Peningkatan kemampuan pemahaman matematik dan sikap positif

advertisement
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK DAN SIKAP
POSITIF TERHADAP MATEMATIKA SISWA SMP NASRANI 2 MEDAN
MELALUI PENDEKATAN PROBLEM POSING
Oleh :
Vera Dewi Kartini Ompusunggu*)
*)
Dosen Pendidikan Matematika Universitas Quality
([email protected])
Abstract
The purpose of this study was to examine: 1). To determine the increase in understanding of
mathematical ability of students taught using problem posing approach is better than the usual
learning. 2). To determine the mathematical attitudes of students taught using problem posing
approach with regular learning. 3). To determine the interaction between students learning with prior
knowledge of the mathematical ability of students' understanding. 4). To determine the interaction
between students learning with prior knowledge of the mathematical positive attitude of students. 5).
To know the process of understanding mathematical problem solving ability of students in each lesson.
This research is a semi-experimental. The population was Christian junior class VIII 2 field. Then
randomly selected two classes. Classroom learning model experiments were subjected problem posing
and grade control treated usual learning model. The instrument used consisted of: testing the ability of
understanding of mathematics, test positive attitude mathematics student questionnaire and
observation sheet.
Data analysis was performed by analysis of variance (ANOVA). The results showed that the overall
student learning by problem posing teaching model is significantly better in improving the ability of
understanding of mathematics than students learning with the usual learning model and learning
activities of students in forming and solving problems is effective
Based on the results of the study, the researchers suggest learning model posing problems to improve
students' understanding of mathematics can be used as an innovative alternative to learning
mathematics.
Keywords: Learning Problem Posing, Understanding Mathematics, Mathematics Positive Attitude
I Pendahuluan
Mata pelajaran matematika salah satu
mata pelajaran yang menjadi perhatian
utama,
dan
dalam
kenyataannya,
matematika masih merupakan pelajaran
yang sulit dipelajari oleh siswa bahkan
merupakan pelajaran yang menakutkan
bagi sebahagian besar siswa. Hal ini
dikemukakan oleh Ruseffendi (2001: 15)
bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anakanak pada umumnya merupakan mata
pelajaran yang tidak disenangi., kalau
bukan sebagai mata pelajaran yang dibenci.
Dengan demikian guru matematika pada
khususnya harus dapat menyakinkan bahwa
matematika itu merupakan pelajaran yang
mudah dan menjadi kebutuhan hidup.
93
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
Banyak faktor yang menjadi penyebab
rendahnya
kemampuan
dan
kurangnya
pemahaman siswa, salah satu penyebabnya
adalah strategi pembelajaran yang dilaksanakan
oleh guru yang masih bersifat tradisional, yaitu
siswa masih diperlakukan sebagai objek belajar
dan guru lebih dominan berperan dalam
pembelajaran dengan memberikan konsepkonsep atau prosedur-prosedur baku, sehingga
pada pembelajaran ini hanya terjadi komunikasi
satu arah. Siswa jarang diberi kesempatan untuk
menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep
atau pengetahuan matematika secara formal,
sehingga pemecahan masalah, penalaran, dan
komunikasi dianggap tidak terlalu penting.
Oleh karena itu dalam upaya peningkatan
pemahaman siswa terhadap materi matematika
menjadi tanggung jawab bersama terutama guru
sebagai subjek pendidikan yang memegang
peranan
penting
dalam
mewujudkan
keberhasilan suatu pengajaran. Guru tidak
hanya memberi informasi-informasi yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan semata
melainkan mendidik dan membimbing anak
dalam belajar.
Pengertian pemahaman matematik dapat
dipandang sebagai proses dan tujuan dari suatu
pembelajaran
matematika.
Pemahaman
matematik sebagai proses, berarti pemahaman
matematik adalah suatu proses pengamatan
kognisi yang tak langsung dalam menyerap
pengertian dari konsep/teori yang akan
dipahami, mempertunjukkan kemampuannya di
dalam menerapkan konsep/teori yang dipahami
pada keadaan dan situasi-situasi yang lainnya.
Sedangkan sebagai tujuan, pemahaman
matematik berarti suatu kemampuan memahami
konsep, membedakan sejumlah konsep-konsep
yang saling terpisah, serta kemampuan
melakukan perhitungan secara bermakna pada
situasi atau permasalahan-permasalahan yang
lebih luas. Dengan demikian Wiharno (2009)
menyimpulkan
bahwa
“kemampuan
pemahaman matematik merupakan suatu
kekuatan yang harus diperhatikan dan
diperlakukan secara fungsional dalam proses
dan tujuan pembelajaran matematika, terlebih
lagi sense memperoleh pemahaman matematik
pada saat pembelajaran, hal tersebut hanya bisa
dilakukan melalui pembelajaran dengan
pemahaman.”
Pemahaman terhadap konsep matematika
sangat penting, tanpa adanya pemahaman
94
konsep dasar yang kuat bagi siswa, maka siswa
tidak akan mampu memahami konsep yang
diberikan. Ini terlihat pada hasil tes awal
kemampuan pemahaman siswa yang salah satu
soalnya adalah “ Diketahui suatu fungsi f : x→
2x – 1 dengan domain A = ⦃1, 2, 3, 4, 5⦄.
Gambarkan diagram panahnya dan tentukan
daerah hasilnya?”. Dari 34 siswa ada sekitar
52% atau 18 orang yang memiliki pemahaman
yang rendah, sebagian besar siswa mengalami
kesulitan pada indikator yaitu siswa diharapkan
dapat menyebutkan dan menuliskan variabelvariabel yang diketahui dan yang ditanyakan
(pemahaman translasi), siswa juga diharapkan
dapat menafsirkan permasalahan yang ada
dalam bentuk lain/cara lain (pemahaman
interpretasi), yang terakhir siswa diharapkan
mampu menerapkan konsep yang ada untuk
menyelesaikan soal atau masalah yang ada
(pemahaman ekstrapolasi).
Pemahaman siswa
terhadap pelajaran
matematika tentunya sangat dipengaruhi
terhadap metode yang digunakan oleh guru
dalam mengajar. Kebanyakan guru mengajar
dengan pembelajaran yang masih terfokus pada
guru sebagai sumber utama pengetahuan
kemudian ceramah adalah yang menjadi pilihan
utama strategi belajar yang menyebabkan rasa
bosan untuk belajar matematika. Seperti yang
diungkapkan oleh Slameto (2003) bahwa: “
Guru biasanya mengajar dengan metode
ceramah saja sehingga siswa menjadi bosan,
mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja”.
