MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP

advertisement
MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP
PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED
CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
(Skripsi)
Oleh
T. JESSICA NOVIA HERMANTO
BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
ABSTRACT
MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) MECHANISM TOWARD
CRIME RESOLUTION REGULATED ON UNITED NATIONS
CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
(UNTOC) AND THE IMPLEMENTATIONS IN INDONESIA
By
T. Jessica Novia Hermanto
Transnational crime is a crime which transcends national jurisdictions. At
present time transnational crime is being seen as one of the utmost serious threat
against global security. International society has established cooperation to
handled transnational crime issues that called as Mutual Legal Assistance (MLA).
MLA is treaties which focus on demanding assistance which concerned on crime
treatment process from requested country with demander country. In line with
that, on November 15th 2000 the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (UNTOC) was adopted by United Nations General Assembly.
This research will show how exactly is MLA mechanism toward crime resolution
regulated by UNTOC and its implication in Indonesia.
This research is a normative legal research which using a normative law as
its main data, and the data were gained by doing literature study. The
contemplation of literature study is to disclose the pattern of problem solving in
regards to the research frameworks. The majority of normative legal research is
how profound and sharp the researcher arranges and formulates its research
problem.
The study show that MLA is an insight with reference to cooperation
between country in order to fights transnational crimes which frequently muddled
on the occasion of being faced by the diverse national law which time consuming
on crime investigation. The crimes listed on MLA included illicit drugs
trafficking, money laundry and a crime which transcend internationally besides
succeed double criminality basis. Indonesia as international law subject has joined
the fight against transnational crimes with the ratification of UNTOC and also
being implemented with reference to Law No.1 2006 concerning MLA and the
Law No.5 2009 concerning the ratification of UNTOC. According to the
convention and national regulation, the MLA implementation procedure has to be
relies on law enforcement roles upon each country members. In Indonesia, several
law enforcement were given extensive authority for instance, Indonesian National
Police, Attorney General, Corruption Eradication Commission (KPK), Foreign
Ministry, Ministry of Justice and Human Right, also Special Force Investigator on
Convicted Corruptions Suspect. Formal and non-formal methods were being used
upon the eradication of transnational organized crimes.
Key Words: Transnational, MLA, UNTOC
ABSTRAK
MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP
PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME
(UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Oleh
T. Jessica Novia Hermanto
Kejahatan transnasional dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap
keamanan global. Masyarakat internasional telah mewujudkan suatu kerjasama untuk
membantu proses penegakan hukum transnasional yang kompleks melalui Mutual
Legal Assistance (MLA). MLA merupakan perjanjian yang bertumpu pada
permintaan bantuan terkait dengan proses penanganan kejahatan dari negara diminta
kepada negara peminta dan atau sebaliknya. Berkaitan dengan itu Majelis Umum
PBB membuat suatu kesepakatan oleh PBB yaitu United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (UNTOC) yang disahkan pada tanggal 15 November
2000.Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah mekanisme MLA
terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam UNTOC dan implementasi MLA
di Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang
bersumber pada bahan hukum primer, sekunder, tersier yang pengumpulan datanya
dilakukan melalui studi pustaka. Tujuan dan kegunaan studi pustaka pada dasarnya
untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Hal yang paling
mendasar dalam penelitian normatif adalah bagaimana peneliti dalam menyusun dan
merumuskan permasalahan penelitiannya secara tepat dan tajam.
Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa MLA merupakan suatu perwujudan
kerjasama antar negara dalam memerangi kejahatan-kejahatan transnasional yang
sering terkendala oleh adanya perbedaan hukum nasional negara yang menimbulkan
kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Kejahatan yang diatur MLA antara lain
kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang dan yang berdimensi
internasional serta kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double
criminality), Indonesia telah memiliki UU No.1 Tahun 2006 Tentang MLA dan telah
meratifikasi ke dalam UU No. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan UNTOC. Prosedur
pelaksanaan MLA seperti yang tercantum dalam konvensi maupun undang-undang
harus diikuti dengan peran para penegak hukum terkait di masing-masing negara
peserta. Para penegak hukum di indonesia yaitu Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Kemlu,
Kemenkumham, dan Tim Terpadu. Jalur formal maupun non-formal digunakan
dalam memberantas para pelaku kejahatan dan penuntasan penanganan kejahatan
transnasional.
Kata Kunci: Transnasional, MLA, UNTOC
MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP
PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED
NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED
CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Oleh
T. Jessica Novia Hermanto
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Mei 1994,
penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Bapak Joni Hermanto dan Nursanti Setiawan .
Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SDK BPK Penabur
Bandar Lampung pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah
Menengah Pertama di SMPK BPK Penabur Bandar Lampung pada tahun 20052008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMAK BPK
Penabur Bandar Lampung pada tahun 2008-2011.
Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN). Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di
Desa Bangun Rejo, Kecamatan Meraksa Aji, Kabupaten Tulang Bawang. Penulis
aktif mengikuti organisasi luar kampus yaitu Indonesian Future Leaders Chapter
Lampung.
Moto
Dan ketekunan menumbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan
( Roma 5:4)
Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada
upah bagi usahamu!
(2 Tawarikh 15:7)
PERSEMBAHAN
Kuucapkan puji Syukurku kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan kasih karunia dan anugerahNya kepadaku.
Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, hormatku, dan tanda baktiku yang
tulus dari hatiku terdalam…
Aku mempersembahkan karya ini kepada:
Ayahku tercinta Bapak Joni Hermanto yang telah mengajarkanku untuk tetap
kuat dan bersyukur dalam segala hal.
Mamaku tercinta Nursanti Setiawan
Yang telah memberikan dukungan, doa serta ketulusan di dalam hidupku. Wanita
tercantik dan terbaik yang Tuhan beri kepada diriku.
Kepada adikku tercinta Tan Jefferson Satria Hermanto
Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku
dalam meraih cita-cita.
Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum Angkatan 2011
Universitas Lampung
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “Mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) Terhadap Penyelesaian
Kejahatan Yang Diatur Dalam United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (UNTOC) Dan Implementasinya Di Indonesia” sebagai salah
satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H, M.Hum (Alm) selaku Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan saran, nasehat dan bantuan dalam
penulisan skripsi ini.
3. Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampungdan Dosen embimbing
I yang telahmemberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam
penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Ibu Rehulina, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan
skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan nasehat, kritikan, masukkandan saran dalam penulisan skripsi
ini.
6. Bapak Ahmad Syofyan, S.H, M.H, selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan
skripsi ini.
7. Bapak Agus Triono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di
Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima
kasih.
9. Pak Jarwo, Pak Marji dan staff bagian Hukum Internasional atas bantuan
dan fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.
10. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, SDK BPK Penabur
Bandar Lampung, SMPK BPK Penabur Bandar Lampung, SMAKBPK
Penabur Bandar Lampung. Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu, doa,
motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.
11. Teristimewa
untuk
kedua
HermantodanMamakuNursanti
orang
tuaku
Setiawanuntuk
tersayang
doa,
PapakuJoni
kasih
sayang,
dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku
kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi
kehidupanku.
12. Kepada adikku tercinta Tan Jefferson Satria Hermantoyang selalu
memberikan motivasi buatku dan memberi dukungan moril, kegembiraan,
semangat, serta materil yang diberikan.
13. Untuk temanku Merry Hutauruk, Very Susan, WardiyantiSukmaya ,Renni
Ledia, Johanna Manalu, Surya Asmara, Mona Angelina Sinaga, Yuniar
Ana Fitri, ,Marlina Siagian, TorangAlfontius, Kurniawan Manullangyang
telah memberikan kenangan indah di masa kuliah.
14. Untuk temanku Tri Hana Pratiwi dan Bang Afandi Sitamala yang telah
sangat membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini.
15. Untuk teman-teman HI 2011 Anisa Apriyani, Beny Prawira, Very Susan
dan Kurniawan Manullang, dan teman-teman HI 2012 Belardo, Elrenova,
Farid dan Shinta.
16. Untuk teman-teman Formahkris angkatan 2011, Stevanus Lieberto,
Yossafat Galang, Yonathan Aji, Bram Monang, Juna, Grace, Lasmaida,
Salamat, Try Gilbert, Yustinus, Erna, Prisca, Daniel Sitanggang,
DavidPandapotan, Ferry,Dopdon, Nova Simbolon, Yonathan P.H. yang
telah memberikan kenangan yang luar biasa.
