Lembaga Swadaya Masyara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi ini dilakukan untuk mendeskripsikan strategi yang dipakai oleh LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat). Studi ini memfokuskan pada salah satu LSM
yaitu ASPEKA (Asosiasi Penumpang Kereta) dalam mengadvokasi penghapusan
KRL Ekonomi. Advokasi merupakan salah satu peran yang dimilik oleh LSM
ASPEKA untuk menuntut hak-hak para pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) yang
telah diabaikan baik itu oleh pemerintah maupun pihak operator dalam hal ini PT
Kereta Commuter Jabodetabek (PT KCJ).
Advokasi banyak dipahami sebagai upaya sebagai kegiatan beracara di
pengadilan. Ini tidak lepas dari kata advokasi yang berasal dari Belanda advocaat
atau advocateur berarti pengacara atau pembela (Suharto, 2011), maka tidak heran
banyak orang mengartikan advokasi sebagai pembelaan hukum di pengadilan. Kata
advokasi juga sering dipakai oleh para professional hukum seperti pengacara,
polisi, hakim, dan kejaksaan. Orientasi dari definisi tersebut berfokus pada hasil.
Padahal menurut (schnader, 2001, dikutip dalam Mauliansyah Abdurahman 2009)
advokasi harus berfokus pada proses. Peran pekerja sosial menurut schnaider lagi
adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan terutama dalam suatu system
yang tidak adil maupun tidak responsive. Untuk itu, penelitian ini melihat
bagaimana sebuah organisasi non pemerintah yang terbentuk dari komunitas ini
memahami advokasi tersebut dan strategi dalam mempengaruhi pembuatan
kepeutusan.
Kemudian dilihat dari tinjauan teoritis sudah banyak proses dan strategi
advokasi yang sudah banyak di modelkan oleh para ilmuan seperti Ritu R. Sharma,
Valerie Miller dan Jane Covey, dijelaskan pada bab selanjutnya. Berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan dari LSM ASPEKA tentang proses dan strategi
advokasi dipahami secara kontekstual. Berdasarkan asumsi tersebut penelitian ini
melihat proses dan strategi ASPEKA dalam kebijakan penghapusan KRL Ekonomi
ini, karena keterkaitan dan persinggungan konteks dan budaya dari masing-masing
kelompok yang melakukan advokasi dimodelkan oleh para ilmuan yang diatas,
maka studi ini menarik untuk melihat proses dan strategi yang dilakukan oleh LSM
ASPEKA.
Pada dasarnya, penelitian ini penting dilakukan karena LSM ASPEKA
sebagai lembaga gerakan sosial yang memusatkan perhatian terhadap pelayanan
kereta api harus mengedepankan hak-hak dasar para pengguna KRL (Kereta Rel
Listrik). Menurut Vallerie Miller dan Jane Covey (2005:28) praktik-praktik
pemerintah yang “top-down” seringkali membatasi masyarakat yang dipinggirkan
untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan publik. Globalisasi, liberalisasi
ekonomi, penyesuaian struktural, dan kebijakan privatisasi telah memperkuat peran
pasar beserta kaum elite. Praktik dan kebijakan seperti itu sering menghambat
kemampuan orang untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik. Maka dari itu
advokasi yang dilakukan LSM ASPEKA memainkan peran penting dalam
mengekang praktik Negara dan pasar bersama dengan kaum elite yang
menguasainya.
LSM ASEPAK sendiri terbentuk dari adanya ketidak puasan pengguna
KRL terhadap pelayanan KRL. Terbentunya LSM ASPEKA menurut wawancara
dengan sekjenya di pada bulan Januari 2011. Tujuannya adalah mengajak
masyarakat menggunakan transportasi publik seperti KRL. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut maka perlu adanya kualitas pelayanan yang prima dari transportasi
publik seperti KRL. LSM ASPEKA memfokuskan organisasi mereka agar PT
KAI/PT KCJ serta pemerintah mewujudkan pelayanan yang baik pada KRL agar
banyak masyarakat yang beralih menggunakan transportasi publik KRL pada
khususnya.
Adanya kebijaka mengenai penghapusan KRL Ekonomi ini menjadi
tantangan untuk LSM ASPEKA mengenai legitimasi organisasinya. Kebijakan
mengenai penghapusan KRL ini di latarbelakangi dengan adanya Perpres No 83
tahun 2011, PT KCJ harus mengelola sendiri tanpa subsidi dari pemerintah kereta
bandara dan kereta Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Maka PT KAI
membuat
manuver
untuk
menghapuskan
KRL
Ekonomi
karena
tidak
menguntungkan. Seperti dikutip sigit sosiantomo anggota komisi V DPR
menyatakan
“ Penghapusan KRL Ekonomi adalah wewenang pemerintah bukan PT
KAI, sebab selama ini kereta ekonomi di subsidi melalui skema PSO, kalau
mau dihapus harus mempertimbangkan kondisi perekonomian dan daya
beli masyarakat, khususnya untuk masyarakat kecil. Di sisi lain
penghapusan KRL Ekonomi menjadi single class melanggar UU no 23
tahun 2007 tentang perkerataapian yang mengatur wewenang kereta api
berada di tangan pemerintah.” (www.jakarta.okezone.com kemenhub tolak
penghapusan KRL Ekonomi 26 Maret 2013)
Masalah penghapusan KRL ekonomi ini menyangkut berbagai stakeholder
yang ada. Dirjen Perkeretaapian Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sebagai
regulator, PT Kereta Commuter Jabodetabek (PT KCJ) sebagai operator
penyelenggara
pelayanan
publik
dan
para
pengguna
KRL.
