POLITEKNIK KESEHATAN RS dr SOEPRAOEN MALANG 2015

advertisement
PRODI D-III KEPERAWATAN POLTEKKES dr. SOEPRAOEN
Digunakan Untuk Kalangan Sendiri dan disampaikan pada perkuliahan
Etika Keperawatan Mahasiswa Tingkat 2 Semester 4 TA. 2014/2015
Ns. Apriyani Puji Hastuti, S.Kep
POLITEKNIK KESEHATAN RS dr SOEPRAOEN
MALANG 2015
Modul Keperawatan Anak
Pokok Bahasan
: Konsep dasar penyakit dan asuhan keperawatan pada
bayi atau anak dengan gangguan imunitas
Tujuan pembelajaran
:
Setelah mengikuti proses belajar mengajar pada pokok bahasan ini mahasiswa
mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan imunitas
(HIV/ AIDS)
Capaian Pembelajaran :
Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan imunitas HIV AIDS
MATERI PEMBELAJARAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN IMUNITAS
HIV AIDS
1.Pengertian
Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.
Suati kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan
acquired immune deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008).
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak
dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun
(Qodam, 2006).
HIV (AIDS (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu penyakit yang
menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi HIV dengan cepat akan
melumpuhkan sistem kekebalan manusia. Setelah sistem kekebalan tubuh lumpuh,
seseorang penderita HIV biasanya akan meninggal karena suatu penyakit (disebut
penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh seandainya sistem
kekebalan itu masih baik (Pustekkom, 2005).
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
a. Sistem Limfoid
Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang merupakan
tempat prekursor dan turunan limfosit berasal, berdiferensiasi, mengalami
pematangan dan tersangkut. Semua sel darah berasal dari prekursor bersama,
yaitu sel bakal pluripotensial. Sel bakal pluripotensial adalah sel-sel embrionik
yang dapat membentuk bermacam-macam sel hematopoetik dan dapat
membelah diri. Sel-sel ini ditemukan dalam sumsum tulang dan jaringan
hematopoetik lain serta menghasilkan semua komponen darah (misalnya,
eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan limfosit).
b. Organ Limfoid Primer
Walaupun terdapat di semua bagian tubuh, namun limfoid cenderung
terkonsentrasi di beberapa organ limfoid, termasuk sumsum tulang, timus, limpa,
kelenjar getah bening dan jaringan limfoid terkait organ. Sumsum tulang dan
timus dianggap sebagai organ limfoid primer.
c. Organ Limfoid Sekunder
Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening dan jaringan
tidak berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul adalah tonsil, adenoid
dan bercak-bercak jaringan limfoid di lamina propria (jaringan ikat fibrosa yang
terletak tepat di bawah epitel permukaan selaput lendir) dan di sub mukosa
saluran cerna.
d. Imunitas Selular
Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi
efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T
penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama
sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem
imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin dari sel CD4
mengendalikan proses imun seperti pembentukan imunoglobulin oleh sel B,
pengaktivan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh
sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi
oleh virus, sel tumor dan jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia
yang disebut perforin ke dalam sasaran "asing". Baik sel CD4 dan CD8 menjalani
pendidikan timus di kelenjar timus untuk belajar mengenal fungsi.
Fungsi utama imunitas selular adalah :
a. Sel T CD8 memiliki fungsi sitotoksik.
b. Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat saat
menghasilkan berbagai limfokin yang menyebabkan peradangan.
c. Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat.
d. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau pengendalian sel.
e. Imunoglobulin
Imunoglobulin (antibodi) , yang membentuk sekitar 20% dari semua protein
dalam plasma darah, adalah produk utama sel plasma. Selain di plasma darah,
imunoglobulin juga ditemukan di dalam air mata, air liur, sekresi mukosa saluran
napas, cerna dan kemih-kelamin, serta kolostrum. Fungsi imunoglobulin adalah :
a. Menyebabkan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen
antibodi.
b. Memungkinkan terjadinya imunisasi pasif
c. Meningkatkan opsonisasi (pengendapan komplemen pada suatu antigen
sehingga kontak lekat dengan sel fagositik menjadi lebih stabil).
d. Mengaktifkan komplemen (kumpulan glikoprotein serum)
e. Menyebabkan anafilaksis.
IMUNITAS : ALAMI DAN DIDAPAT
Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat (akuisita).
Imunitas alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah ditemukan pada saat
lahir. Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas spesifik terbentuk sesudah lahir.
Imunitas alami akan memberikan respon nonspesifik terhadap setiap penyerang
asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami
semata-mata berupa kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh
atau antara "diri sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam ini
mencakup sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan respon
inflamasi.
Imunitas di dapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit atau
mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif.
Beberapa minggu atau bulan sesudah seseorang terjangkit penyakit atau
mendapatkan imunisasi akan timbul respon imun yang cukup kuat untuk mencegah
terjadinya penyakit atau jangkitan ulang. Ada dua tipe imunitas yang di dapat,
yaitu aktif dan pasif. Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologi akan
dibentuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini
umumnya berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Imunitas
didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber
lain yang sudah memiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani
imunisasi.
3. ETIOLOGI
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki linfosit T herlper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel
imunologik lain dan orang itu mengalamu destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz
dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV
(Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).
Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
a. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
b. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
c. bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
d. bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,
e. anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah
seksual), dan
f. anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
CARA PENULARAN
Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui:
1) Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang
dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu.
2) Selama persalinan (intrapartum)
Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang
mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir.
3) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan
aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir
sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara
persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan
ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada
kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar
CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan
meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan
jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
4) Bayi tertular melalui pemberian ASI.
Transmisi pascapersalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI
diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi
median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel,
partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai
factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain
mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon
imun bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting
penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.
 HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan
dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah
virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid)
berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang
disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA
manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya,
benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.
 Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus
yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak
bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah
sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem
kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh
infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk
menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
 Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan
sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons
tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.
 Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–
1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–
nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh
infeksi–infeksi oportunistik.
 Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem
kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat
infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi
seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.
PATHWAY
Virus HIV
Menyerang T Limfosit,
sel saraf, makrofag,
monosit, limfosit B
Merusak seluler
HIV- positif ?
Invasi kuman patogen
Flora normal patogen
Reaksi psikologis
Organ target
Gatal, sepsis,
nyeri
Gangguan body imageapas
Infek
si
Tidak efektif pol napas
Penyakit
anorektal
Tidak efektfi bersihan
jalan napas
Disfungsi
biliari
Dermatologi
Sensori
Gangguan
penglihatan
dan
pendengara
Gangguan sensori
Respiratori
Gangguan pola BAB
Hepatitis
Nutrisi inadekuat
Diare
Cairan berkurang
Ensepalopati akut
hipertermi
Aktivitas intolerans
Kompleks
demensia
Gangguan mobilisasi
Cairan berkurang
Lesi mulut
Gastrointestinal
Gangguan rasa nyaman :
nyeri
Manifestasi saraf
Gangguan rasa nyaman :
nyeri
Manifestasi oral
Nutrisi inadekuat
Immunocompromise
4. MANIFESTASI KLINIK
Anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan meggunakan
kombinasi atara gejala kliis da pemeriksaa laboratoriumm. Anak HIV sering
megalami ifeksi bakteri kambuh- kambuhan, gagal tumbuh atau wastig sidrom,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan
faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis denga ELISA da tes kofirmasi
lai seperti orag dewasa. Terdapat dua klasifikasi yag bisa digunakan untuk
mendiagosis bayi da anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO.
Klasifikasi CDC
CDC megembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4 dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan
derajat imunosuppresi (1,2,3) dan kategori klinis (N,A,B,C,E). pada klasifikasi
pediatrik, kategori E berarti bayi terinfeksi HIV secara vertical dari ibu, tetapi
statusnya masih belum jelas. Bila jumlah CD4 normal dan tidak ada tanda- tanda
infeksi HIV, maka bayi dan anak tersebut diklasifikasikan dalam N1. Anak yang
masuk dalam kategori C diklasifikasikan dalam AIDS. Penyakit paru seperti
limfoid interstitial pneumonitis (LIP) dan pulmonary lymphoid hyperplasi (PLH)
menandakan bahwa si anak telah terinfeksi AIDS, tetapi bukan pada orang
dewasa. Kedua penyakit ini diklasifikasikan CDC dalam kategori B, beberapa
penyakit seperti virus sitomegalo, herpes simplex dan toxoplasmosis otak hanya
menunjukan AIDS pada anak usia lebih dari 1 bulan dan orang dewasa.
Tabel Klasifikasi HIV pada Pediatri Tahun 1994 : Kategori Imunologi berdasarkan
Usia, CD4 dan Persentasenya
Kategori Imun
Kategori 1
< 12 bulan
1-5 tahun
6-12 tahun
No/mm3
%
No/mm3
%
No/mm3 %
> 1500
> 25
> 1000
>25
> 500
> 25
Tidak ada supresi
Kategori 2
750
Supresi sedang
1499
Kategori 3
< 750
– 15 – 24
15
500
– 15
– 200
999
24
499
< 500
< 15
< 200
– 15 – 24
< 15
Supresi berat
Kategori N : Gejala Ringan
Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai akibat infeksi HIV atau
hanya mempunyai satu keadaan yang terdapat pada kategori A
Kategori A : Gejala Sedang
Anak dengan 2 atau lebih kriteria dibawah ini tetapi tidak menunjukkan
adanya kondisi yang tertera pada kategori B dan C