17. Senior di Formahkris, Kak Ivo, Kak Elsie, Kak Dede, Bang Tua, Bang
Edo, Bang Revan, Bang Waldi, Bang Daniel, Bang Timothy, Bang Verdy,
Bang Tommy, Kak Elfrida, Kak Sonya, Bang Rizal, Bang Saut, Bang
Ricko, Bang Sanggam, Bang Yoga, Bang Yuri, Bang Abram, Bang Ivo,
Bang Cio, Kak Ade Marbun, serta abang dan kakak lain yang tidak bisa
disebutkan, terima kasih untuk persahabatan serta pelayanannya.
18. Teman-teman Formahkris Angkatan 2012, 2013, dan 2014, Christina
Sidauruk, Ryan, Rio, Benny, Raymon, Anes, Meggy, Katherin, Elrenova,
Helena, Innes, Kristu, Yosef, Lova, Edward, Dona, Vera, Cindy, Uthe,
Johan, Agustina Sagala, Firdaus, Ridho, Landoria, Fauyani, Febri,
Fernando, Dabe, Wafernanda, Rico, Biaton, Darwin serta adik-adik lain
yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kekeluargaan
yang diberikan dalam wadah pelayanan Formahkris.
19. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Suzan Irwan, Dhana
feby, Diana SavaAisyah, LiaNurjanah, LiaAprilia, Natalia Katherine
Sitompul, MirantiDwiSaputri, serta teman-teman yang tidak dapat
disebutkan satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan,
kekompakan, canda tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas
harian, semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin
komunikasi yang baik, tetap semangat Viva JusticiaHukum Jaya.
20. Teman-teman Gereja Merry Hutauruk, Priska Buwono, Yoshoa, Ferdinand
tetep kompak dan makin tulus melayani.
21. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Very Susan, Tria Putri,
Sugma, Toto, Stefanus, Trio, Sandi, dan Taufik terima kasih untuk
kebersamaannya selama 40 (empat puluh) hari.
22. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi
orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususnya.
Bandar Lampung,
Maret 2016
Penulis,
T. Jessica Novia Hermanto
DAFTAR ISI
Halaman
Cover.............................................................................................................. i
Abstrak ........................................................................................................... ii
Riwayat Hidup ............................................................................................... iii
Sanwacana ..................................................................................................... iv
Daftar Isi ........................................................................................................ v
Daftar Tabel ................................................................................................... vi
Daftar Istilah .................................................................................................. vii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
D. Ruang Lingkup ............................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan..................................................................... 9
II.
III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi/Pengertian yang Relevan .................................................
1. Pengertian Mutual Legal Assistance in Criminal Matters atau
Perjanjian Timbal Balik dalam Masalah Pidana ....................
2. Pengertian Kejahatan Transnasional .......................................
B. Tinjauan Umum MLA....................................................................
1. Prinsip-Prinsip Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
2. Ketentuan-Ketentuan yang Diatur dalam MLA .......................
3. Ketentuan Nasional .................................................................
C. Tinjauan Umum UNTOC ...............................................................
1. Konsep Dasar Terbentuknya UNTOC .....................................
2. Proses Berlakunya UNTOC .....................................................
3. Ketentuan-Ketentuan yang Diatur di UNTOC .........................
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ...............................................................................
B. Pendekatan Masalah .......................................................................
C. Sumber Data ...................................................................................
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................
E. Analisis Data ..................................................................................
12
12
14
15
15
19
20
23
23
24
31
33
34
35
37
38
IV.
V.
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Mutual legal Assistance in Criminal Matters dalam
Kejahatan-kejahatan yang diatur UNTOC .....................................
1. Sejarah MLA .............................................................................
2. Peran Lembaga Penegak Hukum Dalam kerjasama MLA........
B. Implementasi MLA terhadap kejahatan- kejahatan yang diatur
dalam UNTOC di Indonesia ..........................................................
1. Prosedur permintaan bantuan MLA oleh Indonesia
kepada negara asing .....................................................................
2. Prosedur permintaan bantuan MLA kepada Indonesia .............
3. Ruang lingkup penerapan MLA ................................................
39
39
50
66
66
68
69
PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 74
B. Saran ............................................................................................... 75
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
4.1 Tahapan Proses Lembaga Kejaksaan Atas Permintaan Bantuan
Indonesia Ke Negara Lain Dan Proses Permintaan Negara Lain
Kepada Pemerintah Indonesia ...................................................................
54
4.2 Beberapa kerjasama terkait MLA telah dilakukan KPK ............................
58
4.3 Prosedur/mekanisme kinerja MLA ............................................................
64
4.4 Jangka waktu penanganan penerimaan bantuan MLA
dari pemerintah negara lain .......................................................................
67
4.5 Jangka waktu penanganan penerimaan bantuan MLA
dari Pemerintah Indonesia .........................................................................
68
4.6 Jumlah Permintaan MLA oleh jurisdiksi asing ..........................................
72
4.7 Jumlah Permintaan MLA kepada jurisdiksi asing .....................................
73
DAFTAR ISTILAH
Consent To Be Bound By
= Pengikatan diri pada ketentuan suatu
perjanjian internasional.
Double Criminality
= Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan
sebagai alasan haruslah merupakan
kejahatan (tindak pidana) baik menurut
hukum negara peminta maupun hukum
negara diminta
Entry Into Force
= Saat mulainya suatu perjanjian berlaku.
Extrateritorial Crime
= Tindak pidana yang dilakukan di luar
negara peminta.
Konvensi
= Persetujuan formal yang bersifat
multilateral, dan persetujuan ini harus
dilegalisassi oleh wakil-wakil yang
berkuasa penuh.
Letters Rogatory
= Surat yang diterbitkan oleh pengadilan
suatu negara untuk memperoleh bantuan
dari pengadilan negara lain
Modus Operandi
= Cara operasi orang perorangan atau
kelompok penjahat dalam menjalankan
rencana kejahatannya.
Mutual Legal Assistance
= Perjanjian yang bertumpu pada permintaan
bantuan
yang
berkaitan
dengan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di depan sidang pengadilan,
dan lain -lain, dari Negara Diminta dengan
Negara Peminta.
Nebis In Idem
= Prinsip umum hukum pidana yang diakui
secara internasional maksudnya adalah
perlindungan bagi seorang pelaku untuk
tidak diadili untuk yang kedua kalinya.
Pacta Sunt Servanda
= Asas hukum yang menyatakan bahwa
setiap perjanjian menjadi hukum yang
mengikat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian.
Pacta Tertis Nec Nosent Nec ProSunt= Suatu perjanjian tidak memberikan hak
maupun kewajiban kepada pihak ketiga.
Bunyi asas tersebut dengan jelas
memberikan pengertian bahwa pihak yang
tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak
dapat memiliki hak dan tidak dapat
dimintai pertangungjawaban.
Protokol
= Persetujuan yang mengatur masalahmasalah tambahan seperti penafsiran
kalusul-kalusul tertentu.
Protokol Tambahan
= Protokol yang memberikan hak tambahan,
selain hak dan kewajiban yang diatur
dalam perjanjian internasional.
Requesting State
= Negara yang meminta Bantuan MLA
Requested State
= Negara yang diminta bantuan MLA
Transnasional Organized Crime
= Kejahatan yang dilakukan dilebih dari satu
negara melibatkan kelompok kejahatan
terorganisir yang terencana, terorganisir,
dan memerlukan persiapan yang matang.
Kejahatan jenis ini merupakan kejahatan
yang sistematis dan hierarki.
Treaty
= Atau Traktat adalah perjanjian paling
formal yang merupakan persetujuan dari
dua negara atau lebih.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejahatan transnasional adalah kejahatan lintas negara (transnational crimes)
dewasa ini dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan
global yang dituntut di bawah yurisdiksi hukum domestik/nasional, tidak berada
di bawah yurisdiksi peradilan internasional karena salah satu unsur dari
transnasional adalah adanya lintas batas negara, maka diperlukan kerjasama antar
negara untuk membantu proses penegakan hukum. Adanya perjanjian mutlak
diperlukan oleh negara-negara untuk dapat menuntut pelaku tindak pidana
transnasional yang melewati lintas batas negara.1 Pada lingkup multilateral, istilah
yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC). Semakin maraknya
kejahatan transnasional mendorong negara-negara untuk bergerak membentuk
suatu pengaturan yang bersifat universal guna mencegah penyebaran dan
menyelesaikan kejahatan transnasional.
