Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK DAN SIKAP POSITIF TERHADAP MATEMATIKA SISWA SMP NASRANI 2 MEDAN MELALUI PENDEKATAN PROBLEM POSING Oleh : Vera Dewi Kartini Ompusunggu*) *) Dosen Pendidikan Matematika Universitas Quality ([email protected]) Abstract The purpose of this study was to examine: 1). To determine the increase in understanding of mathematical ability of students taught using problem posing approach is better than the usual learning. 2). To determine the mathematical attitudes of students taught using problem posing approach with regular learning. 3). To determine the interaction between students learning with prior knowledge of the mathematical ability of students' understanding. 4). To determine the interaction between students learning with prior knowledge of the mathematical positive attitude of students. 5). To know the process of understanding mathematical problem solving ability of students in each lesson. This research is a semi-experimental. The population was Christian junior class VIII 2 field. Then randomly selected two classes. Classroom learning model experiments were subjected problem posing and grade control treated usual learning model. The instrument used consisted of: testing the ability of understanding of mathematics, test positive attitude mathematics student questionnaire and observation sheet. Data analysis was performed by analysis of variance (ANOVA). The results showed that the overall student learning by problem posing teaching model is significantly better in improving the ability of understanding of mathematics than students learning with the usual learning model and learning activities of students in forming and solving problems is effective Based on the results of the study, the researchers suggest learning model posing problems to improve students' understanding of mathematics can be used as an innovative alternative to learning mathematics. Keywords: Learning Problem Posing, Understanding Mathematics, Mathematics Positive Attitude I Pendahuluan Mata pelajaran matematika salah satu mata pelajaran yang menjadi perhatian utama, dan dalam kenyataannya, matematika masih merupakan pelajaran yang sulit dipelajari oleh siswa bahkan merupakan pelajaran yang menakutkan bagi sebahagian besar siswa. Hal ini dikemukakan oleh Ruseffendi (2001: 15) bahwa matematika (ilmu pasti) bagi anakanak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi., kalau bukan sebagai mata pelajaran yang dibenci. Dengan demikian guru matematika pada khususnya harus dapat menyakinkan bahwa matematika itu merupakan pelajaran yang mudah dan menjadi kebutuhan hidup. 93 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan dan kurangnya pemahaman siswa, salah satu penyebabnya adalah strategi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru yang masih bersifat tradisional, yaitu siswa masih diperlakukan sebagai objek belajar dan guru lebih dominan berperan dalam pembelajaran dengan memberikan konsepkonsep atau prosedur-prosedur baku, sehingga pada pembelajaran ini hanya terjadi komunikasi satu arah. Siswa jarang diberi kesempatan untuk menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep atau pengetahuan matematika secara formal, sehingga pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi dianggap tidak terlalu penting. Oleh karena itu dalam upaya peningkatan pemahaman siswa terhadap materi matematika menjadi tanggung jawab bersama terutama guru sebagai subjek pendidikan yang memegang peranan penting dalam mewujudkan keberhasilan suatu pengajaran. Guru tidak hanya memberi informasi-informasi yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan semata melainkan mendidik dan membimbing anak dalam belajar. Pengertian pemahaman matematik dapat dipandang sebagai proses dan tujuan dari suatu pembelajaran matematika. Pemahaman matematik sebagai proses, berarti pemahaman matematik adalah suatu proses pengamatan kognisi yang tak langsung dalam menyerap pengertian dari konsep/teori yang akan dipahami, mempertunjukkan kemampuannya di dalam menerapkan konsep/teori yang dipahami pada keadaan dan situasi-situasi yang lainnya. Sedangkan sebagai tujuan, pemahaman matematik berarti suatu kemampuan memahami konsep, membedakan sejumlah konsep-konsep yang saling terpisah, serta kemampuan melakukan perhitungan secara bermakna pada situasi atau permasalahan-permasalahan yang lebih luas. Dengan demikian Wiharno (2009) menyimpulkan bahwa “kemampuan pemahaman matematik merupakan suatu kekuatan yang harus diperhatikan dan diperlakukan secara fungsional dalam proses dan tujuan pembelajaran matematika, terlebih lagi sense memperoleh pemahaman matematik pada saat pembelajaran, hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui pembelajaran dengan pemahaman.” Pemahaman terhadap konsep matematika sangat penting, tanpa adanya pemahaman 94 konsep dasar yang kuat bagi siswa, maka siswa tidak akan mampu memahami konsep yang diberikan. Ini terlihat pada hasil tes awal kemampuan pemahaman siswa yang salah satu soalnya adalah “ Diketahui suatu fungsi f : x→ 2x – 1 dengan domain A = ⦃1, 2, 3, 4, 5⦄. Gambarkan diagram panahnya dan tentukan daerah hasilnya?”