BAB IV Hasil dan Pembahasan

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi DNA Genomik Sengon
DNA genomik sengon diisolasi dari daun muda pohon sengon. Hasil uji
integritas DNA metode 1, metode 2 dan metode 3 pada gel agarose dapat dilihat
pada Gambar 4. Hasil penghitungan kemurnian dan konsentrasi DNA berdasarkan
pengukuran serapan pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm menggunakan
spektrofotometer ultraviolet dapat dilihat pada Tabel 3. Kualitas DNA yang baik
ditunjukkan dengan kemurnian dan integritas yang baik ketika dielektroferesis
dalam gel agarose.
A
B
C
Gambar 4 Hasil elektroforesis DNA genomik sengon yang diperoleh dengan
metode 1 (A), metode 2 (B) dan metode 3 (C). 5 µL larutan DNA
dielektroforesis pada gel agarose 1%.
Gambar 4A menunjukkan bahwa hasil isolasi DNA dengan menggunakan
metode 1 mempunyai integritas yang kurang bagus. Hasil elektroforesis larutan
DNA pada gel agarose terlihat bahwa larutan DNA masih banyak mengandung
kontaminan. Hal ini terlihat juga berdasarkan hasil perhitungan kemurnian DNA
yaitu berkisar antara 1.32 hingga 2.89 (Tabel 3).
24
Tabel 3 Hasil perhitungan kemurnian dan konsentrasi DNA template
No
Kemurnian DNA
Konsentrasi DNA (ng/µl)
Metode 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1.59
1.58
2.20
1.75
2.89
1.32
1.57
1.34
1.63
1.36
290
225
110
192
65
870
287
500
175
417
Metode 3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1.75
1.82
1.80
1.70
1.75
1.62
1.75
1.45
1.60
1.96
17.5
15.0
22.5
32.5
22.5
22.5
17.5
27.5
30.0
25.0
Sambrook dan Maniatis (1989) menyatakan bahwa DNA dikatakan murni
jika rasio serapan pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm adalah 1.8.
Kemurnian DNA mempengaruhi keberhasilan pada tahap PCR. Perbandingan
nilai serapan 260/280 nm yang lebih kecil dari 1.8 dapat terjadi karena adanya
kontaminan protein (Weising et al. 2005). DNA yang tidak murni berarti masih
mengandung komponen kontaminan seperti protein, polisakarida ataupun
senyawa-senyawa fenol. DNA yang diisolasi dengan metode 1 terlihat kental dan
agak susah untuk dipipet. Porebski et al. (1997) menyatakan bahwa polisakarida
dapat terlihat dengan kentalnya DNA yang dihasilkan dan susah dalam
pemipetannya sehingga tidak dapat diamplifikasi pada PCR karena menghambat
aktivitas enzim polimerase. Hasil isolasi DNA dengan menggunakan metode 1
dapat ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya dengan menambahkan tahapan
pemurniannya.
Pemurnian dapat dilakukan dengan penambahan fenol dan
kloroform maupun dengan peningkatan konsentrasi CTAB di dalam bufer
25
ekstraksi (Weising et al. 2005). DNA daun sengon tidak berhasil diisolasi dengan
menggunakan metode 2 (Gambar 4B) sedangkan metode 3 (Gambar 4C)
menghasilkan DNA dengan integritas yang lebih bagus, yaitu berupa pita tunggal
dengan jarak migrasi relatif sama. Tabel 3 menunjukkan bahwa larutan DNA
hasil isolasi berdasarkan metode 3 mempunyai kemurnian yang lebih bagus yaitu
berkisar antara 1.45 hingga 1.96 namun konsentrasi DNA yang dihasilkan lebih
rendah.
Perancangan Primer
Perancangan primer spesifik terhadap gen AAI dan TI didasarkan pada
sekuen yang terdapat pada database yang diakses melalui internet pada situs NCBI
(National Centre for Biotechnological Information, http://www.ncbi.nlm.nih.gov).
