BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai mahluk individu manusia dilahirkan sendiri dan memiliki ciri-ciri yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini merupakan keunikan dari
manusia tersebut. Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan individu lain untuk
memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah terbentuk kelompok-kelompok yaitu
suatu kehidupan bersama individu dalam suatu ikatan, di mana dalam suatu ikatan
tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing
anggotanya Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan
hubungan dengan lingkungan sekitarnya (Soekanto, 2001 : 128).
2.1 Interaksi Sosial
Pemikiran tentang kajian interaksi sosial bermula dari pandangan Max Weber
yang dikenal dengan kajian tindakan sosial. Tindakan sosial Sesuai dengan
pemahaman yang disampaikan oleh Max Weber bahwa; “Tidak semua tindakan
manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakana hanya dapat disebut
tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
prilaku orang lain dan beriorentasi pada prilaku orang lain”. Tindakan sosial adalah
prilaku manusia yang mempunyai makna subjektif
bagi pelakunya. Terjadinya
Tindakan manusia yang mempunyai makna subjektif dan sering terjadi ditempat lain
dan mempengaruhi orang lain secara sosiologis dinamakan dengan Interaksi sosial
(Weber dalam Kamanto, 2000;12)
Interaksi sosial diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial timbal balik yang
dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang secara perseorangan, antara
31
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok-kelompok
manusia.
Definisi interaksi sosial menurut beberapa ahli sosiologi :
Interaksi sosial adalah proses, melalui tindak balas tiap-tiap kelompok
berturut-turut menjadi unsure penggerak bagi tindak balas dari kelompok yang lain.
Ia adalah suatu proses timbale balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi oleh
tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan berbuat demikian ia mempengaruhi
tingkah laku orang lain (Pandangan ini disampaikan oleh Roucek dan Warren dalam
abdul syani. 2007; 153).
Interaksi sosial menurut kajiannya ahli sosiologi Gillin dan Gillin adalah;
proses-proses sosial yaitu cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang
perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem
serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan
terjadi apabila ada
perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada
(Ibid; 153).
Seiring dengan pemahaman interaksi sosial yang terus berkembang maka,
Bonner menyebutkan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua orang
atau lebih, sehingga kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah,
memperbaiki kelakuan orang lain, dan sebaliknya (Gunawan.2000;31)
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, interaksi sosial ialah
pengaruh timbale balik antara pelbagai kehidupan bersama. Lebih lanjut dari interaksi
sosial adalah dapat terjadinya interaksi personal sosial, yaitu interaksi dengan ‘orang’
32
(person) dalam situasi (lingkungan) sosial, misalnya hubungan bayi dengan ibunya
sewaktu menyusui, dibuai, dan seterusnya. Interaksi cultural ialah hubungan
seseorang dengan kebudayaan kelompoknya, artinya berhubungan dengan orang lain
sambil mempelajari kebudayaan kelompok-kelompok orang tersebut.
Interaksi personal dan cultural sangat erat hubungannya dengan proses
pembelajaran
semasih
bayi
seperti
waktu/jam
menyusui,
kemudian
ditambah/diselingi dengan bubur, nasi tim, buah-buahan, sampai saatnya tidak
disapih lagi, dan seterusnya. Hal ini anak belajar dari norma keluarganya,
lingkungannya, norma sosial, nasional, sampai inernasional (Ibid;32).
Menurut Bales dan Homans dalam Santoso (2004:10), pada hakekatnya
manusia memiliki sifat yang dapat digolongkan ke dalam :
•
Manusia sebagai makhluk individual,
•
Manusia sebagai makhluk sosial, dan
•
Manusia sebagai makhluk berkebutuhan.
Selanjutnya dalam penelitian skripsi ini yang dimaksud dengan interaksi
sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh warga
pondok pesantern dengan masyarakat sekitarnya maupun masyarakat sekitar
pesantren dengan civitas pondok pesantern sehingga terjadi hubungan yang timbal
balik antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain untuk tujuan
perbaikan dan kerja sama dalam bermasyarakat.
2.1.1 Aspek-Aspek Interaksi Sosial
33
Setiap individu yang berhubungan dengan individu yang lain, baik hubungan
sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok
dengan kelompok, hubungan sosial itu memiliki aspek-aspek sebagai berikut :
a. Adanya hubungan, Setiap interaksi sudah barang tentu terjadi karena adanya
hubungan antara individu dengan individu maupun antara individu dengan
kelompok, serta hubungan antara kelompok dengan kelompok. hubungan
antara individu dengan individu ditandai antara lain dengan tegur sapa, berjabat
tangan, dan bertengakar.
b. Ada individu, Setiap interaksi sosial menuntut tampilnya individu individu
yang melaksanakan hubungan. Hubungan sosial itu terjadi karena adanya peran
serta dari individu satu dan individu lain, baik secara person atau kelompok.
c. Ada tujuan, Setiap interaksi sosial memiliki tujuan tertentu seperti
mempengaruhi individu lain. Misalnya,seorang ibu rumah tangga yang sedang
berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di pasar dan menawar barang
yang akan dibelinya, hal itu adalah salah satu fungsi untuk mempengaruhi
individu lain agar mau menuruti apa yang dikehendaki oleh ibu pembeli
tersebut.
d. Adanya hubungan dengan struktur dan fungsi kelompok, Interaksi sosial yang
ada hubungan dengan struktur dan fungsi kelompok ini terjadi karena individu
dalam hidupnya tidak terpisah dari kelompok. Di samping itu, tiap-tiap individu
memiliki fungsi dalam kelompoknya. Individu di dalam kehidupannya tidak
terlepas dari individu yang lain, oleh karena itu individu dikatakan sebagai
34
makhluk sosial yang memiliki fungsi dalam kelompoknya. Misalkan, seorang
penceramah agama sebagai seorang individu Ia memiliki fungsi dalam
kelompoknya yaitu untuk memberikan atau menyampaikan ajaran keagamaan
yang dianutnya. Hal lain yang dapat dilihat, seorang kepala desa yang memiliki
fungsi untuk membentuk anggota masyarakatnya menjadi masyarakat yang
damai, tertib aman dan sejahtera, dan untuk mewujudkan hal tersebut di
butuhkan pula keikutsertaan dari setiap anggota masyarakatnya. Jadi dalam hal
ini setiap individu ada hubungannya dengan struktur dan fungsi sosial (Santoso,
2004 : 11)
Dengan demikian konsep interaksi sosial yang digunakan di dalam skripsi ini
adalah konsep dari Soerjono Soekanto bahwa interaksi sosial merupakan sarana
dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Karena interaksi
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial itu sendiri, tanpa interaksi sosial tidak
mungkin ada kehidupan bersama.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial
Di dalam interaksi sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi
tersebut, yaitu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut :
a. Situasi sosial (The nature of the social situation), memberi bentuk tingkah laku
terhadap individu yang berada dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila
berinteraksi dengan individu lain yang sedang dalam keadaan berduka, pola
interaksi yang digunakan jelas harus berbeda dengan pola interaksi yang
35
dilakukan apabila dalam keadaan yang riang atau gembira, dalam hal ini
tampak pada tingkah laku individu yang harus dapat menyesuaikan diri
terhadap situasi yang sedang dihadapi.
b. Kekuasaan norma-norma kelompok (The norms prevailing in any given social
group), sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu.
