PERBANDINGAN KADAR SERUM PROGESTERON PADA WANITA HAMIL INPARTU DAN TIDAK INPARTU dr. Tjok G A Suwardewa, Sp.OG(K) BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH 2012 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pentingnya peran progesteron dalam mempertahankan kehamilan telah dapat diterima secara umum. Berbagai bukti menyatakan, pada plasenta manusia dan mamalia lain, progesteron memegang peranan penting dalam mempertahankan ketenangan uterus selama masa kehamilan. Pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak untuk mengaktivasi miometrium, menginisiasi persalinan dan terminasi kehamilan. Pada kebanyakan spesies mamalia, awal persalinan ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteron sirkulasi dan peningkatan konsentrasi estrogen. Namun, tidak seperti pada kebanyakan spesies lainnya, kadar progesteron sirkulasi tidak menurun pada manusia. Pada manusia kadar progesteron tetap tinggi selama persalinan, menimbulkan suatu paradox bagaimana inisiasi persalinan bisa terjadi. Kondisi ini membawa pada suatu pendapat bahwa terdapat suatu mekanisme aktif untuk menginduksi terjadinya pelucutan progesteron pada saat usia kehamilan mencapai aterm. Namun mekanisme apa yang menekan fungsi progesteron hingga persalinan dapat terjadi masih terselubung dan tidak pasti. Pada kebanyakan plasenta mamalia subprimata, pelucutan progesteron sebelum inisiasi persalinan di manifestasi oleh penurunan yang signifikan dari kadar progesteron di sirkulasi, yang disebabkan oleh luteolisis atau perubahan steroidogenesis plasenta, dimana hal ini menyebabkan diproduksinya estrogen. Namun peristiwa tersebut tidak terjadi pada kehamilan manusia. 1 Sejak Csapo mengumumkan teorinya tentang pelucutan progesteron pada tahun 1977, investigasi selanjutnya menemukan kesulitan dalam menyimpulkan adanya penurunan konsentrasi progesteron dalam hubungannya dengan persalinan manusia. Arpad Csapo menyatakan bahwa miometrium tikus dan kelinci hamil kebal terhadap oksitosin dan menyimpulkan bahwa uterus gravid berada dibawah pengaruh progesteron, dimana penyebaran aktivitas elektrik yang merangsang membran miosit ditekan atau dihapuskan. Lebih lanjut Csapo berargumentasi, bila progesteron sangat diperlukan untuk mempertahankan kehamilan maka pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak terjadinya terminasi kehamilan. Persoalan ini membingungkan para ahli biologi reproduksi selama beberapa dekade, karena kurangnya bukti tentang adanya pelucutan progesteron pada wanita yang akan melahirkan. Pada tahun 1994, Chaliss dan Lye menyatakan bahwa kadar progesteron plasma tetap tinggi dan baru menurun setelah plasenta dilahirkan. Bukti yang berlawanan ini telah menelurkan konsep “pelucutan progesterone fungsional”. Walau berbagai usaha telah dilakukan dan berbagai hipotesis telah diajukan untuk mengungkap pelucutan progesteron fungsional, mekanisme yang mendalam mengenai kunci proses persalinan manusia masih belum diketahui. Hipotesis bahwa penurunan respon miometrium terhadap progesteron memediasi terjadinya pelucutan progesteron fungsional. Represor endogen (miometrial) dari progesteron reseptor dapat menginduksi terjadinya pelucutan progesteron fungsional dan membawa pada terjadinya inisiasi persalinan. Respon progesteron membutuhkan ekspresi dan kompetensi fungsional dari reseptor 2 progesteron (PR). Untuk itu perubahan dari kadar dan fungsi reseptor progesteron dapat menjadi suatu langkah penting dalam mengungkap mekanisme terjadinya pelucutan progesteron fungsional. Kemungkinan ini telah menginspirasi peneliti hingga menghasilkan kesimpulan baru. Jadi pada persalinan tidak terjadi penurunan progesteron plasma tetapi penurunan terjadi secara fungsional dimana terjadi penurunan kadar progesteron reseptor (PR). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian sebagai berikut : Apakah kadar serum Progesteron wanita hamil inpartu lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak inpartu? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum : Mengetahui hubungan kadar serum progesteron dengan wanita hamil inpartu dan tidak inpartu. 1.3.2 Tujuan khusus : 1. Mengetahui kadar serum progesteron pada wanita hamil tidak inpartu. 2. Mengetahui kadar serum progesteron pada wanita hamil inpartu. 3. Mengetahui kadar penurunan serum progesteron pada wanita hamil inpartu. 3 1.4 Manfaat Penelitian : 1.4.1 Manfaat akademik Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai kadar progesteron pada kehamilan dan hubungannya dengan kehamilan inpartu dan tidak inpartu sehingga mendapatkan kesimpulan yang dapat dipakai untuk penelitian lebih lanjut. 1.4.2 Manfaat bagi pelayanan Sebagai data dasar untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai peranan progesteron pada kehamilan dan persalinan dalam upaya mempertahankan kehamilan dan mencegah terjadinya persalinan preterm. 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Progesteron & Progesteron Reseptor Sesuai dengan namanya, progesteron merupakan hormon pro-gestasional yang menyokong dan mempertahankan kehamilan. Progesteron dikatakan sebagai hormon kehamilan karena esensial dalam mempertahankan kehamilan pada semua mamalia. Gangguan pada sintesis atau aksi progesteron selama masa persalinan dapat menginduksi terjadinya abortus. Gambar 2.1 Rumus bangun progesteron & metabolitnya (Dikutip dari Sperof 7thed) 5 Progesteron menekan respon cell-mediated T-Lymphocyte yang berperan pada penolakan jaringan dan memberikan kontribusi dalam pencegahan penolakan konsepsi olah sistem imun ibu. Konsentrasi progesteron lokal (intrauterin) yang tinggi efektif menghalangi respon imun selular ibu terhadap antigen asing. Aksi progesteron dimediasi oleh jalur genomik dan nongenomik. Efek genomik progesteron dimediasi oleh nuklear progestron reseptor klasik ( nPR) yang berfungsi sebagai faktor transkripsi. Gen nPR manusia menyandikan dua produk utama, PRA dan PRB, yang diatur oleh penyelenggara yang berbeda. Tiap nPR merupakan anggota dari superfamili nuklear reseptor. Aksi nongenomik progesteron dimediasi oleh interaksinya dengan PR membrane-bound (mPR) yang secara fungsional berikatan dengan jalur transduksi sinyal intraselular. Beberapa mPR spesifik telah berhasil diidentifikasi, tetapi perannya sebagai mediator aksi progesteron selama masa kehamilan masih belum pasti. Fungsi utama progesteron selama kehamilan adalah untuk mempromosikan relaksasi dan ketenangan uterus. Progesteron merelaksasi miometrium pada kehamilan secara genomik dengan menekan ekspresi gen yang menyandikan protein asosiasi-kontraksi dan dengan menghalangi aksi estrogen pada miometrium hamil. Induksi persalinan dan kelahiran oleh antagonis nPR spesifik seperti RU486 merefleksikan pentingnya aksi nPR-mediated progesteron dalam mempertahankan kehamilan dan khususnya relaksasi miometrium. Penelitian menunjukkan efek progesteron mencegah kontraksi yang di induksi oleh oksitosin dan proses eksitasi kontraksi. Penelitian secara in vitro pada 6 miometrium manusia menyimpulkan bahwa progesteron dan metabolit progesteron memberikan efek relaksasi. Pada akhirnya penelitian tersebut mendemonstrasikan bahwa progesteron mempunyai efek nongenomik pada kontraktilitas miometrium. Progesteron menghambat kontraktilitas pada bagian basal yang diinduksi oleh uterotonin dengan menekan kadar kalsium bebas intraselular dan meningkatkan cAMP intraselular. Hal ini penting untuk mempertahankan relaksasi karena peningkatan kalsium menginduksi kontraksi, dan peningkatan cAMP menenangkan uterus.Mekanisme molekular yang memediasi efek nongenomik progesteron pada kontraktilitas uterus masih