9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hutan Mangrove A.1. Pengertian Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewwable natural resources). Berdasarkan S.K. Dirtjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978; hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, yang tergenang air laut pada saat pasang dan bebas dari genangan air laut pada saat surut (Arief, 2007). Seringkali kata mangrove disamakan dengan kata mangal, tetapi MacNae (1968) dalam Arief (2007) menyarankan agar kata "mangrove" digunakan untuk satuan pohon, sedangkan kata "mangal" berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut. Di Suriname, kata mangro pada awalnya merupakan kata umum yang dipakai untuk jenis Rhizophora mangle. Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, kata mangrove sama artinya dengan kata manglier. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zone intertidal tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang terbasahi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi makluk yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam; khusus yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophytic vegetation) (Arief, 2007). Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama, yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Arief, 2007). A.2. Fungsi Mangrove Fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sangat khas dan kedudukannya tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya (Anwar et al., 1984). Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, di antaranya: 10 a. Fungsi biologis Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrien untuk kelangsungan proses ekologis dan biologi. Hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya, misalnya sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang, dan biota air lainnya, tempat bersarang berbagai jenis burung, dan habitat berbagai jenis fauna (Anwar et al., 1984; Genisa, 1994). Selain itu juga merupakan suatu habitat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, hutan mangrove merupakan habitat yang sangat disukai sebagai tempat mencari makan (feeding ground), bersarang (nesting ground) dan berkembang biak (nursery ground) oleh banyak satwa (Komar, dkk., 1994; Sumarhani, 1994). Diana dkk. (1994) menyatakan bahwa, fungsi biologi yang diperoleh dari hutan mangrove adalah: a) sebagai produsen primer energi makhluk hidup melalui serasah yang menjadi basis rantai makanan yang kompleks, b) sebagai tempat bertelur, memijah dan mencari makan benih-benih udang, ikan, dan kerangkerangan, c) sebagai tempat bersarang burung, kepiting, reptil, ular, dan satwa lainnya, dan d) sebagai habitat alami bagi banyak jenis biota. b. Fungsi fisik Hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, serta penyerap bahan pencemar (Anwar et al., 1984; Genisa, 1994). Peranan sebagai fungsi lindung ditunjukkan oleh hutan mangrove di sepanjang pantai, yaitu sebagai penangkis gelombang laut, sehingga melindungi pantai dari hempasan gelombang, pelindung alami yang paling kuat terhadap erosi pantai (abrasi), dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan (Sikong, 1978; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Selain itu, hutan mangrove juga berkemampuan memperbaiki tanah dengan bentuk sistem perakarannya. Manfaat perakaran mangrove adalah untuk menenangkan gerakan air yang berkelanjutan, menahan kembalinya atau terhanyutnya bahan organik dan lumpur dari sungai ke laut, dan menguatkan garis-garis pantai (Hardjosentono, 1994 dalam Rahmawaty, 2000). 