. Dari 34 siswa ada sekitar 52% atau 18 orang yang memiliki pemahaman yang rendah, sebagian besar siswa mengalami kesulitan pada indikator yaitu siswa diharapkan dapat menyebutkan dan menuliskan variabelvariabel yang diketahui dan yang ditanyakan (pemahaman translasi), siswa juga diharapkan dapat menafsirkan permasalahan yang ada dalam bentuk lain/cara lain (pemahaman interpretasi), yang terakhir siswa diharapkan mampu menerapkan konsep yang ada untuk menyelesaikan soal atau masalah yang ada (pemahaman ekstrapolasi). Pemahaman siswa terhadap pelajaran matematika tentunya sangat dipengaruhi terhadap metode yang digunakan oleh guru dalam mengajar. Kebanyakan guru mengajar dengan pembelajaran yang masih terfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan kemudian ceramah adalah yang menjadi pilihan utama strategi belajar yang menyebabkan rasa bosan untuk belajar matematika. Seperti yang diungkapkan oleh Slameto (2003) bahwa: “ Guru biasanya mengajar dengan metode ceramah saja sehingga siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja”. Pemahaman diartikan dari kata “understanding”, derajat pemahaman menurut Utari (dalam Jarnawi: 2003) ditentukan oleh banyak dan kuatnya keterkaitan. Suatu gagasan, prosedur atau fakta matematika dipahami secara menyeluruh jika hal-hal tersebut membentuk suatu jaringan (network) dengan keterkaitan yang kuat dan banyak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemahaman diartikan sebagai kesanggupan intelegensi untuk menangkap makna situasi atau perbuatan (Depdikbud, 1989). Menurut Driver dan Leach (dalam Hasanah: 40) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Kalimat diatas memberikan tiga aspek dalam pemahaman, yaitu kemampuan mengenal, kemampuan menjelaskan dan menarik kesimpulan. Pemahaman merupakan salah satu aspek yang terkandung dalam Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 Taksonomi Bloom. Pemahaman merupakan penyerapan arti dari suatu materi/ bahan yang dipelajari. Dalam memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui atau mengenal objek itu sendiri, relasinya dengan objek lain yang sejenis, relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis dan relasinya dengan objek dalam teori lainnya (Michenener dalam Hasanah : 20). Menurut Rusefendi (1980 : 124) bahwa ada 3 macam pemahaman: pengubahan (translasi), pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Dalam matematika misalnya mampu mengubah (translation) soal kata-kata ke dalam simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan (interpretation) suatu kesamaan, mampu memperkirakan (ekstrapolasi) suatu kecenderungan dari diagram. Pemahaman translasi (kemampuan menerjemahkan) adalah kemampuan dalam memahami suatu gagasan yang dinyatakan dengan cara lain dari pernyataan asal yang dikenal sebelumnya. Pemahaman interpretasi (kemampuan menafsirkan) adalah kemampuan dalam memahami bahan atau ide yang direkam, diubah atau disusun dalam bentuk atau cara lain, misalnya dalam bentuk grafik, tabel, diagram, gambar, dan lain sebagainya. Sedangkan pemahaman ekstrapolasi (kemampuan meramalkan) adalah kemampuan meramalkan kecenderungan yang ada menurut data tertentu dengan mengutarakan konsekuensi dan implikasi yang sejalan dengan kondisi yang digambarkan. Dalam pembelajaran matematika, pemahaman translasi berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memodelkan atau merepresentasikan, menerjemahkan kalimat dalam soal atau permasalahan ke dalam bentuk lain, misalnya dapat menyebutkan atau menuliskan variabel-variabel yang diketahui dan yang ditanyakan. Pemahaman interpretasi berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal atau masalah yang dihadapi. Pemahaman ekstrapolasi berkaitan dengan kemampuan siswa menerapkan konsep dalam perhitungan matematika untuk menyelesaikan soal atau masalah. Polya (dalam Sumarno, 1987: 23) mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu hukum, yaitu pemahaman mekanikal, pemahaman induktif, pemahaman rasional, dan pemahaman intuitif. Seseorang dikatakan memiliki pemahaman mekanikal suatu hukum, jika ia dapat mengingat dan menerapkan hukum itu secara benar. Kemudian seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman induktif suatu hukum, jika ia sudah mencoba hukum itu berlaku dalam kasus sederhana dan yakin bahwa hukum itu berlaku dalam kasus yang sama. Selanjutnya seseorang dikatakan telah mamiliki pemahaman rasional suatu hukum, bila ia dapat membuktikannya, dan seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman intuitif, jika ia telah yakin akan kebenaran hukum itu tanpa ragu-ragu. Pada matematika, pengetahuan yang harus dipahami ada dua hal, yaitu pengetahuan konsep (conceptual knowledge) dan pengatahuan prosedur/algoritma (procedural knowledge). Pembelajaran matematika dengan pemahaman sering menjadi bahan kajian yang sangat luas dan mendalam pada riset pendidikan matematika. Hampir semua teori belajar menjadikan pemahaman sebagai tujuan dari proses pembelajaran. Hibert and Carpenter (dalam Jarnawi: 2003) menyebutkan bahwa pemahaman merupakan aspek fundamental dalam pembelajaran, sehingga model pembelajaran harus menyertakan hal pokok dari pemahaman. Pemahaman merupakan tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan, namun tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak perlu ditanyakan sebab, untuk dapat memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal (Sudjana: 2005). Pemahaman (understanding) adalah bagian dari the cognitive process dimension pada Taksonomi Bloom. Menurut Anderson dan Krathwohl (dalam Wiharno: 2007), jika siswa memahami suatu objek materi matematika maka ia mampu “Construct meaning from instructional messages, including oral, written, and graphic communication”. Dalam pemahaman matematik termuat aspek perilaku pemahaman dan materi matematikanya sendiri. Sesuai dengan pandangan matematika adalah ilmu yang terstruktur dan sistematik, maka materi atau isi matematika disusun dari struktur yang lebih sederhana meningkat kepada materi yang lebih kompleks. Adalah cukup beralasan apabila ada pernyataan untuk memahami materi yang 95 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 menyangkut struktur matematika yang lebih tinggi, akan menuntut kemampuan penalaran logis yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu, dibandingkan dengan subyek kongret, diduga subyek formal akan lebih mampu menyelesaikan butir-butir