60 abstrak jenis dan kerapatan tumbuhan meranti

advertisement
60
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
ABSTRAK
JENIS DAN KERAPATAN TUMBUHAN MERANTI PENGHASIL DAMAR
YANG TERDAPAT DI HUTAN HAMURAU DUSUN PULI’IN DESA ARTAIN
KECAMATAN ARANIO KABUPATEN BANJAR
Oleh : Sugiyanti, Hardianyah, Sri Amintarti
Meranti adalah tumbuhan yang dapat menghasilkan getah atau
damar, juga dapat diambil kayunya untuk bahan bangunan, keberadaannya
ditemukan di daerah hutan tropis, di dataran rendah dan tinggi, di daerah
pegunungan, di tanah yang subur dan gersang. Di kawasan Hutan Hamurau
Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar ditemukan
berbagai jenis tumbuhan meranti. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
jenis-jenis tumbuhan meranti dan kerapatan masing-masing jenis tumbuhan
meranti yang terdapat di daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik observasi yaitu terjun
langsung ke lapangan. Pengamatan dan pengambilan sampel menggunakan
metode jelajah sebanyak 24 plot yaitu terdiri dari 2 area pengamatan dimana
pada tiap area pengamatan terdiri dari 12 buah titik kuadran. Tumbuhan
meranti yang ditemukan di kawasan Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa
Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar 3 jenis yaitu meranti putih
(Shorea bracteolate Dyer.), meranti merah (Shorea coriacea Burck.), dan
meranti hitam (Shorea acuminatissima Sym.). Kerapatan masing-masing
tumbuhan meranti yaitu pada meranti putih 733,34 /ha, meranti merah 187,5
/ha, dan meranti hitam 116,67 /ha. Berdasarkan dari hasil perhitungan,
meranti putih mempunyai kerapatan terbesar, sedangkan kerapatan terkecil
di tempati oleh meranti merah dan meranti hitam.
PENDAHULUAN
Hutan adalah masyarakat tumbuhan yang didominasi pohon-pohon
dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda-beda dengan keadaan di
luar hutan. Pohon adalah tumbuhan yang tinggi besar, berbatang keras dan
berkayu atau pohon adalah tumbuhan berkayu yang mempunyai sebuah
batang utama dengan dahan atau ranting yang jauh di atas tanah. Hubungan
antara tumbuhan yang satu dengan yang lainnya, marga satwa dan alam
lingkungan yang sangat erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu
sistem ekologi atau ekosistem (Soerianegara dan Indrawan, 1978). Jika ada
61
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
area di atas permukaan bumi ini di tumbuhi pohon-pohon yang agak rapat
dan luas, sehingga pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan lainnya dan binatangbinatang yang hidup dalam area tersebut, memiliki hubungan antara satu
dengan yang lain dan membentuk persekutuan hidup alam hayati dengan
lingkungannya maka area beserta isinya tersebut disebut hutan. Dengan
demikian, hutan dari sudut pandang ekologi adalah suatu ekosistem yang
dicirikan oleh adanya tumbuhan penutup berupa pohon-pohon yang agak
rapat dan cukup luas. Masih banyak lagi definisi tentang hutan ini dengan
berbagai macam pandangan, namun pada prinsipnya bertitik tolak pada
komponen-komponen pembentuk hutan, yaitu : iklim, tanah, dan biologi hutan
(Mas’ud, 1988).
Hutan merupakan suatu ekosistem yang kompleks dengan potensi
yang tinggi umumnya mempunyai laju produktivitas dan besaran biomasa
yang
tinggi
dalam
bentuk
tegakan.
Formasi-formasi
dari
hutan
memperlihatkan hubungan yang luar biasa dengan zona dari iklim. Meskipun
suhu turun secara teratur dengan naiknya elevasi, masih banyak faktor-faktor
iklim selain suhu dalam lingkungan pengunungan. Faktor-faktor tersebut
termasuk jumlah dan penyebaran curah hujan, kelembaban udara, awan,
intensitas cahaya dan singkapan (exposure). Singkapan sebagai faktor
ekologi merupakan campuran berbagai efek dan yang paling penting adalah
efek angin kencang (Loveless, A. R, 1989).
Hutan Hamurau adalah hutan yang terdapat di Dusun Puli’in Desa
Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar yang memiliki khasanah tumbuhtumbuhan yang beraneka ragam salah satu di antaranya adalah jenis
tumbuhan meranti yang dapat menghasilkan damar. Jenis tumbuhan meranti
yang dapat menghasilkan getah
atau damar ini mempunyai sifat yang
khusus dan keistemewaan dan mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi,
baik itu kayunya maupun getahnya (Anonim, 2003). Pohon meranti (Shorea
sp) merupakan jenis kayu pertukangan dan penghasil getah dari suku
62
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Dipterocarpaceae yang cukup potensial untuk dikembangkan. Di Indonesia,
sebaran alami jenis tumbuhan ini adalah di Kalimantan. Jenis pohon meranti
ini sudah ditanam di Haurbentes, Jawa Barat dan telah menunjukkan
pertumbuhan yang baik (Alrasyid, (2000)
Dalam anonim, 2009) jenis
Dipterocarpaceae termasuk jenis penting dalam perdagangan kayu Indonesia
(75%) dan merupakan salah satu jenis unggulan dalam program hutan
tanaman. Jenis-jenis Dipterocarpaceae telah menyumbang sangat besar
pada perekonomian hampir jauh lebih besar dari nilai produksi kayu dan hasil
yang lainnya (Kantarli, (1993) dalam Anonim, 2009).
