BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPOLISIAN NEGARA

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
A. Pengertian Polisi
Pada awalnya Polri dan TNI berbeda dalam satu institusi yang sama yaitu ABRI, namun
sejalan dengan perkembangan dengan ditetapkannya ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara nasional Indonesia dan kepolisian
Negara Republik Indonesia, ditetapkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian
terpisah namun tetap memiliki tugas sebagai komponen dalam pertahanan negara.1
Pasal 6 ayat 1 TAP MPR RI No VII/MPR/2000, menjelaskan bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Istilah polisi itu sendiri mengandung makna organisasi atau badan atau pranata
pemerintahan yang melaksanakan kebijakan pemerintah pada tingkat nasional yang pada tingkat
lokal atau lapangan bukan hanya menjalankan kebijakan pemerintah tetapi juga membuat
kebijakan-kebijakan untuk menciptakan dan menjamin terwujudnya keteraturan sosial dan
ketertiban umum, dan melindungi warga dan harta benda mereka dari gagguan tindak kejahatan.
Istilah tersebut telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan dari
istilah yang pertama kali muncul pada zaman yunani. Istilah polisi berasal dari kata politeia yang
1
Pasal 1 Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000.
berarti segenap usaha pemerintahan untuk mengatur masyarakat dan perlindungan hak – hak
anggota masyarakat itu sendiri.2
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia,
yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian
di seluruh wilayah Indonesia. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri).
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan.
Organisasi Polri Tingkat Pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Mabes Polri); sedang organisasi Polri Tingkat Kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah (Polda).
Unsur pimpinan Mabes Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Kapolri). Kapolri adalah Pimpinan Polri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Wakil Kapolri (Wakapolri).
Unsur Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf terdiri dari Inspektorat Pengawasan
Umum (Itwasum), bertugas membantu Kapolri dalam penyelenggaraan pengawasan dan
pemeriksaan umum dan perbendaharaan dalam lingkungan Polri termasuk satuan-satuan
organsiasi non struktural yang berada di bawah pengendalian Kapolri.
Deputi Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Pengembangan (Derenbang), bertugas
membantu Kapolri dalam penyelenggaraan fungsi perencanaan umum dan pengembangan,
2
R.Soesilo, Hukum Acara Pidana, politeia, Bogor, 1971,hal18
termasuk pengembangan sistem organisasi dan manajemen serta penelitian dan pengembangan
dalam lingkungan Polri.
Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops), bertugas membantu Kapolri dalam
penyelenggaraan fungsi manajemen bidang operasional dalam lingkungan Polri termasuk
koordinasi dan kerjasama eksternal serta pemberdayaan masyarakat dan unsur-unsur pembantu
Polri lainnya, Deputi Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (De SDM), bertugas membantu
Kapolri dalam penyelenggaraan fungsi manajemen bidang sumber daya manusia termasuk upaya
perawatan dan peningkatan kesejahteraan personel dalam lingkungan Polri. Deputi Kapolri
Bidang Logistik (Delog), bertugas membantu Kapolri dalam penyelenggaraan fungsi manajemen
bidang logistik dalam lingkungan Polri. Staf Ahli Kapolri, bertugas memberikan telaahan
mengenai masalah tertentu sesuai bidang keahliannya.
Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal (Div Propam), adalah unsur
pelaksana staf khusus bidang pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal.
Divisi Telekomunikasi dan Informatika (Div Telematika), adalah unsur pelaksana staf
khusus bidang Informatika yang meliputi informasi kriminal nasional, informasi manajemen dan
telekomunikasi.
Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam), bertugas membina dan menyelenggarakan
fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan pelaksanaan tugas operasional dan
manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka
mewujudkan keamanan dalam negeri.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium
forensik, dalam rangka penegakan hukum. Dipimpin oleh seorang Komisaris Jenderal (Komjen).
Badan Pembinaan Keamanan (Babinkam), bertugas membina dan menyelenggarakan
fungsi pembinaan keamanan yang mencakup pemeliharaan dan upaya peningkatan kondisi
keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Korps
Brigade Mobil (Korbrimob), bertugas menyelenggarakan fungsi pembinaan keamanan
khususnya yang berkenaan dengan penanganan gangguan keamanan yang berintensitas tinggi,
dalam rangka penegakan keamanan dalam negeri. Korps ini dipimpin oleh seorang Inspektur
Jenderal (Irjen).
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana
utama Kewilayahan yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan tugas
Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri. Kapolda dibantu oleh
Wakil Kapolda (Wakapolda). Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Wilayah
(Polwil). Ada tiga tipe Polda, yakni Tipe A, Tipe B dan Tipe C. Tipe A dipimpin seorang
perwira tinggi berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen), sedangkan Tipe B dipimpin perwira tinggi
berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) dan Tipe C dipimpin oleh perwira menengah berpangkat
Komisaris Besar (Kombes) yang senior. Di bawahnya Polwil membawahi Kepolisian Negara
Republik Indonesia Resort (Polres) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Kota
(Polresta). Polwil dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Komisari Besar atau
Kombes, demikian pula Poltabes juga dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat
Komisaris Besar. Polres dipimpin oleh seorang Ajun Komisaris Besar Polisi atau AKBP. Lebih
lanjut lagi, Polres membawahi Polsek, sedang Polresta membawahi Polsekta. Baik Polsek
maupun Polsekta dipimpin oleh seorang Komisaris Polisi (Kompol) untuk jajaran di Polda Metro
Jaya, sedangkan di Polda lainnya, Polsek atau Polsekta dipimpin oleh perwira berpangkat Ajun
Komisaris Polisi.
Untuk melaksanakan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di wilayah
provinsi DKI Jakarta, maka dibentuk Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah
Metropolitan Jakarta Raya atau disingkat Polda Metro Jaya. Penggunaan kata Metropolitan
didasarkan atas kota Jakarta sebagai kota metropolitan dan ibukota Negara Republik Indonesia.