belum jelas dan masih kontroversial. Progesteron dapat menggunakan efek ini dengan interaksi dengan mPR spesifik atau reseptor lain seperti reseptor oksitosin dan reseptor GABAA. Aksi nongenomik dan genomik progesteron bekerja sama untuk mempromosikan kondisi relaksasi bagi miometrium. Aksi genomik progesteron menghasilkan ketenangan fenotip jangka panjang ( seperti dengan menekan ekspresi gen CAP ) dan aksi nongenomik progesteron mencegah gangguan tibatiba pada status relaksasi miometrium dengan secara langsung menghambat Ca2+ atau peningkatan cAMP. 2.2 Struktur dan Sifat Fungsional Progesteron Reseptor Progesteron reseptor ( PR ) merupakan faktor transkripsi ligan-aktivasi yang termasuk dalam keluarga besar reseptor nuklear yang meliputi reseptor sebagai berikut: 1. Hormon steroid ( estrogen, progesteron, glukokortikoid, androgen dan mineralokortikoid; 2. Hormon lipofilik lain dan ligan-ligan ( 7 hormon tiroid, asam retinoik, 9-cis retinoik, vitamin D3, eikosaniod, asam lemak, lipid; dan 3. Reseptor lain yang dengan ligan yang tidak dikenali. Sebagai anggota keluarga reseptor nuklir, PR berisi tiga fungsional domain yang telah ditentukan, termasuk N terminus, DNA domain terlokasi di pusat ( DBD ) dan ligan Cterminal pengikat domain ( LBD ) Manusia memiliki dua isoform PR, yaitu PRA dan PRB, masing-masing 94 kDa dan 120 kDa. Kedua isoform diekspresikan dari gen tunggal oleh penggunaan promotor yang berbeda. Perbedaan PRA dari PRB adalah kurangnya 164 asam amino pada N-terminus. Walaupun kedua bentuk PR memiliki hormon steroid dan aktivitas mengikat DNA yang sama, mereka memiliki aktivitas fungsional yang berbeda. In vitro, eksperimen kultur sel menunjukkan aktivitas transkripsional dari kedua isoform PR bervariasi tergantung pada tipe sel dan konteks dari promotor gen target. Secara umum PRB merupakan aktivator yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan PRA. Namun PRA dapat menjadi aktivator yang kuat dibawah sel dan konteks gen target spesifik. Potensial aktivasi yang lebih kuat dari PRB ini disebabkan oleh adanya bagian domain aktivasi ketiga ( AF-3 ) dimana letak keunikan dari PRB adalah pada 164 asam amino pertama pada N terminal. Dibawah sel dan konteks target promotor tertentu PRA tidak aktif sebagai faktor transkripsi dan dapat berfungsi sebagai represor transdominan ligan-dependent dari reseptor steroid lain termasuk PRB, reseptor estrogen ( ER ), reseptor androgen ( AR ), reseptor mineralokortikoid. Progesteron reseptor tipe A ( PRA ) dapat beraksi sebagai represor sebagai respon untuk mengikat agonis atau antagonis progestin. 8 Gambar 2.2 Organisasi domain isoform PRA dan PRB manusia ( dikutip dari Mechanism Of Action Of Progesterone Antagonists, Society For Experimental Biology And Medicine 2002) 2.3 Ekspresi Nuklear Progesteron Reseptor Progesteron reseptor ( PR ) klasik yang telah digolongkan merupakan anggota dari superfamili reseptor nuklear. Protein ini berfungsi sebagai faktor transkripsi saat berikatan dengan progesteron atau gestagen lainnya. Progesteron reseptor ( PR ) yang diduduki akan teraktivasi, dimerisasi dan translokasi ke nukleus, dimana mereka berikatan dengan barisan motif spesifik pada daerah promoter dari gen responsif progesteron. Terdapat dua bentuk utama dari nuklear PR, PRA dan PRB. Dua bentuk reseptor ini berasal dari gen yang sama. Aktivitas kedua PR ini dipengaruhi oleh sel dan konteks promotor. Progesteron reseptor tipe A ( PRA ) memiliki struktur seperti PRB berakhiran N dan mempunyai aktivitas yang secara umum lebih lemah dan juga dapat bertindak sebagai transrepresor dari PRB dan reseptor steroid lainnya. Respon target jaringan terhadap progesteron berbeda-beda bergantung bukan hanya kadar, tetapi juga rasio dari 9 isoform PR. Dua isoform PR diekspresikan di miometrium manusia dan PRA merupakan transrepresor yang lebih dominan dibandingkan PRB pada sel miometrium. Peningkatan rasio PRA/PRB telah diimplikasikan pada pelucutan progesteron fungsional pada rhesus kera, dimana rasio protein PRA/PRB meningkat pada miometrium setelah persalinan. Mesiano et al juga menunjukkan bahwa, kadar messenger RNA (mRNA) PRA dan PRB dan rasio mRNA PRA/PRB meningkat pada miometrium manusia yang sedang dalam proses bersalin. Investigasi ini juga menunjukkan bahwa peningkatan rasio mRNA PRA/PRB pada miometrium wanita hamil aterm berkoordinasi dengan ekspresi ERα. Yang kemudian meningkatkan ekspresi CAP. Untuk itu pelucutan progesteron fungsional karena perubahan ekspresi rasio PR, membawa kepada aktivasi estrogen fungsional yang merangsang kontraksi miometrium pada saat persalinan. Condon et al menemukan bahwa kadar protein PRB meningkat pada nukleus miometrium di fundus tapi tidak meningkat pada miometrium di segmen bawah. Protein PRA tidak terdeteksi pada fraksi nuklear manapun sebelum dan pada saat persalinan dan level mRNA PRA rendah dan tidak berubah pada kedua segmen. Lebih jauh lagi mereka menemukan isoform PR yang ketiga yaitu PRC pada miometrium manusia. Progesteron reseptor tipe C ( PRC ) merupakan bentuk lain dari PRB dengan segmen terminal N yang lebih pendek dibanding PRA, PRC mengikat hormon tetapi tidak dapat berikatan dengan DNA karena dia tidak memiliki domain PR pengikat DNA. Protein PRC terdapat pada fraksi sitoplasma dan tidak ditemukan pada fundus miometrium dan jumlahnya meningkat pada 10 persalinan. Kadar mRNA PRC juga meningkat pada fundus saat proses persalinan. Pada segmen bawah miometrium tidak ditemukan protein PRC. Banyaknya protein ini menyulitkan pengamatan bagaimana perubahan ekspresi isoform PR dapat menyebabkan pelucutan progesteron fungsional pada miometrium manusia. Penting untuk diketahui inhibitor protein PRA tidak ditemukan pada otot uterus manusia. Pada nukleus miometrium manusia, dimana aksi PR berlangsung, tidak didapatkan PRC walaupun bentuk reseptor ini menduduki sinyal lokalisasi nuklear. Primer PCR yang digunakan Mesiano dkk untuk mendeteksi mRNA PRA tumpang tindih dengan barisan mRNA PRC, untuk itu peningkatan mRNA PRA berlimpah dan rasio mRNA PRA/PRB berkoresponden dengan perubahan yag sama pada mRNA PRC. Aksi PRB ditekan oleh PRC sehingga dapat disimpulkan ada isoform PR inhibitor pada miometrium manusia. Pada kasus ini penekanan berupa mekanisme tidak langsung, seperti pada barisan koaktivator PRB sitoplasma. Sampai sejauh ini belum ada yang dapat membuktikan mekanisme ini. Membran fetal ( amnion dan korion ) dan desidua merupakan jaringan gestasi yang merupakan target potensial progesteron dan merupakan subyek pelucutan progesteron fungsional. Dari hasil eksplorasi, membran fetal tidak mengekspresikan PR, hanya desidua yang mengandung PR protein. Beberapa penelitian telah menyatakan adanya ekspresi PR pada desidua dan terlokalisasinya PRA, PRB dan PRC di nukleus desidua. Henderson dan Wilson menemukan bahwa kemampuan PR desidua untuk mengikat oligonukleotida membawa sebuah konsensus bahwa respons progesteron menurun secara bermakna pada ekstrak 11 nuklear desidua setelah persalinan, dibandingkan pada desidua sebelum persalinan. Observasi ini mendukung pernyataan bahwa hilangnya aktivitas PR merupakan suatu mekanisme yang akan menyebabkan terjadinya pelucutan progesteron fungsional pada jaringan. Jumlah PRA, PRB dan PRC pada ekstrak nuklear desidua akan menurun setelah persalinan. Ekspresi PR pada membran fetus telah diteliti baru-baru ini. Oh dkk mendeteksi adanya PRA dan PRB pada amnion manusia dengan peningkatan rasio PRA/PRB setelah persalinan. Mereka juga menemukan pola ekspresi yang sama pada korion desidua. Taylor dkk melaporkan adanya PRC tetapi tidak ditemukannya PRA dan PRB pada membran amnion dan korion. Goldman dkk mengajukan bahwa PRA, PRB dan PRC ada pada ekstrak nuklear amnion dengan penurunan kadar PRA setelah persalinan. Penelitian terakhir menemukan tidak adanya tanda imunobloting PR pada korion. Hasil yang berbeda dari berbagai laboratorium ini menunjukkan bahwa desidua merupakan target progesteron dan penurunan fungsi dan ekspresi PR memberikan kontribusi terjadinya pelucutan progesteron fungsional pada jaringan ini. Perbedaan hasil mengenai ekspresi PR , distribusi isoform dan lokalisasinya pada membran fetal yang tidak konsisten dan menimbulkan konflik mungkin disebabkan masalah teknik seperti jumlah yang sedikit, ektraksi yang tidak efisien, atau terjadinya degradasi protein reseptor selama proses analisis. Peranan reseptor nuklear dalam mengontrol fungsi membran fetal oleh progesteron masih dipertanyakan. 