Limfadenopati (>0.5 cm) atau lebih pada 2 lokasi (bilateral = satu lokasi)

Hepatomegaly

Splenomegaly

Dermatitis

Parotitis

Infeksi pernafasan bagian atas menetap atau berulang, sinusitis atau otitis
media
Kategori B : Gejala Sedang
Anak dengan gejala selain daripada yag tertera pada kategori A atau C yang
menujukkan adanya infeksi HIV, contohnya sebagai berikut:

Anemia (< 8 gr/dl), neutropenia ( < 1000/mm3), atau trombositopenia (
100.000/mm3) menetap > 30 hari
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 1

Meningitis bacterial, pneumonia atau sepsis (episode tunggal)

Kandidiasis orofaringeal yang menetap > 2 bulan pada anak usia > 6 bulan

Kardiomiopati

Infeksi virus sitomegalo yang muncul sebelum usia satu bulan

Diare kronis atau berulang

Hepatitis

Stomatitis virus herpes simplex berulang (> 2 episode dalam 1 tahun)

Bronchitis, pneumonitis atau esophagitis HSV yang muncul sebelum umur 1
bulan

Terserang herpes zoster sampai 2 kali atau menyerang lebih dari 1
dermatom

Leiomiosarkoma

Pneumonia interstisiil limfoid atau limfoid hyperplasia complex

Nefropati

Nokardiosis

Demam lebih dari 1 bulan, toksoplasmosis yang muncul sebelum usia 1 bulan

Varisela berat
Kategori C : Gejala berat
Anak yang menunjukkan gekala seperti yang tertera pada definisi kasus HIV,
kecuali pneumonia interstisiil limfoid (masuk kategori B)

Infeksi bakteri berat, seringa tau kambuh- kambuhan

Kandidiasis esofagus atau paru (bronkus, trakeal dan paru)

Coccidiomicosis berat

Cryptosporiodosis atau isosproriasis dengan diare lebih dari 1 bulan

Penyakit cytomegalovirus yang muncul pada usia lebih dari 1 bulan

Ensefalopati

Histoplasmosis berat

Sarcoma Kaposi

Limfoma, terutama di otak

Limfoma burkitt

Tuberculosis

Pneumoni akibat pneumocystic carinii
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 2

Kompleks mycobacterium avium

Wasting sindrom: penurunan BB > 10%; BB menurun setidaknya 2 persentil
kurva BB, < persentil ke 5 pada kurva tinggi badan disertai diare
(sedikitnya BAB 2 kali sehari selama lebih dari 30 hari), demam > 30 hari
terus menerus
5. Klasifikasi WHO
Gejala mayor :

Gagal tumbuh atau penurunan berat badan

Diare kronis

Demam memanjang tanpa sebab

Tuberculosis
Gejala minor :