soal mengenai struktur matematika yang lebih tinggi. Menurut Alfeld (dalam Wiharno: 2007) seseorang memahami matematika maka ia dapat melakukan hal sebagai berikut : • Explain mathematical concepts and facts in terms of simpler concepts and facts. • Easily make logical connections between different facts and concepts. • Recognize the connection when you encounter something new (inside or outside of mathematics) that's close to the mathematics you understand. • Identify the principles in the given piece of mathematics that make everything work Jika seorang siswa sudah mencapai pemahaman yang mendalam dan bermakna dalam mempelajari matematika maka siswa tersebut dapat merasakan manfaat matematika dalam kehidupannya dimana hal tersebut yang menjadi sasaran dan tujuan yang perlu dicapai. Untuk memperoleh pemahaman dalam belajar matematika, setiap materi yang dipelajari harus sesuai dengan jenjang atau tingkat kemampuan berfikir siswa. Pemahaman yang diperoleh ketika belajar matematika dapat menumbuhkan kemampuan berpikir matematik. Berpikir matematik inilah yang diperlukan untuk meraih manfaat matematika dalam kehidupan seharihari sekaligus untuk meningkatkan kemampuan pemahaman berikutnya. Guru yang mengajarkan matematika harus memberikan stimulus yang baik kepada siswanya agar tercapainya pemahaman dalam belajar. Dalam belajar matematika, adanya kesanggupan intelegensi siswa untuk menangkap makna konsep-konsep tertentu dalam materi pembelajaran menunjukkan akan adanya pemahaman yang kelak dicapai siswa tersebut. Bagi siswa yang belajar matematika dengan pemahaman diharapkan akan tumbuh kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan konsep yang telah dipahami dengan baik dan benar pada setiap menghadapi permasalahan dalam belajar matematika. Jika siswa memulai belajar dengan pemahaman maka yang pertama sekali siswa tersebut akan melakukan pengamatan secara keseluruhan terhadap obyek 96 yang dipelajari. Selanjutnya siswa menganalisis hal-hal yang menarik dari segala hal yang diamati dan berakhir pada disentesis kembali akan hal yang dianalisis. Hiebert dan Carpenter (dalam Hasanah: 26) mengemukakan sejumlah konsekuensi positif terhadap pengetahuan yang diperoleh dalam belajar matematika dengan pemahaman yaitu sebagai berikut : 1. Bersifat generatif, merupakan pengetahuan yang terbentuk dari hasil belajar dengan pengertian, sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali (distimulasi). Penstimulasian terjadi karena diterimanya informasi baru yang bergabung dengan pengetahuan lama. Memahami tentang informasi baru yang diperoleh dari hasil belajar melahirkan pengetahuan baru. Proses seperti ini akan berlangsung secara terus menerus apabila setiap menerima informasi baru dari hasil belajar selalu dipahami atau dengan kata lain selalu belajar dengan pemahaman. 2. Bermakna, merupakan penyesuaian antara tugas-tugas belajar dengan kemampuan berpikir siswa dapat menunjang pencapaian pemahaman yang akan dibangun oleh siswa dalam belajar matematika. 3. Memperkuat ingatan dan mengurangi jumlah informasi yang harus dihapal. Pengetahuan dari hasil belajar dengan pemahaman selalu dapat dimunculkan kembali dengan baik karena pengetahuan dalam struktur kognitif tersebut diperoleh secara bermakna. Jika suatu pengetahuan diperoleh dengan pemahaman maka akan semakin tertanam pengetahuan tersebut dalam struktur kognitif. Hal ini menunjukkan semakin sedikitnya informasiinformasi dalam pengetahuan yang harus dihapal. Di samping itu kebermakanaan pemahaman yang dicapai dalam belajar memungkinkan informasi-informasi yang telah dipelajari mudah dimunculkan kembali setiap kali diperlukan. 4. Memudahkan transfer belajar. Terjadinya transfer dalam belajar dengan pengertian atau pemahaman karena adanya persamaanpersamaan konteks antara pengetahuan baru yang akan dipelajari dengan pengetahuan lama yang dengan cepat dapat dimunculkan kembali. Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 5. Mempengaruhi kepercayaan. Siswa yang belajar dengan pemahaman selalu akan memunculkan pengetahuan-pengetahuan yang salaing berhubungan secara sistematis dalam struktur kognitif. Pengetahuanpengetahuan lama yang terbentuk dalam struktur kognitif diperlukan untuk memahami informasi yang baru diterima dari hasil belajar. Pada penelitian ini kemampuan pemahaman yang digunakan adalah menurut Rusefendi. Maka dapat saya simpulkan bahwa pemahaman adalah kemampuan mengenal, menjelaskan, dan menarik kesimpulan suatu situasi atau tindakan. Pemahaman dalam matematika mencakup pemahaman translasi, interpretasi, dan pemahaman ekstrapolasi. Ketiga pemahaman ini yang akan menjadi indikator kemampuan pemahaman yang akan di ukur dalam penelitian ini. Peran guru dalam pembelajaran sebagai fasilitator dan motivator dapat dilakukan melalui pertanyaan. Dalam studi Shimizu, misalnya, pertanyaan guru dapat secara efektif menggiring proses berpikir siswa ke arah penyelesaian yang benar. Sedangkan dalam studi Yamada, perubahan dalam aktivitas dan representasi yang dibuat siswa dapat secara efektif diawali oleh pertanyaan guru. Menurut pengamatan penulis, sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Belajar matematika dengan cara menghapal meskipun ada kalanya perlu tetapi tanpa pemahaman adalah satu penyebab kesulitan siswa dalam mempelajari matematika dan akhirnya muncul kesimpulan bahwa matematika itu sulit dan tidak menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu seorang guru matematika diharapkan dapat menemukan suatu metode agar matematika itu dapat disenangi oleh siswa sekaligus membantu mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Jika siswa mampu menyelesaikan soal matematika maka siswa tersebut dengan baik pasti memahami konsep matematika terhadap penyelesaian soal. Kebutuhan untuk dapat memahami