jaminan sosial tenaga kerja

advertisement
DESAIN
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL
TERPADU
Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah
DIREKTORAT KEPENDUDUKAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, DAN
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
BAPPENAS
2003
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
BAB II PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR.............................................. 2
A. Perlindungan Sosial....................................................................................................... 2
B. Jaminan Sosial ................................................................................................................ 3
C. Pendekatan ..................................................................................................................... 4
BAB III SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI ................................................. 5
A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL............................................. 5
A.1.
A.2
A.3
A.4
A.5
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA...................................................................... 5
JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT ........................ 8
PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN .............................. 10
PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT RENTAN....................... 13
JAMINAN PERLINDUNGAN DAN SANTUNAN KEMATIAN
(JASA RAHARJA) .......................................................................................................... 16
B. KEARIFAN LOKAL DAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN
SOSIAL DI DAERAH ............................................................................................. 18
B.1
B.2
B.3
B.4
KABUPATEN TAKALAR- SULAWESI SELATAN ............................................ 18
KABUPATEN SIDOARJO- JAWA TIMUR ........................................................... 19
KABUPATEN SLEMAN- JAWA TENGAH.......................................................... 19
KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT – KALIMANTAN
TENGAH ........................................................................................................................ 20
B.5 KOTA PADANG - SUMATERA BARAT ............................................................. 21
C. KONDISI DEMOGRAFI DAN EKONOMI YANG PERLU
DIPERHATIKAN DALAM PENGEMBANGAN
PERLINDUNGAN SOSIAL.................................................................................. 21
C.1 KONDISI DEMOGRAFI ........................................................................................... 22
C.2 KONDISI KETENAGAKERJAAN ......................................................................... 27
C.3 KONDISI EKONOMI .................................................................................................. 31
BAB IV PERLINDUNGAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA .................................. 34
(1) Malaysia........................................................................................................................ 34
(2) Filipina ......................................................................................................................... 35
(3) Thailand ....................................................................................................................... 37
(4) Amerika Serikat .......................................................................................................... 37
BAB V REKOMENDASI: DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL
TERPADU ...................................................................................................................... 39
A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR........................................... 39
B. TUJUAN DAN SASARAN ..................................................................................... 40
C. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ................................... 41
C.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Jaminan Sosial .............................................. 41
C.2 Kebijakan dan Strategi Penajaman Bantuan Sosial...................................................... 44
D. KETERKAITAN DENGAN PROGRAM – PROGRAM
PEMBANGUNAN ................................................................................................... 46
D.1. Kebijakan Pengembangan Jaminan Sosial .................................................................. 46
D.2. Kebijakan Bantuan Sosial .............................................................................................. 47
E. RANCANGAN KELEMBAGAAN ...................................................................... 50
F. SISTEM PENDANAAN .......................................................................................... 50
G. PRIORITAS ................................................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 53
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
i
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4) Indonesia Tahun
1980-2020 .............................................................................................................. 22
Tabel 3.2. Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima Provinsi, 1995 ................. 23
Tabel 3.3. Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase Lansia di Indonesia .............. 24
Tabel 3.4. Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan Pensiun dan Pesangon,
1986-1993 (dalam ribuan) ................................................................................... 25
Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia...................... 35
Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina .......................................... 37
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
ii
BAB I
PENDAHULUAN
UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak
atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana
manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat), bahwa: “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR
No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara
pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk
membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No. 20 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Tim
SJSN telah menyusun suatu naskah akademik dan telah diserahkan kepada DPR dalam rangka
pengajuan RUU SJSN. Cakupan naskah akademis tersebut meliputi jaminan sosial dengan
pendekatan skema asuransi yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti jaminan sosial
pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan
hari tua, pensiun dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin
belum tercantum.
Sejak tahun 2002 Bappenas telah melakukan kajian awal mengenai sistem perlindungan
dan jaminan sosial yang pada intinya berupaya untuk menuju ke arah pembentukan suatu Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun ini Bappenas melakukan kajian yang lebih mendalam dengan output suatu
rekomendasi “Desain Sistem Perlindungan Sosial (SPS) Terpadu”. Dalam implementasi SPS
tersebut, masyarakat yang bekerja, dunia usaha dan pemerintah diharapkan dapat bersama-sama
menanggung pendanaan sistem tersebut. Salah satu rekomendasi kajian menyatakan perlunya
suatu SPS yang dikaitkan dengan sistem administrasi penduduk (unique number system). Dengan
demikian, identifikasi penduduk yang layak memperoleh perlindungan sosial akan lebih tepat dan
efisien.
Disadari bahwa pembentukan suatu SPS memerlukan waktu yang panjang dan lama.
Oleh karena itu, implementasi SPS dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah membentuk
kebijakan SPS berikut perangkat pendukung baik dari aspek hukum dan kelembagaan. Dalam
naskah ini akan dipaparkan suatu desain SPS yang menyeluruh untuk seluruh penduduk
Indonesia dan terintegrasi. Namun demikian pada tahap selanjutnya adalah diperlukan strategi
pelaksanaan (termasuk master plan) SPS di beberapa daerah yang disesuaikan dengan kemampuan
pemerintah, dunia usaha, masyarakat serta sasaran khusus penduduk miskin.
Dalam tulisan ini, pertama, akan didefinisikan dahulu tentang pengertian dan prinsipprinsip dasar tentang jaminan dan perlindungan sosial. Keadaan pelaksanaan jaminan dan
perlindungan sosial saat ini juga dijelaskan dalam tulisan ini. Sebagai bahan perbandingan tentang
pelaksanaan jaminan dan perlindungan sosial, dalam tulisan ini juga di jelaskan secara singkat
tentang pengalaman perlindungan dan jaminan sosial di luar negeri. Kondisi makro ekonomi dan
demografi di Indonesia merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan SPS di
Indonesia. Hal yang terpenting dalam tulisan ini adalah rekomendasi Desain Sistem
Perlindungan Sosial Terpadu yang akan dijelaskan dalam tulisan ini meliputi aspek kebijakan,
strategi, sasaran, program, kelembagaan, dan pendanaan.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
1
BAB II
PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
A. Perlindungan Sosial (social protection).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial dan jaminan sosial.
Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah
beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya
merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan
dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi
diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti bahwa perlindungan sosial
merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial
tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring
pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai
alternatif istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia
internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima)
elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan
sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas
setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang
digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank
Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii)
investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus
pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.
Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan perlindungan sosial dengan jejaring
pengaman bisa berarti menyempitkan makna perlindungan sosial itu sendiri.
Akan halnya ILO (2002) dalam “Social Security and Coverage for All”, perlindungan sosial
merupakan konsep yang luas yang juga mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan
sosial pada tingkat internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan skemaskema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan sosial bisa dibedakan dalam 3
(tiga) lapis (tier): Lapis (tier) Pertama merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh
oleh pemerintah; Lapis Kedua merupakan skema asuransi sosial yang didanai dari kontribusi
pemberi kerja (employer) dan pekerja; dan Lapis Ketiga merupakan provisi suplementari yang
dikelola penuh oleh swasta. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut
berdasarkan kontributor dana dalam tiap skema.
Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager dari German Development
Institute. Gsager berpendapat bahwa sistem-sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk
mendukung penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat.
Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu
pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga non pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan kelompok masyarakat.
Menurut Barrientos dan Shepherd (2003), perlindungan sosial secara tradisional dikenal
sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan sosial, lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas
dari jejaring pengaman sosial. Saat ini perlindungan sosial didefinisikan sebagai kumpulan upaya
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
2
publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi kerentanan, resiko dan kemiskinan
yang sudah melebihi batas (Conway, de Haan et al.; 2000).
Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui discussion report
mengambil definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB dalam “United Nations General
Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan
swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun
berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi
keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara lebih detail
dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan
dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan,
kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga
dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang
dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut
PBB dapat dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi
sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumberdaya kepada kelompok yang
mengalami kesulitan sumber daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial
dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Nampaknya definisi inilah yang
kemudian diadopsi dalam penyusunan konsep SJSN.
B. Jaminan Sosial (Social Security).
Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan
sosial (social security). ILO (2002) menyebutkan bahwa jaminan sosial merupakan bentuk
perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui
berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan,
kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian. Lebih jauh dijelaskan bahwa
jaminan sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan
skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter
lainnya.
Michael von Hauff dalam “The Relevance of Social Security for Economic Development”
mengutip kesepakatan dari the World Summit for Social Development di Kopenhagen tahun
1995, bahwa sistem jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan pembangunan
sosial dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Lebih rinci, deklarasi summit tersebut antara
lain mencanangkan “to develop and implement policies which ensure that all persons enjoy adequate economic
and social protection in the event of unemployment, sickness, during motherhood and child-rearing, in the event of
widowhood, disability and in old age.”
Selain untuk penanggulangan kemiskinan, jaminan sosial juga berfungsi sebagai
perlindungan bagi individual dalam menghadapi kondisi kehidupan yang semakin memburuk
yang tidak dapat ditanggulangi oleh mereka sendiri (von Hauff dan de Haan; 1997).
Barrietos dan Shepherd (2003) menjelaskan bahwa jaminan sosial lebih sempit
dibandingkan perlindungan sosial. Jaminan sosial umumnya dihubungkan dengan hal-hal yang
menyangkut kompensasi dan program kesejahteraan yang lebih bersifat ‘statutory schemes’.
Adapun bentuk jaminan sosial yang sudah diselenggarakan adalah asuransi sosial yang
mencakup asuransi kesehatan (Askes dan Asabri), asuransi kesejahteraan sosial (Askesos),
tabungan pensiun (Taspen), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek); kebijakan ketenagakerjaan
seperti cuti hamil, cuti haid, tunjangan sakit/kecelakaan yang dibayarkan oleh perusahaan, dll.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
3
C. Pendekatan.
Pendekatan yang selama ini digunakan lebih mengarah pada pendekatan berdasarkan
permintaan (demand-based). Bahkan dalam naskah akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) pun masih tercermin pendekatan tersebut. Salah satu misi yang dicanangkan SJSN adalah
“meningkatkan pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa perlu menjadi peserta SJSN.”
Semangat yang tercermin dalam misi ini adalah pendekatan demand-based. Di sini diharapkan
suatu saat nanti keinginan untuk menjadi peserta dalam skema-skema SJSN akan timbul.
Hal ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan, sebab dalam pelaksanaannya, yang dapat
terjadi adalah penyelenggaraan pelayanan dengan spirit yang tidak berbeda dengan apa yang ada
saat ini. Kemungkinan yang akan terjadi adalah pelayanan pemerintah yang minimal karena
penduduk yang memerlukan pelayanan pemerintah; bukan karena sudah menjadi tugas dan
kewajiban pemerintah untuk menghargai dan menghormati hak penduduk, serta melayani dan
memenuhi kebutuhan penduduk.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
4
BAB III
SITUASI DAN ANALISIS KONDISI SAAT INI
A. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL
A.1.
JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
(a). Latar Belakang
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi
penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan
program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada
PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri
didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6
Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat
dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota
TNI/Polri (Lihat Tabel 1).
(b). JAMSOSTEK
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun
1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai
hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang
terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan
kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya
pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang
tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,
mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan
santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat
total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar
sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga
kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena
penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam
hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan
mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded
system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi
terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk
menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila
penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah
akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24
persen - 1,742 persen dari upah per bulan dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis
usaha (terdapat 5 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha
(selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan
pengusaha yaitu sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga
merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
5
yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum
berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan
iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per bulan ditanggung
oleh pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja.
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga
kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurangkurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per
bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian,
belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek.
Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di
Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover
dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT
mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara
keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun.
Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni
2002.
(c). TASPEN
Untuk itu pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Di
samping itu, penyelenggaraan program jaminan kesejahteraan PNS diatur dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969
tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN (Persero) ditetapkan
sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan
Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan
beberapa program lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk
Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM.
Pengelolaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969
pendanaan pensiun dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as
you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar) dan telah dilakukan sampai dengan
akhir 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem
pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode gabungan pay as
you go dengan sistem funded dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program
pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari
APBN adalah sebesar 75 persen dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25 persen dari seluruh
beban pembayaran pensiun PNS.
Sumber dana program tabungan hari tua PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 3,25
persen dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan sumber dana untuk program dana
pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75 persen dari penghasilan peserta setiap
bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah gaji pokok + tunjangan istri + tunjangan anak.
Disamping itu, PNS juga dikenakan iuran sebesar 2,00 persen dari penghasilan peserta setiap
bulan untuk membayar iuran program kesehatan.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
6
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan
sekarang didasarkan pada keputusan direksi dengan formula: (0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI
2 x (P2001 – P2000)). MI 1: Masa Iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti. MI 2:
Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti. Sedangkan formula manfaat program pensiun
adalah 2,5 persen x masa kerja x penghasilan dasar pensiun. Pelaksanaan pembayaran program
tabungan hari tua dan pensiun dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen
(Persero), Bank, dan Kantor Pos.
Sasaran program jaminan sosial hari tua/pensiun yang dilaksanakan oleh PT
(Persero) Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil, kecuali PNS di lingkungan
Departemen Pertahanan – Keamanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak
3.932.766 orang dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602
orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundang yang
berlaku adalah peserta; atau janda/duda dari peserta, dan janda/duda dari penerima pensiun;
atau yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun; atau orang tua dari
peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak
menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta; atau
istri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
(d). ASABRI
Program kesejahteraan bagi anggota TNI diatur dalam beberapa Undang-undang,
seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand
Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat
Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undang-undang No.
75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun
1965 tentang Veteran RI. Dalam penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur
dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, dimana diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi
setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.
(e). ASKES
Sistem perlindungan sosial yang ada saat ini adalah Sistem Asuransi Kesehatan (yang
diselenggarakan oleh PT Askes), untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang
berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan antara lain, konsultasi medis dan penyuluhan
kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, pemeriksaan
dan pengobatan gigi, dan lainnya.
Visi ke depan PT Askes adalah menjadi spesialis asuransi kesehatan dan jaminan
pemeliharaan kesehatan untuk mengantisipasi penerapan Jaminan Sosial Nasional yang sedang
disusun pemerintah. Dengan pengalaman mengelola asuransi kesehatan selama 34 tahun dengan
14 juta peserta, PT Askes berharap menjadi market leader dan center of excellence asuransi kesehatan.
Potongan iuran wajib atau premi untuk dana pemeliharaan kesehatan bagi pegawai
negeri sipil (PNS), dan penerima pensiun beserta anggota keluarganya, diatur melalui Keputusan
Presiden. Keputusan Presiden yang masih berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Presiden
No. 8 tahun 1977, menyatakan bahwa 2 persen dari penghasilan pegawai digunakan untuk
pemeliharaan kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun. Kemudian dengan UU No. 43
tahun 1999, pasal 32, dinyatakan bahwa untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan pemerintah
menanggung subsidi dan iuran yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain menyelenggarakan asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri sipil, pensiunan,
veteran dan perintis kemerdekaan, PT Askes juga menyelenggarakan Askes komersial untuk
perusahaan swasta yang memerlukan jaminan pemeliharaan kesehatan karyawan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
7
.
Berkaitan dengan otonomi daerah, PT Askes menawari pemerintah kabupaten/kota
untuk membelikan produk suplemen/menambah premi untuk pegawai negeri dan keluarganya,
sehingga jika berobat tidak perlu lagi iur biaya. Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, seluruh
pegawai negeri sudah diberi paket suplemen. Pemerintah Daerah Papua juga mengundang PT
Askes untuk mengelola jaminan pemeliharaan kesehatan rakyatnya.
Selain itu, untuk meningkatkan komunikasi, Askes menyelenggarakan pertemuan rutin
dengan organisasi provider (penyedia jasa layanan kesehatan), seperti Asosiasi Rumah Sakit
Daerah (Arsada) dan rumah sakit perusahaan jawatan. Askes juga memiliki situs web dan e-mail
untuk berkomunikasi. Saat ini Askes sedang menyiapkan buku saku untuk peserta maupun
provider, serta berencana menyediakan formulir keluhan yang bisa dikirim ke Direktur Askes
maupun kantor cabang sebagai mekanisme kontrol bagi Askes maupun provider.
A.2
JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT
(a) Latar Belakang
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya kesehatan
yang harus dikeluarkan oleh perseorangan menyebabkan tidak semua anggota masyarakat
mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan pemerintah
untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan
kesehatan, maka akan semakin banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat sulit
menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Semestinya harga yang tidak terjangkau masyarakat
ini bisa dikendalikan dengan asuransi kesehatan sosial. Namun, apabila hendak mengikuti
asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar premi asuransi komersial.
Cara terbaik untuk mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan adalah memperbaiki
pembiayaan kesehatan dengan jaminan kesehatan sosial. Asuransi kesehatan dipandang sebagai
salah satu alternatif pemecahan masalah pembiayaan kesehatan. Namun permasalahannya adalah
hingga kini manajemen sistem asuransi banyak mengalami hambatan untuk
mengimplementasikan konsep-konsep asuransi.
Bila ditinjau dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H (1) menyebutkan setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula dalam
Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan konstitusi WHO, yang menetapkan
bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu negara bertanggung
jawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya terpenuhi.
Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan keluarga miskin (Gakin),
melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk
pelayanan kesehatan dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru).
Kemudian, pada akhir tahun 2001 disalurkan dana subsidi bahan bakar minyak (PDPSE)
untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk
mengatasi dampak krisis dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin
melalui subsidi biaya operasional Puskesmas, Bidan di Desa, Gizi, Posyandu, Pemberantasan
penyakit menular (P2M) dan rujukan RS.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
8
(b) Konsep JPKM
Masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, namun upaya kesehatan yang
diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat (JPKM) yang diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat.
JPKM mengarah kepada penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. JPKM bukan
asuransi biasa, melainkan asuransi plus. Dalam arti, mengambil dana masyarakat dalam bentuk
premi, kemudian melaksanakan pembiayaan kesehatan secara paripurna dan terkendali lewat
pembayaran prospektif kepada penyedia pelayanan kesehatan, disertai sistem kendali mutu dan
pemantauan utilisasi.
Untuk menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin,
pemerintah meluncurkan sistem jaminan kesehatan dalam bentuk jaminan pemeliharaan
kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin). Nantinya, subsidi pemerintah untuk keluarga miskin
tidak langsung disalurkan ke pemberi pelayanan kesehatan (puskesmas, bidan atau rumah sakit),
melainkan lewat badan penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan (Bapel JPK).
Bapel JPK bertugas mengelola kepesertaan, membayarkan dana ke pemberi pelayanan
kesehatan serta menjaga mutu pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah/dinas kesehatan
bertindak sebagai pembina/pengawas. Dengan sistem ini akan terjadi pemisahan fungsi yang
tegas dan saling mengontrol. Keluarga miskin didorong memanfaatkan pelayanan serta dilayani
secara terpadu oleh puskesmas dan rumah sakit.
UU No. 23 tahun 1992 telah menetapkan bahwa JPKM sebagai cara yang terbaik karena
diterapkan kendali biaya, kendali mutu dan kendali pemerataan kebutuhan bagi pesertanya.
Sampai dengan akhir tahun 2002, cakupan JPKM baru mencapai 20,2 persen (Data Susenas)
dengan coverage 6,3 persen keluarga miskin yang memperoleh kartu sehat JPSBK.