Pemahaman
diartikan
dari
kata
“understanding”, derajat pemahaman menurut
Utari (dalam Jarnawi: 2003) ditentukan oleh
banyak dan kuatnya keterkaitan. Suatu gagasan,
prosedur atau fakta matematika dipahami secara
menyeluruh jika hal-hal tersebut membentuk
suatu jaringan (network) dengan keterkaitan
yang kuat dan banyak. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata pemahaman diartikan
sebagai
kesanggupan
intelegensi
untuk
menangkap makna situasi atau perbuatan
(Depdikbud, 1989).
Menurut Driver dan Leach (dalam
Hasanah: 40) pemahaman adalah kemampuan
untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu
tindakan. Kalimat diatas memberikan tiga aspek
dalam
pemahaman,
yaitu
kemampuan
mengenal, kemampuan menjelaskan dan
menarik kesimpulan. Pemahaman merupakan
salah satu aspek yang terkandung dalam
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
Taksonomi Bloom. Pemahaman merupakan
penyerapan arti dari suatu materi/ bahan yang
dipelajari. Dalam memahami suatu objek secara
mendalam seseorang harus mengetahui atau
mengenal objek itu sendiri, relasinya dengan
objek lain yang sejenis, relasinya dengan objek
lain yang tidak sejenis dan relasinya dengan
objek dalam teori lainnya (Michenener dalam
Hasanah : 20).
Menurut Rusefendi (1980 : 124) bahwa ada
3 macam pemahaman: pengubahan (translasi),
pemberian arti (interpretation), dan pembuatan
ekstrapolasi (extrapolation). Dalam matematika
misalnya mampu mengubah (translation) soal
kata-kata ke dalam simbol dan sebaliknya,
mampu mengartikan (interpretation) suatu
kesamaan,
mampu
memperkirakan
(ekstrapolasi) suatu kecenderungan dari
diagram.
Pemahaman
translasi
(kemampuan
menerjemahkan) adalah kemampuan dalam
memahami suatu gagasan yang dinyatakan
dengan cara lain dari pernyataan asal yang
dikenal sebelumnya. Pemahaman interpretasi
(kemampuan menafsirkan) adalah kemampuan
dalam memahami bahan atau ide yang direkam,
diubah atau disusun dalam bentuk atau cara
lain, misalnya dalam bentuk grafik, tabel,
diagram, gambar, dan lain sebagainya.
Sedangkan
pemahaman
ekstrapolasi
(kemampuan meramalkan) adalah kemampuan
meramalkan kecenderungan yang ada menurut
data tertentu dengan mengutarakan konsekuensi
dan implikasi yang sejalan dengan kondisi yang
digambarkan.
Dalam
pembelajaran
matematika,
pemahaman
translasi
berkaitan
dengan
kemampuan siswa dalam memodelkan atau
merepresentasikan, menerjemahkan kalimat
dalam soal atau permasalahan ke dalam bentuk
lain, misalnya dapat menyebutkan atau
menuliskan variabel-variabel yang diketahui
dan yang ditanyakan. Pemahaman interpretasi
berkaitan dengan kemampuan siswa dalam
menentukan konsep-konsep yang tepat untuk
digunakan dalam menyelesaikan soal atau
masalah
yang
dihadapi.
Pemahaman
ekstrapolasi berkaitan dengan kemampuan
siswa menerapkan konsep dalam perhitungan
matematika untuk menyelesaikan soal atau
masalah.
Polya (dalam Sumarno, 1987: 23)
mengemukakan empat tingkat pemahaman
suatu hukum, yaitu pemahaman mekanikal,
pemahaman induktif, pemahaman rasional, dan
pemahaman intuitif. Seseorang dikatakan
memiliki pemahaman mekanikal suatu hukum,
jika ia dapat mengingat dan menerapkan hukum
itu secara benar. Kemudian seseorang dikatakan
telah memiliki pemahaman induktif suatu
hukum, jika ia sudah mencoba hukum itu
berlaku dalam kasus sederhana dan yakin
bahwa hukum itu berlaku dalam kasus yang
sama. Selanjutnya seseorang dikatakan telah
mamiliki pemahaman rasional suatu hukum,
bila ia dapat membuktikannya, dan seseorang
dikatakan telah memiliki pemahaman intuitif,
jika ia telah yakin akan kebenaran hukum itu
tanpa ragu-ragu.
Pada matematika, pengetahuan yang harus
dipahami ada dua hal, yaitu pengetahuan
konsep
(conceptual
knowledge)
dan
pengatahuan prosedur/algoritma (procedural
knowledge). Pembelajaran matematika dengan
pemahaman sering menjadi bahan kajian yang
sangat luas dan mendalam pada riset pendidikan
matematika. Hampir semua teori belajar
menjadikan pemahaman sebagai tujuan dari
proses pembelajaran. Hibert and Carpenter
(dalam Jarnawi: 2003) menyebutkan bahwa
pemahaman merupakan aspek fundamental
dalam
pembelajaran,
sehingga
model
pembelajaran harus menyertakan hal pokok dari
pemahaman.
Pemahaman merupakan tipe hasil belajar
yang lebih tinggi daripada pengetahuan, namun
tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak perlu
ditanyakan sebab, untuk dapat memahami,
perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal
(Sudjana: 2005). Pemahaman (understanding)
adalah bagian dari the cognitive process
dimension pada Taksonomi Bloom. Menurut
Anderson dan Krathwohl (dalam Wiharno:
2007), jika siswa memahami suatu objek materi
matematika maka ia mampu “Construct
meaning from instructional messages, including
oral, written, and graphic communication”.
Dalam pemahaman matematik termuat
aspek perilaku pemahaman dan materi
matematikanya
sendiri.
Sesuai
dengan
pandangan matematika adalah ilmu yang
terstruktur dan sistematik, maka materi atau isi
matematika disusun dari struktur yang lebih
sederhana meningkat kepada materi yang lebih
kompleks. Adalah cukup beralasan apabila ada
pernyataan untuk memahami materi yang
95
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
menyangkut struktur matematika yang lebih
tinggi, akan menuntut kemampuan penalaran
logis yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu,
dibandingkan dengan subyek kongret, diduga
subyek
formal
akan
lebih
mampu
menyelesaikan butir-butir soal mengenai
struktur matematika yang lebih tinggi.
Menurut Alfeld (dalam Wiharno: 2007)
seseorang memahami matematika maka ia
dapat melakukan hal sebagai berikut :
• Explain mathematical concepts and facts in
terms of simpler concepts and facts.
• Easily make logical connections between
different facts and concepts.
• Recognize the connection when you
encounter something new (inside or outside
of mathematics) that's close to the
mathematics you understand.
• Identify the principles in the given piece of
mathematics that make everything work
Jika seorang siswa sudah mencapai
pemahaman yang mendalam dan bermakna
dalam mempelajari matematika maka siswa
tersebut dapat merasakan manfaat matematika
dalam kehidupannya dimana hal tersebut yang
menjadi sasaran dan tujuan yang perlu dicapai.