dan juga mampu menggunakan konsep matematika dalam kehidupan seharihari sangat diperlukan. Sikap adalah suatu tindakan dari pendapat atau keyakinan dari diri seseorang, sebagai ungkapan yang timbul dari dalam dirinya. Sikap menurut kamus bahasa Indonesia (1991: 938) adalah cara bertindak dalam penyampaian pendapat, keyakinan atau pendirian. Sedangkan menurut Trow (dalam H.Djaali : 2006: 114) mendefenisikan sikap sebagai suatu kesiapan mental atau emosional dalam beberapa jenis tindakan pada situasi yang tepat. Sementara Allport dikutif oleh Gable (dalam H.Djaali: 2006: 114) mengemukakan bahwa sikap adalah sesuatu kesiapan mental dan saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung kepada respons individu terhadap semua objek atau situasi yang berhubungan dengan objek itu. Dari defenisi di atas, bahwa sikap itu tidak muncul seketika atau di bawah lahir, tetapi disusun dan dibentuk melalui pengalaman serta memberikan pengaruh langsung kepada respons seseorang. Secara garis besarnya bahwa sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu. Sikap bukan tindakan nyata (overt behavior). Cardno (dalam H.Djaali: 2006) mendefenisikan sikap sebagai berikut : Attitude entails and existing predis position to response to social object which, in interaction with situasional and other dispositional variables, guides and directs the overt behavior of the individual”. Dalam istilah kecenderungan (predisposition), terkandung pengertian arah tindakan yang akan dilakukan seseorang berkenan dengan suatu objek. Arah tersebut dapat bersifat mendekati atau menjahui. Tindakan mendekati atau menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, lingkungan dan lain-lain) dilandasi oleh perasaan penilaian individu yang bersangkutan terhadap objek tersebut. Misalnya ia menyukai atau tidak menyukainya, menyenangi atau tidak menyenanginya, menyetujui atau tidak menyetujuinya. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, sikap belajar dapat diartikan sebagai kecenderungan perilaku seseorang takkala ia mempelajari hal-hal yang bersifat akademik. Brown dan Holtzman (dalam H.Jaali: 2006) mengembangkan sikap belajar melalui dua komponen yaitu Teacher Approvall (TA) dan Education Acceptense (EA). TA berhubungan dengan pandangan siswa terhadap guru-guru, 97 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 tingkah laku mereka dikelas; dan cara mengajar, sedangkan EA terdiri atas penerimaan dan penolakan siswa terhadap tujuan yang akan dicapai, dan materi yang disajikan, praktik, tugas dan prasyarat yang ditetapkan oleh sekolah. Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak disadari, guna dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya, siswa setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari siswa, misalnya perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung perasaan anak, maka lama kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut; dan perlahan-lahan anak akan mengalihkan sikap negatif itu bukan hanya kepada gurunya sendiri, akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang diasuhnya. Kemudian, untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah pekerjaan yang mudah. Belajar membentuk sikap adalah melalui pembiasaan, demikian juga yang dilakukan Skinner (dalam Sanjaya: 2006) melalui teorinya operant conditioning, bahwa pembentukan sikap menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan, lama kelamaan anak akan berusaha meningkatkan sikap positifnya. Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh (Sanjaya: 2006: 278). Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal-hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan yang dengan modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya. Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum. Anak kagum terhadap kepintaran orang lain, misalnya guru yang dianggapnya bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Dari uraian di atas bahwa sikap siswa dalam mata pelajaran matematika adalah persoalan menerima (suka) atau tidak menerima (tidak suka) terhadap objek matematika. 98 Menurut Neale (dalam Saragih, 2007) sikap sebagai ukuran suka atau tidak suka seseorang tentang matematika yaitu kecenderungan seseorang untuk terikat atau menghindar dari kegiatan matematika. Siswa yang menerima matematika berarti bersikap positif, sedangkan siswa yang menolak matematika berarti bersikap negatif. Siswa yang bersikap positif terhadap pelajaran matematika, dapat diamati ciricirinya, di antaranya: sungguh-sungguh memperhatikan sewaktu guru menerangkan, kritis dalam menyampaikan pendapatnya, mengerjakan tugas tepat waktu, suka bertanya pada hal-hal yang tidak dimengerti, gemar mengemukakan ide yang baru untuk mempermudah alur pikir dari suatu problem, dapat menerangkan kepada teman-temannya apabila ada hal-hal yang kurang dipahami oleh temannya. Sebaliknya apabila siswa bersikap negatif terhadap mata pelajaran matematika akan menunjukkan hal-hal diluar dari/kebalikan dari ciri siswa yang bersikap positif. Beberapa sikap negatif adalah sebagian siswa tidak menyukai matematika, penyebabnya menurut Shadiq (2008) adalah: 1. Persepsi umum tentang sulitnya matematika berdasarkan pendapat orang lain. 2. Pengalaman belajar di kelas yang diakibatkan proses pembelajaran yang kurang menarik dari siswa. 3. Pengalaman di kelas sebagai hasil perlakuan guru (contohnya: guru yang selalu mencemooh dirinya). 4. Persepsi yang berbentuk oleh ketidak berhasilan mempelajari matematika. 