12 2.4 Regulasi Ekspresi Nuklear Progesteron Reseptor Bahwa perubahan kadar PR mempengaruhi umur kehamilan manusia merupakan suatu titik penting pada penelitian tentang regulasi ekspresi PR. Progesteron mengatur sendiri kadar reseptornya dengan cara memblok efek stimulasi estrogen. Menurut Graham dan Clarke efek steroid ini telah di observasi pada uterus, walaupun inhibisi progesteron hanya terbatas pada sel-sel tertentu. Pada kehamilan aterm, estrogen dan progesteron tidak memainkan peran penting dalam perubahan ekspresi PR karena kadarnya tidak berubah secara bermakna sebelum persalinan. Pengaturan tonus mungkin terjadi, sebagai contoh konsentrasi progesteron sirkulasi yang meningkat menekan kadar PR miometrium wanita hamil dibanding pada wanita yang tidak hamil, berdasarkan data dari Graham dan Clarke. Lebih jauh lagi progesteron dan estrogen dapat berinteraksi pada kadar reseptor saat aterm bila ekspresi isoform PR inhibitor di rangsang oleh mekanisme steroid independen. Ini membebaskan blokade progesteron dari ekspresi ERα yang kemudian akan meningkatkan kadar PR termasuk PRA dan mungkin PRC. Terdapat bukti bahwa kadar isoform PR diatur secara berbeda oleh beberapa agonis dan jalur pengatur pada sel uterus. Madsen dkk melaporkan pada sel miometrium wanita hamil konsentrasi PGF2α beberapa subnanomolar dapat menginduksi ekspresi mRNA PRA tetapi tidak menginduksi ekspresi mRNA PRB. Pada sel miometrium wanita hamil konsentrasi PGE2 sebesar 0,01-0,1 nmol/L dapat meningkatkan rasio mRNA PRA/PRB. Pada sel tersebut telah diperlihatkan PGF2α juga mengurangi kadar protein PRB dan PRA pada fraksi nuklear pada desidua manusia. Penemuan ini berpotensi penting karena PGE2 dan 13 Gambar 2.3 Skema mekanisme kontrol respon progesteron pada miometrium wanita hamil (Dikutip dari Progesterone Withdrawal: Key to Parturition, Am J Obstet Gynecol 2007) 14 PGF2α memegang peranan penting pada terjadinya mekanisme persalinan dan peran sertanya yang mengakibatkan terjadinya pelucutan progesteron fungsional dapat diterima. Pada sel miometrium wanita hamil, terapi phorbol ester meningkatkan kadar mRNA PRA dan rasio mRNA PRA/PRB, hal ini menunjukkan bahwa protein kinase C berperan dalam regulasi selektif PRA pada miometrium wanita hamil. Sebaliknya cAMP (Cyclic Adenosine Monophosphate) mengatur kadar mRNA PRA dan PRB tanpa merubah rasio ekspresi. Pada sel miometrium, interleukin-1 sitokin proinflamatori meningkatkan kadar nuklear dari protein PRB dan NFkB ( Nuclear Factor kappa B ) subunit 65. Peningkatan ikatan p65 dengan promotor PR telah didemonstrasikan pada sel interleukin-1 yaitu dengan adanya imunopresipitasi kromatin, yang menunjukkan bahwa aktivasi jalur proinflamatori dapat merangsang ekspresi PRB. Aksi tersebut secara in vivo dapat mewakilkan suatu mekanisme yang mempertahankan kehamilan pada kasus-kasus peradangan intrauteri dimana respon peradangan tidak menyebabkan terjadinya persalinan. 2.5 Pelucutan Progesteron Fungsional Pada Binatang Fang dkk melakukan pengukuran PRB dan konsentrasi total mRNA PR ( PRA+PRB+PRC ) pada tikus. Mereka menemukan peningkatan kadar mRNA PR total, kadar mRNA PRB yang tetap pada uterus aterm dan menghitung adanya peningkatan yang nyata pada rasio MRNA PRA/PRB satu hari sebelum persalinan. Kadar protein PR, pada miometrium tikus dilaporkan menurun 1-2 hari sebelum persalinan bersamaan dengan meningkatnya polipirimidin tract15 binding protein binding factor. Pada uterus murine, Condon dkk mengukur peningkatan konsentrasi mRNA PRA, PRB, dan PR dan peningkatan kadar nuklear protein PRA, PRB dan PRC menuju aterm. dan faktor ini terdeteksi menurun jauh saat persalinan. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa isoform PR dan ekspresi koregulator berubah pada uterus tikus yang menyebabkan terjadinya penurunan respon terhadap progesteron saat aterm. Terbukti penurunan ini tidak cukup untuk memicu terjadinya persalinan normal, dimana membutuhkan terjadinya pelucutan progesteron sistemik pada kedua spesies tersebut. Onset persalinan pada hampir semua spesies diawali oleh penurunan yang dramatis dari kadar progesteron maternal dan peningkatan estradiol maternal. Pada manusia pelucutan progesteron dan aktivasi estrogen tidak dimediasi oleh perubahan kadar progesteron dan estrogen dalam sirkulasi, dimana kadarnya tinggi selama kehamilan dan tetap tinggi selama proses persalinan dan kelahiran. Untuk menjelaskan misteri ini diajukan bahwa pelucutan progesteron dan aktivasi estrogen pada persalinan manusia dimediasi oleh perubahan fungsional pada respon miometrium terhadap progesteron dan estrogen. 2.6 Pelucutan Progesteron Fungsional Respon miometrium terhadap progesteron secara primer ditentukan oleh tingkat dan aktivitas dari nPR dan koregulatornya. Progesteron reseptor tipe B ( PRB ) merupakan modulator transkripsional gen responsif progesteron. Aksi progesteron sebagai penenang diduga dimediasi oleh PRB. Kedua PR mempunyai afinitas yang sama untuk mengikat progesteron, PRA menekan aktivitas 16 transkripsional yang dimediasi oleh PRB. Kedua PR membentuk dual sistem dalam mengontrol aksi progesteron melalui mediasi target sel, dimana PRB memediasi dan PRA menekan respon terhadap progesteron. Tingkatan dimana penekanan PRA terhadap respon progesteron tergantung pada kelimpahan relatif PRB. ( contoh, ekspresi rasio PRA/PRB ). Untuk itu respon progesteron genomik ditentukan oleh rasio PRA/PRB. Observasi ini secara umum membawa kepada hipotesis bahwa pelucutan progesteron pada persalinan manusia dimediasi oleh peningkatan rasio PRA/PRB di miometrium dan bahwa PRA menekan aksi relaksasi progesteron yg dimediasi oleh PRB. Konsisten dengan hipotesis ini, beberapa penelitian telah menemukan bahwa PRA menekan aktivitas transkripsional PRB pada sel miometrium dan bahwa onset persalinan dihubungkan dengan peningkatan yang nyata dari ekspresi PRA di miometrium dan peningkatan ekspresi rasio PRA/PRB. Pelucutan progesteron fungsional juga dimediasi oleh interaksi PRB dengan target DNA yang terhambat. Penelitian menunjukkan bahwa awal proses persalinan disebabkan perubahan kompleks transkripsional nPR yang menyebabkan penurunan asosiasi DNA. Pada miometrium, persalinan terjadi karena penurunan spesifik nPR koaktivator, terutama respons cAMP binding protein dan reseptor steroid koaktivator -2 dan -3. Reduksi koaktivator menyebabkan penurunan histon asetilasi yang secara efektif menyebabkan terjadinya penutupan kromatin disekitar elemen respon progesteron, hal ini menyebabkan tidak ada akses untuk kompleks transkripsional nPR. Skenario ini 17 menjelaskan penurunan nPR binding pada respon elemen nuclear pada sel desidua. Sebagai variasi, Dong dan kolega mengidentifikasi protein yang dikenal sebagai polypirimidine tract-binding protein (PTB) yang secara spesifik menghambat transaktivasi nPR dan meningkat pada miometrium tikus aterm. Mereka mengajukan bahwa faktor ini memberi kontribusi pada pelucutan progesteron fungsional dengan beraksi sebagai korepresor nPR. 2.7 Aktivasi Estrogen Fungsional Pada manusia dikenal dua macam reseptor estrogen, yaitu ERα dan ERβ. Peningkatan ERα pada miometrium aterm manusia berasosiasi dengan awal proses persalinan, dimana ERβ sangat rendah dan tidak dipengaruhi oleh awal persalinan. Peningkatan ekspresi ERα berasosiasi langsung dengan ekspresi Cx43, Gambar 2.4 Rumus bangun estrogen & metabolitnya ( Dikutip dari Sperof 7th ed ) 18 suatu gen kunci respon estrogen CAP. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi ERα pada persalinan meningkatkan respon miometrium terhadap estrogen pada sistem sirkulasi. 2.8 Koordinasi Pelucutan Progesteron & Aktivasi Estrogen Fungsional. Penelitian pada beberapa spesies telah menunjukkan interaksi fungsional antara ER dan PR sistem seperti bahwa progesteron menurunkan respon uterin terhadap estrogen dengan menurunkan ekspresi ER dan estrogen meningkatkan respon uterin terhadap progesteron dengan meningkatkan ekspresi PR. Interaksi ini telah diatur untuk menjamin terjadinya hasil fisiologis yang sesuai walaupun kadar hormon dalam sirkulasi bervariasi. Sebagai contoh, selama siklus menstruasi, autoregulasi respon terhadap estrogen dan progesteron menjamin lingkungan intrauterin yang kondusif untuk implantasi dan survival embrio walaupun kadar estrogen dan progesteron bervariasi tajam sepanjang siklus. Begitu pula selama kehamilan, miometrium terpapar dengan kadar estrogen dan progesteron yang meningkat dan bervariasi namun hasilnya tetap konsisten. Kadar ERα pada miometrium aterm manusia yang tenang berkorelasi positif dengan ekspresi rasio PRA dan PRB. Penemuan mengungkapkan bahwa saat respon miometrium terhadap progesteron menurun karena peningkatan PRA maka ERα meningkat. Selama masa kehamilan manusia, progesteron menurunkan respon estrogen dengan menghambat ekspresi ERα miometrium. Hal ini menjelaskan mengapa miometrium kebal terhadap rangsangan estrogen pada hampir sepanjang 19 masa kehamilan. Pada awal kaskade persalinan ekspresi PRA miometrium meningkat, menyebabkan terjadinya penurunan respons terhadap progesteron karena represi aktivitas PRB transkripsional. Inhibisi bertahap aksi progesteron yang dimediasi oleh PRB menghilangkan hambatan terhadap ekspresi ERα, dimana hal ini mengakibatkan estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi gen CAP dan mengubah uterus menjadi kontraktil. Selama masa kehamilan manusia, progesteron bukan hanya menekan ekspresi gen CAP yang secara langsung berperan pada terjadinya kontraksi miometrium namun juga menghilangkan respon miometrium terhadap rangsangan estrogen. Gambar 2.5 Peranan sistem ER dan PR miometrium pada regulasi kehamilan & persalinan manusia ( Dikutip dari Mechanism Of Action Of Progesterone Antagonists, Society For Experimental Biology And Medicine 2002) 20 Pada sistem ini aksi hormonal secara prinsip di kontrol oleh respon target sel, keberadaan hormon dalam sirkulasi dibutuhkan tersedia di atas nilai minimal, namun kadarnya tidak penting. Paradigma ini menjelaskan mengapa inhibisi pada progesteron saja tidak cukup untuk menginisiasi kaskade persalinan secara penuh. Sebagai tambahan, penekanan terhadap respon estrogen oleh progesteron dapat menjelaskan mengapa persalinan tidak diinisiasi saat prematur walaupun kadar estrogen meningkat di atas normal. 2.9 Kontrol Pelucutan Progesteron Paradigma umum mengenai kontrol fisiologis dari waktu kelahiran manusia adalah multipel dan berlimpahnya sinyal-sinyal hormonal yang menginisiasi persalinan untuk menginduksi pelucutan progesteron fungsional. Penelitian pada sel miometrium manusia menunjukkan bahwa PGF2α merangsang ekspresi PRA dan meningkatkan ekspresi rasio PRA/PRB. Penemuan ini memberi kesan bahwa pelucutan progesteron fungsional pada persalinan manusia diinduksi oleh PGF2α. Pada wanita pemberian PGF2α menginduksi persalinan dan kelahiran pada semua tingkat kehamilan. Saat diberikan pada wanita dalam fase labor aktif ( fase 2 ) potensi dan aksi uterotoniknya sangat instan. Dibandingkan dengan pemberian pada uterus yang tenang ( fase 0 ) aksinya baru tampak setelah masa laten 15 sampai 20 jam. Ini mewakilkan waktu yang dibutuhkan oleh miometrium untuk masuk ke status kontraktil dan mengindikasikan bahwa PGF2α memiliki uterotrofik seperti aksi uterotonik. 21 Induksi fase 1 oleh hormon yang berperan serta pada fase 2 memberi kesan adanya lingkaran timbal balik positif hormonal pada proses persalinan manusia. Kaskade hormonalnya adalah sebagai berikut: 1. Progesteron mempertahankan relaksasi miometrium melalui PRs spesifik 2. Pelucutan Progesteron fungsional dimediasi oleh peningkatan Ekspresi PRA 3. Pelucutan Progesteron fungsional menginduksi aktivasi estrogen fungsional dengan peningkatan ekspresi ERα miometrium 4. Estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi CAP miometrium dan uterotonin 5. Beberapa faktor menginduksi Pelucutan Progesteron fungsional dengan meningkatkan ekspresi PRA. Persalinan normal aterm diasosiasikan dengan dan mungkin didahului oleh peningkatan produksi PG oleh membran fetus dan desidua. Yang penting disini, persalinan abnormal dapat juga disertai proses yang sama dan interaksi ini mendasari infeksi/persalinan preterm yang berasosiasi dengan reaksi inflamasi. Sebagai contoh, miometrium yang berada pada proses persalinan mengandung banyak infiltrasi limfosit yang dapat memproduksi PGF2α dan sitokin inflamasi lain yang menyebabkan terjadinya pelucutan progesteron fungsional dan menginisiasi kaskade persalinan. 22 Gambar 2.6 Model teoritis bagaimana bermacam input fisiologis menginisiasi kaskade persalinan manusia dengan menginduksi pelucutan progesteron fungsional pada miometrium ( Dikutip dari Yen and Jaffe’s Reproductive Endocrinology Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management 6th ed, 2009) Model ini memprediksi bahwa sitokin pro-inflamator yang diproduksi secara lokal sebagai bagian dari respons inflamasi pada jaringan gestasi menginisiasi persalinan dangan menginduksi pelucutan progesteron fungsional pada miometrium. Beberapa persalinan preterm diasosiasikan dengan infeksi traktus genitalia dan bakterial vaginosis. Rangsangan inflamasi pada miometrium 23 dapat juga disebabkan oleh penyakit periodontal. Pada resus monyet, aktivasi sistem inflamasi mendahului awal persalinan dan penelitian pada tikus menunjukkan bahwa sitokin interleukin 1 ( IL-1) menginisiasi terjadinya persalinan preterm. Data-data tersebut mendukung konsep bahwa sistem imunitas maternal merupakan suatu kunci yang dapat memicu terjadinya inisiasi persalinan pada manusia. Adalah mungkin bahwa stres pada fetus dapat menginisiasi persalinan melalui mekanisme yang sama. Peregangan uterus juga telah diusulkan sebagai tanda untuk menginduksi persalinan. Mekanisme tersebut dapat menjamin agar fetus tidak tumbuh lebih besar dari bukaan pelvis. Secara umum umur kehamilan lebih pendek pada kehamilan kembar, kemungkinan disebabkan oleh peningkatan peregangan pada dinding uterus. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa distensi pada uterus tidak hamil menginduksi perubahan ekspresi gen CAP sama dengan yang terjadi pada uterus hamil. Dan bahwa progestron menghambat ekspresi gen CAP yang diinduksi oleh peregangan. Efek stimulasi peregangan pada ekspresi gen CAP juga dapat diobservasi pada sel miometrium manusia. Data-data ini menunjukkan bahwa peregangan miometrium memberikan kontribusi pada proses persalinan. Tanda-tanda fisiologis multipel bergabung pada miometrium hamil untuk menginduksi pelucutan progesteron fungsional baik secara langsung maupun tidak langsung. Induksi pelucutan progesteron fungsional merupakan langkah integratif yang sangat penting pada kontrol hormonal dari persalinan manusia. 