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/Menkes/Per/VII/1993 mencantumkan
adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan kesehatan. Paket ini
diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara untuk kepentingan peserta dalam rangka
melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan, yang meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat
darurat dan penunjang.
Penetapan biaya pelayanan kesehatan per kapita (kapitasi) yang dibayar oleh
penyelenggara kepada PPK dihitung berdasarkan ketetapan tentang jenis pelayanan,
utilisasi/kunjungan, dan biaya satuan (unit cost). Berdasarkan asumsi di tingkat pusat kapitasi
pelayanan kesehatan (yankes) Gakin untuk paket harkes standar/dasar dengan tarif Perda
subsidi, seperti berikut:
No
1
2
3
4
Jenis Pelayanan
Rawat jalan Tk I (Puskesmas)
Rawat jalan spesialistik (RS
Pemerintah)
Rawat Inap (5 hari)
Gawat Darurat
Kunjungan
Rata-rata
Peserta
14,00
2,00
Tarif Perda
(Rp)
Biaya
Per kapita
1.000
5.000
140
100
0,290
0,037
200.000
20.000
580
7
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
9
Jumlah biaya pelayanan kesehatan per kapita per bulan adalah Rp. 827,Dengan memperhitungkan biaya administrasi penyelenggara sebesar 8 persen, maka dihitung
premi sebesar = 100/92 x Rp. 827,- = Rp. 899,-/kapita/bulan atau premi Gakin sebesar = 4 x
Rp. 899,- = Rp. 3.596,-/keluarga/bulan.
Dalam jangka panjang JPK Gakin akan diintegrasikan dengan asuransi sosial kesehatan
yang mencakup seluruh penduduk. Asuransi sosial kesehatan bersifat wajib bagi seluruh
penduduk, sedangkan JPKM bersifat sukarela. Untuk pembayarannya, premi bagi keluarga
miskin dibayar oleh pemerintah, sedangkan keluarga mampu diminta membayar sendiri
preminya.
Paket pelayanan standar untuk keluarga miskin meliputi rawat jalan di puskesmas, rawat
jalan spesialistis di rumah sakit, rawat inap di rumah sakit sesuai kebutuhan medik untuk ratarata lima hari serta pelayanan gawat darurat di puskesmas maupun rumah sakit. Sedangkan jenis
perawatan bagi keluarga miskin yang telah dilaksanakan di rumah sakit adalah persalinan,
tuberkulosis paru, gastroenteritis/gangguan pencernaan, bedah, tifoid, gastritis/radang lambung,
febris/demam, hernia, asma, dan malaria.
Pemerintah berniat untuk mengintegrasikan program bantuan pemeliharaan kesehatan
keluarga miskin dengan asuransi sosial kesehatan. Selain itu, adanya upaya pemerintah pusat
untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam memelihara kesehatan
penduduk miskin lewat kontribusi dana.
Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah (APBN, APBD I, dan APBD II)
dan masyarakat (rumah tangga, perusahaan, dan asuransi/jaminan kesehatan) masih sangat
rendah, berkisar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Nilai tersebut setara dengan
US$12/kapita/tahun.
Dari besaran pembiayaan kesehatan setahun, kontribusi pemerintah berkisar 30 persen
(US$ 3,5/kapita). Sementara kontribusi masyarakat berkisar 75-80 persen berupa pengeluaran
rumah tangga atau membayar dari kantong sendiri. Hanya sebagian kecil (berkisar 20 persen)
yang merupakan pengeluaran terorganisasi oleh perusahaan asuransi/jaminan kesehatan.
A.3
PERLINDUNGAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN
(a). Latar Belakang
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, maka
terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain dengan
semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat adanya krisis,
kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis. Hal ini berakibat pula
pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah satu komponen
pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum
krisis, maka setelah krisis keluarga tersebut akan jatuh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa
keluarga tersebut mengambil keputusan untuk “mengerahkan” seluruh anggota keluarganya
untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada
pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, mereka
menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu menambah pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera mengatasinya.
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain dengan memberikan bantuan
biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
10
Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama/SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid Sekolah
Dasar/SD dan SLTP, ditambah dengan murid Sekolah Menengah Umum/SMU dari keluarga
miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu
membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out.
(b) Landasan Hukum
Landasan hukum bagi pembangunan dan jaminan sosial di bidang pendidikan adalah
UUD 1945 Amandemen keempat tanggal 10 Agustus 2002, baik pada Pembukaan, maupun
dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan
nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan Pasal 31 dalam ayat-ayatnya menyatakan sebagai berikut: (1) Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang; dan (3)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Selanjutnya, Pasal 34 dalam ayatayatnya menyatakan bahwa: (1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara; dan (2)
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Landasan hukum lainnya adalah: UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional; UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia; UU No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai
Batas Usia Minimum Anak Bekerja; dan UU No. 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi
ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak; serta Keputusan
Presiden tentang Penanggulangan Kemiskinan.
(c) Konsep Sistem Perlindungan Pendidikan
Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini adalah
sistem perlindungan dan jaminan sosial dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi
terhadap kelompok penduduk miskin agar dapat tetap bertahan dan atau melanjutkan
pendidikannya. Untuk itu, Pemerintah telah mengembangkan program Jaring Perlindungan
Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama pada JPS bidang pendidikan diprioritaskan pada
upaya-upaya seperti mengurangi angka putus sekolah yang cenderung meningkat, khususnya
pada tingkat SD dan SLTP yang merupakan paket “Wajib Belajar Sembilan Tahun”, dan untuk
mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui
pemberian bantuan beasiswa untuk murid SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI)/Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB), SLTP/Madrasah Tsanawiyah (MTs.)/SLTP Luar Biasa (SLTPLB), dan
SMU/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliyah (MA)/Sekolah Menengah Luar
Biasa (SMLB). Di samping itu, juga diberikan dana bantuan operasional (DBO) bagi
SD/MI/SDLB, SLTP/MTs./SLTPLB, dan SMU/SMK/MA/SMLB, yang dimaksudkan untuk
mendukung biaya operasional dan pemeliharaan sekolah, agar penyelenggaraan pendidikan di
sekolah dapat terlaksana dengan lancar.
Kegiatan JPS bidang pendidikan didanai dengan APBN dan Pinjaman Luar Negeri
(PLN), yang berasal dari World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB). Pengalokasian
pendanaan adalah sebagai berikut:
a.
ADB : 16 provinsi; DKI, Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim,
Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, dan Irian Jaya.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
11
b.
c.
WB
: 11 provinsi di luar ADB; DI Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel,
Bengkulu, Lampung, Jabar, DI Yogyakarta, dan Timtim.
APBN : Beasiswa untuk tingkat SD dan SMU, DBO untuk setingkat SMU, serta
sasaran lainnya di luar ADB dan WB.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial di
bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan: 1) sasaran dan sumber dana; 2)
persyaratan siswa penerima beasiswa bagi siswa SD/MI/SDLB, dan siswa
SLTP/MTs./SLTPLB, dan siswa SMU/SMK/MA/SMLB, serta 3) persyaratan bagi sekolah
penerima dana bantuan operasional (DBO). Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas
pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk: 1) Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Provinsi
maupun Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya; 2) mekanisme
penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran dana; dan 3)
sistem monitoring dan evaluasi.
Sehubungan dengan akan berakhirnya JPS, maka Pemerintah (dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional), telah melaksanakan program serupa, yaitu melalui Program Kompensasi
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM), pada periode 2002/2003. Pada
dasarnya mekanisme pelaksanaan program PKPS BBM ini menggunakan sistem yang sama
dengan JPS, hanya sumber dananya berasal dari APBN murni. Program ini juga memberikan
beasiswa/Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah (BKS), sebagaimana JPS
dengan pemberian beasiswa dan DBO-nya.
Pada periode Januari – Juni 2003, BKM ini akan diberikan kepada 2,2 juta siswa SD (7
persen dari total siswa SD); 1 juta siswa SLTP (10 persen dari total siswa SLTP); dan 400 ribu
siswa SMU (8 persen dari total siswa SMU). Jumlah bantuan yang akan diberikan per tahun
masing-masing sebesar Rp 120.000,00 bagi siswa SD, Rp 240.000,00 bagi SLTP, dan Rp
300.000,00 bagi SMU. Adapun untuk periode Juli – Desember 2003, BKM tersebut akan
diberikan kepada 5,75 juta siswa SD (19 persen dari total siswa SD); 1,75 juta siswa SLTP (18
persen dari total siswa SLTP); dan 600 ribu siswa SMU (12 persen dari total siswa SMU), dengan
jumlah bantuan yang sama dengan periode sebelumnya.
Adapun besarnya DBO atau BKS masing-masing adalah Rp 2 juta bagi SD, Rp 4 juta
bagi SLTP, dan Rp 10 juta bagi SMU. Data selengkapnya mengenai realisasi JPS bidang
pendidikan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1998-2003, dapat dilihat pada Tabel Realisasi
Pemberian Bantuan JPS Bidang Pendidikan 1998/1999-2002/2003 (terlampir).
Di samping JPS bidang pendidikan, pada tahun 1998-2002, ADB juga telah memberikan
bantuan pendidikan dalam bentuk JPS bidang sosial (JPS-BS). Bantuan ini berbentuk beasiswa
bagi anak jalanan dan anak terlantar, yang diberikan secara block-grant kepada Rumah Singgah dan
Panti Asuhan di 8 kota besar. Kedelapan kota besar tersebut adalah DKI, Bandung, Semarang,
DI Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Palembang. Pada awalnya sempat terjadi
duplikasi sasaran antara JPS pendidikan dengan JPS-BS, namun sejak diberlakukannya uang
registrasi bagi penerima beasiswa JPS-BS, kemungkinan tersebut dapat dikurangi.
Untuk mengembangkan skema yang sudah ada dalam kaitannya dengan SPJS di bidang
pendidikan, diusulkan beberapa alternatif konsep awal SPJS di bidang pendidikan, antara lain: 1)
pemberlakuan ketentuan khusus dalam berbagai ketentuan yang berkaitan dengan masalah
keuangan, seperti uang pangkal, uang gedung, ujian sekolah, ujian nasional; 2) pemberlakuan
model subsidi silang dalam pembiayaan pendidikan; 3) pengalokasian dana khusus bagi daerah
terpencil, daerah bencana alam, dan daerah kerusuhan; 4) pemberian beasiswa khusus untuk
anak-anak putus sekolah, anak-anak dari keluarga miskin, anak-anak yang tidak tamat dalam
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
12
program wajib belajar, anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 5) penyediaan layanan pendidikan
bagi anak-anak cacat; dan 6) pemberian beasiswa khusus untuk anak-anak yang memiliki
kemampuan luar biasa.
(d) Sasaran
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah keluargakeluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang
termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin lainnya
(karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan SMU.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah: 1) anak-anak
yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan; 2) anak-anak dan satuan pendidikan
daerah terpencil, daerah bencana alam, daerah kerusuhan; 3) anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar; 4) anak-anak cacat; dan 5) anak-anak
yang berprestasi.
Adapun sasaran bagi JPS-BS adalah anak jalanan dan anak terlantar yang bersekolah,
dengan sepengetahuan dari Rumah Singgah/Panti Asuhan yang bersangkutan.
A.4
PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT RENTAN
(a) Latar Belakang
Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang
dilakukan pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini
pula kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai dengan
tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai sekitar 37,5 juta
jiwa (Susenas 2000), dan 13,4 juta di antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of
the poor).
Pemerintah, dalam mengupayakan kesejahteraan sosial rakyat terutama masyarakat yang
tergolong rentan seperti penduduk miskin, lanjut usia, anak, penyandang cacat ganda (fisik dan
mental), serta penduduk yang tinggal di kawasan terpencil, telah menyelenggarakan beberapa
bentuk perlindungan sosial.
Namun hingga saat ini penduduk rentan serta yang bekerja di sektor informal pada
umumnya belum tersentuh oleh skema-skema tersebut sehingga mereka berada dalam posisi
yang sangat rentan terhadap ketidak stabilan perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya
maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu, diperlukan suatu sistem yang dapat
memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi mereka dalam menghadapi ketidak stabilan
ekonomi maupun sosial.
Salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan sosial yang sepatutnya diterima
oleh penduduk miskin, adalah melakukan uji-coba skema Asuransi Kesejahteraan Sosial
(Askesos). Melalui Askesos, penduduk miskin yang bekerja di sektor informal diharapkan akan
dapat menikmati sistem asuransi sosial yang kemudian dapat menurunkan resiko ancaman
ketidaksejahteraan sosial sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami
kecelakaan, ataupun meninggal dunia.
(b) Kondisi Saat Ini
Saat ini dengan berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang diselenggarakan
pemerintah seperti yang telah diutarakan sebelumnya, tidak dapat disangkal bahwa dalam
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
13
penyelenggaraannya, skema-skema tersebut saling tumpang tindih. Bahkan, terjadi keragaman
dalam pengertian dan cakupan dari skema-skema tersebut, misalnya:
(1) Bantuan sosial. JPS merupakan bagian dari perlindungan sosial yang diberikan oleh
pemerintah dalam menghadapi masa krisis ekonomi. Sebagai rescue project, maka JPS tidak
direncanakan untuk bertahan dan berlanjut setelah masa krisis berakhir. Saat ini JPS telah
memasuki tahap akhir (exit strategy), selama tahun 1998 hingga 2002 telah berhasil memberikan
perlindungan sosial bagi sebagian penduduk penduduk miskin dan rentan selama masa krisis
ekonomi berlangsung. Adapun perlindungan yang diberikan melalui JPS adalah di bidang
kesehatan (kartu sehat), pendidikan (beasiswa dan dana bantuan operasional), kesejahteraan
sosial (a.l. anak jalanan), keluarga berencana (kontrasepsi), dan usaha ekonomi (padat karya).
Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi kondisi krisis ekonomi, tercermin dalam
pelaksanaan proyek JPS yang mengalami berbagai hambatan. Proyek JPS tidak terbentuk melalui
sebuah perencanaan yang matang, melainkan melalui pengambilan keputusan darurat (seringkali
disebut sebagai crash program). Sebagai akibatnya mekanisme penetapan sasaran penerima
manfaat JPS tidak tepat, penyaluran dana tidak lancar, dan cakupan bantuan tidak konsisten,
serta terjadi “kebocoran” dana selama masa lima tahun pelaksanaan JPS. Oleh karena itu, sistem
perlindungan yang diharapkan di masa mendatang harus mencakup perlindungan secara
otomatis dan sistematis dari dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, terutama bagi
kelompok penduduk rentan.
Bentuk perlindungan sosial lain yang telah dilaksanakan pemerintah adalah pemberian
subsidi beras bagi penduduk miskin saat terjadi paceklik panjang maupun krisis. Selama masa
krisis ekonomi, Operasi Pasar Khusus (OPK) beras memungkinkan penduduk miskin untuk
membeli beras seharga kurang dari setengah dari harga resmi. Namun, menurut studi dari
SMERU, terjadi “kebocoran” dana dan salah target dalam pelaksanaannya, yakni mencapai
sekitar 50%.
Pemerintah juga telah memberikan perlindungan sosial dalam bentuk Kompensasi
Kenaikan BBM sejak dicabutnya subsidi BBM pada tahun 2001. Hingga kini bantuan tersebut
masih berlanjut khusus untuk bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, usaha
kecil dan menengah, dan pertanian. Kompensasi Kenaikan BBM akan berakhir pada tahun 2004.
Bantuan sosial yang diselenggarakan pemerintah (melalui Departemen Sosial) diberikan
pada penduduk miskin, korban bencana alam/konflik, korban tindak kekerasan, dan pekerja
migran yang bermasalah. Bentuk bantuan umumnya berupa biaya pangan (permakanan),
transport dari tempat asal ke tempat pengungsian dan sebaliknya pada saat pemulangan/relokasi
pengungsi, serta biaya perbaikan tempat tinggal.
(2) Jaminan sosial. Saat ini upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan sosial adalah
dengan Jaminan Kesejahteran Sosial (JKS), yang juga masih dalam tahap uji coba. Bentuk dari
Jaminan Kesejahteraan Sosial ini terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan Sosial; dan (2)
Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individual, keluarga, kelompok,
atau komunitas yang tidak mampu. BKS terbagi dalam dua skema, yaitu skema permanen dan
skema sementara. BKS Permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen seperti lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim
piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda). Adapun BKS Sementara
diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen seperti korban bencana
alam dan sosial.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
14
Menyimak skema-skema BKS, nampak bahwa skema BKS Permanen mirip dengan salah
satu kegiatan pokok yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial.
Dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial, pelayanan sosial juga
diperuntukkan bagi lanjut usia terlantar dan penyandang cacat. Perbedaan dari kedua upaya
tersebut hanya pada mekanismenya. BKS permanen yang diujicobakan saat ini adalah Jaminan
Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR). JKS-GR memberikan modal usaha kepada
kelompok-kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok
usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut kemudian
disisihkan sebagian untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dengan kata lain,
jaminan kesejahteraan sosial tidak diberikan secara langsung pada PMKS, tetapi dengan melalui
kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Sedangkan mekanisme yang
digunakan dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial dana diberikan secara
langsung kepada PMKS.
Kelemahan dari skema JKS-GR ini adalah bahwa kelompok-kelompok yang menjadi
sasaran penerima bantuan modal umumnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong miskin
dengan penghasilan yang sangat terbatas. Penghasilan dari usaha kelompok bisa diperkirakan
hanya akan cukup untuk keperluan mereka sendiri. Dengan mensyaratkan mereka untuk
membagikan sebagian dari hasil usaha mereka pada PMKS permanen, tentu akan terasa sangat
membebani.
Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini, apakah bila JKS-GR ini bisa berjalan dengan
sukses dan kemudian dapat diterapkan secara nasional, maka kegiatan serupa di program
pengembangan potensi kesejahteraan sosial akan dihapuskan? Patut dicatat bahwa mekanisme
JKS-GR ini merupakan bentuk pelibatan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan
upaya meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penduduk rentan.
Demikian pula halnya dengan BKS Sementara yang serupa dengan salah satu kegiatan
pokok yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial dengan sasaran
utama penerima manfaat (target beneficiary) adalah korban bencana alam dan bencana sosial
untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian.
Bentuk lain dari JKS adalah Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) yang saat ini juga
masih dalam tahap uji coba. Keanggotaannya masih bersifat sukarela dan terbatas dengan
sasaran utama sebagai klien adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja di
sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dll. Skema asuransi ini
hampir sama atau bahkan sama dengan ujicoba yang dilakukan oleh Jamsostek dalam upayanya
meningkatkan cakupan kepesertaan ke sektor informal. Pemerintah – dalam hal ini Departemen
Sosial – berharap dapat kelak mengembangkan Askesos dalam skala nasional dan dengan
keanggotaan yang bersifat wajib, berlaku bagi semua orang. Walaupun demikian, tantangan yang
dihadapi untuk menyukseskan skema ini sangat besar, dengan berbagai kelemahannya yang harus
diatasi terlebih dahulu.