Para ahli memberikan beberapa pengertian, diantaranya G.O.W. Mueller
“Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis mengenai ilmu tentang kejahatan,
yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-bangsa bidang pencegahan kejahatan
dan peradilan pidana dalam hal mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu
1
Tolib Effendi, 2015, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hlm.126.
2
yang melampaui perbatasan internasional, melanggar hukum dari beberapa
negara, atau memiliki dampak pada negara lain. Begitu pula Bassiouni
mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational crime adalah
kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang
melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu
negara, sarana dan prasarana, serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui
batas-batas teritorial suatu negara.
Kejahatan transnasional memiliki karakteristik yang sangat kompleks sehingga
sangat penting bagi negara-negara untuk meningkatkan kerjasama internasional
untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman kejahatan lintas
negara tersebut. Negara-negara mengadakan konferensi untuk membahas
kejahatan transnasional, sifat, ciri, karakteristik, serta jenis dari kejahatan
transnasional yang berkembang di dunia.
Majelis Umum PBB mendeteksi adanya peningkatan dan ekspansi aktivitas tindak
pidana terorganisasi sehingga memprakarsai suatu ketentuan hukum internasional
yang telah disepakati oleh negara-negara dan telah disahkan oleh PBB yaitu
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC)
atau yang dikenal dengan sebutan Palermo Convention pada plenary meeting ke62 tanggal 15 November 2000,2 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas
Negara Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime-UNTOC) 3 yang telah diratifikasi Indonesia dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention
2
http://www.unodc.org/unodc/treaties/CTOC/, diakses secara online pada 19 September 2015.
Ibid.
3
3
Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
Kejahatan transnasional yang diatur dalam UNTOC yaitu pencucian uang,
korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, kejahatan
terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia,
penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. 4 Mutual
Legal Assistance (disingkat dengan MLA) atau bantuan timbal balik dalam
masalah pidana merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan negara diminta. MLA merupakan suatu bentuk kerjasama
memerangi kejahatan yang dikenal dari mekanisme yang berasal dari hukum yang
timbul dalam pergaulan masyarakat internasional.
Sejarah pembentukan MLA yang berawal dari kerjasama antar negara dalam suatu
proses saling membantu dalam penyidikan masalah pidana yang bermula dari
kerjasama antar kepolisian maupun “letters rogatory” yang merupakan suatu
sistem permintaan bantuan yang didasarkan pada sikap saling menghargai dalam
rangka mendapatkan alat bukti, yang selanjutnya berkembang menjadi suatu
bentuk perjanjian dan berbagai bentuk bantuan lainnya. 5 Letters rogatory
merupakan suatu surat yang diterbitkan oleh pengadilan suatu negara untuk
memperoleh bantuan dari pengadilan negara lain. Adanya letters rogatory
dikarenakan berdasarkan prinsip kedaulatan, pengadilan suatu negara dilarang
untuk melaksanakan kekuasaan diluar wilayah yurisdiksinya termasuk juga untuk
4
Ibid.
Mosgan Situmorang et.al, 2012, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian
Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.17.
5
4
mendapatkan alat bukti yang terdapat di luar negeri untuk kepentingan
persidangan, sehingga suatu negara harus mengajukan permintaan terlebih dahulu
kepada negara yang diminta apabila ingin mendapatkan alat bukti tersebut. 6
MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral
ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan timbal balik
(resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa
perjanjian kerja sama MLA bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS.
Sementara itu, MLA multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara
yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk
Indonesia.7
Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang sebagai payung hukum”
(umbrella act) untuk ekstradisi dengan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1979
tentang Ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk
pembekuan dan penyitaan aset, dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006
tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual legal assistance in
criminal matters) 8 yang selanjutnya disebut Undang-Undang MLA yang
mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan
pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. 9
sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama MLA
meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan
pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
6
Ibid.
Ibid.
8
Siswanto Sunarso, 2009, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen
Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.146.
7
9
Dimuat dalam harian Seputar Indonesia, Senin 8 Mei 2006.
5
mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu
penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan
penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda
berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan,
membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan
tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin
diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan
tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Bantuan
Timbal Balik.
Adapun ketentuan di dalam UU tersebut mengecualikan wewenang untuk
mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang; penangkapan atau penahanan
dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; pengalihan narapidana;
atau pengalihan perkara. 10 Undang-Undang MLA menyatakan bahwa status
MLA, termasuk MLA yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, dapat
dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan asas resiprositas dan hubungan bilateral
yang baik dengan negara peminta bantuan (requesting state). Dalam prakteknya,
Indonesia telah melakukan sejumlah kerjasama MLA dengan sejumlah negara
tanpa dilandasi perjanjian bilateral mengenai MLA.11
10
Svetlana Anggita Prasasthi, Upaya Pemerintah Republik Indonesia Dalam Bantuan Hukum
Timbal Balik Untuk Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance– Mla) Terhadap Pengembalian
Aset Di Luar Negeri Hasil Tindakpidana Korupsi (Stolen Asset Recovery), Dimuat dalam Jurnal
Hukum Volume 2 Mei 2011
11
Ibid.
6
Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara yang
bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA
dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi pihak dalam
perjanjian multilateral. Di bawah kerjasama tersebut, legislasi negara diminta
biasanya
memformulasikan
prosedur
untuk
mengirimkan,
menerima,
mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama
dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya
terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa
sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat
mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case
basis.12
MLA telah mengkategorikan empat perbuatan sebagai tindak pidana serius
apabila bersifat transnasional dan melibatkan organisasi kriminal. Empat
perbuatan tersebut adalah kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan
pencucian uang (money loundering), berdimensi internasional, dan kejahatan yang
memenuhi asas kejahatan ganda (double criminality), sedangkan UNTOC telah
mengkategorikan enam perbuatan yang masuk lingkup kejahatan, yaitu korupsi,
pencucian uang, perdagangan perempuan dan anak, penyelundupan orang,
penyelundupan senjata, dan menghalangi proses peradilan. United Nations
Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) dilengkapi dengan
tiga protokol, yaitu: protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum
perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak; protokol menentang
penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara; dan protokol terhadap
12
Ibid.
7
manufaktur ilegal dan perdagangan senjata api, suku cadang dan komponen dan
amunisi. Negara harus menjadi peserta konvensi itu sendiri sebelum mereka dapat
menjadi pihak dalam salah satu protokol.13
Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi telah meratifikasi perjanjian
timbal balik itu kedalam UU NO. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Transnasional Organized Crime ( Konvensi PBB
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir). Indonesia sebagai
anggota masyarakat internasional yang sering menghadapi kasus-kasus kejahatan
transnasional terorganisasi yang terus berkembang dengan segala akibatnya telah
meratifikasi dan turut serta dalam perjanjian MLA maupun UNTOC yang tentu
merupakan suatu keuntunganan dikarenakan UNTOC secara yuridis formal yang
kini sudah menjadi bagian dari dan berlaku sebagai hukum (positif) nasional
Indonesia, secara yuridis formal sejajar kedudukannya dengan undang-undang
nasional Indonesia yang lain pada umumnya, undang-undang pidana pada
khususnya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk membahas dan
menganalisis secara dalam mengenai Mekanisme MLA terhadap penyelesaian
kejahatan yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnasional
Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisir) di Indonesia, untuk itu penulis ingin menyusun skripsi yang
berjudul:
13
http://www.unodc.org/unodc/treaties/CTOC/,loc.Cit,
8
Mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) Terhadap Penyelesaian
Kejahatan
yang
Transnasional
Diatur
dalam
United Nations
Organized
Crime
(UNTOC)
dan
Convention
Against
Implementasinya
di
Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan
yang diatur dalam UNTOC?
2.
Bagaimana implementasi MLA terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur
dalam UNTOC di Indonesia?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai berikut:
a.
Menjelaskan dan menganalisis pengaturan terhadap mekanisme Mutual
Legal Assistance atau perjanjian timbal balik dalam masalah pidana
terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan transnasional yang diatur dalam
United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes
(UNTOC).
b.
Menjelaskan implementasi Mutual Legal Assistance terhadap kejahatankejahatan
yang diatur dalam United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (UNTOC) di Indonesia.
9
2.
