Budaya Populer dan Gaya Hidup Sebagai Komunikasi (Studi pada

advertisement
BAB II
KERANGKA TEORI
1.
Kebudayaan sebagai Sistem
Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan,
penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi
dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan, dan perbuatan/ tindakan
yang dibagikan diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial
dalam suatu masyarakat.
Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh
keseluruhan sistem sosialkarena keintiman hubungan timbal balik, kesejawatan
dan kesetiakawanan, keramahtamahan, kekeluargaan dari kelompok kecil,
kelompok etnik, organisasi, dan bahkan oleh seluruh masyarakat.
Kebudayaan sebagai suatu konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa
“keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti dan
makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti
dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur
aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu
sendiritidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling
berhubungan.
Kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil
ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk
memenuhi anggota kebutuhan kelompokyang diwujudkan dalam proses yang
disebut “adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok
menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran
atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka. (Aloliliweri, 2001: 4-5)
2.
Pengertian dan Sifat Komunikasi
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran
informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem
kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi
itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang
dipahami bersama.
Ada dua bentuk simbol yakni verbal dan nonverbal. Manusia melahirkan
pikiran, perasaan dan perbuatan melalui ungkapan kata-kata yang kita sebut
verbal. Kalau kata-kata itu diucapkan disebut verbal vokal, kalau dengan tulisan
disebut
verbal-visual.
Selain
itu,
ada
juga
simbol
nonverbal
untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perbuatan yang disampaikan bukan
dengan kata-kata, melainkan dengan memakai gerakan-gerakan anggota tubuh,
ekspresi wajah, pakaian, waktu dan ruang/jarak fisik dan lain-lain. Tindakan
komunikasi seperti itu yang merupakan sifat utama dari komunikasi antarpribadi,
yakni: 1) komunikasi antarpribadi merupakan proses yang bersifat dinamis; 2)
menampilkan perilaku simbolis; 3) mendatangkan tanggapan; 4) menampilkan
gejala tentang adanya penerima; dan 5) komunikasi antarpribadi bersifat
kompleks. (Aloliliweri, 2001: 5-6).
2.1.
Komunikasi Antarpribadi sebagai Proses Dinamis
Komunikasi antarpribadi disebut proses dinamis karena setiap
peristiwa komunikasi diwarnai oleh tindakan aktif dari para pelaku
komunikasi selama proses tersebut berlangsung. Aktivitas itu ditandai oleh
berbagai perilaku yang berkesinambungan, ada aksi dan reaksi, ada respon
timbal balik.
Sebagai contoh, Tuhan telah memberikan kepada setiap orang
kemampuan untuk bercakap-cakap dalam kegiatan berkomunikasi tatap
muka. Tuhan pun memberi kemampuan lain bagi manusia, misalnya
kemampuan indrawi sehingga pada saat bercakap-cakap manusia pun bisa
saling
memandang,
mendengarkan,
memikirkan
sesuatu,
serta
menggerakkan badan.
Komunikasi selalu menggambarkan keberadaan setiap manusia
yang memiliki “kehidupan bersama” dalam suatu arena sosial. Arena
sosial itu terbentuk karena hubungan sosial budaya antarmanusia yang
diwujudkan
kelompok
melalui
atau
bentuk
komunikasi
komunikasi
massa.
antarpribadi,
Itulah
dinamika
komunikasi
komunikasi
antarpribadi.
2.2.
Komunikasi Antarpribadi Berwujud Perilaku Simbolis
Komunikasi antarpribadi berwujud perilaku simbolis karena pesan-
pesan komunikasi dinyatakan dalam simbol-simbol verbal dan nonverbal
yang mewakili gagasan tertentu. Proses menghasilkan kode-kode simbolis
yang biasa dilakukan manusia itu dinamakan encoding yang berwujud
perilaku. Setiap perilaku manusia yang ditampilkan secara sadar maupun
tidak sadar selalu berkaitan dengan fungsi simbol yakni memindahkan dan
menukar simbol agar dapat diberi makna bersama.
Perilaku simbolis merupakan satu unsur yang pentingdalam
komunikasi apalagi kalau komunikasi itu terjadi diantara komunikator dan
komunikan yang berbeda kebudayaan. Berhubung setiap kebudayaan
mengajarkan kepada para anggotanya prinsip, bentuk, jenis dan fungsi
simbol maka dapat diduga seberapa jauh efektivitas komunikasi di antara
komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan.
2.3.
Komunikasi Antarpribadi menghasilkan Tanggapan dan
Penerima
Manusia bisa mengirim simbol-simbolverbal dan nonverbal namun
harus ada manusia yang bersedia menerima simbol-simbol itu, kalau tidak
ada penerima maka komunikasi antarpribadi tidak ada yang berhasil.