24 Peranan progesteron dalam mempertahankan kehamilan telah diakui secara umum. Bukti-bukti menyatakan bahwa progesteron memegang peranan penting selama kahamilan, dari saat implantasi hingga proses terjadinya persalinan. Pada proses implantasi progesteron menekan respon T-limfosit agar tidak terjadi penolakan jaringan terhadap hasil konsepsi. Selama kehamilan progesteron mempertahankan ketenangan dan relaksasi miometrium sehingga menciptakan suasana kondusif untuk pertumbuhan hasil konsepsi. Dan pada akhir kehamilan pelucutan progesteron menyebabkan terjadinya konversi dari miometrium sehingga miometrium yang tenang dan kebal menjadi miometrium yang reaktif dan kontraktil sehingga terjadilah pengeluaran hasil konsepsi. Pelucutan progesteron merupakan syarat mutlak untuk mengaktivasi miometrium sehingga kehamilan di terminasi dan persalinan terjadi. Pada kebanyakan spesies mamalia, awal persalinan ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteron sirkulasi dan peningkatan konsentrasi estrogen. Namun pada manusia kadar progesteron sirkulasi tetap tinggi selama persalinan. Hal ini membingungkan para ahli biologi selama beberapa dekade, hingga akhirnya menelurkan konsep adanya pelucutan progesteron fungsional pada proses persalinan manusia. Respon miometrium terhadap progesteron ditentukan oleh tingkat dan aktifitas dari reseptor progesteron (PR) dan koregulatornya. PR manusia terdiri dari dua isoform mayor, yaitu PRA dan PRB. Kedua bentuk PR ini memiliki hormon steroid dan afinitas yang sama untuk mengikat DNA namun mereka memiliki aktivitas yang berbeda. Aksi progesteron sebagai penenang diduga 25 dimediasi oleh PRB. PRA memiliki afinitas yang sama untuk mengikat progesteron namun PRA menekan aktivitas transkripsional yang dimediasi oleh PRB. PRA dan PRB membentuk dual sistem dalam mengontrol aksi progesteron melalui mediasi target sel, dimana PRB memediasi dan PRA menekan respon terhadap progesteron. Tingkatan dimana penekanan PRA terhadap respon progesteron tergantung pada kelimpahan relatif PRB. Disimpulkan bahwa pelucutan progesteron pada persalinan manusia dimediasi oleh peningkatan rasio PRA/PRB di miometrium. Pelucutan progesteron fungsional juga dimediasi oleh interaksi PRB dengan target DNA yang terhambat. Selain daripada itu juga terdapat peran berbagai faktor yang meningkatkan/menghambat kerja PR. Pelucutan progesteron fungsional dimediasi oleh peningkatan ekspresi PRA kemudian pelucutan progesteron fungsional mengaktivasi estrogen fungsional dengan peningkatan ekspresi ERα miometrium. Aktivasi estrogen fungsional bersama-sama dengan estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi CAP miometrium dan uterotonin sehingga uterus berada dalam fenotip kontraktil yang akan membawa kepada proses persalinan. Sebagai kesimpulan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa korepresor PR, seperti aktivator PR, mengatur aktivitas PR dengan suatu cara agar dapat terjadi penurunan respon progesteron pada miometrium aterm. Penelitian lebih lanjut akan membawa penemuan baru pada bidang endokrinologi molekular yang rumit ini. 26 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Pentingnya peran progesteron dalam mempertahankan kehamilan telah dapat diterima secara umum. Gangguan pada sintesis atau aksi progesteron selama masa kehamilan dapat menginduksi terjadinya abortus. Csapo berargumentasi, bila progesteron sangat diperlukan untuk mempertahankan kehamilan maka pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak terjadinya terminasi kehamilan. Sejak Csapo mengumumkan teorinya tentang pelucutan progesteron pada tahun 1977, investigasi selanjutnya menemukan kesulitan dalam menyimpulkan adanya penurunan konsentrasi progesteron dalam hubungannya dengan persalinan manusia. Namun, tidak seperti pada kebanyakan spesies lainnya, kadar progesteron sirkulasi tidak menurun pada manusia. Pada manusia kadar progesteron tetap tinggi selama persalinan, menimbulkan suatu paradox bagaimana inisiasi persalinan bisa terjadi. Pada penelitian ini penulis hendak mengukur kadar serum progesteron wanita hamil inpartu untuk mengetahui berapa kadar serum progesteron pada wanita hamil inpartu dan apakah terdapat perubahan pada kadar serum progesteron pada wanita hamil inpartu dibandingkan pada wanita hamil tidak inpartu. 27 3.2 Konsep Penelitian Hamil > 28 mg Progesteron Withdrawal Progesteron Uterus Tenang Inpartu Uterus Kontraksi Variabel Penelitian Gambar 3.1 Skema Konsep Penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian Kadar serum Progesteron wanita hamil inpartu lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak inpartu. 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional analitik, secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut : Tinggi Inpartu Populasi Sampel Kadar Serum Progesteron Rendah Consecutive sampling Tinggi Tidak Inpartu F2IsoPs Kadar Serum Progesteron Rendah Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Bersalin IRD Kebidanan dan Poli Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Namun untuk pemeriksaan kadar serum Progesteron akan dilakukan di Laboratorium Klinik RSUP Sanglah Denpasar. 4.2.2 Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan Bulan Januari 2011 sampai jumlah sampel tercapai. 29 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi target Ibu hamil inpartu dan tidak inpartu pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu. 4.3.2 Populasi terjangkau Ibu hamil inpartu dan tidak inpartu pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu, yang memeriksakan diri di Poli Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan atau melahirkan di kamar bersalin IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2011 sampai dengan jumlah sampel tercapai. 4.3.3 Sampel eligibel Diambil dari populasi terjangkau diatas yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.4 Kriteria eligibilitas Untuk kriteria eligibilitas, terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.4.1 Kriteria inklusi a. Ibu hamil yang memeriksakan diri di Poli Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan atau melahirkan di kamar bersalin IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar, dengan usia kehamilan lebih dari 28 minggu. b. Bersedia ikut penelitian 30 4.3.4.2 Kriteria eksklusi a. Ibu dengan kehamilan kembar b. Diketahui adanya cacat kongenital pada janin c. Kehamilan mola hidatidosa d. Kehamilan IUFD 4.3.5 Penghitungan besar sampel Untuk menentukan besar sampel minimal berdasarkan rumus Pocock : n = 2 2 x f(α β) 2 (2-1) Keterangan: 1. n : besar sampel penelitian 2. f(α β) : 10,5 (untuk α = 0,05 dan β = 0,1) 3. 4. 2-1 : 11,5 (Selisih rerata kedua kelompok dari kepustakaan) : 10,7 (Simpang baku gabungan dari kepustakaan) Berdasarkan rumus diatas, besar sampel penelitian adalah 18,17 sampel ditambah 15% untuk drop out menjadi 21 sampel. Jadi jumlah sampel total yang diperlukan adalah 42 sampel. 4.3.6 Teknik pengambilan sampel Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive sampling, sehingga diperoleh sampel terpilih, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar serum Progesteron 31 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi variabel Variabel bebas : Kadar Progesteron Variabel tergantung : Inpartu Variabel terkontrol : Umur kehamilan 4.4.2 Definisi operasional variabel 1. Inpartu adalah suatu keadaan dimana ibu hamil sudah memasuki partus kala I yang ditandai oleh adanya pembukaan cervix ≥ 2cm dan penipisan ≥ 50%, adanya kontraksi uterus minimal 2 kali dalam 10 menit dan adanya pembawa tanda ( darah campur lendir ). 