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis
Bermanfaat untuk pengembangan kemampuan berkarya ilmiah dan daya nalar
sesuai dengan disiplin ilmu yang telah dipelajari yaitu hukum pada umumnya dan
hukum internasional pada khususnya.
b.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi praktisi dalam
penegakan perjanjian timbal balik guna menekan dan mengurangi terjadinya
kejahatan terorganisir lintas batas negara.
D.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini membahas mekanisme bantuan timbal balik dalam
masalah pidana atau Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (selanjutnya
disingkat MLA) terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam United
Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (selanjutnya
disingkat UNTOC) atau Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional
yang Terorganisir dan implementasinya di Indonesia.
10
E.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan terhadap substansi penelitian ini maka
diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini
terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah yang menjelaskan secara singkat tentang
bantuan timbal balik dalam masalah pidana, selanjutnya terdapat rumusan
masalah yang didasarkan atas latar belakang yang dikaji, selanjutnya ada tujuan
dan manfaat penelitian, ruang lingkup, dan bagian terakhir berisi sistematika
penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi menguraikan secara singkat mengenai teori-teori hukum sebagai
latar belakang dari pembuktian masalah dan hipotesa, umumnya dan kaitannya
dengan masalah yang akan dibahas yang terdiri dari: definisi serta pengertian
yang relevan, prinsip-prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana, konsep
dasar terbentuknya UNTOC, proses berlakunya UNTOC, serta ketentuanketentuan yang diatur dalam UNTOC.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini menguraikan jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi selain itu juga
digambarkan secara singkat tentang pendekatan masalah dalam penulisan skripsi
ini. Bagian berikutnya diuraikan mengenai sumber data serta metode
11
pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam proses pengumpulan
data. Pada bagian terakhir,ditampilkan analisis data untuk mengetahui cara-cara
yang digunakan dalam penelitian skripsi.
BAB IV : Hasil Penelitian dan Analisis Data
Bab ini merupakan pembahasan atas rumusan masalah yang terdiri atas
mekanisme Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) terhadap
penyelesaian
kejahatan-kejahatan
yang
diatur
dalam
UNTOC
dan
implementasinya di Indonesia.
BAB V : Penutup
Bab ini menguraikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saransaran. Dalam bagian ini dijelaskan bahwa kesimpulan merupakan inti dari
keseluruhan uraian yang dibuat setelah permasalahan selesai dibahas secara
menyeluruh dan disampaikan saran-saran yang membangun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Definisi/ Pengertian yang Relevan
1.
Pengertian Mutual Legal Assistance in Criminal Matters atau Perjanjian
Timbal Balik dalam Masalah Pidana
Mutual Legal Assistance14, yaitu perjanjian yang bertumpu pada permintaan
bantuan
yang
berkaitan
dengan
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan,
pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain -lain, dari Negara Diminta
dengan
Negara
Peminta.15
Pelaksanaan
kerjasama
internasional
dalam
penanganan masalah pidana dapat dilaksanakan melalui beberapa jalur, seperti
jalur diplomatik (diplomatic channel), jalur institusi penegak hukum ke institusi
penegak hukum , dan jalur otoritas pusat di negara lain.16 Untuk mempermudah
pelaksanaan koordinasi dalam kerangka kerjasama internasional dan pelaksanaan
bantuan hukum dalam masalah pidana, maka penegakan hukum dilaksanakan
melalui lembaga Otoritas Pusat (Central of Authority) yaitu lembaga yang
berwenang untuk melakukan pengajuan dan penanganan permintaan MLA dan
permintaan ekstradisi.17
14
Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, selanjutnya disingkat MLA.
Siswanto Sunarso, Loc.cit, hlm. 133.
16
Direktorat Hukum dan HAM, www.bphn.go.id/data/documents/lit, diakses pada 17 November
2015.
17
Ibid.
15
13
MLA yang merupakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana mempunyai
frase “timbal balik” yang mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut
diberikan dengan harapan bahwa akan ada timbal balik bantuan dalam suatu
kondisi tertentu, meskipun tidak selalu timbal-balik tersebut menjadi prasyarat
untuk pemberian bantuan.18 Bentuk-bentuk bantuan dalam MLA sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Mengidentifikasi dan mencari orang;
Mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya;
Menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
Mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau
membantu penyidikan;
Menyampaikan surat;
Melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan;
Perampasan hasil tindak pidana;
Memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak
pidana;
Melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan
atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda
yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;
Mencari kekayaan yang dapat dilepaskan atau yang mungkin diperlukan
untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak
pidana dan/atau;
Bantuan lain sesuai dengan undang-undang ini.19
Pembentukan MLA dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat
adanya perbedaan hukum pidana diantara beberapa negara mengakibatkan
timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing
negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam
penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain, sehingga
penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit.20
18
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, www.cifor.cgiar.org/ilea, diakses pada 25
Februari 2015.
19
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik
Dalam Masalah Pidana.
20
http://repository.usu.ac.id , diakses secara online pada 14 desember 2015, pukul 15.30 WIB.
14
2.
Pengertian Kejahatan Transnasional
Kejahatan transnasional adalah semua hukum yang mengatur semua tindakan atau
kejadian yang melampaui batas teritorial.21 Kejahatan ini telah terjadi di luar batas
territorial antar negara. Oleh sebab itu, dalam penegakan hukumnya harus
dipertimbangkan apakah peristiwa itu dianggap suatu tindak pidana. Tindak
pidana transnasional merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam
kehidupan
sosial,
ekonomi,
politik,
keamanan
dan
perdamaian
dunia.
Perkembangan tindak pidana transnasional ini tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping dapat
memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari satu
negara ke negara lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan dampak
negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Pada
saat ini tindak pidana transnasional telah berkembang menjadi tindak pidana yang
terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan
pelakunya.22
Tindak Pidana Transnasional adalah tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah
suatu negara atau negara-negara lain, tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di
negara atau negara-negara lain, atau tindak pidana yang pelaku-pelakunya berada
terpencar di wilayah dua negara atau lebih, dan melakukan satu atau lebih tindak
pidana serta baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan,
21
Romli Atmasasmita, “Disertasi”, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia, hlm. 38, (1996).
22
Penjelasan Umum Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation
Convention Against Transnasional Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnational yang Terorganisasi).
15
yang menimbulkan akibat pada satu negara atau lebih.23 Selain memberikan
definisi, Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan telah menyusun suatu Model
Perjanjian di bidang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana ini yang
dikenal dengan United Nations Model Treaty (UN Model Treaty).24
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
Yang Terorganisasi (United Nation Convention Against Transnasional Organized
Crime), yang selanjutnya disingkat UNTOC mengemukakan tindak pidana
transnasional yang terorganisasi itu dikualifikasi antara lain: (a) Tindak Pidana
atas
Kesertaan
(partisipasi)
dalam
Kelompok
Pelaku
Tindak
Pidana
Terorganisasi,25 (b) Tindak Pidana atas Pencucian Hasil Tindak Pidana (termasuk,
tidak terbatas pencucian uang),26 (c) Tindak Pidana Korupsi,27 (d) Tindak Pidana
yang berkaitan dengan gangguan proses peradilan.28
B.
Tinjauan Umum MLA
1.
Prinsip-Prinsip dalam MLA
MLA harus mengatur hak negara-negara para pihak, terutama negara yang
diminta untuk menolak permintaan bantuan. Hak negara diminta untuk
memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak
mutlak dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak
dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu
23
I Wayan Parthiana, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung; Yrama Widya,
hlm. 41.
24
,http://www.unodc.org/pdf/model_treaty_extradition_revised_manual.pdf, diakses pada 16
September 2015.
25
Pasal 5 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
26
Pasal 6 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
27
Pasal 8 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
28
Pasal 23 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.
16
perjanjian berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang
berlatar belakang politik, tindak pidana militer, suku, ras, agama dan nebis in
idem, serta yang berhubungan dengan kedaulatan negara. 29 Hak negara diminta
untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak didasarkan pada
prinsip resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi
tindak pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah negara
peminta (extra territorial crime) dan tidak diatur menurut negara diminta atau
terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.30
Dalam UU No. 1 Tahun 2006 menganut beberapa prinsip di antaranya:
a.
Prinsip kekhususan, artinya yang diberikan dalam bentuk bantuan adalah
menurut yang telah dimintakan bantuannya dan selain bantuan penyerahan
seorang pelaku tindak pidana, Pasal 3 dan 4;
b.
Prinsip resiprositas atau berdasarkan hubungan baik antara kedua negara
Pasal 5 ayat (2);
c.