Untuk memperoleh pemahaman dalam belajar
matematika, setiap materi yang dipelajari harus
sesuai dengan jenjang atau tingkat kemampuan
berfikir siswa. Pemahaman yang diperoleh
ketika belajar matematika dapat menumbuhkan
kemampuan berpikir matematik. Berpikir
matematik inilah yang diperlukan untuk meraih
manfaat matematika dalam kehidupan seharihari sekaligus untuk meningkatkan kemampuan
pemahaman
berikutnya.
Guru
yang
mengajarkan matematika harus memberikan
stimulus yang baik kepada siswanya agar
tercapainya pemahaman dalam belajar.
Dalam belajar matematika, adanya
kesanggupan
intelegensi
siswa
untuk
menangkap makna konsep-konsep tertentu
dalam materi pembelajaran menunjukkan akan
adanya pemahaman yang kelak dicapai siswa
tersebut. Bagi siswa yang belajar matematika
dengan pemahaman diharapkan akan tumbuh
kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan
konsep yang telah dipahami dengan baik dan
benar pada setiap menghadapi permasalahan
dalam belajar matematika. Jika siswa memulai
belajar dengan pemahaman maka yang pertama
sekali siswa tersebut akan melakukan
pengamatan secara keseluruhan terhadap obyek
96
yang dipelajari. Selanjutnya siswa menganalisis
hal-hal yang menarik dari segala hal yang
diamati dan berakhir pada disentesis kembali
akan hal yang dianalisis.
Hiebert dan Carpenter (dalam Hasanah: 26)
mengemukakan sejumlah konsekuensi positif
terhadap pengetahuan yang diperoleh dalam
belajar matematika dengan pemahaman yaitu
sebagai berikut :
1. Bersifat generatif, merupakan pengetahuan
yang terbentuk dari hasil belajar dengan
pengertian,
sewaktu-waktu
dapat
dimunculkan
kembali
(distimulasi).
Penstimulasian terjadi karena diterimanya
informasi baru yang bergabung dengan
pengetahuan lama. Memahami tentang
informasi baru yang diperoleh dari hasil
belajar melahirkan pengetahuan baru. Proses
seperti ini akan berlangsung secara terus
menerus apabila setiap menerima informasi
baru dari hasil belajar selalu dipahami atau
dengan kata lain selalu belajar dengan
pemahaman.
2. Bermakna, merupakan penyesuaian antara
tugas-tugas belajar dengan kemampuan
berpikir siswa dapat menunjang pencapaian
pemahaman yang akan dibangun oleh siswa
dalam belajar matematika.
3. Memperkuat ingatan dan mengurangi
jumlah informasi yang harus dihapal.
Pengetahuan dari hasil belajar dengan
pemahaman selalu dapat dimunculkan
kembali dengan baik karena pengetahuan
dalam struktur kognitif tersebut diperoleh
secara bermakna. Jika suatu pengetahuan
diperoleh dengan pemahaman maka akan
semakin tertanam pengetahuan tersebut
dalam
struktur
kognitif.
Hal
ini
menunjukkan semakin sedikitnya informasiinformasi dalam pengetahuan yang harus
dihapal. Di samping itu kebermakanaan
pemahaman yang dicapai dalam belajar
memungkinkan informasi-informasi yang
telah dipelajari mudah dimunculkan kembali
setiap kali diperlukan.
4. Memudahkan transfer belajar. Terjadinya
transfer dalam belajar dengan pengertian
atau pemahaman karena adanya persamaanpersamaan konteks antara pengetahuan baru
yang akan dipelajari dengan pengetahuan
lama yang dengan cepat dapat dimunculkan
kembali.
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
5. Mempengaruhi kepercayaan. Siswa yang
belajar dengan pemahaman selalu akan
memunculkan
pengetahuan-pengetahuan
yang salaing berhubungan secara sistematis
dalam struktur kognitif. Pengetahuanpengetahuan lama yang terbentuk dalam
struktur
kognitif
diperlukan
untuk
memahami informasi yang baru diterima
dari hasil belajar.
Pada
penelitian
ini
kemampuan
pemahaman yang digunakan adalah menurut
Rusefendi. Maka dapat saya simpulkan bahwa
pemahaman adalah kemampuan mengenal,
menjelaskan, dan menarik kesimpulan suatu
situasi atau tindakan. Pemahaman dalam
matematika mencakup pemahaman translasi,
interpretasi, dan pemahaman ekstrapolasi.
Ketiga pemahaman ini yang akan menjadi
indikator kemampuan pemahaman yang akan di
ukur dalam penelitian ini.
Peran guru dalam pembelajaran sebagai
fasilitator dan motivator dapat dilakukan
melalui pertanyaan. Dalam studi Shimizu,
misalnya, pertanyaan guru dapat secara efektif
menggiring proses berpikir siswa ke arah
penyelesaian yang benar. Sedangkan dalam
studi Yamada, perubahan dalam aktivitas dan
representasi yang dibuat siswa dapat secara
efektif diawali oleh pertanyaan guru.
Menurut pengamatan penulis, sejauh
ini pendidikan kita masih didominasi oleh
pandangan bahwa pengetahuan sebagai
perangkat fakta-fakta yang harus dihafal.
Belajar matematika dengan cara menghapal
meskipun ada kalanya perlu tetapi tanpa
pemahaman adalah satu penyebab kesulitan
siswa dalam mempelajari matematika dan
akhirnya
muncul
kesimpulan
bahwa
matematika itu sulit dan tidak menarik untuk
dipelajari. Oleh karena itu seorang guru
matematika diharapkan dapat menemukan suatu
metode agar matematika itu dapat disenangi
oleh
siswa
sekaligus
membantu
mengembangkan kemampuan berpikir siswa
dalam menyelesaikan soal-soal matematika.
Jika siswa mampu menyelesaikan soal
matematika maka siswa tersebut dengan baik
pasti memahami konsep matematika terhadap
penyelesaian soal. Kebutuhan untuk dapat
memahami dan juga mampu menggunakan
konsep matematika dalam kehidupan seharihari sangat diperlukan.
Sikap adalah suatu tindakan dari pendapat
atau keyakinan dari diri seseorang, sebagai
ungkapan yang timbul dari dalam dirinya. Sikap
menurut kamus bahasa Indonesia (1991: 938)
adalah cara bertindak dalam penyampaian
pendapat, keyakinan atau pendirian. Sedangkan
menurut Trow (dalam H.Djaali : 2006: 114)
mendefenisikan sikap sebagai suatu kesiapan
mental atau emosional dalam beberapa jenis
tindakan pada situasi yang tepat. Sementara
Allport dikutif oleh Gable (dalam H.Djaali:
2006: 114) mengemukakan bahwa sikap adalah
sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun
melalui pengalaman dan memberikan pengaruh
langsung kepada respons individu terhadap
semua objek atau situasi yang berhubungan
dengan objek itu.