Damar merupakan getah yang dihasilkan pohon meranti yang
termasuk famili Dipterocarpaseae, yang dapat tumbuh dengan baik di
Kalimantan, merupakan sejenis pohon anggota tumbuhan runjung yang
merupakan tumbuhan asli Indonesia. Tumbuhan ini dibudidayakan untuk
diambil getah atau hars-nya. Pohon meranti dapat dijumpai di hutan atau di
daerah pegunungan, sedangkan lokasi pertumbuhannya cukup toleran
dengan kondisi dataran rendah, hingga tempat dataran tinggi (Anonim. 2004).
Melihat kegunaan pohon meranti yang beragam tersebut baik itu kayunya
sebagai bahan bangunan, maupun getahnya yang memiliki nilai ekonomis
yang cukup tinggi, mungkin sudah saatnya kita mulai memikirkan untuk
melestarikan pohon meranti penghasil damar.
Kawasan hutan Hamurau di Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan
Aranio Kabupaten Banjar berdasarkan observasi pendahuluan yang telah di
lakukan merupakan hutan hujan tropis yang memiliki berbagai vegetasi
pohon yang sangat menjulang tinggi, salah satu diantaranya adalah
tumbuhan meranti yang dapat menghasilkan damar. Menurut keterangan
masyarakat setempat, mereka sering memanfaatkan pohon-pohon di
kawasan hutan Hamurau untuk bahan bangunan atau perkakas rumah
tangga, termasuk pula pohon meranti ini. Karena seringnya pohon-pohon
tersebut di tebang dan tidak adanya usaha
63
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
untuk menanam kembali, sehingga terjadinya kelangkaan, maka sudah
semestinya dilakukan pelestarian terhadap tumbuhan meranti yang dapat
menghasilkan damar.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengetahui Jenis
dan Kerapatan Tumbuhan Meranti Penghasil Damar di Hutan Hamurau
Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
teknik pengambilan data secara observasi langsung ke Hutan Hamurau
dengan menggunakan metode kuadrat yang ditetapkan secara acak terpilih.
Secara keseluruhan waktu yang di gunakan dalam penelitian ini
adalah 5 bulan yaitu dari Bulan Maret sampai Juli 2009, meliputi kegiatan
berupa masa persiapan, pengumpulan data, pengolahan analisis data dan
pelaporan. Penelitian ini di lakukan di Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa
Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan meranti
penghasil Damar yang terdapat di Hutan Hamaurau Dusun Puli’in Desa
Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar sedangkan sampel dalam
penelitian ini adalah tumbuhan meranti penghasil damar yang terdapat dalam
kuadran ukuran 10m x 10m dengan metode jelajah sebanyak 24 plot yaitu
terdiri dari 2 area pengamatan dimana pada tiap area pengamatan terdiri dari
12 buah titik kuadran.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Jenis-jenis Tumbuhan Meranti Penghasil Damar di Hutan Hamurau
Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kawasan Hutan
Hamurau Dusun Pili’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar,
64
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
tumbuhan Meranti Penghasil Damar yang terdapat pada kawasan Hutan
Hamurau tersebut terdapat 3 jenis. Indentifikasi terhadap 3 jenis Tumbuhan
Meranti (lampiran 3) adalah sebagai beikut :
Meranti Putih (Shorea bracteolata Dyer.)
Berdasarkan hasil pertelaan dan penelusuran (lampiran 3) serta
gambar 1b, dapat disimpulkan bahwa meranti (gambar 1a) adalah meranti
putih (Shorea bracteolata Dyer.).
Gambar 1a. Meranti putih
Gambar 1b. Shorea bracteolata Dyer.
(Sumber:http/www.kabarindonesia.com/fotoberita/200810211538311.jpg).
Dalam penelitian yang dilakukan telah ditemukan meranti putih jenis
Shorea
bracteolata
Dyer.
Penyebarannya
meliputi seluruh
Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku (Khaerudin,1994). Menurut Martawidjaya
(1989), meranti jenis Shorea bracteolata ini memiliki tinggi pohon sekitar 1255 m, dan panjang bebas cabang sekitar 8-37 m, Shorea bracteolata ini
diameternya dapat mencapai 180 cm. Bentuk batang lurus dan silindris
dengan banir yang dapat mencapai tinggi 3,5 m. Daun jorong atau bulat telur,
panjang 9,5 cm dan lebar 3,7-6,8 cm, pangkal membulat, ujungnya
meruncing, merupakan daun tunggal, pada permukaan atas bila mengering
berwarna coklat, berlilin mengelupas, permukaan bawah bila mengering
coklat dengan bulu-bulu pendek yang merenggang, dan bila diraba pada saat
bulum kering atau daun masih segar kesannya licin, dan pada permukaan
bawahnya kasap atau kasar (Budiman, 1999).
65
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Menurut Dasuki (1994), bahwa tumbuhan meranti putih jenis Shorea
bracteolata ini memiliki saluran-saluran resin yang terdapat pada bagian
empulur, kayu dan kulit kayunya, bila kulit kayu dilukai atau ditoreh akan
menghasilkan resin yang bewarna putih kristal. Menurut Anonimg, (2007)
berdasarkan bentuknya, ada dua macam resin. Pertama adalah resin cair
yang mengandung material resin dan minyak esensial (oleoresin), yang
secara alami tetap berwujud cair dan memiliki aroma yang jelas. Produksi
komersial sering dilakukan dengan membuat luka. Yang kedua adalah resin
keras yang disebut “damar” jika diambil dari pohon meranti penghasil damar
itu sendiri. Resin ini berbentuk padatan atau resin yang mudah pecah.