Misalkan, individu yang menaati norma-norma yang ada di dalam setiap
berinteraksi individu tersebut tidak akan pernah membuat suatu kekacauan,
berbeda dengan individu tidak menaati norma-norma yang berlaku, individu
tersebut pasti akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan
kekuasaan norma-norma itu berlaku untuk semua individu dalam kehidupan
sosialnya.
c. Their own personality trends Adanya tujuan kepribadian yang dimiliki masingmasing individu sehingga berpengaruh terhadap perilakunya. Misalkan, di
dalam setiap interaksi individu pasti memiliki tujuan, hal ini dapat dilihat
seorang anak berinteraksi dengan guru memiliki tujuan untuk menuntut ilmu di
dunia sekolah, seorang pedagang sayur dengan ibu-ibu rumah tangga, memiliki
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebagainya.
d. A person’s transitory tendencies (Setiap individu berinteraksi sesuai dengan
kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara). Pada dasarnya status atau
kedudukan yang dimiliki oleh setiap individu adalah bersifat sementara,
misalnya seorang warga biasa yang berinteraksi dengan ketua RT, maka dalam
hubungan itu terlihat adanya jarak antara seorang yang tidak memiliki
36
kedudukan yang menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam
kelompok sosialnya.
e. Adanya penafsiran situasi (The process of perceiving and interpreting a
situation), di mana setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga
mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut.
Misalnya, apabila ada teman atau rekan yang terlihat murung dan suntuk,
individu lain harus bisa membaca situasi yang sedang dihadapinya, dan tidak
seharusnya individu lain itu terlihat bahagia dan ceria dihadapannya,
bagaimanapun individu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang
sedang dihadapi, dan berusaha untuk membantu menafsirkan situasi yang tidak
diharapkan menjadi situasi yang diharapkan (Santoso, 2004 : 12).
Adapun yang mendorong terjadinya interaksi sosial menurut Gerungan (1988 :
58) berdasarkan pada beberapa faktor, yaitu :
a) Faktor peniruan atau imitasi
b) Faktor sugesti
c) Faktor identifikasi
d) Faktor simpati
Dari keempat macam faktor ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Faktor peniruan atau imitasi, Dalam interaksi sosial, gejala tiru-meniru sangat
kuat peranannya di dalam proses sosial. Hal ini tampak jelas pada dunia mode,
adat istiadat dan sebagainya. Dalam kamus istilah sosiologi di katakan bahwa
imitasi adalah suatu usaha atau hasil usaha dari manusia untuk tampil atau
37
berperilaku seperti pihak lain yang berinteraksi dengan diri (Hasjir, 2003 : 30).
Menurut Tarde imitasi berasal dari kata imitation yang berarti peniruan. Hal ini
disebabkan karena manusia pada dasarnya individualis, namun dipihak lain
manusia mempunyai kesanggupan untuk meniru sehingga di dalam masyarakat
terdapat kehidupan sosial. Dalam penelitian ini selanjutnya yang dimaksud
dengan imitasi adalah tindakan seseorang untuk meniru orang lain, baik dalam
sikap maupun perilaku. Imitasi meliputi : 1. imitasi positif, misalnya sikap
hemat, berpakaian rapi, dan menghargai waktu; 2. imitasi negatif, misalnya
mabuk-mabukan,, sikap kebarat-baratan, dan pergaulan bebas.
b. Faktor sugesti, Sugesti dalam ilmu jiwa sosial dapat di rumuskan sebagai suatu
proses di mana seorang individu menerima suatu cara pengelihatan atau
pedomanpedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu
(Gerungan, 1988 : 61). Sugesti merupakan tindakan seseorang untuk memberi
pandangan atau sikap yang kemudian diterima oleh pihak lain, sugesti mungkin
terjadi jika orang yang memberi pandangan adalah orang yang berwibawa atau
bersifat otoriter, atau orang tersebut merupakan bagian dari kelompok yang
bersangkutan. Contoh dalam menyelesaikan masalah sosial, kebersihan atau
gotong royong hari pelaksanaan, selain ditentukan bersama juga wajib di
putuskan oleh kepala desa.
c. Faktor identifikasi, Identifikasi merupakan suatu dorongan untuk menjadi
identik (sama) dengan orang lain (Walgito, 2000 :72). Menurut kamus istilah
sosiologi identifikasi adalah suatu proses atau hasil proses penempatan diri
38
individu
pada
kedudukan
serta
peranan
orang
lain
dan
mengikuti
pengalamanpengalamannya (Hasjir, 2003 : 29). Timbulnya identifikasi sebagai
dasar interaksi sosial menurut Freud, bahwa setiap individu mempunyai nafsu
untuk menempatkan diri pada situasi tertentu ketika individu itu berada
bersamasama individu lain, tetapi tidak semua individu dapat menempatkan diri
sehingga sukar untuk berperilaku dan bertingkah laku. Tujuan dari proses
identifikasi adalah individu yang bersangkutan ingin mempelajari tingkah laku
maupun perilaku individu lain meskipun tanpa disadari sebelumnya dan baru
disadari apabila proses ini telah membawa hasil. Imitasi merupakan tindakan
seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain, contohnya, seorang anak
yang meniru tingkah laku laku ayahnya, seorang remaja meniru gaya
berpakaian aktor pujaannya.
d. Faktor simpati, Simpati adalah perasaan yang terdapat dalam diri seseorang
individu yang tertarik dengan individu yang lain. Prosesnya berdasarkan
perasaan semata-mata tidak melalui penilaian yang berdasarkan resiko, dengan
kata lain imitasi adalah suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada
pihak lain (Soekanto, 2001 : 70). Faktor-faktor inilah yang mendorong dalam
proses interaksi sosial yang terjadi pada tiap kelompok pergaulan hidup. Dalam
penelitian ini selanjutnya yang dimaksud dengan simpati adalah suatu proses di
mana seseorang merasa tertarik untuk memahami orang lain dan berkeinginan
untuk bekerjasama dengannya, misalkan ada seorang tetangga yang sedang
39
membenahi rumahnya dan ada seorang bapak-bapak yang melihatnya dan
merasa tertarik untuk membantu.