5. Tidak mengetahui kegunaan matematika. Sikap negatif siswa terhadap matematika akan dipengaruhi juga oleh pengalaman mereka ketika belajar matematika di SD, SMP maupun SMA/SMK. Namun sebagai guru, harus dapat menghilangkan sikap negatif para siswa terhadap matematika sedikit demi sedikit, sedemikian sehingga mereka memiliki sikap positif terhadap matematika. Untuk mengukur sikap siswa terhadap pembelajaran matematika digunakan angket dengan skala Likerl. Sikap yang diukur terdiri dari 3 aspek, sesuai dengan hasil adopsi dari penelitian Suryadi (2007: 296) yaitu sikap terhadap Matematika, sikap terhadap model/pendekatan yang dilakukan guru dan sikap terhadap soal-soal yang diberikan. Sedangkan indikator dari ketiga aspek sikap yaitu: (1) terhadap pembelajaran matematika Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 yaitu: kesukaan terhadap matematika, motivasi siswa terhadap pembelajaran matematika, peran guru dalam pembelajaran matematika dan manfaat matematika dalam kehidupan seharihari. (2) terhadap model matematika yang dilakukan guru antara lain: kesukaan siswa terhadap model dan manfaat mengikuti model. (3) terhadap soal yang diberikan diantaranya: kesukaan terhadap soal-soal yang diberikan dan manfaat soal-soal yang diberikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada penelitian ini sikap positif yang digunakan adalah menurut Gable. Maka dapat saya simpulkan sikap merupakan kesiapan atau kecenderungan seseorang untuk bertindak dalam menghadapi suatu objek atau situasi tertentu. Pendekatan Problem Posing dianggap mampu untuk meningkatkan pemahaman siswa dan sikap positif siswa dalam pembelajaran matematika, karena siswa akan menjadi lebih berani dan bertanggungjawab terhadap permasalahan matematika yang diberikan. Untuk mencapai tujuan sebagaimana diformulasikan pada kalimat di atas maka membantu guru agar dapat menjelaskan pengertian sikap, menjelaskan pentingnya para siswa memiliki sikap terhadap matematika berupa sikap positif yang dapat membantu siswa untuk menghargai mata pelajaran matematika dan membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri terhadap kemampuan dirinya. Kasiati (2007) menyatakan bahwa “Salah satu strategi pembelajaran adalah dengan menggunakan pendekatan problem posing, yakni pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk membuat soal”. Dengan kegiatan membuat soal akan mengakibatkan terbentuknya pemahaman yang lebih mantap pada diri siswa. Informasi yang ada diolah dalam fikiran, dan setelah paham siswa akan dapat membuat pertanyaan (soal), sehingga menyebabkan terbentuknya pemahaman yang lebih mantap pada diri siswa. Kegiatan tersebut akan membuat siswa secara aktif mengkonstruksi hasil belajar. Pembelajaran dengan problem posing bertujuan untuk merangsang siswa agar giat belajar, rajin dan tekun dalam memecahkan masalah sehingga dapat memperjelas, memperkaya, dan memperdalam bahan yang diberikan dalam kelas. Keberhasilan siswa dalam belajar sangat ditentukan oleh strategi atau pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran matematika. Sebagai upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika diperlukan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar matematika. Proses belajar mengajar harus dirancang sedemikian rupa oleh para guru sehingga siswa terlibat aktif baik mental maupun fisiknya dalam belajar matematika (As’ari, 2002:19). Agar siswa termotivasi dalam proses pembelajaran penulis menyarankan suatu pendekatan yang tepat yaitu dengan menerapkan pendekatan problem posing. Problem posing terdiri dari dua kata bahasa inggris yaitu problem dan posing, problem berarti soal dan posing (dari to pose) berarti mengajukan, membentuk. Problem posing merupakan istilah dalam bahasa inggris sebagai padanan katanya digunakan istilah pembentukan soal. Menurut Freire (Maya Sherly: 2010: 2), “Pendekatan Problem posing yaitu suatu cara dalam pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang simple sehingga dipahami”. Sintaknya adalah pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, meminimalisasi tulisan/hitungan, cari alternative dan menyusun soal/pertanyaan. Suryanto (Sutiarso: 2000) mengemukakan bahwa, “Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal)” atau “membuat masalah (soal)”. Sedangkan menurut Suryanto (Chairani: 2007) menjelaskan bahwa problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: Pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit. Arti ini merupakan salah satu langkah dalam menyusun rencana pemecahan masalah. Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syaratsyarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternative pemecahan lain. Arti ini berkaitan dengan langkah-langkah 99 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 mengkaji ulang tahap-tahap pemecahan soal. Ketiga, problem posing ialah merumuskan soal atau membentuk soal dari situasi yang diberikan. Pengertian ketiga inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Faiere (Maya Sherly: 2010) membedakan pendidikan dengan pendekatan problem posing dengan pendidikan yang didominasi oleh guru, serta menyimpulkan hasil belajar yang diperoleh dari siswa, sebagaimana dikemukakannya bahwa: Bila penimbunan pendidikan menghalangi dan menghilangkan kekuatan kreatif, sedangkan pendidikan problem posing meliputi pembaharuan yang terus menerus tentang kenyataan. Siswa yang terlibat dalam problem posing lebih cenderung memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang terkait dengan diri mereka sendiri di alam dan hubungannya dengan alam, serta meningkatkan perasaan yang berkaitan dengan tantangan yang dihadapi dan mengharuskan untuk merespon tantangan tersebut. Suryanto (Euis: 2001: 4) mengemukakan bahwa, “Arti dari pembentukan soal ialah perumusan soal atau mengerjakan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah pemecahan masalah. Soal yang dibuat siswa adalah yang mirip dengan contoh yang telah diberikan guru. Dengan kata lain soal itu sedikit berbeda dari contoh soal yang diberikan guru. Untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika, kegiatan dengan problem posing ini dikembangkan dimana siswa bukan hanya membuat soal dan menyelesaikannya saja, tetapi siswa akan mengerjakan juga soal yang telah dibuat oleh temannya. Dalam problem posing, relasi yang dihidupkan bukanlah monolog tetapi dialog. Dalam relasi dialogis ini, para siswa tidak diperlakukan sebagai objek, dan guru tidak diakui sebagai satu-satunya subjek. Silver dan Cai (1996) juga menyatakan bahwa struktur sintaksis soal yang dibuat siswa dapat diklasifikasi ke dalam 3 kelompok, yaitu: 1. Pengajuan pre-solusi (presolution posing) yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan . 100 2. Pengajuan di dalam solusi (within-solution posing) yaitu seorang siswa merumuskan ulang soal dan mencari solusinya. 3. Pengajuan setelah solusi (post solution) yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondis soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal yang baru. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dibuat kesimpulan bahwa pendekatan problem posing merupakan pendekatan pembelajaran yang dilakukan dengan cara melibatkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar untuk merumuskan masalah melalui keikutsertaan oleh siswa dalam mengajukan soal/membuat soal dan membuat jawaban dengan situasi yang telah tersedia. Menurut Abdusakir (2009) dalam pelaksanaan pendekatan problem posing dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: a. Penyadaran masalah Pada awal pengajaran berusaha agar peserta didik sadar adanya suatu masalah. Hal ini ditempuh dengan jalan: mengemukakan beberapa fakta yang menonjol sebagai gejala dari suatu masalah, memanfaatkan berita-berita, dan pengumpulan pendapat peserta didik. b. Analisa masalah Kalau peserta didik sudah sadar akan adanya masalah maka ia dapat diajak untuk menelaah masalah itu lebih lanjut yang perlu diperhatikan ialah aspek-aspek masalah, latar belakang sebab pelaku dan ruang serta waktu sekitar masalah. c. Perumusan masalah Sesudah masalah dianalisa umumnya peserta didik mulai mendapat gambaran yang lebih menyeluruh dan lebih terpadu tentang suatu masalah. Oleh sebab itu siswa lebih mampu merumuskan dengan singkat dan padat apa sebenarnya masalahnya. d. Pemecahan masalah Sesudah masalah dianalisa dan dirumuskan mulailah peserta didik dirangsang untuk mencari pemecahan yang sebaik-baiknya. Tiap pemecahan ini berlangsung akan muncul cara yang mana yang paling tepat, kekuatan, kelemahan, serta kemungkinan penyelesainya. e. Perumusan pemecahan masalah Sesudah pemecahan masalah, peserta didik dapat merumuskan secara singkat cara pemecahan yang dipilih itu. Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 Dari pendapat tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan problem posing adalah: 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai 2. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok dan pengelompokan dilakukan secara heterogen 3. Guru memberitahu kepada siswa bahwa siswa akan membuat soal yang berkaitan dengan materi yang disajikan 4. Guru menyajikan materi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem posing 5. Guru memberikan contoh tentang cara membuat soal dari materi yang telah disajikan 6. Guru meminta masing-masing siswa untuk membuat soal dari materi yang telah disajikan 7. Guru mengumpulkan soal yang telah dibuat siswa dan membagikannya secara acak 8. Masing-masing kelompok menyelesaikan soal kemudian menuliskan satu atau dua soal yang tidak dapat diselesaikan dan ditukarkan pada kelompok lain 9. Masing-masing kelompok berdiskusi mencari hasil/penyelesaian 10. Dengan bantuan guru, siswa menyimpulkan hasil kelompok mereka masing-masing sesuai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dan guru memberikan penghargaan kepada siswa II Metode Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kecamatan Medan Perjuangan yang berakreditasi B. Adapun sampel yang peneliti ambil adalah sekolah yang mempunyai level menengah yaitu yang berakreditasi B. Hal ini sesuai dengan pendapat Russefendi (1998: 78) salah satu cara memilih sampel mewakilinya populasinya adalah cara random sederhana, yaitu bila setiap anggota dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Lebih lanjut Russefendi (1998: 79) mengatakan salah satu cara memperoleh sampel secara random adalah dengan memberi nomor anggota populasi pada kertas-kertas kecil, kemudian digulung, dimasukkan ke suatu tempat lalu diundi diambil sebanyak yang diperlukan. Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian eksperimen semu (quasi experiment). Analisis data dilakukan dengan analisis varians (ANAVA) Dalam penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu model pembelajaran problem posing dan model pengajaran biasa. Sebagai variabel terikatnya adalah kemampuan pemahaman dan sikap positif matematika. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemahaman. Perhitungan reliabilitas instrumen, validitas instrumen, diujicobakan pada siswa sebanyak 30 orang. Hasil ujicoba butir tes kemampuan pemahaman dinyatakan valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,72. III Hasil Penelitian Dan Pembahasan A Hasil 1. Perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa yang diberi pembelajaran problem posing dengan siswa yang diberi pengajaran biasa Rata-rata kemampuan pemahaman matematik siswa yang mendapat pendekatan Problem Posing hanya sebesar 10,64, sedangkan nilai rata-rata kemampuan pemahaman matematik siswa yang mendapat pendekatan Konvensional sebesar 7,65. Setelah pembelajaran, terjadi perbedaan rata-rata kemampuan pemahaman matematik kedua kelompok siswa tersebut. Siswa yang mendapat pendekatan Problem Posing memperoleh rata-rata kemampuan pemahaman matematik sebesar 34,64 sementara siswa yang mendapat pembelajaran konvensional memperoleh rata-rata kemampuan pemahaman matematik sebesar 22,39. Mean dan standar deviasi kemampuan pemahaman KPA yang berkemampuan matematika siswa tinggi adalah 35,00 dan 13,867, sedang adalah 35,49 dan 8,590 dan rendah adalah 31,62 dan 9,734. Sedangkan untuk kemampuan pemahaman KPB yang berkemampuan matematika siswa tinggi mean dan standar deviasinya adalah 20,00 dan 9,260, sedang adalah 21,64 dan 8,087 dan rendah adalah 27,00 dan 5,011, artinya skor kemampuan pemahaman matematik siswa KPA dan KPB menunjukkan perbedaan. Gambar 4.4 101 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 berikut dapat lebih jelas memperlihatkan bagaimana diagram dari data mean dan standar deviasi berdasarkan faktor pembelajaran. 