tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Keluarga
Undang-Undang No.52 tahun 2009 mendefinisikan keluarga merupakan
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Walker (1976)
menyatakan bahwa keluarga adalah suami-istri yang tinggal dalam satu rumah
tangga dengan atau tanpa anak. Puspitawati (2012) menyataan bahwa tujuan
membentuk keluarga adalah untuk menjalankan ajaran agama dan bertaqwa
kepada Tuhan YME dalam mencapai kebahagiaan/kesejahteraan serta untuk
melestarikan keturunan.
Sesuai dengan tujuan keluarga dalam rangka
menjalankan ajaran agama dan berbagi perasaan, cinta, dan materi maka melalui
media keluarga inilah para anggota-anggota keluarga dapat melanjutkan
keturunan,
mendapatkan
status
sosial
ekonomi,
dan
menjalani
proses
pendewasaan diri.
Keluarga adalah wahana utama dan pertama bagi anggota-anggotanya
untuk mengembangkan potensi, mengembangkan aspek sosial dan ekonomi serta
penyemaian cinta kasih-sayang antar anggota keluarga.
Pencapaian tujuan,
integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan, atau pemeliharaan keluarga
terkait dengan tugas keluarga (Megawangi 1999).
Keluarga memiliki
karakteristik masing-masing yang dapat dilihat dari besaran keluarga, pendapatan
keluarga, pendidikan keluarga, dan lain-lain. Kehidupan keluarga akan dipenuhi
aktivitas untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang dikenal dengan
istilah pekerjaan rumah tangga. Walker mendefinisikan maksud dari pekerjaan
rumah tangga adalah kegiatan-kegiatan yang disengaja dilakukan individu dalam
keluarga untuk menghasilkan barang-barang dan pelayanan yang dapat
dimanfaatkan oleh masing-masing anggota keluarga.
Santrock (2002) menyatakan bahwa tahapan kehidupan keluarga adalah
kunci prinsip dalam proses transisi emosi. Kehidupan keluarga terbagi menjadi
enam tahapan, yaitu: 1) dewasa muda belum menikah; 2) pasangan baru; 3)
menjadi orang tua dan keluarga dengan anak; 4) keluarga dengan anak remaja; 5)
keluarga setengah baya; 6) keluarga laterlife. Menurut Duvall (1971), keluarga
6
terbagi menjadi delapan tahapan dengan masing-masing tugas perkembangan dan
tugas kritis masing-masing. Tugas-tugas tersebut harus dilalui oleh keluarga agar
mendapatkan perkembangan yang maksimal sehingga masing-masing anggota
keluarga terpenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun
sosialnya.
Tabel 1 Tugas kritis dalam perkembangan keluarga menurut Duvall
No
1
Tahapan keluarga
Pasangan
menikah
2
Keluarga dengan
anak baru lahir
3
Keluarga dengan
anak prasekolah
4
Keluarga dengan
anak sekolah
5
Keluarga dengan
anak remaja
6
Keluarga
launching center
7
Keluarga middle
age(setengah
baya)
Keluarga empty
nest
8
Tugas kritis perkembangan keluarga
- membangun kepuasan pernikahan yang saling
menguntungkan
- penyesuaian terhadap kehamilan dan harapan menjadi
orang tua
- beradaptasi dengan keluarga baru
- penyesuaian terhadap dan mendorong perkembangan bayi
- membangun kepuasan terhadap rumah antara orang tua
dan bayi
- beradaptasi untuk kebutuhan kritis dan ketertarikan anak
prasekolah dalam stimulasi dan pendukung pertumbuhan
- koping terhadap berkurangnya energi dan terhambatnya
privasi sebagai orangtua
- mencocokkan diri ke dalam komunitas keluarga dengan
anak usia sekolah dalam jalan yang membangun
- mendorong pencapaian pendidikan anak
- penyeimbangan kebebasan dengan tanggungjawab sebagai
alamiahnya seorang remaja serta memerdekakan diri
mereka
- melepaskan dewasa awal menuju dunia kerja, pelayanan
militer, kuliah, pernikahan, dsb sesuai dengan ritual dan
pendampingan
- mempertahankan dukungan dasar yang berasal dari rumah
- membangun kembali hubungan pernikahan
- mempertahankan ikatan hubungan dengan saudara yang
lebih muda dan lebih tua
- mengatasi kehilangan dan tinggal seorang diri
- menutup fase keluarga atau beradaptasi menuju penuaan
- penyesuaian diri terhadap masa pensiun
Lanjut Usia
Usia lanjut yaitu periode ketika kemunduran telah terjadi dan adanya
disorganisasi mental. Kemunduran itu disebabkan oleh faktor fisik dan faktor
psikologis. Faktor fisik adalah perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena
penyakit khusus tapi karena proses penuaaan, sedangkan faktor psikologis
dipengaruhi sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dan
kehidupan.
