BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedaulatan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah kekuasaan yang terbatas, yaitu ruang berlakunya kekuasaan suatu negara tertentu dibatasi oleh batas-batas wilayah negara tersebut. Berarti suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas-batas wilayahnya. Secara garis besar, negara berdaulat berarti negara mempunyai kekuasaan tertinggi. Sehingga tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya tersebut. Negara dikatakan berdaulat karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Oleh karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa pada saat ini kedaulatan suatu negara merupakan suatu sisa (residuum) dari kekuasaan yang dimilikinya dalam batas-batas yang telah ditetapkan hukum internasional. Istilah “kedaulatan” sendiri lebih merupakan suatu istilah sastra daripada pengertian hukum yang dapat didefinisikan secara tepat. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence) juga paham kesederajatan (equality). Artinya, bahwa negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya. Suatu negara yang merdeka, maka ia mempunyai hak-haknya, seperti yurisdiksi teritorial dan mempertahankan negaranya. Di samping hak terdapat kewajibannya yang mengikat atau berhubungan dengan negara lain, seperti tidak mengambil jalan kekerasan, traktat dengan iktikad baik, dan tidak intervensi. Prinsip menghormati kedaulatan teritorial suatu negara salah satu contoh hak sekaligus kewajiban. Dalam hukum internasional dikenal pula paham imunitas. Dari sudut istilah, imunitas negara memiliki arti bahwa terhadap setiap negara berdaulat, yurisdiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau dengan kata lain secara khusus pengadilan suatu negara tertentu tidak dapat mengadili negara lain. Selanjutnya dalam hukum internasional dikenal suatu prinsip yang mengatakan “par in parem non hebat yurisdcsionem”, yang artinya bahwa setiap negara mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar, tidak ada satu negara yang melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara lain tanpa dengan persetujuan negara lain tersebut.1 Doctrine of the equality of states oleh Christian Wolf: Pada dasarnya semua bangsa mempunyai kedudukan yang sama satu sama lain. Karena bangsabangsa dianggap sebagai pribadi manusia bebas yang hidup dalam suatu keadaan alami, oleh karena itu, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kedudukan yang sama, maka semua bangsa pun pada dasarnya berkedudukan sama satu sama lain”.2 1 http://karimjogja.blogspot.co.id/ Arti Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional, diunduh, 2 Januari 2016. 2 Ibid Sehubungan dengan kemerdekaan dan kedaulatan negara ini, Konvensi Montevideo pada tahun 1933 menyatakan bahwa suatu negara harus memiliki 4 (empat) unsur, yaitu: 1. Rakyat yang permanen 2. Wilayah atau daerah yang tetap 3. Pemerintah 4. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain Kedaulatan suatu negara mencakup keempat unsur di atas yang berarti juga kekuasaan absolut suatu negara atas unsur-unsur tersebut. Negara Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat berdasarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang berarti bebas dari penjajahan dan intervensi negara lain, bebas menentukan dan mengatur diri sendiri dan bebas berhubungan dengan negara lain dalam tatanan hubungan internasional. Berdasarkan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara merdeka yang tidak bisa diintervensi oleh negara lain. Kedaulatan bersifat absolut yang mengikat setiap wilayah dan penduduk yang ada di dalamnya. Kedaulatan adalah sifat hakiki dari suat negara yang bebas merdeka.3 Menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari bahasa Latin superanus yang berarti yang 3 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, h. 16. teratas.4 Negara yang berdaulat berarti negara yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk menjalankan negaranya tanpa ada campur tangan dari negara lain.5 Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kedaulatan suatu negara akan dapat berjalan dengan baik apabila menjalin hubungan kerjasama dengan negara-negara tetangga. Karena bagaimanapun sebagaimana dikemukakan Aritoteles seorang filsuf terkemuka dari Yunani, bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang memiliki arti bahwa manusia tidak dapat hidup seorang diri saja melainkan membutuhkan orang lain untuk bisa menjalankan kehidupannya. Demikian halnya dalam hal bernegara, negara adalah manifestasi dari kumpulan rakyat yang menyatukan dirinya menjadi satu identitas dan taat kepada hukum yang sama. Supaya fungsi negara dapat berjalan maka negara tersebut tidak dapat memisahkan dirinya dari negara lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia. Karena