Limfadenopati generalisata

Kandidiasis oral

Batuk menetap

Distress pernafasan/ pneumonia

Infeksi berulang

Infeksi kulit generalisata
Limfosit CD4 pada anak- anak
Tabel Sistem Klasifikasi Kategori Klinik Dan Imunologi Hiv Pada Remaja/
Dewasa
Kategori Imun
Kategori klinis A
Kategori Klinis B
Kategori Klinis C
> 500
A1
B1
C1
200 – 499
A2
B2
C2
< 200
A3
B3
C3
Tabel Sistem Klasifikasi Kategori Imunologi pada Anak- Anak hingga Usia 12
tahun
Kategori Imun
< 12 bulan
1 – 5 taun
6 – 12 tahun
Kategori 1
> dari 1500 (25%)
> dari 1000 (>
> 500 (> 25%)
No suppression
25%)
Kategori 2
750 – 1499 (15 –
500 – 999 (15-
200 – 499 ( 15 –
Mild suppression
24%)
24%)
24%)
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 3
Kategori 3
< 750 ( 15%)
< 500 ( < 15%)
< 20 ( <15%)
Severe suppresion
Sistem Klasifikasi Kategori Klinik Hiv Pada Anak Dibawah Usia 13 Tahun
Kategori imunologis
N
A
B
C
No sign
mild sign
Moderate sign
Severe sign
No immunosuppression
N1
A1
B1
C1
Moderate suppression
N2
A2
B2
C2
Severe imunosuppresion
N3
A3
B3
C3

Tanpa tanda dan gejala atau hanya salah satu masuk kategori A

Dua atau lebih limfadenopati, splenomegaly, dermatitis, aprotitis, ISPA,
sinusitis, otitis media
6.

Kondisi simptomatik yang tidak masuk dalam kategori A maupun C

AIDS dengan perkecualian dari LIP yaitu bagi yang masih di kategori B
Pemeriksaan penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV.
Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan
latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau
tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain
adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain
reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes
antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
7.
Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal
bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada perempuan hamil
teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan bayi secara cepat
dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan konseling HIV harus
menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan.
a.
Pada bayi yang mendapat asi
Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus
berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada
bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV.
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 4
Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama
minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI
dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji
antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik
diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak
membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.
b.
Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu
memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan
gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada
stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.
c.
Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi
memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat
dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan
harus diulang pada usia 18 bulan.
d.
Pada Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari
18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan
terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO
menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in
utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang
tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4
minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti.
Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel
darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan
kehandalan laboratorium penguji.
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan
virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18
bulan.
e.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan
(apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 5
proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti
algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang
berbeda.
8. Komplikasi
a. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih
seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut
mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup
keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).
b. Neurologik
Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS
dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam
respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise,
kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis
ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
c. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui
untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB
awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan
demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini.

Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.

Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 6

Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatalgatal dan diare.
d. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batukbatuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi
oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI),
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,
infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks
akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan
plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga
dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering
dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
f. Sensorik

Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis
sitomegalovirus berefek kebutaan

Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus
dan reaksi-reaksi obat.
9. Pemeriksaan Penunjang
a.
Tes untuk diagnosa infeksi HIV :

ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)

Western blot (positif)

P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)

Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut
mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar
yang meningkat)
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 7
b.
Tes untuk deteksi gangguan system imun.

LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)

CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi
terhadap antigen)

Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)

Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya
penyakit).

Kadar immunoglobulin (meningkat)
10. Penatalaksanaan
a. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi

Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada

Menghambat
replikasi
HIV
dengan
obat
antivirus
seperti
golongan
dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT
dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV

Mengatasi dampak psikososial

Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan
prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis

Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu
memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
b. Pengobatan
Pengobatan
medikamentosa
mencakupi
pemberian
obat-obat
profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi.
Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi
pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12
bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya
infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian
Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih
diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat
untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan
metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 8
negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah
diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan
pengobatan dan yang tidak.
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida,
pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain
yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada penderita.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset
mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu
mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel
CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling
tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada
homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu
Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada
tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan
sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama
beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak
dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV
berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
c. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
1.
Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan
agar vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan
cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan
dan bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan
metode sectio caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan
sebanyak 80%.
3. Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan
manfaat ASI
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 9
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian

Lakukan pengkajian fisik

Dapatkan riwayat imunisasi

Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada
anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap
produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan
prilaku resiko tinggi

Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh,
limfadenopati, hepatosplenomegali

Infeksi bakteri berulang

Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter
interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).