Dari defenisi di atas, bahwa sikap itu tidak
muncul seketika atau di bawah lahir, tetapi
disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta
memberikan pengaruh langsung kepada respons
seseorang. Secara garis besarnya bahwa sikap
merupakan kesiapan atau kecenderungan
seseorang untuk bertindak dalam menghadapi
suatu objek atau situasi tertentu. Sikap bukan
tindakan nyata (overt behavior).
Cardno
(dalam H.Djaali: 2006) mendefenisikan sikap
sebagai berikut : Attitude entails and existing
predis position to response to social object
which, in interaction with situasional and other
dispositional variables, guides and directs the
overt behavior of the individual”.
Dalam
istilah
kecenderungan
(predisposition), terkandung pengertian arah
tindakan yang akan dilakukan seseorang
berkenan dengan suatu objek. Arah tersebut
dapat bersifat mendekati atau menjahui.
Tindakan mendekati atau menjauhi suatu objek
(orang, benda, ide, lingkungan dan lain-lain)
dilandasi oleh perasaan penilaian individu yang
bersangkutan terhadap objek tersebut. Misalnya
ia menyukai atau tidak menyukainya,
menyenangi atau tidak menyenanginya,
menyetujui atau tidak menyetujuinya.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di
atas, sikap belajar dapat diartikan sebagai
kecenderungan perilaku seseorang takkala ia
mempelajari hal-hal yang bersifat akademik.
Brown dan Holtzman (dalam H.Jaali: 2006)
mengembangkan sikap belajar melalui dua
komponen yaitu Teacher Approvall (TA) dan
Education Acceptense (EA). TA berhubungan
dengan pandangan siswa terhadap guru-guru,
97
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
tingkah laku mereka dikelas; dan cara
mengajar, sedangkan EA terdiri atas
penerimaan dan penolakan siswa terhadap
tujuan yang akan dicapai, dan materi yang
disajikan, praktik, tugas dan prasyarat yang
ditetapkan oleh sekolah.
Dalam proses pembelajaran di sekolah,
baik secara disadari maupun tidak disadari,
guna dapat menanamkan sikap tertentu kepada
siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya,
siswa setiap kali menerima perlakuan yang
tidak mengenakan dari siswa, misalnya perilaku
mengejek atau perilaku yang menyinggung
perasaan anak, maka lama kelamaan akan
timbul rasa benci dari anak tersebut; dan
perlahan-lahan anak akan mengalihkan sikap
negatif itu bukan hanya kepada gurunya sendiri,
akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang
diasuhnya.
Kemudian,
untuk
mengembalikannya pada sikap positif bukanlah
pekerjaan yang mudah.
Belajar membentuk sikap adalah melalui
pembiasaan, demikian juga yang dilakukan
Skinner (dalam Sanjaya: 2006) melalui teorinya
operant conditioning, bahwa pembentukan
sikap menekankan pada proses peneguhan
respon anak. Setiap kali anak menunjukkan
prestasi yang baik diberikan penguatan
(reinforcement) dengan cara memberikan
hadiah atau perilaku yang menyenangkan, lama
kelamaan anak akan berusaha meningkatkan
sikap positifnya.
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga
dilakukan melalui proses modeling, yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi
atau proses mencontoh (Sanjaya: 2006: 278).
Salah satu karakteristik anak didik yang sedang
berkembang adalah keinginannya untuk
melakukan peniruan (imitasi). Hal-hal yang
ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang
diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang
yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan yang
dengan modeling adalah proses peniruan anak
terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau
orang yang dihormatinya. Pemodelan biasanya
dimulai dari perasaan kagum. Anak kagum
terhadap kepintaran orang lain, misalnya guru
yang dianggapnya bisa melakukan sesuatu yang
tidak bisa dilakukannya.
Dari uraian di atas bahwa sikap siswa
dalam mata pelajaran matematika adalah
persoalan menerima (suka) atau tidak menerima
(tidak suka) terhadap objek matematika.
98
Menurut Neale (dalam Saragih, 2007) sikap
sebagai ukuran suka atau tidak suka seseorang
tentang matematika yaitu kecenderungan
seseorang untuk terikat atau menghindar dari
kegiatan matematika. Siswa yang menerima
matematika berarti bersikap positif, sedangkan
siswa yang menolak matematika berarti
bersikap negatif.
Siswa yang bersikap positif terhadap
pelajaran matematika, dapat diamati ciricirinya, di antaranya: sungguh-sungguh
memperhatikan sewaktu guru menerangkan,
kritis dalam menyampaikan pendapatnya,
mengerjakan tugas tepat waktu, suka bertanya
pada hal-hal yang tidak dimengerti, gemar
mengemukakan ide yang baru untuk
mempermudah alur pikir dari suatu problem,
dapat menerangkan kepada teman-temannya
apabila ada hal-hal yang kurang dipahami oleh
temannya. Sebaliknya apabila siswa bersikap
negatif terhadap mata pelajaran matematika
akan menunjukkan hal-hal diluar dari/kebalikan
dari ciri siswa yang bersikap positif. Beberapa
sikap negatif adalah sebagian siswa tidak
menyukai matematika, penyebabnya menurut
Shadiq (2008) adalah: 1. Persepsi umum
tentang sulitnya matematika berdasarkan
pendapat orang lain. 2. Pengalaman belajar di
kelas yang diakibatkan proses pembelajaran
yang kurang menarik dari siswa. 3. Pengalaman
di kelas sebagai hasil perlakuan guru
(contohnya: guru yang selalu mencemooh
dirinya). 4. Persepsi yang berbentuk oleh
ketidak berhasilan mempelajari matematika. 5.
Tidak mengetahui kegunaan matematika.
Sikap negatif siswa terhadap matematika
akan dipengaruhi juga oleh pengalaman mereka
ketika belajar matematika di SD, SMP maupun
SMA/SMK. Namun sebagai guru, harus dapat
menghilangkan sikap negatif para siswa
terhadap matematika sedikit demi sedikit,
sedemikian sehingga mereka memiliki sikap
positif terhadap matematika.
Untuk mengukur sikap siswa terhadap
pembelajaran matematika digunakan angket
dengan skala Likerl. Sikap yang diukur terdiri
dari 3 aspek, sesuai dengan hasil adopsi dari
penelitian Suryadi (2007: 296) yaitu sikap
terhadap
Matematika,
sikap
terhadap
model/pendekatan yang dilakukan guru dan
sikap terhadap soal-soal yang diberikan.
Sedangkan indikator dari ketiga aspek sikap
yaitu: (1) terhadap pembelajaran matematika
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
yaitu: kesukaan terhadap matematika, motivasi
siswa terhadap pembelajaran matematika, peran
guru dalam pembelajaran matematika dan
manfaat matematika dalam kehidupan seharihari. (2) terhadap model matematika yang
dilakukan guru antara lain: kesukaan siswa
terhadap model dan manfaat mengikuti model.