luasnya laut yang dimiliki oleh Indonesia maka garis batas baik darat, laut maupun udara antara Indonesia dan negara tetangganya sangat luas dan tersebar bukan hanya di satu pulau tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Dalam penulisan ini akan difokuskan pada unsur kedaulatan dari suatu negara dimana negara yang berdaulat harus memiliki kemampuan berhubungan dengan negara lain dalam tatanan dunia internasional. Hubungan internasional terjalin karena adanya saling ketergantungan antar negara untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut. Tidak ada satu negara pun yang bisa hidup sendiri tanda adanya bantuan atau kerja sama dengan negara lain. 4 5 Ibid. Ibid. Ada beberapa pendapat terkait dengan pengertian hubungan internasional antara lain:6 1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 huruf a bahwa hubungan internasional adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. 2. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hubungan internasional adalah hubungan antar bangsa. Dalam hubungan tersebut berkembang juga kebiasaan-kebiasaan maupun peraturan-peraturan hukum yang merupakan bagian dari kesepakatan bersama. 3. Menurut Encyclopedia Americana, hubungan internasional adalah hubungan antar negara atau antar individu dari negara-negara yang berbeda baik berupa hubungan politik, budaya, ekonomi ataupun hankam. Hubungan Internasional mengadung arti adanya suatu kerja sama yang bersifat internasional (antar negara). Kerja sama yang dibentuk tersebut harus tunduk kepada kaidah-kaidah hukum internasional. Berdasarkan statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) , bahwa sumber hukum bagi hukum internasional adalah sebagai berikut: 6 Amin Suprihatini, 2008, Hubungan Internasional, cempaka putih, klaten, h.3-4. 1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum. 3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum. Salah satu bentuk kerjasama internasional tersebut adalah kerjasama dalam hal lalu lintas orang maupun barang/jasa antar negara. Pada karya tulis ini, Penulis hanya membahas lalu lintas orang antar negara terutama lalu lintas orang asing yang akan masuk atau keluar dari wilayah negara Indonesia. Kedaulatan negara di perbatasan dan di setiap pintu masuk ke wilayah Indonesia harus ditegakkan. Penegakan kedaulatan terhadap teritorial wilayah negara dilaksanakan oleh Tentara Nasional Indonesia sedangkan penegakan kedaulatan negara terhadap setiap orang yang akan masuk atau keluar wilayah negara Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam rangka menegakkan kedaulatan negara terhadap setiap orang yang akan keluar masuk wilayah negara Indonesia diatur dalam peraturan perundangundangan keimigrasian, dan peraturan-peraturan keimigrasian tersebut pada awalnya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik sejak zaman kolonial sampai zaman awal kemerdekaan. Peraturan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:7 - Toelatingbesluit 1916 (Staatsblad 1916 Nomor 47). - Toelatingbesluit 1949 (Staatblad 1949 Nomor 330). - Undang-Undang Nomor 42 Drt. Tahun 1950 tentang Bea Imigrasi. - Undang-Undang Nomor 9 Drt. Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing. - Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955 tentang Tidak Pidana Imigrasi. Seiring dengan perkembangan zaman terutama di bidang hukum internasional yang mengatur tentang wilayah negara serta perkembangan pergaulan internasional maka pemerintah Indonesia memandang perlu menyusun suatu undang-undang keimigrasian yang terpadu mencakup seluruh permasalahan keimigrasian yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. Pada tahun 1992 terbentuklah Undang-Undang yang mengatur tentang keimigrasian yaitu UndangUndang Nomor 9 Tahun 1992 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 sebagai Undang-Undang yang terbaru tentang Keimigrasian. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 1 Angka (1) menyebutkan: “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara.” Untuk menjamin kemanfaatan dan melindungi berbagai kepentingan nasional serta dalam rangka menegakkan kedaulatan negara di bidang 7 Moh. Ari, 1997, Komentar Undang-Undang Keimigrasian beserta Peraturan Pemerintah, Pusdiklat Pegawai Departemen Kehakiman, Jakarta, h. 11. keimigrasian maka perlu ditetapkan prinsip, tata pengawasan, tata pelayanan atas masuk dan keluarnya orang ke dan dari wilayah Indonesia sesuai dengan nilainilai dan tujuan nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap orang asing, pemberian ijin keimigrasian dan pengawasannya dilaksanakan berdasarkan prinsip yang bersifat selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini maka hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum serta tidak bermusuhan baik terhadap rakyat