Gambar 2a. Resin putih
Gambar 2b. Resin padat yang mudah pecah
(sumber:http://wbs.intrademarket.com/pdimage/45/905945.pwswhitegrade.jpg).
Menurut Khaerudin (1994), bahwa meranti putih dapat tumbuh pada
ketinggian 0-700 m dpl, tumbuh pada tanah yang kering, tanah yang kadangkadang atau selalu tergenang air dalam hutan rawa, tanah liat, tanah berbatubatu, dan tanah berpasir pada tanah datar maupun miring. Sehingga musim
bunga dan buah sangat dipengaruhi iklim. Pembungaan biasanya terjadi
pada musim panas, buah masak pada bulan Oktober-April.
Menurut Martawijaya, dkk (1989), kayu meranti putih kebanyakan
berfungsi untuk bahan-bahan mebel, dikarenakan kayu jenis meranti ini
secara umum termasuk sukar diawetkan dikarenakan juga kayu jenis ini
secara umum termasuk kelas awet II-IV.
Klasifikasi menurut Cronquist dalam Dasuki 1994 adalah:
66
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Clasis
: Magnoliopsida
Ordo
: Malvales
Familia
: Dipterocarpaceae
Genus
: Shorea
Spesies
: Shorea bracteolata Deyr.
Meranti merah (Shorea coriacea Burck.)
Berdasarkan hasil pertelaan dan penelusuran (lampiran 3) serta
gambar 3b, dapat disimpulkan bahwa meranti gambar 3a adalah meranti
merah jenis Shorea coriacea Burck.
Gambar 3a. Meranti merah
menurut pengamatan.
Gambar 3b. Meranti
menurut literatur
merah
(Sumber:http://www.42336.info/?title=berkas:meranti_merah_o70312_0055_utk.jpg)
Meranti merah (Shorea coriacea Burck. ) merupakan salah satu yang
terdapat di hutan Hamurau. Jenis ini pada umumnya banyak di temukan di
Sumatera , Kalimantan dan Maluku. Jenis Shorea coriacea Burck ini tinggi
pohonnya dapat mencapai 50 m panjang batang bebas cabang sapai 30 m,
diameter umumnya sekitar 100 cm, bentuk batang lurus dan silindris dengan
banir dapat mencapai 3,5, dan lebar 2,5 m, memiliki ketebalan kulit 20 cm,
kulit luar berwarna merah tua atau coklat kemerahan, tebal dapat mencapai
kurang lebih 5 mm (Martawidjaya, dkk (1989)).
67
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Menurut Budiman (1999), meranti merah (Shorea coriacea Burck.)
memiliki bentuk daun jorong sampai bulat telur, panjang 9-15 cm, lebar 3,97,6 cm. Permukaan daun bagian bawah dan atas bila diraba licin, ujung
meruncing, pangkal membulat, tepi daun rata, dan merupakan daun tunggal.
Musim bunga dan buah terjadi sepanjang tahun, meranti merah (Shorea
coriacea Burck.) ini pada umumnya berbuah setelah berumur 6 tahun
sedangkan bunga kecil, daun mahkota merah muda, benang sari berjumlah
15, buah dengan 3 sayap panjang (5,8-7,6 x 0,9-1,5 cm) dan dua sayap
pendek (2,8-3,7 x 0,2-0,3 cm) dan bentuk buah bulat telur.
Menurut Rahmadi (2007), buah meranti merah seperti kacang yang
terbungkus kelopak bunga yang membesar. Kelopak ini berbulu jarang
dengan 3 cuping memanjang sampai 10 cm dan lebar 0,3 cm. Panjang benih
2 cm, diameter 1,3 cm, bentuk bulat telur, berbulu halus dan lancip di bagian
ujungnya.
Menurut Khaerudin (1994), meranti merah tidak memerlukan tempat
tumbuh yang khusus, hidup baik pada berbagai jenis tanah kecuali tanah liat
berat, hidup terpencar bercampur dengan jenis tumbuhan yang lain. Meranti
merah dapat tumbuh dalam hutan tropis, dengan ketinggian 0-800 m dpl .
Menurut Rahmadi (2007), bahwa pohon meranti merah dapat
menghasilkan resin yang dikenal dengan damar daging, yang dapat
digunakan sebagai obat (salep, bisul, dan luka), dan kulitnya dipakai untuk
produksi tanin.
68
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Gambar 4a. resin menurut
pengamatan.
Gambar 4b. resin menurut literatur
Menurut Khaerudin (1994), meranti merah memiliki fungsi untuk venir
dan kayu lapis, disamping itu dapat juga dipakai untuk bangunan perumahan
yaitu sebagai rangka, balok, galar, kaso, pintu dan jendela, dinding, lantai,
dan peralatan jembatan atau perahu. Kayu meranti merah ini dapat
digolongkan dalam kelas awet II-V.
Klasifikasi menurut Cronquist dalam Dasuki 1994 adalah:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Clasis
: Magnoliopsida
Ordo
: Malvales
Famili
: Dipterocarpaceae
Genus
: Shorea
Spesies
: Shorea coriacea Burck.