Prinsip ne bis in idem Pasal 6 huruf b, prinsip ini sangat umum dalam
hukum pidana di mana pelaku tidak dapat dituntut/dihukum untuk yang
kedua kalinya pada kejahatan yang sama;
d.
Prinsip double criminality atau kejahatan ganda Pasal 6 huruf c, maksudnya
perbuatan yang dilakukan pelaku haruslah merupakan tindak pidana bagi
kedua negara;
29
Mosgan Situmorang et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian
Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.36, (2012).
30
Ibid.
17
e.
Prinsip non rasisme Pasal 6 huruf c, negara diminta dapat menolak
permohonan bantuan apabila menyangkut kejahatan yang didasarkan atas
ras, suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;
f.
Prinsip kedaulatan Pasal 6 huruf e, negara diminta dapat menolak apabila
persetujuan pemberian bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan
merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;
g.
Prinsip tidak menerapkan hukuman mati negara diminta dapat menolak
pemberian bantuan apabila ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan
adalah hukuman mati;
h.
Prinsip diplomatik termasuk kekebalan hukum yang terbatas Pasal 17,
artinya perjanjian ini selain berdasarkan prinsip resiprositas akan tetapi
pelaksanaannya melalui hubungan diplomatik di mana melekat pula hak-hak
yang ada pada diplomatik. Termasuk pemberitahuan tentang penolakan
pemberian bantuan;
i.
Serta beberapa alasan penolakan pemberian bantuan dikarenakan tindak
pidana yang dilakukan berdasarkan: tindak pidana politik, kecuali
pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara/kepala
pemerintahan, terorisme; atau tindak pidana berdasarkan hukum militer.
18
Dari penggolongan prinsip yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 2006 di atas dapat pula diklasifikasikan menurut prinsip yang menerima
suatu permintaan bantuan dan hal-hal yang dapat menolak permintaan bantuan.31
a.
Prinsip Yang Menerima Permintaan Bantuan
1)
Prinsip resiprositas, adalah prinsip yang diakui internasional sebagai solusi
dalam menjalin kerja sama antar negara-negara baik masalah perdata
maupun pidana, terutama bagi negara-negara yang belum mempunyai
perjanjian kerjasama. Esensinya prinsip ini hanya berlatar belakang
hubungan baik antar kedua negara.
2)
Prinsip double Piminaliry atau kejahatan ganda. Sebelum adanya perjanjian
kerjasama kedua negara harus sudah mengkriminalisasi kejahatan terutama
yang akan dimasukkan ke dalam perjanjian yang nantinya dapat dimintakan
bantuannya, maksudnya adalah tindak pidana tersebut termasuk dalam
tindak pidana yang diatur oleh hukum di kedua negara.
b.
Prinsip Yang Menolak Permintaan Bantuan, yang termasuk prinsip yang
menolak adalah:
1)
Prinsip ne bis in idem, sebagai prinsip umum hukum pidana yang diakui
secara internasional maksudnya adalah perlindungan bagi seorang pelaku
untuk tidak diadili untuk yang kedua kalinya.
31
Nobuala Halawa, “Makalah paper program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung”,
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Hubungan Timbal Balik dalam
Masalah Pidana, hlm.6, (2007).
19
2)
Prinsip tentang ancaman hukuman mati, sebagai perwujudan dari konvenan
terhadap hak sipil dan politik yang menentang adanya hukuman mati.
Walaupun Indonesia masih mengenal hukuman mati dalam produk
perundang-undangannya
akan
tetapi
pelaksanaannya
sangat
jarang,
ketentuan seperti inilah juga yang membuat Indonesia dapat bekerjasama
dengan negara lain karena pada prinsipnya, prinsip ini memang menolak
kalau ancaman hukuman dari tindak pidana itu adalah hukuman mati, akan
tetapi apabila ada pernyataan.
2.
Ketentuan-Ketentuan yang diatur dalam MLA
Mutual Legal Assistance (MLA) pada dasarnya merupakan suatu bentuk
perjanjian
timbal
balik
dalam
masalah
pidana.
Pembentukan
MLA
dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan
sistem hukum pidana di antara beberapa negara mengakibatkan timbulnya
kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. MLA muncul sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas
(transnasional), karena MLA memiliki cakupan/ruang lingkup yang sangat luas.
MLA memegang peranan yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, khususnya berkaitan dengan
kejahatan yang memenuhi asas double criminality.32
32
Marulak Pardede et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian
Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.15.
20
3. Ketentuan Nasional
Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance), sebagai realisasi
persyaratan negara yang telah keluar dari daftar hitam negara pencuci uang, perlu
mempunyai undang-undang yang mengatur tentang bantuan timbal balik dalam
masalah pidana. Undang-undang ini mengatur secara rinci mengenai permintaan
bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan Pemerintah Republik Indonesia
kepada negara di minta antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan,
persyaratan permintaan bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang,
bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan
kehadiran orang.33
Perjanjian MLA dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Dalam hal
perjanjian MLA dibuat secara bilateral, maka negosiasi terhadap isi perjanjian ini
biasanya dilakukan oleh tim terpadu yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI. Perjanjian
yang dibuat oleh kedua negara atas dasar peraturan MLA mengikat kedua belah
pihak sehingga wajib dipatuhi dan dilaksanakan (prinsip pacta sunt servanda).
Sampai saat ini Pemerintah Indonesia telah memiliki 5 (lima) perjanjian bilateral
dibidang MLA, yaitu:34
Perjanjian Indonesia – Australia yang ditandatangani di Jakarta tanggal 27
1.
Oktober 1995 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1999 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan
33
34
Ibid, hlm .6.
Ibid.
21
Australia mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
(Treaty Between The Republic of Indonesia and Australia on Mutual Legal
Assistance in criminal Matters).
2.
Perjanjian Indonesia – RRC yang ditandatangani di Jakarta tanggal 24 Juli
2000 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat
China mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
(Treaty Between The Republic of Indonesia and The People’s Republic of
China on Mutual Legal Assistance in criminal Matters).
3.
Persetujuan Indonesia – Hong Kong, ditandatangani oleh Jaksa Agung RI
pada tanggal 3 April tahun 2008 dan disahkan dengan Undang Undang
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah
Republik dan Pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hong Kong
Republik Rakyat China tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam
Masalah Pidana (Agreement Between The Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Hong Kong Special Administrative
Region of the People’s Republic of China concerning Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters).
4.
Perjanjian Indonesia – India yang ditandatangani di India pada tanggal 25
Januari 2011 dan sampai saat ini belum diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia.
5.
Perjanjian Indonesia- Korea Selatan, dimana sudah dilakukan proses
penandatanganan namun belum diratifikasi.
22
Disamping perjanjian MLA yang bilateral, maka saat ini Pemerintah Indonesia
juga telah memiliki 4 (empat) perjanjian multilateral dibidang MLA, yaitu:35
1.
ASEAN Declaration on Transnational Crimes pada tanggal 20 Desember
1997, yang meliputi kerjasama penanganan kerjasama regional terhadap
kejahatan transnasional, antara lain seperti terorisme, perdagangan
narkotika, perdagangan dan penyelundupan senjata, pencucian uang,
perdagangan orang, kejahatan lingkungan, migrasi ilegal, dan lain-lain.
2.
Perjanjian kerjasama antar negara ASEAN (ASEAN MLA Treaty),
ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29 November 2004, dan telah
disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana (Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters).
3.
Konvensi PBB Menentang Korupsi (United Nations Convention Against
Corruption/UNCAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006.
4.
Konvensi
PBB
Terorganisasi
Menentang
(United
Nations
Tindak
Pidana
Convention
Transnasional
Against
yang
Transnastional
Organized Crime/UNTOC) tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.
35
Ibid.
23
C.
Tinjauan Umum UNTOC
1.
Konsep Dasar Terbentuknya UNTOC
Dengan perkembangannya yang demikian pesat, kejahatan lintas negara
(transnational crimes) dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius
terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah
Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen
hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi PBB
mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on
Transnational Organized Crime-UNTOC).36 UNTOC menyebutkan bahwa
transnational organized crime (TOC) atau kejahatan lintas negara terorganisir
adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh suatu kelompok yang
terstruktur, terdiri atas tiga orang atau lebih, dalam kurun waktu tertentu dan
dilakukan secara terorganisir dengan tujuan untuk melakukan satu atau lebih
kejahatan serius sebagaimana yang dimaksud di dalam konvensi dalam rangka
memperoleh, secara langsung maupun tak langsung, keuntungan finansial atau
material lainnya.37
Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa
faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara
antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta
perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat.