2.1.3 Syarat-Syarat Interaksi Sosial
Sesuai dengan pandangan para ahli sosiolog diatas, bahwa proses sosial,
merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Dimana didalamnya terdapat
suatu proses hubungan antar manusia satu dengan yang lainnya. Proses hubungan
tersebut berupa antara aksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terus
menerus. Antara aksi (interaksi) sosial, dimaksudkan sebagai pengaruh timbale balik
antara dua belah pihak, yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok
lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Terjadinya interaksi sosial sebagaimana yang dimaksud, karena adanya saling
mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak dalam suatu hubungan
sosial. Menurut Rouceck dan Warren, interaksi adalah satu masalah pokok karena ia
merupakan dasar segala proses sosial. Interaksi merupakan proses timbal
balik,
dengan mana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan
demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain melalui Kontak. Kontak ini
mungkin berlangsung melalui organisme, fisik, seperti dalam obrolan, pendengaran,
melakukan gerakan pada beberapa bagian badan, melihat dan lain-lain lagi, atau
secara tidak langsung melalui tulisan, atau dengan cara berhubungan dari jauh
(Abdulsyani.2007;154)
40
Dalam proses sosial, baru dapat dikatakan terjadi interaksi sosial, apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai aspek kehidupan bersama, yaitu kontak sosial dan
komunikasi sosial.
a. Kontak sosial
Kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih, melalui
percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam
masyarakat. Kontak sosial dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung
antara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Kontak sosial tidak langsung adalah
kontak sosial yang menggunakan alat sebagai perantara; misalnya ; melalui telepon,
radio, surat, dan lain-lain. Sedangkan kontak sosial secara langsung, adalah kontak
sosial melalui suatu pertemuan dengan bertatap muka dan berdialoq diantara kedua
belah pihak tersebut. Yang paling penting dalam interaksis sosial tesebut saling
mengerti antara kedua belah pihak; sedangkan kontak badaniah bukan lagi
merupakan syarat utama dalam kontak sosial, oleh karena hubungan demikian belum
tentu terdapat saling pengertian. Kontak sosial tejadi tidak semata-mata oleh karena
adanya aksi belaka, akan tetapi harus memenuhi syarat pokok kontak sosial, yaitu
reaksi (tanggapan) dari pihak lain sebagai lawan kontask sosial (Ibid;154).
Dalam kontak sosial, dapat terjadi hubungan yang positif dan hubungan
negative. Kontak sosial positif terjadi karena hubungan antara kedua belah pihak
terdapat saling pengertian, disamping menguntungkan masing-masing pihak tersebut,
sehingga biasanya hubungan dapat berlangsung lama, atau mungkin dapat berulangulang dan mengarah kepada suatu kerja sama. Sedangkan kontak negative tejadi oleh
41
karena hubungan antara kedua belah pihak tidak melahirkan saling pengertian,
mungkin merugikan masing-masing keduah belah pihak atau salah satu pihak,
sehingga mengakibatkan suatu pertentangan atau perselisihan. Dalam pengertian
yang sama, Soedjono membedakan kontak sosial menjadi dua macam, yaitu kontak
sosial primer dan skunder. Yang primer adalah kontak sosial dalam bentuk tatap
muka, bertemu, jabatan tangan, bercak-cakap antara pihak-pihak yang melakukan
kontak sosial. Sedangkan yang bersifat sekunder adalah kontak yang tidak langsung,
yaitu suatu kontak sosial yang membutuhkan perantara. Hal ini sama halnya dengan
hubungan secara tidak langsung, misalnya; melalui telepon, radio, surat, dan lain-lain
(Ibid;155).
b. Komunikasi sosial
Komunikasi sosial adalah syarat pokok lain daripada proses sosial.
Komunikasi sosial mengandung penegertian persamaan pandangan antara orangorang yang berinteraksi terhadap sesuatu. Menurut Soerdjono Soekanto, komunikasi
sosial adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perikelakuan orang lain
(yang Berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap) perasaan-perasaan
apa yang ingin disampaikan oleh sesroang tersebut, yang bersangkutan kemudian
memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain
tersebut. Dengan adanya komunikasi, maka sikap dan perasaan disatu pihak orang
atau sekelompok orang dapat diketahui dan dipahami oleh pihak orang atau
sekelompok lainnya. Hal ini berarti, apabila suatu hubungan sosial tidak terjadi
komunikasi atau saling mengetahui dan tidak saling memahami maksud masing42
masing pihak, maka dalam keadaan demikian tidak terjadi kontak sosial. Dalam
komunikasi sosial masing-masing orang yang sedang berhubungan; misalnya jabatan
tangan dapat ditafsirkan sebagai kesopanan, persahabatan, kerinduan, sikap
kebanggaan dan lain-lain (Ibid;155).
Menurut Soekanto (2001 : 75) lebih memfokuskan, komunikasi adalah
tafsiran seseorang terhadap kelakuan orang lain baik berupa pembicaraan, gerak gerik
badan maupun sikap guna menyampaikan pesan yang diinginkannya. Orang tersebut
kemudian memberi reaksi terhadap perasaan orang lain tersebut.
2.1.4 Macam-Macam Interaksi Sosial
a) Dilihat dari sudut subjeknya, ada tiga macam interaksi sosial, yaitu ;
a. Interaksi antar orang perorangan.
b. Interaksi antar orang dengan sekelompoknya, dan sebaliknya.
c. Interaksi antar kelompok
b) Dilihat dari segi caranya, ada dua macam interaksi sosial, yaitu :
a. Interaksi langsung (direct intrection), yaitu interaksi fisik, seperti berkelahi,
hubungan seks/kelamin, dan sebagainya.
b. Interaksi
simbolik
(symbolic
intrection),
yaitu
interaksi
dengan
mempergunakan bahasa (lisan/tulisan) dan symbol-simbol lain (isyarat), dan
sebagainya.
c) Menurut bentuknya, Selo Soemardjan membagi interaksi menjadi empat, yaitu;
a. Kerja sama (cooperation)
b. Persaingan (competition)
43
c. Pertikaian (conflict)
d. Akomodasi (acommodation), yaitu bentuk interaksi penyelesaian dari
pertikaian
Masyarakat indonesia termasuk tipe masyarakat Kooparatif, dengan cirinya
yang khas yaitu “gotong royong”. Masyarakat Amerika serikat termasuk tipe
masyarakat yang kompetitif, yaitu masyarakat yang saling-berlomba-lomba mencari
kedudukan/status sosial, harta, dan sebagainya (Gunawan, 2000;33)
Bentuk-bentuk interaksi sosial tersebut dapat terjadi secara berantai terus
menerus, bahkan dapat berlangsung seperti lingkaran tanpa berujung. Proses interaksi
sosial bisa bermula dari setiap kerja sama, persaingan, pertikaian, ataupu akomodasi;
kemudian dapat berubah lagi menjadi kerja sama, begitu seterusnya. Misalnya suatu
pertikaian, untuk sementara waktu dapat diselesaikan; kemudian dapat bekerja sama;
berubah menjadi persaingan; apabila persaingan ini memuncak, maka dapat terjadi
pertikaian.
Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat
aktifitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling
membantu dan saling memahami tehadap aktifitas masing-masing. Sehubungan
dengan pelaksanaan kerja sama, menurut Soerjono Soekanto ada tiga bentuk kerja
sama, yaitu :
a) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang
dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
44
b) Cooptation, yakni suatu proses penerimaan unsure-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah
satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan dalam stabilitas
organisasi yang bersangkutan.
c) Coalition, adalah kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai
tujuan yang sama. Coalition dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil
untuk sementara waktu, oleh karena dua organisasi atau lebih tersebut
kemungkinan mempunyai struktur yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Akan tetapi untuk mencapai tujuan bersama, maka sifatnya adalah kooperatif.