Meranti kuning/hitam (Shorea acuminatissima Sym)
Berdasarkan hasil pertelaan dan penelusuran (lempiran 3) serta
gambar 5b, dapat disimpulkan bahwa meranti gambar 5a adalah meranti
kuning/hitam jenis Shorea acuminatissima Sym.
69
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Gambar 5a. pohon meranti kuning/
Gambar 5b. pohon meranti
hitam menurut pengamatan.
Menurut literatur.
(Sumber:http://www.arkive.org/dark-blak-meranti/Shoreaacuminatissima/image
G22174.html).
Jenis lain meranti yang terdapat di hutan hamurau adalah jenis
meranti kuning/hitam (Shorea acuminatissima Sym), yang memiliki nama
daerah yang cukup banyak diantaranya adalah damar hirang, damar kuning,
damar siput, damar marakunyit, dan lain-lain. Sedangkan daerah penyebaran
meranti hitam ini yaitu Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra
Selatan, Jambi, Riau, dan seluruh Kalimatantan (Martawidjaya, 1989).
Menurut Khaerundin (1994) Shorea acuminatissima Sym. Memiliki
tinggi pohon sekitar 20-60 m dengan diameter 150 cm, dan batang bebas
cabang 10-45 m. Bentuk batang selindris, lurus dan berbanir 3-6,5 m dari
permukaan tanah. Sedangkan daun meranti hitam ini merupakan daun
tunggal, bentuknya lenset, jorong atau bundar telur, dengan panjang 7-14 x
3-4,7 cm, ujung meruncing, sering simetris, pangkal membulat, simetris,
permukaan bila mengering coklat, permukaan kasap/kasar. Menurut Budiman
(1999), bunga benang sari 15, sedangkan kelopak buah dengan tiga sayap
panjang dan dua sayap pendek, sayap panjang 4,4-6 x 1- 1,5 cm, sayap
pendek 3-4,5 x 0,7-0,9 cm, dan buah bulat telur.
Menurut Martawidjaya (1989), termasuk kelas awet III-IV, sehingga
meranti kuning/hitam sangat baik untuk lantai dan mebel rumah, tetapi
pemakaian utama adalah untuk kayu lapis, baik untuk venir luar maupun
untuk venir dalam. Menurut Khaerudin (1994), meranti kuning/hitam (Shorea
70
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
acuminatissima Sym. Tumbuh pada tanah latosol, podsolik merah kuning,
dan podsolik kuning. Dapat tumbuh sampai ketinggian 850 m.dpl, pohon ini
mulai berbuah pada umur 6-9 tahun dan belum tentu berbuah setiap tahun
karena sangat dipengaruhi oleh iklim. Musim berbuahnya pada bulan
Oktober-April.
Meranti kuning/hitam menurut hasil wawancara dengan masyarakat
desa
Artain
bahwa
meranti kuning/hitam
juga
dapat
menghasilkan
resin/dammar. Resin ini dapat difungsikan untuk membuat dempul yang
digunakan untuk menambal kelotok-kelotok warga setempat yang bocor.
Klasifikasi menurut Cronquist dalam Dasuki 1994 adalah:
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Clasis
: Magnolipsida
Ordo
: Malvales
Famili
: Dipterocarpaceae
Genus
: Shorea
Spesies
: Shorea acuminatissima Sym.
Secara taksonomi ke-3 tumbuhan meranti diatas dapat dibuat
Klasifikasi menurut Cronquist dalam Dasuki (1994) seperti pada table 1 di
bawah ini :
Tabel 1. Klasifikasi Tumbuhan Meranti yang terdapat di Hutan Hamurau Dusun Puli’in
Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar
Bangsa
Suku
Marga
Jenis
Shorea bracteolate
Dyer.
Malvales
Dipterocarpaceae
Shorea
Shorea coriacea Burck.
Nama Daerah
Damar
putih/meranti
putih/damar
kaca/kakan putih
dll.
Meranti
abang/damar
merah/meranti
merah
71
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Shorea acuminatissima
Sym.
Damar
hirang/damar
kuning/meranti
kuning/meranti
hitam
Berdasarkan lampiran 6, maka dibuat tabel 2 mengenai jumlah
tumbuhan meranti penghasil damar yang ditemukan di Hutan Hamurau
Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar, yaitu
sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah tumbuhan (individu/ha) meranti penghasil damar yang di temukan di
ke-3 area pengamatan
Area I
No
Jenis
Dewasa
Anakan
Area II
Tunas
∑
Dewasa
Anakan Tunas
∑
∑
Shorea
1
bracteolate
37
28
14
79
44
39
14
97
176
11
9
2
22
13
7
3
23
45
10
4
3
17
8
2
1
11
28
131
249
Dyer.
Shorea
2
coriaca
Burck.
Shorea
3
acuminatissi
ma Sym.