Sebagaimana proses komunikasi yang dimulai dari penerjemahan simbol,
encoding, maka si penerima pun akan menerjemahkan pesan itu ke dalam
kode tertentu yang prosesnya disebut decoding. Jadi, decoding
menunjukkkan suatu dampak komunikasi antarpribadi yaitu menghasilkan
tanggapan. Komunikasi antarbudaya pun demikian.
Dia harus bersumber dari seorang komunikator dari satu
kebudayaan tertentu dan pesan simbolis itu diterima oleh komunikan dari
kebudayaan yang lain.
2.4.
Komunikasi Antarpribadi Bersifat Kompleks
Komunikasi
antarpribadi
bersifat
kompleks
karena
proses
komunikasi dipengaruhi oleh banyak variabel. Contoh, setiap perilaku
komunikator dan komunikan dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis,
psikologis, sosiologis, dan antropologis. Demikian pula dengan faktorfaktor lain yang menentukan pemilihan media, penyusunan pesan,
mengeliminasi hambatan, serta faktor konteks yang merupakan situasi
lahir dan batin tempat terselenggaranya komunikasi. Dalam proses
komunikasi antarbudaya keadaan kompleksitas semakin tinggi mengingat
jumlah perbedaan faktor-faktor pembentuk budaya lebih banyak dan lebih
bervariasi.
Kita bisa menarik kesimpulan bahwa kebudayaan dan komunikasi
mempunyai hubungan timbal balik. Hubungan pertama menunjukkan
kebudayaan
menentukan
perilaku
komunikasi,
dan
kedua,
tanpa
komunikasi maka setiap kebudayaan menjadi tidak berarti. Karena seluruh
proses pertukaran, pengalihan norma, dan nilai budaya hanya dapat
dilakukan melalui kebudayaan yang menghasilkan suatu pewarisan nilai,
perluasan, pemahaman atas nilai oleh para anggota kebudayaan.
3.
Globalisasi Budaya
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang
bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh
aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan
permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orangorang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi,
komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan
budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah
dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah
menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa
Marshall McLuhan pelopor jargon desa global dalam bukunya
Understanding Media, 1964 mengatakan:
“Today, after more than a century of electric technology, we have extended our
central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time
as far as our planet is concerned.”
Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologikomunikasi
di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Konsep ini
berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat
terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa
tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari
satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan
teknologi media massa.
McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari
penyebaran informasi yang sangat cepat dan massive di masyarakat. Penyebaran
yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
(media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi
budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi
komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi di bidang
tayangan televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional
program-program televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak
terbendung.
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya
teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui
kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak
mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal.
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini
tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh
akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan
menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu
kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara
maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki
dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju.
Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan
tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi,
sosial, budaya, termasuk kesenian kita.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan
menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh.
Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk
yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam
proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka
dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan
menghindari kehancuran. Tetapimenurut Simon Kemoni, dalam proses ini negaranegara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan
memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.
Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi
ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala
lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture
dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi
hingga ke taraf dunia atau lingkup global (Hutagalung,2007:4). Global pop
culture ( film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai ideologi dari
negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas
budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawari.
Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera
terhadap budaya pop tertentu yang dapat mengancam eksistensi budaya dan
identitas masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop
tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan
identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian
kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi
budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga
menyebabkan kita kehilangan karakteristik.
Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batasbatas geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak
boleh semena-mena men-judge negatif kehadiran globalisasi di tengah arus
modernitas. Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai
pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk
dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh
sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika
kehadirannya menimbulkan bermacam-macam kesempatan yang baik bagi
individu dan masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas,
kesempatan untuk keluar dari feodalisme, dan membukan diri terhadap nilai-nilai
modernitas. Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang
toleran dan bertanggung jawab.
Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular
Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga
muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular
Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia.Munculnya budaya global
alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya
seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu.
Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur
makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya
mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari
Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat
counter
flow eksporter program
televisi
dari berbagai
belahan dunia
(Badruddin,2006:77).
4. Identitas
Identitas sangatlah penting. identitas membantu masyarakat luas untuk
bisa mengenal individu atau kelompok baik dari segi budaya, agama, ataupun
politik dan berbagai aspek kehidupan yang lain. Identitas juga bisa memandu
seseorang dalam memilah perjalanan dari tujuan hidupnya, mislanya
seseorang yang ingin masuk di sebuah komunitas, maka orang tersebut harus
mengenal identitas komunitas itu, dengan demikian maka untuk selanjutnya
apabila sudah mengenal dan mengerti tentang karakteristik komunitas tersebut
dia bisa akan tetap masuk apabila komunitas tersebut poistif, sebaliknya akan
meninggalkan apabila komunitas tersebut negatif.
4.1.Pengertian Identitas Individual
Identitas individual adalah identitas atau jati diri yang dimiliki seseorang yang
ia dapat sejak ia lahir maupun dari proses interaksi yang dialami mulai dari lahir.