maupun negara Republik Indonesia yang boleh masuk atau keluar wilayah Indonesia. Setiap orang asing yang akan masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki visa atau izin masuk ke wilayah Indonesia kecuali bagi mereka yang negaranya dibebaskan dari kewajiban memiliki visa. Pengertian Visa diatur dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 2011 Pasal 1 Angka (18) yang berbunyi: “Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di Perwakilan Republik Indonesia atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian Izin Tinggal.” Jenis-jenis visa adalah sebagai berikut: 1. Visa Diplomatik 2. Visa Dinas 3. Visa Kunjungan 4. Visa Tinggal Terbatas Dasar hukum pemberlakuan pemberian Visa Kunjungan Saat Kedatangan adalah Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-04.IZ.01.10 Tahun 2003 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan yang mengalami perubahan sampai dengan perubahan yang kesebelas pada tahun 2009 agar sesuai dengan pergaulan internasional dan perkembangan hukum internasional. Namun pada akhirnya, Peraturan Menteri tersebut diganti dengan peraturan menteri yang terbaru yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01-GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan. Pengertian Visa Kunjungan Saat Kedatangan dijelaskan melalui pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01-GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan yang berbunyi “Visa Kunjungan Saat Kedatangan yang selanjutnya disingkat dengan VKSK adalah Visa Kunjungan atas kuasa Direktur Jenderal Imigrasi yang diberikan kepada Warga Negara Asing pada saat tiba di wilayah Indonesia”. Hal yang melatarbelakangi pemberian Visa Kunjungan Saat Kedatangan dijelaskan melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01-GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan Pasal 2 yang berbunyi: “Visa Kunjungan Saat Kedatangan dapat diberikan kepada Warga Negara Asing yang bermaksud mengadakan kunjungan ke Indonesia dalam rangka wisata, kunjungan sosial budaya, kunjungan usaha, atau tugas pemerintahan dengan mempertimbangkan asas manfaat, saling menguntungkan dan tidak menimbulkan gangguan keamanan”. Namun bagi negara-negara tertentu diberikan pengecualian dari kewajiban memiliki visa untuk memasuki wilayah negara Indonesia. Dasar hukum pemberian bebas visa bagi negara-negara tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 43 yang berbunyi: (1) Dalam hal tertentu Orang Asing dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa. (2) Orang Asing yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. warga negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas manfaat; b. warga negara asing pemegang izin tinggal yang memiliki izin masuk kembali yang masih berlaku; c. nahkoda, kapten pilot, atau awak yang sedang bertugas di alat angkut; d. nahkoda, awak kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut atau alat apung yang datang langsung dengan alat angkutnya untuk beroperasi di perairan nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 43 dijelaskan bahwa kebijakan pembebasan visa diberikan kepada negara lain dengan memperhatikan asas timbal balik yaitu bahwa pembebasan visa hanya diberikan kepada orang asing dari negara yang juga memberikan pembebasan visa kepada warga negara Indonesia dan asas manfaat yaitu bahwa hanya orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum serta tidak bermusuhan baik terhadap rakyat maupun Negara Republik Indonesia yang boleh masuk atau keluar wilayah Indonesia. Pada tanggal 5 Nopember 2014 Kementerian Pariwisata Republik Indonesia mengajukan rencana pemberian bebas visa kepada 5 negara yaitu: Australia, Jepang, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Selatan dan Rusia untuk meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia dengan target awal adalah 10 juta wisatawan dan 20 juta wisatawan dalam waktu 5 tahun ke depan.8 Pada tanggal 9 Juni 2015 Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan yang isinya memuat pemberian kebijakan bebas visa kunjungan kepada 45 negara dengan rincian 15 negara penerima bebas visa terdahulu yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden 8 http://www.m.liputan6.com/lifestyle/read/2130560/5-negara-ini-bebas-visa-ke-indonesia-mulai2015, diunduh tanggal 27 Desember 2015. Nomor 43 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 ditambah dengan 30 negara baru dengan alasan utama untuk meningkatkan angka kunjungan wisata dari orang asing yang akan masuk ke Indonesia. Dengan adanya peningkatan angka kunjungan wisatawan mancanegara diharapkan akan meningkatkan pendapatan devisa negara dari sektor pariwisata. peraturan presiden ini dimaksudkan untuk mempermudah lalu lintas orang asing yang akan datang ke Indonesia dalam rangka wisata. Pemberlakuan Peraturan Presiden ini perlu diteliti dari segi latar belakang dan aspek yuridis yang harus dipenuhi agar peraturan presiden ini tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dan pembahasannya dalam skripsi ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBERIAN BEBAS VISA KEPADA 45 NEGARA BERDASARKAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 69 TAHUN 2015 TENTANG BEBAS VISA KUNJUNGAN”. 