Penanganan ketegangan dan stress hidup seseorang akan
memengaruhi laju kemunduran itu.
7
Arti kata tua itu tidak jelas serta tidak dapat dibatasi, maka orang
cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan kegiatan fisik (Hurlock,
1997). Pendapat ahli dalam menentukan batasan usia lansia pun berbeda-beda.
Menurut UU RI nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19 ayat 1, definisi
lanjut usia sebagai seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis,
fisik, kejiwaan, dan sosial. UU RI No.13 tahun 1998 menjelaskan bahwa
golongan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Hurlock (1997) membagi tahap terakhir dalam dua rentang menjadi usia lanjut
dini berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh dan usia lanjut yang
mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Papalia et al.
(2008) membagi menjadi tiga kelompok lansia: young old antara usia 65 sampai
74 tahun yang biasanya aktif, vital, dan bugar; old-old berusia antara 75 sampai
84 tahun; dan oldest old berusia 85 tahun ke atas yang berkecenderungan lebih
besar lemah dan tidak bugar serta memiliki kesulitan dalam mengelola aktivitas
keseharian.
Shadden dalam Putri (2011) mengemukakan teori yang membahas
mengenai lansia yang terkait dengan perilaku lansia itu sendiri:
a. Disengagement theory
Suatu proses menjadi tua yang melibatkan pelepasan peran-peran sosial yang
tampak dalam penurunan interaksi dalam hubungan sosial lansia. Teori ini
melihat penarikan diri sebagai suatu kejadian yang selektif dimana individu
dapat memilih untuk menarik diri dari peran-peran yang dimilikinya dan
terjadi dan terjadi dalam proses yang panjang (bukan terjadi secara tiba-tiba).
Sehubungan dengan penarikan diri yang dilakukan dari peran-peran dalam
pekerjaan dan persaingan dengan kaum muda karena penurunan kekuatan fisik
dan lainnya, individu menyesuaikan diri dengan keberadaannya. Dari segi
masyarakat,
penarikan
diri
berarti
mengijinkan
kaum
muda
untuk
menggantikan kaum tua sehingga proses transisi kekuatan dapat berjalan
dengan lancar dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b. Activity theory
Teori ini berpendapat bahwa individu cenderung tetap bertahan melakukan
aktivitas selama mungkin. Tiap peran yang berhenti pada usia dewasa akan
8
digantikan oleh peran lain di usia tua. Dikatakan bahwa upaya untuk menjadi
lansia yang sukses adalah tetap terus beraktivitas. Teori ini menekankan pada
stabilitas dari orientasi kepribadian seseorang dan mengindahkan pendapat
masyarakat yang menganggap kemunduran-kemunduran pada lansia harus
dikompensasi dengan penarikan diri. Kesulitan yang dihadapi adalah apabila
individu merasa bahwa ia harus tetap produktif layaknya saat masih usia
dewasa padahal ia mengalami kemunduran-kemunduran karena usianya, maka
ia mengalami frustasi, kecemasan, dan perasaan bersalah karena tidak dapat
memenuhi harapannya.
Tahapan keluarga lanjut usia dimulai dengan dua posisi, suami dan istri,
dan berakhirnya salah satu dari keduanya, sedangkan satu dari pasangan yang
ditinggalkan tersebut tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut
Duvall (1971), tugas perkembangan keluarga lansia antara lain:
1. menemukan kepuasan di rumah untuk beberapa tahun yang akan datang
2. penyesuaian untuk kemunduran pendapatan
3. membentuk kenyamanan kebiasaan sehari-hari rumahtangga
4. pemeliharaan satu sama lain sebagai suami-istri
5. menghadapi kehilangan dan keadaan hidup sebagai janda
6. memerhatikan untuk kerelatifan saat menjadi tua
7. memelihara kontak hubungan dengan anak-anak dan cucu-cucunya
8. menjaga ketertarikan orang lain di luar keluarga
9. menemukan arti hidup.