Contoh : seorang gadis desa tidak berani membangkang perintah ibu atau bapakna
sehingga ia dijuluki sebagai gadis penurut. Penurut adalah identitas individual dari
gadis desa itu, sebab tidak semua gadis desa adalah seorang anak yang penurut
terhadap orang tua.
Identitas
komunal
adalah
jati
diri
atau
suatu
karakteristik
yang
menggambarkan ciri-ciri dari suatu kelompok atau koloni yang menunjukkan
secara utuh tentang kepribadian koloni itu. contoh: anak punk dengan gayanya
yang serba hitam dan identitas dengan alkohol, jalanan dan pergaulan bebas
merupakan identitas dari koloni anak punk tersebut. Hal-hal itu adalah pembeda
antara koloni anak punk dengan koloni atau kelompok lain.
4.2. Pengertian identitas budaya
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki
pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang,
kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga
merupakan keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan
sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.
Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang
atau
sekelompok
orang
dan
diwariskan
dari
generasi
ke
generasi
Budaya atau kebudayaan berasaldari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culturejuga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Jadi, pengertian dari identitas budaya adalah suatu karakter yang melekat dalam
suatu kebudayaan sehingga bisa dibedakan antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain.
5.
Budaya Populer
Sebelum
membahasmengenaiartibudayapop,penulismerasaperluuntuk
mendefinisikanistilahbudayasecaraumum
terlebihdahulu.Penulismengutipdari
pendapatRaymondWilliamsyangterdapatdalam
(1993:3),yang
bukukaryaJohnStorey
menyebutkanbahwabudayasecaraumum
memilikitigaarti.Artiyangpertamaadalah
suatuprosesumumperkembanganintelektual,
spiritualdanestetis.
Kedua,budaya
merupakan pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok
tertentu. Sedangkan artiketigadaribudayamenurutWilliamsadalahkaryadanpraktekpraktek intelektual, terutama aktivitas artistik.
Budaya pop seringkali dikontraskan dengan budaya tinggi. Batas-batas
kultural tinggi-rendah akhirnya mereproduksi budaya populer yang dianggap
sebagai ”inferioritas”. Argumen tersebut cenderung memandang budaya yang
berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif. Dasar
pemikirannya adalah budaya massa kapitalis terkomodifikasi tidaklah autentik
karena tidak diproduksi oleh orang kebanyakan, dan bersifat manipulatif karena
tujuan utamanya adalah supaya laku dijual. Budaya pop juga akhirnya
memunculkan istilah ”Industri Budaya” untuk menunjukkan bahwa budaya
tersebut tidak bisa lepas dari politik ekonomi dan produksi kebudayaan oleh
perusahaan-perusahaan kapitalis.
Menurut Storey, apabila berbicara mengenai budaya pop, berarti
menggabungkan makna kedua dan maknaketiga di atas. Dalambukunya Storey
mengemukakan bahwa makna kedua pandangan hidup tertentu memungkinkan
kita
untuk
berbicara
denganpraktek-praktek,sepertiliburankepantai,perayaan
Natal,danaktivitas pemudastrukturalsebagaicontoh-contoh budayanya. Semua hal
ini
biasanya
disebutsebagaibudaya-budayayanghidup
(livedcultures)
ataubisadisebutjuga sebagai praktek-praktek budaya. Makna ketigapraktek
kebermaknaanmemungkinkan kita membahas tentang opera sabun, musik pop
dan komik sebagai contoh budaya pop. Budaya ini biasanya disebut sebagai teksteks budaya. (Storey, 1993: 3).
Budaya populer, atau budaya pop, adalah budaya rakyat yang berlaku di
masyarakat manapun. Isi dari budaya pop ditentukan oleh interaksi sehari-hari,
kebutuhan dan keinginan, dan waktu kebudayaan yang membentuk patokandalam
kehidupansehari-hari.Halinibisatermasukbeberapakegiatan,
termasuk
yang
berhubungan dengan memasak, media masa dan bidang-bidang hiburan seperti
olahragadankesusastraan.Hampirsamadengandefinisibudayapopdiatas,dalam
bukuyangdisusunStorey juga disebutkanBudaya pop adalah budaya yang berasal
dari
“rakyat”.
Budaya
pop
adalah
otentik“rakyat”.Budayapopsepertihalnyabudayadaerahmerupakanbudaya
budaya
dari
rakyat untuk rakyat. (Storey, 1993: 17-18)
6.
Gaya hidup
Gaya hidup menurut Kotler (2002:21) adalah pola hidup seseorang di
dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang
mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut
dalam masyarakat disekitarnya. Atau juga, gaya hidup adalah suatu seni yang
dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan
perkembangan zaman dan teknologi. Cara berpakaian, konsumsi makanan
(kuliner),
berperilaku,
cara
bekerja,
dan
bagaimana
individu
mengisi
kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Semakin
bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin
berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau
negatif bagi yang menjalankannya. Chaney (2009: 15) memberikan definisi gaya
hidup sebagai ”pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan
orang lain. Gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia
modern. Gaya hidup adalah seperangkat praktek dan sikap yang masuk akal dalam
konteks waktu”. Gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. Karena
memang, gaya hidup seseorang hanya dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya,
baik konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian
komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Konsumsi tidak hanya
mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televisi hingga mobil,
tetapi juga mengkonsumsi jasa, seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai
pengalaman sosial.