1.2 Rumusan Masalah Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan menimbulkan permasalahan hukum baru karena ada dualisme penerapan kebijakan yang sama terhadap beberapa negara dengan tujuan yang sama. Dualisme tersebut adalah untuk 15 negara awal diberlakukan asas resiprositas sementara untuk 30 negara baru tidak berlaku asas resiprositas sementara kebijakan yang diberikan sama yaitu diberikan bebas visa kunjungan dan masalah lain yang timbul akibat penerapan pemberian bebas visa kunjungan ini yaitu peraturan pelaksana yang kurang tegas dan memberikan ruang kepada orang asing untuk menyalahgunakan kebijakan ini. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah kebijakan pemberian bebas visa kunjungan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan bertentangan dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dalam hal asas pemberlakuan kebijakan? 2. Apakah dualisme kebijakan pemberian bebas visa kunjungan memberikan kepastian hukum kepada setiap orang asing yang datang berkunjung ke Indonesia terkait dengan ijin masuk dan ijin tinggalnya selama di Indonesia? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah yang akan diuraikan pada skripsi ini terbatas pada penerapan asas-asas yang mendasari ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa kunjungan dan apakah hal-hal yang diatur oleh peraturan presiden ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian serta bagaimana implementasi Peraturan Presiden ini di lapangan apakah menimbulkan kepastian hukum atau menimbulkan makna kabur pada masyarakat dan orang-orang yang menjadi subyek dari peraturan presiden ini. Penulis tidak secara khusus membahas penerapan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 Tentang Bebas Visa Kunjungan dari sudut politik meskipun proses penentuan subyek negara yang diberikan pembebasan visa untuk masuk ke Indonesia adalah domain dari politik luar negeri Indonesia. Penulis hanya berupaya menganalisa secara normatif apakah ada celah atau hal-hal yang kurang tepat dari penerapan peraturan presiden ini ditinjau dari sudut pandang hukum yang secara hierarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. 1.4 Orisinalitas Penelitian Penulisan usulan penelitian skripsi oleh penulis dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Pemberian Bebas Visa Kepada 45 Negara Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan” merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri melalui riset dan bacaan atas bahan hukum yang mendukung pada penulisan ini. Berikut adalah pembanding dari beberapa hasil penelitian orang lain yang mengambil tema sama dengan penulis. Namun judul dan rumusan masalah dari tiap penulis skripsi di bawah ini tidaklah serupa. Tabel I merupakan dua skripsi orang lain yang menjadi pembanding. Tabel II merupakan karya orisinil penulis. Tabel I No. 1. Peneliti Taufik Muhaimin Judul 070710101190, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Rumusan Masalah 1. Bagaimana Bentuk Pengawasan Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS)? Universitas Jember Fakultas Hukum 2. Apakah Akibat Hukum Yang Timbul Dari 2013, judul “Bentuk Penyalahgunaan Bebas Pengawasan Bebas Visa Kunjungan Singkat Visa Kunjungan (BVKS)? Singkat (BVKS) Oleh Kantor Keimigrasian Kepada Warga Negara Asing Yang Tinggal Di Indonesia” 2. Nurul Pertiwi 110200076, 1. Bagaimana Tinjauan Fakultas Hukum Hukum Internasional Universitas Sumatera Terhadap Organisasi Utara Medan, tahun 2015, judul “Pemberlakuan Bebas Visa Bagi NegaraNegara Anggota Internasional Dan Organisasi Konferensi Islam (OKI)? 2. Bagaimanakah Pemberlakuan Bebas Organisasi Konferensi Visa Bagi Negara- Islam (OKI) Menurut Negara Anggota Tinjauan Hukum Internasional” Tabel II Organisasi Konferensi Islam? No. Peneliti Judul 1. Jhonsen Marudut 1016051157 Rumusan Masalah 1. Apakah kebijakan Program Ekstensi pemberian bebas visa Fakultas Hukum kunjungan berdasarkan Universitas Udayana, Peraturan Presiden tahun 2015, judul Nomor 69 Tahun 2015 “Tinjauan Yuridis bertentangan dengan Tentang Pemberian Undang Undang Nomor Bebas Visa Kepada 45 6 Tahun 2011 Tentang Negara Berdasarkan Keimigrasian dalam hal Peraturan Presiden asas pemberlakuan Nomor 69 Tahun 2015 Tentang Bebas Visa Kunjungan” kebijakan? 