan Sumberdaya Manusia i) meningkatkan penyediaan kebutuhan pokok dan pelayanan bagi masyarakat miskin (untuk kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih, prasarana, serta fasilitas pokok lainnya) ii) meningkatkan kualitas pelayanan dan prasarana pendidikan yang lebih baik (yaitu wajib belajar 9 tahun) iii) memberikan potongan harga/subsidi yang adil dan memadai pada beragam pelayanan sosial pokok iv) menyediakan bantuan fasilitas dan prasarana sosial ekonomi yang mampu mendukung kegiatan eonomi produktif yang dijalankan oleh masyarakat miskin Point-point pada bagian ini diambil dari Rohmad Supriyadi, “Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional”, paper disampaikan dalam FGD tanggal 7 Januari 2004 14 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 49 v) memberikan kegiatan pendidikan dan latihan dalam rangka kapasitas dan kewirausahaan bagi masyarakat miskin, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) vi) memperbaiki akses dan peraturan yang berkaitan dengan UKM vii) membantu rumah tangga dan kelompok masyarakat miskin untuk mengembangkan wirausaha serta budaya produktifnya viii) mengembangkan produk yang dihasilkan oleh jaringan pemasaran di antara UMKM 3). Pengembangan kearifan lokal Upaya ini diarahkan untuk menggali, mempertahankan, dan mengembangkan kearifan-kearifan sosial yang telah tumbuh di berbagai komunitas lokal. Secara informal berbagai komunitas di berbagai daerah sebenarnya telah mengembangkan berbagai skema sosial guna menanggulangi berbagai persoalan sosial yang dihadapi anggotanya. Hanya selama ini berbagai skema sosial yang telah berkembang secara informal tersebut tidak berada dalam jangkauan kebijakan publik. Padahal peran berbagai skema informal tersebut sangat penting, karena di samping tumbuh atas inisiatif masyarakat juga karena sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial setempat. Ke depan perlu dikembangkan berbagai upaya baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung untuk dapat menggali dan mengembangkan berbagai skema informal tersebut dalam sistem perlindungan sosial yang akan dikembangkan. 4). Kegiatan berkaitan dengan upaya memperkuat dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat Penguatan dukungan keluarga dan masyarakat antara lain bertujuan untuk: a. meningkatkan dan membina peran keluarga dalam membantu anggota keluarga dan anggota masyarakat lain yang memerlukan bantuan sosial baik dalam bentuk material maupun non material b. meningkatkan dan membina peran serta masyarakat, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta dalam membantu mengatasi berbagai masalah sosial yang dihadapi E. RANCANGAN KELEMBAGAAN Rancangan kelembagaan sistem perlindungan sosial diarahkan pada pendekatan konvergen. Hal ini diperlukan guna meningkatkan keterpaduan, efisiensi dan efektifitas, serta tepat sasaran. Kelak, dalam penyelenggaraan sistem perlindungan sosial perlu dibentuk suatu institusi yang berfungsi khusus untuk mengelola pelaksanaan berbagai bentuk perlindungan sosial berdasarkan suatu peraturan perundangan-undangan. Institusi tersebut akan menjadi penanggung jawab dalam pelaksanaan berbagai skema dan bentuk perlindungan sosial dengan mempertimbangkan kearifan lokal serta partisipasi keluarga dan masyarakat. F. SISTEM PENDANAAN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 50 Pendanaan dalam pengelolaan jaminan sosial berbeda dengan pendanaan dalam pengelolaan bantuan sosial. Dana pengelolaan jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) berasal dari peserta (pemberi kerja dan pekerja), sedang dana bantuan sosial merupakan subsidi yang sepenuhnya berasal dari pemerintah. Kalaupun pemerintah mengeluarkan dana untuk jaminan sosial adalah dalam kaitan pemerintah sebagai pemberi kerja yang harus mengeluarkan dana jaminan sosial bagi para pekerjanya (sipil ataupun militer). a. Pendanaan Jaminan Sosial Ada beberapa sistem berkaitan dengan pendanaan jaminan sosial. Secara umum dari segi pembiayaannya, jaminan sosial dapat dibedakan atas: - Pay-as-you-go sistem yaitu suatu jaminan yang dibayarkan dari iuran pada tahun yang sama atau funded sistem (dibentuk dana cadangan sebelum pembayaran jaminan) yang digunakan untuk pembiayaan hari tua. - Fee-for-service sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan pada setiap jasa yang diberikan atau prepayment sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan di muka sesuai tarif/iuran yang ditentukan khususnya untuk pembiayaan jaminan pemeliharaan kesehatan. Pembiayaan pay-as-you-go umumnya digunakan dengan metode defined-benefit, sedangkan funded sistem digunakan dalam metode define contributions. Dan pembayaran fee-forservice umumnya digunakan dalam metode indemnity insurance, sedangkan prepayment sistem digunakan dalam managed care. Berbagai sistem pembiayaan sebagaimana diuraikan di atas digunakan oleh masingmasing