Sekuen yang digunakan adalah sekuen gen AAI dari Phaseolus maculatus dengan
nomor akses U10353.1 dengan jumlah nukleotida 795 (Lampiran 1) yang berasal
dari DNA genomik. Sekuen gen TI yang digunakan adalah sekuen dengan nomor
akses EU088405.1 yang mempunyai 324 nukleotida (Lampiran 3), berasal dari
genomik DNA Vigna unguiculata.
Hasil perancangan primer terhadap kedua
sekuen tersebut dengan menggunakan program primer3 dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan Lampiran 4 sedangkan primer terpilih disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Primer gen AAI dan TI hasil desain menggunakan program primer3
Primer
Sekuen Nukleotida
Keterangan
AAI (forward)
CTTCTCTCCCACGCAAACTC
AAI (reverse)
TGAAGTTGGTGTCGAAGCTG
TI (forward)
CCATGGATCTGAACCACCTC
TI (reverse)
CCTGGACTTGCAAGGTTTGT
20 nukleotida, Tm
55% GC
20 nukleotida, Tm
50% GC
20 nukleotida, Tm
55% GC
20 nukleotida, Tm
50% GC
60 oC,
60 oC,
60 oC,
60 oC,
*
Tm: temperatur melting, G: guanin, C: sitosin.
Jumlah sekuen nukleotida, Tm maupun kandungan GC pada primer masih
tergolong dalam jumlah optimal untuk suatu primer. Abd-Elsalam (2003)
menyatakan bahwa jumlah optimal nukleotida suatu primer adalah 18–30
nukleotida, sedangkan Tm di bawah 65 oC dan kandungan GC antara 45% hingga
60%. Setiap pasang primer (forward dan reverse) untuk kedua gen juga memiliki
26
Tm yang sama yaitu 60 oC. Chawla (2002) menyatakan bahwa pasangan primer
dalam reaksi PCR sebaiknya mempunyai Tm yang sama.
PCR DNA Sengon dengan Primer Spesifik
Deteksi gen AAI dan gen TI pada sengon dilakukan menggunakan primer
spesifik terhadap kedua gen tersebut. Amplifikasi fragmen DNA sengon diawali
dengan melakukan optimasi kondisi PCR.
Optimasi kondisi PCR dilakukan
dengan menguji beberapa parameter yaitu konsentrasi DNA template, jumlah
enzim, konsentrasi primer dan terutama suhu annealing (suhu penempelan
primer). Optimasi perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil amplifikasi yang
diinginkan.
Menurut Weising et al. (2005) beberapa parameter yang
mempengaruhi PCR adalah primer, aktivitas dan jumlah enzim polimerase, suhu,
konsentrasi primer, DNA template dan MgCl2, dan kualitas DNA template.
Amplifikasi fragmen DNA sengon menggunakan primer hasil desain
dilakukan dengan optimasi beberapa suhu annealing, yaitu 45 oC hingga 62 oC.
Hasil elektroforesis terhadap hasil PCR menunjukkan bahwa tidak ada amplikon
yang terbentuk (Gambar 5).
Hal ini diduga karena primer yang didesain masih
belum tepat untuk mengamplifikasi gen TI maupun AAI pada DNA genomik
sengon. Abd-Elsalam (2003) menyatakan bahwa pendesainan primer yang kurang
baik menyebabkan reaksi PCR tidak bekerja dengan baik. Hal ini menyebabkan
tidak terjadinya amplikon.
1 2
3 4
5 6 7 8
9 10 11 12 M
Gambar 5 Profil elektroforesis produk PCR dengan menggunakan primer hasil
desain pada beberapa suhu annealing. Baris 1-12 berturut-turut adalah
produk PCR dengan suhu annealing 62 oC, 61.3 oC, 60.4 oC, 58.8 oC,
56.7 oC, 54.8 oC, 53 oC, 50.8 oC, 48.7 oC, 47 oC, 45.8 oC, 45 oC. M
adalah ladder. 5 µL hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1.5%.