Sehingga penamaan kepolisian di wilayah DKI Jakarta mulai dari tingkat Polda, Polres sampai
Polsek menggunakan kata Metro.3
B. Sejarah Polri
Lahir, tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan
Republik Indonesia sejak Proklamasi. Kemerdekaan Indonesia, Polri telah dihadapkan pada
tugas-tugas yang unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di
masa perang, Polri juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan penjajah dan berbagai
opersai militer bersama-sama satuan angkatan bersenjata yang lain. Kondisi seperti ini dilakukan
oleh Polri karena Polri lahir sebagai satu-satunya satuan bersenjata yang relatif lebih lengkap.
Hanya empat hari setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas
pasukan polisi segera memproklamirkan diri sebagai Pasukan Polisi Republik Indonesia
dipimpin oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin di Surabaya, langkah
awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara
Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat
3
www.wikipedia.org.sejarahkepolisiannegaraRI.
maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang
panjang.4
Tanggal 29 September 1945 tentara Sekutu yang didalamnya juga terdapat ribuan tentara
Belanda menyerbu Indonesia dengan dalih ingin melucuti tentara Jepang. Pada kenyataannya
pasukan sekutu tersebut justru ingin membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Oleh
karena itu perang antara sekutu dengan pasukan Indonesiapun terjadi dimana-mana. Klimaksnya
terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945, yang dikenal sebagai "Pertempuran Surabaya". Tanggal
itu kemudian dijadikan sebagai hari Pahlawan secara Nasional yang setiap tahun diperingati oleh
bangsa Indonesia
Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya menjadi sangat penting dalam sejarah
Indonesia, bukan hanya karena ribuan rakyat Indonesia gugur, tetapi lebih dari itu karena
semangat heroiknya mampu menggetarkan dunia dan PBB akan eksistensi bangsa dan negara
Indonesia di mata dunia. Andil pasukan Polisi dalam mengobarkan semangat perlawanan rakyat
ketika itupun sangat besar dalam menciptakan keamanan dan ketertiban didalam negeri, Polri
juga sudah banyak disibukkan oleh berbagai operasi militer, penumpasan pemberontakan dari DI
& TII, PRRI, PKI RMS RAM dan G 30 S/PKI serta berbagai penumpasan GPK.
Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global,
Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat
dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun internasional, sebagaimana
yang di tempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk
Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika
Selatan) dan di Kamboja (Asia).
4
www. Kepolisian Negara Republik Indonesia.com, Sejarah Polisi Republik Indonesia.
C. Dasar Hukum Kepolisian
Menurut hukum positif di Indonesia minimal ada tiga instrumen hukum yang mengatur
kedudukan Kepolisian Nasional, yakni Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, UU No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Presiden No. 17 Tahun
2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional.
Dalam pasal 8 Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Kepolisian Negara
Republik Indonesia telah disebutkan bahwa Lembaga Kepolisian Nasional adalah: Pertama;
sebagai pembantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan POLRI, kedua; Lembaga
Kepolisian Nasional dibentuk oleh presiden yang diatur dengan Undang-undang, dan ketiga;
Lembaga Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan
dan pemberhentian Kapolri.5
Pasal 37 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyebutkan bahwa, Lembaga Kepolisian Nasional yang kemudian disebut dengan
Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan
dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Kemudian dalam rangka pelaksanaan pasal 37 ayat (2) dan pasal 39 ayat (3) UndangUndang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7
Februari 2005 ditetapkanlah Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian
Nasional. Dalam hal ini terdapat VI bab yang masing-masing bab substansinya adalah; bab I
mengatur tentang pembentukan, kedudukan, tugas, dan wewenangnya, bab II mengatur tentang
susunan organisasi, bab III mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian, bab IV mengatur
tentang tata kerja, bab V mengatur tentang pembiayaanya, dan bab VI tentang ketentuan
penutup.
5
Pasal 8 tap MPR RI No. VII/MPR/2000
Sebagaimana dalam pasal 37 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, bahwa Komisi Kepolisian Nasional dibentuk oleh Presiden, maka
sebagai konsekuensi logis keanggotaanyapun diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
surat Keputusan Presiden , termasuk susunan organisasi dan tata kerja komisi. Sedangkan untuk
pembiayaanya dibebankan pada anggaran pendapatan belanja Negara (APBN).
Dari uraian diatas maka dapat dipahami bahwa Komisi Kepolisian Nasional merupakan
komisi negara eksekutif yang mana pembentukanya berdasarkan Undang-undang akan tetapi
penyelenggaraanya ditujukan untuk kepentingan Presiden dalam menentukan arah kebijakan
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
D. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kepolisian
Mempelajari kepolisian suatu negara, harus diketahui sejarah negara yang bersangkutan,
sejarah kepolisiannya, Undang-Undang Dasar dan sistem ketatanegaraan, hukum yang mengatur
kepolisian, serta keadaan lingkungannya. Oleh karena itu setiap kepolisian di semua negara itu
adalah unik, demikian pula Kepolisian Negara RI. Untuk memahami kepolisian di Indonesia
perlu mengetahui sejarah kepolisian di Indonesia.
Zaman Hindia Belanda (1800-1942). Sesuai dengan kepentingan kolonial Belanda tidak
pernah menempatkan organisasi kepolisian dalam satu tangan. Di bidang operasi berperan
“Resident” sedangkan di bidang kebijakan politik-polisionil berperan “Procureur General” pada
Mahkamah Agung. Dalam Departemen Dalam Negeri terdapat “Hooid van de Dienst der
Algemene Politie” (19 Agustus 1945 dinyatakan kepolisian berada di lingkungan Depdagri)
yang lebih banyak bertugas di bidang administrasi dan pendidikan. Di daerah terdapat
“gewapende politie” yang kemudian menjadi “veld politie”, ada “stats politie”, “cultuur politie”.
