PRODI D-III KEPERAWATAN POLTEKKES dr. SOEPRAOEN Digunakan Untuk Kalangan Sendiri dan disampaikan pada perkuliahan Etika Keperawatan Mahasiswa Tingkat 2 Semester 4 TA. 2014/2015 Ns. Apriyani Puji Hastuti, S.Kep POLITEKNIK KESEHATAN RS dr SOEPRAOEN MALANG 2015 Modul Keperawatan Anak Pokok Bahasan : Konsep dasar penyakit dan asuhan keperawatan pada bayi atau anak dengan gangguan imunitas Tujuan pembelajaran : Setelah mengikuti proses belajar mengajar pada pokok bahasan ini mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan imunitas (HIV/ AIDS) Capaian Pembelajaran : Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan imunitas HIV AIDS MATERI PEMBELAJARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN IMUNITAS HIV AIDS 1.Pengertian Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Suati kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan acquired immune deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008). HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun (Qodam, 2006). HIV (AIDS (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu penyakit yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi HIV dengan cepat akan melumpuhkan sistem kekebalan manusia. Setelah sistem kekebalan tubuh lumpuh, seseorang penderita HIV biasanya akan meninggal karena suatu penyakit (disebut penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh seandainya sistem kekebalan itu masih baik (Pustekkom, 2005). 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI a. Sistem Limfoid Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang merupakan tempat prekursor dan turunan limfosit berasal, berdiferensiasi, mengalami pematangan dan tersangkut. Semua sel darah berasal dari prekursor bersama, yaitu sel bakal pluripotensial. Sel bakal pluripotensial adalah sel-sel embrionik yang dapat membentuk bermacam-macam sel hematopoetik dan dapat membelah diri. Sel-sel ini ditemukan dalam sumsum tulang dan jaringan hematopoetik lain serta menghasilkan semua komponen darah (misalnya, eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan limfosit). b. Organ Limfoid Primer Walaupun terdapat di semua bagian tubuh, namun limfoid cenderung terkonsentrasi di beberapa organ limfoid, termasuk sumsum tulang, timus, limpa, kelenjar getah bening dan jaringan limfoid terkait organ. Sumsum tulang dan timus dianggap sebagai organ limfoid primer. c. Organ Limfoid Sekunder Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening dan jaringan tidak berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul adalah tonsil, adenoid dan bercak-bercak jaringan limfoid di lamina propria (jaringan ikat fibrosa yang terletak tepat di bawah epitel permukaan selaput lendir) dan di sub mukosa saluran cerna. d. Imunitas Selular Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses imun seperti pembentukan imunoglobulin oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor dan jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran "asing". Baik sel CD4 dan CD8 menjalani pendidikan timus di kelenjar timus untuk belajar mengenal fungsi. Fungsi utama imunitas selular adalah : a. Sel T CD8 memiliki fungsi sitotoksik. b. Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat saat menghasilkan berbagai limfokin yang menyebabkan peradangan. c. Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat. d. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau pengendalian sel. e. Imunoglobulin Imunoglobulin (antibodi) , yang membentuk sekitar 20% dari semua protein dalam plasma darah, adalah produk utama sel plasma. Selain di plasma darah, imunoglobulin juga ditemukan di dalam air mata, air liur, sekresi mukosa saluran napas, cerna dan kemih-kelamin, serta kolostrum. Fungsi imunoglobulin adalah : a. Menyebabkan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen antibodi. b. Memungkinkan terjadinya imunisasi pasif c. Meningkatkan opsonisasi (pengendapan komplemen pada suatu antigen sehingga kontak lekat dengan sel fagositik menjadi lebih stabil). d. Mengaktifkan komplemen (kumpulan glikoprotein serum) e. Menyebabkan anafilaksis. IMUNITAS : ALAMI DAN DIDAPAT Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat (akuisita). Imunitas alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah ditemukan pada saat lahir. Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas spesifik terbentuk sesudah lahir. Imunitas alami akan memberikan respon nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami semata-mata berupa kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara "diri sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam ini mencakup sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan respon inflamasi. Imunitas di dapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif. Beberapa minggu atau bulan sesudah seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi akan timbul respon imun yang cukup kuat untuk mencegah terjadinya penyakit atau jangkitan ulang. Ada dua tipe imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif. Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologi akan dibentuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini umumnya berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani imunisasi. 3. ETIOLOGI HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki linfosit T herlper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalamu destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005). Faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah : a. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, b. bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti, c. bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena, d. bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang, e. anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan f. anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan. CARA PENULARAN Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui: 1) Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum) Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu. 2) Selama persalinan (intrapartum) Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir. 3) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. 4) Bayi tertular melalui pemberian ASI. Transmisi pascapersalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat. HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800– 1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T– nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. PATHWAY Virus HIV Menyerang T Limfosit, sel saraf, makrofag, monosit, limfosit B Merusak seluler HIV- positif ? Invasi kuman patogen Flora normal patogen Reaksi psikologis Organ target Gatal, sepsis, nyeri Gangguan body imageapas Infek si Tidak efektif pol napas Penyakit anorektal Tidak efektfi bersihan jalan napas Disfungsi biliari Dermatologi Sensori Gangguan penglihatan dan pendengara Gangguan sensori Respiratori Gangguan pola BAB Hepatitis Nutrisi inadekuat Diare Cairan berkurang Ensepalopati akut hipertermi Aktivitas intolerans Kompleks demensia Gangguan mobilisasi Cairan berkurang Lesi mulut Gastrointestinal Gangguan rasa nyaman : nyeri Manifestasi saraf Gangguan rasa nyaman : nyeri Manifestasi oral Nutrisi inadekuat Immunocompromise 4. MANIFESTASI KLINIK Anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan meggunakan kombinasi atara gejala kliis da pemeriksaa laboratoriumm. Anak HIV sering megalami ifeksi bakteri kambuh- kambuhan, gagal tumbuh atau wastig sidrom, limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis denga ELISA da tes kofirmasi lai seperti orag dewasa. Terdapat dua klasifikasi yag bisa digunakan untuk mendiagosis bayi da anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO. Klasifikasi CDC CDC megembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit CD4 dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat imunosuppresi (1,2,3) dan kategori klinis (N,A,B,C,E). pada klasifikasi pediatrik, kategori E berarti bayi terinfeksi HIV secara vertical dari ibu, tetapi statusnya masih belum jelas. Bila jumlah CD4 normal dan tidak ada tanda- tanda infeksi HIV, maka bayi dan anak tersebut diklasifikasikan dalam N1. Anak yang masuk dalam kategori C diklasifikasikan dalam AIDS. Penyakit paru seperti limfoid interstitial pneumonitis (LIP) dan pulmonary lymphoid hyperplasi (PLH) menandakan bahwa si anak telah terinfeksi AIDS, tetapi bukan pada orang dewasa. Kedua penyakit ini diklasifikasikan CDC dalam kategori B, beberapa penyakit seperti virus sitomegalo, herpes simplex dan toxoplasmosis otak hanya menunjukan AIDS pada anak usia lebih dari 1 bulan dan orang dewasa. Tabel Klasifikasi HIV pada Pediatri Tahun 1994 : Kategori Imunologi berdasarkan Usia, CD4 dan Persentasenya Kategori Imun Kategori 1 < 12 bulan 1-5 tahun 6-12 tahun No/mm3 % No/mm3 % No/mm3 % > 1500 > 25 > 1000 >25 > 500 > 25 Tidak ada supresi Kategori 2 750 Supresi sedang 1499 Kategori 3 < 750 – 15 – 24 15 500 – 15 – 200 999 24 499 < 500 < 15 < 200 – 15 – 24 < 15 Supresi berat Kategori N : Gejala Ringan Anak yang tidak mempunyai tanda dan gejala sebagai akibat infeksi HIV atau hanya mempunyai satu keadaan yang terdapat pada kategori A Kategori A : Gejala Sedang Anak dengan 2 atau lebih kriteria dibawah ini tetapi tidak menunjukkan adanya kondisi yang tertera pada kategori B dan C Limfadenopati (>0.5 cm) atau lebih pada 2 lokasi (bilateral = satu lokasi) Hepatomegaly Splenomegaly Dermatitis Parotitis Infeksi pernafasan bagian atas menetap atau berulang, sinusitis atau otitis media Kategori B : Gejala Sedang Anak dengan gejala selain daripada yag tertera pada kategori A atau C yang menujukkan adanya infeksi HIV, contohnya sebagai berikut: Anemia (< 8 gr/dl), neutropenia ( < 1000/mm3), atau trombositopenia ( 100.000/mm3) menetap > 30 hari Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 1 Meningitis bacterial, pneumonia atau sepsis (episode tunggal) Kandidiasis orofaringeal yang menetap > 2 bulan pada anak usia > 6 bulan Kardiomiopati Infeksi virus sitomegalo yang muncul sebelum usia satu bulan Diare kronis atau berulang Hepatitis Stomatitis virus herpes simplex berulang (> 2 episode dalam 1 tahun) Bronchitis, pneumonitis atau esophagitis HSV yang muncul sebelum umur 1 bulan Terserang herpes zoster sampai 2 kali atau menyerang lebih dari 1 dermatom Leiomiosarkoma Pneumonia interstisiil limfoid atau limfoid hyperplasia complex Nefropati Nokardiosis Demam lebih dari 1 bulan, toksoplasmosis yang muncul sebelum usia 1 bulan Varisela berat Kategori C : Gejala berat Anak yang menunjukkan gekala seperti yang tertera pada definisi kasus HIV, kecuali pneumonia interstisiil limfoid (masuk kategori B) Infeksi bakteri berat, seringa tau kambuh- kambuhan Kandidiasis esofagus atau paru (bronkus, trakeal dan paru) Coccidiomicosis berat Cryptosporiodosis