Gaya hidup dapat dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap
kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan
bersosialisasi dengan orang lain. Kepribadian dianggap sebagai penentu gaya
hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, gaya hidup pun unik.
Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sikap-sikap
dan nilai dari seseorang. Namun, ketika satu gaya hidup menyebar kepada banyak
orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai
suatu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi sematamata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi suatu
identitas yang diadopsi oleh sekelompok orang. Sebuah gaya hidup bisa menjadi
populer dan diikuti oleh banyak orang. Mereka tak segan-segan mengikutinya jika
dianggap baik oleh banyak orang (Hujatnikajennong,2006:37).
7.
Remaja
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa. Batasan usia Remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya
setempat. Remaja menurut BKKBN adalah penduduk laki-laki atau perempuan
yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut WHO adalah
penduduk laki-laki atau perempuan yang berusia 15- 24 tahun ( BKKBN, 2003).
Remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi
pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapainya fertilitas dan terjadi
perubahan-perubahan psikologik serta kognitif (Soetjiningsih, 2004:85). Batasan
remaja menurut WHO: Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan
kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati sebagai
berikut:
a.
Masa remaja awal /dini (Early adolescence) umur 11 – 13 tahun.
b.
Masa remaja pertengahan (Middle adolescence) umur 14 -16 tahun.
c.
Masa remaja lanjut (Late adolescence) umur 17 – 20 tahun.
(Soetjiningsih, 2004:85)
Tabel 1 Tahapan perkembangan remaja. Sumber : Dikutip dari PPFA,
Adolescence Sexuality, 2001.
Tahapan Remaja
Pra remaja
Remaja Awal
Remaja Menangah
Remaja Akhir
Laki-laki
Umur (tahun)
<11
9-13
13-16
> 16
Perempuan
Umur (tahun)
< 11
11-14
14-17
> 17
Dalam lingkungan sosial tertentu, masa remaja bagi pria merupakan saat
diperolehnya kebebasan. Sementara untuk remaja wanita merupakan saat
mulainya segala bentuk pembatasan. Menurut ciri perkembangannya masa remaja
dibagi menjadi tiga periode:
1) Masa Remaja Awal ( 10-12 tahun), Ciri khasnya :
a) Lebih dekat dengan teman sebaya.
b) Ingin Bebas
c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.
2) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun), ciri khasnya :
a) Mencari identitas diri.
b) Timbulnya keinginan untuk kencan.
c) Punya rasa cinta yang mendalam
d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak.
e) Berkhayal tentang aktivitas seks.
3) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun), ciri khasnya :
a) Pengungkapan kebebasan diri.
b) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya.
c) Punya citra jasmani diri.
d) Dapat mewujudkan rasa cinta.
e) Mampu berfikir abstrak.
(BKKBN, 2003)
8.
Komunitas
Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain
lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi
yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest
atau values (Kertajaya Hermawan, 2008:28). Proses pembentukannya bersifat
horisontal karena dilakukan oleh individu-individu yang kedudukannya setara.
Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun
dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002:18). Kekuatan
pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam
memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas
kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara
fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis.
Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang
berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta
mengembangkan kemampuan kelompoknya.
9. Interpretivisme Simbolik
9.1.Interpretasi dan Simbol
Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai:
(1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan
makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka,
mengekspresikan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2)
suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung
dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut
manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan
mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik
bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4)
oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan
harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Bahasa simbolik dari
kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu peneliti tidak boleh berpura-pura
telah memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai sudut-sudut gelam
dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat
memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di
sepanjang kode genetik itu sendiri (Geertz 1973). Jadi, menjadi manusia berarti
berkebudayaan.
9.2.Bermula dari Antropologi Simbolik
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan interpretive sering kali
dihubungkan dengan konsep simbol, terlebih setelah Geertz mengembangkan
versi pendekatan interpretifnya sendiri. Pada mulanya pendekatan ini disebut
antropologi simbolik, yang kelak disebut saling mengganti dengan interpretivisme
simbolik karena penekanan yang berbeda. Simbol adalah objek, kejadian, bunyi
bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk
primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga
berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian,
musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian,
ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak
lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan,
atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi. Persepsi tentang
penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran
kajian yang penting dalam antropologi dan disiplin-disiplin lain. Susanne Langer
(1951) misalnya, melihatnya sebagai tren yang berubah dalam aktivitas intelektual
manusia modern.
Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik
secara eksplisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19, misalnya menulis
: “kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan
pemikiran,
yang
dengan
ekspresi
itu
bunyi
tidak
secara
langsung
menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat
kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya
mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial.
Leslie White (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies
yang mampu menggunakan simbol-simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam
makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks
simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki
kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya
dalam makna abstrak. Cassier menunjuk geometric sebagai suatu contoh klasik.
Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang
ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Namun, sistem
abstrak ini bisa diterapkan untuk membangun masalah-masalah. Cassier
mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut :
“manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam
semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari
semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang
terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia
dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini.
Tatkala antropolog mulai mengembangkan suatu perspektif kebudayaan sebagai
suatu sistem simbol, makna dan nilai-nilai, berbagai subdisiplin antropologi yang
menggunakan orientasi ini bermunculan. Dua diantaranya adalah antropologi
semiotic (kajian tentang tanda) dan antropologi simbolik. Seringkali, kajian
semiotik dikelompokkan bersama dengan antropologi simbolik, dimana tanda dan
simbol dibicarakan bersama-sama.
Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh
manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitaskualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta.
Simbol pohon Mudyi pada orang Ndembu, Zambia, Afrika, dari Viktor Turner
(1967) adalah salah satu contoh yang penting. Suatu simbol menstimulasi atau
membawa sutau pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Charles Pierce,
peletak dasar disiplin semiotik modern, mengidentifikasi tiga tipe tanda : (1) tanda
ikonik yang mencerminkan objeknya dalam hal tertentu (palang salib adalah tanda
ikonik, yang menyampaikan gagasan dan makna kekristenan); (2) tanda indeks
yang secara fisik terkait dengan objeknya (misalnya bendera dipasang setengah
tiang berarti ada orang penting meninggal) ; dan (3) simbol-simbol seperti bahasa
yang berarti bagi objeknya karena ditafsirkan sedemikian melalui kesepakatan dan
penggunaan. Sebagian kajian sistem simbol dan tanda memusatkan perhatian
kepada logika internal. Yang lain, biasanya yang tidak terkait dengan linguistik,
menekankan tindakan sosial dan konteks sosial dari tanda dan simbol tersebut
ketika mereka menghubungkannya dengan sistem perilaku dan nilai-nilai suatu
kebudayaan suatu masyarakat.
Antropologi simbolik memandang manusia sebagai pembawa dan produk,
sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku
sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan.
Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan perilaku selain gagasan dan nilai-
nilai. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu model dari manusia
sebagai spesies yang menggunakan simbol, berbeda misalnya dengan teori
materialisme kebudayaan yang berlandaskan pandangan bahwa manusia adalah
spesies yang memproduksi. Kedua model ini mengakui eksistensi aspek materi
maupun aspek mental dari keberadaan manusia, tetapi masing-masing model
memandang satu sama lain dari perspektifnya sendiri. defenisi simbolik dari
kebudayaan adalah kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang memandang
kebudayaan sebagai ilmu mengenai makna-makna. Antropolog simbolik mengkaji
sistem kode dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka
dengan manusia lain dan dengan dunia alamiah. Seluruh semesta dipenuhi tandatanda. Apabila benar bahwa semua makhluk berkomunikasi dengan bentuk tanda
dan simbol, maka antropologi simbolik sesungguhnya melakukan kajian yang
universal dalam ruang lingkupnya.
Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia
terkandung dalam bahasa, suatu sistem simbol. Kata-kata mengandung makna
atau nama yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Kata-kata adalah
persepsi konseptual mengenai dunia, dunia yang terkandung dalam simbolsimbol. Simbol-simbol kata, bahasa sesuai bagi suatu masyarakat pada waktu dan
tempat tertentu. Kata planet berarti sesuatu yang berbeda pada abad pertama
daripada maknanya pada abad kini. Linguistik, kajian mengenai bahasa, telah
memberikan kepada antropolog simbolik teknik-teknik untuk mengungkapkan
dan memahami kode-kode yang merepresentasikan kompleks motif, pengalaman
dan pengetahuan yang membentuk dan mengekspresikan keyakinan dan tindakan.
Jadi
linguistik
adalah
pendahulu
histories
bagi
antropologi
simbolik.
Victor Turner (1975) mengelompokkan antropolog simbolik menjadi dua: (1)
kelompok yang memusatkan perhatian pada sistem abstrak yang meliputi ahli
linguistik, strukturalis, dan antropolog kognitif (mereka memusatkan perhatian
perhatian pada analisis formal dan kurang memperhatikan isi ketimbang metode
dan logika), dan (2) kelompok yang memusatkan perhatian pada simbol dan
kelompok dinamika sosial, yang meliputi antropolog semiotik dan simbolik,
sosiolinguistik, fokloris, dan kritikus sastra (mereka memperpadukan analisis
formal dengan isi, dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial.