Manajemen Sumber Daya Keluarga
Sumberdaya diartikan sebagai penyedia karakteristik atau perlengkapan
yang mampu digunakan untuk memenuhi keinginan-keinginan keluarga sesuai
dengan tujuan dan kejadian dalam keluarga (Deacon dan Firebaugh 1988).
Sumberdaya didapatkan dari kegiatan produktif anggota keluarga atau
memungkinkan didapatkan melalui interaksi dengan sistem yang lain. Tentunya,
sumberdaya harus dimiliki oleh perorangan atau keluarga secara keseluruhan atau
sesuatu yang berada di bawah kontrol keluarga.
Nickel dan Dorsey (1959)
menjabarkan bahwa sumber daya keluarga terdiri dari sumber daya manusia
(kecerdasan, kemampuan, pengetahuan, dan sikap) dan sumber daya non manusia
9
(waktu, uang, dan aset). Deacon dan Firebaugh (1988) mengklasifikan sumber
daya keluarga menjadi sumber daya manusia dan material. Sumber daya manusia
dalam sistem keluarga yaitu kesehatan keluarga, keterampilan, kemampuan, dan
pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga. Sumber daya
material merupakan suatu hal yang nampak. Sumber daya ini digunakan untuk
memproduksi barang, digunakan untuk simpanan dan investasi.
Keluarga merupakan sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagianbagian fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan. Sumber daya keluarga
harus dikelola sedemikian rupa agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga
sesuai. Kebutuhan keluarga akan dipengaruhi oleh kondisi pembatas dan prioritas
keluarga tersebut yang menjadi tujuannya. Proses untuk mengatur sumberdaya
itulah yang dimaksud dengan manajemen.
Manajemen merupakan alat dasar
(basic tool) untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya yang
tersedia. Suatu proses manajemen dikatakan berhasil jika mencapai tujuan yang
sudah ditetapkan.
Dengan melakukan manajemen kehidupan seseorang bisa
teratur dan efektif (Deacon dan Firebaugh 1988).
Gross et al. (1973) menyatakan manajemen sumber daya keluarga terdiri
atas serangkaian pengambilan keputusan dalam penggunaaan sumber daya
keluarga untuk mencapai tujuan keluarga.
Sistem manajemen menunjukkan
saling ketergantungan dan saling keterhubungan di antara sistem keluarga dengan
sistem di sekelilingnya karena manajemen dipengaruhi dan memengaruhi
lingkungan. Manajemen sumber daya keluarga adalah penggunaan sumber daya
keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting oleh
keluarga.
Manajemen tidak membuat sumberdaya yang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup. Akan tetapi manajemen
dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk pilihan
yang disetujui oleh anggota keluarga.
Ada tiga komponen dalam proses
manajemen, yaitu input, proses, dan output.
Input merupakan segala sesuatu
yang dimiliki atau dapat diakses oleh keluarga dan ditransformasi dalam sebuah
proses untuk mencapai tujuan. Proses terdiri atas perencanaan dan implementasi.
Adapun output adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari sistem manajemen
(Deacon dan Firebaugh 1988). Sebagai proses yang dinamis, salah satu dari
10
karakteristik manajemen adalah tidak kaku, artinya, proses manajemen yang
dilakukan dapat disesuaikan dengan situasi yang sedang dihadapi dan
ketersediaan sumberdaya dari keluarga tersebut.
Manajemen Waktu
Waktu merupakan sumberdaya yang unik karena benar-benar tidak bisa di
ditambah atau dikurangi bahkan diakumulasi atau disimpan.
Setiap orang
memiliki jumlah waktu yang sama yaitu 24 jam. Dengan sifatnya yang unik
tersebut maka individu atau keluarga harus mampu mengaturnya hingga
memenuhi tujuan hidup keluarganya.
Dalam setiap tahapan perkembangan
keluarga akan ditemukan pola berbeda dalam mengatur waktu keluarga.
Pengaturan waktu keluarga dipengaruhi oleh prioritas kegiatan.
Walker (1976) menyatakan bahwa penggunaan waktu dalam keluarga
berkaitan dengan variasi aktivitas dalam setiap rumah tangga.
Aktivitas rumah
tangga berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, umur dari anak terkecil, atau
ukuran tempat tinggal. Hasil yang ditampilkan oleh Walker (1976) merujuk pada
data yang didapatkan oleh Wiegand menggambarkan bahwa ada enam aktivitas
terbesar yang menghabiskan waktu pada rumah tangga. Aktivitas tersebut adalah
penyiapan makanan, pemeliharaan rumah secara regular, pemeliharaan fisik
anggota keluarga, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, dan mencuci piring.