Menurut
(Utomo,2005:5) Pendekatan tidak lagi kepada negara tetapi lebih menitikberatkan
pada customer’s oriented atau customer’s approach. Sesuai tuntutan perubahan
tersebut, government yang lebih menitikberatkan kepada otoritas juga mengalami
perubahan menjadi governance yang menitikberatkan kepada kompatibilitas
diantara aktor kebijakan yaitu state (pemerintah), private (sektor swasta) dan civil
society (masyarakat madani).
Pemerintah dalam hal ini Dirjen perkeretapian Kemenhub dalam diskusi
publik bertema “perlukah KRL ekonomi di lenyapkan” yang dihadiri oleh peneliti
pada tanggal 1 mei 2013 menyatakan:
“KRL ekonomi non AC sangat diminati karena harga tiket yg jauh lebih
murah, pemerintah masih memikirkan skema pemberian subsidi pada para
pengguna KRL di Jabodetabek”
Tetapi menurut wawancara dengan sekjen ASPEKA, penentuan skema
subsidi apapun tidak akan berjalan. Pemerintah berdasarkan UU No 23/2007
tentang Perkeretaapian Pasal 151 tercatat bahwa penetapan tarif secara rasional oleh
operator. Selisih antara tarif dengan daya beli masyarakat disubsidi oleh pemerintah
pusat ataupun daerah.
“Wajar apabila KRL Ekonomi dihapuskan karena kereta ekonomi uzur dan
fakta sparepartnya sudah tidak dikeluarkan dan langka. Tetapi pemerintah
harus memfasilitasi pengguna KRL ekonomi. Karena KRL Ekonomi unit
layanan untuk menengah ke bawah seperti kelas pekerja lepas, buruh
pelabuhan, kuli angkut, dan sebagainya yang kira-kira berpenghasilan
kisaran Rp900 ribu sampai Rp1,25 juta. Sebanyak 30 persen itu sudah
terserap dari transportasi ini, saat ini pemerintah tidak peduli dengan
kereta karena hanya menyerap 2% dari total transportasi. ASPEKA
menginginkan seluruh penngguna kereta harus di subsidi dan apabila
menggunakan tarif berdasarkan jarak, maka sisanya disubsidi oleh masingmasing pemda daerah dan pusat.”1
Pada saat ini menurut temuan di lapangan, jalur Bekasi-Jakarta sudah mulai
dilakukan tahap penghapusan KRL Ekonomi, tetapi tidak ada kompensasi harga
tiket yang diberikan oleh pemerintah. Penumpang diharuskan membayar Rp. 8000
untuk naik kereta commuter line. Selama ini pengguna KRL Ekonomi
mengeluarkan ongkos Rp. 4000 per harinya untuk pulang-pergi, sementara dengan
menggunakan KRL Commuter Line, penumpang harus mengeluarkan ongkos
berkisar Rp 16000 sampai dengan Rp.18000 per hari. Artinya, setiap bulan
penumpang harus mengeluarkan sekitar Rp. 400 ribu-an/bulan untuk ongkos naik
kereta.
Pada tanggal 1 Juli kemarin PT KCJ telah memberlakukan pola tarif
progresif baru. Dimana pola tarif yang baru ini untuk setiap 5 stasiun pertama
pengguna kereta dikenakan biaya Rp.2000 dan untuk 3 stasiun berikutnya
dikenakan biaya 500 per setiap 3 stasiun. Skema ini akan memudahkan pengguna
apalagi pengguna yang hanya mengandalkan jarak dekat saja. Menurut pengguna
kereta api yang dikutip dari (www.metro.news.viva.co.id hari pertama tarif
progresif KRL, antrean penumpang membludak) “Kalau ada tarif progresif, bagus.
Harganya lebih murah”. Model tarif ini sesuai dengan yang diusulkan ASPEKA
1
Wawancara peneleiti dengan Sekjen Anthony Ladjar 3 Mei 2013
bahwa setiap penumpang harus diberi subsidi baik yang berdasi maupun yang
hanya menggunakan sandal jepit. Dengan perubahan yang baru ini tentu
menguntungkan pengguna KRL terutama pengguna jarak dekat. Yang tadinya
pengguna dari Depok untuk menuju Jakarta harus mengeluarkan ongkos Rp8000
sekarang hanya Rp.2000 begitupun dengan penumpang dari yang lainya tergantung
jaraknya. Dan harga tarif yang paling mahal pun Rp.7000 ini pun masih lebih murah
daripada sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut menarik untuk mengeksplor strategi
apa yang dilakukan sebuah LSM, sehingga mampu merubah kebijakan yang ada.
Dalam hal ini adalah LSM ASPEKA yang melakukan advokasi kebijakan
penghapusan KRL Ekonomi tersebut, maka dari itu peneliti merumuskan sebuah
rumusan masalah seperti yang ada di bawah ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan dari masalah yang disebutkan, maka
rumusan masalah (Research Question) yang dibuat adalah:
“Bagaimana strategi advokasi yang dilakukan ASPEKA dalam kebijakan
penghapusan KRL Ekonomi?”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Dengan mendasarkan pada latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian
ini adalah melihat upaya strategi advokasi yang dilakukan komunitas pengguna
KRL dalam mempengaruhi kebijakan dan mengungkapkan aspirasi dan melihat
respon dari pengelola yaitu PT KCJ.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini, manfaat yang muncul untuk kedepannya.
Manfaat tersebut antara lain:
1. Bagi peneliti, memahami proses advokasi dan strategi advokasi yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah dalam memperjuangkan
hak-hak masyarakat kecil.
2. Bagi LSM ASPEKA, bisa menjadi bahan evaluasi untuk melakukan proses
advokasi selanjutnya.
3. Bagi Pemerintah, bisa memberikan pelajaran serta membuka ruang
partisipasi kepada masyarakat maupun lembaga-lembaga non pemerintah.
Download