Clifford Geertz menekankan bahwa antropolog seharusnya bergeser dari
upaya melakukan eksplanasi menjadi upaya menemukan makan dan memandang
penting simbol dalam penelitian antropologi. Ia menekankan signifikansi konteks
sosial sebagai unsur yang amat penting dalam memahami makna simbol. Ia
mengusulkan agar antropolog mengalihkan perhatian dari meneliti tanda dan
simbol dalam abstraksi “kepenelitian tentang tanda dan simbol dalam habitat
alamiahnya-dunia alamiah dimana manusia melihat, memberi nama, mendengar
dan membuat” (1983;119)
9.3.Interpretivisme Simbolik sebagai Paradigma
Antropologi simbolik berlaku atas dasar konsep bahwa manusia adalah hewan
pertama pencari makna yang menggunakan simbol. Interpretivisme simbolik
adalah “kajian mengenai istilah-istilah dasar yang dengannya kita memandang diri
kita sendiri sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat, dan mengenai
bagaimana istilah-istilah dasar ini digunakan oleh manusia untuk membangun
suatu metode kehidupan bagi diri mereka sendiri . Interpretivisme simbolik
memandang penting emik demi kepentingan data itu sendiri. Menurut Dolgin,
Kemnitzer, dan Schneider (1997:34) “yang mendasar bagi kajian antropologi
simbolik adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.
Membandingkan realitas emik dan etik bukanlah misi antropologi simbolik. Yang
kita perhatikan bukanlah apakah pandangan yang dimiliki orang-orang yang kita
teliti akurat atau tidak akurat dalam pengertian ilmiah. Dalam tindakan sosial,
yang nyata harus dipandang sebagai nyata.
Sasaran pokok dari Interpretivisme simbolik adalah untuk mengungkap
jawaban mengenai masalah-masalah mendasar dari keberadaan manusia termasuk
hakekat dan makna kehidupan selain cara-cara bagaimana identitas manusia
didefinisikan dan diperlihara dan kemudian menerjemahkan jawaban-jawaban itu
menjadi konsep-konsep yang dapat dipahami bagi peneliti. Jadi menurut Geertz
“sasaran antropologi adalah perluasan universe dari wacana manusia. Geertz
menyatakan bahwa “analisis kebudayaan adalah menduga-duga makna, menilai
dugaan-dugaan itu, dan menggambarkan kesimpulan-kesimpulan eksplanatoris
dari dugaan-dugaan yang lebih baik”. Namun dengan pengecualian beberapa
konsep yang sangat umum antropologi simbolik tidak menentukan secara spesifik
prinsip-prinsip apa yang mereka gunakan ketika berusaha membangun
kesimpulan-kesimpulan eksplanatorois (1973:20).
Selain itu ada asumsi-asumsi dan konsep-konsep lain yang juga diasosiasikan
dengan antropologi simbolik. Pertama adalah konsep Victor Turner (1969)
mengenai karakter simbol “multivokalik”, atau kemampuan simbol untuk
mempresentasi beberapa makna yang berbeda-beda sekaligus. Yang lain adalah
konsep yang juga terkenal dari Turner, yakni karakter prosesual dari sistem sosial.
Antropologi simbolik berasumsi bahwa simbol memainkan peranan penting dalam
proses sosial budaya. Turner misalnya berpendapat bahwa “bahkan pada
masyarakat yang paling sederhana, perbedaan antara struktur (keteraturan hierarki
dari status dan peranan sosial, politik dan ekonomi) dan komunitas (komunion
orang-orang individual yang langsung, tanpa perantara dan tidak berstruktur) ada
dan memperoleh ekspresi simbolik dalam atribut-atribut kebudayaan dari
liminalitas, marginalitas dan inferioritas dan bahwa jika dilihat bersama-sama,
struktur dan komunitas menunjukkan kondisi manusia yang memandang
hubungan manusia dengan manusia lainnya (1969 : 30).
Eksplanasi yang ditawarkan oleh antropolog simbolik jelas interpretif. Bagi
Geertz (1973:5), analisis kebudayaan bukanlah ilmu eksperimental dalam mencari
hukum, melainkan interpretif dalam mencari makna. Mengetahui dan memahami
realitas emik diperlukan dalam pendekatan interpretif. Menurut Geertz
“memahami bentuk dan isi kehidupan internal masyarakat yang kita teliti mirip
seperti
mengetahui
dan
memahami
peribahasa,
menangkap
ilusi,
atau
mendengarkan lelucon. Dalam hal itu, antropolog simbolik mirip dengan
strukturalisme, yang juga menawarkan eksplanasi interpretif, namun jelas berbeda
dari materialisme kebudayaan, yang menawarkan eksplanasi kausal.