Masing-masing aktivitas tersebut berkaitan erat dengan jumlah anggota keluarga
dan usia anak.
Sebagai aktivitas manajemen, manajemen waktu terdiri atas aktivitas
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Gross et al. (1973), terdapat
tiga tipe perencanaan waktu, yaitu: 1) List a job; 2) Series of project; dan 3)
Schedule. List a job adalah perencanaan waktu dengan cara membuat daftar
aktivitas kegiatan yang akan dilakukan, disertai dengan kata-kata motivasi
sehingga bersemangat untuk mencapai target yang sudah ditentukan.
Pada
perencanaan series of project, daftar aktivitas kegiatan disertai dengan urutan
waktu, namun tidak ada batas waktu yang jelas. Tipe perencanaan yang ketiga,
daftar aktivitas disertai dengan urutan waktu dan perkiraan waktu yang diperlukan
untuk mengerjakan aktivitas tersebut.
Langkah-langkah dalam menyusun
schedule adalah; 1) membuat daftar semua aktivitas, kemudian dikelompokkan
11
menjadi aktivitas fleksibel dan tidak fleksibel; 2) memperkirakan waktu yang
diperlukan untuk menjalankan setiap aktivitas; 3) menyesuaikan total perkiraan
waktu yang diperlukan dengan waktu yang tersedia; 4) menyusun urutan waktu;
5) tuliskan perencanaan; dan 6) jika terdapat aktivitas yang berkaitan dengan
orang lain, maka komunikasikan hal tersebut kepada orang yang dimaksud.
Manajemen Sumber Daya Manusia
Nickell dan Dorsey (1959) menyatakan bahwa sumber daya manusia
terdiri dari kemampuan, keterampilan, pola sikap, dan pengetahuan.
Sebuah
keluarga terdapat beberapa individu yang memiliki sumber daya manusia yang
berbeda-beda. Setiap kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu
dalam keluarga pasti berpengaruh pada kemampuan keluarga dalam mengatur
kebutuhan keluarga tersebut. Selain itu, sumber daya individu keluarga akan
mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan kemampuan keluarga untuk
mendapatkan sumberdaya yang lain.
Manajemen sumber daya manusia yang ada dalam keluarga juga
mencakup pembagian tugas dalam keluarga sehingga fungsi-fungsi dalam
keluarga akan terpenuhi secara optimal. Pembagian kerja dalam rumah tangga
dapat dilihat dengan menggunakan empat hipotesis, yaitu: 1) resource and power
hypothesis; 2) time availability hypothesis; 3) sex-role hypothesis; dan 4)
preference-for-housework
hypothesis.
Resource
and
power
hypothesis
menyatakan bahwa semakin besar kontribusi pendapatan suami bagi keluarga,
maka semakin besar tanggung jawab istri dalam urusan rumah tangga.
Sebaliknya, semakin besar kontribusi pendapatan istri bagi keluarga, maka
semakin kecil tanggung jawab istri dalam urusan rumah tangga. Time availability
hypothesis menyatakan bahwa seorang istri yang bekerja memiliki alokasi waktu
dan tanggung jawab yang lebih sedikit untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga
dibandingkan dengan isteri yang tidak bekerja. Sex-role hypothesis menyebutkan
bahwa persepsi gender mempengaruhi pembagian kerja. Adapun preference-forhousework hypothesis menyatakan bahwa preferensi (ketertarikan) suami dan
isteri pada jenis pekerjaan tertentu mempengaruhi pembagian kerja dalam
keluarga. Secara umum, seorang istri menyukai aktivitas domestik seperti
12
mengasuh anak dan merapikan rumah, sedangkan ketertarikan suami pada
aktivitas domestik lebih rendah dibandingkan istri (Deacon dan Firebaugh 1988).
Keluarga dalam membagi aktivitas sesuai dengan peran yang telah
disepakati dalam keluarga melibatkan suami, istri, dan anak-anak. Perempuan
biasanya berperan dalam pekerjaan keseharian seperti memasak, mencuci,
membersihkan debu, berbelanja dan sebagainya tanpa dihitung sebagai karyawan
yang dibayar (Walker 1976). Namun tidak sedikit perempuan yang menjalani
peran sebagai pekerja publik yang mendapatkan bayaran untuk aktivitasnya.