36
37
http://www.kemlu.go.id, Diakses secara online pada 17 Januari 2015, pukul 19.17 WIB.
Ibid.
24
Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah
kompleksitas tersebut.38
2.
Proses Berlakunya UNTOC
Untuk dapat berlaku atau mengikat sebagai hukum internasional positif,
berdasarkan Pasal 36 ayat 3 UNTOC, negara-negara diberi kesempatan untuk
menyatakan persetujuannya untuk terikat pada (consent to be bound by) konvensi
dengan cara melakukan peratifikasian (ratification), penerimaan (acceptance),
persetujuan (approval) atau aksesi (accession). Selanjutnya, sesuai dengan
ketentuan Pasal 38 ayat 1, Konvensi ini akan mulai berlaku (entry into force)
pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi
(ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi
(accession) yang keempat puluh.39
Dengan telah dipenuhinya ketentuan Pasal 38 ayat 1 maka kini UNTOC sudah
berlaku sebagai hukum internasional positif. Akan tetapi, sesuai dengan salah satu
prinsip hukum perjanjian (internasional), yakni
pacta tertiis nec nosent nec
prosunt,40 UNTOC hanya berlaku dan mengikat terhadap negara-negara yang
sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat, baik hal itu dilakukan dengan
peratifikasian, penerimaan, persetujuan, ataupun pengaksesian.41 Berkenaan
38
Ibid.
I Wayan Parthiana,et.al, Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention against
Transnational Organized Crime dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Op.cit,
hlm.3.
40
http://www.oxfordreference.com, “a treaty binds the parties and only the parties; it does not
create obligations for a third state”, yang berarti suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun
kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa
pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat
dimintai pertangungjawaban. Diakses secara online pada 2 Februari 2015, Pukul 23.08 WIB.
41
Op.cit, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan.
39
25
dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal
assistance in criminal matters), Indonesia telah memiliki undang-undang
tersendiri, yakni, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006.42 Sedangkan dalam
konteks ASEAN, delapan negara anggota ASEAN yakni, Brunei Darrussalam,
Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Vietnam, juga
telah menandatangani Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Maters di
Kuala Lumpur pada tanggal 29 November 2004 yang diratifikasi dengan UU
Nomor 15 Tahun 2008.43
Selanjutnya, Myanmar sudah resmi menjadi pihak ASEAN Treaty on MLA pada
bulan Desember 2009. Dengan demikian hanya 1 (satu) negara yaitu Thailand
yang belum menjadi pihak pada Treaty tersebut. Jika ditelaah dengan seksama
ketentuan tentang Bantuan Timbal Balik dalam UNTOC, yakni, Pasal 18 yang
terdiri dari 30 ayat (ayat 1-30) tampak bahwa Pasal 18 ini merupakan
pemadatan/pemampatan dari ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian-perjanjian
tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Jika diperbandingkan antara
Pasal 18 UNTOC dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006,
memang ada beberapa ketentuan yang sama tetapi juga ada kekosongan di pihak
yang satu ataupun di pihak yang lain. Artinya, di dalam UNTOC ada
pengaturannya sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tidak
ada ataupun sebaliknya. Beberapa materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2006 yang tidak ada atau tidak diatur di dalam UNTOC, antara lain:44
42
Ibid.
Ibid.
44
Ibid.
43
26
a.
b.
c.
tentang memperoleh kembali seluruh sanksi denda yang berupa uang;
tentang pengidentifikasian dan pencarian orang.
tentang “transit” yang diatur di dalam Pasal 40 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tetapi sama sekali tidak diatur di
dalam UNTOC.
Sejak meningkatnya tindak pidana transnasional pada pertengahan abad 20 sampai
saat ini, PBB telah menetapkan Kovensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnasional Terorganisasi atau United Convention Against Transnational
Crime (UNTOC, 2000) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut
dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009.45 Korupsi dan pencucian uang termasuk
salah satu dari 6 (enam) tindak pidana yang dicantumkan dalam UNTOC
2000.46 Beberapa
hambatan
hukum
dalam
implementasi
kerjasama
internasional Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana sebagai berikut:47
a.
b.
c.
d.
1)
2)
3)
4)
5)
Ancaman pidana dan prinsip dual criminality
Asas resiprositas (reciprocity principle)
Tes pembuktian (evidentiary test)
Alasan penolakan kerjasama yang meliputi:
alasan kepentingan esensial dan kepentingan publik;
tindak pidana politik;
asas ne bis in idem atau double jeopardy;
tindak pidana dilakukan sebagian atau seluruhnya di negara lain;
sifat dan jenis hukuman.
Merujuk hambatan
praktik dalam implementasi kerjasama internasional
tersebut di atas, ternyata pencegahan dan terutama penyelesaian kasus-kasus
45
Romli Atmasasmita, “Jurnal”, Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters ,
diakses secara online pada 15 Maret 2015 pukul 09.18 WIB.
46
Tindak pidana transnasional yang masuk lingkup UNTOC 2000, adalah: korupsi,
pencucian uang, larangan perdagangan manusia khusus perempuan dan anak (human
trafficiking ; larangan penyelundupan orang (people smuggling); larangan penyelundupan
senjata (smuggling firearms); larangan menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of
justice).
47
Romli Atmasasmita, 2007, OECD-ADB, “Mutual Assistance, Extradition and Recovery of
Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific: Frameworks and Practice in 27 Asian and Pacific
Jurisdiction:Thematic Review-Preliminary Report.
27
tindak
pidana
yang
bersifat lintas
batas
negara
(transnasional)
bukan
persoalan mudah dan tingkat keberhasilannya tentu rendah dibandingkan
dengan penanganan perkara tindak pidana sebatas wilayah negara yang
bersangkutan baik mengenai pelaku maupun aset-aset terkait tindak pidananya.
Indonesia telah memiliki dua undang-undang nasional dalam hal ekstradisi
dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana,48 dan telah mengikatkan
diri ke dalam dua bentuk perjanjian tersebut dengan Negara anggota ASEAN,
Australia, Korea Selatan, Cina termasuk Hongkong. Namun
keberhasilannya
masih
rendah
dibandingkan
sebagai
tingkat
Negara peminta
(requesting state) dibandingkan sebagai Negara yang diminta (requested state).
Berbeda dengan perjanjian internasional pada umumnya ataupun perjanjian
tentang kejahatan internasional pada khususnya yang memiliki sistematika yang
sudah baku, yakni,
terdiri dari preambul (preamble) yang berisi dasar-dasar
pertimbangan dan maksud serta tujuan mengapa perjanjian itu dibuat, kemudian
berlanjut dengan batang tubuh yang memuat substansinya yang terbagi menjadi
bab-bab dan bab-bab ini terdiri dari satu atau lebih pasal, sebaliknya UNTOC
sama sekali tidak memuat preambul ataupun pembagian atas batang tubuhnya
menjadi bab-bab melainkan langsung dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal (dari
pasal yang paling awal sampai yang paling akhir). Oleh karena itu, untuk
menelaah substansinya secara lebih mendalam, tidak ada jalan lain selain dengan
mengikuti urutan pasal-pasalnya. Namun demikian, penguasaan dan pemahaman
secara utuh dan terpadu atas UNTOC itu sendiri merupakan suatu keharusan
48
UU RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
28
sebab antara pasal yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan di dalam
keseluruhannya itulah terkandung maksud dan tujuan dari konvensi ini.
Secara keseluruhan, substansi UNTOC secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua, yakni:
a.
Kaidah hukum materiil-substansial yakni tentang kejahatan itu sendiri
sebagaimana dapat dijumpai dalam Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23, tentang
yurisdiksi (Pasal 15) maupun hal-hal yang terkait dengan itu, antara lain
tentang istilah-istilah yang digunakan (Pasal 2), ruang lingkup berlakunya
Konvensi (Pasal 3), prinsip perlindungan dan penghormatan atas kedaulatan
negara-negara peserta atau pihak pada Konvensi (Pasal 4);
b.
Kaidah
hukum
formal-prosedural,
yakni,
tentang
masalah-masalah
prosedural penanganan perkara, yang meliputi kerjasama internasional
antara negara-negara peserta Konvensi, seperti ekstradisi (Pasal 16),
pemindahan narapidana (Pasal 17), dan kerjasama timbal balik dalam
masalah pidana yang disebut juga dengan bantuan hukum timbal balik
(Pasal 18) ataupun pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan kerjasama
internasional.