11 c. Fungsi ekonomis Hutan mangrove mempunyai fungsi potensial sebagai tambak, tempat pembuatan garam, tempat rekreasi, penyedia bahan bakar, bahan bangunan, dan bahan baku industri (chips, pulp, dan kertas) (Sikong, 1978; Kartawinata dkk., 1978; Anwar et al., 1984; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Menurut Wibawa dkk. (1994), mangrove merupakan sumberdaya modal (capital resource) yang dapat memberi pelayanan ekonomi, antara lain: memberikan kesempatan kerja, peluang berusaha sebagai sumber pendapatan dan pelayanan dalam perlindungan sumberdaya alam lainnya (misalnya kerusakan pantai, karang, dan kemusnahan flora dan fauna). A.3. Adaptasi Mangrove Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam kondisi tempat terjadinya penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap (terusmenerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan (Dahuri dkk., 1996). Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, di antaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai, dan aktivitas manusia (Sukardjo, 1984). Hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas, memiliki rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis makhluk dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks (Odum, 1996). Pohon mangrove mempunyai sejumlah ciri morfologi khusus yang memungkinkan mereka hidup di perairan lautan yang dangkal, yaitu berakar pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang dan/atau dahan. Daun-daunnya kuat, mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi (Nybakken, 1992). Sugianto (1983) dan Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa hutan mangrove mempunyai cara yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cara yang dimaksud antara lain bentuk jenis-jenis akar khas yang merupakan salah satu ciri khas pohon mangrove, yaitu: 1) Akar tunjang dan akar udara yang dijumpai pada pohon bakau (Rhizophora sp. dan Ceriops tagal), 2) Akar nafas pada pohon api-api (Avicennia 12 sp. dan Sonneratia sp.), dan 3) Akar lutut pada pohon Bruguiera sp., Lumnitzera sp., dan Xylocarpus sp. A.4. Fauna Mangrove Anwar et al. (1984) membagi fauna hutan mangrove menjadi dua bagian, yaitu: komponen yang mutlak hidup bergantung pada air (fauna aquatik) seperti: kepiting, siput. kerang; cacing, dan ikan; dan yang hidup di daratan atau tidak langsung tergantung pada air laut, antara lain serangga, laba-laba, ular, kadal, tikus, monyet dan burung. Mac Nae (1968) dalam Arief (2007), telah menyelidiki secara intensif hewan yang ada di hutan mangrove dan menyimpulkan bahwa hutan mengrove dapat dibagi menjadi enam macam habitat. yaitu: 1. Tajuk pohon pada pokoknya dihuni oleh burung, mamalia, dan insekta yang datang dari hutan/tempat sekitarnya. . 2. Lubang pada cabang busuk dan air pada celah retakan antara batang dan ranting (habitat yang sangat baik bagi larva nyamuk). 3. Permukaan tanah dan di bawah tanah hidup berbagai jenis siput dan kepiting. Selanjutnya ditambahkan oleh Hutching and Saenger (1987), bahwa selain yang telah disebutkan, di atas permukaan tanah juga hidup berbagai jenis semut. 4. Bagian batang dan akar nafas (tempat hidup bangsa kerang dan mollusca). Akar mangrove merupakan substrat yang baik untuk berbagai jenis binatang yang menempel, selain itu ikan dan berbagai jenis moluska dan krustasea yang hidup bebas juga menemukan tempat berlindung di antara akar mangrove (Sikong, 1978) 5. Pohon kecil dihuni oleh jenis-jenis kepiting, larva nyamuk, dan katak. 6. Bagian yang berair dihuni oleh ikan, buaya, dan jenis-jenis biawak. Fauna mangrove memiliki banyak peran, antara lain : 1. Sumber protein hewani. Jenis-jenis yang umum dikonsumsi penduduk adalah ikan; moluska, dan kepiting. 2. Bahan produksi, seperti kulit yang dihasilkan oleh kelompok reptilia, yaitu ular. Supriyatna (1984 dalam Suhardjono dan Adisoemarto, 1998), melaporkan bahwa sedikitnya diketahui delapan jenis ular yang dapat ditemukan di hutan mangrove, 13 beberapa jenis di antaranya yang potensial sebagai penghasil kulit yang dapat dikembangkan. 