2. Apakah dualisme kebijakan pemberian bebas visa kunjungan memberikan kepastian hukum kepada setiap orang asing yang datang berkunjung ke Indonesia terkait dengan ijin masuk dan ijin tinggalnya selama di Indonesia? Penulis lebih menekankan pada masalah asas yang melandasi kebijakan pemberian bebas visa kunjungan kepada 45 negara dan kepastian hukum yang terkandung dalam Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan yang saat ini masih jarang dibahas dalam makalah perkuliahan maupun karya tulis ilmiah lainnya karena peraturan ini sangat baru dan masih banyak warga negara dari negara-negara yang menjadi subyek kebijakan ini yang belum mengetahui atau kurang memahami syarat dan ketentuan yang berlaku yang mengikat dalam peraturan presiden ini. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan merupakan salah satu peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang membawa perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan undang-undang keimigrasian yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992. 1.5 Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan usulan penelitian adalah untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis berdasarkan data-data yang sudah ada dalam pustaka dan dokumen yang digunakan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang diangkat dalam penulisan usulan penelitian ini. Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan daya analisa mahasiswa terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku apakah sudah tepat atau harus ada yang diubah baik pengurangan atau penambahan. Apakah peraturan perudangan-undangan tersebut tidak menimbulkan makna yang kabur atau menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. b. Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, penulis mempunyai tujuan khusus agar setiap orang yang membaca usulan penelitian ini mendapat pengetahuan yang lebih jelas mengenai alasan pemerintah memberikan bebas visa kepada warga negara asing tertentu secara komprehensif dan bagaimana kebijakan tersebut ditinjau dari sudut hukum atau peraturan yang menjadi sumber hukumnya apakah bertentangan atau tidak. 1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Materi yang dibahas dalam usulan penelitian ini adalah materi yang menganalisa tata cara pemberian bebas visa kepada warga negara tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. Analisa ini bertujuan apakah peraturan terebut cacat hukum atau sudah memenuhi tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan dan tidak melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Mahasiswa dan praktisi hukum dapat menganalisa setiap bagian dalam usulan penelitian ini apakah ada bagian dari peraturan presiden yang kurang jelas pengaturannya atau bahkan tidak tepat sehingga memberikan ruang untuk penemuan hukum baru terkait dengan hukum keimigrasian di kemudian hari. b. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang dapat dirasakan oleh para praktisi hukum, mahasiswa dan pemerhati hukum lainnya melalui usulan penelitian hukum ini adalah kemampuan mengidentifikasi sistematika dan hirearki peraturan perundang-undangan yaag berlaku di Indonesia terutama dalam bidang keimigrasian lebih khusus lagi adalah tentang pemberian bebas visa kunjungan kepada 45 negara berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. Jika ada penyimpangan dari kebijakan pemberian bebas visa tersebut maka masyarakat mampu menganalisa jenis penyimpangannya dan dapat melaporkan ke kantor imigrasi terdekat. 1.7 Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum, konsep-konsep, asas-asas hukum dan lain-lain. Berkaitan dengan pokok penulisan itu dapat dikembangkan landasan teori pada skripsi ini. Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam kedaulatan teritorial negara. Perbatasan dapat diakui dengan tegas dalam traktak atau umum diakui tanpa pernyataan tegas. Perbatasan bukan hanya garis maginer di atas permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya. Perbatasan bukan semata-mata sebuah garis tetapi sebuah garis dalam daerah perbatasan. Kejelasan batas wilayah suatu negara dibutuhkan dalam rangka menjaga kedaulatan, pertahanan, keamanan, dan keutuhan teritorial suatu negara.9 Berkaitan dengan perbatasan, di setiap perbatasan antar negara terdapat Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Setiap orang yang melakukan perjalanan melintasi batas suatu negara baik itu masuk ataupun keluar dari wilayah Indonesia harus melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan/sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. Sesuai konsep hukum internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu: ekstern, intern dan territorial. 