Persaingan merupakan usaha dari seseorang untuk mencapai sesuatu yang
lebih daripada yang lainnya. Sesuatu itu bisa berupa bentuk harta benda atau
popularitas tertentu. Persaingan biasanya bersifat individu, apabila hasil dari
persaingan tersebut dianggap cukup untuk memenuhi kepentingan pribadi, bentuk
kegiatan ini biasanya didorong oleh motivasi sebagai berikut.
a) Mendapatkan status sosial
b) Memperoleh jodoh
c) Mendapatkan kekuasaan
d) Mendapatkan nama baik
e) Mendapatkkan kekayaan dan lain-lain
Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkemban secara negative, artinya
disatu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk
menyingkirkn pihak lainnya. Singkatnya pertikaian dapat diartikan sebagai usaha
45
penghapusan keberadaan pihak lain. Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan
antara kedua belah pihak yang menunjukkan keseimbangan yang
berhubungan
dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi
merupakan suatu proses yang merupakan perkembangan dari pertikaian, dimana
masing-masing pihak melakukan penyesuaian dan berusaha untuk mencapai
kesepakatan untuk tidak saling bertentangan (Abdulsyani.2007;156-159)
2.1.5 Pola-Pola Hubungan (Interaksi) Sosial
Interaksi atau proses sosial (hubungan timbal-balik yang dinamis di antara
unsur-unsur sosial) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pola interaksi asosiatif dan
pola interaksi disosiatif. Pola interaksi asosiatif merupakan proses-proses yang
mendorong dicapainya akomodasi,
kerjasama dan asimilasi, yang pada giliran
selanjutnya menciptakan keteraturan sosial. Pola interaksi disosiatif merupakan
proses-proses yang mengarah kepada terciptanya bentuk-bentuk hubungan sosial
yang berupa persaingan (kompetisi), kontravensi ataupun konflik (pertikaian), yang
pada giliran berikutnya menghambat terjadinya keteraturan sosial.
1. Pola interaksi Asosiatif
a) Kerja Sama (Cooperation) Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau
kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama.
Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk
mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan
tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada
iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan
46
diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu
diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya
dapat terlaksana dengan baik. Kerja sama timbul karena orientasi orangperorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya
(yang merupakan out-groupnya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada
hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya. Fungsi Kerjasama
digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama
dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan
adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang
berguna”. Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk
kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation).
Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :
a. Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang
sertamerta
b. Kerjasama
Langsung
(Directed
Cooperation)
:
Kerjasama
yang
merupakan hasil perintah atasan atau penguasa
c. Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar
tertentu
47
d. Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai
bagian atau unsur dari sistem sosial.
Ada 5 bentuk kerjasama :
a. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong
b. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barangbarang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih
c. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru
dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi
sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam
stabilitas organisasi yang bersangkutan
d. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan
yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih
tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu
dengan lainnya. Akan tetapi, karena maksud utama adalah untuk mencapat
satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
e. Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu,
misalnya pengeboran minyak, pertambangan batubara, perfilman,
perhotelan, dst.
b) Akomodasi (Accomodation) Pengertian Istilah Akomodasi dipergunakan
dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu
proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan
48
dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia
dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada
usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha
manusia untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang
digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam
hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi.
Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang
mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan.
Akomodasi
merupakan
suatu
cara
untuk
menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga
lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang
dihadapinya, yaitu : Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau
kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham Mencegah meledaknya
suatu
pertentangan
untuk
sementara
waktu
atau
secara
temporer
Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya
terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang
dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta. mengusahakan
peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.
Bentuk-bentuk Akomodasi
49
a. Corecion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena
adanya paksaan
b. Compromise, bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling
mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
perselisihan yang ada.
c. Arbitration, Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak
yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri
d. Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari
pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
e. Toleration, merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal
bentuknya.
f. Stalemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena
mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu
dalam melakukan pertentangannya.
g. Adjudication, Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan
c) Asimilasi (Assimilation), Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf
lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaanperbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak,
sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan
bersama.
Proses Asimilasi timbul bila ada :
50
Kelompok-kelompok
manusia
yang
berbeda
kebudayaannya
orang-
perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan
intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari
kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling
menyesuaikan diri.
Beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah ke suatu proses asimilasi
(interaksi yang asimilatif) bila memilih syarat-syarat berikut ini Interaksi sosial
tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain tadi
juga berlaku sama. interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau
pembatasan-pembatasan Interaksi sosial tersebut bersifat langsung dan primer.
Frekuensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola
tersebut. Artinya, stimulan dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang
mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus
dicapai dan dikembangankan.
Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi adalah :
Toleransi kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi sikap
menghargai orang asing dan kebudayaannya sikap tebuka dari golongan yang
berkuasa dalam masyarakat persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan perkawinan
campuran (amaigamation).
Faktor umum penghalangan terjadinya asimilasi Terisolasinya kehidupan
suatu golongan tertentu dalam masyarakat kurangnya pengetahuan mengenai
kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu seringkali menimbulkan faktor
51
ketiga perasaan takut terhadapn kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi perasaan
bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada
kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri
badaniah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi In-GroupFeeling yang kuat menjadi penghalang berlangsungnya asimilasi. In Group Feeling
berarti adanya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada kelompok
dan kebudayaan kelompok yang bersangkutan. Gangguan dari golongan yang
berkuasa terhadap minoritas lain apabila golongan minoritas lain mengalami
gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa faktor perbedaan kepentingan yang
kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi.
Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial dan
dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial. Proses yang disebut terakhir biasa
dinamakan akulturasi. Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi
sosial kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.
2. Pola interaksi Disosiatif
Pola interaksi disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang
persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun
bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat
bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau
sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut
dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk
52
kepentingan analisis ilmu pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan
dalam tiga bentuk, yaitu :
A. Persaingan (Competition)
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui
bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian
umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik
perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunya dua tipe umum
:
a. Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam memperoleh
kedudukan. Tipe ini dinamakan rivalry.
b. Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua perusahaan besar yang
bersaing untuk mendapatkan monopoli di suatu wilayah tertentu.
Bentuk-bentuk persaingan :
a. Persaingan ekonomi : timbul karena terbatasnya persediaan dibandingkan
dengan jumlah konsumen Persaingan kebudayaan : dapat menyangkut
persaingan bidang keagamaan, pendidikan, dst.
b. Persaingan kedudukan dan peranan : di dalam diri seseorang maupun di dalam
kelompok terdapat keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang
mempunyai kedudukan serta peranan terpandang.
53
c. Persaingan ras : merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Hal ini
disebabkan krn ciri-ciri badaniyah terlihat dibanding unsur-unsur kebudayaan
lainnya.
Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai beberapa fungsi :
Menyalurkan
keinginan
individu
atau
kelompok
yang
bersifat
kompetitif
Sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa
medapat pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
Sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial. Persaingan
berfungsi untuk mendudukan individu pada kedudukan serta peranan yang sesuai
dengan kemampuannya. Sebagai alat menyaring para warga golongan karya
(”fungsional”)
Hasil suatu persaingan terkait erat dengan pelbagai faktor berikut ini ”
Kerpibadian seseorang
a. Kemajuan : Persaingan akan mendorong seseorang untuk bekerja keras dan
memberikan sahamnya untuk pembangunan masyarakat.
b. Solidaritas kelompok : Persaingan yang jujur akan menyebabkan para
individu akan saling menyesuaikan diri dalam hubungan-hubungan sosialnya
hingga tercapai keserasian.
c. Disorganisasi : Perubahan yang terjadi terlalu cepat dalam masyarakat akan
mengakibatkan disorganisasi pada struktur sosial.