3. Perombak bahan organik. Penelitian mengenai dekomposisi serasah hutan mangrove sering dilakukan, namun belum pernah melibatkan peran fauna mangrove dalam proses perombakan. Pada umumnya Arthropoda ini berperan sebagai pemotong dan pencerna, agar sisa bahan organik menjadi potongan atau bagian lebih kecil dan lunak, sehingga jasad renik dengan mudah melanjutkan proses perombakannya (Kevan, 1965 dalam Adianto, 1993). 4. Penyerbukan. Beberapa jenis serangga seperti kelompok lebah madu (Apis spp.), tawon endas (Xylocopa spp.) dan kumbang mudah ditemukan di antara bungabunga mangrove. Besar kemungkinan kelompok lain seperti kelelawar dan burung juga berperan sebagai penyerbuk mangrove atau anggota vegetasi lain (Suhardjono dan Adisoemarto, 1998). Whitten, et al. (1987) melaporkan bahwa di sepanjang pantai Sulawesi terdapat 34 jenis burung laut yang digolongkan sebagai jenis yang bermigrasi dan menghabiskan sebagian waktunya di mangrove. B. Tinjauan Umum Fauna Tanah B.1. Pengertian Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya dihabiskan di dalam tanah (Wallwork, 1976; Kimmins, 1987). Suhardjono dan Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa, Arthropoda tanah adalah semua kelompok binatang yang sebagian atau seluruh daur hidupnya bergantung kepada tanah karena sumber pakannya terdapat di tanah. Jasad tanah yang dinyatakan oleh Poerwowidodo (1992) adalah semua jasad hidup yang seluruh atau sebagian besar daur hidup dan kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tanah. Kelompok ini mencakup jasad tanah yang kasat mata dan jasad renik dari golongan binatang misalnya protozoa dan tumbuhan misalnya bakteri. Wallwork (1976) melaporkan adanya lima kelompok Arthrophoda yang sering ditemukan di tanah, yaitu: Crustaceae, Myriapoda, Aptergyota, Arachnida dan beberapa Hexapoda. 14 B.2. Macam Fauna Tanah Kelompok fauna tanah sangat banyak dan beraneka-ragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata. Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, yang mempengaruhi sistem tanah dan kegiatan makannya (Suin, 2003; Hole, 1981). a. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh. Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1) Mikrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh berkisar antara 20 μ dan 200 μ, misalnya: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada, (2) Mesofauna, adalah kelompok ukuran tubuh berkisar antara 200 μ dan 1 cm, contohnya adalah: Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida, larva serangga, dan Isopoda, (3) Makrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh lebih besar dari 1 cm, termasuk pada kelompok ini adalah: Megascolesidae, Mollusca, Insecta, dan Vertebrata (Wallwork. 1970; Brown, 1980; Kimmins, 1987). Sedangkan menurut Suhardjono dan Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1) Mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadia pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2) Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 - 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking; (3) Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh >10.5 mm, seperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil. b. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan kehadiran Berdasarkan kehadiran fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik, dan permanen (Suin, 2003). Sedangkan Hole (1981) membagi binatang tanah ke dalam enam kategori berdasarkan keberadaannya di dalam tanah, yakni: 1) Permanen, yaitu fauna tanah yang seluruh daur hidupnya berada di dalam tanah, contohnya cacing tanah dan Collembola, 2) Sementara, yaitu binatang tanah yang salah satu fase hidupnya berada di tanah, sedangkan fase lainnya tidak atau secara berkala di tanah, contohnya 15 larva-larva serangga, 3) Periodik, yaitu binatang-binatang tanah yang sering berpindahpindah masuk dan keluar dari tanah, contohnya bentuk-bentuk aktif serangga, 4) Bertukar-tukar, yaitu satu atau lebih generasi