27
Primer spesifik terhadap gen AAI dan TI yang telah dipublikasi (Tabel 2)
juga dicobakan untuk mengamplifikasi DNA genomik sengon. Primer untuk gen
AAI adalah primer yang sudah pernah dicobakan untuk mendeteksi gen AAI
Phaseolus vulgaris yang diekspresikan pada kopi arabika (Coffea arabica)
sedangkan primer TI adalah primer yang pernah dicobakan untuk mengamplifikasi
gen TI pada Delonix regia. Beberapa suhu annealing yang dicobakan terhadap
primer AAI (primer α-AI1) bervariasi antara 45 oC hingga 62 oC. Berdasarkan
hasil optimasi maka suhu annealing yang terbaik adalah 54 oC. Amplifikasi
fragmen DNA sengon dengan PCR menggunakan pasangan primer α-AI1
menghasilkan dua amplikon yaitu amplikon pendek yang diperkirakan berukuran
350 pb dan amplikon panjang yang diperkirakan berukuran 550 pb (Gambar 6).
1
2
3 4
550 pb
350 pb
M
500 pb
250 pb
Gambar 6 Profil elektroforesis amplifikasi DNA genomik sengon menggunakan
pasangan primer α-AI1. Baris 1 adalah kontrol (-), Baris 2-4 adalah
hasil PCR menggunakan pasangan primer α-AI1, baris M adalah
ladder. Ukuran marker pada sebelah kanan dalam satuan pb (pasang
basa) sedangkan prediksi ukuran amplikon pada sebelah kiri dalam
satuan pb. 5 µL hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1.5%.
Suhu annealing yang dicobakan terhadap primer TI (Primer Astart/Astop)
dari suhu 43 oC hingga 57 oC. Berdasarkan hasil optimasi maka suhu annealing
yang digunakan adalah 45 oC. Amplifikasi fragmen DNA sengon dengan PCR
menggunakan pasangan primer Astart/Astop menghasilkan dua amplikon yaitu
amplikon pendek yang diperkirakan berukuran 600 pb dan amplikon panjang yang
diperkirakan berukuran 800 pb (Gambar 7).
28
1
2
3 M
800 pb
600 pb
750 pb
500 pb
Gambar 7 Profil elektroforesis amplifikasi DNA genomik sengon menggunakan
pasangan primer Astart/Astop. Baris 1 adalah kontrol (-), Baris 2-3
adalah hasil PCR menggunakan pasangan primer Astart/Astop, baris M
adalah ladder. Ukuran marker pada sebelah kanan dalam satuan pb
sedangkan prediksi ukuran amplikon pada sebelah kiri dalam satuan
pb. 5 µL hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1.5%.
Suhu annealing sangat mempengaruhi penyatuan DNA dan primer. Jika
suhu annealing yang digunakan terlalu tinggi maka tidak terjadi hibridisasi namun
jika suhu annealing terlalu rendah maka bisa terjadi mishibridisasi (Brown 2006).
Park (2011) menyatakan bahwa suhu annealing merupakan faktor paling kritis
untuk keberhasilan amplifikasi selain kemurnian dan konsentrasi DNA. Variasi
kecil dalam salah satu variabel suatu reaksi PCR dapat mempengaruhi hasil
amplikon. Semua amplikon yang dihasilkan kemudian dimurnikan dari gel
agarose dengan menggunakan Kit QiaquickR Spin (Qiagen). Hal ini dimaksudkan
untuk mendapatkan DNA gen hasil amplifikasi tanpa kontaminan dari pereaksi
PCR lainnya. Hasil ektraksi gel kemudian diperiksa dengan elektroforesis pada
gel agarose 1% seperti yang terlihat pada Gambar 8.
1
2
3 4
5 6 7 8
7
3
1
9 M
8
5
9
2
4
850 pb
500 pb
6
Gambar 8 Profil elektroforesis pita DNA hasil ektraksi dari gel agarose. Baris 16 adalah fragmen DNA hasil PCR dengan primer α-AI1, baris 7-9
adalah fragmen DNA hasil PCR dengan primer Astart/Astop, M adalah
ladder 1 Kb plus. Tanda ( ) menunjukkan posisi amplikon. 2 µL
hasil elusi dielektroforesis pada gel agarose 1%.
29
Hasil elusi memperlihatkan bahwa fragmen DNA yang dihasilkan
mempunyai ukuran yang sama dengan hasil elektroforesis hasil PCR sebelumnya.