B. Kontraversi (Contravetion)
54
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada
antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian.
Bentuk kontraversi menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 5 : yang
umum meliputi perbuatan seperti penolakan, keenganan, perlawanan, perbuatan
menghalang-halangi, protes, gangguang-gangguan, kekerasan, pengacauan rencana
yang sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memakimaki melalui surat selebaran, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian
pada pihak lain, dst. yang intensif, penghasutan, menyebarkan desas desus yang
mengecewakan pihak lain yang rahasia, mengumumkan rahasian orang, berkhianat.
yang taktis, mengejutkan lawan, mengganggu dan membingungkan pihak lain.
Menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 3 tipe umum kontravensi :
a. Kontraversi generasi masyarakat : lazim terjadi terutama pada zaman yang
sudah mengalami perubahan yang sangat cepat
b. Kontraversi seks : menyangkut hubungan suami dengan istri dalam keluarga.
c. Kontraversi Parlementer : hubungan antara golongan mayoritas dengan
golongan minoritas dalam masyarakat.baik yang menyangkut hubungan
mereka di dalam lembaga legislatif, keagamaan, pendidikan, dst.
Tipe Kontravensi :
Kontravensi
antar
masyarakat
setempat,
mempunyai
dua
bentuk
:
Kontavensi antarmasyarakat setempat yang berlainan (intracommunity struggle)
Kontravensi
antar
golongan-golongan
(intercommunity struggle).
55
dalam
satu
masyarakat
setempat
C. Pertentangan (Conflict)
Pertentangan (Pertikaian atau conflict) Pribadi maupun kelompok menydari
adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsurunsur kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri
tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu
pertentangan atau pertikaian.
Sebab musabab pertentangan adalah :
a. Perbedaan antara individu
b. Perbedaan kebudayaan
c. Perbedaan kepentingan
d. Perubahan sosial.
Pertentangan dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Timbulnya pertentangan merupakan pertanda
bahwa akomodasi yang sebelumnya telah tercapai.
Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus:
a. Pertentangan pribadi
b. Pertentangan Rasial : dalam hal ini para pihak akan menyadari betapa adanya
perbedaan antara mereka yang menimbulkan pertentangan
c. Pertentangan antara kelas-kelas sosial : disebabkan karena adanya perbedaan
kepentingan
d. Pertentangan politik : menyangkut baik antara golongan-golongan dalam satu
masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat
56
e. Pertentangan yang bersifat internasional : disebabkan perbedaan-perbedaan
kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara
Pola-pola hubungan (interaksi) sosial yang teratur dapat terbentuk apabila ada
tata kelakuan atau perilaku dan hubungan yang sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Sistem itu merupakan pranata sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai
dan norma-norma yang dipedomani serta ada lembaga sosial yang mengurus
pemenuhan kebutuhan masyarakat sehingga interaksi sosial dalam masyarakat dapat
berjalan secara teratur.
2.2 Lembaga Sosial
Istilah lembaga berasal dari kata Institution yang menunjuk pada penegertian
tentang sesuatu yang telah mapan (Established). Dalam pengertian sosiologis,
lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan
masyarakat. lembaga-lembaga pada mulanya terbentuk dari suatu kebiasaan
dilakukakan terus menerus sampai menjadi adat istiadat; kemudian berkembang
menjadi tata kelakuan (Mores)(Abdulsyani,2007;75).
Ada 3 (tiga) isilah yang bisa digunakan untuk menterjemahkan isitilah bahasa
inggris ”social institution”, yaitu ;
a. Bangunan sosial, sebagai terjemahan langsung istilah aslinya dari bahasa
jerman yaitu Die Siziale Gebielde yang menunjuk pada bentuk dan susunannya,
atau lebih menunjuk pada wujud luarnya.
b. Pranta sosial, adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Koencoroningrat
yang dimaksudkan sebagai suatu sistem tata kelakuan dalam hubungan yang
57
berpusat pada aktiitas-aktifitas untuk memenuhi kompleks-kompleks khusus
dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah ini lebih menunjuk pada sistem
penataan didalamnya.
c. Lembaga sosial, adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemardi, menurut mereka, lembaga sosial ialah semua norma
dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu keperluan pokok dalam
kehidupan bermasyarakat, (menunjuk pada bentuk wadah serta norma yang
terkandung didalamnya).
Berbagai pakar memberikan definisinya masing-masing, tetapi dapat
disimpulkan, bahwa lembaga sosial adalah struktur sosial beserta perlengkapannnya,
yang dengan struktur sosial ini masyarakat manusia mengatur, mengarahkan, dan
melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk memnuhi kebutuhan hidup
manusia (Gunawan,2000;23)
Menurut R. M. Mac Iver dan CH. Page dalam bukunya yang berjudul Society,
bahwa lembaga merupakan bentuk-bentuk atau kondisi-kondisi prosedur yang
mapan, yang menjadi karakteristik bagi aktivitas kelompok. Kelompok yang
melaksanakan patokan-patokan tersebut, disebut Asosiasi.
Dengan demikian lembaga mencakup berbagai aspek, yaitu kebiasaan, tata
kelakuan, norma atau kaidah hukum, hal ini
berarti istilah lembaga merupakan
kumpulan dari berbagai cara berprilaku yang diakui oleh anggota masyarakat sebagai
sarana untuk mengatur hubungan-hubungan sosial. Soerjono Soekanto menyimpulkan
lembaga sosial yaitu sebagai sarana jaringan daripada proses-proses hubungan antara
58
manusia dan antara kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubunganhubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan
manusia dan
kelompoknya.
Lembaga
sosial
adalah
seperangkat
norma
yang
terinstitusionalisasi
(institutionalized), yaitu :
a.
Telah diterima sejumlah besar anggota sistem sosial.
b.
Ditanggapi secara sungguh-sungguh.
c.
Diwajibkan, dan terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi tertentu.
2.2.1 Tipe-Tipe(Macam-Macam) Lembaga Sosial
Menurut Gillin dan Gillin ada lima tipe lembaga sosial, Lembaga sosial dapat
dibedakan atas berbagai jenis dari beberapa sudut :
a) Berdasarkan sistem nilai yang diterima masyarakat
a. Basic Institutions, Lembaga sosial yang sangat penting untuk memelihara
dan mempertahankan tata tertib masyarakat, misalnya keluarga, sekolah,
dan negara.
b. Subsidiary Institutions, Lembaga yang dianggap masyarakat kurang
penting, contohnya rekreasi.
b) Berdasarkan perkembangannya
a. Crescive Institutions, Lembaga sosial yang tidak disengaja tumbuh dari
adat istiadat masyarakat sehingga disebut juga lembaga paling primer.
Contohnya, lembaga hak milik, perkawinan, dan agama.