9.4.Gelombang Kritik
Banyak kritik bahkan banyak diantaranya dari kalangan antropologi simbolik
sendiri dilontarkan terhadap keyakinan bahwa pendekatan ilmiah dan interpretif
secara mutual eksklusif. Paul Shankman (1984:261), misalnya mengklaim bahwa
sisi pragmatik karya Geertz adalah upaya untuk memfokuskan kembali
antropologi yang juga bisa berarti semua ilmu sosial lain jauh dari pengaruh ilmuilmu alamiah dan menuju re-integrasi dengan bidang-bidang humanitas. Memang
benar bahwa antropologi simbolik memperoleh lebih banyak inspirasi dari seni
dan humanitas daripada ilmu-ilmu alamiah, sebagaimana dikatakan Scholte
(1984:542), tetapi meskipun validitas dari eksplanasi interpretif pada umumnya
dipandang agak lemah, tidak ada alasan yang mendasar bahwa eksplanasi
interpretif tidak dapat memenuhi standar ilmiah dari verifikasi. Selama eksplanasi
interpretif itu sistematik, konsisten, koheren, bisa direplikasi, dapat dibuktikan,
maka eksplanasi ini ilmiah.
Kelemahan esensial dari antropologi simbolik bukanlah karena ia tidak
berhasil memperhitungkan sebab musabab pikiran dan perilaku manusia, seperti
yang dilakukan materialisme kebudayaan. Melainkan, kurangnya pedoman teoritis
dan metodologis yang eksplesit. Ada tiga masalah kelemahan teoritis dan
metodologis antropologi simbolik. Pertama, ada masalah replikabilitas. Jika orang
kurang memahami pandangan imajinatif Clifford Geertz, bagaimana mungkin ia
melakukan penelitian di bawah paradigma antropologi simbolik? Dalam
kenyataan Geertz (1983:11) mengemukakan bahwa orang-orang yang ingin
melakukan analisis simbolik sebenarnya hanya perlu mempelajari metodologinya
sendiri karena praktek yang sukses dari pendekatan interpretif adalah seperti naik
sepeda yang lebih mudah dilakukan daripada hanya dikatakan. Dalam kritiknya
terhadap antropologi simbolik, Ranner mengatakan bahwa “tak adanya teori dan
metodologi yang meyakinkan secara empiris mengandung konsekuensi bahwa
fakta tak ada program yang memberikan arah bagaimana penelitian seharusnya
dilakukan.
Kedua, ada masalah verifikasi, suatu hal yang diakui oleh antropolog
simbolik. Geertz dengan cermat mengamati bahwa “suatu kelemahan pendekatan
interpretif adalah bahwa pendekatan ini cenderung resistan, atau memiliki peluang
untuk resistan, terhadap artikulasi konseptual dan oleh sebab itu dari mode-mode
sistematik penilaian”. Malahan para kritikus Geertz yang simpatik mengakui
adanya kekuarangan paradigma interpretif ini. Richardson (1984;275), misalnya
menulis bahwa “patut kita ketahu, ilmu sosial interpretif itu memiliki resiko
sendiri menjadi terlalu cermat, jelimet, menyebabkan interpretasi tebal menjadi
padat. Maka isu verifikasi menjadi penting.
Aspek ketiga dari masalah kekurangan teoritis ini adalah kecenderungan
archinductivism dalam antropologi simbolik. Antropologi simbolik kerap kali
keliru dalam berasumsi bahwa akumulasi semata-mata data emik akan
menunjukkan prinsip-prinsip teoritis yang signifikan yang mengeksplanasi
kesamaan lintas budaya.”Tugas rangkap antropologi simbolik, yakni menganalisis
unsur-unsur simbolik dari ranah semantic emik dan mengonstruksi prinsip-prinsip
analitis untuk menjelaskan proses-proses etik kebudayaan. Antropologi simbolik
tidak menyempurnakan tugas tersebut, tetapi cukup adil kalau dikatakan bahwa
antropologi simboliklah yang telah memulai dengan baik, meski sebahagian kritik
menuduh bahwa antropolog interpretif akhir-akhir ini telah menyimpang dari
tugas tersebut (Shankman, 1984:269). Suatu masalah yang juga sering kali
diperdebatkan adalah konsep konteks dalam pendekatan Geertz. Barbara Frankel
(1986), misalnya mengemukakan bahwa konteks adalah konsep yang sukar dan
longgar, dan berakhir. Sebagaimana ilmuwan sosial yang lain lebih suka
menempuh jalan moderat. Mereka mengemukakan bahwa satu-satunya cara untuk
mencapai ketepatan maksimum dalam menginterpretasi tindakan sosial adalah
membatasi satuan pengamatan menjadi ranah yang sempit, pengkajian berskala
kecil, dan mengkajinya semaksimum mungkin. Akan tetapi, tampaknya
antropolog interpretif masih berhadapan dengan suatu masalah lain yang serius,
yakni generalisasi, suatu tingkatan kesimpulan yang diidam-idamkan oleh semua
ilmu pengetahuan. Dalam upaya mencapai generalisasi ini, sebagian disiplin ilmu
sosial yang lain menempuh jalan mereduksi fenomena-fenomena sosial menjadi
angka statistik. Mereka mengemukakan bahwa cara statistic dan numeric
menawarkan ruang lingkup yang lebih luas dan memungkinkan untuk
membangun generalisasi. Tapi, sebagaimana dikemukakan Frankel (1986),
reduksionisme cenderung hanya menggambarkan pola-pola dan struktur-struktur
fenomena
sosial
daripada
mengungkapkan
sebab-musabab
dan
proses.