pengelola jaminan sosial sesuai kebutuhannya. Dalam kaitan ini perlu ada kajian yang komprehensif tentang sistem pembiayaan (pendanaan) mana yang lebih sesuai untuk masingmasing badan pengelola sehingga masing-masing badan pengelola dapat lebih meningkatkan kinerjanya. Termasuk pula kemungkinan melakukan penarikan iuran jaminan sosial melalui pajak (sosial security tax). b. Pendanaan Bantuan Sosial Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dana untuk bantuan sosial berasal dari subsidi pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan demikian dana bantuan sosial tersebut sebagian besar berasal dari APBN ataupun APBD. Sayangnya kondisi APBN saat ini belum begitu mendukung. Menurut BAPPENAS untuk APBN 2004 diperkirakan masih mengalami defisit sebesar Rp 24,4 trilyun. Dengan kondisi seperti itu maka pengeluaran pemerintah masih lebih banyak untuk pengeluaran rutin, dimana pengeluaran rutin rutin pemerintah lebh ditujukan untuk (a) menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan kualitas pelayaan publik; (b) memenuhi kewajiban membayar bunga hutang; (c) melaksanakan program subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin dan membantu kelompok usaha kecil menengah; (d) mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2004; (e) menyediakan dana cadangan umum untuk mengantisipasi tidak tercapainya sasaran ekonomi makro, ketidaksesuaian pelaksanaan kebijakan yang direncanakan dengan pelaksanaannya, dan; (f) menghadapi keadaan darurat seperti bencana alam. Defisit anggaran diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami masa sulit terutama pada tahun 2004-2006 dikarenakan beberapa hal seperti (a) pembayaran hutang luar negeri dan dalam negeri yang sudah mulai jatuh tempo; (b) semakin terbatasnya pembiayaan yang berasal SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 51 dari dalam negeri; (c) sulitnya upaya peningkatan penerimaan negara (pajak) sebagai akibat dari belum pulihnya kondisi perekonomian nasional15. Dengan kondisi APBN yang masih defisit seperti itu maka bisa diduga bahwa kemampuan negara dalam membiayai bantuan sosial masih terbatas. Dan untuk itu perlu ada penajaman tentang kegiatan bantuan sosial mana yang perlu mendapat prioritas lebih tinggi. Upaya penanggulangan kemiskinan tampaknya menjadi salah satu fokus program bantuan sosial yang perlu mendapat prioritas tinggi. Dengan dapat mengatasi kemiskinan maka berarti penduduk yang menjadi sasaran bantuan sosial makin berkurang, dan kemudian diharapkan dapat mengikuti berbagai bentuk jaminan sosial. G. PRIORITAS Rancangan kebijakan dan program sebagaimana diuaraikan di atas --karena-berbagai keterbatasan yang ada-- tentu saja tidak bisa dilaksanakan secara serentak. Dan oleh karena itu maka perlu dibuat skala prioritas tentang program mana yang akan dilakukan terlebih dahulu. Dengan mempertimbangkan bahwa kerangka hukum tentang jaminan sosial khususnya yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial masih dalam proses penggodogan di tingkat legislatif, sementara di sisi lain kondisi sosial ekonomi masyarakat memperlihatkan masih banyak yang perlu memperoleh bantuan sosial. Sehingga, dalam satu sampai tiga tahun kedepan upaya implementasi kebijakan dan program sistem perlindungan sosial sebagaimana diuraikan di atas masih diprioritaskan pada kebijakan bantuan sosial. Selanjutnya, sebagaimana diuraikan di atas maka strategi kebijakan bantuan sosial diarahkan untuk lebih mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah melalui atau dengan (a) meningkatkan koordinasi antar sektor; (b) mempertajam sasaran program bantuan sosial, dan (c) mempercepat upaya pengentasan kemiskinan. Dengan demikian diharapkan dalam satu hingga tiga tahun kedepan pelaksanaan bantuan sosial dapat dilakukan secara lebih efektif dan lebih tepat sasaran melalui kerangka kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi antar sektor terkait. Setelah kerangka kebijakan bantuan sosial dapat dilakukan secara lebih efektif, terkoordinasi dan tepat sasaran serta sejalan dengan makin baiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka baru kebijakan perlindungan sosial lebih diarahkan pada peningkatan jangkauan kepesertaan dan kinerja jaminan sosial. Karena sebagaimana dikemukakan di atas bahwa meskipun tekanan demografis menunjukkan tentang perlunya segera diwujudkan sistem jaminan sosial yang lebih memadai, namun kondisi sosial ekonomi masyarakat masih belum mendukung untuk itu. Besarnya angka pengangguran, banyaknya pekerja di sektor informal, rendahnya penghasilan (upah), rendahnya pertumbuhan ekonomi (akibat rendahnya investasi dan ekspor) yang berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja, merupakan beberapa hal pokok yang menyebabkan belum memungkinkannya dilakukan berbagai upaya yang terkait dengan usaha peningkatan kepesertaan dan kinerja jaminan sosial. Oleh karena itu maka prioritas kebijakan dan program perlindungan sosial dalam satu hingga tiga tahun kedepan masih pada bantuan sosial, baru kemudian lebih diprioritaskan kepada jaminan sosial. 