2. Tidak Inpartu adalah yang tidak masuk kedalam kriteria inpartu 3. Umur Ibu adalah umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir yang tercantum dalam KTP hingga saat pengambilan sampel dilakukan, dinyatakan dalam satuan tahun. 4. Kadar Progesteron adalah kadar progesteron yang diukur dari serum darah sampel penelitian, dinyatakan dalam satuan ng/ml. 5. Umur Kehamilan adalah lamanya kehamilan yang dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan USG yang dilakukan sebelum umur kehamilan 20 minggu atau dapat juga dari HPHT, dinyatakan dalam satuan minggu. 6. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan pada usia kehamilan diatas 20 minggu oleh ibu hamil sebelum kehamilan sekarang. 32 7. Kehamilan kembar adalah ibu hamil dengan jumlah janin lebih dari satu yang ditentukan secara klinis dan dibuktikan dari gambaran USG atau setelah persalinan 8. Kehamilan mola adalah hamil anggur, merupakan neoplasma jinak sel trofoblas di mana terjadi kegagalan plasentasi atau fekundasi fisiologis yang mengakibatkan vili menggelembung menyerupai buah anggur. 4.5 Bahan Penelitian a. Darah sampel b. Vidas Progestron kit 4.6 Instrumen Penelitian a. Kuisioner penelitian b. Label nama dan alat tulis c. Spuit 10 cc d. Kapas alkohol 70% e. Tabung dan alat sentrifugasi f. Lemari es (Freezer) g. Mesin Vidas dari Biomerieux 4.7 Prosedur Penelitian Ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian ini setelah mendapatkan inform consent, diminta untuk menandatangani formulir pernyataan bersedia mengikuti penelitian yang telah disediakan. Selanjutnya semua sampel penelitian tersebut dikelola sesuai dengan Pedoman 33 Terapi Lab / SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar. Langkah–langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah: 1. Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, HPHT, berat badan sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan, dan riwayat sebelumnya. 2. Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, tekanan darah dan pemeriksaan darah rutin, BT/CT 3. Pasien yang didiagnosis sebagai inpartu dilakukan penatalaksanaan sesuai protap. 4. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah vena kubiti yang telah di antisepsis sebelumnya dengan alkohol 70% menggunakan plain tube sebanyak 5 cc. Plain tube diberi label identitas pasien dan nomor urut, kemudian di kirim ke laboratorium RSUP Sanglah. 5. Hasil pemeriksaan kadar serum Progesteron akan dikumpulkan dan dilakukan analisis statistik. 34 Ibu hamil umur kehamilan > 28 minggu yang datang ke IRD atau poliklinik RSUP Sanglah Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Obstetrik Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi Sampel Penelitian Inpartu Tidak inpartu Kadar Serum Progesteron ANALISIS DATA Gambar 4.2 Alur penelitian 35 4.8 Analisis Data Data akan dianalisis secara deskriptif yang hasilnya akan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik Dilakukan uji normalitas data menggunakan Shapiro Wilk Test. Dilakukan uji homogenitas data mengunakan Levene Test. Komparabilitas karakteristik wanita hamil inpartu dengan tidak inpartu diuji dengan chi square Dilakukan uji komparasi, dimana perbedaan rerata kadar serum Progesteron diuji dengan Uji T tidak berpasangan bila data normal, atau dengan Man Whitney Test bila data tidak normal. 36 BAB V HASIL PENELITIAN Selama periode bulan April sampai Agustus 2011, telah dilakukan penelitian dengan rancangan cross-sectional, yang dilakukan di IRD dan Poliklinik Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar. Jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 42 sampel, yang direkrut sebanyak 50 sampel dan yang dieksklusikan sejumlah 5 sampel, akhirnya didapatkan 45 sampel yang memenuhi kriteria untuk diteliti. Data sampel disajikan dalam bentuk tabel dan dimasukan dalam lampiran. 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Sebanyak 45 ibu hamil inpartu dan tidak inpartu pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu di Ruang Bersalin IRD Kebidanan dan Poli Klinik 108 Bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dijadikan sampel penelitian setelah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Dimana yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah ibu hamil yang memeriksakan diri di Poliklinik 108 dan IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan usia kehamilan lebih dari 28 minggu yang bersedia ikut penelitian. Sementara yang menjadi kriteria eksklusi adalah ibu dengan kehamilan kembar, diketahui adanya cacat kongenital pada janin dan ibu hamil mola hidatidosa. Data karakteristik subjek antar kelompok perlakuan disajikan pada tabel. 37 Table 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian antar Kelompok Perbedaan umur, paritas, umur kehamilan dan riwayat abortus Variabel Umur (th) < 20 20 – 35 > 35 Paritas Nulipara Multipara Umur Kehamilan (mg) < 37 ≥ 37 Riwayat Abortus 0 1 2 Kelompok Inpartu n(%) KelompokTidak Inpartu n(%) p 0 17 4 (0,0 ) (81,0) (19,0) 1 19 4 (4,2) (79,2) (16,7) 13 8 (61,9) (38,1) 19 5 (79,2) (20,8) 0,202 3 18 (14,3) (85,7) 11 13 (45,8) (54,2) 0,023 15 4 2 (71,4) (19,0) (9,5) 15 4 2 (71,4) (19,0) (9,5) 0,633 0,195 Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok pada variabel umur, paritas dan abortus (p > 0,05). Sementara untuk variabel umur kehamilan terdapat perbedaan yang bermakna ( p < 0,05 ) 5.2 Perbandingan Kadar Serum Progesteron Untuk mengetahui perbedaan kadar serum progesterone pada ibu hamil atau melahirkan inpartu dan tidak inpartu digunakan uji t-independent. Hasil analisis kemaknaan disajikan pada Tabel 2 berikut. 38 Tabel 5.2 Perbedaan Kadar Serum Progesteron antara Wanita Hamil Inpartu dan Tidak Inpartu Kelompok Subjek n Rerata SD Inpartu 21 214,90 92,06 Tidak Inpartu 24 190,69 76,02 p 0,339 39 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Penelitian untuk membandingkan kadar serum progesteron antara wanita hamil inpartu dengan yang tidak inpartu, maka dilakukan penelitian dengan rancangan cross-sectional, yang dilaksanakan di Ruang Bersalin IRD Kebidanan dan Poli Klinik 108 Bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dari bulan April sampai jumlah bulan Agustus 2011. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu hamil inpartu dan tidak inpartu pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu, yang memeriksakan diri di Poli Klinik 108 dan di IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini berjumlah 45 orang. 6.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa umur subjek penelitian yang kurang dari 20 tahun pada kelompok ibu hamil tidak inpartu sebanyak 1 orang (4,2%) dan pada kelompok inpartu tidak ada. Umur subjek yang berkisar antara 20-35 tahun, pada kelompok ibu hamil inpartu terdapat 17 orang (81,0%) dan pada kelompok tidak inpartu sebanyak 19 orang (79,2%), dan subjek yang memiliki umur lebih dari 35 tahun pada kelompok ibu hamil inpartu sebanyak 4 orang (19,0%) dan pada kelompok tidak inpartu sebanyak 4 orang (16,7%). Rerata umur kelompok ibu hamil inpartu adalah 30,19±5,61 dan rerata kelompok 40 tidak inpartu adalah 27,88±6,00 Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak ada perbedaan umur antara kelompok (p > 0,05). Untuk paritas nulipara, pada kelompok ibu hamil inpartu terdapat 13 orang (61,9%) dan pada kelompok tidak inpartu sebanyak 19 orang (79,2%), sedangkan paritas multipara, pada kelompok ibu hamil inpartu terdapat 8 orang (38,1%) dan pada kelompok tidak inpartu sebanyak 5 orang (20,8%). Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa kedua kelompok tidak berbeda (p > 0,05). Sementara pada variabel riwayat abortus tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok. Hal ini berarti bahwa baik variabel umur, paritas maupun riwayat abortus tidak berpengaruh terhadap kadar progesteron, sehingga dapat diabaikan pengaruhnya. Sedangkan untuk umur kehamilan kurang dari 37 minggu, pada kelompok ibu hamil inpartu terdapat 3 orang (14,3%) dan pada kelompok tidak inpartu sebanyak 18 orang (85,7%), sedangkan umur kehamilan lebih atau sama dengan 37 minggu, pada kelompok ibu hamil inpartu terdapat 11 orang (45,8%) dan pada kelompok tidak inpartu sebanyak 13 orang (54,2%). Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). Mengingat adanya perbedaan jumlah sampel pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu antara kedua kelompok, hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan kadar serum progesteron antara ibu hamil inpartu dengan yang tidak inpartu. 6.2 Kadar Serum Progesteron Uji perbandingan untuk mengetahui perbedaan kadar serum progesteron pada ibu hamil inpartu dan tidak inpartu digunakan uji t-independent. Berdasarkan 41 hasil analisis didapatkan bahwa rerata kadar serum progesteron kelompok inpartu adalah 214,9092,06 dan rerata kelompok tidak inpartu adalah 190,6976,02. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa rerata kadar serum progesteron pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Kadar serum progesteron tidak berbeda pada wanita hamil inpartu maupun wanita hamil tidak inpartu, dimana hal ini sesuai dengan teori Chaliss dan Lye pada tahun 1994 yang menyatakan bahwa kadar progesteron plasma tetap tinggi dan baru akan menurun setelah plasenta dilahirkan. Yang berbeda adalah jumlah reseptor progesteron, bukan kadar serum progesteron. Kenyataan bahwa persalinan manusia terjadi tanpa adanya pelucutan progesteron sistemik menimbulkan suatu paradox bagaimana inisiasi persalinan bisa terjadi sehingga diajukanlah teori pelucutan progesteron fungsional. Teori pelucutan progesteron fungsional menyatakan bahwa persalinan manusia terjadi bukan karena pelucutan kadar progesteron sistemik namun karena terjadinya penurunan jumlah reseptor progesteron. Manusia memiliki dua isoform mayor PR, yaitu PRA dan PRB. Kedua bentuk PR ini memiliki hormon steroid dan afinitas yang sama untuk mengikat DNA namun mereka memiliki aktivitas yang berbeda. Aksi progesteron sebagai penenang diduga dimediasi oleh PRB. Progsteron reseptor tipe A ( PRA ) memiliki afinitas yang sama untuk mengikat progesteron namun PRA menekan aktivitas transkripsional yang dimediasi oleh PRB. Kedua PR membentuk dual sistem dalam mengontrol aksi progesteron melalui mediasi target sel, dimana PRB 42 memediasi dan PRA menekan respon terhadap progesteron. Tingkatan dimana penekanan PRA terhadap respon progesteron tergantung pada kelimpahan relatif PRB. Disimpulkan bahwa pelucutan progesteron pada persalinan manusia dimediasi oleh peningkatan rasio PRA/PRB di miometrium. Selama masa kehamilan manusia, progesteron menurunkan respon estrogen dengan menghambat ekspresi ERα miometrium. Hal ini menjelaskan mengapa miometrium kebal terhadap rangsangan estrogen pada hampir sepanjang masa kehamilan. Pada awal kaskade persalinan ekspresi PRA miometrium meningkat, menyebabkan terjadinya penurunan respons terhadap progesteron karena represi aktivitas PRB transkripsional. Inhibisi bertahap aksi progesteron yang dimediasi oleh PRB menghilangkan hambatan terhadap ekspresi ERα, dimana hal ini mengakibatkan estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi gen CAP dan mengubah uterus menjadi kontraktil. Selama masa kehamilan manusia, progesteron bukan hanya menekan ekspresi gen CAP yang secara langsung berperan pada terjadinya kontraksi miometrium namun juga menghilangkan respon miometrium terhadap rangsangan estrogen. Diilustrasikan pada gambar 2.5. Pada sistem ini aksi hormonal secara prinsip di kontrol oleh respon target sel, keberadaan hormon dalam sirkulasi dibutuhkan tersedia di atas nilai minimal, namun kadarnya tidak penting. Paradigma ini menjelaskan mengapa inhibisi pada progesteron saja tidak cukup untuk menginisiasi kaskade persalinan secara penuh. Sebagai tambahan, penekanan terhadap respon estrogen oleh progesteron dapat 43 menjelaskan mengapa persalinan tidak diinisiasi saat prematur walaupun kadar estrogen meningkat di atas normal. Paradigma umum mengenai kontrol fisiologis dari waktu kelahiran manusia adalah multipel dan berlimpahnya sinyal-sinyal hormonal yang menginisiasi persalinan untuk menginduksi pelucutan progesteron fungsional. Penelitian pada sel miometrium manusia menunjukkan bahwa PGF2α merangsang ekspresi PRA dan meningkatkan ekspresi rasio PRA/PRB. Penemuan ini memberi kesan bahwa pelucutan progesteron fungsional pada persalinan manusia diinduksi oleh PGF2α. Pada wanita pemberian PGF2α menginduksi persalinan dan kelahiran pada semua tingkat kehamilan. Saat diberikan pada wanita dalam fase labor aktif ( fase 2 ) potensi dan aksi uterotoniknya sangat instan. Dibandingkan dengan pemberian pada uterus yang tenang ( fase 0 ) aksinya baru tampak setelah masa laten 15 sampai 20 jam. Ini mewakilkan waktu yang dibutuhkan oleh miometrium untuk masuk ke status kontraktil dan mengindikasikan bahwa PGF2α memiliki uterotrofik seperti aksi uterotonik. Induksi fase 1 oleh hormon yang berperan serta pada fase 2 memberi kesan adanya lingkaran timbal balik positif hormonal pada proses persalinan manusia. Kaskade hormonalnya adalah sebagai berikut, ( ilustrasi terdapat pada gambar 2.6): 1. Progesteron mempertahankan relaksasi miometrium melalui PRs spesifik 2. Pelucutan Progesteron fungsional dimediasi oleh peningkatan Ekspresi PRA 44 3. Pelucutan Progesteron fungsional menginduksi aktivasi estrogen fungsional dengan peningkatan ekspresi ERα miometrium 4. Estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi CAP miometrium dan uterotonin 5. Beberapa faktor menginduksi Pelucutan Progesteron fungsional dengan meningkatkan ekspresi PRA. Tanda-tanda fisiologis multipel bergabung pada miometrium hamil untuk menginduksi pelucutan progesteron fungsional baik secara langsung maupun tidak langsung. Induksi pelucutan progesteron fungsional merupakan langkah integratif yang sangat penting pada kontrol hormonal dari persalinan manusia. Pelucutan progesteron fungsional juga dimediasi oleh interaksi PRB dengan target DNA yang terhambat. Selain daripada itu juga terdapat peran berbagai faktor yang meningkatkan/menghambat kerja PR. Pelucutan progesteron fungsional dimediasi oleh peningkatan ekspresi PRA, dalam hal ini terjadi penurunan PRB secara relatif, dimana PRB ini berfungsi memediasi kerja hormon progesteron di miometrium. Penurunan reseptor inilah yang bisa menjawab mengapa inisiasi persalinan bisa terjadi walaupun kadar serum progesteron tetap tinggi.kemudian pelucutan progesteron fungsional mengaktivasi estrogen fungsional dengan peningkatan ekspresi ERα miometrium. Aktivasi estrogen fungsional bersamasama dengan estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi CAP miometrium dan uterotonin sehingga uterus berada dalam fenotip kontraktil yang akan membawa kepada proses persalinan. 