10 Dalam melindungi kedaulatan negara, Direktorat Jenderal Imigrasi selaku pintu gerbang negara menerapkan politik keimigrasian berupa selective policy (politik saringan). Indonesia merubah kebijaksanaan opendeur politiek menjadi selective policy pada tahun 1950 setelah terbentuknya Negara Kesatuan Rl di bawah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).11 Selective policy adalah kebijaksanaan imigrasi yang bersifat selektif atau saringan dan didasarkan pada perlindungan kepentingan nasional dan lebih menekankan prinsip pemberian perlindungan yang lebih besar kepada warga negara Indonesia. 9 J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh. Sinar Grafika, Jakarta, h. 95-96 10 Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional-Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 24 11 Ramadhan KH, Abrar Yuara (ed), 2005, Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM Rl, h. 53 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara diperlukan suatu hukum yang mengatur hal tersebut. Konsep hukum dan negara berdasarkan atas hukum adalah adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum.12 Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan atau ketertiban ini, syarat pokok untuk suatu masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.13 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Penegakan hukum harus memberi manfaat pada masyarakat, di samping bertujuan menciptakan keadilan. Teori merupakan 12 perundang-undangan bagian dari ilmu (gezetgebungstheorie) pengetahuan pada dasarnya perundang-undangan Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 1. 13 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, h. 2. (gezetgebungswissemschaft) yang berupaya mencari kejelasan makna atau pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan secara kognitif.14 Salah seorang intelektual mashab hukum murni yang pemikirannya tentang Grundnorm dan hierarki norma hukum berpengaruh besar terhadap konstruksi hierarki perundang-undangan di berbagai negara yakni Hans Kelsen, mengkategorikan hukum sebagai norma yang dinamik (normdynamics). Menurut konsep ini hukum adalah sesuatu yang dibuat melalui suatu prosedur tertentu dan segala sesuatu yang dibuat menurut cara ini adalah hukum. Dalam kaitannya dengan konstitusi, hukum dikonsepsikan sebagai sesuatu yang terjadi menurut cara yang ditentukan konstitusi bagi pembentukan hukum. Lebih jauh Hans Kelsen mengemukakan tentang karakter khas dan dinamis dari hukum, yaitu "Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai derajat tertentu menentukan isi norma lainnya tersebut. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya digambarkan sebagai hubungan antara "Superordinasi" dan "Subordinasi". Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan bahwa regresus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum". Selanjutnya Kelsen mengemukakan teorinya tentang tata urutan atau susunan hierarki dari tata hukum suatu negara yaitu dengan memformulasikan 14 Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 7-8. norma dasar, yakni konstitusi dalam arti material adalah urutan tertinggi didalam hukum nasional. Sebagaimana ditegaskan bahwa: "The legal order ... is therefore not a system of norms coordinated to each, standing, so to speak, side by same level, but hierarchy of different level norms".15 Masih menurut Kelsen, kendati konstitusi merupakan puncak tertinggi dalam hierarki norma hukum, namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya konflik atau penyimpangan peraturan dari konstitusi. Mengenai hal ini, Kelsen mengemukakan prinsip lex posterior derogat legi priori untuk mengatasi terjadinya konflik hukum tersebut. Gagasan Kelsen mengenai berjenjangnya lapisan norma hukum dalam suatu hierarki, kelak dikemudian hari dikenal sebagai teori jenjang hierarki norma hukum (stufen theory). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bagir Manan, ajaran tata urutan pertingkatan perundang-undangan (stufenbau des recht) mengandung makna : Pertama, peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau dasar pada peraturan yang lebih tinggi, Kedua, peraturan perundang-undangan untuk menjamin sebuah tertib hukum (legal order) dan Ketiga, peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu sistem yang tertib.16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menganut asas lex superiori derogat lex inferiori, sebagaimana bunyi Pasal 7 ayat (2) : "Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud ayat 15 Hans Kelsen, 1986, General Theory of Law and State, Translate by Anders Wedberg, Russel & Russel, New York, 16 Bagir Manan, 2000, Arogansi MPR, dalam Harian Republik, Rabu, 9 April 2000 (1)". Dalam penjelasannya dijabarkan bahwa : "yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi." Peraturan perundang-undangan tentang keimigrasian selalu mengalami perubahan karena mengikuti perkembangan manusia yang terus berubah sehingga hukum yang mengatur tentang keimigrasian adalah