Kelemahan-kelemahan skema Askesos adalah: a) rancangan struktur organisasi yang
kurang mencerminkan fungsi instansi pemerintah sebagai fasilitator dan regulator serta terlalu
panjang berjenjang; b) penetapan besaran premi/iuran yang menggunakan nilai nominal,
sehingga kurang mencerminkan kondisi dan kemampuan penduduk miskin di daerah yang tentu
saja berbeda; c) penetapan besaran klaim yang menggunakan nilai nominal, sehingga kurang
mencerminkan kondisi, kebutuhan dan kemampuan penduduk miskin di daerah yang tentu saja
berbeda; d) penetapan jenis pertanggungan yaitu persyaratan yang cukup berat bagi peserta
untuk mendapatkan klaim, seperti keterangan dokter yang ditunjuk, keterangan kepala sektor
kepolisian setempat, keterangan ketua RT dan RW, keterangan dari kelurahan dan berita acara
yang dibuat oleh petugas Askesos. Semua dokumen tersebut diperlukan untuk mendapatkan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
15
klaim yang berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 600.000 tergantung lama keanggotaan dan
jenis klaim. Persyaratan klaim tersebut masih belum pro-poor, sebab penduduk miskin tidak
mempunyai cukup uang untuk transpor harus ke sana ke mari untuk mengurus semua dokumendokumen tersebut, belum lagi beban administrasi yang harus mereka tanggung.
Selain kelemahan tersebut, skema Askesos juga akan sangat memberatkan pemerintah,
sebab sharing premi-nya sangat timpang. Pemerintah harus menanggung sebagaian besar dari
beban premi sebab pesertanya adalah penduduk yang tidak mampu, yang berpenghasilan sangat
minim. Selain itu, seluruh atau sebagian besar biaya administrasi juga harus ditanggung
pemerintah. Bila skema ini diperluas hingga tingkat nasional, kemungkinannya adalah
pemerintah harus menanggung sebagian besar premi dari sekitar 37,5 juta orang atau paling tidak
13,4 juta orang yang sangat miskin, padahal kemampuan keuangan negara sangat terbatas, dan
pemerintah telah pula menanggung sebagian dari beban asuransi yang telah lebih dulu berjalan
seperti Jamsostek, Askes, Taspen, Jasa Raharja, dan Asabri.
Satu bentuk perlindungan sosial yang belum terselenggara dengan baik adalah
perlindungan hukum. Masyarakat miskin, cacat, terlantar, lansia, dan anak-anak, menjadi semakin
tidak berdaya dengan tidak adanya perlindungan hukum. Hak-hak mereka akan dengan mudah
terlindas tanpa adanya perlindungan hukum. Studi yang dilakukan oleh Univ. Muhammadiyah
mengindikasikan bahwa salah satu faktor utama lingkaran setan kemiskinan yang sulit
dipecahkan, adalah lemahnya posisi orang miskin di dalam sistem hukum. Oleh sebab itu,
perlindungan hukum adalah sangat esensial bagi penduduk miskin.
Menurut studi tersebut, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum menjalani
persidangan tanpa didampingi oleh pengacara, dan walaupun tidak ada pidana mati bagi anakanak, sebagian besar hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman penjara, bukan hukuman denda
ataupun hukuman non-penjara lainnya. Selain itu, meningkatnya jumlah anak yang dieksploitasi
dan diperlakukan salah oleh orang dewasa baik secara fisik dan emosional merupakan indikasi
yang kuat akan kebutuhan yang besar bagi anak akan perlindungan hukum yang memadai.
A.5
JAMINAN
PERLINDUNGAN
DAN
SANTUNAN
KEMATIAN
(JASA
RAHARJA)
(a) Latar Belakang
Program jaminan sosial pemerintah yang memberikan perlindungan dan santunan
kematian adalah ”Perusahaan Negara Kerugian Jasa Raharja” yang berdiri sejak tanggal 1 Januari
1965 dengan tugas khusus mengelola pelaksanaan UU No.33 dan UU No. 34 tahun 1964. UU
No.33/64 Jo PP No. 17/65 merupakan bentuk santunan kepada masyarakat yang mengalami
musibah, kecelakaan dalam perjalanan. Sedangkan UU No. 34/64 Jo PP No. 18/65 merupakan
bentuk santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah saat
menggunakan transportasi umum.
Undang-undang no 33/64 Jo PP no.17/65 berisi tentang: (1) korban yang berhak atas
santunan meliputi setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami
kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang
yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan
sampai turun di tempat tujuan; (2) kendaraan bermotor umum (bis) yang berada dalam kapal
ferry, apabila kapal ferry tersebut mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi
korban akan diberikan jaminan ganda; (3) bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin
resmi sebagai alat angkutan penumpang umum, seperti mobil pariwisata, mobil sewa, dan lainSISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
16
lain terjamin juga; (4) jaminan bagi penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak
diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada putusan pengadilan negeri.
Sedangkan ruang lingkup UU no 34/64 Jo PP No 18/65 menyatakan bahwa korban
yang berhak atas santunan, adalah pihak ketiga yaitu: (1) setiap orang yang berada di luar
angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan
dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, sebagai contoh adalah pejalan kaki yang
ditabrak oleh kendaraan bermotor; (2) setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu
kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaraan bermotor yang ditumpangi
dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang
kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi; (3) tabrakan dua atau lebih kendaraan bermotor
apabila dalam laporan hasil pemeriksaan kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang
mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi
maupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin; (4) pada kasus tabrak lari akan terlebih
dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya; (5) pejalan kaki di atas rel atau
jalanan kereta api dan atau menyeberang sehingga tertabrak kereta api serta
pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas
perjalanan kerat api; (6) pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang
dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan sebagaimana
lazimnya kereta api akan lewat, apabila tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin.
(b) Besaran Premi Dan Santunan
Iuran Wajib dan santunannya diatur dalam SK Menteri Keuangan No.
415/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan iuran wajib dana pertanggungan wajib
kecelakaan penumpang alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/danau, ferry/
penyeberangan, laut dan udara. Untuk Sumbangan Wajib dan santunannya diatur dalam SK
Menteri Keuangan No.416/KMK.06/2001 tentang penetapan santunan dan sumbangan wajib
dana kecelakaan lalu lintas jalan. Teknis pengenaan premi adalah; (1) Iuran Wajib: setiap
penumpang yang akan menggunakan alat transportasi umum membayarkan iuran wajib yang
disatukan dengan ongkos angkut pada saat membeli karcis atau membayar tarif angkutan dan
pengutipan ini dilakukan oleh masing-masing operator (pengelola) alat transportasi tersebut; (2)
Sumbangan Wajib: pembayarannya dilakukan secara periodik (setiap tahun) di kantor Samsat
pada saat pendaftaran atau perpanjangan SIM.
Pembayaran premi dalam program asuransi kecelakaan dikenal dengan 2 (dua) bentuk
yaitu Iuran Wajib (IW) dan Sumbangan Wajib (SW). IW dikenakan kepada penumpang alat
transportasi umum seperti kereta api, pesawat terbang, bus dan sebagainya. Sedangkan khusus
penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota dan kereta api jarak pendek (kurang dari
50 km) dibebaskan dari pembayaran IW tersebut. SW dikenakan kepada pemilik / pengusaha
kendaraan bermotor.
Besarnya santunan UU No. 33 & 34 tahun 1964 yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 415/KMK.06/2001 dan 416/KMK.06/2001 tanggal 17
Juli 2001:
Angkutan Umum
Jenis Risiko
Darat, Laut
Udara
Meninggal
Rp.10.000.000,-
Rp.50.000.000,-
Cacat tetap
Rp.10.000.000,-
Rp.50.000.000,-
Biaya Rawatan
Rp. 5.000.000,-
Rp.25.000.000,-
Biaya Kubur
Rp. 1.000.000,-
Rp. 1.000.000,-
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
17
B. KEARIFAN LOKAL DAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI
DAERAH
B.1
KABUPATEN TAKALAR- SULAWESI SELATAN
Di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, program-program yang berhubungan
dengan perlindungan sosial berada pada beberapa dinas, yaitu Dinas Kesehatan, Kesejahteraan
Sosial, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan Nasional.
Perlindungan sosial di bidang kesehatan dilaksanakan melalui strategi Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), yang berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan.
Ciri-cirinya adalah berkesinambungan, terjaga mutunya, dan terkendali biayanya, yang
dilaksanakan melalui sistem pelayanan kesehatan prabayar yang paripurna (menyeluruh) dan
berjenjang, dengan pelayanan tingkat pertama yang bermutu dan efisien. Pemeliharaan kesehatan
paripurna tersebut mencakup upaya-upaya: promotif (peningkatan kesehatan), preventif
(pencegahan penyakit), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Selain itu, ada suatu sistem jaminan sosial yang dikembangkan seperti dana sehat, yaitu
dengan penyediaan biaya kesehatan yang tidak diperoleh masyarakat; dana untuk ibu hamil
resiko tinggi, dengan sasaran pasangan usia subur (PUS) dari keluarga Prasejahtera dan Sejahtera
I. Skema yang dilaksanakan adalah dengan tabungan dan dana talangan/dana abadi (dari
UNICEF).
Bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, perlu diberikan pada anak, khususnya
pada usia pendidikan dasar 7-15 tahun. Namun, permasalahan yang terjadi di Kabupaten Takalar
adalah meningkatnya angka drop out sekolah, akibat banyaknya anak yang bekerja membantu
orang tuanya, karena sebagian besar mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Khusus bagi yang
berdomisili di daerah pesisir pantai kebanyakan mereka membantu orang tuanya mencari nafkah
di laut. Selain itu, banyak pula anak usia pendidikan dasar yang pindah ke kota dan bekerja
sebagai tukang batu, tukang becak, dan sebagainya.
Di bidang ketenagakerjaan, para pegawai menginginkan adanya perlindungan,
pemeliharaan, dan peningkatan jaminan sosial. Hal ini karena beberapa kasus kecelakaan dan
penyakit akibat pekerjaan yang kurang mendapat perhatian dari perusahaan tempat mereka
bekerja, dan hal tersebut mengakibatkan hilangnya penghasilan pegawai yang bersangkutan
sementara tidak bekerja.
Dalam hal pemberian jaminan sosial, Pabrik Gula Takalar (yang bernaung di bawah
PTPN XIV), memberikan jaminan sosial bagi karyawannya dalam bentuk jaminan kesehatan
yang diselenggarakan melalui klinik dan dokter perusahaan dan RS Pemerintah dan swasta.
Sedangkan, PT Jasa Raharja memberikan perlindungan sosial kepada seluruh penduduk tanpa
kecuali, yaitu untuk korban kecelakaan lalu lintas sebagai penumpang dan korban kecelakaan lalu
lintas umum.
Selain itu, ada suatu kelompok sistem kearifan lokal yang berhubungan dengan jaminan
sosial yaitu kelompok ‘Sinoman’, yang mengumpulkan sejumlah dana untuk memberi bantuan
bagi keluarga orang yang meninggal.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
18
B.2
KABUPATEN SIDOARJO- JAWA TIMUR
Pada saat ini, pembangunan Kabupaten Sidoarjo menekankan pada dua aspek prioritas
yaitu; meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro Growth) dan pembangunan sosial yang nya (dan
Pro Poor). Dengan demikian upaya-upaya penurunan penduduk miskin serta peningkatan
ekonomi lokal menjadikan sasaran utama.
Pelaksanaan bantuan dan jaminan sosial di bidang pendidikan dilakukan melalui; (a) Block
Grant yang diberikan kepada institusi pendidikan (SD dan SLTP) di kabupaten untuk Beasiswa
dan subsidi biaya minimal mencakup transportasi, seragam, dan alat tulis sekolah bagi siswa; dan
bantuan sosial air bersih bagi tenaga pendidik; (b) Perlindungan sosial bidang pendidikan
termasuk PADU dan Kejar Paket A, B, dan C; (c) Life skill saat ini termasuk dalam bantuan
sosial dengan sasaran diutamakan bagi anak muda yang tidak sekolah, tidak bekerja, dan miskin.
Di bidang kesehatan pelayanan kesehatan membutuhkan dana Rp 3 miliar per tahun
untuk pelayanan kesehatan gratis di puskesmas bagi 450 ribu kepala keluarga. Namun demikian
dari segi pendanaan belum mencukupi karena saat ini total APBD saat ini hanya Rp 5 miliar.
Untuk itu, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun 2003, telah dilakukan uji
coba pelaksanaan JPKM di satu kecamatan. Biaya yang diperlukan untuk memperoleh Pelayanan
dasar di Puskesmas adalah Rp. 2000 setiap KK dan dibayarkan kepada Badan Pelaksana JPKM
di Kab Sidoarjo. Sebagai perbandingan bila penyelenggaraan melalui ASKES memerlukan biaya
Rp. 15.000 setiap KK.
Perlindungan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kab. Sidoarjo saat ini
mencapai 16 ribu orang dengan 22 jenis masalah kesejahteraan sosial. Dinas sosial telah
memprioritaskan dalam rehabilitasi anak jalanan, WTS, dan gelandangan.
Sedangkan Dinas Tenaga Kerja, juga menjalankan bantuan sosial, asuransi, dan
pelayanan sosial bagi tenaga kerja. Metode yang digunakan untuk asuransi adalah tripartite,
dengan sharing beban premi antara pekerja, perusahaan/employer, dan pemerintah.
Di samping itu, Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3) menekankan pentingnya
Jaminan Sosial bagi perempuan, sehubungan dengan kesehatan reproduksi wanita (haid, hamil,
melahirkan, dan menyusui) serta perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dimasukkan
dalam skema Perlindungan Sosial (SPS), sebab perempuan dan anak, terutama yang miskin
sangat rentan tanpa perlindungan hukum. Perlu dipikirkan selain skema bantuan sosial di bidang
hukum, juga skema jaminan sosialnya.
B.3
KABUPATEN SLEMAN- JAWA TENGAH
Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai pelayan masyarakat senantiasa berupaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai program yang telah dilaksanakan antara lain
adalah program JPS bidang pendidikan dalam bentuk pemberian beasiswa, BKS, dan DBO;
program bantuan sosial; pengelolaan program kesehatan; dan program jaminan sosial tenaga
kerja. Di samping itu telah dikembangkan juga berbagai sistem perlindungan dan jaminan sosial
di lingkungan perguruan tinggi seperti di UGM, dan UII.
Di bidang pendidikan, dalam rangka untuk menanggulangi meningkatnya anak putus
sekolah telah dilakukan program JPS melalui beasiswa, DBO, dan BKS. Mengingat keterbatasan
anggaran pembangunan pemerintah, pemerintah daerah Sleman berupaya untuk mencari dana
dari pihak swasta melalui pemberian beasiswa dari beberapa perusahaan nasional.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
19
Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di lingkungan Universitas Islam
Indonesia, Kabupaten Sleman, telah dibentuk kelembagaan yaitu Lembaga Amal Zakat Infaq
dan Shadaqah (LAZIS); Pusat pengelolaan bantuan Sosial dan Kesehatan (PP BANSOSKES);
dan Dana Pensiun. UII memberikan beasiswa kepada siswa-siswi SD-SMU berdasarkan
rekomendasi dosen dan karyawan UII. Di samping itu UII juga memberikan bantuan bidang
kesehatan masyarakat di sekitar kampus terpadu dengan kartu sehat.
Di bidang tenaga kerja, Kabupaten Sleman telah melaksanakan berbagai kebijakan
ketenagakerjaan melalui program jaminan sosial tenaga kerja meliputi jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Di bidang sosial, kebijakan bantuan sosial pelaksanaannya melalui program
pendampingan usaha sosial ekonomis produktif (USEP), dan program bantuan sosial. Di dalam
pelaksanaan pendampingan kelompok USEP, pemerintah daerah Sleman memberikan
bimbingan sosial dan memberikan stimulan modal usaha bergulir, dan mengadakan simpan
pinjam. Kelompok USEP di Kab. Sleman sebanyak 171 kelompok masing-masing adalah 88
kelompok USEP IRT (Ibu Rumah Tangga); 33 kelompok USEP LU (Lanjut Usia); dan 50
kelompok USEP KT (Karang Taruna). Di samping itu diberikan juga bantuan sosial bagi
penanganan bayi terlantar sebanyak 10 kasus, bantuan panti sosial untuk 977 orang untuk 24
panti sosial dengan dana bantuan Rp. 806 juta melalui dana dekonsentrasi, dan bantuan korban
bencana alam.
Peserta dari UGM menyampaikan beberapa pokok pikiran berkaitan dengan
pengembangan sistem jaminan sosial nasional antara lain; badan penyelenggara (BPJS) harus
tidak hanya satu, dan dapat mengakomodir badan penyelenggara daerah yang sudah ada (Bapel
JPKM); paket pelayanan dan manfaat layanan harusnya sama, standar serta tarif rumah sakit dan
dokter di atur; peran pemerintah pusat dan daerah harus jelas; semua bentuk pengelolaan harus
berorientasi not-for profit.
B.4
KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT – KALIMANTAN TENGAH
Di Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, program-program yang
berhubungan dengan bantuan dan jaminan sosial berada pada beberapa dinas, yaitu Dinas
Kesehatan, Sekretariat Kabupaten, Transmigrasi dan Tenaga Kerja, dan Pendidikan dan
Pengajaran.
Di tengah masyarakat Kab. Kotawaringin telah terbentuk beberapa skema kearifan lokal
yaitu Rukun Kematian, Jaminan bagi Anak Yatim Piatu, dan Anak Asuh (yang tinggal menyatu
dan bekerja pada keluarga angkatnya selama menempuh pendidikan/bersekolah, dan biaya hidup
serta pendidikannya ditanggung oleh keluarga angkatnya tersebut).
Untuk koordinator pelaksana PJS (Program Jaminan Sosial) terpadu, diharapkan kelak
dibentuk satu lembaga baru yang membawahi seluruh penyelenggara PJS yang telah ada saat ini
dan menambahkan satu program (jamsos masyarakat secara umum) untuk mengakomodasikan
kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat saat ini.
Selain PJS-nya, akan dipertimbangkan pula aspek keamanan termasuk dalam cakupan
manfaat jaminan sosial sektor informal, terutama bagi pedagang kaki lima.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
20
B.5
KOTA PADANG - SUMATERA BARAT
Pemerintah Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, melalui Surat Edaran Walikota telah
mengumpulkan zakat seluruh pejabat struktural Kota Padang sebesar 2,5 persen dari gaji.
Pengumpulan dana dilakukan oleh Badan Amil Zakat di bawah pengawasan Majelis Ulama
setempat. Dana tersebut selanjutnya digunakan sebagai dana bantuan sosial bagi penduduk
miskin. Skema ini akan segera diikuti oleh beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Barat.
Selain itu, sejumlah paguyuban terbentuk di kalangan masyarakat, terutama masyarakat
rantau Sumatera Barat, seperti Gebu Minang, Ikatan Keluarga Daerah Pariaman, dan Ikatan Sulit
Air Sepakat. Paguyuban ini didirikan dengan tujuan untuk membangun daerah dan masyarakat
asal mereka. Merupakan tradisi budaya Minang (seperti badoncek dan batagak kudo-kudo) untuk
bersama-sama menanggung pembangunan daerah dan saling membantu, sehingga mekanisme
pendanaan pembangunan sarana sosial publik dan pemberian bantuan bagi anggota masyarakat
yang miskin atau tertimpa bencana sudah terbentuk dan membudaya.