Jumlah
118
Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui bahwa ke-3 jenis tumbuhan
meranti penghasil damar yang ditemukan tersebar di tempat lokasi
pengamatan yaitu area I, dan II, pada meranti putih didapatkan jumlah
dewasa sebanyak (81 pohon/ha), anakan (67 anakan/ha), dan tunas (28
tunas/ha). Hal ini menunjukan bahwa populasi pohon/dewasa lebih besar
dibandingkan
anakan atau tunasnya. Hal tersebut dikarenakan oleh
pertumbuhan anakan dan tunasnya kurang baik, sehingga meningkatkan
72
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
tingkat mortalitas tumbuhan meranti putih. Hal ini di duga juga karena kondisi
habitat pada kawasan penelitian yang berbeda dan kemampuan tumbuhan
untuk memperbanyak jumlahnya juga berbeda tergantung dari ketersediaan
makanan,
ruang
dan
kondisi
lingkungan
lainnya
yang
mendukung
pertumbuhannya.
Meranti merah (Shorea coriacea Burck.), pada area I, dan II terdapat
lebih sedikit yaitu dewasa (24 pohon/ha), anakan (16 anakan/ha), dan tunas
(5 tunas/ha), dari pada meranti putih (Shorea bracteolate Dyer.), ini
disebabkan karena faktor pendukung, yaitu pertumbuhannya yang sangat
jarang. Menurut Martawidjaya (1989), pertumbuhan meranti merah dikatakan
jarang/sedikit dikarenakan pada saat buah belum sempat jatuh ke tanah atau
sudah jatuh ke tanah (belum berkecambah), buah tersebut terlebih dahulu
dimakan hewan pemakan buah misalnya tupai, babi hutan, semut, rayap dan
ulat.
Sedangkan meranti kuning/hitam (Shorea acuminatissima Sym.)
terdapat lebih sedikit dari pada meranti putih (Shorea bracteolate Dyer.) dan
meranti merah (Shorea coriacea Burck). Pada area I, dan II meranti hitam
terdapat dewasa (18 pohon/ha), anakan (6 anakan/ha), dan tunas (4
tunas/ha). Menurut Khaerudin (1994), masa berbuah meranti kuning/hitam
pada umur 6-9 tahun baru berbuah dan belum tentu berbuah sepanjang
tahun karena pembuahannya sangat dipengaruhi oleh iklim, selain itu juga biji
setelah 12 hari daya kecambahnya menghilang, sehingga mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhan meranti kuning/hitam. Untuk mengetahui
pemamfaatan tumbuhan meranti penghasil damar oleh masyarakat Desa
Artain Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar berdasarkan lampiran 11, maka
di buat tabel 3 di bawah ini :
73
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Tabel 3 Persentase Hasil Wawancara Masyarakat Desa Artain Kecamatan Aranio
Kabupaten Banjar Mengenai Pemamfaatan Tumbuhan Meranti Penghasil
Damar
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Pertanyaan
Apakah bapak/ibu/sdr(i)mengetahui tumbuhan
meranti yang dapat menghasilkan damar?
Apakah bapak/ibu/sdr(i) mengetahui kegunaan
tumbuhan tersebut?
Bila iya apa kegunaannya?
Di mana bapak/ibu/sdr(i) memperoleh tumbuhan
tersebut?
Bagaimana cara memperolahnya?
Apakah bapak/ibu/sdr(i) hanya
mengambil/menebang tumbuhan yang tua saja?
bila iya, pengambilan/penebangan di lakukan
dengan apa?
Setelah mengambil/menebang, apakah
bapak/ibu/sdr(i) melakukan penanaman kembali?
Bila iya, bagaimana bapak/ibu/sdr(i) melakukan
penanamannya?
Apaka bapak/ibu/sdr(i) menjaga anakan tumbuhan
meranti tersebut?
Apakah ada kekawatiran bapak/ibu/sdr(i) terhadap
kelestarian tumbuhan meranti?
Bila iya, apa yang harus bapak/ibu/sdr(i) lakukan?
Bila tidak, mengapa bapak/ibu/sdr(i)
bebuat/berpendapat demikian?
Apakah bapak/ibu/sdr(i) mengetahui keberadaan
tumbuhan meranti yang dapat menghsilkan damar
tersebut di masa lalu?
15
Bila iya, bagaimana keadaannya?
16
Apakah pernah terjadi pengambilan tumbuhan
meranti secara besar-besaran?
Persentase
Ya
Tidak
40%
60%
80%
20%
100%
-
30%
70%
30%
70%
100%
40%
60%
40%
60%
100%
Kerapatan Tumbuhan Meranti Penghasil Damar
Untuk mengetahui kerapatan tumbuhan meranti penghasil damar di
kawasan Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio
Kabupaten Banjar berdasarkan lampiran 6, dapat dilihat pada tabel 4 di
bawah ini:
74
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Tabel 4. Kerapatan Tumbuhan Meranti Penghasil Damar di Kawasa Hutan Hamurau
Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio Kebupaten Banjar
No
Jumlah individu
Jenis
Dewasa
Anakan
Tunas
81
67
28
24
16
18
123
Kerapatan= ∑individu/ha
∑
∑
Dewasa
Anakan
Tunas
176
337,5
279,17
116,67
733,34
5
45
100
66,67
20,83
187,5
6
4
28
75
25
16,67
116,67
89
37
249
512,5
370,84
154,17
1037,51
Shorea
1
bracteolate
Dyer.
Shorea
2
coriacea
Burck.
Shorea
3
acuminatissi
ma Sym.