DNA hasil ekstraksi gel yang dihasilkan untuk gen TI baik untuk ukuran 600 pb
maupun 800 pb terlihat sangat tipis. Hasil elusi ini digunakan sebagai gen insert
dalam proses ligasi.
Kloning Fragmen DNA Hasil PCR
Kloning fragmen DNA dilakukan dengan menggunakan Escherichia coli
sebagai sel kompeten dan pGEM-T Easy sebagai vektor kloning. Fragmen DNA
disisipkan pada DNA plasmid (vektor kloning) membentuk plasmid rekombinan
yang disebut proses ligasi. Ligasi dimaksudkan agar fragmen DNA dapat dengan
aman tereplikasi bersamaan dengan replikasi plasmid. Brown (2006) menyatakan
bahwa fragmen DNA yang tidak diligasi umumnya akan terdegradasi oleh enzim
dalam inang bakteri. Hasil ligasi berupa plasmid rekombinan kemudian
ditransformasi ke dalam sel bakteri E.coli kompeten sebagai sel inang. E.coli
digunakan sebagai sel inang karena E.coli cepat dalam bereplikasi dan juga
sensitif untuk tumbuh pada antibiotik (Brown 2006). Transformasi membentuk
sel bakteri transforman yang membawa plasmid rekombinan. Koloni bakteri
transforman terlihat berupa koloni-koloni putih yang tumbuh pada media seleksi
yang mengandung antibiotik ampisilin, X-Gal, dan IPTG (Gambar 9). Koloni
bakteri dapat tumbuh pada media seleksi karena enzim β-lactamase yang
terkandung pada plasmid mampu mengubah ampisilin menjadi tidak beracun
sedangkan bakteri non transforman tidak menghasilkan koloni (Brown 2006).
Gambar 9 Koloni bakteri transforman yang berhasil tumbuh pada media seleksi.
Koloni mengandung plasmid rekombinan berwarna putih ( ),
sedangkan koloni mengandung plasmid non rekombinan berwarna
biru ( )
30
Koloni putih merupakan ciri dari koloni rekombinan yaitu sel bakteri
E.coli yang mengandung plasmid rekombinan. Gambar 9 memperlihatkan bahwa
koloni putih mendominasi jumlah koloni yang terbentuk pada media seleksi.
Selain koloni putih juga terdapat koloni berwarna biru, dengan jumlah sangat
sedikit. Koloni biru merupakan ciri dari koloni yang tidak mengandung plasmid
rekombinan. Plasmid secara normal dapat mensintesis β-galactosidase oleh gen
lacZ.
β-galactosidase akan mengubah X-gal yang ada pada media sehingga
menjadi molekul berwarna biru.
Plasmid rekombinan memecah gen lacZ
sehingga tidak dapat mensintesis β-galactosidase menyebabkan koloni berwarna
putih. Sistem ini disebut seleksi lac (Brown 2006). Plasmid rekombinan yang
dihasilkan dari koloni putih diperiksa keberadaannya dengan PCR menggunakan
primer universal M13 forward dan reverse. Hasil elektroforesis PCR koloni pada
agarose menghasilkan beberapa variasi ukuran amplikon (Gambar 10).
1
2
3
4
5
M
6
7
8
9
M
500 pb
850 pb
A
M 10
B
11
12
13
14 15 16 17 18 19 M
1000 pb
500 pb
C
D
Gambar 10 Profil elektroforesis PCR koloni hasil transformasi menggunakan
pasangan primer M13 (baris 1-19). M adalah Ladder. Koloni
transforman AAI amplikon panjang (A) dan pendek (B). Koloni
transforman TI amplikon panjang (C) dan pendek (D). Baris 2, 7, 11
dan 14 merupakan koloni yang dipilih (tanda ) untuk isolasi DNA
plasmid. 5 µL hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1%.