59
b. Enacted Institutions, Lembaga sosial yang sengaja dibentuk untuk
mencapai tujuan tertentu. Contohnya, lembaga utang-piutang, lembaga
pendidikan.
c) Berdasarkan penerimaan masyarakat
a. Approved Institutions, Lembaga sosial yang diterima secara umum oleh
masyarakat. Contohnya, lembaga pendidikan, ekonomi (perdagangan).
b. Unsanctioned Institutions, Lembaga sosial yang ditolak dan tidak
dikehendaki keberadaannya oleh masyarakat meskipun mereka tidak
mampu memberantasnya secara tuntas. Contohnya, kejahatan.
d) Berdasarkan penyebarannya
a. General Institutions, Lembaga yang dikenal dan diakui oleh hampir
seluruh masyarakat dunia. Contohnya, lembaga agama, dan hak asasi
manusia.
b. Restricted Institutions, Lembaga sosial yang hanya dikenal oleh sebagian
masyarakat tertentu saja. Contohnya, lembaga budaya Indonesia.
e) Berdasarkan fungsinya
a. Cooperative Institutions, Lembaga sosial yang berfungsi menghimpun
pola-pola atau cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Contohnya, lembaga industri.
b. Regulative Institutions, Lembaga sosial yang berfungsi mengawasi tata
kelakuan dalam masyarakat. Contohnya, lembaga hukum (pengadilan atau
kejaksaan)
60
2.2.2 Ciri-Ciri Lembaga Sosial
Alex Inkeles menjelaskan bahwa dalam struktur terdapat sistem tindakan,
yaitu seluruh perangkat kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan cara-cara bertindak yang
baku yang biasanya diwujudkan oleh suatu kelompok yang mempunyai hubungan
sosial timbal balik yang relatif langgeng. Perlu dipahami bahwa dasar utama suatu
lembaga adalah menyangkut stabilitas progresif, artinya pola kehidupan baru dalam
pemenuhan kebutuhan tertentu merupakan terminal struktur yang berkemajuan.
Aktivitas sosial yang dapat dihimpun menjadi kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan
erat dengan peranan-peranan dari perangkat struktur dapat dinamakan lembaga
(Kamanto Sunarto, 2006).
Ciri-ciri umum dari pada lembaga sosial (kemasyarakatan), menurut Gillin
and Gillin adalah sebagai berikut:
a. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi dari pada pola-pola
pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud melelui aktivitas-aktivitas
kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari
unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung
tergabung dalam satu unit yang fungsional.
b. Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga
kemasyarakatan. Sistem- sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru
menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif
lama. Misalnya suatu sistem pendidikan tertentu baru akan dapat diterapkan
seluruhnya,
setelah
mengalami
61
suatu
percobaan.
Lembaga-lembaga
kemasyarakatan biasanya juga berumur lama sekali, oleh karena pada
umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang
berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat yang sudah sewajarnya harus
dipelihara.
c. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu.
Mungkin tujuan-tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi
lembaga yang bersangkutan, apabila dipandang dari sudut kebudayaan secara
keseluruhan.
d. Lembaga
kemasyarakatan
mempunyai
alat-alat
perlengkapan
yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti
misalnya bangunan, peralatan mesin-mesin dan sebagainya. Bentuk serta
penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya.
e. Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri yang khas dari lembaga
kemasyarakatan. Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan
tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.
f. Suatu lembaga kemasyarakatan, mempunyai suatu tradisi yang tertulis ataupun
yang tak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata-tertib yang berlaku dan
lain-lain. Tradisi tersebut, merupakan dasar bagi lembaga itu didalam
pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari pada
masyarakat, dimana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya
(Soerjono Soekanto, 1983).
62
Secara lebih singkat, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, memperinci ciri-ciri
lembaga kemasyarakatan sebagai berikut:
a. Merupakan unit yang fungsional, merupakan organisasi pola pemikiran dan
perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.
b. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, yaitu telah teruji dan berupa himpunan
norma-norma
pencapaian
kebutuhan
pokok
yang
sewajarnya
harus
dipertahankan.
c. Mempunyai tujuan atau beberapa tujuan tertentu.
d. Mempunyai perangkat peralatan untuk mencapai tujuan lembaga tersebut,
misalnya: bangunan gedung, mesin-mesin, alat-alat lain.
e. Mempunyai alat pengebor semangat, misalnya: lambang-lambang, panjipanji, slogan-slogan, semboyan-semboyan dan lain sebagainya.
f. Mempunyai tradisi atau tata-tertib sendiri.
lembaga merupakan kumpulan dari berbagai cara berperilaku yang diakui oleh
anggota-anggota masyarakat sebagai sarana untuk mengatur hubungan-hubungan
sosial. Dengan demikian secara sosiologis, lembaga dalam pengertian hubungan
sosial dapat diartikan sebagai suatu jaringan proses hubungan antar manusia dalam
kehidupan masyarakat, di mana dalam proses tersebut terdapat suatu pola perilaku
yang disepakati bersama sebagai patokan agar stabilitas kerjasama upaya mencapai
tujuannya dapat terpelihara.
Dari segi integritas sosial dapat dipahami bahwa lembaga mengandung unsur
antar hubungan sosial berdasarkan kebutuhan kerjasama saling melengkapi secara
63
multidimensional. Kelebihan di satu pihak merupakan kekurangan pihak lain, terjalin
secara interdependensial dalam jangka waktu yang cukup lama. Kalau reaksi terhadap
suatu peristiwa terdapat persamaan antara sebagian besar anggota suatu kelompok
masyarakat, maka ada kecenderungan integritas sosial semakin meningkat. Keadaan
ini mencerminkan suatu pelembagaan tentang kesamaan perilaku antar anggota
kelompok dalam memenuhi segenap kebutuhan bersamanya, khususnya mengenai
selera, norma dan kepentingan-kepentingan. Jadi lembaga sosial mengandung
jaminan kesadaran kelompok bahwa kepentingan-kepentingan kelompok itu
dirasakan dan dihayati oleh anggotanya sebagai kepentingan dirinya juga.
2.2.3 Proses Pelembagaan
Dalam sosiologi dikenal ada empat macam tigkatan proses pelembagaan,
Pertama; cara (usage) yang menunjuk pada suatu perbuatan. Kedua; cara berbuat ini
berlanjut pada dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan (folkways), yaitu
perbuatan yang selalu diulang-ulang dalam setiap usaha dalam mencapai tujuan.
Ketiga; apabila kebiasaan itu diterima sebagai patokan atau norma pengatur kelakuan
bertindak, maka didalamnya sudah terdapat unsur pengawas dan jika terjadi
penyimpangan, pelakunya akan dikenakan sanksi. Keempat; tatas kelakuan yang
semakin kuat yang mencerminkan kekuatan pola kelakuan masyarakat yang
mengikata para anggotanya; tata kelakuan semacam ini disebut adat istiadat (costum).
Bagi masyarakat yang melanggar adat istiaat, maka ia akan mendapat sanksi yang
lebih keras (Abdulsyani,2007;77).