Jumlah
Berdasarkan lapiran 8, maka dibuat tabel mengenai parameter
lingkungan yang diukur pada saat pengamatan, dapat dilihat pada table 5 di
bawah ini:
Table 5. parameter lingkungan di kawasan Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain
Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar
No
Parameter dan satuannya
0
Kisaran
0
Standarisasi
1
Suhu udara ( C)
26-28 ( C)
21-37 oC (Anonim,2004b)
2
Kelebaban udara (%)
86-93 %
85-100 % (Irwanto, 2006)
3
Intensitas cahaya (K.Lux)
0,3-3,12 K.Lux
4
pH tanah
6,7-7,0
6-8 (Anonim, 2004)
5
Kelembaban tanah (%)
30-75 %
40-80 % (Irwanto, 2006)
6
Kecepatan angin (m/s)
0,32-1,26 m/s
-
7
Ketinggian tempat (m.dpl)
40-180 m.dpl
Sampai 10 K.lux (Irwanto,
2006)
Dari dataran rendah sampai
850 m.dpl. (Khaerudin, 1994)
Berdasarkan tabel 4 kerapatan tumbuhan meranti penghasil damar
yang di temukan di kawasan Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain
75
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar ini memiliki kerapatan berbeda-beda.
Menurut Heddy & kurniati (1994) dalam Pujarama (2008), menjelaskan
bahwa kerapatan dapat menunjukan status suatu tumbuhan atau kelestarian
tumbuhan tersebut. Menurut Mace & Lande (1991) dalam Hendriyati (2008)
menjelaskan bahwa suatu tumbuhan didefinisikan dalam keadaan kritis
apabila dalam area 100 km2 populasi ditaksir jumlahnya kurang dari 50
individu dewasa. Berdasarkan pernyataan tersebut pada daerah penelitian
yang mempunyai luas 0,24 Ha atau 0,0024 km2 suatu tumbuhan didefinisikan
dalam keadaan kritis apabila populasi ditaksir jumlahnya kurang dari 0,0012
individu dewasa (lampiran 7). Apabila dihubungkan dengan jumlah pohon dari
tumbuhan meranti yang berada di Hutan Hamurau yaitu sebanyak 123 pohon
dewasa dalam area 0,0024 km2, berarti tumbuhan tersebut dapat
dikatagorikan tidak kritis.
Kerapatan populasi adalah besarnya populasi dalam hubungannya
dengan satuan unit atau satuan ruangan. Luas area penelitian adalah 0,24 ha
yang meliputi area I dan II. Pada penelitian yang telah dilakukan pada area
0,0024 km2 didapatkan hasil seperti yang terdapat pada meranti putih yang
memiliki kerapatan pada area untuk dewasa 337,5/ha, anakan 279,17/ha,
dan tunas 116,67/ha. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa tumbuhan meranti putih dalam keadaan tidak kritis, begitu pula pada
meranti merah yang memiliki kerapatan untuk dewasa 100/ha, anakan
66,67/ha, dan tunas 20,83/ha, dan pada meranti hitam yang memiliki
kerapatan untuk dewasa 75/ha, anakan 25/ha, dan tunas 16,67/ha, dilihat
dari perhitungan kerapatan meranti merah dan meranti hitam dapat
disimpulkan bahwa ke dua tumbuhan meranti tersebut memiliki kerapatan
yang lebih rendah dari pada meranti putih.
Menurut tati (1998) dalam dalam pujarama (2008), menyatakan
bahwa tumbuh-tumbuhan langka jumlah minimal yang harus di temukan pada
kawasan 1 km2 adalah 25 individu tiap 1 km2 agar populasi tumbuhan
76
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
tersebut dapat mempertahankan keberadaannya di kawasan tersebut.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ke tiga jenis tumbuhan meranti
yang memiliki kerapatan 1037,51/ha atau 103,751 individu/km2
sangat
memenuhi jumlah minimal individu yang diharapkan , berarti ke tiga jenis
tumbuhan meranti tersebut keberadaannya dalam suatu populasi melimpah,
sehingga dapat mempertahankan keberadaannya di kawasan hutan hamurau
tersebut.
Menurut Subahar (1995), menyatakan bahwa pengukuran populasi
suatu tumbuhan dipengaruhi oleh faktor natalitas, mortalitas, migrasi, dan
kondisi lingkungan. Kerapatan tumbuhan meranti penghasil damar yang
terdapat di Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio
Kabupaten Banjar ini diduga hanya dipengaruhi oleh tiga faktor saja yaitu
natalitas, mortalitas, dan kondisi lingkungan.
Penjelasan dan bagian peranan tiga faktor tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut. Natalitas (kelahiran)merupakan salah satu faktor yang dapat
berperan dalam tingginya kerapatan suatu jenis yang dapat dilihat dari
banyaknya anakan yang ditemukan pada saat pengamatan yang banyak
terdapat di sekitar tumbuhan dewasa, khususnya pada meranti putih (Shorea
bracteolate Dyer.) yang banyak terdapat anakan. Tumbuhan meranti
penghasil damar yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah jenis meranti
putih (Shorea bracteolate Dyer.), tetapi menurut hasil perhitungan kerapatan
meranti
putih
untuk
dewasa
337,5/ha,
anakan
279,17/ha,
dan
tunas116,67/ha, hal tersebut dapat ditunjukan pada hasil perhitungan,
banyaknya tumbuhan dewasa dari pada anakan (tabel 4). Menurut Subahar
(1995), pertumbuhan populasi akan menjadi kecil apabila sedikitnya anakan
yang ditemukan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
meranti putih memiliki kerapatan rendah. Tumbuhan meranti penghasil damar
memiliki kerapatan rendah atau kecil terdapat juga pada jenis meranti merah
(Shorea coriacea Burck.)
yang hanya memiliki kerapatan untuk dewasa
77
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
100/ha, anakan 66,67/ha, dan tunas 20,83/ha dan meranti kuning/hitam
(Shorea acuminatissima Sym.) untuk dewasa 75/ha, anakan 25/ha, dan tunas
16,67, kedua meranti tersebut pada saat pengamatan sangat jarang terdapat
anakannya. Dalam hal ini dalam kemampuan jenis meranti tersebut untuk
berproduksi sangat rendah sehingga jarang sekali di temukan anakan
disekitar tumbuhan dewasa. Dijelaskan oleh Subahar (1995), pertumbuhan
populasi akan menjadi kecil apabila sedikitnya anakan yang ditemukan.