Interpretivisme simbolik memperoleh tempat yang penting dalam pemikiran
postmodernisme ilmu-ilmu sosial semenjak akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21
ini. Gagasan tentang kebudayaan sebagai simbol, dan simbol adalah bersifat
public, memberikan alternatif yang penting bagi memahami kebudayaan dan
masyarakat melalui tindakan sosial, praktik sosial dan makna. Di Amerika
Serikat, Clifford Geertz mulai mengembangkan gaya interpretivismenya sendiri.
Antropologi
di
tangannya
membuat
analogi
linguistik
dikesampingkan.
Kebudayaan tidak lagi merupakan “tata bahasa” metaforis yang digambarkan dan
ditulis, kebudayaan adalah bahasa-bahasa yang diterjemahkan menjadi konsepkonsep yang masuk akal bagi anggota-anggota kebudayaan-kebudayaan lain atau
lebih kerap dari tidak, kebudayaan antropolog sendiri (Barnard, 2000:158).
Beberapa karakteristik paradigma interpretivisme simbolik, atau hingga tahun
1980-an sering kali disebut juga antropologi simbolik, diuraikan sebagai berikut :
1. Mempelajari esensi signifikansi makna bagi kehidupan manusia.
2. Manusia dipandang sebagai makhluk pertama yang paling mempu
menggunakan dan memaknai simbol.
3. Mengajukan dua pertanyaan mendasar : a) apa makna (signifikansi)
identitas manusia b) apa signifikansi makna dari operasional sistem sosial
manusia? Makna berarti pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki
bersama
yang
terkandung
dalam
simbol-simbol
tersebut
manusia
mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai, dan
bersikap terhadap kehidupan.
4. Paradigma ini didorong oleh suatu isu sentral : masalah universal yang
konkret. Paradigma (berupaya) mencerminkan yang universal seolah-olah keluar
dari yang spesifik, tanpa mereduksi yang spesifik tersebut semata-mata menjadi
ilustrasi dari yang universal.
5. Merupakan kajian mengenai istilah-istilah dasar yang kita gunakan untuk
memandang diri kita sendiri sebagaimana manusia dan sebagai anggota
masyarakat, dan bagaimana istilah-istilah dasar tersebut digunakan oleh manusia
untuk membangun diri mereka sendiri sebagi mode kehidupan.
6. Mengacu kepada konteks perceptual dari pengalaman yakni cara-cara
manusia membangun orientasi kognitif mereka bagi kehidupan, atau cara-cara
yang digunakan manusia, sebagai hewan sosial, memperoleh pengetahuan dan
nilai-nilai mengenai diri mereka sendiri dan dunia mereka. Pada analisis terakhir,
paradigma ini mempresentasi upaya untuk mengungkapkan diversitas cara-cara
manusia mengonstruksi kehidupan mereka dalam tindakan.
7. Menekankan pengumpulan data emik. Yang mendasar bagi paradigma ini
adalah tentang bagaimana manusia memformulasikan realitas mereka.
8. Membandingkan “realitas emik dan realitas etik bukanlah misi paradigma
ini. Perhatian kita bukanlah pada, apakah pandangan suatu masyarakat akurat
secara “ilmiah”. Paradigma ini tidaklah menjawab pertanyaan mendalam yang
kita ajukan dalam penelitian, melainkan mempersiapkan diri kita untuk menjawab
pertanyaan sebagaimana jawaban yang seharusnya diberikan oleh warga
masyarakat yang dikaji yang berarti melibatkan mereka, pandangan mereka
tentang dunia, dan jawaban mereka menjadi bagian yang sentral dalam jawaban
kita.
9. Tugas paradigma ini adalah merepresentasikan upaya untuk memahami
bagaimana kita memahami pemahaman yang bukan pemahaman kita.
10. Sasaran utama paradigma ini adalah untuk mengungkapkan jawaban
mengenai masalah-masalah mendasar dari eksistensi manusia termasuk hakikat
dan makna kehidupan manusia di samping cara-cara dimana identitas manusia
didefinisikan dan dipelihara.
10. Kerangka Pikir
GLOBALISASI
PECINTA K-POP
MEDIA
MASSA
(BUDAYA
POPULER)
REMAJA (KOREA
LOVERS)
KOMUNITAS
WCC KOREA
LOVERS
SALATIGA
K-POP
K-DRAMA
K-FILM
GAYA HIDUP
-
Bahasa
Fashion
Musik
Nilai-nilai
moral
INTERPRETIVISME
SIMBOLIK
IDENTITAS
KOMUNIKASI
BUDAYA
Download