Perlu ditegaskan disini, bahwa pembedaan ini bukanlah sesuatu yang bersifat
hitam dan putih sebab di dalam kaidah hukum formal-prosedural itupun terdapat
hal-hal yang bersifat materiil-substansial, atau ada pasal-pasal yang substansinya
merupakan area abu-abu (grey area). Pembedaan ini sekadar untuk memudahkan
dalam penelaahannya saja. Konvensi memuat asas-asas hukum pidana sejalan
29
dengan perkembangan asas-asas hukum internasional yang secara langsung atau
tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum nasional, yaitu:49
a.
Perlindungan kedaulatan negara sesuai dengan hak eksklusif suatu negara
yang ditentukan dalam Pasal 4 Konvensi yaitu Negara Pihak wajib
melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan prinsip-prinsip
kedaulatan yang sejajar dan integritas wilayah negara-negara dan prinsip
tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri negara lain.
Konvensi juga tidak memberikan hak kepada suatu Negara Pihak untuk
mengambil tindakan dalam wilayah Negara Pihak lainnya untuk
menerapkan yurisdiksi dan melaksanakan fungsi-fungsi yang hanya dimiliki
oleh pejabat berwenang Negara Pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.
b.
Pertanggungjawaban badan hukum bukan hanya pidana saja tetapi juga
meliputi tanggungjawab menurut hukum perdata dan hukum administrasi.
Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi hukum pidana
tetapi juga sanksi yang bersifat pelarangan termasuk sanksi moneter (Pasal
10).
c.
Tenggang waktu daluwarsa ditentukan lebih panjang dan ditentukan lebih
panjang lagi bila tersangka menghindari pelaksanaan proses peradilan (Pasal
11).
d.
Perluasan yurisdiksi kriminal dengan menerapkan asas extra-territorial
jurisdiction, perluasan asas teritorial yang ditentukan dalam Pasal 15:
49
I Wayan Patriana et.al, Op.cit, hlm.4.
30
1)
Hukum pidana nasional memiliki yurisdiksi atas setiap tindak pidana jika:
a) tindak pidana dilakukan
terhadap warga negara dari Negara Pihak
tersebut;
b) tindak pidana dilakukan oleh warga negara dari Negara Pihak yang
bersangkutan atau oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan
yang biasa bertempat tinggal di dalam wilayah negara yang
bersangkutan atau;
c) tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan Pasal 5
ayat (1) dan dilakukan di luar wilayahnya dengan tujuan melakukan
tindak pidana serius dalam wilayahnya;
d) tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan dalam
Pasal 6 ayat (1) (b) (ii) Konvensi yang dilakukan di luar wilayah dengan
tujuan untuk melakukan tindak pidana dalam wilayahnya.
2)
Memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya atas tindak pidana yang
diatur dalam Konvensi ketika tersangka berada di wilayahnya dan tidak
melakukan ekstradisi atas orang tersebut dengan alasan semata-mata bahwa
ia adalah warga negaranya.
3)
Memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya ketika tersangka berada
dalam wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut.
31
3.
Ketentuan-Ketentuan yang Diatur di UNTOC
UNTOC menegaskan bahwa permintaan bantuan timbal balik dalam masalah
pidana merupakan ketentuan yang wajib dipertimbangkan oleh negara yang
diminta (shall afford), sepanjang negara yang diminta memiliki alasan kuat bahwa
kejahatan yang dimintakan bantuan tersebut bersifat transnasional, dan kejahatan
tersebut melibatkan organisasi kejahatan. Ketentuan penting dalam MLA ini
adalah, bahwa negara pihak tidak dapat menolak permintaan dimaksud dengan
alasan tidak adanya dual criminality (Pasal 18 ayat 9), dan sepanjang negara
tersebut memandang permintaan bantuan tersebut diperlukan dan wajar, wajib
memberikan fasilitas yang diperlukan untuk kelancaran permintaan tersebut.
MLA juga tidak dapat ditolak dengan alasan satu-satunya karena kejahatan yang
dimintakan bantuan tersebut menyangkut masalah pajak (Pasal 18 ayat 22).
Namun demikian permintaan tersebut dapat ditolak antara lain dengan alasan
bahwa pelaksanaan MLA tersebut akan merugikan kedaulatan negaranya,
keamanan, ketertiban umum dan kepentingan lainnya (Pasal 18 ayat 21 b), atau
karena alasan bahwa pelaksanaan MLA tersebut akan bertentangan dengan sistem
hukum yang berlaku di negara diminta (Pasal 18 ayat 21 d).50
Berdasarkan UNTOC, bantuan hukum (MLA) ini meliputi perolehan barang bukti
dan pernyataan, menyediakan bantuan dokumen-dokumen hukum; melaksanakan
penelusuran dan penyitaan; melaksanakan pemeriksaan objek dan lokasi;
menyediakan informasi, bukti, penilaian ahli, dokumen dan arsip-arsip;
mengidentifikasi atau penelusuran proses kejahatan, harta benda, atau peralatan50
Romli Atmasasmita, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Jakarta: Hecca
Mitra Utama, hlm. 134-135.
32
peralatan yang digunakan untuk kepentingan pembuktian dan perampasan untuk
kepentingan penyitaan; memfasilitasi kehadiran saksi-saksi; dan berbagai bentuk
bantuan lainnya yang tidak dilarang oleh hukum nasional. Meskipun begitu
bantuan yang diberikan oleh suatu negara tidak harus terbatas pada yang
disebutkan di atas, bantuan lainnya juga dapat diberikan sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum nasional masing-masing negara.51
51
Ibid, hlm.18.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
(Normatif Legal Research). Penelitian hukum Normatif adalah penelitian hukum
yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah,
filosofis, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,
penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.52
Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan
pemecahan permasalahan penelitian. Apabila peneliti mengetahui apa yang telah
dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan
yang lebih dalam dan lengkap.53 Fokus kajian dari penelitian ini adalah hukum
positif yaitu kumpulan asas dan kaidah yang berlaku di suatu tempat dan waktu
tertentu serta mengikat secara umum atau khusus yang ditegakkan oleh
pemerintah atau pengadilan dalam suatu tempat disamping hukum tertulis tersebut
terdapat norma dalam masyarakat yang tidak tertulis yang secara efektif mengatur
52
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
hlm.101-102.
53
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, hlm. 80.
34
perilaku anggota masyarakat.54 Hal yang paling mendasar dalam penelitian
normatif, adalah bagaimana peneliti menyusun dan merumuskan permasalahan
penelitiannya secara tepat dan tajam, serta bagaimana seorang peneliti memilih
metode untuk menentukan langkah-langkahnya dan bagaimana ia melakukan
perumusan dalam membangun teorinya.55 Pada penulisan skripsi ini peneliti
mengkaji mekanisme MLA56 terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam
United Nations Convention Agaisnt Transnational Organized Crime (UNTOC)
atau Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir dan
implementasinya di Indonesia.
B.
Pendekatan Masalah
Terhadap suatu penelitian ilmiah diperlukan adanya pendekatan masalah untuk
memperoleh kejelasan dalam penelitian serta mencapai tujuan dari penelitian
sehingga memberikan gambaran tentang keadaan dari hal- hal yang sedang
ditinjau. Bahder Johan Nasution mendeskripsikan tentang
sistem pendekatan
sebagai:57
Tinjauan yang dilakukan dengan berpegang pada metode dogmatis. Di dalam hal
ini yang perlu diperhatikan ialah adanya perkembangan dalam ilmu hukum positif,
sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu hukum positif yang praktis
dengan ilmu hukum positif yang teoritis. Sedangkan dalam skripsi ini metode
54
Ibid
Ibid , hlm. 88
56
Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) atau Perjanjian Timbal Balik dalam
Masalah Pidana adalah suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan yang berkaitan
dengan peyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lainlain, dari negara diminta dengan negara peminta.
57
Bahder Johan Nasution mengklasifikasikan pendekatan menjadi 6 tipe pendekatan yakni,
Pendekatan undang-undang, Pendekatan historis, Pendekatan konseptual, Pendekatan Komparatif,
Pendekatan politis, dan Pendekatan kefilsafatan.