64
.Roucek dan Warren (1984), menyebut lembaga sebagai pola organisasi untuk
memenuhi berbagai keperluan manusia, yang lahir dengan adanya berbagai budaya
sebagai satu ketetapan untuk menggunakannya yang tetap, memperoleh konsep
kesejahteraan
masyarakat,
dan
melahirkan
suatu
struktur.
(www.pdfsearchengine.com- perlengkapan fisip- strategi kebudayaan2)
Lembaga pada mulanya terbentuk atas dorongan kesamaan pandangan, hasrat
dan keinginan bersama manusia untuk hidup secara teratur. Cita-cita tentang
keteraturan hidup ini berpusat pada tatanan normatif hubungan antar angota
masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penataan, pemeliharaan
dan pengekalan keteraturan hubungan antar anggota masyarakat itu sangat tergantung
pada intensitas kesadaran bersama terhadap fungsi norma-norma sosial yang berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan. Apabila kemudian secara sadar norma-norma
sosial itu diakui, dihormati dan dipatuhi bersama sebagai satu-satunya alternatif yang
dapat berfungsi memelihara stabilitas hubungan sosial dan dapat mendorong
kemudahan dalam usaha memenuhi kepentingan-kepentingan kelompoknya, maka
kehidupan kelompok ini akan semakin mapan dan terpola dalam bentuk lembaga
sosial.
Proses pelembagaan yang terus meningkat, maka perlu dipahami bahwa poses
pelembagaan tercakup beberapa aspek, seperti aspek norma, kekuatan penjiwaan
terhadap norma, disamping luasnya penyebaran penjiwaan norma tersebut bagi
anggota masyarakat. Seiring dengan apa yang disebutkan oleh durkheim, sosiologi
merupakan ilmu yang mempelajari institusi (lembaga sosial). Dalam sosiologi
65
lembaga utama yang menjadi pokok kajiannya antara lain; lembaga sosial ekonomi,
politik, keluarga, pendidikan dan agama. Pada kajian deskripsi skripsi yang akan
dibuat ini yang menjadi sorotan adalah lembaga (institusi) pendidikan.
2.3 Lembaga Pendidikan
Pendidikan merupakan lembaga (institusi) yang juga menjadi sorotan penting
para ahli sosoiologi. Yang menjadi pokok bahasan utamanya adalah pendidikan
formal, dan institusi pendidikan formal terpenting dalam masyarakat adalah sekolah
yang menawarkan pendidikan formal mulai dari jenjang pra sekolah sampai
kejenjang pendididkan tinggi baik yang bersifat umum maupun khusus (misalnya
sekolah agama dan sekolah luarbiasa). Namun kita telah mengetahui bahwa diluar
sekolah dijumpai berbagai bentuk pendidikan luar sekolah seperti pendidikan
nonformal, misalnya kursus, dan pendidikan informal, misalnya pendidikan yang
terjadi dirumah atau melalui media massa (Kamanto.2000;65)
Institusi (lembaga) pendidikan, menurut ahli sosiologi yang menjadi fokus
kajiannya adalah bagaimana keterkaitan antara pendidikan dengan institusi lain,
misalnya hubungan antara pendidikan dengan politik. Fungsi pendidikan dalam
kajian sosiologi dibagi kedalam dua fungsi yaitu fungsi manifest dan fungsi laten
(Horton
dan
Hunt;1984),
fungsi
manifest
pendidikan
ialah,
antara
lain,
mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, mengembangkan bakat
perseorangan demi kepuasan pribadi maupun bagi kepentingan masyarakat,
melestarikan kebudayaan, menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi
dalam demokrasi dan sebagainya. Fungsi laten yaitu fungsi yang tidak tersirat dalam
66
kurikulum sekolah (Hiddden curriculum) yaitu; kurikulum yang tidak disadari akan
tetapi berfungsi untuk memberikan pengetahuan bagi peserta didik (Ibid;66)
. Lembaga pendidikan dibagi atas tiga tipe (Randall Collins,1979):
a. Pendidikan keterampilan dan praktis, yakni pendidikan yang dilaksanakan
untuk memberikan bekal keterampilan maupun kemampuan teknis tertentu
agar dapat diaplikasikan kepada bentuk kehidupan sehari-hari dan
masyarakat.
b. Pendidikan kelompok status, yaitu pengajaran yang diupayakan untuk
mempertahankan prestise, simbol, serta hak-hak istimewa (privilese)
kelompok elite dalam masyarakat yang memiliki pelapisan sosial.
c. Pendidikan birokratis yang diciptakan oleh pemerintah untuk melayani
kepentingan kualifikasi pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintahan
serta berguna pula sebagai sarana sosialisasi politik dari pemerintah kepada
masyarakat awam.
Lembaga pendidikan memiliki dua fungsi yaitu fungsi nyata (manifest)
dan fungsi laten (Horton dan Hunt, 1984): Fungsi nyata (manifest) adalah fungsi
yang tercantum dalam kurikulum sekolah, yakni :
a. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
b. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi maupun
kepentingan masyarakat.
c. Melestarikan kebudayaan.
d. Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
67
e. Mengajarkan peranan sosial.
f. Menyediakan tenaga pembangunan.
g. Membuka kesempatan memperbaiki nasib.
h. Menciptakan integrasi sosial.
i. Kontrol sosial pendidikan
Fungsi laten adalah fungsi yang terselubung, antara lain :
a. Pemupukan keremajaan.
b. Pengurangan pengendalian orangtua.
c. Penyediaan sarana untuk pembangkangan.
d. Dipertahankannya sistem kelas sosial.
2.4 Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan rangkaian kata yang terdiri dari “pondok” dan
“pesantren”. Kata pondok (kamar, gubuk, kamar kecil) yang dipakai dalam bahasa
Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. “funduk” yang berarti
ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana. Karena pondok (tradisional
umumnya) memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar
yang jauh dari tempat asalnya (Mahmud dalam Suwito,2005;312).
Sedangkan pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang dibubuhi awalan
“pe’ dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri (Manferd Ziemek. 1986).
Menurut beberapa ahli yang dikutip oleh Zamaksyari Dofier antara lain Jhons, kata
santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedangkan CC. Berg
berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa
68
India berarti orang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau orang sarjana ahli kita
suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-bhuku
suci, buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Ibid;313).
Dari beberapa definisi diatas jelas sekali bahwa dari segi etimologi lembaga
pondok pesantren merupakan satu lembaga kuno yang mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan agama. Oleh karenanya wajar ketika ada sisi kesamaan (secara bahasa)
antara pondok pesantren yang ada dalam sejarah Hindu dengan pondok pesantren
yang lahir belakangan. Antara keduanya memiliki kesamaan prinsip pengajaran ilmu
agama yang dilakukan dalam satu bentuk asrama.
Namun secara terminology, K.H. Imam Zarkasih mengartikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana Kyai
sebagai figure sentral, Masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan
pengajaran islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan
utamanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Sadjoko, pesantren adalah lembaga
pendidikan dan pengajaran agama islam, umumnya dengan cara non klasikal (weton,
sorogan, dan lain-lain) dimana seorang Kyai mengajarkan ilmu agama islam kepada
santri berdasrkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama-ilama arab
abad pertengahan, dan biasanya santri tinggal diasrama.