Masyarakat perguruan tinggi tidak ketinggalan dalam membangun skema perlindungan
sosial bagi anggotanya. Perlindungan sosial yang telah ada saat ini adalah bantuan pengobatan
dan perawatan kesehatan. Untuk tahun 2004 telah dirancang skema perlindungan sosial yang
mencakup aspek pendidikan, kesehatan, dan hukum, baik dalam bentuk bantuan maupun
jaminan sosial.
C.
KONDISI DEMOGRAFI DAN EKONOMI YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN SOSIAL
Dalam mengembangkan Sistem Perlindungan Sosial (SPS) perlu memperhatikan kondisi
sosial ekonomi penduduk mengingat, pertama, bahwa kondisi sosial ekonomi penduduk itulah
yang perlu menjadi pijakan sekaligus muara dari sistem perlindungan dan jaminan sosial yang
akan dikembangkan. Sebagai pijakan dalam arti bahwa SPS yang akan dikembangkan berangkat
dari kondisi sosial ekonomi penduduk yang ada, yang dengan demikian maka apa yang akan
dikembangkan diharapkan dapat lebih realistis sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Sebagai
muara dalam arti bahwa SPS yang akan dikembangkan pada akhirnya ditujukan kepada seluruh
penduduk. Kedua, kondisi seluruh penduduk juga perlu diperhatikan mengingat konstitusi
memberikan mandat bahwa sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan adalah sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat, bagi setiap orang, yang berarti mencakup seluruh penduduk
(universal coverage).
Uraian pada bagian ini akan dipilah dalam tiga bagian:
a. Kondisi Demografi, yang akan menguraikan tentang makin besarnya tekanan demografis
terhadap perlunya sistem perlindungan sosial. Dalam kaitan SPS uraian kondisi
demografi yang amat relevan adalah berkaitan dengan pergeseran struktur penduduk ke
arah penduduk tua (aging population)
b. Kondisi Ketenagakerjaan, yang akan menggambarkan tentang situasi penduduk usia
ekonomis dalam kaitannya dengan kemampuan mereka mengikuti SPS yang akan
dikembangkan
c. Kondisi Ekonomi, yang di samping akan menguraikan tentang kemampuan ekonomis
penduduk utamanya adalah penduduk miskin yang menjadi sasaran bantuan sosial dalam
SPS juga akan menguraikan secara sekilas kondisi perekonomian dan kemampuannya
dalam mendukung SPS yang akan dikembangkan.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
21
C.1
KONDISI DEMOGRAFI1
Kondisi demografi yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan pengembangan SPS
utamanya adalah berkaitan dengan kecenderungan terjadinya pergeseran struktur penduduk
Indonesia yang mengarah kepada struktur penduduk tua (aging population) yaitu makin banyaknya
penduduk lanjut usia (lansia). Pengembangan SPS menjadi makin mendesak jika dilihat dari
makin banyaknya jumlah dan proporsi penduduk lansia.
(a). Penduduk Lansia Makin Banyak
Data yang ada menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia meningkat secara
signifikan dari tahun ke tahun baik dari segi jumlah maupun persentase. Kalau pada tahun
1971 jumlah penduduk lansia (60 tahun ke atas) di Indonesia baru sekitar 5,3 juta maka pada
tahun 1990 jumlah tersebut meningkat dua kali lipat lebih yaitu menjadi 12,8 juta. Berdasarkan
Sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk lansia (60 tahun ke atas) Indonesia sudah mencapai
14,75 juta jiwa atau sekitar 7,25 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada dekade-dekade
mendatang jumlah dan persentase lansia akan tumbuh berlipat ganda. Pada tahun 2020
penduduk lansia Indonesia diperkirakan akan mencapai 10 persen lebih.
Peningkatan jumlah penduduk lansia tersebut jauh lebih besar dibanding dengan
peningkatan jumlah penduduk balita (bawah lima tahun, Tabel 1.1). Post-war baby boom di
Indonesia yang terjadi pada dekade '60-'70-an diperkirakan akan mengakibatkan aged-population
boom pada dua dekade permulaan di abad 21. Generasi yang lahir pada tahun '60-'70-an saat ini
tahun 90-an sedang memasuki kehidupan keluarga dan pada tahun 2010-2020-an akan memasuki
tahap lanjut usia.
Tabel 3.1.
Penduduk Lansia (60+) dan Penduduk Balita (0-4)
Indonesia Tahun 1980-2020
Penduduk Balita
Penduduk Lansia
Jumlah
Persen Jumlah
Persen
1971a
19.098.693
16,1
5.306.874
4,5
a
1980
21.190.672
14,4
7.998.543
5,5
b
1985
21.550.364
13,4
9.440.999
5,8
1990a
21.552.150
11,9
9.917.209
5,5
c
1995
21.609.150
11,0
13.600.962
6,9
2000d
21.715.900
10,3
15.958.400
7,6
d
2005
21.957.100
9,7
18.351.100
8,1
a
BPS, Penduduk Indonesia 1971, 1980 dan 1990 hasil Sensus
b
BPS, Penduduk Indonesia 1985 hasil SUPAS 1985
c
BPS. Penduduk Indonesia 1995, Hasil SUPAS 1995
d
BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi 1995-2005, Seri:
S7, BPS, Jakarta, Indonesia, Maret 1998
Secara absolut penduduk lansia Indonesia saat ini jumlahnya sudah besar, lebih besar
dibanding jumlah lansia di sejumlah negara yang saat ini sudah mengalami masalah penduduk tua
seperti Korea Selatan apalagi Singapura dan Hongkong. Jumlah penduduk lansia Indonesia yang
pada tahun 1995 diperkiraan sebanyak 13,6 juta, jauh lebih besar dibanding jumlah lansia di
Tulisan pada bagian ini banyak diktip dari Mundiharno, Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer: Analisis
Data IFLS I, thesis, Universitas Indonesia, 1999
1
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
22
Korea Selatan yang hanya 3,99 juta untuk tahun 1995; dan hampir separuh jumlah lansia di
Jepang yang sekitar 25,14 juta untuk tahun yang sama, 1995.2
Kenyataan ini dapat diinterpretasikan bahwa persoalan yang dihadapi di Korea Selatan –
dan juga di Jepang – dalam hal pelayanan terhadap lansia secara relatif juga dihadapi oleh
Indonesia, meskipun proses penuaan penduduk (aging population) di Korea Selatan dan Jepang
lebih dahulu berlangsung. Persentase penduduk lansia terhadap total penduduk di Jepang tahun
1990 sebesar 17,2 persen, sementara persentase penduduk lansia di Indonesia untuk tahun yang
sama baru 5,5 persen.
Jika dilihat per provinsi, ternyata beberapa provinsi telah mengalami proses penuaan
penduduk dibanding dengan apa yang terjadi secara nasional. Meskipun persentase penduduk
lansia secara nasional “baru” sekitar 7 persen, namun secara lokal persentase penduduk lansia di
beberapa provinsi sudah di atas 7 persen. Ada lima provinsi yang persentase penduduk lansianya
(pada tahun 1995) sudah di atas 7 persen. Kelima provinsi tersebut adalah DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, Jawa Tengah dan Sumatera Barat (Tabel 1.2).
Tabel 3.2.
Jumlah dan Persentase Penduduk Lansia di Lima Provinsi, 1995
Provinsi di Indonesia
Persen
Jumlah
D.I. Yogyakarta
366.917
12,6
Jawa Timur
3.201.653
9,5
Bali
259.441
8,9
Jawa Tengah
2.610.833
8,8
Sumatera Barat
345.022
7,9
Sumber:
BPS, Survei Penduduk Antar Sensus 1995
Jumlah penduduk lansia juga terkonsentrasi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Jumlah
penduduk lansia di Pulau Jawa dan Bali mencapai 68.8 persen dari seluruh lansia yang ada di
Indonesia.
Jumlah dan persentase penduduk lansia di lima provinsi khususnya Provinsi D.I.
Yogyakarta dan Jawa Timur hampir sama dengan kondisi di beberapa negara maju. Persentase
penduduk lansia di Provinsi DI Yogyakarta (12,6 persen) dan Jawa Timur (9,5 persen) lebih
besar dibanding persentase lansia di Singapore (9,21 persen) dan Korea Selatan (9,03 persen).
(b). Penyebab Meningkatnya Penduduk Lansia
Pada dasarnya penuaan penduduk terjadi karena adanya pergeseran struktur umur
penduduk. Di tingkat nasional, pergeseran struktur umur penduduk lebih disebabkan oleh
fertilitas dan mortalitas; faktor migrasi tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara di tingkat
lokal – khususnya di daerah pedesaan – faktor migrasi sangat berpengaruh terhadap terjadinya
penuaan penduduk (aging population).
Menurunnya angka kelahiran penduduk di satu sisi dan meningkatnya angka harapan
hidup di sisi lain menyebabkan terjadinya perubahan struktur penduduk suatu negara. Waktu
yang dicapai suatu negara dalam melakukan penurunan fertilitas berpengaruh terhadap cepat
tidaknya proses perubahan struktur penduduk suatu negara.
2
Diolah dari United Nations, World Population Prospect 1996 revision, medium variant New York, 1998.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
23
Dari sisi waktu penurunan angka kelahiran (fertility rate), PBB mengelompokkan negaranegara di dunia ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
a.
Pre-initiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan angka kelahirannya belum
dimulai sampai tahun 1990
b.
Late initiation countries, yaitu negara-negara yang angka kelahirannya dimulai antara kurun
waktu 1950-1990
c.
Early intiation countries, yaitu negara-negara yang penurunan angka kelahirannya telah
berlangsung sebelum tahun 19503
Indonesia – sebagaimana negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Philipina, Singapura
dan Thailand - dikategorikan PBB ke dalam late initiation countries. Angka kelahiran (CBR dan
TFR) di Indonesia baru mulai menurun sejak tahun 1960-1965. CBR Indonesia diperkirakan
mulai menurun dari 45,4 pada kurun 1955-1960 menjadi 42,9 pada kurun 1960-1965. Sedang
TFR-nya menurun dari 5,67 pada kurun 1955-1960 menjadi 5,42 pada kurun 1960-1965. Sejak
kurun 1960-1965 angka kelahiran (CBR dan TFR) Indonesia mengalami penurunan terus
menerus hingga sekarang (UN, World Population Prospect 1990, p. 432).
Penurunan fertilitas di satu sisi dan meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy) di
sisi lain menyebabkan terjadinya proses penuaan penduduk Indonesia. Tabel 2.1
memperlihatkan adanya hubungan antara tingkat fertilitas yang makin menurun, IMR yang
makin menurun, angka harapan hidup yang makin meningkat dan makin besarnya proporsi
penduduk tua.
Tabel 3.3.
Perkembangan TFR, IMR, e0 dan Persentase Lansia di Indonesia
Tahun
TFR
IMR
e0
% Lansia (60+)***
1971*
5,605
145
45,73
4,5
1980*
4,680
109
52,21
5,5
1990*
3,326
71
59,80
6,3
1995**
2,926
66
60,19
6,9
2000**
2,608
57
61,71
7,6
2005**
2,324
48
63,45
8,1
Sumber:
* BPS, Tren Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi, BPS, Jakarta, 1994
** Eduard Bos et al., World Population Projection, Estimates and Projections with Related Demographic
Statistics 1994-1995. A World Bank Book, The John Hopkins University Press, Baltimore and
London, 1994, pp. 270-271
*** Hasil SP 1971, SP 1980, SP 1990 dan SUPAS 1995 serta hasil proyeksi
Keterangan:
a TFR 1971, 1980 dan 1980 masing-masing dihitung menurut kurun waktu 1967-1970, 19761979 dan 1986-1989.
b TFR 1995, 2000 dan 2005 dihitung antar kurun waktu tersebut (1990-1995, 1995-2000,
2000-2005
c Estimasi IMR BPS menggunakan metode TRUSSEL (p, 68)
d Estimasi TFR menggunakan metode anak kandung (Own Children)
Dari Tabel tersebut tampak bahwa bersamaan dengan penurunan tingkat fertilitas, di
satu sisi dan penurunan IMR serta peningkatan angka harapan hidup disisi lain, persentase
penduduk lansia di Indonesia terus mengalami peningkatan secara signifikan. Penurunan TFR
dari 5,605 pada tahun 1971 menjadi 2,926 pada tahun 1995 serta peningkatan angka harapan
Hugo, Graeme, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at Local
Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP,
3
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
24
hidup dari 45,7 pada tahun 1971 menjadi 60,2 tahun pada tahun 1995 telah menyebabkan
terjadinya peningkatan proporsi penduduk lansia (60+) dari 4,5 persen pada tahun 1971 menjadi
6,9 persen pada tahun 1995.
Dalam skala lokal, migrasi turut mempengaruhi ageing population di suatu daerah melalui
dua pola (i) migrasi masuk penduduk tua ke suatu daerah (pedesaan) akibat retirement migration
(migrasi karena pensiun), dan; (ii) migrasi keluar penduduk muda (young out-migration)
akibat dorongan faktor ekonomi di daerah lain.
(c). Kondisi Penduduk Lansia
Pertanyaan kemudian bagaimana kondisi penduduk lansia yang makin banyak tersebut.
Siapakah yang menopang kehidupan mereka; seberapa besar dari mereka yang sudah
memperoleh dukungan institusional secara formal (institusional support), seberapa besar dari
mereka yang tercover dalam sistem bantuan dan jaminan sosial, darimana mereka memperoleh
dukungan jika tidak termasuk dalam skema sistem bantuan dan jaminan sosial yang ada?
Data yang ada menunjukkan jumlah penduduk lansia yang tercakup oleh sistem jaminan
sosial baik dalam bentuk asuransi maupun tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit. Masih
cukup banyak penduduk lansia yang belum (tidak) memperoleh jaminan sosial baik berupa dana
pensiun maupun asuransi.
Tabel 3.4.
Perkembangan Pegawai yang Mendapatkan Pensiun dan Pesangon,
1986-1993 (dalam ribuan)
Pegawai yang Mendapat Pensiun
Jumlah
Jumlah pegawai
Pegawai
yang Mendapat
Pegawai
Pegawai
Pegawai
yang Mendapat Pesangon dari
Pemerintah
Pemerintah
BUMN
Pensiun
ASTEK
Pusat
Daerah
1986
2 947,2
438,4
142,3
3 527,9
2 606,1
1987
2 978,5
446,1
147,7
3 572,3
3 005,8
1988
3 156,2
468,7
154,9
3 779,8
3 334,9
1989
3 265,5
473,3
170,3
3 909,1
3 602,3
1990
3 291,1
480,2
170,5
3 941,8
3 929,1
1991
3 428,0
489,9
178,4
4 096,3
4 469,0
1992
3 516,9
497,8
183,7
4 198,4
5 041,9*
1993
3 594,2
507,1
109,7
4 211,0
Sumber: PT Taspen Jakarta (sebagaimana dikutip dari Hugo) dalam BPS, Laporan Sosial Indonesia
1997; Lanjut Usia (Lansia), BPS, Jakarta, Maret 1998, p. 63
Dari sekitar 13,3 juta lansia yang ada di Indonesia pada tahun 1995 diperkirakan hanya
sekitar tiga puluh persen (4,2 juta jiwa) penduduk lansia yang mendapatkan jaminan hari tua
berupa pensiun. Sisanya, 70 persen lansia belum tersentuh oleh dana pensiun.
Demikian pula dengan asuransi kesehatan, cakupannya masih terbatas. Menurut
Thabrany pada 1998 baru sekitar 14 persen penduduk (atau sekitar 27-30 juta jiwa) yang telah
mendapat jaminan kesehatan, yang umumnya dalam bentuk JPKM (Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat)4. Hasil pengolahan data IFLS II (1997) yang dilakukan Mundiharno juga
menunjukkan angka yang berdekatan dimana hanya 13 persen responden yang memiliki jaminan
4
Thabrany, Hasbullah, Asuransi Kesehatan Pilihan Kebijakan Nasional, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Jakarta, 1998, pp-6-7
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
25
kesehatan termasuk didalamnya Askes, Astek, asuransi swasta lain, klinik karyawan dan
penggantian biaya pengobatan5.
Disamping cakupan jaminan sosial yang masih rendah, dukungan institusi (institusional
support) yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk lansia juga masih belum memadai,
setidaknya jika dilihat dari terbatasnya jumlah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) yang ada
relatif dibanding dengan jumlah lansia yang membutuhkannya.
Cakupan penanganan negara terhadap lansia yang terlantar melalui sistem panti masih
amat rendah. Data yang ada mengungkapkan bahwa lansia terlantar yang ada pada tahun 1991
diperkirakan sebanyak 1.811.484 jiwa6. Sementara panti sosial tresna werdha (PSTW) yang ada di
seluruh Indonesia hanya 155 PSTW dengan daya tampung hanya sekitar 7.756 lansia atau kurang
dari setengah (0,43) persen. Dari jumlah PSTW tersebut hanya 55,5 persen (86 PSTW) dikelola
swasta, sisanya 69 PSTW dikelola dan didirikan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen
Sosial). Gambaran ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk menangani
permasalahan lansia – bahkan lansia terlantar yang merupakan keharusan ditangani oleh
pemerintah sesuai amanat konstitusi – masih rendah.
Rendahnya kemampuan negara dalam memberikan dukungan institusional (institutional
support) sebagaimana dikemukakan dimuka menyebabkan keberadaan penduduk lansia jauh lebih
banyak ditopang oleh keluarga dan masyarakat. Amat terbatasnya dukungan institusi (institutional
support) terhadap keberadaan lansia baik dalam bentuk bantuan sosial (seperti melalui panti
jompo dsb.) maupun asuransi sosial (asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan,
pensiun dan sejenisnya) membawa implikasi pada pentingnya peranan dukungan keluarga
(familial support) terhadap keberadaan lansia.
Pertanyaannya, dalam pola seperti apa dukungan keluarga itu diberikan kepada
penduduk lansia? Dukungan keluarga terhadap keberadaan lansia dapat diwujudkan dalam pola
koresidensi ataupun dalam bentuk intergenerational transfer. Hanya pola dukungan keluarga tersebut
juga perlu dicermati mengingat perkembangan dan perubahan sosial ekonomi yang terjadi.
Beberapa perubahan berikut bisa jadi berpengaruh pada menurunnya kuantitas dan
kualitas dukungan keluarga terhadap penduduk lansia:
- Adanya kecenderungan terjadi perubahan nilai keluarga dari extended family ke nuclear
family. Perubahan nilai keluarga tersebut diduga akan mengurangi dukungan keluarga
kepada lansia (khususnya anak kepada orang tua) mengingat makin sedikitnya orang tua
yang tinggal bersama dengan anak-anaknya. Terbatasnya ukuran tempat tinggal (terutama
di daerah perkotaan) di satu sisi dan perubahan budaya keluarga di sisi lain turut
mempengaruhi makin sedikitnya orang tua yang tinggal bersama anak-anaknya.
- Makin banyaknya wanita yang masuk ke pasar kerja diduga turut pula mengurangi
dukungan keluarga terhadap lansia. Waktu wanita yang semula banyak digunakan untuk
mengurus keluarga kini banyak yang tersedot ke pasar kerja. Data yang ada
memperlihatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Wanita, meskipun masih
lebih rendah dibanding dengan TPAK Pria, mengalami peningkatan secara berarti dari
33,1 persen pada tahun 1971 menjadi 38,8 persen pada tahun 1990.