Manajemen keuangan
Uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus merupakan alat
pengukur dari sumberdaya suatu keluarga. Besarnya uang yang dimiliki oleh
seseorang atau keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya yang
dimilikinya. Individu dan keluarga berpendapatan rendah biasanya mempunyai
orientasi untuk masa sekarang atau kini saja daripada untuk masa depannya dalam
perspektif waktu.
Manajemen keuangan adalah kegiatan merencanakan,
mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan pendapatan (Nickell dan
Dorsey 1959).
Manajemen keuangan keluarga dipengaruhi oleh tujuan dari
keluarga. Menurut Firdaus dan Sunarti (2009), manajemen keuangan keluarga
mencakup komunikasi dalam menggunakan pendapatan.
Masalah keuangan
merupakan hal yang paling banyak dibicarakan oleh keluarga dalam perencanaan
keuangan. Pengelolaan keuangan yang dilakukan suatu keluarga akan berbeda
dengan yang dilakukan keluarga lainnya karena kondisi pembatas dan prioritas
keuangan antar keluarga berbeda. Terbatasnya keuangan keluarga dan terbatasnya
tindakan pilihan untuk menggunakan uang menyebabkan pengelolaan keuangan
menjadi sederhana. Ketersediaan sumberdaya lain, seperti waktu dan sumberdaya
manusia, penting dalam melakukan manajemen keuangan karena sumberdaya
tersebut memengaruhi penggunaan keuangan untuk mencapai tujuan (Deacon dan
Firebaugh 1988).
Ketahanan Keluarga
Ketahanan keluarga merupakan gabungan sinergis dari ketahanan
ekonomi, ketahanan moral, dan ketahanan budaya. Ketiga ketahanan tersebut
13
saling berkaitan dan bersinergi dalam mewujudkan ketahanan keluarga.
Pendidikan
merupakan
faktor
yang
sangat
menentukan
terbentuk
dan
terpeliharanya ketahanan keluarga yang dilandasi oleh penghayatan yang
mendalam terhadap ajaran agama. Pembinaan dan penempaan yang tepat oleh
keluarga dengan ketahanan keluarga yang kuat akan mencerminkan adanya unsurunsur penting yang sangat memengaruhi yaitu kehidupan beragama secara nyata,
kesadaran melaksanakan nilai-nilai tradisi dan peran pendidikan dalam keluarga
(Syarief 1997).
Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 (BKKBN 1992)
merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental
spritual guna hidup mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk
hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Menurut Sunarti
(2001) ketahanan keluarga adalah kemampuan keluarga untuk mengelola
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seiring dengan
masalah yang dihadapi keluarga. Berdasarkan penelitian Sunarti (2001) dengan
menggunakan pendekatan sistem (input-proses-output) ditemukan faktor dalam
ketahanan keluarga, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis.
Ketahanan fisik
Ketahanan fisik keluarga berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga
yaitu kemampuan anggota keluarga dalam memeroleh sumberdaya ekonomi dari
luar sistem untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang,
perumabahan, pendidikan, dan kesehatan. Keluarga akan tahan secara fisik jika
terbebas dari masalah ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan fisik keluarga.
Indikator ketahanan fisik keluarga adalah pendapatan perkapita keluarga melebihi
dari kebutuhan fisik minimum, dan atau lebih dari satu orang keluarga bekerja dan
memeroleh sumberdaya ekonomi melebihi kebutuhan fisik minimum.
Ketahanan sosial
Ketahanan sosial merupakan kekuatan keluarga dalam penerapan nilai
agama, pemeliharaan ikatan dan komitmen, komunikasi efektif, pembagian peran
dan penerimaan peran, penetapan tujuan, seta dorongan untuk maju, yang akan
menjadi kekuatan dalam menghadapi masalah keluarga (termasuk masalah
14
perkawinan) dan memiliki hubungan sosial yang sehat. Terdiri dari sumber daya
nonfisik, mekanisme penganggulangan masalah yang baik, berorientasi terhadap
nilai-nilai agama, efektif dalam berkomunikasi, senantiasa memelihara dan
meningkatkan komitmen keluarga, memelihara hubungan sosial, serta memiliki
penganggulangan krisis.
Ketahanan psikologis
Ketahanan psikologis merupakan kemampuan anggota keluarga untuk
mengelola emosinya
sehingga menghasilkan
konsep diri
yang
positif.