(3) terhadap soal yang diberikan diantaranya:
kesukaan terhadap soal-soal yang diberikan dan
manfaat soal-soal yang diberikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada penelitian ini sikap positif yang
digunakan adalah menurut Gable. Maka dapat
saya simpulkan sikap merupakan kesiapan atau
kecenderungan seseorang untuk bertindak
dalam menghadapi suatu objek atau situasi
tertentu.
Pendekatan Problem Posing dianggap
mampu untuk meningkatkan pemahaman
siswa dan sikap positif siswa dalam
pembelajaran matematika, karena siswa
akan
menjadi
lebih
berani
dan
bertanggungjawab terhadap permasalahan
matematika
yang
diberikan.
Untuk
mencapai
tujuan
sebagaimana
diformulasikan pada kalimat di atas maka
membantu guru agar dapat menjelaskan
pengertian sikap, menjelaskan pentingnya
para siswa memiliki sikap terhadap
matematika berupa sikap positif yang dapat
membantu siswa untuk menghargai mata
pelajaran matematika dan membantu siswa
mengembangkan rasa percaya diri terhadap
kemampuan dirinya.
Kasiati (2007) menyatakan bahwa “Salah
satu strategi pembelajaran adalah dengan
menggunakan pendekatan problem posing,
yakni pembelajaran yang menekankan peserta
didik untuk membuat soal”. Dengan kegiatan
membuat
soal
akan
mengakibatkan
terbentuknya pemahaman yang lebih mantap
pada diri siswa. Informasi yang ada diolah
dalam fikiran, dan setelah paham siswa akan
dapat membuat pertanyaan (soal), sehingga
menyebabkan terbentuknya pemahaman yang
lebih mantap pada diri siswa. Kegiatan tersebut
akan
membuat
siswa
secara
aktif
mengkonstruksi hasil belajar. Pembelajaran
dengan problem posing bertujuan untuk
merangsang siswa agar giat belajar, rajin dan
tekun dalam memecahkan masalah sehingga
dapat
memperjelas,
memperkaya,
dan
memperdalam bahan yang diberikan dalam
kelas.
Keberhasilan siswa dalam belajar sangat
ditentukan oleh strategi atau pendekatan yang
digunakan dalam pembelajaran, termasuk
dalam pembelajaran matematika. Sebagai upaya
meningkatkan
kualitas
pembelajaran
matematika diperlukan pembelajaran yang
dapat mengaktifkan siswa dalam belajar
matematika. Proses belajar mengajar harus
dirancang sedemikian rupa oleh para guru
sehingga siswa terlibat aktif baik mental
maupun fisiknya dalam belajar matematika
(As’ari, 2002:19). Agar siswa termotivasi
dalam
proses
pembelajaran
penulis
menyarankan suatu pendekatan yang tepat yaitu
dengan menerapkan pendekatan problem
posing.
Problem posing terdiri dari dua kata bahasa
inggris yaitu problem dan posing, problem
berarti soal dan posing (dari to pose) berarti
mengajukan, membentuk. Problem posing
merupakan istilah dalam bahasa inggris sebagai
padanan
katanya
digunakan
istilah
pembentukan soal.
Menurut Freire (Maya Sherly: 2010: 2),
“Pendekatan Problem posing yaitu suatu cara
dalam pemecahan masalah dengan melalui
elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah
menjadi bagian-bagian yang simple sehingga
dipahami”. Sintaknya adalah pemahaman, jalan
keluar, identifikasi kekeliruan, meminimalisasi
tulisan/hitungan, cari alternative dan menyusun
soal/pertanyaan.
Suryanto (Sutiarso: 2000) mengemukakan
bahwa, “Problem posing merupakan istilah
dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya
digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)”
atau “membuat masalah (soal)”. Sedangkan
menurut Suryanto (Chairani: 2007) menjelaskan
bahwa problem posing mempunyai tiga
pengertian, yaitu: Pertama, problem posing
adalah perumusan soal sederhana atau
perumusan ulang soal yang ada dengan
beberapa perubahan agar lebih sederhana dan
dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal
yang rumit. Arti ini merupakan salah satu
langkah dalam menyusun rencana pemecahan
masalah. Kedua, problem posing adalah
perumusan soal yang berkaitan dengan syaratsyarat pada soal yang telah dipecahkan dalam
rangka mencari alternative pemecahan lain.
Arti ini berkaitan dengan langkah-langkah
99
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
mengkaji ulang tahap-tahap pemecahan soal.
Ketiga, problem posing ialah merumuskan soal
atau membentuk soal dari situasi yang
diberikan. Pengertian ketiga inilah yang
digunakan dalam penelitian ini.
Faiere (Maya Sherly: 2010) membedakan
pendidikan dengan pendekatan problem posing
dengan pendidikan yang didominasi oleh guru,
serta menyimpulkan hasil belajar yang
diperoleh
dari
siswa,
sebagaimana
dikemukakannya bahwa:
Bila penimbunan pendidikan menghalangi
dan menghilangkan kekuatan kreatif, sedangkan
pendidikan
problem
posing
meliputi
pembaharuan yang terus menerus tentang
kenyataan. Siswa yang terlibat dalam problem
posing lebih cenderung memusatkan perhatian
pada masalah-masalah yang terkait dengan diri
mereka sendiri di alam dan hubungannya
dengan alam, serta meningkatkan perasaan yang
berkaitan dengan tantangan yang dihadapi dan
mengharuskan untuk merespon tantangan
tersebut.
Suryanto (Euis: 2001: 4) mengemukakan
bahwa, “Arti dari pembentukan soal ialah
perumusan soal atau mengerjakan soal dari
suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan
sebelum, ketika, atau setelah pemecahan
masalah.
Soal yang dibuat siswa adalah yang mirip
dengan contoh yang telah diberikan guru.
Dengan kata lain soal itu sedikit berbeda dari
contoh soal yang diberikan guru. Untuk dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam
menerapkan konsep matematika, kegiatan
dengan problem posing ini dikembangkan
dimana siswa bukan hanya membuat soal dan
menyelesaikannya saja, tetapi siswa akan
mengerjakan juga soal yang telah dibuat oleh
temannya. Dalam problem posing, relasi yang
dihidupkan bukanlah monolog tetapi dialog.
Dalam relasi dialogis ini, para siswa tidak
diperlakukan sebagai objek, dan guru tidak
diakui sebagai satu-satunya subjek. Silver dan
Cai (1996) juga menyatakan bahwa struktur
sintaksis soal yang dibuat siswa dapat
diklasifikasi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Pengajuan pre-solusi (presolution posing)
yaitu seorang siswa membuat soal dari
situasi yang diadakan .