binatang yang berada di dalam tanah, generasi lainnya hidup di atas tanah, contohnya Rhopalosiphoninus dan Biorhiza, 5) Mendiami sementara, yaitu fase inaktif (telur, pupa, fase hibernasi) berada di tanah dan fase aktif berada di atas tanah, contohnya serangga, 6) Kebetulan, yaitu binatang yang jatuh atau tertiup angin dari tajuk dan masuk ke dalam tanah, contohnya larva serangga dari tajuk pohon dan binatang permukaan yang jatuh ke dalam lubang tanah. Dari pendapat Hole (1981) tersebut menurut Suhardjono (1997), dibedakan menjadi empat kelompok saja, karena sebenarnya pembagian nomor 2, 4, dan 5 hampir serupa, yaitu singgah (transit), sementara, berkala (periodik), dan menetap (permanen). c. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan tempat hidup pada lapisan tanah Berdasarkan tempat hidupnya pada lapisan tanah, digolongkan sebagai : (1) Epigon, yaitu fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, (2) Hemiedafon, hidup pada lapisan organik tanah, (3) Euedafon, yang hidup pada lapisan mineral tanah (Suin, 2003). d. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan cara mempengaruhi sistem tanah Menurut Hole (1981), binatang tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan caranya mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik (mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian besar tidak menghuni sistem tanah; meliputi kelas Mamalia, Aves, Reptilia, dan Amphibia. (2) Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang (θ < 1,0 cm), umumnya tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam, meliputi kelas Hexapoda, Myriapoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychophora, Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda. e. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan jenis makanan/cara makan. Fauna tanah juga dibedakan berdasarkan jenis makanan, ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungivora, dan predator (Suin, 2003). Wallwork (1970), Brown 16 (1980), dan Borror, et al. (1996) membagi binatang tanah berdasarkan kebiasaan makannya, yaitu: 1) Microphytic feeders, merupakan binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti spora dan lumut. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa spesies semut, Nematoda, Protozoa, dan beberapa Mollusca. 2) Saprophytic feeders, merupakan pemakan bahan organik (serasah segar, setengah segar dan bahan organik yang telah melapuk), contohnya cacing tanah, Millipoda, Isopoda, Acarina, dan Collembola. Termasuk di dalamnya binatang tanah pemakan feses (coprophagous), pemakan kayu mati (xylophagous) dan pemakan bangkai (necrophagous). 3) Phytophagous, merupakan binatang pemakan tumbuhan (contohnya Mollusca dan larva Lepidoptera), pemakan sistem perakaran (contohnya kumbang Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan jangkrik), pemakan bagian kayu (contohnya beberapa jenis rayap dan larva Coleoptera). 4) Carnivora, termasuk dalam kelompok ini adalah predator (pemakan binatang tanah lain) seperti Carabidae, Staphylinidae, laba-laba, kalajengking, Centipede, beberapa Nematoda dan Mollusca. B.3. Peran Fauna Tanah Secara esensial semua fauna yang menghuni lingkungan hutan mempengaruhi sifat-sifat tanah (Setiadi, 1989). Kehadiran jasad tanah yang beraneka ragam dengan populasi optimum di ekosistem hutan tanaman sangat penting untuk melestarikan kesinambungan dan kecukupan pasokan hara melalui keikutsertaannya dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik (Poerwowidodo dan Haneda, 1998). Fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka fenomena di dalam tanah. Kehidupan dan kegiatannya yang khusus ini menjadikannya sebagai salah satu faktor pembentuk tanah (Poerwowidodo, 1992). Selanjutnya Setiadi (1989) menambahkan bahwa organisme tanah berperan penting di dalam ekosistemnya, yaitu sebagai perombak bahan organik dan