Kemampuan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah non fisik keluarga.
kemampuan mengelola emosi dan konsep diri yang baik menjadi kunci dalam
menghadapi masalah-masalah keluarga yang bersifat non fisik. Oleh sebab itu,
indikator dari ketahanan psikologis adalah anggota keluarga memiliki konsep diri
dan emosi yang positif. Masalah keluarga non fisik seperti konflik dengan suami
dan keluarga, serta kehilangan (materi atau orang terdekat), sebagai stressor akan
berdampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis jika individu tidak mampu
mengendalika emosi yang negatif tersebut. Sama halnya dengan ketahanan sosial,
syarat utama untuk tercapainya ketahanan psikologis adalah kepribadian yang
matang dan kecerdasan emosi dari pasangan suami istri.
Penelitian Terdahulu
Penelitian Ginanjarsari (2010) menunjukkan bahwa ketahanan keluarga
dipengaruhi oleh karakteristik keluarga yaitu pendidikan, pendapatan perkapita,
dan besar keluarga. Saleha (2003) meneliti mengenai manajemen sumber daya
keluarga nelayan di Bontang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri dominan
melakukan aktivitas domestik yaitu mengurus anak dan pemeliharaan rumah
tangga. Namun aktivitas mendampingi anak belajar lebih banyak dilakukan oleh
suami. Pendidikan suami yang lebih memadai dibanding dengan kemampuan istri
menjadi faktor utamanya. Selain itu, terdapat pembagian peran antara suami dan
istri dalam sektor ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Iskandar (2007)
menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi sumber daya keluarga adalah faktor
internal (jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga, usia istri, pendidikan
15
kepala keluarga dan istri, pendidikan dan kepemilikan aset) dan faktor eksternal
(lokasi tempat tinggal).
Tabel 2 Hasil penelitian terdahulu
Peneliti
Destianti
(1997)
Firdaus dan
Sunarti
(2009)
Kusumo
dan
Simanjuntak
(2009)
Putri (2011)
Rusydi
(2010)
Hasil penelitian
 Ketiadaan pasangan bagi lansia akan
memengaruhi kesehatan lansia. Hal tersebut
berkaitan dengan penyelesaian permasalahan
kehidupan.
 Tingkat kesejahteraan lansia dipengaruhi
oleh status perkawinannya.
 Masalah kesejahteraan lansia muncul karena
ketiadaan penghasilan yang memadai
dikarenakan kurang mendapatkan
pendidikan dan keterampilan kerja saat
masih muda.
 Terbatasnya keuangan keluarga dan
terbatasnya tindakan pilihan untuk
menggunakan uang menyebabkan
pengelolaan keuangan menjadi sederhana.
 Semakin besar jumlah anggota keluarga
maka akan semakin tinggi tekanan ekonomi
dan semakin rendah kesejahteraannya.
 Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin baik manajemen keuangan keluarga
sehingga akan meningkatkan kesejahteraan
keluarganya.
 Kepuasan sangat berhubungan dengan
bagaimana keluarga mengatur
pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
 Keluarga berpenghasilan rendah tidak
merasa puas dengan sumber daya fisik
karena tidak memenuhi kebutuhan tetapi
puas dengan sumber daya non fisik.
 Semakin tua lansia maka tingkat
kemandirian total, aktivitas sehari-hari dan
emosi semakin rendah.
 Tingkat kemandirian total dan ekonomi lebih
baik pada responden berstatus bekerja.
 Karakteristik contoh yaitu usia istri, usia
suami, jumlah anggota keluarga, dan jumlah
masalah berhubungan nyata dengan
manajemen sumberdaya yang dilakukan
sehingga mendapatkan output yang
sebanding.
Judul penelitian
Penelitian lanjut usia:
Karakteristik, aktivitas,
dan tingkat
kesejahteraan keluarga
(Kasus Desa Cijujung
Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Jawa Barat)
Hubungan antara
tekanan ekonomi dan
mekanisme koping
dengan kesejahteraan
keluarga wanita
pemetik teh
Tingkat kepuasan
keluarga
berpendapatan rendah
terhadap sumberdaya
yang dimiliki
Hubungan
kemandirian dan
dukungan
Sosial dengan tingkat
stres lansia
Analisis perbandingan
manajemen sumber
daya dan kesejahteraan
keluarga pada keluarga
miskin dan tidak
miskin
Download