“Bestuur politie”. Pangkat bagi Belanda dan pribumi dipisahkan. Bumiputera untuk Agen Polisi,
Mantri Polisi, dan Wedana Polisi. Sedangkan Orang Belanda sebagai Hoofd Agent, Inspecteur
van politie, dan Commisaris van Politie. Pada masa ini terdapat unifikasi dan kodifikasi hukum
seperti Inlands Reglement (IR), kemudian Herziene Inlands Reglement (HIR).
Zaman pendudukan Jepang (1942-1945). Jepang menghapus dual sistem jabatan di
kepolisian. Jepang juga membagi Indonesia dalam 4 wilayah perang yakni Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Indonesia Timur sehingga di masing-masing wilayah kepolisiannya disatukan
dan terdapat 4 pusat.
Zaman revolusi fisik (1945-1949). Setelah Jepang kalah dalam PD II, Peta, Gyu Gun dan
Heiho dibubarkan, sehingga sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 yang utuh kesatuannya di
daerah-daerah hanya kepolisian. Setelah 19 Agustus 1945 Polri ditempatkan di lingkungan
Departemen Dalam Negeri, maka secara spontan kepolisian di daerah-daerah menyatakan
dirinya Polisi Republik Indonesia dengan berbagai cara, seperti mengambil alih kantor polisi dari
jepang, mengganti bendera Jepang menjadi merah-putih. Tanggal 29 September 1945 R.S
Soekanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI pertama. Beliau kemudian
mengkoordinasikan kepolisian daerah di Jawa. Pada masa ini ditandai dengan serangan Inggris
dan Belanda. Polri menyatakan dirinya “combatant”. UUD 1945 menganut sistem presidensial,
namun demi kepentingan perjuangan diterapkan sistem parlementer di mana Presiden sebagai
Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang mana Sutan Syahrir
sebagai PM pertama. Pada tanggal 25 Juni 1946 (merpakan hari penting bagi Polri) dikeluarkan
Penetapan Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri (Soekarno dan Soedarsono) yang isinya
menetapkan Jawatan Kepolisian yang sekarang masuk lingkungan Kementerian Dalam Negeri,
dikeluarkan dari lingkungan tersebut dan dijadikan Jawatan tersendiri yang langsung di bawah
pimpinan Perdana Menteri. Penetapan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1946. Penetapan ini
menegaskan lahirnya “KEPOLISIAN NASIONAL” yang bertugas dan bertanggung jawab di
seluruh wilayah RI. 1 Juli kemudian diperingati sebagai “HARI ULANG TAHUN
BHAYANGKARA”, hari lahirnya “kepolisian nasional” dan bukan hari lahir Kepolsian Negara
RI.
Zaman Republik Indonesia Serikat (1949-Agustus 1950). Dalam periode yang singkat ini
R.S. Soekanto selaku Kepala Kepolisian Negara RIS bertugas menyatukan Kepolisian Negara RI
(sebagai negara bagian) dengan bekas-bekas kepolisian dari negara-negara bagian bikinan
Belanda. R.S. Soekanto mengutamakan profesionalisme dalam seleksi anggota.
Zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959). Zaman yang ditandai dengan keluarnya
UUDS 1950 dengan sistem parlementer mengakibatkan lahirnya banyak partai dimana tidak ada
partai mayoritas. Kondisi ini mengakibatkan pemerintah berganti hampir setiap tahun termasuk
Perdana Menterinya. Dalam kondisi demikian Polri tetap mandiri dan tidak dipengaruhi partai
manapun. R.S Soekanto saat itu mulai membangun kepolisian modern melalui peningkatan
Akpol menjadi PTIK. Ratusan perwira dikirim belajar ke luar negeri. RS. Soekanto juga
membangun labolatorium kriminal (forensik), membentuk Polisi udara dan polisi perairan. Polri
saat itu juga menjadi anggota Interpol dan membangun gedung mabes Polri di Jalan Trunojoyo.
Di bidang operasional Polri banyak berhasil membongkar kasus spionage, kasus kecelakaan
pesawat, dan kasus teror percobaan pembunuhan Presiden. Pada tahun 1955 Polri pertama kali
mengamankan Pemilu. Selain itu ditetapkan juga Tri Brata sebagai pedoman hidup dan catur
Prasetya sebagai pedoman karya Polri.
Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Meletusnya peristiwa PRRI/Permesta
membuat Presiden Soekarno menyatakan “kembali ke UUD 1945” untuk mengatasi keadaan.
Jabatan Perdana Menteri dirubah menjadi Menteri Pertama. Polri bertanggung jawab kepada
Menteri Pertama. Pada tahun 1959 keluar UU No 23 tahun 1959 tentang “keadaan bahaya” yang
membagi 4 bentuk keamanan (Tertib Sipil-Darurat Sipil- Darurat Militer-Darurat Perang).
Tanggung jawab keamanan dalam Tertib Sipil dan Darurat Sipil diserahkan kepada Polri,
sedangkan dalam Darurat Militer dan Darurat Perang diserahkan kepada Angkatan Perang (ADAL-AU). Kemudian pada tahun 1961 keluar UU No 13 tahun 1961 tentang Kepolisian Negara
RI yang menyatakan bahwa Polri adalah bagian dari ABRI. Namun dalam prakteknya Polri tetap
mandiri.