100
2. Pengajuan di dalam solusi (within-solution
posing) yaitu seorang siswa merumuskan
ulang soal dan mencari solusinya.
3. Pengajuan setelah solusi (post solution)
yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan
atau kondis soal yang sudah diselesaikan
untuk membuat soal yang baru.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dibuat
kesimpulan bahwa pendekatan problem posing
merupakan pendekatan pembelajaran yang
dilakukan dengan cara melibatkan siswa dalam
kegiatan belajar mengajar untuk merumuskan
masalah melalui keikutsertaan oleh siswa dalam
mengajukan soal/membuat soal dan membuat
jawaban dengan situasi yang telah tersedia.
Menurut
Abdusakir
(2009)
dalam
pelaksanaan pendekatan problem posing dapat
dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:
a. Penyadaran masalah
Pada awal pengajaran berusaha agar peserta
didik sadar adanya suatu masalah. Hal ini
ditempuh dengan jalan: mengemukakan
beberapa fakta yang menonjol sebagai
gejala dari suatu masalah, memanfaatkan
berita-berita, dan pengumpulan pendapat
peserta didik.
b. Analisa masalah
Kalau peserta didik sudah sadar akan adanya
masalah maka ia dapat diajak untuk
menelaah masalah itu lebih lanjut yang perlu
diperhatikan ialah aspek-aspek masalah,
latar belakang sebab pelaku dan ruang serta
waktu sekitar masalah.
c. Perumusan masalah
Sesudah masalah dianalisa umumnya peserta
didik mulai mendapat gambaran yang lebih
menyeluruh dan lebih terpadu tentang suatu
masalah. Oleh sebab itu siswa lebih mampu
merumuskan dengan singkat dan padat apa
sebenarnya masalahnya.
d. Pemecahan masalah
Sesudah masalah dianalisa dan dirumuskan
mulailah peserta didik dirangsang untuk
mencari pemecahan yang sebaik-baiknya.
Tiap pemecahan ini berlangsung akan
muncul cara yang mana yang paling tepat,
kekuatan, kelemahan, serta kemungkinan
penyelesainya.
e. Perumusan pemecahan masalah
Sesudah pemecahan masalah, peserta didik
dapat merumuskan secara singkat cara
pemecahan yang dipilih itu.
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
Dari
pendapat
tersebut,
peneliti
menyimpulkan
bahwa
langkah-langkah
pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan
problem posing adalah:
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
yang harus dicapai
2. Guru membagi siswa dalam beberapa
kelompok dan pengelompokan dilakukan
secara heterogen
3. Guru memberitahu kepada siswa bahwa
siswa akan membuat soal yang berkaitan
dengan materi yang disajikan
4. Guru menyajikan materi pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan problem
posing
5. Guru memberikan contoh tentang cara
membuat soal dari materi yang telah
disajikan
6. Guru meminta masing-masing siswa untuk
membuat soal dari materi yang telah
disajikan
7. Guru mengumpulkan soal yang telah
dibuat siswa dan membagikannya secara
acak
8. Masing-masing kelompok menyelesaikan
soal kemudian menuliskan satu atau dua
soal yang tidak dapat diselesaikan dan
ditukarkan pada kelompok lain
9. Masing-masing kelompok berdiskusi
mencari hasil/penyelesaian
10. Dengan
bantuan
guru,
siswa
menyimpulkan hasil kelompok mereka
masing-masing sesuai tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan dan guru
memberikan penghargaan kepada siswa
II Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SMP di Kecamatan Medan
Perjuangan yang berakreditasi B. Adapun
sampel yang peneliti ambil adalah sekolah yang
mempunyai level menengah yaitu yang
berakreditasi B. Hal ini sesuai dengan pendapat
Russefendi (1998: 78) salah satu cara memilih
sampel mewakilinya populasinya adalah cara
random sederhana, yaitu bila setiap anggota
dari populasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk dipilih. Lebih lanjut Russefendi
(1998: 79) mengatakan salah satu cara
memperoleh sampel secara random adalah
dengan memberi nomor anggota populasi pada
kertas-kertas kecil, kemudian digulung,
dimasukkan ke suatu tempat lalu diundi diambil
sebanyak yang diperlukan.
Penelitian ini dikategorikan ke dalam
penelitian eksperimen semu (quasi experiment).
Analisis data dilakukan dengan analisis varians
(ANAVA) Dalam penelitian ini menggunakan
variabel bebas yaitu model pembelajaran
problem posing dan model pengajaran biasa.
Sebagai variabel terikatnya adalah kemampuan
pemahaman dan sikap positif matematika.
Instrumen
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah tes kemampuan
pemahaman. Perhitungan reliabilitas instrumen,
validitas instrumen, diujicobakan pada siswa
sebanyak 30 orang. Hasil ujicoba butir tes
kemampuan pemahaman dinyatakan valid
dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,72.
III Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A Hasil
1. Perbedaan peningkatan kemampuan
pemahaman matematika siswa yang diberi
pembelajaran problem posing dengan siswa
yang diberi pengajaran biasa
Rata-rata
kemampuan
pemahaman
matematik siswa yang mendapat pendekatan
Problem Posing hanya sebesar 10,64,
sedangkan
nilai
rata-rata
kemampuan
pemahaman matematik siswa yang mendapat
pendekatan Konvensional sebesar 7,65. Setelah
pembelajaran, terjadi perbedaan rata-rata
kemampuan pemahaman matematik kedua
kelompok siswa tersebut. Siswa yang
mendapat
pendekatan
Problem
Posing
memperoleh rata-rata kemampuan pemahaman
matematik sebesar 34,64 sementara siswa yang
mendapat
pembelajaran
konvensional
memperoleh rata-rata kemampuan pemahaman
matematik sebesar 22,39.
Mean dan standar deviasi kemampuan
pemahaman KPA yang berkemampuan
matematika siswa tinggi adalah 35,00 dan
13,867, sedang adalah 35,49 dan 8,590 dan
rendah adalah 31,62 dan 9,734. Sedangkan
untuk kemampuan pemahaman KPB yang
berkemampuan matematika siswa tinggi mean
dan standar deviasinya adalah 20,00 dan 9,260,
sedang adalah 21,64 dan 8,087 dan rendah
adalah 27,00 dan 5,011, artinya skor
kemampuan pemahaman matematik siswa KPA
dan KPB menunjukkan perbedaan. Gambar 4.4
101
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
berikut dapat lebih jelas memperlihatkan
bagaimana diagram dari data mean dan standar
deviasi berdasarkan faktor pembelajaran.
2. Perbedaan sikap matematika siswa yang
diberi pembelajaran problem posing dengan
siswa yang diberi pengajaran biasa.
Rata-rata sikap siswa di kelas eksperimen
dan kelas kontrol berbeda, rata-rata sikap kelas
eksperimen 59,56 dan kelas kontrol 51,18.