31
Beberapa koloni kemudian dipilih untuk diisolasi plasmidnya yaitu koloni
yang diperkirakan menghasilkan amplikon yang sesuai dengan ukuran insert hasil
amplifikasi PCR. Amplikon hasil PCR koloni mempunyai ukuran yang lebih
besar sekitar 200 pb dari ukuran amplikon hasil PCR DNA genomik sengon
menggunakan primer spesifik. Hal ini karena PCR koloni menggunakan primer
universal M13 yang komplemen pada daerah vektor pGEM-T Easy (Isda et al.
2008). Satu koloni dipilih untuk setiap gen (AAI dan TI) yaitu satu untuk mewakili
amplikon panjang dan satu untuk amplikon pendek. Plasmid yang terkandung
dalam koloni terseleksi tersebut kemudian diisolasi DNAnya, selanjutnya
dilakukan sekuensing (Gambar 11).
1
2
3
4
5
6
7 M
2000 pb
Gambar 11 DNA plasmid rekombinan hasil transformasi. Baris 1 dan 3 adalah
plasmid yang mengandung fragmen hasil PCR gen AAI amplikon
panjang sedangkan baris 2 dan 4 amplikon pendek. Baris 5 dan 6
adalah plasmid yang mengandung fragmen hasil PCR gen TI
amplikon panjang sedangkan baris 7 amplikon pendek. M adalah
ladder. 2 µL DNA plasmid dielektroforesis pada gel agarose 1%.
DNA plasmid rekombinan mempunyai ukuran yang bervariasi. Variasi ini
disebabkan oleh perbedaan ukuran DNA insert, karena plasmid yang digunakan
sama yaitu pGEM-T Easy.
Ukuran DNA plasmid rekombinan merupakan
gabungan antara DNA plasmid dan DNA insert dan seharusnya lebih besar dari
ukuran plasmid pGEM-T Easy, yang berukuran 3015 pb (Promega 2010).
Sekuensing DNA dan Analisis Homologi
Materi yang digunakan untuk sekuensing adalah DNA plasmid
rekombinan terseleksi yang mempunyai ukuran sesuai gen target. Sekuensing
dilakukan terhadap plasmid rekombinan yang mengandung fragmen DNA sengon
32
berukuran pendek maupun panjang. Hasil sekuensing nukleotida DNA plasmid
dari koloni terpilih untuk kedua DNA gen terklon dapat dilihat pada Lampiran 5
dan Lampiran 6. Hasil sekuensing terhadap fragmen DNA terklon yang
diamplifikasi dengan primer α-AI1 pada koloni terpilih masing-masing berukuran
693 pb untuk amplikon panjang dan 278 pb untuk amplikon pendek. Hasil
sekuensing terhadap fragmen DNA terklon yang diamplifikasi dengan primer
Astart/Astop pada koloni terpilih masing-masing berukuran 832 pb untuk amplikon
panjang dan 278 pb untuk amplikon pendek. Sekuen-sekuen ini kemudian
dilakukan analisis homologi menggunakan program BLASTN dan BLASTX pada
situs
ncbi;
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST.
Program
BLASTN
membandingkan sekuen nukleotida entri dengan sekuen nukleotida yang ada pada
bank gen sedangkan BLASTX membandingkan sekuen nukleotida entri dengan
sekuen protein yang ada pada bank gen. Hasil analisis BLAST tergambar dengan
adanya garis-garis berwarna. Garis-garis ini menggambarkan posisi pensejajaran
(alignment). Kode warna pada BLAST mengindikasikan kekerabatan berdasarkan
skor pensejajaran dan panjang tiap garis berhubungan dengan daerah mana sekuen
sejajar dengan sekuen target.
Garis warna merah menggambarkan tingkat
homologi paling bagus sedangkan garis warna hitam menunjukkan paling buruk.
Tingkat homologi juga dapat terlihat dari nilai skor bit dan E-value (expectation
value). Tingkat homologi yang paling bersesuaian dengan suatu sekuen adalah
pada daftar paling atas dan memiliki skor bits paling tinggi namun E-value rendah
(Hindley 1983; Claveri dan Notredame 2007).