Diare kronis

Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai
sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan neurologis abnormal

B.
Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.
Diagnosa
1.
Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan ekspnsi paru
3. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
4. Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
5. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan.
6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan).
7. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
8. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 10
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.
C.
Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret
Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi
a. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi
napas adventisius,
R/ : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi
napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi.
b. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan dinding
dada
R/ : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi
karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru
c. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi
duduk tinggi
R/ : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih
kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia
untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih
dalam dan lebih kuat
d. Penghisapan sesuai indikasi
R/ : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau
penurunan tingkat kesadaran
e. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air
hangat dari pada dingin
R/ : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret
f. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti
bronchodilator)
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 11
R/ : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat
bronchodilator dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk
dikeluarkan
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspnsi paru
Tujuan : anak dapat menunjukan pola napas yang efektif
Intervensi
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi paru. Catat upaya
pernafasan, termaksud penggunaan otot bantu.
R/ Kecepatan biasanya meningkat. Dispnue dan terjadi peningkatan kerja
nafas. Kedalaman pernafasan berfariasi tergantung derajat gagal nafas.
b. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi seperti ronchi.
R/ Bunyi nafas menurun / tidak ada bila jalan nafas obstruktif sekunder
terhadap pendarahan, Ronki dan mengi menyertai obstrusi jalan nafas/
kegagalan nafas.
c. Tinggkan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien
turun sari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru memudahkan pernafasan.
d. Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering / iritasi. Sputum berdarah
dapat mengakibatkan infark jaringan.
e. Berikan oksigen tambahan.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
3. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody
Tujuan :Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC
Intervensi
a. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut
yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan 24 oC
R/ : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara
radiasi
b. Beri antipiretik sesuai petunju
R/ : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam
c. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tib
R/ : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 12
d. Beri antimikroba/antibiotik jira disaranka
R/ : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab.
e. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan demam
R/ : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi
4. Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak
mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup
Intervensi :
a. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi protein
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
b. Beri makanan yang disukai anak
R/ : Untuk mendorong agar anak mau makan
c. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau
suplemen yang dijual bebas
R/ : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan
d. Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan baik
R/ : Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang berharga bagi perawat
maupun orang tua untuk memberikan makanan sehingga porsi yang
disediakan dihabiskan
e. Gunakan kreativitas untuk mendorong anak
R/ : Dapat menarik minat anak untuk makan dan menghabiskan porsi
makanan yang disediakan
f. Pantau berat badan dan pertumbuhan
R/ : Pemantauan berat badan dilakukan sehingga intervensi nutrisi tambahan
dapat diimplementasikan bila pertumbuhan mulai melambat atau berat
badan turun
g. Berikan obat antijamur sesuai instruksi
R/ : Untuk mengobati kandidiasis oral
5. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 13
Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria,
konsistensi
feases
kembali
normal
dan
orang
tua
mampu
mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi :
a. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor
pencetus
R/ : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya
episode.
b. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur
R/ : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila
infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.
c. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan
R/ : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien
d. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran
segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks susu)
R/ : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus
e. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap dan hindari minuman
dingin
R/ : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan
rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara bertahap cairan mencegah
kram dan diare berulang, namun cairan yang dingin dapat meningkatkan
motilitas usus
f. Berikan kolaburasi antibiotik
R/ : Mengobati infeksi supuratif fokal
6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan.
Tujuan : Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang
dengan kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak minimal