Berikut akan disajikan kategori sikap siswa baik
kelas eksperimen maupun kontrol. Berdasarkan
pendapat Haryati tentang kategori sikap peserta
didik, dapat dikatakan bahwa secara umum
sikap siswa terhadap matematika baik kelas
eksperimen maupun kelas kontrol sangat
positif. Karena skor rata-rata kelas eksperimen
dan kelas kontrol di atas 40, yaitu untuk kelas
eksperimen 59,56 dan untuk kelas kontrol
51,18.
Sikap sangat positif siswa terhadap
matematika lebih banyak pada kelas
eksperimen, yaitu 86,77% dibandingkan dengan
kelas kontrol, yaitu 69,24%. Sedangkan sikap
positif dan negatif lebih banyak pada kelas
kontrol, yaitu 15,38% dibandingkan pada kelas
eksperimen masing-masing 7,35% dan 5,88%.
Sementara untuk sikap sangat negatif masingmasing kelas sama dengan 0%.
Untuk mengetahui dengan pasti
perbedaan rata-rata sikap siswa yang
menggunakan pembelajaran dengan pendekatan
problem posing dan pendekatan ekspositori
selanjutnya akan dihitung menggunakan uji t
atau uji Mann Whitney.
3. Aktivitas Siswa Selama Kegiatan
Pembelajaran Berbasis Masalah
Aktivitas belajar siswa dengan pendekatan
problem posing pada kegiatan awal sebesar
93% dengan kategori sangat aktif, pada
kegiatan inti sebesar 95,3% dengan kategori
sangat aktif, kegiatan akhir sebesar 95,5%
dengan kategori sangat aktif. Secara
keseluruhan aktivitas siswa selama proses
pembelajaran
menggunakan
pendekatan
problem posing sebesar 94,6% dengan kategori
sangat aktif. Sedangkan aktivitas siswa dengan
pendekatan ekspositori pada kegiatan awal
82,83% dengan kategori aktif, pada kegiatan
inti 73,7% dengan kategori cukup aktif,
kegiatan akhir sebesar 97,7% dengan kategori
sangat aktif. Secara keseluruhan aktivitas siswa
selama proses pembelajaran menggunakan
102
pendekatan ekspositori sebesar 84,7% dengan
kategori aktif.
Aktivitas
siswa
selama
proses
pembelajaran dengan pendekatan problem
posing pada pertemuan I sebesar 94,73%
dengan kategori sangat aktif, pada pertemuan II
sebesar 95,07% dengan kategori sangat aktif,
pada pertemuan III sebesar 93,82% dengan
kategori sangat aktif, dan pada pertemuan IV
sebesar 95,27% dengan kategori sangat baik.
Secara keseluruhan aktivitas siswa selama
proses pembelajaran dengan pendekatan
problem posing sebesar 94,73%
dengan
kategori aktif. sedangkan aktivitas siswa selama
proses pembelajaran dengan pendekatan
ekspositori pada pertemuan I sebesar 83,45%
dengan kategori aktif, pada pertemuan II
sebesar 80,18% dengan kategori aktif, pada
pertemuan III sebesar 79,45% dengan kategori
cukup aktif, dan pada pertemuan IV sebesar
79,09% dengan kategori cukup aktif. Secara
keseluruhan aktivitas siswa selama proses
pembelajaran dengan pendekatan ekspositori
sebesar 80,54% dengan kategori aktif.
B Pembahasan Hasil Penelitian
Selain kelebihan yang telah diuraikan,
terdapat hambatan yang dialami selama
penelitian. Hambatan pelaksanaan pendekatan
problem posing didasarkan pada kesulitan yang
dialami
guru
dalam
melaksanakan
pembelajaran. Kesulitan tersebut antara lain:
saat ini satu jam pelajaran di SMP Nasrani 2
sama dengan 40 menit. Untuk satu minggu
disediakan waktu pelajaran 6 jam pelajaran.
Berarti dalam satu minggu tersedia waktu
pelajaran matematika sebanyak 4 jam.
Waktu yang tersedia tersebut masih kurang,
karena untuk dapat melakukan kegiatan
penemuan
konsep
teorema
phytagoras
membutuhkan waktu yang relatif lama, apalagi
siswa-siswa yang berkemampuan rendah dan
sedang. Begitu pula waktu yang dibutuhkan
oleh guru untuk membimbing para siswa
dengan berbagai latar belakang kemampuan
membutuhkan waktu yang cukup lama, baik
secara individual maupun secara kelompok
Untuk mengatasi hal di atas, bahasan
matematika yang diterapkan dalam penelitian
ini hanya teorema phytagoras. Masih terbuka
peluang
bagi
peneliti
lainnya
untuk
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
bereksperimen
pada
matematika lainnya.
bahasan-bahasan
IV Simpulan Dan Saran
A Simpulan
Diperoleh beberapa kesimpulan yang
merupakan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam rumusan
masalah. Kesimpulan-kesimpulan tersebut
adalah :
perbedaan
peningkatan
1. Terdapat
kemampuan pemahaman siswa yang
memperoleh
pembelajaran
dengan
pendekatan problem posing dengan
peningkatan kemampuan pemahaman
siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan
pendekatan
ekspositori.
Peningkatan kemampuan translasi kelas
eksperimen
sebesar
0,06
dengan
kategori rendah, sedangkan kelas
kontrol sebesar 0,006 dengan kategori
rendah.
Peningkatan
kemampuan
interpretasi kelas eksperimen sebesar
0,10 dengan kategori rendah, sedangkan
kelas kontrol sebesar 0,02 dengan
kategori
rendah.
Peningkatan
kemampuan
ekstrapolasi
kelas
eksperimen
sebesar
0,04
dengan
kategori rendah, sedangkan kelas
kontrol sebesar 0,02 dengan kategori
rendah. Peningkatan keseluruhan aspek
kemampuan
pemahaman
kelas
eksperimen sebesar 0,2 dengan kategori
rendah, sedangkan kelas kontrol sebesar
0,046 dengan kategori rendah. Pada
kesimpulannya
adalah
peningkatan
kemampuan pemahaman siswa yang
memperoleh pendekatan problem posing
lebih tinggi dibandingkan peningkatan
kemampuan pemahaman siswa yang
pembelajarannya dengan pendekatan
ekspositori.
perbedaan
sikap
siswa
2. Terdapat
terhadap matematika yang memperoleh
pembelajaran
dengan
pendekatan
problem posing dengan sikap siswa
terhadap matematika yang memperoleh
pembelajaran
dengan
pendekatan
ekspositori. Perbedaan rata-rata sikap
siswa terhadap matematika kelas
eksperimen sebesar 59,56 sedangkan
kelas kontrol sebesar 51,18.
3. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran
yang
pembelajarannya
menggunakan
pendekatan problem posing lebih aktif
daripada aktivitas siswa selama proses
pembelajaran
yang
pembelajarannya
menggunakan pendekatan ekspositori.
jawaban
siswa
pada
4. Proses
pembelajaran
dengan
pendekatan
problem
posing
lebih
bervariasi
daripada proses jawaban siswa pada
pembelajaran
dengan
pendekatan
ekspositori.
B Saran
Berdasarkan implikasi dari hasil
penelitian, maka disampaikan beberapa
saran yang ditujukan kepada berbagai pihak
yang
berkepentingan
dengan
hasil
penelitian ini. Rekomendasi tersebut
sebagai berikut:
1. Kepada Guru
a. Pembelajaran dengan pendekatan
problem posing merupakan salah satu
alternatif bagi guru matematika
dalam menyajikan materi pelajaran
matematika.
b. Pembelajaran dengan pendekatan
problem
posing
hendaknya
diterapkan pada materi yang esensial
menyangkut benda-benda yang real
disekitar tempat belajar, agar siswa
lebih cepat memahami pelajaran
yang sedang dipelajari.
c. Dalam setiap pembelajaran guru
sebaiknya
menciptakan
suasana
belajar yang memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengungkapkan
gagasan-gagasan matematika dalam
bahasa dan cara mereka sendiri,
sehingga dalam belajar matematika
siswa menjadi berani berargumentasi,
lebih percaya diri dan kreatif.
2. Kepada Peneliti Lanjutan
Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya
penelitian ini dapat dilengkapi dengan
meneliti aspek lain secara terperinci
yang belum terjangkau dalam penelitian
ini.
3. Kepada Sekolah
Untuk pihak sekolah hendaknya dapat
menjadi motivator dan fasilitator bagi
103
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
guru untuk menerapkan pada setiap
pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan problem posing. Dan
diharapkan
pihak
sekolah
dapat
menyediakan sarana prasarana yang
dibutuhkan
dalam
pelaksanaan
pembelajaran tersebut.
Daftar Pustaka
Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan
Belajar.
Jakarta:Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan & Rineka Cipta
Abdusakir. 2009. G:\Pembelajaran Matematika
Dengan Problem Posing «Abdussakir’s
Blog.Htm
Adinawan, Cholik dkk. 2006. Matematika
Untuk SMP Kelas VIII semester
1Bandung: Erlangga
A.M, Sardiman, 2008. Interaksi Dan Motivasi
Belajar Mengajar Jakarta: Grafindo
Anni. 2004. Meningkatkan Pemahaman Siswa
Terhadap Materi Matriks Melalui
Problem Posing Di Kelas I MAS Bahrul
Mubarak toronipa. Kendari. Skripsi
FKIP Unhalu.
Ansari, B.I. (2004). Kontribusi Aspek Talking
dan Writing dalam Pembelajaran untuk
Mengembangkan
Kemampuan
Pemahaman dan Komunikasi Matematik
Siswa. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional Matematika dan Kontribusinya
terhadap Peningkatan Kualitas SDM
dalam Menyongsong Era Industri dan
Informasi, 15 Mei 2004, Bandung.
Arikunto.A., (2009). Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan, Penelitian Bumi Aksara,
Jakarta.
Chairani, Z. 2007. Problem Posing Dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah
Disajikan Pada Seminar Nasional
Pendidikan Matematika Tanggal 8
September 2007, Banjarmasin.
Dahar,
104
R.W. (1996).
Jakarta: Erlangga
Teori-teori
Belajar.
Depdiknas (2006). Kurikulum 2006 Standar Isi
Mata Pelajaran Matematika. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional
Euis Tati Darnati, 2001, Upaya Meningkatkan
Aktivitas Belajar Melalui Pendekatan
Problem Posing pada Pembelajaran
Matematika, Pelangi
Pendidikan.
Vol. 4. No. 1. Hal. 4-8.
Fauziah, A (2009). Peningkatan Kemampuan
Pemahaman Dan Pemecahan Masalah
Matematik Siswa SMP Melalui Strategi
REACT
(Relating,
Experiencing,
Applying, Cooperating, Transferring).
Tesis. Bandung: PPs UPI
Hasanah,
A.
2004.
Mengembangkan
Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematik siswa Sekolah Menengah
Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah yang Menekankan pada
Representasi Matematik. Tesis ini tidak
diterbitkan. Bandung: Univ. Pendidikan
Indonesia.
Herdian, 2009, Model Pembelajaran Problem
Posing. (http:/www.ut.ac.Id/oL.Supp/)
Hudoyo. (1979). Pengembangan Kurikulum
Matematika dan Pelaksanaannya di
Depan Kelas. Jakarta: Depdikbud
Jarnawi. (2003). Meningkatkan Kemampuan
Penalaran Dan Pemahaman Matematika
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Melalui Pendekatan Pembelajaran OpenEnded, Studi Eksperimen Pada Siswa
Sekolah Lanjutan Pertama Negeri Di
Kota
Bandung.
Disertasi
tidak
diterbitkan.
Bandung:
Program
Pascasarjana UPI Bandung.
Karso, dkk, 1994. Dasar-dasar Pendidikan
MIPA, Jakarta.
Kasiati (2007) Pemahaman Matematika Dengan
Problem Posing.
Lewis Theodore, dkk. Problem Posing-adding a
creative Increment to Tecnology
Problem Solving. Jurnal of Industrial
Teacher Education. Vol. 36. No. 1.
(http://www.ut.ac.Id/oL.supp/)
Maya, S. 2010. Pembelajaran dengan Problem
http://sherlyPosing.
,blogspot.com/2009/11/blogspot-25.html
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681
Nurjanah. 2007. Upaya meningkatkan hasil
belajar siswa kelas 7b Smpn 4
adiwerna kabupaten tegal dalam
pokok Bahasan perbandingan melalui
penerapan Model pembelajaran
problem posing Tipe pre solution posing.
Semarang.
Skripsi
Universitas
Negeri Semarang
Qohar,
A.
(2010).
Mengembangkan
Kemampuan Pemahaman. Koneksi dan
Komunikasi
Matematis
serta
Kemandirian Belajar Matematika Siswa
SMP Melalui Reciprocal Teaching.
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Bandung; Disertasi (Tidak diterbitkan).
Russefendi, E.T. 1990. Pengajaran Matematika
Modern dan Masa Kini, seri pertama,
Bandung: Tarsito.
Simbolon, H. 2004. Statistika. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Wulandari, O. 2004. Meningkatkan Aktivitas
Dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model
Pembelajaran Problem Posing Tipe Post
Solutioxn Posing Dalam Kelompok
Kecil Bermediakan Alat Peraga Dan Lks
Materi Pokok Keliling Dan Luas
Segiempat Kelas Viib Semester 2 Smp
Negeri
5
Semarang
Tahun
Pelajaran 2006/2007. Semarang. Skripsi
UNNES
105
Download