Zaman Orde Baru (1966-1998). Terjadi peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Letnan
Jenderal Soeharto yang semula sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menjadi Ketua
Presidium Kabinet, Pejabat Presiden dan kemudian menjadi Presiden RI melalui SP 11 Maret
1966 dan TAP MPRS tahun 1967. PKI dianggap telah berusaha memecah ABRI sehingga ABRI
perlu diperkuat melalui integrasi ABRI. Kemudian dibentuk Departemen Pertahanan dan
Keamanan dan Markas Besar ABRI yang dipimpin oleh seorang Menhankam/Pangab. Polri
berada di bawah Menhankam dan Pangab. Selama 30 tahun berada dalam kondisi ini dirasakan
sebagai kemunduran bagi Polri di bidang anggaran, materiil, sumber daya manusia karena
diperlakukan sebagai angkatan perang. Anggaran Polri hanya sama dengan harga 1 pesawat
Hercules AURI, pengadaan 2 kapal untuk Polri yang telah disetujui Presiden dan Menristek
diambil alih oleh Angkatan Laut, rasio anggota Polri dan jumlah penduduk 1 : 1200 (ratio PBB 1
: 400), sistem, pendidikan disamakan/diintegrasikan dengan pendidikan angkatan perang, Polri
jarang diikutkan dalam kerjasama/pendidikan luar negeri, dan sebagainya.
Zaman Reformasi (1998-sekarang). Kemunduran Polri selama 30 tahun di bawah
Menhankam/Pangab adalah kekeliruan menerapkan integrasi ABRI dengan menyamakan Polri
dengan Angkatan Perang tanpa memahami bidang kepolisian secara baik, jadi BUKAN karena
pertimbangan politik melemahkan Polri. Hal ini diakui oleh Menhankam/Pangab Jenderal
Wiranto pada 1 Juli 1999. Amandemen UUD 1945, TAP MPR VI dan VII tahun 2000, serta
lahirnya UU No 2 tahun 2002 telah memantapkan kemandirian Polri sebagai “Kepolisian
Nasional” dan berkedudukan di bawah Presiden. Sejak saat itu Polri telah melakukan reformasi
struktural, reformasi instrumental, dan reformasi kultural. Banyak sudah prestasi dan capaian
yang sudah dilakukan seperti pengungkapan aksi teror, pengungkapan kasus-kasus narkoba
besar, penanganan kerusuhan di Aceh, Papua, maluku, Poso, dan sebagainya yang dianggap
prestasi tinggi dalam ukuran internasional. Namun di sisi lain masih terdapat banyak kekurangan
seperti perilaku/kultur dan tindakan sementara anggota Polri seperti korupsi, penyalahgunaan
jabatan dan wewenang, kekerasan dalam menangani huru hara yang sering anarkis, serta
kelemahan-kelemahan internal lainnya. Hal ini dirasakan sebagai dampak 30 tahun di bawah
Menhankam/Pangab di mana saat itu diintegrasikan dengan ABRI mulai dari tahap
pendidikannya, dampak keadaan lingkungan nasional, regional dan global yang tidak kondusif.
Polri secara sadar mengakui hal ini dan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki keadaan
demikian. Selain reformasi struktural, instrumental, dan kultural Polri membuat “Grand Strategy
Polri” (2005-2025) dengan Tahap I Trust Building-Membangun Kepercayaan Masyarakat (20052009); Tahap II Partnership Building-Membangun Kemitraan dengan masyarakat; serta tahap III
Strive for Excellence-Menuju Kesempurnaan/unggul. Untuk melakukan percepatan pencapaian
grand strategi tersebut dilincurkan program “Quick Win” dan juga “Reformasi Birokrasi Polri”.
Reformasi Struktural-Instrumental-Kultural Polri, Grand Strategy Polri (2005-2025),
Program Quick Win, serta Reformasi Birokrasi Polri telah dan sedang berjalan serta berlanjut.
Mari kita (masyarakat) jaga dan kawal bersama agar kita mendapatkan suatu profil kepolisian
negara RI yang kita inginkan bersama yaitu polisi yang dapat menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, polisi yang dapat menegakkan hukum, serta dapat memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakatnya.
Dalam perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global,
Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat
dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional mahupun antarabangsa, sebagaimana
yang ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk
Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika
Selatan) dan di Kamboja (Asia).
Dalam kongres Perserikatan Bangsa–Bangsa ditentukan kriteria tugas kepolisian yang
berlaku secara universal yaitu: 6
1. Penyusun tugas secara birokrasi dengan penekanan pada jalur pemerintah dan
pengawasan tugas,
2. Kewenangan kepolisian bersumber pada undang–undang dan kewajiban harus dirancang
dalam bentuk system aturan kode etik dan pelaksanaan tugas yang menghasilkan disiplin
yang pasti,
3. Para petugas kepolisian perlu dikenali oleh warga masyarakat sehingga penggunaan
pakaian seragam, tanda pangkat dan lokasi tugas merupakan bagian dari ekspresi
kewenangan kepolisian dari kepastian hukum,
4. Digunakannya tindakan fisik yang dilengkapi dengan senjata merupakan bagian
komitmen kepolisian untuk memberikan jaminan keamanan bagi warga masyarakat,
6
R. Soesilo, lo cit, hlm. 17.
5. Kegiatan petugas kepolisian baik dalam dinas maupun diluar dinas menjadi bagian dari
kesatuannya,
6. Bersumber dari kewajiban kepolisian setiap petugas kepolisian harus mampu
melaksanakan tugas dengan penilaian sendiri dalam keadaan memaksa untuk
kepentingan umum (Asas ini dinamakan Diskresi).
Didalam Undang – undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002
pasal 13 dijelaskan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
b. Menegakkan hukum,
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rincian pasal 14 Undang – undang nomor 2 tahun 2002 ayat (1) dimana dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan,
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas dijalan,
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hokum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang–
undangan,
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional,
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,
f. Melakukan koordinasi, pengawasan danpembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk–bentuk pengamanan swakarsa,
g. Melakuakan penyidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum secara pidana dan peraturan perundang–undangan lainnya,
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian kedokteran kepolisian, laboratorium forensik
dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian,
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk
sementara sebelum ditangani oleh
instansi dan/atau pihak yang berwenang,
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup
tugas kepolisian,serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang–undnng.
