BAB II TINJAUAN HIV/AIDS 2.1 Sejarah HIV/AIDS Penemuan kasus HIV/AIDS pertama kali terjadi sekitar 1981 oleh ahli kesehatan di Kota Los Angeles, Amerika Serikat ketika sedang melakukan sebuah penelitian terhadap kasus serupa yang dialami oleh empat orang pemuda. Di dalam tubuh empat pemuda tersebut ditemukan penyakit pneumonia (Pneumonic Carinii) yang disertai dengan penurunan kekebalan tubuh (imunitas). Dari hasil penelitian itu, para ahli kesehatan mulai menemukan jalan untuk penemuan penyakit AIDS. Virus HIV sendiri baru diketahui sekitar 1983 oleh Lug Montaigneur, seorang ahli mikrobiologi Perancis. Pada 1984, ahli mikrobiologi asal Amerika Serikat, Robert Gallo juga mengumumkan penemuan yang sama. 2.2 Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia Di Indonesia, penemuan kasus HIV/AIDS diperkirakan baru diketahui pada 1987, yaitu pada seorang turis asal Belanda. Jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada bulan September 2005, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI melaporkan 8.251 kasus HIV/AIDS, di 4 mana di 32 propinsi, 4.065 merupakan kasus HIV dan di 31 propinsi, 4.186 merupakan kasus AIDS. Dari kasus yang dilaporkan ini, persentase tertinggi (59,04%) ditemukan pada kelompok usia 20-29 tahun. Sedangkan kelompok usia di bawah 14 tahun persentasenya adalah 2,2 %. Jumlah tersebut diperkirakan jauh di bawah jumlah sebenarnya penderita HIV/AIDS yang ada di Indonesia. Berdasarkan estimasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, terdapat 90.000 sampai 130.000 kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2.3 Gejala HIV/AIDS Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadangkadang dalam enam minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan 4 sampai 5 tahun berikutnya mungkin tidak muncul gejala sama sekali. Pada tahun ke-5 atau ke-6 (tergantung kepada masing-masing penderita), mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut, serta pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap berikutnya, akan terjadi penurunan berat badan secara cepat lebih dari 10 persen berat tubuh, diare terus menerus lebih dari satu bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus. Dalam masa sekitar tiga bulan setelah tertular, tubuh penderita belum membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak dapat menunjukkan bahwa seseorang telah tertular HIV. Masa tiga bulan itu sering disebut dengan masa jendela. Jika tes darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, penderita memasuki masa tanpa gejala (5 sampai 7 tahun). Akan tetapi, pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dengan kata lain orang tersebut tetap tampak seperti orang yang sehat. Kemudian penderita memasuki masa dengan gejala yang sering 5 disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan enam bulan sampai dua tahun sampai akhirnya meninggal. HIV/AIDS jelas berbahaya karena gejala yang muncul baru diketahui penderita setelah 2 sampai 10 tahun terinfeksi HIV. Pada masa itulah sangat mungkin terjadi penularan terhadap orang lain. Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS dan sampai saat ini belum ada vaksin dan obat untuk penyakit tersebut. 2.4 Penularan HIV/AIDS Penularan HIV akan terjadi bila ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, yaitu: • Melalui hubungan seksual dengan seorang yang pengidap & HIV baik homoseksual maupun heteroseksual. • Melalui transfusi darah dan transplantasi organ yang tercemar oleh HIV. • Melalui alat/jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang tercemar HIV. Oleh sebab itu pemakaian jarum suntik secara bersama-sama oleh para pecandu narkotika akan mudah menularkan HIV diantara mereka bila salah satu diantaranya pengidap HIV. • Pemindahan HIV dari ibu hamil pengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. 2.4.1 Perilaku Beresiko Tinggi Karena cara penularan HIV seperti disebutkan di atas, maka terdapat orang yang memiliki perilaku beresiko tinggi menularkan atau tertular HIV, diantaranya: • Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, dan pasangan mereka. • Wanita dan laki-laki tuna susila dan langganan mereka. 6 • Orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman, baik genital seks, hubungan seksual melalui dubur (analseks) dan mulut (oral seks). • Penyalahgunaan narkoba dengan suntikan, yang menggunakan jarum bergantian. 2.4.2 Mekanisme HIV HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk Hinfosit yang disebut Sel T-4. Mekanisme terinfeksinya sebuah sel oleh virus HIV adalah sebuah proses yang melibatkan beberapa molekul yang bekerja secara sistematik. Pada bungkus virus ada lapisan protein gula (glycoprotein) yang mempunyai bagian yang dikenali antibodi (epitope, yang memicu netralisasi) dan bagian lain yang dikenali receptor dan CD4 (yang menyebabkan sel terinfeksi). Glycoprotein yang membungkus virus dikenali oleh molekul CD4 pada sel yang kemudian menyebabkan co-receptor (CXCR4 atau CCR5) pada sel juga mengikat virus tersebut dan dimulailah proses penyampaian sinyal (bahwa ada tamu asing yang datang) ke dalam sel. Sinyal inilah yang kemudian memberi aba-aba bahwa si sel telah terinfeksi dan akan segera dimanipulasi oleh virus untuk proses replikasinya. Tubuh kita pun berusaha menetralisir virus itu dengan memproduksi antibodi yang dapat mengenali virus tersebut secara spesifik. Bagian pada virus di mana antibodi dapat melekat secara spesifik, disebut epitope. Proses melekatnya virus (antigen) dan antibodi yang diproduksi tubuh ini dapat dibayangkan seperti kunci dan anak kunci yang hanya cocok dengan pasangannya. 7