- Makin terhimpitnya norma-norma keluarga akibat modernisme, termasuk akibat
perubahan struktur ekonomi juga dapat menyebabkan makin rendahnya dukungan
keluarga pada lansia. David & Combs (sebagaimana dikutip Ogawa & Retherford, 1993)
5
Mundiharno, "Determinan Sosial Ekonomi Kepesertaan Asuransi Kesehatan", Laporan Penelitian Hibah
Bersaing Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1999
6
Soepardo, Istikanah “Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief
Statement”, dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
26
menyebutkan bahwa perubahan struktur ekonomi dari peasant-agrarian economy ke urbanindustrial economy turut mengubah pola dukungan anak terhadap orang tuanya. Dalam
peasant-agrarian economy produksi cenderung bersifat family based dan unspecialized.
Karenanya konflik antar generasi juga dapat diminimalkan. Dalam kondisi seperti itu
anak menaruh hormat yang begitu besar terhadap orang tuanya. Sedang dalam urbanindustrial economy produksi tidak lagi bersifat family based. Pekerjaanpun cenderung bersifat
spesialis. Pekerjaan diperoleh melalui pasar kerja yang memerlukan seseorang sebagai
individu bukan sebagai anggota keluarga tertentu. Antara orang tua dan anaknya
seringkali berada pada tempat yang berjauhan. Dalam kondisi seperti itu maka hubungan
antara orang tua dan anaknya juga berkurang, yang pada gilirannya turut mempengaruhi
rasa hormat dan penghargaan anak terhadap orang tuanya.
Kekuatiran terhadap makin surutnya dukungan keluarga terhadap orang tua (lansia) telah
banyak dikemukakan oleh banyak ahli, khususnya para sosiolog yang mengamati hal tersebut di
negara-negara maju. Tuntutan pekerjaan yang banyak menyita waktu penduduk usia produktif
telah mengurangi perhatian mereka terhadap para lansia. Di beberapa negara maju di Asia
seperti Hongkong dan Singapura tradisi meluangkan waktu untuk merawat orang tua hampir
punah dan hal itu merupakan masalah sosial yang cukup berarti. Di Singapura para anak
bahkan “diwajibkan” untuk mendukung kehidupan orang tuanya. Frons, Jeffiers dan Nelson
(1982, 10) sebagaimana dikutip Hugo menyatakan:
"Asian sociologist believe that the ever increasing flight from the countryside to the
cities in search of better, easier jobs strains family ties. As the younger generation
becomes more affluent, more materialistic --and more preoccupied with a youth oriented Western
culture-- the traditional regard for elderly is vanishing”7
Gejala serupa bisa pula terjadi di Indonesia dengan jenis dan kadar yang berbeda.
Banyaknya penduduk muda yang melakukan migrasi ke kota (young out-migration) untuk mencari
pekerjaan yang lebih baik dapat berpengaruh terhadap dukungan mereka kepada orang tua.
Memusatnya investasi – yang diikuti oleh proses industrialisasi – di daerah perkotaan – yang
selanjutnya berdampak pada banyaknya kesempatan kerja di daerah perkotaan – telah mejadi
salah satu faktor penyebab penting terjadinya migrasi penduduk muda dari desa ke kota.
Banyaknya migrasi keluar penduduk muda dari desa ke kota-kota besar telah menyebabkan
terjadinya struktur piramida penduduk desa yang kosong di tengah (hollow middle); proporsi
penduduk tua dan anak-anak makin besar sementara proporsi penduduk dewasa-nya makin
sedikit. Banyak lansia di desa, yang kemudian, ditinggal anak-anaknya pergi ke kota.
Berbagai perubahan sosial ekonomi tersebut menggambarkan bahwa ke depan tidaklah
cukup hanya mengandalkan dukungan keluarga dan masyarakat (family & social support) terhadap
keberadaan lansia secara terus menerus. Oleh karena itu perlu dibangun dan dikembangkan
suatu dukungan institusional (institutional support) yang sifatnya lebih sistemik dan permanen.
Dalam kaitan inilah maka dari sisi kondisi demografis, pengembangan sistem perlindungan sosial
yang komprehensif/terpadu mutlak diperlukan dan tidak dapat ditunda-tunda lagi.
C.2
KONDISI KETENAGAKERJAAN
Sebagaimana dikemukakan dimuka bahwa secara demografis, kebutuhan akan
pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial sudah sangat mendesak terutama jika
Graeme Hugo, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at Local Levels", dalam
Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP, New York, 1993, p. 40
7
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
27
dikaitkan dengan makin banyaknya penduduk lansia (baik secara absolut maupun relatif) di satu
sisi, sementara dukungan kelembagaan yang ada masih rendah di sisi lain. Namun sistem
jaminan sosial akan dapat dikembangkan secara lebih sistemik dan permanen jika didukung oleh
kemampuan ekonomis dari penduduk usia produktif atau penduduk usia kerja. Karena
penduduk usia kerja itulah yang berperan besar dalam memberikan kontribusi pada sistem
perlindungan dan jaminan sosial. Dalam kaitan itulah maka perlu dilihat bagaimana kondisi
penduduk usia ekonomis melalui dinamika ketenagakerjaan yang terjadi. Bagaimanakah kondisi
ketenagakerjaan Indonesia, apakah amat mendukung dikembangkannya sistem jaminan sosial
atau justru masih diwarnai oleh berbagai kendala dalam pengembangan jaminan sosial.
Dalam kaitan pengembangan SPS ada beberapa fenomena utama yang perlu dicermati
dalam dunia ketenagakerjaan antara lain masih tingginya angka pengangguran, banyaknya tenaga
kerja yang bekerja di sektor informal, rendahnya upah dan masih sedikitnya yang tercakup dalam
sistem jaminan sosial tenaga kerja.
(a).Tingginya Angka Pengangguran
Salah satu fenomena yang menonjol kalau kita melihat kondisi ketenagakerjaan
Indonesia adalah angka penganggurannya yang tinggi baik angka pengangguran terbuka (open
unemployment) dan apalagi angka setengah pengangguran (underemployment) baik yang kentara (visible
underemployment) maupun yang tidak kentara (invisible underemployment).
Hasil Sensus Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa dari 95,65 juta angkatan kerja yang
masuk ke pasar kerja ada sekitar 5,81 juta jiwa yang belum bekerja paling sedikit 1 jam selama
seminggu sebelum survei. Atau dengan kata lain ada angka pengangguran terbuka (open
unemployment) adalah sebesar 6,1 persen.
Komposisi Tenaga Kerja, 2000
Komposisi
Penduduk
Bukan Tenaga Kerja
Tenaga Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Angkatan Kerja
Pekerja
Pengangguran
Jumlah
Persen
203.456.000
62.285.195
30,6
141.170.805
69,4
45.519.844
32,2
95.650.961
67,8
89.837.730
93,9
5.813.231
6,1
70
71,06
60
50
38,93
40
30
Data terakhir menunjukkan
bahwa jumlah penganggur
terbuka tersebut meningkat
menjadi 9,13 juta jiwa atau sekitar
9,06 persen pada tahun 2002.
20
Angka
pengangguran
tersebut
akan
makin
besar jika
0
dilihat dengan ukuran angka
setengah pengangguran (under
employment)
baik
setengah
pengangguran kentara (yang bekerja dibawah 36 jam per minggu) maupun setengah
pengangguran tidak kentara (yang bekerjanya penuh waktu di atas 36 jam per minggu tetapi
penghasilannya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidupnya). Untuk melihat angka
89,6
2,9
10
Pengangguran
Bekerja < 15
Bekerja < 36
Bekerja < 42
T erbuka
Jam
Jam
Jam
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
28
pengangguran di negara berkembang seperti Indonesia tidak cukup dengan melihat angka
pengangguran terbuka tetapi perlu pula melihat angka setengah pengangguran karena
permasalahan.
Hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan bahwa dari 89,8 juta yang bekerja terdapat
sekitar 9,2 persen pekerja yang bekerja hanya kurang dari 15 jam per minggu, bahkan 39,83
persen di antaranya bekerja dibawah 36 jam per minggu. Dengan demikian angka setengah
pengangguran kentara mencapai hampir 40 persen; sebuah angka yang sangat tinggi.
Tingginya angka pengangguran tersebut terjadi karena besarnya supply tenaga kerja (labor
surplus) akibat tekanan demografis di satu sisi, sementara di sisi lain kesempatan kerja (employment
opportunities) masih sangat terbatas akibat rendahnya investasi. Data yang ada menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1996 s.d 2000 angkatan kerja kita bertambah sekitar 1,5
juta per tahun dari sekitar 88,2 juta angkatan kerja pada tahun 1996 bertambah menjadi 95,7 juta
angkatan kerja pada tahun 2000. Dengan demikian setiap tahunnya ada tambahan sekitar 1,5 juta
orang yang masuk ke pasar kerja dan karenanya memerlukan lapangan kerja baru. Padahal di sisi
lain perkembangan investasi yang ada (akan diuraikan kemudian) belum mampu menciptakan
lapangan kerja sebesar itu.
(b) Rendahnya Kualitas dan Upah Tenaga Kerja
Tekanan demografis yang diperlihatkan dari besarnya jumlah (kuantitas) angkatan kerja
tersebut tidak diimbangi dengan kualitas yang memadai.
Data
yang
ada
menunjukkan bahwa sekitar
60 persen angkatan kerja
Indonesia berpendidikan SD
ke bawah. Sementara yang
berpendidikan SLTP hanya
sekitar 16 persen, SLTA (19,4
persen) dan hanya 4,6 persen
angkatan kerja yang tamat
perguruan tinggi.
Proporsi Angkatan Kerja Indonesia Menurut
Pendidikan, 2000
4.6
19.4
16.1
59.9
Dengan
kualitas
SD Kebaw ah SLTP SLTA PT
(dari segi pendidikan) yang
masih rendah maka bisa dimaklum jika proporsi tenaga kerja yang memiliki upah rendah jauh
lebih besar.
Struktur Upah
Rata-rata Upah
1.000.000 keatas
800.000 -999.999
600.000- 799.999
400.000 - 599.999
< 400.000
KHM
Persen
15.53
9.22
15.98
20.42
38.85
416,886
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
29
Data Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) 2002 menunjukkan bahwa sekitar 38,9
persen pekerja di Indonesia memiliki upah dibawah Rp 400.000,- per bulan. Padahal kebutuhan
hidup minimum (KHM) mereka pada tahun yang sama sebesar Rp 416.886,-. Dengan demikian
ada sekitar 40 persen pekerja yang upahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimumnya.
(c) Banyak Pekerja di Sektor
Informal
32.294.758
Rendahnya investasi
yang berakibat pada sangat
terbatasnya lapangan kerja di
sektor formal ditambah dengan
kualitas (tingkat pendidikan)
yang rendah, berakibat pada banyaknya pekerja yang di sektor formal. Data yang ada
menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja sekitar 64,4 persen bekerja di sektor informal.
Sementara yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6 persen.
58.512.659
Gambaran ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas secara umum memang tampak
belum menggembirakan. Kondisi ketenaga kerjaan yang tidak menguntungkan tersebut tentu
saja menjadi tantangan besar dalam mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan sosial:
- Tingginya angka penganguran secara umum mengisyaratkan masih banyaknya penduduk
usia ekonomis (dan apalagi bukan usia ekonomis) yang tidak memiliki penghasilan.
Banyaknya penduduk yang tidak berpenghasilan berimplikasi pada banyaknya penduduk
yang tidak bisa membayar premi/iuran yang berarti makin banyak penduduk yang memiliki
akses ke sistem jaminan (asuransi) sosial.
- Rendahnya kualitas tenaga kerja juga bisa menjadi sebuah tantangan besar kaitannya dalam
memberikan pengertian tentang perlunya jaminan sosial yang perlu mereka ikuti.
- Sementara banyaknya pekerja yang memiliki upah rendah dibawah KHM mengindikasikan
banyaknya pekerja yang mengalami kesulitan untuk membayar premi dalam kaitan dengan
sistem jaminan (asuransi) sosial yang akan dikembangkan.
- Banyaknya pekerja yang bekerja di sektor informal memberikan gambaran tentang makin
sulitnya mengorganisir sesamanya untuk ikut bergabung dalam suatu skema jaminan sosial.
(d) Cakupan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Masih Rendah
Potret buram kondisi ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas bertambah lagi ketika
dikaitkan dengan masih rendahnya pekerja yang tercakup dalam jaminan sosial tenaga kerja.
Proporsi Pekerja yang Tercakup Jaminan Sosial
Angkatan Kerja
Jumlah Pekerja
Jumlah Penganggur
Jumlah Pekerja di Sektor Formal
Jumlah Pekerja di Sektor Informal
Jumlah Peserta Jamsostek
Jumlah Pegawai Negeri Sipil
Jumlah Peserta Jamsostek & PNS
Proporsi Peserta Jamsostek terhadap
Angkatan Kerja
Proporsi Peserta Jamsostek terhadap
Pekerja
1997
89,602,835
85,405,529
4,197,306
31,744,258
53,661,271
13,388,056
1998
92,734,932
87,672,449
5,062,483
30,331,046
57,341,403
14,959,138
1999
94,847,178
88,816,859
6,030,319
31,936,251
56,880,608
16,424,128
14.9
16.1
17.3
2000
95,650,961
89,837,730
5,813,231
31,530,566
58,307,164
18,140,886
3,945,778
22,086,664
19,0 (23,1)*
15.7
17.1
18.5
20,2 (24,6)*
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
30
Proporsi Peserta Jamsostek terhadap
Pekerja Sektor Formal
42.2
49.3
51.4
57,5 (70,0)*
Data yang ada memperlihatkan bahwa pada tahun 2000 baru sekitar separuh (57,5
persen) pekerja di sektor formal (selain PNS) yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek.
Jumlah tersebut makin kecil jika dipertajam lagi kepada keaktifan mereka menjadi peserta. Jika
ditambah dengan PNS, ada sekitar sekitar 70 persen pekerja sektor formal yang terdaftar dalam
skema jaminan sosial.
Namun jika angka proporsi jaminan sosial diperluas ke pekerja sektor informal maka
terlihat bahwa cakupan jaminan sosial yang ada masih sangat rendah. Tabel di atas
memperlihatkan bahwa hanya seperlima pekerja (formal dan informal) yang sudah tercakup oleh
jaminan sosial tenaga kerja. Selama 22 tahun sejak beroperasinya pada tahun 1977, PT Jamsostek
baru mampu mencakup sekitar 18,1 juta pekerja atau 20 persen dari seluruh pekerja. Jumlah
tersebut akan berkurang lagi jika dipertajam terhadap mereka yang benar-benar aktif
memberikan premi.
Masih relatif sedikitnya pekerja yang mempunyai jaminan sosial dalam kondisi
ketenagakerjaan sebagaimana diuraikan di atas menggambarkan situasi yang dilematik. Di satu
sisi, rendahnya cakupan tersebut mengharuskan perlunya memperluas cakupan kepesertaan ke
seluruh pekerja bahkan angkatan kerja. Namun di sisi lain, tingginya pengangguran, rendahnya
upah, banyaknya pekerja informal merupakan kendala besar dalam mengembangkan sistem
jaminan sosial yang ada. Dan karena itu timbulnya pertanyaan klasik, dari mana kita mulai;
membenahi kondisi ketenagakerjaan terlebih dahulu atau mengembangkan sistem jaminan sosial
tenaga kerja terlebih dahulu. Secara pragmatis keduanya tentu perlu dikerjakan secara paralel.
C.3 KONDISI EKONOMI
Uraian di atas dapat disebut sebagai sebuah potret buram terhadap kondisi yang perlu
dicermati dalam mengembangkan SPS. Potret buram tersebut masih bertambah jika dikaitkan
dengan tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, utamanya berkaitan dengan rata-rata
pendapatan, jumlah penduduk miskin dan jumlah mereka yang masuk kategori PMKS
(Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).
Upaya pengembangan SPS tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian baik kondisi
ekonomi penduduk dalam arti pendapatan mereka maupun kondisi makro ekonomi. Kondisi
perekonomian itulah yang amat menentukan berhasil tidaknya pengembangan SPS yang
berkelanjutan.
Data yang ada menunjukkan bahwa pendapatan per kapita (PDB per kapita) Indonesia
yang meskipun jika dilihat dari harga berlaku mengalami kenaikan secara signifikan tetapi jika
dilihat dari harga konstan 1993 pendapatan perkapita penduduk Indonesia belum pulih
sebagaimana kondisi sebelum krisis, tahun 1997. Jika dilihat dari harga berlaku, pendapatan per
kapita Indonesia meningkat dari Rp 3,2 juta pada tahun 1997 menjadi Rp 7,59 juta pada tahun
2002. Namun jika dilihat dari harga konstan tahun 1993, pendapatan per kapita pada tahun 2002
(Rp 2,01 juta) masih lebih rendah dibanding pendapatan per kapita tahun 1997 (Rp 2,21 juta).
Pendapatan per kapita sebesar itu lebih rendah dibanding beberapa negara lain yang sudah
memiliki sistem jaminan sosial yang cukup baik.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
31
ribu rupiah
Ang
ka
3,495.7
pendapatan
1,541.6 2,893.6
per kapita
9,124.5
yang
8,067.4
meskipun
7,502.3
rendah
0,607.2
1,943.2
sebagaimana
6,400.2 6,389.1 6,201.2 6,212.2 8,478.1 3,078.1 6,339.1 7,079.19,210.2
9,958.1
disajikan di
atas
belumlah
94
95
96
97
98
99
00
01
02
cukup untuk
melihat
Hrg Berlaku
Hrg Konstan '93
kondisi
penduduk
secara nyata mengingat distribusi pendapatan yang tidak merata, di mana sebagian kecil
penduduk menguasai sebagian besar pendapatan sementara sebagian besar penduduk hanya
menguasai sebagian kecil pendapatan.
8.000,0
7.000,0
6.000,0
5.000,0
4.000,0
3.000,0
2.000,0
1.000,0
0,0
Tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut antara lain dapat dilihat dari banyaknya
jumlah penduduk miskin ditengah-tengah sebagaian kecil penduduk yang memiliki pendapatan
sangat tinggi. Data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 38,4 juta jiwa atau sekitar 18,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Sebagian dari penduduk miskin tersebut menyandang masalah kesejahteraan sosial.
Pendapatan per kapita yang rendah dan penduduk miskin yang banyak tentu saja
merupakan tantangan besar tersendiri dalam upaya mengembangkan SPS. Tantangan tersebut
akan dapat diatasi jika kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemajuan yang berarti.
Sayangnya, data yang ada menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih belum
begitu menggembirakan baik dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, angka investasi,
perkembangan ekspor dan laju inflasi.
Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif rendah dibanding beberapa
negara ASEAN lain yang pernah mengalami krisis ekonomi. Pada tahun 2002 perekonomian
Indonesia tumbuh 3,66 persen, yang meskipun lebih tinggi dibanding tahun 2001, namun angka
pertumbuhan sebesar itu masih lebih rendah dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 4
persen dalam asumsi APBN 2002. Angka pertumbuhan tersebut lebih didorong oleh permintaan
konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang tumbuh masing-masing 4,72 persen dan 12,79
persen. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu sulit untuk dapat menyerap angkatan kerja
yang lebih banyak sebagaimana diuraikan di atas. Apalagi jika dilihat bahwa pertumbuhan
ekonomi yang ada lebih didorong oleh permintaan konsumsi.