Selanjutnya Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menjelaskan bahwa dalam
menjalankan tugasnya tersebut kepolisian berwenang untuk:
1. menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban umum;
3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa;
5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian;
6. melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. mencari keterangan dan barang bukti;
10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara lain:7
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata
tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang
jasa pengamanan;
7
Dr. Sunarto, makalah “Optimalisasi Profesionalisme Anggota POLRI dalam Rangka Reformasi Birokrasi Kepolisian”, 16
Desember 2009, [email protected].
g. memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas
pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas
kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di
wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah RI dalam organisasi kepolisian internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain, yaitu:8
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
8
Ibid.
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta
menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum;
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
e. menghormati hak asasi manusia.
Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 menyatakan, untuk kepentingan umum
pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode
Etik Profesi Kepolisian negara RI (Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan
norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Ayat 1).
Salah satu dampak dari reformasi sistem pemerintahan dan politik di Indonesia adalah
dipisahkannya Polri dengan TNI. Sehingga Polri yang asalnya bagian dari ABRI, menjadi bagian
integral dari masyarakat. Fungsi dan peran Polri, seperti tersurat pada Undang-Undang nomor 2
tahun 2002, adalah sebagai:
1. pengendali stabilitas kamtibmas,
2. penegak hukum dengan perundang-undangan dan peraturan,
3. pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Sehingga anggota Polri harus memiliki kultur yang berbeda dengan TNI, yaitu tidak
bersikap dan berperilaku seperti militer, tidak urakan, dan selalu menjunjung tinggi HAM dan
keadilan. Sehingga fungsi kepolisian harus memperhatikan aspek semangat penegakan hak azasi
manusia, hukum dan keadilan.
Untuk mengemban fungsi kepolisian tersebut, Polri dibantu oleh :9
1. kepolisian khusus, yaitu instansi atau badan pemerintah yang berdasarkan perundangundangan diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidangnya
masing-masing. Wewenangnya bersifat khusus dan terbatas. Terbatas dalam
lingkungan kuasa dan soal-soal yang menyangkut deskripsi kerjanya, seperti
ditentukan dalam perundang-undangan, hukum, atau peraturan pemerintah. Yang
termasuk pada kepolisian khusus, diantaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Depatemen Kesehatan, Polisi-Khusus di lingkungan pemerintahan atau
departemen, seperti Satpol PP, Polsus Kehutanan, Polsus Imigrasi, dan sejenisnya.
2. Penyidik pegawai negeri sipil, seperti kejaksaan dan pengadilan.
3. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Yaitu bentuk pengamanan yang diadakan atas
kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri. Yang kemudian
mendapatkan pengukuhan dari Polri. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa ini, hanya
memiliki kewenangan kepolisian yang terbatas. Terbatas pada lingkungan kuasa
9
Mabes Polri ; Skep Kapolri No. Pol. : KEP/54/X/2002 dan KEP/7/I/2005
setempat, seperti lingkungan pemukiman, linkungan pekerjaan, dan lingkungan
institusional. Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan
Kapolri.
Sejalan dengan fungsi-fungsi seperti yang telah dikemukan, maka peran Polri adalah :
a. Mewujudkan keamanan dalam negeri
b. Memelihara keamanan dan ketertiban di masyarakat.
c. Mentertibkan dan menegakan hukum dan peraturan.
d. Menyelenggarakan
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
kepada
masyarakat.
e. Membina ketentraman masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Agar fungsi dan peran kepolisian ini berjalan dengan baik, sehingga citra Polri di
masyarakat selalu baik. Dan masyarakat siap untuk bermitra dengan Polri, maka setiap anggota
Polri harus :
a. Memiliki jiwa pengabdian yang tinggi kepada negara dan masyarakat.
b. Bisa bekerja tanpa pamrih, tidak membeda-bedakan perlakukan kepada masyarakat.
c. Bersikap ramah dan sopan, tidak berlaku seperti militer dan tidak berkelakuan urakan.
d. Mengetahui dan memahami tentang fungsi dan peran kepolisian, hukum dan perundangundangan, yang berhubungan dengan kepolisian.
e. Dapat berkomunikasi dengan baik, terutama komunikasi insani dengan masyarakat,
sesama anggota Polri, baik satu Satfung, beda Satfung maupun beda Mako. Dan
komunikasi yang bersifat lintas sektoral, dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan
dan pengayoman.
f. Selalu bisa menegakan hukum dan perundang-undangan secara berkeadilan, menjunjung
tinggi hak azasi manusia.
g. Bisa bermitra dengan masyarakat, dalam upaya melaksanakan program Polmas.
Sehingga untuk mencapai kondisi Polri yang disenangi oleh masyarakat, dan masyarakat
siap untuk bermitra, maka setiap anggota Polri harus memiliki kemauan dan kemampuan untuk :
a. Menumbuh-kembangkan inovasi dan motivasinya dalam bekerja.
b. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi dan peran Polri.
c. Bermitra dengan masyarakat, baik masyarakat umum, masyarakat satu profesi, maupun
masyarakat lintas institusi (sektoral). Sehingga masyarakat menyadari, bahwa keamanan
dan ketertiban bukan sepenuhnya tanggung jawab kepolisian.
Mengacu pada Kamus besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional yang bekerja sama dengan Balai Pustaka, konsepsi dari
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan, seperti di bawah ini :
a. Perlindungan.
Perlindungan adalah sebuah proses atau perbuatan melindungi. Yaitu proses
(perbuatan) dalam upaya menjaga, merawat, memelihara, atau menyelamatkan, dari
mara bahaya, kehilangan, dan kerusakan.
b. Pengayoman.