45 Sebagai kesimpulan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa korepresor PR, seperti aktivator PR, mengatur aktivitas PR dengan suatu cara agar dapat terjadi penurunan respon progesteron pada miometrium aterm. Penelitian lebih lanjut akan membawa penemuan baru pada bidang endokrinologi molekular yang rumit ini. 46 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar serum progesteron wanita hamil inpartu tidak lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak inpartu, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar serum progesteron wanita hamil inpartu dengan yang tidak inpartu. 7.2 Saran 1. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti lebih jauh mengenai progesteron reseptor ( PR ) 2. Perlu dilakukan penelitian lain untuk melihat adanya penurunan kadar serum progesteron pada wanita post partum setelah plasenta dilahirkan. 47 DAFTAR PUSTAKA Allport VC, Pieber D, Slater DM et al, Human Labour Is Associated With Nuclear Factor- κB Activity Which Mediates Cyclo-Oxygenase-2 Expression And Is Involved With The ‘Functional Progesterone Withdrawal’. Mol Hum Reprod 2001:7(6):581-586. Astle S, Slater DM, Thornton S, The Involvement Of Progesterone In The Onset Of Human Labour. European Journal Of Obstetrics & Gynecology And Reproductive Biology 2003:108:177-181. Chapman NR, Kennelly MM, Harper KA et al, Examining The SaptioTemporal Expression Of mRNA Encoding The Membrane-Bound Progesterone Receptor-Alpha Isoform In Human Cervix And Myometrium During Pregnancy And Labour. Mol Hum Reprod 2006:12(1)19-26. Condon JC, Hardy DB, Kovaric K et al, Up-Regulation Of The Progesterone Receptor (PR)-C Isoform In Laboring Myometrium By Activation Of Nuclear Factor-κB May Contribute To The Onset Of Labor Through Inhibition Of PR Function. Molecular Endocrinology 2006:20(4)764-775. Condon JC, Jeyasuria P, Faust JM et al, A Decline In The Level Of Progesterone Receptor Coactivator In The Pregnant Uterus At Term May Antagonize Progesterone Receptor Function And Contribute To The Initiation Of Parturition. PNAS 2003: 100(16):9518-9523. Dong X, Shylnova O, Challis JR et al, Identification And Characterization Of The Protein-Associated Splicing Factor As A Negative Co-regulato Of The Progesterone Receptor. J Biol Chem 2005:280(14):13329-13340. Gaspar R, Ducza E, Mihalyi A et al, Pregnancy-Induced Decrease In The Relaxant Effect Of Terbutaline In The Late-Pregnant Rat Myometrium: Role Of G-Protein Activation And Progesterone. Reproduction Research 2005:130:113122. Goldman S, Weiss A, Almalah I et al, Progesterone Receptor Expression In Human Decidua And Fetal Membranes Before And After Contractions: Possible mechanism For Functional Progesterone Withdrawal. Mol Hum Reprod 2005:11(4):269-277. Goldman S, Weiss A, Shalev E, Basic Science: Obstetrics The Effect Of Progesterone On Gelatinase Expression In The Desidua And Fetal Membranes Before And After Contractions. Am J Obstet Gynecol 2007:197:521e1-521e7. Haluska GJ, Cook MJ, Novy MJ. Inhibition And Augmentation Of Progesteron Production During Pregnancy: Effects On Parturition In Rhesus Monkeys. Am J Obstet Gynecol 1997: 176(3):682-691. Hardy DB, Janowski BA, Corey DR et al, Progesterone Receptor Plays A Major Antiinflamatory Role In Human Myometrial Cells By Antagonism Of Nuclear Factor-κB Activation Of Cyclooxygenase 2 Expression. 2006:20(11):2724-2733. 48 Hirsch E, Mukle R, Intrauterine Bacterial Inoculation Induces Labor In The Mouse By Mechanisms Other Than Progesterone Withdrawal. Biol Reprod 2002:67:1337-1341. Horne FM, Blithe DL, Progesterone Receptor Modulators And The Endometrium: Changes And Consequences. Human Reproduction Update 2007:13(6):567-580. Jenkin G, Young IR, Mechanisms Responsible For Parturition; The Use Of Experimental Models.Anireprosci 2004:82-83:567-81. Karteris E, Zervou S, Pang Y et al, Progesteron Signaling In Human Myometrium Through Two Novel Membrane G Protein-Coupled Receptors: Potential Role In Functional Progesterone Withdrawal At Term. Molecular Endocrinology 2006:20(7):1519-1534. Leonhardt SA, Edwards DP. Mechanism of Action of Progesterone Antagonists. Society for Experimental Biology and Medicine. 2002.969-980. Loudon JA, Elliott CL, Hills F et al, Progesterone Represses Interleukin-8 And Cyclo-Oxygenase-2 In Human Lower Segment Fibroblast Cells And Amnion Epithelial Cells. Biology Of Reproduction 2003:69:331-337. Lye SJ, Initiation Of Parturition, Animal Reproduction Science 1996:42:495503. Madsen G, Zakar T, Chun YK et al, Prostaglandins Differentially Modulate Progesterone Receptor-A And –B Expression In Human Myometrial Cells: Evidence For Prostaglandin-Induced Functional Progesterone Withdrawal. The Journal Of Clinical Endocrinology & Metabolism 2004:89(2):1010-1013. Meiss PJ, Klebanoff M, Thom E et al, Prevention Of Recurrent Preterm Delivery By 17 Alpha-Hydroxyprogesterone Caproate. N Engl J Med 2003:348:2379-2385. Merlino A, Welsh T et al, Nuclear Receptors In Human Pregnancy Myometrium: Evidence That Parturition Involves Functional Progesterone Withdrawal Mediated By Increased Expression Of Progesterone Receptor-A. J Clin Endocrinol Metab 2007:92(5):1927-1933. Merlino A, Welsh T, Erdonmez T et al Nuclear Progesteron Receptor Expression In The Human Fetal Membranes And Decidua At Term Before And After Labor. Reproductive Sciences 2009:16(4):357-363. Mesiano S, Chan EC, Fitter JT et al, Progesterone Withdrawal and Estrogen Activation In Human Parturition Are Coordinated By Progesterone Receptor A Expression In The Myometrium. J Clin Endocrinol Metab 2002:87(6):2924-2930. Mesiano S. 2009 The Endocrinology of Human Pregnancy and Fetoplacental Neuroendocrine Development. In: Strauss, JF.,Barbieri, RL.,eds. Yen and Jaffe’s Reproductive Endocrinology Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.p249-281. Oh SY, Kim CJ et al, Progesterone Receptor Isoform (A/B) Ratio Of Human Fetal Membranes Increases During Term Parturition 2005:193:1156-60. Pieber D, Allport VC et al, Interactions Between Progesterone Receptor Isoforms In Myometrial Cells In Human Labour. Mol Hum Reprod 2001:7(9):875-879. 49 Piekorz RP, Gingras S et al, Regulation Of Progesteron Levels During Pregnancy And Parturition by Signal Transducer And Activator of Transcription 5 And 20 (alpha)-Hydroxysteroid Dehidrogenase. Mol Endocrinol 2005:19:431440. Rodriguez HA, Kass L et al, Collagen Remodelling In The Guinea-pig Uterine Cervix At Term Is Associated With A Decrease In Progesterone Receptor Expression. Mol Hum Reprod 2003:9(12):807-813. Rodriguez HA, Ramos JG et al, Regional Changes In The Spatio-Temporal Pattern Of Pregesterone Receptor (PR) Expression In The Guinea-Pig Genital Tract As Parturition Approach. JSBMB 2008:111:247-54. Ruddock NK, Shi SQ et al, Progesterone, But Not 17-Alphahydroxyprogesterone Caproate, Inhibits Human Myometrial Contractions. Am J Obstet Gynecol 2008:199(4):391e1-391e7. Sheehan PM, Rice GE et al, 5β-Dihydroprogesterone And Steroid 5βReductase Decrease In Association With Human Parturition At Term. Mol Hum Reprod 2005: 11(7):495-501. Shynlova O, Mitchell JA et al, Progesterone And Gravidity Differentially Regulate Expression Of Extracellular Matrix Components In The Pregnant Rat Myometrium. Biology Of Reproduction 2004:70:986-992. Singer LA, Kumar MSA et al, Predicting The Onset Of Parturition In The Goat By Determining Progesterone Levels By Enzyme Immunoassay. Small Ruminant Research 2004:52:203-09. Smith RMB, Mechanisms Of Disease Parturition. N Engl J Med 2007:356:271-83. Thijssen JHH, Progesterone Receptor In The Human Uterus And Their Possible Role In Parturition. The Journal Of Steroid Biochemistry & Molecular Biology 2005:97:397-400. Zakar T, Hertelendy F, Progesteron withdrawal: key to parturition. Am J Obstet Gynecol 2007: 196(4): 289-296. 50