100.000
014.29
80.000
60.000
839.75
618.85
021.35
40.000
262.52
20.000
685.31
298.01
624.51
650.51
2000
2001
447.9
0
1998
1999
SISTEM PERLINDUNGAN
SOSIAL
TERPADU
PMDN (Miliar
Rp)
PMA (Juta
USD)
Pertumbuhan ekonomi yang
rendah akan tumbuh lebih
tinggi jika antara lain
didorong oleh nilai investasi
yang besar. Sayangnya data
tentang nilai investasi di
Indonesia
juga
belum
memperlihatkan angka yang
2002
32
menggembirakan, bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan. Nilai investasi PMDN yang
disetujui pada tahun 2002 hanya sebesar Rp 25,26 trilyun atau hanya separuh dari nilai yang sama
pada tahun 2001. Demikian pula nilai investasi PMA yang disetujui pada tahun 2002 yang hanya
sebesar USD 9,74 trilyun merupakan nilai investasi yang paling rendah sepanjang lima tahun
terakhir sejak tahun 1998. Dengan investasi yang rendah seperti itu sulit untuk mengharapkan
terjadi percepatan dalam pemulihan ekonomi Indonesia.
Sementara data tentang nilai ekspor Indonesia juga relative mengalami stagnasi dalam
tiga tahun terakhir. Nilai ekspor Indonesia yang pada tahun 2000 mencapai USD 62,12 milyar
mengalami penurunan pada dua tahun berikutnya.Pada tahun 2001 nilai ekspor Indonesia hanya
sebesar USD 56,3 milyar dan naik sedikit menjadi USD 57 milyar pada tahun 2002.
Dengan kondisi perekonomian yang belum begitu menggembirakan sebagaimana
diuraikan di atas maka masih agak sulit untuk mengembangkan SPS dalam skema asuransi sosial
yang mengharuskan penduduk untuk membayar premi. Dengan kondisi seperti itu maka
pengembangan SPS akan lebih menekankan pada bantuan sosial yang dananya berasal dari
pemerintah baik APBN maupun APBD.
Sayangnya, APBN Indonesia juga masih defisit. Proyeksi yang dilakukan BAPPENAS
memperkirakan bahwa APBN 2004 diperkirakan masih mengalami defisit sebesar Rp 24,4
trilyun. Defisit anggaran diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami masa sulit terutama
pada tahun 2004-20068.
8
Suharmen, “Gambaran APBN dalam Jangka Menangah”, paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
33
BAB IV
PERLINDUNGAN SOSIAL
DI BERBAGAI NEGARA
Penyelenggaraan Perlindungan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di dalam
memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsip-prinsip
universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme bantuan dan asuransi
sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas. Variasi program, tingkat
manfaat, dan tingkat iuran di berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat
sosial ekonomi dan budaya penduduk di negara tersebut. Badan penyelenggara juga bervariasi
dari yang langsung dikelola oleh pemerintah sampai yang diserahkan kepada swasta. Variasi
tersebut tidak lepas dari sejarah berkembangnya sebuah sistem perlindungan sosial di negara
tersebut. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangannya dan karenanya berbagai
contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi pengembangan Sistem Perlindungan
Sosial. Dalam bab ini akan disajikan secara garis besar sistem perlindungan sosial di beberapa
negara tetangga dan negara maju agar dapat diambil pelajaran bagaimana suatu sistem
perlindungan sosial dimulai dan bagaimana kondisi yang dapat harapkan kelak di kemudian hari.
(1) Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang lebih awal
dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia
Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk
menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta
dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi
EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah
mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain itu, Malaysia juga
memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security
Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas
pembiayaan dan penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk, maka
pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di Malaysia.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun demikian, dalam
sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi peserta EPF atau SOCSO
secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka yang bekerja secara mandiri dan
pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan pegawai pemerintah yang sudah punya hak
pensiun juga dapat ikut program EPF secara sukarela.
Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok penduduk yang
dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF dikelola oleh Central Provident
Fund (CPF), sebuah badan hukum di bwah naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini
merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan
profesional. Untuk tugas-tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi.
Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh kementerian keuangan
karena program tersebut merupakan program tunjangan pegawai (employment benefit) dimana
pegawai tidak berkontribusi. Program jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh
SOCSO yang dalam bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO).
Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat menarik jaminan
hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump sum) untuk modal usaha, menarik
sebagian lump sum dan sebagian dalam bentuk anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
34
hasil pengembangannya saja tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2)
Peserta dapat menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli
warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik dananya
untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau memerlukan biaya perawatan di luar
fasilitas publik yang ditanggung pemerintah. (4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang
duka sebesar RM 1.000-30.000, tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta
meninggal dunia.
Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari tahun ke
tahun seperti disajikan dalam Tabel berikut. Jumlah iuran tersebut ditingkatkan secara bertahap
untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat kemampuan penduduk menabung. Dalam
program EPF di Malaysia, sekali seorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus
menjadi peserta sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro,
1998)9.
Tabel 4.1. Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia.
Tahun
Iuran Tenaga Kerja
Iuran Pemberi Kerja
Total
1952 - Juni 1975
5%
5%
10%
Juli 75 – Nop 80
6%
7%
13%
Des 80 – Des 92
9%
11%
20%
Jan 93 – Des 95
10%
12%
22%
Jan 96 -
11%
12%
23%
(2) Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosialnya sejak tahun 1948, akan
tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan
enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A.
Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina
sehingga dilakukan amendemen UU tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957.
Barulah UU JS tersebut mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa
kelompok pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program JS.
Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari
P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang
menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program
JS. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS
mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50 persen dari anggkatan kerja,
termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). i
Untuk pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut
sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan
kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki
sistem jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan
sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan
pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut defisini
universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program jaminan
hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan
berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi
dan asuransi umum (Purwanto & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah
9
Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia, Jakarta, 1998.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
35
Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang
memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS) menjadi satu
dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan
publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001).10
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai selama
peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat) hari, baik dirawat di rumah
sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan
diberikan uang tunai sebesar antara P24.000-P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat
lain (3) yang menjadi hak peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump sum atau bulanan
bagi peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan oleh
kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua (baik lump sum maupun pensiun
bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60 tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan
kematian (5) berupa uang tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang
meninggal dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila
terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan
manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak diterima, peserta harus memenuhi
persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat
diberikan fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak dengan
bunga 6 persen setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8 persen setahun untuk pinjaman
lebih dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4 persen sebulan (tidak termasuk
iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar bersama antara majikan (5,04
persen) dan pegawai (3,36 persen). Batas maksimum upah untuk perhitungan iuran adalah
P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan kecelakaan kerja adalah 1 persen dengan
maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan
besarnya iuran untuk tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan
yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar
P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja membayar
sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan. Untuk
memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok upah dan besarnya iuran
untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah 2,5 persen upah
sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak dijamin). Dengan demikian total
iuran menjadi 10,9 persen (tanpa kecelakaan kerja) dan 11,9 persen (dengan kecelakaan kerja).
Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12 persen dari pemberi kerja (pemerintah)
dan 9 persen dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002).
PhilHealth merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki
keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50 persen penduduk Filipina). Anggota Philhealth
terdiri atas 55 persen pegawai swasta, 24 persen pegawai pemerintah, 9 persen penduduk tidak
mampu, 11 persen peserta sukrela (informal), dan 2 persen adalah peserta khusus yang tidak
membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit
pemerintah maupun swasta dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit
didasarkan pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini
diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena
diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak menjadi beban
berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji yang diperhitungkan
maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian, iuran yang kini dikumpulkan adalah
sebesar 2,5 persen yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor
formal. Sedangkan bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi
10
Purwanto, E dan Wibisana, W. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina. 18 Juni 2002.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
36
penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002).
Pada tahun 2003 ini, PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk
memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan
menambahkan iuran guna memperluas jaminan tersebut (Dueckue, 2003).11
Tabel 4.2. Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
Program
Iuran Tenaga Iuran Pemberi
Kerja
kerja
Jaminan sosial, SSS
5,04%
3,36%
Kecelakaan kerja
1%
Jaminan sosial, GSIS
9%
12%
Kesehatan, PhilHealth
1,25%
1,25%
Total:
Swasta
6,29%
5,61%
Pemerintah
10,25%
12%
Total
8,4%
1,0%
21,0%
2,5%
11,9%
22,25%
(3) Thailand
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi pegawai
pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang diatur oleh UU Jaminan
Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah Thailand mengeluarkan UU Jaminan
Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan
Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial,
yang terdiri dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing
5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan
20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang
lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib
menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh
tenaga kerja formal telah menjadi peserta
(4) Amerika Serikat
Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1935 yang
pada awalnya dikenal dengan naman OASDI program (Old-Age, Survivors, and Disability
Insurance). Undang-undang jaminan sosial tersebut disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi
di Amerika di awal tahun 1930an. Awalnya, UU jaminan sosial Amerika tidak mencakup asuransi
sosial kesehatan (Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru
masuk 30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan
OASDHI (H di antara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program OASDI, tanpa
kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana peserta memperoleh
manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris peserta yang memenuhi syarat
menerima manfaat jika peserta meninggal, dan apabila peserta menderita cacat. Menjelang UU
Jaminan Sosial di Amerika diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah
diajukan dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan. Namun demikian, pilihan tersebut tidak
diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program sukarela tidak efektif.
Sebenarnya Amerika termasuk terbelakang dalam mengembangkan jaminan sosialnya
dibandingkan dengan Jerman dan Inggris (Rejda, 1988).12 Pada prinsipnya, sistem Jaminan Sosial
di Amerika diselenggarakan dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan
pemerintah (Social Security Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial Amerika
bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan kesehatan. Hanya saja,
11
12
Dueckue, P. PhilHealth today. Presentation on the Social Health Insurance Meeting, Bangkok, July 3-6, 2003
Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. Prentice Hall, New Jersey, 1988 p25.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
37
jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk penduduk berusia 65 tahun keatas atau yang
menderita cacat tetap atau penderita sakit ginjal yang mematikan.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
38
BAB V
REKOMENDASI:
DESAIN SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
A. PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR
Sistem perlindungan sosial di sini diartikan sebagai sebuah sistem yang berkelanjutan
yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara melalui seperangkat instrumen
publik, terhadap kesulitan ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar warga negara baik disebabkan karena terhentinya, turunnya, atau tidak
mencukupinya penghasilan, sakit, hamil, kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam
maupun kerusuhan sosial.
Dengan pengertian seperti itu maka perlindungan sosial di sini memiliki beberapa
prinsip dasar sebagai berikut:
1. Merupakan Program Publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini ditujukan kepada dan
bersifat wajib bagi seluruh warga negara yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan
negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Perlindungan dasar, yang berarti bahwa memberikan perlindungan yang bersifat dasar untuk
menjaga harkat dan martabat manusia
3. Resiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi resiko berbagai peristiwa sosialekonomis yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga negara.
4. Berkelanjutan, dalam arti berkesinambungan baik dalam jangka-panjang maupun jangka
pendek
5. Lintas Sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial ini perlu dilakukan melalui kerjasama dan
koordinasi yang baik antar sektor baik sektor ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial,
keuangan, kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait lainnya.
Dari sisi jenis dan cara pembiayaan, perlindungan sosial ini mencakup beberapa aspek sebagai
berikut:
1.
2.
Jaminan sosial yang terdiri dari:
a. Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara membayar iuran/premi guna
membiayai kemungkinan terjadinya resiko sosial-ekonomi yang dialami dengan ciriciri antara lain kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara dan dikelola
dengan motif not for profit (keuntungan dikembalikan kepada peserta).
b. Tabungan Hari Tua, dimana seluruh warga negara yang berusia ekonomis (15-60
tahun) dan memiliki penghasilan diwajibkan untuk menabung sejumlah tertentu
untuk memupuk dana yang akan digunakan sebagai tunjangan hari tua baik berupa
tunjangan paska karya maupun uang pensiun
Bantuan sosial, dimana negara memberikan bantuan sosial (subsidi) kepada setiap warga
negara yang mengalami resiko sosial ekonomi sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup minimumnya baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan maupun
pendidikan.
Di samping kedua kelompok di atas (jaminan sosial dan bantuan sosial) ada lagi kategori
Asuransi Komersial yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pengelolaannya bersifat
komersial (profit motif). Kategori ini tidak dimasukkan dalam kerangka SPS mengingat sasaran
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
39
dari asuransi komersial pada umumnya adalah penduduk berpenghasilan tinggi. Dan karena
motif pengelolaannya adalah for profit (mengambil keuntungan) maka perkembangannya
diserahkan kepada mekanisme pasar dimana pemerintah hanya mengeluarkan regulasiregulasi guna menjaga kepentingan publik.
Dalam hal jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) peran pemerintah
berada dalam dua domain yaitu disamping sebagai pembuat undang-undang dan peraturan
lainnya yang terkait dengan jaminan sosial (regulatory body) juga sebagai pengawas dan
pemberi mandat kepada para pengelola (operator) jaminan sosial. Dengan demikian peran
pemerintah di sini bersifat quasi publik.
Dalam hal bantuan sosial pemerintah berikut segenap perangkatnya berperan sebagai
operator (pelaksana) undang-undang. Seluruh mekanisme pelaksanaan bantuan sosial
diselenggarakan oleh perangkat-perangkat pemerintah yang ada.
Sedang dalam hal asuransi komersial pemerintah semata-mata berperan sebagai pembuat
undang-undang (regulatory body), sementara pengelolaan operasional asuransi komersial
sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
B. TUJUAN DAN SASARAN
Fokus dalam pengembangan sistem perlindungan sosial di sini diarahkan pada
jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari tua) dan bantuan sosial. Yaitu bagaimana
mengembangkan sistem jaminan sosial yang mencakup sebanyak-banyak warga negara dan
mengefektifkan bantuan sosial agar benar-benar dapat diterima oleh warga negara yang
benar-benar membutuhkannya.
Tujuan sistem ini pada akhirnya adalah:
a. Untuk mendorong sebanyak mungkin warga negara agar mau dan mampu menjadi peserta
jaminan sosial sehingga warga negara yang memperoleh bantuan sosial menjadi semakin kecil.
Semakin banyak warga negara yang tercakup dalam skema jaminan sosial akan memperkecil
kemungkinan warga negara tersebut dalam kategori yang memperoleh bantuan sosial.
b. Mempertajam berbagai bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai sektor agar bantuan
sosial yang diberikan dapat lebih tepat sasaran, terkoordinasi, efisien dan efektif.
Sasaran jaminan sosial adalah setiap warga negara yang memiliki penghasilan. Sedang
sasaran bantuan sosial adalah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
minimumnya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) baik yang disebabkan oleh
hal-hal yang bersifat permanen maupun yang bersifat temporer.
Idealnya setiap warga negara terlindungi oleh salah satu dari tiga (utamanya dua)
kategori skema perlindungan sosial sebagaimana disebutkan di atas. Setiap warga negara yang
berpenghasilan diharapkan menjadi peserta jaminan sosial (apakah dalam bentuk asuransi
sosial ataupun tabungan hari tua atau kedua-duanya). Penduduk yang memiliki
berpenghasilan tinggi di samping menjadi peserta jaminan sosial sebagian mungkin menjadi
peserta dalam asuransi komersial yang memberikan benefit sesuai yang diinginkannya.
Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya setelah
memenuhi persyaratan tertentu (antara lain melalui test kebutuhan – mean test) dapat
memperoleh bantuan sosial yang bersifat subsidi dari pemerintah. Dengan kerangka seperti
itu diharapkan setiap warga negara dapat memperoleh kehidupan yang layak sesuai harkat dan
martabatnya sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi negara.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
40
C. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN
Kebijakan dan strategi pengembangan sistem perlindungan sosial ini pertama-tama
dirumuskan dengan melihat kondisi dan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan
pelaksanaan perlindungan sosial selama ini. Hal-hal yang sudah dilaksanakan dengan baik
terus dikembangkan, dan yang kurang perlu diperbaiki di masa mendatang. Perumusan
strategi dan kebijakan yang didasarkan pada kondisi dan permasalahan sebagaimana diuraikan
pada bab-bab sebelumnya ini penting dilakukan agar kebijakan dan strategi yang akan
dikembangkan kedepan sama sekali tidak terputus dari apa yang telah dilakukan dan
karenanya merupakan upaya perbaikan yang berkesinambungan dan terus menerus (continues
improvement). Hal itu dilakukan karena pada dasarnya selama ini pemerintah telah melakukan
berbagai kegiatan yang terkait dengan perlindungan sosial hanya saja berbagai kegiatan
tersebut dilakukan secara terpisah untuk masing-masing sektor, sehingga yang perlu
dilakukan adalah memetakan seluruh kegiatan yang selama ini telah dilakukan dan
mengembangkannya secara lebih baik, efektif dan terkoordinasi di masa depan.
Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang dihadapi maka ke depan
dirumuskan kebijakan dan strategi pengembangan sistem perlindungan sosial sebagai berikut:
C.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Jaminan Sosial
Pengembangan sistem jaminan sosial ke depan antara lain mencakup beberapa
kebijakan dan strategi pokok sebagai berikut:
1.
Memperluas kepesertaan
Salah satu masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan jaminan sosial selama ini adalah
masih relatif rendahnya cakupan kepesertaan, baik kepesertaan di sektor formal
terlebih lagi di sektor informal.
a. Memperluas kepesertaan di Sektor Formal
Selama ini pelaksanaan jaminan sosial bagi penduduk usia produktif (tenaga kerja)
lebih fokus pada tenaga kerja di sektor formal baik pekerja pemerintah (PNS)
maupun pekerja swasta. Dilihat dari cakupan kepesertaan, jaminan sosial di sektor
pemerintah (PNS) tidak ada masalah baik yang dilakukan oleh PT Askes, PT Taspen
maupun PT ASABRI. Semua pegawai negeri (baik sipil maupun militer) tercakup
dalam skema tersebut; PT Askes dan PT Taspen untuk PNS dan PT ASABRI untuk
anggota militer. Dengan demikian di sektor pemerintah, tidak ada masalah berkaitan
dengan perluasan kepesertaan.
Masalah yang timbul adalah berkaitan dengan cakupan kepesertaan jaminan sosial
di sektor swasta. Sebagaimana diuaraikan di atas bahwa data yang ada
memperlihatkan pada tahun 2000 baru sekitar separuh (57,5 persen) pekerja di sektor
formal (di luar PNS) yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Selama 22 tahun
sejak beroperasinya pada tahun 1977, PT Jamsostek baru mampu mencakup sekitar
18,1 juta pekerja. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdaftar. Jika dipertajam
terhadap mereka yang benar-benar aktif memberikan premi maka jumlah kepesertaan
tersebut akan makin kecil.
Jika melihat data tahun 2000, masih ada sekitar 13,39 juta pekerja di sektor formal
yang belum tercakup dalam jaminan sosial. Masih banyaknya pekerja (baik secara
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
41
absolut maupun relatif) yang belum menjadi peserta jaminan sosial mendorong
perlunya strategi dalam memperluas kepesertaan jaminan sosial di sektor formal.
b. Mengembangkan kepesertaan di Sektor Informal
Masalah cakupan kepesertaan jaminan sosial makin berat dihadapi di tenaga kerja
sektor informal. Selama ini belum ada lembaga yang menangani secara sistematis
tentang bagaimana mendorong kepesertaan jaminan sosial di tenaga kerja sektor
informal. PT Jamsostek sebagai pelaksana jaminan sosial masih berkonsentrasi untuk
mengembangkan kepesertaan di tenaga kerja sektor formal. Itupun cakupannya masih
terbatas. Padahal proporsi pekerja di sektor informal justru lebih besar dibanding
pekerja di sektor formal.