atau isosproriasis dengan diare lebih dari 1 bulan Penyakit cytomegalovirus yang muncul pada usia lebih dari 1 bulan Ensefalopati Histoplasmosis berat Sarcoma Kaposi Limfoma, terutama di otak Limfoma burkitt Tuberculosis Pneumoni akibat pneumocystic carinii Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 2 Kompleks mycobacterium avium Wasting sindrom: penurunan BB > 10%; BB menurun setidaknya 2 persentil kurva BB, < persentil ke 5 pada kurva tinggi badan disertai diare (sedikitnya BAB 2 kali sehari selama lebih dari 30 hari), demam > 30 hari terus menerus 5. Klasifikasi WHO Gejala mayor : Gagal tumbuh atau penurunan berat badan Diare kronis Demam memanjang tanpa sebab Tuberculosis Gejala minor : Limfadenopati generalisata Kandidiasis oral Batuk menetap Distress pernafasan/ pneumonia Infeksi berulang Infeksi kulit generalisata Limfosit CD4 pada anak- anak Tabel Sistem Klasifikasi Kategori Klinik Dan Imunologi Hiv Pada Remaja/ Dewasa Kategori Imun Kategori klinis A Kategori Klinis B Kategori Klinis C > 500 A1 B1 C1 200 – 499 A2 B2 C2 < 200 A3 B3 C3 Tabel Sistem Klasifikasi Kategori Imunologi pada Anak- Anak hingga Usia 12 tahun Kategori Imun < 12 bulan 1 – 5 taun 6 – 12 tahun Kategori 1 > dari 1500 (25%) > dari 1000 (> > 500 (> 25%) No suppression 25%) Kategori 2 750 – 1499 (15 – 500 – 999 (15- 200 – 499 ( 15 – Mild suppression 24%) 24%) 24%) Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 3 Kategori 3 < 750 ( 15%) < 500 ( < 15%) < 20 ( <15%) Severe suppresion Sistem Klasifikasi Kategori Klinik Hiv Pada Anak Dibawah Usia 13 Tahun Kategori imunologis N A B C No sign mild sign Moderate sign Severe sign No immunosuppression N1 A1 B1 C1 Moderate suppression N2 A2 B2 C2 Severe imunosuppresion N3 A3 B3 C3 Tanpa tanda dan gejala atau hanya salah satu masuk kategori A Dua atau lebih limfadenopati, splenomegaly, dermatitis, aprotitis, ISPA, sinusitis, otitis media 6. Kondisi simptomatik yang tidak masuk dalam kategori A maupun C AIDS dengan perkecualian dari LIP yaitu bagi yang masih di kategori B Pemeriksaan penunjang Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV. 7. Diagnosis Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada perawatan kehamilan. a. Pada bayi yang mendapat asi Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 4 Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui. b. Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV. c. Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan. d. Pada Anak yang berumur kurang dari 18 bulan Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup. Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%. Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji. Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan. e. Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 5 proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda. 8. Komplikasi a. Oral Lesi Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). b. Neurologik Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian. Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal. c. Gastrointestinal Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 6 Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatalgatal dan diare. d. Respirasi Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batukbatuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides. e. Dermatologik Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis. f. Sensorik Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat. 9. Pemeriksaan Penunjang a. Tes untuk diagnosa infeksi HIV : ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot) Western blot (positif) P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas) Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat) Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 7 b. Tes untuk deteksi gangguan system imun. LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan) CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen) Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun) Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit). Kadar immunoglobulin (meningkat) 10. Penatalaksanaan a. Perawatan Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain: Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV Mengatasi dampak psikososial Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan universal (universal precaution) b. Pengobatan Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 8 negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak. Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada penderita. Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat. c. Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui : 1. Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. 2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%. 3. Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 9 KONSEP KEPERAWATAN A. Pengkajian Lakukan pengkajian fisik Dapatkan riwayat imunisasi Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother, pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko tinggi Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati, hepatosplenomegali Infeksi bakteri berulang Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru). Diare kronis Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan neurologis abnormal B. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum. Diagnosa 1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan ekspnsi paru 3. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi) 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral 5. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan. 6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan). 7. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare 8. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 10 9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup. C. Intervensi Keperawatan Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif Intervensi a. Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius, R/ : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. b. Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan dinding dada R/ : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru c. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi R/ : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat d. Penghisapan sesuai indikasi R/ : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran e. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin R/ : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret f. Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti bronchodilator) Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 11 R/ : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspnsi paru Tujuan : anak dapat menunjukan pola napas yang efektif Intervensi a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernafasan, termaksud penggunaan otot bantu. R/ Kecepatan biasanya meningkat. Dispnue dan terjadi peningkatan kerja nafas. Kedalaman pernafasan berfariasi tergantung derajat gagal nafas. b. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi seperti ronchi. R/ Bunyi nafas menurun / tidak ada bila jalan nafas obstruktif sekunder terhadap pendarahan, Ronki dan mengi menyertai obstrusi jalan nafas/ kegagalan nafas. c. Tinggkan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun sari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin. R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru memudahkan pernafasan. d. Observasi pola batuk dan karakter sekret. R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering / iritasi. Sputum berdarah dapat mengakibatkan infark jaringan. e. Berikan oksigen tambahan. R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. 3. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody Tujuan :Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC Intervensi a. Pertahankan lingkungan sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan 24 oC R/ : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara radiasi b. Beri antipiretik sesuai petunju R/ : Antipiretik seperti asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam c. Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tib R/ : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 12 d. Beri antimikroba/antibiotik jira disaranka R/ : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab. e. Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan demam R/ : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup Intervensi : a. Berikan makanan dan kudapan tinggi kalori dan tinggi protein R/ : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan b. Beri makanan yang disukai anak R/ : Untuk mendorong agar anak mau makan c. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas R/ : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan d. Berikan makanan ketika anak sedang mau makan dengan baik R/ : Ketika anak mau makan adalah kesempatan yang berharga bagi perawat maupun orang tua untuk memberikan makanan sehingga porsi yang disediakan dihabiskan e. Gunakan kreativitas untuk mendorong anak R/ : Dapat menarik minat anak untuk makan dan menghabiskan porsi makanan yang disediakan f. Pantau berat badan dan pertumbuhan R/ : Pemantauan berat badan dilakukan sehingga intervensi nutrisi tambahan dapat diimplementasikan bila pertumbuhan mulai melambat atau berat badan turun g. Berikan obat antijamur sesuai instruksi R/ : Untuk mengobati kandidiasis oral 5. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 13 Tujuan : Orang tua melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria, konsistensi feases kembali normal dan orang tua mampu mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat. Intervensi : a. Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus R/ : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya episode. b. Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur R/ : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi. c. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan R/ : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien d. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks susu) R/ : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus e. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap dan hindari minuman dingin R/ : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara bertahap cairan mencegah kram dan diare berulang, namun cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus f. Berikan kolaburasi antibiotik R/ : Mengobati infeksi supuratif fokal 6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan. Tujuan : Pasien tidak menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang dengan kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak minimal atau tidak ada Intervensi : a. Kaji nyeri dan gunakan strategi nonfarmakologis R/ : Teknik-teknik seperti relaksasi, pernapasan dalam berirama dan distraksi dapat membuat nyeri dapat lebih ditoleransi b. Untuk bayi dapat dicoba tindakan kenyamanan umum (misalnya: mengayun, menggendong, membuai, menurunkan stimulus lingkungan Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 14 R/ : Dapat mengurangi nyeri atau mengalihkan nyeri anak c. Gunakan strategi farmakologis R/ : rapat membantu mengurangi atau menghilangkan nyeri d. Rencanakan jadual awal pencegahan bila analgesik efektif dalam mengurangi nyeri yang terus menerus R/ : Untuk mempertahankan kadar analgesik mantap dalam darah e. Anjurkan penggunaan premedikasi untuk prosedur yang menimbulkan nyeri R/ : Dapat mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan perawatan f. Gunakan catatan pengkajian nyeri R/ : Untuk mengevaluasi efektifitas intervensi keperawatan 7. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai). Intervensi : a. Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi. R/ : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi. b. Pantau tanda-tanda vital. R/ : hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan. c. Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan. R/ : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma. d. Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer. R/ : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 15 e. Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan. R/ : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan. 8. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument Tujuan : Anak menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil : infeksi virus herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksi dan orang tua mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit. Intervensi : a. Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari kulit terlalu kering R/ : Kulit yang kering dapat mempermudah terjadinya kerusakan kulit sehingga perlu dijaga kelembabannya sehingga kulit tidak mudah lecet b. Bersihkan daerah yang tidak infeksi R/ : membersighan daerah yang tidak terinfeksi dapat mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit c. Sarankan klien untuk tidak menggaruk R/ : Menggaruk dapat mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa bila jika dilakukan dengan keras/kuat d. Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas sendir R/ : berusaha mengelupas/melepas kulit yang bersisik dapat memicu terjadinya luka pada kulit yang bersisik e. Pemberian antibiotik sistemik R/ : pemberian antibiotik dapat membantu membasmi bakteri sehingga infeksi kulit tidak meluas 9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup Tujuan : Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga dapat terlibat dengan kelompok-kelompok khusus Intervensi : a. Kenali masalah keluarga dan kebutuhan akan informasi dan dukungan Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 16 R/ : dengan mengkaji masalah yang dihadapi keluarga perawat dapat membuat rencana intervensi yang tepat serta dapat melakukan pendekatan dengan keluarga dengan cara yang tepat. b. Kaji pemahaman keluarga tentang diagnosa dan rencana perawatan R/ : Tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya sangat diperlukan perawat dapat menentukan intervensi yang tepat c. Tekankan dan jelaskan penjelasan profesional kesehatan tentang kondisi anak, prosedur dan terapi yang dianjurkan serta prognosanya R/ : penjelasan yang tepat dari profesional akan mempertegas bahwa informasi yang didapatkan tentang penyakit dan terainya tersebut tepat d. Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya dan ulangi informasi sesering mungkin R/ : Untuk memfasilitasi keluarga belajar dan meningkatkan kemampuannya dalam merawat klien e. Bantu orang tua mengintepretasikan perilaku dan respon bayi atau anak R/ : Menginteoretasikan perilaku dan respon bayi atau anak secara tepat dapat membantu keluarga dalam mengambil keputusan kapan harus lapor perawat atau dokter f. Sambut keberadaan keluargatanpa batas R/ : untuk meningkatkan hubungan keluarga g. Dorong keluarga untuk memberikan barang-barang yang berarti dan dapat diatur pada anak R/ : Untuk memberikan rasa aman h. Rujuk pada kelompok pendukung dan lembaga-lembaga khusus (mis yayasan HIV/AIDS Indonesia) R/ : untuk dukungan interpersonal tambahan dan konkret (misalnya pelayanan sosial, rohaniawan dan yayasan HIV AIDS Indonesia PERTANYAAN 1. Bagaimana ELISA menentukan adanya HIV pada seseorang dan tes apa yang digunakan untuk menngkofirmasi hasil tes ELISA? 2. Mengapa sulit mendiagnosis HIV pada bayi Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 17 DAFTAR PUSTAKA Anonim.(2012). E-Book Konsep Hospitalisasi. Diakses pada tanggal 27 September 2012 dari http://ebookbrowse.com/dia-122-slide-konsep-hospitalisasi-pdf-d337836072 Anonim.(2011). Hospitalisasi. Diakses pada tanggal 26 September 2012 dari http://www.scribd.com/doc/56601675/Hospitalisasi Dachi, J. (2007). Hospitalisasi. Diakses pada tanggal 26 September 2012 dari http://jovandc.multiply.com/reviews/item/3?&show_interstitial=1&u=% Perry & Potter.(2009). Fundamental Keperawatan Ed 4.Jakarta : EGC Stuart, Gail W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC Supartini, Yupi. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak.Jakarta : EGC Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan HIV/ AIDS 18