2. Perbedaan sikap matematika siswa yang diberi pembelajaran problem posing dengan siswa yang diberi pengajaran biasa. Rata-rata sikap siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda, rata-rata sikap kelas eksperimen 59,56 dan kelas kontrol 51,18. Berikut akan disajikan kategori sikap siswa baik kelas eksperimen maupun kontrol. Berdasarkan pendapat Haryati tentang kategori sikap peserta didik, dapat dikatakan bahwa secara umum sikap siswa terhadap matematika baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol sangat positif. Karena skor rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol di atas 40, yaitu untuk kelas eksperimen 59,56 dan untuk kelas kontrol 51,18. Sikap sangat positif siswa terhadap matematika lebih banyak pada kelas eksperimen, yaitu 86,77% dibandingkan dengan kelas kontrol, yaitu 69,24%. Sedangkan sikap positif dan negatif lebih banyak pada kelas kontrol, yaitu 15,38% dibandingkan pada kelas eksperimen masing-masing 7,35% dan 5,88%. Sementara untuk sikap sangat negatif masingmasing kelas sama dengan 0%. Untuk mengetahui dengan pasti perbedaan rata-rata sikap siswa yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan problem posing dan pendekatan ekspositori selanjutnya akan dihitung menggunakan uji t atau uji Mann Whitney. 3. Aktivitas Siswa Selama Kegiatan Pembelajaran Berbasis Masalah Aktivitas belajar siswa dengan pendekatan problem posing pada kegiatan awal sebesar 93% dengan kategori sangat aktif, pada kegiatan inti sebesar 95,3% dengan kategori sangat aktif, kegiatan akhir sebesar 95,5% dengan kategori sangat aktif. Secara keseluruhan aktivitas siswa selama proses pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing sebesar 94,6% dengan kategori sangat aktif. Sedangkan aktivitas siswa dengan pendekatan ekspositori pada kegiatan awal 82,83% dengan kategori aktif, pada kegiatan inti 73,7% dengan kategori cukup aktif, kegiatan akhir sebesar 97,7% dengan kategori sangat aktif. Secara keseluruhan aktivitas siswa selama proses pembelajaran menggunakan 102 pendekatan ekspositori sebesar 84,7% dengan kategori aktif. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan pendekatan problem posing pada pertemuan I sebesar 94,73% dengan kategori sangat aktif, pada pertemuan II sebesar 95,07% dengan kategori sangat aktif, pada pertemuan III sebesar 93,82% dengan kategori sangat aktif, dan pada pertemuan IV sebesar 95,27% dengan kategori sangat baik. Secara keseluruhan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan pendekatan problem posing sebesar 94,73% dengan kategori aktif. sedangkan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan pendekatan ekspositori pada pertemuan I sebesar 83,45% dengan kategori aktif, pada pertemuan II sebesar 80,18% dengan kategori aktif, pada pertemuan III sebesar 79,45% dengan kategori cukup aktif, dan pada pertemuan IV sebesar 79,09% dengan kategori cukup aktif. Secara keseluruhan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan pendekatan ekspositori sebesar 80,54% dengan kategori aktif. B Pembahasan Hasil Penelitian Selain kelebihan yang telah diuraikan, terdapat hambatan yang dialami selama penelitian. Hambatan pelaksanaan pendekatan problem posing didasarkan pada kesulitan yang dialami guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kesulitan tersebut antara lain: saat ini satu jam pelajaran di SMP Nasrani 2 sama dengan 40 menit. Untuk satu minggu disediakan waktu pelajaran 6 jam pelajaran. Berarti dalam satu minggu tersedia waktu pelajaran matematika sebanyak 4 jam. Waktu yang tersedia tersebut masih kurang, karena untuk dapat melakukan kegiatan penemuan konsep teorema phytagoras membutuhkan waktu yang relatif lama, apalagi siswa-siswa yang berkemampuan rendah dan sedang. Begitu pula waktu yang dibutuhkan oleh guru untuk membimbing para siswa dengan berbagai latar belakang kemampuan membutuhkan waktu yang cukup lama, baik secara individual maupun secara kelompok Untuk mengatasi hal di atas, bahasan matematika yang diterapkan dalam penelitian ini hanya teorema phytagoras. Masih terbuka peluang bagi peneliti lainnya untuk Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 bereksperimen pada matematika lainnya. bahasan-bahasan IV Simpulan Dan Saran A Simpulan Diperoleh beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah : perbedaan peningkatan 1. Terdapat kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan problem posing dengan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan ekspositori. Peningkatan kemampuan translasi kelas eksperimen sebesar 0,06 dengan kategori rendah, sedangkan kelas kontrol sebesar 0,006 dengan kategori rendah. Peningkatan kemampuan interpretasi kelas eksperimen sebesar 0,10 dengan kategori rendah, sedangkan kelas kontrol sebesar 0,02 dengan kategori rendah. Peningkatan kemampuan ekstrapolasi kelas eksperimen sebesar 0,04 dengan kategori rendah, sedangkan kelas kontrol sebesar 0,02 dengan kategori rendah. Peningkatan keseluruhan aspek kemampuan pemahaman kelas eksperimen sebesar 0,2 dengan kategori rendah, sedangkan kelas kontrol sebesar 0,046 dengan kategori rendah. Pada kesimpulannya adalah peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang memperoleh pendekatan problem posing lebih tinggi dibandingkan peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan ekspositori. perbedaan sikap siswa 2. Terdapat terhadap matematika yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan problem posing dengan sikap siswa terhadap matematika yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan ekspositori. Perbedaan rata-rata sikap siswa terhadap matematika kelas eksperimen sebesar 59,56 sedangkan kelas kontrol sebesar 51,18. 3. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang pembelajarannya menggunakan pendekatan problem posing lebih aktif daripada aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang pembelajarannya menggunakan pendekatan ekspositori. jawaban siswa pada 4. Proses pembelajaran dengan pendekatan problem posing lebih bervariasi daripada proses jawaban siswa pada pembelajaran dengan pendekatan ekspositori. B Saran Berdasarkan implikasi dari hasil penelitian, maka disampaikan beberapa saran yang ditujukan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian ini. Rekomendasi tersebut sebagai berikut: 1. Kepada Guru a. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing merupakan salah satu alternatif bagi guru matematika dalam menyajikan materi pelajaran matematika. b. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing hendaknya diterapkan pada materi yang esensial menyangkut benda-benda yang real disekitar tempat belajar, agar siswa lebih cepat memahami pelajaran yang sedang dipelajari. c. Dalam setiap pembelajaran guru sebaiknya menciptakan suasana belajar yang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan matematika dalam bahasa dan cara mereka sendiri, sehingga dalam belajar matematika siswa menjadi berani berargumentasi, lebih percaya diri dan kreatif. 2. Kepada Peneliti Lanjutan Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat dilengkapi dengan meneliti aspek lain secara terperinci yang belum terjangkau dalam penelitian ini. 3. Kepada Sekolah Untuk pihak sekolah hendaknya dapat menjadi motivator dan fasilitator bagi 103 Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 guru untuk menerapkan pada setiap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem posing. Dan diharapkan pihak sekolah dapat menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembelajaran tersebut. Daftar Pustaka Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & Rineka Cipta Abdusakir. 2009. G:\Pembelajaran Matematika Dengan Problem Posing «Abdussakir’s Blog.Htm Adinawan, Cholik dkk. 2006. Matematika Untuk SMP Kelas VIII semester 1Bandung: Erlangga A.M, Sardiman, 2008. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar Jakarta: Grafindo Anni. 2004. Meningkatkan Pemahaman Siswa Terhadap Materi Matriks Melalui Problem Posing Di Kelas I MAS Bahrul Mubarak toronipa. Kendari. Skripsi FKIP Unhalu. Ansari, B.I. (2004). Kontribusi Aspek Talking dan Writing dalam Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi, 15 Mei 2004, Bandung. Arikunto.A., (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Penelitian Bumi Aksara, Jakarta. Chairani, Z. 2007. Problem Posing Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tanggal 8 September 2007, Banjarmasin. Dahar, 104 R.W. (1996). Jakarta: Erlangga Teori-teori Belajar. Depdiknas (2006). Kurikulum 2006 Standar Isi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Euis Tati Darnati, 2001, Upaya Meningkatkan Aktivitas Belajar Melalui Pendekatan Problem Posing pada Pembelajaran Matematika, Pelangi Pendidikan. Vol. 4. No. 1. Hal. 4-8. Fauziah, A (2009). Peningkatan Kemampuan Pemahaman Dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP Melalui Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Tesis. Bandung: PPs UPI Hasanah, A. 2004. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik. Tesis ini tidak diterbitkan. Bandung: Univ. Pendidikan Indonesia. Herdian, 2009, Model Pembelajaran Problem Posing. (http:/www.ut.ac.Id/oL.Supp/) Hudoyo. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Jakarta: Depdikbud Jarnawi. (2003). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Dan Pemahaman Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran OpenEnded, Studi Eksperimen Pada Siswa Sekolah Lanjutan Pertama Negeri Di Kota Bandung. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung. Karso, dkk, 1994. Dasar-dasar Pendidikan MIPA, Jakarta. Kasiati (2007) Pemahaman Matematika Dengan Problem Posing. Lewis Theodore, dkk. Problem Posing-adding a creative Increment to Tecnology Problem Solving. Jurnal of Industrial Teacher Education. Vol. 36. No. 1. (http://www.ut.ac.Id/oL.supp/) Maya, S. 2010. Pembelajaran dengan Problem http://sherlyPosing. ,blogspot.com/2009/11/blogspot-25.html Jurnal Saintech Vol. 06 - No.04-Desember 2014 ISSN No. 2086-9681 Nurjanah. 2007. Upaya meningkatkan hasil belajar siswa kelas 7b Smpn 4 adiwerna kabupaten tegal dalam pokok Bahasan perbandingan melalui penerapan Model pembelajaran problem posing Tipe pre solution posing. Semarang. Skripsi Universitas Negeri Semarang Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman. Koneksi dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Pascasarjana Universitas Pendidikan Bandung; Disertasi (Tidak diterbitkan). Russefendi, E.T. 1990. Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini, seri pertama, Bandung: Tarsito. Simbolon, H. 2004. Statistika. Yogyakarta: Graha Ilmu Wulandari, O. 2004. Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Post Solutioxn Posing Dalam Kelompok Kecil Bermediakan Alat Peraga Dan Lks Materi Pokok Keliling Dan Luas Segiempat Kelas Viib Semester 2 Smp Negeri 5 Semarang Tahun Pelajaran 2006/2007. Semarang. Skripsi UNNES 105