Data yang ada menunjukkan bahwa dari 90,8 juta pekerja sekitar 64,4 persen
bekerja di sektor informal. Sementara yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 35,6
persen. Jika dibanding dengan jumlah seluruh pekerja (formal dan informal) yang
berjumlah 89,8 juta (tahun 2000) maka cakupan peserta jaminan sosial 20,2 persen.
Proporsi tersebut bertambah kecil lagi jika dibanding dengan angkatan kerja (tahun
2002) yang berjumlah 95,65 juta dan jumlah peserta yang terdaftar pada Jamsostek
sebanyak 18,14 juta (tahun 2000) maka proporsi angkatan kerja yang tercakup oleh
Jamsostek baru 18,97 persen. Padahal idealnya seluruh angkatan kerja dapat dicakup
dalam Jamsostek.
Dengan cakupan kepesertaan yang rendah seperti itu maka perlu ada kebijakan
dan program yang dapat meningkatkan cakupan kepesertaan jamsostek.
2. Memperkuat kelembagaan
a. Kelembagaan Pelaksana
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa selama ini sudah ada beberapa lembaga
yang menjadi pelaksana jaminan sosial di Indonesia. Beberapa lembaga tersebut
adalah PT Askes, PT Taspen, PT ASABRI, PT Jamsostek, PT Jasa Raharja dan lainlain.
Dengan berbagai dinamika kelebihan dan kelemahannya para pelaku jaminan
sosial tersebut telah menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh karena para pelaku/
pelaksana jaminan sosial sudah ada maka strategi yang perlu dikembangkan pertamatama adalah memperkuat kelembagaan yang sudah ada (agar masing-masing mampu
memperluas cakupan peserta dan meningkatkan kinerjanya) dibanding harus
membuat kelembagaan baru yang dapat berbenturan dengan lembaga-lembaga
pelaksana yang sudah ada.
Strategi memperkuat (empowering) kelembagaan yang sudah ada ini dilakukan
dengan mengeluarkan seperangkat kebijakan yang memungkinkan masing-masing
lembaga pelaksana dapat lebih memperluas cakupan kepesertaan dan meningkatkan
kinerjanya.
b. Kelembagaan Pengawas
Selama ini pengawasan terhadap lembaga pengelola jaminan sosial dilakukan
secara terpisah oleh masing-masing departemen teknis yang terkait. PT Askes
pengawasan teknisnya dilakukan oleh Departemen Kesehatan, PT Jamsostek
pengawasannya teksnisnya dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja, PT Taspen
pengawasannya dilakukan oleh Departemen Keuangan, PT ASABRI pengawasannya
dilakukan oleh Mabes ABRI dan seterusnya. Dengan pengawasan yang terpisah
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
42
seperti itu maka kesan yang muncul adalah bahwa jaminan sosial dilakukan secara
sektoral tanpa ada keterpaduan satu sama lain.
Dengan melihat kenyataan seperti itu maka perlu dibentuk suatu lembaga
pengawas yang baru yang dapat memantau dan mendorong masing-masing lembaga
pelaksana dalam meningkatkan kinerjanya.
c. Koordinasi antar Lembaga
Salah satu masalah krusial yang dihadapi dalam pelaksanaan dan pengawasan
jaminan sosial di Indonesia adalah koordinasi, baik koordinasi antar lembaga
pengelola maupun koordinasi antar instansi pengawas. Lemahnya koordinasi tersebut
berakibat pada tidak adanya keterpaduan yang saling mengisi antara program yang
dikembangkan oleh lembaga yang satu dengan lembaga yang lain. Oleh karena itu
koordinasi antar lembaga menjadi bagian penting yang perlu dikembangkan dalam
memperkuat kelembagaan yang ada.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan
Masalah lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan jaminan sosial yang
selama ini ada adalah berkaitan dengan kualitas pelayanan. Ada kesan bahwa
pelayanan yang diberikan oleh pengelola jaminan sosial baik itu oleh PT Jamsostek
maupun PT Askes misalnya, kurang sesuai dengan harapan masyarakat sehingga
banyak keluhan yang muncul berkaitan dengan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor; ada yang terkait dengan manajemen internal
badan pengelola (seperti kualitas SDM, sistem kompensasi dsb.) tetapi ada yang
terkait dengan kebijakan makro seperti besarnya iuran yang ditetapkan, sistem
pembiayaan/pendanaan, sistem pengawasan dan sebagainya. Masalah-masalah yang
terkait dengan manajemen internal badan pengelola biar diselesaikan oleh pihak
manajemen pengelola sendiri. Sedang masalah yang perlu diperhatikan dalam kaitan
pada kerangka dasar ini adalah masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan makro.
Oleh karena itu salah satu rumusan strategi dalam pengembangan sistem jaminan
sosial adalah bagaimana menyusun kebijakan makro yang mendorong terjadinya
peningkatan kualitas pelayanan badan pengelola.
4. Memperluas jenis manfaat (benefit) yang diberikan kepada peserta
Sebagaimana diuraikan di atas, jenis manfaat yang selama ini diberikan oleh badan
pengelola adalah sebagai berikut:
a. PT Jamsostek, manfaat yang diberikan antara lain Jaminan Kecelakaan Kerja,
Jaminan Kematian, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, dan Jaminan Hari Tua
b. PT Askes, manfaat yang diberikan berupa asuransi kesehatan dengan cakupan
pelayanan antara lain meliputi Rawat Jalan, Rawat Inap, Persalinan dan
sebagainya.
c. PT Taspen, manfaat yang diberikan berupa Dana Pensiun dan Tabungan Hari
Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan
beberapa skema lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan
untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM.
d. PT ASABRI
e. PT Jasa Raharja, memberikan santunan kepada masyarakat dari kerugian akibat
kecelakaan atau musibah saat menggunakan transportasi umum.
Jenis manfaat tersebut belum mencakup seluruh kemungkinan resiko sosial
ekonomi yang dihadapi oleh seseorang. Oleh karena itu kedepan perlu dirumuskan
berbagai jenis manfaat baru yang secara esensial dibutuhkan oleh setiap penduduk.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
43
Rumusan tentang berbagai jenis manfaat tersebut merupakan salah satu strategi
kebijakan pengembangan sistem jaminan sosial.
5. Menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis data
kepesertaan Jaminan Sosial
Data kepesertaan merupakan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan jaminan sosial, apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk memperluas
cakupan kepesertaan secara menyeluruh (universal coverage). Pengelolaan cakupan jaminan
sosial secara menyeluruh bagi seluruh penduduk dapat dimungkinkan jika didukung oleh
data kepesertaan yang baik, terintegrasi, sehingga terhindar dari adanya duplikasi.
Selama ini pemerintah sedang mengembangkan Nomor Induk Kependudukan yang
bersifat unik bagi masing-masing warga negara. NIK yang sedang dikembangkan tersebut
diharapkan dapat pula digunakan bagi keperluan pengelolaan jaminan sosial, sehingga
masing-masing lembaga pengelola dapat menggunakan NIK tersebut sebagai basis data
kepesertaannya. Itulah sebabnya maka salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalah
bagaimana menggunakan NIK sebagai basis data kepesertaan jaminan sosial, yang dengan
demikian nomor kepesertaan jaminan sosial dapat paralel dengan data kependudukan
secara keseluruhan sebagaimana telah dilakukan oleh berbagai negara maju yang telah
menerapkan sistem serupa.
Kelima hal itulah yang menjadi strategi dasar dalam mengembangkan sistem jaminan
sosial kedepan.
C.2 Kebijakan dan Strategi Penajaman Bantuan Sosial
1.
Lebih Mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh
pemerintah:
a. Meningkatkan koordinasi antar sektor
Selama ini bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sudah dilakukan
secara per sektor, diantaranya sektor sosial, kesehatan, pendidikan,
ketenagakerjaan, kependudukan, dan agama.
Ke depan upaya pemberian bantuan sosial yang dilakukan secara per sektor
tetap dilanjutkan karena hal itu terkait dengan administrasi kebijakan publik yang
ada. Hanya yang perlu ditingkatkan adalah koordinasi antar sektor agar berbagai
program bantuan sosial yang dilakukan oleh masing-masing sektor tidak terjadi
tumpang tindih dan dapat lebih tepat sasaran.
b. Mempertajam sasaran program bantuan sosial
Salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan dalam pemberian bantuan
sosial adalah bagaimana agar bantuan sosial tersebut dapat lebih tepat sasaran,
diterima oleh yang benar-benar membutuhkannya. Harus ada upaya yang
sungguh-sungguh dan sistematis dalam mengenali sasaran dari berbagai program
bantuan sosial, sehingga dana bantuan sosial yang terbatas benar-benar dapat
sampai pada penduduk yang benar-benar membutuhkannya. Banyak program
yang perlu dilakukan berkaitan dengan penajaman dan pengenalan sasaran. Salah
satu di antaranya adalah dengan mengembangkan test kebutuhan (mean test)
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
44
sebagai salah satu instrumen untuk meyakinkan bahwa dana bantuan sosial yang
akan diberikan benar-benar sesuai dan tepat sasaran.
c. Mempercepat upaya pengentasan kemiskinan
Berbagai program bantuan sosial yang diberikan pemerintah pada akhirnya
bermuara pada upaya untuk mendorong penduduk agar terlepas dari kemiskinan
sehingga dengan demikian mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
mandiri. Makin banyak penduduk yang miskin akan makin banyak pula dana
yang diperlukan untuk program bantuan sosial. Oleh karena itu salah satu strategi
dalam pemberian bantuan sosial adalah bagaimana mempercepat upaya
pengentasan kemiskinan.
2. Mempertahankan dan Mengembangkan Kearifan Lokal
Salah satu hal positif yang perlu dicermati dalam pengembangan sistem
perlindungan sosial adalah adanya kearifan-kearifan sosial yang berkembang di
masyarakat lokal. Ada mekanisme sosial yang berkembang di beberapa kelompok
masyarakat yang sebenarnya terkait erat dengan pengembangan sistem perlindungan
sosial. Beberapa di antaranya adalah yang berkembang di Bali, Jawa Tengah, Sumatera
dan beberapa masyarakat lain.
Di Bali misalnya, berkembang apa yang disebut sebagai iuran dana kesehatan untuk
membantu para pemangku adapt yang kehidupannya masih sulit. Di Banyumas ada
yang disebut sebagai “Paguyuban 17” dimana masyarakat mengumpulkan iuran yang
digunakan untuk memberikan bantuan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh pencari
nafkah utama, yang meninggal dunia. Di Kabupaten Asahan, Sumatera, dibentuk apa
yang disebut sebagai Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan Kisaran (ISKAPI) dimana
memberikan santunan kemalangan (meninggal dunia) dan pengurusan pemakaman.
Setiap anggota wajib memberikan santunan sebesar Rp 500 kepada anggota yang
tertimpa musibah.
Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa sebenarnya di beberapa
kelompok masyarakat telah berkembang kearifan sosial yang pada dasarnya sangat
erat kaitannya dengan sistem perlindungan sosial. Dan karena itu apa yang
berkembang di masyarakat perlu diperhatikan, dipertahankan dan jika memungkinkan
perlu dikembangkan dalam cakupan yang lebih luas.
3. Memperkuat Dukungan Keluarga dan Masyarakat
Jumlah penduduk miskin di Indonesia juga masih sangat besar. Pada tahun 2002
jumlah penduduk miskin mencapai 38,4 juta jiwa atau sekitar 18,9 persen dari seluruh
penduduk Indonesia. Sebagian dari penduduk miskin tersebut menyandang masalah
kesejahteraan sosial. Data yang ada mengungkapkan bahwa lansia terlantar yang ada
pada tahun 1991 diperkirakan sebanyak 1.811.484 jiwa13. Namun cakupan penanganan
negara terhadap lansia yang terlantar melalui sistem panti masih amat rendah. Sementara
panti sosial tresna werdha (PSTW) yang ada di seluruh Indonesia hanya 155 PSTW
dengan daya tampung hanya sekitar 7.756 lansia atau kurang dari setengah (0,43) persen.
Dari jumlah PSTW tersebut hanya 55,5 persen (86 PSTW) dikelola swasta, sisanya 69
PSTW dikelola dan didirikan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Sosial).
Soepardo, Istikanah “Promotion of The Social Well-Being of Elderly People in Indonesia: A Brief
Statement”, dalam UN ESCAP, Productive Ageing in Asia and the Pacific, UN, New York, 1993, p. 83
13
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
45
Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam memberikan bantuan sosial baik
terhadap penduduk miskin maupun terhadap keberadaan penduduk lansia
mengisyaratkan perlunya dan pentingnya dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu salah satu strategi dan kebijakan yang perlu dikembangkan dalam
pengembangan Sistem Perlindungan Sosial adalah dengan memperkuat dukungan
keluarga dan partisipasi masyarakat.
D.
KETERKAITAN DENGAN PROGRAM – PROGRAM PEMBANGUNAN
Dengan memperhatikan kebijakan dan strategi pengembangan sebagaimana diuraikan
di atas maka program-program pembangunan baik dalam jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
D.1. Kebijakan Pengembangan Jaminan Sosial
1). Perluasan Cakupan Kepesertaan
a. Mendorong PT Jamsostek untuk dapat memperluas cakupan kepesertaan mencapai
sekitar 100 persen dari seluruh pekerja swasta di sektor formal antara lain dengan
memberikan kewenangan yang lebih luas dalam melakukan law enforcement terhadap
perusahaan-perusahaan yang belum mengikutkan pekerjanya dalam jaminan sosial
b. Merancang sebuah konsep (termasuk --tetapi tidak terbatas pada-- merancang
kelembagaan baru, jika dianggap perlu) tentang pengelolaan jaminan sosial bagi
tenaga kerja di sektor informal
c. Melakukan uji coba (pilot project) secara sistematis dan berkesinambungan dalam
rangka memperluas kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja di sektor informal
d. Melakukan kampanye nasional tentang pentingnya sistem jaminan sosial bagi setiap
warga negara
e. Melakukan advokasi dan technical assistance ke pemerintah-pemerintah daerah (provinsi
dan kabupaten) agar masing-masing daerah memiliki perhatian terhadap perlunya
kepesertaan warganya dalam sistem jaminan sosial
2). Penguatan Kelembagaan
a. Mengkaji dan merumuskan berbagai kebijakan yang dapat memperkuat keberadaan
lembaga-lembaga pengelola jaminan sosial (PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT
ASABRI, PT Jasa Raharja, Bapel JPKM) agar melaksanakan fungsinya sebagai
pengelola jaminan sosial secara efektif, efisien dan terkoordinasi
b. Menetapkan bentuk badan hukum lembaga pengelola jaminan sosial yang
memungkinkan lembaga pengelola tersebut mencapai visi dan misinya sebagai
pengelola jaminan sosial yang not for profit
c. Membentuk dan mengaktifkan forum koordinasi antar lembaga pengelola jaminan
sosial, pemerintah dan perwakilan peserta dalam rangka membangun kebersamaan
guna memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan jaminan
sosial
d. Membentuk sebuah Komite Pengawas yang antara lain bertugas dan berwenang
memonitor dan mengkoordinasi pelaksanaan jaminan sosial yang dilakukan oleh
berbagai lembaga pengelola
e. Dan lain-lain
3). Peningkatan Kinerja Lembaga Pengelola Jaminan Sosial
a. Menetapkan indikator-indikator kinerja keberhasilan lembaga pengelola secara
obyektif dan transparan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
46
b. Melakukan monitoring secara berkesinambung terhadap kinerja keberhasilan lembaga
pengelola
c. Mendorong lembaga pengelola untuk meningkatkan kinerja pelayanannya kepada
para peserta
d. Dan lain-lain
4). Perluasan Manfaat
a. Mendorong lembaga pengelola untuk merumuskan berbagai jenis resiko sosial
ekonomi yang belum tercakup dalam manfaat yang dikelola oleh lembaga pengelola
tersebut
b. Menetapkan besarnya iuran/premi yang diperlukan guna mencakup berbagai resiko
baru yang akan dimasukkan dalam manfaat yang dikelola oleh lembaga pengelola
c. Mengkoordinasikan berbagai manfaat yang dikelola oleh masing-masing lembaga
pengelola agar tidak terjadi duplikasi antara satu dan lainnya
d. Dan lain-lain
5). Pengembangan NIK - Basis Data Kepesertaan
a. Mendorong instansi berwenang untuk dapat segera menyelesaikan penyusunan
Nomor Induk Kependudukan sebagai basis data kependudukan yang dapat
digunakan oleh berbagai sektor terkait
b. Mendorong lembaga-lembaga pengelola jaminan sosial untuk menggunakan NIK
sebagai basis data kepesertaan jaminan sosial
c. Dan lain-lain
D.2. Kebijakan Bantuan Sosial
1). Koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan bantuan sosial
a. Bantuan Kesejahteraan Sosial
Bantuan ini dipilahkan dalam dua kelompok sasaran, yaitu:
- Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) Permanen yaitu pemberian biaya
permakanan (dalam bentuk uang) secara terus menerus bagi Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) permanen seperti lansia terlantar, anak terlantar,
anak yatim piatu miskin dan penyandang cacat ganda (fisik dan mental)
- BKS Sementara yaitu pemberian uang atau barang bagi PMKS non permanen
seperti korban bencana alam dan bencana sosial
Bantuan sosial tersebut terutama diarahkan untuk para penyandang masalah sosial
yang mengalami kesulitaan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hal pangan,
sandang dan papan.
Bantuan sosial dilakukan oleh Departemen Sosial sebagai leading sektor dengan
berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya.
b. Bantuan Sosial Kesehatan Keluarga Miskin
Bantuan sosial kesehatan antara lain diarahkan untuk memberikan pelayanan
kesehatan secara murah dan gratis kepada penduduk miskin baik dalam bentuk pelayanan
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
47
langsung (seperti imunisasi, pos pelayanan terpadu (posyandu) bagi balita, posyandu bagi
lansia, sanitasi lingkungan dan sebagainya) maupun dalam bentuk pembiayaan kesehatan
seperti kartu sehat/ karyu miskin dan Jaminan Pemelirahaan Kesehatan Keluarga Miskin
(JPK Gakin) dan lain sebagainya
Bantuan sosial ini dilakukan oleh Departemen Kesehatan sebagai leading sektor
dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya.
c. Bantuan Sosial Pendidikan Bagi Keluarga Miskin
Bantuan sosial di sektor pendidikan berkaitan dengan membantu keluarga yang tidak
mampu untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya paling tidak sampai jenjang
pendidikan 9 tahun. Bagi anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan intelektual
yang tinggi tetapi keluarganya tidak mampu membiayai pendidikannya dibantu dengan
melalui skema beasiswa. Berbagai upaya tersebut selama ini sebenarnya sudah dilakukan
dan karena itu ke depan tinggal dikembangkan lebih lanjut. Yang menjadi persoalan
adalah bagaimana agar dana bantuan sosial pendidikan yang jumlahnya terbatas tersebut
dapat benar-benar sampai pada sasaran yang tepat.