Pengayoman
adalah
proses
(perbuatan)
perlindungan
dengan
objek
yang
dilindunginya besifat menyeluruh dan prosesnya bersifat bersinambungan dan
berkelanjutan. Perbedaan antara perlindungan dan pengayoman. Perlindungan adalah
proses yang dikenakan kepada manusia, mahkhluk hidup, barang, atau tanaman, yang
sifatnya sementara. Sebab setelah aman atau tidak diperlukan lagi, proses
perlindungan dihentikan. Sedangkan pengayoman, adalah proses yang dikenakan
kepada manusia, yang sifatnya menyeluruh dan berkelanjutan.
c. Pelayanan
Pelayanan adalah proses (perbuatan) melayani sehingga diperoleh suatu kemudahan
bagi seseorang yang mempunyai urusan. Melayani adalah perbuatan membantu
menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang.
Konsepsi tersebut, jika dihubungakan dengan fungsi dan peran kepolisan, maka dapat
dideskripsikan hal-hal sebagai berikut :10
1) Perlindungan polisi kepada masyarakat, selain kepada masyarakat bukan pelaku kejahatan,
juga kepada pelaku kejahatan. Perlindungan kepada masyarakat yang bukan pelaku
kejahatan, dalam bentuk tindakan menjaga dari :
a. Ancaman dan marabahaya.
b. Kehilangan benda-benda berharga.
c. Terjadinya bahaya kecelakaan akibat adanya benda atau bentuk yang tidak layak
dan tidak pada tempatnya.
Sedangkan kepada masyarakat pelaku (tersangka) kejahatan, dalam bentuk perlindungan
dari ancaman atau tindak kekerasan dari
a. Korban dengan keluarganya,
b. Masyarakat yang pernah mendapatkan perlakuan tidak baik darinya
10
Winarno Surachman, Perkembangan Pribadi dan Keseimbangan Mental, IKIP, Bandung, 1965, hlm.7.
1) Pengayoman Polri kepada masyarakat, harus menyentuh setiap lapisan
masyarakat, dari tingkat bawah, menengah, sampai atas. Bentuk-bentuk
pengayoman kepolisian kepada masyarakat, diantaranya melakukan patroli polisi
di tempat-tempat rawan kejahatan, kecelakaan, dan ketidak tertiban, secara rutin
dan berkala. Mengadakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat, agar
menyadari pentingnya keamanan dan ketertiban di masyarakat, dari segi tatanan
kehidupan dan penghidupan. Mengadakan bimbingan, penyuluhan, dan
pembinaan kepada masyarakat, tentang hukum dan peraturan. Dengan diiringi
kemauan dari setiap anggota Polri, untuk selalu tertib hukum, dan kemampuan
untuk menegakan hukum secara baik dan benar. Selalu siap untuk menjadi mitra
masyarakat dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban lingkungan.
2) Pelayanan Polri kepada masyarakat, adalah kesiapan dari setiap anggota
Polri,terutama yang berada di Satfung pada Unsur Pelaksana Utama, untuk
menerima dan menyelesaikannya dengan baik setiap pengaduan dan laporan
tentang tidak kejahatan atau gangguan kamtibmas,memberikan kepastian kepada
masyarakat, bahwa setiap tindak kejahatan atau pelanggaran akan diselesaikan
secara cepat dan sesuai dengan hukum atau perundang-undangan, berlaku sopan
dan ramah kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kepolisian.
Untuk bisa menjalankan fungsi dan peran perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Setiap anggota Polri, khususnya yang berada di lini terdepan pelayanan,
harus memahami tentang paradigma perlindungan, pengayoman, dan pelayanan. Dengan diiringi
kemauan dan kemampuan, untuk menjalankannya, dalam tugas dan wewenang kepolisian.
E. Diskresi Kepolisian.
Diskresi berasal dari bahasa inggris yang artinya adalah “Kebijaksanaan, keleuasaan, atau
kemampuan untuk memilih rencana kebijaksanaan atau mempertimbangkan diri sendiri.”
Diskresi Kepolisian menurut adalah suatu kebijaksanaan dan kewenangannya, sesuatu
tindakan atas keyakinan dirinya. Diskresi Kepolisian Berdasarkan UU No. 2/2002 Pasal 18 ayat
1 “Untuk Kepentingan umum pejabat polri dalam melaksanakan wewenangnya, mereka dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
Adapun yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu
tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota kepolisian RI yang dalam bertindak harus
mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan
umum.Tindakan diskresi bila tidak dibatasi dengan jelas, dapat disalah artikan bahwa
pelaksanaan diskresi yang dapat menjurus penyalahgunaan wewenang oleh penyidik yang dapat
melanggar HAM.
Masalah pelaksanaan diskresi terhadap para pelanggar hukum sering menyimpang dari
ketentuan atau prinsip dari diskresi karena yang melaksanakan diskresi adalah Polisi yang
bersifat individual jarang dilakukan oleh institusi baik ditingkat Markas Besar, Kepolisian daerah
maupun tingkat Polres.Lebih banyak dilakukan individu Polisi dan oleh karena itu
penyimpangan terhadap diskresi mencakup pada tugas-tugas penyidikan. Penyimpangan diskresi
dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi penyimpangan diskresi aktif dan diskresi pasif.
Penyimpangan diskresi aktif adalah keputusan untuk mengambil tindakan Kepolisian
yang seharusnya tidak dilakukan oleh petugas Kepolisian dengan harapan untuk mendapatkan
imbalan yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Penyimpangan diskresi pasif adalah keputusan untuk tidak mengambil tindakan yang
seharusnya petugas Kepolisian mengambil tindakan seperti contoh petugas penyidik seharusnya
melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana tapi karena sudah mengenal tersangka
penyidik membiarkan saja tersangka tersebut.
Telah disampaikan diatas bahwa diskresi Kepolisian, yaitu suatu tindakan Kepolisian
berdasarkan atas penilaian sendiri seorang petugas Polisi dalam rangka kepentingan umum.
Meskipun sempat muncul penolakan karena pasal ini bisa dijadikan pembenar bagi setiap
tindakan Polisi di lapangan, (yang dianggap benar atau pun salah), namun akhirnya DPR
menyetujui karena pada dasarnya diskresi merupakan baju Kepolisian dalam menjalankan
tugasnya.