mensintesa kemudian melepaskan kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuh- 17 tumbuhan hijau. Dengan kata lain, dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan stabilitas ekosistem alam. Di dalam tanah telah diketahui bahwa komponen biotik memberikan sumbangan terhadap proses aliran energi dari ekosistem setempat. Hal tersebut dicapai karena kelompok biotis ini dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan hewan yang telah mati. Proses inilah yang dikenal dengan proses dekomposisi atau perombakan (Burges and Raw, 1967). Serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut; pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi nabati yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran, seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, dapat pula feses dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi hewan ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi (Burges and Raw, 1967). B.4. Pengaruh Tanah dan Vegetasi terhadap Keberadaan Fauna Tanah Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya (Suin, 2003). Menurut Szujecki (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Fauna tanah bereaksi cepat terhadap perubahan di lingkungannya yang datang dari tanah itu sendiri, faktor 18 iklim atau akibat pengolahan tanah (Herbke, 1962; Brauns, 1968; Graff, 1971 dalam Adianto, 1993). Populasi fauna tanah umumnya meningkat pada tanah subur yang mampu menyuplai nutrisi tetapi sifat kimiawi tanah biasanya kurang berpengaruh langsung daripada sifat fisik tanah (Setiadi, 1989). Selain itu pula ditambahkan oleh Setiadi (1989) bahwa kegiatan organisme tanah juga dipengaruhi oleh musim dan kedalaman tanah, karena setiap organisme tanah mempunyai selang optimum untuk pertumbuhannya. Kegiatan organisme tanah yang terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, menurun pada musim panas dan dingin serta kegiatan biasanya terpusat di permukaan tanah (Setiadi, 1989). Kedalaman lapisan tanah menentukan kadar bahan organik dan nitrogen. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm, makin ke bawah makin berkurang. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah dan meningkatkan aktifitas biota tanah. Sumber utama bahan organik tanah berupa jaringan tumbuhan, sedangkan sumber kedua adalah hewan. Kandungan bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama suhu dan curah hujan. Kandungan kapur, erosi, tekstur, drainase dan vegetasi penutup tanah juga dapat mempengaruhi penimbunan bahan organik tanah (Buckman dan Brady, 1982; Foth, 1998). C. Serangga (Hexapoda) C.1. Klasifikasi Serangga Dunia binatang terbagi menjadi 14 filum berdasarkan tingkat kekompleksan dan urutan evolusinya, sehingga filum binatang disusun dari filum yang rendah ke filum yang tinggi. Semua serangga adalah anggota dari filum Arthropoda (binatang dengan kaki beruas-ruas), yang terbagi menjadi tiga sub filum, yaitu Trilobita (telah punah dan tinggal fosil), Chelicerata (terdiri atas beberapa kelas termasuk Arachnida), dan Mandibulata (terdiri atas beberapa kelas yang salah satunya adalah kelas Insecta/Hexapoda) (Lilies, 1997). Kelas Hexapoda dibagi menjadi beberapa ordo (Borror et al., 1996), yaitu Protura, Collembola, Diplura, Microcoryphia, Thysanura, Ephemeroptera, Odonata, 19 Grylloblattaria, Phasmida, Orthoptera, Mantodea, Blattaria, Isoptera, Dermaptera, Embiidina, Plecoptera, Zoroptera, Psocoptera, Pthiroptera, Hemiptera, Homoptera, Thysanoptera, Neuroptera, Coleoptera, Strepsiptera, Mecoptera, Siphonaptera, Diptera, Trichoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera. Sedangkan menurut Kristensen (1991), Hexapoda diangkat jadi super kelas dan terbagi ke dalam dua kelas, yaitu: Ellipura (Pra-insecta) dan Insecta. Ellipura terdiri atas ordo Collembola, Protura, dan Diplura. Sedangkan dalam kelas Insecta ada 25 ordo, meliputi : Orthoptera, Isoptera, Blattodea, Mantodea, Grylloblattodea, Phasmatodea, Strepsiptera, Dermaptera, Embioptera, Plecoptera, Psocoptera, Zoraptera, Thysanoptera, Hemiptera, Coleoptera, Neuroptera, Trichoptera, Lepidoptera, Diptera, Siphanoptera, Pthiroptera, Megaloptera, Rhapidioptera, Mecoptera, dan Hymenoptera. Berdasarkan klasifikasi Manton (1979 dalam Suhardjono, 2007) yang memisahkan Collembola dari kelas Insecta (Serangga). Selanjutnya Jordana dan Arbea (1989) membedakan kelas Collembola menjadi empat ordo berdasarkan bentuk tubuh. Ordo pertama adalah Poduromorpha bertubuh gilik dengan pembagian ruas-ruas toraks dan abdomen tampak jelas. Ordo kedua adalah Entomobryomorpha bertubuh gilik, bagian dorsal ruas toraks pertama tidak jelas. Ordo ketiga adalah Symphyleona dengan bentuk tubuh bulat, dengan ruas-ruas toraks masih terlihat dan ruas abdomen ke-4 menjadi abdomen kecil. Ordo keempat adalah Neelipleona juga bertubuh bulat, tetapi ruas-ruas toraks tidak jelas dan pada umumnya tidak bermata (Suhardjono, 2007). Pada umumnya serangga dewasa mempunyai ciri-ciri : tubuh terdiri dari tiga bagian (kepala, toraks dan abdomen), sepasang antena, dua pasang sayap, tiga pasang kaki serta mempunyai bagian-bagian mulut yang terdiri dari mandibula, maksila, hipofaring, epifaring, labium dan labrum (Mani, 1982; Natawigena, 1990; Borror et all., 1996). C.2. Peran Serangga Serangga tidak selalu bersifat hama. Lingkungan telah mempunyai sistem keseimbangan antara komponen-komponennya (Hardi dan Anggraeni, 1997). Ditinjau dari segi kepentingan manusia, serangga dapat digolongkan ke dalam: 1) serangga hama, termasuk serangga yang dapat menimbulkan kerugian, seperti ulat, wereng, kepik, belalang, ngengat, dan lain-lain, 2) serangga berfaedah, merupakan sumber 20 penghasil bahan makanan bagi manusia, ikan, dan burung, seperti lebah dan ulat sutera, 3) serangga penyerbuk, yang dapat membantu penyerbukan tanaman, sehingga menunjang keberhasilan pembuahan, seperti kupu-kupu, kumbang, dan beberapa spesies lebah (Natawigena, 1990). Serangga mempunyai peranan yang berguna bagi organisme lain, sebagaimana disebutkan oleh Partosoedjono (1985) adalah sebagai berikut: 1. Membantu dalam aktifitas penyerbukan, baik pada tanaman pertanian, perkebunan, maupun kehutanan. 2. Menghasilkan produk madu dari peternakan lebah madu. 3. Ulat sutera (Bombyx mori) banyak diternakkan sebagai penghasil kokon sutera yang merupakan bahan baku bagi industri tekstil. 4. Penyedia bahan makanan, baik bagi manusia, ikan, maupun burung. 5. Perombak, beberapa jenis serangga memakan sisa-sisa tumbuhan dan organisme lain yang telah mati. 6. Musuh alami, dalam hal ini sebagai parasit dan predator, misalnya dari ordo Odonata, Orthoptera, Hymenoptera dan Hemiptera. Beberapa di antara serangga mempunyai peranan amat kecil terhadap bahan organik tanah, sedang lainnya seperti semut dan kumbang sangat mempengaruhi susunan humus karena ditranslokasikan atau dicernakan. Hasil kerja semut sangat nyata, karena serangga ini menggunakan jaringan tumbuhan yang sedikit banyak telah terurai sebagai makanan. Jadi berperan sebagai pengurai perintis, proses yang akan dilanjutkan oleh bakteri dan fungi (Buckman dan Brady, 1982). Collembola merupakan kelompok serangga tanah, yang berperan penting dalam membantu mempercepat proses perombakan bahan organik tanah. Hal ini disebabkan karena mereka mengkonsumsi jamur dan bahan organik membusuk. Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (=indikator hayati) polusi tanah dari logam berat atau pestisida. Di samping itu, berkat perilakunya dalam mengkonsumsi jamur, maka Collembola dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit tanaman. Pada sawah yang diberakan dapat ditemukan Collembola dalam jumlah banyak. Dalam kondisi ini, Collembola merupakan cadangan pakan bagi para predator hama pertanian, dalam hal ini Collembola berlaku sebagai pakan 21 alternatif bagi predator. Dengan demikian, Collembola dinilai membantu menjaga keseimbang-an ekosistem lahan persawahan dengan mempertahankan populasi serangga predator (Suhardjono, 2007). C.3. Habitat Serangga Habitat adalah tempat suatu organisme hidup (Romoser dan Stoffolano, 1998). Pada dasarnya serangga merupakan hewan darat, walaupun sebagian besar ada yang hidup di air tawar, air asin dan macam habitat lain. Serangga banyak ditemukan pada lapisan serasah dan di lapisan tanah atas, baik secara berkoloni (seperti: Isoptera dan Hymenoptera) maupun secara individu (seperti: Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, Acarina, dan Collembola) (Daly, 1978). Collembola tanah terdapat pada lapisan tanah atas, berkisar pada kedalaman tanah dari 0 cm sampai 15 cm (Suhardjono, 1992). Selanjutnya Suhardjono (2007) mengemukakan bahwa sebagian besar anggota Collembola adalah penghuni tanah, namun ada beberapa yang dapat ditemukan pada kanopi dengan ketinggian 40 m. Binatang ini menempati berbagai macam habitat, dari tepi pantai sampai pegunungan tinggi bahkan yang bersalju. D. Indeks Keanekaragaman Berbagai konsep dan ide pengukuran keanekaragaman hayati sampai saat ini masih merupakan bahan diskusi menarik di kalangan para ahli ekologi. Secara umum, seluruh konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: "kekayaan jenis" (species richness), "heterogenitas" (heterogenity), dan "eveness " (Bengen, 2000; Suin, 2003). Menurut Situmorang (1999) Hexapoda yang sering ditemukan di permukaan tanah kebanyakan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera, Orthoptera dan Collembola. Sedangkan menurut Salim (1998) keanekaragaman jenis Hexapoda tanah terbesar adalah di hutan daratan campuran, sedangkan yang terkecil di hutan mangrove yang rusak. Ordo Hemiptera memiliki kelimpahan tertinggi disusul oleh ordo Orthoptera, Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera. Namun Hexapoda dari ordo Hemiptera dan Coleoptera tidak ditemukan di tipe ekosistem hutan mangrove yang rusak. 22 Keanekaragaman Hexapoda di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik dan pH tanah (Adianto, 1993). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang atau disebut juga dengan serasah. Besarnya kandungan bahan organik ini dapat dilihat dari kandungan C-organik tanah. Sedangkan tingginya kemasaman suatu sistem tanah dapat mempengaruhi keberadaan fauna tanah. Wallwork (1976) mengatakan bahwa Collembola dan Acarina akan melimpah pada komunitas yang memiliki kemasaman yang cukup tinggi. Hal ini juga didukung oleh Adianto (1993) yang mengatakan bahwa Collembola merupakan fauna yang dominan karena habitatnya bersifat asam. Kehidupan di dalam tanah selain ditentukan oleh pH, kandungan C-organik dan salinitas juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kandungan air tanah, faktor iklim mikro di dalam tanah dan cahaya matahari (Adianto, 1993). Faktor-faktor abiotis tersebut dapat menentukan kehadiran atau ketidak-hadiran suatu jenis tertentu dari Hexapoda tanah atau dapat pula menentukan kepadatan populasi fauna tanah. Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mencirikan hubungan kelompok marga dan komunitas (Ludwig and Reynolds, 1988). Indeks keanekaragaman marga (genus diversity indices) dapat dilihat dari dua komponen, yaitu: 1) jumlah marga dalam komunitas, yang sering disebut kekayaan marga (genus richness) 2). kemerataan marga (genus eveness) atau keseimbangan, yang menggambarkan distribusi kelimpahan di antara jenis. Sehingga dapat dikatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan kombinasi nilai dari kekayaan jenis dan kemerataan. Berbagai metode dan rumus digunakan untuk mengukur indeks keanekaragaman serangga (Shannon and Wiener, Simpson, dan Hill), masingmasing metode mempunyai cara penghitungan dengan rumus dan tujuan tertentu.