15 Suharmen, “Gambaran APBN dalam Jangka Menangah”, paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003 SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 52 DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. Social Protection Strategy. ADB. Manila. 2001 Armando Barrientos and Andrew Shepherd. Chronic Poverty and Social Protection. University of Manchester, Inggris. 2003 BAPPENAS. Peta Kemiskinan di Indonesia. BAPPENAS. Mei 2003 BPS. Data dan Informasi Kemiskinan 2002 Buku 1: Provinsi. BPS. Jakarta. Desember 2002 ------. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002. BPS. Jakarta. Februari 2003 ------. Laporan Perekonomian Indonesia 2002, BPS. Jakarta. Desember 2002 Bambang Purwoko (2002). Social Protection in Indonesia. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung. Bonn. 2002 Canagarajah, Sudharshan & S.V. Sethuraman. “Social Protection and the Informal Sector in Developing Countries: Challenges and Opportunities”, Social Protection Discussion Paper Series. The World Bank. December 2001. Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Discussion Report – Beyond Safety Nets: The Challenge of Social Protection in a Globalizing World. --------------------------------------------------------------------. Social Protection as a Factor of National Cohesion: The Practice and Experience of China. Ma Fengzhi. Peking University. China. --------------------------------------------------------------------. Moving Social Protection Beyond a “Safety Net” Approach in Latin America and the Caribbean. Ana Sojo, Economic Commission for Latin America and Caribbean-ECLAC United Nations. Chile. --------------------------------------------------------------------. Linking Informal and Formal Social Security Systems. Hans Gsager. German Development Institute. --------------------------------------------------------------------. Social Protection System for Older People in Bangladesh. Zarina Nahar Kabir. Stockholm Gerontology Research Center. Sweden. Eduardo T. Gonzalez and Rosario Gregorio Manasan. Social Protection in Philippines. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung, Bonn. 2002. Holzmann, Robert & Steen Jorgensen. “Social Protection as Social Risk Management: Concptual Underpinnings for the Social Protection Sector Strategy Paper”, Social Protection Discussion Paper Series. The World Bank. January 1999 International Labor Organization. Social Security and Coverage for All. ILO. 2002 International Social Security Association (ISSA). The Social Security Reform Debate. In Search of a New Consensus. A Summary. ISSA. 1998. Iryanti, Rahma. “Perlindungan Sosial Tenaga Kerja (Mengantisipasi Perubahan Dalam Pasar Kerja)”. paper disampaikan dalam FGD. 13 Januari 2004 Jorgensen, Steen Lau & Julie Van Domelen. “Helping the Poor Manage Risk Better: The Role of Social Funds”, Social Protection Discussion Paper Series. The World Bank. 1999 Kantor Menteri Kependudukan & UNFPA. Rencana Aksi Nasional Dukungan Keluarga dan Masyarakat terhadap kehidupan Lansia. Jakarta. 1999 Kiswanti, Utin. “Kajian Awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan”. paper disampaikan dalam FGD 13 Januari 2004. Michael von Hauff. The Relevance of Social Security for Economic Development. 200_ Mundiharno. “Kondisi Demografi-Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia”. paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003. Mundiharno. Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I. Thesis. Universitas Indonesia. 1999. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 53 Perwira, Daniel et al., “Perlindungan Tenaga Kerja Melalaui Sistem Jaminan Sosial: Pengalaman Indonesia”. kertas kerja.SMERU. Juni 2003. Purwoko. Bambang. “FACS Program: Australian System”. paper disampaikan dalam FGD 13 Januari 2004 Purwoko, Bambang, “Proteksi Sosial”. paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003. Ragayah Haji Mat Zin, Hwok Aun Lee, and Saaidah Abdul-Rahman. Social Protection in Malaysia. Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-EbertStiftung. Bonn. 2002. Ratman, Dadang Rizki, “Perlindungan Sosial di Bidang Kesehatan”. outline paper disampaikan FGD 13 Januari 2004. Standing, Guy, “Unemployment and Income Security”. Paper. International Labour Organization. June 2000 Sudarsono, Budiman, “Aspek Hukum dalam Jaminan dan Perlindungan Sosial”. paper disampaikan dalam FGD 7 Januari 2004. Suharmen, “Gambaran APBN dalam Jangka Menengah”. paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003. Supriyadi, Rohmad, “Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional”. paper disampaikan dalam FGD 7 Januari 2004. SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU 54