Hasil BLASTN dengan entri sekuen fragmen DNA terklon yang
diamplifikasi dengan primer α-AI1 pada koloni terpilih yang berukuran 278 pb
tidak ditemukan sekuen yang homolog sedangkan hasil BLASTN untuk fragmen
693 pb seperti terlihat pada Gambar 12. Hasil BLASTN menunjukkan bahwa
fragmen DNA berukuran 693 pb tersebut homologi dengan gen resisten tahan
penyakit pada Arabidopsis thaliana. Tingkat homologi paling tinggi yaitu dengan
nomor aksesi CP002688.1 (Arabidopsis thaliana chromosome 5) dengan nilai
skor maks 56.5 dan E-value 2e-04. Analisis homologi menggunakan BLASTX
untuk kedua ukuran fragmen ini tidak menghasilkan daerah homolog dengan
sekuen protein yang ada pada bank gen.
33
Gambar 12 Hasil BLASTN dengan entri sekuen nukleotida fragmen 693 pb yang
diamplifikasi dengan primer α-AI1.
Sekuen nukleotida fragmen DNA yang diamplifikasi dengan primer
Astart/Astop pada koloni terpilih masing-masing berukuran 832 pb dan 278 pb.
Hasil BLASTN dengan entri sekuen fragmen 278 pb tidak ditemukan sekuen yang
homolog pada bank gen sedangkan hasil BLASTN untuk fragmen 832 pb seperti
terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Hasil BLASTN dengan entri sekuen nukleotida fragmen 832 pb yang
diamplifikasi dengan primer Astart/Astop.
34
Analisis homologi dengan BLASTN terhadap fragmen DNA berukuran
832 pb yang diamplifikasi dengan primer Astart/Astop lebih homolog dengan gen
Ganoderma sp dengan tingkat homologi paling tinggi terhadap nomor aksesi
HM138672.1 sedangkan jika dianalisis dengan BLASTX, sekuen tersebut lebih
homolog dengan hypothetical protein dengan nomor aksesi XP003027035.1
(Gambar 14). Lubec et al. (2005) menjelaskan bahwa hypothetical protein
diperkirakan merupakan suatu protein yang didefinisikan sebagai fraksi besar gen
dalam sekuen genom suatu organisme namun belum dikarakteristikan fungsinya.
Gambar 14 Hasil BLASTX dengan entri sekuen nukleotida fragmen 832 pb yang
diamplifikasi dengan primer Astart/Astop.
Berdasarkan hasil analisis homologi diketahui bahwa sekuen fragmen
DNA sengon yang teramplifikasi menggunakan pasangan primer α-AI1 pada
koloni terpilih bukan gen AAI. Begitupula yang terjadi dengan DNA sengon yang
teramplifikasi menggunakan pasangan primer Astart/Astop pada koloni terpilih
bukan gen TI.
Hasil ini diperoleh mungkin karena tidak semua koloni
35
transforman yang terbentuk dilakukan sekuensing sehingga masih memungkinkan
bahwa gen target berada pada koloni yang lain. Kemungkinan yang lain adalah
primer yang digunakan belum cocok untuk mengamplifikasi gen AAI maupun TI
dari sengon. Kedua primer yang digunakan merupakan primer yang digunakan
untuk amplifikasi gen AAI pada kopi transgenik dan gen TI pada Delonix regia.
Aminingsih (2005) melaporkan bahwa amplifikasi DNA kakao (Theobroma
cacao) dengan primer gen LEAFY dari Arabidopsis thaliana tidak menghasilkan
fragmen gen LEAFY namun memberikan hasil positif jika menggunakan primer
gen LEAFY dari Citrus sinensis. Hal ini menggambarkan bahwa gen LEAFY
kakao mempunyai homologi yang rendah dengan arabidopsis sedangkan dengan
Citrus sinensis mempunyai homologi yang tinggi, sehingga kalau menggunakan
primer yang templatenya dari Citrus sinensis kemungkinan mendapatkan gen
LEAFY dari kakao lebih besar.
Demikian pula pada tanaman sengon
membutuhkan primer yang berasal dari template yang sesuai, yaitu memiliki
homologi yang tinggi dengan gen AAI dan TI pada sengon. Kajian lebih lanjut
untuk kesesuaian primer dalam mengamplifikasi gen AAI dan gen TI pada sengon
perlu dilakukan.
Download