Faktor yang kedua adalah mortalitas (kematian). Mortalitas ini dapat
menyebabkan suatu jenis tumbuhan itu memiliki kerapatan yang tinggi atau
rendah seperti yang terdapat pada ketiga jenis meranti tersebut yang memiliki
kerapatan yang
rendah atau kecil. Hal ini di duga karena pada saat
pengambilan data banyak sekali ditemukan tumbuhan dewasa daripada
anakannya. Jenis meranti ini memiliki kemampuan bertahan terhadap kondisi
lingkungan yang ada pada daerah tersebut. Kondisi lingkungan yang
mendukung pertumbuhan jenis meranti putih (Shorea bracteolate Dyer.)
terutama pada ketinggian tempat dan kelembaban tanah dan udara yang
cukup tinggi, sehingga tingkat kematian dari jenis tersebut kecil, sehingga
meranti putih memiliki kerapatannya paling tinggi dari padameranti merah
dan meranti hitam. Menurut Martawidjaya (1989), menjelaskan bahwa
tumbuhan jenis meranti putih (Shorea bracteolate Dyer.), tumbuh dengan
baik pada ketinggian 0-700 m dpl, sehingga berkaitan erat dengan faktor
lingkungan berupa kelembaban yang cukup tinggi, baik kelembaban tanah
maupun kelembaban udara.
Menurut Subahar (1995), pertambahan yang baru lebih banyak jika di
bandingkan dengan yang mati tua (moral) maka populasi akan mengarah
bertambah besar. Mortalitas hampir selalu tinggi pada kerapatan yang sangat
tinggi, disebabkan oleh banyaknya terdapat anakan. Tetapi mortalitas juga
bisa sangat tinggi pada kerapatan yang cukup rendah, oleh karena beberapa
individu dalam suatu jenis tertentu seringkali dapat lansung hidup lebih baik di
78
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
dalam suatu periode beban jika dibandingkan dengan individu tunggal
melewati periode beban tersebut. Selain natalitas dan mortalitas, kondisi
habitat juga mempengaruhi kerapatan suatu jenis. Jenis meranti putih
(Shorea bracteolate Dyer.) yang memiliki kerapatan tinggi jika dilihat dari
kondisi habitatnya dapat diduga tingginya kerapatan jenis meranti tersebut
dikarenakan kondisi lingkungan yang ada di kawasan tersebut, terutama
ketinggian tempat dan kelembaban yang mendukung untuk hidupnya dalam
memperoleh ruang yang ideal, serta kesediaan nutrisi bagi tumbuhan
tersebut terpenuhi dan dapatnya bersaing dengan tumbuhan yang ada di
sekitarnya, sehingga kerapatan jenis meranti putih (Shorea bracteolate Dyer.)
tinggi. Jenis yang memiliki kerapatan yang tinggi dikarenakan mempunyai
jumlah yang banyak serta penyebarannya yang luas. Hal tersebut di
sebabkan pertumbuhannya yang cepat dan tumbuhnya ada yang berumpun
maupun tunggal, sehingga dalam satu kawasan penelitian banyak ditemukan.
Menurut Martawidjaya (1989), mengatakan bahwa jenis-jenis meranti putih
(Shorea bracteolate Dyer.) tingkat semai, pacang dan tiang dalam hutan
primer
menyebar
tidak
merata,
bahkan
seringkali
terdapat
tumbuh
mengerombol mapun tunggal.
Berdasarkan pengukuran diketahui bahwa untuk ketinggian tempat
penelitian berkisar antara 40-180 m. dpl, dan kelembaban tanah yang cukup
yaitu bekisar antara 45-75 %. Dalam genus Shorea, menurut Irwanto (2006),
kelembaban tanah ideal untuk pertumbuhannya berkisar antara 40-80 %.
Jadi, kelembaban tanah yang berkisar antara 45-75 % masih dalam kondisi
batas-batas toleransi tumbuhan, sehingga mampu beradaptasi dengan
lingkungan. dan kelembaban udara yang tinggi berkisar antara 86-93%.
Irwanto (2006), menyatakan bahwa kelembaban udara relatif pada Shorea
adalah bekisar antara 85-100 %. Jadi, kelembaban udara masih berada
dalam batas toleransi dan diduga tidak berpengaruh langsung terhadap
meranti. Menurut Khaerudin (1994), menyatakan bahwa tumbuhan jenis
79
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
meranti putih (Shorea bracteolate Dyer.) tumbuh dengan baik pada
ketinggian 0-700 m dpl, curah hujan tersebut berkaitan erat dengan faktor
lingkungan berupa kelembaban yang cukup tinggi, baik kelembaban tanah
maupun
kelembaban
udara.