Diskresi dilakukan oleh petugas Polisi di lapangan adalah untuk menyelaraskan situasi,
dengan keharusan seorang Polisi untuk bersikap tepat dan cerdas dalam perannya, tidak hanya
sebagai penegak hukum, tapi sekaligus sebagai pembimbing masyarakat. Sebagai penegak
hukum tentulah harus bersikap tegas dan mungkin juga perlu keras11.
1.Syarat-Syarat Tindakan Diskresi kepolisian .
Harus terpenuhi unsur dalam azas-azas PLICHMATIGHEID yang artinya bahwa
“tindakan Kepolisian dianggap syah apabila didasarkan kepada kekuasaan dan wewenang
umum”. Tolak ukur tindakan dilakukan berdasarkan azas PLICHMATIGHEID tersebut harus
memenuhi unsur-unsur kewajiban sebagai syarat tindakan itu dianggap syah yang kemudian
dikenal sebagai 4 ( empat ) prinsip PLICHMATIGHEID yang terdiri dari :
a. Azas Keperluan ( Noodzakeijik )
11
Dr. Sadjijono, memahami hukum kepolisian, laksBang Pressindo, Yogyakarta, hal 144
Artinya tindakan itu harus benar-benar diperlukan sehingga tindakan itu harus obyektif
menurut pendapat umum, betul-betul perlu, dan tindakannya tidak boleh kurang dan tidak
boleh lebih.
b. Azas Masalah sebagai patokan ( Zakeujk )
Bahwa tindakan yang diambil benar-benar unsure kepentingan tugas kepolisian jadi
tindakanya bukan bersifat pribadi dan terikat kepada kepentingan perorangan, melainkan
hanya untuk kepentingan tugas kepolisian
c. Azas Tujuan sebagai ukuran ( Doelmatig )
Artinya tindakan yang dilakukan adalah sudah yang paling tepat/sesuai untuk mencapai
sasaran sehingga hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuai yang
dikhawatirkan.
d. Azas Keseimbangan ( Evengredig)
Artinya tindakan polisi harus seimbang antara tindakan yang dilakukan dengan berat
ringannya pelanggaran
Dari uraian itu timbul pertanyaan bagi anggota polisi tindakan apa saja yang termasuk
dalam diskresi kepolisian? dan bagaimana seorang anggota polisi bisa melaksanakan diskresi
kepolisian sehingga bebas dari tuntutan hukum.
Yang termasuk dalam ruang lingkup diskresi kepolisian adalah semua tindakan yang
harus diambil/dilakukan oleh anggota polisi ketika dia dihadapkan pada suatu masalah ( dalam
lingkup tugas-tugas kepolisian ) .
Bagaimana agar seorang anggota polisi bisa mempertang gungjawabkan secara hukum
atas diskresi yang telah ia lakukan seperti uraian diatas maka diskresi yang ia ambil harus
didasarkan pada 4 ( empat ) prinsip dalam azas ( PLICHMATIGHEID ) tersebut.
Disamping hal tersebut diatas perlu diingat oleh anggota polisi adalah berpedoman pada
Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Skep kapolri No. Pol : Skep / 32 / VII / 2003.
Memang kalau dipikirkan itu merupakan tugas yang berat bagi setiap anggota polisi dilapangan,
Diskresi bertumpu pada pertimbangan moral anggota polisi dalam rangka pengambilan
keputusan ditengah situasi sekompleks apapun yang tidak hanya memenuhi unsur yuridis, tetapi
juga nilai-nilai kearifan (moral).
Karena diskresi hanya dapat diejawantahkan dalam sebuah lingkungan sosiokultural yang
otonom sehingga memberikan kewenangan-kewenangan individu kepolisian yang cerdas
sekaligus percaya diri untuk mengambil inisiatif ( tidak selalu menunggu instruksi ), maka
sebelum memberikan kewenangan kepada polisi untuk menerapkan diskresi, organisasi polri
dituntut merumuskan kebijakan mengendalikan diskresi yang tidak diperkenankan12.
2. Penerapan diskresi kepolisian
Diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum
untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan
nuraninya sendiri. Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau
memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara
pidana yang ditanganinya.
Sekalipun diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktik
penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk
menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan
peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Selengkapnya Pasal 18 Undangundang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik menyebutkan:
12
Dr Sadjijono, ibid hal 146
a. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud dengan
“bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan
manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Apabila diperhatikan lebih mendalam, banyak faktor yang menjadi pemicu keengganan
aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, di
antaranya rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi,
sehingga diskresi dipandang sebagai tindakan manipulasi (illegal), ketakutan akan munculnya
penilaian negatif dari masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian dianggap sebagai akalakalan pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara.
Padahal, dalam praktik pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak
berasal dari pihak berperkara, khususnya pihak korban13.
Tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua)
kategori yaitu:
1. Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam
mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional
di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan
dari atasannya, seperti petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada
13
Dr Sadjijono, ibid hal 149
pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah. Hal
ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas
jalan,
2. Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya.
Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan
penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses
penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan
diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakan–kebijakan pimpinan dalam
organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka.
Dalam pemaparannya tentang diskresi, ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang
mungkin dilaksanakan, yaitu:
1. Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas alasannya untuk melakukan
tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;
2. Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan,
karena inisiatornya adalah masyarakat;
3. Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang
(intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous;
dan
4. Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau
umumnya kurang disetujui oleh atasannya14.
Agar penerapan diskresi kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa dari aparat
kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka penerapannya harus dilandasi dasar
14
M.fall, penyaringan perkara pidana oleh polisi (Diskresi kepolisian), Jakarta, Pradnya pramita, Jakarta,1991, hal
16
hukum yang kuat. Beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan
diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:
1. Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang menyebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan
lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang menyebutkan: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang
proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
3. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
4. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
5. menghormati hak asasi manusia.