55
35
pendekatan masalah yang digunakan yaitu normatif analitis, dengan mengkaji
Konvensi PBB dalam hal ini yaitu United Nations Convention Against
Transnasional Organized Crime, mengidentifikasi ketentuan-ketentuan normatif
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berdasarkan rincian subpokok
bahasan serta mengkaji secara komprehensif analitis bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
C.
Sumber Data
Karakteristik utama dalam penelitian hukum normatif terletak pada pengkajian
sumber datanya. Sumber data utamanya merupakan bahan hukum yang bukan
data ataupun fakta sosial yang terjadi, karena dalam penelitian hukum normatif
sumber kajian merupakan bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat
normatif. Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah
data sekunder yang berasal dari sumber kepustakaan yang terdiri dari:
1)
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat secara
umum dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdiri dari:
a) Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir;
b) UU No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana dan;
c) UU NO. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Transnasional Organized Crime.
36
2)
Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku atau literaturliteratur, jurnal ilmiah, skripsi-skripsi, artikel dari media masa, artikel dari
internet, hasil penelitian sebelumnya, pendapat para ahli atau sarjana hukum
yang dapat menunjang pemecahan permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini.
3)
Bahan hukum tersier terdiri dari:
Bahan-bahan penunjang yang memberikan penjelasan tambahan dari bahan
hukum primer dan sekunder seperti kamus besar bahasa Indonesia dan
ensiklopedia. Dari studi kepustakaan ini akan diperoleh manfaat berupa:
a) Diperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian;
b) Melalui prosedur logika deduktif, akan dapat ditarik kesimpulan spesifik
yang
mengarah
pada
penyusunan
jawaban
sementara
terhadap
permasalahan penelitiannya;
c) Akan diperoleh informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian;
d) Melalui prosedur logika induktif, akan diperoleh kesimpulan umum yang
diarahkan pada penyusunan jawaban teoritis terhadap permasalahannya.
37
D.
Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1.
Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengumpulan data, teknik pengumpulan data yang digunakan
oleh penulis dalam penelitian ini yaitu penelitian kepustakaan yang dilakukan
dengan cara mempelajari buku-buku dan literatur-literatur yang ada dengan
ditunjang dari penelitian yang berkaitan seperti jurnal internasional dan nasional,
artikel-artikel yang berisikan berita seputar fakta dan permasalahan yang terjadi
baik cetak maupun elektronik yang menunjang. Sumber dari bahan- bahan
penelitian berasal dari perpustakaan Universitas Lampung, Perpustakaan Daerah
Lampung, dan situs- situs internet yang berkaitan.
2.
Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh dan dikumpulkan dari hasil pengumpulan tersebut
selanjutnya diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1)
Seleksi data, yaitu pemeriksaan data untuk mengetahui apakah data tersebut
telah lengkap sesuai yang dibutuhkan dalam penelitian.
2)
Klasifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan bidang atau pokok
bahasan agar mempermudah dalam menganalisisnya.
3)
Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah
ditetapkan dalam penelitian sehingga mempermudah dalam menganalisis.
38
E. Analisis Data
Proses analisis data merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan
merumuskan hipotesa-hipotesa, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang
pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa. Hanya saja pada
analisis data tema dan hipotesa lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara
menggabungkannya dengan sumber- sumber data yang ada.58 Analisis data dari
suatu penelitian diartikan sebagai suatu proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari sumber-sumber penelitian sehingga dapat
ditemukan suatu kesimpulan yang mudah dipahami. Dalam penelitian ini analisis
data metode yang digunakan yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode kualitatif
berupa penggambaran fakta- fakta yang dikumpulkan serta analisis data melalui
sumber- sumber primer, sekunder dan tersier yang saling berkaitan.
58
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm.66.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Mekanisme MLA terhadap kejahatan yang diatur dalam UNTOC yaitu
berkaitan dengan pengumpulan barang bukti, pelayanan terhadap dokumendokumen terkait, penyitaan, mengidentifikasi dan pelacakan, serta
memfasilitasi kehadiran orang. Negara-negara peserta konvensi telah
berinteraksi dalam pelaksanaan MLA dengan megadakan bantuan timbal
balik melalui para penegak hukumnya.
2.
UNTOC merupakan konvensi yang ditujukan untuk memberantas kejahatan
transnasional melalui kerangka kerjasama bilateral, multilateral dan
internasional. UNTOC mengatur 6 kejahatan transnasional, yaitu, korupsi,
pencucian uang, perdagangan perempuan dan anak, penyelundupan orang,
penyelundupan senjata, dan menghalangi proses peradilan. UNTOC
memberikan solusi penanganan terhadap kasus kejahatan di atas melalui
mekanisme MLA yang menjadi metode penanganan terhadap kejahatan
transnasional. Implementasi MLA terhadap kejahatan yang diatur dalam
UNTOC adalah berkaitan dengan kasus korupsi dimana tim terpadu yang
75
dalam hal ini Kejaksaan RI bekerjasama dengan pihak negara luar telah
berhasil melacak aset dan keberadaan tersangka korupsi. Bantuan Indonesia
sebagai negara diminta kepada negara luar masih sampai kepada tahap
penerimaan bantuan saja.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dari penjelasan yang diperoleh, penulis menyampaikan
rekomendasi yaitu:
1.
Mekanisme MLA saat ini dirasa belum sesuai dalam penanganan kejahatan
transnasional, untuk itu diperlukannya suatu penyederhanaan dalam
prosedurnya agar kinerja para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan
dapat berjalan dengan lebih efektif.
2.
Implementasi MLA di Indonesia juga belum berjalan efektif, untuk itu
sebaiknya mekanisme MLA dalam UNTOC lebih disederhanakan sehingga
dapat mempermudah dalam penanganan kejahatan transnasional yang
sifatnya mendesak atau darurat, misalnya melalui saluran elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ashshofa Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Atmasasmita Romli, 2011, Hukum Tentang Ekstradisi, Jakarta: Fikahati Aneska.
--------------------------, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, 2004,
Jakarta: Hecca Mitra Utama.
Effendi Tolib, 2014, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Johan Bahder Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju.
Mauna Boer, 2013, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung:Alumni.
Muhammad Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Sunarto Siswanto, 2009, Ekstradisi & Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana,
Jakarta:Rineka Cipta.
Wayan I Patriana,et.al, 2010, Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations
Convention against Transnational Organized Crime dengan Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-Undangan.
----------------------------, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung:
Yrama Widya.
JURNAL
Mosgan Situmorang et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas
Perjanjian Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional,
hlm.36, (2012).
Marulak Pardede et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas
Perjanjian Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional,
hlm.18, (2012).
Nobuala Halawa, “Makalah paper program Pascasarjana Universitas Padjajaran
Bandung”, Analisis dan Evaluasi Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang
Hubungan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, hlm.6, (2007).
Romli Atmasasmita, “Disertasi”, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia, hlm.38, (1996).
-------------------------, “Jurnal”, ASSET RECOVERY DAN MUTUAL ASSISTANCE IN
CRIMINAL MATTERS.
Svetlana Anggita Prasasthi, “ Jurnal Hukum Volume 2”, Upaya Pemerintah Republik
Indonesia Dalam Bantuan Hukum Timbal Balik Untuk Masalah Pidana
(Mutual Legal Assistance– Mla) Terhadap Pengembalian Aset Di Luar
Negeri Hasil Tindak pidana Korupsi (Stolen Asset Recovery), (2011).
WEBSITE
www.bphn.go.id/data/documents/lit, diakses pada 17 November 2014.
http://www.businessdictionary.com/definition/confiscation.
http://www.cifor.org/ilea/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/MLA/ , diakses
secara online pada 25 Oktober 2014.
www.cifor.cgiar.org/ilea, diakses pada 25 Februari 2015.
http//www.kejaksaan.go.id
http://www.kemlu.go.id, Diakses secara online pada 17 Januari 2015, pukul 19.17
WIB.
http://www.oxfordreference.com.
http://portal.ahu.web.id secara online pada 19 Oktober 2014.
http://ppid.polkam.go.id
http://repository.usu.ac.id , diakses secara online pada 14 Desember 2014, pukul
15.30 WIB.
http://www.unodc.org/unodc/treaties/CTOC/, diakses secara online pada 19 Oktober
2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Statuta Mahkamah Internasional Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime 2000.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal
Balik Dalam Masalah Pidana.
Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention
Against Transnasional Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana
Transnational yang Terorganisasi).
Download