atau tidak ada
Intervensi :
a. Kaji nyeri dan gunakan strategi nonfarmakologis
R/ : Teknik-teknik seperti relaksasi, pernapasan dalam berirama dan distraksi
dapat membuat nyeri dapat lebih ditoleransi
b. Untuk bayi dapat dicoba tindakan kenyamanan umum (misalnya: mengayun,
menggendong, membuai, menurunkan stimulus lingkungan
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 14
R/ : Dapat mengurangi nyeri atau mengalihkan nyeri anak
c. Gunakan strategi farmakologis
R/ : rapat membantu mengurangi atau menghilangkan nyeri
d. Rencanakan jadual awal pencegahan bila analgesik efektif dalam mengurangi
nyeri yang terus menerus
R/ : Untuk mempertahankan kadar analgesik mantap dalam darah
e. Anjurkan penggunaan premedikasi untuk prosedur yang menimbulkan nyeri
R/ : Dapat mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan perawatan
f. Gunakan catatan pengkajian nyeri
R/ : Untuk mengevaluasi efektifitas intervensi keperawatan
7. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan
pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada
tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor
kulit normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :
a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra
operasi.
R/ : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi
pengeluaran
cairan/kebutuhan
penggantian
dan
pilihan-pilihan
yang
mempengaruhi intervensi.
b. Pantau tanda-tanda vital.
R/ :
hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan
kekurangan kekurangan cairan.
c. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan
pernapasan.
R/ : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari
muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian
bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
d. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
R/ :
kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan
penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan
tambahan.
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 15
e. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma
ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
R/ : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu
penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi,
misalnya ketidak seimbangan.
8. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan
herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
Tujuan : Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil : infeksi
virus herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksi dan orang
tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
a. Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari kulit terlalu kering
R/ : Kulit yang kering dapat mempermudah terjadinya kerusakan kulit sehingga
perlu dijaga kelembabannya sehingga kulit tidak mudah lecet
b. Bersihkan daerah yang tidak infeksi
R/ : membersighan daerah yang tidak terinfeksi dapat mencegah terjadinya
perluasan infeksi kulit
c. Sarankan klien untuk tidak menggaruk
R/ : Menggaruk dapat mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa
bila jika dilakukan dengan keras/kuat
d. Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas sendir
R/ : berusaha mengelupas/melepas kulit yang bersisik dapat memicu terjadinya
luka pada kulit yang bersisik
e. Pemberian antibiotik sistemik
R/ : pemberian antibiotik dapat membantu membasmi bakteri sehingga infeksi
kulit tidak meluas
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup
Tujuan : Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga
dapat terlibat dengan kelompok-kelompok khusus
Intervensi :
a. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dan dukungan
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 16
R/ : dengan mengkaji masalah yang dihadapi keluarga perawat dapat
membuat rencana intervensi yang tepat serta dapat melakukan pendekatan
dengan keluarga dengan cara yang tepat.
b. Kaji pemahaman keluarga tentang diagnosa dan rencana perawatan
R/ : Tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya sangat
diperlukan perawat dapat menentukan intervensi yang tepat
c. Tekankan dan jelaskan penjelasan profesional kesehatan tentang kondisi anak,
prosedur dan terapi yang dianjurkan serta prognosanya
R/ : penjelasan yang tepat dari profesional akan mempertegas bahwa informasi
yang didapatkan tentang penyakit dan terainya tersebut tepat
d. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga
tentang penyakit dan terapinya dan ulangi informasi sesering mungkin
R/ : Untuk memfasilitasi keluarga belajar dan meningkatkan kemampuannya
dalam merawat klien
e. Bantu orang tua mengintepretasikan perilaku dan respon bayi atau anak
R/ : Menginteoretasikan perilaku dan respon bayi atau anak secara tepat dapat
membantu keluarga dalam mengambil keputusan kapan harus lapor perawat
atau dokter
f. Sambut keberadaan keluargatanpa batas
R/ : untuk meningkatkan hubungan keluarga
g. Dorong keluarga untuk memberikan barang-barang yang berarti dan dapat
diatur pada anak
R/ : Untuk memberikan rasa aman
h. Rujuk pada kelompok pendukung dan lembaga-lembaga khusus (mis yayasan
HIV/AIDS Indonesia)
R/ : untuk dukungan interpersonal tambahan dan konkret (misalnya pelayanan
sosial, rohaniawan dan yayasan HIV AIDS Indonesia
PERTANYAAN
1.
Bagaimana ELISA menentukan adanya HIV pada seseorang dan tes apa yang
digunakan untuk menngkofirmasi hasil tes ELISA?
2. Mengapa sulit mendiagnosis HIV pada bayi
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 17
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.(2012). E-Book Konsep Hospitalisasi. Diakses pada tanggal 27 September 2012
dari http://ebookbrowse.com/dia-122-slide-konsep-hospitalisasi-pdf-d337836072
Anonim.(2011). Hospitalisasi. Diakses pada tanggal 26 September 2012 dari
http://www.scribd.com/doc/56601675/Hospitalisasi
Dachi, J. (2007). Hospitalisasi. Diakses pada tanggal 26 September 2012 dari
http://jovandc.multiply.com/reviews/item/3?&show_interstitial=1&u=%
Perry & Potter.(2009). Fundamental Keperawatan Ed 4.Jakarta : EGC
Stuart, Gail W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
Supartini, Yupi. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak.Jakarta : EGC
Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 18
Download