Bantuan sosial ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional sebagai leading
sector dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait lainnya.
d. Bantuan Sosial Ketenagakerjaan
Bantuan sosial ketenagakerjaan diarahkan untuk membantu tenaga kerja agar dapat
masuk ke pasar kerja memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak. Bantuan
tersebut dilakukan baik pada tahap pre employment, employment maupun post employment.
Bantuan pada tahap pre employment diberikan antara lain dalam bentuk bimbingan dan
pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan oleh
pasar kerja. Bantuan pada tahap employment antara lain diberikan dalam bentuk informasi
pasar kerja, perlindungan yang berkaitan dengan kondisi dan kesejahteraan pekerja,
tunjangan pengangguran dan sebagainya. Sedang bantuan sosial pada tahap post employment
antara lain diberikan dalam bentuk promosi ketenagakerjaan bagi lansia produktif untuk
berkarya sesuai dengan kemampuan, pengetahuan dan pengalamannya.
Bantuan sosial ketenagakerjaan dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebagai leading sektor dengan berkoordinasi dengan sektor-sektor terkait
lainnya.
e. Bantuan Sosial Lainnya
Selain bantuan sosial yang dilakukan oleh sektor-sektor sebagaimana disebutkan di
atas juga ada upaya bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai sektor lain seperti sektor
Kependudukan dan KB (oleh Departemen Dalam Negeri dan BKKBN), sektor agama
(oleh Departemen Agama) dan sebagainya.
Berbagai bentuk bantuan sosial tersebut perlu dikoordinasikan satu sama lain baik
dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya. Koordinasi tersebut sangat
diperlukan sehingga tidak terjadi duplikasi baik duplikasi dalam kegiatan maupun
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
48
duplikasi dalam sasaran. Dengan demikian dana yang terbatas yang disediakan untuk
berbagai upaya bantuan sosial tersebut dapat benar-benar tepat sasaran penggunaannya.
2). Bantuan Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan
Bantuan sosial yang juga sangat penting dilakukan adalah bagaimana mengurangi
jumlah penduduk miskin (absolut) yang jumlahnya sangat besar. Upaya ini dilaksanakan
secara lintas sektoral dan telah disusun strategi penanggulangan kemiskinan yang
diarahkan pada strategi sebagai berikut14:
a. Perluasan Kesempatan
i)
meningkatkan alokasi fiscal bagi penanggulangan kemiskinan (DAU, DAK dan
dukungan bagi prasarana)
ii)
menicptakan suatu sistem pajak (progresif) dan subsidi yang adil/berpihak pada
kaum miskin
iii) meningkatkan investasi publik dan swasta untuk mendorong laju pertumbuhan
ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja baik melalui sektor riil
maupun pembangunan sarana prasarana
iv) meningkatkan stabilitas ekonomi, terutama yang berkaitan dengan harga bahanbahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin
v)
memberikan akses terhadap kredit/pinjaman bagi kaum miskin
b. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
i)
bantuan manajemen dan informasi bagi organisasi komunitas kaum miskin
ii)
membentuk organisasi-organisasi lintas stakeholders agar tercipta konsultasi
antara pemerintah dan rakyat
iii) memperkuat mekanisme penegakan hukum dalam rangka memasukkan
peraturan masyarakat lokal ke dalam kerangka otonomi daerah
iv) memperkuat akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok
v)
meningkatkan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal untuk
mengembangkan demokrasi, meningkatkan partisipasi
vi) memperkuat akses masyarakat miskin kepada sumberdaya keuangan,
keterampilan berorganisasi secara modern serta penanaman budaya industri
vii) mengembangkan akses yang baik dan setara terhadap kesempatan kerja (bagi
pekerja di sektor formal dan informal)
viii) mengembangkan jaringan kerjasama antara organisasi kemasyarakatan,
pemerintah dan sektor swasta
c. Peningkatan Sumberdaya Manusia
i)
meningkatkan penyediaan kebutuhan pokok dan pelayanan bagi masyarakat
miskin (untuk kebutuhan pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih, prasarana,
serta fasilitas pokok lainnya)
ii)
meningkatkan kualitas pelayanan dan prasarana pendidikan yang lebih baik
(yaitu wajib belajar 9 tahun)
iii) memberikan potongan harga/subsidi yang adil dan memadai pada beragam
pelayanan sosial pokok
iv) menyediakan bantuan fasilitas dan prasarana sosial ekonomi yang mampu
mendukung kegiatan eonomi produktif yang dijalankan oleh masyarakat miskin
Point-point pada bagian ini diambil dari Rohmad Supriyadi, “Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Nasional”, paper disampaikan dalam FGD tanggal 7 Januari 2004
14
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
49
v)
memberikan kegiatan pendidikan dan latihan dalam rangka kapasitas dan
kewirausahaan bagi masyarakat miskin, serta usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM)
vi) memperbaiki akses dan peraturan yang berkaitan dengan UKM
vii) membantu rumah tangga dan kelompok masyarakat miskin untuk
mengembangkan wirausaha serta budaya produktifnya
viii) mengembangkan produk yang dihasilkan oleh jaringan pemasaran di antara
UMKM
3). Pengembangan kearifan lokal
Upaya ini diarahkan untuk menggali, mempertahankan, dan mengembangkan
kearifan-kearifan sosial yang telah tumbuh di berbagai komunitas lokal. Secara informal
berbagai komunitas di berbagai daerah sebenarnya telah mengembangkan berbagai skema
sosial guna menanggulangi berbagai persoalan sosial yang dihadapi anggotanya. Hanya
selama ini berbagai skema sosial yang telah berkembang secara informal tersebut tidak
berada dalam jangkauan kebijakan publik. Padahal peran berbagai skema informal
tersebut sangat penting, karena di samping tumbuh atas inisiatif masyarakat juga karena
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial setempat.
Ke depan perlu dikembangkan berbagai upaya baik yang bersifat langsung maupun
tidak langsung untuk dapat menggali dan mengembangkan berbagai skema informal
tersebut dalam sistem perlindungan sosial yang akan dikembangkan.
4). Kegiatan berkaitan dengan upaya memperkuat dukungan keluarga dan
partisipasi masyarakat
Penguatan dukungan keluarga dan masyarakat antara lain bertujuan untuk:
a. meningkatkan dan membina peran keluarga dalam membantu anggota keluarga dan
anggota masyarakat lain yang memerlukan bantuan sosial baik dalam bentuk material
maupun non material
b. meningkatkan dan membina peran serta masyarakat, organisasi sosial, lembaga
swadaya masyarakat dan sektor swasta dalam membantu mengatasi berbagai masalah
sosial yang dihadapi
E. RANCANGAN KELEMBAGAAN
Rancangan kelembagaan sistem perlindungan sosial diarahkan pada pendekatan
konvergen. Hal ini diperlukan guna meningkatkan keterpaduan, efisiensi dan efektifitas, serta
tepat sasaran. Kelak, dalam penyelenggaraan sistem perlindungan sosial perlu dibentuk suatu
institusi yang berfungsi khusus untuk mengelola pelaksanaan berbagai bentuk perlindungan
sosial berdasarkan suatu peraturan perundangan-undangan. Institusi tersebut akan menjadi
penanggung jawab dalam pelaksanaan berbagai skema dan bentuk perlindungan sosial
dengan mempertimbangkan kearifan lokal serta partisipasi keluarga dan masyarakat.
F. SISTEM PENDANAAN
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
50
Pendanaan dalam pengelolaan jaminan sosial berbeda dengan pendanaan dalam
pengelolaan bantuan sosial. Dana pengelolaan jaminan sosial (asuransi sosial dan tabungan hari
tua) berasal dari peserta (pemberi kerja dan pekerja), sedang dana bantuan sosial merupakan
subsidi yang sepenuhnya berasal dari pemerintah. Kalaupun pemerintah mengeluarkan dana
untuk jaminan sosial adalah dalam kaitan pemerintah sebagai pemberi kerja yang harus
mengeluarkan dana jaminan sosial bagi para pekerjanya (sipil ataupun militer).
a.
Pendanaan Jaminan Sosial
Ada beberapa sistem berkaitan dengan pendanaan jaminan sosial. Secara umum dari segi
pembiayaannya, jaminan sosial dapat dibedakan atas:
- Pay-as-you-go sistem yaitu suatu jaminan yang dibayarkan dari iuran pada tahun yang sama
atau funded sistem (dibentuk dana cadangan sebelum pembayaran jaminan) yang digunakan untuk
pembiayaan hari tua.
- Fee-for-service sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan pada setiap jasa yang diberikan
atau prepayment sistem yaitu suatu imbalan yang dibayarkan di muka sesuai tarif/iuran yang
ditentukan khususnya untuk pembiayaan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pembiayaan pay-as-you-go umumnya digunakan dengan metode defined-benefit,
sedangkan funded sistem digunakan dalam metode define contributions. Dan pembayaran fee-forservice umumnya digunakan dalam metode indemnity insurance, sedangkan prepayment sistem
digunakan dalam managed care.
Berbagai sistem pembiayaan sebagaimana diuraikan di atas digunakan oleh masingmasing pengelola jaminan sosial sesuai kebutuhannya. Dalam kaitan ini perlu ada kajian yang
komprehensif tentang sistem pembiayaan (pendanaan) mana yang lebih sesuai untuk masingmasing badan pengelola sehingga masing-masing badan pengelola dapat lebih meningkatkan
kinerjanya. Termasuk pula kemungkinan melakukan penarikan iuran jaminan sosial melalui
pajak (sosial security tax).
b. Pendanaan Bantuan Sosial
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dana untuk bantuan sosial berasal dari subsidi
pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan demikian dana bantuan sosial tersebut sebagian
besar berasal dari APBN ataupun APBD. Sayangnya kondisi APBN saat ini belum begitu
mendukung. Menurut BAPPENAS untuk APBN 2004 diperkirakan masih mengalami defisit
sebesar Rp 24,4 trilyun. Dengan kondisi seperti itu maka pengeluaran pemerintah masih lebih
banyak untuk pengeluaran rutin, dimana pengeluaran rutin rutin pemerintah lebh ditujukan
untuk (a) menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan kualitas
pelayaan publik; (b) memenuhi kewajiban membayar bunga hutang; (c) melaksanakan program
subsidi dalam rangka mengurangi beban masyarakat miskin dan membantu kelompok usaha
kecil menengah; (d) mendukung kelancaran pelaksanaan Pemilu 2004; (e) menyediakan dana
cadangan umum untuk mengantisipasi tidak tercapainya sasaran ekonomi makro,
ketidaksesuaian pelaksanaan kebijakan yang direncanakan dengan pelaksanaannya, dan; (f)
menghadapi keadaan darurat seperti bencana alam.
Defisit anggaran diperkirakan akan terus berlanjut dan mengalami masa sulit terutama
pada tahun 2004-2006 dikarenakan beberapa hal seperti (a) pembayaran hutang luar negeri dan
dalam negeri yang sudah mulai jatuh tempo; (b) semakin terbatasnya pembiayaan yang berasal
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
51
dari dalam negeri; (c) sulitnya upaya peningkatan penerimaan negara (pajak) sebagai akibat dari
belum pulihnya kondisi perekonomian nasional15.
Dengan kondisi APBN yang masih defisit seperti itu maka bisa diduga bahwa
kemampuan negara dalam membiayai bantuan sosial masih terbatas. Dan untuk itu perlu ada
penajaman tentang kegiatan bantuan sosial mana yang perlu mendapat prioritas lebih tinggi.
Upaya penanggulangan kemiskinan tampaknya menjadi salah satu fokus program bantuan sosial
yang perlu mendapat prioritas tinggi. Dengan dapat mengatasi kemiskinan maka berarti
penduduk yang menjadi sasaran bantuan sosial makin berkurang, dan kemudian diharapkan
dapat mengikuti berbagai bentuk jaminan sosial.
G. PRIORITAS
Rancangan kebijakan dan program sebagaimana diuaraikan di atas --karena-berbagai
keterbatasan yang ada-- tentu saja tidak bisa dilaksanakan secara serentak. Dan oleh karena itu
maka perlu dibuat skala prioritas tentang program mana yang akan dilakukan terlebih dahulu.
Dengan mempertimbangkan bahwa kerangka hukum tentang jaminan sosial khususnya
yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial masih dalam proses
penggodogan di tingkat legislatif, sementara di sisi lain kondisi sosial ekonomi masyarakat
memperlihatkan masih banyak yang perlu memperoleh bantuan sosial. Sehingga, dalam satu
sampai tiga tahun kedepan upaya implementasi kebijakan dan program sistem perlindungan
sosial sebagaimana diuraikan di atas masih diprioritaskan pada kebijakan bantuan sosial.
Selanjutnya, sebagaimana diuraikan di atas maka strategi kebijakan bantuan sosial diarahkan
untuk lebih mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah
melalui atau dengan (a) meningkatkan koordinasi antar sektor; (b) mempertajam sasaran
program bantuan sosial, dan (c) mempercepat upaya pengentasan kemiskinan. Dengan demikian
diharapkan dalam satu hingga tiga tahun kedepan pelaksanaan bantuan sosial dapat dilakukan
secara lebih efektif dan lebih tepat sasaran melalui kerangka kebijakan yang terpadu dan
terkoordinasi antar sektor terkait.
Setelah kerangka kebijakan bantuan sosial dapat dilakukan secara lebih efektif,
terkoordinasi dan tepat sasaran serta sejalan dengan makin baiknya kondisi sosial ekonomi
masyarakat, maka baru kebijakan perlindungan sosial lebih diarahkan pada peningkatan
jangkauan kepesertaan dan kinerja jaminan sosial. Karena sebagaimana dikemukakan di atas
bahwa meskipun tekanan demografis menunjukkan tentang perlunya segera diwujudkan sistem
jaminan sosial yang lebih memadai, namun kondisi sosial ekonomi masyarakat masih belum
mendukung untuk itu. Besarnya angka pengangguran, banyaknya pekerja di sektor informal,
rendahnya penghasilan (upah), rendahnya pertumbuhan ekonomi (akibat rendahnya investasi
dan ekspor) yang berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja, merupakan beberapa hal
pokok yang menyebabkan belum memungkinkannya dilakukan berbagai upaya yang terkait
dengan usaha peningkatan kepesertaan dan kinerja jaminan sosial. Oleh karena itu maka prioritas
kebijakan dan program perlindungan sosial dalam satu hingga tiga tahun kedepan masih pada
bantuan sosial, baru kemudian lebih diprioritaskan kepada jaminan sosial.
15
Suharmen, “Gambaran APBN dalam Jangka Menangah”, paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
52
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. Social Protection Strategy. ADB. Manila. 2001
Armando Barrientos and Andrew Shepherd. Chronic Poverty and Social Protection. University of
Manchester, Inggris. 2003
BAPPENAS. Peta Kemiskinan di Indonesia. BAPPENAS. Mei 2003
BPS. Data dan Informasi Kemiskinan 2002 Buku 1: Provinsi. BPS. Jakarta. Desember 2002
------. Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002. BPS. Jakarta. Februari 2003
------. Laporan Perekonomian Indonesia 2002, BPS. Jakarta. Desember 2002
Bambang Purwoko (2002). Social Protection in Indonesia. Social protection in Southeast & East Asia
/ [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung. Bonn. 2002
Canagarajah, Sudharshan & S.V. Sethuraman. “Social Protection and the Informal Sector in Developing
Countries: Challenges and Opportunities”, Social Protection Discussion Paper Series. The World
Bank. December 2001.
Deutsche Stiftung fur internationale Entwicklung-DSE. Discussion Report – Beyond Safety Nets: The
Challenge of Social Protection in a Globalizing World.
--------------------------------------------------------------------. Social Protection as a Factor of National
Cohesion: The Practice and Experience of China. Ma Fengzhi. Peking University. China.
--------------------------------------------------------------------. Moving Social Protection Beyond a “Safety
Net” Approach in Latin America and the Caribbean. Ana Sojo, Economic Commission for
Latin America and Caribbean-ECLAC United Nations. Chile.
--------------------------------------------------------------------. Linking Informal and Formal Social Security
Systems. Hans Gsager. German Development Institute.
--------------------------------------------------------------------. Social Protection System for Older People in
Bangladesh. Zarina Nahar Kabir. Stockholm Gerontology Research Center. Sweden.
Eduardo T. Gonzalez and Rosario Gregorio Manasan. Social Protection in Philippines. Social
protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-Ebert-Stiftung,
Bonn. 2002.
Holzmann, Robert & Steen Jorgensen. “Social Protection as Social Risk Management: Concptual
Underpinnings for the Social Protection Sector Strategy Paper”, Social Protection Discussion Paper
Series. The World Bank. January 1999
International Labor Organization. Social Security and Coverage for All. ILO. 2002
International Social Security Association (ISSA). The Social Security Reform Debate. In Search of a
New Consensus. A Summary. ISSA. 1998.
Iryanti, Rahma. “Perlindungan Sosial Tenaga Kerja (Mengantisipasi Perubahan Dalam Pasar
Kerja)”. paper disampaikan dalam FGD. 13 Januari 2004
Jorgensen, Steen Lau & Julie Van Domelen. “Helping the Poor Manage Risk Better: The Role of Social
Funds”, Social Protection Discussion Paper Series. The World Bank. 1999
Kantor Menteri Kependudukan & UNFPA. Rencana Aksi Nasional Dukungan Keluarga dan
Masyarakat terhadap kehidupan Lansia. Jakarta. 1999
Kiswanti, Utin. “Kajian Awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan”.
paper disampaikan dalam FGD 13 Januari 2004.
Michael von Hauff. The Relevance of Social Security for Economic Development. 200_
Mundiharno. “Kondisi Demografi-Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Pengembangan
Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia”. paper disampaikan dalam FGD 30 Desember
2003.
Mundiharno. Determinan Sosial Ekonomi Intergenerational Transfer: Analisis Data IFLS I. Thesis.
Universitas Indonesia. 1999.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
53
Perwira, Daniel et al., “Perlindungan Tenaga Kerja Melalaui Sistem Jaminan Sosial: Pengalaman
Indonesia”. kertas kerja.SMERU. Juni 2003.
Purwoko. Bambang. “FACS Program: Australian System”. paper disampaikan dalam FGD 13
Januari 2004
Purwoko, Bambang, “Proteksi Sosial”. paper disampaikan dalam FGD 30 Desember 2003.
Ragayah Haji Mat Zin, Hwok Aun Lee, and Saaidah Abdul-Rahman. Social Protection in Malaysia.
Social protection in Southeast & East Asia / [ed. by Erfried Adam]. Friedrich-EbertStiftung. Bonn. 2002.
Ratman, Dadang Rizki, “Perlindungan Sosial di Bidang Kesehatan”. outline paper disampaikan
FGD 13 Januari 2004.
Standing, Guy, “Unemployment and Income Security”. Paper. International Labour
Organization. June 2000
Sudarsono, Budiman, “Aspek Hukum dalam Jaminan dan Perlindungan Sosial”. paper
disampaikan dalam FGD 7 Januari 2004.
Suharmen, “Gambaran APBN dalam Jangka Menengah”. paper disampaikan dalam FGD 30
Desember 2003.
Supriyadi, Rohmad, “Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional”. paper
disampaikan dalam FGD 7 Januari 2004.
SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL TERPADU
54
Download