Dengan demikian, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam
yang mempunyai kekhasan sendiri, dimana kyai sebagai figure pemimpin, santri
sebagai objek yang dikasih ilmu agama, dan asrama sebagai tempat tinggal para
69
santri. Lembaga pesantren bisa dikatakan sebagai lembaga islam tertua yang dalam
sejarah Indonesia lembaga ini mempunyai peran besar dalam membantu proses
keberlanjutan pendidikan nasional.
Ada beberapa pendapat yang membicarakan mengenai asal usul dari latar
belakang pondok pesantren di Indonesia, pertama, pendapat yang menyebutkan
bahwa pesantren berakar pada tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Para
pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat mereka diajarkan juga kitakita agama islam. Aktifitas mereka itu kemudian dinamakan dengan pengajian.
Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang
menjadi lembaga pesantren, bahkan dari segi penanaman istilah pengajian merupakan
istilah baku yang digunakan dalam pondok pesantren, baik saaf maupun khaf .
Pendapat kedua, menyebutkan bahwa kehadiran pesantren di Indonesia
diilhami oleh lembaga pendidikan ‘kuttab”, yakni lembaga pendidikan masa kerajaan
Bani umayyah yang semula hanya wahana atau lembaga baca tulis dengan sistem
halaqoh (wetonan). Pada tahap berikutnya lembaga ini mengalami perkembangan
yang pesat, karena didukung oleh iuran masyarakat serta adanya rencana-rencana
yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik. Artinya, menurut pendapat ini ada
sisi kesamaan dari segi penyampaian ilmu pengetahuan agama, yakni melalui metode
“halaqoh”, dimana kyai dan santri berkumpul dalam satu tempat untuk melakukan
pengajaran.
Pendapat ketiga, seperti disebutkan dalam ensklopedia islam bahwa pesantren
yang ada sekarang pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren
70
orang-orang hindu di nusantara pada masa sebelum islam. Hindu serta membina
kader-kader penyebar agama tersebut.
Terlepas dari itu, karena yang dimaksud dengan istilah pesantren dalam
pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam,
dan pengembangan islam ditanah air, oleh karena itu tidaklah berlebihan bila kita
katakana bahwa pondok pesantren
yang pertama adalah pondok pesantren yang
didirikan oleh syekh Maulana Malik Ibrahim atau syekh maulana Maghribi.
Pada periode awal ini (wali songo mendirikan pesantren dengan tujuan pada
masa awal pondok pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi sekaligus
memadukan tiga unsure pendidikan, yakni; ibadah untuk menanamkan iman, tabliq
untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan keinginan masyarakat dalam
kegiatan sehari-hari. Sehingga pada awal didirikan pesantren, kyai melakukan
kegiatan pengajian kepada masyarakat dengan tanpa memungut biaya. Kondisi
ekonomi kyai yang cukup mapan waktu itu, memberi peluang kepada santri dan
masyarakat untuk mengikuti pengajian. Sebagai imbalannya para santri bekerja dalam
bentuk menanam padi di sawah, dan berladang secara ikhlas dengan tanpa imbalan.
Keberadaan pesantren terus tumbuh dan berkembang dengan sendirinya
dalam masyarakat. Para ulama yang bersifat non cooperation terhadap penjajah, sejak
awal selalu berusaha menghindarkan tradisi serta mengajarkan islam dari pengaruh
budaya barat, terutama yang dibawah oleh penjajah. Semua bentuk kebudayaan ala
barat dipandang sebagai sesuatu yang harus dijauhi oleh umat islam.
71
Intstitusi ini jelas-jelas menjadi oposisi penjajah belanda. Gerakan anti
kolonialis ini terus menerus dilancarkan melalui aktifitas pengajian. Usaha ini telah
menjadi lembaga yang marginal. Fenomena pondok pesantren seperti itu telah
mendorong pihak penjajah, rasa patriotis sebagai bangsa Indonesia semakin tumbuh
secara alamiah dikalangan santri dan masyarakat sejalan dengan motto Hubbul
Wathan Minal Iman. Kondisi semacam ini tentu saja akan jelas-jelas menghambat
misi penjajah untuk menguasa Indonesia dan program kristenisasinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, pondok pesantren kemudian melakukan
akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian melakukan pola yang dipandangnya
cukup tepat dalam menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan
berdampak luas. Upaya tersebut dilakukan untuk menghindari para santri yang hanya
menguasai ilmu-ilmu agama secara parsial, tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan
umum sebagai basic beradaptasi dengan dunia yang semakin sarat dengan
kecanggihan teknologi dan informasi.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika dalam sejarahnya, institusi ini
terus survive dalam masyarakat hingga sekarang, bahkan telah memberikan corak
terhadap pendidikan nasional. Terlepas dari beberapa pendapat diatas, dalam
kenyataannya dewasa ini penyelenggarakan sistem pendidikan dan pengajaran
dipondok pesantren dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Pondok pesantren yang cara pendidikan dan pengajarannya menggunakan
metode sorogan dan bandongan yaitu seorang kyai mengajarkan santrisantrinya berdasarkan kitab-kitab klasik yang ditulis dalam bahasa arab
72
dengan sistem terjemahan. Pada umumnya
pondok pesantren seperti
menempatkan santrinya dalam asrama pondok dan dalam pengajarannya pun
masih relative steril dari ilmu pengetahuan umum. Sehingga dalam perjalanan
selanjutnya, para ahli sering menyebutnya pondok pesantren ini dengan
sebutan salf murni.
b. Pondok pesantren, walaupun mempertahankan sistem pengajaran dan
pendidikan, sebagaimana tersebut diatas akan tetapi lembaga pendidikan ini
telah memasukkan pendidikan umum ke pesantren; seperti SMP,SMA,STM,
dan SMEA. Atau dengan kata lain pada pondok pesantren model ini ada dua
model pendidikan yang berjalan menurut aturan sendiri, dimana kepala
sekolah sebagai pemimpin sekolah umum dan kyai sebagai pemimpin
sekaligus pengasuh pesantren. Biasanya pondok pesantren model ini dalam
merealisasikan pengajarannya melalui pembagian waktu belajar, kelemahan
yang terlihat jelas dari model ini adalah para santri selalu “dipaksakan’ untuk
mengikuti dua pendidikan yang berbeda. Hal ini yang sering menyebabkan
para santri mengeluh dan terbebani.
c. Pondok
pesantren
didalam
sistem
pendidikan
dan
pengajarannya
mengintegrasikan sistem madrasah kedalam pondok pesantren dengan segala
jiwa, nilai, dan atribut-atribut lainnya. Didalam pengajarannya memakai
metode deduktif dan sistem evaluasi pada setiap semester dengan metode
mengambil dari sistem klasikal ditambah dengan disiplin yang ketat melalui
full asrama atau santri diwajibkan berdiam diasrama. Sistem madrasah yang
73
diterapkan dipondok pesantren ini merupakan suatu upaya untuk lebih
mengorganisir manajemen pondok pesantren yang selama ini terkesan tidak
jelas. Adanya sistem ini sudah pasti akan menghasilkan kualitas pendidikan
pesantren yang lebih baik (suwito,2005;313-318).
74
Download