suatu hukum yang bersifat dinamis (bergerak) bukan hukum yang bersifat statis (diam). Hal ini sesuai dengan teori Hukum Murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen di mana Teori Hukum Dinamis melihat obyek hukum pada proses ketika hukum itu diciptakan atau diterapkan.17 1.8 Metode Penelitian “Secara umum metode dapat diartikan sebagai suatu prosedur atau cara untuk mengetahui segala sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.”18 Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Jenis Penelitian Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji permasalahan yang diangkat dari adanya kesenjangan dalam norma / asas hukum yang mengatur tentang keimigrasian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan 17 Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, cet. VIII, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 81. 18 Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 5. teori-teori yang ada untuk kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. b. Jenis Pendekatan Usulan penelitian yang diajukan oleh Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach) dan pendekatan fakta (the fact approach). Pendekatan perundang-undangan adalah dengan menganalisa dan meneliti Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan khususnya pada bagian latar belakang pemberian kebijakan dan asas yang mendasari kebijakan tersebut yang akan dibandingkan dengan kenyataan di lapangan tentang tata cara pemberian bebas visa kepada warga negara Indonesia oleh negara-negara yang sudah ditetapkan sebagai subyek bebas visa kunjungan ke Indonesia. c. Bahan Hukum Sumber bahan hukum, yang dipergunakan pada penulisan ini terdiri dari 2 (dua) sumber yaitu sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. 1. Sumber bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini berupa peraturan perundang-undangan tentang keimigrasian yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. 3. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. 4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian. 5. Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemberian , Perpanjangan, Penolakan dan Gugurnya Izin Keimigrasian. 6. Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-310.IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Alih Status Izin Keimigrasian. 2. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum19 dan yang terakhir adalah internet dengan menyebut nama situsnya. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 1. Penelusuran berdasarkan hierarki perundang-undangan (bahan hukum primer). 1. Undang-Undang Dasar 1945 19 Ronny Hatnitidjo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 12. Dasar hukum pembuatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1). 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Dasar hukum pemberian bebas visa kunjungan kepada kepada orang asing dari negara-negara tertentu yang memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur selanjutnya dalam Peraturan Presiden. 3. Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. 4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02IZ.01.10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian. 5. Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemberian , Perpanjangan, Penolakan dan Gugurnya Izin Keimigrasian. 2. Pengumpulan sumber bahan hukum sekunder dan data penunjang Sumber bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum (textbook), jurnal hukum, karya tulis hukum, pandangan ahli hukum, kamus dan ensiklopedi hukum dan internet sementara data penunjang dapat diperoleh dengan mewawancarai tokoh kunci bidang hukum yang menguasai permasalahan keimigrasian dalam hal ini adalah atasan langsung yaitu Kepala Seksi Unit B pada Bidang Pendaratan dan Izin Masuk Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai dan Kepala Bidang Pendaratan dan Izin Masuk Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai mengenai pengalaman beliau selama menjadi Pejabat Imigrasi dalam hal pemberian izin tinggal dan alih status keimigrasian orang asing di wilayah Indonesia dan masalahmasalah keimigrasian terkait penggunaan visa dan hal-hal yang terjadi di lapangan terkait dengan penerapan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. e. Teknik Analisis Setelah data dikumpulkan secara lengkap kemudian ditelaah dan dianalisa secara kualitatif berdasarkan data yang ada maka akan diperoleh jawaban atas permasalahan usulan penelitian ini. Setelah melalui proses analisa kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif analisis yang menggambarkan secara menyeluruh serta mendetail aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah yang ada dalam usulan penelitian ini dan kemudian dianalisa untuk mendapatkan solusi atas permasalahan yang dianalisa.