Sedangkan
menurut
Subahar
(1995),
pertumbuhan populasi mengalami kerapatan yang bertambah dengan cepat
terjadi bilamana populasi ada dalam suatu lingkungan yang ideal, yaitu
kesediaan makanan, ruang dan kondisi lingkungan lainnya tanpa ada
persaingan dan lain sebagainya. Kerapatan yang rendah disebabkan juga
karena jumlahnya yang sedikit dan penyebarannya yang terbatas. Hal
tersebut dipengaruhi oleh toleransi yang berbeda antara tumbuhan dewasa,
anakan dan tunas pohonya, selain itu juga terjadi interaksi dengan populasi
lain, baik tumbuhan maupun hewan.
Jenis meranti penghasil damar yang memiliki kerapatan terendah
juga terdapat pada meranti merah dan meranti hitam. Kedua jenis meranti ini
memiliki jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan meranti putih yang
memiliki jumlah yang sangat banyak, kedua jenis meranti ini yang paling
banyak terdapat pada area II, sedangkan pada area I terdapat lebih sedikit.
Menurur Martawidjaya (1989), hal tersebut disebabkan oleh kedua jenis
tumbuhan meranti tersebut masa berbuahnya belum tentu terjadi setiap
tahunnya karena sangat di pengaruhi oleh iklim masa pembuahannya, selain
itu juga daya tahan buah yang kurang sehingga sebelum masa berkecambah
buah sudah busuk atau tidak dapat tumbuh. Selain itu juga aktivitas binatang
pemakan biji dan kecambah misalnya bajing, babi hutan, semut, rayap, dan
ulat dapat juga mempengaruhi kerapatan kedua jenis meranti tersebut.
Kesimpulan
1. Di Kawasan Hutan Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain Kecamatan Aranio
Kabupaten Banjar terdapat 3 jenis tumbuhan meranti yaitu meranti putih
80
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
(Shorea bracteolate Dyer.), meranti merah (Shorea coriacea Burck.), dan
meranti kuning/hitam (Shorea acuminatissima Sym.).
2. Kerapatan tumbuhan meranti pengahasil damar yaitu untuk meranti putih,
dewasa 337,5/ha, anakan 279,17/ha, dan tunas 116,67/ha, meranti merah
untuk dewasa 100/ha, anakan 66,67/ha, dan tunas 20,83/ha, dan pada
meranti hitam memiliki kerapatan untuk
dewasa 75/ha, anakan 25/ha,
dan tunas 16,67/ha. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ke 3 jenis
tumbuhan meranti dapat mempertahankan keberadaannya dalam suatu
populasi, sedangkan jumlah pohon adalah 123 pohon dewasa dalam area
0,0024 km2, sehingga seratus ke tiga tumbuhan meranti tersebut adalah
tidak kritis.
Saran-Saran
1. Perlu diadakan pelestarian terhadap jenis tumbuhan meranti putih,
meranti merah, dan meranti hitam agar keberadaan ke 3 jenis meranti
tersebut tidak punah.
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pola distribusi dan
pemanfaatan dari tiap-tiap tumbuhan meranti yang ditemukan di Hutan
Hamurau Dusun Puli’in Desa Artain Kacamatan Aranio Kabupaten Banjar.
Daftar Pustaka
Anonim..1932a..Vedemikun.Dipterocarpaceaeohttp://indonesianforest.com/fra
meset. Akses tanggal 17 Aprel 2009.
Ariantiningsih,p2008.pSuaka.marga.satwa.singkilp..http://veweb.org/files/suak
amargasatwasikil.pdf. Akses tanggal 12 Maret 2009.
Agustina, L. 1990. Nutrisi Tanaman. Rineka Cita. Jakarta
Budiman, Ratna Rosiana. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-pohon
Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. Prosea Indonesia. Bogor.
81
Jurnal Wahana-Bio Volume VI Desember 2011
Backer, C. A and Bakhuizen van den Brink Jr. R. C. Flora of Java Vol III.
Wolters-Noordhooff N. V. Gronigen, 1968
Hardjosuwarno, S. 1990. Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM.
Yogyakarta.
Harjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika pressindo. Jakarta.
Irwanto. 2006. Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai
Shorea.sp.di.Persemaian..Yogyakarta.p
http://www.geocities.com/roykapet/pengaruh_naungan.pdf.
Akses
tanggal 25 Maret 2009.
Khaerudin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Jakarta.
Loveless,A.R.1989.PrinsipPrinsipoBiologioTumbuhanountukoDaeraho
Tropik Jilid II.Gramedia. Jakarta.
Martawijaya, Abdul Rahim. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Dep.Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan. Bogor.
Michael,oP.o1995.oMetodeoEkologi untukoPenyelidikanoLapanganodan
Laboratorium (diterjemahkan oleh Yanti, R.K.) UI Press. Yogyakarta.
Rahmadi, Adi. 2007. Analisis Proporsi Sel Kayu Meranti Merah pada
Penampang Transversal Mengunakan Digital Citra Fotografis.
Fakultas Kehutanan UNLAM. Banjarbaru.
Syafie, E.S. dan Taufikurrahman.1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan.
F.MIPA ITB Bandung.
Subahar, Tati. 1995. Kerapatan dan Pola Distribusi. Bandung.
Tjitrosoepomo, Gembong. 1986. Morfologi Tumbuhan. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Download