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyebutkan: untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.
Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang
menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena kewajibannya
mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan: yang dimaksud dengan
“tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
1. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan
jabatan;
2. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
2. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
1. Menghormati hak asasi manusia.
3. 5. Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang pada
pokoknya memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat
melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Selanjutnya,
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP mengataur hal yang sama dengan Penjelasan
Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP.
Selain penerapan diskresi kepolisian harus mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, diskresi pun dapat diberlakukan dengan mendasarkan pada hukum adat/kebiasaan
setempat. Misalnya, di Bali seringkali penyelenggaraan kegiatan/upacara adat disertai dengan
kegiatan sabung ayam, yang mana berdasarkan hukum pidana nasional, dapat dikategorikan
sebagai tindakan perjudian sebagaimana diatur dalam Pasal 303 KUHP. Namun aparat kepolisian
tidak serta merta menangkapi orang-orang yang sedang melakukan sabung ayam, sekalipun
polisi memiliki wewenang untuk melakukannya. Akan tetapi dengan melihat bahwa kegiatan
sabung ayam juga merupakan bagian dari kebudayaan/ adat Bali, kepolisian menggunakan hak
(diskresi) nya untuk tidak menangkap atau membubarkan orang-orang yang melakukan sabung
ayam.
Perlu diperhatikan, sekalipun aparat kepolisian memiliki kewenangan bertindak atas
dasar penilaiannya sendiri, hal ini tidak boleh ditafsirkan secara sempit, sehingga aparat
kepolisian dengan mudah menerapkan kewenangan diskresi. Oleh karena itu, lahirnya diskresi
tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu wewenang kepolisian secara umum serta adanya hukum
yang mengatur untuk bertindak, sehingga diskresi harus dilakukan dalam kerangka adanya
wewenang yang diberikan oleh hukum.
Terkait penerapan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana, ada beberapa
pertimbangan yang umum dijadikan pegangan, antara lain:
1. Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat melalui jalur
formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam jangka waktu lama.
2. Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Tugas dan tanggung jawab yang
diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin bertambah, sehingga tindakan
diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.
3. Adanya keinginan agar perkara selesai secara win-win solution, mengingat melalui caracara formal dapat dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang;
4. Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban, sehingga korban tidak
menghendaki kasusnya diperpanjang.
3. Jenis tindak pidana yang dimungkinkan untuk dilakukan diskresi
Pada dasarnya, langkah diskresi kepolisian dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab
kepolisian yang diberikan negara. Misalnya dalam kasus tindak pidana yang pelakunya
melibatkan anak-anak, seperti dalam kasus Narkoba. Anak-anak yang menjadi pemakai narkoba
adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan
yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang melakukan
penyalahgunaan Narkoba. Disinilah kewenangan diskresi untuk dikedepankan karena jika
perlakuan terhadap anak-anak disamakan dengan orang dewasa, dikhawatirkan justru akan
berdampak negatif terhadap anak-anak di kemudian hari.
Pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik karena
yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan karena anak-anak adalah masa depan
bangsa, terlebih Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak (Convention on the Right of
Children), sehingga dengan telah diratifikasinya konvensi hak anak, Indonesia memiliki
kewajiban untuk memenuhi hak-hak bagi semua anak tanpa terkecuali. Salah satu hak anak yang
perlu mendapat perhatian dan perlindungan adalah hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Menurut Adrianus Meliala (1988), kasus-kasus pidana yang potensial diselesaikan melalui
upaya penyelesaian di luar pengadilan, termasuk di dalamnya dengan cara menerapkan diskresi,
di antaranya:
1. Kasus Penipuan dan penggelapan yang mana pelaku telah mengembalikan kerugian yang
diderita korban;
2. Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP;
3. Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
4. Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut;
5. Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan;
6. Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia;
7. Pasal 364 tentang pencurian ringan;
8. Pasal 373 tentang penggelapan ringan;
9. Pasal 379 tentang penipuan;
10. Pasal 482 tentang penadahan ringan;
11. Pasal 315 tentang penghinaan ringan.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian oleh Kenneth
Culp Davis (1975, 3-7) terkait praktik penegakan hukum di Kepolisian Chicago. Hasil penelitian
menyimpulkan, ada beberapa jenis tindak pidana yang dapat dikesampingkan (diskresi), di
antaranya:
1. Seorang petugas menangkap pencuri di toko, polisi kemudian melepaskan
karena pemilik toko minta dengan sangat pencuri itu dilepaskan;
2. Penjualan barang-barang yang tidak ada labelnya adalah pelanggaran, tetapi
petugas sering tidak menindak bila jumlahnya tidak besar;
3. Naik sepeda di trotoar adalah merupakan suatu tindak pidana dan pelanggaran
hukum lalu lintas, polisi jarang menegakkan hukum itu kecuali kalau ada halhal khusus;
4. Polisi pernah melepaskan perampok bersenjata karena si korban minta untuk
dilepaskan;
5. Seorang polisi biasanya mendenda seorang remaja pembuat keributan atau
melakukan pencurian ringan. Tetapi polisi biasa melepaskannya, bila si pemilik
barang merelakannya;
6. Meludah ditrotoar adalah suatu larangan, didenda 1 sampai dengan 5 dollar
AS, tetapi banyak petugas tidak menegakkan ketentuan itu;
7. Pencuri yang ternyata adalah seorang informan untuk penjualan narkotika akan
dilepas oleh polisi, walaupun tidak ada undang-undang narkotika yang
mengatur demikian;
8. Berjudi itu dilarang menurut ketentuan hukum. Tetapi petugas baru bertindak
apabila ada pengaduan, sedang petugas yang lain tidak mau melakukannya;
9. Merokok di tangga berjalan atau lift adalah suatu tindak pidana. Tetapi polisi
yang bertugas tidak pernah menegakkan ketentuan itu15.
15
Dr Sadjijono, lo cit, hal 199
Download